Halaman 1 | Warta Buruh Migran | November 2010 Warta Buruh Migran | Edisi III | November 2010 Klik www.buruhmigran.or.id Tim Redaksi Salam Redaksi Larantuka Seiring dengan banyaknya kasus kekerasan dan persoalan hukum yang dialami oleh para Buruh Migran Indonesia (BMI), baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) merupakan pihak yang paling disorot karena dianggap telah gagal menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik. Akhirnya, eksistensi BNP2TKI pun dipersoalkan. Di satu sisi ada yang ingin memperbesar peran dan wewenang BNP2TKI melalui revisi UU No. 39 Tahun 2004, sedangkan di sisi lain ada yang bersikeras menyuarakan pembubaran dan digantikan lembaga baru karena BNP2TKI dianggap turut serta dalam carut-marutnya persoalan buruh migran di Indonesia. Terkait dengan rencana revisi UU No. 39 Tahun 2004 oleh DPR RI yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada awal 2011, ada dua syarat yang harus dijadikan prinsip utama terkait dengan lembaga pengelola buruh migran. Pertama, peran dan wewenang terbesar pengelolaan BMI harus tetap diserahkan kepada pemerintah. Kedua, pemerintah harus memberikan pendidikan dan perlindungan maksimal kepada para BMI yang diatur di dalam undang-undang. Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil. Delegasi Sosial Keuskupan Larantuka (Delsos/KPSE-KL) menyelenggarakan Pelatihan pembuatan Peraturan Desa (Perdes) perlindungan buruh migran (24/10/2010). Pelatihan ini merupakan hasil kerja sama dengan Yayasan TIFA, dan didukung oleh Antara, AusAID, dan BNP2TKI. Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari ini difasilitasi oleh Drs. Urbanus Hurek Msi, dosen FISIP Unwira Kupang. Pelatihan ini sendiri dihadiri oleh 11 orang Kepala Desa dan Ketua BPD dari 10 Desa dampingan Delsos untuk program pemberdayaan buruh migran dan keluarga. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini menyangkut teknis pembuatan Perdes yang baik dan benar. Pimpinan Delsos, Romo Yansen, dalam kata sambutannya menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari amal Delsos bagi kaum buruh migran di Folores Timur yang banyak berjasa namun selama ini masih kurang memperoleh perhatian. “Pelatihan ini merupakan sumbangan besar program bagi masyarakat Flores Timur. Bermodal ilmu yang kita terima selama tiga hari ini, marilah secara bersama-sama kita perjuangkan nasib buruh migran”, tuturnya. Senada dengan Romo Yansen, peserta yang hadir pun turut menyatakan keseriusan mereka sebagai aparat desa dalam memperjuangkan nasib buruh migran Flores Timur yang selama ini terbiasa dengan pola migrasi swadaya. Dalam pelatihan ini akan dihasilkan sepuluh buah Perdes perlindungan terhadap buruh migran yang nantinya dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain di Flores Timur. DELSOS Larantuka Gelar Pelatihan Pembuatan PERDES Perlindungan Buruh Oleh: Dudy Penanggung Jawab Yossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Muhammad Ali Usman Tim Redaksi Fika Murdiana Hilyatul Auliya Fathulloh Kontributor 14 PTK Mahnettik Alamat Redaksi Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Yogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:[email protected]Portal: http://buruhmigran.or.id Penerbitan buletin ini atas dukungan:
Warta Buruh Migran edisi III ini banyak berbicara tentang perlindungan buruh migran.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | November 2010
Warta Buruh Migran| Edisi III | November 2010
Klik www.buruhmigran.or.id
Tim Redaksi
Salam Redaksi Larantuka
Seiring dengan banyaknya kasus kekerasan dan persoalan
hukum yang dialami oleh para Buruh Migran Indonesia (BMI),
baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) merupakan pihak yang paling disorot karena
dianggap telah gagal menjalankan tugas dan wewenangnya
dengan baik.
