Top Banner
1 IQ dan keterampilan teknis memang penting, tetapi kecerdasan emosional adalah suatu hal yang tidak dapat diabaikan peranannya dalam kepemimpinan. Apa yang diperlukan seorang pemimpin? Oleh Daniel Goleman Daniel Goleman adalah pengarang dari Emotional Intelligence (Bantam, 1995) dan Working with Emotional Intelligence (Bantam, 1998). Dia adalah cochaiman dari the Consortium for Reaseach on Emotional Intelligence in Organizations, yang berpusat di Rutgers University’s Graduate School of Applied and Professional Psychology di Piscataway, New Jersey. Dia dapat dihubungi di [email protected] Setiap pelaku bisnis pasti mengetahui kisah tentang eksekutif yang memiliki kecerdasan tinggi dan sangat terampil yang dipromosikan untuk menempati posisi pemimpin, namun akhirnya gagal dalam pekerjaannya. Dan para pelaku bisnis juga mengetahui sebuah kisah mengenai seseorang dengan taraf kecerdasan yang baik- tapi tidak luar biasa- dan keterampilan teknis, yang dipromosikan untuk posisi pimpinan yang sama, dan berhasil. Banyak anekdot mendukung kepercayaan yang sudah tersebar luas bahwa mengidentifikasi individu sebagai orang yang “tepat” untuk menjadi pemimpin adalah merupakan suatu seni, bukan ilmu. Di balik semuanya, pemimpin-pemimpin yang berhasil memiliki gaya individual yang bervariasi: beberapa pemimpin adalah orang yang sangat mengendalikan dan analitis; lainnya hanya memerintah dari singgasananya. Hal penting lainnya, situasi yang berbeda menuntut gaya kepemimpinan yang juga berbeda. Kebanyakan penyatuan yang terjadi membutuhkan seorang negosiator yang sensitif pada kemudinya, dimana banyak putaran balik yang harus diambil dan membutuhkan kekuasaan yang lebih kuat. Saya telah menemukan, bagaimanapun juga, bahwa pemimpin yang sangat efektif memiliki kesamaan pada sesuatu yang sangat penting, yaitu semuanya memiliki tingkatan yang tinggi dalam sesuatu yang dikenal sebagai Kecerdasan
21

What Makes a Leader

Jul 08, 2016

Download

Documents

Toyib Antara

Bagaimana menjadi seorang leader
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: What Makes a Leader

1

IQ dan keterampilan teknis memang penting, tetapi kecerdasan emosional adalah suatu hal yang tidak dapat diabaikan

peranannya dalam kepemimpinan.

Apa yang diperlukan seorang pemimpin? Oleh

Daniel Goleman

Daniel Goleman adalah pengarang dari Emotional Intelligence (Bantam, 1995) dan Working with Emotional Intelligence (Bantam, 1998). Dia adalah cochaiman dari the Consortium for Reaseach on Emotional Intelligence in Organizations, yang berpusat

di Rutgers University’s Graduate School of Applied and Professional Psychology di Piscataway, New Jersey. Dia dapat dihubungi di [email protected]

Setiap pelaku bisnis pasti mengetahui kisah tentang eksekutif yang memiliki

kecerdasan tinggi dan sangat terampil yang dipromosikan untuk menempati posisi

pemimpin, namun akhirnya gagal dalam pekerjaannya. Dan para pelaku bisnis juga

mengetahui sebuah kisah mengenai seseorang dengan taraf kecerdasan yang baik-

tapi tidak luar biasa- dan keterampilan teknis, yang dipromosikan untuk posisi

pimpinan yang sama, dan berhasil.

Banyak anekdot mendukung kepercayaan yang sudah tersebar luas bahwa

mengidentifikasi individu sebagai orang yang “tepat” untuk menjadi pemimpin

adalah merupakan suatu seni, bukan ilmu. Di balik semuanya, pemimpin-pemimpin

yang berhasil memiliki gaya individual yang bervariasi: beberapa pemimpin adalah

orang yang sangat mengendalikan dan analitis; lainnya hanya memerintah dari

singgasananya. Hal penting lainnya, situasi yang berbeda menuntut gaya

kepemimpinan yang juga berbeda. Kebanyakan penyatuan yang terjadi

membutuhkan seorang negosiator yang sensitif pada kemudinya, dimana banyak

putaran balik yang harus diambil dan membutuhkan kekuasaan yang lebih kuat.

Saya telah menemukan, bagaimanapun juga, bahwa pemimpin yang sangat

efektif memiliki kesamaan pada sesuatu yang sangat penting, yaitu semuanya

memiliki tingkatan yang tinggi dalam sesuatu yang dikenal sebagai Kecerdasan

Page 2: What Makes a Leader

2

Emosional. Namun, bukan berarti IQ dan keterampilan teknis yang tidak lagi sesuai.

Kedua hal itu penting, tapi lebih berperan sebagai ‘seleksi awal’; jadi IQ dan

keterampilan teknis merupakan persyaratan awal untuk dapat memasuki posisi

eksekutif. Dalam penelitian saya, sejalan dengan penelitian lainnya yang terbaru,

jelas terlihat bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kondisi sine qua non ( atau

keadaan yang sudah begitu adanya) dari kepemimpinan. Tanpa itu, seseorang bisa

saja mengikuti pelatihan terbaik di dunia, lugas, berpikiran analitis, dan selalu

memiliki ide-ide cemerlang, tetapi tetap saja dia tidak akan menjadi pemimpin yang

hebat.

Dalam suatu pelatihan tahun lalu, kolega-kolega dan saya sendiri telah

memfokuskan pada bagaimana kecerdasan emosional berfungsi pada pekerjaan.

Kami telah menguji hubungan antara kecerdasan emosional dan tampilan efektif,

terutama pada pemimp in. Dan kami juga telah mengamati bagaimana kecerdasan

emosi berperan pada pekerjaan. Bagaimana anda dapat mengatakan bahwa

seseorang memiliki kecerdasan emosional, misalnya, dan bagaimana anda dapat

mengenali keberadaannya pada diri anda? Pada halaman-halaman selanjutnya, kita

akan mendalami pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan juga menelaah setiap

komponen dari kecerdasan emosional : kesadaran diri (self awareness), pengaturan

diri (self regulation), motivasi, empati, dan keterampilan sosial.

Mengevaluasi Kecerdasan Emosional

Saat ini kebanyakan perusahaan-perusahaan besar menggunakan jasa

psikolog yang terlatih untuk mengembangkan apa yang dikenal sebagai model

kompetensi untuk membantu mereka dalam mengidentifikasi, melatih, dan

mempromosikan calon-calon bintang dalam kepemimpinan. Para psikolog tersebut

juga mengembangkan model-model untuk posisi yang lebih rendah. Dan belakangan

ini, saya telah menganalisis berbagai macam model kompetensi dari 188

perusahaan, dimana sebagian besar dari mereka adalah perusahaan global dan

besar, seperti Lucent Technologies, British Airways, dan Credit Suisse.

