i Pengantar Redaksi IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi yang berkonsentrasi pada ilmu pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah untuk menghimpun dan mempublikasikan perkembangan ilmu pendidikan itu. Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober. Apa yang ada ditangan pembaca yang budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 17 Tahun XI April 2015. Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi ini disebarkan baik secara internal di kampus IKIP PGRI Bali, dan juga disebarkan pada alumni beserta komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan widyadari kali ini memuat tiga belas artikel ilmiah dari dosen di lingkungan IKIp PGRI Bali dan alumi IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan dari alumni kampus IKIP PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik. Semoga penerbitan jurnal pendididkan Widyadari ini menjadi wahana yang baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik, dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya. Redaksi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
Pengantar Redaksi
IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi yang berkonsentrasi pada ilmu
pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan
wadah untuk menghimpun dan mempublikasikan perkembangan ilmu pendidikan itu.
Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil
mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit
dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober. Apa yang ada ditangan
pembaca yang budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 17
Tahun XI April 2015.
Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi
ini disebarkan baik secara internal di kampus IKIP PGRI Bali, dan juga disebarkan
pada alumni beserta komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan
widyadari kali ini memuat tiga belas artikel ilmiah dari dosen di lingkungan IKIp
PGRI Bali dan alumi IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan dari alumni kampus IKIP
PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal pendididkan Widyadari ini menjadi wahana yang
baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik,
dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya.
Redaksi
iii
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi ........................................................................... i
Daftar Isi ....................................................................................... ii
Peran Kepala Sekolah Terhadap Guru Bimbingan dan Konsling (Konselor) Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, M.Pd .................................................... 1
Konseptualisasi Desain dan Pendekatan Kurikulum Pendidikan Vokasi pada Abad 21 Dr. I Made Darmada, M.Pd............................................................... 18
Penerapan Pendekatan Kontekstual denganMetode Observasi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi di Kalangan Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014 Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd ........................................................ 36
Pengaruh Risiko Perusahaan dengan Konservatisma Akuntansi Putu Diah Asrida, SE., Ak., M.Si ..................................................... 51 Efektivitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Permainan untuk Meningkatkan Perilaku Sosial Siswa (Studi Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas X SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung) Putu Agus Semara Giri, S.Pd., M.Pd.................................................. 62 Beberapa Problematika Dan Kontroversi Seputar Penggunaan Mixed Method (Metode Campuran) dalam Penelitian Dr. I Wayan Gunartha, M.Pd. ........................................................... 91 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Puisi Siswa Kelas Viic SMP Negeri 2 Bebandem Semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015 Drs.I Wayan Kerti, M.Pd .................................................................. 109 Efektivitas Psychological First Aid dalam Mengurangi Gejala Kecemasan pada Penyintas Kecelakaan Kendaraan Bermotor I Made Mahaardika, SH., M.Psi ........................................................ 122 Re-Brandingdan Model Aisas dalam Membangun Kesetiaan Pelanggan Es Krim Merek Magnum Dra. Ni Nyoman Murniasih, M.Erg, dan Ni Wayan Karlini .................. 142
iv
Penerapanpembelajaran Bioteknologi melalui Fermentasi Jerami Padi (Oryza Satival.)Menggunakan Larutan Bio Cas untuk Pakan Ternak Ruminansia Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si dan Ni Wayan Ratnadi, S.Pd., M.Pd ... 158 Program Intervensi untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa Kadek Suhardita .............................................................................. 175
Implementasi Model Collaborative Teamwork Learning (MCTL) untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas Xi Mipa 4 Sma Negeri 1 Tampaksiring Tahun Pelajaran 2014/2015 Ngakan Ketut Tresna Budi ............................................................... 197
Peningkatan Kompetensi dan Profesional Guru melalui Penelitian Tindakan Kelas. Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si ........................................................ 209 Seni Pertunjukan Tari Joged Bungbung Yang Exis Dalam Bentuk ,Fungsi Dan Makna Luh Putu Pancawati ......................................................... 221 Penerapan Metode Inkuiri Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 9 Denpasar Tahun pelajaran 2013/2014 Ni Wayan Widi Astuti ...................................................................... 229 Model Evaluasi CIPP Dalam Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014. Ni Wayan Ary Rusitayanti ................................................................ 240 Pengaruh Komunikasi dari Bawahan Terhadap Atasan (upward communication) untuk motivasi karyawan Putu Dessy Fridayanthi .................................................................... 248 Pelatihan Jump Shoot dengan awalan Passing dan awalan Drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan Jumpt Shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi ........................................................... 273
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
1
PERAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP GURU BIMBINGAN DAN KONSLING ATAU KONSELOR
Oleh: Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, MPd.
Dosen FIP. IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Guidance teacher and counseling or counselor as a professional educator is a bachelor (S-1) in education of guidance and counseling department and has completed the teacher professional education program guidance and counseling or counselor (PPG LB/K), which provides expert guidance and counseling services, while individuals who receive guidance and counseling services are called counselee. The existence of guidance teacher and counseling or counselor in the national education system is expressed as one of educational qualifications, in line with the qualifications of teachers, lecturers, learning-educators, tutors, lecturers, facilitators and instructors (Law no. 2 20/2003, Article 1, paragraph 6). It is believed that the principal’s support in the implementation and management guidance and counseling program in schools is essential. The relationship between the principle and counselor is very important especially in determining the effectiveness of the program. Principals who understand well the guidance and counseling profession will: (1) giving credence to counselors and maintaining regular communication in various forms, (2) understanding and formalizing the role of the counselor, and (3) placing the staffs of the school as a team or partners.
Key words: make the principles understand; freeing the counselor from irrelevant task; counselor responsibility; building standard supervision PENDAHULUAN
Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugas profesi
kependidikan mampu menampilkan kinerja atas penguasan kompetensi akademik
kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan/atau bidang studi sesuai
bidang ilmunya. Keberadaan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam
sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar
dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan
instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Namun pengakuan secara eksplisit dan
kesejajaran posisi antara kualifikasi tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
2
menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki
konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan seting pelayanan spesifik yang satu dan yang
lainnya mengandung keunikan dan perbedaan. Oleh sebab itu, di dalam naskah ini
konteks dan ekspektasi kinerja guru bimbingan dan konseling atau konselor
mendapatkan penegasan kembali dengan maksud untuk meluruskan konsep dan
praktik bimbingan dan konseling ke arah yang tepat. Merujuk pada Peraturan
Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, untuk selanjutnya tenaga
pendidik di bidang bimbingan dan konseling disebut dengan Guru Bimbingan dan
Konseling atau Konselor
1.1. Penegasan Konteks Tugas Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
Pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal telah
dipetakan secara tepat dalam kurikulum SMP dan SMA 1975, bahkan juga pada
Kurikulum SD 1976, meskipun ketika itu masih dinamakan layanan bimbingan
dan penyuluhan, dan layanan di bidang pembelajaran yang dibingkai dalam
kurikulum, sebagaimana tampak pada gambar 1.
Wilayah Bimbingan &Konseling ygMemandirikan
Wilayah Manajemen& Kepemimpinan
Wilayah Pembelajaranyg Mendidik
Manajemen& Suvervisi
PembelajaranBidangStudi
Bimbingan &Konseling
Tujuan:Perkem-banganOptimalTiapPesertaDidik
Gambar 01 Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Dalam Jalur Pendidikan Formal
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
3
Pada konteks kurikulum, sesungguhnya penanganan pengembangan diri
lebih banyak terkait dengan wilayah layanan guru, khususnya melalui
pengacaraan berbagai dampak pengiring (nurturant effects) yang relevan, yang
dapat dan oleh karena itu perlu dirajutkan ke dalam pembelajaran yang
mendidik yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan.
Meskipun demikian, guru bimbingan dan konseling atau konselor memang juga
diharapkan untuk berperan-serta dalam bingkai layanan yang komplementer
dengan layanan guru, bahu membahu dengan guru termasuk dalam pengelolaan
kegiatan pengembangan diri dan ekstra kurikuler. Persamaan, keunikan, dan
keterkaitan antara wilayah layanan, konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru
bimbingan dan konseling atau konselor dapat digambarkan seperti tampak pada
gambar 02, di mana materi pengembangan diri berada dan merupakan wilayah
komplementer antara guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling
atau konselor.
PERKEMBANGAN OPTIMAL PESERTA DIDIK
Pemenuhan standar Kemandirian Peseta Didik; Perwujudan Diri Secara Akademik, Vokasional, Pribadi dan Sosial melalui Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan
Pemenuhan Standar Kompetensi Lulusan; Penumbuhan Karakter yang
Kuat serta Penguasaan hard skills dan soft skills melalui pembelajaran yang
mendidik
Wilayah Layanan
Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan
Penghormatan kepada Keunikan dan
Komplementaritas Layanan
Wilayah Pembelajaran
yang Mendidik
Gambar 02
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
4
Keunikan Komplementalitas Wilayah Pelayanan Guru Mata Pelajaran dan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
1.2. Ekspektasi Kinerja Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dikaitkan dengan Jenjang Pendidikan
Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor sebagai pendidik
profesional adalah Sarjana Pendidikan (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling
dan telah menyelesaikan program Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan
Konseling atau Konselor (PPG BK/K) yang memberikan layanan ahli bimbingan
dan konseling, sedangkan individu yang menerima pelayanan bimbingan dan
konseling disebut Konseli. Meskipun sama-sama berada dalam jalur pendidikan
formal, perbedaan rentang usia peserta didik pada tiap jenjang memicu tampilnya
kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling yang berbeda-beda pada tiap
jenjang pendidikan. Batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan
jenjang yang lainnya tidak terbedakan sangat tajam. Dengan kata lain, batas
perbedaan antar jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Di pihak lain,
perbedaan yang lebih signifikan, juga tampak pada sisi pengaturan birokratik,
seperti misalnya di Taman Kanak-kanak sebagian besar tugas guru bimbingan
dan konseling atau konselor ditangani langsung oleh guru kelas taman kanak-
kanak. Sedangkan di jenjang Sekolah Dasar, meskipun memang ada
permasalahan yang memerlukan penanganan oleh guru bimbingan dan konseling
atau konselor, namun cakupan pelayanannya belum menjustifikasi untuk
ditempatkannya guru bimbingan dan konseling atau konselor di setiap Sekolah
Dasar, sebagaimana yang diperlukan di jenjang sekolah menengah (SMP/MTs,
SMA/MA, SMK).
1.3. Keunikan dan Keterkaitan Tugas Guru Mata Pelajaran dan Guru
Bimbingan dan
Konseling atau Konselor
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
5
Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan
optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh
guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling atau konselor, dan tenaga
pendidik dan kependidikan lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu masing-
masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung
realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan
fungsional kemitraan antara guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan
guru mata pelajaran, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan
(referral). Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru
pada saat pembelajaran dirujuk kepada guru bimbingan dan konseling atau
konselor untuk penanganannya, demikian pula masalah yang ditangani guru
bimbingan dan konseling atau konselor dirujuk kepada guru untuk
menindaklanjutinya apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata
pelajaran atau bidang studi. Masalah kesulitan belajar peserta didik
sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri.
Ini berarti di dalam pengembangan dan proses pembelajaran bermutu, fungsi-
fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru, dan sebaliknya,
fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian guru
bimbingan dan konseling atau konselor.
Secara rinci keterkaitan dan kekhususan pelayanan pembelajaran oleh guru
mata pelajaran dan pelayanan bimbingan dan konseling oleh guru bimbingan dan
konseling atau konselor dilukiskan dalam Tabel 01.
Tabel 01 Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru Mata Pelajaran dengan
Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
Dimensi Guru Mata Pelajaran Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
1. Wilayah Gerak Khususnya Sistem Pendidikan Khususnya Sistem Pendidikan Formal
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
6
Dimensi Guru Mata Pelajaran Guru Bimbingan dan Konseling atau
Konselor Formal
2. Tujuan Umum Pencapaian tujuan pendidikan nasional
Pencapaian tujuan pendidikan nasional
3. Konteks Tugas Pembelajaran yang mendididk melalui mata pelajaran dengan Skenario Guru
Pelayanan yang memandirikan dengan skenario konseli-guru bimbingan dan konseling atau konselor.
Fokus kegiatan Pengembangan kemampuan penguasaan bidang studi dan penyelesaian masalah-masalahnya.
Pengembangan potensi diri bidang pribadi, sosial, belajar, karier, dan penyelesaian masalah-masalahnya.
Hubungan kerja
Alih tangan (referral) Alih tangan (referral)
4. Target Intervensi: Individual Minim Utama Kelompok Pilihan strategis Pilihan strategis
Klasikal Utama Minim 5. Ekspektasi Kinerja:
Ukuran keberhasilan
- Pencapaian Standar Kompetensi Lulusan
- Lebih bersifat kuantitatif
- Kemandirian dalam kehidupan - Lebih bersifat kualitatif yang unsur-
unsurnya saling terkait (ipsatif)
Pendekatan umum
Pemanfaatan Instructional Effects & Nurturant Effects melalui pembelajaran yang mendidik.
Pengenalan diri dan lingkungan oleh Konseli dalam rangka pengatasan masalah pribadi, sosial, belajar, dan karier. Skenario tindakan merupakan hasil transaksi yang merupakan keputusan konseli.
Perencanaan tindak intervensi
Kebutuhan belajar ditetapkan terlebih dahulu untuk ditawarkan kepada peserta didik.
Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan dalam proses transaksional oleh konseli, difasilitasi oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor
Pelaksanaan tindak intervensi
Penyesuaian proses berdasarkan respons ideosinkratik peserta didik yang lebih terstruktur.
Penyesuaian proses berdasarkan respons ideosinkratik konseli dalam transaksi makna yang lebih lentur dan terbuka.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
7
Pembahasan
2.1. Peran Kepala Sekolah dalam memahami Langkah-langkah Penegasan Indentitas Profesi
Sejarah menunjukkan terjadinya ragam pemaknaan dan pemahaman
terhadap bimbingan dan konseling, dan memperhadapkan konselor kepada
konflik, ket idak-konsistenan, dan ket idak-kongruenan peran. Untuk
mempersempit kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan dan
penegasan peran dan ident itas profesi. Adapun langkah-langkah tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Memahamkan Para Kepala Sekolah.
Diyakini bahwa dukungan kepala sekolah dalam implementasi dan penanganan
program bimbingan dan konseling di sekolah sangat esensial. Hubungan dengan
kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama di dalam menentukan
keefektifan program. Kepala sekolah yang memahami dengan baik profesi bimbingan
dan konseling akan: (1) memberikan kepercayaan kepada konselor dan memelihara
komunikasi yang teratur dalam berbagai bentuk, (2) memahami dan merumuskan
peran konselor, dan (c) menempatkan staf sekolah sebagai tim atau mitra kerja.
b. Membebaskan Konselor dari Tugas yang Tidak Relevan.
Masih ada konselor sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi, bahkan
mengurus hal-hal yang tidak relevan dengan bimbingan dan konseling, seperti jadi
petugas piket, perpustakaan, koperasi, dan sebagainya. Tugas-tugas ini tidak relevan
dengan latar belakang pendidikan, dan tidak akan menjadikan bimbingan dan
konseling dapat dilaksanakan secara profesional.
c. Mempertegas Tanggungjawab konselor.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
8
Sudah saatnya menegaskan bahwa bimbingan dan konseling menjadi
tanggungjawab dan kewenangan konselor. Sebutan guru pembimbing sudah harus
diganti dengan sebutan “Konselor”. (sebagaimana sudah ditegaskan dalam UU No.
20/2003). Perlu ditegaskan bahwa konselor adalah orang yang memiliki latar
belakang pendidikan bimbingan dan konseling dan memperoleh latihan khusus
sebagai konselor, dan memiliki lisensi untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling. Pemberian kewenangan untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling didasarkan kepada “lisensi” dan “kredensialisasi” oleh ABKIN, sesuai
dengan perundang dan peraturan yang berlaku.
d. Membangun Standar Supervisi.
Tidak terpenuhinya standar yang diharapkan untuk melakukan supervisi
bimbingan dan konseling membuat layanan tersebut terhambat dan tidak efektif.
Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar
belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan dan
konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi.
Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas bukanlah hal-hal yang
substantif tentang kemampuan bimbingan dan konseling, melainkan hal-hal teknis
administratif. Supervisi bimbingan dan konseling mesti diarahkan kepada upaya
membina keterampilan profesional konselor seperti: (1) memahirkan keterampilan
konseling, (2) belajar bagaimana menangani isu kesulitan siswa, (3) mempraktekkan
kode etik profesi, (4) mengembangkan program komprehensif, (5) mengembangkan
ragam intervensi psikologis, dan (6) melakukan fungsi-fungsi relevan lainnya.
2.2. Apa yang dilakukan Konselor Profesional
Dengan melihat kecendrungan kehidupan dalam masyarakat dan arah
paradigma konseling, seorang konselor profesional akan melakukan/dipersyaratkan
untuk (Sunaryo, 2003: 12):
a. Menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan ragam teknik
assesment perilaku dan lingkungan.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
9
b. Memiliki kemampuan mengantisipasi sosok perkembangan yang diharapkan
dan menguasai keterampilan psikologi untuk mengembangkan lingkungan
belajar.
c. Memiliki kompetensi tinggi dalam memahami kompleksitas interaksi individu
dan lingkungan dalam ragam konteks sosio-kultural.
d. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis yang tidak terbatas kepada
intervensi intrapersonal tetapi juga interpersonal dan lintas budaya.
e. Menguasai strategi assesment lingkungan dalam kaitannya dengan
keberfungsian psikologis individu.
f. Menguasai kompetensi teknologi informasi.
g. Memberikan layanan dalam tim yang akan mengurangi perdebatan wilayah
garapan dan duplikasi upaya,
h. Memberikan layanan konsultatif yang bersifat privat dan indipenden dalam
ragam seting.
i. Merancang dan mengembangkan strategi intervensi dan lingkungan
perkembangan berbasis internet.
2.3. Isu – Isu Profesional
Kekuatan eksisitensi suatu profesi bergantung kepada ‘public trust’ (Biggs &
Blocher, 1986). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya
dapat diperoleh dari konselor. Public trust akan menentukan definisi profesi dan
memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Public trust
akan melanggengkan profesi karena dalam public trust terkandung keyakinan bahwa
profesi dan para anggotanya itu: (a) memiliki kompetensi dan keahlian yang
disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (b) ada perangkat aturan untuk
mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahtraan public, dan (c) para
anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang kepada
standar profesi.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
10
Diakui bahwa di Indonesia public trust terhadap profesi konseling ini masih
sangat lemah, sehingga identitas profesi konseling-pun masih sangat lemah. Upaya –
upaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat identitas profesi konseling di
Indonesia antara lain :
a. Menata organisasi asosiasi profesi konseling (ABKIN) menjadi betul-betul
sebagai organisasi profesi yang dapat menumbuhkan public trust.
b. Menetapkan tingkat pendidikan minimum untuk persyaratan konselor
profesional, misalnya tingkat pendidikan program Magister dan atau melalui
pendidikan profesi konselor.
c. Kredensial (penganugrahan surat kepercayaan) dilakukan oleh organisasi
profesi dengan standar assesment secara lokal dan nasional.
d. Pemberian kesempatan kepada para konselor yang memenuhi standar profesi
untuk melaksanakan praktek privat dan indipendent di masyarakat.
e. Menata ulang dan memasyarakatkan kode etik profesi termasuk kode etik
untuk konseling jarak jauh atau ‘cyber counselling’.
f. Memperkokoh kesejawatan antar profesi yang terkait dengan helping
2.4. Tantangan dan Arah Profesional Bimbingan dan Konseling
Esensi tantangan dalam profesional bimbingan dan konseling terletak dalam
pemantapan identitas profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Krisis identitas
akan menimbulkan kesulitan pemantapan unjuk kerja profesional di kalangan orang-
orang yang mengeluti dunia bimbingan dan konseling. Pemantapan identitas profesi
bimbingan dan konseling memerlukan pemantapan dalam segi-segi sebagai berikut:
a. Wawasan profesional yang akan menjadi dasar dalam melakukan timbangan
profesional (professional judgment) dalam menentukan suatu tindakan
layanan. Apakah suatu tindakan itu profesional atau tidak profesional antara
lain terletak timbangan profesional (professional judgment) yang mendasari
tindakan itu.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
11
b. Standarisasi tingkat pendidikan. Jika eksistensi bimbingan dan konseling yang
tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.
20 tahun 2003 dan perangkat peraturannya serta tuntutan yang terkandung
dalam SK Menpan No. 26/89 tahun 2003 ingin dilaksanakan secara optimal
dan profesional, maka para guru pembimbing haruslah mereka yang
berkelayakan untuk melaksanakan tugas itu. Ini berarti perlu adanya standar
minimal tingkat pendidikan yang relevan yang harus dipenuhi oleh para guru
pembimbing.
c. Pemantapan bidang atau fokus garapan. Wilayah garapan bimbingan dan
konseling masih dirasakan sebagai wilayah marginal yang ditarik oleh dua
kutub, yakni kutub pekerjaan guru dan kutub pekerjaan ahli psikologi klinis.
Kondisi ini menimbulkan krisis identitas bimbingan dan konseling.
Pemantapan unjuk kerja hanya mungkin jika pemantapan bidang/fokus
garapan ini telah tercapai, kendatipun pemantapan bidang garapan ini tidak
merupakan titik akhir tetapi lebih merupakan sesuatu yang berkembang secara
berkelanjutan. Pemantapan bidang garapan ini memerlukan kajian konseptual
maupun emperik atas dasar penelitian. Konsep pendekatan atau orientasi
perkembangan dalam bimbingan dan konseling adalah suatu konsep yang
dipandang dapat membantu memantapkan fokus garapan bimbingan dan
konseling.
d. Pemantapan pendekatan dan metodologi intervensi. Keragaman tatanan dan
populasi layanan sebagai peluang pemantapan identitas profesional,
menghendaki pendekatan dan metode intervensi yang dinamik dan sejalan
dengan isu-isu yang terjadi dalam perkembangan manusia. Metode intervensi
bisa dalam bentuk konsultasi dan latihan, dan menggunakan media tertentu di
samping memberikan layanan langsung kepada individu. Pendekatan dan
intervensi kelompok tampaknya perlu lebih dimantapkan sebagai upaya
mewujudkan fungsi preventif-pengembangan yang menjadi fungsi utama
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
12
bimbingan dan konseling. Keterampilan ‘mengajar’ dalam arti membantu
individu terampil dalam berpikir, memahami diri dan lingkungan, serta
memilih dan mengambil keputusan merupakan dimensi keterampilan
profesional yang perlu dimantapkan.
e. Pemantapan aturan main profesi berupa kode etik. Salah satu faktor yang
menyebabkan banyaknya intervensi “pihak luar” terhadap pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling karena ketidak jelasan kode etik profesi ini.
Kode etik merupakan perlindungan profesi dan sekaligus juga merupakan
perlindungan konsumen profesi itu. Yang lebih penting lagi ialah
implementasi kode etik oleh para anggota profesi, yang ditunjukkan dalam
kemampuan mengatur diri (self-regulation) baik sebagai seorang pribadi
maupun sebagai seorang profesional dan anggota kelompok profesi. Perilaku
mengatur diri sendiri atas dasar kode etik profesi inilah yang akan
menumbuhkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap profesi
bimbingan dan konseling.
Sedangkan arah peningkatan unjuk kerja profesional bimbingan dan konseling
menggambarkan adanya kecendrungan “pergeseran-pergeseran” konseptual maupun
praktek dalam pelaksanaan layanan profesional bimbingan dan konseling.
Kecendrungan pergeseran tersebut dapat diidentifikasikan dalam hal sebagai berikut:
a. Pergeseran dari bimbingan dan konseling sebagai pekerjaan ke arah sebagai
suatu profesi dengan ditandai adanya pengakuan secara formal tentang
eksistensi bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan nasional.
b. Pergeseran dari orientasi terapeutis-klinis ke arah orientasi perkembangan
dengan menjaga martabat individu dalam konteks sosial budaya.
c. Pergeseran dari populasi layanan yang terbatas kepada populasi layanan yang
lebih luas dalam berbagai tatanan dan situasi.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
13
d. Pergeseran dari teknik dan pendekatan mekanistik ke arah pendekatan yang
dinamik, fluid, teknologis, sesuai dengan isu-isu yang muncul dalam
perkembangan manusia.
Kecendrungan pergeseran itu menghendaki “peningkatan” unjuk kerja
profesional bagi guru pembimbing (konselor) dalam beberapa arah sebagai berikut:
a. Pemerolehan kesadaran identitas profesional yang kuat dengan ditandai
pemerolehan tingkat pendidikan minimal dan sertifikasi.
b. Predikat konselor didasarkan atas sertifikasi yang dimiliki seseorang.
Sertifikasi diberikan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
dalam program yang disiapkan secara khusus untuk itu. Program studi
Bimbingan dan Konseling yang ada di LPTK adalah program yang
terakreditasi dan berwenang menyiapkan tenaga konselor profesional.
c. Kelayakan sebuah lembaga penyelenggara pendidikan konselor didasarkan
pada hasil akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN)
bersama-sama ABKIN. Keterlibatan ABKIN dalam melakukan akreditasi
dipandang penting karena ABKIN adalah institusi yang menetapkan
kompetensi profesional yang harus dicapai melalui program pendidikan
konselor di LPTK. Dengan sertifikasi dan akreditasi ini pekerjaan bimbingan
dan konseling akan menjadi profesional karena hanya dilakukan oleh konselor
profesional yang bersetifikat.
d. Kredensial adalah penganugrahan kepercayaan kepada konselor professional
yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan
memperoleh lisensi untuk menyelenggarakan layanan professional secara
indipenden kepada masyarakat maupun di dalam lembaga tertentu. Lisensi
diberikan oleh ABKIN atas dasar permohonan yang bersangkutan, berlaku
untuk masa waktu tertentu dan dilakukan evaluasi secara periodik untuk
menentukan apakah lisensi masih bisa diberikan. Pemberian lisensi diberikan
atas hasil asesmen nasional yang dilakukan ABKIN melalui ‘Badan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
14
Akreditasi dan Kredensialisasi Konselor Nasional’. Seorang Konselor tidak
secara otomatis memperoleh kredensial, kecuali atas dasar permohonan dan
melakukan secara nyata layanan profesi bagi masyarakat atau sekolah.
Simpulan
Mengkaji kualifikasi profesional petugas bimbingan (konselor) di Indonesia
tidak dapat lepas dari eksistensi profesi bimbingan dan konseling di dalam sistem
pendidikan Indonesia. Berdasarkan GBHN tahun 1988, pendidikan di Indonesia
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu: manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri,
cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani (Sunaryo, 1989: 1).
Kata meningkatkan dalam rumusan tujuan tersebut mengandung arti bahwa
pendidikan merupakan upaya membawa manusia Indonesia mencapai kualitas hidup
yang lebih baik. Ini berarti pula bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah upaya
membawa manusia Indonesia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi atas
dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam konteks dan tatanan kehidupan masyarakat manapun memang
pendidikan akan selalu berhadapan dengan manusia yang sedang berada dalam proses
berkembang. Secara psikologis proses perkembangan tersebut adalah proses yang
bersifat individual. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan merupakan alat
untuk membantu manusia menjadi apa yang dapat dia lakukan dan bagaimana
seharusnya dia menjadi sesuai dengan hakekat keberadaannya. Ini mengandung arti
bahwa proses pendidikan itu adalah proses yang dialami secara individual.
Semua ciri-ciri kualitas manusia Indonesia yang tersurat dalam GBHN tahun
1988 tersebut di atas, adalah ciri-ciri yang diharapkan dimiliki oleh semua manusia
Indonesia sebagai identitas diri dan budayanya. Mengingat proses pendidikan itu
pada hakekatnya merupakan proses individual, maka pencapaian atau pemilikan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
15
semua ciri kualitas manusia Indonesia-pun merupakan proses yang bersifat
individual. Implikasi dari pemikiran tersebut bahwa proses pendidikan umum harus
sampai kepada upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan individual manusia
Indonesia. Upaya ini dimaksudkan untuk membantu mereka (peserta didik)
memperhalus, menginternalisasikan dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola
perilaku yang dipelajari melalui proses pendidikan umum.
Strategi upaya khusus yang dapat menyentuh kehidupan individual itu adalah
melalui layanan profesi bimbingan dan konseling. Sejalan dengan perkembangan
bimbingan dan konseling, pengakuan legal atas eksistensi konselor di Indonesia
terjadi dengan ditetapkannya UU No. 20/2003 tentang “Sistem Pendidikan
Nasional”. Dalam pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa konselor sebagai salah satu
kualifikasi pendidik. Pengakuan legal atas eksistensi konselor dalam Sistem
Pendidikan Nasional merupakan prestasi pucak dalam sejarah bimbingan dan
konseling di Indonesia. Sebagai asosiasi profesi, ABKIN (Asosiasi Bimbingan
Konseling Indonesia) ingin menegaskan dan mendeklarasikan bahwa ‘Konselor
adalah Pendidik’ , dan layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah
Bimbingan dan Konseling.
Pada Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling ke XIII tahun 2003, dan
Konvensi Divisi-Divisi ABKIN tahun 2004 merekomendasi langkah lanjut
profesional bimbingan dan konseling melalui “Standarisasi Profesi”. Standarisasi
tidak hanya secara Nasional tetapi juga kearah standar Internasional, yang mencakup
etik, akreditasi/sertifikasi, dan kredensialisasi. Secara konkret upaya standarisasi ini
di awali pada tahun 2002, dengan pengembangan “Dasar-Standarisasi Profesi
Konseling Indonesia”, sebagai kerjasama antara ABKIN dengan Dirjen Dikti.
Standar ini masih terus dikaji dan dikembangkan untuk penyempurnaan. Konvensi
Divisi-Divisi ABKIN tahun 2009 dikaji dan dikembangkan terus standarisasi
profesional konseling untuk mencapi tujuan pendidikan nasional.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
16
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Directorate General of Higher Education, Ministry of Education, 2003, Higher Education Long Term Strategy 2003-2010. Jakarta: Directorate General of Higher Education Ministry of Education Republic of Indonesia
Direktorat Pembinaan Akademik dan Kamahasiswaan, 2003, Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Pembinaan Akademik dan Kamahasiswaan. Ditjen Dikti. Depdiknas
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. 2003. Naskah Akademik Standar Kompetensi Guru SD-MI. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). 2005. The Professional Counselor
Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.
Faiver, C., S. Eisengart, dan R. Colonna. 2004. The counselor intern’s handbook.
(3rd Edition). Belmont, CA: Brooks/Cole
Gardner, H. 1993. Frame of Mind: The theory of multiple intelligences . N.Y.: Basic Books.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
17
Gysbers, N. C. dan P. Henderson. 2006. Developing and Managing your School
Guidance and Counseling Program (4th
Ed). Alexandria, VA: ACA.
Hogan-Garcia, M. 2003. The Four Skills of Cultural Diversity Competence: a Process for Understanding and Practice. Pacific Grove, CA.: Brooks/Cole.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor
Schone, DA. 1983. The Reflective Practitioner: how professionals think in action. New York: Basic Book, Inc., Publishers.
Slavin, Robert E, 2006, Educational Psychology: Theory and Practice. 8th. Boston: Allyn and Bacon
Sternberg, RJ. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. New York: Cambridge University Press.
T.Raka Joni 2007. Prospek Pendidikan Profesional Guru di Bawah Naungan UU No. 14 Tahun 2005, Universitas Negeri Malang
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
18
KONSEPTUALISASI DESAIN DAN PENDEKATAN KURIKULUM PENDIDIKAN VOKASI PADA ABAD 21
Vocational education is one type of higher education system. Vocational education has a special characteristic that is focusing on preparing the student to work in a specific field. Therefore, a vocational education cannot be separated from the world of work because world of work is considered as link that should not be broken from the series of vocational education system. A world of work and a vocational education are likened as a moving object with its shadows which cannot be divided or moving separately. A vocational education is built and developed by carefully paying attention to the needs and situations in the world of work to satisfy the developing market demand. A vocational education cannot stand apart from the development of world of work includes the development and utilization of technology and its impact to paradigm demands, attitudes, and continuous skills. Key Words: Vocational, Curriculum, Higher Education
1. PENDAHULUAN
Dellors dalam laporan Komisi Pendidikan di abad 21 untuk
UNESCO (1998:22) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan empat
perubahan besar di dunia pendidikan tersebut, dipakai dua basis landasan,
berupa : Empat pilar pendidikan: (i) learning to know, (ii) learning to do
yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada penguasaan
keterampilan menurut klasifikasi ISCE (International Standard
Classification of Education) dan ISCO (International Standard
Classification of Occupation), dematerialisasi pekerjaan dan kemampuan
berperan untuk menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja di
kegiatan ekonomi informal, (iii) learning to live together (withothers), dan
(iv) learning to be, serta; belajar sepanjang hayat (learning
throughoutlife).
Perubahan-perubahan mendasar pendidikan yang berlangsung di
abad 21 ini, akan meletakkan kedudukan pendidikan sebagai: (i) lembaga
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
19
pembelajaran dan sumber pengetahuan, (ii) pelaku, sarana dan wahana
interaksi antara pendidikan tinggi dengan perubahan pasaran kerja, (iii)
lembaga pendidikan sebagai tempat pengembangan budaya dan
pembelajaran terbuka untuk masyarakat, dan (iv) pelaku, sarana dan
wahana kerjasama internasional.
ukuran survive atau tidaknya suatu negara. Kemampuan bersaing
berkaitan dengan kemampuan manajemen, penggunaan dan penguasaan
teknologi informasi (IT), dan sumber daya manusia (SDM).
Diberlakukannya perjanjian General Agreement on Tariff and Trade
(GATT) yang berkembang menjadi World Trade Organization (WTO),
dibentuknya blok-blok perdagangan regional seperti European Common
Market (ECM) lalu menjadi European Economics Community (EEC),
North American Free Trade Area (NAFTA), Asean Free Trade Area
(AFTA), dan Asia Pacific Economics Cooperation (APEC) merupakan
wujud nyata era perdagangan bebas, liberal, dan terbuka.
Hal lain yang membutuhkan kewaspadaan adalah tuntutan
percepatan penciptaan Masyarakat ASEAN dalam Asean Economic
Community menjadi tahun 2015 dari rencana tahun 2020, untuk Indonesia
Malaysia, Filipina, dan Thailand. Konsekuensinya, akan terjadi aliran
perdagangan dan jasa serta pekerja lintas batas. Para pencari kerja di
ASEAN akan bersaing tidak lagi dengan sesama warga negara, tetapi
dengan negara lain di ASEAN.
Oleh karena itu, abad 21 merupakan peluang dan ancaman yang
patut dicermati serta sangat menarik untuk didiskusikan dalam berbagai
hal seputaran desain dan pendekatan kurikulum pada pendidikan vokasi.
Adapun permasalahannya dapat dirumuskan seperti berikut ini.
2. Permasalahan
Bagaimana desain dan pendekatan kurikulum dalam pendidikan
vokasi pada abad 21?
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
20
3. Dukungan Teori
Prosser (1925) menjelaskan bahwa pendidikan vokasi memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Pendidikan vokasi akan efisien jika
lingkungan di mana peserta didik dilatih merupakan replika
lingkungan dimana nanti dia akan bekerja, 2) Pendidikan vokasi yang
efektif hanya dapat diberikan di mana tugas-tugas latihan dilakukan
dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di
tempat kerja. 3) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia melatih
seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang
diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
Sayling Wen (2003) menyatakan bahwa terjadinya perubahan
dalam kualitas pendidikan masa depan. Perubahan tersebut antara lain:
(1) perubahan dari pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan
menjadi pengembangan ke segala arah yang seimbang, (2) dari
pembelajaran bersama yang disentralisasikan menjadi pembelajaran
yang diindividualisasikan yang didesentralisasikan, (3) dari
pembelajaran yang terbatas pada tahapan pendidikan menjadi
pembelajaran seumur hidup dan (4) dari pengakuan diploma menjadi
pengakuan kekuatan-kekuatan nyata.
Pendidikan vokasi merupakan jenis pendidikan yang memiliki
karakteristik khusus, yakni berorientasi kepada penyiapan peserta didik
untuk bekerja dalam bidang tertentu. Untuk itu, pendidikan vokasi
tidak dapat terlepas dari keterikatannya dengan dunia kerja, karena
dunia kerja dianggap sebagai mata rantai yang tidak boleh putus dari
suatu rangkaian sistem pendidikan vokasi. Dunia kerja dan pendidikan
kejuruan ibarat benda yang bergerak dan bayangannya, keduanya tidak
dapat terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Pendidikan vokasi dibangun
dan dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan dan situasi
dunia kerja untuk dapat memenuhi tuntutan pasar yang berkembang.
Pendidikan vokasi tidak dapat menutup diri terhadap perkembangan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
21
yang terjadi di dunia kerja, termasuk perkembangan dan pemanfaatan
teknologi dan dampaknya terhadap tuntutan keterampilan lulusannya.
(Ivan, 2008)
Dengan demikian, permintaan terhadap keterampilan kerja
yang berubah dengan sangat dinamis itu harus selalu dicermati,
dipantau, dan dijadikan sandaran atau rujukan untuk mengembangkan
pendidikan kejuruan, terutama dalam menyusun strategi pembelajaran
yang sesuai dengan perkembangan dunia kerja. Hal itu juga merupakan
upaya untuk menjaga sustainabilitas pendidikan kejuruan di tengah
arus perubahan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang
berdampak langsung kepada tuntutan pengetahuan, sikap,dan
keterampilan lulusannya. Sejak Tahun 1993 Pemerintah dalam hal ini
melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah
memperkenalkan kebijakan link and match, dimana kebijakan ini
dioperasionalkan dalam bentuk Pendidikan Sistem Ganda (PSG),
(Wardiman, 1998).
Pendidikan kejuruan (vokasi) tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dunia kerja yang ada. Pengembangan tenaga kerja yang
marketable dilakukan oleh pendidikan kejuruan berdasarkan
kebutuhan pasar (demand driven) melalui peningkatan kompetensi
lulusan. Selain itu Pendidikan kejuruan lebih dekat dengan kebutuhan
sektor industri dan mengarah kepada pemberian solusi terhadap
permasalahan ketenagakerjaan dalam memasuki era perdagangan
bebas yang menuntut kemampuan bersaing di tingkat nasional dan
internasional. Oleh karena itu kompetensi menjadi hal yang sangat
penting agar para lulusan dapat diserap di dunia kerja/industri.
Berdasarkan Kepmendiknas No.045/U/2002 kurikulum pada
perguruan tinggi adalah kurikulum yang berbasis kompetensi. Karena
itu kompetensi adalah sentral yang harus dibangun dalam pendidikan
kejuruan termasuk bagaimana penetapan dan bagaimana pengukuran
kompetensinya.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
22
Pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang diarahkan
pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang mencakup program
pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3, dan diploma 4, maksimal
setara dengan program pendidikan sarjana. Lulusan pendidikan vokasi
akan mendapatkan gelar vokasi.
(id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi).
Pendidikan vokasi tertuang dan dijelaskan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) 2004 yang merupakan :
Merupakan pendidikan tinggi maksimal setara dengan program
sarjana yang berfungsi mengembangkan peserta didik agar memiliki
pekerjaan keahlian terapan tertentu melalui program diploma dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Pasal 21).
Merupakan pendidikan yang mengarahkan mahasiswa untuk
mengembangkan keahlian terapan, beradaptasi pada bidang
pekerjaann tertentu dan dapat menciptakan peluang kerja (Pasal 22
Ayat [1]).
Menganut sistem terbuka (multi-entry-exit system) dan multimakna
(berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan
watak, dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup life skill
(Pasal 22 Ayat [2]).
Pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta sesuai
dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja (Pasal 22 Ayat [3]).
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan keahlian terapan yang
diselenggarakan di perguruan tinggi berbentuk akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut dan universitas (Pasal 23 Ayat [1]).
Kurikulum pendidikan vokasi merupakan rencana dan pengaturan
pendidikan yang terdiri atas standar kompetensi, standar materi,
indikator pencapaian, strategi pengajaran, cara penilaian dan
pedoman lainnya yang relevan untuk mencapai kompetensi
pendidikan vokasi (Pasal 27 Ayat [3]).
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
23
Pendanaan pendidikan vokasi menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia kerja (dunia
usaha/industri), dan masyarakat (Pasal 38 Ayat [1]).
Peran serta masyarakat dalam pendidikan vokasi meliputi peranserta
perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan (Pasal 39 Ayat [1]).
Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan vokasi dapat menjamin
kerja sama dengan lembaga-lembaga lain baik di dalam maupun di
luar negeri (Pasal 40 Ayat [1]). (http://www.polteklampung.ac.id)
Menurut pendapat Gill (2000:12) “vocational education is
distinguished from general general education by its higher cost of
delivery, especially at the secondary level, and by the options it opens or
closesat the secondary and postsecondary levels”. pendidikan kejuruan
dibedakan dari pendidikan umumkarena biaya pendidikan yang lebih
tinggi, terutama pada tingkat menengah, dan oleh karena itu pilihan ini
membuka atau menutup pada tingkat sekunder dan pasca menengah
Menurut Ornstein (2004:10) bahwa “ A curriculum can be defined
as a plan for action or a written document that includes strategies for
achieving desired goals or ends”. Kurikulum dapat didefinisikan sebagai
suatu rencana untuk melakukan tindakan dari suatu dokumen tertulis yang
mencakup strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau
berakhirnya suatu program pembelajaran.
Selain itu menurut Saylor dalam bukunya Ornstein ( 2004 : 10)
yang berjudul Curriculum, Foundation, Principles, and Issues
mendefinisikan kurikulum sebagai “ as a plan for providing sets of
learning opportunities for person to be educated “.
Definisi kurikulum menurut Finch & Crunkilton (1999 : 11) adalah
“…the sum of learning activities and experiences that a student has under
the auspices or direction of the school”
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
24
Finch & Crunkilton (1997 : 23), memberikan penjelasan dalam
proses pengembangan kurilulum pada pendidikan teknik dan vokasi
seperti pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Pengembangan Kurikulum pada Pendidikan Vokasi
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum diantaranya, yaitu:
a) Kurikulum untuk Pendidikan Vokasi
(1). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan Sk Mendiknas 232
Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor
232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam
Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum.
berdasarkan tujuan belajar (1) Learning to know, (2) learning to do,
(3) learning to live together, dan (4) learning to be. Berdasarkan
pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam
kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata.
kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah
Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian
Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan
(5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).
Planning The Curriculum
- Establish a Decision making Proses
- Collect and Assess School-related Data- Collect and Asses
Community-related Data
Establishing Curriculum Content- Utilize Strategies to Determine Content- Make Curriculum Content Decisions
-Develop Curriculum Goals and Objectives
Implementing The Curriculum
- Identify and Select Materials
- Develop Materials- Select Delivery
Strategies- Assess the Curriculum
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
25
Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi
setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9
berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil
rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai
berikut:
Keputusan Mendiknas yang dituangkan dalam SK nomor 232
tahun 2000 di atas jelas menunjukkan arah kurikulum berbasis
kompetensi walau. pun secara. eksplisit tidak dinyatakan demikian.
(Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004)
(2). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas No.045/U/2002
Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang
Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan "Kompetensi
adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang
dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan
tertentu".
Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang
pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan
ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan
pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang
muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi
pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang
kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan
kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan,
serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan,
karena kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan
tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.
SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat
perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum
pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
26
ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang
dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-
elemen kompetensi.
Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah
pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti
dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan
nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama
sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi
pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas
nomor 045:
Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama,
bersifat:
a. dasar untuk mencapai kompetensi lulusan
b. acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi
c. berlaku secara. nasional dan internasional
d. lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di
masa mendatang.
e. kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi,
masyarakat profesi, dan pengguna lulusan
Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi
pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut
dengan kompetensi utama. (Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18
Oktober 2004).
Ada banyak model pengembangan kurikulum yang telah dipikirkan
dan dikemukakan banyak orang. Menurut Ahmad dkk (1997: 51-56) ada
beberapa model yang banyak digunakan dalam pengembangan kurikulum,
diantaranya model yang dikemukakan oleh Rogers Zais.
a) Model Pengembangan Kurikulum Rogers
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
27
Ada beberapa model yang dikemukakan Rogers, yaitu jumlah dari
model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Model-
model tersebut disusun sedemikian rupa sehingga model yang
berikutnya sebenarnya merupakan penyempurnaan dari yang
sebelumnya.
b) Model Pengembangan Kurikulum Robert Zais S.
Zais (1976 : 91) mengemukakan delapan macam model pengambangan
kurikulum. Model tersebut sebgian merupakan model yang sering
ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum sekolah. Adapun
beberapa model tersebut antara lain :
1) Model Administratif.
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang
paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan
kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan
menggunakan prosedur administrasi. Model administrative / disebut
juga model garis staf atau model dari atas ke bawah. Kegiatan
pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat pendidikan yang
berwenang yang membentuk panitia pengarah. Biasanya terdiri dari
pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan staf pengajar inti. Panitia
pengarah tersebut diarahkan tugas untuk merencanakan, menyiapkan
rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan.
Setelah kegiatan tersebut selesai, Panitia pengarah membentuk
kelompok kerja sesuai keperluan. Para anggotanya biasanya adalah
staf pengajaran dan spesialis kurikulum. Kelompok ini bertugas
untuk menyusun tujuan-tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan
pengajaran, dan kegiatan belajar. Hasil kerja kelompok tersebut
direvisi Panitia Pengarah, menguji coba kemudian memutuskan
pelaksanaannya. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan
dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
28
berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka
model ini disebut juga model Top-Down. Dalam pelaksanaannya,
diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan
beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2) Model Grass Root
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model
pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan
datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah.
Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam
sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi,
sedangkan model grass root akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi.
Pengembangan kurikulum model dari bawah ini menuntut
adanya kerja antarguru, antar sekolah secara baik, disamping harus
juga ada kerjasama antar pihak diluar sekolah khususnya orangtua
murid dan masyarakat.
3) Model Beauchamp
Sesuai dengan namanya, model ini diformulasikan oleh GA.
Beauchamp, yaitu mengemukakan lima langkah penting dalam
pengambilan keputusan pengambangan kurikulum, yaitu :
1) Menentukan arena pengambangan kurikulum yang dilakukan,
yaitu berupa kelas, sekolah, system persekolahan regional atau
nasional.
2) Memilih dan mengikutsertakan pengembang kurikulum yang
terdiri atas spesialis kurikulum, kelompok professional, penyuluh
pendidikan dan orang awam.
3) Mengorganisasikan dan menentukan perencanaan kurikulum yang
meliputi penentuan tujuan, materi dan kegiatan belajar.
4) Melaksanakan kurikulum secara sistematis di sekolah.
5) Melakukan penilaian.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
29
4) Model Terbalik Hilda Taba
Model yang dikemukakan Hilda (1962 : 234) ini berbeda
dengan cara lazim yang bersifat deduktif karena caranya bersifat
induktif. Itulah sebabnya ini dinamakan model terbalik. Model ini
diawali justru dengan percobaan, kemudian baru penyusunan dan
kemudian penerapan. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan antara
teori dan praktek.
Pengembangan model ini dilakukan dengan lima tahap, yaitu :
1) Menyusun unit-unit kurikulum yang ada dan diujicobakan oleh
staf pengajar.
2) Mengujicobakan untuk mengetahui kesahihan dan kelayakan
kegiatan belajar mengajar.
3) Menganalisis dan merevisi hasil ujicoba, serta
mengkonsolidasikannya.
4) Menyusun kerangka teroritis.
5) Menyusun kurikulum yang dikembangkan secara menyeluruh dan
mengumumkannya.
5) The Systemic Action-Research Model
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa
perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal ini
mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua,
siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan
kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi
tersebut, model ini menekankan pada tiga hal, yaitu : hubungan
insani, sekolah dan organisasi masyarakat serta wibawa dari
pengetahuan profesional. Penyusunan kurikulum dengan
memasukkan pandangan dan harapan masyarakat, dan salah satu
cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action-research.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
30
6) Emerging Technical Models
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta
nilai-nilai efisiensi dan efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi
perkembangan model kurikulum. Tumbuh kecenderungan baru yang
didasarkan atas hal itu, diantaranya :
(1) The Behavioral Analysis Model.
Menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu
perilaku / kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi
perilaku yang sederhana yang tersusun secara hirarkis.
(2) The System Analysis Model.
Berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah pertama model ini
adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang
harus dikuasi siswa. Langkah kedua menyusun instrumen untuk
menilai ketercapaian hasil belajar tersebut. Langkah ketiga
mengidentifikasi tahap-tahap hasil yang dicapai serta perkiraan
biaya yang diperlukan. Langkah keempat membandingkan biaya
dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
(3) The Computer-Based Model.
Suatu pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan
komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi
seluruh unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki
rumusan tentang hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan
guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit
kurikulum tersebut. Stelah diadakan pengolahan disesuaikan
dengan kemampuan dan hasil belajar siswa disimpan dalam
komputer.
(b) Pendekatan dalam Pengembangan Kurikulum
Menurut Finch & Crunkilton (1999 : 136-141), terdapat 5
strategi/pendekatan dalam menentukan dan mengembangkan isi
kurikulum, yaitu (1) Pendekatan Filosofis, (2) Pendekatan Instropeksi, (3)
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
31
Pendekatan DACUM, (4) Pendekatan Fungsional, dan (5) Pendekatan
Analisis Tugas. Selain itu Hussaini Umar (2002) menyatakan bahwa untuk
merencanakan pendidikan termasuk didalamnya pengembangan kurikulum
dapat dilakukan dengan Teknik Delphi.
Dari beberapa pendekatan tersebut di atas dalam pengembangan
kurikulum ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan DACUM
(Development a Curriculum). Alasan dilakukan pendekatan ini karena
DACUM banyak digunakan dibeberapa negara untuk berbagai bidang
seperti pendidikan, perusahaan, serta pemerintahan dan terbukti berhasil
dengan baik Selain itu juga DACUM memiliki metode yang sangat efektif,
cepat dan biaya rendah (2008:5).
Gambar 2. Evaluasi CIPP
(c) Standar Kelulusan
Selama ini standar kelulusan yang diberlakukan oleh lembaga
pendidikan adalah standar yang dibuat oleh BSNP (BSNP di bawah
Kementerian Pendidikan Nasional) sedangkan dunia usaha/industri (Dudi)
memiliki standar kompetensi kerja SKKNI (Standar Kompetensi Kerja
•Process•Product
• Input•Context
Curriculum Planing & Development
Curriculum Operation & Refinement
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
32
Nasional Indonesia) yang dikembangkan oleh Kementrakers, sehingga
kedua standar tersebut harus dipertemukan untuk menghidari “mishmach”
antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Gambar di bawah 3 ini
menggambarkan kemitraan antara dunia industri dengan pendidikan
berdasarkan kompetensi.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah melakukan penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja.