Akhirnya, eksistensi BNP2TKI pun dipersoalkan. Di satu sisi ada
yang ingin memperbesar peran dan wewenang BNP2TKI
melalui revisi UU No. 39 Tahun 2004, sedangkan di sisi lain ada
yang bersikeras menyuarakan pembubaran dan digantikan
lembaga baru karena BNP2TKI dianggap turut serta dalam
carut-marutnya persoalan buruh migran di Indonesia.
Terkait dengan rencana revisi UU No. 39 Tahun 2004 oleh DPR
RI yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada awal 2011, ada
dua syarat yang harus dijadikan prinsip utama terkait dengan
lembaga pengelola buruh migran. Pertama, peran dan
wewenang terbesar pengelolaan BMI harus tetap diserahkan
kepada pemerintah. Kedua, pemerintah harus memberikan
pendidikan dan perlindungan maksimal kepada para BMI yang
diatur di dalam undang-undang.
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil.
Delegasi Sosial Keuskupan Larantuka (Delsos/KPSE-KL)
menyelenggarakan Pelatihan pembuatan Peraturan Desa (Perdes)
perlindungan buruh migran (24/10/2010). Pelatihan ini merupakan
hasil kerja sama dengan Yayasan TIFA, dan didukung oleh Antara,
AusAID, dan BNP2TKI. Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari ini
difasilitasi oleh Drs. Urbanus Hurek Msi, dosen FISIP Unwira Kupang.
Pelatihan ini sendiri dihadiri oleh 11 orang Kepala Desa dan Ketua BPD
dari 10 Desa dampingan Delsos untuk program pemberdayaan buruh
migran dan keluarga. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini
menyangkut teknis pembuatan Perdes yang baik dan benar. Pimpinan
Delsos, Romo Yansen, dalam kata sambutannya menyatakan bahwa
kegiatan ini merupakan bagian dari amal Delsos bagi kaum buruh
migran di Folores Timur yang banyak berjasa namun selama ini masih
kurang memperoleh perhatian.
“Pelatihan ini merupakan sumbangan besar program bagi
masyarakat Flores Timur. Bermodal ilmu yang kita terima selama tiga
hari ini, marilah secara bersama-sama kita perjuangkan nasib buruh
migran”, tuturnya. Senada dengan Romo Yansen, peserta yang hadir
pun turut menyatakan keseriusan mereka sebagai aparat desa dalam
memperjuangkan nasib buruh migran Flores Timur yang selama ini
terbiasa dengan pola migrasi swadaya. Dalam pelatihan ini akan
dihasilkan sepuluh buah Perdes perlindungan terhadap buruh migran
yang nantinya dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain di Flores
Apa itu advokasi? Kadang kita bingung membedakan advokasi dan
kampanye. Kedua kata itu memang memiliki banyak kemiripan atau
bahasa Betawinya beda-beda tipis. Perbedaan advokasi dan
kampanye terletak pada tujuan akhir kegiatan. Hasil kegiatan
kampanye berupa dukungan dan solidaritas publik atas kondisi
tertentu, sementara hasil dari advokasi adalah perubahan kebijakan
atau tata perundang-undangan.
Sharma (2004:7) mengartikan advokasi sebagai serangkaian
tindakan yang bertujuan untuk mengubah kebijakan, kedudukan
atau program dari segala jenis lembaga. Pengertian ini mendorong
kegiatan advokasi berakhir pada pengambilan keputusan untuk
mencari jalan keluar yang lebih baik. Sementara itu, kampanye
merupakan tahap terpenting dari advokasi untuk mendesak atau
perubahan kebijakan melalui dukungan kekuatan publik. Kerja
advokasi merupakan proses yang dinamis sebab melibatkan
seperangkat pelaku, gagasan, dan agenda yang selalu berubah. Untuk
melakukan kerja advokasi, Sharma (2004: 18-20) menawarkan lima
langkah penting yang harus diperhatikan, yaitu mencari akar
permasalahan, merumuskan dan memilih jalan keluar, membangun
kesadaran, tindakan kebijakan, dan penilaian. Lima langkah itu tidak
bersifat linier sehingga bisa saja beberapa tahapan berjalan
bersamaan.
