-
5
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Tanaman Rambutan Rambutan dikenal dengan berbagai macam
nama lokal di Indonesia seperti
rambutan, rambot, rambut, rambuteun, rambuta, jailan, folui,
bairabit, puru biancak, p. Biawak, hahujam, kakapas, likis,
takujung alu (Sumatera), rambutan, corogol, tundun, bunglon, buwa,
buluwan (Jawa), buluan, rambuta (NusaTenggara), rambutan, siban,
banamon, beriti, sanggalaong, sagalong, beliti, maliti, kayokan,
bengayau, puson (Kalimantan), rambutan, rambuta, rambusa,
barangkasa, bolangat, balatu, balatung, walatu, wayatu, wilatu,
wulangas, lelamu, lelamun, toleang (Sulawesi), rambutan, rambuta
(Maluku) (Dalimartha, 2005).
2.1.1. Morfologi Tanaman Rambutan Rambutan banyak ditanam
sebagai pohon buah dan kadang-kadang
ditemukan tumbuh liar. Tumbuhan tropis ini memerlukan iklim
lembab dengan curah hujan tahunan paling sedikit 2000 mm. Rambutan
merupakan tanaman dataran rendah yang ketinggiannya mencapai
300-600 m dpl. Pohon dengan tinggi 15-25 m ini mempunyai banyak
cabang.
Daunnya merupakan daun majemuk menyirip yang letaknya berseling
dengan anak daun 2-4 pasang. Helaian anak daun berbentuk bulat
lonjong dengan panjang 7,5-20 cm dan lebar 3,5-8,5 cm, ujung dan
pangkal daunnya runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, tangkai
silindris, warnanya hijau dan seringkali mengering. Bunga tersusun
pada tandan di ujung ranting, harum, kecil-kecil dan berwarna hijau
muda. Bunga jantan dan bunga betina tumbuh terpisah dalam satu
pohon. Buah berbentuk bulat lonjong yang mempunyai panjang 4-5 cm
dengan duri tempel yang bengkok, lemas sampai kaku. Kulit buahnya
berwarna hijau dan menjadi kuning atau merah kalau sudah masak.
Dinding buah tebal. Biji berbentuk elips, terbungkus daging buah
berwarna putih transparan yang dapat dimakan dan banyak mengandung
air, rasanya bervariasi dari masam sampai manis. Kulit biji tipis
berkayu.
-
6
Produksi rambutan di Sumatera Utara pada tahun 2009 yaitu 60,153
ton dan pada tahun 2010 mencapai angka 43,777 ton (BPS, 2012).
Rambutan berbunga pada akhir musim kemarau dan membentuk buah pada
musim hujan, sekitar November sampai Februari. Terdapat banyak
jenis rambutan seperti ropiah, simacan, sinyonya, lebak bulus dan
binjai. Berkembangbiak dengan biji, tempelan tunas atau dicangkok
(Dalimartha, 2005). Gambar buah rambutan dapat dilihat pada gambar
2.1.
Gambar 2.1. Buah Rambutan (Nephelium lappaceum L.)
2.1.2. Sistematika Tanaman Rambutan Kingdom : Plantae Divisi :
Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosidae Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae Genus : Nephelium Spesies : Nephelium
lappaceum, L.
Sumber : (Cronquist, 1981)
2.1.3. Kandungan Kimia Rambutan Buah rambutan mengandung
karbohidrat, protein, kalsium, vitamin C
(Dalimartha, 2005), zat besi, fosfor dan lemak (Hariana, 2006).
Kulit buahnya mengandung flavonoid, tanin dan saponin (Dalimartha,
2005). Penelitian Thitilerdecha et al. (2010) berhasil mengisolasi
asam ellagat, corilagin dan geraniin dari ekstrak metanol kulit
buah rambutan (Nephelium lappaceum L.). Biji
-
7
rambutan mengandung lemak dan polifenol (Dalimartha, 2005).
Penelitian Asrianti et al. (2006) menunjukkan biji rambutan
memberikan hasil positif terhadap golongan senyawa flavonoid.
Daunnya mengandung tanin dan saponin. Kulit batang mengandung
tanin, saponin, flavonoida, pectic substances dan zat besi
(Dalimartha, 2005).
2.2. Pewarna Makanan Zat pewarna adalah bahan tambahan makanan
yang dapat memperbaiki atau
memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan
dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau memucat
selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang tidak
berwarna agar kelihatan lebih menarik (Noviana, 2005).
Beberapa alasan utama penambahan zat pewarna pada makanan, yaitu
(Syah, 2005) : 1. Untuk menutupi perubahan warna akibat paparan
cahaya, udara atau
temperatur yang ekstrim akibat poses pengolahan dan penyimpanan.
2. Memperbaiki variasi alami warna. Produk pangan yang salah warna
akan di
asosiasikan denagn kualitas rendah. Jeruk yang matang di pohon
misalnya, sering disemprot pewarna Citrus Red No 2 untuk
memperbaiki warnanya yang hijau atau oranye kecoklatan. Tujuan
penambahan warna untuk menutupi kualitas yang buruk sebetulnya
tidak bisa diterima apalagi menggunakan pewarna yang berbahaya.
