TUSUK KONDAI PUSAKA(Liong Hong Po Cha Yan)S.D. Liong
Jilid 1Negeri kacau banyak perjodohan terhalangLaut dan gunung
saling merindu jumpaGelegah menanti sang embun mencurah
sayangDuhai, siapa yang membelai tusuk kondai pusaka?Tahun ke tahun
penjuru buana habis dilalangKepada siapa gerangan kurayukan bisikan
jiwaSyukurlah angin timur meniup hujan membayangBulan surut angin
mengembus belibis terjaga.Malam sunyi. Suasana di sebuah hotel di
suatu kotakecil dekat Lo-ciu tenggelam dalam keheningan malam.Di
suatu kamar hotel itu lagi duduk termenung-menungseorang anak muda,
terkadang terdengar juga mulutnyamenggumam sendiri.Tusuk kondaiku
ini berukiran Liong dan tusukkondainya berukiran Hong, keduanya
adalah satupasangan. Aku suaminya, ia isteriku. Perjodohan ini
telah ditetapkan sejak lahir. Ai, tapibagaimana harus kukatakan
kepadanya? Apakah begitu berjumpa, terus saja kukatakan: Aku
inisuamimu, maka aku datang menemuimu!Ah, tidak, tidak, berat
rasanya mulutku mengucap begitu. Mungkin ia akan menganggap
akuseorang gila. Aku pun belum pernah bertemu muka dengan dia,
entah ia suka padaku atau tidak,entah apakah ia sudi menerima aku
sebagai suaminya?Ai, sukar nian mengerjakan urusan yang memalukan
ini. Tetapi ini adalah pesang mendiangayah-bundaku, tak dapat aku
mengingkarinya. Apakah ia mengetahui juga urusan ini? Jika
sudah,itu sih mudah. Cukup jika kuminta dia mengunjukkan Hong-ja
untuk dipadu dengan punyakuLiong-ja. Sepasang tusuk kondai pusaka
serupa bentuk buatannya. Hm, tolol benar aku ini!Bukankah saat itu
aku tak perlu mengucap apa-apa lagi dan dengan sendirinya iapun
sudahmengerti?Tetapi sesudah itu, lalu bagaimana? Jika aku tak
bernyali untuk mengatakan apa-apa, masakania berani berkata dulu :
Ya, benar sejak ini kita menjadi sepasang suami isteri. Suami
isteri tentuakan selalu berkumpul bersama. Dari pagi sampai petang
aku tentu akan selalu berhadapanpadanya. Bagaimanakah perangainya?
Dapatkah aku menyukainya?Dan andaikata ia tak tahu menahu tentang
urusan ini, habis bagaimana? Apakah aku harustebalkan kulit muka
untuk menuturkan riwayat sepasang tusuk kondai pusaka itu?
Kemudianmengatakan : Aku ialah si anak lelaki dan kaulah si anak
perempuan yang dimaksudkan itu. Tapiia tak kenal padaku, apakah ia
mau mendengar ceritaku? Dan setelah mendengar, apakah ia maupercaya
....? Ai, ai, benar-benar pusing dan akan pecah rasanya
kepalaku!Demikianlah lalu-lang keterangan yang mengejangkan urat
syaraf Toan Khik-ya di kala iamondar-mandir di kamar hotelnya
sembari menggenggam sebuah tusuk kondai kemala. Sakingtegangnya,
sampai-sampai ia mengoceh sendirian.Kini ia sudah menginjak usia 16
tahun. Setelah 8 tahun lamanya negara menderita kekacauanakibat
pemberontakan Ang Lok-san dan Su Su-bing, kini keamanan
berangsur-angsur pulihkembali. Bibi He (namanya He Leng-soang,
isteri dari Lam-ce-bun) yang mengasuhnya sepertiibunya sendiri,
mengatakan bahwa karena ia sudah dewasa maka disuruhnyalah ia pergi
ke Lo-ciu menemui tunangannya. Tunangannya itu adalah puteri pungut
dari Sik Ko yang menjabat Ciat-to su (panglima yang bertugas
menjaga perbatasan). Bibi He menerangkan pula bahwa Sik Ko itu
seorang keras, ia melarang seisi rumahnya membocorkan asal usul
puteri pungutnya itu. Oleh karena itu, mungkin sampai sekarang
gadis itu tentu belum mengetahui siapa ayah bundanya yang asli.Jadi
Toan Khik-ya berangkat menemui seorang tunangan yang belum pernah
dikenalnya,seorang gadis yang tak tahu akan asal-usul dirinya
sendiri.Lazimnya dalam umur 15-16 tahun itulah anak mulai mengerti
urusan duniawi. Dalam usiabegitu seorang dara tentu akan
kemerah-merahan pipinya bila bertemu dengan seorang jejaka,begitu
pun sebaliknya. Lebih-lebih seperti keadaan Toan Khik-ya saat itu,
disuruh seorang dirimenjumpai seorang tunangan yang belum pernah
dilihatnya. Itulah sebabnya, makin dekat ke kota Lo-ciu, hati Toan
Khik-ya makin risau, malu, berdebar-debar, gembira dan penuh
harapan ....Ketegangan perasaannya itu, tepat seperti yang
digambarkannya serasa membuat kepala pecah.Tiba-tiba ada semacam
bau wangi berembus masuk dari jendela. Ketegangan benaknya
makinmenjadi-jadi, seketika ia rasakan kepalanya pening ingin
tidur.Celaka! sekonyong-konyong ia mengeluh. Selintas terbayanglah
olehnya akan kejadian yangdialaminya siang tadi. Seorang lelaki
yang memelihara kumis pendek, entah bilamana, telahmengikutinya
dari belakang. Karena di jalanan pada siang hari banyak orang
berlalu-lalang, jadi iatak leluasa menggunakan ilmu gin-kang.
Sengaja ia lambatkan langkahnya, tapi ternyata orang itupun
kendorkan jalannya. Ketika ia berjalan ceat sedikit, orang itu pun
cepatkan langkahnya.Toan Khik-ya menaruh kepercayaan pada ilmu
kepandaiannya sendiri. Meskipun ia menaruhkecurigaan, tapi ia tak
memandang serius pada orang itu, hanya merasa jengkel saja. Setelah
tiba dijalanan yang sepi, ia sengaja unjukkan sedikit demonstrasi.
Sekali hantam ia patahkan sebuahdahan pohon sebesar paha orang lalu
dibuat memikul buntalan barangnya. Entah bagaimana, orangitu lantas
menghilang.Apakah orang itu seorang penjahat yang karena siang hari
tak leluasa turun tangan, tapi malamsekarang mau menggerayang
kemari? demikian pikirnya.Plak, terdengar suara sebuah kerikil
melayang masuk dari jendela. Itulah cara melempar batumenanyakan
jalan yang biasa dilakukan oleh kaum penjahat bilamana hendak
mencari keterangantentang keadaan sasarannya. Karena suhengnya,
Gong-Gong-ji, bergelar Pencuri Sakti Nomor Satudi Kolong Jagat,
jadi Toan Khik-ya mengerti juga tentang cara itu.Hm, kiranya bangsa
penjahat picisan saja. Seorang penjahat ulung tentu tak
perlumenggunakan cara bertanya jalan begitu. Baik, coba saja
bagaimana ia hendak mencuri barangkunanti, diam-diam ia
mentertawakan.Tring, Liong-ji kemala yang digenggamnya itu jatuh di
atas meja, menyusul kepala ToanKhik-ya pun terantuk pada meja
seperti orang yang terkulai pulas.Daun pintu kedengaran terdorong,
sesaat kemudian terdengar lengking seruan kaget seseorang,Eh,
lihatlah tusuk kondai kemala itu!Itulah suara seorang perempuan.
Dan yang lebih mengherankan lagi, mengapa ia melengkingbegitu
nyaring? Bukankah biasanya bangsa pencuri itu pantang menerbitkan
suara?Ssst, jangan bersuara keras-keras, seru lain suara yang
bernada kasar lantang, sekarang kaumengakui ketajaman mataku tidak?
Kuyakin mataku takkan salah melihat kalau bocah inimempunyai sebuah
benda berharga, hanya saja aku tak menyangka sama sekali kalau
bendanya itusebuah pusaka. Ha, melulu mestika ya-beng-cu yang
tercantum di atas tusuk kondai itu sajanilainya tak kurang dari
beberapa puluh ribu tahil perak!Nilainya itu tak penting, sahut
orang pertama yang bernada seperti perempuan, yangkuherankan
mengapa barang itu serupa benar dengan kepunyaan nona kita!Apa?
Nonamu juga mempunyai tusuk kondai kemala seperti ini? seru si
lelaki.Ya, hanya saja lukisannya tak sama. Tusuk kondai nonaku
berukir seekor burung Hong(cendrawasih) yang tengah mementang
sayapnya hendak terbang! Ha, engkoh Bo, rupanyaperuntunganmu sudah
tiba, kata si perempuan.Benar, ini namanya seperti mendapat durian
runtuh, sahut si lelaki, Aku mempunyaibeberapa kenalan pedagang
intan berlian, tak kuatir tak bisa mendapat harga. Setelah
mempunyai
beberapa puluh ribu tahil perak, kita cari sebuah tempat yang
sunyi untuk mendirikan rumah tanggayang bahagia.Engkoh Bo, aku
tidak mempunyai maksud begitu, di luar dugaan si perempuan
telahmenyanggah.Oh, habis bagaimana rencanamu? tanya si
lelaki.Menyembunyikan diri dan lewatkan hari-hari dengan penuh
kecemasan, bukanlah cara yangbenar! Apalagi Tayswe (panglima) tentu
akan menyebar perintah penangkapan kemana-mana,mana kita dapat
bersembunyi dengan aman? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan
tusukkondai ini kepada nona, kebetulan beliau juga mempunyai sebuah
tusuk kondai yang serupa,dengan demikian tanggung beliau pasti akan
gembira sekali. Kemudian jika kuminta tolong kepadanona supaya
memintakan pengampunan pada Tayswe, kemungkinan besar bukan saja
kitadibebaskan dari penangkapan, bahkan Tayswe akan menghadiahkan
kau suatu pangkat pula.Bukankah cara demikian adalah terlebih
bagus?Masih si lelaki menegas dengan kesangsian, Apakah kau yakin
dapat membujuk nona?Aku adalah dayang kesayangannya. Kali ini jika
bukan gara-garamu, masakan aku tegaberpisah dengan nona. Bila aku
meminta ampun, ia tentu meluluskan, apalagi aku membawabarang
persembahan yang berharga! jawab si perempuan.Tapi jika ia
menanyakan dari mana kau peroleh barang itu, bagaimana
jawabmu?Tentang itu, itu ..... sekali ini si perempuan tak dapat
menemukan jawaban yang tepat.Melihat itu si lelaki buru-buru
menyatakan, Kurasa lebih baik kita langsung persembahkanbenda
pusaka ini pada Tayswe saja. Mungkin kau tak tahu bahwa Tayswe itu
asal-usulnya juga darikalangan Lok-lim (penyamun). Asal beliau
sudah menerima barang pusaka, tak nanti iamendesakmu untuk memberi
keterangan dari mana kau peroleh. Tidak demikian dengan nona.
Ai,tapi makin kupandang benda ini makin besar rasa sayangku.
Sebenarnya kita rugi kalaumenyerahkannya kepada Tayswe!Kau tentu
cukup kenal perangai Tayswe, maka lebih baik kita serahkan saja.
Oh, ya, teringataku sekarang. Bulan muka tanggal 15 ini, nona akan
merayakan hari pernikahannya! Itu suatukesempatan bagus bagi kita.
Dengan persembahan kita itu, masakan Tayswe takkan
dimabukkegirangan. Hai, kenapa kau ini?Jawab si lelaki, Bocah ini
mengerti ilmu silat, lebih baik sekali bacok kumampuskan dia
sajadaripada kelak menimbulkan urusan. Menyingkirlah, jangan kau
merintangi aku!Kiranya lelaki itu hendak membunuh Toan Khik-ya,
tapi dihadang oleh kawannya perempuan.Jangan, jangan, masakan kita
tak berperikemanusiaan. Sudah merampas barangnya masih maumengambil
jiwanya. Turutlah permintaanku, lepaskan dia. Jika kau membangkang,
aku tak sudimengikut kau! seru si perempuan.Ai, mengapa hatimu
selemah ini? si lelaki mengomel, Baiklah, kuturut permintaanmu,
apaboleh buat, ya siapa yang suruh aku suka padamu? Nah, berikanlah
tusuk kondai itu padaku danayo kita lekas pergi dari sini. Ha, ha,
sungguh benda pusaka bagus!Baru lelaki itu mendorong daun jendela
hendak loncat keluar, belum suara ketawanya sirna,tahu-tahu
tubuhnya bergoncang dan sebagai tonggak, ia berdiri tegak seperti
patung. Tring, tusukkondai yang digenggamnya itupun jatuh ke
lantai. Berbareng itu Toan Khik-ya pun loncatmenghadang si
perempuan.Ternyata walaupun baru berumur 16 tahun, tapi kepandaian
Toan Khik-ya sudah bukan olaholahhebatnya. Sewaktu mencium bau
wangi tadi, segera ia sudah curiga. Buru-buru ia gunakanilmu
pernapasan Pit-hi-hoan-gi untuk menutup hidungnya. Obat bius
Ke-bing-ngo-ko-hoan-hunhiangyang biasa digunakan oleh kaum
persilatang itu, sudah tentu tak mempan terhadap dia. Iatadi hanya
pura-pura saja pingsan untuk melihat perkembangan. Dan kedua
penyatron itu ternyatakena diingusi.Si perempuan tadi terkejut dan
hendak menerobos lari, tapi kena disambar Toan Khik-ya.Bukan
urusannya, lepaskan dia! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku! si lelaki
buru-buruberteriak.Ternyata si lelaki itu kena tertutuk jalan
darahnya oleh tutukan Keh-gong-tiam-hiat (menutuk
dari kejauhan) yang dilepas Toan Khik-ya. Tubuhnya tak dapat
bergerak, tapi mulutnya masih bisabersuara. Ini disebabkan karena
Toan Khik-ya masing kurang pengalaman. Karena terburu-buru,
iasampai lupa untuk menutuk jalan darah pembisu orang.Biasanya,
adalah si maling yang takut bersuara, sebaliknya kini Toan Khik-ya
yang takut simaling bersuara. Setelah membikin bisu si lelaki,
barulah Toan Khik-ya lepaskan perempuan itu.Jangan takut, mengingat
kau tadi melindungi jiwaku, akupun takkan membunuh suamimu
itu.Hanya saja tusuk kondai pusaka itu adalah warisan keluargaku,
jangan kalian ambil, kata ToanKhik-ya dengan tertawa.Perempuan itu
tertegun, berulang-ulang ia menghaturkan terima kasih, Terima kasih
ataskelapangan hati Siangkong. Sudah tentu kami tak berani
mengambil barangmu. Harap Siangkonglepaskan kami saja!Toan Khik-ya
menyahut dengan tertawa, Nanti dulu, kalau mau pergi mudah saja,
asal kaumemberi keterangan yang jujur. Dari pembicaraanmu tadi,
rupanya kau ini bujang perempuan darikeluarga pembesar. Siapakah
nona majikanmu itu, lekas bilang!Merah padam muka si perempuan,
setelah bersangsi sejenak, barulah ia berkata, Dengansejujurnya aku
ini adalah budak dari puteri Ciat-tok-su daerah Lo-ciu sini.Oh,
kiranya kau ini pelayan dari nona Sik Hong-sian, puteri Sik Ko itu?
