Ketentuan Perpajakan Untuk bisnis sistem titip jual dan
waralaba
MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS TRISAKTI2015I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang KETENTUAN PERPAJAKAN UNTUK BISNIS
SISTEM TITIP JUAL DAN WARALABA ini dalam rangka untuk memenuhi
Ujian Tengah Semester mata kuliah Perpajakan Lanjutan Magister
Akuntansi Universitas Trisakti. Kami juga berterima kasih pada
Bapak Dr. Salip, Ak, MSc. selaku Dosen mata kuliah Perpajakan
Lanjutan yang telah membimbing dan memberikan tugas ini kepada
kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Perlakuan
Akuntansi dan perpajakan dalam bisnis titip jual dan waralaba. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan.
Jakarta, 25 Mei 2015
Tim Penyaji
DAFTAR ISICoverKata Pengantar IDaftar Isi IIDaftar
LampiranIIIKONSINYASI DAN PERPAJAKAN 1I. Pengertian Penjualan
Konsinyasi 1II. Metode Penjualan 3III. Akuntansi Konsinyasi 41.
Konsinyasi Lengkap 42. Konsinyasi Tidak Lengkap 83. Konsinyasi
keluar 12IV. Penyajian Transaksi Penjualan Konsinyasi dalam Laporan
Keuangan 13V. Konsinyasi dalam Perpajakan 13VI. Perencanaan Pajak
untuk Penjualan Konsinyasi 19BISNIS WARALABA (FRANCHISE) DAN
PERPAJAKANI. Bisnis Waralaba 21II. Bentuk-bentuk Waralaba 231.
Waralaba Format Bisnis 232. Waralaba Distribusi Produk 24III.
Perlakuan Akuntansi Atas Bisnis Waralaba 241. Iuran Awal Waralaba
242. Iuran Waralaba yang Berkesinambungan 28IV. Aspek Perpajakan
Dalam Waralaba atau Franchise 281. Pajak Pertambahan Nilai 292.
Pajak Penghasilan 31LAMPIRAN 33
DAFTAR LAMPIRANLampiran 1. Contoh Nota Pembatalan 33Lampiran 2.
Contoh Faktur Pajak 34Lampiran 3. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun
2012 35Lampiran 4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
no. 259/MPP/Kep/7/97 53Lampiran 5. Peraturan Pemerintah No. 94
Tahun 2010 67Lampiran 6. Surat Direktur Jenderal Pajak No.
S-1046/PJ.322/2005 82
KONSINYASI DAN PERPAJAKAN
I. Pengertian Penjualan KonsinyasiPenjualan Konsinyasi
didefinisikan oleh IFRS (IAS 2) sebagai situasi yang pihak pemegang
barang persediaan bertindak sebagai agen bagi pemilik sebenarnya
(Wiley, 2007:179). Penjualan konsinyasi dalam pengertian
sehari-hari dikenal dengan sebutan penjualan dengan cara
penitipan.Aliminsyah dan Padji (2008:77)dalam kamus istilah
keuangan dan perbankan disebutkan bahwa: Consignment (Konsinyasi)
adalah barang-barang yang dikirim untuk dititipkan kepada pihak
lain dalam rangka penjualan dimasa mendatang atau untuk tujuan
lain, hak atas barang tersebut tetap melekat pada pihak pengirim
(Consignor). Penerimaan titipan barang tersebut (Consignee)
selanjutnya bertanggung jawab terhadap penanganan barang sesuai
dengan kesepakatan.Di Indonesia perdagangan konsinyasi dikenal
sebagai suatu bentuk perdagangan komisi. Dalam hal ini terdapat dua
pihak yang terlibat yaitu pemilik barang sebagai consignor atau
faktor dan penerima barang sebagai consignee atau pedagang komisi.
Selama barang konsinyasi belum terjual, hak milik tetap ditangan
pemilik. Persediaan barang konsinyasi di gudang consignee adalah
persediaan milik consignor sampai barang terjual ke pihak
lain.Penjualan yang dilakukan secara konsinyasi merupakan
alternatif lain selain penjualan reguler, karena keberadaan
penjualan konsinyasi yang berbeda dengan penjualan reguler, maka
diperlukan akuntansi yang berbeda untuk penjualan konsinyasi dengan
penjualan reguler, sehingga informasi yang disajikan dapat
menggambarkan keadaan yang sebernarnya dan tidak menimbulkan
informasi yang menyesatkan.Didalam penjualan konsinyasi, hubungan
antara pihak consignor dan pihak consignee merupakan hubungan
antara pihak pemilik dan agen penjual. Dari segi pengamanat
transaksi pengiriman barang-barang kepada consignee, biasa
disebutbarang-barang konsinyasi. Sedangkan dari pihak komisioner
untuk mencatat transaksi yang behubungan dengan barang-barang milik
pengamanat yang dititipkan kepadanya biasa disebutbarang-barang
komisi. Terhadap penyerahan barang atas transaksi konsinyasi, pada
umumnya disusun suatu kontrak atau perjanjian tertulis yang
menunjukkan sifat hubungan pihak yang menerima
barang-barang.Transaksi dengan cara penjualan konsinyasi mempunyai
keuntungan-keuntungan tertentu dibandingkan dengan penjualan secara
langsung barang-barang kepada perusahaan pengecer atau kepada
pedagang.Berikut ini adalah keuntungan dengan penjualan konsinyasi
bagi consignor, antara lain:1. Konsinyasi merupakan suatu cara
untuk lebih memperluas pasaran yang dapat dijamin oleh seorang
produsen, pabrikan atau distributor, terutama apabila :a.
Barang-barang yang bersangkutan baru diperkenalkan, permintaan
produk tidak menentu dan belum terkenal;b. Penjualan pada masa-masa
yang lalu dengan melalui dealer tidak menguntungkan;c. Harga barang
menjadi mahal dan membutuhkan investasi yang cukup besar bagi pihak
dealer apabila ia harus membeli barang-barang yang bersangkutan.2.
Resiko-resiko tertentu dapat dihindarkan pengamanat. Barang-barang
konsinyasi tidak ikut disita apabila terjadi kebangkrutan pada
dirikomisioner sehingga resiko kerugian dapat ditekan3. Harga
barang yang bersangkutan tetap dapat dikontrol oleh pengamanat. Hal
ini disebabkan kepemilikan atas barang tersebut masih ditangan
pengamanat sehingga harga masih dapat dijangkau oleh konsumen4.
Jumlah barang yang dijual dan persediaan barang yang ada
digudangkan mudah dikontrol sehingga resiko kekurangan atau
kelebihan barang dapat ditekan dan memudahkan untuk rencana
produksiSedangkan bagi komisioner lebih menguntungkan dengan cara
penjualan konsinyasi karena alasan-alasan sebagai berikut :1.
Komisioner tidak dibebani resiko menanggung kerugian bila gagal
dalam penjualan barang-barang konsinyasi2. Komisioner tidak
mengeluarkan biaya operasi penjualan konsinyasi karena semua biaya
akan diganti /ditanggung oleh pengamanat3. Kebutuhan akan modal
kerja dapat dikurangi, sebab komisioner hanya berfungsi sebagai
penerima dan penjual barang konsinyasi untuk pengamanat4.
Komisioner berhak mendapatkan komisi dari hasil penjualan barang
konsinyasiDengan tetap mengendalikan harga eceran produk, consignor
mengharapkan penjualannya dapat meningkat karena consignee ahli di
bidang perdagangan barang yang bersangkutan. Pihak consignee, tanpa
risiko kerusakan barang, fluktuasi harga dan biaya modal kerja,
dapat meningkatkan penghasilannya dari hasil komisi penjualan
barang konsinyasi.
II. Metode PenjualanMetode pencatatan atas transaksi penjualan
konsinyasi memiliki beberapa prosedur-prosedur pembukuan tersendiri
yang biasanya diikuti oleh pihak consignor. Pada prinsipnya
pendapatan dalam konsinyasi diakui pada saat penjualan terhadap
barang-barang konsinyasi dilakukan oleh consignee kepada pihak
ketiga. Jika consignor membutuhkan laporan penjualan dan untuk
mengetahui laba atau rugi penjualan barang-barang konsinyasi, maka
pencatatannya harus diselenggarakan terpisah dari transaksi
penjualan reguler.Ada dua metode penentuan laba rugi barang
konsinyasi, yaitu :1. Laba Ditentukan TersediriPencatatan
konsinyasi dilakukan dengan buku-buku tersendiri, terpisah dari
pencatatan pembelian dan penjualan lainnya. Consignee mengakui laba
penjualan konsinyasi sebelum menyusun laporan keuangan pada akhir
periode dengan mendebet konsinyasi-masuk dan mengkredit pendapatan
komisi atau laba penjualan konsinyasi. Tagihan dan kewajiban kepada
consignor dicatat dengan menggunakan akunconsignee-masuk. Consignor
harus menerima akun penjualan pada akhir tahun buku untuk mencatat
laba atau rugi penjualan barang konsinyasi. Tagihan dan kewajiban
kepada consignee dicatat dengan menggunakan akunconsignee-keluar.2.
