Top Banner
LAPORAN KASUS BESAR PUSKESMAS BATEALIT SEORANG WANITA 70 TAHUN DENGAN VERTIGO VESTIBULAR PERIFER DAN HIPERTENSI GRADE 1 Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Komprehensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Disusun oleh : Duta Dhanabhalan G6A 009 062 Pembimbing : dr. Lia Apriliana Ekaningtyas 1
100

Vertigo Laporan Kasus

Aug 05, 2015

Download

Documents

Laporan Kasus
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Vertigo Laporan Kasus

LAPORAN KASUS BESAR

PUSKESMAS BATEALIT

SEORANG WANITA 70 TAHUN DENGAN VERTIGO VESTIBULAR PERIFER DAN

HIPERTENSI GRADE 1

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan KomprehensifFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

Duta Dhanabhalan

G6A 009 062

Pembimbing :

dr. Lia Apriliana Ekaningtyas

KEPANITERAAN KOMPREHENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

JEPARA2012

1

Page 2: Vertigo Laporan Kasus

HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Duta Dhanabhalan

NIM : G6A 009 062

Bagian : Kepaniteraan Komprehensif Puskesmas Batealit

Judul Kasus Besar : Seorang Wanita 70 Tahun dengan Vertigo Vestibular

Perifer dan Hipertensi Grade 1

Pembimbing : Dr. Lia Apriliana Ekaningtyas

Jepara, 19 November 2012

Pembimbing, Kepala Puskesmas,

dr. Lia Apriliana Ekaningtyas dr. Murtono

2

Page 3: Vertigo Laporan Kasus

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi syarat menempuh

Kepaniteraan Komprehensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang di Puskesmas Batealit Jepara.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Murtono selaku Kepala Puskesmas Batealit Jepara.

2. dr. Lia Apriliana Ekaningtyas selaku pembimbing.

3. Ny. Karlin dan keluarga yang telah bersikap kooperatif.

4. Keluarga besar Puskesmas Batealit Jepara.

5. Keluarga dan teman-teman atas bantuan dan doanya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

laporan ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.

Semoga penulisan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Semarang, 19 November 2012

Penulis

3

Page 4: Vertigo Laporan Kasus

DAFTAR ISI

Halaman Judul ..........................................................................................................1

Halaman Pengesahan ................................................................................................2

Kata Pengantar ..........................................................................................................3

Daftar Isi ...................................................................................................................4

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................5

B. Tujuan....................................................................................................6

C. Manfaat..................................................................................................6

BAB II. LAPORAN KASUS

I. Identitas Penderita............................................................................... 7

II. Daftar Masalah......................................................................................7

III. Data Dasar.............................................................................................7

IV. Resume................................................................................................12

V. Daftar Abnormalitas............................................................................13

VI. Daftar Masalah.....................................................................................14

VII. Rencana Awal......................................................................................14

VIII. Catatan Kemajuan................................................................................17

IX. Hasil Kunjungan Rumah........................................................................8

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................65

4

Page 5: Vertigo Laporan Kasus

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar terasa seperti

berputar mengelilingi pasien, atau pasien merasa seperti berputar mengelilingi

lingkungan sekitar. Keluhan yang sering disampaikan pasien beragam, misalnya

puyeng, sempoyongan, mumet, muter, pusing, rasa seperti mengambang, dan rasa

seperti melayang.

Diagnosis banding vertigo meliputi penyebab vestibular perifer (berasal

dari sistem saraf perifer), vestibular sentral (berasal dari sistem saraf pusat) dan

kondisi lain. Sembilan puluh tiga persen pasien pada primary care mengalami

BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo), Acute Vestibular Neuronitis, atau

Meniere’s Disease.

Karena pasien dengan dizziness seringkali sulit menggambarkan gejala

mereka, menetukan penyebab akan menjadi sulit. Penting untuk membuat sebuah

pendekatan menggunakan pengetahuan dengan kunci anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan khusus, dan temuan radiologis. Hasil pemeriksaan tersebut

akan membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi yang

tepat untuk pasien.

Sampai saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah, bahkan angka

kejadiannya terus meningkat. Hal ini bukan hanya disebabkan karena masih

banyak pasien hipertensi yang belum mendapatkan pengobatan, atau sudah pernah

mendapatkan pengobatan tetapi target tekanan darah belum tercapai, tetapi juga

karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui pentingnya perubahan

gaya hidup demi tercapainya target tekanan darah yang diharapkan.

Selain itu pengetahuan masyarakat akan resiko timbulnya penyakit

penyerta dan komplikasi hipertensi juga masih terbatas. Oleh karena itu deteksi

dini pada pasien yang memiliki resiko menderita hipertensi, pengendalian tekanan

darah, pencegahan timbulnya penyakit penyerta dan komplikasi hipertensi, serta

edukasi pada pasien dan keluarga agar dapat bekerja sama dengan tenaga

5

Page 6: Vertigo Laporan Kasus

kesehatan sangat diperlukan dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas pasien hipertensi.

B. TUJUAN

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui cara

mendiagnosis dan mengelola pasien dengan vertigo dan hipertensi grade 1,

sekaligus untuk mengevaluasi tindakan yang telah diberikan dengan kepustakaan

yang ada.

C. MANFAAT

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan media belajar bagi

mahasiswa agar dapat mendiagnosis dan mengelola vertigo dan hipertensi grade 1

secara tepat.

6

Page 7: Vertigo Laporan Kasus

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. Karlin

Usia : 70 tahun

Alamat : Desa Batealit RT 01/RW 01, Kec.Batealit, Kab.Jepara

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Tidak bekerja

Tanggal masuk : 11 November 2012

II. DAFTAR MASALAH

No. Masalah Aktif Tgl. No. Masalah Pasif Tgl.

1.

2.

Vertigo Vestibular

Perifer

Hipertensi Grade 1

11-11-2012

11-11-2012

III. DATA DASAR

A. SUBYEKTIF

ANAMNESIS

Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga pasien pada

tanggal 11 November 2012, pukul 13.00 WIB, di UGD Puskesmas

Batealit, Jepara.

Keluhan Utama :

Pusing berputar sejak pagi hari.

7

Page 8: Vertigo Laporan Kasus

Riwayat Penyakit Sekarang :

Setelah jalan pagi, pasien mendadak mengeluh pusing berputar

yang dirasakan sangat berat, mual (+), muntah (+) tidak nyemprot,

keluar seperti makanan dan minuman yang dimakan sebelumnya, tidak

ada darah. Keluhan dirasakan semakin berat ketika pasien berjalan dan

menggerakkan kepala. Keluhan dirasakan berkurang ketika pasien

tiduran dengan mata tertutup. Telinga berdenging (-), telinga keluar

nanah (-), gangguan pendengaran (-), demam (-). BAB tidak ada

keluhan, diare (-), sulit buang air besar (-). BAK tidak ada keluhan.

Karena keluhan yang dirasakan tidak berkurang, pasien dibawa

oleh keluarga ke UGD Puskesmas Batealit, Jepara.

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Pasien baru kali pertama sakit seperti ini.

- Riwayat kencing manis dan tekanan darah tinggi tidak tahu.

- Riwayat penyakit jantung disangkal.

- Riwayat trauma kepala dan daerah telinga disangkal.

- Riwayat operasi daerah kepala dan telinga disangkal.

- Riwayat tumor daerah kepala dan telinga disangkal.

- Riwayat gangguan pendengaran, infeksi telinga, sinusitis, sakit

gigi/ gigi berlubang disangkal.

- Riwayat berpergian jauh dengan kendaraan melalui jalur darat,

laut, dan udara sebelumnya disangkal.

- Riwayat konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama

disangkal.

- Riwayat konsumsi alkohol dan rokok disangkal.

- Riwayat alergi makanan, obat-obatan, dan debu diangkal.

8

Page 9: Vertigo Laporan Kasus

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.

- Riwayat kencing manis dan tekanan darah tinggi dalam keluarga

tidak tahu.

- Riwayat penyakit jantung dalam keluarga disangkal.

- Riwayat sakit tumor dalam keluarga disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien sudah tidak bekerja, hidup sederhana, tinggal satu rumah

bersama seorang suami dan satu orang anak yang sudah berkeluarga.

Biaya pengobatan ditanggung pribadi.

Kesan : sosial ekonomi kurang.

B. OBYEKTIF

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 11 November 2012, pukul 13.05 WIB, di UGD

Puskesmas Batealit, Jepara.

Keadaan umum :

Tampak lemas, tidak mampu berjalan sendiri karena pusing.

Kesadaran :

Composmentis ( GCS = E4 M6 V5 = 15 )

Tanda Vital :

- Tekanan darah : 140/110 mmHg

- Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler

- Frekuensi napas: 20 x/menit, reguler

- Suhu : 36,5º C (axiller)

Antopometri :

TB : 155 cm, BB : 48 kg, BMI : 19,98 kg/m2

9

Page 10: Vertigo Laporan Kasus

Kesan : normoweight

STATUS GENERALIS

Kepala : Normochepal

Mata : Pergerakan bola mata dalam batas normal, sklera ikterik

(-/-), konjungtiva anemis (-/-), pupil bulat isokor, diameter

pupil 3mm/3mm, reflex cahaya langsung dan tidak

langsung (+/+)

Telinga : Normotia, deformitas (-/-), discharge (-/-)

Hidung : Septum deviasi (-/-), deformitas (-/-), discharge (-/-)

Tenggorok : T 1-1, faring hiperemis (-)

Mulut : Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah

tremor (-)

Leher : JVP tidak meningkat, trakea di tengah, pembesaran

kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), kaku

kuduk (-)

Thorax :

Pulmo: In: Pernapasan thorakoabdominal, bentuk dan

gerak dada simetris statis-dinamis, retraksi otot

bantuan pernafasan (-/-), sela iga melebar (-/-)

Pa: Stem fremitus kanan = kiri

Pe: Sonor di seluruh kedua lapangan paru

Au: Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-/-)

Cor : In: IC tak tampak

Pa: IC teraba di SIC V, 2 cm sebelah medial

LMCS, tidak kuat angkat, tidak melebar,

pulsasi epigastrial (-), pulsasi parasternal (-),

sternal lift (-)

