+ All Categories
Home > Documents > Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel...

Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian ...kc.umn.ac.id/1304/1/SKRIPSI - Daniel...

Date post: 08-Jan-2020
Category:
Author: others
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
Embed Size (px)
of 148 /148
Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965 (Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan Algojo 1965 1-7 Oktober 2012) SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S. I. Kom.) Daniel Luke 10120110136 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI MULTIMEDIA JOURNALISM FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA TANGERANG 2014
Transcript
  • Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965

    (Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)

    SKRIPSI

    Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S. I. Kom.)

    Daniel Luke

    10120110136

    PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

    KONSENTRASI MULTIMEDIA JOURNALISM

    FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

    UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

    TANGERANG

    2014

  • ii

    PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya ilmiah saya sendiri,

    bukan plagiat dari karya ilmiah yang ditulis oleh orang lain atau lembaga lain, dan

    semua karya ilmiah orang lain atau lembaga lain yang dirujuk dalam skripsi ini telah

    disebutkan sumber kutipannya serta dicantumkan di Daftar Pustaka.

    Jika di kemudian hari terbukti ditemukan kecurangan/ penyimpangan, baik

    dalam pelaksanaan skripsi maupun dalam penulisan laporan skripsi, saya bersedia

    menerima konsekuensi dinyatakan TIDAK LULUS untuk mata kuliah Skripsi yang

    telah saya tempuh.

    Tangerang, 14 Februari 2014

    (Daniel Luke)

  • iii

    HALAMAN PENGESAHAN

    Skripsi dengan judul

    “Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965 (Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan

    Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)”

    oleh

    Daniel Luke

    telah diujikan pada hari Selasa, tanggal 4 Februari 2014, pukul 08.30 s.d. pukul 10.00 dan dinyatakan lulus dengan susunan penguji sebagai berikut.

    Ketua Sidang

    Rony Agustino Siahaan, M.Si

    Penguji Ahli

    Ignatius Haryanto, M.Hum

    Dosen Pembimbing

    F.X. Lilik Dwi Mardjianto, S.S., M.A.

    Disahkan oleh

    Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi - UMN

    Dr. Bertha Sri Eko M., M.Si.

  • iv

    KATA PENGANTAR

    Penulis menyadari bahwa tidak mungkin menyelesaikan skripsi ini seorang diri.

    Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada

    beberapa pihak yang telah memberi dukungan baik tenaga maupun moril kepada

    penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan praktik kerja magang dan laporannya

    dengan baik.

    Terima kasih ingin penulis sampaikan kepada :

    1. Mas Krisna, pencetus gagasan tentang tema skripsi ini.

    2. Pak Lilik, selaku dosen pembimbing skripsi.

    3. Randy Hernando dan Gloria Fransiska yang sudah mengizinkan penulis

    menjadikan skripsi mereka menjadi rujukan dan acuan.

    4. Bapak Seno Joko Suyono dan Bapak Kurniawan, serta Bapak Asvi Warman

    Adam yang telah bersedia menjadi narasumber skripsi ini.

    5. Monica Aprilda yang tak pernah putus memberi semangat dan dukungan.

    6. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

    Penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf kepada pembaca jika

    skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis akan dengan senang hati

    menerima segala kritik, saran, serta masukan yang bermanfaat baik bagi penulis sendiri

    maupun bagi pembaca yang lain.

    Tangerang, 14 Februari 2014

    Daniel Luke

  • v

    Wacana Rekonsiliasi Antara Korban dan Pelaku Pembantaian Pascagerakan 30 September 1965

    (Analisis Wacana Kritis Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan Algojo 1965 1-7 Oktober 2012)

    ABSTRAK

    Oleh: Daniel Luke

    Tragedi pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965 masih menyisakan luka bagi Bangsa Indonesia hinga saat ini. Kerugian yang diderita para korban, baik harta benda, trauma fisik maupun mental, hingga dicabutnya hak-hak mereka sebagai warga negara, masih belum dipulihkan seutuhnya oleh Negara.

    Untuk menyelesaikan masalah ini hingga tuntas, diperlukan adanya rekonsiliasi antara korban dan pelaku dari peristiwa berdarah tersebut. Rekonsiliasi yang dimaksud tentu saja secara keseluruhan, baik di tingkat masyarakat kecil (mikro) hingga tingkat yang paling tinggi (makro) yaitu pemerintahan. Tanpa adanya rekonsiliasi di semua tingkat, masalah ini tidak akan selesai dengan tuntas.

    Penelitian ini melakukan pendekatan secara kualitatif dengan paradigma kritis dan bersifat deskriptif. Data berupa empat artikel dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012, hasil wawancara dengan Seno Joko Suyono dan Kurniawan dari pihak Majalah Tempo, serta hasil wawancara dengan seorang Sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam, dianalisis menggunakan metode penelitian analisis wacana kritis milik Teun A. van Dijk.

    Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Majalah Tempo memang mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya ini. Bagi Majalah Tempo, rekonsiliasi adalah hal terpenting saat ini, karena dengan adanya rekonsiliasi, Bangsa Indonesia dapat menutup lubang-lubang sejarah yang selama ini ditutup-tutupi serta memulihkan para korban, keluarganya beserta generasi penerusnya dari kerugian yang sudah mereka derita selama ini.

    Kata kunci: rekonsiliasi korban dan pelaku, PKI, pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965, analisis wacana kritis, Teun A. Van Dijk.

  • vi

    Reconciliation Discourse Between Victims and Perpetrators of September 30th 1965 Post-Movement

    Massacre

    ( Critical Discourse Analysis of Tempo magazine special edition Pengakuan Algojo 1965 1-7 October 2012)

    ABSTRACT

    By: Daniel Luke

    The September 30th 1965 Post-Movement Massacre tragedy still leave a wound for the Indonesian until now. Losses suffered by victims, either of property, physical and mental trauma, and the revocation of their rights as citizens , still not fully recovered by the State.

    To resolve this issue to its conclusion , it is necessary to reconciliation between victims and perpetrators of that bloody tragedy. A Whole reconciliation is needed indeed, from the smallest community level (micro) to the highest level (macro) that means the government. Without reconciliation at all levels , this problem will not be resolved completely.

    This study is using qualitative approach with a critical paradigm and descriptive characteristic. Data in the form of four articles in Tempo Magazine Special Edition 1-7 October 2012, the results of interviews with Seno Joko Suyono and Kurniawan of the Tempo Magazine, as well as an interview with an Indonesian historian, Asvi Warman Adam, were analyzed by using Teun A. van Dijk's critical discourse analysis research methods.

    The results of this study concluded that there is reconciliation discourse by Tempo Magazine in this edition. For Tempo Magazine, reconciliation is the most important thing at this time, due to the presence of reconciliation, Indonesian people can close the holes of history that had been covered up all this time. Furthermore for the victims, their families, and their future generations can recover from the losses that they have suffered over the years.

    Keywords : reconciliation of victims and perpetrators, PKI, September 30th 1965 Post-Movement Massacre, critical discourse analysis, Teun A. Van Dijk.

  • vii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i

    HALAMAN PERNYATAAN…………………………..................................................ii

    HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................iii

    KATA PENGANTAR.....................................................................................................iv

    ABSTRAK........................................................................................................................v

    ABSTRACT....................................................................................................................vi

    DAFTAR ISI..................................................................................................................vii

    DAFTAR TABEL............................................................................................................x

    DAFTAR BAGAN..........................................................................................................xi

    BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

    1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................1

    1.2 PERUMUSAN MASALAH.........................................................................15

    1.3 TUJUAN PENELITIAN...............................................................................15

    1.4 KEGUNAAN PENELITIAN.......................................................................16

    1.4.1 MANFAAT TEORITIS.................................................................16

    1.4.2 MANFAAT PRAKTIS..................................................................16

    BAB II KERANGKA PEMIKIRAN..............................................................................17

    2.1 PENELITIAN TERDAHULU......................................................................17

    2.2 TEORI DAN KONSEP-KONSEP YANG DIGUNAKAN.........................19

    2.2.1 WACANA.....................................................................................19

    2.2.2 ANALISIS WACANA..................................................................20

    2.2.3 ANALISIS WACANA KRITIS....................................................21

  • viii

    2.2.4 IDEOLOGI....................................................................................23

    2.2.5 KOMUNISME...............................................................................24

    2.2.6 REKONSILIASI............................................................................26

    2.3 KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................29

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................................................30

    3.1 JENIS DAN SIFAT PENELITIAN..............................................................30

    3.2 METODE PENELITIAN.............................................................................32

    3.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA............................................................33

    3.4 UNIT ANALISIS DATA.............................................................................36

    3.5 TEKNIK ANALISIS DATA........................................................................38

    3.5.1 ANALISIS TEKS..........................................................................38

    3.5.2 KOGNISI SOSIAL........................................................................45

    3.5.3 ANALISIS SOSIAL......................................................................46

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................................48

    4.1 GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN..........................................48

    4.2 HASIL PENELITIAN..................................................................................50

    4.2.1 ANALISIS TEKS ARTIKEL DARI PENGAKUAN ALGOJO 1965...............................................................................................50

    4.2.2 ANALISIS TEKS ARTIKEL SEBUAH PENGAKUAN DARI KERUMUNAN POHON KAPUK..................................................56

    4.2.3 ANALISIS TEKS ARTIKEL JOSHUA OPPENHEIMER: MEMBUNUH, BAGI ANWAR, ADALAH SEBUAH AKTING......62

    4.2.4 ANALISIS TEKS ARTIKEL JALAN LAIN PENYELESAIAN TRAGEDI 1965..............................................................................73

  • ix

    4.3 PEMBAHASAN...........................................................................................89

    4.3.1 REKONSILIASI MIKRO...........................................................100

    4.3.2 REKONSILIASI MAKRO..........................................................103

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................108

    5.1 KESIMPULAN...........................................................................................108

    5.2 SARAN.......................................................................................................112

    5.2.1 SARAN AKADEMIS..................................................................112

    5.2.2 SARAN PRAKTIS......................................................................112

    DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................113

    LAMPIRAN.................................................................................................................119

    ARTIKEL DARI PENGAKUAN ALGOJO 1965..........................................................120

    ARTIKEL SEBUAH PENGAKUAN DARI KERUMUNAN POHON KAPUK............121

    ARTIKEL JOSHUA OPPENHEIMER: MEMBUNUH, BAGI ANWAR,ADALAH SEBUAH AKTING............................................................................................123

    ARTIKEL JALAN LAIN PENYELESAIAN TRAGEDI 1965........................................125

    TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN MAJALAH TEMPO...............................127

    TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN ASVI WARMAN ADAM.......................133

  • x

    DAFTAR TABEL

    TABEL 3.1 PERBEDAAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF..............................30

    TABEL 3.2 ELEMEN WACANA VAN DIJK..............................................................39

    TABEL 4.1 ARTIKEL 1................................................................................................50

    TABEL 4.2 ARTIKEL 2................................................................................................56

    TABEL 4.3 ARTIKEL 3................................................................................................62

    TABEL 4.4 ARTIKEL 4................................................................................................73

    TABEL 4.5 KESIMPULAN.........................................................................................85

  • xi

    DAFTAR BAGAN

    BAGAN 2.1 KERANGKA PEMIKIRAN.....................................................................29

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Salah satu sejarah dari Bangsa Indonesia yang masih menyisakan luka yang

    begitu mendalam adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di

    mana terjadi penculikan 7 jenderal yaitu, Ahmad Yani, Donald Ifak Panjaitan, M.T.

