1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri haid adalah keluhan ginekologis yang paling sering terjadi pada wanita. Nyeri saat haid menyebabkan ketidaknyamanan dalam aktivitas fisik sehari-hari. Keluhan ini berhubungan dengan ketidakhadiran berulang di sekolah ataupun di tempat kerja, sehingga dapat mengganggu produktivitas. Empat puluh hingga tujuh puluh persen wanita pada masa reproduksi mengalami nyeri haid, dan sebesar 10 persen mengalaminya hingga mengganggu aktivitas sehari-hari (Khorsidi dkk, 2002). Sekitar 70-90 persen kasus nyeri haid terjadi saat usia remaja (Proctor dan Farquar, 2002; Singh dkk, 2008) dan remaja yang mengalami nyeri haid akan terpengaruh aktivitas akademis, sosial dan olahraganya (Antao dkk, 2005). Di Amerika Serikat, nyeri haid dilaporkan sebagai penyebab utama ketidakhadiran berulang pada siswa wanita di sekolah (Banikarim dkk, 2000). Sedangkan di Indonesia belum ada angka yang pasti untuk kejadian nyeri haid. Nyeri haid dapat dibagi menjadi 2 yaitu nyeri haid primer dan nyeri haid sekunder. Nyeri haid primer didefinisikan sebagai nyeri kram yang berulang yang terjadi saat menstruasi tanpa ada kelainan patologik pada pelvis. Nyeri haid sekunder adalah nyeri saat haid yang didasari oleh adanya kelainan patologik pada pelvis, contohnya endometriosis (Dawood, 2006). Nyeri haid primer biasanya mulai saat usia remaja, saat dimana siklus ovulasi mulai teratur. Penyebab nyeri haid primer sampai saat ini masih belum jelas, tetapi beberapa teori menyebutkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri haid adalah keluhan ginekologis yang paling sering terjadi pada
wanita. Nyeri saat haid menyebabkan ketidaknyamanan dalam aktivitas fisik
sehari-hari. Keluhan ini berhubungan dengan ketidakhadiran berulang di sekolah
ataupun di tempat kerja, sehingga dapat mengganggu produktivitas. Empat puluh
hingga tujuh puluh persen wanita pada masa reproduksi mengalami nyeri haid,
dan sebesar 10 persen mengalaminya hingga mengganggu aktivitas sehari-hari
(Khorsidi dkk, 2002). Sekitar 70-90 persen kasus nyeri haid terjadi saat usia
remaja (Proctor dan Farquar, 2002; Singh dkk, 2008) dan remaja yang mengalami
nyeri haid akan terpengaruh aktivitas akademis, sosial dan olahraganya (Antao
dkk, 2005). Di Amerika Serikat, nyeri haid dilaporkan sebagai penyebab utama
ketidakhadiran berulang pada siswa wanita di sekolah (Banikarim dkk, 2000).
Sedangkan di Indonesia belum ada angka yang pasti untuk kejadian nyeri haid.
Nyeri haid dapat dibagi menjadi 2 yaitu nyeri haid primer dan nyeri haid
sekunder. Nyeri haid primer didefinisikan sebagai nyeri kram yang berulang yang
terjadi saat menstruasi tanpa ada kelainan patologik pada pelvis. Nyeri haid
sekunder adalah nyeri saat haid yang didasari oleh adanya kelainan patologik pada
pelvis, contohnya endometriosis (Dawood, 2006). Nyeri haid primer biasanya
mulai saat usia remaja, saat dimana siklus ovulasi mulai teratur. Penyebab nyeri
haid primer sampai saat ini masih belum jelas, tetapi beberapa teori menyebutkan
2
bahwa kontraksi miometrium akan menyebabkan iskemia pada uterus sehingga
menyebabkan rasa nyeri. Kontraksi miometrium tersebut disebabkan oleh sintesis
prostaglandin. Prostaglandin disebut dapat mengurangi atau menghambat
sementara suplai darah ke uterus, yang menyebabkan uterus mengalami
kekurangan oksigen sehingga menyebabkan kontraksi miometrium dan terasa
nyeri (Eby, 2006).
Gejala dari nyeri haid primer berupa rasa nyeri di perut bagian bawah,
menjalar ke daerah pinggang dan paha. Kadang-kadang disertai mual, muntah,
diare, sakit kepala dan emosi yang labil. Nyeri timbul sebelum haid dan berangsur
hilang setelah darah haid keluar (Dawood, 2006). Penanganan awal pada
penderita nyeri haid primer adalah dengan memberikan obat-obatan penghilang
rasa nyeri dan sebesar 80% penderita mengalami penurunan rasa nyeri haid
setelah minum obat penghambat prostaglandin (Speroff, 2005). Obat-obatan anti
inflamasi golongan non-steroid seperti ibuprofen, naproksen, asam mefenamat
dan aspirin banyak digunakan sebagai terapi awal untuk nyeri haid (Dawood,
2006). Tetapi obat-obatan tersebut memiliki efek samping gangguan
gastrointestinal seperti nausea, dispepsia, dan muntah-muntah (Harel, 2006).