Pe: batas kanan: linea para sternalis dextra

batas kiri: SIC V, 2 cm sebelah medial LMCS

batas atas: SIC II, linea parasternalis sinistra

10

Page 11: Vertigo Laporan Kasus

kesan : konfigurasi jantung dalam batas normal

Au: BJ I – II normal, regular, bising (-), gallop (-)

Abdomen :

In : datar, venektasi (-)

Au : bising usus (+) normal, < 15 x/menit

Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-),

nyeri ketok (-)

Pa : hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-),

nyeri tekan lepas (-)

Ekstremitas :

Superior Inferior

Oedema (-/-) (-/-)

Sianosis (-/-) (-/-)

Perabaan dingin (-/-) (-/-)

Capp. Refill <2” / <2” <2” / <2”

Motoris 555 / 555 555 / 555

Sensoris +N/+N +N/+N

Refleks fisiologis +N/+N +N/+N

Refleks patologis (-/-) (-/-)

Fungsi Otonom : Miksi, defekasi, dan sekresi keringat dalam batas

normal

PEMERIKSAAN KHUSUS

Romberg’s Sign : badan goyah saat mata tertutup

Heel-to-Toe Walking Test : badan goyah saat berjalan

Unterberger’s Stepping Test : badan menyimpang ke arah kanan

Post-pointing Test : lengan menyimpang ke arah kanan

Dix-Hallpike Manoeuvre : periode laten ± 5 detik,

nistagmus horizontal < 1 menit

11

Page 12: Vertigo Laporan Kasus

Tes Kalori : tidak dilakukan

Tes Rinne : tidak dilakukan

Tes Weber : tidak dilakukan

Tes Schwabach : tidak dilakukan

Hennebert’s Sign : (-/-)

Valsava Manoeuvre : tidak timbul vertigo

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah Rutin (11 November 2012)

- Hb : 12,9 gr% ( N: 12-14 gr% )

- Leukosit : 9.900/mm3 ( N: 5rb-10rb/mm3 )

- Trombosit : 256.000/mm3 ( N: 150rb-450rb/mm3 )

- Hematokrit : 42 vol% ( N: 37-43 vol% )

IV. RESUME

Seorang wanita 70 tahun datang ke UGD Puskesmas Batealit, Jepara

dengan keluhan pusing berputar sejak pagi hari. Keluhan dirasakan

mendadak, sangat berat, mual (+), muntah (+) tidak nyemprot, keluar

seperti makanan dan minuman yang dimakan sebelumnya, darah (-). Keluhan

semakin berat ketika pasien berjalan dan menggerakkan kepala. Keluhan

berkurang ketika pasien tiduran dengan mata tertutup. Telinga

berdenging (-), telinga keluar nanah (-), gangguan pendengaran (-), demam (-).

BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

Keadaan umum : lemas, tidak mampu berjalan sendiri

Kesadaran : composmentis

Tanda Vital :

Tekanan darah : 140/110 mmHg

Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler

12

Page 13: Vertigo Laporan Kasus

Frekuensi napas: 20 x/menit, reguler

Suhu : 36,5º C (axiller)

Antopometri : normoweight

Kepala : dalam batas normal

Mata : dalam batas normal

Telinga : dalam batas normal

Hidung : dalam batas normal

Tenggorok : dalam batas normal

Mulut : dalam batas normal

Leher : dalam batas normal

Thorax : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

Fungsi Otonom : dalam batas normal

Pada pemeriksaan khusus didapatkan:

Romberg’s Sign : badan goyah saat mata tertutup

Heel-to-Toe Walking Test : badan goyah saat berjalan

Unterberger’s Stepping Test : badan menyimpang ke arah kanan

Post-pointing Test : lengan menyimpang ke arah kanan

Dix-Hallpike Manoeuvre : periode laten ± 5 detik,

nistagmus horizontal < 1 menit

Hennebert’s Sign : (-/-)

Valsava Manoeuvre : tidak timbul vertigo

V. DAFTAR ABNORMALITAS

1. Pusing berputar, mendadak, intensitas sangat berat

2. Mual dan muntah

3. Keluhan semakin berat ketika berjalan dan menggerakkan kepala

4. Keluhan lebih ringan ketika tiduran dengan mata tertutup

5. Tekanan darah 140/110 mmHg

13

Page 14: Vertigo Laporan Kasus

6. Romberg’s sign (+) saat mata tertutup

7. Hee-to-Toe Walking Test (+)

8. Unterberger’s Stepping Test (+) ke arah kanan

9. Post-pointing Test (+) ke arah kanan

10. Dix-Hallpike Manoeuvre dengan periode laten ± 5 detik, nistagmus

horizontal < 1 menit

11. Hennebert’s Sign (-/-)

12. Valsava Manoeuvre (-)

VI. DAFTAR MASALAH

1. Vertigo Vestibular Perifer

2. Hipertensi Grade 1

VII. RENCANA PEMECAHAN MASALAH

1. Vertigo Vestibular Perifer

Assesment : DD. Acute Vestibular Disfunction

Benign Paroxysmal Positional Vertigo

Rencana Awal :

Dx : S : -

O : -

Rx : - Infus RL 30 tpm

- Inj. Ondansetron 4 mg extra (i.v)

- Inj. Neurobion 5000 1 ampul extra (i.m gluteal)

- Dimenhidrinat tab. 50 mg 4x1 (p.o)

- Anvomer B6 tab. 2x1 (p.o)

- Bed rest

Mx : Keadaan umum, tanda vital, efektivitas terapi dan efek samping,

keluhan pasien.

Ex : - Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan

penyebab pusing berputar pada pasien.

14

Page 15: Vertigo Laporan Kasus

- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa keluhan pusing

berputar pada pasien ini hanya bersifat sementara, dan setelah

hilang masih ada kemungkinan untuk muncul kembali.

- Menjelaskan kepada keluarga pasien apabila keluhan muncul

kembali untuk segera membawa pasien ke puskesmas, mantri,

atau dokter terdekat.

- Menghimbau pasien untuk memperbanyak istirahat dan

mengurangi aktifitas yang berlebihan.

2. Hipertensi Grade 1

Assesment : Klasifikasi hipertensi: - Hipertensi Primer

- Hipertensi Sekunder

Pilihan terapi hipertensi sesuai indikasi dan

kontraindikasi.

Rencana Awal :

Dx : S : - Mencari indikasi hipertensi sekunder (anamnesis):

Riwayat penyakit ginjal pada pasien dan

keluarga.

Riwayat hematuri, ISK, pemakaian obat

penghilang rasa sakit sebelumnya, palpitasi,

banyak berkeringat, dan sakit kepala

sebelumnya.

- Mencari faktor resiko (anamnesis):

Pola makan pasien.

Tingkat aktivitas.

Kepribadian pasien.

- Mencari gejala kerusakan organ (anamnesis).

O : Darah lengkap, Glukosa darah (sewaktu dan puasa),

Kolesterol total, HDL, LDL, Trigliserida serum,

Kreatinin serum, Kalium serum, Urinalisis, EKG.

15

Page 16: Vertigo Laporan Kasus

Rx : - Captopril tab. 25 mg 1x1 (p.o)

- Diet biasa (rendah garam, rendah kolesterol, dan rendah

lemak jenuh)

Mx : Keadaan umum, tanda vital (target tekanan darah 130/90

mmHg), efektifitas terapi dan efek samping, komplikasi

hipertensi, gejala kerusakan organ.

Ex : - Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit

tekanan darah tinggi yang dimiliki pasien, perlunya kontrol

dan berobat secara teratur, serta resiko komplikasi yang

mungkin terjadi apabila tekanan darah pasien tidak

dikendalikan.

- Menghimbau kepada pasien dan keluarga untuk mengurangi

asupan garam harian, sehari cukup ± 1 sendok teh garam

dapur.

- Menghimbau kepada pasien dan keluarga untuk mengurangi

asupan kolesterol dan lemak jenuh.

- Menghimbau kepada pasien dan keluarga pasien untuk

menambah konsumsi buah, sayur, dan kacang-kacangan

karena banyak mengandung potassium, kalsium,

magnesium, dan serat yang bermanffat untuk membantu

menurunkan tekanan darah.

- Menghimbau pasien untuk melakukan olahraga ringan

(jalan pagi) 3-4 kali seminggu.

- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa tekanan

darah tinggi tidak dapat dikendalikan hanya dengan obat-

obatan, tetapi harus disertai dengan perubahan gaya hidup.

16

Page 17: Vertigo Laporan Kasus

VIII. CATATAN KEMAJUAN

17

11-11-2012 12-11-2012 13-11-2012

Jam 13.00 WIB 07.00 WIB 07.00 WIB

Keluhan Pusing berputar (++),Mual (++), Muntah (+)

Pusing berputar (-),Mual (+),Muntah (-)

Pusing berputar (-),Mual (-),Muntah (-)

KU Lemah Baik BaikTanda Vital TD : 140/110

HR : 96x/’ regulerRR : 20x/’ regulerT : 36,5 °C

TD : 130/100HR : 98x/’ regulerRR : 20x/’ regulerT : 36,8 °C

TD : 130/100HR : 96x/’ regulerRR : 20x/’ regulerT : 36,5 °C

Pemeriksaan Penunjang

Darah rutin:Hb: 12,9 gr%Leukosit: 9.900/mm3

Trombosit: 256rb/mm3

Hematokrit: 42 vol%

- -

Terapi - Infus RL 30 tpm- Inj. Ondansetron 4mg

extra (i.v)- Inj. Neurobion 5000 1

ampul extra (i.m)- Dimenhidrinat tab. 50mg

4x1 (p.o) - Anvomer B6 tab. 2x1

(p.o)- Captopril tab. 25mg 1x1

(p.o)- Bed rest- Diet biasa (rendah

garam, rendah kolesterol, rendah asam lemak jenuh)

→ Dimenhidrinat stop

- Infus RL 30 tpm- Anvomer B6 tab. 1x1

(p.o)- Captopril tab. 25mg

1x0,5 (p.o)- Caviplex tab. 1x1 (p.o)- Bed rest- Diet biasa (rendah

garam, rendah kolesterol, rendah asam lemak jenuh)

→ Aff. Infus RL Anvomer B6 stop

- Captopril tab. 25mg 1x0,5 (p.o)

- Caviplex tab. 1x1 (p.o)- Bed rest- Diet biasa (rendah garam,

rendah kolesterol, rendah asam lemak jenuh)

Keterangan Jam 12.30 WIB,keluhan (-) → ACC pulang

R/ - Captopril tab. 25mg 1x0,5

(p.o)- Caviplex tab. 1x1 (p.o)- Edukasi + kontrol 3 hari

lagi

Page 18: Vertigo Laporan Kasus

IX. HASIL KUNJUNGAN RUMAH

1. Keadaan Rumah

Status rumah : milik pribadi (atas nama anak I)

Ukuran : 6 x 9 m

Halaman rumah : ada

Teras rumah : ada

Dinding rumah : tembok

Lantai rumah : tanah

Ventilasi dan pencahayaan : ada, 3 jendela ukuran 0,5 x 1 m di ruang

tamu, 2 jendela ukuran 0,5 x 1 m di dapur

(di bagian belakang rumah), 1 jendela

ukuran 0,5 x 1 m di kamar penderita.

