Top Banner
gr a e d a D s t i a S p u e b C D k i A d S i S L o h n a g n s a o T r n a d r i j n a B i s a g i t i M k i n k e T 1 g a n n u H d u n i t l r a e n P n a d i s a v r e s n o K
18

v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Apr 11, 2019

Download

Documents

duongthuy
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

grae daD st i a Sp ue bC Dki Ad SiS

Lohn

ag

n

s

a

o

T

r

nad rijnaB isagitiM

kin

keT

1ga

nn

u H

d

u

ni

t

lr

a

e

n

P nad isavresno

K

Page 2: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

bila ith ae siR Hk uu tt an nu Ra aw wa aR Gg an mut bu ul teJ

n Ma ok nt ya em t a Bl ee ly an ne daM dari Ka

lima

ntan

Page 3: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

1

Sidik Cepat Degradasi Sub DAS

ola pengelolaan sumberdaya alam Pvegetasi, tanah dan air yang eksploitatif dan ekspansif telah menurunkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia. Bencana banjir, erosi, sedimentasi, kekeringan dan tanah longsor yang sering terjadi adalah buktinya. Sejauh ini, dinamika kondisi potensi dan tingkat kerentanan/ degradasi DAS belum dideteksi secara dini dan periodik, sehingga bencana sering terjadi tanpa sempat diantisipasi. Kondisi tersebut menunjukkan masih lemahnya sistem pengelolaan DAS.

Sidik cepat degradasi sub DAS menyajikan metode yang dapat menginformasikan potensi dan tingkat kerentanan/degradasi suatu Sub DAS. Metode ini memungkinkan pihak pengelola sub DAS menyusun rencana, monitoring dan evaluasi pengelolaan sub DAS secara komprehensif meliputi aspek biofisik dan sosial ekonomi.

Sidik cepat degradasi sub DAS digunakan untuk memperoleh gambaran spesifik sub DAS yang dicirikan oleh parameter keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi penggunaan lahan, hidrologi dan manusia. Parameter-parameter tersebut disusun dalam formula karakteristik yang memberikan informasi kinerja sub DAS berupa tingkat kerentanan/ permasalahan dan potensinya.

Sistem karakterisasi sub DAS dapat digunakan sebagai alat penyidikan secara cepat terhadap degradasi sub DAS, baik letak/tempat, penyebab, ataupun tingkat degradasinya.

Kondisi lahan kritisFoto: Paimin

Kondisi DAS pasca banjir longsor di JemberFoto: Paimin

D e s k r i p s i

1

Page 4: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

grae daD st i a Sp ue bC Dki Ad SiS

Lohn

ag

n

s

a

o

T

r

nad rijnaB isagitiM

kin

keT

1ga

nn

u H

d

u

ni

t

lr

a

e

n

P nad isavresno

K

Page 5: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

bila ith ae siR Hk uu tt an nu Ra aw wa aR Gg an mut bu ul teJ

n Ma ok nt ya em t a Bl ee ly an ne daM dari Ka

lima

ntan

Page 6: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Sistem karakterisasi

Karakteristik sub DAS disusun berdasarkan faktor alami (statis) dan faktor manajemen DAS (dinamis). Faktor alami seperti iklim, morfometri, geologi, tanah dll membentuk karakteristik dasar DAS. Faktor manajemen yaitu intervensi manusia berupa pengelolaan sumberdaya alam dalam DAS, terutama masukan teknologi akan membentuk karakteristik aktual DAS (Gambar 1 dan 3).

Potensi dan degradasi Sub DAS, diukur dari aspek/komponen: (1) banjir dan daerah rawan banjir, (2) kekeringan, (3) kekritisan lahan, (4) tanah longsor, dan (5) sosial ekonomi. Setiap parameter dalam komponen/aspek diberi bobot berdasarkan pertimbangan besarnya peran dalam aspek tersebut. Penghitungan nilai setiap aspek/komponen karakteristik Sub DAS dilakukan dengan cara menjumlahkan seluruh hasil kali dari skor dan bobot pada setiap parameter dibagi 100.

