Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965
(Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S. I. Kom.)
Daniel Luke
10120110136
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
KONSENTRASI MULTIMEDIA JOURNALISM
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA
TANGERANG
2014
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya ilmiah saya sendiri,
bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis oleh orang lain atau lembaga lain, dan
semua karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah
disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan di Daftar Pustaka.
Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan/ penyimpangan, baik
dalam pelaksanaan skripsi maupun dalam penulisan laporan skripsi, saya bersedia
menerima konsekuensi dinyatakan TIDAK LULUS untuk mata kuliah Skripsi yang
telah saya tempuh.
Tangerang, 14 Februari 2014
(Daniel Luke)
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul
“Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965 (Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan
Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)”
oleh
Daniel Luke
telah diujikan pada hari Selasa, tanggal 4 Februari 2014, pukul 08.30 s.d. pukul 10.00 dan dinyatakan lulus dengan susunan penguji sebagai berikut.
Ketua Sidang
Rony Agustino Siahaan, M.Si
Penguji Ahli
Ignatius Haryanto, M.Hum
Dosen Pembimbing
F.X. Lilik Dwi Mardjianto, S.S., M.A.
Disahkan oleh
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi - UMN
Dr. Bertha Sri Eko M., M.Si.
iv
KATA PENGANTAR
Penulis menyadari bahwa tidak mungkin menyelesaikan skripsi ini seorang diri.
Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah memberi dukungan baik tenaga maupun moril kepada
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan praktik kerja magang dan laporannya
dengan baik.
Terima kasih ingin penulis sampaikan kepada :
1. Mas Krisna, pencetus gagasan tentang tema skripsi ini.
2. Pak Lilik, selaku dosen pembimbing skripsi.
3. Randy Hernando dan Gloria Fransiska yang sudah mengizinkan penulis
menjadikan skripsi mereka menjadi rujukan dan acuan.
4. Bapak Seno Joko Suyono dan Bapak Kurniawan, serta Bapak Asvi Warman
Adam yang telah bersedia menjadi narasumber skripsi ini.
5. Monica Aprilda yang tak pernah putus memberi semangat dan dukungan.
6. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf kepada pembaca jika
skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis akan dengan senang hati
menerima segala kritik, saran, serta masukan yang bermanfaat baik bagi penulis sendiri
maupun bagi pembaca yang lain.
Tangerang, 14 Februari 2014
Daniel Luke
v
Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965
(Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)
ABSTRAK
Oleh: Daniel Luke
Tragedi pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965 masih menyisakan luka bagi Bangsa Indonesia hinga saat ini. Kerugian yang diderita para korban, baik harta benda, trauma fisik maupun mental, hingga dicabutnya hak-hak mereka sebagai warga negara, masih belum dipulihkan seutuhnya oleh Negara.
Untuk menyelesaikan masalah ini hingga tuntas, diperlukan adanya rekonsiliasi antara korban dan pelaku dari peristiwa berdarah tersebut. Rekonsiliasi yang dimaksud tentu saja secara keseluruhan, baik di tingkat masyarakat kecil (mikro) hingga tingkat yang paling tinggi (makro) yaitu pemerintahan. Tanpa adanya rekonsiliasi di semua tingkat, masalah ini tidak akan selesai dengan tuntas.
Penelitian ini melakukan pendekatan secara kualitatif dengan paradigma kritis dan bersifat deskriptif. Data berupa empat artikel dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012, hasil wawancara dengan Seno Joko Suyono dan Kurniawan dari pihak Majalah Tempo, serta hasil wawancara dengan seorang Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam, dianalisis menggunakan metode penelitian analisis wacana kritis milik Teun A. van Dijk.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Majalah Tempo memang mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya ini. Bagi Majalah Tempo, rekonsiliasi adalah hal terpenting saat ini, karena dengan adanya rekonsiliasi, Bangsa Indonesia dapat menutup lubang-lubang sejarah yang selama ini ditutup-tutupi serta memulihkan para korban, keluarganya beserta generasi penerusnya dari kerugian yang sudah mereka derita selama ini.
Kata kunci: rekonsiliasi korban dan pelaku, PKI, pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965, analisis wacana kritis, Teun A. Van Dijk.
vi
Reconciliation Discourse Between Victims and Perpetrators of September 30th 1965 Post-Movement
Massacre
( Critical Discourse Analysis of Tempo magazine special edition Pengakuan Algojo 1965 1-7 October 2012)
ABSTRACT
By: Daniel Luke
The September 30th 1965 Post-Movement Massacre tragedy still leave a wound for the Indonesian until now. Losses suffered by victims, either of property, physical and mental trauma, and the revocation of their rights as citizens , still not fully recovered by the State.
To resolve this issue to its conclusion , it is necessary to reconciliation between victims and perpetrators of that bloody tragedy. A Whole reconciliation is needed indeed, from the smallest community level (micro) to the highest level (macro) that means the government. Without reconciliation at all levels , this problem will not be resolved completely.
This study is using qualitative approach with a critical paradigm and descriptive characteristic. Data in the form of four articles in Tempo Magazine Special Edition 1-7 October 2012, the results of interviews with Seno Joko Suyono and Kurniawan of the Tempo Magazine, as well as an interview with an Indonesian historian, Asvi Warman Adam, were analyzed by using Teun A. van Dijk's critical discourse analysis research methods.
The results of this study concluded that there is reconciliation discourse by Tempo Magazine in this edition. For Tempo Magazine, reconciliation is the most important thing at this time, due to the presence of reconciliation, Indonesian people can close the holes of history that had been covered up all this time. Furthermore for the victims, their families, and their future generations can recover from the losses that they have suffered over the years.
Keywords : reconciliation of victims and perpetrators, PKI, September 30th 1965 Post-Movement Massacre, critical discourse analysis, Teun A. Van Dijk.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
HALAMAN PERNYATAAN…………………………..................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................iii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iv
ABSTRAK........................................................................................................................v
ABSTRACT....................................................................................................................vi
DAFTAR ISI..................................................................................................................vii
DAFTAR TABEL............................................................................................................x
DAFTAR BAGAN..........................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................1
1.2 PERUMUSAN MASALAH.........................................................................15
1.3 TUJUAN PENELITIAN...............................................................................15
1.4 KEGUNAAN PENELITIAN.......................................................................16
1.4.1 MANFAAT TEORITIS.................................................................16
1.4.2 MANFAAT PRAKTIS..................................................................16
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN..............................................................................17
2.1 PENELITIAN TERDAHULU......................................................................17
2.2 TEORI DAN KONSEP-KONSEP YANG DIGUNAKAN.........................19
2.2.1 WACANA.....................................................................................19
2.2.2 ANALISIS WACANA..................................................................20
2.2.3 ANALISIS WACANA KRITIS....................................................21
viii
2.2.4 IDEOLOGI....................................................................................23
2.2.5 KOMUNISME...............................................................................24
2.2.6 REKONSILIASI............................................................................26
2.3 KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................................................30
3.1 JENIS DAN SIFAT PENELITIAN..............................................................30
3.2 METODE PENELITIAN.............................................................................32
3.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA............................................................33
3.4 UNIT ANALISIS DATA.............................................................................36
3.5 TEKNIK ANALISIS DATA........................................................................38
3.5.1 ANALISIS TEKS..........................................................................38
3.5.2 KOGNISI SOSIAL........................................................................45
3.5.3 ANALISIS SOSIAL......................................................................46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................................48
4.1 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN..........................................48
4.2 HASIL PENELITIAN..................................................................................50
4.2.1 ANALISIS TEKS ARTIKEL DARI PENGAKUAN ALGOJO 1965...............................................................................................50
4.2.2 ANALISIS TEKS ARTIKEL SEBUAH PENGAKUAN DARI KERUMUNAN POHON KAPUK..................................................56
4.2.3 ANALISIS TEKS ARTIKEL JOSHUA OPPENHEIMER: MEMBUNUH, BAGI ANWAR, ADALAH SEBUAH AKTING......62
4.2.4 ANALISIS TEKS ARTIKEL JALAN LAIN PENYELESAIAN TRAGEDI 1965..............................................................................73
ix
4.3 PEMBAHASAN...........................................................................................89
4.3.1 REKONSILIASI MIKRO...........................................................100
4.3.2 REKONSILIASI MAKRO..........................................................103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................108
5.1 KESIMPULAN...........................................................................................108
5.2 SARAN.......................................................................................................112
5.2.1 SARAN AKADEMIS..................................................................112
5.2.2 SARAN PRAKTIS......................................................................112
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................113
LAMPIRAN.................................................................................................................119
ARTIKEL DARI PENGAKUAN ALGOJO 1965..........................................................120
ARTIKEL SEBUAH PENGAKUAN DARI KERUMUNAN POHON KAPUK............121
ARTIKEL JOSHUA OPPENHEIMER: MEMBUNUH, BAGI ANWAR,ADALAH SEBUAH AKTING............................................................................................123
ARTIKEL JALAN LAIN PENYELESAIAN TRAGEDI 1965........................................125
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN MAJALAH TEMPO...............................127
TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN ASVI WARMAN ADAM.......................133
x
DAFTAR TABEL
TABEL 3.1 PERBEDAAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF..............................30
TABEL 3.2 ELEMEN WACANA VAN DIJK..............................................................39
TABEL 4.1 ARTIKEL 1................................................................................................50
TABEL 4.2 ARTIKEL 2................................................................................................56
TABEL 4.3 ARTIKEL 3................................................................................................62
TABEL 4.4 ARTIKEL 4................................................................................................73
TABEL 4.5 KESIMPULAN.........................................................................................85
xi
DAFTAR BAGAN
BAGAN 2.1 KERANGKA PEMIKIRAN.....................................................................29
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu sejarah dari Bangsa Indonesia yang masih menyisakan luka yang
begitu mendalam adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di
mana terjadi penculikan 7 jenderal yaitu, Ahmad Yani, Donald Ifak Panjaitan, M.T.
