Top Banner
272

Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Oct 04, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Welcome to Unud Repository - Unud Repository
Page 2: Welcome to Unud Repository - Unud Repository
Page 3: Welcome to Unud Repository - Unud Repository
Page 4: Welcome to Unud Repository - Unud Repository
Page 5: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

1

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu

Puji Syukur kami panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan

Yang Maha Esa, karena atas berkat-NYA buku naskah lengkap “Workshop on

Pneumonia: Deal the Challenge – Improve the Outcome” ini dapat disusun

dan diterbitkan. Buku ini diharapkan dapat menjadi acuan peserta workshop

khususnya, serta klinisi pada umumnya dalam menangani kasus pneumonia.

Pneumonia merupakan salah satu masalah infeksi utama di dunia. Hingga

saat ini, angka kematian akibat pneumonia masih cukup tinggi bila

dibandingkan dengan kematian akibat penyakit infeksi lain. Melalui

workshop yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Kesehatan Paru

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada tanggal 23 Juli 2016 ini,

diharapkan mampu menyebarluaskan ilmu dan informasi dalam menangani

kasus pneumonia. Kegiatan dan buku naskah lengkap ini merupakan

sumbangsih kami kepada institusi, teman sejawat, serta masyarakat pada

umumnya dalam rangka menigkatkan keberhasilan penatalaksanaan

pneumonia.

Dengan diadakannya wokshop beserta diterbitkannya buku naskah lengkap

ini, kami harapkan dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Manfaat

dari bidang akademis, pelayanan kesehatan, serta pengabdian kepada ilmu

pengetahuan dan masyarakat.

Page 6: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

2

Akhir kata, kami sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua

sejawat selaku kontributor buku naskah lengkap ini. Semoga mendapatkan

manfaat dari kegiatan ini.

Om Santhi Santhi Santhi

Denpasar, 11 Juli 2016

Ida Bagus Ngurah Rai

Page 7: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

3

DAFTAR ISI

Pneumonia Overview ..............................................................................

Pneumonia Pathogenesis ........................................................................

Pathophisiologi of Pneumonia ................................................................

Diagnosis of Pneumonia .........................................................................

Pneumonia Layanan Primer .....................................................................

Pneumonia Komunitas .............................................................................

HCAP ........................................................................................................

HAP ..........................................................................................................

VAP ...........................................................................................................

Pneumonia Aspirasi .................................................................................

Pneumonia Viral .......................................................................................

Pneumonia Jamur ....................................................................................

Pneumonia MRSA ....................................................................................

Pneumonia Acineto Bacter Baumanni .....................................................

Pneumonia Atipical ..................................................................................

Pneumonia Imunocompromised .............................................................

Pneumonia pada Pasien Geriatri .............................................................

Pneumonia pada Penggunaan NAPZA .....................................................

Pneumonia pada Kehamilan ....................................................................

Pneumonia terkait Wisata (traveler Pneumonia) ....................................

Page 8: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

4

PNEUMONIA: OVERVIEW

Ida Bagus Ngurah Rai

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pneumonia adalah suatu penyakit paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri,

virus atau mikroorganisme lainnya di parenkim paru. Infiltrasi sel radang

beserta komponen lainnyayang terlibat dalam proses peradangan di daerah

alveoli mengakibatkan gangguan proses difusi. Hal ini menyebabkan

keadaan klinis pasien dengan pneumonia cenderung berat dan berpotensi

fatal.

Pasien pneumonia yang di rawat inap di rumah sakit tidak sedikit

jumlahnya. Dari pengamatan lapangan harian yang dilakukan dalam kurun

waktu 2015-2016 ini di Ruang Rawat Intermediate Instalasi Rawat Darurat

Rumah Sakit Sanglah Denpasar, 70% lebih pasien yang dirawat dengan

masalah paru dan respirasi adalah pneumonia. Hampir seluruh pasien

pneumonia tersebut, menderita penyakit komorbid lainnya antara lain

penyakit paru obstruktif kronik, penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis

rutin, penyakit keganasan, pasca infeksi demam berdarah, diabetes mellitus,

infeksi HIV, stroke. Hal yang sama ditemukan di Ruang Rawat Pelayanan

Jantung Terpadu, hampir 80% pasien dengan masalah paru dan respirasi

yang dirawat di situ adalah pneumonia. Di Inggris, dalam periode waktu 10

tahun (1998-2008) terjadi peningkatan 4,2% per tahun pasien pneumonia

komunitas dan semakin meningkat pada tahun 2009-2014 menjadi 8,8% per

Page 9: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

5

tahun.1 Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa CAP

berat membutuhkan perawatan di ICU dan angka kematiannya mencapai

39%.2 Sebuah penelitian multisenter di Malaysia, Indonesia dan Filipina yang

melibatkan masing-masing 58.075, 134.500, 50.791 pasien MRS

menunjukkan proporsi kasus pneumonia dan case fatality rate (CFR) yang

berbeda-beda. Proporsi kasus pneumonia di Malaysia, Indonesia, Filipina

masing-masing 6,4%; 1,5%; 19,9% sedangkan CFR diantara kasus pneumonia

masing-masing 11,5%; 5,2%; 3,6%.3 Berdasarkan data WHO tahun 2012,

infeksi saluran napas bawah (pneumonia) merupakan penyebab kematian

terbanyak keempat (5,2%) di Indonesia.4 Proporsi kasus pneumonia yang

dirawat inap di rumah sakit adalah 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan,

dengan CFR 7,6% .5

Permasalahan Pneumonia

Beberapa masalah penting dalam perawatan pasien pneumonia mencakup

diagnostik dan terapi.

Diagnostik

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, namun bakteri

merupakan patogen penyebab pneumonia terbanyak. Pneumonia

berpotensi menjadi penyakit berat dan seringkali pada pemeriksaan kultur

tidak ditemukan kuman penyebab infeksi sehingga diperlukan prediktor lain

untuk menentukan penyebab dengan cepat tanpa harus menunggu hasil

kultur.

Page 10: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

6

Pneumonia bakterial secara klinis dapat dibedakan dengan

pneumonia virus. Gambaran klinis pneumonia bakterial yaitu gejala respirasi

akut seperti batuk produktif dan purulen, demam tinggi; gambaran

konsolidasi pada pemeriksaan fisik dan foto toraks.5 Gambaran klinis

pneumonia virus yaitu gejala rinore dan gambaran ground glass opacity

pada foto toraks.6 Pemeriksaan PCR dari usapan nasofaring atau orofaring

dapat digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi virus. 6,7

Pemeriksaan petanda infeksi seperti prokalsitonin (PCT) dan c-

reactive protein (CRP) dapat membantu menentukan penyebab pneumonia.

PCT akan meningkat pada infeksi dan inflamasi terutama infeksi bakteri

berat, sepsis, syok sepsis dan sindrom disfungsi multiorgan. Peningkatan

CRP menunjukkan adanya inflamasi yang signifikan namun spesifisitasnya

rendah karena dapat meningkat pula pada keadaan lain seperti obesitas,

merokok, diabetes melitus, uremia, hipertensi, terapi pengganti hormon,

penuaan.8,9

Untuk menilai derajat keparahan pneumonia dapat digunakan

sistem skor menurut pneumonia severity index (PSI) atau CURB-65.10

Terapi

Pneumonia diterapi secara empiris menggunakan antibiotik sebelum

organisme penyebab dapat diidentifikasi. Antibiotika harus segera diberikan

begitu diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan klinis, radiologi dan

laboratorium sebelum pasien meninggalkan UGD ataupun poliklinik. Paling

tidak dalam waktu 4 jam setelah datang ke rumah sakit.11,12

Penelitian oleh

Daniel dkk menunjukkan bahwa angka mortalitas lebih rendah pada pasien

Page 11: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

7

yang diberikan pemberian antibiotika dalam waktu ≤ 4 jam dibandingkan > 4

jam (p=0,003).13

Antibiotika dapat diberikan secara oral maupun intravena. Pasien

rawat inap biasanya diberikan antibiotika secara intravena.14

Pemberian

antibiotika intravena harus segera diganti oral begitu hemodinamik stabil,

klinis membaik, mampu menelan obat, dan fungsi gastrointestinal

normal.5,11,12

ATS/IDSA menyarankan pemberian antibiotika minimal 5 hari,

pasien afebril selama 48-72 jam dan klinis stabil. Terapi dapat diberikan

lebih lama jika terapi inisial yang diberikan tidak aktif melawan patogen

penyebab atau terdapat komplikasi infeksi ekstrapulmonal seperti

meningitis atau endokarditis.12

BTS menyarankan pasien dengan pneumonia

komunitas, ringan-sedang dan tanpa komplikasi diberikan terapi antibiotika

yang tepat selama 7 hari. Pada pasien pneumonia berat dapat diberikan

selama 7-10 hari dan dapat diperpanjang sampai 14-21 hari tergantung

pertimbangan klinis.11

Pemberian antibiotika dievaluasi secara klinis dalam

72 jam pertama, jika didapatkan perbaikan klinis dapat dilanjutkan

sedangkan jika terjadi perburukan maka antibiotika harus diganti sesuai

dengan hasil biakan atau pedoman empiris.5 Pemilihan dosis dan jenis

antibiotika harus berdasarkan farmakokinetik dan farmakokinetik masing-

masing obat. Pengetahuan tentang farmakokinetik dan farmakodinamik

memungkinkan menentukan konsentrasi obat untuk mendapatkan efek

yang diinginkan, efek samping minimal serta dosis yang tepat untuk

mencapai konsentrasi tersebut.15

Page 12: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

8

Pemilihan antibiotika empiris pada pasien pneumonia idealnya berdasarkan

hal-hal berikut:

Pola kuman dan kepekaan terhadap antibiotika di masyarakat atau unit-

unit perawatan spesifik di rumah sakit yang diperiksa secara berkala.

Bakteri penyebab pneumonia yang paling sering di Amerika Serikat

adalah Streptococcus pneumonia. Bakteri lain yang sering juga

menyebabkan pneumonia adalah Haemophilus influenza, bakteri

atipikal (seperti Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae dan

Legionella spp).16

Penyebab terbanyak pneumonia komunitas di

Indonesia berdasarkan data dari beberapa rumah sakit pada tahun 2012

adalah kuman gram negatif (seperti Klebsiella pneumoniae,

Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa) sedangkan kuman

gram positif (seperti Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridans,

Staphylococcus aureus) ditemukan dalam jumlah sedikit.5

Faktor risiko yang mempengaruhi kecenderungan pasien terkena kuman

tertentu. Faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi pseudomonas

adalah pemakaian kortikosteroid ≥10 mg per hari, riwayat penggunaan

antibiotika spektrum luas ≥7 hari pada bulan sebelumnya dan

malnutrisi.12,17

Faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi Acinetobacter

yaitu penggunaan antibiotika sebelumnya, operasi saraf, trauma kepala,

imunosupresi, sepsis sebelumnya, penyakit paru kronik, usia tua,

penggunaan alat invasif (selang endotrakea dan gaster), lamanya

dirawat di RS, dan lamanya menggunakan ventilasi mekanik.18

Page 13: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

9

Berdasarkan panduan pemberian antibiotika empiris yang dikeluarkan

oleh organisasi profesi misalnya panduan yang dikeluarkan oleh

ATS/IDSA di Amerika Serikat atau PDPI di Indonesia.

Saran

Diagnosis yang tepat dan terapi yang cepat serta akurat dapat

menurunkan risiko morbiditas berat dan kematian pada pasien

pneumonia.

Gambaran klinis serta prediktor lain dapat digunakan untuk

menentukan kemungkinan penyebab pneumonia sehingga dapat

diberikan antibiotika yang tepat sasaran.

Perlu penelitian atau kajian terhadap peranan biomarker dan prediktor

klinis dalam menentukan penyebab pneumonia

Perlu pemeriksaan berkala pola kuman dan kepekaan terhadap

antibiotika di masyarakat dan masing-masing unit pelayanan di rumah

sakit

Daftar Pustaka

1. Quan T, Fawcett N, Wrightson J, Finney J, Wyllie D, Jeffery K, et al.

Increasing burden of community-acquired pneumonia leading to

hospitalisation, 1998-2014. Thorax. 2016; 71: p. 535-42.

2. Liapikou A, Cilloniz C, Gabarrus A, Amaro R, De La Bellacasa J, Mensa J,

et al. Multilobar bilateral and unilateral chest radiograph involvement:

Page 14: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

10

implications for prognosis in hospitalised community acquired

pneumonia. Eur Respir J. 2016; 48: p. 257-61.

3. Azmi S, Aljunid S, Maimaiti N, Ali A, Nur A, Rosas-Valera M, et al.

Assesing the burden of pneumonia using administrative data from

Malaysia, Indonesia and the Philippines. Int J Infect Dis. 2016; 49: p. 87-

93.

4. WHO. Indonesia: WHO statistical profile. ; 2015.

5. PDPI. Pneumonia komuniti: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di

Indonesia. 2nd ed. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2014.

6. Kim J, Kim U, Kim H, Cho S, An J, Kang S, et al. Predictors of viral

pneumonia in patients with community-acquired pneumonia. PLoS ONE.

2014; 9(12): p. 1-13.

7. Burk M, El-Kersh K, Saad M, Wiemken T, Ramirez J, Cavallazzi R. Viral

infection in community-acquired pneumonia: a systematic review and

meta-analysis. Eur Respir Rev. 2016; 25: p. 178-88.

8. Meili M, Kutz A, Briel M, Christ-Crain M, Bucher H, Mueller B, et al.

Infection biomarkers in primary care patients with acute respiratory

tract infection-comparison of procalcitonin and C-reactive protein. BMC

pulmonary medicine. 2016; 6(43): p. 1-9.

9. Seligman R, Ramos-Lima L, Oliviera V, Sanvicente C, Pacheco E, Rosa K.

Review biomarkers in community-acquired pneumonia; a state of the art

review. Clinics. 2012; 67(11): p. 1321-5.

10. Ravindranath M, Raju C. Validity of pneumonia severity

index/pneumonia outcome research trial and CURB-65 severity scoring

systems in community acquired pneumonia in Indian setting. Int J Adv

Page 15: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

11

Med. 2016; 3(2): p. 338-44.

11. BTS. Guideline for the management of community acquired pneumonia

in adults update 2009 a quick reference guide. Thorax. 2009; 64: p. 1-14.

12. Mandell L, Wunderink R, Anzueto A, Bartlett J, Campbell G, Dean N, et

al. Infectious diseases society of America/American thoracic society

consensus guidelines on the management of community-acquired

pneumonia in adults. Clin Infect Dis. 2007; 44: p. 27-72.

13. Daniel P, Rodrigo C, Mckeever T, Woodhead M, Welham S, Lim W. Time

to first antibiotic and mortality in adults hospitalised with community-

acquired pneumonia: a matched-propensity analysis. Thorax. 2016; 71:

p. 568-70.

14. Belforti R, Lagu T, Haessler S, Lindenauer P, Pekow P, Priya A, et al.

Association between initial route of fluoroquinolone administration and

outcomes in patients hospitalized for community acquired pneumonia.

Clin Infect Dis. 2016; 63(1): p. 1-9.

15. Nielsen E, Friberg L. Pharmacokinetic-pharmacodynamic modeling of

antibacterial drugs. Pharmacol Rev. 2013; 65: p. 1053-90.

16. Marrie T, Poulin-Costello M, Beecroft M, Herman-Gnjidic Z. Etiology of

community-acquired pneumonia treated in an ambulatory setting.

Respir Med. 2005; 99: p. 60.

17. von Baum H, Welte T, Marre R. Community-acquired pneumonia

through Enterobacteriaceae and Pseudomonas aeruginosa: diagnosis,

incidence and predictors. Eur Respir J. 2010; 35: p. 598.

18. Hartzell J, Kim A, Kortepeter M, Moran K. Acinetobacter pneumonia: a

review. MedGenMed. 2007; 9(3).

Page 16: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

12

PATOGENESIS PNEUMONIA

Ketut Suryana

Divisi Alergi-Imunologi, Bagian SMF Ilmu Penyakit dalam

FK Unud – RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Pneumonia merupakan inflamasi pada jaringan paru, dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya meskipun relatif jarang, obat-obatan tertentu serta penyakit otoimun

1-3.

Kejadian pneumonia dapat dijumpai hampir pada 450 juta (7% dari populasi) penduduk dunia per tahun dan menyebabkan sekitar 4 juta kematian. Lebih dari ¼ nya meninggal dalam 30 hari dan hampir 50% dari yang meninggal berkaitan dengan komorbid, bukan oleh karena pneumonianya. Pada abad ke-20 ini angka harapan hidupnya meningkat dengan semakin pesatnya perkembangan terapi antibiotika dan vaksinasi

4,5.

Manifestasi klinis dari pneumonia seperti ; batuk, nyeri dada, demam dan kesulitan bernafas / sesak nafas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan semai dahak. Pneumonia dikelompokkan berdasarkan pada dimana dan bagaimana pneumonia itu didapatkan : community-acquired, aspiration, healthcare-associated, hospital-acquired dan ventilator-associated pneumonia). Ada juga yang mengelompokkan berdasarkan area paru yang terinfeksi : lobar pneumonia, bronchopneumonia dan acute interstitial pneumonia

6.

Serangkaian mekanisme proteksi saluran nafas (respiratory tract defence mechanisms) baik yang imun maupun non-imun bekerja kolaboratif secara efektif pada tingkatan yang berbeda dengan luaran yang sama yaitu menjaga sistim pernafasan (paru) tetap normal / optimal dan bebas dari zone bakteri

1,2. Terjadinya pneumonia berkaitan dengan berbagai faktor

Page 17: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

13

seperti jalur penularan, jenis mikroorganisme, status respon imun saluran nafas, adanya faktor predisposisi dan suseptibilitas terhadap infeksi mikroorganisme penyebab pneumonia. Kegagalan dari respiratory tract defence mechanisms, adanya faktor predisposisi tertentu dan susceptibilitas terhadap infeksi merupakan patogenesis yang mendasari terjadinya pneumonia bakteri

1,2.

Pemahaman tentang respiratory tract defence mechanisms, patogenesis pneumonia dengan baik dan benar diharapkan dapat menjadi dasar kajian dalam strategi pengelolaan pneumonia yang lebih paripurna dimasa yang akan datang.

Key Words : Pneumonia, respiratory tract defence mechanism, patogenesis.

Sistim Imun Saluran Pernafasan

Sistim imun pada saluran pernafasan / paru bekerja secara

kolaboratif terkoordinasi, sehingga memberikan luaran yang efektif dalam

menjaga intergritas respon imun dari saluran pernafasan / paru.

Mekanisme jalur penyebaran mikroorganisme pada pneumonia

dapat digambarkan seperti pada tabel-1 berikut ini :

Tabel-1. Patofisiologi Jalur Penyebaran 7

.

Mekanisme / jalur Mikroorganisme

Inhalasi Mycoplasma pneumoniae Chlamydophila psittaci Chlamydophila pneumoniae Legionella pneumophila

Sekresi oropharyngeal Streptococcus pneumoniae

Page 18: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

14

Aspirasi Haemophilusinfluenzae, anaerobes, gram-negative bacilli

Penyebaran haematogenous Staphylococcus aureus

Reaktivasi mikroorganisme laten Mycobacterium tuberculosis, Pneumocystis jiroveci

(Singh, 2012)

Kegagalan dari sistim imun saluran pernafasan, berkaitan dengan

adanya faktor predisposisi tertentu dan susceptibilitas terhadap infeksi dan

merupakan kondisi yang mendasari terjadinya pneumonia. Kondisi yang

dapat sebagai faktor predisposisi terjadinya pneumonia antara lain 7,8

. :

1. Perubahan dari flora normal

Adanya IgA, komplemen dan flora normal mencegah terjadinya

kolonisasi mikroorganime di orofaring.

2. Batuk dan reflex glottis

Batuk dan reflex glottis dapat menyebabkan aspirasi dari isi

lambung terutama pada usia tua, pada penderita dengan PPOK,

operasi torakoabdominal.

3. Penurunan kesadaran

Pada orang dewasa sehat terdapat 10-100 juta bakteri pada setiap

1 mililiter sekresi orofaring dan lebih dari 50% mengaspirasi sekret

orofaring pada saat tidur nyenyak. Pada keadaan terjadi penurunan

kesadaran seperti : koma, stroke, alkoholisme, depresi SSP akibat

overdosis obat, sekret orofaring dapat teraspirasi lebih banyak.

Page 19: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

15

4. Berkurangnya fungsi mukosiliar

Pembersihan dahak tergantung fungsi optimalnya gerakan dari

siliar dan sifat fisik / kekentalan dari mukus. Kelenjar submukosa

dan sel goblet epitel permukaan memproduksi cairan permukaan

saluran pernafasan (airway surface fluid). Cairan tersebut terdiri

dari cairan gel mirip mucin sebagai lapisan atas / permukaan dan

cairan non-gel sebagai lapisan bawah.

5. Disfungsi Makrofag Alveoli

Monosit setelah bermigrasi ke inflammatory site segera

berdifrensiasi menjadi makrofag untuk membantu aktifitas dan

fungsi makrofag yang sudah ada. Substansi serum lain yang juga

turut menginduksi akselerasi respon imun adalah 1-25-

Dihydroxyvitamin D dan IL-10. Makrofag Alveoli merupakan

merupakan highly effective phagocytic cells. Sebagian besar

mikroorganisme dapat dihancurkan segera dengan sistim lisosomal.

Mikrisidal lainnya yang juga tidak kalah penting seperti misalnya :

Toll Like Receptor protein, Reactive Oxygen Species (ROS), dan

Nitric Oxide (NO). Perokok, anemia, starvasi, hypoxemia, infeksi

virus pada saluran pernafasan dapat mempengaruhi efektivitas

fungsi Makrofag Alveoli sehingga dapat terjadi pneumonia.

6. Disfungsi Imun

Respon imiun merupakan komponen utama yang melindungi tubuh

terhadap infeksi oleh mikroorganisme patogenik. Sistim imun baik

yang spesifik (celluler specific immunity : Limfosit T dan B) maupun

non spesifik (celluler non-specific immunity : pulmonary dendritic

cells, macrophages, neutrophils, eosinophils dan mast cells).

Menurunnya aktivitas sistim imun baik congenital maupun didapat

merupakan predisposisi terjadinya pneumonia.

Page 20: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

16

Respon Imun Saluran Pernafasan

Mekanisme respon imun dari saluran pernafasan pada masing-

masing segmen saluran pernafasan berfungsi secara kolaboratif dan

terkoordinasi sehingga memberikan luaran respon imun yang optimal. Peran

dari segmen nasofaring, trachea / bronchus, bronchus terminalis / alveoli,

seperti pada tabel-2 berikut 7

.

Tabel 2. Mekanisme Respon Imun Saluran Pernafasan

Lokasi Mekanisme sistim Imun

Nasopharynx Nasal hairs and turbinates Mucocilliary apparatus IgA secretion

Trachea / bronchi Cough, epiglottic refelxs Mucocilliary apparatus Immunoglobulin secretion (IgG, IgM, IgA)

Terminal airays / alveoli Alveolar macrophages Pulmonary lymphatics Alveolar lining fluid(surfactant,

complement, Ig, fibronectin), Cytokines (interleukin-1, tumor necrosis

factor) Polymorphoneuclear leukocytes Cell mediated immunity

(Singh, 2012)

Page 21: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

17

Patogenesis Pneumonia

Masuknya bakteri ke dalam saluran pernafasan maka tubuh

(respon imun) akan menghalau mikroorganisme tersebut. Kapan pneumonia

bisa terjadi ?, tergantung hasil akhir interaksi dari virulensi dan densitas

mikroorganisme dengan respon imun. Primary respiratory defense

mechanisms merupakan respon imun dari saluran pernafasan / paru untuk

melindungi dari infeksi atau inflamasi sehingga respon imun saluran nafas /

paru tetap normal / optimal dan kompeten dalam menghalau

mikroorganisme penyebab infeksi 7,9

.

Beberapa kondisi yang dapat berkaitan dengan primary respiratory

defense mechanisms seperti pada table-3 9 :

Table 3. Kondisi yang berkaitan dengan primary respiratory defense

mechanisms

Respiratory Defense Mechanism Function (s)

Factors that impair function

Nasopharyngeal defense

IgA protects against bacterial proliferation Sneezing removes microbes from respiratory tract

IgA deficiency Hay fever Comon cold Trauma to the nose

Glottic and cough reflexes

Protect against aspiration

Reduced cough reflex due to stroke, neuromuscular disease, sedation, anesthesia, tracheal intubation

Mucocilliary clearance system

Removes microbes from nasopharynx down to alveoli

Smoking Viruses Cold, dry air Tracheal intubation

Page 22: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

18

Alveolar macrophages Removes microbes from alveoli

Cold, dry air Alcohol use Smoking Obstruction hypoxia

IgG and IgM Help to remove microbes from the blood

IgG and/or IgM deficiency

(Porth, 2005)

Kegagalan dari Sistim Imun Saluran Pernafasan

Kegagalan dari sistim imun saluran pernafasan / respiratory tract

defence mechanisms merupakan salah satu faktor yang amat penting

berkaitan dengan terjadinya pneumonia. Faktor lainnya yang juga berperan

pada pathogenesis pneumonia yaitu adanya faktor predisposisi tertentu dan

susceptibilitas terhadap infeksi.

Page 23: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

19

Tanda dan gejala pneumonia:

Gambar 1. Tanda dan gejala pneumonia 10

.

Klasifikasi Pneumonia

Pneumonia umumnya dikelompokkan berdasarkan pada dimana

dan bagaimana pneumonia itu didapatkan. Berdasarkan hal tersebut maka

pneumonia dikelompokkan menjadi 11

:

- Community-acquired,

- Healthcare-associated / hospital-acquired dan

- Ventilator-associated pneumonia

Page 24: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

20

Community Acquired Pneumonia(CAP)

Merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang

signifikanpada orang dewasa. CAP merupakan inflamasi pada parenkim paru

yang bukan didapat di rumah sakit / selama perawatan di fasilitas kesehatan

/ kontak dengan sistim layanan kesehatan. Di Amerika Serikat dijumpai CAP

antara 5 – 11 per 1000 penduduk dan sebagian besar terjadi pada musim

dingin, dengan mikroorganisme penyebab terbanyak adalah Streptococcus

pneumoniae 11

.

Dilaporkan mikroorganisme penyebab CAP pada beberapa

kelompok populasi, seperti pada tabel 4, berikut :

Page 25: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

21

Patogenesis Pneumonia Mycoplasma pneumonia

Gambar 5. Postulated schema for pathogenesis of human Mp pneumonia 12,13

Page 26: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

22

Patofisiologi CAP

Gambar 6. Patofisiologi CAP 14

.

Page 27: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

23

Gambar 7. Patofisiologi CAP 14

.

Ventilator-associated pneumonia

Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah saluran pernafasan

bawah yang berkaitan dengan endotracheal intubation dan merupakan

penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan di Intensive Care Unit /

ICU. VAP merupakan salah satu healthcare-associated/hospital-acquired

pneumonia 15

.

Page 28: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

24

Bakteriologi VAP

Mikroorganisme penyebab VAP bervariasi, mencakup

mikroorganisme gram-negatif dan gram-positif. Durasi penggunaan

mechanical ventilation merupakan faktor penting yang berkaitan dengan

jenis VAP pathogens. Pada durasi dini yaitu penggunaan mechanical

ventilation < 5 hari ; jenis mikroorganisme penyebab VAP adalah

Haemophilus Influenzae, Streptococcus pneumonia, Methicillin-Sensitive

Staphylococcus Aureus (MSSA) dan Enterobacteriaceae. Sedangkan pada

durasi penggunaan mechanical ventilation > 5 hari, Mikroorganisme

penyebab VAP : multidrug – resistant organisms seperti pseudomonas

aeruginosa, Acinetobacter spp, Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus

(MRSA) 15

.

Patofisiologi VAP

Beberapa faktor / sumber patogen yang berkaitan dengan terjadinya VAP, seperti yang tampak pada gambar 7

15

Gambar 7. Patofisiologi VAP 15

Page 29: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

25

Ringkasan

Pneumonia adalah inflamasi pada jaringan paru, dengan bermacam

penyebab, yaitu : infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya

meskipun relatif jarang, obat-obatan tertentu serta penyakit otoimun. Sistim

imun pada saluran pernafasan / paru bekerja secara kolaboratif

terkoordinasi, sehingga memberikan luaran yang efektif dalam menjaga

intergritas respon imun dari saluran pernafasan / paru. Kegagalan dari sistim

imun saluran pernafasan / respiratory tract defence mechanisms, faktor

predisposisi tertentu dan susceptibilitas terhadap infeksi yang menjadi

merupakan berbagai faktor penting pada patogenesis pneumonia.

Pneumonia umumnya dikelompokkan berdasarkan pada dimana dan

bagaimana pneumonia itu didapatkan. Berdasarkan hal tersebut maka

pneumonia dikelompokkan menjadi : Community-acquired, Healthcare-

associated / hospital-acquired dan Ventilator-associated pneumonia .

Daftar Pustaka :

1. McLuckie, A. ed. 2009. Respiratory disease and its management. New York: Springer.p.51.

2. Leach, Richard E. 2009. Acute and Critical Care Medicine at a Glance. 2nd

ed. Wiley-Blackwell.

3. Jeffrey CP, 2010. Alcamo’s FUncamentals of Microbiology. 9th

ed. Sudbury MA: Jones & Bartlett.p.323.

4. Singanayagam A, Elder DHJ, Chalmers JD. Is Community-acquired pneumonia an independent risk factor for cardiovascuker disease ? Eur Respir J 2012 ; 39 : 187-196.

Page 30: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

26

5. Osler, W. 1901. Principles and Practice of Medicine. 4th

ed. New York: D. Appleton and Company.p.108.

6. Sharma, S, Mascher B, Eschun G. 2007. Radiological imaging in pneumonia: recent innovations. Current Opinion in Pulmonary Medicine;13(3):159-69.

7. Singh, YD. Pathophysiology of Community Acquired Pneumonia. 2012. Supplement Tojapi;60:7-9.

8. Song Z, Zhang J, Zhang X, Li D, Wang H, Xu X, et al. Interleukin 4 Deficiency Reverses Development of Secondary Pseudomonas aeruginosa Pneumonia During Sepsis-Associated Immunosuppression. The Journal of Infectious Diseases. 2015;211:1616–27.

9. Porth CM. Pneumonias. In: Porth CM, ed. Pathophysiology-Concepts of Altered Disease States. 7

th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins, 2005; Table 30-1:666

10. Nair, GB; Niederman, MS (November 2011). "Community-acquired pneumonia: an unfinished battle". The Medical clinics of North America 95 (6): 1143–61.

11. Watkins RR. Diagnosis and Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Am Fam Physician. 2011 ; 83 (11) : 1299-1306.

12. Paats MS, Bergen IM, Hanselaar W, Groeninx van Zoelen EC, Hoogsteden HC, Hendriks RW. et al. Local and systemic cytokine profiles in nonsevere and severe community-acquired pneumonia. Eur Respir J 2013; 41: 1378–1385.

13. Saraya T, Kurai D, Nakagaki K, Sasaki Y, Niwa S, et al. Novel aspects on the pathogenesis of Mycoplasma pneumonia pneumonia and therapeutic implications. Frontiers in Microbiology. August 2014 | Volume 5 | Article 410: 1-18.

14. McCance, K. L. & Heuther, S. E. (2010). Pathophysiology: The biologic basis for disease in adults and children. St. Louis, MO: Elsevier.

Page 31: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

27

15. Waters B & Muscedere J. A 2015 Update on Ventilator-Associated Pneumonia: New Insights on Its Prevention, Diagnosis, and Treatment. Curr Infect Dis Rep (2015) 17: 41

Page 32: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

28

Patofisiologi Pneumonia

Putu andrika

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Fungsi paru utamanya adalah melaksanakan pertukaran gas untuk

menopang metabolisme jaringan yang dilakukan secara kontinyu. Kontak

langsung berulang dengan lingkungan luar akan menyebabkan paru sering

terpapar dengan berbagai bahan asing bahkan kuman infeksius. Pneumonia

merupakan hasil dari proliferasi kuman patogen pada level alveolar dan

respon tubuh terhadap kuman tersebut. Mikroorganisme dapat mencapai

saluran pernafasan bawah melalui beberapa jalur. Jalur tersering mikro

organisme melalui aspirasi dari orofaring. Aspirasi dapat terjadi saat tidur

meski dalam volume yang kecil (terutama pada orang tua) dan pada pasien

dengan penurunan kesadaran. Beberapa kuman dapat melalui jalur

terinhalasi seperti pada contaminated droplet. Jarang sekali pneumonia

terjadi melalui jalur hematogenous (cth. pada tricuspid endocarditis) atau

melalui perluasan secara contaguous dari pleura yang terinfeksi atau ruang

mediastinum.

Pertahanan saluran nafas secara mekanik memainkan peranan penting. Bulu

rambut dan aliran turbinates dari rongga hidung akan mampu menangkap

partikel besar yang terinhalasi sebelum mencapai saluran nafas bawah.

Arsitektur percabangan dari pohon trakeobronkial akan memudahkan

terperangkapnya partikel pada sepanjang saluran nafas, yang nantinya akan

dibersihkan oleh mucociliary clearance dan faktor antibacterial local akan

membunuh kuman tersebut. Gag reflek dan mekanisme batuk memberikan

perlindungan jika terjadi aspirasi. Juga ikut berperan flora normal pada sel

mokosa orofaring mencegah kuman pathogen melekat dan dengan

demikian menurunkan risiko pneumonia.

Page 33: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

29

Jika pertahanan mekanik saluran nafas tersebut mampu dilalui atau karena

kumannya terlalu kecil terinhalasi sampai ke alveolar, makropag yang

berada di alveolar termasuk mampu dengan sangat efisien untuk

membersihkan atau membunuh kuman. Makropag akan dibantu oleh

protein local (spt protein A dan D surfaktan) yang mempunyai opsonizing

properties atau aktifitas antibakteri atau antiviral. Sekali kuman tertelan

oleh makropag jika tidak mati akan dieliminasi melalui antara mucociliary

elevator atau melalui system limfatik sehingga tidak merupakan ancaman

lagi. Hanya jika kemampuan makropag alveolar untuk menelan atau

membunuh kuman terlampaui maka akan terjadi pneumonia secara klinis.

Pada situasi demikian makropah alveolar akan memperkuat pertahanan

saluaran nafas bawah. Respon inflamasi tubuh tampak lebih dibanding

faktor proliferasi kuman patogen dalam memicu sindroma klinis pneumonia.

Dilepaskannya mediator inflamasi seperti interleukin (IL)-1 dan tumor

necrosis factor (TNF) akan menyebabkan demam. Chemokines seperti IL-8

dan granulocyte colony-stimulating factor, akan menstimulasi pelepasan

neutrophil dan tertarik bergerak ke paru, menyebabkan leukositosis perifir

dan meningkatnya secret yang purulen. Mediator inflamasi yang dilepaskan

makropag alveolar dan neutrofil yang baru terekrut akan menyebabkan

alveolar capillary leak seperti pada acute respiratory distress syndrome

(ARDS), namun pada pneumonia kebocoran tersebut bersifat local. Eritrosit

bahkan bisa melewati alveolar-capillary membrane, dengan akibat terjadi

hemoptisis. Kebocoran kapiler akan tampak pada gambaran infiltrat pada

radiografi dan terdeteksi melalui auskultasi akan terdengar rales, dan

hipoksemia. Efek lokal dari cellular influx, produksi sitokin, dan

meningkatnya alveolar capillary permeability menyebabkan penurunan

ventilasi dan menurunnya compliance paru. Ventilation-perfusion mismatch

mayor terjadi dengan peningkatan righ-to-left shunting sesuai perburukan

konsolidasi. Hipoksia pada pneumonia berat menyebabkan pulmonary

vasoconstriction. Meningkatnya respiratory drive akan menyebabkan

alkalosis respirasi. Menurunnya compliance akibat kebocoran kapiler,

hipoksemia, meningkatnya respiratory drive, meningkatnya sekresi, dan

Page 34: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

30

kadang kadang infection-related bronchospasm semuanya menyebabkan

sesak nafas. Pada kasus berat perubahan perubahan sekunder pada

mekanik paru mengarahkan penyusutan volume paru dan compliance paru

dan intrapulmonary shunting dapat menyebabkan kematian.

Daftar pustaka

Mason CM, Summer WR. Respiratory Infection In: Ali J, Summer WR,

Levitzky, eds. Pulmonary Pathophysiology. 3rd

ed. New york, McGraw-Hill

company: 2010:166-86

Mandell LA, Wunderink R. Pneumonia. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL,

Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons Pulmonary and

Critical Care Medicine. 17th

eds. New York, McGraw-Hill company:2010:99-

114

Page 35: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

31

DIAGNOSIS PNEUMONIA

I Gede Ketut Sajinadiyasa

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Pneumonia suatu penyakit infeksi pada parenkim paru yang dapat

disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur. Pneumonia merupakan penyebab

morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada pasien dewasa utamanya

pasien usia lanjut.1 WHO tahun 2011 melaporkan bahwa infeksi saluran

napas bawah termasuk penumonia menempati urutan ke tiga sebagai

penyebab kematian di dunia., setelah penyakit jantung iskemik, stroke.2 Di

Eropa pneumonia sebagai penyebab kematian utama oleh karena infeksi,

dengan sekitar 90% kematian terjadi pada lansia > 65 tahun.3

Kelompok yang berisiko untuk terjadinya pneumonia diantaranya

individu dengan usia lebih dari 65 tahun, merokok, malnutrisi, memiliki

penyakit paru sebelumnya seperti fibrosis kistik, asma, PPOK, juga penyakit

seperti diabetes, penyakit jantung, adanya kondisi depresi imun seperti

terinfeksi HIV, transplantasi organ, kemoterapi dan pengunaan steroid

jangka lama. Risiko juga dijumpai pada pasien dengan reflek batuk yang

kurang baik seperti pasien stroke, minum obat tidur atau penenang,

alkoholik dan mobilitas yang terbatas serta orang-orang yang sering

terinfeksi saluran napas atas.3

Page 36: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

32

Untuk kepentingan terapi pneumonia dibedakan dalam dua

golongan besar yaitu pneumonia komunitas (CAP; Community Acquired

Pneumonia) dan pneumonia nosokomial, yang terdiri atas HAP( Hospital

Acquired Pneumonia), HCAP; (Healht Care Associated Pneumonia) dan VAP; (

Ventilator Associated Pneumonia).1,4

Untuk menurunkan beban pneumonia terhadap upaya kesehatan

tentu diperlukan penanganan yang tepat dan akurat dan untuk mencapai

tujuan tersebut sudah tentu diperlukan diagnosis yang benar. Bagaimana

menegakkan diagnosis pneumonia dipaparkan pada tulisan ini.

Pendekatan Diagnosis Pneumonia

Dalam menegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan dengan

pemeriksaan klinis dan beberapa pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang baik sudah dapat memberikan dugaan diagnosis yang

baik dan untuk memastikan diagnosis dilanjutkan dengan pemeriksaan

radiologi dan laboratoris. 1,4,5

Gejala dan tanda klinis

Gejala yang umumnya didapatkan pada pasien dengan pneumonia

adalah deman disertai dengan gejala respiratorik seperti batuk, sesak napas,

berdahak dan nyeri pluritik. Pasien dengan pneumonia sering juga mengeluh

lemah, adanya gejala gastrointesinal dan kringat malam. Kadang-kadang

gejala yang tidak spesifik sering ditemukan. Pemeriksaan fisik pada pasien

dengan pneumonia menunjukkan demam lebih dari 80% kasus, ronki pada

Page 37: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

33

auskultasi pada 80% kasus dan tanda konsolidasi ditemukan pada 15-30%

kasus. Pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis pneumonia adalah

pemeriksaan rontgen dada. 1,4,5

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan rongent dada posterioanterior dan lateral seharusnya

dikerjakan untuk pasien dengan suspek pneumonia. Pada rontgen dada

umumnya akan tampak bayangan opasitas/infiltrat focal ataupun difus. Dan

umumnya bayangan opasitas baru akan tampak setelah 12 jam adanya

gejala. Dan bila rontgen dada dilakukan lebih cepat maka bayangan opasitas

atau adanya infiltrat sering tidak akan ditemukan. Pada pasien dengan

kondisi imunosupresi terutama pada keadaan netropenia, diabetes,

alkoholik dan uremik gambaran infiltrat akan tampak lebih lambat.

Gambaran lain yang juga ditemukan pada rontgen dada pasien pneumonia

adalah adanya gambaran air bronchogram, tanda silhouette, efusi pleura

(parapneumonic effusion) dan komplikasi dari pneumonia seperti abses paru

dan atelektasis. Temuan gambaran rontgen dada yang berhubungan dengan

peningkatan mortalitas adalah efusi pleura bilateral dan pneumonia

multilobar. 5,6,7

CT scan dada mulai banyak digunakan pada praktis klinis.

Penggunaan ct scan untuk pneumonia digunakan secara terbatas. Ct scan

merupakan cara yang sensistif, resolusi sangat baik, dapat menunjukan

anatomi paru yang lebih rinci. Adanya nodul, opasitas ground-glass,

Page 38: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

34

konsolidasi, air bronchogram dan distribusi sentrilobuler atau perilobuler

dengan ct scan tampak lebih jelas dibanding foto rontgen biasa. Ct scan

sangat baik dalam mengevaluasi awal penyakit dan sangat baik dalam

menentukan batas kelainan patologis dimana konsolidasi belum komplit.

Opasitas ground-glass didefinisikan sebagai peningkatan atenuasi paru yang

terlokalisir dan terlihatnya struktur vaskuler pada daerah paru yang terkena.

Ground glass bukan merupakan tanda yang spesifik pada pneumonia juga

dapat dijumpai pada penyakit alveolar dan interstisial. Walaupun ct scan

tidak di rekomendasikan untuk evaluasi awal namun dapat sebagai

pemeriksaan tambahan pada kondisi pasien yang tidak mengalami

perbaikan atau yang tidak terdiagnosis dengan pemriksaan radiologi

konvensional.6,7

USG Toraks. Pada kondisi tertentu USG toraks memiliki keuntungan

dibanding foto rontgen dada terutama untuk pasien hamil , pasien-pasien

yang tidak stabil dan anak-anak. Namun USG ini sangat membutuhkan

tenaga yang sangat baik dan berpengalaman. Bererapa studi USG toraks

untuk mendiagnosis pneumonia memiliki sensitifitas sampai 98% dan

spesifisitas 95%. Konsolidasi akan terlihat sebagai daerah yang hipoekoik

pada jaringan paru sedangkan adanya gambaran hiperhekoik didalamnya

dapat diakibatkan oleh adanya udara dalam bronkus yang disebut

ultrasound air bronchogram. Gelembung udara tersebut akan terlihat

bergerak selama respirasi sedang daerah konsolidasi tidak berubah.8,9,10

Pemeriksaan laboratorium

Page 39: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

35

Untuk penegakkan diagnosis klinis pneumonia pemeriksaan

laboratorium tidak banyak dilakukan. Pemeriksaan darah lengkap untuk

mengetahui jumlah leukosit, dimana jumlah leukosist salahsatunya yang

dipergunakan dalam kriteria diagnosis pneumonia. Pemeriksaan

laboratorium lainya lebih diperlukan dalam menentukan diagnosis etiologik

dan data resistensi kuman serta melihat adanya komplikasi.1,4,5

Pemeriksaan mikroskopis dari sputum memiliki peran yang cukup penting

dalam evaluasi pasien dengan pneumonia. Kualitas sputum harus baik bila

tidak akan memberikan informasi yang tidak akurat. Sebagian besar

pneumonia bakterial akan dijumai sel PMN lebih banyak pada sputumnya

sedangkan pada mikoplasma dan virus akan dijumai sedikit sel PMN dan

lebih banyak mononuklear. Pneumokokus, stapilokokus dan gram negatif

basil tampak sebagai populasi bakteri yang homogen sedangkan pada

pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri campuran dari orofaring

akan tampak morfologi bakteri yang berbeda. Baketri legionela tidak dapat

dilihat dari pemeriksaan sputum smear biasa. Bakteria mikoplasma dan virus

tidak dapat terlihat dengan mikroskopis biasa dan dominan hanya sel

mononuklear sebagai respon inflamasi.1,4

Selain pengecatan gram, pemeriksaan kultur sputum juga sering dikerjakan,

tetapi beberapa kuman sulit tumbuh dan untuk legionela diperlukan media

kuhusus. Bila dahak tidak didapatkan dari batuk spontan dan diagnosis

etiologi harus diketahui maka dapat dilakukan bronkoskopi, aspirasi jarum

pada paru, biopsi paru. Pengecatan gram dan kultur sputum rutin tidak

Page 40: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

36

dapat digunakan untuk kuman: mikoplasma, klamidofilia dan legionella.

Kadang-kadang diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi dengan

adanya peningkatan titer antibodi dari organisme penyebab pneumonia.