Tahap pertama, mencari akar permasalahan. Pada tahap ini kita
harus menetapkan agenda advokasi. Penetapan agenda harus
mempertimbangkan skala prioritas, tidak seluruh masalah harus
selesai secara bersamaan. Kita perlu memilah secara cermat
masalah-masalah yang ada supaya dapat menemukan akar
persoalannya. Setelah itu tetapkan lembaga dan kebijakan
yang perlu diubah dengan menyusun alasan-alasan yang
jelas.Setelah melakukan langkah pertama, maka tahap kedua,
yaitu merumuskan dan memilih jalan keluar, segera menyusul.
Seperti pekerjaan di dunia kesehatan, keputusan jenis
pengobatan sangat tergantung ketelitian sang dokter dalam
mendiagnosis penyakit. Pelaku advokasi harus mampu
menawarkan jalan keluar yang tepat supaya permasalahan
serupa tidak terulang kembali.
Pada tahap ketiga, kita akan membangun kesadaran atau
kemauan politik pihak-pihak yang terlibat dalam masalah. Hal
itu dapat diraih lewat pembentukan koalisi, menemui dan
meyakinkan para pengambil keputusan, dan membangun
penalaran seluruh pemangku kepentingan akan pentingnya
perubahan kebijakan. Pada tahap ini praktik kampanye
dilakukan, pekerja advokasi harus mampu mengemas pesan
secara efektif dan mudah dipahami.
Tahap keempat, tindakan kebijakan. Pemahaman akan proses
pengambilan keputusan dan strategi advkasi akan
meningkatkan kemungkinan terciptanya celah peluang untuk
bertindak. Tentu keputusan untuk bertindak dilakukan setelah
akar permasalahan diketahui, tawaran jalan keluar diterima,
dan ada kemauan politik pada pihak yang terkait untuk
melakukan perubahan.
Tahap kelima, penilaian. Penilaian perlu dilakukan untuk
mengetahui efektivitas kegiatan advokasi. Penilaian bisa
berupa tindakan refleksi atas kerja-kerja yang telah dilakukan.
Bila perlu buatlah sasaran dan strategi baru agar perubahan
lebih mudah dilakukan. (Yossy)
Mengenal AdvokasiOleh: Yossy Suparyo
09 | Panduan
Halaman 7 | Warta Buruh Migran | November 2010
06 | Wawancara
Nasib buruh migran tidak berubah meski pemerintahan telah beberapa kali berganti. Pergatian
pemerintahan sejak orde baru, hingga presiden saat ini keap menghasilkan beberapa peraturan
tapi tumpul pelaksanaan. Beberapa peraturan justeru menunjukkan keberpihakan negara
kepada pengusaha dalam penyaluran buruh migran. Pemerintah masih juga tidak tanggap
terhadap situasi sebenarnya buruh migran.
Berikut ini adalah wawancara PSD-BM dengan Yohanes B Wibawa Direktur Eksekutif I-Work
Indonesia mengenai penanganan buruh indonesia.
Secara umum bagaimanakah situasi penanganan buruh
migran saat ini?
Tidak ada perubahan mendasar dalam penanganan buruh migran
30 tahun terakhir. Paradigmanya masih mengandalkan upah
murah sebagai comparative advantage buruh Indonesia di luar
negeri dan pemberian peran yang terlalu besar pada swasta
sebagai agen perekrutan dan penempatannya. Paradigma ini
bersumber dari kepentingan Negara yang meletakkan target
pengiriman untuk mengejar perolehan devisa dari buruh migran.
Bagaimana dengan pelayanan hukum yang disediakan
oleh pemerintah?
Pemerintah belum pernah by design menyediakan satu layanan
hukum untuk buruh migran. Pemerintah hanya menangani
masalah hukum yang muncul, dan itu pun tanpa rumusan system
dan mekanisme pelayanan yang terbuka agar dapat dipahami secara
luas sehingga dapat diakses secara mudah oleh masyarakat serta
kinerjanya dapat dikontrol.