Tapi mengapa kauberkawan dengan bangsat itu hendak mencuri
barangku? tegur Toan Khik-ya.Mendengar Toan Khik-ya menyebut nama
nona majikannya, perempuan itu makin terkesiap.Katanya pula, Ya,
karena aku diam-diam pergi dengan dia. Dia menjabat sebagai
wi-su(pengawal) dari Sik-tayjin, dan kami .... kami .....Ha,
kiranya begitulah. Kau suka padanya, lalu minggat bersama, bukan?
Toan Khik-yamenegas.Perempuan itu tersipu kemalu-maluan.Huh,
kekasihmu itu boleh juga. Rupanya ia pun suka padamu. Baiklah,
kuampuni dia, kataToan Khik-ya.Perempuan itu hendak menghaturkan
terima kasih, tapi Toan Khik-ya mencegahnya, Nantidulu, tadi kau
katakan hendak menyerahkan tusuk kondaiku ini kepada nona majikanmu
sebagaibarang persembahan. Entah mempunyai kerja apa nonamu
itu?Bulan muka tanggal 15 nona hendak keluar pintu, sahut si
perempuan.Mendengar itu Toan Khik-ya melongo.Apa? Nonamu hendak
keluar pintu? ia menegur.Menduga Toan Khik-ya tak mengerti maksud
kata-kata itu, si bujang perempuan memberiketerangan, Benar, keluar
pintu artinya menikah. Nona majikanku hendak menjadi pengantin!Toan
Khik-ya tercengang, katanya dengan tergagap-gagap, Jadi, jadi ia
akan kawin?Tiba-tiba saat itu di sebelah luar terdengar derap kaki
orang, menyusul ada orang berteriakteriak,Ada pencuri, ayo bangun
tangkap pencuri!Seketika terdengarlah suara berisik dan langkah
orang berderap-derap. Hotel itu ternyatamemegang teguh ketertiban.
Setiap malam ada orang jaga. Jaga malam itu kaget mendengar
ributributdari kamar Toan Khik-ya. Karena jeri seorang diri tak
berani menangkap pencuri, maka iaberteriak-teriak memanggil
kawan.Wajah bujang perempuan tadi menjadi pucat. Tergopoh-gopoh ia
meminta pada Toan Khik-ya,Mohon, mohon Siangkong sukalah lepaskan
dia!Toan Khik-ya juga gugup. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera
membuka jalan darah bekas wisuitu. Begitu dapat bergerak, bekas
wi-su itu segera ajak kekasihnya loncat keluar jendela. Darisitu
loncat ke atas rumah terus melenyapkan diri.Melihat di atas
wuwungan rumah ada tubuh orang, jaga malam itu menyurut
ketakutan.Berselang beberapa jenak, baru ia berseru kepada
orang-orang yang mendatangi, Aman, sudahaman, pencurinya sudah
melarikan diri.Toan Khik-ya menyimpan tusuk-kondainya lalu tutup
kepala dengan selimut, pura-pura tidurlagi. Tak berselang berapa
lama, terdengar pintu kamarnya diketuk. Ternyata yang datang
adalahpengurus hotel yang menanyakan keterangan kalau-kalau
barangnya ada yang tercuri maling. Toan
Khik-ya pura-pura terkejut dan tak mengetahui apa-apa. Barang
bekalannya sederhana sekali,setelah pura-pura memeriksanya
sebentar, ia mengatakan tiada kehilangan apa-apa.Dengan bangga, si
penjaga malam menepuk dada, Untung ada aku hingga si pencuri
ketakutanlari!Habis itu ia minta persen pada Toan Khik-ya. Toan
Khik-ya memberi sedikit uang dan kawananjaga malam itupun lantas
ngeloyor pergi.Semalam itu Toan Khik-ya tak dapat tidur. Pikirannya
selalu bertanya-tanya, Ia mau kawin,kawin dengan siapa? Ah, sayang
tadi aku tak keburu menanyakan keterangan Itu kemauan SikKo atau ia
sendiri yang menyetujuinya? .... Ai, karena ia toh bakal menjadi
pengantin, apakah akumasih perlu menjumpainya untuk menceritakan
tentang tusuk-kondai pusaka ini? Ayahku danayahnya, semasa masih
hidup sama mengikat persaudaraan, sekali pun tidak dikarenakan
urusanperjodohan itu, aku harus datang kepadanya dan memberitahukan
asal-usulnya ..... Ya, benar, dalampertemuan nanti untuk sementara
takkan kukemukakan perjodohan itu.Demikian setelah mendapat
keputusan, dapatlah Toan Khik-ya meramkan mata barang
beberapajenak. Tapi hanya beberapa saat saja, haripun sudah mulai
terang tanah. Ia berkemas danmeneruskan perjalanannya Ke Lo-ciu
lagi.Berjalan tak berapa lama, tiba-tiba didengarnya di sebelah
muka ada sorak-sorai gegap gempita.Buru-buru ia cepatkan
langkahnya. Setelah membelok di sebuah tikungan gunung, dilihatnya
dijalanan ada dua rombongan orang tengah bertempur. Dari corak
pakaiannya, partai yang satu terdiridari tentara negeri dan partai
lawan adalah kawanan begal. Di belakang mereka tampak
berjajarbelasan buah kereta. Para kusirnya sama angkat tangan ke
atas pertanda menyerah. Turut peraturangolongan Hek-to, yaitu kaum
bandit, apabila tiada perlawanan maka pemilik dari
barang-barangyang akan dirampasnya itu, tidak boleh dibunuh.Dari
dalam hutan pohong siong, makin banyaklah kawanan penyamun yang
keluar. Karenakalah banyak jumlahnya, lama kelamaan pihak tentara
negeri menjadi keteter. Saat itu kawananpenyamun sudah siap hendak
membawa pergi kereta-kereta barang itu.Sungguh banyak dan brutal
(kurang ajar) sekali kawanan penyamun itu. Masakah di siang
haribolong mereka berani merampok. Hm, jika kereta-kereta itu
terampas mereka, bukankah pasukanyang menunggu rangsum itu akan
mati kelaparan? pikir Toan Khik-ya. Ia duga belasan kereta
itumemuat bekal rangsum.Ketika berumur 10 tahun, Toan Khik-ya
pernah ikut ayahnya membantu perjuangan Thay-siu(setingkat
gubernur) Thio Sun menjaga kota Sui-yang. Dengan mata kepala
sendiri, kala itu iasaksikan bagaimana ngenasnya kawanan serdadu
yang kehabisan rangsum. Kesan itu sampaisekarang tak pernah ia
lupakan.Aku pun tak mau membunuh kawanan penyamun itu, asal dihalau
pergi, cukuplah! pikirnya.Setelah mengambil keputusan, ia lari
menghampiri mereka dan berseru lantang-lantang, Hai,tengah hari
bolong mengapa kalian berani merampas barang orang. Ayo, lekas
enyah dari sini!Kawanan penyamun itu tertawa keras. Mereka tak
mengacuh sama sekali pada seorang bocahseperti Khik-sia.Hai, kacung
yang masih ingusan apa kau mau ikut-ikutan cari perkara? bentak
mereka denganserempak. Lekas pulang minta netek ibumu saja, awas
golokku tak bermata, tahu!Kepala penyamun rupanya cukup
berpengalaman. Melihat gerakan Toan Khik-sia yang gesittadi, ia
terperanjat. Hati-hati, bocah itu tak boleh dipandang enteng!
serunya segera.Belum habis ia memperingatkan kawan-kawannya, Toan
Khik-sia sudah menerjang ke dalamgelanggang. Tanpa membalas ejekan
mereka, Toan Khik-sia mencabut pedang tinggalan mendiangayahnya,
terus dibolang-balingkan kian kemari. Tring, tring, terdengar
beberapa kali suaragemerincing. Kejut si kepala penyamun bukan
kepalang. Golok, pedang, tombak, samaberhamburan kutung di tanah
demi terbentur pedang Toan Khik-sia.Mendadak pemimpin penyamun itu
timpukkan bandringan rantai Liu-sing-juinya untukmenghantam po-kiam
Toan Khik-sia. Namun sempat Khik-sia menghindar dan secepat
kilatdisambarnya bandul bandringan itu terus disambitkan kembali.
Trang, tepat sekali bandul itumenghantam bandul yang kedua.
Suaranya berderang memecah telinga. Kedua bandul itu
melayang ke udara. Cepat Khik-sia menyambuti yang sebuah lagi
dengan tangannya kiri, kemudiandiiring dengan gerakan pedang di
tangan kanan, ia menari-nari lagi. Tring, tring, kembali
beberapabatang tombak dan golok lawan tergempur kutung!Jika kalian
tetap tak mau enyah, jangan salahkan kalau aku melukai orang.
Po-kiamku ini jugatak bermata, awaslah, lebih baik kalian lekas
menyingkir saja! untuk yang kedua kalinya Khik-siamemberi
peringatan.Kepala penyamun itu menahan nafas, serunya dengan
nyaring: Baik, terima kasih ataskebaikan saudara. Selama gunung
masih menghijau, lain kali kami tentu akan minta pengajaranlagi
padamu!Dan sekali memberi komando, kawanan penyamun itu
berbondong-bondong pergi. Datangnyacepat, perginya pun lekas,
persis seperti gelombang laut yang pasang surut. Sebentar saja
merekasudah lenyap dari pemandangan.Opsir pasukan tentara
bergegas-gegas lantas datang menghaturkan terima kasih kepada
ToanKhik-sia.Ah, untuk urusan kecil itu tak usah begitu sungkan,
sahut Khik-sia sembari hendak berlalu.Siau enghiong (ksatria
cilik), kau sudah membuat pahala besar, apakah tak berminat
mendapathadiah dan pangkat? buru-buru opsir itu berseru.Acuh tak
acuh Khik-sia menjawab: Aku masih kecil, tak inginkan pangkat. Aku
pun takkekurangan uang, tak butuh hadiah apa-apa. Nah, selamat
tinggal!Opsir itu tercengang, sesaat kemudian ia acungkan jempolnya
berseru memuji: Inilah ksatriagagah sejati! Ai, Siauenghiong,
tunggu dulu, tunggu dulu, aku belum menanyakan namamu yangmulia dan
kemana tujuanmu?Dengan acuh tak acuh Khik-sia memberitahukan
namanya dan menyatakan hendak menuju keLo-ciu.Opsir itu tertawa
gelak-gelak: Kamipun justru kebetulan hendak menuju ke Lo-ciu juga.
Kitasama seperjalanan. Ha, ha, Toan-siauhiap, tahukah kau untuk apa
kami pergi ke Lo-ciu ini?Dalam saat itu, kawanan serdadu sudah
mengangkat benderanya yang jatuh tadi. Disitutersulam huruf-huruf:
Gui-pok-ciat-tok-su Tian.Mana aku tahu? sahut Khik-sia dengan
tertawa.Menunjuk ke arah bendera, berkatalah opsir itu: Berkata
dengan sejujurnya, kami ini dititahkanGui-pok-ciat-tok-su Tian
tayciangkun untuk mengirim barang bingkisan ke Lo-ciu.
Tiantayciangkun itu dahulu adalah bekas Hou-kun-thong-leng
(panglima) dari An Lok-san. Dia denganSik Ko, sama-sama menjadi
panglima sebawahan dari An Lok-san. Keduanya akrab
sekalihubungannya. Setelah Sik Ko menakluk pada kerajaan Tong, tak
lama kemudian Tian tayciangkunpun menyusul tindakannya. Kini mereka
berdua sama menjabat sebagai Ciat-tok-su. Sekalipundaerah
kekuasaannya lebih kecil dari Sik Ko, tapi beliau terus-menerus
membentuk pasukannya danmemperkuat perlengkapannya. Dalam hal
kekuatan tentara, kini ia lebih kuat dari Sik Ko.Pula hati Khik-sia
tergetar hatinya: Oh, jadi kalian ini hendak mengantar Lap-jay
(bingkisan,emas kawin) ke Lo-ciu? Apakah kedua keluarga itu hendak
mengikat pernikahan?Benar, Tian-tayciangkun hendak menikahkan
puteranya yang sulung. Yang menerimabingkisan perkawinan itu, ialah
puteri dari Sik ciat-tok-su. Mereka akan melangsungkanpernikahan
pada nanti bulan muka tanggal 15. Keduanya sahabat karib dan
sama-sama menjabatpangkat tinggi, sudah tentu barang-barang
bingkisannya berharga mahal. Jika pembesar tinggimempunyai hajat
kerja, kami kaum bawahannya inilah yang lari pontang-panting.Dalam
perjalanan, sudah dua kali kami berhantam dengan kawanan penyamun,
kata opsir itupula, sungguh tak nyana gerombolan penyamun yang tadi
begitu lihaynya. Untung mendapatbantuanmu hingga barang bingkisan
itu dapat diselamatkan. Jika tidak, ah, mungkin batang kepalakami
sudah menggelinding! Toan-siauhiap, terangkah kau sekarang, betapa
besar pahalamuterhadap Ciat-tok-su kami itu? Ha, ha, jika kau
kepingin kaya sajam pangkat apa dan hadiah yangbagaimana, asal kau
membuka mulut, Tayciangkun tentu akan meluluskan!Oho, begitu
kiranya? Semula kukira kalian ini mengawal rangsum, kata
Khik-sia.Tertawa opsir itu: Barang ini lebih penting dari rangsum.
