Top Banner
i Pengantar Redaksi IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi yang berkonsentrasi pada ilmu pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah untuk menghimpun dan mempublikasikan perkembangan ilmu pendidikan itu. Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober. Apa yang ada ditangan pembaca yang budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 17 Tahun XI April 2015. Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi ini disebarkan baik secara internal di kampus IKIP PGRI Bali, dan juga disebarkan pada alumni beserta komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan widyadari kali ini memuat tiga belas artikel ilmiah dari dosen di lingkungan IKIp PGRI Bali dan alumi IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan dari alumni kampus IKIP PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik. Semoga penerbitan jurnal pendididkan Widyadari ini menjadi wahana yang baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik, dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya. Redaksi
297

WIDYADARI APRIL 2015

Apr 12, 2016

Download

Documents

ikippgribali2

WIDYADARI APRIL 2015
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: WIDYADARI APRIL 2015

i

Pengantar Redaksi

IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi yang berkonsentrasi pada ilmu

pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah pesat. Oleh karena itu diperlukan

wadah untuk menghimpun dan mempublikasikan perkembangan ilmu pendidikan itu.

Berdasarkan kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil

mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari yang terbit

dua kali dalam setahun, yakni bulan April dan Oktober. Apa yang ada ditangan

pembaca yang budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan Widyadari Nomor 17

Tahun XI April 2015.

Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri. Penerbitan edisi

ini disebarkan baik secara internal di kampus IKIP PGRI Bali, dan juga disebarkan

pada alumni beserta komunitas akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan

widyadari kali ini memuat tiga belas artikel ilmiah dari dosen di lingkungan IKIp

PGRI Bali dan alumi IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan dari alumni kampus IKIP

PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala ilmiah komunitas akademik.

Semoga penerbitan jurnal pendididkan Widyadari ini menjadi wahana yang

baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya, sumbangan pemikiran, kritik,

dan saran dari pembaca diharapkan dapat memperbaiki terbitan edisi selanjutnya.

Redaksi

Page 2: WIDYADARI APRIL 2015

iii

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi ........................................................................... i

Daftar Isi ....................................................................................... ii

Peran Kepala Sekolah Terhadap Guru Bimbingan dan Konsling (Konselor) Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, M.Pd .................................................... 1

Konseptualisasi Desain dan Pendekatan Kurikulum Pendidikan Vokasi pada Abad 21 Dr. I Made Darmada, M.Pd............................................................... 18

Penerapan Pendekatan Kontekstual denganMetode Observasi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi di Kalangan Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014 Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd ........................................................ 36

Pengaruh Risiko Perusahaan dengan Konservatisma Akuntansi Putu Diah Asrida, SE., Ak., M.Si ..................................................... 51 Efektivitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Permainan untuk Meningkatkan Perilaku Sosial Siswa (Studi Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas X SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung) Putu Agus Semara Giri, S.Pd., M.Pd.................................................. 62 Beberapa Problematika Dan Kontroversi Seputar Penggunaan Mixed Method (Metode Campuran) dalam Penelitian Dr. I Wayan Gunartha, M.Pd. ........................................................... 91 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Puisi Siswa Kelas Viic SMP Negeri 2 Bebandem Semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015 Drs.I Wayan Kerti, M.Pd .................................................................. 109 Efektivitas Psychological First Aid dalam Mengurangi Gejala Kecemasan pada Penyintas Kecelakaan Kendaraan Bermotor I Made Mahaardika, SH., M.Psi ........................................................ 122 Re-Brandingdan Model Aisas dalam Membangun Kesetiaan Pelanggan Es Krim Merek Magnum Dra. Ni Nyoman Murniasih, M.Erg, dan Ni Wayan Karlini .................. 142

Page 3: WIDYADARI APRIL 2015

iv

Penerapanpembelajaran Bioteknologi melalui Fermentasi Jerami Padi (Oryza Satival.)Menggunakan Larutan Bio Cas untuk Pakan Ternak Ruminansia Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si dan Ni Wayan Ratnadi, S.Pd., M.Pd ... 158 Program Intervensi untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa Kadek Suhardita .............................................................................. 175

Implementasi Model Collaborative Teamwork Learning (MCTL) untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas Xi Mipa 4 Sma Negeri 1 Tampaksiring Tahun Pelajaran 2014/2015 Ngakan Ketut Tresna Budi ............................................................... 197

Peningkatan Kompetensi dan Profesional Guru melalui Penelitian Tindakan Kelas. Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si ........................................................ 209 Seni Pertunjukan Tari Joged Bungbung Yang Exis Dalam Bentuk ,Fungsi Dan Makna Luh Putu Pancawati ......................................................... 221 Penerapan Metode Inkuiri Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 9 Denpasar Tahun pelajaran 2013/2014 Ni Wayan Widi Astuti ...................................................................... 229 Model Evaluasi CIPP Dalam Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014. Ni Wayan Ary Rusitayanti ................................................................ 240 Pengaruh Komunikasi dari Bawahan Terhadap Atasan (upward communication) untuk motivasi karyawan Putu Dessy Fridayanthi .................................................................... 248 Pelatihan Jump Shoot dengan awalan Passing dan awalan Drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan Jumpt Shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi ........................................................... 273

Page 4: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

1

PERAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP GURU BIMBINGAN DAN KONSLING ATAU KONSELOR

Oleh: Dr. A.A. Ngurah Adhiputra, MPd.

Dosen FIP. IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

Guidance teacher and counseling or counselor as a professional educator is a bachelor (S-1) in education of guidance and counseling department and has completed the teacher professional education program guidance and counseling or counselor (PPG LB/K), which provides expert guidance and counseling services, while individuals who receive guidance and counseling services are called counselee. The existence of guidance teacher and counseling or counselor in the national education system is expressed as one of educational qualifications, in line with the qualifications of teachers, lecturers, learning-educators, tutors, lecturers, facilitators and instructors (Law no. 2 20/2003, Article 1, paragraph 6). It is believed that the principal’s support in the implementation and management guidance and counseling program in schools is essential. The relationship between the principle and counselor is very important especially in determining the effectiveness of the program. Principals who understand well the guidance and counseling profession will: (1) giving credence to counselors and maintaining regular communication in various forms, (2) understanding and formalizing the role of the counselor, and (3) placing the staffs of the school as a team or partners.

Key words: make the principles understand; freeing the counselor from irrelevant task; counselor responsibility; building standard supervision PENDAHULUAN

Guru profesional adalah guru yang dalam melaksanakan tugas profesi

kependidikan mampu menampilkan kinerja atas penguasan kompetensi akademik

kependidikan dan kompetensi penguasaan substansi dan/atau bidang studi sesuai

bidang ilmunya. Keberadaan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam

sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar

dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan

instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Namun pengakuan secara eksplisit dan

kesejajaran posisi antara kualifikasi tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak

Page 5: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

2

menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki

konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan seting pelayanan spesifik yang satu dan yang

lainnya mengandung keunikan dan perbedaan. Oleh sebab itu, di dalam naskah ini

konteks dan ekspektasi kinerja guru bimbingan dan konseling atau konselor

mendapatkan penegasan kembali dengan maksud untuk meluruskan konsep dan

praktik bimbingan dan konseling ke arah yang tepat. Merujuk pada Peraturan

Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, untuk selanjutnya tenaga

pendidik di bidang bimbingan dan konseling disebut dengan Guru Bimbingan dan

Konseling atau Konselor

1.1. Penegasan Konteks Tugas Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

Pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal telah

dipetakan secara tepat dalam kurikulum SMP dan SMA 1975, bahkan juga pada

Kurikulum SD 1976, meskipun ketika itu masih dinamakan layanan bimbingan

dan penyuluhan, dan layanan di bidang pembelajaran yang dibingkai dalam

kurikulum, sebagaimana tampak pada gambar 1.

Wilayah Bimbingan &Konseling ygMemandirikan

Wilayah Manajemen& Kepemimpinan

Wilayah Pembelajaranyg Mendidik

Manajemen& Suvervisi

PembelajaranBidangStudi

Bimbingan &Konseling

Tujuan:Perkem-banganOptimalTiapPesertaDidik

Gambar 01 Wilayah Pelayanan Bimbingan dan Konseling

Dalam Jalur Pendidikan Formal

Page 6: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

3

Pada konteks kurikulum, sesungguhnya penanganan pengembangan diri

lebih banyak terkait dengan wilayah layanan guru, khususnya melalui

pengacaraan berbagai dampak pengiring (nurturant effects) yang relevan, yang

dapat dan oleh karena itu perlu dirajutkan ke dalam pembelajaran yang

mendidik yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan.

Meskipun demikian, guru bimbingan dan konseling atau konselor memang juga

diharapkan untuk berperan-serta dalam bingkai layanan yang komplementer

dengan layanan guru, bahu membahu dengan guru termasuk dalam pengelolaan

kegiatan pengembangan diri dan ekstra kurikuler. Persamaan, keunikan, dan

keterkaitan antara wilayah layanan, konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru

bimbingan dan konseling atau konselor dapat digambarkan seperti tampak pada

gambar 02, di mana materi pengembangan diri berada dan merupakan wilayah

komplementer antara guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling

atau konselor.

PERKEMBANGAN OPTIMAL PESERTA DIDIK

Pemenuhan standar Kemandirian Peseta Didik; Perwujudan Diri Secara Akademik, Vokasional, Pribadi dan Sosial melalui Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan

Pemenuhan Standar Kompetensi Lulusan; Penumbuhan Karakter yang

Kuat serta Penguasaan hard skills dan soft skills melalui pembelajaran yang

mendidik

Wilayah Layanan

Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan

Penghormatan kepada Keunikan dan

Komplementaritas Layanan

Wilayah Pembelajaran

yang Mendidik

Gambar 02

Page 7: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

4

Keunikan Komplementalitas Wilayah Pelayanan Guru Mata Pelajaran dan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

1.2. Ekspektasi Kinerja Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dikaitkan dengan Jenjang Pendidikan

Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor sebagai pendidik

profesional adalah Sarjana Pendidikan (S-1) bidang Bimbingan dan Konseling

dan telah menyelesaikan program Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan

Konseling atau Konselor (PPG BK/K) yang memberikan layanan ahli bimbingan

dan konseling, sedangkan individu yang menerima pelayanan bimbingan dan

konseling disebut Konseli. Meskipun sama-sama berada dalam jalur pendidikan

formal, perbedaan rentang usia peserta didik pada tiap jenjang memicu tampilnya

kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling yang berbeda-beda pada tiap

jenjang pendidikan. Batas ragam kebutuhan antara jenjang yang satu dengan

jenjang yang lainnya tidak terbedakan sangat tajam. Dengan kata lain, batas

perbedaan antar jenjang tersebut lebih merupakan suatu wilayah. Di pihak lain,

perbedaan yang lebih signifikan, juga tampak pada sisi pengaturan birokratik,

seperti misalnya di Taman Kanak-kanak sebagian besar tugas guru bimbingan

dan konseling atau konselor ditangani langsung oleh guru kelas taman kanak-

kanak. Sedangkan di jenjang Sekolah Dasar, meskipun memang ada

permasalahan yang memerlukan penanganan oleh guru bimbingan dan konseling

atau konselor, namun cakupan pelayanannya belum menjustifikasi untuk

ditempatkannya guru bimbingan dan konseling atau konselor di setiap Sekolah

Dasar, sebagaimana yang diperlukan di jenjang sekolah menengah (SMP/MTs,

SMA/MA, SMK).

1.3. Keunikan dan Keterkaitan Tugas Guru Mata Pelajaran dan Guru

Bimbingan dan

Konseling atau Konselor

Page 8: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

5

Tugas-tugas pendidik untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan

optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh

guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling atau konselor, dan tenaga

pendidik dan kependidikan lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu masing-

masing pihak tetap memiliki wilayah pelayanan khusus dalam mendukung

realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Dalam hubungan

fungsional kemitraan antara guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan

guru mata pelajaran, antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan

(referral). Masalah-masalah perkembangan peserta didik yang dihadapi guru

pada saat pembelajaran dirujuk kepada guru bimbingan dan konseling atau

konselor untuk penanganannya, demikian pula masalah yang ditangani guru

bimbingan dan konseling atau konselor dirujuk kepada guru untuk

menindaklanjutinya apabila itu terkait dengan proses pembelajaran mata

pelajaran atau bidang studi. Masalah kesulitan belajar peserta didik

sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri.

Ini berarti di dalam pengembangan dan proses pembelajaran bermutu, fungsi-

fungsi bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru, dan sebaliknya,

fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian guru

bimbingan dan konseling atau konselor.

Secara rinci keterkaitan dan kekhususan pelayanan pembelajaran oleh guru

mata pelajaran dan pelayanan bimbingan dan konseling oleh guru bimbingan dan

konseling atau konselor dilukiskan dalam Tabel 01.

Tabel 01 Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru Mata Pelajaran dengan

Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

Dimensi Guru Mata Pelajaran Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor

1. Wilayah Gerak Khususnya Sistem Pendidikan Khususnya Sistem Pendidikan Formal

Page 9: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

6

Dimensi Guru Mata Pelajaran Guru Bimbingan dan Konseling atau

Konselor Formal

2. Tujuan Umum Pencapaian tujuan pendidikan nasional

Pencapaian tujuan pendidikan nasional

3. Konteks Tugas Pembelajaran yang mendididk melalui mata pelajaran dengan Skenario Guru

Pelayanan yang memandirikan dengan skenario konseli-guru bimbingan dan konseling atau konselor.

Fokus kegiatan Pengembangan kemampuan penguasaan bidang studi dan penyelesaian masalah-masalahnya.

Pengembangan potensi diri bidang pribadi, sosial, belajar, karier, dan penyelesaian masalah-masalahnya.

Hubungan kerja

Alih tangan (referral) Alih tangan (referral)

4. Target Intervensi: Individual Minim Utama Kelompok Pilihan strategis Pilihan strategis

Klasikal Utama Minim 5. Ekspektasi Kinerja:

Ukuran keberhasilan

- Pencapaian Standar Kompetensi Lulusan

- Lebih bersifat kuantitatif

- Kemandirian dalam kehidupan - Lebih bersifat kualitatif yang unsur-

unsurnya saling terkait (ipsatif)

Pendekatan umum

Pemanfaatan Instructional Effects & Nurturant Effects melalui pembelajaran yang mendidik.

Pengenalan diri dan lingkungan oleh Konseli dalam rangka pengatasan masalah pribadi, sosial, belajar, dan karier. Skenario tindakan merupakan hasil transaksi yang merupakan keputusan konseli.

Perencanaan tindak intervensi

Kebutuhan belajar ditetapkan terlebih dahulu untuk ditawarkan kepada peserta didik.

Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan dalam proses transaksional oleh konseli, difasilitasi oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor

Pelaksanaan tindak intervensi

Penyesuaian proses berdasarkan respons ideosinkratik peserta didik yang lebih terstruktur.

Penyesuaian proses berdasarkan respons ideosinkratik konseli dalam transaksi makna yang lebih lentur dan terbuka.

Page 10: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

7

Pembahasan

2.1. Peran Kepala Sekolah dalam memahami Langkah-langkah Penegasan Indentitas Profesi

Sejarah menunjukkan terjadinya ragam pemaknaan dan pemahaman

terhadap bimbingan dan konseling, dan memperhadapkan konselor kepada

konflik, ket idak-konsistenan, dan ket idak-kongruenan peran. Untuk

mempersempit kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan dan

penegasan peran dan ident itas profesi. Adapun langkah-langkah tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Memahamkan Para Kepala Sekolah.

Diyakini bahwa dukungan kepala sekolah dalam implementasi dan penanganan

program bimbingan dan konseling di sekolah sangat esensial. Hubungan dengan

kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama di dalam menentukan

keefektifan program. Kepala sekolah yang memahami dengan baik profesi bimbingan

dan konseling akan: (1) memberikan kepercayaan kepada konselor dan memelihara

komunikasi yang teratur dalam berbagai bentuk, (2) memahami dan merumuskan

peran konselor, dan (c) menempatkan staf sekolah sebagai tim atau mitra kerja.

b. Membebaskan Konselor dari Tugas yang Tidak Relevan.

Masih ada konselor sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi, bahkan

mengurus hal-hal yang tidak relevan dengan bimbingan dan konseling, seperti jadi

petugas piket, perpustakaan, koperasi, dan sebagainya. Tugas-tugas ini tidak relevan

dengan latar belakang pendidikan, dan tidak akan menjadikan bimbingan dan

konseling dapat dilaksanakan secara profesional.

c. Mempertegas Tanggungjawab konselor.

Page 11: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

8

Sudah saatnya menegaskan bahwa bimbingan dan konseling menjadi

tanggungjawab dan kewenangan konselor. Sebutan guru pembimbing sudah harus

diganti dengan sebutan “Konselor”. (sebagaimana sudah ditegaskan dalam UU No.

20/2003). Perlu ditegaskan bahwa konselor adalah orang yang memiliki latar

belakang pendidikan bimbingan dan konseling dan memperoleh latihan khusus

sebagai konselor, dan memiliki lisensi untuk melaksanakan layanan bimbingan dan

konseling. Pemberian kewenangan untuk melaksanakan layanan bimbingan dan

konseling didasarkan kepada “lisensi” dan “kredensialisasi” oleh ABKIN, sesuai

dengan perundang dan peraturan yang berlaku.

d. Membangun Standar Supervisi.

Tidak terpenuhinya standar yang diharapkan untuk melakukan supervisi

bimbingan dan konseling membuat layanan tersebut terhambat dan tidak efektif.

Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar

belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan dan

konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi.

Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas bukanlah hal-hal yang

substantif tentang kemampuan bimbingan dan konseling, melainkan hal-hal teknis

administratif. Supervisi bimbingan dan konseling mesti diarahkan kepada upaya

membina keterampilan profesional konselor seperti: (1) memahirkan keterampilan

konseling, (2) belajar bagaimana menangani isu kesulitan siswa, (3) mempraktekkan

kode etik profesi, (4) mengembangkan program komprehensif, (5) mengembangkan

ragam intervensi psikologis, dan (6) melakukan fungsi-fungsi relevan lainnya.

2.2. Apa yang dilakukan Konselor Profesional

Dengan melihat kecendrungan kehidupan dalam masyarakat dan arah

paradigma konseling, seorang konselor profesional akan melakukan/dipersyaratkan

untuk (Sunaryo, 2003: 12):

a. Menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan ragam teknik

assesment perilaku dan lingkungan.

Page 12: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

9

b. Memiliki kemampuan mengantisipasi sosok perkembangan yang diharapkan

dan menguasai keterampilan psikologi untuk mengembangkan lingkungan

belajar.

c. Memiliki kompetensi tinggi dalam memahami kompleksitas interaksi individu

dan lingkungan dalam ragam konteks sosio-kultural.

d. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis yang tidak terbatas kepada

intervensi intrapersonal tetapi juga interpersonal dan lintas budaya.

e. Menguasai strategi assesment lingkungan dalam kaitannya dengan

keberfungsian psikologis individu.

f. Menguasai kompetensi teknologi informasi.

g. Memberikan layanan dalam tim yang akan mengurangi perdebatan wilayah

garapan dan duplikasi upaya,

h. Memberikan layanan konsultatif yang bersifat privat dan indipenden dalam

ragam seting.

i. Merancang dan mengembangkan strategi intervensi dan lingkungan

perkembangan berbasis internet.

2.3. Isu – Isu Profesional

Kekuatan eksisitensi suatu profesi bergantung kepada ‘public trust’ (Biggs &

Blocher, 1986). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya

dapat diperoleh dari konselor. Public trust akan menentukan definisi profesi dan

memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Public trust

akan melanggengkan profesi karena dalam public trust terkandung keyakinan bahwa

profesi dan para anggotanya itu: (a) memiliki kompetensi dan keahlian yang

disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, (b) ada perangkat aturan untuk

mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahtraan public, dan (c) para

anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang kepada

standar profesi.

Page 13: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

10

Diakui bahwa di Indonesia public trust terhadap profesi konseling ini masih

sangat lemah, sehingga identitas profesi konseling-pun masih sangat lemah. Upaya –

upaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat identitas profesi konseling di

Indonesia antara lain :

a. Menata organisasi asosiasi profesi konseling (ABKIN) menjadi betul-betul

sebagai organisasi profesi yang dapat menumbuhkan public trust.

b. Menetapkan tingkat pendidikan minimum untuk persyaratan konselor

profesional, misalnya tingkat pendidikan program Magister dan atau melalui

pendidikan profesi konselor.

c. Kredensial (penganugrahan surat kepercayaan) dilakukan oleh organisasi

profesi dengan standar assesment secara lokal dan nasional.

d. Pemberian kesempatan kepada para konselor yang memenuhi standar profesi

untuk melaksanakan praktek privat dan indipendent di masyarakat.

e. Menata ulang dan memasyarakatkan kode etik profesi termasuk kode etik

untuk konseling jarak jauh atau ‘cyber counselling’.

f. Memperkokoh kesejawatan antar profesi yang terkait dengan helping

relationship seperti: psikologi, dokter, pekerja sosial, dsbnya.

2.4. Tantangan dan Arah Profesional Bimbingan dan Konseling

Esensi tantangan dalam profesional bimbingan dan konseling terletak dalam

pemantapan identitas profesi bimbingan dan konseling itu sendiri. Krisis identitas

akan menimbulkan kesulitan pemantapan unjuk kerja profesional di kalangan orang-

orang yang mengeluti dunia bimbingan dan konseling. Pemantapan identitas profesi

bimbingan dan konseling memerlukan pemantapan dalam segi-segi sebagai berikut:

a. Wawasan profesional yang akan menjadi dasar dalam melakukan timbangan

profesional (professional judgment) dalam menentukan suatu tindakan

layanan. Apakah suatu tindakan itu profesional atau tidak profesional antara

lain terletak timbangan profesional (professional judgment) yang mendasari

tindakan itu.

Page 14: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

11

b. Standarisasi tingkat pendidikan. Jika eksistensi bimbingan dan konseling yang

tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.

20 tahun 2003 dan perangkat peraturannya serta tuntutan yang terkandung

dalam SK Menpan No. 26/89 tahun 2003 ingin dilaksanakan secara optimal

dan profesional, maka para guru pembimbing haruslah mereka yang

berkelayakan untuk melaksanakan tugas itu. Ini berarti perlu adanya standar

minimal tingkat pendidikan yang relevan yang harus dipenuhi oleh para guru

pembimbing.

c. Pemantapan bidang atau fokus garapan. Wilayah garapan bimbingan dan

konseling masih dirasakan sebagai wilayah marginal yang ditarik oleh dua

kutub, yakni kutub pekerjaan guru dan kutub pekerjaan ahli psikologi klinis.

Kondisi ini menimbulkan krisis identitas bimbingan dan konseling.

Pemantapan unjuk kerja hanya mungkin jika pemantapan bidang/fokus

garapan ini telah tercapai, kendatipun pemantapan bidang garapan ini tidak

merupakan titik akhir tetapi lebih merupakan sesuatu yang berkembang secara

berkelanjutan. Pemantapan bidang garapan ini memerlukan kajian konseptual

maupun emperik atas dasar penelitian. Konsep pendekatan atau orientasi

perkembangan dalam bimbingan dan konseling adalah suatu konsep yang

dipandang dapat membantu memantapkan fokus garapan bimbingan dan

konseling.

d. Pemantapan pendekatan dan metodologi intervensi. Keragaman tatanan dan

populasi layanan sebagai peluang pemantapan identitas profesional,

menghendaki pendekatan dan metode intervensi yang dinamik dan sejalan

dengan isu-isu yang terjadi dalam perkembangan manusia. Metode intervensi

bisa dalam bentuk konsultasi dan latihan, dan menggunakan media tertentu di

samping memberikan layanan langsung kepada individu. Pendekatan dan

intervensi kelompok tampaknya perlu lebih dimantapkan sebagai upaya

mewujudkan fungsi preventif-pengembangan yang menjadi fungsi utama

Page 15: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

12

bimbingan dan konseling. Keterampilan ‘mengajar’ dalam arti membantu

individu terampil dalam berpikir, memahami diri dan lingkungan, serta

memilih dan mengambil keputusan merupakan dimensi keterampilan

profesional yang perlu dimantapkan.

e. Pemantapan aturan main profesi berupa kode etik. Salah satu faktor yang

menyebabkan banyaknya intervensi “pihak luar” terhadap pelaksanaan

layanan bimbingan dan konseling karena ketidak jelasan kode etik profesi ini.

Kode etik merupakan perlindungan profesi dan sekaligus juga merupakan

perlindungan konsumen profesi itu. Yang lebih penting lagi ialah

implementasi kode etik oleh para anggota profesi, yang ditunjukkan dalam

kemampuan mengatur diri (self-regulation) baik sebagai seorang pribadi

maupun sebagai seorang profesional dan anggota kelompok profesi. Perilaku

mengatur diri sendiri atas dasar kode etik profesi inilah yang akan

menumbuhkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap profesi

bimbingan dan konseling.

Sedangkan arah peningkatan unjuk kerja profesional bimbingan dan konseling

menggambarkan adanya kecendrungan “pergeseran-pergeseran” konseptual maupun

praktek dalam pelaksanaan layanan profesional bimbingan dan konseling.

Kecendrungan pergeseran tersebut dapat diidentifikasikan dalam hal sebagai berikut:

a. Pergeseran dari bimbingan dan konseling sebagai pekerjaan ke arah sebagai

suatu profesi dengan ditandai adanya pengakuan secara formal tentang

eksistensi bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan nasional.

b. Pergeseran dari orientasi terapeutis-klinis ke arah orientasi perkembangan

dengan menjaga martabat individu dalam konteks sosial budaya.

c. Pergeseran dari populasi layanan yang terbatas kepada populasi layanan yang

lebih luas dalam berbagai tatanan dan situasi.

Page 16: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

13

d. Pergeseran dari teknik dan pendekatan mekanistik ke arah pendekatan yang

dinamik, fluid, teknologis, sesuai dengan isu-isu yang muncul dalam

perkembangan manusia.

Kecendrungan pergeseran itu menghendaki “peningkatan” unjuk kerja

profesional bagi guru pembimbing (konselor) dalam beberapa arah sebagai berikut:

a. Pemerolehan kesadaran identitas profesional yang kuat dengan ditandai

pemerolehan tingkat pendidikan minimal dan sertifikasi.

b. Predikat konselor didasarkan atas sertifikasi yang dimiliki seseorang.

Sertifikasi diberikan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)

dalam program yang disiapkan secara khusus untuk itu. Program studi

Bimbingan dan Konseling yang ada di LPTK adalah program yang

terakreditasi dan berwenang menyiapkan tenaga konselor profesional.

c. Kelayakan sebuah lembaga penyelenggara pendidikan konselor didasarkan

pada hasil akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN)

bersama-sama ABKIN. Keterlibatan ABKIN dalam melakukan akreditasi

dipandang penting karena ABKIN adalah institusi yang menetapkan

kompetensi profesional yang harus dicapai melalui program pendidikan

konselor di LPTK. Dengan sertifikasi dan akreditasi ini pekerjaan bimbingan

dan konseling akan menjadi profesional karena hanya dilakukan oleh konselor

profesional yang bersetifikat.

d. Kredensial adalah penganugrahan kepercayaan kepada konselor professional

yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan

memperoleh lisensi untuk menyelenggarakan layanan professional secara

indipenden kepada masyarakat maupun di dalam lembaga tertentu. Lisensi

diberikan oleh ABKIN atas dasar permohonan yang bersangkutan, berlaku

untuk masa waktu tertentu dan dilakukan evaluasi secara periodik untuk

menentukan apakah lisensi masih bisa diberikan. Pemberian lisensi diberikan

atas hasil asesmen nasional yang dilakukan ABKIN melalui ‘Badan

Page 17: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

14

Akreditasi dan Kredensialisasi Konselor Nasional’. Seorang Konselor tidak

secara otomatis memperoleh kredensial, kecuali atas dasar permohonan dan

melakukan secara nyata layanan profesi bagi masyarakat atau sekolah.

Simpulan

Mengkaji kualifikasi profesional petugas bimbingan (konselor) di Indonesia

tidak dapat lepas dari eksistensi profesi bimbingan dan konseling di dalam sistem

pendidikan Indonesia. Berdasarkan GBHN tahun 1988, pendidikan di Indonesia

bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu: manusia yang

beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi pekerti luhur,

berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri,

cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani (Sunaryo, 1989: 1).

Kata meningkatkan dalam rumusan tujuan tersebut mengandung arti bahwa

pendidikan merupakan upaya membawa manusia Indonesia mencapai kualitas hidup

yang lebih baik. Ini berarti pula bahwa pendidikan nasional Indonesia adalah upaya

membawa manusia Indonesia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi atas

dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam konteks dan tatanan kehidupan masyarakat manapun memang

pendidikan akan selalu berhadapan dengan manusia yang sedang berada dalam proses

berkembang. Secara psikologis proses perkembangan tersebut adalah proses yang

bersifat individual. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan merupakan alat

untuk membantu manusia menjadi apa yang dapat dia lakukan dan bagaimana

seharusnya dia menjadi sesuai dengan hakekat keberadaannya. Ini mengandung arti

bahwa proses pendidikan itu adalah proses yang dialami secara individual.

Semua ciri-ciri kualitas manusia Indonesia yang tersurat dalam GBHN tahun

1988 tersebut di atas, adalah ciri-ciri yang diharapkan dimiliki oleh semua manusia

Indonesia sebagai identitas diri dan budayanya. Mengingat proses pendidikan itu

pada hakekatnya merupakan proses individual, maka pencapaian atau pemilikan

Page 18: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

15

semua ciri kualitas manusia Indonesia-pun merupakan proses yang bersifat

individual. Implikasi dari pemikiran tersebut bahwa proses pendidikan umum harus

sampai kepada upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan individual manusia

Indonesia. Upaya ini dimaksudkan untuk membantu mereka (peserta didik)

memperhalus, menginternalisasikan dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola

perilaku yang dipelajari melalui proses pendidikan umum.

Strategi upaya khusus yang dapat menyentuh kehidupan individual itu adalah

melalui layanan profesi bimbingan dan konseling. Sejalan dengan perkembangan

bimbingan dan konseling, pengakuan legal atas eksistensi konselor di Indonesia

terjadi dengan ditetapkannya UU No. 20/2003 tentang “Sistem Pendidikan

Nasional”. Dalam pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa konselor sebagai salah satu

kualifikasi pendidik. Pengakuan legal atas eksistensi konselor dalam Sistem

Pendidikan Nasional merupakan prestasi pucak dalam sejarah bimbingan dan

konseling di Indonesia. Sebagai asosiasi profesi, ABKIN (Asosiasi Bimbingan

Konseling Indonesia) ingin menegaskan dan mendeklarasikan bahwa ‘Konselor

adalah Pendidik’ , dan layanan profesional yang dilakukan oleh konselor adalah

Bimbingan dan Konseling.

Pada Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling ke XIII tahun 2003, dan

Konvensi Divisi-Divisi ABKIN tahun 2004 merekomendasi langkah lanjut

profesional bimbingan dan konseling melalui “Standarisasi Profesi”. Standarisasi

tidak hanya secara Nasional tetapi juga kearah standar Internasional, yang mencakup

etik, akreditasi/sertifikasi, dan kredensialisasi. Secara konkret upaya standarisasi ini

di awali pada tahun 2002, dengan pengembangan “Dasar-Standarisasi Profesi

Konseling Indonesia”, sebagai kerjasama antara ABKIN dengan Dirjen Dikti.

Standar ini masih terus dikaji dan dikembangkan untuk penyempurnaan. Konvensi

Divisi-Divisi ABKIN tahun 2009 dikaji dan dikembangkan terus standarisasi

profesional konseling untuk mencapi tujuan pendidikan nasional.

Page 19: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

16

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Directorate General of Higher Education, Ministry of Education, 2003, Higher Education Long Term Strategy 2003-2010. Jakarta: Directorate General of Higher Education Ministry of Education Republic of Indonesia

Direktorat Pembinaan Akademik dan Kamahasiswaan, 2003, Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Pembinaan Akademik dan Kamahasiswaan. Ditjen Dikti. Depdiknas

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. 2003. Naskah Akademik Standar Kompetensi Guru SD-MI. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). 2005. The Professional Counselor

Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.

Faiver, C., S. Eisengart, dan R. Colonna. 2004. The counselor intern’s handbook.

(3rd Edition). Belmont, CA: Brooks/Cole

Gardner, H. 1993. Frame of Mind: The theory of multiple intelligences . N.Y.: Basic Books.

Page 20: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

17

Gysbers, N. C. dan P. Henderson. 2006. Developing and Managing your School

Guidance and Counseling Program (4th

Ed). Alexandria, VA: ACA.

Hogan-Garcia, M. 2003. The Four Skills of Cultural Diversity Competence: a Process for Understanding and Practice. Pacific Grove, CA.: Brooks/Cole.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor

Schone, DA. 1983. The Reflective Practitioner: how professionals think in action. New York: Basic Book, Inc., Publishers.

Slavin, Robert E, 2006, Educational Psychology: Theory and Practice. 8th. Boston: Allyn and Bacon

Sternberg, RJ. 2003. Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. New York: Cambridge University Press.

T.Raka Joni 2007. Prospek Pendidikan Profesional Guru di Bawah Naungan UU No. 14 Tahun 2005, Universitas Negeri Malang

Page 21: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

18

KONSEPTUALISASI DESAIN DAN PENDEKATAN KURIKULUM PENDIDIKAN VOKASI PADA ABAD 21

Oleh Dr. I Made Darmada, M.Pd.

[email protected]

ABSTRACT

Vocational education is one type of higher education system. Vocational education has a special characteristic that is focusing on preparing the student to work in a specific field. Therefore, a vocational education cannot be separated from the world of work because world of work is considered as link that should not be broken from the series of vocational education system. A world of work and a vocational education are likened as a moving object with its shadows which cannot be divided or moving separately. A vocational education is built and developed by carefully paying attention to the needs and situations in the world of work to satisfy the developing market demand. A vocational education cannot stand apart from the development of world of work includes the development and utilization of technology and its impact to paradigm demands, attitudes, and continuous skills. Key Words: Vocational, Curriculum, Higher Education

1. PENDAHULUAN

Dellors dalam laporan Komisi Pendidikan di abad 21 untuk

UNESCO (1998:22) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan empat

perubahan besar di dunia pendidikan tersebut, dipakai dua basis landasan,

berupa : Empat pilar pendidikan: (i) learning to know, (ii) learning to do

yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada penguasaan

keterampilan menurut klasifikasi ISCE (International Standard

Classification of Education) dan ISCO (International Standard

Classification of Occupation), dematerialisasi pekerjaan dan kemampuan

berperan untuk menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja di

kegiatan ekonomi informal, (iii) learning to live together (withothers), dan

(iv) learning to be, serta; belajar sepanjang hayat (learning

throughoutlife).

Perubahan-perubahan mendasar pendidikan yang berlangsung di

abad 21 ini, akan meletakkan kedudukan pendidikan sebagai: (i) lembaga

Page 22: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

19

pembelajaran dan sumber pengetahuan, (ii) pelaku, sarana dan wahana

interaksi antara pendidikan tinggi dengan perubahan pasaran kerja, (iii)

lembaga pendidikan sebagai tempat pengembangan budaya dan

pembelajaran terbuka untuk masyarakat, dan (iv) pelaku, sarana dan

wahana kerjasama internasional.

ukuran survive atau tidaknya suatu negara. Kemampuan bersaing

berkaitan dengan kemampuan manajemen, penggunaan dan penguasaan

teknologi informasi (IT), dan sumber daya manusia (SDM).

Diberlakukannya perjanjian General Agreement on Tariff and Trade

(GATT) yang berkembang menjadi World Trade Organization (WTO),

dibentuknya blok-blok perdagangan regional seperti European Common

Market (ECM) lalu menjadi European Economics Community (EEC),

North American Free Trade Area (NAFTA), Asean Free Trade Area

(AFTA), dan Asia Pacific Economics Cooperation (APEC) merupakan

wujud nyata era perdagangan bebas, liberal, dan terbuka.

Hal lain yang membutuhkan kewaspadaan adalah tuntutan

percepatan penciptaan Masyarakat ASEAN dalam Asean Economic

Community menjadi tahun 2015 dari rencana tahun 2020, untuk Indonesia

Malaysia, Filipina, dan Thailand. Konsekuensinya, akan terjadi aliran

perdagangan dan jasa serta pekerja lintas batas. Para pencari kerja di

ASEAN akan bersaing tidak lagi dengan sesama warga negara, tetapi

dengan negara lain di ASEAN.

Oleh karena itu, abad 21 merupakan peluang dan ancaman yang

patut dicermati serta sangat menarik untuk didiskusikan dalam berbagai

hal seputaran desain dan pendekatan kurikulum pada pendidikan vokasi.

Adapun permasalahannya dapat dirumuskan seperti berikut ini.

2. Permasalahan

Bagaimana desain dan pendekatan kurikulum dalam pendidikan

vokasi pada abad 21?

Page 23: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

20

3. Dukungan Teori

Prosser (1925) menjelaskan bahwa pendidikan vokasi memiliki

prinsip-prinsip sebagai berikut : 1) Pendidikan vokasi akan efisien jika

lingkungan di mana peserta didik dilatih merupakan replika

lingkungan dimana nanti dia akan bekerja, 2) Pendidikan vokasi yang

efektif hanya dapat diberikan di mana tugas-tugas latihan dilakukan

dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di

tempat kerja. 3) Pendidikan vokasi akan efektif jika dia melatih

seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang

diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.

Sayling Wen (2003) menyatakan bahwa terjadinya perubahan

dalam kualitas pendidikan masa depan. Perubahan tersebut antara lain:

(1) perubahan dari pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan

menjadi pengembangan ke segala arah yang seimbang, (2) dari

pembelajaran bersama yang disentralisasikan menjadi pembelajaran

yang diindividualisasikan yang didesentralisasikan, (3) dari

pembelajaran yang terbatas pada tahapan pendidikan menjadi

pembelajaran seumur hidup dan (4) dari pengakuan diploma menjadi

pengakuan kekuatan-kekuatan nyata.

Pendidikan vokasi merupakan jenis pendidikan yang memiliki

karakteristik khusus, yakni berorientasi kepada penyiapan peserta didik

untuk bekerja dalam bidang tertentu. Untuk itu, pendidikan vokasi

tidak dapat terlepas dari keterikatannya dengan dunia kerja, karena

dunia kerja dianggap sebagai mata rantai yang tidak boleh putus dari

suatu rangkaian sistem pendidikan vokasi. Dunia kerja dan pendidikan

kejuruan ibarat benda yang bergerak dan bayangannya, keduanya tidak

dapat terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Pendidikan vokasi dibangun

dan dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan dan situasi

dunia kerja untuk dapat memenuhi tuntutan pasar yang berkembang.

Pendidikan vokasi tidak dapat menutup diri terhadap perkembangan

Page 24: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

21

yang terjadi di dunia kerja, termasuk perkembangan dan pemanfaatan

teknologi dan dampaknya terhadap tuntutan keterampilan lulusannya.

(Ivan, 2008)

Dengan demikian, permintaan terhadap keterampilan kerja

yang berubah dengan sangat dinamis itu harus selalu dicermati,

dipantau, dan dijadikan sandaran atau rujukan untuk mengembangkan

pendidikan kejuruan, terutama dalam menyusun strategi pembelajaran

yang sesuai dengan perkembangan dunia kerja. Hal itu juga merupakan

upaya untuk menjaga sustainabilitas pendidikan kejuruan di tengah

arus perubahan dan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang

berdampak langsung kepada tuntutan pengetahuan, sikap,dan

keterampilan lulusannya. Sejak Tahun 1993 Pemerintah dalam hal ini

melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah

memperkenalkan kebijakan link and match, dimana kebijakan ini

dioperasionalkan dalam bentuk Pendidikan Sistem Ganda (PSG),

(Wardiman, 1998).

Pendidikan kejuruan (vokasi) tidak dapat dilepaskan dari

perkembangan dunia kerja yang ada. Pengembangan tenaga kerja yang

marketable dilakukan oleh pendidikan kejuruan berdasarkan

kebutuhan pasar (demand driven) melalui peningkatan kompetensi

lulusan. Selain itu Pendidikan kejuruan lebih dekat dengan kebutuhan

sektor industri dan mengarah kepada pemberian solusi terhadap

permasalahan ketenagakerjaan dalam memasuki era perdagangan

bebas yang menuntut kemampuan bersaing di tingkat nasional dan

internasional. Oleh karena itu kompetensi menjadi hal yang sangat

penting agar para lulusan dapat diserap di dunia kerja/industri.

Berdasarkan Kepmendiknas No.045/U/2002 kurikulum pada

perguruan tinggi adalah kurikulum yang berbasis kompetensi. Karena

itu kompetensi adalah sentral yang harus dibangun dalam pendidikan

kejuruan termasuk bagaimana penetapan dan bagaimana pengukuran

kompetensinya.

Page 25: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

22

Pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang diarahkan

pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang mencakup program

pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3, dan diploma 4, maksimal

setara dengan program pendidikan sarjana. Lulusan pendidikan vokasi

akan mendapatkan gelar vokasi.

(id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi).

Pendidikan vokasi tertuang dan dijelaskan dalam Peraturan

Pemerintah (PP) 2004 yang merupakan :

Merupakan pendidikan tinggi maksimal setara dengan program

sarjana yang berfungsi mengembangkan peserta didik agar memiliki

pekerjaan keahlian terapan tertentu melalui program diploma dalam

rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (Pasal 21).

Merupakan pendidikan yang mengarahkan mahasiswa untuk

mengembangkan keahlian terapan, beradaptasi pada bidang

pekerjaann tertentu dan dapat menciptakan peluang kerja (Pasal 22

Ayat [1]).

Menganut sistem terbuka (multi-entry-exit system) dan multimakna

(berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan

watak, dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup life skill

(Pasal 22 Ayat [2]).

Pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta sesuai

dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja (Pasal 22 Ayat [3]).

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan keahlian terapan yang

diselenggarakan di perguruan tinggi berbentuk akademi, politeknik,

sekolah tinggi, institut dan universitas (Pasal 23 Ayat [1]).

Kurikulum pendidikan vokasi merupakan rencana dan pengaturan

pendidikan yang terdiri atas standar kompetensi, standar materi,

indikator pencapaian, strategi pengajaran, cara penilaian dan

pedoman lainnya yang relevan untuk mencapai kompetensi

pendidikan vokasi (Pasal 27 Ayat [3]).

Page 26: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

23

Pendanaan pendidikan vokasi menjadi tanggung jawab bersama

antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia kerja (dunia

usaha/industri), dan masyarakat (Pasal 38 Ayat [1]).

Peran serta masyarakat dalam pendidikan vokasi meliputi peranserta

perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan

organisasi kemasyarakatan (Pasal 39 Ayat [1]).

Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan vokasi dapat menjamin

kerja sama dengan lembaga-lembaga lain baik di dalam maupun di

luar negeri (Pasal 40 Ayat [1]). (http://www.polteklampung.ac.id)

Menurut pendapat Gill (2000:12) “vocational education is

distinguished from general general education by its higher cost of

delivery, especially at the secondary level, and by the options it opens or

closesat the secondary and postsecondary levels”. pendidikan kejuruan

dibedakan dari pendidikan umumkarena biaya pendidikan yang lebih

tinggi, terutama pada tingkat menengah, dan oleh karena itu pilihan ini

membuka atau menutup pada tingkat sekunder dan pasca menengah

Menurut Ornstein (2004:10) bahwa “ A curriculum can be defined

as a plan for action or a written document that includes strategies for

achieving desired goals or ends”. Kurikulum dapat didefinisikan sebagai

suatu rencana untuk melakukan tindakan dari suatu dokumen tertulis yang

mencakup strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau

berakhirnya suatu program pembelajaran.

Selain itu menurut Saylor dalam bukunya Ornstein ( 2004 : 10)

yang berjudul Curriculum, Foundation, Principles, and Issues

mendefinisikan kurikulum sebagai “ as a plan for providing sets of

learning opportunities for person to be educated “.

Definisi kurikulum menurut Finch & Crunkilton (1999 : 11) adalah

“…the sum of learning activities and experiences that a student has under

the auspices or direction of the school”

Page 27: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

24

Finch & Crunkilton (1997 : 23), memberikan penjelasan dalam

proses pengembangan kurilulum pada pendidikan teknik dan vokasi

seperti pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Pengembangan Kurikulum pada Pendidikan Vokasi

Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum diantaranya, yaitu:

a) Kurikulum untuk Pendidikan Vokasi

(1). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan Sk Mendiknas 232

Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor

232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum

Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam

Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum.

berdasarkan tujuan belajar (1) Learning to know, (2) learning to do,

(3) learning to live together, dan (4) learning to be. Berdasarkan

pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam

kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata.

kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah

Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian

Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan

(5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).

Planning The Curriculum

- Establish a Decision making Proses

- Collect and Assess School-related Data- Collect and Asses

Community-related Data

Establishing Curriculum Content- Utilize Strategies to Determine Content- Make Curriculum Content Decisions

-Develop Curriculum Goals and Objectives

Implementing The Curriculum

- Identify and Select Materials

- Develop Materials- Select Delivery

Strategies- Assess the Curriculum

Page 28: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

25

Dalam Ketentuan Umum (7.8,9.10,11) dikemukakan deskripsi

setiap kelompok mata kuliah dalam kurikulum inti dan pada pasal 9

berkenaan dengan kurikulum institusional. Dengan mengambil

rumusan pada Ketentuan Umum, deskripsi tersebut adalah sebagai

berikut:

Keputusan Mendiknas yang dituangkan dalam SK nomor 232

tahun 2000 di atas jelas menunjukkan arah kurikulum berbasis

kompetensi walau. pun secara. eksplisit tidak dinyatakan demikian.

(Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004)

(2). Kurikulum Pendidikan Tinggi Berdasarkan SK Mendiknas No.045/U/2002

Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang

Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan "Kompetensi

adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang

dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh

masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan

tertentu".

Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang

pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan

ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan

pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang

muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi

pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang

kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan

kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan,

serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan,

karena kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan

tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.

SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat

perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum

pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2

Page 29: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

26

ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang

dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-

elemen kompetensi.

Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah

pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti

dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan

nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama

sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi

pendukung dan kompetensi lainnya. Berdasarkan SK Mendiknas

nomor 045:

Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama,

bersifat:

a. dasar untuk mencapai kompetensi lulusan

b. acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi

c. berlaku secara. nasional dan internasional

d. lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di

masa mendatang.

e. kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi,

masyarakat profesi, dan pengguna lulusan

Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi

pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut

dengan kompetensi utama. (Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18

Oktober 2004).

Ada banyak model pengembangan kurikulum yang telah dipikirkan

dan dikemukakan banyak orang. Menurut Ahmad dkk (1997: 51-56) ada

beberapa model yang banyak digunakan dalam pengembangan kurikulum,

diantaranya model yang dikemukakan oleh Rogers Zais.

a) Model Pengembangan Kurikulum Rogers

Page 30: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

27

Ada beberapa model yang dikemukakan Rogers, yaitu jumlah dari

model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Model-

model tersebut disusun sedemikian rupa sehingga model yang

berikutnya sebenarnya merupakan penyempurnaan dari yang

sebelumnya.

b) Model Pengembangan Kurikulum Robert Zais S.

Zais (1976 : 91) mengemukakan delapan macam model pengambangan

kurikulum. Model tersebut sebgian merupakan model yang sering

ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum sekolah. Adapun

beberapa model tersebut antara lain :

1) Model Administratif.

Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang

paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan

kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan

menggunakan prosedur administrasi. Model administrative / disebut

juga model garis staf atau model dari atas ke bawah. Kegiatan

pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat pendidikan yang

berwenang yang membentuk panitia pengarah. Biasanya terdiri dari

pengawas pendidikan, kepala sekolah, dan staf pengajar inti. Panitia

pengarah tersebut diarahkan tugas untuk merencanakan, menyiapkan

rumusan falsafah dan tujuan umum pendidikan.

Setelah kegiatan tersebut selesai, Panitia pengarah membentuk

kelompok kerja sesuai keperluan. Para anggotanya biasanya adalah

staf pengajaran dan spesialis kurikulum. Kelompok ini bertugas

untuk menyusun tujuan-tujuan khusus pendidikan, garis besar bahan

pengajaran, dan kegiatan belajar. Hasil kerja kelompok tersebut

direvisi Panitia Pengarah, menguji coba kemudian memutuskan

pelaksanaannya. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan

dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan

Page 31: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

28

berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka

model ini disebut juga model Top-Down. Dalam pelaksanaannya,

diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan

beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.

2) Model Grass Root

Model pengembangan ini merupakan lawan dari model

pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan

datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah.

Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam

sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi,

sedangkan model grass root akan berkembang dalam sistem

pendidikan yang bersifat desentralisasi.

Pengembangan kurikulum model dari bawah ini menuntut

adanya kerja antarguru, antar sekolah secara baik, disamping harus

juga ada kerjasama antar pihak diluar sekolah khususnya orangtua

murid dan masyarakat.

3) Model Beauchamp

Sesuai dengan namanya, model ini diformulasikan oleh GA.

Beauchamp, yaitu mengemukakan lima langkah penting dalam

pengambilan keputusan pengambangan kurikulum, yaitu :

1) Menentukan arena pengambangan kurikulum yang dilakukan,

yaitu berupa kelas, sekolah, system persekolahan regional atau

nasional.

2) Memilih dan mengikutsertakan pengembang kurikulum yang

terdiri atas spesialis kurikulum, kelompok professional, penyuluh

pendidikan dan orang awam.

3) Mengorganisasikan dan menentukan perencanaan kurikulum yang

meliputi penentuan tujuan, materi dan kegiatan belajar.

4) Melaksanakan kurikulum secara sistematis di sekolah.

5) Melakukan penilaian.

Page 32: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

29

4) Model Terbalik Hilda Taba

Model yang dikemukakan Hilda (1962 : 234) ini berbeda

dengan cara lazim yang bersifat deduktif karena caranya bersifat

induktif. Itulah sebabnya ini dinamakan model terbalik. Model ini

diawali justru dengan percobaan, kemudian baru penyusunan dan

kemudian penerapan. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan antara

teori dan praktek.

Pengembangan model ini dilakukan dengan lima tahap, yaitu :

1) Menyusun unit-unit kurikulum yang ada dan diujicobakan oleh

staf pengajar.

2) Mengujicobakan untuk mengetahui kesahihan dan kelayakan

kegiatan belajar mengajar.

3) Menganalisis dan merevisi hasil ujicoba, serta

mengkonsolidasikannya.

4) Menyusun kerangka teroritis.

5) Menyusun kurikulum yang dikembangkan secara menyeluruh dan

mengumumkannya.

5) The Systemic Action-Research Model

Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa

perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal ini

mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua,

siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan

kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi

tersebut, model ini menekankan pada tiga hal, yaitu : hubungan

insani, sekolah dan organisasi masyarakat serta wibawa dari

pengetahuan profesional. Penyusunan kurikulum dengan

memasukkan pandangan dan harapan masyarakat, dan salah satu

cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action-research.

Page 33: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

30

6) Emerging Technical Models

Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta

nilai-nilai efisiensi dan efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi

perkembangan model kurikulum. Tumbuh kecenderungan baru yang

didasarkan atas hal itu, diantaranya :

(1) The Behavioral Analysis Model.

Menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu

perilaku / kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi

perilaku yang sederhana yang tersusun secara hirarkis.

(2) The System Analysis Model.

Berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah pertama model ini

adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang

harus dikuasi siswa. Langkah kedua menyusun instrumen untuk

menilai ketercapaian hasil belajar tersebut. Langkah ketiga

mengidentifikasi tahap-tahap hasil yang dicapai serta perkiraan

biaya yang diperlukan. Langkah keempat membandingkan biaya

dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.

(3) The Computer-Based Model.

Suatu pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan

komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi

seluruh unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki

rumusan tentang hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan

guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit

kurikulum tersebut. Stelah diadakan pengolahan disesuaikan

dengan kemampuan dan hasil belajar siswa disimpan dalam

komputer.

(b) Pendekatan dalam Pengembangan Kurikulum

Menurut Finch & Crunkilton (1999 : 136-141), terdapat 5

strategi/pendekatan dalam menentukan dan mengembangkan isi

kurikulum, yaitu (1) Pendekatan Filosofis, (2) Pendekatan Instropeksi, (3)

Page 34: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

31

Pendekatan DACUM, (4) Pendekatan Fungsional, dan (5) Pendekatan

Analisis Tugas. Selain itu Hussaini Umar (2002) menyatakan bahwa untuk

merencanakan pendidikan termasuk didalamnya pengembangan kurikulum

dapat dilakukan dengan Teknik Delphi.

Dari beberapa pendekatan tersebut di atas dalam pengembangan

kurikulum ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan DACUM

(Development a Curriculum). Alasan dilakukan pendekatan ini karena

DACUM banyak digunakan dibeberapa negara untuk berbagai bidang

seperti pendidikan, perusahaan, serta pemerintahan dan terbukti berhasil

dengan baik Selain itu juga DACUM memiliki metode yang sangat efektif,

cepat dan biaya rendah (2008:5).

Gambar 2. Evaluasi CIPP

(c) Standar Kelulusan

Selama ini standar kelulusan yang diberlakukan oleh lembaga

pendidikan adalah standar yang dibuat oleh BSNP (BSNP di bawah

Kementerian Pendidikan Nasional) sedangkan dunia usaha/industri (Dudi)

memiliki standar kompetensi kerja SKKNI (Standar Kompetensi Kerja

•Process•Product

• Input•Context

Curriculum Planing & Development

Curriculum Operation & Refinement

Page 35: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

32

Nasional Indonesia) yang dikembangkan oleh Kementrakers, sehingga

kedua standar tersebut harus dipertemukan untuk menghidari “mishmach”

antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Gambar di bawah 3 ini

menggambarkan kemitraan antara dunia industri dengan pendidikan

berdasarkan kompetensi.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, salah satu upaya yang dapat

dilakukan adalah melakukan penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja.

Penyelarasan merupakan upaya penyesuaian pendidikan sebagai pemasok

SDM dengan dunia kerja sebagai penyerap SDM yang berubah sangat

dinamis. (www. Penyelarasan.kemdiknas.go.id).

Dalam upaya untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dari dunia

industri maka pemetaan yang komprehensif menjadi sangat penting untuk

dilakuan. Pemetaan ini dapat menghasilkan matching kompetensi antara

dunia industri dengan dunia pendidikan dalam hal ini lembaga terkait. Setelah

diperoleh matching competency langkah awal yang perlu dilakukan

selanjutnya adalah pengembangan kurikulum, hal ini bertujuan agar

kompetensi yang dimiliki oleh siswa atau mahasiswa sesuai dengan

ekspektasi dunia kerja. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan kemendikbud

Page 36: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

33

dalam penyelerasan dunia kerja dengan dunia pendidikan seperti pada

Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Model Supply-Demand Tenaga Kerja

Dengan demikian pengembangan model kurikulum untuk menyiapkan

kompetensi mahasiswa program vokasi perlu untuk dikembangkan dengan

harapan: Memenuhi standar yang ditetapkan oleh dunia kerja (workforce)

untuk menghindari miss match dan under qualified, memuat tentang skill

yang dibutuhkan di masa mendatang (the future skill), serta terdapat standar

kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan vokasi.

4. Simpulan

1. Desain kurikulum dengan model Grass Root. Alasan dipilihnya model

tersebut adalah, (1) karena sistem pendidikan yang berlaku saat ini adalah

sistem desentralisasi, sehingga pengembangan kurikulum berlaku bottom-

up, (2) model ini melibatkan lembaga, instansi, dan para praktisi industri

Page 37: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

34

yang aplikatif secara langsung di dunia industri sehingga mengetahui akan

kompetensi yang menjadi tuntutan industri.

2. Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan DACUM karena telah

teruji dibeberapa negara, baik digunkan di dunia pendidikan, perusahaan,

dan pemerintah.

3. Evaluasi pelaksanaan kurikulum menggunakan CIPP dan Standar

kelulusan dengan mengembangkan model kemitraan.

4. Luaran pendidikan vokasi dapat bekerja sesuai dengan Model Supply-

Demand Tenaga Kerja

SUMBER : Buku Teks :

1. Indermit S. Gill, Fred Fluitman, & Amit Dar. (2000). Vocational Education & Training Reform. Matching Skills to Market and Budget. Oxford University Press.

2. Finch, C. R., & Crunkilton, J. R. (1979). Curriculum Development in Vocational and Technical Education : Planning, Content and Implementation. Boston, Massachusetts : Allyn & Bacon, Inc.

3. Rahn, M. L., O’Driscoll, P., & Hudecki, P. (1999). Taking off!: Sharing state-level accountability strategies. Berkeley, CA: National Center for Research in Vocational Education.

4. DACUM Handbook . (2008) 5. Robert S. Zais. Curriculum Principles and Foundations.

(1976). Harper & Row, Publishers. 6. Hilda Taba. Curriculum Development. Theory and

Practice. (1962). Harcourt Brace Jovanovich, Inc. 7. Naskah lengkap dalam Learning: the Treasure Within,

1996. Report to UNESCO of the International Comission on Education for the Twenty-first Century. UNESCO Publishing/The Australian National Commission for UNESCO. 266 hal.

Jurnal Internasional :

1. Steven R. Aragon, Hui-Jeong Woo, Matthew R. The Role of National Industry-Based Skill Standards in The

Page 38: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

35

Development, Implementation, and Assessment of Community College Curriculum. Marvel University of Illinois at Urbana-Champaign2005 – Journal of Career and Technical Education, 21(2), Spring, 2005 – Page 37

Jurnal Nasional Terakreditasi : 1. Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004

Sumber Internet : 1. http://bksp-jateng.or.id, Diakses pada tanggal 17 Juni

2010, 15:38) 2. http://www.ittelkom.ac.id. Diakses pada tanggal 26

Oktober 2010 3. (id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_vokasi). Diakses pada

tanggal 10 Agustus 2010. 4. (http://www.polteklampung.ac.id). Diakses pada tanggal

10 Agustus 2010 Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan :

1. Peraturan Pemerintah (RPP) Maret 2004 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun

2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

3. PP UU No. 20/2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia nomor : kep.318/men /ix/2007 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sektor penyedia makanan dan minuman sub sektor restoran, bar dan jasa boga bidang industri jasa boga

5. Kepmendiknas No. 232/U/2000. Tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Page 39: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

36

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN METODE OBSERVASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

MENULIS WACANA DESKRIPSI DI KALANGAN SISWA KELAS X.3 SMA NEGERI 8 DENPASAR

TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Oleh

Dra. Dewa Ayu Widiasri, M.Pd

ABSTRACT

Writing is an active and productive language skill. Nevertheless, writing a descriptive composition is not an easy thing for the students. Referring to the problem elaborated in the background of the study, one of the solutions is by appying Observation Method of Contextual Approach during the teaching-learning process. The problem of the study, then, was whether the use of The observation method of contextual approach really could improve the X.3 students of SMA NEGERI 8 DENPASAR in the academic year of 2013/2014’s ability in writing descriptive composition? It had been expected that the use of observation method of contextual approach could improve the students’ achievement and ability in writing descriptive composition.

The theoretical background of the study was (1) the theory of contextual learning and (2) the theory of descriptive writing. The methods applied in this study were: (1) the research setting, (2) the subject of the study, (3) the action procedure, (4) data collection method and (5) data processing method.

The raw data which was the test result of Cycle I and II was processed into standard scores using descriptive statistics served in the form of tables. Using the data procession method , the average score in cycle I was calculated to be 54.02% which belonged to the Less Good category, while the data in cycle II showed an improvement in the average score of 82.27% and, thus, belonged to the Good Category. The students’ mastery learning in cycle I was only 27.27 and improved significantly into 84.09% in the cycle II.

Based on the data procession result, this study can be considered a success since the implementation of observation method of contextual approach was able to improve the students’ ability in writing descriptive composition. Therefore, the conclusion to be drawn from the study is that the implementation of obeservation method of contextual approach improved student’s ability in writing descriptive composition of the x.3 students of sma negeri 8 denpasar in the academic year of 2013/2014.

Key Words: Observation method of contextual approach, descriptive composition

Page 40: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

37

Pendahuluan

Pembelajaran bahasa merupakan alat untuk belajar berkomunikasi,

mengingat bahasa merupakan sarana komunikasi dalam masyarakat. Untuk dapat

berkomunikasi dengan baik, maka seseorang perlu belajar cara berbahasa yang

baik dan benar. Pembelajaran tersebut akan lebih baik apabila dipelajari sejak usia

dini dan secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa

disertakan dalam kurikulum. Hal ini berarti bahwa, setiap peserta didik dituntut

agar mampu menguasai bahasa yang mereka pelajari terutama dalam penggunaan

bahasa resmi yang dipakai oleh warga negara khususnya bagi peserta didik.

Bahasa Indonesia menjadi materi pembelajaran yang wajib diberikan di setiap

jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga di perguruan tinggi. Hal ini

dilakukan agar peserta didik mampu menguasai Bahasa Indonesia dengan baik

dan benar serta mampu menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.

Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang

mendasar (berbicara, mendengar, menulis, dan membaca). Dewasa ini,

keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan literasi (literacy skill) sudah

menjadi keterampilan berbahasa lanjutan (advanced linguistic skill)

(Zainurrahman 2011: 2)

Selama ini pembelajaran menulis wacana deskripsi dilakukan secara

umum. Dalam hal ini siswa diberi sebuah teori tentang menulis deskripsi,

kemudian siswa melihat contoh, dan akhirnya siswa ditugaskan untuk menulis

wacana deskripsi secara langsung.

Fenomena yang terjadi saat ini dalam pembelajaran menulis di sekolah,

khususnya di SMA Negeri 8 Denpasar, berdasarkan hasil survei yang telah

dilaksanakan menunjukkan bahwa rendahnya hasil pembelajaran menulis siswa

kelas X.3. Hal ini dapat dilihat dari hasil evaluasi (free test) dari menulis wacana

pada kelas tersebut, di mana dari 49 orang siswa hanya 10 orang siswa yang

berhasil mencapai ketuntasan belajar yaitu dengan nilai 75 ke atas, padahal

SKBM dari menulis wacana adalah 75. Ini berarti ketuntasan klasikal baru

tercapai sebesar 20% atau dengan kata lain secara klasikal belum tercapai. Selain

Page 41: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

38

itu, peneliti beranggapan bahwa metode pengajaran dan pembelajaran yang

digunakan oleh guru cenderung menggunakan metode ceramah dan kegiatan

tanya jawab yang tidak berpengaruh pada perubahan hasil pembelajaran siswa

dalam menulis. Masalah lain yang muncul, adalah siswa akan beranggapan negatif

terhadap materi menulis, karena metode yang digunakan terkesan membosankan

serta membingungkan.

Melihat kondisi demikian, maka permasalahan tersebut haruslah dapat

diminimalisasikan. Akhirnya peneliti bersama guru bidang studi Bahasa Indonesia

di SMA Negeri 8 Denpasar berusaha memberikan solusi alternatif dalam

pembelajaran menulis agar segala permasalahan serta kendala yang terdapat pada

siswa maupun guru dapat diatasi melalui pendekatan kontekstual dengan metode

observasi dalam pembelajaran.

Pendekatan kontekstual dengan metode observasi merupakan

pembelajaran konseptual untuk membantu guru dalam penulisan wacana deskripsi

karena adanya masalah yang dialami siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar

tahun pelajaran 2013/2014.

Bertitik tolak pada permasalahan- permasalahan di atas, maka peneliti

memandang perlu untuk mengangkat topik ini menjadi sebuah penelitian dengan

judul: ”Pendekatan Kontekstual dengan Metode Observasi untuk Meningkatkan

Kemampuan Menulis Wacana Deskripsi oleh Siswa Kelas X.3 SMA Negeri 8

Denpasar Tahun Pelajaran 2013/2014”. Penerapan strategi pembelajaran ini

diharapkan mampu memberikan tanggapan atas permasalahan yang diberikan oleh

pendidik. Apabila siswa mampu menjadi pelajar yang mandiri diharapkan pula

mampu menjadi pelajar yang mandiri serta mampu menciptakan suasana

pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.

Tujuan Penelitian

Setiap suatu kegiatan tentulah mempunyai tujuan tertentu yang ingin

dicapai. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini dapat

dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus seperti berikut.

Page 42: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

39

1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui

kemampuan siswa dalam menulis wacana.

2 Tujuan Khusus

Selain memiliki tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus.

Adapun tujuan khusus penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui kemampuan siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar

tahun pelajaran 2013/2014 dalam menulis wacana deskripsi melalui

pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

2. Untuk dapat mengetahui respon terhadap pendekatan kontekstual dengan

metode observasi dalam menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA

Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2014/2014.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian tindakan kelas ini

dapat dibagi menjadi empat, yaitu bagi siswa, guru, sekolah, dan pengembangan

kurikulum.

1. Manfaat bagi siswa

Dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis pada umumnya,

menulis wacana deskripsi pada khususnya, serta meningkatkan kreativitas

dan keberanian siswa dalam berpikir.

2. Manfaat bagi guru

Untuk memperkaya khasanah/ wawasan metode dan strategi dalam

pembelajaran menulis, dapat memperbaiki metode yang tepat dalam

mengajar, dan dapat mengembangkan keterampilan guru Bahasa Indonesia

khususnya dalam menerapkan pembelajaran menulis wacana deskripsi

melalui pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

3. Manfaat bagi sekolah

Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka memajukan dan

meningkatkan prestasi sekolah yang dapat disampaikan dalam pembinaan

guru bahwa alam pembelajaran menulis wacana deskripsi dapat

menggunakan pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

Page 43: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

40

4. Manfaat bagi pengembangan kurikulum. Dapat dijadikan bahan

pertimbangan dalam rangka memajukan dan meningkatkan prestasi belajar

siswa dan kemajuan bidang pendidikan serta dapat disampaikan dalam

pembinaan guru Bahasa Indonesia, dan dapat dijadikan pertimbangan dalam

penyusunan kurikulum berikutnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan di SMA Negeri 8

Denpasar, khususnya di kelas X.3 karena permasalahan yang muncul di dalam

kaitannya dengan pembelajaran menulis wacana deskripsi. Dalam hal ini, peneliti

berkolaborasi dengan guru bidang studi Bahasa Indonesia, di mana peneliti

berperan sebagai perencana, pengamat, pelaksana pengumpulan data, penganalisis

data, pelapor hasil penelitian, dan selalu berada di lapangan selama proses

penelitian berlangsung.

Dalam penelitian ini akan direncanakan beberapa siklus yang dilaksanakan

selama satu kali pertemuan (2X45 Menit). Apabila dalam siklus pertama belum

mencapai hasil yang maksimal maka akan dilanjutkan dengan siklus II yang

dilaksanakan pada minggu berikutnya, dan telah mendapat persetujuan dari kepala

sekolah dan guru bidang studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 8 Denpasar.

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar pada

semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 44 orang siswa.

Sedangkan yang menjadi objek penelitian tindakan kelas ini adalah pembelajaran

menulis wacana deskripsi melalui pendekatan kontekstual dengan metode

observasi.

Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:

1. Melakukan observasi awal tentang pembelajaran tentang menulis wacana

deskripsi di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.

2. Mengidentifikasi masalah mengenai pembelajaran menulis wacana deskripsi

di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar.