Metode lainya seperti direct fluorescent antibody staining dan urinary

antigen radioimmunoassay hanya untuk legionella pneumophila. Metode

PCR dapat memeriksa ketiga kuman tersebut diatas dan metode PCR ini

merupakan harapan dimasa depan. Pemeriksaan laboratorium lainnya

seperti analisa gas darah untuk menilai adanya komplikasi apakah ada

hipoxsemia atau adanya kegagalan respirasi.1

Gambar 1. Alur diagnosis infeksi saluran napas bawah.6

Page 41: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

37

Kriteria diagnosis

Seperti telah disebutkan di atas bahwa pneumonia dapat ditegakan

berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Adapun kriteria yang umum digunakan untuk menegakkan diagnosis klinis

pneumonia adalah jika pada foto rontgen dada ditemukan infiltrat baru atau

infiltrat yang progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala dibawah ini:4,11

1. Batuk-batuk bertambah berat

2. Perubahan karakteristik dahak / riwayat demam

3. Suhu tubuh ≥ 37,50C atau riwayat demam

4. Pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi dan ronki

5. Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500

Sedangkan untuk mendiagnosis atau kriteria pneumonia berat bila dijumpai

salah satu atau lebih kriteria di bawah ini.12

Kriteria minor:

1. Frekuensi napas ≥ 30 kali per menit

2. PaO2/FiO2 ≤250

3. Infiltral multilobuler

4. Kesadaran menurun / disorientasi

5. Uremia (kadar BUN, ≥ 20 mg/dL)

6. Leukopenia (jumlah leukosit < 4000 sel/mm3)

7. Thrombositopenia (jumlah platelet < 100,000 sel/mm3)

8. Hipotermi (temperatur < 300C)

9. Hipotensi yang membutuhkan resusitasi cairan yang agresif

Page 42: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

38

Kriteria mayor:

1. Membutuhkan ventilator mekanik invasif

2. Shok septik yang membutuhkan vasopresor

Ringkasan

Dalam menegakkan diagnosis pneumonia pada dasarnya sama

dengan menegakkan diagnosis penyakit pada umumnya. Diagnosis

pneumonia ditegakkan melalui proses anamnesis, pemeriksaan fisik dan

kemudian pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang kemudian terbentuk suatu kriteria klinis

diagnosis pneumonia yaitu : adanyanya infiltrat baru atau adanya infiltrat

yang progresif pada foto rontgen dada yang disertai dua atau lebih gejala

dibawah ini:

1. Batuk-batuk bertambah berat

2. Perubahan karakteristik dahak / riwayat demam

3. Suhu tubuh ≥ 37,50C atau riwayat demam

4. Pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi dan ronki

5. Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500 sel/mm3

Daftar pustaka

1. Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Pneumonia. In Principles of

Pulmonary Medicine. edition 5th saunders Elsevier Philadelphia

2008. p283-305

Page 43: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

39

2. Gigson J, Loddenkemper R, Sibille Y, Lundback B. The burden of

lung disease. In The European Lung white book . European

Respratory society, Charlesworth Press UK 2013.p2-15

3. Torres A, Peetermans WE, Viegi G, Blasi F. Risk factors for

community-acquired pneumonia in adults in Europe: a literature

review. Thorax 2013;68:1057-1065

4. Bartlett JG. Management of Respiratory tract Infectionn edisi 3rd

Lippincott Williams & Wilkins Philadelphia 2001. p1-122

5. Watkins R, Lemonovic T. Diagnosis and Management of

Community-Acquired Pneumonia in Adults Am Fam Physician

2011;83(11):1299-1306.

6. Franquet T. Imaging of pneumonia: trends and algorithms, Eur

Respir J 2001; 18: 196–208.

7. Nambu A, Ozawa K, Kobayashi N, Tago M. Imaging of community-

acquired pneumonia: Roles imaging examinations, imaging

diagnosis of specific pathogens and discrimination from

noninfectious diseases. World J Radiol 2014; 6(10): 779-793

8. Chavez MA, Shams N, Ellington LE, Naithani N, Gilman RH,

Steinhoff MC, Santosham M, Black RE, Price C, Gross M, Checkley

W. Lung ultrasound for the diagnosis of pneumonia in adults: a

systematic review and meta-analysis. Respiratory Research 2014;

15: 50

Page 44: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

40

9. Blavias M. Lung Ultrasound in Evaluation of Pneumonia. J

Ultrasound Med 2012; 31: 823-826

10. Edward S, Kapil R. Ultrasound in the diagnosis and management of

pneumonia. Current opinion in infectious diseases. 2016; 29: 223-

228

11. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,

Pneumonia didapat di Masyarakat, inRani AA, Soegondo S, Nazir

AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjorer A editor, Panduan Pelayanan

Medik, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta 2006,

hal.90-99

12. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD,

Dean NC, Dowell SF, File Jr. TM, Musher DM, Niederman MS, Torres

A, and Whitney CG.IDSA/ATS consensus guidelines on the

management of community-acquired pneumonia in adults. CID

2007;44:S27 – S72

Page 45: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

41

Tatalaksana Pneumonia pada Dokter Layanan Primer

Ida Bagus Nguran Rai

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

PENDAHULUAN

Batuk akut dan gejala saluran respirasi bawah merupakan alasan

untuk datang ke fasilitas kesehatan primer. Yang termasuk infeksi saluran

napas bawah antara lain bronkitis dan pneumonia. Bronkitis sering

disebabkan oleh virus, sedangkan pneumonia merupakan kondisi serius

yang memerlukan antibiotika. Pneumonia adalah keradangan parenkim paru

yang dapat menyebabkan kelainan difusi dan memiliki angka mortalitas yang

tinggi. Infeksi saluran napas bawah termasuk pneumonia menduduki urutan

ke-3 dari 30 penyebab kematian di dunia. Di Amerika, rerata insidens

tahunan adalah 6 per 1000 pada kelompok umur 18 – 39 tahun dan

meningkat menjadi 34 per 1000 pada kelompok umur di atas 75 tahun.

Sekitar 20 – 40 % pasien pneumonia komunitas memerlukan perawatan

rumah sakit dan sekitar 5 – 10 % memerlukan perawatan intensif. Di

Indonesia pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di

rumah sakit dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan,

dengan crude fatality rate (CFR) 7,6%, paling tinggi bila dibandingkan

penyakit lainnya. 1,2

Dokter di fasilitas kesehatan primer sering dihadapi dengan

masalah identifikasi dan tatalaksana pneumonia. Berdasarkan sumber

Page 46: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

42

infeksi, jenis pneumonia yang terdiagnosis pada layanan primer adalah

pneumonia komunitas (CAP) dan pneumonia terkait pelayanan fasilitas

kesehatan (HCAP). Pada penelitian di Belanda, 79 % kasus pneumonia

komunitas terdiagnosis di dokter layanan primer. Diagnosis dan keputusan

untuk merujuk ke rumah sakit didasari dengan penilaian klinis dan sistem

penilaian derajat keparahan. Penilaian riwayat penyakit serta klinis penting

untuk menentukan terapi antibiotika yang tepat dan adekuat.3

DIAGNOSIS PNEUMONIA

Pneumonia didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta

radiologi. Diagnosis pneumonia ditegakkan jika pada foto toraks terdapat

infiltrat baru maupun progresif, ditunjang dengan leukositosis atau

peningkatan marker infeksi. Pada layanan primer, sering kali pasien datang

tidak membawa hasil radiologi maupun penunjang, sehingga dokter

diharapkan dapat menggali riwayat gejala pasien dengan cermat. Gejala

yang mengarah pada kecurigaan pneumonia antara lain:

1. Batuk bertambah

2. Perubahan karakteristik dahak/purulen.

3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) atau riwayat demam.

4. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda konsolidasi, dan

ronki.

Page 47: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

43

Tanda konsolidasi pada pemeriksaan fisik paru antara lain:

Inspeksi : Terlihat bagiam yang sakit tertinggal saat bernapas.

Palpasi : fremitus meningkat pada bagian yang sakit.

Perkusi : redup di bagian yang sakit.

Auskultasi : Terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang

dapat disertai ronki.1,4

Pneumonia komunitas adalah infeksi di parenkim paru pada pasien

tanpa riwayat rawat inap atau tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang

lebih dari 2 minggu. Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia

komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor antara lain

PORT, CURB 65, SMARTCOP, atau CRB 65. Fasilitas kesehatan primer

memiliki keterbatasan dalam penilaian derajat keparahan pneumonia,

karena ketiadaan fasilitas laboratorium penunjang, sehingga sistem skor CRB

65 merupakan pilihan yang sesuai. Sistem skor CRB65 merupakan parameter

yang baik untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko kematian yang

rendah dan tidak memerlukan rawat inap.1

British Thoracic Society (BTS) membuat skor CRB65 berdasarkan

data parameter yang menyangkut:

Confusion (gangguan kesadaran) berdasarkan Uji Mental dengan

skor ≤ 8, atau disorientasi orang, tempat atau waktu yang baru saja

muncul.

Peningkatan Respirasi ≥30 kali/menit

Page 48: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

44

Hipotensi (Blood Pressure) diastolik ≤ 60 mmHg, atau sistolik < 90

mmHg.

Usia 65 tahun atau lebih

Masing-masing gambaran di atas diberi skor 1 poin sebagai pedoman

menentukan penderita pneumonia menjalani rawat inap atau rawat jalan.

Jumlah poin tersebut adalah sebagai berikut:

0: penderita cukup menjalani rawat jalan

1-2: dipertimbangkan untuk menjalani rawat inap

3-4: harus segera menjalani rawat inap.5,6,7

Pneumonia terkait pelayanan fasilitas kesehatan (Health Care

Associated Pneumonia – HCAP) memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi

karena bakteri penyebabnya merupakan patogen yang resisten terhadap

antibiotika. Pasien dengan gejala pneumonia dengan kriteria HCAP harus

segera dirujuk dan menjalani rawat inap. Kriteria pasien dengan HCAP

antara lain pasien yang menjalani rawat inap sebelumnya dalam 90 hari

terakhir, tinggal di panti jompo atau fasilitas perawatan jangka panjang di

luar rumah sakit, atau pernah mendapat antimikroba parenteral,

kemoterapi, atau perawatan luka dalam 30 hari.

Page 49: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

45

TATALAKSANA PASIEN RAWAT JALAN

Tatalaksana pasien yang menjalani rawat jalan antara lain:

1. Istirahat di tempat tidur

2. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

3. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas

4. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran

5. Pemberian antibiotika kurang dari 8 jam, dengan pilihan terapi

empiris antara lain:

Pada pasien yang sebelumnya sehat, tidak mendapatkan terapi

antibiotika dapat diberikan macrolide atau doxicyclin. Sedangkan

pada pasien dengan riwayat antibiotika sebelumnya diberikan

golongan fluorokuinolon tunggal atau golongan beta laktam +

makrolid generasi terbaru.1,4,5

TIPS

Dokter di fasilitas kesehatan primer sering dihadapi dengan masalah

identifikasi dan tatalaksana pneumonia karena seringkali pasien datang

tanpa membawa penunjang radiologis maupun laboratorium, sedangkan

pneumonia membutuhkan terapi antibiotika segera agara tidak terjadi

mortalitas. Berikut adalah tips untuk mendiagnosis dan manajemen pasien

pneumonia.

Page 50: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

46

1. Pasien dengan gejala batuk bertambah, dahak purulen, demam

tinggi, serta gejala konsolidasi mengarahkan dokter pada gejala

pneumonia.

2. Berdasarkan sumber infeksi, jenis pneumonia yang terdiagnosis

pada layanan primer adalah pneumonia komunitas (CAP) dan

pneumonia terkait pelayanan fasilitas kesehatan (HCAP).

3. Pada pneumonia komunitas keputusan untuk merujuk ke rumah

sakit didasari dengan penilaian klinis dan sistem penilaian derajat

keparahan dengan skor CRB 65. Pemberian antibiotika empiris

dipilih berdasarkan riwayat antibiotika sebelumnya.

4. Pasien dengan kriteria HCAP harus dirujuk untuk menjalani rawat

inap.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia komunitas

pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia 2014.

2. Hoare Z, Lim WS. Pneumonia: update on diagnosis and

management. BMJ 2006; 332 (7549): 1077-1079.

3. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell DG,

Dean NC, Dowell SF, File TM, Musher DM, Niederman MS, Torres

A, Whitney CG. Management of community-acquired pneumonia

in adults. Clinical Infectious Diseases 2007; 44: S27–72.

Page 51: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

47

4. Snijder EP, Hoek W, Stirbu I, Sande MAB, Gageldonk-Lafeber AB.

General practitioners’ contribution to the management of

community acquired pneumonia in the Netherlands: a

retrospective analysis of primary care, hospital, and national

mortality databases with individual linkage. Primary Care

Respiratory Journal 2013; 22: 400-405.

5. British Thoracic Society. Guidelines for the management of

community acquired pneumonia in adults: update 2009. THORAX,

2009; 64: 1-61.

6. Akram AR, Chalmers JD, Hill AT. Predicting mortality with severity

assessesment tools in out-patients with community-acquired

pneumonia. Q J Med 2011; 104: 871-879.

7. McNally M, Curtain J, O;Brien K, Dimitrov BD, Fahey T. Validity of

British Thoracic Society guidance (the CRB-65 rule) for predicting

the seveity of pneumonia in general practice: systematic review

and meta-analysis. British Journal of General Practice, 2010: 423-

433.

Page 52: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

48

Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas

Ida Bagus Suta

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Infeksi saluran napas bawah atau pneumonia adalah proses

keradangan akut parenkim paru . Pneumonia yang terjadi di masyarakat / di

luar rumah sakit dikenal sebagai Pneumonia Komunitas ( PK ) / Community

Aequired Pneumonia ( CAP ), sedangkan pneumonia yang terjadi 72 jam

atau lebih setelah masuk RS dikenal sebagai Pneumonia Nosokomial /

Hospital Aequired Pneumonia (HAP ) Pneumonia disebabkan oleh berbagai

macam sebab, meliputi infeksi karena bakteri, virus,jamur atau parasit. 1.2

Pneumonia Komunitas ( PK ) adalah penyakit yang sering terjadi

dan cenderung menjadi berat dan salah satu penyakit infeksi dengan angka

kematian yang tinggi. Di AS pneumonia menempati urutan ke-6 penyebab

kematian dan merupakan penyebab kematian yang pertama pada penyakit

infeksi. Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komunitas banyak

disebabkan bakteri gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini

laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang

ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komunitas adalah

bakteri gram negatif. 5,6,7,8

Di Indonesia pnemonia menempati urutan ke-3

setelah penyakit kardiovaskuler dan TB Paru.2.3.4

Page 53: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

49

Pneumonia Komunitas (PK) terus menjadi masalah kesehatan

utama meskipun sudah ada antimikroba yang ampuh. Dampak medis dan

ekonomi pneumonia pada masyarakat semakin besar dan meningkat,

sehingga rumah sakit dan dokter ditantang untuk memberikan standar tinggi

perawatan dengan cara yang hemat biaya.

Dalam penatalaksanaan pneumonia beberapa masalah harus

dipertimbang kan antara lain: indikasi perawatan (rawat jalan/rawat inap)

yang dihubungkan dengan resiko kematian, patogen baru, masalah

pemilihan antibiotika dan resistensi kuman, switch therapy, pneumonia

pada keadaan khusus seperti pada pecandu narkoba, penderita

HIV/AIDS.4.5.6

Makin kompleknya pengetahuan dan perkembanagn ilmu dalam

masalah infeksi paru memerlukan pemahaman yang mendalam oleh para

klinisi sebelum memutuskan untuk memberikan atau tidak memberikan

antibiotik serta pemilihan antibiotik yang akan digunakan dengan harapan

kesembuhan penderita dengan biaya yang memadai serta tidak

menimbukan resistensi kuman terhadap antibiotika7.8.9

.

Manifestasi Klinis

Gejala yang didapatkan pneumonia antara lain demam, menggigil,

nyeri dada, dan batuk. Batuk mungkin tidak produktif pada awal penyakit,

selanjutnya menjadi produktif dengan dahak berwarna kekuningan atau

bernanah dan kadang-kadang bercampur darah. Pada pasien dengan abses

Page 54: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

50

paru (infeksi anaerob), mungkin memiliki bau busuk. Pada orang tua akan

didapatkan gejala yang gejala yang lebih ringan dibandingkan pasien lebih

muda. 1.10.11

Atas dasar gambaran klinis yang berbeda, dikenal bakterial

pneumonia/typical pneumonia dan atipikal pneumonia. Pneumonia atipikal

ditandai dengan gejala penyakit yang lebih ringan dengan batuk yang tidak

produktif atau batuk dengan dahak berlendir saja.8.9.11.13.

Gejala non-respirasi seperti sakit kepala, mual, muntah, sakit perut,

diare, myalgia, dan arthralgia merupakan gejala umum pada pasien dengan

pneumonia terutama pada PK yang disebabkan oleh kuman atipikal

Diagnosis Etiologi

Pneumonia merupakan tantangan bagi para klinisi, karena etiologi

pneumonia tidak dapat ditentukan dari pemeriksaan klinis dan data

pemeriksaan mikrobiologis belum tersedia setidaknya selama 48 jam.

Bahkan isolasi kuman dari dahak, tidak dapat dipastikan bahwa kuman itu

adalah organisme yang menyebabkan pneumonia, karena kemungkinan

kontaminasi kuman pada saluran napas bagian atas. Tidak ada test

laboratorium tunggal yang dapat menentukan semua patogen potensial,

dan masing-masing test mempunyai keterbatasan. Disamping itu banyak

penelitian melaporkan bahwa penderita PK bisa disebabkan oleh campuran

infeksi ( mixed infection ) meliputi bakteri dan kuman atipik. Peranan kuman

atipik masih kontrofersial karena keberadaan kuman tersebut sangat

Page 55: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

51

tergantung dari test diagnostik dan kriteria yang dipergunakan, dan belum

jelas benar apakah kuman tersebut menginfeksi bersamaan dengan bakteri

patogen ataukah merupakan infeksi awal yang kemudian menjadi

predisposisi infeksi bakterial sekunder. Sebagian besar PK baik yang rawat

jalan maupun rawat inap disebabkan atas S. Pneumonia 2.5.12

.

ATS Guidelines for CAP in Adults 2001 mengelompokkan penderita

pneumonia sesuai tempat perawatan menjadi group I : outpatients, no

cardiopulmonary diseasen no modifying factors. Group II : outpatient, with

cardiopulmonary disease, and / or other modifying factors group II :

outpatient, with cardiopulmonary disease, and / or other modifying factors

groupIII : inpatients, not in icu table 5. group IV : icu-admitted patients

dengan 4 kuman utama yaitu S. Pneumoniae,,H. Influenzae, M.

pneumoniae,,C. Pneumoniae.dan pada group IV kemungkinan adanya

P.Aeruginosa.2.

IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults 2007 mengelompokkan

kuman penyebab pneumonia sesuai dengan pengelompokan perawatan

penderita apakah rawat jalan, rawat inap di ruangan biasa atau rawat inap

di ICU dengan bakteri utama adalah Streptococcus pneumoniae,

Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Chlamydophila

pneumoniae. Sedangkan bakteri utama pada kelompok penderita rawat inap

di ICU adalah S. Pneumoniae,Staphylococcus aureus,,Legionella species,

Gram-negative bacilli, H. Influenzae., serta perhatian khusus pada bakteri

Pseudomonas dan MRSA (Tabel 1)5

Page 56: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

52

Terjadinya Drug Resisten Pneumococcus Pneumoniae (DRSP)

semakin meningkat di AS dan beberapa negara lainnya.12.13

Faktor resiko

untuk terjadinya infeksi DRSP adalah umur > 65 tahun, terapi -lactam

dalam 3 bulan terakhir, penderita imunosupresif. Faktor resiko terjadinya

infeksi oleh bakteri gram negatif adalah adanya penyakit kardiopulmoner,

pemakaian antibiotik sebelumnya dan penderita dari panti jompo ( nursing

home) sedangkan faktor resiko terjadinya infeksi oleh P. Auriginosa meliputi

penyakit paru struktural, menapat terapi kortikosteroid, terapi antibiotika

spektrum luas, dan malnutrisi. 10.12.14

Secara epidemiologis diketahui bahwa pada keadaan tertentu atau

pada kelainan struktural paru yang spesifik biasanya didapatkan kuman

patogen yang khas, misalnya pada penderita PPOK sering akan dIjumpai

bakteri S. pneumoiae, gram-negative bacilli, H. influanzae, Staphylococcus

oureus, anaerobes Chlamydia (Tabel 2) 5.14.16

Table 1. Most Common Etiologies Of Community-Acquired

Pneumonia.

Patient type Etiology

Outpatient Streptococcus pneumoniae

Mycoplasma pneumoniae

Haemophilus influenzae

Chlamydophila pneumoniae

Page 57: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

53

Respiratory virusesa

Inpatient (non-ICU) S. pneumoniae

M. pneumoniae

C. pneumoniae

H. influenzae

Legionella species

Aspiration

Respiratory virusesa

Inpatient (ICU) S. pneumoniae

Staphylococcus aureus

Legionella species

Gram-negative bacilli

H. influenzae

IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44 (Suppl 2)

Penilaian Keparahan Penyakit dan Tempat Perawatan

Setelah diagnosis pneumonia dibuat, maka pertimbangan

berikutnya yang harus diputuskan segera adalah tempat perawatan

penderita apakah penderita perlu rawat jalan poliklinis, perawatan di

rumah sakit atau perawatandi ruang intensif (ICU) . Keputusan untuk

menentukan tempat perawatan penderita merupakan keputusan yang

Page 58: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

54

sangat penting bagi seorang dokter. Penelitian menunjukkan bahwa adanya

faktor resiko akan meningkatkan angka kematian dan resiko terjadinya

komplikasi. Keputusan untuk rawat inap penderita PK lebih ditekankan

untuk observasi ketat pada awal perjalanan penyakit.2.6

Walaupun demikian

sebagian besar masyarakat mengharapkan agar penderita tetap dapat rawat

jalan sesuai dengan faktor sosio-ekonomi. Oleh karena itu sangat penting

untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memprediksi perkembangan

pneumonia selanjtnya. Beberapa pedoman klinis yang dapat memprediksi

mortalitas telah dikembangkan yang sering dipakai pegangan untuk

memutuskan tempat perawatan penderita yaitu Pneumonia Severity Index

(PORT Score) dan CURB-65 (confusion; urea; respiratory rate; blood

pressure; age ≥65 years). 5.9.16

TABEL 2. Epidemiologic Conditions Related To Specific Pathogens In Patients With Community-Acquired Pneumonia

Condition Commonly Encountered Pathogens

Alcoholism

COPD / smoker

Nursing home residancy

Streptococcus pneumoniae ( including

DRSP ), anaerobes, gram-negative

bacilli, tuberculosis

S. pneumoniae, Hemophilus

influenzae, Moraxella catarhalis,

Legionella

S. pneumoiae, gram-negative bacilli, H.

influanzae, Staphylococcus oureus,

anaerobes Chlamydia pnemoniae,

Page 59: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

55

Poor dental hygiene

Expidemic Legionnaire’s

disease

Exposure to bats

Exposure to birds

Exposure to rabbits

Travel tosouthwest United

States

Exposure to farm animals or

parturient cats

Influenza active in community

Suspected large-volume

aspiration

Structural disease of lung

( bronchiectasis, cystic fibrosis,

etc )

Injection drug use

Endobronchial obstruction

Recent antibiotic therapy

tuberculosis

Anaeroes

Legionella species

Histoplasma capsulatum

Chlamydia psittaci, Cryptococcus

Neoformans, H. capsulatum

Francisella tularensis

Coccidioidomycosis

Coxiella burnetii ( Q fever )

Influenza, S.pneumoniae, S. aures, H.

influenza

Anareobes, chemical pnemonitis, or

obstruction

P. auruginosa, pseudomonas

cepacia,or S.aureus

S. aeures, anareobes, tuberculosis,P.

carinii

Anaerobes

Drug-resistent pneumococci, P.

Aeruginosa

Am J Respir Crit Care med 163, 2001

Page 60: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

56

Pada pedoman PSI penderita pneumonia dibagi 5 strata yaitu klas I

– V. pada klas I – III mortalitasnya < 1%, pada klas IV menjadi 9% dan pada

klas V mortalitasnya menjadi 27%. Penderita klas I – II dapat dirawat di

rumah/rawat jalan, klas III mungkin memerlukan observasi sebelum

diputuskan akan dirawat di ruangan yang sesuaidan dan klas klas IV dan V

mungkin memerlukan perawatan di ruangan/ICU. Pada pedoman CURB - 65

skor berkisar dari 0 – 5. Untuk skor 0 tingkat kematian adalah 0,7%; skor 1

adalah 3,2% ; 2 adalah 3%; 3 adalah 17%; skor 4 adalah 41,5%, dan skor 5

adalah 57%.

Walaupun sudah dibuat pedoman prediksi beratnya penyakit,

namun keputusan untuk perawatan penderita tetap merupakan seni

keputusan seorang dokter karena harus tetap memperhatikan faktor psiko-

sosio-ekonomi penderita.1.5.8

Faktor resiko yang meningkatkan mortalitas, morbiditas dan terjadinya

komplikasi a.l :

1. Usia diatas 65 tahun

2. Adanya penyakit dasar sebelumnya (co-morbid) seperti PPOK,

bronkiektasis, keganasan, DM, GGK, Payah Jantung Kongestif, penyakit

hati kronis, malnutrisi, penyakit serebrovaskuler, splenektomi, riwayat

rawat inap dalam tahun terakhir.

Page 61: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

57

3. Pemeriksaan fisik didapatkan : ferekwensi napas >30/mt; Tekanan

diastolik < 60 mmHg; frekwensi nadi 125/mt; tempratur 40C atau

35C, bingung (confused) atau penurunan kesadaran dan adanya lesi

infeksi ekstrapulmonal.

4. Laboratorium :

a. Leukosit < 4 x 109 / L atau > 30 x 10

9 / L.

b. Pa O2 < 60 mgHg, atau Pa CO2 > 50 mgHg.

c. Adanya gangguan fungsi ginjal : serum kreatinin > 1,2 mg / dl

atau BUN > 20 mg / dl.

d. Adanya kelainan foto-toraks seperti pneumonia multilobar,

adanya kavitas, gambaran radiology yang progresif dan adanya

efusi pleura.

e. Hematokrit < 30% atau Hb < 9 g / dl

f. Adanya tanda – tanda sepsis atau disfungsi organ yang

dicerminkan oleh asidosis motabolik atau adanya kuagulopati.

g. PH arteri < 7.35

Indikasi rawat inap adalah : 6

Orang tua > 65 tahun

Pasien dalam keadaan imunosupresi

Kesadaraan terganggu

Gangguan yang mengarah pada gagal jantung dan pernapasan.

Pneumonia Berat (Severe Pneumonia)2.6.15

Page 62: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

58

Peumonia berat secara klinik dianggap sebagai entity terpisah yang

harus dikenal segera karena tingginya angka kematian pada kelompok ini.

Walaupun tidak ada definisi yang secara universal disepakati, namun secara

sederhana adalah semua penderita pneumonia yang memerlukan

perawatan ICU.

Pada pneumonia berat dikenal 9 kriteria minor, 2 kriteria mayor.

Kriteria minor adalah : Frekwensi napas 30/mt, PaO2 / FiO2 < 250, bilateral

pneumonia atau multilobar pneumonia, bingung/disorientasi, Uremia (BUN

level, 20 mg/dL), Leukopenia (WBC count, !4000 cells/mm3),

Thrombocytopenia (platelet count, !100,000 cells/mm3), Hypotermia

(temperatur, <360C), Hypotension. Kriteria mayor adalah ventilation

mechanical dan Septic shock yang memerlukan vasopresor 5

Dari penelitian retrospektif diketahui bahwa penderita perlu

perawatan ICU apabila ada 3 kreteria minor ( tekanan sistolik < 90 mmHg,

infiltrat multi lober, PaO2/FiO2 <250), atau satu dari dua kreteria mayor (

perlu ventilasi mekanik atau septik syok ).

Indikasi rawat ICU 6:

Hipotensi ( tekanan sistolik < 90 mmHg )

Ancaman gagal napas ang mebutuhkan ventilasi mekanik

Hipoksemia ( PO2 < 60 mmHg )

Status hemodinamik yang tidak stabil

Gagal organ

Page 63: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

59

Perburukan penyakit yang merupakan ko-morbid

Gagal jantung, DM, PPOK

Pengobatan

Pada perinsipnya pengobatan PK meliputi pengobatan yang holistik

mencakup tindakan umum, koreksi terhadap kelainan yang ada dan

pemberian obat antiinfeksi. Tindakan umum bersifat simtomatis untuk

mengatasi demam tinggi, nyeri dada, pemberian nutrisi, rehidrasi,

memperbaiki ventilasi. Koreksi kelainan yang ada misalnya pada empiema,

diabetes melitus, gangguan metabolik, mengatasi syok septik. 5.16.17

Pemilihan Antibiotik 17.18.19

Pemilihan antibiotik dalam pengobatan PK tergantung dari

beberapa faktor seperti spektrum antibiotik, farkamotinetik, sensitivitas,

efek samping, dan harga obat. Pemilihan antibiotik dalam terapi emperik

PK hendaknya mempunyai aktivitas yang kuat terhadap S. Pneumoniae H.

Influenzae, M. Katarrhalis, L. Pneumophila, M. Pneumoniae dan C.

Pneumoniae. IDSA/ATS 2007 menganjurkan pemilihan antibiotik sesuai

dengan Tabel 3.

Makrolid yang dianjurkan adalah makrolid baru : roxitromocin, azitromicin,

claritomicin. Pengembangan fluorokuinolon yang disebut sebagai respiratory

quinolon atau fluorokuinolon generasi ke-4 yaitu kuinolon yang mempunyai

aktivitas lebih kuat terhadap S.Pneumoniae (temasuk yang resiten terhadap

penisilin), kuman aerob, kuman

Page 64: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

60

atipik atau kuman lain penyebab infeksi saluran nafas bawah

tampaknya akan menjadi antibiotik yang terpilih untuk engobatan

pneumonia. Fluorokuinolon tersebut adalah levofloksasin, moksifloksasin,

gatifloksasin, gemifloksasin.

Respon dan pemberian antibiotik awal

Pada dasarnya antibiotik awal secara emferik harus diberikan sedini

mungkin. Penelitian retrospektif menunjukkan adanya peningkatan angka

kematian yang berhubungan dengan keterlambatan pemberian

antibiotika terutama bila melampaui 8 jam. Hasil yang lebih baik bila

antibiotik diberikan kurang dari 4 jam setelah ditangani dokter atau

dirawat. Jadi pemberian antibiotka hendaknya segera diberikan setelah

dugaan peneumonia dibuat serta sebaiknya diberikan ketika pendeerita

masih ditempat penerimaan pertama seperti triage/UGD ataaupun di

poliklinik tanpa menunggu penderta sampai di ruangan.

Lama pemberian antibiotik belum ada kesepakatan yang pasti.

Penderita yang dirawat perbaikan klinik sudah dapat dilihat dalam 72 jam

pertama pengobatan. Selama ini kebiasaan pemberian antibiotik IV

umumnya selama 7 hari, namun dengan pergantian dini dari IV ke oral

akan memperpendek lama rawat inap yang akan menekan biaya

pengobatan. Switch therapy dari IV ke oral dapat dilakukan segera setelah

kondisi pasien stabil dan dapat menerima terapi oral dalam waktu 72 jam

setelah rawat inap. Lama pemberian antibiotik penderita PK yang

disebabkan dengan kuman gram positif antara 7-14 hari.5.18.19

Page 65: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

61

Dengan pemilihan antibiotik dan dosis yang cermat dalam pengobatan PK

diharapkan tidak akan terjadi kegagalan terapi. Apabila terjadi perburukan

maka analisis pertama yang dilakukan apakah diagnosis awal sudah benar.

Bila benar analisis berikutnya ditujukan kepada faktor host, antibiotik dan

patogen penyebab. Faktor host misalnya adanya obstruksi saluran napas,

respon imun yang tidak adekuat, atau super infeksi. Faktor obat meliputi

pemilihan obat yang salah, dosis yang tidak tepat, cara pemberian obat dan

efek samping; faktor patogen mungkin resisten obat atau bukan bakteri.

Penggantian antibiotika ke antibiotaka lainnya atau penambahan

antibiotoka kain dapat dibenarkan apabila perbaikan klinis tidak terjadi

dalam kurun waktu 1 – 2 hari.

Table 3. Recommended empirical antibiotics for communityacquired

pneumonia.

Outpatient treatment

1. Previously healthy and no use of antimicrobials within the previous 3

months

A macrolide (strong recommendation; level I evidence)

Doxycyline (weak recommendation; level III evidence)

2. Presence of comorbidities such as chronic heart, lung, liveror renal

disease; diabetes mellitus; alcoholism; malignancies; asplenia;

immunosuppressing conditions or use of immunosuppressing drugs; or use

of antimicrobials within the previous 3 months (in which case an alternative

from a

different class should be selected) A respiratory fluoroquinolone

(moxifloxacin, gemifloxacin, or

levofloxacin [750 mg]) (strong recommendation; level I evidence)

A b-lactam plus a macrolide (strong recommendation; level I evidence)

Page 66: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

62

3. In regions with a high rate (125%) of infection with high-level (MIC _16

mg/mL) macrolide-resistant Streptococcus pneumoniae, consider use of

alternative agents listed above in (2) for patients without comorbidities

(moderate recommendation; level III evidence) Inpatients, non-ICU

treatment

A respiratory fluoroquinolone (strong recommendation; level I evidence)

A b-lactam plus a macrolide (strong recommendation; level I evidence)

Inpatients, ICU treatment

A b-lactam (cefotaxime, ceftriaxone, or ampicillin-sulbactam) plus either azithromycin (level II evidence) or a respiratory fluoroquinolone (level I evidence) (strong recommendation) (for penicillin-allergic patients, a respiratory fluoroquinolone and aztreonam are recommended)

Special concerns

If Pseudomonas is a consideration

An antipneumococcal, antipseudomonal b-lactam (piperacillintazobactam, cefepime, imipenem, or meropenem) plus either ciprofloxacin or levofloxacin (750 mg)

or

The above b-lactam plus an aminoglycoside and azithromycin

or

The above b-lactam plus an aminoglycoside and an

antipneumococcal fluoroquinolone (for penicillin-allergic patients,

Page 67: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

63

substitute aztreonam for above b-lactam) (moderate

recommendation; level III evidence)

If CA-MRSA is a consideration,

add vancomycin or linezolid (moderate recommendation; level III

evidence)

IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44 (Suppl 2) • S45

NOTE. CA-MRSA, community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus

aureus; ICU, intensive care unit.

Terapi sulih ( Switch therapy) dan step down therapy2.5..6.19

Terapi sulih ( Switch therapy) adalah merubah pemberian antibiotik

IV ke oral yang sama efektifitasnya. Bila menggunaka antibiotik yang sama

dengan bentuk IV disebut step down therapi, bila mengganti ke antibiotik

oral lain (sefalosporin I.V ke makrolid oral) disebut sebagai sequential

therapy. Indikasi switch therapi adalah pada pasien yang memberikan

respon klinik yang cepat terhadap antibiotik IV.

Kriteria klinik terapi sulih ( Switch therapy) adalah 2.5.6.19

:

Tidak ada indikasi klinik untuk melanjutkan terapi IV

Tidak ada kelainan absorpsi saluran cerna

Avibril sekurang-kurangnya 8 jam

Gejala batuk dan sesak mereda

Hitung leukosit menurun

C-reactive protein kembali normal

Page 68: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

64

Ringkasan

Infeksi parenkim paru yang terjadi di masyarakat dikenal sebagai

Pneumonia Komunitas (Community-Acquired Pneumonia/CAP). Diagnosis

ditegakkan dengan riwayat kejadian penyakit yang akut, demam, batuk

dengan dahak yang purulen, sesak napas. Patogen penyebab pnemonia

sangat sulit ditentukan, tetapi secara epidemiologis doketahui bahwa pada

umumnya disebabkan oleh bakteri S. Pneumoniae, H. Influenzae, M.

Katarrhalis, L. Pneumophila, M. Pneumoniae dan C. Pneumoniae.

Penentuan tempat rawat penderita apakah rawat jalan, perawatan

di ruangan /bangzal, atau di ruangan intensif (ICU) sangat penting dalam

penatalaksanaan penderita serta efisiensi biaya perawatan. Severity of

illness score seperti CURB 65 (Confution, Uremic, Respiratory rate, low

Blood pressure, age 65 years or greater) atau PSI (Pneumonic Severity Index)

dapat dipergunakan dalam penentuan tempat perawatan penderita.

Dengan mengetahui kuman penyebab peneumonia secara eoideniologis,

pemilihan antibiotik secara emfirik diharapkan mampu mengatasi kuman

tersebut sehingga kesembuhan penderita tercapai.

Daftar Pustaka

1. Marei TJ.. Acut Bronchitis and Community Acquired Pneumonia, In Pulmonari Diseases ang Disorder. ED. Alfred P. Fishman, Fourth Edition. New York Chicago San Francisco Lisbon London. 2008; 2097-2114.

2. American Thoracic Society ( ATS ). Guidelines for Initial Management of Adult with Community-acquired Pneumonia:

Page 69: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

65

Diagnosis, Assessment of Severity, and Initial Antimcrobial Therapy and Prevention. Am. J. Respir Crit Care Med. 2001 ; 163 : 1730 – 1754

3. Winariani K. Infeksi Saluran Nafas bagian Bawah ( Pneumonia ). Diagnostik dan Pengobatan. PKB IV Ilmu Penyakit Paru 2000 : 17 – 31

4. Fine M J., Auble TE., Yealy DM. Et Al, A Prediction Rule To Identify Low-Risk Patients With Community Acquired Pneumonia, N Engl J Med 1997;336:243-50.

5. Mandel LA et al, Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44 (Suppl 2)

6. Menendez R et al. Guidelines for the Treatment of Community-acquired Pneumonia Predictors of Adherence and Outcome. Am J Respir Crit Care Med Vol 172. pp 757–762, 2005

7. Cunha B.A. Community-Acquired pneumonia. Diagnostic and terapeutic Approach. Medical Clinik of North America, 2001,85: 43-75

8. Fein A, Grossman R, Ost D, Farber B, Cassiere H. Community-Acquired Pneumonia. In : Diagnosis and Management of Pneumonia and Other Respiratory Infection. 1st. ed. Professional Communications, Inc. United States of America, 1999.

9. Mason CM. Pulmonary Host Defenses : Implication for Therapy. Clinics in Chest Medicine, Niederman MS .ed. W.B. Saunder Company, Philadelphia, 1999 : 475 – 488.

10. Godfrey S, Wilson R. Pneumonia, Martin Dunitz Ltd. London, 1996.

Page 70: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

66

11. Skerrett S.J. Diagnostic Testing for Cummunity Acquired Pneuminia. In Clinics in Chest Medicine, Niederman MS .ed. W.B. Saunder Company, Philadelphia, 1999 :531-548.

12. Lieberman D. Atypical Pathogens in Community – Acquired Pneumoni. Clinics in Chest Medicine, Niederman MS .ed. W.B. Saunder Company, Philadelphia, 1999 ; 20 : 469 – 497.

13. Harwell Jl, BrownRB. The Drug – Resistant Pneumococcus. Clinical Relevance, Therapy and Prevention. CHEST 2000 ; 117 : 530 – 341

14. Feldman C. Pneumonia in The Elderly. In : Clinics in Chest Medicine. Editor : Niederman MS.W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1999, p. 563 – 564

15. Bernstein JM. Treatment of Community – Acquired Pnemonia – IDSA Guideline. CHEST 1999; 115 : 9S – 13S

16. Ewig S, Torres A. Severe Community-Acquired Pnemonia. In : Clinics in Chest Medicine. Niederman MS, ed. WB Saunders Company, Phiadelphia, 1999, 575 – 587

17. Burgess DS. Phamacodynamic Principles of Antimicrobial Therapy in The Prevention of Resistance. Chest 1999 ; 115 : 19S – 23S

18. Mandell LA. Antibiotic Therapy for Community-Acquired Pneumonia. In: Clinics in Chest Medicine. Niederman MS, Ed. WB Sounders Companny, Philladelpia,1999: 589-596.

Page 71: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

67

Healthcare-associated Pneumonia (HCAP)

IGN Bagus Artana

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi utama yang

sering memerlukan perawatan di rumah sakit. Pneumonia masih menjadi

masalah kesehatan utama di bidang infeksi di seluruh dunia. Setengah

pasien yang dirawat inap dengan pneumonia adalah pneumonia komunitas.

Sedangkan lebih dari 20% kasus adalah HCAP. The American Thoracic

Society (ATS) and the Infectious Diseases Society of America (IDSA)

memberikan definisi HCAP berdasarkan temuan salah satu factor risiko:

riwayat rawat inap 2 hari atau lebih dalam 90 hari terakhir; menghuni panti

jompo/rumah perawatan (nursing home residents/NHR); terapi

intravena/infus di rumah; dialysis kronik dalam 30 hari; perawatan luka di

rumah; ada anggota keluarga dengan multidrug-resistant pathogen.1,2

Healthcare-associated pneumonia (HCAP) merupakan kondisi

tersendiri, terpisah baik dari CAP dan pneumonia nosocomial (VAP dan

HAP). Walaupun pasien HCAP datang dari komunitas, tetapi epidemiologi

dan bakteriologi HCAP jauh berbeda dari karakteristik komunitas. Salah

satunya dilihat dari pathogen penyebab, dimana pathogen yang resisten,

misalnya methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan

Pseudomonas aeruginosa sangat sering dijumpai pada kasus HCAP.1,3,4

Page 72: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

68

Staphylococcus aureus merupakan pathogen utama pada semua

jenis pneumonia, dengan frekuensi lebih tinggi pada kasus pneumonia non-

CAP. HCAP juga memiliki proporsi yang lebih tinggi dibandingkan CAP dalam

hal pemberian antibiotika empiris yang tidak tepat. Hal ini kemungkinan

akibat kurangnya kewaspadaan klinisi untuk mengenal kasus HCAP pada

pasien pneumonia yang dating berobat ke rumah sakit. Angka mortalitas

HCAP hampir sama dengan mortalitas hospital acquired pneumonia/HAP

(19,8% vs 18,8%), jauh lebih tinggi dari mortalitas community acquired

pneumonia/CAP (10%; p < 0,0001), serta lebih rendah dari mortalitas

ventilator associated pneumonia/VAP (29,3%, p < 0,0001).4,5

Melihat angka kematiannya yang jauh lebih tinggi dari CAP, dan

relatif sebanding dengan mortalitas HAP, maka tingkat kewaspadaan klinisi

akan HCAP haru ditingkatkan. Klinisi juga harus mengenal beberapa

instrumen yang dapat meningkatkan kewaspadaan dan kecurigaan kita pada

kasus HCAP. Berikut ini akan disampaikan beberapa hal mengenai HCAP

untuk dapat meningkatkan kewaspadaan klinisi akan HCAP dan agar dapat

memberikan terapi yang tepat dan adekuat.

Etiologi HCAP

Health Care-Associated Pneumonia (HCAP) disebabkan oleh

berbagai spectrum patogen yang kemungkinan polimirobial. Pada pasien

dengan status imun menurun, penyebab viral dan jamur juga dapat

dipertimbangkan. Patogen yang umum ditemukan pada kasus HCAP serupa

Page 73: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

69

dengan yang ditemukan pada kasus HAP atau VAP. Patogen-patogen

penyebab utamanya adalah kuman basil gram negatif aerob (P. aeruginosa,

Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Acinetobacter species). Bakteri

kokus gram positif (Staphylococcus aureus, terutama methicillin resistant S.

aureus/MRSA) dalam beberapa dekade terakhir sangat meningkat infeksinya

pada pasien dengan status imun yang menurun, terutama di Amerika dan

Eropa.1,7

Pada pasien usia tua, kejadian pneumonia yang sering terjadi

adalah HCAP dalam bentuk khusus. HCAP pada pasien lanjut usia ini

memiliki spectrum pathogen yang serupa dengan kasus HAP atau VAP late

onset. Pada populasi khusus pasien lanjut usia yang tinggal di nursing home,

El-Solh mendapatkan kuman penyebab HCAP terdiri dari S. aureus (29%),

enteric batang gram-negatif (15%), Streptococcus pneumoniae (9%), dan

Pseudomonas species (4%).4,8

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan infeksi oleh

bakteri multidrug-resistant (MDR) pada kasus-kasus HCAP. ATS/IDSA tahun

2005 telah mempublikasikan factor risiko pasien untuk terinfeksi oleh

bakteri yang bersifat multidrug-resistant (Tabel 1). Hal ini menunjukkan

potensi adaptabilitas yang dimiliki oleh pathogen-patogen penyebab

pneumonia ini. Infeksi oleh patogen multidrug-resistant merupakan salah

satu pembeda utama antara CAP dan HCAP. Hal ini juga yang

mengakibatkan mortalitas HCAP jauh melebihi CAP. Tabel 1 merupakan

Page 74: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

70

acuan untuk menilai pasien HCAP berisiko untuk mendapat infeksi patogen

multidrug-resistant.1

Jamur dan virus pathogen juga dapat menyebabkan HCAP,

terutama pada pasien dengan imunitas yang rendah, misalnya pasien

transplantasi organ, penyakit imunosupresif, serta pasien netropeni.

Beberapa spesies jamur yang sering dihubungkan dengan kondisi ini adalah

Candida spp dan Aspergillus fumigatus. Kejadian luar biasa pneumonia

akibat infeksi virus sering bersifat musiman. Beberapa jenis virus yang

dilaporkan menjadi sumber infeksi adalah influenza, parainfluenza,

adenovirus, measles, dan respiratory syncytial virus.1,9

Tabel 1. Faktor Risiko Infeksi oleh Patogen Multidrug-Resistant1

Terapi antibiotika dalam 90 hari terakhir

Perawatan di rumah sakit lima hari atau lebih

Kejadian resistensi antibiotika yang tinggi di masyarakat atau unit

spesifik di rumah sakit

Factor risiko HCAP (dirawat inap minimal 2 hari dalam 90 hari

terakhir, penghuni nursing home/ rumah perawatan/ panti jompo,

terapi ifus di rumah, dialysis kronik dalam 30 hari terakhir,

perawatan luka di rumah, anggota keluarga dengan infeksi oleh

pathogen multidrug resistant

Penyakit atau terapi imunosupresif

Page 75: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

71

Manajemen HCAP

Setiap pasien yang dating ke unit gawat darurat dengan keluhan

gejala respirasi akut harus dilakukan identifikasi ke arah HCAP, atau dengan

kata lain dibedakan dari CAP. Kegagalan identifikasi HCAP saat awal pasien

datang akan meningkatkan risiko kematian pasien hingga tiga kali. Langkah

kedua yang kita lakukan adalah menilai risiko infeksi oleh pathogen

multidrug-resistant dengan acuan Tabel 1 di atas, seperti terlihat pada

Gambar 1. Berdasarkan risiko infeksi oleh patogen multidrug-resistant,

pasien dikelompokkan menjadi dua, untuk kemudian diberikan terapi

antibiotika empiris. Pada pasien tanpa risiko pathogen MDR, diberikan

terapi antibiotika dengan spectrum yang lebih terbatas (Tabel 2). Sedangkan

pasien dengan risiko infeksi oleh pathogen MDR, antibiotika spektrum yang

lebih luas diberikan (Tabel 3).1,5,7

Diagnosis HCAP terdiri dari diagnosis klinis dan kultur specimen

saluran nafas bawah. Kriteria diagnosis klinis yang dipakai sama dengan

diagnosis klinis pneumonia secara umum disertai dengan upaya mencari hal-

hal yang menjadi factor risiko HCAP dari anamnesis pasien. Kriteria klinis

umum pneumonia yang dimaksud, yaitu temuan radiologis khas disertai

minimal satu keluhan klinis (demam, leukositosis, atau dahak purulent).

