Opi ni www.pemantauperadi l a n .com 1 BURUH DI INDONESIA: DILEMAHKAN DAN DITINDAS A. S. Finawati Membicarakan perlindungan terhadap buruh haruslah bermula dari pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara buruh-majikan. Dalam hubungan buruh- majikan, posisi buruh selalu subordinatif dengan majikan. Hal ini merupakan kesejatian akibat tidak seimbangnya kekuasaan ekonomi (yang pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan politik) yang melekat pada buruh dan pada majikan. “Sosiologis buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja itu.” [ 1 ] Atau yang dalam hubungan-hubungan pribadi disebut sebagai kelemahan struktural. [ 2 ] Secara sederhana ketidakseimbangan hubungan buruh- majikan ini dapat diilustrasikan dengan pengalaman setiap orang saat melamar pekerjaan. Orang yang melamar pekerjaan pasti membutuhkan pekerjaan karenanya tidak berani dan tidak dapat menentukan syarat-syarat kerja. Apabila ada yang berani menentukan syarat- syarat kerja semisal gaji, maka resiko tidak diterima apabila pengusaha tidak setuju dengan penawaran dari pelamar kerja tersebut, harus ditanggung oleh si pelamar tersebut. Dengan demikian sebenarnya tidak pernah ada kekebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Opini
www.pemantauperadila n.com
1
BURUH DI INDONESIA: DILEMAHKAN DAN DITINDAS
A. S. Finawati
Membicarakan perlindungan terhadap buruh haruslah bermula
dari pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara
buruh-majikan. Dalam hubungan buruh-majikan, posisi buruh selalu
subordinatif dengan majikan. Hal ini merupakan kesejatian akibat
tidak seimbangnya kekuasaan ekonomi (yang pada akhirnya
menimbulkan ketidakseimbangan kekuasaan politik) yang melekat
pada buruh dan pada majikan. “Sosiologis buruh adalah tidak
bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain
daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk bekerja pada orang lain.
Dan majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat
kerja itu.”[1 ] Atau yang dalam hubungan-hubungan pribadi
disebut sebagai kelemahan struktural.[ 2] Secara sederhana
ketidakseimbangan hubungan buruh- majikan ini dapat diilustrasikan
dengan pengalaman setiap orang saat melamar pekerjaan. Orang
yang melamar pekerjaan pasti membutuhkan pekerjaan karenanya
tidak berani dan tidak dapat menentukan syarat-syarat kerja.
Apabila ada yang berani menentukan syarat-syarat kerja semisal
gaji, maka resiko tidak diterima apabila pengusaha tidak setuju
dengan penawaran dari pelamar kerja tersebut, harus ditanggung oleh
si pelamar tersebut. Dengan demikian sebenarnya tidak pernah ada
kekebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja.
A. Peran Negara Dalam Hubungan Perburuhan
Konsekuensi dari hubungan subordinatif tersebut adalah
diperlukannya suatu faktor untuk menyeimbangkannya. Walaupun
konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat diterima
secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala
tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Bila
dianalogikan dengan kebutuhan baju, maka tidak adil bila orang
Opini
.com 2
gemuk dan kurus diberikan bahan baju yang sama banyaknya. Yang
UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya UU
No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, UU 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, UU 21 Tahun
1954 tentang Perjanjian Perburuhan, UU No. 18 Tahun 1956 tentang
Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-
dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama,
UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan
UU 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
Swasta.
