7
7II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Wilayah Pesisir Wilayah
pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan
lautan, yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi
lingkungan (ekologis) yang unik (Dahuri et al., 1996; Brown, 1996).
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah
pertemuan antara daratan dan laut; ke arah darat wilayah pesisir
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang
masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin
laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah
pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di
daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976;
Dahuri et al., 2001) (Gambar 2).Gambar 2. Skema Batas Wilayah
Pesisir Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa wilayah pesisir
dimulai dari lingkungan daratan hingga perairan laut. Sehingga
harus dikelola secara terpadu dan bukan secara terpisah. Sementara
itu, menurut berbagai pustaka utama tentang pengelolaan wilayah
pesisir, seperti Gartside (1988), Sorensen dan Creary (1990),
Pernetta dan Elder (1993), Chua (1992), Clark (1996), Dahuri et
al., (2001), dan 8Brown (1996), bahwa penentuan batas-batas wilayah
pesisir di dunia pada umumnya berdasarkan pada tiga kriteria
berikut:1. Garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis
pantai (coastline atau shoreline). Republik Rakyat Cina
mendefinisikan wilayah pesisirnya sebagai suatu wilayah peralihan
antara ekosistem darat dan lautan, ke arah darat mencakup lahan
darat sejauh 15 km dari garis pantai, dan ke arah laut meliputi
perairan laut sejauh 15 km dari garis pantai (Zhijie dan Cote,
1990). 2. Batas-batas adiministrasi dan hukum. Negara bagian
Washington, Amerika Serikat; Australia Selatan; dan Queensland,
batas ke arah laut dari wilayah pesisirnya adalah sejauh 3 mil laut
dari garis dasar (coastal baseline)(Sorensen dan Mc.Creary, 1990).
3. Karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik), yakni atas dasar
sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau
kesatuan prosesproses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi
biota, dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah
pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah: batasan menurut Daerah
Aliran Sungai (catchment area atau watershed) (Rais et al., 2004;
Chua, 2006).Ciri-ciri Wilayah Pesisir meliputi antara lain: 1.
Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis,
kimiawi dan geologis yang sangat cepat (Tulungen, 2001). 2. Tempat
dimana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan merupakan
tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai jenis
spesies organisme perairan (Tulungen, 2001; Dahuri et al., 2001) 3.
Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai
dan pasir, muara sungai, lamun dan sebagainya yang merupakan
pelindung alam yang penting dari erosi, banjir dan badai serta
dapat berperan dalam mengurangi dampak polusi dari daratan ke laut
(Tulungen, 2001; Dahuri et al., 2001; Idris et al., 2007). 4.
Sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, dan
tempat berlibur atau rekreasi (UN, 2002a; UNEP, 2002a; da Silva,
2002). Ekosistem alamiah (pada butir 3), seperti ekosistem pesisir
dan lautan, menyediakan tempat fungsi utama yang sangat diperlukan
bagi kesinambungan 9pembangunan ekonomi dan kelangsungan hidup umat
manusia itu sendiri (Ortolano, 1984; de Groot, 1992). Pertama
adalah sebagai penyedia sumberdaya alam dapat pulih (seperti hutan,
ikan, dan energi matahari) dan sumberdaya alam tak dapat pulih
(termasuk bahan tambang dan mineral) yang diperlukan untuk bahan
baku pangan, papan, transportasi, industri dan kegiatan manusia
lainnya. Kedua sebagai penyedia ruang (space) untuk tempat tinggal
(permukiman); melakukan kegiatan budidaya pertanian dalam arti luas
(termasuk perikanan dan peternakan) dan industri; rekreasi dan
pariwisata; perlindungan alam; dan lain-lain. Ketiga sebagai
penampung atau penyerap limbah (residu) sebagai hasil samping dari
kegiatan konsumsi, produksi (pabrikasi), dan transportasi yang
dilakukan oleh manusia. Keempat sebagai penyedia jasa-jasa
kenyamanan (amenities) dan jasa-jasa pendukung kehidupan
(life-suport services), seperti udara bersih, siklus hidrologi,
siklus hara, keanekaragaman hayati (biodiversity), alur ruaya
(migratory routes) berbagai jenis fauna dan lain sebagainya.Wilayah
pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia
serta tempat berlangsung berbagai macam kegiatan pembangunan.
Konsentrasi kehidupan manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di
wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat,
yaitu bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling produktif
di bumi, wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai
kegiatan, dan wilayah pesisir memiliki pesona yang menarik bagi
obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di
dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan
komplekssehingga menjadi rusak. Di Indonesia kerusakan wilayah ini
terutama disebabkan oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi, tanpa ada perhatian yang memadai terhadap
karakteristik, fungsi dan dinamika ekosistem. Padahal wilayah
pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terkandung di dalamnya diharapkan akan menjadi
tumpuan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan perbaikan
yang mendasar di dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan
sumberdaya alam pesisir. Pola pembangunan yang hanya berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan
berkelanjutan. Pendekatan dan praktek pengelolaan pembangunan
wilayah pesisir yang selama ini dilaksanakan secara 10sektoral dan
terpilah-pilah, perlu diperbaiki melalui pendekatan pengelolaan
secara terpadu. (Dahuri, 1998; IOC, 1999; UNEP, 2002a). Beberapa
contoh kegiatan pembangunan yang banyak dikembangkan di wilayah
pesisir adalah: (1) Pengembangan kawasan pemukiman di pesisir.
Sejalan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka
semakin meningkat pula kebutuhan fasilitas tempat tinggal yang
menuntut adanya pengembangan kawasan pemukiman. Kecenderungan yang
ada saat ini bahwa pengembangan kawasan pemukiman banyak dilakukan
di kawasan pesisir. Sayangnya pengembangan kawasan pemukiman yang
dilakukan hanyamempertimbangkan kepentingan jangka pendek tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan untuk masa mendatang. Dengan
pengembangan kawasan pemukiman ini, maka dampak lain yang mungkin
timbul adalah pencemaran perairan oleh limbah rumah tangga, jika
tidak diantisipasi dengan pengembangan penanganan limbah secara
terpadu (Dahuri et al., 2001; UN, 2002a; UNEP 2002a). (2)
Pengembangan lahan pertambakan. Pembukaan lahan mangrove menjadi
kawasan pertambakan terjadi secara besar-besaran sejak tahun 1980
yang dipicu oleh membaiknya harga udang di pasar internasional dan
dilarangnya penggunaan trawl di Indonesia. Kegiatan ini dilakukan
baik dalam skala besar (industri) maupun skala kecil (masyarakat
setempat). Kegiatan ini tidak hanya berdampak terhadap hilangnya
fungsi fisik dan biologis ekosistem mangrove,tetapi juga kegiatan
budidaya memberikan dampak terhadap kualitas perairan baik berupa
peningkatan kekeruhan maupun peningkatan bahan-bahan organik dalam
lingkungan perairan pesisir ((FAO, 2001; Dahuri et al., 2001; WRI,
2002). (3) Kegiatan pengilangan minyak di wilayah pesisir. Kegiatan
ini juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kualitas
perairan pesisir. Beberapa kasus yang terjadi di wilayah pesisir
menunjukkan tingginya pencemaran minyak yang berasal dari kegiatan
ini, seperti yang terjadi di Teluk Balikpapan (Dahuri et al., 2001;
UN, 2002a; Idris et al., 2007). 11(4) Kegiatan reklamasi di wilayah
pesisir. Reklamasi seteliti apapun perencanannya, tetap akan
mengubah kondisi dan ekosistem pesisir dan ekosistem buatan yang
baru tentunya tidak akan sebaik yang alamiah. Secara garis besar
reklamasi pantai memberikan dampak antara lain: Pertama,reklamasi
pesisir demi memperoleh lahan lebih luas merupakan kegiatan paling
buruk yang mengubah bentang alam asli pantai dan wilayah pesisir.
Perubahan bentang alam ini akan berakibat pula terhadap perubahan
hidrooseanografi terutama arus dan gelombang laut yang tentunya
akan menjadi ancaman besar bagi beberapa wilayah pesisir kota.
