Top Banner
WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011
28

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

Feb 06, 2018

Download

Documents

vodat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Page 2: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Warta Herpetofauna (edisi dua bahasa/bilingual)

Warta Herpetofauna Media informasi dan publikasi dunia amfibi dan

reptil

Penerbit :

Perhimpunan Herpetologi Indonesia

Pimpinan redaksi :

Mirza Dikari Kusrini

Redaktur:

Noor Aenni

Tata Letak & Artistik :

Noor Aenni

Arief Tajalli

Sirkulasi

KPH “Python” HIMAKOVA

Alamat Redaksi

Kelompok Kerja

Konservasi Amfibi dan Reptil Indonesia

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata

Fakultas Kehutanan – IPB

Telpon : 0251-8627394

Fax : 0251-8621947

Foto cover luar: Ahaetulla prasina di Sungai

Lesan, Kalimantan Barat oleh Arief Tajalli

Daftar Isi: Rumah Cicak Hutan (Cyrtodactylus spp) di Kabu-

paten Dairi 4

Keberadaan kodok Ingerophrynus biporcatus di

Kalimantan yang terlewatkan 6

Mengenal Keanekaragaman Herpetofauna

di Batang Merangin, Taman Nasional Kerinci Seblat

Dalam Kebersamaan Surili 2011 8

GALERI FOTO Ekspedisi di TN Kerinci Seblat

Surili KPH-Himakova, Fakultas Kehutanan IPB 10

Mengunjungi Penangkaran Kura-Kura di

Karawang 12

Penangkaran: Upaya Menuju Keberlanjutan Populasi

Kura-Kura 15

Penangkaran Kura-Kura Brazil 16

The Pig-nosed Turtle repatriation project 18

Mencintai Katak Mencintai Kehidupan 20

Si Cantik Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) dari Surga

Eksotis Kepulauan Aru, Indonesia 22

Pustaka Perilaku Ular 1997-2005 24

Komodo, Evolusi dan Tim Jessop 26

Leptophryne cruentata 28

Page 3: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

3 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Volume V No 1, November 2011

Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus

bagi konservasi amfibi dan reptil. Pada bulan Ok-

tober lalu dilakukan pelepasan kura-kura mon-

cong babi hasil sitaan dari Hong Kong ke Papua.

Kegiatan yang merupakan kerjasama antar pe-

merintah Hong Kong, Indonesia dan LSM ini

menunjukkan itikad kuat para penggiat konser-

vasi satwa liar untuk melindungi kura-kura dari

ancaman penurunan populasi. Dilain sisi,

penetapan katak api Leptophryne cruentata se-

bagai ikon satwa nasional 2011 walaupun sepi

dari kegiatan namun menunjukkan paling tidak

adanya perhatian akan keberadaan katak ini

sehingga lebih dikenal. Katanya, tak kenal maka

tak sayang.

Selamat membaca.

REDAKSI MENERIMA SEGALA BENTUK TULISAN, FOTO, GAMBAR, KARIKATUR, PUISI ATAU INFO

LAINNYA SEPUTAR DUNIA AMFIBI DAN REPTIL.

BAGI YANG BERMINAT DAPAT MENGIRIMKAN LANGSUNG KE ALAMAT REDAKSI ATAU VIA

EMAIL KE :mirza_kusrini(at)yahoo.com

Page 4: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

4 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Ketika mengunjungi hutan bagi pen-

gamat herpetofauna tentu berharap besar

ketemu beragam jenis amfibi maupun reptil

khususnya di malam hari. Tidak lebih dari

dua minggu (21 Juni - 3 Juli 2011) penulis

mengunjungi sebagian kecil hutan Lindung

Batu Ardan mencatat 44 jenis amfibi dan

reptil. Hutan Lindung tersebut secara ad-

ministrasi termasuk Kabupaten Dairi dan

Pakpak Bharat, Propinsi Sumatera Utara. Te-

patnya daerah yang dikunjungi yaitu;

Bongkaras dan Sungai Semungun, kedua

lokasi terletak pada ketinggian antara 600-

1150 meter dari permukaan laut, kondisi hu-

tan sudah terganggu oleh kegiatan ekplo-

rasi tambang, dan perambahan, ber-

topografi terjal, tutupan tajuk masih baik

antara 70-80 %.

Pada saat survey berlangsung, dite-

mukan sebuah rumah yang menjadi

“rumah cicak hutan”.

RUMAH CICAK HUTAN (Cyrtodactylus

spp) DI KABUPATEN DAIRI

Tulisan dan Foto oleh Mistar/Yayasan Ekosistem Lestari

Page 5: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

5 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Rumah kayu dibangun diatas batu beru-

kuran sekitar 5 x 8 meter, berjarak sekitar

300 meter dari hutan, antara hutan dengan

rumah terdapat kebun kopi dan semak-

semak sehingga habitat alami ini masih

bersinggungan .

Pada suatu malam dimana cuaca

yang awalnya cerah, seketika hujan deras

sehingga membatalkan pengamatan stan-

dar VES-night stream. Kandisi yang basah

kuyub meski sudah pakai jas hujan, mem-

buat penulis membatalkan niat langsung

masuk pondok tersebut. Secara tidak sen-

gaja penulis mengarahkan headlamp ke

tiang-tiang rumah dan segera terlihat

sedikitnya tiga inidvidu cicak berdekatan.

Akhirnya penulis memutuskan untuk

mengelilingi pondok, dan meriksa batu pe-

nopang rumah. Ternyata ditemukan lima

jenis cicak dari dari 3 marga yaitu yang

diidentifikasi sebagai Cyrtodactylus later-

alis, C. quadrivirgatus, Cyrodactylus sp, Ci-

cak rumah Gehyra mutilata, dan Hemidac-

tylus frenatus.

Cicak hutan (Cyrtodactylus spp) me-

rupakan satu marga dari 11 marga Suku

Gekkonidae di Kawasan Sunda Besar. Su-

matera menurut (Manthey & Grossmann,

1997) tercatat lima jenis yaitu; Cyr-

todactylus consobrinus, C. lateralis,

C. malayanus, C. marmoratus, dan

C. quadrivirgatus). Perkembangan

terakhir banyak jenis belum dike-

nal, sehingga besar kemungkinan

akan terjadi penambahan jenis

baru dalam beberapa tahun

kedepan.

Dugaan rumah diatas yang

penulis sebut “Pelabuhan Cicak”

disebabkan banyaknya tumpukan papan

dibawah rumah dan hutan sekitarnya,

sehingga menjadi tempat ideal berburu

mangsa bagi cicak seperti yang diburon

tersebut. Oleh karena itu, kalau lain kali

masuk hutan dan melihat rumah kayu,

jangan segan-segan untuk memeriksanya!

Cyrtodactylus quadrivirtus

Cyrtodactylus lateralis

Cyrtodatylus sp, dijumpai Bongkaras dan Sungai Semungun

Page 6: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

6 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Jenis kodok Ingerophrynus biporcatus (Gb.1)

atau lebih dikenal dengan nama lamanya Bufo biporca-

tus, adalah jenis kodok endemik di Indonesia. Menurut

IUCN (2011), Iskandar (1998) dan Iskandar & Colijn

(2000), penyebaran jenis ini meliputi Sumatra bagian se-

latan, Jawa, Madura, Bali, Lombok dan introduksi ke Su-

lawesi (Gambar 2). Melihat pola penyebarannya, yaitu

dari Sumatra dan Jawa kemudian introduksi ke Sulawesi

dengan melompati Kalimantan terlihat cukup janggal,

karena perpindahan manusia keluar dan masuk antara

Kalimantan dan Sulawesi cukup ramai.

Informasi keberadaan jenis kodok I. biporcatus di

Kalimantan tidak dijumpai pada publikasi Furlong dkk

(2005), Inger (2005), Inger & Voris (2001), Inger & Stue-

bing (2005), Inger dkk (2005), Inger & Tan (1996), Iskan-

dar (1998), Iskandar (2004), Iskandar & Colijn (2000),

Meijaard dkk (2005) dan Veith dkk (2004). Informasi ke-

beradaan kodok ini hanya dijumpai pada publikasi Kirono

& Santoso (2007: halaman 43); jenis ini dijumpai di

daerah Hulu Belantikan, Kalimantan Tengah (Gambar 2).

Pada bulan Maret 2010, penulis menjumpai

kodok I. biporcatus di areal perkebunan sawit PT. Men-

taya Sawit Mas (PT. MSM) yang terletak di dekat kota

Sampit, Kalimantan Tengah (Gb. 2). Keberadaan jenis I.

biporcatus di Kalimantan masih merupakan tanda tanya,

apakah jenis ini asli Kalimantan atau merupakan jenis

introduksi dari Sumatra atau Jawa. Untuk membuktikan

itu semua perlu dilakukan studi DNA populasi untuk meli-

hat keterkaitan populasi jenis ini yang berada di Kaliman-

tan, Sumatra dan Jawa.

Menurut Kirono & Santoso (2007), habitat kodok I. bipor-

catus adalah hutan sekunder dan kolam-kolam dangkal

dan terbuka di sekitar perbatasan hutan dengan perkebu-

nan; kodok ini cukup jarang dijumpai dan sering dijumpai

berasosiasi dengan kodok Duttaphrynus melanostictus

atau B. melanostictus. Kondisi kelimpahan I. biporcatus

di areal kebun sawit PT. MSM sangat jauh berbeda den-

gan apa yang diinformasikan Kirono & Santoso (2007);

jenis ini dijumpai sangat berlimpah di kebun sawit;

mereka dijumpai pada habitat pemukiman manusia, parit

irigasi dan rawa gambut, tidak dijumpai berasosiasi den-

gan jenis D. melanostictus. Sepertinya kodok I. biporca-

tus sangat toleran dengan perairan gambut yang asam

yang tidak disukai jenis D. melanostictus, karena pada

areal perkebunan sawit ini tidak satupun dijumpai individu

D. melanostictus.

KEBERADAAN KODOK Ingerophrynus biporcatus

DI KALIMANTAN YANG TERLEWATKAN

Hellen Kurniati/ Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI

Gb. 1. Kodok I. biporcatus yang dijumpai di daerah kebun sawit PT. MSM,

Kalimantan Tengah (Foto: H. Kurniati).