3. Membuat identitas produk pangan, seperti identitas es krim
strawberi adalah merah.
4. Menarik minat konsumen dengan pilihan warna yang
menyenangkan. 5. Untuk menjaga rasa dan vitamin yang mungkin akan
terpengaruh sinar
matahari selama produk di simpan.
2.2.1. Pewarna Alami Pewarna alami merupakan warna yang
diperoleh dari bahan alami,
baiknabati, hewani ataupun mineral. Secara kuantitas, dibutuhkan
zat pewarna alami yang lebih banyak daripada zat pewarna sintetis
untuk menghasilkan tingkat
-
8
pewarnaan yang sama. Pada kondisi tersebut, dapat terjadi
perubahan yang tidak terduga pada tekstur dan aroma makanan. Zat
pewarna alami juga menghasilkan karakteristik warna yang lebih
pudar dan kurang stabil bila dibandingkan dengan zat pewarna
sintetis. Oleh karena itu zat ini tidak dapat digunakan sesering
zat pewarna sintetis.
Beberapa pewarna alami yang telah banyak dikenal masyarakat
misalnya adalah daun suji untuk membuat warna hijau, kunyit untuk
warna kuning, daun jati untuk warna merah, dan gula merah untuk
warna coklat. Zat pewarna alami ini lebih aman digunakan daripada
zat pewarna sintetis. Pigmen zat pewarna yang diperoleh dari bahan
alami antara lain (Hidayat, N., & Saati,E.A, 2006) :
a. Karoten, menghasilkan warna jingga sampai merah, dapat
diperoleh dari wortel, papaya, dll.
b. Biksin, menghasilkan warna kuning, diperoleh dari biji pohon
Bixa orellana.
c. Karamel, menghasilkan warna coklat gelap merupakan hasil dari
hidrolisis karbohidrat, gula pasir, laktosa, dll.
d. Klorofil, menghasilkan warna hijau, diperoleh dari daun suji,
pandan, dll e. Antosianin, menghasilkan warna merah, oranye, ungu,
biru, kuning,
banyak terdapat pada bunga dan buah-buahan seperti buah anggur,
strawberry, duwet, bunga mawar, kana, rosella, pacar air, kulit
manggis, kulit rambutan, ubi jalar ungu, daun bayam merah, dll
f. Tanin, menghasilkan warna coklat, terdapat dalam getah.
Beberapa kelompok pewarna alami dapat dilihat pada tabel 2.1
yaitu:
-
9
Tabel 2.1. Contoh bahan pewarna alami
Kelompok Warna Sumber Karamel
Anthosianin
Flavonoid Leucoantho sianin
Tannin Batalin Quinon Xanthon
Karotenoid Klorofil Heme
Coklat Jingga Merah Biru
Tampak kuning Tidak berwarna Tidak berwarna Kuning, merah Kuning
hitam
Kuning Tanpa kuning merah
Hijau, coklat Merah, coklat
Gula dipanaskan Tanaman
Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman
Tanaman / hewan Tanaman Hewan
2.2.2. Pewarna Buatan (Sintetis) Zat pewarna sintetis merupakan
zat pewarna buatan manusia. Karakteristik
dari zat pewarna sintetis adalah warnanya lebih cerah, lebih
homogen dan memiliki variasi warna yang lebih banyak bila
dibandingkan dengan zat pewarna alami. Disamping itu penggunaan zat
pewarna sintetis pada makanan bila dihitung berdasarkan harga per
unit dan efisiensi produksi akan jauh lebih murah bila dibandingkan
dengan zat pewarna alami.
Pewarna sintetis merupakan sumber utama pewarna komersial untuk
hampir seluruh industri makanan utama. Karena sifat pewarna
sintetis mendasari sifat kelarutannya dalam air, maka sangatlah
mutlak diperlukan untuk mewarnai makanan yang mengandung air. Jika
kelarutannya dalam air kurang sempurna, tentu saja warna yang
diinginkan tidak akan tercapai dengan baik dan menarik. Secara
lebih khusus lagi, pewarna sintetik masih dibagi menjadi dua macam
yaitu Dyes dan Lakes. Perbedaan keduanya berdasarkan
bilangan-bilangan rumus kimianya, yaitu kelompok azo,
triarilmetana, quinolin dan lainlain.
Dyes adalah zat warna yang larut dalam air sehingga larutannya
menjadi berwarna dan dapat digunakan untuk mewarnai bahan. Biasanya
diperjual-belikan dalam bentuk granula (butiran), cairan, campuran
warna dan pasta. Dyes umumnya digunakan untuk mewarnai minuman
berkarbonat, minuman ringan, roti, dan kue-kue produk susu,
pembungkus sosis dan lain-lain. Zat warna ini
-
10
stabil untuk berbagai macam penggunaan dalam bahan pangan. Dalam
bentuk kering tidak memperlihatkan adanya kerusakan.
Sedangkan Lakes adalah pigmen yang dibuat melalui pengendapan
dari penyerapan dye pada bahan dasar. Produk-produk makanan yang
kadar airnya terlalu rendah untuk dapat melarutkan dye biasanya
menggunakan lakes, misalnya untuk pelapisan tablet, campuran adonan
kue, cake dan donat. Dibandingkan dengan dyes, maka lakes pada
umumnya bersifat lebih stabil terhadap cahaya, kimia dan panas
sehinga harga lakes umumnya lebih mahal daripada harga dyes.