Saat mengerjakan tugas ini, tujuan saya adalah untuk menentukan

kemampuan individual seperti apa yang mendasari tampilan luar biasa dari

organisasi-organisasi tersebut, dan mengapa mereka melakukannya. Saya

mengelompokkan kemampuan-kemampuan tersebut dalam tiga kategori :

keterampilan murni teknis, seperti akunting dan perencanaan bisnis, kemampuan

kognisi, misalnya penalaran analitis, dan kompetensi dalam menunjukkan

Page 3: What Makes a Leader

3

kecerdasan emosional, seperti kemampuan untuk bekerja dengan orang lain dan

efektivitas dalam mengarahkan perubahan.

Dalam membuat beberapa model kompetensi, para psikolog tersebut

bertanya pada senior manager di perusahaan yang bersangkutan untuk

mengidentifikasi kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh para pemimpin

perusahaan yang mempunyai prestasi sangat baik. Sedangkan dalam pembuatan

model lainnya, para psikolog menggunakan kriteria objektif seperti kemampulabaan

(profitabilias) suatu divisi dalam membedakan antara pemimpin yang cemerlang

dengan pemimpin yang rata-rata di tingkat senior di dalam perusahaan itu sendiri.

Para pemimpin yang terpilih tersebut kemudian diwawancarai secara mendalam dan

dilakukan pula pengetesan, dan kemampuan mereka dibandingkan. Proses ini

menghasilkan suatu daftar yang berisi komponen-komponen yang dibutuhkan bagi

pemimpin agar tampil efektif. Panjang daftar ini berkisar antara 7 sampai dengan 15

item dan termasuk juga di dalamnya komponen seperti inisiatif dan pandangan

strategis.

Ketika saya menganalisis semua data ini, saya menemukan hasil yang

dramatis. Jelaslah bahwa kecerdasan merupakan dasar bagi tampilan kepemimpinan

yang sangat baik. Kemampuan kognisi, seperti pemikir ulung dan pandangan yang

jauh ke depan, jelas sangat penting. Tetapi ketika saya menghitung perbadingan

antara keterampilan teknis, IQ, dan kecerdasan emosional sebagai komponen dari

tampilan yang istimewa, terbukti bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting

dibandingkan komponen lainnya untuk pekerjaan di semua tingkatan.

Analisis saya juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional makin

meningkat peranannya pada tingkatan tertinggi dalam perusahaan, dimana

perbedaan keterampilan teknis dapat diabaikan peranannya. Dengan kata lain,

semakin tinggi peringkat seseorang yang mungkin menjadi seorang bintang, maka

makin banyak pula kemampuan kecerdasan emosionalnya yang tampak sebagai

alasan atas keefektivan tampilan yang ia tunjukkan. Ketika saya membandingkan

pemimpin-pemimpin yang sangat baik itu dengan pemimpin biasa dalam posisi

kepemimpinan senior, hampir 90% dari perbedaan profil mereka terletak pada faktor

kecerdasan emosional dibandingkan dengan kemampuan kognisi.

Peneliti lain telah mengkonfirmasikan bahwa kecerdasan emosional bukan

saja membedakan pemimpin-pemimpin cemerlang, tetapi bisa juga dikaitkan dengan

tampilan yang baik. Penemuan dari almarhum David McClelland, seorang peneliti di

bidang perilaku personel dan organisasi, adalah sebuah contoh yang bagus. Pada

Page 4: What Makes a Leader

4

sebuah penelitian di tahun 1996 terhadap sebuah perusahaan makanan dan

minuman global, McClelland menemukan bahwa ketika senior manager memiliki

kemampuan kecerdasan emosional yang cukup, divisinya dapat menghasilkan 20%

dari tujuan tahunannya. Sementara itu, kepala divisi yang tidak memiliki

kemampuan kecerdasan emosional pada batas minimal, kegagalannya dalam

memenuhi target juga pada jumlah yang sama. Menariknya, penemuan McClelland

ini dibuktikan pada perusahaan yang divisinya berada di Amerika Serikat, juga divisi

Asia dan Eropa.

Pendeknya, angka-angka itu mulai memberitahukan kita kisah yang

meyakinkan mengenai hubungan antara kesuksesan perusahaaan dan kecerdasan

emosional dari para pemimpinannya. Hal yang juga penting adalah penelitian ini

menunjukkan bahwa manusia dapat saja, jika mereka menggunakan pendekatan

yang sesuai, untuk mengembangkan kemampuan kecerdasan emosional. (Lihat

“Dapatkah Kecerdasan Emosional Dipelajari?”)

Kesadaran Diri

Kesadaran diri adalah komponen pertama dari kecerdasan emosional-ini

masuk akal jika kita ingat ucapan seorang filsuf, Delphic, beribu tahun lalu, yang

menasihatkan untuk “mengenali diri sendiri”. Kesadaran diri berarti memiliki

pemahaman yang mendalam mengenai emosi, kekuatan, kelemahan, kebutuhan,

dan dorongan-dorongan diri. Individu dengan kesadaran diri yang baik biasanya

kalau tidak sangat kritis atau memiliki harapan-harapan yang tidak realistis.

Meskipun demikian mereka jujur, baik kepada orang lain atau diri sendiri.

Individu yang memiliki kesadaran tinggi mengenai dirinya mampu mengenali

bagaimana perasaan mempengaruhi dirinya, orang lain, dan prestasi pekerjaan. Jadi

individu yang sadar diri, yang mengetahui bahwa tenggat waktu yang ketat justru

memperburuk dirinya, maka ia akan membuat perencanaan waktu secara hati-hati

dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik lebih awal. Individu lain dengan

kesadaran diri yang tinggi akan mampu untuk bekerja dengan pelanggan yang

sangat penuntut. Ia akan memahami pengaruh pelanggan ini terhadap suasana

perasaannya dan menjadi alasan untuk frustrasi yang dialaminya. “ Tuntutan yang

tidak penting akan menjauhkan kita dari pekerjaan-pekerjaan yang harus

dikerjakan,” jelasnya. Kemudian ia akan mengambil tindakan dan mengubah

kemarahannya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.

Page 5: What Makes a Leader

5

Lima Komponen Kecerdasan Emosional dalam Pekerjaan

Definisi

Ciri-Ciri

Kesadaran Diri (Self Awareness)

Kemampuan untuk mengenali dan memahami keadaan perasaan, emosi, dan dorongan, juga dampaknya terhadap orang lain.

Percaya diri (Self-confidence) Pengukuran diri yang realistis (realistic self-assessment) Memiliki sense of humor.

Pengaturan Diri (Self Regulation)

Kemampuan untuk mengendalikan atau mengarahkan kembali impuls atau perasaan yang mengganggu. Kecenderungan untuk menunda penilaian, berpikir dulu sebelum bertindak.

Dapat dipercaya dan integritas (trustworthiness and integrity) Merasa nyaman dengan keadaan yang ambigu (comfort with ambiguity). Terbuka terhadap perubahan (openness to change)

Motivasi (Motivation)

Keinginan bekerja berdasarkan alasan selain uang atau status. Kecenderungan untuk mendapatkan tujuan dengan semangat dan ketekunan.

Memiliki dorongan yang kuat untuk meraih prestasi (strong drive to achieve) Optimis, bahkan saat akan menghadapi kegagalan (optimism, even in the face of failure) Memiliki komitmen terhadap organisasi (organizational commitment)

Empati (Empathy)

Kemampuan untuk memahami keadaan emosional dari orang lain. Keterampilan untuk memperlakukan orang lain sesuai dengan reaksi emosional mereka.