Kriteria diagnosis ini memiliki sensitivitas yang cukup baik, tetapi

spefisitasnya kurang baik. Spesifisitas akan meningkat dengan semakin

banyaknya kriteria klinis yang ditemukan pada pasien.1,4,6

Page 76: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

72

Gambar 1. Algoritme Strategi Manajemen HCAP1

Guideline ATS/IDSA tahun 2005 merekomendasikan untuk

mengambil sampel specimen dari saluran nafas bawah untuk dilakukan

kultur (pemeriksaan bakteriologis) dan pemeriksaan mikroskopik dari setiap

pasien yang dicurigai menderita HCAP dari parameter klinis. Upaya untuk

mendapatkan sampel specimen untuk dilakukan pemeriksaan bakteriologis

pada pasien HCAP sering sulit dilaksanakan. Kesulitan ini dapat diantisipasi

dengan beberapa teknik seperti protected specimen brush (PSB) atau

bronchoalveolar lavage (BAL), sehingga didapatkan sampel yang

representatif.1

Page 77: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

73

Tabel 2. Antibiotik empiris inisial pada HCAP tanpa ridiko pathogen MDR1

Patogen penyebab potensial Rekomendasi antibiotika

Streptococcus pneumoniae

Haemophilus influenzae

Methicillin-sensitive Staphylococcus aureus

Antibiotic-sensitive enteric gram-negative bacilli

o Escherichia coli

o Klebsiella pneumoniae

o Enterobacter species

o Proteus species

o Serratia marcescens

Ceftriaxone

atau

Levofloxacin, moxifloxacin, or ciprofloxacin

atau

Ampicillin/sulbactam

atau

Ertapenem

Penggunaan procalcitonin (PCT) belakangan ini banyak diusulkan

sebagai salah satu biomarker spesifik untuk menilai infeksi bakterial.

Procalcitonin banyak dipakai untuk membantu klinisi dalam memutuskan

pemberian antibiotika pada kasus pneumonia. Procalcitonin 0,25 µg/L atau

lebih dapat dijadikan dasar untuk mulai memberikan antibiotika pada pasien

pneumonia. Pemakaian PCT juga dipakai untuk follow up setelah

pengobatan selama 2-3 hari. Apabila penurunan PCT paska terapi lebih dari

Page 78: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

74

80% nilai awal atau nilainya kurang dari 0,24 µg/L, maka de-eskalasi dapat

dilakukan dengan melihat hasil kultur sputumnya.7,8

Outcome yang optimal dapat dicapai dengan memberikan terapi

inisial yang tepat dan dan adekuat. Untuk memberikan terapi yang adekuat,

tidak hanya tergantung dari jenis antibiotiknya saja, tetapi juga dengan dosis

yang optimal dan rute pemberian yang tepat. Hal ini akan memastikan

penetrasi antibiotika yang baik pada lokasi infeksi. Pada kasus HCAP dengan

risiko infeksi oleh pathogen multidrug-resistant, kombinasi antibiotika saat

terapi inisial merupakan suatu keharusan untuk mencapai outcome yang

baik. Pada kasus HCAP, banyak pasien yang sudah mendapatkan antibiotika

sebelumnya. Pada kondisi ini, antibiotika yang dipilih adalah antibiotika dari

jenis lain yang masih setara, sesuai panduan pada Tabel 2 dan 3.1

Tabel 3. Antibiotika empiris inisial pasien HCAP dengan risiko pathogen

MDR1

Patogen potensial Kombinasi antibiotika

Patogen pada Tabel 2 dan patogen MDR

Pseudomonas aeruginosa

Klebsiella pneumoniae (ESBL)

Acinetobacter species

Antipseudomonal cephalosporin (cefepime, ceftazidime)

atau

Antipseudomonal carbepenem (imipenem or meropenem)

atau

β-Lactam/β-lactamase inhibitor (piperacillin-tazobactam)

Page 79: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

75

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

Legionella pneumophila

plus

Antipseudomonal fluoroquinolone (ciprofloxacin or levofloxacin)

atau

Aminoglycoside (amikacin, gentamicin, or tobramycin)

plus

Linezolid or vancomycin

Kombinasi harus melibatkan macrolide atau levofloxacin

Karakteristik farmakodinamik dari berbagai jenis antibiotika juga

harus dipahami oleh klinisi untuk mendapatkan outcome yang optimal.

Salah satu contohnya adalah kemampuan penetrasi antibiotika ke paru.

Antibiotika golongan fluorokuinolon dan linezolid memiliki konsentrasi yang

setara antara paru dan sserum. Sedangkan golongan β-lactams memiliki

penetrasi yang kurang baik ke paru. Mekanisme kerja antibiotika juga

penting dalam pemberian terapi pasien HCAP. Mekanisme kerja ini akan

mempengaruhi dosis obat yang diberikan, efikasi, dan toksisitasnya.

Antibiotika golongan fluorokuinolon bekerja dengan sifat concentration-

dependent, artinya kemampuan antibiotika ini dalam membunuh pathogen

akan lebih baik dan cepat pada konsentrasi yang lebih besar. Antibiotika

Page 80: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

76

jenis lain misalnya β-lactams atau vancomycin bersifat time dependent,

dimana kemampuan antibiotika ini membunuh pathogen ditentukan pada

seberapa lama konsentrasi antibiotika ini pada serum melebihi minimal

inhibitory concentration (MIC) kuman patogen. Acuan dosis antibiotika

untuk kasus HCAP dengan risiko infeksi pathogen multidrug-resistant dapat

dilihat pada Tabel 4.1,3,5

Tabel 4. Dosis Terapi empiris inisial pasien HCAP dengan risiko infeksi oleh

patogen MDR1

Jenis Antibiotika Dosis

Antipseudomonal cephalosporin

Cefepime

Ceftazidime

Carbepenems

Imipenem

Meropenem

β-Lactam/β-lactamase inhibitor

Piperacillin–tazobactam

Aminoglycosides

Gentamicin

Tobramycin

Amikacin

Antipseudomonal quinolones

1–2 g setiap 8–12 jam

2 g setiap 8 jam

500 mg setiap 6 jam atau 1 g setiap 8 jam

1 g setiap 8 jam

4,5 g setiap 6 jam

7 mg/kg per hari

7 mg/kg per hari

20 mg/kg per hari

Page 81: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

77

Levofloxacin

Ciprofloxacin

Vancomycin

Linezolid

750 mg setiap hari

400 mg setiap 8 jam

15 mg/kg setiap 12 jam

600 mg setiap 12 jam

Durasi pemberian antibiotika pada kasus HCAP masih menjadi

perdebatan. Pemberian yang konvensional selama 14-21 hari dikatakan

meningkatkan risiko kolonisasi oleh bakteri yang resisten antibiotika. Selain

itu, pemberian yang terlalu lama juga dapat mengganggu fungsi ginjal.

Berbagai konsensus pneumonia hanya menuliskan lama pemberian

antibiotika setidaknya 7 hari untuk kasus HCAP. Pada akhirnya dikembalikan

kepada klinisi masing-masing untuk menentukan durasi pemberian

antibiotika tergantung dari perbaikan klinis pasien serta data

mikrobiologisnya.2,5,10

Ringkasan

Healthcare-associated pneumonia (HCAP) merupakan kondisi

tersendiri, terpisah baik dari CAP dan pneumonia nosocomial (VAP dan

HAP). HCAP memiliki karakteristik dan pathogen serupa pneumonia

nosocomial tetapi mengambil setting komunitas. Klinisi sangat memerlukan

kewaspadaan dan kejelian dalam menangkap kasus HCAP saat praktek.

Kegagalan identifikasi HCAP sejak awal akan mempengaruhi outcome

pengobatan dan transmisi pathogen rumah sakit pada komunitas.

Page 82: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

78

Daftar Pustaka

1. American Thoracic Society Documents. Guidelines for the

Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-

associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit

Care Med 2005;171: 388-416

2. Kollef MH, Morrow LE, Baughman RP, Craven DE, et al. Health

Care–Associated Pneumonia (HCAP): A Critical Appraisal to Improve

Identification, Management, and Outcomes—Proceedings of the

HCAP Summit. CID 2008; 46: S296-334

3. Seymann GB. Health care–associated pneumonia: Meeting the

clinical challenges. J respir dis 2008; 29(5): 208-213

4. Chalmers JD, Taylor JK, Singanayagam A, Fleming GB, Akram AR, et

al. Epidemiology, Antibiotic Therapy, and Clinical Outcomes in

Health Care–Associated Pneumonia: A UK Cohort Study. CID

2011;53(2):107–113

5. Rosato A, Santini C. Management of Health-Care Associated

Pneumonia (HCAP). Italian Journal of Medicine 2012; 6: 87-90

6. Craven DE. 2005 IDSA/ATS Hospital acquired pneumonia guidelines:

New principles for improving management. Proceeding of

Interscience Conference on Antimicrobial Agents and

Chemotherapy Annual Meeting. Washington DC. December 17,

2005

Page 83: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

79

7. Zilberberg MD, Shorr AF. Healthcare-associated Pneumonia: The

state of evidence to date. Curr Opin Pulm Med. 2011;17(3):142-147

8. Maruyama T, Fujisawa T, Okuno M, Toyoshima H, Tsutsui K, et al. A

New Strategy for Healthcare-Associated Pneumonia: A 2-Year

Prospective Multicenter Cohort Study Using Risk Factors for

Multidrug-Resistant Pathogens to Select Initial Empiric Therapy. CID

2013;57(10):1373–83

9. Cardoso T, Almeida M, Carratalà J, Aragão I, Costa-Pereira A, et al.

Microbiology of healthcare-associated infections and the definition

accuracy to predict infection by potentially drug resistant

pathogens: a systematic review. BMC Infectious Diseases 2015;

15:565-578

10. Cardoso T, Almeida M, Friedman ND, Aragão I, Costa-Pereira A, et

al. Classification of healthcare-associated infection: a systematic

review 10 years after the first proposal. BMC Medicine 2014, 12:40-

53

Page 84: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

80

HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA

I Made Bagiada

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Pneumonia adalah infeksi parenkhim paru dapat berupa community

acquired pneumonia (CAP), health care associated pneumonia (HCAP), atau

hospital acquired pneumonia (HAP). Ketiga bentuk pneumonia tersebut

sering diantara pasien yang dirawat di rumah sakit. HAP, pneumonia yang

didapat di rumah sakit adalah kelompok yang terpenting karena dapat

memperpanjang rawat inap pasien, menunjukkan angka kematian tinggi,

dan biaya rumah sakit tinggi (1).

Secara epidemiologi diperkirakan bahwa kejadian HAP sekitar 0,5% sd 5%

dari semua pasien yang dirawat di RS. Kejadian ini malah lebih sering pada

penderita dengan ventilator, kejadiannya sampai 15% sampai 25%.

Sementara risiko kematian di antara pasien HAP lebih tinggi dibandingkan

dengan rata-rata pasien yang dirawat inap (1).

Ada sejumlah faktor risiko yang meningkatkan risiko terjadinya HAP.

Intubasi endotracheal adalah penentu terkuat dari factor risiko yang

meningkatkan risiko terjadinya HAP. Adanya slang endotracheal memberi

kesempatan jalan langsung bagi mikroorganisme ke saluran napas bawah

Page 85: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

81

yang normalnya steril. Hal ini juga memungkinkan untuk pengumpulan

sekresi orofaringeal meningkat, sekresi ini yang akhirnya akan disedot ke

dalam saluran napas sesuai dengan berjalannya waktu. Masih ada banyak

faktor risiko lain untuk terjadinya HAP (1).

Definisi HAP

HAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi paling tidak dalam waktu

48 jam setelah dirawat. Pneumonia HAP dapat dalam bentuk ringan atau

yang lebih berat. Secara klinis HAP apabila secara radiologi ditemukannya

infiltrate parenkhim paru baru atau progresif dan dibutuhkan paling tidak 2

tanda-tanda berikut: perubahan suhu < 36°C atau > 38,3°C, WBC < 5.000

sel/mm3 atau > 10.000 sel/mm3, atau sputum menjadi purulent (2,3).

Faktor risiko

Tidak hanya kelompok pasien tertentu berisiko lebih besar untuk HAP,

namun hos tertentu, misal faktor lingkungan atau farmakologis

meningkatkan kecenderungan pasien terkena pneumonia. Identifikasi

faktor-faktor risiko memungkinkan membuat strategi untuk pencegahan

HAP dan keputusan terapi (4).

Faktor hos

Kolonisasi pathogen mikroorganisme saluran pernapasan atas dan

saluran pencernaan merupakan faktor utama predisposisi pasien untuk HAP.

Kolonisasi orofaringeal cepat meningkat setelah rawat inap, dan sangat

Page 86: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

82

cepat meningkatnya pada pasien yang di rawat di ICU. Untuk pasien di ICU,

risiko terjadinya HAP pada 5 hari pertama masih rendah, kemudian

mengalami percepatan sampai mencapai puncaknya 5% perhari, dan

kemudian menurun setelah 14 hari dengan risiko 1% perhari. Faktor untuk

meningkatkan kolonisasi saluran napas termasuk terapi antibiotik

sebelumnya dandiberikan terus menerus, intubasi endotrakeal, merokok,

gizi buruk, bedah umum, plak gigi dan terapi yang meningkatkan pH

lambung (4,5).

Factor risiko hos yang lain adalah: usia, komorbiditas (penyakit

ginjal dan penyakit system saraf pusat) dan peralatan peralatan invasive

(kateter vena sentral, kateter urin, slang naso-enteral) (5).

Berkaitan dengan faktor risiko, sejumlah variable yang mungkin

berpengaruh terhadap risiko terjadinya HAP yang lebih berat, yaitu

terutama munculnya pathogen multi-resisten. Faktor terkuat adalah terapi

antimicrobial 90 hari sebelumnya (4), rawat inap lebih dari 5 hari, tingginya

prevalensi resistensi antibiotic di komunitas atau unit rumah sakit khusus,

imunosupresan, atau faktor risiko lain untuk infeksi yang resisten, seperti

rawat inap akhir-akhir ini, bertempat tinggal di fasilitas kesehatan, terapi

intravena di rumah, perawatan luka di rumah, atau dialysis kronik, sehingga

HAP berhubungan dengan adanya resisten obat multiple.

Faktor-faktor berikut secara signifikan terkait dengan prognosis

pasien dengan pneumonia nosokomial: umur, skor kondisi gaya hidup

premorbid (LSS), diagnosis non-bedah, penggunaan antasida atau histamin

Page 87: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

83

tipe 2 (H2) blocker, penggunaan antibiotik sebelumnya, terapi antibiotika

yang tidak sesuai, adanya mikro-organisme MDR, indeks simple acute

physiology score (SAPS), adanya gagal napas, infiltrat bilateral pada foto

toraks, adanya syok septik dan gagal organ multipel (MOF) (6).

Faktor lingkungan

Lamanya nasogastric tube terpasang terbukti telah meningkatkan

refluks gastroesofageal sekresi oral dan menjadi faktor risiko independen

HAP. Slang yang ada pada mesin ventilasi mekanik membentuk kondensat

sebagai akibat dari perbedaan temperatur antara gas terinspirasi dan udara

sekeliling. Kondensat ini mudah terkontaminasi oleh sekresi pasien yang

mengandung mikroorganisme. Saluran air rumah sakit, perpindahan pasien

ICU untuk tindakan diagnostik atau menjalani prosedur pembedahan keluar

dari ruang ICU juga merupakan faktor risiko terjadinya HAP (4).

Faktor farmakologi

Factor lingkungan berkaitan dengan penggunaan antibiotik, para

peneliti mendapatkan hasil yang berbeda untuk risiko terjadinya HAP.

Penggunaan antibiotik profilaksis di ICU mendorong risiko superinfeksi oleh

bakteri multiresisten tetapi menunda timbulnya infeksi nosokomial.

Keadaan pH lambung non-asidik menyebabkan kolonisasi bakteri lambung

akibatnya kontaminasi pada slang pasien ventilasi mekanik. Obat yang

berdampak pada pH lambung dapat berdampak pada risiko VAP (HAP). Jika

ada indikasi profilaksis stres ulkus, sebelum diberikan supresi-asam dan

Page 88: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

84

sukralfat harus ditimbang risiko dan manfaatnya. Pemberian agen paralitik

untuk pasien dengan ventilasi mekanik juga telah dicatat sebagai faktor

risiko untuk VAP (HAP) (4).

Pathogenesis HAP

Gambar 1. Patogenesis HAP (4).

Etiologi

Sejumlah besar mikroorganisme masuk dan mencapai saluran

napas dan menguasai pertahanan hos dan kemudian terjadi HAP, atau HAP

dapat terjadi jika pertahanan hos pasien terganggu atau jika mereka

terinfeksi dengan strain yang sangat virulen. Untuk menentukan terapi

Page 89: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

85

antimikroba empiris optimal sebaiknya diketahui pola lokal patogen

penyebab, dengan cara identifikasi pathogen yang sensitif, spesifik dan

cepat identifikasinya kemudian dilanjutkan dengan uji sensitivitas. Terapi

terbaik berdasarkan sensitivitas obat terhadap pathogen. Sayangnya

penemuan agen penyebab pada HAP sering sulit karena bermasalah apakah

hanya sekadar kolonisasi trakheobronkhial atau sebagai pneumonia

nosokomial yang sebenarnya. Tantangan lainnya yang menghambat terapi

antimikroba yang optimal adalah fakta bahwa tidak adanya pertumbuhan

kuman atau alternatifnya, tumbuh beberapa kuman (4). Berikut ini disajikan

jenis-jenis kuman penyebab HAP dan VAP. Terlihat jelas bahwa kuman

penyebab HAP didominasi basil Gram negative, kemudian disusul kokus

Gram positif (Tabel 1).

TABLE 1. Microbiological causes of hospital-acquired pneumonia and ventilator-associated pneumonia (level A-2) (4).

Frequency of isolation Microbiological diagnosis (% of patients) Gram-negative bacilli 35–80

Escherichia coli Klebsiella species Enterobacter species Proteus species Serratia marcescens Pseudomonas aeruginosa Acinetobacter species Stenotrophomonas maltophilia

Page 90: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

86

Gram-positive cocci 9–46 Streptococcus pneumonia Streptococcus species Staphylococcus aureus (MSSA and MRSA)

Polymicrobial 9–80 Anaerobes 0–54 Blood culture positive 0–40 No growth 2–54 Jones RN menyebutkan kuman-kuman tersering yang diisolasi pada pasien

dengan HAP dari tahun ke tahun (tahun 1985 – 1998). Kuman

Staphylococcus aureus menempati urutan pertama kemudian disusul oleh

Pseudomonas aeruginosa (Tabel 2).

Diagnosis HAP

Berbeda dengan diagnosis CAP, diagnosis HAP cukup sulit. Ada

banyak teknik diagnostik untuk memastikan kecurigaan HAP. Meskipun

demikian belum ada konsensus yang memadai sebagai strategi diagnostik.

(7)

Page 91: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

87

Kecurigaan klinis adalah langkah pertama untuk evaluasi pasien dengan

kemungkinan HAP. Kecurigaan terhadap HAP berdasarkan adanya infiltrat

paru baru dan bukti klinis infeksi seperti: demam, perubahan jumlah sel

darah putih, dan sekresi dahak purulen. Melakukan penilaian secara hati-

hati terhadap lekosit dan morfologi bakteri pada pengecatan Gram dapat

meningkatkan spesifisitas diagnostik. Tetapi apabila hanya mengandalkan

klinis saja sering over diagnosis (8), sebab tanda-tanda klinis tersebut

adalah nonspesifik dan dapat juga terlihat pada pasien dengan kondisi

seperti edema paru, sepsis, Acute Respiratory Syndrome (ARDS), emboli

paru dan atelectasis (9). Namun kenyataan bahwa untuk menurunkan angka

mortalitas harus diberikan antinbitik yang sesuai se-segera mungkin. Ada

tool klinik tambahan untuk diagnostik infeksi paru yaitu Clinical Pulmonary

Infection Score (CPIS). CPIS pertama kali didefinisikan oleh Pugin dkk.

(1991)dan menemukan bahwa CPIS mempunyai spesivisitas dan sensitivitas

tinggi (sensitivitas 100% dan spesifisitas 88%) (10). CPIS mengkombinasikan

data klinis, radiologi, fisiologi, dan mikrobiologi kedalam skor numerik yang

berkorelasi dengan adanya pneumonia. Skor CPIS di atas 6 memiliki korelasi

yang bagus untuk diagnosis pneumonia. Tetapi skor CPIS ini kurang

digunakan, karena peneliti lain menemukan bahwa CPIS menpunyai

sensitifitas 77% dan spesifisitas 42%, membuat skor ini kurang dimanfaatkan

(8). Zilberberg dan Shorr (2010) menyimpulkan bahwa CPIS perannya

terbatas baik untuk klinik maupun tool penelitian (11). Da Silva dkk. (2014)

meneliti penderita HAP (VAP) secara dengan menggunakan CPIS-modifikasi

Page 92: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

88

dan mendapatkan bahwa pasien risiko-rendah bila hasil kultur negative pada

hari ketiga harus dipikirkan pemberian antibiotik jangka pendek dan pasien

risiko-tinggi bila tidak ada perbaikan skor dan memiliki potensi gagal terapi

(12). Berikut ini disajikan skor CPIS.

Table 3 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) criteria

Component Value

Point

Temperature °C >36.5 and <38.4

0

>38.5 and <38.9

1

>39.0 and <36.0

2

Blood leukocyte (mm3) >4000 and <11000

0

<4000 or >11000 1 Tracheal secretions Few 0

Moderate 1

Large and purulent 2

(>25 PNL per LPF) Oxygenation >240 or presence of ARDS 0

Page 93: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

89

(Pa02/Fi02, mm Hg) <240 and absence of ARDS 2 Chest radiograph No infiltrate 0

Patchy or diffuse infiltrate 1

Localized infiltrate 2

Progression of pulmonary No radiographic progression 0 Infiltrate Radiographic progression 2

(After CHF and ARDS excluded)

Culture <10000 cfu bacteria per ml BAL or no growth 0

>10000 cfu bacteria per ml BAL 1

ARDS, Acute Respiratory Distress Syndrome; BAL, Bronchoalveolar Lavage; CFU, Colony Forming Unit; CHF, Congestive Heart Failure; CPIS, Clinical Pulmonary Infection Score; Fi02, Fraction of inspired oxygen; LPF, Low Power Field; Pa02, Partial arterial oxygen; PNL, Polymorphonuclear Neutrophils. Sumber: Guler dkk. (2012).

Terapi HAP

Terapi pneumonia nosokomial terutama ditentukan oleh terapi

antibiotik dini dan tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat (misalnya,

pilihan antibiotik awal yang tidak mencakup patogen utama) mungkin

merupakan penentu terkuat hasil akhir terapi. Meskipun demikian, factor

Page 94: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

90

yang berkaitan dengan hos (misal, status imun, kondisi komorbid dan

beratnya presentasi klinis), pathogen (missal, jumlah , factor virulensi), dan

juga jenis antimicrobial juga menentukan hasil akhir terapi. Ada juga hal lain

yang perlu diperhatikan yaitu pola kuman lokal dan resistensinya.

Antibiotik dengan spectrum luas merupakan pilihan terapi awal terbaik.

Terapi kombinasi aminoglikosida dan beta-laktam merupakan agen yang

sinergi dan memiliki mekanisme ganda, sehingga mencegah resistensi.

Monoterapi dengan antibiotik spektrum luas tertentu mungkin tepat,

terutama setelah patogen dan kepekaan terhadap kuman diketahui. Durasi

terapi tetap merupakan area ketidakpastian, dengan rejimen pengobatan

tradisional membutuhkan waktu hingga 21 hari terapi antibiotik (4).

Meskipun demikian rata-rata terapi antibiotik adalah 14 hari. Perlu

dipertimbangkan kemungkinan patogen MDR, kemungkinan ini dapat

dipertimbangkan secara klinis berdasarkan durasi rawat inap sebelum

terjadinya pneumonia, pasien yang telah dirawat di rumah sakit setidaknya

5 hari memiliki risiko lebih besar disebabkan oleh patogen MDR, terapai

kombinasi antibiotic lebih disukai, missal sefalosporin anti-pseudomonas

atau carbapenem atau penisilin anti-pseudomonas dalam kombinasi dengan

fluorokuinolon anti-pseudomonas atau aminoglikosida. Untuk pasien

dengan onset pneumonia <5 hari, monoterapi antibiotik mungkin cukup

dengan menggunakan sefalosporin, kuinolon, atau penisilin spectrum luas.

Untuk pasien dengan pneumonia late-onset, kemungkinan patogen MDR

lebih besar dan karena itu terapi kombinasi antibiotik lebih dianjurkan (13).

Page 95: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

91

Ternyata HAP disebabkan oleh berbagai kuman kokus Gram-positif

dan basil Gram-negatif, sangat penting untuk mengetahui aktivitas agen

antimicrobial yang sering digunakan melawan pathogen ini. Cephalosporin

generasi ke 3 (misal cefotaxime, ceftriaxone dan ceftazidime), penicillin

spectrum-luas (misal piperacillin/tazobactam), fluoroquinolone (misal

ciprofloxacin dan levofloxacin) aminoglycosides (misal gentamicin) dan

carbapenem (misal imipenem dan meropenem) spectrum aktivitasnya

sangat luas untuk melawan pathogen aerobic tersering sebagai penyebab

HAP. Agen lain yaitu macrolide (misal erythromycin dan azithromycin) dan

lincosamide (clindamycin), linezolid dan vancomycin memiliki aktivitas yang

baik sekali melawan kokus Gram-positif, dan aktivitasnya kecil terhadap

basil Gram-negatif. Antinkrobial yang paling aktif untuk melawan kuman

anaerob adalah metronidazole, clindamycin, carbapenem dan penicillin

spectrum-luas dikombinasi dengan inhibitor beta-lactamase. Gatifloxacin

dan moxifloxacin aktivitasnya sangat bagus membunuh Bacteroides fragilis

tetapi efek samping dari gatifloxacin yang menyebabkan agen ini tidak bisa

digunakan (4).

Untuk pasien dengan infeksi MRSA, baik linezolid atau vankomisin

dianggap tepat. Sementara linezolid memiliki penetrasi jaringan pernafasan

yang lebih baik dan telah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik pada

pneumonia MRSA, keunggulannya untuk meningkatkan hasil klinis masih

harus dibuktikan bila dibandingkan dengan vankomisin untuk pneumonia

MRSA. Dengan terapi yang efektif, perbaikan terlihat jelas dalam waktu 42

Page 96: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

92

sampai 72 jam. Untuk pasien yang tidak respon dalam waktu tersebut, harus

dievaluasi kemungkinan organisme lain, atau ada diagnosis lain, atau apakah

ada faktor penyulit lain (abses paru atau empiema, obat demam, dll), yang

telah mempengaruhi respon terhadap terapi (4).

Berikut dijelaskan dengan lebih ringkas yang harus dilakukan dalam

menentukan pemberian antibitika pada pneumonia HAP: (13)

1. Jangan menunda pemberian antibiotik hanya untuk tujuan melakukan tes diagnostik.

2. Pilihan antibiotika empirik harus berdasarkan risiko pasien untuk mendapat patogen MDR.

3. Kombinasi terapi lebih dianjurkan sebagai rejimen awal pada pasien berisiko terinfeksi dengan patogen MDR untuk menghindari antibiotik yang tidak pantas.

4. Antibiograms lokal harus diketahui ketika akan memilih terapi empirik. 5. Jika pasien mendapat antibiotik sebelumnya, pilihlah antibiotik baru

dari kelas yang berbeda dari yang sebelumnya untuk menghindari memilih antibiotik yang telah menjadi resisten.

6. Bila rejimen antibiotik awal tepat dan memadai, lakukan usaha untuk memperpendek durasi terapi antibiotik. Jika pasien mendapat terapi antibiotik empiris yang tepat dan memadai, durasi pengobatan antibiotik dapat dipersingkat dari biasanya 14-21 hari menjadi 7 hari (jika organisme etiologi bukan Pseudomonas aeruginosa).

7. Hasil kultur negatif palsu terjadi pada pasien yang telah mendapat antibiotik 24-72 jam sebelum pengambilan spesimen respirasi. Pada pasien ini, menggunakan ambang batas BAL 10 kali lipat lebih rendah dari biasanya dapat membantu untuk menghindari hasil negatif palsu.

8. Jika probabilitas pretest klinis VAP tinggi, antibiotik harus dimulai segera terlepas dari apakah hasil kultur positif.

9. Organisme tertentu, seperti Escherichia coli, spesies Klebsiella, dan spesies Enterobacter menghasilkan extended-spectrum beta-laktamase (ESBL), dan tes skrining untuk produksi ESBL harus dilakukan.

Page 97: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

93

Carbapenems umumnya efektif terhadap organisme memproduksi-ESBL ini.

10. HAP (VAP) pada trauma multi organ yang terjadi < 4 hari berisiko rendah mendapat

pathogen MRSA, MRSA dipikirkan pada trauma multi organ >4 hari

(13).

Pencegahan

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada pasien dengan HAP

adalah: pasien dengan intubasi dan ventilasi mekanik, risiko HAP pada

pasien ini 3 – 18 kali lipat dan sebisa mungkin harus dihindari

pemakaiannya, untuk itu pakailah ventilasi non-invasif (NIV) terutama pada

pasien PPOK eksaserbasi, gagal napas hipoksia akut, penderita dengan

imunosupresi dan gagal napas. Posisi pasien juga dikaitkan dengan

peningkatan insiden HAP, posisi terlentang meningkatkat insiden HAP

sebaiknya pasien posisi setengah duduk. Penggunaan antibiotika

sebelumnya meningkatkan kemungkinan mendapat HAP oleh pathogen

resisten (MDR) (13).

Karena pengobatan HAP sulit dan menyebabkan kematian tinggi,

upaya penting harus diarahkan kepada pencegahan pneumonia nosokomial.

Ada sejumlah faktor yang telah terbukti membantu dalam pencegahan

pneumonia nosokomial. Mencuci tangan mungkin salah satu metode yang

paling efektif, namun itu sangat kurang dimanfaatkan oleh banyak pihak.

Faktor-faktor lain yang dapat dimodifikasi termasuk penggunaan slang

nasogastrik (dibandingkan dengan slang orogastric) dan slang endotrakeal

Page 98: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

94

(dibandingkan dengan penggunaan non-invasif ventilasi tekanan positif),

dekontaminasi selektif pada saluran pencernaan atau dekontaminasi saluran

orofaringeal, rotasi antibiotik empiris strategi, aspirasi dan penghapusan

sekresi subglottic sekitar slang endotrakeal, dan posisi semi-berbaring.

strategi akhir - hanya mengangkat kepala tempat tidur dengan lebih dari 30

derajat - telah terbukti mengurangi risiko HAP sampai dengan 3 kali.

Aspirasi subklinis adalah peristiwa yang umum pada individu tidak dirawat

dan sehat. Aspirasi isi lambung ke dalam cabang tracheobronchial jauh lebih

sering dengan posisi terlentang dibandingkan dengan posisi semi-berbaring.

Jadi, posisi semi-berbaring dan mencuci tangan adalah strategi sederhana

untuk pencegahan HAP dan juga mungkin salah satu yang paling efektif (4).

Ringkasan

HAP adalah infeksi parenkhim paru sering terjadinya dan khususnya

sering dan mematikan pada pasien ICU dengan ventilasi mekanik. Angka

kematian kasar sering melebihi 50%. Patogen penyebab HAP terbanyak

adalah basil Gram negative dan kokus Gram positif. Penegakan diagnosis

HAP masih belum ada consensus yang pasti, tetapi diagnosis berdasarkan

klinis dan penunjang. Terapi utama HAP adalah pemberian antibitika sedini

mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Ada sejumlah faktor yang dapat

dimodifikasi yang dapat mencegah perkembangan HAP, seperti posisi

semirecumbent (terutama untuk pasien yang enteral makan), cuci tangan,

dan minimalisasi perangkat oropharyngeal invasif seperti tabung

Page 99: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

95

endotrakeal dan tabung nasogastrik. Untuk pasien dengan dugaan HAP,

spesimen budaya harus diperoleh segera (apakah melalui tabung

endotrakeal, mini-BAL, atau dengan kuantitatif BAL) dan sesuai antibiotik

spektrum luas harus dimulai tanpa penundaan.

Kepustakaan

1. ATS/IDSA. 2005. Guidelines for the Management of Adults with

Hospital-acquired,

Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia; Am J

Respir Crit Care Med Vol 171. pp 388–416).

2. Niederman MS, Craven DE, Bonten MJ, et al. 2005. Guidelines for the

management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated,

and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care

Med;171:388–416.

3. Niederman MS. 2010. Hospital-Acquired Pneumonia, Health Care–

Associated Pneumonia, Ventilator-Associated Pneumonia, and

Ventilator-Associated Tracheobronchitis: Definitions and Challenges in

Trial Design. Clinical Infectious Diseases; 51(S1):S12–S17.

4. Rotstein C., Evans G., Abraham Born A., Grossman R., Light R. B.,

Magder S., McTaggart B., Karl Weiss K. and Zhanel G. G. 2008. Clinical

practice guidelines for hospital-acquired pneumonia and ventilator-

associated pneumonia in adults. Can J Infect Dis Med

Microbiol;19(1):19-53.

5. Fortaleza CMCB., Abati PAM., Batista MR and Dias A. 2009. Risk Factors

for Hospital-Acquired Pneumonia in Nonventilated Adults. The

Brazillian journal of Infectious Diseases; 13(4):284-288.

6. TAKANO Y., SAKAMOTO O., SUGA M., MURANAKA H. M. AND ANDO

M. 2002. Prognostic factors of nosocomial pneumonia in generalwards:

Page 100: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

96

a prospectivemultivariate analysis in Japan. Respiratory Medicine

(96):18-23.

7. Jones RN. 2010. Microbial Etiologies of Hospital-Acquired Bacterial

Pneumonia and Ventilator-Associated Bacterial Pneumonia. Clinical

Infectious Diseases 2010; 51(S1):S81–S87.

8. Guler E., Kahveci F., Akalin H., Sinirtas M., Bayram S., and Ozcan B.

2012. Evaluation of a clinical pulmonary infection score in the diagnosis

of ventilator-associated pneumonia. Signa Vitae; 7(1): 32-37.

9. Harde Y., Manimala Rao S., Sahoo J., Bharuka A., Swetha B and Saritha

P. 2013. Detection of ventilator associated pneumonia, using clinical

pulmonary infection score (CPIS) in critically ill neurological patients;

Journal of anesthesiology & clinical science: 1-4.

http://www.hoajonline.com/journals/pdf/2049-9752-2-20.pdf

10. Pugin J, Auckenthaler R, Milli N, Janssens JP, Lew PD, Suter PM.

Diagnosis of ventilator-associated pneumonia by bacteriologic analysis

of bronchoscopic and nonbronchoscopic “blind” bronchoalveolar

lavage fluid. Am Rev Respir Dis 1991;143:1121-9.(abstrak)

11. Zilberberg MD and Shorr AF. 2010. Ventilator-associated pneum onia:

the clinical pulmonary infection score as a surrogate for diagnostics

and outcome.CID; 51(S1):S131-S135.

12. da Silva PS., de Aguair VE and Fosenca MC. 2014. How the modified

clinical pulmonary infection score can identify treatment failure and

avoid overusing antibiotics in ventilator-associated pneumonia. Acta

paeddiatr; 103(9):e388-92.

13. Amanullah S and Mosenifar Z. 2015. Ventilator-Associated

Pneumonia Overview of Nosocomial Pneumonias. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/304836-overview#a14

Page 101: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

97

Ventilator associated pneumonia (VAP)

Putu Andrika

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Ventilator-associated pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia

yang terjadi 48-72 jam setelah intubasi endotrakeal, ditandai dengan adanya

infiltrat baru atau progresif, tanda infeksi sistemik (demam, perubahan

hitung leukosit), perubahan karakteristik sputum, dan terdeteksinya agen

penyebab. Diperkirakan kejadian VAP berkisar 9-27 % dari semua pasien

memakai ventilator, dengan risiko tertinggi terjadi pada saat awal

perawatan rumah sakit. VAP menjadi keprihatinan dan fokus perhatian

dalam perawatan ICU sehubungan tingginya insiden dan mortalitasnya

meskipun managemen intubasi pasien mengalami kemajuan yang signifikan.

Mortalitas sehubungan VAP berkisar 20-70 %.

Faktor risiko

Faktor risiko berkembangnya VAP meliputi usia lebih 60 tahun, penyakit

berat (APACHE II score > 16), penyakit paru akut maupun kronik, sedasi yang

berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar berat, posisi tubuh supine, Glasgow

coma scale <9, pemakaian pelumpuh otot, perokok.

Patogenesis

Beberapa faktor saling mempengaruhi secara komplek antara tube

endotrakeal, adanya faktor risiko, virulensi bakteri dan imunitas tubuh

menentukan berkembangnya kearah VAP. Adanya tube endotrakeal sejauh

ini dianggap sebagai faktor risiko terpenting, menyebabkan mekanisme

pertahanan alami tak berfungsi (reflek batuk dari glottis dan laring) dalam

menghilangkan mikroaspirasi sekitar cuff dari tube endotrakeal. Bakteri

Page 102: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

98

infeksius dapat mencapai saluran nafas bawah melalui (1) mikroaspirasi ,

dapat terjadi saat intubasi: (2) terbentuknya biofilm penuh bakteri

(khususnya bakteri gram negative dan spesies jamur ) dalam tube

endotrakeal ; (3) terkumpulnya dan menetesnya cairan secret seputar cuff;

(4) menurunnya mucociliary clearance. Materi patogenik dapat juga

terkumpul disekitar seperti lambung, sinus, nasofaring dan orofaring, dan

sering dengan flora dengan strain lebih virulen. Materi tersebut secara

konstan akan lebih terdorong akibat pemberian tekanan positif ventilator.

Faktor host seperti keparahan penyakit yang mendasari, pembedahan

sebelumnya, terpajannya dengan antibiotika semuanya berimplikasi sebagai

faktor risiko berkembangnya VAP. Namun juga diketahui bahwa pasien

kritis mengalami penurunan kemampuan fagositosis dan mengalami

immunosupresi secara fungsional.

Page 103: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

99

Gambar 1. VAP pathogenesis: risk factor for colonization, entry into the

lower airway, and interactions between the invaders and host defenses that

will decide between colonization of VAP

DIAGNOSIS

Diagnosis VAP yang akurat masih problematik. Kecurigaan klinis akan

terjadinya VAP ketika terdapatnya gambaran infiltrat baru pada chest x-ray,

dan setidaknya satu dari demam, lekositosis, atau sekresi tracheo-bronchial

yang purulen. Berdasarkan kultur mikrobiologi dan respon pasien terhadap

pengobatan, pemberian antibiotika segera yang appropriate dengan dosis

adekuat, dan de-escalation menghindarkan pemakaian antibiotika secara

berlebihan, lama terapi yang pendek efektif.

Gambaran klinis standar seperti panas, takikardi, leukositosis, sputum

purulen dan konsolidasi pada rongent dada merupakan sesuatu yang sulit

dipastikan pada pasien dengan MV critically ill pasien. Pasien dengan respon

inflamasi akibat insult seperti trauma, burns, pancreatitis, dsb dapat

memberi gambaran seperti itu. Sputum purulen mungkin akibat

tracheobronchitis dan tidak selalu menggambarkan keterlibatan parenkim

paru . Infiltrat pada rongent dada dapat disebabkan sejumlah kondisi

noninfeksi meliputi edema paru, haemorrhage, dan kontusio paru. Pada

suatu studi prospectif dari 50 pasien dengan panas dan infiltral paru, hanya

42% yang definitif VAP.

Suatu algoritma diagnostik menggunakan klinis dan mikrobiologi, the

National Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) untuk

memfasilitasi aplikasi konsisten dalam pelaporan nosokomial pneumonia.

The clinical pulmonary infection score (CPIS) [yang memakai data

microbiologic ] atau modified CPIS (tanpa data microbiologic) juga diajukan

untuk meningkatkan konsistensi diagnostik. CPIS > 6 sering dipakai batasan

konsisten dengan diagnosis pneumonia.

Page 104: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

100

Tabel NNIS Clinical criteria for the diagnosis for pneumonia

Tabel CPIS Clinical Criteria for the Diagnosis of Pneumonia

Onset munculnya pneumonia merupakan variabel epidemiologi penting

sehubungan risk faktor patogen spesifik dan outcomes VAP. Early-onset

Page 105: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

101

VAP, yaitu pneumonia yang terjadi dalam 4 hari pertama perawatan,

biasanya prognosisnya baik, dan lebih disebabkan kuman sensitif antibiotika.

Late-onset VAP (5 hari atau lebih) adalah lebih disebabkan multidrug-

resistant (MDR) pathogens, dan dihubungkan dengan peningkatan

mortalitas dan morbiditas.

Bakteri yang sering ditemukan pada Early onset VAP diantaranya

Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae,

Proteus species, Serratia marcescens, Klebsiella pneumoniae, Escherichia

coli. Pada yang Late onset VAP sering ditemukan kuman MDR seperti

Pseudamonas aeruginosa, Methicillin-resistant Staphylococcus aureus,

Acinetobacter species, Enterobacter species.

MANAGEMENT

Banyak faktor yang berkontribusi dalam terjadinya VAP. Diantara strategi

yang dapat dilakukan dalam mencegah VAP seperti, modifikasi ETT

(subglottic secretion drainage systems, antimicrobial coating, alternative

cuff shapes and materials), mempertahankan tekanan inflasi cuff yang tepat,

sekresi ETT dibersihkan, memposisikan pasien miring lateral, kinetic therapy.

Menghindarkan tercabutnya ETT secara tak terencana, perbaikan

perencanaan ektubasi dengan weaning protocols yang dirancang untuk

meningkatkan kesuksesan ektubasi, dan pemakaian non-invasive ventilation

(NIV). Penurunan dosis sedasi berhubungan dengan lebih pendeknya lama

tinggal ICU dan memendeknya hari pemakaian intubasi.

The Institute for Healthcare Improvement (IHI) mempromosikan the

ventilator bundle sebagai suatu set interfensi dimaksudkan untuk

menghindarkan efek yang tidak diinginkan pada pasien yang memakai

ventilator. The ventilator bundle terdiri dari elevation of the head of bed,

daily ‘sedation vacation’ dan assessment kesiapan ektubasi, pencegahan

ulkus lambung dan deep venous thrombosis (DVT) prophylaxis.

Page 106: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

102

Early tracheostomy dianjurkan sebagai suatu upaya preventif VAP. Sering

menjadi perdebatan waktu yang tepat melakukan tracheotomy dalam

pencegahan VAP. Rumbak dkk, menunjukkan penurunnan signifikan

kejadian VAP dengan early tracheotomy (dalam 48 jam awal MV) dibanding

delayed tracheotomy (setelah 14sampai 16 hari), namun penelitian lebih

akhir dan multisenter menunjuknya perbedaan yang tidak bermakna.

Management optimal pasien dengan kecurigaan VAP memerlukan terapi

antibiotika appropriate awal yang tepat dan perawatan suportif secara

umum. Sebaiknya sampel mikrobiologi telah dikerjakan sebelum pemberian

antibiotika, namun jangan menunda pemberian antibiotika. Beberapa studi

menunjukkan bahwa penundaan pemberian terapi antibiotika yang efektif

akan meningkatkan angka mortalitas.

Gejala dan tanda VAP yang muncul secara jelas akan memudahkan

pemberian antibiotika namun tidak jarang gejala dan tanda VAP muncul

secara bertahap/ gradual sehingga kapan memulai pemberian antibiotika

menjadi sulit. Suatu penelitian pemberian antibiotika yang appropriate pada

pasien yang gejala dan tanda klinis VAP yang muncul secara bertahap

ternyata memberikan angka perbaikan klinis lebih awal.

Tabel . Terapi antibiotic empiris VAP

Page 107: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

103

Tabel. Terapi antibiotika empiris untuk VAP late onset

Page 108: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

104

Tabel. Dosis antibiotika intravena untuk dewasa

Suatu penelitian multisenter random kontrol studi mendapatkan bahwa

pasien VAP yang mendapatkan appropriate, initial empiric therapy selama 8

hari mempunyai outcome sama dengan pasien yang mendapatkan terapi 14

hari.

Ringkasan

VAP masih sering terjadi terutama pada pasien kritis dengan angka

morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hambatan utama dalam diagnosis

VAP karena tidak adanya goal standar dan akan tetap menjadi permasalahan

yang menonjol. VAP dapat dicegah dan kejadiannya dapat ditekan dengan

mengaplikasikan suatu bundle VAP. Tujuan utama managemen VAP adalah

segera memberikan antibiotika appropriate dalam dosis adekuat diikuti de-

eskalasi berdasarkan hasil kultur mikrobiologi dan respon klinis pasien.

Page 109: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

105

Daftar pustaka

Morris AC, Hay AW, Swann DG, et al.: Reducing ventilator-associated

pneumonia in intensive care: Impact of implementing a care bundle. Crit

Care Med 2011, 39:2218–2224.

Coppadoro A, Bittner E, Berra L. Novel preventive strategies for ventilator

associated pneumonia. Critical Care 2012, 16:210

Berwick DM, Calkins DR, McCannon CJ et al. The 100,000 lives campaign:

setting a goal and a deadline for improving health care quality. JAMA

2006;295:324–7.

Million Lives C. Getting Started Kit: Prevent Ventilator-Associated

Pneumonia How-to Guide Cambridge, MA: Institute for Healthcare

Improvement, 2008.

Luyt C-E, Chastre J, Fagon J-Y. Value of the clinical pulmonary infection score

for the identification and management of ventilator-associated pneumonia.

Intensive Care Med 2004;30:844–852

American Thoracic Society, Infectious Diseases Society of America.

Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-

associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care

Med 2005; 171: 388–416

Gil-Perotin S, Ramirez P, Marti V, Sahuquillo JM, Gonzalez E, Calleja I,

Menendez R, Bonastre J. Implications of endotracheal tube biofilm in

ventilator-associated pneumonia response: a state of concept. Critical Care

2012, 16:R93

Kalanuria AA, ZaiEmail W, Mirski M. Ventilator-associated pneumonia in the

ICU. Critical Care 2014;18:208

Email PR, Lopez-Ferraz C, Gordon M, Gimeno A, Villarreal E, Ruiz J,

Menendez R, Torres A. From starting mechanical ventilation to ventilator-

Page 110: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

106

associated pneumonia, choosing the right moment to start antibiotic

treatment. Critical Care 2016;20:169

Page 111: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

107

PNEUMONIA ASPIRASI

Ida Ayu Jasminarti D.K.

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

PENDAHULUAN

Aspirasi adalah proses inhalasi dari isi orofaring maupun lambung

ke dalam saluran napas bawah. Hal ini dapat menyebabkan suatu sindrom

yang ditentukan berdasarkan jumjlah, asal bahan yang teraspirasi, frekuensi

aspirasi, dan faktor inang yang dapat meningkatkan risiko kejadian aspirasi.

Ada empat tipe sindrom aspirasi. Aspirasi isi lambung menyebabkan

pneumonitis karena bahan kimia disebut sindrom Mendelson. Aspirasi

bakteri rongga mulut dan faring menyebabkan pneumonia aspirasi. Aspirasi

minyak menyebabkan pneumonia lipoid eksogen. Aspirasi benda asing

menyebabkan kegawatan respirasi dan pada beberapa kasus meningkatkan

risiko terjadinya pneumonia bakterial.1,2

Pneumonia aspirasi disebabkan oleh bakteri flora normal di rongga

mulut dan faring. Mikroorganisme yang dapat menyebabkan pneumonia ini,

antara lain Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza,

Staphylococcus aureus, dan bakteri Gram-negatif. Bakteri tersebut bersifat

virulen, sehingga hanya sedikit inokulum saja sudah dapat menyebabkan

pneumonia.2

Page 112: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

108

FAKTOR RISIKO ASPIRASI

Kondisi yang merupakan faktor predisposisi terjadinya pneumonia aspirasi

antara lain:

Penurunan kesadaran yang menyebabkan gangguan refleks batuk

dan penutupan glotis.

Disfagia akibat defisit neurologis.

Gangguan saluran gastrointestinal atas termasuk penyakit pada

esofagus, pembedahan yang melibatkan saluran napas atas atau

esofagus, dan refluks gaster.

Gangguan mekanik penutupan glotis atay sphincter cardia karena

trakeostomi, intubasi endotrakea, bronkoskopi, endoskopi saluran

cerna atas, dan nutrisi melalui nasogastrik.

Anastesi faringeal, dan kondisi lain seperti muntah berkepanjangan,

selang nutrisi bervolume besar, nutrisi melalui gastrostomi, posisi

telentang.

Terdapat keterkaitan antara penggunaan obat-obatan yang menekan asam

lambung dan kejadian pneumonia komunitas, pneumonia terkait

penggunaan ventilator, dan pneumonia nosokomial. Hilangnya barier asam

lambung menyebabkan peningkatan jumlah bakteri pada paru saat terjadi

aspirasi isi lambung.2,3

Page 113: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

109

GAMBARAN KLINIS

Gejala klinis pneumonia aspirasi karena infeksi bakteri tergantung

dari onset, bakteri yang terlibat, dan status pasien atau inang. Banyak kasus

pneumonia aspirasi disebabkan oleh bakteri anaerob dan aerob atau

stretococci microaerophilic yang merupakan flora normal di gusi. Bila

dibandingkan dengan pneumonia komunitas, gejala yang muncul pada

pneumonia aspirasi muncul perlahan dan menggigil merupakan gejala yang

jarang. Terdapat hubungan dengan penyakit periodontal, dan komplikasi ini

jarang dialami pada pasien yang hygiene giginya baik dan pasien yang tidak

punya gigi.2,3,4

Gejala pasien dengan pneumonia aspirasi antara lain batuk,

demam, dahak, purulen dan sesak, namun proses munculnya gejala tersebut

bukan dalam hitungan jam, melainkan memerlukan waktu beberapa hari

atau minggu.2

Walaupun gejala pneumonia aspirasi bersifat indolen, beberapa

pasien mengalami onset mendadak yang menunjukkan suatu pneumonia

pyogenik karena bakteri patogen, termasuk Streptococcus pneumoniae.

Beberapa pasien tidak menunjukkan gejala infeksi akut, namun muncul

beberapa waktu kemudian dengan komplikasi berupa supurasi dan nekrosis.

Abses paru, pneumonia yang menyebabkan nekrosis, atau empiema akibat

fistel bronkopleura muncul pada tahap lanjut pada pneumonia aspirasi yang

tidak diobati.2,3,4

Page 114: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

110

Gambatan klinis yang merupakan karakteristik pneumonia aspirasi

karena bakteri anaerob, antara lain:

Gejala indolen

Faktor predisposisi terjadinya aspirasi, antara lain gangguan

kesadaran karena obat terlarang, alkohol, atau anestesi, serta

disfagia.

Tidak ditemukan kuman patogen dari kultur dahak.

Dahak yang berbau busuk

Terbukti memiliki penyakit periodontal

Pencitraan radiologi menunjukkan nekrosis paru dengan asbses

paru dan atau empiema.

Aspirasi banyak terdapat pada lobus bawah paru jika posisi pasien

berdiri, atau segmen superior lobus bawah atau segmen posterior lobus atas

jika aspirasi terjadi saat posisi pasien telentang.4

MIKROBIOLOGI

Bakteri yang banyak diisolasi pada pasien pneumonia aspirasi

antara lain Peptostreptococcus, Fusobacterium nucleatum, Prevotella, dan

Bacteroides spp. Pada pasien yang menjalani perawatan jangka panjang

yang masuk di ruang terapi intensif dengan faktor risiko aspirasi didapatkan

bakteri basil gram negatif, diikuti bakteri anaerob dan S.aureus. Pasien

Page 115: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

111

dengan pneumonia aspirasi didapat dari komunitas ditemukan bakteri

campuran yaitu anaerob dan aerob, serta microaerophilic streptococci.2,3,4

TERAPI PNEUMONIA ASPIRASI

Antibiotika merupakan komponen penting pada tatalaksana

pneumonia aspirasi. Pada pasien yang tidak toksisk, pilihan antibiotika harus

mencakup bakteri tipikal pada pneumonia komunitas, antara lain ceftriakson

plus azitromycin, levofloxacin. Bila bakteri anaerob dicurigai merupakan

patogen penyebab pneumonia aspirasi, Clindamycin (600 mg intravena

setiap 8 jam diiukuti 300 mg oral 4 kali sehari atau 450 mg oral 3 kali sehari)

sebagai terapi lini pertama. Antibiotika alternatif berdasarkan uji klinis

antara lain amoxicillin-clavulanate (875 mg oral 2 kali sehari), atau

kombinasi metronidazole (500 mg oral atau intravena 3 kali sehari) plus

amoxicillin (500 mg oral 3 kali sehari) atau penicillin G (1-2 juta unit

intravena setiap 4 – 6 jam). Obat yang mungkin efektif adalah moxifloxacin,

macrolides, dan sefalosporin.2,3,4,5

Pada pneumonia nosokomial, basil gram negatif dan S.aureus

merupakan bakteri penyabab yang paling mungkin, sehingga antibiotika

yang dipilih harus sekaligus dapat mencakup bakteri gram negatif dan

bakteri anaerob. Golongan karbapenem atau piperacillin tazobactam

merupakan obat pilihan.2,3,4,5

Durasi terapi antibiotika untuk kasus tanpa komplikasi kavitas atau

empiema adalah 7 hingga 10 hari. Pasien dengan abses paru membutuhkan

Page 116: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

112

terapi yang lebih lama, biasanya hingga pada gambaran radiologis

menghilang atau dengan lesi residual minimal dan stabil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Reza Shariatzadeh M, Huang JQ, Marrie TJ. Differences in the

features of aspiration pneumonia according to site of acquisition:

community or continuing care facility. J Am Geriatr Soc 2006;

54:296.

2. Marik PE. Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N engl

J Med 2001; 344(9) : 665-671.

3. Marik PE. Aspiration pneumonia and dysphagia in the elderly.

CHEST 2003; 124 (1): 328-336.

4. Swaminathan A. Aspiration pneumonitis and pneumonia.

Medscape 2016.

5. Bartlett JG. How important are anaerobic bacteria in aspiration

pneumonia: when should they be treated and what is optimal

therapy. Infect Dis Clin Noert Am 2013; 27 (1): 149-155.

Page 117: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

113

PNEUMONIA VIRUS

I Ketut Agus Somia

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

LATAR BELAKANG

Virus merupakan salah satu penyebab pneumonia yang sering

dijumpai pada anak-anak, frekuensinya menurun pada usia dewasa muda

sampai pertengahan, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Insiden

pneumonia karena virus pada orang dewasa akhir-akhir ini cendrung

meningkat, oleh karena meningkatnya jumlah orang dengan berbagai

penyakit-penyakit kronis dan comorbiditas yang lain, serta semakin

berkembangnya tehnik diagnostic identifikasi virus. Pada penelitian

metaanalisis, dijumpai virus sebagai penyebab pneumonia komunitas

dewasa sebesar 24.5% (95% CI 21.5–27.5%; I2=92.9%).1 Sedangkan

pneumonia viral di rumah sakit sekitar 51.8% terjadi pada pasien

immunocompromise. 29,6 % pneumonia viral di rumah sakit dijumpai

merupakan co-infeksi saluran nafas, yang paling banyak adalah co-infeksi

dengan bacterial (57.6%), Viral co-infeksi antara HSV, CMV, atau keduanya

(33.3%). fungal (16.7%) dan co-infeksi lainnya (7.1%)2

Secara klinis sulit

membedakan antara pneumonia bakterial dan virus, namun petunjuk-

Page 118: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

114

petunjuk epidemiologis dan klinis tertentu dapat membantu kewaspadaan

klinisi terhadap diagnosis pneumonia karena virus.

ETIOLOGI

Sekitar 8.6% sampai 56.2% pneumonia yang di dapat di komunitas

disebabkan oleh virus.1 Virus RNA maupun DNA dapat menyebabkan

pneumonia. Beberapa family virus yang dapat menyebabkan pneumonia

adalah sebagai berikut:3

Adenoviridae: adenoviruses

Coronaviridae (coronaviruses) : SARS, MERS

Bunyaviridae (arboviruses): Hantavirus

Orthomyxoviridae (orthomyxoviruses): Influenza virus

Paramyxoviridae (paramyxoviruses): Parainfluenza virus (PIV),

respiratory syncytial virus (RSV), human metapneumovirus (hMPV),

measles virus

Picornaviridae (picornaviruses): Enteroviruses, coxsackievirus,

echovirus, enterovirus 71, rhinovirus

Reoviridae: rotavirus

Beberapa anggota family herpesviridae, merupakan patogen penyebab

pneumonia pada individu dengan defek imunitas seluler yaitu:

Page 119: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

115

Herpes simplex virus 1 (HSV-1) and herpes simplex virus 2 (HSV-2

Herpesvirus 6, herpesvirus 7, and herpesvirus 8

Varicella-zoster virus (VZV)

Cytomegalovirus (CMV)

Epstein-Barr virus (EBV)

Pada penelitian metaanalis penyebab pneumonia virus komunitas yang

paling sering berturut turut adalah: influenza, rhinovirus, respiratory

syncytial virus dan coronavirus.1 Dua jenis virus influenza yang dapat

menyebabkan pneumonia yang serius adalah influenza strain H5N1 (flu

burung) dan novel H1N1 2009. Sedangkan virus corona yang dapat

menyebabkan pneumonia yang berat adalah severe acute respiratory

syndrome (SARS) tahun 2003 dan Mers CoV.

TRANSMISI

Rute transmisi virus bervariasi tergantung dari jenis virus.

Penyebaran large-droplet dapat terjadi pada jarak yang sangat dekat (< 1

m), kontak tangan dengan kulit dan bahan/alat yang terkontaminsasi, serta

inokulasi kedalam mukosa nasal atau conjunctiva ( rhinovirus, RSV).

Penyebaran dapat juga terjadi melalui partikel aerosol yang sangat kecil

(influenza, adenovirus).

Page 120: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

116

Rute transmisi pada beberapa virus:

Faktor lingkungan (adenovirus, enterovirus, rhinovirus)

Kontak langsung dengan objek yang terkontaminasi (VZV)

Transplantasi dengan organ terkontaminasi (cytomegalovirus

[CMV]) atau produk darah (CMV)

Aspirasi virus yang ada dalam saliva (CMV, herpes simplex virus

[HSV])

Reaktivasi dari infeksi laten (HSV, CMV)

Penyebaran hematogen (CMV)

Penyebaran dari petugas kesehatan / nosokomial (Influenza, SARS,

Mers CoV, measles, adenovirus, parainfluenza virus, RSV).

Penyebaran dari unggas ( Virus influenza H5N1), babi Hvirus

influenza H1N1), rodent (virus Hanta)

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dan patogenesis pneumonia viral belum sepenuhnya

dipahami. Secara umum, setelah kontaminasi, virus-virus saluran nafas

cendrung bermultiplikasi dalam epitel saluran nafas bagian atas, kemudian

menginfeksi paru melalui sekresi saluran nafas atau secara hematogen.

Mekanisme kerusakan jaringan ikat paru tergantung dari jenis virus.

Beberapa virus bersifat sitopatik, secara langsung merusak pneumosit atau

sel sel bronkial. Sedangkan virus yang lain menimbulkan kerusakan melalui

Page 121: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

117

respon inflamasi yang sangat besar sebagai akibat respon imun dalam

proses patogeniknya.5

Respon imun dapat dikelompokkan berdasarkan pola

produksi sitokin. Sitokin type 1 mempromosikan imunitas yang diperantarai

oleh sel. Sedangkan sitokin type 2 memediasi respon alergi. Respon

humoral, imunitas yang diperantarai oleh sel tampaknya berperan penting

dalam penyembuhan infeksi virus. Virus menyebabkan kerusakan saluran

nafas dan merangsang berbagai faktor-faktor humoral seperti histamine,

leukotriene C4, dan virus-specific immunoglobulin E pada infeksi RSV dan

bradykinin, interleukin 1, interleukin 6, dan interleukin 8 pada infeksi

rhinovirus. Infeksi RSV dapat juga mengganggu pola kolonisasi bacterial,

meningkatkan bacterial adherence pada epitel saluran nafas, menurunkan

bersihan mucociliary dan mengganggu pagositosis sel host terhadap bakteri.

5

MANIFESTASI KLINIS

Secara umum semua virus respirasi dapat menyebabkan infeksi

saluran nafas atas, otitis media, bronciolitis, pneumonia dan obstruksi

saluran nafas. Akan tetapi pneumonia lebih sering dijumpai akibat infeksi

virus influenza, RSV, hMPV, coronavirus, rhinovirus, dan PIV. Berikut dibahas

manifestasi klinis beberapa pneumonia viral yang penting.

Page 122: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

118

Influenza.

Gambaran klinis influenza non komplikata sangat sulit dibedakan

dari infeksi virus saluran nafas lainnya. Secara klasik infeksi influenza

ditandai dengan nyeri kepala tiba-tiba, demam tinggi, menggigil, batuk

kering, iritasi tenggorokkan, mialgia, malaise, dan anorexia. Demam rata-

rata berlangsung sekitar 3 hari (antara 2 - 8 hari). Pada awalnya batuk tidak

produktif dan tidak purulen, bisa berlangsung selama beberapa minggu.

Hipereaktivitas bronchial dan disfungsi saluran nafas kecil sering terjadi

pada infeksi virus influenza. Wheezing dapat terdengar ada kondisi dimana

terdapat astma atau penyakit struktural paru. Muntah muntah dan diare

jarang ditemukan pada influenza musiman, akan tetapi sering terjadi pada

influenza A pandemic 2009.

Pneumonia dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sering

menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada influenza A H5N1

dan H1N1 pandemic 2009. Pneumonia dapat terjadi akibat kelanjutan dari

sindroma influenza akut ( pneumonia primer), atau akibat infeksi campuran

viral dan bacterial yang terjadi setelah beberapa hari kemudian (secondary

pneumonia sekunder). 6

Page 123: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

119

Respiratory syncytial virus

Manifestasi klinis pneumonia karena RSV sangat sulit dibedakan

dengan pneumonia viral lainnya. Sesak dan batuk sering dijumpai (60%–

80%) tetapi tidak khas. RSV secara khas dimulai dengan nasal kongesti,

secara graduil memberat menjadi wheezing dan sulit bernafas.

Dibandingkan influenza RSV lebih sering disertai dengan rhinorrhea,

produksi sputum dan wheezing sedangkan demam dan keluhan

gastrointestinal lebih sering dijumpai pada influenza.4

Parainfluenza viruses (PIVs).

PIV merupakan paramyxoviruses yang bisa menyebabkan croup,

bronchitis dan pneumonia pada anak-anak. Sekitar 1- 15% Infeksi saluran

nafas akut, dengan pneumonia dilaporkan pada dewasa muda. pada

dewasa. Sindroma klinis ditandai dengan demam, rhinorrhea, batuk dan

nyeri menelan.4

Corona virus

Gambaran klinis yang khas dari Mers CoV diawali dengan demam,

batuk, menggigil, nyeri tenggorokan, artralgia, diare dan diikuti dengan

dispnea dan pneumonia yang cepat memburuk dalam minggu pertama,

sering memerlukan dukungan ventilator dan organ lainnya. Faktor risiko

terjadinya penyakit yang berat adalah pasien immunocompromise,

Page 124: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

120

comorbiditas seperti obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung dan

penyakit paru.7

Metapneumonia

Manifestasi klinis infeksi hMPV sangat sulit dibedakan dengan

infeksi RSV pada anak-anak. Infeksi hMPV umumnya menyebabkan

bronchioli-tis, bronchitis dan pneumonia. Gambaran klinisnya meliputi

demam, batuk, hypoxia, infeksi saluran nafas atas, infeksi saluran nafas

bawah dan wheezing. Akan tetapi yang sering menyebabkan rawat inap

adalah bronchiolitis dan pneumonia. Durasi demam pada infeksi hMPV kira-

kira 10 hari. hMPv dapat mencetuskan eksaserbasi asthma bronkiale dan

memperburuk COPD. 8

LABOTARORIUM

Seperti infeksi virus pada umumnya, pada pemeriksaan darah

lengkap biasanya ditemukan leukopenia, limfopenia dan kadang-kadang

trombositopenia ringan. Pada beberapa kasus yang komplikata dapat

dijumpai koagulopati konsumtif, peningkatan kadar kreatinin serum, LDH

dan transaminase.

Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi virus diambil dari usapan

saluran nafas atas ( nasal dan nasopharyngeal) dan usapan saluran nafas

bawah [aspirate tracheal dan bronchoalveolar lavage fluid (BAL)] Pada

Page 125: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

121

kasus – kasus yang sangat infeksius seperti infeksi influenza A H5N1 dan

MersCoV, pengambilan specimen dilakukan di ruangan isolasi. Baku emas

diagnosis pneumonia virus adalah biakan virus. Kelemahan pemeriksaan

biakan virus adalah hasil pemeriksaan yang cukup lama yaitu beberapa hari

sampai minggu. Dibandingkan pemeriksaan pada table 1, PCR merupakan

pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi keberadaan virus respirasi.9

Table 1. Karakteristik pemeriksaan untuk diagnostik virus respirasi. 9

Virus Jenis Pemeriksaan

Kultur Rapid EIA DFA/IFA PCR Tes

serologi

Influenza ++ + + +++ ++

RSV + +/- +/- +++ +++

hMPV +/- +/- +/- +++ +++

PIV + 0 +/- +++ +++

Coronavirus 0 0 0 +++ +++

Adenovirus + 0 +/- +++ +

Rhinovirus + 0 0 +++ 0

DFA: direct fluorescent antibody, EIA: enzyme immunoassay; IFA:

immunofluorescent antibody, PCR: polymerase chain reaction

Page 126: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

122

RADIOLOGIS

Gambaran foto dada pneumonia karena influenza sulit dibedakan

dari edema pulmoner, yang menunjukkan gambaran kongesti perihilar,

opasifikasi yang kabur, paling sering pada lobus bawah. Sering juga dijumpai

efusi pleura. Pada Computed tomography scans dada dapat dibedakan

antara pneumonia viral primer dengan bronchiolitis dan pneumonia

interstitial

Pada Mers CoV gambaran foto polos dan CT Scan dada konsisten

seperti pneumonia viral dan ARDS dengan gambaran infiltrate hilar bilateral

unilateral atau bilateral bercak-bercak padat, atau inflitrat, opasitas

segmental atau lobaris, ground-glass opacities, dan efusi pleural minimal.

Umumnya pada lobus bawah.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarakan gambaran klinis, laboratorium

dan radiologis, serta juga mempertimbangkan faktor epidemiologis riwayat

berpergian atau berasal dari daerah endemis yang sedang mengalami

wabah, dan riwayat kontak dengan sumber infeksi hewan ataupun manusia.

Page 127: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

123

TATALAKSANA

Pra rumah sakit dan UGD

Tatalaksana Pra rumah sakit meliputi:

Pemberian Oxygen

Pemasangan akses intravenous

Pemantauan saturasi oxygen dan pemantaun jantung

Pada kasus yang dicurigai influenza A H5N1, segera diberikan

oseltamivir 150 mg per oral.

Unit Gawat darurat:

Pemberian oxygen

Pemantauan saturasi oksigen dan jantung

Pengambilan specimen sputum dan darah

Terapi antiviral empiric influenza A H5N1 (oseltamivir 150 mg per

oral)

Konsultasi

Pulmonologist

Spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropic dan infeksi

Spesialis penyakit dalam konsultan intensive care

Page 128: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

124

Terapi antivirus spesifik

Tabel.2 Terapi antivirus dan Pencegahan

Virus Terapi Pencegahan

Virus influenza

Oseltamivir Vaksin influenza Peramivir Chemoprofilaksis

Oseltamivir

Zanamivir

RSV Ribavirin Immunoglobulin RSV Palivizumab

Parainfluenza virus Ribavirin Adenovirus Ribavirin

Herpes simplex Acyclovir Varicella zoster Acyclovir Vaksin Varicella-zoster

Valacyclovir Varicella-zoster immunoglobulin

Cytomegalovirus Ganciclovir Immunoglobulin IV Valaganciclovir

Foscarnet

Kepustakaan

1. Burk M, El-Kersh K, Saad M, Wiemken T, Ramirez J. Cavallazzi R. 2016. Viral infection in community-acquired pneumonia: a systematic review and meta-analysis. Eur Respir Rev; 25: 178–188

2. Crotty MP, Meyers S, Hampton N, Bledsoe S, Ritchie DJ, Buller RS, Storch GA, Micek ST, Kollef MH. 2015. Epidemiology, Co-Infections, and Outcomes of Viral Pneumonia in Adults: An Observational Cohort Study. Medicine (Baltimore). 2015 Dec;94(50):e2332.

Page 129: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

125

3. Cesario TC. 2012.Viruses Associated With Pneumonia in Adults. CID:55: 107-113

4. Falsey AR, Walsh EE. Viral Pneumonia in Older Adults.2006. CID :42: 518-24

5. Mosenifar Z, Byrd RP. 2015. Viral Pneumonia. Available: http://emedicine.medscape.com/article/300455-overview

6. Rello J, Pop-Vicas A. 2009. Clinical review: Primary influenza viral pneumonia. Critical Care, 13:235

7. Zumla A, Hui DS, Perlman S. 2015. Middle East Respiratory Syndrome. Lancet.:386(9997): 995–1007.

8. Panda S, Mohakud NK, Pena L, Kumar S. 2014. Human metapneumovirus: review of an important respiratory pathogen International Journal of Infectious Diseases; 25: 45–52

9. Talbot HK, Falsey AR. 2010. The Diagnosis of Viral Respiratory Disease in Older Adults. Clinical Infectious Diseases ; 50:747–751

10. Nichols WG, Campbell AJP, Boeckh M. 2008. Respiratory Viruses Other than Influenza Virus: Impact and Therapeutic Advances. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS,;21:274–290

Page 130: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

126

Diagnosis dan Penatalaksanaan Mikosis Paru Ida Bagus Suta

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Penyakit paru yang disebabkan oleh infeksi jamur semakin banyak

ditemukan seiring dengan meningkatnya perhatian klinisi terhadap jamur

paru dan teknik pemeriksaan yang semakin baik. Mikosis paru adalah

gangguan paru (termasuk saluran napas) yang disebabkan oleh infeksi/

kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap jamur.1,2

Insiden, diagnosis, dan keparahan klinis infeksi jamur pada paru

meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Banyaknya

pasien dengan keganasan dan imunkompromis, penyakit hematologi, dan

HIV, serta mereka yang menerima rejimen obat immunosupresif untuk

penatalaksanaan transplantasi organ atau kondisi inflamasi autoimun, telah

memberikan kontribusi yang signifikan terjadinya peningkatan kejadian

infeksi ini.2,3

Secara umum jamur yang menginfeksi paru dibagi menjadi dua

kelompok yaitu jamur pathogen/mikosis endemik (histoplasmosis,

blastomikosis, koksidioidomikosis, parakoksidioidomikosis, spoorotrikosis

dan kriptokokosis) dan infeksi jamur khusus yakni infeksi jamur oportunistik

(aspergilosis, mukormikosis, kandidiasis dan kriptokokosis). Berdasarkan

Page 131: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

127

kondisi pasien, mikosis paru terjadi pada 2 keadaan : menyertai kelainan

paru kronik yang sudah ada dan keadaaan imunokompromis.1,2,3,5

Distribusi jamur endemik di Amerika Serikat yang lazim di Sungai

Mississippi Valley dan Lembah Sungai Ohio (misalnya H capsulatum, B

dermatitidis), Amerika Serikat barat daya, dan barat laut Mexico (misalnya C

immitis). Jamur telah menyebabkan beberapa wabah pneumonia di

Argentina dan daerah lain Amerika Tengah dan Selatan.2,3

Organisme oportunistik biasanya ditemukan di seluruh dunia, dan

cenderung menyebabkan penyakit pada host dengan penurunan kekebalan.

Mikosis jamur endemik pada host sehat akibat C immitis adalah yang paling

ganas , tetapi 90 % pasien sembuh tanpa pengobatan. Namun, kelainan

paru kronis atau komplikasi yang mungkin ditemukan dapat menjadi

kavitas, efusi pleura dan fistula bronkopleural. Pada pasien dengan AIDS,

angka kematian setinggi 70 %. Aspergillosis pada pasien neutropeni (baik

dari kemoterapi leukemia atau transplantasi sumsum tulang) memiliki

tingkat kematian 50-85 %. Lebih sering, infeksi aspergillosis dan infeksi

kandida atau meningoencephalitis karena kriptokokosis.3

Mikosis paru yang

paling sering dilaporkan dan memerlukan pengobatan adalah aspergilosis,

PCP, kandidiasis dan histoplasmosis. Diagnosis mikosis paru masih sulit

sehingga penatalaksanaan sering terlambat. Walaupun kasusnya relatif

masih jarang bila dibandingkan infeksi bakteri atau virus, infeksi jamur

penting karena dapat diobati dan keterlambatan terapi dapat berakibat

fatal.

Page 132: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

128

Patogenesis

Jamur terdapat di mana-mana dan pajanan terhadap saluran napas

sulit dihindarkan sehingga paru merupakan salah satu target infeksi oleh

jamur. Mikosis primer terjadi bila spora terhirup melalui saluran nafas.

Infeksi jamur terjadi setelah menghirup spora, setelah menghirup konidia,

atau oleh reaktivasi dari infeksi laten. Penyebaran hematogen sering terjadi

terutama pada host imunokompromis. Jika infeksi terjadi pada parenkim

paru disebut pneumonia jamur yang merupakan proses infeksi di paru yang

disebabkan oleh 1 atau lebih jamur endemik atau oportunistik. Timbulnya

kelainan pada paru dipengaruhi oleh faktor virulensi jamur berupa

dimorfisme termal, produksi toksin, kapsul dan faktor adhesi, adanya enzim

hidrolitik, serta stimulasi oleh inflamasi. Pertahanan lokal antijamur pada

tubuh host meliputi integritas mukosa dan silia pernapasan, sedangkan

pertahanan sistemik yang penting adalah imunitas sel, fagositosis, dan reaksi

peradangan. Umumnya spora terinhalasi dan masuk ke saluran napas bawah

kecuali kandidiasis dan sporotirokosis. Selanjutnya jamur dapat masuk

dalam peredaran darah lalu menyebar secara limfogen ke dalam hilus dan

mediastinum kemudian secara hematogen ke organ lain sehingga terjadi

kelainan pada organ tersebut.2,3,5

Jamur patogen endemik (misalnya Histoplasma capsulatum,

Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis, Paracoccidioides

brasiliensis) menyebabkan infeksi pada host sehat dan pada orang

imunokompromis yang terdapat di Amerika dan seluruh dunia. Organisme

jamur oportunistik (misalnya Candida spesies, spesies Aspergillus, Mucor

Page 133: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

129

spesies, Cryptococcus neoformans) cenderung menyebabkan pneumonia

pada pasien dengan cacat bawaan atau host imunokompromis. Kelompok

jamur oportunistik hanya menginfeksi pejamu dengan gangguan pada

sistem imun atau bila terdapat faktor predisposisi. Pada keadaan normal

spora jamur oportunistik sulit menginvasi mukosa saluran napas. Pada

penderita dengan komorbid atau imunokompromis, spora yang terinhalasi

dan berkolonisasi akan menginvasi jaringan paru dan berkembang sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan paru dan menimbulkan gejala klinis.

Makrofag paru berfungsi membunuh jamur pada keadaan status imun yang

baik, namun bila pertahanan makrofag gagal maka hifa yang berisi

konidiofora dapat melepaskan spora. Hifa sebagai antigen akan

mengaktivasi komplemen dalam serum, meningkatkan faktor kemotaktik,

fagosit dan meningkatkan degranulasi neutrofil serta merangsang kerja sel T

untuk membunuh jamur yang masuk. Imunitas nonspesifik dilakukan oleh

natural killer cell sedang imunitas spesifik diperankan oleh sel T sitotoksik

dalam menghancurkan jamur. Sistem pertahanan tubuh baik spesifik

maupun nonspesifik tidak dapat berfungsi dengan baik pada individu yang

mempunyai status imun buruk, seperti pemakaian kortikosteroid lama,

diabetes mellitus dan usia lanjut.2,3,4

Komplikasi mikosis paru meliputi 1) penyebaran penyakit ke organ

lain ( misalnya otak, meningens, kulit, hati, limpa, ginjal, adrenal, hati, mata)

dan sindrom sepsis dan 2) invasi pembuluh darah, yang dapat menyebabkan

hemoptisis, infark miokard, emboli serebral , infark serebral, atau kebutaan.

Page 134: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

130

Prognosis dihubungkan dengan tingkat keparahan penyakit yang mendasari

dan mungkin dipengaruhi status kekebalan pasien.4,5

Faktor Risiko

Faktor resiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang

mempermudah pasien mengalami mikosis paru. Faktor resiko yang sering

dilaporkan antara lain: kolonisasi jamur, penggunaan jangka panjang

antimikroba berspektrum luas, kortikosteroid sistemik, obat sitostatika,

serta alat-alat kesehatan invasif. Faktor resiko lainnya, pekerja atau petani

dengan paparan berat terhadap burung, kelelawar, atau kotoran hewan

pengerat atau kotoran hewan lainnya di daerah endemik cenderung menjadi

salah satu penyebab pneumonia jamur endemik. C immitis, karena

virulensinya, juga merupakan penyebab mikosis di kalangan pegawai

laboratorium. Kondisi yang mempengaruhi pasien terinfeksi jamur patogen

oportunistik adalah sebagai berikut: Leukemia akut atau limfoma selama

kemoterapi myeloablative sumsum tulang atau transplantasi sel

induk, transplantasi organ padat, pengobatan imunosupresif, terapi

kortikosteroid berkepanjangan, Acquired immunodeficiency

syndrome, Neutropenia berkepanjangan dari berbagai penyebab, sindrom

defisiensi imun, postsplenectomy, dan predisposisi genetik.

Beberapa penyakit meningkatkan resiko mikosis paru dan berperan

penting dalam kriteria diagnosis mikosis paru. Dalam Pedoman Diagnosis

Page 135: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

131

dan Penatalaksanaan Mikosis Paru di Indonesia, penyakit atau kondisi yang

sering berkaitan dengan risiko mikosis paru sebagai berikut:

- Resiko infeksi Aspergilosis, pasien dengan keganasan darah, pasien yang

menjalani transplantasi sumsum tulang dan organ solid terutama

transplantasi paru, pasien yang menjalani perawatan ICU dengan resiko

sedang (terapi kortikosteroid jangka panjang lebih dari 4 minggu, PPOK

penerima kortikosteroid sistemik, sirosis hati dengan masa rawat lama,

infeksi HIV/AIDS tahap lanjut, pengobatan sitostatika) dan resiko rendah

(luka bakar luas, malnutrisi, transplantasi organ solid selain paru, masa

rawat di ICU lebih dari 21 hari, penerima kortikosteroid sistemik lebih dari

7 hari, pasca bedah jantung), pasien gagal ginjal, diabetes mellitus dan

near drowning (hampir tenggelam). Resiko PCP, kriptokokosis, pasien

terinfeksi HIV dengan nilai hitung CD4+ kurang dari 200 sel/mm3.

- Resiko mukormikosis, pasien transplantasi ginjal.

- Resiko kondidosis, pasien transplantasi jantung, perawaatan ICU,

menggunakan kateter vena central, menerima nutrisi parenteral,

neutropenia, menggunakan alat prostetik implan, menerima terapi

imunosupresif termasuk kortikosteroid, kemoterapi dan

imunomodulator.1,2, 4,5

Gejala Klinik

Gambaran klinis infeksi jamur paru bisa simtomatik atau

asimpomastik. Pada yang simtomatik gejala dapat berupa batuk, batuk

kronik dengan dahak mukoid atau purulen, batuk darah, kadang-kadang

Page 136: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

132

disertai sesak napas, nyeri dada dan demam akut. Keluhan pasien umumnya

sama dengan keluhan penyakit paru pada umumnya. Gejala yang muncul

dapat demam, batuk biasanya produktif, nyeri dada atau nyeri pleiritik.

Dispnea menyebabkan kegagalan pernafasan. Gejala obstruktif dari

adenopati mediastinum dapat ditemukan. Hemoptisis terjadi akibat

aspergillosis invasif atau mucormycosis. Riwayat perjalanan ke daerah

endemik mikosis atau paparan juga penting dalam anamnesis pasien. Pada

pasien neutropenia atau immunocompromised, demam persisten bahkan

sebelum ada temuan paru mungkin merupakan tanda awal infeksi, terutama

jika demam tidak responsif terhadap antibiotik spektrum luas.

Hipersensitivitas atau reaksi alergi termasuk asma bronkial alergi, mikosis

bronkopulmonalis alergi (spesies Aspergillus, Candida).1,2,3,5,

Temuan pemeriksaan fisik pada pasien dengan mikosis paru yang

mungkin adalah: peningkatan suhu, takikardia, gangguan pernapasan, rales,

tanda-tanda konsolidasi paru, nyeri pleura yang sulit dibedakan dengan

penyakit paru lainnya. Kemungkinan temuan diluar paru yang penting

meliputi: Meningitis (kekakuan leher, sakit kepala, perubahan status

mental), Lesi kulit (pustula, papula, plak, nodul, borok, abses, lesi

hemoragik).2,3,4,5

Jumlah sel darah putih mungkin meningkat pada host normal

dengan mikosis endemik. Eosinofilia dapat ditemukan, terutama pada orang

dengan coccidioidomycosis. Pada pasien dengan neutropenia atau

leukopenia, kemungkinan untuk terjadinya infeksi oportunistik Candida atau

Page 137: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

133

Aspergillus meningkat. Gambaran rontgen toraks pada sebagian besar

mikosis paru tidak menunjukkan ciri khas, dapat ditemukan infiltrat

interstisial, terlokalisir atau difus, konsolidasi, nodul multipel, kavitas, efusi

pleura dan adenopati hilus. Gambaran khas yang dapat terlihat pada

aspergiloma yaitu massa fungus ball dalam kavitas. Hasil laboratorium rutin

yang mungkin berkaitan dengan mikosis paru adalah peningkatan jumlah sel

eosinofil.1,2,5,6

Diagnosis

Diagnosis mikosis paru umumnya didapatkan secara kebetulan atau

terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap jamur. Specimen bahan

pemeriksaan didapatkan dari sputum, cairan serebrospinal, bilasan bronkus,

cairan BAL, biopsi paru transbronkial, biopsi transtorakal atau biopsi paru

terbuka. Histoplasmosis primer sering tidak terdiagnosis. Pemeriksaan

sputum langsung tidak terdapat gambaran yang pasti, berbeda bila

pemeriksaan ini dilakukan pada blastinomikosis dan koksidiomikosis.

Pemeriksaan sputum pada aspergilosis, kandidiasis dan kriptokokosis kurang

memberikan manfaat. Uji serologi yang sering digunakan untuk pemeriksaan

jamur paru adalah uji imunodifusi dan uji fiksasi komplemen.2, 6,7

Sebagian besar mikosis paru tidak ada ciri khas pada gambaran foto

toraks, bisa ditemukan infiltrat interstisial, konsolidasi, nodul multipel,

kavitas, dan efusi pleura. Gambaran foto toraks yang khas adalah fungus

ball dalam kavitas pada aspergiloma. Hasil yang lebih baik didapatkan pada

pemeriksaan CT-scan toraks. Hasil laboratorium rutin yang mungkin

Page 138: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

134

berhubungan dengan mikosis paru adalah jumlah sel eosinofil yang

meningkat. Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis mikosis

paru yang sangat penting. Kualitas pemeriksaan ini ditentukan oleh

pemilihan, pengumpulan dan pengiriman spesimen. Penanganan spesimen

yang tidak memadai dapat mengakibatkan ketidaktepatan diagnosis.

Spesimen bisa didapatkan dari sputum, bilasan bronkus, kurasan

bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage/BAL), jaringan biopsi, darah, pus

dan lain-lain.5,6,7

Jaringan hasil biopsi mempunyai arti klinik paling tinggi karena

penemuan jamur dalam jaringan dapat memastikan diagnosis mikosis.

Spesimen biopsi sebaiknya diambil dari tengah dan tepi lesi, selanjutnya

diletakkan di antara kasa steril yang sedikit dibasahi dengan larutan garam

fisiologis untuk mencegah kekeringan. Jangan diberi bahan pengawet karena

akan emematikan jamur dalam jaringan sehingga tidak dapat dilakukan

proses pembiakan serta uji kepekaan jamur terhadap obat anti jamur.

Spesimen darah untuk pemeriksaan serologi sebanyak 2,5 - 5 ml diambil

dengan semprit steril tanpa bahan pengawet lalu dikirim secepatnya ke

laboratorium. Untuk biakan darah saja, diperlukan 5-10 ml darah dan

sebaiknya diberi antikoagulan.8,9,12

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis mikosis paru dilakukan

dengan tiga metode yaitu mikroskopik, biakan dan serologi1,8

. Prosedur

diagnostik berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid (DNA) jamur saat ini

Page 139: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

135

sedang dikembangkan, namun biakan spesimen dan hasil biopsi jaringan

masih menjadi baku emas diagnosis mikosis paru.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam diagnosis

mikosis paru adalah sebagai berikut.:

1. Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan sputum dan pengecatan Kalium Hidroksida sangat

penting dalam idantifikasi jamur. Pemeriksaan ini dapat menemukan hifa

jamur atau ragi. Namun harus berkorelasi dengan kondisi klinis, karena

infeksi saprophytic pada saluran orofaringeal atau beberapa pasien dan

mungkin tidak selalu menunjukkan infeksi invasif. Hati-hati transportasi,

proses, dan kultur spesimen yang mungkin terkontaminasi oleh bakteri, ragi

mungkin saprophytic endogen ke rongga mulut, dan mungkin konidia jamur

saprofit diudara.

Pemeriksaan spesimen secara langsung maupun dengan

pewarnaan harus selalu dilaksanakan karena dapat mendiagnosis

kemungkinan infeksi jamur secara cepat, mudah dan murah, meskipun nilai

diagnostiknya sangat bervariasi (10-90%) bergantung kepada spesies jamur

yang ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung dilakukan dengan

menambahkan larutan garam fisiologis, KOH 10% atau tinta India.

Pemeriksaan langsung sputum, bilasan bronkus, BAL, atau spesimen lain

dapat mendeteksi elemen jamur secara umumberupa spora maupun

hifa. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan Giemsa, gomori

methenaminsilver (GMS), calcofluor, maupun deteksi antobodi monoklonal

Page 140: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

136

dengan pewarnaan imunoflueresens yang lebih sensitif dibandingkan

dengan pewarnaan biasa. Pemeriksaan langsung cairan serebrospinal,

bilasan bronkus atau BAL dengan tinta India sangat bermanfaat dalam

mendiagnosis kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV

dengan pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan sensitivitas 35-60%,

sedangkan BAL menunjukkan sensitivitas 85-95% dalam mendiagnosis

PCP.8,9,12

2. Biakan

Pemeriksaan biakan mempunyai nilai diagnostik tinggi bahkan

menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur tertentu. Biakan darah

merupakan baku emas diagnosis infeksi Candida dalam darah (kandidemia),

namun sebaliknya untuk diagnosis PCP karena P.jiroveci sampai saat ini

belum dapat dibiakkan. Sensitivitas biakan pada histoplasmosis akut hanya

15%, sedang pada histoplasmosis diseminata sensitivitasnya bisa >85%.

Meskipun pemeriksaan biakan jamur membutuhkan waktu beberapa hari

sampai minggu, namun perlu dilakukan untuk identifikasi spesies dan uji

kepekaan jamur terhadap obat anti jamur. Kultur darah dan urine

diperlukan untuk mengidentifikasi spesies Candida atau B-dermatitidis jika

terjadi penyebaran hematogen. Kultur jamur urine pada pria untuk

mengidentifikasi spesies Cryptococcus.6, 7, 8.

3. Serologi

Uji serologi digunakan untuk mendeteksi reaksi antibodi pejamu

terhadap elemen-elemen jamur. Nilai diagnostiknya sangat terbatas

Page 141: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

137

sehingga perlu hati-hati dalam interpretasi hasil. Dewasa ini telah

dikembangkan deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi. Uji

ini didasarkan atas deteksi komponen dinding jamur yang dilepaskan ke

dalam aliran darah atau cairan tubuh lain pada saat jamur berproliferasi. Uji

antigen cryptococcus spp dari serum atau cairan serebrospinal sangat

bermanfaat dalam diagnosis kriptokokosis karena nilai sensitifitas dan

spesifisitas yang tinggi. Uji antigen Histoplasma spp dalam urin memiliki

sensitivitas >90% dan spesifisitas >95% dalam mendiagnosis histoplasmosis.

Uji antigen galaktomanan Aspergyllus spp menunjukkan sensitivitas 61-71%

dan spesifisitas 89-93% dalam mendeteksi aspergilosis invasif. Perlu

diperhatikan hasil positif palsu pada pasien yang medapatkan terapi

antibiotik golongan beta-laktam dan pasien pasien dengan infeksi

Pencillium karena tyerdapat reaktivitas silang. Metode nonkulture untuk

mendeteksi infeksi jamur memberikan tes yang lebih cepat dan sensitif bila

dibandingkan dengan kultur. Berbagai tes deteksi antigen , seperti

galactomannan enzim immunoassay untuk mendeteksi infeksi invasif

Aspergillus. Untuk Aspergillus, galactomannan ELISA mungkin positif dalam

darah sebelum ditemukan klinis infeksi jamur invasif dan dapat digunakan

dalam pemantauan dan profilaksis pada populasi berisiko tinggi.3,5

4. Polimerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR dan real-time PCR sedang dikembangkan, namun

masih digunakan secara terbatas karena belum ada standarisasi dan validasi.

Polymerase chain reaction (PCR) juga dapat mendeteksi berbagai jamur

patogen, termasuk Aspergillus, Histoplasma, dan spesies Candida.

Page 142: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

138

Perbandingan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay [ELISA]

atau aglutinasi lateks dan deteksi molekuler dengan PCR menunjukkan

spesifisitas yang sama ≥ 97% dalam mendeteksi spesies Candida. PCR yang

paling sensitif dibandingkan dengan ELISA dan aglutinasi lateks (masing-

masing 95%, 75%, dan 25%). PCR Aspergillus adalah yang paling sensitif (

100 % ) jika dilakukan pada cairan lavage bronkial pasien dengan

aspergillosis paru invasif , tetapi hanya 40-66 % yang sensitif ketika

dilakukan PCR pada darah.5, 6, 12

ELISA atau lateks aglutinasi adalah 70-80 %

sensitif untuk mengidentifikasi H capsulatum dan C immitis. PCR untuk H

capsulatum dari cairan bronchoalveolar lavage dapat dideteksi dalam

waktu 24 jam pada pasien dengan AIDS , dan dapat dikonfirmasi 10 hari

kemudian isolasi kultur jaringan.

Diagnosis definitif infeksi jamur paru juga telah meningkat seiring

kemajuan dalam metode dan teknik diagnostik, termasuk penggunaan

computed tomography (CT) dan tomografi emisi positron (PET) scan,

bronkoskopi, mediastinoscopy, dan video-dibantu biopsi thorascopic.

Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis yang sangat penting,

spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, kurasan

bronkoalveolar (BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus. Baku emas

diagnosis mikosis paru berasal dar biakan spesimen maupun hasil biopsi

jaringan.8,9,12

Hal penting dalam diagnosis mikosis paru adalah faktor

pejamu (risiko), gambaran klinis yang muncul dan pemeriksaan mikologi.

Dalam penegakan diagnosis mikosis paru telah dikenal kriteria yang

menentukan derajat diagnosis adalah proven, probable dan possible.