Karena kita sama-sama bertujuan ke
Lo-ciu, itulah bagus sekali.Diam-diam Khik-sia geli, pikirnya:
Sudah tentu kamu mengatakan bagus karena dapatmenggunakan aku
sebagai tukang kawal dengan gratis. Huh, aku sendiri yang sial,
masakahdisuruh orang mengantar bingkisan untuk calon isteriku!Tanpa
tunggu penyahutan Toan Khik-sia lagi, opsir itu segera suruh
orangnya menyediakankuda untuk anak muda itu. Sementara itu
Khik-sia baru mengetahui bahwa kereta pengangkutbarang-barang itu
semua berjumlah 12 buah.Hm, entah berapa banyak darah dan keringat
rakyat yang diperas untuk membeli barangbarangini! Jika dibelikan
rangsum, entah cukup untuk memelihara berapa puluh ribu
serdadu!pikir Khik-sia.Dalam perjalanan itu tak henti-hentinya
pikiran Khik-sia melayang. Sekonyong-konyongterdengar suara
mendesing, dua batang anak panah yang dilengkapi dengan suitan,
melayang keluardari dalam hutan. Karena ada Toan Khik-sia, nyali
opsir itu jadi besar. Segera ia keluarkanperintah untuk menyusun
barisan guna menghadapi musuh.Segerombolan penyamun berkuda segera
menerobos keluar dari hutan. Pemimpinnya berwajahputih licin,
seorang dari pertengahan umur yang bergaya seperti
sasterawan.Melihat jumlah mereka tak banyak, opsir itu makin
congkak. Ia segera menganjurkan ToanKhik-sia: Hm, kawanan manusia
yang ingin cari mampus itu datang lagi. Toan-siauhiap, kali
inisebaiknya kau jangan beri ampun lagi, paling tidak kau harus
basmi benggolan-benggolannya!Tanpa disadari, Khik-sia keprak
kudanya maju menyongsong. Menatap sejenak pada anakmuda itu, si
kepala penyamun berseru: Apakah kau tadi yang jual jasa pada
kawanan budak itu?Urusan tadi hanya secara kebetulan saja berjumpa.
Kata-kata jual jasa itu sungguh tak tepat.Tolong tanya, apa maksud
kedatangan Cecu ini? sahut Toan Khik-sia.Oh, begitu! Tapi tahukah
kau barang apa yang mereka bawa itu? tanya si kepala
penyamunpula.Barang bingkisan emas kawin dari Gui-pok-ciat-tok-su
Tian Seng-su untuk Sik Ko di Lo-ciu,jawab Khik-sia.Tepat, toh sudah
tahu mengapa kau masih sudi jual jiwa pada Tian Seng-su? Harta
benda yangtidak halal ini setiap orang berhak mengambilnya. Mereka
adalah kawanan budak dari Tian Sengsu,karena mendapat tugas dan
ingin kenaikan pangkat, jadi terpaksa mereka melakukan tugas
itu.Tapi kau, kepandaianmu cukup tinggi, tentunya seorang Enghiong
muda, masakan tak maumenghargakan diri dan sudi menjadi budak
pembesar bejat?Toan Khik-ya terkesiap mendengar teguran kepala
penyamun yang tajam itu. Dilihatnya dibelakang kepala penyamun itu
berkibar selembar bendera besar yang bersulam gambar seekor
ayamjago, yang tengah menengadahkan kepalanya dengan gagahnya.
Tergerak hati Toan Khik-sia.Apakah kalian ini rombongan Hohan
(orang gagah) dari gunung Kim-ke-nia? Tolong tanya,bagaimana
kabarnya dengan Shin cecu? Dan bagaimana pula dengan Thiat-tayhiap
Thiat-mo-lekkenalkah kau? tanyanya.Kepala penyamun itu berjengit
kaget, serunya: Siapa kau? Ai, darimana kau perolehpedangmu itu?
Kiranya ia dapat mengenali pedang pusaka yang dahulu dipakai oleh
mendiangayah Toan Khik-sia, Toan Kui-ciang.Po-kiam ini adalah
warisan dari ayahku! sahut Khik-sia.Kepala penyamun itu makin
terperanjat, serunya: Jadi kau ini, kau ...Benar, aku adalah putera
ayahku. Tak nanti aku mencemarkan nama ayahku, jangan kuatir.Tolong
tanya siapakah namamu, Cecu? kata Khik-sia.Berjalan tak merubah
nama, duduk tak mengganti she. Kim-kiam-deng-long To Peh-ing,
ialahaku ini. Dahulu mendiang ayahmu itu seperti saudara sekandung
dengan aku!Hai, kiranya To siok-siok, terimalah hormat Siautit ini,
kata Khik-sia sembari memberihormat.Mendengar percakapan itu,
keruan semangat opsir tadi serasa terbang dibuatnya. Buru-buru
iaberseru: Toan-siauhiap, tolong mintakan kelonggaran bagi kami!To
Peh-ing buru-buru mencegah Toan Khik-sia: Jangan berlaku begitu
sungkan, kemudian ia
bertanya: Bagaimana hiantit hendak menyelesaikan urusan
ini?Harap sioksiok menanti di samping saja, biarlah siautit
mewakili untuk menyelesaikan, kataKhik-sia yang terus berpaling ke
belakang. Menuding dengan pokiamnya, ia berkata kepada siopsir:
Tian Seng-su memeras keringat rakyat untuk membeli barang bingkisan
perkawinan ini,kurasa kalian tak layak menjual jiwa padanya. Apa
yang dikatakan To sioksiok-ku tadi memangtepat. Harta benda yang
tidak halal, setiap orang boleh mengambilnya. Nah, sekarang
turunkanbarang-barang itu!Opsir itu gemetar dan berkata dengan
tergagap-gagap: Toan-siauhiap ini, ini ....Tak usah takut, turunkan
barang-barang itulah. Telah kumintakan kelonggaran, tak nanti
jiwakalian diganggu. To sioksiok, orang-orang ini hanya melakukan
kewajiban saja, harap kau luluskanpermintaanku.Baik, dengan
memandang muka Hiantit, aku takkan mengganggu mereka. Hai,
mengapakalian tak mau menerima pengampunan ini, apa masih mau
berkelahi? Mengapa tak menyingkir?seru To Peh-ing.Opsir dan kawanan
serdadu itu sudah menyaksikan kelihayan Toan Khik-sia. Apalagi
seorangtokoh macam Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing yang namanya tenar
di dunia persilatan. Sudahtentu mereka merasa gentar.Hohan,
meskipun sudah mengampuni jiwa kami, tapi dengan kehilangan barang
antaran itu,masakan nanti sepulangnya di rumah kami masih bisa
diberi hidup lagi? kata si opsir dengankuatir.Kalian tak perlu
kuatir. Setelah kusuruh kalian turunkan barang-barang antaran itu,
sudahtentu akulah yang bertanggung jawab. Jika Tian Seng-su berani
melakukan pengejaran, akankusuruh ia menjadi setan tanpa kepala!
kata Toan Khik-sia.Kemudian ia berpaling kepada To Peh-ing: Menjadi
orang jangan kepalang tanggung,mengantar Buddha harus sampai di
Se-thian, To-sioksiok, aku hendak mohon pinjam beberapaperak padamu
untuk beramal.To Peh-ing tertawa: Ini juga miliknya Tian Seng-su,
Hiantit boleh pakai sesukamu.Ia suruh anak buahnya untuk memeriksa
kereta-kereta itu. Benar juga isinya penuh dengan masintan yang tak
ternilai. Toan Khik-sia mengambil 10 kong perak, ditumpah di tanah.
(Padajaman ahala Tung-tiau, uang kas negara itu dijadikan semacam
bentuk goan-po, lalu dimasukkanke dalam kong (guci), agar mudah
disimpan dan dibawa kemana-mana. Kong dibuat dari kayuyang kedua
ujungnya berlubang. Sebelah diisi dengan 50 buah goan-po, setiap
buah beratnya 10tail perak, lalu kedua ujungnya ditutup. Dan
jadilah sebuah kong.Itu, lihatlah, semua kong ada capnya. Nyata
Tian Seng-su menggunakan uang negara untukkeperluannya sendiri,
pakai uang negara untuk hadiah pernikahan, kata To Peh-ing.Khik-sia
suruh seorang anak buah To Peh-ing membuka kong itu, katanya: Kau
bakal dilepasdari pekerjaan, berarti mangkuk nasimu akan hancur.
Hal itu memang pantas disesalkan. Tadi telahkuhitung, kalian anak
tentara ini, semua berjumlah 100 orang. Nah, baik golongan opsir
maupunserdadu biasa, masing-masing boleh mengambil 5 goan-po.
Dengan uang itu rasanya cukup untukmodal kecil-kecilan. Hal itu
rasanya lebih berbahagia daripada hidup di bawah tindasan Tian
Sengsu.Sekalian serdadu bergirang, pun kawanan opsirnya diam-diam
menimang: Untuk melawanterang tak mungkinlah, mau tak mau kita
harus tunduk juga. Dapat menyelamatkan jiwa itu sudahbaik. Apakah
omongan anak muda itu dapat dipercaya bahwa Tian Seng-su tak akan
mengusutnya,itulah urusan besok.Begitulah kawanan serdadu itu
setelah menerima uang, lalu menghaturkan terima kasih danpergi.
Melihat penyelesaian itu, To Peh-ing tertawa puas: Hiantit masih
berumur muda, tapi dapatbekerja dengan bagus dan bertindak secara
bijaksana, sungguh membuat orang kagum.Ah, jangan sioksiok
memperolok begitu. Tadi karena limbung, siautit telah keliru
mengirabingkisan Tian Seng-su sebagai rangsum. Aku sungguh menyesal
sekali karena telah menyalahisahabat-sahabat dari Lok-lim, kata
Khik-sia.Yang menghadang tadi ialah anak buah dari Im-ma-joan Tian
Ma-cu. Biar nanti kukirimkan
satu bagian kepadanya sekalian menjelaskan salah paham ini. Kau
tak perlu cemas, ujar To Pehing.Toan Khik-sia memberi salam pada
sekalian thau-bak dari Kim-ke-nia, setelah itu iamenanyakan perihal
Thiat-mo-lek lagi.Ada sebuah kabar girang bagimu, hiantit,
Thiat-mo-lek bakal menjadi Beng-cu (ketua) darikaum Lok-lim
(penyamun), kata Peh-ing.Benarkah? Ai, ya teringat sekarang aku.
Suhengku pernah mengatakan, ia akan menyerahkancap dan surat tanda
Lok-lim-beng-cu peninggalan dari Ong Peh-thong padanya. Rasanya
suhengtentu sudah mengerjakan hal itu, kata Toan Khik-sia.Kini
barulah Peh-ing tahu bahwa anak muda itu adalah sute dari
Gong-gong-ji. Diam-diam iamembatin, itulah sebabnya maka Toan
Khik-sia begitu lihaynya.Cap dan surat pertandaan itu sudah
diterima oleh Thiat-mo-lek. Tapi di samping itu Gonggong-ji pun
menyampaikan juga sebuah pesan dari almarhum ayahmu. Adalah karena
pesan itumaka Thiat-mo-lek menjadi ragu-ragu untuk menerima jabatan
Beng-cu. Tapi karena keadaanmemaksa, jadi terpaksa ia menerimanya
juga, demikian Peh-ing menerangkan.Mengapa? tanya Khik-sia.Almarhum
ayahmu menyampaikan pesan, bahwa jabatan Beng-cu itu tidak
berarti.Sebenarnya Thiat-mo-lek pun menurut, karena ia sudah tak
mau cari permusuhan lagi di kalanganLok-lim. Tapi kenyataan,
setelah ia menolak jabatan itu banyaklah orang yang
menginginkannya.Dalam beberapa tahun ini, karena hendak
memperebutkan kedudukan Beng-cu, banyak tokoh Loklimyang saling
gontokan. Di samping itu, Thiat-mo-lek selalu diganggu oleh
orang-orang yanghendak meminta cap dan surat mandat itu. Sudah
tentu ia tak mentah-mentah menyerahkan padasembarang orang.
Disebabkan hal itu, ia tak dapat menghindar lagi
tantangan-tantangan mereka.Uh, sungguh runyam. Seorang bawahan dari
ayah angkatnya, segera menganjurkan supaya iaterima saja kedudukan
Beng-cu itu. Beberapa kali ia mengadakan perundingan dengan
kamiakhirnya setelah kami desak, ia terpaksa suka menerima
kedudukan itu, demikian panjang lebarPeh-ing menutur.Dengan dasar
apa kalian menganjurkan padanya? tanya Toan Khik-sia.To Peh-ing
menghela nafas, ujarnya: Mungkin Hiantit tidak mengetahui. Soalnya
terletak padawaktu yang makin berlarut-larut. Kala itu aku dan
almarhum ayahmu mengira setelahpemberontakan An Su (An Lok-san, Su
Su-bing) padam, negara tentu aman. Siapa tahu
pembesarpembesardaerah telah meminta status otonom. Setiap
Ciat-tok-su memperoleh bagian sebuahdaerah kekuasaan. Mereka
bertindak seolah-olah raja kecil (war lord) di daerahnya.