Memiliki ahli dalam membangun dan memelihara bakat (expertise in building and retaining talent) Kepekaan terhadap perbedaan kultur dan budaya (cross-cultural sensitivity) Memiliki pelayanan terhadap klien dan pelanggan (service to clients and customers)

Keterampilan Sosial (Social Skill)

Keahlian dalam menjaga hubungan dengan orang lain dan membangun jaringan kerja. Kemampuan untuk menemukan persamaan dan membangun kedekatan dengan orang lain.

Efektivitas dalam memimpin perubahan (effectiveness in leading change) Persuasif (persuasiveness) Ahli dalam membentuk dan memimpin kelompok (expertise in building and leading teams)

Page 6: What Makes a Leader

6

Kesadaran diri berkembang menjadi pemahaman individu akan nilai-nilai dan

tujuannya. Seseorang yang memiliki kesadaran diri yang tinggi me ngetahui di bidang

mana ia berhasil dan apa penyebabnya; sebagai contoh, ia tetap pendapatnya ketika

menolak tawaran pekerjaan yang menjanjikan secara keuangan tetapi tidak sesuai

dengan prinsipnya atau rencana jangka panjangnya. Individu yang kesadaran dirinya

kurang akan berusaha menyesuaikan keputusan yang meragukannya dengan cara

mengabaikan nilai-nilainya. “Habis uang yang ditawarkan kelihatannya menjanjikan.

Jadi saya terima saja,” Individu lain, katakanlah, bekerja hanya selama 2 tahun,

“Soalnya pekerjaannya terlalu mudah buat saya, jadi saya cepat sekali bosan.”

Keputusan dari orang-orang yang memiliki kesadaran diri tinggi telah

dipertimbangkan kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang mereka miliki.

Konsekuensinya, mereka seringkali mendapatkan pekerjaan yang membuatnya

bersemangat.

Bagaimana seseorang dapat mengenali kesadaran dirinya? Pertama, dan

terutama, kesadaran diri tampak sebagai suatu ungkapan dan sebagai suatu

kemampuan untuk menguji diri secara realistis. Individu dengan kesadaran diri yang

tinggi akan mampu untuk berbicara secara akurat dan terbuka -meskipun tidak

secara berlebihan atau terlalu apa adanya- mengenai emosi mereka dan

pengaruhnya terhadap pekerjaan mereka. Sebagai contoh, seorang manager yang

saya kenal bersikap skeptis ketika sebuah kebijakan pelayanan yang dibuat

perusahaannya, sebuah departemen store besar, akan dikenalkan. Tanpa teguran

dari timnya atau pimpinannya, ia memberikan penjelasan, “sulit bagi saya untuk

mengabaikan dan tidak terlibat pada kebijakan ini,” akunya, “karena saya sangat

ingin untuk menjalankan proyek ini, tetapi saya tidak terpilih. Tolong pahami saya

selama saya dalam proses menerima keadaan ini.” Manager ini jelas telah menelaah

perasaannya sendiri. Seminggu kemudian, ia mendukung pelaksanaan proyek ini

dengan sepenuh hati.

Pengetahuan mengenai diri seperti itu seringkali tampak dalam proses

rekrutmen. Tanyakan pada seorang kandidat untuk menceritakan suatu waktu

dimana ia terbawa perasaan dan melakukan sesuatu karenanya, namun akhirnya

disesalinya. Kandidat yang memiliki kesadaran diri akan menceritakan secara jujur

mengenai kegagalannya tersebut- dan seringkali mereka bercerita sambil

tersenyum. Salah satu ciri dari kesadaran diri adalah rasa humor yang dimiliki

individu.

Page 7: What Makes a Leader

7

Kesadaran diri juga dapat diidentifikasikan dalam pembahasan mengenai

prestasi kerja. Individu yang sadar diri mengetahui –dan merasa nyaman ketika

berbicara mengenai hal itu- keterbatasan dan kekuatannya, dan mereka seringkali

menunjukkan keinginannya untuk mendapatkan kritikan yang membangun.

Sebaliknya, individu yang memiliki kesadaran diri yang rendah mengartikan pesan

bahwa mereka membutuhkan perubahan sebagai suatu ancaman atau tanda

kegagalan.

Individu yang sadar diri juga dapat dikenali berdasarkan percaya dirinya.

Mereka yakin akan kemampuannya dan berusaha untuk tidak gagal karenanya,

sebagai contoh terlalu ketat dalam melaksanakan tugasnya. Mereka juga tahu kapan

saatnya untuk meminta bantuan. Dan mereka memperhitungkan semua resiko yang

mereka ambil dalam mengerjakan pekerjaannya. Mereka tidak akan menerima

tantangan yang tidak dapat dikerjakannya. Mereka berusaha berdasarkan kekuatan

mereka.

Renungkanlah tindakan dari seorang karyawan menengah berikut ini. Ia

diundang untuk ikut serta dalam rapat penentuan strategi perusahaan dengan bos-

bos besar. Meskipun ia adalah orang paling yunior di ruangan tersebut, dia tidak

hanya duduk diam, hanya mendengarkan dan membisu. Ia mengetahui bahwa ia

memiliki logika yang jernih dan ketrampilan untuk menyajikan ide secara persuasif,

dan ia memberikan saran yang argumentatif mengenai strategi perusahaan. Pada

saat yang bersamaan, kesadaran dirinya menghentikan tindakannya untuk

memasuki ‘daerah’ yang ia tahu di sana adalah letak kelemahannya.

Selain keuntungan bila memiliki orang dengan kesadaran diri di tempat kerja,

penelitian saya mengindikasikan bahwa eksekutif senior jarang memberikan

penilaian yang baik terhadap kesadaran diri ketika mereka mencari pemimpin yang

potensial. Banyak eksekutif salah mengartikan ungkapan perasaan sebagai suatu

kelemahan, dan tidak memberikan penghargaan pada karyawannya yang membuka

diri terhadap kekurangannya. Orang-orang seperti ini seringkali dicap sebagai ‘tidak

cukup tegar’ untuk memimpin orang lain.

Pada kenyataannya, justru kebalikannya lah yang benar. Pertama, individu

dihormati oleh semuanya dan menghargai keterbukaan. Lebih jauh lagi, pemimpin

secara konstan dibutuhkan untuk membuat penilaian yang memerlukan pengujian

kemampuan secara tersembunyi –baik untuk dirinya sendiri dan orang lain. Apakah

kita memiliki ahli manajemen untuk mendapatkan seorang kompetitor? Mampukah

kita meluncurkan sebuah produk baru dalam 6 bulan ini? Individu yang menguji

Page 8: What Makes a Leader

8

dirinya sendiri secara jujur –yaitu orang yang memiliki kesadaran diri- adalah orang

yang tepat untuk sekaligus menjadi kompetitor bagi organisasinya.

Pengaturan Diri

Rangsangan biologis menggerakkan emosi kita. Kita tidak dapat melakukan

apa pun tanpanya –tapi kita dapat melakukan banyak hal untuk mengaturnya.

Pengaturan diri, seperti perbincangan yang sedang terjadi dalam diri, adalah

komponen dari kecerdasan emosional yang membebaskan kita dari perasaan-

perasaan. Individu yang terikat seperti dalam suatu pembicaraan merasa tidak enak

dan impuls emosi terjadi seperti yang terjadi pada orang lain, tetapi individu itu

menemukan cara untuk mengendalikan perasaannya dan bahkan menggunakan

perasaannya dengan cara yang baik.