    Haryono, Piere Tendean (yang mengaku sebagai Abdul Haris Nasution), Siswondo

    Parman, Suprapto, dan Sutoyo Siswomiharjo. Mereka dituduh sebagai "Dewan

    Jenderal". Samsudin (2004: 224) menyebutkan bahwa dewan jenderal adalah jenderal-

    jenderal yang memiliki pemikiran tidak sejalan dengan pemimpin (Soekarno), mereka

    menganut paham anti komunis, sedangkan Soekarno mengizinkan berkembangnya

    paham komunis.

    Soekarno memang mengizinkan ideologi komunis berkembang dalam negara

    Indonesia, seperti yang tertulis dalam Geerken (2011: 58), "untuk tiga ideologi yang

    diizinkan di dalam negeri, yaitu partai nasional, partai berbasis agama, dan partai

    komunis, Soekarno membuat istilah Nasakom." Nasakom adalah akronim dari

    nasionalis, agama, dan komunis.

    Para dewan jenderal ini dituduh berencana merebut kekuasaan Soekarno karena

    mereka memiliki sikap anti komunis yang fanatik (Fic, 2005: 66). Namun, menurut

    Luhulima (2006: 8), dewan jenderal ini adalah bagian dari skenario yang diciptakan

    Soeharto untuk merebut kekuasaan Soekarno. Lebih lengkap, Luhulima memaparkan,

  • 2

    "Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, secara perlahan-lahan menggeser Soekarno dari kedudukannya orang yang paling berkuasa di negeri ini. Langkah itu diawali dengan secara sepihak mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat, menyusul aksi penjemputan paksa para jenderal Angkatan Darat yang berakhir dengan kematian mereka."

    Dalam buku Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S, Kolonel Abdul

    Latief (2000) memaparkan kesaksiannya. Ia menyatakan bahwa sebenarnya Soeharto

    pada saat itu sudah mengetahui akan terjadinya penjemputan paksa ketujuh jenderal

    tersebut. Ketika itu Soeharto mengatakan bahwa ia akan segera mengambil tindakan

    untuk menyelidi tentang kebenaran dari akan adanya pergerakan itu, namun ternyata

    Soeharto tidak melakukan apa-apa, bahkan terkesan membiarkan agar pergerakan itu

    terjadi.

    Pembiaran tragedi itu terjadi sepertinya memang merupakan bagian dari

    rencana Soeharto. Sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat

    (PANGKOSTRAD), Mayor Jenderal (Mayjen) Seoharto memiliki posisi yang strategis

    untuk menentukan siapa yang dituduh bertanggung jawab atas peristiwa G30S ini

    (Luhulima, 2006: 106).

    Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang dari peristiwa ini.

    Namun Sersan Kepala (Serka) Bungkus dalam Lesmana (2005: 38) menegaskan, "PKI

    hanya kambing hitam." Dalam penculikan tersebut, pasukan Pasopati dari Cakrabirawa

    dibantu oleh pihak sipil seperti Pemuda Rakyat-yang pro terhadap komunis, untuk

    menjaga daerah rumah sekitar penculikan. Sebelum penculikan, mereka di-briefing

    oleh Letan Satu Dul Arif yang mengatakan bahwa jenderal-jenderal yang akan diculik

    ini merupakan jenderal-jenderal yang ingin membahayakan Soekarno, oleh karena itu

    mereka harus melakukan apapun, termasuk membunuh jenderal-jenderal tersebut, demi

  • 3

    keselamatan Soekarno. Dengan berpaham melindungi Soekarno inilah, PKI membantu

    aksi penculikan tersebut (Matanasi, 2011: 90-91).

    Fakta itu diperkuat dengan pernyataan Asvi Warman Adam (2009: 183) yang

    mengatakan bahwa Letjen Soeharto membubarkan PKI bukan karena PKI dalang

    Gerakan 30 September 1965, tetapi karena ia ingin menghancurkan partai yang

    merupakan saingan terberat dalam mencapai puncak kekuasaan.

    Sampai sekarang, masih terdapat simpang-siur fakta di masyarakat tentang apa

    yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Dari istilah yang digunakan saja sudah terdapat

    perdebatan di dalamnya. Adam (2009) menyebutkan,

    "Pertama, Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato Presiden Soekarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Alasannya, peristiwa itu terjadi dini hari tanggal 1 Oktober. Sebaliknya pers militer menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini menyalahi kaidah Bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu."

    Versi yang paling umum yang diketahui masyarakat adalah Partai Komunis

    Indonesia (PKI) lah yang mendalangi semua ini. Hal itu disebabkan karena selama 32

    tahun rezim orde baru, Presiden Soeharto memakai istilah G30S/PKI, di mana istilah

    itu menuduh PKI sebagai dalang dari peristiwa berdarah itu. Soeharto melarang

    terbitnya segala jenis versi/bentuk tulisan lain tentang PKI (Adam, 2009: 140). "Selama

    orde baru hanya dikenal dan diperbolehkan satu versi: Partai Komunis Indonesia (PKI)

    adalah dalang G30S" (Adam, 2009: 142).

    Setelah Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden RI tahun 1998, banyak

    buku-buku tentang peristiwa 30 September 1965 yang bermunculan, yang sebelumnya

    dilarang terbit selama rezim orde baru. Kata PKI dihilangkan dari istilah G30S/PKI,

    terutama dalam buku-buku pelajaran sekolah. Kurikulum yang baru itu disusun

  • 4

    berdasarkan masukan dari para ahli (sejarawan, pakar psikologi dan pendidikan serta

    kurikulum) dengan mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam bidang sejarah,

    berupa terbitnya banyak buku-buku tentang G30S yang dilarang terbit selama masa

    pemerintahan orde baru (Adam, 2009: 141).

    Versi lain tentang G30S disampaikan Anderson (2009) yang mengatakan bahwa

    peristiwa 30 September 1965 itu berawal dari persoalan intern TNI Angkatan Darat

    (AD). Ada beberapa perwira TNI AD dari Kodam IV/Diponegoro (Jawa Tengah) kesal

    melihat para jenderal yang hidup berfoya-foya di Jakarta. Para perwira dari Jawa

    Tengah itu kemudian mengajak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan PKI

    dalam menjalankan operasinya.

    Versi itu tidak dibenarkan oleh Harold Crouch (dalam Roosa, 2008: 106), ia

    mengatakan bahwa sebenarnya inisiatif awal gerakan ini muncul dari tubuh TNI-AD

    sendiri, sedangkan PKI juga berperan dan bertindak sebagai "pemain kedua". Maksud

    dari PKI sebagai pemain kedua adalah sebenarnya yang merencanakan dan

    melaksanaan pergerakan penculikan ketujuh jenderal tersebut adalah Angkatan Darat,

    namun orang-orang di Angkatan Darat tersebut merupakan orang-orang yang dekat

    dengan PKI (Roosa, 2008: 107).

    Versi lain yang juga beredar di masyarakat adalah campur tangan Amerika

    melalui Central Intelligence Agency (CIA). Dalam artikel berjudul LIPI: CIA Diduga

    Dalangi Tragedi PKI, Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam mengatakan, "banyak versi

    mengenai terjadinya pemberontakan G30S/PKI, menurut pemerintah dalangnya adalah

    PKI. Namun, versi lain mencuat CIA muncul di belakang peristiwa itu. Amerika ikut

    berperan dalam kejadian tahun 65." Amerika dituduh ikut terlibat dalam tragedi

  • 5

    tersebut karena Amerika ingin menjatuhkan Presiden Soekarno yang pro terhadap

    komunis. Sophiaan (2008: 95) membenarkan versi tersebut,

    "Ketidaksenangan Amerika terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia yang dipimpunnya, sudah muncul ketika kunjungannya yang pertama ke Negara Uncle Sam pada bulan Mei 1956. Waktu itu Bung Karno menjelaskan kepada Menteri Luar Negeri AS, John Foster Dulles, dasar politik Indonesia. "Kami tidak mempunyai hasrat untuk meniru Uni Sovyet, juga tidak mau mengikuti dengan membabi buta jalan yang direntangkan oleh Amerika untuk kami. Kami tidak akan menjadi satelit dari salah satu blok," kata Bung Karno kepada Menlu Dulles."

    Tragedi yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 - 1 Oktober 1965 itu tidak

    selesai begitu saja. Penangkapan dan pembantaian orang-orang yang dituduh PKI

    terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Jakarta, Kediri, Jombang, Lumajang,

    Tuban, Tulungagung, Banyuwangi, Purwodadi, Bali, Maumere, Medan, Sulawesi, Palu,

    dan lain-lain. Pembantaian dilakukan baik oleh angkatan bersenjata / militer, maupun

    organisasi masa seperti Barisan Serba Guna (Banser) NU (Susanto, 2003:74).

    Selain Banser, Pemuda Pancasila juga ikut serta dalam tragedi tersebut. Bresnan

    (2005: 120) mengatakan,

    "Military officials in Medan and Jakarta in 1965 organized hoodlums into what was to become one of Indonesia's most powerful paramilitaries, the Pancasila Youth (Pemuda Pancasila). In Medan and Jakarta during late 1965, the Pancasila Youth were mobilized to strike at the Communist Party."

    "Para pejabat militer di Medan dan Jakarta pada 1965 mengumpulkan para preman dan memasukkannya ke dalam sebuah organisasi yang akan menjadi paramiliter terkuat di Indonesia, yaitu Pemuda Pancasila. Di Medan dan Jakarta selama akhir 1965, Pemuda Pancasila dikerahkan untuk menyerang Partai Komunis."

    Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pada tahun 1965, badan militer yang

    resmi di Medan dan Jakarta merekrut preman-preman untuk menjadi pasukan yang

    kemudian dinamakan Pemuda Pancasila. Mereka ditugaskan untuk menyerang Partai

    Komunis Indonesia.

  • 6

    Pada tanggal 4 Oktober 1965, wakil ketua Nahdlatul Ulama (NU), Subchan ZE,

    membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (KAP-

    Gestapu). Kesatuan Aksi tersebut mendapat banyak dukungan dari berbagai organisasi

    pemuda dan mahasiswa, salah satunya adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia

    (KAMI) yang berdiri tanggal 25 Oktober 1965. Tujuan dibentuknya kesatuan-kesatuan

    aksi ini tidak lain tidak bukan adalah untuk memberantas orang-orang yang dituduh

    PKI (Aritonang, 2004: 342).