Keadaanrakyat di daerah-daerah lebih payah dari semula. Karena
penderitaannya, rakyat seakan-akandipaksa menjadi penyamun. Dari
hari ke hari, jumlah mereka bertambah banyak. Kamiberpendapat,
daripada kedudukan Beng-cu jatuh ke tangan seorang jahat, lebih
baik Thiat-mo-leksaja yang menjabatnya. Setelah bulat sepakat, kami
minta Shin-cecu yang keluar untukmengundang para orang gagah dari
segala aliran di dunia Lok-lim untuk menghadiripermusyawarahan
besar yang akan diadakan pada nanti hari Peh-cun di gunung
Kim-ke-san. Padahari itulah nanti kami dengan resmi akan memilih
Thiat-mo-lek menjadi Lok-lim-beng-cu.Hari ini baru tanggal 8 bulan
2, jadi masih ada waktu tiga bulan lagi. Mungkin aku
dapatmenghadiri keramaian itu, kata Khik-sia.He, jadi sekarang
Hiantit tidak ikut kami naik ke Kim-ke-san? tanya Peh-ing.Maaf, aku
masih ada sedikit urusan yang belum selesai. Nanti saja apabila
urusan itu sudahberes, aku tentu akan datang menjenguk sekalian
paman, kata Khik-sia.Oh, ya, tadi kau sudah berjanji pada kawanan
opsir untuk memperingatkan Tian Seng-susupaya jangan mengganggu
mereka. Ya, memang Hiantit harus pergi ke Lo-ciu dulu, tapi urusan
itukan mudah, mengapa perlu memakan waktu sampai hari
Peh-cun?Khik-sia menerangkan, bahwa selain itu memang ia masih ada
lain urusan lagi hendakmenjenguk seorang sahabatnya di Lok-ciu. Ia
berjanji akan berusaha sedapat mungkin untukmenghadiri rapat besar
di Kem-ke-san nanti.Baiklah kalau begitu, kata Peh-ing, jika nanti
tiba di Lo-ciu, tolong Hiantit cari berita
bilamana Sik Ko hendak mengirimkan barang-barang bingkisan kawin
itu. Biar kami nantimenggasaknya lagi. Di Lo-ciu kami pun mempunyai
orang. Hiantit boleh mencari orang itu.Begitu sudah mendengar
berita, Hiantit boleh suruh dia menyampaikan pada kami.Habis
berkata, Peh-ing menyerahkan sebuah alamat pada Khik-sia dan
memberitahukan tentangkode pengenal. Ternyata informan (colok)
Kim-ke-san yang ditempatkan di Lo-ciu itu bernama TioPeh-liong.
Sebenarnya ia adalah Hu-pangcu (wakil ketua) dari kaum Kay-pang di
Lo-ciu.Begitulah Toan Khik-sia segera ambil selamat berpisah dengan
rombongan To Peh-ing, lalubergegas-gegas menuju ke Lo-ciu.
Setibanya di kota itu ia langsung menuju ke tempat Tio Pehliongdan
tinggal di situ.Tio Peh-liong lama tinggal di kota Lo-ciu. Sehari
suntuk ia ajak Khik-sia putar kayun di dalamkota serta meninjau
letak tempat kediaman Ciat-tok-su Sik Ko. Besok malamnya, Toan
Khik-siaberganti pakaian ya-heng-ih (pakaian ringkas peranti
berjalan malam), lalu menuju ke gedung Ciattok-su. Sudah tentu
kepada Tio Peh-liong ia hanya mengatakan hendak menyirapi berita
tentangpengiriman bingkisan kawin Sik Ko dan tak mau menerangkan
kalau sekalian hendak menyelidikikeadaan tunangannya.Tepat dikala
Toan Khik-sia masuk ke dalam gedung Ciat-tok-hu, kala itu Sik Ko
tengahbertengkar mulut dengan isterinya dalam kamar rahasia.
Pertengakaran itu mengenai urusanperkawinan puteri mereka.Isteri
Sik Ko itu, telah menerima pesan terakhir dari mendiang ibu
Hong-sian, sewaktu ibukandung nona itu hendak menutup mata. Ibu
Hong-sian itu telah memberikan dua pesan, pertama,supaya mengasuh
puterinya dengan baik, kedua, supaya Hong-sian itu dijodohkan pada
puterakeluarga Toan yang semenjak kecil sudah
ditunangkan.Sebenarnya Sik-hujin (isteri Sik Ko) sudah beberapa
kali bermaksud hendak memberitahukanHong-sian tentang asal-usulnya,
tapi dikarenakan takut kepada sang suami, jadi hal itu tetap
masihdisimpan dalam hatinya saja. Tapi kini urusan sudah memuncak,
kabarnya Tian Seng-su sudahsuruh orang-orangnya mengirim bingkisan.
Karena cemas dan gelisah, nyonya itu menjadi nekat.Ia ajak suaminya
bercekcok.Semenjak lahir, ayah-bunda Hong-sian sudah menetapkan
perjodohannya dengan putera ToanKui-ciang. Kini mengapa kau hendak
menikahkan pada lain orang? Demikian Sik-hujin
menegursuaminya.Orang tua Hong-sian kan sudah menutup mata, pun
Toan Kui-ciang juga sudah gugur dalampeperangan. Jika kau tak
bilang, siapa yang tahu akan perjodohan Hong-sian dengan keluarga
Toanitu? sahut Sik Ko.Sik-hujin membantah: Jadi orang harus
mempunyai liang-sim (nurani). Tempo dulu Toan Kuiciangpernah
menolong seisi rumah keluargamu, sebaliknya kini kau hendak
menyerahkanmenantunya pada lain orang. Coba tanyalah pada perasaan
hatimu sendiri! Dan lagi cobarenungkan. Ayah Hong-siang, Su Ih-ji,
adalah seorang cin-su (cendekia) yang termasyhur. Kala ituia
dicelakai oleh An Lok-san dan ditangkapnya. Sekalipun pada masa itu
kau dan Tian Seng-suhanya melakukan tugas sebagai orang sebawahan
An Lok-san, tapi perbuatanmu itu sungguhmenyakiti keluarga Su
.!Diam! bentak Sik Ko dengan gusarnya. Apakah kau hendak
menceritakan kejadian itu padaHong-sian agar anak itu memusuhi
aku?Kata Sik-hujin: Mana aku mempunyai pikiran begitu. Aku hanya
memikirkan ....Lagi-lagi Sik Ko memutus omongan isterinya:
Sekalipun aku dianggap berdosa terhadapkeluarga Su, tapi aku telah
merawat anak isterinya, dan sekarang mengusahakan supaya
anaknyadapat jodoh yang genah, seorang keturunan keluarga yang
keadaannya seratus kali lebih baik darikeluarga Toan, masakah arwah
Su Ih-ji takkan merasa berbahagia di alam baka?Sik Ko masih kuatir
isterinya akan membocorkan rahasia itu. Maka ia segera berganti
sikapbahasanya, dari main gertak menjadi ramah membujuk.Soalnya
bukan begitulah, sanggah Sik-hujin, Lu-hujin tinggal di rumah kita
ini hanyasebagai mak-inang (wanita yang memberikan air susunya).
Sampai pada ajalnya, ia tetap tak dapatmengenalkan diri pada
anaknya. Jika kita sampai mengingkari pesannya, ia tentu tak
dapat
mengaso dengan tenteram di alam baka. Ya, selain itu, dahulu
ketika hendak membasmi An Loksan,semuanya ialah yang merencanakan,
hingga anak buah An Lok-san berontak dan puteranyasaling membunuh
sendiri. Dalam hal mencapai pangkat Ciat-tok-su yang kau peroleh
sekarang ini,ia mempunyai andil juga. Suami isteri Toan itu
melepaskan budi besar sekali kepada kita, sekarangadalah saatnya
kau harus membalasnya. Turut pendapatku, batalkan saja pernikahan
dengankeluarga Tian itu!Muka Sik Ko sebentar merah sebentar pucat.
Dengan kertak gigi ia menggeram: Kau hanyatahu soal balas budi saja
tapi tak mengerti akan soal lain yang teramat penting. Jika
Hong-siantidak jadi dinikahkan dengan keluarga Tian, jiwaku pun
sukar dipertahankan!Sik-hujin tersentak kaget, serunya: Masakah
sampai begitu? Tian-ciangkun adalah sahabatbaikmu, masakah karena
batal berbesan lantas membunuh kau? Dan kau toh bukan
seorangpanglima yang tak berdaya!Hah, kau seorang wanita masakah
mengerti urusan negara. Tian Seng-su itu mempunyai citacitahendak
mencaplok daerah Lo-ciu. Sudah lama ia mengandung cita-cita itu.
Pada tahun-tahunbelakangan ini ia terserang penyakit jiat-tok-hong
(demam panas). Setiap musin panas tiba, tentukambuh ....Ia
mempunyai penyakit jiat-tok-hong, apa hubungannya dengan urusan
negara? tukas Sikhujin.Ah, hujin, kau tak tahukah, kata Sik Ko,
karena tersiksa dengan penyakitnya itu, ia lantastimbul ingatan
hendak merampas daerah kita sini. Ada orang memberitahukan padaku,
ia seringbilang kepada orang-orang bahwa daerah Gui-ciu itu terlalu
panas sekali, makanya ia bermaksudhendak pindah ke wilayah
Shoa-tang yang lebih nyaman iklimnya. Shoa-tang adalah
wilayahpropinsi dan ibu kotanya ialah Lo-ciu kita ini.Ah, itu hanya
suatu alasan belaka, kata Sik-hujin.Benar, tapi dikarenakan ia
mengandung cita-cita begitu, tidak dengan alasan tadipun ia
bisacari alasan lain. Ya, telah kuselidiki betul-betul. Dalam
beberapa tahun terakhir ini ia sudahmengumpulkan anak tentara
sebanyak 3000 orang. Dengan pasukan yang diberi nama Gwe-thoklanitu
ia hendak menyerang kita!Ha, makanya kau lantas serahkan Hong-sian,
supaya ia jinak dan batalkan rencananya. Tapikalau memangnya ia
mempunyai nafsu jahat itu, sekalipun sudah terikat famili, masakan
ia takmelaksanakannya? tanya Sik-hujin.Kalau sudah menjadi famili,
masakah ia tidak merasa rikuh? Dan lagi selama ini kitaperlakukan
Hong-sian sebagai anak kandung sendiri. Setelah menjadi anggota
keluarga Tian,masakah ia takkan melindungi kita? Ia bukannya
seorang gadis biasa ....Ya, mengertilah aku, tukas Sik-hujin, kamu
mau jadikan Hong-sian sebagai orangmu dalamkeluarga Tian, makanya
kau begitu ketakutan kalau aku sampai membocorkan
rahasianya.Tentunya kau kuatir kalau ia tahu kau bukan ayah
kandungnya, lalu tak mau mati-matianmembelamu.Memang begitu, tapi
akupun tak mau 100% mengandalkan pada budak perempuan itu, kataSik
Ko, Di samping itu, akupun bermaksud hendak mengikat pernikahan
dengan Leng Ho-ciang,Ciat-tok-su dari Hwat-ciu. Dengna pernikahan
segitiga itu, rasanya keamanan masing-masing dapatterjamin. Sayang
anak perempuan dari Leng Ho-ciang dan anak lelaki kita masih kecil,
jadi urusanpernikahan ini harus menunggu dulu. Sekarang yang paling
perlu, kita harus lekas menjadikanpernikahan Hong-sian dengan
keluarga Tian itu.Sik-hujin menghela nafas, ujarnya: Kini kau
menjabat kedudukan sebagai pembesar tinggi,suatu peruntungan yang
tak sembarang orang dapat menikmati. Tapi kenyataan, kau selalu
hidupdalam kegelisahan, hari-hari kau lewatkan dengan penuh
kekuatiran. Itu artinya percuma saja.Turut pendapatku, lebih baik
kau minta pensiun saja pulang ke kampung halaman. Tian Seng-sumau
mencaplok daerah Shoa-tang atau tidak, biarkan sajalah. Pernikahan
ini tetap kita batalkan!Pikiran wanita yang cupat! teriak Sik Ko
dengan marahnya, dengan susah payah kurebutkedudukan Ciat-to-su
ini, sekarang kau mau suruh aku lepaskan kedudukan ini untuk orang
lain.Hm, hm, tanpa pangkat dan nama apa bisa mendapat kekayaan?
Tapi bagaimana kau hendak mempertanggungjawabkan apabila kelah
putera Toan Kui-ciangbertanya padamu? Ingat, Toan Kui-caing pun
pernah melepas budi besar kepadamu. Dan urusanini lambat atau laun
tentu tak dapat mengelabui Hong-sian, biarpun aku tak bilang, kelak
jika puteraToan Kui-ciang datang kemari, ia tentu akan
mengatakannya juga. Dan bila Hong-sian sudahmengetahui, ia tentu
akan mengutuk kau!Air muka Sik Ko menjadi gelap, hawa pembunuhan
merangsangnya. Dengan keras ia berseru:Jika bocah dari keluarga
Toan itu berani datang kemari menunjukkan hal itu, tentu
akankubunuhnya!Kejut Sik-hujin bukan kepalang, serunya: Ciangkun,
itu melanggar perikemanusiaan! Apayang kau lakukan ini barulah
benar-benar memikirkan kepentingan anak kita!Persetan dengan
perikemanusiaan segala! sahut Sik Ko dengan gusar, aku berbuat
demikepentingan anak kita!Kau hendak bunuh bakal suaminya, apakah
hal itu kau anggap memikirkan kepentingananak? sahut Sik-hujin.Sik
Ko tertawa ejek: Kau hanya memandang Toan Kui-ciang itu seorang
baik-baik, tapi kau takmeneliti bagaimana asal keturunannya!Semasa
hidupnya, orang-orang menyebutnya sebagai Toan-tayhiap! kata
Sik-hujin.Berapakah harganya sebutan Tayhiap itu per katinya? Sik
Ko mengejek, Tayhiap atauSiauhiap hanya merk kosong yang diberikan
oleh orang persilatan saja. Paling-paling mereka ituhanyalah bangsa
manusia yang bergelandangan di dunia persilatan!Jangan kau
memandang begitu rendah pada Toan-tayhiap. Taruh kata kau lupa akan
budinya,tapi kau seharusnya ingat bahwa ia pernah membantu Tio Sun
mempertahankan kota Sui-yang, jadiia seorang yang berjasa kepada
negara! nyonya itu tetap tak mau kalah bicara.Sik Ko tertawa,
katanya: Ai, Hujin, mengapa kau begitu kolot? Dalam jaman kacau
begini,siapa yang dapat merebut nama dan kekayaan, itulah yang
disebut orang gagah. Apa itu segalamacam teori kosong tentang
tiong-gi (kesetiaan dan kebajikan)? Apa sih yang
dikatakankejujuran? Tio Sun seorang pembesar yang setia, tapi
buktinya sampai sekarang ia tak lebih hanyamenjabat sebagai
Thay-siu dari kota Sui-yang saja. Sejak menakluk pada kerajaan
Tong, aku belumpernah menghadapi pertempuran besar, tapi aku tahu
apa yang harus kuperbuat. Kuperjuangkandaerah kekuasaan,
kukumpulkan anak buah tentaraku, hasilnya kini aku dapat menjabat
sebagaiCiat-tok-su!Untuk sesaat Sik-hujin tak dapat menjawab,
dengan berseri girang Sik Ko lanjutkan ocehannya:Anggap sajalah
Toan Kui-ciangitu benar-benar seorang Tayhiap yang gagah dan setia
kepadanegara, ya, tetapi bagaimana seorang Tayhiap dapat menandingi
kedudukan Tiang Seng-su sebagaiCiat-tok-su itu? Apalagi Toan
Kui-ciang itu toh sudah meninggal, jangan-jangan puteranya
yangtiada beribu-bapa itu sudah jadi seorang gelandangan! Hm, hm,
kita tidak menjodohkan puteri kitadengan putera seorang
Ciat-tok-su, masakah kita malah memberikannya kepada seorang
bocahgelandangan! Hm, hm, jika ia berani datang kemari, ya, demi
untuk kepentingan anak kita, terpaksakubunuh dia nanti!Karena
dirangsang oleh kemarahan lagi takut, sesaat Sik-hujin tak dapat
membantah kata-katasuaminya itu. Ia hanya menggerutu panjang
pendek: Ai, Ciangkun, karena matamu silau padaharta kekayaan dan
gila pangkat, lalu kau menghina pada orang. Tapi kurasa sifat anak
kita itu takseperti perangaimu!Mendadak Sik Ko tertawa gelak-gelak,
katanya kemudian: Sampai saat ini, ia tetapmenganggap aku sebagai
ayah kandungnya sendiri. Apa yang kuperintahkan, ia tentu
menurut.Mengapa kau katakan ia tak berperangai seperti aku? Jika
tak percaya, biarlah sekarangkupanggilnya kemari, biar kusuruh ia
mencaci-maki Toan Kui-ciang agar kau dapatmendengarnya!Begitulah
Sik Ko bergirang bukan kepalang karena merasa dapat menundukkan
sang isteri.Sudah tentu ia tak duga sama sekali, bahwa yang
dimakinya sebagai bocah gelandangan, puteraToan Kui-ciang yang
bernama Toan Khik-sia itu, sebenarnya pada saat itu berada di luar
jendelakamarnya.