Bayangkan seorang eksekutif yang baru saja menyaksikan sekelompok

karyawannya menyajikan sebuah analisis perbaikan di hadapan dewan direktur

perusahaan tersebut. Ketika presentasi sedang berlangsung, eksekutif itu mungkin

merasa sangat ingin memukul meja karena amarahnya, atau menendang sebuah

kursi. Dia bisa saja melompat ke arah presenter dan berteriak pada kelompok

tersebut. Atau, ia dapat saja tetap diam, memandang dengan penuh arti ke setiap

presenter sebelum meninggalkan ruangan.

Tetapi, jika eksekutif itu memiliki kemampuan untuk mengatur diri, ia akan

memilih pendekatan yang berbeda. Ia akan memilih kata-katanya dengan hati-hati,

mengutarakan penampilan buruk dari kelompoknya tanpa menghakiminya.

Kemudian dia akan menelaah untuk mencari alasan atas kegagalan tersebut. Apakah

secara individual, kelompok tersebut kurang semangat? Ataukah ada faktor-faktor

yang melemahkan? Apa peranannya dalam kegagalan tersebut? Setelah

mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia kemudian memanggil

kelompoknya, membahas konsekuensi dari kejadian yang baru saja berlangsung,

dan mengutarakan perasaannya mengenai hal itu. Kemudian ia mengajukan

analisisnya mengenai masalah yang mereka hadapi dan menawarkan suatu

pemecahan.

Apa yang membuat pengaturan diri sangat berarti bagi pemimpin? Pertama,

individu yang mampu mengontrol perasaan dan dorongannya – yaitu individu yang

beralasan jelas- akan mampu membentuk suatu lingkungan yang terpercaya dan

adil. Dalam lingkungan seperti itu, politik dan persaingan dalam kelompok akan

berkurang secara signifikan dan produktivitas meningkat. Orang-orang yang

Page 9: What Makes a Leader

9

berbakat akan bersama-sama masuk ke dalam organisasi dan tidak memiliki

keinginan untuk keluar dari sana. Dan pengaturan diri mempunyai efek tric kledown

(suatu efek yang seperti ‘menetes’). Tidak ada seorang anak buah pun yang ingin

dikenal sebagai seorang pemarah jika pemimpinnya dikenal sebagai orang yang

tenang atau kalem. Makin sedikit sifat atau perilaku yang buruk dari atasan berarti

makin sedikit pula sifat atau perilaku buruk yang ada di seluruh organisasi.

Kedua, pengaturan diri memiliki peranan penting untuk alasan kompetitif.

Setiap orang mengetahui bahwa dalam bisnis saat ini sering terjadi kerancuan dan

perubahan. Sering terdengar adanya penyatuan perusahaan, atau merger, dan

pemisahan perusahaan. Teknologi mengubah pekerjaan menjadi pola yang

membingungkan. Individu yang dapat menguasai emosi mereka akan mampu

mengatasi perubahan-perubahan. Ketika suatu kebijakan baru diumumkan, mereka

tidak panik; sebaliknya, mereka mampu untuk tidak berkomentar terlebih dulu,

mencari informasi, dan mendengarkan penjelasan dari eksekutif mengenai program

tersebut. Sehingga ketika langkah baru dimulai, mereka mampu bergerak bersama

kebijakan baru tersebut.

Bahkan terkadang merekalah yang memimpin perjalanan tersebut.

Bayangkan kasus dari seorang manager di sebuah perusahaan manufaktur.

Layaknya mitra kerjanya, ia menggunakan program perangkat lunak tertentu selama

5 tahun ini. Program itu membantu ia dalam mengumpulkan dan melaporkan data

serta pikiran-pikirannya mengenai strategi perusahaan. Suatu hari, seorang

eksekutif senio r mengumumkan bahwa sebuah program baru telah dipasang dan

akan mengubah secara radikal cara pengumpulan informasi dan pengujiannya dalam

organisasi. Sementara banyak orang di perusahannya mengeluh mengenai seberapa

besar kerugian yang terjadi akibat perubahan tersebut, manager ini

mempertimbangkan alasan penggunaan program baru tersebut dan akhirnya yakin

bahwa program itu dapat lebih membantu pekerjaannya. Ia dengan bersemangat

mengikuti program pelatihan –dimana mitra kerjanya menolak untuk mengikuti- dan

akhirnya dipromosikan untuk mengelola beberapa divisi. Sebagian alasan dari

promosinya adalah karena ia mampu menggunakan teknologi baru secara efektif.

Saya ingin lebih menekankan pentingnya pengaturan diri pada kepemimpinan

ini dan pengaruhnya terhadap perbaikan integritas, bukan hanya pada cara pikir dan

perilaku individu, tetapi juga pada kekuatan organisasi. Banyak hal-hal buruk yang

terjadi di perusahaan yang merupakan akibat dari tindakan impulsif. Individu jarang

merencanakan untuk melebih-lebihkan keuntungan, mengabaikan perhitungan

Page 10: What Makes a Leader

10

pengeluaran, mengabaikan uang tunai, atau menyalahgunakan kekuasaan untuk

kepuasan diri sendiri. Melainkan, sebuah kesempatan untuk menunjukkan dirinya,

dan individu dengan kendali diri rendah akan menyetujuinya.

Sebaliknya, coba bayangkan perilaku seorang eksekutif senior dari

perusahaan besar yang bergerak di bidang makanan. Eksekutif ini sangat berhati-

hati dalam negosiasinya dengan para distibutor lokal. Ia secara rutin

menggambarkan struktur pengeluaran secara detil, sehingga membuat para

distributor memahami kebijakan perusahaan tersebut dalam menetapkan harga.

Pendekatan ini menunjukkan bahwa si Eksekutif tidak selalu bisa mengajukan

penawaran-penawaran secara ketat. Pada situasi seperti itu, ia merasa lebih baik

untuk meningkatkan keuntungan dengan cara menahan informasi mengenai

pengeluaran perusahaan. Tetapi kemudian ia meragukan perasaannya tersebut, ia

melihat bahwa akan lebih masuk akal untuk melakukan hal yang sebaliknya.

Pengaturan emosional yang dimilikinya membantunya untuk membuat hubungan

yang kuat dan awet dengan para distributor. Hal ini menguntungkan perusahaan

lebih banyak dari pada bila ia melaksanakannya dengan cara biasa dan hubungan itu

hanya untuk waktu singkat.

Oleh karena itu ciri dari pengaturan emosional sangat jelas : adanya

kecenderungan untuk membayangkan dan penuh perhitungan; merasa nyaman

dengan ketidakjelasan dan perubahan; dan integritas- suatu kemampuan untuk

mengatakan ‘tidak’ pada hal-hal yang impulsif dan mendesak.

Layaknya kesadaran diri, pengaturan diri seringkali tidak dikenali. Individu

yang dapat mengatur emosinya kadangkala terlihat seperti ikan yang sedang flu-

mereka tampaknya berespon seperti kekurangan energi. Individu dengan

temperamen panas seringkali dianggap sebagai pemimpin ‘sejati’ –amarahnya

dianggap sebagai pertanda karisma dan kekuatan. Tetapi ketika orang semacam itu

menduduki posisi puncak, impulsifnya seringkali menjadi lawan mereka sendiri.