Kedua, hilangnya potensi sumberdaya hayati pesisir terutama
beberapa biota laut yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat
nelayan, dan dampak selanjutnya adalah kemungkinan berkurangnya
hasil tangkapan nelayan. Secara umum ekosistem seperti padang
lamun, terumbu karang, dan lainnya diketahui memiliki fungsi
ekologi yang sangat penting. Ekosistem-ekosistem ini menjadi urat
nadi kehidupan sebagian besar biota laut seperti ikan, udang,
moluska, dan lainnya, baik sebagai tempat bertelur (pemijahan)
maupun tempat mencari makan (feeding ground) dan tempat pembesaran
(nursery ground). Untuk itu, bila ekosistem pesisir ini rusak maka
fungsifungsi tersebut di atas akan hilang, apalagi aktivitas
seperti alih fungsi suatu wilayah pesisir, di mana secara fisik
akan mengalami tekanan yang sangat besar dan dampaknya akan semakin
luas dan kompleks. Ketiga, kemungkinan besar akan terjadi perubahan
dan perpindahan sedimen yang sebelumnya tertampung pada wilayah
reklamasi. Pengerukan dan penimbunan dalam proses reklamasi pantai
dapat menyebabkan perubahan arus laut sekitarnya yang selanjutnya
akan mengubah pola sedimentasi. Keempat, reklamasi berdampak
terhadap rusaknya ekosistem mangrove dan terumbu karang, yang
selanjutnya akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan
sumberdaya ikan serta erosi pantai (Bryant et al., 1998; Dahuri et
al., 2001; WRI, 2001; Fortes, 2001). (5) Kegiatan industri yang
dikembangkan di wilayah pesisir. Kegiatan ini ditujukan untuk (a)
meningkatkan dan memperkokoh program industrialisasi dalam rangka
mengantisipasi pergeseran struktur ekonomi nasional dari dominan
primary based industry menuju secondary based industry dan
12tertiary based industry; dan (b) menyediakan kawasan industri
yang memiliki akses yang baik terhadap bahan baku, air untuk proses
produksi dan pembuangan limbah dan transportasi produk maupun bahan
baku (Dahuri et al., 2001; UN, 2002a; Idris et al., 2007). (6)
Kegiatan rekreasi dan pariwisata bahari yang banyak dikembangkan di
wilayah pesisir (misalnya pengembangan wisata bahari di Taman
Nasional Laut Bunaken yang juga berfungsi untuk kawasan lindung
bagi biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang) akan dapat
merusak ekosistem pesisir yang ada (UN, 2002a; da Silva, 2002). (7)
Kegiatan pertanian dan perkebunan di lahan atas. Secara langsung
atau pun tidak langsung akan memberikan dampak negatif terhadap
wilayah pesisir. Pembukaan lahan untuk kegiatan ini akan
meningkatkan laju sedimentasi di wilayah pesisir, khususnya di
muara-muara sungai. Kegiatan pertanian juga meningkatkan kandungan
nutrien ke dalam perairan. Apabila peningkatan ini cukup tinggi,
maka akan berpotensi menimbulkan eutrofikasi di perairan pesisir
(Seitzinger dan Kroeze 1998; Kroeze dan Seitzinger 1998; Dahuri et
al.,2001). Konsentrasi kehidupan umat manusia dan berbagai kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir bukanlah suatu kebetulan, melainkan
disebabkan oleh tiga alasan ekonomis (economic rationality) yang
kuat, antara lain: 1. Pertama, wilayah pesisir merupakan salah satu
kawasan yang secara biologis paling produktif. Berbagai ekosistem
dengan produktivitas hayati tertinggi,seperti hutan mangrove,
padang lamun, terumbu karang dan estuaria berada di wilayah
pesisir. Lebih dari 90% total produksi perikanan dunia (sekitar 82
juta ton), baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya,
berasal dari wilayah pesisir (FAO, 1998). 2. Kedua, wilayah pesisir
menyediakan berbagai kemudahan (accessibilities)yang paling praktis
dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman dan
kegiatan pembangunan lainnya, dibandingkan dengan yang dapat
disediakan oleh daerah lahan atas (up-land areas). Kemudahan
tersebut berupa media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan
baku air pendingin 13(cooling water) dari air laut untuk berbagai
jenis pabrik dan pembangkit tenaga listrik, dan bahan baku industri
lainnya (Anutha dan Johnson 1996). 3. Ketiga, wilayah pesisir pada
umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan objek
rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan
(lucrative), seperti pasir putih untuk berjemur, perairan pesisir
untuk renang, selancar, berperahu, terumbu karang serta keindahan
bawah laut lainnya untuk pariwisata selam dan snorkling (da Silva,
2002).2.2. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Lautan Prasetyawati
(2001) memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu
proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk mengenai
lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup
mereka sebagai akibat dari pengusahaan mereka, dengan demikian
pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Dengan disahkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang
telah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 pasal 18 ayat 4 tentang
pengelolaan kawasan pesisir, maka kewenangan dan kewajiban
pengembangan kawasan sekarang ini berada pada Pemerintah
Kabupaten/Kota. Peran Pemerintah Pusat adalah menyusun Norma,
Standar, Pedoman dan Manual disamping memfasilitasi dan
meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah. Sedangkan
kewenangan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pengembangan
kawasan adalah sangat luas, antara lain: 1) Menetapkan target
pertumbuhan; 2) Menetapkan tahap dan langkah pembangunan kawasan
dan kedaerahan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya; 3)
Menetapkan persetujuan kerjasama regional di bidang perdagangan
yang berlandaskan pada produksi lokal yang dihasilkan oleh
sentrasentra komoditas tertentu; 4) Melakukan berbagai macam
negosiasi yang bertujuan mewujudkan konsepsi pertumbuhan ekonomi
regional; 5) Menetapkaninstitusi-institusi pendukung kebijakan
untuk pertumbuhan ekonomi regional; 6) Mengembangkan sistem
informasi untuk promosi kegiatan-kegiatan ekonomi regional.
Pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia dewasa
ini telah menganut sistem desentralisasi. Dasar desentralisasi
pembangunan perikanan adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintah
Daerah sebagai pengganti 14UU No. 22/1999. Pada pasal 18 ayat 1
dinyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut, diberikan
kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut di wilayah laut.
Sedangkan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya laut
dijelaskan pada ayat 3 (tiga) meliputi: 1) Eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; 2) Pengaturan
administratif; 3) Pengaturan tata ruang; 4) Penegakan hukum
terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat; 5) Ikut serta
dalam pemeliharaan keamanan; 6) Ikut serta dalam pertahanan
kedaulatan negara. Selanjutnya menurut Sondita (2001) pengembangan
dalam hal pembangunan ekonomi dampaknya dapat dilihat pada: 1)
Industri perikanan tangkap; 2) Perikanan rakyat; 3) Wisata massal
dan ekowisata serta wisata bahari; 4) Perikanan budidaya; 5)
Perhubungan laut dan pembangunan pelabuhan; 6) Pertambangan lepas
pantai; 7) Penelitian kelautan; 8) Akses terhadap sumberdaya
gentika. Tertulis dalam naskah Pidato Presiden Republik Indonesia
(2004) yang berisi bahwa pembangunan kelautan diarahkan untuk: 1)
Mengelola dan mendayagunakan potensi sumberdaya laut, pesisir, dan
pulau-pulau kecil secara lestari berbasis masyarakat; 2) Membangun
sistem pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya
laut dan pesisir yang disertai dengan penegakan hukum yang ketat;
3) Meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir dan pulaupulau kecil
serta merehabilitasi ekosistem yang rusak, seperti terumbu karang,
mangrove, padang lamun dan estuaria; 4) Mengendalikan pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut, perairan
tawar (danau, situ, perairan umum) dan pulau-pulau kecil; 5)
Menjalin kerja sama regional dan internasional untuk menyelesaikan
batas laut dengan negara tetangga; 6) Memperkuat kapasitas
instrumen pendukung pembangunan kelautan yang meliputi iptek, SDM,
kelembagaan dan peraturan perundangan; 7) Meningkatkan riset dan
pengembangan teknologi kelautan; 8) Mengembangkan upaya mitigasi
lingkungan laut dan pesisir, meningkatkan keselamatan kerja dan
meminimalkan resiko terhadap bencana alam laut bagi masyarakat yang
tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 9)
Menggiatkan kemitraan untuk meningkatkan peran 15aktif masyarakat
dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir dan
pulau-pulau kecil. Menurut Kusumastanto (2000) agar pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya kelautan mampu meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat pesisir (nelayan), maka langkah-langkah
strategis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Pembangunan desa pantai dan pemberian insentif kepada masyarakat
pesisir untuk meningkatkan produktivitasnya. Insentif yang
diberikan meliputi kemudahan terhadap pengembangan usaha seperti
perizinan, subsidi, pinjaman dan menjaga kestabilan harga. 2.
Pendekatan aktivitas sekunder seperti budidaya tambak, budidaya
rumput laut dan industri pengolahan. Upaya untuk menggalakkan
aktivitas sekunder tersebut juga harus disertai dengan kemudahan
dalam pemberian perizinan, subsidi dan bantuan dana kemitraan
dengan pengusaha besar dan pemasaran. 3. Pembentukan lembaga yang
sesuai dengan karakteristik usaha dan peningkatan kegiatan usaha
nelayan, khususnya untuk pengembangan perikanan dan
aktivitas-aktivitas sekunder yang mampu meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraaan masyarakat pesisir atau nelayan. 4. Penataan
perairan pesisir dan lautan secara lokal untuk menentukan daerah
penangkapan antara perikanan skala kecil dan perikanan skala besar.
Strategi penataan ruang perairan pesisir untuk daerah penangkapan
adalah menetapkan zonasi atau peta operasional untuk setiap usaha
perikanan berdasarkan kemampuan operasi (perikanan rakyat dan
industri) yang dilengkapi aspek hukum, termasuk pengaturan dan
sanksi. Menurut WCED (1987); Anutha dan Johnson (1996) istilah
pengembangan berkelanjutan berarti mengelola pengguna,
mengembangkan dan melindungi sumberdaya fisik dan alami atau pada
satu tingkatan dimana keberadaan seseorang dan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, kesejahteraan budaya, kesehatan
dan keamanan sewaktu: 1) menopang potensi sumberdaya alam dan fisik
untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang; 2) perlindungan
kebutuhan hidup berupa kapasitas udara, air, tanah dan ekosistem;
3) mencegah, memperbaiki atau memitigasi setiap dampak yang
16kurang baik terhadap lingkungan. Tujuannya adalah memadukan
pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan
kebijaksanaan dan pengambilan keputusan yang strategik sampai
kepada penerapannya di lapangan (Aryanto, 2003). Pembangunan yang
komprehensif menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw
(1995) adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri (1) berbasis
lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3)
berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan.
Pengelolaan berbasis masyarakat setempat atau biasa disebut
Community-Based Management (CBM). Pemanfaatan secara lestari hanya
akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara baik, proporsional dan
transparan. Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya manusia,
alam, buatan dan sosial (Keraf, 2000). Menurut Nikijuluw (1995)
pendekatan pengelolaan sumberdaya alam sangat didukung oleh tujuan
jangka panjang pembangunan wilayah pesisir dan bahari di Indonesia
antara lain: (a) Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, (b) Pengembangan
program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan
sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan
lestari, (c) Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai
dalam pelestarian lingkungan, (d) Peningkatan pendidikan, latihan,
riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan. Tentang
pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
(sustainable), maka Albertson (1999) dalam risetnya menyebutkan
dimensidimensi: 1. Environmental Sustainability: perlindungan untuk
generasi mendatang. 2. Economic Sustainability: setiap pengembangan
variabel secara ekonomi. 3. Socio-Cultural Sustainability: setiap
inovasi harus harmoni antara pengetahuan lokal sosial-budaya,
praktek, pengetahuan dan teknologi tepat guna (Hardin, 1985). 4.
Political Sustainability: keterkaitan birokrasi (pemerintah) dan
masyarakat. Para pemimpin formal dan informal untuk suatu sektor
tertentu dalam masyarakat lokal harus mampu menjalin komunikasi
dengan struktur-struktur 17politik dan birokrasi. Hilangnya
keterkaitan birokrasi terjadi karena tidak adanya perantara
(interface).Sama halnya dengan pendapat Fauzi dan Anna (2002) yang
menyatakan bahwa konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan
sendiri mengandung aspek: 1. Ecological sustainability
(keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara
keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungya,
serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistim menjadi
fokus utama. 2. Socioeconomic sustainabilty (keberlanjutan
sosioekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan
perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan
pelaku perikanan baik pada tingkat individu. Dengan kata lain
mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang
lebih tinggi merupakan fokus dalam kerangka keberlanjutan. 3.
Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan
kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi
perhatian membangunan perikanan yang berkelanjutan. 4.
Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam
kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara
aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat
dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Pendapat serupa
dikemukakan oleh Arrow et al., (1995); Dahuri (1998) dan Lim (1998)
tentang garis besar konsep pembangunan berkelanjutan yang memiliki
empat dimensi, yaitu ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial
politik, serta hukum dan kelembagaan untuk pemecahan
masalah-masalah di wilayah pesisir. 2.3. Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Lautan Salah satu pengertian yang lebih komprehensif
tentang pengelolaan pesisir yang berkelanjutan dapat digambarkan
sebagai: suatu proses dinamis dalam mengambil keputusan untuk
menggunakan, mengembangkan dan melindungi sumberdaya dan kawasan
pesisir untuk mencapai kemakmuran bersama baik itu antara kelompok
pengguna dan tingkat nasional serta daerah dan pusat. Pengelolaan
pesisir yang berkelanjutan terkenal dengan karakter kawasan pesisir
18yang berbeda seperti nilai sumberdayanya yang digunakan untuk
generasi saat ini dan akan datang. Pengelolaan pesisir yang
berkelanjutan berorientasi pada banyak tujuan, pengelolaan tersebut
mencakup implikasi pengembangan, konflik antar pengguna,
keterkaitan antara proses fisik dan aktivitas manusia serta
mengedepankan hubungan dan harmonisasi antara sektor pesisir dan
kegiatan yang ada di laut (Knecht et al., 1994; Anutha dan Johnson,
1996). Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu berfungsi untuk
perencanaan kawasan, pengembangan dan pembangunan ekonomi,
perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya, resolusi konflik,
perlindungan keselamatan umum dan penataan pemilikan sumberdaya
(Cicin-Sain dan Knecht, 1998). Tetapi dalam implementasinya
mengidentifikasi masalah-masalah seperti: (1) kurangnya pengetahuan
mengenai pesisir dan lautan, (2) rendahnya penilaian
(valuation)pada sumberdaya pesisir dan lautan, (3) kurangnya
pemberdayaan masyarakat dan pengguna sumberdaya pesisir dan lautan,
(4) ketidakjelasan wewenang pengelolaan, (5) rendahnya kapasitas
kelembagaan, dan (6) kurangnya keterpaduan antar prakarsa (Dahuri
dan Dutton, 2000). Sumberdaya kawasan pesisir dan laut memiliki
spesifikasi lokasi dengan karakteristik yang beragam baik lahan,
komoditas maupun sumberdaya manusianya. Karena itu konsep
pengembangan kawasan pesisir bertitik tolak dari meningkatkan
kekuatan dan menurunkan kelemahan supaya kawasan pesisir mampu
berlaku sebagai pelaku dan bukan sebagai obyek pembangunan dan
upaya pengelolaan sumberdaya perikanan harus didasarkan kepada
karakteristik wilayah dan kebutuhan faktual dari masyarakat kawasan
pesisir serta dapat mendukung upaya peningkatan taraf hidup
masyarakat nelayan sekaligus tetap mendukung keberlanjutan produksi
dan kelestarian sumberdaya perikanan (Dendi et al., 2005).
Pengelolaan wilayah pesisir harus didasarkan pada pendekatan
ekosistem yang meliputi interaksi yang bersifat fisika, kimia dan
biologi antara berbagai variasi komponen yang berkaitan dengan hal
yang bersifat alami dan masukan yang berasal dari kegiatan manusia,
baik yang masuk, keluar dan alirannya kedalam system tersebut
(Fabbri, 1998). Untuk pengelolaan wilayah pesisir yang
berkelanjutan perlu kiranya kita menjelaskan kriteria yang relevan
yang 19merupakan bagian dari penelitian, seperti indikator yang
bersifat site-specific yang mungkin secara signifikan untuk
dievaluasi (OECD, 1993). 2.4. Budidaya Perikanan Sistem Keramba
Jaring Apung Pengembangan akuakultur di Indonesia diharapkan mampu
menjawab empat isu penting antara lain: 1) keamanan pangan; 2)
perikanan yang bertanggung jawab (pengembangan perikanan budidaya
tidak boleh menimbulkan degradasi kualitas lingkungan yang pada
akhirnya akan mengganggu kesetimbangan ekologis lokal); 3)
perdagangan global; 4) memiliki daya saing komperatif yang
esensinya berupa peluang pasar bagi produk akuakultur kita (FAO,
1995; FAO Fisheries dan Aquaculture Department, 2006; Abdullah,
1997). Pengembangan budidaya laut di Indonesia untuk waktu yang
akan datang adalah sangat penting artinya bagi pembangunan sub
sektor perikanan, serta merupakan salah satu prioritas yang
diharapkan menjadi pertumbuhan dari sub sektor perikanan. Hal ini
dikarenakan beberapa alasan:a. Sumberdaya ikan di laut meskipun
merupakan sumberdaya yang dapat pulih kembali, tetapi tetap ada
batasan, apabila batas tersebut dilampaui akan sangat membahayakan
kelestarian sumberdaya ikan (Dahuri, 1998; 2001). b. Pemanfaatan
sumberdaya ikan di laut di beberapa perairan sudah intensif dan
menunjukkan gejala-gejala padat tangkap, sehingga pengembangan
selanjutnya di wilayah perairan tersebut diarahkan ke kegiatan
budidaya laut (Dahuri, 2001; Effendi, 2004; Idris et al., 2007). c.
Potensi pengembangan budidaya laut yang dimiliki Indonesia sangat
besar dengan garis pantai yang panjang, gugusan pulau-pulau, selat
dan teluk yang sangat sesuai untuk lahan pengembangan budidaya laut
(Idris et al., 2007). d. Budidaya laut merupakan jenis usaha baru
yang bila dikembangkan dapat menyerap tenaga kerja yang besar dari
desa pantai atau desa yang umumnya masuk kategori desa tertinggal
(FAO, 1995; Dahuri, 2007). e. Kegiatan budidaya laut dapat
diandalkan sebagai salah satu penyumbang devisa negara, karena
komoditas budidaya laut ini mempunyai nilai ekonomis penting
seperti ikan kerapu, kakap, tiram mutiara dan lain sebagainya
(Dahuri, 2001; Effendi, 2004; Idris et al., 2007). 20f. Kegiatan
budidaya laut berguna untuk mendidik nelayan ikan ikut memelihara
lingkungan pantai dari kerusakan sumberdaya hayati seperti
penggunaan alat dan bahan terlarang perusak ekosistem karang
(Abdullah, 1997). Budidaya memainkan peranan ekonomi penting
melalui penciptaan kesempatan ekonomi baru (menciptakan lapangan
kerja di suatu kawasan dimana ada beberapa alternatif pilihan
usaha) dan penyediaan sumber kualitas makanan yang tinggi secara
lokal dan kesempatan untuk menarik usahawan lokal untuk
berinvestasi dalam perekonomian lokal, sehingga meningkatkan
pengendalianpengembangan ekonomi secara keseluruhan. Budidaya
tergantung pada input dari keanekaragaman makanan, pemrosesan,
transportasi dan industri lainnya serta menghasilkan produk yang
bernilai, buangan limbah perairan yang tidak terkontaminasi dan
pengelolaan limbah perikanan yang kesemuanya dapat menjadi bagian
yang penting dari sistem ekologi yang dapat direncanakan dan
dikelola untuk produksi makanan akuatik yang berbasis masyarakat,
rehabilitasi ekosistem alami, reklamasi dan peningkatan
pemberdayaan dan bukan kerusakan (DFO, 2002; Costa-Pierce, 2008;
Soto, 2008). Peluang pengembangan usaha perikanan di Indonesia
masih sangat besar, mengingat pemanfaatan perairan yang dimilikinya
sampai saat ini masih relatif rendah. Pemanfaatan potensi
sumberdaya ikan di laut baru mencapai 65 %, atau baru 4,8 juta ton
per tahun dari potensi sumberdaya ikan yang mencapai 6,4 juta ton
per tahun (Ditjen. Perikanan, 2008). Sementara itu, kondisi global
juga menyediakan peluang besar bagi pengembangan perikanan yang
ditunjukkan antara lain oleh terus meningkatnya permintaan terhadap
ikan dan produk perikanan, berubahnya pola makan dari daging merah
(red meat) ke daging putih (white meat), gaya hidup yang lebih
berorentasi pada makanan yang nonkolesterol dan lain sebagainya
(Effendi, 2004 dan Cholik et al., 2005).Budidaya laut merupakan
suatu usaha memanfaatkan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir
dalam hal memelihara berbagai jenis ikan, kerang-kerangan, rumput
laut dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis penting.
Pengertian lain mengenai budidaya laut adalah suatu kegiatan pada
area tertentu di perairan pantai yang dicirikan dengan banyaknya
terdapat kumpulan keramba jaring apung, rakit-21rakit
kerang-kerangan atau rumput laut atau membudidayakan organisme laut
dalam wadah atau area terbatas dan terkurung (Ismail et al., 2001).
Dirjen perikanan (2001) mendefinisikan keramba jaring apung sebagai
tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang
memungkinkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi
pertukaran ke perairan sekitarnya. Komponen-komponen keramba jaring
apung terdiri dari kerangka atau bingkai, pelampung, jangkar,
pemberat jaring, penutup kantung jaring, bangunan fisik dan
peralatan pendukung lainnya. Teknologi budidaya ikan dengan sistem
KJA telah lama dikenal olehmasyarakat Indonesia. Menurut Ismail et
al., (1996), teknologi ini sudah diterapkan para petani di
Indonesia sejak tahun 1940 di beberapa sungai besar dan perairan
waduk. Kemudian dalam perkembangannya di tahun 1976, mulai
dilakukan adopsi terhadap teknik dasar budidaya dengan menggunakan
jaring apung yang dilakukan oleh petani di sekitar waduk Jatiluhur.
Di tahun 1998, budidaya khususnya perikanan dengan sistem keramba
jaring apung tersebut mulai dikembangkan di perairan pesisir.
Beberapa keunggulan ekonomis usaha budidaya ikan dalam keramba
yaitu: 1) Menambah efisiensi penggunaan sumberdaya; 2) Prinsip
kerja usaha keramba dengan melakukan pengurungan pada suatu badan
perairan dan memberi makan dapat meningkatkan produksi ikan; 3)
Memberikan pendapatan yang lebih teratur kepada nelayan
dibandingkan dengan hanya bergantung pada usaha penangkapan
(Galapitage, 1986). Menurut Rachmansyah et al., 1997 budidaya
perikanan dengan sistem keramba jaring apung memiliki keunggulan
komperatif diantaranya: 1. Efisien dalam penggunaan lahan dengan
tingkat produktivitas tinggi dibandingkan tambak, tidak memerlukan
pematang, saluran air dan pengolahan lahan sehingga dapat
mengurangi biaya produksi. 2. Unit usaha dapat ditentukan sesuai
kemampuan modal dengan menggunakan bahan rakit sederhana sesuai
bahan yang tersedia disekitar lokasi budidaya. 3. Mudah dipantau
karena wadah budidaya yang relatif terbatas, terhindar dari
pemangsa dan mudah melakukan pemanenan. 224. Tidak memerlukan
pengelolaan kualitas iar, karena adanya gerakan pasut sehingga
efisien dalam biaya produksi. 5. Produksi mudah dicapai oleh armada
penangkapan tuna dan cakalang sebagai sarana pemasaran. Suatu
organisme yang akan dibudidayakan dipilih berdasarkan beberapa
pertimbangan atau kriteria yaitu 1) Besarnya manfaat organisme bagi
manusia, seperti untuk bahan makanan, bahan baku industri,
obat-obatan dan sektor jasa; 2) Peluang untuk dapat diproduksi
dengan teknologi dan biaya yang layak; 3) Pengaplikasian usaha
budidaya tidak banyak menimbulkan gangguan terhadap kegiatan lain
atau lingkungan (Dirjen Perikanan Budidaya DKP, 2001). Untuk
keberhasilan dan kesinambungan usaha budidaya ikan dalam keramba
jaring apung, maka beberapa aspek penting yang harus
dipertimbangkan adalah pemilihan lokasi, konstruksi keramba jaring
apung, ketersediaan benih, pembesaran ikan budidaya (padat tebar,
pakan dan cara pemberian pakan), perawatan keramba, pengendalian
hama penyakit dan pemasaran (Rochdianto, 1996 dan Sunyoto, 1996).