3. Menganalisis masalah secara mendalam dengan mengacu pada teori- teori

yang relevan.

Page 44: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

41

4. Menyusun bentuk tindakan yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang

ditemukan dengan memanfaatkan pendekatan kontekstual dengan metode

observasi pada siklus pertama.

5. Menyusun jadwal penelitian dan rancangan pelaksanaan tindakan.

6. Menyusun lembar observasi dan lembar evaluasi kerja siswa yang berupa

rubrik penilaian kerja siswa berupa tulisan deskripsi.

Pada tahap ini, peneliti dan guru menyusun:

1. Perangkat pembelajaran berupa penentuan kompetensi dasar yang akan

dicapai.

2. Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang isinya sebagai berikut.

a. Guru membuka pelajaran.

b. Guru memberikan materi tentang menulis wacana deskripsi.

c. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang

materi yang disampaikan.

d. Guru bersama dengan siswa melakukan observasi pada tempat yang

telah ditentukan.

e. Guru membagikan lembar kerja dan menugaskan siswa untuk menulis

wacana deskripsi berdasarkan pendekatan kontekstual dengan metode

observasi.

Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini adalah

meningkatnya kemampuan menulis wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA

Negeri 8 Denpasar melalui pengoptimalan pemanfaatan pendekatan kontekstual

dengan metode observasi. Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator

tersebut dirancang dalam satu siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu

1) perencanaan tindakan, 2) pelaksanaan tindakan, 3) observasi dan evaluasi, dan

4) analisis dan refleksi untuk perencanaan siklus berikutnya. Tahap ini dilakukan

dengan melaksanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah

direncanakan. Pada siklus I, direncanakan satu kali pertemuan dengan alokasi

waktu 2 X 45 menit.

Page 45: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

42

Gambar 01 Desain Penelitian Tindakan

Adapun langkah- langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data dengan metode tes

adalah: 1) menyusun tes, 2) menyusun format penyekoran tes, dan 3) melaksanakan tes. Untuk

lebih jelasnya, pembahasan terhadap ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada bagian berikut

ini.

1. Menyusun Tes

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini adalah tes, instrumen

penelitian harus disusun dengan teliti agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu

bentuk tes yang digunakan dalam penelitiannya ini adalah tes tulis, yaitu dengan cara menyuruh

siswa membuat wacana deskripsi berdasarkan hasil observasi.

2. Menetapkan Skor

Setelah lembar jawaban siswa dikumpul, langkah selanjutnya adalah menetapkan skor.

Aspek yang dinilai dalam penetapan skor yaitu: 1) struktur wacana deskripsi, 2) hubungan antar

kalimat, 3) pemakaian kalimat efektif, 4) pilihan kata, dan 5) pemakaian ejaan

Tes dilaksanakan setiap akhir siklus di mana siswa diberikan tugas untuk menulis sebuah

wacana deskripsi. Tes dikerjakan ketika jam pelajaran Bahasa Indonesia, serta pelaksanaan tes

dilakukan dan diawasi oleh guru bidang studi Bahasa Indonesia dan peneliti.

Observasi

Refleksi

Perencanaan

Tindakan

Observasi

Refleksi

Perencanaan

Tindakan

Siklus I Siklus II

N Siklus

Page 46: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

43

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kritis. Teknik

tersebut mencakup kegiatan yang mengungkapkan kelebihan dan kekurangan kerja siswa dan

guru dalam proses belajar mengajar yang terjadi di kelas selama penelitian berlangsung. Hasil

analisis digunakan untuk menyusun rencana tindakan kelas berikutnya sesuai dengan siklus yang

ada. Analisis dilakukan oleh guru dan peneliti secara bersama- sama.

Data yang diperoleh dari penelitian ini masih merupakan skor mentah atas jawaban siswa

terhadap tes yang dikerjakan oleh siswa sebagai subjek penelitian sehingga data tersebut perlu

diolah dengan langkah- langkah sebagai berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi skor

standar, (2) menentukan kreteria predikat, (3) kreteria ketuntasan minimal, (4) mencari skor rata-

rata, (5) skor maksimal ideal, dan (6) menarik kesimpulan.

Data respon siswa terhadap penerapan pendekatan kontekstual dikumpulkan melalui

angket dengan cara menyebarkan angket kepada siswa pada akhir siklus. Jumlah item dalam

angket sebanyak 10 item yang penyekorannya menggunakan skala likert 5. Angket yang

digunakan terdiri atas 5 alternatif jawaban yaitu: SS untuk pilihan sangat setuju, S untuk pilihan

setuju, KS untuk pilihan kurang setuju, TS untuk pilihan tidak setuju, dan STS untuk pilihan

sangat tidak setuju.

Data hasil wawancara dan penyebaran angket yang digunakan untuk mengetahui respon

siswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data mengenai respon siswa dianalisis untuk

memperoleh gambaran tentang respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan.

Skor Maksimal Ideal (SMI) respon siswa adalah 50 dan skor minimum idealnya adalah 10. Nilai

tersebut diperoleh dari penjumlahan nilai indikator respon siswa dengan 5 alternatif jawaban

respon siswa.

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Hasil pembelajaran menulis siswa, ditandai dengan keaktifan siswa dalam mengikuti

pembelajaran menulis, serta meningkatnya kemampuan siswa dalam menghasilkan kosa

kata yang bervariasi dalam tulisan, mampu menggorganisasikan gagasan dengan baik,

munculnya kreatifitas dan imajinasi siswa dalam menyusun kalimat- kalimat menjadi

sebuah tulisan yang baik, dan ada kesesuaian antara isi tulisan dengan objek yang diamati.

2. Ketuntasan hasil belajar ditandai dengan hasil pekerjaan siswa yang telah mencapai angka

75% ke atas dari jumlah KKM yang telah ditentukan.

Page 47: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

44

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil observasi awal menunjukkan rendahnya minat siswa ketika mengikuti kegiatan

pembelajaran di kelas. Di samping itu siswa cenderung pasif selama proses pembelajaran. Tidak

semua siswa yang aktif mengeluarkan pendapat dengan sukarela selama proses pembelajaran.

Walaupun sudah ditunjuk pun terkadang siswa masih ragu dalam mengeluarkan pendapat. Siswa

tidak memiliki kemauan untuk bekerjasama, berkreativitas untuk membahas materi pembelajaran

dan hanya menunggu penjelasan dari guru sehingga pembelajaran terlihat monoton dan tidak

efektif. Namun, dalam menyimak penjelasan guru siswa cukup serius. Begitu pula dengan

semangat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran masih sangat cukup. Hal inilah yang

menjadi usaha awal bagi peneliti untuk menyampaikan materi pembelajaran dan sekaligus

menjadi data awal bagi peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya.

Dalam penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sesuai dengan rancangan prosedur

penelitian yang sudah ditentukan. Prosedur penelitian tindakan ini terbagi dalam dua siklus

seperti yang akan diuraikan di bawah ini.

Siklus I

Adapun langkah- langkah yang dilaksanakan pada siklus I ini akan diuraikan sebagai

berikut.

Perencanaan Tindakan

Kegiatan pada tahap perencanaan yaitu membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP) sesuai dengan Standar Kompetensi Dasar (lampiran 01).

Pelaksanaan Tindakan

Pelaksanaan tindakan siklus I dilaksanakan di ruang kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar

pada tanggal 17-18 Oktober 2012 selama 2 jam pelajaran (2X45 Menit).

Berdasarkan data dari hasil siklus I, dapat disimpulkan sebagai berikut. Dari 44 orang

siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar yang mengikuti pembelajaran melalui pendekatan

kontekstual dengan metode observasi 12 orang yang mendapat nilai baik (B), dengan persentase

27,27% dan 32 orang yang mendapat nilai kurang (D), dengan persentase 72,73%. Rata- rata

nilai siswa baru mencapai 54,02. Dengan demikian dapat dikatakan tingkat ketuntasan belajar

baru dicapai sebanyak 12 orang dengan persentase 27,27%, sedangkan sebanyak 32 orang siswa

atau 72,73% belum tuntas

Page 48: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

45

Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I diadakan pengamatan yang dilaksanakan guru

pendamping untuk mengetahui respon siswa terhadap tindakan yang diberikan. Sesuai metode

pembelajaran yang digunakan oleh guru dan berdasarkan pengamatan peneliti, tampaknya siswa

mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal ini dilihat dari suasana pembelajaran yang

aktif dan menyenangkan. Namun, respon siswa terhadap metode yang yang digunakan oleh guru

masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan peneliti melalui lembar observasi yang

menunjukkan skor 23,11 yang dikategorikan “Rendah”.

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh maka, terlihatlah kemampuan siswa dalam

menulis wacana deskripsi yang dapat dikategorikan kurang dan masih berada di bawah KKM

(Kriteria Ketuntasan Minimal). Sedangkan proses pembelajaran menulis wacana melalui

pendekatan kontekstual dengan metode observasi pada siklus I masih dikategorikan rendah

karena siswa masih belum mampu melaksanakan tahap- tahap pelaksanaan pembelajaran

kontekstual dengan baik.

Adapun kelemahan- kelemahan yang masih ditemukan pada pelaksanaan siklus I adalah

sebagi berikut.

a. Dalam evaluasi, siswa masih belum terampil dalam menulis wacana deskripsi.

b. Sebagian siswa masih belum memahami pendekatan kontekstual dengan metode observasi

yang diterapkan oleh peneliti.

c. Siswa masih kurang percaya diri dalam menuangkan gagasan dan menyampaikan pendapat.

d. Suasana pembelajaran yang mengarah pada pendekatan kontekstual dengan metode

observasi masih belum tercipta dengan baik karena siswa masih terbiasa belajar melalui

metode ceramah.

Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I juga diperoleh beberapa keberhasilan,

diantaranya sebagai berikut.

a. Kreativitas siswa selama mengikuti pembelajaran meningkat walaupun tidak signifikan.

b. Semangat belajar siswa bertambah karena belajar dengan metode pembelajaran baru.

Pendekatan kontekstual dengan metode observasi ini mengajak siswa untuk selalu belajar

dari hasil pengamatan sehari-hari mereka.

Untuk memperbaiki kelemahan- kelemahan yang masih ditemui selama siklus I dan

mempertahankan serta meningkatkan keberhasilan yang sudah diperoleh, maka peneliti

Page 49: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

46

merumuskan perbaikan tindakan yang akan dilaksanakan pada siklus selanjutnya, diantaranya

sebagai berikut.

a. Selama pembelajaran berlangsung, peneliti memberikan motivasi serta penguatan positif

sehingga akan mampu menambah rasa percaya diri siswa.

b. Bimbingan dengan memberi contoh yang relevan ditingkatkan sehingga siswa lebih

memahami materi pembelajaran yang diberikan.

c. Guru dan peneliti membantu serta mengarahkan siswa dalam memahami materi, serta

melaksanakan langkah- langkah pembelajaran yang diberikan.

Perencanaan tindakan siklus II dilakukan terlebih dahulu dengan melihat kelemahan-

kelemahan yang ditemui pada siklus I. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tindakan pada

siklus II merupakan upaya perbaikan dari siklus I. Dilihat dari pelaksanaan siklus I, maka upaya

perbaikan yang dilaksanakan pada siklus II adalah sebagai berikut.

a. Guru dan peneliti memberikan lebih banyak motivasi serta penguatan positif sehingga

mampu menambah rasa percaya diri siswa.

b. Lebih intensif untuk membimbing siswa dalam melaksanakan pembelajaran melalui

pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan Standar Kompetensi

yang dikembangkan dengan melihat hasil refleksi dari siklus I.

Pelaksanaan tindakan pada siklus II ini dilaksanakan di ruang kelas X.3 SMA Negeri 8

Denpasar pada tanggal 24-25 Oktober 2014, selama 2 jam pelajaran (2 X 45 Menit) setelah

memperoleh hasil dari penelitian pada siklus I.

Selama pembelajaran pada siklus II juga dilakukan pengamatan yang dilakukan oleh guru

pendamping. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap penerapan

pendekatan kontekstual dengan metode observasi. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui

keberhasilan pelaksanaan perbaikan terhadap hambatan- hambatan yang ditemui pada siklus

sebelumnya. Berikut akan disajikan hasil observasi melalui angket yang sudah disebarkan

kepada siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014.

Adapun keberhasilan- keberhasilan yang diperoleh pada siklus II ini antara lain sebagai

berikut.

Page 50: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

47

a. Setelah penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi dilaksanakan secara

efektif, kemampuan siswa dalam menulis wacana deskripsi meningkat dari siklus

sebelumnya.

b. Dengan pemberian motivasi pada penerapan pendekatan kontekstual, mampu meningkatkan

rasa percaya diri siswa dalam menuangkan gagasan mereka ke dalam sebuah wacana

deskripsi.

Selain memperoleh keberhasilan, masih ditemui juga beberapa kelemahan dimana masih

ada 7 orang siswa yang belum tuntas belajar. Namun hal ini tidak begitu berpengaruh karena

persentasenya hanya 15,90%. Dengan semakin terbiasanya siswa belajar menulis wacana

deskripsi dengan pendekatan kontekstual, maka ketuntasan belajar siswa dapat mencapai hasil

yang maksimal.

Berdasarkan analisis data menunjukan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan

metode observasi mampu meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi siswa. Hal ini

terlihat dari rata- rata kelas sebesar 54,02 pada siklus I yang kemudian meningkat menjadi 82,45

pada siklus II.

Peningkatan ini tidak hanya pada rata- rata kelas saja tetapi, secara individual juga

mengalami peningkatan dimana pada siklus I terdapat 12 orang siswa memperoleh nilai baik (B),

dengan persentase 27,27% dan 32 orang siswa yang mendapat nilai kurang (D), dengan

persentase 73, 73%. Sedangkan pada siklus II terdapat 6 orang siswa yang memperoleh nilai

amat baik (A), dengan persentase 13,64%, 31 orang siswa yang memperoleh nilai baik (B),

dengan persentase 70,45%, 4 orang memperoleh nilai cukup (C), dengan persentase 9, 09%,

dan 3 orang siswa yang memperoleh nilai kurang (D), dengan persentase 6,82%. Berikut akan

disajikan tabel perbandingan nilai siswa dalam menulis wacana deskripsi melalui penerapan

pendekatan kontekstual dengan metode observasi.

Berdasarkan hasil analisis data yang sudah disajikan, maka hipotesis penelitian yang

diajukan terbukti, bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi secara

efektif mampu meningkatkan kemmpuan menulis wacana deskripsi siswa kelas X.3 SMA Negeri

8 Denpasar tahun Pelajaran 2013/2014. Selain meningkatkan kemampuan siswa, pendekatan

kontekstual dengan metode observasi juga mendapatkan respon yang positif, sehingga dalam

proses pembelajaran ini dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas, dan rasa percaya diri siswa

dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

Page 51: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

48

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun

pelajaran 2013/2014 tentang penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi untuk

meningkatkan kemampuan menulis wacana deskripsi, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut.

1. Penerapan pendekatan kontekstual dengan metode observasi dapat meningkatkan hasil

belajar siswa kelas X.3 SMA Negeri 8 Denpasar tahun pelajaran 2013/2014 dalam menulis

wacana deskripsi. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata- rata pada perbandingan siklus I

dengan siklus II yang mengalami peningkatan nilai dari 54,02 menjadi 82,45.

2. Respon siswa terhadap pendekatan kontekstual dengan metode observasi yang diterapkan

oleh guru bidang studi dalam menulis wacana deskripsi pada siswa kelas X.3 SMA Negeri

8 Denpasar mengalami peningkatan skor rata- rata dari 23,11 yang berkategori “Rendah”

menjadi 44,34 yang berkategori “Sangat Tinggi”.

Meningkatkan mutu pengajaran Bahasa Indonesia, khususnya pengajaran keterampilan

menulis wacana di Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak terlepas dari kerjasama antara guru

bidang studi dan siswa di sekolah tersebut. Berikut adalah saran- saran yang perlu penulis

sampaikan.

1. Siswa yang telah dinyatakan berhasil memperoleh nilai di atas KKM disarankan agar

mempertahankan, bahkan meningkatkan lagi penerapan pendekatan kontekstual dengan

metode observasi dalam menulis wacana deskripsi.

2. Guru bidang studi hendaknya selalu bersikaf kreatif dan inovatif dalam menciptakan

suasana pembelajaran yang menyenangkan dan mampu untuk mengajak siswa untuk terus

belajar.

3. Supaya pembelajaran lebih menarik bagi siswa, maka guru hendaknya selalu memilih dan

menerapkan metode, serta media pembelajaran yang sesuai dengan situasi ketika kegiatan

pembelajaran berlangsung.

4. Kepada seluruh pihak pemerintah yang menangani masalah pendidikan, hendaknya lebih

banyak menyiapkan program- program untuk memotivasi para guru untuk meningkatkan

kreatifitas dalam upaya mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Pemerintah juga

diharapkan memberikan buku- buku penujang dan sarana belajar yang memadai untuk

Page 52: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

49

sekolah, sehingga tujuan pembinaan, pelestarian, dan pengembangan keterampilan

berbahasa dapat terwujud.

5. Setelah diperolehnya hasil penelitian bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan

metode observasi dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam menulis wacana deskripsi,

maka sebagai tinjak lanjut disarankan agar keberhasilan itu hendaknya diteruskan sehingga

pengulangan dalam proses pembelajaran dapat diatasi. Apabila penerapan pendekatan

kontekstual dengan metode observasi mengalami perubahan hasil terhadap evaluasi belajar

siswa, maka guru dapat mengganti dengan metode lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Eriyanto. 2003. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS. Johnson, Elaine B. 2011. CTL (Contextual Teaching & Learning). Bandung: Kaifa Learning. Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende: Nusa Indah. Moeliono, Anton M. (penyunting). 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka. Nababan, Diana. 2008. Intisari Bahasa Indonesia untuk SMA. Jakarta: Kawan Pustaka. Nurkencana dan Sunartana. 1990. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha Nasional. Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Refrensi bagi Guru/Pendidik

dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Rosidi, Imron. 2009. Menulis Siapa Takut? Panduan bagi Penulis Pemula. Yogyakarta:

Kanisius. Saminanto. 2010. Ayo Praktik PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Semarang: RaSAIL Media

Group. Sapta Wigunadika, I Wayan. 2011. ” Kemampuan Memahami Isi Wacana yang Menggunakan

Aksara Bali Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Gianyar Tahun Pelajaran 2010/2011” Skripsi. Denpasar: FPBS IKIP PGRI Bali.

Page 53: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

50

Sastrawan, Gede Agus. 2011. ”Kemampuan Menulis Hasil Observasi dalam Bentuk Karangan Deskripsi Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Abiansemal Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2010/2011” Skripsi. Denpasar. FPBS IKIP PGRI Bali.

Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 54: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

51

PENGARUH RISIKO PERUSAHAAN DENGAN KONSERVATISMA AKUNTANSI

Oleh:

Putu Diah Asrida

Dosen Ekonomi – FPIPS IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

This research is conducted to test company’s risk and conservatism accounting. Researches for relationship between company’s risks and conservatism accounting has been widely studied, and has got some different results or conflicting. Furthermore, this matter encourages to be done re-testing. The company’s risk was proxy with debt to equity ratio and accounting conservatism measured by the accrual value. Sample in this research are companies listed to stock exchanges of Indonesia which publishes annual report and who applied conservative accounting. The result of hypothesis test indicated that company’s risk affects positive relationship with conservatism accounting.

Key Words: Company’s Risk and Accounting Konservatism

A. Latar Belakang Masalah

Pasar modal adalah tempat dimana terdapat kegiatan yang erat kaitannya

dengan penawaran umum dan perdagangan efek. Di dalam pasar modal terdapat

perusahaan – perusahaan yang go public yang memiliki kaitan erat terhadap efek

yang diterbitkan, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar

modal sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun

institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen jangka panjang seperti

obligasi, saham dan lainnya. Pemodal yang akan membeli atau menanamkan

modalnya di perusahaan akan melakukan penelitian dan analisa, mengingat segala

kondisi yang tidak pasti pada nilai perusahaan di masa mendatang, informasi

keuangan adalah salah satu cara yang dapat digunakan baik oleh pihak internal

maupun eksternal dalam pengambilan keputusan.

Berdasarkan PSAK No. 1 tujuan dari laporan keuangan adalah memberikan

informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang

bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka

membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggung jawaban

Page 55: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

52

(stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercaya

kepada mereka. Standar Akuntansi Keuangan menyatakan bahwa terdapat 7

(tujuh) pengguna informasi keuangan dengan kebutuhan informasi yang berbeda-

beda yaitu investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor usaha

lainnya, pelanggan, pemerintah dan masyarakat. Laporan keuangan disusun untuk

tujuan memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pengguna. Namun

demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin

dibutuhkan pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara

umum menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak

mewajibkan untuk menyediakan informasi non keuangan. Berhubung para

investor merupakan penanam modal berisiko ke perusahaan, maka ketentuan

laporan keuangan yang memenuhi kebutuhan investor juga akan memenuhi

sebagaian besar kebutuhan pengguna lain.

Investor membutuhkan informasi keuangan untuk pengambilan keputusan

investasi baik berupa properti, mata uang, komoditi, derivatif, saham perusahaan

atau pun asset lainnya dengan suatu tujuan untuk memperoleh keuntungan baik

jangka panjang maupun jangka pendek. Kreditor membutuhkan informasi

keuangan untuk pengambilan keputusan kebijakan kredit atas dana yang telah

dipinjamkan pada perusahaan. Baik investor maupun kreditor akan sangat

memperhatikan kinerja perusahaan di dalam aktivitas bisnisnya. Banyaknya

informasi aktivitas bisnis perusahaan yang dimiliki oleh manajemen, dapat

memicu tindakan-tindakan yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan

manajemen untuk memaksimumkan utilitasnya. Pemilik modal dalam hal ini

investor akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh

manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada.

Pemegang saham akan mengatasi permasalahan tersebut dengan melalukan

pengawasan kepada manajemen. Menurut Jensen (1986) salah satu cara untuk

memperkecil biaya pengawasan yang ditanggung oleh pemegang saham adalah

dengan melibatkan pihak ketiga dalam pengawasan tersebut. Untuk mengurangi

monitoring cost dan memperoleh pendanaan, perusahaan akan menggunakan

utang sebagai alternatif pilihan. Melalui hipotesis financial leverage dalam Chen

Page 56: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

53

dan Steiner (1999) dapat dijelaskan bahwa kebijakan utang berpengaruh secara

positif dan signifikan terhadap risiko. Perusahaan menggunakan utang dalam

membiayai sebagian besar aktivanya. Peningkatan penggunaan utang akan

meningkatkan risiko dan kebangkrutan oleh karena itu kebijakan utang

berhubungan positif terhadap risiko.

Menurut Scott (1997), faktor-faktor yang mendorong manajer melakukan

aktivitas manajemen laba salah satunya adalah kontrak utang. Teori akuntansi

positif yaitu debt covenant hypothesis, memprediksikan bahwa manajer ingin

meningkatkan laba dan aktiva untuk mengurangi biaya renegosiasi kontrak utang

ketika perusahaan memutuskan perjanjian utang. Debt/Equity hypothesis yang

merupakan turunan atau pembatasan dari debt covenant menunjukkan bahwa

semakin besar rasio leverage, semakin besar pula kemungkinan perusahaan akan

menggunakan prosedur yang meningkatan laba yang dilaporkan (optimis).

Manajemen laba dapat diminimalisir dengan menerapkan kebijakan akuntansi

yang konservatif. Semakin konservatif metoda yang digunakan oleh suatu

perusahaan maka semakin kecil kecenderungan pihak manajemen melakukan

manajemen laba (Sekarmayangsari dan Wilopo: 2002).

Mengatasi permasalahan tersebut maka di dalam kontrak utang, menurut

Ahmed et al., (2002), akan memasukkan konservatisma dalam dua cara, yaitu:

Pertama, bondholders dapat secara eksplisit mensyaratkan penggunaan akuntansi

konservatif. Kedua, manajer secara implisit memberikan komitmen untuk

menggunakan akuntansi yang konservatif secara konsisten untuk membangun

reputasi sebagai perusahaan yang menyajikan laporan keuangan yang konservatif.

Pertimbangan reputasi merupakan pendorong manajer untuk tidak melanggar

konservatisma (Milgrom and Roberts: 1992, dalam Sari (2004)).

Mayangsari dan Wilopo (2002) hasil penelitiannya mendukung hipotesis

bahwa semakin tinggi tingkat konservatisma yang diterapkan perusahaan maka

semakin tinggi nilai pasar perusahaan. Indriani dan Khoiriyah (2010) menemukan

bahwa Atribut-atribut kualitas pelaporan keuangan (relevansi nilai,

ketepatwaktuan, dan konservatisma) merupakan representasi kualitas pelaporan

keuangan dan tidak terjadi tumpang tindih (overlap) antar ketiga atribut kualitas

Page 57: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

54

pelaporan keuangan. FASB Statement of Concepts No. 2 mendefinisikan

konservatisma sebagai reaksi kehati-hatian terhadap ketidakpastian dan berusaha

untuk menjamin bahwa ketidakpastian dan risiko yang melekat dalam situasi

usaha dipertimbangkan secara memadai. Konsekuensi dari konservatisma adalah

bahwa kerugian diakui lebih cepat daripada keuntungan dan pengakuan beban

mendahului pengakuan pendapatan (dalam Lee, 2010).

Ahmed et al., (2002), menyatakan bahwa semakin besar utang perusahaan,

maka semakin besar klaim pemegang obligasi terhadap aktiva perusahaan.

Pemegang obligasi cenderung mensyaratkan lebih banyak akuntansi konservatif.

Keadaan ini akan mendesak manajemen untuk mengadopsi lebih banyak

akuntansi konservatif. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi sikap

optimisme yang terlalu berlebihan dalam melaporkan kinerjanya. Widodo (2005),

membuktikan bahwa tingkat leverage dapat berpengaruh terhadap tingkat

konservatisma akuntansi. Pada perusahaan yang mempunyai utang relatif tinggi,

kreditor mempunyai hak lebih besar untuk mengetahui dan mengawasi

penyelenggaraan operasi dan akuntansi perusahaan. Sehingga dapat dikatakan

bahwa semakin tinggi risiko perusahaan yang tercermin dalam kontrak utangnya,

harusnya manajemen perusahaan akan meningkatkan kualitas laporan

keuangannya dengan sangat berhati-hati (konservatif) di dalam pengambilan

keputusan. Widanaputra (2007) memperoleh hasil bahwa leverage berpengaruh

positif terhadap konservatisma akuntansi dan signifikan secara statistis pada

tingkat keyakinan 95%.

Disisi lain, Zmijewski dan Hagerman (1981) mendukung debt/equity

hypothesis, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar debt/equity

ratio, semakin besar pula kemungkinan perusahaan akan menggunakan prosedur

(atau portofolio prosedur) yang meningkatkan laba yang dilaporkan perioda

sekarang atau laporan keuangan yang disajikan cenderung tidak konservatif.

Almilia (2004), menemukan bahwa semakin tinggi debt to total assets ratio maka

semakin besar probabilitas perusahaan akan menyajikan laporan keuangan yang

cenderung tidak konservatif atau optimis.

Page 58: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

55

Sari (2004), menemukan bahwa variabel LEV yang merupakan rasio utang

jangka panjang terhadap total aktiva menunjukkan hubungan yang signifikan

dengan konservatisma namun menunjukkan tanda yang berlawanan arah dengan

hipotesis, yaitu menunjukkan arah negatif. Artinya, semakin tinggi proporsi utang

jangka panjang terhadap aktiva maka semakin rendah tingkat konservatisma

perusahaan. Sari dan Adhariani (2009), mendukung debt/Equity hypothesis

dimana variabel independen leverage (DEBT) berpengaruh negatif dan tidak

signifikan terhadap konservatisma.

Penelitian tentang hubungan risiko perusahaan dengan konservatisma

akuntansi mendorong peneliti untuk melakukan pengujian kembali. Berdasarkan

latar belakang tersebut, penelitian ini ingin menguji mengenai pengaruh risiko

perusahaan pada konservatisma akuntansi.

B. Tinjauan Teoritis

Jensen dan Meckling (1976), mengembangkan agency theory, yang

menyatakan bahwa manajemen (sebagai agent) dan pemilik modal (sebagai

principal) masing-masing ingin memaksimumkan utilitynya. Mursalim (2005),

menyatakan bahwa teori keagenan dapat dipandang sebagai suatu versi dari game

theory, yang membuat suatu model kontraktual antara dua atau lebih orang

(pihak), dimana salah satu pihak disebut agent dan pihak yang lain disebut

principal. Principal mendelegasikan pertanggungjawaban atas decision making

kepada agent, hal ini dapat pula dikatakan bahwa principal memberikan suatu

amanah kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak

kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawab agent maupun

principal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Scott (1997)

menyatakan bahwa perusahaan mempunyai banyak kontrak, misalnya kontrak

kerja antara perusahaan dengan para manajernya dan kontrak pinjaman antara

perusahaan dengan kreditornya. Kedua jenis kontrak tersebut seringkali dibuat

berdasarkan angka laba bersih, sehingga dapat dikatakan bahwa teori agensi

mempunyai implikasi terhadap akuntansi.

Agen dan prinsipal, akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya masing-

masing melalui informasi yang dimiliki. Tetapi agent memiliki informasi yang

Page 59: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

56

lebih banyak dibanding dengan principal, sehingga menimbulkan asimetri

information. Informasi yang lebih banyak dimiliki oleh manajer dapat memicu

tindakan-tindakan yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk

memaksimumkan utilitasnya. Pemilik modal dalam hal ini investor akan sulit

untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena

hanya memiliki sedikit informasi yang ada. Pemegang saham akan mengatasi

permasalahan tersebut dengan melalukan pengawasan kepada manajemen.

Menurut Jensen (1986) salah satu cara untuk memperkecil biaya pengawasan

yang ditanggung oleh pemegang saham adalah dengan melibatkan pihak ketiga

dalam pengawasan tersebut. Untuk mengurangi monitoring cost dan memperoleh

pendanaan, perusahaan akan menggunakan utang sebagai alternatif pilihan.

Menurut Scott (1997), faktor-faktor yang mendorong manajer melakukan aktivitas

manajemen laba salah satunya adalah kontrak utang. Sweeney (1994) menemukan

bahwa perusahaan secara signifikan menaikkan laba sehingga rasio debt to equity

dan interest coverage pada frekuensi yang ditentukan. Mengatasai permasalahan

tersebut maka di dalam kontrak utang, menurut Ahmed et.al (2002), akan

memasukkan konservatisma dalam dua cara, yaitu: Pertama, bondholders dapat

secara eksplisit mensyaratkan penggunaan akuntansi konservatif. Kedua, manajer

secara implisit memberikan komitmen untuk menggunakan akuntansi yang

konservatif secara konsisten untuk membangun reputasi sebagai perusahaan yang

menyajikan laporan keuangan yang konservatif. Pertimbangan reputasi

merupakan pendorong manajer untuk tidak melanggar konservatisma (Milgrom

and Roberts: 1992, dalam Sari (2004)).

Watts (2003) menyatakan bahwa konservatisma akan membatasi manajer

untuk memasukkan bias and noise ke dalam laporan keuangan. Sehingga ketika

manajer melakukan penerapan akuntansi yang konservatif, maka akan

menghasilkan laba dan aktiva yang dapat membatasi pembayaran dividen untuk

shareholder. Dengan demikian, penggunaan akuntansi yang semakin konservatif

akan membuat semakin kecil kemungkinan adanya pembayaran dividen yang

terlalu tinggi kepada shareholders. Dalam Widanaputra (2007), langkah

manajemen di atas dapat dijelaskan melalui konsep teori prospek yang

Page 60: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

57

menyatakan bahwa seorang cenderung bersifat risk averse pada kondisi yang

menguntungkan dan bersifat risk seeking pada kondisi yang merugikan. Dalam

kaitannya dengan pembagian dividen, karena manajer berada pada posisi yang

kurang menguntungkan, maka manajemen cenderung lebih berani menerima

risiko dengan cara lebih banyak mengadopsi konservatisma akuntansi.

C. Metoda Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh risiko perusahaan pada

konservatisma akuntansi. Ada dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu: (1) Variabel independen dalam penelitian ini adalah risiko perusahaan yang

diproksikan dengan debt to equity rati.(2) Variabel dependen dalam penelitian ini

adalah konservatisma akuntansi. Pengukuran konservatisma dilakukan dengan

melihat perbedaan antara laba bersih sebelum extraordinary item ditambah

depresiasi/amortisasi dan arus kas kegiatan operasi. Semakin besar akrual negatif

yang diperoleh maka semakin konservatif akuntansi yang diterapkan. Secara

spesifik penelitian ini menggunakan net income sebelum extraordinary ditambah

dengan biaya depresiasi dikurangi operating cash flows di deflasi dengan total

aset dengan memberikan simbul CONACC. Populasi dalam penelitian ini adalah

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2005-

2009. Sampel dipilih dengan menggunakan metoda purposive sampling.

Selanjutnya pengumpulan data dilakukan dengan observasi non partisipan yaitu

dengan cara membaca, mengamati, mencatat serta mempelajari uraian buku-buku,

jurnal-jurnal akuntansi, Indonesian Capital market Directory (ICMD) serta

mengakses situs-situs internet yang relevan. Hipotesis dalam penelitian ini akan

dianalisis dengan menggunakan regresi berganda (uji interaksi) untuk menguji

pengaruh keberadaan komite audit pada hubungan risiko perusahaan dan

konservatisma akuntansi. Hasil analisis kemudian dinterpretasikan dan dilanjutkan

dengan menyimpulkan dan memberikan saran. Rancangan penelitian dalam

penelitian ini digambarkan pada gambar berikut:

Page 61: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

58

D. Hasil Penelitian

Hipotesis penelitian ini menguji pengaruh risiko perusahaan dengan

konservatisma akuntansi. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji

analisis regresi linear sederhana. Hasil pengujian hipotesis disajikan dalam Tabel

berikut ini.

Tabel Hasil pengujian hipotesis

Unstandardized

Coefficients t

Signifikansi

B

Konstan 0,014 0,693 0,489

Risk 0,003 1,989 0,048

Ajusted R2 = 0,127

F-test = 11,865

Signifikansi F = 0,000a

Berdasarkan Tabel diatas terlihat bahwa nilai adjusted R2 adalah 0,127 atau

12,7%. Ini berarti bahwa varian variabel bebas yaitu risiko perusahaan

memengaruhi varian variabel terikat yaitu konservatisma akuntansi sebesar 12,7

persen, sedangkan sisanya 87,3 persen (100 – 12,7) dijelaskan oleh variabel lain

yang tidak dimasukkan dalam model. Nilai F-test digunakan untuk melihat

hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat sebesar 11,865 dengan

signifikansi 0,000a (lebih kecil dari 0,05). Hal ini berarti bahwa model yang

digunakan dalam penelitian ini adalah layak.

Dalam tabel juga menunjukkan nilai koefisien risiko perusahaan bertanda

positif sebesar 0,003 dengan signifikansi 0,048. Hal ini menunjukkan pada tingkat

keyakinan 95 persen risiko perusahaan berpengaruh positif dan signifikan secara

statistis pada konservatisma akuntansi. Ini berarti semakin tinggi risiko

perusahaan yang diproksikan dengan debt to equity maka semakin tinggi tingkat

konservatisma akuntansi. Dapat disimpulkan bahwa hasil analisis menerima

hipotesis penelitian.

Page 62: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

59

Persamaan statistik yang digunakan adalah sebagai berikut:

KONSVit = -0,011 + 0,003 RISKit + εit................(5)

Keterangan:

KONSVi = Pengukuran konservatisma.

DEBTi = debt to equity ratio

E. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pengujian statistik serta pembahasan yang telah diuraikan pada

bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan risiko

perusahaan berpengaruh positif pada konservatisma akuntansi sebesar 0,003

dengan tingkat signifikansi 0,048. Hal yang perlu disarankan kepada perusahaan

bahwa dalam mengurangi masalah keagenan, monitoring cost dan memperoleh

pendanaan, perusahaan dapat menggunakan utang sebagai alternatif pilihan.

Sehingga diharapkan dapat menciptakan pengelolaan perusahaan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA Ahmed, A.S., Duellman, S., 2007. Accounting conservatism and board of director

characteristics: An empirical analysis, Journal of Accounting and Economics Basu, Sudipta, 1997. “The Conservatism Principle and The Asymmetric

Timeliness of Earnings.” Journal of Accounting and Economic. Vol. 24, No.1: 3-37.

Belkaoui, A.R. 2000. Teori Akuntansi. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat Carter, David A., Betty J. Simkins, and W. Gary Simpsons. 2002. Corporate

Governance, Board Diversity, and Firm Value. Available at: www.ssrn.com. (Accessed January 2010)

DeFond, M. L. dan Jiambalvo, J. 1994. “Debt Convenant Violation and

Manipulation of Accruals”, Journal of Accounting dan Ecconomics 17. 145-176.

Dewi, A.R. 2003. Pengaruh Konservatisma Laporan Keuangan Terhadap Earnings

Response Coefficient. Simposium Nasional Akuntansi VI. 507-525.

Page 63: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

60

Feltham, J. dan J. Ohlson. 1995. “Valuation and Clean Surplus Accounting for Operating and Financial Analysis.” Contemporary Accounting Research 11 (1995), pp.687-731.

Ghozali, Imam. 2006. Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gideon SB Boediono. 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate

Governace dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII. 172-194.

Givoly and Carla Hyan, 2000. “The Changing Time Series Properties of Earnings,

Cash Flows and Accruals: Has Financial Accounting Become More Conservative?.” Journal of Accounting and Economic Vol.29: 287-320.

Hastuti, T.D. 2005.Hubungan antara Good Corporate Governance dan Struktur

Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan (Studi Kasus padaPerusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi VIII. 238-247

Jensen, M. C., and Meckling, W. H. (1976). “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure”, Journal of Financial Economics, 3 No. 4

KNKG. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Komite Nasional Kebijakan Governance. Jakarta

Lo, Eko. W. 2005. “ Pengaruh Tingkat Kesulitan Keuangan Perusahaan Terhadap

Konservatisma Akuntansi.” Simposium Nasional Akuntansi VIII, 396-440. Mahadwartha, Anom. 2002. Interdependensi Antara Kebijakan Leverage Dengan

Kebijakan Dividen : Perspektif Teori Keagenan. Jurnal Riset Akuntansi, Manajemen dan Ekonomi 2. STIE Yogyakarta

Penman, S.H, dan Zhang, X.J. 2002. “Accounting Conservatism, the Quality of

Earnings, and Stock Returns.” The Accounting Review, 77: 237-264. Prasetyantoko, A. 2008. Corporate Governance: Pendekatan Institusional. Jakarta:

Gramedia Pusaka Utama. Richardson, Vernon J. (1998). Information Asymmetry an Earnings Management:

Some Evidence. Working Paper Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan ke 3. Bandung : Alfabeta. Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi : Perekayasaan Akuntansi Keuangan. Edisi

Ketiga. BPFE. Yogyakarta.

Page 64: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

61

Wardhani, Ratna. 2008. Tingkat Konservatisme Akuntansi Di Indonesia dan Hubungannya Dengan Karakteristik Dewan Sebagai Salah Satu Mekanisme Corporate Governance. Simposium Nasional Akuntansi XI.

Watts, R. L., J. L., Zimmerman. 1986. Positif Accounting Theory. New Jersey:

Prentice-Hall International Inc. Watts, R.L. 2003. Conservatism in accounting part I: explanations and

implications. Accounting Horizons 17, 207–221. Widanaputra, A.A Gede Putu. 2007. Pengaruh Konflik Antara Pemegang Saham

dan Manajemen Mengenai Kebijakan Dividen Terhadap Koservatisma Akuntansi. Desertasi Program Doktor Akuntansi Fakultas Ekonomi UGM

Williams. S. Mitchell. 2003. Diversity in Corporate Governance and Its Impact on

Intellectual Capital Performance in a Emerging Economy. Available at: www.vaic-on.net. Accessed June 2009.

Zarkasyi, Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha

Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta Bandung.

Biodata Penulis Nama: Putu Diah Asrida, SE, Ak., M.Si. Pendidikan S-1, Profesi Akuntansi, dan Magister Ekonomi Akuntansi di Universditas Udayana, Pekerjaan Dosen. Kaprodi Pendidikan Ekonomi FPIPS IKIP PGRI Bali

Page 65: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

62

EFEKTIVITAS BIMBINGAN KELOMPOK MELALUI TEKNIK PERMAINAN UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU SOSIAL SISWA

(Studi Kuasi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas XSMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung)

Putu Agus Semara Putra Giri

Dosen FIP IKIP PGRI Bali

ABSTRACT This research is made from consideration about the important effort in establishment social behavior of student. To develop the social behavior to positive course, the research did by groupguident through game as equipment in establishment social behavior. This research did from March 2011 until April 2011 at SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung. In this research used quantitative approach with quasi experimental designs, by given beginning task and final task with take sample according to random sampling at X grade. Experiment group is XD grade students and Control group is XB grade students.

Common representation retrieved is there increase of social behavior from students after joined the leadership group through game technique. Through this experiment the result retrieved is uji-t = 5,288 with 60 freedom level, with p-value = 0.000 smaller than α = 0.05 so this research showing the average score of experiment group that joined leadership group through game method is better than average score of control gropu that didn’t joined leadership group with game technique. With the result both of the group retrieved t = 6.058 with 46.560 freedom level and p-value (2-tailed) = 0.000 smaller than α = 0.05, so the conclusion is service by leadership group with game technique is more effective for increase social behavior of the students.

Keywords : Leadership Group, Game, Social behavior

PENDAHULUAN

Pentingnya perilaku prososial dalam kehidupan mayarakat membawa dampak

positif bagi pengembangan diri, masyarakat serta seluruh aspek kehidupan

didalamnya. Dampak positif tersebut terlihat pada tumbuhnya rasa kedamaian dan

keharmonisan, menyayangi antar sesama, menghargai antar sesama, sikap

nasionalisme yang tinggi, idialisme yang sehat, yang membawa kearah

perkembangan mayarakat sehat dan bermadani. Namun, di era globalisasi dewasa ini

bangsa Indonesia dihadapkan pada rendahnya aspek sosial pada tatanan kehidupan.

Page 66: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

63

Krisis pada aspek sosial sudah sampai pada bentuk yang cukup memperihatinkan.

Berbagai bentuk kemiskinan sosial banyak diperlihatkan, seperti miskin pengabdian,

kurang disiplin, kurang empati terhadap masalah sosial, kurang efektif

berkomunikasi, kurang disiplin, banyaknya pengguna narkoba seperti halnya Badan

Narkotika Nasional (BNN) mencatat pengguna narkoba di Indonesia sekitar 3,2 juta

orang, atau sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk negeri ini. Dari jumlah tersebut,

sebanyak 8.000 orang menggunakan narkotika dengan alat bantu berupa jarum suntik,

dan 60 persennya terjangkit HIV/AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap

tahun karena menggunakan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) lain.

(http://dunia-narkoba.blogspot.com), percobaan bunuh diri, Seperti halnya yang

terjadi pada SMK Negeri 1 Bau-Bau Nusa Tenggara Timur, salah satu siswanya

melakukan percobaan bunuh diri (Redaksi Pagi Trans 7, 13 Januari 20011),

perkelahian antar pelajar/ mahasiswa, konflik antar suku yang berujung pada adanya

korban jiwa, seperti halnya pernah terjadi di kampung daerah Ciwaringin Bogor

Tengah yang memakan satu korban nyawa, dan yang akhir-akhir ini masih teringat

oleh kita konflik di Kabupaten Pandegelang Banten yang memakan hingga tiga

korban jiwa. (http://megapolitan. kompas.com).

Untuk menangkal dan mengatasi kondisi tersebut, perlu dipersiapkan insan

dan sumber daya manusia Indonesia yang bermutu. Manusia yang bermutu, yaitu

manusia yang harmonis lahir dan batin, sehat jasmani dan rohani, bermoral, serta

dinamis. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional.

Pendukung utama bagi terciptanya sasaran pembangunan manusia Indonesia

yang berkualitas dan bermutu adalah pendidikan. Menurut Musaheri (2007 : 48),

”pendidikan dalam arti luas merupakan bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh

seseorang kepada orang lain untuk mengembangkan dan memfungsionalkan rohani

(pikiran, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) manusia dan jasmani (pancaindera dan

keterampilan-keterampilan) manusia agar meningkat wawasan pengetahuannya”.

Jadi, pendidikan tidak cukup terfokus pada aspek kognitif semata tetapi juga aspek

Page 67: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

64

non kognitif. Kedua aspek ini memberi pengaruh yang cukup besar terhadap

perkembangan. Pendidikan kognitif mengembangkan aspek intelektual, sedangkan

aspek non kognitif membantu mengembangkan sikap dan keterampilan.

Kenyataan di lapangan mengindikasikan bahwa sekolah lebih mengutamakan

nilai hasil belajar/akademik dari pada pengembangan kepribadian. Persyaratan untuk

memasuki sekolah pada jenjang pendidikan tertentu menggunakan nilai UAN (Ujian

Akhir Nasional), seleksi TPA (Tes Potensi Akademik), dan persyaratan akademis

lainnya. Jarang kita mendengar ada sekolah yang menggunakan kepribadian sebagai

persyaratan diterima sebagai siswa baru pada sekolah tertentu. Akibatnya banyak

sekolah yang hanya menekankan pada bagaimana caranya agar nilai akademis anak

dapat ditingkatkan. Dampak lanjutannya adalah anak banyak diberikan les-les atau

bimbingan belajar, baik yang dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah,

diselenggarakannya lomba-lomba peningkatan prestasi akademik seperti olimpiade

matematika, fisika, bologi, dan berbagai jenis lomba akademik lainnya.

Akibat dari adanya ketidakseimbangan kedua aspek pendidikan tersebut, anak

terkesan menjadi anak pintar tetapi angkuh dan meninggalkan aspek emosional.

Daniel Goleman (2003 : 48) menyatakan bahwa ”keberhasilan seseorang dalam

hidup, dalam hal ini keberhasilan berperilaku prososial yang positif bukan hanya

ditentukan oleh kecerdasan intelektual semata akan tetapi banyak dipengaruhi oleh

kecerdasan emosional. Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa orang yang secara

emosional cakap mengelola perasaan dengan baik, dan yang mampu membaca serta

menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam bidang

hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Sunaryo Kartadinata, dkk (2000 : 06) bahwa,

”kebermutuan sumber daya manusia tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual,

tetapi juga kecerdasan sosial dan emosional”. Keberhasilan atau prestasi yang dicapai

manusia masyarakat global tidak semata-mata ditentukan oleh kecerdasan intelektual

tapi juga oleh ketekunan, komitmen,

Page 68: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

65

Perpaduan bimbingan kelompok melalui dinamika kelompok didalamnya

terdapat permainan kelompok dimungkinkan dapat membentuk perilaku sosial anak,

karena dalam kelompok yang efektif diharapkan adanya kerjasama motivasi,

kesungguhan, disiplin dan etos kerja, kemampuan berempati, berinterelasi dan

berinterelasi.

Berdasarkan pemikiran tentang perilaku sosial tersebut maka peneliti tertarik

untuk mengangkat tema perilaku sosial ini sebagai bidang kajian. Untuk itu peneliti

bermaksud menerapkan bimbingan kelompok melalui teknik permainan untuk

meningkatkan perilaku prososial siswa.

Bimbingan kelompok merupakan upaya membantu individu dalam suasana

kelompok agar individu dapat memahami, mencegah serta memperbaiki dirinya

dengan memanfaatkan dinamika kelompok agar individu yang bersangkutan dapat

menjalani perkembangannya secara optimal. Bimbingan kelompok pada umumnya

memanfaatkan dinamika kelompok, kelompok yang dinamis adalah yang memiliki

ciri-ciri memiliki tujuan bersama, saling membina hubungan yang dinamis, bersikap

baik terhadap orang lain, memiliki kemampuan mandiri dan lain sebagainya.

Bermain untuk saat ini dilaksanakan hanya untuk menyalurkan minat, melatih

keterampilan fisik dan bersenang-senang. Program ini menurut peneliti, tanpa

disadari oleh pelakunya dapat digunakan sebagai sarana belajar, dalam hal ini belajar

untuk menyadari bahwa ia hidup dalam lingkungan sosial dengan banyak individu-

individu lain disekitarnya yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut sangat

kompleks sehingga kalau individu tidak mempunyai pemahaman tentang perbedaan

tersebut akan membawa dampak yang merugikan bagi dirinya dan lingkungannya.

Aplikasi dari pemahaman tersebut dapat diketahui melalui interaksi sosialnya di

masyarakat (perilaku sosialnya). Dengan mengalami langsung bermain, peserta dapat

memetik berbagai pengalaman, seperti sikap empati, toleransi, kerjasama, dan aspek-

aspek sosial lainnya yang nantinya semua pengalaman tersebut dapat diterapkan

dalam interaksi sosial.

Page 69: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

66

, etiket dan sikap yang baik pada orang lain, serrta kemandirian dari dari setiap

anggotanya. Permainan adalah perpaduan yang harmoni antara bimbingan kelompok

dan permainan karena keduanya memiliki kesamaan prinsip yaitu nilai kebersamaan.

Maka dengan nilai kebersamaan inilah akan terbentuknya suatu kelompok yang

dinamis dan diharapkan dalam kelompok dapat terbentuknya pola perilaku sosial

yang positif.

Menyadari begitu banyak manfaat yang diperolah setelah melaksanakan

permainan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian menggunakan

bimbingan kelompok melalui teknik permainan untuk meningkatkan perilaku

prososial siswa pada kelas X SMA Laboratorium UPI Bandung.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perilaku Prososial

Perilaku sosial merupakan aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain,

baik dengan teman sebaya, guru, orang tua maupun saudara-sudara anak (Syaodih &

Mubiar, 2008 ; 2.23).

Menurut Bar-Tal (1976 : 4) perilaku sosial diartikan sebagai perilaku yang

dilakukan secara sukarela (valuantary) yang dapat menguntungkan atau

menyenangkan (benefit) orang lain tanpa antisipasi reward eksternal. Perilaku sosial

ini dilakukan dengan tujuan yang baik. Yang disebut dengan perilaku prososial

seperti : menolong (helping), membantu (aiding), berbagi (sharing) dan menyumbang

(donating).

Perilaku sosial yang di harapkan tentu saja prilaku yang prososial. Pengertian

perilaku prososial sebagaimana yang dikutip oleh Dayakisni & Hudaniah (2003 :

177) dari beberapa ahli sebagai berikut. Staub, Baron & Byren menyatakan bahwa

prilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima,

tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (1981)

membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki

intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang

Page 70: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

67

baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dalam hal ini

dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan

well being orang lain.

Wispe (dalam John Wily & Sons, 1976 : 04) mengatakan behavioral consist

of a variety of acts such as helping, aiding, sharing, donating, or assisting. All

these acts can be seen as having positive social consequences and, therefore,

social psyicologists decide to call such acts prosocial behavior.

Lebih jauh lagi Eiseberg & Mussen, 1989 (dalam Dayaksini & Hudaniah,

2003 ; 177) pengertian perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan : Sahring

(membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong),

bonesty (kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan

kesejahteraan orang lain.

Rydell dan Bohlin (1997 : 829) menyatakan bahwa apek prososial menyangkut

: kedermawanan (generocity), empati (empty), memahami orang lain (understanding

of other), penanganan konflik (conflict hendling) dan suka menolong (help fullness),

serta aspek sosial (social initiative) yang terdiri dari aktif untuk melakukan inisiatif

dalam situasi sosial.

Bedasarkan batasan-batasan tersebut di atas, dapat tarik kesimpulan bahwa

perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberiakan konsekwensi

positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi

tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya.

Membina hubungan dalam kelompok, anak akan belajar untuk berperan serta,

bekerja sama dan mengenal aturan yang berlaku. Sebagai pribadi, anak belajar untuk

mengenal perbedaan dan menghargai perbedaan dengan orang lain serta memberikan

bantuan yang dibutuhkan.

2. Pengertian Permainan

Istilah bermain merupakan konsep yang tidak mudah untuk dijabarkan. Di

dalam Oxford English Dictionary, tercantum sebanyak 116 definisi tentang bermain.

Page 71: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

68

Salah satu contoh, ada ahli yang mengatakan bermain sebagai kegiatan yang

dilakukan berulang-ulang demi kesenangan. Piaget, 1951 (Andang Ismail, 2006 : 13).

Tetapi, ahli lain membantah pendapat tersebut karena adakalanya bermain bukan

dilakukan semata-mata demi kesenangan, melainkan ada sasaran lain yang ingin

dicapai, yaitu prestasi tertentu. Banyak keterangan yang simpang siur dan saling

bertentangan. Karena itu, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif

mengenai bermain, perlu memandang bermain sebagai “tali” yang merupakan untaian

serat dan benang-benang yang terjalin menjadi satu. Mayke, 2001 (Andang Ismail,

2006 : 13).

Bermain dapat dikatagorikan sebagai media pembelajaran dan pengembangan

perilaku sosial anak karena permainan menurut Russ (Nandang Rusmana, 2009 : 13-

14) bahwa bermain akan memperoleh berbagai pengetahuan yang sangat penting

untuk keberlangsungan hidup tanpa harus merasa jenuh ketika dalam prosesnya

mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang baru tersebut.

Pada dasarnya bermain memiliki dua pengertian yang harus dibedakan.

Bermain menurut pengertian pertama dapat berakna sebagaisebuah aktivitas yang

murni mencari kesenangan tanpa mencari “menang-kalah” (play). Sedangkan yang

kedua disebut sebagai aktivitas bermain yang dilakukan dalam rangka mencari

kesenangan dan kepuasan, namun ditandai dengan adanya pencarian “menang-kalah”

(games). Dengan demikian, pada dasarnya setiap aktivitas bermain selalu didasarkan

pada perolehan kesenangan dan kepuasan sebab fungsi utama bermain adalah untuk

relaksasi dan menyegarkan kembali (refreshing) kondisi fisik dan mental yang berada

di ambang ketegangan.

Sehubungan dengan bermain dapat bermakna sebagai play dan games, maka

perlu menjadi bahan pertimbangan dalam menarik definisi adalah proses yang

menyebabkan berlangsungnya aktivitas tersebut. Pada pengertian pertama, bermain

sebagai play bisa jadi merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang tanpa

melibatkan kehadiran orang lain sehingga total kesenangan dan kepuasan itu datang

Page 72: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

69

dari diri sendiri. Sedangkan pihak lain yang terlibat dapat merupakan unsur penghibur

saja. Contoh dari aktivitas bermain sebagai play adalah bermain “konstruktif” atau

“destruktif” dan “melamun”.

Pada pengertian kedua, bermain sebagai games, kesenangan, dan kepuasan

yang diperoleh seseorang harus melibatkan kehadiran orang lain. Tanpa hadirnya

pihak kedua (sebagai lawan), maka games tidak akan terjadi sebab games hanya akan

berlaku jika ada unsur sportifitas, aturan, dan menang-kalah. Artinya, seseorang akan

memperoleh kesenangan dan kepuasan setelahnya mampu mengungguli atau

menaklukan pihak lawan. Dengan demikian bermain sebagai games merupakan

aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memperoleh kesenangan dan

kepuasan setelahnya mengungguli kemampuan lawan mainnya.

3. Permainan Sebagai Teknik Terapi

Proses bermain telah digunakan oleh para terapis untuk menimbulkan

perubahan, sekalipun caranya tidak sistematik. Proses-proses kognitif, afektif dan

interpersonal dari bermain dapat mempermudah kemampuan-kemampuan adaptif,

seperti berfikir kreatif, pemecahan masalah, penanganan dan perilaku sosial anak.

Kemampuan-kemampuan adaptif ini penting bagi penyesuaian diri anak dan bermain

menjadi hal yang paling efektif dengan menargetkan proses-proses yang spesifik.

Andang Ismail (2006 : 23) mengatakan bahwa bermain dapat merupakan

suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang dapat

menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberikan kesenangan,

maupun mengembangkan imajinasi anak. Sehingga, melalui bermain anak dapat

mengungkapkan sikapnya yang negatif atau positif terhadap orang lain.

Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan

kemampuan para peserta didik. Dengan bermain secara alamiah anak akan bisa

menemukan dan mengenali lingkungannya, orang lain, dan dirinya sendiri. Lebih dari

itu, bermain juga dapat meningkatkan kecerdasan anak untuk berfikir, memiliki

keterampilan motorik, berjiwa seni, sosial, serta berparadigma religius.

Page 73: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

70

Menurut Russ, 2004 (dalam Nandang Rusmana, 2009 : 17) bahwa intervensi

terapi bermain dapat memiliki dua tipe umum, yaitu 1) intervensi sebagai medium

untuk berubah artinya proses bemain dalam terapi digunakan untuk menimbulkan

perubahan, misalnya, ekspresi emosi dalam bermain, 2) intervensi yang memperkuat

proses bermain, misalnya, anak-anak yang mengekspresikan emosi yang tidak

terkontrol, maka melalui pengembangan kemampuan bercerita dan kemampuan

naratif dapat membantu anak mengatur emosinya.

Bermain itu penting bagi perkembangan anak maupun dalam psikoterapi

anak. Bermain melibatkan kepura-puraan, penggunaan fantasi dan khayalan, dan

penggunaan simbolisme. Russ, 2000 (dalam Nandang Rusmana, 2009 : 17)

menyatakan bahwa bermain pura-puraan adalah suatu perilaku simbolik yang

dilakukan dengan perasaan dan intensitas emosional, sehingga afeksi itu terjalin

dengan bermain pura-pura.

Menurut Elizabeth B. Hurlock, 1999 (dalam Andang Ismail, 2006 : 29)

menyatakan bahawa, bermain merupakan proses terapi hal tersebut dikarena adanya

bebrapa pengaruh yang ditimbulkan dari bermain, seperti halnya :

a. Perkembangan fisik. Bermain aktif penting bagi anak untuk

mengembangkan otot dan melatih seluruh bagian tubuhnya. Bermain juga

berfungsi sebagai penyalur tenaga yang berlebihan, yang bila terpendam

terus akan membuat anak tegang, gelisah, dan mudah tersinggung.

b. Dorongan berkomunikasi. Agar dapat bermain dengan baik bersama anak

lain, anak harus belajar berkomunikasi.

c. Penyaluran bagi energi emosional yang terpendam. Bermain merupakan

sarana bagi anak untuk menyalurkan ketegangan yang disebabkan oleh

pembatasan lingkungan terhadap perilaku mereka.

d. Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan.

Page 74: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

71

e. Sumber belajar. Bermain memberi kesempatan untuk mempelajari

berbagai hal yang tidak diperoleh anak dari belajar di rumah ataupun di

sekolah.

f. Rangsangan bagi kreativitas.

g. Perkembangan wawasan diri. Dengan bermain anak mengetahui tingkat

kemampuan dibandingkan teman bermainnya. Ini memungkinkan mereka

untuk mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata.

h. Belajar bersosialisasi, sehingga mampu belajar bagaimana membentuk

hubungan sosial dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.

i. Standar moral, dimana anak memahami sebuah nilai-nilai baik dan buruk.

j. Belajar bermain sesuai dengan peran jenis kelamin.

k. Perkembangan ciri kepribadian yang diinginkan. Dari hubungan dengan

anggota kelompok teman sebaya dalam bermain, anak belajar bekerja

sama, murah hati, jujur, sportif dan disukai orang.

4. Pengertian Bimbingan Kelompok

Bimbingan (guidance) merupakan salah satu bidang dan program dari

pendidikan, dan program ini ditujukan untuk membantu mengoptimalkan

perkembangan siswa. Program tesebut terutama dalam upaya membantu peserta didik

menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi dan perencanaan masa depan seperti

yang dikemukakan Tolbert dan Jones (dalam Nana Syaodih S, 2007 : 08). Menurut

Tolbert :

Bimbingan adalah seluruh program atau semua kegiatan dan layanan dalam

lembaga pendidikan yang diarahkan pada membantu individu agar mereka

dapat menyusun dan melaksanakan rencana serta melakukan penyesuaian diri

dalam semua aspek kehidupan sehari-hari”.

Menurut Shertzer dan Stone (dalam yusuf, 2009 : 6) mengertikan bimbingan

sebagai ‘...process of helping an individual to understand himself and his

Page 75: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

72

world (proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami

diri dan lingkungannya)’.

Pengertian diatas menyiratkan bahwa bimbingan itu mencakup : a) suatu

proses bantuan yang diberikan kepada individu, b) suatu proses yang berkelanjutan,

c) upaya yang diberikan kepada individu kepada individu agar dapat memahami,

menerima, mengarahkan dirinya serta merealisasikan dirinya dengan lingkungannya,

d) bimbingan diberikan agar individu mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya.

Menurut Rochman Natawijaya (2009 : 36-37) bahwa, bimbingan kelompok

dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya masalah atau kesulitan pada diri klien,

isi kegiatan bimbingan kelompok terdiri atas penyampaian informasi yang berkenaan

dengan masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan masalah sosial yang tidak

disajikan dalam bentuk pelajaran.

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa konsep bimbingan

kelompok sebagai suatu sistem didalamnya tersirat makna tujuan, sasaran dan sifat

hubungan yang perlu dibangun oleh konselor dan klien. Dengan kata lain bahwa

bimbingan kelompok ditujukan bagi individu; memiliki sifat suasana kelompok

(dinamika kelompok); diarahkan untuk pencegahan; kemudahan perkembangan dan

pertumbuhan serta penyembuhan.

5. Prosedur dan Langkah-langkah

Sebagaimana yang dikatakan oleh Nandang Rusmana (2009:37) tidak ada

langkah-langkah baku yang dapat diterapkan dalam bimbingan kelompok. Langkah-

langkah dalam bimbingan kelompok ditentukan oleh orientasi teoritis yang menjadi

dasar penerapan model. Dalam hal ini yang menjadi dasar penerapan bimbingan

kelompok yaitu model konseling kelompok yang dikemukakan oleh Gladding

(1995). Menurut Gladding (dalam Nandang Rusmana, 2009 : 37) ada empat langkah

utama yang harus ditempuh dalam melaksanakan konseling kelompok, yaitu : a)

langkah awal (Beginning a Group); b) langkah Transisi (The Transition Stage in a

Group); c) langkah kerja (The working Stage in a Group); dan d) langkah terminasi

Page 76: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

73

(Termination of a Group). Menurut Gladding (1999) empat langkah konseling yang

dikemukakannya selaras dengan langkah-langkah dinamika kelompok dari Tuckman,

yakni forming, storming, norming, performing, dan enjourning.

a. Tahap Awal (Beginning a Group)

Menurut Gladding (1999) langkah awal konseling (beginning) parallel

dengan langkah pembentukan kelompok (forming) dari Tuckman. Dalam

pelaksanaan pembentukan kelompok konselor perlu mempertimbangkan :

1) tahapan-tahapan pembentukan kelompok (step in the forming stage); 2)

tugas-tugas pembentukan kelompok (task of beginning group); 3) potensi

masalah pembetukan kelompok(resolving potenstial group in forming); 4)

prosedur pembentukan kelompok (useful procedures for beginning stages

of agroup).

1) Tahapan-tahapan pembentukan kelompok

Pembentukan kelompok merupakan tahap yang peling penting

dalam proses konseling kelompok. Menurut Gladding (1999)

keberhasilan dalam melakukan pembentukan kelompok akan

asangat menentukan efektivitas konseling. Oleh karena itu

konselor perlu melaksanakan pembentukan kelompok dengan

langkah-langkah dan tahapan yang akurat, sistematis dan

berkesinambungan.

Menurut Gladding (1999) ada beberapa hal yang perlu dilakukan

dalam melaksanakan proses pembentukan kelompok yakni : a)

mengembangkan alas an-alasan pembentukan kelompok

(developing a rationale for the group); b) menentukan format

teoritis (deciding on a theoretical format); c) menentukan

kerangka kerja (practical cobsideration); d) melakukan publikasi

kelompok (publizing the goup); dan e) melakukan persiapan

Page 77: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

74

latihan (pretraining) dan f) melakukan seleksi anggota dan

pendamping kelompok (selection of members and leaders).

2) Tugas-tugas pembentukan kelompok

Menurt Gladding (1999) tugas pertama dlam memulai kelompok

adalah para anggota kelompok melakukan kesepakatan tentang

permasalahan apa yang akan dibahas. Pada intinya, permasalahan

yang diangkat sebagai fokus konseling bersumber dari kecemasan

yang ditampilkan oleh anggota kelompok. Meskipun permasalahan

yang diangkat adalah masalah individual, namun karena akan

dipecahkan secara bersama-sama maka masalah itu perlu mebnjadi

masalah bersama. Target kedua yang akan dicapai dalam sesi awal

konseling adalah menetapkan tujuan dan melakukan kontrak.

Selanjutnya para anggota kelompok perlu menetapkan aturan

sebelum dan selam proses kelompok berlangsung. Aturan ini

merupakan pedoman bertindak anggota kelompok dalam

melakukan proses konseling.

3) Potensi masalah pembentukan kelompok

Masalah anggota kelompok yang mungkin dijumpai adalah adanya

tipologi dan strereotype individual anggota kelompok yang

beragam. Menurut Kline dalam Gladding (1999), topologi orang

yang dijumpai dalam kelompok adalah :a) manipulators; b)

resisters; c) monopolizers; d) silences members; e) user of

sarcasems; dan f) focuser on other.

4) Prosedur pembentukan kelompok

Untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dalam

proses pembentukan kelompok, konselor hendaknya melakukan

upaya merumuskan prosedur yang tepat dalam melakukan proses

awal konseling. Menurut Gladding (1999) sesungghnya tidak ada

Page 78: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

75

satu cara atau metode yang tepat yang dapat digunakan untuk

mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan awal konseling.

Secara umum, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan

dalam memuali suatu kelompok, yaitu : a) kerjasama (joining), b)

kesepadanan (linking); c) menghentikan atau memutuskan

pembicaraan (Cutting Off); d) lebih menjelaskan (drawing Out); e)

memperjelas maksud (Clarifying the Purpose).

b. Tahap Transisi (Transition Stage)

Tahap transisi adalah periode kedua pasca pembentukan kelompok

dan merupkan tahap awal sebelummemasuki tahap kerja. Di dalam

konseling kelompok biasanya berlangsung 12-15 sesi, tahap

transisi ini kira-kira memakan waktu 5-20 % dari keseluruhan

proses konseling. Masa transisi ditandai dengan adanya tahapan

forming dan norming.

Tahap storming atau disebut juga periode pancaroba/ kacau balau

adalah masa terjadinya konflik dalam kelompok. Konflik dalam

kelompok tejadi karena adanya kekhawatiran anggota kelompok

dalam memasuki proses konseling. Biasanya kekhawatiran muncul

karena kelompok enggan untuk bergerak dari ketegangan primer

(kekakuan ssat berada dalam sitausi yang asing) menuju

ketegangan sekuder (konflik dalam kelompok).

Kegagalan dalam dalam mengatasi tahap kacau balau ini akan

berakibat pada terhentinya proses konseling. Oleh karena itu

menurut Gladding (1999) konselor perlu mengatasinya dengan

upaya sebagai berikut :

1) Peningkatan hubungan anggota Kelompok

Page 79: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

76

Dalam rangka meningkatkan hubungan anggota kelompok

konselor perlu mengembangkan kepemimpinan dan

menunjukan kekuasaan yang terbuka dan asertif.