Meskipun keluhan nyeri haid umum terjadi pada wanita, sebagian besar
wanita yang mengalami nyeri haid jarang pergi ke dokter, mereka mengobati
nyeri tersebut dengan obat-obat bebas tanpa resep dokter. Telah diteliti bahwa
sebesar 30-70% remaja wanita mengobati nyeri haidnya dengan obat anti nyeri
yang dijual bebas (Campbell dan Mc Grath, 1997). Hal ini sangat berisiko, karena
efek samping dari obat-obatan tersebut jika digunakan secara bebas dan berulang
3
tanpa pengawasan dokter. Sebagai alternatif, dilakukan berbagai penelitian untuk
menemukan terapi pengganti ataupun terapi pelengkap yang lebih aman jika
dibandingkan terapi dengan NSAID, seperti terapi herbal, terapi suplemen, terapi
akupuntur, terapi tingkah laku, dan aroma terapi (Proctor dan Murphy, 2001; Han
dkk, 2006).
Di antara berbagai jenis terapi tersebut di atas, terapi suplemen merupakan
terapi yang banyak diteliti, di antaranya berupa pemberian vitamin E, B1, B6,
minyak ikan maupun golongan mikronutrien seperti magnesium, serta zink untuk
mengatasi nyeri haid (Antao dkk, 2005).
Vitamin E dapat mengurangi nyeri haid, melalui hambatan terhadap
biosintesis prostaglandin di mana Vitamin E akan menekan aktivitas ensim
fosfolipase A dan siklooksigenase melalui penghambatan aktivasi post translasi
siklooksigenase sehingga akan menghambat produksi prostaglandin. Sebaliknya
vitamin E juga meningkatkan produksi prostasiklin dan PGE2 yang berfungsi
sebagai vasodilator yang bisa merelaksasi otot polos uterus (Dawood, 2006).
Sedangkan vitamin B1 dan B6 dapat mengurangi nyeri haid, terbukti dari uji
klinik yang dilakukan sebelumnya di mana efek vitamin B tersebut lebih baik dari
plasebo (Wilson and Murphy, 2001). Begitu pula dengan minyak ikan dan terapi
herbal lainnya, dilaporkan lebih baik daripada plasebo dalam mengurangi nyeri
haid, tetapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat
direkomendasikan sebagai terapi alternatif mengatasi nyeri haid (Proctor dkk,
2001).
4
Magnesium digunakan sebagai terapi nyeri haid primer karena magnesium
memiliki efek langsung pada tekanan pembuluh darah dan mengatur masuknya
kalsium ke dalam sel otot polos, sehingga dapat mempengaruhi kontraktilitas,
tegangan dan relaksasi otot polos uterus, tetapi dosis pemberiannya memiliki
variasi yang sangat besar (Proctor dan Murphy, 2001).
Zink dapat menghambat metabolisme prostaglandin di endometrium
manusia (Kelly dan Abel, 1983). Begitu pula pada penelitian dilakukan pada
tikus, di mana tikus yang mengalami defisiensi zink memiliki kadar metabolit
prostaglandin yang tinggi di dalam plasmanya, dibandingkan dengan tikus yang
tidak mengalami defisiensi zink (Akinola dan Odutuga, 1999). Zink juga
merupakan salah satu nutrisi yang dapat meningkatkan konversi asam lemak
esensial sebagai antiinflamasi bagi prostaglandin (Mayo, 1997). Zink diteliti
sebagai salah satu terapi untuk nyeri haid karena efeknya dapat mengurangi
sintesis prostaglandin melalui kemampuannya sebagai antiinflamasi dan
katalisator antioksidan endogen yang dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh
darah mikro. Dalam penelitian ini didapatkan wanita yang mengkonsumsi zink 31
mg/hari tidak mengalami nyeri haid, dibandingkan dengan wanita yang
menkonsumsi zink 15 mg/hari (Eby, 2006).
Jika dibandingkan dengan mikronutrien yang lain seperti magnesium dan
kalsium yang memiliki variasi dosis yang besar dan efek samping panas pada
wajah, berdebar dan sakit kepala, zink tidak memiliki efek-efek tersebut (Guerrera
dkk, 2009). Zink tidak memerlukan dosis yang besar untuk menimbulkan efek
terapi, sehingga efek samping akibat dosis yang besar dapat dihindari. Namun
5
penelitian zink sebagai terapi tambahan untuk mencegah nyeri haid masih sangat
terbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut (Eby, 2006).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1) Apakah pemberian zink per oral selama 4 hari sebelum haid dapat menurunkan
kadar prostaglandin dalam plasma darah penderita nyeri haid primer?
2) Apakah pemberian zink per oral selama 4 hari sebelum haid dapat mengurangi
nyeri haid pada kasus nyeri haid primer?
3) Apakah ada korelasi antara kadar prostaglandin dengan intensitas nyeri haid
pada kasus nyeri haid primer?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemberian zink per oral selama 4 hari sebelum haid
menurunkan kadar prostaglandin dalam plasma darah sehingga dapat mengurangi
nyeri haid pada kasus nyeri haid primer.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pemberian zink dapat menurunkan kadar prostaglandin di
plasma darah pada kasus nyeri haid primer.