Laba Tidak Ditentukan TersendiriPencatatan konsinyasi tidak
dipisahkan dari pembelian dan penjualan lainnya. Jika jurnal pada
saat barang konsinyasi dijual mengakui pembelian atau harga pokok
barang yag dijual dan kewajiban kepada consignor, consignee tidak
perlu menjurnal diakhir periode. Consignor mencatat potongan hasil
penjualan oleh consignee ke akun beban yang bersangkutan. Jika
barang consignee tidak semua terjual sampai akhir periode maka
beban juga ditangguhkan pada barang konsinyasi yang belum terjual.
Kas di debet atas kiriman uang dari consignee atau piutang di debet
untuk jumlah yang tunai dari consignee, akun beban di debet untuk
pembebanan oleh consignee atas barang yang telah terjual, barang
dalam konsinyasi di debet untuk pembebanan consignee atas barang
yang belum terjual, dan penjualan di kredit untuk total penjualan
konsinyasi.III. Akuntansi Konsinyasi1. Konsinyasi LengkapAkuntansi
bila semua barang yang dikirimkan untuk konsinyasi terjual adalah
seperti contoh berikut :6 Juni 2004(1)Weta mengirimkan 10 buah TV
untuk konsinyasi kepada Gere. Harga pokok consignor Rp. 2.500.000
perbuah untuk dijual Rp. 4.250.000 perbuah. Atas kejadian ini:Gere
mencatat (dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi dihitung
terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
Memorandum.Diterima 10 buah TV konsinyasi dari Weta untuk dijual
Rp. 4.250 perbuah. Komisi 20%. Biaya pengangkutan
digantiMemorandum.
Weta mencatat (dalam ribuan rupiah) :Laba konsinyasi dihitung
terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
Konsinyasi keluar-GereRp. 25.000 Kiriman barang konsinyasiRp.
25.000Memorandum.Dikirim 10 buah TV konsinyasi kepada Gere untuk
dijual Rp. 4.250 perbuah. Komisi konsinyasi 20% dan biaya
pengankutan diganti
6 Juni 2004(2)Beban consignor sehubungan dengan konsinyasi.
Pengangkutan ke consignee Rp. 3.000.000. Atas kejadian ini:Weta
mencatat (dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi dihitung
terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
Konsinyasi keluar-GereRp. 3.000Pengangkutan keluarRp. 3.000
6 Juni-20 Juli 2004(3)Biaya konsinyasi yang diganti consignor.
Pengangkutan masuk Rp. 1.250.000. Atas kejadian ini:Gere mencatat
(dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi dihitung terpisahLaba
konsinyasi dihitung tidak terpisah
Konsinyasi-masukRp. 1.250 KasRp. 1.250Hutang-WetaRp. 1.250
KasRp. 1.250
6 Juni-20 Juli 2004(1)Penjualan 10 buah TV @ Rp. 4.250.000.
Perhitungan dengan consignor Rp. 42.500.000 dikurangi komisi 20% x
Rp. 42.500.000 = Rp. 8.500.000. Atas kejadian ini:Gere mencatat
(dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi dihitung terpisahLaba
konsinyasi dihitung tidakterpisah
KasRp. 42.500Konsinyasi masuk-WetaRp. 42.500KasRp.
42.500PenjualanRp. 42.500
PembelianRp. 34.000Hutang-WetaRp. 34.000
20 Juli 2004(2)Dibebankan komisi penjualan Rp. 8.500.000. Atas
kejadian ini:Gere mencatat (dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi
dihitung terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
Konsinyasi masuk-WetaRp. 8.500Komisi Penjualan konsinyasiRp.
8.500
20 Juli 2004(3)Dikirimkan penyelesaian konsinyasi beserta Akun
Penjualan oleh consignee. Atas kejadian ini:Gere mencatat (dalam
ribuan rupiah):Laba konsinyasi dihitung terpisahLaba konsinyasi
dihitung tidak terpisah
Konsinyasi masuk-WetaRp. 32.750KasRp. 32.750Hutang-WetaRp.
32.750KasRp. 32.750
Kiriman cek Rp. 3.2750.000 kepada Weta disertai dengan akun
penjualan 10 buah TV set sebagai berikut :
Gere Co. JakartaAkun PenjualanNo. 16
Penjualan untuk perhitungan Weta Co. BandungAkun Penjualan 10
buah TV.Tanggal 20 Juli 2004
TanggalPenjelasanJumlah
6/6-20/7Dijual : 10 buah TV @ Rp. 4.250.000Beban :
Pengangukatan- masukKomisi (20% dari penjualan)
SaldoCek terlampirSaldo terutang
Rp. 1.250.000Rp. 8.500.000
Rp. 4.250.000
Rp.9.750.000Rp. 32.750.000Rp. 32.750.000Nihil
Weta mencatat sebagai berikut (dalam ribuan rupiah) :Laba
konsinyasi dihitung terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak
terpisah
KasRp. 32.750Konsinyasi keluar-GereRp.9.750Konsinyasi
keluar-GereRp. 42.500KasRp. 32.750Pengangkutan
Rp.1.250KomisiRp.8.500Penjualan Rp. 42.500
2. Konsinyasi Tak LengkapAkuntansi konsinyasi bila tidak semua
barang konsinyasi terjual.6 Juni 2004(1)Weta mengirimkan 10 buah TV
untuk konsinyasi kepada Gere. Harga pokok consignor Rp. 2.500.000
perbuah untuk dijual Rp. 4.250.000 perbuah. Atas kejadian ini:Gere
mencatat (dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi dihitung
terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
Memorandum.Diterima 10 buah TV konsinyasi dari Weta untuk dijual
Rp. 4.250 perbuah. Komisi 20%. Biaya pengangkutan
digantiMemorandum.
Weta mencatat (dalam ribuan rupiah) :Laba konsinyasi dihitung
terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
Konsinyasi keluar-GereRp. 25.000Kiriman barang konsinyasiRp.
25.000Memorandum.Dikirim 10 buah TV konsinyasi kepada Gere untuk
dijual Rp. 4.250 perbuah. Komisi konsinyasi 20% dan biaya
pengangkutan diganti
6 Juni 2004(2)Beban consignor sehubungan dengan konsinyasi.
Pengangkutan ke consignee Rp. 3.000.000. Atas kejadian ini:Weta
mencatat (dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi dihitung
terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
Konsinyasi keluar-GereRp. 3.000Pengangkutan keluarRp. 3.000
6 Juni-20 Juli 2004(3)Biaya konsinyasi yang diganti consignor.
Pengangkutan masuk Rp. 125.000. Atas kejadian ini:Gere mencatat
(dala ribuan rupiah) :Laba konsinyasi dihitung terpisahLaba
konsinyasi dihitung tidak terpisah
Konsinyasi-masukRp. 1.250KasRp. 1.250Hutang-WetaRp. 1.250KasRp.
1.250
6 Juni-20 Juli 2004(4)Penjualan 6 buah TV set @ Rp. 4.250.000.
Perhitungan dengan consignor Rp. 25.500.000 dikurangi komisi 20% x
Rp. 25.500.000. Atas kejadian ini:Gere mencatat (dalam ribuan
rupiah):Laba konsinyasi dihitung terpisahLaba konsinyasi dihitung
tidak terpisah
KasRp. 25.500Konsinyasi masuk-WetaRp. 25.500KasRp.
25.500PenjualanRp. 25.500PembelianRp. 20.400Hutang-WetaRp.
20.400
20 Juli 2004(5)Dibebankan komisi penjualan Rp. 5.100.000. Atas
kejadian ini:Gere mencatat (dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi
dihitung terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
Konsinyasi masuk-WetaRp. 5.100Komisi penjualan konsinyasiRp.
5.100
20 Juli 2014(6)Dikirimkan penyelesaian konsinyasi beserta akun
penjualan konsinyasi. Atas kejadian ini:Gere mencatat (dalam ribuan
rupiah):Laba konsinyasi dihitung terpisahLaba konsinyasi dihitung
tidak terpisah
Konsinyasi masuk-WetaRp. 19.150KasRp. 19.150Hutang-WetaRp.
19.150KasRp. 19.150
Kiriman cek Rp. 19.150.000 kepada Weta disertai dengan akun
penjualan sebagai berikut:Gere Co.JakartaAkun PenjualanNo. 16
Penjualan untuk perhitungan Weta Co. BandungAkun Penjualan 10
buah TV.Tanggal 20 Juli 20X4
TanggalPenjelasanJumlah
6/6-20/7Dijual : 6 buah TV @ Rp. 4.250.000Beban : Pengangukatan-
masukKomisi (20% dari penjualan)
SaldoCek terlampirSaldo terutang
Rp. 1.250.000Rp. 5.100.000
Rp. 25.500.000
Rp.6.350.000Rp. 19.150.000Rp. 19.150.000Nihil
Weta mencatat(dalam ribuan rupiah):Laba konsinyasi dihitung
terpisahLaba konsinyasi dihitung tidak terpisah
KasRp. 19.150Konsinyasi keluar-GereRp.6.350Konsinyasi
keluar-GereRp. 25.500
Konsinyasi keluar-GereRp. 2.850Penghasilan konsinyasiRp.