Beberapa faktor non teknis yang ikut andil dalam menentukan usaha
budidaya sistem keramba jaring apung ini meliputi: 1) Dekat dengan
daerah sumber benih ikan yang akan dibudidayakan; 2) Infrastruktur
jalan cukup tersedia sehingga akses menuju lokasi dalam mobilisasi
benih dan hasil panen dapat terjamin; 3) Terdapatnya sumber listrik
untuk penerangan lokasi budidaya dalam kaitannya dengan keamanan,
kemudahan operasional pemeliharaan ikan dan kenyamanan pekerja; 4)
Tenaga kerja tersedia dengan cukup; 5) Kebijakan pemerintah daerah
setempat dengan perangkat peraturan dan intensif bagi pengembangan
usaha budidaya sistem keramba jaring apung yang ramah lingkungan
(Sunyoto, 1993; Wardana, 1999). Dahuri (2000); Effendi (2004) dan
Cholik et al., 2005 menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan
pemanfaatan potensi pesisir dan lautan, kegiatan budidaya perikanan
dapat dilakukan melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan
prasarana serta pengelolaan kesehatan organisme dan lingkungan.
Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan efisiensi,
produktivitas dan produksi usaha perikanan budidaya. Secara umum,
kegiatan 23budidaya perikanan dapat diklasifikasikan menjadi
kegiatan mariculture dan budidaya air payau (tambak). Alasan yang
mendorong perlu ditingkatkannya usaha budidaya perikanan laut
didasarkan pada perhitungan konversi konsumsi ikan penduduk
Indonesia pada tahun 2003 dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa dan
tingkat konsumsi ikan sebesar 26,5 kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dibutuhkan persediaan 5,5 juta ton ikan/tahun
dan bila ditambah dengan volume ekspor 1,4 juta ton/tahun dan
kebutuhan ikan untuk industri tepung ikan 0,3 juta ton/tahun, maka
pada tahun 2003 terjadi kekurangan produksi ikan sebesar 2,3 juta
ton/tahun dengan asumsi 4,9 juta ton kebutuhan ikan terpenuhi dari
produksi penangkapan. Tingkat produksi budidaya saat ini 1,1 juta
ton, dengan ini berarti untuk mencukupi kebutuhan ikan melalui
budidaya yaitu sebesar 1,2 juta ton/tahun (Akbar, 2001). Ismail et
al., (2001) menyebutkan bahwa pemilihan lokasi yang tepat merupakan
hal yang sangat menentukan, mengingat kegagalan dalam pemilihan
lokasi akan berakibat resiko yang permanen dalam kegiatan produksi.
Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, hendaknya dipilih lokasi
yang sesuai dengan karakteristik biofisik (persyaratan hidup) bagi
jenis ikan yang dibudidayakan. Lebih lanjut Ismail et al., (2001)
menyebutkan beberapa syarat pemilihan lokasi budidaya antara lain:
1) Harus terlindung dari pengaruh arus kuat dan angin musim; 2)
Tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar; 3) Perairan harus
benar-benar bebas dari pencemaran baik industri maupun rumah
tangga. Aspek sosial dan ekonomi yang penting diperhatikan dalam
memilih lokasi usaha budidaya dengan sistem keramba jaring apung
yaitu tersedianya prasarana jalan yang memadai, keamanan terjamin,
mudah mendapatkan tenaga kerja dengan upah yang wajar, merupakan
daerah pengembangan budidaya ikan, sesuai dengan tata ruang dan
kebijaksanaan pemerintah (Rochdianto, 1996 dan Sunyoto, 1996). 2.5.
Kualitas Air untuk Budidaya Ikan di Laut Kualitas lingkungan
perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang
kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan
dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah
24perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam
menyelesaikan daur hidupnya (Boyd, 1982). Menurut Ismoyo (1994)
kualitas air adalah suatu keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia dan
biologi suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk
keperluan tertentu, seperti kualitas air untuk air minum, pertanian
dan perikanan, rumah sakit, industri dan lain sebagainya. Sehingga
menjadikan persyaratan kualitas air berbeda-beda sesuai dengan
peruntukannya. Menurut Mc Gauhey (1968) beberapa aspek penting yang
perlu diperhatikan dalam pengelolaan kualitas air: 1) Tingkat
pemanfaatan dari penggunaan air; 2) Faktor kualitas alami sebelum
dimanfaatkan; 3) Faktor yang menyebabkan kualitas air bervariasi;
4) Perubahan kualitas air secara alami; 5) Faktor-faktor khusus
yang mempengaruhi kualitas air; 6) Persyaratan kualitas air dalam
penggunaan air; 7) Pengaruh perubahan dan keefektifan kriteria
kualitas air; 8) Perkembangan teknologi untuk memperbaiki kualitas
air; 9) Kualitas air yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter
yang bersifat fisik, dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera
manusia yaitu melalui visual,penciuman, peraba dan perasa.
Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air dapat diketahui
secara visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya
perubahan bau pada air serta peraba pada kulit dapat membedakan
suhu air, selanjutnya rasa tawar, asin dan lain sebagainya dapat
dideteksi oleh lidah (indera perasa). Hasil indikasi dari panca
indera ini hanya dapat dijadikan indikasi awal karena bersifat
subyektif, bila diperlukan untuk menentukan kondisi tertentu, misal
kualitas air tersebut telah menurun atau tidak harus dilakukan
analisis pemeriksaan air di laboratorium dengan metode analisis
yang telah ditentukan. Sedangkan parameter kimia yang didefinisikan
sebagai sekumpulan bahan/zat kimia yang keberadaannya dalam air
mempengaruhi kualitas air. Selanjutnya secara keseluruhan parameter
biologi mampu memberikan indikasi apakah kualitas air pada suatu
perairan masih baik atau sudah kurang baik, hal ini dinyatakan
dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam
perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003). Secara
singkat 25kriteria kualitas air untuk lokasi budidaya ikan dengan
sistem keramba jaring apung dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1.
Kriteria Kualitas Air untuk Lokasi Budidaya dengan sistem KJA
Parameter yang Diukur Kisaran Nilai Arus 20 30 cm/det Suhu 25 32 0C
(untuk wilayah tropis) Kecerahan 3 m Salinitas 28 32 ppt DO 5 10
mg/l pH 7,0 8,5 Nitrogen < 0,5 mg/l Posfat 10 110 mg/l Sumber:
Bambang dan Tjahjo (1997); Suwandana (1996) dalam Prasetyawati
(2001).Tabel 1 menampilkan parameter kunci yang dianggap paling
berpengaruh dalam keberlanjutan usaha budidaya sistem keramba
jarring apung. Di dalam penelitian ini, penulis menampilkan
parameter kualitas air yang dianggap paling mendukung bagi
kehidupan organisme yang dibudidayakan serta ditambah dengan
parameter penunjang untuk keefisiensian penempatan instalasi
budidaya ikan dalam keramba jaring apung, baik itu berupa parameter
fisika, kimia maupun biologi. 2.5.a DO (Oksigen Terlarut) Oksigen
terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek
langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan
pengaruh yang tidak langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan
pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu
sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut digunakan untuk proses
metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu, 1991). Oksigen
terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup
didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya
oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan
organik yang banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian
berlangsung (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Asmawi (1983)
menyatakan O2terlarut yang baik adalah 510 mg/l, CO2bebas tidak
lebih dari 12 mg/l dan terendah 2 mg/l serta NH3yang 26baik adalah
kurang dari 1 mg/l. Pada kadar NH30,053-0,280 mg/l kondisi larva
udang masih cukup baik. Gangguan NH3terhadap larva mulai terlihat
pada kadar 0,6 mg/l, kandungan NH3yang baik untuk pertumbuhan ikan
kurang dari 1 mg/l dan CO2berkisar 0,0-15,0 mg/l (Hadic dan Jatna,
1998). Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan
diperairan sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat
bahan lain yang bersifat racun, konsentrasi oksigen minimum sebesar
2 mg/l cukup memadai untuk menunjang secara normal komunitas
akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen terlarut
untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 8 mg/l (Mayunar et al.,
1995; Akbar, 2001). 2.5.b. Salinitas Hardjojo dan Djokosetiyanto
(2005) menyatakan bahwa salinitas adalah berat garam dalam gram per
kilogram air laut serta merupakan ukuran keasinan air laut dengan
satuan pro mil (0/00), salinitas merupakan parameter penunjuk
jumlah bahan terlarut dalam air. Zat-zat yang terlarut dalam air
laut yang membentuk garam adalah: 1. Unsur utama : Khlorida (Cl),
Natrium/ Sodium (Na), Oksida Sulfat (SO4) dan Magnesium (Mg). 2.
Gas terlarut : gas Karbondioksida (CO2), gas Nitrogen (N2), gas
Oksigen (O2).3. Unsur hara : Silika (Si), Nitrogen (N), Phosphor
(P). 4. Unsur runut : Besi (Fe), Mangan (Mn), Timbal (Pb) dan Air
Raksa/ Merkuri (Hg). Menurut Holiday (1967), salinitas mempunyai
peranan penting untuk kelangsungan hidup dan metabolisme ikan,
disamping faktor lingkungan maupun faktor genetik spesies ikan
tersebut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan
aliran air sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat
pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan
homogen sampai kira-kira setebal 50-70 meter atau lebih tergantung
dari intensitas pengadukan. Lapisan dengan salinitas homogen, maka
suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada lapisan bawah terdapat
lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang
27menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah
(Nontji, 2007). Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya
dengan proses penguapan dimana garam-garam akan mengendap atau
terkonsentrasi. Daerah-daerah yang mengalami penguapan yang cukup
tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi. Berbeda dengan keadaan
suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat
berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air
sungai yang masuk ke laut, penguapan dan edaran massa air (King,
1963 dalam Presetiahadi, 1994). Salinitas disebabkan oleh tujuh ion
utama yaitu natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg),
klorit (Cl), sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3),sementara itu
salinitas dinyatakan dalam satuan gr/l atau permil (0/00) (Effendi,
2003). Biota estuaria biasanya mempunyai toleransi terhadap variasi
salinitas yang besar (eury-haline). Contohnya Chanos chanos
(bandeng), Mugil (belanak) dan Tilapia (mujair). Salinitas yang
tidak sesuai dapat menghambat perkembangbiakan dan pertumbuhan.