Penilaian degradasi

Masing-masing parameter penyusun setiap aspek/komponen tersebut selanjutnya diklasifikasi dalam 5 (lima) besaran yang dinyatakan dalam ketegori tinggi, agak tinggi, sedang, agak rendah, dan rendah terhadap komponen yang dilihat. Nilai kategori tinggi menunjukkan kondisi Sub DAS rentan terhadap degradasi, sedangkan nilai kategori rendah menunjukkan potensi (Tabel 1). Untuk mengetahui sumber penyebab degradasi pada setiap aspek/komponen karakteristik Sub DAS dilakukan dengan menelusuri parameter yang memiliki nilai/skor tinggi, sehingga rekomendasi penanganannya akan disesuaikan dengan tingkat masalah yang dihadapi.

Gambar 1. Faktor dasar rumusan karakterisasi sub DAS

Kategori Nilai Tingkat Kerentanan/Degradasi

Tinggi >4,3 Sangat rentan/terdegradasi

Agak Tinggi 3,5 – 4,2 Rentan/terdegradasi

Sedang 2,6 – 3,4 Agak rentan/terdegradasi

Agak Rendah 1,7 – 2,5 Sedikit rentan/terdegradasi

Rendah < 1,7 Tidak rentan/terdegradasi

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerentanan/degradasi sub DAS

Sumber: Paimin, dkk (2010).

Aplikasi

2

Page 7: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Gambar 2. Proses penyidikan degradasi sub DAS

Bagaimana mengembangkan metode tersebut menjadi dasar dalam menyusun sistem perencanaan dan monev pengelolaan DAS yang selaras dengan sistem perencanaan pembangunan daerah maupun skala operasional. Formulasi karakterisasi DAS yang dibangun akan berbeda untuk setiap tingkatan hirarki pengelolaan DAS sesuai dengan strukturnya yakni tingkat nasional, DAS, dan sub DAS.

Tantangan

Aplikasi (lanjutan)

Inovator :Unit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(BPTKPDAS) SoloE-mail : [email protected], [email protected] : Koleksi PaiminInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Paimin, Sukresno (alm.) dan Purwanto

Keterangan

Teknik penyidikan

Penyidikan degradasi sub DAS dimulai dengan menganalisis paramater kondisi luaran (output) sistem pengelolaan sub DAS yakni hidrologi dan produksi, karena merupakan indikasi awal kesehatan/degradasi suatu sub DAS. Analisis selanjutnya dilakukan terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan, untuk mengetahui (1) jenis penyakit/degradasi, (2) faktor penyebab degradasi, dan (3) tempat (sumber) terjadinya degradasi (Gambar 2).

Data dan informasi parameter penyusun karakteristik sub DAS dapat diperoleh dari data dan peta yang tersedia serta survei lapangan. Perangkat sistem informasi geografis (Geographic Information Systems/GIS) bisa digunakan untuk memudahkan pekerjaan penyusunan satuan peta (lahan). Parameter dalam satuan peta ini dikoreksi pada kegiatan survei lapang.

Informasi detil terdapat dalam buku Sidik Cepat Degradasi Sub DAS (2010) yang diterbitkan oleh BPTKPDAS Solo.

3

Page 8: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Kondisi pasca bencana banjir dan tanah longsor di LangkatFoto: Paimin

Kondisi pasca bencana banjir dan tanah longsor di WasiorFoto: Paimin

Kondisi pasca bencana banjir dan tanah longsor di WasiorFoto: Paimin

Gambar 3. Faktor-faktor karakteristik DAS tersusun dalam sistem DAS

Faktor Yang Mempengaruhi Karakter DAS

Faktor Relatif Sulit Dikelola (Statis)

Faktor Relatif Mudah Dikelola (Dinamis)

HUJAN (Masukan)

MORFO METRI

GEO LOGI

VEGE TASI

KESUBURAN TANAH

RELIEF MIKRO

MANUSIASosial

Ekonomi

IPTEK

Kelembagaan

(Masukan)

TANAH RELIEF MAKRO PENGGUNAAN

LAHAN - HUTAN

- NON HUTAN

PRODUKSI, LIMPASAN, SEDIMEN TANAH LONGSOR, JASA (Luaran)

DAS = PROSESOR

4

Page 9: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

encana banjir dan tanah longsor Bmasih sering terjadi di Indonesia dengan beragam luas daerah tangkapan air (DTA) dan waktu. Pandangan kurang benar sering digunakan dasar justifikasi bahwa timbulnya bencana banjir dan tanah longsor sebagai akibat penebangan hutan. Oleh karena itu pandangan terhadap tanah longsor dan banjir perlu ditelaah secara kasus per kasus berdasarkan hasil analisis sebab-akibat yang faktual dan rasional.