Tapi Toan Khik-sia tak mendengar seluruh percakapan suami isteri
itu. Ia agak terlambatdatangnya, jadi hanya dapat mendengar
sebagian yakni ketika Sik Ko memaki kalang-kabut padamendiang
ayahnya. Tapi hal itu cukup membuat Toan Khik-sia naik pitam,
hampir saja ia maumenerjang masuk, tapi syukur pikiran jernih dapat
menguasai dirinya: Tiada gunanya jugakubunuh dia. Mengingat ia
adalah ayah angkat Su Yak-bwe, untuk sementara ini biarlah
kuampunijiwanya, coba saja bagaimana ia nanti di kemudian hari.
Memang sudah lazimlah kalau kaumpembesar negeri itu tentu korup dan
mementingkan diri sendiri, mana aku dapat membunuh merekayang
berjumlah begitu banyak? Semasa hidupnya mendiang ayahku juga tak
suka mendendam.Dengan segala lapang hati beliau telah menolong
keluarga Sik Ko. Aku hendak meneladanikepribadian ayah itu, tak
bolehlah aku berlaku sempit dada!Memikir sampai di sini, redalah
kemarahan Toan Khik-sia. Tapi pada lain saat ia menimangpula: Tadi
ia katakan kalau Yak-bwe itu perangainya serupa dengan dia,
benarkah ini? Ai, celaka,siapa yang dekat gincu tentu merah, yang
dekat tinta tentu menjadi hitam. Diasuh oleh seorangayah begitu
macam, mungkin Yak-bwe akan memandang rendah padaku seorang
bocahgelandangan ini! Memang benarlah, ia sekarang adalah puteri
dari seorang Ciat-tok-su. Untukmenjaga kehormatan, sudah selayaknya
kalau menikah dengan putera seorang Ciat-tok-su juga!Tiba pada
dugaan semacam itu, perasaan Toan Khik-sia makin bertambah suatu
bebankegelisahan. Dengan susah payah kudatang kemari untuk
mencarinya. Jika ia sampaimemicingkan mata, menjebitkan vivir,
memandang sebelah mata padaku dan mendamprat akudengan getas,
bukankah diriku ini seperti dibanting kedalam jurang
kehinaan?Pikiran anak muda itu makin melayang jauh. Ia membayangkan
bagaimana tunangannya itutiba-tiba muncul di hadapannya dengan
tingkah laku yang congkak. Sembari berkacak pinggang,gadis itu
memakinya: Hah, bocah gelandangan dari mana ini? Mengapa berani
mati merangkaicerita kalau aku ini tunangannya sejak kecil?
Hm,masakan bocah gelandangan seperti macammu itulayak menjadi
suamiku?Tiba-tiba lamunan Toan Khik-sia itu tersentak buyar oleh
seruan Sik-hujin yang memanggilseorang bujang perempuannya. Nyonya
itu suruh si bujang memanggil Hong-sian.Bagus, lebih baik kuikuti
budak itu ke tempat Yak-bwe. Bagaimanakah keadaannya? Hm, jikabenar
karena salah asuhan dan kini ia mewarisi perangai jahat seperti Sik
Ko, maka aku pun takkanmenghiraukannya lagi. Ya, lebih baik begini!
pikir Khik-sia.Benar ilmu gin-kangnya belum memadai suhengnya yang
dapat muncul lenyap sepertibayangan saja, namun ia pun sudah dapat
mencapai tingkatan cepat laksana angin. Demikiandiam-diam ia
menguntit budak perempuan itu, siapa sudah tentu tak merasa
dikuntit.Di sebuah kamar yang indah, berhentilah budak itu. Di
dalam kamar itu memancarkan sinarpenerangan. Pada kain jendela,
tampaklah sesosok bayangan dari seorang gadis. Hati Toan
Khiksiamenjadi dag-dig-dug, berdebar-debar tak karuan. Untuk
pertama kali itulah ia bakal melihatwajah sang tunangan.Dengan
gunakan Gin-kang, Khik-sia berindap-indap melesat ke belakang
jendela danbersembunyi di dalam semak-semak pohon. Ia mengintip di
celah kain gordin jendela yangsetengah tersingkap itu dan, duhai,
matanya segera tertumbuk pada seorang nona yang amat cantikdalam
pakaiannya yang serba menyedapkan. Tapi yang mengherankan, wajah
nona jelita itu surammuram seperti tertutup oleh awan kedukaan.
Tangan nona itu sedang menggenggam sebuah tusukkondai kemala yang
bentuknya serupa benar dengan kepunyaannya.Jantung Toan Khik-sia
mendebar keras, pikirnya: Mengapa ia menghadapi tusuk kondaikemala
itu dengan merenung? Apakah ia sudah mengetahui tentang riwayat
tusuk kondai itu?Saat itu terdengar mulut si jelita berkata seorang
diri: Ai, aneh, mengapa mamah suruh akumengeluarkan tusuk kondai
ini dan selanjutnya suruh aku memakainya terus, tak
bolehditanggalkan lagi? Dan mengapa ia mengucurkan air mata di
hadapan tusuk kondai ini? Apakah iatetap terkenang akan Lu-ma? Ya,
memang Lu-ma selalu meninggalkan kesan pada kita, tapibukankah ia
hanya seorang mak-inang saja? Mengapa mamah begitu memandang tinggi
padabarang peninggalan Lu-ma?Walaupun kata-katanya itu diucapkan
dengan pelahan, namun dapatlah Toan Khik-sia
mendengarnya dengan jelas: Oh, kiranya benar-benar seorang nona
angkuh dan suka memandangrendah pada lain orang, demikian
pikirnya.Sudah tentu apa yang dinilai Toan Khik-sia itu hanya apa
yang dilihatnya saja. Padahal Hongsianitu memperlakukan
mak-inangnya itu sebagai ibunya, walaupun ia tak tahu bahwa
sebenarnyamemang wanita itu adalah ibu kandungnya sendiri.Tiba-tiba
pintu kamar diketuk oleh bujang perempuan tadi.Apakah itu Jun-bwe?
Mengapa malam-malam datang kemari? tegur si nona.Sambil melangkah
masuk, budak itu berkata: Nona, kau ini benar-benar seorang
yangmenghargai kecintaan. Lu-ma sudah meninggal beberapa tahun,
tapi kau masih mengenangkannya.Apakah kau sedih melihat tusuk
kondai peninggalannya itu? Ah, sudahlah, baik nona janganbersedih,
aku membawa kabar girang bagimu.Mulutnya menghibur, tapi anehnya
tiba-tiba budak itu tampak muram wajahnya sendiri. Iamenghela
nafas, kemudian berkata lagi: Ah, jika Lu-ma masih hidup, ia tentu
akan girang sekali.Hong-sian tertegun, ujarnya: Jangan mengoceh tak
keruan kau! Mengapa kau katakan akuakan girang?Budak itu tertawa:
Ai, nona masih belum mengetahui bahwa bingkisan orang sudah di
dalamperjalanan.Bingkisan apa? seru Hong-sian keheranan.Bingkisan
apa lagi kalau bukan dari Gui-pok-ciat-tok-su Tian-ciangkun. Loya
telahmenjodohkan nona pada putera Tian-ciangkun, kabarnya nanti
bulan muka tanggal 15 harikebahagiaan nona akan
dilangsungkan!Hong-sian menunduk kemerah-merahan wajahnya.
Diam-diam ia membatin: Oh, makanyadalam waktu terakhir ini ayah
sering memuji-muji putera Tian-ciangkun di hadapanku. Katanyaanak
muda itu adalah keturunan dari seorang panglima, seorang pemuda
gagah yang memiliki ilmusilat tinggi. ..........(tulisan tak
terbaca) aku!Sementara itu si budak sedang berkata pula dengan
tertawa: Seorang jejaka kalau sudah besartentu berumah tangga,
seorang gadis jika sudah dewasa tentu keluar pintu. Anak harimau
dengananak harimau, itulah sembabat sekali. Nona, jangan
malu-malulah, mari silahkan ikut aku, Hujinsudah menantimu!Apakah
mamah memanggil aku? tanya Hong-sian.Bujang itu mengiyakan: Kurasa
hujin tentu akan membicarakan urusan pernikahan padamu.Nona, akulah
yang pertama yang menyampaikan berita girang ini, nanti aku akan
minta hadiah padanona.Hadiah apa? Minta hadiah sebuah tamparanku?
kata si nona.Budak itu tertawa cekikikan, serunya: Aduh, celaka
aku, biar nanti kuadukan Hujin bahwanona tak dapat membedakan mana
yang harus diberi hadiah dan mana yang diberi hukuman.Jika kedua
majikan dan bujangnya itu tengah berkelakar dalam kamar, adalah di
luar sana ToanKhik-sia seperti disayat sembilu hatinya. Pikirnya:
Tampaknya ia tak menentang urusanpernikahan itu!Lagi-lagi Toan
Khik-sia tidak bijaksana didalam menjatuhkan prasangka. Pada masa
itu, gadistidak mempunyai hak untuk memilih pasangannya. Semuanya
diatur oleh pihak orang tua yangmengambil keputusan dari keterangan
kaum bah-tau (comblang). Hong-sian sama sekali tak tahusiapa dan
bagaimanakah putera Tian Seng-su itu. Baikkah atau jelekkah?
Lebih-lebih ia tak tahubahwa dirinya sejak kecil sudah dipasangkan
dengan Toan Khik-sia. Jadi terhadap urusanpernikahan itu, ia tak
mempunyai pendirian apa-apa.Tiba-tiba Hong-sian berseru: Hai,
Jun-bwe, dengan siapa kau datang kemari ini, mengapa taksuruh dia
masuk?Ternyata karena getaran sang hati, tanpa sadar Khik-sia telah
menyentuh tangkai bunga hinggamengeluarkan suara berkeresekan.Budak
itu tersentak heran, jawabnya: Hanya aku seorang diri, masakan
membawa kawan?Belum habis kata-kata bujang itu, Hong-sian sudah
mendorong daun jendela dan sebat sekali iasudah loncat keluar. Hai,
siapakah yang bersembunyi di situ? bentaknya.
Karena sudah kepergok, Toan Khik-sia pun tak mau main sembunyi
lagi. Ia loncat keluar darisemak pohon, lalu berkata dengan
mengejek: Kuhaturkan selamat pada nona yang akan mendapatjodoh
seorang baik-baik! Tapi kukuatir ayah-bundamu yang berada di alam
baka itu akan berdukahatinya!Mendadak ada seorang pemuda tak
dikenal berdiri di hadapannya, kejut Hong-sian bukankepalang.
Buru-buru ia cabut pedangnya dan membentak: Apa katamu? Siapa kau
ini, mengapatengah malam buta berani menyelundup masuk kemari?
Rasanya kau ini tentu bukan orang baikbaik,bukan bangsat tentu
pencuri!Toan Khik-sia tertawa lebar, sahutnya: Aku bukan orang
baik-baik, bukan penjahat tentupencuri? Ha, ha, puaskanlah hatimu
untuk memaki aku dengan kata-kata apa saja! Nah, biarkuberitahukan
padamu, aku ini putera dari Toan Kui-ciang!Sepasang alis Hong-sian
berjungkat lalu mendamprat lagi: Ha, benar, bukan orang
baik-baik.Maling kecil, lihat pedangku!Bagus, menyebut diriku
maling kecil, maling kecil lebih buruk lagi dari gelandangan
kecil,pikir Khik-sia sembari menghindar. Berturut-turut ia
menghindari tiga kali serangan pedang,setelah itu baru menegur:
Nona besar, mengapa kau mengecap diriku sebagai seorang
penjahat?Hong-sian tertawa dingin, menyahut: Naga tentu beranak
naga, dan burung hong tentu beranakburung hong. Anak perampok
kemana parannya lagi?Marahlah Toan Khik-sia dengan hinaan itu. Kau
menghina aku itu masih mending, tapi kauberani juga memaki orang
tuamu, kau punya ..... hm, memaki ayahku.Hampir saja mulutnya
mengatakan kau punya mertua. Untung ia teringat agar lebih
baikjangan mengatakan hal itu dulu.Hong-sianpun gusar, pikirnya:
Bangsat kecil ini benar-benar kurang ajar, masakan arwahayahnya
seorang perampok, dijadikan orang tuaku. Seketika ia berseru
semakin bernafsu:Menteri pemberontak, anak perampok, tidak layakkah
dimaki? Tetap akan kumaki ayahmupejabat itu, nah kau mau apa?Sudah
tentu Khik-sia tak mengetahui mengapa Hong-sian memaki ayahnya
perampok dandirinya sebagai keturunan penjahat itu. Padahal bukan
tak ada sebabnya Hong-sian berbuat begitu.Itulah Sik Ko yang
menjadi gara-garanya. Kuatir keluarga Toan akan mengutus orang
untukmenarik janji pernikahan dengan Hong-sian, maka Sik Ko lantas
merangkai cerita. Kepadaputerinya, Sik Ko sering menceritakan
tentang kejadian-kejadian di dunia persilatan. Ia katakan:Toan
Kui-ciang itu seorang penjahat yang ganas, kemudian dapat ditangkap
oleh tentara negeri dandihukum mati. Sik-hujin karena takut akan
suaminya, jadi tak pernah menyebut-nyebut nama ToanKui-ciang di
hadapanputerinya itu. Jadi dalam pengetahuan Hong-sian, Toan
Kui-ciang itu adalahtokoh jahat seperti apa yang digambarkan Sik
Ko. Sudah tentu terhadap sang ayah itu, Hong-siantak ada alasan
untuk tak mempercayainya.Saking gusarnya panca-indera Toan Khik-sia
seperti mengeluarkan asap. Jika masih memakilagi, tentu kutampar
mulutmu! bentaknya sembari secepat kilat merapat maju, terus
ulurkantangannya ke muka si nona.Hong-sian terperanjat. Ia
bermaksud menarik pedangnya untuk menghalau tapi sudah takkeburu.