Haryono, Piere Tendean (yang mengaku sebagai Abdul Haris Nasution), Siswondo
Parman, Suprapto, dan Sutoyo Siswomiharjo. Mereka dituduh sebagai "Dewan
Jenderal". Samsudin (2004: 224) menyebutkan bahwa dewan jenderal adalah jenderal-
jenderal yang memiliki pemikiran tidak sejalan dengan pemimpin (Soekarno), mereka
menganut paham anti komunis, sedangkan Soekarno mengizinkan berkembangnya
paham komunis.
Soekarno memang mengizinkan ideologi komunis berkembang dalam negara
Indonesia, seperti yang tertulis dalam Geerken (2011: 58), "untuk tiga ideologi yang
diizinkan di dalam negeri, yaitu partai nasional, partai berbasis agama, dan partai
komunis, Soekarno membuat istilah Nasakom." Nasakom adalah akronim dari
nasionalis, agama, dan komunis.
Para dewan jenderal ini dituduh berencana merebut kekuasaan Soekarno karena
mereka memiliki sikap anti komunis yang fanatik (Fic, 2005: 66). Namun, menurut
Luhulima (2006: 8), dewan jenderal ini adalah bagian dari skenario yang diciptakan
Soeharto untuk merebut kekuasaan Soekarno. Lebih lengkap, Luhulima memaparkan,
2
"Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, secara perlahan-lahan menggeser Soekarno dari kedudukannya orang yang paling berkuasa di negeri ini. Langkah itu diawali dengan secara sepihak mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat, menyusul aksi penjemputan paksa para jenderal Angkatan Darat yang berakhir dengan kematian mereka."
Dalam buku Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S, Kolonel Abdul
Latief (2000) memaparkan kesaksiannya. Ia menyatakan bahwa sebenarnya Soeharto
pada saat itu sudah mengetahui akan terjadinya penjemputan paksa ketujuh jenderal
tersebut. Ketika itu Soeharto mengatakan bahwa ia akan segera mengambil tindakan
untuk menyelidi tentang kebenaran dari akan adanya pergerakan itu, namun ternyata
Soeharto tidak melakukan apa-apa, bahkan terkesan membiarkan agar pergerakan itu
terjadi.
Pembiaran tragedi itu terjadi sepertinya memang merupakan bagian dari
rencana Soeharto. Sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat
(PANGKOSTRAD), Mayor Jenderal (Mayjen) Seoharto memiliki posisi yang strategis
untuk menentukan siapa yang dituduh bertanggung jawab atas peristiwa G30S ini
(Luhulima, 2006: 106).
Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang dari peristiwa ini.
Namun Sersan Kepala (Serka) Bungkus dalam Lesmana (2005: 38) menegaskan, "PKI
hanya kambing hitam." Dalam penculikan tersebut, pasukan Pasopati dari Cakrabirawa
dibantu oleh pihak sipil seperti Pemuda Rakyat-yang pro terhadap komunis, untuk
menjaga daerah rumah sekitar penculikan. Sebelum penculikan, mereka di-briefing
oleh Letan Satu Dul Arif yang mengatakan bahwa jenderal-jenderal yang akan diculik
ini merupakan jenderal-jenderal yang ingin membahayakan Soekarno, oleh karena itu
mereka harus melakukan apapun, termasuk membunuh jenderal-jenderal tersebut, demi
3
keselamatan Soekarno. Dengan berpaham melindungi Soekarno inilah, PKI membantu
aksi penculikan tersebut (Matanasi, 2011: 90-91).
Fakta itu diperkuat dengan pernyataan Asvi Warman Adam (2009: 183) yang
mengatakan bahwa Letjen Soeharto membubarkan PKI bukan karena PKI dalang
Gerakan 30 September 1965, tetapi karena ia ingin menghancurkan partai yang
merupakan saingan terberat dalam mencapai puncak kekuasaan.
Sampai sekarang, masih terdapat simpang-siur fakta di masyarakat tentang apa
yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Dari istilah yang digunakan saja sudah terdapat
perdebatan di dalamnya. Adam (2009) menyebutkan,
"Pertama, Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato Presiden Soekarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Alasannya, peristiwa itu terjadi dini hari tanggal 1 Oktober. Sebaliknya pers militer menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini menyalahi kaidah Bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu."
Versi yang paling umum yang diketahui masyarakat adalah Partai Komunis
Indonesia (PKI) lah yang mendalangi semua ini. Hal itu disebabkan karena selama 32
tahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana istilah
itu menuduh PKI sebagai dalang dari peristiwa berdarah itu. Soeharto melarang
terbitnya segala jenis versi/bentuk tulisan lain tentang PKI (Adam, 2009: 140). "Selama
orde baru hanya dikenal dan diperbolehkan satu versi: Partai Komunis Indonesia (PKI)
adalah dalang G30S" (Adam, 2009: 142).
Setelah Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden RI tahun 1998, banyak
buku-buku tentang peristiwa 30 September 1965 yang bermunculan, yang sebelumnya
dilarang terbit selama rezim orde baru. Kata PKI dihilangkan dari istilah G30S/PKI,
terutama dalam buku-buku pelajaran sekolah. Kurikulum yang baru itu disusun
4
berdasarkan masukan dari para ahli (sejarawan, pakar psikologi dan pendidikan serta
kurikulum) dengan mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam bidang sejarah,
berupa terbitnya banyak buku-buku tentang G30S yang dilarang terbit selama masa
pemerintahan orde baru (Adam, 2009: 141).
Versi lain tentang G30S disampaikan Anderson (2009) yang mengatakan bahwa
peristiwa 30 September 1965 itu berawal dari persoalan intern TNI Angkatan Darat
(AD). Ada beberapa perwira TNI AD dari Kodam IV/Diponegoro (Jawa Tengah) kesal
melihat para jenderal yang hidup berfoya-foya di Jakarta. Para perwira dari Jawa
Tengah itu kemudian mengajak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan PKI
dalam menjalankan operasinya.
Versi itu tidak dibenarkan oleh Harold Crouch (dalam Roosa, 2008: 106), ia
mengatakan bahwa sebenarnya inisiatif awal gerakan ini muncul dari tubuh TNI-AD
sendiri, sedangkan PKI juga berperan dan bertindak sebagai "pemain kedua". Maksud
dari PKI sebagai pemain kedua adalah sebenarnya yang merencanakan dan
melaksanaan pergerakan penculikan ketujuh jenderal tersebut adalah Angkatan Darat,
namun orang-orang di Angkatan Darat tersebut merupakan orang-orang yang dekat
dengan PKI (Roosa, 2008: 107).
Versi lain yang juga beredar di masyarakat adalah campur tangan Amerika
melalui Central Intelligence Agency (CIA). Dalam artikel berjudul LIPI: CIA Diduga
Dalangi Tragedi PKI, Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam mengatakan, "banyak versi
mengenai terjadinya pemberontakan G30S/PKI, menurut pemerintah dalangnya adalah
PKI. Namun, versi lain mencuat CIA muncul di belakang peristiwa itu. Amerika ikut
berperan dalam kejadian tahun 65." Amerika dituduh ikut terlibat dalam tragedi
5
tersebut karena Amerika ingin menjatuhkan Presiden Soekarno yang pro terhadap
komunis. Sophiaan (2008: 95) membenarkan versi tersebut,
"Ketidaksenangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang dipimpunnya, sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke Negara Uncle Sam pada bulan Mei 1956. Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles, dasar politik Indonesia. "Kami tidak mempunyai hasrat untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok," kata Bung Karno kepada Menlu Dulles."
Tragedi yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 - 1 Oktober 1965 itu tidak
selesai begitu saja. Penangkapan dan pembantaian orang-orang yang dituduh PKI
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Jakarta, Kediri, Jombang, Lumajang,
Tuban, Tulungagung, Banyuwangi, Purwodadi, Bali, Maumere, Medan, Sulawesi, Palu,
dan lain-lain. Pembantaian dilakukan baik oleh angkatan bersenjata / militer, maupun
organisasi masa seperti Barisan Serba Guna (Banser) NU (Susanto, 2003:74).
Selain Banser, Pemuda Pancasila juga ikut serta dalam tragedi tersebut. Bresnan
(2005: 120) mengatakan,
"Military officials in Medan and Jakarta in 1965 organized hoodlums into what was to become one of Indonesia's most powerful paramilitaries, the Pancasila Youth (Pemuda Pancasila). In Medan and Jakarta during late 1965, the Pancasila Youth were mobilized to strike at the Communist Party."
"Para pejabat militer di Medan dan Jakarta pada 1965 mengumpulkan para preman dan memasukkannya ke dalam sebuah organisasi yang akan menjadi paramiliter terkuat di Indonesia, yaitu Pemuda Pancasila. Di Medan dan Jakarta selama akhir 1965, Pemuda Pancasila dikerahkan untuk menyerang Partai Komunis."
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pada tahun 1965, badan militer yang
resmi di Medan dan Jakarta merekrut preman-preman untuk menjadi pasukan yang
kemudian dinamakan Pemuda Pancasila. Mereka ditugaskan untuk menyerang Partai
Komunis Indonesia.
6
Pada tanggal 4 Oktober 1965, wakil ketua Nahdlatul Ulama (NU), Subchan ZE,
membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (KAP-
Gestapu). Kesatuan Aksi tersebut mendapat banyak dukungan dari berbagai organisasi
pemuda dan mahasiswa, salah satunya adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI) yang berdiri tanggal 25 Oktober 1965. Tujuan dibentuknya kesatuan-kesatuan
aksi ini tidak lain tidak bukan adalah untuk memberantas orang-orang yang dituduh
PKI (Aritonang, 2004: 342).
Pada 10 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), didukung
oleh organisasi kesatuan aksi lain seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),
Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia
(KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia
(KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) mengajukan tiga tuntutan rakyat
yang dikenal dengan sebutan Tritura. Isi ketiga tuntutan rakyat tersebut adalah
membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-
unsur PKI, dan menurunkan harga bahan pokok (Poesponegoro, 2008: 545).