NO. UNDANG-UNDANG KONSEP PERLINDUNGAN1. UU No. 1 Tahun
1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 12Tahun 1948 tentangKerja
· Larangan mempekerjakan anak· Pembatasan waktu kerja 7 jam
sehari, 40 jam seminggu· Waktu istirahat bagi buruh· Larangan mempekerjakan buruh pada hari libur· Hak cuti haid· Hak cuti melahirkan/keguguran· Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam
2. UU No. 2 Tahun 1951 tentang berlakunya UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja
· Jaminan atas kecelakaan kerja· Hak pegawai pengawas untuk menjamin
pelaksanaan jaminan kecelakaankerja
· Sanksi pidana untuk pelanggaran ketentuan dalam
UU ini3. UU 3 Tahun 1951
tentang Pernyataan Berlakunya UU No. 23 tahun 1948 tentang PengawasanPerburuhan
· Kewajiban Negara untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan peraturan perburuhan
· Hak pegawai pengawas memasuki dan memeriksa
tempat usaha· Kewajiban majikan untuk memberikan
keterangan lisan dan tertulis kepada pegawai pengawas
· Sanksi pidana untuk pelanggaran 4. UU 21 Tahun 1954
tentang Perjanjian Perburuhan antara
· Jaminan perjanjian perburuhan tetap berlaku walau serikat buruh kehilangan
· Jaminan perjanjian perburuhan tetap berlaku walau serikat buruh bubar
· Aturan tentang perjanjian perburuhan lebih tinggi
kedudukannya dibandingkandengan perjanjian kerja antara seorang buruh dengan majikan
· Pembatasan untuk majikan tidak boleh membuat perjanjian perburuhandengan serikat buruh lain yang lebih rendah syarat kerjanya dengan perjanjian
perburuhan yang sudah pernah dibuatnya5. UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama
Perlindungan hak berserikat
(1) larangan diskriminasi karenamenjadi anggota serikat
buruh dan melakukan aktivitas sebagaianggota serikat
buruh(2) larangan mendominasi atau melakukan kontrol
6. UU 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian PerselisihanPerburuhan
· Definisi mogok yang cukup luas :(1) tindakan kolektif menghentikan
atau memperlambat jalannya pekerjaan
(2) akibat perselisihan perburuhan(3) maksud untuk menekan majikan
atau membantugolongan buruh lainmenekan
majikan
(4) agar menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan
· Pembentukan P4D/P yang terdiri dari 3 pihak secara berimbang jumlahnya :
pemerintah, wakil buruh dan wakil pengusaha
· Ketentuan putusan P4D/P bersifat mengikat dan dapat dimintakan eksekusi 7. UU 3 Tahun 1958
tentang Penempatan Tenaga Asing
· Pengaturan dan pembatasan mempekerjakan tenaga kerja asing yang berartiperlindungan terhadap jaminan pekerjaan bagi8. UU 12 Tahun
1964 tentangPemutusan
· Ketentuan pengusaha harus mengusahakan tidak terjadi PHK
selama bertahun-tahun pada tempat dan jenis pekerjaan yang sama,
tetapi tidak pernah selama 3 bulan berturut-turut. Akibatnya buruh
tersebut tetap berstatus harian lepas yang tentu saja hak-haknya
lebih buruk dari buruh tetap. Kasus menuntut status ini, dalam
putusan P4P mengalahkan buruh dengan alasan formalitas mengacu
pada ketentuan Permenaker 6/Men/1985.
Hal serupa mengenai aturan Kesepakatan Kerja Waktu
Tertentu (KKWT) yang telah meluaskan praktek kerja kontrak.
Pelanggaran tidak hanya untuk ketentuan waktu kontrak (yang tidak
boleh melebihi 2 tahun dan perpanjangan 1 kali dengan total
keseluruhan masa kontrak tidak boleh melebihi 3 tahun) tetapi juga
untuk jenis pekerjaan yang boleh dikontrak.
“Dari data lapangan dapat dilihat bahwa ternyata pemberlakuan KKWT
sudah merupakan kondisi umum dari hubungan industrial. Hal
ini bukan saja terjadi di perusahaan swasta, namum juga terjadi
pada Badan Usaha Milik Negara. … data lapangan menunjukkan
bahwa sistem kerja kontrak inipun hampir terjadi di semua jenis
pekerjaan. Dari bagian kebersihan, keamanan sampai ke bagian
pembukuan/accounting, marketing, perencanaan serta
penjualan. Dari segi jabatan pun dapat dilihat, bahwa sistem
kerja kontrak juga terjadi dari posisi yang paling rendah seperti
office boy, satpam sampai ke supervisor bahkan manager.”[ 15]
Kondisi yang sedikit berbeda pada Kepmenaker 150/Men/2000 adalah apabila
dua peraturan menteri tentang pekerja harian lepas dan kontrak
membuka peluang penyelundupan hukum, maka pengaturan tentang
pesangon ini dalam ketentuannya memang sudah melemahkan dan
mengurangi perlindungan terhadap buruh yang ada dalam undang-
undang. Selain sering dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah
(karena pengusaha diberi hak melakukan skorsing tanpa
melalui mekanisme seperti permintaan izin PHK), aturan ini juga
mengenalkan kesalahan berat sebagai alasan PHK (dengan
konsekuensi tidak mendapat pesangon) tanpa penyebutan mekanisme
pembuktian yang jelas. Akibatnya, P4D/P merasa diberi kewenangan
untuk memutus hal-hal yang sebetulnya merupakan lingkup tindak
pidana yang seharusnya hanya menjadi kewenangan peradilan.