Untung Toan Khik-sia tiba-tiba merubah ingatannya. Pikirnya: Ah,
tidak boleh.Walaupun ia belum menikah padaku, tapi ia sudah
dijodohkan menjadi isteriku. Sebelum janjiperjodohan itu
dibatalkan, turut kesopanan aku tak boleh memukulnya. Apalagi aku
tak bolehdipengaruhi oleh nafsu amarah seketika, lantas melupakan
hubungan akrab dari keluarga Toan danSu pada masa yang
lampau.Ternyata ilmu silat Hong-sian pun tidak lemah. Hanya sekejap
saja Toan Khik-sia ragu-ragutadi, Hong-siang sudah lantas menyabat
tangan si anak muda. Jika Toan Khik-sia tak cepat-cepatmenarik
tangannya, jarinya tentu sudah terpapas kutung.Bermula karena
melihat orang hanya bertangan kosong saja, Hong-sian hanya
bermaksud akanmeringkusnya saja untuk diserahkan kepada ayahnya.
Tapi setelah tadi hampir saja ia termakantamparan si anak muda,
dari malu menjadi gusar. Pikirnya: Ha, anak perampok ini lihay
juga! Ah,tolol benar aku ini mengapa akan memberi kelonggaran pada
bangsa penjahat. Jika tak kuberi
hajaran, seumur hidup aku tak dapat mencuci hinaan
tadi!Hong-sian mewarisi ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni. Dalam
gusarnya, Hong-sian mainkanpedangnya dengan gencar untuk mengarah
jalan darah yang berbahaya dari si anak muda. Benarilmu gin-kang
Toan Khik-sia sudah cukup sempurna, tapi dengan gunakan ilmu
gong-chiu-jip-pekjim(dengan tangan kosong merampas senjata), ia
tetap tak mampu merebut pedang ceng-kongkiamHong-sian.
Paling-paling Toan Khik-sia hanya dapat menjaga diri agar jangan
sampaitermakan pedang saja.Seperti diketahui, sebenarnya anak muda
itu mempunyai ribuan kata-kata hendak diucapkan dihadapan si jelita
itu (termasuk keputusannya yang datangnya secara tiba-tiba, yakni
hendakmembatalkan saja janji perjodohan itu! Tapi berhadapan dengan
si nona yang se..... (tidak terbaca)untuk bicara?Pada saat itu
mendadak Toan Khik-sia balikkan tubuh sambil kebatkan lengan baju
si anakmuda tapi pedangnyapun segera tergubat oleh lengan baju
lawan. Dicobanya untuk menarik, tapitak berhasil.Toan Khik-sia
menghela nafas longgar, kemudian tertawa gelak-gelak: Nona, kau
keliru!Sebenarnya Hong-sian sudah kuatir kalau-kalau si anak muda
akan balas memukul, maka ia punmenjadi tertegun demi anak muda itu
hanya mulutnya saja yang berkata-kata.Bagaimana kesalahanku?
serunya.Turut ucapanmu tadi, air tentu mengalir ke bawah, artinya
bagaimana orang tuanya tentubagaimana itu pula anaknya. Dalil itu
salah. Dirimu sendiri itu, menjadi bukti yang nyata!
kataKhik-sia.Sudah tentu Hong-siang tersentak heran, tanyanya: Apa
maksud kata-katamu itu?Ayah kandungmu sendiri adalah seorang
manusia terpelajar, gagah perwira dan arif bijaksana.Beliau adalah
seorang lelaki jantan yang pantang perbuatan haram, tak gentar
menghadapiancaman, seorang yang berhati lurus dan mulia! Kau adalah
puterinya, tapi mengapa sedikitpunkau tak mewarisi sifat-sifatnya
yang mulia itu?Setelah diangkat menjadi panglima daerah, Sik Ko
mempunyai kekuasaan besar. Sejak itudirinya seolah-olah dipagari
oleh orang-orang yang pandai menjilatnya. Sampai-sampai
Hong-siansendiri sudah merasa jemu mendengar puji sanjung dari
kawanan penjilat itu. Tapi selama itu, takpernah ia mendengar ada
orang yang memuji-muji seperti apa yang diucapkan Toan Khik-sia
itu.Ayahku seorang Bu (militer), ia jarang sekali membaca buku.
Pelajaran ilmu surat dan syairyang kupelajari di waktu kecil,
adalah Lu-ma yang mengajarkan padaku. Sebagai seorang
Ciat-toksu,setiap hari ayah sibuk dengan urusan kantor, jadi tak
sempat mengenal segala macam filsafatbudi pekerti. Kata-kata
pujiannya tadi, tak tepat bagi ayah, pikir Hong-sian.Tapi dalam
pada itu diam-diam ia terperanjat juga melihat tutur kata si
penjahat kecil itu.Tanpa disadari ia bertanya: Turut katamu tadi
aku ini tak sepadan dengan ayahku, habis dalampandanganmu,
bagaimanakah diriku ini?Kau? Ai, kau sudah diracuni Sik Ko. Turut
penglihatanku, kau sudah berubah menjadiseorang siau-jin yang
temaha kekayaan. Kalau tidak, tak nanti kau berpeluk tangan
menunggununggujadi menantu seorang Ciat-tok-su, pula tak nanti kau
memaki aku sebagai maling kecil!jawab Toan Khik-sia.Selebar muka
Hong-sian merah padam dibuatnya. Dengan gusarnya ia menyemprot:
Bicaramuini pagi hitam, sore putih. Baru saja mulutmu memuji ayah,
kini lidahmu sudah berganti nadamemakinya!Memang benar, yang kupuji
itu ialah ayah kandungmu yang asli, dan yang kumaki ialah si SikKo!
Bukankah tadi kau memaki ayahku? Kau memaki ayahku sebagai menteri
pemberontak danperampok. Padahal seharusnya kata-kata itu adalah
buat alamatnya Sik Ko! Dia pernah bertekuklutut menghamba pada An
Lok-san dan lagi ia justeru berasal dari kalangan Lok-lim!Marah
Hong-sian tak dapat dikendalikan lagi. Tak tunggu si anak muda
menghabiskan katakatanya,ia sudah mendampratnya: Ngaco belo! Kalau
bukan gila, tentulah kau memang sengajahendak menghina kami ayah
dan anak, lihat pedangku!Dan sekali gentakkan pedangnya dari
libatan lengan baju, ia lantas menusuk. Toan Khik-sia
menghindar lagi, serunya lantang-lantang: Apakah kau masih tak
jelas? Kau akui seorang penjahatsebagai ayah! Jika kau masih begitu
limbung, ayah bundamu yang sudah meninggal itu tentu takdapat meram
di alam baka!Dengan ucapan itu sudah dua kali Toan Khik-sia
memperingatkan Hong-sian kalau ayahbundanya sudah meninggal.
Pertama tadi, ketika ia memergoki Toan Khik-sia bersembunyi di
luarkamar. Mungkin karena terkejut melihat seorang asing muncul
dengan tiba-tiba, Hong-sian buruburumencabut pedang dan tak
menghiraukan kata-kata anak muda itu. Tapi untuk ucapan
ToanKhik-sia yang terakhir ini, benar-benar ia mendengarnya dengan
jelas. Hatinya tergetar malu, gusardan heran. Sambil menusuk, ia
memaki: Kurang ajar, dah mengaku penjahat sebagai ayahmu!Khik-sia
tetap tertawa dingin dan menegaskan lagi: Ya, kau sudah mengaku
penjahat sebagaiayahmu!Sudah tentu Hong-sian tak percaya. Dalam
gusarnya, ia putar pedangnya makin gencar. Olehkarena sibuk
melayani, jadi Toan Khik-sia tak sempat berbicara
lagi.Sekonyong-konyong terdengar suara Sik Ko membentak: Hai, siapa
itu? Berani matimenyelundup ke dalam gedung Ciat-to-hu sini?Kiranya
karena sampai sekian lama Hong-sian tak datang, Sik Ko lantas lari
menjenguknya.Demi melihat Hong-sian menghunus senjata dan tengah
bertempur dengan seorang asing, kejutnyabukan kepalang.Yah, lekas
kemarilah! Ini ada seorang gila yang mengaku sebagai anaknya Toan
Kui-ciang!seru Hong-sian.(Halaman 34-35 kosong !!!!)Ada pula yang
menerangkan: Loya tadi bertempur dengan si penjahat, mungkin Loya
kelewatcapek menggunakan tenaganya.Mendengar laporan itu Sik-hujin
terperanjat dan marah, dampratnya: Kalian semua ini hanyakawanan
tukang gegares belaka. Masakan ada penjahat masuk ke sini, kalian
tak tahu sama sekalihingga bikin kaget nona dan Loya saja!Ma,
mereka tak dapat dipersalahkan. Penjahat itu lihay sekali! kata
Hong-sian.Siapa penjahat yang bernyali besar itu? Apakah kau masih
ingat bentuk rupanya? Panggilkepala pengawal untuk
menangkapnya!Penjahat itu adalah anaknya Toan Kui-ciang. Ia amat
tangguh sekali, dapat muncul lenyapmenurut sesuka hatinya. Percuma
panggil pengawal ....Belum habis si nona menutur, Sik-hujin tampak
seperti orang yang tiba-tiba terserang penyakitdemam, tubuhnya
menggigil, wajahnya pucat lesi. Dengan nada sember ia berkata: Ah,
ia benarbenardatang memenuhi janji!Hong-sian buru-buru memapak
Sik-hujin. Pikirannya menjadi gundah, tanyanya: Mah, apamaksud
katamu itu?Sik-hujin tenangkan goncangan hatinya. Sesaat ia
tersadar akan kata-katanya yang terluncurdari mulutnya tadi. Ia
anggap urusan itu tak boleh diceritakan di hadapan orang banyak.
Katanya:Ah, tidak apa-apa. Tadi karena ketakutan, aku sampai
mengoceh tak keruan. Dalam beberapatahun terakhir ini, setelah
memegang kekuasaan militer, ayahmu telah membunuh banyak jiwa.Aku
kuatir ada roh penasaran yang menagih jiwa padanya. Lekas angkut
ayahmu ke dalam!Di dalam Ciat-to-hu ada seorang tabib. Selekasnya
tabib itu segera dipanggil. Setelahmemeriksa nadi pernafasannya, si
tabib memberi keterangan bahwa pembesar itu tidak apa-apahanya apa
yang disebut golakan hawa panas menyerang ulu hati. Tetapi harus
beristirahatsecukupnya. Kemudian tabib itu menulis resep.Sik-hujin
lega hatinya mendengar keterangan tabib itu. Ia segera suruh
orang-orang berlalu danhanya tinggalkan seorang budak perempuan
untuk menjaga suaminya. Setelah itu ia berkata kepadaHong-sian:
Pergi ke kamar, aku hendak bicara padamu!Dengan hati tak tenteram,
Hong-sian mengikuti Sik-hujin menuju ke kamar rahasia.
Setelahmengancing pintunya, Sik-hujin lalu bertanya dengan
pelahan-lahan: Apa yang dikatakan oleh
putera Toan Kui-ciang kepadamu tadi?Hong-sian menerangkan:
Banyak sekali yang dikatakannya kepadaku, tapi kata-katanya
inianeh-aneh seperti orang gila. Huh, lebih baik kau jangan
dengarkanlah.Tidak, karena toh urusan sudah berlarut, aku pun tak
takut mendengarkannya. Ya, apakatanya? kata Sik-hujin.Apa boleh
buat Hong-sian menuturkan: Ia bilang ayah dan mamah ini bukan orang
tuaku yangasli. Ayah dan ibu kandungku sudah meninggal dunia. Mah,
apakah hal itu benar?Sik-hujin menggigit bibir, wajahnya tampak
gelap. Sekonyong-konyong ia pegang tanganHong-sian untuk menjaga
kalau dirinya jatuh, kemudian dengan suara berat berkata:
Memangbenar!Kejut Hong-sian tak terkatakan dan menjeritlah ia: Apa
benar? Mah, mengapa dulu-dulu kautak memberitahukan padaku?