    Pada 10 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), didukung

    oleh organisasi kesatuan aksi lain seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),

    Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia

    (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia

    (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) mengajukan tiga tuntutan rakyat

    yang dikenal dengan sebutan Tritura. Isi ketiga tuntutan rakyat tersebut adalah

    membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-

    unsur PKI, dan menurunkan harga bahan pokok (Poesponegoro, 2008: 545).

    Tritura tidak berjalan mulus. Masyarakat kecewa karena Soekarno justru

    menyingkirkan tokoh-tokoh yang gigih menentang PKI, seperti A. H. Nasution,

    Menteri Koordinator Hankam / Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Sebaliknya,

    Soekarno justru mengangkat sejumlah orang yang diragukan iktikad baiknya, bahkan

    orang-orang yang diindikasikan terlibat dalam G30S, seperti Ir. Surachman dan Oei

    Tjoe Tat, S.H. (Poesponegoro, 2008: 545).

    Di ibukota, rakyat yang tidak puas dengan hasil reshuffle kabinet baru itu pun

    menggelar aksi demonstrasi. Tewasnya seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI),

  • 7

    Arief Rachman hakim karena terkena peluru Resimen Cakrabirawa, membuat

    demonstran semakin geram (Poesponegoro, 2008: 547).

    Puncaknya, pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan

    Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Meski inti dari isi surat tersebut sebenarnya

    adalah Presiden Soekarno memberi perintah kepada Letjen Soeharto untuk

    mengembalikan keamanan dan ketertiban Negara Indonesia, namun hingga saat ini,

    belum ada kepastian dan kejelasan, apa isi surat perintah tersebut yang sebenarnya

    (Wardaya, 2009: 120).

    Berbekal surat perintah yang diberikan Soekarno, Soeharto melakukan beberapa

    tindakan. Pertama, membubarkan PKI dan ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret

    1966, sesuai dengan salah satu tunturan rakyat dalam tritura. Kedua, dikeluarkannya

    Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri

    yang dinilai terlibat di dalam pemberontakan G-30-S / PKI atau memperlihatkan

    iktikad tidak baik dalam rangka penyelesaian masalah itu. Ketiga, mengangkat lima

    Menteri Koordinator (Menko) ad interim (sementara) yang bersama-sama menjadi

    Presidium Kabinet (Poesponegoro, 2008: 551).

    Wardaya (2009: 121-122) mengemukakan,

    "Tampak sekali bahwa Soeharto menggunakan Supersemar yang sebenarnya adalah perintah presiden (executive order) itu sebagai sebuah 'transfer of authority'. Seolah-olah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto sehingga Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban seakan-akan negara sedang dalam keadaan perang."

    Hal itu dibenarkan oleh Soebandrio (dalam Djarot, 2006a: 14-15), "Supersemar

    itu bukan pelimpahan kekuasaan. Supersemar itu diserahkan ke Pak Harto. Kalo sudah

  • 8

    aman, diserahkan kembali ke Bung Karno. Jadi, Supersemar itu bukan penyerahan

    kekuasaan dari Bung Karno ke Pak Harto."

    Menurut Subandrio (dalam Adam, 2010: 144), Penculikan dan pembunuhan

    ketujuh jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari adalah tahap pertama dari empat

    tahap kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto. Disebut kudeta merangkak

    karena biasanya sebuah kudeta dilakukan dengan cepat dan tidak terduga, namun

    berbeda dengan yang dilakukan Soeharto, ia melakukan kudeta dengan perlahan dan

    penuh perencanaan yang matang. Pembunuhan ketujuh jenderal tersebut dilakukan

    Soeharto dengan maksud untuk menghabisi pesaing-pesaingnya di Angkatan Darat.

    Tahap kedua dari kudeta merangkak Soeharto adalah dengan mendapatkan

    Supersemar dari Soekarno dan kemudian membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret

    1966. Pembubaran PKI ini dimaksudkan Soeharto untuk melumpuhkan partai dengan

    pendukung lebih dari tiga juta orang yang menjadi rival terberat tentara saat itu (Adam,

    2010: 144).

    Langkah ketiga dalam kudeta merangkak-nya, 18 Maret 1966 Soeharto

    menangkap 15 menteri yang loyal kepada Soekarno. Dengan bermodalkan Supersemar,

    Soeharto melakukan penangkapan ini tanpa sepengetahuan dan seizin Soekarno

    (Pambudi, 2009: 57).

    Terakhir, pada tanggal 7 Maret 1967, dengan ditetapkannya TAP MPRS

    XXXIII/1967 yang memberhentikan Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden, dan

    diangkatnya Soeharto menjadi pejabat presiden.

    SI-MPRS kemudian tetap memutuskan antara lain TAP MPRS XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno (mulai berlaku surut sejak 20 Februari 1967) karena mulai tanggal tersebut Soekarno telah mengundurkan diri menghindari pemakzulan MPRS. Dengan TAP MPRS ini pula Jenderal Soeharto

  • 9

    diangkat sebagai pejabat presiden. Ini setelah 17 tahun jabatan presiden hanya dipegang seseorang tanpa pemilihan, kecuali malahan diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS bentukannya. Demikian pula gelar Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dicabut oleh TAP MPRS NO. XXXV/MPRS/1967. Termasuk meluruskan pengertian mandataris yang banyak disalahgunakan presiden itu (Fatwa, 2009:220).

    Setelah melalui empat tahap kudeta merangkak tersebut, pada Sidang Umum

    MPRS ke-5 tahun 1968, Soeharto berhasil terpilih sebagai Presiden RI yang kedua.

    Soeharto dilantik menjadi Presiden RI yang kedua pada tanggal 27 Maret 1968

    (Pambudi, 2009: 168).

    Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa selama masa pemerintahan

    Presiden Soeharto hanya diperbolehkan beredar satu versi cerita tentang PKI, yaitu PKI

    sebagai dalang G30S. Hal serupa juga dipaparkan oleh Eros Djarot (2006b: 107) yang

    mengatakan,

    "Sepanjang pemerintahannya, Soeharto berusaha terus meneriakkan bahaya laten PKI. Orang menuntut soal tanah dituding PKI. Tengok saja ketika warga Kedung Ombo memprotes harga ganti rugi tanah, Soeharto langsung menanggapinya dengan mengatakan bahwa di antara mereka terdapat oknum-oknum PKI."

    Lewat berbagai kuasa yang dimilikinya sebagai seorang Presiden, Soeharto

    mendoktrin seluruh masyarakat Indonesia bahwa PKI itu kejam. Ditambah lagi,

    masyarakat juga diancam dengan adanya dwifungsi ABRI yang diberi kuasa dan

    wewenang untuk menumpas siapa saja yang dianggap PKI atau mengancam kedudukan

    Soeharto sebagai Presiden. Tak heran jika selama rezim orde baru, kasus G30S yang

    mengkambinghitamkan PKI ini tidak bisa terselesaikan (Djarot, 2006b: 107-108).

    Setidaknya, ada dua istilah yang terkenal dan sangat ditakuti masyarakat saat

    kepemimpinan Soeharto, yaitu petrus (penembak misterius) dan penghilangan paksa

    (involuntary disappearance). Petrus ini terjadi sekitar tahun 1980-an, di mana orang-

  • 10

    orang yang diindikasikan sebagai penjahat / kriminal (memiliki tato di badannya), akan

    ditembak (entah dari mana tembakan itu, sehingga penembaknya tidak diketahui, atau

    misterius) di tengah-tengah keramaian dan jasadnya dibiarkan begitu saja sehingga

    dilihat oleh orang banyak. Soeharto menyebutnya sebagai shock therapy agar

    masyarakat takut dan tidak berani berbuat macam-macam (Abdulgani-Knapp, 2007).

    Sedangkan penghilangan paksa adalah menculik orang-orang yang dianggap

    dapat menghalangi, menghambat, atau mengancam kekuasaan Soeharto. Kasus

    penghilangan paksa ini dimulai dari kasus G30S 1965 sendiri, di mana menghilangkan

    secara paksa tujuh jenderal yang dianggap saingan Soeharto di Angkatan Darat,

    kemudian dilanjutkan dengan beberapa kasus seperti di Tanjung Priok (1984), di

    Talangsari, Lampung (1989), dan penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997-

    1998 (Hamid, 2007).

    Dalam wawancara pada tanggal 19 Desember 2013, Asvi Warman Adam,

    sejarawan Indonesia, menuturkan,

    "Kekuasaan itu kan diberikan secara penuh kepada Soeharto kan tahun 68, tetapi stigma itu kan diawetkan. Saya menganggap PKI ini bukan hanya dianggap sebagai lawan atau musuh politik, tetapi juga untuk kepentingan lain, sebagai alat pemukul politik. Ini dipelihara sehingga orang yang bukan PKI, yang kritis terhadap pemerintah, itu nanti kan gampang, di cap PKI gitu. Yang kedua ini untuk keperluan praktis, untuk membeli tanah dengan harga murah, kalau mereka tidak mau, nanti di cap PKI gitu.

    Jadi kan digunakan sepanjang kekuasaannya, bukan hanya tahun 65 saja, bahkan sampai tahun 98. Jadi untuk dua keperluan tadi, yaitu memukul lawan politik, dan keperluan praktis membeli tanah dengan murah.

    Dan itu diawetkan stigma itu dengan monumen-monumen yang dibangun selama orde baru. Monumen Pancasila Sakti itu dibangun pada awal, tapi kita tahu Museum Penghianatan PKI itu baru dibangun tahun 93 di Lubang Buaya juga. Di Gatot Soebroto ini dibangun museum Waspada Purwawisesa namanya, itu museum yang dibangun untuk mengingatkan tentang bahaya dari kelompok Islam radikal. Jadi sepanjang orde baru diciptakan terus itu monumen-monumen, jadi tidak berhenti tahun 66, tapi sepanjang itu ada saja monumen, buku yang dikeluarkan gitu, buku putih setneg (Sekretariat Negara) itu kan tidak dikeluarkan tahun 65-66, 90-an malah itu, jadi artinya sepanjang kekuasaannya selalu dilestarikan stigma itu."

  • 11

    Meski Soeharto sudah turun dari jabatannya sebagai presiden sejak 21 Mei 1998

    dan sudah banyak pula buku-buku dan tulisan-tulisan yang menceritakan versi lain dari

    peristiwa G30S, kasus itu tidak selesai begitu saja. Masih banyak kelompok masyarakat

    dan pemuka agama yang masih menganggap PKI berbahaya (Adam, 2009: 159).