Kebersihan : cukup

Sumber air : sumur (terletak di kamar mandi), jumlah

air cukup, kebersihan air kurang baik

Tempat sampah : ada, 2 buah, di dapur dan di bagian

samping rumah, tidak ditutup

Kebiasaan sehari-hari :

Anggota keluarga dalam satu rumah meliputi penderita, suami penderita,

anak pertama penderita beserta seorang istri dan seorang anak. Penderita

sudah tidak bekerja, suami penderita bekerja sebagai pedagang, anak

pertama penderita bekerja sebagai tukang kayu, istri dari anak pertama

penderita tidak bekerja. Penderita suka berjalan-jalan santai di pagi hari

selama beberapa menit. Penerangan di dalam rumah sangat kurang.

Sirkulasi udara di dalam rumah kurang baik. Makanan dan minuman

dimasak di dapur, sumber air untuk minum dan mencuci berasal dari

sumur. Sehari-hari makan dengan lauk sederhana dan diberi garam agar

terasa lebih enak. Alat makan dan pakaian dicuci bersih dengan sabun.

Lantai rumah disapu sehari sekali. Bila ada anggota keluarga yang sakit

segera dibawa ke bidan, dokter, atau puskesmas terdekat.

18

Page 19: Vertigo Laporan Kasus

2. Lingkungan

Rumah penderita terletak di desa Batealit. Jarak antar rumah tidak terlalu

berdempetan. Keadaan lingkungan sekitar rumah cukup bersih. Jalan di

depan rumah sudah diaspal.

Gambar 1. Penderita sedang berada di kamar.

Gambar 2. Anak pertama penderita dan istri sedang berada di samping dapur.

19

Page 20: Vertigo Laporan Kasus

Gambar 3. Kondisi dapur di dalam rumah penderita.

Gambar 4. Kondisi sumur yang berada di dalam kamar mandi.

20

Page 21: Vertigo Laporan Kasus

Gambar 5. Bagian samping rumah.

Gambar 6. Bagian depan rumah.

21

Page 22: Vertigo Laporan Kasus

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. VERTIGO

I. DEFINISI

Vertigo berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar, merujuk

pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang,

umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan. 3

Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah istilah

non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan empat subtipe tergantung gejala

yang digambarkan oleh pasien.1

Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadedness, presyncope,

dan disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu sekitar 54% dari

keluhan dizziness yang dilaporkan pada primary care. 2

II. KLASIFIKASI

1. Vertigo Fisiologis

Vertigo fisiologis adalah keadaan vertigo yang ditimbulkan oleh stimulasi

dari sekitar penderita, dimana sistem vestibulum, mata, dan somatosensorik

berfungsi baik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain motion sickness,

space sickness, height vertigo.

2. Vertigo Patologis

a. Vertigo sentral, diakibatkan oleh kelainan pada batang batang otak

atau pada serebelum.

b. Vertigo perifer, disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau pada

nervus vestibulocochlear (N. VIII).

c. Medical vertigo, dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah, gula

darah yang rendah, atau gangguan metabolik akibat obat-obatan atau

akibat infeksi sistemik.

Red flag pada pasien dengan vertigo meliputi:7

22

Page 23: Vertigo Laporan Kasus

Sakit kepala

Gejala neurologis

Tanda neurologis

Vertigo Sentral

Disebabkan oleh adanya gangguan di batang otak atau di serebelum.

Biasanya disertai dengan adanya gejala lain yang khas, misalnya diplopia,

parestesia, perubahan sensibilitas, gangguan fungsi motorik, rasa lemah.5

Vertigo Perifer

Berdasarkan lamanya serangan, dibagi menjadi:9

a. Episode vertigo yang berlangsung beberapa detik.

Paling sering disebabkan oleh vertigo posisional benigna. Dapat

dicetuskan oleh perubahan posisi kepala. Paling sering penyebabnya

idiopatik (tidak diketahui), namun dapat juga diakibatkan oleh trauma di

kepala, pembedahan telinga atau oleh neuronitis vestibular. Prognosis

umumnya baik, gejala menghilang secara spontan.

b. Episode vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam.

Dapat dijumpai pada penyakit meniere atau vestibulopati berulang.

Penyakit meniere mempunyai trias gejala khas, yaitu ketajaman

pendengaran menurun (tuli), vertigo, dan tinitus.

c. Serangan vertigo yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa

minggu.

Neuronitis vestibular merupakan kelainan yang paling sering. Ditandai

dengan vertigo, nausea, muntah, timbul mendadak. Gejala ini dapat

berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Fungsi

pendengaran tidak terganggu pada neuronitis vestibular. Pada

pemeriksaan fisik mungkin dijumpai nistagmus.

Perbedaan tanda klinis vertigo vestibular perifer dan sentral.

23

Page 24: Vertigo Laporan Kasus

Perifer Sentral

Bangkitan vertigo Mendadak Lambat

Derajat vertigo Berat Ringan

Pengaruh gerakan kepala (+) (-)

Gejala otonom (++) (-)

Gangguan pendengaran (+) (-)

III. PATOFISIOLOGI

Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang

mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) dengan apa

yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Informasi yang berguna untuk

keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan

proprioseptik. Reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih

dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya

adalah proprioseptik.9

Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat

keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik

kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan

wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-

otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang

menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi

alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak

fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses

pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala

otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga

muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat

berdiri/ berjalan, dan gejala-gejala lainnya.10

Beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya vertigo diantaranya adalah:

24

Page 25: Vertigo Laporan Kasus

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation).

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan

menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis, akibatnya akan timbul

vertigo, nistagmus, mual, dan muntah.

2. Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal

dari berbagai reseptor sensorik perifer, yaitu antara mata, vestibulum, dan

proprioseptik. Atau karena ketidakseimbangan masukan sensoris dari sisi

kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan

sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus,

ataksia, rasa melayang, berputar.

3. Teori neural mismatch.

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik. Menurut teori

ini otak mempunyai memori tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika

pada suatu saat dirasakan gerakan yang tidak sesuai dengan pola gerakan

yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola

gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi

mekanisme adaptasi, sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik.

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai

usaha adaptasi perubahan posisi. Gejala klinis timbul jika sistem simpatis

terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis mulai

berperan.

5. Teori neurohumoral.

Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl), dan teori

serotonin (Lucat), yang masing-masing menekankan peranan

neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang

menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

6. Teori sinaps.

25

Page 26: Vertigo Laporan Kasus

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan

neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada

proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan

stres yang akan memicu sekresi CRF (Corticotropin Releasing Factor).

Peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf

simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa

meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat

menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat

di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, kemudian berkembang

menjadi mual, muntah, dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat

dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

IV. GEJALA KLINIS

Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala

primer, sekunder, ataupun gejala non spesifik. Gejala primer berupa vertigo,

impulsion, oscilopsia, ataxia, dan gejala pendengaran. Vertigo, diartikan sebagai

sensasi berputar. Vertigo horizontal merupakan tipe yang paling sering. Jika

bersamaan dengan nistagmus, pasien biasanya merasakan sensasi pergerakan dari

sisi yang berlawanan dengan komponen lambat nistagmus.12

Informasi penting yang didapatkan dari anamnesis dapat digunakan untuk

membedakan perifer atau sentral meliputi:2

Karekteristk dizziness

Perlu ditanyakan mengenai sensasi yang dirasakan pasien apakah

sensasi berputar atau sensasi non spesifik seperti giddiness, atau light

headness, atau hanya suatu perasaan yang berbeda (seperti kebingungan).

Keparahan

Keparahan suatu vertigo juga dapat membantu, misalnya pada

acute vestibular neuritis, gejala awal biasanya parah namun berkurang

dalam beberapa hari kedepan. Pada Ménière’s disease, awalnya keparahan

biasanya meningkat dan kemudian berkurang setelahnya.3

26

Page 27: Vertigo Laporan Kasus

Onset dan durasi vertigo

Semakin lama durasi vertigo, maka kemungkinan ke arah vertigo

sentral menjadi lebih besar. Vertigo perifer umumnya memilki onset akut

dibandingkan vertigo sentral, kecuali pada cerebrovascular attack. 2

Vertigo sentral biasanya berkembang bertahap (kecuali yang

berasal dari vaskular). Lesi sentral biasanya menyebabkan tanda

neurologis tambahan, menyebabkan ketidakseimbangan yang parah,

nistagmus murni vertikal, horizontal, atau torsional, dan tidak dapat

dihambat oleh fiksasi mata pada objek.