2. Untuk mengetahui pemberian zink dapat mengurangi nyeri haid pada kasus
nyeri haid primer.
6
3. Untuk mengetahui hubungan prostaglandin dengan intensitas nyeri haid pada
kasus nyeri haid primer.
I.4. Manfaat Penelitian
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai data
dasar dan dapat memberikan masukan bagi terapi tambahan penderita nyeri haid
primer.
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diperolehnya teori, pengetahuan
tentang zink dalam menurunkan kadar prostaglandin dan nyeri pada nyeri haid
primer.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Menstruasi
Panjang siklus menstruasi rata-rata 28 + 3 hari dan durasi rata-rata hari
menstruasi 5 + 2 hari dengan total kehilangan darah kurang lebih 130 ml (Berkow,
1987). Siklus menstruasi dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu fase folikular dan fase
luteal, yang merupakan interaksi kompleks antara hipotalamus, hipofise, dan
ovarium. Siklus ini membutuhkan kerjasama yang serasi antara kelenjar-kelenjar
tersebut, yang melibatkan hormon-hormon seperti gonadotropin releasing
Setelah diberi perlakuan, frekuensi penderita nyeri pada kedua kelompok
mengalami perubahan, yaitu pada kelompok kontrol sebanyak 75% subjek
menderita nyeri sedang dan berat dan 25% subjek menderita nyeri ringan, tidak
ada subjek yang menderita nyeri berat. Sedangkan pada kelompok perlakuan
sebesar 62,5% subjek menderita nyeri ringan, dan hanya 37,5 % yangmenderita
nyeri sedang, tidak ada yang menderita nyeri berat di kelompok perlakuan setelah
mendapat zink. Dengan uji chi square didapat nilai χ2 = 6,17 nilai p = 0,046,
yang berarti ada perbedaan intensitas nyeri yang bermakna pada kedua kelompok
setelah perlakuan (p < 0,05). Yang bermakna bahwa pemberian zinc akan
menurunkan intensitas nyeri lebih baik daripada hanya diberikan placebo.
54
Gambar 5.3
Grafik Frekuensi Nyeri Haid Sebelum Perlakuan
Pada Kedua Kelompok
Gambar 5.4
Grafik Frekuensi Nyeri Haid Sesudah Perlakuan
Pada Kedua Kelompok
55
Hubungan antara kadar prostaglandin dengan intensitas nyeri haid juga
dianalisis secara kuantitatif dengan korelasi Spearman. Berdasarkan hasil analisis
didapatkan nilar r = 0,483 dan nilai p = 0,005 (p<0,05). Yaitu ada hubungan
positif yang bermakna antara kadar prostaglandin dengan intensitas nyeri haid,
yang berarti semakin tinggi kadar prostaglandin berarti semakin tinggi intensitas
nyeri haid yang dialami oleh penderita nyeri haid primer.
56
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Subjek Penelitian
Untuk mengetahui efek pemberian zink terhadap peningkatan
kadar prostaglandin maka dilakukan penelitian yang melibatkan 32 orang
mahasiswi Fakultas Kedokteran UNUD penderita nyeri haid primer derajat
sedang-berat yang berusia 17-21 tahun. Rentang umur tersebut dipilih karena
populasi penderita nyeri haid primer lebih banyakberada di rentang umur remaja
hingga dewasa muda dimana sekitar 70-90 % kejadian nyeri haid primer terjadi
pada rentang usia tersebut ( Proctor dan Farquar, 2002).
Dosis zink yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 mg sehari
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eby (2006). Bedanya pada penelitian
ini dosis zink sebesar 30 mg diberikan sekali sehari, sedangkan pada penelitian
terdahulu dosis diberikan 15 mg dua kali sehari. Dosis ini dianggap aman karena
dosis maksimal zink adalah 150 mg/hari (Prasad, 2004). Karena zink adalah
suplemen makanan dan bukan obat, tidak ada efek zink yang membahayakan
kesehatan jika diminum dalam dosis terapi. Efek samping zink jika diminum
berlebihan adalah rasa mual, kembung dan rasa tidak nyaman di saluran
pencernaan (Insel, 2002). Pada penelitian ini, dari 32orang subjek, hanya 2
orang yang merasakan keluhan sedikit mual setelah minum zink. Efek ini dapat
diabaikan karena subjek penelitian tidak sampai menghentikan minum zink
selama penelitian.
57
Pemberian zink dilakukan selama empat hari sebelum siklus haid
didasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya yang memberikan zink selama
1-4 hari, ternyata memberikan efek yang sama-sama menurunkan intensitas nyeri
haid (Eby, 2006)
6.2. Pengaruh Zink terhadap Kadar Prostaglandin dan Intensitas Nyeri Haid
Uji perbandingan sebelum perlakuan antara kedua kelompok menunjukkan
tidak terdapat perbedaan bermakna kadar prostaglandin antara kelompok plasebo
dengan kelompok zink (p>0,05). Hal ini berarti bahwa kadar prostaglandin dalam
darah pada kedua kelompok adalah sama atau dengan kata lain kedua kelompok
sebelum diberikan perlakuan kadar prostaglandinnya tidak berbeda.