Identifikasi karakteristik daerah banjir dan tanah longsor merupakan dasar untuk melakukan diagnosis faktor utama yang menyebabkan kerawanan banjir dan tanah longsor, sehingga kemudian dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menyusun rencana tindak teknik

Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor

Tanah longsor dekat pemukimanFoto: Paimin

D e s k r i p s i

Banjir di daerah pemukimanFoto: Paimin

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana melalui pembangunan fisik serta peningkatan kesadaran dan kemampuan menghadapi bencana. Teknik mitigasi banjir dan tanah longsor adalah bagian dari sistem pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Acuan utama yang digunakan dalam penyusunan teknik ini adalah 'Sidik Cepat Degradasi Sub DAS'.

Teknik mitigasi banjir dan tanah longsor ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan para pihak dalam melakukan pengendalian daerah rawan bencana banjir dan tanah longsor. Beberapa peristiwa yang belakangan terjadi menunjukkan bahwa kejadian banjir bandang merupakan proses kombinasi (multi-proses) dari tanah longsor dan banjir. Pemahaman tersebut akan menuntun para pihak dalam mewaspadai ancaman bencana secara dini serta mampu melakukan tindakan pencegahan, pengurangan kemungkinan kerugian dan pengendalian secara cepat dan tepat.

5

2

Page 10: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Gambar 1. Diagram alir identifikasi kerawanan banjir

Gambar 2. Diagram alir identifikasi kerawanan tanah longsor

Aplikasi

Tindakan yang perlu dilakukan untuk mitigasi banjir dan tanah longsor mencakup identifikasi daerah rawan bencana, teknik pengendalian dan teknik peringatan dini. Semua tindakan tidak mungkin dilakukan sepihak dari atas (top down) ataupun dari bawah (bottom up) tetapi merupakan tindakan terpadu dari atas dan dari bawah. Kewaspadaan masyarakat penghuni wilayah rawan bencana sangat diperlukan, dan pengembangan keberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana alam harus selalu dilakukan secara nyata setiap saat.

Identifikasi daerah rawan bencana

Identifikasi tingkat kerawanan banjir dipilah antara identifikasi daerah rawan terkena banjir (kebanjiran) dan daerah pemasok/potensi air banjir (Gambar 1). Hal ini penting untuk memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis sehingga diperoleh teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Melalui identifikasi di atas, dapat dianalisis hubungan sebab-akibat kejadian banjir di wilayah tersebut.

Identifikasi daerah yang rentan tanah longsor dilakukan secara skematis seperti Gambar 2. Berdasar hasil identifikasi diperoleh sintesis sebagai berikut:a. Tingkat kerentanan/kerawanan lahan terhadap longsorb. Tingkat ancaman tanah longsor terhadap penduduk/pemukiman dan

penyumbatan palung sungaic. Penggunaan lahan di daerah rawan bencana tanah longsor – berkaitan dengan tanggung jawab pemangkunyad. Usulan kegiatan pengendalian tanah longsor yang sesuai

6

Page 11: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Identifikasi daerah yang kemungkinan terjadi multi-proses tanah longsor dan banjir adalah sama seperti mengidentifikasi kerawanan bencana sebelumnya, hanya kedua identifikasi tersebut disatukan pada satuan sistem sungai dalam DTA.

Teknik pengendalian banjir

Teknik pengendalian banjir harus dilakukan secara komprehensip pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir. Prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air yang lewat tidak melimpah keluar dari palung sungai.

Sedangkan teknik pengendalian banjir di DTA bertumpu pada prinsip penurunan koefisien limpasan (C) melalui teknik konservasi tanah dan air (KTA). Teknik KTA yang digunakan yakni: (1) upaya meningkatkan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah, (2) dan mengendalikan limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Bentuk teknik yang diaplikasikan dapat berupa teknik sipil, vegetatif, kimiawi, maupun kombinasi dari ketiganya, sesuai dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak (site) setempat.

