Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)Patricia Jessica
Babay 10.2009.052
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
[email protected]
PendahuluanVertigo posisi paroksismal jinak (BPPV) adalah
gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai.1 Gejala yang
dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan
posisi kepala, beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi
tertentu yang menimbulkan keluhan vertigonya. Biasanya vertigo
dirasakan sangat berat, berlangsung singkat hanya beberapa detik
saja walaupun penderita merasakannya lebih lama.1,2 Keluhan dapat
disertai mual bahkan sampai muntah, sehingga penderita merasa
khawatir akan timbul serangan lagi, hal ini yang menyebabkan
penderita sangat hati-hati dalam posisi tidurnya. Vertigo jenis ini
sering berulang kadang-kadang dapat sembuh dengan sendirinya.3BPPV
merupakan penyakit degeneratif yang idiopatik yang sering
ditemukan, kebanyakan diderita pada usia dewasa muda dan usia
lanjut.3 Faktor etiologi mencakup gangguan vestibular sebelumnya
(misalnya, penyakit Meniere), pembedahan telinga, infeksi virus
baru (seperti neuronitis virus), trauma kepala dan anestesi lama.
Patofisiologinya berawal dari debris otokonia yang terdapat pada
kanalis semisirkularis, biasanya pada kanalis posterior yang
menyebabkan cupulolithiasis.4 Diduga debris itu menyebabkan
perubahan tekanan endolimfe dan defleksi kupula sehingga timbul
gejala vertigo.3Diagnosis VPPJ pada kanalis posterior dan anterior
dapat ditegakkan dengan cara memprovokasi dan mengamati respon
nystagmus yang abnormal dan respon vertigo dari kanalis semi
sirkularis yang terlibat. Dikenal dua jenis gerakan untuk
memprovokasi timbulnya nistagmus yaitu gerakan Dix Hallpike dan
gerakan side lying. Tes Dix Hallpike merupakan gerakan yang paling
sering digunakan dan tes side lying digunakan untuk menilai BPPV
pada kanal posterior dan anterior.AnamnesisDalam memeriksa penyakit
saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting. Seorang
dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari
mulanya. Biasanya penderita ke dokter pada saat penyakit sedang
berlangsung, bahkan kadang-kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan
keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada
juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktu-waktu tertentu; jadi
dalam bentuk serangan. 1
Dengan mengetahui perjalanan penyakit seseorang, kita dapat
mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan laboratorium yang tidak
perlu, dapat dihindari. Sewaktu kita mengambil anamnesis, yaitu
berwawancara dengan pasien, kita juga dapat memperoleh banyak data
mengenai keadaannya, misalnya keadaan kesadarannya, konsentrasi,
kecepatan berreaksi, ingatan, penggunaan bahasa, cara mengucapkan
kata, pendegaran, intelektual, dan lain sebagainya.
Anamnesis kadang-kadang dapat pula menolong kita membedakan
apakah suatau keluhan bersifat organik atau psikogen, yaitu dari
cara pasien mengemukakan keluhannya serta pola keluhannya.
Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap
poemeriksa yang sabar dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup.
Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri,
supaya tidak didengar orang lain. Anamnesis mengikuti dua pola
umum, yaitu pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua
keluhan serta kelainan yang diderita dan pemeriksa (dokter)
membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya dengan
jalan mengajukan pertanyaan tertuju.
Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama,
umur, pekerjaan, alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya,
yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pada
tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri sejak kapan dimulai,
sifat serta beratnya, lokasi serta penjalarannya, hubungannya
dengan waktu, keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan
tersebut, pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya, faktor yang
membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan, perjalanan keluhan
apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam
bentuk serangan, dsb. Suatu penyakit umumnya mempunyai manifestasi
subjektif dan manifestasi objektif. Manifestasi subjektif ialah
hal-hal yang dirasakan oleh pasien yang tidak dapat dinyatakan
secara objektif, misalnya nyeri kepala, rasa puyeng, rasa semutan,
dada seolah ditekan, rasa mual, dan badan rasa ditusuk-tusuk.
Adanya keluhan atau manifestasi subjektif dapat diketahui dari
keluhan pasien. Pada vertigo, pertanyaan untuk mengemukakan keluhan
atau kelainan dapat berupa: pernahkah anda merasakan seolah
sekeliling anda bergerak, berputar atau anda merasa diri anda yang
bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya dengan
perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah
disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)?
Pemeriksaan FisikPemeriksaan Fisik Umum. Segera periksa dan beri
tindakan untuk mencegah atau mengatasi 5 H, yaitu: Hipoksia otak,
Hipotensi, Hipoglikemia, Hipertermia, dan Herniasi di otak.
Pemeriksaan harus mencakup gejala vital (jalan nafas, keadaan
respirasi dan sirkulasi). Pastikan bahwa jalan nafas terbuka dan
pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan pasokan oksigen yang
kontinu, demikian juga glukosa. Tanpa oksigen sel-sel otak akan
mati dalam waktu 5 menit. Karena itu, harus ada sirkulasi darah
untuk menyampaikan okesigen dan glukosa ke otak.
Pada kulit diperhatikan tanda trauma, sigmata penyakit hati,
bekas suntikan, kulit basah karena keringat misalnya pada
hipoglikemia, syok; kulit kering(misalnya pada koma diabetikum);
perdarahan (misalnya: demam berdarah/dengue, DIC). Daerah kepala
diperhatikan tanda trauma, hemotoma di kulit kepala, hematoma di
sekitar mata, perdarahan di liang telinga dan hidung. Pada regio
toraks (jantung dan paru) abdomen, dan ekstremitas juga dievaluasi.
Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran. Ketajaman pendengaran seseorang
merupakan pemeriksaan fisik terhadap saraf kokhlearis. Secara kasar
(rutin) ketajaman pendengaran ditentukan dengan jalan menyuruh
penderita mendengarkan suara bisikan pada jarak tertentu dan
membandingkannya dengan orang yang normal. Perhatikan pula apa ada
perbedaan antara ketajaman pendengaran telinga kanan dan kiri. Beda
ini penting artinya ditinjau dari sudut patologis. Bila ketajaman
pendengaran berkurang atau terdapat perbedaan antara kedua telinga,
kita lakukan pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach, Rinne, Weber, atau
Audiogram.1Pada tes Schwabach pendengaran penderita dibandingkan
dengan pendengaran pemeriksa (yang dianggap normal). Garpu tala
dibunyikan dan kemudian ditempatkan di dekat telinga penderita.
Setelah penderita tidak mengarkan bunyi lagi, garpu tala
ditempatkan di dekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi
oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk
konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya
ditekankan pada tulang mastoid penderita. Disuruh penderita
mendengarkan bunyinya. Pada pemeriksaan Rinne dibandingkan konduksi
tulang dengan konduksi udara. Pada telinga yang normal, konduksi
udara lebih baik daripada konduksi tulang. Hal ini didapatkan juga
pada tuli perseptif (tuli saraf). Akan tetapi, pada tuli konduktif,
konduksi tulang lebih baik daripada konduksi udara.