Zat pewarna yang diizinkan penggunaanya dalam makanan dikenal
sebagai permitted color atau certified color. Untuk penggunaan zat
warna tersebut harus menjalani tes dan prosedur penggunaan yang
disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi
pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap
zat warna tersebut (Yuliarti, 2007).
Menurut Joint (FAO/WHO) Expert Committee on Food Additives
(JECFA), zat pewarna sintetis dapat digolongkan dalam beberapa
kelas berdasarkan rumus kimianya, yaitu azo, triarilmetana,
quinolin, xanten, dan indigoid. Untuk kelas-kelas zat pewarna
sintetis menurut JECFA dapat dilihat pada tabel 2.2. Jenis bahan
pewarna sintetis yang diizinkan di Indonesia dapat dilihat pada
tabel 2.3. dan jenis bahan pewarna sintetis yang dilarang di
Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.4.
-
11
Tabel 2.2. Kelas Kelas Zat Pewarna Sintetis Menurut JECFA
No Nama Warna 1.
2.
3.
4.
5.
Azo : 1. Tatrazine 2. Sunset Yellow FCF 3. Allura Red AC 4.
Ponceau 4R 5. Red 2G 6. Azorubine 7. Fast Red E 8. Amaranth 9.
Brilliant Balck BN 10. Brown FK 11. Brown HT
Triarilmetana : 1. Brilliant Blue FCF 2. Patent Blue V 3. Green
S 4. Fast Green FCF
Quinolin : 1. Quinoline Yellow
Xanten : 1. Erythrosine
Indigoid : 1. Indigotine
Kuning Oranye
Merah (kekuningan) Merah Merah Merah Merah
Merah (kebiruan) Ungu
Kuning cokelat Cokelat
Biru Biru
Biru kehijauan Hijau
Kuning kehijauan
Merah
Biru kemerahan Sumber : Peraturan Menkes RI, Nomor
722/Menkes/Per/IX/88
-
12
Tabel 2.3. Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di
Indonesia
Pewarna Nomor Indeks warna
(C.I.No.)
Batas maksimum penggunaan
Amaran
Biru berlian Erritrosin
Hijau FCF
Hijau S.
Indigotin Ponceau 4R
Kuning Kuinelin
Kuning FCF
Ribiflavina Tatrazine
Amaranth: CI Food Red 9 Brilliant Blue FCF : CI Food red 2
Erthrosin : CI Food red 14 Fast green FCF : CI Food green 3 Green S
: CI. Food Green 4 Indigotin : CI. Food Blue I Ponceau 4R: CI Food
Red 7 Quineline yellow CI. Food yellow 13 Sunset yellow FCF CI.
Food yellow 3 Riboflavina Tatrazine
16185
42090 45430
42053
44090
73015 16255
74005
15980
-
19140
Secukupnya
Secukupnya Secukupnya
Secukupnya
Secukupnya
Secukupnya Secukupnya
Secukupnya Secukupnya
Secukupnya
Secukupnya
Tabel 2.4. Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia
Bahan Pewarna Nomor Index Warna (C.I.No.)
Citrus red No. 2 Ponceau 3 R Ponceau SX Rhodamine B Guinea Green
B Magenta Chrysoidine Butter Yellow Sudan I Methanil Yellow
Auramine Oil Oranges SS Oil Oranges XO Oil Yellow AB Oil Yellow
OB
(Red G) (Food Red No. 1) (Food Red No. 5) (Acid Green No. 3)
(Basic Violet No. 14) (Basic Orange no. 2) (Solveent Yellow No. 2)
(Food yellow No.2) (food Yellow No. 14) (Ext. D & C yellow
No.1) (Basic Yellow No. 2) (Solveent Oranges No. 7) (Solveent
Oranges No. 5) (Solveent Oranges No. 6)
12156 16155 14700 45170 42085 42510 11270 11020 12055 13065
41000 12100 12140 11380 11390
Sumber : Peraturan Menkes RI, No. 722/Menkes/Per/IX/88
-
13
2.3. Pigmen Antosianin Antosianin adalah metabolit sekunder dari
famili flavonoid, dalam jumlah
besar ditemukan dalam buah-buahan dan sayur-sayuran (Talavera,
et al., 2004). Antosianin adalah suatu kelas dari senyawa
flavonoid, yang secara luas terbagi dalam polifenol tumbuhan.
Flavonol, flavan-3-ol, flavon, flavanon, dan flavanonol adalah
kelas tambahan flavonoid yang berbeda dalam oksidasi dari
antosianin. Larutan pada senyawa flavonoid adalah tak berwarna atau
kuning pucat (Wrolstad, 2001).
Antosianin adalah senyawa flavonoid dan merupakan glikosida dari
antosianidin yang terdiri dari 2-phenyl benzopyrilium (Flavium)
tersubstitusi, memiliki sejumlah gugus hidroksil bebas dan gugus
hidroksil termetilasi yang berada pada posisi atom karbon yang
berbeda. Seluruh senyawa antosianin merupakan senyawa turunan dari
kation flavilium, dua puluh jenis senyawa telah ditemukan. Tetapi
hanya enam yang memegang peranan penting dalam bahan pangan yaitu
pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin, petunidin, dan
malvidin (Nugrahan, 2007).