    Beberapa contoh dari buku dan tulisan yang menceritakan versi lain dari

    peristiwa pembantaian massal pasca-G30S 1965 antara lain adalah Palu Arit di Ladang

    Tebu tulisan Hermawan Sulistyo, Gangsters and Revolutionaries oleh Robert Cribb,

    dan The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali buatan Geoffrey Robinson.

    Pada tahun 2000, Majalah Tempo sendiri mengeluarkan artikel berjudul,

    ISLAM, MAAF, DAN PKI, di situ tertulis, "MENGAPA kalangan Islam menolak usul

    Gus Dur untuk mencabut Ketetapan MPRS XXV/66? Mengapa mereka menyesalkan

    usulan Gus Dur untuk minta maaf kepada PKI?" TAP MPRS XXV/66 sendiri berisi

    tentang pelarangan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya.

    Dengan dicabutnya TAP MPRS XXV/66 ini, berarti PKI boleh berorganisasi lagi di

    Indonesia. Artikel tersebut membuktikan bahwa upaya rekonsiliasi antara pihak korban

    dan pelaku tragedi pembantaian massal pasca-G30S 1965 belum tercapai.

    Upaya dari para aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) di Indonesia untuk

    mengungkap kebenaran masa lalu, termasuk kasus G30S ini sudah dimulai sejak tahun

    1999. Mereka meminta pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

    (KKR) beserta undang-undangnya. Namun gagasan mereka tidak berjalan mulus,

    banyak pihak yang menolak gagasan tersebut dengan berbagai alasan, demi

    kepentingannya masing-masing. Terutama fraksi TNI/Polri yang tidak ingin aib

    perbuatan mereka di masa lampau terungkap. Akhirnya, pembentukan KKR baru dapat

  • 12

    terwujud pada 7 September 2004, dengan disahkannya UU No.27 Tahun 2004 tentang

    Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh DPR (Sumarwan, 2007: 215-218).

    Dibentuknya Komisis Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia ini tidak

    terlepas dari berhasilnya beberapa penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang ada

    di luar negeri. Misalnya di Chile, dengan kasus hilangnya 600 orang pada masa

    pemerintahan Jenderal Pinochet. Selain itu, ada pula penyelesaian kasus pelanggaran

    berat hak asasis manusia di Argentina yang diselesaikan dengan membentuk Komisi

    Nasional untuk Orang Hilang (Sujatmoko, 2005: 8).

    Penyelesaian kasus pelanggaran berat hak asasi manusia lain yang dapat

    dijadikan panutan adalah dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional untuk

    menyelesaikan kasus pembantaian dan penghilangan etnis muslim di Bosnia dan

    tragedi Rwanda. Perangkat hukum acaranya menggunakan Statuta Roma. Statuta Roma

    adalah adalah perjanjian yang ditetapkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional

    (International Criminal Court). Perjanjian ini diadopsi pada konferensi diplomatik di

    Roma pada tanggal 17 Juli 1998 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002. Statuta

    Roma dibuat untuk melakukan pengadilan bertaraf internasional yang bertujuan untuk

    mengadili semua pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat dari negara mana saja

    yang menandatangani atau meratifikasi Statuta Roma tersebut (Lubis, 2005: 3-4).

    Kembali ke Indonesia, belum sempat menyelesaikan tugasnya, kewenangan

    Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

    dengan Putusan MK No.006/PUU-IV/2006 yang mencabut UU No. 27 Tahun 2004

    tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Gultom, 2010: 308). Ketua Mahkamah

    Konstitusi saat itu, Jimly Asshiddiqie (dalam laman Tempo, 2006: Undang-Undang

    Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dibatalkan) mengatakan, "Kewenangan Komisi

  • 13

    Kebenaran dan Rekonsiliasi terkesan tidak pasti karena tidak memiliki daya ikat."

    Dengan dibatalkannya UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan

    Rekonsiliasi ini, Asmara Nababan (dalam laman Tempo, 2006: Undang-Undang

    Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dibatalkan) berpendapat, "keputusan ini

    mengembalikan posisi pengungkapan masalah HAM berat di masa lalu ke titik nol."

    Oleh pihak yang berkuasa (dalam hal ini pemerintah) sengaja memberikan

    diskriminasi berupa pemberian kode-kode khusus dalam kartu tanda penduduk (KTP)

    seperti ET (eks-tapol) dan OT (organisasi terlarang) pada orang-orang yang terlibat

    baik secara langsung maupun tidak langsung dengan PKI (Sumarwan, 2007: 100 dan

    151). Diskriminasi tersebut akhirnya dihapuskan oleh Putusan MK,

    "Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) mengabulkan permohonan pengujian UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945 yang oleh pemohon dianggap mengandung unsur diskriminasi. Dalam putusan yang dibacakan 24 Februari 2004, eks anggota PKI mendapatkan kembali hak politiknya sebagai warga negara untuk dipilih menjadi anggota legislatif. Oleh banyak kalangan putusan MK itu dipahami sebagai pemulihan hak-hak politik eks PKI yang selama rezim Orde Baru diperlakukan secara diskriminatif."

    Dari artikel Penantian Panjang Korban Pelanggaran HAM yang tertulis dalam

    situs resmi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), diakui bahwa

    pemerintah dan DPR memang dirasa kurang serius dalam menyelesaikan kasus-kasus

    pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus G30S 1965 silam. DPR

    pun bahkan terkesan dijadikan benteng perlindungan bagi para pelanggar HAM masa

    lalu. Ditambahkan, "Peran Komnas HAM pun kini semakin penting semenjak

    dibatalkannya UU KKR oleh MK tersebut." Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat

    disimpulkan bahwa orang-orang yang memiliki kuasa di negeri ini, justru memakai

    kekuasaannya untuk melindungi diri mereka atau kelompoknya sendiri, bukan untuk

    kepentingan rakyat.

  • 14

    Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif (dalam

    Kasemin, 2004: 114) membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan bahwa rekonsiliasi

    sulit diwujudkan karena ada masalah intern elite, yaitu perbedaan kepentingan dari para

    elite politik di Indonesia, yang membela kepentingannya masing-masing.

    Untuk mengenang peristiwa G30S 1965, tahun 2012 lalu Majalah Tempo

    mengeluarkan edisi khusus seputar G30S berjudul, Pengakuan Algojo 1965. Selain

    menyajikan berbagai pengakuan dari para pembunuh orang-orang yang dituduh PKI,

    edisi ini juga mengulas tentang film dokumenter buatan sutradara Joshua Oppenheimer

    yang berjudul, Jagal, atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan judul, The Act of

    Killing.

    Pada tahun 2012 lalu pula, Majalah Tempo mendapatkan penghargaan Yap

    Thiam Hien Award 2012. Yayasan Yap Thiam Hien sendiri dikenal sebagai yayasan

    yang memang memfokuskan diri untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM). Dari

    situs resmi Yayasan Yap Thiam Hien, terdapat artikel berjudul, Majalah Tempo Raih

    Yap Thiam Hien Award 2012 (http://tinyurl.com/m6b9bf2). Dari artikel tersebut, ketua

    Yayasan Yap Thiam Hien, Todung Mulya Lubis menjelaskan, "karena Tempo tampil

    sebagai majalah yang memiliki komitmen lebih dalam isu-isu penegakan keadilan dan

    Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia."

    Tempo juga sempat mengalami pembredelan oleh pemerintah sebanyak dua

    kali, yaitu pada tahun 1982 dan tahun 1994. Alasan kedua pembredelan itu karena

    Majalah Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik pemerintahan Soeharto.

    Penulis melihat, melalui edisi khusus ini, Majalah Tempo ingin menawarkan

    rekonsiliasi antara pelaku dan korban dari tragedi G30S. Meski sudah terbit setahun

  • 15

    lalu, penulis berpendapat bahwa topik ini masih layak diangkat karena hingga sekarang

    belum ada pihak yang berhasil mewujudkan rekonsiliasi tersebut dan kasus

    pembantaian massal pasca-G30S ini pun juga belum tuntas hingga saat ini.

    1.2 Perumusan Masalah

    Dengan mengacu pada latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya

    adalah:

    a. Bagaimana Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya

    kali ini?

    b. Mengapa Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam edisi khususnya kali

    ini?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, penelitian ini mempunyai

    tujuan sebagai berikut:

    a. Untuk mengetahui bagaimana Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam

    edisi khususnya kali ini.

    b. Untuk mengetahui mengapa Majalah Tempo mewacanakan rekonsiliasi dalam

    edisi khususnya kali ini.

  • 16

    1.4 Kegunaan Penelitian

    1.4.1 Manfaat teoritis:

    Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan, serta

    lebih mengerti dan memahami teori-teori yang didapat selama proses

    perkuliahan dimana berhubungan dengan komunikasi. Selain itu, diharapkan

    penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan terhadap teori-teori yang

    sudah ada, agar dapat beradaptasi dengan perubahan kondisi sosial masyarakat

    yang terus berubah secara dinamis karena perkembangan teknologi komunikasi

    yang sangat pesat saat ini.

    1.4.2 Manfaat praktis:

    Untuk para akademisi, terutama praktisi jurnalistik, penelitian ini

    diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana cara mewacanakan

    suatu hal dalam media massa. Untuk masyarakat, dengan adanya penelitian ini

    diharapkan dapat melihat wacana apa yang dituliskan oleh media massa dalam

    setiap pemberitaannya.

  • 17

    BAB II

    KERANGKA PEMIKIRAN

    2.1 Penelitian Terdahulu

    Sebuah penelitian yang baik akan merujuk pada hasil dari penelitian-penelitian

    sebelumnya yang memiliki fokus penelitian yang sama. Maka dari itu, akan

    dicantumkan beberapa tinjauan pustaka dari penelitian yang telah dilakukan oleh

    peneliti-peneliti terdahulu.

    Penelitian terdahulu pertama, penulis ambil dari skripsi yang dibuat oleh kakak

    kelas penulis di Universitas Multimedia Nusantara, Randy Hernando, berjudul,

    Konstruksi Realitas Peranan Tentara dalam Pembantaian Massal Pascagerakan 30

    September 1965. Penulis mengambil skripsi tersebut sebagai rujukan penulis karena

    sama-sama meneliti dari sumber yang sama, yaitu dari Majalah Tempo edisi khusus 1-7

    Oktober 2012.

    Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Randy dan penulis adalah,

    Randy menggunakan metode framing, sedangkan penulis akan menggunakan metode

    analisis wacana kritis. Penelitian yang dilakukan oleh Randy juga sangat detail dan

    mendalam, ada 12 berita yang dijadikan unit analisisnya.

    Dalam penelitiannya Randy menyimpulkan bahwa, Majalah Tempo

    menggambarkan tentara sebagai representasi negara menjadi pihak yang memiliki

    peranan besar dalam pembantaian massal pascagerakan G-30-S. Pihak tentara

  • 18

    melakukan propaganda dan pemanfaatan isu agama serta ancaman terhadap negara

    menjadi cara ampuh menggerakan massa untuk bersama menumpas PKI.