Pada pemeriksaan tes Rinne biasanya digunakan garpu tala yang
berfrekuensi 128Hz, 256Hz, atau 512Hz. Garpu tala dibunyikan dan
pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid penderita. Ia disuruh
mendengarkan bunyinya. Bila tidak terdengar lagi, garpu tala segera
didekatkan pada telinga. Jika masih terdengar bunyi, maka konduksi
udara lebih baik daripada konduksi tulang, dan dalam hal ini
dikatakan Rinne Positif. Bila tidak terdengar lagi bunyi, segera
setelah garpu tala dipindahkan dari tulang mastoid ke dekat
telinga, kita katakan Rinne Negative.Pada tes Weber, garpu tala
yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi penderita, tepat
dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya, dan
menentukan pada telinga mana bunyi lebih keras terdengar. Pada
orang yang normal, kerasnya bunyi sama pada telinga kiri dan kanan.
Pada tuli saraf, bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang
sehat, sedang pada tuli konduktif bunyi lebih keras terdengar pada
telinga yang tuli. Kita katakan tes Weber berlateralisasi ke kiri
(atau ke kanan), bila bunyi lebih keras terdengar di telinga kiri
(atau kanan). Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif
pendengaran berkurang, Rinne positif dan Weber berlateralisasi ke
telinga yang sehat. Pada tuli konduktif pendengaran berkurang,
Rinne negatif dan Weber berlateralisasi ke telinga yang tuli. Bunyi
atau suara yang dapat didengar oleh telinga yang normal
berfrekuensi antara 8-6 sampai kira-kira 32000Hz.
Pemeriksaan Keseimbangan/vestibuler. Uji Romberg: penderita
berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata
terbukakemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30
detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan
posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara
tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan
penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali
lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada
kelainan serebelar, badan penderita akan bergoyang baik pada mata
terbuka maupun pada mata tertutup.2Uji Tandem Gait: penderita
berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanandiletakkanpadaujung jari
kaki kanan/kiriganti berganti. Pada kelainan vestibuler
perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebelum,
penderita akan cenderung jatuh.2Uji Unterberger: berdiri dengan
kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalandi tempat dengan
mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan
vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi
dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan
berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan
lengan pada sisi lesi turundan yang lainnya naik. Keadaan ini
disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.Uji Tunjuk
Barany (Past-Pointing Test): Dengan jari telunjuk ekstensi dan
lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannyake
atas,kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan
pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan
tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihatpenyimpangan lengan
penderita ke arah lesi. Uji Babinsky-Weil: Pasien dengan mata
tertutup berulang kali berjalan lima langkahke depandan lima
langkahke belakang selama setengah menit; jika ada gangguan
vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk
bintang.Pemeriksaan untuk menimbulkan Nistagmus. Manuver
Dix-Hallpike: untuk membangkitkan vertigo atau nistagmus posisional
pada penderita dengan gangguan sistem vestibular dapat dilakukan
Dix-Hallpike manuver. Pada tes ini pasien disuruh duduk di tempat
tidur periksa. Kemudian ia direbahkan sampai kepalanya tergantung
di pinggir dengan sudut sekitar 30 derajat di bawah horison.
Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian diulangi dengan
kepala melihat lurus dan diulangi lagi dengan kepala menoleh ke
kanan. Penderita disuruh tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat
meluhat sekiranya muncul nistagmus. Perhatikan kapan nistagmus
mulai muncul, berapa lama berlangsung serta jenis nistagmus.
Kemudian kepada penderita ditanyakan apa yang dirasakannya. Apakah
ada vertigo yang pernah dialaminya.1Pada lesi perifer, vertigo
lebih berat dan didapatkan masa laten selama sekitar 2-30 detik.
Yang dimaksud dengan masa laten di sini ialah nistagmus tidak
segera timbul begitu kepala mengambil posisi yang kita berikan;
nistagmus baru muncul setelah beberapa detik berlalu, yaitu sekitar
2-30 detik. Dalam hal ini, kita katakan masa laten untuk terjadinya
nistagmus adalah 2-30 detik.
Gambar 1. Manuver Dix-HallpikePada lesi perifer vertigo biasanya
berat, lebih berat daripada lesi sentral. Pada lesi perifer
nistagmus akan capai; maksudnya ialah setelah beberapa saat
nistagmus akan berkurang dan kemudian berhenti, walaupun kepala
masih tetap dalam posisinya. Selain itu, pada lesi perifer, bila
manuver ini diulang-ulang, jawaban nistagmus akan berkurang dan
kemudian tidak muncul lagi. Hal ini disebut habituasi. Pada lesi
vestibular sentral tidak didapatkan masa laten. Nistagmus segera
muncul. Selain itu pada lesi sentral nistagmus tidak berkurang atau
mereda, tidak menjadi capai dan nistagmus akan tetap timbul bila
manuver ini diulang-ulang. Jadi, tidak didapatkan habituasi. Ciri
Nistagmus Posisional
Lesi PeriferLesi Sentral
VertigoBeratRingan
Masa LatenYaTidak
Jadi Capai/LelahYaTidak
HabituasiYaTidak
Tabel 1. Perbedaan lesi perifer dan sentralGerakan Sidelying:
Gerakan ini terdiri dan 2 gerakan yaitu gerakan sidelying kanan
yang menempatkan kepala pada posisi dimana kanalis anterior
kiri/kanalis posterior kanan pada bidang tegak lurus garis
horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah dan
perasat Sidelying kiri yang menempatkan kepala pada posisi dimana
kanalis anterior kanan dan kanalis posterior kiri pada bidang tegak
lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling
bawah (gambar 2).5Pasien duduk pada meja pemeriksaan dengan kaki
menggantung di tepi meja, kepala ditegakan ke sisi kanan. tunggu 40
detik sampai timbul respon abnormal. Pasien kembali ke posisi duduk
untuk diakukan perasat Sidelying kiri, pasien secara cepat
dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan 45 ke kanan
(menempatkan kepala pada posisi kanalis anterior kanan/kanalis
posterior kiri). Tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.
Gambar 2. Gerakan Side Lying
Pemeriksaan PenunjangENG (Electronystamography). ENG gunanya
untuk memonitor gerakan bola mata. Prinsipnya sederhana saja, yatu
bahwa kornea mata itu bermuatan positif. Muatan positif ini
sifatnya sama dengan muatan positif listrik atau magnit yang selalu
mengimbas daerah sekitarnya. Begitu pula muatan positif kornea ini
mengimbas kulit di sekitar bola mata. Dengan meletakkan elektroda
pada kulit kantus lateral mata kanan dan kiri, maka kekuatan muatan
kornea kanan dan kiri bisa direkam. Rekaman muatan ini disalurkan
pada sebuah galvanometer.6
Bila muatan kornea mata kanan dan kiri sama, maka galvanometer
akan menunjukkan angka nol (di tengah). Bila mata bergerak ke
kanan, maka elektroda kanan akan bertambah muatannya, sedangkan
elektrode kiri akan berkurang, jarum galvanometer akan bergerak ke
satu arah. Jadi kesimpulannya, jarum galvanometer akan bergerak
sesuai dengan gerak bola mata. Dengan demikian nistagmus yang
terjadi bisa dipantau dengan bak. Bila gerak jarum galvanometer
diperkuat, maka akan mampu menggerakkan sebuah tuas, dan gerakan
tuas ini akan membentuk grafik pada kertas, yang disebut
elektronistamografi (ENG).