Kerang hijau, kerang darah dan tiram adalah jenis-jenis kerang yang
hidup di daerah estuaria. Variasi salinitas alami estuaria di
Indonesia berkisar antara 1532 psu. Hasil penelitian yang dilakukan
pada kerang hijau memberikan petunjuk bahwa salinitas yang lebih
rendah dari 15 psu dapat menyebabkan kematian kerang tersebut.
Keberhasilan benih kerang darah untuk menempel pada kolektor
tergantung pada salinitas. Pada salinitas 18 psu, keberhasilan
menempel lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan dengan
salinitas yang lebih rendah daripada salinitas untuk kerang hijau
dan kerang darah. Kerapu dan beronang dapat hidup di daerah
estuaria maupun daerah terumbu karang. Ikan kakap hidup di perairan
pantai dan muara sungai. Rumput laut hidup di daerah terumbu
karang. Pada umumnya salinitas alami perairan terumbu karang di
Indonesia 31 psu (Romimohtarto, 1985). 2.5.c. Suhu Perairan
Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal
adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan
metabolisme dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang
sangat penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang
terkandung 28didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan
bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan
densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat digunakan untuk
menentukan kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada tempat
dimana air tersebut berada. Kenaikan suhu air di badan air
penerima, saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan
menimbulkan akibat sebagai berikut: 1) Jumlah oksigen terlarut di
dalam air menurun; 2) Kecepatan reaksi kimia meningkat; 3)
Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas suhu
yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan dan hewan air
lainnya mati. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung
yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam
proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum
fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam
merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi
distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997). Pengaruh suhu
secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa air,
stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca
dan sifat setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan
pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu
perairan. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut adalah 27 32
0C (Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al., 2001). Kenaikan suhu
perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air, memberikan
pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan menaikkan
daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan (Brown dan
Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air
berkisar antara 35 40 0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan
organisme yang dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia, suhu udara
rata-rata pada siang hari di berbagai tempatberkisar antara 28,2 0C
sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu berkisar antara 12,8 0C
sampai 30 0C. Keadaan suhu tersebut tergantung pada ketinggian
tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat
lebih rendah dibanding suhu udara disekitarnya. Secara umum, suhu
air di perairan Indonesia 29sangat mendukung bagi pengembangan
budidaya perikanan (BPS, 2003; Cholik etal., 2005). 2.5.d. pH pH
merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di
dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari
konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar antara 0 14, nilai pH kurang
dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7
menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH = 7 disebut sebagai
netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan pH <
4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan
kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan
yang sangat basa yang dapat menyebabkan kematian dan mengurangi
produktivitas perairan. Perairan laut maupun pesisir memiliki pH
relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya
berkisar antara 7,7 8,4. pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga
(buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang
dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992). Pescod (1973) menyatakan
bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung
kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut,
adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup
biota. Perairan basa (7 9) merupakan perairan yang produktif dan
berperan mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi
mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno,
1974). pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan
air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti
NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan
memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2
perairan, maka pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya.
Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3
(Cholik et al., 2005). 2.5.e. Kecepatan Arus Penyebaran kualitas
air di badan air penerima, baik sungai, waduk dan laut, sangat
dipengaruhi oleh kecepatan arus dan debit air. Semakin cepat arus
dan semakin besar debit air maka penyebaran kualitas air semakin
cepat dan semakin 30luas. Arus laut jauh lebih rumit karena adanya
gaya Coriolis, yakni gaya yang diakibatkan oleh perputaran bumi dan
adanya pasang surut yang dipengaruhi oleh gaya tarik bulan
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Romimohtarto (1985) menyatakan
bahwa arus mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap
kehidupan biota perairan. Arus dapat mengakibatkan rusaknya
jaringan-jaringan jasad hidup yang tumbuh di daerah itu dan
partikelpartikel dalam suspensi dapat menghasilkan pengikisan. Di
perairan dengan dasar berlumpur, arus dapat mengaduk endapan lumpur
sehingga mengakibatkan kekeruhan air dan mematikan organisme air.
Kekeruhan bisa mengurangi penetrasi sinar matahari, dan karenanya
mengurangi aktivitas fotosintesa. Manfaat dari arus bagi banyak
biota adalah menyangkut penambahan makanan bagi biotabiota tersebut
dan pembuangan kotoran-kotorannya. Untuk algae kekurangan zatzat
kimia dan CO2 dapat dipenuhi. Sedangkan bagi binatang CO2 dan
produkproduk sisa dapat disingkirkan dan O2 tetap tersedia. Arus
juga memainkan peranan penting bagi penyebaran plankton, baik
holoplankton maupun meroplankton. Terutama bagi golongan
meroplankton yang terdiri dari telur-telur dan burayak-burayak
avertebrata dasar dan ikan-ikan. Mereka mempunyai kesempatan
menghindari persaingan makanan dengan induk-induknya terutama yang
hidup menempel seperti teritip (Belanus spp) dan kerang hijau
(Mytilus viridis).Kecepatan arus yang baik dilokasi yang ingin
dijadikan sebagai tempat atau kawasan keramba jaring apung berkisar
antara 23 50 cm/det (Mayunar et al.,1995); sedangkan KLH (2004)
memberikan batasan kisaran nilai 15 25 cm/det. 2.5.f. Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan
organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah
satu unsur utama pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya
ditemukan dalam bentuk amonia, amonium, nitrit dan nitrat serta
beberapa senyawa nitrogen organik lainnya. Pada umumnya nitrogen
diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3 N) dan amonia
(NH3 N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 N dibandingkan
dengan NO3 N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala
kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen ini
sangat 31dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat
kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan
saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat
(NO3-) (Welch, 1980). Senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan bentuk
senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan
industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari
hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik
oleh bakteri. Jika kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah
yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1 mg/l pada suhu 25 0C dan
pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran (Alaerst dan Sartika, 1987).
Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik
(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah
dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan
biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan
jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi, 2003).
Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di
perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit
bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan
bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan
gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan
denitrifikasi (Effendi, 2003). Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen
utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrien
senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan.
Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung
oleh ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi
ammonia untuk keperluan budidaya laut adalah 0,3 mg/l (KLH, 2004).
Sedangkan untuk nitrat adalah berkisar antara 0,9 3,2 mg/l (KLH,
2004; DKP, 2002). 2.5.g. Intensitas Cahaya dan Kecerahan Cahaya
matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan jasad
termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas
perairan. Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama
yang sangat menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai
sumber energi dalam proses fotosintesis (Boyd, 1982). 32Umumnya
fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas
cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi),
diatas nilai tersebut cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis
(cahaya inhibisi). Sedangkan semakin ke dalam perairan intensitas
cahaya akan semakin berkurang dan merupakan faktor pembatas sampai
pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi
(Cushing, 1975; Mann, 1982; Valiela, 1984; Parson et al.,1984;
Neale , 1987). Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama
dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman
kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air
hanya tinggal 1 % dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami
penetrasi dipermukaan air. Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi
oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara
harian dan musiman (Effendi, 2003). Cahaya merupakan sumber energi
utama dalam ekosistem perairan. Di perairan, cahaya memiliki dua
fungsi utama (Jeffries dan Mills, 1996 dalamEffendi, 2003) antara
lain adalah: 1. Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan
berat jenis (densitas) dan selanjutnya menyebabkan terjadinya
percampuran massa dan kimia air. Perubahan suhu juga mempengaruhi
tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat suatu organisme
akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu
minimum dan maksimum bagi kehidupannya. 2. Merupakan sumber energi
bagi proses fotosintesis algae dan tumbuhan air. Kecerahan
merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan
dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan
cuaca, waktu pengukuran,kekeruhan dan padatan tersuspensi serta
ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran
kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi,
2003). Untuk budidaya perikanan laut, kecerahan air yang
dipersyaratkan adalah > 3 m (KLH, 2004; Akbar 2001). 2.5.h.
Kekeruhan Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya
membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif
karena menghalangi masuknya sinar 33matahari untuk fotosintesa.
Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel
tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan
kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah
liat, lumpur, bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan
partikel-partikel kecil tersuspensi lainnya. Tingkat kekeruhan air
di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari,
semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat sinar
matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari
sangat besar pada metabolisme makhluk hidup dalam air, jika cahaya
matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air
terganggu, khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu,
demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005;
Alaerts dan Santika, 1987). Menurut Alaerts dan Santika (1987)
menyatakan bahwa ada 3 metode pengukuran kekeruhan yaitu: 1) Metoda
Nefelometrik (unit kekeruhan nefelometrik FTU atau NTU); 2) Metoda
Hellige Turbidimetri (unit kekeruhan silica); 3) Metoda visual
(unit kekeruhan Jackson). Metoda visual adalah cara kuno dan lebih
sesuai untuk nilai kekeruhan yang tinggi, yaitu lebih dari 25 unit,
sedangkan metode nefelometrik lebih sensitif dan dapat digunakan
untuk segala tingkat kekeruhan. Padatan tersuspensi adalah padatan
yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat
mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran
maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat,
bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Padatan tersuspensi dan
kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai
padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan
tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan
tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang
tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi,
2003). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk usaha budidaya
perikanan laut adalah 5 25 mg/l (KLH, 2004). Padatan tersuspensi
menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran
air yang menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar
berikut ini, dapat dilihat bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah
yang berlebih 34(diukur sebagai total suspended solids TSS)
memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap kehidupan dan bisa
mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui beberapa
mekanisme berikut ini: 1) Abrasi langsung terhadap insang binatang
air atau jaringan tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang
ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3) Menghambat
tumbuhnya/smotheringtelur atau kurangnya asupan oksigen karena
terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan terhadap proses makan, termasuk
proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan (terutama bagi
predation dan filter feeding; 5) Gangguan terhadap proses
fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena padatan
menghalangi sinar yang masuk; 6) Perubahan integritas habitat
akibat perubahan ukuran partikel. 2.5.i. COD (Chemical Oxygen
Demand)Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD
(ChemicalOxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya
menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dibandingkan
uji BOD karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji COD. Angka COD
merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang
secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan
nilai COD dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran
limbah industri di dalam perairan (ALaerst dan Sartika, 1987).