Penyelarasan merupakan upaya penyesuaian pendidikan sebagai pemasok
SDM dengan dunia kerja sebagai penyerap SDM yang berubah sangat
dinamis. (www. Penyelarasan.kemdiknas.go.id).
Dalam upaya untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dari dunia
industri maka pemetaan yang komprehensif menjadi sangat penting untuk
dilakuan. Pemetaan ini dapat menghasilkan matching kompetensi antara
dunia industri dengan dunia pendidikan dalam hal ini lembaga terkait. Setelah
diperoleh matching competency langkah awal yang perlu dilakukan
selanjutnya adalah pengembangan kurikulum, hal ini bertujuan agar
kompetensi yang dimiliki oleh siswa atau mahasiswa sesuai dengan
ekspektasi dunia kerja. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan kemendikbud
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
33
dalam penyelerasan dunia kerja dengan dunia pendidikan seperti pada
Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Model Supply-Demand Tenaga Kerja
Dengan demikian pengembangan model kurikulum untuk menyiapkan
kompetensi mahasiswa program vokasi perlu untuk dikembangkan dengan
harapan: Memenuhi standar yang ditetapkan oleh dunia kerja (workforce)
untuk menghindari miss match dan under qualified, memuat tentang skill
yang dibutuhkan di masa mendatang (the future skill), serta terdapat standar
kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan vokasi.
4. Simpulan
1. Desain kurikulum dengan model Grass Root. Alasan dipilihnya model
tersebut adalah, (1) karena sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah
sistem desentralisasi, sehingga pengembangan kurikulum berlaku bottom-
up, (2) model ini melibatkan lembaga, instansi, dan para praktisi industri
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
34
yang aplikatif secara langsung di dunia industri sehingga mengetahui akan
kompetensi yang menjadi tuntutan industri.
2. Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan DACUM karena telah
teruji dibeberapa negara, baik digunkan di dunia pendidikan, perusahaan,
dan pemerintah.
3. Evaluasi pelaksanaan kurikulum menggunakan CIPP dan Standar
kelulusan dengan mengembangkan model kemitraan.
4. Luaran pendidikan vokasi dapat bekerja sesuai dengan Model Supply-
Demand Tenaga Kerja
SUMBER : Buku Teks :
1. Indermit S. Gill, Fred Fluitman, & Amit Dar. (2000). Vocational Education & Training Reform. Matching Skills to Market and Budget. Oxford University Press.
2. Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1979). Curriculum Development in Vocational and Technical Education : Planning, Content and Implementation. Boston, Massachusetts : Allyn & Bacon, Inc.
3. Rahn, M. L., O’Driscoll, P., & Hudecki, P. (1999). Taking off!: Sharing state-level accountability strategies. Berkeley, CA: National Center for Research in Vocational Education.
4. DACUM Handbook . (2008) 5. Robert S. Zais. Curriculum Principles and Foundations.
(1976). Harper & Row, Publishers. 6. Hilda Taba. Curriculum Development. Theory and
Practice. (1962). Harcourt Brace Jovanovich, Inc. 7. Naskah lengkap dalam Learning: the Treasure Within,
1996. Report to UNESCO of the International Comission on Education for the Twenty-first Century. UNESCO Publishing/The Australian National Commission for UNESCO. 266 hal.
Jurnal Internasional :
1. Steven R. Aragon, Hui-Jeong Woo, Matthew R. The Role of National Industry-Based Skill Standards in The
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
35
Development, Implementation, and Assessment of Community College Curriculum. Marvel University of Illinois at Urbana-Champaign2005 – Journal of Career and Technical Education, 21(2), Spring, 2005 – Page 37
Jurnal Nasional Terakreditasi : 1. Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004
Sumber Internet : 1. http://bksp-jateng.or.id, Diakses pada tanggal 17 Juni
2010, 15:38) 2. http://www.ittelkom.ac.id. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2010 3. (id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi). Diakses pada
tanggal 10 Agustus 2010. 4. (http://www.polteklampung.ac.id). Diakses pada tanggal
10 Agustus 2010 Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan :
1. Peraturan Pemerintah (RPP) Maret 2004 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
3. PP UU No. 20/2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia nomor : kep.318/men /ix/2007 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sektor penyedia makanan dan minuman sub sektor restoran, bar dan jasa boga bidang industri jasa boga
5. Kepmendiknas No. 232/U/2000. Tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
36
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN METODE OBSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
MENULIS WACANA DESKRIPSI DI KALANGAN SISWA KELAS X.3 SMA NEGERI 8 DENPASAR
TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Oleh
Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd
ABSTRACT
Writing is an active and productive language skill. Nevertheless, writing a descriptive composition is not an easy thing for the students. Referring to the problem elaborated in the background of the study, one of the solutions is by appying Observation Method of Contextual Approach during the teaching-learning process. The problem of the study, then, was whether the use of The observation method of contextual approach really could improve the X.3 students of SMA NEGERI 8 DENPASAR in the academic year of 2013/2014’s ability in writing descriptive composition? It had been expected that the use of observation method of contextual approach could improve the students’ achievement and ability in writing descriptive composition.
The theoretical background of the study was (1) the theory of contextual learning and (2) the theory of descriptive writing. The methods applied in this study were: (1) the research setting, (2) the subject of the study, (3) the action procedure, (4) data collection method and (5) data processing method.
The raw data which was the test result of Cycle I and II was processed into standard scores using descriptive statistics served in the form of tables. Using the data procession method , the average score in cycle I was calculated to be 54.02% which belonged to the Less Good category, while the data in cycle II showed an improvement in the average score of 82.27% and, thus, belonged to the Good Category. The students’ mastery learning in cycle I was only 27.27 and improved significantly into 84.09% in the cycle II.
Based on the data procession result, this study can be considered a success since the implementation of observation method of contextual approach was able to improve the students’ ability in writing descriptive composition. Therefore, the conclusion to be drawn from the study is that the implementation of obeservation method of contextual approach improved student’s ability in writing descriptive composition of the x.3 students of sma negeri 8 denpasar in the academic year of 2013/2014.
Key Words: Observation method of contextual approach, descriptive composition
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
37
Pendahuluan
Pembelajaran bahasa merupakan alat untuk belajar berkomunikasi,
mengingat bahasa merupakan sarana komunikasi dalam masyarakat. Untuk dapat
berkomunikasi dengan baik, maka seseorang perlu belajar cara berbahasa yang
baik dan benar. Pembelajaran tersebut akan lebih baik apabila dipelajari sejak usia
dini dan secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa
disertakan dalam kurikulum. Hal ini berarti bahwa, setiap peserta didik dituntut
agar mampu menguasai bahasa yang mereka pelajari terutama dalam penggunaan
bahasa resmi yang dipakai oleh warga negara khususnya bagi peserta didik.
Bahasa Indonesia menjadi materi pembelajaran yang wajib diberikan di setiap
jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga di perguruan tinggi. Hal ini
dilakukan agar peserta didik mampu menguasai Bahasa Indonesia dengan baik
dan benar serta mampu menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang
mendasar (berbicara, mendengar, menulis, dan membaca). Dewasa ini,
keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan literasi (literacy skill) sudah
menjadi keterampilan berbahasa lanjutan (advanced linguistic skill)
(Zainurrahman 2011: 2)
Selama ini pembelajaran menulis wacana deskripsi dilakukan secara
umum. Dalam hal ini siswa diberi sebuah teori tentang menulis deskripsi,
kemudian siswa melihat contoh, dan akhirnya siswa ditugaskan untuk menulis
wacana deskripsi secara langsung.
Fenomena yang terjadi saat ini dalam pembelajaran menulis di sekolah,
khususnya di SMA Negeri 8 Denpasar, berdasarkan hasil survei yang telah
dilaksanakan menunjukkan bahwa rendahnya hasil pembelajaran menulis siswa
kelas X.3. Hal ini dapat dilihat dari hasil evaluasi (free test) dari menulis wacana
pada kelas tersebut, di mana dari 49 orang siswa hanya 10 orang siswa yang
berhasil mencapai ketuntasan belajar yaitu dengan nilai 75 ke atas, padahal
SKBM dari menulis wacana adalah 75. Ini berarti ketuntasan klasikal baru
tercapai sebesar 20% atau dengan kata lain secara klasikal belum tercapai. Selain
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
38
itu, peneliti beranggapan bahwa metode pengajaran dan pembelajaran yang
digunakan oleh guru cenderung menggunakan metode ceramah dan kegiatan
tanya jawab yang tidak berpengaruh pada perubahan hasil pembelajaran siswa
dalam menulis. Masalah lain yang muncul, adalah siswa akan beranggapan negatif
terhadap materi menulis, karena metode yang digunakan terkesan membosankan
serta membingungkan.
Melihat kondisi demikian, maka permasalahan tersebut haruslah dapat
diminimalisasikan. Akhirnya peneliti bersama guru bidang studi Bahasa Indonesia
di SMA Negeri 8 Denpasar berusaha memberikan solusi alternatif dalam
pembelajaran menulis agar segala permasalahan serta kendala yang terdapat pada
siswa maupun guru dapat diatasi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi dalam pembelajaran.
Pendekatan kontekstual dengan metode observasi merupakan
pembelajaran konseptual untuk membantu guru dalam penulisan wacana deskripsi
karena adanya masalah yang dialami siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2013/2014.
Bertitik tolak pada permasalahan- permasalahan di atas, maka peneliti
memandang perlu untuk mengangkat topik ini menjadi sebuah penelitian dengan
judul: ”Pendekatan Kontekstual dengan Metode Observasi untuk Meningkatkan
Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi oleh Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014”. Penerapan strategi pembelajaran ini
diharapkan mampu memberikan tanggapan atas permasalahan yang diberikan oleh
pendidik. Apabila siswa mampu menjadi pelajar yang mandiri diharapkan pula
mampu menjadi pelajar yang mandiri serta mampu menciptakan suasana
pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.
Tujuan Penelitian
Setiap suatu kegiatan tentulah mempunyai tujuan tertentu yang ingin
dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus seperti berikut.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
39
1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam menulis wacana.
2 Tujuan Khusus
Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus.
Adapun tujuan khusus penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui kemampuan siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
tahun pelajaran 2013/2014 dalam menulis wacana deskripsi melalui
pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
2. Untuk dapat mengetahui respon terhadap pendekatan kontekstual dengan
metode observasi dalam menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2014/2014.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian tindakan kelas ini
dapat dibagi menjadi empat, yaitu bagi siswa, guru, sekolah, dan pengembangan
kurikulum.
1. Manfaat bagi siswa
Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis pada umumnya,
menulis wacana deskripsi pada khususnya, serta meningkatkan kreativitas
dan keberanian siswa dalam berpikir.
2. Manfaat bagi guru
Untuk memperkaya khasanah/ wawasan metode dan strategi dalam
pembelajaran menulis, dapat memperbaiki metode yang tepat dalam
mengajar, dan dapat mengembangkan keterampilan guru Bahasa Indonesia
khususnya dalam menerapkan pembelajaran menulis wacana deskripsi
melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
3. Manfaat bagi sekolah
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka memajukan dan
meningkatkan prestasi sekolah yang dapat disampaikan dalam pembinaan
guru bahwa alam pembelajaran menulis wacana deskripsi dapat
menggunakan pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
40
4. Manfaat bagi pengembangan kurikulum. Dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam rangka memajukan dan meningkatkan prestasi belajar
siswa dan kemajuan bidang pendidikan serta dapat disampaikan dalam
pembinaan guru Bahasa Indonesia, dan dapat dijadikan pertimbangan dalam
penyusunan kurikulum berikutnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 8
Denpasar, khususnya di kelas X.3 karena permasalahan yang muncul di dalam
kaitannya dengan pembelajaran menulis wacana deskripsi. Dalam hal ini, peneliti
berkolaborasi dengan guru bidang studi Bahasa Indonesia, di mana peneliti
berperan sebagai perencana, pengamat, pelaksana pengumpulan data, penganalisis
data, pelapor hasil penelitian, dan selalu berada di lapangan selama proses
penelitian berlangsung.
Dalam penelitian ini akan direncanakan beberapa siklus yang dilaksanakan
selama satu kali pertemuan (2X45 Menit). Apabila dalam siklus pertama belum
mencapai hasil yang maksimal maka akan dilanjutkan dengan siklus II yang
dilaksanakan pada minggu berikutnya, dan telah mendapat persetujuan dari kepala
sekolah dan guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar pada
semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 44 orang siswa.
Sedangkan yang menjadi objek penelitian tindakan kelas ini adalah pembelajaran
menulis wacana deskripsi melalui pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:
1. Melakukan observasi awal tentang pembelajaran tentang menulis wacana
deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
2. Mengidentifikasi masalah mengenai pembelajaran menulis wacana deskripsi
di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.
3. Menganalisis masalah secara mendalam dengan mengacu pada teori- teori
yang relevan.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
41
4. Menyusun bentuk tindakan yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang
ditemukan dengan memanfaatkan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi pada siklus pertama.
5. Menyusun jadwal penelitian dan rancangan pelaksanaan tindakan.
6. Menyusun lembar observasi dan lembar evaluasi kerja siswa yang berupa
rubrik penilaian kerja siswa berupa tulisan deskripsi.
Pada tahap ini, peneliti dan guru menyusun:
1. Perangkat pembelajaran berupa penentuan kompetensi dasar yang akan
dicapai.
2. Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang isinya sebagai berikut.
a. Guru membuka pelajaran.
b. Guru memberikan materi tentang menulis wacana deskripsi.
c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang
materi yang disampaikan.
d. Guru bersama dengan siswa melakukan observasi pada tempat yang
telah ditentukan.
e. Guru membagikan lembar kerja dan menugaskan siswa untuk menulis
wacana deskripsi berdasarkan pendekatan kontekstual dengan metode
observasi.
Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini adalah
meningkatnya kemampuan menulis wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA
Negeri 8 Denpasar melalui pengoptimalan pemanfaatan pendekatan kontekstual
dengan metode observasi. Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator
tersebut dirancang dalam satu siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu
1) perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi dan evaluasi, dan
4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. Tahap ini dilakukan
dengan melaksanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah
direncanakan. Pada siklus I, direncanakan satu kali pertemuan dengan alokasi
waktu 2 X 45 menit.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
42
Gambar 01 Desain Penelitian Tindakan
Adapun langkah- langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data dengan metode tes
adalah: 1) menyusun tes, 2) menyusun format penyekoran tes, dan 3) melaksanakan tes. Untuk
lebih jelasnya, pembahasan terhadap ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada bagian berikut
ini.
1. Menyusun Tes
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini adalah tes, instrumen
penelitian harus disusun dengan teliti agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu
bentuk tes yang digunakan dalam penelitiannya ini adalah tes tulis, yaitu dengan cara menyuruh
siswa membuat wacana deskripsi berdasarkan hasil observasi.
2. Menetapkan Skor
Setelah lembar jawaban siswa dikumpul, langkah selanjutnya adalah menetapkan skor.
Aspek yang dinilai dalam penetapan skor yaitu: 1) struktur wacana deskripsi, 2) hubungan antar
kalimat, 3) pemakaian kalimat efektif, 4) pilihan kata, dan 5) pemakaian ejaan
Tes dilaksanakan setiap akhir siklus di mana siswa diberikan tugas untuk menulis sebuah
wacana deskripsi. Tes dikerjakan ketika jam pelajaran Bahasa Indonesia, serta pelaksanaan tes
dilakukan dan diawasi oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia dan peneliti.
Observasi
Refleksi
Perencanaan
Tindakan
Observasi
Refleksi
Perencanaan
Tindakan
Siklus I Siklus II
N Siklus
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
43
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kritis. Teknik
tersebut mencakup kegiatan yang mengungkapkan kelebihan dan kekurangan kerja siswa dan
guru dalam proses belajar mengajar yang terjadi di kelas selama penelitian berlangsung. Hasil
analisis digunakan untuk menyusun rencana tindakan kelas berikutnya sesuai dengan siklus yang
ada. Analisis dilakukan oleh guru dan peneliti secara bersama- sama.
Data yang diperoleh dari penelitian ini masih merupakan skor mentah atas jawaban siswa
terhadap tes yang dikerjakan oleh siswa sebagai subjek penelitian sehingga data tersebut perlu
diolah dengan langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi skor
rata, (5) skor maksimal ideal, dan (6) menarik kesimpulan.
Data respon siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual dikumpulkan melalui
angket dengan cara menyebarkan angket kepada siswa pada akhir siklus. Jumlah item dalam
angket sebanyak 10 item yang penyekorannya menggunakan skala likert 5. Angket yang
digunakan terdiri atas 5 alternatif jawaban yaitu: SS untuk pilihan sangat setuju, S untuk pilihan
setuju, KS untuk pilihan kurang setuju, TS untuk pilihan tidak setuju, dan STS untuk pilihan
sangat tidak setuju.
Data hasil wawancara dan penyebaran angket yang digunakan untuk mengetahui respon
siswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data mengenai respon siswa dianalisis untuk
memperoleh gambaran tentang respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan.
Skor Maksimal Ideal (SMI) respon siswa adalah 50 dan skor minimum idealnya adalah 10. Nilai
tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai indikator respon siswa dengan 5 alternatif jawaban
respon siswa.
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil pembelajaran menulis siswa, ditandai dengan keaktifan siswa dalam mengikuti
pembelajaran menulis, serta meningkatnya kemampuan siswa dalam menghasilkan kosa
kata yang bervariasi dalam tulisan, mampu menggorganisasikan gagasan dengan baik,
munculnya kreatifitas dan imajinasi siswa dalam menyusun kalimat- kalimat menjadi
sebuah tulisan yang baik, dan ada kesesuaian antara isi tulisan dengan objek yang diamati.
2. Ketuntasan hasil belajar ditandai dengan hasil pekerjaan siswa yang telah mencapai angka
75% ke atas dari jumlah KKM yang telah ditentukan.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
44
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil observasi awal menunjukkan rendahnya minat siswa ketika mengikuti kegiatan
pembelajaran di kelas. Di samping itu siswa cenderung pasif selama proses pembelajaran. Tidak
semua siswa yang aktif mengeluarkan pendapat dengan sukarela selama proses pembelajaran.
Walaupun sudah ditunjuk pun terkadang siswa masih ragu dalam mengeluarkan pendapat. Siswa
tidak memiliki kemauan untuk bekerjasama, berkreativitas untuk membahas materi pembelajaran
dan hanya menunggu penjelasan dari guru sehingga pembelajaran terlihat monoton dan tidak
efektif. Namun, dalam menyimak penjelasan guru siswa cukup serius. Begitu pula dengan
semangat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran masih sangat cukup. Hal inilah yang
menjadi usaha awal bagi peneliti untuk menyampaikan materi pembelajaran dan sekaligus
menjadi data awal bagi peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sesuai dengan rancangan prosedur
penelitian yang sudah ditentukan. Prosedur penelitian tindakan ini terbagi dalam dua siklus
seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
Siklus I
Adapun langkah- langkah yang dilaksanakan pada siklus I ini akan diuraikan sebagai
berikut.
Perencanaan Tindakan
Kegiatan pada tahap perencanaan yaitu membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) sesuai dengan Standar Kompetensi Dasar (lampiran 01).
Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan siklus I dilaksanakan di ruang kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar
pada tanggal 17-18 Oktober 2012 selama 2 jam pelajaran (2X45 Menit).
Berdasarkan data dari hasil siklus I, dapat disimpulkan sebagai berikut. Dari 44 orang
siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar yang mengikuti pembelajaran melalui pendekatan
kontekstual dengan metode observasi 12 orang yang mendapat nilai baik (B), dengan persentase
27,27% dan 32 orang yang mendapat nilai kurang (D), dengan persentase 72,73%. Rata- rata
nilai siswa baru mencapai 54,02. Dengan demikian dapat dikatakan tingkat ketuntasan belajar
baru dicapai sebanyak 12 orang dengan persentase 27,27%, sedangkan sebanyak 32 orang siswa
atau 72,73% belum tuntas
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
45
Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I diadakan pengamatan yang dilaksanakan guru
pendamping untuk mengetahui respon siswa terhadap tindakan yang diberikan. Sesuai metode
pembelajaran yang digunakan oleh guru dan berdasarkan pengamatan peneliti, tampaknya siswa
mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal ini dilihat dari suasana pembelajaran yang
aktif dan menyenangkan. Namun, respon siswa terhadap metode yang yang digunakan oleh guru
masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan peneliti melalui lembar observasi yang
menunjukkan skor 23,11 yang dikategorikan “Rendah”.
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh maka, terlihatlah kemampuan siswa dalam
menulis wacana deskripsi yang dapat dikategorikan kurang dan masih berada di bawah KKM
(Kriteria Ketuntasan Minimal). Sedangkan proses pembelajaran menulis wacana melalui
pendekatan kontekstual dengan metode observasi pada siklus I masih dikategorikan rendah
karena siswa masih belum mampu melaksanakan tahap- tahap pelaksanaan pembelajaran
kontekstual dengan baik.
Adapun kelemahan- kelemahan yang masih ditemukan pada pelaksanaan siklus I adalah
sebagi berikut.
a. Dalam evaluasi, siswa masih belum terampil dalam menulis wacana deskripsi.
b. Sebagian siswa masih belum memahami pendekatan kontekstual dengan metode observasi
yang diterapkan oleh peneliti.
c. Siswa masih kurang percaya diri dalam menuangkan gagasan dan menyampaikan pendapat.
d. Suasana pembelajaran yang mengarah pada pendekatan kontekstual dengan metode
observasi masih belum tercipta dengan baik karena siswa masih terbiasa belajar melalui
metode ceramah.
Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I juga diperoleh beberapa keberhasilan,
diantaranya sebagai berikut.
a. Kreativitas siswa selama mengikuti pembelajaran meningkat walaupun tidak signifikan.
b. Semangat belajar siswa bertambah karena belajar dengan metode pembelajaran baru.
Pendekatan kontekstual dengan metode observasi ini mengajak siswa untuk selalu belajar
dari hasil pengamatan sehari-hari mereka.
Untuk memperbaiki kelemahan- kelemahan yang masih ditemui selama siklus I dan
mempertahankan serta meningkatkan keberhasilan yang sudah diperoleh, maka peneliti
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
46
merumuskan perbaikan tindakan yang akan dilaksanakan pada siklus selanjutnya, diantaranya
sebagai berikut.
a. Selama pembelajaran berlangsung, peneliti memberikan motivasi serta penguatan positif
sehingga akan mampu menambah rasa percaya diri siswa.
b. Bimbingan dengan memberi contoh yang relevan ditingkatkan sehingga siswa lebih
memahami materi pembelajaran yang diberikan.
c. Guru dan peneliti membantu serta mengarahkan siswa dalam memahami materi, serta
melaksanakan langkah- langkah pembelajaran yang diberikan.
Perencanaan tindakan siklus II dilakukan terlebih dahulu dengan melihat kelemahan-
kelemahan yang ditemui pada siklus I. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tindakan pada
siklus II merupakan upaya perbaikan dari siklus I. Dilihat dari pelaksanaan siklus I, maka upaya
perbaikan yang dilaksanakan pada siklus II adalah sebagai berikut.
a. Guru dan peneliti memberikan lebih banyak motivasi serta penguatan positif sehingga
mampu menambah rasa percaya diri siswa.
b. Lebih intensif untuk membimbing siswa dalam melaksanakan pembelajaran melalui
pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan Standar Kompetensi
yang dikembangkan dengan melihat hasil refleksi dari siklus I.
Pelaksanaan tindakan pada siklus II ini dilaksanakan di ruang kelas X.3 SMA Negeri 8
Denpasar pada tanggal 24-25 Oktober 2014, selama 2 jam pelajaran (2 X 45 Menit) setelah
memperoleh hasil dari penelitian pada siklus I.
Selama pembelajaran pada siklus II juga dilakukan pengamatan yang dilakukan oleh guru
pendamping. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui
keberhasilan pelaksanaan perbaikan terhadap hambatan- hambatan yang ditemui pada siklus
sebelumnya. Berikut akan disajikan hasil observasi melalui angket yang sudah disebarkan
kepada siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014.
Adapun keberhasilan- keberhasilan yang diperoleh pada siklus II ini antara lain sebagai
berikut.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
47
a. Setelah penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi dilaksanakan secara
efektif, kemampuan siswa dalam menulis wacana deskripsi meningkat dari siklus
sebelumnya.
b. Dengan pemberian motivasi pada penerapan pendekatan kontekstual, mampu meningkatkan
rasa percaya diri siswa dalam menuangkan gagasan mereka ke dalam sebuah wacana
deskripsi.
Selain memperoleh keberhasilan, masih ditemui juga beberapa kelemahan dimana masih
ada 7 orang siswa yang belum tuntas belajar. Namun hal ini tidak begitu berpengaruh karena
persentasenya hanya 15,90%. Dengan semakin terbiasanya siswa belajar menulis wacana
deskripsi dengan pendekatan kontekstual, maka ketuntasan belajar siswa dapat mencapai hasil
yang maksimal.
Berdasarkan analisis data menunjukan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan
metode observasi mampu meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi siswa. Hal ini
terlihat dari rata- rata kelas sebesar 54,02 pada siklus I yang kemudian meningkat menjadi 82,45
pada siklus II.
Peningkatan ini tidak hanya pada rata- rata kelas saja tetapi, secara individual juga
mengalami peningkatan dimana pada siklus I terdapat 12 orang siswa memperoleh nilai baik (B),
dengan persentase 27,27% dan 32 orang siswa yang mendapat nilai kurang (D), dengan
persentase 73, 73%. Sedangkan pada siklus II terdapat 6 orang siswa yang memperoleh nilai
amat baik (A), dengan persentase 13,64%, 31 orang siswa yang memperoleh nilai baik (B),
dengan persentase 70,45%, 4 orang memperoleh nilai cukup (C), dengan persentase 9, 09%,
dan 3 orang siswa yang memperoleh nilai kurang (D), dengan persentase 6,82%. Berikut akan
disajikan tabel perbandingan nilai siswa dalam menulis wacana deskripsi melalui penerapan
pendekatan kontekstual dengan metode observasi.
Berdasarkan hasil analisis data yang sudah disajikan, maka hipotesis penelitian yang
diajukan terbukti, bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi secara
efektif mampu meningkatkan kemmpuan menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA Negeri
8 Denpasar tahun Pelajaran 2013/2014. Selain meningkatkan kemampuan siswa, pendekatan
kontekstual dengan metode observasi juga mendapatkan respon yang positif, sehingga dalam
proses pembelajaran ini dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas, dan rasa percaya diri siswa
dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
48
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun
pelajaran 2013/2014 tentang penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi untuk
meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1. Penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi dapat meningkatkan hasil
belajar siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014 dalam menulis
wacana deskripsi. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata- rata pada perbandingan siklus I
dengan siklus II yang mengalami peningkatan nilai dari 54,02 menjadi 82,45.
2. Respon siswa terhadap pendekatan kontekstual dengan metode observasi yang diterapkan
oleh guru bidang studi dalam menulis wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA Negeri
8 Denpasar mengalami peningkatan skor rata- rata dari 23,11 yang berkategori “Rendah”
menjadi 44,34 yang berkategori “Sangat Tinggi”.
Meningkatkan mutu pengajaran Bahasa Indonesia, khususnya pengajaran keterampilan
menulis wacana di Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak terlepas dari kerjasama antara guru
bidang studi dan siswa di sekolah tersebut. Berikut adalah saran- saran yang perlu penulis
sampaikan.
1. Siswa yang telah dinyatakan berhasil memperoleh nilai di atas KKM disarankan agar
mempertahankan, bahkan meningkatkan lagi penerapan pendekatan kontekstual dengan
metode observasi dalam menulis wacana deskripsi.
2. Guru bidang studi hendaknya selalu bersikaf kreatif dan inovatif dalam menciptakan
suasana pembelajaran yang menyenangkan dan mampu untuk mengajak siswa untuk terus
belajar.
3. Supaya pembelajaran lebih menarik bagi siswa, maka guru hendaknya selalu memilih dan
menerapkan metode, serta media pembelajaran yang sesuai dengan situasi ketika kegiatan
pembelajaran berlangsung.
4. Kepada seluruh pihak pemerintah yang menangani masalah pendidikan, hendaknya lebih
banyak menyiapkan program- program untuk memotivasi para guru untuk meningkatkan
kreatifitas dalam upaya mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Pemerintah juga
diharapkan memberikan buku- buku penujang dan sarana belajar yang memadai untuk
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
49
sekolah, sehingga tujuan pembinaan, pelestarian, dan pengembangan keterampilan
berbahasa dapat terwujud.
5. Setelah diperolehnya hasil penelitian bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan
metode observasi dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam menulis wacana deskripsi,
maka sebagai tinjak lanjut disarankan agar keberhasilan itu hendaknya diteruskan sehingga
pengulangan dalam proses pembelajaran dapat diatasi. Apabila penerapan pendekatan
kontekstual dengan metode observasi mengalami perubahan hasil terhadap evaluasi belajar
siswa, maka guru dapat mengganti dengan metode lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS. Johnson, Elaine B. 2011. CTL (Contextual Teaching & Learning). Bandung: Kaifa Learning. Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende: Nusa Indah. Moeliono, Anton M. (penyunting). 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Nababan, Diana. 2008. Intisari Bahasa Indonesia untuk SMA. Jakarta: Kawan Pustaka. Nurkencana dan Sunartana. 1990. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional. Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Refrensi bagi Guru/Pendidik
dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Rosidi, Imron. 2009. Menulis Siapa Takut? Panduan bagi Penulis Pemula. Yogyakarta:
Kanisius. Saminanto. 2010. Ayo Praktik PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Semarang: RaSAIL Media
Group. Sapta Wigunadika, I Wayan. 2011. ” Kemampuan Memahami Isi Wacana yang Menggunakan
Aksara Bali Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar Tahun Pelajaran 2010/2011” Skripsi. Denpasar: FPBS IKIP PGRI Bali.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
50
Sastrawan, Gede Agus. 2011. ”Kemampuan Menulis Hasil Observasi dalam Bentuk Karangan Deskripsi Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Abiansemal Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2010/2011” Skripsi. Denpasar. FPBS IKIP PGRI Bali.
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
51
PENGARUH RISIKO PERUSAHAAN DENGAN KONSERVATISMA AKUNTANSI
Oleh:
Putu Diah Asrida
Dosen Ekonomi – FPIPS IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
This research is conducted to test company’s risk and conservatism accounting. Researches for relationship between company’s risks and conservatism accounting has been widely studied, and has got some different results or conflicting. Furthermore, this matter encourages to be done re-testing. The company’s risk was proxy with debt to equity ratio and accounting conservatism measured by the accrual value. Sample in this research are companies listed to stock exchanges of Indonesia which publishes annual report and who applied conservative accounting. The result of hypothesis test indicated that company’s risk affects positive relationship with conservatism accounting.
Key Words: Company’s Risk and Accounting Konservatism
A. Latar Belakang Masalah
Pasar modal adalah tempat dimana terdapat kegiatan yang erat kaitannya
dengan penawaran umum dan perdagangan efek. Di dalam pasar modal terdapat
perusahaan – perusahaan yang go public yang memiliki kaitan erat terhadap efek
yang diterbitkan, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar
modal sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun
institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen jangka panjang seperti
obligasi, saham dan lainnya. Pemodal yang akan membeli atau menanamkan
modalnya di perusahaan akan melakukan penelitian dan analisa, mengingat segala
kondisi yang tidak pasti pada nilai perusahaan di masa mendatang, informasi
keuangan adalah salah satu cara yang dapat digunakan baik oleh pihak internal
maupun eksternal dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan PSAK No. 1 tujuan dari laporan keuangan adalah memberikan
informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang
bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka
membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggung jawaban
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
52
(stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercaya
kepada mereka. Standar Akuntansi Keuangan menyatakan bahwa terdapat 7
(tujuh) pengguna informasi keuangan dengan kebutuhan informasi yang berbeda-
beda yaitu investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor usaha
lainnya, pelanggan, pemerintah dan masyarakat. Laporan keuangan disusun untuk
tujuan memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pengguna. Namun
demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin
dibutuhkan pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara
umum menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak
mewajibkan untuk menyediakan informasi non keuangan. Berhubung para
investor merupakan penanam modal berisiko ke perusahaan, maka ketentuan
laporan keuangan yang memenuhi kebutuhan investor juga akan memenuhi
sebagaian besar kebutuhan pengguna lain.
Investor membutuhkan informasi keuangan untuk pengambilan keputusan
investasi baik berupa properti, mata uang, komoditi, derivatif, saham perusahaan
atau pun asset lainnya dengan suatu tujuan untuk memperoleh keuntungan baik
jangka panjang maupun jangka pendek. Kreditor membutuhkan informasi
keuangan untuk pengambilan keputusan kebijakan kredit atas dana yang telah
dipinjamkan pada perusahaan. Baik investor maupun kreditor akan sangat
memperhatikan kinerja perusahaan di dalam aktivitas bisnisnya. Banyaknya
informasi aktivitas bisnis perusahaan yang dimiliki oleh manajemen, dapat
memicu tindakan-tindakan yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan
manajemen untuk memaksimumkan utilitasnya. Pemilik modal dalam hal ini
investor akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh
manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada.
Pemegang saham akan mengatasi permasalahan tersebut dengan melalukan
pengawasan kepada manajemen. Menurut Jensen (1986) salah satu cara untuk
memperkecil biaya pengawasan yang ditanggung oleh pemegang saham adalah
dengan melibatkan pihak ketiga dalam pengawasan tersebut. Untuk mengurangi
monitoring cost dan memperoleh pendanaan, perusahaan akan menggunakan
utang sebagai alternatif pilihan. Melalui hipotesis financial leverage dalam Chen
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
53
dan Steiner (1999) dapat dijelaskan bahwa kebijakan utang berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap risiko. Perusahaan menggunakan utang dalam
membiayai sebagian besar aktivanya. Peningkatan penggunaan utang akan
meningkatkan risiko dan kebangkrutan oleh karena itu kebijakan utang
berhubungan positif terhadap risiko.
Menurut Scott (1997), faktor-faktor yang mendorong manajer melakukan
aktivitas manajemen laba salah satunya adalah kontrak utang. Teori akuntansi
positif yaitu debt covenant hypothesis, memprediksikan bahwa manajer ingin
meningkatkan laba dan aktiva untuk mengurangi biaya renegosiasi kontrak utang
ketika perusahaan memutuskan perjanjian utang. Debt/Equity hypothesis yang
merupakan turunan atau pembatasan dari debt covenant menunjukkan bahwa
semakin besar rasio leverage, semakin besar pula kemungkinan perusahaan akan
menggunakan prosedur yang meningkatan laba yang dilaporkan (optimis).
Manajemen laba dapat diminimalisir dengan menerapkan kebijakan akuntansi
yang konservatif. Semakin konservatif metoda yang digunakan oleh suatu
perusahaan maka semakin kecil kecenderungan pihak manajemen melakukan
manajemen laba (Sekarmayangsari dan Wilopo: 2002).
Mengatasi permasalahan tersebut maka di dalam kontrak utang, menurut
Ahmed et al., (2002), akan memasukkan konservatisma dalam dua cara, yaitu:
Pertama, bondholders dapat secara eksplisit mensyaratkan penggunaan akuntansi
konservatif. Kedua, manajer secara implisit memberikan komitmen untuk
menggunakan akuntansi yang konservatif secara konsisten untuk membangun
reputasi sebagai perusahaan yang menyajikan laporan keuangan yang konservatif.
Pertimbangan reputasi merupakan pendorong manajer untuk tidak melanggar
konservatisma (Milgrom and Roberts: 1992, dalam Sari (2004)).
Mayangsari dan Wilopo (2002) hasil penelitiannya mendukung hipotesis
bahwa semakin tinggi tingkat konservatisma yang diterapkan perusahaan maka
semakin tinggi nilai pasar perusahaan. Indriani dan Khoiriyah (2010) menemukan
bahwa Atribut-atribut kualitas pelaporan keuangan (relevansi nilai,
ketepatwaktuan, dan konservatisma) merupakan representasi kualitas pelaporan
keuangan dan tidak terjadi tumpang tindih (overlap) antar ketiga atribut kualitas
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
54
pelaporan keuangan. FASB Statement of Concepts No. 2 mendefinisikan
konservatisma sebagai reaksi kehati-hatian terhadap ketidakpastian dan berusaha
untuk menjamin bahwa ketidakpastian dan risiko yang melekat dalam situasi
usaha dipertimbangkan secara memadai. Konsekuensi dari konservatisma adalah
bahwa kerugian diakui lebih cepat daripada keuntungan dan pengakuan beban
Berdasarkan pengujian statistik serta pembahasan yang telah diuraikan pada
bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan risiko
perusahaan berpengaruh positif pada konservatisma akuntansi sebesar 0,003
dengan tingkat signifikansi 0,048. Hal yang perlu disarankan kepada perusahaan
bahwa dalam mengurangi masalah keagenan, monitoring cost dan memperoleh
pendanaan, perusahaan dapat menggunakan utang sebagai alternatif pilihan.
Sehingga diharapkan dapat menciptakan pengelolaan perusahaan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, A.S., Duellman, S., 2007. Accounting conservatism and board of director
characteristics: An empirical analysis, Journal of Accounting and Economics Basu, Sudipta, 1997. “The Conservatism Principle and The Asymmetric
Timeliness of Earnings.” Journal of Accounting and Economic. Vol. 24, No.1: 3-37.
Belkaoui, A.R. 2000. Teori Akuntansi. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat Carter, David A., Betty J. Simkins, and W. Gary Simpsons. 2002. Corporate
Governance, Board Diversity, and Firm Value. Available at: www.ssrn.com. (Accessed January 2010)
DeFond, M. L. dan Jiambalvo, J. 1994. “Debt Convenant Violation and
Manipulation of Accruals”, Journal of Accounting dan Ecconomics 17. 145-176.
Dewi, A.R. 2003. Pengaruh Konservatisma Laporan Keuangan Terhadap Earnings
Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi VI. 507-525.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
60
Feltham, J. dan J. Ohlson. 1995. “Valuation and Clean Surplus Accounting for Operating and Financial Analysis.” Contemporary Accounting Research 11 (1995), pp.687-731.
Ghozali, Imam. 2006. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gideon SB Boediono. 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate
Governace dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII. 172-194.
Givoly and Carla Hyan, 2000. “The Changing Time Series Properties of Earnings,
Cash Flows and Accruals: Has Financial Accounting Become More Conservative?.” Journal of Accounting and Economic Vol.29: 287-320.
Hastuti, T.D. 2005.Hubungan antara Good Corporate Governance dan Struktur
Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan (Studi Kasus padaPerusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi VIII. 238-247
Jensen, M. C., and Meckling, W. H. (1976). “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure”, Journal of Financial Economics, 3 No. 4
KNKG. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Komite Nasional Kebijakan Governance. Jakarta
Lo, Eko. W. 2005. “ Pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan Perusahaan Terhadap
Konservatisma Akuntansi.” Simposium Nasional Akuntansi VIII, 396-440. Mahadwartha, Anom. 2002. Interdependensi Antara Kebijakan Leverage Dengan
Kebijakan Dividen : Perspektif Teori Keagenan. Jurnal Riset Akuntansi, Manajemen dan Ekonomi 2. STIE Yogyakarta
Penman, S.H, dan Zhang, X.J. 2002. “Accounting Conservatism, the Quality of
Earnings, and Stock Returns.” The Accounting Review, 77: 237-264. Prasetyantoko, A. 2008. Corporate Governance: Pendekatan Institusional. Jakarta:
Gramedia Pusaka Utama. Richardson, Vernon J. (1998). Information Asymmetry an Earnings Management:
Some Evidence. Working Paper Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan ke 3. Bandung : Alfabeta. Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi : Perekayasaan Akuntansi Keuangan. Edisi
Ketiga. BPFE. Yogyakarta.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
61
Wardhani, Ratna. 2008. Tingkat Konservatisme Akuntansi Di Indonesia dan Hubungannya Dengan Karakteristik Dewan Sebagai Salah Satu Mekanisme Corporate Governance. Simposium Nasional Akuntansi XI.
Watts, R. L., J. L., Zimmerman. 1986. Positif Accounting Theory. New Jersey:
Prentice-Hall International Inc. Watts, R.L. 2003. Conservatism in accounting part I: explanations and
implications. Accounting Horizons 17, 207–221. Widanaputra, A.A Gede Putu. 2007. Pengaruh Konflik Antara Pemegang Saham
dan Manajemen Mengenai Kebijakan Dividen Terhadap Koservatisma Akuntansi. Desertasi Program Doktor Akuntansi Fakultas Ekonomi UGM
Williams. S. Mitchell. 2003. Diversity in Corporate Governance and Its Impact on
Intellectual Capital Performance in a Emerging Economy. Available at: www.vaic-on.net. Accessed June 2009.
Zarkasyi, Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha
Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta Bandung.
Biodata Penulis Nama: Putu Diah Asrida, SE, Ak., M.Si. Pendidikan S-1, Profesi Akuntansi, dan Magister Ekonomi Akuntansi di Universditas Udayana, Pekerjaan Dosen. Kaprodi Pendidikan Ekonomi FPIPS IKIP PGRI Bali
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
62
EFEKTIVITAS BIMBINGAN KELOMPOK MELALUI TEKNIK PERMAINAN UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU SOSIAL SISWA
(Studi Kuasi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas XSMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung)
Putu Agus Semara Putra Giri
Dosen FIP IKIP PGRI Bali
ABSTRACT This research is made from consideration about the important effort in establishment social behavior of student. To develop the social behavior to positive course, the research did by groupguident through game as equipment in establishment social behavior. This research did from March 2011 until April 2011 at SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung. In this research used quantitative approach with quasi experimental designs, by given beginning task and final task with take sample according to random sampling at X grade. Experiment group is XD grade students and Control group is XB grade students.
Common representation retrieved is there increase of social behavior from students after joined the leadership group through game technique. Through this experiment the result retrieved is uji-t = 5,288 with 60 freedom level, with p-value = 0.000 smaller than α = 0.05 so this research showing the average score of experiment group that joined leadership group through game method is better than average score of control gropu that didn’t joined leadership group with game technique. With the result both of the group retrieved t = 6.058 with 46.560 freedom level and p-value (2-tailed) = 0.000 smaller than α = 0.05, so the conclusion is service by leadership group with game technique is more effective for increase social behavior of the students.
Keywords : Leadership Group, Game, Social behavior
PENDAHULUAN
Pentingnya perilaku prososial dalam kehidupan mayarakat membawa dampak
positif bagi pengembangan diri, masyarakat serta seluruh aspek kehidupan
didalamnya. Dampak positif tersebut terlihat pada tumbuhnya rasa kedamaian dan
hendling) dan kejujuran (honesty), serta aspek sosial (social initiative) yang terdiri
dari aktif untuk melakukan inisiatif dalam situasi sosial. Pengukuran perilaku sosial
siswa sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan kuesioner skala Likert.
Kedua, bimbingan kelompok melalui teknik permainan adalah proses
pemberian bantuan kepada klien dengan seting kelompok, yang pelaksanaannya
menggunakan teknik permainan.
HASIL PENELITIAN
Dalam Menentukan efektif tidaknya pekasanaan bimbingan kelompok melalui
teknik permainan dibandingkan dengan bimbingan kelompok yang menggunakan
metode bimbingan konvensional, data yang digunakan adalah perbandingan hasil
skor rata-rata pretes dan postes dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Selain skor rata-rata perbandingan juga digunakan data skor gain (selisih antara hasil
pretes dan postes) dari kedua kelompok.
1. Pengujian Asumsi Statistik
Pelaksanaan pengujian asumsi statistik yang disyaratkan dalam analisis data
menggunakan prosedur-prosedur yang sesuai dengan pengujian. Data dalam
penelitian harus normal artinya data yang dihubungkan berdistribusi normal, maka
perlu uji normalitas. Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan program
SPSS 17.0 metode Kolmogorov Smirnov dengan taraf signifikansi yang digunakan
sebagai aturan untuk menerima atau menolak pengujian normalitas atau ada tidaknya
suatu distribusi data adalah α = 0,05, dan hasil pengujian dapat dilihat pada tabel
berikut.Tabel 02
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
82
Hasil Uji Normalitas Pretes dan Postes pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Dilihat dari hasil output SPSS tests normality menunjukan nilai Kolmogorov-Smirnov (K-S) pretest kelompok eksperimen sebesar 0,200* dan pretest kontrol sebesar 0,200*, serta posttest kelompok eksperimen sebesar 0,200* dan posttest kontrol sebesar 0,200*. Sedangkan signifikansi uji (α) sebesar 0,05. Karena siginifikansi hasil lebih besar dari signifikansi uji (K-S > α ), maka dapat disimpulkan bahwa sebaran data kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada skor pretest dan posttest berdistribusi secara normal.
2. Pengujian Hipotesis Penelitian
Untuk melakukan uji hipotesis ini langkah yang digunakan adalah dengan
membandingkan nilai skor rata-rata postes kedua kelompok antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :
Tabel 03 Hasil Uji Statistik Sampel
Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Posttest Eksperime Kontrol N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Karena hasil Levene’s Test pada Tabel 06 menyatakan bahwa asumsi kedua
varians sama besar (equal variance assumed) terpenuhi, maka selanjutnya dengan
menggunakan uji-t dua sampel independen dengan asumsi kedua varians tidak sama
besar (equal variances not assumed) untuk H: µଵ = µଶ terhadap Hଵ:µଵ > µଶ yang
memberikan hasil t = 6,058 dengan derajat kebebasan 46,56 dan p-value (2-tailed) =
0.000. karena hasil p-value = 0.000 labih kecil dari 0.05 = ߙ, maka H:µଵ =
µଶ ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gain skor dari kelompok eksperimen
yang mengikuti bimbingan kelompok melalui teknik permainan lebih baik
dibandingkan dengan gain skor kelompok kontrol yang tidak menggunakan
bimbingan kelompok melalui teknik permainan. Hasil skor gain ini memperlihatkan
bahwa “Bimbingan Kelompok Melalui Teknik Permainan Efektif Digunakan Untuk
Meningkatkan Perilaku Prososial Siswa”.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
86
A. KESIMPULAN
Ada bagian ini diuraikan sejumlah kesimpulan penelitian sebagai hasil akhir
dari rangkaian proses penelitian yang telah dilakukan sekaligus merupakan
finalisasi hasil-hasil temuan penelitian :
1. Secara umum profil siswa sebelum mengikuti layanan bimbingan kelompok
pada kelompok kontrol memperoleh hasil skor rata-rata lebih tinggi
dibandingkan hasil skor rata-rata pada kelompok eksperimen.
2. Berdasarkan data yang diperoleh gambaran umum hampir seluruh siswa
sesudah mengikuti bimbingan kelompok pada kelompok eksperimen
memperoleh hasil skor yang lebih tinggi dibandingkan hasil skor rata-rata
pada kelompok. Hal ini memperlihatkan peningkatan perilaku prososial siswa
sesudah mengikuti bimbingan kelompok khususnya terhadap kelompok
eksperimen yang mengikuti bimbingan kelompok dengan teknik permainan
memperoleh skor rata-rata dan skor gain yang lebih tinggi dibandingkan hasil
skor rata-rata dan skor gain pada kelompok kontrol yang tidak mengikuti
bimbingan kelompok dengan teknik permainan.
3. Berdasarkan hasil analisis data untuk menguji hipotesisi yang diajukan diperoleh
hasil bahwa bimbingan kelompok dengan teknik permainan efektif digunakan
untuk meningkatkan perilaku prososial siswa khususnya siswa SMA
Laboratorium (Percontohan) UPI dengan hasil uji-t = 5,288 dengan derajat
kebebasan 60, dengan p-value = 0.000 lebih kecil dari 0.05 = ߙ maka penelitian
ini memperlihatkan hasil skor rata-rata kelompok eksperimen yang mengikuti
bimbingan kelompok dengan teknik permainan lebih baik dibandingkan dengan
skor rata-rata kelompok kontrol yang tidak mengikuti bimbingan kelompok
dengan teknik permainan. Dengan hasil uji-t dua sampel independen berdasarkan
skor gain kedua kelompok diperoleh hasil yaitu t = 6,058 dengan derajat
kebebasan 46,560 dan p-value (2-tailed) = 0.000 lebih kecil dari 0.05= ߙ, maka
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
87
kesimpulan yang diperoleh adalah layanan bimbingan kelompok dengan teknik
permainan lebih efektif digunakan untuk meningkatkan perilaku prososial siswa.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, diberikan rekomendasi
kepada pihak sebagai berikut :
1. Bagi Guru BK
Bagi Guru BK di SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung,
seyogyanya mengimplementasikan hasil penelitian di sekolah yaitu dengan
melaksanakan bimbingan kelompok melalui teknik permainan untuk meningkatkan
perilaku prososial.
2. Bagi Siswa
Bagi siswa SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung, melalui
layanan bimbingan kelompok dengan teknik permainan siswa dapat melatih diri
dalam berinteraksi, mengembangkan perilaku-perilaku positif yang bermanfaat
untuk meningkatkan prilaku sosial sehingga lebih baik dalam berpenampilan diri
dan mampu berinteraksi sosial baik dalam lingkungan sekolah, masyarakat dan
keluarga.
3. Bagi Pihak Sekolah
Bagi Sekolah SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagi masukan untuk menyusun program
kebijakan sekolah dalam pembinaan siswa mengembangkan perilaku prososial
melalui berbagai jenis permainan sehingga kemajuan sekolah dalam penanaman
budi pekerti menjadi lebih baik.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Keterbatasan proses dan hasil penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari
keterbatasan penyusun tesis dalam mengelola kegiatan penelitian baik dalam
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
88
bentuk materi maupun non materi. Oleh karena itu, kepada peneliti selanjutnya
direkomendasikan untuk :
a. Membandingkan gambaran umum perilaku prososial siswa SMA pada
setiap jenjang kelas, gender, demografis sehingga gambaran yang
dihasilkan cenderung dinamis dan menyeluruh.
b. Menggunakan pendekatan dan metode penelitian yang lebih beragam
untuk meneliti perilaku prososial siswa pada setiap jenjang pendidikan.