Tritura tidak berjalan mulus. Masyarakat kecewa karena Soekarno justru
menyingkirkan tokoh-tokoh yang gigih menentang PKI, seperti A. H. Nasution,
Menteri Koordinator Hankam / Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Sebaliknya,
Soekarno justru mengangkat sejumlah orang yang diragukan iktikad baiknya, bahkan
orang-orang yang diindikasikan terlibat dalam G30S, seperti Ir. Surachman dan Oei
Tjoe Tat, S.H. (Poesponegoro, 2008: 545).
Di ibukota, rakyat yang tidak puas dengan hasil reshuffle kabinet baru itu pun
menggelar aksi demonstrasi. Tewasnya seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI),
7
Arief Rachman hakim karena terkena peluru Resimen Cakrabirawa, membuat
demonstran semakin geram (Poesponegoro, 2008: 547).
Puncaknya, pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan
Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Meski inti dari isi surat tersebut sebenarnya
adalah Presiden Soekarno memberi perintah kepada Letjen Soeharto untuk
mengembalikan keamanan dan ketertiban Negara Indonesia, namun hingga saat ini,
belum ada kepastian dan kejelasan, apa isi surat perintah tersebut yang sebenarnya
(Wardaya, 2009: 120).
Berbekal surat perintah yang diberikan Soekarno, Soeharto melakukan beberapa
tindakan. Pertama, membubarkan PKI dan ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret
1966, sesuai dengan salah satu tunturan rakyat dalam tritura. Kedua, dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri
yang dinilai terlibat di dalam pemberontakan G-30-S / PKI atau memperlihatkan
iktikad tidak baik dalam rangka penyelesaian masalah itu. Ketiga, mengangkat lima
Menteri Koordinator (Menko) ad interim (sementara) yang bersama-sama menjadi
Presidium Kabinet (Poesponegoro, 2008: 551).
Wardaya (2009: 121-122) mengemukakan,
"Tampak sekali bahwa Soeharto menggunakan Supersemar yang sebenarnya adalah perintah presiden (executive order) itu sebagai sebuah 'transfer of authority'. Seolah-olah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto sehingga Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban seakan-akan negara sedang dalam keadaan perang."
Hal itu dibenarkan oleh Soebandrio (dalam Djarot, 2006a: 14-15), "Supersemar
itu bukan pelimpahan kekuasaan. Supersemar itu diserahkan ke Pak Harto. Kalo sudah
8
aman, diserahkan kembali ke Bung Karno. Jadi, Supersemar itu bukan penyerahan
kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto."
Menurut Subandrio (dalam Adam, 2010: 144), Penculikan dan pembunuhan
ketujuh jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari adalah tahap pertama dari empat
tahap kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto. Disebut kudeta merangkak
karena biasanya sebuah kudeta dilakukan dengan cepat dan tidak terduga, namun
berbeda dengan yang dilakukan Soeharto, ia melakukan kudeta dengan perlahan dan
penuh perencanaan yang matang. Pembunuhan ketujuh jenderal tersebut dilakukan
Soeharto dengan maksud untuk menghabisi pesaing-pesaingnya di Angkatan Darat.
Tahap kedua dari kudeta merangkak Soeharto adalah dengan mendapatkan
Supersemar dari Soekarno dan kemudian membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret
1966. Pembubaran PKI ini dimaksudkan Soeharto untuk melumpuhkan partai dengan
pendukung lebih dari tiga juta orang yang menjadi rival terberat tentara saat itu (Adam,
2010: 144).
Langkah ketiga dalam kudeta merangkak-nya, 18 Maret 1966 Soeharto
menangkap 15 menteri yang loyal kepada Soekarno. Dengan bermodalkan Supersemar,
Soeharto melakukan penangkapan ini tanpa sepengetahuan dan seizin Soekarno
(Pambudi, 2009: 57).
Terakhir, pada tanggal 7 Maret 1967, dengan ditetapkannya TAP MPRS
XXXIII/1967 yang memberhentikan Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden, dan
diangkatnya Soeharto menjadi pejabat presiden.
SI-MPRS kemudian tetap memutuskan antara lain TAP MPRS XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno (mulai berlaku surut sejak 20 Februari 1967) karena mulai tanggal tersebut Soekarno telah mengundurkan diri menghindari pemakzulan MPRS. Dengan TAP MPRS ini pula Jenderal Soeharto
9
diangkat sebagai pejabat presiden. Ini setelah 17 tahun jabatan presiden hanya dipegang seseorang tanpa pemilihan, kecuali malahan diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS bentukannya. Demikian pula gelar Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dicabut oleh TAP MPRS NO. XXXV/MPRS/1967. Termasuk meluruskan pengertian mandataris yang banyak disalahgunakan presiden itu (Fatwa, 2009:220).
Setelah melalui empat tahap kudeta merangkak tersebut, pada Sidang Umum
MPRS ke-5 tahun 1968, Soeharto berhasil terpilih sebagai Presiden RI yang kedua.
Soeharto dilantik menjadi Presiden RI yang kedua pada tanggal 27 Maret 1968
(Pambudi, 2009: 168).
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa selama masa pemerintahan
Presiden Soeharto hanya diperbolehkan beredar satu versi cerita tentang PKI, yaitu PKI
sebagai dalang G30S. Hal serupa juga dipaparkan oleh Eros Djarot (2006b: 107) yang
mengatakan,
"Sepanjang pemerintahannya, Soeharto berusaha terus meneriakkan bahaya laten PKI. Orang menuntut soal tanah dituding PKI. Tengok saja ketika warga Kedung Ombo memprotes harga ganti rugi tanah, Soeharto langsung menanggapinya dengan mengatakan bahwa di antara mereka terdapat oknum-oknum PKI."
Lewat berbagai kuasa yang dimilikinya sebagai seorang Presiden, Soeharto
mendoktrin seluruh masyarakat Indonesia bahwa PKI itu kejam. Ditambah lagi,
masyarakat juga diancam dengan adanya dwifungsi ABRI yang diberi kuasa dan
wewenang untuk menumpas siapa saja yang dianggap PKI atau mengancam kedudukan
Soeharto sebagai Presiden. Tak heran jika selama rezim orde baru, kasus G30S yang
mengkambinghitamkan PKI ini tidak bisa terselesaikan (Djarot, 2006b: 107-108).
Setidaknya, ada dua istilah yang terkenal dan sangat ditakuti masyarakat saat
kepemimpinan Soeharto, yaitu petrus (penembak misterius) dan penghilangan paksa
(involuntary disappearance). Petrus ini terjadi sekitar tahun 1980-an, di mana orang-
10
orang yang diindikasikan sebagai penjahat / kriminal (memiliki tato di badannya), akan
ditembak (entah dari mana tembakan itu, sehingga penembaknya tidak diketahui, atau
misterius) di tengah-tengah keramaian dan jasadnya dibiarkan begitu saja sehingga
dilihat oleh orang banyak. Soeharto menyebutnya sebagai shock therapy agar
masyarakat takut dan tidak berani berbuat macam-macam (Abdulgani-Knapp, 2007).
Sedangkan penghilangan paksa adalah menculik orang-orang yang dianggap
dapat menghalangi, menghambat, atau mengancam kekuasaan Soeharto. Kasus
penghilangan paksa ini dimulai dari kasus G30S 1965 sendiri, di mana menghilangkan
secara paksa tujuh jenderal yang dianggap saingan Soeharto di Angkatan Darat,
kemudian dilanjutkan dengan beberapa kasus seperti di Tanjung Priok (1984), di
Talangsari, Lampung (1989), dan penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997-
1998 (Hamid, 2007).
Dalam wawancara pada tanggal 19 Desember 2013, Asvi Warman Adam,
sejarawan Indonesia, menuturkan,
"Kekuasaan itu kan diberikan secara penuh kepada Soeharto kan tahun 68, tetapi stigma itu kan diawetkan. Saya menganggap PKI ini bukan hanya dianggap sebagai lawan atau musuh politik, tetapi juga untuk kepentingan lain, sebagai alat pemukul politik. Ini dipelihara sehingga orang yang bukan PKI, yang kritis terhadap pemerintah, itu nanti kan gampang, di cap PKI gitu. Yang kedua ini untuk keperluan praktis, untuk membeli tanah dengan harga murah, kalau mereka tidak mau, nanti di cap PKI gitu.
Jadi kan digunakan sepanjang kekuasaannya, bukan hanya tahun 65 saja, bahkan sampai tahun 98. Jadi untuk dua keperluan tadi, yaitu memukul lawan politik, dan keperluan praktis membeli tanah dengan murah.
Dan itu diawetkan stigma itu dengan monumen-monumen yang dibangun selama orde baru. Monumen Pancasila Sakti itu dibangun pada awal, tapi kita tahu Museum Penghianatan PKI itu baru dibangun tahun 93 di Lubang Buaya juga. Di Gatot Soebroto ini dibangun museum Waspada Purwawisesa namanya, itu museum yang dibangun untuk mengingatkan tentang bahaya dari kelompok Islam radikal. Jadi sepanjang orde baru diciptakan terus itu monumen-monumen, jadi tidak berhenti tahun 66, tapi sepanjang itu ada saja monumen, buku yang dikeluarkan gitu, buku putih setneg (Sekretariat Negara) itu kan tidak dikeluarkan tahun 65-66, 90-an malah itu, jadi artinya sepanjang kekuasaannya selalu dilestarikan stigma itu."
11
Meski Soeharto sudah turun dari jabatannya sebagai presiden sejak 21 Mei 1998
dan sudah banyak pula buku-buku dan tulisan-tulisan yang menceritakan versi lain dari
peristiwa G30S, kasus itu tidak selesai begitu saja. Masih banyak kelompok masyarakat
dan pemuka agama yang masih menganggap PKI berbahaya (Adam, 2009: 159).
Beberapa contoh dari buku dan tulisan yang menceritakan versi lain dari
peristiwa pembantaian massal pasca-G30S 1965 antara lain adalah Palu Arit di Ladang
Tebu tulisan Hermawan Sulistyo, Gangsters and Revolutionaries oleh Robert Cribb,
dan The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali buatan Geoffrey Robinson.