Buruh migran kerap disebut-sebut pihak yang sangat tidak
berdaya di negeri sendir i maupun di luar negeri, apakah
yang menyebabkan situasi tersebut?
Ada dua hal mendasar: pertama, terkait politik pemerintah RI dalam
hal membangun sistem migrasi bagi rakyat serta dalam hal
menciptakan hubungan dengan pemerintah negara tujuan bekerja.
Situasi dalam perburuhan internasional pada dasarnya memang
banyak mengandung resiko dan seringkali pula ketidakpastian terkait
dengan naik turunnya konstelasi politik internasional, hubungan antar
Negara, dinamika di Negara tujuan maupun
Penanganan Buruh Migran di IndonesiaMuhammad Irsyadul Ibad
Halaman 8 | Warta Buruh Migran | November 2010
07 | Wawancara
dinamika dalam pasar internasional. Saya kira pemerintah RI
lemah dalam kesemua aspek tadi, akibatnya rakyat buruh migrant
harus menghadapinya sendiri. Tentu saja hal itu terlalu berat.
Kedua, aspek kapasitas. Hal ini terkait dengan kualitas diri
(kesadaran, keterampilan dan karakter) dari masyarakat pelaku
migrasinya. Buruh migran umumnya berasal dari rumah tangga
bawah, yang berkekurangan pula pada peluang untuk
meningkatkan kualitas diri. Dalam hal ini, menurut saya selain
memang tugas negara untuk memajukan dan mencerdaskan
raskyat, namun tanggung jawab masing-masing individu pula
untuk meningkatkan kualitas diri sehingga cukup untuk
menghadapi tantangan dalam bermigrasi.
Kemudian selain kedua hal itu, yang perlu diingat adalah bahwa
kita hidup di dunia yang masih patriarkis. Tipe migrasi kita adalah
south to south migration, dikerjakan oleh lebih dari 70%
perempuan-perempuan yang bekerja di 3D sector (dark, dirty,
dangerous). Maka mereka mengalami ketidakberdayaan dalam
berbagai hal: politik, ekonomi, kultural, dsb.
Bagaimana kinerja yang ditunjukkan oleh badan-badan
pemerintah yang menangani buruh migran?
Ada beberapa inisiatif yang lumayan baik di beberapa kantor
konsulat maupun BNP2TKI. Tetapi saya melihat kinerja badan-
badan yang menangani buruh migran dari dulu hingga saat ini
tidak bisa melepaskan diri dari korupsi dan kolusi.Ini adalah
masalah akut yang harus mendapat prioritas penanganan.
Menurut Anda, apakah yang paling mendesak dibenahi
dalam sistem penanganan buruh migran di Indonesia
saat ini?
Pertama, mengatur kembali mekanisme rekrutmen-penempatan-
perlindungan dengan meletakkan pemerintah sebagai pemangku
kewajiban yang utama dan satu-satunya yang tidak bisa
didelegasikan kepada pihak lain manapun. Kedua, membenahi
dan menyusun infrastruktur perlindungan yang memadai bagi
buruh migran baik di dalam maupun diluar negeri.
Apakah peraturan yang tersedia saat ini mencukupi
untuk memberikan perlindungan buruh migran?
Secara normatif UU 39/2004 sebenarnya berpotensi dapat
memberi perlindungan yang cukup untuk buruh migran. Namun
persoalan yang harus dijawab pada saat ini sebenarnya adalah
penyelenggaraan yang sehat dalam penanganan buruh migran.
Pemberantasan korupsi dan kolusi di tubuh badan-badan
penempatan dan perlindungan buruh migran.
Namun demikian UU No. 39/2004 menurut saya terlalu
memberikan kewenangan kepada swasta. Faktanya kita sudah
terlalu sering melihat perilaku tidak terpuji dari pasar.