Semua upaya tersebut sangat terkait dengan kemampuan tanah/lahan dalam mengendalikan air hujan untuk bisa masuk ke dalam bumi, termasuk vegetasi/hutan yang ada di atasnya. Jenis tanaman hutan yang sama dimana yang satu tumbuh di atas lapisan tanah tebal dan satunya lagi di atas lapisan tanah tipis, akan memiliki dampak yang berbeda dalam mengendalikan limpasan air permukaan atau banjir.

Teknik pengendalian tanah longsor

Teknik pengendalian tanah longsor terdiri atas metode vegetatif dan teknik sipil. Arahan teknik pengendalian tanah longsor akan berbeda-beda untuk berbagai tingkatan kelongsoran dan penggunaan lahan (Tabel 1.).

Tingkat Longsor Penggunaan Lahan

Hutan Tegal Sawah Pemukiman

Belum longsor Vegetatif Vegetatif Teknik Sipil Tek.Sipil & Vegetatif

Retakan/rekahan Tek.Sipil & Vegetatif

Tek.Sipil & Vegetatif

Teknik Sipil Tek.Sipil & Vegetatif

Longsor Tek.Sipil & Vegetatif

Tek.Sipil & Vegetatif

Tek.Sipil & Vegetatif

Tek.Sipil & Vegetatif

Tabel 1. Arahan teknik penanggulangan bencana tanah longsor pada berbagai penggunaan lahan dan tingkatan proses longsor

Sumber: Paimin, dkk (2010).

Aplikasi (lanjutan)

7

Page 12: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah yang bisa memenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah. Pada pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energi pengikisan dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat diminimalkan. Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan (rill and interrill erosion).

Teknik Peringatan Dini

Untuk mengurangi kerugian, baik material maupun jiwa, akibat bencana banjir dan tanah longsor diperlukan tindakan kewaspadaan masyarakat atas ancaman bencana tersebut. Dengan telah teridentifikasinya daerah rawan bencana, maka gejala alam yang ada dapat dimanfaatkan sebagai peringatan dini bagi masyarakat yang diperkirakan akan terkena musibah.

Informasi detil terdapat dalam buku Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor (2009) yang diterbitkan oleh Tropenbos International Indonesia Programme.

Aplikasi (lanjutan)

Inovator : Paimin, Sukresno (alm.) dan Irfan Budi PramonoUnit Kerja : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(BPTKPDAS) SoloE-mail : [email protected] dan [email protected] : Koleksi PaiminInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Bagaimana agar masyarakat dan para pihak secara dini dapat melakukan identifikasi wilayah rawan bancana banjir dan tanah longsor, tindakan preventif (pencegahan), pengurangan kemungkinan kerugian akibat bencana, dan persiapan dalam melakukan respon darurat, sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.

Perlu disadari bahwa teknik mitigasi banjir dan tanah longsor tidak paralel, bahkan bisa bertentangan, sehingga dalam pemilihan jenis teknik pengendalian harus dengan pertimbangan seksama. Teknik pengendaliannya akan lebih rumit apabila lahan yang mengalami degradasi oleh erosi (pendorong banjir) berada bersama dalam satuan lahan dengan lahan yang rawan terjadi longsor.

Tantangan

Daerah Terkena Banjir Bandang Multi-Proses Banjir dan Tanah Longsor (banyak ditemui endapan butir tanah kasar)

Foto: Paimin

8

Page 13: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

egradasi hutan lahan basah sebagai habitat Dbekantan serta perburuan

liar, telah menurunkan populasi bekantan sampai 90% dalam 20 tahun terakhir.

Berdasarkan data IUCN Red Data Book of Endangered Species (2008) status konservasi bekantan adalah Endangered dan berdasarkan CITES, bekantan dikelompokkan dalam Appendix I.

Sebagai salah satu keanekaragam hayati hutan tropis Indonesia, bekantan perlu diselamatkan. Rehabilitasi dan restorasi habitat, konservasi eksitu dan peningkatan kepedulian masyarakat adalah program konservasi yang harus dilakukan.

Menyelamatkan Monyet Belanda dari KalimantanBiologi Konservasi Bekantan

Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) atau yang sering juga disebut sebagai Monyet Belanda adalah satwa endemik Kalimantan. Bekantan adalah jenis satwa dengan klasifikasi, ordo Primata, famili Cercophitecidae, dan sub-famili Colobinae. Bekantan hidup dalam habitat terbatas pada hutan bakau, hutan di sekitar sungai dan habitat rawa gambut yang sebagian telah terdegradasi oleh berbagai aktivitas manusia.