Pada tahun 2000, Majalah Tempo sendiri mengeluarkan artikel berjudul,
ISLAM, MAAF, DAN PKI, di situ tertulis, "MENGAPA kalangan Islam menolak usul
Gus Dur untuk mencabut Ketetapan MPRS XXV/66? Mengapa mereka menyesalkan
usulan Gus Dur untuk minta maaf kepada PKI?" TAP MPRS XXV/66 sendiri berisi
tentang pelarangan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya.
Dengan dicabutnya TAP MPRS XXV/66 ini, berarti PKI boleh berorganisasi lagi di
Indonesia. Artikel tersebut membuktikan bahwa upaya rekonsiliasi antara pihak korban
dan pelaku tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 belum tercapai.
Upaya dari para aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) di Indonesia untuk
mengungkap kebenaran masa lalu, termasuk kasus G30S ini sudah dimulai sejak tahun
1999. Mereka meminta pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) beserta undang-undangnya. Namun gagasan mereka tidak berjalan mulus,
banyak pihak yang menolak gagasan tersebut dengan berbagai alasan, demi
kepentingannya masing-masing. Terutama fraksi TNI/Polri yang tidak ingin aib
perbuatan mereka di masa lampau terungkap. Akhirnya, pembentukan KKR baru dapat
12
terwujud pada 7 September 2004, dengan disahkannya UU No.27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh DPR (Sumarwan, 2007: 215-218).
Dibentuknya Komisis Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia ini tidak
terlepas dari berhasilnya beberapa penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang ada
di luar negeri. Misalnya di Chile, dengan kasus hilangnya 600 orang pada masa
pemerintahan Jenderal Pinochet. Selain itu, ada pula penyelesaian kasus pelanggaran
berat hak asasis manusia di Argentina yang diselesaikan dengan membentuk Komisi
Nasional untuk Orang Hilang (Sujatmoko, 2005: 8).
Penyelesaian kasus pelanggaran berat hak asasi manusia lain yang dapat
dijadikan panutan adalah dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional untuk
menyelesaikan kasus pembantaian dan penghilangan etnis muslim di Bosnia dan
tragedi Rwanda. Perangkat hukum acaranya menggunakan Statuta Roma. Statuta Roma
adalah adalah perjanjian yang ditetapkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional
(International Criminal Court). Perjanjian ini diadopsi pada konferensi diplomatik di
Roma pada tanggal 17 Juli 1998 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002. Statuta
Roma dibuat untuk melakukan pengadilan bertaraf internasional yang bertujuan untuk
mengadili semua pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat dari negara mana saja
yang menandatangani atau meratifikasi Statuta Roma tersebut (Lubis, 2005: 3-4).
Kembali ke Indonesia, belum sempat menyelesaikan tugasnya, kewenangan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
dengan Putusan MK No.006/PUU-IV/2006 yang mencabut UU No. 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Gultom, 2010: 308). Ketua Mahkamah
Konstitusi saat itu, Jimly Asshiddiqie (dalam laman Tempo, 2006: Undang-Undang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dibatalkan) mengatakan, "Kewenangan Komisi
13
Kebenaran dan Rekonsiliasi terkesan tidak pasti karena tidak memiliki daya ikat."
Dengan dibatalkannya UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi ini, Asmara Nababan (dalam laman Tempo, 2006: Undang-Undang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dibatalkan) berpendapat, "keputusan ini
mengembalikan posisi pengungkapan masalah HAM berat di masa lalu ke titik nol."
Oleh pihak yang berkuasa (dalam hal ini pemerintah) sengaja memberikan
diskriminasi berupa pemberian kode-kode khusus dalam kartu tanda penduduk (KTP)
seperti ET (eks-tapol) dan OT (organisasi terlarang) pada orang-orang yang terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan PKI (Sumarwan, 2007: 100 dan
151). Diskriminasi tersebut akhirnya dihapuskan oleh Putusan MK,
"Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) mengabulkan permohonan pengujian UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945 yang oleh pemohon dianggap mengandung unsur diskriminasi. Dalam putusan yang dibacakan 24 Februari 2004, eks anggota PKI mendapatkan kembali hak politiknya sebagai warga negara untuk dipilih menjadi anggota legislatif. Oleh banyak kalangan putusan MK itu dipahami sebagai pemulihan hak-hak politik eks PKI yang selama rezim Orde Baru diperlakukan secara diskriminatif."
Dari artikel Penantian Panjang Korban Pelanggaran HAM yang tertulis dalam
situs resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), diakui bahwa
pemerintah dan DPR memang dirasa kurang serius dalam menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus G30S 1965 silam. DPR
pun bahkan terkesan dijadikan benteng perlindungan bagi para pelanggar HAM masa
lalu. Ditambahkan, "Peran Komnas HAM pun kini semakin penting semenjak
dibatalkannya UU KKR oleh MK tersebut." Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa orang-orang yang memiliki kuasa di negeri ini, justru memakai
kekuasaannya untuk melindungi diri mereka atau kelompoknya sendiri, bukan untuk
kepentingan rakyat.
14
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif (dalam
Kasemin, 2004: 114) membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa rekonsiliasi
sulit diwujudkan karena ada masalah intern elite, yaitu perbedaan kepentingan dari para
elite politik di Indonesia, yang membela kepentingannya masing-masing.
Untuk mengenang peristiwa G30S 1965, tahun 2012 lalu Majalah Tempo
mengeluarkan edisi khusus seputar G30S berjudul, Pengakuan Algojo 1965. Selain
menyajikan berbagai pengakuan dari para pembunuh orang-orang yang dituduh PKI,
edisi ini juga mengulas tentang film dokumenter buatan sutradara Joshua Oppenheimer
yang berjudul, Jagal, atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan judul, The Act of
Killing.
Pada tahun 2012 lalu pula, Majalah Tempo mendapatkan penghargaan Yap
Thiam Hien Award 2012. Yayasan Yap Thiam Hien sendiri dikenal sebagai yayasan
yang memang memfokuskan diri untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM). Dari
situs resmi Yayasan Yap Thiam Hien, terdapat artikel berjudul, Majalah Tempo Raih
Yap Thiam Hien Award 2012 (http://tinyurl.com/m6b9bf2). Dari artikel tersebut, ketua
Yayasan Yap Thiam Hien, Todung Mulya Lubis menjelaskan, "karena Tempo tampil
sebagai majalah yang memiliki komitmen lebih dalam isu-isu penegakan keadilan dan
Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia."
Tempo juga sempat mengalami pembredelan oleh pemerintah sebanyak dua
kali, yaitu pada tahun 1982 dan tahun 1994. Alasan kedua pembredelan itu karena
Majalah Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik pemerintahan Soeharto.
Penulis melihat, melalui edisi khusus ini, Majalah Tempo ingin menawarkan
rekonsiliasi antara pelaku dan korban dari tragedi G30S. Meski sudah terbit setahun
15
lalu, penulis berpendapat bahwa topik ini masih layak diangkat karena hingga sekarang
belum ada pihak yang berhasil mewujudkan rekonsiliasi tersebut dan kasus
pembantaian massal pasca-G30S ini pun juga belum tuntas hingga saat ini.
1.2 Perumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya
adalah:
a. Bagaimana Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya
kali ini?
b. Mengapa Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya kali
ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, penelitian ini mempunyai
tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam
edisi khususnya kali ini.
b. Untuk mengetahui mengapa Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam
edisi khususnya kali ini.
16
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis:
Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan, serta
lebih mengerti dan memahami teori-teori yang didapat selama proses
perkuliahan dimana berhubungan dengan komunikasi. Selain itu, diharapkan
penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan terhadap teori-teori yang
sudah ada, agar dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi sosial masyarakat
yang terus berubah secara dinamis karena perkembangan teknologi komunikasi
yang sangat pesat saat ini.
1.4.2 Manfaat praktis:
Untuk para akademisi, terutama praktisi jurnalistik, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana cara mewacanakan
suatu hal dalam media massa. Untuk masyarakat, dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat melihat wacana apa yang dituliskan oleh media massa dalam
setiap pemberitaannya.
17
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Penelitian Terdahulu
Sebuah penelitian yang baik akan merujuk pada hasil dari penelitian-penelitian
sebelumnya yang memiliki fokus penelitian yang sama. Maka dari itu, akan
dicantumkan beberapa tinjauan pustaka dari penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti-peneliti terdahulu.
Penelitian terdahulu pertama, penulis ambil dari skripsi yang dibuat oleh kakak
kelas penulis di Universitas Multimedia Nusantara, Randy Hernando, berjudul,
Konstruksi Realitas Peranan Tentara dalam Pembantaian Massal Pascagerakan 30
September 1965. Penulis mengambil skripsi tersebut sebagai rujukan penulis karena
sama-sama meneliti dari sumber yang sama, yaitu dari Majalah Tempo edisi khusus 1-7
Oktober 2012.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Randy dan penulis adalah,
Randy menggunakan metode framing, sedangkan penulis akan menggunakan metode
analisis wacana kritis. Penelitian yang dilakukan oleh Randy juga sangat detail dan
mendalam, ada 12 berita yang dijadikan unit analisisnya.
Dalam penelitiannya Randy menyimpulkan bahwa, Majalah Tempo
menggambarkan tentara sebagai representasi negara menjadi pihak yang memiliki
peranan besar dalam pembantaian massal pascagerakan G-30-S. Pihak tentara
18
melakukan propaganda dan pemanfaatan isu agama serta ancaman terhadap negara
menjadi cara ampuh menggerakan massa untuk bersama menumpas PKI.