Dalam penelitian saya, tampilan yang berlebihan dari emosi negatif tidak pernah

berubah sebagai pendorong pada kepemimpinan yang baik.

Motivasi

Kalau ada satu sikap yang kasat mata yang dimiliki oleh semua pemimpin

yang efektif, maka itu adalah motivasi. Para pemimpin itu tergerak untuk meraih

lebih dari yang diharapkan –baik oleh dirinya sendiri atau orang lain. Kata kunci di

sini adalah : meraih. Banyak orang termotivasi oleh faktor eksternal, seperti

Page 11: What Makes a Leader

11

pendapatan yang besar atau status yang didapat dari gelar yang mengesankan atau

menjadi bagian dari perusahaan yang bonafid. Sebaliknya, orang-orang yang

memiliki potensi sebagai seorang pemimpin biasanya termotivasi oleh keinginan

yang kuat untuk meraih sesuatu berdasarkan prestasinya.

Jika anda mencari pemimpin, bagaimana anda dapat mengidentifikasikan

individu yang termotivasi oleh dorongan untuk meraih sesuatu daripada imbalan

eksternal? Ciri pertama adalah kegairahannya untuk bekerja –seperti orang yang

mencari tantangan kreatif, senang belajar, dan bangga bila pekerjaannya berhasil.

Mereka juga menunjukkan energi yang tidak ada habis-habisnya untuk melakukan

segala sesuatu dengan lebih baik. Individu dengan semangat seperti ini sering

terlihat gelisah bila keadaan status quo. Mereka akan terus bertanya mengapa suatu

hal dikerjakan dengan cara seperti ini, bukan dengan cara yang lain; mereka dengan

semangat menelaah pendekatan-pendekatan baru dalam mengerjakan tugas

mereka.

Seorang manager perusahaan kosmetik, misalnya, merasa frustrasi ketika ia

harus menunggu selama 2 minggu untuk mendapatkan hasil penjualan dari para

stafnya di lapangan. Akhirnya ia menggunakan sistem telepon otomotis yang akan

menghubungi para staf penjualannya setiap jam 5 sore setiap hari. Kemudian pesan

otomatis akan terdengar dan meminta para staf tersebut untuk menekan angka yang

menunjukkan berapa banyak telpon dan penjualan yang telah mereka lakukan hari

ini. Sistem ini memperpendek jangka waktu pelaporan hasil para staf penjualan

tersebut, dari hitungan minggu menjadi hitungan jam.

Kisah di atas menggambarkan dua sikap yang biasanya ditunjukkan individu

yang terdorong untuk meraih sesuatu. Secara terus menerus mereka akan

meningkatkan tampilan kerjanya, dan mereka ingin memberikan hasil yang terbaik.

Kita perhatikan peningkatan tampilan kerja terlebih dulu. Selama pembahasan

mengenai tampilan kerjanya, individu dengan tingkat motivasi yang tinggi akan

meminta atasannya untuk dipacu agar dapat meningkatkan keunggulan mereka.

Tentu saja, karyawan yang memiliki kombinasi antara kesadaran diri dengan

motivasi internal akan mengenali keterbatasannya –tapi mereka tidak akan

menentukan tujuan yang terlalu mudah untuk dipenuhi.

Ini alami bagi individu yang tergerak untuk melakukan segala sesuatu lebih

baik dan memantau kemajuan –baik yang dibuat oleh dirinya, kelompoknya, dan

perusahaannya. Jika individu yang motivasi berprestasinya rendah seringkali tidak

paham mengenai hasil yang dicapai, individu dengan motivasi berprestasi tinggi

Page 12: What Makes a Leader

12

akan terus memantau hasil yang dicapai, dengan suatu ukuran tertentu, misalnya

keuntungan yang diraih atau harga saham. Saya mengenali seorang manager

keuangan yang memulai dan mengakhiri kegiatan sehari-harinya dengan internet,

melihat keadaan sahamnya diantara 4 perusahaan lainnya, sebagai patokan.

Yang menarik, individu dengan motivasi tinggi akan tetap optimis ketika

angka yang diraihnya tidak sesuai dengan harapan. Dalam kasus seperti ini,

pengaturan diri berkombinasi dengan motivasi berprestasi untuk mengatasi perasaan

frustrasi dan depresi yang dirasakan setelah kegagalan. Kita lihat kasus seorang

manager portofolio dari sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang investasi.

Setelah tahun-tahun yang penuh kesuksesan, tiba-tiba ia terpuruk dalam waktu 3

triwulan berturut-turut, yang mengakibatkan kliennya, tiga perusahaan besar,

memindahkan bisnis mereka ke tempat lain.

Beberapa eksekutif lain mungkin akan menyalahkan keadaan yang memburuk

di luar kendalinya; beberapa mungkin melihat kejadian ini sebagai bukti atas

kegagalan pribadi. Sedangkan manager portfolio ini melihatnya sebagai suatu

kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bisa merubah keadaan. Dua tahun

kemudian, ketika ia dipromosikan ke posisi sangat senior di perusahaannya, ia

menggambarkan pengalaman ini sebagai “Pengalaman terbaik yang pernah saya

alami; Saya belajar banyak dari sana”

Eksekutif yang mencoba untuk mengenali motivasi berprestasi yang tinggi

dari stafnya dapat mencoba untuk menemukan ciri terakhir : komitmen pada

kelompok/organisasi. Ketika individu mencintai pekerjaannya karena pekerjaan itu

sendiri, maka seringkali mereka merasa terikat dengan organisasi yang

memungkinkan ia melakukan pekerjaan tersebut. Karyawan yang memiliki komitmen

cenderung akan tetap bersama organisasinya ketika mereka diiming-imingi uang

yang banyak oleh headhunters.

Tidak sulit untuk memahami bagaimana dan mengapa motivasi untuk meraih

suatu prestasi diterjemahkan sebagai kepemimpinan yang kuat. Jika anda mengatur

target tampilan prestasi anda sendiri, anda akan melakukan hal yang sama untuk

organisasi ketika anda berada dalam posisi yang mengharuskannya. Sama halnya

ketika ada suatu dorongan untuk mencapai suatu tujuan dan ketertarikan untuk

mendapatkan nilai baik biasanya menular. Pemimpin dengan sikap seperti ini

seringkali mampu membentuk suatu kelompok managernya memiliki sikap yang

sama. Dan tentu saja, optimisme dan komitmen terhadap organisasi adalah hal yang

Page 13: What Makes a Leader

13

sangat mendasar (fundamental) bagi kepemimpinan –coba saja membayangkan

menjalankan sebuah perusahaan tanpa adanya hal-hal tersebut.

Empati

Dari semua dimensi mengenai kecerdasan emosional, empati adalah yang

paling mudah dikenali. Kita semua pernah merasakan empati dari guru yang sensitif

atau seorang teman; kita juga merasa tidak nyaman ketika empati tidak ditunjukkan

oleh pelatih atau boss. Tetapi ketika berkaitan dengan bisnis, kita jarang mendengar

orang dipuji, dibiarkan dan tidak dihargai, ketika menunjukkan empati mereka.