Hal serupa pada aturan tentang upah minimum yang pada
kenyataannya justru menjadi ‘aturan upah maksimum.’ Selain
mendasarkan pada kebutuhan fisik minimum/KFM padahal lebih layak
dengan kebutuhan hidup minimum/KHM (ditambah lagi pada
prakteknya sering tidak sesuai dengan perhitungan KFM),
ketidakjelasan aturan ini menyebabkan buruh dengan masa kerja
bertahun-tahun juga mendapat upah sebesar upah minimum, sama
dengan buruh yang baru masuk bekerja. Tidak heran masalah “upah
sundulan” kerap menjadi sumber perselisihan
antara buruh dengan pengusaha. Belum lagi masalah tidak pernah
diperhitungkannya kebutuhan buruh perempuan yang karena organ
reproduksinya membutuhkan lebih banyak kebutuhan serta. Begitu
pula dengan kebutuhan buruh yang telah berkeluarga yang tidak
masuk dalam perhitungan upah minimum.
Dari paparan di atas, walau undang-undang perburuhan banyak
memberikan perlindungan, dalam praktek perlindungan tersebut
hilang akibat aturan-aturan di bawahnya
“… kelonggaran yang diberikan kepada buruh oleh undang-
undang justru dijegal oleh peraturan-peraturan pelaksanaan di
bawahnya. … . Selain itu banyaknya peraturan di bawah
undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang di
atasnya yang dihasilkan pada masa ini juga menunjukkan usaha
pemerintah yang semakin intensif untuk memanfaatkan ‘lubang-
lubang’ kelemahan undang-undang perburuhan, karena
pemerintah merasa berkepentingan untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi, … .”[ 16]
Pelemahan serikat buruh ternyata membuat buruh harus kehilangan
kesejahteraannya. Selain tidak mampu mempengaruhi kebijakan-
kebijakan Negara (misal yang menyangkut kesejahteraan), buruh juga
tidak mampu memaksa pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan
aturan yang ada (misal ketentuan tentang pengawasan perburuhan
yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran UU
perburuhan).
C. Keadaan Saat ini
Sejak berlakunya UU No. 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan, yang dimaksud sebagai pengganti serta kompilasi
seluruh aturan perburuhan, gagal untuk diberlakukan dan harus
ditunda setelah gelombang demonstrasi besar-besaran penolakannya.
Pemerintah merubah strategi dengan “ menawarkan turunan dari UU
tersebut ke dalam paket 3 RUU Perburuhan, … UU 21/2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, RUU Perlindungan Pembinaan Ketenagakerjaan (PPK) dan
RUU PPHI … .” [1 7]
Bila kebijakan perburuhan Orde Baru yang membatasi buruh berideologi
pembangunanisme[1 8], maka dengan UU 25 Tahun 1997 dan tiga
undang-undang turunannya tersebut, kebijakan ini dilanggengkan
dengan tambahan motivasi dari tekanan lembaga keuangan
internasional untuk kepentingan pasar. Sebagai prasyarat untuk
mencairkan dana talangan yang disediakan IMF itu, pemerintah
Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan sejumlah agenda
ekonomi neoliberal melalui penandatangan Letter of Intent (LOI).[ 19 ]
Agenda ekonomi neoliberal ini memiliki prasyarat untuk
keberlakuannya. Arahnya adalah peran aktif pemerintah diganti
dengan peran yang minimalis serta non intervensionis.[ 20] Hal ini tentu
berlaku untuk semua bidang kehidupan, perburuhan tidak luput
daripadanya. Kebijakan tersebut tentu perlu infrastruktur dan undang-
undang alat yang paling tepat untuk melegitimasinya. Karenanya
tidak heran bila filosofi dasar tiga undang- undang perburuhan
tersebut memiliki kesamaan yaitu mengurangi bahkan melepaskan
peran Negara dalam hubungan buruh-majikan. Dengan asumsi
liberalisasi pasar maka intervensi pemerintah dalam bentuk
perlindungan terhadap buruh akan menjadi hambatan. Karenanya
nasib buruh diserahkan pada mekanisme pasar atau dengan kata lain
buruh yang bisa dianalogikan sebagai semut harus bertarung dengan
gajah dengan senjata yang harus sama.