2.5.j. BOD (Biochemical Oxygen Demand)BOD (Biochemical Oxygen
Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan jumlah oksigen terlarut
yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau
mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi
oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa
oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang
membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan
mengoksidasi air pada suhu 20 0Cselama 5 hari, dan nilai BOD yang
menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi 35dapat diketahui dengan
menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah
inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Menurut Hardjojo dan
Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa dalam uji BOD mempunyai
beberapa kelemahan, diantaranya adalah: 1) Dalam uji BOD ikut
terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau
bahanbahan tereduksi lainnya yang disebut juga intermediate oxygen
demand; 2) Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal
lima hari; 3) Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum
dapat menunjukkan nilai total BOD melainkan hanya kira-kira 68 %
dari total BOD; 4) Uji BOD tergantung dari adanya senyawa
penghambat didalam air tersebut, misalkan adanya germisida seperti
chlorine yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang
dibutuhkan untuk merombak bahan organik, sehingga hasil uji BOD
menjadi kurang teliti. BOD menunjukkan jumlah oksigen yang
dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada
botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 0C selama 5 hari
dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982). Berikut akandisajikan
derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat berdasarkan
nilai BOD5 (Tabel 2).Tabel 2. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai
BOD5Kisaran BOD5 (mg/l) Kriteria Kualitas Perairan 2,9 Tidak
tercemar 3,0 5,0 Tercemar ringan 5,1 14,9 Tercemar sedang 15,0
Tercemar berat Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987). Tabel 2
menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai
BOD. Kriteria ini merupakan kriteria untuk organisme budidaya
dengan berbagai sistem budidaya. 2.6. Daya Dukung Lingkungan
Purnomo (1997) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan
adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas perairan,
sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari
semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu
kesatuan ekosistem. Daya 36dukung (carrying capacity) merupakan
areal dimana populasi organisme akuatik akan ditunjang oleh kawasan
atau volume perairan tanpa mengalami penurunan mutu atau
deteriorasi (Turner, 1998). Kenchington dan Hudson (1984)
mendefinisikan daya dukung sebagai suatu kuantitas maksimum ikan
yang didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang
panjang. Poernomo (1992) menyatakan bahwa daya dukung dinyatakan
sebagai pemanfaatan maksimum suatu kawasan atau suatu ekosistem
baik berupa jumlah maupun kegiatan yang ada di dalamnya. Daya
dukung ekonomi merupakan tingkat skala usaha dalam pemanfaatan
sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara
berkelanjutan. Prasetyawati (2001) menyatakan daya dukung lahan
pesisir ditentukan oleh mutu dan sumber air (asin dan tawar), arus
dan pasang surut (hidro-oceanografi), topografi, klimatologi daerah
pesisir dan hulu. Scone dalam Prasetyawati (2001) membagi daya
dukung lingkungan menjadi dua yaitu daya dukung ekologis
(ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomi (economic
carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum
organisme dalam suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan
kematian karena faktor kepadatan maupun terjadinya kerusakan
lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh
faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, CO2 dan
parameter kualitas air lainnya. Sementara itu daya dukung ekonomi
adalah tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum dan
ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini
digunakan parameterparemeter kelayakan usaha secara ekonomi seperti
NPE (net present value), B/C (benefit cost ratio) dan IRR (internal
rate of return).Hardjowigeno (2001) mengemukakan bahwa daya
dukung/kesesuaian lahan dapat pula dibedakan atas kesesuaian lahan
sekarang (present land suitability),yaitu kesesuaian lahan yang
dinilai berdasarkan keadaan lahan pada saat dilakukan penelitian
tanpa memperhitungkan jenis perbaikan lahan yang diperlukan; dan
kesesuaian lahan potensial (potential land suitability), yaitu
kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan lahan setelah diadakan
perbaikanperbaikan tertentu yang diperlukan. 37Kesesuaian lahan
(land suitability) merupakan kecocokan (adaptability)suatu lahan
untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas)
lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi
wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih
terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya. Penilaian
kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian sistematik dari lahan
dan menggolong-golongkannya kedalam kategori berdasarkan persamaan
sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi
suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno, 2001). Daya
dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas assimilasi
dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang
kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Kemampuan assimilasi
merupakan ukuran kemampuan air atau sumber air dalam menerima
pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas
air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya (UNEP, 1993). Penjelasan
tersebut apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir
menjadi kemampuan badan air atau peraian di kawasan pesisir dalam
menerima limbah organik, termasuk didalamnya adalah kemampuan
mendaur ulang atau mengassimilasi limbah tersebut sehingga tidak
mencemari lingkungan perairan yang berakibat pada terganggunya
keseimbangan ekologis suatu perairan (Widigdo, 2000). 2.7. Estimasi
Beban Limbah Kuantitas dan komposisi dari makanan yang tidak
dimakan dan feses yang dihasilkan oleh ikan peliharaan tergantung
pada sejumlah faktor termasuk diantaranya jenis pakan (basah dan
kering), jumlah ikan yang dipelihara disetiap keramba, kesehatan
ikan yang dipelihara (ikan yang sakit cendrung kekurangan selera
makan), frekuensi pemberian pakan, jenis metode pemberian pakan
(secara otomatis atau manual) dan rasio konversi makanan. Tidak
seperti kegiatan peternakan, budidaya ikan tidak memerlukan
pengelolaan limbah. Dalam budidaya ikan laut, keramba dibatasi oleh
jaring yang memiliki ukuran mata jaring tertentu. Buangan limbah
dari kegiatan budidaya dikeluarkan langsung kelingkungan
sekitarnya. Besarnya dampak ekologi dari limbah tersebut terhadap
lingkungan akan tergantung pada: 1) ukuran unit keramba yang
beroperasi (jumlah keramba yang beroperasi); 2) kepadatan ikan
untuk setiap keramba; 3) 38durasi pengoperasian keramba pada suatu
tempat; 4) kondisi fisik dan oseanografi yang berkaitan dengan
tempat kegiatan keramba berlangsung; 5) biota yang menghuni kawasan
tersebut; dan 6) kapasitas assimilasi dari lingkungan dimana
kegiatan keramba ditempatkan (Milewski, 2001). Limbah pakan dapat
dikurangi melalui peningkatan stabilitas pakan, mengurangi tingkat
tenggelamnya pakan dan menyediakan ukuran pakan yang sesuai dengan
ukuran ikan pada setiap tahapan yang berbeda dari kegiatan
budidaya. Buangan amonia dari ikan merupakan fungsi dari penyerapan
protein dan dapat dijaga agar tetap rendah. Pakan yang memiliki
tingkat kecernaan yang tinggi, pengoptimalan rasio protein/ energi
dapat diterapkan untuk masing-masing spesies budidaya dan setiap
tahap pengembangan. Kebutuhan energi ikan dapat dicukupi melalui
pemberian karbohidrat dan lemak, sehingga protein dapat bertahan
untuk pembentukan jaringan tubuh. Hal ini telah ditunjukkan melalui
retensi protein dari ikan Sparatus aurata yang dapat ditingkatkan
dari 24,30 % menjadi 31,30 % dengan cara meningkatkan kandungan
lemak pakan menjadi 37 % (Kissil dan Lupatsch, 1992). Sebenarnya,
pengurangan N dalam pakan hanya dapat dicapai jika menggunakan
pakan buatan. Kesulitan menggunakan formulasi pakan buatan adalah
masih banyaknya penggunaan ikan rucah. Alasan mengapa penggunaan
ikan rucah masih banyak dilakukan karena masih rendahnya pemahaman
mengenai kebutuhan nutrisi untuk berbagai jenis ikan budidaya.
Kualitas pakan jelas merupakan faktor utama karena pakan
mempengaruhi pertumbuhan ikan secara keseluruhan (pertumbuhan
harian dan konversi makanan), kesehatan ikan, buangan limbah fekal
dan limbah pakan, dan jumlah total phosphor yang pada akhirnya
dilepaskan keperairan (Goddard, 1996; Steffens, 1996; Gatlin dan
Hardy, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Guo dan Li (2003)
memperlihatkan total nitrogen di sekitar keramba yang terukur
kandungannya hampir sama dalam jarak yang relatif jauh yaitu
sekitar 50 130 m. Sementara itu, kandungan Chlorofil-a di sekitar
keramba berbeda dengan yang ada dilokasi lain yang tidak
diperuntukkan sebagai kawasan budidaya. Demikian pula dengan
biomassa rotiferyang lebih rendah pada lokasi keramba dan lebih
tinggi pada kawasan yang jauh dari keramba. Cladocera juga
memperlihatkan kecendrungan yang berlawanan, 39pada akhir
penelitian hanya ditemukan dua spesies (Branchiura sowerbyi dan
Sphaerium lacustre) yang ditemukan tepat di bawah keramba yang
sebelumnya berjumlah 13 spesies dan tujuh spesies ditemukan di luar
kawasan keramba.Pengaruh banyaknya masukan nutrien pada badan air,
mencirikan adanya suatu peningkatan terhadap rendahnya tingkat
oksigen terlarut pada area yang luas, lebih tingginya kandungan BOD
dan konsentrasi ammonia di dalam kolom perairan. Hal ini seperti
yang dilakukan oleh Warren dan Hansen (1982) yang menggunakan pakan
buatan. Ternyata pakan buatan secara signifikan mengurangi masukan
polutan ke sekitar perairan. Berbedanya spesies ikan yang
dipelihara memungkinkan berbedanya tingkat ekskresi ammonia, hal
ini juga bergantung pada tingkat pertumbuhan dan konsumsi makanan.
Sebagai contoh, tingkat ekskresi amonia dari ikan kakap (Lutjanius
argentimaculatus) sebesar 558 mg/kg berat tubuh/tahun, lebih besar
50% dibandingkan dengan ikan kerapu (Epinephelus areolatus) 375
mg/kg berat tubuh/tahun pada saat kedua spesies ikan tersebut
diberi sejumlah pakan yang sama (Leung, 1996). Penurunan oksigen
terlarut dan peningkatan BOD, nutrien (P, N organik maupun
anorganik dan total C) secara umum ditemukan di kolom perairan
disekitar keramba (Muller dan Varadi, 1980; Bergheim et al., 1982;
Beveridge dan Muir, 1982; Enell, 1982, 1987; Penczak et al., 1982;
Enell dan Lof, 1983; Beveridge, 1985, 1986; Molver et al., 1988).
Oksigen terlarut kembali normal pada jarak sejauh 30 m dari
kegiatan budidaya ikan dalam keramba (Gowen dan Bradbury, 1987)
tetapi kandungan oksigen berkurang hingga jarak 1 km jika kegiatan
keramba tersebut menggunakan pakan ikan rucah dan kondisi kawasan
budidaya yang buruk (Wu et al., 1994). Perubahan padatan terlarut,
penurunan koefisien cahaya yang masuk, klorofil-a dan phaeopigmen
dianggap merupakan dampak yang kurang signifikan atau bersifat
lokal (Beveridge et al., 1994; Wu et al., 1994). Nutrien-nutrien
terlarut tidak secara keseluruhan buruk bagi lingkungan.