Penelitian lain yang penulis ambil adalah, Analisis Wacana Van Dijk Terhadap
Berita "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" di Majalah Pantau yang dibuat oleh Tia
Agnes Astuti dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Penulis mengambil
skripsi tersebut karena menggunakan metode yang sama dengan penulis, yaitu Analisis
Wacana Van Dijk. Penelitian tersebut memang bukan membahas tragedi G30S 1965,
namun membahas peristiwa yang serupa, yaitu tragedi yang terjadi di Simpang Kraft,
Aceh. Peristiwa tersebut juga merupakan tragedi berdarah di mana para tentara
menembaki rakyat sipil yang tidak bersalah. Pembahasan yang dilakukan oleh Tia juga
cukup mendalam dan memenuhi tiga tingkat analisis wacana kritis, sehingga penulis
berpendapat bahwa skripsi ini dapat penulis jadikan acuan bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
Meski topiknya berbeda, penulis dapat menggunakan skripsi ini sebagai rujukan
dan bahan referensi, seperti apa menganalisis dengan metode analisis wacana kritis
milik Teun A. van Dijk ini. Dari penelitian ini, penulis dapat mengetahui lebih jelas
tentang bagaimana melihat atau mengetahui sebuah leksikon, metafora, dan lainnya,
unsur-unsur yang terdapat dalam analisis teks metode analisis wacana kritis van Dijk.
Dalam skripsi yang penulis buat ini, terdapat persamaan dan perbedaan dengan
penelitian terdahulu yang penulis rujuk di atas. Persamaan dengan penelitian Randy
Hernando adalah penulis dan Randy sama-sama meneliti isi dari Majalah Tempo Edisi
Khusus 1-7 Oktober 2012, sedangkan dengan Tia, penulis sama-sama menggunakan
metode analisis wacana Van Dijk.
19
Namun tentunya juga terdapat perbedaan antara penelitian penulis dengan
penelitian mereka. Penulis meneliti unit analisis yang berbeda dengan Randy, meski
berasal dari majalah yang sama, dan penulis juga meneliti topik yang berbeda dengan
Tia, sekali pun metode yang digunakan sama.
Penelitian yang penulis kerjakan ini menyajikan hal yang berbeda dari kedua
penelitian terdahulu yang penulis paparkan di atas. Penulis menggunakan metode
analisis wacana Van Dijk yang digunakan oleh Tia, untuk menganalisis wacana yang
ada dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012 yang digunakan oleh
Randy.
2.2 Teori dan Konsep-Konsep yang Digunakan
2.2.1 Wacana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia wacana berarti satuan bahasa
terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti
novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah.
Menurut Hasan Alwi (1993) wacana adalah rentetan kalimat yang
berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat
itu. Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa wacana berarti
kumpulan atau kesatuan dari kalimat-kalimat yang membentuk atau memiliki
suatu makna atau arti tertentu.
Dalam buku The Archaeology of Knowledge (L'Archéologie du savoir)
Michel Foucault (2002) menyatakan bahwa,
20
"discourse describes an entity of sequences, of signs, in that they are enouncements. An enouncement is not a unit of semiotic signs, but an abstract construct that allows the signs to assign and communicate specific, repeatable relations to, between, and among objects, subjects, and statements. Hence, a discourse is composed of semiotic sequences (relations among signs) between and among objects, subjects, and statements."
"wacana menggambarkan suatu entitas urutan, entitas tanda-tanda dalam sebuah pernyataan. Pernyataan yang dimaksud bukanlah unit tanda-tanda semiotik, tetapi sebuah konstruk abstrak yang memungkinkan tanda-tanda untuk menetapkan dan berkomunikasi secara spesifik, hubungan berulang untuk, antara, dan di tengah obyek, subyek, dan pernyataan. Oleh karena itu, wacana terdiri dari urutan semiotik (hubungan antara tanda-tanda) antara dan di tengah obyek, subyek, dan pernyataan."
Jadi, wacana adalah sebuah pernyataan baik berupa lisan maupun tulisan
yang terdiri dari tanda-tanda, simbol-simbol, serta makna-makna tertentu yang
dirangkai sedemikian rupa dan dibuat karena memiliki tujuan tertentu sesuai
dengan kehendak pembuatnya. Dan biasanya tujuannya tersebut cenderung
ke arah untuk memperoleh, mempertahankan atau menentang kekuasaan.
2.2.2 Analisis Wacana
Dikutip dari buku Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of
Natural Language karangan Michael Stubbs (1983:1),
"Roughly speaking, it (discourse analysis) refers to attempts to study the organization of language above the sentence or above the clause, and therefore to study larger linguistic units, such as conversational exchanges or written texts."
"Secara kasar, itu (analisis wacana) merujuk pada upaya untuk mempelajari organisasi dari bahasa di atas kalimat atau di atas klausa, dan karena itu untuk mempelajari unit linguistik yang lebih besar, seperti pertukaran percakapan atau teks tertulis."
21
Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis wacana
mengacu pada upaya untuk mempelajari organisasi bahasa di atas kalimat atau
di atas klausa, itu berguna untuk mempelajari unit linguistik yang lebih besar,
seperti pada percakapan langsung maupun teks tertulis.
Sedangkan menurut Sarwiji Suwandi (2008: 146) analisis wacana adalah
kajian tentang aneka fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana
komunikasi. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan wacana. Dari
keduanya, dapat kita simpulkan bahwa analisis wacana berarti mempelajari
penggunaan bahasa dari unit yang terkecil (penggunaan kata, klausa, dan
seterusnya) untuk menemukan makna keseluruhannya (wacananya).
Jadi ringkasnya, analisis wacana memperhatikan pemakaian bahasa
dalam konteks sosial, terutama interaksi di antara para penutur (Stubbs dalam
Arifin, 2010: 106).
2.2.3 Analisis Wacana Kritis
"Instead of focusing on purely academic or theoretical problems, it
starts from prevailing social problems, and thereby chooses the prespective of
those who suffer most" (Van Dijk dalam Wodak, 2001). Terjemahan: daripada
berfokus pada akademik murni atau masalah teoritis, itu berawal dari
mengungkapkan masalah sosial, dan untuk itu memilih perspektif dari yang
paling menderita.
Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa analisis wacana kritis tidak
berangkat dari teori akademis murni, melainkan dari masalah sosial yang
22
terjadi di masyarakat, diawali dengan pihak yang paling menderita. Melihat
siapa yang sedang berkuasa, bagaimana ia menggunakan kekuasaannya, dan
siapa yang bertanggung jawab atau yang bisa mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada.
Dalam artikel berjudul AWK untuk Menemukan Ideologi yang
Tersembunyi yang terdapat di situs Universitas Sriwijaya, Prof. Dr. Mulyadi
Eko Purnomo, M.Pd. menyatakan pentingnya analisis wacana kritis (AWK)
untuk mengetahui ideologi suatu media, "Tujuan AWK adalah untuk
menemukan ideologi yang tersembunyi di balik suatu wacana, teks, atau
pemakaian bahasa secara publik."
Dalam penerapanya, kata Purnomo, AWK dapat diterapkan untuk
analisis wacana media massa, analisis wacana politik, dan analisis wacana
pembelajaran. Lebih lanjut Purnomo mengatakan, dalam media massa terdapat
ideologi tersembunyi dari pemilik media itu. Pemilik mengusai seluruh kegiatan
produksi, distribusi sampai konsumsi media. Media massa sebagai saluran
komunikasi politik dan sosial masyarakat menjadi produsen informasi politik
dan sosial yang harus setia kepada 'pemilik' informasi. Media massa tidak ada
yang benar-benar netral.
Purnomo menguraikan, bahwa media massa berada di bawah
kepemilikan perorangan atau organisasi, dikelola oleh sekelompok pengelola,
dan akhirnya dibaca oleh kelompok pembaca tertentu pula. Dalam setiap
kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi informasi, terdapat kepentingan
yang harus dipenuhi oleh media massa. Dalam rangka pemenuhan kepentingan
inilah yang membuat media massa menjadi tidak benar-benar netral, tetapi
23
berpihak. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa isi media massa memang
tidaklah netral.
2.2.4 Ideologi
Ideologi adalah seperangkat gagasan yang merupakan tujuan, harapan,
dan tindakan seseorang atau kelompok. Ideologi adalah visi yang komprehensif,
cara melihat berbagai hal dalam kecenderungan filosofis, atau seperangkat ide-
ide yang diusulkan oleh kelas dominan masyarakat untuk semua anggota
masyarakatnya (Kennedy, 1979).
Salah seorang pengikut Marx, Louis Althusser (dalam Zizeg, 2012: 123)
mengungkapkan dua tesis mengenai ideologi. Pertama, “Ideology represents
the imaginary relationship of individuals to their real conditions of existence.”
Terjemahan dari tesis pertama ini adalah ideologi merepresentasikan relasi
imajiner seorang individu pada kondisi eksistensi riil mereka. Jadi, tesis ini
menawarkan anggapan familiar di kalangan pengikut Marxis bahwa ideologi
memiliki fungsi untuk menutupi susunan eksploitatif yang didasarkan pada
kelas sosial.
Tesis kedua, “Ideology has a material existence.” Terjemahannya adalah
ideologi memiliki eksistensi material. Tesis kedua ini memposisikan bahwa
ideologi tidak berada dalam bentuk ide atau representasi kesadaran dalam
”pikiran” seorang individu, melainkan nyata dalam perilaku.
Selain itu, Althusser juga mengakui peranan dari apa yang disebutnya
sebagai Repressive State Apparatus (Laughey, 2007: 60). Ketika individu dan
24
kelompok menjadi ancaman bagi penguasa dominan, negara akan melibatkan
Repressive State Apparatus. Yang dimaksudkan Althusser dengan Repressive
State Apparatus adalah penguasa yang melibatkan aparat militer yang
melakukan tindakan tindakan represif untuk mengekalkan hegemoni kekuasaan.
Althusser berpendapat bahwa individu dalam masyarakat kapital
dikuasai oleh ideological state apparatuses (ISAs), termasuk sekolah, sistem
hukum, institusi agama, media komunikasi dan seterusnya. ISAs mendukung
ideologi lembaga politik yang kuat seperti pemerintah dan militer, baik dengan
cara implisit maupun eksplisit, dan terkadang tanpa diketahui. Dengan
demikian, individu menginternalisasi ideologi kekuasaan kapitalis, tidak
menyadari bahwa hidup mereka ditindas oleh lembaga yang melayani atau
mempekerjakan mereka.