Faktor Pencetus

Faktor pencetus dapat mempersempit diagnosis banding pada

vertigo vestibular perifer. Jika gejala terjadi hanya ketika perubahan posisi,

penyebab yang paling mungkin adalah BPPV. Infeksi virus pada saluran

pernapasan atas kemungkinan berhubungan dengan acute vestibular

neutritis atau acute labyrhintis. Vertigo dapat disebabkan oleh fistula

perilimfatik (karena post trauma langsung, barotraumas), biasanya muncul

saat pasien mengejan atau bersin). Adanya fenomena Tullio’s (nistagmus

dan vertigo yang disebabkan suara bising pada frekuensi tertentu)

mengarah kepada penyebab perifer. 3

Gejala Penyerta

Kebanyakan penyebab vertigo dengan gangguan pendengaran

berasal dari perifer, kecuali pada penyakit serebrovaskular yang mengenai

arteri auditorius interna atau arteri serebelar anterior inferior. Nyeri yang

menyertai vertigo dapat terjadi bersamaan dengan infeksi akut telinga

tengah, penyakit infasiv pada tulang temporal, atau iritasi meningeal.

Vertigo sering bersamaan dengan muntah dan mual pada acute vestibular

neuronitis, Meniere’s Disease yang parah, dan BPPV.

Pada vertigo sentral mual dan muntah tidak terlalu parah. Gejala

neurologis berupa kelemahan, disarthria, gangguan penglihatan dan

pendengaran, parestesia, penurunan kesadaran, ataksia, atau perubahan

lain pada fungsi sensori dan motoris lebih mengarahkan diagnosis ke

27

Page 28: Vertigo Laporan Kasus

vertigo sentral, misalnya penyakit cererovascular, neoplasma, atau

multiple sklerosis.3

Riwayat keluarga

Adanya riwayat keluarga dengan migraine, kejang, Meniere’s

Disease, atau tuli pada usia muda perlu ditanyakan.

Riwayat pengobatan

Beberapa obat dapat menginduksi terjadinya vertigo, seperti obat-

obatan ototoksik, obat anti epilepsi, antihipertensi, dan sedatif.

V. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan leher, dan

system kardiovaskular.

Pemeriksaan Neurologik

Pemeriksaan nervus kranialis penting untuk mencari tanda paralisis, tuli

sensorineural, nistagmus. 2

Nistagmus vertikal 80% sensitif untuk lesi nukleus vestibular atau vermis

serebelar. Nistagmus horizontal yang spontan, dengan atau tanpa

nistagmus rotator, konsisten dengan acute vestibular neuronitis.

Gait test:

1. Romberg’s sign, pada sebuah studi, hanya 19% sensitive untuk

gangguan vestibular dan tidak berhubungan dengan penyebab yang

lebih serius dari dizziness (tidak terbatas hanya pada vertigo, misalnya

drug related vertigo, seizure, arrhythmia, atau cerebrovascular

event).3

Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan

kedua mata terbuka, kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian

selama 20-30 detik. Pada kelainan vestibuler, hanya pada mata tertutup

badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah, kemudian

kembali lagi, sedangkan pada mata terbuka badan penderita tetap

tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan

bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.

28

Page 29: Vertigo Laporan Kasus

Gambar 7. Romberg’s Sign.

2. Heel-to-Toe Walking Test

3. Unterberger's Sstepping Test, pasien berdiri dengan kedua lengan

lurus horisontal ke depan, kemudian jalan di tempat dengan

mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan

vestibuler, posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi

dengan gerakan seperti orang melempar cakram, kepala dan badan

berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan

pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai

nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.

Gambar 8. Unterberger’s Stepping Test.

4. Post-pointing Test (Uji Tunjuk Barany), dengan jari telunjuk ekstensi

dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannya

ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan

pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan

29

Page 30: Vertigo Laporan Kasus

tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan

penderita ke arah lesi.

Gambar 9. Post-pointing Test.

Pemeriksaan Fungsi Vestibuler

Dix-Hallpike Manoeuvre

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang

dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45º di bawah garis horisontal,

kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan, lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul

dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah

lesinya perifer atau sentral.

Perifer: vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik,

hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes

diulang-ulang beberapa kali (fatigue).

Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih

dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).

Test hiperventilasi

Tes ini dilakukan jika pemeriksaan-pemeriksaan yang lain hasilnya

normal. Pasien diinstruksikan untuk bernapas kuat dan dalam 30 kali.

Tanyakan apakah prosedur tersebut menginduksi terjadinya vertigo. Jika

pasien merasakan vertigo tanpa nistagmus, maka didiagnosis sebagai

sindroma hiperventilasi. Jika nistagmus terjadi setelah hiperventilasi,

menandakan adanya tumor pada nervus VIII. 5

Tes Kalori

30

Page 31: Vertigo Laporan Kasus

Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita

diangkat ke belakang, menengadah 60º. Tabung suntik berukuran 20 mL

dengan ujung jarum yang dilindungi oleh karet ukuran no.15 diisi dengan

air bersuhu 30ºC, air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1

mL/detik.

Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus.

Arah gerak nistagmus ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang

dialiri (karena air yang disuntikkan lebih dingin dari suhu badan). Arah

gerak, frekuensi (biasanya 3-5 kali/detik), dan lamanya nistagmus

berlangsung dicatat (Biasanya antara ½-2 menit). Setelah istirahat 5 menit,

telinga ke-2 dites. Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan

lamanya nistagmus pada kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir

serupa.

Pemeriksaan selanjutnya, 5 mL air es diinjeksikan ke telinga secara

lambat. Pada keadaan normal, hal ini akan mencetuskan nistagmus yang

berlangsung 2-2,5 menit. Bila tidak timbul nistagmus, dapat disuntikkan air

es 20 mL selama 30 detik. Bila ini juga tidak menimbulkan nistagmus, maka

dapat dianggap bahwa labirin tidak berfungsi. Tes ini memungkinkan kita

menentukan apakah keadaan labirin normal hipoaktif atau tidak berfungsi.

Elektronistagmogram

Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit untuk merekam

gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat

dianalisis secara kuantitatif.

Posturografi

Tes ini dilakukan dengan 6 tahap :

a. Pertama, mata terbuka dan tempat berdiri terfiksasi.

b. Kedua, mata ditutup dan tempat berdiri terfiksasi.

31

Page 32: Vertigo Laporan Kasus

c. Ketiga, melihat pemandangan yang bergoyang, berdiri pada tempat

yang terfiksasi. Dengan bergeraknya objek yang dipandang, maka

input visual tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk orientasi

ruangan.

d. Keempat, objek yang dilihat diam, namun tumpuan untuk berdiri

digoyang. Dengan bergoyangnya tempat berpijak, maka input

somatosensorik dari bagian bawah badan dapat diganggu.

e. Kelima, mata ditutup dan tempat berdiri digoyang.

f. Keenam, melihat pemandangan yang bergoyang dan tempat berdiri

digoyang.

Fungsi Pendengaran

a. Tes garpu tala: Rinne, Weber, Schwabach (untuk membedakan tuli

konduktif dan tuli perseptif).

b. Audiometri: Loudness Balance Test, Bekesy Audiometry, Tone

Decay.

Pemeriksaan Kepala dan Leher

- Pemeriksaan membran timpani untuk menemukan vesikel, misalnya pada

Herpes Zooster Auticus (Ramsay Hunt Syndrome) atau kolesteatoma.

- Hennebert’s Sign, vertigo atau nistagmus akan terjadi ketika mendorong

tragus dan meatus akustikus eksternus mengindikasikan adanya fistula

perilimfatik.2

- Valsava Manoeuvre, hidung ditutup kemudian melakukan exhalasi

dengan mulut, untuk meningkat tekanan melawan tuba eusthacius dan

telinga dalam, akan menyebabkan vertigo pada pasien dengan fistula

perilimfatik.

- Head Impulses Test, pasien duduk tegak dengan mata terfiksasi pada

objek sejauh 3 m, pasien diinstruksikan untuk tetap melihat objek ketika

pemeriksa menolehkan kepala pasien. Dimulai dengan pemeriksa

32

Page 33: Vertigo Laporan Kasus

menolehkan kepala pasien ke salah satu sisi pelan-pelan, setelah itu

pemeriksa menolehkan kepala pasien sisi lainnya dengan cepat (sejauh

20°). Pada orang yang normal tidak timbul nistagmus, mengindikasikan

pandangan mereka terfiksasi di objek. Jika ada nistagmus setelahnya maka

mengindikasikan bahwa terdapat lesi pada vestibular perifer.

Pemeriksaan Cardiovascular

Perubahan orthostatik pada tekanan darah sistolik (misalnya turun 20

mmHg atau lebih) dan nadi (misalnya meningkat 10 denyutan per menit)

pada pasien dengan vertigo menunjukkan masalah dehidrasi dan disfungsi

otonom.

Gambar 10. Head Impulses Test.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometri, tes

vestibular, evalusi hasil pemeriksaan lab, dan evalusi radiologis.

Tes audiometri tidak selalu diperlukan. Tes ini diperlukan jika pasien

mengeluhkan gangguan pendengaran.

33

Page 34: Vertigo Laporan Kasus

Tes vestibular tidak dilakukan pada semua pasien dengan keluhan

dizziness . Tes vestibular dilakukan apabila hasil pemeriksaan lain meragukan.

Pemeriksaan lab yang meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah, dan

fungsi tiroid dapat membantu menentukan etiologi vertigo.

Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan vertigo

yang memiliki tanda dan gejala neurologis dan tuli unilateral yang progresif. MRI

kepala mengevaluasi struktur dan integritas batang otak, serebelum,

periventricular white matter, dan kompleks nervus VIII. 11

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sekitar

20%-40% pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Diagnosis juga dapat ditentukan berdasarkan komplek gejala yang terdapat

pada pasien dan durasi serangan.

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Vertigo dengan tuli Vertigo tanpa tuli Vertigo dengan tanda

intracranial

Ménière’s disease Vestibular neuritis Tumor Cerebellopontine

angle

34

Page 35: Vertigo Laporan Kasus

Labyrinthitis Benign positional vertigo Vertebrobasilar insufficiency

dan thromboembolism

Labyrinthine trauma Acute vestiblar dysfunction Tumor otak

Acoustic neuroma Medication induced vertigo

e.g aminoglycosides

Migraine

Acute cochleo-

vestibular dysfunction

Cervical spondylosis Multiple sklerosis

Syphilis (rare) Following flexion-

extension injury

Aura epileptic attack-

terutama temporal lobe

epilepsy

Obat-obatan- misalnya,

phenytoin, barbiturate

Syringobulosa

IX. TERAPI

Medikamentosa

Karena penderita seringkali merasa terganggu dengan keluhan vertigo

maka seringkali diberikan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan

bervariasi. Beberapa golongan yang sering digunakan :

Antihistamin

Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo. Antihistamin

yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin,

meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo juga memiliki

aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat. Efek samping yang umum

dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek

samping ini memberikan dampak yang positif.

Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan

sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo. Efek

samping Betahistin ialah gangguan di lambung dan sesekali timbul “rash” di kulit.

35

Page 36: Vertigo Laporan Kasus

• Betahistin Mesylate (Merislon) 6 mg,

Diberikan 1-2 tablet, 3 kali sehari, per oral.

• Betahistin Hcl (Betaserc) 8 mg,

Diberikan 1 tablet, 3 kali sehari, per oral (maksimum 6 tablet).

Dimenhidrinat (Dramamine), lama kerja obat ini ialah 4–6 jam. Dapat

diberi per oral atau parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat

diberikan dengan dosis 25–50 mg, 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.

Difhenhidramin Hcl (Benadryl), lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam,

diberikan dengan dosis 25–50 mg, 4 kali sehari. Obat ini dapat juga diberikan

parenteral. Efek samping mengantuk.

Antagonis Kalsium

Obat antagonis kalsium seperti Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine

(Sibelium) sering digunakan. Merupakan obat supresan vestibular, karena sel

rambut vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun antagonis

kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan antihistamin.

Cinnarizine (Stugerone) mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular, mengurangi

respon terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis lazimnya 15–30 mg, 3 kali

sehari atau 1x75 mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk, rasa lelah, diare

atau konstipasi, mulut terasa kering, dan “rash” di kulit.

Fenotiazine

Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah).

Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine (Largactil) dan

Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh

bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap vertigo. Promethazine

(Phenergan) merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati

vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5–25

mg, 4 kali sehari, per oral atau parenteral (intramuscular atau intravena). Efek

36

Page 37: Vertigo Laporan Kasus

samping yang sering dijumpai ialah mengantuk, sedangkan efek samping

ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine lainnya.

Khlorpromazine (Largactil) dapat diberikan pada penderita dengan

serangan vertigo yang berat dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau

parenteral (intramuscular atau intravena). Dosis lazimnya 25–50 mg, 3–4 kali

sehari. Efek samping mengantuk.

Obat Simpatomimetik

Salah satu obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan

vertigo ialah Efedrin. Lama aktivitas ialah 4–6 jam. Dosis dapat diberikan 10-25

mg, 4 kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat

anti vertigo lainnya. Efek samping insomnia, palpitasi, dan gelisah/gugup.

Obat Penenang Minor

Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan

yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo. Efek samping mulut kering

dan penglihatan kabur. Lorazepam, dosis dapat diberikan 0,5-1 mg. Diazepam, dosis

dapat diberikan 2-5 mg.

Obat Anti Kholinergik

Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem

vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo. Skopolamin dapat dikombinasi

dengan Fenotiazine atau Efedrin dan mempunyai efek sinergis. Dosis skopolamin

0,3–0,6 mg, 3–4 kali sehari.

Non Medikamentosa

Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi

gangguan keseimbangan. Namun dapat dijumpai beberapa penderita yang

kemampuan adaptasinya kurang baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh

37

Page 38: Vertigo Laporan Kasus

adanya gangguan lain di susunan saraf pusat, atau didapatkan defisit

sistem visual atau proprioseptifnya. Apabila obat tidak banyak membantu,

maka diperlukan latihan fisik vestibular. Latihan bertujuan untuk

mengatasi gangguan vestibular, membiasakan, dan mengadaptasi diri

terhadap gangguan keseimbangan. Tujuan latihan ialah :

1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium,

untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.

2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.

3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan.

Contoh latihan:

1. Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.

2. Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi, ekstensi,

gerak miring).

3. Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian

dengan mata tertutup.

4. Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan

mata tertutup.

5. Berjalan “tandem” (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu

menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).

6. Jalan menaiki dan menuruni permukaan miring.

7. Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.

8. Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan juga

memfiksasi pada objek yang diam.

Terapi Fisik Brand-Darrof

38

Page 39: Vertigo Laporan Kasus

Gambar 11. Terapi fisik Brand-Darrof.

Keterangan Gambar:

• Pasien dalam posisi duduk.

• Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian balik

posisi duduk.

• Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-masing

gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang kali.

• Untuk awal cukup 1-2 kali kiri-kanan, makin lama makin bertambah.

Terapi Spesifik

BPPV

Pada kondisi ini tidak direkomendasikan terapi obat-obatan. Vertigo

dapat membaik dengan manuver rotasi kepala. Hal ini akan memindahkan

deposit kalsium yang bebas ke belakang vestibulum. Manuver ini meliputi

reposisi kanalit berupa Epley’s Manoeuvre. Pasien perlu tetap tegak selama 1

samapi 2 jam setelah reposisi kanalit untuk mencegah deposit kalsium kembali

ke kanalis semisirkularis.

Vestibular Neuronitis - Vestibular Labirynthis

Terapi difokuskan pada gejala menggunakan terapi obat-obatan yang

diikuti dengan latihan vestibular.

Meniere’s Disease

Terapi dengan prinsip menurunkan tekanan endolimfatik. Walaupun

diet rendah garam dan diuretik seringkali mengurangi keluhan vertigo, tetapi

hal ini kurang efektif dalam mengobati ketulian dan tinnitus.

39

Page 40: Vertigo Laporan Kasus

Pada kasus yang jarang, intervensi bedah seperti dekompresi dengan

endolimfatic shunt atau cochleosacculoctomy dibutuhkan jika penyakit ini

resisten terhadap pengobatan diuretik dan diet rendah garam.

Iskemik Vaskular

Terapi Transient Ischemic Attack dan stroke melalui kontrol tekanan

darah, menurunkan level kolesterol, inhibisi fungsi platelet (diantaranya

dengan aspirin, clopidogrel, dan warfarin), dapat mencegah terjadinya

serangan ulang.

Vertigo akut yang disebabkan oleh stroke pada batang otak atau

serebelum diobati dengan obat-obatan yang mensupresi vestibular. Sesegera

mungkin dilakukan tappering-off dosis obat anti vertigo dan latihan

rehabilitasi vestibular harus segera dimulai.

Pemasangan vertebrobasilar stent diperlukan pada pasien dengan

stenosis arteri vertebralis.

Perdarahan pada serebelum dan batang otak memberikan resiko

kompresi, sehingga diperlukan dekompresi melalui tindakan neurosurgery.

B. HIPERTENSI

I. DEFINISI

40

Page 41: Vertigo Laporan Kasus

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.

Hipertensi diklasifikasikan menjadi hipertensi primer/esensial (90-95%) dan

hipertensi sekunder (5-10%). Disebut hipertensi primer bila tidak ditemukan

penyebab dari peningkatan tekanan darah, dan disebut hipertensi sekunder bila

disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme

primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan

renovaskuler, serta akibat obat-obatan.

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,

prahipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.

Klasifikasi Tekanan

DarahTekanan Darah Sistolik

(mmHg)Tekanan Darah

Diastolik (mmHg)Normal < 120 < 80

Prahipertensi 120-139 80-89Hipertensi derajat 1 140-159 90-99Hipertensi derajat 2 > 160 > 100

II. ETIOLOGI

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu

hipertensi primer/esensial dan hipertensi sekunder/renal.

1. Hipertensi Primer

Hipertensi primer/esensial tidak diketahui penyebabnya, disebut juga

hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang

mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf

simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na

dan Ca intraseluler, serta faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti

obesitas, alkohol, merokok, dan polisitemia. Hipertensi primer biasanya

timbul pada umur 30 – 50 tahun.

41

Page 42: Vertigo Laporan Kasus

2. Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder/renal terjadi pada sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik

diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular

renal, hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma,

koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-

lain.

III. GEJALA KLINIS

Peninggian tekanan darah terkadang merupakan satu-satunya gejala pada

hipertensi esensial, dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala

yang timbul dapat berbeda-beda. Hipertensi esensial dapat berjalan tanpa gejala,

dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target, seperti pada

ginjal, mata, otak, dan jantung.

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi

mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini

menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang

bermakna. Bila terdapat gejala, biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit

kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah

marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata

berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat, maka

dapat mengakibatkan kematian yang disebabkan karena payah jantung, infark

miokardium, stroke, atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan

hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas.

IV. PATOFISIOLOGI

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam

pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:

42

Page 43: Vertigo Laporan Kasus

Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer

Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan

hipertensi esensial antara lain:

1. Curah jantung dan tahanan perifer.

Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh

terhadap tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial, curah

jantung biasanya normal, tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah

ditentukan oleh konsentrasi sel otot polos yang terdapat pada arteriol kecil.

Peningkatan konsentrasi sel otot polos akan berpengaruh pada peningkatan

konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot polos ini

semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol, hal ini

mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya

tahanan perifer yang irreversible.

2. Sistem Renin-Angiotensin.

Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan

ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem

endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi

oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon dari adanya glomerulus

underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem

saraf simpatetik.

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II

dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE

memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah

mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin

akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,

angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II berpotensi besar

meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui

dua jalur, yaitu:

43

Page 44: Vertigo Laporan Kasus

a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH

diproduksi di hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur

osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat

sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh, sehingga urin menjadi

pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan

ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga

meningkatkan tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron

merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk

mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi

ekskresi NaCl dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.

Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara

meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan

meningkatkan volume dan tekanan darah.

3. Sistem Saraf Otonom.

Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi maupun

dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran penting dalam

pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi

antara sistem saraf otonom, sistem renin-angiotensin, dan faktor-faktor lain

termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon.

4. Disfungsi Endotelium.

Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam

mengontrol pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif

lokal, yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi

endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis

44

Page 45: Vertigo Laporan Kasus

pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi

dari oksida nitrit.

