BAB I
PENDAHULUANSeorang laki-laki dengan usia 57 tahun datang ke
ruang pembedahan dari bangsal bedah pada tanggal 10 Juli 2014. Dari
hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang maka
dokter mendiagnosis pasien menderita liposarkoma intraabdomen.
Hasil pemeriksaan didapatkan benjolan yang besar pada bagian
abdomen pasien. Pasien direncanakan untuk dilakukan laparatomi
eksplorasi untuk dilakukan pengangkatan tumor dengan jenis anastesi
yang digunakan adalah anastesi umum. Dalam klasifikasi fisik
penilaian anastesi, pasien dikategorikan ASA III. Operasi
dijadwalkan pada pukul 08.30 WIB dengan operator yaitu ahli bedah
digestive dr. Aditomo, Sp.BD dan ahli anastesi adalah dr. M. Gusno
Rekozar, Sp. AnBAB II
LAPORAN KASUSIDENTITAS PASIENNama
: Tn. Kassa Kaswara
No. Medical Record: 34-88-69Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 57 tahun
Tanggal Lahir
: 8 September 1956
Alamat
: Permata Rahayu C/14Agama
: Islam
Pekerjaan
: -
Status
: Menikah
Tanggal Masuk: 4 Juli 2014
ANAMNESISKeluhan Utama
: ada benjolan besar diperutKeluhan Tambahan: pasien merasa
sesak sejak 2 hari SMRS dan adanya nyeri di ulu hatiRiwayat
Penyakit Sekarang: pasien datang kepoli bedah digestif dengan
keluhan adanya tumor intraabdomenRiwayat Penyakit Dahulu: pasien
mengaku sekitar 1 tahun yang lalu mengeluh adanya benjolan dilipat
paha kanan, benjolan dirasa kecil sebesar jeruk nipis dan tidak
nyeri. Pasien sempat berobat ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung
dan pasien diberi obat tetapi tidak ada perubahan. Lalu pasien
dibawa keluarga ke Batam. Pasien berobat ke bedah umum tanggal 16
Mei 2014, pasien dirujuk ke dr.Aditomo, Sp. BD dengan didiagnosis
tumor intraabdomen dan diagnosis banding tumor inguinal. Pasien
menjalan sejumlah pemeriksaan yaitu pada tanggal 17 Mei 2014
menjalankan operasi laparatomi-biopsi dan tangga; 22 Mei 2014 hasil
PA keluar serta tanggal 24 Juni 2014 hasil imumohistokimia keluar.
Pasien mengaku sudah 1,5 tahun punya riwayat hernia scrotalis
kiri.Riwayat Penyakit Keluarga: tidak ada anggota keluarga yang
mengalami kondisi seperti iniRiwayat Pengobatan/Operasi: sebelumnya
pernah berobat di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung dan diberi obat
namun tidak sembuh. Pernah menjalankan operasi laparatomi biopsy
pada tanggal 17 mei 2014.PEMERIKSAAN FISIK PRE-OPERATIF1. Keadaan
Umum:
a. Kesadaran: Compos mentis
b. Kesan sakit: Tampak sakit berat
c. Tanda vital: TD: 129/89 mmHg: Nadi: 78x/menit
: RR: 22 x/menit: Suhu: 36.5oCd. Status gizi: BB: 165 cm
: TB: 65 kg
: BMI: 65 / (1.65 x 1.65) = 23.9. Status gizi baik.
2. Status Generalis:
a. Pemeriksaan kepala
: Normosefali, tidak ditemukan konjungtivaanemis, sclera tidak
ikterik pada kedua mata, reflex cahaya langsung maupun tak langsung
kedua mata positif, pupil isokor.b. Pemeriksaan leher
: Tidak ditemukan adanya massa, KGB dantidroid tidak ada
pembesaran.
c. Pemeriksaan thoraks jantung: BJ I-II normal regular, murmur
(-), gallop (-).
d. Pemeriksaan thoraks paru: Suara nafas vesikuler, ronki (-),
wheezing (-).
e. Pemeriksaan abdomen
: (lihat status lokalis)
f. Pemeriksaan ekstremitas: Akral hangat pada ke-empat
ekstremitas, tidakada oedem pada ektremitas atas dan ekstremitas
bawah.