Uji perbandingan sesudah perlakuan antara kedua kelompok menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan bermakna penurunan kadar prostaglandin dalam darah
antara kelompok plasebo dengan kelompok zink dan juga terdapat perbedaan
bermakna penurunan intensitas nyeri haid antara kelompok plasebo dengan
kelompok zink. Uji korelasi menunjukkan ada hubungan positif antara kadar
prostaglandin dengan intensitas nyeri haid, yang berarti semakin tinggi kadar
prostaglandin berarti semakin tinggi intensitas nyeri haid yang dialami oleh
penderita nyeri haid primer.
6.2.1 Zink Menurunkan Kadar Prostaglandin
Sejak prostaglandin disebut sebagai penyebab nyeri haid, maka penelitian-
penelitian yang dilakukan difokuskan pada penghambatan produksi prostaglandin.
Zink sebagai salah satu mikronutrien dapat menghambat metabolisme
58
prostaglandin di mana konsentrasi zink sebesar 1x10-5 mol/l, dalam rentang
konsentrasi fisiologis pada jaringan uterus, dapat menghambat metabolisme
prostaglandin (Kelly dan Abel, 1983). Penelitian lain menyimpulkan bahwa
mekanisme zink dalam otot polos uterus sama dengan mekanisme zink pada
pengobatan angina pectoris dengan cara meningkatkan sirkulasi pada pembuluh
darah kapiler (Eby, 2006). Pada keadaan nyeri haid terjadi kontraksi uterus yang
kuat yang menimbulkan ischemia jaringan sehingga terjadi pengeluaran mediator
nyeri seperti prostaglandin. Dengan pemberian Zink diharapkan dapat
memperbaiki sirkulasi sehingga ischemia jaringan dapat dicegah.
Zink juga mengatur Cox-2 yaitu suatu enzim yang terlibat dalam nyeri
dan inflamasi, dimana pemberian zink akan menurunkan aktivitas Cox-2 sehingga
dapat menurunkan sintesis prostaglandin (Fong dkk, 2005). Pada
penelitian ini didapat perbedaan yang bermakna pada penurunan kadar
prostaglandin dalam darah pada kedua kelompok. Ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Akinola dan Odutuga(1999) yang dilakukan pada tikus, yang
menyatakan bahwa tikus yang mengalami defisiensi zink memiliki kadar
metabolit prostaglandin yang tinggi di dalam plasmanya, dibandingkan dengan
tikus yang tidak mengalami defisiensi zink. Peningkatan kadar prostaglandin
memiliki peranan yang penting sebagai penyebab terjadinya nyeri haid. Dawood
(2006) berpendapat bahwa terjadinya spasme miometrium dipacu oleh zat dalam
darah haid, mirip lemak alamiah yang kemudian diketahui sebagai prostaglandin.
Kadar zat ini meningkat pada keadaan nyeri haid dan ditemukan di dalam otot
uterus. Zink memiliki efek mengurangi sintesis prostaglandin dan
59
kemampuannya sebagai antiinflamasi dan antioksidan dapat meningkatkan
sirkulasi pembuluh darah mikro. Zink juga merupakan salah satu nutrisi yang
dapat meningkatkan konversi asam lemak esensial sebagai antiinflamasi bagi
prostaglandin (Mayo, 1997). Oleh karena itu zink memiliki kemampuan
menurunkan kadar PGF2α seperti pada gambar 6.1
Gambar 6.1
Skema Mekanisme Kerja Zink Dalam Mengurangi Prostaglandin
dan Nyeri Haid
6.2.2 Zink Menurunkan Intensitas Nyeri Haid
Pada keadaan nyeri haid terjadi kontraksi uterus yang kuat mengakibatkan
berkurangnya aliran darah ke otot uterus, sehingga mengakibatkan berkurangnya
Asam Arakidonat
Siklooksigenase
Siklik endoperoksidase (PGG2, PGH2)
Pengurangan Isomerase
PGF2α
Kontraksi otot uterus, Vasokontriksi dan Hipersensitisasi terhadap Nyeri Haid
ZINK
60
asupan oksigen ke dalam jaringan yang menimbulkan iskemia. Keadaan iskemia
akan mengakibatkan pelepasan reaktif oksigen spesies yang mengakibatkan
kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan akan menyebabkan pengeluaran
mediator-mediator nyeri. Di sisi lain, di dalam uterus terdapat enzim copper-zink
dismutase yang dapat meng-inaktivasi pelepasan reaktif oksigen spesies tersebut,
di mana pemberian zink akan menjaga jumlah enzim tersebut tetap adekuat di
dalam uterus (Sugino dkk, 2002). Pemberian zink juga berefek sebagai
antioksidan dan antiinflamasi yang dapat menurunkan kadar sitokin-sitokin
penyebab inflamasi sehingga dapat mengurangi kram dan rasa nyeri (Prasad,
2004).