Nuansa kental kepentingan agenda neoliberal pada
pembentukan UU perburuhan ini secara gamblang diungkapkan oleh
Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) Sofyan Wanandi
saat mengomentari RUU Ketenagakerjaan “Kesepakatan yang telah
diparaf bersama tersebut hendaknya tidak diubah sepihak oleh
Menakertrans secara mendadak. Apalagi kesepakatan tripartit telah
mengadopsi kepentingan pasar global, karena masalah
ketenagakerjaan
menjadi pertimbangan investasi, baik pengusaha nasional maupun asing.”[2 1] Lihat
pula komentar Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra
pada sidang judicial review UU Ketenagakerjaan 11 Desember 2003
saat menjawab argumentasi pemohon bila pembuatan undang-
undang tersebut bukan dilatari kepentingan rakyat melainkan
kepentingan IMF: “dalam Letter of Intent disepakati tanggal
tanggal berapa saja undang-undang apa harus sudah disepakati. Hal
ini karena pemerintah meminjam uang atau berhutang.”[ 22]
UU 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Secara formalitas undang-undang ini memang mengakui serta
menjamin kebebasan buruh untuk berserikat. Tetapi jaminan
tersebut direduksi oleh pasal- pasal berikutnya. Pencatatan yang
seharusnya berfungsi administratif pada prakteknya menjadi legalisasi
sah tidaknya suatu serikat buruh. Hal ini karena pencantuman hak-hak
serikat buruh selalu diembel-embeli dengan “serikat buruh yang telah
mencatatkan serta mempunyai nomor bukti berhak … .” Hal ini jelas
merupakan pembatasan bagi serikat buruh yang tidak mencatatkan
diri. Lebih buruk lagi dalam praktek, nomor bukti pencatatan ini selalu
ditanyakan baik oleh pihak Departemen Tenaga Kerja maupun
lembaga penyelesaian perslisihan perburuhan (P4D/P). Sehingga
stigma serikat buruh illegal sebelum adanya UU 21 tahun 2000 ini
belum bisa lepas dari serikat buruh yang memilih untuk tidak
mencatatkan diri. Dalam hal ini kebebasan berserikat yang dijamin
oleh UUD jelas telah dilanggar.
Kesan undang-undang ini hanyalah lip service Negara diperkuat dengan tidak
dapat diimplementasikannya aturan-aturan perlindungan terhadap
kebebasan berserikat. Walaupun memuat ancaman hukuman penjara
selama 1 – 5 tahun dan/atau denda sebesar 100 – 500 juta, pada
kenyataannya tidak ada satupun pelaku pelanggaran berserikat yang
dikenai hukuman bahkan tidak ada satupun kasus pelanggaran
berserikat yang sampai ke meja hijau untuk diadili. Kasus-kasus
di bawah ini hanya bersumber dari kasus-kasus yang masuk ke LBH
Jakarta, sehingga
bisa dipastikan ada lebih banyak kasus pelanggaran berserikat yang dilaporkan dan
tidak ditindaklanjuti.
NO NAMA KASUS TEMPAT PELAPORAN
WAKTU PELAPORAN
STATUS PELAPORAN
KETERANGAN
1. Serikat Pekerja Mandiri
PHK massal terhadap799 orangdan gugatanperdata terhadap 7 orang pengurus SB
Polda Metro Jaya
Januari 2001 Tidak
ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas.
Telahada
rekomendasi ILO bulan Juni 2002 yang menyatakan bahwa
terjadi pelanggaran Konvensi ILO No.2. Serika
t Pekerja Bank Panin
PHKberuntundan
massalterhadap pengurusdan aktivis
Polda Metro jaya
Awal 2001 Tidak
ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas.
Setelahada
pengaduan, justru terjadi kriminalisasi terhadap Ketua Umum
SPBP, Imam
Sutrisno dan3. Serikat
Buruh Nusantara
PHKberuntundan skorsingmenuju PHK terhadap belasan pengurusdan aktivisSB, termasukkriminalisasi ketua SBN,
Polres Tangerang
Desember2001
Tidak
ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak
ada juklak teknis penanganan kasussemacam ini.