5. Substansi Vasoaktif.

Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transport natrium dalam

mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin

merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin

dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan

sistem Renin-Angiotensin lokal. Arterial Natriuretic Peptide merupakan

hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan

volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal

yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi.

6. Hiperkoagulasi.

Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dinding pembuluh

darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan

faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat

menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan

semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah

dengan pemberian obat anti-hipertensi.

7. Disfungsi Diastolik.

Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika

terjadi tekanan diastolik. Hal ini terjadi guna memenuhi peningkatan

kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga dimana terjadi

peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan

ventrikel.

V. FAKTOR RESIKO HIPERTENSI

45

Page 46: Vertigo Laporan Kasus

Sampai saat ini penyebab hipertensi belum dapat diketahui dengan jelas.

Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara lain:

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:

a. Keturunan.

Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua

yang salah satu atau keduanya menderita hipertensi, maka orang tersebut

mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi. Adanya riwayat

keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara signifikan akan

meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada perempuan dibawah 65 tahun

dan laki–laki dibawah 55 tahun.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.

Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem Renin-

Angiotensin. Secara umum tekanan darah pada laki–laki lebih tinggi daripada

perempuan. Pada perempuan, risiko hipertensi akan meningkat setelah masa

menopause yang mununjukkan adanya pengaruh penurunan hormon estrogen.

c. Umur

Menurut beberapa penelitian telah yang dilakukan, terbukti bahwa semakin

tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini

disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah yang semakin menurun.

Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum

umur 55 tahun tekanan darah pada laki–laki lebih tinggi daripada perempuan.

Setelah umur 65 tahun, tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada

laki-laki.

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:

a. Merokok.

46

Page 47: Vertigo Laporan Kasus

Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan beban

kerja jantung dan menaikkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam

rokok dapat meningkatkan penggumpalan darah dan menyebabkan

pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap

jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik

maupun diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti

dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh darah

koroner meningkat, dan terjadi vasokontriksi pada pembuluh darah perifer.

b. Obesitas.

Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal, erat kaitannya dengan

hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya

penambahan berat badan. Tidak semua obesitas dapat terkena hipertensi.

Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal ( > 120/80 mmHg) akan

meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat

badan efektif untuk menurunkan hipertensi. Penurunan berat badan sekitar 5

kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan.

c. Stres.

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang

dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres

berlangsung lama maka dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang

menetap.

d. Aktifitas Fisik.

Aerobik yang cukup, misalnya berjalan cepat 30–45 menit setiap hari

membantu menurunkan tekanan darah secara langsung. Olahraga secara

teratur dapat menurunkan tekanan darah pada semua kelompok.

47

Page 48: Vertigo Laporan Kasus

e. Asupan.

1) Asupan Natrium

Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum

normal (136-145 mEq/L). Natrium berfungsi menjaga keseimbangan

cairan dan keseimbangan asam basa tubuh, serta berperan dalam transfusi

saraf dan kontraksi otot.

Perpindahan air antara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh

kekuatan osmotik. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler, kalium

dengan zat–zat organik pada cairan intraseluler, adalah zat–zat yang sangat

berperan dalam menentukan konsentrasi air pada kedua sisi membran.

Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi

terutama di usus halus. Mekanisme pengaturan keseimbangan volume

tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi

efektif adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular

yang melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat, volume

cairan ekstraseluler umumnya berubah–ubah sesuai dengan sirkulasi

efektifnya, dan berbanding secara proporsional dengan jumlah total

natrium dalam tubuh. Natrium diabsorpsi secara aktif, setelah itu dibawa

oleh aliran darah ke ginjal, natrium kemudian disaring dan dikembalikan

ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kadar

natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang mencapai 90-99% akan

dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh hormon

aldosteron yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar natrium dalam

darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk mengasorpsi natrium

kembali. Jadi tinggi rendahnya jumlah natrium dalam urin berbanding

lurus dengan jumlah natrium yang dikonsumsi.

Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang yang secara genetik

sensitif terhadap natrium, misalnya seperti pada orang Afro-Amerika, para

lansia, dan para penderita hipertensi atau diabetes. Asosiasi Jantung

Amerika menganjurkan setiap orang untuk membatasi asupan garam tidak

lebih dari 6 gram per hari. Pada populasi dengan asupan natrium lebih dari

48

Page 49: Vertigo Laporan Kasus

6 gram per hari tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan

meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan.

Hubungan antara restriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum

jelas. Namun berdasarkan studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan

tekanan darah ketika asupan garam ditambah.

2) Asupan Kalium.

Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler. Cara kerja kalium

adalah kebalikan dari cara kerja natrium. Konsumsi kalium yang banyak

akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga

cenderung menarik cairan ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah.

Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron.

Peningkatan sekresi aldosteron selain menyebabkan reabsorbsi natrium

dan air, juga meningkatkan ekskresi kalium. Sebaliknya penurunan sekresi

aldosteron menyebabkan ekskresi natrium dan air, juga meningkatkan

penyimpanan kalium. Rangsangan utama sekresi aldosteron adalah

penurunan volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi

kalium juga dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di

tubulus distal.

Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah kalium akan

mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling,

yang mengindikasikan terjadinya resistansi pembuluh darah pada ginjal.

Pada populasi dengan asupan tinggi kalium, tekanan darah dan prevalensi

hipertensi lebih rendah dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi

kalium dalam jumlah rendah.

3) Asupan Magnesium.

Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler

otot polos, dan diduga berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan

darah. The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation

49

Page 50: Vertigo Laporan Kasus

and Treatment of High Blood Presure (JNC) melaporkan bahwa terdapat

hubungan timbal balik antara magnesium dan tekanan darah.

Walaupun sebagian besar penelitian klinis menyebutkan bahwa

suplementasi magnesium tidak efektif untuk mengubah tekanan darah. Hal

ini dimungkinkan karena adanya efek pengganggu dari obat anti

hipertensi. Meskipun demikian, suplementasi magnesium

direkomendasikan untuk mencegah kejadian hipertensi.

VI. KERUSAKAN ORGAN TARGET

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, nbik secara

langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui

pada pasien hipertensi adalah:

1. Penyakit ginjal kronis.

2. Penyakit jantung:

a. Hipertrofi ventrikel kiri.

b. Angina atau infark miokardium.

c. Gagal jantung.

3. Gangguan fungsional otak:

a. Stroke.

b. Transient Ischemic Attack (TIA).

4. Penyakit arteri perifer.

5. Retinopati hipertensi.

Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ

tersebut dapat merupakan akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada

organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain karena adanya autoantibodi

terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi

nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet

tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya

kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya

ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).

50

Page 51: Vertigo Laporan Kasus

VII. EVALUASI HIPERTENSI

Evaluasi hipertensi bertujuan untuk:

1. Menilai pola hidup, identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular,

menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis, dan

menentukan pengobatan.

2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.

3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit

kardiovaskular.

Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang

keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan

fisik, serta pemeriksaan penunjang.

Anamnesis meliputi:

1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah penderita.

2. Indikasi adanya hipertensi sekunder:

a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal.

b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri,

pemakaian obat-obat analgesik dan obat/bahan lain.

c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi

(feokromositoma).

d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme).

3. Faktor-faktor resiko:

a. Riwayat hipertensi atau penyakit kardiovaskular pada pasien

atau keluarga pasien.

b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya.

c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya.

d. Kebiasaan merokok.

e. Pola makan.

f. Kegemukan, intensitas aktivitas dan olahraga.

51

Page 52: Vertigo Laporan Kasus

g. Kepribadian penderita.

4. Gejala kerusakan organ:

a. Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,

transient ischemic attack, defisit sensoris atau motoris.

b. Ginjal: rasa haus, poliuria, nokturia, hematuria.

c. Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, oedema ekstremitas

inferior.

d. Arteri perifer: perabaan ekstremitas dingin.

5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya.

Pemeriksaan penunjang untuk pasien hipertensi terdiri dari:

a. Tes darah rutin.

b. Glukosa darah (sebaiknya glukosa darah puasa).

c. Kolesterol total serum.

d. LDL dan HDL serum.

e. Trigliserida serum (sebaiknya trigliserida serum puasa).

f. Asam urat serum.

g. Kreatinin serum.

h. Kalium serum.

i. Hemoglobin dan hematokrit.

j. Urinalisis.

k. Elektrokardiogram.

Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya

kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya

hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala.

Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi:

1. Fungsi ginjal:

52

Page 53: Vertigo Laporan Kasus

a. Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria

(mikro dan makro albuminuria) serta rasio albumin-kreatinin

urin.

b. Perkiraan Glomerulus Filtration Rate (GFR), yang untuk pasien

dalam kondisi stabil dapat diperkirakan dengan menggunakan

modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran

National Kidney Foundation (NKF), yaitu:

Klirens Kreatinin= (140-Umur) x Berat Badan x (0,85 untuk perempuan)

72 x Kreatinin Serum

Formula MDRD (Modification of Diet in Renal Disease), GFR=

175 x Kreatinin Serum – 1,154 x Usia – 0,203 x (0,742 jika wanita) x (1,212 jika Afro-Amerika)

VIII. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

A. Penatalaksanaan Farmakologis

Pedoman dari ESH 2007 merekomendasikan 5 golongan obat anti

hipertensi, yaitu diuretic thiazid, calcium antagonists, ACE inhibitors, angiotensin

receptor antagonists, dan beta blockers. Obat-obatan tersebut dapat digunakan

sebagai first-line treatment (initiation and maintenance), baik sebagai monoterapi

atau kombinasi.

ESH-2007 menganjurkan penggunaan beta blockers dan diuretic

thiazid sebaiknya tidak diberikan pada individu dengan sindroma metabolik dan

risiko tinggi diabetes, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi obat

tersebut dapat menimbulkan penyakit diabetes.

Terapi hipertensi sering memerlukan lebih dari satu macam obat anti

hipertensi, sehingga perlu dipertimbangkan pemilihan obat sebagai first

class sesuai dengan compelling indications. Keadaan khusus seperti hipertensi

pada usia lanjut, kehamilan, atau krisis hipertensi akan memerlukan penanganan

khusus dengan pilihan obat anti hipertensi tertentu.