B. DAFTAR PUSTAKA
Asfandiyar, Andi Y. (2009). Kenapa Guru Harus Kreatif. Bandung : Mizan.
Agung. (2001). Statistika Analisis Hubungan Kausal Berdasarkan Data Kategorik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) Regional II Jaya Giri Bandung. (2004). Panduan Pengembangan APE PAUD Bersumber Lingkungan Sekitar. Bandung : Depdiknas.
Carr, W & Kemmis, S. (1989). Being Critical : Education, Knowledge, and Action Research. London : Cambridge University.
Danel, Bar-tal. (1976). Personal Behavioral Theory and Reaserch. Hamisphere Publishing Corporation : Washington DC.
Dantes, Nyoman. (2007). Metodelogi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha.
Dayaksini dan Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Gunawan, Agung. (2008). Bimbingan Komunikasi Melalui Picture Exchange Communication System Dalam Upaya Meningkatkan Komunikasi Anak Autis. Tesis. UPI.
Gregory, Robert. J. (2000). Psykological Testing History, Principles and Application. Boston: Allyn and Bacon.
Hurlock, Elizabeth. (1978). Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga.
Kartadinata, Sunaryo. (2000). Pendidikan Untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia Bermutu Memasuki Abad XXI, Implikasi Bimbingannya. Bandung : FIP UPI.
Machfoedz, dkk. (2005). Metodelogi Penelitian (Bidang Kesehatan, Keperawatan Dan Kepribadian). Yogyakarta : F Trmaya.
Martini, O. (2004). Pengembangan Program Bimbingan Perkembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini di Kelompok Bermain. Tesis Magister pada Program Studi PLS Pascasarjana UPI Bandung : Tidak Diterbitkan.
Muro & Kottman. (1995). Guidance Counseling In The Elementrary and Middle Schools. Iowa : Brown & Benchmark Publisher.
Natawijaya Rochman. (2009). Konseling Kelompok Konsep Dasar dan Pendekatan. Bandung : Rizqi.
Nurhisan, J. (2004). Manajement Bimbingan dan Konseling di SMA. Jakarta : Grasindo.
Prayitno dan Erman Amti. (1999). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Game & Playing). Bandung : Rizki
. (2009). Konseling Kelompok Bagi Anak Berpengalaman Traumatis. Bandung: Rizki
Rydell, A.,M., Hagekul, B & Bohlin, G. (1997). Measurment of Two Social Competence Aspect In Middle Childroon. Journal of Development Psychology, vol 33, No 05, 824-833. America Psycology Association.
Sarlito Wirawan, S. (2002). Psikologi Sosial (Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial). Jakarta : Balai Pustaka.
Sears David. O, et-al. (1991). Psikologi Sosial (Alih Bahasa Michael Adriyanto). Jakarta : Erlangga.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
90
Seniati, dkk. (2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta : PT. Indeks.
Sukmadinata, S N. (2007). Bimbingan dan Konseling dalam Praktek Mengambangkan Potensi dan Kepribadian Siswa. Bandung : Maestro
Sutrisno, Hadi. (2005). Metodologi Research. Yogyakarta : Andi. Syaodih, E & Agustin, M. (2008). Bimbingan Konseling Untuk Anak Usia Dini.
Jakarta : Universitas Terbuka. Tarsidi, Didi. (2002). Kompetensi Sosial Anak Tunanetra. Tesis. Bandung : Tidak
diterbitkan. Thantawy. (1993). Kamus Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Economics Student’s
Group. UU RI NO. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Citra Umbara. Walgito, Bimo. (2001). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Andi. Wiley John & Sons. (1976). Prosocial Behavior. Printed in The United of America. Wilson Kate, dkk. (1992). Play Therapy A Non-directive Approach For Children and
Adolescents. Tokyo : Baillere Tindal. Wingkel, W. S & Hastuti Sri, M. M. (2006). Bimbingan dan Konseling di Instuti
Pendidikan.Yogyakarta : Media Abadi. Yusuf Syamsu dan Nurhisan Juntika. (2009). Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offest. Yustiana, Yusi R. (1999). Pengalaman Belajar Awal Yang Bermakna Bagi Anak
Melalui Aktivitas Bermain. Tesis. Bandung : tidak diterbitkan.
C. BIODATA SINGKAT
Nama lengkap penulis adalah Putu Agus Semara Putra Giri, dilahirkan di Singaraja-Bali pada tanggal 12 Juni 1984. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan I Ketut Mustika Giri dan Nyoman Runiati. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 347 Banjar Jawa (1990-1996), SMP N 2 Singaraja (1996-1999), SMK N 2 Singaraja (1999-2002), D1 PANSOPHIA Singaraja (2002–2003), Sarjana Pendidikan Bimbingan dan Konseling Undiksha Singaraja (2004-2009). Mulai tahun akademik (2009-2011), penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Program Studi Bimbingan dan Konseling. Dengan menjadi Guru Honorer Bimbingan dan Konseling pada SMP Negeri 2 Singaraja (2008-2009), Asisten Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (2009-2010). Alamat Penulis di Gang Pulau Buru III No : 3 Desa Pemaron, Singaraja- Bali.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
91
BEBERAPA PROBLEMATIKA DAN KONTROVERSI SEPUTAR PENGGUNAAN MIXED METHOD (METODE CAMPURAN)
The mixed methods is a relatively new one. So that, many problems have not been evident to researchers who wish to implement it. This paper aims to provide a clearer description about a few things related to the mixed methods, i.e. the interpretation, matter how analysis, and use of computer programs in the mixed methods. In qualitative research, the interpretation heavily influenced by the validity of the data. Interpretation of the results of the study would be appropriate if the data retrieved is completely valid, reliable and objective. Therefore, to ensure that the proper interpretation of the results of research, the validity of the data needs to be tested. The test can be done by triangulation techniques, discussions with my colleagues (peer debriefing), memberchack, cultural bias, and clarify the audit. The transferability problem in qualitative research there is no agreement yet among the experts. Therefore, the problem of transferability is not the responsibility of researchers, but it is left to the reader. Analysis and data interpretation in mixed methods are in line with mixed method design itself. Today, computer programs for qualitative research has been widely circulated, which can help the efficiency of work in research, such as ATLAS/ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, and NVivo, which can be obtained at the Web site: http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/, and has features that are very complete.
transformatif, triangulasi konkuren, embedded konkuren, dan transformatif
konkuren.
Dewasa ini, program analisis data dengan komputer untuk penelitian
kualitatif telah banyak berdar, yang dapat membantu efisiensi kerja karena studi
kualitatif cenderung menghasilkan data yang banyak. Oleh karena itu, banyak
peneliti telah beralih ke sistem komputerisasi. Program komputer yang ada
misalnya, ATLAS / ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, dan NVivo, yang
dapat diperoleh pada Web site: (http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/). Software
komputer tersebut memiliki fitur-fitur yang sangat lengkap. Program ini juga
membutuhkan waktu dan keterampilan peneliti untuk mempelajari dan
menerapkannya secara efektif.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
108
Daftar Pustaka
Creswell, J. W. (2010). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed.Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Baugh , J. B. at al, (2010). Computer assisted qualitative data analysis software: a practical perspective for applied Research. Revista del Instituto Internacional de Costos, ISSN 1646-6896, n º 6, Januari / Juni 2010
Maxwell, J.A. (1992). Understanding and validity in qualitative research. Harvard Educational Review, vol. 62 No.3 Fall 1992, 279-299.
Mertens, D. M. (2010). Research and evaluation in education and psychology. USA: Sage Publication, Inc.
Sax, G. (1989). Priciples of education and psychological measurement and evaluation. Blemont California: Wadsworth Publishing Company.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R dan D. Bandung: Alfabeta.
Tashakkori, A. dan Teddlie, C. (2010). Mixed methodology Mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tashakkori, A. dan CTeddlie, C. (Ed). (2010). Handbook of mixed methods in social & behavioral research.(Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Biodata Penulis:
- Penulis adalah Lektor Kepala dalam bidang Evaluasi Pendidikan dan bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah VIII, dpk pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali Denpasar sejak tahun 1993
- Riwayat Pendidikan:
S-1: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1987- 1992 ( FKIP Universitas Udayana).
S-2: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 1999-2002 (Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).
S-3: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 2010-2013 (Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
109
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI SISWA
KELAS VIIC SMP NEGERI 2 BEBANDEM SEMESTER 2 TAHUN PELAJARAN 2014/2015
This study aims to improve the skills of writing poetry with the application
of contextual approach Class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem the Second Semester of the academic year 2014/2015
Subjects in this study were class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem totaling 27 people, in the second semester of the academic year 2014/2015. This study uses a class action research design through two cycles. Data on poetry writing skills that are collected by the test method were analyzed by quantitative descriptive method. Before implementation of the second cycle, first implemented pretest activities. Pretest activity is used to determine the initial value of poetry writing skills class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem in the Second Semester of the academic year 2014/2015.
The results showed that the application of the contextual approach to teaching poetry in class VIIC SMP Negeri 2 Bebandem in the Second Semester of the academic year 2014/2015 can improve students' skills of writing poetry, which is an average and the level of mastery of poetry writing skills of students increased significantly from the average 61 and completeness 45% on pre-action, an average value of poetry writing skills of students to 70 and 68% mastery level in the first cycle, and increased significantly in the second cycle with an average value of 82.26 and a 82% level of completeness. Increase in the average grade of 19.26 from the initial condition and completeness in classical also increased 37% from the initial conditions. Key Words: Contextual Approach, The Skills of Writing Poetry PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran sastra sering dirasa sulit oleh siswa, sehingga hasil yang
diproleh siswa pada saat penilaian cendrung kurang memuaskan. Padahal dengan
mempelajari sastra akan mendatangkan keuntungan. Menurut Budianta,
“Mengarang mendatangkan rezeki. Mungkin uang, mungkin ketenaran, pacar
gelap, musuh baru, dan tukang peras”. Kalau kita beruntung mungkin dalam
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
110
tempo singkat bisa jadi jutaan karena buku yang ditulis tiba-tiba laris manis,
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, difilmkan, dan dijadikan pegangan oleh
orang-orang terkemuka di dunia. Hal semacam ini tidaklah mustahil. Banyak
orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan non sastra yang justru
memilih hidup bergelut di dunia sastra, seperti Putu Wijaya atau Cok Sawitri.
Tentu Beliau-Beliau itu punya alasan tersendiri mengapa memilih menjadi
seorang sastrawan.
Namun, bukti-bukti di atas rupanya tidak mudah untuk dijadikan pemicu
minat dalam menggeluti dunia satra, apalagi puisi yang sebagian orang merasa
kesulitan untuk memahami dan menikmatinya.
Kesulitan yang dialami siswa sebagian juga diakibatkan kurangnya
kepedulian guru dalam mengajarkan sastra, seperti alokasi waktu untuk
pelaksanaan pembelajaran sastra cendrung lebih kecil porsinya. Disamping itu
dalam pengajaran guru umumnya cendrung menggunakan metode ceramah dan
penugasan turut memicu rendahnya keterampilan menulis siswa.
Padahal pembelajaran sastra sejak kurikulum 1994 sampai kurikulum KTSP
menekankan pada penikmatan sastra atau apresiasi sastra. Pembelajaran sastra
diharapkan turut andil dalam pembentukan sikap moral anak.
Agar pembelajaran sastra ini disukai oleh siswa, maka pelaksanaan
pembelajaran haruslah menarik, menyenangkan dan menantang. Siswa diharapkan
mengalami sendiri dunia sastra itu. Untuk itu peran guru sangatlah dominan dalam
melaksanakan skenario pembelajaran. Guru harus mampu membangkitkan
semangat siswa dan menjadikan anak merasa mengalami sendiri apa yang
disampaikan, sehingga siswa merasa tertantang untuk menggali pengalaman yang
dirasakan dalam proses pembelajaran ini. Dengan demikian setelah siswa senang
dengan pembelajaran sastra diharapkan siswa mampu memproleh hasil yang lebih
baik lagi.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa rendahnya perolehan nilai pada
aspek sastra, khususnya menulis puisi di kelas VIIC SMP N 2 Bebandem
dipengaruhi oleh sikap siswa yang merasa kurang tertarik pada pelajaran tersebut,
serta kurang tepatnya pendekatan pembelajaran yang dipergunakan guru.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
111
Permasalahannya sekarang, pendekatan yang bagaimanakah yang dapat
meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP N 2 Bebandem?
Apakah pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi
siswa kelas VIIC SMP N 2 Bebandem?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diajukan rumusan masalah
sebagai berikut:
Apakah penerapan pendekatan kontekstual dapat ,meningkatkan keterampilan
menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem, semester 2 tahun
pelajaran 2014/2015?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis puisi
siswa kelas VIIIC SMP Negeri 2 Bebandem, semester 2 tahun pelajaran
2014/2015 melalui penerapan pendekatan kontekstual.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu upaya perbaikan pembelajaran di sekolah
menengah pertama (SMP) atau yang setingkat, untuk mencapai kualitas
pembelajaran yang optimal. Untuk itu, hasil-hasil penelitian yang akan diproleh
diharapkan dapat berkontribusi optimal terhadap:
1. Siswa, melalui penelitian ini keterampilan menulis puisi dalam mata pelajaran
bahasa Indonesia dapat ditingkatkan.
2. Guru peneliti, melalui penelitian ini guru memiliki wawasan dan kemampuan
melaksanakan pembelajaran menulis puisi secara lebih efektif melalui
penerapan pendekatan kontekstual.
3. Institusi pendidikan, melalui hasil penelitian ini akan menjadi suatu informasi
empiris yang berguna untuk menambah wawasan para pendidik, menambah
khazanah ilmu pengetahuan, utamanya ilmu pendidikan dan pengajaran.
KAJIAN PUSTAKA
1. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini meliputi: “ Keterampilan menulis puisi
dan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan keterampilan menulis puisi”.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
112
a. Keterampilan Menulis Puisi
1) Hakikat Menulis
Banyak ahli yang mengungkapkan pendapatnya tentang hakikat menulis,
baik berupa definisi, tujuan dan motivasi, manfaat maupun jenisnya. Hal tersebut
dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Menulis adalah suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dari
seorang penulis kepada pembaca dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat
atau medianya. Menulis merupakan keterampilan berbahasa untuk berkomunikasi
secara tidak langsung. Menulis merupakan kegiatan yang bersifat produktif dan
ekspresif (Tarigan 2008: 3). Produktif artinya bahwa kegiatan menulis merupakan
kegiatan menghasilkan sebuah tulisan sebagai media untuk menyampaikan pesan.
Sedangkan ekspresif artinya dengan menulis seorang penulis dapat
menyampaikan perasaan (emosi) melalui tulisan yang dibuat.
Dalam kegiatan menulis diperlukan sebuah keterampilan yang harus
dimiliki untuk dapat menyampaikan pesan melalui tulisan. Bukan hanya berkaitan
dengan kemampuan menyusun dan menuliskan simbol-simbol tertulis, tetapi juga
mengungkapkan pikiran, pendapat, sikap, dan perasaan secara jelas dan sistematis
sehingga dapat dipahami oleh pembaca (Solchan dkk 2008: 1.33). Menulis sangat
identik dengan sebutan mengarang yang artinya sama yaitu menghasilkan sebuah
tulisan. Lebih khusus, pada istilah mengarang erat kaitannya dengan menulis
karangan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2011: 1497) menyatakan
menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat
surat) dengan tulisan.
Kegiatan menulis adalah kegiatan yang tidak dapat secara langsung diterima
dan direaksi oleh pihak yang dituju. Aktivitas menulis merupakan salah satu
manisfestasi kemampuan dan keterampilan berbahasa paling akhir yang dikuasai
pembelajar bahasa setelah mendengarkan, membaca, dan berbicara (Nurgiyantoro,
2001:296). Dalam buku yang sama juga dijelaskan apabila dibandingkan dengan
keterampilan berbahasa yang lain, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai oleh
pembelajar bahasa karena kemampuan menulis menghendaki penguasaan
berbagai aspek lain di luar bahasa, untuk menghasilkan paragraf atau wacana yang
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
113
runtut dan padu. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2001:273) mengungkapkan,
“Menulis adalah aktivitas mengungkapkan gagasan melalui media bahasa.”
Batasan yang dibuat Nurgiyantoro sangat sederhana, menurutnya menulis hanya
sekadar mengungkapkan ide, gagasan, atau pendapat dalam bahasa tulis, lepas
dari mudah atau tidaknya tulisan tersebut dipahami oleh pembaca.
Budianta (1992:10) mengatakan bahwa mengarang itu memberi.
Maksudnya bukan kita harus membagi-bagikan buku cetakan pertama gratis
kepada siapa saja (lantaran susah laku) tetapi menyumbangkan sesuatu kepada
dunia. Dengan karangannya seorang sastrawan sejati memperkaya peradaban
manusia. Yang bisa dia berikan (ilmu, wawasan, humor bila ada).
2) Hakikat Puisi
Raminah Baribin dalam Teori dan Apresiasi Sastra mengartikan kata puisi
secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani “poieo atau “poio” atau “poetes”
yang berarti (1) membangun, (2) menyebabkan, (3) membuat puisi. Berdasarkan
pengertian kata-katanya, Raminah menyimpulkan puisi berarti ucapan yang
dibuat/dibangun, maksudnya ucapan yang tidak langsung.
Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa puisi adalah ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh rima, irama, dan tata puitika. Puisi juga merupakan
gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga
mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan
khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna. Hal ini terlihat pada puisi-puisi
sebelum tahun tiga puluhan.
Namun, menurut S. Suharyanto, definisi tersebut sudah tidak sesuai lagi
untuk mendefinisikan puisi saat ini. Sehingga Suharyanto dalam “Pengantar
Apresiasi Sastra”, tidak lagi memunculkan pengertian puisi tetapi beliau lebih
menekankan puisi berdasarkan cirri-cirinya yaitu adanya pemusatan kata
(konsentrif), arti kata yang bersayap (konotatif), serta bentuk yang khusus
(tifografi).
Dengan demikian puisi dapat diartikan bentuk tulisan yang kata-katanya
memiliki pemusatan (kekuatan) makna, arti yang bersayap serta adanya bentuk
khusus.
3) Hakikat Menulis Puisi
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
114
Dari hakikat menulis dan hakikat puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
hakikat menulis puisi adalah kegiatan melahirkan atau menuangkan gagasan,
pikiran ke dalam bentuk tulisan yang padat, bermakna dan bentuk tertentu.
b. Pendekatan Kontekstual
1) Hakikat Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian ini diartikan sebagai proses, perbuatan, cara
mendekati. Karena pendekatan ini dikaitkan dengan pembelajaran, maka yang
didekati dalam penelitian ini adalah peserta didik dan materi pembelajaran itu
sendiri. Pembelajaran adalah proses penyampaian dari belajar yang merupakan
petunjuk supaya diketahui (dituruti).
2) Hakikat Kontekstual
Kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian.
3) Hakikat Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual (contextual Teaching and Learning) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran
berlangsung alamiah dan bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Srtategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Pembelajaran kontekstual
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yang efektif, yakni
konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri),
masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling) dan penilaian
sebenarnya (authentic assessment), (Depdiknas 2002:1).
2. Penelitian Yang Relevan
Hasil penelitian yang sejalan dengan penelitian ini adalah: (1) Penelitian
Widowati (2007), yang berjudul “ Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan
Teknik Pengamatan Objek Secara langsung pada Siswa Kelas X MA Al Asror
Patemon Gunung Pati Semarang Tahun Ajaran 2005/2006”, disimpukan bahwa
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
115
pada tahap prasiklus nilai rata-rata siswa hanya 60, pada tindakan siklus I
meningkat menjadi 72,1 dan pada siklus II nilai rata-ratanya meningkat menjadi
80,4. (2) Penelitian Sucipto (2012) dengan judul “ Meningkatkan Keterampilan
Menulis Puisi dengan Teknik Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi terhadap
Suatu Objek pada Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013,
yang mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada saat prasiklus nilai rata-
rata siswa hanya 63,0, pada tindakan siklus I meningkat menjadi nilai rata-
ratanya 74,6 dan pada akhir siklus II nilai rata-ratanya meningkat lagi menjadi
82,5.
3. Kerangka Berpikir
Keterampilan menulis memberi makna yang penting untuk berkomunikasi
secara tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari. Tidak semua orang
mempunyai keberanian menyampaikan ide, gagasan, ataupun pendapat serta sikap
secara langsung kepada orang lain.
Langkah yang akan dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebgai berikut.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
KONDISI AWAL GURU: Belum menggunakan pentan kontekstual dalam pembelajaran menulis puisi
SISWA: Keterampilan menulis puisinya rendah
SIKLUS I Dalam pembelajaran menulis puisi, guru menggunakan pendekatan kontekstual tanpa ke lapangan
SIKLUS II Dalam pembelajaran menulis puisi guru menggunakan pendekatan kontekstual yang konseptual serta diajarkan ke lapangan
TINDAKAN
KONDISI AKHIR
GURU: Menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis puisi
Diduga melalui pendekatan kontekstual keterampilan menulis puisi siswa meningkat
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
116
4. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah “penerapan pendekatan
kontekstual dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC
SMP Negeri 2 Bebandem semester 2 tahun pelajaran 2014/2015”.
METODE PENELITIAN
a. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VIIC SMP Negeri 2
Bebandem pada semester 2 tahun pelajaran 2014/2015. Waktu penelitian selama 3
bulan, yaitu dari bulan Januari sampai Maret 2015, dari penyusunan proposal,
penelitian, sampai pelaporan.
b. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIC yang berjumlah 27 orang,
terdiri dari 14 siswa laki dan 13 orang siswa prempuan. Objek penelitian ini
adalah keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem
semester 2 tahun pelajaran 2014/2015.
c. Desain Penelitian
Pada hakikatnya, penelitian perbaikan pembelajaran ini adalah penelitian
tindakan kelas (Classroom Action Research). PTK adalah suatu bentuk kajian
reflektif oleh pelaku tindakan (guru) yang dilakukan untuk meningkatkan
kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas,
memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki
kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilaksanakan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, PTK dilakukan dalam proses pengkajian
berdaur (siklus), yang setiap siklusnya terdiri atas empat fase, yaitu perencanaan
(planning), melaksanakan tindakan (action), memantau (observation), dan
merefleksi (reflection).
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
117
d. Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari dua siklus, masing-masing siklus
terdiri dari; perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan
evaluasi, serta refleksi.
Perbedaan tindakan yang peneliti lakukan antara siklus satu dan siklus kedua
adalah; bila pada siklus satu pembelajaran masing dilakukan di ruang kelas
dengan memberikan gambaran yang lebih mendekatkan pada pengalaman yang
dimiliki siswa sesuai KD yang dibicarakan yaitu menulis puisi dengan tema
tentang keindahan alam, maka pada siklus kedua pelaksanaan proses
pembelajaran di luar kelas (di persawahan). Kebetulan lokasi SMP Negeri 2
Bebandem berada di daerah dengan hamparan persawahan.
Pelaksanaan pembelajaran di luar kelas, dapat berlangsung lebih
komunikatif. Informasi yang terjadi menjadi lebih multi arah yaitu dari guru ke
siswa, siswa ke siswa, dan siswa ke guru.
e. Data dan Analisis Data
Sumber data penelitian ini berasal dari data pretes sebagai data awal, serta
data tes siklus I dan data siklus II. Data keterampilan menulis puisi dikumpukan
dengan tes menulis puisi dalam bentuk tes unjuk kerja.
Agar instrumen yang digunakan Valid, maka sebelum membuat tes terlebih
dahulu membuat kisi-kisi sebagai perakit soal. Setelah tes selesai dibuat,
berikutnya membuat pedoman pensekoran penilaian dengan gambaran sebagai
berikut.
Tabel 1. Kriteria Penilain Menulis Puisi
NO ASPEK YANG DINILAI RENTANG SKOR 1 Kesesuaian judul dengan isi Sesuai = 85-100
Cukup sesuai = 75-84 Kurang sesuai = 60-74 Tidak sesuai = 0-5
2 Pilihan kata atau diksi Tepat = 85-100 Cukup tepat = 75-84 Kurang tepat = 60-74 Tidak tepat = 0-59
3 Pilihan kata konkret Sangat transparan = 85-100 Transparan = 75-84 Kurang transparan = 60-74 Tidak transparan = 0-59
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
118
4 Penggunaan majas Tepat = 85-100
Cukup tepat = 75-84 Kurang tepat = 60-74 Tidak tepat = 0-59
5 Pemanfaatan versifikasi (rima dan ritma)
Indah, dan lengkap = 85-100 Indah, tetapi kurang lengkap = 75-84 Tidak indah tetapi lengkap = 60-74 Tidak indah dan tidak lengkap = 0-59
6 Tipografi Variatif = 85-100 Cukup variatif = 75-84 Kurang variatif = 60-74 Tidak variatif = 0-59
Data keterampilan menulis puisi siswa dianalisis secara deskriptif
kuantitatif.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan data ini adalah sebagai
berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi skor standar (nilai jadi), (2)
menentukan kriteria predikat, (3) menggelompokkan kemampuan siswa, dan (4)
mencari skor rata-rata serta ketuntasan secara individu dan klasikal.
f. Indikator Keberhasilan
Keberhasilan siswa dalam menulis puisi apabila siswa memperoleh skor 74
ke atas. Selanjutnya, apabila siswa memperoleh skor di bawah 74 perlu dilakukan
perbaikan, dan apabila 75% dari jumlah siswa di kelas memperoleh nilai 74 ke
atas berarti tindakan dikatakan berhasil sehingga tindakan dapat dihentikan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, diidentifikasi temuan yang bermakna. Temuan
tersebut adalah bahwa penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran
menulis puisi dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC
SMP Negeri 2 Bebandem semester 2 tahun pelajaran 2014/2015.
Peningkatan tersebut karena pendekatan kontekstual pada pembelajaran
menulis puisi memiliki keunggulan, yang mana dengan penerapan pendekatan
kontekstual (contextual Teaching and Learning) siswa diajak belajar dengan
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
119
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dan bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Srtategi pembelajaran lebih dipentingkan
daripada hasil. Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran yang efektif, yakni konstruktivisme (constructivism), bertanya
(questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community),
pemodelan (modeling) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment),
(Depdiknas 2002:1).
Hal ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh: (1) penelitian
Widowati (2007), yang berjudul “ Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan
Teknik Pengamatan Objek Secara langsung pada Siswa Kelas X MA Al Asror
Patemon Gunung Pati Semarang Tahun Ajaran 2005/2006”, disimpukan bahwa
pada tahap prasiklus nilai rata-rata siswa hanya 60, pada tindakan siklus I
meningkat menjadi 72,1 dan pada siklus II nilai rata-ratanya meningkat menjadi
80,4. (2) penelitian Sucipto (2012) dengan judul “ Meningkatkan Keterampilan
Menulis Puisi dengan Teknik Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi terhadap
Suatu Objek pada Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013,
yang mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada saat prasiklus nilai rata-
rata siswa hanya 63,0, pada tindakan siklus I meningkat menjadi nilai rata-
ratanya 74,6 dan pada akhir siklus II nilai rata-ratanya meningkat lagi menjadi
82,5.
Hasil penelitian tindakan kelas penerapan pendekatan kontekstual untuk
meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa SMP Negeri 2 Bebandem
semester 2 tahun pelajaran 2014/2015 dengan pelaksanaan dua siklus diproleh
paparan sebagai berikut.
Tabel 2. Perbandingan Nilai Rata-Rata Menulis Puisi dan Ketuntasan Klasikal
Pelaksanaan Skor Rata-Rata Kelas
Ketuntasan
Pratindakan 61 45%
Siklus I 70 68%
Siklus II 80,26 82%
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
120
Hasil yang diperoleh siswa dari pemberian tindakan sebanyak dua kali
mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan. Pada saat sebelum
mendapat tindakan, nilai rata-rata kelas yang diperoleh masih dibawah target
ketuntasan yaitu sebesar 61 (ketuntasan 74). Setelah mendapat tindakan berupa
penerapan pendekatan kontekstual dengan pelaksanaan di dalam kelas pada siklus
I meningkat meningkat sebesar 9 poin, yaitu rata-rata 70. Selanjutnya pada siklus
II dengan pelaksanaan pembelajaran di luar kelas, yaitu di sekitar persawahan di
dekat sekolah, diperoleh hasil rata-rata kelas sebesar 80,26 atau meningkat 10,26
dari dari siklus I. Dibandingkan dengan kondisi awal maka terjadi peningkatan
sebesar 19,26 poin. Ketuntasan secara kekasikal juga mengalami peningkatan,
dari hanya 45% pada pratindakan meningkat menjadi 68% pada siklus I atau
meningkat 23%. Pada siklus II meningkat lagi dengan ketuntasan kelasikal
sebesar 82% atau meningkat 14% dari siklus I. secara keseluruhan dibandingkan
kondisi awal, secara kelasikal terjadi peningkatan ketuntasan sebesar 37% setelah
penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran menulis puisi siswa kelas
VIIC SMP Negeri 2 Bebandem tahun pelajaran 2014/2015. Itu artinya penelitian
dapat dihentikan pada siklus II.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penerapan
pendekatan kontekstual pada pembelajaran menulis puisi dapat meningkatkan
keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem semester 2
tahun pelajaran 2014/2015. Peningkatan rata-rata kelas sebesar 19,26 dari kondisi
awal dan ketuntasan secara klasikal juga meningkat 37% dari kondisi awal.
DAFTAR PUSTAKA
Baribin, Raminah. 1990. Teori dan Apresiasi Sastra. Semarang: IKIP Semarang
Press Budianta, Eka. 1992. Menggebrak Dunia Mengarang. Jakarta: Pustaka
Pembangunan Swadaya Nusantara. Cipto. 2012. Meningkatkan Keterampilan Menulis Puisi dengan Teknik
Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi Terhadap Suatu Objek pada
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
121
Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013. Laporan Penelitian Tindakan Kelas. MAN Amlapura.
Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Lerning
(CTL). Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Balai
Gramedia. Nurgiyantoro, Burhan. 2001.Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa dan
Sastra.Yogyakarta: BPFE. Solchan, dkk. 2008. Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas
Terbuka. Suharianto,S.. 1981. Pengantar Apresiasi Puisi. Surakarta: Widya Pustaka. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa Widowati. 2007. Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan
MenggunakanTeknik Pengamatan Objek Secara Langsung pada Siswa Kelas X MA Al Asror Patemon Gunung Pati Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka
Semarang. Biodata Penulis:
Nama : Drs. I Wayan Kerti Tempat/tgl.lahir : Sibetan, 29 juni 1967 Tempat Tugas : 1995-2002 di SMP Negeri 1 Kubu, 2002- sekarang di SMP Negeri 2 Bebandem Pendidikan:
- S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UNUD Singaraja, 1992
- S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNDIKSHA, 2014.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
122
EFEKTIVITAS PSYCHOLOGICAL FIRST AID DALAM MENGURANGI GEJALA KECEMASAN PADA PENYINTAS KECELAKAAN
KENDARAAN BERMOTOR Oleh
I Made Mahaardhika, SH., M.Psi Dosen BK – FIP IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
The aim of this research is to see the effect of PFA intervention in decreasing anxiety symptoms that are experienced by motor vehicle accident (MVA) survivors. This research use the qualitative method with three teenager participants. Anxiety level is measured with the Beck Anxiety Inventory (BAI) and deep interview. PFA intervention is applied during four meetings for four consecutively days. Anxiety symptoms are experienced in the few days after accidents are : fear, tension, and worries related to the impact of physical injury the experience of the accident. PFA helps survivors to change negative emotions in to more positive emotions, positive coping strengths and awarenes of the importance of psychosocial support. The result shows that intervention is able to decrease the BAI score and anxiety symptoms are lower between after the given intervention. Key Words: Anxiety, Psychological First Aid (PFA), Motor Vehicle Accidents (MVAs)
Pendahuluan
Di negara-negara barat seperti di Amerika Serikat, kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan salah satu penyebab trauma yang cukup besar. Data
Departemen Transportasi Amerika menunjukkan, terjadi enam juta kecelakaan per
tahun, dengan lebih dari 42 ribu yang fatal dan 2,7 juta mengalami luka personal
(Hickling & Blanchard dalam Carll 2007). Selanjunya Hickling dan Blanchard
mengatakan, luka fisik akibat kecelakaan tidak selalu akan disertai dengan luka
psikologis, namun luka fisik yang parah atau serius dapat dijadikan pertimbangan
akan adanya luka psikologis di kemudian hari. Sebuah penelitian awal yang
dilakukan oleh Oxley dan Fildes (dalam Harrison, 1999) yang meneliti efek
jangka panjang dari luka fisik dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
individu akibat kecelakaan menemukan bahwa, luka fisik yang tidak terlalu parah
juga menimbulkan dampak psikologis sampai dua tahun setelah peristiwa
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
123
kecelakaan terjadi. Luka fisik yang tidak begitu parah juga berpengaruh terhadap
emosi dan perilaku yang disebabkan adanya kecemasan dan avoidance reactions
yang dialami penyintas.
Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan, dalam rentang
waktu dua minggu (immediate) pasca kecelakaan, besar kemungkinan penyintas
akan mengalami kecemasan. Orang-orang yang mengalami kecemasan dan
sampai berkembang mengalami gangguan kecemasan atau PTSD adalah orang-
orang yang mempunyai pengalaman kecemasan yang ekstrim, pikiran-pikiran
yang mengganggu dan ketakutan yang luar biasa setelah mengalami kecelakaan.
Biasanya orang-orang seperti itu juga terganggu dalam melakukan aktivitas
sehari-hari, dalam bekerja dan berhubungan dengan orang lain, serta merasa tidak
berdaya akibat pengalaman kecelakaan yang dialaminya
Pada banyak kasus, ketika ditemukan adanya gejala-gejala permasalahan
psikologis yang akut, maka early treatment sangat dibutuhkan untuk mencegah
berkembangnya permasalahan psikologis yang lebih serius atau sampai menjadi
PTSD (Bryant et.al, dalam Bryant, Moulds & Guthrie, 2000). Early treatment
yang dilakukan beberapa hari setelah peristiwa traumatis, berfungsi untuk
setelah mengalami peristiwa traumatis atau kecelakaan, 71,4 % orang melaporkan
bahwa mereka melakukan kontak atau hubungan dengan koleganya dan hanya 9,2
% melakukan kontak dengan profesional.
Metode Peneltian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
bertujuan untuk memahami dan mendalami situasi nyata sehari-hari agar dapat
mendeskripsikan dan memahami tingkah laku yang tampak maupun kondisi-
kondisi internal manusia, baik itu pandangan hidupnya, nilai-nilai yang dipegang,
pemahaman tentang diri dan lingkungan, serta bagaimana ia mengembangkan
pemahaman tersebut (Patton, dalam Poerwandari 2009). Pendekatan kualitatif
digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan pemahaman mengenai reaksi
atau dampak yang timbul dalam beberapa hari (reaksi akut) pada penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor. Kecemasan merupakan reaksi utama yang ingin
dilihat dalam penelitian ini. Perilaku, pikiran dan perasaan apa saja yang sering
muncul dalam beberapa hari yang dialami penyintas. Pendekatan kualitatif juga
dimaksudkan untuk memahami mekanisme coping penyintas, serta dukungan
psikososial seperti apa saja yang telah ia dapatkan dan harapkan untuk membantu
pemulihannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah psychological first aid
(PFA) sebagai sebuah bentuk treatment awal dalam mengurangi dampak peristiwa
traumatis, dapat secara efektif mengurangi gejala kecemasan yang dialami
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor. Untuk menguji efektivitas sebuah
intervensi atau program, maka penelitian ini menggunakan desain pre test – post
test (Kumar, 1996).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengisian
kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI) oleh penyintas kecelakaan kendaraan
bermotor untuk melihat tingkat kecemasannya, serta wawancara dan observasi
kepada partisipan penelitian.
Partisipan Penelitian
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
130
Partisipan dalam penelitian ini adalah penyintas kecelakaan kendaraan
bermotor yang bertempat tinggal di wilayah Provinsi Bali. Partisipan yang akan
menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang yang memiliki
karakteristik tertentu sesuai dengan fenomena atau tujuan yang ingin diteliti
(purposive sampling), yaitu :
1. Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang mendapatkan penangan
segera setelah kecelakaan di instalasi rawat darurat (IRD) di rumah sakit,
yang mengalami luka pada wajah dan/atau bagian tubuh lainnya.
2. Berusia remaja (10-19 tahun).
3. Tingkat kecemasan tinggi (di atas skor 36) hasil interpretasi BAI yang
telah diisi oleh partisipan.
4. Bersedia menjadi partisipan penelitian dan mengisi inform consent.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Alat ukur the Beck Anxiety Inventory (BAI).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Beck Anxiety Inventory (BAI)
sebagai alat untuk mengukur tingkat kecemasan penyintas kecelakaan
kendaraan bermotor. BAI merupakan Pengembangan dari 21 item self
report inventory untuk mengukur tingkat kecemasan. BAI sendiri telah
mempunyai panduan interpretasi mengenai tingkat kecemasan itu sendiri,
yaitu angka 0-21 mengindikasikan kecemasan yang sangat rendah, 22-35
mengindikasikan tingkat kecemasannya sedang dan 36-63
mengindikasikan tingkat kecemasan yang tinggi dan perlu mendapatkan
perhatian yang serius (dalam Beck, Epstein, Brown, Steer, 1988). Dalam
penelitian ini BAI yang digunakan sudah diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia (Kartikasari, 2009).
b. Panduan wawancara bagi peneliti.
c. Modul PFA bagi penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.
d. Alat bantu lain seperti kamera digital dan tape recorder untuk merekam
wawancara yang dilakukan.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
131
Prosedur Intervensi
Intervensi dilakukan dengan mengunjungi penyintas di rumahnya. Setelah
peneliti memperkenalkan diri serta menyampaikan maksud dan tujuan
kedatangannya dan menjelaskan bahwa peneliti mengetahui data penyintas dari
rumah sakit, peneliti meminta penyintas untuk mengisi Beck Anxiety Inventory
(BAI) sebagai alat untuk mengukur level gejala kecemasan. Apabila skor
kecemasan penyintas di atas skor 22-35 (sedang) atau 36-66 (tinggi), maka
peneliti akan melakukan intervensi kepada penyintas dengan terlebih dahulu
menanyakan kesediaannya untuk menjadi partisipan penelitian. Bila skor
kecemasan penyintas hanya 21 atau di bawahnya (rendah), peneliti tidak akan
memberikan intervensi, namun hanya memberikan psikoedukasi. Penyintas
dengan level kecemasan tinggi atau sedang yang bersedia untuk menjadi
partisipan penelitian, akan menjalani empat sesi pertemuan selama empat hari
berturut-turut, dimana setiap sesinya akan berlangsung selama 90 menit.
Di sesi pertemuan pertama intervensi, peneliti lebih banyak melakukan
komunikasi yang sifatnya membangun raport dengan partisipan. Peneliti
memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangaan peneliti
menemui penyintas. Peneliti menggali informasi dengan menanyakan hal-hal
yang berkaitan dengan rasa aman dan kenyamanan partisipan selama beristirahat
di rumah atau selama menjalani rawat jalan. Peneliti juga mengkomunikasikan
apakah partisipan mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses pemulihan.
Di sesi pertemuan kedua dengan partisipan, peneliti memberikan
intervensi dengan membantu penyintas untuk mengungkapkan perasaan, pikiran
serta reaksi fisik dan perilaku yang partisipan alami pasca mengalami kecelakaan.
Dalam sesi ini diharapkan apa yang diungkapkan partisipan kepada peneliti bisa
menjadi ventilasi untuk mengekspresikan emosi-emosi negatif yang dirasakan
partisipan. Peneliti juga membantu penyintas untuk lebih mengenal coping positif
dan dukungan psikososial yang dapat membantu penyintas dalam mempercepat
proses pemulihan psikologisnya.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
132
Pada sesi pertemuan ketiga intervensi, peneliti mengajak partisipan untuk
memaknai secara positif dan menemukan hikmah dari kecelakaan yang baru
dialaminya. Peneliti memberikan teknik relaksasi progresif kepada penyintas
sebagai salah satu cara mengurangi gejala kecemasan, ketegangan-ketegangan
otot tubuh ataupun mengurangi bentuk distres lainnya. Peneliti juga meminta
partisipan untuk mengajarkan sebuah teknik relaksasi atupun teknik olah
pernapasan atau teknik manajemen stres lainnya yang mungkin telah dimiliki
penyintas dan efektif bagi dirinya untuk mengurangi distres yang pernah dia
alami. Dengan partisipan mengajarkan sebuah teknik relaksasi kepada peneliti,
diharapkan penyintas merasa bahwa dirinya berdaya dan lebih mengenal kapasitas
yang ada dalam dirinya juga dapat membantu mempercepat proses pemulihan
psikologisnya.
Pada sesi pertemuan terakhir (pertemuan ke empat), partisipan diminta
untuk mengungkapkan kembali gejala atau apa yang dia rasakan pasca mengalami
kecelakaan, serta bagaimana perubahan yang terjadi terhadap gejala-gejala
tersebut setelah menjalani proses intervensi selama empat hari bersama peneliti.
Peneliti meminta penyintas menghayati kembali coping yang telah dilakukannya
serta apa yang dia rasakan dari dukungan psikososial yang didapatkannya.
Partisipan juga diminta mengisi kembali kuesioner BAI, untuk melihat apakah ada
penurunan skor gejala kecemasan setelah dilakukan intervensi.
Metode Analisa Data
Data dianalisa sesuai dengan tema-tema yang ingin dicari dalam penelitian
ini. tema-tema yang ingin dilihat adalah gambaran umum kehidupan sehari-hari
partisipan (penyintas kecelakaan kendaraan bermotor), gambaran stres dan gejala
kecemasan partisipan pasca mengalami kecelakaan, strategi coping, dukungan
psikososial, penilaian partisipan terhadap intervensi, serta perubahan skor dan
penghayatan stres dan gejala kecemasan partisipan pasca menjalani proses
intervensi.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
133
Hasil Penelitian
Secara ringkas hasil penelitian dapat peneliti paparkan dalam tabel di
bawah ini : Y DP D Gambaran Umum Kehidupan Partisipan
Laki-laki berumur 15 tahun, keluarga sangat sejahtera, setiap hari pergi ke sekolah dan melakukan aktivitas lain di luar rumah dengan mengendarai motor sendiri.
Perempuan berumur 16 tahun, keluarga sangat sederhana, setiap hari pergi ke sekolah dan melakukan aktivitas lain di luar rumah dengan mengendarai motor sendiri.
Perempuan berumur 20 tahun, keluarga menengah ke atas, setiap hari pergi ke kampus dan melakukan aktivitas lain di luar rumah dengan mengendarai motor sendiri.
Pikiran Bertanya-tanya pada diri sendiri tentang bagaimana komentar teman-teman dengan gigi saya yang patah 2.
Bertanya-tanya pada diri sendiri bagaimana keadaan ibu dan bayi/kehamilannya nanti, sulit berkonsentrasi.
Bertanya-tanya pada diri sendiri kenapa saya bisa jatuh lagi, teringat tentang kecelakaan yang dialami, sulit berkonsentrasi.
Perasaan Malu, kecewa, kurang semangat, waspada, takut, bosan, malas, cemas, tidak sabar, orang lain yang menyebabkan dirinya mengalami kecelakaan.
Takut, merasa bukan dirinya yang bersalah dalam peristiwa yang terjadi.
Takut, cemas, was-was, merasa tidak enak karena merepotkan orang lain, kecelakaan merupakan kesalahan sendiri.
Fisik Otot tubuh tegang, gigi sakit, sulit tidur, baru bangun tidur leher sakit.
Otot-otot tubuh tegang dan kaku, sulit tidur, tubuh lemas, kurang bersemangat.
Perilaku Takut mengendarai motor sendiri di jalan raya.
Jadi sering menyendiri di kamar.
Strategi Coping Baca komik, main game, menggambar, ngobrol dengan keluarga, memakai gigi palsu, sembahyang.
Bercerita/ngobrol dengan anggota keluarga atau teman, mendengarkan musik, nonton tv, menulis diary
Cerita atau ngobrol dengan teman, jalan-jalan, makan, sms-an, internetan, nonton tv, sembahyang atau berdoa.
Dukungan Psikososial
Orang tua, keluarga, teman sekolah.
Anggota keluarga di rumah, saudara, teman sekolah.
Teman kampus.
Hambatan dalam pemulihan psikologis
Kurangnya perhatian dan dukungan dari anggota keluarga di rumah.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
134
Hikmah Positif dari Kecelakaan yang Dialami.
Harus lebih hati-hati dan waspada jika mengendarai motor, jadi lebih rajin berdoa.
Harus lebih berhati-hati, tidak boleh bengong jika mengendarai motor, harus lebih terbuka dengan keluarga jika punya masalah.
Ketika mengendarai motor tidak boleh buru-buru dan dalam keadaan marah atau kesal, jadi lebih dekat dengan teman, tidak selalu menyalahkan lingkungan, diri sendiri yang sangat berperan dalam menyebabkan kecelakaan yang dialami.
Penilaian Terhadap Intervensi
Bermanfaat, membantu pemulihan psikologis, ada teman berkomunikasi, mendapat manfaat dari relaksasi dan rileks. progresif yaitu menjadi lebih tenang
Bermanfaat, membantu pemulihan psikologis, membuat lebih tenang, nyaman dan dikuatkan (coping DP didukung atau dinilai baik oleh peneliti)
Membantu pemulihan psikologis, membantu dalam menemukan hikmah positif.
Perubahan penghayatan gejala kecemasan.
Lebih rileks, tenang, nyaman.
Tidur lebih nyaman, lebih bisa berkonsentrasi, tenang, nyaman.
Merasa senang, nyaman, merasa banyak yang perhatian, otot-otot jadi lebih rileks.
Perubahan/Penurunan Skor Gejala Kecemasan Sebelum dan Sesudah Intervensi
Dari 36 menjadi 18 (turun 18 poin)
Dari 23 menjadi 8 (turun 15 poin)
Dari 34 menjadi 8 (turun 26 poin)
Analisa Antar Partisipan
Skor gejala kecemasan Y yang tinggi (36) ketika peneliti memulai
intervensi, kemungkinan dikarenakan Y masih merasakan sakit dan persepsi yang
tidak menyenangkan karena giginya yang patah dua. Sebelum mengalami
kecelakaan, bisa dikatakan Y tidak pernah mengalami permasalahan atau stres
yang sampai mengganggu fungsi keseharian dalam hidupnya, sehingga
kecelakaan ini menjadi pengalaman traumatis pertama dia alami. Oleh karena itu,
peneliti memperkirakan kecelakaan yang Y alami menjadi sesuatu yang
dihayatinya dengan sangat dalam, sehingga menimbulkan gejala-gejala
kecemasan yang tinggi ketika dilakukan pengukuran melalui beck anxiety
inventory (BAI).
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
135
DP merupakan partisipan yang menunjukkan skor gejala kecemasan yang
paling rendah (23) diantara ketiga partisipan dalam penelitian ini. Meskipun skor
gejala kecemasan DP berada dalam tingkat sedang, namun dari apa yang
diungkapkan DP selama proses intervensi berjalan menunjukkan bahwa,
penghayatannya terhadap kecelakaan yang baru saja dia alami sangat
mengganggu dan membuatnya tidak nyaman. Keyakinannya yang merasa tidak
bersalah dalam kecelakaan yang terjadi, namun tetap harus memberikan perhatian
kepada ibu yang bertabrakan dengan dirinya, menjadi sesuatu yang bertentangan
di dalam dirinya. DP juga merasa bersalah pada dirinya dan kedua orang tuanya,
karena tidak mengikuti nasihat kedua orang tuanya agar tidak menyeberang
melewati candi (gapura gang yang terbuat dari batu) ketika akan memasuki gang
untuk menuju ke rumahnya sebelum kecelakaan tersebut terjadi.
Terbatasnya keadaan ekonomi keluarga dan di sisi lain DP harus berurusan
dengan hukum karena motornya ditahan dan dinyatakan bersalah oleh polisi,
menjadikan stresor yang sangat kuat dalam penghayatan DP. Kondisi ibu yang
sedang hamil delapan bulan anak pertamanya dan harus diopname, menjadi stres
yang sangat besar bagi DP karena dengan terbatasnya ekonomi keluarga,
bagaimana harus bertanggung jawab dalam membantu biaya pengobatan ibu yang
bertabrakan dengan dirinya tersebut. DP lebih menerima manfaat intervensi yang
berupa penguatan-penguatan emosi dan support dari peneliti yang menilai baik
strategi coping yang telah dilakukannya.
Temuan yang sangat menarik adalah baik Y dan DP sama-sama
mendapatkan dukungan psikososial dari teman dan keluarga, sedangkan D hanya
mendapatkan dukungan psikososial dari temannya, bahkan menurut D keluarga
merupakan faktor penghambat dalam proses pemulihan psikologisnya. Sebelum
mengalami kecelakaan, D telah mempunyai permasalahan dengan anggota
keluarganya di rumah. Hal ini juga menjadi stresor tambahan bagi D, karena dia
menghayati bahwa kurangnya perhatian dan komunikasi dengan keluarga,
membuat dirinya merasakan tidak mempunyai sumber daya yang bisa dimintai
bantuan ketika mengalami permasalahan dalam hidupnya. Pengalaman mengalami
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
136
kecelakaan sebanyak dua kali dalam sebulan menjadikan stres yang dialami D
seolah terakumulasi, sehingga faktor inilah yang menyebabkan skor gejala
kecemasannya hampir berada pada tingkat yang tinggi (34). Namun diantara
ketiga partisipan dalam penelitian ini, D mempunyai penurunan skor gejala
kecemasan yang paling besar. Walaupun D tidak mendapatkan dukungan
psikososial dari keluarga, namun peneliti berkeyakinan bahwa faktor yang
membuat skor gejala kecemasannya menurun paling besar adalah karena D lebih
banyak memaknai secara positif dan mendapatkan hikmah dari kecelakaan yang
dialaminya. D sangat merasakan manfaat intervensi dari hal-hal yang berusaha
menggali lebih dalam pemaknaan partisipan tentang peristiwa yang dialaminya,
serta mengajak partisipan menemukan hikmah positif dari kecelakaan yang baru
dialaminya.
Diskusi
PFA menjadi intervensi yang efektif dalam mengurangi gejala kecemasan
yang dialami penyintas dalam beberapa hari pasca mengalami kecelakaan
dikarenakan PFA membantu penyintas untuk mengungkapkan perasaan dan
pikiran yang tidak menyenangkan, sehingga beban atau tekanan yang dialami
penyintas juga menjadi berkurang. Menguatkan dan meningkatkan coping positif
serta dukungan psikososial yang dimiliki penyintas juga menjadi bagian utama
intervensi. Penyintas juga diajak untuk menemukan hikmah dan memaknai secara
positif kecelakaan yang dialaminya, sehingga dapat mengimbangi atau
mengurangi emosi-emosi negatif yang hadir akibat persepsi penyintas tentang
peristiwa yang dialaminya.