Pada umumnya seluruh antosianin memiliki struktur dasar kation
flavilium (AH+), seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.2. Struktur Kation Flavilium R1 dan R2= -H, OH, atau
OCH3, R3 = -glikosil, R4= -H atau glikosil (Fennema, 1996).
Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu struktur
aromatic
tunggal, yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen
sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil,
metilasi dan glikosilasi
-
14
(Harborne, 1996). Antosianin adalah senyawa yang bersifat
amfoter, yaitu memiliki kemampuan untuk bereaksi baik dengan asam
maupun dalam basa. Dalam media asam antosianin berwarna merah
seperti halnya saat dalam vakuola sel dan berubah menjadi ungu dan
biru jika media bertambah basa. Perubahan warna karena perubahan
kondisi lingkungan ini tergantung dari gugus yang terikat pada
struktur dasar dari posisi ikatannya (Charley, 1970). Struktur
antosianidin dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Struktur Antosianidin (Anonymous 2007 ).
Aglikon atau antosianidin bersifat kurang stabil dibandingkan
antosianin dan dalam jaringan tanaman berada sebagai suatu
glikosida dengan gugus glukosa pada posisi cincin 3 dan 3 dan 5.
Pada setiap inti flavilium terdapat sejumlah molekul yang berperan
sebagai gugus pengganti. Tabel berikut ini menunjukkan sejumlah
gugus pengganti yang paling umum ditemui pada antosianin.
Tabel 2.5. Gugus Pengganti pada Struktur Kation Flavilium pada
Antosianin Utama
Antosianidin R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 Sianidin -OH -OH -H -OH -OH -H
-OH Delfinidin -OH -OH -OH -OH -OH -H -OH Pelargonidin -H -OH -H
-OH -OH -H -OH Malvidin -OCH3 -OH -OCH3 -OH -OH -H -OH Peonidin
-OCH3 -OH -H -OH -OH -H -OH Petunidin -OH -OH -OCH3 -OH -OH -H
-OH
Sumber: Socasiu (2007).
-
15
Antosianidin adalah aglikon antosianin yang terbentuk bila
antosianin dihidrolisis dengan asam. Antosianidin yang paling umum
dikenal adalah sianidin yang berwarna merah lembayung. Warna jingga
disebabkan oleh pelargonidin yang gugus hidroksilnya kurang satu
dibandingkan sianidin, sedang warna merah senduduk, lembayung, dan
biru umumnya disebabkan oleh delfinidin yang gugus hidroksilnya
lebih satu dibandingkan sianidin. Tiga jenis ester metil
antosianidin juga sangat umum, yaitu peonidin yang merupakan
turunan sianidin serta petunidin dan malvidin yang terbentuk dari
delfinidin. Masing-masing antosianidin tersebut sebagai sederetan
glikosida (yaitu sebagai antosianin) dengan berbagai gula yang
terikat. Keragaman utama adalah sifat gulanya (sering kali glukosa,
tetapi mungkin juga galaktosa, ramnosa, xilosa, atau arabinosa),
jumlah satuan gula (mono-, di-, atau triglikosida), dan letak
ikatan gula (biasanya pada 3-hidroksi atau pada 3- dan 5-hidroksi)
(Harborne, 1996).
2.3.1. Sifat Fisika dan Kimia Antosianin Sifat fisika dan kimia
dari antosianin dilihat dari kelarutan antosianin larut
dalam pelarut polar seperti metanol, aseton, atau kloroform,
terlebih sering dengan air dan diasamkan dengan asam klorida atau
asam format (Socaciu, 2007). Antosianin stabil pada pH 3,5 dan suhu
50C mempunyai berat molekul 207,08 gram/mol dan rumus molekul
C15H110 (Fennema, 1996). Antosianin dilihat dari penampakan
berwarna merah, merah senduduk, ungu dan biru mempunyai panjang
gelombang maksimum 515-545 nm, bergerak dengan eluen BAA
(nbutanol-asam asetat-air) pada kertas (Harborne, 1996).
2.3.2. Warna dan Stabilitas Antosianin Warna dan stabilitas
pigmen antosianin tergantung pada struktur molekul
secara keseluruhan. Substitusi pada struktur antosianin A dan B
akan berpengaruh pada warna antosianin. Pada kondisi asam warna
antosianin ditentukan oleh banyaknya substitusi pada cincin B.
Semakin banyak substitusi OH akan menyebabkan warna semakin biru,
sedangkan metoksilasi menyebabkan warna semakin merah (Arisandi,
2001).
-
16
Menurut Belitz dan Grosch (1999) penambahan gugus hidroksil
menghasilkan pergeseran ke arah warna biru (pelargonidin sianidin
delpinidin), dimana pembentukan glikosida dan metilasi menghasilkan
pergeseran ke arah warna merah (pelargonidin
pelargonidin-3-glukosida; sianidin peonidin).