Untuk mengatasi permasalah habitat dan penurunan populasi bekantan, program-program konservasi yang harus dilakukan adalah:1. Inventarisasi sebaran, habitat, dan populasi bekantan2. Rehabilitasi dan restorasi habitat yang potensial bagi pengembangan populasi bekantan3. Pengembangan tingkat kepedulian masyarakat dalam

melakukan konservasi sempadan sungai dan satwa4. Pengaturan penggunaan sungai sebagai alat transportasi, pencegahan masuknya limbah ke sungai, dan restorasi hutan sempadan sungai habitat bekantan5. Pengembangan konservasi eksitu6. Pengembangan wisata alam dengan objek bekantan sebagai upaya peningkatan nilai ekonomi bagi masyarakat lokal serta konservasi sungai dan7. Peningkatan peran kelembagaan pengelolaan kawasan hutan yang terkait dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan

D e s k r i p s i

Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.)Foto: Tri Atmoko

9

3

Page 14: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Aplikasi

Data sebaran populasi sangat diperlukan untuk menentukan status konservasi dan program prioritas penyelamatannya. Inventarisasi sebaran populasi juga terkait dengan program rehabilitasi, restorasi dan pemanfaatan kawasan sebagai objek wisata alam.

Program rehabilitasi atau restorasi diarahkan pada pengayaan jenis jenis tumbuhan pakan yang mengandung mineral dan protein tinggi. Pembinaan habitat ini diarahkan agar sub populasi yang berkelompok dalam kawasan tersebut dapat mencapai angka populasi minimum (250 individu). Program ini dapat dikombinasikan dengan pengembangan agrowisata, terutama jika rehabilitasi sempadan sungai dikombinasikan dengan tanaman buah-buahan.

Upaya konservasi eksitu dengan penangkaran telah dilakukan oleh kebun binatang dan Taman Safari Indonesia (TSI). Indikasi keberhasilan sudah ditunjukkan dengan lahirnya anak bekantan di penangkaran tersebut.

Pemanfaatan kawasan hutan tepi sungai harus diatur di areal minimal selebar 500 m dari tepi sungai agar tidak menggangu habitat bekantan. Selain itu, lalu lintas transportasi di sungai tersebut juga harus diatur agar tidak terjadi kebisingan tinggi yang dapat menimbulkan stress pada bekantan, terutama di sungai kecil.

Informasi detil terdapat pada buku Biologi Konservasi Bekantan (2009) yang diterbitkan oleh Puskonser.

Penulis : M. BismarkUnit Kerja : Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser)E-mail : [email protected], [email protected], [email protected] : Tri Atmoko dan Bina Swasta SitepuInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Menyelamatkan bekantan sangat tergantung pada kondisi habitat yang merupakan sumber pakannya. Mengingat bahwa pakan bekantan banyak tersimpan di hutan bakau, maka penyelematan bakau akan sekaligus dapat menyelamatkan bekantan. Dalam program pelestarian bekantan, diperlukan informasi perilaku dan faktor lingkungan habitat yang mendukung terhadap kebutuhan pakan dan keamanan dari perburuan.

Tantangan

Sekelompok bekantan di atas pohonFoto: Bina Swasta Sitepu

10

Page 15: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Penyiapan Lahan Tanpa Bakar

Foto: Sentot

Penyiapan lahan untuk penanaman pada dasarnya adalah kegiatan pembersihan lapangan dan pengendalian kesuburan tanah agar tercipta kondisi lahan yang optimal untuk keperluan penanaman. Cara penyiapan lahan untuk hutan tanaman ditentukan terutama oleh jenis vegetasi awal dan persyaratan tumbuh jenis yang akan ditanam.

Secara umum kegiatan penyiapan lahan tanpa pembakaran dapat dikelompokkan ke dalam persiapan, penebasan dan penebangan, pembersihan lahan, pengolahan lahan, konservasi lahan dan pencegahan kebakaran. Penyiapan lahan dapat dibedakan antara lahan skala perusahaan dan lahan untuk perladangan.