Dalam grafik ENG dapat mudah lebih dikenal gerakan nistagmus
fase lambat dan fase cepat, arah nistagmus serta frekuensi dan
bentuk grafiknya. Yang menjadi pegangan utama adalah kecepatan fase
lambat dari nistagmus yang dapat dihitung di dalam derajat
perdetik.
Rumus perhitungan yang dipakai sama dengan rumus yang dianjurkan
Dick & Hallpike, hanya parameter yang dipakai adalah kecepatan
fase lambat yang dihitung dengan derajat perdetik.
Rumus 1.
Sensitivitas L-R = (a+c) (b+d) x 100% = < 20%
(a + c + b + d)
Bila hasil rumus di atas kurang dari 20% maka kedua fungsi
vestibuler dalam keadaan seimbang, dan bila hasilnya melebihi 15
derajat per detik, maka kedua fungsi vestibuler dalam keadaan
normal. Bila hasilnya lebih besar dari 20% maka vestibuler yang
hasilnya kecil berarti mengalami paresis kanal.
Rumus 2.
Kuat Nist. R-L = (a+d) (b+c) x 100% = < 20%
(a + d + b +c)
Bila hasil rumus lebih besar dari 20%, maka nistagmus berat ke
kanan (directional preponderance to the right), berarti kemungkinan
terdapat lesi sentral di sebelah kanan, atau ada fokus iritatif
sentral di sebelah kiri.EEG (Elektroencephalography).
Elektroensefalografi adalah prosedur pencatatan aktivitas listrik
otak dengan alat pencatatan yang peka. EEG ini menangkap gelombang
listrik yang dihasilkan oleh permukaan (sel-sel korteks). Dari
ketiga jenis sel kortikal, sel piramidal yang dianggap merupakan
sumber potensial listrik dari gelombang-gelombang permukaan. Adapun
gelombang permukaan itu merupakan penjumlahan dari potensial
listrik pasca sinaps, baik yang bersifat inhibisi atau eksitasi,
yang berasal dari soma dan dendrit-dendrit besar sel pyramidal yang
kemudian melalui cairan dan jaringan tubuh sampai pada
electrode-elektrode EEG.
Berbagai penelitian mengungkapkan tidak semua individu normal
memperlihatkan EEG yang normal, dan tidak semua abnormalitas dalam
EEG berarti ada abnormalitas pada individu yang bersangkutan.
Aktivitas abnormal disebut spesifik bila gelombang yang timbul
mempunyai gambaran yang khas dan berkorelasi tinggi dengan kelainan
klinik tertentu. Pemeriksaan EEG penting untuk mendiagnosa
epilepsy, tumor, lesi desak ruang lain, trauma kepala dan infeksi
otak
Bila terdapat tumor intracranial (contohnya: neuroma akustik),
akan ditemukan irama lambat berfrekuensi kurang dari 4spd. Irama
ini umumnya terlihat fokal, karenanya dapat dipakai untuk
menentukan lokasi kira-kira daripada tumor. Gelombang lambat EEG
adalah berasal dari neuron-neuron sekitar tumor atau di tempat lain
yang fungsinya terganggu secara langsung atau tidak langsung oleh
adanya tumor tersebut. Gambaran tumor infratentorial adalah berupa
pelambatan sinusoidal yang ritmik berfrekuensi 2-3spd atau 4-7spd,
dapat bersifat terus-menerus ataupun paroksismal. EEG yang normal
akan menyingkirkan sebesar 97% tumor kortikal dan 90% tumor otak
pada umumnya.MRI. MRI intracranial menghasilkan potongan lintang
otak dan tulang belakang yang sangat detail. Keuntungan utama MRI
adalah kemampuannya untuk melihat ke dalam tulang dan menggambarkan
jaringan lunak yang terisi cairan. MRI di sini kita gunakan untuk
mengevaluasi struktur dari batang otak, serebelum, serta
komplektivitas dari nervus delapan (N.VIII). MRI terbukti
bermanfaat dalam mendiagnosis infark serebral (contoh: stroke),
tumor (contoh: schwanoma vestibuler), abses, edema serebral,
perdarahan, demielinasasi serat saraf, serta kelainan lain yang
meningkatkan kandungan cairan pada jaringan yang terkena. Pada
cairan edema, umumnya tampak hiperintensity, sedangkan darah akan
tampak lebih gelap. Pada dasarnya MRI tidak rutin diperlukan untuk
mengevaluasi setiap kasus vertigo, hanya MRI digunakan untuk lebih
memastikan apabila kita mencurigai adanya kelainan neurologis pada
pemeriksaan fisik sebelumnya.6CT-Scan. CT scan intracranial
menyajikan serangkaian tomogram, yang diterjemahkan oleh computer
dan ditampilkan pada sebuah monitor dalam bentuk gambaran potongan
melintang berbagai lapisan otak. Teknik ini dapat membuat
rekonstruksi gambaran bidang potongan lintang, horizontal, sagital,
dan koronal. CT scan dapat digunakan untuk mendiagnosis lesi dan
kelainan intracranial. CT scan tulang temporal menyediakan suatu
resolusi struktur telinga yang lebih tinggi dibandingkan dengan MRI
dan juga lebih baik dalam mengevaluasi lesi dalam tulang. Dengan
teknik resolusi pemotongan coronal, akan didapatkan variasi
gambaran tulang yang sangat detail, karenanya CT scan menjadi
pilihan utama untuk mendiagnosis. Pemeriksaan darah lengkap (CBC).
Pemeriksaan ini mampu mendeteksi berbagai macam gangguan yang
bermanifestasi di dalam darah, oleh karena itu pemeriksaan ini
biasanya menjadi rangkaian pemeriksaan awal saat pasien berobat di
rumah sakit. Banyak gangguan yang dapat dideteksi melalui cek darah
lengkap, antara lain adalah anemia, berbagai macam penyakit
infeksi, leukemia, dll. Jika pada hitung darah lengkap ditemukan
gangguan, biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium lanjutan yang
spesifik terhadap gangguan tersebut. Pada hitung darah lengkap,
dilakukan pemeriksaan terhadap beberapa komponen darah, yaitu sel
darah, hemoglobin, hematokrit, trombosit, LED, dan CRP.7Working
DiagnosisPasien BPPV akan mengeluh jika kepala berubah pada suatu
keadaan tertentu. Pasien akan merasa berputar atau merasa
sekelilingnya berputar jika akan ke tempat tidur, berguling dari
satu sisi ke sisi lainnya, bangkit dari tempat tidur di pagi hari,
mencapai sesuatu yang tinggi atau jika kepala digerakkan ke
belakang. Biasanya vertigo hanya berlangsung 5-10 detik.