Peneliti menemukan bahwa tidak tersedianya data lengkap tentang
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang ditangani di instalasi gawat
darurat (IGD) di kedua rumah sakit tempat peneliti mencari data penelitian.
Penyintas yang diperbolehkan langsung pulang setelah mendapatkan penanganan
di IGD, menyebabkan data lengkap mengenai identitas serta alamat penyintas
menjadi tidak begitu penting untuk menjadi bagian catatan atau dokumen
pelayanan di rumah sakit. Fenomena seperti ini juga didukung oleh faktor bahwa,
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
137
sebagian besar penyintas kecelakaan yang mendapatkan penanganan di IGD
merupakan, hasil rujukan masyarakat atau sesama pengguna jalan, sehingga
ketika tiba di IGD tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk
mendaftarkannya sesuai dengan identitas lengkap penyintas.
Kesimpulan
Peneliti menyimpulkan bahwa gejala kecemasan yang dialami penyintas
kecelakaan kendaraan bermotor dikarenakan persepsi mengenai apa atau
bagaiamana yang akan terjadi nanti akibat dari kecelakaan yang terjadi. Persepsi
mengenai dampak negatif yang mungkin akan dialami penyintas ataupun orang
lain, menimbulkan perasaan-perasaan tidak nyaman dalam diri penyintas.
Perasaan takut, was-was dan khawatir untuk mengendarai motor menjadi gejala
yang paling sering muncul pada penyintas. Penyintas juga menjadi tegang dan
tidak tenang pasca mengalami kecelakaan. Penyintas cenderung menggunakan
coping yang berfokus emosi untuk menghadapi atau mengurangi stres yang
dialaminya pasca mengalami kecelakaan.
Hasil penelitian ini juga mendukung teori bahwa, orang yang mengalami
peristiwa traumatis dan mendapatkan dukungan psikososial dari anggota keluarga,
teman ataupun orang-orang terdekatnya, akan mengalami pemulihan psikologis
yang lebih cepat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang lebih
banyak mendapatkan hikmah positif dari kecelakaan yang dialaminya, serta
memaknai bahwa apa yang dialaminya merupakan bagian dari kesalahan dirinya,
mengalami pemulihan psikologis yang lebih baik.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa, bantuan psikologis sesegera
mungkin dalam hal ini melalui intervensi psychological first aid (PFA) yang
diberikan kepada penyintas kecelakaan kendaraan bermotor sangat efektif dalam
mengurangi gejala kecemasan yang timbul dalam beberapa jam atau beberapa hari
pasca kecelakaan. Efektivitas PFA sebagai sebuah intervensi dalam mengurangi
gejala kecemasan yang dialami penyintas kecelakaan kendaraan bermotor dapat
dilihat dengan penurunan gejala kecemasan yang antara sebelum dengan sesudah
intervensi, serta perubahan penghayatan gejala kecemasan yang menjadi lebih
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
138
baik (rileks, tenang, nyaman, lebih dapat berkonsentrasi dan tidur lebih mudah),
selama menjalani proses intervensi.
Saran
Intervensi yang peneliti lakukan kepada partisipan dalam penelitian ini
terbatas hanya dalam empat sesi pertemuan dalam empat hari berturut-turut. Oleh
karena itu, pelaku PFA sebaiknya melakukan monitoring terhadap penyintas,
untuk melihat apakah skor dan penghayatan gejala kecemasan penyintas semakin
menurun, meningkat atau tetap, selama satu sampai dua minggu pasca melakukan
intervensi. Ketika ditemukan adanya gejala-gejala kecemasan ataupun perubahan
perilaku yang berlanjut pada partisipan, sebaiknya dilakukan tindak lanjut, baik
dengan melakukan pendampingan psikologis maupun merujuk ke profesional
kesehatan mental.
Dukungan psikologis awal seharusnya dapat dilakukan ketika peyintas
kecelakaan berada di instalasi gawat darurat (IGD). Sebelum penyintas pulang
setelah mendapatkan penanganan di IGD, perawat atau petugas dapat melakukan
komunikasi atau memberikan informasi yang dapat membantu mengurangi
kecemasan yang dirasakan penyintas, sekaligus mencari infomasi lengkap
identitas penyintas. Petugas pencatat identitas dapat memberikan informasi
tentang reaksi-reaksi apa yang biasanya muncul pada orang yang mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor dan reaksi tersebut merupakan reaksi yang
normal.
Untuk di Bali sendiri, dengan sistem organisasi kemasyarakatannya yang
sangat kuat dan mengikat, pelatihan PFA dapat dilakukan kepada ibu-ibu PKK
atau pengurus banjar setempat, sehingga promosi dan penerapan PFA dapat
menjangkau sampai ke lapisan masyarakat paling bawah, termasuk ketika ada
salah satu anggota banjar yang mengalami kecelakaan. Pelatihan PFA juga harus
melibatkan anggota STT (seka teruna teruni/karang taruna), yang sekaligus
disisipkan dengan materi bagaimana perilaku berkendara yang baik di jalan,
disamping meningkatkan pengetahuan mereka tentang pentingnya dukungan
psikososial dan menjaga kesejahteraan psikologis itu sendiri.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
139
Khusus untuk di PMI sendiri, PFA seharusnya menjadi kompetensi wajib
bagi setiap relawan yang bertugas dalam respon bencana. Selain berguna dalam
membantu penyintas bencana, PFA juga bisa diberikan bagi sesama anggota
relawan yang sedang bertugas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip komunikasi
yang teraupetik dan penyediaan dukungan emosi, PFA dapat menjadi salah satu
alternatif bantuan psikologis bagi sesama anggota relawan yang menghadapi
permasalahan atau distres ketika bertugas dalam seting respon bencana.
Keterbatasan waktu dan kecilnya jumlah partisipan dalam penelitian ini,
tentunya akan menjadi bahan diskusi dan perdebatan ketika peneliti menarik
kesimpulan tentang efektivitas PFA. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa
penelitian-penelitian serupa harus segera dilakukan. Tingginya angka kecelakaan
di Indonesia serta kurangnya literatur mengenai dampak psikologis jangka
panjang yang dialami penyintas kecelakaan juga menjadi pertimbangan penting,
mengapa penelitian seperti ini harus menjadi perhatian serius para penyedia
layanan kesehatan mental. Diharapkan penelitian serupa bisa dilakukan kepada
penyintas kecelakaan kendaraan bermotor usia dewasa atau anak-anak.
Kepustakaan
Beck, A.T., Epstein, N., Brown, G., & Steer, R.A. (1988). An Inventory for Measuring Clinical Anxiety: Psychometric Properties, APA.
Appraisals of Coping Capability and Posttraumatic Distress Following Motor Vehicle Accidents. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 76. No. 4, 677-685.
Boege, K., & Gehrke, A. (2005). Preventing Posttraumatic Stress-Psychological
First Aid at the Workplace, Safety Science Monitor. Vol 9, Issue 1, Short Communication 1, Dresden.
Scale: A Self-Report Measure of Acute Stress Disorder, Psychological Assesment, Vol. 12, No. 1, 61-68.
Carll, E.K. (2000). Trauma Psychology, Issues in Violence, Disaster, Health, and
Illness, Volume 2 : Health and Illness. USA : Praeger.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
140
Delahanty, D.L. (1997). Acute and Chronic Distress and Posttraumatic Stress
Disorder as a Function of Responsibility for Serious Motor Vehicle Accidents. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 165. No. 4, 560-567.
Everly, G.S., Phillips, S.B., Kane, D., & Feldman, D. (2006). Introduction to and
overview of Group Psychological First Aid. Oxford University Press. Feist, J & Feist, G.J. Theories and Personality (Yudi Santosa, Penerjemah).
Jakarta: Pustaka Pelajar. Harrison, W.A. (1999). Psychological Disorders as Consequences of Involvement
in Motor Vehicle Accidents : A Discussion and Recommendations for A Research Program. Monash University Accident Research Centre. Report No. 153.
Kumar, R. (1996). Research Methodology A Step-By-Step Guide For Beginners.
London : Sage Publications. Meares, A. (1963). The Management of The Anxious Patient. London: W. B.
Saunders Company. Motor Accidents Authority of NSW. (2003). Guidelines for the Management of
Anxiety Following Motor Vehicle Accidents. Sydney NSW. Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development
Perkembangan Manusia, Jakarta: Salemba Humanika. Peurifoy, R.Z. (2005). Anxiety, Phobias, & Panic. New York: Warner Books. Poerwandari, E.,K. (2009). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Cetakan Ketiga. Depok: LPSP3 UI. Reyes, G., & Jacobs, G.A. (2006). Handbook of International Disaster
Psychology. Volume II Practices and Programs. USA: Praeger Publisher. Kartikasari, A. D. (2009). Pelatihan Teknik Relaksasi Untuk Menurunkan
Kecemasan pada Primary Caregiver Penderita Kanker Payudara. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Tesis.
Soewondo, S. (2009). Panduan dan Instruksi Latihan Relaksasi Progresif. (CD)
Depok: LPSP3 UI.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
141
Uhernik, J.A., & Husson, M.A. (2009). Psychological First Aid : An Evidence Informed Approach for acute Disaster Behavioral Health Response. American Counseling Association. North Carolina: Charlotte.
Vernberg, E.M., et al. (2008). Innovation in Disaster Mental Health :
Psychological First Aid, APA, Vol.39, No. 4, 381 – 388. Yehuda, R. (2002). Treating Trauma Survivors With PTSD. Washington:
American Psychiatric Publishing.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
142
RE-BRANDINGDAN MODEL AISAS DALAM MEMBANGUN KESETIAAN PELANGGAN ES KRIM MEREK MAGNUM
Ni Nyoman Murniasih. Ni Wayan Karlini
Program Studi : Pendidikan Ekonomi
ABSTRACT
There are re-branding policy from Magnum Ice Cream to give Brand Equity Value to customer, so that the consumer will have the will to buy. With AISAS model, it found out that the customer’s decision to buy the product increase, the proves are the following: 1. According to score interpretation criteria, the 88% score on attention point are categorized as “very high”, the 85% score on interest point are categorized as “very high”, the 71% score on search point as “ high”, the 89% score on action score are categorized “very high”, the 71% score on share point are categorized as “moderate high”. Key Words: Re-Branding Policy, AISAS Model, Brand Equity Value
PENDAHULUAN
Komunikasi merupakan dasar bagi keberhasilan strategi promosi
secara umum yang dapat dilakukan oleh perusahaaan.Banyak hal yang dapat
dikomunikasikan kepada pelanggan, tapi ada hal utama yang harus di
komunikasikan pada pelanggan adalah keberadaan tentang merek.Utami
(2010) menyatakan bahwa merek suatu nama atau simbol pembeda, seperti
misalnya logo yang mengidentifikasi produk atau jasa itu dari atau dengan
penawaran pesaing.
Merek dapat memberikan nilai kepada pelanggan, dan sekaligus dapat
menyampaikan informasi kepada konsumen tentang sifat dan pengalaman
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
143
berbelanja.Merek juga mempengaruhi keyakinan pelanggan atas keputusan
yang dibuat untuk membeli barang.
Industri makanan dan minuman memiliki prospek pasar yang masih
cerah seiring pertumbuhan ekonomi, karena dukungan sumber bahan baku
dan populasi masyarakat Indonesia yang semakin bertambah, namun
industri tersebut juga harus berhati-hati menghadapi tantangan seperti
harga produksi yang semakin tinggi. Kementerian Perindustrian
memproyeksikan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun
2013 tumbuh berkisar 9%. Industri makanan dan minuman menawarkan
berbagai macam jenis produk yang dapat dipilih oleh konsumen, salah
satunya adalah es krim. Perkembangan industri es krim di Indonesia cukup
pesat. Meningkatnya taraf hidup masyarakat Indonesia dan perubahan gaya
hidup, merubah persepsi masyarakat terhadap es krim bukan hanya
sebagai makanan yang mahal, tetapi sudah seperti makanan selingan.
Pangsa pasar es krim yang luas, menjadikan es krim kini disukai di
berbagai macam kalangan usia, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Salah
satu marketing plan dari es krim Magnum adalah dengan mengkondisikan
dengan sangat langka produk es krim di pasaran, sehingga masyarakat
akan mencari dan berusaha mendapatkannya. Iklan dari es krim Magnum
di buat semenarik mungkin, sehingga masyarakat akan semakin mencari
es krim Magnum. Begitu cepat pengaruh iklan pada penjualan suatu
produk. Es krim Magnum adalah salah satu contoh produk es krim dari
produsen es krim Wall’s yang bernaung di bawah perusahaan multinasional
Unilever. Proses yang dilakukan oleh pihak Unilever mengenai re-
branding es krim Wall’s Magnum telah menjadikan Wall’s Magnum
berbeda jika dibandingkan dengan Wall’s Magnum sebelum dilakukan re-
branding. Unilever sebagai pemilik es krim Wall’s Magnum, tahu bahwa
para penikmat es krim di Indonesia menginginkan sensasi pengalaman
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
144
baru yang berbeda dalam menikmati sebuah es krim. Untuk itulah
Unilever mencoba mendesain ulang dengan memberikan kesan yang unik
dalam menikmati sebuah es krim. Unilever mencoba mendesain ulang
branddari sebuah es krim bermerek “Magnum” menjadi sebuah merek
(brand), yang memiliki identitas yang unik dan otentik.
Berkaitan dengan itu, penulis tertarik untuk melakukan riset pemasaran
tentang ; Re-Branding Dan Model AISAS dalam Membangun Kesetiaan
Pelanggan Es Krim Merek Magnum
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu proses buying consumer yaitu AISAS model. Model ini
dikembangkan oleh agen periklanan Dentsu pada tahun 2005. Pada model ini
konsumen mengikuti proses. Pertama mereka menjadi sadar akan produk atau
jasa (Attention), mendapatkan tertarik (Interest), mencari informasi yang
relevan melalui internet(Search), selanjutnya membeli produk (Aksi), dan
mengirimkan ulasan melalui internet setelah menggunakan produk (Share).
Jadi AISAS adalah model siklus dimulai dengan attention, memutuskan untuk
membeli, selanjutnya langkah terakhir adalah share yang membawa proses
kembali ke awal dengan menyebarkan kesadaran produk bagus atau
burukdiantara teman-teman melalui media sosial atau situs-situs review
produk.
Jadi target pemasaran dengan model AISAS ini adalah; Perhatian :
meningkatkan kesadaran konsumen terhadap produk. Interest : Tumbuh
evaluasi konsumen tentang suatu produk. Search : Mendapatkan umpan balik
yang baik tentang produk dan konsumen. Aksi : Memberikan kesempatan
konsumen untuk membeli produk. Share : Mendorong konsumen untuk
mengirimkan informasi berkualitas tinggi tentang suatu produk (Imam Ashari
: 2012 )
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
145
Re-branding merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga
untuk mengubah total atau memperbaharui sebuah brand yang telah ada agar
menjadi lebih baik, dengan tidak mengabaikan tujuan awal perusahaan, yaitu
berorientasi profit.Rebranding sebagai sebuah perubahan merek, seringkali
identik dengan perubahan logo ataupun lambang sebuah merek. Dengan kata
lain, ketika melakukan rebranding maka yang berubah ialah nilai-nilai dalam
merek itu sendiri. Anholt (2007) mengatakan bahwa intisari dari re-branding
adalah proses merancang, merencanakan,, dan mengkomunikasikan ulang
nama atau identitas produkatau jasa yang bertujuan untuk mengelolaan
reputasi di masyarakat. Kegiatan memposisikan ulangsuatu merek ini sendiri
memerlukan perubahan bentuk dan citra yang ingin dicapai.Tujuan utamanya
adalah mempengaruhi persepsi konsumen tentang sebuah produk atau jasa.
Ada beberapa alasan mengapa perusahaan mengadakan re – branding.
Menurut Handito Hadi Juwono (2014) ada : The 5 ReBranding Reasons,
terdiri dari;
1. Brand Crisis; yaitu adanya kemerosotan brand image . Kejadian
kerancuan produk atau bahkan pemberitaan pelanggaran hukum
biasanyamengakibatkan brand crisis.
2. Competitor Change; Perubahan brand yang terjadi pada pesaing biasanya
berupa hadirnya competitor baru dengan brand perkasa, perubahan
strategi brand competitor, perubahan brand identity atau brand
communication.
3. Customer Change ; Perubahan terbesar konsumen terbentuk oleh adanya
godaan para produk atau perusahaan yang memberikan iming-iming yang
luar biasa menarik. Seperti terjadinya perang harga sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan sikap konsumen terhadap produk
tertentu.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
146
4. Regulation Change; Perubahan tentang pemberlakuan peraturan tentang
Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are brands forever? How brand knowledge and relationships affect current and future purchases. Journal of Product & Brand Management. Vol.15. No.2
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman.2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrak Telaah Kritis terhadap GelombangMcDonaldisasi (Solichin, Didik P. Yuwono, Penerjemah) .Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
----------------.2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi ( Lucinda, Heru Nugroho, Alih Bahasa). Yogyakarta : Universitas Atmajaya.
Roger, Mary. F. 2009. Barbie Culture Ikon Budaya Konsumerisme. Jogjakarta : Relief.
Utami.Christina Whidya. 2010. Manajemen Ritel, Strategi dan Implikasi Operasional BisnisRitel Modern Di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
158
PENERAPANPEMBELAJARAN BIOTEKNOLOGI MELALUI FERMENTASI JERAMI PADI (Oryza sativaL.)MENGGUNAKAN
LARUTAN BIO CAS UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA
I Wayan Suanda,(1)Ni Wayan Ratnadi(2)
,(1)PS. Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali (2)Guru SMP Negeri 11 Denpasar
Learning biotechnology conducted by the transformation of matterandits applications, one of which in the form of straw fermentation of rice (Oryza sativa L.) using Bio CAS solution can expand the horizons of knowledge of studentsin the learning materials biotechnology. Learning biotechnology coupled with applicability through direct experiments in the form of research could improve understanding, inspiration and development of science.
This study aims to determine the increase in the protein content in rice straw (Oryza sativa L.) by biotechnological fermentation with Bio CAS solution for ruminant feed. The data collected in the form of protein and physical observations rice straw in the form of observations texture, color and smell after fermentation, which were analyzed using analysis of variance at a significance level of 5% and 1%. To get the real difference among the treatments on BNT continued with Duncant test.
Results of the analysis of protein content of fermented rice straw (Oryza sativa L.) using Bio CAS gained 20.61 and the 5% significance level was of 3.11 and 1% significance level of 5.06. The highest protein content is in treatment P3 which has a concentration of 2%. Key Words: Bio CAS Liquid, Protein, Fermentation, Animal Feed PENDAHULUAN
Pelajaran Bioteknologi merupakan salah satu materi yang diajarkan di
sekolah, baik itu di SMP dan SMA maupun Perguruan Tinggi yang memiliki
disiplin ilmu biologi atau yang berdekatan dengan bidang ilmu
tersebut.Pembelajaran bioteknologi di jenjang yang berbeda tentunya materi
yang diberikan memiliki tingkat kedalaman yang berbeda. Terlebih
pembelajaran bioteknologi disekolah diberikan dengan penerapan langsung
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
159
dengan melakukan percobaan sederhana berupafermentasi Jerami padi (oryza
sativa L.) menggunakan Bio CAS untuk pakan ternak ruminansia. Bioteknologi
merupakan suatu bidang penerapan biosains dan teknologi yang menyangkut
aplikasi praktis organisme hidup atau komponen subselulernya pada industri
jasa dan manufaktur serta pengelolaan lingkungan untuk kesejahteraan
manusia. Biteknologi mencangkup proses fermentasi,pengelolaan air dan
sampah, sebagian teknologi pangan dan berbagai penerapan baru
lainnya.Bioteknologi memanfaatkan bakteri, kapang, ragi, alga, sel tumbuhan
atau sel jaringan hewan yang ditumbuhkan sebagai konstituen berbagai proses
industri. Bioteknologi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu bioteknologi
tradisionaldan bioteknologi modern. Bioteknologi tradisional yaitu proses
bioteknologi yang terjadi pada suatu makanan atau bahan pakan dengan cara
menambahkan suatu enzim atau mikroorganisme tertentu sehingga terjadi
perubahan fisik, penampilan, dan rasa akibat prosesbiologis dalam bahan dan
bioteknologi modern dapat berupa rekayasa genetika, pembuatan antibiotika,
insulin dan sebagainya.
Fermentasi adalah proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba
(jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia
lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat
bahan tersebut (Winamo dan Fardiaz, 1980). Fermentasi dilakukan dengan cara
menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik,
lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya: starbio,
starbioplus, EM-4, dan lain-lain) pada suatu bahan yang dalam penelitian ini
berupa jerami padi, sebagai hasil pertanian yang tersedia sangat melimpah.
Ketersediaan bahan baku berupa pakan lokal berbasis pertanian dan
agroindustri sangat melimpah di Indonesia, namun sebagai pakan
ternakruminansia belum termanfaatkan secara baik dan optimal.Kondisi ini
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
160
disebabkan belum adanya produksi bahan baku pakan yang menghasilkan
komposisi nutrisi dan prosedur pengolahannya yang berbasis bioteknologi,
sehingga memiliki mutu yang standar, baik fisik maupun kimia (Sukria dan
Rantan, 2009). Penggunaan jerami padi secara langsung atau sebagai pakan
tunggal tidak dapat memenuhi pasokan nutrisi yang dibutuhkan ternak
ruminansia. Adanya faktor pembatas pada jerami padi dengan nilai gizi yang
rendah yaitu rendahnya kandungan protein kasar, tingginya serat kasar, lignin,
silika (Ranjhan, 1977) serta rendahnya kecernaan (Djajanegara, 1983). Untuk
itu, jerami padi perlu ditingkatkan nilai nutrisinya dengan melakukan
pengolahan, baik fisik, kimia, maupun biologis.
Jerami padi menjadi sumber pakan alternatif yang efektif bila digunakan
saat kekurangan pakan yang biasanya terjadi pada musim
kemarau.Pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak di Indonesia berkisar
antara 31%-39% dan sebagian besar dibakar atau dikembalikan ke tanah
sebagai pupuk (36%-62%) serta sisanya antara 7-16% digunakan untuk
keperluan industri (Komar, 1984). Jerami padi mengandung 80% bahan
organik yang secara potensial dapat dicerna. Oleh karena itu, jerami padi
merupakan sumber energi yang besar untuk ternak ruminansia, tetapi
kenyataan yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia hanya 45-50% (Hidayat,
2002).
Untuk meningkatkan kandungan protein jerami padi sebagai pakan
ternak ruminansia, diperlukan bioteknologi fermentasi, yang dapat
mempercempat kondisi anaerob di tempat penyimpanan jerami padi (Anonim,
2011). Suasana asam dapat dilakukan dengan memberiBio CAS. Bio CAS
merupakan bahan probiotik yang mengandung beberapa jenis mikroba yang
mampu menguraikan serat kasar jerami padi. Probiotik Bio CAS disamping bisa
dimanfaatkan untuk mengolah jerami padi, juga dapat mempercepat
pertumbuhan ternak. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik mengadakan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
161
penelitian yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Bioteknologi melalui
Fermentasi Jerami Padi (Oryza sativaL.)menggunakanLarutan Bio CAS sebagai
Pakan Ternak Ruminansia”.
1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah
yaitu apakahterjadi peningkatan kandungan protein pada jerami padi (Oryza
sativaL.) melaluibioteknologi fermentasi jerami padi (Oryza sativa L.)
menggunakan larutan Bio CASuntukpakan ternak ruminansia ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan kandungan protein pada jerami padi (Oryza sativaL.)
melaluibioteknologi fermentasi dengan larutan Bio CASuntukpakan ternak
ruminansia.
1.4 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang telah dikemukakan di
atas, maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa terjadi peningkatan kandungan
protein pada jerami padi (Oryza sativaL.) pada proses fermentasi dengan
larutan Bio CASuntuk pakan ternak ruminansia.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu:
1.5.1 Manfaat teoritis
a. Secara teoritis, penelitian ini dapat mengungkapkan pengaruh
penggunaan larutan Bio CAS terhadap kandungan protein pada
fermentasi jerami padi sebagai pakan ternak.
b. Memberikan sumbangan berupa teori dan aplikasi dalam pembelajaran
bioteknolog yang berkaitan dengan proses fermentasi.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
162
1.5.2 Manfaat praktis
a. Bagi peserta didik, pembahasan materi bioteknologi dengan
pembelajaran secara aplikatif berupa fermentasijerami padi (Oryza
sativaL.)menggunakan Bio CASdapat mengembangkan dapat
meningkatkan pemahaman pada materi bioteknologi, rasa ingin tahu
dan merangsang berpikir kreaktif serta bersikap ilmiah peserta didik.
b. Bagi guru, khususnya guru bidang studi biologi atau IPA, penelitian
ini dapat dijadikan pengembangan materi pembelajaran bioteknologi
dan sebagai inspirasi awal untuk melakukan penelitian dengan
melibatkan mikroorganisme.
c. Bagi masyarakat khususnya petani dan peternak ruminansia dapat
menjadikan alternatif cara pengolahan limbah hasil pertanian yang
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia.
d. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan rasa ingin tahu dengan
berpikir kreatif untuk mengembangkan sikap ilmiah, yang nantinya
dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai bahan perbandingan dalam
bidang penelitian yang sejenis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimen terapan (murni).
Penelitian terapan dilakukan dengan tujuan menerapkan, menguji dan
mengevaluasi kemampuan suatu teori yang diterapkan dalam memecahkan
masalah-masalah praktis di masyarakat (Gray, dalamSudijono, 2009). Jadi
hasil penelitian ini akan diterapkan di masyarakat untuk membantu masalah-
masalah praktis terutama yang ada hubungannya dengan jerami padi.
2.1 Prosedur Penelitian
Sebelum percobaan dilakukan, terlebih dahulu dipersiapkan alat dan
bahan yang diperlukan.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
163
Alat yang diperlukan dalam eksperimen, yaitu: kantong plastik besar
(polybag), timbangan (neraca), ember kecil (diameter 12 cm), alat pengaduk
(spatula), sendok makan, dan sprayer (alat semprot) kecil.Bahanyang
diperlukan, seperti: air (aquades), urea, jerami padi, probiotik Bio CAS, dan
molasis (tetes gula tebu)/gula merah.
2.2 Pembuatan Larutan Bio CAS
Pembuatan larutan Bio CAS tergantung pada banyaknya bahan (jerami
padi) yang akan diolah. Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan Bio CAS
ditambah perlakuan kontrol (tanpa Bio CAS) yang diulang masing-masing
sebanyak 3 kali. Setiap perlakuan berisi 1 kg jerami padi, sehingga dibutuhkan
18 kg jerami padi, sedangkan larutan Bio CAS diperoleh dari BPTP Bali.
1. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 1% dengan volume
100 ml yaitu: 1 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga
volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata dan
biarkan selama 30 menit.
2. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 1,5% dengan volume
100 ml yaitu: 1,5 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 gram urea + air
sehingga volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata
dan biarkan selama 30 menit.
3. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 2% dengan volume
100 ml yaitu: 2 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga
volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata dan
biarkan selama 30 menit.
4. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 2,5% dengan volume
100 ml yaitu: 2,5 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air
sehingga volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata
dan biarkan selama 30 menit.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
164
5. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 3% dengan volume
100 ml yaitu: 3 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga
volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata dan
biarkan selama 30 menit.
6. Untuk perlakuan kontrol hanya disemprotkan dengan 100 ml air
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP
PGRI Bali, JL Akasia Denpasar selama 14 hari, dengan tahap pelaksanaan
sebagai berikut:
1. Jerami yang dikering anginkan selama 1 minggu ditimbang sebanyak 1
kg setiap perlakuan, kemudian diperlakukan dengan menyemprotkan
larutan Bio CAS sebanyak 100 ml untuk setiap perlakuan.
2. Jerami yang sudah di semprotkan larutan Bio CAS dimasukan kedalam
kantong plastik.
3. Jerami yang sudah disemprotkan larutan Bio CAS dalam kantong plastik
diikat dan pastikan tidak ada celah udara yang dapat menghambat proses
fermentasi.
4. Dari percobaan pendahuluan ternyata setiap 1 kg jerami pada perlakuan
memerlukan larutan dengan volume 100 ml.
2.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dapat
berupa kotak-kotak antara unit percobaan ini dibatasi dengan ruang
pengamatan sehingga tidak akan terjadi interaksi antara sesama unit. Dengan
demikian letak dan posisi masing-masing unit tidak akan mempengaruhi hasil-
hasil percobaan. Atas dasar kondisi lingkungan yang homogen ini maka setiap
unit percobaan secara keseluruhannya merupakan suatu randomisasi yang
berarti setiap perlakuan pada setiap ulangan mempunyai peluang yang sama
besar menempati kotak-kotak percobaan sehingga randomisasi menurut RAL
dilakukan secara lengkap (Gomez dan Gomez, 1996).
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
165
Adapun denah percobaan adalah sebagai berikut:
Ulangan Kelompok Perlakuan
I P0a P3c P4a P2b P1c P5a
II P5c P0b P2c P1b P4c P3a
III P3b P1a P4b P2a P0c P5b
Gambar 01 Denah Percobaan
Keterangan: P0 = Kontrol/konsentrasi 0% P1 = Bio CAS dengan konsentrasi 1% P2 = Bio CAS dengan konsentrasi 1,5% P3 = Bio CAS dengan konsentrasi 2% P4 = Bio CAS dengan konsentrasi 2,5% P5 = Bio CAS dengan konsentrasi 3% (Sumber: Gomez dan Gomez, 1996). 2.4 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian tentang kandungan protein
melalui proses fermentasi pada jerami padi pada masing-masing perlakuan
diolah dengan menggunakan analisa varian (ANAVA) dengan uji F, jika uji
Anava menunjukan adanya perbedaan atau signifikan maka dilanjutkan dengan
uji beda rata-rata dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dan 1%. Untuk
mengetahui hubungan antar perlakuan dan untuk mengetahui konsentrasi
larutan Bio CAS yang paling optimal terhadap kandungan protein hasil
fermentasi, maka dilanjutkan dengan uji Duncant yang dibantu dengan
menggunakan program SPSS Forwindows Realese 10.0 2003.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
166
HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Untuk mengukur kandungan protein menggunakan alat destruksi, alat
destilasi, dan alat titrasi serta untuk pengamatan fisik pada jerami hasil
fermentasi melalui responden atau audien. Data yang diperoleh dari hasil
fermentasi jerami padi tentang tekstur, warna, dan bau adalah sebagai berikut.
a. Tekstur
Data yang diperoleh tentang tekstur jerami padi yang difermentasi
dengan larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Lemas (tidak kaku), b. Lemas
sedikit berjamur, c. Lemas sangat berjamur. Hasil yang diperoleh menunjukan
responden yang berpendapat paling banyak terhadap tekstur a. Lemas (tidak
kaku) adalah 10 orang. Hal ini menunjukan 100% pada P3 termasuk juga pada
kandungan proteinnya lebih tinggi yaitu: 6,0571%, sehingga responden
menyatakan bahwa hasil fermentasi menunjukan tekstur lemas (tidak kaku)
yang paling baik pada hasil fermentasi adalah perlakuan P3.
b. Warna
Data yang diperoleh tentang warna jerami padi yang difermentasi
dengan larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Kuning agak kecoklatan, b.
Kuning kecoklatan, c. Kuning agak kehitaman. Hasil yang diperoleh
menunjukan responden yang berpendapat paling banyak terhadap warna a.
Kuning agak kecoklatan adalah 10 orang. Hal ini menunjukan 100% pada P3,
termasuk juga pada kandungan proteinnya lebih tinggi yaitu: 6,0571%,
sehingga responden menyatakan bahwa hasil fermentasi menunjukan warna
kuning agak kecoklatan yang paling baik pada hasil fermentasi adalah
perlakuan P3.
c. Bau
Data yang diperoleh tentang bau jerami padi yang difermentasi dengan
larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Agak harum, b. Sedikit pengir, c.
Sangat pengir. Hasil yang diperoleh menunjukkan responden yang berpendapat
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
167
paling banyak terhadap bau a. Agak harum adalah 10 orang. Hal ini
menunjukkan 100% pada P3, termasuk juga kandungan proteinnya lebih tinggi
yaitu: 6,0571%, sehingga responden menyatakan bahwa hasil fermentasi
menunjukan warna kuning agak kecoklatan yang paling baik pada hasil
fermentasi adalah perlakuan P3.Hasil perhitungan kandungan protein pada
fermentasi jerami padi dimasukan ke dalam tabel sidik ragam yang disajikan
pada Tabel 01.
Berdasarkan taraf signifikan 5% dan 1% dengan db perlakuan = 5, db
acak = 12 diperoleh harga batas penolakan hipotesis nol (H0) dalam Tabel 10
untuk taraf signifikan 5% = 3,11 dan taraf segnifikan 1% = 5,06. ini berarti F
hitung = 20,61 ≥ F tabel. Oleh karena itu H0 ditolak dan H1 diterima. Ini
menunjukan bahwa ada pengaruh penggunaan larutan Bio CAS terhadap
kandungan protein pada fermentasi jerami padi sebagai pakan ternak.Untuk
mengetahui perbedaan antara perlakuan digunakan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT). Uji ini dilakuakan baik pada taraf signifikan 5% dan 1% seperti pada
Tabel 01.
Tabel 01. Sidik Ragam kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi
SK DB JK KT F hitung F Tabel
5% 1% Perlakuan
Acak
5
12
7,2271
0,8479
1,4550
0,0706
20,61 3,11 5,06
Total 17 8,075 1,5256
Berdasarkan analisis data pada Tabel 01 ternyata diperoleh nilai Fhitung
kandungan protein pada fermentrasi jerami padi sebagai pakan ternak adalah
20,61, sedangkan nilai batas penolakan hopotesis nol (H0) pada taraf
segnifikan 5% sebesar 3,11 dan 1% sebesar 5,06 dengan db perlakuan = 5 db
acak = 12 dan ternyata Fhitung dari penelitian di atas lebih besar dari nilai batas
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
168
penolakan. Ini berarti hipotesis nol (H0) yang menyatakan: “bahwa tidak ada
pengaruh penggunaan larutan Bio CAS terhadap kandungan protei pada
fermentasi jerami padi (Oryza sativa L.) sebagai pakan ternak” ditolak, dan
hipotesis alternatif (H1) yang menyatakan: “bahwa ada pengaruh penggunaan
larutan Bio CAS terhadap kandungan protei pada fermentasi jerami padi (Oryza
sativaL.) sebagai pakan ternak” diterima.
Untuk menentukan hubungan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji
Lanjut (Uji Duncant) pada taraf signifikan 5%. Hasil penghitungan dengan Uji
Duncant diperoleh hasil bahwa perlakuan P0 tidak berbeda nyata berarti
senyawa aktif belum efektif dalam perombakan senyawa dalam jerami padi (P
> 0,05). Perlakuan P0, dengan P1, P2, P3, P4, dan P5 berbeda nyata (P<0,05)
namun antar perlakuan P1, P2, P4, dan P5 tidak berbeda nyata dan antar P1,
P2, P4, dan P5 dengan perlakuan P3 berbeda nyata, dapat dilihat pada Tabel
02.
Tabel 02
Rata-Rata Kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi
Kelompok Rata-rata dan standar deviasi kandungan protein pada fermentasi jerami padi
P0 4,00 + 0,17 A
P1 5,46 + 0,24 B
P2 5,61 + 0,30 B
P3 6,06 + 0,35 C
P4 5,46 + 0,27 B
P5 5,36 + 0,22 B
Keterangan: Huruf yang sama di bawah nilai rata-rata dan menunjukkan perbedaan tidak nyata pada taraf signifikan 5% dengan uji Duncant.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
169
Gambar 02. Grafik Kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi
keterangan: P0 = tanpa perlakuan 0% (0 ml) P1 = perlakuan dengan konsentrasi 1% (1 ml) P2 = perlakuan dengan konsentrasi 1,5% (1,5 ml) P3 = perlakuan dengan konsentrasi 2% (2 ml) P4 = perlakuan dengan konsentrasi 2,5% (2,5 ml) P5 = perlakuan dengan konsentrasi 3% (3 ml) 3.2. Pembahasan
Berdasarkan Gambar 04 di atas bahwa penggunaan larutan Bio CAS
sangat nyata terhadap peningkatan kandungan protein pada fermentasi jerami
padi (Oryza. sativa. L)sebagai pakan ternak. Penggunaan larutan Bio CAS
terhadap peningkatan kandungan protein pada fermentasi jerami padi sebagai
pakan ternak diperoleh nilai tertinggi pada perlakuan konsentrasi 2 % (P3)
dengan nilai 6,0571 bila dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 0 % (P0)
(P5) = 5,3619. Hasil tersebut menandakan kandungan Bio CAS pada perlakuan
(P3) yang optimal untuk memecah senyawa yang terkandung dalam jerami padi
dengan fermentasi selama 14 hari dapat dilihat pada Tabel 01.
Pemanfaatan Bio CAS yang merupakan campuran berbagai spesies
mikroorganisme, terutama mikroorganisme yang mampu memecah komponen
serat (cellulolytic microorganism) melalui pakan dapat meningkatkan
produktivitas ternak. Hasil penelitian Syamsu (2006) menyatakan bahwa
komposisi nutrisi jerami padi yang telah difermentasi dengan menggunakan
starter mikroba (starbio) sebanyak 0,06% dari berat jerami padi, secara umum
memperlihatkan peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak
difermentasi. Ada beberapa pengolahan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kecernaan potensial serat kasar (Preston dan Leng, 1987).
Peningkatan kuantitas bagian yang dapat dicerna pada pakan yang berkualitas
rendah dapat dilakukan melalui proses kimia, fisik, dan biologis (Hungate,
1966).
Perlakuan fisik berupa pemotongan, penggilingan, peleting,
penghancuran, dan lain-lain. Perlakuan biologis dengan menggunakna jamur
(fungi). Proses kimiawi pencernaan limbah-limbah pertanian dapat
ditingkatkan dengan penambahan alkali dan asam (Pigden dan Bender, 1978).
Walker dan Kohler (1978) menyatakan bahwa perlakuan kimia yang telah
dicoba diteliti antara lain terdiri atas perlakuan Naoh, KOH, Ca (OH), dan
urea. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kecepatan cerna serat pada awal
proses pencernaan sehingga mempengaruhi ketersediaan energi Adenosine
Triphospate (ATP) yang diperlukan dalam proliferasi mikroba rumen
(Haryanto dkk., 1998). Manipulasi rumen dapat diarahkan untuk meningkatkan
efisiensi pemanfaatan pakan melalui maksimalisasi kecernaan nutrien maupun
sintesis protein mikroba rumen. Manipulasi ini dapat digunakan melalui
penggunaan antibiotik maupun penggunaan probiotik. Penelitian pemafaatan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
171
probiotik dalam pakan telah dilakukan di Bali Ternak dengan hasil yang
menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap peningkatan kecernaan
komponen serat pakan maupun terhadap produktivitas ternak (Haryanto dkk.,
1998).
Hal ini memberikan indikasi bahwa starter mikroba yang mengandung
mikroba proteolitik yang menghasilkan enzim protease dapat merombak
protein menjadi polipeptida yang selanjutnya menjadi peptida
sederhana.Penggunaan starter mikroba dapat menurunkan kadar dinding sel
(NDF) jerami padi dari 73,41% menjadi 66,14%. Menurunnya kadar NDF
menunjukkan telah terjadi pemecahan selulosa dinding sel sehingga pakan
jerami padi akan menjadi lebih mudah dicerna oleh ternak.Mikroba lignolitik
dalam starter mikroba membantu perombakan ikatan lignoselulosa sehingga
selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim lignase.
Fenomena ini terlihat dengan menurunnya kandungan selulosa dan lignin
jerami padi yang difermentasi. Menurunnya kadar lignin menunjukkan selama
fermentasi terjadi penguraian ikatan lignin dan hemiselulosa. Lignin
merupakan benteng pelindung fisik yang menghambat daya cerna enzim
terhadap jaringan tanaman dan lignin berikatan erat dengan
hemiselulosa.Dengan demikian dapat diduga bahwa selama fermentasi terjadi
pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa jerami padi.
PENUTUP
4.1 Simpulan
Berdasarkan analisis data dengan uji F dan BNT maka dapat dibuat
suatu simpulan bahwa terjadi peningkatan kandungan protein pada jerami padi
(Oryza sativaL.) pada proses fermentasi dengan larutan Bio CAS sebagai
pakan ternak ruminansia. Penggunaan Bio CAS paling optimal terjadi pada
konsentrasi 2% (P3) yaitu sebanyak 6,0571%.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
172
4.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang sudah dipaparkan di
atas maka dapat dikemukakan beberapa saran yaitu:
1. Bagi para pendidik khususnya guru biologi atau IPA diharapkan dapat
menggali informasi lewat penelitian ini sehingga dapat menambah
pemahaman tentang bioteknologi fermentasi dan peranan mikroorganisme
serta kandungan protein pada jerami padi, sehingga dapat menularkan
kepadapeserta didik untuk mengembangkan sikap ilmiah melalui kegiatan
penelitian.
2. Bagi peserta didik yang mendapat materi pelajaran bioteknologi khususnya
topik fermentasi dapat memberikan inspirasi dan mengembangkan
penguasaan materi ini lebih luas.
3. Bagi para peternak sapi dan karbau dalam usaha meningkatkan kualitas
pakan ternak pada musim kemarau dimana hijauan segar sulit diperoleh
hendaknya memanfaatkan jerami padi yang diberi Bio CAS.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Tanaman Padi. Avaible at; http//www.google.wikipedia.org/wiki/padi. Opened: 14 Januari 2011.18.00
Djajanegara, A. 1983. Tinjauan Ulang Mengenai Evaluasi Suplemen pada
Jerami Padi. Prosiding Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. Bandung: Lembaga Kimia Nasional LIPI.
Gomez, A. Kwanchai dan Gomez, A. Arturo. 1996. Prosedur Statistik untuk
Penelitian Pertanian. Edisi kedua. Jakarta: Universitas Indonesia. Haryanto, B; A. Thalib dan Isbandi. 1998. Pemanfaatan Probiotik Dalam
Upaya Peningkatan Efisiensi Fermentasi Pakan di Dalam Rumen. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
173
Hastutik, S. 1983. Limbah Pertania sebagai Pakan Ternak Ruminansia dan Cara Memperbaiki Nutrisi. NUFFIC. Malang: Universitas Brawijaya.
Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. New York: Academic Press. Komar, A. 1984. Teknologi Penggolahan Jerami Sebagai Bahan Makanan
Ternak. Bandung: Dian Grahita Lily, A. 1989. Uji dan Standar Mutu Bahan Makanan Ternak. Bogor: Institut
Pertanian Bogor. Pigden, W.J. and F. Bender. 1978. Utilization of Lignocellulosic by ruminant.
World. Anim. Rev. 12 : 30-33.
Preston, T.R. and R.A.Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems with Available Resources in the Tropic and Sub-Tropic. International Colour Production. Stanthorpe, Queensland, Australia.
Ranjhan, S.K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practice in India. New
Delhi: Vikan Pub.House PVT Ltd. Sudijono, A. 2009. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja grafindo
Persada. Sukria, H. Heri dan Rantan Krisna. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan
Baku Pakan diIndonesia. Bogor: IPB Press Kampus IPB Darmaga. Walker. H.G. and G.O.Kohler, 1978. Treatedand Untreated Cellulosic Wastes
and Animal Feeds. Recents Work interaksi the United States of America.
Winarno, F.G. dan S. Fardiaz. 1980. Biofermentasi clan Biosintesa Protein.
Bandung: Angkasa. CURRICULUM VITAE
Nama : Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si NIP : 196512311991031015 NIDN : 00311265047 No. Sertifikat Pendidik : 11108200205241 Pangkat / Golongan : Pembina Utama Muda / IVc Jabatan : Lektor Kepala Tempat / Tgl lahir : Denpasar, 31 Desember 1965 Agama : Hindu Alamat Rumah : Jln. Pulau Bungin Gg. Safari No. 6 Denpasar
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
174
HP. 081236766665 – 085100066608 Perguruan Tinggi / Fak. : IKIP PGRI Bali / FPMIPA Alamat Kantor : Jln. Seroja Tonja - Denpasar Utara
Tlp/Fax (0361) 431434 Pendidikan : S1 Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali,
tahun 1990 S1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar,tahun 1993
S2 Bioteknologi Perlindungan tanaman Program Pascasarjana Fak. Pertanian Univ.
Udayana. tahun 2002 Pengalaman Jabatan 1. Dosen PNS Kopertis Wilayah VIII dpk pada Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP
PGRI Bali, tahun 1991 – sekarang. 2. Ketua Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 1994 – 1999 3. PD III FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 1999 – 2004. 4. Ketua Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 2004 – 2011 5. Dekan FPMIPA IKIP PGRI Bali, 1 April 2011 – 1 April 2015 6. Ketua Badan Penjamin Mutu (BPM) IKIP PGRI Bali, 1 April 2015 – sekarang CURRICULUM VITAE
Nama : Ni Wayan Ratnadi, S.Pd., M.Pd. NIP : 196705101993032007 NUPTK :3337745650300013 Pangkat / Golongan : Guru Muda / III d Jabatan : Penata Tk. I Tempat / Tgl lahir : Denpasar, 10 Mei 1967 Agama : Hindu Alamat Rumah : Jln. Pulau Bungin Gg. Safari No. 6 Denpasar
HP. 08123974024 Tempat Kerja : SMP Negeri 11 Denpasar Guru : IPA Alamat Kantor : Jln. Tukad Punggawa No. 14 Serangan – Denpasar
Selatan Tlp/Fax (0361) 8951021
Pendidikan : S1 Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 1996 S2 Administrasi Pendidikan Univ. Pendidikan
Ganesha (Undiksa) Singaraja, tahun 2010.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
175
PROGRAM INTERVENSI UNTUK MENINGKATKAN PERCAYA DIRI SISWA
Basic consideration, on the application of guidance and counseling programs in schools not only lies in the presence or absence of a legal basis (law) or the provisions of the above, but more important is the awareness or commitment to facilitate the students to be able to develop her potential or achieve development tasks (involving the physical, emotional, intellectual, social, and moral-spiritual). High School is an educational institution that is responsible for facilitating learners to develop in accordance with its potential, and optilamisasi developmental tasks. Problems and risky occur at the high school students including problems in the field of academic, social, personal, and in their career field. Intervention program designed research is a personal matter at high school students concerning the confidence of students approach taken using a combination of group counseling with the game. Through the technique of the game to increase the confidence of students is designed as a form guide, especially at the High School contents of the program to be discussed is about; rational, vision, mission, a description of the needs, objectives, program components, systems support, intervention targets, operational plans, the development of the theme, the development of the service unit, the evaluation.
Key words: Intervention Program, Confidence
PENDAHULUAN
Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penerapan program bimbingan
dan konseling di sekolah bukan hanya terletak pada ada atau tidak adanya landasan
hokum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting
adalah adanya kesadaran atau komitmen untuk memfasilitasi siswa agar mampu
mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya
(menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual). Sekolah
Menengah Atas (SMA) merupakan institusi pendidikan yang bertanggung jawab
dalam memfasilitasi peserta didik untuk berkembang sesuai dengan potensinya, dan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
176
optilamisasi tugas-tugas perkembangan. Sesuai dengan peraturan pemerintah
Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010 kedudukan Sekolah Menengah Atas, yang
selanjutnya disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang
menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai
lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil
belajar yang diakui sama/setara SMP. Pendidikan jenjang SMA memiliki peran
strategis dalam menyalurkan peserta didik untuk melanjutkan kejenjang yang lebih
tinggi atau untuk hidup mandiri dimasyarakat.
Permasalahan yang dihadapi dan riskan terjadi pada pada siswa SMA
diantaranya masalah dalam bidang akademik, sosial, pribadi, maupun dalam bidang
karir mereka. Program intervensi yang dirancang peneliti adalah masalah pribadi
pada siswa SMA yang menyangkut tentang percaya diri siswa pendekatan yang
dilakukan menggunakan perpaduan antara bimbingan kelompok dengan permainan.
Angelis (2003:58-77), dalam mengembangkan percaya diri terdapat tiga aspek
yaitu: 1) Tingkah laku, yang memiliki tiga indikator; melakukan sesuatu secara
maksimal, mendapat bantuan dari orang lain, dan mampu menghadapi segala
kendala, 2)Emosi, terdiri dari empat indikator; memahami perasaan sendiri,
mengungkapkan perasaan sendiri, memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat
mengalami kesulitan, memahami manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada
orang lain, dan 3) Spiritual, terdiri dari tiga indikator; memahami bahwa alam
semesta adalah sebuah misteri, meyakini takdir Tuhan, dan mengagungkan Tuhan.
Wisberg (1995) dan Faud Hasan (1988) dalam Suherman (2008 : 192)
menyatakan dalam proses pembelajaran pengembangan perilaku kognitif dan
akademis harus dipromosikan dalam seting pengarahan tidak langsung atau bermain
agar anak tidak hanya mengikuti tetapi memahami makna. Selanjutnya bermain game
menurut Serok dan Blom dalam (Nandang Rusmana, 2009 : 04) menyebutkan bahwa
bermain game pada intinya bersifat sosial dan melibatkan belajar dan mematuhi
peraturan, pemecahan masalah, disiplin diri, dan control emosional serta adopsi
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
177
peran-peran pemimpin dan pengikut yang semuanya merupakan komponen-
komponen penting dalam bersosialisasi.