3. Status Lokalis (abdomen):
a. Inspeksi: Tampak massa yang besar dan dilatasi vena b.
Auskultasi: Bising usus negatifc. Palpasi
: Perut terasa tegang, teraba massa kenyal, ukuran besar,
tidak
berbenjol-benjol, permukaan rata, tidak nyeri, tidak bisa
digerakkan d. Perkusi: terdengar suara pekak
PEMERIKSAAN PENUNJANG1. Pemeriksaan Laboratorium Darah (tanggal
10 Juli 2014)
Jenis pemeriksaanNilai normalHasil pasien
Golongan darahB
Hb11.0-16.5 g/dl11.4 g/dl
Eritrosit3.8-5.8 x 106 /uL3.67 x 106 /uL
Ht35.0-50.0%33.7%
MCV80-97 fl91.8 fl
MCH26.5-33.53 pg31.1 pg
MCHC31.5-35.0 g/dl33.8 g/dl
RDW-CV10-15 %15.3%
Leukosit4-11 x 103 /uL9.49 x 103 /uL
Eosinophil0-4 %0%
Basophil0-1 %0.1%
Neutrophil46-75 %92.5%
Limfosit17-48 %3.0%
Monosit4-10 %4.4%
Trombosit150-450 x 103 /uL196 x 103 /uL
Natrium135-147 meq/l137 meq/l
Kalium3.5-5.0 meq/l3.5meq/l
Chlor94-111 meq/l98 meq/l
Total protein6.6-8.7 g/dl6.5 g/dl
Albumin3.4-4.8 g/dl3.2 g/dl
Globulin 1.3-2.7 g/dl3.3 g/dl
Amylase 28-100 U/L62 U/L
Lipase13-60 U/L56 U/L
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi (tanggal 22 Mei
2014):Makroskopis: terima 1 botol berisi buah jaringan ukuran
1,5x2x1 cm, warna keabuan, keras padat, sebagian cetak 2 kop 1
set.Mikroskopis: mengandung sel tumor yang tersusun fibrilar. Sel
tumor pleomorfik sampai bizare, inti spindle berbentuk kromatin
inti kasar, smudge, anak inti kadang terlihat, sitoplasma sedikit.
Mitosis sulit ditemukan. Stroma berupa matriks fibriler, tampak
daerah yang mengalami kolagenasi dimana sel tumor terjepit diantara
daerah tersebut, dan proliferasi pembuluh darah.Kesimpulan:
pleomorfik sarcoma dengan DD/ Malignant peripheral nerve sheath
tumor3. Pemeriksaan Imunohistokimia (tanggal 24 Juni 2014)
Hasil imunohistokimia: vimentin
: positif
: Ki67
: 74 menit
Jenis Anestesi
: GA-OTK
Anestesi dengan
: Recofol, sevofluran, O2, dan N2O
Muscle relaxant
: Tramus
Tekhnik Anestesi
: SCCS (Semi-Closed Circuit System)
Induksi intravena
Intubasi oral ETT no. 7.5, kingking, cuffed (+)
Pemeliharaan inhalasi
Respirasi
: Kendali
Posisi
: Supine
Infus
: Gelofusin
Premedikasi
: Vomceran, fentanyl, sedacum
Medikasi
: Recofol, tramus
Pasien ditidurkan pada meja pembedahan kemudian dilakukan
pemasangan alat-alat monitoring anestesi berupa elektroda EKG,
sfigmomanomenter digital, dan pulse oksimeter. Sebelum dilakukan
pembiusan, pada pukul 07.45 WIB diberikan premedikasi secara
intravena berupa vomceran 8 mg, fentanyl 100 mcg, dan sedacum 5 mg.
Penggunaan obat premedikasi bertujuan untuk menghilangkan rasa
nyeri dan membuat pasien tertidur sehingga menimbulkan rasa nyaman
serta mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir.
Pasien juga diberikan cairan gelofusin secara intravena guyur.
