Manajemen Pajak PPh Pemotongan & Pemungutan ( PPh Pasal 22,
23/26 dan PPh Pasal 4 ayat (2)/Final )
1. PendahuluanSistem PPh pemotongan & pemungutan
(withholding income taxes system) di Indonesia dapat dibilang cukup
kompleks karena begitu banyak pasal dalam Undang-Undang PPh yang
berlaku yang mengatur masalah pemotongan dan pemungutan pajak ini.
Pasal-pasal yang berkenaan dengan masalah PPh pot-put ini antara
lain adalah PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21/26,
PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26 dan PPh Pasal 24.Belum lagi sebagian
yang teknis pelaksanaannya diatur menurut peraturan pemerintah,
peraturan menteri keuangan, dan peraturan direktur jenderal pajak.
Kompleksitas juga ditunjukkan dengan beragamnya obyek dan tarif PPh
pot-put, sifat pemotongannya yang final dan tidak final, juga dasar
pengenaannya ada yang berbasiskan jumlah bruto (gross amount)
sebelum PPN dan ada pula yang dikenakan dari nilai perkiraan neto
(net estimated income). Demikian pula halnya dengan saat
terutangnya yang variatif, mulai saat dibayar, tersedia untuk
dibayar, sampai saat jatuh tempo. Untungnya, sebagian besar PPh
pemotongan tersebut memiliki jatuh tempo pembayaran yang hampir
sama, yaitu pada tanggal 10 dan 20 masa pajak berikutnya, kecuali
PPh pemungutan Pasal 22.Oleh karena itu, perusahaan harus
mengetahui berbagai ketentuan, kewajiban maupun teknis mekanisme
PPh pemotongan & pemungutan ini sebagai langkah manajemen
pajak. Berikut akan diuraikan ketentuan, mekanisme dan perencanaan
pajak sehubungan objek PPh pot-put PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 22,
dan Pasal 23/26.
2. Pembahasan2.1 Ketentuan PPh Pemotongan dan
PemungutanPemahaman dasar atas sistem pemotongan dan pemungutan
pajak di Indonesia yang kompleks merupakan kunci keberhasilan bagi
perusahaan untuk mengelolanya. Tabel berikut menyajikan ringkasan
obyek PPh pemotongan-pemungutan yang berlaku saat ini:NoPasal yang
mengatur dalam UU PPhObyek Pemotongan/ PemungutanTarifDasar
Pengenaan PajakSifatKeterangan
1.Pasal 4 ayat (2)Jasa pelaksana konstruksi2%Jumlah bruto tidak
termasuk PPN FinalKepada kontraktor yang memiliki kualifikasi usaha
kecil
2.Pasal 4 ayat (2)Jasa pelaksana konstruksi3%Jumlah bruto tidak
termasuk PPNFinalKepada kontraktor yang memiliki kualifikasi usaha
menengah/besar
3.Pasal 4 ayat (2)Jasa pelaksana konstruksi4%Jumlah bruto tidak
termasuk PPNFinalKepada kontraktor yang tidak memiliki
kualifikasi
4.Pasal 4 ayat (2)Jasa perencana dan pengawas konstruksi4%Jumlah
bruto tidak termasuk PPNFinalKepada kontraktor yang memiliki
kualifikasi usaha menengah/besar
5.Pasal 4 ayat (2)Jasa perencana dan pengawas konstruksi6%Jumlah
bruto tidak termasuk PPNFinalKepada kontraktor yang tidak memiliki
kualifikasi usaha
6.Pasal 4 ayat (2)Hadiah undian25%Nilai uang atau nilai pasar
apabila hadiah diberikan dalam bentuk naturaFinal
7.Pasal 4 ayat (2)Bunga deposito, tabungan, dan diskonto
SBI20%Jumlah brutoFinalPengecualian diberikan apabila jumlahnya
tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan merupakan jumalh yang
dipecah-pecah
8.Pasal 4 ayat (2)Penjualan saham di Bursa Efek Indonesi