    Penelitian lain yang penulis ambil adalah, Analisis Wacana Van Dijk Terhadap

    Berita "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft" di Majalah Pantau yang dibuat oleh Tia

    Agnes Astuti dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Penulis mengambil

    skripsi tersebut karena menggunakan metode yang sama dengan penulis, yaitu Analisis

    Wacana Van Dijk. Penelitian tersebut memang bukan membahas tragedi G30S 1965,

    namun membahas peristiwa yang serupa, yaitu tragedi yang terjadi di Simpang Kraft,

    Aceh. Peristiwa tersebut juga merupakan tragedi berdarah di mana para tentara

    menembaki rakyat sipil yang tidak bersalah. Pembahasan yang dilakukan oleh Tia juga

    cukup mendalam dan memenuhi tiga tingkat analisis wacana kritis, sehingga penulis

    berpendapat bahwa skripsi ini dapat penulis jadikan acuan bagi penulis untuk

    menyelesaikan skripsi ini.

    Meski topiknya berbeda, penulis dapat menggunakan skripsi ini sebagai rujukan

    dan bahan referensi, seperti apa menganalisis dengan metode analisis wacana kritis

    milik Teun A. van Dijk ini. Dari penelitian ini, penulis dapat mengetahui lebih jelas

    tentang bagaimana melihat atau mengetahui sebuah leksikon, metafora, dan lainnya,

    unsur-unsur yang terdapat dalam analisis teks metode analisis wacana kritis van Dijk.

    Dalam skripsi yang penulis buat ini, terdapat persamaan dan perbedaan dengan

    penelitian terdahulu yang penulis rujuk di atas. Persamaan dengan penelitian Randy

    Hernando adalah penulis dan Randy sama-sama meneliti isi dari Majalah Tempo Edisi

    Khusus 1-7 Oktober 2012, sedangkan dengan Tia, penulis sama-sama menggunakan

    metode analisis wacana Van Dijk.

  • 19

    Namun tentunya juga terdapat perbedaan antara penelitian penulis dengan

    penelitian mereka. Penulis meneliti unit analisis yang berbeda dengan Randy, meski

    berasal dari majalah yang sama, dan penulis juga meneliti topik yang berbeda dengan

    Tia, sekali pun metode yang digunakan sama.

    Penelitian yang penulis kerjakan ini menyajikan hal yang berbeda dari kedua

    penelitian terdahulu yang penulis paparkan di atas. Penulis menggunakan metode

    analisis wacana Van Dijk yang digunakan oleh Tia, untuk menganalisis wacana yang

    ada dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012 yang digunakan oleh

    Randy.

    2.2 Teori dan Konsep-Konsep yang Digunakan

    2.2.1 Wacana

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia wacana berarti satuan bahasa

    terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti

    novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah.

    Menurut Hasan Alwi (1993) wacana adalah rentetan kalimat yang

    berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat

    itu. Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa wacana berarti

    kumpulan atau kesatuan dari kalimat-kalimat yang membentuk atau memiliki

    suatu makna atau arti tertentu.

    Dalam buku The Archaeology of Knowledge (L'Archéologie du savoir)

    Michel Foucault (2002) menyatakan bahwa,

  • 20

    "discourse describes an entity of sequences, of signs, in that they are enouncements. An enouncement is not a unit of semiotic signs, but an abstract construct that allows the signs to assign and communicate specific, repeatable relations to, between, and among objects, subjects, and statements. Hence, a discourse is composed of semiotic sequences (relations among signs) between and among objects, subjects, and statements."

    "wacana menggambarkan suatu entitas urutan, entitas tanda-tanda dalam sebuah pernyataan. Pernyataan yang dimaksud bukanlah unit tanda-tanda semiotik, tetapi sebuah konstruk abstrak yang memungkinkan tanda-tanda untuk menetapkan dan berkomunikasi secara spesifik, hubungan berulang untuk, antara, dan di tengah obyek, subyek, dan pernyataan. Oleh karena itu, wacana terdiri dari urutan semiotik (hubungan antara tanda-tanda) antara dan di tengah obyek, subyek, dan pernyataan."

    Jadi, wacana adalah sebuah pernyataan baik berupa lisan maupun tulisan

    yang terdiri dari tanda-tanda, simbol-simbol, serta makna-makna tertentu yang

    dirangkai sedemikian rupa dan dibuat karena memiliki tujuan tertentu sesuai

    dengan kehendak pembuatnya. Dan biasanya tujuannya tersebut cenderung

    ke arah untuk memperoleh, mempertahankan atau menentang kekuasaan.

    2.2.2 Analisis Wacana

    Dikutip dari buku Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of

    Natural Language karangan Michael Stubbs (1983:1),

    "Roughly speaking, it (discourse analysis) refers to attempts to study the organization of language above the sentence or above the clause, and therefore to study larger linguistic units, such as conversational exchanges or written texts."

    "Secara kasar, itu (analisis wacana) merujuk pada upaya untuk mempelajari organisasi dari bahasa di atas kalimat atau di atas klausa, dan karena itu untuk mempelajari unit linguistik yang lebih besar, seperti pertukaran percakapan atau teks tertulis."

  • 21

    Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis wacana

    mengacu pada upaya untuk mempelajari organisasi bahasa di atas kalimat atau

    di atas klausa, itu berguna untuk mempelajari unit linguistik yang lebih besar,

    seperti pada percakapan langsung maupun teks tertulis.

    Sedangkan menurut Sarwiji Suwandi (2008: 146) analisis wacana adalah

    kajian tentang aneka fungsi bahasa atau penggunaan bahasa sebagai sarana

    komunikasi. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan wacana. Dari

    keduanya, dapat kita simpulkan bahwa analisis wacana berarti mempelajari

    penggunaan bahasa dari unit yang terkecil (penggunaan kata, klausa, dan

    seterusnya) untuk menemukan makna keseluruhannya (wacananya).

    Jadi ringkasnya, analisis wacana memperhatikan pemakaian bahasa

    dalam konteks sosial, terutama interaksi di antara para penutur (Stubbs dalam

    Arifin, 2010: 106).

    2.2.3 Analisis Wacana Kritis

    "Instead of focusing on purely academic or theoretical problems, it

    starts from prevailing social problems, and thereby chooses the prespective of

    those who suffer most" (Van Dijk dalam Wodak, 2001). Terjemahan: daripada

    berfokus pada akademik murni atau masalah teoritis, itu berawal dari

    mengungkapkan masalah sosial, dan untuk itu memilih perspektif dari yang

    paling menderita.

    Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa analisis wacana kritis tidak

    berangkat dari teori akademis murni, melainkan dari masalah sosial yang

  • 22

    terjadi di masyarakat, diawali dengan pihak yang paling menderita. Melihat

    siapa yang sedang berkuasa, bagaimana ia menggunakan kekuasaannya, dan

    siapa yang bertanggung jawab atau yang bisa mempunyai kemampuan untuk

    menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada.

    Dalam artikel berjudul AWK untuk Menemukan Ideologi yang

    Tersembunyi yang terdapat di situs Universitas Sriwijaya, Prof. Dr. Mulyadi

    Eko Purnomo, M.Pd. menyatakan pentingnya analisis wacana kritis (AWK)

    untuk mengetahui ideologi suatu media, "Tujuan AWK adalah untuk

    menemukan ideologi yang tersembunyi di balik suatu wacana, teks, atau

    pemakaian bahasa secara publik."

    Dalam penerapanya, kata Purnomo, AWK dapat diterapkan untuk

    analisis wacana media massa, analisis wacana politik, dan analisis wacana

    pembelajaran. Lebih lanjut Purnomo mengatakan, dalam media massa terdapat

    ideologi tersembunyi dari pemilik media itu. Pemilik mengusai seluruh kegiatan

    produksi, distribusi sampai konsumsi media. Media massa sebagai saluran

    komunikasi politik dan sosial masyarakat menjadi produsen informasi politik

    dan sosial yang harus setia kepada 'pemilik' informasi. Media massa tidak ada

    yang benar-benar netral.

    Purnomo menguraikan, bahwa media massa berada di bawah

    kepemilikan perorangan atau organisasi, dikelola oleh sekelompok pengelola,

    dan akhirnya dibaca oleh kelompok pembaca tertentu pula. Dalam setiap

    kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi informasi, terdapat kepentingan

    yang harus dipenuhi oleh media massa. Dalam rangka pemenuhan kepentingan

    inilah yang membuat media massa menjadi tidak benar-benar netral, tetapi

  • 23

    berpihak. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa isi media massa memang

    tidaklah netral.

    2.2.4 Ideologi

    Ideologi adalah seperangkat gagasan yang merupakan tujuan, harapan,

    dan tindakan seseorang atau kelompok. Ideologi adalah visi yang komprehensif,

    cara melihat berbagai hal dalam kecenderungan filosofis, atau seperangkat ide-

    ide yang diusulkan oleh kelas dominan masyarakat untuk semua anggota

    masyarakatnya (Kennedy, 1979).

    Salah seorang pengikut Marx, Louis Althusser (dalam Zizeg, 2012: 123)

    mengungkapkan dua tesis mengenai ideologi. Pertama, “Ideology represents

    the imaginary relationship of individuals to their real conditions of existence.”

    Terjemahan dari tesis pertama ini adalah ideologi merepresentasikan relasi

    imajiner seorang individu pada kondisi eksistensi riil mereka. Jadi, tesis ini

    menawarkan anggapan familiar di kalangan pengikut Marxis bahwa ideologi

    memiliki fungsi untuk menutupi susunan eksploitatif yang didasarkan pada

    kelas sosial.

    Tesis kedua, “Ideology has a material existence.” Terjemahannya adalah

    ideologi memiliki eksistensi material. Tesis kedua ini memposisikan bahwa

    ideologi tidak berada dalam bentuk ide atau representasi kesadaran dalam

    ”pikiran” seorang individu, melainkan nyata dalam perilaku.

    Selain itu, Althusser juga mengakui peranan dari apa yang disebutnya

    sebagai Repressive State Apparatus (Laughey, 2007: 60). Ketika individu dan

  • 24

    kelompok menjadi ancaman bagi penguasa dominan, negara akan melibatkan

    Repressive State Apparatus. Yang dimaksudkan Althusser dengan Repressive

    State Apparatus adalah penguasa yang melibatkan aparat militer yang

    melakukan tindakan tindakan represif untuk mengekalkan hegemoni kekuasaan.

    Althusser berpendapat bahwa individu dalam masyarakat kapital

    dikuasai oleh ideological state apparatuses (ISAs), termasuk sekolah, sistem

    hukum, institusi agama, media komunikasi dan seterusnya. ISAs mendukung

    ideologi lembaga politik yang kuat seperti pemerintah dan militer, baik dengan

    cara implisit maupun eksplisit, dan terkadang tanpa diketahui. Dengan

    demikian, individu menginternalisasi ideologi kekuasaan kapitalis, tidak

    menyadari bahwa hidup mereka ditindas oleh lembaga yang melayani atau

    mempekerjakan mereka.