Pasien kemudian dengan keadaan tetap terlentang pada meja
operasi dan tangan disanggah oleh penyangga tangan dan kemudian
dokter anestesi berada pada posisi di belakang kepala pasien,
menyungkup pasien dengan O2 dan N2O dengan perbandingan 2:3 sambil
melakukan bagging dan menyetel mesin anestesi dengan Vt dan
frekuensi pernapasan yang sesuai dengan berat badan pasien. Berikut
penghitungannya:
Vt (volume tidal)= 6-8 L/kgBB
= 8 x 65
= 520 L, dijadikan pembulatan menjadi 500 L
Frekuensi pernapasan= 100 cc/kgBB / VT
= 100 x 65 / 500
= 13x/menit
TI : TE
= 1 : 2
Pada pukul 07.47 posisi pasien terlentang dengan leher
diekstensikan di atas meja operasi dan telah diberi sevofluran 8
vol% dengan sungkup muka yang telah dihubungkan dengan mesin dan di
bagging sekitar 2 menit, lalu diubah menjadi 3 vol% selama 1 menit,
untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari
pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya intubasi.
Pemasangan ETT pada pasien ini:
1. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri
2. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan bibir dan
lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam
rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan
terlihat uvula, faring dan epiglotis.
3. Ekstensi kepala dipertahankan menggunakan tangan kanan.
4. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara
yang tampak keputihan berbentuk huruf V.
5. Ambil ETT kingking no. 7.5 dengan tangan kanan dan ujungnya
dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewati
pita suara.
6. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi.
7. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
8. Lakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara
nafas kanan dan kiri sama. Pastikan dada mengembang saat diberikan
ventilasi
9. Selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
Setelah ETT masuk dengan benar, lalu dialirkan sefofluran 3
vol%, oksigen 500 ml/menit dan N2O 500 ml/menit dan respirasi
dikontrol dengan mesin yang volume tidalnya sudah disesuaikan pada
penghitungan sebelumnya diatas. Berikutnya diberikan obat medikasi
berupa tramus sebagai muscle relaxant dan recofol yang merupakan
golongan
semua kondisi vital seperti tekanan darah, nadi, dan saturasi
oksigen dalam keadaan yang baik, maka dimulailah pencacatan kondisi
pasien dan dosis sevofluran 3%.Berikut merupakan cacatan keadaan
pasien intra-anestesi:
WaktuSaturasiTekanan darah (mmHg)Nadi (x/menit)Keterangan
07.4599%75/3878Premedikasi, IV:
vomceran 8 mg
fentanyl 100 mcg
sedacum 5 mg
07.5099%78/4578Anestesi GA-OTK
Tramus 50 mg
Recofol 100 mg
Sefofluran 3 vol% - O2 N2O
07.5599%77/4677-
08.0099%76/5075-
08.0599%78/5576-
08.1099%76/5477-
08.1599%76/5774-
08.2099%75/5473-
08.2599%76/5572-
08.3099%75/5670-
08.3599%76/5868Operasi dimulai
08.4099%74/5269-
08.4599%78/6067Sevofluran 2 vol%
08.5099%79/6264-
08.5599%84/6465-
09.0099%85/6566-
09.0599%83/6865-
09.1099%79/5969-
09.1599%80/6870-
09.2099%80/6478-
09.2599%75/6576-
09.3099%74/6677-
09.3599%76/6875-
09.4099%75/6577-
09.4599%75/6576-
09.5099%74/6677Operasi berakhir
Sefofluran stop
09.5599%76/6576Ekstubasi
10.0099%76/6875-
KEBUTUHAN CAIRAN PASIEN
Diketahui: Puasa selama 8 jam
BB 65 kg
Jenis operasi besar
Kebutuhan cairan basal= (4x10) + (2x10) + (1x45)
= 20+40+45
= 105 cc/jam
Kebutuhan cairan puasa= lama puasa x kebutuhan cairan basal= 8
jam x 105 cc/jam
= 840 cc/jam
Kebutuhan cairan operasi= jenis operasi besar (8
cc/kgBB/jam)
= 8 x 65kg
= 520 cc/jam
Jumlah kebutuhan cairan= 105 cc + 840 cc + 520 cc
= 1465 cc
PEMBERIAN CAIRAN PASIENJam ke-1= 50% x 1465 = 732.5 cc
Jam ke-2= 25% x 1465 = 366.25 cc
Jam ke-3= 25% x 1465 = 366.25 cc
Cairan yang telah masuk selama operasi dengan durasi 74 menit :
Gelofusin 5 kolf (2500cc) dan Asering 1 kolf (500cc).KEADAAN AKHIR
PEMBEDAHANTekanan Darah: 76/68 mmHg
Nadi
: 75x/menit
Saturasi
: 100%
Mual
: (-)
Muntah
: (-)
Sianosis
: (-)
Sadar
: (-)
Pasien dibawa ke recovery room pada pukul 10.00 WIB. Selama di
recovery room pasien tidak menggigil dan tidak mengeluh kedinginan,
pada perabaan keempat ektremitas teraba hangat. Dilakukan
pemantauan terhadap kelancaran aliran cairan irigasi buli-buli
untuk mencegah adanya sumbatan pada keteter urin akibat bekuan
darah.