(BEI)0,1%Jumlah brutoFinalTambahan 0,5% untuk saham pendiri dengan
kondisi tertentu
9.Pasal 4 ayat (2)Persewaan tanah dan/ atau bangunan10%Jumlah
brutoFinal
10.Pasal 4 ayat (2)Pengalihan hak atas tanah dan/ atau
bangunan5%Nilai pengalihanFinalNilai yang tertinggi antara nilai
berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP berdasarkan SPPT
PBB
11.Pasal 4 ayat (2)Bunga Obligasi dengan kupon (interest bearing
bond) yang diperdagangkan di BEI15%Jumlah bruto bungan sesuai
dengan masa kepemilikan obligasiFinalApabila dibayarkan kepada WPLN
tarifnya 20% atau tariff lebih rendah menurut ketentuan Tax
Treaty
12.Pasal 4 ayat (2)Diskonto Obligasi dengan kupon yang
diperdagangakn di BEI15%Selisih lebih harga jual atau nilai nominal
diatas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga
berjalanFinalApabila dibayarkan kepada WPLN tarifnya 20% atau
tariff lebih rendah menurut ketentuan Tax Treaty
13.Pasal 4 ayat (2)Bunga dan/ atau diskonto dari Obligasi yang
diterima dan/ atau diperoleh WP reksadana yang terdaftar pada
Bapepam LK5%(2011-2013); 15% (2014 dan seterusnyaJumlah bruto bunga
sesuai dengan masa kepemilikan obligasi / selisih lebih harga jual
atau nilai nominal diatas harga perolehan obligasiFinalUntuk
penjelasan yang lebih terinci, silakan baca PP Nomor 16 Tahun
2009
14.Pasal 4 ayat (2)Penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangan usahanya oleh perusahaan modal
ventura0,1%Jumlah bruto Nilai Transaksi Penjualan/ Pengalihan
Penyertaan ModalFinalUntuk penjelasan yang lebih terinci, silahkan
baca PP Nomor 4 Tahun 1995
15.Pasal 22Pembelian Barang oleh Bendaharawan dan
BUMN/BUMD1,5%Harga PembelianTidak Final
16.Pasal 22Importasi dengan API2,5%Nilai imporTidak Final
17.Pasal 22Importasi tanpa API7,5%Nilai imporTidak Final
18.Pasal 22Lelang atas impor barang yang tidak dikuasai7,5%Harga
jual lelangTidak Final
19.Pasal 22Penjualan oleh industri semen0,25%DPP PPNTidak
FinalPihak perusahaan dalam industri tersebut mendapat penunjukan
sebagai pemungut PPh Pasal 22 oleh pihak KPP
20.Pasal 22Penjualan oleh industri kertas0,1%DPP PPNTidak
Final
21.Pasal 22Penjualan oleh industri baja0,3%DPP PPNTidak
Final
22.Pasal 22Penjualan oleh industri otomotif0,45%DPP PPNTidak
Final
23.Pasal 22Penjualan oleh industri rokok25%Harga bandrolTidak
Final
24.Pasal 22Penjualan bahan bakar migas oleh PERTAMINA
(premium,solar,premix,super TT)0,25%Harga JualTidak Final
25.Pasal 22Penjualan bahan bakar migas oleh PERTAMINA (minyak
tanah, gas/LPG, dan pelumas)0,3%Harga jualTidak Final
26.Pasal 22Penjualan bahan bakar migas oleh SWASTANISASI
(premium, solar, premix/ super TT)0,3%Harga jualTidak Final
27.Pasal 22Pembelian bahan-bahan berupa hasil perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri dan
ekspor pedagang pengumpul0,5%Harga beli (tidak termasuk PPN)Tidak
Final
28.Pasal 23Bunga15%Jumlah brutoTidak FinalObyek PPh Pasal 23
dibayarkan kepada sesama WPDN dan/ atau BUT sehingga ketentuannya
sering disebut sebagai domestic withholding tax. Dalam hal penerima
imbalan sehubungan dengan jasa tidak memiliki NPWP, besarnya
pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif sebagaimana
dimaksud diatas.