Seakan-akan kata empati sama sekali tidak memiliki unsur bisnis di dalamnya, tidak

pada tempatnya diantara kenyataan yang keras di dunia bisnis.

Tetapi, empati bukan hanya berarti slogan “Saya OK, kamu OK” saja. Bagi

seorang pemimpin, empati juga bukan berarti mengadopsi perasaan atau emosi

orang lain menjadi perasaannya sendiri dan berusaha untuk menyenangkan setiap

orang. Hal seperti itu akan menjadi buruk –membuat segala tindakan menjadi tidak

berarti. Empati berarti pertimbangan yang sungguh-sungguh mengenai perasaan

karyawan –juga faktor-faktor lainnya- dalam proses pengambilan keputusan yang

baik.

Sebagai contoh tindakan empati, bayangkan apa yang terjadi ketika dua

perusahaan broker disatukan (merger), yang mengakibatkan kekacauan pekerjaan di

semua divisinya. Seorang manager divisi memanggil semua stafnya dan memberikan

pidato yang isinya menekankan bahwa sejumlah karyawan akan di-PHK. Sedangkan

manager divisi lain memberikan pidato yang isinya berbeda. Ia mengemukakan

mengenai kekhawatiran dan kebingungannya sendiri. Ia juga berjanji untuk

memberitahukan informasi yang ia ketahui kepada para stafnya dan akan

memperlakukan semua orang secara adil.

Perbedaan antara dua manager ini adalah empati. Manager yang pertama

terlalu khawatir mengenai nasibnya sendiri daripada membayangkan perasaan dari

stafnya yang sedang cemas. Manager yang kedua, secara intuisi mengetahui apa

yang dirasakan oleh stafnya, dan ia mengungkapkan ketakutan tersebut dengan

kata-katanya sendiri. Maka bukan menjadi kejutan bila manager yang pertama

melihat perubahan pada divisinya. Kinerja divisinya menurun, para stafnya yang

paling berbakat sekalipun meninggalkan pekerjaan. Sebaliknya, manager yang

kedua tetap menjadi pemimpin yang baik, para stafnya tetap bertahan, dan divisinya

tetap produktif seperti sebelumnya.

Page 14: What Makes a Leader

14

Empati menjadi penting saat ini sebagai suatu komponen dari kepemimpinan,

paling tidak karena tiga alasan : pemberdayaan yang semakin meningkat dari

kelompok, globalisasi yang berlangsung sangat cepat dan kebutuhan yang

meningkat untuk mempertahankan kemampuan.

Coba bayangkan jika anda ditantang untuk memimpin sebuah tim. Sebagai

seseorang yang pernah menjadi suatu bagian di dalamnya, seseorang pasti

mengakui bahwa kelompok atau tim adalah suatu wadah dimana perasaan atau

emosi menggelegak. Mereka seringkali dibebani untuk mencapai suatu kesepakatan

–ini sulit bila ada dua orang dan akan lebih sulit lagi bila jumlah orang bertambah

banyak. Bahkan dalam ke lompok yang jumlahnya sedikit, misalnya 4 atau 5 orang,

persekutuan terjadi dan tujuan yang berlawanan terbentuk. Seorang pemimpin

kelompok harus mampu untuk merasakan dan memahami pandangan dari setiap

anggotanya.

Hal itulah yang dilakukan seorang manager pemasaran pada sebuah

perusahaan IT ketika ia ditunjuk untuk memimpin tim yang bermasalah. Kelompok

itu sedang kacau balau, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan tidak ada

tenggat waktu yang terpenuhi. Ketegangan makin meningkat diantara anggota

kelompok. Memperbaiki prosedur saja tidak cukup untuk mengembalikan

kebersamaan kelompok dan membuatnya menjadi bagian yang efektif dari

perusahaan.

Akhirnya, sang manager mengambil beberapa tindakan. Dalam sejumlah sesi

perseorangan, ia memberikan waktunya untuk mendengarkan setiap orang dalam

kelompok tersebut –apa yang membuat mereka frustrasi, bagaimana mereka menilai

rekan kerjanya, apakah mereka merasa telah diabaikan. Kemudian, sang manager

mengarahkan kelompoknya untuk menyatu: dia menyemangati anggota kelompok

untuk lebih terbuka dalam mengutarakan frustrasinya, dan ia memberikan

kesempatan anggotanya untuk memberikan kritik yang membangun selama rapat.

Pendeknya, empati yang dimiliki sang manager membantunya untuk memahami

bagaimana kondisi emosi anggotanya. Hasilnya bukan saja memperkuat kerja sama

antar anggota kelompok, tetapi juga bermanfaat bagi bisnis perusahaan. Ini tampak

dari bagaimana kelompok ini dimintai bantuan oleh banyak pihak dalam perusahaan

sendiri (by a wider range of internal clients).

Globalisasi adalah alasan lain untuk meningkatkan kepentingan empati bagi

pemimpin bisnis. Dialog lintas budaya dapat dengan mudah menjadi sumber

kesalahpahaman dan salah pengertian. Empati adalah penawarnya. Individu yang

Page 15: What Makes a Leader

15

memiliki empati akan mampu menangkap sinyal dari bahasa tubuh yang tidak jelas

terlihat; mereka dapat mendengar maksud tersembunyi dari suatu pesan verbal.

Lebih jauh lagi, mereka memiliki pemahaman yang mendalam akan keberadaan dan

kepentingan akan perbedaan budaya dan etnis.

Kita lihat kasus dari seorang konsultan Amerika yang timnya hampir saja

kehilangan sebuah proyek dari klien Jepang yang potensial. Dalam pembicaraan

bersama, kelompok Amerika biasanya dihujani pertanyaan setelah proposal

diajukan, tetapi kali ini tidak ada pertanyaan apa pun. Sebagian anggota kelompok

Amerika menganggap situasi diam tanpa pertanyaan sebagai tanda tidak setuju,

sehingga mereka berkemas dan bersiap untuk pergi. Ketua kelompok konsultan

tersebut memberikan tanda untuk berhenti. Meskipun ia tidak terlalu paham dengan

budaya Jepang, ia membaca ekspresi wajah dan postur kliennya, dan merasakan

bahwa diamnya itu bukan suatu penolakan, melainkan suatu ketertarikan –sedang

mempertimbangkan. Dan ketua kelompok konsultan itu benar: ketika klien

Jepangnya akhirnya berbicara, mereka memberikan pekerjaan tersebut kepada

kelompok konsultan yang dipimpinnya.

Memang, empati memainkan peranan penting dalam mempertahankan bakat,

terutama dalam informasi ekonomi seperti sekarang ini. Pemimpin akan selalu

membutuhkan empati untuk mengembangkan dan mempertahankan orang-orang

yang berbakat, tetapi persaingan saat ini sangat ketat. Ketika orang yang berbakat

meninggalkan perusahaan, maka ia akan membawa ilmu milik perusahaan bersama

mereka.

Disitulah letaknya pelatihan dan mentoring. Telah berulangkali dibuktikan

bahwa pelatihan dan mentoring berguna bukan saja untuk tampilan prestasi yang

lebih baik, tetapi juga peningkatan kepuasan bekerja dan penurunan angka turn

over. Tetapi yang membuat pelatihan dan mentoring berhasil adalah asal muasal

kepemimpinan itu sendiri. Pelatihan dan mentoring yang baik merasuki kepala orang

yang menerimanya. Pelatihan itu menyadarkan bagaimana caranya memberikan

umpan balik yang efektif. Sehingga pesertanya mengetahui kapan berusaha keras

untuk menampilkan prestasi yang baik dan kapan untuk menahan diri. Ketika

mereka memotivasi para stafnya, maka mereka menunjukkan cara kerja empati.