Siapakah orang tuaku yang asli, bilamana mereka meninggal?Sik-hujin
mulai dapat menenangkan hati. Katanya dengan pelahan: Akan
kuberitahukanpadamu, tapi kau harus lebih dulu kasih tahu padaku
apa lagi yang dikatakan Toan-kongcu tadi?Mendengar Sik-hujin
berganti bahasa menyebut Toan-kongcu, keheranan Hong-sian
makinmenjadi-jadi. Pikirnya: Ia memukul ayah, tetapi mengapa mamah
masih begitumengindahkannya? Ah, disitu tentu terselip
sesuatu!Sekalipun saat itu sudah tahu bahwa Sik-ko dan isterinya
itu bukan ayah-bunda kandungnya,namun Hong-sian masih tetap
membahasakan ayah-mamah kepada mereka.Setelah merenung sejenak,
wajah Hong-siang tiba-tiba memerah, katanya: Mah, ia memaki
aku....Ha, ia memaki padamu? Memaki apa saja? tanya Sik-hujin.Ia
memaki aku ..... memaki aku menanti-nanti menjadi nyonya mantu
Ciat-tok-su. Mah,apakah benar-benar ayah hendak menjodohkan aku
dengan putera Tian-pehpeh?Hong-sian seorang nona yang memiliki ilmu
silat, jadi nyalinya besar. Namun membicarakantentang masalah
perkawinan, tak urung wajahnya merah kemalu-maluan juga.Sebelum
menjawab, lebih dulu Sik-hujin menghela nafas, ujarnya: Oh, makanya
Toan-kongcubegitu marah, memang ayahmu telah berbuat salah. Untung
kita belum menerima panjar darikeluarga Tian.Mendengar di dalam
kata-kata Sik-hujin itu ada sesuatu hal, Hong-sian bertanya pula:
Mah,aku masih belum berminat kawin. Tetapi ada sangkut-paut apa
dengan orang she Toan itu?(Halaman 38-39 kosong .....!!!)......
kecil.Ah, makanya dia telah memaki aku sebagai anak yang tak
berbakti! diam-diam ia teringatakan ucapan Toan Khik-sia.Ia
menghapus air matanya, memakai tusuk kondai kemalanya lagi terus
berjalan keluar. Sikhujinmenghela nafas dalam. Ia insyaf bahwa
sejak itu ia bakal kehilangan seorang anak yangsudah dianggapnya
sebagai puterinya sendiri. Tapi iapun merasa terhibur karena sejak
saat itu,hatinya bebas dari kutukan liang-simnya (nurani)
sendiri.oooooOOOOOoooooTak berapa lama Sik Ko pun tersadar dari
pingsannya. Begitu membuka mata ia segeramenampak puterinya Yak-bwe
berdiri di depan tempat tidurnya.Apakah penjahat tadi sudah lari?
Bagaimana mamahmu? tanya Sik Ko dengan gelisah.Mamah berada di
kamar belakang. Ayah, anak tidak berbakti, maafkanlah aku tak
dapatmerawatimu, kata Yak-bwe.Sik Ko berjengat kaget dan loncat
bangun. Apa .... apa katamu?Kali ini anak sengaja datang
menghaturkan selamat tinggal!Mendengar itu naiklah darah Sik Ko:
Kau mau ikut pada maling kecil itu? Dia bilang apa
padamu? Sian-ji, jangan sekali-kali kau percaya pada
ocehannya!Tenang-tenang Yak-bwe menjawab: Janganlah ayah marah.
Anak sekali-kali takkan ikutpadanya. Tapi yang benar, dia itu bukan
maling atau penjahat. Yah, semuanya anak sudah tahu,jangan kau
sembarangan memaki orang.Saking gusarnya tubuh Sik Ko sampai
menggigil. Tapi ia insyaf, bahwa kedudukannya hanyatergantung pada
puterinya itu. Ia berusaha untuk menekan kemarahannya, katanya
dengan nadagentar: Sian-ji, apa saja yang telah kau ketahui
itu?Yang sudah lampau, janganlah kita bicarakan lagi. Yah, kutahu
kau sedang meresahkansesuatu hal. Kau takut Tian-pehpeh akan
merampas daerah Lo-ciu ini, bukan?oh, jadi mamahmu sudah
memberitahukan padamu tentang urusan pernikahanmu? Takmengapalah,
Sian-ji, meskipun kau bukan anak kandungku, tapi sejak kecil kau
kuperlakukansebagai darah dagingku sendiri, kan? Sekarang aku
sedang dalam kesulitan. Di atas pundakmuhendak kuletakkan sebagian
beban kesulitan itu. Dengan menikah pada keluarga Tian,
pertamahubungan kedua keluarrga menjadi baik yang berarti juga akan
lenyapnya ancaman itu. Kedua,bagimupun ada baiknya. Baik buruk Tian
Seng-su itu juga seorang Ciat-tok-su. Suamimu adalahputeranya yang
sulung. Setelah nanti Tian Seng-su mengundurkan diri, sudah tentu
kedudukannyaakan diserahkan puteranya itu. Pada waktu itu kau tentu
menjadi It-bin-hujin (nyonya agung).Kekayaan dan keagungan akan kau
miliki semuanya. Sian-ji, jangan kau bimbang-bimbang lagi!Yak-bwe
tahankan amarahnya untuk mendengarkan ceramah Sik Ko. Setelah itu
barulah iabicara: Adalah karena hendak membalas budi ayah terhadap
diriku selama bertahun-tahun itu,maka aku sengaja datang kemari
untuk turut memikul beban kesusahanmu ....Girang Sik Ko bukan
buatan. Belum Yak-bwe habis bicara, ia sudah lantas menyeletuk:
Jadidengan begitu, berarti kau setuju akan pernikahan itu. Bagus,
kau benar-benar puteriku yangmanis!Yah, membantu kesukaran dengan
urusan pernikahan adalah dua perkara. Ayah boleh legakanpikiran,
aku mempunyai daya untuk membuat Tian-pepeh tak berani mengganggu
Lo-ciu, tapiuntuk itu aku perlu pinjam cap kebesaran
Ciat-tok-su.Sik Ko kembali tersentak kaget, serunya: Perlu apa kau
pinjam capku itu? Sian-ji, aku takmemperlakukan kau buruk
.....Yak-bwe mengambil keluar sepucuk surat, katanya: Adalah karena
hendak membantukesukaran ayah, maka aku hendak pinjam cap itu untuk
dibubuhkan pada surat ini.Surat apa itu? tanya Sik Ko.Dengan
mencontoh gaya ucapan ayah, aku telah menyiapkan sepucuk surat
kepada Tianpepeh.Surat ini surat biasa saja, isinya hanya
menanyakan kewarasan Tian-pepeh. Apakah ayahkepingin kubacakan?Sik
Ko terheran-heran, tanyanya: Apa artinya itu? Tak hujan tak angin
mengapa menanyakankewarasannya?Memang surat biasa itu tak ada
artinya jika diantar oleh seorang pegawai kita. Tapi akanberubah
maknanya, jika aku sendiri yang akan mengantarkannya, kata
Yak-bwe.Sik Ko berasal dari kalangan Lok-lim. Segera ia mengetahui
persoalannya. Ho, jadi kau maumenggunakan siasat kirim golok
meninggalkan surat!Hanya meninggalkan surat tak perlu menitipkan
golok. Tapi cukup untuk mematahkan nyaliTian-pepeh juga. Hanya saja
bila ayah masih menganggap kurang cukup, biarlah nanti
kuunjukkansedikit gaya padanya!Tersipu-sipu Sik Ko goyangkan
tangannya: Jangan, jangan, masih belum perlu! Kau, kau
....Sebenarnya Sik Ko hendak mengatakan kau sudah menjadi anggota
keluarga Tian. Tapidenganwajah membaja Yak-bwe sudah lantas
menukasnya: Kau setuju rencanaku itulah baik, tidakpun boleh. Tapi
yang pasti, tak nanti aku menikah dengan keluarga Tian. Kini aku
sudahmengetahui bagaimana asal-usul keturunanku. Bagaimana kelak
seharusnya aku menjadi manusia,aku sudah mempunyai pendirian
sendiri, tak usah ayah kesal-keal memikirkan diriku lagi.Sik Ko
cukup paham akan puterinya itu. Pikirnya: Jika ia memaksa akan
pergi, apa dayakuuntuk menghalanginya? Bahwa ia datang mengajak
berunding padaku itu membuktikan bahwa ia
masih tak melupakan budiku, ia masih menganggap aku sebagai
ayah. Tapi dengan rencananya itu,terang akan menyalahi keluarga
Tian. Jika caranya melaksanakana kurang pandai, tentu
akanmenimbulkan bencana!Ia merenung sebentar, pikirnya pula: Tapi
jika tak menurut kehendaknya, ia tentu mengambekdan tinggal pergi.
Kalau sampai pihak keluarga Tian datang menjemput mempelainya,
bagaimanaakan kujawabnya? Ini juga dapat mengundang bahaya. Ah,
celaka, kabarnya bingkisan keluargaTian sudah berada dalam
perjalanan, kukuatir dalam 2-3 hari ini tentu sudah datang.Selagi
Sik Ko dalam kebingungan, tiba-tiba di luar terdengar suara orang
ribut mulut. Ketikadidengarjanya ternyata salah seorang pengawalnya
yang menjabat Koan-su (pengurus rumahtangga) tengah ribut dengan
bujang perempuan yang menjaga kamar situ.Aku hendak melaporkan
suatu urusan penting pada Tayswe, mengapa kau menghalangi?
kataKoan-su itu.Jawab si budak perempuan Malam ini Tayswe mengalami
kaget, harus beristirahat. Jangankeras-keras bicara nanti membikin
kaget Tayswe pula.Mendengar itu Sik Ko berseru keras-keras: Aku
sudah bangun, ada urusan apa itu, suruh diamasuk!Kemudian ia
membisiki Yak-bwe: Coba kau bersembunyi di belakang pintu angin
sana dulu!Koan=su malam-malam datang melapor, tentu ada kejadian
yang buruk. Demikian Sik Komenimang-nimang dalam hati. Saat itu
masuklah si koan-su. Setelah memberi hormat, ia melapor:Sebenarnya
hamba tak berani mengganggu Tayswe, tapi karena sebuah urusan yang
luar biasapentingnya, jadi terpaksa datang kemari juga.Sik Ko
kerutkan keningnya lalu memberi perintah: Jangan banyak ini itu,
lekas ceritakan!Dengan naga gemetar koan-su itu berkata: Barang
bingkisan yang dikirimkan Tian-ciangkun,di tengah jalan telah
dirampas orang!Sik Ko terbeliak, kaget, serunya: Di mana?Dalam
daerah Lo-ciu!Siapa yang merampasnya? tanya Sik Ko.Koan-su
menerangkan: Kabarnya adalah gerombolan penyamun dari gunung
Kim-ke-san danseorang pemuda yang menurut desas-desus puternya Toan
Kuui-ciang ....Sik Ko marah sekali. Hm, lagi-lagi maling kecil itu!
ia menggeram.Si koan-su melongo, ia melanjutkan laporannya:
Tian-ciangkung mengutus orangnya kemarimemberitahukan bahwa
perampasan itu terjadi dalam daerah kekuasaan kita, maka
Tian-ciangkunminta Tayswe menangkap penjahatnya. Tian-ciangkun
mengatakan pula, apabila Tayswekekurangan tenaga, ia suka
mengirimkan pasukannya yang disebut Gwe-thok-lam yang terdiri
dari3000 orang, untuk membantu Tayswe.Wajah Sik Ko berubah membesi.
Ia memberi isyarat tangan pada Koan-su itu: Ya, aku sudahmengerti,
kau boleh pergi!Mengapa tiba-tiba wajah Sik Ko berubah membesi itu?
Kiranya pasukan Gwe-thok-lam itu,memang khusus dibentuk Tian
Seng-su untuk menyerang daerah Lo-ciu. Kebetulan terjadiperistiwa
pembegalan barang bingkisan. Dengan alasan hendak membantu Sik Ko,
Tian Seng-suakan mengirim pasukan itu ke Lo-ciu. Ini berarti
mengundang harimau ke dalam rumah. Sik Komenginsyafi hal itu. Maka
marah tapipun keder juga.Begitu koan-su pergi, Yak-bwe lantas
keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan mukaberseri girang ia
berseru: Yah, ini kebetulan sekali!Sik Ko makin gusar, geramnya:
Bencana bakal datang, mengapa kau katakan kebetulan?Apakah kau tak
dengar laporan koan-su tadi yang mengatakan bahwa Tian Seng-su akan
mengirimpasukannya Gwe-thok-lam kemari?Yak-bwe tertawa: Barang
antaran itu dirampas orang, apakah itu bukan kebetulan
sekali?Dengan tak menerima barang antarannya, tentu mudahlah kelak
kau membatalkan urusanpernikahan itu. Tanpa repot-repot mengangkut
barang-barang itu kesana-sini, dan aku dapat pergidengan
leluasa.Sik Ko meringis dibuatnya. Sampai beberapa saat baru ia
berkata: Sian-ji, kau tak suka
menikah dengan keluarga Tian, tak usah kau mengucapkan kata-kata
begitu. Coba kau pikirkansaja, setelah barang antarannya hilang,
mana ia merasa puas padaku? Ia mengatakan hendakmembantu aku
membekuk penjahatnya, tapi itu hanya alasan kosong. Menangkap
penjahat ituhanya pelabi saja, yang benar ia hendak menduduki
daerah Lo-ciu kita ini. Nah, bagaimana kauhendak suruh aku
menghadapinya?Justru karena itulah, maka ayah tak usah takut
menyalahinya. Mengapa kau tak ijinkan akumencoba rencanaku tadi,
siapa tahu kalau bencana akan dapat dilenyapkan.Sekarang barulah
Sik Ko mulai tergerak hatinya, pikirnya: Ya, ia benar. Jika
berhasil, TianSeng-su tentu dapat dipaksa tak berani mengganggu
Lo-ciu. Kalau gagal, pun paling-paling hanyamengorbankan jiwa
seorang Hong-sian saja, toh anak itu bukan anak kandungku
sendiri.Habis mengambil ketetapan, ia segera mengeluarkan cap
Ciat-tok-sunya. Namun ia masih purapuraprihatin, ujarnya: Sian-ji,
gedung Tian Seng-su itu dijaga ketat sekali, kau harus hati-hati.
Ai,jika ada lain daya, sungguh aku tak merelakan kau pergi ke
sana!Yak-bwe membubuhkan cap itu ke atas suratnya, katanya: Aku
dapat menyesuaikan gelagat,harap ayah lepaskan pikiran. Atas budi
kebaikan ayah yang sudah memelihara aku sampai sekianbesar ini,
sudilah ayah menerima sembah baktiku!Habis memberi hormat, Yak-bwe
terus tinggalkan gedung Ciat-tok-su. Sik Ko sepertikehilangan
sesuatu. Ia tahu bahwa sejak saat itu, sang puteri tentu tak
kembali lagi. Tapi iapunmerasa terhibur juga: Anak itu cukup
berbakti. Sudah tahu akan asal-usulnya, namun toh ia masihtak lupa
untuk membalas budiku.Dalam renungannya, tiba-tiba ia teringat akan
perbuatannya yang lampau. Sungguh ia menyesaldemi teringat akan
perlakuannya terhadap ayah-bunda Yak-bwe dahulu .....Sekeluarnya
dari gedung Ciat-to-su, Yak-bwe rasakan dirinya bebas di alam raya.