2.850*KasRp. 19.150Pengangkutan Rp.750KomisiRp.5.100Barang
konsinyasi Rp.500PenjualanRp. 25.500
Barang konsinyasi Rp. 11.200Ikhtisar laba rugi Rp.
10.000Pengakutan keluar Rp. 1.200
*Rp. 25.500.000-Rp. 22.650.000
Penjelasan perhitungan pembebanan:Total pembebananPembebanan
untuk 6 TV terjualPembebanan untuk 4 TV persediaan
Pembebaban oleh consignor :HPP barang konsinyasi@ Rp.
2.500.000Pengangkutan ke consignee@ Rp.300.000Pembebanan oleh
consignee :Pengangkutan-masuk@ Rp. 125.000Komisi
Rp. 25.000.000
Rp.3.000.000
Rp.1.250.000Rp.5.100.000Rp.34.350.000
Rp. 15.000.000
Rp.1.800.000
Rp.750.000Rp.5.100.000Rp. 22.650.000
Rp. 10.000.000
Rp.1.200.000
Rp.500.000-Rp. 11.700.000
3. Konsinyasi KeluarDengan demikian maka akun konsinyasi-keluar
pada akhir periode dalam buku-buku Weta adalah sebagai
berikut:Konsinyasi keluar-Gere (dalam ribuan rupiah):6-6 Dikirim 10
buah TV,Harga pokok @ Rp. 2.500 Rp. 25.000Pengangkutan (freight)
Rp.3.000
30-6 Dibebankan consignee :Pengangkutan masukRp. 1.250Komisi Rp.
5.100 Rp.6.350Laba penjualan 6 TV kePendapatan Konsinyasi
Rp.2.850Rp. 37.200
1-7 Saldo-harga pokok 4 buah TV Rp. 11.700
6-6 Penjualan 6 buah TVRp. 25.500Saldo-harga pokok 4
buahPersediaan :Harga pokok 4 buah @ Rp. 2.500 Rp. 10.000Tambahan
:Oleh consignorRp.1.200Oleh consigneeRp.500Rp. 11.700 Rp.37.200
IV. Penyajian Transaksi Penjualan Konsinyasi dalam Laporan
KeuanganProsedur-prosedur yang harus digunakan oleh pihak consignor
jika menghendaki penyajian informasi lebih lengkap baik mengenai
penjualan consignee maupun penjualan reguler adalah dengan
melakukan pencatatan transaksi penjualan konsinyasi secara terpisah
dari transaksi penjualan biasa.Penyajian didalam laporan
perhitungan laba rugi dapat dibukukan dengan cara :a. Menggabungkan
data-data penjualan harga pokok penjualan dan biaya penjualan dari
transaksi konsinyasi dengan data-data yang sama pada transaksi
penjualan biasa.b. Data, harga pokok penjualan dan biaya-biaya
penjualan yang bersangkutan dilaporkan secara terpisah dan sejajar
dengan data penjualan biasa. Pelaoran yang demikian dipakai apabila
transaksi penjualan barang konsinyasi merupakan bagian yang penting
dalam kegiatan distribusinya.c. Menyajikan data transaksi penjualan
konsinyasi didalam laporan perhitungan laba rugi dengan melaporkan
laba rugi penjualan konsinyasi tanpamenyajikan data penjulan dan
biaya-biaya yang bersangkutan yaitu dengan cara menambah
(mengurangkan) laba rugi konsinyasi dari laba kotor penjualan
biasa.
V. Konsinyasi dalam PerpajakanPPN menurut Gunadi et al (1999)
adalah untuk mengenakan pajak pada tingkat kemampuan masyarakat
untuk berkonsumsi, yang pengenaannya dilakukan secara tidak
langsung kepada konsumen. Pajak ini dikenakan kepada pengusaha yang
menyerahkan barang dan jasa akan memperhitungakan pajaknya di dalam
harga jualnya. Karakter legal PPN adalah:1. Pajak tidak langsung;2.
Merupakan jenis pajak objektif;3. Bersifat Multi Stage Levy;4.
Perhitungan PPN terhutang menggunakan indirect substraction
method;5. Bersifat non kumulatif;6. Menganut tarif tunggal (10%);7.
Pajak atas konsumsi dalam negri; dan8. Merupakan tipe Pajak
Konsumsi.Menurut Turonyi (1996, 173), semua transaksi dalam ruang
lingkup yang dikenakan PPN, bila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:1. Transaksinya merupakan transaksi penyerahan barang dan
jasa;2. Penyerahan tersebut tidak termasuk yang dikecualikan dari
pengenaan PPN;3. Penyerahan yang terhutang tersebut dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak menurut ketentuan PPN; dan4. Penyerahan
tersebut dilakukan dalam ruang lingkup bisnis (dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya) dan bukan bagian dari hobi atau
aktivitas non bisnis lainnya.Secara umum berdasarkan sistem
pemungutan PPN yang berlaku saat ini, sebagian besar PKP secara
akuntansi harus menggunakan metode akrual atau metode faktur untuk
melaporkan penjualan dan mengklaim PPN Masukan. Berdasarkan metode
akrual ini, PKP secara umum melaporkan penyerahan BKP setelah
barang atau jasa terjual atau diserahkan. Pajak dibebankan ketika
barang atau jasa diserahkan walaupun saat pembayarannya
ditangguhkan. Untuk pelaporan bisnis dengan metode akrual, saat
pembebanan dan jangka waktu pengenaan pajak bertepatan pada
penyerahan barang atau jasa sebelum pembayaran diterima dan sebelum
faktur penjualan diterbitkan. Meskipun demikian, pengenaan pajak
dipercepat jangka waktunya pada tanggal sebelum masa pembebanannya
jika pembayaran diterima sebelum barang atau jasa diserahkan.
Umumnya penyerahan barang terjadi pada saat:1. Faktur pajak
diterbitkan terhadap penyerahan;2. Barang tersebut telah
dikirimkan;3. Barang yang dibuat telah tersedia;4. Barang yang
telah dipindahkan atau dikirimkan untuk atau kepada pelanggan;5.
Barang telah dibayar baik sebagian maupun seluruhnya.Ketentuan
perpajakan mengenai PPN atas transaksi penjualan konsinyasi sering
kali menghadapi kendala dalam implementasinya karena:1. Saat
terutangnya PPN antara transaksi penjualan secara konsinyasi dengan
transaksi penjualan yang tidak dilakukan melalui mekanisme
konsinyasi; dan2. Saat pembuatan faktur pajak antara transaksi
penjualan secara konsinyasi dengan transaksi penjualan yang tidak
dilakukan melalui mekanisme konsinyasi.Berdasarkan pola akuntansi,
transaksi penjualan secara konsinyasi pun menganut prinsip akrual
dimana penyerahan barang dianggap telah terjadi apabila resiko dan
manfaat kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli dan
jumlah pendapatan dari transaksi tersebut dapat diukur dengan
handal seperti halnya penjualan yang tidak dilakukan berdasarkan
perjanjian konsinyasi. Hal ini tercermin dari pengakuan pendapatan
yang dilakukan pada saat consignee melakukan penjualan kepada
pembeli sebenarnya. Namun demikian, pengenaan PPN antara transaksi
penjualan secara konsinyasi dengan penjualan yang tidak dilakukan
berdasarkan perjanjian konsinyasi diperlakukan berbeda, khususnya
dari sisi penentuan saat terhutangnya PPN dan saat pembuatan Faktur
Pajak.
Gambar 1. Mekanisme Pemungutan PPN di IndonesiaMekanisme
Pemungutan PPN di Indonesia
Transaksi penjualan BKP selain KonsinyasiTransaksi penjualan BKP
secara Konsinyasi
Saat penyerahan BKP berdasarkan Pasal 17 ayat 3 huruf a PP No 1
tahun 2012Saat BKP dititipkan adalah saat penyerahan yang terutang
PPN
Faktur Pajak dibuat pada saat BKP dititipkan oleh PKP
Consingnor
Faktur Pajak dibuat pada saat Penyerahan berdasarkan Pasal 17
ayat 3 huruf a PP No 1 Tahun 2012
Merujuk pada bagan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengenaan pajak atas transaksi yang tidak dilakukan berdasarkan
perjanjian konsinyasi, khususnya dari sisi penentuan saat
penyerahan barangnya sebagai saat terhutangnya PPN. Mengacu pada
ketentuan Pasal 1A ayat 1 huruf g UU PPN, bisa diketahui bila PPN
sudah terhutang pada saat BKP diserahkan untuk dititipkan oleh
consignor kepada consignee. Sementara dari ketentuan umum
terutangnya PPN atas penyerahan seperti dinyatakan dalam pasal 11
ayat 1 UU PPN dan diatur lebih lanjut dalam pasal 17 ayat 3 huruf a
PP No 1 Tahun 2012, diketahui bila PPN terutang saat BKP diserahkan
yaitu saat pengakuan pendapatan, saat pengakuan piutang, atau saat
penerbitan Faktur Penjualan.