Kadang-kadang disertai rasa mual dan seringkali pasien merasa
cemas. Penderita biasanya dapat mengenali keadaan ini dan berusaha
menghindarinya dengan tidak melakukan gerakan yang dapat
menimbulkan vertigo. Vertigo tidak akan terjadi jika kepala tegak
lurus atau berputar secara aksial tanpa ekstensi, pada hampir
sebagian besar pasien, vertigo akan berkurang dan akhirnya berhenti
secara spontan dalam beberapa hari atau beberapa bulan, tetapi
kadang-kadang dapat juga sampai beberapa tahun. Pada BPPV tidak
didapatkan gangguan pendengaran.5Diagnosis BPPV ditegakkan
berdasarkan anamnesis, gejala klinis pemeriksaan THT, uji posisi
dan uji kalori. Pada anamnesis, pasien mengeluhkan kepala terasa
pusing berputar pada perubahan posisi kepala dengan posisi
tertentu. Secara klinis vertigo terjadi pada perubahan posisi
kepala dan akan berkurang serta akhirnya berhenti secara spontan
setelah beberapa waktu. Pada pemeriksaan THT secara umum tidak
didapatkan kelainan berarti, dan pada uji kalori tidak ada paresis
kanal.3Uji posisi dapat membantu mendiagnosa BPPV, yang paling baik
adalah dengan melakukan manuver Hallpike: penderita duduk tegak,
kepalanya dipegang pada kedua sisi oleh pemeriksa, lalu kepala
dijatuhkan mendadak sambil menengok ke satu sisi. Pada tes ini akan
didapatkan nistagmus posisi dengan gejala mata berputar dan
bergerak ke arah telinga yang terganggu dan mereda setelah 5-20
detik dan disertai vertigo berat, mula gejala didahului periode
laten selama beberapa detik (3-10 detik) serta pada uji ulangan
akan berkurang, terapi juga berguna sebagai cara diagnosis yang
tepat.5Manifestasi Klinik
BPPV dikarakteristikan dengan terjadinya paroksismal vertigo dan
nistagmus, yang akan muncul pada saat memposisikan kepala, terutama
pada posisi tengkurap ataupun memutar kepala di ranjang,
menengadah, dan juga bangun secara tiba-tiba. Biasanya serangan
vertigo terjadi pada saat tengah malam atau pagi saat bangun tidur.
Brandt(1994) menjelaskan bahwa perubahan posisi kepala yang terjadi
secara tiba-tiba, akan menginduksi terjadinya serangan vertigo.
Pada BPPV, tidak akan ditemukan adaya gangguan pada pendengaran
atau lesi di telinga dan lainnya.8
Differential DiagnosisNeuropati vestibular. Defisit vestibular
unilateral yang akut (neuropati atau neuritis vestibuler =
kehilangan fungsi, biasanya, sebuah organ vestibuler atau nervus
vestibularis secara akut) adalah penyebab vertigo rotatorik
tersering kedua. Meskipun, pada sebagian besar kasus, tidak ada
penyebab yang dapat teridentifikasi secara pasti, banyak bukti
menunjukkan bahwa episode tersebut disebabkan oleh virus, dengan
cara yang sama dengan kelumpuhan nervus fasialis idiopatik (Bells
palsy) dan tuli tiba-tiba.9
Gejala utama neuropati vestibular adalah vertigo berputar yang
hebat dengan onset akut dan berlangsung hingga beberapa hari, yang
diperberat dengan gerakan kepala. Keluhan ini disertai oleh
nistagmus tosional horizontal yang arahnya menjauhi sisi lesi,
serta kecenderungan untuk terjatuh ke sisi lesi, nausea, muntah,
dan malaise yang hebat. Gejala prodromal ringan dalam bentuk
sensasi vertigo yang singkat dan sementara kadang-kadang mendahului
serangan akut dalam beberapa hari. Pendengaran umumnya tidak
terpengaruh, tetapi jika ditemukan gangguan pendengaran, diagnosis
banding harus menyertakan penyakit infeksi seperti mumps, campak,
mononukleosis, boreliosis, neurosifilis, dan herpes zoster otikus;
neuroma akustik; iskemia pada teritori arteri labirinti; dan
penyakit Mnire. Neuropati vestibuler cenderung mengenai individu
yang berusia antara 30 dan 60 tahun dan tidak menjadi lebih sering
pada usia tua, yang menunjukkan bahwa gangguan ini kemungkinan ini
tidak disebabkan oleh iskemia. Diagnosis ditegakkan dengan temuan
gangguan eksitabilitas labirin yang terkena pada pemeriksaan
kalori, tanpa disertai oleh manifestasi neurologis lain (seperti
defisit saraf kranialis lain, defisit serebelum, atau defisit
batang otak). Vertigo dan ketidakseimbangan membaik secara
perlahan-lahan dalam 1-2 minggu, dan semua gejala umumnya pulih
sempurna dalam tiga minggu setelah onsetnya. Terapi dengan tirah
baring dan obat antivertigo hanya diindikasikan pada dua atau tiga
hari pertama. Pasien harus memulai program gimnastik khusus yang
terarah sesegera mungkin, termasuk latihan keseimbangan yang mudah
dipelajari dan dilakukan di rumah, untuk mempercepat
penyembuhannya.
Penyakit Mnire. Penyakit Mnire dikarakteristikan sebagai
serangan berulang vertigo berhubungan dengan tinitus yang
berfluktuasi dan ketulian. Insidens penyakit Mnire sama terhadap
laki-laki maupun perempuan dan onsetnya terjadi pada dekade ke-5
dalam kehidupan, walaupun onset dapat lebih cepat atau lama. Kasus
penyakit Mnire biasanya sporadik, tapi bentuk herediter, termasuk
autosomal dominan dan resesif. Patofisiologi utama yaitu terjadinya
peningkatan volume endolimfe dan distensi sistem endolimfatik
(endolymphatic hydrops). Diduga serangan paroksimal vertigo (BPPV)
terkait pada rupturnya membran labirin dan penumpukan potasium (isi
dari endolimfe) ke perilimfe. Perubahan ini menyebabkan efek
paralisis pada serabut saraf vestibular dan degenerasi sel-sel
rambut koklear (cochlear hair cells). Patogenesis imun juga
dikemukakan, didasarkan adanya antibodi di sirkulasi yamng
menyerang heat shock protein pada beberapa pasien.9Pada penyakit
Mnire tipikal, serangan vertigo dikarakteristikan mendadak dan
berlangsung beberapa menit sampai 1 jam atau lebih lama. Tipe
pusing vertigo berupa berputar dan sangat parah sampai pasien tak
bisa berdiri atau jalan.Variasi derajat mual dan muntah,
low-pitched tinnitus, rasa kepenuhan pada telinga dan pendengaran
berkurang selalu berhubungan dengan penyakit Mnire. Nistagmus
muncul pada serangan akut; tipe horisontal, biasanya dengan
komponen berputar dan fase lambat pada bagian telinga yang terkena.
Pada usaha menyentuh target dengan mata tertutup, ada tendensi
mengarah sisi telinga yang terkena. Pasien memilih untuk berbohong
mengenai kerusakan telinga dan enggan untuk melihat pada arah sisi
telinga normal, dimana muncul nistagmus dan dizziness. Bila
serangan mereda, pendengaran kembali membaik, sama halnya dengan
sensasi penuh pada telinga; dengan serangan lebih lanjut, tetap
akan terjadi ketulian secara progresif.