Page 143: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

139

Kriteria diagnosis proven adalah bila ditemukan faktor pejamu dan

gambaran klinis dan hasil pemeriksaan mikologi positif sebagai berikut:

pemeriksaan histologi atau sitokimia menunjukkan elemen jamur positif dari

hasil biopsi atau aspirasi disertai bukti kerusakan jaringan (secara

mikroskopik atau radiologi); atau biakan positif dari spesimen yang berasal

dari tempat steril serta secara klinis dan radiologi menunjukkan kelainan/lesi

yang sesuai dengan infeksi; atau pemeriksaan mikroskopik/ antigen

Cryptococcus dari likuor serebrospinal. Kriteria diagnosis probable jika

paling sedikit terdapat satu kriteria klinis mayor atau dua kriteria klinis

minor pada lokasi lesi abnormal yang sesuai dengan kondisi infeksi secara

klinis atau radiologi, dan satu kriteria mikologi. Kriteria diagnosis possible

jika paling sedikit terdapat satu kriteria faktor pejamu, dan satu kriteria

klinis mayor atau dua kriteria klinis minor dari lokasi lesi abnormal yang

sesuai dengan kondisi infeksi secara klinis atau radiologi, tanpa kriteria

mikologi atau hasil pemeriksaan mikologi negatif.

Krieria faktor pejamu, gambaran klinis dan hasil pemeriksaan mikologi untuk

menentukan diagnosis mikosis sistemik/invasif adalah :

Faktor pejamu

Neutropenia (netrofil <500/mm3 selama > 10 hari)

Penerima transplantasi sumsum tulang alogenik

Penerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata

dosis minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama > 3

minggu

Penerima terapi imunosupresan

Pasien imunodefisiensi primer berat

Page 144: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

140

Kriteria gambaran klinis

Kriteria mayor, bila terdapat salah satu dari tiga kondisi berikut

pada CT-scan : lesi padat dengan atau tanpa halo sign, air-

cresent sign atau kavitas;

Kriteria minor bila didapatkan gejala infeksi saluran napas

bawah (misalnya batuk, nyeri dada, sesak napas, hemoptisis,

dan lain-lain), pemeriksaan fisik ditemukan pleural rub,

gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria

mayor.

Hasil Miologi

Pemeriksaan langsung :

o Ditemukan elemen jamur kapang dari spesimen

sputum, BAL, bilasan bronkus, aspirat sius.

o Pertumbuhan jamur kapang dalam medium biakan

Pemeriksaan tidak langsung :

o Aspergilosis: antigen galaktomanan terdeteeksi dalam

plasma, serum, BAL, liquor serebro spinal.

o Penyakit jamur invasif selain kriptokokus dan

zigomikosis: B-d-glukan terdeteksi dalam serum

Histoplasmosis

Disebabkan oleh Histoplasma capsulatum. Terjadi pada tanah yang

terkontaminasi dengan kelelawar atau burung kotoran. Umumnya

ditemukan di daerah beriklim sedang, subtropis, dan tropis. 50% - 90% dari

penduduk di daerah-daerah tes positif untuk eksposur. Orang-orang yang

tinggal dan bekerja di sekitar kelelawar atau burung kotoran berisiko

terinfeksi. Transmisi adalah melalui inhalasi konidia yang cukup kecil untuk

Page 145: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

141

mencapai bronkiolus dan alveoli. Amfoterisin B adalah pengobatan pilihan

jika diperlukan dengan amfoterisin B intravena atau itrakonazol.

Setelah terhirup Microconidia mengkonversi ke bentuk ragi, terjadi

fagositosis dan tuberkel terbentuk. Kasus yang parah dapat menyebabkan

menggigil, malaise, nyeri dada, dan infiltrasi paru yang luas. Histoplasma

capsulatum merupakan patogen sejati yang paling umum; penyebab

histoplasmosis biasanya dimorfik. Didistribusikan di seluruh dunia, yang

paling umum di daerah timur dan tengah AS. Tumbuh di tanah yang lembab

tinggi kandungan nitrogen. Inhalasi konidia menghasilkan infeksi paru

primer yang dapat berkembang menjadi keterlibatan sistemik dari berbagai

organ dan penyakit paru kronis.

Kriptokokosis

Kriptokokosis adalah infeksi oportunistik yang sering terjadi pada

pasien acquired immunodeficiency syndrome ( AIDS ), tetapi dapat terjadi

pada pasien imunosupresi lainnya dan kadang-kadang pada pasien tanpa

immunokompromis . Sebagian besar kasus disebabkan Cryptococcus

neoformans, sedangkan Cryptococcus gattii hanya terjadi pada sebagian

kecil kasus, sering pada pasien imunokompeten. Meningoencephalitis parah

merupakan gejala yang paling sering namun bila terjadi kriptokokosis paru

pada pasien seropositif HIV, tanpa pengobatan yang tepat akan menyebar

luas lebih parah. Sedangkan pada pasien imunokompeten infeksi terjadi

bersifat lokal dan self-limiting. Gambaran klinik dan radiologi bervariasi dan

tidak spesifik, dipengaruhi oleh status kekebalan pasien. Diagnosa

Page 146: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

142

didasarkan pada isolasi Cryptococcus atau deteksi antigen kriptokokus pada

spesimen paru, ditambah dengan klinis dan radiologi serta patologi anatomi.

Pengobatan antijamur dengan amfoterisin B + / - flusitosin dianjurkan untuk

penyakit yang parah, sedangkan flukonazol merupakan pilihan terapi untuk

infeksi ringan dan lokal .

Aspergilosis

Disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus, terdistribusi secara

luas dan ditemukan di seluruh dunia. Penyebaran melalui inhalasi konidia.

Aspergilus fumigatus paling sering menjadi penyebab infeksi oportunistik

serius pada AIDS, leukemia, dan pasien transplantasi. Infeksi biasanya terjadi

di paru berupa spora berkembang diparu dan membentuk bola jamur, dapat

menjajah sinus, kanal telinga, kelopak mata, dan konjungtiva. Aspergilosis

invasif dapat menyebabkan pneumonia nekrotik dan infeksi otak, jantung,

dan organ lainnya, terutama infeksi nosokomial yang terkait dengan sistem

pendingin udara. Kolonisasi dengan Aspergillus menyebabkan invasi

jaringan. Invasi pada jaringan paru menyebabkan penetrasi pembuluh darah

yang menyebabkan hemoptisis dan /atau akut pneumonia. Pneumonia

disertai dengan infiltrat paru multifokal dan demam tinggi. Kematian untuk

aspergillosis invasif adalah 100%. Amfoterisin B dan itraconazole dapat

digunakan tetapi biasanya tidak efektif.

Diagnosis diferensial mikosis paru meliputi: Sindrom gangguan

pernapasan akut, Pneumocystis carinii pneumonia, pneumonia aspirasi,

pneumonia bakteri, edema paru kardiogenik, edema paru neurogenik,

Page 147: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

143

Idiopathic pulmonary fibrosis, Fibrosis paru interstisial (nonidiopathic),

infeksi tuberkulosis.

Gambaran radiologi paru dapat ditemukan nodul, konsolidasi ,

kavitasi , atau efusi pleura. Limfadenopati dapat unilateral atau bilateral.

Infiltrasi miliaria terjadi pada infeksi yang luas. CT scan resolusi tinggi dapat

memperlihatkan tanda halo pada pasien dengan aspergillosis. Lesi nodular

ini biasanya dikelilingi oleh gambaran halo. Studi menunjukkan 61% dari 235

pasien dengan aspergillosis invasif ditemukan tanda halo.15

Kandidiasis

Kandidiasis pada paru juga bisa terjadi. Hifa terlalu besar untuk

respon fagositosis tetapi rusak oleh PMN dan dengan mekanisme

ekstraseluler (myeloperoxidase dan b-glukuronidase). Sitokin limfosit

diaktifkan dapat menghambat pertumbuhan C. albicans. Resistensi terhadap

infeksi invasif oleh Candida dimediasi oleh fagosit, komplemen dan antibodi,

meskipun imunitas seluler memainkan peran utama. Pasien dengan

kerusakan fungsi fagositosis dan defisiensi myeloperoxidase beresiko untuk

Candidiasis. Faktor risiko untuk kandidiasis adalah keadaan pasca-operasi,

kemoterapi kanker sitotoksik, terapi antibiotik, luka bakar, penyalahgunaan

obat.15,16

Pneumocystis Carinii Pneumonia

Merupakan pneumonia yang mematikan dan umumnya pada

pasien terinfeksi HIV-AIDS. Disebabkan oleh jamur Pneumocystis (carinii)

Page 148: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

144

jiroveci yang merupakan jamur uniseluler yang menyebabkan pneumonia

(PCP), infeksi oportunistik yang paling menonjol pada pasien AIDS.

Pneumonia ini membentuk sekresi di paru yang menghalangi pernapasan

dan dapat fatal jika tidak dikontrol dengan obat-obatan. Jamur ini tidak

pernah tumbuh dalam media kultur. Diagnosis berdasarkan dari temuan

klinis dari pasien. 15,16

Penatalaksanaan

Pengobatan utama untuk mikosis paru mencakup agen antijamur.

Tidak ada perbedaan penggunaan obat anti jamur pada pasien keganasan

dengan pasien tanpa keganasan. Prinsip pengobatan antijamur dapat

diberikan sebagai terapi profilaksis, terapi empirik, terapi pre-emptive dan

terapi definitif. 1)Terapi profilaksis, pemberian anti jamur kepada pasien

dengan faktor risiko, tanpa tanda infeksi dengan tujuan mencegah

timbulnya infeksi jamur. Terapi profilaksis biasanya diberikan pada awal

periode risiko tinggi terkena infeksi. 2) Terapi empirik, pemberian antijamur

kepada pasien dengan faktor risiko disertai tanda infeksi (misalnya demam

persisten engan neutropenia biasanya selama 4-7 hari) yang etiologinya

belum diketahui dan tidak membaik setelah terapi antibiotika adekuat

selama 3-7 hari. Terapi empirik diberikan kepada pasien dengan diagnosis

possible. 3) Terapi pre-emptive (targeted prophylaxis), pemberian

antijamur dengan faktor risiko, disertai gejala klinis dan hasil pemeriksaan

radiologi dan atau laboratorium yang mencurigakan infeksi jamur. Terapi

pre-emptive diberikan kepada pasien dengan diagnosis probable. 4) Terapi

Page 149: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

145

definitif, pemberian anti jamur kepada pasien yang terbukti proven

mengalami infeksi jamur sistemik.1)

Jenis obat antijamur yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan

pada patogen tertentu yang telah diisolasi atau yang secara klinis dicurigai.

Saat ini modalitas pengobatan bertambah banyak dan memperluas pilihan

obat untuk infeksi jamur. Sebagian besar terbatas pada penggunaan

amfoterisin B, flusitosin, dan azol, pilihan pengobatan farmakologis saat ini

meliputi senyawa azol dengan aktivitas antijamur diperpanjang cukup

ampuh, bentuk lipid novel amfoterisin B, dan kelas baru antijamur obat yang

dikenal sebagai echinocandins.1,2,3

Pada infeksi jamur sistemik yang berat dan mengancam jiwa,

pemberian amfoterisin-B dianjurkan sebagai obat utama dan dilanjutkan

dengan flukonazol atau itrakonazol. Obat lain yang juga diandalkan sebagai

pilihan obat anti jamur sistemik adalah flusitosin dan golongan azole seperti

flukonazol, itrakonazol dan ketokonazol. Obat tersebut menjadi pilihan

karena pemberiannya secara oral dan toksisitas relatif kurang. Flukonazol

bisa juga diberikan secara intravena. Penderita histoplasmosis bisa diberikan

itrakonazol dengan dosis 200-400 mg/hari selama 2 – 6 minggu. Ketokonazol

400 mg/hari juga efektif untuk penderita tersebut disamping harganya yang

relative lebih murah. Penderita yang tidak respons dengan terapi azol oral

dapat diterapi dengan amfoterisin-B dengan dosis 2,5 mg/kgBB selama 12-

16 minggu. Blastinomikosis dan koksidiomikosis bisa diberikan ketokonazol

oral dengan dosis 400 mg/hari sebelum makan. Bila penderita

Page 150: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

146

koksidiomikosis disertai meningitis ringan bisa dberikan flukonazol 400

mg/hari.

Anti jamur Amfoterisin B adalah digunakan sebagai terapi awal

kasus mikosis akut. Pada pasien dengan aspergillosis invasif, termasuk

aspergillosis paru , varikonazol adalah standar baru perawatan, berdasarkan

keunggulannya atas amfoterisin B sebagai terapi utama.16,17

Variasi dosis

dan durasi pengobatan tergantung pada patogen penyebab pneumonia.

Beberapa dokter menawarkan terapi empiris dengan amfoterisin B untuk

infeksi jamur pada pasien dengan demam neutropenia ( misalnya kanker,

transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ padat) dan pasien dengan

demam berkepanjangan setelah terapi antibiotik spektrum luas selama

beberapa hari. Obat lain yang dapat digunakan adalah itrakonazol dan

echinocandin, yaitu caspofungin. Terapi dilanjutkan sampai neutropenia

membaik dan pasien tidak ditemukan infeksi jamur atau radiografi

membaik. Terapi profilaksis dengan amfoterisin B digunakan terhadap

kekambuhan atau relaps coccidioidomycosis, kriptokokosis, atau

histoplasmosis pada individu yang terinfeksi dengan human

immunodeficiency virus ( HIV ) yang telah menerima perawatan yang

memadai untuk infeksi.10

Selain amfoterisin B, Posaconazole dapat digunakan dalam

profilaksis invasif Aspergillus dan infeksi Candida pada pasien

immunocompromised yang menerima transplantasi sel induk hematopoietik

dan pada pasien dengan keganasan hematologi dengan neutropenia yang

Page 151: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

147

diinduksi kemoterapi. Agen anti jamur lain yang digunakan dalam

pengobatan pneumonia jamur flukonazol, itrakonazol, flusitosin, dan

ketokonazol. Agen antijamur yang lebih baru, seperti triazoles generasi

ketiga atau echinocandins, lebih ditoleransi daripada amfoterisin B dan

mungkin lebih efektif dalam pengobatan lini pertama atau kedua.11

Caspofungin diberikan untuk pengobatan infeksi Aspergillus invasif

pada pasien yang tidak responsif atau tidak dapat diberikan amfoterisin B.

Kombinasi triazole dengan sebuah echinocandin dengan atau tanpa

amfoterisin B telah dilaporkan efektif dalam beberapa kasus infeksi jamur

resisten, seperti Mucor atau spesies Zygomycetes. Echinocandins seperti

caspofungin, micafungin dan anidulafungin efektif terhadap spesies

Candida, termasuk strain resisten terhadap flukonazol. Golongan ini juga

menunjukkan efektivitas terhadap infeksi Aspergillus bila digunakan sebagai

obat tunggal sendiri atau kombinasi dengan azol. Terapi kombinasi biasanya

tidak diindikasikan dalam pengobatan lini pertama, umumnya digunakan

sebagai pengobatan lini kedua atau kedaruratan.12, 13,14, 15

Indikasi untuk operasi pada aspergillosis invasif adalah sebagai berikut

: Pembedahan diindikasikan pada pasien dengan aspergillosis invasif yang

telah diobati dengan agen antijamur tetapi memiliki lesi residual paru.

Operasi dilakukan untuk mencegah kekambuhan penyakit apabila

diperlukan imunosupresi tambahan. Pembedahan juga diindikasikan untuk

mencegah atau mengobati pendarahan masif , terutama ketika lesi paru

berdekatan dengan pembuluh darah besar. Pada pasien neutropenia

Page 152: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

148

dengan gagal nafas progresif, pasien memerlukan bantuan ventilasi. Pada

pasien neutropenia berat, perlu dipertimbangkan terjadinya mikosis paru

dan penyebaran infeksi jamur (misalnya, aspergillosis), terapi awal

diberikan antijamur secara empiris.14

Berikut ini disampaikan pedoman pemberian antijamur sesuai

dengan jamur patogen penyebabnya berdasarkan pedoman dari American

Thoracic Society untuk penanganan infeksi jamur pada pasien dewasa:

Tabel 1. Rekomendasi pengobatan untuk infeksi histoplasmosis.2

Tabel 2. Pengobatan pasien imunokompeten dengan infeksi kriptokokosis.2

Page 153: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

149

Tabel 3. Pengobatan pasien imunokompromis dengan infeksi kriptokokosis.2

Page 154: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

150

Tabel 4. Rekomendasi pengobatan untuk infeksi aspergilosis paru (2)

Page 155: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

151

Tabel 5. Rekomendasi pengobatan untuk candidemia.2

Tabel 6. Pengobatan untuk infeksi pneumocytis jirovecii pneumonia.2

Page 156: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

152

Tabel 7. Pilihan obat untuk profilaksis PCP.2

Tabel 8. Rekomendasi pengobatan infeksi jamur lain yang jarang.2

Pencegahan mikosis paru

Pencegahan dapat menggunakan masker dan pakaian pelindung

untuk mengurangi kontak dengan spora. Menghindari perjalanan ke dan

paparan di daerah endemis. Imunisasi biasanya tidak efektif. Pasien yang

menjalani transplantasi sumsum tulang atau periode neutropenia

berkepanjangan disarankan untuk menghindari kegiatan (misalnya,

berkebun, membersihkan, mengagitasi puing-puing) atau benda (misalnya,

tanaman pot, bunga, buah-buahan segar, sayuran) yang mungkin dapat

menyebabkan paparan spora Aspergillus atau jamur lain. Untuk pasien yang

Page 157: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

153

menjalani transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ padat, atau

kemoterapi antileukemic, gunakan sistem filtrasi udara di unit perawatan

untuk meminimalkan risiko pasien terkena spora Aspergillus. Penggunaan

terapi antijamur profilaksis pada pasien yang berisiko tinggi untuk infeksi

jamur oportunistik, termasuk pasien dengan riwayat infeksi jamur. Dalam

sebuah penelitian, posaconazole terbukti lebih unggul dalam mengurangi

kejadian flukonazol aspergillosis invasif ( 1 % vs 5,9 % ) pada penerima

transplantasi alogenik hematopoietik stem sel.16,17

Ringkasan

Mikosis paru adalah gangguan paru (termasuk saluran napas) yang

disebabkan oleh infeksi/ kolonisasi jamur atau reaksi hipersensitif terhadap

jamur. Faktor resiko mikosis paru adalah berbagai keadaan yang

mempermudah pasien mengalami mikosis paru. Faktor resiko yang sering

dilaporkan antara lain: kolonisasi jamur, penggunaan jangka panjang

antimikroba berspektrum luas, kortikosteroid sistemik, obat sitostatika,

serta alat-alat kesehatan invasif..

Pemeriksaan mikologi merupakan prosedur diagnosis yang sangat

penting, spesimen dapat diambil dari sputum, bilasan bronkus, kurasan

bronkoalveolar (BAL), jaringan biopsi, darah, cairan pleura, pus. Baku emas

diagnosis mikosis paru berasal dari biakan spesimen maupun hasil biopsi

jaringan.

Page 158: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

154

Pengobatan utama untuk mikosis paru mencakup agen antijamur.

Jenis obat antijamur yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan pada

patogen tertentu yang telah diisolasi atau yang secara klinis dicurigai. Pada

infeksi jamur sistemik yang berat dan mengancam jiwa, pemberian

amfoterisin-B dianjurkan sebagai obat utama dan dilanjutkan dengan

flukonazol atau itrakonazol. Obat lain yang juga diandalkan sebagai pilihan

obat anti jamur sistemik adalah flusitosin dan golongan azole seperti

flukonazol, itrakonazol dan ketokonazol.

Pencegahan dapat menggunakan masker dan pakaian pelindung

untuk mengurangi kontak dengan spora. Menghindari perjalanan ke dan

paparan di daerah endemis.

Daftar Pustaka

1. Anna R, Anwar J, Ahmad H, Arifin N, Elisna Syahrudin, Erlina Burhan,

Heidy Agustin, Priyanti Z Supandi. Mikosis Paru. Pedoman diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

PDPI; Jakarta 2011.

2. Limper AH, Knox KS, Sarosi GA, Ampel NM, Bennet JE, Catanzaro A, et

al. An official American Thoracic Society statement: Treatment of fungal

infections in adult pulmonary and critical care patients. Am J Respir Crit

Care Med 2011; 183:96-128.

3. Bochud PY, Chien JW, Marr KA, Leisenring WM, Upton A, Janer M, et al.

Toll-like receptor 4 polymorphisms and aspergillosis in stem-cell

transplantation. N Engl J Med. Oct 23 2008;359(17):1766-77.

Page 159: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

155

4. Segal BH, Walsh TJ. Current approaches to diagnosis and treatment of invasive aspergillosis. Am J Respir Crit Care Med. Apr 1 2006;173(7):707-17.

5. Mennink-Kersten MA, Donnelly JP, Verweij PE. Detection of circulating galactomannan for the diagnosis and management of invasive aspergillosis. Lancet Infect Dis. Jun 2004;4(6):349-57.

6. Maertens JA, Klont R, Masson C, Theunissen K, Meersseman W, Lagrou K, et al. Optimization of the cutoff value for the Aspergillus double-sandwich enzyme immunoassay. Clin Infect Dis. May 15 2007;44(10):1329-36.

7. Penack O, Rempf P, Graf B, Blau IW, Thiel E. Aspergillus galactomannan testing in patients with long-term neutropenia: implications for clinical management. Ann Oncol. May 2008;19(5):984-9.

8. Del Bono V, Mikulska M, Viscoli C. Invasive aspergillosis: diagnosis, prophylaxis and treatment. Curr Opin Hematol. Nov 2008;15(6):586-93.

9. Greene RE, Schlamm HT, Oestmann JW, Stark P, Durand C, Lortholary O, et al. Imaging findings in acute invasive pulmonary aspergillosis: clinical significance of the halo sign. Clin Infect Dis. Feb 1 2007;44(3):373-9.

10. Bergeron A, Porcher R, Sulahian A, de Bazelaire C, Chagnon K, Raffoux E. The strategy for the diagnosis of invasive pulmonary aspergillosis should depend on both the underlying condition and the leukocyte count of patients with hematologic malignancies. Blood. Feb 23 2012;119(8):1831-7; quiz 1956.

11. Gerber B, Guggenberger R, Fasler D, Nair G, Manz MG, Stussi G. Reversible skeletal disease and high fluoride serum levels in hematologic patients receiving voriconazole. Blood. Sep 20 2012;120(12):2390-4.

Page 160: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

156

12. Avery RK. Aspergillosis in hematopoietic stem cell transplant recipients: risk factors, prophylaxis, and treatment. Curr Infect Dis Rep. May 2009;11(3):223-8.

13. Benjamin DK Jr, Driscoll T, Seibel NL, Gonzalez CE, Roden MM, Kilaru R, et al. Safety and pharmacokinetics of intravenous anidulafungin in children with neutropenia at high risk for invasive fungal infections. Antimicrob Agents Chemother. Feb 2006;50(2):632-8.

14. Walsh TJ, Anaissie EJ, Denning DW, Herbrecht R, Kontoyiannis DP, Marr KA, et al. Treatment of aspergillosis: clinical practice guidelines of the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. Feb 1 2008;46(3):327-60.

15. Kaffarnik M, Utzolino S, Blaich A, Hopt UT. Successful multimodal

therapy of invasive pulmonary and central nervous system aspergillosis

in a neutropenic surgical patient: case report and review of the

literature. Mycoses. Jan 2008;51(1):74-8.

16. Hamza NS, Ghannoum MA, Lazarus HM. Choices aplenty: antifungal

prophylaxis in hematopoietic stem cell transplant recipients. Bone

Marrow Transplant. Sep 2004;34(5):377-89.

17. Cornely OA, Maertens J, Winston DJ, Perfect J, Ullmann AJ, Walsh TJ, et

al. Posaconazole vs. fluconazole or itraconazole prophylaxis in patients

with neutropenia. N Engl J Med. Jan 25 2007;356(4):348-59.

Page 161: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

157

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Pneumonia

IGN Bagus Artana

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Perubahan penting pada infeksi paru akibat S. aureus terjadi pada

dua dekade terakhir. Banyak pusat pelayanan kesehatan utama di Amerika

melaporkan peningkatan dramatis infeksi staphylococcal akibat methicillin-

resistant S. aureus (MRSA). Pada waktu yang sama, terjadi pula peningkatan

kejadian dan pemanjangan waktu menggunakan bantuan ventilasi mekanik

pada populasi lanjut usia dan pasien dengan penyakit kronis. Kedua hal

tersebut yang memicu pula peningkatan kejadian pneumonia akibat MRSA.

Belakangan, MRSA diidentifikasi menyebabkan 20%-40% pneumonia

nosocomial (hospital-acquired pneumonia/HAP dan ventilator-associated

pneumonia/VAP).1

Beberapa dekade yang lalu, Staphylococcus aureus tidak dianggap

sebagai penyebab umum pneumonia komuniti (community-acquired

pneumonia / CAP), dengan ditemukannya hanya pada 1% - 5% dari seluruh

kasus CAP, terutama pada kasus pasien dengan influenza. Staphylococcus

aureus juga dikenal sebagai patogen penyebab pneumonia nosokomial yang

penting tetapi jarang ditemukan.1,2

Hingga sebelum tahun 2000, sebagian besar MRSA dikenal sebagai

penyebab pneumonia nosocomial, sehingga dilabel sebagai HA-MRSA.

Page 162: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

158

Belakangan ditemukan strain MRSA baru yang menginfeksi paru pada

komunitas (CA-MRSA). Gillet, dkk. di Perancis menemukan 16 kasus CAP

akibat infeksi CA-MRSA dengan mutase gen Panton-Valentine leukocidin

(PVL), yang berupa toksin dengan kemampuan menghancurkan leukosit

polymorphonuclear. Kasus-kasus yang dilaporkan ini sangat mematikan,

dengan angka survival 48 jam hanya 63%. Sebuah survey di Amerika pada

tahun 2002-2004 melibatkan lebih dari 4000 pasien pneumonia dengan

kultur positif dari 60 rumah sakit. Survei tersebut mendapatkan MRSA

sebagai pathogen penyebab pada 8,9% kasus CAP, 26,5% kasus HCAP, 22,9%

kasus HAP, dan 14,6% kasus VAP. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa S.

aureus merupakan satu-satunya patogen yang berhubungan dengan

mortalitas pasien pneumonia.2,3

Berbagai perhimpunan di dunia yang bergerak di bidang infeksi

dan respirasi telah mengeluarkan konsensus dan pedoman penatalaksanaan

infeksi oleh MRSA. Konsensus-konsensus ini disusun untuk memandu klinisi

untuk mengenal risiko infeksi oleh MRSA dan memberikan penatalaksanaan

yang tepat pada kasus yang ditemukan. Berikut ini akan disampaikan

mengenai pneumonia yang disebabkan oleh MRSA.

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

Stafilokokus merukapan bakteri gram positif yang sering terlihat

seperti sekelompok buah anggur secara mikroskopik. Staphylococcus aureus

umumnya berkoloni secara normal di rongga hidung atau beberapa tempat

Page 163: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

159

lain di kulit. Angka karier persisten dan intermiten pada dewasa bervariasi

antara 20%-50%.3,4

S. aureus telah terbukti menyebabkan berbagai infeksi berat pada

komunitas dan lingkungan pelayanan kesehatan. Berbagai fokus infeksi

dapat disebabkan oleh S. aureus, yaitu pada jaringan ikat, tulang dan sendi,

endokarditis, dan pneumonia. S. aureus dalam patogenesisnya memiliki

faktor virulensi yang sangat luas, termasuk produk struktural dan

toksin/sekretnya. (Gambar 1)5

Gambar 1. Beberapa determinan virulensi S. aureus5

Beberapa hal sangat berperan dalam menunjang virulensi S.

aureus. Faktor pertama adalah protein permukaan, misalnya protein A yang

membantu perlekatan kuman ke jaringan host, sehingga dapat berlanjut

pada kolonisasi. Faktor kedua adalah protein invasi yang membantu

penyebaran bakteri di jaringan host (leukocidin, kinases dan hyaluronidase).

Page 164: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

160

Faktor ketiga adalah toksin yang dihasilkan oleh S. aureus, yang befungsi

merusak dan melisiskan membran sel host (haemolysins, leukotoxin and

leukocidin). Faktor keempat adalah adanya eksotoksin yang merusak

jaringan host atau merangsang timbulnya gejala penyakit (SAE-G, TSST-1,

exfoliatin toxin, dan Panton–Valentine leukocidin / PVL). Faktor kelima

adalah resistensi natural terhadap banyak antimicrobial.1,5

Stafilokokus berkembang menjadi resisten terhadap methicillin

melalui berbagai mekanisme. Karakteristik utama dalam mekanisme

resistensi ini adalah dengan didapatkannya gen mecA. Didapatnya gen mecA

ini kemungkinan melalui sebuah mobile genetic element, yang dikenal

sebagai staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec), dari coagulase-

negative staphylococci. Hingga saat ini diperkirakan terdapat setidaknya

lima tipe SCCmec (SCCmec I–V). Kode gen mecA untuk varian penicillin

binding protein, memiliki afinitas yang lemah dengan antibiotika β-lactam,

sehingga mengurangi aktivitas obat-obat golongan tersebut.5,6

Awalnya, MRSA dikaitkan secara eksklusif hanya dengan infeksi

yang didapat dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Belakangan

didapatkan MRSA pada kasus di komunitas yang dicurigai masih

berhubungan dengan fasilitas kesehatan. Hal ini yang mendorong

diperkenalkannya terminologi baru, yaitu community-acquired (CA)-MRSA

dan healthcare-associated (HA)-MRSA. Perbedaan karakteristik kedua jenis

MRSA ini dapat dilihat pada tabel 1.5

Page 165: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

161

Dalam satu hingga dua dekade terakhir, epidemiologi MRSA telah

banyak mengalami perubahan. Hal ini menuntut klinisi untuk mengubah

persepsi dalam melihat infeksi oleh MRSA. Kemunculan dan penyebaran

MRSA telah banyak mengubah pendekatan klinisi dalam hal terapi

antibiotika empiris untuk kasus infeksi komunitas yang serius. Saat ini, pada

setiap infeksi serius yang potensial diakibatkan oleh kuman stafilokokus

telah dicurigai diakibatkan oleh MRSA, hingga kultur membuktikannya.6

Efek S. aureus pada saluran nafas terbentang dari infeksi

asimtomatis hingga pneumonia berat. Kolonisasi MRSA pada saluran nafas

bawah dapat terjadi pada berbagai setting kondisi paru dan daya tahan

tubuh host. Kolonisasi dapat terjadi pada pasien daya tahan tubuh lemah,

dengan riwayat penyakit paru kronis, misalnya pada PPOK atau penyakit

paru supuratif. Kolonisasi juga dapat terjadi akibat perusakan pertahanan

tubuh alami pasien, seperti pada intubasi endotracheal.1,6

Tabel 1. Perbedaan antara HA-MRSA dan CA-MRSA5

Karakteristik HA-MRSA CA-MRSA

Pasien tipikal Lansia, mengidap sakit kronis/kritis

Usia muda yang sebelumnya sehat, siswa, atlet professional, tentara

Lokasi infeksi Sering menimbulkan bakterimia tanpa sumber yang jelas

Luka paska pembedahan, ulkus terbuka, line infus,

Predileksi di kulit dan jaringan ikat, menyebabkan selulitis dan abses

Necrotizing community-acquired pneumonia,

Page 166: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

162

kateter urine

Ventilator-associated pneumonia

syok septik, infeksi tulang dan sendi

Transmisi Pada setting fasilitas kesehatan, penyebaran melalui kontak rumah jarang

Setting komunitas, dapat menyebar pada keluarga atau tim olahraga

Setting klinis Pasien rawat inap. Kasus dari pelayanan primer biasanya pada infeksi jaringan ikat dan urine

Pasien rawat jalan atau komunitas

Riwayat medis Riwayat kolonisasi MRSA, infeksi atau pembedahan, rawat inap sebelumnya atau nursing home, penggunaan antibiotika, dialysis, kateter permanen

Tanpa riwayat medis yang signifikan atau kontak dengan fasilitas kesehatan

Virulensi Gen PVL jarang ditemukan Gen PVL sering didapatkan

Suseptibilitas Sering resisten multiple-drug, sehingga pilihan antibiotika terbatas

Masis suseptibel pada banyak antibiotika

Pneumonia akibat MRSA

HCAP, HAP, dan VAP

Pasien yang menderita pneumonia stafilokokal saat tinggal pada

nursing home (HCAP) atau saat dirawat di rumah sakit (VAP atau HAP),

biasanya terinfeksi oleh HA-MRSA. Pasien-pasien ini biasanya pasien lansia

Page 167: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

163

tau pasien yang memiliki riwayat penyakit kronis atau komorbid. Bakterimia

pada kasus-kasus tersebut bianya terjadi lambat (rerata onset 9 hari setelah

onset pneumonia). Pneumonia akibat HA-MRSA ini memiliki angka kematian

yang tinggi (lebih dari 50%) walaupun sudah mendapatkan terapi yang tepat

dan awal.7

Ketepatan diagnosis etiologi pneumonia nosocomial masih sangat

rendah bila dihubungkan dengan MRSA sebagai etiologi. Foto polos dada

hanya memiliki akurasi 68%. Kultur darah yang positif hanya didapatkan

pada 5%-15% kasus HAP dan 24%-36% pada kasus VAP. Sampling

mikrobiologis endotracheal hanya memiliki nilai 40% dibandingkan biopsi

paru, terlebih lagi hanya 15% sampel yang memenuhi kriteria kultur saluran

nafas bawah (≥25 WBC per field dan ≤10 epithelial cells per field).5,7,8

Prosedur diagnostik lain yang lebih invasive juga memiliki masalah

tersendiri. Kriteria diagnostic untuk konsentrasi bakterial semikuantitatif

dari secret daluran nafas bawah (≥103 cfu/mL untuk specimen protected

brush dan >104/mL untuk specimen bronchoalveolar lavage/BAL). Selain itu,

pengelolaan specimen ini tidak dapat segera dilakukan, sehingga

memperpanjang waktu tunggu hasil.5

Di masa yang akan datang, beberapa pemeriksaan yang lebih

mutakhir dan praktis diperlukan untuk membantu meningkatkan

keberhasilan diagnosis etiologi VAP atau HAP. Suatu tes dengan teknik

microarray-based untuk mendeteksi PVL bakteri, entero-toksin stafilokokal,

dan superantigen telah terbukti berguna untuk mendeteksi keberadaan

Page 168: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

164

MRSA pada specimen. Hal ini perlu pembuktian lebih lanjut dengan jumlah

pasien yang lebih banyak. Molecular-technique–based rapid tests untuk

mendeteksi PVL, mecA, dan SCCmec type IV sedang dalam penelitian dan

diharapkan dapat menjadi terobosan untuk mendapatkan teknik rapid-

diagnostic yang baik, sehingga penanganan lebih terarah dan dapat

menurunkan angka mortalitas akibat MRSA.7,8

CAP

Pneumonia pada pasien usia muda yang sebelumnya dalam kondisi

sehat dengan diawali gejala influenza-like illness dan ditandai dengan gejala

respirasi berat, hemoptysis, demam tinggi, leukopenia, kadar C-reactive

protein yang sangat tinggi (1400 g/L), hipotensi, dan ronsen dada

menunjukkan infiltrat alveolar berbentuk kavitas multilobular (Gambar 2),

dapat menuntun kita mencurigai infeksi oleh CA-MRSA. Usia muda telah

disepakati sebagai salah satu karakteristik patognomonis pneumonia oleh

infeksi CA-MRSA. Riwayat influenza atau influenza-like illness yang

mendahului didapatkan pada 75% kasus.1,3,5

Page 169: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

165

Gambar 2. Foto ronsen dada dan CT scan dada pasien usia muda dengan

community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus

pneumonia

Tingkat keparahan pneumonia akibat CA-MRSA cukup tinggi. Lebih

dari 80% pasien yang dirawat inap memerlukan perawatan di ruang intensif,

62% memerlukan intubasi, 46% mendapat pemasangan chest-tube, dan 29%

dari seluruh kasus yang dirawat inap meninggal. Pada penelitian

mikrobiologis yang dilakukan di Amerika Serikat bagian selatan dalam bulan

Desember 2006 hingga Januari 2007, didapatkan 10 kasus CA-MRSA

pneumonia. Enam dari 10 pasien tersebut meninggal dalam 3,5 hari

perawatan. Seluruh specimen dengan PVL positif dan membawa gen

SCCmec type IVa. Seluruh isolat resisten terhadap β-lactams dan

erytromicin.9

Angka insidens MRSA CAP adalah 0,51-0,64 kasus per 100.000. Dari

penelusuran 74 artikel, dilaporkan 114 kasus MRSA CAP. Influenza like

Page 170: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

166

symptoms didapatkan pada lebih dari 40% kasus. Angka kematiannya

mencapai 44,5%. Lama rawat inap berkisar antara 8 hari hingga 38 hari,

dengan lama rawat di ruang intensif 7 hari hingga 19 hari.3

Diagnosis klinis CAP akibat infeksi oleh CA-MRSA sering sulit.

Beberapa kondisi patognomonis yang dihubungkan dengan infeksi oleh CA-

MRSA adalah masa prodromal influenza-like, hemoptysis, keluhan respirasi

berat, demam tinggi, leukopenia, hipotensi, dan foto ronsen dada

menunjukkan infiltral multilobular, yang dapat juga memberi gambaran

kavitas. Kecurigaan akan infeksi oleh CA-MRSA juga dapat dilihat dari

kelompok populasi berisiko (anak umur <2 tahun, atlit olah raga yang

mengandalkan kontak fisik, pengguna narkoba suntik, pria homoseksual,

personil militer, tinggal pada tempat penampungan atau tempat rehabilitasi,

dokter bedah hewan, peternak babi atau mereka yang kontak dengan ternak

yang terkolonisasi.5

Terapi Pneumonia MRSA

Hal pertama dan terpenting dalam aspek terapi adalah memberikan

terapi tepat dalam waktu sedini mungkin. Hal ini telah dibuktikan secara luas

untuk kasus infeksi oleh HA-MRSA oleh banyak peneliti. Kollef dan Ward

mendapatkan penurunan angka kematian dari 60,8% menjadi 33,3% apabila

antibiotika yang tepat diberikan segera pada kasus VAP. Kumar, dkk. juga

menemukan bahwa pada pasien dengan syok septik, penundaan pemberian

antibiotika berhubungan dengan peningkatan mortalitas 6,3%. Kim, dkk.

Page 171: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

167

juga mendapatkan hal serupa. Pada penelitiannya, Kim, dkk. menunjukkan

bahwa penundaan pemberian terapi pada pasien bakterimia oleh MRSA

serta tidak ter-eradikasinya fokal infeksi berhubungan dengan peningkatan

risiko kematian pasien.11

Selama bertahun-tahun, vancomycin menjadi satu-satunya

antibiotika pilihan untuk kasus pneumonia oleh MRSA. Angka keberhasilan

terapi ini memang masih sangat mengecewakan. Pneumonia MRSA

(sebagian besar kasus HA-MRSA) dan methicillin-suceptible S. aureus (MSSA)

yang diobati dengan vancomycin masih memiliki angka kematian yang cukup

tinggi (50% dan 47%), sementara kasus pneumonia oleh MSSA yang diobati

dengan β-lactam hanya memiliki angka kematian 5%.1

Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan terapi dengan

vancomycin adalah ukuran molekul yang relatif besar dan kemampuannya

yang rendah dalam menembus alveolar lining fluid (ALF) dan menuju

makrofag alveolar. Hal ini menyebabkan konsentrasi obat di ALF hanya

seperenam konsentrasi plasma. Usaha meningkatkan penetrasi vancomycin

dengan meningkatkan konsentrasi pada serum (15-20 mg/mL) juga pernah

diuji coba. Hasilnya masih tetap sama dengan sampel yang mendapatkan

vancomycin pada dosis standar (5-15 mg/mL). Keterbatasan efikasi

vancomycin juga berhubungan dengan menurunnya aktivitas bakterisidal

obat tersebut terhadap kuman yang mimiliki MIC vancomycin yang lebih

tinggi (≥1,0 mg/mL). Sementara upaya meningkatkan dosis pemberian akan

Page 172: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

168

berhubungan dengan gangguan ginjal, terutama apabila diberikan bersama

obat dengan sifat nefrotoksik.6

Obat lain yang telah disetujui oleh FDA untuk penatalaksanaan

pneumonia oleh MRSA adalah linezolid. Linezolid memiliki farmakokinetik

paru yang lebih baik dibandingkan vancomycin (AUC/MIC pada ALF hingga

mencapai 120, Cmax/MIC di ALF adalah 16,1, dan konsentrasi di ALF

melewati MIC linezolid untuk MRSA).7

Dua penelitian randomized clinical trials (RCT) yang dilakukan oleh

Rubinstein, dkk. dan Wunderink, dkk. dengan menggunakan protokol yang

identik berusaha membandingkan vancomycin dengan linezolid untuk terapi

VAP dan HAP stafilokokal. Pada penelitian pertama, pasien dirandomisasi

untuk mendapatkan linezolid (600 mg iv setiap 12 jam) plus aztreonam (1-2

g iv setiap 8 jam) atau vancomycin (1 g iv setiap 12 jam) plus aztreonam (1-2

g setiap 8 jam). Angka keberhasilan terapi 66% pada kelompok linezolid

berbanding 68% pada kelompok vancomycin. Sementara pada penelitian

kedua didapatkan hasil yang berbalik. Angka kesembuhan pada kelompok

linezolid sebesar 68% dibandingkan 65% pada kelompok vancomycin.

Sementara untuk outcome klinis, kedua RCT ini memberikan hasil yang

sebanding. Outcome klinis pada kelompok linezolid lebih baik secara

signifikan dibandingkan pada kelompok vancomycin. Hasil kedua RCT ini juga

masih menjadi perdebatan oleh para ahli, dalam hal metodologinya.3,10

Setelah kita melihat hasil-hasil penelitian di atas, keputusan untuk

memilih terapi harus segera dibuat. Berdasarkan uraian di atas, linezolid

Page 173: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

169

tidak lebih inferior dibandingkan vancomycin dalam dosis standar yang

sudah lebih dulu dikenal sebagai terapi MRSA. Beberapa jurnal ada yang

memilih memberikan vabcomycin dengan dosis yang lebih besar dari dosis

acuan (dosis loading 15 mg/kg dan selanjutnya 15-20 mg/mL), dengan

pertimbangan pada pasien usia muda dengan kondisi ginjal yang masih baik,

pada kasus pneumonia MRSA dengan MIC vancomycin ≤0,5 mg/mL.

Sementara untuk pasien pneumonia MRSA dengan MIC vancomycin ≥1,0

mg/mL, dengan riwayat gangguan ginjal, atau yang mendapatkan obat lain

dengan efek nefrotoksik, linezolid 600 mg setiap 12 jam lebih dipilih sebagai

terapi.7

Perkembangan pengobatan untuk infeksi MRSA secara umum

memang masih berjalan lambat. Hingga tahun 2015, hanya telavancin yang

cukup menjanjikan dalam terapi infeksi MRSA pada kasus pneumonia

nosokomial. Telavancin merupakan antibiotika golongan lipoglycopeptide

dengan aktivitas melawan kuman-kuman pathogen gram positif yang poten.

Dalam 2 penelitian uji klinis fase 3, telavancin tidak lebih inferior

dibandingkan vancomycin untuk kasus HAP akibat pathogen gram positif.

Pada kasus infeksi oleh kuman S. aureus dengn MIC vancomycin >1,0

mg/mL, telavancinmemberikan angka kesembuhan yang lebih tinggi

dibandingkan vancomycin. Klirens obat ini pada darah cukup tinggi, sehingga

berhubungan dengan peningkatan serum kreatinin dan angka mortalitas

pada kasus dengan riwayat gangguan ginjal sebelumnya. Pertimbangan

mengenai keuntungan dan risiko harus dibuat dengan seksama sebelum

Page 174: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

170

menggunakan telavancin pada kasus pneumonia akibat strain MRSA dengan

MIC vancomycin tinggi.12

Pada kasus CAP berat (memerlukan perawatan di ruang intensif,

infiltrate necrotizing atau kavitas, atau empyema), terapi empiris dengan

antibiotika untuk MRSA direkomendasikan oleh IDSA tahun 2011, tanpa

harus menunggu hasil kultur. Pemberian vancomycin 15-20mg/kg/dosis i.v

setiap 8-12 jam, atau linezolid 600mg setiap 12 jam, atau clindamycin 600

mg setiap 8 jam, direkomendasikan selama 7-21 hari. Pada kasus bakterimia

persisten, identifikasi dan menghilangkan fokus infeksi menjadi target

utama bersama pemberian antibiotika alternatif (daptomycin kombinasi

dengan beberapa antibiotika lain, quinupristin-dalfopristin, TMP-SMX,

linezolid, dan telavancin).7

Ringkasan

Terjadi peningkatan kejadian pneumonia akibat infeksi CA-MRSA

dan HA-MRSA. Infeksi HA-MRSA biasanya terjadi pada pasien tua dengan

penyakit kronis/kritis dan terjadi pada setting rumah sakit. Bentuk lain dari

MRSA adalah jenis pathogen yang memiliki virulensi lebih tinggi, sering

memproduksi toksin (termasuk toksin PVL), serta timbul pada komunitas.

MRSA komunitas ini sering mengenai pasien usia muda dengan angka

mortalitas tinggi. Beberapa karakteristik klinis dapat dipakai petunjuk dalam

mencurigai MRSA sebagai penyebab pneumonia pada setting komunitas

maupun tempat pelayanan kesehatan. Keberhasilan vancomycin dalam

Page 175: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

171

menghadapi MRSA masih mengecewakan. Alternatif lain yang dapat

dijadikan pilihan adalah linezolid. Sementara kombinasi dengan clindamycin

juga dapat dipertimbangkan.

Daftar Pustaka

1. Rubinstein E, Kollef MH, Nathwani D. Pneumonia Caused by

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. CID 2008;46: S378-385

2. Vardakas KZ, Matthaiou DK, Falagas ME. Incidence, characteristics

and outcomes of patients with severe community acquired-MRSA

pneumonia. Eur Respir J 2009; 34: 1148–1158

3. Tadros M, Williams V, Coleman BL, McGreer AJ, Haider S, et al.

Epidemiology and Outcome of Pneumonia Caused by Methicillin-

Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in Canadian Hospitals.