Degradasi antosianin terjadi tidak hanya selama ekstraksi dari
jaringan tumbuhan tetapi juga selama proses dan penyimpanan
jaringan makanan (Fennema, 1996). Kestabilan antosianin dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain pH, temperatur, sinar dan oksigen,
serta faktor lainnya seperti ion logam (Niendyah, 2004).
1. Transformasi Struktur dan pH Pada umumnya, penambahan
hidroksilasi menurunkan stabilitas, sedangkan
penambahan metilasi meningkatkan stabilitas. Warna dalam makanan
mengandung antosianin yang kaya akan pelargonidin, sianidin, atau
aglikon delpinidin kurang stabil dari makanan yang kaya akan
petunidin atau aglikon malvidin (Fennema, 1996).
Faktor pH ternyata tidak hanya mempengaruhi warna antosianin
ternyata juga mempengaruhi stabilitasnya. Antosianin lebih stabil
dalam larutan asam dibanding dalam larutan alkali (Markakis, 1992).
Dalam medium cair kemungkinan antosianin berada dalam empat bentuk
struktur yang tergantung pada pH. Struktur tersebut adalah basa
quinoidal (A), kation flavilium (AH+), basa karbinol yang tidak
berwarna (B), dan khalkon tidak berwarna (C) (von Elbe and
Schwartz, 1996 dalam Arthey dan Ashurst, 2001). Empat struktur
antosianin dalam larutan asam encer pada suhu ruang dapat dilihat
pada gambar 2.4.
-
17
Gambar 2.4. Empat struktur antosianin dalam larutan asam encer
pada suhu ruang (Fennema, 1996).
2. Suhu
Pemanasan bersifat irreversible dalam mempengaruhi stabilitas
pigmen dimana kalkon yang tidak berwarna tidak dapat kembali
menjadi kation flavilium yang berwarna merah. Degradasi antosianin
dipengaruhi oleh temperatur. Antosianin terhidroksilasi adalah
kurang stabil pada keadaan panas daripada antosianin termetilasi
terglikosilasi atau termetilasi (Arthey dan Ashurst, 2001).
(A) (AH+) (B) (C) quinoid flavilium basa karbinol kalkon ( biru)
(red) tak berwarna tak berwarna
Diketahui ada empat struktur antosianin yang terbentuk dalam
larutan cair yang ditunjukkan di atas. Pemanasan bergeser ke
persamaan kalkon tak berwarna dan reaksi berbalik adalah lebih
rendah daripada reaksi selanjutnya. Mekanisme yang tepat dari
degradasi termal antosianin tidak sepenuhnya terurai (Arthey dan
Ashurst, 2001).
-
18
3. Cahaya Antosianin tidak stabil dalam larutan netral atau basa
dan bahkan dalam
larutan asam warnanya dapat memudar perlahan-lahan akibat
terkena cahaya,sehingga larutan sebaiknya disimpan di tempat gelap
dan suhu dingin (Harborne, 1996). Secara umum diketahui bahwa
cahaya mempercepat degradasi antosianin. Efek tersebut dapat
dilihat pada jus anggur dan red wine. Pada wine metilasi
diglikosida yang terasilasi dan metilasi monoglikosida (Fennema,
1996).
Antosianin juga tidak stabil ketika terkena sinar tampak dan
ultraviolet dan inti lain dari radiasi ion. Dekomposisi sebagian
besar tampak menjadi fotooksidasi karena asam p-hidroksibenzoat
diidentifikasi sebagai hasil degradasi minor (Arthey dan Ashurst,
2001). Kemampuan cahaya membuat antosianin tereksitasi lewat
transfer elektron yang dapat mempengaruhi pigmen ke dekomposisi
fotokimia.
4. Oksigen
Oksidatif mengakibatkan oksigen molekuler pada antosianin.
Oksigen dan suhu nampaknya mempercepat kerusakan antosianin.
Stabilitas warna antosianin selama pemprosesan jus buah menjadi
rusak akibat oksigen (Arthey dan Ashurst 2001).
5. Kopigmentasi Kopigmen (penggabungan antosianin dengan
antosianin atau komponen
organik lainnya) dapat mempercepat atau memperlambat proses
degradasi, tergantung kondisi lingkungan. Bentuk kompleks turun
dengan adanya protein, tannin, flavonoid lainnya, dan polisakarida.
Walaupun sebagian komponen tersebut tidak berwarna, mereka dapat
meningkatkan warna antosianin dengan pergeseran batokromik, dan
meningkatkan penyerapan warna pada panjang gelombang penyerapan
warna maksimum. Kompleks ini cenderung menstabilkan selama proses
dan penyimpanan. Warna stabil dari wine dipercaya hasil dari
senyawa antosianin sendiri (Fennema, 1996).
-
19
2.4. Ekstraksi Ekstraksi adala jenis pemisahan satu atau
beberapa bahan dari suatu padatan
atau cairan. Proses ekstraksi bermula dari penggumpalan ekstrak
dengan pelarut kemudian terjadi kontak antara bahan dan pelarut
sehingga pada bidang datar antarmuka bahan ekstraksi dan pelarut
terjadi pengendapan massa dengan cara difusi. Bahan ekstraksi yang
telah tercampur dengan pelarut yang telah menembus kapiler-kapiler
dalam suatu bahan padat dan melarutkan ekstrak larutan dengan
konsentrasi lebih tinggi di bagian dalam bahan ekstraksi dan
terjadi difusi yang memacu keseimbangan konsentrasi larutan dengan
larutan di luar bahan.
Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan
cara panas. Jenis-jenis ekstraksi tersebut sebagai berikut: 1. Cara
Dingin
a. Maserasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengadukan pada suhu kamar. Secara teknologi termasuk
ekstraksi dengan prinsip metoda pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakuakn pengadukan
kontinyu. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan
pelarutsetelah dilakukan ekstraksi maserat pertama dan
seterusnya.
b. Perkolasi, adalah ekstraksi pelarut yang selalu baru sampai
sempurna yang umumnya pada suhu ruang. Prosesnya didahului dengan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penampungan ekstrak) secara terus menerus samapai
diperoleh ekstrak perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
2. Cara Panas
a. Reflux, adalah ekstraksi pelarut pada temperature didihnya
selamawaktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative
konstan dengan adanya pendingin balik
b. Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu
baru menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu
dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin
balik.
-
20
c. Digesi, adalahmaserasi kinetic pada temperature lebih tinggi
dari temperature kamar sekitar 40-50 C
d. Destilasi uap, adalah ekstraksi zat kandungan menguap dari
bahan dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial zat
kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinyu
sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fse uap campuran
menjadi destilat air bersama kandungan yang memisah sempurna atau
sebagian.
e. Infuse, adalah ekstraksi pelarut air pada temperature
penangas air 96-98 C selama 15-20 menit.
Maserasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat cair, yaitu
dengan cara merendam beberapa menit jaringan tumbuhan yang telah
diblender dalam pelarut yang sesuai kemudian disaring dengan corong
Buchner dan akhirnya dievaporasi untuk mendapatkan ekstrak pigmen
(Arisandi, 2001).
Untuk mengisolasi senyawa antosianin, metode yang biasa
digunakan adalah mengekstraksi jaringan segar dengan cara maserasi
dalam alkohol yang mempunyai titik didih yang rendah dan mengandung
asam (1% HCl). Pelarut organik yang biasa digunakan adalah etanol.
Hal ini karena etanol merupakan senyawa yang polar sehingga pigmen
antosianin dapat mudah larut. Selain itu, etanol bersifat lebih
selektif, kapang sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak
beracun, netral, absorbsinya baik, dapat bercampur dengan air dalam
segala perbandingan, memerlukan panas yang lebih sedikit untuk
proses pemekatan dan zat pengganggu yang larut terbatas. Antosianin
merupakan senyawa yang tidak stabil di dalam larutan netral atau
basa, sehingga ekstraksi dilakukan pada kondisi asam. Jadi
penambahan HCl dalam etanol dimaksudkan untuk menjaga agar kondisi
media asam (Arisandi, 2001).
Francis dalam Arisandi (2001) menyatakan bahwa dengan
konsentrasi HCl (asam klorida) 1% dalam larutan pengekstrak sudah
mencukupi jika proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam pada suhu
4C. Ekstrak pigmen antosianin dari bahan nabati umumnya menggunakan
larutan pengekstrak HCl dalam etanol. HCl dalam etanol akan
mendenaturasi membran sel tanaman kemudian melarutkan
-
21
pigmen antosianin keluar dari sel. Pigmen antosianin dapat larut
dalam etanol karena antosianin dan etanol adalah sama-sama
polar.
Menurut Guenther (1987) pelarut adalah salah satu faktor yang
menentukan dalam proses ekstraksi sehingga banyak faktor yang harus
diperhatikan dalam pemilihan pelarut. Pemilihan pelarut pada
umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini: 1.
Selektifitas
Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan
komponen-komponen lain dari bahan ekstraksi.
2. Kelarutan
Pelarut sedapat mungkin memiliki komponen melarutkan ekstrak
yang besar (kebutuhan pelarut lebih sedikit).
3. Reaktifitas Pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan
perubahan secara kimia pada komponen-komponen bahan ekstraksi.
4. Titik didih Karena ekstrak dan pelarut biasanya harus
dipisahkan dengan cara penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka
titik didih kedua bahan itu tidak boleh terlalu dekat. Ditinjau
dari segi ekonomi, akan menguntungkan jika pada proses ekstraksi
titik didih tidak terlalu tinggi.
5. Kriteria yang lain Pelarut sedapat mungkin harus murah,
tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun, tidak dapat terbakar,
tidak eksplosif, tidak bercampur dengan udara, tidak korosif, tidak
membentuk terjadinya emulsi, memiliki viskositas yang rendah dan
stabil secara kimia dan termis.
-
22
2.5. Dekstrin Dekstrin merupakan hasil hidrolisa pati dengan
asam dan enzim. Hidrolisa
pati tersebut akan menghasilkan berat molekul yang lebih kecil
dan larut dalam air, terutama air panas. Dalam pembentukan dekstrin
juga terjadi transglukosilasi yaitu perubahan ikatan
-D-(1,4)glukosidik menjadi ikatan -D-(1,6). Perubahan ikatan ini
meyebabkan dekstrin lebih cepat terdispersi, tidak kental dan lebih
stabil daripada pati.