Berikut adalah skema transaksi konsinyasi dan transaksi
penjualan non konsinyasi:PT Angelia Jaya melakukan transaksi
konsinyasi juga melakukan transaksi jual beli biasa. Pada tanggal 1
Juli 2014 terdapat dua transaksi penyerahan dengan dua mekanisme
yang berbeda dimana PT Angelia Jaya menyerahkan 500 unit barang
kepada rekanannya PT Indo Nia senilai 500 juta berdasarkan skema
konsinyasi dan jumlah yang sama juga dilakukan penjualan kepada PT
Dewi Abadi dalam skema transaksi penjualan biasa. PT Angelia Jaya
mengikat perjanjian konsinyasi selama 2 bulan dengan PT Indo Nia.
PT Indo Nia sesuai perjanjian akan melaporkan jumlah yang terjual
satu bulan sekali.Sedangkan kepada PT Dewi Abadi, PT Angelia Jaya
memberi kebijakan bahwa pembayaran dapat dilakukan dengan termin
tertentu, misalnya penagihan dilakukan dalam jangka waktu 2 bulan
sejak barang dikirimkan.
Gambar 2. Contoh Transaksi Konsinyasi PT Angelia JayaPenjualan
BKP KonsinyasiPengiriman BKP Konsinyasi 1/7/14PT Angelia JayaPT
Indo NiaConsumer
Sales report 1 bulan sekali
Dari Gambar diatas, terlihat bahwa saat PT Angelia Jaya
mengirimkan BKP yang akan dikonsinyasikan, maka perusahaan tersebut
berdasarkan ketentuan Pasal 1A ayat 1 huruf g UU PPN wajib untuk
memungut PPN dan menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 10 Mei 2012.
PT Angelia Jaya wajib memungut PPN sebesar 50 juta (10% dari
500jt). Bila ternyata PT Indo Nia dapat menjual seluruh barang maka
terdapat beda waktu penerimaan uang pajak yang sudah disetorkan
kepada Negara dengan pembayaran PPN yang menjadi kewajiban PT Indo
Nia. Seluruh pembayaran PPN yang semestinya dibayar oleh PT Indo
Nia baru diterima kembali oleh PT Angelia Jaya dalam jangka waktu
dua bulan sesuai perjanjian konsinyasi yang disepakati.PT Indo Nia
tentunya akan mengalami potensi kerugian bila ternyata barang yang
dititipkan seluruhnya tidak laku terjual. Mengacu pada ketentuan
pasal 1A ayat 1 huruf g UU PPN beserta memori penjelasannya,
consignee akan mengembalikan barang (retur) atas barang yang tidak
laku terjual. Dari ketentuan pasal 5A UU PPN, consignee wajib
menerbitkan Nota Retur, sehingga pajak yang sudah disetor pada saat
pengiriman barang dapat diminta kembali oleh consignor.
Gambar 3. Contoh Transaksi Retur BKP KonsinyasiPT Angelia JayaPT
Indo NiaPengiriman BKP Konsinyasi 1/7/14
Faktur Pajak
Nota Retur 1/9/14
Dari gambar diatas, terlihat bahwa pengembalian PPN yang sudah
disetor melalui mekanisme pengembalian (retur) barang ini sejatinya
merupakan salah satu bentuk beda waktu penerimaan uang pajak yang
sudah disetorkan kepada Negara seperti bila barang yang
dikonsinyasikan laku terjual. Bedanya, consignor akan mengalami
kerugian karena potensi kerusakan barang yang terjadi saat
penitipan barang tersebut dan arena pengembalian PPN yang sudah
disetor melalui mekanisme Nota Retur, maka terdapat administrasi
perpajakan tambahan untuk meminta kembali PPN tersebut. Pada saat
pengiriman barang yang dikonsinyasikan, maka PT Angelia Jaya
melaporkan PPN yang dipungut pada masa pajak Juli 2014 sebesar 50
juta. Bila barang yang dititipkan tidak laku terjual, maka PT Indo
Nia wajib membuat Nota Retur. PT Angelia Jaya kemudian melaporkan
Nota Retur tersebut pada masa pajak Juli 2012 sebagai pengurang PPN
Keluarannya.Kondisi tentunya berbeda dari transaksi yang tidak
dilakukan dalam skema transaksi konsinyasi. Berdasarkan gambar
diatas, pada transaksi yang dilakukan PT Dewi Abadi pelaksanaan
pemungutan pajaknya baru dilakukan pada saat diterbitkan invoice.
PT Angelia Jaya saat mengirimkan barang pada 1 Juli 2014 belum
memungut PPN karena mendasarkan pada ketentuan pasal 17 ayat 3
huruf a PP no 1 tahun 2012 penyerahan BKP yang terutang PPN baru
terjadi pada saat perusahaan tersebut menerbitkan invoice dengan
kata lain, saat penyerahan dati PT Angelia Jaya ke PT Dewi Abadi
selambat-lambatnya adalah pada saat penagihan tersebut. Sehingga
perusahaan tersebut wajib untuk memungut PPN dan menerbitkan faktur
Pajak pada tanggal 1 September 2014. PT Angelia Jaya wajib memungut
PPN sebesar 50juta.
Gambar 4. Contoh Transaksi Penjualan BiasaPenjualan BKPPenjualan
BKP
PT Angelia JayaPT Dewi AbadiConsumer
Faktur PajakFaktur Pajak Saat Penagihan 1/9/14
Dari Contoh transaksi yang dilakukan PT Angelia Jaya diatas,
terlihat bahwa secara substantive perusahaan tersebut melakukan
pemindahan hak atas barang, baik dalam skema berdasarkan transaksi
konsinyasi maupun transaksi dengan skema penjualan biasa. Hal ini
menunjukan bahwa pengenaan PPN atas penyerahan barang konsinyasi
yang dilakukan oleh PT Angelia Jaya sesuai ketentuan Pasal 1A ayat
1 huruf g UU PPn pada dasarknya sudah sesuai dengan konsep
penyerahan barang bahwa penyerahan barang adalah
transfer/pemindahan hak/kepemilikan untuk mengatur tangible
property.Contoh Jurnal PPN dengan menggunakan simulasi transaksi
WETA dan GERE pada contoh sebelumnya maka:Jurnal ketika WETA
mengirimkan barang kepada GERE dengan metode laba
terpisah:Consignor WETA akan mencatat:Konsinyasi
keluar27.500.000Kiriman Barang Konsinyasi25.000.000PPN Keluaran
2.500.000
Jurnal ketika WETA mengirimkan barang kepada GERE dengan metode
laba tidak terpisah:Consignor WETA akan
mencatat:Piutang-Gere2.500.000PPN Keluaran2.500.000Consignee GERE
akan mencatat:PPN Masukan2.500.000Hutang-Weta2.500.000
VI. Perencanaan Pajak untuk Penjualan KonsinyasiDari penjelasan
diatas, maka akan timbul pertanyaan adakah cara agar perusahaan
tidak membayar PPN sebelum barang konsinyasi benar-benar terjual
kepada pihak ketiga? Maka jawabannya adalah ada, yaitu dengan cara
tidak menerbitkan surat jalan pada saat barang dikirimkan ke toko
konsinyasi atau secara tidak langsung tidak mengakui adanya
pengiriman barang. Surat jalan baru dibuat ketika toko
memberitahukan adanya penjualan, sekaligus invoice dan faktur
pajak. Namun, cara tersebut masih sangat beresiko apabila terjadi
pemeriksaan pajak. Karena pemeriksa pajak bisa saja melakukan
pemeriksaan fisik persediaan, maka akan terjadi selisih persediaan
pada saat tersebut. Maka untuk membuatnya lebih aman, sebelum
memulai konsinyasi harus melalukan persiapan sebagai berikut:1.
Membuat kesepakatan dan perjanjian titip barang (bukan konsinyasi)
dengan pihak toko (consignee) secara tertulis dan disaksikan
notaris.2. Dalam perjanjian penitipan barang, sertakan klausul
bahwa:a. Sampai barang tersebut terjual, pemilik barang tersebut
adalah milik consignor, sehingga segala resiko yang melekat pada
barang adalah menjadi tanggung jawab consignor.b. Pekerjaan display
barang dan perawatannya sehari-hari adalah tanggung jawab
consignor.c. Peralatan display disediakan oleh consignor.d. Pegawai
counter yang melayani pembeli adalah pegawai consignor.3. Lakukan
cara sebelumnya, yaitu dengan tidak menerbitkan surat jalan sampai
toko berhasil menjual barang consignor.Dengan cara diatas, ketika
fiskus memeriksa fisik persediaan dan menemukan selisih persediaan
sejumlah barang yang dikirimkan ke toko, maka consignor dapat
mengatakan bahwa barang tersebut ada di display (toko). Jika
diperlukan consignor dapat menunjukannya. Dengan begitu pengiriman
barang ke toko secara sah bukan penjualan.