Gb. 2. Penyebaran kodok I. biporcatus di Indonesia. Daerah

warna merah adalah penyebaran asli; daerah warna merah

muda adalah introduksi (Sulawesi); bulatan biru tempat Ingero-

phrynus biporcatus dijumpai di Kalimantan: (1) Hulu Belantikan; (2)

Perkebuna sawit PT. MSM (sumber peta: IUCN, 2011).

Page 7: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

7 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Furlong dkk (2005), tidak mendapatkan jenis I. bi-

porcatus di Taman Nasional Tanjung Puting yang letaknya

relatif dekat dengan lokasi kebun sawit PT. MSM dan juga

merupakan daerah hutan gambut. Habitat di mana kodok

I. biporcatus kerap dijumpai berlimpah di areal kebun sawit

adalah kolam terbuka dengan air berwarna coklat kehita-

man (Gambar 3); habitat ini menandakan bahwa air kolam

itu bersifat asam yang berasal dari rawa gambut.

DAFTAR PUSTAKA

Furlong, R., C. Gibbons, K. Kennedy, I. Mackenzie, S. Shonleben & A. Stott. 2005. Project Kodok. A research pro-ject aimed at investigating and monitoring Anuran popula-tions in Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan, Indonesia, South East Asia. Main Report, University of Ed-inburgh. 21 pp.

Inger, R.F. 2005. The systematics and Zoogeography of the amphibia of Borneo. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu.

Inger, R.F & H.K. Voris. 2001. The biogeographical rela-tions of the frogs and snakes of Sundaland. Journal of Bio-geography 28: 863-891.

Inger, R.F & R.B. Stuebing. 2005. A field guide to the frogs of Borneo. Natural History Publication (Borneo). Kota Kina-balu.

Inger, R.F, R.B. Stuebing & R. Zainudin. 2005. Peat swamp frogs of Borneo. In: Wallace in Sarawak–150 Years Later. An International Conference on Biogeography and Biodi-versity. A. A. Tuen and I. Das (Eds). pp: 178–181. Institute

of Biodiversity and Environmental Conservation, Universiti Malaysia Sarawak, Kota Samarahan.

Inger, R.F & F.L. Tan. 1996. Checklist of the frogs of Bor-neo. Raffles Bulletin of Zoology 44: 551-574.

Iskandar D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.

Iskandar, D.T. 2004. The Amphibians and Reptiles of Mali-nau Region, Bulungan Research Forest, East Kalimantan. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Iskandar, D. & E. Colijn. 2000. Preliminary checklist of Southeast Asian and New Guinean herpetofauna, I. Am-phibians. Treubia 313: 1-133.

IUCN. 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Ver-sion 2011.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 13 July 2011.

Kirono, S & E. Santoso. 2007. Panduan lapangan amfibi Hulu Belantikan. Yayasan Orangutan Indonesia. Pustaka Yayorin.

Meijaard, E., D. Sheil, R. Nasi, D. Augeri, B. Rosenbaum, D. Iskandar, T. Setyawati, M. Lammertink, I. Rachmatika, A. Wong, T. Soehartono, S. Stanley & T. O’Brien. 2005. Life after logging. Reconciling wildlife conservation and pro-duction forestry in Indonesian Borneo. CIFOR, Bogor, Indo-nesia.

Veith, M, S. Wulffraat, J. Kosuch, G. Hallmann, H.W. Hen-kel, P. Sound, Samsu, L. Rudhimanto & D. Iskandar. 2004. Amphibians of the Kayan Mentarang National Park (East Kalimantan, Indonesia): estimating overall and local spe-cies richness. Tropical Zoology 17: 1-13.

Gambar 3. Habitat kodok I. biporcatus di areal kebun sawit PT. MSM (Foto: H. Kurniati).

Page 8: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

8 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Mengenal Keanekaragaman Herpetofauna di Batang Merangin,

Taman Nasional Kerinci Seblat Dalam Kebersamaan Surili 2011

Rika Sri Wahyuni

Kelompok Pemerhati Herpetofauta “Phyton”

Himakova—Fakultas Kehutanan IPB

Kegiatan ini merupakan salah satu program kerja

unggulan dari HIMAKOVA yang disebut Studi Konservasi

Lingkungan atau biasa disebut SURILI. SURILI 2011 di-

laksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS)

Jambi. Delapan Kelompok Pemerhati (KP) yang terdapat

di Himpunan Mahsiswa Konservasi Sumberdaya Hutan &

Ekowisata (Himakova) menyebar di 4 Resort TNKS yaitu

resort Gunung tujuh, Batang Merangin, Gunung Kerinci

dan Bukit Tapan. Kelompok Herpetofauna ‘PYTHON’

sendiri ditempatkan di Resort Batang Merangin Muara

Hemat.

Kegiatan surili sendiri dimulai pada tanggal 26

Juli 2011 yang diawali dengan perjalann dari Bogor

menuju Kota Sungai Penuh. Lima hari pertama diguna-

kan dalam perjalanan, persentasi rencana kegiatan pada

pihak Taman Nasional serta persiapan segala macam

kebutuhan dilapang.

Kegiatan eksplorasi keanekaragaman herpeto-

fauna dibatang merangin berlangsung dari tanggal 31 Juli

hingga 9 Agustus 2011. Tim KPH berjumlah 10 orang

dengan komposisi 7 orang laki-laki dan 3 orang perem-

puan serta Bapak Polhut (Pak Gio dan Babeh) dan Pak

Ndin yang selalu menemani dan menjaga kami selama

kegiatan dilapang. Bulan Puasa tidak menghalangi kami

dalam melakukan kegiatan ini, malahan meningkatkan

kebersamaan dalam proses belajar mengenal keane-

karagaman herpetofauna di salah satu kawasan yang

telah ditetapkan sebagai Warisan Alam Dunia.

Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan habi-

tat asli dari Harimau Sumatra dan satwa liar lainnya. Babi

hutan, simpai dan biawak merupakan pemandangan bi-

asa setiap harinya disekitar resort. Selama kurang lebih

10 hari dilapang kami melakukan pengamatan di 6 lokasi

dengan 3 type habitat. Pada habitat akuatik pengamatan

dilakukan di Sungai Batu asah, Pulau Ular dan Sungai

Batang Merangin, sedangkan habitat semi akuatik di Hu-

tan Sapurak, Pulau Ular dan Hutan Alam semi akuatik,

dan habitat terrestrial dilakukan pengamatan di Jalan Lu-

rus muara hemat dan Hutan alam terrestrial. Dari lokasi-

lokasi tersebut hanya hutan alam yang termasuk kedalam

wilayah TNKS sedangkan sungai batang merangin meru-

pakan sungai perbatasan kawasan dan lokasi lainnya

Tim Surili 2011 dari KPH Himakova (kiri atas), Kondisi sungai di lokasi pengamatan di Sungai Batang Merangin (kanan atas). Foto:

KPH “Phyton” Himakova IPB

Page 9: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

9 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Mernyeberang sungai menggunakan tali (kiri). Foto KPH “Phyton” Himakova

Untuk mencapai kawasan Hutan alam dan hutan

Sapurak kami harus menyebrang sungai Batang Mer-

angin yang lebarnya mencapai 30 meter dengan arus

yang cukup deras. Disinilah uji tantangan bagi tim KPH,

Untuk menuju Hutan Sapurak tim harus menyebrangi

sungai dengan menggunakan tali dan katrol. Sedangkan

untuk mencapai hutan alam kami harus mnyebrangi sun-

gai secara langsung dengan bergandeng tangan agar

tidak terbawa arus. Berkat bantuan dari warga sekitar dan

Bapak Polhut kami dapat melaksanakan pengamatan

dengan selamat.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di tiga

tipe habitat yang ada di dalam dan sekitar kawasan Ta-

man Nasional Kerinci Sebelat, ditemukan 30 jenis herpe-

tofauna dari sepuluh famili. Dengan Komposisi amfibi 15

jenis dari 3 family, dan reptil 15 jenis dari 7 family (Tabel

1.).

Dari 30 jenis herpetofauna yang ditemukan jenis

amfibi yang paling melimpah adalah Bufo asper dan

Rana chalconata, jenis tersebut hampir ditemukan

disetiap type habitat. Sedangkan jenis reptil yang paling

melimpah adalah Bronchocella cristatella dan Cyrtodacty-

lus marmoratus

Dua ekor Python reticulatus ditemukan di pulau ular

dan di jalan lurus, namum python yang ditemukan di

pinggir jalan raya jalan lurus ditemukan dalam kondisi

mati karena luka di bagian ventral. Setelah pengamatan

dilapang, kegiatan dilanjutkan dengan pengolahan data

dan persentasi hasil sementara kepada pihak Taman Na-

sional di Sungai Penuh. Pada tanggal 14 Agustus tim

Himakova kembali menuju Bogor.

Kegiatan SURILI 2011 di Taman Nasional Kerinci

Seblat merupakan pengamalam berharga yang tak akan

terlupakan.