2) Resistensi

Resistensi didefinisikan sebagai perilaku kelompok untuk

menghindari daerah yang tidak nyaman dan situasi konflik.

Resistensi biasanya meningkat pada awal periode kekacauan.

Bentuk resistensi ada dua jenis yaitu resistensi langsung dan

resistensi tidak langsung.

3) Task Processing

Menurut Gladding (1995) cara atau metode yang dapat

digunakan untuk membantu anggota kelompok mengatasi

kekacauan adalah : a) mengatai perasaan mereka dengan

memotivasi untuk berinterkasi secara terbuka dan bebas; b)

menyadarkan anggota bahwa kekacauan dalam kelompok

merupakan hal yang wajar; c) meminta umpan balik dari

anggota mengenai kondisi mereka sat ini dan apa yang

mereka pikir perlu dilakukan.

Tahap berikutnya pada masa transisi adalah norms and norming.

Menurut Gladding (1995) tahap norms dan norming dibagi ke

dalam liha tahap yakni; 1) Peer Relationship; 2) Task Processing;

3) Examining Aspects of Norming; d) Promoting Norming; e)

Results of Norming.

Selama periode norming beberpa perubahan penting terjadi dalam

hubungan antar teman. Interaksi antar teman ini dapat

digambarkan melalui : 1) idenifikasi; 2) variabel eksistensial; 3)

harapan; 4) kooperasi; 5) kolaborasi; dan 6) kohesi.

Page 80: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

77

c. Tahap Kerja (Performing Stage)

Perhatian utama dalam tahap kerja adalah produktifitas kinerja.

Masing-masing anggota kelompok terfokus pada peningkatan

kualitas kerja untuk mencapai tujuan individu dan kelompok. Ada

tiga cara untuk mencapai produktivitas yang yang tinggi di

antarannya adalah : 1) saling memuji keunggulan masing-masing

anggota kelompok; 2) role playing; 3) home work (pekerjaan

rumah).

Beberapa strategi yang dapat digunakan untuk dalam fase kerja ini

di antaranya adalah :

1) Modeling;

2) Exercise;

3) Group observing group;

4) Brainstorming;

5) Nominal-group technique;

6) Synectics;

7) Written projection;

8) Group processing.

d. Tahap Terminasi (Termination Stage)

Menurut Glading (1995) tahap terminasi adalah tahap yang tidak

kalah pentingnya dengan tahap pembentukan kelompok. Dalam

pembentukan kelompok, setiap anggota kelompok berusaha untuk

saling mengenal dan memahami karakkteristik masing-masing

anggota kelompok; dalam tahap terminasi anggota kelompok

mencoba untuk mengenal dan memahami lebih dalam lagi. Tahap

terminasi dalam konseling kelompok dibagi menjadi tujuah bagian,

yaitu :

Page 81: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

78

1) Preparing for Termination

2) Effect ofTerminaton on Individual

3) Premature Termination

4) Terminationof Group Sessions

5) Terminationof a Group

6) Problem inTreminations

7) Folow-up Session

METODE

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode dengan desain

penelitian eksperimen (experimental reaserch). Penelitian yang dilakukan dengan

memberikan perlakuan (treatment) tertentu terhadap subjek penelitian yang

bersangkutan. (Agung, 2001 : 17) Perlakuan yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah Efektifitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Permainan. Pengkondisian

prilaku siswa hanya sebesar yang dapat dikontrol secara kuasi dan menghindari

kontrol yang murni (pure exsperiment) sehingga kontrol terhadap perilaku siswa tidak

terlalu ketat. Eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen

semu (kuasi exsperiment).

Penelitian ini dirancang menggunakan model “Pre-Postest-kontrol group

design. (Fraenkel & wallen dalam Suarni, 2004). Desain penelitiannya dapat

digambarkan sebagai berikut:

Tabel. 01 Rancangan Penelitian

Kelompok Tes Awal

(Pretest) Perlakuan

Tes Akhir

(Posttest)

Eksperimen Y0 X1 Y1

Kontrol Y0 - Y1

Page 82: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

79

Keterangan :

Y0 : Pemberian tes awal (pre-test) pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dimulai eksperimen.

Y1 : Pemberian tes akhir (post-test) pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah pertemuan terakhir eksperimen.

X1 : Perlakuan/efektifitas Bimbingan Kelompok melalui Teknik Permainan kepada kelompok eksperimen.

- : Tidak diberi perlakuan/eksperimen.

1. Populasi dan Sampel Penelitian

Adapun populasi target dalam penelitian ini adalah siswa SMA Laboratorium

(Percontohan) UPI Bandung, sedangkan populasi terjangkaunya adalah siswa kelas X

SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung tahun ajaran 2010/2011. Adapun

jumlah kelas sebagaimana berikut :

Kelas Jumlah

XC

XF

XA

XB

XD

31 Siswa

31 Siswa

31 Siswa

31 Siswa

31 Siswa

Untuk mencapai tujuan penelitian ini maka sampel penelitian ini diperoleh

dengan menggunakan teknik random sampling. Menurut Kartono Kartini (1996 :

137) teknik ini menggunakan cara pengambilan/pemilihan sampel secara pilihan

random, sembarangan tanpa pilih bulu. Rancangan penentuan sampel ini

menggunakan tehnik undian, yang mana SMA Laboratorium (Percontohan) UPI

Page 83: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

80

Bandung memiliki 7 kelas, lalu kedelapan kelas tersebut diundi untuk menentukan

satu kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Adapun langkah-langkah

pengundian sebagai berikut :

1. Pada semua kelompok/ kelas yang menjadi anggota/ bagian dari populasi

diberikan kode-kode bilangan.

2. Kode-kode tersebut dituliskan pada kertas-kertas lembaran kecil-kecil,

masing-masing digulung dengan baik, lalu dimasukan kedalam satu

kotak/tempat yang tertutup.

3. Kertas gulungan tersebut dikocok dengan baik sehingga kertas gulungan

tersebut jatuh. Kertas yang jatuh/ muncul itulah dipakai sebagai sampel

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan sebanyak sampel

yang diperlukan.

Kelompok eksperimen akan diberikan perlakuan bimbingan kelompok

melalui teknik permainan dan sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan

bimbingan kelompok melalui teknik permainan.

2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah bimbingan kelompok melalui

teknik permainan sebagai variabel bebas (independent variable) dan perilaku sosial

sebagai variabel terikat (dependent variable). Bimbingan kelompok melalui teknik

permainan sebagai variabel bebas disebut juga variabel eksperimen atau perlakuan

(treatment), yaitu sejumlah gejala yang sengaja ditimbulkan atau dirubah atau

dikenakan atau diberikan kepada kelompok eksperimen. Perlakuan ini merupakan

sebab yang hendak diobservasi atau diamati pengaruhnya pada subjek penelitian.

Perilaku sosial sebagai variabel terikat merupakan sebagai akaibat dari perlakuan

yang dikenakan pada kelompok eksperimen dan akan diteliti perubahannya. Devinisi

operasional variabel seperti berikut.

Pertama, perilaku sosial adalah tingkah laku atau respon yang dilakukan

dalam interaksi antar individu dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Perilaku sosial

Page 84: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

81

terjadi sekarang. Perilaku sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku

prososial sebagaimana diungkap Rydell dan Bohlin (1997 : 829) menyatakan,

perilaku sosial yang diharapkan adalah perilaku prososial yang menyangkut apek :

kedermawanan (generocity), empati (emphaty), penanganan konflik (conflict

hendling) dan kejujuran (honesty), serta aspek sosial (social initiative) yang terdiri

dari aktif untuk melakukan inisiatif dalam situasi sosial. Pengukuran perilaku sosial

siswa sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan kuesioner skala Likert.

Kedua, bimbingan kelompok melalui teknik permainan adalah proses

pemberian bantuan kepada klien dengan seting kelompok, yang pelaksanaannya

menggunakan teknik permainan.

HASIL PENELITIAN

Dalam Menentukan efektif tidaknya pekasanaan bimbingan kelompok melalui

teknik permainan dibandingkan dengan bimbingan kelompok yang menggunakan

metode bimbingan konvensional, data yang digunakan adalah perbandingan hasil

skor rata-rata pretes dan postes dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Selain skor rata-rata perbandingan juga digunakan data skor gain (selisih antara hasil

pretes dan postes) dari kedua kelompok.

1. Pengujian Asumsi Statistik

Pelaksanaan pengujian asumsi statistik yang disyaratkan dalam analisis data

menggunakan prosedur-prosedur yang sesuai dengan pengujian. Data dalam

penelitian harus normal artinya data yang dihubungkan berdistribusi normal, maka

perlu uji normalitas. Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan program

SPSS 17.0 metode Kolmogorov Smirnov dengan taraf signifikansi yang digunakan

sebagai aturan untuk menerima atau menolak pengujian normalitas atau ada tidaknya

suatu distribusi data adalah α = 0,05, dan hasil pengujian dapat dilihat pada tabel

berikut.Tabel 02

Page 85: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

82

Hasil Uji Normalitas Pretes dan Postes pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Dilihat dari hasil output SPSS tests normality menunjukan nilai Kolmogorov-Smirnov (K-S) pretest kelompok eksperimen sebesar 0,200* dan pretest kontrol sebesar 0,200*, serta posttest kelompok eksperimen sebesar 0,200* dan posttest kontrol sebesar 0,200*. Sedangkan signifikansi uji (α) sebesar 0,05. Karena siginifikansi hasil lebih besar dari signifikansi uji (K-S > α ), maka dapat disimpulkan bahwa sebaran data kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada skor pretest dan posttest berdistribusi secara normal.

2. Pengujian Hipotesis Penelitian

Untuk melakukan uji hipotesis ini langkah yang digunakan adalah dengan

membandingkan nilai skor rata-rata postes kedua kelompok antara kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut :

Tabel 03 Hasil Uji Statistik Sampel

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Posttest Eksperime Kontrol N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Skor Posttest Eksperimen 31 197.1935 6.33203 1.13727

Posttest Kontrol 31 188.3226 6.86725 1.23339

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Kesimpulan

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Skor Pretes Eksperimen .125 31 .200* .963 31 .352 Normal

Kontrol .115 31 .200* .968 31 .471 Normal

Skor Postes Eksperimen .081 31 .200* .993 31 .999 Normal

Kontrol .081 31 .200* .977 31 .713 Normal

Page 86: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

83

Hasil skor rata-rata postes bimbingan kelompok melalui teknik permainan

adalah (197,193) dengan standar deviasi (6,332), sedangkan hasil skor rata-rata tes

bimbingan kelompok yang tidak menggunakan teknik permainan adalah (188,322)

dengan standar deviasi (6,867). Hasil ini memperlihatkan bahwa skor rata-rata

kelompok eksperimen yang diberikan teknik permainan lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan bimbingan kelompok melalui teknik

permainan .

Untuk menguji hipotesis terdapat perubahan positif signifikansi dalam tingkat

keberhasilan peningkatan perilaku prososialsiswa setelah diberikan bimbingan

kelompok melalui teknik permainan, hal ini tampak pada hasil uji-t dua sampel

independen hasil postes kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 04 Hasil Uji Independen Sampel Tes

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Levene's Test for

Equality of Variances

t-test for Equality of Means

t Df Sig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error

Difference

95% Confidence Interval of the

Difference F Sig.

Lower Upper

Skor Equal variances assumed

.124 .726 5.288 60 .000 8.87097 1.67769 5.5150 12.2268

Equal variances not assumed

5.288 59.609 .000 8.87097 1.67769 5.5146 12.2273

Page 87: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

84

Karena hasil Levene’s Test pada Tabel 04 menyatakan bahwa asumsi kedua

varians sama besar (equal variances assumed) terpenuhi, maka selanjutnya dengan

menggunakan uji-t dua sampel independen dengan asumsi kedua varians sama besar

untuk hipotesis H:µଵ = µଶ terhadap Hଵ: µଵ > µଶ yang memberikan hasil t = 5,288

dengan derajat kebebasan 60 dan p-value (2-tailed) = 0,000. Karena hasil p-value =

0,000 lebih kecil dari 0.05 = ߙ maka H:µଵ = µଶ ditolak. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa hasil skor rata-rata kelompok eksperimen yang mengikuti

layanan bimbingan kelompok melalui teknik permainan lebih baik dibandingkan

dengan skor rata-rata kelompok kontrol yang tidak mengikuti bimbingan kelompok

melalui teknik permainan. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis nya berbunyi

“Bimbingan Kelompok Melalui Teknik Permainan Efektif Digunakan Untuk

Meningkatkan Perilaku Prososial Siswa”.

Langkah berikutnya untuk menguji hipotesis adalah dengan membandingkan

skor gain terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil perhitungan

yang diperoleh adalah sebagai berikut :

Tabel 05 Hasil Group Statistik Gain

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Jenis N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Gain Eksperimen 31

19.90

9.123

1.638

Kontrol 31 8.58 5.005 .899

Hasil skor rata-rata gain bimbingan kelompok melalui teknik permainan

adalah (19,90) dengan standar deviasi (9,123), sedangkan hasil skor rata-rata tes gain

bimbingan kelompok yang tidak menggunakan teknik permainan adalah (8,58)

dengan standar deviasi (5,005). Hasil ini memperlihatkan bahwa skor rata-rata

kelompok eksperimen yang diberikan teknik permainan lebih tinggi dibandingkan

Page 88: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

85

dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan bimbingan kelompok melalui teknik

permainan.

Tabel 06 Hasil Uji Independen Sampel Tes Skor Gain

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

t df Sig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error

Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

F Sig. Lower Upper

Skor Equal variances assumed

6.782 .012 6.058 60 .000 11.323 1.869 7.584 15.061

Equal variances not assumed

6.058 46.560 .000 11.323 1.869 7.562 15.083

Karena hasil Levene’s Test pada Tabel 06 menyatakan bahwa asumsi kedua

varians sama besar (equal variance assumed) terpenuhi, maka selanjutnya dengan

menggunakan uji-t dua sampel independen dengan asumsi kedua varians tidak sama

besar (equal variances not assumed) untuk H: µଵ = µଶ terhadap Hଵ:µଵ > µଶ yang

memberikan hasil t = 6,058 dengan derajat kebebasan 46,56 dan p-value (2-tailed) =

0.000. karena hasil p-value = 0.000 labih kecil dari 0.05 = ߙ, maka H:µଵ =

µଶ ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gain skor dari kelompok eksperimen

yang mengikuti bimbingan kelompok melalui teknik permainan lebih baik

dibandingkan dengan gain skor kelompok kontrol yang tidak menggunakan

bimbingan kelompok melalui teknik permainan. Hasil skor gain ini memperlihatkan

bahwa “Bimbingan Kelompok Melalui Teknik Permainan Efektif Digunakan Untuk

Meningkatkan Perilaku Prososial Siswa”.

Page 89: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

86

A. KESIMPULAN

Ada bagian ini diuraikan sejumlah kesimpulan penelitian sebagai hasil akhir

dari rangkaian proses penelitian yang telah dilakukan sekaligus merupakan

finalisasi hasil-hasil temuan penelitian :

1. Secara umum profil siswa sebelum mengikuti layanan bimbingan kelompok

pada kelompok kontrol memperoleh hasil skor rata-rata lebih tinggi

dibandingkan hasil skor rata-rata pada kelompok eksperimen.

2. Berdasarkan data yang diperoleh gambaran umum hampir seluruh siswa

sesudah mengikuti bimbingan kelompok pada kelompok eksperimen

memperoleh hasil skor yang lebih tinggi dibandingkan hasil skor rata-rata

pada kelompok. Hal ini memperlihatkan peningkatan perilaku prososial siswa

sesudah mengikuti bimbingan kelompok khususnya terhadap kelompok

eksperimen yang mengikuti bimbingan kelompok dengan teknik permainan

memperoleh skor rata-rata dan skor gain yang lebih tinggi dibandingkan hasil

skor rata-rata dan skor gain pada kelompok kontrol yang tidak mengikuti

bimbingan kelompok dengan teknik permainan.

3. Berdasarkan hasil analisis data untuk menguji hipotesisi yang diajukan diperoleh

hasil bahwa bimbingan kelompok dengan teknik permainan efektif digunakan

untuk meningkatkan perilaku prososial siswa khususnya siswa SMA

Laboratorium (Percontohan) UPI dengan hasil uji-t = 5,288 dengan derajat

kebebasan 60, dengan p-value = 0.000 lebih kecil dari 0.05 = ߙ maka penelitian

ini memperlihatkan hasil skor rata-rata kelompok eksperimen yang mengikuti

bimbingan kelompok dengan teknik permainan lebih baik dibandingkan dengan

skor rata-rata kelompok kontrol yang tidak mengikuti bimbingan kelompok

dengan teknik permainan. Dengan hasil uji-t dua sampel independen berdasarkan

skor gain kedua kelompok diperoleh hasil yaitu t = 6,058 dengan derajat

kebebasan 46,560 dan p-value (2-tailed) = 0.000 lebih kecil dari 0.05= ߙ, maka

Page 90: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

87

kesimpulan yang diperoleh adalah layanan bimbingan kelompok dengan teknik

permainan lebih efektif digunakan untuk meningkatkan perilaku prososial siswa.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, diberikan rekomendasi

kepada pihak sebagai berikut :

1. Bagi Guru BK

Bagi Guru BK di SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung,

seyogyanya mengimplementasikan hasil penelitian di sekolah yaitu dengan

melaksanakan bimbingan kelompok melalui teknik permainan untuk meningkatkan

perilaku prososial.

2. Bagi Siswa

Bagi siswa SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung, melalui

layanan bimbingan kelompok dengan teknik permainan siswa dapat melatih diri

dalam berinteraksi, mengembangkan perilaku-perilaku positif yang bermanfaat

untuk meningkatkan prilaku sosial sehingga lebih baik dalam berpenampilan diri

dan mampu berinteraksi sosial baik dalam lingkungan sekolah, masyarakat dan

keluarga.

3. Bagi Pihak Sekolah

Bagi Sekolah SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung, hasil

penelitian ini dapat digunakan sebagi masukan untuk menyusun program

kebijakan sekolah dalam pembinaan siswa mengembangkan perilaku prososial

melalui berbagai jenis permainan sehingga kemajuan sekolah dalam penanaman

budi pekerti menjadi lebih baik.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Keterbatasan proses dan hasil penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari

keterbatasan penyusun tesis dalam mengelola kegiatan penelitian baik dalam

Page 91: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

88

bentuk materi maupun non materi. Oleh karena itu, kepada peneliti selanjutnya

direkomendasikan untuk :

a. Membandingkan gambaran umum perilaku prososial siswa SMA pada

setiap jenjang kelas, gender, demografis sehingga gambaran yang

dihasilkan cenderung dinamis dan menyeluruh.

b. Menggunakan pendekatan dan metode penelitian yang lebih beragam

untuk meneliti perilaku prososial siswa pada setiap jenjang pendidikan.

B. DAFTAR PUSTAKA

Asfandiyar, Andi Y. (2009). Kenapa Guru Harus Kreatif. Bandung : Mizan.

Agung. (2001). Statistika Analisis Hubungan Kausal Berdasarkan Data Kategorik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) Regional II Jaya Giri Bandung. (2004). Panduan Pengembangan APE PAUD Bersumber Lingkungan Sekitar. Bandung : Depdiknas.

Carr, W & Kemmis, S. (1989). Being Critical : Education, Knowledge, and Action Research. London : Cambridge University.

Danel, Bar-tal. (1976). Personal Behavioral Theory and Reaserch. Hamisphere Publishing Corporation : Washington DC.

Dantes, Nyoman. (2007). Metodelogi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. Singaraja : Universitas Pendidikan Ganesha.

Dayaksini dan Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Gunawan, Agung. (2008). Bimbingan Komunikasi Melalui Picture Exchange Communication System Dalam Upaya Meningkatkan Komunikasi Anak Autis. Tesis. UPI.

Goleman, Daniel. (2003). Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 92: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

89

Gregory, Robert. J. (2000). Psykological Testing History, Principles and Application. Boston: Allyn and Bacon.

Hurlock, Elizabeth. (1978). Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga.

Kartadinata, Sunaryo. (2000). Pendidikan Untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia Bermutu Memasuki Abad XXI, Implikasi Bimbingannya. Bandung : FIP UPI.

Machfoedz, dkk. (2005). Metodelogi Penelitian (Bidang Kesehatan, Keperawatan Dan Kepribadian). Yogyakarta : F Trmaya.

Martini, O. (2004). Pengembangan Program Bimbingan Perkembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini di Kelompok Bermain. Tesis Magister pada Program Studi PLS Pascasarjana UPI Bandung : Tidak Diterbitkan.

Muro & Kottman. (1995). Guidance Counseling In The Elementrary and Middle Schools. Iowa : Brown & Benchmark Publisher.

Natawijaya Rochman. (2009). Konseling Kelompok Konsep Dasar dan Pendekatan. Bandung : Rizqi.

Nurhisan, J. (2004). Manajement Bimbingan dan Konseling di SMA. Jakarta : Grasindo.

Prayitno dan Erman Amti. (1999). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.

Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Game & Playing). Bandung : Rizki

. (2009). Konseling Kelompok Bagi Anak Berpengalaman Traumatis. Bandung: Rizki

Rydell, A.,M., Hagekul, B & Bohlin, G. (1997). Measurment of Two Social Competence Aspect In Middle Childroon. Journal of Development Psychology, vol 33, No 05, 824-833. America Psycology Association.

Sarlito Wirawan, S. (2002). Psikologi Sosial (Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial). Jakarta : Balai Pustaka.

Sears David. O, et-al. (1991). Psikologi Sosial (Alih Bahasa Michael Adriyanto). Jakarta : Erlangga.

Page 93: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

90

Seniati, dkk. (2005). Psikologi Eksperimen. Jakarta : PT. Indeks.

Sukmadinata, S N. (2007). Bimbingan dan Konseling dalam Praktek Mengambangkan Potensi dan Kepribadian Siswa. Bandung : Maestro

Sutrisno, Hadi. (2005). Metodologi Research. Yogyakarta : Andi. Syaodih, E & Agustin, M. (2008). Bimbingan Konseling Untuk Anak Usia Dini.

Jakarta : Universitas Terbuka. Tarsidi, Didi. (2002). Kompetensi Sosial Anak Tunanetra. Tesis. Bandung : Tidak

diterbitkan. Thantawy. (1993). Kamus Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Economics Student’s

Group. UU RI NO. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Citra Umbara. Walgito, Bimo. (2001). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Andi. Wiley John & Sons. (1976). Prosocial Behavior. Printed in The United of America. Wilson Kate, dkk. (1992). Play Therapy A Non-directive Approach For Children and

Adolescents. Tokyo : Baillere Tindal. Wingkel, W. S & Hastuti Sri, M. M. (2006). Bimbingan dan Konseling di Instuti

Pendidikan.Yogyakarta : Media Abadi. Yusuf Syamsu dan Nurhisan Juntika. (2009). Landasan Bimbingan dan Konseling.

Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offest. Yustiana, Yusi R. (1999). Pengalaman Belajar Awal Yang Bermakna Bagi Anak

Melalui Aktivitas Bermain. Tesis. Bandung : tidak diterbitkan.

C. BIODATA SINGKAT

Nama lengkap penulis adalah Putu Agus Semara Putra Giri, dilahirkan di Singaraja-Bali pada tanggal 12 Juni 1984. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan I Ketut Mustika Giri dan Nyoman Runiati. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 347 Banjar Jawa (1990-1996), SMP N 2 Singaraja (1996-1999), SMK N 2 Singaraja (1999-2002), D1 PANSOPHIA Singaraja (2002–2003), Sarjana Pendidikan Bimbingan dan Konseling Undiksha Singaraja (2004-2009). Mulai tahun akademik (2009-2011), penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Program Studi Bimbingan dan Konseling. Dengan menjadi Guru Honorer Bimbingan dan Konseling pada SMP Negeri 2 Singaraja (2008-2009), Asisten Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (2009-2010). Alamat Penulis di Gang Pulau Buru III No : 3 Desa Pemaron, Singaraja- Bali.

Page 94: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

91

BEBERAPA PROBLEMATIKA DAN KONTROVERSI SEPUTAR PENGGUNAAN MIXED METHOD (METODE CAMPURAN)

DALAM PENELITIAN Oleh

Dr. I Wayan Gunartha, M. Pd. [email protected]

ABSTRACT

The mixed methods is a relatively new one. So that, many problems have not been evident to researchers who wish to implement it. This paper aims to provide a clearer description about a few things related to the mixed methods, i.e. the interpretation, matter how analysis, and use of computer programs in the mixed methods. In qualitative research, the interpretation heavily influenced by the validity of the data. Interpretation of the results of the study would be appropriate if the data retrieved is completely valid, reliable and objective. Therefore, to ensure that the proper interpretation of the results of research, the validity of the data needs to be tested. The test can be done by triangulation techniques, discussions with my colleagues (peer debriefing), memberchack, cultural bias, and clarify the audit. The transferability problem in qualitative research there is no agreement yet among the experts. Therefore, the problem of transferability is not the responsibility of researchers, but it is left to the reader. Analysis and data interpretation in mixed methods are in line with mixed method design itself. Today, computer programs for qualitative research has been widely circulated, which can help the efficiency of work in research, such as ATLAS/ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, and NVivo, which can be obtained at the Web site: http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/, and has features that are very complete.

Keywords: mixed methods, credibility, transferability, dependability, confirmability.

A. PENDAHULUAN

Metode penelitian campuran (mixed methods) merupakan paradigma yang

relatif masih baru karena lahirnya baru setelah berakhirnya perang paradigma

kuantitatif dengan kualitatif dan merupakan perkembangan dari dua pendekatan

sebelumnya (Creswell, 2010: 304). Menurut Guba dan Lincoln, paradigma

diartikan sebagai cara pandang atau sistem keyakinan yang menjadi pedoman

peneliti (Tashakkori dan Teddlie, 2010: 3). Perang paradigma ini telah

berlangsung di berbagai “medan pertempuran” dengan perhatian utama pada isu-

isu konseptual, seperti “dasar realitas” atau “kemungkinan hubungan kausalitas”.

Page 95: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

92

Dalam bidang psikologi, dekade 1970-an dan 1980-an menjadi saksi

penting perdebatan metodelogi antara ilmuwan seperti Cronbach (1982) dan Cook

& Campbell (1979). Perdebatan ini terfokus pada isu konseptual tentang

pentingnya validitas internal (situasi yang dikontrol, yang dianggap keramat bagi

kaum positivis) dan validitas eksternal (menekankan situasi alami, yang dipilih

oleh para konstruktivis). Demikian pula yang terjadi dalam bidang antropologi,

terjadi saling kritik antara kaum positivis dan konstruktivis atau “naturalis”

(Tashakkori dan Teddlie, 2010: 5).

Hammersley (1992) telah mencatat bahwa perdebatan tentang paradigma

kuantitatif dan kualitatif sebenarnya berakar pada pertengahan abad XIX dan

dalam ilmu sosiologi terjadi pada 1920-an dan 1930-an. Akhir-akhir ini, perhatian

terhadap perdebatan itu diawali dengan kebangkitan kembali metode penelitian

kualitatif pada tahun 1960-an dalam ilmu sosiologi dan psikologi, yang

sebelumnya didominasi oleh metode kuantitatif (survai atau eksperimen)

(Tashakkori dan Teddlie, 2010: 9).

Untuk mendamaikan antara dua posisi paradigma tersebut, banyak usaha

dilakukan dalam ilmu prilaku sosial. “Penganut kedamaian” telah menunjukkan

bahwa metode kualitatif dan kuantitatif sesungguhnya dapat saling melengkapi.

Dalam penelitian pendidikan dan evaluasi, banyak disajikan tesis berdasarkan

perpaduan dua paradigma yang berbeda yang disebut pragmatisme. Para

penganutnya disebut kaum pragmatis.

Saat ini, perdebatan paradigma memiliki relevansi penting dengan sejarah

filsafat ilmu sosial. Banyak peneliti dan teoritisi mengadopsi ajaran relativisme

paradigma. Bahkan, beberapa pejuang yang paling sering dicatat (seperti Guba &

Lincoln, 1994) telah mengisyaratkan untuk mengakhiri peperangan dengan

mengatakan bahwa metafora tentang perang paradigma yang digambarkan oleh

Gage (1989) tampak berlebihan. Resolusi dari perbedaan paradigma hanya dapat

terjadi ketika muncul paradigma baru yang lebih memberikan informasi dan lebih

canggih dari yang sudah ada.

Teoritisi dan peneliti yang berorientasi pragmatis sekarang telah mengacu

ke “metode campuran” (atau metodelogi campuran atau pencampuran

Page 96: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

93

metodelogis), yang berisi dua elemen pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Dengan kata lain, sejalan dengan berakhirnya perang paradigma kuantitatif dan

kualitatif, lahirlah metode campuran (mixed method). Sebagai paradigma baru,

tentu ia memiliki karakteristik disain tersendiri yang berbeda dari paradigma

sebelumnya. Tashakkori dan Teddlie ed. (2010: 3) mengatakan “penelitian

metode campuran masih berada pada tahap remajanya dalam pengertian bahwa

para pakar belum bersepakat mengenai banyak persoalan dasar menyangkut

bidang ini”. Dengan demikian, peneliti pemula yang tertarik untuk menggunakan

pendekatan ini masih bertanya-tanya, misalnya bagaimana disainnya; bagaimana

pengumpulan datanya; yang mana lebih dulu dilakukan kualitatifnya atau

kuantitatifnya; bagaimana analisis datanya, mana lebih dulu; bagaimana

penafsiran hasil analisisnya; dan lain-lain. Hal ini diseabkan belum banyaknya

literatur yang khusus membahas metode campuran ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam

tulisan ini adalah (1) Apakah yang dimaksud dengan metode campuran kapakah

metode campuran itu digunakan? (2) Bagaimanakah teknik validasi data untuk

meningkatkan ketepatan interpretasi? dan (3) Bagaimanakah proses analisis data

dalam metode campuran? Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca yang

tertarik dengan metode kualitatif dan campuran.

B. PEMBAHASAN

1. Metode Campuran dan Penggunaannya

Sebelum melangkah ke uraian selanjutnya, kiranya penting sekali untuk

memberikan sebuah definisi mengenai penelitian metode campuran. Tashakkori

dan Teddlie, ed. (2010: 317) mendefinisikan bahwa penelitian metode campuran

adalah penelitian yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif ke

dalam metodologi sebuah studi tunggal atau studi bertahap. Dengan mengutip

pendapat Johnson dan Turner, dijelaskan bahwa metode-metode sebaiknya

dicampur dalam suatu cara yang memiliki kekuatan komplementer dan tidak

memiliki kelemahan yang tumpang tindih. Sedangkan, Creswell (2010: 304)

Page 97: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

94

secara sederhana mendefinisikan penelitian metode campuran sebagai penelitian

yang menerapkan kombinasi dua pendekatan sekaligus (kualitatif dan kuantitatif).

Dari pendapat dua di atas, dapat dikatakan bahwa metode campuran

memadukan dua komponen, yaitu: kuantitatif dan kualitatif. Dengan komponen

kualitatif di sini tidak dimaksudkan semata-mata menggunakan data kualitatif dari

hasil wawancara mendalam. Demikian juga dengan komponen kuantitatif, tidak

semata-mata dimaksudkan hanya menggunakan data yang berupa angka. Kata-

kata dan angka-angka hanyalah sekedar lambang, sedangkan data yang

sebenarnya ada di balik kata-kata dan angka-angka tersebut. Artinya, apakah suatu

penelitian dikategorikan sebagai kualitatif atau kuantitatif sangat bergantung

kepada bagaimana data tersebut diperoleh. Dalam memadukan metode tidak asal

dicampur, tetapi metode campuran digunakan dengan dipertimbangkan apakah

pemaduan itu memang diperlukan atau tidak. Pemaduan dua metode itu dilakukan

kalau yang satu akan melengkapi dan memperkuat yang lain, atau saling

melengkapi, dan jangan sampai saling melemahkan.

Prinsip fundamental analisis data metode campuran adalah bahwa analisis

data metode campuran didefinisikan sebagai penggunaan teknik analisis

kuantitatif dan kualitatif entah secara bersamaan/konkuren atau

berurutan/sekuensial, pada tahap tertentu yang dimulai dengan proses

pengumpulan data, yang interpretasinya dilakukan secara paralel, terpadu,

ataupun berulang.

Ada dua alasan utama dalam menggunakan analisis data metode campuran,

yaitu alasan representasi dan legitimasi. Alasan pepresentasi adalah bahwa

analisis metode campuran menawarkan teknik analisis yang lebih komprehensif

daripada analisis dengan satu teknik saja. Lebih khusus lagi, penggunaan metode

campuran memungkinkan peneliti untuk memanfaatkan kekuatan kedua teknik

sehingga bisa memahami fenomena dengan lebih baik. Hal ini memberikan

peluang untuk menciptakan lebih banyak makna sehingga meningkatkan kualitas

interpretasi data.

Sebagian besar peneliti kuantitatif dan kualitatif sepakat bahwa keketatan

dalam penelitian. Keketatan mensyaratkan agar peneliti berupaya untuk

Page 98: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

95

bertanggung jawab penuh atas pengumpulan data, analisis, metode interpretatif

mereka. Seperti dinyatakan oleh Onwuegbuzie (2000), pertanggungjawaban

semacam itu menyiratkan agar peneliti terus menerus berupaya menilai dan

mendokumentasikan legitimasi (yaitu validitas, kredibilitas, ketepercayaan, bisa

diandalkan/dependabitilas, konfirmabilitas, transferabilitas) temuan-temuan

mereka.

Dalam penelitian kualitatif, legitimasi telah diberlakukan dalam beraneka

ragam cara, namun konseptualisasi validitas yang bermanfaat adalah konsepnya

Maxwell (1992). Secara khusus ia mengidentifikasi lima jenis validitas dalam

penelitian kualitatif, yaitu: validitas deskriptif, validitas interpretif, validitas

teoretis, validitas evaluatif, dan generalizabilitas. Berkenaan dengan validitas

kelima, yaitu generalizabilitas, Maxwell (1992) membedakan generalizabilitas

internal dan eksternal. Menurutnya, dalam penelitian kualitatif yang lebih penting

adalah generalizabilitas internal. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif keduanya

sangat penting.

2. Persoalan Interpretasi dalam Analisis Data Kualitatif

Dalam penelitian kualitatif dan juga penelitian menggunakan metode

campuran, ketepatan interpretasi hasil penelitian sering menjadi persoalan. Hal ini

terkait dengan keabsahan data yang diperoleh. Ketepatan interpretasi hasil

penelitian sangat dipengaruhi oleh keabsahan data. Oleh karena itu, untuk

menjamin bahwa interpretasi hasil penelitian tepat, keabsahan data perlu diuji.

Menurut Sugiyono (2010: 267), dalam penelitian kualitatif, kriteria utama

terhadap hasil penelitian adalah valid, reliabel dan obyektif. Validitas merupakan

derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang

dapat dilaporkan oleh peneliti. Sax (1989: 289) mengatakan validitas

didefinisikan sebagai sejauh mana pengukuran bermanfaat dalam membuat

keputusan yang relevan dengan tujuan. Creswell (2010: 286) mengatakan bahwa

validitas didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat dari

sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara umum. Istilah lain untuk

Page 99: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

96

validitas ini adalah credibility, trustworthiness,authenticity. Validitas bukan

dibuat dengan pernyataan, tetapi dengan bukti (Sax, 1989: 289).

Terdapat dua macam validitas, yaitu validitas internal dan eksternal

(Maxwell 1992). Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi desain

penelitian dengan hasil yang dicapai. Kalau dalam desain penelitian dirancang

untuk meneliti etos kerja pegawai, maka data yang diperoleh seharusnya data

yang akurat tentang etos kerja pegawai. Validitas eksternal berkenaan dengan

derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan

pada populasi di mana sampel tersebut diambil. Reliabilitas, menurut Susan

Stainback (dalam Sugiyono 2010: 268), berkenaan dengan derajat konsistensi dan

stabilitas data atau temuan. Dalam pandangan positivistik (kuantitatif) suatu data

dinyatakan reliabel apabila dua atau lebih peneliti dalam obyek yang sama

menghasilkan data yang sama. Obyektivitas berkenaan dengan “derajat

kesepakatan” atau “interpersonal agreement” antarbanyak orang terhadap suatu

data.

Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid, reliabel,

dan obyektif, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan instrumen yang

valid dan reliabel, dilakukan pada sampel yang mendekati jumlah populasi dan

pengumpulan data serta analisis data dilakukan secara benar. Dalam penelitian

kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid, reliabel, yang diuji validitas dan

reliabilitasnya adalah instrumen penelitiannya, sedangkan dalam penelitian

kualitatif yang diuji adalah datanya.

Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dikatakan valid apabila

tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang

sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Tetapi, perlu diketahui bahwa

kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal

(Sugiyono, 2010: 269). Pengertian reliabilitas dalam penelitian kualitatif sangat

berbeda dengan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Hal ini terjadi karena

perbedaan paradigma dalam melihat realitas. Menurut penelitian kualitatif, suatu

realitas bersifat majemuk/ganda, dinamis/selalu berubah, sehingga tidak ada yang

Page 100: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

97

konsisten, berulang seperti semula. Selain itu, cara melaporkan penelitian bersifat

ideosincratic dan individualistik, selalu berbeda dari orang perorang.

Dalam pengujian keabsahan data, metode penelitian kualitatif menggunakan

istilah yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Perbedaan tersebut ditunjukka

pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Perbedaan Istilah dalam Pengujian Keabsahan Data antara Metode

Kuantitatif dan Kualitatif

Aspek Metode Kuantitatif Metode Kualitatif

Nilai kebenaran Validitas internal Kridibilitas (credibility)

Penerapan Vaiditas eksternal (generalisasi) Transferability

Konsistensi Reliabilitas Dependability,

auditability

Naturalitas Obyektivitas Confirmability

Dalam pelaksanaannya, pengujian keabsahan data, dapat digunakan teknik

tertentu. Pengujian kridibilitas dapat dilakukan dengan teknik triangulasi, diskusi

teman sejawat, memberchack, dan lain-lain. Pengujian dependability (reliabilitas)

dan confirmability dapat menggunakan teknik audit. Masing-masing teknik ini

akan dibahas satu per satu.

Triangulasi Data.

Triangulasi di sini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber

dengan berbagai cara, dan berbagai waktu (Wiliem Wiersma dalam Sugiyono,

2010: 273). Jadi, ada triangulasi sumber data, triangulasi teknik pengumpulan

data, dan triangulasi waktu. Triangulasi sumber adalah menguji kredibilitas data

yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa

sumber. Triangulasi teknik adalah menguji kredibilitas data yang dilakukan

Page 101: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

98

dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang

berbeda. Sedangkan, triangulasi waktu adalah menguji kedibilitas data yang

dilakukan pada waktu yang berbeda (pagi, siang, sore, atau malam) karena waktu

juga sering berpengaruh terhadap kredibilitas data. Demikian juga Mertens (2010:

429) mengatakan bahwa triangulasi melibatkan penggunaan banyak metode dan

banyak sumber data, untuk menunjang keakuratan penafsiran dan kesimpulan

dalam penelitian kualitatif. Seperti Guba dan Lincoln (1989) mencatat, triangulasi

seharusnya tidak digunakan untuk menutupi perbedaan-perbedaan over

legitimasi dalam penafsiran data; ini adalah penafsiran yang salah mengenai arti

triangulasi.

Melakukan Member Checks

Membercheck adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti

kepada pemberi data atau partisipan (Sugiyono, 2010: 276). Tujuan membercheck

ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa

yang diberikan partisipan. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para

partisipan, berarti datanya valid. Menurut Creswell (2010: 287), membercheck ini

dapat dilakukan dengan membawa kembali laporan akhir atau tema-tema spesifik

ke hadapan partisipan untuk mengecek apakah mereka merasa tema tersebut

sudah akurat. Membercheck dapat dipergunakan selama proses pengumpulan

data. Ia dapat dilakukan pada tingkat analisis data dan juga pada penulisan

laporan. Darbyshire et al. (2005) mencatat bahwa penggunaan berulang

membercheck pada tahap-tahap penelitian yang berbeda dapat meningkatkan

validitas (Mertens, 2010: 431). Dalam uji kredibilitas ini, selain menggunakan

triangulasi dan memberchack, dapat pula dilakukan dengan cara lain seperti

memperpanjang pengamatan, diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif, dan

lain-lain (Sugiyono, 2010: 271-276).

Audit

Selain memiliki validitas internal (credibility), data penelitian kualitatif

harus memiliki reliabilitas (dependability). Audit adalah suatu teknik pemeriksaan

Page 102: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

99

dependability. Yang dimaksud depenability adalah bahwa pendekatan yang

digunakan oleh peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti-peneliti lain (dan)

untuk proyek-proyek yang berbeda. Bagaimana peneliti kualitatif mengetahui

bahwa pendekatan mereka konsisten? Yin (2003) menegaskan bahwa peneliti

kualitatif harus mendokumentasikan prosedur-prosedur studi kasus mereka dan

mendokumentasikan sebanyak mungkin langkah-langkah dalam prosedur tersebut

(Creswell, 2010: 285). Pengujian confirmability dalam penelitian kualitatif disebut

uji obyektivitas penelitian. Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian

telah disepakati banyak orang. Pengujian confirmability mirip dengan pengujian

dependability, sehingga proses pengujiannya bisa dilakukan bersamaan. Menguji

confirmability berarti menguji hasil penelitian berkaitan dengan proses yang

dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang

dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability

(Sugiyono, 2010: 277). Jadi, pengujian keduanya ini dilakukan dengan audit,

sehingga dikenal dengan adanya dua macam audit, yaitu dependenability dan

confirmability audit (Mertens, 2010: 429).

3. Generalizability/Transferability

Seperti disinggung di atas, generalizability ini merupakan validitas

eksternal dalam penelitian kuantitatif. Generalizability adalah sebuah konsep

yang berakar pada paradigma postpositivistik dan secara teknis mengacu kepada

kemampuan untuk menggeneralisasikan hasil-hasil riset yang dilakukan pada

sebuah sampel ke populasi. Dalam riset kualitatif, Guba dan Lincoln (1989)

mengusulkan bahwa konsep transferability lebih tepat (Mertens, 2010: 430;

Sugiyono, 2010: 276; Maxwell (1992).

Ada perbedaan pendapat dalam masyarakat riset kualitatif mengenai

klaim tentang generalizabilitas temuan. Creswell (2010: 289) berpendapat bahwa

tujuan dari generalisasi dalam penelitian kualitatif bukan untuk

menggeneralisasikan hasil penemuan pada individu-individu, lokasi-lokasi, atau

tempat-tempat di luar objek penelitian, sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Pada dasarnya, nilai dari penelitian kualitatif terletak pada deskripsi dan tema-

Page 103: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

100

tema tertentu yang berkembang/ dikembangkan dalam konteks tertentu pula.

Karakteristik penelitian kualitatif adalah menekankan partikularitas ketimbang

generalisabilitas. Hal senada juga diungkapkan oleh Tashakkori dan Teddlie

(2010: 104), bahwa untuk mereka yang condong pada kualitatif, generalisasi

bukanlah sesuatu yang menarik. Untuk peneliti kualitatif, hipotesis kerja selalu

terikat waktu dan konteks tertentu. Akan tetapi, ada sejumlah literatur kualitatif

yang membahas mengenai generalisabilitas ini, khususnya yang berlaku untuk

penelitian studi kasus. Yin (2003) misalnya, merasa bahwa hasil studi kasus

kualitatif dapat digeneralisasikan pada sejumlah teori yang lebih luas.

Jadi, berdasarkan beberapa pendapat ahli, masalah transferability dalam

penelitian kualitatif belum ada kesepakatan. Oleh karena itu, masalah

transferability bukan menjadi tanggung jawab peneliti, tetapi diserahkan kepada

pembaca. Dengan kata lain, keharusan membuktikan transferability ada pada

pembaca, dan peneliti hanya bertanggung jawab memberikan deskripsi mendalam

yang memungkinkan pembaca untuk membuat penilaian tentang penerapan riset

di tempat yang lain.

4. Isu-Isu Analitis dan Interpretatif dalam Metode Campuran

Analitis dan interpretasi data dalam metode penelitian mixed dipengaruhi

oleh desain studi peneliti. Jika desain sekuensial dipergunakan, lebih mungkin

bahwa analisis data satu tipe data akan mendahului tipe yang lain (Mertens, 2010:

431). Berdasarkan pernyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa cara analisis dan

iterpretasi data dalam penelitian campuran akan sejalan dengan disain metode

campuran itu sendiri. Dalam metode campuran, dikenal adanya enam desain

(Tashakkori dan Teddlie, 2010; Ceswell, 2010). Selanjutnya, pengumpulan,

analisis data, serta interpretasi hasil adalah mengikuti bagan berikut. Ini adalah

contoh desain yang digunakan.

Page 104: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

101

Contoh Disain Eksplanatoris Sekuensial (3a).

Gambar di atas dapat dijelaskan bahwa jika peneliti menggunakan desain

sekuensial eksplanatoris, maka langkah yang dilakukan adalah (1) pengumpulan

data kuantitatif, (2) analisis data kuantitatif, (3) pengumpulan data kualitatif (4)

analisis data kualitatif, dan (5) interpretasi seluruh analisis. Selanjutnya, desain

yang lain mengikuti tabel berikut ini.

Tabel 2 Jenis-Jenis Desain Metode Campuran

Jenis Desain Implementasi Prioritas Tahap Integrasi

Perspektif Teori

Eksplanatoris Sekuensial (1)

Kuantitatif diikuti kualitatif

Biasanya kuantitatif,

Pada tahap interpretasi

Mungkin ada

Eksploratoris Sekuensial (2)

Kualitatif diikuti kuantitatif

Lazimnya kualitatif

Pada tahap interpretasi

Mungkin ada

Transformatif Sekuensial (3)

Bisa kuantatitatif diikuti kualitatif atau sebaliknya

Kuantitatif, kualitatif, atau keduanya

Pada tahap interpretasi

Pasti ada kerangka konseptual

Triangulasi bersamaan/konkuren (4)

Dilakukan bersamaan (kuan + Kual)

Disukai keduanya, tapi bisa salah satu

Pada tahap interpretasi atau analisis

Mungkin ada

Menginduk bersamaan/konkuren (5)

Dilakukan bersamaan (kuan + Kual), salah satu diutamakan

Salah satu (kuantitatif atau kualitatif)

Tahap analisis

Mungkin ada

Transformatif bersamaan/konkuren (6)

Dilakukan bersamaan (kuan + Kual)

Kuantitatif, kualitatif, atau keduanya

Lazimnya tahap analisis;bisa tahap interpretasi

Pasti ada kerangka konseptual

Sumber: Tashakkori dan Taddlie, ed., 2010;

201)

KUAN kual

Pengumpulan data KUAN

Analisis data

KUAN

Pengumpulan data kual

Analisis data kual

Interpretasi seluruh analisis

Page 105: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

102

Mertens (2010: 431) memberi contoh strategi sekuensial eksplanatoris,

yang digunakan dalam penelitian orang tua dan anak-anak tuli mereka (Meadow-

Orlans et al., 2003).

Dalam uraian yang lain, Tashakkori dan Teddlie (2010: 211-241)

menjelaskan model-model analisis data metode campuran sebagai berikut.

A. Analisis Data Campuran secara Bersamaan

Model ini dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: analisis paralel campuran,

analisis bersama data kualitatif yang sama dengan dua metode, dan analisis

bersama data kuntlitatif yang sama dengan dua metode.

(1) Analisis paralel Campuran. Model ini disebut sebagai trianguasi sumber data

dan paling luas digunakan dalam ilmu soasial dan prilaku. Banyak peneliti

menggunakan kombinasi data kualitatif dan kuantitatif dalam penelitiannya.

Dalam penelitian laboratorium, partisipan diwawancarai pada sesi akhir guna

menentukan jenis interpretasi dan persepsi mereka yang mungkin

mempengaruhi model respon mereka. Data kuantitatif yang diperoleh

dianalisis dengan prosedur statistik, sementara hasil wawancara dianalisis

dengan analisis isi (kontent).

Dalam penelitian survei, selalu ada kombinasi pilihan tanggapan

terbuka dan tertutup. Tanggapan tertutup dianalisis dengan statistik, dan

tanggapan terbuka dianalisis berdasar isinya.dlm survai kualitatif walaupun

tumpukan data kualitatif dianalisis secara bersaman, ada variabel yang bisa

dianalisis secara kuantitatif. Bentuk paling sederhana dari analisis kuantitatif

adalah dengan menghitng statistik deskriptif pada variabel yang tepat.

(2) Analisis Bersamaan atas data kualitatif yang sama dengan dua metode.

Analisis ini mengharuskan transformasi data kuantitatif dalam bentuk angka.

Pada awalnya, kita mengarahkan transformasi ini melalui pengkuantifikasian

data kualitatif. Pengkuantifikasian mungkin memasukkan penghitungan

Page 106: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

103

frekuensi sederhana atas tema-tema tertentu, tanggapan, prilaku, atau

peristiwa. Selanjutnya, data hasil transformasi dianalisis secara kuantitatif.

(3) Analisis Bersamaan atas data kuantitatif yang sama dengan dua metode.

Analisis ini menuntut transformasi data kuantitatif pada data kategori

kualitatif atau naratif. Transformasi ini disebut pengkualitatifan data

kuantitatif. Jadi model ini kebalikan dari model (2) di atas. Selanjutnya, data

hasil transformasi dianalisis secara kualitatif.

B. Urutan Analisis Kualitatif-Kuantitatif

Pada strategi analisis data jenis ini, analisis data kualitatif awal menuntun

identifikasi atas anggota kelompok yang memiliki kesamaan dengan lainnya

dalam satu hal. Kelompok yang telah diidentifikasi kemudian dibandingkan

dengan data kuantitatif yang tersedia atau dengan data yang dikumpulkan melalui

analisis kualitatif. Jenis ini masih memiliki variasi urutan, yaitu: pertama,

membentuk kelompok individu berdasarkan data/pengamatan kualitatif dan

diperbandingkan dengan kelompok data kuantitatif. Kedua, adalah membentuk

kelompok atribut atau tema melalui analisis isi diikuti dengan penguatan analisis

statistic data kuantitatif yang dikumpulkan. Contoh jenis strategi ini adalah kajian

Iwanicki dan Tashakkori (1994) dimana kecakapan dan efektivitas kepala sekolah

yang diperoleh melalui analisis isi data kualitatif diukur kembali melalui

instrumen survei yang dikirim ke kepala sekolah.

C. Urutan Analisis Kuantitatif-Kualitatif

Analisis jenis ini diawali dengan pembentukan kelompok indivivdu atau

pembentukan situasi berdasarkan data kuantitatif awal dan kemudian

diperbandingkan dengan kelompok data kualitatif, yang dikumpulkan secara

berurutan, sama dengan jenis analisis di atas. Contoh yang paling luas digunakan

dari analisis ini adalah tindak lanjut dari skor sisa analisis regresi ganda atau nilai

covarian yang disesuaikan dengan analisis kovarian. Berdasarkan hasil analisis

kuantitatif, misalnya diperoleh suatu variabel tidak berpengaruh, padahal secara

Page 107: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

104

teori berpengaruh, kemudian dikumpulkan data kualitatif untuk mengetahui

kemungkinan penyebabnya.

5. Analisis Data Kualitatif dengan Menggunaan Komputer

Dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, program analisis data

dengan komputer untuk penelitian kualitatif juga telah tersedia. Penggunaan

komputer dalam analisis kualitatif dapat membantu efisiensi kerja karena studi

kualitatif cenderung menghasilkan data yang banyak, yang akan memakan tenaga

dan waktu yang cukup banyak jika hal itu dikerjakan dengan tangan. Oleh karena

itu, banyak peneliti telah beralih ke sistem komputerisasi.

Menurut Mertens (12010: 429), sekarang banyak program komputer

tersedia (misalnya, ATLAS / ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, dan NVivo).

Karena itu, ia tidak merekomendasikan software tertentu, tetapi merujuk ke

sebuah Web site yang ditemukan untuk dimanfaatkan, yang disebut Computer

Assisted Qualitative Data Analysis di mana pembaca akan menemukan analisis-

analisis berbagai program, sebagaimana berita utama di tempat ini

(http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/). Dalam artikel yang berjudul Computer Assisted

Qualitative Data Analysis, hasil penjelajahan penulis di internet, memang dalam

artikel itu dijelaskan bahwa penggunaan komputer dalam analisis kualitatif dapat

untuk menghemat waktu dan usaha dalam pengelolaan data dengan memperluas

kemampuan peneliti untuk mengatur, melacak dan mengelola data (Baugh, at al.

2010).

Lebih jauh Creswell (2010: 281-282) menjelaskan bahwa ada beberapa

software komputer yang dapat membantu dalam meng-coding, mengolah,

memilah-milah informasi yang mungkin berguna dalam penelitian kualitatif.

Software komputer itu memiliki fitur-fitur yang sangat berguna seperti tersedianya

tutorial dan CD peragaan, kemampuan menggabungkan data teks dan gambar,

kehandalan dalam penyimpan dan pengolahan data, kapasitas pencarian dan

penempatan semua teks yang berhubungan dengan kode-kode tertentu, pencarian

kode-kode yang saling berhubungan dalam membuat pertanyaan-pertanyaan

hubungan antarkode, import serta export data kualitatif ke program kuantitatif.

Page 108: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

105

Jadi, penggunaan komputer merupakan cara yang efisien untuk

menyimpan dan menempatkan data kualitatif, meskipun dalam program ini

peneliti masih perlu membaca teks (seperti transkripsi-transkripsi) dan

memindahkan kode-kode. Proses ini akan lebih cepat dan efisien dibandingkan

meng-coding menggunakan tangan. Selain itu, jika data base sangat banyak,

peneliti bisa dengan cepat mencari kutipan-kutipan yang memiliki kode yang

sama dan mendeteksi apakah partisipan merespons gagasan dalam kode tersebut

dengan cara yang sama atau berbeda. Di luar kemudahan ini, program komputer

dapat memfasilitasi peneliti untuk membandingkan kode-kode yang berbeda.

Fitur-fitur inilah yang membuat proses coding dengan software komputer menjadi

pilihan yang lebih logis daripada menggunakan tangan.

Sebagaimana program-program software lain, program software kualitatif

seperti ini juga membutuhkan waktu dan keterampilan peneliti untuk mempelajari

dan menerapkannya secara efektif, meskipun buku-buku yang membahas teknik-

teknik penggunaan program ini sudah tersedia (seperti Computer Program for

Qualitative Data Analysis yang ditulis Waitzman dan Miles 1995). Ada banyak

progar software yang mendukung untuk PC pribadi seperti yang digunakan oleh

Creswell, seperti:

MAXqda (www.maxqda.com). Program ini merupakan program berbasis

PC dari Jerman yang dapat membantu peneliti secara sistematis

mengevaluasi dan menginterpretasi teks-teks kualitatif. Program ini

memiliki semua fitur yang telah disebutkan di atas.

Atlas.ti (www.atlasti.com). Ini juga berasal dari Jerman juga dapat

membantu peneliti mengolah file-file data teks, gambar, audio, dan visual,

serta hal-hal lain yang dapat di-coding, seperti memo ke dalam proyek

penelitian.

QSRNVivo (www.qsrinternational.com). Program ini berasal dari Australia,

yang menawarkan software terkenal a N6 (atau Nud.ist) yang

dikombinasikan dengan concept mapping NVivo.

Page 109: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

106

HyperRESEARCH (www.researchware.com). Program ini mendukung baik

untuk PC maupun MAC dan mudah digunakan, yang memungkinkan

peneliti untuk meng-coding, memperoleh kembali, dan membangun teori-

teori, serta melakukan analisis data.

Sebelum memutuskan program software mana yang digunakan," peneliti

seharusnya mereview sumber-sumber yang yang relevan. Peneliti perlu

mengambil sistem yang cocok dengan perangkat keras yang ada juga dengan

tujuan penelitian. Satu peringatan: Bukan masalah betapa menarik software

tersebut, seharusnya tidak memisahkan peneliti dari keterlibatan aktif dengan

data. Sebuah komputer dapat menjadi satu bantuan penting dalam proses ini,

tetapi peneliti seharusnya tidak membiarkannya menjadi alat yang memisahkan

peneliti dari proses untuk mengetahui apa yang harus dijelaskan oleh data

(Mertens, 2010: 429).

Program-program perangkat lunak untuk analisis statistik dan analisis data

kualitatif (QDA) bisa digunakan secara berdampingan untuk analisis paralel

ataupun sekuensial data bentuk campuran. Ketika melakukan tugas tersebut,

program perangkat lunak semata-mata memberikan kemudahan dan efisiensi yang

lebih besar dalam menangani data (Tashakkori dan Teddlie, 2010: 345).

Selanjutnya, dijelaskan bahwa penggunaan teknik-teknik di atas untuk rekayasa

dan analisis data memunculkan persoalan teknik sekaligus epistemologi. Pada sisi

teknis, muncul persoalan penyampelan dan pemilihan alat-alat statistik yang

tepat. Makna kode, tema, dan variabel pun memunculkan persoalan epistemologis

dan teknis sewaktu data diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Masing-

masing persoalan ini perlu dikaji di dalam kerangka konseptual yang ditetapkan

berdasarkan tujuan analisis, di samping juga dengan bekal pemahaman tentang

keterbatasan yang dimunculkan oleh teknologi. Terakhir perlu diperhatikan bahwa

metode-metode tradisional penyajian studi penelitian pada umumnya tidak tepat

bagi jenis-jenis analisis metode campuran berbasis komputer ini.

Page 110: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

107

6. KESIMPULAN

Dalam penelitian kualitatif, ketepatan interpretasi hasil penelitian sangat

dipengaruhi oleh keabsahan data. Interpretasi hasil penelitian akan tepat jika data

yang diperoleh benar-benar valid (credibility), reliabel (dependability) dan

objektif (confirmability). Oleh karena itu, untuk menjamin bahwa interpretasi

hasil penelitian tepat, keabsahan data perlu diuji. Pengujiannya dapat dilakukan

dengan teknik triangulasi (sumber data, teknik, dan waktu), diskusi dengan teman

sejawat (peer debriefing), memberchack, mengklarifikasi bias budaya, dan audit.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli, validitas eksternal (transferability) dalam

penelitian kualitatif belum ada kesepakatan, ada yang setuju dan ada yang tidak

setuju dengan transferability ini.

Proses analitis dan interpretasi data dalam metode penelitian mixed

dipengaruhi oleh desain studi peneliti. Jika misalnya desain sekuensial

dipergunakan, maka analisis data satu tipe data akan mendahului tipe yang lain.

Jadi, analisis dan iterpretasi data dalam penelitian campuran akan sejalan dengan

disain metode campuran itu sendiri, yaitu: sekuensial aksplanatoris (KUAN

diikuti kual), sekuensial eksploratoris (KUAL diikuti kuan), sekuensial

transformatif, triangulasi konkuren, embedded konkuren, dan transformatif

konkuren.

Dewasa ini, program analisis data dengan komputer untuk penelitian

kualitatif telah banyak berdar, yang dapat membantu efisiensi kerja karena studi

kualitatif cenderung menghasilkan data yang banyak. Oleh karena itu, banyak

peneliti telah beralih ke sistem komputerisasi. Program komputer yang ada

misalnya, ATLAS / ti, The Ethnograph, HyperRESEARCH, dan NVivo, yang

dapat diperoleh pada Web site: (http://caqdas.soc.surrey.ac.uk/). Software

komputer tersebut memiliki fitur-fitur yang sangat lengkap. Program ini juga

membutuhkan waktu dan keterampilan peneliti untuk mempelajari dan

menerapkannya secara efektif.

Page 111: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

108

Daftar Pustaka

Creswell, J. W. (2010). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed.Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Baugh , J. B. at al, (2010). Computer assisted qualitative data analysis software: a practical perspective for applied Research. Revista del Instituto Internacional de Costos, ISSN 1646-6896, n º 6, Januari / Juni 2010

Maxwell, J.A. (1992). Understanding and validity in qualitative research. Harvard Educational Review, vol. 62 No.3 Fall 1992, 279-299.

Mertens, D. M. (2010). Research and evaluation in education and psychology. USA: Sage Publication, Inc.

Sax, G. (1989). Priciples of education and psychological measurement and evaluation. Blemont California: Wadsworth Publishing Company.

Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R dan D. Bandung: Alfabeta.

Tashakkori, A. dan Teddlie, C. (2010). Mixed methodology Mengkombinasikan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tashakkori, A. dan CTeddlie, C. (Ed). (2010). Handbook of mixed methods in social & behavioral research.(Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Biodata Penulis:

- Penulis adalah Lektor Kepala dalam bidang Evaluasi Pendidikan dan bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah VIII, dpk pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali Denpasar sejak tahun 1993

- Riwayat Pendidikan:

S-1: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 1987- 1992 ( FKIP Universitas Udayana).

S-2: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 1999-2002 (Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).

S-3: Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 2010-2013 (Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta/UNY).

Page 112: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

109

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI SISWA

KELAS VIIC SMP NEGERI 2 BEBANDEM SEMESTER 2 TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Oleh I Wayan Kerti Guru SMP Negeri 2 Bebandem

Email: [email protected]

ABSTRACT

This study aims to improve the skills of writing poetry with the application

of contextual approach Class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem the Second Semester of the academic year 2014/2015

Subjects in this study were class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem totaling 27 people, in the second semester of the academic year 2014/2015. This study uses a class action research design through two cycles. Data on poetry writing skills that are collected by the test method were analyzed by quantitative descriptive method. Before implementation of the second cycle, first implemented pretest activities. Pretest activity is used to determine the initial value of poetry writing skills class VIIC students of SMP Negeri 2 Bebandem in the Second Semester of the academic year 2014/2015.

The results showed that the application of the contextual approach to teaching poetry in class VIIC SMP Negeri 2 Bebandem in the Second Semester of the academic year 2014/2015 can improve students' skills of writing poetry, which is an average and the level of mastery of poetry writing skills of students increased significantly from the average 61 and completeness 45% on pre-action, an average value of poetry writing skills of students to 70 and 68% mastery level in the first cycle, and increased significantly in the second cycle with an average value of 82.26 and a 82% level of completeness. Increase in the average grade of 19.26 from the initial condition and completeness in classical also increased 37% from the initial conditions. Key Words: Contextual Approach, The Skills of Writing Poetry PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran sastra sering dirasa sulit oleh siswa, sehingga hasil yang

diproleh siswa pada saat penilaian cendrung kurang memuaskan. Padahal dengan

mempelajari sastra akan mendatangkan keuntungan. Menurut Budianta,

“Mengarang mendatangkan rezeki. Mungkin uang, mungkin ketenaran, pacar

gelap, musuh baru, dan tukang peras”. Kalau kita beruntung mungkin dalam

Page 113: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

110

tempo singkat bisa jadi jutaan karena buku yang ditulis tiba-tiba laris manis,

diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, difilmkan, dan dijadikan pegangan oleh

orang-orang terkemuka di dunia. Hal semacam ini tidaklah mustahil. Banyak

orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan non sastra yang justru

memilih hidup bergelut di dunia sastra, seperti Putu Wijaya atau Cok Sawitri.

Tentu Beliau-Beliau itu punya alasan tersendiri mengapa memilih menjadi

seorang sastrawan.

Namun, bukti-bukti di atas rupanya tidak mudah untuk dijadikan pemicu

minat dalam menggeluti dunia satra, apalagi puisi yang sebagian orang merasa

kesulitan untuk memahami dan menikmatinya.

Kesulitan yang dialami siswa sebagian juga diakibatkan kurangnya

kepedulian guru dalam mengajarkan sastra, seperti alokasi waktu untuk

pelaksanaan pembelajaran sastra cendrung lebih kecil porsinya. Disamping itu

dalam pengajaran guru umumnya cendrung menggunakan metode ceramah dan

penugasan turut memicu rendahnya keterampilan menulis siswa.

Padahal pembelajaran sastra sejak kurikulum 1994 sampai kurikulum KTSP

menekankan pada penikmatan sastra atau apresiasi sastra. Pembelajaran sastra

diharapkan turut andil dalam pembentukan sikap moral anak.

Agar pembelajaran sastra ini disukai oleh siswa, maka pelaksanaan

pembelajaran haruslah menarik, menyenangkan dan menantang. Siswa diharapkan

mengalami sendiri dunia sastra itu. Untuk itu peran guru sangatlah dominan dalam

melaksanakan skenario pembelajaran. Guru harus mampu membangkitkan

semangat siswa dan menjadikan anak merasa mengalami sendiri apa yang

disampaikan, sehingga siswa merasa tertantang untuk menggali pengalaman yang

dirasakan dalam proses pembelajaran ini. Dengan demikian setelah siswa senang

dengan pembelajaran sastra diharapkan siswa mampu memproleh hasil yang lebih

baik lagi.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa rendahnya perolehan nilai pada

aspek sastra, khususnya menulis puisi di kelas VIIC SMP N 2 Bebandem

dipengaruhi oleh sikap siswa yang merasa kurang tertarik pada pelajaran tersebut,

serta kurang tepatnya pendekatan pembelajaran yang dipergunakan guru.

Page 114: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

111

Permasalahannya sekarang, pendekatan yang bagaimanakah yang dapat

meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP N 2 Bebandem?

Apakah pendekatan kontekstual dapat meningkatkan kemampuan menulis puisi

siswa kelas VIIC SMP N 2 Bebandem?

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diajukan rumusan masalah

sebagai berikut:

Apakah penerapan pendekatan kontekstual dapat ,meningkatkan keterampilan

menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem, semester 2 tahun

pelajaran 2014/2015?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan menulis puisi

siswa kelas VIIIC SMP Negeri 2 Bebandem, semester 2 tahun pelajaran

2014/2015 melalui penerapan pendekatan kontekstual.

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu upaya perbaikan pembelajaran di sekolah

menengah pertama (SMP) atau yang setingkat, untuk mencapai kualitas

pembelajaran yang optimal. Untuk itu, hasil-hasil penelitian yang akan diproleh

diharapkan dapat berkontribusi optimal terhadap:

1. Siswa, melalui penelitian ini keterampilan menulis puisi dalam mata pelajaran

bahasa Indonesia dapat ditingkatkan.

2. Guru peneliti, melalui penelitian ini guru memiliki wawasan dan kemampuan

melaksanakan pembelajaran menulis puisi secara lebih efektif melalui

penerapan pendekatan kontekstual.

3. Institusi pendidikan, melalui hasil penelitian ini akan menjadi suatu informasi

empiris yang berguna untuk menambah wawasan para pendidik, menambah

khazanah ilmu pengetahuan, utamanya ilmu pendidikan dan pengajaran.

KAJIAN PUSTAKA

1. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini meliputi: “ Keterampilan menulis puisi

dan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan keterampilan menulis puisi”.

Page 115: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

112

a. Keterampilan Menulis Puisi

1) Hakikat Menulis

Banyak ahli yang mengungkapkan pendapatnya tentang hakikat menulis,

baik berupa definisi, tujuan dan motivasi, manfaat maupun jenisnya. Hal tersebut

dapat dilihat pada uraian berikut ini.