PLoS ONE 2013; 8(9): e75171

4. Pantosti A, Venditti M. What is MRSA? Eur Respir J 2009; 34: 1190–

1196

5. Defres, S, Marwick C, Nathwani D. MRSA as a cause of lung

infection including airway infection, community acquired

pneumonia and hospital-acquired pneumonia. Eur Respir J 2009;

34: 1470-1476

6. Nakou A, Woodhead M, Torres A. MRSA as a cause of community-

acquired pneumonia. Eur Respir J 2009; 34: 1013–1014

Page 176: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

172

7. Liu C, Bayer A, Cosgrove SE, Daum RS, Fridkin SK, et al. Clinical

Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of America

for the Treatment of Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus

Infections in Adults and Children. CID 2011; 52: 1-38

8. American Thoracic Society Documents. Guidelines for the

Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-

associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit

Care Med 2005;171:388-416

9. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, et

al. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic

Society Consensus Guidelines on the Management of Community-

Acquired Pneumonia in Adults. CID 2007;44:S27-72

10. Wunderink RG, Cammarata SK, Oliphant TH, Kollef MH.

Continuation of a randomized, double-blind, multicenter study of

linezolid versus vancomycin in the treatment of patients with

nosocomial pneumonia. Clin Ther 2003; 25:980–92.

11. Peyrani P, Ramirez J. What Is the Best Therapeutic Approach to

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Pneumonia? Curr Opin

Infect Dis. 2015;28(2):164-170

12. Sandrock CE, Shorr AF. The Role of Telavancin in Hospital-Acquired

Pneumonia and Ventilator-Associated Pneumonia. CID 2015;

61(S2): S79–86

Page 177: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

173

ACINETOBACTER PNEUMONIA

Ni Wayan Candrawati

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Acinetobacter merupakan bakteri yang banyak ditemukan di alam dan di

lingkungan rumah sakit. Secara umum bakteri ini tidak bersifat patogen

terhadap manusia, tetapi dapat menyebabkan infeksi pada penderita

dengan penurunan fungsi imun. Spesies Acinetobacter yang paling sering

terisolasi dari manusia adalah Acinetobacter baumannii dan Acinetobacter

lwoffii. Infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh Acinetobacter spp

merupakan hal yang relatif umum terjadi pada penderita yang dirawat di

ICU.1 Acinetobacter spp bertanggung jawab pada 6% kasus ventilator

associated pneumonia (VAP) antara tahun 1992-1997 di Amerika Serikat.

Acinetobacter spp menyebabkan 7% kasus pneumonia nosokomial di

intensive care unit (ICU) pada tahun 2003 dibandingkan tahun 1986 yaitu

4%. Pneumonia komunitas akibat Acinetobacter spp juga dapat terjadi pada

populasi berisiko.2 Berdasarkan data pola bakteri dan kepekaan bakteri

terhadap antibiotika di RSUP Sanglah periode Juli-Desember 2014

didapatkan bahwa Acinetobacter baumannii merupakan bakteri yang paling

banyak ditemukan pada spesimen biakan sputum (18%) dan di ruangan

ICU,RTI, burn unit, NICU. (3) Antibiotika pilihan untuk Acinetobacter spp

masih terbatas karena resistensi alami terhadap berbagai jenis antibiotika.

Page 178: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

174

Antibiotika yang paling efektif adalah karbapenem, komponen sulbaktam

dari ampicillin sulbactam dan polimiksin.4

Epidemiologi

Acinetobacter spp dapat tumbuh dengan mudah di alam dan diisolasi dari

berbagai bahan di seluruh dunia. Acinetobacter spp paling sering ditemukan

di tanah dan air juga pada binatang. Kuman ini juga diisolasi dari makanan

(termasuk makanan rumah sakit), peralatan ventilator, peralatan suction,

pompa infus, wastafel, troli stainless, bantal, matras, air keran, rel tempat

tidur, humidifier, dispenser sabun, dan sumber lainnya. Pada manusia,

Acinetobacter spp telah diisolasi pada berbagai media kultur. Kolonisasi

Acinetobacter spp pada kulit orang dewasa sehat terjadi sekitar 40%, dengan

angka kejadian yang lebih tinggi pada petugas rumah sakit dan pasien.1

Traktus respiratorius merupakan lokasi kolonisasi yang paling penting

dan paling sering. Kolonisasi didapatkan dari hidung, nasofaring dan

trakeostomi. Kejadian kolonisasi meningkat selama dirawat di ICU.2

Berdasarkan data pola bakteri dan kepekaan bakteri terhadap antibiotika di

RSUP Sanglah periode Juli-Desember 2014 didapatkan bahwa Acinetobacter

baumannii merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan pada

spesimen biakan sputum (18%) dan di ruangan ICU,RTI, burn unit, NICU.3

Spesies Acinetobacter yang paling sering menyebabkan bakteremia adalah

A. Baumannii, dan dapat ditemukan sebagai patogen tunggal maupun

sebagai bagian dari bakteremia polimikroba.1

Page 179: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

175

Prevalensi infeksi Acinetobacter semakin meningkat. Faktor risiko

Acinetobacter hospital-acquired pneumonia (AHAP) dan Acinetobacter

ventilator-associated pneumonia (AVAP) yang dikumpulkan dari berbagai

penelitian yaitu penggunaan antibiotika sebelumnya (ceftazidime,

imipenem, flurokuinolon), operasi saraf, trauma kepala, imunosupresi,

sepsis sebelumnya, penyakit paru kronik, usia tua, penggunaan alat invasif

(selang endotrakea dan gaster), lamanya dirawat di RS, dan lamanya

menggunakan ventilasi mekanik.1,2

Pneumonia komunitas akibat

Acinetobacter jarang terjadi, namun pasien yang kemungkinan terinfeksi

yaitu perokok, diabetes, atau penyakit paru obstruktif kronis.2

Patogenesis

Acinetobacter masih merupakan patogen oportunistik yang menyebabkan

infeksi serius pada host imunokompromis. Organisme ini merupakan

patogen lemah namun memiliki beberapa karakteristik yang dapat

meningkatkan virulensi strain yang terlibat dalam infeksi yaitu (i) adanya

kapsul polisakarida yang terbentuk dari L-rhamnose, D-glucose, D-glucuronic

acid, dan D-mannose, yang menyebabkan permukaan strain lebih hidrofilik

walaupun hidrofobisitas strain Acinetobacter lebih tinggi pada isolat dari

kateter atau selang trakea; (ii) properti adesi sel epitel manusia pada

fimbriae dan/atau kapsul polisakarida; (iii) produksi enzim yang dapat

merusak jaringan lemak; dan (iv) peran toksik komponen lipopolisakarida

dinding sel dan adanya lipid A.1

Page 180: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

176

Mekanisme Resistensi Antibiotika

Acinetobacter merupakan genus yang memiliki kemampuan untuk

mengalami resistensi terhadap antibiotika dengan cepat, kemungkinan

akibat pajanan jangka panjang organisme penghasil antibiotika di lingkungan

tanah. Kemampuan ini ditambah penggunaan antibiotika secara luas di

lingkungan rumah sakit menyebabkan Acinetobacter berkembang menjadi

patogen nosokomial.1 Acinetobacter memiliki berbagai mekanisme resistensi

dan jarang beberapa mekanisme ada dalam isolat yang sama, seperti yang

tampak pada tabel 1.2

Tabel 1. Mekanisme resistensi antibiotika pada spesies Acinetobacter2

Mekanisme Antibiotika

Betalaktamase (AmpC

sefalosporinase)

Ceftazidim dan sefalosporin

spektrum luas

Mutasi DNA topoisomerase Kuinolon

Enzim pemodifikasi aminoglikosida Aminoglikosida

Pompa efluks Aminoglikosida, kuinolon, tetrasiklin,

trimetoprim

Elemen genetik mobil Mengandung gen yang resisten

terhadap banyak klas

Perubahan protein membran luar Imipenem

Page 181: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

177

Diagnosis

Pasien AHAP atau AVAP memiliki tampilan klinis yang hampir sama dengan

pasien HAP atau VAP akibat patogen nosokomial yang lainnya. Diagnosis

VAP umumnya rumit sebab sulitnya membedakan infeksi dengan kolonisasi.

Diagnosis AHAP dan AVAP harus berdasarkan klinis yang ditunjang radiologis

dan mikrobiologis.2

Acinetobacter tumbuh pada media biakan rutin dan akan tampak

koloni dengan permukaan yang halus berbatas tegas, mukoid dan tidak

berpigmen (kuning sampai abu-abu). Acinetobacter pada pewarnaan gram

menunjukkan kokobasil gram negatif, bersifat aerob namun dapat tumbuh

pada kondisi anaerob seperti pada media biakan darah. 5

Terapi

Antibiotika pilihan untuk Acinetobacter spp masih terbatas karena resistensi

alami terhadap berbagai jenis antibiotika. Antibiotika yang paling efektif

adalah karbapenem, komponen sulbaktam dari ampicillin sulbactam dan

polimiksin. Nefrotoksisitas yang signifikan dari polimiksin (colistin)

membatasi penggunaannya secara intravena, sehingga diperlukan

pemberian dosis yang tepat dan monitoring ketat fungsi ginjal.2,4

Penggunaan colistin secara inhalasi dapat diberikan pada Acinetobacter

multiresisten, namun farmakokinetik, farmakodinamik dan dosis yang

optimal dari regimen colistin aerosol ini masih belum jelas.2

Page 182: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

178

Terapi infeksi serius oleh Acinetobacter sebaiknya diberikan dalam

bentuk terapi kombinasi berdasarkan hasil uji sensitivitas antibiotik.

Pendekatan terapi terbaik untuk mengatasi infeksi Acinetobacter

multiresisten adalah kombinasi antibiotik yang memberikan hasil sinergis

yaitu kombinasi antara carbapenem, colistin, rifampin, atau

ampicillin/sulbactam.5 Terapi empiris sebelum data mikrobiologi tersedia

harus diberikan berdasarkan patogen yang paling mungkin dan antibiogram

lokal. Kombinasi dua terapi empiris (dua obat parenteral atau satu

parenteral dan satu inhalasi) dapat dipertimbangkan pada pasien sakit kritis

yang kemungkinan terinfeksi patogen multiresisten.2

Pencegahan

Kemampuan Acinetobacter untuk bertahan jangka panjang pada lingkungan

rumah sakit memungkinkan untuk terjadinya outbreak sehingga diperlukan

tindakan untuk mencegah hal ini terjadi. Tabel 2 menampilkan pencegahan

transmisi Acinetobacter di lingkungan rumah sakit.6

Tabel 2. Pencegahan transmisi Acinetobacter di lingkungan rumah sakit6

Periode Penentuan Risiko

Menentukan prevalensi Acinetobacter pada fasilitas atau unit spesifik

Mengidentifikasi populasi berisiko tinggi

Menjamin adanya pengukuran preventif yang tepat

Surveilens Mikroba

Page 183: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

179

Mendeteksi angka insidens

Mengikuti perubahan pola resistensi antibiotika, mengidentifikasi

terjadinya strain multi-resisten dan pan-resisten

Antibiotic Stewardship

Menjamin penggunaan antibiotika empiris yang tepat dan singkat

Optimalisasi pemilihan dan dosis antibiotika untuk pengobatan strain

multiresisten obat

Kebersihan Tangan

Meminimalkan transmisi horizontal Acinetobacter

Penggunaan hand rub berbahan dasar alkohol lebih dipilih

dibandingkan sabun dan air

Indikasi termasuk penggunaannya sebelum dan sesudah kontak

dengan pasien, sesudah kontak dengan lingkungan sekitar pasien dan

setelah mengganti sarung tangan

Pencegahan Standar dan Kontak

Meminimalkan kontaminasi tangan dan pakaian petugas kesehatan

dengan menggunakan sarung tangan dan gaun pelindung

Optimalisasi penempatan pasien, baik dengan memisahkan pasien

yang rentan atau mengelompokkan pasien dengan strain yang sama

Desinfeksi Permukaan di Lingkungan Sekitar Perawatan Pasien

Page 184: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

180

Desinfeksi harian permukaan yang sering disentuh dan desinfeksi

menyeluruh semua permukaan yang secara klinis penting setelah

pasien pulang untuk mengurangi transmisi

Penggunaan desinfektan yang disetujui dengan konsentrasi dan waktu

kontak yang tepat

Monitoring rutin dengan umpan balik untuk memperbaiki performa

Desinfeksi Peralatan Medis Mobile

Desinfeksi semua peralatan jika berganti pasien

Tentukan dengan jelas siapa yang bertanggung jawab untuk desinfeksi

sesuai tipe alat, desinfeksi yang adekuat untuk peralatan tertentu

memerlukan pelatihan khusus

Penggunaan desinfektan yang disetujui dengan konsentrasi dan waktu

kontak yang tepat

Monitoring rutin dengan umpan balik untuk memperbaiki performa

Ringkasan

Acinetobacter merupakan bakteri yang banyak ditemukan di alam dan di

lingkungan rumah sakit. Secara umum bakteri ini tidak bersifat patogen

terhadap manusia, tetapi dapat menyebabkan infeksi pada penderita

dengan penurunan fungsi imun. Acinetobacter merupakan genus yang

memiliki kemampuan untuk mengalami resistensi terhadap antibiotika

dengan cepat, kemungkinan akibat pajanan jangka panjang organisme

Page 185: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

181

penghasil antibiotika di lingkungan tanah. Kemampuan ini ditambah

penggunaan antibiotika secara luas di lingkungan rumah sakit menyebabkan

Acinetobacter berkembang menjadi patogen nosokomial. Antibiotika yang

paling efektif adalah karbapenem, komponen sulbaktam dari ampicillin

sulbactam dan polimiksin. Terapi infeksi serius oleh Acinetobacter sebaiknya

diberikan dalam bentuk terapi kombinasi berdasarkan hasil uji sensitivitas

antibiotik. Kemampuan Acinetobacter untuk bertahan jangka panjang pada

lingkungan rumah sakit memungkinkan untuk terjadinya outbreak sehingga

diperlukan tindakan untuk mencegah hal ini terjadi.

Daftar Pustaka

1. Bergogne-Bèrèzin E, Towner K. Acinetobacter spp. as nosocomial

pathogens: microbiological, clinical, and epidemiological features. Clinical

Microbiology Review. 1996; 9(2): p. 148-65.

2. Hartzell J, Kim A, Kortepeter M, Moran K. Acinetobacter pneumonia: a

review. MedGenMed. 2007; 9(3).

3. Budayanti N, Tarini N, Fatmawati N, Yuliandari P, Mayura P. Pola bakteri

dan sensitivitas bakteri periode Juli-Desember 2014 Denpasar; 2016.

4. ATS. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired,

ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir

Crit Care Med. 2005; 171: p. 388-416.

5. Doughari H, Ndakidemi P, Human I, Benade S. The ecology, biology and

pathogenesis of Acinetobacter spp. : an overview. Microbes Environ.

Page 186: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

182

2011; 26(2): p. 101-12.

6. Bennet J, Dolin R, Blaser M. Mandell, Douglass, and Bennett's principles

and practice of infectious diseases. 8th ed. Canada: Elsevier, Saunders;

2015.

Page 187: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

183

PNEUMONIA ATIPIKAL

Ni Wayan Candrawati

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Bakteri atipikal sering menjadi penyebab pneumonia disamping bakteri

tipikal. Pneumonia atipikal yang sering disebabkan oleh Mycoplasma

pneumonia, Chlamydia pneumonia, Legionella spp.1 Gambaran klinis

pneumonia atipikal yaitu gejala demam, batuk non produktif dan gejala

sistemik (nyeri kepala, mialgia); pemeriksaan fisik ronki basah tersebar;

gambaran radiologis infiltrat interstisial jarang terjadi konsolidasi;

laboratorium leukositosis ringan, sediaan apus gram, biakan sputum atau

darah tidak ditemukan.2 Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan

bakteri atipik yaitu deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA), polymerase

chain reaction (PCR), uji serologi (cold agglutinin, uji fiksasi komplemen

untuk M.pneumoniae, micro immunofluorescence untuk C.pneumoniae,

antigen dari urin untuk Legionella).1 Antibiotik pilihan untuk Mycoplasma

pneumonia, Chlamydia pneumonia, Legionella spp. adalah golongan

makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin) dan fluorokuinolon

respirasi (levofloksasin, moksifloksasin).3

Page 188: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

184

Prevalensi

Pasien dengan gejala CAP, sekitar 50%, sulit ditentukan patogen penyebab

secara mikrobiologis dan peran patogen atipikal tergantung pada alat

diagnostik yang digunakan. Sebagian pasien CAP mengalami infeksi

kombinasi patogen respirasi tipikal (Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis) dan atipikal yang tidak

dapat didiagnosis inisial dengan spesimen klinis yang tersedia. Survey

menunjukkan patogen respirasi atipikal semakin meningkat frekuensinya

dalam menyebabkan penyakit, berkisar antara 6-20% pada pasien rawat

jalan sampai ≥40% diantara pasien CAP rawat inap. Peran patogen atipikal

pada CAP di Eropa sekitar 25% dan 22% di Amerika Serikat. 4

Gambaran Klinis

Kuman atipik sering menjadi penyebab CAP bersamaan dengan kuman

tipikal. Untuk membedakan pneumonia atipikal dengan tipikal dapat dilihat

pada tabel 1.2

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis pneumonia atipikal dan tipikal 2

Tanda dan gejala Pneumonia atipikal Pneumonia tipikal

Onset Gradual Akut

Suhu Kurang tinggi Tinggi, menggigil

Batuk Non produktif Produktif

Page 189: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

185

Sputum Mukoid Purulen

Gejala lain Nyeri kepala, mialgia,

sakit tenggorokan,

suara parau, nyeri

telinga

Jarang

Gejala di luar paru Sering Lebih jarang

Apusan gram Flora normal atau

spesifik

Kokus gram (+) atau (-)

Radiologis Patchy atau normal Konsolidasi lobar

Laboratorium Leukosit normal kadang

rendah

Lebih tinggi

Gangguan fungsi hati Sering Jarang

Pada Legionella, dapat terjadi hemoptisis ringan (bercak darah pada

sputum), nyeri dada, gejala gastro intestinal (diare, mual, muntah, nyeri

perut), demam (>39oC), hiponatremia (Na serum <130meq/L), hematuria,

proteinuria, abnormalitas radiologis terjadi pada hari ketiga sakit, sering

terjadi efusi pleura.5

Perlukah Mengobati Bakteri Atipikal pada CAP?

Perlunya antibiotik untuk mengcover patogen atipikal masih kontroversial.

Walaupun tidak banyak penelitian yang menunjukkan pentingnya terapi

antibiotik untuk patogen atipikal, namun pentingnya mengobati infeksi

Legionella telah lama ditetapkan. Penelitian placebo-kontrol dan random

Page 190: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

186

membandingkan azitromisin, tetrasiklin dan penisilin menunjukkan

L.pneumophila memiliki angka survival lebih baik setelah diberikan terapi

antibiotika. Database Medicare menunjukkan survival yang berbeda secara

siginifikan antara pasien CAP yang diberikan flurokuinolon atau β-laktam

plus makrolid dibandingkan dengan β-laktam saja.1

Legionella

Spesies Legionella bersifat aerob, basil gram-negatif yang tidak tumbuh pada

media biakan bakteriologis rutin. Media khusus yang diperlukan yaitu

buffered charcoal yeast extract media, dan membutuhkan waktu 3-5 hari

untuk tumbuh.5

Legionella teridentifikasi sebagai penyebab CAP berat, namun

perannya pada penyakit ringan-sedang masih kontroversial.4 Mortalitas

akibat Legionnaires' disease komunitas berkisar antara 16-30% jika tidak

diobati atau diobati dengan antibiotik inaktif, mortalitas akibat Legionnaires'

disease nosokomial mencapai 50% pada pasien dengan penyakit penyerta.

Perbaikan metode diagnostik sehingga diagnosis dapat ditegakkan lebih

awal dan adanya terapi yang lebih awal menyebabkan mortalitas dapat

diturunkan menjadi kurang dari 10% pada pasien Legionellosis komunitas.6

Legionellosis merujuk pada 2 sindrom klinis yang disebabkan oleh

bakteri Legionella yaitu Legionnaires’ disease (sindrom pneumonia yang

lebih sering akibat spesies Legionella) dan pontiac fever (penyakit febris akut

Page 191: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

187

yang dapat sembuh sendiri yang dikaitkan dengan spesies Legionella).

Periode inkubasi untuk Legionnaires' disease berkisar antara 2-10 hari.7

Transmisi Legionella pada manusia melalui beberapa cara yaitu

inhalasi aerosol, inhalasi atau menelan tanah di pot, aspirasi air yang

terkontaminasi Legionella, kemungkinan kolonisasi orofaring oleh

L.pneumophila, instilasi langsung ke paru saat manipulasi traktur

respiratorius, infeksi Legionella dikaitkan dengan air hujan. Transmisi dari

orang ke orang belum ditemukan.7

Faktor risiko terjadinya pneumonia Legionella antara lain merokok,

penyakit paru kronis, usia tua, transplantasi dan imunosupresi lain

(penggunaan glukokortikoid, inhibitor TNFα). Mekanisme pertahanan host

utama terhadap legionella adalah cell-mediated immunity yang mirip

dengan patogen intraseluler lain. imunitas humoral memainkan peran

pertahanan host kedua terhadap infeksi Legionella. Antibodi spesifik IgM

dan IgG terdeteksi beberapa minggu setelah terinfeksi.5

Faktor virulensi Legionella yaitu: 8

Memiliki gen dot (defective organelle trafficking) dan icm (intracellular

multiplication) yang bertanggung jawab untuk menghindari fusi

fagosom-lisosom

L.pneumophila membentuk pori pada membran lipid sejumlah sel yang

memungkinkan substansi dengan berat molekul kecil mampu masuk ke

dalam sel, selanjutnya replikasi intraseluler Legionella difasilitasi oleh

lokus multiplikasi intrasel (Lgn-1) dan Mip

Page 192: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

188

Legionella juga mampu menjadi resisten terhadap antibiotika melalui

produksi beta laktamase

Legionella memproduksi sejumlah eksotoksin termasuk hemolisin,

sitotoksin, deoksiribonuklease, ribonuklease dan berbagai protease

Legionellaceae juga memproduksi endotoksin lipopolisakarida lemah;

bagian karbohidrat dari lipopolisakarida ini dapat mengaktivasi jalur

komplemen klasik

Faktor virulensi lain yaitu flagela dan antigen permukaan yang dikenali

oleh monoklonal antibodi 2

Legionellaceae sangat mudah beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan.

Patogen seperti ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama di

lingkungan sehingga cenderung menjadi virulen. 8

Manifestasi klinis infeksi Legionella khas namun tidak ada yang

merupakan patognomonic atau spesifik. Sehingga tes laboratorium khusus

untuk Legionella harus dilakukan pada semua pasien yang MRS karena CAP.

Kultur Legionella spp merupakan tes laboratorium yang paling penting. Tes

antigen urin merupakan tes cepat, sensitif, spesifik dan murah, namun

hanya berguna untuk diagnosis infeksi L.pneumophila tipe 1 (penyebab 90%

infeksi Legionella komunitas di Amerika Serikat). Pada pasien terduga infeksi

Legionella, direkomendasikan pemeriksaan kultur dari spesimen respirasi

yang tepat dan tes antigen urin.5

Penatalaksanaan

Page 193: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

189

Makrolid generasi baru, seperti klaritromisin dan azitromisin menunjukkan

aktivitas in vitro yang baik terhadap patogen atipikal dan ditoleransi lebih

baik dibandingkan eritromisin. Sehingga agen ini sering digunakan tunggal

atau kombinasi dengan β-laktam sebagai terapi empiris pada CAP.

Doksisiklin dapat digunakan sebagai alternatif makrolid jika data untuk

pengobatan Legionella masih terbatas. 3

Alternatif lain adalah menggunakan satu fluorokuinolon generasi

terbaru (levofloksasin 750mg, gemifloksasin, moksifloksasin) yang lebih

efektif dibandingkan fluorokuinolon generasi lama (ciprofloksasin dan

ofloksasin) terhadap patogen atipikal. Fluorokuinolon generasi terbaru juga

memiliki aktivitas yang bagus terhadap S.pneumoniae bahkan terhadap

strain yang resisten terhadap penisilin. Obat ini memiliki spektrum yang luas

terhadap patogen respirasi tipikal dan atipikal sehingga dapat digunakan

sebagai obat ideal untuk mengatasi CAP terutama pada daerah dengan

resistensi makrolid tinggi.3,9

Ringkasan

Pneumonia atipikal sering disebabkan oleh Mycoplasma pneumonia,

Chlamydia pneumonia, Legionella spp. Gambaran klinis pneumonia atipikal

yaitu gejala demam, batuk non produktif dan gejala sistemik (nyeri kepala,

mialgia); pemeriksaan fisik ronki basah tersebar; gambaran radiologis

infiltrat interstisial jarang terjadi konsolidasi; laboratorium leukositosis

ringan, sediaan apus gram, biakan sputum atau darah tidak ditemukan.

Page 194: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

190

Legionella teridentifikasi sebagai penyebab CAP berat, periode

inkubasi 2-10 hari, transmisi dari lingkungan ke manusia. Faktor risiko

terjadinya pneumonia Legionella antara lain merokok, penyakit paru kronis,

usia tua, transplantasi dan imunosupresi lain. Mekanisme pertahanan host

utama terhadap legionella adalah cell-mediated immunity. Memiliki

beberapa mekanisme yang menyebabkan menjadi virulen.

Direkomendasikan pemeriksaan kultur dari spesimen respirasi yang tepat

dan tes antigen urin.

Antibiotik pilihan untuk pneumonia atipikal adalah golongan makrolid

baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin) dan fluorokuinolon respirasi

(levofloksasin, moksifloksasin). Doksisiklin dapat digunakan sebagai

alternatif makrolid.

Daftar Pustaka

1. Bartlett J. Is activity against “atypical” pathogens necessary in the

treatment protocols for community-acquired pneumonia? issues with

combination therapy. Clin Infect Dis. 2008; 47: p. 232-6.

2. PDPI. Pneumonia komunitas: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di

Indonesia. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014.

3. Mandell L, Wunderink R, Anzueto A, Bartlett J, Campbell G, Dean N, et al.

Infectious disease society of America/American thoracic society

consensus guidelines on the management of community-acquired

pneumonia in adults. Clin Infect Dis. 2007; 44: p. 27-72.

Page 195: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

191

4. Blasi F. Atypical pathogens and respiratory tract infections. Eur Respir J.

2004; 24: p. 171-81.

5. Yu V. Legionella pneumophila (Legionnaires' Disease). In Mandell G,

Bennett J, Dolin R. Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and

Practice of Infectious Diseases 5th edition. Philadelphia: Churchill

Livingstone; 2000. p. 2424.

6. Benin A, Benson R, Besser R. Trends in legionnaires disease, 1980-1998:

declining mortality and new patterns of diagnosis. Clin Infect Dis. 2002;

35: p. 10-39.

7. Castor M, Wagstrom E, Danila R. An outbreak of Pontiac fever with

respiratory distress among workers performing high-pressure cleaning at

a sugar-beet processing plant. J Infect Dis. 2005; 191: p. 1530.

8. Roy C. Trafficking of the Legionella pneumophila phagosome. ASM News.

1999; 65: p. 416.

9. Plouffe J. Importance of atypical pathogens of community-acquired

pneumonia. Clin Infect Dis. 2000; 31: p. 35-9.

Page 196: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

192

PNEUMONIA PADA IMMUNOCOMPROMISE

I Ketut Agus Somia

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi

Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Immunokompromise merupakan keadaan abnormalitas dari sistim

imunitas yang di dapat atau congenital. Pasien mmunokompromise berisiko

tinggi mengalami infeksi yang berat dan mengancam jiwa. Pada beberapa

dekade terakhir terjadi peningkatan populasi immunokompromise akibat

peningkatan pemakaian obat-obat imunosupresif pada keganasan, penyakit

autoimun, penyakit kronis dan juga akibat peningkatan kasus HIV/AIDS.

Paru-paru merupakan salah satu organ yang sering mengalami infeksi pada

pasien dengan imunokompromise baik karena infeksi virus, bakteri, jamur

dan parasit. Manifestasi klinis pneumonia pada pasien immunokompromise

sangat bervariasi, cendrung berat dan fatal. Oleh karena itu diagnosis dini

yang akurat, penatalaksanaan yang cepat dan tepat sangat penting dalam

menekan morbiditas dan mortalitas pneumonia yang sangat tinggi pada

pasien immunokompromise.

Page 197: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

193

ETIOLOGI

Penyebab pneumonia yan paling sering pada pasien

immunokompromise berkaitan dengan penyakit imunokompromise yang

mendasari. 1,2

Gambar 1. Etiologi Pneumonia pada immunocompromised

PATOGENESIS

Kondisi imunokompromise terjadi oleh karena tiga faktor yaitu:

defek fagosit, defek immunoglobulin dan defek imunitas seluler.1,2

Immunocompr

Defek Fagosit Defek Defek Sel-T

Anemia aplastik

Neutropenia post

chemotherapy

Agammaglobulinemi

a Multiple

myeloma

AIDS

Solid organ

transpant

S. Aureus

P. aeruiginosa

Aspergillus

S. pneumoniae

H. influenza

P. carinii

M.

Tuberculosis

C. Neoformans

Page 198: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

194

Defek fagosit

Sel sel mononuclear terdiri dari monosit, makrofag dan neutrofil

merupakan fagosit yang berperan melindungi tubuh dari bakteri dan jamur.

Sel-sel ini akan bermigrasi ke tempat infeksi, membunuh mikroorganisme,

dan mengeleminasi debris selular. Disamping itu fagosit mononuclear

memproduksi regulator-regulator dan menyajikan antigen pada limfosit dan

membantu menginisiasi dan mengkoordinasi respon imun. Defek kuantitas

fagosit yang paling sering dijumpai adalah neutropenia, yang sering dijumpai

pada leukemia akut, kegagalan sumsum tulang, atau pada pasien yang

mendapat kemoterapi keganasan. Defek kualitatif fagosit menyebabkan

masalah yang sama seperti neutropenia yaitu infeksi bakteri yang berulang,

berat dan fatal. 1,2

Defek antibodi

Terdapat 3 cara antibodi melindungi tubuh dari mikroorganisme yaitu: 1,2

1. Neutralisasi: dimana ikatan antara antibody dengan virus sebelum

masuk dan bereplikasi dalam sel. Neutralisasi juga dapat terjadi

pada bakteri yang bereproduksi dalam sel.

2. Opsonisasi: antibody meliputi permukaan bakteri menstimulasi sel-

sel fagosit untuk mencerna dan membunuh bakteri. Opsonisasi

Page 199: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

195

merupakan cara yang efektif terhadap bakteri extraseluler- dan

bakteri yang bermultiplikasi diluar sel sel host.

3. Aktivasi komplemen: meningkatkan opsonisasi dan dapat secara

langsung membunuh bakteri.

Pada pasien dengan antibodi yang terganggu berisiko menderita

pneumonia yang disebabkan oleh bakteri berkapsul, yang diselubungi oleh

kapsul polisakarida yang menghambat fagositosis oleh makrofag dan

neutrofil. Opsonisasi bakteri tersebut dengan antibodi atau komplemen

sangat diperlukan sebelum fagosit secara efisien mencerna dan membunuh

bakteri tersebut.

Defek pada imunitas yang diperantai oleh sel (sel-T)

Sel T dapat dibagi menjadi 3 klas fungsional: 1,2

- Sel TC (CD8) yang membunuh sel yang terinfeksi oleh pathogen

(terutama virus) yang bereplikasi dalam sitoplasma sel host.

- Sel TH1 (CD4) yang mengaktivasi makrofag dan kemudian

menghancurkan pathogen seperti M tuberculosis dan P carinii,

yang berada dalam vesikel makrofag

- Sel TH2 (CD4) yang mengaktifkan sel-sel B untuk memproduksi

antibodies.

Page 200: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

196

Dengan demikian sel limfosit T berperan penting dalam imunitas

yang diperantari seluler dan humoral. Meskipun pasien dengan cell-

mediated immunodeficiency sangat rentan terhadap infeksi yang

disebabkan oleh bacteria, fungi, viruses, dan protozoa, namun yang

predominan adalah pathogen pathogen intracellular (cytoplasmic atau

vesicular) seperti mycobacteria, Nocardia asteroides, Legionella species, C

neoformans, H capsulatum, C immitis, varicella zoster virus, herpes simplex

virus, cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, P carinii, dan T gondii.

Imunodefisiensi Cell-mediated dapat terjadi primer - inherited—

atau acquired— sebagai akibat dari gangguan lain atau efek samping terapi .

Acquired cell-mediated immunodeficiency (AIDS) karena Infeksi human

immunodeficiency virus (HIV) merupakan jenis imunodefisiensi yang paling

sering ditemukan. Sel CD4 merupakan target infeksi HIV, deplesi sel-sel

jumlah CD4 berkaitan dengan derajat immunosupresi dan berhubungan

langsung dengan jenis infeksi paru yang terjadi.

Berikut akan dibahas secara ringkas manifestasi klinis, diagnosis

dan terapi pneumonia pada pasien imunokompromise, khususnya pada

pasien dengan HIV/AIDS.

PNEUMOCYSTIS JIROVECII (FORMERLY PNEUMOCYSTIS CARINII)

Page 201: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

197

Pada infeksi HIV gambaran manifestasi PCP meliputi dispneu

progresif subakut, demam, batuk non produktif dan nyeri dada yang

memburuk dalam beberapa hari sampai minggu. Pada PCP ringan,

pemeriksaan paru dalam keadaan istirahat biasanya normal. Dengan

exercise, akan terjadi tachypnea, tachycardia, dan terdengar ronki kering

yang difus. Demam merupakan tanda yang sering dijumpai. PCP sering

disertai dengan koinfeksi candidiasis oral.4

Pada pemeriksaan laboratorium sering dijumpai hypoxemia dari

ringan ( tekanan oksigen arterial *pO2+ ≥70 mm Hg atau alveolar-arterial O2

difference, [A-a] DO2 <35 mm Hg), hipoksemia sedang ([A-a+ DO2 ≥35 adan

<45 mm Hg) dan hipoksemia berat ([A-a+ DO2 ≥45 mm Hg). Peningkatan

kadar lactate dehydrogenase >500 mg/dL tetapi tidak spesifik. 4

Pada foto polos dada tampak infiltrate interstitial yang simetris,

diffuse, bilateral yang memancar dari hilar membentuk gambaran kupu-

kupu. Walaupun demikian gambaran foto polos dada dapat normal pada

awal penyakit. Gambaran yang atipikal dapat berupa nodules, blebs dan

cysts, asymmetric, yang berlokasi di lobus atas, dan pneumothorak.

Pneumothorax spontan pada pasien HIV harus dicurigai karena PCP. Cavitas,

adenopaty intrathoracic dan efusi pleural jarang dijumpai, akan tetapi jika

tidak ditemukan pathogen lain dan keganasan, maka diagnosis alternative

PCP perlu dipkirkan. Hampir sekitar 13% sampai 18% PCP juga disertai

dengan tuberculosis (TB), sarcoma Kaposi atau pneumonia bacterial.12,4

Page 202: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

198

Diagnosis pasti ditegakkan dengan deteksi PCP dari specimen cairan

BAL atau sputum yang diinduksi. PCP dapat terdeteksi dengan pengecatan

giemsa, diff-quik, dan wright (dapat mendeteksi bentuk cystic dan trophic,

tapi tidak mengecat dinding cyst), pengecatan gomori methenamine silver,

gram-weigert, cresyl violet, dan toluidine blue ( dapat mengecat dinding

cyst). Polymerase chain reaction (PCR) specimen BAL memiliki senstifitas

yang tinggi dalam mendiagnosis PCP, namun kemampuan membedakan

dengan kolonisasi PCP masih belum jelas.4

Profilaksis primer, terapi dan profilaksis sekunder PCP4

Profilaksis Primer

Indikasi: pasien HIV remaja, dewasa termasuk hamil dan yang mendapat

ARV dengan kadar CD4 <200 cells/mm3, Pasien HIV dengan riwayat

kandidiasis oropharyngeal, Kadar CD4 cell <14% atau Riwayat dengan AIDS-

defining illness

Pilihan :

Trimethoprim-sulfamethoxazole

(TMP-SMX) 960 mg PO single

dose setiap hari

Alternatif:

TMP-SMX 1 DS PO 3 kali seminggu atau Dapsone 100 mg PO perhari atau 50 mg PO BID atau

Dapsone 50 mg PO per hari + (pyrimethamine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau

(Dapsone 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) PO per minggu atau

Page 203: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

199

Aerosolized pentamidine 300 mg via Respigard II™ nebulizer setiap bulan atau

Atovaquone 1500 mg PO per hari dengan makanan atau

(Atovaquone 1500 mg + pyrimethamine 25 mg + leucovorin 10 mg) PO per minggu dengan makanan.

Profilaksis primer dihentikan bila terjadi peningkatan CD4 dari <200

cells/mm3 menjadi ≥200 cells/mm3 selama 3 bulan

PCP sedang atau berat ( lama terapi 21 hari)

Pilihan:

TMP-SMX (TMP 15–20 mg and

SMX 75–100 mg)/kg/day IV

setiap 6 jam atau 8 jam, diganti

PO setelah perbaikan klinis

Alternative :

Pentamidine 4 mg/kg IV sekali sehari perinfus paling sedikit 60 menit,dosis kemudian diturunkan menjadi 3 mg/kg IV sekali sehari atau

Primaquine 30 mg (base) PO sekali sehari + (Clindamycin [IV 600 q6h atau 900 mg setiap 8 jam] atau

[PO 450 mg setiap 6 jam atau 600 mg setiap 8 jam])

Pada PCP sedang atau berat diberikan kortikosteroid sesegera mungkin

setelah 72 jam mendapat terapi spesifik PCP

Dosis prednison

Page 204: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

200

Hari 1–5 : 40 mg PO BID

Hari 6–10 : 40 mg PO daily

Hari 11–21 : 20 mg PO daily

PCP Ringan sampai sedang ( lama terapi 21 hari

Terapi pilhan

TMP-SMX: (TMP 15–20 mg/kg/hari dan SMX 75–100 mg/kg/hari), diberikan PO dalam 3 dosis terbagi atau

TMP-SMX DS - 2 tablets TID

Terapi Alternatif:

Dapsone 100 mg PO perhari + TMP 15 mg/kg/perhari PO (3 dosis terbagi ) atau

Primaquine 30 mg (base) PO per hari + Clindamycin PO (450 mg setiap 6 jam atau 600 mg setiap 8 jam) atau

Atovaquone 750 mg PO BID dengan makanan

Profilaksis sekunder

Indikasi: pernah terinfeksi PCP

Pilihan:

TMP-SMX, 1 DS PO perhari atau

TMP-SMX, 1 SS PO perhari

Terapi alternative

TMP-SMX 1 DS PO 3 kali seminggu, atau

Dapsonec 100 mg PO per hari atau 50 mg PO BID atau

Dapsoneb 50 mg PO perhari + (pyrimethamine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau

(Dapsoneb 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) PO perminggu atau

Aerosolized pentamidine 300 mg via

Page 205: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

201

Respigard II™ nebulizer per bulan atau

Atovaquone 1500 mg PO perhari dengan makanan atau

(Atovaquone 1500 mg + pyrimethamine 25 mg + leucovorin 10 mg) PO per hari dengan makanan

Indikasi menghentikan profilaksis sekunder:

CD4 meningkat dari <200 cells/mm3 menjadi 200 cells/mm

3 selama >3

bulan sebagai akibat pemberian ART atau

Jika PCP didiagnosis pada saat CD4 ≥ 200 cells/mm3, profilaksis

diteruskan seumur hidup tidak tergantung dari peningkatan CD4 akibat pemberian ART

Indikasi memulai lagi profilaksis sekunder:

CD4 turun kembali <200 cells/mm3 atau

Jika PCP rekuren pada CD4 ≥ 200 cells/mm3,maka profilaksis diberikan seumur hidup

TUBERKULOSIS

HIV merupakan factor risiko terbesar terjadinya TB. Pada pasien

HIV, TB lebih mudah menjadi aktif dan risiko mortalitas yang lebih besar.

HIV juga merupakan faktor risiko progresi TB laten menjadi aktif.

Manifestasi klinis TB pada HIV tergantung dari derajat berat

immunodefisiensi. Semakin berat imunodefisiensi, gambaran TB yang tipikal

dan adanya lesi kavitas akan semakin jarang dijumpai. Pada kondisi tersebut

TB lebih sering dijumpai pada lobus bawah. Inisiasi ARV pada pasien HIV juga

berisiko terjadi rekonstitusi imun unmasking (subclinical) TB dan TB IRIS

Page 206: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

202

paradoksikal pada pasien HIV- TB yang sudah menunjukkan perbaikan

dengan OAT.1,2,4

Pada pasien TB-HIV, perlu dicurigai terjadinya resistensi OAT bila:

pernah terpapar dengan obat TB yang resisten, tinggal di daerah prevalensi

TB resisten yang tinggi atau kejadian kasus baru resisten yang tinggi, BTA

sputum atau kultur sputum tetap positif setelah 4 bulan terapi, dan riwayat

sebelumnya putus OAT atau memakai OAT tidak dipantau secara langsung.4

PNEUMONIA BAKTERIAL

Pathogen bacterial yang menyebabkan pneumonia pada orang

dengan dan tanpa HIV adalah sama. Penyebab pneumonia komunitas yang

paling sering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan

Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus. Sedangkan penyebab

pneumonia nosocomial adalah Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter

species, Klebsiella species, Escherichia coli dan Acinetobacter species. Pada

pasien HIV yang terinfeksi S pneumoniae, memiliki risiko mengalami

pneumonia 10-100 kali lebih tinggi dibandingkan tanpa HIV. Manifestasi

klinis dan radiologis pneumonia bacterial pada HIV adalah sama pada

dengan dan tanpa HIV. Pedoman diagnosis dan terapi pneumonia bacterial

pada individu tanpa HIV bisa diaplikasikan pada pasien HIV.4

Page 207: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

203

PNEUMONIA HISTOPLASMA CAPSULATUM

Hampir semua kasus histoplasmosis primer terjadi melalui inhalasi

microconidia yang terbentuk pada fase miselium. Sering terjadi diseminasi

infeksi asimtomatik di luar paru-paru, dan imunitas seluler sangat penting

dalam mengendalikan infeksi. Ketika imunitas seluler terganggu, maka bisa

terjadi reaktivasi fokus laten infeksi yang sudah didapat beberapa tahun

sebelumnya.

Manifestasi klinis progressive disseminated histoplasmosis pada

pasien HIV meliputi demam, fatigue, penurunan berat badan dan

hepatomegali. Sekitar 50% pasien menunjukkan keluhan batuk, nyeri dada

dan sesak nafas. Pada pasien dengan kadar CD4 > 300 cells/mm3,

histoplasmosis sering terbatas pada saluran nafas yang umumnya ditandai

dengan batuk, nyeri dada dan demam.

Diagnosis ditegakkan dengan deteksi antigen Histoplasma dalam

darah atau urine dengan metode rapid yang sensitif untuk diagnosis

disseminated histoplasmosis dan acute pulmonary histoplasmosis, namun

kurang sensitive pada infeksi kronis paru-paru. Spesimen kultur H.

capsulatum dapat berasal dari darah, sumsum tulang, sekresi respirasi atau

dari tempat-tempat yang terinfeksi. 4

Page 208: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

204

Profilaksis primer, terapi dan profilaksis sekunder pada pneumonia Histoplasma capsulatum

4

Profilaksis primer diindikasikan pada pasien dengan CD4 < 150 sel/uL yang

berisiko tinggi karena paparan pekerjaan atau yang tinggal di daerah

hiperendemik (>10 kasus/100 pasien- tahun)

Pada kasus Acute pulmonary histoplasmosis pada pasien HIV dengan CD4

>300 cells/mm3 ditatalaksana seperti pasien non HIV

Pada kasus sedang sampai berat

Terapi Induksi

selama paling sedikit 2 minggu atau sampai terjadi perbaikan klinis

Terapi pilihan: Liposomal

amphotericin B at 3 mg/kg IV perhari

Terapi alternatif: Amphotericin B

lipid complex atau amphotericin B

cholesteryl sulfate complex 3 mg/kg

IV per hari

Terapi pemeliharan paling sedikit selama 12 bulan

Itraconazole 200 mg PO TID selama 3 hari, kemudian BID

Pada kasus Penyakit disseminasi yang kurang berat

Terapi induksi dan pemeliharaan

Page 209: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

205

Terapi pilihan: Itraconazole 200 mg

PO TID selama 3 hari, dilanjutkan

200 mg PO BID selama 12 bulan

Alternatif : Posaconazole 400 mg PO

BID atau Voriconazole 400 mg PO

BID selama 1 hari, kemudian 200 mg

PO BID atau Fluconazole 800 mg PO

sehari

Terapi supresi jangka panjang ( profilaksis sekunder)

Indikasi :pasien severe disseminated atau infeksi CNS setelah terapi lengkap

12 bulan, relaps dengan terapi yang sesuai.

Terapi pilihan : Itraconazole 200 mg

PO setiap hari

Terapi alternatif: Fluconazole 400

mg PO setiap hari

Kriteria menghentikan terapi supresi jangka panjang: mendapat terapi azole

>1 tahun, dan kultur darah negative dan antigen Histoplasma serum <2

ng/mL, dan hitung CD4 >150 cells/mm3 selama 6 bulan pada respon dengan

ART

Indikasi memberikan lagi profilaksis sekunder: CD4 count <150 cells/mm3

PNEUMONIA CRYPTOCOCCUS NEOFORMANS

Sebagian besar infeksi cryptococcal pada pasien HIV disebabkan

karena Cryptococcus neoformans, tetapi kadang-kadang juga oleh

Cryptococcus gattii. Pneumonia cryptococcus sering menyebabkan infeksi

yang luas, berat dan disseminate, yang kebanyakan terjadi akibat reaktivasi

infeksi laten.