BISNIS WARALABA (FRANCHISE) DAN PERPAJAKAN
I. Bisnis WaralabaSecara umum, waralaba adalah hak untuk menjual
barang atau jasa kepada konsumen, yang mana hak tersebut diberikan
secara langsung oleh pemilik merek (franchisor) kepada individu
atau kelompok, yang dalam hal ini disebut sebagai penerima waralaba
(franchisee) dengan ketentuan-ketentuan tertentu, biasanya di areal
geografis tertentu.Waralaba menurut Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPR/Kep/7/1997 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba
adalah sebuah perikatan, di mana salah satu pihak diberikan hak
untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh
pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang
ditetapkan dalam rangka menyediakan dan atau penjualan barang dan
jasa.Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 tahun 2008 tentang
waralaba, pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa waralaba adalah hak
khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha
terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan
perjanjian waralaba.Dalam Permendag tersebut juga disebutkan bahwa
waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:a. memiliki ciri
khas usaha;b. terbukti sudah memberikan keuntungan;c. memiliki
standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan
yang dibuat secara tertulis;d. mudah diajarkan dan diaplikasikan;e.
adanya dukungan yang berkesinambungan; danf. Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) yang telah terdaftar. Selain itu, orang
perseorangan atau badan usaha dilarang menggunakan istilah dan/atau
nama waralaba untuk nama dan/atau kegiatan usahanya, apabila tidak
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud diatas.
Waralaba memiliki 6 karakteristik pokok, yaitu sebagai
berikut:1. Ada kesepakatan kerja sama yang tertulis. 2. Selama
kerja sama tersebut, pihak franchisor mengizinkan franchisee
menggunakan merk dagang dan identitas usaha milik franchisor dalam
bidang usaha yang disepakati. Penggunaan identitas usaha tersebut
akan menimbulkan asosiasi pada masyarakat adanya kesamaan produk
dan jasa dengan franchisor. 3. Selama kerja sama tersebut pihak
franchisor memberikan jasa penyiapan usaha dan melakukan
pendampingan berkelanjutan pada franchisee. 4. Selama kerja sama
tersebut franchisee mengikuti ketentuan yang telah disusun oleh
franchisor yang menjadi dasar usaha yang sukses. 5. Selama kerja
sama tersebut franchisor melakukan pengendalian hasil dan kegiatan
dalam kedudukannya sebagai pimpinan sistem kerja sama. 6.
Kepemilikan dari badan usaha yang dijalankan oleh franchisee adalah
sepenuhnya pada franchisee. Secara hukum franchisor dan franchisee
adalah dua badan usaha yang terpisah.Adapun yang merupakan pos-pos
biaya dalam sistem waralaba yang normal adalah sebagai
berikut:1.Royalty, merupakan pembayaran oleh pihak franchisee
kepada pihak franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak waralaba
(franchise) oleh franchisee. Pembayaran royalty dilakukan secara
berkala, tergantung dengan perjanjian yang telah disepakati.
Besarnya royalty ditentukan oleh jenis usaha serta hitung-hitungan
dari franchisor yang mencakup aspek feasibility atau kelayakan
usaha suatu waralaba. Nilai royalty yang wajar adalah 1% - 12% dari
omset kotor;2.Franchise fee, merupakan pembayaran yang harus
dilakukan oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor, yang
merupakan biaya waralaba, yang biasanya dilakukan dengan jumlah
tertentu yang pasti dan dilakukan sekaligus dan hanya sekali
saja;3.Direct Expense, merupakan biaya langsung yang harus
dikeluarkan sehubungan dengan pembukaan atau pengembangan suatu
bisnis, maka dalam hal ini yang demikian pihak franchisee harus
membayar harga sewa tempat tersebut kepada pihak franchisor;4.Biaya
sewa, walau sesungguhnya kurang lazim, ada beberapa franchisor yang
ikut juga menyediakan tempat bisnis, maka dalam hal ini yang
demikian pihak franchisee harus membayar harga sewa tempat tersebut
kepada pihak franchisor;5.Marketing dan Advertising Fees, karena
pihak franchisor yang melakukan marketing dan iklan, maka pihak
franchisee mesti juga ikut menanggung beban biaya tersebut dengan
menghitungnya, baik secara presentasi dari omzet penjualan ataupun
jika marketing atau iklan tertentu;6.Assigment fees, yang dimaksud
dengan assigment fees adalah biaya yang harus dibayar oleh pihak
franchisee kepada pihak franchisor jika pihak franchisee tersebut
mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain, termasuk bisnis yang
merupakan obyeknya waralaba.
II. Bentuk-bentuk Waralaba 1. Waralaba Format BisnisWaralaba
dalam bentuk ini terjadi dalam hal seorang franchisee memperoleh
hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu
wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar
operasional dan pemasaran.Waralaba format bisnis ini dalam
praktiknya mengalami perkembangan sehingga terdapat tiga jenis
format bisnis franchise, yaitu: a. Waralaba Pekerjaan. Dalam bentuk
ini franchisee yang menjalankan usaha waralaba pekerjaan sebenarnya
membeli dukungan untuk usahanya sendiri. Misalnya, franchisee
mungkin menjual jasa penyetelan mesin mobil dengan merk waralaba
tertentu. Bentuk waralaba seperti ini cenderung paling murah,
umumnya membutuhkan modal yang kecil karena tidak menggunakan
tempat dan perlengkapan yang berlebihan. b. Waralaba Usaha. Pada
saat ini waralaba usaha adalah bidang waralaba yang berkembang
pesat. Bentuknya mungkin berupa toko eceran yang menyediakan barang
atau jasa, atau restoran cepat saji (fast food). Toko cetak
langsung jadi seperti prontaprint dan Kall-Kwik, restoran cepat
saji seperti Kentucky Fried Chicken dan Pizza Express, merupakan
contoh yang paling banyak dikenal dalam kelompok ini. Biaya yang
dibutuhkan lebih besar dari waralaba pekerjaan karena dibutuhkan
tempat usaha dan peralatan khusus. c. Waralaba Investasi. Ciri
utama yang membedakan jenis waralaba ini dari waralaba pekerjaan
dan waralaba usaha adalah besarnya usaha, khususnya besarnya
investasi yang dibutuhkan. Waralaba investasi adalah perusahaan
yang sudah mapan, dan investasi awal yang dibutuhkan mungkin
mencapai milyaran.2. Waralaba Distribusi ProdukDalam bentuk ini
seorang franchisee memperoleh lisensi eksklusif untuk memasarkan
produk dari satu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik.
Franchisor dapat juga memberikan waralaba wilayah, di mana
franchisee wilayah atau sub-pemilik waralaba membeli hak untuk
mengoperasikan atau menjual waralaba di wilayah geografis tertentu.
Sub-pemilik waralaba itu bertanggungjawab atas beberapa atau
seluruh pemasaran waralaba, melatih dan membantu franchisee baru,
dan melakukan pengendalian, dukungan operasi, serta program
penagihan royalty. Waralaba wilayah memberi kesempatan kepada
pemegang waralaba induk untuk mengembangkan rantai usaha lebih
cepat daripada biasa. Keahlian manajemen dan risiko finansialnya
dibagi bersama oleh franchisee induk dan sub-pemegangnya. Pemegang
indukpun menarik manfaat dari penambahan dalam royalty dan
penjualan produk.
III. Perlakuan Akuntansi Atas Bisnis Waralaba1. Iuran Awal
Waralaba (Initial Franchise Fee)Iuran awal waralabamerupakan
pembayaran untuk membentuk suatu hubungan waralaba dan penyediaan
berbagai jasa awal. Iuran awal waralaba dicatat sebagai pendapatan
hanya bila dan ketika franchisorsecara substansial melaksanakanjasa
jasa yang wajib dilaksanakan dan penagihan iuran dapat dipastikan
secara layak. Pelaksanaan yang substansial(substansial
performance)terjadi bila franchisor tidak lagi memiliki kewajiban
untuk mengembalikan kas yang telah diterima atau membebaskan semua
wesel yang belum dibayar serta telah melakukan semua jasa awal yang
disyaratkan dalam kontrak. Menurut FASB no 45 dimulainya operasi
oleh franchisee harus dianggap sebagai titik paling awal terjadinya
pelaksanaan yang substansial, kecuali dapat diperhatikan bahwa
pelaksanaan yang substansial atas semua kewajiban termasuk jasa
jasa yang diberikan secara sukarela, telah terjadi sebelum saat
itu.
Berikut ilustrasi pencatatan untuk iuran awal waralaba:Tums
pizza, Inc. membebankan iuran awal waralaba sebesar $50.000 untuk
hak operasi franchise Tums Pizza. Dari jumlah itu sebesar $10.000
harus dibayar ketika perjanjian ditandatangani dan sisanya dibayar
dalam lima pembayaran tahunan masing masing sebesar $8.000. Sebagai
imbalan atas iuran awal waralaba, franchisor akan membantu memilih
lokasi, menegosiasikan lease atau membeli lokasi tersebut,
mengawasi aktivitas konstruksi dan memberikan jasa pembukuan.