Polisi sempat bertanya tentang tindak pidana yang dilaporkan dan mengaku tahu serta tidak memiliki UU 21Tahun 2000.Akhirnya 1 kopiUU 21 Tahun2000 ditinggalkanuntuk
Advokasi, Sujito
4. SPTP PT. Koinus Jaya Garment
Skorsing menuju PHKterhadap 9orang pengurus SB yang memimpin aksi menuntut pelaksanaan UMP
2002, pemberian cuti haid dan
Penyidik Pegawai negeri
Sipil (PPNS) Kandepnakertrans Tangerang
Desember2001
Tidak
ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas.
Pihak
pengusaha akhirnya mencabutskorsing terhadap9 orang pengurus SB tersebut setelah ada pelaporan ke Kandepnakertrans Tangerang.
5. SP PT. Setia Kawan Menara Motor
Skorsing menuju PHK terhadapketua SB Ahmad
Polres Cilegon Pertengahan2001
Tidak
ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas.
Pengusaha berkeras mengajukan PHK terhadap
Ahmad Syahbana
6. PUK SPSI FARKES RSPondokIndah
Skorsing menuju PHK terhadapAktivis SB, Muchsin Rasjid dan Ketua SB, Edi Waluyo
Polda metro jaya
Mei 2002 Tidak
ada tindak lanjut penanganan kasus. Alasan tidak jelas.
Justru terjadi kriminalisasi terhadap Edi Waluyo
dengan alasanmenganiayaatasan. Setelah diputus bersalah di PN Jakarta Selatan saat ini sedang menunggu
*) Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2002 LBH Jakarta
UU Ketenagakerjaan
Setelah bertahun-tahun melewati proses pembahasan serta
beberapa kali mengalami pengunduran pengesahan akibat penolakan
buruh, akhirnya undang- undang ini disahkan dalam rapat paripurna
DPR tanggal 25 Februari 2003. Melengkapi substansi undang-undang
ini yang bermasalah, proses pembahasan bahkan pengesahan serta
pengundangannya juga bermasalah.
Setelah beberapa kali penolakan besar-besaran oleh buruh
terhadap rencana pengesahan RUU Ketenagakerjaan (saat itu masih
bernama RUU PPK) antara lain akhir Juli 2002 dan 23 September
2002[2 3], untuk melegitimasi bila undang-undang ini disetujui oleh
buruh, maka DPR melibatkan serikat buruh secara intensif dan
akhirnya membentuk tim kecil yang terdiri dari beberapa orang
anggota serikat buruh. Tugasnya adalah membahas substansi undang-
undang. Persetujuan mereka yang tergabung dalam tim kecil terhadap
RUU Ketenagakerjaan ini kemudian dilegitimasi sebagai persetujuan
seluruh buruh. Selain masalah pendanaan tim kecil yang tidak jelas
asal usulnya, pembentukan tim kecil yang manipulatif, tidak
partisipatif serta transparan, menyebabkan keanggotaan orang-orang
dalam tim kecil ini akhirnya ditolak serikat buruh di mana mereka
menjadi anggota. Bahkan serikat buruh mereka ikut menjadi pemohon
dalam judicial review UU Ketenagakerjaan.
Pasca pengundangan, yang terjadi secara otomatis karena 30 hari telah lewat
dari disahkannya tanpa penandatanganan presiden, terungkap bila
terjadi perubahan dari naskah yang disahkan DPR dengan naskah
yang diundangkan oleh sekretariat Negara. Tercatat ada 4 pasal yang
mengalami perubahan yaitu pasal 159, pasal 170, pasal 171, dan
pasal 172. Pasal 159 diubah dari 4 ayat menjadi 1 ayat saja.
Sedangkan pasal lainnya mengalami perubahan redaksional.