Menulis adalah suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dari

seorang penulis kepada pembaca dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat

atau medianya. Menulis merupakan keterampilan berbahasa untuk berkomunikasi

secara tidak langsung. Menulis merupakan kegiatan yang bersifat produktif dan

ekspresif (Tarigan 2008: 3). Produktif artinya bahwa kegiatan menulis merupakan

kegiatan menghasilkan sebuah tulisan sebagai media untuk menyampaikan pesan.

Sedangkan ekspresif artinya dengan menulis seorang penulis dapat

menyampaikan perasaan (emosi) melalui tulisan yang dibuat.

Dalam kegiatan menulis diperlukan sebuah keterampilan yang harus

dimiliki untuk dapat menyampaikan pesan melalui tulisan. Bukan hanya berkaitan

dengan kemampuan menyusun dan menuliskan simbol-simbol tertulis, tetapi juga

mengungkapkan pikiran, pendapat, sikap, dan perasaan secara jelas dan sistematis

sehingga dapat dipahami oleh pembaca (Solchan dkk 2008: 1.33). Menulis sangat

identik dengan sebutan mengarang yang artinya sama yaitu menghasilkan sebuah

tulisan. Lebih khusus, pada istilah mengarang erat kaitannya dengan menulis

karangan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2011: 1497) menyatakan

menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat

surat) dengan tulisan.

Kegiatan menulis adalah kegiatan yang tidak dapat secara langsung diterima

dan direaksi oleh pihak yang dituju. Aktivitas menulis merupakan salah satu

manisfestasi kemampuan dan keterampilan berbahasa paling akhir yang dikuasai

pembelajar bahasa setelah mendengarkan, membaca, dan berbicara (Nurgiyantoro,

2001:296). Dalam buku yang sama juga dijelaskan apabila dibandingkan dengan

keterampilan berbahasa yang lain, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai oleh

pembelajar bahasa karena kemampuan menulis menghendaki penguasaan

berbagai aspek lain di luar bahasa, untuk menghasilkan paragraf atau wacana yang

Page 116: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

113

runtut dan padu. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2001:273) mengungkapkan,

“Menulis adalah aktivitas mengungkapkan gagasan melalui media bahasa.”

Batasan yang dibuat Nurgiyantoro sangat sederhana, menurutnya menulis hanya

sekadar mengungkapkan ide, gagasan, atau pendapat dalam bahasa tulis, lepas

dari mudah atau tidaknya tulisan tersebut dipahami oleh pembaca.

Budianta (1992:10) mengatakan bahwa mengarang itu memberi.

Maksudnya bukan kita harus membagi-bagikan buku cetakan pertama gratis

kepada siapa saja (lantaran susah laku) tetapi menyumbangkan sesuatu kepada

dunia. Dengan karangannya seorang sastrawan sejati memperkaya peradaban

manusia. Yang bisa dia berikan (ilmu, wawasan, humor bila ada).

2) Hakikat Puisi

Raminah Baribin dalam Teori dan Apresiasi Sastra mengartikan kata puisi

secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani “poieo atau “poio” atau “poetes”

yang berarti (1) membangun, (2) menyebabkan, (3) membuat puisi. Berdasarkan

pengertian kata-katanya, Raminah menyimpulkan puisi berarti ucapan yang

dibuat/dibangun, maksudnya ucapan yang tidak langsung.

Kamus Istilah Sastra menyatakan bahwa puisi adalah ragam sastra yang

bahasanya terikat oleh rima, irama, dan tata puitika. Puisi juga merupakan

gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga

mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan

khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna. Hal ini terlihat pada puisi-puisi

sebelum tahun tiga puluhan.

Namun, menurut S. Suharyanto, definisi tersebut sudah tidak sesuai lagi

untuk mendefinisikan puisi saat ini. Sehingga Suharyanto dalam “Pengantar

Apresiasi Sastra”, tidak lagi memunculkan pengertian puisi tetapi beliau lebih

menekankan puisi berdasarkan cirri-cirinya yaitu adanya pemusatan kata

(konsentrif), arti kata yang bersayap (konotatif), serta bentuk yang khusus

(tifografi).

Dengan demikian puisi dapat diartikan bentuk tulisan yang kata-katanya

memiliki pemusatan (kekuatan) makna, arti yang bersayap serta adanya bentuk

khusus.

3) Hakikat Menulis Puisi

Page 117: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

114

Dari hakikat menulis dan hakikat puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

hakikat menulis puisi adalah kegiatan melahirkan atau menuangkan gagasan,

pikiran ke dalam bentuk tulisan yang padat, bermakna dan bentuk tertentu.

b. Pendekatan Kontekstual

1) Hakikat Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian ini diartikan sebagai proses, perbuatan, cara

mendekati. Karena pendekatan ini dikaitkan dengan pembelajaran, maka yang

didekati dalam penelitian ini adalah peserta didik dan materi pembelajaran itu

sendiri. Pembelajaran adalah proses penyampaian dari belajar yang merupakan

petunjuk supaya diketahui (dituruti).

2) Hakikat Kontekstual

Kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti situasi yang ada

hubungannya dengan suatu kejadian.

3) Hakikat Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual (contextual Teaching and Learning) merupakan

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan

dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka

sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran

berlangsung alamiah dan bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Srtategi

pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Pembelajaran kontekstual

melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yang efektif, yakni

konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri),

masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling) dan penilaian

sebenarnya (authentic assessment), (Depdiknas 2002:1).

2. Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian yang sejalan dengan penelitian ini adalah: (1) Penelitian

Widowati (2007), yang berjudul “ Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan

Teknik Pengamatan Objek Secara langsung pada Siswa Kelas X MA Al Asror

Patemon Gunung Pati Semarang Tahun Ajaran 2005/2006”, disimpukan bahwa

Page 118: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

115

pada tahap prasiklus nilai rata-rata siswa hanya 60, pada tindakan siklus I

meningkat menjadi 72,1 dan pada siklus II nilai rata-ratanya meningkat menjadi

80,4. (2) Penelitian Sucipto (2012) dengan judul “ Meningkatkan Keterampilan

Menulis Puisi dengan Teknik Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi terhadap

Suatu Objek pada Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013,

yang mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada saat prasiklus nilai rata-

rata siswa hanya 63,0, pada tindakan siklus I meningkat menjadi nilai rata-

ratanya 74,6 dan pada akhir siklus II nilai rata-ratanya meningkat lagi menjadi

82,5.

3. Kerangka Berpikir

Keterampilan menulis memberi makna yang penting untuk berkomunikasi

secara tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari. Tidak semua orang

mempunyai keberanian menyampaikan ide, gagasan, ataupun pendapat serta sikap

secara langsung kepada orang lain.

Langkah yang akan dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini dapat

digambarkan sebgai berikut.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

KONDISI AWAL GURU: Belum menggunakan pentan kontekstual dalam pembelajaran menulis puisi

SISWA: Keterampilan menulis puisinya rendah

SIKLUS I Dalam pembelajaran menulis puisi, guru menggunakan pendekatan kontekstual tanpa ke lapangan

SIKLUS II Dalam pembelajaran menulis puisi guru menggunakan pendekatan kontekstual yang konseptual serta diajarkan ke lapangan

TINDAKAN

KONDISI AKHIR

GURU: Menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis puisi

Diduga melalui pendekatan kontekstual keterampilan menulis puisi siswa meningkat

Page 119: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

116

4. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah “penerapan pendekatan

kontekstual dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC

SMP Negeri 2 Bebandem semester 2 tahun pelajaran 2014/2015”.

METODE PENELITIAN

a. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VIIC SMP Negeri 2

Bebandem pada semester 2 tahun pelajaran 2014/2015. Waktu penelitian selama 3

bulan, yaitu dari bulan Januari sampai Maret 2015, dari penyusunan proposal,

penelitian, sampai pelaporan.

b. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIC yang berjumlah 27 orang,

terdiri dari 14 siswa laki dan 13 orang siswa prempuan. Objek penelitian ini

adalah keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem

semester 2 tahun pelajaran 2014/2015.

c. Desain Penelitian

Pada hakikatnya, penelitian perbaikan pembelajaran ini adalah penelitian

tindakan kelas (Classroom Action Research). PTK adalah suatu bentuk kajian

reflektif oleh pelaku tindakan (guru) yang dilakukan untuk meningkatkan

kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka dalam melaksanakan tugas,

memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki

kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilaksanakan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, PTK dilakukan dalam proses pengkajian

berdaur (siklus), yang setiap siklusnya terdiri atas empat fase, yaitu perencanaan

(planning), melaksanakan tindakan (action), memantau (observation), dan

merefleksi (reflection).

Page 120: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

117

d. Prosedur Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari dua siklus, masing-masing siklus

terdiri dari; perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan

evaluasi, serta refleksi.

Perbedaan tindakan yang peneliti lakukan antara siklus satu dan siklus kedua

adalah; bila pada siklus satu pembelajaran masing dilakukan di ruang kelas

dengan memberikan gambaran yang lebih mendekatkan pada pengalaman yang

dimiliki siswa sesuai KD yang dibicarakan yaitu menulis puisi dengan tema

tentang keindahan alam, maka pada siklus kedua pelaksanaan proses

pembelajaran di luar kelas (di persawahan). Kebetulan lokasi SMP Negeri 2

Bebandem berada di daerah dengan hamparan persawahan.

Pelaksanaan pembelajaran di luar kelas, dapat berlangsung lebih

komunikatif. Informasi yang terjadi menjadi lebih multi arah yaitu dari guru ke

siswa, siswa ke siswa, dan siswa ke guru.

e. Data dan Analisis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data pretes sebagai data awal, serta

data tes siklus I dan data siklus II. Data keterampilan menulis puisi dikumpukan

dengan tes menulis puisi dalam bentuk tes unjuk kerja.

Agar instrumen yang digunakan Valid, maka sebelum membuat tes terlebih

dahulu membuat kisi-kisi sebagai perakit soal. Setelah tes selesai dibuat,

berikutnya membuat pedoman pensekoran penilaian dengan gambaran sebagai

berikut.

Tabel 1. Kriteria Penilain Menulis Puisi

NO ASPEK YANG DINILAI RENTANG SKOR 1 Kesesuaian judul dengan isi Sesuai = 85-100

Cukup sesuai = 75-84 Kurang sesuai = 60-74 Tidak sesuai = 0-5

2 Pilihan kata atau diksi Tepat = 85-100 Cukup tepat = 75-84 Kurang tepat = 60-74 Tidak tepat = 0-59

3 Pilihan kata konkret Sangat transparan = 85-100 Transparan = 75-84 Kurang transparan = 60-74 Tidak transparan = 0-59

Page 121: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

118

4 Penggunaan majas Tepat = 85-100

Cukup tepat = 75-84 Kurang tepat = 60-74 Tidak tepat = 0-59

5 Pemanfaatan versifikasi (rima dan ritma)

Indah, dan lengkap = 85-100 Indah, tetapi kurang lengkap = 75-84 Tidak indah tetapi lengkap = 60-74 Tidak indah dan tidak lengkap = 0-59

6 Tipografi Variatif = 85-100 Cukup variatif = 75-84 Kurang variatif = 60-74 Tidak variatif = 0-59

Data keterampilan menulis puisi siswa dianalisis secara deskriptif

kuantitatif.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan data ini adalah sebagai

berikut: (1) mengubah skor mentah menjadi skor standar (nilai jadi), (2)

menentukan kriteria predikat, (3) menggelompokkan kemampuan siswa, dan (4)

mencari skor rata-rata serta ketuntasan secara individu dan klasikal.

f. Indikator Keberhasilan

Keberhasilan siswa dalam menulis puisi apabila siswa memperoleh skor 74

ke atas. Selanjutnya, apabila siswa memperoleh skor di bawah 74 perlu dilakukan

perbaikan, dan apabila 75% dari jumlah siswa di kelas memperoleh nilai 74 ke

atas berarti tindakan dikatakan berhasil sehingga tindakan dapat dihentikan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, diidentifikasi temuan yang bermakna. Temuan

tersebut adalah bahwa penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran

menulis puisi dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC

SMP Negeri 2 Bebandem semester 2 tahun pelajaran 2014/2015.

Peningkatan tersebut karena pendekatan kontekstual pada pembelajaran

menulis puisi memiliki keunggulan, yang mana dengan penerapan pendekatan

kontekstual (contextual Teaching and Learning) siswa diajak belajar dengan

mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, dan

mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan

penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Page 122: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

119

Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dan bukan transfer

pengetahuan dari guru ke siswa. Srtategi pembelajaran lebih dipentingkan

daripada hasil. Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama

pembelajaran yang efektif, yakni konstruktivisme (constructivism), bertanya

(questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community),

pemodelan (modeling) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment),

(Depdiknas 2002:1).

Hal ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh: (1) penelitian

Widowati (2007), yang berjudul “ Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan

Teknik Pengamatan Objek Secara langsung pada Siswa Kelas X MA Al Asror

Patemon Gunung Pati Semarang Tahun Ajaran 2005/2006”, disimpukan bahwa

pada tahap prasiklus nilai rata-rata siswa hanya 60, pada tindakan siklus I

meningkat menjadi 72,1 dan pada siklus II nilai rata-ratanya meningkat menjadi

80,4. (2) penelitian Sucipto (2012) dengan judul “ Meningkatkan Keterampilan

Menulis Puisi dengan Teknik Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi terhadap

Suatu Objek pada Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013,

yang mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada saat prasiklus nilai rata-

rata siswa hanya 63,0, pada tindakan siklus I meningkat menjadi nilai rata-

ratanya 74,6 dan pada akhir siklus II nilai rata-ratanya meningkat lagi menjadi

82,5.

Hasil penelitian tindakan kelas penerapan pendekatan kontekstual untuk

meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa SMP Negeri 2 Bebandem

semester 2 tahun pelajaran 2014/2015 dengan pelaksanaan dua siklus diproleh

paparan sebagai berikut.

Tabel 2. Perbandingan Nilai Rata-Rata Menulis Puisi dan Ketuntasan Klasikal

Pelaksanaan Skor Rata-Rata Kelas

Ketuntasan

Pratindakan 61 45%

Siklus I 70 68%

Siklus II 80,26 82%

Page 123: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

120

Hasil yang diperoleh siswa dari pemberian tindakan sebanyak dua kali

mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan. Pada saat sebelum

mendapat tindakan, nilai rata-rata kelas yang diperoleh masih dibawah target

ketuntasan yaitu sebesar 61 (ketuntasan 74). Setelah mendapat tindakan berupa

penerapan pendekatan kontekstual dengan pelaksanaan di dalam kelas pada siklus

I meningkat meningkat sebesar 9 poin, yaitu rata-rata 70. Selanjutnya pada siklus

II dengan pelaksanaan pembelajaran di luar kelas, yaitu di sekitar persawahan di

dekat sekolah, diperoleh hasil rata-rata kelas sebesar 80,26 atau meningkat 10,26

dari dari siklus I. Dibandingkan dengan kondisi awal maka terjadi peningkatan

sebesar 19,26 poin. Ketuntasan secara kekasikal juga mengalami peningkatan,

dari hanya 45% pada pratindakan meningkat menjadi 68% pada siklus I atau

meningkat 23%. Pada siklus II meningkat lagi dengan ketuntasan kelasikal

sebesar 82% atau meningkat 14% dari siklus I. secara keseluruhan dibandingkan

kondisi awal, secara kelasikal terjadi peningkatan ketuntasan sebesar 37% setelah

penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran menulis puisi siswa kelas

VIIC SMP Negeri 2 Bebandem tahun pelajaran 2014/2015. Itu artinya penelitian

dapat dihentikan pada siklus II.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penerapan

pendekatan kontekstual pada pembelajaran menulis puisi dapat meningkatkan

keterampilan menulis puisi siswa kelas VIIC SMP Negeri 2 Bebandem semester 2

tahun pelajaran 2014/2015. Peningkatan rata-rata kelas sebesar 19,26 dari kondisi

awal dan ketuntasan secara klasikal juga meningkat 37% dari kondisi awal.

DAFTAR PUSTAKA

Baribin, Raminah. 1990. Teori dan Apresiasi Sastra. Semarang: IKIP Semarang

Press Budianta, Eka. 1992. Menggebrak Dunia Mengarang. Jakarta: Pustaka

Pembangunan Swadaya Nusantara. Cipto. 2012. Meningkatkan Keterampilan Menulis Puisi dengan Teknik

Pendekatan Imajinasi Pengalaman Pribadi Terhadap Suatu Objek pada

Page 124: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

121

Siswa Kelas XA MAN Amlapura Tahun Pelajaran 2012/2013. Laporan Penelitian Tindakan Kelas. MAN Amlapura.

Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Lerning

(CTL). Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Balai

Gramedia. Nurgiyantoro, Burhan. 2001.Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa dan

Sastra.Yogyakarta: BPFE. Solchan, dkk. 2008. Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas

Terbuka. Suharianto,S.. 1981. Pengantar Apresiasi Puisi. Surakarta: Widya Pustaka. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu keterampilan Berbahasa.

Bandung: Angkasa Widowati. 2007. Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan

MenggunakanTeknik Pengamatan Objek Secara Langsung pada Siswa Kelas X MA Al Asror Patemon Gunung Pati Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.

Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka

Semarang. Biodata Penulis:

Nama : Drs. I Wayan Kerti Tempat/tgl.lahir : Sibetan, 29 juni 1967 Tempat Tugas : 1995-2002 di SMP Negeri 1 Kubu, 2002- sekarang di SMP Negeri 2 Bebandem Pendidikan:

- S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UNUD Singaraja, 1992

- S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNDIKSHA, 2014.

Page 125: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

122

EFEKTIVITAS PSYCHOLOGICAL FIRST AID DALAM MENGURANGI GEJALA KECEMASAN PADA PENYINTAS KECELAKAAN

KENDARAAN BERMOTOR Oleh

I Made Mahaardhika, SH., M.Psi Dosen BK – FIP IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

The aim of this research is to see the effect of PFA intervention in decreasing anxiety symptoms that are experienced by motor vehicle accident (MVA) survivors. This research use the qualitative method with three teenager participants. Anxiety level is measured with the Beck Anxiety Inventory (BAI) and deep interview. PFA intervention is applied during four meetings for four consecutively days. Anxiety symptoms are experienced in the few days after accidents are : fear, tension, and worries related to the impact of physical injury the experience of the accident. PFA helps survivors to change negative emotions in to more positive emotions, positive coping strengths and awarenes of the importance of psychosocial support. The result shows that intervention is able to decrease the BAI score and anxiety symptoms are lower between after the given intervention. Key Words: Anxiety, Psychological First Aid (PFA), Motor Vehicle Accidents (MVAs)

Pendahuluan

Di negara-negara barat seperti di Amerika Serikat, kecelakaan kendaraan

bermotor merupakan salah satu penyebab trauma yang cukup besar. Data

Departemen Transportasi Amerika menunjukkan, terjadi enam juta kecelakaan per

tahun, dengan lebih dari 42 ribu yang fatal dan 2,7 juta mengalami luka personal

(Hickling & Blanchard dalam Carll 2007). Selanjunya Hickling dan Blanchard

mengatakan, luka fisik akibat kecelakaan tidak selalu akan disertai dengan luka

psikologis, namun luka fisik yang parah atau serius dapat dijadikan pertimbangan

akan adanya luka psikologis di kemudian hari. Sebuah penelitian awal yang

dilakukan oleh Oxley dan Fildes (dalam Harrison, 1999) yang meneliti efek

jangka panjang dari luka fisik dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh

individu akibat kecelakaan menemukan bahwa, luka fisik yang tidak terlalu parah

juga menimbulkan dampak psikologis sampai dua tahun setelah peristiwa

Page 126: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

123

kecelakaan terjadi. Luka fisik yang tidak begitu parah juga berpengaruh terhadap

emosi dan perilaku yang disebabkan adanya kecemasan dan avoidance reactions

yang dialami penyintas.

Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan, dalam rentang

waktu dua minggu (immediate) pasca kecelakaan, besar kemungkinan penyintas

akan mengalami kecemasan. Orang-orang yang mengalami kecemasan dan

sampai berkembang mengalami gangguan kecemasan atau PTSD adalah orang-

orang yang mempunyai pengalaman kecemasan yang ekstrim, pikiran-pikiran

yang mengganggu dan ketakutan yang luar biasa setelah mengalami kecelakaan.

Biasanya orang-orang seperti itu juga terganggu dalam melakukan aktivitas

sehari-hari, dalam bekerja dan berhubungan dengan orang lain, serta merasa tidak

berdaya akibat pengalaman kecelakaan yang dialaminya

Pada banyak kasus, ketika ditemukan adanya gejala-gejala permasalahan

psikologis yang akut, maka early treatment sangat dibutuhkan untuk mencegah

berkembangnya permasalahan psikologis yang lebih serius atau sampai menjadi

PTSD (Bryant et.al, dalam Bryant, Moulds & Guthrie, 2000). Early treatment

yang dilakukan beberapa hari setelah peristiwa traumatis, berfungsi untuk

memfasilitasi pemulihan psikologis (Yehuda, 2002). Selanjutnya Yehuda (2002)

mengatakan, proses pemulihan dapat terbantu dengan berkomunikasi dan berbagi

cerita dengan orang lain, yang dapat meningkatkan kemampuan untuk menahan

ketidaknyaman dan mengekspresikan emosi-emosi yang tidak menyenangkan.

Intervensi awal atau sesegera mungkin (Early Intervention) merupakan

pendekatan yang menekankan pada penguatan persepsi mengenai self-efficacy

dalam menghadapi pengalaman traumatis atau stresor yang menyertainya.

Intervensi yang dilakukan sesegera mungkin akan menjadi efektif dalam

mencegah dampak yang lebih serius akibat pengalaman traumatis, apabila

intervensi tersebut mampu membantu penyintas menghadirkan gambaran baru

dalam mempersepsi coping yang sesuai dengan kebutuhan (Benight, Cielsak,

Molton & Johnson, 2008).

Page 127: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

124

Motor Accidents Authority of NSW (2003) merekomendasikan

Psychological First Aid (PFA) untuk diberikan dalam rentan waktu dua minggu

sejak peristiwa kecelakaan terjadi. PFA yang diberikan sesegera mungkin kepada

penyintas kecelakaan meliputi penyediaan rasa aman dan kenyamanan,

memfasilitasi kebutuhan fisiknya, menghubungkannya dengan keluarga atau

orang dekatnya, serta meningkatkan fungsi sosial support. PFA juga mencakup

pemberian informasi yang sederhana namun akurat mengenai respon normal

berupa kecemasan maupun bentuk distres lainnya yang muncul pasca mengalami

kecelakaan, serta informasi tentang layanan profesional kesehatan mental bagi

yang membutuhkannya. Apabila penyintas merasa butuh, dengan berbicara

tentang perasaan dan pikiran yang timbul setelah mengalami kecelakaan kepada

orang lain, juga merupakan bentuk PFA yang direkomendasikan Motor Accidents

Authority of NSW.

Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang merasa bahwa dia harus

bertanggung jawab serta mengakui dalam dirinya bahwa kecelakaan tersebut

adalah bagian dari kesalahannya, mempunyai resiko lebih kecil untuk mengalami

PTSD dan mengalami pemulihan psikologis lebih cepat. Penyintas kecelakaan

yang memaknai bahwa dirinya bersalah dalam kecelakaan yang terjadi,

mempunyai kekuatan mengontrol persepsinya dalam menilai peristiwa yang

terjadi. Penyintas mempunyai lebih banyak sense of control mengenai apa yang

telah dia alami dan bagaiamana menyikapi apa yang akan terjadi ke depan

(Delahanty et al., 1997).

Remaja usia 16-19 tahun beresiko lebih besar mengalami kecelakaan jika

dibandingkan dengan kelompok usia lainnya, terutama pada remaja yang mulai

mengemudikan kendaraan bermotor (McCartt ; National Center for Injury

Prevention and Control-NCIPC, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Data

dari Kepolisian Daerah Bali Direktorat Lalu Lintas, pada semester I Tahun 2010

mengenai korban kecelakaan lalu lintas terdapat pada tabel 1 :

Tabel 1 : Angka jumlah korban kecelakaan kendaraan bermotor periode Januari-

Juni 2010 (Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Bali).

Page 128: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

125

usia Jumlah (orang)

0 s/d 9 th 120

10 s/d 15 th 396

16 s/d 30 th 613

31 s/d 40 th 331

41 s/d 50 th 226

51 th ke atas 174

1860

Dari data tersebut, 54,25 % korban kecelakaan lalu lintas pada wilayah

Polda Bali adalah usia 10 sampai 30 tahun. Dari hasil pengamatan peneliti, Di

Bali sendiri terutama di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, hampir

sebagian besar usia remaja, sejak mereka bersekolah di SMP, sudah mengendarai

motor sendiri untuk pergi ke sekolah. Hal ini tentu menjadi perhatian penting bagi

peneliti dalam mempertimbangkan usia remaja sebagai partisipan penelitian.

Ketika remaja mengalami luka atau bekas luka pada wajah dan daerah tubuh

lainnya, mungkin muncul kekhawatiran mengenai akan ditolak teman lawan

jenisnya. Luka fisik juga akan mengganggu aktivitas pendidikan remaja dan

interaksi sosial lainnya, yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan pada diri

remaja. Perasaan malu, harga diri yang menurun karena dianggap tidak mahir

dalam mengendarai motor oleh teman sebaya, mungkin menjadi pikiran-pikiran

yang hadir pada diri remaja yang baru mengalami kecelakaan. Rasa sakit dibagian

tubuh yang luka dan penilaian tentang bagaimana nanti keberfungsian organ tubuh

yang luka mungkin menjadi sumber stres atau kecemasan pada diri remaja.

Merujuk pada hasil pemaparan di atas, maka penelitian ini dilakukan

dengan tujuan untuk melihat apakah Psychological First Aid (PFA) dapat

mengurangi gejala kecemasan pada penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.

Page 129: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

126

Tinjauan Teoritis

Freud (dalam Feist & Feist 2008) mendefinisikan kecemasan sebagai

kondisi yang tidak menyenangkan, bersifat emosional dan sangat terasa

kekuatannya, disertai sebuah sensasi fisik yang memperingatkan seseorang

terhadap bahaya yang sedang mendekat. Ketidaknyamanan dari kondisi ini

seringkali samar-samar dan sulit untuk ditentukan penyebabnya, namun

kecemasan itu sendiri selalu dapat dirasakan. Sedangkan Rogers mendefinisikan

kecemasan sebagai kondisi tidak nyaman atau tegangan yang penyebabnya tidak

diketahui.

Peurifoy (2005) mengatakan, kecemasan biasanya didorong oleh ancaman

yang hadirnya samar-samar, tidak nyata atau tidak langsung, sedangkan ketakutan

didorong oleh ancaman yang jelas atau nyata. Baik kecemasan dan ketakutan

mengakibatkan gejala-gejala mental seperti rasa putus asa, bingung, takut,

khawatir dan adanya pengulangan pikiran-pikiran negatif. Kecemasan dan

ketakutan juga mengakibatkan munculnya gejala fisik ringan seperti ketegangan

otot-otot tubuh.

Pada orang yang sedang sakit atau mengalami luka, kondisi yang

dialaminya menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan terasa mengganggu

dirinya. Terkadang perasaan seperti ini menjadi sesuatu yang disadari, namun

ketika ketidaknyaman tersebut muncul tanpa disadari dan terasa sangat

mengganggu tanpa diketahui penyebab pastinya serta terjadi terus menerus, hal

inilah yang menjadi sebuah bentuk kecemasan (Meares, 1963).

Motor Accidents Authority of NSW (2003) menyebutkan bahwa penyebab

kecemasan bisa karena ketakutan akibat memikirkan sesuatu yang tidak jelas atau

tidak pasti, kekhawatiran karena penilaian tentang sesuatu yang akan datang atau

di kemudian hari, atau persepsi tentang sesuatu yang sudah lalu, seperti tentang

pengalaman kecelakaan yang pernah dialaminya, bertanya-tanya dalam diri

sendiri, mengapa dan kenapa hal itu bisa terjadi, siapa yang salah dan penyebab

utama dari kecelakaan tersebut. Motor Accidents Authority of NSW (2003)

Page 130: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

127

menyebutkan, dalam rentang waktu dua minggu (immediate) pasca kecelakaan,

besar kemungkinan penyintas akan mengalami kecemasan.

Jacobson (dalam Soewondo, 2009) mengatakan bahwa, relaksasi otot

berjalan bersama dengan relaksasi mental. Perasaan cemas subjektif dapat

dikurangi atau dihilangkan dengan sugesti tidak langsung atau menghapus atau

menghilangkan komponen otonomik perasaan-perasaan itu. Jacobson

mengembangkan relaksasi progresif untuk mengurangi rasa cemas, stres atau

tegang. Relaksasi progresif ini juga menjadi salah satu bagian dari intervensi yang

akan peneliti berikan kepada partisipan, sebagai salah satu upaya mengurangi

kecemasan atau ketegangan yang dialami penyintas kecelakaan kendaraan

bermotor.

Seseorang dapat melakukan berbagai cara atau teknik untuk mengurangi

gejala kecemasan yang dia alami. Peurifoy (2005) mengatakan ada empat

keterampilan dasar yang bisa dilakukan untuk mengurangi gejala kecemasan,

yaitu :

1. Relaksasi.

2. Mengatur aliran nafas.

3. Coping Self-Statements. Ketika seseorang menginterpretasi suatu situasi,

pikiran dan perasaannya sangat berpengaruh dalam penilaian yang

dihasilkannya. Dengan melatih untuk memaknai secara positif sebuah

peristiwa yang tidak menyenangkan, seseorang dapat merubah

penilaiannya terhadap situasi atau pengalaman tertentu, sehingga pikiran

dan perasaan yang dihasilkan juga menjadi lebih baik atau positif. Salah

satu bagian dalam sesi intervensi yang peneliti lakukan adalah mengajak

penyintas untuk memaknai secara positif dan menemukan hikmah dari

kecelakaan yang dialaminya.

4. Distraction, yaitu melakukan sesuatu aktivitas yang mengasikkan atau

menyenangkan untuk mengalihkan fokus atau perhatian kita dari stresor

atau sesuatu yang membuat kita cemas. Bekerja, bermain, olahraga,

Page 131: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

128

berdoa serta berbicara dengan orang lain merupakan bentuk distraction

yang umum dikakukan.

Psychological First Aid (PFA) adalah suatu pendekatan untuk mengurangi

distres yang dialami individu atau komunitas yang terkena bencana, serta

membantu mengembangkan fungsi adaptif jangka pendek maupun jangka panjang

dalam menghadapi dampak bencana (Vernberg, et.al, 2008). Sedangkan menurut

Everly, Phillips, Kane & Feldman (2006) Psychological First Aid (PFA)

merupakan serangkaian keterampilan yang digunakan untuk mengurangi distres

dan mencegah timbulnya perilaku negatif, memberikan pemahaman mengenai

respon normal terhadap situasi yang penuh tekanan atau ketika mengalami

peristiwa traumatis, termasuk kemampuan untuk memahami kapan harus mencari

bantuan dari profesional kesehatan mental.

PFA digunakan dalam respon bencana dan ditujukan bagi siapa saja yang

terkena dampak dalam hitungan jam atau hari, baik dalam situasi darurat, bencana

atau serangan teroris. Tujuan dasar PFA adalah memberikan bantuan atau

dukungan bagi individu dan resiliensi komunitas untuk mengurangi stres akut

yang muncul akibat bencana serta mendorong fungsi adaptif jangka pendek

maupun jangka panjang (Uhernik & Husson, 2009). Konsep PFA adalah

meningkatkan cara dalam menyediakan dukungan dan ketenangan bagi orang

yang mengalami luka atau ketakutan ketika kondisi untuk mendapatkan intervensi

dari orang yang ahli dalam hal itu tidak memungkinkan. Teman atau siapa pun

dapat menyediakan pertolongan non medis sementara kepada orang yang terluka,

sampai pertolongan dari orang yang berkompeten datang untuk menolong. Jadi

siapa saja dapat menggunakan teknik psikologis sederhana untuk mengurangi

kesedihan atau kepanikan yang dialami seseorang yang terluka, sehingga apa yang

dilakukan tersebut dapat mencegah kebutuhan untuk mendapatkan intervensi dari

psikiater (Blain, Hoch & Ryan, dalam Reyes & Jacobs, 2006).

Pemulihan dari trauma adalah dengan memfasilitasi pengungkapan emosi

serta menghubungkannya dengan dukungan sosial yang ada (Pennebaker, dalam

Boege & Gehrke, 2005). Orner (dalam Boege & Gehrke, 2005) menemukan,

Page 132: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

129

setelah mengalami peristiwa traumatis atau kecelakaan, 71,4 % orang melaporkan

bahwa mereka melakukan kontak atau hubungan dengan koleganya dan hanya 9,2

% melakukan kontak dengan profesional.

Metode Peneltian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif

bertujuan untuk memahami dan mendalami situasi nyata sehari-hari agar dapat

mendeskripsikan dan memahami tingkah laku yang tampak maupun kondisi-

kondisi internal manusia, baik itu pandangan hidupnya, nilai-nilai yang dipegang,

pemahaman tentang diri dan lingkungan, serta bagaimana ia mengembangkan

pemahaman tersebut (Patton, dalam Poerwandari 2009). Pendekatan kualitatif

digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan pemahaman mengenai reaksi

atau dampak yang timbul dalam beberapa hari (reaksi akut) pada penyintas

kecelakaan kendaraan bermotor. Kecemasan merupakan reaksi utama yang ingin

dilihat dalam penelitian ini. Perilaku, pikiran dan perasaan apa saja yang sering

muncul dalam beberapa hari yang dialami penyintas. Pendekatan kualitatif juga

dimaksudkan untuk memahami mekanisme coping penyintas, serta dukungan

psikososial seperti apa saja yang telah ia dapatkan dan harapkan untuk membantu

pemulihannya.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah psychological first aid

(PFA) sebagai sebuah bentuk treatment awal dalam mengurangi dampak peristiwa

traumatis, dapat secara efektif mengurangi gejala kecemasan yang dialami

penyintas kecelakaan kendaraan bermotor. Untuk menguji efektivitas sebuah

intervensi atau program, maka penelitian ini menggunakan desain pre test – post

test (Kumar, 1996).

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengisian

kuesioner Beck Anxiety Inventory (BAI) oleh penyintas kecelakaan kendaraan

bermotor untuk melihat tingkat kecemasannya, serta wawancara dan observasi

kepada partisipan penelitian.

Partisipan Penelitian

Page 133: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

130

Partisipan dalam penelitian ini adalah penyintas kecelakaan kendaraan

bermotor yang bertempat tinggal di wilayah Provinsi Bali. Partisipan yang akan

menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang yang memiliki

karakteristik tertentu sesuai dengan fenomena atau tujuan yang ingin diteliti

(purposive sampling), yaitu :

1. Penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang mendapatkan penangan

segera setelah kecelakaan di instalasi rawat darurat (IRD) di rumah sakit,

yang mengalami luka pada wajah dan/atau bagian tubuh lainnya.

2. Berusia remaja (10-19 tahun).

3. Tingkat kecemasan tinggi (di atas skor 36) hasil interpretasi BAI yang

telah diisi oleh partisipan.

4. Bersedia menjadi partisipan penelitian dan mengisi inform consent.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Alat ukur the Beck Anxiety Inventory (BAI).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Beck Anxiety Inventory (BAI)

sebagai alat untuk mengukur tingkat kecemasan penyintas kecelakaan

kendaraan bermotor. BAI merupakan Pengembangan dari 21 item self

report inventory untuk mengukur tingkat kecemasan. BAI sendiri telah

mempunyai panduan interpretasi mengenai tingkat kecemasan itu sendiri,

yaitu angka 0-21 mengindikasikan kecemasan yang sangat rendah, 22-35

mengindikasikan tingkat kecemasannya sedang dan 36-63

mengindikasikan tingkat kecemasan yang tinggi dan perlu mendapatkan

perhatian yang serius (dalam Beck, Epstein, Brown, Steer, 1988). Dalam

penelitian ini BAI yang digunakan sudah diadaptasi ke dalam bahasa

Indonesia (Kartikasari, 2009).

b. Panduan wawancara bagi peneliti.

c. Modul PFA bagi penyintas kecelakaan kendaraan bermotor.

d. Alat bantu lain seperti kamera digital dan tape recorder untuk merekam

wawancara yang dilakukan.

Page 134: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

131

Prosedur Intervensi

Intervensi dilakukan dengan mengunjungi penyintas di rumahnya. Setelah

peneliti memperkenalkan diri serta menyampaikan maksud dan tujuan

kedatangannya dan menjelaskan bahwa peneliti mengetahui data penyintas dari

rumah sakit, peneliti meminta penyintas untuk mengisi Beck Anxiety Inventory

(BAI) sebagai alat untuk mengukur level gejala kecemasan. Apabila skor

kecemasan penyintas di atas skor 22-35 (sedang) atau 36-66 (tinggi), maka

peneliti akan melakukan intervensi kepada penyintas dengan terlebih dahulu

menanyakan kesediaannya untuk menjadi partisipan penelitian. Bila skor

kecemasan penyintas hanya 21 atau di bawahnya (rendah), peneliti tidak akan

memberikan intervensi, namun hanya memberikan psikoedukasi. Penyintas

dengan level kecemasan tinggi atau sedang yang bersedia untuk menjadi

partisipan penelitian, akan menjalani empat sesi pertemuan selama empat hari

berturut-turut, dimana setiap sesinya akan berlangsung selama 90 menit.

Di sesi pertemuan pertama intervensi, peneliti lebih banyak melakukan

komunikasi yang sifatnya membangun raport dengan partisipan. Peneliti

memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangaan peneliti

menemui penyintas. Peneliti menggali informasi dengan menanyakan hal-hal

yang berkaitan dengan rasa aman dan kenyamanan partisipan selama beristirahat

di rumah atau selama menjalani rawat jalan. Peneliti juga mengkomunikasikan

apakah partisipan mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses pemulihan.

Di sesi pertemuan kedua dengan partisipan, peneliti memberikan

intervensi dengan membantu penyintas untuk mengungkapkan perasaan, pikiran

serta reaksi fisik dan perilaku yang partisipan alami pasca mengalami kecelakaan.

Dalam sesi ini diharapkan apa yang diungkapkan partisipan kepada peneliti bisa

menjadi ventilasi untuk mengekspresikan emosi-emosi negatif yang dirasakan

partisipan. Peneliti juga membantu penyintas untuk lebih mengenal coping positif

dan dukungan psikososial yang dapat membantu penyintas dalam mempercepat

proses pemulihan psikologisnya.

Page 135: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

132

Pada sesi pertemuan ketiga intervensi, peneliti mengajak partisipan untuk

memaknai secara positif dan menemukan hikmah dari kecelakaan yang baru

dialaminya. Peneliti memberikan teknik relaksasi progresif kepada penyintas

sebagai salah satu cara mengurangi gejala kecemasan, ketegangan-ketegangan

otot tubuh ataupun mengurangi bentuk distres lainnya. Peneliti juga meminta

partisipan untuk mengajarkan sebuah teknik relaksasi atupun teknik olah

pernapasan atau teknik manajemen stres lainnya yang mungkin telah dimiliki

penyintas dan efektif bagi dirinya untuk mengurangi distres yang pernah dia

alami. Dengan partisipan mengajarkan sebuah teknik relaksasi kepada peneliti,

diharapkan penyintas merasa bahwa dirinya berdaya dan lebih mengenal kapasitas

yang ada dalam dirinya juga dapat membantu mempercepat proses pemulihan

psikologisnya.

Pada sesi pertemuan terakhir (pertemuan ke empat), partisipan diminta

untuk mengungkapkan kembali gejala atau apa yang dia rasakan pasca mengalami

kecelakaan, serta bagaimana perubahan yang terjadi terhadap gejala-gejala

tersebut setelah menjalani proses intervensi selama empat hari bersama peneliti.

Peneliti meminta penyintas menghayati kembali coping yang telah dilakukannya

serta apa yang dia rasakan dari dukungan psikososial yang didapatkannya.

Partisipan juga diminta mengisi kembali kuesioner BAI, untuk melihat apakah ada

penurunan skor gejala kecemasan setelah dilakukan intervensi.

Metode Analisa Data

Data dianalisa sesuai dengan tema-tema yang ingin dicari dalam penelitian

ini. tema-tema yang ingin dilihat adalah gambaran umum kehidupan sehari-hari

partisipan (penyintas kecelakaan kendaraan bermotor), gambaran stres dan gejala

kecemasan partisipan pasca mengalami kecelakaan, strategi coping, dukungan

psikososial, penilaian partisipan terhadap intervensi, serta perubahan skor dan

penghayatan stres dan gejala kecemasan partisipan pasca menjalani proses

intervensi.

Page 136: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

133

Hasil Penelitian

Secara ringkas hasil penelitian dapat peneliti paparkan dalam tabel di

bawah ini : Y DP D Gambaran Umum Kehidupan Partisipan

Laki-laki berumur 15 tahun, keluarga sangat sejahtera, setiap hari pergi ke sekolah dan melakukan aktivitas lain di luar rumah dengan mengendarai motor sendiri.

Perempuan berumur 16 tahun, keluarga sangat sederhana, setiap hari pergi ke sekolah dan melakukan aktivitas lain di luar rumah dengan mengendarai motor sendiri.

Perempuan berumur 20 tahun, keluarga menengah ke atas, setiap hari pergi ke kampus dan melakukan aktivitas lain di luar rumah dengan mengendarai motor sendiri.

Pikiran Bertanya-tanya pada diri sendiri tentang bagaimana komentar teman-teman dengan gigi saya yang patah 2.

Bertanya-tanya pada diri sendiri bagaimana keadaan ibu dan bayi/kehamilannya nanti, sulit berkonsentrasi.

Bertanya-tanya pada diri sendiri kenapa saya bisa jatuh lagi, teringat tentang kecelakaan yang dialami, sulit berkonsentrasi.

Perasaan Malu, kecewa, kurang semangat, waspada, takut, bosan, malas, cemas, tidak sabar, orang lain yang menyebabkan dirinya mengalami kecelakaan.

Takut, merasa bukan dirinya yang bersalah dalam peristiwa yang terjadi.

Takut, cemas, was-was, merasa tidak enak karena merepotkan orang lain, kecelakaan merupakan kesalahan sendiri.

Fisik Otot tubuh tegang, gigi sakit, sulit tidur, baru bangun tidur leher sakit.

Otot-otot tubuh tegang dan kaku, sulit tidur, tubuh lemas, kurang bersemangat.

Perilaku Takut mengendarai motor sendiri di jalan raya.

Jadi sering menyendiri di kamar.

Strategi Coping Baca komik, main game, menggambar, ngobrol dengan keluarga, memakai gigi palsu, sembahyang.

Bercerita/ngobrol dengan anggota keluarga atau teman, mendengarkan musik, nonton tv, menulis diary

Cerita atau ngobrol dengan teman, jalan-jalan, makan, sms-an, internetan, nonton tv, sembahyang atau berdoa.

Dukungan Psikososial

Orang tua, keluarga, teman sekolah.

Anggota keluarga di rumah, saudara, teman sekolah.

Teman kampus.

Hambatan dalam pemulihan psikologis

Kurangnya perhatian dan dukungan dari anggota keluarga di rumah.

Page 137: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

134

Hikmah Positif dari Kecelakaan yang Dialami.

Harus lebih hati-hati dan waspada jika mengendarai motor, jadi lebih rajin berdoa.

Harus lebih berhati-hati, tidak boleh bengong jika mengendarai motor, harus lebih terbuka dengan keluarga jika punya masalah.

Ketika mengendarai motor tidak boleh buru-buru dan dalam keadaan marah atau kesal, jadi lebih dekat dengan teman, tidak selalu menyalahkan lingkungan, diri sendiri yang sangat berperan dalam menyebabkan kecelakaan yang dialami.

Penilaian Terhadap Intervensi

Bermanfaat, membantu pemulihan psikologis, ada teman berkomunikasi, mendapat manfaat dari relaksasi dan rileks. progresif yaitu menjadi lebih tenang

Bermanfaat, membantu pemulihan psikologis, membuat lebih tenang, nyaman dan dikuatkan (coping DP didukung atau dinilai baik oleh peneliti)

Membantu pemulihan psikologis, membantu dalam menemukan hikmah positif.

Perubahan penghayatan gejala kecemasan.

Lebih rileks, tenang, nyaman.

Tidur lebih nyaman, lebih bisa berkonsentrasi, tenang, nyaman.

Merasa senang, nyaman, merasa banyak yang perhatian, otot-otot jadi lebih rileks.

Perubahan/Penurunan Skor Gejala Kecemasan Sebelum dan Sesudah Intervensi

Dari 36 menjadi 18 (turun 18 poin)

Dari 23 menjadi 8 (turun 15 poin)

Dari 34 menjadi 8 (turun 26 poin)

Analisa Antar Partisipan

Skor gejala kecemasan Y yang tinggi (36) ketika peneliti memulai

intervensi, kemungkinan dikarenakan Y masih merasakan sakit dan persepsi yang

tidak menyenangkan karena giginya yang patah dua. Sebelum mengalami

kecelakaan, bisa dikatakan Y tidak pernah mengalami permasalahan atau stres

yang sampai mengganggu fungsi keseharian dalam hidupnya, sehingga

kecelakaan ini menjadi pengalaman traumatis pertama dia alami. Oleh karena itu,

peneliti memperkirakan kecelakaan yang Y alami menjadi sesuatu yang

dihayatinya dengan sangat dalam, sehingga menimbulkan gejala-gejala

kecemasan yang tinggi ketika dilakukan pengukuran melalui beck anxiety

inventory (BAI).

Page 138: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

135

DP merupakan partisipan yang menunjukkan skor gejala kecemasan yang

paling rendah (23) diantara ketiga partisipan dalam penelitian ini. Meskipun skor

gejala kecemasan DP berada dalam tingkat sedang, namun dari apa yang

diungkapkan DP selama proses intervensi berjalan menunjukkan bahwa,

penghayatannya terhadap kecelakaan yang baru saja dia alami sangat

mengganggu dan membuatnya tidak nyaman. Keyakinannya yang merasa tidak

bersalah dalam kecelakaan yang terjadi, namun tetap harus memberikan perhatian

kepada ibu yang bertabrakan dengan dirinya, menjadi sesuatu yang bertentangan

di dalam dirinya. DP juga merasa bersalah pada dirinya dan kedua orang tuanya,

karena tidak mengikuti nasihat kedua orang tuanya agar tidak menyeberang

melewati candi (gapura gang yang terbuat dari batu) ketika akan memasuki gang

untuk menuju ke rumahnya sebelum kecelakaan tersebut terjadi.

Terbatasnya keadaan ekonomi keluarga dan di sisi lain DP harus berurusan

dengan hukum karena motornya ditahan dan dinyatakan bersalah oleh polisi,

menjadikan stresor yang sangat kuat dalam penghayatan DP. Kondisi ibu yang

sedang hamil delapan bulan anak pertamanya dan harus diopname, menjadi stres

yang sangat besar bagi DP karena dengan terbatasnya ekonomi keluarga,

bagaimana harus bertanggung jawab dalam membantu biaya pengobatan ibu yang

bertabrakan dengan dirinya tersebut. DP lebih menerima manfaat intervensi yang

berupa penguatan-penguatan emosi dan support dari peneliti yang menilai baik

strategi coping yang telah dilakukannya.

Temuan yang sangat menarik adalah baik Y dan DP sama-sama

mendapatkan dukungan psikososial dari teman dan keluarga, sedangkan D hanya

mendapatkan dukungan psikososial dari temannya, bahkan menurut D keluarga

merupakan faktor penghambat dalam proses pemulihan psikologisnya. Sebelum

mengalami kecelakaan, D telah mempunyai permasalahan dengan anggota

keluarganya di rumah. Hal ini juga menjadi stresor tambahan bagi D, karena dia

menghayati bahwa kurangnya perhatian dan komunikasi dengan keluarga,

membuat dirinya merasakan tidak mempunyai sumber daya yang bisa dimintai

bantuan ketika mengalami permasalahan dalam hidupnya. Pengalaman mengalami

Page 139: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

136

kecelakaan sebanyak dua kali dalam sebulan menjadikan stres yang dialami D

seolah terakumulasi, sehingga faktor inilah yang menyebabkan skor gejala

kecemasannya hampir berada pada tingkat yang tinggi (34). Namun diantara

ketiga partisipan dalam penelitian ini, D mempunyai penurunan skor gejala

kecemasan yang paling besar. Walaupun D tidak mendapatkan dukungan

psikososial dari keluarga, namun peneliti berkeyakinan bahwa faktor yang

membuat skor gejala kecemasannya menurun paling besar adalah karena D lebih

banyak memaknai secara positif dan mendapatkan hikmah dari kecelakaan yang

dialaminya. D sangat merasakan manfaat intervensi dari hal-hal yang berusaha

menggali lebih dalam pemaknaan partisipan tentang peristiwa yang dialaminya,

serta mengajak partisipan menemukan hikmah positif dari kecelakaan yang baru

dialaminya.

Diskusi

PFA menjadi intervensi yang efektif dalam mengurangi gejala kecemasan

yang dialami penyintas dalam beberapa hari pasca mengalami kecelakaan

dikarenakan PFA membantu penyintas untuk mengungkapkan perasaan dan

pikiran yang tidak menyenangkan, sehingga beban atau tekanan yang dialami

penyintas juga menjadi berkurang. Menguatkan dan meningkatkan coping positif

serta dukungan psikososial yang dimiliki penyintas juga menjadi bagian utama

intervensi. Penyintas juga diajak untuk menemukan hikmah dan memaknai secara

positif kecelakaan yang dialaminya, sehingga dapat mengimbangi atau

mengurangi emosi-emosi negatif yang hadir akibat persepsi penyintas tentang

peristiwa yang dialaminya.

Peneliti menemukan bahwa tidak tersedianya data lengkap tentang

penyintas kecelakaan kendaraan bermotor yang ditangani di instalasi gawat

darurat (IGD) di kedua rumah sakit tempat peneliti mencari data penelitian.

Penyintas yang diperbolehkan langsung pulang setelah mendapatkan penanganan

di IGD, menyebabkan data lengkap mengenai identitas serta alamat penyintas

menjadi tidak begitu penting untuk menjadi bagian catatan atau dokumen

pelayanan di rumah sakit. Fenomena seperti ini juga didukung oleh faktor bahwa,

Page 140: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

137

sebagian besar penyintas kecelakaan yang mendapatkan penanganan di IGD

merupakan, hasil rujukan masyarakat atau sesama pengguna jalan, sehingga

ketika tiba di IGD tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk

mendaftarkannya sesuai dengan identitas lengkap penyintas.

Kesimpulan

Peneliti menyimpulkan bahwa gejala kecemasan yang dialami penyintas

kecelakaan kendaraan bermotor dikarenakan persepsi mengenai apa atau

bagaiamana yang akan terjadi nanti akibat dari kecelakaan yang terjadi. Persepsi

mengenai dampak negatif yang mungkin akan dialami penyintas ataupun orang

lain, menimbulkan perasaan-perasaan tidak nyaman dalam diri penyintas.

Perasaan takut, was-was dan khawatir untuk mengendarai motor menjadi gejala

yang paling sering muncul pada penyintas. Penyintas juga menjadi tegang dan

tidak tenang pasca mengalami kecelakaan. Penyintas cenderung menggunakan

coping yang berfokus emosi untuk menghadapi atau mengurangi stres yang

dialaminya pasca mengalami kecelakaan.

Hasil penelitian ini juga mendukung teori bahwa, orang yang mengalami

peristiwa traumatis dan mendapatkan dukungan psikososial dari anggota keluarga,

teman ataupun orang-orang terdekatnya, akan mengalami pemulihan psikologis

yang lebih cepat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa individu yang lebih

banyak mendapatkan hikmah positif dari kecelakaan yang dialaminya, serta

memaknai bahwa apa yang dialaminya merupakan bagian dari kesalahan dirinya,

mengalami pemulihan psikologis yang lebih baik.

Penelitian ini juga membuktikan bahwa, bantuan psikologis sesegera

mungkin dalam hal ini melalui intervensi psychological first aid (PFA) yang

diberikan kepada penyintas kecelakaan kendaraan bermotor sangat efektif dalam

mengurangi gejala kecemasan yang timbul dalam beberapa jam atau beberapa hari

pasca kecelakaan. Efektivitas PFA sebagai sebuah intervensi dalam mengurangi

gejala kecemasan yang dialami penyintas kecelakaan kendaraan bermotor dapat

dilihat dengan penurunan gejala kecemasan yang antara sebelum dengan sesudah

intervensi, serta perubahan penghayatan gejala kecemasan yang menjadi lebih

Page 141: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

138

baik (rileks, tenang, nyaman, lebih dapat berkonsentrasi dan tidur lebih mudah),

selama menjalani proses intervensi.

Saran

Intervensi yang peneliti lakukan kepada partisipan dalam penelitian ini

terbatas hanya dalam empat sesi pertemuan dalam empat hari berturut-turut. Oleh

karena itu, pelaku PFA sebaiknya melakukan monitoring terhadap penyintas,

untuk melihat apakah skor dan penghayatan gejala kecemasan penyintas semakin

menurun, meningkat atau tetap, selama satu sampai dua minggu pasca melakukan

intervensi. Ketika ditemukan adanya gejala-gejala kecemasan ataupun perubahan

perilaku yang berlanjut pada partisipan, sebaiknya dilakukan tindak lanjut, baik

dengan melakukan pendampingan psikologis maupun merujuk ke profesional

kesehatan mental.

Dukungan psikologis awal seharusnya dapat dilakukan ketika peyintas

kecelakaan berada di instalasi gawat darurat (IGD). Sebelum penyintas pulang

setelah mendapatkan penanganan di IGD, perawat atau petugas dapat melakukan

komunikasi atau memberikan informasi yang dapat membantu mengurangi

kecemasan yang dirasakan penyintas, sekaligus mencari infomasi lengkap

identitas penyintas. Petugas pencatat identitas dapat memberikan informasi

tentang reaksi-reaksi apa yang biasanya muncul pada orang yang mengalami

kecelakaan kendaraan bermotor dan reaksi tersebut merupakan reaksi yang

normal.

Untuk di Bali sendiri, dengan sistem organisasi kemasyarakatannya yang

sangat kuat dan mengikat, pelatihan PFA dapat dilakukan kepada ibu-ibu PKK

atau pengurus banjar setempat, sehingga promosi dan penerapan PFA dapat

menjangkau sampai ke lapisan masyarakat paling bawah, termasuk ketika ada

salah satu anggota banjar yang mengalami kecelakaan. Pelatihan PFA juga harus

melibatkan anggota STT (seka teruna teruni/karang taruna), yang sekaligus

disisipkan dengan materi bagaimana perilaku berkendara yang baik di jalan,

disamping meningkatkan pengetahuan mereka tentang pentingnya dukungan

psikososial dan menjaga kesejahteraan psikologis itu sendiri.

Page 142: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

139

Khusus untuk di PMI sendiri, PFA seharusnya menjadi kompetensi wajib

bagi setiap relawan yang bertugas dalam respon bencana. Selain berguna dalam

membantu penyintas bencana, PFA juga bisa diberikan bagi sesama anggota

relawan yang sedang bertugas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip komunikasi

yang teraupetik dan penyediaan dukungan emosi, PFA dapat menjadi salah satu

alternatif bantuan psikologis bagi sesama anggota relawan yang menghadapi

permasalahan atau distres ketika bertugas dalam seting respon bencana.

Keterbatasan waktu dan kecilnya jumlah partisipan dalam penelitian ini,

tentunya akan menjadi bahan diskusi dan perdebatan ketika peneliti menarik

kesimpulan tentang efektivitas PFA. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa

penelitian-penelitian serupa harus segera dilakukan. Tingginya angka kecelakaan

di Indonesia serta kurangnya literatur mengenai dampak psikologis jangka

panjang yang dialami penyintas kecelakaan juga menjadi pertimbangan penting,

mengapa penelitian seperti ini harus menjadi perhatian serius para penyedia

layanan kesehatan mental. Diharapkan penelitian serupa bisa dilakukan kepada

penyintas kecelakaan kendaraan bermotor usia dewasa atau anak-anak.

Kepustakaan

Beck, A.T., Epstein, N., Brown, G., & Steer, R.A. (1988). An Inventory for Measuring Clinical Anxiety: Psychometric Properties, APA.

Benight, C.C., Cielsak, R., Molton, I.R., & Johnson, L.E. (2008). Self-Evaluative

Appraisals of Coping Capability and Posttraumatic Distress Following Motor Vehicle Accidents. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 76. No. 4, 677-685.

Boege, K., & Gehrke, A. (2005). Preventing Posttraumatic Stress-Psychological

First Aid at the Workplace, Safety Science Monitor. Vol 9, Issue 1, Short Communication 1, Dresden.

Bryant, R.A., Moulds, M.L., & Guthrie, R.M. (2000). Accute Stress Disorder

Scale: A Self-Report Measure of Acute Stress Disorder, Psychological Assesment, Vol. 12, No. 1, 61-68.

Carll, E.K. (2000). Trauma Psychology, Issues in Violence, Disaster, Health, and

Illness, Volume 2 : Health and Illness. USA : Praeger.

Page 143: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

140

Delahanty, D.L. (1997). Acute and Chronic Distress and Posttraumatic Stress

Disorder as a Function of Responsibility for Serious Motor Vehicle Accidents. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 165. No. 4, 560-567.

Everly, G.S., Phillips, S.B., Kane, D., & Feldman, D. (2006). Introduction to and

overview of Group Psychological First Aid. Oxford University Press. Feist, J & Feist, G.J. Theories and Personality (Yudi Santosa, Penerjemah).

Jakarta: Pustaka Pelajar. Harrison, W.A. (1999). Psychological Disorders as Consequences of Involvement

in Motor Vehicle Accidents : A Discussion and Recommendations for A Research Program. Monash University Accident Research Centre. Report No. 153.

Kumar, R. (1996). Research Methodology A Step-By-Step Guide For Beginners.

London : Sage Publications. Meares, A. (1963). The Management of The Anxious Patient. London: W. B.

Saunders Company. Motor Accidents Authority of NSW. (2003). Guidelines for the Management of

Anxiety Following Motor Vehicle Accidents. Sydney NSW. Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development

Perkembangan Manusia, Jakarta: Salemba Humanika. Peurifoy, R.Z. (2005). Anxiety, Phobias, & Panic. New York: Warner Books. Poerwandari, E.,K. (2009). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Cetakan Ketiga. Depok: LPSP3 UI. Reyes, G., & Jacobs, G.A. (2006). Handbook of International Disaster

Psychology. Volume II Practices and Programs. USA: Praeger Publisher. Kartikasari, A. D. (2009). Pelatihan Teknik Relaksasi Untuk Menurunkan

Kecemasan pada Primary Caregiver Penderita Kanker Payudara. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Tesis.

Soewondo, S. (2009). Panduan dan Instruksi Latihan Relaksasi Progresif. (CD)

Depok: LPSP3 UI.

Page 144: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

141

Uhernik, J.A., & Husson, M.A. (2009). Psychological First Aid : An Evidence Informed Approach for acute Disaster Behavioral Health Response. American Counseling Association. North Carolina: Charlotte.

Vernberg, E.M., et al. (2008). Innovation in Disaster Mental Health :

Psychological First Aid, APA, Vol.39, No. 4, 381 – 388. Yehuda, R. (2002). Treating Trauma Survivors With PTSD. Washington:

American Psychiatric Publishing.

Page 145: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

142

RE-BRANDINGDAN MODEL AISAS DALAM MEMBANGUN KESETIAAN PELANGGAN ES KRIM MEREK MAGNUM

Ni Nyoman Murniasih. Ni Wayan Karlini

Program Studi : Pendidikan Ekonomi

ABSTRACT

There are re-branding policy from Magnum Ice Cream to give Brand Equity Value to customer, so that the consumer will have the will to buy. With AISAS model, it found out that the customer’s decision to buy the product increase, the proves are the following: 1. According to score interpretation criteria, the 88% score on attention point are categorized as “very high”, the 85% score on interest point are categorized as “very high”, the 71% score on search point as “ high”, the 89% score on action score are categorized “very high”, the 71% score on share point are categorized as “moderate high”. Key Words: Re-Branding Policy, AISAS Model, Brand Equity Value

PENDAHULUAN

Komunikasi merupakan dasar bagi keberhasilan strategi promosi

secara umum yang dapat dilakukan oleh perusahaaan.Banyak hal yang dapat

dikomunikasikan kepada pelanggan, tapi ada hal utama yang harus di

komunikasikan pada pelanggan adalah keberadaan tentang merek.Utami

(2010) menyatakan bahwa merek suatu nama atau simbol pembeda, seperti

misalnya logo yang mengidentifikasi produk atau jasa itu dari atau dengan

penawaran pesaing.

Merek dapat memberikan nilai kepada pelanggan, dan sekaligus dapat

menyampaikan informasi kepada konsumen tentang sifat dan pengalaman

Page 146: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

143

berbelanja.Merek juga mempengaruhi keyakinan pelanggan atas keputusan

yang dibuat untuk membeli barang.

Industri makanan dan minuman memiliki prospek pasar yang masih

cerah seiring pertumbuhan ekonomi, karena dukungan sumber bahan baku

dan populasi masyarakat Indonesia yang semakin bertambah, namun

industri tersebut juga harus berhati-hati menghadapi tantangan seperti

harga produksi yang semakin tinggi. Kementerian Perindustrian

memproyeksikan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun

2013 tumbuh berkisar 9%. Industri makanan dan minuman menawarkan

berbagai macam jenis produk yang dapat dipilih oleh konsumen, salah

satunya adalah es krim. Perkembangan industri es krim di Indonesia cukup

pesat. Meningkatnya taraf hidup masyarakat Indonesia dan perubahan gaya

hidup, merubah persepsi masyarakat terhadap es krim bukan hanya

sebagai makanan yang mahal, tetapi sudah seperti makanan selingan.

Pangsa pasar es krim yang luas, menjadikan es krim kini disukai di

berbagai macam kalangan usia, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Salah

satu marketing plan dari es krim Magnum adalah dengan mengkondisikan

dengan sangat langka produk es krim di pasaran, sehingga masyarakat

akan mencari dan berusaha mendapatkannya. Iklan dari es krim Magnum

di buat semenarik mungkin, sehingga masyarakat akan semakin mencari

es krim Magnum. Begitu cepat pengaruh iklan pada penjualan suatu

produk. Es krim Magnum adalah salah satu contoh produk es krim dari

produsen es krim Wall’s yang bernaung di bawah perusahaan multinasional

Unilever. Proses yang dilakukan oleh pihak Unilever mengenai re-

branding es krim Wall’s Magnum telah menjadikan Wall’s Magnum

berbeda jika dibandingkan dengan Wall’s Magnum sebelum dilakukan re-

branding. Unilever sebagai pemilik es krim Wall’s Magnum, tahu bahwa

para penikmat es krim di Indonesia menginginkan sensasi pengalaman

Page 147: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

144

baru yang berbeda dalam menikmati sebuah es krim. Untuk itulah

Unilever mencoba mendesain ulang dengan memberikan kesan yang unik

dalam menikmati sebuah es krim. Unilever mencoba mendesain ulang

branddari sebuah es krim bermerek “Magnum” menjadi sebuah merek

(brand), yang memiliki identitas yang unik dan otentik.

Berkaitan dengan itu, penulis tertarik untuk melakukan riset pemasaran

tentang ; Re-Branding Dan Model AISAS dalam Membangun Kesetiaan

Pelanggan Es Krim Merek Magnum

TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu proses buying consumer yaitu AISAS model. Model ini

dikembangkan oleh agen periklanan Dentsu pada tahun 2005. Pada model ini

konsumen mengikuti proses. Pertama mereka menjadi sadar akan produk atau

jasa (Attention), mendapatkan tertarik (Interest), mencari informasi yang

relevan melalui internet(Search), selanjutnya membeli produk (Aksi), dan

mengirimkan ulasan melalui internet setelah menggunakan produk (Share).

Jadi AISAS adalah model siklus dimulai dengan attention, memutuskan untuk

membeli, selanjutnya langkah terakhir adalah share yang membawa proses

kembali ke awal dengan menyebarkan kesadaran produk bagus atau

burukdiantara teman-teman melalui media sosial atau situs-situs review

produk.

Jadi target pemasaran dengan model AISAS ini adalah; Perhatian :

meningkatkan kesadaran konsumen terhadap produk. Interest : Tumbuh

evaluasi konsumen tentang suatu produk. Search : Mendapatkan umpan balik

yang baik tentang produk dan konsumen. Aksi : Memberikan kesempatan

konsumen untuk membeli produk. Share : Mendorong konsumen untuk

mengirimkan informasi berkualitas tinggi tentang suatu produk (Imam Ashari

: 2012 )

Page 148: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

145

Re-branding merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga

untuk mengubah total atau memperbaharui sebuah brand yang telah ada agar

menjadi lebih baik, dengan tidak mengabaikan tujuan awal perusahaan, yaitu

berorientasi profit.Rebranding sebagai sebuah perubahan merek, seringkali

identik dengan perubahan logo ataupun lambang sebuah merek. Dengan kata

lain, ketika melakukan rebranding maka yang berubah ialah nilai-nilai dalam

merek itu sendiri. Anholt (2007) mengatakan bahwa intisari dari re-branding

adalah proses merancang, merencanakan,, dan mengkomunikasikan ulang

nama atau identitas produkatau jasa yang bertujuan untuk mengelolaan

reputasi di masyarakat. Kegiatan memposisikan ulangsuatu merek ini sendiri

memerlukan perubahan bentuk dan citra yang ingin dicapai.Tujuan utamanya

adalah mempengaruhi persepsi konsumen tentang sebuah produk atau jasa.

Ada beberapa alasan mengapa perusahaan mengadakan re – branding.

Menurut Handito Hadi Juwono (2014) ada : The 5 ReBranding Reasons,

terdiri dari;

1. Brand Crisis; yaitu adanya kemerosotan brand image . Kejadian

kerancuan produk atau bahkan pemberitaan pelanggaran hukum

biasanyamengakibatkan brand crisis.

2. Competitor Change; Perubahan brand yang terjadi pada pesaing biasanya

berupa hadirnya competitor baru dengan brand perkasa, perubahan

strategi brand competitor, perubahan brand identity atau brand

communication.

3. Customer Change ; Perubahan terbesar konsumen terbentuk oleh adanya

godaan para produk atau perusahaan yang memberikan iming-iming yang

luar biasa menarik. Seperti terjadinya perang harga sehingga

menyebabkan terjadinya perubahan sikap konsumen terhadap produk

tertentu.

Page 149: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

146

4. Regulation Change; Perubahan tentang pemberlakuan peraturan tentang

prinsip persaingan sehat, minimalisasi kartel dagang, revisi undang-

undang tentang perseroan terbatas maupun berbagai kesepakatan antara

biro iklan tentang cara beriklan, ini semuanya mendorong terjadinya re-

branding.

5. Strategic Change; Perubahan strategi perusahaan jangka panjang,

terutama menyangkut penataan produk komunikasi, perumusan ulang

strategi bisnis dan model bisnis akan mengarah kepada re-branding.

Untuk menciptakan brand sebuah perusahaan tidaklah mudah.Ada dua komponen

penting yang perlu dipertimbangkan, yakni tampilan dan bahasa.

1. Tampilan berhubungan dengan logo bisnis atau produk. Sebuah logo yang

efektif seharusnya :

a. Unik dan menarik bagi target market.

b. Mampu menggambarkan sifat alami bisnis, produk, atau servis. Hal ini

dapat ditafsirkan dengan dua cara yaitu literal dan abstrak.

c. Tidak mudah usang/ketinggalan jaman karena pergantian waktu (tahan

lama).

d. Dapat diterapkan dalam semua konteks potensi komunikasi.