Meskipun terdengar seperti pengulangan, biarlah saya ulang kembali bahwa

empati belum mendapat perhatian dalam bisnis. Orang-orang heran bagaimana

pemimpin dapat mengambil keputusan yang sulit bila mereka memperhatikan

perasaan semua orang yang terlibat. Tetapi pemimpin dengan empati melakukan

Page 16: What Makes a Leader

16

lebih dari sekedar simpati terhadap orang-orang di sekitarnya : mereka

menggunakan pengetahuannya untuk memperbaiki perusahaannya dengan cara

yang halus tetapi penting.

Keterampilan Sosial

Tiga faktor pertama dari kecerdasan emosional adalah keterampilan

pengaturan diri. Sedangkan dua lainnya, yaitu empati dan keterampilan sosial,

menitikberatkan pada kemampuan individu untuk mengatur hubungannya dengan

orang lain. Sebagai sebuah komponen kecerdasan emosional, keterampilan sosial

tidak sesederhana kedengarannya. Ini bukan saja masalah keramahan, meskipun

individu yang memiliki keterampilan sosial tinggi jarang yang memiliki keinginan

jahat terhadap orang lain [mean-spirited]. Keterampilan sosial lebih seperti

keramahan dengan suatu tujuan : menggerakkan orang ke arah yang anda inginkan,

apakah itu suatu persetujuan terhadap strategi pemasaran yang baru atau

antusiasme tentang sebuah produk baru.

Individu yang terampil secara sosial cenderung memiliki banyak kenalan, dan

mereka memiliki kepandaian khusus untuk menemukan kesamaan dengan orang-

orang dari berbagai latar belakang- kepandaian untuk membina kedekatan (rapport).

Tapi bukan berarti mereka selalu bersosialisasi terus menerus; artinya, mereka

bekerja berdasarkan asumsi bahwa tidak sesuatu yang penting yang dikerjakan

sendiri. Individu semacam ini menggunakan jaringan kerja ketika ia harus

mengerjakan sesuatu.

Keterampilan sosial merupakan puncak dari semua dimensi mengenai

kecerdasan emosional. Individu cenderung sangat efektif dalam mengatur hubungan

sosialnya ketika ia dapat memahami dan mengendalikan emosinya sendiri dan dapat

empati terhadap perasaan orang lain. Bahkan motivasi pun memiliki kontribusi pada

keterampilan sosial. Anda ingat bahwa individu yang digerakkan oleh dorongan

untuk berprestasi cenderung optimis, bahkan ketika keadaan memburuk atau gagal

sekalipun. Jika individu optimis, aura mereka terlihat dalam pembicaraan dan

perilaku sosial lainnya. Mereka populer, dan untuk alasan yang baik.

Karena keterampilan sosial ini merupakan hasil dari dimensi lain dari

kecerdasan emosional, keterampilan sosial dikenali dalam pekerjaan dalam berbagai

cara yang sekarang akan terdengar familiar. Individu yang terampil secara sosial,

misalnya, terampil dalam mengatur kelompoknya –itulah gunanya empati dalam

pekerjaan. Mereka juga ahli sebagai ‘pembujuk’ –manifestasi dari kombinasi

Page 17: What Makes a Leader

17

kesadaran diri, pengaturan diri, dan empati. Dengan keterampilan-keterampilan

tersebut, individu mengetahui kapan ia dapat meminta pengertian secara emosional,

misalnya, dan kapan harus mengajukan alasan untuk bekerja lebih baik. Dan

motivasi, ketika terlihat secara umum, membuat individu sebagai pemersatu yang

hebat, semangat kerjanya menular pada orang lain, dan mereka tergerak untuk

mendapatkan pemecahan masalah.

Tetapi kadang-kadang keterampilan sosial terlihat ketika komponen

kecerdasan emosional lainnya tidak. Misalnya, individu yang terampil secara sosial

kelihatannya tidak sedang bekerja dalam jam kerja. Mereka terlihat mengobrol

dengan mitra kerjanya, atau bercanda dengan orang-orang yang tidak berhubungan

secara langsung dengan pekerjaan mereka. Individu yang terampil secara sosial,

bagaimanapun, menganggap tidak masuk akal bila harus membatasi pergaulannya.

Mereka membangun ikatan secara luas, karena mereka mengetahui bahwa seiring

berjalannya waktu, mereka mungkin membutuhkan bantuan dari orang-orang yang

mereka kenal hari ini.

Sebagai contoh, kasus seorang eksekutif bagian strategi sebuah perusahaan

pembuat komputer. Pada tahun 1993, dia yakin bahwa masa depan perusahaan

akan tergantung dengan internet. Sepanjang tahun berikutnya, dia menemukan

orang-orang yang mempunyai pikiran yang sama dengannya dan menggunakan

keterampilan sosialnya untuk menjalin suatu komunitas virtual yang menembus

batas tingkatan, divisi, dan negara. Ia lalu menggunakan tim de facto ini untuk

membangun situs web perusahaan, salah satu perusahaan besar yang pertama

melakukannya. Dan, dengan inisiatifnya sendiri, walaupun tanpa anggaran dan

status resmi, ia mendaftarkan perusahaannya untuk berpartisipasi dalam suatu

konvensi tahunan industri internet. Memanggil sekutu-sekutunya dan membujuk

berbagai divisi untuk menyumbangkan dana, ia merekrut lebih dari 50 orang dari 12

unit berbeda untuk mewakili perusahaannya di konvensi tersebut.

Manajemen memperhatikan: dalam waktu setahun sejak konvensi itu, tim

yang dibentuk eksekutif itu membentuk dasar dari divisi internet pertama

perusahaan itu, dan dia secara resmi dijadikan kepalanya. Untuk mencapai posisi itu,

eksekutif tersebut telah mengabaikan batasan-batasan konvensional, membentuk

dan mempertahankan hubungan dengan orang-orang di seluruh bagian organisasi.

Apakah keterampilan sosial dapat dianggap salah satu kunci kemampuan

memimpin di kebanyakan perusahaan? Jawabannya adalah ya, terutama ketika

dibandingkan dengan komponen-komponen lain dari kecerdasan emosional. Orang-

Page 18: What Makes a Leader

18

orang tampaknya tahu berdasarkan intuisi bahwa pemimpin perlu membina

hubungans ecara efektif; tidak ada pemimpin yang sendirian. Lagipula, tugas

seorang pemimpin adalah membuat orang lain menyelesaikan pekerjaan, dan

keteramp ilan sosial memungkinkan hal tersebut. Pemimpin yang tidak dapat

menunjukkan empatinya sama saja dengan tidak memiliki empati sama sekali. Dan

motivasi sang pemimpin tidak akan berguna apabila ia tidak bisa menyebarkan

hasratnya ke organissi tersebut. Keterampilan sosial memungkinkan pemimpin

mempekerjakan kecerdasan emosional mereka.