29.Pasal 23Dividen15%Jumlah bruto
30.Pasal 23Royalti15%Jumlah bruto
31.Pasal 23Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain
yang telah dipotong PPh 2115%Jumlah bruto
32.Pasal 23Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan /atau bangunan2%Jumlah
bruto tidak termasuk PPNTidak Final
33.Pasal 23Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain
jasa yang telah dipotong PPh Pasal 212%Jumlah bruto tidak termasuk
PPNTidak Final
34.Pasal 23Jasa penilai (appraisal)2%Tidak Final
35.Pasal 23Jasa aktuaris2%
36.Pasal 23Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan
keuangan2%
37.Pasal 23Jasa perancang (design)2%
38.Pasal 23Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan
minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh BUT2%
39.Pasal 23Jasa penunjang di bidang penambangan migas2%
40.Pasal 23Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang
penambangan selain migas2%
41.Pasal 23Jasa penunjang di bidang penerbangan dan Bandar udara
2%Tidak Final
42.Pasal 23Jasa penebangan hutan2%
43.Pasal 23Jasa pengolahan limbah2%
44.Pasal 23Jasa penyedia tenaga kerja (outsourching
services)2%
45.Pasal 23Jasa perantara/ atau keagenan2%
46.Pasal 23Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga,
kecuali yang dilakukan oleh BEI, KSEI, dan KPEI2%
47.Pasal 23Jasa custodian/ penyimpanan/ penitipan, kecuali yang
dilakukan oleh KSEI2%
48.Pasal 23Jasa pengisian suara (dubbing) dan/ atau sulih
suara2%
49.Pasal 23Jasa mixing film2%Tidak Final
50.Pasal 23Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk
perawatan, pemeliharaan dan perbaikan2%
51.Pasal 23Jasa instalasi/ pemasangan mesin, peralatan, listrik,
telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan
oleh WP yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai
izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi2%Tidak
Final
52.Pasal 23Jasa perawatan/ perbaikan/ pemeliharaan mesin,
perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV Kabel, alat
transportasi/ kendaraan dan/ atau bangunan selain yang dilakukan
oleh WP yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai
izin dan/ atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi2%
53.Pasal 23Jasa maklon2%
54.Pasal 23Jasa penyilidikan dan keamanan2%
55.Pasal 23Jasa penyelenggara kegiatan atau event
organizer2%Tidak Final
56.Pasal 23Jasa pengepakan2%
57.Pasal 23Jasa penyediaan tempat dan/ atau waktu dalam media
masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian
informasi2%
58.Pasal 23Jasa pembasmian hama2%Jumlah bruto tidak termasuk
PPNTidak Final
59.Pasal 23Jasa kebersihan (cleaning services)2%
60.Pasal 23Jasa catering atau tata boga2%
61.Pasal 26Dividen 20%Jumlah brutoFinalObyek PPh pasal 26
dibayarkan kepada WPLN. Pengurangan tarif yang lebih rendah atau
pengecualian pajak menurut Tax Treaty dapat diberikan dengan
persyaratan
62.Pasal 26Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
63.Pasal 26Royalty, Sewa, dan Penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta
64.Pasal 26Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan
65.Pasal 26Hadiah dan penghargaan
66.Pasal 26Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya
67.Pasal 26Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
68.Pasal 26Keuntungan karena pembebasan utang
69.Pasal 26Penjualan atau pengalihan harta di Indonesia berupa
perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang
antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/ atau pesawat
terbang ringan oleh WPLN20%25% (= tarif efektif pajaknya 5%) dari
harga jualFinalPengecualian diberikan untuk transaksi bernilai
kurang dari Rp 10.000.000,00 Lihat PMK Nomor: 82/ PMK.03/2009
70.Pasal 26Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
(special purpose company atau conduit company), yang ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia, atau penjualan atau pengalihan
BUT di Indonesia20%25% (= tarif efektif pajaknya 5%) dari harga
jualFinalAturan lebih rinci, lihat PMK Nomor: 258/PMK.03/2008
Catatan:Khusus untuk pembayaran kepada WPLN, perlu diperhatikan
apakah penghasilan yang diberikan kepada pihak WPLN tersebut
merupakan passive income (bunga, dividend an royalty), karena
perlakuan pajaknya akan berbeda manakala kita bertransaksi dengan