2. Aspek yang sama pentingnya dalam membuat brand ialah bahasanya atau

cara mengungkapkannya. Hal ini sering dijelaskan sebagai tagline atau cara

memposisikan pernyataan. Hal ini digunakan untuk meyakinkan konsistensi

dan kelanjutan dari kedua hal yaitu penampilan dan bahasa menggambarkan

perusahaan yang sekarang kepada pelanggan.

Re-branding juga diharapkan memberikan brand equity, sehingga loyalitas

pelanggan akan suatu merek akan muncul dari proses kesadaran atas merek

itu dan ikatan emosional terhadapnya. CristinaWhidya Utami (2010)

membangun ekuitas merek dapat dilakukan melalui; menciptakan suatu

Page 150: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

147

kesadaran merek yang tinggi, mengembangkan asosiasi yang menyenangkan

dengan nama merek., dan memperkuat citra merek secara konsisten.

Dalm Journal of Product &Brand Management Vol 15 No 2 dinyatakan

bahwa kesadaran merek dan image berdampak positif terhadap kepuasan dan

kepercayaan terhadap merek tersebut sehingga mampu meningkatkan

penjualan dimasa depan. Hal ini tampak pada (1) kesadaran akan merek

berdampak positif terhadap kepuasan, (2) kesadaran akan merek berdampak

positif terhapak kepercayaan akan merek, (3) image terhadap merek

berdampak positif terhadap kepuasan akan merek dan (4) image terhadap

merek bedampak positif terhadap kepercayaan akan merek (Franz Rudolf

Esch and Tobian Lagner et, al., 2006 :98—105).

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini dipergunakan metode penentuan subyek penelitian

secara purposive, yaitu sesuai dengan tujuan penelitian yaitu pelanggan es krim

Magnum yang dalam kehidupan sehari-harinya mempergunakan internet pada

hanphone atau fasilitas sosial lain, sehingga cocok dengan karakter model

AISAS.Jumlah sampel yang diambil adalah 30 orang, yang bertempat tinggal di

Ubud.Sumber datanya terdiri dari data primer yaitu langsung dari pelanggan dan

data skunder yang berasal dari media baik cetak maupun elektonik.Teknik

pengumpulan data mempergunakan kuesioner berupa daftar pertanyaan yang

langsung disampaikan kepada pelanggan. Analisis data secara deskriptif dengan

cara memaparkan hasil penelitian secara sistimatis sehingga dapat ditarik suatu

simpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Sejarah Singkat Es Krim Magnum

Magnum adalah es krim yang dimiliki oleh perusahaan Unilever Inggris /

Belanda, dan dijual sebagai bagian dari produk Heartbrand di sebagian besar

negara.Es krim yang saat ini dikenal sebagai magnum, diluncurkan di Swedia

Page 151: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

148

pada tahun 1989 dan pertama kali diproduksi oleh Frisko di Denmark.Magnum

yang asli (yang kemudian diganti namanya menjadi Magnum Classic) berbentuk

seperti sebuah bar tebal es krim vanilla, ditutupi dengan coklat putih atau gelap,

dengan berat 86 gram (120 ml). Perusahaan mulai menjual Magnum es krim pada

tahun 1994 dan Sandwich es krim pada tahun 2002.

Mulai tahun 1992 Perusahaan menambah Magnum Mint, Double Chocolate, dan

rasa lainnya. Pada tahun 2002 Magnum bercabang menjadi yogurt beku dengan

buah raspberry swirl mereka tercakup dalam coklat susu. Di Australia dan

Selandia Baru, produk yang dijual di bawah nama merek Streets Ice Cream. Pada

tahun 2003. mengeluarkan seri edisi terbatas es krim dikenal sebagai Sembilan

nama Sixties terkait enam puluhan menampilkan: John Lemon, Kayu Choc, Jami

Hendrix, ChocWork Orange, Perdamaian Mangga, Cinnaman di Bulan, Cherry

Guevara, Candy Warhol dan Jambu Lampu. Konsumen yang mengumpulkan

sembilan dari stik es krim ini bisa mengirim mereka mendapatkan Magnum

gratis T-Shirt.Popularitas ekstrim dari Orange ChocWork mengakibatkan Streets

menjualnya sebagai “Chocolate Orange” Magnum untuk beberapa waktu setelah

sisa rentang dihentikan.Demikian pula, Envy Peppermint rentang Tujuh Dosa

Mematikan menjadi “Peppermint” dan masih tersedia di Australia hari ini. Di

Yunani dan Rumania, nama merek Magnum dimiliki oleh Delta / Nestlé,

sehingga es krim Unilever menggunakan nama Magic. Pada tahun 2008 Magnum

telah membawa keluar varian baru di Inggris – Mystica Maya yang merupakan es

krim Magnum coklat dicampur dengan kayu manis, pala dan rasa madu, dan

Magnum Minis tersedia dalam berbagai rasa. Eva Longoria adalah wajah dari

Magnum pada 2008.Juga di tahun 2008, Josh Holloway, dari televisi Lost, terpilih

sebagai juru bicara laki-laki pertama Magnum di Turki. Benicio del Toro dan

Caroline Correa membintangi iklan televisi untuk Magnum Emas, disutradarai

oleh Bryan Singer. Pada tahun 2009 mereka memperkenalkan Magnum Mini

Moments. Mereka datang dalam 3 jenis coklat: susu, putih dan gelap semua

Page 152: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

149

dengan 5 rasa yang berbeda, termasuk almond, truffle dll Di Cina nama Magnum

masih dipertahankan, namun ada varietas yang lebih sedikit; sebagai tahun 2009

hanya ada vanila, cappuccino, dan renyah. Mint dan coklat ganda diperkenalkan

pada tahun 2006 / 2007 namun ditarik dari pasar pada tahun 2008 (atau mungkin

sebelumnya).

2. Perbedaan Es Krim Magnum Sebelum Dan Sesudah Re-Branding

Berikut perbedaan-perbedaan es krim Magnum sebelum di re-branding dan

sesudah di-rebranding:

1. Kemasan

Secara umum perbedaan mendasar yang membedakan es krim Magnum

sebelum dan sesudahre-branding adalah bentuk kemasan yang mencolok

dalam hal desain pemilihan font dan pemilihan warna. Pada desain

kemasan es krim Magnum sebelum re-branding (lama) khususnya pada

bentuk font, terlihat atau terkesan kuat dan kaku. Sedangkan es krim

Magnum yang sekarang didesain dengan bentuk font yang memiliki kesan

mewah. Sedangkan untuk model yang sekarang dengan bentuk font yang lebih

besar dan huruf “M” yang seperti dibuat dengan cetakan membuat kesan

mewah dan berwarna coklat dan keemasan menambah kesan ekslusif pada

desain kemasan es krim Magnum.

Gambar 1.1

Sebelum re-brandingdan sesudah re-branding es krim Magnum

Page 153: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

150

2. Varian Rasa

Setelah lebih dari satu dekade es krim Magnum hadir di Indonesia dengan

hanya satu varian rasa saja yaitu rasa vanila berlapis coklat, tapi

sekarang setelah melakukan perkenalan ulang (re-branding) es krim

Magnum memperkenalkan beberapa varian rasa baru ketika pertama kali

diperkenalkan ulang ke masyarakat. Berikut varian rasa magnum untuk

kawasan Indonesia :

a. Magnum Almond

Es krim vanilla yang lembut dan rasa vanillanya yang manis dilapisi

Belgian Chocolate yang merupakan ‘food for royalty’, ditambah potongan

almond yang memberikan sensasi petualangan tersendiri di tiap gigitannya

b. Magnum Black Espresso& Pink Pomegranate

Mengusung slogan Different Ice Cream for Different Moment, Magnum

Pink dan Magnum Black memang diciptakan dengan rasa yang berbeda

untuk momen yang berbeda.Magnum Pink didesain untuk menemani hari-

hari penuh kecerian dan dinamis. Sedangkan Magnum Black untuk

momen yang lebih elegan dan sophisticated. Dua perbedaan ini juga

dibalut dengan cita rasa yang berbeda.Magnum Pink yang dikira

mengusung rasa stroberi, ternyata dibalut dengan rasa pomegranate(buah

delima). Sedangkan Magnum Black dibalut dengan rasa kopi

espreso.Kedua varian ini memiliki unique selling point.Magnum Pink

keluar dari stigma stroberi. Sedangkan Magnum Black mengambil gaya

hidup minum kopi masyarakat perkotaan. Keduanya dibaluri cokelat

Belgia, merepresentasikan kesan mewah dan premium.

c. Magnum Choco Cappuccino

Es krim lembut dengan rasa Cappuccino yang khas. Dilapisi Belgian

Chocolate yang merupakan 'food for royalty'.Manjakan dirimu dalam

Page 154: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

151

kenikmatan Pleasure yang begitu mewah dari Magnum Choco

Cappuccino.

d. Magnum Chocolate Truffle

Perpaduan es krim coklat dengan saus chocolate truffle yang lembut

dilapisi Belgian Chocolate yang merupakan 'food for royalty' Manjakan

dirimu dalam kenikmatan yang begitu mewah dari Magnum Chocolate

Truffle.

e. Magnum Classic

Es krim vanillanya yang lembut dan rasa vanillanya yang manis. Dilapisi

Belgian Chocolate yang merupakan ‘food for royalty’. Manjakan dirimu

dalam kenikmatan Timeless Pleasure yang begitu mewah dari Magnum

Classic.

f. Magnum Chocolate Brownie

Es krim brownies yang lembut dilapisi dengan Belgian chocolate yang

tebal serta potongan besar cashew nut. Nikmati perpaduan mewah ini

dalam Magnum Chocolate Brownies

g. Magnum Chocolate & Strawberry

Es krim vanilla yang berisi saus strawberry lezat, dibalut dalam tebalnya

Belgian chocolate. Manisnya cokelat dan segarnya strawberry berpadu pas

dalam Magnum Chocolate Strawberry

h. Magnum Golden Hazelnut

Es krim hazelnut yang lembut dalam balutan Belgian milk chocolate yang

tebal dan potongan hazelnut yang renyah.Manjakan lidahmudengan

kenikmatan mewah ala Magnum Golden Hazelnut.

i. Magnum Gold

Es krim vanila lembut dengan saus sea salt caramel yang dilapisi cokelat

Belgia berlapis emas yang tebal dan renyah.

Page 155: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

152

h. Magnum Infinity

Es krim cokelat lembut dengan saus caramel, dan balutan cokelat istimewa

Tanzania yang tebal dan renyah serta taburan biji cokelat asli.

i. Magnum Mini

Magnum Mini merupakan produk terbaru Magnum yang tersedia dalam tiga

varian yang sama dengan pendahulunya, yakni Magnum Classic, Almond, dan

Gold

3. Komunikasi Pemasaran

Pencitraan es krim Magnum sebelum di re-branding di mata konsumen

dinilai biasa saja, bahkan tak jarang masyarakat yang belum atau tidak begitu

mengenal es krim Magnum. Namun setelah dilakukan re-branding, dengan

melakukan aktifitas marketing dan promosi melalui media iklan, media

sosial, hubungan dengan masyarakat, fokus terhadap positioning produk

mereka. Es krim Magnum tidak hanya semakin lebih dikenal dan dicari oleh

para pecinta es krim, tapi juga selalu dinanti mengenai kabar-kabar terbaru

yang menyangkut es krim premium ini.

3. Hasil Penelitian

1. Data Responden

Data responden berdasarkan jenis kelamin dan usia dari 30 responden.

a. Pembagian Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin bagian terbesar (57%) dari 30

responden adalah perempuan

b. Jika dilihat berdasarkan usia, maka pembagian jumlah responden

berdasarkan usianya sebagian besar (18%) dari 30 responden adalah

berumur 20 dan 22 tahun. Untuk range usia responden, bervariasi dari

usia 19 tahun – 45 tahun.

c. Kuesioner Penelitian

1) Pernah Melihat Iklan Televisi Magnum Gold

Page 156: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

153

Peneliti menyebarkan kuesioner penelitian kepada 30 responden.Dari

hasil yang didapat bagian terbesar (100%) dari 30 responden

menjawab “Ya” pernah melihat iklan televisi Magnum Gold.

2) Sudah Memakan Ice Cream Magnum Gold

Peneliti menyebarkan kuesioner penelitian kepada 30 responden.Dari

hasil yang didapat sebagian besar (97%) dari 30 responden menjawab

“Ya” sudah memakan ice cream Magnum Gold.

3) Tabel Frekuensi dari masing-masing indikator nampak pada tabel

dibawah ini:

Tabel. 1. Frekuensi Indikator AISAS

No Dimensi Kuesioner Yes No

Jumlah % Jumlah %

1

Attention

Tema setiap iklan magnum menarik perhatian 24 80% 6 20% 2 Model iklan dalam iklan televisi Magnum menarik perhatian 27 90% 3 10%

3 Busana yang dikenakan model iklan televisi dalam iklan Magnum menarik perhatian 26 87% 4 13%

4 Pengaturan cahaya (lighting) dalam iklan televisi Magnum menarik perhatian 17 57% 13 43%

5 Warna yang ditampilkan dalam iklan televisi Magnum menarik perhatian 25 83% 5 17%

6 Musik pengiring iklan televisi Magnum menarik perhatian 22 73% 8 27%

7 Efek blitz iklan televisi Magnum yang ditampilkan menarikperhatian 18 60% 12 40%

8

Interest

Tema setiap iklan magnum membangkitkan rasa tertarik terhadap iklan maupun Magnum

24 80% 6 20%

9 Demonstrasi ice cream yang ditampilkan dalam iklan televisi Magnum membangkitkan rasa tertarik terhadap iklan maupun Magnum . 25 83% 5 17%

10 Kenikmatan memakan ice cream Magnum membangkitkan rasa tertarik terhadap iklan maupun Magnum 21 70% 9 30%

11 Pengaturan cahaya (lighting) dalam iklan televisi Magnum membangkitkan rasa tertarik terhadap iklan maupun Magnum 12 40% 18 60%

12 Warna yang ditampilkan dalam iklan televisi Magnum membangkitkan rasa tertarik terhadap iklan maupun Magnum 22 73% 8 27%

13

Search

Mencari informasi mengenai harga ice cream Magnum 16 53% 14 47%

14 Mencari informasi mengenai rasa ice cream Magnum kepada orang-orang yang sudah mencoba ice cream tersebut 15 50% 15 50%

Page 157: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

154

d. Interpretasi Skor Tiap Dimensi

Berikut ini akan dipaparkan mengenai skor-skor dari tiap dimensi yang

diuji dan skor tersebut akan diinterpretasikan berdasarkan kriteria

interpretasi skor yang dikemukakan oleh Riduwan (2009, 88) sebagai

berikut:

1) Angka 0%-20% = Sangat Lemah = Sangat Rendah

2) Angka 21-40% = Lemah = Rendah

3) Angka 41-60% = Cukup Tinggi

4) Angka 61-80% = Kuat = Tinggi

5) Angka 81-100% = Sangat Kuat = Sangat Tinggi

Tabel Interpretasi tiap dimensi

1) Skor Attention

Pada dimensi Attention, terdapat tujuh indikator. Oleh karena itu, skor

tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:

Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala

Likert:

30 x 7 x 10 = 2100

Total skor Attention: 1845

% Attention: 1845/2100 x 100% = 88%

15 Mencari informasi mengenai tempat atau toko yang menjual ice cream Magnum 6 20% 24 80%

16 Action

Mengunjungi tempat atau toko terdekat yang menjual ice cream Magnum 23 77% 7 23%

17 Melakukan pembelian ice cream Magnum 25 83% 5 17% 18 Mengkonsumsi ice cream Magnum 23 77% 7 23%

19

Share

Melakukan share kepada orang lain seperti keluarga, teman, dan orang lain mengenai kenikmatan memakan ice cream Magum 19 63% 11 37%

20 Melakukan share mengenai kenikmatan memakan ice cream Magnum melalui facebook, twitter, dll. 3 10% 27 90%

21 Memberikan rekomendasi kepada keluraga, teman, atau orang lain untuk mencoba kenikmatan ice cream Magum 16 53% 14 47%

Page 158: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

155

Berdasarkan kriteria interpretasi skor, angka 88% pada unsur attention

digolongkan sebagai kategori sangat tinggi

2) Skor Interest

Pada dimensi Interest, terdapat lima indikator. Oleh karena itu, skor

tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:

Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala

Likert:

30 x5 x10 = 1500

Total skor Interest: 1270

% Interest: 1270/1500 x 100% = 85%

Berdasarkan kriteria interpretasi skor, angka 85% pada unsur interest

digolongkan sebagai kategori sangat tinggi

3) Skor Search

Pada dimensi Search, terdapat tiga indikator. Oleh karena itu, skor

tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:

Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala

Likert:

30 x 3 x 10 = 900

Total skor Search: 635

% Search: 635/900 x 100%=71%

Berdasarkan kriteria interpretasi skor, angka 71% pada unsur search

digolongkan sebagai kategori tinggi.

4) Skor Action

Pada dimensi Action, terdapat tiga indikator. Oleh karena itu, skor

tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:

Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala

Likert:

30 x 3 x 10 = 900

Page 159: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

156

Total skor Action: 805

% Action: 805/900 x 100% =89%

Berdasarkan kriteria interpretasiskor, angka 89% pada unsur

actiondigolongkan sebagai kategori sangat tinggi.

5) Skor Share

Pada dimensi Shareterdapat tiga indikator. Oleh karena itu, skor

tertinggi yang dapat dicapai pada tahap ini menjadi:

Jumlah responden x Jumlah indikator x Nilai tertinggi pada skala

Likert:

30 x 3 x 10 = 900

Total skor Share: 640

% Share: 640/900 x 100% = 71%

Berdasarkan kriteria interpretasi skor, angka 71% pada unsur share

digolongkan sebagai kategori cukup tinggi

SIMPULAN

1. Adanya kebijakan re-branding dari es krim Magnum dapat memberikan nilai

equitas merek terhadap pelanggan, sehingga konsumen kembali memiliki

keinginan untuk melakukan pembelian.

2. Melalui model AISAS dapat diketahui bahwa keputusan untuk membeli dari

pelanggan mengalami kenaikan ini terbukti; Berdasarkan kriteria interpretasi

skor, angka 88% pada unsur attention digolongkan sebagai kategori sangat tinggi,

angka 85% pada unsur interest digolongkan sebagai kategori sangat tinggi, angka

71% pada unsur search digolongkan sebagai kategori tinggi, angka 89% pada

unsur actiondigolongkan sebagai kategori sangat tinggi, angka 71% pada unsur

share digolongkan sebagai kategori cukup tinggi

Page 160: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

157

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana. I Wayan, 2012.Marginalization in Small Retailer As a Consequence of the

Growth of

Minimarket in Denpasar City, E- Journal of Cultural Studies ISSN 2338-2449

Volume 6.

Cargil Margaret, Patrick O”Cornnor. 2013.Writing Scientific Research Article.South

Australia:Wiley-Blackwell.

Handito Juono. 2014. The 5 ReBranding Reasons. www. Arrybery.com.26 April

2014

Imam Mashari. 2012. AISAS Model.www. com. 26 April 2015

Philip, Kotler 2002. Manajemen Pemasaran (Hendra Teguh dkk. Penerjemah).

Jakarta : PT Prenhallindo

Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are brands forever? How brand knowledge and relationships affect current and future purchases. Journal of Product & Brand Management. Vol.15. No.2

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman.2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrak Telaah Kritis terhadap GelombangMcDonaldisasi (Solichin, Didik P. Yuwono, Penerjemah) .Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

----------------.2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi ( Lucinda, Heru Nugroho, Alih Bahasa). Yogyakarta : Universitas Atmajaya.

Roger, Mary. F. 2009. Barbie Culture Ikon Budaya Konsumerisme. Jogjakarta : Relief.

Utami.Christina Whidya. 2010. Manajemen Ritel, Strategi dan Implikasi Operasional BisnisRitel Modern Di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat.

Page 161: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

158

PENERAPANPEMBELAJARAN BIOTEKNOLOGI MELALUI FERMENTASI JERAMI PADI (Oryza sativaL.)MENGGUNAKAN

LARUTAN BIO CAS UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

I Wayan Suanda,(1)Ni Wayan Ratnadi(2)

,(1)PS. Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali (2)Guru SMP Negeri 11 Denpasar

Email: [email protected]

ABSTRACT

Learning biotechnology conducted by the transformation of matterandits applications, one of which in the form of straw fermentation of rice (Oryza sativa L.) using Bio CAS solution can expand the horizons of knowledge of studentsin the learning materials biotechnology. Learning biotechnology coupled with applicability through direct experiments in the form of research could improve understanding, inspiration and development of science.

This study aims to determine the increase in the protein content in rice straw (Oryza sativa L.) by biotechnological fermentation with Bio CAS solution for ruminant feed. The data collected in the form of protein and physical observations rice straw in the form of observations texture, color and smell after fermentation, which were analyzed using analysis of variance at a significance level of 5% and 1%. To get the real difference among the treatments on BNT continued with Duncant test.

Results of the analysis of protein content of fermented rice straw (Oryza sativa L.) using Bio CAS gained 20.61 and the 5% significance level was of 3.11 and 1% significance level of 5.06. The highest protein content is in treatment P3 which has a concentration of 2%. Key Words: Bio CAS Liquid, Protein, Fermentation, Animal Feed PENDAHULUAN

Pelajaran Bioteknologi merupakan salah satu materi yang diajarkan di

sekolah, baik itu di SMP dan SMA maupun Perguruan Tinggi yang memiliki

disiplin ilmu biologi atau yang berdekatan dengan bidang ilmu

tersebut.Pembelajaran bioteknologi di jenjang yang berbeda tentunya materi

yang diberikan memiliki tingkat kedalaman yang berbeda. Terlebih

pembelajaran bioteknologi disekolah diberikan dengan penerapan langsung

Page 162: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

159

dengan melakukan percobaan sederhana berupafermentasi Jerami padi (oryza

sativa L.) menggunakan Bio CAS untuk pakan ternak ruminansia. Bioteknologi

merupakan suatu bidang penerapan biosains dan teknologi yang menyangkut

aplikasi praktis organisme hidup atau komponen subselulernya pada industri

jasa dan manufaktur serta pengelolaan lingkungan untuk kesejahteraan

manusia. Biteknologi mencangkup proses fermentasi,pengelolaan air dan

sampah, sebagian teknologi pangan dan berbagai penerapan baru

lainnya.Bioteknologi memanfaatkan bakteri, kapang, ragi, alga, sel tumbuhan

atau sel jaringan hewan yang ditumbuhkan sebagai konstituen berbagai proses

industri. Bioteknologi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu bioteknologi

tradisionaldan bioteknologi modern. Bioteknologi tradisional yaitu proses

bioteknologi yang terjadi pada suatu makanan atau bahan pakan dengan cara

menambahkan suatu enzim atau mikroorganisme tertentu sehingga terjadi

perubahan fisik, penampilan, dan rasa akibat prosesbiologis dalam bahan dan

bioteknologi modern dapat berupa rekayasa genetika, pembuatan antibiotika,

insulin dan sebagainya.

Fermentasi adalah proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba

(jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia

lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan

menghasilkan produk tertentu dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat

bahan tersebut (Winamo dan Fardiaz, 1980). Fermentasi dilakukan dengan cara

menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik, lignolitik, selulolitik,

lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik (contohnya: starbio,

starbioplus, EM-4, dan lain-lain) pada suatu bahan yang dalam penelitian ini

berupa jerami padi, sebagai hasil pertanian yang tersedia sangat melimpah.

Ketersediaan bahan baku berupa pakan lokal berbasis pertanian dan

agroindustri sangat melimpah di Indonesia, namun sebagai pakan

ternakruminansia belum termanfaatkan secara baik dan optimal.Kondisi ini

Page 163: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

160

disebabkan belum adanya produksi bahan baku pakan yang menghasilkan

komposisi nutrisi dan prosedur pengolahannya yang berbasis bioteknologi,

sehingga memiliki mutu yang standar, baik fisik maupun kimia (Sukria dan

Rantan, 2009). Penggunaan jerami padi secara langsung atau sebagai pakan

tunggal tidak dapat memenuhi pasokan nutrisi yang dibutuhkan ternak

ruminansia. Adanya faktor pembatas pada jerami padi dengan nilai gizi yang

rendah yaitu rendahnya kandungan protein kasar, tingginya serat kasar, lignin,

silika (Ranjhan, 1977) serta rendahnya kecernaan (Djajanegara, 1983). Untuk

itu, jerami padi perlu ditingkatkan nilai nutrisinya dengan melakukan

pengolahan, baik fisik, kimia, maupun biologis.

Jerami padi menjadi sumber pakan alternatif yang efektif bila digunakan

saat kekurangan pakan yang biasanya terjadi pada musim

kemarau.Pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak di Indonesia berkisar

antara 31%-39% dan sebagian besar dibakar atau dikembalikan ke tanah

sebagai pupuk (36%-62%) serta sisanya antara 7-16% digunakan untuk

keperluan industri (Komar, 1984). Jerami padi mengandung 80% bahan

organik yang secara potensial dapat dicerna. Oleh karena itu, jerami padi

merupakan sumber energi yang besar untuk ternak ruminansia, tetapi

kenyataan yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia hanya 45-50% (Hidayat,

2002).

Untuk meningkatkan kandungan protein jerami padi sebagai pakan

ternak ruminansia, diperlukan bioteknologi fermentasi, yang dapat

mempercempat kondisi anaerob di tempat penyimpanan jerami padi (Anonim,

2011). Suasana asam dapat dilakukan dengan memberiBio CAS. Bio CAS

merupakan bahan probiotik yang mengandung beberapa jenis mikroba yang

mampu menguraikan serat kasar jerami padi. Probiotik Bio CAS disamping bisa

dimanfaatkan untuk mengolah jerami padi, juga dapat mempercepat

pertumbuhan ternak. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik mengadakan

Page 164: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

161

penelitian yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Bioteknologi melalui

Fermentasi Jerami Padi (Oryza sativaL.)menggunakanLarutan Bio CAS sebagai

Pakan Ternak Ruminansia”.

1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah

yaitu apakahterjadi peningkatan kandungan protein pada jerami padi (Oryza

sativaL.) melaluibioteknologi fermentasi jerami padi (Oryza sativa L.)

menggunakan larutan Bio CASuntukpakan ternak ruminansia ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui peningkatan kandungan protein pada jerami padi (Oryza sativaL.)

melaluibioteknologi fermentasi dengan larutan Bio CASuntukpakan ternak

ruminansia.

1.4 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang telah dikemukakan di

atas, maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa terjadi peningkatan kandungan

protein pada jerami padi (Oryza sativaL.) pada proses fermentasi dengan

larutan Bio CASuntuk pakan ternak ruminansia.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun

secara praktis, yaitu:

1.5.1 Manfaat teoritis

a. Secara teoritis, penelitian ini dapat mengungkapkan pengaruh

penggunaan larutan Bio CAS terhadap kandungan protein pada

fermentasi jerami padi sebagai pakan ternak.

b. Memberikan sumbangan berupa teori dan aplikasi dalam pembelajaran

bioteknolog yang berkaitan dengan proses fermentasi.

Page 165: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

162

1.5.2 Manfaat praktis

a. Bagi peserta didik, pembahasan materi bioteknologi dengan

pembelajaran secara aplikatif berupa fermentasijerami padi (Oryza

sativaL.)menggunakan Bio CASdapat mengembangkan dapat

meningkatkan pemahaman pada materi bioteknologi, rasa ingin tahu

dan merangsang berpikir kreaktif serta bersikap ilmiah peserta didik.

b. Bagi guru, khususnya guru bidang studi biologi atau IPA, penelitian

ini dapat dijadikan pengembangan materi pembelajaran bioteknologi

dan sebagai inspirasi awal untuk melakukan penelitian dengan

melibatkan mikroorganisme.

c. Bagi masyarakat khususnya petani dan peternak ruminansia dapat

menjadikan alternatif cara pengolahan limbah hasil pertanian yang

dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia.

d. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan rasa ingin tahu dengan

berpikir kreatif untuk mengembangkan sikap ilmiah, yang nantinya

dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai bahan perbandingan dalam

bidang penelitian yang sejenis.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimen terapan (murni).

Penelitian terapan dilakukan dengan tujuan menerapkan, menguji dan

mengevaluasi kemampuan suatu teori yang diterapkan dalam memecahkan

masalah-masalah praktis di masyarakat (Gray, dalamSudijono, 2009). Jadi

hasil penelitian ini akan diterapkan di masyarakat untuk membantu masalah-

masalah praktis terutama yang ada hubungannya dengan jerami padi.

2.1 Prosedur Penelitian

Sebelum percobaan dilakukan, terlebih dahulu dipersiapkan alat dan

bahan yang diperlukan.

Page 166: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

163

Alat yang diperlukan dalam eksperimen, yaitu: kantong plastik besar

(polybag), timbangan (neraca), ember kecil (diameter 12 cm), alat pengaduk

(spatula), sendok makan, dan sprayer (alat semprot) kecil.Bahanyang

diperlukan, seperti: air (aquades), urea, jerami padi, probiotik Bio CAS, dan

molasis (tetes gula tebu)/gula merah.

2.2 Pembuatan Larutan Bio CAS

Pembuatan larutan Bio CAS tergantung pada banyaknya bahan (jerami

padi) yang akan diolah. Penelitian ini terdiri dari 5 perlakuan Bio CAS

ditambah perlakuan kontrol (tanpa Bio CAS) yang diulang masing-masing

sebanyak 3 kali. Setiap perlakuan berisi 1 kg jerami padi, sehingga dibutuhkan

18 kg jerami padi, sedangkan larutan Bio CAS diperoleh dari BPTP Bali.

1. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 1% dengan volume

100 ml yaitu: 1 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga

volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata dan

biarkan selama 30 menit.

2. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 1,5% dengan volume

100 ml yaitu: 1,5 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 gram urea + air

sehingga volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata

dan biarkan selama 30 menit.

3. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 2% dengan volume

100 ml yaitu: 2 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga

volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata dan

biarkan selama 30 menit.

4. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 2,5% dengan volume

100 ml yaitu: 2,5 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air

sehingga volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata

dan biarkan selama 30 menit.

Page 167: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

164

5. Pembuatan konsentrasi larutan probiotik Bio CAS 3% dengan volume

100 ml yaitu: 3 ml Bio CAS + 5 g gula merah + 0,5 g urea + air sehingga

volumenya mencapai 100 ml, kemudian diaduk secara merata dan

biarkan selama 30 menit.

6. Untuk perlakuan kontrol hanya disemprotkan dengan 100 ml air

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP

PGRI Bali, JL Akasia Denpasar selama 14 hari, dengan tahap pelaksanaan

sebagai berikut:

1. Jerami yang dikering anginkan selama 1 minggu ditimbang sebanyak 1

kg setiap perlakuan, kemudian diperlakukan dengan menyemprotkan

larutan Bio CAS sebanyak 100 ml untuk setiap perlakuan.

2. Jerami yang sudah di semprotkan larutan Bio CAS dimasukan kedalam

kantong plastik.

3. Jerami yang sudah disemprotkan larutan Bio CAS dalam kantong plastik

diikat dan pastikan tidak ada celah udara yang dapat menghambat proses

fermentasi.

4. Dari percobaan pendahuluan ternyata setiap 1 kg jerami pada perlakuan

memerlukan larutan dengan volume 100 ml.

2.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dapat

berupa kotak-kotak antara unit percobaan ini dibatasi dengan ruang

pengamatan sehingga tidak akan terjadi interaksi antara sesama unit. Dengan

demikian letak dan posisi masing-masing unit tidak akan mempengaruhi hasil-

hasil percobaan. Atas dasar kondisi lingkungan yang homogen ini maka setiap

unit percobaan secara keseluruhannya merupakan suatu randomisasi yang

berarti setiap perlakuan pada setiap ulangan mempunyai peluang yang sama

besar menempati kotak-kotak percobaan sehingga randomisasi menurut RAL

dilakukan secara lengkap (Gomez dan Gomez, 1996).

Page 168: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

165

Adapun denah percobaan adalah sebagai berikut:

Ulangan Kelompok Perlakuan

I P0a P3c P4a P2b P1c P5a

II P5c P0b P2c P1b P4c P3a

III P3b P1a P4b P2a P0c P5b

Gambar 01 Denah Percobaan

Keterangan: P0 = Kontrol/konsentrasi 0% P1 = Bio CAS dengan konsentrasi 1% P2 = Bio CAS dengan konsentrasi 1,5% P3 = Bio CAS dengan konsentrasi 2% P4 = Bio CAS dengan konsentrasi 2,5% P5 = Bio CAS dengan konsentrasi 3% (Sumber: Gomez dan Gomez, 1996). 2.4 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian tentang kandungan protein

melalui proses fermentasi pada jerami padi pada masing-masing perlakuan

diolah dengan menggunakan analisa varian (ANAVA) dengan uji F, jika uji

Anava menunjukan adanya perbedaan atau signifikan maka dilanjutkan dengan

uji beda rata-rata dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% dan 1%. Untuk

mengetahui hubungan antar perlakuan dan untuk mengetahui konsentrasi

larutan Bio CAS yang paling optimal terhadap kandungan protein hasil

fermentasi, maka dilanjutkan dengan uji Duncant yang dibantu dengan

menggunakan program SPSS Forwindows Realese 10.0 2003.

Page 169: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

166

HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Untuk mengukur kandungan protein menggunakan alat destruksi, alat

destilasi, dan alat titrasi serta untuk pengamatan fisik pada jerami hasil

fermentasi melalui responden atau audien. Data yang diperoleh dari hasil

fermentasi jerami padi tentang tekstur, warna, dan bau adalah sebagai berikut.

a. Tekstur

Data yang diperoleh tentang tekstur jerami padi yang difermentasi

dengan larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Lemas (tidak kaku), b. Lemas

sedikit berjamur, c. Lemas sangat berjamur. Hasil yang diperoleh menunjukan

responden yang berpendapat paling banyak terhadap tekstur a. Lemas (tidak

kaku) adalah 10 orang. Hal ini menunjukan 100% pada P3 termasuk juga pada

kandungan proteinnya lebih tinggi yaitu: 6,0571%, sehingga responden

menyatakan bahwa hasil fermentasi menunjukan tekstur lemas (tidak kaku)

yang paling baik pada hasil fermentasi adalah perlakuan P3.

b. Warna

Data yang diperoleh tentang warna jerami padi yang difermentasi

dengan larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Kuning agak kecoklatan, b.

Kuning kecoklatan, c. Kuning agak kehitaman. Hasil yang diperoleh

menunjukan responden yang berpendapat paling banyak terhadap warna a.

Kuning agak kecoklatan adalah 10 orang. Hal ini menunjukan 100% pada P3,

termasuk juga pada kandungan proteinnya lebih tinggi yaitu: 6,0571%,

sehingga responden menyatakan bahwa hasil fermentasi menunjukan warna

kuning agak kecoklatan yang paling baik pada hasil fermentasi adalah

perlakuan P3.

c. Bau

Data yang diperoleh tentang bau jerami padi yang difermentasi dengan

larutan Bio CAS dapat dikatagorikan: a. Agak harum, b. Sedikit pengir, c.

Sangat pengir. Hasil yang diperoleh menunjukkan responden yang berpendapat

Page 170: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

167

paling banyak terhadap bau a. Agak harum adalah 10 orang. Hal ini

menunjukkan 100% pada P3, termasuk juga kandungan proteinnya lebih tinggi

yaitu: 6,0571%, sehingga responden menyatakan bahwa hasil fermentasi

menunjukan warna kuning agak kecoklatan yang paling baik pada hasil

fermentasi adalah perlakuan P3.Hasil perhitungan kandungan protein pada

fermentasi jerami padi dimasukan ke dalam tabel sidik ragam yang disajikan

pada Tabel 01.

Berdasarkan taraf signifikan 5% dan 1% dengan db perlakuan = 5, db

acak = 12 diperoleh harga batas penolakan hipotesis nol (H0) dalam Tabel 10

untuk taraf signifikan 5% = 3,11 dan taraf segnifikan 1% = 5,06. ini berarti F

hitung = 20,61 ≥ F tabel. Oleh karena itu H0 ditolak dan H1 diterima. Ini

menunjukan bahwa ada pengaruh penggunaan larutan Bio CAS terhadap

kandungan protein pada fermentasi jerami padi sebagai pakan ternak.Untuk

mengetahui perbedaan antara perlakuan digunakan uji Beda Nyata Terkecil

(BNT). Uji ini dilakuakan baik pada taraf signifikan 5% dan 1% seperti pada

Tabel 01.

Tabel 01. Sidik Ragam kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi

SK DB JK KT F hitung F Tabel

5% 1% Perlakuan

Acak

5

12

7,2271

0,8479

1,4550

0,0706

20,61 3,11 5,06

Total 17 8,075 1,5256

Berdasarkan analisis data pada Tabel 01 ternyata diperoleh nilai Fhitung

kandungan protein pada fermentrasi jerami padi sebagai pakan ternak adalah

20,61, sedangkan nilai batas penolakan hopotesis nol (H0) pada taraf

segnifikan 5% sebesar 3,11 dan 1% sebesar 5,06 dengan db perlakuan = 5 db

acak = 12 dan ternyata Fhitung dari penelitian di atas lebih besar dari nilai batas

Page 171: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

168

penolakan. Ini berarti hipotesis nol (H0) yang menyatakan: “bahwa tidak ada

pengaruh penggunaan larutan Bio CAS terhadap kandungan protei pada

fermentasi jerami padi (Oryza sativa L.) sebagai pakan ternak” ditolak, dan

hipotesis alternatif (H1) yang menyatakan: “bahwa ada pengaruh penggunaan

larutan Bio CAS terhadap kandungan protei pada fermentasi jerami padi (Oryza

sativaL.) sebagai pakan ternak” diterima.

Untuk menentukan hubungan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji

Lanjut (Uji Duncant) pada taraf signifikan 5%. Hasil penghitungan dengan Uji

Duncant diperoleh hasil bahwa perlakuan P0 tidak berbeda nyata berarti

senyawa aktif belum efektif dalam perombakan senyawa dalam jerami padi (P

> 0,05). Perlakuan P0, dengan P1, P2, P3, P4, dan P5 berbeda nyata (P<0,05)

namun antar perlakuan P1, P2, P4, dan P5 tidak berbeda nyata dan antar P1,

P2, P4, dan P5 dengan perlakuan P3 berbeda nyata, dapat dilihat pada Tabel

02.

Tabel 02

Rata-Rata Kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi

Kelompok Rata-rata dan standar deviasi kandungan protein pada fermentasi jerami padi

P0 4,00 + 0,17 A

P1 5,46 + 0,24 B

P2 5,61 + 0,30 B

P3 6,06 + 0,35 C

P4 5,46 + 0,27 B

P5 5,36 + 0,22 B

Keterangan: Huruf yang sama di bawah nilai rata-rata dan menunjukkan perbedaan tidak nyata pada taraf signifikan 5% dengan uji Duncant.

Page 172: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

169

Gambar 02. Grafik Kandungan Protein pada Fermentasi Jerami Padi

keterangan: P0 = tanpa perlakuan 0% (0 ml) P1 = perlakuan dengan konsentrasi 1% (1 ml) P2 = perlakuan dengan konsentrasi 1,5% (1,5 ml) P3 = perlakuan dengan konsentrasi 2% (2 ml) P4 = perlakuan dengan konsentrasi 2,5% (2,5 ml) P5 = perlakuan dengan konsentrasi 3% (3 ml) 3.2. Pembahasan

Berdasarkan Gambar 04 di atas bahwa penggunaan larutan Bio CAS

sangat nyata terhadap peningkatan kandungan protein pada fermentasi jerami

padi (Oryza. sativa. L)sebagai pakan ternak. Penggunaan larutan Bio CAS

terhadap peningkatan kandungan protein pada fermentasi jerami padi sebagai

pakan ternak diperoleh nilai tertinggi pada perlakuan konsentrasi 2 % (P3)

dengan nilai 6,0571 bila dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 0 % (P0)

= 4,0020; 1 % (P1) = 5,4601; 1,5 % (P2) = 5,6141; 2,5 % (P4) = 5,4648 dan 3 %

Konsentrasi %

5,4601 5,61416,0571

5,4648 5,3619

4,0020

0

1

2

3

4

5

6

7

0% 1% 1,5% 2% 2,5% 3%

protein %

Page 173: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

170

(P5) = 5,3619. Hasil tersebut menandakan kandungan Bio CAS pada perlakuan

(P3) yang optimal untuk memecah senyawa yang terkandung dalam jerami padi

dengan fermentasi selama 14 hari dapat dilihat pada Tabel 01.

Pemanfaatan Bio CAS yang merupakan campuran berbagai spesies

mikroorganisme, terutama mikroorganisme yang mampu memecah komponen

serat (cellulolytic microorganism) melalui pakan dapat meningkatkan

produktivitas ternak. Hasil penelitian Syamsu (2006) menyatakan bahwa

komposisi nutrisi jerami padi yang telah difermentasi dengan menggunakan

starter mikroba (starbio) sebanyak 0,06% dari berat jerami padi, secara umum

memperlihatkan peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak

difermentasi. Ada beberapa pengolahan yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kecernaan potensial serat kasar (Preston dan Leng, 1987).

Peningkatan kuantitas bagian yang dapat dicerna pada pakan yang berkualitas

rendah dapat dilakukan melalui proses kimia, fisik, dan biologis (Hungate,

1966).

Perlakuan fisik berupa pemotongan, penggilingan, peleting,

penghancuran, dan lain-lain. Perlakuan biologis dengan menggunakna jamur

(fungi). Proses kimiawi pencernaan limbah-limbah pertanian dapat

ditingkatkan dengan penambahan alkali dan asam (Pigden dan Bender, 1978).

Walker dan Kohler (1978) menyatakan bahwa perlakuan kimia yang telah

dicoba diteliti antara lain terdiri atas perlakuan Naoh, KOH, Ca (OH), dan

urea. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kecepatan cerna serat pada awal

proses pencernaan sehingga mempengaruhi ketersediaan energi Adenosine

Triphospate (ATP) yang diperlukan dalam proliferasi mikroba rumen

(Haryanto dkk., 1998). Manipulasi rumen dapat diarahkan untuk meningkatkan

efisiensi pemanfaatan pakan melalui maksimalisasi kecernaan nutrien maupun

sintesis protein mikroba rumen. Manipulasi ini dapat digunakan melalui

penggunaan antibiotik maupun penggunaan probiotik. Penelitian pemafaatan

Page 174: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

171

probiotik dalam pakan telah dilakukan di Bali Ternak dengan hasil yang

menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap peningkatan kecernaan

komponen serat pakan maupun terhadap produktivitas ternak (Haryanto dkk.,

1998).

Hal ini memberikan indikasi bahwa starter mikroba yang mengandung

mikroba proteolitik yang menghasilkan enzim protease dapat merombak

protein menjadi polipeptida yang selanjutnya menjadi peptida

sederhana.Penggunaan starter mikroba dapat menurunkan kadar dinding sel

(NDF) jerami padi dari 73,41% menjadi 66,14%. Menurunnya kadar NDF

menunjukkan telah terjadi pemecahan selulosa dinding sel sehingga pakan

jerami padi akan menjadi lebih mudah dicerna oleh ternak.Mikroba lignolitik

dalam starter mikroba membantu perombakan ikatan lignoselulosa sehingga

selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim lignase.

Fenomena ini terlihat dengan menurunnya kandungan selulosa dan lignin

jerami padi yang difermentasi. Menurunnya kadar lignin menunjukkan selama

fermentasi terjadi penguraian ikatan lignin dan hemiselulosa. Lignin

merupakan benteng pelindung fisik yang menghambat daya cerna enzim

terhadap jaringan tanaman dan lignin berikatan erat dengan

hemiselulosa.Dengan demikian dapat diduga bahwa selama fermentasi terjadi

pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa jerami padi.

PENUTUP

4.1 Simpulan

Berdasarkan analisis data dengan uji F dan BNT maka dapat dibuat

suatu simpulan bahwa terjadi peningkatan kandungan protein pada jerami padi

(Oryza sativaL.) pada proses fermentasi dengan larutan Bio CAS sebagai

pakan ternak ruminansia. Penggunaan Bio CAS paling optimal terjadi pada

konsentrasi 2% (P3) yaitu sebanyak 6,0571%.

Page 175: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

172

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang sudah dipaparkan di

atas maka dapat dikemukakan beberapa saran yaitu:

1. Bagi para pendidik khususnya guru biologi atau IPA diharapkan dapat

menggali informasi lewat penelitian ini sehingga dapat menambah

pemahaman tentang bioteknologi fermentasi dan peranan mikroorganisme

serta kandungan protein pada jerami padi, sehingga dapat menularkan

kepadapeserta didik untuk mengembangkan sikap ilmiah melalui kegiatan

penelitian.

2. Bagi peserta didik yang mendapat materi pelajaran bioteknologi khususnya

topik fermentasi dapat memberikan inspirasi dan mengembangkan

penguasaan materi ini lebih luas.

3. Bagi para peternak sapi dan karbau dalam usaha meningkatkan kualitas

pakan ternak pada musim kemarau dimana hijauan segar sulit diperoleh

hendaknya memanfaatkan jerami padi yang diberi Bio CAS.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. Tanaman Padi. Avaible at; http//www.google.wikipedia.org/wiki/padi. Opened: 14 Januari 2011.18.00

Djajanegara, A. 1983. Tinjauan Ulang Mengenai Evaluasi Suplemen pada

Jerami Padi. Prosiding Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. Bandung: Lembaga Kimia Nasional LIPI.

Gomez, A. Kwanchai dan Gomez, A. Arturo. 1996. Prosedur Statistik untuk

Penelitian Pertanian. Edisi kedua. Jakarta: Universitas Indonesia. Haryanto, B; A. Thalib dan Isbandi. 1998. Pemanfaatan Probiotik Dalam

Upaya Peningkatan Efisiensi Fermentasi Pakan di Dalam Rumen. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Page 176: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

173

Hastutik, S. 1983. Limbah Pertania sebagai Pakan Ternak Ruminansia dan Cara Memperbaiki Nutrisi. NUFFIC. Malang: Universitas Brawijaya.

Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. New York: Academic Press. Komar, A. 1984. Teknologi Penggolahan Jerami Sebagai Bahan Makanan

Ternak. Bandung: Dian Grahita Lily, A. 1989. Uji dan Standar Mutu Bahan Makanan Ternak. Bogor: Institut

Pertanian Bogor. Pigden, W.J. and F. Bender. 1978. Utilization of Lignocellulosic by ruminant.

World. Anim. Rev. 12 : 30-33.

Preston, T.R. and R.A.Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems with Available Resources in the Tropic and Sub-Tropic. International Colour Production. Stanthorpe, Queensland, Australia.

Ranjhan, S.K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practice in India. New

Delhi: Vikan Pub.House PVT Ltd. Sudijono, A. 2009. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT Raja grafindo

Persada. Sukria, H. Heri dan Rantan Krisna. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan

Baku Pakan diIndonesia. Bogor: IPB Press Kampus IPB Darmaga. Walker. H.G. and G.O.Kohler, 1978. Treatedand Untreated Cellulosic Wastes

and Animal Feeds. Recents Work interaksi the United States of America.

Winarno, F.G. dan S. Fardiaz. 1980. Biofermentasi clan Biosintesa Protein.

Bandung: Angkasa. CURRICULUM VITAE

Nama : Drs. I Wayan Suanda, SP., M.Si NIP : 196512311991031015 NIDN : 00311265047 No. Sertifikat Pendidik : 11108200205241 Pangkat / Golongan : Pembina Utama Muda / IVc Jabatan : Lektor Kepala Tempat / Tgl lahir : Denpasar, 31 Desember 1965 Agama : Hindu Alamat Rumah : Jln. Pulau Bungin Gg. Safari No. 6 Denpasar

Page 177: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

174

HP. 081236766665 – 085100066608 Perguruan Tinggi / Fak. : IKIP PGRI Bali / FPMIPA Alamat Kantor : Jln. Seroja Tonja - Denpasar Utara

Tlp/Fax (0361) 431434 Pendidikan : S1 Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali,

tahun 1990 S1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar,tahun 1993

S2 Bioteknologi Perlindungan tanaman Program Pascasarjana Fak. Pertanian Univ.

Udayana. tahun 2002 Pengalaman Jabatan 1. Dosen PNS Kopertis Wilayah VIII dpk pada Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP

PGRI Bali, tahun 1991 – sekarang. 2. Ketua Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 1994 – 1999 3. PD III FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 1999 – 2004. 4. Ketua Jurusan Pend. Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 2004 – 2011 5. Dekan FPMIPA IKIP PGRI Bali, 1 April 2011 – 1 April 2015 6. Ketua Badan Penjamin Mutu (BPM) IKIP PGRI Bali, 1 April 2015 – sekarang CURRICULUM VITAE

Nama : Ni Wayan Ratnadi, S.Pd., M.Pd. NIP : 196705101993032007 NUPTK :3337745650300013 Pangkat / Golongan : Guru Muda / III d Jabatan : Penata Tk. I Tempat / Tgl lahir : Denpasar, 10 Mei 1967 Agama : Hindu Alamat Rumah : Jln. Pulau Bungin Gg. Safari No. 6 Denpasar

HP. 08123974024 Tempat Kerja : SMP Negeri 11 Denpasar Guru : IPA Alamat Kantor : Jln. Tukad Punggawa No. 14 Serangan – Denpasar

Selatan Tlp/Fax (0361) 8951021

Pendidikan : S1 Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, tahun 1996 S2 Administrasi Pendidikan Univ. Pendidikan

Ganesha (Undiksa) Singaraja, tahun 2010.

Page 178: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

175

PROGRAM INTERVENSI UNTUK MENINGKATKAN PERCAYA DIRI SISWA

Kadek Suhardita (IKIP PGRI Bali)

Email: [email protected]

ABSTRACT

Basic consideration, on the application of guidance and counseling programs in schools not only lies in the presence or absence of a legal basis (law) or the provisions of the above, but more important is the awareness or commitment to facilitate the students to be able to develop her potential or achieve development tasks (involving the physical, emotional, intellectual, social, and moral-spiritual). High School is an educational institution that is responsible for facilitating learners to develop in accordance with its potential, and optilamisasi developmental tasks. Problems and risky occur at the high school students including problems in the field of academic, social, personal, and in their career field. Intervention program designed research is a personal matter at high school students concerning the confidence of students approach taken using a combination of group counseling with the game. Through the technique of the game to increase the confidence of students is designed as a form guide, especially at the High School contents of the program to be discussed is about; rational, vision, mission, a description of the needs, objectives, program components, systems support, intervention targets, operational plans, the development of the theme, the development of the service unit, the evaluation.

Key words: Intervention Program, Confidence

PENDAHULUAN

Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penerapan program bimbingan

dan konseling di sekolah bukan hanya terletak pada ada atau tidak adanya landasan

hokum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting

adalah adanya kesadaran atau komitmen untuk memfasilitasi siswa agar mampu

mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya

(menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual). Sekolah

Menengah Atas (SMA) merupakan institusi pendidikan yang bertanggung jawab

dalam memfasilitasi peserta didik untuk berkembang sesuai dengan potensinya, dan

Page 179: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

176

optilamisasi tugas-tugas perkembangan. Sesuai dengan peraturan pemerintah

Republik Indonesia nomor 17 tahun 2010 kedudukan Sekolah Menengah Atas, yang

selanjutnya disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang

menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai

lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil

belajar yang diakui sama/setara SMP. Pendidikan jenjang SMA memiliki peran

strategis dalam menyalurkan peserta didik untuk melanjutkan kejenjang yang lebih

tinggi atau untuk hidup mandiri dimasyarakat.

Permasalahan yang dihadapi dan riskan terjadi pada pada siswa SMA

diantaranya masalah dalam bidang akademik, sosial, pribadi, maupun dalam bidang

karir mereka. Program intervensi yang dirancang peneliti adalah masalah pribadi

pada siswa SMA yang menyangkut tentang percaya diri siswa pendekatan yang

dilakukan menggunakan perpaduan antara bimbingan kelompok dengan permainan.

Angelis (2003:58-77), dalam mengembangkan percaya diri terdapat tiga aspek

yaitu: 1) Tingkah laku, yang memiliki tiga indikator; melakukan sesuatu secara

maksimal, mendapat bantuan dari orang lain, dan mampu menghadapi segala

kendala, 2)Emosi, terdiri dari empat indikator; memahami perasaan sendiri,

mengungkapkan perasaan sendiri, memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat

mengalami kesulitan, memahami manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada

orang lain, dan 3) Spiritual, terdiri dari tiga indikator; memahami bahwa alam

semesta adalah sebuah misteri, meyakini takdir Tuhan, dan mengagungkan Tuhan.

Wisberg (1995) dan Faud Hasan (1988) dalam Suherman (2008 : 192)

menyatakan dalam proses pembelajaran pengembangan perilaku kognitif dan

akademis harus dipromosikan dalam seting pengarahan tidak langsung atau bermain

agar anak tidak hanya mengikuti tetapi memahami makna. Selanjutnya bermain game

menurut Serok dan Blom dalam (Nandang Rusmana, 2009 : 04) menyebutkan bahwa

bermain game pada intinya bersifat sosial dan melibatkan belajar dan mematuhi

peraturan, pemecahan masalah, disiplin diri, dan control emosional serta adopsi

Page 180: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

177

peran-peran pemimpin dan pengikut yang semuanya merupakan komponen-

komponen penting dalam bersosialisasi.

Berdasarkan hasil kuesioner yang disebar sebagai bentuk pre tes pada siswa

kelas XI yang berjumlah 138 siswa, diantaranyanya kelas XI IPA2, XI IPA3, XI

IPS2, dan XI IPS3. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa secara umum siswa

kurang percaya diri. Berikut merupakan profil percaya diri siswa dilihat dari aspek

dan masing-masing indikatornya; 1) Pada aspek Percaya diri dalam bertingkahlaku

dengan sub aspek; keyakinan diri, sikap penerimaan, dan sikap optimis pada setiap

indikatornya; (a) melakukan sesuatu secara maksimal, (b) mendapat bantuan dari

orang lain, dan (c) mampu menghadapi segala kendala berada pada prosentase yang

rendah 2) Pada aspek Percaya diri dalam emosi dengan sub aspek; penilaian diri,

ekspresi emosi, penghargaan positif serta sikap positif, dan masing-masing

indikatornya; (a) memahami perasaan sendiri, (b) mengungkapkan perasaan sendiri,

(c) memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat mengalami kesulitan, (d)

memahami manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada orang lain berada pada

prosentase yang rendah; 3) Pada aspek Percaya diri dalam spiritual dengan sub

aspek; meyakini takdir Tuhan, dintaranya indikator; (a) memahami bahwa alam

semesta adalah sebuah misteri, (b) meyakini takdir Tuhan, (c) dan mengagungkan

Tuhan juga berada pada kategori rendah. Berdasarkan data yang di dapat berupa

permasalahan siswa di kelas secara umum siswa yang bersangkutan mengalami

masalah dalam prestasi belajar, baik kebiasaan belajar, motivasi, serta cara belajar

yang kurang diketahui siswa oleh siswa. Perilaku siswa dalam belajar juga

menunjukkan adanya suatu hambatan dalam keseharian di kelas. hal ini dapat

diketahui setelah mengadakan pendekatan dengan guru bimbingan dan konseling

yang memegang di kelas yang bersangkutan mengatakan bahwa. Memang sulit untuk

menumbuhkan kemandirian siswa dalam belajar kalau memang siswa tersebut sudah

sangat ketergantungan dengan teman – temannya terutama cara belajar yang kurang

baik. Salah satunya kebanyak siswa mengerjakan PR di sekolah, siswa kurang aktif di

Page 181: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

178

kelas. Sehingga pada saat pelajaran berlangsung siswa tersebut sulit sekali menerima

materi yang di sampaikan oleh guru di kelas yang akan berdampak pada motivasi

belajar kurang.

Berdasarkan data yang diperoleh dari masing-masing indikataor tersebut

menunjukkan bahwa secara umum siswa kelas XI berada dalam rentang percaya diri

yang rendah. Dalam pelaksanaan pretes ini sudah tentunya mendapatkan persetujuan

dari pihak sekolah, baik dari kepala sekolah selaku orang yang memegang peranan

penting di sekolah SMA, guru BK bahkan dari pihak wali kelas. Program penggunaan

teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa

SMA ini dikembangkan berdasarkan hasil kajian konsep teori percaya diri dan

permainan dalam bentuk kelompok, hasil studi pendahuluan yang relevan, dan

analisis kebutuhan terhadap pentingnya bimbingan kelompok dalam upaya

meningkatkan percaya diri siswa SMA. Oleh karena itu besar harapan dari peneliti

program yang telah dirancang ini dapat dijadikan sebagai acuan serta treatmen pada

siswa terutama yang ada di SMA baik pada masa sekarang serta tahun yang akan

datang terkait dengan percaya diri maupun bentuk yang lain untuk lebih memberikan

motivasi pada siswa dalam belajar mereka.

KAJIAN TEORITIK

A. Visi dan Misi

1. Visi dan Misi Program Bimbingan dan Konseling SMA N 1 Pupuan

Visi program : Mengunggulkan siswa melalui optimalisasi potensi siswa.

Misi program :

a) Memfasilitasi potensi siswa melalui suasana bimbingan yang edukatif, kreatif, dan

menyenangkan

b) Mengembangkan jiwa enterpreuner/ daya saing siswa sejak dini

c) Memfasilitasi siswa untuk menghargai apa (potensi) yang dimiliki siswa melalui

pembiasaan diri

d) Memberikan pelayanan bantuan yang diberikan kepada siswa agar dapat

menjalani kehidupan sehari-hari secara efektif dan mandiri,

Page 182: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

179

e) Mengembangkan potensi yang dimiliki siswa secara optimal

f) Merencanakan masa depan, berbudi pekerti luhur, serta beriman dan bertakwa

kepada Tuhan.

2. Visi dan Misi Bimbingan Konseling

a. Visi bimbingan dan konseling

Pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan terhadap

timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangannya, dan

memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sekarang maupun di

masa yang akan datang.

b. Misi bimbingan dan konseling

Membantu memudahkan siswa mengembangkan seluruh aspek

kepribadiannya seoptimal mungkin sehingga terwujud siswa yang tangguh

menghadapi masa kini dan masa mendatang, yaitu siswa yang beriman dan

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, sehat jasmani dan rohani,

mempunyai kepribadian yang mantap, mandiri, serta mempunyai tanggung

jawab terhadap diri, masyarakat, dan bangsanya.

Merujuk dari visi dan misi SMA di atas, maka dapat dijabarkan visi dan

misi program intervensi yang peneliti akan praktikan. Adapun visi dan misi

tersebut dijabarkan sebagai berikut.

Visi :

Visi program intervensi ini adalah “Menunjang pengembangan diri

siswa secara optimal dan memandirikan siswa untuk dapat

menyelenggarakan kehidupan sehari-hari secara efektif melalui peningkatan

percaya diri”.

Misi :

Sesuai dengan visi di atas misi dalam penelitian ini merujuk pada misi

pertama yaitu memfasilitasi potensi siswa melalui suasana bimbingan yang

Page 183: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

180

edukatif, kreatif, dan menyenangkan dalam upaya meningkatkan percaya diri.

Adapun upaya untuk mewujudkan misi dalam penelitian ini yaitu:

a. Meningkatkan percaya diri dalam bertingkahlaku pada siswa baik

keyakinan terhadap diri, sikap penerimaan terhadap orang lain, maupun

sikap optimis dengan berbagai bentuk permainan yang dilakukan dalam

kelompok.

b. Meningkatkan percaya diri dalam emosi pada siswa, terutama dalam hal

penerimaan diri, mengekspresikan emosi, penghargaan positif, serta sikap

positif, sehingga mampu memberikan kepercayaan pada diri sendiri dan

orang lain.

c. Meningkatkan percaya diri dalam spiritual pada siswa, terutama dalam hal

meyakini takdir Tuhan, sehingga dapat meyakinkan siswa terhadap

kenyataan serta mampu mensyukuri kehidupan.

B. Deskripsi Kebutuhan

Untuk memperlancar pemberian treatmen pada siswa yang hendak diteliti,

maka peneliti akan berpatokan pada deskripsi kebutuhan yang dibuat berdasarkan

hasil need assessment (pretest) tentang percaya diri. Program intervensi penggunaan

teknik permainan dalam bimbingan kelompok pada penelitian ini diberikan pada

siswa yang dikategorikan kurang percaya diri, dari 138 siswa kelas XI yang diberikan

pretest terdapat 24 siswa yang kurang percaya diri aspek yang paling rendah dari ke

tiga aspek yang ada pada percaya diri yaitu percaya diri dalam bertingkahlaku.

Berdasarkan data tersebut peneliti merancang program intervensi berupa penggunaan

teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri

siswa.

Berikut dijelaskan mengenai gambaran siswa yang tidak percaya diri dimulai

dari layanan dasar, responsif dan perencanaan individual. Adapun deskripsi

kebutuhan layanan dasar bimbingan berupa pemberian informasi dari ke tiga aspek

yang diteliti adalah sebagai berikut:

Page 184: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

181

1. Percaya diri dalam Bertingkahlaku pada penelitian ini adalah bagaimana ekspresi

seseorang terhadap lingkungan. Terdapat tiga indikator pada tingkahlaku ini

diantaranya; a) melakukan sesuatu secara maksimal dalam belajar serta

berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, b) mampu bersikap positif terhadap

orang lain yang diekspresikan melalui keyakinan atau sikap percaya kepada orang

lain, c) mampu menghadapi segala kendala. Maksudnya yaitu seberapa kuat

seseorang tersebut dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya, pada

penelitian ini dapat dijabarkan berupa suatu usaha yang dilakukan baik terutama

untuk diri sendiri untuk menjadi lebih mandiri dalam menghadapi persoalan yang

ada di lingkungan sekitar terkait dengan pematangan diri dalam belajar.

2. Percaya diri dalam emosi maksudnya yaitu bagaimana sikap seseorang tersebut

dalam menuangkan perasaan, diantaranya; a) mengetahui perasaan sendiri baik itu

kelebihan serta kekurangan yang ada pada dirnya, b) mengungkapkan perasaan

sendiri. Pada indikator yang dijabarkan berupa perasaan saat ini baik sedih serta

bahagai dalam melakukan interaksi dengan teman ketika seseorang mampu

bergaul dengan teman sekitar atau sebaliknya ketika ditolak oleh lingkungan

sosialnya, c) memperoleh kasih sayang, pengertian dan perhatian disaat

mengalami kesulitan yang. Pada indikator yang diekspresikan melalui bagaimana

seseorang diperlakukan oleh orang lain, begitu juga sebaliknya bagaimana

seseorang tersebut memperlakukan orang lain sehingga memunculkan untuk

saling membantu, d) mengetahui manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada

orang lain. Pada indikator yang dijabarkan artinya hal apa yang bisa dilakukan

untuk menunjukkan diri sebagai pribadi yang mandiri.

3. Percaya diri dalam spiritual maksudnya yaitu bagaimana seseorang tersebut

mensyukuri apa yang dimiliki serta kekurangan yang ada pada dirinya. Pada

indikator ini dapat dijabarkan berupa; a) memahami bahwa alam semesta adalah

misteri artinya suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap

kehidupan di dunia ini, b) meyakini takdir tuhan dapat diekspresikan melalui

Page 185: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

182

bahwa semua manusia pada akhirnya akan mati, dan perubahan pada dunia

beserta isinya itu nyata dan pasti ada, sehingga ia mampu menerima apa yang dia

miliki baik berupa kelebihan serta kekurangan yang ada pada dirnya, c)

mengagungkan Tuhan, pada indikator ini maksudnya yaitu bentuk syukur yang

dipanjatkan kepada Tuhan atas kebesaran beliau.

C. Tujuan

Tujuan umum yang hendak dicapai melalui program efektivitas penggunaan

teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa

kelas XI SMA ini adalah membantu siswa untuk mampu lebih percaya diri. Adapun

tujuan khususnya agar siswa dapat:

a. Memiliki keyakinan terhadap dirinya sendiri, sikap penerimaan terhadap

orang lain, serta memiliki sikap optimis untuk mencapai sukses terutama

dalam bidang sosial pribadinya.

b. Penerimaan diri, mengekspresikan emosi, penghargaan positif, serta sikap

positif, sehingga mampu melakukan interaksi sosial dengan baik.

c. Meyakini takdir dari Tuhan dengan melihat kekurangan serta kelebihan yang

ada pada diri siswa itu sendiri agar mampu tampil lebih baik lagi.

D. Komponen Program

Program intervendi penggunaan teknik permainan dalam bimbingan

kelompok akan berangkat dari program bimbingan dan konseling perkembangan

yang komprehensif memiliki empat komponen program yaitu;

1. Layanan Dasar Bimbingan

a. Pengertian

Pelayanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada seluruh

siswa melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau

kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka mengembangkan

perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan

(yang dituangkan sebagai standar kompetensi kemandirian) yang diperlukan

Page 186: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

183

dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil keputusan dalam

menjalani kehidupannya.

a. Tujuan

Pelayanan ini bertujuan untuk membantu semua siswa agar memperoleh

perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh

keterampilan dasar hidupnya. Tujuan pelayanan ini dapat dirumuskan sebagai

upaya untuk membantu siswa untuk lebih percaya diri dalam bertingkahlaku,

percaya diri dalam emosi pada siswa, dan percaya diri dalam spiritual.

b. Fokus Pengembangan

Pelaksanaan kegiatan layanan dasar bimbingan ini strategi yang dipilih adalah

bimbingan klasikal yang dilakukan di dalam kelas yang disajikan dalam bentuk

layanan informasi. Adapun tema yang akan dikembangkan dalam layanan dasar

akan berpatokan pada bagian b tentang tujuan dari layanan dasar yaitu tentang:

1) percaya diri dalam bertingkahlaku. Pada aspek yang ini dijabarkan tentang

pentingnya memiliki keyakinan diri, sikap penerimaan, serta sikap optimis dalam

melakukan sesuatu, 2) percaya diri dalam emosi pada siswa. Tema yang akan

dikembangkan pada aspek ke dua ini berupa kematngan emosi yang di dalamnya

terdapat; penialain terhadap diri sendiri, kemampuan siswa dalam

mengekspresikan emosi, penghargaan positif serta mampu bersikap secara

positif, dan 3) percaya diri dalam spiritual.