Saat ini marak perbincangan tentang revisi UU. 39
tahun 2004, pasal apakah yang paling perlu untuk
direvisi dari UU tersebut?
Kalau hendak merevisi UU No. 39/2004 menurut saya tidak
pasal per pasal, tetapi perlu diganti sejak dari paradigmanya. UU
ini paradigmanya pro-market dan menurut saya hal itu adalah
legitimasi trafficking in person.
Adakah peraturan lain yang perlu direvisi terkait
dengan buruh migran?
Ada beberapa Undang-undang yang dapat memperkuat
perlindungan bagi buruh migran misalnya Undang-undang
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun ada pula peraturan lain yang memang perlu direvisi
misalnya undang-undang kewarganegaraan lalu terutama
peraturan-peraturan pelaksanaan dari UU No.39/2004 terkait
tentang asuransi.
Terkait dengan pelayanan buruh migran yang dikelola
satu pintu, apakah tantangan terbesar dalam
pelaksanaannya?
Tantangan terbesarnya adalah terlanjur menjamurnya PPTKI
swasta, kolusi dan korupsi di lembaga pemerintah yang
menangani buruh migran dan sindikat penyelundupan dan
perdaganagn manusia lintas batas.
Bagaimana pendapat Anda tentang kinerja BNP2TKI?
Saya menyambut baik pembentukan BNP2TKI. Ini akan
mempertegas peran negara dalam mekanisme penempatan dan
perlindungan. Sistem G to G penempatan ke Korea menurut saya
telah berhasil mengurangi resiko migrasi dan memangkas ongkos
penempatan. Hanya sayangnya BNP2TKI tidak segera menyusun
infrastruktur informasi yang memadai yang bisa mencapai
masyarakat. Akibatnya terjadi banyak penipuan oleh calo
dilapangan. Lebih dari itu kita masih melihat dalam beberapa hal
aroma kolusi di lembaga ini.
Pada organisasi masyarakat sipil, peran apakah yang
dapat diambil untuk memeperbaiki persoalan buruh
migran?
Peranan CSO yang utama menurut saya adalah pada peran-
peran intermediary. Pendidikan menjadi strategi yang utama
dalam rangka menumbuhkan collective bargaining position
buruh migran, keluarga dan komunitasnya.
Halaman 9 | Warta Buruh Migran | November 2010
08 | Wawancara
Tidak sedikit orang yang memiliki keraguan ketika akan terjun ke
dunia usaha. Rasa gamang tersebut biasanya muncul karena alasan
pengalaman yang minim dan tidak ada modal usaha. Perasaan
seperti itu dulu pernah dialami dan sudah dapat diatasi oleh para
mantan buruh migran di Desa Gunung Guruh Kecamatan Gunung
Guruh Kabupaten Sukabumi. Saat ini, mereka secara gotong royong
berhasil membuat usaha bersama yang dikelola seperti manajemen
koperasi.
Usaha bersama ini sudah berjalan sejak beberapa tahun yang lalu.
Ide awalnya berangkat dari banyaknya mantan buruh migran di
Gunung Guruh yang tidak mempunyai aktivitas harian. Sebelum
mempunyai usaha bersama, biasanya mereka hanya tinggal di
rumah mengerjakan urusan rumah tangga. Menurut data statistik
tahun 2009 yang dikeluarkan oleh pemerintah Kecamatan Gunung
Guruh, ada 189 orang buruh migran yang sedang bekerja di
berbagai negara. Jumlah ini sekitar 20% dari total jumlah warga
Kecamatan Gunung Guruh yang menjadi Buruh Migran (BM), yaitu
950 orang.
Gairah Wirausaha Mantan Buruh MigranWawancara Hilyatul Auliya dengan Indah (PTK Mahnettik Sukabumi)
Desa Gunung Guruh memang sejak lama dikenal sebagai
sentra industri gerabah di Sukabumi. Bagi sebagian warga, usaha
ekonomi yang memadukan tanah liat dan kreativitas ini menjadi
mata pencaharian utama.