Famili Jenis Amfibi n Famili Jenis Reptil n

Bufonidae Bufo asper 21 Boidae Python reticulatus 2

Ansonia leptopus 1 Typhlopidae Typhlopidae sp 1

Ranide Rana chalconota 22

Colubridae Xenodermus javanicus 1

Rana hosii 7 Ptyas korros 1

Rana nicobariensis 3 Boiga dendrophila 1 Huia sumatrana 2 Agamidae Draco volans 2 Limnonectes crybetus 4 Draco sp 1 Limnonectes macrodon 1 Bronchocela cristatella 7

Limnonectes kuhlii 1 Gonocephalus chamaeleontinus 1

Fejervarya cancrivora 1 Gekkonidae Aeluroscalabotes felinus 1

Fejervarya limnocharis 3 Hemidactylus frenatus 1

Leptobrachium hasseltii 1 Cyrtordactylus marmoratus 7 Rhacophoridae

Polypedates leucomystax 1 Scincidae

Scincidae sp. 1 Polypedates macrotis 1 Eutrophis rudis 3

Rhacophorus nigropalmatus 1 Varanidae Varanus salvator 1

Tabel 1. Komposisi Herpetofauna di Batang Merangin TNKS selama pengamatan 31 Juli—9 Agustu 2011

Page 10: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

10 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

GALERI FOTO Ekspedisi di TN Kerinci Seblat

Surili KPH-Himakova, Fakultas Kehutanan IPB;

Pada bulan Juli - Agustus 2011, Kelompok Pemerhati Herpetofauna Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas

Kehutanan IPB melaksanakan ekspedisi tahunan ke Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Laporan perjalanan kegiatan ini

telah disajikan di halaman sebelumnya. Berikut disajikan beberapa foto yang tersimpan dari kegiatan ekpedisi ini yang dilakukan di

resor Merangin.

Atas kiri: Aeluroscalabotes felines; Atas kanan: Xenoder-mus javanicus; Tengah kiri: Python reticulatus; Tengah kanan: Bronchocela cristatella; Habitat sungai di Pulau Ular ( bawah kiri)

FOKA & (KPH PYTHON HIMAKOVA)

Page 11: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

11 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Rana chalconota

Polypedates macrotis

Bufo asper

Huia sumatrana

Rana nicobariensis

Page 12: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

12 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

MENGUNJUNGI PENANGKARAN

KURA-KURA DI KARAWANG

Page 13: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

13 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Indukan kura-kura brazil (Trichemys scripta)

berjemur di tengah kolam penangkaran di Kara-

wang Timur. Sementara itu ratusan lainnya

berada di dalam air dan menjulurkan lehernya

untuk mengambil udara. Foto: Mirza D. Kusrini

Pernahkah Anda melihat kura-kura

brazil (Trichemys scripta) kecil di-

jual di pasar atau di depan sekolah-

sekolah dan berpikir darimana asal-

nya? Walaupun disebut sebagai kura

-kura brazil, sebenarnya jenis ini bu-

kan berasal Brazil (lihat boks).

Populer sebagai hewan peliharaan,

hewan ini dulu memang diimpor,

namun kini kura-kura brazil yang

dijual di berbagai daerah di Indone-

sia kebanyakan berasal dari penang-

karan dari dalam negeri.

Praktek penangkaran kura-

kura maupun labi-labi secara komer-

sial baik untuk konsumsi makanan

maupun obat atau sebagai hewan

peliharaan kini banyak dikembang-

kan di beberapa negara. Pada be-

berapa tempat, praktek penangkaran

ini merupakan industri besar se-

hingga dalam bahasa Inggris diisti-

lahkan sebagai “farm” atau peterna-

kan. Jenis-jenis kura-kura yang ban-

yak ditangkarkan adalah Labi-labi

Cina Pelodicus sinensis untuk kon-

sumsi dan kura-kura Brazil

(Trachemys scripta elegans dan T. s.

scripta) untuk hewan peliharaan.

Produk yang dijual bisa berupa telur,

anakan maupun indukan. Cina meru-

pakan negara dengan jumlah

penangkaran kura-kura yang sangat

besar. Pada tahun 2008 saja ada

1499 penangkaran kura-kura yang

tercatat resmi pada otoritas terkait.

Diperkirakan jumlahnya sebenarnya

Foto dan tulisan: Mirza D. Kusrini

Page 14: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

14 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Di Indonesia, paling tidak tercatat dua peru-

sahaan yang menangkarkan kura-kura dalam jum-

lah besar yaitu PT Agrisatwa Alam Nusa yang me-

nagkarkan kura-kura brazil T. s. elegans dan yaitu

PT. Tarumfajar Pratama yang menangkarkan labi-

labi Cina P. sinensis.

Pada hari Jum’at tanggal 21 Oktober 2011

yang lalu Warta Herpetofauna mendapat undangan

dari APEKLI (Asosiasi Pengusaha Kura-kura dan

labi-labi Konsumsi Indonesia) untuk mengunjungi

kedua penangkaran yang terletak di Karawang.

Kunjungan dilakukan oleh Mirza D. Kusrini (MDK)

dan Arief Tajalli didampingi oleh Bpk. Maraden

Purba dari APEKLI, Pak. Herianto (CV Bali Foul-

try anggota APEKLI ) dan bapak Li Xiao Ming,

penasehat teknis dari PT Tarumfajar Pratama dan

PT Agrisatwa Alam Nusa.

Kunjungan berawal dari penangkaran kura-

kura Brazil di Karawang Timur. Pada areal seluas

18 hektar, hampir 80% ditutup oleh kolam-kolam

beraneka ukuran yang terpisah mulai dari kolam

indukan sampai kolam tukik. Kolam induk dileng-

kapi dengan tempat berjemur di tengah kolam dan

area bertelur. Setiap sore, telur-telur akan diambil

oleh pekerja dan dipindahkan ke ruang khusus sam-

pai menetas. Setelah menetas, tukik akan dipin-

dahkan ke kolam khusus, dimana tukik yang sakit

akan dipisahkan untuk perawatan. Diawali dengan

uji coba sejak tahun 2008 dengan beberapa indukan

yang diimpor, produksi T. scripta saat ini adalah

200.000/ tahun dengan proyeksi ke depan mencapai

1 juta ekor/tahun. Bisa dikatakan, saat ini peredaran

kura-kura Brazil di dalam negeri berasal dari

penangkaran ini.

Kunjungan dilanjutkan untuk melihat penang-

karan P. sinensis. Labi-labi cina merupakan jenis yang

paling umum diternakkan untuk keperluan konsumsi.

Sejarah penangkaran P. sinensis dimulai dari Jepang

pada awal abad 20. Di Cina sendiri sekitar 97% perda-

gangan kura-kura dari penangkaran yang dilaporkan

adalah jenis P sinensis. Penangkaran P. sinensis oleh

PT Tarumfajar Pratama sudah berlangsung sekitar 15

tahun. Saat ini produksi utamanya adalah telur yang

diekspor terutama ke Korea Selatan, dengan jumlah

sekitar 3 kuintal telur/minggu.

Gambar dari kiri atas searah jarum jam: Telur labi-labi Cina yang siap untuk dikemas; lab-labi Cina bertelur di rumah pasir yang sudah

disediakan; Mr. Li Xiao Ming menjelaskan pengembangan penangkaran dengan antusias; kolam kura-kura brazil. Foto: Mirza D. Kusrini

Page 15: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

15 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Saat ini Indonesia mendapat sorotan cukup

tajam atas perdagangan kura-kura terutama jenis-

jenis yang diperdagangkan dalam jumlah besar

seperti misalnya labi-labi Amyda cartilagenea dan

kura-kura Ambon Coura amboinensis. Berbagai

keraguan atas populasi kura-kura Indonesia harus-

nya dapat dijawab melalui monitoring populasi di

alam. Selain itu, perlu dilakukan juga upaya

penangkaran, baik untuk mengurangi tekanan pema-

nenan dari alam maupun untuk kepentingan konser-

vasi jenis.

Saat ini upaya penangkaran jenis-jenis Indo-

nesia telah dilakukan oleh beberapa pengusaha

eksportir reptil. Adalah PT Alam Nusantara

Jayatama (PT Alnusa) yang dikenal sebagai salah

satu perusahaan eksporter hewan peliharaan yang

aktif melakukan usaha budidaya berbagai kura-kura

asli Indonesia untuk kepentingan hewan peliharaan.

Sementara itu, upaya penangkaran untuk jenis-jenis

yang dikonsumsi baru pada tahap ujicoba seperti

yang dilakukan oleh pengusaha yang tergabung

pada APEKLI.

Sebagai contoh pada areal penangkaran PT

Tarumfajar Pratama kini telah disiapkan 4 areal ko-

lam untuk Penangkaran labi-labi Amyda cartilage-

nea yang dilakukan oleh CV Bali Foultry. Selain

itu, juga dilakukan ujicoba Penangkaran C. amboin-

ensis pada satu kolam yang rencananya akan

dikembangkan oleh PT Agrisatwa Alam Nusa. Sam-

pai saat ini keberhasilan ujicoba telah menunjukkan

hasil memuaskan untuk A. cartilagenea dan C. am-

boinensis yang ditandai dengan adanya telur dan

anakan. Oleh karena itu, mulai tahun 2012 direnca-

nakan pengembangan penangkaran lebih lanjut. Se-

lain dua jenis ini, ujicoba penangkaran juga dilaku-

kan untuk jenis lain baik dari luar negeri maupun

dalam negeri. Namun demikian keberhasilan jenis

lainnya belum menunjukkan hasil memuaskan.

Menurut Pak Purba, selama ini perhatian

kepada kura-kura di Indonesia sangat kurang. Oleh

karena itu upaya penangkaran yang dilakukan meru-

pakan salah satu program yang diusung oleh

APEKLI agar dapat membantu konservasi kura-

kura di Indonesia terutama untuk jenis-jenis yang

endemik maupun banyak dipanen untuk berbagai

kepentingan. Selain itu, upaya penangkaran bisa

menjadi salah satu wadah untuk penelitian dan pen-

didikan mengenai kura-kura. Dukungan para pen-

gusaha ini antara lain telah ditunjukkan oleh PT Al-

nusa melalui program pelepasliaran Chelonida

mccordii dari hasil penangkaran ke habitat asalnya

di Pulau Rote pada tahun 2009.

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu

keraguan mengenai usaha penangkaran kura-kura

adalah biaya operasional yang relatif tinggi diban-

dingkan dengan penangkapan dari alam. Inilah yang

membuat APEKLI mencoba mengembangkan

penangkaran kura-kura Indonesia dengan cara

bekerja sama dengan pengusaha penangkar yang

sudah berhasil sehingga terdapat subsidi silang di-

mana biaya ditekan karena menggunakan fasilitas

yang sama. Sebagai contoh, dari perbincangan

diketahui bahwa biaya operasional labi-labi Cina

lebih dari Rp 100 juta/bulan. Oleh karena itu

pengembangan labi-labi A. cartilagenea oleh peru-

sahaan yang telah berusaha di bidang penangkaran

labi-labi Cina diharapkan tidak akan menambah

biaya lebih banyak karena menggunakan fasilitas

maupun tenaga kerja yang telah ada.