2. Layanan Responsif

a. Pengertian

Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada siswa yang

menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan

segera. Konseling individual, konseling krisis, konsultasi dengan orang tua, guru

dan alih tangan kepada ahli lain adalah bentuk dari pelayanan responsif.

b. Tujuan

Page 187: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

184

Tujuan pelayanan responsif adalah membantu siswa memenuhi

kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya, hambatan, kegagalan

dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dalam hal ini tentang percaya

diri. Tujuan pelayanan ini sebagai upaya untuk mengintervensi masalah-masalah

atau kepedulian pribadi, sosial-pribadi, karier, dan atau masalah pengembangan

pendidikan.

c. Fokus Pengembangan

Berdasarkan hasil need assesmen yang telah dilakukan berupa penyebaran

kuesioner tentang percaya diri siswa seperti yang telah digambarkan pada

deskripsi kebutuhan yang telah dideskripsikan secara utuh tentang aspek serta

indikator dari percaya diri yang diteliti, diantaranya;. 1) Pada aspek percaya diri

dalam bertingkahlaku, dengan sub aspek keyakinan diri, sikap penerimaan dan

optimis, 2) aspek percaya diri dalam emosional, dengan sub aspek penilaian

terhadap diri, mengekspresikan emosi, penghargaan dan sikap positif, dan 3)

aspek percaya diri dalam spiritual, dengan sub aspek keyakinan diri terhadap

Tuhan.Tindak lanjut berupa konseling individual juga diberikan kepada siswa

apabila dilihat dari hasil prosentase pada deskripsi kebutuhan menjelaskan

bahwa siswa tersebut sangat perlu diberikan konseling individual. Tujuan

dilaksanakannya konseling individual tersebut agar siswa dapat:

a) Meningkatkan keyakinan diri siswa.

Dengan diberikan konseling secara langsung antara konselor dengan klien

dapat dijadikan sebagai bentuk pemecahan alternative guna membantu

perkembangan siswa dalam bidang sosial-akademik, karir, bagi siswa yang

mebutuhkan layanan segera secara individual, maka akan diberikan konseling

individual agar mampu lebih percaya diri.

b) Meningkatkan penghargaan positif.

Setiap siswa memiliki karakteristik pribadi secara sendiri, memang tidak

mudah untuk memberikan sebuah penghargaan kepada diri sendiri karena

Page 188: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

185

belum tahu apa yang harus dilakukan untuk menunjukkan penghargaan

tersebut. Konseling secara langsaung antara konselor dengan klien yang

diberikan dapat dijadikan sebagai bentuk pemecahan alternative guna

membantu perkembangan siswa dalam bidang sosial-pribadi, akademik, karir,

bagi siswa yang mebutuhkan layanan segera secara individual, maka akan

diberikan konseling individual agar mampu lebih percaya diri. Melalui

konseling individual ini siswa akan mendapatkan perlakukan yang lebih,

untyuk mengungkap serta memecahkan masalah yang dialami siswa. Bahkan

beberapa kasus tertentu dapat ditangani dengan konseling krisis dan

mendatangkan nara sumber.

3. Layanan perencanaan individual

Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada siswa agar mampu

merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan percaya diri,

sehingga dapat bertingkahlaku dengan baik terutama dalam melakukan kegiatan

sehari-hari, mengekspresikan emosi secara rasional, serta meyakini takdir tuhan.

Layanan perencanaan individual pada program ini difokuskan pada intervensi

terutama bagi siswa yang yang kurang percaya diri dalam bentuk pemberian

saran secara berkelompok. Adapun tema layanan ini adalah sebagai berikut;

a. Review hasil pretest dan posttest kuesioner percaya diri. Layanan ini

bertujuan supaya siswa dapat mengetahui kondisi percaya diri awal siswa

yang disampaikan berdasarkan hasil pretest dan kondisi percaya diri siswa

setelah diberikan intervensi penggunaan teknik permainan dalam bimbingan

kelompok yang disampaikan berdasarkan hasil analisis posttest. Siswa akan

mengetahui bagaimana tingkat percaya diri dan pada aspek mana siswa yang

bersangkutan kategorinya rendah. Dengan demikian, maka siswa akan

memiliki perencanaan diri untuk mengkondisikan percaya diri sesuai dengan

hasil intervensi dan usaha yang dilakukan oleh siswa agar lebih percaya diri.

b. Pelatihan teknik permainan secara mandiri. Layanan ini bertujuan supaya

Page 189: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

186

siswa bisa merasakan efek intervensi dari penggunaan teknik permainan

dalam bimbingan kelompok yang diberikan peneliti. Peneliti memberikan

saran kepada siswa untuk melatih diri sendiri dengan bentuk permainan sesuai

dengan apa yang diinginkan sebagi bentuk tindak lanjut dari intervensi yang

diberikan peneliti di sekolah, bahkan juga dapat melatih diri di depan cermin

yang dengan materi yang disesuaikan kepada apa yang telah diberikan

sebelumnya. Dengan demikian, siswa akan bisa menjadikan penggunaan

teknik permainan dalam bimbingan kelompok sebagai wahana untuk

menciptakan kondisi tenang dan nyaman secara mandiri dalam upaya untuk

meningkatkan percaya diri dengan bentuk latihan disesuaikan dengan proses

intervensi yang telah diberikan peneliti.

4. Dukungan Sistem

Dukungan sistem merupakan komponen pelayanan dan kegiatan manajemen,

tata kerja, infra struktur (misalnya Teknologi informasi dan Komunikasi), dan

pengembangan kemampuan profesional konselor secara berkelanjutan, yang

secara tidak langsung memberikan bantuan kepada siswa atau memfasilitasi

kelancaran perkembangan siswa. Dukungan sistem ini meliputi aspek-aspek: (a)

pengembangan jejaring (Networking), (b) kegiatan manajemen, (c) riset dan

pengembangan. Berikut dijabarkan peranan dari kepala sekolah, wakil kepala

sekolah, koordinator dan guru bimbingan dan konseling, wali kelas, serta guru

mata pelajaran.

a. Kepala Sekolah.

Adapun bentuk keterlibatan kepala sekolah dalam mendukung kegiatan

perealisasian intervensi ini, yaitu :

1) Sebagai penanggungjawab umum dalam pelaksanaan intervensi yang

dilakukan oleh peneliti.

Page 190: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

187

2) Menyediakan sarana dan prasarana sekolah (ruang kelas) serta perijinan

untuk menggunakan fasilitas lain yang dibutuhkan dalam kegiatan

intervensi sebagai daya dukung pelaksanaan penelitian.

3) Peneliti melakukan koordinasi dengan Kepala Sekolah dalam meminta

perijinan waktu pelaksanaan intervensi, serta kegiatan lain yang terkait

dengan intervensi yang akan dilakukan ke siswa.

b. Koordinator Bimbingan dan Konseling

Bentuk keterlibatan koordinator BK dalam mendukung kegiatan

perealisasian intervensi ini, yaitu :

1) Memberikan perijinan untuk melakukan perealisasian program intervensi

serta pertanggungjawabannya kepada Kepala Sekolah.

2) Mengkoordinasikan guru bimbingan dan konseling yang mengampu kelas

yang akan diberikan treatmen untuk mengamati pelaksanaan intervensi

yang dilakukan peneliti.

3) Peneliti selalu berkoordinasi dengan koordinator BK dalam setiap

pelaksanaan kegiatan layanan yang akan dilakukan sebagai bentuk

tanggungjawab kegiatan yang dilakukan.

c. Guru Bimbingan dan Konseling.

Bentuk keterlibatan Guru BK dalam mendukung kegiatan perealisasian

intervensi ini, yaitu :

1) Memberikan ijin pada peneliti untuk melakukan intervensi pada siswa yang

diampunya

2) Mengamati dan mengawasi pelaksanaan intervensi yang dilakukan oleh

peneliti.

3) Memberikan masukan pada peneliti dalam pengkondisian siswa apabila

diperlukan.

4) Peneliti selalu melakukan koordinasi bentuk intervensi yang akan

dilakukan dalam setiap sesi serta waktu pelaksanaannya.

Page 191: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

188

d. Wali Kelas.

Bentuk keterlibatan Wali Kelas dalam mendukung kegiatan perealisasian

intervensi ini, yaitu :

1) Memberikan ijin kepada peneliti untuk merealisasikan program intervensi

pada siswa yang diampunya.

2) Mengidentifikasi perkembangan siswa dengan melakukan diskusi di kelas

(terintegrasi dalam proses pembelajaran), yang mendiskusikan pengalaman

siswa setelah mengikuti intervensi untuk meningkatkan percaya diri siswa.

3) Peneliti melakukan koordinasi dengan wali kelas untuk mengetahui

gambaran umum kondisi siswa di kelas setelah diberikan intervensi pada

masing-masing sesi.

e. Guru mata pelajaran

Bentuk keterlibatan guru mata pelajaran dalam mendukung kegiatan

perealisasian intervensi ini, yaitu : Peneliti berkoordinasi dengan guru mata

pelajaran dalam upaya mengetahui kondisi siswa dalam interaksi

pembelajarannya di kelas, khususnya mata pelajaran yang membuat siswa

tidak percaya diri, serta menyarankan kepada guru mata pelajaran untuk lebih

melibatkan siswa dalam belajar baik secara akademik maupun emosi. Melalui

kegiatan yang dilakukan ini akan memberikan gambaran tentang siswa yang

percaya diri dan yang tidak percaya diri dalam mengikuti pembelajarn di

kelas.

E. Sasaran Intervensi

Program efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok

ini diperuntukkan pada siswa kelas XI SMA yang teridentifikasi percaya diri siswa

rendah. Jumlah siswa yang akan diberikan intervensi penggunaan teknik permainan

dalam bimbingan kelompok dalah siswa kelas XI sebanyak 24 orang. Untuk

mempermudah serta melancarkan peneliti ketika memberikan intervensi kepada siswa

dilakukan secara klasikal kelompok terutama bagi siswa yang diidentifikasi percaya

Page 192: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

189

dirinya rendah atau dengan kata lain membutuhkan layanan segera, serta pemberian

secara individual kalau memang penanganan siswa tersebut lebih serius yaitu dengan

memberikan konseling individual. Pada penelitian terhadap penggunaan teknik

permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa

adalah: 1) meningkatkan percaya diri dengan penggunaan teknik permainan, dan 2)

meningkatkan percaya diri siswa pada setiap aspek yang perlu untuk ditingkaykan.

F. Rencana Operasional (Action Plan)

Rencana kegiatan (action plan) diperlukan untuk menjamin pelaksanaan program

bimbingan dan konseling dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Rencana

kegiatan adalah uraian detail dari program yang menggambarkan isi komponen

program, baik kegiatan disekolah maupun diluar sekolah, untuk memfasilitasi siswa

mencapai tugas perkembangan tertentu.

Berangkat dari deskripsi kebutuhan di atas, langkah yang dilakukan peneliti

untuk melaksanakan penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok

untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu berupa jadwal pelaksanaan kegiatan.

Ssetelah melakukan pendekatan dengan guru bimbingan dan konseling di sekolah

SMA jadwal untuk intervensi yang diberikan kepada peneliti yaitu setiap hari senin,

rabu, dan kamis sebagai pengganti jam bimbingan dan konseling. Peneliti merancang

program penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk

meningkatkan percaya diri siswa sebanyak 11 kali pertemuan dan pemberian

intervensi disesuaikan dengan aspek yang ada.

G. Strategi Layanan

Strategi layanan yang dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat percaya diri

siswa dimuali dari penyebaran angket berupa kuesioner tentang percaya diri,

dilanjutkan dengan pemberian treatmen tentang penggunaan teknik permainan dalam

bimbingan kelompok dengan tujuan meningkatkan percaya diri siswa, dan diakhiri

dengan memberikan angket kembali berupa posttes tentang percaya diri. Adapun

bentuk strategi yang digunakan untuk meningkatkan percaya diri siswa yaitu

Page 193: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

190

bimbingan kelompok melalui teknik permainan dengan tahapan-tahapan sebagai

berikut; 1) Tahap awal, 2) Tahap transisi, 3) Tahap kerja, dan 4) Tahap terminasi.

1. Tahap awal (beginning a group) yang terdiri atas :

a) Pernyataan tujuan

Konselor menyampaikan tujuan bimbingan, kompetensi yang ingin dicapai,

materi dan skenario kegiatan.

b) Pembentukan kelompok

Konselor membentuk kelompok sesuai keperluan.

c) Konsolidasi

Konselor memberi kesempatan pada anggota kelompok untuk melakukan

konsolidasi atas tugas-tugas dalam melaksanakan bimbingan.

2. Tahap transisi (transition stage) yang terdiri atas :

a) Storming

Konselor melakukan penanganan-penanganan konflik-konflik internal.

b) Norming

Konselor melakukan re-konsolidasi dan re-strukturisasi kelompok dengan

melakuan pembagian tugas dan kontrak.

3. Tahap kerja (performing stage) yang meliputi :

a) Eksperientasi (experience)

Konselor melaksanakan bimbingan berdasarkan skenario yang telah dibuat

sesuai dengan teknik yang dipergunakan.

b) Identifikasi (identify)

Konselor melaksanakan refleksi tahap satu dengan cara mengidentifikasi pola-

pola respon konseli dalam menerima stimulasi dari konselor.

c) Analisis (analyze).

Konselor melaksanakan tahap refleksi dengan cara mengajak konseli untuk

menganalisis dan memikirkan makna bagi penyelesaian masalahnya.

d) Generalisasi (generalization)

Page 194: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

191

Konselor melaksanakan refleksi tahap akhir dengan cara mengajak konseli

membuat rencana perbaikan atas kelemahan-kelemahannya. 4. Tahap terminasi (termination stage), meliputi :

a) Refleksi umum

Konselor mengajak konseli untuk melakukan review atas proses konseling yang telah

dilakukan.

b) Tindak lanjut

Konselor memberi penguatan pada konseli untuk merealisasikan rencana-rencana

perbaikannya.

H. Pengembangan Satuan Pelayanan

Untuk melakukan permainan dalam bimbingan kelompok, peneliti

mengembangkan 3 (tiga) satuan layanan sebagai bentuk layanan dasar, 6 (enam)

bentuk satuan layanan yang kana dijadikan panduan dalam kegiatan permainan

sebagai bentuk layanan responsif, dan 2 (dua) sebagai bentuk layanan perencanaan

individual, diantaranya;

1. Pemberian informasi tentang percaya diri dalam bertingkahlaku.

2. Percaya diri dalam mengekspresikan emosi.

3. Percaya diri dalam spiritual

4. Permainan komunikasi dua arah tujuannya yaitu membantu para siswa

berkomunikasi dengan baik dan lebih percaya diri.

5. Permainan cacabucaca tujuannya yaitu a) siswa mampu membuat dan

mengambil keputusan-keputusan untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai,

b) melatih kefokusan siswa dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu

6. Kelereng bergelinding tujuannya yaitu mempertunjukkan bahwa bekerja sama

dengan orang lain di tempat kerja bermanfaat bagi pencapaian kesuksesan.

7. Evakuasi tujuannya yaitu a) membangun kekompakan dengan teman

sekelompok, b) menciptakan stategi yang tepat untuk meraih tujuan dan cita-

cita bersama.

Page 195: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

192

8. Memahami kekuatan dan kelemahan diri tujuannya yaitu untuk menumbuhkan

pemahaman terhadap kekuatan/kelebihan diri melalui analisa teman sehingga

dapat digunakan untuk pemahaman diri

9. Fantasi dengan tema permainan jika aku menjadi tujuannya yaitu, a) membantu

para siswa untuk mensyukuri kehidupan yang dialaminya saat ini, b)

menciptakan pola pikir untuk lebih menumbuhkan sikap semangat dalam

menghadapi hidup

10. Reviu hasil pretest

11. Belajar secara mandiri.

I. Evaluasi

Evaluasi dilakukan dengan tujuan mengukur pelaksanaan dan keberhasilan

program efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk

meningkakan percaya diri siswa. Evaluasi menjadi umpan balik secara

berkesinambungan bagi semua tahap pelaksanaan program baik untuk perbaikan

maupun pengembangan di masa yang akan datang.

Evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil observasi setiap

pelaksanaan treatment teknik permainan dan membandingkan hasil pre-test dengan

pos-test melalui tingkat prosentase keberhasilan antara sebelum dan sesudah

treatment. Prosedur evaluasinya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Membandingkan hasil prosentase N-Gain pre-test dengan posttest

Adapun pengambilan keputusan bahwa percaya diri dapat dikatakan

meningkat atau berhasil adalah sebagai berikut:

1) Prosentase masing-masing indikator pada hasil post-test menjadi lebih tinggi

setelah diberikan treatment berupa permainan dalam bimbingan kelompok.

2) Prosentase hasil post-test menjadi lebih tinggi daripada hasil pre-test yang

menunjukkan percaya diri siswa berhasil ditingkatkan melalui peningkatan

prosentase percaya diri siswa. Jurnal Harian Pelaksanaan Intervensi Penilaian

kelompok tergantung pada jurnal yang diisi oleh siswa itu sendiri, mengenai

Page 196: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

193

perubahan yang telah dirasakan oleh siswa selama mengikuti permainan melalui

kelompok. penggunaan jurnal harian digunakan sebagai hasil observasi selama

siswa mengikuti kegiatan permainan dalam bimbingan kelompok. Tujuannya

adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat perubahan tentang percaya diri yang

dialami siswa setelah diberikan teknik permainan dalam bimbingan kelompok

pada masing-masing indikator percaya diri.

Demikian program bimbingan kelompok dengan teknik permainan untuk

meningkatkan percaya diri siswa untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan akan

layanan bimbingan dan konseling khususnya pada jenis bimbingan yaitu bimbingan

sosial pribadi. Upaya layanan bimbinga tersebut tidak akan berhasil dengan baik, jika

tidak didukung oleh berbagai perangkat bimbingan yang memadai, baik personel

guru, sarana maupun dukungan manajemen. Dengan dukungan semua pihak,

Tabel 1.1 Waktu Pelaksanaan Kegiatan

Aspek

Sub Aspek

Indikator Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4

1. Percaya diri dalam tingkah laku.

1.1 Keyakinan Diri

a. Melakukan sesuatu secara maksimal.

1.2 Sikap Penerimaan

b. Mendapat bantuan dari orang lain.

1.3 Sikap Optimis

c. Mampu menghadapi segala kendala

2. Percaya diri dalam emosional

2.1 Penilaian Diri a. Memahami perasaan sendiri.

2.2 Ekspresi Emosi

b. Mengungkapkan perasaan sendiri.

2.3Penghargaan Positif

c. Memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat mengalami kesulitan.

2.4 Sikap Positif d. Memahami manfaat apa yang

dapat disumbangkan kepada orang lain.

3. Percaya diri spiritual.

3.1...Keyakinan Terhadap Hal yang Tak terbatas

a. Memahami bahwa semesta adalah misteri yang dapat terus berubah.

3.2 Kebenaran b. Menghayati kodrat alami.

Page 197: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

194

diharapkan perkembangan siswa dapat mencapai sasaran yang optimal, sehingga

siswa mampu mencapai kematangan karier yang baik, karena konteks perkembangan

sosial pribadi terkait dengan percaya diri siswa akan terlihat pada perkembangan serta

perubahan yang mampu ditunjukkan oleh siswa itu sendiri dalam interaksinya di

lingkungan sosial mereka atau di lingkungan sekolah.

REFERENSI Ahman, (1998). Bermain Peran Sebagai Model Bimbingan Dalam Mengembangkan

Keterampilan Sosial Anak Berkemampuan Unggul. (hasil penelitian), Bandung: IKIP

Angelis, B. D. (2005). Confidence : percaya diri sumber sukses dan kemandirian. Bandura, Albert, 1997. Self-Efficacy The Exercise of Control. New York: W.H.

Freeman and Company

Tabel 1.2 Jenis dan Teknik Permainan

Variabel Aspek Jenis Permainan Teknik Permainan Tempat

Percaya Diri

1. Percaya diri dalam tingkah laku.

- Komunikasi satu arah dan dua arah

- Cacabucaca

- Dyad and triad

- Gerak (movement)

Dalam kelas Luar kelas

2. Percaya diri dalam emosional

- Kelereng bergelinding

- Evakuasi

- Gerak (movement) - Gerak (movement),

dan sentuhan

Luar kelas Luar kelas

3. Percaya diri spiritual.

- Memahami kekuatan dan kelemahan diri

- Jika aku menjadi

siswa yang tidak punya

(a) menulis (written), (b) gerak (movement), (c) rounds(melingkar), (d) Umpan balik - Fantasi

Luar kelas Luar kelas

Page 198: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

195

Badudu. J.S dan Sutan Muhamad Zain, 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Creswell John W, 2005. Eucational Research. University of Nebraska: Person

Education. Hidayat Rahman (2008). Efektivitas Terapi Bermain Kelompok dalam Meningkatkan

Kepercayaan Diri Pada Remaja Awal Panti Asuhan Muhammadiyah Malang_Skripsi: Fakultas Psikolgi Muhammadiyah Malang

Hudi Rahmad . (2009). Permeblajaran Melalui Diskusi Kelompok dalam Upaya

Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika. Skipsi. Surakarta: FKIP Muhammadiah Surakarta

http://myshandy.multiply.com/journal. (06 Agustus 2010) Juntika Achmad, 2006. Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama. Lositosari Dwi. (2007). Keefektivan Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan

Kepercayaan diri Siswa Yang Tidak Naik Kelas. Skipsi. Malang: FIP UNM Natawidjaja Rochman, 1987. Pendekatan-pendekatan dalam Penyluhan Kelompok I.

Bandung: Diponegoro Natawidjaja Rochman. (1997). Penelitian Tindakan. Himpunan tulisan. Bandung:

IKIP Nurhidayat. (2009). Permeblajaran Melalui Diskusi Kelompok dalam Upaya

Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika. Skipsi. Surakarta: FKIP Muhammadiah Surakarta

Permana Ediya (2009)..Program Bimbingan Kelompok Dengan Pendekatan Halaqah

(Mentoring) Untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri Prayitno.2003. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Padang: Ghalia

Indonesia Ridwan Rustianti, 2008. Program Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan

Kemampuan Interpersonal Siswa. Tesis: SPS BK UPI Bandung. Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Game & Play). Bandung : Rizki.

Page 199: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

196

Suarni, Ketut (2006). Perkembangan Peserta Didik_Modul : Jurusan Bimbingan dan Konseling IKIP Negeri Singaraja.

Sudrajat Dadang, 2008. Program Pengembangan Self-Efficacy Bagi Konselor di SMA

Negeri se-Kota Bandung_Tesis : SPS BK UPI Bandung. Suherman. 2008. Konsep dan Aplikasi Bimbingan dan Konseling. Jurusan PPB UPI Sukardi. Dewa Ketut, 2008. Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Jakarta:

PT.Rineka Cipta Surniwi. Nengah (2002). Kesulitan Belajar Dalam Bidang Matematika ditinjau dari

Kepercayaan Diri_Skripsi. BK FIP IKIP Negeri Singaraja Silvana Clark (2002). .Langkah-langkah Terapi Mengmbangkan Kepercayaan Diri

Anak. Jakarta :PT Alex Media Komputindo Solehuddin.M, (1997). Pengimplementasian Aktivitas Bermain di Taman Kanak-

kanak. (hasil penelitian), Bandung: IKIP Wilson, Kate, dkk. (1992). Play Therapy A Non-directive Approach For Children

and Adolescents. Tokyo : Baillere Tindal Widiastuti Fika. (2009). Kontribusi Konsep Diri dan Rasa Percaya Diri

TerhadapKemampuan Bersosialisasi pada Masa Pueral Dikalangan Remaja; Singaraja_Bali: FIP Undiksha

W.S. Winkel dan M.M. Sri Hastuti. (2004). Bimbingan dan

Konseling di Instritusi Pendidikan. Media Abadi : Yogyakarta.

Yustiana, Yusi.R (1999). Pengelaman Belajar Awal Yang Bermakna Bagi Anak Melalui Aktivitas Bermain. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan

BIODATA PENULIS

Nama : Kadek Suhardita, S.Pd.,M.Pd TTL : Titab 08 Desember 1985. Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Hindu Alamat : Banjar Dinas Baledana Desa Titab, Kecamatan

Busungbiu, Kabupaten Buleleng Provinsi Bali Instansi : IKIP PGRI Bali Denpasar Alamat Kantor : Jalan Seroja Tonja, Denpasar Timur, Tlp 0361431434 HP : 08193638

Page 200: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

197

IMPLEMENTASI MODEL COLLABORATIVE TEAMWORK LEARNING (MCTL) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR

FISIKA SISWA KELAS XI MIPA 4SMA NEGERI 1 TAMPAKSIRING TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Ngakan Ketut Tresnabudi

SMA Negeri 1 Tampaksiring Gianyar

ABSTRACT

This research is motivated by the lack of achievement of learning and motivation student. the purpose this study were 1) Improving the learning achievement of students of class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015 through the implementation MCTL, 2) Increase motivation to learn physics class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015 through the implementation MCTL, 3) Describe a class XI MIPA 4 student responses SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015 of the implementation MCTL in physics learning.

This study uses a class action research design. Samples were students of class XI MIPA 4 second semester in SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015. This study was conducted in two cycles. Each cycle consists of four stages: planning action, action, observsi / evaluation, and reflection. Data were collected with learning achievement tests and questionnaires for learning motivation. Data were analyzed descriptively. The results showed that 1) Implementation of Collaborative Teamwork Learning models in physics learning can improve learning achievement physics class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015, 2) Implementation of Collaborative Teamwork Learning models in physics learning can increase the motivation to learn physics class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic year 2014/2015, 3) student responses to the implementation model of Teamwork Collaborative Learning in physics learning in class XI MIPA 4 SMAN 1 Tampaksiring academic years 2014/2015 in the category learning physics is positive with an average score of 57.

Key Words: Model CTL, Academic Achievement, Motivation To Learn

PENDAHULUAN

Pendidikan itu sendiri merupakan media pembekalan pengetahuan,

pengalaman, keterampilan, dan penguasaan teknologi bagi siswa untuk berkarya

secara inovatif, kreatif dan tepat guna. Dengan kemajuan IPTEKS yang begitu cepat,

melek sains menjadi kebutuhan setiap orang. Melek sains juga merupakan kebutuhan

penting di dunia kerja. Pemahaman tentang sains dan proses sains memberi kontribusi

Page 201: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

198

besar terhadap keterampilan-keterampilan tersebut (NRC dalam Suma, 2010). Fisika

sebagai salah satu cabang sains, memiliki peranan yang strategis dalam

perkembangan IPTEKS dewasa ini, berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah

terutama tentang standarisasi dalam bidang pendidikan. Berbagai studi yang

mengarah pada peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan pendidikan sudah

dilakukan dalam implementasi kurikulum (Mulyasa, 2006). Sebagai salah satu bentuk

efisiensi dan efektivitas implementasi kurikulum dikembangkan berbagai strategi

implementasi kurikulum. Salah satu kurikulum yang pernah dikembangkan adalah

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan tahun ajaran ini kurikulum

mengalami suatu pemberharuan menjadi kurikulum 2013. Hal tersebut diharapkan

dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun rata-rata prestasi belajar siswa

masih rendah. Karena baru penyesuaian proses pembelajaran terhadap kurikulum

2013, belum terlihat adanya peningkatan prestasi belajar siswa. Permasalahan

mengenai rendahnya rata-rata prestasi belajar fisika seperti yang terjadi di SMA

Negeri 1 Tampaksiring. Fakta ini diperoleh dari nilai UTS Fisika siswa kelas XI

MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring yang menunjukkan bahwa prestasi belajar

fisika siswa masih rendah. Selain prestasi belajar, pada proses pembelajaran motivasi

belajar siswa masih rendah.

Ketercapaian aspek kognitif yang ditunjukkan dari rekapitulasi prestasi belajar

Fisika pada ulangan tengah semester siswa bidang studi Fisika, rata-rata nilai kelas

XI MIPA 4 adalah 76. Rata-rata prestasi belajarnya paling rendah diantara kelas XI

MIPA yang lain. Nilai rata-rata prestasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 masih

berada di bawah KKM yang ditetapkan yaitu 78. Belum tercapainya ketuntasan

prestasi belajar Fisika di kelas XI MIPA 4 mengindikasikan masih terdapat

kesenjangan antara tuntutan kurikulum dengan apa yang telah dicapai sekarang ini.

Kesenjangan-kesenjangan tersebut terjadi karena terdapat banyak faktor yang

mempengaruhinya. Dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang menyebabkan

rendahnya motivasi belajar dan prestasi belajar Fisika siswa yaitu sebagai berikut.

Page 202: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

199

Pertama, rendahnya motivasi siswa tentunya diakibatkan oleh berbagai faktor.

Salah satunya tampak ketika siswa mengikuti proses pembelajaran tidak semua aktif

dalam diskusi seperti menanggapi pertanyaan guru maupun menjawab pertanyaan

teman. Hanya beberapa orang siswa saja yang tampak aktif menjawab dan

menanggapi pertanyaan guru. Ketika siswa diberikan permasalahan dan mereka tidak

mampu memperoleh solusi secara otomatis, maka siswa cenderung menyerah dan

mengeluh bahwa soal-soal fisika itu sangat sulit untuk dikerjakan. Kedua,

kemampuan pemecahan masalah siswa belum maksimal.

Salah satu hal yang menyebabkan yaitu soal-soal yang dikerjakan siswa

umumnya hanya mengacu pada konsep matematis yang sudah sering dijumpai,

sehingga kurang menantang. Jika siswa diberikan persoalan Fisika kontekstual yang

menyangkut tentang konsep tertentu, maka sebagian besar siswa mengalami

kesulitan. Ketiga, pada proses pembelajaran, khususnya belajar dalam bentuk

kelompok, beberapa siswa yang cerdas mendominasi karena mereka bekerja secara

individu sementara siswa yang kurang kemampuannya cenderung bertanya kepada

teman lain yang lebih mampu. Siswa tidak bisa memecahkan masalah yang kompleks

secara individu. Mereka harus bekerja sama dan berkolaborasi di dalam kelompok

sehingga terjadi interaksi antara siswa yang memiliki kemampuan lebih dengan siswa

yang kurang pengetahuannya.

Bertolak dari identifikasi penyebab permasalahan yang dikemukakan di atas,

nampak bahwa faktor pembelajaran yang paling dominan sebagai faktor penyebab

rendahnya prestasi belajar Fisika siswa. Oleh karena itu, peneliti ingin meningkatkan

motivasi belajar dan prestasi belajar Fisika siswa melalui penerapan model

pembelajaran inovatif. Semua aktivitas dalam tim tersebut dapat dirundingkan dan

diorganisasikan sendiri oleh siswa, selain itu siswa dalam timnya juga dapat

berkolaborasi sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar. Menurut

Hackbert & College (2004), tim merupakan kelompok jenis khusus yang

didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang bekerja secara kooperatif

Page 203: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

200

(bersama-sama) dengan tujuan kerja yang spesifik. Salah satu model pembelajaran

yang dapat dijadikan alternatif dalam pengoptimalan motivasi dan prestasi belajar

adalah dengan menggunakan model Collaborative Teamwork Learning (MCTL)

dalam pembelajarannya. MCTL merupakan suatu model pembelajaran yang

memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan bekerja secara kolaboratif

dalam tim.

MCTL mengacu pada model pengajaran di mana siswa bekerja bersama

dalam satu “team” yang saling membantu dalam belajar. Konsep “teamwork” yang

dimaksud adalah siswa yang bekerja dalam satu kelompok bersama-sama belajar dan

memecahkan suatu permasalahan di mana semua siswa saling menyumbangkan

pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok

maupun individu serta memberi suatu ikatan kekompakan (Anderson, 2008). MCTL

memiliki beberapa tahapan menurut (Colvin, 2007; Frances, 2008), yaitu 1) Forming,

kegiatan pembentukan team, menetapkan tujuan dan tanggung jawab masing-masing

anggota dalam tim serta mendiskusikan dan merumuskan permasalahan yang

diberikan oleh guru. 2) Stroming, mencakup kegiatan pengungkapan hipotesis dari

siswa terkait dengan permasalahan yang diberikan. Siswa dalam hal ini mengajukan

suatu hipotesis terkait permasalahan yang diberikan. 3) Norming, menentukan

sumber-sumber yang berkaitan untuk memecahkan permasalahan yang dibahas dalam

LKS. Selain sumber dari buku-buku yang terkait, siswa juga dapat melakukan suatu

penyelidikan sebagai sumber lain dalam pemecahan masalah. 4) Perfoming,

mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah melalui kegiatan presentasi tim.

Kegiatan ini, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan hasil

penyelidikannya. 5) Adjourning, mencakup kegiatan pengkolaborasian pemahaman

berdasarkan persentasi yang telah dilakukan.

Sesuai dengan penelitian Kapp (2009) menyatakan bahwa MCTL dapat

meningkatkan motivasi, menambahkan ketekunan pada siswa ketika menghadapi

kesulitan dan siswa dapat lebih mudah mentransfer pengetahuan dan keterampilan

Page 204: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

201

yang diperoleh melalui pengalaman belajar bersama. Penerapan MCTL diharapkan

dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika dan motivasi belajar siswa.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat

dirumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut. 1) Apakah implementasi MCTL

dapat meningkatkan prestasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1

Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 ? 2) Apakah implementasi MCTL dapat

meningkatkan motivasi belajar Fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1

Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015? 3) Bagaimanakah tanggapan siswa kelas

XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 terhadap

implementasi MCTL dalam pembelajaran Fisika?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas (classroom

action research) yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan motivasi, dan

prestasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun

pelajaran 2014/2015. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus

terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan,

observsi/evaluasi, dan refleksi. Siklus I terdiri dari tiga kali pertemuan untuk

membahas materi gerak harmonik sederhana, satu kali pertemuan untuk tes akhir

siklus. Siklus II terdiri dari 3 kali pertemuan untuk membahas materi impuls dan

momentum,1 kali pertemuan untuk tes akhir siklus.

Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah semua siswa kelas XI MIPA 4

SMA Negeri 1 Tampaksiring semester 1 tahun pelajaran 2014/2015, yang berjumlah

37 orang yang terdiri dari 18 orang siswa laki-laki dan 19 orang siswa perempuan.

Data prestasi belajar siswa dikumpulkan melalui pemberian tugas terstruktur (PR),

lembar kerja siswa (LKS), kuis, dan tes di akhir siklus. Data motivasi belajar siswa

dikumpulkan dengan menggunakan angket motivasi belajar Fisika. Pada akhir

pelaksanaan tindakan, siswa diberikan kuisioner yang berfungsi untuk menggali

tanggapan siswa terhadap penerapan MCTL selama proses pembelajaran di kelas.

Page 205: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

202

Data prestasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan

menentukan nilai prestasi belajar siswa yang diperoleh melalui LKS, kuis, tugas-

tugas, dan tes akhir siklus. Skor-skor yang telah diperoleh pada masing-masing

penilaian dikonversi dalam skala 100. Siswa dikatakan tuntas jika KK 85%. Hal ini

sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh SMA Negeri 1 Tampaksiring yaitu

kriteria ketuntasan minimal (KKM) untuk mata pelajaran fisika adalah 78. Data

motivasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif berdasarkan skor rata-rata motivasi

belajar, mean ideal (MI), dan standar deviasi ideal (SDI). Tanggapan siswa terhadap

penerapan MCTL dikumpulkan dengan kuisioner atau angket tanggapan siswa.

Angket yang digunakan yaitu model skala Likert dengan pilihan sangat setuju (SS),

setuju (S), ragu-ragu (R), kurang setuju (KS) dan tidak setuju (TS).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Siklus I

Tabel 4.1 Deskripsi Nilai Prestasi Belajar Fisika Siswa pada Akhir Siklus I

Deskripsi Kognitif Siswa Siklus I

Rata-Rata 77

Standar Deviasi 3,22

Nilai Terendah 68

Nilai Tertinggi 83

Berdasarkan Tabel 4.1, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata prestasi belajar

fisika siswa untuk aspek kognitif pada siklus I adalah sebesar 77.

Secara klasikal nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa berkategori baik.

Karena memakai rentangan nilai pada kurikulum 2013, nilai B bervariasi ada yang

mendapat B+, B-, dan B, namun masih tetap dikatakan berkategori baik. Jika nilai

rata-rata ini dibandingkan dengan nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa sebelum

tindakan siklus I, di mana untuk nilai rata-rata sebelum tindakan siklus 1 adalah

Page 206: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

203

sebesar 76 maka di ketahui adanya peningkatan nilai rata-rata prestasi belajar fisika

siswa.

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh skor rata-rata motivasi siswa

sebesar 70 yang tergolong kategori tinggi.

Hasil Siklus I

Tabel 4.2 Deskripsi Nilai Prestasi Belajar Fisika Siswa pada Siklus I dan

Siklus II

Berdasarkan Tabel 4.2, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata prestasi belajar

fisika siswa untuk aspek kognitif pada siklus II adalah sebesar 79. Secara klasikal

nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa berkategori baik, meskipun ada yang

mendapat B, maupun B+. Jika nilai rata-rata ini dibandingkan dengan nilai rata-rata

prestasi belajar fisika siswa pada siklus I, maka diketahui adanya peningkatan nilai

rata-rata prestasi belajar fisika siswa.

Skor motivasi siswa yang paling banyak adalah berkategori tinggi yang

berjumlah 32 orang. Skor rata-rata motivasi siswa pada siklus II lebih besar daripada

siklus I.

Hasil analisis data skor tanggapan siswa, maka diperoleh skor rata-rata

tanggapan sebesar 57 yang berada pada kategori positif. Sebagian besar siswa merasa

senang selama mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan model Collaborative

Teamwork Learning.

Deskripsi Kognitif Siswa

Siklus I Siklus II

Rata-Rata 77 79

Standar Deviasi 3,22 3,71

Nilai Terendah 68 71

Nilai Tertinggi 83 86

Page 207: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

204

Pembahasan

Berdasarkan analisis terhadap proses pelaksanaan implementasi model

Collaborative Teamwork Learning (MCTL) pada siklus I dan siklus II, terungkap

bahwa pembelajaran pada siklus I terlihat belum optimal. Hal ini ditunjukkan dari

adanya beberapa kemampuan dan perilaku siswa yang belum sesuai dengan harapan.

Terdapat siswa yang belum berani mengemukakan pendapatnya dan tampak

canggung ketika menanggapi pertanyaan ataupun pada saat bertanya. Kegiatan

diskusi dalam setiap kelompok juga tampak belum optimal. Hal ini dapat dimaklumi

karena siswa belum terbiasa dengan model MCTL ini.

Hasil penelitian siklus I menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan prestasi

belajar. Nilai rata-rata prestasi belajar pada siklus I juga sudah mencapai kategori

baik. Peningkatan prestasi belajar fisika siswa sebelum siklus sampai akhir siklus I,

yaitu dari 76 menjadi 77. Pada siklus I prestasi belajar siswa belum mencapai

ketuntasan klaksikal.

Hal ini disebabkan siswa belum terbiasa dengan model yang diterapkan.

Untuk Skor motivasi pada siklus I sebesar 70 yang berkategori tinggi. Berarti siswa

sudah memiliki motivasi yang tinggi dalam mengikuti pelajaran Fisika. Sebelum

diterapkan MCTL, siswa sedikit minatnya untuk belajar Fisika, motivasi siswa rendah

dalam mengikuti pelajaaran Fisika. Secara umum terjadi peningkatan secara klasikal

baik dari motivasi maupun pestasi belajar fisika siswa. Namun peningkatan tersebut

belum optimal, ketidakoptimalan yang terjadi pada siklus I ini kemudian dijadikan

bahan refleksi siklus I. Hasil refleksi siklus I tersebut kemudian dijadikan pijakan

untuk proses pembelajaran pada siklus II.

Pada pelaksanaan siklus II, kegiatan pembelajaran telah lebih dioptimalkan

sesuai dengan hasil refleksi siklus I. Secara ringkas, keseluruhan hasil refleksi pada

siklus I tersebut, yaitu 1) mengoptimalkan kerjasama kelompok yang heterogen, 2)

meminimalkan dominasi beberapa individu atau kelompok, 3) meningkatkan

motivasi belajar, 4) meminimalkan kadar pemberian tuntunan, 5) meningkatkan

Page 208: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

205

kepercayaan diri siswa dalam melakukan presentasi, 6) merancang RPP agar sesuai

dengan alokasi waktu yang tersedia. Semua hasil refleksi tersebut nantinya akan

bermuara pada pelaksanaan pembelajaran pada siklus II yang diharapkan lebih baik

dari siklus I.

Upaya perbaikan yang dilakukan pada siklus II menunjukkan hasil yang

positif. Berdasarkan hasil penelitian pada siklus II, terungkap bahwa terjadi

peningkatan prestasi belajar fisika siswa dari siklus I. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa skor rata-rata prestasi belajar siswa dari siklus I sampai siklus II, yaitu dari 77

menjadi 79 yang berkategori baik. Pada siklus II ada beberapa siswa yang belum

tuntas, namun kelas sudah dapat dikatakan tuntas karena sudah mencapai ketuntasan

klaksikal sebesar 86% berarti lebih besar dari 85%. Untuk skor motivasi juga

mengalami peningkatan, yaitu dari skor 70 menjadi 72 yang berkategorikan tinggi.

Secara umum, peningkatan prestasi belajar fisika dan motivasi belajar siswa

di kelas XI IPA 4 telah tercapai. Namun, masih terdapat beberapa kemampuan siswa

dalam menganalisis khususnya permasalahan yang ada di LKS. Hal ini menyebabkan

tingginya tingkat tuntunan guru dalam menuntun siswa, dalam memberikan

penjelasan. Namun, permasalahan tersebut sudah mulai diatasi pada siklus II,

pengurangan tuntunan dalam upaya meningkatkan kemandirian siswa dalam proses

pembelajaran bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang lebih efektif yang

berpusat pada siswa. Selain itu, skor rata-rata motivasi belajar siswa berada pada

kategori tinggi. Namun, jika dilihat sebaran skor motivasi siswa, maka diketahui

jumlah siswa yang memiliki tingkat motivasi sangat tinggi mengalami penurunan.

Selain itu, juga terjadi peningkatan jumlah siswa yang memiliki motivasi tinggi dan

penurunan jumlah siswa dengan tingkat motivasi cukup tinggi. Hal ini disebabkan

oleh materi yang dibahas cukup mudah dimengerti dan sedikit persamaan-persamaan,

sehingga siswa kurang tertantang dalam belajar.

Sesuai dengan pandangan kontruktivis, dalam pelaksanaan MCTL ini, siswa

merupakan pusat kegiatan belajar yang mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Page 209: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

206

Pembelajaran MCTL yang bersifat student centered serta pemberdayaan pengetahuan

awal siswa dapat meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini terjadi karena konsep yang

dibelajarkan telah terkait dengan fenomena yang sesuai dengan pengetahuan awal

siswa. Hal ini mampu menambah kebermaknaan belajar dan meningkatnya motivasi

belajar siswa. Selain itu, terkait dengan MCTL Gupta (2008) menyatakan rekan

kolaborasi dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, walaupun tergantung pada

faktor-faktor kompleks seperti usia, tingkat kemampuan, motivasi, kepercayaan diri,

gender dan tugas. Senada dengan penelitian Kapp (2009) menyatakan bahwa MCTL

dapat meningkatkan motivasi, Selain itu, juga dapat meningkatkan kinerja, prestasi

dan keakraban mereka dalam satu regu (kelompok).

Secara keseluruhan, hasil analisis baik secara teoritis maupun operasional dari

implementasi MCTL, ternyata mendukung keberhasilan penelitian tindakan kelas ini.

Penelitian ini tergolong berhasil meningkatkan prestasi dan motivasi belajar fisika

siswa di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015

karena mampu mencapai indikator peningkatan dan memenuhi kriteria keberhasilan

prestasi belajar dengan kategori baik dan motivasi belajar dengan kategori tinggi.

Terkait dengan tanggapan siswa kelas XI MIPA 4 terhadap implementasi

model pembelajaran, dapat dideskripsikan bahwa sebanyak 5% siswa memberikan

tanggapan sangat positif, sebanyak 84% memberikan tanggapan positif, dan sisanya

sebanyak 11% cukup positif. Selain itu, sebagian besar siswa menyarankan agar

MCTL tetap diterapkan dalam pembelajaran fisika di kelas mereka.

Selain keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dengan penerapan MCTL

di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015, perlu

juga dibahas kendala yang ditemui. Kendala yang dihadapi dalam implementasi

MCTL, siswa sudah memiliki LKS dan buku dari sekolah, namun siswa malas untuk

membaca. Hanya beberapa siswa yang membaca, sehingga perlu adanya tuntunan

dari guru berupa penyampaian konsep-konsep penting. Namun, disadari bahwa

pemberian tuntunan yang berlebihan menyebabkan kemandirian siswa menjadi tidak

Page 210: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

207

optimal dan juga pemberian tuntunan ini pada dasarnya tidak dapat menggantikan

fungsi buku sebagai bahan ajar yang lebih lengkap.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, implementasi model Collaborative Teamwork Learning dalam

pembelajaran fisika dapat meningkatkan prestasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA

4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini dapat dilihat

berdasarkan nilai rata-rata prestasi belajar fisika siswa pada siklus I dan siklus II.

Kedua, implementasi model Collaborative Teamwork Learning dalam

pembelajaran fisika dapat meningkatkan motivasi belajar fisika siswa kelas XI MIPA

4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini dapat dilihat

berdasarkan skor rata-rata prestasi belajar fisika siswa pada siklus I dan siklus II.

Ketiga, tanggapan siswa terhadap implementasi model Collaborative

Teamwork Learning dalam pembelajaran fisika di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1

Tampaksiring tahun pelajaran 2014/2015 dalam pembelajaran fisika berada pada

kategori positif dengan skor rata-rata sebesar 57.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian tindakan kelas

ini, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut.

Pertama, model Collaborative Teamwork Learning dapat digunakan guru

fisika sebagai salah satu alternatif dalam upaya meningkatkan prestasi belajar fisika

siswa di kelas-kelas yang memiliki masalah yang sama dengan yang teridentifikasi

oleh peneliti di kelas XI MIPA 4 SMA Negeri 1 Tampaksiring tahun pelajaran

2014/2015.

Kedua, bagi praktisi pendidikan yang ingin melaksanakan penelitian tindakan

kelas dengan model Collaborative Teamwork Learning diharapkan memperhatikan

Page 211: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

208

hasil refleksi dalam penelitian tindakan kelas ini, yang meliputi 1) penyesuaian

kegiatan belajar dengan alokasi waktu yang tersedia, dan 2) perancangan pelaksanaan

kegiatan belajar dan perangkat pembelajaran yang baik sehingga pembelajaran

menjadi efektif.

Ketiga, model pembelajaran Collaborative Teamwork Learning cocok

diterapkan dalam pembelajaran fisika karena sesuai dengan tuntutan Kurikulum 13

yang menekankan proses pendidikan pada pendekatan saintifik.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson. 2008. High perfomance cooperative learning. Artikel. Tersedia pada

http://www.anderson.ucla.edu/smith/htm. Diakses pada tanggal 9 September

2014.

Colvin, A. C. 2007. Managing innovation: how collaborative design visualitation can

facilitate teamwork. International conference on engineering and product

design education. 1-6. Tersedia pada http://www. [email protected].

Diakses pada tanggal 6 September 2014.

Frances, M. 2008. Stages of group development-A PCP approach. Personal construct

theory and practice. 8. 10-18. Terdapat pada http://www.pcp-

net.org/journal/pctp08/frances08.pdf.Diaksespada tanggal 5 September 2014.

Kapp, E. 2009. Improving student teamwork in a collaborative project-based course.

Journal of college teaching. 57 (3). 139-143. Terdapat pada

http://heldref.metapress.com/openurl.asp?genre=article&id=doi:10.3200/CTC

H.57.3.139-143. Diakses pada tanggal 16 September 2014.

Mulyasa. 2006. Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Suma, I K. 2010. Efektivitas Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Peningkatan

Pengusaan Konten dan Penalaran Ilmiah Calon Guru Fisika. Jurnal

Pendidikan dan Pengajaran. 43(6). 47-55.

Page 212: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

209

PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PROFESIONAL GURU MELALUI PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si IKIP PGRI BALI

ABSTRAC

The tutorship is a professional position, because it has fulfilled the criteria like the tutorship has involved intellectual activities, has a special torso, requires long preparations for the lap, require continuous in-service training, a life and career about membership permanent, raw determine behavior, and also adopt codes and service of conduct are adhered to by its members.

To increase the effort to competence and profesionalism of teacher performance should be sustainable. Recognition of competence and professionalism is not enough market by the acquisition of teaching certificate, but is accompanied by a continous self-development and coaching that will not cease from various stakeholders.

One effort that can be done immediately and bring the double benefit is the class action research. That is realistic pragmatic so as to resolve the various problems that exist in both the learning prosess, in class or lab. Classromm action research through the issues of education and learning can be assessed, omproves and cimpleted. So the process of normative education and learning can be realised optimally.

Key Words : Professional, Classroom Action Research I. Pendahuluan

Permasalahan yang masih perlu diatasi dalam penyelenggaraan pendidikan

nasional adalah rendahnya kualitas hasil pendidikan. Tudingan pun diarahkan pada

Guru sebagai penyebabnya, pertama mengingat peran strategis guru sebagai ujung

tombak pelaksanaan pembelajaran. Rendahnya pencapaian hasil pendidikan

dipengaruhi kinerja guru yang rendah, dan kinerja itu sendiri dipengaruhi oleh

pemilikan kompetensi guru rendah pula. Sebagai penjabaran tuntutan profesionalisme

kerja, pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 16 Tahun 2007 yang memuat tentang Standar Minimal kualifikasi dan

kompetensi guru.

Page 213: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

210

Peraturan yang tertuang dalam Permendiknas di atas perlu dipahami sebagai

hal yang terbuka dan dinamis. Artinya, kemampuan guru bukan merupakan hal yang

statis, sebaliknya mengandung tuntutan agar senantiasa mengembangkan diri,

meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja. Menurut Iskandar Agung,

pengakuan telah memenuhi kompetensi melalui pemberian sertifikat pendidik pun

bukan merupakan alasan guru harus puas terhadap hasil yang dicapainya, melainkan

perlu menunjukkan tindakan pengembangan diri secara berkelanjutan. (2014:4).

Upaya peningkatan kompetensi dan professional kinerja guru harus dilakukan

secara berkelanjutan. Pengakuan kompetensi guru dan professional tidak cukup hanya

ditandai dengan perolehan sertifikasi pendidik, melainkan disertai upaya

pengembangan diri terus menerus dan pembinaan yang tidak henti-hentinya dari

berbagai pihak yang terkait. Untuk meningkatkan kompetensi dan professional guru

dalam menyelesaikan masalah pembelajaran yang dihadapi saat menjalankan

tugasnya, salah satunya dapat dilakukan melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK),

baik secara mandiri oleh guru yang bersangkutan maupun secara berkolaboratif

(sesama guru). Hal ini sejalan dengan pendapat, Sudarwan Danim (2011), yang

mengatakan untuk meningkatkan kompetensi dan professionalism guru bisa ditempuh

melalui program penelitian untuk menguji dan mengakses kemampuan

profesionalnya.

Melalui PTK, masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran dapat dikaji,

ditingkatkan dan dituntaskan sehingga proses pendidikan dan pembelajaran yang

inovatif dan hasil belajar yang optimal dapat diwujudkan secacra sistematis. PTK

menawarkan peluang sebagai strategi pengembangan kinerja melalui pemecahan

masalah pembelajaran. Sebab pendekatan penelitian ini menempatkan guru sebagai

peneliti sekaligus sebagai agen perubahan (Masnur Muslich, 2009:6).

Dengan cara demikian, para guru tidak lagi dianggap sekedar sebagai

penerima pembaharuan yang diturunkan dari atas, tetapi guru bertanggung jawab dan

Page 214: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

211

berperan aktif untuk menghubungkan pengetahuan dan keterampilannya sendiri

melalui penelitian tindakan dalam proses pembelajaran yang dikelolanya.

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:

1. Apakah jabatan guru merupakan jabatan professional?

2. Bagaimanakah konsep dasar Penelitian Tindakan Kelas itu?

3. Apakah melalui Penelitian Tindakan Kelas dapat meningkatkan kompetensi

dan professional guru?

II. Pembahasan

2.1. Jabatan Guru merupakan jabatan profesional

Profesi guru menuntut keprofesionalan. Karena itu jabatan guru merupakan

jabatan professional yang pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Sebagai

professional, guru harus selalu meningkatkan pengetahuan, sikap dam keterampilan

terus menerus. Sebagai jabatan, harus dapat menjawab tantangan perkembangan

masyarakat, jabatan guru harus selalu dikembangkan dan dimutahirkan. Dalam

bersikap pun guru harus selalu mengandalkan pembaharuan sesuai tuntutan

kegiatannya.

Jabatan guru telah memenuhi kriteria jabatan professional anatara lain bahwa

jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang

khusus, memerlukan persiapan yang cukup lama untuk memangkunya, memerlukan

latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan

keanggotaan yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan,

mempunyai kode etik yang dilihat oleh anggotanya.

Hal ini sejalan dengan Nasional Education Association (NEA) (1948)

menyatakan, untuk jabatan guru kriterianya seperti berikut ini:

1. Jabatan yang melibatkan kegaitan intelektual

2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus

3. Jabatan yang memerl;ukan persiapan professional yang lama

4. Jabatan yang memerlukan “lahitan dalam jabatan” yang berkesinambungan

Page 215: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

212

5. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan ke anggotaan yang permanen

6. Jabatan yang memerluklan bahu (standarnya) sendiri

7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan diatas kepentingan pribadi

8. Jabatan yang mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat

2.2. Konsep Dasar Penelitian Tidnakan Kelas (PTK)

a) Pengertian PTK

Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat

reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan

kemampuan rational dari tindakan-tindakan yang dilakukannya itu, serta untuk

memperbaiki kondisi dimana praktik kegaitan pembelajaran tersebut dilakukan (Raka

Joni, 1988). Sedangkan Suharsini Arikunto (2006) menjelaskan penelitian tindakan

kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kejadian belajar berupa sebuah

tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat dinyatakan PTK merupakan penelitian

yang bersifat reflektif. Kegiatan penelitian berangkat dari permasalahan riil yang

dihadapi oleh guru dalam proses belajar mengajar, kemudian direfleksikan

pemecahan masalahnya dan ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan nyata yang

terencana dan terukur. Hal penting dalam PTK adalah tindakan nyata yang dilakukan

guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar.

Tindakan itu harus direncanakan dengan baik dan dapat diukur tingkat

keberhasilannya dalam pemecahan masalah tersebut. Jika ternyata program itu belum

dapat memecahkan masalah yang ada, maka perlu dilakukan penelitian siklus

berikutnya untuk mencoba tindakan lain (alternatif pemecahan yang lain sampai

permasalahan dapat diatasi).

Dari uraian di atas jelaslah bahwa dalam kegaiatn PTK, guru merupakan

faktor utama yang harus memainkan perannya secara baik. Guru dintuntut memiliki

Page 216: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

213

kepekaan terhadap setiap permasalahan dalam proses bealjar mengajar. Tanpa

kepekaan guru sulit menemukan permasalahan yang layak untuk diteliti atau

diperbaiki.

b) Empat Langkah Utama PTK

PTK dapat dilaksankan melalui empat langkah utama yaitu: perencanaan,

tindakan, observasi dan refleksi (Susilo, 2009)

(1) Perencanaan (Planning)

Kegiatan perencanaan mencakup (a) Identifikasi masalah, (b) analisis

penyebab adanya masalah, dan (c) pengembangan bentuk tindakan (aksi) sebagai

pemecahan masalah.

Untuk keperluan identifikasi masalah dalam PTK, ada beberapa hal yang

harus disepakati antara lain, (1) masalah harus benar-benar terjadi dan dirasakan oleh

guru pada saat melaksanakan tugas, (2) problematika, artinya masalah perlu

dipecahkan berkaitan dengan tanggung jawab, kewenangan dan tugas seorang guru.

(3) memiliki manfaat yang jelas, artinya pemecahan masalah yang dilakukan akan

memberikan manfaat yang jelas bagi siswa dan guru karena ada kemungkinan kalau

masalah tidak segera diatasi akan mengganggu penguatan kompetensi berikutnya

dalam proses pembelajaran yang mempunyai sifat berkesinambungan dan (4) dapat

dipecahkan oleh guru selaku pelaksana penelitian tindakan kelas.

Setelah guru menemukan masalah, perlu segera melakukan langkah

identifikasi penyebab munculnya masalah. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan

analisis terhadap penyebab adanya masalah yang akan dijadikan landasan berpikir

untuk mencari alternatif suatu tindakan yang dapat dikembangan sebagai bentuk

solusi atau pemecahan masalah.

(2) Tindakan

Page 217: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

214

Dalam menentukan bentuk tindakan yang dipilih perlu

mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan sebagai beriktu: (a) Apakah tindakan

yang dipilih telah mempunyai landasan berpikir yang mantap, baik secara kajian

teoritis maupun konsep?, (b) Apakah altenatif tindakan yang dipilih dipercaya dapat

menjawab permasalahan yang muncul?, (c) Bagaimana cara melaksanakan tindakan

dalam bentuk strategi langkah-langkah setiap siklus dalam proses pembelajaran di

kelas? Dan (d) Bagaimana cara menguji tindakan sehingga dapat dibuktikan telah

terjadi perbaikan kondisi dan peningkatan proses dalam kegiatan pembelajaran di

kelas yang diteliti.

Jawaban sementara atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas disebut

hipotesis tindakan, yakni alternatif tindakan yang dipandang paling tepat atau

dipercaya oleh peneliti akan mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi.

Setelah ditetapkan bentuk tindakan yang dipilih sesuai dengan rencana

pelaksanaan tindakan, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan

tindakan dalam proses pembelajaran sesuai dengan skenario pembelajaran yang

sudah dibuat oleh guru.

(3) Observasi

Kegiatan observasi dalam PTK dilakuakan untuk mengetahui dan

memperoleh gambaran lengkap secara obyektif tentang perkembangan proses

pembelajaran, dan pengaruh dari tindakan yang praktis terhadap kondisi kelas dalam

bentuk data. Atau bisa dikatakan sebagai kegiatan merekam informasi dampak dari

pelaksanaan tindakan, baik dengan atau tanpa alat bantu. Data yang dihimpun melalui

pengamatan ini meliputi data kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan indikator-

indikator yang telah ditetapkan. Pengambilan data harus bersifat multiple data

collection, jangan hanya menggunakan satu instrument saja. Kegiatan pengambilan

data dapat dilakukan diantaranya dengan cara; obsevasi, wawancara, angket, jurnal,

dokumentasi maupun nilai ulangan tes.

Page 218: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

215

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan data berkaitan

dengan observasi ini adalah (1) jenis data yang di himpun memang diperlukan dalam

rangka implementasi tindakan perbaikan, (2) indikator-indikator yang ditetapkan

harus tergambar pada perlaku-perilaku siswa dan guru secara terukur, (3) kesesuaian

prosedur pengambilan data dan (4) pemanfaatan data dalam analisis dan refleksi.

(4) Refleksi

Refleksi dilakukan untuk mengadakan upaya evaluasi yang dilakukan guru

dan tim pengamat dalam PTK. Refleksi dilakukan dengan cara berdiskusi terhadap

berbagai masalah yang muncul di kelas penelitian yang diperoleh dari analisis data

sebagai bentuk dari pengaruh tindakan yang telah dirancang. Pada kegaiatn refleksi

ini juga ditelaah aspek-aspek mengapa, bagaimana dan sejauh mana tindakan-

tindakan yang dilakukan mampu memperbaiki masalah secara bermakna.

Berdasarkan masalah yang muncul pada refleksi hasil perlakuan tindakan pada siklus

pertama, maka akan ditentukan oleh peneliti apakah tindakan yang dilaksanakan

sebagai pemecahan masalah sudah mencapai tujuan atau belum. Melalui refleksi

inilah maka peneliti akan menentukan keputusan untuk melakukan siklus lanjutan

ataukah berhenti karena masalahnya telah terpecahkan. Misalnya target yang

ditetapkan, anak harus mendapat nilai 70, ternyata hasil pada siklus pertama baru

mencapai nilai 68, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan pada siklus ke dua.

c) Struktur Laporan Penelitian

Menurut Sarwiji Suwandi, Laporan penelitian terdiri dari tiga bagian, bagian

awal, bagian pokok dan bagian akhir. (2010:64). Berikut ini dikemukakan salah satu

contoh struktur atau format penelitian

Bagian Awal

LEMBAR JUSUL PENELITIAN

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

Page 219: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

216

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL (JIAK ADA)

DAFTAR GAMBAR (JIKA ADA)

DAFTAR LAMPIRAN

Bagian Pokok

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Perumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Manfaat Penelitian

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.2. Temuan Hasil Penelitian Relevan

2.3. Kerangka Berpikir

2.4. Hipotesis Tindakan

BAB III: METODE PENELITIAN

3.1. Setting Penelitian

3.2. Subyek Penelitian

3.3. Data dan Sumber Data

3.4. Teknik Pengumpulan Data

3.5. Validasi Data

3.6. Teknik Analisis Data

3.7. Indikator Kinerja

3.8. Prosedur Penelitian

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

a) Perencanaan

Page 220: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

217

b) Tindakan

c) Pengamatan

d) Refleksi

4.2 Hasil Penelitian Siklus II

a) Perencanaa

b) Tindakan

c) Pengamatan

d) Refleksi

4.3. Hasil Penelitian Siklus III

a) Perencanaa

b) Tindakan

c) Pengamatan

d) Refleksi

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

BAB V : SIMPULAN

5.1 Simpulan

5.2 Saran

Bagian Akhir

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

2.3. Melalui PTK Dapat Meningkatkan Kompetensi Dan Profesional Guru

Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem

Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan, dan undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang

Gguru dan dosen, peningkatan kompetensi guru menjadi isu strategis dalam rangka

Page 221: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

218

meningkatkan mutu pendidikan. Bahkan menurut peraturan pemerintah RI jomor 19

tahun 2005 tersebut pada pasal 31 ditegaskan, bahwa selain kualifikasi, guru sebagai

tenaga pendidik juga dituntut untuk memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan

tingkat dan bidang keahlian yang diajarkan. Dalam hal ini kemampuan meningkatkan

kompetensi akademik di bidang penelitian serta juga menjadi satu keharusan yang

tidak bisa dilupakan oleh setiap tenaga pengajar dan tenaga kependidikan lainnya.

Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan salah satu indikator kongkrit dari

peningkatan kompetensi tersebut.

Secara ideal guru merupakan agen pembaharuan. Sebagai agen pembaharuan,

guru diharapkan selalu melakukan langkah-langkah inovatif berdasarkan hasil

evaluasi dan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukannya.

Langkah inovatif sebagai bentuk perubahan paradigma guru, dapat dilihat dari

pemahaman dan penerapan guru tentang penelitian tindakan kelas (PTK). PTK sangat

mendukung program peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah yang muaranya

adalah peningkatan kualitas pendidikan. Karena dalam proses pembelajaran, guru

adalah praktisi dan teorisi yang sangat menentukan. Peningkatan kualitas

pembelajaran, merupakan tuntutan logis dari perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni yang semakin pesat. Perkembangan ipteks mengisyaratkan

penyesuaian dan peningkatan proses pembelajaran secara berkesinambungan,

sehingga berdampak positif terhadap peningkatan kualitas lulusan dan keberadaan

sekolah tempat guru itu mengajar. Selain itu PTK juga merupakan alat atau prasarana

yang ampuh untuk meningkatkan keprofesionalan guru.

III. Simpulan

Berdasarkan uraian diatas dibawah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

3.1. Guru meruapkan jabatan professional, mengingat jabatan guru telah memenuhhi

kriteria jabatan professional antara lain, jabatan itu melibatkan kegiatan

intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan

yang cukup lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan yang

Page 222: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

219

bereksinambungan, merupakan karier cukup dan keanggotaan yang permanen,

menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan dan mempunyai kode

etik yang ditaati oleh anggotanya.

3.2. Penelitian TIndakan Kelas (PTK merupakan penelitian yang bersifat reflektif.

Kegiatan penelitian berangkat dari permasalahan riil yang dihadapi oleh guru

dalam proses belajar mengajar, kemudian direfleksikan alternatif pemecahan

masalahnya dan ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan nyata yang terencana

dan terukur.

3.3. Penelitian Tindakan Kelas perlu dikuasai oleh guru sebagai salah satu sarana

untuk meningkatkan kompetensi dan keprofesionalan guru, melalui

peningkatan kinerja, tertama peningkatan proses dan hasil pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Asef Uniar Fakhruddin. 2010. Menjadi Guru Favorit. Yogyakart: Penerbit Diva Press. Iskandar Agung. 2014. Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta: Penerbit Bee

Media Pustaka. Mahmud Khalifah. 2009. Menjadi Guru Yang Dirindu. Surakarta: Ziyad Visi Media. Masnur Muslich. 2009. Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi

Aksara. Nasional Education Association.1948. Division of Field Service. Dalam Institute on

Professional and Publik Relation. Washington DC: The Association. Raka Joni, T. 1988. Konsep Dasar Peneltian Tindakan Kelas (Classroom Action

Research). Jakarta: Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah Depdikbud.

Sarwiji Suwandi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Karya Ilmiah.

Surakarta: Yuma Pustaka. Soetjipta. 2009. Profesi Keguruan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Page 223: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

220

Sudarwan Danim. 2011. Pengembangan Profesi Guru Dari Pra Jabatan, Induksi ke Profesional Madani. Jakarta: Kencana.

Suharsini Arikunto. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Susilo. 2009. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Book

Publisher.

Page 224: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

221

SENI PERTUNJUKAN TARI JOGED BUNGBUNG YANG EXIS DALAM BENTUK ,FUNGSI DAN MAKNA

NAMA : LUH PUTU PANCAWATI.

Abstract

Bali has a specific name in the association world called the island of the

Gods says Bali is an island paradise (The Paradise Island) which is described by

novelist Hickman Powel by Nehru, also dubbed Bali island whose inhabitants the

religious majority. Thousands of the Hindu beauty is the Bali island, Even many

of the foreigners who chase our art was recognized by outsiders this is where the

need of a fort that later can maintain its artistry, beauty natural and cultural

uniqueness which includes seven elements (1) religious system (2) systems and

organization community (3) knowledge systems (4) languages (5) art (6) Systems

livelihood (7) system technology and equipment. The cultural life arts almost

none religious ceremonies in Bali has without participating dance, movement is

one of the main elements that functioned as communication media with all its

forms and variations but still showed the style and identity Bali smelling religious

art. To get adequate results is need for discussion (1) understanding of dance

joged bungbung (2) The form of the performing arts Dance jogged bungbung (3)

Clothing dance joged bungbung (4) accompaniment the music (5) the function of

performing arts of dance jogged bungbung (6) The meaning of the art of dance

performance jogged bungbung. Based on the description above has been done to

support the development of the art of balinese dance can be summarized as

follows:(1) the objectives to be achieved (2) good dance education formal and

non-formal (3) facing internal problems and external factors (4) sacral art to be

shown and the ticket sales transaction (5) the emergence of art jogged bungbung

that exis (6) need of government attention to the arts (7) the need for clear rules

and firm.

Keywords: dance jogged bungbung the exis.