Girang danterkenang juga akan bayang-bayang kehidupannya yang
lampau.Sejak ini, akupun juga seorang gadis dunia persilatan,
pikirnya. Sesaat terlintas bayanganToan Khik-sia dalam kalbunya,
pikirnya pula: Kelak apa bila berjumpa lagi, mungkin ia
takmemandang rendah diriku lagi!Teringat ia akan Sik-hujin yang
menanyai apakah ia menyukai calon suaminya itu? Kala itu iaelakkan
pertanyaan dengan menjawab masih belum memikirkan soal perkawinan.
Padahal sejakmengetahui bahwa Toan Khik-sia itu adalah bakal
suaminya, sesaatpun pikirannya tak pernah lepaspada anak muda
itu!Sebentar ia bergirang, sebentar gelisah, pikirnya: Ia seorang
pemuda yang baik pribadinya,berilmu silat tinggi dan gagah serta
cakap parasnya. Pemuda seperti itu sungguh jarang terdapat
didunia.Tiba pada renungan bahwa pemuda itu ternyata menjadi calon
suaminya, muka Yak-bwemenjadi merah. Diam-diam hatinya bergirang.
Tapi demi mengingat dalam perjumpaan pertamaitu ia sudah bertengkar
dengan pemuda itu, ia kuatir pernikahan mereka akan gagal. Mau tak
mauYak-bwe merasa gundah hatinya.Setelah menempuh perjalanan selama
tujuh hari, tibalah Yak-bwe di wilayah Gui-pok
(sekarangTay-beng-koan di propinsi Ho-pak). Dalam masyarakat
kerajaan Tong pada masa itu, pergaulanantara pria dan wanita agak
bebas, tidak sekolot seperti sesudah ahala-ahala belakangan.
(menurutpenyelidikan ahli sejarah Tan In-kho, Li Yan pendiri ahala
Tong itu berasal dari keturunan suku Ih,sebuah suku yang tak
terlalu kukuh pada adat istiadat. Terjadinya aliran kolot yang
membuat adatistiadat feodal, baru dimulai pada ahala Song).Pada
jaman Tong itu, terutama di daerah utara, soal kaum pria bergaul
dengan wanita danwanita berkelana di luaran, adalah sudah jamak.
Begitupun Yak-bwe yang kala itu menyaru sebagaikaum kelana,
setibanya di daerah Gui-pok, pun tak menimbulkan perhatian orang
sama sekali.Malamnya, Yak-bwe ganti pakaian ringkas, lalu menuju ke
gedung Ciat-tok-su. Ia seorang nonayang memiliki Gin-kang sempurna
dan ilmu pedang lihay. Sekalipun begitu karena baru pertamakali itu
berkelana, tak urung hatinya berdebaran juga.Aku telah menepuk dada
di hadapan ayah. Kalau sampai pulang dengan hampa tangan,
wah,malulah! demikian pikirnya. Kemudian ia merasa geli sendiri.
Beberapa hari yang lalu, ia (Toan
Khik-sia) secara diam-diam masuk ke gedung ayah dan aku
memakinya sebagai pencuri kecil. Ah,tak nyana kalau sekarang akupun
juga memasuki gedung Tian-pehpeh secara diam-diam danmenjadi
pencuri kecil juga.Setelah melewati tembok, masuklah ia ke taman
belakang dari Ciat-tok-hu. Ternyata di bagiantaman situ sunyi
senyap keadaannya, tak tampak barang seorang penjaganya sama
sekali. Iamenunggu beberapa saat. Jangankan kawanan penjaga,
sedangkan kentongan ronda pun takkedengaran bunyinya.Konon kabarnya
Ciat-tok-su Tian-pehpeh itu dijaga kuat sekali. Tiga ribu anak buah
pasukanGwe-thok-lam, tiap-tiap malam bergiliran menjaga gedung ini.
Tapi mengapa tak ada apa-apanya?Apakah kabar itu hanya kabar bohong
belaka? Jika begini naga-naganya penjagaan di gedung ayahitu lebih
baik dari sini! pikirnya.Nyali Yak-bwe menjadi besar. Dari taman
itu ia terus masuk ke dalam. Belum berapa saat iaberjalan,
tiba-tiba ia menampak ada dua orang Bu-su berdiri di samping sebuah
gunung-gununganpalsu. Satu di pinggir sini, satu di sana. Mereka
tegak berdiri seperti patung, sedikitpun takbergerak.Sekalipun
tidak gugup, namun Yak-bwe juga berjaga-jaga. Tiba-tiba ia
ragu-ragu apa lebih baikmenyergap dan menutuk jalan darah mereka
atau menghindari mereka? Beberapa jenak kemudian,perhatiannya
tergugah. Sikap kedua Bu-su itu mencurigakan sekali. Posisi mereka
sejak tadi tidakberubah, yang satu tengah mengacungkan tombak dan
yang satunya lagi mengangkat pukul besi.Sikapnya seperti
orang-orangan batu yang dibuat menghiasi gunung-gunungan palsu
disitu.Manusiakah itu atau orang-orangan saja? tanya Yak-bwe dalam
hati. Ia tabahkan hati danmaju menghampiri. Astaga, kiranya mereka
itu memang benar manusia hidup, hanya saja takberkutik karena sudah
tertutuk jalan darahnya. Diam-diam Yak-bwe terkejut dan girang.Oh,
ternyata ada lain orang yang lebih dulu dari aku masuk kemari.
Siapakah dia? tanyanyapada diri sendiri.Dari situ ia maju terus.
Dan kembali ia melihat pemandangan yang serupa. Ada 18 orang
Bu-sutak berkutik karena tertutuk jalan darahnya. Yak-bwe makin
bertambah herannya. Pikirnya: Jikasemua ini dilakukan oleh satu
orang saja, wah hebat sekali dia! Suhu sering mengatakan,
sepandaipandaiorang masih ada yang lebih pandai lagi. Ucapan itu
benar sekali. Rupanya orang itumemusuhi Tian-pehpeh, tentunya
takkan mengganggu aku. Ah, tak peduli siapakah dianya, lebihbaik
kukerjakan urusanku sendiri!Gedung Ciat-tok-hu dari Tian Seng-su
itu lebih luas dari gedung Sik Ko. Kamarnya berderetderettinggi
rendah, sedikitnya ada beberapa ratus buah. Selagi Yak-bwe bingung
bagaimana akanmencari kamar Tian Seng-su, tak terduga-duga ia telah
mendapatkan apa yang dicarinya tanpa harusberjerih payah
lagi.Bermula ia naik ke tengah wuwungan, dari situ ia memandang ke
empat penjuru. Tiba-tiba iamendengar suara: harr-hurr yang aneh.
Yak-bwe segera menghampiri ke tempat datangnya suaraaneh itu. Ia
tiba di sebuah gedung besar yang terusan dengan halamannya. Waktu
memandang kebawah, kembali ia merasa mengkal dan geli lagi.Apa yang
disaksikan di sebelah bawah itu, adalah sebuah pemandangan yang
aneh dan lucu.Pada kedua samping serambi dari halaman itu,
bertumpukan beberapa sosok tubuh dari kawananBu-su yang tidur
pulas. Sana setumpuk sini setumpuk. Suara aneh tadi ternyata adalah
suaradengkuran dari kawanan Bu-su yang menggeros seperti babi.Ah,
ini tentu perbuatan orang itu lagi. Tapi entah ilmu apa yang
digunakannya hinggakawanan Bu-su itu dapat dibikin tidur pulas
seperti orang mati? Dengan adanya kawanan Bu-suyang begitu banyak
jumlahnya, tentunya disini adalah tempat kediaman Tian-pehpeh,
demikian iamembatin.Yak-bwe ambil putusan untuk turun ke bawah. Ia
melayang turun, menyelinap kian kemariuntuk menghindari kawanan
Bu-su dan akhirnya berhasillah ia mendapatkan kamar Tian
Seng-su.Itulah sebuah kamar yang besar, tapi pemandangan di dalam
kamar itu menggelikan sekali. Lilinmasih memancar-mancar, perapian
dupa mengepul-ngepul, di sana-sini dayang-dayang tegakberpencaran.
Adegan di situ mirip dalam sandiwara. Belasan bujang-bujang
perempuan itu
melakukan posenya masing-masing, ada yang menyandar ke dinding,
ada yang tengah mengipasngipas,ada yang tundukkan kepala terkulai
dan ada pula yang menengadah ke belakang. Merekasama tidur
mendengkur dengan pulasnya.....Hm, benar-benar nikmat sekali hidup
Tian-pehpeh itu, masakan tidur saja diladeni oleh sekianbanyak
bujang gadis-gadis. Manusia yang begitu mesum, seharusnya diberi
sedikit pengajaran!diam-diam Yak-bwe membatin.Yak-bwe ingin sekali
mengetahui bagaimana keadaan Ciat-tok-su itu. Melesat masuk, ia
lantasmenyingkap kain kelambu. Di atas ranjang yang indah hiasannya
itu, berbaringlah Tian Seng-su,Ciat-tok-su dari daerah Gui-pok.
Bantalnya disulam indah dengan benang emas, di muka bantal
itumenonjol sebatang pedang Chit-sing-kiam dan di muka pedang itu
menggeletak sebuah kotak emasyang tutupnya terbuka. Di dalamnya
terdapat tulisan-tulisan dari nama para malaikat
Pak-tou-sin.Kiranya Tian Seng-su itu amat takhyul sekali. Ia
percaya dengan Hu yang bertuliskan nama-namamalaikat itu akan dapat
mengusir segala bahaya. Selain itu, terdapat juga wangi-wangian
danpermata-permata yang indah permai.Biar kuambil kotak ini untuk
kuberikan pada ayah (Sik Ko) selaku bukti, akhirnya Yak-bwemendapat
pikiran. Diambilnya kotak itu, sebagai gantinya ia letakkan sampul
suratnya yang sudahdibubuhi dengan cap Sik Ko.Setelah habis
melakukan itu, ia terus hendak berlalu. Tapi tiba-tiba matanya
tertumbuk padasebuah sampul surat yang terletak di atas meja. Surat
itu dilekatkan dengan sebilah belati kecil.Yak-bwe terkesiap,
pikirnya: Oh, kiranya orang itu juga serupa tujuannya dengan aku,
yaknihendak mengirim golok meninggalkan surat.Mengirim golok
meninggalkan surat adalah sebuah istilah dunia persilatan yang
berartimemberi ancaman pada penerimanya.Terdorong oleh rasa
kepingin tahu, Yak-bwe menghampiri meja itu dan lantas mencabut
belatipemaku surat. Waktu membaca surat itu, girangnya bukan
kepalang. Ia terlongong-longong sepertiorang kehilangan
semangat!Kiranya pada surat itu hanya bertuliskan 6 kalimat yang
terdiri dari 24 huruf. Bunyinya ialah:Semaunya mengambil kas
negara, menghamburkan untuk bingkisan kawin, harta yang tidak
halal,segala orang boleh mengambilnya. Jika berani coba
menyelidiki, batang kepalamu akan kuambil.Susunan kalimatnya bagus,
maksudnya jelas. Tapi yang lebih mengejutkan Yak-bwe, ialahtanda
tangan yang dibubuhkan di bawahnya. Ketiga huruf dari tanda tangan
yang mendebarkanjantung Yak-bwe itu, bukan lain berbunyi Toan
Khik-sia.Hai, kiranya dia! Entah apakah ia sudah berlalu dari sini?
Baik aku menjumpanya atautidak? demikian Yak-bwe bertanya pada
dirinya sendiri.Selagi ia masih terbenam dalam pemikiran, tiba-tiba
ia dikejutkan oleh suara tiupan terompet.Menyusul terdengar suara
orang berteriak-teriak: Celaka, ada penjahat menyelundup
masuk!Dalam beberapa saat kemudian, suara orang makin berisik
sekali. Sana sini pada ribut takkeruan. Ada yang berseru: Hai, ini
ada dua kawan yang tertutuk jalan darahnya, aku tak
dapatmenolongnya, lekas undang Suhu kemari! Ada yang menjerit
kaget: Astagafirullah! Ada setan,ada setan! Mengapa orang-orang ini
sama tidur semua, dibangunkan tidak mau bangun? Tolol,mereka
terkena dupa bius bi-hiang! Biarkan dulu mereka, lekas lindungi
Tayswe!Diam-diam Yak-bwe mengambil keputusan untuk lolos saat itu
juga. Sembari putar pedang, iamenerobos keluar dari jendela.
Kawanan Bu-su yang tengah mendatangi itu, serempak berserukaget:
Penjahatnya datang, penjahatnya datang!Ada yang segera lari masuk
ke dalam kamar untuk melindungi Tayswe mereka (Tian Seng-su),ada
yang mengejar Yak-bwe. Paser, hui-piau dan bermacam-macam senjata
rahasia berhamburanmelayang ke arah Yak-bwe. Tapi Yak-bwe gunakan
gin-kang pat-poh-kam-sian, dalam beberapaloncatan ia sudah dapat
melampaui tiga buah gunung-gunungan palsu. Jangankan kawanan
bu-suitu, sedangkan segala macam senjata rahasia yang menghujaninya
dari belakang, tak dapatmenyentuh tubuh nona itu.Di bawah sinar
rembulan remang, kawanan Bu-su itu hanya menampak sesosok bayangan
hitamlari seperti angin puyuh. Dalam sekejap mata, bayangan itu
sudah lenyap ditelan kegelapan.
Dengan begitu kawanan Bu-su itu tak dapat melihat jelas keadaan
penjahat yang diburunya itu.Penjahat lari kesana, penjahat lari
kesana! hiruk-pikuk mereka berkaok-kaok sendiri.Diam-diam Yak-bwe
geli dalam hatinya: Ha, pasukan Gwe-thok-lam yang dibentuk
Tianpehpehitu ternyata hanya kawanan gentong nasi belaka!Baru ia
berpikir sampai disitu, tiba-tiba terdengar orang berseru:
Penjahatnya berada di sini! Wut, mendadak sebatang hui-piau
menyambar kearah Yak-bwe.Yak-bwe dapatkan desing hui-piau ini jauh
berlainan perbawanya dengan hui-piau yang dilepaskawanan Bu-su
tadi. Ia tak berani memandang rendah, terus putar pedang
menyampoknya jatuh.Tapi hui-piau yang kedua dan ketiga
berturut-turut menyusul datang. Yak-bwe mendongkolhatinya: Hm, jika
tak diberi hajaran, tentu kamu tak kapok!Ia mengisar ke samping
untuk menghindari hui-piau yang kedua. Tapi untuk hui-piau
yangketiga, ia ulurkan tanga