Serangan dapat muncul beberapa kali dalam seminggu sampai
beberapa minggu dan berakhir, atau dapat remisi pada beberapa
tahun. Serangan berulang dapat meningkatkan kemungkinan menuju pada
disequilibrum kronik derajat ringan dan keengganan memindahkan
kepala dengan cepat. Pada bentuk ringan pada penyakit Mnire, pasien
dapat komplain adanya ketidaknyamanan di kepala dan kesulitan
berkomsetrasi dan bisa terjadi neurotik. Gejala ansietas sering
muncul pada pasien Mnire, terutama pada mereka yang sering
menderita serangan berat.
Setelah ada indikasi awalnya, sebagian kecil pasien dengan
penyakit Mnire mengalami serangan jatuh. Episode ini berdasarkan
otolithic catstrophe of Tumarkin, dengan sedikit bukti, pada
deformasi dari membran otolithic di utrikulus dan sakulus. Pasien
mendeskripsikan sensasi didorong atau pergerakan lingkungan
tiba-tiba sebelum mereka jatuh. Kesadaran tidak hilang dan vertigo
dengan tipe klasik tidak terdapat serangan jatuh. Serangan tipikal
penyakit Mnire, tuli dan tinitus, dapat mengklarifikasi
diagnosis
Neuroma akustik. Istilah umum (bahkan hampir universal) neuroma
akustik sebenarnya kesalahan penamaan untuk schwannoma ynag muncul
dari serabut vestibular nervus vestibulokokhlearis. Pertama-tama
tumor merusak serabut-serabut ini, kemudian secara perlahan dan
progresif merusak eksitabilitas organ vestibular sisi yang terkena;
pasien jarang mengalami vertigo karena defisit ini dapat
dikompensasi dengan proses vestibular pada tingkat yang lebih
tinggi, tetapi eksitabilitas asimetrik dapat terlihat pada tes
kalori. Bergantung pada kecepatan pertumbuhan tumor, iritasi
dan/atau kompresi serabut nervus kokhlearis cepat atau lambat akan
menimbulkan tuli frekuensi tinggi pada audiometri, dan pemanjangan
waktu konduksi dengan mengukur potensial cetusan auditorik batang
otak (BAEP: Brainstem Auditory Evoked Potentials); dan dapat
dikonfirmasi dengan MRI. Namun tidak ada hubungan langsung dan
tepat antara ukuran tumor dan keparahan tuli yang
disebabkannya.9
Tumor yang telah tumbuh lebih lanjut dapat menekan struktur di
sekitarnya (batang otak, nervus fasialis, nervus trigeminus).
Menyebabkan defisit saraf kranial lebih lanjut (misalnya, gangguan
lakrimasi dan pengecapan akibat disfungsi khorda timpani) dan,
akhirnya, gejala kompresi batang otak dan serebelum. Pasien dengan
neuroma akustik bilateral kemungkinan mengalami neurofibromatosis
tipe II (disebut juga neuromatosis akustik bilateral).
Terapi untuk neuroma akustik saat ini menjadi subjek diskusi
yang intens di bodng bedah saraf. Banyak lesi yang sebelumnya hanya
dapat diobati dengan operasi terbuka sekarang dapat diobati dengan
radiosurgery stereotaktik yang memberikan hasil yang sebaik atau
bahkan lebih baik (misalnya, dengan Pisau Gamma atau akselerator
linear stereotaktik). Epidemiologi
Prevalensi angka kejadian vertigo perifer (BPPV) di Amerika
Serikat adalah 64 dari 100.000 orang dengan kecenderungan terjadi
pada wanita (64%). BPPV diperkirakan sering terjadi pada usia
rata-rata 51-57,2 tahun, dengan rentang usia 11-84 tahun. Wanita :
pria = 1,6 : 1,0, sedangkan pada yang idiopatik 2 : 1. BPPV jarang
terjadi pada anak-anak atau usia di bawah 35 tahun tanpa didahului
riwayat trauma.9EtiologiBPPV diduga disebabkan oleh perpindahan
otokonial kristal (kristal karbonat Ca biasanya tertanam di sakulus
dan utrikulus). Bahan ini berfungsi merangsang sel-sel rambut di
saluran setengah lingkaran posterior dan menciptakan ilusi gerak.
Faktor etiologi mencakup degenerasi spontan otolithic utricular
membrane, gegar otak labirin, otitis media, pembedahan telinga,
infeksi virus baru (seperti neuronitis virus), trauma kepala,
anestesi lama atau istirahat di tempat tidur, gangguan vestibular
sebelumnya (misalnya, penyakit Meniere), dan oklusi dari arteri
anterior vestibular.6Batu-batu kecil yang terlepas
(cupulolithiasis) di dalam telinga bagian dalam menyebabkan BPPV.
Batu-batu ini adalah kristal-kristal kalsium karbonat yang
normalnya terikat pada massa seperti agar-agar yang disebut cupula.
Kupula menutupi macula, yang adalah struktur padat dalam dinding
dari dua kantong-kantong -- utricle dan saccule -- yang membentuk
vestibule. Ketika batu-batu terlepas, mereka mengapung ke dalam
semicircular canals dari telinga bagian dalam. Faktanya,
pemeriksaan-pemeriksaan mikroskopik dari telinga bagian dalam dari
pasien-pasien yang menderita dengan BPPV telah menunjukan batu-batu
ini.
Pada kanal semisirkularis, batu-batu bergerak dari sisi ke sisi,
dengan demikian menstimulasi kanal. Sebagai akibatnya, kanal
memberi sinyal pada otak dengan jalan dari cabang ampullary dari
saraf vestibular yang mengukur rotasi. Sayangnya, telinga yang
lain, visual, dan sensor-sensor proprioseptif dari tubuh tidak
sepandan, dan pasien kemudian mengalami vertigo.