Pada penelitian ini didapat penurunan intensitas nyeri yang bermakna pada
kelompok zink. Penurunan intensitas nyeri ini didukung oleh hasil penelitian
Eby (2006) dalam penelitiannya tentang pemberian zink. Pada penelitian ini
ditemukan bahwa wanita yang mengkonsumsi zink 31 mg/hari tidak mengalami
nyeri haid, dibandingkan dengan wanita yang menkonsumsi zink 15 mg/hari.
Pemberian zink juga akan menurunkan kadar Cox-2, suatu enzim yang terlibat
dalam nyeri, inflamasi dan prekursor kanker uterus (Fong dkk, 2005). Didukung
pula oleh Sieppmann dkk (2005), pada penelitiannya diperoleh hasil bahwa nyeri
haid primer maupun sekunder akan memburuk pada keadaan defisiensi zink.
Secara fisiologis tubuh yang normal adalah tubuh yang nyaman tanpa rasa
nyeri, tetapi rasa nyeri adalah respon fisiologis tubuh kita terhadap suatu
rangsang. Rasa nyeri dibutuhkan untuk mekanisme pertahanan tubuh kita untuk
61
mencegah kerusakan organ atau jaringan yang lebih luas, yang diakibatkan oleh
suatu rangsang nyeri (Guyton dan Hall, 2006).
Nyeri haid tergolong nyeri akut yang termasuk tipe nyeri viseral. Nyeri ini
terjadi akibat kontraksi pada otot polos rahim disertai dengan iskemia jaringan
akibat produksi prostaglandin yang berlebihan saat haid. Rasa nyeri ini sangat
individual dan berbeda pada setiap orang. Sehingga di satu sisi ada yang tidak
merasakan nyeri, tapi di sisi lain ada yang merasakan nyeri yang sangat hebat
sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari, dan berpengaruh pada ketidakhadiran
berulang di sekolah ataupun tempat kerja. Penemuan zink ini diharapkan dapat
mengurangi bahkan mencegah keluhan nyeri haid yang terjadi sehingga kualitas
hidup dan kualitas kerja dapat ditingkatkan.
6.2.3 Hubungan Prostaglandin dan Intensitas Nyeri Haid
Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan serabut-
serabut syaraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar
prostaglandin dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intra
uterus sampai 400 mm Hg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat.
Atas dasar itu disimpulkan bahwa prostaglandin yang dihasilkan uterus berperan
dalam menimbulkan hiperaktivitas miometrium. Kontraksi miometrium yang
disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi
iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik
(Harel, 2006).
62
Dalam penelitian ini didapatkan adanya hubungan positif secara bermakna
antara kadar prostaglandin dengan nyeri haid yaitu nilai r = 0,483 dari hasil
analisis korelasi spearman, nilai r2 = 23%, berarti faktor prostaglandin
mempengaruhi nyeri haid sebesar 23 %, selebihnya dipengaruhi oleh banyak
faktor diantaranya kadar hormon, status gizi, stress, dan keadaan fisiologis tubuh,
aktivitas olahraga dan pola makan (Mayo, 1997; Dawood, 2006).
Adanya hubungan antara prostaglandin dan nyeri haid didukung oleh
penelitian Fortier dkk (2008) di mana pada penelitiannya didapatkan
prostaglandin dan leukotrin menyebabkan respon inflamasi, yang akan
menimbulkan spasme otot uterus dan keluhan sistemik seperti mual, muntah,
perut kembung dan sakit kepala.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dawood dan Khan-Dawood
(2007), dengan mengukur kadar PGF2α pada darah menstruasi yang terdapat
dalam tampon, didapatkan bahwa kadar PGF2α dua kali lebih tinggi pada wanita
yang mengalami nyeri haid dibandingkan dengan yang tidak mengalami nyeri
haid. Hubungan antara kadar PGF2α dan intensitas nyeri juga dijelaskan oleh
Lundstrom and Green (1978) pada penelitiannya terhadap specimen endometrium
wanita dengan nyeri haid yang tidak menjalani pengobatan, ditemukan kadar
PGF2α empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tanpa nyeri haid saat
hari pertama menstruasi. Pemberian obat seperti ibuprofen saat menstruasi
membuat kadar prostaglandin dalam darah menstruasi wanita dengan nyeri haid
menjadi turun hampir sama dengan kadar prostaglandin pada wanita tanpa nyeri
haid (Daniels, 2002). Peningkatan konsentrasi PGF2α dan metabolitnya dalam
63
darah menstruasi dan sirkulasi perifer terjadi pada wanita dengan nyeri haid
(Milne, dkk, 2003). Hal ini semakin memperkuat hasil penelitian ini yang
menyatakan nyeri saat menstruasi berhubungan dengan hipertonisitas dari
miometrium yang disertai dengan iskemia uteri yang disebabkan pelepasan lokal
prostaglandin. Kemudian lepasnya prostaglandin dari uterus ke sirkulasi sistemik
mengakibatkan efek sistemik seperti gangguan gastrointestinal, lesu, pusing dan
sakit kepala.