Di sini, ada puluhan buruh migran dan keluarganya yang
mengembangkan bisnis kerajinan dari tanah liat. Produk-produk
yang mereka hasilkan tidak kalah kualitas jika dibandingkan dengan
sentra industri gerabah lain, misalnya Kasongan Bantul Yogyakarta
atau Klampok Banjarnegara Jawa Tengah. Para mantan buruh
migran ini dapat memroduksi berbagai macam bentuk gerabah,
misalnya guci, pot bunga, teko, dan cangkir.
Produk hasil karya mereka biasanya dipasarkan di toko-
toko kerajinan dan seni yang ada di sekitar desa. Desa Gunung
Guruh memang selama ini dikenal sebagai sentra industri gerabah
di daerah Sukabumi. Sebagai daerah sentra industri gerabah, tidak
susah bagi Indah dkk. untuk mencari konsumen. Setiap hari desa
Sumber: Dok.PPSW
Halaman 10 | Warta Buruh Migran | November 2010
ini ramai dikunjungi para konsumen, baik yang datang dari
Sukabumi sendiri, maupun yang datang dari luar daerah. Selain
melayani penjualan partai kecil (direct sell) para penjual gerabah di
sini juga melayani penjualan partai besar. Bahkan ada beberapa
barang yang sudah diekspor ke luar negeri.
Sebenarnya, usaha ini berawal dari niat para komunitas buruh
migran yang ingin meningkatkan kesejahteraan ekonominya,
kemudian mereka bersama-sama mengumpulkan modal (urunan),
meskipun dengan jumlah yang tidak seberapa. Dari modal yang tidak
seberapa inilah kemudian mereka dapat membeli alat produksi
gerabah, mulai dari alat pembuat gerabah (perbot), tanah liat,
hingga buku administrasi. Hingga hari ini sudah ada puluhan perbot
yang dimiliki kelompok usaha ini. Perbot-perbot ini ditempatkan di
beberapa rumah anggota sehingga setiap anggota yang ingin
membuat gerabah dapat bekerja dari rumah masing-masing. Semua
produk dari anggota ini akan dibeli oleh kelompok. Untuk
menunjang pemasaran, mereka menggunakan sekretariat lembaga
sebagai kantor pemasaran sekaligus show room.
Selain usaha gerabah, para mantan buruh migran Sukabumi juga
mempunyai usaha pembuatan kerajinan berbahan dasar bambu.
Oleh mereka, bambu-bambu tersebut diolah dan dianyam hingga
menjadi aneka barang rumah tangga bernilai jual tinggi, seperti
nampan, piring, lepek, dll. Keahlian ini mereka kuasai secara turun
temurun dari para leluhur. Berbeda dengan usaha gerabah yang
berpusat di Gunung Guruh, usaha anyaman bambu ini berpusat di
Desa Suka Manggis Kecamatan Citaniang Kabupaten Sukabumi.
Usaha bersama ini manfaatnya telah banyak dirasakan oleh para
anggota yang mayoritas terdiri dari para perempuan. Mereka dapat
memperoleh penghasilan tambahan dari hasil usaha ekonomi.
Sesuai tujuan awalnya, usaha ini dikelola seperti manajemen
koperasi. Artinya, setiap anggota dapat menginvestasikan dananya di
perusahaan dan pembagian keuntungan akan dibagi sama rata
sesuai dengan jumlah kepemilikan modal.
Meskipun usaha ini telah berkembang sejak beberapa tahun yang
lalu, sampai hari ini belum ada perhatian dari pemerintah sedikit
pun. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijanjikan oleh
Kementrian UKM juga belum dirasakan oleh masyarakat Gunung
Guruh. Bantuan dalam hal pemasaran juga masih dilakukan
anggota sendiri.
“setiap anggota dapat
menginvestasikan dananya di
perusahaan dan pembagian keuntungan
akan dibagi sama rata sesuai dengan
jumlah kepemilikan modal.”