Pemulihan Kesadaran Aldrete Score:
Nilai210
Warna Merah muda (pink) tanpa O2, SaO2 > 92%Pucat atau
kehitaman perlu o2 agar SaO2 > 90%Sianosis dengan O2, Sao2 tetap
< 90%
RespirasiDapat napas dalam dan batukNapas dangkal
Udara adekuatApnu atau obstruksi
KardiovaskularTekanan darah berubah 50%
KesadaranSadar, Siaga, orientasi baikBangun namun cepat tidurTak
dapat dibangunkan
Aktivitas4 ekstremitas bergerak2 ekstremitas bergerakTak ada
ekstremitas bergerak
Total skor: 4, pasien ditransfer ke ruang ICU.BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
ANASTESI UMUM
Anastesi umum adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri
secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat
pulih kembali. Anastesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi
prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit yang tak
tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan
menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan.
Tujuan dari anastesi yaitu:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap rasa sakit
3. Relaksasi otot rangka
Pemilihan cara anastesi dilihat dari beberapa factor yaitu:
Umur : bayi dan anak-anak paling cocok dengan anastesi umum.
Status fisik: riwayat penyakit dan operasi. Hal ini untuk
melihat apakah terdapat komplikasi yang muncul. Selain itu dapat
juga kita lihat dari adanya gangguan kardiorespirasi, kegelisahan
pada pasien, ataupun pasien yang obesitas.
Posisi pembedahan
Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedahan Keterampilan dan
pengalaman dokter anastesi
Keinginan pasien
Tahapan Tindakan Anastesi Umum1. Penilian dan Persiapan Pra
AnastesiPersiapan prabedah yang kurang merata merupakan factor
terjadinya kecelakaan dalam anatesi. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada
waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan
tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.1.1 Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anastesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah,
nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak nafas pasca bedah, sehingga
dapat dirancang anastesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa
penelitian sebelumnya menganjurkan obat yang kiranya menimbulakn
masalah dimasa lampau sebaiknya tidak digunakan kembali, misalnya
halotan sebaiknya tidak digunakan dalam waktu 3 bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan
diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan sejak 1-2 hari
sebelum operasi.Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi, tindakan buka mulut, ukuran lidah sangat
penting untuk diketahui apakah menyulitkan pada saat pemasangan
laringoskop dalam tindakan intubasi. Leher pendek dan kaku juga
akan menyulitkan tindakan intubasi. Pemeriksaan umum seperti
inpeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi secara sistemik tidak
boleh dilupakan.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat
sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang
dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin dan urinalisis. Pasien
yang usianya diatas 50 tahun dianjurkan untuk pemeriksaan EKG dan
foto thoraks.