Berdasarkan hasil kuesioner yang disebar sebagai bentuk pre tes pada siswa
kelas XI yang berjumlah 138 siswa, diantaranyanya kelas XI IPA2, XI IPA3, XI
IPS2, dan XI IPS3. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara umum siswa
kurang percaya diri. Berikut merupakan profil percaya diri siswa dilihat dari aspek
dan masing-masing indikatornya; 1) Pada aspek Percaya diri dalam bertingkahlaku
dengan sub aspek; keyakinan diri, sikap penerimaan, dan sikap optimis pada setiap
indikatornya; (a) melakukan sesuatu secara maksimal, (b) mendapat bantuan dari
orang lain, dan (c) mampu menghadapi segala kendala berada pada prosentase yang
rendah 2) Pada aspek Percaya diri dalam emosi dengan sub aspek; penilaian diri,
ekspresi emosi, penghargaan positif serta sikap positif, dan masing-masing
(c) memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat mengalami kesulitan, (d)
memahami manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada orang lain berada pada
prosentase yang rendah; 3) Pada aspek Percaya diri dalam spiritual dengan sub
aspek; meyakini takdir Tuhan, dintaranya indikator; (a) memahami bahwa alam
semesta adalah sebuah misteri, (b) meyakini takdir Tuhan, (c) dan mengagungkan
Tuhan juga berada pada kategori rendah. Berdasarkan data yang di dapat berupa
permasalahan siswa di kelas secara umum siswa yang bersangkutan mengalami
masalah dalam prestasi belajar, baik kebiasaan belajar, motivasi, serta cara belajar
yang kurang diketahui siswa oleh siswa. Perilaku siswa dalam belajar juga
menunjukkan adanya suatu hambatan dalam keseharian di kelas. hal ini dapat
diketahui setelah mengadakan pendekatan dengan guru bimbingan dan konseling
yang memegang di kelas yang bersangkutan mengatakan bahwa. Memang sulit untuk
menumbuhkan kemandirian siswa dalam belajar kalau memang siswa tersebut sudah
sangat ketergantungan dengan teman – temannya terutama cara belajar yang kurang
baik. Salah satunya kebanyak siswa mengerjakan PR di sekolah, siswa kurang aktif di
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
178
kelas. Sehingga pada saat pelajaran berlangsung siswa tersebut sulit sekali menerima
materi yang di sampaikan oleh guru di kelas yang akan berdampak pada motivasi
belajar kurang.
Berdasarkan data yang diperoleh dari masing-masing indikataor tersebut
menunjukkan bahwa secara umum siswa kelas XI berada dalam rentang percaya diri
yang rendah. Dalam pelaksanaan pretes ini sudah tentunya mendapatkan persetujuan
dari pihak sekolah, baik dari kepala sekolah selaku orang yang memegang peranan
penting di sekolah SMA, guru BK bahkan dari pihak wali kelas. Program penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa
SMA ini dikembangkan berdasarkan hasil kajian konsep teori percaya diri dan
permainan dalam bentuk kelompok, hasil studi pendahuluan yang relevan, dan
analisis kebutuhan terhadap pentingnya bimbingan kelompok dalam upaya
meningkatkan percaya diri siswa SMA. Oleh karena itu besar harapan dari peneliti
program yang telah dirancang ini dapat dijadikan sebagai acuan serta treatmen pada
siswa terutama yang ada di SMA baik pada masa sekarang serta tahun yang akan
datang terkait dengan percaya diri maupun bentuk yang lain untuk lebih memberikan
motivasi pada siswa dalam belajar mereka.
KAJIAN TEORITIK
A. Visi dan Misi
1. Visi dan Misi Program Bimbingan dan Konseling SMA N 1 Pupuan
Visi program : Mengunggulkan siswa melalui optimalisasi potensi siswa.
Misi program :
a) Memfasilitasi potensi siswa melalui suasana bimbingan yang edukatif, kreatif, dan
menyenangkan
b) Mengembangkan jiwa enterpreuner/ daya saing siswa sejak dini
c) Memfasilitasi siswa untuk menghargai apa (potensi) yang dimiliki siswa melalui
pembiasaan diri
d) Memberikan pelayanan bantuan yang diberikan kepada siswa agar dapat
menjalani kehidupan sehari-hari secara efektif dan mandiri,
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
179
e) Mengembangkan potensi yang dimiliki siswa secara optimal
f) Merencanakan masa depan, berbudi pekerti luhur, serta beriman dan bertakwa
kepada Tuhan.
2. Visi dan Misi Bimbingan Konseling
a. Visi bimbingan dan konseling
Pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan terhadap
timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangannya, dan
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sekarang maupun di
masa yang akan datang.
b. Misi bimbingan dan konseling
Membantu memudahkan siswa mengembangkan seluruh aspek
kepribadiannya seoptimal mungkin sehingga terwujud siswa yang tangguh
menghadapi masa kini dan masa mendatang, yaitu siswa yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, sehat jasmani dan rohani,
mempunyai kepribadian yang mantap, mandiri, serta mempunyai tanggung
jawab terhadap diri, masyarakat, dan bangsanya.
Merujuk dari visi dan misi SMA di atas, maka dapat dijabarkan visi dan
misi program intervensi yang peneliti akan praktikan. Adapun visi dan misi
tersebut dijabarkan sebagai berikut.
Visi :
Visi program intervensi ini adalah “Menunjang pengembangan diri
siswa secara optimal dan memandirikan siswa untuk dapat
menyelenggarakan kehidupan sehari-hari secara efektif melalui peningkatan
percaya diri”.
Misi :
Sesuai dengan visi di atas misi dalam penelitian ini merujuk pada misi
pertama yaitu memfasilitasi potensi siswa melalui suasana bimbingan yang
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
180
edukatif, kreatif, dan menyenangkan dalam upaya meningkatkan percaya diri.
Adapun upaya untuk mewujudkan misi dalam penelitian ini yaitu:
a. Meningkatkan percaya diri dalam bertingkahlaku pada siswa baik
keyakinan terhadap diri, sikap penerimaan terhadap orang lain, maupun
sikap optimis dengan berbagai bentuk permainan yang dilakukan dalam
kelompok.
b. Meningkatkan percaya diri dalam emosi pada siswa, terutama dalam hal
penerimaan diri, mengekspresikan emosi, penghargaan positif, serta sikap
positif, sehingga mampu memberikan kepercayaan pada diri sendiri dan
orang lain.
c. Meningkatkan percaya diri dalam spiritual pada siswa, terutama dalam hal
meyakini takdir Tuhan, sehingga dapat meyakinkan siswa terhadap
kenyataan serta mampu mensyukuri kehidupan.
B. Deskripsi Kebutuhan
Untuk memperlancar pemberian treatmen pada siswa yang hendak diteliti,
maka peneliti akan berpatokan pada deskripsi kebutuhan yang dibuat berdasarkan
hasil need assessment (pretest) tentang percaya diri. Program intervensi penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok pada penelitian ini diberikan pada
siswa yang dikategorikan kurang percaya diri, dari 138 siswa kelas XI yang diberikan
pretest terdapat 24 siswa yang kurang percaya diri aspek yang paling rendah dari ke
tiga aspek yang ada pada percaya diri yaitu percaya diri dalam bertingkahlaku.
Berdasarkan data tersebut peneliti merancang program intervensi berupa penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri
siswa.
Berikut dijelaskan mengenai gambaran siswa yang tidak percaya diri dimulai
dari layanan dasar, responsif dan perencanaan individual. Adapun deskripsi
kebutuhan layanan dasar bimbingan berupa pemberian informasi dari ke tiga aspek
yang diteliti adalah sebagai berikut:
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
181
1. Percaya diri dalam Bertingkahlaku pada penelitian ini adalah bagaimana ekspresi
seseorang terhadap lingkungan. Terdapat tiga indikator pada tingkahlaku ini
diantaranya; a) melakukan sesuatu secara maksimal dalam belajar serta
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, b) mampu bersikap positif terhadap
orang lain yang diekspresikan melalui keyakinan atau sikap percaya kepada orang
lain, c) mampu menghadapi segala kendala. Maksudnya yaitu seberapa kuat
seseorang tersebut dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya, pada
penelitian ini dapat dijabarkan berupa suatu usaha yang dilakukan baik terutama
untuk diri sendiri untuk menjadi lebih mandiri dalam menghadapi persoalan yang
ada di lingkungan sekitar terkait dengan pematangan diri dalam belajar.
2. Percaya diri dalam emosi maksudnya yaitu bagaimana sikap seseorang tersebut
dalam menuangkan perasaan, diantaranya; a) mengetahui perasaan sendiri baik itu
kelebihan serta kekurangan yang ada pada dirnya, b) mengungkapkan perasaan
sendiri. Pada indikator yang dijabarkan berupa perasaan saat ini baik sedih serta
bahagai dalam melakukan interaksi dengan teman ketika seseorang mampu
bergaul dengan teman sekitar atau sebaliknya ketika ditolak oleh lingkungan
sosialnya, c) memperoleh kasih sayang, pengertian dan perhatian disaat
mengalami kesulitan yang. Pada indikator yang diekspresikan melalui bagaimana
seseorang diperlakukan oleh orang lain, begitu juga sebaliknya bagaimana
seseorang tersebut memperlakukan orang lain sehingga memunculkan untuk
saling membantu, d) mengetahui manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada
orang lain. Pada indikator yang dijabarkan artinya hal apa yang bisa dilakukan
untuk menunjukkan diri sebagai pribadi yang mandiri.
3. Percaya diri dalam spiritual maksudnya yaitu bagaimana seseorang tersebut
mensyukuri apa yang dimiliki serta kekurangan yang ada pada dirinya. Pada
indikator ini dapat dijabarkan berupa; a) memahami bahwa alam semesta adalah
misteri artinya suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap
kehidupan di dunia ini, b) meyakini takdir tuhan dapat diekspresikan melalui
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
182
bahwa semua manusia pada akhirnya akan mati, dan perubahan pada dunia
beserta isinya itu nyata dan pasti ada, sehingga ia mampu menerima apa yang dia
miliki baik berupa kelebihan serta kekurangan yang ada pada dirnya, c)
mengagungkan Tuhan, pada indikator ini maksudnya yaitu bentuk syukur yang
dipanjatkan kepada Tuhan atas kebesaran beliau.
C. Tujuan
Tujuan umum yang hendak dicapai melalui program efektivitas penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa
kelas XI SMA ini adalah membantu siswa untuk mampu lebih percaya diri. Adapun
tujuan khususnya agar siswa dapat:
a. Memiliki keyakinan terhadap dirinya sendiri, sikap penerimaan terhadap
orang lain, serta memiliki sikap optimis untuk mencapai sukses terutama
dalam bidang sosial pribadinya.
b. Penerimaan diri, mengekspresikan emosi, penghargaan positif, serta sikap
positif, sehingga mampu melakukan interaksi sosial dengan baik.
c. Meyakini takdir dari Tuhan dengan melihat kekurangan serta kelebihan yang
ada pada diri siswa itu sendiri agar mampu tampil lebih baik lagi.
D. Komponen Program
Program intervendi penggunaan teknik permainan dalam bimbingan
kelompok akan berangkat dari program bimbingan dan konseling perkembangan
yang komprehensif memiliki empat komponen program yaitu;
1. Layanan Dasar Bimbingan
a. Pengertian
Pelayanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada seluruh
siswa melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau
kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka mengembangkan
perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan
(yang dituangkan sebagai standar kompetensi kemandirian) yang diperlukan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
183
dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil keputusan dalam
menjalani kehidupannya.
a. Tujuan
Pelayanan ini bertujuan untuk membantu semua siswa agar memperoleh
perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh
keterampilan dasar hidupnya. Tujuan pelayanan ini dapat dirumuskan sebagai
upaya untuk membantu siswa untuk lebih percaya diri dalam bertingkahlaku,
percaya diri dalam emosi pada siswa, dan percaya diri dalam spiritual.
b. Fokus Pengembangan
Pelaksanaan kegiatan layanan dasar bimbingan ini strategi yang dipilih adalah
bimbingan klasikal yang dilakukan di dalam kelas yang disajikan dalam bentuk
layanan informasi. Adapun tema yang akan dikembangkan dalam layanan dasar
akan berpatokan pada bagian b tentang tujuan dari layanan dasar yaitu tentang:
1) percaya diri dalam bertingkahlaku. Pada aspek yang ini dijabarkan tentang
pentingnya memiliki keyakinan diri, sikap penerimaan, serta sikap optimis dalam
melakukan sesuatu, 2) percaya diri dalam emosi pada siswa. Tema yang akan
dikembangkan pada aspek ke dua ini berupa kematngan emosi yang di dalamnya
terdapat; penialain terhadap diri sendiri, kemampuan siswa dalam
mengekspresikan emosi, penghargaan positif serta mampu bersikap secara
positif, dan 3) percaya diri dalam spiritual.
2. Layanan Responsif
a. Pengertian
Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada siswa yang
menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan
segera. Konseling individual, konseling krisis, konsultasi dengan orang tua, guru
dan alih tangan kepada ahli lain adalah bentuk dari pelayanan responsif.
b. Tujuan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
184
Tujuan pelayanan responsif adalah membantu siswa memenuhi
kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya, hambatan, kegagalan
dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dalam hal ini tentang percaya
diri. Tujuan pelayanan ini sebagai upaya untuk mengintervensi masalah-masalah
atau kepedulian pribadi, sosial-pribadi, karier, dan atau masalah pengembangan
pendidikan.
c. Fokus Pengembangan
Berdasarkan hasil need assesmen yang telah dilakukan berupa penyebaran
kuesioner tentang percaya diri siswa seperti yang telah digambarkan pada
deskripsi kebutuhan yang telah dideskripsikan secara utuh tentang aspek serta
indikator dari percaya diri yang diteliti, diantaranya;. 1) Pada aspek percaya diri
dalam bertingkahlaku, dengan sub aspek keyakinan diri, sikap penerimaan dan
optimis, 2) aspek percaya diri dalam emosional, dengan sub aspek penilaian
terhadap diri, mengekspresikan emosi, penghargaan dan sikap positif, dan 3)
aspek percaya diri dalam spiritual, dengan sub aspek keyakinan diri terhadap
Tuhan.Tindak lanjut berupa konseling individual juga diberikan kepada siswa
apabila dilihat dari hasil prosentase pada deskripsi kebutuhan menjelaskan
bahwa siswa tersebut sangat perlu diberikan konseling individual. Tujuan
dilaksanakannya konseling individual tersebut agar siswa dapat:
a) Meningkatkan keyakinan diri siswa.
Dengan diberikan konseling secara langsung antara konselor dengan klien
dapat dijadikan sebagai bentuk pemecahan alternative guna membantu
perkembangan siswa dalam bidang sosial-akademik, karir, bagi siswa yang
mebutuhkan layanan segera secara individual, maka akan diberikan konseling
individual agar mampu lebih percaya diri.
b) Meningkatkan penghargaan positif.
Setiap siswa memiliki karakteristik pribadi secara sendiri, memang tidak
mudah untuk memberikan sebuah penghargaan kepada diri sendiri karena
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
185
belum tahu apa yang harus dilakukan untuk menunjukkan penghargaan
tersebut. Konseling secara langsaung antara konselor dengan klien yang
diberikan dapat dijadikan sebagai bentuk pemecahan alternative guna
membantu perkembangan siswa dalam bidang sosial-pribadi, akademik, karir,
bagi siswa yang mebutuhkan layanan segera secara individual, maka akan
diberikan konseling individual agar mampu lebih percaya diri. Melalui
konseling individual ini siswa akan mendapatkan perlakukan yang lebih,
untyuk mengungkap serta memecahkan masalah yang dialami siswa. Bahkan
beberapa kasus tertentu dapat ditangani dengan konseling krisis dan
mendatangkan nara sumber.
3. Layanan perencanaan individual
Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada siswa agar mampu
merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan percaya diri,
sehingga dapat bertingkahlaku dengan baik terutama dalam melakukan kegiatan
sehari-hari, mengekspresikan emosi secara rasional, serta meyakini takdir tuhan.
Layanan perencanaan individual pada program ini difokuskan pada intervensi
terutama bagi siswa yang yang kurang percaya diri dalam bentuk pemberian
saran secara berkelompok. Adapun tema layanan ini adalah sebagai berikut;
a. Review hasil pretest dan posttest kuesioner percaya diri. Layanan ini
bertujuan supaya siswa dapat mengetahui kondisi percaya diri awal siswa
yang disampaikan berdasarkan hasil pretest dan kondisi percaya diri siswa
setelah diberikan intervensi penggunaan teknik permainan dalam bimbingan
kelompok yang disampaikan berdasarkan hasil analisis posttest. Siswa akan
mengetahui bagaimana tingkat percaya diri dan pada aspek mana siswa yang
bersangkutan kategorinya rendah. Dengan demikian, maka siswa akan
memiliki perencanaan diri untuk mengkondisikan percaya diri sesuai dengan
hasil intervensi dan usaha yang dilakukan oleh siswa agar lebih percaya diri.
b. Pelatihan teknik permainan secara mandiri. Layanan ini bertujuan supaya
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
186
siswa bisa merasakan efek intervensi dari penggunaan teknik permainan
dalam bimbingan kelompok yang diberikan peneliti. Peneliti memberikan
saran kepada siswa untuk melatih diri sendiri dengan bentuk permainan sesuai
dengan apa yang diinginkan sebagi bentuk tindak lanjut dari intervensi yang
diberikan peneliti di sekolah, bahkan juga dapat melatih diri di depan cermin
yang dengan materi yang disesuaikan kepada apa yang telah diberikan
sebelumnya. Dengan demikian, siswa akan bisa menjadikan penggunaan
teknik permainan dalam bimbingan kelompok sebagai wahana untuk
menciptakan kondisi tenang dan nyaman secara mandiri dalam upaya untuk
meningkatkan percaya diri dengan bentuk latihan disesuaikan dengan proses
intervensi yang telah diberikan peneliti.
4. Dukungan Sistem
Dukungan sistem merupakan komponen pelayanan dan kegiatan manajemen,
tata kerja, infra struktur (misalnya Teknologi informasi dan Komunikasi), dan
pengembangan kemampuan profesional konselor secara berkelanjutan, yang
secara tidak langsung memberikan bantuan kepada siswa atau memfasilitasi
kelancaran perkembangan siswa. Dukungan sistem ini meliputi aspek-aspek: (a)
pengembangan jejaring (Networking), (b) kegiatan manajemen, (c) riset dan
pengembangan. Berikut dijabarkan peranan dari kepala sekolah, wakil kepala
sekolah, koordinator dan guru bimbingan dan konseling, wali kelas, serta guru
mata pelajaran.
a. Kepala Sekolah.
Adapun bentuk keterlibatan kepala sekolah dalam mendukung kegiatan
perealisasian intervensi ini, yaitu :
1) Sebagai penanggungjawab umum dalam pelaksanaan intervensi yang
dilakukan oleh peneliti.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
187
2) Menyediakan sarana dan prasarana sekolah (ruang kelas) serta perijinan
untuk menggunakan fasilitas lain yang dibutuhkan dalam kegiatan
intervensi sebagai daya dukung pelaksanaan penelitian.
3) Peneliti melakukan koordinasi dengan Kepala Sekolah dalam meminta
perijinan waktu pelaksanaan intervensi, serta kegiatan lain yang terkait
dengan intervensi yang akan dilakukan ke siswa.
b. Koordinator Bimbingan dan Konseling
Bentuk keterlibatan koordinator BK dalam mendukung kegiatan
perealisasian intervensi ini, yaitu :
1) Memberikan perijinan untuk melakukan perealisasian program intervensi
serta pertanggungjawabannya kepada Kepala Sekolah.
2) Mengkoordinasikan guru bimbingan dan konseling yang mengampu kelas
yang akan diberikan treatmen untuk mengamati pelaksanaan intervensi
yang dilakukan peneliti.
3) Peneliti selalu berkoordinasi dengan koordinator BK dalam setiap
pelaksanaan kegiatan layanan yang akan dilakukan sebagai bentuk
tanggungjawab kegiatan yang dilakukan.
c. Guru Bimbingan dan Konseling.
Bentuk keterlibatan Guru BK dalam mendukung kegiatan perealisasian
intervensi ini, yaitu :
1) Memberikan ijin pada peneliti untuk melakukan intervensi pada siswa yang
diampunya
2) Mengamati dan mengawasi pelaksanaan intervensi yang dilakukan oleh
peneliti.
3) Memberikan masukan pada peneliti dalam pengkondisian siswa apabila
diperlukan.
4) Peneliti selalu melakukan koordinasi bentuk intervensi yang akan
dilakukan dalam setiap sesi serta waktu pelaksanaannya.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
188
d. Wali Kelas.
Bentuk keterlibatan Wali Kelas dalam mendukung kegiatan perealisasian
intervensi ini, yaitu :
1) Memberikan ijin kepada peneliti untuk merealisasikan program intervensi
pada siswa yang diampunya.
2) Mengidentifikasi perkembangan siswa dengan melakukan diskusi di kelas
(terintegrasi dalam proses pembelajaran), yang mendiskusikan pengalaman
siswa setelah mengikuti intervensi untuk meningkatkan percaya diri siswa.
3) Peneliti melakukan koordinasi dengan wali kelas untuk mengetahui
gambaran umum kondisi siswa di kelas setelah diberikan intervensi pada
masing-masing sesi.
e. Guru mata pelajaran
Bentuk keterlibatan guru mata pelajaran dalam mendukung kegiatan
perealisasian intervensi ini, yaitu : Peneliti berkoordinasi dengan guru mata
pelajaran dalam upaya mengetahui kondisi siswa dalam interaksi
pembelajarannya di kelas, khususnya mata pelajaran yang membuat siswa
tidak percaya diri, serta menyarankan kepada guru mata pelajaran untuk lebih
melibatkan siswa dalam belajar baik secara akademik maupun emosi. Melalui
kegiatan yang dilakukan ini akan memberikan gambaran tentang siswa yang
percaya diri dan yang tidak percaya diri dalam mengikuti pembelajarn di
kelas.
E. Sasaran Intervensi
Program efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok
ini diperuntukkan pada siswa kelas XI SMA yang teridentifikasi percaya diri siswa
rendah. Jumlah siswa yang akan diberikan intervensi penggunaan teknik permainan
dalam bimbingan kelompok dalah siswa kelas XI sebanyak 24 orang. Untuk
mempermudah serta melancarkan peneliti ketika memberikan intervensi kepada siswa
dilakukan secara klasikal kelompok terutama bagi siswa yang diidentifikasi percaya
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
189
dirinya rendah atau dengan kata lain membutuhkan layanan segera, serta pemberian
secara individual kalau memang penanganan siswa tersebut lebih serius yaitu dengan
memberikan konseling individual. Pada penelitian terhadap penggunaan teknik
permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa
adalah: 1) meningkatkan percaya diri dengan penggunaan teknik permainan, dan 2)
meningkatkan percaya diri siswa pada setiap aspek yang perlu untuk ditingkaykan.
F. Rencana Operasional (Action Plan)
Rencana kegiatan (action plan) diperlukan untuk menjamin pelaksanaan program
bimbingan dan konseling dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Rencana
kegiatan adalah uraian detail dari program yang menggambarkan isi komponen
program, baik kegiatan disekolah maupun diluar sekolah, untuk memfasilitasi siswa
mencapai tugas perkembangan tertentu.
Berangkat dari deskripsi kebutuhan di atas, langkah yang dilakukan peneliti
untuk melaksanakan penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok
untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu berupa jadwal pelaksanaan kegiatan.
Ssetelah melakukan pendekatan dengan guru bimbingan dan konseling di sekolah
SMA jadwal untuk intervensi yang diberikan kepada peneliti yaitu setiap hari senin,
rabu, dan kamis sebagai pengganti jam bimbingan dan konseling. Peneliti merancang
program penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk
meningkatkan percaya diri siswa sebanyak 11 kali pertemuan dan pemberian
intervensi disesuaikan dengan aspek yang ada.
G. Strategi Layanan
Strategi layanan yang dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat percaya diri
siswa dimuali dari penyebaran angket berupa kuesioner tentang percaya diri,
dilanjutkan dengan pemberian treatmen tentang penggunaan teknik permainan dalam
bimbingan kelompok dengan tujuan meningkatkan percaya diri siswa, dan diakhiri
dengan memberikan angket kembali berupa posttes tentang percaya diri. Adapun
bentuk strategi yang digunakan untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
190
bimbingan kelompok melalui teknik permainan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut; 1) Tahap awal, 2) Tahap transisi, 3) Tahap kerja, dan 4) Tahap terminasi.
1. Tahap awal (beginning a group) yang terdiri atas :
a) Pernyataan tujuan
Konselor menyampaikan tujuan bimbingan, kompetensi yang ingin dicapai,
materi dan skenario kegiatan.
b) Pembentukan kelompok
Konselor membentuk kelompok sesuai keperluan.
c) Konsolidasi
Konselor memberi kesempatan pada anggota kelompok untuk melakukan
konsolidasi atas tugas-tugas dalam melaksanakan bimbingan.
2. Tahap transisi (transition stage) yang terdiri atas :
a) Storming
Konselor melakukan penanganan-penanganan konflik-konflik internal.
b) Norming
Konselor melakukan re-konsolidasi dan re-strukturisasi kelompok dengan
melakuan pembagian tugas dan kontrak.
3. Tahap kerja (performing stage) yang meliputi :
a) Eksperientasi (experience)
Konselor melaksanakan bimbingan berdasarkan skenario yang telah dibuat
sesuai dengan teknik yang dipergunakan.
b) Identifikasi (identify)
Konselor melaksanakan refleksi tahap satu dengan cara mengidentifikasi pola-
pola respon konseli dalam menerima stimulasi dari konselor.
c) Analisis (analyze).
Konselor melaksanakan tahap refleksi dengan cara mengajak konseli untuk
menganalisis dan memikirkan makna bagi penyelesaian masalahnya.
d) Generalisasi (generalization)
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
191
Konselor melaksanakan refleksi tahap akhir dengan cara mengajak konseli
membuat rencana perbaikan atas kelemahan-kelemahannya. 4. Tahap terminasi (termination stage), meliputi :
a) Refleksi umum
Konselor mengajak konseli untuk melakukan review atas proses konseling yang telah
dilakukan.
b) Tindak lanjut
Konselor memberi penguatan pada konseli untuk merealisasikan rencana-rencana
perbaikannya.
H. Pengembangan Satuan Pelayanan
Untuk melakukan permainan dalam bimbingan kelompok, peneliti
mengembangkan 3 (tiga) satuan layanan sebagai bentuk layanan dasar, 6 (enam)
bentuk satuan layanan yang kana dijadikan panduan dalam kegiatan permainan
sebagai bentuk layanan responsif, dan 2 (dua) sebagai bentuk layanan perencanaan
individual, diantaranya;
1. Pemberian informasi tentang percaya diri dalam bertingkahlaku.
2. Percaya diri dalam mengekspresikan emosi.
3. Percaya diri dalam spiritual
4. Permainan komunikasi dua arah tujuannya yaitu membantu para siswa
berkomunikasi dengan baik dan lebih percaya diri.
5. Permainan cacabucaca tujuannya yaitu a) siswa mampu membuat dan
mengambil keputusan-keputusan untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai,
b) melatih kefokusan siswa dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu
6. Kelereng bergelinding tujuannya yaitu mempertunjukkan bahwa bekerja sama
dengan orang lain di tempat kerja bermanfaat bagi pencapaian kesuksesan.
7. Evakuasi tujuannya yaitu a) membangun kekompakan dengan teman
sekelompok, b) menciptakan stategi yang tepat untuk meraih tujuan dan cita-
cita bersama.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
192
8. Memahami kekuatan dan kelemahan diri tujuannya yaitu untuk menumbuhkan
pemahaman terhadap kekuatan/kelebihan diri melalui analisa teman sehingga
dapat digunakan untuk pemahaman diri
9. Fantasi dengan tema permainan jika aku menjadi tujuannya yaitu, a) membantu
para siswa untuk mensyukuri kehidupan yang dialaminya saat ini, b)
menciptakan pola pikir untuk lebih menumbuhkan sikap semangat dalam
menghadapi hidup
10. Reviu hasil pretest
11. Belajar secara mandiri.
I. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan tujuan mengukur pelaksanaan dan keberhasilan
program efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk
meningkakan percaya diri siswa. Evaluasi menjadi umpan balik secara
berkesinambungan bagi semua tahap pelaksanaan program baik untuk perbaikan
maupun pengembangan di masa yang akan datang.
Evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil observasi setiap
pelaksanaan treatment teknik permainan dan membandingkan hasil pre-test dengan
pos-test melalui tingkat prosentase keberhasilan antara sebelum dan sesudah
treatment. Prosedur evaluasinya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Membandingkan hasil prosentase N-Gain pre-test dengan posttest
Adapun pengambilan keputusan bahwa percaya diri dapat dikatakan
meningkat atau berhasil adalah sebagai berikut:
1) Prosentase masing-masing indikator pada hasil post-test menjadi lebih tinggi
setelah diberikan treatment berupa permainan dalam bimbingan kelompok.
2) Prosentase hasil post-test menjadi lebih tinggi daripada hasil pre-test yang
menunjukkan percaya diri siswa berhasil ditingkatkan melalui peningkatan
prosentase percaya diri siswa. Jurnal Harian Pelaksanaan Intervensi Penilaian
kelompok tergantung pada jurnal yang diisi oleh siswa itu sendiri, mengenai
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
193
perubahan yang telah dirasakan oleh siswa selama mengikuti permainan melalui
kelompok. penggunaan jurnal harian digunakan sebagai hasil observasi selama
siswa mengikuti kegiatan permainan dalam bimbingan kelompok. Tujuannya
adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat perubahan tentang percaya diri yang
dialami siswa setelah diberikan teknik permainan dalam bimbingan kelompok
pada masing-masing indikator percaya diri.
Demikian program bimbingan kelompok dengan teknik permainan untuk
meningkatkan percaya diri siswa untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan akan
layanan bimbingan dan konseling khususnya pada jenis bimbingan yaitu bimbingan
sosial pribadi. Upaya layanan bimbinga tersebut tidak akan berhasil dengan baik, jika
tidak didukung oleh berbagai perangkat bimbingan yang memadai, baik personel
guru, sarana maupun dukungan manajemen. Dengan dukungan semua pihak,
Tabel 1.1 Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Aspek
Sub Aspek
Indikator Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4
1. Percaya diri dalam tingkah laku.
1.1 Keyakinan Diri
a. Melakukan sesuatu secara maksimal.
1.2 Sikap Penerimaan
b. Mendapat bantuan dari orang lain.
1.3 Sikap Optimis
c. Mampu menghadapi segala kendala
2. Percaya diri dalam emosional
2.1 Penilaian Diri a. Memahami perasaan sendiri.
2.2 Ekspresi Emosi
b. Mengungkapkan perasaan sendiri.
2.3Penghargaan Positif
c. Memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat mengalami kesulitan.
2.4 Sikap Positif d. Memahami manfaat apa yang
dapat disumbangkan kepada orang lain.
3. Percaya diri spiritual.
3.1...Keyakinan Terhadap Hal yang Tak terbatas
a. Memahami bahwa semesta adalah misteri yang dapat terus berubah.
3.2 Kebenaran b. Menghayati kodrat alami.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
194
diharapkan perkembangan siswa dapat mencapai sasaran yang optimal, sehingga
siswa mampu mencapai kematangan karier yang baik, karena konteks perkembangan
sosial pribadi terkait dengan percaya diri siswa akan terlihat pada perkembangan serta
perubahan yang mampu ditunjukkan oleh siswa itu sendiri dalam interaksinya di
lingkungan sosial mereka atau di lingkungan sekolah.
REFERENSI Ahman, (1998). Bermain Peran Sebagai Model Bimbingan Dalam Mengembangkan
Keterampilan Sosial Anak Berkemampuan Unggul. (hasil penelitian), Bandung: IKIP
Angelis, B. D. (2005). Confidence : percaya diri sumber sukses dan kemandirian. Bandura, Albert, 1997. Self-Efficacy The Exercise of Control. New York: W.H.
Freeman and Company
Tabel 1.2 Jenis dan Teknik Permainan
Variabel Aspek Jenis Permainan Teknik Permainan Tempat
Percaya Diri
1. Percaya diri dalam tingkah laku.
- Komunikasi satu arah dan dua arah
- Cacabucaca
- Dyad and triad
- Gerak (movement)
Dalam kelas Luar kelas
2. Percaya diri dalam emosional
- Kelereng bergelinding
- Evakuasi
- Gerak (movement) - Gerak (movement),
dan sentuhan
Luar kelas Luar kelas
3. Percaya diri spiritual.
- Memahami kekuatan dan kelemahan diri
- Jika aku menjadi
siswa yang tidak punya
(a) menulis (written), (b) gerak (movement), (c) rounds(melingkar), (d) Umpan balik - Fantasi
Luar kelas Luar kelas
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
195
Badudu. J.S dan Sutan Muhamad Zain, 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Creswell John W, 2005. Eucational Research. University of Nebraska: Person
Education. Hidayat Rahman (2008). Efektivitas Terapi Bermain Kelompok dalam Meningkatkan
Kepercayaan Diri Pada Remaja Awal Panti Asuhan Muhammadiyah Malang_Skripsi: Fakultas Psikolgi Muhammadiyah Malang
Hudi Rahmad . (2009). Permeblajaran Melalui Diskusi Kelompok dalam Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika. Skipsi. Surakarta: FKIP Muhammadiah Surakarta
http://myshandy.multiply.com/journal. (06 Agustus 2010) Juntika Achmad, 2006. Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama. Lositosari Dwi. (2007). Keefektivan Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan
Kepercayaan diri Siswa Yang Tidak Naik Kelas. Skipsi. Malang: FIP UNM Natawidjaja Rochman, 1987. Pendekatan-pendekatan dalam Penyluhan Kelompok I.
IKIP Nurhidayat. (2009). Permeblajaran Melalui Diskusi Kelompok dalam Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika. Skipsi. Surakarta: FKIP Muhammadiah Surakarta
Permana Ediya (2009)..Program Bimbingan Kelompok Dengan Pendekatan Halaqah
(Mentoring) Untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Prayitno.2003. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Padang: Ghalia
Indonesia Ridwan Rustianti, 2008. Program Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan
Kemampuan Interpersonal Siswa. Tesis: SPS BK UPI Bandung. Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Game & Play). Bandung : Rizki.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
196
Suarni, Ketut (2006). Perkembangan Peserta Didik_Modul : Jurusan Bimbingan dan Konseling IKIP Negeri Singaraja.
Sudrajat Dadang, 2008. Program Pengembangan Self-Efficacy Bagi Konselor di SMA
Negeri se-Kota Bandung_Tesis : SPS BK UPI Bandung. Suherman. 2008. Konsep dan Aplikasi Bimbingan dan Konseling. Jurusan PPB UPI Sukardi. Dewa Ketut, 2008. Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Jakarta:
PT.Rineka Cipta Surniwi. Nengah (2002). Kesulitan Belajar Dalam Bidang Matematika ditinjau dari
Kepercayaan Diri_Skripsi. BK FIP IKIP Negeri Singaraja Silvana Clark (2002). .Langkah-langkah Terapi Mengmbangkan Kepercayaan Diri
Anak. Jakarta :PT Alex Media Komputindo Solehuddin.M, (1997). Pengimplementasian Aktivitas Bermain di Taman Kanak-
kanak. (hasil penelitian), Bandung: IKIP Wilson, Kate, dkk. (1992). Play Therapy A Non-directive Approach For Children
and Adolescents. Tokyo : Baillere Tindal Widiastuti Fika. (2009). Kontribusi Konsep Diri dan Rasa Percaya Diri
TerhadapKemampuan Bersosialisasi pada Masa Pueral Dikalangan Remaja; Singaraja_Bali: FIP Undiksha
W.S. Winkel dan M.M. Sri Hastuti. (2004). Bimbingan dan
Konseling di Instritusi Pendidikan. Media Abadi : Yogyakarta.
Yustiana, Yusi.R (1999). Pengelaman Belajar Awal Yang Bermakna Bagi Anak Melalui Aktivitas Bermain. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan
BIODATA PENULIS
Nama : Kadek Suhardita, S.Pd.,M.Pd TTL : Titab 08 Desember 1985. Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Hindu Alamat : Banjar Dinas Baledana Desa Titab, Kecamatan
Busungbiu, Kabupaten Buleleng Provinsi Bali Instansi : IKIP PGRI Bali Denpasar Alamat Kantor : Jalan Seroja Tonja, Denpasar Timur, Tlp 0361431434 HP : 08193638
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
197
IMPLEMENTASI MODEL COLLABORATIVE TEAMWORK LEARNING (MCTL) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR
FISIKA SISWA KELAS XI MIPA 4SMA NEGERI 1 TAMPAKSIRING TAHUN PELAJARAN 2014/2015
Ngakan Ketut Tresnabudi
SMA Negeri 1 Tampaksiring Gianyar
ABSTRACT
This research is motivated by the lack of achievement of learning and motivation student. the purpose this study were 1) Improving the learning achievement of students of class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015 through the implementation MCTL, 2) Increase motivation to learn physics class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015 through the implementation MCTL, 3) Describe a class XI MIPA 4 student responses SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015 of the implementation MCTL in physics learning.
This study uses a class action research design. Samples were students of class XI MIPA 4 second semester in SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015. This study was conducted in two cycles. Each cycle consists of four stages: planning action, action, observsi / evaluation, and reflection. Data were collected with learning achievement tests and questionnaires for learning motivation. Data were analyzed descriptively. The results showed that 1) Implementation of Collaborative Teamwork Learning models in physics learning can improve learning achievement physics class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015, 2) Implementation of Collaborative Teamwork Learning models in physics learning can increase the motivation to learn physics class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015, 3) student responses to the implementation model of Teamwork Collaborative Learning in physics learning in class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic years 2014/2015 in the category learning physics is positive with an average score of 57.
Key Words: Model CTL, Academic Achievement, Motivation To Learn
PENDAHULUAN
Pendidikan itu sendiri merupakan media pembekalan pengetahuan,
pengalaman, keterampilan, dan penguasaan teknologi bagi siswa untuk berkarya
secara inovatif, kreatif dan tepat guna. Dengan kemajuan IPTEKS yang begitu cepat,
melek sains menjadi kebutuhan setiap orang. Melek sains juga merupakan kebutuhan
penting di dunia kerja. Pemahaman tentang sains dan proses sains memberi kontribusi
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
198
besar terhadap keterampilan-keterampilan tersebut (NRC dalam Suma, 2010). Fisika
sebagai salah satu cabang sains, memiliki peranan yang strategis dalam
perkembangan IPTEKS dewasa ini, berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah
terutama tentang standarisasi dalam bidang pendidikan. Berbagai studi yang
mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan pendidikan sudah
dilakukan dalam implementasi kurikulum (Mulyasa, 2006). Sebagai salah satu bentuk
efisiensi dan efektivitas implementasi kurikulum dikembangkan berbagai strategi
implementasi kurikulum. Salah satu kurikulum yang pernah dikembangkan adalah
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan tahun ajaran ini kurikulum
mengalami suatu pemberharuan menjadi kurikulum 2013. Hal tersebut diharapkan
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun rata-rata prestasi belajar siswa
masih rendah. Karena baru penyesuaian proses pembelajaran terhadap kurikulum
2013, belum terlihat adanya peningkatan prestasi belajar siswa. Permasalahan
mengenai rendahnya rata-rata prestasi belajar fisika seperti yang terjadi di SMA
Negeri 1 Tampaksiring. Fakta ini diperoleh dari nilai UTS Fisika siswa kelas XI
MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring yang menunjukkan bahwa prestasi belajar
fisika siswa masih rendah. Selain prestasi belajar, pada proses pembelajaran motivasi
belajar siswa masih rendah.
Ketercapaian aspek kognitif yang ditunjukkan dari rekapitulasi prestasi belajar
Fisika pada ulangan tengah semester siswa bidang studi Fisika, rata-rata nilai kelas
XI MIPA 4 adalah 76. Rata-rata prestasi belajarnya paling rendah diantara kelas XI
MIPA yang lain. Nilai rata-rata prestasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 masih
berada di bawah KKM yang ditetapkan yaitu 78. Belum tercapainya ketuntasan
prestasi belajar Fisika di kelas XI MIPA 4 mengindikasikan masih terdapat
kesenjangan antara tuntutan kurikulum dengan apa yang telah dicapai sekarang ini.
Kesenjangan-kesenjangan tersebut terjadi karena terdapat banyak faktor yang
mempengaruhinya. Dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang menyebabkan
rendahnya motivasi belajar dan prestasi belajar Fisika siswa yaitu sebagai berikut.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
199
Pertama, rendahnya motivasi siswa tentunya diakibatkan oleh berbagai faktor.
Salah satunya tampak ketika siswa mengikuti proses pembelajaran tidak semua aktif
dalam diskusi seperti menanggapi pertanyaan guru maupun menjawab pertanyaan
teman. Hanya beberapa orang siswa saja yang tampak aktif menjawab dan
menanggapi pertanyaan guru. Ketika siswa diberikan permasalahan dan mereka tidak
mampu memperoleh solusi secara otomatis, maka siswa cenderung menyerah dan
mengeluh bahwa soal-soal fisika itu sangat sulit untuk dikerjakan. Kedua,
kemampuan pemecahan masalah siswa belum maksimal.
Salah satu hal yang menyebabkan yaitu soal-soal yang dikerjakan siswa
umumnya hanya mengacu pada konsep matematis yang sudah sering dijumpai,
sehingga kurang menantang. Jika siswa diberikan persoalan Fisika kontekstual yang
menyangkut tentang konsep tertentu, maka sebagian besar siswa mengalami
kesulitan. Ketiga, pada proses pembelajaran, khususnya belajar dalam bentuk
kelompok, beberapa siswa yang cerdas mendominasi karena mereka bekerja secara
individu sementara siswa yang kurang kemampuannya cenderung bertanya kepada
teman lain yang lebih mampu. Siswa tidak bisa memecahkan masalah yang kompleks
secara individu. Mereka harus bekerja sama dan berkolaborasi di dalam kelompok
sehingga terjadi interaksi antara siswa yang memiliki kemampuan lebih dengan siswa
yang kurang pengetahuannya.
Bertolak dari identifikasi penyebab permasalahan yang dikemukakan di atas,
nampak bahwa faktor pembelajaran yang paling dominan sebagai faktor penyebab
rendahnya prestasi belajar Fisika siswa. Oleh karena itu, peneliti ingin meningkatkan
motivasi belajar dan prestasi belajar Fisika siswa melalui penerapan model
pembelajaran inovatif. Semua aktivitas dalam tim tersebut dapat dirundingkan dan
diorganisasikan sendiri oleh siswa, selain itu siswa dalam timnya juga dapat
berkolaborasi sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar. Menurut
Hackbert & College (2004), tim merupakan kelompok jenis khusus yang
didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang bekerja secara kooperatif
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
200
(bersama-sama) dengan tujuan kerja yang spesifik. Salah satu model pembelajaran
yang dapat dijadikan alternatif dalam pengoptimalan motivasi dan prestasi belajar
adalah dengan menggunakan model Collaborative Teamwork Learning (MCTL)
dalam pembelajarannya. MCTL merupakan suatu model pembelajaran yang
memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan bekerja secara kolaboratif
dalam tim.
MCTL mengacu pada model pengajaran di mana siswa bekerja bersama
dalam satu “team” yang saling membantu dalam belajar. Konsep “teamwork” yang
dimaksud adalah siswa yang bekerja dalam satu kelompok bersama-sama belajar dan
memecahkan suatu permasalahan di mana semua siswa saling menyumbangkan
pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok
maupun individu serta memberi suatu ikatan kekompakan (Anderson, 2008). MCTL
memiliki beberapa tahapan menurut (Colvin, 2007; Frances, 2008), yaitu 1) Forming,
kegiatan pembentukan team, menetapkan tujuan dan tanggung jawab masing-masing
anggota dalam tim serta mendiskusikan dan merumuskan permasalahan yang
diberikan oleh guru. 2) Stroming, mencakup kegiatan pengungkapan hipotesis dari
siswa terkait dengan permasalahan yang diberikan. Siswa dalam hal ini mengajukan
suatu hipotesis terkait permasalahan yang diberikan. 3) Norming, menentukan
sumber-sumber yang berkaitan untuk memecahkan permasalahan yang dibahas dalam
LKS. Selain sumber dari buku-buku yang terkait, siswa juga dapat melakukan suatu
penyelidikan sebagai sumber lain dalam pemecahan masalah. 4) Perfoming,
mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah melalui kegiatan presentasi tim.
Kegiatan ini, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan hasil
penyelidikannya. 5) Adjourning, mencakup kegiatan pengkolaborasian pemahaman
berdasarkan persentasi yang telah dilakukan.
Sesuai dengan penelitian Kapp (2009) menyatakan bahwa MCTL dapat
meningkatkan motivasi, menambahkan ketekunan pada siswa ketika menghadapi
kesulitan dan siswa dapat lebih mudah mentransfer pengetahuan dan keterampilan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
201
yang diperoleh melalui pengalaman belajar bersama. Penerapan MCTL diharapkan
dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika dan motivasi belajar siswa.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut. 1) Apakah implementasi MCTL
dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1
Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 ? 2) Apakah implementasi MCTL dapat
meningkatkan motivasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1
Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015? 3) Bagaimanakah tanggapan siswa kelas
XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 terhadap
implementasi MCTL dalam pembelajaran Fisika?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas (classroom
action research) yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan motivasi, dan
prestasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun
pelajaran 2014/2015. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus
terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan,
observsi/evaluasi, dan refleksi. Siklus I terdiri dari tiga kali pertemuan untuk
membahas materi gerak harmonik sederhana, satu kali pertemuan untuk tes akhir
siklus. Siklus II terdiri dari 3 kali pertemuan untuk membahas materi impuls dan
momentum,1 kali pertemuan untuk tes akhir siklus.
Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah semua siswa kelas XI MIPA 4
SMA Negeri 1 Tampaksiring semester 1 tahun pelajaran 2014/2015, yang berjumlah
37 orang yang terdiri dari 18 orang siswa laki-laki dan 19 orang siswa perempuan.
Data prestasi belajar siswa dikumpulkan melalui pemberian tugas terstruktur (PR),
lembar kerja siswa (LKS), kuis, dan tes di akhir siklus. Data motivasi belajar siswa
dikumpulkan dengan menggunakan angket motivasi belajar Fisika. Pada akhir
pelaksanaan tindakan, siswa diberikan kuisioner yang berfungsi untuk menggali
tanggapan siswa terhadap penerapan MCTL selama proses pembelajaran di kelas.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
202
Data prestasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan
menentukan nilai prestasi belajar siswa yang diperoleh melalui LKS, kuis, tugas-
tugas, dan tes akhir siklus. Skor-skor yang telah diperoleh pada masing-masing
penilaian dikonversi dalam skala 100. Siswa dikatakan tuntas jika KK 85%. Hal ini
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh SMA Negeri 1 Tampaksiring yaitu
kriteria ketuntasan minimal (KKM) untuk mata pelajaran fisika adalah 78. Data
motivasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif berdasarkan skor rata-rata motivasi
belajar, mean ideal (MI), dan standar deviasi ideal (SDI). Tanggapan siswa terhadap
penerapan MCTL dikumpulkan dengan kuisioner atau angket tanggapan siswa.
Angket yang digunakan yaitu model skala Likert dengan pilihan sangat setuju (SS),
setuju (S), ragu-ragu (R), kurang setuju (KS) dan tidak setuju (TS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Siklus I
Tabel 4.1 Deskripsi Nilai Prestasi Belajar Fisika Siswa pada Akhir Siklus I
Deskripsi Kognitif Siswa Siklus I
Rata-Rata 77
Standar Deviasi 3,22
Nilai Terendah 68
Nilai Tertinggi 83
Berdasarkan Tabel 4.1, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata prestasi belajar
fisika siswa untuk aspek kognitif pada siklus I adalah sebesar 77.
Secara klasikal nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa berkategori baik.
Karena memakai rentangan nilai pada kurikulum 2013, nilai B bervariasi ada yang
mendapat B+, B-, dan B, namun masih tetap dikatakan berkategori baik. Jika nilai
rata-rata ini dibandingkan dengan nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa sebelum
tindakan siklus I, di mana untuk nilai rata-rata sebelum tindakan siklus 1 adalah
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
203
sebesar 76 maka di ketahui adanya peningkatan nilai rata-rata prestasi belajar fisika
siswa.
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh skor rata-rata motivasi siswa
sebesar 70 yang tergolong kategori tinggi.
Hasil Siklus I
Tabel 4.2 Deskripsi Nilai Prestasi Belajar Fisika Siswa pada Siklus I dan
Siklus II
Berdasarkan Tabel 4.2, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata prestasi belajar
fisika siswa untuk aspek kognitif pada siklus II adalah sebesar 79. Secara klasikal
nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa berkategori baik, meskipun ada yang
mendapat B, maupun B+. Jika nilai rata-rata ini dibandingkan dengan nilai rata-rata
prestasi belajar fisika siswa pada siklus I, maka diketahui adanya peningkatan nilai
rata-rata prestasi belajar fisika siswa.
Skor motivasi siswa yang paling banyak adalah berkategori tinggi yang
berjumlah 32 orang. Skor rata-rata motivasi siswa pada siklus II lebih besar daripada
siklus I.
Hasil analisis data skor tanggapan siswa, maka diperoleh skor rata-rata
tanggapan sebesar 57 yang berada pada kategori positif. Sebagian besar siswa merasa
senang selama mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan model Collaborative
Teamwork Learning.
Deskripsi Kognitif Siswa
Siklus I Siklus II
Rata-Rata 77 79
Standar Deviasi 3,22 3,71
Nilai Terendah 68 71
Nilai Tertinggi 83 86
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
204
Pembahasan
Berdasarkan analisis terhadap proses pelaksanaan implementasi model
Collaborative Teamwork Learning (MCTL) pada siklus I dan siklus II, terungkap
bahwa pembelajaran pada siklus I terlihat belum optimal. Hal ini ditunjukkan dari
adanya beberapa kemampuan dan perilaku siswa yang belum sesuai dengan harapan.
Terdapat siswa yang belum berani mengemukakan pendapatnya dan tampak
canggung ketika menanggapi pertanyaan ataupun pada saat bertanya. Kegiatan
diskusi dalam setiap kelompok juga tampak belum optimal. Hal ini dapat dimaklumi
karena siswa belum terbiasa dengan model MCTL ini.
Hasil penelitian siklus I menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan prestasi
belajar. Nilai rata-rata prestasi belajar pada siklus I juga sudah mencapai kategori
baik. Peningkatan prestasi belajar fisika siswa sebelum siklus sampai akhir siklus I,
yaitu dari 76 menjadi 77. Pada siklus I prestasi belajar siswa belum mencapai
ketuntasan klaksikal.
Hal ini disebabkan siswa belum terbiasa dengan model yang diterapkan.