53

Page 54: Vertigo Laporan Kasus

Prinsip pengobatan hipertensi :

• Sekiranya tekanan darah tidak mencapai target yang

diinginkan,dosis obat dapat ditingkatkan hingga mencapai dosis

maksimum.Bisa juga digantikan dengan obat dari kelas yang lain,

atau ditambah obat kedua dari kelas yang lain.

• Sekiranya respon pengobatan inisial adekuat maka pengobatan

diteruskan.

• Untuk penambahan obat perlu pertimbangkan untuk menambah

obat golongan diuretik

• Apabila ada kelainan ginjal, pertimbangkan penggunaan loop

diuretic yang berbanding dengan diuretic tiazid.

• Jangan kombinasikan obat dari kelas yang sama.

Anti hipertensi lainnya, yakni vasodilator langsung seperti adrenolitik

sentral (α2 agonis) dan penghambat saraf adrenergik, tidak digunakan untuk

monoterapi tahap pertama, tetapi hanya antihipertensi tambahan.

Pilihan obat bagi masing-masing penderita bergantung pada:

1. Efek samping metabolik dan gejala subyektif.

2. Penyakit lain yang mungkin diperbaiki atau bahkan diperburuk

oleh pilihan anti hipertensi.

3. Pemberian obat lain yang mungkin berinteraksi dengan anti

hipertensi yang telah diberikan sebelumnya dan pertimbangan

biaya pengobatan.

Jenis-jenis obat anti hipertensi:

Diuretik.

Efek nyang ditimbulkan adalah peningkatan ekskresi natrium, klorida dan

air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Vasodilatasi perifer

yang terjadi disebabkan adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap

54

Page 55: Vertigo Laporan Kasus

pengurangan volume plasma terus menerus. Selain itu, dapat pula terjadi

pengurangan kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur

(compliance) vascular.

Diuretik tiazid dan sejenisnya.

Berbagai Tiazid (misal hidrokiorotiazid, bendroflumetiazid) merupakan

obat utama dalam terapi anti hipertensi pada penderita dengan fungsi ginjal yang

normal. Tiazid dapat dikombinasikan karena dapat meningkatkan efek hipotensif

obat lain. Selain itu, tiazid mencegah terjadinya retensi cairan yang disebabkan

anti hipertensi lain.

Namun, penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek samping metabolik,

yakni hipokalemia, hipomagnesimia, hiponatremia, hiperisemia, hiperkalsemia,

hiperglikemia, hiperkolestrolemia, dan hipertrigliseridemia. Ditambah lagi,

gangguan fungsi seksual dan rasa lemah juga dapat terjadi.

Diuretik kuat dan diuretik hemat kalium.

Diuretik kuat, misalnya furosemid lebih efektif dibanding tiazid untuk

hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal dan gagal jantung. Mula kerjanya lebih

cepat dan efek diuretiknya lebih kuat. Namun, untuk jenis hipertensi lain, tiazid

lebih unggul. Diuretik kuat dicadangkan untuk penderita dengan kreatinin serum ≤

2.5 mg/dl atau gagal jantung. Efek samping mirip seperti tiazid, hanya saja tidak

menimbulkan hiperkalsemia. Diuretik kuat harus diberikan dalam dosis rendah

disertai dengan pengaturan diet.

Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah. Penggunaannya dengan

diuretik lain berfungsi untuk mencegah hipokalemia. Namun, jenis ini dapat

menyebabkan hiperkalemia, terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal atau

bila dikombinasikan dengan penghambat ACE, suplemen kalium atau AINS.

Penderita dengan kreatinin serum ≥ 2.5 mg/dl tidak dianjurkan mengkonsumsi

jenis ini.

Penghambat Adrenergik.

55

Page 56: Vertigo Laporan Kasus

Penghambat adrenoreseptor β (β-bloker).

Mekanisme β-adrenergik sebagai anti hipertensi masih belum jelas.

Diperkirakan ada beberapa cara, yakni:

1. Pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard.

2. Hambatan pelepasan NE melalui hambatan reseptor β2 presinaps.

3. Hambatan sekresi renin melalui hambatan rereptor β1 di ginjal.

4. Efek sentral.

Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat.

Efek tampak dalam 24 jam sampai 1 minggu. Pemberian pada orang normal tidak

akan menyebabkan hipotensi.

Β-bloker merupakan obat untuk hipertensi ringan-sedang dengan penyakit

jantung koroner atau dengan aritmia supraventrikuler maupun ventrikuler, dengan

kelainan induksi.

Efek samping yang mungkin muncul diantaranya adalah bronkospasme,

memperburuk gangguan pembuluh darah perifer, rasa lelah, insomnia,

eksaserebrasi gagal jantung, serta mengurangi kemampuan berolahraga. Efek

samping dapat dikurangi dengan pengaturan diet. Selain itu, pengurangan aliran

darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat memperburuk fungsi ginjal.

Rebound hypertension jarang terjadi pada penghentian β-bloker secara mendadak.

Penghambat adrenoreseptor α (α-bloker).

α-bloker yang selektif memblok adrenoreseptor α-1 dapat digunakan

sebagai antihipertensi. α-bloker yang non-selektif juga menghambat adrenoseptor

α-2 diujung saraf adrenergik, sehingga meningkatkan pelepasan norepinephrin,

akibatnya terjadi perangsangan jantung yang berlebihan.

α-bloker menghambat reseptor α-1 di pembuluh darah sehingga terjadi

dilatasi vena dan arteriol. α-bloker merupakan satu-satunya golongan

antihipertensi yang memberikan efek positif pada lipid darah, (mengurangi LDL

dan trigliserida, meningkatkan HDL). α-bloker juga dapat menurunkan resistensi

insulin, mengurangi gangguan vaskular perifer, memberikan sedikit efek

56

Page 57: Vertigo Laporan Kasus

bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat kegiatan fisik, merelaksasi

otot polos prostat dan leher kandung kemih sehingga mengurangi gejala hipertrofi

prostat, tidak menggangu aktivitas fisik, dan tidak berinteraksi dengan AINS.

Oleh karena itu, obat ini dianjurkan untuk penderita hipertensi disertai diabetes,

dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi perifer, asma, hipertrofi prostat,

perokok, serta penderita muda yang aktif secara fisik dan mereka yang

menggunakan AINS.

Efek samping yang mungkin muncul di antaranya adalah hipotensi

ortostatik yang dapat terjadi sejak pemberian beberapa dosis pertama atau saat

dilakukan penambahan dosis. Efek lebih besar ialah kehilangan kesadaran sesaat,

atau yang ringan ialah pusing kepala.

ACE Inhibitor

Penghambat ACE yang bekerja langsung yaitu captropil dan lisinopril,

namun ada pula yang tidak langsung (pro drug).

Renin disekresi oleh sel jukstaglomerular (di dinding arteriol aferen) dan

oleh glomerulus ke dalam darah bila perfusi ginjal menurun, deplesi natrium, atau

karena terjadi stimulasi adrenergik (melalui reseptor β-1).

Renin akan memecah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AI). AI akan

dikonversi oleh ACE menjadi Angiotensin II (AII) yang sangat aktif. AII bekerja

pada reseptor otot polos vaskuler, korteks adrenal, jantung, dan SSP untuk

menimbulkan konstriksi arteriol dan venula, stimulasi konsumsi air dan

peningkatan sekresi ADH. Akibatnya terjadi resistensi perifer, reabsorpsi natrium

dan air, serta peningkatan denyut jantung dan curah jantung.

Sistem RAA berperan dalam mempertahankan tekanan darah dan volume

intravaskular saat terdapat deplesi natrium dan cairan.

Penghambatan ACE akan mengurangi pembentukan AII sehingga tekanan

darah turun. Karena efek vasokonstriksi paling kuat antara lain ada di pembuluh

darah ginjal, pengurangan AII akan menimbulkan vasodilatasi renal yang kuat.

Penurunan tekanan darah oleh penghambat ACE disertai pengurangan resistensi

perifer tanpa refleks takikardia.

57

Page 58: Vertigo Laporan Kasus

Penghambat ACE efektif untuk hipertensi ringan, sedang , maupun berat.

Pemberian bersama dengan penghambat adrenergik akan menimbulkan hipotensi

berat berkepanjangan.

Efek samping yang mungkin muncul antara lain batuk kering, ganguan

pengecapan, rash eritromatosis maupun oedem angioneurotik.

Penghambat Reseptor Angiotensin II.

Sistem RAS mempunyai hubungan yang erat dengan patogenesis timbulnya

dan perjalanan hipertensi. Angiotensin II yang merupakan mediator utama dari

sistem RAS.

Angiotensin Receptor Blocker (ARB) merupakan kelompok obat yang

memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan

reseptornya. Penghambatan ini secara langsung memberikan efek vasodilatasi,

penurunan retensi air dan natrium, dan penurunan aktivitas seluler yang

merugikan (misalnya hipertrofi).

Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan).

Efek samping yang mungkin timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas, dan mual.

Antagonis Kalsium.

Golongan dihidropiridin (DHP, nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin,

amilodipin) bersifat vaskuloselektif dan generasi yang baru mempunyai

selektivitas yang lebih tinggi. Kombinasi antagonis kalsium dengan β-bloker,

penghambat ACE atatu α-bloker meberikan efek baik, tetapi hanya memberikan

penambahan efek yang kecil saat kombinasi dengan diuretik. Kombinasi

verapamil atau diltiazem dengan β-bloker memberikan efek antihipertensi yang

adiktif.

Efek samping yang mungkin dijumpai ialah penurunan tekanan darah yang

terlalu besar dan cepat, angina pektoris pada penyakit jantung koroner,

vasodilatasi, edema perifer, bradiaritmia maupun konstipasi.

Adrenolitik Sentral.

Klonidin.

58

Page 59: Vertigo Laporan Kasus

Efek hipotensifnya disertai penurunan resistensi perifer. Klonidin juga dapat

menyebabkan penurunan denyut jantung, antara lain akibat peningkatan tonus

vagal. Klonidin berguna pula untuk hipertensi mendesak.