Sumber:

Mitsukuri K. 1906. "The cultivation of marine and

fresh-water animals in Japan", in Rogers, Howard

Jason, Congress of arts and science: Universal ex-

position, St. Louis, 1904, Houghton, Mifflin and

company, pp. 694–732.

Timor Express. 2009. Pelepasan Kura-kura Rote

oleh Menhut. Chelodina Mccordi Pulang Kampung.

Berita 17 Juli 2009. Diakses pada tanggal 24 Okto-

ber 2011 dari http://timorexpress.com/index.php/

index.php?act=news&nid=34205

Shi H, Parham JF, Fan Z, Hong M, Yin F. 2008.

Evidence for the massive scale of turtle farming in

China. Oryx 42: 147–150.

Shi H, Parham JF. 2000. "Preliminary Observations

of a Large Turtle Farm in Hainan Province, People's

Republic of China", Turtle and Tortoise Newsletter

3: 4–6.

PENANGKARAN: UPAYA MENUJU KEBERLANJUTAN POPULASI KURA-KURA INDONESIA

Mirza D. Kusrini

Page 16: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

16 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

1

2 3

4 5

6 7

PENANGKARAN KURA-KURA BRAZIL

Page 17: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

17 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Kura-kura kolam Trachemys scripta merupakan kura-kura semi akuatik berukuran menengah (dewasa panjang 12.5 to 28.9 cm) yang sangat umum. Jenis ini memiliki tiga subspecies dengan jenis paling populer adalah T. s. elegans atau kura-kura telinga merah (red-eared slider). Tukik kura-kura ini memiliki karapas berwarna hijau dan kulit kuning kehijauan dan garis hijau. Tanda-tanda dan warna hijau ini akan hilang saat dewasa menjadi abu kehijauan, beberapa bahkan menjadi kehitaman dengan sedikit bercak. Karapas oval dan datar, bagian bawah berwarna kuning dengan bercak gelap. Jantan memiliki cakar yang lebih panjang yang berfungsi untuk memegang betina saat kawin. Dikenal dengan nama kura-kura Brazil di Indonesia, sebenarnya kura-kura ini bukan berasal dari Brazil. Kura-kura ini aslinya berasal dari Amerika Serikat bagian timur dan tengah. Penyebaran asli ke-3 subspesies adalah sebagai berikut:

T.s. scripta: Dari Virginia Selatan ke Florida Utara T.s. elegans: Alabama sampai Meksiko timur laut sampai ke Cuatro Cienegas. T.s. troostii: Virginia barat daya sampai Alabama timur laut (bagian barat dari pegunungan Appalachian).

Kura-kura ini sangat populer sebagai hewan peliharaan sehingga diimpor ke berbagai negara di belahan dunia mulai dari Eropa (Perancis, Jerman, Yunani, Italia, Belanda, Spanyol, Swiss), Asia (Kamboja, Jepang, Cina, Indonesia, Taiwan, Thailand), Amerika Utara ( Kanada) bahkan sampai ke Israel dan Afika Selatan. Popularitas kura-kura ini sebagai hewan peliharaan sayangnya tidak dibarengi dengan kesadaran dan tanggungjawab pemilik hewan untuk mencegah hewan ini masuk ke habitat alam. Dibanyak tempat, populasi lepasan kura-kura ini menjadi ancaman bagi kura-kura asli melalui kompetisi maupun predasi. Tak heran

Trachemys scripta elegans lalu masuk kedalam 100 Daftar Hewan Invasif Terburuk pada IUCN/SSC Invasive Species Specialist Group. Di beberapa negara, populasi kura-kura brazil di alam dimusnahkan. Uni Eropa, sebagai contoh telah melarang impor kura-kura T. s. elegans karena hewan ini dianggap menjadi jenis invasif, namun demkian subspecies lainnya masih diperbolehkan. Mengingat jenis ini telah masuk ke Indonesia dan ditangkarkan dalam jumlah besar, perlu ada pendidikan bagi konsumen mengenai penanganan kura-kura bila pemilik bosan dengan hewan peliharaan. Pelepasan ke alam harus dihindarkan untuk mencegah jenis ini menjadi pesaing bagi jenis asli ataupun mengganggu kesimbangan ekologi ekosistem perairan. Diperlukan adanya monitoring dan penelitian mengenai penyebaran dan dampak ekologi dari populasi feral. Sebagai contoh, di Telaga Biru. TN Gunung Gede pangrango, Jawa Barat penulis beberapa kali melihat jenis ini berjemur. Disarankan agar keberadaan jenis ini di kawasan konservasi dipantau, dan bila perlu dihilangkan sebelum mengganggu keseimbangan ekosistem.

Sumber: Dewey T, Kuhrt T. 2002. "Trachemys scripta" (On-line), Animal Diversity Web. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 pada http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Trachemys_scripta.html. Rhodin AGJ, van Dijk PP, Inverson JB, Shaffer HB. 2010. Turtles of the World 2010 Update: Annotated Checklist of Taxonomy, Synonymy, Distribution and Conservation Status). Chelonian research Monographs 5: 85-163. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2011 pada http://w w w . e v e . u c d a v i s . e d u / s h a f f e r l a b / p u b s /TTWGChelResMono2010.pdf. van Dijk PP, Harding J, Hammerson GA. 2010. Trachemys scripta. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.1. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 pada http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/22028/0

Kura-kura Brazil

Trachemys scripta

Gambar 1: Kura-kura brazil dewasa betina yang telah kawin akan naik ke sisi kolam untuk bertelur

(biasanya malam). Gambar 2: Telur yang terkubur di tanah akan digali oleh pekerja setiap siang

Gambar 3 dan 4: Telur-telur dari tanah yang telah digali akan diambil dan jumlah telur yang

diperoleh dicatat. Telur lalu dibawa dalam ember. Gambar 5: Telur dipindahkan ke dalam kotak

penetasan di dalam ruangan khusus. Gambar 6: Begitu telur menetas, kotak dipindahkan ke ruan-

gan lain dan disatukan dengan telur-telur yang siap menetas sehingga mudah dipantau. Gambar 7.

Tukik kura-kura Brazil kemudian dipindahkan ke kolam anakan dan siap untuk dijual. Foto: MDK

Page 18: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

18 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

609 Pig-nosed turtles (Carettochelys insculpta) were successfully released into the Maro River in Indone-sian Papua on 7

th October. The release involved full partici-

pation by the local villagers from the nearby village of Bupul which is on the border of Papua New Guinea. The village head and most of the school children released a turtle into the river after a sermon was provided by the village pastor. The theme of the sermon related to protection and under-standing of the environment and sustainable use of re-

sources. The village head who was familiar with the local fauna, last saw a wild pig-nosed turtle in the river 30 years previously and there was a hope that this release of juve-nile turtles would see the return of this species to the area. The people of Bupul and two other villages down river have vowed to protect the turtles and also provide the local Forestry Officers updates if they come across pig-nosed turtles in the river. The whole repatriation operation has been considered a success in many ways and not least through the partner-ships and collaborations that have developed between the Hong Kong and Indonesian Governments, Conserva-tion NGOs, commercial airlines and the village of Bupul, all with a joint desire to correct some of the damage which over-exploitation of our natural resources has caused and see a once common turtle species return to this stretch of the Maro river. The repatriation project has been successfully con-ducted by generous assistance of various organizations and individuals, in particular HKSAR Government’s AFCD, the KKH and BKSDA of the Indonesian Government, WCS Indonesia, Cathay Pacific Airways and the villagers of Bupul.

The Pig-nosed Turtle re-

patriation project

Gary Ades (Kadoorie Farm– Hong Kong)

Pictures Top: arrival of pig-nosed turtles from Hong Kong; Left: Turtles are carried to the river; Right: The Head of the Forestry Office in Merauke releases the first turtle into a holding net

Gambar Atas: Kedatangan kura-kura moncong babi; Kiri: Kura-kura dibawa ke sungai; Kanan: Kepala Dinas Kehutanan Merauke melepaskan kura-kura pertama ke jarring sementara

Page 19: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

19 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Sebanyak 609 kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) telah sukses dilepas di Sungai Maro di Provinsi Papua pada tanggal 7 Oktober yang lalu. Pelepasan ini mengikutsertakan partisipasi penuh dari pen-duduk lokal dari desa di dekatnya yaitu Bupul, yang meru-pakan perbatasan dengan Papua Nugini. Kepala desa dan hampir semua anak-anak sekolah melepaskan kura-kura ke sungai setelah pembacaan khotbah oleh pastor desa. Tema khotbah berhubungan dengan perlindungan dan pe-mahaman akan lingkungan serta pemanfaatan berkelanju-tan dari sumberdaya. Kepala desa yang sangat mengeali fauna lokal mengatakan bahwa kura-kura moncong babi terakhir di sungai ini dilihatnya 30 tahun yang lalu dan ada harapan pelepasan tukik kura-kura akan mengembalikan jenis ini ke daerahnya. Masyarakat Bupul dan dua desa lainnya telah ber-sumpah untuk melindungi kura-kura dan juga akan mem-

berikan laporan kemajuan kepada petugas Dinas Kehu-tanan jika mereka melihat kura-kura ini di sungai. Secara keseluruhan operasi pengembalian diang-gap sukses dalam berbagai hal, antara lain melalui ker-jasama dan kolaborasi yang telah terbentuk antara pemer-intah Hong Kong dan Indonesian Governments, LSM Kon-servasi, perusahaan penerbangan internasional dan desa Bupul, dimana semuanya memiliki keinginan sama untuk memperbaikan kerusakan akibat eksploitasi berlebih dari sumberdaya alam kita dan melihat kembali keberadaan jeni sini yang dulunya umum, pada daerah aliran sungai Maro. Keberhasilan proyek pengembalian didukung oleh bantuan dari berbagai organisasi dan individu, antara lain AFCD Pemerintah HKSAR, KKH dan BKSDA (Pemerintah RI), WCS Indonesia, Cathay Pacific Airways dan masyara-kat Bupul.