Peringkat kredit franchisee menunjukan bahwa uang dapat dipinjam
dengan bunga 8%. Nilai sekarang anuitas biasa yang terdiri dari
lima penerimaan tahunan masing masing sebesar $8.000 yang
didiskontokan pada 8% dalah $31.941. Diskonto sebesar $8.058,32
merupakan pendapatan bunga yang diperoleh franchisor sepanjang
periode pembayaran.1. Jika dapat diperkirakan secara wajar bahwa
uang muka mengkin dikembalikan dan jika jasa yang substansial masih
harus dilakukan oleh Tums Pizza,Inc. dimasa depan, maka
pencatatannya sebagai berikut: Kas10.000Piutang 40.000Diskonto
piutang 8.058,32Iuran waralaba yang diterima dimuka41.941,68
2. Jika probabilitas pengembalian iuran awal waralaba itu sangat
kecil, jumlah jasa masa depan yang harus diberikan kepada
franchisee adalah minimal, ketertagihan wesel dapat dipastikan
dengan layak serta pelaksanaan yang substansial terlah terjadi,
maka pencatatannya sebagai berikut:Kas10.000Piutang40.000Diskonto
Piutang8.058,32Pendapatan dari iuran waralaba41.941,68
3. Jika uang muka awal tidak dapat dikembalikan, merupakan
ukuran yang wajar untuk jasa yang telah diberikan, dengan sejumlah
jasa yang signifikan masih harus dilakukan oleh franchisor dalam
periode mendatang, dan kolektibilitas wesel dapat dipastikan dengan
layak, maka pencatatannya sebagai berikut:
Kas10.000Piutang40.000Diskonto Piutang8.058,32Pendapatan dari iuran
waralaba10.000Iuran waralaba diterima dimuka31.941,68
4. Jika uang muka awal tidak dapat dikembalikan dan tidak ada
jasa masa depan yang disyaratkan bagi franchisor, tetapi penagihan
wesel sangat tidak pasti sehingga pengakuan wesel sebagai aktiva
tidak dibenarkan. Pencatatan untuk transaksi ini sebagai berikut:
Kas10.000 Pendapatan dari iuran waralaba10.000
5. Dengan kondisi yang sama seperti yang disebutkan dalam no 4
kecuali bahwa uang mukanya dapat dikembalikan atau jasa yang
substansial masih harus dilaksanakan, maka pencatatannya sebagai
berikut: Kas 10.000Iuran waralaba diterima dimuka10.000Dalam kasus
4-5 ketika penagihan wesel sangat tidak pasti penagihan kas mungkin
diakui dengan menggunakan metode cicilan atau metode pemulihan
biaya.Contoh soal 2:Kendall crossburger Inc. membebankan iuran awal
waralaba sebesar $ 70.000. Pada saat penandatanganan perjanjian
itu, pembayaran sebesar $ 40.000 harus dilakukan sesudah itu harus
dilakukan tiga pembayaran tahunan sebesar $ 10.000. Peringkat
kredit franchisee menunjukkan bahwa franchisee harus membayar bunga
10% untuk meminjam uang.Diminta: buatlah ayat jurnal untuk mencatat
iuran awal waralaba dalam pembukuan franchisor menurut asumsi
asumsi berikut ini:a. Uang muka tidak dapat dikembalikan, tidak ada
jasa masa datang yang disyaratkan atas franchisor dan penagihan
wesel cukup dapat di pastikan.b. Franchisor masih harus melakukan
jasa yang substansial, uang muka bisa dikembalikan dan penagihan
wesel sangat tidak pasti.c. Uang muka tidak dapat dikembalikan,
penagihan wesel cukup pasti, franchisor masih harus melaksanakan
sejumlah besar jasa dan uang muka merupakan suatu ukuran yang wajar
untuk jasa yang telah dilaksanakan.Jawab:Perhitungan present value
(PV) untuk bunga 10% dengan waktu pengembalian selama 3 tahun.PV =
2,486852X10.000PV = 24.868,52Nilai sekarang anuitas biasa yang
terdiri dari tiga penerimaan tahunan masing masing sebesar $10.000
yang didiskontokan pada 10% dalah $24.868,52. Diskonto sebesar
$5.131,48 merupakan pendapatan bunga yang diperoleh franchisor
sepanjang periode pembayaran(Uang muka tidak dapat dikembalikan,
tidak ada jasa masa datang yang disyaratkan atas franchisor dan
penagihan wesel cukup dapat di pastikan.)
Kas40.000Piutang 30.000Diskonto Piutang5.131,48Pendapatan dari
iuran waralaba64.868,52(Franchisor masih harus melakukan jasa yang
substansial, uang muka bisa dikembalikan dan penagihan wesel sangat
tidak pasti.)Kas40.000Iuran waralaba diterima dimuka40.000
Uang muka tidak dapt dikembalikan, penagihan wesel cukup pasti,
franchisor masih harus melaksanakan sejumlah besar jasa dan uang
muka merupakan suatu ukuran yang wajar untuk jasa yang telah
dilaksanakan.Kas40.000Piutang 30.000Diskonto
Piutang5.131,48Pendapatan dari iuran waralaba40.000Iuran waralaba
diterima dimuka24.868,52
2. Iuran Waralaba yang berkesinambungan (Continuing Franchise
Fees)Iuran waralaba yang berkesinambungan diterima sebagai imbalan
atas hak berkesinambungan yang diberikan oleh perjanjian waralaba
dan atas penyediaan jasa seperti pelatihan manajemen, iklan dan
promosi, bantuan hukum, serta dukungan lainnya. Iuran yang
berkesinambungan harus dilaporkan sebagai pendapatan pada saat
dihasilkan dan dapat ditagih dari franchisee, kecuali jika sebagian
dari iuran itu dikhususkan untuk tujuan tertentu, seperti
penyisihan sejumlah tertentu untuk perawatan bangunan atau iklan
local. Dalam hal ini, sebagian yang ditangguhkan merupakan sejumlah
yang cukup untuk estimasi biya yang melebihi iuran waralaba
berkesinambungan dan memberikan laba yang layak atas jasa yang
berlanjut itu.
IV. Aspek Perpajakan Dalam Waralaba atau FranchiseAspek pajak
yang berhubungan dengan bisnis waralaba adalah Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)Subyek PPN adalah Pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak
(JKP) dalam daerah Pabean dan atau melakukan ekspor BKP atau JKP
baik berwujud maupun tidak.Dalam pengertian Peraturan Pemerintah RI
Nomor: 1 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas
Penjualan Barang Mewah, pengertian Pengusaha adalah orang pribadi
atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk
mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Sedangkan Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Kajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang
dikenai pajak berdasarkan UU PPN.Objek PPN adalah semua barang dan
jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak. Namun
demikian, dengan pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, ada
barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan
dari pengenaan PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.Bisnis Waralaba
yang bergerak bukan pada bidang dibawah ini, tidak dikenakan PPN,
yaitu:a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang
diambil langsung dari sumbernya seperti minyak mentah, gas bumi,
dll;b. barang kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, gula, gabah
jagung, dll;c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, warung,
rumah makan;d. emas, uang batangan, dan surat berharga.Begitu juga
jika bisnis waralaba yang bergerak di jasa-jasa seperti berikut ini
tidak dikenakan PPN, yaitu:a. Jasa pelayanan kesehatan medis
seperti dokter, bidan dll;b. Jasa pelayanan sosial seperti panti
asuhan, pemadam kebakaran dll;c. Jasa pengiriman surat;d. Jasa
keuangan seperti jasa pembiyaan dan penyaluran pinjaman;e. Jasa
asuransi;f. Jasa keagamaan;g. Jasa pendidikan;h. Jasa kesenian dan
hiburan;i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;j. Jasa
angkutan umum;k. Jasa tenaga kerja;l. Jasa perhotelan;m. Jasa
penyediaan tempat parkir;n. Jasa telpon umum;o. Jasa pengiriman
uang dengan wesel pos;p. Jasa boga atau katering.Pengusaha kecil
dibebaskan dari kewajiban mengenakan/memungut PPN atas penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga
tidak perlu melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, kecuali apabila Pengusaha Kecil memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Undang-undang PPN
& PPnBM berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku
melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto
dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).Besarnya PPN ini menurut UU Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas
Penjualan Barang Mewah dijelaskan : Tarif Pajak Pertambahan Nilai
berjumlah 10% (sepuluh persen). Tarif atas ekspor Barang berwujud
atau tidak berwujud dan jasa dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol
persen),Kesimpulannya adalah dalam bisnis waralaba baik seorang
pengusaha berbadan hukum atau pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang dan atau jasa yang tergolong
kedalam penyerahan, pemanfaatan, impor atau ekspor barang terkena
PPN, maka akan dikenakan PPN sesuai tarif yang berlaku.2. Pajak
Penghasilan (PPh)Dalam aspek perpajakan terkait bisnis waralaba
ini, pajak dilakukan atas penghasilan yang diterima franchisor dari
franchisee berupa royalty. Untuk mengetahui aspek perpajakannya,
dapat didasarkan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia,
yakni pada penjelasan Pasal 4 Angka (1) Huruf h dan Pasal 23 serta
Pasal 26 Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh). Dari Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 diketahui bahwa atas
pembayaran royalty dari franchasee kepada franchisor, akan
dikenakan PPh pasal 23 dengan tariff 15% dari jumlah bruto yang
dibayarkan (pelaksanaannya PPh dipotong oleh Wajib Pajak pemberi
penghasilan), dan apabila Wajib Pajak yang menerima penghasilan
royalty (dalam hal ini franchisor) tidak memiliki NPWP, maka
besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif
semula (tarifnya menjadi 30%). Sedangkan apabila pembayaran royalty
tersebut dilakukan kepada franchisor yang menjadi Wajib Pajak Luar
Negeri (WPLN), selain kepada Badan Usaha Tetap (BUT), maka atas
pembayaran tersebut dipotong/dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20%
dari jumlah bruto, atau sesuai tarif dalam tax treaty negara
Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak Luar Negeri yang
bersangkutan. Apabila WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka
penghasilan atas royalty dikenakan pajak sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia.Menurut Pasal 15
Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan dan memori penjelasannya, PPh atas royalty terhutang pada
saat pembayaran. Akan tetapi jika sebelum pembayaran dilakukan WP
sudah mencatat dan mengakui hutang serta biaya Royalty, maka PPh
terhutang pada saat diakuinya biaya atau hutang royalty tersebut.