WPLN mitra perjanjian (tax treaty partner).(a) Perlakuan pajak jika
WPLN tersebut merupakan resident Negara treaty partnerUntuk passive
income yang diterima WPLN treaty partner, pihak pembayar di
Indonesia wajib memotong PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif tax
treaty yang bersangkutan (reduced rate treaty) dengan persyaratan
dilampirkannya Certificate of Resident (COR) / Certificate od
Domicile (COD) yang sekarang dikenal dengan sebutan Form DGT-1 dan
Form DGT-2 pada SPT Masa PPh Ps. 26. Dalam hal ini Indonesia
sebagai Negara sumber tetap memiliki hak pemajakan atas passive
income tersebut, tanpa melihat apakah WPLN tersebut memiliki Bentuk
Usaha Tetap (BUT) di Indonesia atau tidak. Dalam hal WPLN tersebut
memiliki BUT di Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib
memotong PPh Pasal 23 (bukan PPh pasal 26).Sebaliknya untuk active
income yang diterima WPLN treaty partner, pihak pembayar di
Indonesia tidak wajib memotong PPh Pasal 26 manakala WPLN tersebut
tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dengan
persyaratan dilampirkannya COR/COD. Apabila WPLN tersebut memiliki
BUT di Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong
PPh Pasal 23 (bukan PPh Pasal 26).Pada beberapa Tax Treaty, atas
pembayaran imbalan jasa teknik (active income) kepada WPLN yang
merupakan resident Negara tersebut pihak pembayar di Indonesia
wajib memotong PPh Pasal 26 dengan reduced rate tax treaty dari
imbalan bruto, meskipun WPLN tersebut tidak memiliki BUT di
Indonesia, sepanjang jasa teknik tersebut dilakukan di
Indonesia.
(b) Perlakuan pajak jika WPLN tersebut bukan merupakan resident
Negara treaty partner (non treaty partner)Untuk passive income yang
diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di Indonesia wajib
memotong PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif UU PPh, yaitu 20%
dari jumlah bruto jika WPLN tersebut tidak memiliki BUT di
Indonesia. Dalam hal WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka
pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 15%
dari jumlah bruto.Sebaliknya untuk active income yang diterima WPLN
non treaty partner, pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh
Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto jika WPLN tersebut tidak
memiliki BUT di Indonesia. Dalam hal WPLN tersebut memiliki BUT di
Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh
Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto.
2.2 Klausul Wtiholding Income Tax Dalam KontrakKontrak
perjanjian sebagai suatu dokumen perpajakan memiliki setidaknya 3
fungsi, yaitu diantaranya:1. Fungsi administratif, dimana kontrak
perjanjian dipergunakan sebagai dasar administrasi pencatatan dan
pembukuan akuntansi dan keuangan perusahaan dan terefleksi pada
laporan keuangan perusahaan2. Fungsi teknis, karena kontrak
perjanjian akan secara material membahas aspek teknis hal-hal yang
diperjanjikan, seperti:a. Pihak yang mengadakan kontrak
perjanjianb. Ruang lingkup perjanjianc. Hak dan kewajiban para
pihak yang mengikat kontrakd. Nilai kontrak dan term pembayarane.
Saat berlakunya kontrakf. Wilayah keberlakuan kontrak perjanjiang.
Syarat-syarat umum dan khusus yang disepakati para pihak termasuk
lampiran atau apendiks perjanjian, apabila ada.3. Fungsi legal
yuridis, yang mana fungsi ini memberikan penekanan bahwa dokumen
kontrak perjanjian adalah undang-undang bagi pihak-pihak yang
mengikatnya. Hal ini terutama berguna dalam upaya penyelesaian
kesalahpahaman dan perselisihan antar para pihak dimana kontrak
perjanjian dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah dalam
menyelesaikan suatu kasus.
Pada sistem pemotongan pemungutan pajak, pihak penerima
(pembayaran) penghasilan adalah pihak yang secara ekonomis membayar
pajaknya demgan pihak pembayar yang secara yuridis melakukan
pemenuhan kewajiban perpajakannya, dalam bentuk (i) pemotongan
pajak dari penerima penghasilan; (ii) pembayaran pajaknya ke kas
negara; (iii) pelaporannya ke kantor pajak; dan (iv) pengarsipannya
dalam jangka waktu 10 tahun , termasuk memberikan bukti pemotongan
pajaknya kepada pihak penrima penghasilan. Kelalaian dalam
melakukan pemenuhan kewajiban pemotongan pajak ini, sepenuhnya
menjadi tanggung jawab pihak pembayar.