Terdapat hubungan antara keluhan nyeri haid dan produksi prostaglandin
dan ditemukan adanya substansi dalam darah menstruasi yang menstimulasi
kontraksi otot polos uterus. Substansi tersebut mengandung PGF2α dan PGE2,
dimana rasio PGF2α lebih tinggi dalam endometrium dan darah menstruasi
wanita yang mengalami nyeri haid primer (Lumsden, 2005). PGF2α dan PGE2
memiliki efek vascular yang berlawanan, yang menyebabkan vasokontriksi dan
vasodilatasi . Pemberian PGF2α merangsang kontraksi uterus selama seluruh fase
siklus menstruasi, sedangkan PGE2 menghambat kontraktilitas miometrium
selama menstruasi dan merangsangnya saat fase proliferative dan fase luteal.
(Clark and Myatt, 2008).
6.3 Kelemahan Penelitian
Karena keterbatasan peneliti, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan
yaitu:
1. Penelitian ini belum bisa menjelaskan berapa hari sebelum haid sebaiknya
diberikan zink.
64
2. Pada penelitian ini kadar prostaglandin hanya diukur saat sebelum
perlakuan dan 4 hari sesudah perlakuan, tidak dilakukan pengukuran
kadar prostaglandin setiap hari.
3. Pada penelitian ini ditemukan bahwa pemberian zink mengganggu
aktivitas enzim siklooksigenase sehingga menghambat sintesis
prostaglandin. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran kadar
enzim tersebut untuk mengetahui apakah jumlah enzim tersebut menurun
atau tidak.
65
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada wanita penderita nyeri haid primer
didapatkan simpulan sebagai berikut:
1. Pemberian zink selama 4 hari sebelum menstruasi dapat menurunkan
kadar prostaglandin (PGF2α) pada kasus nyeri haid primer.
2. Pemberian zink selama 4 hari dapat menurunkan keluhan nyeri pada kasus
nyeri haid primer.
3. Ada korelasi antara kadar prostaglandin dengan nyeri haid pada kasus
nyeri haid primer.
7.2 Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme kerja zink
yang lebih mendalam dan lama pemberian zink sebelum haid
2. Disarankan kepada wanita yang mengalami riwayat nyeri haid untuk
mengkonsumsi zink dengan dosis yang sesuai untuk mencegah mengurangi rasa
nyeri menjelang atau saat terjadinya haid.
66
DAFTAR PUSTAKA
Ahrendt, Hans Joachim. 2007. The effects of an oestrogen-free, desogestrel-containing oral contraceptive in women with cyclical symptoms: Results from two studies on oestrogen-related symptoms and dysmenorrhoeaEuropean Journal of Contraception & Reproductive Health Care. Vol. 12, Iss. 4; p. 354.
Akhtar, Begum K. 2001. Review article: Dysmenorrhea and Pelvic Pain: A common adolescent reproductive health problem. The ORION Vol. 10, September.
Akinola O, Adisa and Adewale A. Odutuga. 1999. Metabolic interactions between zink and essential fatty acids in the mammalian organism. Nutrition and Food Science. Bradford: Vol 99. Iss.2; pg.99.
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia, Jakarta.
Antao, V., Black, A., Burnett, M., Feldman, K., Lea, R., Robert, M. 2005. Primary Dysmenorrhea Consensus Guideline. No 169, December. Toronto
Banikarim, C., Chacko,MR., Kelder, SH. 2000. Prevalence and Impact of Dysmenorrhea on Hispanic Female Adolescents. Arch Pediatr Adolesc Med ;154:1226-1229
Berkow R, editor. 1987. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy. Vol. 2. 15th ed. Rahway (NJ): Merck.
Campbell, D.T., Stanley, J.D. 1968. Experimental and Experiment Quasi Experimental Design for Research. Chicago:Rand Mc Nally.
Campbell, MA., McGrath, PJ. 1997. Use of medication by adolescents for the management of menstrual discomfort. Arch Pediatr Adolesc Med 151:905.
Christopher.J.F., S.W. Suh, D.Silva., C.J.Fredickson & R.B. Thomson. 2000. Importance of Zink in The Central Nervous Sistem : The Zink Containing Neuron. J. Nutr; 130:345S-346S
Clark, Kenneth., Myatt, Leslie. 2008. Prostaglandin and The Reproductive Cycle. Glob.libr. women’s med (ISSN: 1756-2228) 2008.
Cunningham, Gary., Gant, Norman., Leveno, Kenneth. 2001. Williams Obstetrics: International Edition. Mc- Graw-Hill.
2002. Original Research:Valdecoxib, a Cyclooxygenase‐2‐Specific
Inhibitor, Is Effective in Treating Primary Dysmenorrhea. Obstetrics & Gynecology: August - Volume 100 - Issue 2 - p 350–358.
Dawood, M. 1988. Nonsteroid anti inflammatory drugs and changing attitudes towards nyeri haid. Am J Med ; 84: 23-9.