Eboni (Diospyros celebica Bakh.)

egiatan penyiapan lahan untuk penanaman tanaman hutan, pertanian K

atau perkebunan biasanya dilakukan dengan cara pembakaran karena mudah, murah dan cepat.

Cara tersebut menimbulkan banyak kerugian, antara lain minimnya ketersediaan unsur hara dari limbah hutan. Pembakaran lahan juga menimbulkan resiko kebakaran hutan dan pencemaran udara karena asap pembakaran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman hutan lebih baik pada lahan yang disiapkan tanpa pembakaran. Oleh karena itu, teknik penyiapan lahan yang ramah lingkungan, yakni dengan tanpa bakar sangat diperlukan agar tercipta kondisi lahan yang optimal untuk penanaman dan pertumbuhan tegakan.

D e s k r i p s i

Pembersihan lahan secara mekanis dan pembersihan jalur secara manual)Foto: Hendromono

11

4

Page 16: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Penyiapan lahan

Untuk skala perusahaan dengan luas ribuan hektar, penyiapan lahan dilakukan secara mekanis (Gambar 1). Sedangkan untuk perladangan masyarakat dilakukan secara manual, karena lahan yang diolah biasanya tidak luas (kurang dari 5 hektar).

Penyiapan lahan untuk perladangan dimulai dengan pembuatan batas ladang yang dilanjutkan dengan penebasan, penebangan dan pembersihan lahan.

Pemanfaatan limbah

Limbah hasil penyiapan lahan tanpa bakar mempunyai berbagai potensi untuk dimanfaatkan. Limbah kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku kayu gergajian, kayu lapis , kayu pulp dan anggelan. Tunggak dan akar kayu dapat dimanfaatkan untuk meubel atau bahan dekorasi. Limbah hutan lainnya yang ditinggal di lapangan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan arang, kompos, arang-kompos, dan mulsa sebagai pupuk organik tanaman.

Informasi detil terdapat dalam buku saku Penyiapan Lahan Tanpa Bakar yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2007).

Aplikasi

Penyusun : Hendromono (alm), Ari Wibowo, D. Martono, Erdy Santoso, Djarwanto, Hendro Prahasto, M. Kudeng Sallata, Rufii’e, Suharyanto, Sulistyo A. Siran, Ika Heriansyah

Unit Kerja : Badan Penelitian dan Pengembangan KehutananE-mail : [email protected], [email protected] : Koleksi Hendromono (alm)

Keterangan

Peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengelola lahan hutan dengan teknik yang ramah lingkungan harus ditingkatkan. Selain itu perlu dikembangkan pola pemanfaatan limbah hasil penyiapan lahan untuk meningkatkan kesuburan lahan dan nilai ekonomi limbah bagi masyarakat.

Tantangan

Gambar 1. Skema penyiapan lahan tanpa bakar

Persiapan

Penebasan &

penebangan

Pembersihan lahan

Pengolahan lahan

Konservasi lahan dan pencegahan

kebakaran

Pemilihan jenis tanaman pokok Penataan batas blok, batas petak Pembukaan jaringan jalan Penyiapan sarana dan prasarana

Dilakukan pada musin kemarau Penebasan semak/pohon kecil Penebangan pohon besar Pengeluaran kayu Tunggak dibongkar atau dibusukkan

Pembersihan manual, mekanis, kimiawi Bersih total, bersih jalur, cemplong Limbah dikumpulkan dalam jalur Limbah dilumatkan untuk mulsa

Pembajakan akhir musim kemarau Penggaruan 2 minggu setelah pembajakan

Pemasangan anggelan, trucuk dll. Pembuatan guludan dll. Pengadaan sarpras pencegahan kebakaran Pembuatan sekat bakar Penyiapan regu pemadam kebakaran

12

Page 17: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Jelutung Rawa untuk Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut

ahan basah khususnya lahan Lgambut

merupakan sumberdaya yang harus dikelola dengan bijaksana karena potensinya yang luas. Oleh karena itu, upaya mempertahankan ekosistem gambut yang masih tersisa dan memperbaiki ekosistem yang rusak harus dilakukan secara terus menerus. Salah satunya melalui rehabilitasi hutan dan lahan gambut melalui kegiatan revegetasi menggunakan jenis jelutung rawa (Dyera polyphylla (Miq.) v. Steenis).