Adalah bodoh untuk mengatakan bahwa IQ dan kemampuan teknis bukan

bahan penting dalam resep untuk membentuk kepemimpinan yang kuat. Tapi resep

itu tidak akan sempurna tanpa kecerdasan emosional. Dulu komponen kecerdasan

emosional hanya dianggap sebagai sesuatu yang baik, tetapi tidak penting dalam diri

pemimpin-pemimpin bisnis. Tapi sekarang kita tahu bahwa, demi performa yang

baik, kecerdasan emosional adalah hal yang harus dimiliki setiap pemimpin.

Sangatlah beruntung kita karena kecerdasan emosional dapat dipelajari.

Prosesnya tidak mudah. Prosesnya memakan waktu, dan terlebih lagi, memerlukan

komitmen. Tapi keuntungan-keuntungan yang akan diraih dari dimilikinya

kecerdasan emosional yang tinggi, baik untuk individu atau organisasi, membuatnya

sebagai sesuatu yang pantas untuk diusahakan.

Ella & NinoElla & Nino

Page 19: What Makes a Leader

19

Apakah Kecerdasan Emosional bisa Dipelajari?

Selama berabad-abad, orang telah berdebat apakah pemimpin dilahirkan atau dibina. Begitu juga dengan debat mengenai kecerdasan emosional. Apakah orang dilahirkan dengan tingkat empati tertentu, atau mereka melatih empati sesuai dengan pengalaman hidupnya? Jawabannya adalah keduanya. Penyelidikan ilmiah telah menunjukkan bahwa terdapat komponen genetis dalam kecerdasan emosional. Penelitian psikologis dan pengembangan mengindikasikan bahwa pembinaan juga berpengaruh. Namun, berapa pengaruh masing- masing mungkin tak akan pernah diketahui, meskipun penelitian dan latihan jelas menunjukkan bahwa kecerdasan emosional bisa dipelajari.

Satu hal yang pasti: kecerdasan emosional bertambah sejalan dengan umur. Ada kata lama yang menggambarkan fenomena ini: kedewasaan. Tetapi walaupun mencapai kedewasaan, beberapa orang masih perlu latihan untuk meningkatkan kecerdasan emosional mereka. Sayangnya, banyak latihan kepemimpinan yang berniat melatih kecerdasan emosional hanya membuang uang pengikutnya. Sebabnya mudah: mereka memfokuskan diri di bagian otak yang salah.

Kecerdasan emosional banyak terbentuk di bagian limbic dari otak, yang mengatur perasaan, dorongan, dan impuls. Penelitian menunjukkan bahwa sistem limbic belajar dengan paling baik melalui motivasi, latihan, dan umpanbalik. Bandingkan dengan proses belajar di neokorteks, yang mengatur kemampuan analisa dan teknis. Neokorteks menggunakan konsep dan logika. Ia adalah bagian otak yang mempelajari bagaimana menggunakan komputer atau menelepon dengan membaca buku. Tidak mengherankan – walaupun salah - ia juga bagian dari otak yang ditergetkan oleh kebanyakan program pelatihan guna meningkatkan kecerdasan emosional. Ketika program-program itu menggunakan pendekatan neokorteks, penelitian penulis dengan the Consortium for Research on Emotional Intelligence on Organizations bahkan menunjukkan bahwa hal-hal itu dapat menimbulkan dampak negatif pada performa / kinerja para pesertanya.

Untuk meningkatkan kecerdasan emosional, organisasi-organisasi harus memfokuskan kembali pelatihan mereka kepada sistem limbic. Mereka harus membantu orang-orang me mbuang kebiasaan lama dan membangun yang baru. Itu tidak hanya memakan waktu lebih lama dari pada pelatihan biasa, sistem ini juga memerlukan pendekatan perseorangan.

Bayangkan seorang eksekutif yang dianggap rendah empati oleh koleganya. Sebagian dari kekurangan itu muncul dalam bentuk ketidak-mampuan mendengarkan orang lain; ia memotong pembicaraan dan tidak memperhatikan

Page 20: What Makes a Leader

20

perkataan orang lain. Untuk memperbaiki masalah itu, eksekutif itu harus dimotivasikan untuk berubah, lalu ia perlu latihan dan tanggapan dari kolega-koleganya di perusahaan. Seorang kolega atau pelatih bisa diminta untuk memberitahukannya ketika ia dianggap tidak bisa mendengarkan. Ia lalu harus mengulang kejadian itu dan menunjukkan tanggapan yang lebih baik; yaitu menunjukkan kemampuannya untuk mengerti pembicaraan orang lain. Eksekutif itu juga bisa diarahkan untuk memperhatikan dan meniru eksekutif lain yang mendengar dengan baik.

Dengan ketekunan dan latihan, proses seperti itu bisa menuju ke hasil yang abadi. Penulis tahu seorang eksekutif Wall Street yang ingin meningkatkan empatinya, terutama kemampuannya untuk membaca reaksi orang dan melihat sudut pandang mereka. Sebelum memulai pencariannya, bawahan-bawahannya takut kepada dia. Bahkan mereka sampai menyembunyikan berita darinya. Tentu saja, ia terkejut ketika mengetahuinya. Ketika ia mengatakannya pada keluarganya, mereka hanya membenarkan apa yang telah ia dengar di kantor. Bahwa ketika pendapat mereka tidak sama dengan pendapatnya, mereka takut padanya.

Meminta bantuan seorang pelatih, eksekutif itu mulai bekerja untuk meningkatkan empatinya melalui latihan dan umpanbalik. Langkah pertamanya dalah dengan berlibur selama smeinggu ke negara asing yang bahasanya tidak ia pahami. Ketika disana, ia memantau reaksinya pada hal-hal yang tidak ia kenal dan keterbukaannya pada orang yang berbeda dengannya. Ketika pulang, ia meminta pelatihnya untuk membayanginya selama beberapa jam, beberapa hari seminggu, untuk mengkritik cara ia memperlakukan orang yang pendapatnya berbeda. Di saat yang sama, ia menggunakan interaksi sehari-hari sebagai kesempatan melatih ‘mendengarkan’ ide yang berbeda. Akhirnya, ia merekam dirinya saat rapat dan meminta orang-orang yang bekerja untuknya dan dengannya agar mengkritik kemampuannya dalam mengetahui dan mengerti perasaan orang lain. Itu mamakan waktu beberapa bulan, tapi kecerdasan emosional eksekutif tersebut akhirnya meningkat, dan perbaikan itu muncul di peningkatan mutu pekerjaannya.

Sangat penting untuk memekankan bahwa pembangunan kecerdasan emosional seseorang tidak akan bisa dilaksanakan tanpa keinginan dan usaha yang keras. Sebuah smeinar sdingkat tidak akan membantu, juga sebuah buku panduan. Sangat lebih sulit untuk belajar berempati- untuk menjadikan empati sebagai tanggapan normal pada orang lain- daripada menjadi ahli dalam analisis regresi. Tapi itu bisa dilaksanakan. Ralph W. Emerson berkata “Tidak ada hal hebat yang terjadi tanpa antusiasme.” Apabila tujuan anda adalah untuk menjadi seorang pemimpin sejati, kata-kata ini dapat dijadikan patokan anda dalam usaha anda mengembangkan kecerdasan emosional.

Q

Page 21: What Makes a Leader

21