Untuk Skor motivasi pada siklus I sebesar 70 yang berkategori tinggi. Berarti siswa
sudah memiliki motivasi yang tinggi dalam mengikuti pelajaran Fisika. Sebelum
diterapkan MCTL, siswa sedikit minatnya untuk belajar Fisika, motivasi siswa rendah
dalam mengikuti pelajaaran Fisika. Secara umum terjadi peningkatan secara klasikal
baik dari motivasi maupun pestasi belajar fisika siswa. Namun peningkatan tersebut
belum optimal, ketidakoptimalan yang terjadi pada siklus I ini kemudian dijadikan
bahan refleksi siklus I. Hasil refleksi siklus I tersebut kemudian dijadikan pijakan
untuk proses pembelajaran pada siklus II.
Pada pelaksanaan siklus II, kegiatan pembelajaran telah lebih dioptimalkan
sesuai dengan hasil refleksi siklus I. Secara ringkas, keseluruhan hasil refleksi pada
siklus I tersebut, yaitu 1) mengoptimalkan kerjasama kelompok yang heterogen, 2)
meminimalkan dominasi beberapa individu atau kelompok, 3) meningkatkan
motivasi belajar, 4) meminimalkan kadar pemberian tuntunan, 5) meningkatkan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
205
kepercayaan diri siswa dalam melakukan presentasi, 6) merancang RPP agar sesuai
dengan alokasi waktu yang tersedia. Semua hasil refleksi tersebut nantinya akan
bermuara pada pelaksanaan pembelajaran pada siklus II yang diharapkan lebih baik
dari siklus I.
Upaya perbaikan yang dilakukan pada siklus II menunjukkan hasil yang
positif. Berdasarkan hasil penelitian pada siklus II, terungkap bahwa terjadi
peningkatan prestasi belajar fisika siswa dari siklus I. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa skor rata-rata prestasi belajar siswa dari siklus I sampai siklus II, yaitu dari 77
menjadi 79 yang berkategori baik. Pada siklus II ada beberapa siswa yang belum
tuntas, namun kelas sudah dapat dikatakan tuntas karena sudah mencapai ketuntasan
klaksikal sebesar 86% berarti lebih besar dari 85%. Untuk skor motivasi juga
mengalami peningkatan, yaitu dari skor 70 menjadi 72 yang berkategorikan tinggi.
Secara umum, peningkatan prestasi belajar fisika dan motivasi belajar siswa
di kelas XI IPA 4 telah tercapai. Namun, masih terdapat beberapa kemampuan siswa
dalam menganalisis khususnya permasalahan yang ada di LKS. Hal ini menyebabkan
tingginya tingkat tuntunan guru dalam menuntun siswa, dalam memberikan
penjelasan. Namun, permasalahan tersebut sudah mulai diatasi pada siklus II,
pengurangan tuntunan dalam upaya meningkatkan kemandirian siswa dalam proses
pembelajaran bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang lebih efektif yang
berpusat pada siswa. Selain itu, skor rata-rata motivasi belajar siswa berada pada
kategori tinggi. Namun, jika dilihat sebaran skor motivasi siswa, maka diketahui
jumlah siswa yang memiliki tingkat motivasi sangat tinggi mengalami penurunan.
Selain itu, juga terjadi peningkatan jumlah siswa yang memiliki motivasi tinggi dan
penurunan jumlah siswa dengan tingkat motivasi cukup tinggi. Hal ini disebabkan
oleh materi yang dibahas cukup mudah dimengerti dan sedikit persamaan-persamaan,
sehingga siswa kurang tertantang dalam belajar.
Sesuai dengan pandangan kontruktivis, dalam pelaksanaan MCTL ini, siswa
merupakan pusat kegiatan belajar yang mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
206
Pembelajaran MCTL yang bersifat student centered serta pemberdayaan pengetahuan
awal siswa dapat meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini terjadi karena konsep yang
dibelajarkan telah terkait dengan fenomena yang sesuai dengan pengetahuan awal
siswa. Hal ini mampu menambah kebermaknaan belajar dan meningkatnya motivasi
belajar siswa. Selain itu, terkait dengan MCTL Gupta (2008) menyatakan rekan
kolaborasi dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, walaupun tergantung pada
faktor-faktor kompleks seperti usia, tingkat kemampuan, motivasi, kepercayaan diri,
gender dan tugas. Senada dengan penelitian Kapp (2009) menyatakan bahwa MCTL
dapat meningkatkan motivasi, Selain itu, juga dapat meningkatkan kinerja, prestasi
dan keakraban mereka dalam satu regu (kelompok).
Secara keseluruhan, hasil analisis baik secara teoritis maupun operasional dari
implementasi MCTL, ternyata mendukung keberhasilan penelitian tindakan kelas ini.
Penelitian ini tergolong berhasil meningkatkan prestasi dan motivasi belajar fisika
siswa di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015
karena mampu mencapai indikator peningkatan dan memenuhi kriteria keberhasilan
prestasi belajar dengan kategori baik dan motivasi belajar dengan kategori tinggi.
Terkait dengan tanggapan siswa kelas XI MIPA 4 terhadap implementasi
model pembelajaran, dapat dideskripsikan bahwa sebanyak 5% siswa memberikan
tanggapan sangat positif, sebanyak 84% memberikan tanggapan positif, dan sisanya
sebanyak 11% cukup positif. Selain itu, sebagian besar siswa menyarankan agar
MCTL tetap diterapkan dalam pembelajaran fisika di kelas mereka.
Selain keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dengan penerapan MCTL
di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015, perlu
juga dibahas kendala yang ditemui. Kendala yang dihadapi dalam implementasi
MCTL, siswa sudah memiliki LKS dan buku dari sekolah, namun siswa malas untuk
membaca. Hanya beberapa siswa yang membaca, sehingga perlu adanya tuntunan
dari guru berupa penyampaian konsep-konsep penting. Namun, disadari bahwa
pemberian tuntunan yang berlebihan menyebabkan kemandirian siswa menjadi tidak
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
207
optimal dan juga pemberian tuntunan ini pada dasarnya tidak dapat menggantikan
fungsi buku sebagai bahan ajar yang lebih lengkap.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, implementasi model Collaborative Teamwork Learning dalam
pembelajaran fisika dapat meningkatkan prestasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA
4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa pada siklus I dan siklus II.
Kedua, implementasi model Collaborative Teamwork Learning dalam
pembelajaran fisika dapat meningkatkan motivasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA
4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan skor rata-rata prestasi belajar fisika siswa pada siklus I dan siklus II.
Ketiga, tanggapan siswa terhadap implementasi model Collaborative
Teamwork Learning dalam pembelajaran fisika di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1
Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 dalam pembelajaran fisika berada pada
kategori positif dengan skor rata-rata sebesar 57.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian tindakan kelas
ini, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut.
Pertama, model Collaborative Teamwork Learning dapat digunakan guru
fisika sebagai salah satu alternatif dalam upaya meningkatkan prestasi belajar fisika
siswa di kelas-kelas yang memiliki masalah yang sama dengan yang teridentifikasi
oleh peneliti di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran
2014/2015.
Kedua, bagi praktisi pendidikan yang ingin melaksanakan penelitian tindakan
kelas dengan model Collaborative Teamwork Learning diharapkan memperhatikan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
208
hasil refleksi dalam penelitian tindakan kelas ini, yang meliputi 1) penyesuaian
kegiatan belajar dengan alokasi waktu yang tersedia, dan 2) perancangan pelaksanaan
kegiatan belajar dan perangkat pembelajaran yang baik sehingga pembelajaran
menjadi efektif.
Ketiga, model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning cocok
diterapkan dalam pembelajaran fisika karena sesuai dengan tuntutan Kurikulum 13
yang menekankan proses pendidikan pada pendekatan saintifik.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson. 2008. High perfomance cooperative learning. Artikel. Tersedia pada
http://www.anderson.ucla.edu/smith/htm. Diakses pada tanggal 9 September
2014.
Colvin, A. C. 2007. Managing innovation: how collaborative design visualitation can
facilitate teamwork. International conference on engineering and product
H.57.3.139-143. Diakses pada tanggal 16 September 2014.
Mulyasa. 2006. Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Suma, I K. 2010. Efektivitas Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Peningkatan
Pengusaan Konten dan Penalaran Ilmiah Calon Guru Fisika. Jurnal
Pendidikan dan Pengajaran. 43(6). 47-55.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
209
PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PROFESIONAL GURU MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si IKIP PGRI BALI
ABSTRAC
The tutorship is a professional position, because it has fulfilled the criteria like the tutorship has involved intellectual activities, has a special torso, requires long preparations for the lap, require continuous in-service training, a life and career about membership permanent, raw determine behavior, and also adopt codes and service of conduct are adhered to by its members.
To increase the effort to competence and profesionalism of teacher performance should be sustainable. Recognition of competence and professionalism is not enough market by the acquisition of teaching certificate, but is accompanied by a continous self-development and coaching that will not cease from various stakeholders.
One effort that can be done immediately and bring the double benefit is the class action research. That is realistic pragmatic so as to resolve the various problems that exist in both the learning prosess, in class or lab. Classromm action research through the issues of education and learning can be assessed, omproves and cimpleted. So the process of normative education and learning can be realised optimally.
Key Words : Professional, Classroom Action Research I. Pendahuluan
Permasalahan yang masih perlu diatasi dalam penyelenggaraan pendidikan
nasional adalah rendahnya kualitas hasil pendidikan. Tudingan pun diarahkan pada
Guru sebagai penyebabnya, pertama mengingat peran strategis guru sebagai ujung
tombak pelaksanaan pembelajaran. Rendahnya pencapaian hasil pendidikan
dipengaruhi kinerja guru yang rendah, dan kinerja itu sendiri dipengaruhi oleh
pemilikan kompetensi guru rendah pula. Sebagai penjabaran tuntutan profesionalisme
kerja, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 16 Tahun 2007 yang memuat tentang Standar Minimal kualifikasi dan
kompetensi guru.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
210
Peraturan yang tertuang dalam Permendiknas di atas perlu dipahami sebagai
hal yang terbuka dan dinamis. Artinya, kemampuan guru bukan merupakan hal yang
statis, sebaliknya mengandung tuntutan agar senantiasa mengembangkan diri,
meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja. Menurut Iskandar Agung,
pengakuan telah memenuhi kompetensi melalui pemberian sertifikat pendidik pun
bukan merupakan alasan guru harus puas terhadap hasil yang dicapainya, melainkan
perlu menunjukkan tindakan pengembangan diri secara berkelanjutan. (2014:4).
Upaya peningkatan kompetensi dan professional kinerja guru harus dilakukan
secara berkelanjutan. Pengakuan kompetensi guru dan professional tidak cukup hanya
ditandai dengan perolehan sertifikasi pendidik, melainkan disertai upaya
pengembangan diri terus menerus dan pembinaan yang tidak henti-hentinya dari
berbagai pihak yang terkait. Untuk meningkatkan kompetensi dan professional guru
dalam menyelesaikan masalah pembelajaran yang dihadapi saat menjalankan
tugasnya, salah satunya dapat dilakukan melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK),
baik secara mandiri oleh guru yang bersangkutan maupun secara berkolaboratif
(sesama guru). Hal ini sejalan dengan pendapat, Sudarwan Danim (2011), yang
mengatakan untuk meningkatkan kompetensi dan professionalism guru bisa ditempuh
melalui program penelitian untuk menguji dan mengakses kemampuan
profesionalnya.
Melalui PTK, masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran dapat dikaji,
ditingkatkan dan dituntaskan sehingga proses pendidikan dan pembelajaran yang
inovatif dan hasil belajar yang optimal dapat diwujudkan secacra sistematis. PTK
menawarkan peluang sebagai strategi pengembangan kinerja melalui pemecahan
masalah pembelajaran. Sebab pendekatan penelitian ini menempatkan guru sebagai
peneliti sekaligus sebagai agen perubahan (Masnur Muslich, 2009:6).
Dengan cara demikian, para guru tidak lagi dianggap sekedar sebagai
penerima pembaharuan yang diturunkan dari atas, tetapi guru bertanggung jawab dan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
211
berperan aktif untuk menghubungkan pengetahuan dan keterampilannya sendiri
melalui penelitian tindakan dalam proses pembelajaran yang dikelolanya.
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1. Apakah jabatan guru merupakan jabatan professional?
2. Bagaimanakah konsep dasar Penelitian Tindakan Kelas itu?
3. Apakah melalui Penelitian Tindakan Kelas dapat meningkatkan kompetensi
dan professional guru?
II. Pembahasan
2.1. Jabatan Guru merupakan jabatan profesional
Profesi guru menuntut keprofesionalan. Karena itu jabatan guru merupakan
jabatan professional yang pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Sebagai
professional, guru harus selalu meningkatkan pengetahuan, sikap dam keterampilan
terus menerus. Sebagai jabatan, harus dapat menjawab tantangan perkembangan
masyarakat, jabatan guru harus selalu dikembangkan dan dimutahirkan. Dalam
bersikap pun guru harus selalu mengandalkan pembaharuan sesuai tuntutan
kegiatannya.
Jabatan guru telah memenuhi kriteria jabatan professional anatara lain bahwa
jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang
khusus, memerlukan persiapan yang cukup lama untuk memangkunya, memerlukan
latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan
keanggotaan yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan,
mempunyai kode etik yang dilihat oleh anggotanya.
Hal ini sejalan dengan Nasional Education Association (NEA) (1948)
menyatakan, untuk jabatan guru kriterianya seperti berikut ini:
1. Jabatan yang melibatkan kegaitan intelektual
2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus
3. Jabatan yang memerl;ukan persiapan professional yang lama
4. Jabatan yang memerlukan “lahitan dalam jabatan” yang berkesinambungan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
212
5. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan ke anggotaan yang permanen
6. Jabatan yang memerluklan bahu (standarnya) sendiri
7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan diatas kepentingan pribadi
8. Jabatan yang mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat
2.2. Konsep Dasar Penelitian Tidnakan Kelas (PTK)
a) Pengertian PTK
Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat
reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan
kemampuan rational dari tindakan-tindakan yang dilakukannya itu, serta untuk
memperbaiki kondisi dimana praktik kegaitan pembelajaran tersebut dilakukan (Raka
Joni, 1988). Sedangkan Suharsini Arikunto (2006) menjelaskan penelitian tindakan
kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kejadian belajar berupa sebuah
tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat dinyatakan PTK merupakan penelitian
yang bersifat reflektif. Kegiatan penelitian berangkat dari permasalahan riil yang
dihadapi oleh guru dalam proses belajar mengajar, kemudian direfleksikan
pemecahan masalahnya dan ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan nyata yang
terencana dan terukur. Hal penting dalam PTK adalah tindakan nyata yang dilakukan
guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar.
Tindakan itu harus direncanakan dengan baik dan dapat diukur tingkat
keberhasilannya dalam pemecahan masalah tersebut. Jika ternyata program itu belum
dapat memecahkan masalah yang ada, maka perlu dilakukan penelitian siklus
berikutnya untuk mencoba tindakan lain (alternatif pemecahan yang lain sampai
permasalahan dapat diatasi).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dalam kegaiatn PTK, guru merupakan
faktor utama yang harus memainkan perannya secara baik. Guru dintuntut memiliki
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
213
kepekaan terhadap setiap permasalahan dalam proses bealjar mengajar. Tanpa
kepekaan guru sulit menemukan permasalahan yang layak untuk diteliti atau
diperbaiki.
b) Empat Langkah Utama PTK
PTK dapat dilaksankan melalui empat langkah utama yaitu: perencanaan,
tindakan, observasi dan refleksi (Susilo, 2009)
(1) Perencanaan (Planning)
Kegiatan perencanaan mencakup (a) Identifikasi masalah, (b) analisis
penyebab adanya masalah, dan (c) pengembangan bentuk tindakan (aksi) sebagai
pemecahan masalah.
Untuk keperluan identifikasi masalah dalam PTK, ada beberapa hal yang
harus disepakati antara lain, (1) masalah harus benar-benar terjadi dan dirasakan oleh
guru pada saat melaksanakan tugas, (2) problematika, artinya masalah perlu
dipecahkan berkaitan dengan tanggung jawab, kewenangan dan tugas seorang guru.
(3) memiliki manfaat yang jelas, artinya pemecahan masalah yang dilakukan akan
memberikan manfaat yang jelas bagi siswa dan guru karena ada kemungkinan kalau
masalah tidak segera diatasi akan mengganggu penguatan kompetensi berikutnya
dalam proses pembelajaran yang mempunyai sifat berkesinambungan dan (4) dapat
dipecahkan oleh guru selaku pelaksana penelitian tindakan kelas.
Setelah guru menemukan masalah, perlu segera melakukan langkah
identifikasi penyebab munculnya masalah. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan
analisis terhadap penyebab adanya masalah yang akan dijadikan landasan berpikir
untuk mencari alternatif suatu tindakan yang dapat dikembangan sebagai bentuk
solusi atau pemecahan masalah.
(2) Tindakan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
214
Dalam menentukan bentuk tindakan yang dipilih perlu
mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan sebagai beriktu: (a) Apakah tindakan
yang dipilih telah mempunyai landasan berpikir yang mantap, baik secara kajian
teoritis maupun konsep?, (b) Apakah altenatif tindakan yang dipilih dipercaya dapat
menjawab permasalahan yang muncul?, (c) Bagaimana cara melaksanakan tindakan
dalam bentuk strategi langkah-langkah setiap siklus dalam proses pembelajaran di
kelas? Dan (d) Bagaimana cara menguji tindakan sehingga dapat dibuktikan telah
terjadi perbaikan kondisi dan peningkatan proses dalam kegiatan pembelajaran di
kelas yang diteliti.
Jawaban sementara atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas disebut
hipotesis tindakan, yakni alternatif tindakan yang dipandang paling tepat atau
dipercaya oleh peneliti akan mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Setelah ditetapkan bentuk tindakan yang dipilih sesuai dengan rencana
pelaksanaan tindakan, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan
tindakan dalam proses pembelajaran sesuai dengan skenario pembelajaran yang
sudah dibuat oleh guru.
(3) Observasi
Kegiatan observasi dalam PTK dilakuakan untuk mengetahui dan
memperoleh gambaran lengkap secara obyektif tentang perkembangan proses
pembelajaran, dan pengaruh dari tindakan yang praktis terhadap kondisi kelas dalam
bentuk data. Atau bisa dikatakan sebagai kegiatan merekam informasi dampak dari
pelaksanaan tindakan, baik dengan atau tanpa alat bantu. Data yang dihimpun melalui
pengamatan ini meliputi data kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan indikator-
indikator yang telah ditetapkan. Pengambilan data harus bersifat multiple data
collection, jangan hanya menggunakan satu instrument saja. Kegiatan pengambilan
data dapat dilakukan diantaranya dengan cara; obsevasi, wawancara, angket, jurnal,
dokumentasi maupun nilai ulangan tes.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
215
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan data berkaitan
dengan observasi ini adalah (1) jenis data yang di himpun memang diperlukan dalam
rangka implementasi tindakan perbaikan, (2) indikator-indikator yang ditetapkan
harus tergambar pada perlaku-perilaku siswa dan guru secara terukur, (3) kesesuaian
prosedur pengambilan data dan (4) pemanfaatan data dalam analisis dan refleksi.
(4) Refleksi
Refleksi dilakukan untuk mengadakan upaya evaluasi yang dilakukan guru
dan tim pengamat dalam PTK. Refleksi dilakukan dengan cara berdiskusi terhadap
berbagai masalah yang muncul di kelas penelitian yang diperoleh dari analisis data
sebagai bentuk dari pengaruh tindakan yang telah dirancang. Pada kegaiatn refleksi
ini juga ditelaah aspek-aspek mengapa, bagaimana dan sejauh mana tindakan-
tindakan yang dilakukan mampu memperbaiki masalah secara bermakna.
Berdasarkan masalah yang muncul pada refleksi hasil perlakuan tindakan pada siklus
pertama, maka akan ditentukan oleh peneliti apakah tindakan yang dilaksanakan
sebagai pemecahan masalah sudah mencapai tujuan atau belum. Melalui refleksi
inilah maka peneliti akan menentukan keputusan untuk melakukan siklus lanjutan
ataukah berhenti karena masalahnya telah terpecahkan. Misalnya target yang
ditetapkan, anak harus mendapat nilai 70, ternyata hasil pada siklus pertama baru
mencapai nilai 68, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan pada siklus ke dua.
c) Struktur Laporan Penelitian
Menurut Sarwiji Suwandi, Laporan penelitian terdiri dari tiga bagian, bagian
awal, bagian pokok dan bagian akhir. (2010:64). Berikut ini dikemukakan salah satu
contoh struktur atau format penelitian
Bagian Awal
LEMBAR JUSUL PENELITIAN
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
216
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL (JIAK ADA)
DAFTAR GAMBAR (JIKA ADA)
DAFTAR LAMPIRAN
Bagian Pokok
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.2. Temuan Hasil Penelitian Relevan
2.3. Kerangka Berpikir
2.4. Hipotesis Tindakan
BAB III: METODE PENELITIAN
3.1. Setting Penelitian
3.2. Subyek Penelitian
3.3. Data dan Sumber Data
3.4. Teknik Pengumpulan Data
3.5. Validasi Data
3.6. Teknik Analisis Data
3.7. Indikator Kinerja
3.8. Prosedur Penelitian
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
a) Perencanaan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
217
b) Tindakan
c) Pengamatan
d) Refleksi
4.2 Hasil Penelitian Siklus II
a) Perencanaa
b) Tindakan
c) Pengamatan
d) Refleksi
4.3. Hasil Penelitian Siklus III
a) Perencanaa
b) Tindakan
c) Pengamatan
d) Refleksi
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian
BAB V : SIMPULAN
5.1 Simpulan
5.2 Saran
Bagian Akhir
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
2.3. Melalui PTK Dapat Meningkatkan Kompetensi Dan Profesional Guru
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, dan undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang
Gguru dan dosen, peningkatan kompetensi guru menjadi isu strategis dalam rangka
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
218
meningkatkan mutu pendidikan. Bahkan menurut peraturan pemerintah RI jomor 19
tahun 2005 tersebut pada pasal 31 ditegaskan, bahwa selain kualifikasi, guru sebagai
tenaga pendidik juga dituntut untuk memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan
tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan. Dalam hal ini kemampuan meningkatkan
kompetensi akademik di bidang penelitian serta juga menjadi satu keharusan yang
tidak bisa dilupakan oleh setiap tenaga pengajar dan tenaga kependidikan lainnya.
Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan salah satu indikator kongkrit dari
peningkatan kompetensi tersebut.
Secara ideal guru merupakan agen pembaharuan. Sebagai agen pembaharuan,
guru diharapkan selalu melakukan langkah-langkah inovatif berdasarkan hasil
evaluasi dan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukannya.
Langkah inovatif sebagai bentuk perubahan paradigma guru, dapat dilihat dari
pemahaman dan penerapan guru tentang penelitian tindakan kelas (PTK). PTK sangat
mendukung program peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah yang muaranya
adalah peningkatan kualitas pendidikan. Karena dalam proses pembelajaran, guru
adalah praktisi dan teorisi yang sangat menentukan. Peningkatan kualitas
pembelajaran, merupakan tuntutan logis dari perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang semakin pesat. Perkembangan ipteks mengisyaratkan
penyesuaian dan peningkatan proses pembelajaran secara berkesinambungan,
sehingga berdampak positif terhadap peningkatan kualitas lulusan dan keberadaan
sekolah tempat guru itu mengajar. Selain itu PTK juga merupakan alat atau prasarana
yang ampuh untuk meningkatkan keprofesionalan guru.
III. Simpulan
Berdasarkan uraian diatas dibawah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
3.1. Guru meruapkan jabatan professional, mengingat jabatan guru telah memenuhhi
kriteria jabatan professional antara lain, jabatan itu melibatkan kegiatan
intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan
yang cukup lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan yang
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
219
bereksinambungan, merupakan karier cukup dan keanggotaan yang permanen,
menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan dan mempunyai kode
etik yang ditaati oleh anggotanya.
3.2. Penelitian TIndakan Kelas (PTK merupakan penelitian yang bersifat reflektif.
Kegiatan penelitian berangkat dari permasalahan riil yang dihadapi oleh guru
dalam proses belajar mengajar, kemudian direfleksikan alternatif pemecahan
masalahnya dan ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan nyata yang terencana
dan terukur.
3.3. Penelitian Tindakan Kelas perlu dikuasai oleh guru sebagai salah satu sarana
untuk meningkatkan kompetensi dan keprofesionalan guru, melalui
peningkatan kinerja, tertama peningkatan proses dan hasil pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Asef Uniar Fakhruddin. 2010. Menjadi Guru Favorit. Yogyakart: Penerbit Diva Press. Iskandar Agung. 2014. Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta: Penerbit Bee
Media Pustaka. Mahmud Khalifah. 2009. Menjadi Guru Yang Dirindu. Surakarta: Ziyad Visi Media. Masnur Muslich. 2009. Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi
Aksara. Nasional Education Association.1948. Division of Field Service. Dalam Institute on
Professional and Publik Relation. Washington DC: The Association. Raka Joni, T. 1988. Konsep Dasar Peneltian Tindakan Kelas (Classroom Action
Research). Jakarta: Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah Depdikbud.
Sarwiji Suwandi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Karya Ilmiah.
Sudarwan Danim. 2011. Pengembangan Profesi Guru Dari Pra Jabatan, Induksi ke Profesional Madani. Jakarta: Kencana.
Suharsini Arikunto. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Susilo. 2009. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
221
SENI PERTUNJUKAN TARI JOGED BUNGBUNG YANG EXIS DALAM BENTUK ,FUNGSI DAN MAKNA
NAMA : LUH PUTU PANCAWATI.
Abstract
Bali has a specific name in the association world called the island of the
Gods says Bali is an island paradise (The Paradise Island) which is described by
novelist Hickman Powel by Nehru, also dubbed Bali island whose inhabitants the
religious majority. Thousands of the Hindu beauty is the Bali island, Even many
of the foreigners who chase our art was recognized by outsiders this is where the
need of a fort that later can maintain its artistry, beauty natural and cultural
uniqueness which includes seven elements (1) religious system (2) systems and
organization community (3) knowledge systems (4) languages (5) art (6) Systems
livelihood (7) system technology and equipment. The cultural life arts almost
none religious ceremonies in Bali has without participating dance, movement is
one of the main elements that functioned as communication media with all its
forms and variations but still showed the style and identity Bali smelling religious
art. To get adequate results is need for discussion (1) understanding of dance
joged bungbung (2) The form of the performing arts Dance jogged bungbung (3)
Clothing dance joged bungbung (4) accompaniment the music (5) the function of
performing arts of dance jogged bungbung (6) The meaning of the art of dance
performance jogged bungbung. Based on the description above has been done to
support the development of the art of balinese dance can be summarized as
follows:(1) the objectives to be achieved (2) good dance education formal and
non-formal (3) facing internal problems and external factors (4) sacral art to be
shown and the ticket sales transaction (5) the emergence of art jogged bungbung
that exis (6) need of government attention to the arts (7) the need for clear rules
and firm.
Keywords: dance jogged bungbung the exis.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
222
Abstrak
Bali punya nama spesifik dalam pergaulan dunia yang disebut dengan
pulau Dewata orang bilang bali adalah pulau Surga( The Paradise Island ) yang
digambarkan oleh Novelis Hickman Powel oleh Nehru ,bali juga dijuluki pulau
seribu yang penduduknya mayoritasberagama Hindu dengan keindahan pulau bali
banyak orang asing yang memburunya bahkan sempat kesenian kita diakui oleh
orang luar disinilah perlu sebuah benteng yang nantinya bisa menjaga kesenian
tersebut ,dengan keindahan alam dan keunikan kebudayaan yang meliputi tujuh
unsure (1) sistem religi (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan (3)
sistempengetahuan (4) bahasa (5) kesenian (6) Sistem mata pencaharian (7) sistem
teknologi dan peralatan .Kehidupan seni budaya hampir tidak ada satupun upacara
keagamaan di Bali tanpa ikut serta pertunjukan tari ,gerak merupakan salah satu
unsure utama yang difungsikan sebagai media komonikasi dengan segala bentuk
dan variasi namun tetap menunjukan corak serta identitas kesenian bali yang
berbau religius . Untuk mendapat hasil yang memadai perlu adanya pembahasan
(1) pengertian tari joged bungbung (2) Bentuk seni pertunjukan Tari jogged
bungbung (3) Busana tari joged bungbung (4) iringan musiknya (5) fungsi seni
pertunjukan tari jogged bungbung (6) Makna seni pertunjukan tari jogged
bungbung .Berdasarkan uraian diatas yang telah dilakukan untuk mendukung
perkembangan seni tari bali dapat disimpulkan sebagaiberikut :(1) adanya tujuan
yang harus dicapai (2) pendidikan tari baik bersifat formal maupun non formal (3)
menghadapi faktor masalah internal dan ekternal (4) seni sacral ditontonkan dan
adanya transaksi penjualan karcis (5) munculnya kesenian jogged bungbung yang
exis (6) perlu perhatian pemerintah terhadap kesenian (7) perlu adanya peraturan
yang jelas dan tegas.
Kata kunci : tari jogged bungbung yang exis .
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
223
Bab I Pendahuluan
Bali punya nama spesifik dalam pergaulan dunia yang disebut dengan
pulau Dewata dimana mempunyai nilai universal apalagi orang bilang Bali adalah
pulau Surga ( The Paradise Island ) sebagaimana yang digambarkan Novelis
Hickman powel oleh Nehru.Bali Juga dijuluki Pulau Seribu Pura karena
penduduknya yang mayoritas beragama Hindu oleh sebab itulah orang asing
memburu kesenian kita dengan banyak keindahanya.Sebagai penerus harus
mempertahankan kebudayaan yang dimiliki terutama kesenianya yang memiliki
nilai kesakralan ,jangan sampai jatuh ketangan orang asing disinilah perlu adanya
sebuah benteng yang nantinya bisa menjaga kesenian tersebut. Pulau Bali dikenal
oleh hamper seluruh pelosok dunia karena keindahan alam dan keunikan
kebudayaanya yang meliputi beberapa unsure kebudayaan antara lain seni
rupa,seni sastra,seni suara dan seni tari.perkembangan seni dan budaya di Bali
meliputi berbagai unsure kebudayaan .Ada tujuh unsur-unsur kebudayaan (1) sisti
religi dan upacara (2) system dan organisasi kemasyarakatan (3) system
pengetahuan (4) bahasa (5) kesenian (6) Sistem mata pencaharian hindu (7)
system teknologi dan peralatan. Ketujuh unsure ini tidak dapat dipisahkan .Tari
merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa bersumber pada akar tradisi yang
dapat menumbuhkan sikap dasar terhadap penanaman nilai dan norma-norma
akan kecintaan seni budaya bangsa .Nilai keberadaan seni tari dari zaman dahulu
hingga sekarang merupakan imajinasi kreativitas manusia melalui pengembangan
akal budi dan pemikiran yang pada akhirnya menjadi bagian penting dari
kehidupan masyarakat Bali yang difungsikan sebagai media persembahan ,sarana
pelengkap upacara ,pengikat solidaritas dan komonitas maupun sekedar sebagai
hiburan semata.
Kehidupan seni budaya ini didukung oleh kenyataan yang ada yaitu
hampir tidak ada satupun upacara keagamaan di Bali tanpa ikut serta pertunjukan
tari ,gerak merupakan salah satu
unsur utama yang difungsikan sebagai media komonikasi dengan segala bentuk
banyak variasi sesuai dengan ungkapan dan selera masyarakat pendukungnya
namun tetap menunjukan corak serta identitas kesenian Bali yang berbau religius
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
224
.Untuk mendukung perkembangan seni tari Bali maka perlu adanya pendidikan
tari baik bersifat formal maupun non formal .Seni dan budaya tidak bisa lepas dari
dunia pendidikan .Dewasa ini dunia tari Bali juga dunia tari di tempat lain tengah
menghadapi banyak masalah yang disebabkan oleh berbagai faktor-faktor internal
dan ekternal .Secara internal para aktivis tari belum secara total mengabdikan diri
kepada dunia tari baik sebagai penyaji ,pengkaji creator pengajar atau pelatih
,penulis dan sebagainya .Kiprah para aktivitastari masih terfokus pada wilayah
kesenian dari pada masuk ke wilayah budaya .Secara ekternal masyarakat dan
pemerintah masih memperlakukan seni tari sebagai sumber hiburan secara pelepas
stress atau sebagai komoditi .Akibatnya hingga dewasa ini masih banyak kegiatan
pendidikan kreativitas dan pertunjukan tari yang tidak berjalan sesuai harapan
(Dibia I wayan dalam seminar tari 29 april 2015 ).Bahkan ada beberapa desa yang
menjual seni sakral kita misalnya sang hyang jaran ditontonkan oleh para
wisatawan kemudian desa memungut karcis sebagai timbal baliknya ,bagaimana
masyarakat menyikapinya dan bagaiman tindakan pemerintah terhadap kesenian
kita ? juga munculnya kesenian joged bungbung yang begitu perkembanganya
sangat exis sekali dengan meperlihatkan pangkal pahanya yang membuat
penonton bergairah ,satu bukti dari hasil didikan dan pelatihan tari yang sudah
mengabaikan nilai-nilai dan identitas budaya Bali .Tari kerakyatan Bali yang
selam ini dikenal sebagai seni pergaulan kini telah berkembang menjadi tontonan
cabul .Jika para penari
jogged bungbung diberikan pendidikan seni yang benar dengan memahami ajaran
agama Hindu
yaitu tiga kerangka dasar perpikir berkata dan berbuat yang benar dan
menjungjung etika ,susila dan moral yang tinggi setidaknya penari akan sadar
dengan dirinya daripada sekedar iming-iming upah uang ,besar kemungkinanya
penari –penari tersebut akan merasa malu untuk memperlihatkan pangkal pahanya
bahkan melakukan adegan seksual di depan umum .
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
225
Bab II Pembahasan
2.1.Pengertian tari jogged bungbung adalah :merupakan tari pergaulan
Bali yang terdapathampir di seluruh Bali .Joged sebagai tari rakyat sudah
berkembang sejak zaman lampau ,hanya mulai popular kembali sebagai seni
pertunjukan kurang lebih pada tahun 1940 an salah satu diantara nya adalah
“jogged bungbung “(diiringi dengan gambelan tabung bamboo).Memuncak
perkembanganya pada tahun 1945di daerah Bali Utara bagian Barat khususnya di
daerah Seririt ,Munduk dan suwung .Sebagai hiburan pada musim panen maka tari
ini juga tumbuh di Negara dan Tabanan bahkan sampai saat ini berkembang
kembali dengan exisnya .Bungbung berarti tabung bamboo sebuah istilah untuk
memberi nama seperangkat gambelan jogged.
2.2.Bentuk Seni Pertunjukan Tari Joged Bungbung biasanya dipertunjukan
oleh empat atau enam orang penari dan tampil di pentas satu persatu ,gerak
tarinya sejak semula merupakan gerak improvisasi yang erotis , dan membawa
kipas untuk menepak pasanganya ,merangsang para pengibing untuk segera
tampil dalam pentas ,dalam tarian ibing ini banyak kelihata gerak –gerak yang
sensual ,goyang pinggul yang berlebihan sehingga membuat penonton kepingin
ngibing ,tidak memiliki tari pendahuluan ,tidak mempergunakan pengawak
legong atau lakon lain , di jaman sekarang ini bebas menggunakan panggung
bahkan sampai turun panggung .begitulah perkembangan jogged di jaman
sekarang ini.
2.2.1.Busana adapun busana yang dipergunakan dalam jogged bungbung
sangat sederhana ,meliputi kain batik baju kebaya dan selendang ,gelungan yang
dipakai oleh jogged bungbung juga sangat sederhana berupa petitis (dahi)yang
bagian belakangnya dihiasi dengan bunga-bunga cempaka yang sangat indah
,bagian muka gelungan jogged bungbung serupa dengan gelungan yang dipakai
oleh lakon sita dalam sendratari Ramayana .
2.2.2 Iringan ( musiknya ) diiringi dengan gambelan tabung bamboo
sebuah istilah untuk member nama seperangkat gambelan joged
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
226
2.3.Fungsi Seni Pertunjukan Tari Joged bungbung ,dalam klasifikasi tari
Bali berdasarkan fungsinya menurut Bandem ,1982:4 dapat dibedakan menjadi
tiga bagian yaitu (1) seni tari wali /sacral reliqius dance (2) seni tari bebali
(ceremonial dance) adalah seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara
/upakara di pura-pura atau di luar pura (3) seni tari balih-balihan (seculer dance)
salah satu fungsi tari joged bungbung yaitu seni tari balih-balihan (secural dance
)yang sedang exisnya dimasyarakat sebuah tari pergaulan yang mempunyai seni
serius dan seni hiburan dimana mempunyai unsure dasar seni yang luhur namun
tidak tergolong tari wali .
2.4.Makna yang tergandung dalam seni pertunjukan tari jogged bungbung
adalah dari segi sosial dimana salah satu Tri Hita Karana hubungan manusia
dengan manusia tari jogged ini tari pergaulan yang memiliki unsure sosialnya
sangata tinggi dan mendapat tempat yang wajar dalam hati masyarakat bali
disamping dipersiapkan untuk hotel –hotel juga sebagai pertemuan resmi
Pemerintahan Indonesia termasuk pada pertemuan puncak ASEAN tahun 1977 di
Kuta,disamping memiliki unsure ibing-ibingan yang tampak menjadi unsurutama
dalam tari sosial di Pulau Bali dengan adanya seni pertunjukan jogged bungbung
masyarakat berdatangan baik tua maupun muda yang melebur dan luluh menjadi
satu yang mampu memberikan hiburan baik penari maupun penontonnya ,pada
dasarnya hakekat seni adalah untuk di komonikasikan ,dinikmati ,ditonton
,didengar atau diresapi kehadiran sebuah seni.
2.4.1.Makna yang terkandung dalam seni pertunjukan tari jogged
bungbung adalah dari segi ekonomi dengan kemajuan IPTEK maka kehidupan
dituntut untuk melakukan kemajuan ,kesejahtraan mungkin penyebabnya adalah
perekonomian yang semua itu lapangan kerja semakin mengecil ,penduduk
semakin padat dan tidak mau bekerja keras sehingga tidak peduli dengan keadaan
kesenianya terutama seni tarinya khususnya di Bali ada belakangan ini seorang
penari jogged habis menari bisa diajak kencan keluar setelah itu dibayar,begitulah
perkembangan seni di jaman sekarang ini hanya sebagai topeng belaka, kesenian
dan kebudayaan telah bergeser dari apa yang menjadi warisan nenek moyang kita
dahulu.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
227
Bab III Penutup
1.Diharapkan kepada pemerintah ,kepada para aktivis dari daerah setempat
jika masih ingin menjadikan tari bali sebagai simbol kebanggaan budaya tameng
pertahanan tradisi supaya punya komitmen dan tanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan keaktivitas dan pementasan tari bali agar tetap lestari dan
mencari pembentukan jati diri .
2.Kurangnya indikasi kuat dari telah terjadinya kreativitas seni yang
menyimpang dari trilogi satyam,Shiwam dan sundaram yang melandasi tradisi
budaya Bali dan melampau nilai-nilai budaya termasuk batas-batas kewajaran
yang bisa diterima oleh masyarakat luas .
3.Bidang pengkajian /penelitian tari atau penulis tari adalah bagian-bagian
dunia tari yang selama ini kurang mendapat perhatian untuk itu pendidikan tari
kita ,khususnya di Bali perlu dirancang ulang sedemikian rupa agar mampu
melahirkan pemikiran pemikiran penulis dan kritikus tari selain penyaji –penyaji
The process of education cannot be separated from the learning process in monitoring the success of the process belajar¬-teaching, especially in formal education. Achievement of learning is one of the important indicators in the learning process. Learning achievement must be the hope of all the components involved in the teaching and learning process. For students, academic achievement is something that is highly coveted and became a target to be achieved in the whole process of education that is being pursued. Thus, in addition to follow the rules that apply in the teaching and learning process, students will attempt to take a variety of ways, tips or strategies to achieve the feat. The purpose of this study was to determine: Application of inquiry method can improve learning achievement in social studies class VIII SMP 9 Denpasar Inkuiri method is a technique or method used by teachers to teach the class. The implementation is as follows: the teacher divides the task of researching something of a problem to the class. Students are divided into groups, and each group received a specific task to be done. Then they studied, researched or discussed its role in the group. After the results of their work in a group discussion, then made a report in good order. This type of research is the Classroom Action Research (CAR), which was conducted in two cycles. Subjects of this study were 40 students of class VIII E SMP 9 Denpasar 2012/2013 school year, while the object of this research is student achievement in the application of learning methods inquiry conducted in two cycles. Data collected by the task group and test methods. The data obtained from the task group and the test method were analyzed by quantitative descriptive technique. The results showed that an increase in student learning outcomes in social studies learning with application of methods of inquiry learning. While the results of the application of the first cycle obtained an average score of student learning outcomes E Junior High School eighth grade 9 Denpasar in social studies are 72.63 and 72.63% absorption students. This indicates an average increase of 5.2 student learning outcomes, ie from 67.43 at baseline to 72.63 reflection on cycle I. The number of students who complete the first cycle is 22 students (55.00%) of the 18 students (45.00%) did not complete. If these values are classified and presented it can be seen that the two students (5%) were categorized in a very good level, 20 students (50.00%) were categorized at a very good level, 15 students (37.50%) were categorized at levels sufficient, 3 students (7.50%) were categorized at levels less, and no student is considered a very poor level. Key Word: Inkuri, achievement
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
230
A. Latar Belakang Masalah
Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran dalam
mencermati keberhasilan dalam proses belajar-mengajar, khususnya pada
pendidikan formal. Prestasi belajar merupakan salah satu indikator penting dalam
proses pembelajaran. Prestasi belajar tentunya menjadi harapan dari segala
komponen yang terlibat dalam proses belajar-mengajar tersebut. Bagi para siswa,
prestasi belajar merupakan sesuatu yang sangat didambakan dan menjadi suatu
target yang harus dicapai dalam keseluruhan proses pendidikan yang sedang
ditempuh. Dengan demikian, disamping mengikuti aturan-aturan yang berlaku
dalam proses belajar-mengajar tersebut, para siswa akan berupaya menempuh
berbagai cara, kiat ataupun strategi untuk mencapai prestasi tersebut.
(Kunandar,2004:80)
B. Landasan Teori
Metode Inquiri merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan guru untuk
mengajar di depan kelas. Adapun pelaksanaanya sebagai berikut: guru membagi
tugas meneliti sesuatu masalah ke kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus
dikerjakan.Kemudian mereka mempelajari, meneliti atau membahas tugasnya di
dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka dalam kelompok didiskusikan,
kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik
Prestasi belajar adalah perubahan perilaku individuakan memperoleh perilaku
yang baru, menetap, fungsional, positif, disadari dan sebagainya. Perubahan
perilaku sebagai hasil pembelajaran atau prestasi belajar ialah prilaku secara
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
231
keseluruhan yang mencakup aspek kognitif, afektif, konatif, dan motorik, (Euis &
Priansa Donni : 155)
C. Metode Penelitian
Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencernatan terhadap kegiatan
pembelajaran berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi
dalam sebuah kelas secara bersamaan (Arikunto,2006:2-3). Penelitian Tindakan
Kelas untuk membantu seseorang dalam mengatasi secara praktis persoalan yang
dihadapi dalam situasi darurat dan membantu pencapaian tujuan ilmu sosial dan
ilmu pendidikan dengan kerjasama dalam kerangka etika yang disepakati
bersama” (Wiraatmadja,2007:11)
D. Hasil Penelitian
a. Rencana Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian tindakan ini dapat berupa kelas maupun sekelompok orang
yang bekerja di industri lembaga sosial lain yang berusaha menigkatkan
kinerja”(Sukardi,2011:2Berdasarkan penelitian diatas maka dalam penelitian ini
yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII E SMPN 9
Denpasar tahun pelajara 2012/2013.
2. Objek Penelitian
Yang menjadi objek dalam penelitian adalah proses belajar mengajar yang
berlangsung selama dua siklus, di kelas VIII E SMPN 9 Denpasar Tahun
Pelajaran 2012/2013, metode pembelajaran inkuiri dengan aktivitas belajar
diskusi kelompok.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
232
3. Waktu dan Lama Penelitian
4. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 9 Denpasar yang beralamat di jalan Brigjen I
Gusti Ngurah Rai Sanur No.177, Denpasar.
b. Prosedur Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) secara prosedural adalah lingkungan secara
partisifatif atau kolaborasi antara guru, bidang studi dan guru lainnya. Tim ini
harus bekerja sama mulai dari tahap orientasi sehingga tercapai kesempurnaan
setiap siklusnya, yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar IPS pada
siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013. Pelaksanaan
penelitian ini dirancang mengikuti beberapa tahap sebagai berikut :
1. Refleksi Awal
Prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran IPS masih dibawah KKM. Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah adalah 75 dengan daya
serap 75% penelitian dalam siklus dapat dilaksanakan sebagai berikut :
a. Tahap Perencanaan Siklus I
Perencanaantindakan pada siklus I akan dilakukan tindakan seperti berikut :
1. Permohonan ijin penelitian yang diajukan kepada Kepala Sekolah SMPN 9
Denpasar dengan membawa surat pengantar dari Rektor IKIP PGRI BALI.
2. Penelitian berkoodinasi dan mengkolaborasikan metode inkuiri dalam pelajaran
IPS dengan guru mata pelajaran Ngakan Putu Widana, S.Pd.
3. Mengidentifikasi siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar dengan melibatkan hasil
belajar IPS sebelumnya.
4. Menyusun program pembelajaran yang meliputi tempat, jadwal, waktu dan materi
pembelajaran (dalam bentuk RPP ).
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
233
5. Menyusun materi pembelajaran IPS dengan efektif dan efisien.
6. Mensosialisasikan metode pembelajaran inkuiri kepada siswa secara mantap,
terutama dalam pembelajaran IPS.
7. Menyusun Instrumen yang terdiri dari :
a). Tes hasil belajar
b) Panduan observasi
c) Dokumentasi
b. Tahap Pelaksanaan Tindakan Siklus I
Pada tahap ini dilaksanakan tindakan yang merupakan tindakan penerapan
rencana pembelajaran yang telah disusun. Pada siklus I dilaksanakan 2 kali
pertemuan dengan alokasi waktu 2 x 40 menit pelajaran setiap pertemuan. Dalam
tahap pelaksanaan ini, tindakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Guru mengawali dengan salam pembuka dilanjutkan denganmengadakan absensi
kehadiran siswa.
2) Membangkitkan motivasi siswa melalui apersepsi yang merupakan fase untuk
mengarah perhatian pada fase belajar berikutnya.
3) Menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang harus
dicapai siswa dalam kegiatan pembelajaran.
4) Siswa dibagi kedalam 8 kelompok yang terdiri dari 4-5 orang
5) Guru menjelaskan materi pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang
diharapkan dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri
6) Guru membagi beberapa rumusan masalah kepada masing-masing kelompok yang
sudah dibagi.
7) Siswa mempresentasikan rumusan masalah tersebut dalam bentuk kelompok.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
234
8) Guru memberikan peluang kepada kelompok lain untuk menanggapi presentasi
yang telah dilakukan.
9) Guru mengajak siswa bersama-sama membahas rumusan masalah tersebut dengan
memberikan penegasan pembahasan yang dilakukan guru menutup pelajaran
c. Tahap Observasi Siklus IPada tahap ini dilakukan kegiatan pengamatan pada
suatu proses pembelajaran sedang berlangsung. Dalam hal ini observasi yang
dilakukan berdasarkan instrument chek list yang telah dirancang sebelumnya,
berarti objek observasi adalah hal-hal yang tercantum dalam instrument chek
list.Dalam melakukan pengamatan, perlu dicatat sedikit demi sedikit apa yang
terjadi agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya.
d. Tahap Refleksi siklusI
Refleksi siklus I didasarkan pada hasil yang diperoleh dari pelaksanaan siklus I.
Tujuannya adalah untuk memperoleh umpan balik dan perbaikan serta penemuan
unsur-unsur yang menguatkan. Kegiatan refleksi ini juga dilakukan untuk
mengkaji pelaksanaan dengan melihat hambatan yang dialami dalam siklus
sebelumnya dan faktor penyebab hambatan tersebut, kemudian mencari solusi
pemecahan masalah untuk merencanakan perbaikan yang akan dilaksanakan pada
siklus selanjutnya
c. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dengan data
yang dibutuhkan berlandaskan pada tujuan peelitian.
Berdasarkan uraian di atas data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Metode Tes
Tespada hakikatnya merupakan cara pengumpulan data dengan
memberikanbeberapa pertanyaan atau tugas yang semuanya harus dikerjakan atau
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
235
dijawab oleh peserta tes (testee), dan hasil dari tes berupa skor atau bersifat
interval,tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dengan aturan yang
sudah ditetapkan.
2. Observasi
Observasipada prinsipnya merupakan cara memperoleh data yang lebih dominan
menggunakan indera penglihatan (mata) dalam proses pengukuran terhadap suatu
objek atau variabel tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi bertujuan untuk mencapai hasil evaluasi yang ada pada
siklus I sampai siklus berikutnya. Menurut Kunandar menyatakan bahwa
“Dokumen yang menyangkut para partisipasi penelitian akan menyediakan
kerangka bagi data yang mendasar.
d. Analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif
deskriptif.Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Sesuai
dengan metode yang digunakan mengolah data dalam penelitian ini maka
ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menskor Tes
Penyekoran mengenai tugas siswa ditetapkan sesuai aspek yang dinilai dalam
pembelajaran IPS melalui media gambar. Dalam penskoran, dimana tes terdiri
dari soal pilihan ganda dan uraian pada masing-masing siklus dan setiap soal
diberi bobot skor yang berberda,
2. Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar
Skor yang diperoleh dari hasil tes merupakan skor mentah dan harus diubah
menjadi skor standar. Untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
236
didasarkan pada kriteria tertentu atau norma. Norma yang digunakan dalam
penelitian ini adalah norma absolut, yaitu suatu norma yang ditetapkan secara
absolut atau mutlak oleh guru atau pembuat tes, berdasarkan atas jumlah soal,
bobot masing-masing soal, serta persentase penugasan yang dipersyaratkan.
Dengan demikian, skor standar yang diperoleh seseorang akan di dasarkan atas
konversi norma absolut akan mencerminkan penguasaan siswa terhadap bahan
yang diberikan.
3. Menentukan Rata-rata Hasil Belajar Siswa
Langkah berikutnya dalam memperoleh data adalah mencari skor rata-rata.