Pemerintah yang seharusnya mencarikan dan melakukan
pengembangan pasar konsumen, baik pasar lokal maupun luar
daerah masih belum tampak. Menurut Indah, pemerintah selama
ini lebih senang mengurusi usaha skala besar saja. Seakan mereka
tidak menganggap penting industri usaha kecil menengah seperti
usaha kelompoknya.
“Sebagai usaha kelas menengah ke bawah, masyarakat Gunung
Guruh sangat mengharapkan perhatian pemerintah, baik dalam
bantuan modal, peningkatan kualitas produk, hingga pemasaran.
Salah satu kendala besar adalah di dalam pemasaran. Selama ini
mereka melakukannya secara mandiri,” ungkapnya.
Tampaknya, jiwa-jiwa mandiri para mantan buruh migran inilah
yang terus menghidupkan semangat wira usaha di antara mereka.
Usaha Kecil Menengah (UKM) saat ini memegang peranan penting
dalam sistem perekonomian global. Di saat terjadi krisis global, di
mana banyak perusahaan raksasa mengalami kebangkrutan dan
gulung tikar (kolaps), perekonomian Indonesia masih bertahan
dikarenakan ditopang oleh industri-industri UKM di daerah-
daerah yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Oleh karena itu,
sudah seharusnya jika pemerintah memberikan perhatian lebih
pada industri-industri UKM.
Kerajinan Buruh Migran Sukabumi saat dipamerkan di Yogyakarta
08 | Wawancara
Hilya Auliya, Pekerja Manajemen Pengetahuan Pusat
Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)
Halaman 11 | Warta Buruh Migran | November 2010
10 | Inspirasi
Sumber: vmancute.blogspot.com
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa ini tampaknya tepat
menggambarkan betapa peri kehidupan sebagai pelaut begitu lekat
pada masyarakat Kampung Laut. Kendati memilih menjadi buruh
migran, tak jauh-jauh, para lelaki perkasa ini tetap juga melaut di
negeri orang. Cuma bedanya, saat ini mereka memburuh pada
kapal asing, alias jadi anak buah kapal (ABK) di Taiwan.
"Mungkin tidak semua, tapi 90 persen buruh migran bekerja di
kapal asing. Kebanyakan di Taiwan. Baik di kapal ekspedisi barang
maupun kapal tangkap ikan," ujar Harry Tabin, Ketua Forum Warga
Buruh Migran (FWBM) Kampung Laut.
Berharap pendapatan tinggi, para pelaut muda ini banyak
meninggalkan desa menyambut nasib di negeri seberang. Namun,
melaut di negeri orang rupanya tidak seindah di negeri sendiri. Janji
tumpukan mata uang asing ini kerap kali tidak sesuai dengan fakta.
Meski kontrak kerja sudah ditandatangani, gaji bulanan yang
mereka dapat tidak sesuai dengan yang ada di kontrak. "Sering
dipotong oleh agen. Gaji dari perusahaan pelayaran tidak diberikan
langsung ke kami, melainkan melewati tangan agen," rutuk Harry.
Selain gaji yang tidak sesuai kontrak, persoalan lain juga kerap
muncul. Pelaut asal Indonesia kerap terlibat persoalan dengan ABK
lokal. Bahasa kerap menjadi pangkal salah pengertian antar mereka.
Selain itu, ABK asal Indonesia menjadi ABK yang paling tidak
diperhatikan di sektor kesehatan. Harry tiga kali berangkat ke Taiwan
sebagai anak buah kapal (ABK). Tiga kali pula dia mengalami
perlakuan buruk itu. Menurutnya, pengetahuan umum dan
penguasaan teknologi ABK asal Indonesia menjadi pangkal persoalan.
"Diakui atau tidak, kita ini bodoh, jadi mudah dibodohi," katanya.
Yang harus dilakukan, menurut Harry, buruh migran asal Indonesia
harus memiliki pengetahuan umum yang cukup. Jejaring komunikasi
antar buruh migran juga harus diperkuat. Selain itu, Pemerintah
Indonesia juga musti lebih memperhatikan nasib para buruh migran
yang hidup di negeri orang.