Page 225: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

222

Abstrak

Bali punya nama spesifik dalam pergaulan dunia yang disebut dengan

pulau Dewata orang bilang bali adalah pulau Surga( The Paradise Island ) yang

digambarkan oleh Novelis Hickman Powel oleh Nehru ,bali juga dijuluki pulau

seribu yang penduduknya mayoritasberagama Hindu dengan keindahan pulau bali

banyak orang asing yang memburunya bahkan sempat kesenian kita diakui oleh

orang luar disinilah perlu sebuah benteng yang nantinya bisa menjaga kesenian

tersebut ,dengan keindahan alam dan keunikan kebudayaan yang meliputi tujuh

unsure (1) sistem religi (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan (3)

sistempengetahuan (4) bahasa (5) kesenian (6) Sistem mata pencaharian (7) sistem

teknologi dan peralatan .Kehidupan seni budaya hampir tidak ada satupun upacara

keagamaan di Bali tanpa ikut serta pertunjukan tari ,gerak merupakan salah satu

unsure utama yang difungsikan sebagai media komonikasi dengan segala bentuk

dan variasi namun tetap menunjukan corak serta identitas kesenian bali yang

berbau religius . Untuk mendapat hasil yang memadai perlu adanya pembahasan

(1) pengertian tari joged bungbung (2) Bentuk seni pertunjukan Tari jogged

bungbung (3) Busana tari joged bungbung (4) iringan musiknya (5) fungsi seni

pertunjukan tari jogged bungbung (6) Makna seni pertunjukan tari jogged

bungbung .Berdasarkan uraian diatas yang telah dilakukan untuk mendukung

perkembangan seni tari bali dapat disimpulkan sebagaiberikut :(1) adanya tujuan

yang harus dicapai (2) pendidikan tari baik bersifat formal maupun non formal (3)

menghadapi faktor masalah internal dan ekternal (4) seni sacral ditontonkan dan

adanya transaksi penjualan karcis (5) munculnya kesenian jogged bungbung yang

exis (6) perlu perhatian pemerintah terhadap kesenian (7) perlu adanya peraturan

yang jelas dan tegas.

Kata kunci : tari jogged bungbung yang exis .

Page 226: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

223

Bab I Pendahuluan

Bali punya nama spesifik dalam pergaulan dunia yang disebut dengan

pulau Dewata dimana mempunyai nilai universal apalagi orang bilang Bali adalah

pulau Surga ( The Paradise Island ) sebagaimana yang digambarkan Novelis

Hickman powel oleh Nehru.Bali Juga dijuluki Pulau Seribu Pura karena

penduduknya yang mayoritas beragama Hindu oleh sebab itulah orang asing

memburu kesenian kita dengan banyak keindahanya.Sebagai penerus harus

mempertahankan kebudayaan yang dimiliki terutama kesenianya yang memiliki

nilai kesakralan ,jangan sampai jatuh ketangan orang asing disinilah perlu adanya

sebuah benteng yang nantinya bisa menjaga kesenian tersebut. Pulau Bali dikenal

oleh hamper seluruh pelosok dunia karena keindahan alam dan keunikan

kebudayaanya yang meliputi beberapa unsure kebudayaan antara lain seni

rupa,seni sastra,seni suara dan seni tari.perkembangan seni dan budaya di Bali

meliputi berbagai unsure kebudayaan .Ada tujuh unsur-unsur kebudayaan (1) sisti

religi dan upacara (2) system dan organisasi kemasyarakatan (3) system

pengetahuan (4) bahasa (5) kesenian (6) Sistem mata pencaharian hindu (7)

system teknologi dan peralatan. Ketujuh unsure ini tidak dapat dipisahkan .Tari

merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa bersumber pada akar tradisi yang

dapat menumbuhkan sikap dasar terhadap penanaman nilai dan norma-norma

akan kecintaan seni budaya bangsa .Nilai keberadaan seni tari dari zaman dahulu

hingga sekarang merupakan imajinasi kreativitas manusia melalui pengembangan

akal budi dan pemikiran yang pada akhirnya menjadi bagian penting dari

kehidupan masyarakat Bali yang difungsikan sebagai media persembahan ,sarana

pelengkap upacara ,pengikat solidaritas dan komonitas maupun sekedar sebagai

hiburan semata.

Kehidupan seni budaya ini didukung oleh kenyataan yang ada yaitu

hampir tidak ada satupun upacara keagamaan di Bali tanpa ikut serta pertunjukan

tari ,gerak merupakan salah satu

unsur utama yang difungsikan sebagai media komonikasi dengan segala bentuk

banyak variasi sesuai dengan ungkapan dan selera masyarakat pendukungnya

namun tetap menunjukan corak serta identitas kesenian Bali yang berbau religius

Page 227: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

224

.Untuk mendukung perkembangan seni tari Bali maka perlu adanya pendidikan

tari baik bersifat formal maupun non formal .Seni dan budaya tidak bisa lepas dari

dunia pendidikan .Dewasa ini dunia tari Bali juga dunia tari di tempat lain tengah

menghadapi banyak masalah yang disebabkan oleh berbagai faktor-faktor internal

dan ekternal .Secara internal para aktivis tari belum secara total mengabdikan diri

kepada dunia tari baik sebagai penyaji ,pengkaji creator pengajar atau pelatih

,penulis dan sebagainya .Kiprah para aktivitastari masih terfokus pada wilayah

kesenian dari pada masuk ke wilayah budaya .Secara ekternal masyarakat dan

pemerintah masih memperlakukan seni tari sebagai sumber hiburan secara pelepas

stress atau sebagai komoditi .Akibatnya hingga dewasa ini masih banyak kegiatan

pendidikan kreativitas dan pertunjukan tari yang tidak berjalan sesuai harapan

(Dibia I wayan dalam seminar tari 29 april 2015 ).Bahkan ada beberapa desa yang

menjual seni sakral kita misalnya sang hyang jaran ditontonkan oleh para

wisatawan kemudian desa memungut karcis sebagai timbal baliknya ,bagaimana

masyarakat menyikapinya dan bagaiman tindakan pemerintah terhadap kesenian

kita ? juga munculnya kesenian joged bungbung yang begitu perkembanganya

sangat exis sekali dengan meperlihatkan pangkal pahanya yang membuat

penonton bergairah ,satu bukti dari hasil didikan dan pelatihan tari yang sudah

mengabaikan nilai-nilai dan identitas budaya Bali .Tari kerakyatan Bali yang

selam ini dikenal sebagai seni pergaulan kini telah berkembang menjadi tontonan

cabul .Jika para penari

jogged bungbung diberikan pendidikan seni yang benar dengan memahami ajaran

agama Hindu

yaitu tiga kerangka dasar perpikir berkata dan berbuat yang benar dan

menjungjung etika ,susila dan moral yang tinggi setidaknya penari akan sadar

dengan dirinya daripada sekedar iming-iming upah uang ,besar kemungkinanya

penari –penari tersebut akan merasa malu untuk memperlihatkan pangkal pahanya

bahkan melakukan adegan seksual di depan umum .

Page 228: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

225

Bab II Pembahasan

2.1.Pengertian tari jogged bungbung adalah :merupakan tari pergaulan

Bali yang terdapathampir di seluruh Bali .Joged sebagai tari rakyat sudah

berkembang sejak zaman lampau ,hanya mulai popular kembali sebagai seni

pertunjukan kurang lebih pada tahun 1940 an salah satu diantara nya adalah

“jogged bungbung “(diiringi dengan gambelan tabung bamboo).Memuncak

perkembanganya pada tahun 1945di daerah Bali Utara bagian Barat khususnya di

daerah Seririt ,Munduk dan suwung .Sebagai hiburan pada musim panen maka tari

ini juga tumbuh di Negara dan Tabanan bahkan sampai saat ini berkembang

kembali dengan exisnya .Bungbung berarti tabung bamboo sebuah istilah untuk

memberi nama seperangkat gambelan jogged.

2.2.Bentuk Seni Pertunjukan Tari Joged Bungbung biasanya dipertunjukan

oleh empat atau enam orang penari dan tampil di pentas satu persatu ,gerak

tarinya sejak semula merupakan gerak improvisasi yang erotis , dan membawa

kipas untuk menepak pasanganya ,merangsang para pengibing untuk segera

tampil dalam pentas ,dalam tarian ibing ini banyak kelihata gerak –gerak yang

sensual ,goyang pinggul yang berlebihan sehingga membuat penonton kepingin

ngibing ,tidak memiliki tari pendahuluan ,tidak mempergunakan pengawak

legong atau lakon lain , di jaman sekarang ini bebas menggunakan panggung

bahkan sampai turun panggung .begitulah perkembangan jogged di jaman

sekarang ini.

2.2.1.Busana adapun busana yang dipergunakan dalam jogged bungbung

sangat sederhana ,meliputi kain batik baju kebaya dan selendang ,gelungan yang

dipakai oleh jogged bungbung juga sangat sederhana berupa petitis (dahi)yang

bagian belakangnya dihiasi dengan bunga-bunga cempaka yang sangat indah

,bagian muka gelungan jogged bungbung serupa dengan gelungan yang dipakai

oleh lakon sita dalam sendratari Ramayana .

2.2.2 Iringan ( musiknya ) diiringi dengan gambelan tabung bamboo

sebuah istilah untuk member nama seperangkat gambelan joged

Page 229: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

226

2.3.Fungsi Seni Pertunjukan Tari Joged bungbung ,dalam klasifikasi tari

Bali berdasarkan fungsinya menurut Bandem ,1982:4 dapat dibedakan menjadi

tiga bagian yaitu (1) seni tari wali /sacral reliqius dance (2) seni tari bebali

(ceremonial dance) adalah seni tari yang berfungsi sebagai pengiring upacara

/upakara di pura-pura atau di luar pura (3) seni tari balih-balihan (seculer dance)

salah satu fungsi tari joged bungbung yaitu seni tari balih-balihan (secural dance

)yang sedang exisnya dimasyarakat sebuah tari pergaulan yang mempunyai seni

serius dan seni hiburan dimana mempunyai unsure dasar seni yang luhur namun

tidak tergolong tari wali .

2.4.Makna yang tergandung dalam seni pertunjukan tari jogged bungbung

adalah dari segi sosial dimana salah satu Tri Hita Karana hubungan manusia

dengan manusia tari jogged ini tari pergaulan yang memiliki unsure sosialnya

sangata tinggi dan mendapat tempat yang wajar dalam hati masyarakat bali

disamping dipersiapkan untuk hotel –hotel juga sebagai pertemuan resmi

Pemerintahan Indonesia termasuk pada pertemuan puncak ASEAN tahun 1977 di

Kuta,disamping memiliki unsure ibing-ibingan yang tampak menjadi unsurutama

dalam tari sosial di Pulau Bali dengan adanya seni pertunjukan jogged bungbung

masyarakat berdatangan baik tua maupun muda yang melebur dan luluh menjadi

satu yang mampu memberikan hiburan baik penari maupun penontonnya ,pada

dasarnya hakekat seni adalah untuk di komonikasikan ,dinikmati ,ditonton

,didengar atau diresapi kehadiran sebuah seni.

2.4.1.Makna yang terkandung dalam seni pertunjukan tari jogged

bungbung adalah dari segi ekonomi dengan kemajuan IPTEK maka kehidupan

dituntut untuk melakukan kemajuan ,kesejahtraan mungkin penyebabnya adalah

perekonomian yang semua itu lapangan kerja semakin mengecil ,penduduk

semakin padat dan tidak mau bekerja keras sehingga tidak peduli dengan keadaan

kesenianya terutama seni tarinya khususnya di Bali ada belakangan ini seorang

penari jogged habis menari bisa diajak kencan keluar setelah itu dibayar,begitulah

perkembangan seni di jaman sekarang ini hanya sebagai topeng belaka, kesenian

dan kebudayaan telah bergeser dari apa yang menjadi warisan nenek moyang kita

dahulu.

Page 230: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

227

Bab III Penutup

1.Diharapkan kepada pemerintah ,kepada para aktivis dari daerah setempat

jika masih ingin menjadikan tari bali sebagai simbol kebanggaan budaya tameng

pertahanan tradisi supaya punya komitmen dan tanggung jawab terhadap

pelaksanaan pendidikan keaktivitas dan pementasan tari bali agar tetap lestari dan

mencari pembentukan jati diri .

2.Kurangnya indikasi kuat dari telah terjadinya kreativitas seni yang

menyimpang dari trilogi satyam,Shiwam dan sundaram yang melandasi tradisi

budaya Bali dan melampau nilai-nilai budaya termasuk batas-batas kewajaran

yang bisa diterima oleh masyarakat luas .

3.Bidang pengkajian /penelitian tari atau penulis tari adalah bagian-bagian

dunia tari yang selama ini kurang mendapat perhatian untuk itu pendidikan tari

kita ,khususnya di Bali perlu dirancang ulang sedemikian rupa agar mampu

melahirkan pemikiran pemikiran penulis dan kritikus tari selain penyaji –penyaji

dan creator-kreator seni yang hebat.

Page 231: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

228

DAFTAR PUSTAKA

Arini,AA Ayu Kusuma .2006.Tari Legong Kraton Peliatan.Tari Kekebyaran ciptaan I Nyoman Kaler

Arini,NI Ketut.2012.Teknik Tari Bali.Denpasar.

Bandem,I Made.1992. Sakral Dan Sekurel Tari Bali Dalam Transisinya .Denpasar : STSI Denpasar

Bandem,I Made dan Fredrik Eugene deBoer.Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi.

Bandem.I Made . 1989 .Ensklopedi Tari Bali.

Dibia ,I wayan dalam Seminar tari 29 April 2015.

Dibia,I wayan .2009.Taksu Dalam Seni Dan Kehidupan Bali.

Djelantik ,A.A.M.1999.Estetika Sebuah Pengantar .Bandung : Masyarakata Seni Pertunjukan Bandung .

Page 232: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

229

PENERAPAN METODE INKUIRI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS VIII DI SMP NEGERI 9

DENPASAR TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Ni Wayan Widi Astuti, S.Pd [email protected]

ABSTRACTS

The process of education cannot be separated from the learning process in monitoring the success of the process belajar¬-teaching, especially in formal education. Achievement of learning is one of the important indicators in the learning process. Learning achievement must be the hope of all the components involved in the teaching and learning process. For students, academic achievement is something that is highly coveted and became a target to be achieved in the whole process of education that is being pursued. Thus, in addition to follow the rules that apply in the teaching and learning process, students will attempt to take a variety of ways, tips or strategies to achieve the feat. The purpose of this study was to determine: Application of inquiry method can improve learning achievement in social studies class VIII SMP 9 Denpasar Inkuiri method is a technique or method used by teachers to teach the class. The implementation is as follows: the teacher divides the task of researching something of a problem to the class. Students are divided into groups, and each group received a specific task to be done. Then they studied, researched or discussed its role in the group. After the results of their work in a group discussion, then made a report in good order. This type of research is the Classroom Action Research (CAR), which was conducted in two cycles. Subjects of this study were 40 students of class VIII E SMP 9 Denpasar 2012/2013 school year, while the object of this research is student achievement in the application of learning methods inquiry conducted in two cycles. Data collected by the task group and test methods. The data obtained from the task group and the test method were analyzed by quantitative descriptive technique. The results showed that an increase in student learning outcomes in social studies learning with application of methods of inquiry learning. While the results of the application of the first cycle obtained an average score of student learning outcomes E Junior High School eighth grade 9 Denpasar in social studies are 72.63 and 72.63% absorption students. This indicates an average increase of 5.2 student learning outcomes, ie from 67.43 at baseline to 72.63 reflection on cycle I. The number of students who complete the first cycle is 22 students (55.00%) of the 18 students (45.00%) did not complete. If these values are classified and presented it can be seen that the two students (5%) were categorized in a very good level, 20 students (50.00%) were categorized at a very good level, 15 students (37.50%) were categorized at levels sufficient, 3 students (7.50%) were categorized at levels less, and no student is considered a very poor level. Key Word: Inkuri, achievement

Page 233: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

230

A. Latar Belakang Masalah

Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran dalam

mencermati keberhasilan dalam proses belajar-mengajar, khususnya pada

pendidikan formal. Prestasi belajar merupakan salah satu indikator penting dalam

proses pembelajaran. Prestasi belajar tentunya menjadi harapan dari segala

komponen yang terlibat dalam proses belajar-mengajar tersebut. Bagi para siswa,

prestasi belajar merupakan sesuatu yang sangat didambakan dan menjadi suatu

target yang harus dicapai dalam keseluruhan proses pendidikan yang sedang

ditempuh. Dengan demikian, disamping mengikuti aturan-aturan yang berlaku

dalam proses belajar-mengajar tersebut, para siswa akan berupaya menempuh

berbagai cara, kiat ataupun strategi untuk mencapai prestasi tersebut.

(Kunandar,2004:80)

B. Landasan Teori

Metode Inquiri merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan guru untuk

mengajar di depan kelas. Adapun pelaksanaanya sebagai berikut: guru membagi

tugas meneliti sesuatu masalah ke kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa

kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus

dikerjakan.Kemudian mereka mempelajari, meneliti atau membahas tugasnya di

dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka dalam kelompok didiskusikan,

kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik

Prestasi belajar adalah perubahan perilaku individuakan memperoleh perilaku

yang baru, menetap, fungsional, positif, disadari dan sebagainya. Perubahan

perilaku sebagai hasil pembelajaran atau prestasi belajar ialah prilaku secara

Page 234: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

231

keseluruhan yang mencakup aspek kognitif, afektif, konatif, dan motorik, (Euis &

Priansa Donni : 155)

C. Metode Penelitian

Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencernatan terhadap kegiatan

pembelajaran berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi

dalam sebuah kelas secara bersamaan (Arikunto,2006:2-3). Penelitian Tindakan

Kelas untuk membantu seseorang dalam mengatasi secara praktis persoalan yang

dihadapi dalam situasi darurat dan membantu pencapaian tujuan ilmu sosial dan

ilmu pendidikan dengan kerjasama dalam kerangka etika yang disepakati

bersama” (Wiraatmadja,2007:11)

D. Hasil Penelitian

a. Rencana Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian tindakan ini dapat berupa kelas maupun sekelompok orang

yang bekerja di industri lembaga sosial lain yang berusaha menigkatkan

kinerja”(Sukardi,2011:2Berdasarkan penelitian diatas maka dalam penelitian ini

yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII E SMPN 9

Denpasar tahun pelajara 2012/2013.

2. Objek Penelitian

Yang menjadi objek dalam penelitian adalah proses belajar mengajar yang

berlangsung selama dua siklus, di kelas VIII E SMPN 9 Denpasar Tahun

Pelajaran 2012/2013, metode pembelajaran inkuiri dengan aktivitas belajar

diskusi kelompok.

Page 235: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

232

3. Waktu dan Lama Penelitian

4. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 9 Denpasar yang beralamat di jalan Brigjen I

Gusti Ngurah Rai Sanur No.177, Denpasar.

b. Prosedur Penelitian

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) secara prosedural adalah lingkungan secara

partisifatif atau kolaborasi antara guru, bidang studi dan guru lainnya. Tim ini

harus bekerja sama mulai dari tahap orientasi sehingga tercapai kesempurnaan

setiap siklusnya, yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar IPS pada

siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar tahun pelajaran 2012/2013. Pelaksanaan

penelitian ini dirancang mengikuti beberapa tahap sebagai berikut :

1. Refleksi Awal

Prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran IPS masih dibawah KKM. Kriteria

Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah adalah 75 dengan daya

serap 75% penelitian dalam siklus dapat dilaksanakan sebagai berikut :

a. Tahap Perencanaan Siklus I

Perencanaantindakan pada siklus I akan dilakukan tindakan seperti berikut :

1. Permohonan ijin penelitian yang diajukan kepada Kepala Sekolah SMPN 9

Denpasar dengan membawa surat pengantar dari Rektor IKIP PGRI BALI.

2. Penelitian berkoodinasi dan mengkolaborasikan metode inkuiri dalam pelajaran

IPS dengan guru mata pelajaran Ngakan Putu Widana, S.Pd.

3. Mengidentifikasi siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar dengan melibatkan hasil

belajar IPS sebelumnya.

4. Menyusun program pembelajaran yang meliputi tempat, jadwal, waktu dan materi

pembelajaran (dalam bentuk RPP ).

Page 236: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

233

5. Menyusun materi pembelajaran IPS dengan efektif dan efisien.

6. Mensosialisasikan metode pembelajaran inkuiri kepada siswa secara mantap,

terutama dalam pembelajaran IPS.

7. Menyusun Instrumen yang terdiri dari :

a). Tes hasil belajar

b) Panduan observasi

c) Dokumentasi

b. Tahap Pelaksanaan Tindakan Siklus I

Pada tahap ini dilaksanakan tindakan yang merupakan tindakan penerapan

rencana pembelajaran yang telah disusun. Pada siklus I dilaksanakan 2 kali

pertemuan dengan alokasi waktu 2 x 40 menit pelajaran setiap pertemuan. Dalam

tahap pelaksanaan ini, tindakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1) Guru mengawali dengan salam pembuka dilanjutkan denganmengadakan absensi

kehadiran siswa.

2) Membangkitkan motivasi siswa melalui apersepsi yang merupakan fase untuk

mengarah perhatian pada fase belajar berikutnya.

3) Menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang harus

dicapai siswa dalam kegiatan pembelajaran.

4) Siswa dibagi kedalam 8 kelompok yang terdiri dari 4-5 orang

5) Guru menjelaskan materi pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang

diharapkan dengan menggunakan metode pembelajaran inkuiri

6) Guru membagi beberapa rumusan masalah kepada masing-masing kelompok yang

sudah dibagi.

7) Siswa mempresentasikan rumusan masalah tersebut dalam bentuk kelompok.

Page 237: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

234

8) Guru memberikan peluang kepada kelompok lain untuk menanggapi presentasi

yang telah dilakukan.

9) Guru mengajak siswa bersama-sama membahas rumusan masalah tersebut dengan

memberikan penegasan pembahasan yang dilakukan guru menutup pelajaran

c. Tahap Observasi Siklus IPada tahap ini dilakukan kegiatan pengamatan pada

suatu proses pembelajaran sedang berlangsung. Dalam hal ini observasi yang

dilakukan berdasarkan instrument chek list yang telah dirancang sebelumnya,

berarti objek observasi adalah hal-hal yang tercantum dalam instrument chek

list.Dalam melakukan pengamatan, perlu dicatat sedikit demi sedikit apa yang

terjadi agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya.

d. Tahap Refleksi siklusI

Refleksi siklus I didasarkan pada hasil yang diperoleh dari pelaksanaan siklus I.

Tujuannya adalah untuk memperoleh umpan balik dan perbaikan serta penemuan

unsur-unsur yang menguatkan. Kegiatan refleksi ini juga dilakukan untuk

mengkaji pelaksanaan dengan melihat hambatan yang dialami dalam siklus

sebelumnya dan faktor penyebab hambatan tersebut, kemudian mencari solusi

pemecahan masalah untuk merencanakan perbaikan yang akan dilaksanakan pada

siklus selanjutnya

c. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dengan data

yang dibutuhkan berlandaskan pada tujuan peelitian.

Berdasarkan uraian di atas data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Metode Tes

Tespada hakikatnya merupakan cara pengumpulan data dengan

memberikanbeberapa pertanyaan atau tugas yang semuanya harus dikerjakan atau

Page 238: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

235

dijawab oleh peserta tes (testee), dan hasil dari tes berupa skor atau bersifat

interval,tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dengan aturan yang

sudah ditetapkan.

2. Observasi

Observasipada prinsipnya merupakan cara memperoleh data yang lebih dominan

menggunakan indera penglihatan (mata) dalam proses pengukuran terhadap suatu

objek atau variabel tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.

3. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi bertujuan untuk mencapai hasil evaluasi yang ada pada

siklus I sampai siklus berikutnya. Menurut Kunandar menyatakan bahwa

“Dokumen yang menyangkut para partisipasi penelitian akan menyediakan

kerangka bagi data yang mendasar.

d. Analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif

deskriptif.Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Sesuai

dengan metode yang digunakan mengolah data dalam penelitian ini maka

ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menskor Tes

Penyekoran mengenai tugas siswa ditetapkan sesuai aspek yang dinilai dalam

pembelajaran IPS melalui media gambar. Dalam penskoran, dimana tes terdiri

dari soal pilihan ganda dan uraian pada masing-masing siklus dan setiap soal

diberi bobot skor yang berberda,

2. Mengubah Skor Mentah Menjadi Skor Standar

Skor yang diperoleh dari hasil tes merupakan skor mentah dan harus diubah

menjadi skor standar. Untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar

Page 239: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

236

didasarkan pada kriteria tertentu atau norma. Norma yang digunakan dalam

penelitian ini adalah norma absolut, yaitu suatu norma yang ditetapkan secara

absolut atau mutlak oleh guru atau pembuat tes, berdasarkan atas jumlah soal,

bobot masing-masing soal, serta persentase penugasan yang dipersyaratkan.

Dengan demikian, skor standar yang diperoleh seseorang akan di dasarkan atas

konversi norma absolut akan mencerminkan penguasaan siswa terhadap bahan

yang diberikan.

3. Menentukan Rata-rata Hasil Belajar Siswa

Langkah berikutnya dalam memperoleh data adalah mencari skor rata-rata.

Skor rata-rata dapat dilakukan dengan menggunakan nilai kemudian dibagi

subjek. Untuk mengetahui peningkatan yang terjadi dapat dilihat dengan cara

membandingkan antara siklus

4. Menghitung Daya Serap dan Ketuntasan Belajar Siswa. Setelah dilaksanakan

tindakan, nilai rata-rata presentasi belajar yang diperoleh siswa lebih besar atau

sama dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), Daya Serap Siswa (DSS) lebih

besar atau sama dengan Kriteria 75%. Hal ini sesuai dengan kriteria yang

ditetapkan oleh SMPN 9 Denpasar, maka penelitian ini dikatakan berhasil.

5. Menentukan Peringkat Prestasi Belajar Siswa

Nilai yang diperoleh oleh siswa akan disesuaikan dengan predikat presentase

siswa sesuai dengan presentase belajar IPS.

e. Kriteria Keberhasilan

Untuk mengetahui berhasil tidaknya tindakan yang dilaksanakan dengan

berdasarkan pada rencana tindakan yang ditetapkan, maka kriteria yang digunakan

adalah sumber dari tujuan dilakukannya tindakan.

Page 240: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

237

Adapun tujuan tindakan dalam penelitian ini adalah untuk memperbaiki dan

meningkatkan kompetensi dalam mata pelajaran IPS melalui Metode

Pembelajaran Inkuiri pada siswa kelas VIII E SMPN 9 Denpasar. Kriteria yang

dijadikan tolak ukur keberhasilan adalah 75% dengan nilai rata-rata 75% sesuai

dengan kompetensi yang ditetapkan

E. Penutup

a. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka

dapat diambil simpulan sebagai berikut :

1. Penerapan metode pembelajaran Inkuiri dapat meningkatkan prestasi belajar IPS

siswa kelas VIII E SMP Negeri 9 Denpasar. Pada siklus I sebanyak 22 orang

siswa 72,63 berhasil tuntas belajar atau mencapai KKM 75 dan daya serap

mencapai 72,63% .

2. Pada siklus II siswa yang berhasil sebanyak 40 orang siswa 79,50 dan daya serap

siswa mencapai 79,50%. Dari siklus I hingga siklus II diperoleh data bahwa

ketuntasan belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 6,87 yakni dari 72,63

pada siklus I menjadi 79,50 pada siklus II. Jadi penelitian dihentikan pada siklus

II karena sudah mampu memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang

ditetapkan sekolah.

b. Saran

Page 241: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

238

1. Berdasarkan hasil penelitian diatas, meskipun prestasi belajar siswa sudah

tergolong baik, namun penerapan metode inkuiri ini masih perlu ditingkatkan agar

tercapai peningkatan prestasi yang lebih baik lagi.

2. Mengingat banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, maka sudah

menjadi tugas siswa dan guru untuk sama-sama berusaha meningkatkan prestasi

belajar.

F. DAFTAR PUSTAKA

Euis Karwati & Donni juni Priansa. 2014. Manajemen Kelas. Bandung

Alfabetta

H. Martinis Yamin, 2013.Strategi & Metode dalam Model

Pembelajaran.Jambi:Referensi (GP Press Group)

Humalik Oemar. 2007 Proses Belajar Mengajar.Bandung : PT Bumi Aksara Sanjaya 2009 Metode dan Model Pembelajaran.Jakarta Referensi Saifuddin, Azwar. 2002. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka pelajar Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: AFABETA, cv Slameto, 2008.Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Jakarta : PT Rineka Cipta Trianto 2009 Strategi dan Model Pembelajaran Pembelajaran, Yogyakarta Holistika Victor & Kellough 2009 Metode dan model-model Pembelajaran, Bandung GP Press Group Koncara, 2009.Penerapan Metode Inkuiri dalam Pembelajaran IPA pada Materi Konsep Cahaya untuk meningkatkan prestasi Belajar Siswa kelas VIII di smpn 2 cibogaring.Tersedia pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan skripsi PTK. Wiyono 2010 “Peningkatan Prestasi Belajar IPA tentang sifat cahaya dengan menggunakan model inkuiri dikelas VIII SMPN 2 Gading Kecamatan Winongan Pasuruan.Tersedia pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan skripsi PTK.

Page 242: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

239

Mistiani.2009 “Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar

IPS Siswa kelas X SMA Negeri Siak Hulu tahun Ajaran 2008/2009. Tersedia

pada http://blog.uns.ac.id/2009/08/hakikat /smp.kumpulan

Page 243: WIDYADARI APRIL 2015

Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

240

Page 244: WIDYADARI APRIL 2015

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

240

Model Evaluasi CIPP Dalam Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun

2014.

Ni Wayan Ary Rusitayanti Email: [email protected]

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahuipelaksanaan praktik pengalaman

lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014 dilihat dari model evaluasi CIPP. Penelitian ini mengevaluasi program dengan menganalisis masing-masing faktornya sesuai dengan model CIPP (konteks, input, proses dan produk). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua pelaksana dan peserta program praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014. Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah 79 orang yang terdiri dari 45 orang Mahasiswa, 10 orang Dosen Pembimbing, 11 orang Kepala Sekolah, 11 Guru Pamong, dan 2 orang dari UPT PPL.

Untuk mendapatkan data, maka dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sebagai metode utama. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif menggunakan langkah sebagai berikut: menentukan katagori deskriptif, skor mentah ditransformasikan ke dalam T-skor kemudian diverifikasi ke dalam Kuadran Glickman.

Setelah di evaluasi dengan model CIPP maka hasil analisis menemukan bahwa pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014 kategori efektif dilihat dari variabel konteks, input, proses dan hasil dengan hasil (+ + + +). Walaupun dalam kategori siap, namun secara umum terdapat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014 adalah pada variabel input dan proses.

Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan temuan tersebut bahwa pelaksanaan praktik pengalaman lapangan (PPL) Prodi Pendidikan Ekonomi/Koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali Tahun 2014tergolong dalam kategori efektif.

Kata kunci: Model Evaluasi CIPP, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)

ABSTRACT CIPPEvaluationModelInPracticeImplementationExperience(PPL) Students

ProdiEconomic Education/Teachers' Training CollegeCooperativeFPIPSPGRIBaliin 2014

The aim of the study is to examine the implementation of practical field

experience (PPL) Students Prodi Economic Education / Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali 2014 seen from CIPP evaluation model. This study evaluated the program by analyzing each factor in accordance with the model CIPP (context, input, process and product). The population in this study were all implementers and program participants practice field experience (PPL) Prodi Economic Education / Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali Year 2014. Subject taken in this study was 79 people consisting of 45 students, 10 Supervisor, 11 principals, 11 teachers Pamong, and 2 of UPT PPL.

To get the data, then collected using questionnaires as the primary method. The data analysis used is quantitative descriptive analysis using the following steps: determining descriptive categories, raw scores were transformed into T-scores were then verified in Quadrant Glickman.

Having evaluated the model of CIPP then the results of the analysis found that the implementation of the practice field experience (PPL) Students Prodi Economic

Page 245: WIDYADARI APRIL 2015

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

241

Education / Cooperative FPIPS Teachers' Training College PGRI Bali 2014 effective category seen from the variable context, input, process and results with the results (+ + + +) , Although the category is ready, but in general there are obstacles encountered in the implementation of practical field experience (PPL) Prodi Economic Education / Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali in 2014 is on the input variables and processes.

The conclusion obtained is based on the finding that the implementation of the practice field experience (PPL) Prodi Economic Education / Teachers' Training College Cooperative FPIPS PGRI Bali in 2014 classified in the category effectively.

Keywords: CIPP Evaluation Model, Practice Field Experience (PPL)

PENDAHULUAN

Dunia pendidikan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memajukan suatu negara terlihat dengan majunya pola pikir generasinya, maka dari dunia pendidikan inilah dapat memotivasi generasi agar mampu bertanggung jawab terhadap bangsanya, untuk mencapai tujuan tersebut dunia pendidikan tidak terlepas dari campur tangan seorang pendidik yaitu Guru, Guru adalah faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran yang berkualitas sehingga berhasil tidaknya pendidikan mencapai tujuan selalu dihubungkan dengan kiprah para guru. Guru merupakan sosok motivator yang memberi semangat dan dapat membangkitkan gaya hidup modern, dengan intelektualitas yang berlandaskan norma, moral bangsa serta agama. Sosok guru sangat mendapat perhatian, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat pada umumnya dan oleh para ahli pendidikan pada khususnya.Guru yang berkualitas diantaranya adalah mengetahui dan mengerti peran dan fungsinya dalam proses pembelajaran.

Tujuan menghasilkan calon pendidik yang memiliki wawasan dan professional serta pengalaman dalam menjalankan keahliannya di bidang pendidikan, setiap lembaga LPTK seperti IKIP PGRI Bali mewajibkan mahasiswanya untuk melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang merupakan program mata kuliah yang wajib dilaksanakan oleh setiap mahasiswa.

Pada kesempatan ini Program Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) akan memperkenalkan kepada mahasiswa atau calon guru untuk mengenal lingkungan yang akan menjadi profesinya. Dalam pelaksanaan PPL ini, calon guru dapat menerapkan segala teori pengetahuan keterampilan dan wawasan yang telah diperoleh melalui berbagai mata kuliah kedalam kelas yang sesungguhnya.

Berdasarkan cetusan Undang-undang profesi yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 6 Desember tahun 2005 guru ditetapkan sebagai profesi. Guru harus mempunyai kompetensi yang dapat diandalkan. Standar kompetensi PPL dirumuskan dengan mengacu pada tuntutan empat kompetensi guru baik dalam konteks pembelajaran maupun dalam konteks kehidupan guru sebagai anggota dalam masyarakat. Empat kompetensi guru yang dimaksud adalah kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dankompetensi sosial.Kompetensi tersebut dirumuskan sesuai dengan amanat Undang - Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Bab IV Pasal 10. Di samping itu, rumusan standar kompetensi PPL juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional khususnya yang terkait dengan BAB V Pasal 26

Page 246: WIDYADARI APRIL 2015

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

242

Ayat 4, yang pada intinya berisi standar kompetensi lulusan perguruan tinggi bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemandirian, serta sikap untuk menerapkan ilmu, teknologi, dan seni untuk tujuan kemanusiaan.Praktik Pengalaman Lapangan yang dilakukan mahasiswa merupakan salah satu wadah agar mahasiswa mendapatkan pengalaman profesi yang dapat diandalkan.

Adapun sasaran yang ingin dicapai dan pelaksanaan Praktek Pengalaman Lapangan adalah terbentuknya pribadi calon pendidik yang memiliki seperangkat pengetahuan keterampilan nilai sikap serta pola tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya.Calon pendidik juga harus memiliki kemampuan profesional dalam mengajar yang meliputi kemampuan merencanakan pengajaran kegiatan belajar mengajar dan menyusun alat penilaian serta kemampuan memberikan bimbingan dan arahan dalam belajar serta dapat melaksanakan tugas administrasi sekolah.Tujuan yang ingin dicapai dalam PPL adalah mahasiswa sebagai calon guru mendapat keterampilan, pengalaman dan pengetahuan dalam merencanakann, mempersiapkan dan melaksanakann kegiatan sebagai calon guru mampu menyampaikan ilmu yang didapat selama kuliah kepada siswa sehingga mengerti dan mampu memahami pelajaran yang disampaikan.

Untuk meningkatkan mutu lulusan IKIP PGRI Bali pelaksanaan Praktek Pengalaman Lapangan di sekolah-sekolah merupakan hal yang penting dan wajib dilaksanakan oleh mahasiswa sehingga penting untuk dievalusi secara teratur dan terprogram melalui sebuah kajian mendasar yang berstandar pada logikan dan patron akademik, untuk mengetahui evaluasi pelaksanaan PPL pada sekolah-sekolah maka perlu diadakan penelitian untuk memperoleh gambaran lengkap dan jelas tentang model evaluasi CIPP dalam pelaksanaan program PPL ditinjau dari variabel Konteks, Input, Proses dan Produk serta kendala-kendala yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaan program misalnya: Pelaksanaan praktik pengalaman lapangan mahasiswa yang dilaksanakan belum tersosialisasikan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, Pemahaman mahasiswa tentang pentingnya pelaksanaan praktik pengalaman lapangan di sekolah-sekolah masih kurang, Belum sama persepsi tentang silabus, maupun bahan ajar yang digunakan dalam pelaksanaan praktik pengalaman lapangan , Sarana dan prasarana di setiap sekolah berbeda-beda kualitas maupun kuantitasnya, Kurangnya bimbingan oleh guru pamong bimbingan dan dosen pembimbing di setiap sekolah. Model evaluasi CIPP ( conteks, input, proses, product) merupakan salah satu model yang dipakai oleh evaluator. Model ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam (1985). Pada dasarnya evaluasi ini merupakan usaha menyediakan informasi bagi pembuat keputusan. Komponen evaluasi model ini terdiri dari 4 (empat) yaitu konteks, input, proses dan produk. LANDASAN TEORI

Program dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu secara umum dan

khusus. Secara umum, program dapat diartikan dengan rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh seseorang dikemudian hari. Sedangkan pengertian khusus dari program biasanya jika dikaitkan dengan evaluasi yang bermakna suatu unit atau kesatuan kegiatan, berlangsung dalam proses berkesinambungan dan terjadi dalam satu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Menilik pengertian secara khusus ini, maka sebuah program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan secara waktu pelaksanaannya biasanya panjang. Selain itu, sebuah program juga tidak hanya terdiri dari satu kegiatan melainkan rangkaian kegiatan yang membentuk

Page 247: WIDYADARI APRIL 2015

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

243

satu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya dengan melibatkan lebih dari satu orang untuk melaksanakannya (Suharsimi Arikunto, 2004:2).

Evaluasi program dapat mencakup evaluasi kurikulum hingga evaluasi program dalam suatu bidang studi yang objeknya dapat bervariasi seperti kebijakkan program, implementasi program dan efektivitas program. Sedangkan evaluasi sistem adalah evaluasi yang cakupannya paling luas di antaranya evaluasi diri, evaluasi internal, evaluasi eksternal, dan evaluasi kelembagaan untuk mencapai tujuan tertentu suatu lembaga (Sukardi,2010 dalam Agung Marhaeni,2012:34).

Menurut Stufflebeam (1967) dalam Marhaeni (2012:135-142), evaluasi merupakan sebuah proses menjelaskan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang berguna bagi pengambilan sebuah keputusan yang baik. CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu: Context Evaluation (Evaluasi terhadap konteks), Input Evaluation (Evaluasi terhadap masukan), Process Evaluation (Evaluasi terhadap proses) dan Product Evaluation (Evaluasi terhadap hasil). Penjelasan masing-masing aspek dalam model evaluasi CIPP adalah sebagai berikut.a.Evaluasi terhadap konteks (Context Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu mengambil keputusan dalam hal perencanaan. Dimana konteks disini diartikan yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti: kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya. Evaluasi konteks menilai kebutuhan, permasalah, asset, dan peluang untuk membantu pembuat keputusan menetapkan tujuan dan prioritas serta membantu stakeholder menilai tujuan, prioritas, dan hasil.b.Evaluasi terhadap masukan (Input Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu dalam pengambilan keputusan dalam hal strukturisasi. Input merupakan model yang digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumber daya yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan informasi tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak. Evaluasi terhadap input sekolah adalah evaluasi terhadap segala sesuatu yang perlu dilakukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran, kurikulum, ketenagaan, dana, sarana dan prasarana, regulasi sekolah, organisasi sekolah, administrasi sekolah, budaya sekolah.c.Evaluasi terhadap proses (Process Evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu pelaksanaan program. Evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses meliputi evaluasi terhadap manajemen, kepemimpinan, dan terutama proses belajar mengajar. Dalam pendidikan proses adalah kejadian berubahnya siswa yang belum terdidik menjadi siswa terdidik. d.Evaluasi terhadap hasil (Product evaluation) adalah evaluasi yang bertujuan untuk membantu daur ulang dalam pengambilan keputusan. Evaluasi ini lebih memfokuskan pada hasil yang diperoleh. Dalam bidang pendidikan, evaluasi output adalah evaluasi terhadap hasil belajar yang merefleksi seberapa efektif proses belajar mengajar berlangsung. Ini berarti bahwa hasil belajar ditentukan oleh tingkat efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, dan daya raga yang diperlukan oleh siswa untuk terjun dimasyarakat dan untuk mengembangkan dirinya.

Page 248: WIDYADARI APRIL 2015

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

244

Praktik Pengalaman Lapangan disingkat PPL adalah serangkaian kegiatan yang diprogramkan bagi siswa atau mahasiswa calon guru, yang meliputi, baik latihan mengajar maupun latihan di luar mengajar. Kegiatan ini merupakan ajang untuk membina kompetensi-kompetensi profesional yang dipersyaratkan oleh pekerjaan guru atau tenaga kependidikan lain. Sasaran yang ingin dicapai adalah pribadi calon pendidik yang memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap, serta pola tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya di dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah (Hamalik 2003:172).

METODELOGI PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian evaluatif kuantitatif, menganalisis efektivitas dengan menganalisis peran masing-masing faktor sesuai dengan model CIPP (konteks, input, proses dan produk). Subjek dalam penelitian ini adalah 79 orang dengan tehnik cluster random samplingyang terdiri dari 45 orang mahasiswa, 10 orang dosen pembimbing, 11 orang Kepala Sekolah, 11 Guru Pamong, dan 2 orang dari UPT PPL . Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sebagai metode utama. Data dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif menggunakan langkah sebagai berikut: menentukan katagori deskriptif menggunakan Analisis Univariat, skor mentah ditransformasikan ke dalam T-skor kemudian diverifikasi ke dalam Kuadran Glickman. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data variabel konteks yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 85 dari skor tertinggi yang mugkin dicapai sebesar 90. Skor terendah yang dicapai responden adalah 65 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 18 dengan rata-rata sebesar 78,119. pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel konteks terletak pada interval keenam, yakni pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 21 atau sebesar 30,435%. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 41 > daripada f(-) = 28. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel konteks dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 tergolong efektif.

Skor variabel input yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden menunjukkan bahwa tertinggi yang dicapai responden adalah 140 dari skor tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 150, sedangkan skor terendah yang dicapai responden adalah 107 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 30. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 124,348. Skor yang paling dominan adalah 121, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 122, simpangan baku dengan sebesar 6,135, dan variasi skor sebesar 37,642. pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel input terletak pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 23 atau 33,333 %. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 38 > daripada f(-) = 31. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel input dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014tergolong relatif efektif.

Page 249: WIDYADARI APRIL 2015

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

245

Skor variabel proses yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 141 dari skor tertinggi yang mungkin dicapai sebesar 150, sedangkan skor terendah yang dicapai responden adalah 90 dari skor terendah yang mungkin dicapai sebesar 30. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 124,565. Skor yang paling dominan adalah 125, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 123, simpangan baku dengan sebesar 9,400, dan variasi skor sebesar 88,367, pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel proses terletak pada interval rata-rata dengan frekuensi sebesar 32 atau 46,377 %. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 39> daripada f (-) = 30. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel proses dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 tergolong relatif efektif.

Skor variabel hasil yang diperoleh dari hasil pengukuran terhadap responden menunjukkan bahwa skor tertinggi yang dicapai responden adalah 167 dari skor tertinggi yang dapat dicapai sebesar 180, sedangkan skor terendah yang dicapai responden adalah 124 dari skor terendah yang dapat dicapai renponden sebesar 36. Rata-rata skor yang diperoleh keseluruhan responden adalah 150,087. Skor yang paling banyak adalah 140, skor yang terletak ditengah-tengah adalah 149, simpangan skor dengan rata-rata sebesar 9,407, dan variasi skor sebesar 88,492, pengelompokkan frekuensi terbanyak untuk variabel hasil kecenderungan terletak di atas rata-rata dengan frekuensi sebesar 20 atau sebesar 28,986 %. Bila dilihat dari skor yang telah dikonversikan ke dalam T-skor menunjukkan bahwa f (+) = 36>f(-) = 33. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada variabel hasil/produk pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 tergolong relatif efektif.

Hasil analisis menemukan bahwa pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014tergolong efektif dilihat dari variabel konteks, input, proses dan produk dengan hasil (+ + + +). Artinya; pada variabel konteks efektif, pada variabel input efektif, pada variabel proses efektif, dan pada variabel hasil efektif. Kendala-kendala yang dihadapai dalam implementasi program Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 pada umumnya terdapat pada variabel input. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis data dan temuan penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut: a)Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 dilihat dari dimensi context tergolong dalam kategori efektif. Dari tiga dimensi yang dilibatkan dalam variabel konteks ternyata semua dimensi yaitu: visi program, misi program, dan tujuan program sudah mendukung efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. b)Efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 dilihat dari dimensi input tergolong dalam kategori efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam variabel input, silabus sekolah, bahan ajar, sarana prasarana, dan sumber daya manusia, dimensi silabus sekolah, bahan ajar, dan sumber daya manusia sudah

Page 250: WIDYADARI APRIL 2015

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

246

mendukung efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 sedangkan dimensi sarana prasarana belum mendukung pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. c)Efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014dilihat dari dimensi process tergolong dalam kategori efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam variabel process yaitu perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan respon peserta didik dimensi pelaksanaan pembelajaran, dan respon peserta didik secara umum sudah mendukung efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014. d)Efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014dilihat dari variabel product tergolong dalam kategori efektif. Dari empat dimensi yang dilibatkan dalam pengukuran variabel product, yakni: kualitas dan kuantitas, manfaat serta hasil yang didapatkan dari program , kegunaan bagi profesi, dan kegunaan bagi massa depan ternyata semunya efektif. Jadi tujuan pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014sudah tercapai. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014 terdapat pada komponen, yakni pada komponen input.

Bila dilihat secara bersama-sama berdasarkan temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa efektifitas pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) mahasiswa prodi pendidikan ekonomi/koperasi FPIPS IKIP PGRI Bali tahun 2014tergolong dalam kategori efektif dilihat dari dimensi context, input, process dan product dengan hasil (+ + + +). Dengan demikian, seluruh variabel dilibatkan sudah efektif.

Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diajukan bebeberapa saran sebagai berikut: Pada variabel konteks, meskipun efektif, beberapa aspek perlu ditingkatkan adalah: visi, misi, dan tujuan program. Dengan demikian, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) disesuaikan dengan kebutuhan sekolah, Pada variabel input, beberapa aspek yang perlu ditingkatkan adalah sumber daya manusia, dan sarana prasarana. Peningkatan sarana dan prasarana dapat dilakukan dengan pengadaan barang yang dipokuskan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, serta menyiapkan mental sumber daya manusia dengan memperbanyak jam pelatyihan mengajar (microteaching), Pada variabel proses, beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, antara lain: perencanaan pembelajaran dibuat secara matang, dan Pada variabel hasil yang perlu ditingkatkan adalah: kualitas kuantitas dan manfaat serta hasil yang didapatkan dari program dirancang sebaik-baiknya sehingga program berjalan efektif.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara

--------. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara

Page 251: WIDYADARI APRIL 2015

Jurnal Nomor 17 Tahun XI April 2015 ISSN 1907-3232

247

Buku Panduan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Institut Keguruan dan Ilmu

Pendidikan (IKIP) PGRI Bali Tahun 2013. Gede Agung, Prof.Dr. 2014. Metodologi Penlitian Pendidikan. Yogyakarta: Aditya

Media Publishing. Hamalik, Oemar. 2005. Evaluasi Kurikulum. Bandung. Remaja Rosdakarya. Koyan, Wayan. 2009. Statistika Terapan (Teknis Analisis Data Kuantitatif).

Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Marhaeni, Agung. 2012. Evaluasi Program Pendidikan. Singaraja Mendiknas. 2005. P.P. R.I No.19 Tahun 2005 tentang Standard Nasional

Pendidikan. Jakarta : C.M. Cemerlang. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Wadi, Andi. 2006. Evaluasi Implementasi Program MBS sebagai Upaya Kualitas

Peningkatan Lulusan pada SMK I Sukasada Undiksha Singaraja.(Tesis tidak dipublikasikan).

Page 252: WIDYADARI APRIL 2015

248

PENGARUH KOMUNIKASI DARI BAWAHAN TERHADAP ATASAN (UPWARD COMMUNICATION) UNTUK MOTIVASI KARYAWAN

Oleh

Putu Dessy Fridayanthi, S,T.,M.I.Kom Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali

ABSTRAK

Komunikasi adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia dan pentingnya komunikasi untuk manusia tidak bisa dipungkiri bagi organisasi. Dengan komunikasi yang baik dalam organisasi, organisasi dapat berjalan dengan baik dan sukses. Dan keberhasilan komunikasi dalam organisasi dapat berpengaruh pada motivasi karyawan. Penelitian ini akan menganalisis Pengaruh Komunikasi dari Karyawan ke Supervisor (Komunikasi ke atas) untuk Motivasi Karyawan. Dan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali akan menjadi tempat bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif penjelasan dengan menggunakan metode regresi linier sederhana untuk menganalisis data. Hasil penelitian ini menunjukkan jika komunikasi dari karyawan kepada atasan memiliki pengaruh positif terhadap motivasi karyawan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali.

Kata kunci: Komunikasi organisasi , komunikasi dari Karyawan ke Atasan (komunikasi ke atas), Motivasi Kerja

ABSTRACT

Communication is the important thing in human life and the important of communication to human can’t be denied for the organization. With the good communication in organization the organization can walk with good and success. And the success of communication in organization can be influent the employee motivation. The research will be analyzed The Influence of Communication from Employee to Supervisor (Upward Communication) to Employee Motivation. And the Biro Administration Welfare of Bali province will be the place for researcher to do the research. This kind of research is quantitatif explanation with using simple linier regresion method to analyze the data. The result of this research show if the communication from employee to supervisor have the positive influence to employee motivation in People Welfare Administration .

Key Word :

Communication Organization, Communication from Employee to Supervisor (Upward Communication), Work Motivation

Page 253: WIDYADARI APRIL 2015

249

1.PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dimungkiri begitu juga halnya bagi suatu organisasi.

Dengan adanya komunikasi yang baik suatu organisasi dapat berjalan lancar dan berhasil dan begitu pula sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi, organisasi dapat macet atau berantakan. Boleh dikatakan, organisasi tanpa komunikasi ibarat sebuah mobil yang didalamnya terdapat rangkaian alat-alat otomotif, yang terpaksa tidak berfungsi karena tidak adanya aliran fungsi antara satu bagian dengan bagian yang lain (Panuju, 2001, p.1).

Tujuan komunikasi dalam proses organisasi tidak lain dalam rangka membentuk saling pengertian (mutual understanding). Pendek kata agar terjadi penyetaraan dalam kerangka referensi (frame of references) maupun bidang pengalaman ( field of experiences). Meskipun nyaris mustahil menyamakan ranah kognitif individu-individu dalam organisasi, tetapi melalui kegiatan komunikasi yang terencana dan substansi yang isinya terdesain, minimal terjadi proses penyebarluasan dimensi-dimensi organisasi pada setiap orang (Panuju, 2001, p.2-3).

Di dalam suatu organisasi, arus informasi biasanya bergerak dari atasan kepada bawahan (downward communication) dan bawahan ke atasan (upward communication). Komunikasi ke atas sebagai saluran informasi dalam memberikan feedback atau balikkan kepada atasan, memberikan saran dan mengajukkan pertanyaan (Muhammad, 2005).

Setiap pegawai, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar, ingin diakui, dihargai, dan dihormati. Namun kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak pimpinan yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka tidak menyadari, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan terori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusinya untuk memotivasi diri mereka dalam bekerja (Arep, Tanjung, 2004, p.27)

Dalam menggerakkan aktivitas organisasi, masalah motivasi kerja menjadi perhatian utama yang tidak dapat diabaikan begitu saja, karena menyangkut alasan-alasan mengapa bawahan mencurahkan tenaga untuk melakukan suatu pekerjaan yang tentu saja hal ini juga mempengaruhi lancar atau tidaknya suatu organisasi.

Begitu pula Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat. Sebagai salah satu Biro yang bertugas untuk membantu Gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah dan berfungsi untuk :

Page 254: WIDYADARI APRIL 2015

250

a. Koordinasi perumusan kebijakan pemerintah daerah;

b. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;

c. Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan di daerah;

d. Koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi dinas daerah dan lembaga teknis daerah;

e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Seperti umumnya sebagai suatu organisasi, Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat juga memiliki hierarki atasan dan bawahan dalam struktur organisasi untuk menjalankan segala aktivitasnya. Adapun alasan peneliti menetapkan objek penelitian di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat tersebut dikarenakan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat sebagai salah satu unsur pemerintah sangat berperan dalam meningkatkan upaya kesejahteraan rakyat,

Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian lebih jauh mengenai pengaruh upward communication dalam kaitannya dengan motivasi kerja karyawan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali. Hal ini dikarenakan peneliti melihat fenomena komunikasi yang terjadi di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat, dimana arus komunikasi dari bawahan ke atasan (upward communication) kurang berjalan dengan lancar. Menurut Panuju (2001) suatu perusahaan dapat berjalan dengan baik kalau komunikasi dalam perusahaan atau organisasi berjalan dengan baik atau lancar, karena hal tersebut peneliti ingin mengetahui apakah dengan kekurang-lancarnya komunikasi dari bawahan kepada atasan dapat mempengaruhi motivasi kerja bawahan, yaitu dorongan, upaya, dan keinginan yang ada di dalam diri manusia yang mengaktifkan , memberi daya, serta mengarahkan perilaku pada pelaksanaan tugas-tugas dalam lingkup pekerjaannya.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang diungkapkan diatas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah :

“Apakah komunikasi dari bawahan kepada atasan (upward communication) mempengaruhi motivasi kerja bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali?”

c. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang diungkapkan diatas, maka tujuan penelitian yang diajukan adalah :

Untuk mengetahui apakah komunikasi dari bawahan kepada atasan (upward communication) mempengaruhi motivasi kerja bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Provinsi Bali.

d. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, sebagai berikut :

i. Manfaat Teoritis

Page 255: WIDYADARI APRIL 2015

251

Menjadi bahan kepustakaan bagi Jurusan Ilmu Komunikasi dan literatur bagi para mahasiswa untuk melakukan penelitian yang sejenis, yaitu penelitian mengenai pengaruh komunikasi dari bawahan kepada atasan terhadap motivasi kerja.

ii. Manfaat Praktis

Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan masukan-masukan yang berguna kepada Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah upward communication.

2. KERANGKA TEORI

2.1. Komunikasi Organisasi

Ada bermacam-macam persepsi mengenai komunikasi organisasi dari beberapa ahli, yaitu (Muhammad, 2005, p.65-66) :

Meskipun terdapat persepsi dari para ahli mengenai komunikasi organisasi ini tapi dari semuanya itu ada beberapa hal yang umum yang dapat disimpulkan yaitu (Muhammad, 2005, p.67) :

a. Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu sistem terbuka yang kompleks yang dipengarui oleh lingkungannya sendiri baik internal maupun eksternal.

b. Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arusnya, tujuan, arah dan media. c. Komunikasi organisasi meliputi orang dan sikapnya, perasaannya, hubungannya dan

keterampilan atau skillnya.

2.2. Komunikasi ke Atas (Upward Communication)

Yang dimaksud dengan komunikasi keatas adalah pesan yang mengalir dari bawahan kepada atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Semua karyawan dalam suatu organisasi kecuali yang berada pada tingkatan yang paling atas mugkin berkomunikasi ke atas. Tujuan dari komunkasi ini adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran dan mengajukan pertanyaan. Komuniksai ini mempunyai efek pada penyempurnaan moral dn sikap karyawan, tipe pesan adalah integrasi dan pembaruan (Muhammad, 2004, p.116-117).

Komunikasi ke atas mempunyai beberapa fungsi atau nilai tertentu. Menurut Pace (1989) fungsinya adalah sebagai berikut :

1. Dengan adanya komunikasi ke atas supervisor dapat mengetahui kapan bawahannya siap untuk diberi informasi dari mereka dan bagimana baiknya mereka menerima apa yang disampaikan karyawan.

2. Arus komunikasi ke atas memberikan informasi yang berharga bagi pembuatan keputusan

3. Komunikasi ke atas memperkuat apresiasi dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dengan jalan memberikan kesempatan untuk menanyakan pertanyaan, mengajukan ide-ide dan saran-saran tentang jalannya organisasi.

Page 256: WIDYADARI APRIL 2015

252

4. Komunikasi ke atas membolehkan, bahkan mendorong desas-desus muncul dan membiarkan supervisor mengetahuinya.

5. Komunikasi ke atas menjadikan supervisor dapat menentukan apakah bawahan menangkap arti seperti yang dia maksudkan dari arus informasi yang kebawah.

6. Komunikasi ke atas membantu karyawan mengatasi masalah-masalah pekerjaan mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya (Muhammad, 2004, p.117).

Menurut Smith (Goldhaber, 1986) komunikasi ke atas berfungsi sebagai balikan bagi pimpinan memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan kepada bawahan dan dapat memberikan stimulus kepada karyawan untuk berpartisipasi dalam merumuskan pelaksanaan kebijaksanaan bagi departemennya atau organisasinya (Muhammad, 2005, p.117).

Kebanyakan dari hasil-hasil analisis penelitian mengenai komunikasi ke atas mengatakan bahwa staf dan pimpinan haruslah mendapatkan informasi dari bawahannya mengenai hal-hal berikut :

a. Apa yang dilakukan bawahan, pekerjaannya, hasil yang dicapainya, kemajuan mereka dan rencana masa yang akan datang

b. Menjelaskan masalah-masalah pekerjaan yang tidak terpecahkan yang mungkin memerlukan bantuan tertentu

c. Menawarkan saran-saran atau ide-ide bagi penyempurnaan unitnya masing-masing atau organisasi secara keseluruhan

d. Menyatakan bagaimana pikiran dan perasaan mereka mengenai pekerjaannya, teman sekerjanya dan organisasi (Muhammad, 2004, p.118).

Kombinasi dari perasaan-perasaan dan kepercayaan karyawan tersebut menjadikan penghalang yang kuat untuk menyatakan ide-ide, pendapat-pendapat atau informasi oleh bawahan kepada atasan.

Komunikasi ke atas merupakan sumber informasi yang penting dalam membuat keputusan, karena dengan adanya komunikasi ini, pimpinan dapat mengetahui bagaimana pendapat bawahan mengenai atasan, mengenai pekerjaan mereka, mengenai teman-temannya yang sama bekerja dan mengenai organisasi. Karena pentingnya komunikasi tersebut maka organisasi perlu memprogramnya.

Seperti telah dikatakan di atas bahwa komunikasi ke atas ini penting untuk pembuatan keputusan maka agar komunikasi ini berjalan lancar dan memberikan informasi seperti yang diharapkan maka perlu diprogramkan secara khusus. Untuk menyusun program ini ada prinsip-prinsip yang perlu dipedomani oleh pimpinan. Prinsip-prinsip tersebut menurut Planty dan Machaver (Pace, 1989) adalah sebagai berikut:

1. Program komunikasi ke atas yang efektif harus direncanakan 2. Program komunikasi ke atas berlangsung terus – menerus 3. Program komunikasi ke atas yang efektif menggunakan saluran yang rutin 4. Program komunikasi ke atas yang efektif, menekankan kesensitifan dan penerimaan

ide-ide yang menyenangkan saluran yang lebih rendah

Page 257: WIDYADARI APRIL 2015

253

5. Program komunikasi ke atas yang efektif memerlukan pendengar yang objektif. Supervisor dan manajer hendaklah memberikan waktunya untuk mendengarkan bawahan dengan objektif. Reaksi yang memperlihatkan kekurang seriusan dan sikap mendengarkan yang menjengkelkan, memperlihatkan kepada bawahan bahwa komunikasi ke atas sesungguhnya tidak diingini

6. Program komunikasi ke atas yang efektif memerlukan pengambilan tindakan berespons terhadap masalah

7. Program komunikasi ke atas yang efektif menggunakan bermacam-macam media dan metode untuk memajukan arus informasi. Metode yang paling efektif dari komunikasi ke atas adalah kontak tatap muka sehari-hari dan percakapan di antara supervisor dan bawahan (Muhammad, 2004, p.121).

2.3. Motivasi Kerja

Motivasi kerja adalah dorongan, upaya, dan keinginan yang ada di dalam diri manusia yang mengaktifkan , memberi daya, serta mengarahkan perilaku pada pelaksanaan tugas-tugas dalam lingkup pekerjaannya. Hakikat dari motivasi adalah dorongan untuk melakukan segala sesuatu yang lebih baik daripada lainnya di dalam melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan (Umar, 2002, p.239). Ada beberapa pendapat mengenai pengertian motivasi, tetapi pada dasarnya masing-masing pengertian tersebut memiliki pemikiran yang sama. Dalam penelitian ini, pengertian di ambil menurut pemikiran dari Fred Luthans, yang mengatakan bahwa “ Motivasi adalah suatu proses di dalam diri seseorang karena memiliki kebutuhan psikologis dan fisiologis sehingga menggerakkan perilaku atau dorongan untuk mencapai suatu tujuan “ ( Nawawi, 2003, p.327).

2.4. Pengaruh Komunikasi Terhadap Motivasi

Frantz (1988) dalam Pace (2006) menyebutkan bahwa perusahaan selalu meningkatkan produktivitas ,melalui apa yang disebut efisiensi alokatif, misalnya : penggunaan mesin, penanganan bahan, metode pembayaran pegawai, dan lain-lain. Efisiensi ini mengabaikan efisiensi nonalokatif. Frantz selanjutnya menegaskan, bila inefisiean alokatif akan mengganggu komunikasi antarindividu dalam organisasi (Pace, 2006, p.114-116). Selanjutnya dalam hubungan dengan teori Hierarki Kebutuhan Maslow analisis Frantz menyimpulkan, bila komunikasi antarindividu dan organisasi akan sangat berpengaruh pada motif rasa memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri. Sedangkan terhadap teori Kesehatan-Motivasi Herzberg, Frantz melihat bila komunikasi lebih berpengaruh terhadap faktor Hygiene, antara lain : kebijakan organisasi, hubungan antar pribadi dengan rekan kerja, atasan dan bawahan di tempat kerja.

3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi secara

Page 258: WIDYADARI APRIL 2015

254

sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu (Kriyantono, 2006, p. 57)

Pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah riset yang menggambarkan atau mejelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Dengan demikian tidak terlalu mementingkan kedalaman data atau analisa ( Kriyantono, 2006, p. 57).

Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode survei. Survei adalah metode riset dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen sebagai pengumpulan datanya. Tujuannya untuk memperoleh informasi tentang sejumlah responden yang dianggap mewakili populasi tertentu ( Kriyantono, 2006, p.60).

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional dan pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabel bebas (X) Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah upward communication. Indikator pengukuran variabel ini dilihat melalui fungsi komunikasi keatas menurut Pace (1989), yaitu :

a. Pimpinan dapat mengetahui kapan bawahan siap diberi informasi b. Memberikan informasi yang berharga untuk pembuatan keputusan c. Memperkuat apresiasi dan loyalitas karyawan dengan jalan memberi kesempatan

untuk mengajukan pertanyaan, mengajukan ide-ide, dan saran-saran tentang jalannya organisasi

d. Membolehkan dan mendorong desas desus muncul e. Pimpinan dapat megetahui apakah bawahan menangkap arti yang dia maksudkan dari

arus informasi kebawah f. Membantu karyawan mengatasi masalah-masalah pekerjaan mereka dan memperkuat

keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya dan organisasi

2. Variabel terikat (Y) yaitu variabel yang dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel bebas (Bungin, 2001, p.80). Dalam penelitian ini yang menjadi variable terikat adalah motivasi kerja. Adapun variable ini berdasarkan kajian motivasi oleh Arep dan Tanjung (2004, p.156) meliputi dimensi :

a. Disiplin b. Inisiatif c. Loyalitas d. Kinerja e. Pengawasan

3.3. Populasi dan Sampel

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat. Karena diambil seluruh unsur populasi maka tidak menggunakan teknik pengambilan sampel.

Page 259: WIDYADARI APRIL 2015

255

3.4. Jenis Sumber Data

a. Sumber data primer, dimana data dikumpulkan secara langsung dari sumber pertama dilapangan (Bungin, 2001, p.128). Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan data primer berupa kuesioner. Kuesioner akan disebarkan kepada sejumlah responsden yang merupakan karyawan tetap Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat yang telah bekerja minimal 1 tahun, dan ditujukan pada manajemen menengah, dan karyawan bawahan atau para staf. Selain itu data primer juga diambil berdasarkan hasil wawancara dari sejumlah narasumber yang kompeten untuk penggalian data yang lebih dalam lagi.

b. Sumber data sekunder, merupakan data pendukung yang diperoleh dari sumber kedua sesudah sumber data primer (Bungin, 2001, p.128). Pada penelitian ini, yang menjadi data sekunder yaitu berupa buku-buku, dokumen-dokumen internal perusahaan seperti struktur organisasi, kebijakan umum, dan lain-lainnya yang diharapkan dapat membantu memberikan keterangan, atau sebagai data pelengkap.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Demikian pula dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti memperoleh data dengan mengadakan peninjauan secara langsung ke Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali dengan menggunakan metode dan prosedur sebagai berikut :

a. Kuisioner b. Wawancara c. Dokumentasi

1. Uji Validitas

Uji validitas dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur (Singarimbun dan Effendi, 1995, p.124). Karena dalam penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai alat pengukur utama.

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas menunjuk pada pengertian sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan dan konsisten dari waktu ke waktu (Singarimbun dan Effendi, 1995, p. 140). Cara untuk menguji reliabilitas adalah dengan memasukkannya kedalam rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach :

3.6. Teknik Analisis Data

Menurut Singarimbun (1995, p.263), analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam hal ini, teknik analisa yang digunakan adalah teknik korelasi yang tujuannya adalah untuk mengetahui apakah di antara dua variable atau lebih terdapat hubungan, dan jika ada hubungan, bagaimana arah hubungan dan seberapa besar hubungan tersebut (Santoso, 2002, p.149).