Jadi intinya, dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah nilai-nilai
mendasar yang dianut oleh seseorang atau pihak tertentu, yang akan menjadi
dasar atas segala pola pikir, perasaan dan tindakan yang akan dilakukannya.
2.2.5 Komunisme
Komunis adalah penghapusan segala kepemilikan pribadi. Bahkan,
dalam praktik selanjutnya, kepemilikan pribadi ini bukan hanya yang berupa
harta, melainkan juga berupa kebebasan (Zazuli, 2009)
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo (2008: 139)
menceritakan bahwa munculnya paham komunisme ini adalah pada abad ke-19,
di mana kondisi sosial yang merugikan kaum buruh di Eropa Barat, seperti upah
25
murah, jam kerja panjang, keselamatan dan kesehatan buruh tidak diperhatikan,
dan sebagainya.
Komunisme sebenarnya berbeda dengan Marxisme. Ajaran asli Karl
Marx yang dibakukan menjadi Marxisme, lebih menekankan kepada perbaikan
sistem sosial masyarakat, sedangkan komunisme lebih cenderung kepada
gerakan dan kekuatan partai-partai komunis dalam bidang politik (Suseno,
2005: 5).
Jadi, paham komunisme sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian
banyak paham yang ada, seperti liberalisme, demokratis, dan sebagainya.
Paham ini muncul karena untuk memberi rasa keadilan bagi kaum buruh di
Eropa Barat yang nasibnya tidak diperhatikan oleh kaum borjuis pada masanya.
Di Indonesia sendiri, paham komunisme sudah ada dan berkembang
sejak awal abad ke-20. Pada tahun 9 Mei 1914, Hendricus Josephus Franciscus
Marie Sneevliet atau Henk Sneevliet mendirikan Indische Sociaal
Democratische Vereniging (ISDV) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia
Belanda. ISDV menjalin hubungan yang cukup erat dengan Serikat Islam (SI),
yang sama-sama bertujuan untuk membela rakyat kecil (McVey, 2006: 14-15).
Pada Oktober 1915, ISDV menerbitkan surat kabarnya, Het Vrije
Woord, yang berisikan tentang pandangan-pandangan ISDV. Bersama dengan
Sneevliet, Adolf Baars menjadi editor surat kabar tersebut. Untuk
memperbanyak pembacanya, pada tahun 1917 Baars membuat surat kabar
berbahasa Indonesia, Soeara Merdika (Suara Merdeka). Meski Soeara Merdika
26
ditutup setahun setelah terbit, Baars tidak putus asa. Ia menerbitkan surat kabar
baru pada Maret 1918, Soeara Ra'jat (Suara Rakyat) (McVey, 2006: 17).
Seiring berjalannya waktu, terjadi ketidaksepahaman tentang antara
ISDV dan SI tentang apa itu sosialisme. Perpecahan itu membuat ISDV pada
tanggal 23 Mei 1920 mengganti namanya menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI), yang merupakan partai komunis pertama di Asia, di luar kendali
kerajaan Rusia. (McVey, 2006: 47)
2.2.6 Rekonsiliasi
Syamsul Hadi (2007: 37) mengatakan, "Rekonsiliasi perlu dilakukan
jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah
rapuhnya kohesi sosial karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam
dinamika sejarah komunitas tersebut." Salah satu cara untuk mewujudkan
tercapainya rekonsiliasi adalah dengan mencari kata sepakat tentang masa
depan kedua belah pihak yang bertikai tersebut.
Dalam makalah berjudul Hak Asasi Manusia dan Kehidupan Berbangsa
yang ditulis oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR RI), Sidarto Danusubroto di situs resmi ELSAM (Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat) (http://tinyurl.com/lof5xcv), disebutkan bahwa
rekonsiliasi dapat ditempuh melalui langkah-langkah seperti pengungkapan
kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan
hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk
27
menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa
keadilan dalam masyarakat (Danusubroto, 2013: 3).
Dalam Makalahnya, Danusubroto juga mengatakan,
"Sesungguhnya bangsa yang besar dan bergerak maju adalah bangsa yang berdamai dengan masa lalu. Agar dapat berdamai dengan masa lalu, kita harus berjiwa besar untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada para korban HAM demi terwujudnya rekonsiliasi."
Ia menyimpulkan, bahwa rekonsiliasi penting diwujudkan guna
membawa Bangsa Indonesia menuju ke masa depan yang lebih baik dengan
meninggalkan dendam politik dan trauma masa lalu (Danusubroto, 2013: 4-6).
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif
(dalam Kasemin, 2004: 114) menyimpulkan bahwa ada dua penyebab mengapa
rekonsiliasi sulit diwujudkan. Yang pertama adalah masalah elite politik yang
saling membela kepentingannya sendiri. Kedua, kualitas masyarakat yang masih
rendah atau menunjukkan sikap ketidakdewasaan, sehingga di antara
masyarakat sendiri tidak mau saling memaafkan dan mau saling menang
sendiri.
2.2.6.1 Rekonsiliasi Mikro
Rekonsiliasi mikro adalah rekonsiliasi antara sesama
masyarakat (secara horizontal). Sesama masyarakat di sini berarti antara
masyarakat yang andil sebagai pelaku pembantaian massal pasca-G30S
1965, dengan mereka yang menjadi korban (atau keluarga korban) dari
tragedi pembunuhan massal pasca-G30S 1965. Rekonsiliasi ini berguna
untuk memulihkan trauma psikologis dan mental korban.
28
Rekonsiliasi mirko secara horizontal ini dapat terjadi jika para
pelaku mau mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada para
keluarga korban, lalu jika dibutuhkan, pelaku tersebut dapat
memberitahukan nasib terakhir anggota keluarga mereka yang menjadi
korban, seperti kapan dibunuh dan di mana jasadnya berada.
Diharapkan, dengan diketahuinya nasib anggota keluarga mereka
yang hilang, keluarga korban kini dapat ikhlas memaafkan para pelaku,
dan pulih dari trauma yang menghantui mereka selama ini.
2.2.6.2 Rekonsiliasi Makro
Rekonsiliasi makro adalah rekonsiliasi antara pemerintah dan
masyarakat (secara vertikal). Pemerintah yang dimaksud adalah semua
pihak yang terkait dalam kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965
tersebut. Pihak-pihak tersebut antara lain Angkatan Darat yang terlibat
langsung sebagai pelaku pembantaian massal pasca-G30S 1965,
Presiden sebagai kepala negara yang seharusnya bisa menggunakan
kekuasaannya untuk menyelesaikan kasus ini, Mahkamah Konstitusi
yang telah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta
Mahkamah Agung yang menelantarkan berkas hasil investigasi Tim
Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto (sumber: wawancara dengan
Asvi Warman Adam).
Rekonsiliasi makro ini berguna untuk dan menutupi lubang-
lubang sejarah sekaligus meluruskan sejarah Bangsa Indonesia yang
29
masih gelap dan belum terungkap kebenarannya sampai saat ini. Selain
itu, oleh negara pula, hak-hak para korban dan keluarganya sebagai
Warga Negara Indonesia dapat dipulihkan secara utuh, sehingga mereka
dapat merasakan kesempatan yang sama dalam bidang politik, ekonomi,
dan lainnya, tidak ada lagi diskriminasi atau perbedaan perlakuan.
2.3 Kerangka Pemikiran
Berikut kerangka pemikiran penulis menggunakan analisis wacana kritis Teun
A. van Dijk mengenai wacana rekonsiliasi dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7
Oktober 2012.
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran
Tulisan-tulisan dalam Majalah Tempo Edisi Khusus
1-7 Oktober 2012 mewacanakan rekonsiliasi
Analisis Sosial Kognisi Sosial
Analisis Teks
Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk
Analisis Wacana Kritis
Wacana sebagai relasi sosial, praktik sosial, dan produksi gagasan atau pandangan tertentu
Wacana rekonsiliasi disampaikan Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012
Isu rekonsiliasi antara pelaku dan korban dalam tragedi pasca-G30S 1965
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sifat Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif
deskriptif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kualitatif berarti berdasarkan mutu
atau kualitas. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran) (Strauss,
1997).
Newman (dalam Semiawan, 2010: 80) memaparkan perbedaan antara
perbedaan kuantitatif dan kualitatif sebagai berikut:
Kuantitatif Kualitatif
Mengukur fakta obyektif Mengkonstruksi realitas sosial
Fokus pada variabel Fokus pada proses interaktif
Kuncinya reliabilitas Kuncinya autentisitas
Bebas nilai Perkuat nilai
Bebas dari konteks Tergantung pada konteks
Banyak subyek dan kasus Sedikit subyek dan kasus
Analisis statistik Tematis
Peneliti agak terpisah Peneliti terlibat
Tabel 3.1 Perbedaan kuantitatif dan kualitatif
31
Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak melakukan manipulasi atau kontrol
terhadap variabel-variabel penelitian tertentu, tetapi mamperlakukan apa adanya dan
memandangnya sebagai satu kesatuan yang utuh (Pawito, 2007: 101).
Lebih lengkap, Pawoto (2007: 103) menjelaskan,
"di sini, peneliti menangkap gejala (mengumpulkan data), mengupayakan validitas dan reliabilitas, kemudian menganalisisnya dengan memilah-milah dan membuat kategori-kategori atau tema-tema tertentu, melakukan reduksi data, memberikan makna-makna atau mengemukakan interpretasi-interpretasi tertentu dengan mengacu pada pandangan-pandangan teoritik tertentu, dan baru kemudian peneliti menarik kesimpulan-kesimpulan. Dalam hal ini peneliti disarankan untuk membandingkan, menghubung-hubungkan, mempertentangkan, "kesan subyektif" yang diperoleh dari data yang dikumpulkan di satu pihak dengan temuan atau pandangan teoritik dari peneliti lain yang dimunculkan dalam telaah pustaka dengan tetap mempertimbangkan konteks (seting dan akar sejarah) dari temuan atau teori yang dirujuk."
Dapat disimpulkan, hasil penelitian kualitatif memang merupakan hasil
penilaian dari sang peneliti sendiri, namun hasil itu bukanlah hasil yang subyektif.