Phytoplankton yang merupakan tanaman mikroskopis yang menjadi dasar
rantai makanan memerlukan nutrien untuk pertumbuhan, dengan
meningkatnya produsen primer maka kelebihan nutrien tersebut dapat
memicu produktifitas total dari suatu sistem, khususnya spesies
komersial penting yang diinginkan. Ketika 40adanya peningkatan
produksi primer maka kemungkinan blooming alga berbahaya juga
terjadi. Pada saat ini tidak ada bukti yang nyata bahwa kegiatan
budidaya telah memicu munculnya alga beracun secara besar-besaran
(seperti red tide), tetapi tetap saja resiko kemungkinan munculnya
harus dipertimbangkan. Akan tetapi, alga non toksik juga dapat
berbahaya jika tidak ada yang mengkonsumsinya, ketika alga non
toksik ini mati dan mengendap didasar akan diuraikan oleh bakteri
dan dapat memicu masalah terjadinya anoksia seperti yang disebabkan
oleh pelet dan limbah pakan. Perhitungan kapasitas dari badan
perairan untuk mengasimilasi penambahan nutrien tanpa menimbulkan
dampak masih merupakan suatu hal yang langka (Silvert, 2001). Untuk
mengurangi dampak terjadinya loading nutrien yang berlebih
keperairan, maka perlu dikaji mengenai kapasitas assimilasi dari
suatu badan perairan dimana kegiatan budidaya akan ditempatkan.
Kapasitas assimilasidigambarkan sebagai kemampuan suatu kawasan
untuk mempertahankan kesehatan lingkungan dan mengakomodasi
sejumlah limbah (GESAMP (IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP
Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine
Environmental Protection), 1986). Model pendekatan secara matematik
telah digunakan dalam upaya untuk menentukan kapasitas assimilasi
dan beberapa model saat ini digunakan di Scotlandia oleh SEPA untuk
menetapkan dan mengatur konsentrasi buangan terutama yang berupa
bahan kimia, obat-obatan dan nutrien untuk memprediksi kondisi
suatu lingkungan (Henderson et al., 2001). Ada juga desakan
perlunya peningkatan pengawasan konsentrasi nutrien, bahan kimia
dan obat-obatan untuk keperluan validasi dari model pendugaan.
Masalah penentuan kapasitas assimilasi untuk kegiatan budidaya
dalam hal nutrien merupakan masalah yang kompleks dengan adanya
fakta bahwa sulitnya untuk mencirikan masukan nutrien dari keramba
ikan budidaya dengan masukan nutrien yang berasal dari hutan dan
kegiatan pertanian. Sehingga perlu adanya pendekatan yang holistik
untuk mengelola polutan di wilayah pesisir, khususnya yang mengacu
pada pemodelan masukan nutrien dan penentuan kapasitas assimilasi
(SEPA, 2002). Daya dukung perairan tergantung pada kecepatan
flushing, arus dan kapasitas assimilasi badan air terhadap polutan.
Konsumsi oksigen dari spesies 41ikan yang dipelihara berkisar
antara 83 hingga lebih besar dari 400 g O2/t/h (Wu, 1990b; McLean
et al., 1993). Dengan asumsi oksigen terlarut diperairan laut
adalah 7 mg/l, lebih kurang 17 53 m3 air laut yang bersih
dibutuhkan untuk mengganti konsumsi oksigen untuk 1 ton ikan
budidaya dan tidak menyertakan kebutuhan oksigen yang digunakan
untuk menguraikan limbah dari kegiatan budidaya (Beveridge et al.,
1994). Pada sistem budidaya ikan dalam keramba di perairan laut
terbuka, produksi ikan sebesar 200 ton/tahun memerlukan kecepatan
arus sebesar 1 m3/detik (Tervet, 1981). Pada area dimana pertukaran
air lambat, maka produksi ikan seharusnya dikurangi (Heinig, 2001).
Kerusakan lingkungan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan
organik yang tinggi dalam sedimen yang mungkin akan mempengaruhi
kesehatan ikanikan yang dipelihara dan akan mengurangi keuntungan.
Oleh karena itu, keramba apung harus diletakkan pada tempat dimana
kedalaman perairan mampu mempertukarkan air secara maksimal dan
menjaga bagian dasar tetap memiliki kondisi substrat yang baik pada
suhu terendah dan juga tak kalah penting adalah mengetahui
batimetri perairan (Beveridge, 1996). Selain limbah yang
dikeluarkan oleh organisme budidaya, limbah yang berasal dari suatu
pulau juga meski diketahui. Sayangnya tidak ada pengukuran yang
secara langsung mengetahui kuantitas dan kualitas buangan limbah
dari suatu pulau. Walaupun demikian, untuk menghitung kesesuian
dari kegiatan budidaya ikan dalam keramba di perairan yang
tertutup, dan sulit untuk mengeluarkan limbah, ada tiga faktor yang
harus dipertimbangkan untuk karakteristik buangan limbah (buangan
limbah domestik tanpa pembuangan limbah yang berasal dari aktivitas
industri) antara lain adalah: jumlah orang yang berada di wilayah
pesisir, keberadaan atau ketiadaan perlakuan-perlakuan sebelum
limbah tersebut dibuang keperairan. Sejumlah orang yang terkait
pada masingmasing sektor menentukan kuantitas limbah yang dibuang
kelaut. Keberadaan dan ketiadaan perlakauan-perlakuan sebelum
pembuangan limbah akan menentukan bahaya potensial yang akan
dialami (Perez et al., 2003). 2.8. Sistem Informasi Geografis (SIG)
dan Penginderaan Jarak Jauh Aplikasi dan pengembangan SIG dimulai
di negara maju, terutama Amerika Utara. Komponen utama SIG meliputi
perangkat keras, perangkat lunak, data dan 42sumberdaya manusia.
Perangkat keras meliputi komputer, digitizer, scanner, plotter,
printer, sedangkan perangkat lunak bisa dipilih baik yang komersial
maupun yang tersedia dengan bebas. Contoh perangkat lunak yang
banyak dipakai adalah ARC/INFO, ArcView, IDRISI, ER Mapper, GRASS,
MapInfo. Beberapa cara memasukkan data ke dalam SIG adalah melalui
keyboard, digitizer, scanner,sistem penginderaan jauh, survei
lapangan dan GPS. Sumberdaya manusia sebagai komponen SIG bukan
hanya meliputi staf teknikal yang bertugas dalam hal pemasukan data
maupun pemrosesan dan penganalisaan data, tetapi juga koordinator
yang bertugas untuk mengontrol kualitas dari SIG. Adapun elemen
fungsional SIG meliputi pengambilan data, pemrosesan awal,
pengelolaan data, manipulasi dan analisa data, dan pembuatan output
akhir (ESRI, 1990; Puntodewo et al., 2003; Aronof, 2005). SIG dapat
dipertimbangkan sebagai suatu sistem manajemen basis data yang
memperbolehkan pengguna untuk menyimpan, mendapatkan kembali dan
memanipulasi data, serta mengintegrasikan dengan suatu series yang
diikuti dengan analisis spasial yang tangguh (Borrough, 1986),
sehingga dapat digunakan sebagai referensi informasi geografis yang
sangat berguna bagi pengambil keputusan yang didalamnya
mengintegrasikan data keruangan untuk memecahkan masalah-masalah
lingkungan (Cowen, 1988; Kam et al., 1992). Sistim Informasi
Geografis (SIG) merupakan sistim informasi berbasis keruangan dan
merupakan alat yang menghubungkan atribut basis data dengan peta
digital. Sistem informasi geografis (SIG) di desain untuk
mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis suatu objek ataupun
fenomena dimana lokasi tersebut berada yang memiliki karakteristik
penting ataupun kritis untuk dianalisis. Didalam SIG, informasi
bahkan ditampilkan dalam bentuk peta maupun tabel. Beberapa contoh
aplikasi SIG antara lain dalam hal pengelolaan hutan dan kehidupan
liar, perencanaan pemukiman, pendugaan erosi tanah, pengelolaan
pesisir dan hampir semua masalah yang berkaitan dengan rencana
penggunaan lahan dan pengawasannya. Berkaitan dengan kompleksitas
yang dinamis dan sifat ruang dari sistem kawasan pesisir, SIG
sangat cocok untuk menangani dan menganalisa kumpulan data wilayah
pantai yang sangat banyak. Sekarang ini ada banyak tersedia SIG
yang bersifat komersil dan penelitian SIG, tetapi dalam 43memilih
SIG yang akan digunakan sangat tergantung pada sifat aplikasinya
(Mennecke, 2000; Aronoff, 2005). Penggunaan teknologi SIG dapat
mempertajam kemampuan operasional agen pemerintah yang bertanggung
jawab atas pengambilan keputusan dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Kemampuan teknologi SIG dalam pengelolaan wilayah pesisir meliputi
pananganan data spasial temporal, membangun basis data untuk
wilayah pesisir dan menyediakan alat untuk analisis sehingga dapat
meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan
(Rongxing, 2001). Secara kaidah, SIG harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: 1) Terdiri atas konsep dan data geografis yang
berhubungan dengan distribusi spasial; 2) Merupakan suatu informasi
dari data yang didapat, ide atau analisis, biasanya berhubungan
dengan tujuan pengambilan keputusan; 3) Suatu sistem yang terdiri
dari komponen, masukan, proses dan keluaran; 4) Ketiga hal
sebelumnya difungsikan kedalam skenario berdasarkan pada teknologi
tinggi (Hamid, 2003). Dalam pemanfaatan daerah pesisir, sangat
dibutuhkan informasi mengenai potensi wilayah pesisir dan lautan
yang terpadu. Bentuk sistem informasi terpadu yang cocok dalam
pengertian dapat menyimpan dan mengolah serta menyampaikan secara
cepat dan mudah dari berbagai sektor adalah Sistem Informasi
Geografis (SIG). SIG dapat dipadukan dengan Teknologi Penginderaan
Jauh (Inderaja) yang memiliki kelebihan dalam memberikan data
spasial multi temporal, cakupan yang luas dan mampu menjangkau
daerah yang terpencil sehingga integrasi keduanya merupakan early
information dalam pengkajian kesesuaian lahan di wilayah pesisir
diantaranya untuk budidaya laut. Pada pengelolaan wilayah pesisir,
SIG dapat diaplikasikan untuk pengaturan tata ruang wilayah
pengelolaan, antara lain untuk menduga wilayah potensi wisata,
potensi perikanan dan wilayah pengembangan budidaya perikanan
pesisir. Selain itu, SIG dapat digunakan untuk melihat terjadinya
berbagai perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir (Purwadhi
dan Hardiyanti, 1998). Pemanfaatan data penginderaan jauh dan SIG
telah banyak dilakukan dalam pengembangan budidaya perikanan. Namun
penelitian di bidang ini masih perlu dikembangkan dengan mengkaji
aspek biofisik, perencanaan wilayah dan 44infrastruktur. Berbagai
aspek tersebut dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu
analisis kesesuaian lahan (suitability analysis) dan analisis
keberlanjutan (sustainability analysis) sehingga diperoleh lokasi
budidaya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir, SIG dapat digunakan untuk
menyajikan data dasar keruangan yang terkait dengan masalah: 1)
Fisik pesisir antara lain topografi/ batimetri, penutupan lahan,
aliran sedimen, erosi dan deposisi, iklim, batas habitat dan lain
sebagainya; 2) Lingkup manusia/sosial, yaitu berupa data dasar
keruangan termasuk batas administratif, distribusi populasi,
jaringan transportasi, dan berbagai karakteristik sosial lainnya
(Gunawan, 1998).Dalam penerapannya, SIG dapat diterapkan dalam
bidang kelautan dan perikanan. Ruang lingkup SIG untuk kelautan
dapat dibedakan kedalam beberapa areal yaitu daerah pantai (Coastal
Zone), bawah laut serta laut terbuka. Setiap zona tersebut menuntut
cara survei, analisis dan kebutuhan teknik pemetaan yang khusus,
dan tentunya membutuhkan struktur dan basis data yang berbeda.