Patofisiologi
Mekanisme pasti terjadinya BPPV masih samar. Tapi penyebabnya
sudah diketahui pasti yaitu debris otokonia yang terdapat pada
kanalis semisirkularis, biasanya pada kanalis posterior. Debris
berupa kristal kalsium karbonat yang berasal dari struktur
utrikulus. Diduga debris itu menyebabkan perubahan tekanan
endolimfe dan defleksi kupula sehingga timbul gejala
vertigo.10Kerusakan utrikulus bisa disebabkan oleh cedera kepala,
infeksi atau penyakit lain yang ada di telinga dalam, atau
degenerasi karena pertambahan usia. BPPV juga bisa disebabkan
kelainan idiopatik, trauma, otitis media, pembedahan telinga,
perubahan degeneratif karena usia tua dan kelainan pembuluh darah,
obat-obat ototoksik seperti gentamisin. Penyebab lain yang lebih
jarang adalah labirinitis virus, neuritis vestibuler, pasca
stapedektomi, fistula perilimfa dan penyakit meniere. Kelompok
idiopatik merupakan kelompok yang paling banyak ditemukan. Perasaan
berputar terkadang sangat hebat yang menyebabkan seolah-olah
mengalami blackout.Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan
teori ini untuk menerangkan BPPV. Dia menemukan partikel-partikel
basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia
(otolith) yang terlepas dari macula utriculus yang sudah
berdegenerasi, menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan
bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan
gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog
dengan keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra
ini menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah cenderung
miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi
netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika
kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti
pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior
ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian
timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel
otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya
masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.Tahun 1980 Epley
mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith bergerak bebas
di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel
ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang
paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang partikel ini
berotasi ke atas sarnpai 360 di sepanjang lengkung KSS. Hal ini
menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan
menyebabkan kupula membelok (deflected), hal ini menimbulkan
nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan
kembali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan
nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Model gerakan partikel
begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika
ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena
gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan
menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori
ini lebih dapat menerangkan keterlambatan "delay" (latency)
nistagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk mulai
bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi
tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta
nistagmus. Hal inilah yang dapat menerangkan konsep kelelahan
"fatigability" dari gejala pusing. Penatalaksanaan
Gerakan Fisik. Tiga macam penatalaksanaan fisik yang dilakukan
untuk menanggulangi BPPV yaitu CRT (Canalith Repositioning
Treatment), gerakan Liberatory dan latihan Brandt-Daroff. CRT
sebaiknya segera dilakukan setelah hasil pemeriksaan Dix-Hallpike
menimbulkan respon abnormal. Pemeriksa dapat mengidentifikasikan
adanya kanalitiasis pada kanal anterior atau kanal posterior dari
telinga yang terbawah. Pasien tidak kembali ke posisi duduk, namun
kepala pasien dirotasikan dengan tujuan untuk mendorong kanalith
keluar dari kanalis semisirkularis menuju ke utrikulus, tempat di
mana kanalith tidak lagi menimbulkan gejala. Bila kanalis posterior
kanan yang terlibat maka harus dilakukan tindakan CRT kanan.
Pemeriksaan ini dimulai pada posisi DixHallpike yang menimbulkan
respon abnormal dengan cara kepala ditahan pada posisi tersebut
selama 1-2 menit, kemudian kepala direndahkan dan diputar secara
perlahan ke kiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah
itu badan pasien dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada
posisi menghadap ke kiri dengan sudut 45 sehingga kepala menghadap
ke bawah melihat ke lantai (gambar 3C). Akhirnya pasien kembali ke
posisi duduk, dengan kepala menghadap ke depan. Setelah terapi ini
pasien dilengkapi dengan menahan leher dan disarankan untuk tidak
menunduk, berbaring, membungkukan badan selama satu hari. Pasien
harus tidur pada posisi duduk dan harus tidur pada posisi yang
sehat untuk 5 hari.5
ABC
D
Gambar (3). CRT kanan. A. Posisi head hanging kanan B. Roll kid
C. Roll kid lanjut D. Duduk
Gambar (4) memperlihatkan apa yang mungkin terjadi pada saat
gerakan ini dilakukan pada kasus kanalitiasis kanalis posterior
kanan. Saat pasien dalam posisi duduk, kanalith berada dalam di
bagian terendah pada kanalis posteror, dekat kupula (gambar 4A).
Pada saat gerakan Dix-Hallpike kanan dilakukan, kanalith meluncur
ke bawah menjauhi kupula (gambar 4B). Bersamaan dengan meluncurnya
otolith terjadi juga gerakan aliran endolimfe secara bersamaan, hal
ini menyebabkan defleksi kupula, merangsang reseptor kanal,
menimbulkan vertigo dan nistagmus dengan arah fase cepat ke atas,
berputar ke kanan. Respon tersebut menghilang bila kanalith berada
di posisi terbawah dari kanal. Ketika kepala direndahkan dan
diputar ke kiri, kanalith meluncur ke puncak kanal (gambar 4C).
Sekali lagi pasien mengalami vertigo dan nistagmus dengan arah fase
cepat ke atas dan berputar ke kanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kanalith bergerak sesuai dengan arah yang di harapkan yaitu
menjauhi kupula. Bila fase cepat nistagmus pada arah yang
berlawanan, berarti kanalith bergerak mundur kembali menuju kupula.
Pada akhirnya pada saat pasien dibantu untuk kembali ke posisi
duduk, kanalith jatuh kembali memasuki krus komunis ke utrikulus,
dimana kanalit-kanalit tidak menimbulkan gejala vertigo.
Kunci keberhasilan gerakan tersebut adalah dengan memposisikan
kepala pada posisi terbalik/melihat ke bawah (gambar 4C) sehingga
kanalith akar meluncur ke puncak kanal. Hardman dkk mengemukakan
bahwa bila kepala pasien hanya diputar ke sisi kontralateral saja
sebelum kembali ke posisi duduk remisinya hanya 50%, bila di putar
ke kontralateral dengan kepala diputar 450 ke arah lantai angka
remisi 83%.
Gambar 4. Pergerakan kanalit kanal posterior kanan saat
dilakukan perasat Dix hallpike kanan
Gejala-gejala remisi yang terjadi setelah CRT kemungkinan
disebabkan oleh gerakan itu sendiri, bukan oleh gerakan pada saat
pasien duduk tegak. Epley telah mengarahkan untuk menggunakan
vibrator pada tulang mastoid selama gerakan dilakukan untuk
mempermudah pergerakan otokonia, namun studi perbandingan
menunjukkan bahwa baik menggunakan vibrasi ataupun tidak, hasilnya
tidak jauh berbeda. Kadang-kadang CRT dapat menimbulkan komplikasi.
Terkadang kanalith dapat pindah ke kanal yang lain. Dijumpai adanya
19 pasien yang gagal di terapi, hal tersebut disebabkan karena
kanalith pindah ke kanal yang lain. Komplikasi yang lain adalah
kekakuan pada leher, spasme otot akibat kepala diletakkan dalam
posisi tegak selama beberapa waktu setelah terapi. Pasien
dianjurkan untuk melepas penopang leher dan melakukan gerakan
horisontal kepalanya secara periodik. Bila dirasakan adanya
gangguan leher, ekstensi kepala diperlukan pada saat terapi
dilakukan. Digunakan meja pemeriksaan yang bertujuan untuk
menghindari keharusan posisi ekstensi dari leher. Pada akhirnya
beberapa pasien mengalami vertigo berat dan merasa mual sampai
muntah pada saat tes provokasi dan penatalaksanaan. Pasien harus
diminta untuk duduk tenang selama beberapa saat sebelum
meninggalkan klinis.
Gerakan Liberatory, yang dikembangkan oleh Semont, juga dibuat
untuk memindahkan otolit( debris/kotoran) dari kanal
semisirkularis. Tipe gerakan yang dilakukan tergantung dari jenis
kanal mana yang terlibat, apakah kanal anterior atau posterior.