Dan apabila saat pembayaran atau pencatatan hutang tidak diketahui,
maka terhutangnya PPh disesuaikan dengan yang ditentukan dalam
kontrak atau perjanjian.Berikut ilustrasi waralaba dan
perpajakannya:PT Angelia Jaya menandatangani kontrak/perjanjian
penggunaan merek dagang milik PT Indo Nia. Dari penggunaan merek
dagang tersebut, PT Angelia Jaya diwajibkan untuk membayar royalty
kepada PT Indo Nia setiap bulan. Royalty yang harus dibayar adalah
sebesar 2% dari total penjualan bulan yang bersangkutan. Dalam
perjanjian disepakati bahwa jatuh tempo pembayaran adalah pada
setiap akhir bulan meskipun PT Angelia Jaya diberikan keleluasaan
untuk melakukan pembayaran hingga 5 hari kerja setelah bulan yang
bersangkutan berakhir.PT Angelia Jaya selama ini konsisten mencatat
biaya royalty untuk suatu bulan pada akhir bulan tersebut (setelah
melakukan tutup buku bulanan) dan melakukan pembayaran pada awal
bulan berikutnya. Seperti misalnya untuk royalty atas penjualan
bulan Maret 2013, pengakuan (pencatatan) biaya royalty dilakukan
pada tanggal 26 Maret dan pembayaran dilakukan pada awal April
2013. Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah nomor
94 tahun 2010, PPh Pasal 23 atas royalty tersebut terutang pada
bulan Maret 2013 meskipun pada bulan tersebut belum ada pembayaran.
Dalam hal ini PT Angelia Jaya harus memotong PPh Pasal 23 dan
menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 23 paling lambat pada tanggal 31
Maret 2013 Jika seandainya karena suatu sebab (misalnya kesalahan
manusia/human error) PT Angelia Jaya baru mencatat biaya royalty
untuk bulan Maret tersebut pada awal April 2013 dan melakukan
pembayaran juga di awal April 2013, maka PPh 23 tetap terhutang
pada Maret 2013. Sebab dalam hal ini yang digunakan adalah saat
yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian yang menyatakan bahwa
jatuh tempo pembayaran royalty adalah pada setiap akhir bulan yang
bersangkutan.
Lampiran 1. Contoh Nota Pembatalan
Lampiran 2. Contoh Faktur Pajak
Lampiran 3. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 1 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG
PAJAKPERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN
ATASBARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH
TERAKHIRDENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG
PERUBAHANKETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG
PAJAKPERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN
ATASBARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, perlu dilakukan penyesuaian terhadap
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 143
Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000;bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Mengingat : Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5069);
MEMUTUSKAN:Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH.
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud
dengan:Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.Pengusaha Kena Pajak
adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.Harga Jual adalah nilai
berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.Penggantian adalah nilai berupa
uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh Pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena
Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar
atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.Faktur Pajak adalah bukti
pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.Pajak
Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor
Barang Kena Pajak.
BAB IIPENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2(1)Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g,
dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali
pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
(2)Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf
f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
(3)Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memungut,
menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang.
Pasal 3(1)Bentuk kerja sama operasi merupakan bagian dari bentuk
badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pengertian Badan dalam
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2)Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.
Pasal 4(1)Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan
atas Barang Mewah.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberlakukan dalam hal:pajak yang terutang tersebut dapat ditagih
kepada penjual barang atau pemberi jasa; ataupembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak dapat menunjukkan bukti telah
melakukan pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi
jasa.
(3)Tanggung jawab renteng sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme
pelaksanaan tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IIIBARANG KENA PAJAK DAN JASA KENA PAJAK
Pasal 5(1)Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2)Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemakaian sendiri
untuk:a. tujuan produktif; ataub. tujuan konsumtif.
(3)Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan
penyerahan yang:a. Tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; ataub.
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
(4)Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam rangka pemakaian sendiri
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Pasal 6Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
yang dimanfaatkan di dalam atau di luar Daerah Pabean.
Pasal 7(1)Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4A
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2)Ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa
yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8(1)Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang
merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
(2)Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang
Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan dengan penerbitan Faktur
Pajak oleh pemilik barang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)Dalam hal pemilik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menerbitkan Faktur Pajak, pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan
sendiri oleh pemenang lelang melalui Surat Setoran Pajak.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru
lelang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IVDASAR PENGENAAN PAJAK
Pasal 9(1)Dasar Pengenaan Pajak meliputi jumlah:a. Harga Jual;b.
Penggantian;c. nilai impor;d. nilai ekspor; ataue. nilai lain,yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang.
(2)Dalam hal:Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dihasilkannya; danatas perolehan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah lainnya tersebut telah dibayar Pajak
Penjualan atas Barang Mewah,Dasar Pengenaan Pajak berupa Harga Jual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah lainnya tersebut.
(3)Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah atau atas impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, adalah tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dikenakan atas penyerahan atau atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut.
(4)Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
selain:Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah; atauPengusaha Kena Pajak yang melakukan impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah,adalah termasuk Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas
impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut.
BAB VPENGHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAIATAU PAJAK PERTAMBAHAN
NILAIDAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal 10(1)Kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak paling sedikit memuat:a.
nilai kontrak;b. Dasar Pengenaan Pajak; danc. besarnya Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang terutang.
(2)Dalam hal nilai kontrak atau perjanjian tertulis sudah
termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam kontrak atau perjanjian
tertulis wajib disebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis
tersebut termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3)Dalam hal kontrak atau perjanjian tertulis tidak menyebutkan
nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, nilai kontrak yang tercantum dalam kontrak atau
perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan
Pajak.
Pasal 11(1)Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai menjadi bagian dari
harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
adalah 10/110 (sepuluh per seratus sepuluh) dari harga atau
pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak.
(2)Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan
telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan
Barang Kena Pajak, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menggunakan
rumus sebagai berikut:
a.Pajak Pertambahan Nilai = 10 Xharga atau pembayaran atas
penyerahan Barang Kena Pajak
110 + t
b. Pajak Penjualan atas Barang Mewah = t Xharga atau pembayaran
atas penyerahan Barang Kena Pajak
110 + t
(3)Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Pengusaha Kena Pajak
tidak melaksanakan sebagian atau seluruh kewajiban pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga
Jual, Penggantian, atau nilai lain sesuai hasil pemeriksaan.
(4)Besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar
Pengenaan Pajak menurut hasil pemeriksaan.
(5)Dalam hal Pengusaha yang wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan
kewajibannya, besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4).
Pasal 12(1)Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan
penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah:a. dilaporkan oleh
Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena Pajak pemberi
jasa; danb. dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya
oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak
penerima jasa.
(2)Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak
dapat digunakan lagi baik karena di luar kekuasaan Pengusaha Kena
Pajak atau keadaan kahar, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang telah dikreditkan atau yang telah
dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang
musnah atau rusak tersebut.
Pasal 13(1)Dalam hal:a. terjadi kesalahan pemungutan yang
mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut lebih besar
dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut; danb. Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada
huruf a telah disetorkan dan dilaporkan,atas Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang salah dipungut hanya dapat dimintakan kembali oleh pihak
yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan, belum dibebankan
sebagai biaya, atau belum dikapitalisasi dalam harga perolehan.
(2)Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:a. importir;b. pembeli barang;c. penerima jasa;d. pihak
yang memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean;
ataue. pihak yang memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Pasal 14Dalam hal transaksi atas:a. impor Barang Kena Pajak;b.
penyerahan Barang Kena Pajak;c. penyerahan Jasa Kena Pajak;d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean; ataue. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean,dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, penghitungan
besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, harus dikonversi
ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang ditetapkan
Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
BAB VIPENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Pasal 15(1)Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus dikreditkan dengan Pajak
Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2)Dalam hal impor Barang Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak
karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari Pengusaha
Kena Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya
impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan tempat
lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak sebagai
tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 16(1)Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi
sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal
dapat dikreditkan.