“Misalkan, pasal 172 RUU Ketenagak e rj a an versi DPR antara lain
menyebutkan bahwa pekerja/buruh yang mengalami sakit
berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
d. Hal ini tidak ada.Penambahan ini malah membingungkan karena tidak konsisten dengan pasal berikutnya ang membatasi perjanjian kerja waktu tertentu hanya untuk pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
2. Mogok a. Definisi mogok dibatasi sebagai akibat gagalnya perundingan (pasal 137)
b. Harus dilakukan sah, tertib dan damai (pasal137)
c. Pembakuan isi pemberitahuan mogok : waktu dimulai dan diakhiri, tempat mogok, alasan mogok tanda tangan ketua dan sekretaris SB sebagai PJ (pasal 140 ayat 2)
d. Mogok tidak sesuai prosedur = mogok tidak sah
e. Mogok yang tidak sesuai prosedur :
(1) Perusahaan dapat mengambil tindakan sementara : melarang buruh yang mogok berada di lokasi kegiatan proses produksi atau di lokasi perusahaan
(2) Akibat hukum diaturdalam
KeputusanMenteri
a. Definisi mogok lebih luas : sebagai akibat perselisihan perburuhan, bisa untuk menekan majikan lain, agar majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (UU 22 Tahun 1957)
b. Tidak ada ketentuan sah, tertib dan damai
c. Pemberitahuan hanya harus
memasukkan telah dilakukan perundingan tentang pokok perselisihan atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2 minggu gagal mengajak berunding pihak lain.
d. Tidak ada ketentuan eksplisit mogok tidak sesuai prosedur = mogok tidak sah
e. Mogok yang tidak sesuai prosedur diancam hukuman kurungan max. 3 bulan atau denda Rp. 10.000
3. Lock Out a. Definisi lock out dibatasi hanya sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 146 ayat 1)
b. Pembakuan isi pemberitahuan lock out:waktu dimulai dan
a. Definisi lock out lebih luas : sebagai akibat perselisihan perburuhan, dapat untuk membantu majikan lain, agar buruh menerima hubungan kerja, syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (UU 22
diakhiri, alasan lock out, tanda
tangan pengusaha/pimpinan perusahaan (pasal
140 ayat 2)
c. Tidak ada akibat hukum
bagi lock out yang tidak sesuai prosedur (berbeda dengan mogok yang dilakukan buruh)
d. Lock out boleh tidak
sesuai prosedur :(1) buruh mogok
tidak sesuai prosedur
(2) buruh
melanggar ketentuan normatif
Pasal 149 ayat (6) a dan
1957)
b. Pemberitahuan hanya harus memasukkan telahdilakukan perundingan tentang pokok perselisihan atau permintaan berunding ditolak oleh pihak lain atau telah 2X dalam waktu 2 minggu gagal mengajak berunding pihak lain.
c. Lock out tidaksesuai
prosedur diancam hukuman kurungan max. 3 bulan atau denda Rp. 10.000
(Hukuman ini samadengan
pelanggaran prosedur mogok)d. Tidak ada
ketentuan diskriminatif 4. PHK a. Keharusan
menjalankan hak dan kewajiban selama izin PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan belum ada, disimpangi dengan ketentuan skorsing (pasal 155 ayat 2 dan 3).
Aturan skorsing inimelegitimasi ‘kesesatan’aturan skorsing sebelum UU13 Tahun 2003.b. PHK boleh tanpa izin
bila buruh melakukan kesalahan berat (pasal 158 jo. pasal 171)
c. Kesalahan berat
a. Selama izin PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan belum ada, buruh dan pengusaha harus menjalankan hak dan kewajibannya tanpa kecuali (UU 12 Tahun 1964 pasal 11).
Skorsing pada aturan lalu ada pada keputusan menteri tenaga kerja yang sebetulnya aturan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada di atasnya karena UU tidak membolehkanya.b. Ketentuan ini tidak ada
(alasan kesalahan berat bagi PHK buruh tetap harus melalui proses izin)
c. Ketentuan ini tidak ada.
atau
(2) pengakuanburuh yang
bersangkutanatau
(3) laporankejadian
yang dibuatpihak
berwenang di perusahaan dan didukung min.2 saksi
Pasal 158 ayat (2)Aturan ini pelanggaran dariasas praduga tak bersalah yang ada dalam UUD 1945 dan UU 14/1970
UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Bagian terakhir dari tiga paket UU perburuhan yang merupakan
turunan dari UU 25 Tahun 1997 adalah UU penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Undang-undang ini dapat
disebut sebagai hukum acara dari aturan materil yang ada dalam 2
undang-undang sebelumnya.