Dawood, M. 2006. Primary Dysmenorrhea Advances in Pathogenesis and Management. Journal Obstetric and Gynaecology Vol. 108, No. 2, August. Published by Lippincott Williams & Wilkins. ISSN: 0029-7844/06
Dawood, MY and Khan-Dawood, Firyal S. 2007. Clinical efficacy and differential inhibition of menstrual fluid prostaglandin F2α in a randomized, double-blind, crossover treatment with plasebo, acetaminophen, and ibuprofen in primary dysmenorrhea. American Journal of Obstetrics & GynecologyVolume 196, Issue 1 , Pages 35.e1-35.e5.
De Souza, Miriam C. 2000.A Synergistic Effect of a Daily Supplement for 1 Month of 200 mg Magnesium plus 50 mg Vitamin B6 for the Relief of Anxiety-Related Premenstrual Symptoms: A Randomized, Double-Blind, Crossover Study. Journal of Women's Health & Gender-Based Medicine. March, 9(2): 131-139.
Eby, George . 2006. Zink Treatment Prevents Dysmenorrhea. Medical Hypotheses (2007) ; 69: 297-301. Elsevier..
Fong, LY., Zhang, L., Jiang ,Y., Farber , JL., 2005. Dietary zink modulation of cox-2 expression and lingual esophageal carcinogenesis in rats. J Natl Cancer Inst ;97 : 40-50.
Fortier, M.A., Krishnaswamy, K., Danyod, G. 2008. A Postgenomic integrated view of prostaglandin: Implication for other body sistems. Journal of Physiology and Pharmacology; 59, Suppl 1, 65-89.
Guerrera, Mary P., Volpe, SL., Mao, JJ. 2009. Therapeutic Uses of Magnesium. American Family Physician:. Vol. 80, Iss. 2; pg. 157, 6 pgs. Leawood
Guyton, Arthur C and Hall, John, E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran; alih bahasa: Irawati dkk; editor: Lukman Yanuar Rahman, dkk. Edisi 11. Jakarta. EGC.
Han, SH., Hur, MH., Buckle, J. 2006. Effect of aromatherapy on symptoms of dysmenorrhea in college students: A randomized plasebo-controlled clinical trial. J Altern Complement Med;12:535-541.
Harel, Zeev MD. 2006 . Dysmenorrhea in Adolescents and Young Adults: Etiology and Management .J Pediatr Adolesc Gynecol 19:363-371
Insel, P., Turner, RE., Ross, D. 2002. Nutrition Update. American Dietetic Association. Jones and Bartlett Publishers, Massachusets.
Jeon, DG., Eun, JL., Park, SW., 2004. The Effects of 1% Lidocain on Pain Induced by Rocuronium. Department of Anestehesiology and Pain Medicine ;8: 239-244.
Kelly, RW., Abel, MH. 1983. Copper and Zink inhibit the metabolism of prostaglandin by the human uterus. Biol Reprod ;28 :883-9.
Khorshidi, N., Ostad, SN., Mossadegh, M., Soodi, M. 2003. Original Article Clinical Effects of Fennel Essential oil on Primary Dysmenorrhea. Iranian Journal of Pharmaceutical Research : 89-93
Kılıç, I., Kanbur, N., Derman, O., Aksu, T., Soyer, O., Kalaycı, O., Kutluk, T. 2008. Role of leukotrienes in the pathogenesis of dysmenorrheal in adolescent girls. The Turkish Journal of Pediatrics; 50: 521-525.
Knox, HT. 2005. Pain Assesement Instrument for Use in the Emergency Department, in: Emergency Medicine Clinics of North America ;23 : 285-95.
Latthe, P., Mignini, L., Gray, R., Hills, R., Khan, K.2006. Factors predisposing women to chronic pelvic pain: sistematic review. British Medical Journal. (International edition). April, 1.Vol. 332, Iss. 7544; pg. 749. London.
Li, CH and Wang, YZ. 2008. Acupuncture at Siguan Points for Treatment of Primary Dysmenorrhea. PubMed-NCBI.
Lumsden, Mary Ann. 2005. Dysmenorrhea. Women Health Medicine. Volume 2, Issue 1. Pages 40-43.
Lundstrom, V and Green, K. 1978. Endogenous Levels Of Prostaglandin F2 And Its Main Metabolites In Plasma And Endometrium Of Normal And Dysmenorrheic Women. Am J Obstet Gynecol ;130:640-46.
Mayo, Joseph MD, FACOG. 1997. A Healthy Menstrual Cycle. Clinical Nutrition Insights . By Cni 509 Rev. 7/98. Copyright ® 1997 by Advanced Nutrition Publications, Inc. McGraw-Hill.
Milne, Stuart and Henry N, Jabbour. 2003. Prostaglandin (PG) F2 Receptor Expression and Signaling in Human Endometrium: Role of PGF2 in Epithelial Cell Proliferation The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism Vol. 88, No. 4 1825-1832.
Morgan, PJ., Kung, R., Tarshis, J. 2002. Nitroglycerin as a uterine relaxant: a sistematic review. J Obstet Gynaecol Can ;24:403–9.