Efek samping yang sering muncul ialah mulut kering dan sedasi, pusing,

mual, konstipasi, atau impotensi. Gejala ortostatik kadang-kadang terjadi. Efek

samping sentral misalnya, mimpi buruk, insomnia, cemas dan depresi.

Penggunaan secara tunggal dapat menyebabkan retensi cairan sehingga

mengurangi efek hipotensinya. Oleh karena itu, obat ini paling baik jika

digunakan bersama diuretik.

Guanabenz dan Guanfasin.

Sifat farmakologik termasuk efek sampingnya mirip klonidin. Guanfasin

memiliki waktu paruh lebih panjang (14-18 jam).

Metildopa.

Metildolpa dapat mengurangi resistensi perifer tanpa banyak mengubah

denyut jantung dan curah jantung. Penurunan TD maksimal 6-8 jam setelah dosis

oral.

Obat ini juga efektif jika dikombinasikan dengan tiazid. Selain itu, obat ini

juga merupakan pilihan untuk hipertensi pada kehamilan.

Pada insufisiensi ginjal terjadi akumulasi obat dan metabolitnya. Waktu

paruh obat 2 jam dan meningkat pada penderita uremia.

Efek samping yang dapat muncul di antaranya adalah sedasi, hipotensi

postural, pusing, mulut kering, gangguan tidur, depresi mental, impotensi,

kecemasan, penglihatan kabur, hidung tersumbat, dan sakit kepala. Efek samping

yang lebih serius di antaranya adalah anemia hemolitik, trombositopenia,

leukopenia, hepatitis, dan Lupus-like syndrome. Penghentian mendadak dapat

menyebabkan rebound phenomenon (peningkatan tekanan darah).

Penghambat saraf Adrenergik.

Reserpin

59

Page 60: Vertigo Laporan Kasus

Reserpin mengurangi resistensi perifer dan denyut jantung. Retensi cairan

dapat terjadi jika tidak diberikan bersama diuretik.

Efek samping yang dapat terjadi di antaranya adalah letargi, kongesti nasal,

bradikardia, mulut kering, diare, mual, muntah, anoreksia, bertambahnya nafsu

makan, hiperasiditas lambung, mimpi buruk, depresi mental, disfungsi sexual, dan

ginekomastia.

Karena reserpin dapat meningkatkan asam lambung, maka harus diberikan

dengan hati-hati pada penderita dengan riwayat ulkus peptikum.

Guanetidin.

Efek hipotensif obat ini disebabkan karena berkurangnya curah jantung dan

turunnya resistensi perifer. Guanetidin merupakan venodilator yang kuat sehingga

hipotensi ortostatik yang hebat dapat terjadi. Obat ini juga sering menimbulkan

diare dan kegagalan ejakulasi. Guanetidin sekarang jarang digunakan.

Guanadrel.

Mekanisme dan efek samping mirip dengan Guanetidin, hanya saja

intensitas diare lebih rendah.

Penghambat Ganglion.

Trimetafan.

Kerjanya singkat dan digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada

hipertensi darurat dan menghasilkan hipotensi terkendali selama bedah saraf atau

bedah kardiovaskular untuk mengurangi pendarahan.

Efek samping yang dapat muncul ialah paresis usus dan kandung kemih,

hipotensi ortostatik, penglihatan kabur, dan mulut kering.

Vasodilator.

Hidralazin.

Hidralazin menurunkan tekanan darah diastolik lebih banyak daripada

tekanan darah sistolik dengan menurunkan resistensi perifer. Oleh karena itu,

60

Page 61: Vertigo Laporan Kasus

hidralazin lebih selektif mendilatasi arteriol dari pada vena.

Hidralazin sekarang jarang digunakan. Hidralazin i.v digunakan untuk

hipertensi darurat, terutama glomerulonefritis akut atau eklamasia.

Efek samping yang dapat muncul ialah retensi natrium dan air, iskemia

miokard pada penderita penyakit jantung koroner, dan sindroma Lupus.

Minoksidil.

Minoksidil efektif untuk semua penderita, maka berguna untuk terapi jangka

panjang hipertensi berat yang refrakter, untuk hipertensi akselerasi, atau hipertensi

maligna dengan penyakit ginjal.

Efek samping yang sering muncul ialah retensi cairan, takikardia, sakit

kepala, angina pectoris, efusi pleural dan pericardial.

Penghentian minoksidil mendadak dapat menyebabkan rebound

hypertension.

Diazoksid.

Obat ini digunakan pada hipertensi darurat. Diazoksid efektif untuk

hipertrofi ensefalopati, hipertensi maligna dan hipertensi berat dengan

glomerunefritis akut dan kronik. Penurunan tekanan darah yang cepat dapat

beresiko iskemia koroner.

Efek samping yang ada misalnya hipotensi, takikardia, iskemia jantung dan

otak akibat hipotensi, azotemia, hipersensitifitas.

Natrium Nitroprusid.

Nitroprusid merupakan obat paling cepat dan selalu efektif untuk

pengobatan hipertensi darurat. Namun perlu infus kontinyu untuk

mempertahankan efek hipotensifnya.

Efek samping yang ada berupa vasodilatasi yang berlebihan, muntah, mual,

dan muscle twitching.

61

Page 62: Vertigo Laporan Kasus

Monoterapi dan Terapi Kombinasi.

Menurut ESH-2007, monoterapi dapat diberikan sebagai terapi inisial untuk

hipertensi ringan (derajat 1), dengan dosis rendah, kemudian untuk mencapai

target tekanan darah yang diinginkan dosis dapat dinaikkan sampai dosis

maksimal, atau diganti dengan obat yang mempunyai titik tangkap berbeda

(dimulai dengan dosis rendah), kemudian dosis dinaikkan sampai dosis maksimal.

Bila masih belum tercapai target yang diinginkan, dapat ditambah 2 sampai 3

macam obat.

Terapi kombinasi 2 obat diberikan untuk terapi inisial pada hipertensi

derajat 2 dan 3, bila dengan 2 macam obat target tekanan tidak tercapai dapat

diberikan 3 macam obat anti hipertensi.

Monoterapi hanya bisa menurunkan tekanan darah ke tekanan darah target

pada penderita dalam jumlah kasus yang terbatas. Pada beberapa pasien dengan

tekanan darah yang tidak dapat dikontrol dengan dua jenis pengobatan, kombinasi

tiga obat atau lebih.

Beberapa kombinasi obat yang efektif dengan toleransi yang baik

diantaranya adalah:

- Diuretik tiazid dan ACE Inhibitor.

- Diuretik tiazid dan antagonis reseptor angiotensin.

- Antagonis kalsium dan ACE inhibitor.

- Antagonis kalsium dan antagonis reseptor angiotensin.

- Antagonis kalsium dan diuretik tiazid.

- B-blocker dan antagonis kalsium (dihidropiridin).

62

Page 63: Vertigo Laporan Kasus

B. Penatalaksanaan Non Farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis (diet) sering sebagai pelengkap

penatalaksanaan farmakologis. Selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu

terapi dietetik dan perubahan gaya hidup.

Tujuan dari penatalaksanaan diet :

a. Membantu menurunkan tekanan darah secara bertahap dan

mempertahankan tekanan darah menuju normal.

b. Menurunkan tekanan darah secara multifaktoral.

c. Menurunkan faktor risiko lain, seperti BB berlebih, tingginya kadar

asam lemak, kolesterol dalam darah.

d. Mendukung pengobatan penyakit penyerta, seperti penyakit ginjal

dan diabetes mellitus.

63

Page 64: Vertigo Laporan Kasus

Prinsip diet penatalaksanaan hipertensi :

a. Makanan beraneka ragam dengan gizi seimbang.

b. Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi

penderita.

c. Jumlah garam dibatasi. Konsumsi garam dapur tidak lebih dari ¼ -

½ sendok teh per hari, atau dapat menggunakan garam lain diluar

natrium.

64

Page 65: Vertigo Laporan Kasus

DAFTAR PUSTAKA

1. Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care, BJMP 2010;3(4):a351

2. Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine in Journal Nerology 2009:25:333-338

3. Labuguen, RH. 2006. Initial Evaluation of Vertigo ini Journal American Family Physician January 15, 2006. Volume 73, Number 2

4. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 20085. Marril KA. Central Vertigo [Internet]. WebMD LLC. 21 Januari 2011.

http://emedicine.medscape.com/article/794789-clinical#a02176. Turner, B, Lewis, NE. 2010. Symposium Neurology :Systematic Approach that

Needed for establish of Vetigo. The Practitioner September 2010 - 254 (1732): 19-23.

7. Mark, A. 2008. Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical Assesment and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine, June 2008, Vol 69, No 6

8. Kovar, M, Jepson, T, Jones, S. 2006. Diagnosing and Treating: Benign Paroxysmal Positional Vertigo in Journal Gerontological of Nursing. December:2006

9. Swartz, R, Longwell, P. 2005. Treatment of Vertigo in Journal of American Family Physician March 15,2005:71:6.

10. Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness and Vertigo. Illnois:wolter kluwerlippincot William and wilkins)

11. Antunes MB. CNS Causes of Vertigo [Internet]. WebMD LLC. 10 September 2009. http://emedicine.medscape.com/article/884048-overview#a0104

12. Siregar TGM. Hipertensi Esensial. Dalam: Rilantono LI, Barass F, Karo SK, Roebiono PS, editor. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. ISBN 979-496-077-2. h. 197-205

13. JNC-VII Classification and Management of Blood Pressure for Adults. Medicalcriteria.com

14. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report

15. Carretero OA, Oparil S (January 2000). "Essential hypertension. Part I: Definition and etiology". Circulation 101 (3): 329–35. doi:10.1161/01.CIR.101.3.329. PMID 10645931.

16. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. (December 2003). "Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure". Hypertension 42 (6): 1206–52. doi:10.1161/01.HYP.0000107251.49515.c2. PMID 14656957.

17. Fisher ND, Williams GH (2005). "Hypertensive vascular disease". di dalam Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al.. Harrison's Principles of Internal Medicine (edisi ke-16th). New York, NY: McGraw-Hill. hlm. 1463–81. ISBN 0-07-139140-1.

65