    Jadi intinya, dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah nilai-nilai

    mendasar yang dianut oleh seseorang atau pihak tertentu, yang akan menjadi

    dasar atas segala pola pikir, perasaan dan tindakan yang akan dilakukannya.

    2.2.5 Komunisme

    Komunis adalah penghapusan segala kepemilikan pribadi. Bahkan,

    dalam praktik selanjutnya, kepemilikan pribadi ini bukan hanya yang berupa

    harta, melainkan juga berupa kebebasan (Zazuli, 2009)

    Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo (2008: 139)

    menceritakan bahwa munculnya paham komunisme ini adalah pada abad ke-19,

    di mana kondisi sosial yang merugikan kaum buruh di Eropa Barat, seperti upah

  • 25

    murah, jam kerja panjang, keselamatan dan kesehatan buruh tidak diperhatikan,

    dan sebagainya.

    Komunisme sebenarnya berbeda dengan Marxisme. Ajaran asli Karl

    Marx yang dibakukan menjadi Marxisme, lebih menekankan kepada perbaikan

    sistem sosial masyarakat, sedangkan komunisme lebih cenderung kepada

    gerakan dan kekuatan partai-partai komunis dalam bidang politik (Suseno,

    2005: 5).

    Jadi, paham komunisme sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian

    banyak paham yang ada, seperti liberalisme, demokratis, dan sebagainya.

    Paham ini muncul karena untuk memberi rasa keadilan bagi kaum buruh di

    Eropa Barat yang nasibnya tidak diperhatikan oleh kaum borjuis pada masanya.

    Di Indonesia sendiri, paham komunisme sudah ada dan berkembang

    sejak awal abad ke-20. Pada tahun 9 Mei 1914, Hendricus Josephus Franciscus

    Marie Sneevliet atau Henk Sneevliet mendirikan Indische Sociaal

    Democratische Vereniging (ISDV) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia

    Belanda. ISDV menjalin hubungan yang cukup erat dengan Serikat Islam (SI),

    yang sama-sama bertujuan untuk membela rakyat kecil (McVey, 2006: 14-15).

    Pada Oktober 1915, ISDV menerbitkan surat kabarnya, Het Vrije

    Woord, yang berisikan tentang pandangan-pandangan ISDV. Bersama dengan

    Sneevliet, Adolf Baars menjadi editor surat kabar tersebut. Untuk

    memperbanyak pembacanya, pada tahun 1917 Baars membuat surat kabar

    berbahasa Indonesia, Soeara Merdika (Suara Merdeka). Meski Soeara Merdika

  • 26

    ditutup setahun setelah terbit, Baars tidak putus asa. Ia menerbitkan surat kabar

    baru pada Maret 1918, Soeara Ra'jat (Suara Rakyat) (McVey, 2006: 17).

    Seiring berjalannya waktu, terjadi ketidaksepahaman tentang antara

    ISDV dan SI tentang apa itu sosialisme. Perpecahan itu membuat ISDV pada

    tanggal 23 Mei 1920 mengganti namanya menjadi Partai Komunis Indonesia

    (PKI), yang merupakan partai komunis pertama di Asia, di luar kendali

    kerajaan Rusia. (McVey, 2006: 47)

    2.2.6 Rekonsiliasi

    Syamsul Hadi (2007: 37) mengatakan, "Rekonsiliasi perlu dilakukan

    jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah

    rapuhnya kohesi sosial karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam

    dinamika sejarah komunitas tersebut." Salah satu cara untuk mewujudkan

    tercapainya rekonsiliasi adalah dengan mencari kata sepakat tentang masa

    depan kedua belah pihak yang bertikai tersebut.

    Dalam makalah berjudul Hak Asasi Manusia dan Kehidupan Berbangsa

    yang ditulis oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

    (MPR RI), Sidarto Danusubroto di situs resmi ELSAM (Lembaga Studi dan

    Advokasi Masyarakat) (http://tinyurl.com/lof5xcv), disebutkan bahwa

    rekonsiliasi dapat ditempuh melalui langkah-langkah seperti pengungkapan

    kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan

    hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk

  • 27

    menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa

    keadilan dalam masyarakat (Danusubroto, 2013: 3).

    Dalam Makalahnya, Danusubroto juga mengatakan,

    "Sesungguhnya bangsa yang besar dan bergerak maju adalah bangsa yang berdamai dengan masa lalu. Agar dapat berdamai dengan masa lalu, kita harus berjiwa besar untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada para korban HAM demi terwujudnya rekonsiliasi."

    Ia menyimpulkan, bahwa rekonsiliasi penting diwujudkan guna

    membawa Bangsa Indonesia menuju ke masa depan yang lebih baik dengan

    meninggalkan dendam politik dan trauma masa lalu (Danusubroto, 2013: 4-6).

    Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif

    (dalam Kasemin, 2004: 114) menyimpulkan bahwa ada dua penyebab mengapa

    rekonsiliasi sulit diwujudkan. Yang pertama adalah masalah elite politik yang

    saling membela kepentingannya sendiri. Kedua, kualitas masyarakat yang masih

    rendah atau menunjukkan sikap ketidakdewasaan, sehingga di antara

    masyarakat sendiri tidak mau saling memaafkan dan mau saling menang

    sendiri.

    2.2.6.1 Rekonsiliasi Mikro

    Rekonsiliasi mikro adalah rekonsiliasi antara sesama

    masyarakat (secara horizontal). Sesama masyarakat di sini berarti antara

    masyarakat yang andil sebagai pelaku pembantaian massal pasca-G30S

    1965, dengan mereka yang menjadi korban (atau keluarga korban) dari

    tragedi pembunuhan massal pasca-G30S 1965. Rekonsiliasi ini berguna

    untuk memulihkan trauma psikologis dan mental korban.

  • 28

    Rekonsiliasi mirko secara horizontal ini dapat terjadi jika para

    pelaku mau mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada para

    keluarga korban, lalu jika dibutuhkan, pelaku tersebut dapat

    memberitahukan nasib terakhir anggota keluarga mereka yang menjadi

    korban, seperti kapan dibunuh dan di mana jasadnya berada.

    Diharapkan, dengan diketahuinya nasib anggota keluarga mereka

    yang hilang, keluarga korban kini dapat ikhlas memaafkan para pelaku,

    dan pulih dari trauma yang menghantui mereka selama ini.

    2.2.6.2 Rekonsiliasi Makro

    Rekonsiliasi makro adalah rekonsiliasi antara pemerintah dan

    masyarakat (secara vertikal). Pemerintah yang dimaksud adalah semua

    pihak yang terkait dalam kasus pembantaian massal pasca-G30S 1965

    tersebut. Pihak-pihak tersebut antara lain Angkatan Darat yang terlibat

    langsung sebagai pelaku pembantaian massal pasca-G30S 1965,

    Presiden sebagai kepala negara yang seharusnya bisa menggunakan

    kekuasaannya untuk menyelesaikan kasus ini, Mahkamah Konstitusi

    yang telah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta

    Mahkamah Agung yang menelantarkan berkas hasil investigasi Tim

    Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto (sumber: wawancara dengan

    Asvi Warman Adam).

    Rekonsiliasi makro ini berguna untuk dan menutupi lubang-

    lubang sejarah sekaligus meluruskan sejarah Bangsa Indonesia yang

  • 29

    masih gelap dan belum terungkap kebenarannya sampai saat ini. Selain

    itu, oleh negara pula, hak-hak para korban dan keluarganya sebagai

    Warga Negara Indonesia dapat dipulihkan secara utuh, sehingga mereka

    dapat merasakan kesempatan yang sama dalam bidang politik, ekonomi,

    dan lainnya, tidak ada lagi diskriminasi atau perbedaan perlakuan.

    2.3 Kerangka Pemikiran

    Berikut kerangka pemikiran penulis menggunakan analisis wacana kritis Teun

    A. van Dijk mengenai wacana rekonsiliasi dalam Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7

    Oktober 2012.

    Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran

    Tulisan-tulisan dalam Majalah Tempo Edisi Khusus

    1-7 Oktober 2012 mewacanakan rekonsiliasi

    Analisis Sosial Kognisi Sosial

    Analisis Teks

    Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk

    Analisis Wacana Kritis

    Wacana sebagai relasi sosial, praktik sosial, dan produksi gagasan atau pandangan tertentu

    Wacana rekonsiliasi disampaikan Majalah Tempo Edisi Khusus 1-7 Oktober 2012

    Isu rekonsiliasi antara pelaku dan korban dalam tragedi pasca-G30S 1965

  • 30

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Jenis dan Sifat Penelitian

    Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif

    deskriptif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kualitatif berarti berdasarkan mutu

    atau kualitas. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan

    penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan

    prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran) (Strauss,

    1997).

    Newman (dalam Semiawan, 2010: 80) memaparkan perbedaan antara

    perbedaan kuantitatif dan kualitatif sebagai berikut:

    Kuantitatif Kualitatif

    Mengukur fakta obyektif Mengkonstruksi realitas sosial

    Fokus pada variabel Fokus pada proses interaktif

    Kuncinya reliabilitas Kuncinya autentisitas

    Bebas nilai Perkuat nilai

    Bebas dari konteks Tergantung pada konteks

    Banyak subyek dan kasus Sedikit subyek dan kasus

    Analisis statistik Tematis

    Peneliti agak terpisah Peneliti terlibat

    Tabel 3.1 Perbedaan kuantitatif dan kualitatif

  • 31

    Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak melakukan manipulasi atau kontrol

    terhadap variabel-variabel penelitian tertentu, tetapi mamperlakukan apa adanya dan

    memandangnya sebagai satu kesatuan yang utuh (Pawito, 2007: 101).

    Lebih lengkap, Pawoto (2007: 103) menjelaskan,

    "di sini, peneliti menangkap gejala (mengumpulkan data), mengupayakan validitas dan reliabilitas, kemudian menganalisisnya dengan memilah-milah dan membuat kategori-kategori atau tema-tema tertentu, melakukan reduksi data, memberikan makna-makna atau mengemukakan interpretasi-interpretasi tertentu dengan mengacu pada pandangan-pandangan teoritik tertentu, dan baru kemudian peneliti menarik kesimpulan-kesimpulan. Dalam hal ini peneliti disarankan untuk membandingkan, menghubung-hubungkan, mempertentangkan, "kesan subyektif" yang diperoleh dari data yang dikumpulkan di satu pihak dengan temuan atau pandangan teoritik dari peneliti lain yang dimunculkan dalam telaah pustaka dengan tetap mempertimbangkan konteks (seting dan akar sejarah) dari temuan atau teori yang dirujuk."