3.6.1. Uji Regresi

Pada percobaan selalu ada dua atau lebih variabel sehingga diperlukan hubungan fungsional diatas variabel dan analisis korelasi yang digunakan untuk menetapkan derajat

Page 260: WIDYADARI APRIL 2015

256

korelasi atau variabel. Analisis regresi digunakan untuk menetapkan hubungan fungsional antara variabel bebas dan variabel tak bebas, namun tidak dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa terjadi perubahan. (Suharto, Girisuta, Miryanti, 2004, p.181)

Dalam analisa regresi dipikirkan bahwa hubungan antara variabel independen dan variabel dependen adalah dalam bentuk linier. Analisis regresi linear digunakan sebagai metode untuk menyusun hubungan fungsional antara dua variabel. Cara melakukan uji regresi linear adalah dengan memasukkannya dalam rumus :

Y : a + b X

Keterangan :

Y : Variabel tak bebas dihitung jika nilai X diketahui

X : Variabel bebas

a : Nilai intercept

b : Koefisien arah regresi

4. PEMBAHASAN

4.1. Struktur organisasi Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat

Struktur organisasi tersebut dapat digambarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing , antara lain :

a. Kepala Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat b. Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat c. Kepala Bagian Ketenagakerjaan d. Kepala Bagian Sosial

4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas

4.2.1. Analisis Validitas

Uji validitas internal dilakukan atas item-item pernyataan pada kuisioner yaitu dengan jalan menghitung corrected item to total correlation. Item yang dapat dikatakan konsisten secara internal bila item memiliki korelasi dengan skor total jika lebih besar dari r tabel. Bila lebih besar dari r tabel maka suatu pernyataan dianggap valid. Sebaliknya jika bernilai lebih kecil, maka suatu pernyataan dianggap tidak valid dan tidak dapat dilanjutkan untuk proses berikutnya. Berikut adalah uji validitas pada variable komunikasi bawahan terhadap atasan :

Dari hasil uji menunjukkan bahwa seluruh item mempunyai nilai corrected item to total correlation lebih besar dari r tabel yaitu 0,180. Dengan demikian indikator dari variabel komunikasi bawahan pada atasan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dan dapat mengukur variable komunikasi bawahan pada atasan atau dapat dikatakan valid.

4.2.2. Uji Reliabilitas

Page 261: WIDYADARI APRIL 2015

257

Demikian dengan uji reliabilitas menunjukkan nilai alpha cronbach seluruh variabel mempunyai nilai lebih besar dari 0,6 dengan demikian kuesioner untuk seluruh variabel mempunyai konsistensi atau kestabilan yang baik.

4.3. Pengolahan Data

4.3.1. Deskripsi Karakteristik Responden

Sebelum responden menjawab pernyataan atau pertanyaan dalam kuesioner pada bagian awal responden diminta untuk mengisi data karakteristik yang berisi usia, jenis kelamin, lama kerja, jabatan dan devisi pegawai di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat.

Dari hasil pengisian angket menunjukkan sebagian besar responden berusia antara 21 – 30 tahun sebanyak 1 orang atau 1,7 %, kemudian yang berusia 31 – 40 tahun ada 14 orang atau 24,13 %, sedangkan yang berusia kurang dari 20 tahun ada 0 orang .Urutan berikutnya adalah yang berusia 41 – 50 tahun yaitu sebanyak 32orang atau 55,17 %. Dan sisanya sebanyak 51 – 60 tahun ada 11orang atau 18,93 %. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat adalah antara usia 41 tahun sampai 50 tahun dengan jumlah persentasetase 55,17%. Usia antara 51 tahun sampai 60 tahun hanya 11 orang dengan persentasetase hanya 18,93%.

4.4. Deskripsi Variable Penelitian

4.4.1. Deskripsi Variable Bebas yaitu Komunikasi Bawahan ke Atasan

Variable bebas komunikasi bawahan ke atasan terdiri dari 5 indikator atau item. Untuk mengetahui jawaban responden pada tiap pertanyaan tersebut dapat dilihat selengkapnya pada distribusi frekuensi berikut :

Didapat beberapa hasil yang menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan memperhitungkan masalah ketepatan waktu dalam menyebarkan informasi. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 31(53,4 %) dan 17 (29,3 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa atasan memperhitungkan masalah ketepatan waktu dalam menyebarkan informasi ada 7 (15,5 %) dan 1 (1,7 %). Menurut Arni Muhammad dalam bukunya yang berjudul Komunikasi organisasi, mengatakan bahwa tujuan dari upward communication adalah untuk memberikan balikan. Sesuai dengan teori tersebut, bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali sebanyak 48 orang setuju bahwa dengan adanya upward communication , para atasan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat mendapat balikan berupa informasi yang disampaikan bawahan tentang kapan saat yang tepat bagi mereka untuk menyampaikan informasi.

Sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan melihat dan memperhitungkan apakah karyawan siap atau belum menerima tugas atau perintah yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 36 (62,1 %) dan 19 (37,9 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa atasan melihat dan memperhitungkan apakah karyawan siap atau belum menerima tugas atau perintah yang diberikan tidak ada dan tidak ada responden yang menyatakan sangat tidak setuju. Arni Muhammad ( 2004) mengatakan salah satu fungsi dari upward communication adalah komunikasi ke atas menjadikan supervisor dapat menentukan apakah bawahan menangkap

Page 262: WIDYADARI APRIL 2015

258

arti seperti yang dia maksudkan dari arus informasi ke bawah. Sehingga melalui upward communication para atasan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dapat mengetahui apa yang dikerjakan oleh bawahannya dan bagiamana hasil pekerjaan mereka, apakah mereka mengerjakan sesui yang atasan minta, dll. Dengan adanya upward communication ini para bawahan banyak yang memilih setuju dan sangat setuju mengenai melalui upward communication ini atasan dapat mengetahui yang dikerjakan mereka dan hasil pekerjaan mereka.

Di lain pihak sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan memperhatikan apakah perintah atau tugas yang diberikan dimengerti dengan jelas. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 1(1,7 %) dan 33 (56,9 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa atasan memperhatikan apakah perintah atau tugas yang diberikan dimengerti dengan jelas ada 19(32,8 %) dan yang menjawab sangat tidak setuju ada 5 orang. Dari data diatas, komunikasi keatas berjalan sesuai dengan tujuannnya sebagai balikan bagi atasan mengenai tugas yang diberikan oleh mereka kepada karyawan dapat dimengerti oleh karyawan. Karena tujuan komunikasi keatasan sebagai umpan balik, dalam hal ini atasan dapat melihat apa pekerjaan/informasi mereka dimengerti atau dapat dikerjakan dengan lebih baik oleh karyawan melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan karyawan, atau bagaimana sikap karyawan dalam menanggapi informasi dari atasan sesuai dengan pendapat Smith (Goldhaber, 1986) komunikasi keatas berfungsi sebagai balikan bagi pimpinan, memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu pesan yang disampaikan olehnya

Di samping itu sebagian besar karyawan menyatakan setuju dan sangat setuju apabila atasan memberikan waktu atau kesempatan untuk memahami maksud yang diinginkan atasan. Jumlah responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ada 35 (60,3 %) dan 1 (1,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa atasan memberikan waktu atau kesempatan untuk memahami maksud yang diinginkan atasan 17 (29,3 %) dan 5 (8,6 %). Berdasarkan jawaban diatas, dapat dilihat bahwa fungsi komunikasi keatas berjalan dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari jawaban responden 35 orang dan 1 orang menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa melalui komunikasi keatas mereka dapat bertanya apabila ada dalam pekerjaan yang diberikan atasan yang tidak dimengerti oleh mereka. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi dari komunikasi keatas yaitu komunikasi keatas membantu karyawan negoisasi masalah-masalah pekerjaan mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya dan organisasi.

Hasil survey juga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju bahwa melalui komunikasi ke atasan mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti maksud atasan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa melalui komunikasi ke atasan mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti maksud atasan ada 20 34,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Arni Muhammad (2001) mengatakan bahwa melalui komunikasi ke atas atasan dapat megetahui apakah bawahan menangkap arti atau pesan yang dimaksudkan atasan. Hal ini dapat diketahui dari apa yang dilakukan karyawan, pekerjaannya, hasil yang didapatnya, dan kemajuan mereka. Melalui kuesioner yang disebarkan kepada responden,dapat diketahui bahwa melalui komunikasi ke atas, atasan dapat mengetahui apakah bawahan menangkap arti seperti yang dimaksudkan

Page 263: WIDYADARI APRIL 2015

259

atasan, hal ini didukung dengan jawaban responden sebanyak 35 dan 3 orang yang menjawab setuju dan sangat setuju.

4.4.2. Deskripsi Variable Tergantung yaitu Motivasi Kerja

Variable tergantung yaitu motivasi karyawan terdiri dari 5 parameter yaitu disiplin, inisiatif, loyalitas, kinerja dan pengawasan. Untuk parameter disiplin terdiri dari 6 indikator, kemudian untuk parameter inisiatif terdiri dari 6 indikator dan parameter loyalitas terdiri dari 11 indikator, kinerja ada 12 indikator dan pengawasan ada 5 indikator.

4.4.2.1. Disiplin

Indikator disiplin pertama menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan karyawan selalu datang tepat waktu. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 37 (63,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 12 (20,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan karyawan selalu datang tepat waktu ada 9 (15,5 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Menurut Arep & Tanjung (2004) segala perbuatan yang selalu mentaati peraturan dan sesuai dengan kebijakan yang ada merupakan salah satu perilaku orang yang termotivasi. Berdasarkan dari jawaban responden yang menjawab 37 orang setuju dan 12 orang sangat setuju, bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dapat dinilai memiliki sikap disiplin yang tinggi karena mereka selalu datang tepat waktu sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

Indikator disiplin kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan sangat tidak setuju pada pernyataan karyawan seringkali pulang lebih awal dari waktu kerja yang ditentukan. Jumlah responden yang menyatakan sangat tidak setuju ada 31 (53,5 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 26 (44,8 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan karyawan seringkali pulang lebih awal dari waktu kerja yang ditentukan, ada 1 (15 %) dan yang menyatakan sangat setuju tidak ada 4 . Berdasarkan hasil kuesioner yang disebarkan kepada karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat, dapat dilihat bahwa karyawan memiliki sikap disiplin yang cukup tinggi karena ketaatan terhadap jam kerja sudah baik. Tetapi ada beberapa dari karyawan yang menjawab setuju bahwa mereka seringkali pulang lebih awal. Dari hasil wawancara terhadap responden hal ini dikarenakan, misal ada keperluan keluarga atau karena pekerjaan yang dikerjakan sudah selesai.

Indikator disiplin ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan sering tidak masuk kantor tanpa alasan yang jelas. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 40 (68,9 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 18 (31,1 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan sering tidak masuk kantor tanpa alasan yang jelas, tidak ada demikian pula dengan yang menyatakan sangat setuju. Hal tersebut mengungkapkan sikap disiplin karyawan yang cukup tinggi karena berusaha menjalankan tanggung jawabnya terhadap peraturan pemerintah dengan baik, sehingga 40orang dan 18 orang responden menjawab sangat tidak setuju dan tidak setuju pada pertanyaan “Apakah mereka sering tidak masuk kantor tanpa asalan yang jelas?”. Menurut Arep & Tanjung (2004) bawahan yang termotivasi cenderung memilih kinerja yang baik. Hal ini dapat dilihat dari sering tidak masuk kantor atau selalu masuk kantor.

Page 264: WIDYADARI APRIL 2015

260

Indikator disiplin keempat menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan suka memperpanjang waktu istirahat makan siang untuk mendapatkan waktu bebas dari pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 30(52 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 27 (46,3 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan suka memperpanjang waktu istirahat makan siang untuk mendapatkan waktu bebas dari pekerjaan,tidak ada dan yang menyatakan sangat setuju ada 1 (1,7 %). Karyawan yang termotivasi akan selalu mematuhi kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah, seperti jam kerja, jam istirahat, dan lain-lain (Arep & Tanjung : 2004). Dari hasil yang dicapai kuesioner yang disebarkan kepada karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat yang sebesar 30 orang karyawan menjawab tidak setuju dan 27 orang karyawan memilih sangat tidak setuju, mengungkapkan bahwa sikap karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi disiplin dan mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap jam kerja mereka.

Indikator disiplin kelima menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan selalu mentaati peraturan yang ditetapkan pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 39 (67,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 18 (30,1 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan selalu mentaati peraturan yang ditetapkan pemerintah, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada . Menurut Arep & Tanjung (2004) karyawan yang termotivasi dapat dilihat dari segala perbuatannya yang selalu mentaati peraturan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Dari hasil data ini menunjukkan bahwa boleh dibilang hampir seluruh karyawan sudah memiliki sikap disiplin yang tinggi karena peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati dapat dipatuhi.

4.4.2.2. Inisiatif

Pada indikator inisiatif, pertanyaan pertama menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan seringkali menyelesaikan hal – hal yang dianggap perlu untuk kepentingan pemerintah sebelum menerima instruksi kerja dari atasan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 40 (69,1 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 7(13,1 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan seringkali menyelesaikan hal – hal yang dianggap perlu untuk kepentingan pemerintah sebelum menerima instruksi kerja dari atasan, ada 10 (17,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Dari data diatas maka peneliti dapat menyimpulkan sebagian besar responden melakukan inisiatif dengan mengerjakan suatu pekerjaan tanpa harus mendapat perintah dari atasan. Hal ini sesuai dengan teori Arep & Tanjung (2004) yang menyatakan bahwa bawahan yang mempunyai inisiatif sendiri sebelum menerima instruksi kerja dari atasan merupakan salah satu bentuk sikap proaktif dari orang yang termotivasi.

Dan indikator inisiatif pertanyaan kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan tidak berupaya memecahkan masalah yang saya hadapi dalam pekerjaan. Jumlah responden semuanya menyatakan tidak setuju. Dari data diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki inisiatif untuk selalu memecahkan masalah dalam hal ini pekerjaan yang dihadapi mereka. Mereka menunjukkan sikap proaktif dari orang yang termotivasi, sehingga mereka akan berupaya dengan aktif untuk menyelesaikan masalah dalam pekerjaan (Arep Tanjung, 2004).

Page 265: WIDYADARI APRIL 2015

261

Indikator inisiatif pertanyaan ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan karyawan akan segera mengambil tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan sangat setuju ada 19 (62,1 %) dan yang menyatakan setuju ada 19 (32,8 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan karyawan akan segera mengambil tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan, ada 3 (5,2 %) dan tidak ada yang menjawab sangat tidak setuju. Sebagian besar responden akan melakukan tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam pekerjaan, hal ini dikarenakan responden mempunyai inisiatif yang baik dalam bekerja. Responden akan melakukan perbaikan dan menyadari kesalahannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang bernama Putri mengatakan bahwa mengambil tindakan perbaikan bila melakukan kesalahan dalam pekerjaan merupakan sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pekerjaan.

Sedangkan pada indikator inisiatif pertanyaan keempat menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan karyawan sering memberikan ide – ide yang dapat memajukan pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 32 (55,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 7 (12,1 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan karyawan sering memberikan ide – ide yang dapat memajukan pemerintah, ada 18 (31,0%) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Memberikan ide-ide merupakan salah satu bentuk sikap proaktif orang yang termotivasi. Bawahan selalu berupaya aktif untuk memecahkan masalah dan menyelesaikan pekerjaan, dan memberikan saran atau ide guna untuk meningkatkan kemajuan pemerintah. (Arep & Tanjung, 2004).

Indikator inisiatif pertanyaan kelima menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan jarang atau tidak pernah berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 14 (24,1 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan jarang atau tidak pernah berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan, ada 32 (55,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 11(19 %). Bawahan yang termotivasi dapat dilihat dari sikapnya yang proaktif melalui berpartisipasi dalam melakukan perencanaan dan dalam sikapnya yang aktif dalam memberikan saran-saran guna peningkatan (Arep & Tanjung, 2004). Dan dalam hal ini dapat dilihat jawaban 71 responden yang mengatakan tidak setuju dengan pertanyaan di atas, dan sebaliknya dapat dinilai bahwa karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat sangat termotivasi karena mereka selalu berpartisipasi secara aktif dalam melakukan perencanaan dan dalam setiap pengambilan keputusan.

4.4.2.3. Loyalitas

Pada indikator loyalitas menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan senang atau betah tinggal di tempat kerja. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 12 (20,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan senang atau betah tinggal di pemerintah tempat kerja, ada 9 (15,5 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4 %). Tingkat loyalitas ini berkaitan erat dengan komitmen dan kesetiaan para pegawai terhadap organisasinya, menurut teori motivasi Maslow, beberapa hal yang dapat memotivasi bawahan adalah kebutuhan akan rasa aman dan tentram (Arep & Tanjung, 2004). Apabila

Page 266: WIDYADARI APRIL 2015

262

kedua hal tersebut dipenuhi, maka karyawan akan secara awal betah tinggal di pemerintah. Karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat dapat dibilang memiliki tingkat loyalitas yang tinggi, dilihat dari jawaban mereka, 35 orang senang dan betah bekerja di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat.

Sedangkan indikator loyalitas kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan bangga bekerja di pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 31 (53,4%) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan bangga bekerja di pemerintah, ada 24 (41,4 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Dari hasil wawancara dengan responden yang bernama Widyanti, mengatakan alasan mengapa dia bangga bekerja di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat karena Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat merupakan pemerintah dan juga memberikan rasa gengsi tersendiri.

Indikator loyalitas ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan merasa ikut memiliki pemerintah tempat bekerja. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 37 (63,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 20(34,5%). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan merasa ikut memiliki pemerintah tempat bekerja, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Menurut Arep & Tanjung (2004) bawahan yang termotivasi memiliki sifat loyalitas terhadap pemerintah, karena sifat loyalitas tersebut maka mendorong bawahan mempunyai rasa ikut memiliki pemerintah tempatnya bekerja.

Indikator loyalitas keempat menunjukkan jawaban hampir berimbang antara yang menjawab sangat setuju, setuju dan sangat tidak setuju, tidak setuju. Karyawan yang menyatakan setuju pada pernyataan tetap bekerja dalam jangka waktu minimal 20 tahun ke depan ada 36 (62,1 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 19 (33,8 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan tetap bekerja dalam jangka waktu minimal 20 tahun ke depan, ada 1 (1,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4 %). Berdasarkan dari hasil wawancara dengan Pak Made, mengatakan setuju untuk tetap bekerja dalam jangka waktu 20 tahun ke depan karena memiliki anak dan istri untuk dibiayai.

Indikator loyalitas kelima menunjukkan jawaban hampir berimbang antara yang menjawab sangat setuju, setuju dan sangat tidak setuju, tidak setuju. Karyawan yang menyatakan tidak setuju pada pernyataan bersedia kerja lembur jika diperlukan tanpa gaji tambahan, ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 8 (13,8 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan bersedia kerja lembur jika diperlukan tanpa gaji tambahan, ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 5 (8,6 %). Dari perhitungan diatas dapat diketahui bahwa sebanyak 34 orang tidak setuju untuk bekerja lembur tanpa gaji tambahan. Hal ini sesuai dengan teori kebutuhan Maslow yaitu kebutuhan akan dihargai, dalam hal ini mereka akan dihargai dengan gaji tambahan untuk setiap kali mereka bekerja lembur.

Indikator loyalitas keenam menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan mengabdikan diri sepenuhnya untuk pemerintah. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 15 (25,9 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan mengabdikan diri sepenuhnya untuk pemerintah, ada 7 (12,1 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1

Page 267: WIDYADARI APRIL 2015

263

(1,7 %). Menurut Arep & Tanjung (2004) karyawan yang memiliki loyalitas tinggi berkaitan erat dengan komitmen dan kesetiaan para pegawai terhadap organisasinya sehingga mendorong mereka untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk pemerintah.

Indikator loyalitas ketujuh menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan merekomendasikan pemerintah pada teman - teman. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 35 (60,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan merekomendasikan pemerintah pada teman - teman, ada 17 (29,3 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 3 (5,2 %). Hal ini menunjukkan bahwa bawahan sering merekomendasikan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat kepada teman-teman mereka yang belum mendapat pekerjaan atau mencari pekerjaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Suci mengatakan bahwa dirinya merekomendasikan pemerintah kepada temannya karena temannya sedang mencari pekerjaan, dan juga karena merasa bangga terhadap Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat.

Sedangkan indikator loyalitas terakhir menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan jika pemerintah mengalami masa krisis, akan berusaha keras membantu. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 28 (48,3 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 30 (51,7 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan jika pemerintah mengalami masa krisis, akan berusaha keras membantu, dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Menurut Arep & Tanjung (2004) loyalitas berkaitan erat dengan komitmen dan kesetiaan pegawai terhadap organisasinya. Mereka termotivasi untuk membantu pemerintah dalam melewati masa krisis. Dari perhitungan diatas menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat termotivasi cukup tinggi karena mereka mau membantu jika pemerintah mengalami krisis.

4.4.2.4. Kinerja

Pada indikator kinerja pertama menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan berusaha memberikan hasil yang terbaik atas tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 41 (70,7 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 16 (27,6 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan berusaha memberikan hasil yang terbaik atas tugas dan tanggung jawab yang diberikan tidak ada dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Bawahan yang termotivasi akan menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan standar yang benar dan dalam skala waktu yang telah ditentukan (Arep & Tanjung: 2004). Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat terbukti memiliki kinerja yang bak, hal ini diketahui dari hasil jawaban yang hampir semua karyawan menjawab setuju dan sangat setuju.

Indikator kinerja kedua menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan tidak dapat bekerja dengan baik secara mandiri. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 22 (37,9 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju tidak ada. Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak dapat bekerja dengan baik secara mandiri, ada 36 (62,1 %) demikian pula yang menyatakan sangat setuju juga tidak ada. Hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat bekerja secara sendiri atau secara individu tetapi mereka membutuhkan kerjasama dalam suatu kelompok kerja (Arep & Tanjung: 2004).

Page 268: WIDYADARI APRIL 2015

264

Sedangkan indikator kinerja ketiga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan selalu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu bahkan sebelumnya. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 36 (62,1 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 21 (36,2 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan selalu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu bahkan sebelumnya tidak ada dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Berdasarkan kriteria pemerintah menurut Robbins pemerintah mengevaluasi kinerja berdasarkan behavior (perilaku), dalam hal ini adalah perilaku dimana karyawan dapat dengan tepat waktu menyelesaikan pekerjaannya, maka karyawan tersebut mempunyai kinerja yang baik (Arep & Tanjung: 2004). Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat memiliki kinerja yang baik, hal ini dilihat dari jawaban pada hampir setiap bawahan selalu mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

Indikator kinerja keempat menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju pada pernyataan selalu mentaati peraturan atasan yang diberikan pada bawahan. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 29 (50 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 29 (0 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan selalu mentaati peraturan atasan yang diberikan pada bawahan tidak ada demikian pula yang menyatakan sangat tidak setuju . Menurut Robbins kinerja karyawan dapat dievaluasi dari perilaku mereka yang baik (Arep & Tanjung: 2004). Dalam hal ini dilihat dari perilaku mereka dalam mentaati peraturan atasan yang diberikan kepada mereka.

Sedangkan indikator kinerja kelima menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan tidak bersedia membantu rekan kerja yang menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 65 (54,2 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 45 (37,5 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak bersedia membantu rekan kerja yang menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan, ada 7 (5,8 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 3 (2,5 %). Menurut wawancara dengan Indah mengatakan bukan karena tidak bersedia membantu rekan kerja yang menemui kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan tetapi karena tidak mengerti dengan pekerjaan tersebut.

Pada indikator kinerja keenam menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju pada pernyataan seringkali lupa pada tugas dan tanggungjawab yang diberikan atasan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 68 (56,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 40 (33,3 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan seringkali lupa pada tugas dan tanggungjawab yang diberikan atasan, ada 11 (9,2 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 1 (0,8 %). Orang yang termotivasi tinggi selalu bersikap proaktif terhadap sesuatu yang ditugaskan oleh atasan. Mereka akan berupaya aktif untuk memecahkan masalah dalam pekerjaan (Arep & Tanjung : 2004). Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat menunjukkan memiliki tingkat motivasi yang tinggi karena selalu mengerjakan tugas dan tanggung jawab dari atasan.

4.4.2.5. Pengawasan

Pada indikator pengawasan menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju terhadap pernyataan atasan merasa karyawan dapat mengelola waktu secara efektif. Jumlah

Page 269: WIDYADARI APRIL 2015

265

responden yang menyatakan setuju ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 9 (15,5%). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan atasan merasa karyawan dapat mengelola waktu secara efektif, ada 14 (24,1 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 1 (1,7 %). Menurut Arep & Tanjung (2004) orang yang termotivasi dalam bekerja akan selalu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan standar yang benar dan dalam skala waktu yang telah ditentukan. Bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat menunjukkan motivasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kinerjanya yang selalu dapat mengelola waktu secara efektif dan menyelesaikan pekerjaannya sesuai waktunya.

Indikator pengawasan tersebut menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan karyawan tidak membutuhkan banyak pengawasan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 11 (19 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan karyawan tidak membutuhkan banyak pengawasan dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Orang yang termotivasi dalam bekerja tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan karena kinerjanya sudah baik (Arep & Tanjung: 2004). Kinerja karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat sudah baik maka mereka tidak memerlukan pengawasan dari atasan mereka.

Indikator juga menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk menggunakan fasilitas kantor dalam menyelesaikan tugas/tanggungjawab yang diberikan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 8 (13,8 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk menggunakan fasilitas kantor dalam menyelesaikan tugas/tanggungjawab yang diberikan, ada 11 (19%) dan yang menyatakan sangat setuju ada 5 (8,6 %). Menurut hasil wawancara dengan Budi, dia tidak setuju dengan pernyataan diatas karena dia selalu mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan fasilitas kantor dalam menyelesaikan tugas atau tanggung jawabnya.

Sedangkan pada indikator lain menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan tidak setuju terhadap pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk berinovasi dan berkreasi dalam melakukan pekerjaan. Jumlah responden yang menyatakan tidak setuju ada 23 (39,7 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 3 (5,2 %). Sedangkan yang menyatakan setuju bahwa pada pernyataan tidak mendapatkan kebebasan untuk berinovasi dan berkreasi dalam melakukan pekerjaan, ada 32 (55,2 %). Hal ini menunjukkan bahwa karyawan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat selalu mendapatkan kebebasan untuk berinovasi dan berkreasi dalam melakukan pekerjaan guna untuk mengaktualisasikan diri mereka sesuai dengan kebutuhan mereka untuk mengapresiasikan kebutuhan mereka (Arep & Tanjung: 2004).

Adapula indikator yang menunjukkan sebagian besar karyawan menyatakan setuju terhadap pernyataan mendapatkan kebebasan untuk bekerjasama atau saling membantu dengan rekan kerja dalam menjalankan tugas. Jumlah responden yang menyatakan setuju ada 34 (58,6 %) dan yang menyatakan sangat setuju ada 6 (10,3 %). Sedangkan yang menyatakan tidak setuju bahwa pada pernyataan mendapatkan kebebasan untuk bekerjasama atau saling membantu dengan rekan kerja dalam menjalankan tugas, ada 16 (27,6 %) dan yang menyatakan sangat tidak setuju ada 2 (3,4 %). Berdasarkan hasil wawancara dengan Ita dan

Page 270: WIDYADARI APRIL 2015

266

Indah yang berada dalam satu departemen mengatakan bahwa atasan memberikan kebebasan untuk bekerjasama karena pekerjaan yang harus diselesaikan membutuhkan kerjasama tim.

4.4. Komunikasi Bawahan pada Atasan dan Motivasi Kerja dalam Kategori

Distribusi frekuensi pada bagian sebelumnya masih merupakan penjelasan pada masing – masing bagian, belum tergambar komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja secara keseluruhan. Untuk dapat mengetahui komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja secara keseluruhan dilakukan tahap perhitungan dengan aturan sebagai berikut :

a. Menjumlahkan seluruh skor indikator dari masing – masing aspek komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja dan membagi berdasarkan jumlah indikatornya

b. Menetapkan jumlah kategori skor menjadi tiga yaitu tinggi, sedang dan rendah c. Mengkategorikan mean skor berdasarkan aturan

Hasil penelitian menunjukkan komunikasi bawahan pada atasan termasuk pada kategori sedang dengan jumlah responden sebanyak 55 orang atau 94,9 %. Kemudian yang termasuk kategori rendah ada 2 orang atau 3,4 % dan yang termasuk melakukan komunikasi pada kategori tinggi ada 1 orang atau 1,7 %. Dari data diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar responden memberikan feedback sedang dalam melakukan komunikasi ke atasan. Hal ini disebabkan masih jarangnya komunikasi upward yang dilakukan bawahan.

Ditemukan pula motivasi kerja termasuk pada kategori sedang dengan jumlah responden sebanyak 52 orang atau 89,6 %. Kemudian yang termasuk kategori rendah ada 3 orang atau 5,2 % dan yang mempunyai motivasi kerja kategori tinggi ada 3 orang atau 5,2 %. Karyawan memiliki motivasi kerja yang sedang. Mengingat komunikasi upward yang dilakukan bawahan termasuk dalam kategori sedang sehingga motivasi kerja karyawan termasuk dalam kategori sedang juga.

4.5. Hubungan Komunikasi Bawahan pada Atasan dengan Motivasi Kerja

Baik aspek komunikasi bawahan pada atasan dan motivasi kerja selanjutnya dihubungkan dengan identitas responden baik usia, jenis kelamin dan lama kerja. Untuk menghubungkan variable tersebut dilakukan tabulasi silang seperti dijabarkan di bawah ini:

4.5.1. Hubungan Karakteristik Responden dengan Komunikasi Bawahan Pada Atasan

Hasil penelitian menunjukkan pada kategori komunikasi rendah sering dilakukan oleh responden yang berusia 21-30 tahun, sedangkan komunikasi pada kategori sedang dilakukan pada kelompok 31 - 40 tahun. Sedangkan yang melakukan komunikasi kategori tinggi pada kategori usia 41 - 50 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut seseorang telah memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam menerima informasi sehingga keinginan untuk merealisasikan pesan yang ditangkap dalam tindakan nyata begitu besar (Hurlock, 1996, p.261). Mengapa tingkat komunikasi yang dilakukan menujukkan ke tingkat sedang, hal ini dikarenakan memang komunikasi ke atas di pemerintah tidak berjalan dengan lancar (Berdasarkan wawancara dengan pimpinan, Bp Bambang).

Page 271: WIDYADARI APRIL 2015

267

Hasil penelitian juga menunjukkan ada tidak ada perbedaan yang spesifik antara responden laki – laki dan perempuan dalam berkomunikasi dengan atasan. Namun responden laki – laki cenderung melakukan komunikasi pada kategori rendah dan tinggi, sedangkan perempuan cenderung berkomunikasi pada kategori sedang. Sebagian besar responden dengan jenis kelamin laki-laki melakukan komunikasi upward dalam kategori sedang. Dilihat dari identitas responden hal ini karena jumlah pegawai pria lebih banyak dibandingkan wanita, dan juga karena ketidak lancarnya arus komunikasi dari bawahan kepada atasan sehingga arus komunikasi di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat berada pada tingkat sedang (Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan). Dari wawancara yang dilakukan kepada seorang pegawai (tidak mau namanya disebutkan) diketahui bahwa atasannya selalu cenderung cuek atau tidak memperhatikan apa yang dikomunikasikan-nya, sehingga dia memilih untuk diam atau malas melakukan komunikasi dengan atasannya. Sehingga wajar kalau komunikasi yang dilakukan dari bawahan kepada atasan berada pada tingkat sedang

Berdasarkan kategori lama kerja, responden yang bekerja selama 6 – 10 tahun merupakan kelompok lama kerja yang mempunyai komunikasi kategori rendah (6,1 %), sedangkan yang termasuk pada kelompok komunikasi kategori sedang dilakukan oleh semua kelompok lama kerja. Dan yang memiliki kemampuan komunikasi kategori tinggi adalah responden yang bekerja selama 6 – 10 tahun. Berdasarkan dari perhitungan di atas, hal ini dikarenakan karyawan dengan lama kerja 1-5 tahun, mereka sudah mengetahui kebiasaan atau bagaimana alur komunikasi di pemerintah. Dan mengapa berada pada tingkatan sedang karena arus upward communication di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat tidak berjalan lancar dan apa yang dikatakan pimpinan melalui wawancara itu benar, sehingga wajar jika hasil olahan data diperoleh jawaban sedang.

Sedangkan hasil penelitian pada kategori motivasi kerja rendah dilakukan oleh responden yang berusia lebih dari 21 – 30 tahun, sedangkan motivasi kerja pada kategori sedang dimiliki pada kelompok usia > 31 tahun. Sedangkan yang mempunyai motivasi pada kategori tinggi dilakukan pada kategori usia 21 – 30 tahun. Menurut Hurlock (1996) seseorang pada usia 18 tahun keatas telah memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam menerima informasi sehingga keinginan untuk merealisasikan pesan yang ditangkap dalam tindakan nyata begitu besar. Melalui dari hasil jawaban pada kuesioner yang sudah diolah diketahui bahwa ada pengaruh antara komunikasi ke atas terhadap motivasi kerja, sehingga wajar saja jika tingkat motivasi kerja para karyawan diBiro Administrasi Kesejahteraan Rakyat termasuk dalam ketegori sedang, karena tingkat upward communication juga sedang

Ditemukan pula tidak ada perbedaan yang spesifik antara responden laki – laki dan perempuan dalam motivasi kerja. Responden laki – laki cenderung mempunyai motivasi pada kategori rendah (14,7 % dibandingkan wanita yang sebesar 0 %) namun laki – laki juga mempunyai motivasi kerja yang tinggi dengan persentase 17,5 % dibandingkan wanita yang senilai 0 %. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat motivasi kerja pegawai pria adalah sedang, hal ini wajar saja karena tingkat komunikasi keatas juga berada ditingkat sedang, karena komunikasi keatas mempengaruhi motivasi kerja. Hal ini sesuai dengan pernyataan Frantz yang mengaitkan pengaruh komunikasi terhadap teori hierarki kebutuhan Maslow, yaitu bahwa komunikasi antar individu dalam suatu organisasi (bisa upward atau downward) sangat berpengaruh pada motivasi akan kebutuhan rasa memiliki, penghargaan, dan aktivasi diri. Bila dilihat lebih lanjut, semua hal diatas seperti aktivasi diri, penghargaan, kebijakan

Page 272: WIDYADARI APRIL 2015

268

organisasi, dan lain-lain, tentu saja dilakukan dengan komunikasi sehingga dalam hal ini bisa dilihat pengaruh komunikasi dalam organisasi terhadap motivasi kerja karyawan (Pace, 2006, p.114-116).

Berdasarkan kategori lama kerja, responden yang bekerja kurang dari 1 tahun merupakan persentase yang paling banyak untuk motivasi kerja kategori rendah. Sedangkan yang sudah bekerja selama 1 – 5 tahun, 11 – 15 tahun dan 16 – 20 tahun memiliki motivasi kategori sedang (masing – masing 100 % ) dan yang memiliki motivasi kategori tinggi adalah responden yang bekerja selama 6 – 10 tahun. Karena kumunikasi keatas mempengaruhi motivasi kerja maka hasil data yang diperoleh dapat dilihat bahwa tingkat motivasi kerja karyawan berada pada tingkat sedang karena komunikasi ke atas juga berada pada tingkat sedang.

4.6. Pengaruh Komunikasi Bawahan pada Atasan Terhadap Motivasi Kerja

Pengujian pengaruh komunikasi bawahan pada atasan terhadap motivasi karaywan dilakukan dengan uji regresi linier sederhana. Analisis regresi linier sederhana ini dipilih karena jumlah variable bebas hanya satu yaitu komunikasi bawahan pada atasan dan 1 variabel tergantung yaitu motivasi kerja dan data berskala interval.

4.6.1. Koefisien Regresi

Persamaan regresi adalah sebagai berikut :

Y = 1,290 + 0,574 X

Dari fungsi regresi tersebut diatas, maka diketahui bahwa :

1. Koefisien regresi bertanda positif menunjukkan perubahan yang searah yaitu jika variabel komunikasi bawahan pada atasan (X) meningkat maka motivasi kerja akan meningkat, dan sebaliknya apabila komunikasi bawahan pada atasan menurun maka motivasi kerja juga akan menurun dengan koefisien regresi sebesar 0,574 dengan asumsi variabel lain konstan

2. Jika seluruh variabel konstan maka motivasi kerja akan bernilai sebesar 1,290

4.6.2. Koefisien Determinasi dan Korelasi

Berikut adalah hasil perhitungan dari koefisien determinasi dan korelasi:

Koefisien korelasi berganda (R) hasil perhitungan diperoleh nilai 0,540 yang menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat antara variabel komunikasi bawahan pada atasan dengan motivasi kerja. Korelasi cukup kuat ini menurut pendapat Sugiono (1998) yang menyatakan nilai korelasi antara 0,4 sampai dengan 0,6 termasuk dalam kategori cukup kuat.

Koefisen determinasi berganda (R2) atau R squared = 0,291, berarti secara bersama-sama 29,1 % perubahan variabel motivasi kerja konsumen disebabkan oleh variable

Page 273: WIDYADARI APRIL 2015

269

komunikasi bawahan pada atasan. Sedangkan sisanya yaitu 70,9 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak diteliti.

5. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

a. Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa ada hubungan yang positif antara komunikasi dari bawahan ke atasan (upward communication) terhadap motivasi kerja bawahan Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat Propinsi Bali

b. Dari penelitian ini bisa dilihat bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel komunikasi antara atasan dan bawahan terhadap variabel motivasi kerja bawahan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat, hal ini dapat dilihat dari karena tingkat komunikasi ke atasan cenderung sedang maka tingkat motivasi kerja karyawan di Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat juga masuk dalam kategori sedang.Seperti karena atasan yang tidak pernah menghargai ide-ide yang diberikan karyawan maka karyawan merasa malas mengeluarkan pendapat atau idenya (Berdasartkan dari hasil wawancara dengan salah satu pegawai )

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis deskriptif data, peneliti perlu memberikan beberapa masukan sebagai bahan perbaikan dalam meningkatkan komunikasi dari bawahan kepada atasan (upward communication) untuk lebih meningkatkan motivasi kerja bawahan. Adapun beberapa masukan atau saran dari peneliti yaitu:

1. Atasan harus memberikan informasi yang jelas dan mendetail kepada bawahan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik, seperti: aktivitas perusahaan; kebijakan, tujuan, sasaran, perencanaan, dan arah perusahaan; serta isu negatif, sensitif dan kontroversial. Contohnya seperti : saat atasan memberikan tugas kepada bawahan atasan harus memberikan informassi yang jelas tentang apa tugas tersebut, bagaimana menjalankannya, kapan dijalankannya, kapan tugas tersebut diserahkan kembali, dll.

2. Menciptakan komunikasi tatap muka secara intensif melalui pertemuan tatap muka secara berkala baik interpersonal maupun kelompok terhadap apa yang bawahan kerjakan, karena bawahan terkadang tidak paham instruksi dan tidak berani untuk bertanya. Pelihara hubungan interpersonal yang baik dengan para bawahan.

3. Menciptakan jalur komunikasi dua arah secara lisan seperti memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengeluarkan ide-idenya dengan cara mendorong kaeryawan atau meminta pendapat karyawan secara langsung, mengajukan pertanyaan, mengeluarkan pendapatnya, dll. Sehingga komunikasi yang terjadi tidak hanya berasal dari satu arah saja (dari atasan saja) tetapi bawahan mempunyai kesempatan juga untuk melakukan komunikasi sehingga tercipta komunikasi dua arah.

Page 274: WIDYADARI APRIL 2015

270

4. Atasan harus melibatkan seluruh bawahan dalam mengambil keputusan ataupun suatu kebijakan baru.

Dari masukan-masukan yang telah peneliti ajukan diatas, diharapkan dapat membantu perusahaan dalam meningkatkan motivasi kerja bawahan yang meliputi disiplin, inisiatif, loyalitas, kinerja dan pengawasan.

DAFTAR REFERENSI

Arep, Ishak & Hendri Tanjung. (2003). Manajemen motivasi. Jakarta: Grasindo.

Bungin, Burhan. (2001). Metodologi penelitian sosial. Surabaya: Airlangga University Press.

Deddy Mulyana. (2001). Komunikasi Organisasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Terjemahan.

Effendy, Onong Uchjana. (2001). Ilmu komunikasi, teori dan praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Goldhaber, Geral M. (1986). Organizational Communication. Iowa Wm. Brown Publisher.

Katz, Daniel., dan Kahn, Robert L. (1978). The Social Psychology of Organization. New York : John Willey & Sons.

Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis; Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Group

Lewis, Philip V. (1987). Organizational Communication : The Essence of Effective Management. New York : John Willey & Sons.

Liliweri, Alo. (2004). Wacana komunikasi organisasi. Bandung: PT. Mandar Maju.

Muhammad, Arni. (2004). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Mukhlis. (24 Agustus 2007), Personal Interview

Nawawi, H. Hadari. (2003). Kepemimpinan mengefektifkan organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Onong Uchjana Effendy. (2001). Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Pace, R. Wayne & Faules, Don. F. (2006). Komunikasi organisasi: strategi meningkatkan kinerja perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Panuju, Redi. (2001). Komunikasi organisasi dari konseptual teoritis ke empirik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Reeding, W. Charles. (1972). Communication Within the Organization. New York: Industrial Communication Council, Inc.

Santoso, Singgih. (2002). Buku latihan SPSS statistik parametrik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia).

Page 275: WIDYADARI APRIL 2015

271

Simamora, Bilson. (2002). Panduan riset perilaku konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Singarimbun, Masri & Sofian Effendi. (1995). Metode penelitian survei: edisi revisi. Jakarta: Erlangga.

Umar, Husein. (2002). Metode riset komunikasi organisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Page 276: WIDYADARI APRIL 2015

272

_

Page 277: WIDYADARI APRIL 2015

273

PELATIHAN JUMP SHOOT DENGAN AWALAN PASSING DAN AWALAN DRIBLE 10 REPETISI 5 SET TERHADAP

KETEPATAN JUMP SHOOT DARI JARAK 4,6 METER DI DEPAN RING

IDA AYU KADE ARISANTHI DEWI

ABSTRAK: Bola basket merupakan cabang olahraga permainan yang digemari masyarakat. Shooting merupakan teknik yang sangat penting dalam permainan bola basket. Di SMA Tunas Daud khususnya, pengajaran shooting sudah sering dilakukan guna meningkatkan ketepatan jump shoot namun selama ini prestasi tim basket putra SMA Tunas Daud belum maksimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya kemampuan siswa dalam melakukan jump shoot, sehingga perlu dilakukan pelatihan khusus guna meningkatkan ketepatan jump shoot siswa agar lebih baik. Dari sekian banyak pola latihan tidak semua memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan kemampuan jump shoot dari pemain tersebut karena masing-masing pemain memiliki karakter dan kemampuan fisik yang berbeda. Maka dari itu dilakukan penelitian dengan judul “Pelatihan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dan Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap Ketepatan Jump Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket Sma Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013”. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Ada Pengaruh Dan Perbedaan Pengaruh Pelatihan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dan Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap Ketepatan Jump Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan perbedaan pengaruh pelatihan jump shoot dengan awalan passing dan awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran 2012/2013. Hasil penelitian ini nantinya agar dapat dijadikan pedoman untuk meningkatkan ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa putra peserta kegiatan ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 40 orang. Seluruh populasi dijadikan sample dengan teknik populasi studi. Penelitian ini dilaksanakan di lapangan basket SMA Tunas Daud selama 6 minggu. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes, pengukuran dan pencatatan. Untuk mengukur ketepatan jump shoot siswa diberikan tes perbuatan melakukan jump shoot dari jarak 4,6 meter didepan

Page 278: WIDYADARI APRIL 2015

274

ring tanpa awalan, dengan satuan ukur adalah nilai banyaknya bola yang masuk ke ring. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis statistik dengan teknik t-tes yang formulasinya adalah sebagai berikut:

t =

1)-(N NSD

X- X2

21

Berdasarkan analisa data, diperoleh hasil pada ekperimen pertama, t-tesnya = 3,008, sedangkan t-tabelnya = 2,093, dengan tarf signifikansi 5% dan db = 19. Ekperimen kedua, t-tesnya = 2,405, sedangkan t-tabelnya = 2,093, dengan tarf signifikansi 5% dan db = 19. Perbedaan eksperimen pertama dan kedua, t-tesnya = 0,987, sedangkan t-tabelnya = 2,021, dengan taraf signifikansi 5% db = 38.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada eksperimen pertama dan eksperimen kedua ada pengaruh yang signifikan, sehingga hipotesis nolnya ditolak dan hipotesis alternatifnya diterima. Sedangkan perbedaan pengaruh eksperimen pertama dan eksperimen kedua, hipotesis nolnya diterima dan hipotesis alternatifnya ditolak. Hal ini berarti tidak ada perbedaan pengaruh antara eksperimen pertama dan eksperimen kedua terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran 2012/2013. Karena tidak ada pengaruh dari hasil yang diperoleh maka dalam peningkatan ketepatan jump shoot agar memberi pelatihan pelatihan jump shoot dengan awalan passing atau awalan drible 10 repetisi 5 set dari jarak 4,6 meter di depan ring.

Kata kunci: “Jump Shoot Dengan Awalan Passing Atau Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring, Ketepatan Jump Shoot”.

Bola basket berasal dari Amerika Serikat. Permainan ini diciptakan oleh

James A Naismith pada tahun 1891. Ternyata, permainan bola basket berkembang

pesat ke seluruh dunia. Pada tahun 1924, bola basket pertama kali

didemontrasikan pada Olimpiade di Paris. Pada tanggal 21 Juni 1932 atas prakarsa

Dr. Elmer Beny, direktur sekolah olahraga di Jenewa, diadakan konferensi bola

basket. Dalam konferensi tersebut terbentuklah federasi bola basket internasional

Page 279: WIDYADARI APRIL 2015

275

yang diberi nama Federation Internationale De Basket Ball Amateur (FIBA).

Pada tahun 1936 untuk pertama kalinya bola basket dipertandingkan di Olimpiade

di Jerman, yang dikuti oleh 21 negara. Bola basket masuk ke Indonesia setelah

perang dunia ke-2, yang dibawa oleh para prantau Cina. Pada PON I di Solo, bola

basket termasuk cabang yang dipertandingkan. Pada tahun 1953, PERBASI

diterima menjadi anggota FIBA. Pada tahun 1955 kepanjangan PERBASI dirubah

menjadi Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia.

Bola basket sebagai olahraga prestasi memerlukan aspek-aspek

penunjang. Aspek-aspek tersebut menurut (Harsono, 1988: 100) yaitu

“Aspek fisik, teknik, taktik, dan mental”. Aspek kondisi fisik memegang

peranan penting dalam pencapaian prestasi maksimal. Unsur-unsur kondisi

fisik antara lain: daya tahan, kekuatan, kecepatan, kelentukan. Adapula

unsur kondisi fisik yang merupakan gabungan dari unsur-unsur kondisi fisik

diatas, antara lain: kekuatan yang cepat (gabungan kekuatan dan kecepatan)

yang sering disebut power, daya tahan kekuatan (gabungan kekuatan dan

daya tahan) dan stamina (gabungan daya tahan dan kecepatan).

Atlit yang memiliki lompatan yang tinggi akan lebih mudah

melakukan teknik-teknik yang disebutkan diatas. Tinggi lompatan sangat

menentukan kualitas permainan seorang pemain. Semakin tinggi lompatan

seorang pemain maka dapat dikatakan bahwa ia baik dalam bermain,

meskipun masih terdapat kemampuan (skill) dasar bola basket yang harus ia

kuasai misalnya shoot, dribble, lay up, defense, offense dan lain sebagainya.

Beberapa kemampuan (skill) dasar tersebut di atas tentunya memerlukan

lompatan yang tinggi. Dalam shooting, kekuatan lompatan bisa juga

Page 280: WIDYADARI APRIL 2015

276

menghasilkan shoot yang akurat pula. Dalam melakukan lay up maka akan

semakin mudah jika lompatan kita tinggi. Dalam defense, kemampuan

lompatan yang tinggi akan memudahkan pemaian dalam mematahkan

shooting lawan.

Dewasa ini banyak pola pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan

akurasi tembakan saat melompat atau jump shoot seorang pemain bola

basket baik yang mempergunakan alat bantuan maupun tanpa alat bantuan.

Dari sekian banyak pola latihan tidak semua memberikan pengaruh yang

positif terhadap peningkatan kemampuan jump shoot dari pemain tersebut

karena masing-masing pemain memiliki karakter dan kemampuan fisik yang

berbeda. Ketepatan jump shoot seorang pemain dipengaruhi juga oleh teknik

dasar shooting yang dimiliki pemain tersebut.

Berdasarkan observasi penulis di lapangan bahwa, SMA Tunas Daud

memiliki tim basket putra yang baik dan kompak. Namun ketepatan jump

shoot dalam bermain bola basket dari masing-masing pemain sangat rendah.

Hal ini menyebabkan dalam pertandingan tim putra SMA Tunas Daud

selalu kesulitan dalam mencetak angka terutama saat melakukan jump shoot.

Sehingga tidak jarang tim bola basket putra SMA Tunas Daud kalah dalam

pertandingan karena faktor ketepatan jump shoot yang kurang maksimal.

Salah satu alasan para pemain basket SMA Tunas Daud putra kurang

maksimal dalam melakukan jump shoot karena kurangnya pelatihan yang

bertujuan untuk meningkatkan ketepatan jump shoot para pemain. Beberapa

pelatih beranggapan bahwa jump shoot merupakan hal yang tidak terlalu

penting dalam bermain bola basket. Menurut pandangan mereka stamina

Page 281: WIDYADARI APRIL 2015

277

yang baik adalah faktor terpenting dalam suatu pertandingan bola basket.

Stamina yang baik sangat membantu dalam melakukan segala gerakan

dalam permainan bola basket namun ketepatan jump shoot juga memberikan

peranan yang tak kalah penting dalam menentukan menang kalahnya suatu

tim dalam pertandingan bola basket.

METODE

Metode adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam

pengumpulan data atau informasi guna memecahkan permasalahan dan menguji

hipotesis penelitian.

Jenis Penelitian

Suatu penelitian dilakukan jelas berdasarkan suatu masalah yang sangat

signifikan terasa ingin dipecahkan oleh peneliti pada waktu mengadakan

penelitian dapat menggunakan beberapa jenis penelitian dan rancangannya.

Berdasarkan cara pendekatan yang akan digunakan, jenis penelitian yang dipakai

serta strategi yang dianggap paling efektif akan menentukan suatu rancangan

penelitian yang paling akhir serta menentukan kategori penelitian yang akan

dilakukan. Sehubungan dengan penelitian ini, maka jenis penelitian yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Karena

penelitian ini menggunakan dua kelompok eksperimen dengan dua kondisi

perlakuan yang berbeda.

POPULASI PENELITIAN

Populasi adalah sekelompok individu yang memiliki satu atau lebih

karakteristik umum yang menjadi pusat penelitian dan keseluruhan individu yang

Page 282: WIDYADARI APRIL 2015

278

menjadi subjek penelitian. Populasi adalah totalitas semua nilai-nilai yang

mungkin hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif

daripada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan

jelas. Maka dalam penelitian ini yang termasuk populasi adalah seluruh siswa

putra peserta kegiatan ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun

ajaran 2012/2013. Dalam penelitian ini karena jumlah populasi berjumlah 40

orang, maka seluruh populasi dipakai sebagai subjek penelitian. Teknik yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah populasi studi. Setelah ditetapkan

jumlah sampel sebanyak 40 orang, selanjutnya sampel tersebut dibagi menjadi dua

kelompok. Pembagian ini mempergunakan teknik random sampling dengan cara

undian.

ANALISIS DATA

Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik.

Metode analisis statistik adalah suatu analisis yang menggunakan rumus-rumus

matematika (Sutrisno, 1990: 82). Alasan digunakan analisis statistik karena data

yang diperoleh bersifat kuantitatif atau berbentuk angka. Rumus yang dipakai

adalah rumus t-tes dengan bentuk sebagai berikut:

1)-N(NSD²

2X-1X t

Keterangan :

1X = Rata-Rata Hasil Tes Setelah Pelatihan (Tes Akhir)

2X = Rata-Rata Hasil Tes Sebelum Pelatihan (Tes Awal)

Page 283: WIDYADARI APRIL 2015

279

= Sigma Atau Jumlah

SD = Simpangan Baku (Standar Deviasi)

N = Jumlah Sampel

1 = Bilangan Konstan (Hadi, 1990: 228)

Taraf signifikansi yang digunakan untuk menguji hipotesis di atas

adalah dengan taraf signifikansi 5% dengan derajat kebebasan (N-1).

Apabila ternyata nilai t-tes yang didapat dalam penelitian ini lebih besar

atau sama dengan nilai t-tes pada tabel, maka hipotesis nol yang diajukan

ditolak. Demikian sebaliknya, apabila nilai t-tes yang didapat dalam

penelitian ini lebih kecil dengan nilai t-tes pada tabel, maka hipotesis nol

yang diajukan diterima.

HASIL PENELITIAN

Setelah penelitian dilakukan, maka diperoleh data-data sebagai hasil

penelitian dan disajukan dengan langkah-langkah seperti penyajian data,

persiapan perhitungan, perhitungan statistik / analisis data, dan rekapitulasi

hasil analisis statistik.

Penyajian Data

Berikut ini disajikan data hasil tes awal dan tes sesuai dengan judul

penelitian, yakni melakukan Jump Shoot Dengan Awalan Passing dan Dengan

Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring siswa putra

peserta kegiatan ekstrakurikuler bola basket di SMA Tunas Daud tahun ajaran

2012/2013. Data kedua kelompok tersebut adalah data tes awal dan tes akhir yang

diperoleh melalui tes dan pengukran. Tes awal diberikan sehari sebelum pelatihan

Page 284: WIDYADARI APRIL 2015

280

dan tes akhir diberikan sehari setelah pelatihan selesai dilakukan. Data tes kedua

kelompok dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini:

Data Tes Awal Dan Tes Akhir Ketepatan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013 (Kelompok Eksperimen I)

No. Nama Siswa Tes Akhir (Nilai)

Tes Awal (Nilai)

Beda (Nilai)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Lewis Cornellius 8 4 4

2 Aryo 5 3 2

3 Victor Wu 4 3 1

4 Kiki 2 0 2

5 Kevin Utomo 1 0 1

6 Kevin Andrea 1 1 0

7 Ricky Kartika 4 3 1

8 Bobby Kevin Sidharama 5 4 1

9 Christian 1 2 -1

10 Jyotis Putra 1 1 0

11 Andre 3 3 0

12 Henokh 5 3 2

13 Stefan Munthe 4 4 0

14 Krisnu Wangsa 3 3 0

15 Gunadi Taslim 3 2 1

16 Radit 3 1 2

17 Alex 3 5 -2

18 Kevin Cassius Candra 4 2 2

19 Ricko Neys 9 5 4

20 Dony Andreanto 5 5 0

Jumlah 74 54 20

Rata-rata 3,7 2,7 1

Page 285: WIDYADARI APRIL 2015

281

Data Tes Awal Dan Tes Akhir Ketepatan Jump Shoot Dengan Awalan Drible Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013 (Kelompok Eksperimen II)

No. Nama Siswa Tes Akhir (Nilai)

Tes Awal (Nilai)

Beda (Nilai)

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Alvia Bhisaksana Putra 5 2 3

2 Peter 1 0 1

3 Renaldi 5 4 1

4 Jeriel 3 1 2

5 Brandan 1 0 1

6 Ivan Setio 3 0 3

7 Jordan Dylan 2 2 0

8 Jojo 1 2 -1

9 Leonard S.W 4 3 1

10 Alvin Lee 5 4 1

11 Oliver 5 3 2

12 Rama 5 2 3

13 Billy 2 3 -1

14 Devlon 3 2 1

15 Haryadi 2 4 -2

16 Michael 5 2 3

17 Jody 5 2 3

18 Andrew Lee 4 2 2

19 Warren 7 5 2

20 Robby Gunawan 7 3 4

Jumlah 75 46 29

Rata-rata 3,75 2,3 1,45

Page 286: WIDYADARI APRIL 2015

282

PERHITUNGAN STATISTIK ATAU ANALISIS DATA

Tabel Kerja Kelompok Eksperimen Pertama

Untuk mencari t-tes tentang pengaruh pelatihan jump shoot dengan awalan

passing 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter

di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud

tahun pelajaran 2012/2013, maka disusunlah tabel kerja seperti berikut ini :

No X1 X2 D SD SD2

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 8 4 4 3 9

2 5 3 2 1 1

3 4 3 1 0 0

4 2 0 2 1 1

5 1 0 1 0 0

6 1 1 0 -1 1

7 4 3 1 0 0

8 5 4 1 0 0

9 1 2 -1 -2 4

10 1 1 0 -1 1

11 3 3 0 -1 1

12 5 3 2 1 1

13 4 4 0 -1 1

14 3 3 0 -1 1

15 3 2 1 0 0

16 3 1 2 1 1

17 3 5 -2 -3 9

18 4 2 2 1 1

19 9 5 4 3 9

20 5 5 0 -1 1

Page 287: WIDYADARI APRIL 2015

283

∑ 74 54 20 0 42

푿 3,7 2,7 1 0 2,1

Keterangan:

X1 = Hasil Tes Akhir

X2 = Hasil Tes Awal

D = Defference (Perbedaan)

SD = Simpangan Baku Dengan Rumus: D – MD

SD2 = Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku

∑ = Sigma Atau Jumlah

푋 = Rata-Rata

Memasukkan Data ke Dalam Rumus

Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponen-

komponen berikut ini:

MD = ∑ ∑

=

= 1

∑SD2 = 42

Setelah mendapatkan komponen-komponen tersebut diatas, maka dapatlah

dicari nilai t sebagai berikut:

t =X − X∑ SD

N(N − 1)

Page 288: WIDYADARI APRIL 2015

284

=3,7− 2,7

4220(20− 1)

=142

20.19

=142

380

=1

0,110526315

=1

0,332454981

= 3,007926057

= 3,008

Tabel Kerja Kelompok Eksperimen Kedua

Untuk mencari t-tes tentang pengaruh pelatihan jump shoot dengan

awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6

meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas

Daud tahun pelajaran 2012/2013, maka disusunlah tabel kerja seperti berikut

ini:

No X1 X2 D SD SD2

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 5 2 3 1,75 3,00625

2 1 0 1 -0,25 0,0625

Page 289: WIDYADARI APRIL 2015

285

3 5 4 1 -0,25 0,0625

4 3 1 2 0,75 0,5625

5 1 0 1 -0,25 0,0625

6 3 0 3 1,75 3,00625

7 2 2 0 -1,25 1,5625

8 1 2 -1 -2,25 5,0625

9 4 3 1 -0,25 0,0625

10 5 4 1 -0,25 0,0625

11 5 3 2 0,75 0,5625

12 5 2 3 1,75 3,00625

13 2 3 -1 -2,25 5,0625

14 3 2 1 -0,25 0,0625

15 2 4 -2 -3,25 10,5625

16 5 2 3 1,75 3,00625

17 5 2 3 1,75 3,00625

18 4 2 2 0,75 0,5625

19 7 5 2 0,75 0,5625

20 7 3 4 2,75 7,5625

∑ 75 46 29 4 47,46875

푿 3,75 2,3 1,45 0,2 2,3734375

Keterangan:

X1 = Hasil Tes Akhir

X2 = Hasil Tes Awal

D = Defference (Perbedaan)

SD = Simpangan Baku Dengan Rumus: D – MD

SD2 = Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku

∑ = Sigma Atau Jumlah

푋 = Rata-Rata

Page 290: WIDYADARI APRIL 2015

286

Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponen-komponen

berikut ini:

MD = ∑ ∑

=

= 1,25

∑SD2 = 47,46875

Setelah mendapatkan komponen-komponen tersebut diatas, maka dapatlah

dicari nilai t sebagai berikut:

t =X − X∑ SD

N(N − 1)

=2,3− 1,45

47,4687520(20− 1)

=0,85

47,4687520.19

=0,85

47,46875380

=0,85

√0,124917763

=0,85

0,35343707

= 2,404954296

= ퟐ,ퟒퟎퟓ

Page 291: WIDYADARI APRIL 2015

287

Tabel Kerja Perbedaan Pengaruh Pelatihan Jump Shoot Dengan Awalan Passing Dan Awalan Drible 10 Repetisi 5 Set Terhadap Ketepatan Jump Shoot Dari Jarak 4,6 Meter Di Depan Ring Siswa Putra Peserta Ekstrakurikuler Bola Basket SMA Tunas Daud Tahun Pelajaran 2012/2013

No X1 X2 D SD SD2

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 3 4 -1 -1,45 2,1025

2 1 2 -1 -1,45 2,1025

3 1 1 0 -0,45 0,2025

4 2 2 0 -0,45 0,2025

5 1 1 0 -0,45 0,2025

6 3 0 3 2,55 6,5025

7 0 1 -1 -1,45 2,1025

8 -1 1 -2 -2,45 6,0025

9 1 -1 2 1,55 2,4025

10 1 0 1 0,55 0,3025

11 2 0 2 1,55 2,4025

12 3 2 1 0,55 0,3025

13 -1 0 -1 -1,45 2,1025

14 1 0 1 0,55 0,3025

15 -2 1 -3 -3,45 11,9025

16 3 2 1 0,55 0,3025

17 3 -2 5 4,55 20,7025

18 2 2 0 -0,45 0,2025

19 2 4 -2 -2,45 6,0025

20 4 0 4 3,55 12,6025

∑ 29 20 9 0 78,95

푿 1,45 1 0,45 0 3,9475

Keterangan:

X1 = Beda Hasil Tes Akhir Dan Tes Awal Kelompok II

X2 = Beda Hasil Tes Akhir Dan Tes Awal Kelompok I

Page 292: WIDYADARI APRIL 2015

288

D = Defference (Perbedaan)

SD = Simpangan Baku Dengan Rumus : D – MD

SD2 = Hasil Kuadrat Dari Simpangan Baku

∑ = Sigma Atau Jumlah

푋 = Rata-Rata

Memasukkan Data ke Dalam Rumus

Sebelum menghitung nilai t, maka terlebih dahulu dihitung komponen-

komponen berikut ini:

MD = ∑ ∑

=

= 0,45

∑SD2 = 78,95

Setelah mendapatkan nilai-nilai tersebut diatas, maka dapatlah dicari nilai t

sebagai berikut:

t =X − X∑ SD

N(N − 1)

=1,45− 1

78,9520(20− 1)

=0,45

78,9520.19

=0,45

78,95380

=0,45

0,207763157

Page 293: WIDYADARI APRIL 2015

289

=0,45

0,455810439

= 0,98725251

= ퟎ,ퟗퟖퟕ

Rekapitulasi Perhitungan Hasil Analisis Statistik Kedua Kelompok dan

Perbedaan Antara Kelompok Eksperimen I dan II

Kelompok Db (N-1)

t-tabel taraf signifikansi

5%

t-test Keterangan

H0 Ha Eksperimen I 19 2,093 3,008 Ditolak Diterima

Eksperimen II 19 2,093 2,405 Dtolak Diterima

Beda I dan II 38 2,021 0,987 Diterima Ditolak

Keterangan :

Kelompok Eksperimen I = Nilai t-test > dari nilai t-tabel maka ada

pengaruh yang signifikan, sehingga H0

ditolak dan Ha diterima.

Kelompok Eksperimen II = Nilai t-test > dari nilai t-tabel maka ada

pengaruh yang signifikan, sehingga H0

ditolak dan Ha diterima.

Beda Kelompok Eksperimen I dan Eksperimen II

= Nilai t-test < dari nilai t-tabel maka tidak

ada pengaruh yang signifikan, sehingga

H0 diterima dan Ha ditolak.

Kesimpulan

1. Ada pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan awalan passing

10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan

ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun

Page 294: WIDYADARI APRIL 2015

290

pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pengolahan data

secara statistik diperoleh t-hitung sebesar 3,008. Angka ini lebih besar dari

angka batas penolakan hipotesis nol dalam tabel nilai t sebesar 2,093 dengan taraf

signifikansi 5%, Db = 19.

2. Ada pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan awalan drible

10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan

ring siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun

pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pengolahan data

secara statistik diperoleh t-hitung sebesar 2,405. Angka ini lebih besar dari

angka batas penolakan hipotesis nol dalam tabel nilai t sebesar 2,093 dengan taraf

signifikansi 5%, Db = 19.

3. Tidak ada perbedaan pengaruh yang signifikan pelatihan jump shoot dengan

awalan passing dan awalan drible 10 repetisi 5 set terhadap ketepatan jump

shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring siswa putra peserta ekstrakurikuler

bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran 2012/2013. Hal ini dapat

dibuktikan dari hasil pengolahan data secara statistik diperoleh t-hitung

sebesar 0,987. Angka ini lebih kecil dari angka batas penolakan hipotesis nol

dalam tabel nilai t sebesar 2,021 dengan taraf signifikansi 5%, Db = 38.

Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan diatas dapat disampaikan saran-saran sebagai

berkut:

1. Disarankan kepada guru, pembina dan pelatih olahraga dalam meningkatkan

ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring agar memberikan

Page 295: WIDYADARI APRIL 2015

291

pelatihan jump shoot dengan awalan passing atau awalan drible 10 repetisi

5 set. Karena bentuk pelatihan ini sama-sama memberikan hasil yang baik

dalam peningkatan ketepatan jump shoot dari jarak 4,6 meter di depan ring

siswa putra peserta ekstrakurikuler bola basket SMA Tunas Daud tahun pelajaran

2012/2013.

2. Disarankan kepada guru, pembina dan pelatih olahraga agar dalam

memberikan pelatihan untuk cabang olahraga apapun agar selalu berpedoman

pada komponen-komponen dan prinsip-prinsip pelatihan dan sesuai dengan

program pelatihan yang telah disusun agar tidak terjadi over training dalam

pelatihan dan hasil latihan yang diperoleh menjadi maksimal sehingga prestasi

dapat ditingkatkan.

3. Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di bidang

olahraga semakin pesat, maka disarankan agar guru, pembina dan pelatih olahraga

selalu mengikuti perkembangan informasi, baik dalam wujud meningkatkan

pendidikan formal, penataran-penataran maupun seminar-seminar sebagai bentuk

peningkatan kemampuan di bidang olahraga sehingga dapat menambah ilmu

pengetahuan di bidang olahraga dan menambah wawasan secara umum.

4. Disarankan bagi peneliti lain agar mengadakan penelitian yang lebih mendalam

mengenai ketepatan jump shoot dengan mencoba, mengatur, memainkan variabel,

repetisi dan set yang berbeda dari penelitian ini.

Page 296: WIDYADARI APRIL 2015

292

DAFTAR RUJUKAN

Adnyana, Manuaba. 1997. Pendekatan Ilmiah Dalam Olah Raga. Denpasar:

Yayasan Ilmu Faal Widya Laksana.

Dantes, Nyoman. 1983. Variasi 6 Pos Penelitian dan Perumusan Hipotesis.

Singaraja: FKIP – UNUD.

Kosasih, Engkos. 1993. Olagraga Tehnik dan Program pelatihan Akademika.

Jakarta: Pressindo.

Hadi, Sutrisno. 1990. Metodelogi Risearch. Yogyakarta: Andi Offset.

Karna. 1986. Otot dan Gerakan Dalam Olah Raga. Denpasar: Yayasan Ilmu Faal

Widya Laksana.

Nala. 1986. Kesegaran Jasmani. Denpasar: Yayasan Ilmu Faal Widya Laksana.

Poerwadarminta. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sajoto. 1986. Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan Fisik Dalam Olahraga.

Jakarta: KONI Pusat

Soekarman. 1987. Dasar Olahraga Untuk Pembina dan Atlet. Jakarta: PT. Inti

Idayu Prees.

Soepeno. 1997. Statistik Terapan. Jakarta: Renika Cipta.

Sumosarjono, Sadoso. 1986. Pengetahuan Praktis dalam Olah Raga. Jakarta: PT.

Gramedia.

Bompa. 2003. Pedoman dan Prinsif-prinsif Pelatihan. Jakarta: PASI.

Page 297: WIDYADARI APRIL 2015

293

Hasnan, Said. 2003. Manusia Energik dan Produktif. Jakarta: Dirjen Olahraga

dan Pemuda Depdikbud