Skor rata-rata dapat dilakukan dengan menggunakan nilai kemudian dibagi
subjek. Untuk mengetahui peningkatan yang terjadi dapat dilihat dengan cara
membandingkan antara siklus
4. Menghitung Daya Serap dan Ketuntasan Belajar Siswa. Setelah dilaksanakan
tindakan, nilai rata-rata presentasi belajar yang diperoleh siswa lebih besar atau
sama dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), Daya Serap Siswa (DSS) lebih
besar atau sama dengan Kriteria 75%. Hal ini sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan oleh SMPN 9 Denpasar, maka penelitian ini dikatakan berhasil.
5. Menentukan Peringkat Prestasi Belajar Siswa
Nilai yang diperoleh oleh siswa akan disesuaikan dengan predikat presentase
siswa sesuai dengan presentase belajar IPS.
e. Kriteria Keberhasilan
Untuk mengetahui berhasil tidaknya tindakan yang dilaksanakan dengan
berdasarkan pada rencana tindakan yang ditetapkan, maka kriteria yang digunakan
adalah sumber dari tujuan dilakukannya tindakan.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
237
Adapun tujuan tindakan dalam penelitian ini adalah untuk memperbaiki dan
meningkatkan kompetensi dalam mata pelajaran IPS melalui Metode
Pembelajaran Inkuiri pada siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar. Kriteria yang
dijadikan tolak ukur keberhasilan adalah 75% dengan nilai rata-rata 75% sesuai
dengan kompetensi yang ditetapkan
E. Penutup
a. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka
dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1. Penerapan metode pembelajaran Inkuiri dapat meningkatkan prestasi belajar IPS
siswa kelas VIII E SMP Negeri 9 Denpasar. Pada siklus I sebanyak 22 orang
siswa 72,63 berhasil tuntas belajar atau mencapai KKM 75 dan daya serap
mencapai 72,63% .
2. Pada siklus II siswa yang berhasil sebanyak 40 orang siswa 79,50 dan daya serap
siswa mencapai 79,50%. Dari siklus I hingga siklus II diperoleh data bahwa
ketuntasan belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 6,87 yakni dari 72,63
pada siklus I menjadi 79,50 pada siklus II. Jadi penelitian dihentikan pada siklus
II karena sudah mampu memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang
ditetapkan sekolah.
b. Saran
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
238
1. Berdasarkan hasil penelitian diatas, meskipun prestasi belajar siswa sudah
tergolong baik, namun penerapan metode inkuiri ini masih perlu ditingkatkan agar
tercapai peningkatan prestasi yang lebih baik lagi.
2. Mengingat banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, maka sudah
menjadi tugas siswa dan guru untuk sama-sama berusaha meningkatkan prestasi
belajar.
F. DAFTAR PUSTAKA
Euis Karwati & Donni juni Priansa. 2014. Manajemen Kelas. Bandung
Alfabetta
H. Martinis Yamin, 2013.Strategi & Metode dalam Model
Pembelajaran.Jambi:Referensi (GP Press Group)
Humalik Oemar. 2007 Proses Belajar Mengajar.Bandung : PT Bumi Aksara Sanjaya 2009 Metode dan Model Pembelajaran.Jakarta Referensi Saifuddin, Azwar. 2002. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka pelajar Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: AFABETA, cv Slameto, 2008.Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Jakarta : PT Rineka Cipta Trianto 2009 Strategi dan Model Pembelajaran Pembelajaran, Yogyakarta Holistika Victor & Kellough 2009 Metode dan model-model Pembelajaran, Bandung GP Press Group Koncara, 2009.Penerapan Metode Inkuiri dalam Pembelajaran IPA pada Materi Konsep Cahaya untuk meningkatkan prestasi Belajar Siswa kelas VIII di smpn 2 cibogaring.Tersedia pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan skripsi PTK. Wiyono 2010 “Peningkatan Prestasi Belajar IPA tentang sifat cahaya dengan menggunakan model inkuiri dikelas VIII SMPN 2 Gading Kecamatan Winongan Pasuruan.Tersedia pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan skripsi PTK.
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
239
Mistiani.2009 “Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
IPS Siswa kelas X SMA Negeri Siak Hulu tahun Ajaran 2008/2009. Tersedia
pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan
Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
240
Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
240
Model Evaluasi CIPP Dalam Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahuipelaksanaan praktik pengalaman
lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014 dilihat dari model evaluasi CIPP. Penelitian ini mengevaluasi program dengan menganalisis masing-masing faktornya sesuai dengan model CIPP (konteks, input, proses dan produk). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua pelaksana dan peserta program praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014. Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah 79 orang yang terdiri dari 45 orang Mahasiswa, 10 orang Dosen Pembimbing, 11 orang Kepala Sekolah, 11 Guru Pamong, dan 2 orang dari UPT PPL.
Untuk mendapatkan data, maka dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sebagai metode utama. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif menggunakan langkah sebagai berikut: menentukan katagori deskriptif, skor mentah ditransformasikan ke dalam T-skor kemudian diverifikasi ke dalam Kuadran Glickman.
Setelah di evaluasi dengan model CIPP maka hasil analisis menemukan bahwa pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014 kategori efektif dilihat dari variabel konteks, input, proses dan hasil dengan hasil (+ + + +). Walaupun dalam kategori siap, namun secara umum terdapat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014 adalah pada variabel input dan proses.
Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan temuan tersebut bahwa pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014tergolong dalam kategori efektif.
Kata kunci: Model Evaluasi CIPP, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)
ABSTRACT CIPPEvaluationModelInPracticeImplementationExperience(PPL) Students
ProdiEconomic Education/Teachers' Training CollegeCooperativeFPIPSPGRIBaliin 2014
The aim of the study is to examine the implementation of practical field
experience (PPL) Students Prodi Economic Education / Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali 2014 seen from CIPP evaluation model. This study evaluated the program by analyzing each factor in accordance with the model CIPP (context, input, process and product). The population in this study were all implementers and program participants practice field experience (PPL) Prodi Economic Education / Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali Year 2014. Subject taken in this study was 79 people consisting of 45 students, 10 Supervisor, 11 principals, 11 teachers Pamong, and 2 of UPT PPL.
To get the data, then collected using questionnaires as the primary method. The data analysis used is quantitative descriptive analysis using the following steps: determining descriptive categories, raw scores were transformed into T-scores were then verified in Quadrant Glickman.
Having evaluated the model of CIPP then the results of the analysis found that the implementation of the practice field experience (PPL) Students Prodi Economic
Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
241
Education / Cooperative FPIPS Teachers' Training College PGRI Bali 2014 effective category seen from the variable context, input, process and results with the results (+ + + +) , Although the category is ready, but in general there are obstacles encountered in the implementation of practical field experience (PPL) Prodi Economic Education / Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali in 2014 is on the input variables and processes.
The conclusion obtained is based on the finding that the implementation of the practice field experience (PPL) Prodi Economic Education / Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali in 2014 classified in the category effectively.
Keywords: CIPP Evaluation Model, Practice Field Experience (PPL)
PENDAHULUAN
Dunia pendidikan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memajukan suatu negara terlihat dengan majunya pola pikir generasinya, maka dari dunia pendidikan inilah dapat memotivasi generasi agar mampu bertanggung jawab terhadap bangsanya, untuk mencapai tujuan tersebut dunia pendidikan tidak terlepas dari campur tangan seorang pendidik yaitu Guru, Guru adalah faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran yang berkualitas sehingga berhasil tidaknya pendidikan mencapai tujuan selalu dihubungkan dengan kiprah para guru. Guru merupakan sosok motivator yang memberi semangat dan dapat membangkitkan gaya hidup modern, dengan intelektualitas yang berlandaskan norma, moral bangsa serta agama. Sosok guru sangat mendapat perhatian, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat pada umumnya dan oleh para ahli pendidikan pada khususnya.Guru yang berkualitas diantaranya adalah mengetahui dan mengerti peran dan fungsinya dalam proses pembelajaran.
Tujuan menghasilkan calon pendidik yang memiliki wawasan dan professional serta pengalaman dalam menjalankan keahliannya di bidang pendidikan, setiap lembaga LPTK seperti IKIP PGRI Bali mewajibkan mahasiswanya untuk melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang merupakan program mata kuliah yang wajib dilaksanakan oleh setiap mahasiswa.
Pada kesempatan ini Program Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) akan memperkenalkan kepada mahasiswa atau calon guru untuk mengenal lingkungan yang akan menjadi profesinya. Dalam pelaksanaan PPL ini, calon guru dapat menerapkan segala teori pengetahuan keterampilan dan wawasan yang telah diperoleh melalui berbagai mata kuliah kedalam kelas yang sesungguhnya.
Berdasarkan cetusan Undang-undang profesi yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 6 Desember tahun 2005 guru ditetapkan sebagai profesi. Guru harus mempunyai kompetensi yang dapat diandalkan. Standar kompetensi PPL dirumuskan dengan mengacu pada tuntutan empat kompetensi guru baik dalam konteks pembelajaran maupun dalam konteks kehidupan guru sebagai anggota dalam masyarakat. Empat kompetensi guru yang dimaksud adalah kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dankompetensi sosial.Kompetensi tersebut dirumuskan sesuai dengan amanat Undang - Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10. Di samping itu, rumusan standar kompetensi PPL juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional khususnya yang terkait dengan BAB V Pasal 26
Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
242
Ayat 4, yang pada intinya berisi standar kompetensi lulusan perguruan tinggi bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemandirian, serta sikap untuk menerapkan ilmu, teknologi, dan seni untuk tujuan kemanusiaan.Praktik Pengalaman Lapangan yang dilakukan mahasiswa merupakan salah satu wadah agar mahasiswa mendapatkan pengalaman profesi yang dapat diandalkan.
Adapun sasaran yang ingin dicapai dan pelaksanaan Praktek Pengalaman Lapangan adalah terbentuknya pribadi calon pendidik yang memiliki seperangkat pengetahuan keterampilan nilai sikap serta pola tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya.Calon pendidik juga harus memiliki kemampuan profesional dalam mengajar yang meliputi kemampuan merencanakan pengajaran kegiatan belajar mengajar dan menyusun alat penilaian serta kemampuan memberikan bimbingan dan arahan dalam belajar serta dapat melaksanakan tugas administrasi sekolah.Tujuan yang ingin dicapai dalam PPL adalah mahasiswa sebagai calon guru mendapat keterampilan, pengalaman dan pengetahuan dalam merencanakann, mempersiapkan dan melaksanakann kegiatan sebagai calon guru mampu menyampaikan ilmu yang didapat selama kuliah kepada siswa sehingga mengerti dan mampu memahami pelajaran yang disampaikan.
Untuk meningkatkan mutu lulusan IKIP PGRI Bali pelaksanaan Praktek Pengalaman Lapangan di sekolah-sekolah merupakan hal yang penting dan wajib dilaksanakan oleh mahasiswa sehingga penting untuk dievalusi secara teratur dan terprogram melalui sebuah kajian mendasar yang berstandar pada logikan dan patron akademik, untuk mengetahui evaluasi pelaksanaan PPL pada sekolah-sekolah maka perlu diadakan penelitian untuk memperoleh gambaran lengkap dan jelas tentang model evaluasi CIPP dalam pelaksanaan program PPL ditinjau dari variabel Konteks, Input, Proses dan Produk serta kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaan program misalnya: Pelaksanaan praktik pengalaman lapangan mahasiswa yang dilaksanakan belum tersosialisasikan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, Pemahaman mahasiswa tentang pentingnya pelaksanaan praktik pengalaman lapangan di sekolah-sekolah masih kurang, Belum sama persepsi tentang silabus, maupun bahan ajar yang digunakan dalam pelaksanaan praktik pengalaman lapangan , Sarana dan prasarana di setiap sekolah berbeda-beda kualitas maupun kuantitasnya, Kurangnya bimbingan oleh guru pamong bimbingan dan dosen pembimbing di setiap sekolah. Model evaluasi CIPP ( conteks, input, proses, product) merupakan salah satu model yang dipakai oleh evaluator. Model ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam (1985). Pada dasarnya evaluasi ini merupakan usaha menyediakan informasi bagi pembuat keputusan. Komponen evaluasi model ini terdiri dari 4 (empat) yaitu konteks, input, proses dan produk. LANDASAN TEORI
Program dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu secara umum dan
khusus. Secara umum, program dapat diartikan dengan rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh seseorang dikemudian hari. Sedangkan pengertian khusus dari program biasanya jika dikaitkan dengan evaluasi yang bermakna suatu unit atau kesatuan kegiatan, berlangsung dalam proses berkesinambungan dan terjadi dalam satu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Menilik pengertian secara khusus ini, maka sebuah program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan secara waktu pelaksanaannya biasanya panjang. Selain itu, sebuah program juga tidak hanya terdiri dari satu kegiatan melainkan rangkaian kegiatan yang membentuk
Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
243
satu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya dengan melibatkan lebih dari satu orang untuk melaksanakannya (Suharsimi Arikunto, 2004:2).
Evaluasi program dapat mencakup evaluasi kurikulum hingga evaluasi program dalam suatu bidang studi yang objeknya dapat bervariasi seperti kebijakkan program, implementasi program dan efektivitas program. Sedangkan evaluasi sistem adalah evaluasi yang cakupannya paling luas di antaranya evaluasi diri, evaluasi internal, evaluasi eksternal, dan evaluasi kelembagaan untuk mencapai tujuan tertentu suatu lembaga (Sukardi,2010 dalam Agung Marhaeni,2012:34).
Menurut Stufflebeam (1967) dalam Marhaeni (2012:135-142), evaluasi merupakan sebuah proses menjelaskan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang berguna bagi pengambilan sebuah keputusan yang baik. CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu: Context Evaluation (Evaluasi terhadap konteks), Input Evaluation (Evaluasi terhadap masukan), Process Evaluation (Evaluasi terhadap proses) dan Product Evaluation (Evaluasi terhadap hasil). Penjelasan masing-masing aspek dalam model evaluasi CIPP adalah sebagai berikut.a.Evaluasi terhadap konteks (Context Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu mengambil keputusan dalam hal perencanaan. Dimana konteks disini diartikan yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti: kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya. Evaluasi konteks menilai kebutuhan, permasalah, asset, dan peluang untuk membantu pembuat keputusan menetapkan tujuan dan prioritas serta membantu stakeholder menilai tujuan, prioritas, dan hasil.b.Evaluasi terhadap masukan (Input Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu dalam pengambilan keputusan dalam hal strukturisasi. Input merupakan model yang digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumber daya yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan informasi tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak. Evaluasi terhadap input sekolah adalah evaluasi terhadap segala sesuatu yang perlu dilakukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran, kurikulum, ketenagaan, dana, sarana dan prasarana, regulasi sekolah, organisasi sekolah, administrasi sekolah, budaya sekolah.c.Evaluasi terhadap proses (Process Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu pelaksanaan program. Evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses meliputi evaluasi terhadap manajemen, kepemimpinan, dan terutama proses belajar mengajar. Dalam pendidikan proses adalah kejadian berubahnya siswa yang belum terdidik menjadi siswa terdidik. d.Evaluasi terhadap hasil (Product evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu daur ulang dalam pengambilan keputusan. Evaluasi ini lebih memfokuskan pada hasil yang diperoleh. Dalam bidang pendidikan, evaluasi output adalah evaluasi terhadap hasil belajar yang merefleksi seberapa efektif proses belajar mengajar berlangsung. Ini berarti bahwa hasil belajar ditentukan oleh tingkat efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, dan daya raga yang diperlukan oleh siswa untuk terjun dimasyarakat dan untuk mengembangkan dirinya.
Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
244
Praktik Pengalaman Lapangan disingkat PPL adalah serangkaian kegiatan yang diprogramkan bagi siswa atau mahasiswa calon guru, yang meliputi, baik latihan mengajar maupun latihan di luar mengajar. Kegiatan ini merupakan ajang untuk membina kompetensi-kompetensi profesional yang dipersyaratkan oleh pekerjaan guru atau tenaga kependidikan lain. Sasaran yang ingin dicapai adalah pribadi calon pendidik yang memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap, serta pola tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya di dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah (Hamalik 2003:172).
METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian evaluatif kuantitatif, menganalisis efektivitas dengan menganalisis peran masing-masing faktor sesuai dengan model CIPP (konteks, input, proses dan produk). Subjek dalam penelitian ini adalah 79 orang dengan tehnik cluster random samplingyang terdiri dari 45 orang mahasiswa, 10 orang dosen pembimbing, 11 orang Kepala Sekolah, 11 Guru Pamong, dan 2 orang dari UPT PPL . Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sebagai metode utama. Data dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif menggunakan langkah sebagai berikut: menentukan katagori deskriptif menggunakan Analisis Univariat, skor mentah ditransformasikan ke dalam T-skor kemudian diverifikasi ke dalam Kuadran Glickman. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data variabel konteks yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 85 dari skor tertinggi yang mugkin dicapai sebesar 90. Skor terendah yang dicapai responden adalah 65 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 18 dengan rata-rata sebesar 78,119. pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel konteks terletak pada interval keenam, yakni pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 21 atau sebesar 30,435%. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 41 > daripada f(-) = 28. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel konteks dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 tergolong efektif.
Skor variabel input yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden menunjukkan bahwa tertinggi yang dicapai responden adalah 140 dari skor tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 150, sedangkan skor terendah yang dicapai responden adalah 107 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 30. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 124,348. Skor yang paling dominan adalah 121, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 122, simpangan baku dengan sebesar 6,135, dan variasi skor sebesar 37,642. pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel input terletak pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 23 atau 33,333 %. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 38 > daripada f(-) = 31. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel input dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014tergolong relatif efektif.
Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
245
Skor variabel proses yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 141 dari skor tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 150, sedangkan skor terendah yang dicapai responden adalah 90 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 30. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 124,565. Skor yang paling dominan adalah 125, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 123, simpangan baku dengan sebesar 9,400, dan variasi skor sebesar 88,367, pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel proses terletak pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 32 atau 46,377 %. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 39> daripada f (-) = 30. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel proses dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 tergolong relatif efektif.
Skor variabel hasil yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 167 dari skor tertinggi yang dapat dicapai sebesar 180, sedangkan skor terendah yang dicapai responden adalah 124 dari skor terendah yang dapat dicapai renponden sebesar 36. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 150,087. Skor yang paling banyak adalah 140, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 149, simpangan skor dengan rata-rata sebesar 9,407, dan variasi skor sebesar 88,492, pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel hasil kecenderungan terletak di atas rata-rata dengan frekuensi sebesar 20 atau sebesar 28,986 %. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 36>f(-) = 33. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel hasil/produk pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 tergolong relatif efektif.
Hasil analisis menemukan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014tergolong efektif dilihat dari variabel konteks, input, proses dan produk dengan hasil (+ + + +). Artinya; pada variabel konteks efektif, pada variabel input efektif, pada variabel proses efektif, dan pada variabel hasil efektif. Kendala-kendala yang dihadapai dalam implementasi program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 pada umumnya terdapat pada variabel input. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis data dan temuan penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut: a)Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 dilihat dari dimensi context tergolong dalam kategori efektif. Dari tiga dimensi yang dilibatkan dalam variabel konteks ternyata semua dimensi yaitu: visi program, misi program, dan tujuan program sudah mendukung efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. b)Efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 dilihat dari dimensi input tergolong dalam kategori efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam variabel input, silabus sekolah, bahan ajar, sarana prasarana, dan sumber daya manusia, dimensi silabus sekolah, bahan ajar, dan sumber daya manusia sudah
Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
246
mendukung efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 sedangkan dimensi sarana prasarana belum mendukung pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. c)Efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014dilihat dari dimensi process tergolong dalam kategori efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam variabel process yaitu perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan respon peserta didik dimensi pelaksanaan pembelajaran, dan respon peserta didik secara umum sudah mendukung efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. d)Efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014dilihat dari variabel product tergolong dalam kategori efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam pengukuran variabel product, yakni: kualitas dan kuantitas, manfaat serta hasil yang didapatkan dari program , kegunaan bagi profesi, dan kegunaan bagi massa depan ternyata semunya efektif. Jadi tujuan pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014sudah tercapai. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 terdapat pada komponen, yakni pada komponen input.
Bila dilihat secara bersama-sama berdasarkan temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014tergolong dalam kategori efektif dilihat dari dimensi context, input, process dan product dengan hasil (+ + + +). Dengan demikian, seluruh variabel dilibatkan sudah efektif.
Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diajukan bebeberapa saran sebagai berikut: Pada variabel konteks, meskipun efektif, beberapa aspek perlu ditingkatkan adalah: visi, misi, dan tujuan program. Dengan demikian, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) disesuaikan dengan kebutuhan sekolah, Pada variabel input, beberapa aspek yang perlu ditingkatkan adalah sumber daya manusia, dan sarana prasarana. Peningkatan sarana dan prasarana dapat dilakukan dengan pengadaan barang yang dipokuskan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, serta menyiapkan mental sumber daya manusia dengan memperbanyak jam pelatyihan mengajar (microteaching), Pada variabel proses, beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, antara lain: perencanaan pembelajaran dibuat secara matang, dan Pada variabel hasil yang perlu ditingkatkan adalah: kualitas kuantitas dan manfaat serta hasil yang didapatkan dari program dirancang sebaik-baiknya sehingga program berjalan efektif.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara
--------. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara
Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232
247
Buku Panduan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP) PGRI Bali Tahun 2013. Gede Agung, Prof.Dr. 2014. Metodologi Penlitian Pendidikan. Yogyakarta: Aditya
Media Publishing. Hamalik, Oemar. 2005. Evaluasi Kurikulum. Bandung. Remaja Rosdakarya. Koyan, Wayan. 2009. Statistika Terapan (Teknis Analisis Data Kuantitatif).
Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Marhaeni, Agung. 2012. Evaluasi Program Pendidikan. Singaraja Mendiknas. 2005. P.P. R.I No.19 Tahun 2005 tentang Standard Nasional
Pendidikan. Jakarta : C.M. Cemerlang. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Wadi, Andi. 2006. Evaluasi Implementasi Program MBS sebagai Upaya Kualitas
Peningkatan Lulusan pada SMK I Sukasada Undiksha Singaraja.(Tesis tidak dipublikasikan).
248
PENGARUH KOMUNIKASI DARI BAWAHAN TERHADAP ATASAN (UPWARD COMMUNICATION) UNTUK MOTIVASI KARYAWAN
Oleh
Putu Dessy Fridayanthi, S,T.,M.I.Kom Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
ABSTRAK
Komunikasi adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia dan pentingnya komunikasi untuk manusia tidak bisa dipungkiri bagi organisasi. Dengan komunikasi yang baik dalam organisasi, organisasi dapat berjalan dengan baik dan sukses. Dan keberhasilan komunikasi dalam organisasi dapat berpengaruh pada motivasi karyawan. Penelitian ini akan menganalisis Pengaruh Komunikasi dari Karyawan ke Supervisor (Komunikasi ke atas) untuk Motivasi Karyawan. Dan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali akan menjadi tempat bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif penjelasan dengan menggunakan metode regresi linier sederhana untuk menganalisis data. Hasil penelitian ini menunjukkan jika komunikasi dari karyawan kepada atasan memiliki pengaruh positif terhadap motivasi karyawan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali.
Kata kunci: Komunikasi organisasi , komunikasi dari Karyawan ke Atasan (komunikasi ke atas), Motivasi Kerja
ABSTRACT
Communication is the important thing in human life and the important of communication to human can’t be denied for the organization. With the good communication in organization the organization can walk with good and success. And the success of communication in organization can be influent the employee motivation. The research will be analyzed The Influence of Communication from Employee to Supervisor (Upward Communication) to Employee Motivation. And the Biro Administration Welfare of Bali province will be the place for researcher to do the research. This kind of research is quantitatif explanation with using simple linier regresion method to analyze the data. The result of this research show if the communication from employee to supervisor have the positive influence to employee motivation in People Welfare Administration .
Key Word :
Communication Organization, Communication from Employee to Supervisor (Upward Communication), Work Motivation
249
1.PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dimungkiri begitu juga halnya bagi suatu organisasi.
Dengan adanya komunikasi yang baik suatu organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil dan begitu pula sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi, organisasi dapat macet atau berantakan. Boleh dikatakan, organisasi tanpa komunikasi ibarat sebuah mobil yang didalamnya terdapat rangkaian alat-alat otomotif, yang terpaksa tidak berfungsi karena tidak adanya aliran fungsi antara satu bagian dengan bagian yang lain (Panuju, 2001, p.1).
Tujuan komunikasi dalam proses organisasi tidak lain dalam rangka membentuk saling pengertian (mutual understanding). Pendek kata agar terjadi penyetaraan dalam kerangka referensi (frame of references) maupun bidang pengalaman ( field of experiences). Meskipun nyaris mustahil menyamakan ranah kognitif individu-individu dalam organisasi, tetapi melalui kegiatan komunikasi yang terencana dan substansi yang isinya terdesain, minimal terjadi proses penyebarluasan dimensi-dimensi organisasi pada setiap orang (Panuju, 2001, p.2-3).
Di dalam suatu organisasi, arus informasi biasanya bergerak dari atasan kepada bawahan (downward communication) dan bawahan ke atasan (upward communication). Komunikasi ke atas sebagai saluran informasi dalam memberikan feedback atau balikkan kepada atasan, memberikan saran dan mengajukkan pertanyaan (Muhammad, 2005).
Setiap pegawai, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar, ingin diakui, dihargai, dan dihormati. Namun kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak pimpinan yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka tidak menyadari, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan terori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusinya untuk memotivasi diri mereka dalam bekerja (Arep, Tanjung, 2004, p.27)
Dalam menggerakkan aktivitas organisasi, masalah motivasi kerja menjadi perhatian utama yang tidak dapat diabaikan begitu saja, karena menyangkut alasan-alasan mengapa bawahan mencurahkan tenaga untuk melakukan suatu pekerjaan yang tentu saja hal ini juga mempengaruhi lancar atau tidaknya suatu organisasi.
Begitu pula Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat. Sebagai salah satu Biro yang bertugas untuk membantu Gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah dan berfungsi untuk :
250
a. Koordinasi perumusan kebijakan pemerintah daerah;
b. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;
c. Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan di daerah;
d. Koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi dinas daerah dan lembaga teknis daerah;
e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Seperti umumnya sebagai suatu organisasi, Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat juga memiliki hierarki atasan dan bawahan dalam struktur organisasi untuk menjalankan segala aktivitasnya. Adapun alasan peneliti menetapkan objek penelitian di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat tersebut dikarenakan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat sebagai salah satu unsur pemerintah sangat berperan dalam meningkatkan upaya kesejahteraan rakyat,
Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian lebih jauh mengenai pengaruh upward communication dalam kaitannya dengan motivasi kerja karyawan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali. Hal ini dikarenakan peneliti melihat fenomena komunikasi yang terjadi di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat, dimana arus komunikasi dari bawahan ke atasan (upward communication) kurang berjalan dengan lancar. Menurut Panuju (2001) suatu perusahaan dapat berjalan dengan baik kalau komunikasi dalam perusahaan atau organisasi berjalan dengan baik atau lancar, karena hal tersebut peneliti ingin mengetahui apakah dengan kekurang-lancarnya komunikasi dari bawahan kepada atasan dapat mempengaruhi motivasi kerja bawahan, yaitu dorongan, upaya, dan keinginan yang ada di dalam diri manusia yang mengaktifkan , memberi daya, serta mengarahkan perilaku pada pelaksanaan tugas-tugas dalam lingkup pekerjaannya.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang diungkapkan diatas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah :
“Apakah komunikasi dari bawahan kepada atasan (upward communication) mempengaruhi motivasi kerja bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali?”
c. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang diungkapkan diatas, maka tujuan penelitian yang diajukan adalah :
Untuk mengetahui apakah komunikasi dari bawahan kepada atasan (upward communication) mempengaruhi motivasi kerja bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali.
d. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, sebagai berikut :
i. Manfaat Teoritis
251
Menjadi bahan kepustakaan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi dan literatur bagi para mahasiswa untuk melakukan penelitian yang sejenis, yaitu penelitian mengenai pengaruh komunikasi dari bawahan kepada atasan terhadap motivasi kerja.
ii. Manfaat Praktis
Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan masukan-masukan yang berguna kepada Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah upward communication.
2. KERANGKA TEORI
2.1. Komunikasi Organisasi
Ada bermacam-macam persepsi mengenai komunikasi organisasi dari beberapa ahli, yaitu (Muhammad, 2005, p.65-66) :
Meskipun terdapat persepsi dari para ahli mengenai komunikasi organisasi ini tapi dari semuanya itu ada beberapa hal yang umum yang dapat disimpulkan yaitu (Muhammad, 2005, p.67) :
a. Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu sistem terbuka yang kompleks yang dipengarui oleh lingkungannya sendiri baik internal maupun eksternal.
b. Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arusnya, tujuan, arah dan media. c. Komunikasi organisasi meliputi orang dan sikapnya, perasaannya, hubungannya dan
keterampilan atau skillnya.
2.2. Komunikasi ke Atas (Upward Communication)
Yang dimaksud dengan komunikasi keatas adalah pesan yang mengalir dari bawahan kepada atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Semua karyawan dalam suatu organisasi kecuali yang berada pada tingkatan yang paling atas mugkin berkomunikasi ke atas. Tujuan dari komunkasi ini adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran dan mengajukan pertanyaan. Komuniksai ini mempunyai efek pada penyempurnaan moral dn sikap karyawan, tipe pesan adalah integrasi dan pembaruan (Muhammad, 2004, p.116-117).
Komunikasi ke atas mempunyai beberapa fungsi atau nilai tertentu. Menurut Pace (1989) fungsinya adalah sebagai berikut :
1. Dengan adanya komunikasi ke atas supervisor dapat mengetahui kapan bawahannya siap untuk diberi informasi dari mereka dan bagimana baiknya mereka menerima apa yang disampaikan karyawan.
2. Arus komunikasi ke atas memberikan informasi yang berharga bagi pembuatan keputusan
3. Komunikasi ke atas memperkuat apresiasi dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dengan jalan memberikan kesempatan untuk menanyakan pertanyaan, mengajukan ide-ide dan saran-saran tentang jalannya organisasi.
252
4. Komunikasi ke atas membolehkan, bahkan mendorong desas-desus muncul dan membiarkan supervisor mengetahuinya.
5. Komunikasi ke atas menjadikan supervisor dapat menentukan apakah bawahan menangkap arti seperti yang dia maksudkan dari arus informasi yang kebawah.
6. Komunikasi ke atas membantu karyawan mengatasi masalah-masalah pekerjaan mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya (Muhammad, 2004, p.117).
Menurut Smith (Goldhaber, 1986) komunikasi ke atas berfungsi sebagai balikan bagi pimpinan memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan dan dapat memberikan stimulus kepada karyawan untuk berpartisipasi dalam merumuskan pelaksanaan kebijaksanaan bagi departemennya atau organisasinya (Muhammad, 2005, p.117).
Kebanyakan dari hasil-hasil analisis penelitian mengenai komunikasi ke atas mengatakan bahwa staf dan pimpinan haruslah mendapatkan informasi dari bawahannya mengenai hal-hal berikut :
a. Apa yang dilakukan bawahan, pekerjaannya, hasil yang dicapainya, kemajuan mereka dan rencana masa yang akan datang
b. Menjelaskan masalah-masalah pekerjaan yang tidak terpecahkan yang mungkin memerlukan bantuan tertentu
c. Menawarkan saran-saran atau ide-ide bagi penyempurnaan unitnya masing-masing atau organisasi secara keseluruhan
d. Menyatakan bagaimana pikiran dan perasaan mereka mengenai pekerjaannya, teman sekerjanya dan organisasi (Muhammad, 2004, p.118).
Kombinasi dari perasaan-perasaan dan kepercayaan karyawan tersebut menjadikan penghalang yang kuat untuk menyatakan ide-ide, pendapat-pendapat atau informasi oleh bawahan kepada atasan.
Komunikasi ke atas merupakan sumber informasi yang penting dalam membuat keputusan, karena dengan adanya komunikasi ini, pimpinan dapat mengetahui bagaimana pendapat bawahan mengenai atasan, mengenai pekerjaan mereka, mengenai teman-temannya yang sama bekerja dan mengenai organisasi. Karena pentingnya komunikasi tersebut maka organisasi perlu memprogramnya.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa komunikasi ke atas ini penting untuk pembuatan keputusan maka agar komunikasi ini berjalan lancar dan memberikan informasi seperti yang diharapkan maka perlu diprogramkan secara khusus. Untuk menyusun program ini ada prinsip-prinsip yang perlu dipedomani oleh pimpinan. Prinsip-prinsip tersebut menurut Planty dan Machaver (Pace, 1989) adalah sebagai berikut:
1. Program komunikasi ke atas yang efektif harus direncanakan 2. Program komunikasi ke atas berlangsung terus – menerus 3. Program komunikasi ke atas yang efektif menggunakan saluran yang rutin 4. Program komunikasi ke atas yang efektif, menekankan kesensitifan dan penerimaan
ide-ide yang menyenangkan saluran yang lebih rendah
253
5. Program komunikasi ke atas yang efektif memerlukan pendengar yang objektif. Supervisor dan manajer hendaklah memberikan waktunya untuk mendengarkan bawahan dengan objektif. Reaksi yang memperlihatkan kekurang seriusan dan sikap mendengarkan yang menjengkelkan, memperlihatkan kepada bawahan bahwa komunikasi ke atas sesungguhnya tidak diingini
6. Program komunikasi ke atas yang efektif memerlukan pengambilan tindakan berespons terhadap masalah
7. Program komunikasi ke atas yang efektif menggunakan bermacam-macam media dan metode untuk memajukan arus informasi. Metode yang paling efektif dari komunikasi ke atas adalah kontak tatap muka sehari-hari dan percakapan di antara supervisor dan bawahan (Muhammad, 2004, p.121).
2.3. Motivasi Kerja
Motivasi kerja adalah dorongan, upaya, dan keinginan yang ada di dalam diri manusia yang mengaktifkan , memberi daya, serta mengarahkan perilaku pada pelaksanaan tugas-tugas dalam lingkup pekerjaannya. Hakikat dari motivasi adalah dorongan untuk melakukan segala sesuatu yang lebih baik daripada lainnya di dalam melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan (Umar, 2002, p.239). Ada beberapa pendapat mengenai pengertian motivasi, tetapi pada dasarnya masing-masing pengertian tersebut memiliki pemikiran yang sama. Dalam penelitian ini, pengertian di ambil menurut pemikiran dari Fred Luthans, yang mengatakan bahwa “ Motivasi adalah suatu proses di dalam diri seseorang karena memiliki kebutuhan psikologis dan fisiologis sehingga menggerakkan perilaku atau dorongan untuk mencapai suatu tujuan “ ( Nawawi, 2003, p.327).
2.4. Pengaruh Komunikasi Terhadap Motivasi
Frantz (1988) dalam Pace (2006) menyebutkan bahwa perusahaan selalu meningkatkan produktivitas ,melalui apa yang disebut efisiensi alokatif, misalnya : penggunaan mesin, penanganan bahan, metode pembayaran pegawai, dan lain-lain. Efisiensi ini mengabaikan efisiensi nonalokatif. Frantz selanjutnya menegaskan, bila inefisiean alokatif akan mengganggu komunikasi antarindividu dalam organisasi (Pace, 2006, p.114-116). Selanjutnya dalam hubungan dengan teori Hierarki Kebutuhan Maslow analisis Frantz menyimpulkan, bila komunikasi antarindividu dan organisasi akan sangat berpengaruh pada motif rasa memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri. Sedangkan terhadap teori Kesehatan-Motivasi Herzberg, Frantz melihat bila komunikasi lebih berpengaruh terhadap faktor Hygiene, antara lain : kebijakan organisasi, hubungan antar pribadi dengan rekan kerja, atasan dan bawahan di tempat kerja.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi secara
254
sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu (Kriyantono, 2006, p. 57)
Pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah riset yang menggambarkan atau mejelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Dengan demikian tidak terlalu mementingkan kedalaman data atau analisa ( Kriyantono, 2006, p. 57).
Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode survei. Survei adalah metode riset dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen sebagai pengumpulan datanya. Tujuannya untuk memperoleh informasi tentang sejumlah responden yang dianggap mewakili populasi tertentu ( Kriyantono, 2006, p.60).
3.2. Definisi Operasional
Definisi operasional dan pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Variabel bebas (X) Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah upward communication. Indikator pengukuran variabel ini dilihat melalui fungsi komunikasi keatas menurut Pace (1989), yaitu :
a. Pimpinan dapat mengetahui kapan bawahan siap diberi informasi b. Memberikan informasi yang berharga untuk pembuatan keputusan c. Memperkuat apresiasi dan loyalitas karyawan dengan jalan memberi kesempatan
untuk mengajukan pertanyaan, mengajukan ide-ide, dan saran-saran tentang jalannya organisasi
d. Membolehkan dan mendorong desas desus muncul e. Pimpinan dapat megetahui apakah bawahan menangkap arti yang dia maksudkan dari
arus informasi kebawah f. Membantu karyawan mengatasi masalah-masalah pekerjaan mereka dan memperkuat
keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya dan organisasi
2. Variabel terikat (Y) yaitu variabel yang dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel bebas (Bungin, 2001, p.80). Dalam penelitian ini yang menjadi variable terikat adalah motivasi kerja. Adapun variable ini berdasarkan kajian motivasi oleh Arep dan Tanjung (2004, p.156) meliputi dimensi :
a. Disiplin b. Inisiatif c. Loyalitas d. Kinerja e. Pengawasan
3.3. Populasi dan Sampel
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat. Karena diambil seluruh unsur populasi maka tidak menggunakan teknik pengambilan sampel.
255
3.4. Jenis Sumber Data
a. Sumber data primer, dimana data dikumpulkan secara langsung dari sumber pertama dilapangan (Bungin, 2001, p.128). Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan data primer berupa kuesioner. Kuesioner akan disebarkan kepada sejumlah responsden yang merupakan karyawan tetap Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat yang telah bekerja minimal 1 tahun, dan ditujukan pada manajemen menengah, dan karyawan bawahan atau para staf. Selain itu data primer juga diambil berdasarkan hasil wawancara dari sejumlah narasumber yang kompeten untuk penggalian data yang lebih dalam lagi.
b. Sumber data sekunder, merupakan data pendukung yang diperoleh dari sumber kedua sesudah sumber data primer (Bungin, 2001, p.128). Pada penelitian ini, yang menjadi data sekunder yaitu berupa buku-buku, dokumen-dokumen internal perusahaan seperti struktur organisasi, kebijakan umum, dan lain-lainnya yang diharapkan dapat membantu memberikan keterangan, atau sebagai data pelengkap.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Demikian pula dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti memperoleh data dengan mengadakan peninjauan secara langsung ke Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali dengan menggunakan metode dan prosedur sebagai berikut :
a. Kuisioner b. Wawancara c. Dokumentasi
1. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur (Singarimbun dan Effendi, 1995, p.124). Karena dalam penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai alat pengukur utama.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas menunjuk pada pengertian sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan dan konsisten dari waktu ke waktu (Singarimbun dan Effendi, 1995, p. 140). Cara untuk menguji reliabilitas adalah dengan memasukkannya kedalam rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach :
3.6. Teknik Analisis Data
Menurut Singarimbun (1995, p.263), analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam hal ini, teknik analisa yang digunakan adalah teknik korelasi yang tujuannya adalah untuk mengetahui apakah di antara dua variable atau lebih terdapat hubungan, dan jika ada hubungan, bagaimana arah hubungan dan seberapa besar hubungan tersebut (Santoso, 2002, p.149).
3.6.1. Uji Regresi
Pada percobaan selalu ada dua atau lebih variabel sehingga diperlukan hubungan fungsional diatas variabel dan analisis korelasi yang digunakan untuk menetapkan derajat
256
korelasi atau variabel. Analisis regresi digunakan untuk menetapkan hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel tak bebas, namun tidak dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa terjadi perubahan. (Suharto, Girisuta, Miryanti, 2004, p.181)
Dalam analisa regresi dipikirkan bahwa hubungan antara variabel independen dan variabel dependen adalah dalam bentuk linier. Analisis regresi linear digunakan sebagai metode untuk menyusun hubungan fungsional antara dua variabel. Cara melakukan uji regresi linear adalah dengan memasukkannya dalam rumus :
Y : a + b X
Keterangan :
Y : Variabel tak bebas dihitung jika nilai X diketahui
X : Variabel bebas
a : Nilai intercept
b : Koefisien arah regresi
4. PEMBAHASAN
4.1. Struktur organisasi Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat
Struktur organisasi tersebut dapat digambarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing , antara lain :
a. Kepala Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat b. Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat c. Kepala Bagian Ketenagakerjaan d. Kepala Bagian Sosial
4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas
4.2.1. Analisis Validitas
Uji validitas internal dilakukan atas item-item pernyataan pada kuisioner yaitu dengan jalan menghitung corrected item to total correlation. Item yang dapat dikatakan konsisten secara internal bila item memiliki korelasi dengan skor total jika lebih besar dari r tabel. Bila lebih besar dari r tabel maka suatu pernyataan dianggap valid. Sebaliknya jika bernilai lebih kecil, maka suatu pernyataan dianggap tidak valid dan tidak dapat dilanjutkan untuk proses berikutnya. Berikut adalah uji validitas pada variable komunikasi bawahan terhadap atasan :
Dari hasil uji menunjukkan bahwa seluruh item mempunyai nilai corrected item to total correlation lebih besar dari r tabel yaitu 0,180. Dengan demikian indikator dari variabel komunikasi bawahan pada atasan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dan dapat mengukur variable komunikasi bawahan pada atasan atau dapat dikatakan valid.
4.2.2. Uji Reliabilitas
257
Demikian dengan uji reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach seluruh variabel mempunyai nilai lebih besar dari 0,6 dengan demikian kuesioner untuk seluruh variabel mempunyai konsistensi atau kestabilan yang baik.
4.3. Pengolahan Data
4.3.1. Deskripsi Karakteristik Responden
Sebelum responden menjawab pernyataan atau pertanyaan dalam kuesioner pada bagian awal responden diminta untuk mengisi data karakteristik yang berisi usia, jenis kelamin, lama kerja, jabatan dan devisi pegawai di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat.
Dari hasil pengisian angket menunjukkan sebagian besar responden berusia antara 21 – 30 tahun sebanyak 1 orang atau 1,7 %, kemudian yang berusia 31 – 40 tahun ada 14 orang atau 24,13 %, sedangkan yang berusia kurang dari 20 tahun ada 0 orang .Urutan berikutnya adalah yang berusia 41 – 50 tahun yaitu sebanyak 32orang atau 55,17 %. Dan sisanya sebanyak 51 – 60 tahun ada 11orang atau 18,93 %. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat adalah antara usia 41 tahun sampai 50 tahun dengan jumlah persentasetase 55,17%. Usia antara 51 tahun sampai 60 tahun hanya 11 orang dengan persentasetase hanya 18,93%.
4.4. Deskripsi Variable Penelitian
4.4.1. Deskripsi Variable Bebas yaitu Komunikasi Bawahan ke Atasan
Variable bebas komunikasi bawahan ke atasan terdiri dari 5 indikator atau item. Untuk mengetahui jawaban responden pada tiap pertanyaan tersebut dapat dilihat selengkapnya pada distribusi frekuensi berikut :
Didapat beberapa hasil yang menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan memperhitungkan masalah ketepatan waktu dalam menyebarkan informasi. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 31(53,4 %) dan 17 (29,3 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa atasan memperhitungkan masalah ketepatan waktu dalam menyebarkan informasi ada 7 (15,5 %) dan 1 (1,7 %). Menurut Arni Muhammad dalam bukunya yang berjudul Komunikasi organisasi, mengatakan bahwa tujuan dari upward communication adalah untuk memberikan balikan. Sesuai dengan teori tersebut, bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali sebanyak 48 orang setuju bahwa dengan adanya upward communication , para atasan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat mendapat balikan berupa informasi yang disampaikan bawahan tentang kapan saat yang tepat bagi mereka untuk menyampaikan informasi.
Sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan melihat dan memperhitungkan apakah karyawan siap atau belum menerima tugas atau perintah yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 36 (62,1 %) dan 19 (37,9 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa atasan melihat dan memperhitungkan apakah karyawan siap atau belum menerima tugas atau perintah yang diberikan tidak ada dan tidak ada responden yang menyatakan sangat tidak setuju. Arni Muhammad ( 2004) mengatakan salah satu fungsi dari upward communication adalah komunikasi ke atas menjadikan supervisor dapat menentukan apakah bawahan menangkap
258
arti seperti yang dia maksudkan dari arus informasi ke bawah. Sehingga melalui upward communication para atasan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dapat mengetahui apa yang dikerjakan oleh bawahannya dan bagiamana hasil pekerjaan mereka, apakah mereka mengerjakan sesui yang atasan minta, dll. Dengan adanya upward communication ini para bawahan banyak yang memilih setuju dan sangat setuju mengenai melalui upward communication ini atasan dapat mengetahui yang dikerjakan mereka dan hasil pekerjaan mereka.
Di lain pihak sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan memperhatikan apakah perintah atau tugas yang diberikan dimengerti dengan jelas. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 1(1,7 %) dan 33 (56,9 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa atasan memperhatikan apakah perintah atau tugas yang diberikan dimengerti dengan jelas ada 19(32,8 %) dan yang menjawab sangat tidak setuju ada 5 orang. Dari data diatas, komunikasi keatas berjalan sesuai dengan tujuannnya sebagai balikan bagi atasan mengenai tugas yang diberikan oleh mereka kepada karyawan dapat dimengerti oleh karyawan. Karena tujuan komunikasi keatasan sebagai umpan balik, dalam hal ini atasan dapat melihat apa pekerjaan/informasi mereka dimengerti atau dapat dikerjakan dengan lebih baik oleh karyawan melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan karyawan, atau bagaimana sikap karyawan dalam menanggapi informasi dari atasan sesuai dengan pendapat Smith (Goldhaber, 1986) komunikasi keatas berfungsi sebagai balikan bagi pimpinan, memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan olehnya
Di samping itu sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan memberikan waktu atau kesempatan untuk memahami maksud yang diinginkan atasan. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 35 (60,3 %) dan 1 (1,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa atasan memberikan waktu atau kesempatan untuk memahami maksud yang diinginkan atasan 17 (29,3 %) dan 5 (8,6 %). Berdasarkan jawaban diatas, dapat dilihat bahwa fungsi komunikasi keatas berjalan dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari jawaban responden 35 orang dan 1 orang menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa melalui komunikasi keatas mereka dapat bertanya apabila ada dalam pekerjaan yang diberikan atasan yang tidak dimengerti oleh mereka. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi dari komunikasi keatas yaitu komunikasi keatas membantu karyawan negoisasi masalah-masalah pekerjaan mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya dan organisasi.
Hasil survey juga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju bahwa melalui komunikasi ke atasan mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti maksud atasan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa melalui komunikasi ke atasan mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti maksud atasan ada 20 34,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Arni Muhammad (2001) mengatakan bahwa melalui komunikasi ke atas atasan dapat megetahui apakah bawahan menangkap arti atau pesan yang dimaksudkan atasan. Hal ini dapat diketahui dari apa yang dilakukan karyawan, pekerjaannya, hasil yang didapatnya, dan kemajuan mereka. Melalui kuesioner yang disebarkan kepada responden,dapat diketahui bahwa melalui komunikasi ke atas, atasan dapat mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti yang dimaksudkan
259
atasan, hal ini didukung dengan jawaban responden sebanyak 35 dan 3 orang yang menjawab setuju dan sangat setuju.
4.4.2. Deskripsi Variable Tergantung yaitu Motivasi Kerja
Variable tergantung yaitu motivasi karyawan terdiri dari 5 parameter yaitu disiplin, inisiatif, loyalitas, kinerja dan pengawasan. Untuk parameter disiplin terdiri dari 6 indikator, kemudian untuk parameter inisiatif terdiri dari 6 indikator dan parameter loyalitas terdiri dari 11 indikator, kinerja ada 12 indikator dan pengawasan ada 5 indikator.
4.4.2.1. Disiplin
Indikator disiplin pertama menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan karyawan selalu datang tepat waktu. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 37 (63,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 12 (20,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan karyawan selalu datang tepat waktu ada 9 (15,5 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Menurut Arep & Tanjung (2004) segala perbuatan yang selalu mentaati peraturan dan sesuai dengan kebijakan yang ada merupakan salah satu perilaku orang yang termotivasi. Berdasarkan dari jawaban responden yang menjawab 37 orang setuju dan 12 orang sangat setuju, bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dapat dinilai memiliki sikap disiplin yang tinggi karena mereka selalu datang tepat waktu sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
Indikator disiplin kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan sangat tidak setuju pada pernyataan karyawan seringkali pulang lebih awal dari waktu kerja yang ditentukan. Jumlah responden yang menyatakan sangat tidak setuju ada 31 (53,5 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 26 (44,8 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan karyawan seringkali pulang lebih awal dari waktu kerja yang ditentukan, ada 1 (15 %) dan yang menyatakan sangat setuju tidak ada 4 . Berdasarkan hasil kuesioner yang disebarkan kepada karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat, dapat dilihat bahwa karyawan memiliki sikap disiplin yang cukup tinggi karena ketaatan terhadap jam kerja sudah baik. Tetapi ada beberapa dari karyawan yang menjawab setuju bahwa mereka seringkali pulang lebih awal. Dari hasil wawancara terhadap responden hal ini dikarenakan, misal ada keperluan keluarga atau karena pekerjaan yang dikerjakan sudah selesai.
Indikator disiplin ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan sering tidak masuk kantor tanpa alasan yang jelas. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 40 (68,9 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 18 (31,1 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan sering tidak masuk kantor tanpa alasan yang jelas, tidak ada demikian pula dengan yang menyatakan sangat setuju. Hal tersebut mengungkapkan sikap disiplin karyawan yang cukup tinggi karena berusaha menjalankan tanggung jawabnya terhadap peraturan pemerintah dengan baik, sehingga 40orang dan 18 orang responden menjawab sangat tidak setuju dan tidak setuju pada pertanyaan “Apakah mereka sering tidak masuk kantor tanpa asalan yang jelas?”. Menurut Arep & Tanjung (2004) bawahan yang termotivasi cenderung memilih kinerja yang baik. Hal ini dapat dilihat dari sering tidak masuk kantor atau selalu masuk kantor.