Infeksi Cryptococcus isolated pada paru ditandai dengan batuk dan

dispneu. Pneumonia Cryptococcus dapat juga tampak seperti acute

Page 210: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

206

respiratory distress syndrome dan menyerupai PCP. Diagnosis ditegakkan

dengan mikroskopis, deteksi antigen (CrAg) dan kultur. Terapi meliputi 3

fase yaitu induksi, konsolidasi dan pemeliharaan. 4

Terapi Pneumonia cryptococcus

Terapi Pneumonia cryptococcus

Terapi induksi (paling sedikit 2 minggu, dilanjutkan dengan terapi konsolidasi

Terapi pilihan Terapi alternatif

Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau

Amphotericin B deoxycholate 0.7–1.0 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID

Amphotericin B lipid complex 5 mg/kg IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau

Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari plus fluconazole 800 mg PO/IV atau

Amphotericin B (deoxycholate 0.7-1.0 mg/kg IV per hari) plus fluconazole 800 mg PO/IV per hari, atau

Liposomal amphotericin B 3–4 mg/kg IV per hari atau

Amphotericin B deoxycholate 0.7–1.0 mg/kg IV per hari atau

Fluconazole 400 mg PO / IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau

Fluconazole 800 mg PO /IV per hari plus flucytosine 25 mg/kg PO QID atau

Fluconazole 1200 mg PO / IV per hari

Terapi konsolidasi minimal 8 minggu

Pilihan: Alternative

Page 211: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

207

Fluconazole 400 mg PO or IV

sekali sehari

Itraconazole 200 mg PO BID

Terapi pemeliharaan

Fluconazole 200 mg PO selama

paling sedikit 1 tahun

Terapi induksi berhasil bila terjadi perbaikan klinis dan kultur negative.

Terapi pemeliharaan dihentikan bila minimal 1 tahun dan infeksi

cryptokokkus asimtomatik dan kadar CD4 ≥100 cells/μL selama ≥3 bulan

dan HIV RNA tersupresi dengan ART.

Terapi pemeliharaan dimulai lagi bila CD4 ≤100 cells/μL

Terapi cryptococcis non CNS, Focal Pulmonary Disease dan Isolated

Cryptococcal Antigenemia:

Fluconazole 400 mg PO setiap hari selama 12 bulan

PNEUMONIA CYTOMEGALOVIRUS

Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus DNA double-stranded

yang termasuk family virus herpes yang dapat menyebabkan penyakit pada

end-organ yang terlokalisir atau disseminata pada pasien HIV dengan

immunosupresi lanjut. Sebagian besar manifestasi klinis terjadi pada

individu yang sebelumnya terinfeksi dengan CMV (seropositive) kemudian

mengalami re-activasi dari infeksi laten atau re-infeksi dengan strain

terbaru. Individu yang terinfeksi terutama dengan jumlah CD4 <50

Page 212: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

208

cells/mm3, yang tidak mendapat atau gagal berespon dengan ART, kadar

CMV viremia yang tinggi dan kadar HIV RNA plasma yang tinggi (>100,000

copies/mL).4 CMV merupakan pathogen yang paling sering (> 50 %)

berhubungan dengan pneumonia viral pada pasien dengan

immunokompromise. Gambaran radiologis yang sering dijumpai adalah

infiltrate interstitial unilateral atau bilateral, konsolidasi alveolar, ground-

glass opacities dan nodular opacities. Beberapa tanda sering tumpang tindih

dengan PCP, walaupun efusi pleural lebih sering dijumpai pada pneumonia

CMV.1

Terapi pneumonia CMV dianjurkan memakai ganciclovir dan

foscarnet, namun lama terapi optimal belum jelas. Dianjurkan mengikuti

dosis seperti pada terapi retinitis CMV yaitu Ganciclovir 5 mg/kg IV setiap

12 jam selama 14–21 hari kemudian 5 mg/kg IV setiap hari atau Foscarnet

60 mg/kg IV setiap 8 jam atau 90 mg/kg IV setiap 12 jam selama 14–21 hari,

kemudian 90–120 mg/kg IV setiap 24 jam.4

PNEUMONIA VARICELLA

Penyebaran visceral virus varicella zoster biasanya terjadi pada

pasien HIV dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 serta dapat menyebabkan

pneumonitis VZV. Gejala respirasi mungkin mendahului, bersamaan dengan

atau terjadi setelah timbulnya rash. Periode dari onset rash dan timbulnya

gejala respirasi adalah antara 0 – 6 hari. Terdapat korelasi antara gejala

Page 213: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

209

respirasi yang baru muncul dengan pneumonia. Demam yang menetap dan

mulai timbulnya batuk pada saat erupsi lesi masih berlangsung, merupakan

indikator varicella pneumonia. Gambaran radiologis yang khas adalah

tampak infiltrate nodular yang diffuse yang cendrung diskret pada daerah

perifer dan bergabung di hilar dan basal paru-paru. Diagnosis pneumonia

varicella- zoster umumnya ditegakkan secara klinis. 3,4

Terapi Pneumonia varicella-zoster 4

Varicella berat dan komplikata

Acyclovir 10–15 mg/kg IV setiap 8 jam selama 7–10 hari

switch ke terapi oral famciclovir, valacyclovir,atau acyclovir setelah

defervescence jika tidak ada bukti keterlibatan visceral

Zoster dengan lesi kulit yang luas atau keterlibatan visceral

Acyclovir 10–15 mg/kg IV setiap 8 jam sampai terjadi perbaikan klinis

Switch ke terapi oral (valacyclovir 1 g TID, famciclovir 500 mg TID, atau

acyclovir 800 mg PO 5 kali sehari )— selama 10–14 hari bila pembentukan

lesi baru berkurang dan gejala serta tanda infeksi visceral VZV sudah

membaik

Kepustakaan

1. Zeng X, Zhang G. 2014. Imaging pulmonary infectious disease in immunocompromised patients. Radiology of Infectious Disease;1:37-41

2. Oh YW, Effmann EL, Godwin JD. 2000. Pulmonary Infections in Immunocompromised Hosts: The Importance of Correlating the

Page 214: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

210

Conventional Radiologic Appearance with the Clinical Setting. Radiology; 217:647–656.

3. Abba AA. 2005. Varicella Pneumonia in Adult. JK Practitioner;12:2:73-77.

4. NIH. 2015. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents. Available at http://aidsinfo.nih.gov/guidelines

Page 215: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

211

PNEMONIA PADA USIA LANJUT

IGP Suka Aryana

Divisi Geriatri, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK UNUD/RSUP Sanglah

PENDAHULUAN

Insiden pneumonia pada usia lanjut sangat tinggi dan kejadiannya akan

terus meningkat seiring peningkatan populasi usia lanjut. Angka morbiditas

dan mortalitas akibat pneumonia tinggi juga tinggi. Banyak pasien usia lanjut

dating ke ruang Gawat Darurat atau di rawat dirumah sakit akibat menderita

pneumonia. Tingginya kejadian ini dihubungkan dengan beberapa faktor

yang terjadi pada usia lanjut seperti: penurunan funggsi organ akibat proses

penuaan, factor ko-morbiditas yang sering ada, nutrisi, factor social,

psikologis dan lingkungan yang saling berinteraksi. Penurunan fungsi organ

akibat proses penuaan yang terjadi terutama pada organ respirasi seperti

penurunan refleks batuk, penurunan kemampuan silia saluran nafas untuk

membersihkan kotoran, kelemahan otot dinding dada serta penurunan

system kekebalan tubuh baik yang alami maupun didapat. Disfagia, serta

malnutrisi juga merupakan problem lain yang sering terjadi menjadi risiko

terjadinya pneumonia. Pada usia lanjut sering terjadi akumulasi penyakit

khronis degenerative seperti diabetes, PPOK, gagal jantung, kanker,

gangguan ginjal, stroke mengakibatkan risiko dan prognosis pneumonia

menjadi semakin buruk.

Page 216: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

212

Pnemonia pada usia dalam penatalaksanaannya menjadi lebih kompleks

tidak hanya permasalahan pada keterlambatan dalam diagnosis dan terapi,

cederung membutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lengkap dan banyak,

risiko kejadian efek samping pengobatan, lama rawat yang semakin panjang.

Penanganan pnemonia membutuhkan tim interdisiplin dari berbagai

dimensi ilmu secara bersama-sama. Penatalaksanaan yang baik dengan

kerjasama tim secara interdisiplin diharapkan dapat memperbaiki outcome,

memperpendek lama rawat, menurunkan biaya, dan mencegah

kekambuhan pneumonia pada usia lanjut.

KLASIFIKASI

Usia lanjut ditentukan berdasarkan umur lebih atau sama dengan 60 tahun.

Hal ini didasarkan pada penurunan fungsi pada aspek sosiologi, tetapi yang

yang lebih berarti didasarkan pada konsep kerapuhan (frailty). Konsep ini

lebih mudah dipahami karena pada kondisi kerapuhan ini lebih mudah

terjadi komplikasi yang berat akibat adanya faktor pencetus seperti

pneumonia. Proses penuaan berdampak pada penurunan cadangan

fisiologis organ, adanya akumulasi penyakit jangka panjang sehingga

menurunkan kemampuan berespon atau peradaptasi terhadap adanya

stress. Kondisi frailty sangat penting untuk diidentifikasi sejak awal pada

pasien pneumonia sebagai predictor.sehingga klasifikasi pneumonia dibagi

menjadi 2 yaitu:

1. Pnemonia tanpa klinis frailty: pasien mandiri dengan tidak adanya

Page 217: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

213

masalah social, mental atau komorbitas lain yang bermakna. Pada kondisi ini

penatalaksanaannya sama dengan usia dewasa.

2. Pnemonia dengan klinis frailty: pasien pneumonia pneumonia dengan

penurunan status fungsional dengan tingkat ketergantungan bermakna atau

terjadi penurunan status kognitif baik kronis maupun akut. Risiko outcome

yang dihasilkan sangat tergantung dari derajat akumulasi gangguan,

komorbiditas, polifarmasi, penurunan sensoris, serta nutrisi. Gangguan

fungsional seperti mobilitas, riwayat jatuh, aktifitas sehari-hari,

inkotenensia, gangguan neuropsikiatri seperti penurunan kognitif, mood,

serta sarana social yang mendukung juga sangat berperan menentukan

prognosis pasien. Kita dapat menbagi menjadi 2 fenotif besar sesuai dengan

derajat dari frailty.

a) Frailty ringan: pasien ini melakukan aktivitas dasar kehidupan sehari-hari

secara mandiri atau “hampir” mandiri namun terkait pneumonia dapat

disertai ganguan fungsional dan/atau kognitif akut dan meningkatkan

derajat komorbiditas dan ketergantungan pada instrumen kehidupan sehari-

hari dan biasanya tidak diidentifikasi sebagai pasien yang lemah. Pasien

biasanya datang dengan keluhan berupa langkah yang melambat atau

gangguan fungsi fisik dan/atau kognitif. Terkait penanganannya, identifikasi

dini wajib dilakukan oleh karena dibutuhkan intervensi spesifik dalam

mempertahankan fungsi dan kualitas hidup.

Page 218: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

214

b) Pasien tua dengan kriteria klinis Frailty sedang hingga berat atau yang

termasuk kelompok pasien geriatri dimana pasien ini membutuhkan

bantuan atau ketergantungan untuk aktivitas sehari-hari dan probabilitas

yang lebih besar terkait bertanya komorbiditas, polifarmasi, demensia,

malnutrisi dan situasi risiko sosial. Sehubungan dengan pengambilan

keputusan, aspek tertentu dianggap penting seperti halnya derajat

ketergantungan karena hal ini berkaitan dengan etiologi, diagnostik invasif

dan prosedur terapeutik dan penempatan akhir pasien.

Kategorisasi pasien tua dengan pneumonia ini bertujuan untuk mengubah

model perawatan klasik yang secara umum bekerja satu dimensi dan

berpusat pda episode akut, tanpa melihat efek akibat penuaan dan

mengabaikan kondisi fungsional, kognitif, dan sosial sebagaimana yang

terjadi pada sindrom geriatri. Evaluasi terhadap aspek-aspek tersebut

membantu identifikasi derajat kelemahan pada pasien lansia dengan

pneumonia dan mengelompokkan dengan lebih baik risiko dan rencana

perawatan yang lebih spesifik terkait kebutuhan setiap pasien.

PRESENTASI KLINIS

Konsep umum

Usia dewasa muda dengan pneumonia biasanya mengalami gejala berupa

demam, leukositosis, dan infiltrat pada rontgen dada. Pada pasien lansia

akan sering hanya ditemukan infiltrat, yang tidak selalu disertai dengan

Page 219: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

215

demam atau leukositosis. Terkait alasan ini, diagnosis pneumonia pada usia

tua, sangat bergantung pada interpretasi rontgen dada. Banyak telah

tertulis tentang gambaran radiologi pneumonia, mulai dari karsinoma

bronkogenik, reaksi obat, hingga gagal jantung. Sementara penyakit sistemik

dengan manifestasi paru selalu mendapat diagnosis banding kecurigaan

pneumonia, kondisi sistemik yang sering menyebabkan keraguan pada

pasien dengan kemungkinan pnemonia. Kebanyakan pasien ditransfer ke

rumah sakit dari rumah perawatan, dengan infiltrat paru, dengan atau tanpa

leukositosis, memiliki gagal jantung. Gagal jantung (CHF) mungkin

merupakan eksaserbasi gagal jantung yang ada sebelumnya atau mewakili

infark miokard dan berhubungan dengan CHF. Penyakit paru interstisial,

penyakit yang diinduksi obat, penyakit vaskuler kolagen, dan lain-lain,

semua perlu diperhitungkan selain CHF, sebagai diagnosis banding

pneumonia pada lansia.

Mayoritas pasien lansia dengan pneumonia mengalami batuk berdahak.

Namun, pasien lansia yang dehidrasi atau mengalami gangguan kemampuan

batuk mungkin memproduksi sedikit sputum atau tidak ada sama sekali.

Sedikit sputum mengarah pada pneumonia akibat virus atau atipikal jika

semua faktor seimbang. Sputum yang produktif tidak dapat membedakan

bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut akibat pneumonia; sputum

mengandung darah dapat terjadi pada berbagai penyakit non-infeksius,

seperti emboli paru/ infark, stenosis mitral, dan keganasan, namun juga

terjadi pada pneumonia akibat penumokokus atau Klebsiella. Sputum pada

Page 220: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

216

penyakit legionnela dapat bersifat purulen atau mukoid [2,5].

Riwayat penyakit terdahulu

Riwayat, pada pasien dengan pneumonia, memberikan informasi yang

mengarah pada diagnosis pneumonia atau alternatif diagnosis lain terkait

keluhan pasien.

Bertanya pada pasien mengenai riwayat kontak dengan individu lain dengan

gejala serupa cukup berguna dalam wabah influenza atau NHAP akibat C.

pneumoniae. Jika pasien baru saja keluar dari perawatan di rumah sakit,

kemudian dirawat kembali dengan pneumonia dapat dipikirkan apakah itu

merupakan resolusi tidak komplit dari proses awal atau pasien mendapat

pneumonia selama perawatan sebelumnya yang sekarang bermanifestasi

sebagai pneumonia nosokomial. Riwayat kontak dengan individu yang lebih

muda dengan gejala pernapasan dapat dicurigai sebagai pneumonia

mycoplasma pada lansia. Seringkali, pneumoniae mycoplasma tidak

dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, semata karena usia pasien.

Pasien lansia sering dikunjungi dan mengunjungi orang yang lebih muda.

Para pelajar yang pulang dari sekolah, atau mungkin kontak dengan

tetangga atau teman dengan anak kecil, dan jika hal ini tidak dieksplor pada

pasien lansia dengan gejala mirip pneumonia akibat mycoplasma atau C.

pneumonia tidak cukup dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Sama

halnya, kontak dengan burung psittacine dapat dicurigai sebagai psittacosis.

Page 221: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

217

Pasien lansia sering memiliki hewan peliharaan, dimana kebanyakan hewan

pelilharaan, mampu menularkan penyakit infeksius, biasanya tidak

menyebarkan patogen yang berkatian dengan pneumonia. Riwayat stroke

dapat menjadi pemicu episode pneumonia aspirasi berulang. Gangguan

refleks gag dan variasi penyakit esofagus yang luas juga berpengaruh pada

pasien terkait episode pneumonia aspirasi berulang, baik yang didapat di

komunitas, rumah perawatan, atau rumah sakit. Pasien dengan penyakit

paru yang sudah diderita sebelumnya, khususnya penderita bronkitis kronis,

rentan mengalami eksaserbasi bronkitis kronis serta pneumonia. Pasien

dengan riwayat perokok berat sebelumnya membuat mereka lebih mudah

terkena pneumonia, gagal jantung, dan karsinoma bronkogenik. Riwayat

pneumonia berulang mungkin secara kebetulan ditemukan, atau jika ada

alasan fisio-anatomi untuk aspirasi berulang, misalnya penyakit sistem saraf

pusat atau esofagus, kemudian berlanjut pada pneumonia mungkin saja

terjadi. Pasien dengan lupus eritematus sistemik (SLE), myeloma, dan

mereka dengan chronic lymphatic leukemia (CLL), HIV awal dan alkoholik,

semua merupakan pemicu pneumonia yang disebabkan organisme

enkapsulasi seperti Streptococcus pneumoniae and H. influenzae.

Kabanyakan pasien lansia memiliki masalah penurunan imunitas yang

membuat mereka rentan mengidap pneumonia. Pasien dengan kistik

fibrosis jarang bertahan hingga usia tua. Sebaliknya, mereka yang

mengalami bronkiektasis sering mencapai usia yang lebih panjang. Pasien

dengan pneumonia berulang dari lokasi anatomi yang sama dapat

Page 222: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

218

mengalami obstruksi endobronkial berulang. Pneumonia berulang dengan

lokasi anatomi yang sama harus dicurigai adanya karsinoma bronkogenik

dengan episode pneumonia post-obstruktif berulang yang tidak jelas.

Merupakan hal yang penting untuk memperoleh riwayat penyakit jantung

dan paru yang tepat yang menyerupai pneumonia untuk memastikan faktor

pemicu pneumonia pada lansia. Sangat penting pada lansia yaitu riwayat

penyakit paru interstisiil, apapun etiologinya. Membandingkan hasil rontgen

sebelumnya dengan yang terbaru biasanya akan mengklarifikasi penyebab

infiltrat pada paru. Riwayat penyakit kolagen vaskular, seperti remathoid

arthritis atau SLE, dapat menjelaskan infiltrate dan/atau efusi pleura yang

nampak pada rontgen dada. Riwayat radiasi pada mediastinum sebelumnya

mengarah pada kecurigaan pnemonitis akibat radiasi sebagai penyebab

rontgen dada yang abnormal. Riwayat pengobatan yang detail juga berguna,

dimana dapat diketahui obat yang mungkin menyebabkan fibrosis paru,

efusi pelura, infiltrat paru, penyakit paru interstisiil, dan edema non kardio-

pulmo. Riwayat adanya penyakit jantung sama pentingnya dengan riwayat

penyakit paru, Karena frekuensi CHF pada pasien lansia sangat tinggi. Pasien

mungkin mengalami eksaserbasi dari penyakit jantung yang telah diderita

sebelumnya, atau dapat mengalami gagal jantung akibat kejadian koroner

akut. Perburukan dari CHF yang pernah diderita sebelumnya dapat terjadi

dengan penyakit jantung koroner atau valvular. Sebagai tambahan pada

riwayat, rontgen dada menunjukkan kardiomegali, dengan atau tanpa efusi

pleura, dan terdapat tanda CHF pada pemeriksaan fisik. CHF merupakan

Page 223: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

219

diagnosis yang paling menyerupai pneumonia pada pasien lansia. Dari

riwayatanya harus ditelusuri faktor pemicu emboli paru atau infark, yang

juga menyerupai pneumonia pada pasien lansia. Dari riwayat yang digali

secara teliti dapat diketahui adanya riwayat stasis sekunder yang

berkepanjangan hingga atau persalinan atau perjalanan yang terlalu lama.

Keganasan diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang juga memicu

pasien mengalami emboli paru. Penyakit sistemik lainnya juga dapat

berpengaruh pada paru baik secara langsung maupun tidak. Skleroderma

dapat menurunkan motilitas esofagus yang memicu terjadinya pneumonia

aspirasi, dan menyebabkan penyakit paru interstisiil yang menyerupai

pneumonia. Dalam menggali riwayat, harus diajukan pertanyaan yang

relevan terhadap gangguan yang memicu pneumonia.

Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik dada ditemukan adanya suara tambahan pada area

pneumonia. Suara napas yang keras dan tubular menandakan adanya

sekresi pada bronkus utama, dan bukan merupakan penanda diagnostik

pneumonia, namun dapat terjadi pada pneumonia. Suara redup pada basal

dapat menjadi penanda adanya karsinoma, CHF, efusi pleura akibat

keganasan atau proses intraabdomen, atau pneumonia bacterial. Efusi

pleura bilateral jarang terjadi, namun jika ada, etiologi adalah infeksi. Efusi

pleura bilateral dapat mengarah pada CHF sebagai diagnosis yang paling

memungkinkan. Penyakit legionnaires’ juga dapat disertai dengan efusi

Page 224: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

220

pleura unilateral. Pada pneumonia akibat H. influenza dapat ditemukan efusi

pleura rinan hingga sedang. Pneumonia pneumokokus dan pneumonia

klebsiella lebih sering menunjukkan empyema dibandingkan efusi pleura,

namun gejala klinis dalam hal auskultasi dada, akan sama. Redup juga

menandakan konsolidasi pada area lobus paru yang terkena.

Sedikit temuan fisik yang berhubungan dengan influenza. Karena influenza

merupakan proses intertisial, auskultasi dada senyap pada pneumonia

influenza primer. Jika terdengar rales, khususnya jika terlokalisir pada satu

segmen atau lobus pada seorang pasien dengan pneumonia viral, dan

disertai pula dengan pneumonia bakterial. Pada pneumonia mycoplasma,

terdapat perbedaan temuan klinis, misalnya temuan auskultasi, gambaran

rontgen dada, yang dapat menjadi petunjuk diagnosis. Pneumonia C.

pneumoniae tidak memiliki temua khas dari pemeriksaan fisik, dan hampir

menyerupai pneumonia mycoplasma dalam presentasi klinis, kecuali untuk

adanya laringitis. Laringitis dapat disebabkan oleh satu dari banyak virus

respiratori, namun virus- virus ini biasanya tidak menyebakan pneumonia

viral pada lansia. Hubungan antara pneumonia dan laringitis mengarah pada

pneumonia C. pneumniae sampai tidak terbukti, karena suara serak

merupakan kekhasan dari pneumonia C. pneumniae namun tidak untuk

penumonia M. pneumoniae.

Page 225: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

221

Pemeriksaan penunjang

Seperti yang disebutkan sebelumnya, rontgen dada penting untuk

mengesampingkan kondisi yang menyerupai pneumonia dan

mengonfirmasi adanya pneumonia. Temuan lain pada rontgen dada dapat

meiliki signifikansi diagnostik yang penting seperti distribusi lesi secara

anatomis, penampakan lesi, apakah proses terjadi di alveolus atau

intertisial, apakah proses terbatas pada perihilar atatukah perifer, atau

apakah infiltrat terbatas pada segmen atau lobus atau mengabaikan segmen

anatomis paru. Pada semua pasien lansia dengan pneumonia harus

dilakukan kultur darah dan pemeriksaan darah lengkap selain rontgen dada.

Pemeriksaan lain yang harus dilakukan tergantung pada riwayat pasien,

pemeriksaan fisik atau rontgen dada.

Jika dicurigai pneumonia atipikal, maka harus dilakukan pemeriksaan serum

glutamic- oxaloacetic transaminase, serum glutamate pyruvate

transaminase, alkaline phosphatase dan serum phosphorus. Pada pssien

dengan batuk berdahak harus dilakukan pengecatan Gram dan kultur dahak

yang dikeluarkan. PAsien dengan bronkitis kronis tidak membutuhkan kultur

atau perwarnaan Gram untuk sputum, karena hasilnya dapat ditemukan

flora normal atau flora campuran, yang tidak berguna dalam menentukan

etiologi diagnosis spesifik. Untuk patogen spesifik, harus dilakukan

perhitungan titer pada fase akut dan konvalesen, bergantung pda pola

distribusi organ dan ada tidaknya bradikardi relatif. Pemeriksaan serologi

Page 226: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

222

spesifik dapat dilakukan untuk pemeriksaan Legionella, Mycoplasma

pneumoniae, atau C. pneumoniae. Pemisahan titer IgM dan IgG harus

dilakukan. Jika dicurigai Mycoplasma, makan titer agglutinin dingin dapat

dilakukan, dan paling sering meningkat pada awal dimulainya penyakit. Titer

agglutinin dingin sebanyak �64 paling mungkin disebabkan mycoplasma

daripada virus atau penyakit sistemik lainnya. Harus dilakukan perhitungan

titer spesifik IgM dan IgG C. pneumonia. Jika titer chlamydia dilakukan,

laboratorium dapat merespon dengan kombinasi hasil IgM/IgG, yang tidak

berguna, atau dengan titer C. trachomatis.S

Jika terdapat kontak dengan burung psittacine, maka dapat diambil titer

akut dan konvalesen untuk C. psittaci. Titer konvalesen sebaiknya diambil 6-

8 minggu setelah titer akut.Klinisi harus mengingat bahwa tidak semua

pasien menunjukkan peningkatan respon antibodi, dan terapi antimikrobial

dapat memudarkan atau menunda titer konvalesen. Peningkatan serum

transaminase mungkin menandakan penyakit legionnaires’ atau sebagai

alternatif CHF akibat kongesti pasif pada hati, atau infiltrate penyakit hati,

yang juga mempengaruhi paru. Hematuri mikroskopis pada pasien lansia

pria dapat mengarah pada benign prostatic hypertrophy (BPH), namun jika

tidak terjadi pada pasien pneumonia, dapat mengarah pada penyakit

legionnaires’. Diagnosis penyakit legionnaires’ dapat ditegakan dengan

pewarnaan direct fluorescent antibody (DFA) pada sputum, dengan hasil

yang rendah namun memberikan konfirmasi langsung pada diagnosis jika

hasilnya positif. DFA positif untuk Legionella pada sputum menurun dengan

Page 227: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

223

cepat setelah dimulainya pemberian terapi antimikrobial. Oleh karena itu,

DFA harus diambil dari pasien yang dicurigai memiliki penyakit legionella

dengan sputum yang purulen, segera setelah dirawat inap, dan sebiaknya

sebelum dimulai terapi anti-mikrobial. Pada pasien yang dicurigai Legionella,

uji antigen legionella urin dapat dilakukan. Legionella antigenuria memakan

waktu satu hingga dua minggu untuk menjadi positif, namun menetap selam

berbulan-bulan setelah penyembuhan pneumonia legionella. Legionella

antigenuria merupakan uji konfirmasi retrospektif yang paling membantu,

namun terbatas manfaatnya pada awal dimulainya penyakit. Keterbatan

lainnya dari uji antigen legionella adalah hsilnya positif khasnya untuk

pneumophila serogrup 1 dan tidak positif untuk serogrup L. pneumophila

atau banyak spesies non-L. pneumophila yang menyebabkan penyakit

legionella. Klinisi harus melakukan tes lain yang akan membantu

menyingkirkan penyakiti non-infkesi yang menyerupai pneumonia

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Rontgen dada serial juga penting dalam mengevaluasi efikasi dari terapi

pasien atau kurangnya respon, yang mungkin mengindikasikan terapi

antimicrobial yang tidak sesuai atau adanya penyakit non-infeksius

menyerupai pneumonia. Setelah rontgen dada awal, pengulangan rontgen

dada 3-5 hari setelah inisiasi terapi antimicrobial yang sesuai sangat

bermanfaat. Jika pasien mulai membaik, rontgen ulangan biasanya tidak

diperlukan kecuali jika pasien gagal untuk sembuh secara komplit, atau jika

pneumonia memburuk atau kumat. Abnormalitas pada rontgen dada

Page 228: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

224

mungkin tetap tampak, khususnya pada pneumococcal pneumonia, selama

berbulan-bulan setelah perbaikan klinis. Rontgen dada berulang tidak

diperlukan selama pasien membaik secara klinis dan rontgen kedua telah

menujukkan perkembangan yang berarti.

Jika dicurigai adanya influenza, dapat dilakukan kultur virus dari sekresi

hidung atau orofaring, atau didiagnosis dari pemeriksaan serologi.

Wabahpneumonia akibat C. pneumonia di rumah perawatan paling baik

didiagnosis secara serologi menggunakan titer IgM dan IgG spesifik C.

pneumoniae titers yang dilakukan pada fase akut dan selama masa

konvalesen.

TERAPI ANTIMIKROBIAL

Pemilihan terapi antimrobial empiris untuk pneumonia yang didapat di

komunitas, rumah perawatan atau rumah sakit bergantung pada

perlindungan yang cukup terhadap patogen yang dicurigai. Namun, sebelum

dipilih terapi antimikrobial, pertimbangan lain harus dipikirkan. Pasien harus

ditanya terkait adanya alergi obat, khususnya reaksi terhadap penicillin dan

sulfonamides. Pasien dengan riwayat alergi penicillin harus ditanyakan

reaksi alerginya, untuk menetukan apakah itu merupakan reaski anafilaktoid

atau non-anafilaktoid. Pasien dengan riwayat alergi penicillin yang tidak

cukup jelas, atau yang reaksi alerginya berupa dema, lesi makulopapula

kemerahan, dapat diberikan antibiotik B-lactam. Pasien dengan riwayat

Page 229: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

225

rekasi anafilaktoid tidak boleh diberikan antibiotik b-lactam namun

diberikan terapi dengan doxycycline, fluoroquinolone, monobactam, atau

carbapenem. Kecuali untuk trimethoprim–sulfamethoxazole, tidak ada

satupun antibiotik yang umum dipakai untuk pneumonia yang mengandung

gugus sulphonamide.

Pasien lansia dengan berbagai derajat hati dan fungsi hati, yang penting

dalam pemilihan antibiotik dan dosis. Pasien dengan penyakit hati berat

membutuhkan antibiotik yang sedikit dieliminasi dan diinaktivasi di hati

dalam dosis hariannya. Sebagia alternatif, pneumonia dapat diterapi dengan

antibiotik yang dieliminasi atau diinaktifasi terutama di ginjal. Karena tidak

terdapat tes yang bagus untuk mengecek fungsi hati, sebagiamana untuk

fungsi ginjal, klinisi harus melakukan penilaian klinis dalam mengurangi dosis

antimikrobial yang dieliminasi di hati. Insufisiensi hati ringan hingga sedang

dapat diterapi dengan aman menggunakan obat-obatan yang secara primer

dieliminasi atau diaktivasi di hati.

Jika antibiotik pilihan untuk mengobati pasien lansia dengan pneumonia

dielilminasi terutama melalu jalur ginjal, makan dosis hariannya harus

dikurangi seiring dengan menurunnya fungsi ginjal. Karena creatinine pada

pasein lansis tidak mewakili fungsi ginjal, penyesuaian dosis elminasi

antibiotik melalui ginjal harsu didasarkan pada perhitungan atau estimasi

creatinine clearance. Jika creatinine clearance pasien setengah dari individu

normal, makan dosis harian harus diturunkan setengahnya. Penyesuaian

Page 230: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

226

dosis dapat tercapai baik dengan mengurani dosis atau mempertahankan

interval dosis, atau mempertahankan dosis dan meningkatkan interval dosis,

atau dengan mengurangi dosis dan meningkatkan interval dosis dimana

dosis harian dikurangi sesuai dengan nilai creatinine clearance Pada pasein

dengan anuria akibat insufisiensi ginjal berat, penyesuaian dosis dapat

dialkukan berdasarkan creatinine clearance, atau sebagia alternatif, dapat

digunakan antibiotik dengan spektrum yang sesuai yang dieliminasi serta

diinaktivasi di hati. Dalam mengobati pasien dialysis, penting utnuk

mencatat apakah pasien menggunakan chronic ambulatory peritoneal

dialysis atau hemodialysis, karena antibiotik tidak dikeluarkan secara

seimbang pada setiap proses dialysis, dimana eliminasinya membutuhkan

perhitungan yang lebih kompleks. Klinisi harus mangacu pada standar

referensi dalam menentukan dosis antimicrobial dalam dialisis, atau

memiliki penyakit infeksius dan konsultasi ginjal sebagai paduan untuk obat-

obatan dosis spesifik pada pasien dengan dialysis peritoneal atau

hemodialisis.

Pasien lansia sering memiliki akses vena yang buruk, mengakibatkakn terapi

intravena, khususnya di rumah perawatan pasien menjadi sulit. Pasien yang

dirawat di rumah sakit dengan CAP atau mendapat pneumonia di rumah

sakit, dapat diterapi secara intravena, karena akses vena biasanya diperoleh

dari vena sentral atau vena seksi, jika diperlukan. Dahulu, rute pemberian

obat intramuscular diandalkan, khususnya pada fasilitas perawatan kronis,

yang memiliki kekurangan dalam tim intravena dan Kesulitan dalam

Page 231: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

227

pemasangan jalur intravena pad a lansia. Kecuali untuk aminoglycosides dan

ceftriaxone, kebanyakan antibiotik yang digunakan untuk pneumonia tidak

diberikan secara intramuscular. Karena pasien lansia sering mengalami

penurunan masa otot, sulit dan tidak nyaman bagi pasien utnuk

mendapatkan terapi antimicrobial melalui jalur ini.

Karena kesulitan pemberian antimikroba secara intravena dan

intramuskular, telah terjadi peningkatan kecenderungan terapi

menggunakan antibiotik oral baik secara total maupun parsial. Pasien

dengan pneumonia nosokomial kebanyakan diterapi dengan antibiotik

intravena. Sebaliknya, pasien CAP yang dirawat inap biasanya dimulai

dengan terapi empiris antimikroba menggunakan antibiotik intravena, dan

pasien yang membaik setelah 48 jam diubah menjadi terapi antibiotik per

oral.

Terjadi peningkatan yang besar terkait program pergantian intravena

menjadi per oral pada rumah sakit yang merawat pneumonia serta penyakit

infeksi lainnya. Program perubahan terapi intravena menjadi per oral

memberikan manfaat farmakoekonomik yang penting pada sistem

pelayanan kesehatan., dan bermanfaat bagi pasien di rumah sakit. Terapi

antimikrobial oral menghapus kebutuhan akses vena dan pasien lebih cepat

dipulangkan dari rumah sakit. Melalui pengurangan atau penghapusan

antibiotik intravena, frekuensi phlebitis terkait terapi intravena berkurang.

Keuntungan farmakokinetik pada pasien sembuh dari pneumonia yang

Page 232: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

228

dipulangkan lebih awal dengan terapi antimikrobial oral tidak boleh

disepelekan. Terapi anti microbial oral tidak hanya penting dalam perawatan

pasien rawat inap dengan CAP namun secara khusus utnuk pasein dengan

pneumonia pda fasilitas perawatan kronis. Pasien NHAP merupakan

kelompok yang paling merasakan manfaat dari terapi anti mikrobial oral.

Tenaga kerja di rumah perawatan tidak siap sedia seperti di rumah sakit.

Populasi utama pasien adalah lansia dan memiliki masa otot yang terbatas

dan akses vena yang buruk. Pengobatan NHAP diselesaikan melalui rute oral

memberikan beberapa manfaat bagi pasien. Pengobatan NHAP awal dengan

antibiotik oral memberikan kesempatan pada pasien untuk tetap berada di

rumah perawatan dan menyelesaikan rangkaian terapi di sana. Pengobatan

awal NHAP dapat mencegah pasien ditransfer ke fasilitas perawatan tingkat

tiga untuk tujuan rawat inap, yang mungkin tidak diperlukan jika terapi

antimicrobial oral dimulai pada fasilitas perawatn kronis (Tabel 1).

Page 233: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

229

Pemilihan terapi antibiotik empiris

Terapi empiris antimikroba harus didasarkan sesuai pathogen yang dicurigai,

yang berbeda menurut lokasi pneumonia diperoleh. Dokter harus mengenal

patogen yang paling mungkin diperoleh pasien dengan CAP, NHAP, atau NP,

untuk menentukan antimikroba sesuai dengan spektrumnya. Terapi

antimicrobial yang optimal yaitu yang tidak melewatkan patogen yang

penting dan juga tidak memberikan perlindungan berlebih terhadap

patogen yang diketahui maupun yang ternyata tidak ada.

Patogen yang bertanggung jawab untuk CAP yaitu Streptococcus

pneumoniae, H. influenzae, and Moraxella catarrhalis. K. pneumonia

Page 234: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

230

merupakan pertimbangan tambahan pada pasien dengan sirosis alkoholik..

Enterobacter, Serratia, Acinetobacter and Pseudomonas aeruginosa dapat

tidak diikutkan dalam perlindungan empiris pada pasien lansia dengan CAP.

Pneumonia aspirasi yang didapat dari komunitas diakibatkan oleh flora

anaerobik yang teraspirasi. Bakteri anaerobik dari atas pinggang, termasuk

flora orofaringeal, tidak membutuhkan perlindungan anti-Bacillus fragilis,

dan biasanya sensitif terhadap hamper semua antibiotik pilihan untuk

mengobati pneumonia.

Karena pneunonia aspirasi merupakan entitas klinis yang penting, dengan

mortalitas dan morbiditas yang menyertainya, sehingga bukan menjadi

pertibangan terapeutik yang penting. Sekitar 85% dari CAP diakibatkan oleh

bakteri patogen yang disebutkan di atas, menurut wilayah geografisnya, dan

15% sisanya disebabkan oleh patogen atipikal, seperti Legionella,

Mycoplasma, atau C. pneumoniae. Legionella dan C. pneumonia merupakan

penyebab pneumonia tipikal pada lansis yang paling sering, dan

Mycoplasma pneumonia relative sedikit pada kelompok usia ini [6].

Kebanyakan klinisi lebih suka memberikan terapi yang mencakup baik

patogen tipikal maupun atipikal dengan antibiotik empiris. Karena umunya

pasien lansia mengonsumsi banyak obat-obatan, polifarmasi menjadi

potensi masalah dalam interaksi antar obat.

Karena kombinasi terapi tidaklah lebih baik daripada monoterapi,

monoterapi lebih disukai atas dasar harganya yang murah dan

Page 235: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

231

kemudahannya Kombinasi terapi yang telah digunakan dalam terapi CAP

meliputi cephalosporin generasi ketiga, biasanya ceftriaxone, plus

doxycycline atau macrolide. Pada rejimen parenteral, erythromycin atau

azithromycin telah banyak digunakan dan paling sering dikombinasikan

dengan ceftriaxone. Ceftriaxone, doxycycline atau quinolone untuk penyakit

respirasi merupakan rejimen monoterapi yang cukup popular. Ceftriaxone

saja (monoterapi) efektif melawan semua tipe patogen, namun tidak untuk

patogen atipikal. Ceftriaxone tidak memiliki batasan ekuivalen per oral

untuk pengaplikasiannya dalam program mengganti rejimen dari intravena

menjadi per oral. Makrolid sebiaknya tidak dipergunakan sebagai

monoterapi dalam mengobati CAP, karena sekitar 20% dari strain

Streptococcus pneumoniae resisten terhadap semua makrolid. Doxycycline

tersedia dalam bentuk intravena dan per oral, dan efektif melawan baik

patogen tipikal maupun atipikal. Keduanya ceftriaxone and doxycycline

efektif melawan hamper semua strains Streptococcus pneumoniae yang

resisten terhadap penicillin. Quinolones respiratoryyang sangsat aktif

melawan baik patogen tipikal maupuan atipikal yang menyebabkan CAP.

Karena ciprofloxacin relative inaktif melawan Streptococcus pneumoniae,

bahkan jika ia aktif melawan patogen atipikal, tidak disebut sebagai

‘quinolone respiratori’. Levofloxacin merupakan quinolone respiratori

pertama dan satu-satunya yang telah digunakan hamper secara luas. Saat

ini, quinolone respiratori lainnya, seperti gatifloxacin, ekuivalen dengan

levofloxacin dalam aktivitasnya melawan baik patogen tipikal maupun

Page 236: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

232

atipikal sebagaimana hampir semua strains pneumokokus yang resisten

terhadap penicillin. Quinolone respiratori ideal dalam program pergantian

dari intravena menjadi per oral. Karean bioavailabilitasnya yang sangat

tinggi, sebesar 99–100% untuk levofloxacin, antibiotik ini ideal tidak hanya

untuk program pergantian dari intravena menjadi per oral, namun juga

dalam pengobatan CAP dan NHAP ketika digunakan per oral saja.

Karena distribusi patogen NHAP hamper bersamaan dengan CAP, NHAP

harus diterapi dengan cara yang sama dengan CAP. Perlindungan empiris

pada NHAP haus ditujukan melawan Streptococcus pneumoniae, H.

influenzae, atau Moraxella catarrhalis. Seperti halnya CAP, pneumonia

aspirasi, penyebab NHAP yang umum, dapat diterapi dengan monoterapi

atau kombinasi terapi seperti yang disebutkan di atas. Karena monoterapi

oral bermanfaat pada HP, doxycucline atau quinolone respiratori merupakan

agen ideal untuk pengobatan NHAP. Ketidakmampuan untuk memasang

akses intravena, atau tertundanya pemasangan, sering terjadi saat transfer

pasien NHAP ke rumah sakit untuk pengobtan pneumonianya. Pemberian

anibiotik oral yang sesuai sedini mungkin pada pasien NHAP memberikan

manfaat pengobatan, dan menghilangkan kebutuhan transfer pasien ke

fasilitas perawatan tersier.

Pneumonia nosocomial disebabkan oleh bakteri basil aerob Gram-negatif

yang ditemukan di lingkungan rumah sakit. Perlindungan biasanya idlakukan

melawan P. aeruginosa karena merupakan organisme paling invasif yang

Page 237: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

233

menyebabkan pneumonia di rumah sakit.

Pneumonia nekrosis akibat P. aeruginosa tidak umum diasosiasikan dengan

mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Antibiotik efektif melawan P.

aeruginosa biasanya efektif melawan bakteri basil aerob Gram-negatif yang

lain yang mungkin menyebabkan HP seperti Escherichia coli, K. pneumoniae,

atau Serratia marcescens. Terapi empiris yang sesuai dilakukan dengan

beberapa cara, tergantung pada ada tidaknya P. aeruginosa sebagai patogen

yang dicurigai. Jika pasien dating dengan pneumonia nekrosis yang

dikarakteristikan dengan kavitasi yang cepat pada gambaran rontgen dada

dan gejala klinis yang berat, maka kebanyakan klinisi lebih suka memberikan

perlindungan antipseudomonal ganda. Rejimen lain meliputi obat ganda

antipseudomonal empiris untuk rangkaian terapi selama 14 hari, apapun

etiologi dari NP. Sebagai alternatif, beberapa pusat perawatan lebih suka

memulai terapi dengan obat antipseudomonal ganda dan menghentikan

salah satu antibiotik setelah 72 jam, jika Pseudomonas tidak tampak secara

klinis atau terisolasi dari darah. Pendekatan lain untuk memulai terapi

dengan antibiotik tunggal antipseudomonal, dan tambahan

antipseudomonal kedua jika Pseudomonas tampak secara klinis atau

tumbuh dari aliran darah setelah 72 jam. Empat belas hari merupakan durasi

terapi biasa, tanpa melihat pilihan rejimen.

Pneumonia aspirasi nosokomial akibat sekresi orofaring yang teraspirasi

dan yang telah terkolonisasi oleh bakteri basil aerob Gram-negatif selama

Page 238: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

234

minggu pertama rawat inap. Bahan orofaring yang teraspirasi ini

mengandung organisme anaerob, seperti pada kasus pneumonia aspirasi

yang didapat dari komunitas, namun selain itu, juga mengandung bakteri

basil aerob Gram-negatif dari lingkungan rumah sakit. Karena organisme

anaerobik bukan merupakan pertimbangan penting pada pneumonia

aspirasi, terapi pneumonia nososkomial, baik aspirasi maupun tidak, harus

langsung ditujukan melawan bakteri basil Gram-negative bacilli dan bukan

organisme anaerob, sepertin halnya pada pneumonia aspirasi CAP atau

NHAP.

PENCEGAHAN MELALUI VAKSINASI

Streptococcus pneumoniae bertanggungjawab terhadap sejumlah kasus

pneumonia, dan vaksin telah dikembangkan sebagai usaha untuk mencegah

penyakit dan kematian. Vaksin penumokokus merupakan pilihan yang

menarik seiring dengan meningkatnya resistensi antibiotik terhadap strain

pneumokokus. Empat belas serotipe pertama vaksin polisakarida

pneumokokus telah ada sejak tahun 1981, dan sejak 1983, 23 serotipe

vaksin telah digunakan, mengandung secara kasar 90% serotype

Streptococcus pneumoniae. Namun, efektivitas vaksni pneumokokus masih

kontroversial dan telah menjadi subyek dari beberapa uji coba acak

terkontrol dan meta-analisis.

Cornu et al20 melakukan 14 uji coba pada tahuan 2001 dengan total 48.837

Page 239: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

235

pasien (bukti tingkat I). Mereka menemukan bahwa vaksin pneumokokus

memiliki efikasi yang tinggi dalam mencegah pneumonia pnumokokus

(bacteremia) sebesar 71%, dugaan pneumonia pneumokokus sebesar 40%,

dan mortalitas akibat pneumonia sebesar 32%, namun tidak semua

menyebabkan pneumonia atau kematian, yang sama dengan meta-analisis

sebelumnya. Analisis ini tidak mampu menunjukkan efikasi preventif

melawan semua penyebab pneumonia dan diperkirakan karena adanya

heterogenitas antar penelitian dan menurunnya kekuatan statistic. Analisis

subkelompok pasien lansia juga tidak menunjukkan adanya hasil positif

untuk beberapa poin akhir, terutama akibat rendahnya kekuatan statistik.

Studi lain melihat efektivitas vaksin pneumokokus pada pasien usia lebih

dari 65 tahun (bukti tingkat III). Studi ini merupakan kohort retrospektif dari

47.365 subyek dan menunjukkan bahwa vaksin efektif dalam menurunkan

bakteremia, namun tidak mengubah risiko pasien rawat jalan atau bebrapa

kasus community-acquired pneumonia atau pneumonia nonbacteremic

pneumococcal baik yang membutuhkan rawat inap atau tidak. Hal ini

disepakati dengan meta analisis oleh Cornu.