Pictures Left: Karmele from international animal Rescue tells local children about the story ; Right: The Release

Kiri: Karmele dari IAR menjelaskan kepada anak-anak cerita tentang kura-kura moncong babi; Kalan: pelepasan ura-kura

Sekilas latar Belakang pelepasan Kura-kura Moncong Babi dari Hong Kong Pada tanggal 13 Januari 2011, 786 kura-kura moncong babi berukuran 7-9 cm disita oleh Pemerintah Hong Kong sebagai barang selundupan dari Jakarta menuju Cina Selatan. Kura-kura ini berada dalam 35 buah boks stryfoam yang bertulisan sebagai ikan tropis. Pemerintah Hong Kong bekerjasama dengan Kadoorie Farm memutuskan untuk mengembalikan kura-kura ini. Serang-kaian pembicaran dilakukan dengan pemerintah Republik Indonesia, dibantu oleh International Animal Rescue Indonesia. Bila sam-pai Oktober rencana pemulangan tidak berjalan, maka kura-kura akan dibunuh. Hal ini disebabkan kondisi cuaca yang mulai dingin sehingga kura-kura menjadi sakit, selain itu dibutuhkan ruang lebih banyak akibat pertumbuhan kura-kura. Pemerintah RI menyambut baik rencana pemulangan ini, persiapan dilakukan melalui rapat-rapat di KKH maupun komuni-kasi melalui email. Masalah yang menjadi diskusi adalah rencana awal dari pihak Kadorrie Farm untuk melepaskan hewan ini di TN Wasur. Serangkaian disuksi (termasuk melalui milis [email protected]) tidak menyarankan pe-lepasan hewan ini di TN Wasur mengingat habitatnya yang kurang sesuai. Akhirnya, kura-kura dilepaskan di Sungai Maro. Pelepasan kura-kura moncong babi sebenarnya sudah pernah dilaksanakan oleh pemerintah RI beberapa kali dari hasil

sitaan sebelum diekspor. Laporan dari Balai Besar KSDA Papua menunjukkan bahwa ribuan kura-kura moncong babi dilepas sejak

tahun 2009. (MDK)

Tahun Jumlah (ekor) Lokasi Status Tindakan Mitra

2009 12.247 Merauke DPO Lepas liar Freeport

2010 464 Merauke DPO Lepas liar

2010 10.980 Timika Vonis 1,5 than di Mimika Lepas liar Freeport

2011 (sktr Maret) 744 Merauke Dalam proses Lepas liar

Tabel Jumlah kura-kura moncong babi yang telah dilepaskan oleh BBKSDA Papua. Sumber: presentasi Kepala

Balai Besar KSDA Papua Drs. IGNN Sutedja, MM pada rapat tanggal 23 September 2011

Page 20: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

20 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Katak sebenarnya bukan hewan yang cukup

dicintai di Indonesia. Jangankan dicintai, dikenalpun ham-

pir tidak. Dengan banyaknya satwaliar, katak jarang ma-

suk ke dalam prioritas para peneliti dan konservasi satwa

liar Indonesia. Rupanya yang kecil, hidupnya yang keban-

yakan aktif malam serta cenderung bersembunyi – belum

lagi kulitnya yang licin berlendir serta beberapa kasar

membuat katak bukan hewan yang mudah untuk dicintai.

Berbeda dengan satwa besar lainnya yang kharismatis

seperti Badak, Gajah, Orangutan maupun Harimau, atau-

pun atraktif dan akrab dalam budaya seperti berbagai

jenis burung. Tak heran, untuk Indonesia yang kini ter-

catat memiliki lebih dari 350 spesies amfibi, tidak ada

satupun lembaga penggiat konservasi satwaliar di Indo-

nesia yang mengurusi katak. Bandingkan dengan orang-

utan yang hanya dua spesies namun jumlah LSM yang

menangani bisa sampai puluhan!

Dalam pendidikan katak dikenal cukup baik. Con-

toh yang digunakan dalam pelajaran metamorfosis di SD

pastilah katak dan kupu-kupu. Ini membuat seakan-akan

semua katak pasti bermetamorfosis, bermula dari berudu

yang serupa ikan berinsang hidup di air lalu berubah

menjadi katak dewasa berkaki empat dengan paru-paru

untuk bernafas dan hidup di darat. Padahal katak pohon

mungil Philautus sp saat menetas dari telur sudah ber-

bentuk persis seperti dewasa, alias tidak melalui tahapan

metamorfosis. Ada juga katak yang tidak punya paru-

paru, bernafas lewat kulit, yaitu Barbourula kalimantanen-

sis yang membuat katak ini tidak tahan lama hidup diluar

air.

Beberapa tahun terakhir, penelitian menunjukkan

bahwa pada tahap telur dan berudu amfibi sangat sensitif

terhadap kerusakan lingkungan, terutama pencemaran

air. Oleh karena itu, amfibi menjadi indikator biologis yang

penting, dimana adanya perubahan pada morfologi mau-

pun populasi menjadi ukuran kesehatan lingkungan di

sekitarnya.

Dalam jejaring makan, katak termasuk karnivora

dengan makanan utama berbagai jenis serangga dan

invertebrata lainnya (labah-labah, siput). Tak heran,

fungsi katak sebagai predator hama serangga kerap

didengungkan para pecinta lingkungan untuk menyadar-

kan masyarakat akan pentingnya katak di alam.

Dalam jajaran kuliner manusia, katak sebenarnya

cukup akrab. Swikee, olahan kaki katak bisa ditemui den-

gan mudah di rumah makan tertentu, atau bahkan di wa-

rung-warung pinggir jalan di Purwodadi. Tak banyak yang

tahu bahwa Indonesia adalah pengekspor paling besar di

dunia untuk kaki katak beku yang sebagian besar dikirim

ke Eropa. Menurut perhitungan sekitar 5,5 juta ton

dikirim per tahun atau setara dengan 400 juta katak. Jum-

lah yang banyak ini tak pelak membuat Indonesia men-

jadi sorotan pemerhati konservasi satwa di luar negeri

yang menganggap katak Indonesia akan punah bila jum-

lah yang dipanen tidak berkurang. Walaupun demikian,

hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ka-

tak yang dipanen berasal dari sawah dan merupakan

jenis-jenis yang diuntungkan dari keberadaan sawah. Sa-

wah bukan habitat yang menyenangkan dan katak sawah

memanfaatkan sedikitnya saingan untuk hidup nyaman

dengan anakan yang sangat banyak serta kawin setiap

waktu. Jadi, hitungan panenan yang fantastis ini masih

relatif aman untuk populasi katak sawah di Indonesia.

Fungsi katak bagi manusia juga terkait ke-

hidupan. Katak merupakan salah satu hewan percobaan

yang banyak digunakan dalam penelitian maupun prakti-

kum di laboratorium untuk kepentingan medis. Tahun

1939 Hogben memperkenalkan uji kehamilan meng-

gunakan katak Xenopus laevis dari Afrika Selatan. Den-

gan ditemukannya metode yang lebih maju dan mudah,

tes ini kemudian ditinggalkan mulai tahun 1960-an.

Sayangnya penggunaan katak ini yang diekspor ke ber-

bagai laboratorium di seluruh dunia dianggap sebagai

salah satu sumber menyebarnya jamur Batrachochytrium

dendrobatis (Bd). Gelombang kepunahan katak di seluruh

dunia dalam satu dekade terakhir disinyalir diakibatkan

oleh jamur ini. Beberapa jenis yang berhasil selamat

diketahui memiliki senyawa aktif biologi pada kulit yang

dapat melawan Bd dan ternyata dapat dikembangkan

sebagai obat-obatan bagi manusia.

MENCINTAI KATAK, MENCINTAI

KEHIDUPAN Mirza D. Kusrini

Page 21: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

21 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Katak api Leptophryne cruentata merupakan katak

endemik di Indonesia. Katak kecil yang memiliki bercak

merah dan kuning pada kulitnya (alasan disebut katak api)

hidup di sekitar air terjun di dataran tinggi. Di habitat uta-

manya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, jenis

ini melimpah di tahun 1960an namun dianggap hilang akhir

tahun 1990an. Penelitian intensif oleh tim peneliti dari Insti-

tut Pertanian Bogor menemukan kembali katak ini tahun

2003 dan populasinya walaupun masih rendah dibanding

tahun 1960an dianggap stabil. Salah satu dugaan turunnya

populasi katak api adalah keberadaan penyakit chytridio-

mycosis. Alih-alih punah, katak ini berhasil pulih. Oleh

karena itu, patut diapreasiasi keputusan pemerintah RI

menjadikan katak api menjadi satwa nasional 2011 karena

dengan mencintai katak berarti mencintai kehidupan.

Sumber tulisan:

Bickford, D., D. Iskandar and A. Barlian. 2008. A lungless

frog discovered on borneo. Current Biology 18(9):

R374–R375. DOI: 10.1016/j.cub.2008.03.010.

Callery, E. M., H. Fang and R. P. Elinson. 2001. Frogs

without polliwogs: Evolution of anuran direct develop-

ment. BioEssays 23: 233-241.

Gurdon, J. B. and N. Hopwood. 2000. The introduction of

xenopus laevis into developmental biology: Of empire,

pregnancy testing and ribosomal genes. Int. J. Dev.

Biol. 44: 43-50.

Iskandar, D. T. 1998. Amfibi jawa dan bali. 1. Puslitbang

Biologi-LIPI. Bogor132. pp.

Kusrini, M. D. 2005. Edible frog harvesting in indonesia:

Evaluating its impact and ecological context. PhD the-

sis. School of Tropical Biology, James Cook University,

Towsnville. 239 pp.

Kusrini, M. D. and R. A. Alford. 2006. Indonesia’s exports

of frogs’ legs. Traffic Bull. 21(1): 13-24.