Nasir, Laeth and Edward T. Bope. 2004. Management of Pelvic Pain from Dysmenorrhea or Endometriosis. The Journal of the American Board of Family Practice 17:S43-S47.American Board of Family Practice
Pickles, VR., Hall, WJ., Best, FA . 1975. Prostaglandin in endometrium and menstrual fluid from normal and dysmenorrhoea subjects. J Obstet Gynecol Br Comm; 72: 185.
Piliang, W. 2001. Fisiologi Nutrisi: Mineral. IPB. Bogor.
Pocock, S.J. .2008. The Size of Clinical Trial, Clinical Trials-Practical Approach. Chicester: John Wiley & Sons – A Wiley Medical Publication, p123-141.
Pouresmail, Z and Ibrahimzadeh R, 2002. Effects of acupressure and ibuprofen on the severity of primary nyeri haid. J Tradit Chin Med. 2002 Sep;22(3):205-10.
Prasad, AS., Bao, B., Beck, FWJ., Kucuk, O., and Sarkar, FH . 2004. Antioxidant effect of zink in humans. Free Radic Biol Med ;37 : 1182-90
Proctor, M., Farquhar, C., 2002. Dysmenorrhoea. Clinical Evidence ;7:1654–62.
Proctor, M., Latthe, P., Farquhar, C., Khan, K., Johnson, N. 2005. Surgical interruption of pelvic nerve pathways for primary and secondary dysmenorrhoea (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 4.
Proctor, ML., Murphy, PA. 2001. Herbal and Dietary Therapies for primary and secondary dysmenorrhea. Cochrane Database Syst Rev ; (3): CD002124.
Proctor, ML., Roberts, H., Farquhar, CM. 2001. Combined oral contraceptive pill (OCP) as treatment for primary dysmenorrhoea (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 4.
Ridwan, MBA. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Bandung . Alfabeta.
Rink, Lothar and Kirchner, Holger. 2000. Zink-Altered Immune Function and Cytokine Production; Journal of Nutrition;130:1407S-1411S.
Rospond, RM. 2008. Penilaian Nyeri; alih bahasa: D. Lyrawati.Schiotz, AH., Jettestead, M., Al-heeti, D. 2007. Treatment of dysmenorrhoea with
a new TENS device (OVA) . Journal of Obstetrics and Gynecology. Bristol: Oct . Vol. 27, Iss. 7; pg. 726
Seifert, B., Wagler, P., Dartsch, S., Schmidt, U., Nieder, J. 1989. Magnesium–a new therapeutic alternative in primary dysmenorrhea. Zentralbl Gynakol ;111:755–60.
Siepmann, M., Spank, S., Kluge, A., Scappach, A., Kirch, W. 2005. The pharmacokinetic of zink from zink gluconate; a comparison with zink oxide in healthy men. Int J Clin Pharmacol Therap; 43:562-5
Simopoulos AP. 1991. Omega-3 fatty acids in health and disease and in growth and development. Am J Clin Nutr ; 54:438
Singh, A., Kiran, D., Singh, H., Nel, B., Singh, P., Tiwari, Pl. 2008. Prevalence And Severity Of Dysmenorrhea : A Problem Related To Menstruation, Among First And SecondYear Female Medical Students. Indian J Physiol Pharmacol; 52 (4) : 389–397.
Speroff L, FritSOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE.Speroff, L., Fritzz, MA. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility,
7th ed. Philadelphia: Lippincot William and Wilkins :540-541.
Sugino, N., Karube-Harada, A., Sakata, A., Takiguchi, S., Kato, H. 2002. Different mechanism for the induction of copper-zink superoxide dismutase and manganese superoxide dismutase by progesterone in human endometrial stromal cells. Hum Reprod ;17 (7):1709-14.
Taylor, D., Miaskowski, C and Kohn, J . 2002. A Randomized Clinical Trial of the Effectiveness of An Acupressure Device (Relief Brief) for Managing Symptoms of Dysmenorrhea. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. 8(3): 357-370.
Wilson, ML., Murphy, PA. 2001. Herbal and dietary therapies for primary and secondary dysmenorrhoea (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, Oxford
Witt, Claudia M., Reinhold, T., Brinkhaus, B., Roll, S., Jena, S., Willich, SN. 2008. Acupuncture in patients with dysmenorrhea: a randomized study on clinical effectiveness and cost-effectiveness in usual care. American
Wu, D., Liu, L., Meydani, M, Meydani, SN. 2005. Vitamin E increases production of vasodilator prostanoids in human aortic endothelial cells through opposing effects on cyclooxygenase-2 and phospholipase A2. J Nutr ;135:1847–53
LAMPIRAN
Lampiran 1Uji Normalitas Data Umur, Umur Menarche, dan Kadar Prostaglandin
Kelompok
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Umur (th) Plasebo .759 16 .001
Zink .760 16 .001
Umur Menarche Plasebo .827 16 .006
Zink .892 16 .061
Berat badan (kg) Plasebo .964 16 .732
Zink .955 16 .575
Tinggi Badan (cm) Plasebo .933 16 .272
Zink .959 16 .637
Lampiran 2Uji Normalitas Data Kadar Prostaglandin dan Selisih Prostaglandin