Tak hendak terus menerus merutuki nasib, FWBM Kampung Laut
mulai melakukan usaha meningkatkan pengetahuan. Salah satunya
seperti yang dilakukan di akhir September 2010 ini. FWBM
bergandeng dengan Community Tecnology Center (CTC) Mahnetik
menggelar diskusi sekitar persoalan buruh migran serta pelatihan
komputer dan internet.Dengan diskusi dan pelatihan ini diharapkan
buruh migran memiliki perspektif lain mengenai persoalan yang
kerap membelit. Pelatihan internet diperlukan untuk mencari
alternatif lain pengetahuan perkembangan dunia luar dan menjadi
media komunikasi antar buruh migran. (ridlobalasie)
Melaut di Negeri OrangOleh: Ridlo Balasie
Halaman 12 | Warta Buruh Migran | November 2010
11 | Tragedi
““Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.
Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK
Mahnettik melalui email: Mahnettik melalui email: [email protected]@buruhmigran.or.id““
Pernyataan Sikap
Pusat Sumberdaya Buruh Migran
(PSD-BM) atas Kasus Penyiksaan
Sumiati
Kasus penyiksaan terhadap buruh migran Indonesia (BMI)
kembali terulang. Sumiati binti Salan Mustapa (23), BMI asal
Dompu, Nusa Tenggara Barat, mengalami penyiksaan berat
dari keluarga Halid Saleh Al-Akhmin, Majikan Sumiati, sejak
bekerja pada 18 Juli 2010 di Arab Saudi. Penyiksaan telah
melampaui batas kemanusiaan. Sumiati disiksa oleh majikan
dengan besi panas. Dengan tidak berperikemanusiaan bibir
sumiati pun digunting. Bekas luka-luka di sekujur tubuh
Sumiati menunjukkan penyiksaan berat yang dialaminya.
Sumiyati diberangkatkan oleh PT Rajana Falam Putri ke Arab
Saudi pada 18 Juli 2010. Sangat disayangkan, Sumiati
diberangkatkan tanpa berbekal Bahasa Inggris dan Arab yang
merupakan kebutuhan utama untuk bekerja di Arab.
Pemberangkatan Sumiati ke Arab tanpa bekal bahasa
menunjukkan kesewenang-wenangan perusahaan yang
bertanggung jawab. Perbuatan tersebut telah menempatkan
Sumiyati sebagai pekerja migran yang lemah.
Terulangnya kasus penyiksaan dan pemberangkatan BMI
tanpa pembekalan menunjukkan lemahnya pengawasan
pemerintah atas pelayanan dan kinerja Perusahahaan
Penyalur Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang
memberangkatkan BMI ke luar negeri. Lemahnya pengawasan
tersebut mengakibatkan buruknya pelayanan dan
kesewenang-wenangan PPTKIS dalam penempatan BMI.
Sumiati adalah contoh dari kesewenang-wenangan penempatan BMI.
Sumiati yang tidak memiliki kemampuan bahasa ditempatkan di
Arab Saudi yang jelas membutuhkan kemampuan Bahasa Arab.
Pusat Sumberdaya Buruh Migran (PSD-BM), menyatakan:
1. Menuntut pemerintah melakukan pelarangan pemberangkatan
BMI untuk pekerjaan non-formal ke Arab Saudi dan menetapkan
Arab Saudi sebagai zona berbahaya bagi pekerja Migran
2. Melakukan tekanan keras kepada pemerintah Arab Saudi yang
kerap membiarkan pelanggaran hak-hak buruh migran Indonesia.
3. Menuntut dibekukannya dan dicabutnya izin operasi Perusahaan
penyalur yang menempatkan Sumiati di Arab Saudi tanpa
membekali dengan kemampuan bahasa.
4. Menuntut dilakukannya pengawasan periodik dan terus menerus
atas kinerja dan pelayanan PPTKIS kepada buruh migran.
Menuntut pemerintas secepatnya menyelesaikan persoalan hukum