    Dapat disimpulkan, hasil penelitian kualitatif memang merupakan hasil

    penilaian dari sang peneliti sendiri, namun hasil itu bukanlah hasil yang subyektif.

    Hasil penelitian kualitatif diolah sedemikian rupa agar data tersebut valid dan dapat

    dipercaya.

    Kemudian, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia pula, kata deskripsi sendiri

    berarti pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci;

    uraian. Dengan ditambah imbuhan -if, berarti menjadi kata sifat. Sedangkan kata

    deskriptif itu adalah bersifat deskripsi; bersifat menggambarkan apa adanya.

    Deskriptif berarti menggambarkan suatu hal / fenomena secara rinci dan detail,

    berbeda dengan eksplanatif yang umumnya berusaha untuk menjelaskan bagaimana

    dan mengapa suatu hal / fenomena tersebut terjadi (Bailey, 2008: 40). Selain itu,

    Creswell (2007: 286) menyatakan bahwa deskriptif berarti mendeskripsikan fenomena

    atau gejala yang diteliti apa adanya.

  • 32

    Penelitian kualitatif deskriptif ini berfokus pada hubungan sosial, hubungan

    timbal balik, fenomena sosial, dan hal-hal lain yang terkait dengan ilmu-ilmu sosial

    (Parse, 2001: 58). Jadi, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif deskriptif ini

    adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap dan apa

    adanya, tentang pola dan tema dari suatu fenomena sosial yang terjadi (Parse, 2001:

    57). Dalam penelitian ini berarti penulis akan menggambarkan secara mendalam hasil

    analisis wacananya, baik dari tingkat analisis teks, kognisi sosial, dan analisis sosial.

    3.2 Metode Penelitian

    Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis.Van

    Dijk (1988: 24) menyatakan, analisis wacana merupakan proses analisis terhadap

    bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebik

    eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan.

    Paradigma kritis berangkat dari cara melihat realitas dengan mengasumsikan

    bahwa selalu saja ada struktur sosial yang tidak adil. Dengan begitu dari setiap fakta

    dan data yang ditemukan, tidak akan dipercaya begitu saja namun akan diteliti dan

    ditelusuri secara mendalam dari mana dan dari siapakah fakta dan data itu berasal dan

    adakah bukti atau argumen yang cukup kuat untuk mempercayai informasi tersebut

    (Fiske, 2010).

    Dari bukunya Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language,

    Norman Fairclough (1995) menyatakan bahwa, "Critical discourse analysis (CDA) is

    an interdisciplinary approach to the study of discourse that views language as a form

  • 33

    of social practice and focuses on the ways social and political domination are

    reproduced in text and talk."

    Terjemahan: analisis wacana kritis adalah pendekatan interdisipliner untuk

    mempelajari wacana yang memandang bahasa sebagai bentuk praktek sosial dan

    berfokus pada cara dominasi sosial dan politik yang direproduksi dalam teks dan

    pembicaraan.

    Deborah Schiffrin, dkk (2001) menyatakan bahwa fungsi utama dari analisis

    wacana kritis sendiri adalah menguraikan relasi kuasa, dominasi, dan ketimpangan

    yang diproduksi dalam wacana. Sejalan dengan itu, dalam buku berjudul Introduction

    to Discourse Studies karangan Renkema (2004: 284), disebutkan bahwa wacana

    merupakan refleksi relasi kuasa yang terdapat dalam masyarakat. Analisis wacana kritis

    dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi masalah-masalah sosial, terutama masalah

    diskriminasi. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting sebagai

    perwujudan kuasa pihak tertentu. Suatu teks diproduksi dengan ideologi tertentu yang

    ingin disampaikan kepada khalayak pembacanya.

    3.3 Teknik Pengumpulan Data

    Penulis akan menggunakan tiga teknik pengumpulan data dalam penelitian ini.

    Pertama adalah teknik purposive sampling. Proses pengambilan sampel ini dilakukan

    dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian

    sampel dipilih sesuai keinginan peneliti berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan

    sampel tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang ditetapkan (Sugiyono, 2008: 85).

  • 34

    Situasi, kondisi, dan berbagai faktor lain biasanya juga mempengaruhi hasil dari

    suatu penelitian kualitatif, oleh karena itu peneliti harus menciptakan kondisi dan

    situasi yang mendukung, agar data yang diperoleh dapat tepat dan akurat. Oleh karena

    itu purposive sampling digunakan untuk memudahkan peneliti mendapatkan sampel

    yang cocok dengan situasi dan kondisi yang diinginkan. Selain itu juga, peneliti

    terkadang kesulitan mendapatkan data yang diperlukan jika menggunakan random

    sampling atau pengambilan sampel secara acak (Babbie, 2008: 204-205).

    Teknik pengumpulan data yang kedua adalah wawancara. Wawancara adalah

    bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi berlangsung

    dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik

    responden merupakan pola media yang dilengkapi kata-kata secara verbal. Karena itu,

    wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide, tetapi juga dapat menangkap

    perasaan, pengalaman, emosi, motif, yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan

    (Gulo, 2000: 119).

    Metode wawancara ini memiliki beberapa kekurangan dan keunggulan.

    Kekurangannya adalah wawancara memerlukan kesediaan narasumber untuk

    diwawancara, jika tidak bersedia, wawancara tidak dapat dilakukan. Selain itu, faktor

    bahasa juga terkadang membuat salah pengertian atau pemahaman antara peneliti dan

    narasumber. Dibalik kekurangannya, metode wawancara juga memiliki keunggulan

    seperti, peneliti mendapatkan data dari narasumber yang diinginkan secara langsung,

    tidak seperti angket atau kuisioner yang bisa saja diisi oleh orang lain. Selain itu,

    peneliti juga bisa mendapatkan penjelasan yang mendalam dari narasumber tentang hal

    yang ingin diketahuinya. Peneliti juga dapat menjalin relasi yang lebih dekat dengan

    narasumber (Mohamad Ali dalam Gulo, 2000: 120).

  • 35

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis metode wawancara semi

    terstruktur. Wawancara jenis ini merupakan gabungan / campuran antara wawancara

    terstruktur dan tidak terstruktur. Jika wawancara terstruktur dilakukan dengan cara

    mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan terlebih dahulu, dan

    wawancara tidak terstruktur hanya mengandalkan intuisi spontan untuk bertanya,

    wawancara semi terstruktur (semi-structured interview) ini membuat garis besar hal-hal

    yang akan ditanyakan terlebih dahulu, lalu tidak menutup kemungkinan pertanyaan

    akan ditambah, diubah, atau dikurangi, sesuai dengan jawaban narasumber pada saat

    proses wawancara berlangsung (Wengraf, 2001: 5).

    Terakhir, data-data untuk melengkapi penelitian ini penulis dapatkan dengan

    metode dokumentasi. Kelebihan dari pengambilan data melalui dokumen adalah karena

    dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam tanpa campur tangan

    pihak peneliti. Dokumen juga mampu memberikan pemahaman historis yang dapat

    bertahan sepanjang waktu. Dokumen tersedia dalam bentuk tulisan, catatan, suara,

    gambar, dan digital (Daymon, 2008: 344).

    Menurut Bungin (2013: 155), dokumen dibagi menjadi dua jenis, yaitu

    dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi adalah catatan seseorang

    secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya. Dokumen pribadi

    dapat berupa buku harian, surat pribadi, dan otobiografi. Dokumen resmi terbagi lagi

    menjadi dua. Pertama adalah dokumen resmi intern, yaitu memo, pengumuman,

    instruksi, aturan lembaga untuk kalangan sendiri, laporan rapat, keputusan pimpinan,

    dan konvensi. Yang kedua adalah dokumen resmi ekstern, yaitu majalah, buletin, berita

    yang disiarkan ke media massa, dan pemberitahuan.

  • 36

    3.4 Unit Analisis Data

    Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan yakni analisis wacana kritis

    Van Dijk, data yang dianalisis harus mencakup tiga tingkat, yaitu tingkat analisis teks,

    tingkat kognisi sosial, dan analisis sosial.

    Untuk tingkat analisis teks, penulis akan mengambil beberapa tulisan dengan

    metode purposive sampling yang terdapat dalam majalah Tempo Edisi Khusus 1-7

    Oktober 2012. Pertama adalah tulisan Dari Pengakuan Algojo 1965 pada halaman 29.

    Tulisan ini penulis pilih karena tulisan ini merupakan opini dari redaksi Majalah Tempo

    sendiri. Opini yang ditulis oleh redaksi Majalah Tempo ini penulis anggap dapat

    mencerminkan bagaimana sikap Majalah Tempo sendiri dalam menyikapi masalah

    kasus tragedi G30S dan komunisme.

    Kedua, artikel Sebuah Pengakuan dari Kerumunan Pohon Kapuk pada halaman

    106-107. Artikel ini merupakan salah satu laporan utama Majalah Tempo dalam edisi

    ini, jadi artikel ini penulis pilih karena penulis ingin melihat bagaimana Majalah Tempo

    mewacanakan rekonsiliasi dalam laporan utamanya.

    Selanjutnya yang ketiga adalah artikel di halaman 122-123 berjudul, Joshua

    Oppenheimer: Membunuh, Bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting. Topik yang dibahas

    dalam Majalah Tempo edisi khusus ini juga tidak terlepas dari film Act of Killing atau

    Jagal yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer. Untuk itu penulis ingin mengetahui

    bagaimana Tempo mengulas tentang Joshua Oppenheimer dan filmnya dalam tulisan

    ini.

    Terakhir, artikel yang penulis ambil ada di halaman 124-125, artikel tersebut

    berjudul Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965. Artikel ini merupakan tulisan

  • 37

    pendapat dari seorang M. Imam Aziz, anggota Majelis Syarikat Indonesia, Yogyakarta.

    Penulis ingin mengetahui lebih dalam mengapa salah satu tulisan yang dimuat dalam

    Majalah Tempo edisi khusus ini adalah tulisan dari seorang M. Imam Aziz, yang

    dituliskan oleh Majalah Tempo sebagai seorang yang aktif dalam upaya rekonsiliasi

    tragedi politik 1965.

    Keempat artikel ini penulis pilih karena penulis menanggap keempat artikel ini

    cukup untuk mewakili empat sudut pandang yang berbeda. Artikel Dari Pengakuan

    Algojo 1965 merupakan sudut pandang dari Majalah Tempo sendiri, artikel Sebuah

    Pengakuan dari Kerumunan Pohon Kapuk mewakili sudut pandang dari pelaku yang

    bersedia mengaku dan meninta maaf atas perbuatan jahatnya. Ketiga, artikel Joshua

    Oppenheimer: Membunuh, Bagi Anwar, Adalah Sebuah Akting mewakili sudut

    pandang dari pembuat film Jagal atau The Act of Killing yang merupakan gagasan awal

    pembuatan edisi khusus ini, dan terakhir, artikel Jalan Lain Penyelesaian Tragedi 1965

    merepresentasikan sudut pandang dari salah satu aktivis yang memperjuangkan

    rekonsiliasi dari tragedi 1965 tersebut.