Sebagai padatan, dekstrin tersedia dalam bentuk tepung, tidak
larut dalam alkohol dan pelarut netral lain. Dekstrin juga dapat
membentuk larutan kental yang mempunyai sifat adhesive kuat.
Berdasarkan tahap hidrolisa pati maka diperoleh tiga macam
dekstrin yaitu amilodekstrin, erithrodekstrin, achrodekstrin. Pada
tahap awal konversi dihasilkan amilodekstrin yang larut dalam air.
Amilodekstrin ini masih memberikan warna biru bila ditetesi dengan
larutan yodium. Selanjutnya dihasilkan erithrodekstrin yang akan
memberikan warna merah kecoklatan bila ditetesi yodium. Terakhir
dihasilkan achrodekstrin yang tidak memberikan warna bila ditetesi
oleh yodium. Penambahan dekstrin dapat mengurangi kerusakan vitamin
C. Fennema (1996) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit
glukosa yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat
dikurangi, akibatnya proses oksidasi dapat dicegah. Dekstrin
memiliki sifat yang dapat larut dalam air, dapat melindungi senyawa
volatile dan senyawa yang peka terhadap panas atau oksidasi (lebih
stabil terhadap suhu panas). Dekstrin mempunyai rumus kimia
(C6H10O5)n dan memiliki struktur serta karakteristik intermediate
antara pati dan dextrose (Anonimous, 2009). Struktur kimia dekstrin
dapat dilihat pada gambar 2.5.
-
23
Gambar 2.5. Struktur kimia Dekstrin
Arief (1987), mengemukakan bahwa struktur molekul dekstrin
berbentuk spiral, sehingga molekul-molekul flavor dapat
terperangkap di dalam struktur spiral helix. Dengan demikian
penambahan dekstrin dapat menekan kehilangan komponen volatile
selama proses pengolahan. Dekstrin mempunyai viskositas
yang relative rendah, sehingga pemakaian dalam jumlah banyak
masih diijinkan. Hal ini justru menguntungkan jika pemakaian
dekstrin ditujukan sebagai bahan pengisi (filler) karena dapat
meningkatkan berat produk yang dihasilkan (Warsiki, 1995). Warsiki
(1995) dalam Wiyono (2012), mengemukakan bahwa kenaikan konsentrasi
dekstrin dari 5-15% akan meningkatkan rendemen, densitas kamba,
penurunan kadar air, total padatan terlarut serta gula pereduksi
tepung instan sari buah nanas.
Proses pembuatan bubuk pewarna alami dari kulit buah rambutan
keberhasilannya sangat ditentukan oleh bahan pengisi seperti
dekstrin, dan suhu pengeringan. Penambahan bahan pengisi dekstrin
diperlukan dalam pembuatan bubuk pewarna, dengan tujuan untuk
mempercepat pengeringan dan mencegah kerusakan akibat panas,
melapisi komponen flavor, meningkatkan total padatan dan
memperbesar volume, (Murtala, 1996). Menurut hasil penelitian
Nurika (2000), konsentrasi dekstrin berpengaruh terhadap stabilitas
warna bubuk pewarna dari ekstrak angkak. Semakin tinggi
-
24
konsentrasi dekstrin warna bubuk pewarna yang dihasilkan
cenderung semakin putih dan sedikit kecoklatan. Dari hasil yang
diperoleh, perlakuan terbaik diperoleh dari perlakuan konsentrasi
dekstrin 5,5%, karena stabilitas warna tertinggi bubuk pewarna dari
ekstrak angkak diperoleh dari perlakuan tersebut. Pada konsentrasi
dekstrin 5,5% merupakan konsentrasi optimum dibanding dengan
konsentrasi dekstrin 6%. Pada konsentrasi 6% diduga warna putih
dari dekstrin ikut mempengaruhi warna bubuk sehingga menurunkan
intensitas warna bubuk pewarna dari ekstrak angkak. Hal ini
didukung oleh pernyataan Sunarmani dan Soedibyo (1992), pada
pembuatan tepung jeruk Siam, penggunaan pada konsentrasi yang lebih
kecil yaitu 5% lebih baik daripada konsentrasi yang lebih tinggi
yaitu 7%, karena semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi, maka
warna produk akan semakin jauh dari warna aslinya.
2.6. Standar Mutu Bubuk Pewarna Menurut SII 0364-80, standar
mutu produk pangan bubuk siap saji harus memenuhi beberapa
syarat,seperti tertera pada tabel 2.6. yaitu:
Tabel 2.6. Standar mutu produk pangan siap saji menurut SII
0364-80 Parameter uji Satuan Syarat Mutu Kadar gula % Maks 45
Kadar Air (b/b) % Maks 4,5 Serat Kasar % Maks 5
(Kumalaningsih, 2005)
2.6.1. Pengeringan Pengeringan merupakan suatu metode untuk
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan
air tersebut dengan bantuan energi matahari atau energi panas
lainnya. Pengeringan merupakan metode tertua untuk mengawetkan
bahan pangan. Hal ini terjadi karena keadaan kering mikroba
pembusuk tidak dapat tumbuh, dan enzim-enzim yang menyebabkan
kerusakan kimia yang tidak dapat berfungsi secara normal tanpa
adanya air, (Earle, 1982).