Sebagai contoh dalam pembuatan model SIG untuk pariwisata, Tim
Kerja Survey Sumber Alam Laut memisahkan analisa untuk bagian darat
dengan parameter antara lain kelas lereng, ketinggian, sumberdaya
air, penutupan lahan dan aman terhadap bencana yang semuanya
disusun menurut tingkat kepentingannya (Sutrisno dan Sutrisno,
1993; Davis dan Davis, 1998). Sistim Informasi Geografis (SIG)
sebagai sistim informasi digital berbasis spasial telah berkembang
menjadi sebuah sistim pendukung pengambilan keputusan. Teknologi
SIG telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten untuk
kajian kewilayahan termasuk didalamnya wilayah pesisir. Dalam
perkembangannya teknologi SIG dirancang untuk semakin mudah
digunakan, sehingga tekonologi ini telah menjangkau kabupaten/kota
di Indonesia. Sistim Informasi Geografis dapat diaplikasikan untuk
penyusunan model berbasis spasial termasuk penyusunan model
pengelolaan pesisir wilayah kabupaten (Dartoyo, 2004). Meaden dan
Kapetsky (1991) menjelaskan tentang penggunaan SIG dibidang
perikanan antara lain: 1) Perencanaan zonasi sumberdaya air; 2)
Pemetaan zonasi spesies biota air; 3) Pengaruh lingkungan terhadap
produksi ikan 45secara intensif; 4) Identifikasi daerah pusat
dimana inovasi kegiatan perikanan kemungkinan menyebar. Dahuri
(1997) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan
dan pengelolaan sumberdaya alam adalah: 1) Mampu mengintegrasikan
data dari berbagai format data (grafik, teks, analog, dan digital)
dari berbagai sumber; 2) Memiliki kemampuan yang baik dalam
pertukaran data diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga
terkait; 3) Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan
efektif dibandingkan dengan pekerjaan manual; 4) Mampu melakukan
pemodelan, pengujian dan perbandingan beberapa alternatif kegiatan
sebelum dilakukan aplikasi lapangan; 5) Memiliki kemampuan
pembaruan data yang efisien terutama model grafik; 6) Mampu
menampung data dalam volume besar. Selain data spasial dan atribut
yang dikumpulkan dari berbagai sektor terpadu, data inderaja dapat
pula diintegrasikan dengan data SIG untuk analisa maupun
dimanipulasi lebih lanjut. Data inderaja ini dapat berupa citra
satelit maupun foto udara. Data inderaja, terutama yang berasal
dari satelit mempunyai beberapa keuntungan antara lain liputannya
yang sipnotik (luas) dan sistematik (Sutrisno dan Sutrisno, 1993).
Hamid (2003) menyatakan bahwa sumber data yang diperlukan untuk
proses dalam SIG secara umum dibedakan atas tiga kategori yaitu: 1)
Data survey lapangan (berupa data digital dan data atribut); 2)
Data peta, merupakan informasi yang telah terekam pada peta, kertas
atau film yang telah dikonversikan dalam bentuk dgital, dan bila
telah terekam dalam bentuk peta maka tidak diperlukan lagi data
lapang kecuali untuk keperluan Ground Check; 3) Data inderaja,
berupa foto udara dan citra satelit. Lillesan dan Kiefer (1979)
menyatakan bahwa penginderaan jarak jauh adalah pengukuran atau
akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat yang
tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau
pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh
sebuah alat dari jarak jauh, (misalnya dari pesawat, pesawat luar
angkasa, satelit, kapal atau alat lain). Contoh dari penginderaan
jarak jauh antara lain satelit observasi bumi, satelit cuaca dengan
ultrasonik dan wahana luar angkasa yang memantau planet 46dari
orbit. Di masa modern, istilah penginderaan jarak jauh mengacu
kepada teknik yang melibatkan instrumen di pesawat atau pesawat
luar angkasa dan dibedakan dengan penginderaan lainnya seperti
penginderaan medis atau fotogrametri. Walaupun semua hal yang
berhubungan dengan astronomi sebenarnya adalah penerapan dari
penginderaan jarak jauh (faktanya merupakan penginderaan jarak jauh
yang intensif), istilah "penginderaan jarak jauh" umumnya lebih
kepada yang berhubungan dengan teresterial dan pengamatan cuaca.
Ketersediaan data inderaja/citra satelit dalam bentuk digital
memungkinkan penganalisaan dengan komputer secara kuantitatif dan
konsisten. Selain itu data Inderaja dapat digunakan sebagai input
yang independen untuk verifikasi lapangan. Dengan teknologi
Inderaja, penjelajahan lapangan dapat dikurangi, sehingga akan
menghemat waktu dan biaya bila dibanding dengan cara teristris di
lapangan (Atmawidjaja, 1995). Pengolahan data inderaja meliputi
pengolahan awal dan pengolahan lanjut. Pengolahan awal meliputi
pemilihan data untuk mencari data yang bebas dari tutupan awan.
Proses berikutnya adalah koreksi radiometrik dan geometrik citra.
Koreksi radiometrik dan geometrik berfungsi untuk memulihkan data
citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai
dengan keadaan sebenarnya. Setelah proses ini selesai maka data
sudah dapat digunakan untuk mendapatkan informasi selanjutnya
dengan cara mengekstrak menggunakan metode yang sesuai dengan
informasi yang diperlukan. Sedangkan pengolahan lanjut terdiri atas
pengolahan untuk mendapatkan informasi tentang bentuk lahan dan
penutupan lahan/penggunaan lahan, yaitu membuat citra komposit dan
penajamannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan tampilan visual
citra yang optimal untuk identifikasi bentuk lahan untuk mengetahui
karakteristik terumbu karang. Pengolahan data ini dilakukan dengan
menggunakan softwareER Mapper, dengan tujuan menonjolkan detail
bentuk permukaan bumi dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai
spektral dan penajaman, sehingga aspekaspek morfologi,
morfogenesis, dan morfokronologi bentuk lahan diharapkan dapat
diidentifikasi. Kemudian dilakukan interpretasi bentuk lahan secara
visualpada monitor komputer dengan menggunakan unsur-unsur
interpretasi dan 47fasilitas memperbesar dan memperkecil liputan
citra yang ada pada komputer agar detail ataupun pola keruangan
bentuk lahan dapat diamati. Analisis geomorfologis dilakukan dengan
pendekatan bentang lahan (landscape) dengan mengutamakan perhatian
pada bentuk lahan, litologi, genesis, dan proses-proses masa lampau
dan sekarang yang dapat diamati dari citra (Asriningrum et al.,
2004). Untuk lebih jelas, ilustrasi proses pengolahan data dengan
menggunakan SIG dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Diagram
Sistem untuk Ilustrasi SIG (Meaden dan Kapetsky, 1991). Diagram
alir yang diperlihatkan pada Gambar 3 lebih pada proses pengerjaan
untuk pemecahan masalah dengan menggunakan SIG. Menurut Maeden dan
Kapetsky (1991), ada empat komponen penting dalam sistem
penginderaan jauh adalah (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2)
atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dan objek, (4) sensor. Secara
skematik, komponenkomponen tersebut dapat dilihat pada Gambar
4.Masukan(Input) Keluaran (Output) System Informasi Geografis
Pengolahan DatabaseCapture Code EditPenyimpanan dan Pencarian
Manipulasi dan Analisis Tampilan danLaporanKebutuhan Pengguna
(User)Laporan Tekstual Peta Produk Fotografi Statistik dan Tabel
Data untuk SIG lainnya Digital Database PetaTabelSurey Lapangan
Data Digital Data Inderaja Analisis SIG lainnya 48Gambar 4. Sistem
Penginderaan Jauh (Maeden dan Kapetsky, 1991) Gambar 4
memperlihatkan bahwa tenaga panas yang dipancarkan dari obyek dapat
direkam dengan sensor yang dipasang jauh dari obyeknya.
Penginderaan obyek tersebut menggunakan spektrum inframerah termal
(Samsuri, 2004). Dengan menggunakan satelit maka akan memungkinkan
untuk memonitor daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan
wahana yang lain. Satelit dengan orbit tertentu dapat memonitor
seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang digunakan dalam
penginderaan jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca dan
sumberdaya alam seperti yang terlihat pada Tabel 3.Tabel 3. Data
satelit ocean color dan spesifikasinya. Jenis Data Spesifikasi Data
Sumber Data Parameter terukur (Produk) Klorofil-a Endapan terlarut
(TSM) Kekeruhan perairan Batimetri SeaWiFS 8 bands (Visible, NIR)
Resolusi spasial: 4km (GAC), 1km (LAC) Perioda: 1997-sekarang CZCS
6 bands Perioda: 1978-1986 Klorofil-a Surface temperature OCTS 18
bands Klorofil-a Resolusi spasial: 1km MODISAqua 36 bands Resolusi
spasial: 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36)
Perioda: 2002-sekarang NASA (order, lectronically)Data (level 1,
2):
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/browse.pl?sen=amhttp://daac.gsfc.nasa.gov/dataData
(level 3) images: http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/level3.pl
LAPAN Klorofil-a Endapan terlarut (TSM) Kekeruhan perairan Suhu
permukaan laut Sumber: NASA Research Announcement in
http://simbios.gsfc.nasa.gov/Info.