Kusrini, M. D., M. Yazid and A. U. Ul-Hasanah. 2008.

Population of the bleeding toad leptophryne cruentata:

Decline and conservation threats. Joint meeting of the

3rd International Meeting on Asian Zoo/Wildlife Medi-

cine and Conservation (AZWMC 2008) & 10th National

Veterinary Scientific Conference of Indonesian Veteri-

nary Medical Association (KIVNAS X PDHI 2008), Bo-

gor. Halaman 119-121

Kusrini, M. D., L. Skerratt, L. Berger, S. Garland and W.

Endarwin. 2008. Chytridiomycosis in frogs of mount

gede-pangrango, indonesia. Diseases of Aquatic Or-

ganisms 82: 187–194.

Liem, D. S. S. 1971. The frogs and toads of tjibodas na-

tional park mt. Gede, java, indonesia. The Philippine

Journal of Science 100(2): 131-161.

Linder, G., S. K. Krest and D. W. Sparling. 2003. Amphib-

ian decline: An integrated analysis of multiple stressor

effects. Society of Environmental Toxicology and

Chemistry (SETAC). Pensacola, FL, USA368. pp.

Skerratt, L. F., L. Berger, R. Speare, S. Cashins, K. R.

McDonald, A. D. Phillott, H. B. Hines and N. Kenyon.

2007. Spread of chytridiomycosis has caused the rapid

global decline and extinction of frogs. EcoHealth 4: 125

–134.

Warkentin, I. G., D. Bickford, N. S. Sodhi and C. J. A. Brad-

shaw. 2009. Eating frogs to extinction. Conservation

Biology 23(4): 1056-1059.

Woodhams, D. C., K. Ardipradja, R. A. Alford, G. Maran-

telli, L. K. Reinert and L. A. Rollins-Smith. 2007. Resis-

tance to chytridiomycosis varies among amphibian spe-

cies and is correlated with skin peptide defenses. Ani-

mal Conservation 10(2007): 409–417.

Murid SMA mengamati katak serasah saat kegiatan Frog

Camp tahun 2006 di Jawa Barat

Page 22: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

22 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

SI CANTIK ULAR SANCA HIJAU (Morelia viridis)

DARI SURGA EKSOTIS KEPULAUAN ARU, INDONESIA

Fatwa Nirza Susanti

(Anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna HIMAKOVA IPB)

Kepulauan Aru adalah salah satu ka-

bupaten baru hasil pemekaran Kabu-

paten Maluku Tenggara. Kabupaten baru

yang menjadi salah satu kabupaten ke-

banggaan Maluku ini, memiliki luas sekitar

54.395 Km² dan terdiri atas 187 pulau (89

berpenghuni dan 98 pulau tak berpen-

ghuni). Kabupaten Kepulauan Aru ini juga

sering kali disebut sebagai “wilayah laut

pulau” karena berbatasan langsung den-

gan Papua Barat, Laut Arafura, Laut Aus-

tralia dan pulau Kei Besar. Kepulauan Aru

ini secara astronomi juga dinobatkan

menjadi “Beranda Depan Negara”

karena terletak di perbatasan atas NKRI

(Badan Penanaman Modal Daerah

Provinsi Maluku 2006).

Ular sanca hijau (Morelia viridis)

adalah salah satu spesies reptile yang

hidup di kepulauan ini, dan tentunya

menjadi salah satu lambang

“keeksotisan” bagi kepulauan ini.

Ular ini memiliki morfologi yang san-

gat menarik dan berbeda dari jenis ular

lainnya. Warna tubuhnya yang umumnya

berwarna hijau terang dan dihiasi oleh

beberapa bintik putih yang dimiliki oleh

individu dewasa menimbulkan kesan unik

yang tajam. Keunikan yang dimiliki ular ini

tidak sampai disitu saja, ular ini memiliki

warna yang berbeda ketika masih dalam

fase anakan (juvenile). Fase anakan ular

ini ada dua tipe yaitu, berwarna kuning

lemon cerah dengan garis kecoklatan

serta bintik gelap dan berwarna merah

darah dengan bintik putih yang menghi-

asi seluruh bagian tubuhnya. Warna

kuning atau merah ini akan memudar

dengan sendirinya saat ular memasuki

fase remaja, kemudian digantikan den-

gan warna hijau cerah yang menawan.

Keunikan yang dimiliki oleh ular

sanca hijau ini begitu memikat para pe-

cinta reptil, khususnya pecinta jenis ular

eksotik. Tak jarang banyak pemburu yang

mengambil jenis ini langsung dari alam

kemudian dijual untuk memenuhi permin-

taan para pecintanya yang tak sabar un-

tuk segera menikmati keeksotisan dan ke-

cantikannya. Tindakan ini tentu sangat

Page 23: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

23 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

membahayakan populasi ular sanca hi-

jau di Kepulauan Aru. Ular sanca hijau

sekarang tergolong dalam golongan spe-

sies Appendix II dalam daftar CITES.

Si cantik ini punah ? Tentunya tidak

ada yang ingin hal itu terjadi. Oleh

karena itu ular sanca hijau yang berada

di alam tidak boleh ditangkap dengan

tujuan komersil. Kegiatan penangkaran

adalah usaha yang tepat untuk me-

lestarikan satwa ini dan menjadi jawa-

ban untuk menjawab keinginan para pe-

cinta ular untuk memiliki jenis ini. Si ular

cantik ini harus tetap terjaga eksistens-

inya di Kepulauan Aru untuk tetap men-

jaga “label” eksotis yang melekat pada

wilayah ini. Tak ada si cantik, maka tiada

pula si eksotis Kepulauan Aru.

Referensi :

Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Maluku. 2006.

Kab. Kepulauan Aru. http//:http://www.bkpmd-

maluku.com/indonesia/index.php?

option=com_content&task=section&id=17&Itemid=68

[diakses tanggal 12 Mei 2011 pukul 23.35]

Page 24: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

24 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

PUSTAKA PERILAKU ULAR

TAHUN 1997 - 2005 Tidak banyak peneliti yang mengkhususkan diri pada ular, atau minimal fokus utama penelitian pada ular.

Dibawah ini disajikan daftar publikasi yang berhubungan dengan prerilaku ular. Sekitar 70% dari publikasi

yang tercatat pada database milik MDK ditulis oleh Rick Shine, professor Evolutionary Biology pada University

of Sydney, Australia. Publikasi Rick Shine dari tahun 2003—2011 bisa dilihat pada http://sydney.edu.au/

science/biology/shine/publications/. Banyak dari publikasi yang ada pada webistenya bisa didownload se-

cara utuh.

Aubret, F., X. Bonnet, R. Shine and S. P. Maumelat. 2005.

Energy expenditure for parental care may be trivial for

brooding pythons, Python regius. Animal Behaviour 69:

1043-1053.

Aubret, F., X. Bonnet, D. Pearson and R. Shine. 2005. How

can blind tiger snakes (Notechis scutatus) forage suc-

cessfully? Australian Journal of Zoology 53: 283-288.

Bertona, M. and M. Chiaraviglio. 2003. Reproductive biol-

ogy, mating aggregations, and sexual dimorphism of

the argentine boa constrictor (boa constrictor occiden-

talis). Journal of Herpetology 37(3): 510-516.

Bonnet, X., D. Bradshaw, R. Shine and D. Pearson. 1999.

Why do snakes have eyes? The (non-)effect of blind-

ness in island tiger snakes (Notechis scutatus). Behav

Ecol Sociobiol 46: 267-272.

Isaac, L. A. and P. T. Gregory. 2004. Thermoregulatory

behaviour of gravid and non-gravid female grass

snakes (Natrix natrix) in a thermally limiting high-

latitude environment. J. Zool., Lond. 264: 403–409.

Kardong, K. V., T. L. Kienne and E. K. Johnson. 1997.

Proximate factors affecting the predatory behaviour of

the red spitting cobra, Naja mossambica pallida. Jour-

nal of Herpetology 31(1): 66-71.

Kustiarto, H. A., A. Priyono and L. N. Ginoga. 2003. Per-

tumbuhan dan perilaku makan ular sanca hijau

(Chondropython viridis) di kandang penangkaran.In: M.

D. Kusrini, A. Mardiastuti and T. Harvey (eds) Konser-

vasi amfibi dan reptil di indonesia. Prosiding seminar

hasil penelitian departemen konservasi sumberdaya

hutan. Bogor 8 mei 2003. Bogor, Institut Pertanian Bo-

gor: 172-178 pp.

Llewelyn, J., R. Shine and J. K. Webb. 2006. Time of test-

ing affects locomotor performance in nocturnal versus

diurnal snakes. Journal of Thermal Biology 31(2006):

268-273.

Lourdais, O., R. Shine, X. Bonnet and F. Brischoux. 2006.

Sex differences in body composition, performance and

behaviour in the colombian rainbow boa (Epicrates

cenchria maurus, boidae). Journal of Zoology 269

(2006): 175-182.

Moore, I. T., M. P. Lemaster and R. T. Mason. 2000. Be-

havioural and hormonal responses to capture stress in

the male red-sided garter snake, Thamnophis sirtalis

parietalis. Animal Behaviour 59: 529–534.

Nilson, G., C. Andrén, Y. Ioannidis and M. Dimaki. 1999.

Ecology and conservation of the milos viper,

Macrovipera schweizeri (werner, 1935). Amphibia-

Reptilia 20: 355-375.

O’Donnell, R. P., N. B. Ford, R. Shine and R. T. Mason.

2004. Male red-sided garter snakes, Thamnophis sir-

talis parietalis, determine female mating status from

pheromone trails. Animal Behaviour 68: 677-683.

Pearson, D., R. Shine and A. Williams. 2003. Thermal biol-

ogy of large snakes in cool climates: A radio-telemetric

study of carpet pythons (Morelia spilota imbricata) in

south-western Australia. Journal of Thermal Biology 28

(2003): 117-131.

Pfrender, M., R. T. Mason, J. T. Wilmslow and R. SHINE.