D e s k r i p s i

13

Penanaman jelutung sistem guludanFoto: Koleksi BPK Banjarbaru

Jelutung rawa merupakan jenis

pohon endemik. Di dunia hanya terdapat di dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia. Jenis pohon ini di Indonesia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.

Jelutung tergolong jenis emergent (menjulang) pada hutan primer, memiliki bentuk batang yang bagus, tumbuh cepat dan sangat sesuai untuk regenerasi hutan. Jenis ini sangat membutuhkan

cahaya dan pembukaan tajuk akan mendukung pertumbuhannya.

Jelutung rawa memiliki daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, sehingga sesuai digunakan sebagai tanaman untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi. Selain itu, pertumbuhannya relatif cepat dan dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal, serta mempunyai hasil ganda (getah dan kayu). Kayunya untuk baku industri pensil, sedangkan getahnya sebagai bahan baku industri permen karet.

Pertimbangan pemilihan jenis ini, juga didasari oleh kemudahan dalam memasarkan produknya (getahnya) dan aspek silvikulturnya mulai dari teknik perbanyakan (generatif dan vegetatif), teknik persemaian, teknik penanaman sampai dengan teknik pemeliharaan telah diketahui.

(Dyera polyphylla (Miq.) v. Steenis)

5

Page 18: v a s i d a n Perlindung n s e r an H K o 1 utan · H d u in t rl a e n i d a n P v a s e r n s o K. R e hab il tasi u k Hu n t t a u n a R w a a w R a g G n a t u m u b u l t e J

Pembuatan bibit berkualitasPrinsipnya jelutung rawa dapat diperbanyak baik secara generatif maupun vegetatif. Umumnya jelutung rawa berbuah dua kali setahun pada bulan Mei-Juni dan Januari-Februari. Buah yang telah masak harus diunduh sebelum pecah dan menyebarkan bijinya.

Proses pengecambahan biji dilakukan dengan merendam biji dalam air dingin selama semalam, kemudian ditiriskan dan diletakkan dalam wadah yang lembab. Biji akan mulai berkecambah pada hari ke-11 dan akan mencapai 80% berkecambah selama 10–14 hari.

Kecambah selanjutnya dipindahkan ke polybag dan diletakkan di rumah kaca/sungkup plastik. Kurang lebih 1 bulan bibit sudah dapat dipindahkan ke areal naungan. Pada umur 4-5 bulan, bibit sudah mulai dapat dipindahkan ke areal terbuka untuk proses aklimatisasi .

Persiapan lahan dan penanamanPermasalahan genangan dapat dipecahkan dengan membuat pengaturan tata air mikro yang tertutup (tinggi muka air diturunkan tetapi airnya tidak dibuang keluar dari areal).

14

Aplikasi

Inovator : Dony Rachmanadi, Tri Wira YuwatiUnit Kerja : Balai Penelitian Kehutanan BanjarbaruE-mail : [email protected] : Koleksi BPK BanjarbaruInfo detil : www.forda-mof.org/publikasi

Keterangan

Untuk pengembangan Jelutung rawa secara luas diperlukan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek, yaitu aspek karakteristik lahan, karakteristik jenis, kesesuaian jenis dan faktor-faktor pembatasnya untuk penanaman di lapangan.

Tantangan

Selain itu juga dilakukan pembuatan guludan secara parsial pada tapak-tapak yang tergenang.

Selanjutnya dilakukan pemadatan pada titik tanam untuk meningatkan daya ikat tanah terhadap perakaran. Kegiatan ini juga dilengkapi dengan menambahkan bahan-bahan pembenah tanah (amelioran) berupa arang sekam, arang kayu, dan zeolit yang diarahkan untuk menyerap unsur-unsur beracun yang terdapat di tanah.

Semua kegiatan tersebut menunjukkan hasil yang positif yang diceminkan dari menurunnya variasi pertumbuhan tanaman (30-40%) dan meningkatnya daya hidup tanaman di lapangan (mencapai 70-80%).

Pemeliharaan tanamanTanaman jelutung memerlukan pembebasan dari gulma pencekik maksimal setiap 3 bulan dan dilakukan secara terus menerus karena gulma pencekik ini ternyata masih dapat merobohkan tanaman yang telah berumur 5 tahun.