Kebugaran untuk anastesi
Operasi elektif booleh ditunda sampai waktu yang tidak
ditentukan untuk mempersiapkan pasien dalam keadaan bugar, berbeda
dengan operasi cito dimana penundaan dengan alas an yang tidak
perlu harus dihindariKlasifikasi status fisik
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anasthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan
resiko anastesi karena efek samping anastesi tidak bisa dipisahkan
dari efek samping pembedahan. Berikut klasifikasi ASA:
Kelas I: pasien sehat organik, fisiologik, psikiatri,
biokimia
Kelas II: pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
akttivitas rutin terbatas
Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancapan kehidupannya
setiap saat
Kelas V: pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pemebedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Kelas VI: pasien yang sudah dinyatakan mengalami kematian batang
otak dan dilakukan pemebedahan untuk diambil organnya dalam proses
donor organ.
Masuka oral
Reflex laring mengalami penurunan selama anastesi. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
resiko utama pasien-pasien yang menjalani anastesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkanuntuk
operasi elektf dengan anastesi harus dipuasakan selama periode
tertentu sebelum dilakukan induksi anastesi. Pasien dewasa umumnya
puasa 6-8 jam, anak-anak puasa 4-6 jam, dan bayi puasa 3-4 jam.
Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelm induksi anastesi.
Minuman bening, air putih, air the diperbolehkan hingga 3 jam dan
untuk keperluan minum obat keperluan air putih dalam jumlah
tertentu diperbolehkan hingga 1 jam sebelum induksi anastesi.1.2
Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anastesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anastesi
diberikan dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anastesi diantaranya: menimbulkan rasa nyaman bagi
pasien, memudahkan atau memperlancar induksi, mengurangi jumlah
obat-obat anastesi, menekan refles-refleks yang tidak diinginkan
(mual-muntah), mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung,
mengurangi rasa sakit. Waktu dan cara pemberian premedikasi
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam,
secara intramuscular minimum harus tunggu 40 menit. Pada kasus yang
sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti,
pemberian obat-obatan dapat dilakukan secara intravena. Obat akan
sangat efektif sebelum induksi. Semua obat premedikasi bila
diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi
kecuali atropine dan hoisin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlaha-lahan dan diencerkan.
Obat-obatan yang sering digunakan
Analgetik narkotik: petidin (dosis 1-2 mg/kgBB), morfin/MO
(dosis 0,1 mg/kgBB), fentanyl (dosis 1-3 mcg/kgBB) Hipnotik:
ketamine (dosis 1-2 mg/kgBB), pentotal (dosis 4-6 mg/kgBB)
Sedative: diazepam/valium (dosis 0,1 mg/kgBB), midazolam/sedacum
(dosis 0,1 mg/kgBB)
Propofol/recofol (dosis 2,5 mg/kgBB), DBP (dosis 0,1
mg/kgBB)
Antimimetik: sulfas atropine (dosis 0,001 mg/kgBB), DBP, narfoz,
rantin, primperan, vomceran (dosis 4 mg/ 8 mg), granon (dosis 3
mg)2. Induksi Anastesi Suatu tindakan membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anastesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
IM, atau rectal. Setelah pasien tertidur akibat induksi anastesi,
maka dilanjutkan dengan pemeliharaan anastesi sampai tindakan
pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anastesi diperlukan STATICS
S: Scope, yaitu stetoskop dan laringoskop
T: Tubes, yaitu endotrakeal tube kingking no. 7.5
A: Airway, guedel
T: Tapes (plester)
I: Introducer, mandren atau stilet (tidak digunakan pada pasien
ini)
C: Connector, penyambung alat pipa dan peralatan anesthesia
S: Suction, untuk menyedot lendir, darah, dll
2.1 Induksi intravena
Paling banyak diklakukan. Induksi intravena dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anastesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus
diawasi dan berikan oksigen.
Obat-obat induksi intravena
Thiopental (pentotal, tiopenton ( amp 500 mg atau 1000 mg.
sebelum digunakan harus dilarutkan dalam aquabides steril sampai
kepekatan 2,5% (1 ml=25 mg), hanya boleh digunakan untuk intravena
dengan dosis 3-7 mg/kgBB disuntikkan perlahan-lahan dan dihabiskan
dalam waktu 30-60 detik. Penyuntikan thiopental menyebabkan pasien
dalam kondisi sedasi, hypnosis, anastesia atau depresi napas.