Pada pasien lansia yang tirah baringm vaksinasi penumokokus

memperpendek total keseluruhan hari demam dan mengurangi tingkat

rawat inap namun, tidak mengubah mortalitas pneumonia atau penyakit

invasif penumokokus (bukti tingkat IV). Dalam suatu studi kasus kontrol,

diperkirakan efikasi vaksin menurun setelah usia 75 tahun (bukti tingkat

Page 240: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

236

IV).24

Vaksin diberikan setiap 5 tahun, meskipun efikasinya lebih rendah,

vaksin ini menjadi pilihan yang menarik seiring meningkatnya risiko

pneumonia pada populaasi lansia.

Ulasan penelitian oleh The Cochrane Collaboration dari tahun 1966 hingga

Juni 2007 diketahui bahwa kombinasi hasil studi-studi ini sekali lagi gagal

untuk menunjukkan efektivitas vaksin pneumokokus polisakarida dalam

mencegah baik pneumonia (odds ratio 0.71, confidence interval 0.52– 0.97)

atau kematian (odds ratio 0.87, confidence interval 0.69 –1.10) (bukti

tingkat I).25 Meskipun uji coba sebelumnya mempunyai hasil postif yang

lebih banyak, namun kumpulan uji coba setelah tahun 1977 menunjukkan

tidak adana efek. Hal ini dapat disebabkan oleh perkembangan metodologi

penelitian atau perbedaan pengaturan studi terhadap penurunan efikasi

seiring waktu. Juga diketahui bahwa penelitian terdahulu sering dilakukan

pada populasi sehat yang berisiko tinggi dimana manfaat vaksin yang

diharapkan menjadi lebih besar. Serta, kesulitan dalam diagnosis mungkin

menjadi alasan mengapa hasil kumpulan uji terkontrol acak terhadap vaksin

pneumokokus tidak menunjukkan manfaat yang signifikan.26

Beberapa studi

dialkukan denagn kultur darah yang diisolasi, smeentara yang lainnya

menggunakan kultur sputum dan serologi.

Selain itu, studi kasus kontrol (bukti tigkat IV) menunjukkan keberhasilan

dalam mencegah penyakit pneumokokus invasif (OR 0.48, confidence

interval 0.37- 0.61) yang sesuai dengan efikasi sebesar 53%. Dengan

Page 241: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

237

demikian, bukti dari studi tidak acak menunjukkan bahwa vaksin efektif

dalam mengurangi penyakit pneumokokus invasif pada orang dewasa. Para

penulis memperkirakan insiden infeksi pneumokokus menjadi 0,01%. Efikasi

sebesar 50% sesuai dengan jumlah yang diperlukan untuk mengobati oleh

20.000 vaksinasi per infeksi yang dihindari, dan mungkin 50.000 per

kematian yang dihindari. Secara keseluruhan, tampaknya vaksin merupakan

pilihan yang efektif dari segi harga dan dapat mencegah penyakit

pneumokokus invasif dengan sedikit efek samping. Vaksinasi dianjurkan

untuk semua pasien yang imunokompeten >65 tahun, dan semua orang

yang lebih muda dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung, penyakit

paru kronis, diabetes mellitus, alkoholisme, penyakit hati kronis, kebocoran

cairan serebrospinalis, dan asplenia fungsional atau anatomis.

Sedikit kontroversi yang muncul terkait vaksin influenza karena merupakan

pilihan preventif yang menarik dan efektif dari segi harga. Vaksin yang kini

digunakan bersifat trivalent dan mengandung dua virus tipe A dan satu virus

tipe B. Suatu meta-analisis dari 20 studi yang dilakukan terhadap psien usia

lebih dari 65 tahun penderita community-acquired pneumonia menunjukkan

bahwa vaksin mengurangi kejadian pneumonia hingga 53%, rawat inap

sebesar 50%, dan tingkat mortalitas sebesar 68% (bukti tingkat I). Meskipun

infeksi paru bukan merupakan gejala utama dari influenza, namun

berasosiasi kuat dengan mortalitas, baik karena pneumonia akibat virus atau

superinfkesi bakteri. Terdapat konsensus pada pustaka bahwa vaksin

influenza harus diberikan setiap tahun bagi semua pasien usia tua dan

Page 242: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

238

merupakan faktor penting perawatan pasien-pasien ini di rumah. Termasuk

para individu lain yang berisiko tinggi atau berisiko tertular influenza,

seperti tenaga kesehatan, juga harus divaksinasi. Menariknya, ulasan

terbaru oleh Simonsen et al mempertanyakan efikasi setelah usia 70 tahun

dan pada lansia yang lemah. Penulis menilhat kurangnya bukti pada populasi

ini dan kohort studi yang memiliki bias dengan memvaksin lansia yang

“sehat”. Diperkirakan bahwan efektivitas vaksin menurun setelah usia 70

tahun dan karena kurangnya uji coba acak terkontrol pada populasi ini.

Meskipun demikian, penulis menyimpulkan bahwa vaksin harus masih

diberikan pada pasien lansia hingga terdapat lebih banyak bukti yang

ternyata bertentangan.

Selain vaksin, cara lain untuk mencegah pneumonia tidak boleh diabaikan.

Hal ini meliputi cuci tangan yang benar (khususnya di rumah sakit untuk

mencegah penyebaran bakteri dan mikrobiologi lain), memastikan

kebersihan mulut (Khusunya pada pasien yang tidak dapat merawat diri

mereka sendiri) dan menghindari aspirasi pneumonia dengan memastikan

kepala tempat tidur dinaikkan dan pasien dalam keadaan sadar saat sedang

makan.

Page 243: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

239

DAFTAR RUJUKAN

1. Falsey AR and Walsh EE, Viral Pneumonia In Older Adults, Clinical

Infectious Diseases 2006;42:518–24

2. Castillo JG, Sánchez FJM, Llinares P, Menéndez R, Mujal A, Navas E,

Et Al, Guidelines For The Management Of Community- Acquired

Pneumonia In The Elderly Patient, Rev Esp Quimioter 2014;27(1):

69-86

3. Tipping B, Villiers LD, Pneumonia In The Elderly—Diagnosis And

Treatment In General Practice, SA Fam Pract 2006;48(5): 24-28)

4. Chong CP and Street PR Pneumonia In The Elderly: A Review Of

Severity Assessment, Prognosis, Mortality, Prevention, And

Treatment Southern Medical Journal 2008:101(11): 1134-40

5. Singh YD. Pathophysiology Of Community Acquired Pneumonia JAPI

2012;60: 7-9

6. O’Connor S, Aspiration Pneumonia And Pneumonitis, Aust Prescr

2003;26:14–7

7. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M,et al,

Community-Acquired Pneumonia In The Elderly, Am J Respir Crit

Care Med 1997;156:1908–1914.

Page 244: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

240

PNEUMONIA PADA PENGGUNA NAPZA

Ida Ayu Jasminarti D.K.

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

PENDAHULUAN

NAPZA merupakan akronim dari Narkoba Psikotropika dan Zat

Adiktif lainnya yang merupakan jenis obat-obatan yang dapat

mempengaruhi gangguan kesehatan. NAPZA dimasukkan ke dalam tubuh

melalui oral (diminum, dihisap, dihirup dan disedot) maupun

disuntik.Narkotika merupakan zat yang dapat menyebabkan penurunan dan

perubahan kesadaran, mengurangi dan menghilangkan nyeri serta dapat

menimbulkan ketergantungan secara fisik dan psikologi, antara lain heroin,

kokain, ganja, morfin, petidin, codein. Psikotropika merupakan bahan yang

berkhasiat psikoaktif mempunyai pengaruh selektif pada susunan saraf

pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku antara lain MDMA, ekstasi, amfetamin. Sedangkan zat adiktif bahan

lain yang dapat menimbulkan ketergantungan antara lain nikotin dan

etanol1,2,3

.

PENGGUNAAN NAPZA SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA

Pada pengguna obat terlarang, pneumonia komunitas termasuk

tuberkulosis lebih sering terjadi dibandingkan bukan pengguna karena latar

belakang sosial ekonomi yang rendah dan gangguan imunitas lokal maupun

Page 245: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

241

sistemik yang diinduksi oleh obat. Makrofag alveolar pada pemeriksaan

bilasan bronkus pengguna kokain memproduksi sitokin inflamasi (IL-6, IL-8,

TNF-) dalam jumlah yang lebih sedikit dan ditemukan faktor

imunosupresan seperti TGF-β bila dibandingkan dengan yang bukan

pengguna. Pada pasien pengguna obat terlarang intravena (IVDU), insidens

pneumonia komunitas lebih tinggi pada pasien dengan HIV positif. Pada

study kohort besar 3675 pasien pneumonia komunitas yang menjalani rawat

inap, penggunaan obat terlarang merupakan faktor prediktif perawatan

intensif di ICU, menunjukkan derajat keparahan yang lebih berat, dengan

angka penggunaan ventilator mekanik yang tinggi. IVDU juga merupakan

faktor risiko independen timbulnya komplikasi efusi parapneumonia dan

empiema pada pasien pneumonia komunitas. Pada pasien HIV positif, IVDU

merupakan faktor prediktif infeksi Staphylococcus aureus, bahkan termasuk

jenis yang resisten terhadap methicillin (MRSA)4.

Pengguna obat terlarang intravena berisiko 10 kali lipat menderita

pneumonia komunitas dibandingkan dengan populasi umum. Hal ini dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

Pengguna juga merokok atau menggunakan obat terlarang lain yang

dapat mengganggu pertahanan lokal di paru, aktivitas makrofag, dan

bersihan mukosilier.

Gangguan kesadaran yang diinduksi obat injeksi sehingga

meningkatkan risiko terjadinya pneumonia aspirasi atau abses paru.

Page 246: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

242

Bakteremia setelah injeksi yang secara hematogen dapat menyebar ke

paru5.

Organisme penyebab pneumonia komunitas pada IVDU antara lain

Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus

influenzae, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa6.

DIAGNOSIS

Diagnosis pneumonia pada pengguna NAPZA tidak berbeda dengan

pneumonia komunitas. Anamnesis tentang kecurigaan terhadap

penggunaan obat-obatan termasuk cara penggunaannya penting untuk

dilakukan. Gambaran radiologi dapat bervariasi dengan corak utama infiltrat

tersebar atau konsolidasi multilobuler seringkali bilateral dan lebih sering di

daerah perifer. Pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan antara lain

EKG dan ekokardiografi bila ada kecurigaan endokarditis bakterial7.

TATALAKSANA

Pneumonia pada pengguna NAPZA umumnya memberikan

gambaran sebagai pneumonia kelas IV atau V (berdasarkan skala PORT).

Beratnya pneumonia karena daya tahan tubuh turun, lemahnya refleks

batuk, kebiasaan merokok serta cara masuk kuman melalui intravena,

campuran bahan non steril secara inhalasi, juga karena tingginya

endokarditis bakterial. Tatalaksana kegawatdaruratan dan terapi suportif

Page 247: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

243

penting saat pasien datang. Pemilihan antibiotika empiris harus mencakup

kuman gram negatif, antibiotika tersebut antara lain:

Patogen potensial Rekomendasi antibiotika

Streptococcus pneumoniae

Haemophilus influenzae

Klebsiella pneumoniae

Staphylococcus aureus sensitif

metisilin

Pseudomonas aeruginosa

Kecurigaan MRSA

Betalaktam + betalaktamase

atau

Sefalosporin generasi III non

pseudomonas

atau

Quinolon respirasi

Kombinasi antipseudomonas

Linezolid atau vancomycin

RINGKASAN

Pada pengguna NAPZA risiko pneumonia meningkat 10 kali lipat

dibandingkan dengan bukan pengguna. Pneumonia pada pengguna NAPZA

memberikan gambaran pneumonia berat. Beratnya pneumonia karena daya

tahan tubuh turun, lemahnya refleks batuk, kebiasaan merokok serta cara

masuk kuman melalui intravena, campuran bahan non steril secara inhalasi,

juga karena tingginya endokarditis bakterial. Pilihan antibiotika empiris

harus dapat mengatasi kuman gram negatif.

Page 248: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

244

DAFTAR PUSTAKA

1. Hawari, D. Penyalahgunaan narkotika dan zat aditif. 2000

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang

narkotika.

3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang

psikotropika

4. Megarbane B, Chevillard L. The large spectrum of pulmonary

complications following illicit drug use: feature and mechanism.

Chemico-Biological Interaction,2013; 1-8

5. Hind CR. Pulmonary complications of intravenous drug misuse. 1.

Epidemiology and non-infective complications. Thorax 1990;

45:891.

6. Caiaffa WT, Vlahov D, Graham NM, et al. Drug smoking,

Pneumocystis carinii pneumonia, and immunosuppression increase

risk of bacterial pneumonia in human immunodeficiency virus-

seropositive injection drug users. Am J Respir Crit Care Med 1994;

150:1493

7. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell DG,

Dean NC, Dowell SF, File TM, Musher DM, Niederman MS, Torres

A, Whitney CG. Management of community-acquired pneumonia

in adults. Clinical Infectious Diseases 2007; 44: S27–72.

Page 249: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

245

Pneumonia Dalam Kehamilan

I Made Bagiada

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Perhatian terhadap influenza H1N1 belakangan ini telah

meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap seriusnya komplikasi

respirasi pada pasien hamil. Pneumonia selama kehamilan telah dikaitkan

dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas ibu hamil. Serupa dengan

peningkatan kejadian ibu hamil dengan penyakit kronis, termasuk diabetes,

HIV, penyakit jantung dan obesitas, pneumonia dapat mempengaruhi

kondisi kehamilan. Data menunjukkan bayi yang lahir dari ibu yang

pneumonia, cenderung lahir preterm dengan berat badan lahir yang rendah.

Mengingat pneumonia dalam kehamilan dapat menampilkan

gambaran yang atipikal, kondisi klinis yang lebih buruk, lebih sulit ditangani

dibandingkan pneumonia pada mereka yang tidak hamil. Sangat penting

untuk memahami perubahan fisiologis dan imunologis pada ibu hamil.

Perubahan selama kehamilan

Perubahan dalam imunitas selular pada ibu hamil telah banyak

dilaporkan. Perubahan ini meliputi penurunan respon proliferatif limfosit,

khususnya pada trimester kedua dan ketiga, menurunnya aktivitas sel

natural killer, perubahan populasi sel T dengan penurunan sel T helper yang

Page 250: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

246

bersirkulasi, menurunnya aktivitas sitotoksik limfosit, menurunnya

produktifits limfosit oleh trophoblas (1).

Sebagai tambahan, perubahan hormon selama kehamilan termasuk

progesteron, human chorionic gonadotropin, alfa fetoprotein dan kortisol,

semuanya ini dapat menghambat fungsi cell mediated immune system.

Seluruh perubahan ini secara teori meningkatkan rsiko infeksi khusunya oleh

virus dan jamur patogen (1).

Insiden

Sariatzadeh pada 2006 menemukan 28 kasus pneumonia dalam

kehamilan atau insiden sebesar 1,1 per 1000 kelahiran, dimana didapatkan

333 wanita usia 20-40 tahun yang tidak hamil yang menderita pneumonia

atau insiden sebesar 1,3 per 1000 orang (2).

Angka insiden yang lebih tinggi pernah dilaporkan sebelum tahun

1965, terentang antara 6,3-8,5 per 1000 kelahiran. Angka ini menurun pada

1970-1980an menjadi 0,44-0,78 per 1000 kelahiran, diduga karena

ditemukannya antibiotik dan perawatan obstetri yang lebih baik. Data

terakhir menunjukkan angka 1,2-2,7 per 1000 kelahiran, peningkatan ini

diduga karena meningkatnya proporsi wanita yang menderita penyakit

kronis penyerta (1).

Pneumonia telah diketahui sebagai indirect obstetric death terbesar

ketiga di Amerika Utara. Mortalitas dari pneumonia pada kehamilan serupa

dengan pasien tanpa kehamilan. Terdapat bukti bahwa fetal outcome sangat

Page 251: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

247

dipengaruhi oleh pneumonia pada ibunya. Ibu dengan pneumonia secara

signifikan lebih mungkin melahirkan sebelum usia kehamilan 34 minggu,

dengan kelahiran preterm lebih dari 43% kasus. Terbentuknya prostaglandin

sebagai respon inflamasi terhadap infeksi diduga sebagai penyebabnya.

Sebagai tambahan bayi yang lahir dari ibu dengan pneumonia umumnya

memiliki berat badan lahir yang lebih rendah daripada yang tidak

pneumonia. Satu studi menemukan perbedaan rata-rata 15 gram lebih

rendah pada bayi yang lahir dari ibu pneumonia dibandingkan kontrol (16%

berbanding 8%). Didapatkan pula frekuensi kejadian BBLR (berat badan lahir

rendah) yang lebih tinggi pada ibu hamil dengan pneumonia dibandingkan

kontrol (1,2).

Faktor risiko

Risiko pneumonia selama kehamilan terendah dialami selama

trimester pertama kehamilan, dengan hanya 0-16% kasus. Rata-rata usia

kehamilan saat harus masuk rumah sakit akibat pneumonia terentang

antara 24-32 minggu. Benedetti menemukan 19 dari 37 wanita hamil

dengan pneumonia (47%) memiliki haemoglobin 10 g/dL atau kurang, hal ini

menunjukkan kemungkinan anemia sebagai faktor risiko pneumonia.

Namun temuan ini tidak didukung oleh Richey dkk, yang mendapatkan

hanya 8 dari 71 pasien (11%) dengan anemia saat masuk rumah sakit. Di sisi

lain, seperempat dari pasien-pasien ini (17 kasus) tercatat memiliki riwayat

asma. Data dari sebuah studi kasus kontrol yang melibatkan 59 wanita kasus

Page 252: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

248

dengan 118 kontrol, dengan anemia, yang ditentukan berdasarkan kadar

hematokrit 30% atau kurang saat masuk rumah sakit dan adanya riwayat

asma. Keduanya ditemukan terkait dengan peningkatan lima kali lipat risiko

pneumonia selama kehamilan (3,4).

Penelitian yang sama juga menemukan wanita dengan pneumonia

lebih banyak ditemukan pada mereka yang mendapatkan betamethason

untuk memicu pematangan paru janin. Antepartum kortikosteroid yang

diberikan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas bayi prematur

mungkin merupakan faktor risiko pneumonia pada ibu hamil. Studi lain yang

melibatkan 37 kasus dengan 74 kontrol menemukan pemberian

kortikosteroid antepartum dikaitkan dengan kejadian penyakit infeksi yang

lebih tinggi (64,8% kasus melawan 17,5% kontrol) dengan infeksi bakterial

serius pada 9 kasus (24,3%) termasuk 4 pneumonia pada pasien yang

sebelumnya sehat (3,4).

Pemberian agen tokolitik untuk memicu peralinan juga dikaitkan

dengan berkembangnya pneumonia. Pemberian tokolitik juga menyebabkan

insufisiensi respirasi melalui peningkatan terjadinya edema paru. Karena hal

inilah, direkomendasikan untuk tidak memberikan agen tokolitik pada

pasien hamil dengan pneumonia (1).

Pneumonia Bakterial

Diagnosis

Gejala tipikal antara lain batuk, dispnea, produksi sputum, nyeri

pleuritik. Gejala saluran nafas atas ringan dan malaise biasanya mendahului

Page 253: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

249

gejala tipikal ini dan leukositosis ringan juga dapat ditemukan. Thorak foto

sangat penting untuk mendiagnosa namun tidak dapat memprediksi etiologi

penyebab pneumonia. Patogen penyebab umumnya hanya dapat

ditentukan pada kurang dari separuh kasus pneumonia. Menurut Infectius

Disease Society of America (IDSA) dan American Thoracic Society (ATS),

pemeriksaan untuk mengidentifikasi agen spesifik bukanlah suatu

keharusan. Karenanya kultur sputum, tes serologi, cold agglutinin

identification dan tes untuk antigen bakterial tidaklah direkomendasikan (3).

Gambar 1. Thorak foto yang menunjukkan infiltrat pada paru kiri tengah(6)

Penatalaksanaan

Page 254: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

250

Wanita hamil dengan gambaran thorak foto mengarah ke

pneumonia, seharusnya diopname. Pada pasien dengan kondisi yang baik,

terapi rawat jalan, atau observasi 23 jam dengan pengawasan yang optimal,

masih diizinkan. Beberapa kriteria yang mengharuskan pasien untuk

diopname dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Kriteria untuk Severe Community Acquired Pneumonia

Respirasi rate ≥ 30/menit

PaO2/FiO2 ratio ≤ 250

Infiltrat multilobular

Disorientasi/confusion

Uremia

Leukopenia, WBC <4000/μL

Trombositopenia, trombosit <100.000/μL

Hipotermia, core temperature < 36oC

Hipotensi yang membutuhkan resusitasi cairan agresif

Pada pasien dengan kondisi yang berat, perawatan di ICU atau unit

perawatan intermediate, sangat disarankan. Pneumonia berat merupakan

Page 255: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

251

penyebab sering kejadian ARDS (acute respiratory distress syndrome) dalam

kehamilan, dan ventilator mekanik mungkin menjadi sangat diperlukan (3).

Karena kebanyakan pneumonia ada orang dewasa disebabkan oleh

pneumococci, mikoplasma atau chlamydophila, monoterapi awal adalah

golongan makrolid seperti azithromycin, clarithromycin atau erythromycin.

Yost dkk melaporkan monoterapi erythromycin, diberikan intravena

dilanjutkan secara oral, memberikan hasil yang efektif pada semua kasus,

kecuali satu kasus, dari 99 wanita hamil dengan uncomplicated pneumonia

(3,5).

Untuk wanita dengan pneumonia berat sesuai kriteria pada tabel 1,

Mandell dkk merangkum IDSA/ATS guidelines. Terapi yang dapat dipilih

adalah (1) fluoroquinolone respirasi seperti levofloxacin, moxifloxacin atau

gemifloxacin atau (2) makrolide ditambah β lactam seperti amoxicillin dosis

tinggi atau amoxicillin-clavulanate. Alternatif pengganti β lactam meliputi

ceftriaxone, cefpodoxime atau cefuroxime. Efek teratogenik dari

fluoroquinolone adalah rendah, dan obat ini harus diberikan jika ada

indikasi. Jika community-acquired methicillin resisten S aureus (CA-MRSA)

dicurigai sebagai agen penyebab, maka vancomycin atau linezolid harus

ditambahkan (7).

Perbaikan klinis seharusnya terjadi dalam 48 sampai 72 jam,

dengan turunnya panas dalam 2 sampai 4 hari. Gambaran thorak foto yang

abnormal baru akan hilang dalam 6 minggu. Kondisi yang memburuk

mengarah pada prognosis yang jelek, thorak foto ulang direkomendasikan

Page 256: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

252

pada mereka dengan demam yang menetap. Dengan berbagai

perkembangan dibidang kedokteran, sekitar 20% pasien akan mengalami

efusi pleura. Pengobatan pneumonia direkomendasikan untuk diberikan

setidaknya selama 5 hari. Kagagalan terapi dapat terjadi pada lebih dari 15%

kasus, pilihan antimikroba yang lebih kuat dan pemeriksaan penunjang yang

lebih lengkap dapat dipertimbangkan pada kasus ini (3,7).

Pencegahan

Vaksin pneumococcal memberikan perlindungan sebesar 60-70%

melawan seluruh 23 serotypes pneumococcus. Vaksin ini dapat menurunkan

kejadian drug-resistant pneumococci (Kyaw, 2006). Vaksin ini tidak

direkomendasikan pada wanita hamil yang sehat, namun direkomendasikan

pada mereka dengan kondisi immunocompromised, termasuk mereka

dengan infeksi HIV, riwayat merokok, diabetes, penyakit jantung, paru atau

ginjal dan asplenia seperti penderita sickle cell disease (8).

Pneumonia viral

Gambaran klinis

Influenza A dan B adalah virus RNA yang dapat menyebabkan

infeksi saluran nafas, termasuk pneumonitis. Pneumonia influenza bisa

menjadi serius, dan epideminya muncul dimusim dingin. Virus disebarkan

secara droplet aerosol dan dengan cepat menginfeksi ciliated columnar

epithelium, sel alveolar, mucus gland cells, dan makrofag. Onset penyakitnya

Page 257: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

253

pada 1 sampai 4 hari dari paparan agen penyebab. Pada kebanyakan orang

dewasa yang sebelumnya sehat, penyakit ini bersifat self limited (9).

Pneumonia merupakan komplikasi paling sering dari influenza, dan

hal ini sulit dibedakan dari pneumonia bakterial. Menurut Centers for

Disease Control and Prevention (CDC), wanita hamil yang terinfeksi virus,

harus diopname bahkan dirawat di ICU. Pandemi influenza pada 2009

dengan strain H1N1 bisa dianggap berat. Dalam Maternal Fetal Medicine

Units Network study, 10% wanita hamil atau postpartum yang diopname

karena terinfeksi influenza H1N1 harus dirawat di ICU, dimana 11% dari

pasien ICU ini meninggal dunia (Varner, 2011). Faktor risikonya meliputi late

pregnancy, merokok dan hipertensi kronis. Di California, 22% wanita

terinfeksi H1N1 membutuhkan perawatan intensif, dengan kematian pada

sepertiga kasus (10).

Pneumonitis influenza primer adalah yang paling berat, ditandai

dengan produksi sputum yang banyak dan gambaran thorak foto infiltrat

interstitial. Pada umumnya, pneumonia sekunder, terjadi akibat superinfeksi

bakterial oleh streptococci atau staphylococci yang bisa terjadi dalam 2 atau

3 hari setelah perbaikan klinis pneumonia virus awalnya. CDC telah

melaporkan beberapa kasus CA-MRSA yang disebabkan influenza associated

pneumonitis dengan case fatality rate mencapai 25% (9).

Penatalaksanaan

Terapi suportif dengan antipiretik dan tirah baring

direkomendasikan untuk uncomplicated influenza. Pengobatan awal dengan

Page 258: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

254

antiviral menunjukkan hasil yang efektif (Jamieson, 2011). Munculnya

resistensi influenza A (H3N2) terhadap amantadine atau rimantadine pada

2005 mendorong CDC mengeluarkan rekomendasi penggunaan yang tepat

pada kedua obat tersebut daripada penggunaan neurominidase inhibitor

dalam 2 hari setelah munculnya gejala untuk kemoprofilaksis atau

pengobatan influenza A dan B. Oseltamivir diberikan secara oral, 75 mg dua

kali sehari atau zanamivir diberikan secara inhalasi 10 mg dua kali sehari.

Direkomendasikan pengobatan selama 5 hari, obat ini akan mengurangi

durasi penyakit sebanyak 1 atau 2 hari dan mengurangi risiko pneumonitis

(Jamieson). Perhatian lain untuk resistensi virus diberikan kepada strain

avian H5N1 dan H7N9 yang ditemukan di asia tenggara. Ini merupakan virus

yang berpeluang untuk menjadi pandemi berikutnya, dengan angka

mortalitas melebihi 50% (11).

Pencegahan

Direkomendasikan untuk pemberian vaksin influenza A. Pemberian

vaksin sebelum melahirkan juga akan memberikan perlindungan pada

sepertiga bayi baru lahir, perlindungan ini akan tetap efektif selama

setidaknya 6 bulan. Selama musim flu 2012-2013 CDC melaporkan, hanya

separuh wanita hamil yang memperoleh vaksin (11).

Page 259: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

255

Pneumonia Fungal dan Parasit

Pneumocystis pneumonia

Infeksi paru oleh jamur dan parasit umumnya terjadi pada mereka

dengan kondisi immunocompromised khususnya wanita dengan Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Pada mereka, infeksi paru oleh

Pneumocystis jiroveci sebelumnya disebut pneumocystis carinii, merupakan

komplikasi yang sering terjadi.infeksi oportunistik ini menyebabkan

pneumonia interstitial yang ditandai oleh batuk kering, tachypnea, dyspnea

dan gambaran radiografi infultrat yang difus. Kecurigaan seorang wanita

hamil menderita AIDS dan PCP jika ditemukan gejala penurunan berat

badan, fatigue, takipnea, dispnea dan batuk nonproduktif. Walaupun

organisme ini dapat diidentifikasi dengan kultur sputum, bronkoskopi

dengan lavage atau biopsi kadang diperlukan (12).

Pengobatan untuk PCP menggunakan trimethoprim-

sulfamethoxazole (TMP-SMX) atau pentamidine lainnya merupakan obat

pilihan utama untuk kasus PCP, meskipun TMP-SMX sesungguhnya termasuk

dalam kategori C. Pengalaman penggunaan dapsone atau atovaquone masih

terbatas. Pada beberapa kasus intubasi trakea dan ventilasi mekanik

mungkin diperlukan. Untuk profilaksis, beberapa center menyarankan

double strength trimethropim-sulfamethoxazole tablet untuk wanita hamil

dengan HIV. Khususnya pada mereka dengan CD4+ T-lymphocyte kurang dari

200/μL, mereka dengan CD4+ T-lymphocyte kurang dari 14 persen, atau

Page 260: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

256

mereka dengan AIDS defining illness lain seperti kandidiasis orofaringeal

(3,12).

Gambar2. Gambaran thorak foto yang menunjukkan infiltrat difus bilateral

pada seorang penderita PCP (15)

Fungal pneumonia

Berbgai jenis jamur dapat menyebabkan pneumonia. Infeksi jamur

umumnya ringan dan self limited. Pneumonia jamur ditandai oleh batuk,

Page 261: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

257

demam dan jarang diseminata. Histoplasmosis dan blastomikosis tampaknya

tidak lebih sering atau lebih berat jika dialami oleh wanita hamil.

Kebanyakan kasus cryptococcosis dalam kehamilan muncul sebagai

meningitis. Ely dkk (1998) melaporkan kasus cryptococcosis pneumonia,

dimana diagnosa menjadi sulit karena gejala klinis yang serupa dengan

community acquired pneumonia lain (14).

The 2007 IDSA/ATS guidelines merekomendasikan itraconazole

sebagai terapi pilihan untuk infeksi jamur diseminata (Mandell, 2007).

Wanita hamil juga harus mendapat amphotericin B atau ketoconazole

intravena jika jika mengalami infeksi jamur. Amphotericin B telah digunakan

secara luas pada wanita hamil, tanpa efek pada janin. Karena terdapat bukti

bahwa fluconazole, itraconazole, dan ketoconazole mungkin bersifat

embriotoksik pada awal kehamilan, Briggs dkk merekomendasikan

menghindari penggunaan obat-obat ini pada trimester pertama kehamilan

(7,13).

Daftar Pustaka

1. Lim WS, Macfarlane JT, Colthorpe CL. Pneumonia and pregnancy.

Thorax 2001; 56: 398-405.

2. Shariatzadeh MR, et al. Pneumonia during pregnancy. AM J Med

2006; 119 (10): 872-876.

3. Pulmonary disorder. In: Cuningham FG. Ed. William’s Obstetrics,

edisi 24. New York: Mc Graw Hill; 2014. p. 1011-1027.

Page 262: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

258

4. Richey SD, Robert SW, Ramin KD, et al. Pneumonia complicating

pregnancy. Obstet Gynecol 1994; 84: 525-528.

5. Yost NP, Bloom SL, Richey SD, et al. An appraisalof treatment

guidelines for antepartum community acquired pneumonia. Am J

Obstet Gynecol 2000; 183: 131-135.

6. Bishara H, Lidji M, Vinitsky O, Ravell D. Indolent pneumonia in a

pregnant recent immigrant from Ethiopia: think TB. Prim Care

Respir J 2014; 23: 102-105.

7. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases

Society of America/American Thoracic Society consensus guidelines

on the management of community-acquired pneumonia in adults.

Clin Infect Dis 2007; 44: S27.

8. Kyaw MH, Lynfield R, Schaffner W, et al. Effect of introduction of

the pneumococcal conjugate vaccine on drug-resistant

Streptococcus pneumoniae. N Engl J Med 2006; 354: 1455

9. Ely JW, Yankowitz J, Bowdler NC. Evaluation of pregnant women

exposed to respiratory viruses. Am Fam Physician 2000; 61(10):

3065-3072.

10. Varner MW, et al. Influenza-like illness in hospitalized pregnant and

postpartum women during the 2009-2010 H1N1 pandemic. Obstet

Gynecol 2011; 118 (3): 593-600.

Page 263: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

259

11. Jamieson DJ, Rasmussen SA, Uyeki TM. Pandemic influenza and

pregnancy revisited: lesson learned from 2009 pandemic influenza

A (H1N1). Am J Obstet Gynecol 2011; 204.

12. Janice E, Whitty JE, Mitchell F, Dombrwski MF. Respiratory disease

in pregnancy. In: Creasy K, Resnik R. Ed. Creasy & Resnik’s

Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice, edisi 7.

Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. p. 965-987.

13. Larson L, et al. Pulmonary disease in pregnancy. In: Powrie RO. Ed.

de Swiet’s Medical Disorder in Obstetric Practice , edisi 5.

Singapore: Wiley Blackwell; 2010. p. 1-47.

14. Ely EW, Peacock JE, Haponik EF, et al: Cryptococcal pneumonia

complicating pregnancy. Medicine 1998; 77: 153.

15. Bennett NJ, Gilroy SA. Pneumocystis jiroveci pneumonia overview

of pneumocystis jiroveci pneumonia. Medscape. available at:

http://emedicine.medscape.com/ article/225976 [accesed april 25,

2016].

Page 264: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

260

INFEKSI SALURAN NAPAS DAN PNEUMONIA

TERKAIT PERJALANAN WISATA

I Gede Ketut Sajinadiyasa

Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Setiap tahunnya sekitar 1 miliar penumpang pesawat udara yang

melakukan perjalanan wisata dan lebih dari 50 juta orang dari negara-

negara industri melakukan perjalananan wisata ke negara-negara yang

sedang berkembang.1

Menurut laporan UNWTO (World Tourism

organization) di tahun 2010 jumlah wisatawan internasional adalah 940 juta

2. Bali salah satu tujuan wisata mendapat kunjungan wisatawan setiap

tahunnya lebih dari satu juta wisatawan asing. Pada tahun 2014, 2015

berturut-turut: 1.555.747 orang, dan 1.862.242 orang.3

Dalam perjalanan wisata, wisatawan dapat terpapar oleh berbagai

patogen dan risiko. Dilaporkan sekitar 20% - 70% orang yang melakukan

perjalanan wisata mengalami masalah kesehatan. Secara keseluruhan pada

perjalanan wisata internasional didapatkan 1%-5% wisatawan

membutuhkan perhatian medis, 0.01%-0.1% membutuhkan evakuasi medis

darurat dan 1 diantara 100.000 wisatawan meninggal dunia. Walaupun

bukan penyebab utama, penyakit infeksi ikut memberi andil terjadinya

kematian pada seseoang yang melakukan perjalanan wisata. Didapatkan 1%

Page 265: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

261

- 5% kematian oleh karena penyakit infeksi. Penyakit kardiovaskuler

merupakan penyebab kematian tersering dan trauma sekitar 21%-26%

sebagai penyebab kematian 1. Penyakit infeksi yang cukup sering dialami

oleh wisatawan diantaranya adalah infeksi pada saluran nafas.1,2

Statistik

menunjukkan bahwa perjalanan wisata berisiko tinggi terpapar oleh patogen

penyebab infeksi saluran nafas. Dilaporkan sekitar 11-20% wisatawan yang

kembali dari perjalanan wisata menderita infeksi saluran nafas akut. Infeksi

saluran napas atas lebih sering dijumpai daripada saluran napas bawah.4,5

Memperhatikan tingginya mobilitas masyarakat dalam melakukan

perjalanan dan adanya risiko mendapat infeksi saluran napas maka seorang

klinisi perlu memahami risiko, etiologi dan penanganan penyakit infeksi

saluran napas terkait perjalanan wisata. Pada tulisan ini disampaikan

bahasan tentang infeksi saluran napas termasuk pneumonia terkait

perjalanan wisata dan penangannya.

Kuman Penyebab Infeksi

Virus merupakan penyebab utama infeksi aluran napas terkait

perjalanan wisata. Virus yang sering sebagai penyebab diantaranya adalah

rhinovirus, respiratory syncytial virus, influenza virus, parainfluenza virus,

human metapneumovirus, measles, mumps, adenovirus, dan coronavirus.

Seorang klinisi juga perlu mempertimbangkan seperti Middle East

Respiratory Syndrome (MERS) Coronavirus, avian influenza H5N1 dan H7N9.

Infeksi saluran napas akibat virus dapat mempermudah terjadinya sinusitis

Page 266: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

262

bakterial, bronkitis akut dan pneumonia. Bakteri patogen sebagi penyebab

tidak terlalu sering dibanding virus namun penyebab bakterial yang sering

adalah Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus

influenzae, and Chlamydophila pneumoniae. Coxiella burnetii dan Legionella

pneumophila kadang dapat menyebabkan wabah dan juga sporadis.4,5

Risiko pada Wisatawan

Wabah merupakan kejadian yang dapat terjadi akibat adanya

paparan infeksi di hotel-hotel, kapal pesiar dan diantara kelompok

wisatawan. Beberapa jenis kuman patogen yang terkait wabah pada

wisatawan diantaranya influenza virus, L. pneumophila, and Histoplasma

capsulatum. Puncak musim influenza di belahan bumi utara adalah sekitar

bulan Desember sampai Februari sedang di belahan bumi selatan adalah

sekitar bulan Juni sampai Agustus. Dan wisatawan yang melakuan

perjalanan ke daerah tropik berisiko sepanjang tahun.5

Perubahan tekanan udara pada saat pendaratan, lepas landas dapat

menimbulkan terjadinya sinusitis dan otitis media. Tranmisi infeksi di dalam

pesawat terbang tidak sering oleh karena adanya sirkulasi yang berulang

dan filtrasi udara walaupun demikian influenza, tuberkulosis, measles, dan

penyakit lainnya dapat terjadi akibat tranmisi di dalam pesawat. Tranmisi

dapat terjadi antar penumpang yang duduk saling berdekatan, biasanya

melalui kontak langsung dan droplet. Adanya jumlah orang yang banyak

Page 267: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

263

seperti di bandara, kapal pesiar dan hotel dapat sebagai tempat tranmisi

dari patogen respirasi.

Kualitas udara yang tidak baik di tempat tujuan, dan adanya paparan sulfur

dioksida, nitrogen dioksida, karbon monoksida, ozone dan artikel lainnya

berhubungan dengan risiko kesehatan termasuk peradangan saluran napas,

eksaserbasi asma, PPOK, gangguan fungsi paru, bronkitis dan pneumonia.

Wisatawan yang memiliki risiko tinggi terjangkit infeksi saluran napas dan

paru adalah anak-anak, lansia dan orang dengan penyakit kronis seperti

PPOK dan asma.2,4,5

Diagnosis

Identifikasi kuman penyebab umumnya tidak terlalu banyak

dilakukan, biasanya diutamakan pada penyakit berat. Bila ada indikasi

metode diagnosis yang dapat dilakukan adalah:5,6

Metode molekuler untuk mendeteksi sejumlah virus termasuk virus

influenza, parainfluenza, adenovirus, human metapneumovirus,

dan patogen yang bukan virus

Rapid test untuk mendeteksi kuman patogen seperti respiratory

syncytial virus, influenza virus, L. pneumophila, and group

A Streptococcus.

Kultur mikrobiologi sputum dan darah

Pemeriksaan khusus utama untuk pasien yang dicurigai MERS,

H5N1 atau H7N9.

Page 268: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

264

Manifestasi Klinis

Sebagian besar infeksi saluran napas terutama yang mengenai

saluran napas atas adalah degnan klinis ringan tidak berbahaya. Infeksi

saluran napas sering dengan gejala rinorea dan faringitis. Infeksi saluran

napas bawah terutama pneumonia dapat menunjukkan gejala klinis yang

lebih berat. Infeksi saluran napas bawah sering menyebabkan demam, sesak

napas, dan nyeri dada dibanding dengan saluran napas atas. Batuk sering

ditemukan baik pada infeksi saluran napas atas maupun bawah. Pasien

dengan influenza umumnya ditandai dengan kejadian deman yang

mendadak, mialgia, sakit kepala dan batuk. Adanya MERS sebaiknya

dipertimbangkan bila ada wisatawan yang demam dengan gejala pneumnia

dalam 14 hari setelah datang dari perjalanan dari negara atau dekat dengan

negara semenanjung Arab atau ada riwayat kontak erat dengan wisatawan

lainnya. Klinisi sebaiknya waspada terhadap daerah-daerah yang

berhubungan dengan MERS, dan juga dipertimbangakan adanya infeksi

H5N1 dan H7N5 bila ada pasien yang menderita penyakit respirasi akut yang

berat yang membutuhkan rawat inap dan tidakk ada etiologi lain sebagai

penyebab dan pasien dalam sepuluh hari terakhir ada riwayat mendatangi

negara atau tempat yang terkonfirmasi kasus H5N1 atau H7N9 baik pada

manusia ataupun binatang atau pernah kontak erat dengan orang yang sakit

pada daerah tersebut dalam 10 hari terakhir. Emboli paru juga hendaknya

dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada seorang wisatawan

dengan sesak napas, batuk, nyeri pneuritik dan demam, terutama pada

Page 269: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

265

pasien yang mempunyai riwayat perjalanan dengan kendaraan dalam waktu

lama atau pesawat udara yang cukup lama.4,5,6

Terapi

Tatalaksana penyakit yang terjadi pada wisatawan dan bukan

wisatawan pada perinsipnya sama, walaupun dengan penyakit yang

progresif dan berat. Yang sebaiknya dievaluasi adalah penyakit yang spesifik

pada daerah tujuan wisata dan ada tidaknya paparan. Sebagian besar infeksi

respirasi oleh karena virus biasanya ringan dan tidak membutuhkan terapi

khusus atau antibiotika. Terapi mandiri dengan antibiotika selama

perjalanan wisata dapat dipertimbangkan pada pasien dengan risiko tinggi

dengan gejala infeksi saluran napas bawah.5,6

Flurokuinolon respirasi seperti

levofloxacin atau macrolid seperi azitromisin dapat diberikan sebagai

persiapan sebelum perjalanan wisata.

Kondisi tertentu yang memerlukan intervensi medis yang optimal

diantaranya:5

Faringitis tanpa rinorea, batuk atau gejala lain yang

mengindikasikan adanya infeksi streptokokus group A

Adanya kejadian yang mendadak seperti batuk, demam dan nyeri

dada mengindikasikan adanya pneumonia atau emboli paru, bila

terjadi situasi ini sebaiknya seorang wisatawan mendapatkan

perawatan medis

Page 270: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

266

Wisatawan dengan kondisi penyakit sebelumnya seperti asma,

penyakit paru lainnya dan penyakit jantung sebaiknya mencari

pertolongan medis lebih awal dibandng wisatawan dengan kondisi

kesehatan yang baik.

Pencegahan

Vaksinasi mampu mencegah beberapa penyakit pada organ

respirasi, termasuk influenza, S. Pneumonia, H, influenza tipe B, pertusis,

dipteria, varicella, dan measles. Bila tidak ada kontraindikasi, wisatawan

sebaiknya divaksinasi influenza dan selanjutnya diberikan sebagai imunisasi

rutin.2,5,6

Menghindari penyakit respirasi saat perjalanan wisata sangat sulit

tapi pencegahan yang mungkin dapat dilakukan adalah sebagai berikut.5

Mengurangi kontak erat dengan seseorang yang menderita batuk

dan bersin

Sering-sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau

cairan dengan konsentrasi alkohol > 60% bila sabun dan air tidak

tersedia

Gunakan nasal vasokontriktor spray sebelum perjalanan dengan

pesawat udara bila memiliki ganguan pada tuba eustasius, untuk

mengurangi kemungkinan terkena otitis atupun barotrauma.

Page 271: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

Teks

267

Ringkasan

Infeksi saluran napas termasuk pneumonia merupakan penyakit

yang cukup sering diderita oleh wisatawan setelah kembali dari perjalanan

wisata. Sekitar 20 % dari wisatawan ditemukan menderita infeksi saluran

napas. Sebelum melakukan perjalanan perlu di ketahui risiko dan faktor

risiko yang mungkin terjadi saat perjalanan seperti mengetahui

kemungkinan adanya penyakit didaerah wisata atau suadh adanya penyakit

tertentu pada diri seorang wisatawan.

Penanganan penyakit respirasi saat perjalan wisata ataupun setelah

kembali dari perjalanan wisata pada perinsipnya sama dengan orang tanpa

melakukan perjalanan wisata, namun perlu diperhatikan penyebab tertentu

sesuai riwayat dan pengetahuan akan kumam penyebab.

Walaupun paparan terhadap infeksi saluran napas sulit

dihindarkan, pencegahan dengan pemberian vaksin dapat memberika

kekebalan terhadap beberapa penyakit infeksi saluran napas dan jangan

lupa mengindari orang yang terinfeksi atau daerah yang rawan tranmisi

infeksi serta jangan lupa kebersihan diri sendiri seperti mencuci tangan

dengan baik.

Daftar Pustaka

1. Ryan ET, Kain KC. Health Advice and Immunizations For Traveler.

N Engl J Med 2000; 342: 1716-25

Page 272: Welcome to Unud Repository - Unud Repository

TEKS

268

2. World Health Organization, International Travel & Health:

Infectious diseases of potential risk for travelers; WHO, 2012.

3. Dinas Pariwisata Pemerintah Proinsi Bali. Disparda.baliprov.go.id

diakses tanggal 3/7/2016

4. Fenge HFG. Travel-associated pneumonias. Pneumologie 2014;

68 (10): 685-695

5. Ryan ET, LaRocque RC. Respiratory Infection the pre-Travel

Consultation Centers for Disease Control and Prevention

wwwnc.cdc.gov post travel evaluation.2016 diakses tanggal

3/7/2016

6. Jones TC, Syndromes in the retuened traveler, Cough and

Respiratory Tract Infections. In. Cohen J, Powderly WG, Berkley

SF, Calandra T, Clumeck N, Finch RG, Hammer Sc, et al. Editors.

Infectious Diseases, 2nd ed. Mosby, Edinburgh: 2004: p.1491-

1496