Hasil penelitian kualitatif diolah sedemikian rupa agar data tersebut valid dan dapat
dipercaya.
Kemudian, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia pula, kata deskripsi sendiri
berarti pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci;
uraian. Dengan ditambah imbuhan -if, berarti menjadi kata sifat. Sedangkan kata
deskriptif itu adalah bersifat deskripsi; bersifat menggambarkan apa adanya.
Deskriptif berarti menggambarkan suatu hal / fenomena secara rinci dan detail,
berbeda dengan eksplanatif yang umumnya berusaha untuk menjelaskan bagaimana
dan mengapa suatu hal / fenomena tersebut terjadi (Bailey, 2008: 40). Selain itu,
Creswell (2007: 286) menyatakan bahwa deskriptif berarti mendeskripsikan fenomena
atau gejala yang diteliti apa adanya.
32
Penelitian kualitatif deskriptif ini berfokus pada hubungan sosial, hubungan
timbal balik, fenomena sosial, dan hal-hal lain yang terkait dengan ilmu-ilmu sosial
(Parse, 2001: 58). Jadi, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif deskriptif ini
adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap dan apa
adanya, tentang pola dan tema dari suatu fenomena sosial yang terjadi (Parse, 2001:
57). Dalam penelitian ini berarti penulis akan menggambarkan secara mendalam hasil
analisis wacananya, baik dari tingkat analisis teks, kognisi sosial, dan analisis sosial.
3.2 Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis.Van
Dijk (1988: 24) menyatakan, analisis wacana merupakan proses analisis terhadap
bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebik
eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan.
Paradigma kritis berangkat dari cara melihat realitas dengan mengasumsikan
bahwa selalu saja ada struktur sosial yang tidak adil. Dengan begitu dari setiap fakta
dan data yang ditemukan, tidak akan dipercaya begitu saja namun akan diteliti dan
ditelusuri secara mendalam dari mana dan dari siapakah fakta dan data itu berasal dan
adakah bukti atau argumen yang cukup kuat untuk mempercayai informasi tersebut
(Fiske, 2010).
Dari bukunya Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language,
Norman Fairclough (1995) menyatakan bahwa, "Critical discourse analysis (CDA) is
an interdisciplinary approach to the study of discourse that views language as a form
33
of social practice and focuses on the ways social and political domination are
reproduced in text and talk."
Terjemahan: analisis wacana kritis adalah pendekatan interdisipliner untuk
mempelajari wacana yang memandang bahasa sebagai bentuk praktek sosial dan
berfokus pada cara dominasi sosial dan politik yang direproduksi dalam teks dan
pembicaraan.
Deborah Schiffrin, dkk (2001) menyatakan bahwa fungsi utama dari analisis
wacana kritis sendiri adalah menguraikan relasi kuasa, dominasi, dan ketimpangan
yang diproduksi dalam wacana. Sejalan dengan itu, dalam buku berjudul Introduction
to Discourse Studies karangan Renkema (2004: 284), disebutkan bahwa wacana
merupakan refleksi relasi kuasa yang terdapat dalam masyarakat. Analisis wacana kritis
dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi masalah-masalah sosial, terutama masalah
diskriminasi. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting sebagai
perwujudan kuasa pihak tertentu. Suatu teks diproduksi dengan ideologi tertentu yang
ingin disampaikan kepada khalayak pembacanya.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penulis akan menggunakan tiga teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.
Pertama adalah teknik purposive sampling. Proses pengambilan sampel ini dilakukan
dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian
sampel dipilih sesuai keinginan peneliti berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan
sampel tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang ditetapkan (Sugiyono, 2008: 85).
34
Situasi, kondisi, dan berbagai faktor lain biasanya juga mempengaruhi hasil dari
suatu penelitian kualitatif, oleh karena itu peneliti harus menciptakan kondisi dan
situasi yang mendukung, agar data yang diperoleh dapat tepat dan akurat. Oleh karena
itu purposive sampling digunakan untuk memudahkan peneliti mendapatkan sampel
yang cocok dengan situasi dan kondisi yang diinginkan. Selain itu juga, peneliti
terkadang kesulitan mendapatkan data yang diperlukan jika menggunakan random
sampling atau pengambilan sampel secara acak (Babbie, 2008: 204-205).
Teknik pengumpulan data yang kedua adalah wawancara. Wawancara adalah
bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi berlangsung
dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik
responden merupakan pola media yang dilengkapi kata-kata secara verbal. Karena itu,
wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide, tetapi juga dapat menangkap
perasaan, pengalaman, emosi, motif, yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan
(Gulo, 2000: 119).
Metode wawancara ini memiliki beberapa kekurangan dan keunggulan.
Kekurangannya adalah wawancara memerlukan kesediaan narasumber untuk
diwawancara, jika tidak bersedia, wawancara tidak dapat dilakukan. Selain itu, faktor
bahasa juga terkadang membuat salah pengertian atau pemahaman antara peneliti dan
narasumber. Dibalik kekurangannya, metode wawancara juga memiliki keunggulan
seperti, peneliti mendapatkan data dari narasumber yang diinginkan secara langsung,
tidak seperti angket atau kuisioner yang bisa saja diisi oleh orang lain. Selain itu,
peneliti juga bisa mendapatkan penjelasan yang mendalam dari narasumber tentang hal
yang ingin diketahuinya. Peneliti juga dapat menjalin relasi yang lebih dekat dengan
narasumber (Mohamad Ali dalam Gulo, 2000: 120).
35
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis metode wawancara semi
terstruktur. Wawancara jenis ini merupakan gabungan / campuran antara wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur. Jika wawancara terstruktur dilakukan dengan cara
mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan terlebih dahulu, dan
wawancara tidak terstruktur hanya mengandalkan intuisi spontan untuk bertanya,
wawancara semi terstruktur (semi-structured interview) ini membuat garis besar hal-hal
yang akan ditanyakan terlebih dahulu, lalu tidak menutup kemungkinan pertanyaan
akan ditambah, diubah, atau dikurangi, sesuai dengan jawaban narasumber pada saat
proses wawancara berlangsung (Wengraf, 2001: 5).
Terakhir, data-data untuk melengkapi penelitian ini penulis dapatkan dengan
metode dokumentasi. Kelebihan dari pengambilan data melalui dokumen adalah karena
dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam tanpa campur tangan
pihak peneliti. Dokumen juga mampu memberikan pemahaman historis yang dapat
bertahan sepanjang waktu. Dokumen tersedia dalam bentuk tulisan, catatan, suara,
gambar, dan digital (Daymon, 2008: 344).
Menurut Bungin (2013: 155), dokumen dibagi menjadi dua jenis, yaitu
dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi adalah catatan seseorang
secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya. Dokumen pribadi
dapat berupa buku harian, surat pribadi, dan otobiografi. Dokumen resmi terbagi lagi
menjadi dua. Pertama adalah dokumen resmi intern, yaitu memo, pengumuman,
instruksi, aturan lembaga untuk kalangan sendiri, laporan rapat, keputusan pimpinan,
dan konvensi. Yang kedua adalah dokumen resmi ekstern, yaitu majalah, buletin, berita
yang disiarkan ke media massa, dan pemberitahuan.
36
3.4 Unit Analisis Data
Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan yakni analisis wacana kritis
Van Dijk, data yang dianalisis harus mencakup tiga tingkat, yaitu tingkat analisis teks,
tingkat kognisi sosial, dan analisis sosial.
Untuk tingkat analisis teks, penulis akan mengambil beberapa tulisan dengan
metode purposive sampling yang terdapat dalam majalah Tempo Edisi Khusus 1-7
Oktober 2012. Pertama adalah tulisan Dari Pengakuan Algojo 1965 pada halaman 29.
Tulisan ini penulis pilih karena tulisan ini merupakan opini dari redaksi Majalah Tempo
sendiri. Opini yang ditulis oleh redaksi Majalah Tempo ini penulis anggap dapat
mencerminkan bagaimana sikap Majalah Tempo sendiri dalam menyikapi masalah
kasus tragedi G30S dan komunisme.
Kedua, artikel Sebuah Pengakuan dari Kerumunan Pohon Kapuk pada halaman
106-107. Artikel ini merupakan salah satu laporan utama Majalah Tempo dalam edisi
ini, jadi artikel ini penulis pilih karena penulis ingin melihat bagaimana Majalah Tempo
mewacanakan rekonsiliasi dalam laporan utamanya.
Selanjutnya yang ketiga adalah artikel di halaman 122-123 berjudul, Joshua
Oppenheimer: Membunuh, Bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting. Topik yang dibahas
dalam Majalah Tempo edisi khusus ini juga tidak terlepas dari film Act of Killing atau
Jagal yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer. Untuk itu penulis ingin mengetahui
bagaimana Tempo mengulas tentang Joshua Oppenheimer dan filmnya dalam tulisan
ini.
Terakhir, artikel yang penulis ambil ada di halaman 124-125, artikel tersebut
berjudul Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965. Artikel ini merupakan tulisan
37
pendapat dari seorang M. Imam Aziz, anggota Majelis Syarikat Indonesia, Yogyakarta.
Penulis ingin mengetahui lebih dalam mengapa salah satu tulisan yang dimuat dalam
Majalah Tempo edisi khusus ini adalah tulisan dari seorang M. Imam Aziz, yang
dituliskan oleh Majalah Tempo sebagai seorang yang aktif dalam upaya rekonsiliasi
tragedi politik 1965.
Keempat artikel ini penulis pilih karena penulis menanggap keempat artikel ini
cukup untuk mewakili empat sudut pandang yang berbeda. Artikel Dari Pengakuan
Algojo 1965 merupakan sudut pandang dari Majalah Tempo sendiri, artikel Sebuah
Pengakuan dari Kerumunan Pohon Kapuk mewakili sudut pandang dari pelaku yang
bersedia mengaku dan meninta maaf atas perbuatan jahatnya. Ketiga, artikel Joshua
Oppenheimer: Membunuh, Bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting mewakili sudut
pandang dari pembuat film Jagal atau The Act of Killing yang merupakan gagasan awal
pembuatan edisi khusus ini, dan terakhir, artikel Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965
merepresentasikan sudut pandang dari salah satu aktivis yang memperjuangkan
rekonsiliasi dari tragedi 1965 tersebut.