Bila terdapat keterlibatan kanal posterior kanan, dilakukan gerakan
Liberatory kanan perlu dilakukan. Gerakan dimulai dengan penderita
diminta untuk duduk pada meja pemeriksaan dengan kepala diputar
menghadap ke kiri 45 (gambar 5A). Pasien yang duduk dengan kepala
menghadap ke kiri secara cepat dibaringkan ke sisi kanan dengan
kepala menggantung ke bahu kanan (gambar 5B). Setelah 1 menit,
pasien digerakan secara cepat ke posisi duduk awal dan untuk ke
posisi side lying kiri dengan kepala menoleh 45 ke kiri (gambar
3C). Pertahankan penderita dalam posisi ini selama 1 menit dan
perlahan-lahan kembali ke posisi duduk (gambar 5D). Penopang
kemudian dikenakan dan diberi instruksi yang sama dengan pasien
yang diterapi dengan CRT.
Bila kanal anterior kanan yang terlibat, gerakan yang dilakukan
sama, namun kepala diputar menghadap ke kanan. Bila kanal posterior
kiri yang terlibat, gerakan liberatory kiri harus dilakukan,
(pertama pasien bergerak ke posisi sidelying kiri kemudian posisi
side lying kanan) dengan kepala menghadap ke kanan. Bila kanal
anterior kiri yang terlibat, gerakan liberatory kiri dilakukan
dengan kepala diputar menghadap ke kiri.
Gambar 5. Gerakan liberatory kananSemont et al melaporkan angka
kesembuhan 70-84% setelah terapi tunggal gerakan liberatory, 93%
setelah gerakan kedua dilakukan studi terakhir memeriksa
keefektifan gerakan ini pada saat pemulaan, pertama-tama pasien
diterapi dengan perasat liberatory pada sisi yang tidak terlibat.
Bila vertigo tidak ditemukan pasien disarankan untuk meletakan
kepala dalam posisi tegak selama 48 jam, tidur dalam posisi tegak.
Pada akhir hari ke 7, bila tidak ada gejala-gejala yang ditemukan,
dilanjutkan dengan gerakan liberatory pada sisi yang sakit. Latihan
Brandt dan Daroff dapat dilakukan oleh pasien di rumah tanpa
bantuan terapis (gambar 6). Pasien melakukan gerakan-gerakan dari
duduk ke samping yang dapat mencetuskan vertigo (dengan kepala
menoleh ke arah yang berlawanan) dan tahan selama 30 detik, lalu
kembali ke posisi duduk dan tahan selama 30 detik, lalu dengan
cepat berbaring ke sisi yang berlawanan (dengan kepala menoleh ke
arah yang berlawanan) dan tahan selama 30 detik, lalu secara cepat
duduk kembali. Pasien melakukan latihan secara rutin 10-20 kali, 3x
sehari sampai vertigo hilang paling sedikit dua hari.ABC
EF
Gambar 6. Latihan Brandt-DaroffAngka remisi 98% remisi timbul
akibat latihan-latihan akan melepaskan otokonia dari kupula dan
keluar dari kanalis semirkularis, dimana mereka tidak akan
menimbulkan gejala, remisi juga timbul akibat adaptasi sistem
vestibular sentral. Lebih baik, kanalitiasis pada anterior dan
posterior kanal diterapi dengan CRT. Bila terdapat kupulolitiasis,
kita dapat menggunakan gerakan liberatory. Latihan Brandt Daroff
dilakukan bila masih terdapat gejala sisa ringan, obat-obatan
dilakukan untuk menghilangkan gejala-gejala seperti mual, muntah.
Terapi pembedahan, seperti pemotongan N.vestibularis, N.singularis
dan penutupan kanal yang terlibat jarang dilakukan.
Modifikasi CRT digunakan untuk pasien dengan kanalitiasis pada
VPPJ kanalis horizontal, permulaan pasien dibaringkan dengan posisi
supinasi, telinga yang terlibat berada di sebelah bawah. (Untuk
kanalis horizontal kanan) diperlihatkan pada gambar 5. Secara
perlahan-lahan kepala pasien digulirkan ke kiri sampai ke posisi
hidung di atas dan posisi ini dipertahankan selama 15 menit sampai
vertigo berhenti. Kemudian kepala digulirkan kembali ke kiri sampai
telinga yang sakit berada di sebelah atas. Pertahankan posisi ini
selama 15 detik sampai vertigo berhenti. Lalu kepala dan badan
diputar bersamaan ke kiri, hidung pasien menghadap ke bawah, tahan
selama 15 detik. Akhirnya, kepala dan badan diputar ke kiri ke
posisi awal dimana telinga yang sakit berada di sebelah atas.
Setelah 15 detik, pasien perlahan-lahan duduk, dengan kepala agak
menunduk 30. Penyangga leher dipasang dan diberi instruksi serupa
dengan pasca CRT untuk kanalis posterior dan kanalis anterior.
Gambar 7 menunjukkan apa yang terjadi pada pasien bila dilakukan
gerakan tersebut. Kanalit meluncur menuju utrikulus, dimana tidak
dapat lagi menimbulkan gejala. Pada pasien-pasien dengan
kanalitiasis pada kanalis horizontal kiri, perasat yang dilakukan
berlawanan dengan yang digambarkan pada gambar 5 (gerakan dimulai
dengan telinga kiri paling bawah dan diputar/digulir ke kanan).
Latihan Brandt-Daroff dapat dimodifikasi untuk menangani pasien
dengan VPPJ pada kanalis horizontal karena kupulolitiasis
Pasien-pasien tersebut diminta melakukan gerakan ke depan-belakang
secara cepat pada bidang kanalis horizontal pada posisi supinasi.
Gerakan ini bertujuan untuk melepaskan otokonia dari kupula. Namun
bukti menunjukkan efektivitas gerakan-gerakan terapi untuk kanalis
horizontal masih dipertanyakan.AB
CD
E
Gambar 7. Modifikasi CRT
Canalith Repositioning Treatment (CRT) merupakan terapi standar
diberbagai negara. Herman melaporkan CRT digunakan untuk terapi
kanal posterior dan anterior akibat canalithiasis. Perasat
Liberatory digunakan untuk kupulolitiasis agar menggerakkan
otokonia Latihan Brandt Daroff digunakan untuk pasien dengan gejala
yang menetap.
Pembedahan.Bila gerakan yang telah dijelaskan di atas tidak
efektif dalam mengontrol gejala, gejala tetap ada selama setahun
atau lebih, dan diagnosa sangat jelas prosedur bedah yang disebut
posterior canal plugging dapat direkomendasikan. Penempatan blokade
kanal pada fungsi posterior kanal tanpa mempengaruhi fungsi dari
kanal lain atau bagian dari telinga. Prosedur ini memiliki sedikit
resiko pada pendengaran, tapi efektivitas sekitar 90% pada
penderita yang tidak respon terhadap penatalaksanaan yang lain.
Pembedahan tidak boleh dipertimbangkan sampai seluruh tiga manuver
(Epley, Semont, and Brandt-Daroff) telah dicoba dan gagal.8Terdapat
beberapa prosedur bedah yang tidak dianjurkan bagi pasien dengan
BPPV yang sulit diatasi. Vestibular nerve section, walaupun
efektif, eliminasi yang terjadi sampai sistem vestibuler yang masih
normal. Labyrinthectomy dan sacculotomy juga tidak sesuai karena
pengurangan atau kehilangan pendengaran dapat terjadi dengan
prosedur ini.Medikamentosa. Obat-obatan tidak terlalu banyak
membantu untuk BPPV seperti penatalaksanaan fisik, tapi antiemetik
dapat membantu pasien yang mengalami vertigo diikuti nausea.