260
Indikator disiplin keempat menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan suka memperpanjang waktu istirahat makan siang untuk mendapatkan waktu bebas dari pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 30(52 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 27 (46,3 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan suka memperpanjang waktu istirahat makan siang untuk mendapatkan waktu bebas dari pekerjaan,tidak ada dan yang menyatakan sangat setuju ada 1 (1,7 %). Karyawan yang termotivasi akan selalu mematuhi kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah, seperti jam kerja, jam istirahat, dan lain-lain (Arep & Tanjung : 2004). Dari hasil yang dicapai kuesioner yang disebarkan kepada karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat yang sebesar 30 orang karyawan menjawab tidak setuju dan 27 orang karyawan memilih sangat tidak setuju, mengungkapkan bahwa sikap karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi disiplin dan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap jam kerja mereka.
Indikator disiplin kelima menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan selalu mentaati peraturan yang ditetapkan pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 39 (67,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 18 (30,1 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan selalu mentaati peraturan yang ditetapkan pemerintah, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada . Menurut Arep & Tanjung (2004) karyawan yang termotivasi dapat dilihat dari segala perbuatannya yang selalu mentaati peraturan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Dari hasil data ini menunjukkan bahwa boleh dibilang hampir seluruh karyawan sudah memiliki sikap disiplin yang tinggi karena peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati dapat dipatuhi.
4.4.2.2. Inisiatif
Pada indikator inisiatif, pertanyaan pertama menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan seringkali menyelesaikan hal – hal yang dianggap perlu untuk kepentingan pemerintah sebelum menerima instruksi kerja dari atasan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 40 (69,1 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 7(13,1 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan seringkali menyelesaikan hal – hal yang dianggap perlu untuk kepentingan pemerintah sebelum menerima instruksi kerja dari atasan, ada 10 (17,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Dari data diatas maka peneliti dapat menyimpulkan sebagian besar responden melakukan inisiatif dengan mengerjakan suatu pekerjaan tanpa harus mendapat perintah dari atasan. Hal ini sesuai dengan teori Arep & Tanjung (2004) yang menyatakan bahwa bawahan yang mempunyai inisiatif sendiri sebelum menerima instruksi kerja dari atasan merupakan salah satu bentuk sikap proaktif dari orang yang termotivasi.
Dan indikator inisiatif pertanyaan kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan tidak berupaya memecahkan masalah yang saya hadapi dalam pekerjaan. Jumlah responden semuanya menyatakan tidak setuju. Dari data diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki inisiatif untuk selalu memecahkan masalah dalam hal ini pekerjaan yang dihadapi mereka. Mereka menunjukkan sikap proaktif dari orang yang termotivasi, sehingga mereka akan berupaya dengan aktif untuk menyelesaikan masalah dalam pekerjaan (Arep Tanjung, 2004).
261
Indikator inisiatif pertanyaan ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan karyawan akan segera mengambil tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan sangat setuju ada 19 (62,1 %) dan yang menyatakan setuju ada 19 (32,8 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan karyawan akan segera mengambil tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan, ada 3 (5,2 %) dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Sebagian besar responden akan melakukan tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam pekerjaan, hal ini dikarenakan responden mempunyai inisiatif yang baik dalam bekerja. Responden akan melakukan perbaikan dan menyadari kesalahannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang bernama Putri mengatakan bahwa mengambil tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam pekerjaan merupakan sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pekerjaan.
Sedangkan pada indikator inisiatif pertanyaan keempat menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan karyawan sering memberikan ide – ide yang dapat memajukan pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 32 (55,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 7 (12,1 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan karyawan sering memberikan ide – ide yang dapat memajukan pemerintah, ada 18 (31,0%) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Memberikan ide-ide merupakan salah satu bentuk sikap proaktif orang yang termotivasi. Bawahan selalu berupaya aktif untuk memecahkan masalah dan menyelesaikan pekerjaan, dan memberikan saran atau ide guna untuk meningkatkan kemajuan pemerintah. (Arep & Tanjung, 2004).
Indikator inisiatif pertanyaan kelima menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan jarang atau tidak pernah berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 14 (24,1 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan jarang atau tidak pernah berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan, ada 32 (55,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 11(19 %). Bawahan yang termotivasi dapat dilihat dari sikapnya yang proaktif melalui berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dan dalam sikapnya yang aktif dalam memberikan saran-saran guna peningkatan (Arep & Tanjung, 2004). Dan dalam hal ini dapat dilihat jawaban 71 responden yang mengatakan tidak setuju dengan pertanyaan di atas, dan sebaliknya dapat dinilai bahwa karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat sangat termotivasi karena mereka selalu berpartisipasi secara aktif dalam melakukan perencanaan dan dalam setiap pengambilan keputusan.
4.4.2.3. Loyalitas
Pada indikator loyalitas menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan senang atau betah tinggal di tempat kerja. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 12 (20,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan senang atau betah tinggal di pemerintah tempat kerja, ada 9 (15,5 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4 %). Tingkat loyalitas ini berkaitan erat dengan komitmen dan kesetiaan para pegawai terhadap organisasinya, menurut teori motivasi Maslow, beberapa hal yang dapat memotivasi bawahan adalah kebutuhan akan rasa aman dan tentram (Arep & Tanjung, 2004). Apabila
262
kedua hal tersebut dipenuhi, maka karyawan akan secara awal betah tinggal di pemerintah. Karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dapat dibilang memiliki tingkat loyalitas yang tinggi, dilihat dari jawaban mereka, 35 orang senang dan betah bekerja di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat.
Sedangkan indikator loyalitas kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan bangga bekerja di pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 31 (53,4%) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan bangga bekerja di pemerintah, ada 24 (41,4 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Dari hasil wawancara dengan responden yang bernama Widyanti, mengatakan alasan mengapa dia bangga bekerja di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat karena Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat merupakan pemerintah dan juga memberikan rasa gengsi tersendiri.
Indikator loyalitas ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan merasa ikut memiliki pemerintah tempat bekerja. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 37 (63,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 20(34,5%). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan merasa ikut memiliki pemerintah tempat bekerja, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Menurut Arep & Tanjung (2004) bawahan yang termotivasi memiliki sifat loyalitas terhadap pemerintah, karena sifat loyalitas tersebut maka mendorong bawahan mempunyai rasa ikut memiliki pemerintah tempatnya bekerja.
Indikator loyalitas keempat menunjukkan jawaban hampir berimbang antara yang menjawab sangat setuju, setuju dan sangat tidak setuju, tidak setuju. Karyawan yang menyatakan setuju pada pernyataan tetap bekerja dalam jangka waktu minimal 20 tahun ke depan ada 36 (62,1 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 19 (33,8 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan tetap bekerja dalam jangka waktu minimal 20 tahun ke depan, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4 %). Berdasarkan dari hasil wawancara dengan Pak Made, mengatakan setuju untuk tetap bekerja dalam jangka waktu 20 tahun ke depan karena memiliki anak dan istri untuk dibiayai.
Indikator loyalitas kelima menunjukkan jawaban hampir berimbang antara yang menjawab sangat setuju, setuju dan sangat tidak setuju, tidak setuju. Karyawan yang menyatakan tidak setuju pada pernyataan bersedia kerja lembur jika diperlukan tanpa gaji tambahan, ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 8 (13,8 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan bersedia kerja lembur jika diperlukan tanpa gaji tambahan, ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 5 (8,6 %). Dari perhitungan diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 34 orang tidak setuju untuk bekerja lembur tanpa gaji tambahan. Hal ini sesuai dengan teori kebutuhan Maslow yaitu kebutuhan akan dihargai, dalam hal ini mereka akan dihargai dengan gaji tambahan untuk setiap kali mereka bekerja lembur.
Indikator loyalitas keenam menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan mengabdikan diri sepenuhnya untuk pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 15 (25,9 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan mengabdikan diri sepenuhnya untuk pemerintah, ada 7 (12,1 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1
263
(1,7 %). Menurut Arep & Tanjung (2004) karyawan yang memiliki loyalitas tinggi berkaitan erat dengan komitmen dan kesetiaan para pegawai terhadap organisasinya sehingga mendorong mereka untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk pemerintah.
Indikator loyalitas ketujuh menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan merekomendasikan pemerintah pada teman - teman. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan merekomendasikan pemerintah pada teman - teman, ada 17 (29,3 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 3 (5,2 %). Hal ini menunjukkan bahwa bawahan sering merekomendasikan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat kepada teman-teman mereka yang belum mendapat pekerjaan atau mencari pekerjaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Suci mengatakan bahwa dirinya merekomendasikan pemerintah kepada temannya karena temannya sedang mencari pekerjaan, dan juga karena merasa bangga terhadap Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat.
Sedangkan indikator loyalitas terakhir menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan jika pemerintah mengalami masa krisis, akan berusaha keras membantu. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 28 (48,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 30 (51,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan jika pemerintah mengalami masa krisis, akan berusaha keras membantu, dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Menurut Arep & Tanjung (2004) loyalitas berkaitan erat dengan komitmen dan kesetiaan pegawai terhadap organisasinya. Mereka termotivasi untuk membantu pemerintah dalam melewati masa krisis. Dari perhitungan diatas menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat termotivasi cukup tinggi karena mereka mau membantu jika pemerintah mengalami krisis.
4.4.2.4. Kinerja
Pada indikator kinerja pertama menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan berusaha memberikan hasil yang terbaik atas tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 41 (70,7 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 16 (27,6 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan berusaha memberikan hasil yang terbaik atas tugas dan tanggung jawab yang diberikan tidak ada dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Bawahan yang termotivasi akan menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan standar yang benar dan dalam skala waktu yang telah ditentukan (Arep & Tanjung: 2004). Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat terbukti memiliki kinerja yang bak, hal ini diketahui dari hasil jawaban yang hampir semua karyawan menjawab setuju dan sangat setuju.
Indikator kinerja kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan tidak dapat bekerja dengan baik secara mandiri. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 22 (37,9 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak dapat bekerja dengan baik secara mandiri, ada 36 (62,1 %) demikian pula yang menyatakan sangat setuju juga tidak ada. Hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat bekerja secara sendiri atau secara individu tetapi mereka membutuhkan kerjasama dalam suatu kelompok kerja (Arep & Tanjung: 2004).
264
Sedangkan indikator kinerja ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan selalu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu bahkan sebelumnya. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 36 (62,1 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 21 (36,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan selalu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu bahkan sebelumnya tidak ada dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Berdasarkan kriteria pemerintah menurut Robbins pemerintah mengevaluasi kinerja berdasarkan behavior (perilaku), dalam hal ini adalah perilaku dimana karyawan dapat dengan tepat waktu menyelesaikan pekerjaannya, maka karyawan tersebut mempunyai kinerja yang baik (Arep & Tanjung: 2004). Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat memiliki kinerja yang baik, hal ini dilihat dari jawaban pada hampir setiap bawahan selalu mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.
Indikator kinerja keempat menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan selalu mentaati peraturan atasan yang diberikan pada bawahan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 29 (50 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 29 (0 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan selalu mentaati peraturan atasan yang diberikan pada bawahan tidak ada demikian pula yang menyatakan sangat tidak setuju . Menurut Robbins kinerja karyawan dapat dievaluasi dari perilaku mereka yang baik (Arep & Tanjung: 2004). Dalam hal ini dilihat dari perilaku mereka dalam mentaati peraturan atasan yang diberikan kepada mereka.
Sedangkan indikator kinerja kelima menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan tidak bersedia membantu rekan kerja yang menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 65 (54,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 45 (37,5 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak bersedia membantu rekan kerja yang menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan, ada 7 (5,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (2,5 %). Menurut wawancara dengan Indah mengatakan bukan karena tidak bersedia membantu rekan kerja yang menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan tetapi karena tidak mengerti dengan pekerjaan tersebut.
Pada indikator kinerja keenam menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan seringkali lupa pada tugas dan tanggungjawab yang diberikan atasan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 68 (56,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 40 (33,3 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan seringkali lupa pada tugas dan tanggungjawab yang diberikan atasan, ada 11 (9,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 1 (0,8 %). Orang yang termotivasi tinggi selalu bersikap proaktif terhadap sesuatu yang ditugaskan oleh atasan. Mereka akan berupaya aktif untuk memecahkan masalah dalam pekerjaan (Arep & Tanjung : 2004). Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat menunjukkan memiliki tingkat motivasi yang tinggi karena selalu mengerjakan tugas dan tanggung jawab dari atasan.
4.4.2.5. Pengawasan
Pada indikator pengawasan menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju terhadap pernyataan atasan merasa karyawan dapat mengelola waktu secara efektif. Jumlah
265
responden yang menyatakan setuju ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 9 (15,5%). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan atasan merasa karyawan dapat mengelola waktu secara efektif, ada 14 (24,1 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Menurut Arep & Tanjung (2004) orang yang termotivasi dalam bekerja akan selalu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar yang benar dan dalam skala waktu yang telah ditentukan. Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat menunjukkan motivasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kinerjanya yang selalu dapat mengelola waktu secara efektif dan menyelesaikan pekerjaannya sesuai waktunya.
Indikator pengawasan tersebut menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan karyawan tidak membutuhkan banyak pengawasan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 11 (19 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan karyawan tidak membutuhkan banyak pengawasan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Orang yang termotivasi dalam bekerja tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan karena kinerjanya sudah baik (Arep & Tanjung: 2004). Kinerja karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat sudah baik maka mereka tidak memerlukan pengawasan dari atasan mereka.
Indikator juga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk menggunakan fasilitas kantor dalam menyelesaikan tugas/tanggungjawab yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 8 (13,8 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk menggunakan fasilitas kantor dalam menyelesaikan tugas/tanggungjawab yang diberikan, ada 11 (19%) dan yang menyatakan sangat setuju ada 5 (8,6 %). Menurut hasil wawancara dengan Budi, dia tidak setuju dengan pernyataan diatas karena dia selalu mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan fasilitas kantor dalam menyelesaikan tugas atau tanggung jawabnya.
Sedangkan pada indikator lain menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk berinovasi dan berkreasi dalam melakukan pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 23 (39,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk berinovasi dan berkreasi dalam melakukan pekerjaan, ada 32 (55,2 %). Hal ini menunjukkan bahwa karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat selalu mendapatkan kebebasan untuk berinovasi dan berkreasi dalam melakukan pekerjaan guna untuk mengaktualisasikan diri mereka sesuai dengan kebutuhan mereka untuk mengapresiasikan kebutuhan mereka (Arep & Tanjung: 2004).
Adapula indikator yang menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju terhadap pernyataan mendapatkan kebebasan untuk bekerjasama atau saling membantu dengan rekan kerja dalam menjalankan tugas. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 6 (10,3 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan mendapatkan kebebasan untuk bekerjasama atau saling membantu dengan rekan kerja dalam menjalankan tugas, ada 16 (27,6 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4 %). Berdasarkan hasil wawancara dengan Ita dan
266
Indah yang berada dalam satu departemen mengatakan bahwa atasan memberikan kebebasan untuk bekerjasama karena pekerjaan yang harus diselesaikan membutuhkan kerjasama tim.
4.4. Komunikasi Bawahan pada Atasan dan Motivasi Kerja dalam Kategori
Distribusi frekuensi pada bagian sebelumnya masih merupakan penjelasan pada masing – masing bagian, belum tergambar komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja secara keseluruhan. Untuk dapat mengetahui komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja secara keseluruhan dilakukan tahap perhitungan dengan aturan sebagai berikut :
a. Menjumlahkan seluruh skor indikator dari masing – masing aspek komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja dan membagi berdasarkan jumlah indikatornya
b. Menetapkan jumlah kategori skor menjadi tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah c. Mengkategorikan mean skor berdasarkan aturan
Hasil penelitian menunjukkan komunikasi bawahan pada atasan termasuk pada kategori sedang dengan jumlah responden sebanyak 55 orang atau 94,9 %. Kemudian yang termasuk kategori rendah ada 2 orang atau 3,4 % dan yang termasuk melakukan komunikasi pada kategori tinggi ada 1 orang atau 1,7 %. Dari data diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar responden memberikan feedback sedang dalam melakukan komunikasi ke atasan. Hal ini disebabkan masih jarangnya komunikasi upward yang dilakukan bawahan.
Ditemukan pula motivasi kerja termasuk pada kategori sedang dengan jumlah responden sebanyak 52 orang atau 89,6 %. Kemudian yang termasuk kategori rendah ada 3 orang atau 5,2 % dan yang mempunyai motivasi kerja kategori tinggi ada 3 orang atau 5,2 %. Karyawan memiliki motivasi kerja yang sedang. Mengingat komunikasi upward yang dilakukan bawahan termasuk dalam kategori sedang sehingga motivasi kerja karyawan termasuk dalam kategori sedang juga.
4.5. Hubungan Komunikasi Bawahan pada Atasan dengan Motivasi Kerja
Baik aspek komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja selanjutnya dihubungkan dengan identitas responden baik usia, jenis kelamin dan lama kerja. Untuk menghubungkan variable tersebut dilakukan tabulasi silang seperti dijabarkan di bawah ini:
4.5.1. Hubungan Karakteristik Responden dengan Komunikasi Bawahan Pada Atasan
Hasil penelitian menunjukkan pada kategori komunikasi rendah sering dilakukan oleh responden yang berusia 21-30 tahun, sedangkan komunikasi pada kategori sedang dilakukan pada kelompok 31 - 40 tahun. Sedangkan yang melakukan komunikasi kategori tinggi pada kategori usia 41 - 50 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut seseorang telah memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam menerima informasi sehingga keinginan untuk merealisasikan pesan yang ditangkap dalam tindakan nyata begitu besar (Hurlock, 1996, p.261). Mengapa tingkat komunikasi yang dilakukan menujukkan ke tingkat sedang, hal ini dikarenakan memang komunikasi ke atas di pemerintah tidak berjalan dengan lancar (Berdasarkan wawancara dengan pimpinan, Bp Bambang).
267
Hasil penelitian juga menunjukkan ada tidak ada perbedaan yang spesifik antara responden laki – laki dan perempuan dalam berkomunikasi dengan atasan. Namun responden laki – laki cenderung melakukan komunikasi pada kategori rendah dan tinggi, sedangkan perempuan cenderung berkomunikasi pada kategori sedang. Sebagian besar responden dengan jenis kelamin laki-laki melakukan komunikasi upward dalam kategori sedang. Dilihat dari identitas responden hal ini karena jumlah pegawai pria lebih banyak dibandingkan wanita, dan juga karena ketidak lancarnya arus komunikasi dari bawahan kepada atasan sehingga arus komunikasi di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat berada pada tingkat sedang (Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan). Dari wawancara yang dilakukan kepada seorang pegawai (tidak mau namanya disebutkan) diketahui bahwa atasannya selalu cenderung cuek atau tidak memperhatikan apa yang dikomunikasikan-nya, sehingga dia memilih untuk diam atau malas melakukan komunikasi dengan atasannya. Sehingga wajar kalau komunikasi yang dilakukan dari bawahan kepada atasan berada pada tingkat sedang
Berdasarkan kategori lama kerja, responden yang bekerja selama 6 – 10 tahun merupakan kelompok lama kerja yang mempunyai komunikasi kategori rendah (6,1 %), sedangkan yang termasuk pada kelompok komunikasi kategori sedang dilakukan oleh semua kelompok lama kerja. Dan yang memiliki kemampuan komunikasi kategori tinggi adalah responden yang bekerja selama 6 – 10 tahun. Berdasarkan dari perhitungan di atas, hal ini dikarenakan karyawan dengan lama kerja 1-5 tahun, mereka sudah mengetahui kebiasaan atau bagaimana alur komunikasi di pemerintah. Dan mengapa berada pada tingkatan sedang karena arus upward communication di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat tidak berjalan lancar dan apa yang dikatakan pimpinan melalui wawancara itu benar, sehingga wajar jika hasil olahan data diperoleh jawaban sedang.
Sedangkan hasil penelitian pada kategori motivasi kerja rendah dilakukan oleh responden yang berusia lebih dari 21 – 30 tahun, sedangkan motivasi kerja pada kategori sedang dimiliki pada kelompok usia > 31 tahun. Sedangkan yang mempunyai motivasi pada kategori tinggi dilakukan pada kategori usia 21 – 30 tahun. Menurut Hurlock (1996) seseorang pada usia 18 tahun keatas telah memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam menerima informasi sehingga keinginan untuk merealisasikan pesan yang ditangkap dalam tindakan nyata begitu besar. Melalui dari hasil jawaban pada kuesioner yang sudah diolah diketahui bahwa ada pengaruh antara komunikasi ke atas terhadap motivasi kerja, sehingga wajar saja jika tingkat motivasi kerja para karyawan diBiro Administrasi Kesejahteraan Rakyat termasuk dalam ketegori sedang, karena tingkat upward communication juga sedang
Ditemukan pula tidak ada perbedaan yang spesifik antara responden laki – laki dan perempuan dalam motivasi kerja. Responden laki – laki cenderung mempunyai motivasi pada kategori rendah (14,7 % dibandingkan wanita yang sebesar 0 %) namun laki – laki juga mempunyai motivasi kerja yang tinggi dengan persentase 17,5 % dibandingkan wanita yang senilai 0 %. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat motivasi kerja pegawai pria adalah sedang, hal ini wajar saja karena tingkat komunikasi keatas juga berada ditingkat sedang, karena komunikasi keatas mempengaruhi motivasi kerja. Hal ini sesuai dengan pernyataan Frantz yang mengaitkan pengaruh komunikasi terhadap teori hierarki kebutuhan Maslow, yaitu bahwa komunikasi antar individu dalam suatu organisasi (bisa upward atau downward) sangat berpengaruh pada motivasi akan kebutuhan rasa memiliki, penghargaan, dan aktivasi diri. Bila dilihat lebih lanjut, semua hal diatas seperti aktivasi diri, penghargaan, kebijakan
268
organisasi, dan lain-lain, tentu saja dilakukan dengan komunikasi sehingga dalam hal ini bisa dilihat pengaruh komunikasi dalam organisasi terhadap motivasi kerja karyawan (Pace, 2006, p.114-116).
Berdasarkan kategori lama kerja, responden yang bekerja kurang dari 1 tahun merupakan persentase yang paling banyak untuk motivasi kerja kategori rendah. Sedangkan yang sudah bekerja selama 1 – 5 tahun, 11 – 15 tahun dan 16 – 20 tahun memiliki motivasi kategori sedang (masing – masing 100 % ) dan yang memiliki motivasi kategori tinggi adalah responden yang bekerja selama 6 – 10 tahun. Karena kumunikasi keatas mempengaruhi motivasi kerja maka hasil data yang diperoleh dapat dilihat bahwa tingkat motivasi kerja karyawan berada pada tingkat sedang karena komunikasi ke atas juga berada pada tingkat sedang.
4.6. Pengaruh Komunikasi Bawahan pada Atasan Terhadap Motivasi Kerja
Pengujian pengaruh komunikasi bawahan pada atasan terhadap motivasi karaywan dilakukan dengan uji regresi linier sederhana. Analisis regresi linier sederhana ini dipilih karena jumlah variable bebas hanya satu yaitu komunikasi bawahan pada atasan dan 1 variabel tergantung yaitu motivasi kerja dan data berskala interval.
4.6.1. Koefisien Regresi
Persamaan regresi adalah sebagai berikut :
Y = 1,290 + 0,574 X
Dari fungsi regresi tersebut diatas, maka diketahui bahwa :
1. Koefisien regresi bertanda positif menunjukkan perubahan yang searah yaitu jika variabel komunikasi bawahan pada atasan (X) meningkat maka motivasi kerja akan meningkat, dan sebaliknya apabila komunikasi bawahan pada atasan menurun maka motivasi kerja juga akan menurun dengan koefisien regresi sebesar 0,574 dengan asumsi variabel lain konstan
2. Jika seluruh variabel konstan maka motivasi kerja akan bernilai sebesar 1,290
4.6.2. Koefisien Determinasi dan Korelasi
Berikut adalah hasil perhitungan dari koefisien determinasi dan korelasi:
Koefisien korelasi berganda (R) hasil perhitungan diperoleh nilai 0,540 yang menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara variabel komunikasi bawahan pada atasan dengan motivasi kerja. Korelasi cukup kuat ini menurut pendapat Sugiono (1998) yang menyatakan nilai korelasi antara 0,4 sampai dengan 0,6 termasuk dalam kategori cukup kuat.
Koefisen determinasi berganda (R2) atau R squared = 0,291, berarti secara bersama-sama 29,1 % perubahan variabel motivasi kerja konsumen disebabkan oleh variable
269
komunikasi bawahan pada atasan. Sedangkan sisanya yaitu 70,9 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak diteliti.
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a. Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa ada hubungan yang positif antara komunikasi dari bawahan ke atasan (upward communication) terhadap motivasi kerja bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali
b. Dari penelitian ini bisa dilihat bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel komunikasi antara atasan dan bawahan terhadap variabel motivasi kerja bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat, hal ini dapat dilihat dari karena tingkat komunikasi ke atasan cenderung sedang maka tingkat motivasi kerja karyawan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat juga masuk dalam kategori sedang.Seperti karena atasan yang tidak pernah menghargai ide-ide yang diberikan karyawan maka karyawan merasa malas mengeluarkan pendapat atau idenya (Berdasartkan dari hasil wawancara dengan salah satu pegawai )
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis deskriptif data, peneliti perlu memberikan beberapa masukan sebagai bahan perbaikan dalam meningkatkan komunikasi dari bawahan kepada atasan (upward communication) untuk lebih meningkatkan motivasi kerja bawahan. Adapun beberapa masukan atau saran dari peneliti yaitu:
1. Atasan harus memberikan informasi yang jelas dan mendetail kepada bawahan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik, seperti: aktivitas perusahaan; kebijakan, tujuan, sasaran, perencanaan, dan arah perusahaan; serta isu negatif, sensitif dan kontroversial. Contohnya seperti : saat atasan memberikan tugas kepada bawahan atasan harus memberikan informassi yang jelas tentang apa tugas tersebut, bagaimana menjalankannya, kapan dijalankannya, kapan tugas tersebut diserahkan kembali, dll.
2. Menciptakan komunikasi tatap muka secara intensif melalui pertemuan tatap muka secara berkala baik interpersonal maupun kelompok terhadap apa yang bawahan kerjakan, karena bawahan terkadang tidak paham instruksi dan tidak berani untuk bertanya. Pelihara hubungan interpersonal yang baik dengan para bawahan.
3. Menciptakan jalur komunikasi dua arah secara lisan seperti memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengeluarkan ide-idenya dengan cara mendorong kaeryawan atau meminta pendapat karyawan secara langsung, mengajukan pertanyaan, mengeluarkan pendapatnya, dll. Sehingga komunikasi yang terjadi tidak hanya berasal dari satu arah saja (dari atasan saja) tetapi bawahan mempunyai kesempatan juga untuk melakukan komunikasi sehingga tercipta komunikasi dua arah.
270
4. Atasan harus melibatkan seluruh bawahan dalam mengambil keputusan ataupun suatu kebijakan baru.
Dari masukan-masukan yang telah peneliti ajukan diatas, diharapkan dapat membantu perusahaan dalam meningkatkan motivasi kerja bawahan yang meliputi disiplin, inisiatif, loyalitas, kinerja dan pengawasan.
Umar, Husein. (2002). Metode riset komunikasi organisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
272
_
273
PELATIHAN JUMP SHOOT DENGAN AWALAN PASSING DAN AWALAN DRIBLE 10 REPETISI 5 SET TERHADAP
KETEPATAN JUMP SHOOT DARI JARAK 4,6 METER DI DEPAN RING
IDA AYU KADE ARISANTHI DEWI
ABSTRAK: Bola basket merupakan cabang olahraga permainan yang digemari masyarakat. Shooting merupakan teknik yang sangat penting dalam permainan bola basket. Di SMA Tunas Daud khususnya, pengajaran shooting sudah sering dilakukan guna meningkatkan ketepatan jump shoot namun selama ini prestasi tim basket putra SMA Tunas Daud belum maksimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya kemampuan siswa dalam melakukan jump shoot, sehingga perlu dilakukan pelatihan khusus guna meningkatkan ketepatan jump shoot siswa agar lebih baik. Dari sekian banyak pola latihan tidak semua memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan kemampuan jump shoot dari pemain tersebut karena masing-masing pemain memiliki karakter dan kemampuan fisik yang berbeda. Maka dari itu dilakukan penelitian dengan judul “Pelatihan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dan Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap Ketepatan Jump Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket Sma Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013”. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Ada Pengaruh Dan Perbedaan Pengaruh Pelatihan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dan Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap Ketepatan Jump Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan perbedaan pengaruh pelatihan jump shoot dengan awalan passing dan awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran 2012/2013. Hasil penelitian ini nantinya agar dapat dijadikan pedoman untuk meningkatkan ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa putra peserta kegiatan ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 40 orang. Seluruh populasi dijadikan sample dengan teknik populasi studi. Penelitian ini dilaksanakan di lapangan basket SMA Tunas Daud selama 6 minggu. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes, pengukuran dan pencatatan. Untuk mengukur ketepatan jump shoot siswa diberikan tes perbuatan melakukan jump shoot dari jarak 4,6 meter didepan
274
ring tanpa awalan, dengan satuan ukur adalah nilai banyaknya bola yang masuk ke ring. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis statistik dengan teknik t-tes yang formulasinya adalah sebagai berikut:
t =
1)-(N NSD
X- X2
21
Berdasarkan analisa data, diperoleh hasil pada ekperimen pertama, t-tesnya = 3,008, sedangkan t-tabelnya = 2,093, dengan tarf signifikansi 5% dan db = 19. Ekperimen kedua, t-tesnya = 2,405, sedangkan t-tabelnya = 2,093, dengan tarf signifikansi 5% dan db = 19. Perbedaan eksperimen pertama dan kedua, t-tesnya = 0,987, sedangkan t-tabelnya = 2,021, dengan taraf signifikansi 5% db = 38.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada eksperimen pertama dan eksperimen kedua ada pengaruh yang signifikan, sehingga hipotesis nolnya ditolak dan hipotesis alternatifnya diterima. Sedangkan perbedaan pengaruh eksperimen pertama dan eksperimen kedua, hipotesis nolnya diterima dan hipotesis alternatifnya ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan pengaruh antara eksperimen pertama dan eksperimen kedua terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran 2012/2013. Karena tidak ada pengaruh dari hasil yang diperoleh maka dalam peningkatan ketepatan jump shoot agar memberi pelatihan pelatihan jump shoot dengan awalan passing atau awalan drible 10 repetisi 5 set dari jarak 4,6 meter di depan ring.
Kata kunci: “Jump Shoot Dengan Awalan Passing Atau Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring, Ketepatan Jump Shoot”.
Bola basket berasal dari Amerika Serikat. Permainan ini diciptakan oleh
James A Naismith pada tahun 1891. Ternyata, permainan bola basket berkembang
pesat ke seluruh dunia. Pada tahun 1924, bola basket pertama kali
didemontrasikan pada Olimpiade di Paris. Pada tanggal 21 Juni 1932 atas prakarsa
Dr. Elmer Beny, direktur sekolah olahraga di Jenewa, diadakan konferensi bola
basket. Dalam konferensi tersebut terbentuklah federasi bola basket internasional
275
yang diberi nama Federation Internationale De Basket Ball Amateur (FIBA).
Pada tahun 1936 untuk pertama kalinya bola basket dipertandingkan di Olimpiade
di Jerman, yang dikuti oleh 21 negara. Bola basket masuk ke Indonesia setelah
perang dunia ke-2, yang dibawa oleh para prantau Cina. Pada PON I di Solo, bola
basket termasuk cabang yang dipertandingkan. Pada tahun 1953, PERBASI
diterima menjadi anggota FIBA. Pada tahun 1955 kepanjangan PERBASI dirubah
menjadi Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia.
Bola basket sebagai olahraga prestasi memerlukan aspek-aspek
penunjang. Aspek-aspek tersebut menurut (Harsono, 1988: 100) yaitu
“Aspek fisik, teknik, taktik, dan mental”. Aspek kondisi fisik memegang
peranan penting dalam pencapaian prestasi maksimal. Unsur-unsur kondisi
fisik antara lain: daya tahan, kekuatan, kecepatan, kelentukan. Adapula
unsur kondisi fisik yang merupakan gabungan dari unsur-unsur kondisi fisik
diatas, antara lain: kekuatan yang cepat (gabungan kekuatan dan kecepatan)
yang sering disebut power, daya tahan kekuatan (gabungan kekuatan dan
daya tahan) dan stamina (gabungan daya tahan dan kecepatan).
Atlit yang memiliki lompatan yang tinggi akan lebih mudah
melakukan teknik-teknik yang disebutkan diatas. Tinggi lompatan sangat
menentukan kualitas permainan seorang pemain. Semakin tinggi lompatan
seorang pemain maka dapat dikatakan bahwa ia baik dalam bermain,
meskipun masih terdapat kemampuan (skill) dasar bola basket yang harus ia
kuasai misalnya shoot, dribble, lay up, defense, offense dan lain sebagainya.
Beberapa kemampuan (skill) dasar tersebut di atas tentunya memerlukan
lompatan yang tinggi. Dalam shooting, kekuatan lompatan bisa juga
276
menghasilkan shoot yang akurat pula. Dalam melakukan lay up maka akan
semakin mudah jika lompatan kita tinggi. Dalam defense, kemampuan
lompatan yang tinggi akan memudahkan pemaian dalam mematahkan
shooting lawan.
Dewasa ini banyak pola pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan
akurasi tembakan saat melompat atau jump shoot seorang pemain bola
basket baik yang mempergunakan alat bantuan maupun tanpa alat bantuan.
Dari sekian banyak pola latihan tidak semua memberikan pengaruh yang
positif terhadap peningkatan kemampuan jump shoot dari pemain tersebut
karena masing-masing pemain memiliki karakter dan kemampuan fisik yang
berbeda. Ketepatan jump shoot seorang pemain dipengaruhi juga oleh teknik
dasar shooting yang dimiliki pemain tersebut.
Berdasarkan observasi penulis di lapangan bahwa, SMA Tunas Daud
memiliki tim basket putra yang baik dan kompak. Namun ketepatan jump
shoot dalam bermain bola basket dari masing-masing pemain sangat rendah.
Hal ini menyebabkan dalam pertandingan tim putra SMA Tunas Daud
selalu kesulitan dalam mencetak angka terutama saat melakukan jump shoot.
Sehingga tidak jarang tim bola basket putra SMA Tunas Daud kalah dalam
pertandingan karena faktor ketepatan jump shoot yang kurang maksimal.
Salah satu alasan para pemain basket SMA Tunas Daud putra kurang
maksimal dalam melakukan jump shoot karena kurangnya pelatihan yang
bertujuan untuk meningkatkan ketepatan jump shoot para pemain. Beberapa
pelatih beranggapan bahwa jump shoot merupakan hal yang tidak terlalu
penting dalam bermain bola basket. Menurut pandangan mereka stamina
277
yang baik adalah faktor terpenting dalam suatu pertandingan bola basket.
Stamina yang baik sangat membantu dalam melakukan segala gerakan
dalam permainan bola basket namun ketepatan jump shoot juga memberikan
peranan yang tak kalah penting dalam menentukan menang kalahnya suatu
tim dalam pertandingan bola basket.
METODE
Metode adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam
pengumpulan data atau informasi guna memecahkan permasalahan dan menguji
hipotesis penelitian.
Jenis Penelitian
Suatu penelitian dilakukan jelas berdasarkan suatu masalah yang sangat
signifikan terasa ingin dipecahkan oleh peneliti pada waktu mengadakan
penelitian dapat menggunakan beberapa jenis penelitian dan rancangannya.
Berdasarkan cara pendekatan yang akan digunakan, jenis penelitian yang dipakai
serta strategi yang dianggap paling efektif akan menentukan suatu rancangan
penelitian yang paling akhir serta menentukan kategori penelitian yang akan
dilakukan. Sehubungan dengan penelitian ini, maka jenis penelitian yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Karena
penelitian ini menggunakan dua kelompok eksperimen dengan dua kondisi
perlakuan yang berbeda.
POPULASI PENELITIAN
Populasi adalah sekelompok individu yang memiliki satu atau lebih
karakteristik umum yang menjadi pusat penelitian dan keseluruhan individu yang
278
menjadi subjek penelitian. Populasi adalah totalitas semua nilai-nilai yang
mungkin hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif
daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan
jelas. Maka dalam penelitian ini yang termasuk populasi adalah seluruh siswa
putra peserta kegiatan ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun
ajaran 2012/2013. Dalam penelitian ini karena jumlah populasi berjumlah 40
orang, maka seluruh populasi dipakai sebagai subjek penelitian. Teknik yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah populasi studi. Setelah ditetapkan
jumlah sampel sebanyak 40 orang, selanjutnya sampel tersebut dibagi menjadi dua
kelompok. Pembagian ini mempergunakan teknik random sampling dengan cara
undian.
ANALISIS DATA
Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik.
Metode analisis statistik adalah suatu analisis yang menggunakan rumus-rumus
matematika (Sutrisno, 1990: 82). Alasan digunakan analisis statistik karena data
yang diperoleh bersifat kuantitatif atau berbentuk angka. Rumus yang dipakai
adalah rumus t-tes dengan bentuk sebagai berikut:
1)-N(NSD²
2X-1X t
Keterangan :
1X = Rata-Rata Hasil Tes Setelah Pelatihan (Tes Akhir)
2X = Rata-Rata Hasil Tes Sebelum Pelatihan (Tes Awal)
279
= Sigma Atau Jumlah
SD = Simpangan Baku (Standar Deviasi)
N = Jumlah Sampel
1 = Bilangan Konstan (Hadi, 1990: 228)
Taraf signifikansi yang digunakan untuk menguji hipotesis di atas
adalah dengan taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan (N-1).
Apabila ternyata nilai t-tes yang didapat dalam penelitian ini lebih besar
atau sama dengan nilai t-tes pada tabel, maka hipotesis nol yang diajukan
ditolak. Demikian sebaliknya, apabila nilai t-tes yang didapat dalam
penelitian ini lebih kecil dengan nilai t-tes pada tabel, maka hipotesis nol
yang diajukan diterima.
HASIL PENELITIAN
Setelah penelitian dilakukan, maka diperoleh data-data sebagai hasil
penelitian dan disajukan dengan langkah-langkah seperti penyajian data,
persiapan perhitungan, perhitungan statistik / analisis data, dan rekapitulasi
hasil analisis statistik.
Penyajian Data
Berikut ini disajikan data hasil tes awal dan tes sesuai dengan judul
penelitian, yakni melakukan Jump Shoot Dengan Awalan Passing dan Dengan
Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring siswa putra
peserta kegiatan ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun ajaran
2012/2013. Data kedua kelompok tersebut adalah data tes awal dan tes akhir yang
diperoleh melalui tes dan pengukran. Tes awal diberikan sehari sebelum pelatihan
280
dan tes akhir diberikan sehari setelah pelatihan selesai dilakukan. Data tes kedua
kelompok dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini:
Data Tes Awal Dan Tes Akhir Ketepatan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013 (Kelompok Eksperimen I)
No. Nama Siswa Tes Akhir (Nilai)
Tes Awal (Nilai)
Beda (Nilai)
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Lewis Cornellius 8 4 4
2 Aryo 5 3 2
3 Victor Wu 4 3 1
4 Kiki 2 0 2
5 Kevin Utomo 1 0 1
6 Kevin Andrea 1 1 0
7 Ricky Kartika 4 3 1
8 Bobby Kevin Sidharama 5 4 1
9 Christian 1 2 -1
10 Jyotis Putra 1 1 0
11 Andre 3 3 0
12 Henokh 5 3 2
13 Stefan Munthe 4 4 0
14 Krisnu Wangsa 3 3 0
15 Gunadi Taslim 3 2 1
16 Radit 3 1 2
17 Alex 3 5 -2
18 Kevin Cassius Candra 4 2 2
19 Ricko Neys 9 5 4
20 Dony Andreanto 5 5 0
Jumlah 74 54 20
Rata-rata 3,7 2,7 1
281
Data Tes Awal Dan Tes Akhir Ketepatan Jump Shoot Dengan Awalan Drible Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013 (Kelompok Eksperimen II)
No. Nama Siswa Tes Akhir (Nilai)
Tes Awal (Nilai)
Beda (Nilai)
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Alvia Bhisaksana Putra 5 2 3
2 Peter 1 0 1
3 Renaldi 5 4 1
4 Jeriel 3 1 2
5 Brandan 1 0 1
6 Ivan Setio 3 0 3
7 Jordan Dylan 2 2 0
8 Jojo 1 2 -1
9 Leonard S.W 4 3 1
10 Alvin Lee 5 4 1
11 Oliver 5 3 2
12 Rama 5 2 3
13 Billy 2 3 -1
14 Devlon 3 2 1
15 Haryadi 2 4 -2
16 Michael 5 2 3
17 Jody 5 2 3
18 Andrew Lee 4 2 2
19 Warren 7 5 2
20 Robby Gunawan 7 3 4
Jumlah 75 46 29
Rata-rata 3,75 2,3 1,45
282
PERHITUNGAN STATISTIK ATAU ANALISIS DATA
Tabel Kerja Kelompok Eksperimen Pertama
Untuk mencari t-tes tentang pengaruh pelatihan jump shoot dengan awalan
passing 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter
di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud
tahun pelajaran 2012/2013, maka disusunlah tabel kerja seperti berikut ini :
No X1 X2 D SD SD2
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 8 4 4 3 9
2 5 3 2 1 1
3 4 3 1 0 0
4 2 0 2 1 1
5 1 0 1 0 0
6 1 1 0 -1 1
7 4 3 1 0 0
8 5 4 1 0 0
9 1 2 -1 -2 4
10 1 1 0 -1 1
11 3 3 0 -1 1
12 5 3 2 1 1
13 4 4 0 -1 1
14 3 3 0 -1 1
15 3 2 1 0 0
16 3 1 2 1 1
17 3 5 -2 -3 9
18 4 2 2 1 1
19 9 5 4 3 9
20 5 5 0 -1 1
283
∑ 74 54 20 0 42
푿 3,7 2,7 1 0 2,1
Keterangan:
X1 = Hasil Tes Akhir
X2 = Hasil Tes Awal
D = Defference (Perbedaan)
SD = Simpangan Baku Dengan Rumus: D – MD
SD2 = Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku
∑ = Sigma Atau Jumlah
푋 = Rata-Rata
Memasukkan Data ke Dalam Rumus
Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponen-
komponen berikut ini:
MD = ∑ ∑
=
= 1
∑SD2 = 42
Setelah mendapatkan komponen-komponen tersebut diatas, maka dapatlah
dicari nilai t sebagai berikut:
t =X − X∑ SD
N(N − 1)
284
=3,7− 2,7
4220(20− 1)
=142
20.19
=142
380
=1
0,110526315
=1
0,332454981
= 3,007926057
= 3,008
Tabel Kerja Kelompok Eksperimen Kedua
Untuk mencari t-tes tentang pengaruh pelatihan jump shoot dengan
awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6
meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas
Daud tahun pelajaran 2012/2013, maka disusunlah tabel kerja seperti berikut
ini:
No X1 X2 D SD SD2
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 5 2 3 1,75 3,00625
2 1 0 1 -0,25 0,0625
285
3 5 4 1 -0,25 0,0625
4 3 1 2 0,75 0,5625
5 1 0 1 -0,25 0,0625
6 3 0 3 1,75 3,00625
7 2 2 0 -1,25 1,5625
8 1 2 -1 -2,25 5,0625
9 4 3 1 -0,25 0,0625
10 5 4 1 -0,25 0,0625
11 5 3 2 0,75 0,5625
12 5 2 3 1,75 3,00625
13 2 3 -1 -2,25 5,0625
14 3 2 1 -0,25 0,0625
15 2 4 -2 -3,25 10,5625
16 5 2 3 1,75 3,00625
17 5 2 3 1,75 3,00625
18 4 2 2 0,75 0,5625
19 7 5 2 0,75 0,5625
20 7 3 4 2,75 7,5625
∑ 75 46 29 4 47,46875
푿 3,75 2,3 1,45 0,2 2,3734375
Keterangan:
X1 = Hasil Tes Akhir
X2 = Hasil Tes Awal
D = Defference (Perbedaan)
SD = Simpangan Baku Dengan Rumus: D – MD
SD2 = Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku
∑ = Sigma Atau Jumlah
푋 = Rata-Rata
286
Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponen-komponen
berikut ini:
MD = ∑ ∑
=
= 1,25
∑SD2 = 47,46875
Setelah mendapatkan komponen-komponen tersebut diatas, maka dapatlah
dicari nilai t sebagai berikut:
t =X − X∑ SD
N(N − 1)
=2,3− 1,45
47,4687520(20− 1)
=0,85
47,4687520.19
=0,85
47,46875380
=0,85
√0,124917763
=0,85
0,35343707
= 2,404954296
= ퟐ,ퟒퟎퟓ
287
Tabel Kerja Perbedaan Pengaruh Pelatihan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dan Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap Ketepatan Jump Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013
No X1 X2 D SD SD2
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 3 4 -1 -1,45 2,1025
2 1 2 -1 -1,45 2,1025
3 1 1 0 -0,45 0,2025
4 2 2 0 -0,45 0,2025
5 1 1 0 -0,45 0,2025
6 3 0 3 2,55 6,5025
7 0 1 -1 -1,45 2,1025
8 -1 1 -2 -2,45 6,0025
9 1 -1 2 1,55 2,4025
10 1 0 1 0,55 0,3025
11 2 0 2 1,55 2,4025
12 3 2 1 0,55 0,3025
13 -1 0 -1 -1,45 2,1025
14 1 0 1 0,55 0,3025
15 -2 1 -3 -3,45 11,9025
16 3 2 1 0,55 0,3025
17 3 -2 5 4,55 20,7025
18 2 2 0 -0,45 0,2025
19 2 4 -2 -2,45 6,0025
20 4 0 4 3,55 12,6025
∑ 29 20 9 0 78,95
푿 1,45 1 0,45 0 3,9475
Keterangan:
X1 = Beda Hasil Tes Akhir Dan Tes Awal Kelompok II
X2 = Beda Hasil Tes Akhir Dan Tes Awal Kelompok I
288
D = Defference (Perbedaan)
SD = Simpangan Baku Dengan Rumus : D – MD
SD2 = Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku
∑ = Sigma Atau Jumlah
푋 = Rata-Rata
Memasukkan Data ke Dalam Rumus
Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponen-
komponen berikut ini:
MD = ∑ ∑
=
= 0,45
∑SD2 = 78,95
Setelah mendapatkan nilai-nilai tersebut diatas, maka dapatlah dicari nilai t
sebagai berikut:
t =X − X∑ SD
N(N − 1)
=1,45− 1
78,9520(20− 1)
=0,45
78,9520.19
=0,45
78,95380
=0,45
0,207763157
289
=0,45
0,455810439
= 0,98725251
= ퟎ,ퟗퟖퟕ
Rekapitulasi Perhitungan Hasil Analisis Statistik Kedua Kelompok dan
Perbedaan Antara Kelompok Eksperimen I dan II
Kelompok Db (N-1)
t-tabel taraf signifikansi
5%
t-test Keterangan
H0 Ha Eksperimen I 19 2,093 3,008 Ditolak Diterima
Eksperimen II 19 2,093 2,405 Dtolak Diterima
Beda I dan II 38 2,021 0,987 Diterima Ditolak
Keterangan :
Kelompok Eksperimen I = Nilai t-test > dari nilai t-tabel maka ada
pengaruh yang signifikan, sehingga H0
ditolak dan Ha diterima.
Kelompok Eksperimen II = Nilai t-test > dari nilai t-tabel maka ada
pengaruh yang signifikan, sehingga H0
ditolak dan Ha diterima.
Beda Kelompok Eksperimen I dan Eksperimen II
= Nilai t-test < dari nilai t-tabel maka tidak
ada pengaruh yang signifikan, sehingga
H0 diterima dan Ha ditolak.
Kesimpulan
1. Ada pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan awalan passing
10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan
ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun
290
pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pengolahan data
secara statistik diperoleh t-hitung sebesar 3,008. Angka ini lebih besar dari
angka batas penolakan hipotesis nol dalam tabel nilai t sebesar 2,093 dengan taraf
signifikansi 5%, Db = 19.
2. Ada pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan awalan drible
10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan
ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun
pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pengolahan data
secara statistik diperoleh t-hitung sebesar 2,405. Angka ini lebih besar dari
angka batas penolakan hipotesis nol dalam tabel nilai t sebesar 2,093 dengan taraf
signifikansi 5%, Db = 19.
3. Tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan
awalan passing dan awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump
shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler
bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat
dibuktikan dari hasil pengolahan data secara statistik diperoleh t-hitung
sebesar 0,987. Angka ini lebih kecil dari angka batas penolakan hipotesis nol
dalam tabel nilai t sebesar 2,021 dengan taraf signifikansi 5%, Db = 38.
Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat disampaikan saran-saran sebagai
berkut:
1. Disarankan kepada guru, pembina dan pelatih olahraga dalam meningkatkan
ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring agar memberikan
291
pelatihan jump shoot dengan awalan passing atau awalan drible 10 repetisi
5 set. Karena bentuk pelatihan ini sama-sama memberikan hasil yang baik
dalam peningkatan ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring
siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran
2012/2013.
2. Disarankan kepada guru, pembina dan pelatih olahraga agar dalam
memberikan pelatihan untuk cabang olahraga apapun agar selalu berpedoman
pada komponen-komponen dan prinsip-prinsip pelatihan dan sesuai dengan
program pelatihan yang telah disusun agar tidak terjadi over training dalam
pelatihan dan hasil latihan yang diperoleh menjadi maksimal sehingga prestasi
dapat ditingkatkan.
3. Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang
olahraga semakin pesat, maka disarankan agar guru, pembina dan pelatih olahraga
selalu mengikuti perkembangan informasi, baik dalam wujud meningkatkan
pendidikan formal, penataran-penataran maupun seminar-seminar sebagai bentuk
peningkatan kemampuan di bidang olahraga sehingga dapat menambah ilmu
pengetahuan di bidang olahraga dan menambah wawasan secara umum.
4. Disarankan bagi peneliti lain agar mengadakan penelitian yang lebih mendalam
mengenai ketepatan jump shoot dengan mencoba, mengatur, memainkan variabel,
repetisi dan set yang berbeda dari penelitian ini.
292
DAFTAR RUJUKAN
Adnyana, Manuaba. 1997. Pendekatan Ilmiah Dalam Olah Raga. Denpasar:
Yayasan Ilmu Faal Widya Laksana.
Dantes, Nyoman. 1983. Variasi 6 Pos Penelitian dan Perumusan Hipotesis.
Singaraja: FKIP – UNUD.
Kosasih, Engkos. 1993. Olagraga Tehnik dan Program pelatihan Akademika.