Selanjutnya, untuk menganalisis tingkat kognisi sosial, penulis akan melakukan
wawancara dengan Pihak Majalah Tempo, dan yang penulis wawancarai adalah
penanggung jawab dari tim laporan khusus 1965, Seno Joko Suyono dan Kurniawan
selaku Kepala Proyek dari tim laporan khusus 1965. Penulis melakukan wawancara
pada tanggal 20 Desember 2013 pukul 18.40 di Kantor Redaksi Majalah Tempo, Jl.
Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta 12240.
Untuk tingkat analisis sosial, ada dua sumber yang akan penulis gunakan.
Pertama dari studi literatur dan dokumen-dokumen yang sekiranya diperlukan untuk
mendukung penelitian yang penulis lakukan. Kedua, penulis akan melakukan
38
wawancara dengan salah satu sejarawan Indonesia, yaitu Asvi Warman Adam, yang
cukup banyak menulis buku dan membahas tentang kasus tragedi G30S ini. Beliau
penulis pilih karena merupakan salah satu anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM
Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003. Penulis melakukan
wawancara pada tanggal 19 Desember 2013 pukul 09.10 di Kantor Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gedung Sasana Widya Sarwono, Jl. Jend. Gatot Subroto
10, Jakarta 12710.
3.5 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data dari metode
analisis wacana kritis Van Dijk. Van Dijk mengklasifikasikan elemen wacana menjadi
3, yakni teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
3.5.1 Analisis Teks
Pada elemen teks, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu struktur makro,
superstruktur dan mikro. Tingkat makro merupakan makna global / umum dari
suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang
dikedepankan dalam suatu berita. Kemudian tingkat superstruktur yang
merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks,
bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga,
tingkat mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari
suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrasa, dan gambar
(Eriyanto, 2001: 226). Pada tingkat kognisi sosial dipelajari proses produksi
berita yang melibatkan kognisi individu penulis berita, sedangkan konteks sosial
39
adalah mempelajari bangunan wacana yang berkembang di masyarakat
(Kuntoro, 2008: 46).
STRUKTUR
WACANA
HAL YANG DIAMATI ELEMEN
Struktur Makro
Makna global dari suatu
teks yang dapat diamati dari
topik/tema yang diangkat
oleh suatu teks
Tematik
Tema/Topik yang
dikedepankan dalam suatu
berita
Topik
Superstruktur
Kerangka suatu teks,
seperti bagian pendahuluan,
isi, penutup, dan kesimpulan
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan
berita diskemakan dalam teks
utuh
Skema
Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu
teks yang dapat diamati dari
pilihan kata, kalimat, dan
gaya yang dipakai suatu teks
Semantik
Makna yang ingin ditekankan
dalam teks berita, missal
dengan memberi detail pada
satu sisi atau membuat
eksplisit satu sisi dan
mengurangi detail sisi lain.
Latar, detail,
maksud, pra-
anggapan,
nominalisasi
40
Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk,
susunan) yang dipilih.
Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang
dipakai dalam teks berita.
Retoris
Bagaimana dan dengan cara
penekanan dilakukan.
Bentuk
kalimat,
Koherensi,
Kata ganti.
Leksikon
Grafis,
Metafora,
Ekspresi.
Tabel 3.2 Elemen Wacana Van Dijk
3.5.1.1 Tematik
Kata lain dari tema adalah topik, yaitu gambaran umum atau inti
dari suatu berita. Dari tema / topik ini juga dapat dilihat apa yang
sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis berita tersebut. Tema ini juga
mencerminkan pandangan umum yang koheren (koherensi global), yaitu
bagian-bagian teks dalam satu berita, yang jika dirunut akan saling
mendukung satu sama lain dan mencerminkan gambaran umum dari
berita tersebut (Sobur, 2009: 75).
41
3.5.1.2 Skematik
Skema berarti alur atau urutan penyajian tulisan dalam suatu
berita. Ada bagian yang didahulukan, bagian yang mengikuti, dan
bagian yang dihilangkan atau disembunyikan. Secara umum, skema ini
dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah bagian summary (ringkasan),
yang terdiri dari judul dan lead (teras berita) atau paragraf pertama, dan
yang kedua adalah story (cerita), yaitu isi berita secara keseluruhan
(Kuntoro, 2008: 47).
3.5.1.3 Semantik
Dalam semantik ada latar, detail, maksud, praanggapan, dan
nominalisasi. Latar adalah bagian teks yang dapat mempengaruhi arti
dari berita tersebut. Latar yang dipilih dapat menentukan ke mana arah
pandangan khalayak akan dibawa. Biasanya, latar ditulis di awal,
sebelum pendapat penulis yang sebenarnya muncul dengan maksud
mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat penulis sangat
beralasan (Eriyanto, 2001: 235-236).
Detail ialah informasi mengenai suatu hal dalam pemberitaan
tersebut. Jika hal tersebut dirasa penting atau memang adalah tujuan
penulis berita tersebut, maka informasi / detail tentang hal tersebut akan
disebutkan secara lengkap atau bahkan berlebihan, sebaliknya jika hal
tersebut dirasa tidak menguntungkan atau tidak penting bagi penulis,
42
informasi / detail tentang hal tersebut akan dikurangi atau ditulis
seminimal mungkin (Kuntoro, 2008: 48).
Elemen maksud adalah melihat apakah informasi yang
disampaikan dalam suatu berita, disampaikan secara langsung atau tidak,
eksplisit atau implisit. Biasanya, informasi yang penting /
menguntungkan penulis akan disampaikan secara langsung, tegas, dan
eksplisit, sedangkan informasi yang tidak penting atau tidak
menguntungkan bagi penulis akan disampaikan dengan berbelit-belit,
tersamarkan, dan implisit. Tujuannya jelas agar pembaca terfokus pada
hal-hal yang diinginkan / menguntungkan bagi penulis berita tersebut
(Eriyanto, 2001: 240).
Praanggapan adalah pernyataan yang digunakan untuk
mendukung makna suatu teks dengan menggunakan premis yang
dipercaya atau tidak perlu diragukan kebenarannya. Pernyataan tersebut
dimaksudkan untuk mendukung penulis, agar pembaca semakin percaya
kepada apa yang dituliskan oleh penulis dalam berita tersebut (Eriyanto,
2001: 256).
Nominalisasi adalah perubahan dari kata kerja menjadi kata
benda, biasanya dengan menambahkan imbuhan "pe-an". Perubahan
kata itu dimaksudkan untuk merubah kalimat, dari kalimat yang
bermakna pekerjaan / tindakan, menjadi kalimat yang bermakna
peristiwa. Jika kalimat kerja / tindakan membutuhkan dua aktor, yaitu
siapa yang melakukan pekerjaan dan siapa yang terkena dampak dari
pekerjaan itu, kalimat benda tidak membutuhkan dua aktor tersebut,
43
namun lebih menekankan kepada peristiwa yang dialami oleh aktor yang
terkena dampak dari peristiwa tersebut (Eriyanto, 2001: 155).
3.5.1.4 Sintaksis
Dalam sintaksis, yang diperhatikan adalah bentuk kalimat,
koherensi, dan kata ganti. Bentuk kalimat bisa berupa kalimat aktif-
pasif, maupun deduktif-induktif. Kedua bentuk kalimat ini sering
digunakan untuk menonjolkan objek (pelaku peristiwa atau kejadian).
Bentuk kalimat aktif dan pasif ini sering digunakan untuk menonjolkan
atau menyembunyikan pelaku peristiwa yang diberitakan (Kuntoro,
2008: 48).
Koherensi adalah hubungan antarkata, proposisi atau kalimat.
Koherensi digunakan untuk menghubungkan dua buah kalimat atau
paragraf sehingga keduanya saling berhubungan. Sekalipun yang
dihubungkan tersebut adalah dua kalimat yang berbeda gagasannya,
tetap dapat menjadi selaras dan mendukung gagasan utama yang
disampaikan, jika disambung dengan kata sambung yang tepat (Sobur,
2009: 81).
Selanjutnya adalah kata ganti, elemen ini digunakan penulis
untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam suatu teks. Kata
ganti dalam suatu berita digunakan untuk memanipulasi bahasa dan
menciptakan suatu komunitas imajinatif. Dengan menggunakan kata
ganti yang tepat, sulit dipisahkan antara penulis berita dengan khalayak,
44
karena tanggapan yang disampaikan oleh penulis seakan juga menjadi
tanggapan khalayak (Eriyanto, 2001: 253-254).
3.5.1.5 Stilistik
Stilistik dapat diartikan juga sebagai diksi atau pemilihan kata.
Stilistik digunakan untuk menggambarkan citra makna tertentu pada
suatu hal. Stilistik berkaitan erat dengan penulis berita tersebut, karena
bagaimana ia bersikap dan berpihak pada suatu hal dapat dilihat dari
pemilihan kata yang ia lakukan (Kuntoro, 2008: 48).
3.5.1.6 Retoris
Grafis, metafora, dan ekspresi adalah hal yang harus diperhatikan
dalam retoris. Grafis dimaksudkan untuk melihat bagaimana penulis
menuliskan suatu hal dalam berita, tercakup di dalamnya penggunaan
huruf besar, kecil, miring, tebal, garis bawah, warna, serta bentuk
tulisan. Dari situ dapat dilihat mana bagian yang diutamakan /
ditonjolkan, dan mana bagian yang ingin dikesampingkan (Kuntoro,
2008: 49).
Metafora adalah "penyedap" dari pesan pokok yang ingin
disampaikan. Penulis bisa memperkuat pokok pesan yang ingin
disampaikan dengan mempertegas pesan tersebut menggunakan kiasan,
45
peribahasa, pepatah, ungkapan, petuah, dan sebagainya yang sudah
dikenal atau familiar di kalangan