(2)Barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah harta
berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk
pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang
dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut.
(3)Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan
dan/atau impor barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku untuk
seluruh kegiatan usaha.
BAB VIISAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAIATAU
PAJAK PERTAMBAHAN NILAIDAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal 17(1)Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi
pada saat:a. penyerahan Barang Kena Pajak;b. impor Barang Kena
Pajak;c. penyerahan Jasa Kena Pajak;d. pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;e. pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;f. ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud;g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atauh. ekspor
Jasa Kena Pajak.
(2)Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena
Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal
pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat
pembayaran.
(3)Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a untuk:a.penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang
menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada
saat:1. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara
langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama
pembeli;2. Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara
langsung kepada penerima barang untuk pemberian cuma-cuma,
pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan/atau penyerahan antar cabang;3. Barang Kena Pajak
berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa
angkutan; atau4. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak diakui
sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur
penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
b.penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan
hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak berwujud
tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
c.penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud, terjadi pada
saat:1. harga atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud
diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan
faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau2.
kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya
fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau
seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak
diketahui.
d.Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat
yang terjadi lebih dahulu di antara saat:1. ditandatanganinya akta
pembubaran oleh Notaris;2. berakhirnya jangka waktu berdirinya
perusahaan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar;3. tanggal
penetapan Pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan; atau4.
diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak
melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil
pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
e.pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha yang
tidak memenuhi ketentuan Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai atau perubahan bentuk usaha, terjadi pada
saat:1. disepakati atau ditetapkannya penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk
usaha sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang tertuang dalam
perjanjian penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha; atau2.
ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha
oleh Notaris.
(4)Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke
dalam Daerah Pabean.
(5)Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terjadi pada saat:a. harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak
diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan
faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;b.
kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana
dimaksud pada huruf a tidak diketahui; atauc. mulai tersedianya
fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian
atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian
sendiri Jasa Kena Pajak.
(6)Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dan huruf e terjadi pada saat:a. harga perolehan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut
dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;b. harga
jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa
Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atauc.
harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak
yang memanfaatkannya, yang terjadi lebih dahulu.
(7)Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terjadi pada tanggal
ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat
terjadinya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) tidak diketahui.
(8)Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan
dari Daerah Pabean.
(9)Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf g terjadi pada saat Penggantian atas Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau
diakui sebagai piutang atau penghasilan.
(10)Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h terjadi pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor
tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
Pasal 18(1)Pengusaha Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, dalam
pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat
atau lebih sebagai tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(2)Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyelenggarakan administrasi penjualan secara terpusat pada 1
(satu) atau lebih tempat kegiatan usaha.
BAB VIIIFAKTUR PAJAK
Pasal 19(1)Faktur Pajak wajib diterbitkan oleh Pengusaha Kena
Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17
ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10).
(2)Ketentuan mengenai kewajiban penerbitan Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan
produktif yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5ayat (3).
(3)Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak
setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur
Pajak seharusnya dibuat tidak diperlakukan sebagai Faktur
Pajak.
(4)Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap tidak menerbitkan
Faktur Pajak.
(5)Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dikreditkan sebagai
Pajak Masukan.
Pasal 20(1)Pedagang eceran yang membuat Faktur Pajak tanpa
mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan
tanda tangan penjual, tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2
Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)Pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai
berikut:a. melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung
mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir
lainnya;b. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung
kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis,
pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; danc. pada umumnya
penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan
secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau
membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.
(3)Termasuk dalam pengertian Pedagang eceran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Jasa Kena
Pajak dengan cara sebagai berikut:a. melalui suatu tempat
penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir atau langsung
mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir
lainnya;b. dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa
didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak,
atau lelang; danc. pada umumnya pembayaran atas penyerahan Jasa
Kena Pajak dilakukan secara tunai.
BAB IXKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21Ketentuan mengenai penerbitan Faktur Pajak yang
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan Pasal 20 berlaku sejak tanggal 1 April 2010.
BAB XKETENTUAN PENUTUP
Pasal 22(1)Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai
berlaku:Semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143
Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini atau belum diatur dengan peraturan
perundang-undangan tersendiri.Peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang
Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan/atau belum diatur dengan peraturan
pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2)Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:Peraturan
Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4061) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4199); danPeraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000
tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 260, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4062),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakartapada tanggal 3 Januari 2012PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakartapada tanggal 4 Januari 2012MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 4
Lampiran 4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan no.
259/MPP/Kep/7/1997
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK
INDONESIANomor: 259/MPP/Kep/7/1997Tanggal 30 Juli
1997TENTANGKETENTUAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN PENDAFTARAN USAHA
WARALABA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK
INDONESIAMenimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba perlu menetapkan
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba; b.
bahwa untuk meningkatkan peranan dan keikutsertaan masyarakat luas
dalam usaha waralaba, perlu adanya peran serta pengusaha kecil dan
menengah baik sebagai pemberi waralaba, penerima waralaba maupun
sebagai pemasok barang dan atau jasa; c. bahwa usaha waralaba perlu
dikembangkan dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pengembangan
pemberi waralaba nasional; d. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Mengingat: 1.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (LN No.49
Tahun 1997, TLN No. 3689); 2. Keputusan Presiden RI Nomor 96/M
Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI, sebagaimana
diubah dengan Keputusan Presiden No.388/M Tahun 1995; 3. Keputusan
Presiden RI Nomor 2 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden No.15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen
sebagaimana Telah Dua Puluh Lima Kali Diubah, terakhir dengan
Keputusan Presiden No.16 Tahun 1995; 4. Keputusan Bersama Menteri
Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
145/MPP/Kep/5/97 dan No. 57 Tahun 1997 tanggal 12 Mei 1997 tentang
Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan; 5. Keputusan Menteri
Perdagangan Nomor 1458/Kp/XII/1984 tentang Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP); 6. Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 29/MPP/SK/2/1996 jo No. 92/MPP/Kep/4/1996 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perindustrian dan Perdagangan;
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
84/MPP/Kep/4/1996 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah
Departemen Perindustrian dan Perdagangan di Propinsi dan Kantor
Departemen Perindustrian dan Perdagangan di Kabupaten/Kotamadya;M E
M U T U S K A N:Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN
PERDAGANGAN RI TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PELAKSANAAN
PENDAFTARAN USAHA WARALABA.BAB IKETENTUAN UMUM Pasal 1Dalam
Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Waralaba (franchise)
adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan
suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain
tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan
atau jasa. 2. Pemberi Waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau
perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan
dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba. 3. Penerima
Waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang
diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
dimiliki Pemberi Waralaba. 4. Penerima Waralaba Utama adalah
Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba
Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba. 5. Penerima Waralaba
Lanjutan adalah badan usaha atau perorangan yang menerima hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba
melalui Penerima Waralaba Utama. 6. Perjanjian Waralaba adalah
perjanjian secara tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima
Waralaba. 7. Perjajian Waralaba Lanjutan adalah perjanjian secara
tertulis antara Penerima Waralaba Utama dengan Penerima Waralaba
Lanjutan. 8. Pasar Tradisional adalah Pasar Desa, Pasar Kecamatan
dan sebagainya. 9. Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yang
selanjutnya disingkat STPUW adalah bukti pendaftaran yang diperoleh
Penerima Waralaba setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan
STPUW dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Keputusan ini.
10. Menteri adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
BAB IIPERJANJIAN WARALABA Pasal 21. Waralaba diselenggarakan
berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dan
Penerima Waralaba. 2. Perjanjian Waralaba dibuat dalam bahasa
Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. Pasal 31.
Perjanjian Waralaba antara Pemberi Waralaba dengan Penerima
Waralaba dapat disertai atau tidak disertai dengan pemberian hak
untuk membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan. 2. Semua ketentuan
mengenai Pemberi Waralaba sebagaimana yang diatur dalam Keputusan
ini berlaku juga bagi Penerima Waralaba Utama yang melaksanakan hak
membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan dengan Penerima Waralaba
Lanjutan.Pasal 4Dalam hal Penerima Waralaba diberikan hak untuk
menunjuk lebih lanjut Penerima Waralaba Lanjutan, Penerima Waralaba
Utama tersebut wajib mempunyai dan melaksanakan sendiri
sekurang-kurangnya 1 (satu) tempat usaha untuk melakukan kegiatan
usaha Waralaba. Pasal 5Sebelum membuat perjanjian, Pemberi Waralaba
wajib menyampaikan keterangan tertulis dan benar kepada Penerima
Waralaba yang sekurang-kurangnya mengenai: a. Identitas Pemberi
Waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk
neraca dan daftar rugi laba selama 2 (dua) tahun terakhir; b. Hak
Atas Kekay