    Selanjutnya, untuk menganalisis tingkat kognisi sosial, penulis akan melakukan

    wawancara dengan Pihak Majalah Tempo, dan yang penulis wawancarai adalah

    penanggung jawab dari tim laporan khusus 1965, Seno Joko Suyono dan Kurniawan

    selaku Kepala Proyek dari tim laporan khusus 1965. Penulis melakukan wawancara

    pada tanggal 20 Desember 2013 pukul 18.40 di Kantor Redaksi Majalah Tempo, Jl.

    Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta 12240.

    Untuk tingkat analisis sosial, ada dua sumber yang akan penulis gunakan.

    Pertama dari studi literatur dan dokumen-dokumen yang sekiranya diperlukan untuk

    mendukung penelitian yang penulis lakukan. Kedua, penulis akan melakukan

  • 38

    wawancara dengan salah satu sejarawan Indonesia, yaitu Asvi Warman Adam, yang

    cukup banyak menulis buku dan membahas tentang kasus tragedi G30S ini. Beliau

    penulis pilih karena merupakan salah satu anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM

    Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003. Penulis melakukan

    wawancara pada tanggal 19 Desember 2013 pukul 09.10 di Kantor Lembaga Ilmu

    Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gedung Sasana Widya Sarwono, Jl. Jend. Gatot Subroto

    10, Jakarta 12710.

    3.5 Teknik Analisis Data

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data dari metode

    analisis wacana kritis Van Dijk. Van Dijk mengklasifikasikan elemen wacana menjadi

    3, yakni teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

    3.5.1 Analisis Teks

    Pada elemen teks, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu struktur makro,

    superstruktur dan mikro. Tingkat makro merupakan makna global / umum dari

    suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang

    dikedepankan dalam suatu berita. Kemudian tingkat superstruktur yang

    merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks,

    bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga,

    tingkat mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari

    suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrasa, dan gambar

    (Eriyanto, 2001: 226). Pada tingkat kognisi sosial dipelajari proses produksi

    berita yang melibatkan kognisi individu penulis berita, sedangkan konteks sosial

  • 39

    adalah mempelajari bangunan wacana yang berkembang di masyarakat

    (Kuntoro, 2008: 46).

    STRUKTUR

    WACANA

    HAL YANG DIAMATI ELEMEN

    Struktur Makro

    Makna global dari suatu

    teks yang dapat diamati dari

    topik/tema yang diangkat

    oleh suatu teks

    Tematik

    Tema/Topik yang

    dikedepankan dalam suatu

    berita

    Topik

    Superstruktur

    Kerangka suatu teks,

    seperti bagian pendahuluan,

    isi, penutup, dan kesimpulan

    Skematik

    Bagaimana bagian dan urutan

    berita diskemakan dalam teks

    utuh

    Skema

    Struktur Mikro

    Makna lokal dari suatu

    teks yang dapat diamati dari

    pilihan kata, kalimat, dan

    gaya yang dipakai suatu teks

    Semantik

    Makna yang ingin ditekankan

    dalam teks berita, missal

    dengan memberi detail pada

    satu sisi atau membuat

    eksplisit satu sisi dan

    mengurangi detail sisi lain.

    Latar, detail,

    maksud, pra-

    anggapan,

    nominalisasi

  • 40

    Sintaksis

    Bagaimana kalimat (bentuk,

    susunan) yang dipilih.

    Stilistik

    Bagaimana pilihan kata yang

    dipakai dalam teks berita.

    Retoris

    Bagaimana dan dengan cara

    penekanan dilakukan.

    Bentuk

    kalimat,

    Koherensi,

    Kata ganti.

    Leksikon

    Grafis,

    Metafora,

    Ekspresi.

    Tabel 3.2 Elemen Wacana Van Dijk

    3.5.1.1 Tematik

    Kata lain dari tema adalah topik, yaitu gambaran umum atau inti

    dari suatu berita. Dari tema / topik ini juga dapat dilihat apa yang

    sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis berita tersebut. Tema ini juga

    mencerminkan pandangan umum yang koheren (koherensi global), yaitu

    bagian-bagian teks dalam satu berita, yang jika dirunut akan saling

    mendukung satu sama lain dan mencerminkan gambaran umum dari

    berita tersebut (Sobur, 2009: 75).

  • 41

    3.5.1.2 Skematik

    Skema berarti alur atau urutan penyajian tulisan dalam suatu

    berita. Ada bagian yang didahulukan, bagian yang mengikuti, dan

    bagian yang dihilangkan atau disembunyikan. Secara umum, skema ini

    dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah bagian summary (ringkasan),

    yang terdiri dari judul dan lead (teras berita) atau paragraf pertama, dan

    yang kedua adalah story (cerita), yaitu isi berita secara keseluruhan

    (Kuntoro, 2008: 47).

    3.5.1.3 Semantik

    Dalam semantik ada latar, detail, maksud, praanggapan, dan

    nominalisasi. Latar adalah bagian teks yang dapat mempengaruhi arti

    dari berita tersebut. Latar yang dipilih dapat menentukan ke mana arah

    pandangan khalayak akan dibawa. Biasanya, latar ditulis di awal,

    sebelum pendapat penulis yang sebenarnya muncul dengan maksud

    mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat penulis sangat

    beralasan (Eriyanto, 2001: 235-236).

    Detail ialah informasi mengenai suatu hal dalam pemberitaan

    tersebut. Jika hal tersebut dirasa penting atau memang adalah tujuan

    penulis berita tersebut, maka informasi / detail tentang hal tersebut akan

    disebutkan secara lengkap atau bahkan berlebihan, sebaliknya jika hal

    tersebut dirasa tidak menguntungkan atau tidak penting bagi penulis,

  • 42

    informasi / detail tentang hal tersebut akan dikurangi atau ditulis

    seminimal mungkin (Kuntoro, 2008: 48).

    Elemen maksud adalah melihat apakah informasi yang

    disampaikan dalam suatu berita, disampaikan secara langsung atau tidak,

    eksplisit atau implisit. Biasanya, informasi yang penting /

    menguntungkan penulis akan disampaikan secara langsung, tegas, dan

    eksplisit, sedangkan informasi yang tidak penting atau tidak

    menguntungkan bagi penulis akan disampaikan dengan berbelit-belit,

    tersamarkan, dan implisit. Tujuannya jelas agar pembaca terfokus pada

    hal-hal yang diinginkan / menguntungkan bagi penulis berita tersebut

    (Eriyanto, 2001: 240).

    Praanggapan adalah pernyataan yang digunakan untuk

    mendukung makna suatu teks dengan menggunakan premis yang

    dipercaya atau tidak perlu diragukan kebenarannya. Pernyataan tersebut

    dimaksudkan untuk mendukung penulis, agar pembaca semakin percaya

    kepada apa yang dituliskan oleh penulis dalam berita tersebut (Eriyanto,

    2001: 256).

    Nominalisasi adalah perubahan dari kata kerja menjadi kata

    benda, biasanya dengan menambahkan imbuhan "pe-an". Perubahan

    kata itu dimaksudkan untuk merubah kalimat, dari kalimat yang

    bermakna pekerjaan / tindakan, menjadi kalimat yang bermakna

    peristiwa. Jika kalimat kerja / tindakan membutuhkan dua aktor, yaitu

    siapa yang melakukan pekerjaan dan siapa yang terkena dampak dari

    pekerjaan itu, kalimat benda tidak membutuhkan dua aktor tersebut,

  • 43

    namun lebih menekankan kepada peristiwa yang dialami oleh aktor yang

    terkena dampak dari peristiwa tersebut (Eriyanto, 2001: 155).

    3.5.1.4 Sintaksis

    Dalam sintaksis, yang diperhatikan adalah bentuk kalimat,

    koherensi, dan kata ganti. Bentuk kalimat bisa berupa kalimat aktif-

    pasif, maupun deduktif-induktif. Kedua bentuk kalimat ini sering

    digunakan untuk menonjolkan objek (pelaku peristiwa atau kejadian).

    Bentuk kalimat aktif dan pasif ini sering digunakan untuk menonjolkan

    atau menyembunyikan pelaku peristiwa yang diberitakan (Kuntoro,

    2008: 48).

    Koherensi adalah hubungan antarkata, proposisi atau kalimat.

    Koherensi digunakan untuk menghubungkan dua buah kalimat atau

    paragraf sehingga keduanya saling berhubungan. Sekalipun yang

    dihubungkan tersebut adalah dua kalimat yang berbeda gagasannya,

    tetap dapat menjadi selaras dan mendukung gagasan utama yang

    disampaikan, jika disambung dengan kata sambung yang tepat (Sobur,

    2009: 81).

    Selanjutnya adalah kata ganti, elemen ini digunakan penulis

    untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam suatu teks. Kata

    ganti dalam suatu berita digunakan untuk memanipulasi bahasa dan

    menciptakan suatu komunitas imajinatif. Dengan menggunakan kata

    ganti yang tepat, sulit dipisahkan antara penulis berita dengan khalayak,

  • 44

    karena tanggapan yang disampaikan oleh penulis seakan juga menjadi

    tanggapan khalayak (Eriyanto, 2001: 253-254).

    3.5.1.5 Stilistik

    Stilistik dapat diartikan juga sebagai diksi atau pemilihan kata.

    Stilistik digunakan untuk menggambarkan citra makna tertentu pada

    suatu hal. Stilistik berkaitan erat dengan penulis berita tersebut, karena

    bagaimana ia bersikap dan berpihak pada suatu hal dapat dilihat dari

    pemilihan kata yang ia lakukan (Kuntoro, 2008: 48).

    3.5.1.6 Retoris

    Grafis, metafora, dan ekspresi adalah hal yang harus diperhatikan

    dalam retoris. Grafis dimaksudkan untuk melihat bagaimana penulis

    menuliskan suatu hal dalam berita, tercakup di dalamnya penggunaan

    huruf besar, kecil, miring, tebal, garis bawah, warna, serta bentuk

    tulisan. Dari situ dapat dilihat mana bagian yang diutamakan /

    ditonjolkan, dan mana bagian yang ingin dikesampingkan (Kuntoro,

    2008: 49).

    Metafora adalah "penyedap" dari pesan pokok yang ingin

    disampaikan. Penulis bisa memperkuat pokok pesan yang ingin

    disampaikan dengan mempertegas pesan tersebut menggunakan kiasan,

  • 45

    peribahasa, pepatah, ungkapan, petuah, dan sebagainya yang sudah

    dikenal atau familiar di kalangan


Recommended