Thiopental menurunkan aliran darah ke otak, tekanan liquor, tekanan
intracranial dan dapatkan melindungi otak akibat kekurangan
oksigen. Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
Propofol (recofol) ( Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna
putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg).
suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
Ketamin (ketalar) ( Kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena
dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml =
50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) ( Diberikan dosis
tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia
opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2.2 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.2.3 Induksi inhalasi
N2O ( (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)( berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti
halotan.
Halotan (fluotan) ( Sebagai induksi juga untuk laringoskop
intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum
tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi
kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan
kadar gula darah.
Enfluran (etran, aliran) ( Efek depresi napas lebih kuat
dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan.
Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi
lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot
lurik lebih baik disbanding halotan.
Isofluran (foran, aeran) ( Meninggikan aliran darah otak dan
tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan
intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,
sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner.
Desfluran (suprane) ( Sangat mudah menguap. Potensinya rendah
(MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi
anestesi.
Sevofluran (ultane) ( Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan.2.4 Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Tracurium 20 mg (Antracurium) ( Berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkna depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak
dapat bekerja. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1
mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2
menit. Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot: Cegukan (hiccup)
Dinding perut kaku
Ada tahanan pada inflasi paru3. Rumatan Anastesi
(Maintainance)Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena
total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena
inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur
rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan
agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi
otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan
opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total
intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%
atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah
pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.4. Tatalaksana
Jalan NafasHubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
Hidung ( Menuju nasofaring
Mulut ( Menuju orofaring. Hidung dan mulut dibagian depan
dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan dibagian
belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan
laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri
dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang
aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas
bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung
atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan
napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan
napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system
anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan
tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung.D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya
dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai
LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral
untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar
dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat
dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube).F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar.
Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk
bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi:Gradasi Pilar faringUvulaPalatum Molle
1+++
2-++
3--+
4---
Indikasi Intubasi TrakeaIntubasi trakea ialah tindakan
memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea
antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi
dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, misalnya saat
resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan Intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar,
jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari
sekret dan cairan lainnya.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien bernama Tn. Kassa didiagnosis Liposarkoma Intraabdomen,
setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan status
ASA III sehingga penyakit yang dideritanya merupakan penyakit
sistemik berat yang mengakibatkan keterbatasan aktivitas fisik dan
jika dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kondisi pasien. Selama
proses pembedahan berlangsung tidak ditemukan adanya permasalahan
berarti baik dari pemedahan maupun dari anastesi, namun pada saat
pengangkatan akan dilakukan ternyata tumor yang berada pada
intraabdomen pasien menempel pada bagian tulang belakangnya.
Kondisi tersebut membuat dokter ahli bedah digestive memutuskan
untuk tidak melanjutkan operasi dan menutup kembali abdomen yang
sudah disayat. Selama proses pembedahan, keseimbangan cairan pasien
tidak ada masalah, cairan tubuh tidak mengalami gangguan.
Pada saat proses operasi telah selesai, pasien dipindahkan ke
ruang recovery, namun kondisi pasien masih dalam pengawasan.
Setelah itu pasien dibawa ke ruang ICU untuk dipantau lebih lanjut.
Karena kondisi yang semakin memburuk maka pasien dibawa ke ruangan
HCU. Dari hasil penilaian dari anastesi dapat disimpulkan bahwa
proses anastesi berlangsung baik tanpa adanya komplikasi.DAFTAR
PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis
anastesiologi, edisi kedua. Jakarta: Bagian anastesiologi dan
terapi intensif FKUI; 2002.
2. Goodman & Gillman. Dasar farmakologi dan terapi, edisi
sepuluh. Jakarta: EGC
3. Mangku G, Gde AST. Ilmu anastesi dan reminasi. Jakarta: PT.
Macan Jaya Cemerlang. 2010.p.24-36.
4. De WJ, Sessler DI. Perioperative shivering: physiology and
pharmacology. Anesthesiology 2002; 96(2): 467-84.5. Smith T,
Pinnock C, Lin T. fundamentals of anesthesia. 3rd. Post operative
management. Cambridge: Cambridge University Press. 2009;67.S 1