Perubahan besar yang akan terjadi dengan diberlakukannya UU
PPHI adalah menghilangkan corak perselisihan perburuhan yang
istimewa berbeda dari perselisihan lainnya. Sesuai hakekat hubungan
perburuhan yaitu tidak seimbangnya posisi buruh-majikan,
perselisihan perburuhan selama ini dibuat bersifat kolektif (tidak
individual) dan semi peradilan yaitu tidak sepenuhnya berada di
bawah kekuasaan yudikatif tapi mempunyai kekuatan hukum tetap
(yang karenanya dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri).
Demi keperluan cepat, tepat, adil dan murah, perselisihan
perburuhan yang selama ini diselesaikan di Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) akan di bawa ke
pengadilan negeri. Alasan yang jelas menimbulkan pertanyaan karena
sistem perselisihan selama ini tidak membutuhkan biaya apapun bagi
buruh. Lain persoalan bila biaya yang dimaksud dalam sistem
perselisihan perburuhan selama ini adalah biaya-biaya siluman
seperti suap kepada
petugas. Demikian pula dengan keluhan lamanya perselisihan perburuhan saat ini
yang sebetulnya bukan disebabkan oleh UU 22/1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tapi karena UU 5/1986 tentang
PTUN memasukkan dalam penjelasannya P4P sebagai banding
administrasi karenanya putusannya dapat dijadikan obyek gugatan.
Karenanya UU PPHI tidak menjawab masalah yang ada dan hanya
akan menimbulkan masalah baru. Bagaimana dengan mafia
peradilan yang belum juga tuntas hingga saat ini. Demikian pula
dengan tumpukan perkara di Mahkamah Agung yang masih menjadi
keluhan para Hakim Agung hingga saat ini. Optimisme berlebihan
akan sistem baru ini benar-benar mengabaikan realitas saat ini, lihat
misalnya peradilan kepailitan yang tidak mampu memenuhi ketentuan
limitasi waktu dalam prosesnya. Lagi-lagi pemerintah mengulangi
kesalahannya dengan tidak menyelesaikan akar masalah tapi
melarikan pada persoalan lain. Atau memang menghilangkan korupsi
menjadi sesuatu yang dihindari oleh pemerintah?
Diluar masalah tersebut, UU PPHI mempunyai agenda
tersembunyi melemahkan gerakan serikat buruh. Lihat saja lingkup
kewenangannya yang salah satunya adalah perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh. Modus operandi membentuk serikat buruh
tandingan yang seringkali dilakukan pengusaha untuk membendung
gerakan serikat buruh mensejahterakan anggotanya, diberikan tajinya
dengan masuknya perselisihan antar serikat buruh dalam salah satu
kewenangan pengadilan hubungan industrial. Serikat buruh akan
kelelahan serta habis energinya untuk berselisih satu sama lain.
Akibatnya, tujuan semula mengurus kesejahteraan anggota akan
tersisihkan.
Dari paparan kondisi terkini, dapat dilihat bila dulu pelemahan
dan penindasan buruh dilakukan melalui peraturan di bawah undang-
undang, “yang memberikan indikasi bahwa rezim eksekutif
semakin leluasa dan tidak terkontrol”[2 6], maka saat ini pelemahan
dan penindasan tersebut justru dilakukan melalui undang-undang
yang berarti terjadi peningkatan serta perluasan instrumen negara
yang melakukan pelemahan serta penindasan tersebut, karena
undang-
undang adalah produk legislatif dan eksekutif. Dalam situasi seperti ini harapan
mungkin hanya dapat digantungkan pada mahakamah
konstitusi atau rakyat diharuskan menentukan sejarahnya sendiri.
hal. 8.
[1]Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan. (Jakarta: Djambatan, 2003),
[2]Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III,
Editor A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. (Jakarta, 1990, Sinar Harapan),
hal. 69.
[3]Soepomo, Op. Cit hal. 12
[4]Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia 1995), hal.255[5]ibid, hal. 259-260
[6]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Politik dan Konstitusi Ekonomi
dalam Studi Hukum Tata Negara (Jakarta: Kapita Selekta Teori
Hukum Kumpulan Tulisan Tersebar, 2000), hal. 148.[7]Ibid., hal. 160.
[8]Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia 1995), hal. 478.[9]Ibid., hal. 511.
[10]Billah, Strategi Pengendalian Negara Atas Buruh: Studi
Awal Masalah Perburuhan di Indonesia Pasca 1965 dari Perspektif
Althusserian dan Gramscian, (Tesis Bidang Studi Sosiologi Program