-
25
Kelebihan dari proses pengeringan adalah bahan menjadi lebih
tahan lama, volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah
dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga
menjadi berkurang, dengan demikian diharapkan biaya produksi
menjadi lebih murah. Di samping itu pengeringan juga mempunyai
kelemahan, antara lain dapat merubah sifat dan karakterisik dari
bahan yang dikeringkan, misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan
kimianya, penurunan mutu dan sebagainya. Pengeringan dapat
dilakukan dengan memakai alat pengeringan (articial drying) atau
dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan
sinar matahari. Pengeringan buatan mempunyai banyak keuntungan,
diantaranya aliran udara dan suhu dapat diatur, sehingga waktu
pengeringan dapat ditentukan dan kebersihan bahan dapat diawasi
(Winarno, 1995). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pengeringan suatu bahan pangan antara lain:
1. Sifat fisik dan kimia suatu produk (bentuk ukuran, komposisi,
kadar air) 2. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan
permukaan media
perantara pemindah panas 3. Sifat-sifat fisik dari lingkungan
alat pengering (suhu, kelembaban dan
kecepatan udara) 4. Karakteristik alat pengering (Efisiensi
pemindahan panas).
2.6.1.1. Oven Oven adalah suatu peralatan yang berfungsi untuk
memanaskan ataupun mengeringkan. Biasanya digunakan untuk
mengeringkan peralatan gelas laboratorium, zat-zat kimia maupun
pelarut organik. Dapat pula digunakan untuk mengukur kadar air.
Suhu oven lebih rendah dibandingkan dengan suhu tanur yaitu
berkisar antara 105C. Tidak semua alat gelas dapat dikeringkan
didalam oven, hanya alat gelas dengan spesifikasi tertentu saja
yang dapat dikeringkan, yaitu alat gelas dengan ketelitian rendah.
Sedangkan untuk alat gelas dengan ketelitian tinggi tidak dapat
dikeringkan dengan oven. Apabila alat gelas dengan
-
26
ketelitian tinggi tersebut dimasukkan ke dalam oven, maka alat
gelas tersebut akan memuai dan berakibat ketelitiannya tidak lagi
teliti. Biasanya digunakan desikator untuk mengeringkannya.
2.6.1.2. Desikator
Desikator adalah sebutan lain dari Eksikator. Yaitu sebuah alat
yang terbuat dari kaca berbentuk panci bersusun dua yang bagian
bawahnya diisi bahan pengering seperti silika gel sehingga pengaruh
uap air selama pengeringan dapat diserap oleh silika gel tersebut.
Karena terbuat dari kaca yang tebal, maka Desikator tergolong
peralatan laboratorium yang berbobot. Terutama karena penutup yang
sulit dilepas dalam keadaan dingin karena dilapisi vaseline.
Desikator berfungsi sebagai tempat menyimpan sampel yang harus
bebas air dan untuk mengeringkan dan mendinginkan sampel yang akan
digunakan untuk menguji kadar air. 2.6.2. Serat Serat adalah zat
non gizi. Secara kimia serat terdiri dari polisakarida yang bukan
pati, antara lain selulosa, lignin, dan disakarida.Pada dasarnya
serat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu serat makanan (dietary
fiber) dan serat kasar (crude fiber). Serat makanan adalah serat
yang tetap ada dalam kolon atau usus besar setelah proses
pencernaan.Serat makanan merupakan bagian dari pangan yang dapat
dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Sedangkan serat kasar
adalah serat tumbuhan yang tidak larut dalam air, yaitu sisa
karbohidrat yang tidak dapat dicerna atau dihiddrolisis oleh
enzim-enzim pencernaan dan dibuang dalam bentuk feses. Kehadiran
serat pada usus besar ini baik untuk membantu proses-proses yang
terjadi di usus besar (Kumalaningsih, 2006).
2.7. Kerangka Berpikir dan Hipotesis Dekstrin merupakan hasil
hidrolisa pati dengan asam dan enzim. Dekstrin
dapat membentuk larutan kental yang mempunyai sifat adhesive
kuat. Dekstrin memiliki sifat yang dapat larut dalam air, dapat
melindungi senyawa volatile dan senyawa yang peka terhadap panas
atau oksidasi (lebih stabil terhadap suhu panas).
-
27
Proses pembuatan bubuk pewarna alami dari kulit buah rambutan
keberhasilannya sangat ditentukan oleh bahan pengisi seperti
dekstrin. Penambahan bahan pengisi dekstrin diperlukan dalam
pembuatan bubuk pewarna, dengan tujuan untuk mempercepat
pengeringan dan mencegah kerusakan akibat panas, melapisi komponen
flavor, meningkatkan total padatan dan memperbesar volume,
(Murtala, 1996). Dengan model tersebut hipotesis penelitian yang
akan diuji adalah :
Ho : Tidak ada pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap mutu bubuk
pewarna alami dari ekstrak kulit buah rambutan.
Ha : Ada pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap mutu bubuk
pewarna alami dari ekstrak kulit buah rambutan.
Secara statistik, hipotesis tersebut ditulis sebagai berikut: Ho
: 1 = 2 = 3 = 4 = 5
Ha : Paling sedikit ada sepasang yang tidak sama.