2001. Thamnophis sirtalis parietalis (red-sided gar-

tersnake) male-male copulation. Herpetological Review

32(1): 52.

Phillips, B. L. and R. Shine. 2006. An invasive species in-

duces rapid adaptive change in a native predator: Cane

toads and black snakes in Australia. Proc. R. Soc. B

273: 1545-1550.

Shetty, S. and R. Shine. 2002. Activity patterns of yellow-

lipped sea kraits (Laticauda colubrina) on a Fijian is-

land. Copeia 2002(1): 77-85.

Shetty, S. and R. Shine. 2002. The mating system of yellow

-lipped sea kraits (Laticauda colubrina: Laticaudidae).

Page 25: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

25 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Herpetologica 58(2): 170-180.

Shine, R., M. M. Olsson, I. T. Moore, M. P. LeMaster and

R. T. Mason. 1999. Why do male snakes have longer

tails than females? Proc. R. Soc. Lond. B 266: 2147-

2151.

Shine, R., M. M. Olsson, M. P. Lemaster, I. T. Moore and

R. T. Mason. 2000. Effects of sex, body size, tempera-

ture and location on the antipredator tactics free-

ranging gartersnake (Thamnophis sirtalis, colubriade).

Behavioral Ecology 11(3): 239-245.

Shine, R., D. O'Connor and R. T. Mason. 2000. Female

mimicry in garter snakes: Behavioral tactics of "she-

male" and the males that court them. Can. J. Zool 78:

1391-1396.

Shine, R., M. M. Olsson, i. T. Moore, m. P. Lemaster, m.

Greene and r. T. Mason. 2000. Body size enhances

mating success in male garter snakes. Animal Behav-

iour 59: F4-F11.

Shine, R., M. M. Olsson and R. T. Mason. 2000. Chastity

belts in gartersnakes: The functional significance of

mating plugs. Biological Journal of the Linnean Society

70: 377–390.

Shine, R., D. O'Connor and R. T. Mason. 2000. The prob-

lem with courting a cylindrical object: How does an

amorous male snake determine which end is which?

Behaviour 137: 727-739.

Shine, R, P. Harlow, M. P. Lemaster, i. T. Moore and R. T.

Mason. 2000. The transvestite serpent: Why do male

garter snakes court (some) other males? Animal Be-

haviour 59: 349–359.

Shine, R., D. O’Connor, M. P. Lemaster and r. T. Mason.

2001. Pick on someone your own size: Ontogenetic

shifts in mate choice by male garter snakes result in

size-assortative mating. Animal Behaviour 61: 1133-

1141.

Shine, R. and S. Shetty. 2001. The influence of natural se-

lection and sexual selection on the tails of sea-snakes

(Laticauda colubrina). Biological Journal of the Linnean

Society 74: 121-129.

Shine, R., L.-X. Sun, M. Kearney and M. Fitzgerald. 2002.

Thermal correlates of foraging-site selection by chinese

pit-vipers (Gloydius shedaoensis, viperidae). Journal of

Thermal Biology 27: 405-412.

Shine, R., L.-X. Sun, m. Fitzgerald and M. Kearney. 2002.

Antipredator responses of free-ranging pit vipers

(Gloydius shedaoensis, viperidae). Copeia 2002(3):

843-850.

Shine, R. and S. Li-xin. 2002. Arboreal ambush site selec-

tion by pit-vipers Gloydius shedaoensis. Animal Behav-

iour 63(565-576).

Shine, R., L.-x. Sun, m. Fitzgerald and M. Kearney. 2002.

Accidental altruism in insular pit-vipers (Gloydius

shedaoensis, viperidae). Evolutionary Ecology 16: 541-

548.

Shine, R., B. Phillips, H. Waye, M. L. � and R. T. Mason.

2003. The lexicon of love: What cues cause size-

assortative courtship by male garter snakes? Behav

Ecol Sociobiol 53: 234-237.

Shine, R. 2003. Reproductive strategies in snakes. Proc. R.

Soc. Lond. B 270: 995-1004.

Shine, R., m. J. Elphick and E. G. Barrott. 2003. Sunny

side up: Lethally high, not low, nest temperatures may

prevent oviparous reptiles from reproducing at high

elevations. Biological Journal of the Linnean Society

78: 325-334.

Shine, R. and L.-X. Sun. 2003. Attack strategy of an am-

bush predator: Which attributes of the prey trigger a pit-

viper’s strike? Functional Ecology 17: 340–348.

Shine, R., t. Langkilde and R. T. Mason. 2003. Confusion

within ‘mating balls’ of garter snakes: Does misdirected

courtship impose selection on male tactics? Animal

Behaviour 66: 1011-1017.

Shine, R., T. Langkilde and R. T. Mason. 2003. The oppor-

tunistic serpent:Male garter snakes adjust courtship

tactics to mating opportunities. Behaviour 140: 1509-

1526.

Shine, R., T. Langkilde and R. T. Mason. 2004. Courtship

tactics in garter snakes: How do a male's morphology

and behavior influence his mating success? Animal

Behaviour 67: 477-483.

Shine, R., G. P. Brown and M. J. Elphick. 2004. Field ex-

periments on foraging in free-ranging water snakes

Enhydris polylepis (homalopsinae). Animal Behaviour

68: 1313-1324.

Shine, R., R. P. O’donnell, T. Langkilde, M. D. Wall and R.

T. Mason. 2005. Snakes in search of sex: The relation

between mate-locating ability and mating success in

male garter snakes. Animal Behaviour 69: 1251-1258.

Shine, R., T. Langkilde, M. WALL and R. T. MASON. 2005.

Alternative male mating tactics in garter snakes, Tham-

nophis sirtalis parietalis. Animal Behaviour 70: 387-

396.

Page 26: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

26 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Komodo, Evolusi, dan Tim Jessop

Shine, R., M. Wall, T. Langkilde and R. T. Mason. 2005.

Battle of the sexes: Forcibly inseminating male garter

snakes target courtship to more vulnerable females.

Animal Behaviour 70: 1133-1140.

Shine, R., J. K. Webb, A. Lane and R. T. Mason. 2005.

Mate location tactics in garter snakes: Effects of rival

males, interrupted trails and non-pheromonal cues.

Functional Ecology 19: 1017-1024.

Shine, R., T. Langkilde, M. Wall and R. T. Mason. 2006.

Temporal dynamics of emergence and dispersal of

garter snakes from a communal den in Manitoba.

Wildlife Research 33: 103-111.

Shine, R., J. K. Webb, A. Lane and R. T. Mason. 2006.

Flexible mate choice: A male snake’s preference for

larger females is modified by the sizes of females

encountered. Animal Behaviour 71: 203-209.

Sues, L. and R. Shine. 1999. Morelia amethistina

(Australian scrub python). Male-male combat. Herpe-

tological Review 30(102).

Vincent, S. E., R. Shine and G. P. Brown. 2006. Does

foraging mode influence sensory modalities for prey

detection in male and female filesnakes, Acrochordus

arafurae? Animal Behaviour 70: 715-721.

Webb, J. K., G. P. Brown and R. Shine. 2001. Body size,

locomotor speed and antipredator behaviour in a

tropical snake (Tropidonophis mairii, colubridae): The

influence of incubation environments and genetic fac-

tors. Functional Ecology 15: 561-568.

Whitaker, P. B. and R. Shine. 1999. Responses of free-

ranging brownsnakes (Pseudonaja textilis : Elapidae)

to encounters with humans. Wildlife Research 26:

689-704.

Whitaker R, P. B., K. Ellis and R. Shine. 2000. The defen-

sive strike of the eastern brownsnake, Pseudonaja

textilis (elapidae). Functional Ecology 14: 25-31.

Zuffi, M. A. L. 1999. Activity patterns in a viviparous

snake, Vipera aspis (l.), from Mediterranean central

italy. Amphibia-Reptilia 20: 313-318.

Sekilas beliau lebih terlihat seperti turis.

Rambutnya urak-urakan, gayanya yang santai dan suka

guyon, dengan mengenakan celana surfer dan kemeja

lapang membuatnya terlihat seperti sedang wisata. Tetapi

setelah mendengarkan ceritanya mengenai penelitian

komodo, jelas bahwa beliau bukanlah turis biasa.

Dr. Tim Jessop dari University of Melbourne,

Australia sudah lama berkecimpung di bidang

herpetofauna, antara lain bekerja dengan kadal, penyu,

dan komodo sejak tahun 2002 untuk penelitian post-

docnya. Beberapa waktu yang lalu Adininggar Ul-

Hasanah (AU) dari Warta Herpetofauna sempat bertemu

Dr. Jessop di Lambusango, Buton. Berikut adalah sedikit

cerita beliau (TJ) mengenai pengalamannya mempelajari

komodo.

AU: Bagaimana mulai bekerja dengan herpetofauna?

TJ: Pada awalnya tidak sengaja. Saya lebih tertarik pada

pertanyaan, seperti pertanyaan mengenai fisiologi dan

mencari satwa yang tepat (untuk dipelajari).

AU: Bagaimana reptil membantu Anda menjawab

pertanyaan tersebut?

TJ: Reptil dapat diaplikasikan untuk menjawab banyak

pertanyaan ekologi dan evolusi. Kelimpahannya tinggi

dan relatif mudah ditangkap.Reptil juga polyphyletic,

artinya berasal dari berbagai garis

dari nenek moyangnya. Sehingga

dapat dibilang memiliki

keanekaragaman yang tinggi

dalam cara hidupnya, seperti

reproduksi, bahkan system sosialnya. Mereka adalah

model yang baik untuk melihat dasar dari pertanyaan

rumit tersebut yang kita coba jawab dengan burung dan

mamalia tetapi juga sudah berevolusi di reptil. Mereka

(reptil) adalah awal yang baik untuk mencoba menjawab

pertanyaan-pertanyaan tersebut.

AU: Mengapa memilih komodo?