Meclozine dapat digunakan sebagai obat tambahan untuk kondisi
spesifik saat latihan. Dalam hal ini, meclozin diminum saat latihan
di rumah sebagai usaha untuk mencegah motion sickness dan nausea.
Ondansentron dapat membantu dalam pencegahan emesis terkait manuver
diagnosis maupun terapi. Dalam hal ini dosis oral atau sublingual
4-8 mg diberikan 30 menit sebelum melakukan manuver. Obat supresi
vestibuler yang memiliki efek antiemesis (diazepam, lorazepam)
secara umum tak dapat mengurangi gejala harian dari BPPV.8Beberapa
pasien dengan BPPV dikondisikan pada serangan vertigo pada posisi
tertentu dan berkembang menjadi fobia terkait tidur telentang atau
pada satu sisi. Fobia dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah
kondisi telinga dalam membaik. Kelainan ini disenut phobic postural
vertigo. Fobia postural ini lebih baik ditangani dengan latihan
fisik, dibandingkan penggunaan obat dengan vestibular suppresant.
Benzodiazepin dapat membantu individu dengan vertigo fobia postural
yang menolak untuk partisipasi dalam prosedur desentisasi.
Komplikasi
Pada gejala vertigo, kebanyakan vertigo disebabkan oleh adanya
sumbatan pada labirin yang dapat menyebabkan infeksi pada labirin
sendiri, atau terjadinya penyumbatan pembuluh darah di otak.
Vertigo juga menjadi tanda-tanda gejala penyumbatan darah ke otak.
Penyumbatan pembuluh darah pada otak ini menyebabkan otak
kekurangan oksigen sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi darah.
Gangguan sirkulasi ini bisa dipicu oleh banyak faktor, antara lain
timbulnya plak di dinding pembuluh darah, meningkatnya kekentalan
darah, atau mengerasnya dinding pembuluh darah.10Gangguan pada
telinga juga bisa menjadi sesuatu yang menganggu. Misalnya,
gangguan pada telinga ini terjadi karena ada infeksi bakteri pada
organ di telinga dalam (labyrinthis). Infeksi ini bisa membuat
orang tersebut vertigo yang disertai dengan muntah dan suhu badan
yang tinggi. Kondisi ini perlu penanganan serius. Karena, jika
tidak ditangani dengan baik, infeksi bisa berpengaruh ke
organ-organ lain dan bisa mengakibatkan komplikasi.
Vertigo bisa pula merupakan penanda adanya tumor pada saraf
pendengaran atau pada saraf keseimbangan, yang terletak di antara
telinga dan otak. Selain itu sering timbul gangguan psikogenik
selama serangan vertigo, seperti lekas marah, kehilangan harga
diri, dan depresi Preventif
Pencegahan BPPV ditujukan untuk mengurangi terjadinya remisi dan
mencegah terjadinya kecelakaan kerja akibat gejala-gejala yang
timbul. Orang yang keseimbangan dipengaruhi oleh vertigo harus
mengambil tindakan pencegahan untuk mencegah cedera dari jatuh.
Mereka yang memiliki faktor risiko stroke harus mengontrol tekanan
darah tinggi dan kolesterol tinggi dan berhenti merokok. Individu
dengan penyakit Meniere harus membatasi garam dalam diet mereka.
Pasien dianjurkan tidur dengan posisi kepala yang agak tinggi dan
bangun secara perlahan kemudian duduk terlebih dahulu sebelum kita
berdiri dari tempat tidur. Posisi membungkuk bila mengangkat barang
atau posisi mendongakkan kepala, misalnya untuk mengambil suatu
benda dari ketinggian harus diminimalisirkan. Kepala digerakkan
secara hati-hati jika kepala dalam posisi datar (horisontal) atau
bila leher dalam posisi mendongak.8PrognosisDubia et bonam, karena
penyakit ini adalah self limitting. Jika diterapi dengan teratur
akan terjadi perbaikan dalam berberapa minggu atau beberapa tahun.
Tidak jarang terjadi remisi/kekambuhan.11
Kesimpulan
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan penyebab
tersering vertigo direksional, namun perlu dilakukan diagnosa
banding akan adanya kemungkinan diagnosa banding lainnya.10
Penentuan diagnosa BPPV didasarkan pada gejala klinis dan
manuver-manuver fisik serta dibantu oleh pemeriksaan penunjang
untuk menghindari subjektivitas.1 Penatalaksanaan umumnya bertumpu
pada penatalaksanaan fisik dan dengan bantuan obat seperlunya.
Prognosis penyakit ini umumnya baik, namun penting bagi penderita
BPPV untuk mencegah remisi dan mengurangi akibat buruk dari
serangan BPPV.11 Daftar Pustaka
1. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan
mental: Riwayat Penyakit (Anamnesis). Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008.h.2-5, 11, 64-6, 68--72.
2. Ginsberg, L.Lecture Note Neurologi dalam Penyakit Parkinson
dan Gangguan Gerakan Lainnya.Jakarta: EMS, 2007.
3. Hadjar E, Bashiruddin J. Gangguan Keseimbangan dan Kelumpuhan
Nervus Fasialis. Dalam: Soepardi HEA, Iskandar HN, editor. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.h.74-80.4.
Hain TC. Approach to the patient with dizziness and vertigo. In:
Biller J, editor. Practical Neurology. 3rd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2009.p. 184-8. 5. Bashiruddin J.
Diagnosis dan penatalaksanaan vertigo posisi paroksismal jinak.
Dalam: Simposium dan pelatihan Neurologi, 2001. 6. Sugondo, D.
Vertigo Posisi Paroksismal Jinak .Dalam: Sastrodiwirjo S, Harahap
TP, Kusumoputro S. Kumpulan Kuliah Neurologi. Jakarta: Bagian
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2005.h.89-96.7. Kowalak JP, Welsh W, ed. Buku Pegangan Uji
diagnostic. Edisi ke-3. Jakarta: EGC, 2009.h.61-3, 808-12.8.
Andradi, S. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Dalam: Joesoef
AA, Kusumastuti K, editor. Neuro-Ontologi Klinis Vertigo. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press, 2007. h.177.9. Daroff RB,
Carlson MD. Dizziness, syncope, and vertigo. In: Hauser SL,
Josephson SA, English JD, Engstrom JW, editors. Harrisons Neurology
in Clinical Medicine. New York: Mc Graw-Hill Medical Publishing
Division, 2006.p.123-6.
10. Ropper AH, Samuels MA. Deafness, dizziness, and disorders of
equilibrium. In: Ropper AH, Samuels MA, editors. Adams and Victors
Principles of Neurology. Ninth edition. New York: Mc Graw-Hill
Medical Publishing Division, 2009.p.292-4.11. Baehr M, Frotscher M.
Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010.
h.16310