TJ: Saya mendaftar untuk dua fellowship penelitian post-

doc yang sangat berbeda. Salah satunya tentang ikan

dengan fenomena polimorfisme, lainnya adalah untuk

penelitian komodo. Awalnya saya memilih yang pertama

tetapi tidak menyukainya. Posisi di Komodo ditawarkan

kembali dan saya berkesempatan mengambilnya. Saya

pindah ke Bali tahun 2002. Saya sangat beruntung

bekerja dengan orang-orang yang sangat

berpengalaman, Jeri (Imansyah) dan Deni (Purwandana)

yang pernah bekerja dengan Pak Putra Sastrawan dari

Universitas Udayana tentang komodo, dan kami memulai

project ini yang sampai saat ini masih mereka jalankan.

Page 27: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

27 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

AU: Komodo adalah satwa dilindungi dan hidup di

kawasan yang juga dilindungi. Kenapa masih perlu

perhatian banyak?

TJ: Saya pikir kekhawatiran awal tentang komodo adalah

walau mereka hidup di kawasan dilindungi, setidaknya

beberapa populasi, pemahaman kita mengenai kondisi

populasi tersebut masih terbatas. Jika melihat peta

Taman Nasional Komodo (TNK) jelas terlihat ada dua

pulau besar dan dua pulau kecil. Pulau kecil sangat

rawan kepunahan. Selain itu, walau pulau-pulau tersebut

adalah kawasan TN, belum tentu komodo 100% aman.

Masih ada dampak dari manusia yang dapat menurunkan

populasi komodo. Contohnya perburuan liar satwa

mangsa komodo seperti rusa, pembabatan hutan,

kebakaran, hal-hal ini juga berdampak terhadap komodo.

Dengan minimnya penelitian tentang pulau-pulau kecil ini

kita tidak tahu kondisi populasi komodo disitu. Mereka

bisa menjadi punah. Contohnya di Padar di TNK yang

punah walau berada di dalam kawasan TN. Xmungkin

karena perburuan liar rusa di pulau. Jadi masih mungkin

ada dampak dari manusia terhadap jenis ini (komodo).

Selain itu meraka adalah flagship species untuk

Indonesia, dan belum banyak informasi mengenai

mereka. Penting untuk mencoba memahami apa yang

sedang terjadi. Juga, ini adalah komodo, kadal terbesar di

dunia dan mereka adalah jenis yang menarik dan

mengagumkan.

AU: Apa kesalahpahaman terbesar tentang komodo?

TJ: Menurut saya seperti halnya dengan reptil lain. Reptil

mendapat reputasi jelek dari banyak orang. XYang

selalu mengejutkan saya adalah komodo sebenarnya

sangat sensitif terhadap manusia, mereka akan lari dari

Anda dan tidak mau ditangkap. Menurut saya jangan

melihat komodo sebagai predator galak dan jahat, tetapi

melihatnya sebagai kadal besar yang menarik yang

hanya terdapat di lima pulau terpencil di Indonesia.

AU: Kita sering mendengar tentang nominasi komodo

sebagai New 7 Wonders of the World. Apa konsekuensi

jika TNK benar-benar terpilih?

TJ: Tidak dapat dipungkiri bila TNK terpilih maka akan

ada dampak positif dan negative. Salah satu yang positif

adalah lebih banyaknya perhatian dan fokus sebagai

kawasan konservasi flagship. Perlu diingat bahwa saat ini

TNK sudah menjadi suatu kawasan konservasi penting

dengan status Warisan Dunia. Jadi, di atas kertas, TNK

seharusnya adalah salah satu kawasan paling dilindungi

dengan sumberdaya terlengkap di Indonesia. Mungkin

kasusnya tidak demikian, tapi saya pikir kalau memang

terpilih maka secara tidak langsung lebih banyak

perhatian tertuang untuk menjaga pulau-pulau ini. Suatu

sisi negatif mungkin semakin banyak turis. Semakin

banyak orang yang masuk dalam habitat komodo,

semakin tinggi lalu lintas kapal di daerah terumbu karang

sekitar pulau, dan mungkin semakin banyak polusi untuk

taman nasional. Tetapi jika dapat dikelola dengan sejalan

maka (pemilihan 7 Wonders) bisa menjadi sesuatu yang

positif bagi komodo.

AU: Anda bekerjasama peneliti Indonesia. Apakah Anda

merasa sudah menurunkan kegiatan ini kepada mereka?

TJ: Karena mereka sudah lama bekerja dengan komodo,

jelas bahwa mereka sangat mampu, memiliki keahlian

tinggi, dan dapat melakukan (penelitian ini) dengan baik.

Saya lihat project komodo dijalankan oleh ahli dari

Indonesia. Saya pikir ada tantangan bagi staf Indonesia.

Sebagai seseorang yang hidup di negara berkembang,

saya merasa telah mendapat banyak kesempatan dan

saya harap akan lebih banyak peneliti Indonesia,

khususnya peneliti muda, yang memperoleh beasiswa

untuk belajar di luar dan kembali ke Indonesia dengan

pengetahuan yang mereka peroleh. Saya melihat

pentingnya pembangunan kapasitas. Saya pikir tidak

perlu adanya ekspatriat yang menjalankan project-project

di Indonesia. Ekspat saya pikir penting untuk memberi

masukan. Tetapi pada akhirnya ini adalah negara Anda

dan Anda harus memiliki tanggung jawab dan

akuntabilitas terhadapnya. Tetapi Anda juga butuh

kesempatan yang mungkin tidak ditawarkan (disini) dan

itu yang kami coba lakukan di project komodo ini untuk

menawarkan pendidikan masters di Malaysia atau

Australia dan ini adalah suatu permulaan untuk

meningkatkan kualitas pekerjaan ini. Menurut saya masih

ada celah dalam pengetahuan menjalankan proyek

serupa dengan baik. Seperti yang tadi disebutkan, pulau

adalah suatu sistem kompleks. Ini membutuhkan banyak

informasi dan pengetahuan, karena Anda tidak hanya

berurusan dengan ekologi, tetapi juga dengan evolusi,

sehingga Anda harus memiliki pemahaman kedua aspek

ini untuk dapat mengelola populasi pulau dengan baik

juga keanekaragaman di negara ini. Saya berharap

herpetologis Indonesia tidak hanya mengkhawatirkan

dirinya dengan ekologi saja tapi mereka juga belajar

mengenai evolusi untuk dapat mencoba memahami

gambaran luas dan bagaimana setiap komponennya

masuk dalam gambar besar tersebut.

Adininggar U. Ul-Hasanah

Dept. Konservasi Biodiversitas Tropika

Fakultas Kehutanan IPB

Page 28: WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November …xa.yimg.com/kq/groups/20809606/975588135/name/Warta+Herpetofaun… · Akhir tahun 2011 menorehkan catatan khusus ... GAMBAR, KARIKATUR,

28 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME V, NO.1 November 2011

Dalam rangka menyambut hari puspa dan

satwa nasional tanggal 5 November 2011, pemerin-

tah RI mengumumkan penetapan puspa dan satwa

nasional yaitu Bunga Tetepok (Nymphoides indica)

dan Katak Api (Leptophryne cruentata). Untuk

satwa, inilah kali pertama katak diangkat menjadi

ikon satwa nasional. Katak api atau juga dikenal

dengan nama kodok merah ini merupakan endemik

Jawa, ditemukan di dekat sungai beraliran deras di

dataran tinggi. Oleh karena habitatnya spesifik, ti-

dak heran jenis ini hanya ditemukan pada daerah

alami yang terjaga.

Penyebaran katak api ini berada di Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP)Jawa

Barat. Namun demikian sebuah laporan Kurniati dari

LIPI pada tahun 2003 menyatakan bahwa

Leptophryne cruentata juga dapat ditemukan di

Cikeris, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Sayangnya sampai saat ini tidak ada laporan lebih

lanjut mengenai keberadaaannya di Gunung Salak.

Sementara monitoring berkala yang dilakukan oleh

TNGP dan Fakultas Kehutanan IPB menunjukkan

bahwa sampai saat ini ada dua populasi yang

masih bertahan di TNGP. Populasinya yang rendah

membuat katak ini masuk dalam Daftar Merah IUCN

sebagai kritis (Critically endangered).

Katak api merupakan jenis yang semi

akuatik. Jenis ini umumnya ditemukan tidak jauh dari

sungai. Katak api memiliki bentuk jari yang

unik, ujung jarinya kecil dengan bantalan

(pad) sedikit membengkok ke bawah.

Diduga bentuk kaki seperti ini

memudahkan Katak api untuk memanjat

diding batu ataupun tanah di tepi sungai,

karena kebanyakan individu ditemukan

pada lubang yang berada di sisi kanan

dan kiri sungai yang jauh dari permukaan

air.

Katak api berukuran kecil sampai

sedang dengan ukuran jantan antara 22,0-

27,8 mm dan betina 31,0-46,0 mm .

Memiliki warna dasar hitam dengan

bercak merah dan kuning. Warna merah

lebih dominan sampai ke bagian ventral

tubuh dan kaki belakang. Terkadang

corak pada bagian punggung berbentuk

jam pasir. Namun demikian ada juga

individu yang berwarna hitam tanpa corak

merah atau kuning dan ada juga yang berwarna

hitam dengan corak merah dan kuning.

Katak api merupakan jenis yang aktif pada

malam hari. Pada siang hari hampir semua individu

yang ditemukan sedang beristirahat dan diam di

dalam lubang ditepi sungai, atau bersembunyi

pada bebatuan dan kayu lapuk di tengah sungai.

Katak jantan yang bersuara umumnya bersembunyi

diantara dedaunan

dan tumbuhan yang

berada di badan air,

namun ada juga

individu yang

bersuara diatas

batu.

Sumber tulisan:

Kurniati, H. 2003. Kodok

merah Leptopryne cruen-

tata ditemukan di taman

nasional gunung halimun

jawa barat. Fauna Indo-

nesia 5(2): 71-74.

Hasil penelitian tim Fakul-

tas Kehutanan IPB dari

tahun 2003-2011

Ikon Satwa Nasional 2011

Leptophryne cruentata (Tschudi, 1838)

Leptophryne cruentata. Dokumentasi Tim KSHE-Fahutan IPB