(a) Sanksi perpajakan atas ketidakpatuhanBerdasarkan ketentuan
Pasal 13 UU KUP yang berlaku, sanksi perpajakan yang diterapkan
atas kelalaian pihak pembayar (apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau
kurang dibayar) karena tidak melakukan pemotongan PPh pot-put
adalah jumlah kekurangan pajak yang terutang ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan
yang dihitunh sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Penambahan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% dari
Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau
kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau
dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.
(b) Nilai kontrak adalah net of taxUntuk menghindari pengenaan
PPh pot-put, seringkali pihak penerima (pembayaran) penghasilan
(payee) memakai trik legal pembayaran bersih (net of tax) dalam
withholding tax clause yang ada dalam kontrak. Dengan pencatuman
klausul nilai kontrak adalah sejumlah tertentu, pada hakikatnya
pihak payee berusaha mengalihkan beban pajak pemotongan yang
seharusnya secara ekonomis menjadi tanggungannya, kepada pihak
pembayar (payor). Dalam hal payor menanggung PPh pot-put tadi, maka
jumlah pajak yang dipotong tersebut secara umum akan diperlakukan
sebagai bukan biaya pengurang (non-deductible expense) bagi
perhitungan PPh badan payor. Sementara jika payor memilih untuk
memberikan tunjangan pajak, maka perhitungan PPh pot-put transaksi
tersebut dilakukan dengan metode grossed-up. Umumnya, tunjangan
pajak ini merupakan biaya pengurang bagi payor dalam perhitungan
PPh badannya. Adanya opsi ini, sebetulnya dapat juga dijadikan
sarana untuk mengoptimalkan efesiensi dan efektivitas PPh bagi
payor dengan membandingkannya dengan kewajiban PPh badannya.
(c ) Kuasa pengadministrasian PPh pot-put kepada payeeDalam
kondisi tertentu, dapat disepakati di dalam kontrak perjanjian
bahwa pengadministrasian PPh pot-put yang normalnya dilakukan oleh
pihak pembayar (payor), untuk dilakukan oleh pihak penerima
penghasilan (payee). Kompleksnya sistem pemotongan pemungutan PPh
di Indonesia sebagaimana telah diulas sebelumnya, dapat membuat
pihak payor kesulitan untuk menunaikan kewajiban perpajakannya,
ditambah lagi apabila kondisi internal payor yang tidak
memungkinkan untuk itu, seperti:(i) Tidak adanya sumber daya (tax
personel) yang memadai untuk melakukan kewajiban pengadministrasian
PPh pot-put(ii) Payor dalam posisi sedang dalam proses likuidasi
(pembubaran)(iii) Biaya pengadministrasian pajak ini dianggap
terlalu mahal dan kurang memberikan manfaat bagi payor
2.3 Mengelola Perbedaan Interpretasi Dalam PPh
Pemotongan-PemungutanSalah satu kiat manajemen pajak pada PPh
pot-put adalah eliminir bias dalam interpretasi suatu transaksi
apakah merupakan obyek PPh pot-put atau bukan. Sewaktu ketentuan
PPh pot-put, misalnya mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa
masih diatur dalam rezim perpajakan yang mengenakan tarif beragam
dalam praktek di lapangan sering kali muncul perselisihan terkait
dengan penentuan obyek dan tarif pemotongan pajaknya.Akibatnya,
pihak payor dihadapkan dengan resiko sebagai withholder dengan
keberagaman tarif tersebut. Kejadian di lapangan mengajarkan bahwa
pihak payor cenderung akan bertindak konservatif dalam melakukan
pemotongan pajak karena dia adalah pihak yang akan terkena sanksi
perpajakan apabila dalam pemeriksaan pihak otoritas pajak memiliki
pandangan yang berbeda. Misalnya, atas suatu jasa yang telah
diselesaikan oleh payee, pihak otoritas pajak menganggap payor
melakukan kekurangan potong pajak karena hanya memotong pajak
dengan 2% atau 4,5% padahal semestinya menurut pemeriksa pajak,
tarif yang seharusnya dikenakan adalah 6%. Kekuranganptongan tadi
akan ditagihkan kepada pihak payor ditambah dengan sanksi
administratif berupa bunga keterlambatan, dengan penerbitan SKPKB
(Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar). Untuk mengantisipasi hal
tersebut, bisa saja payor mengenakan tarif 6% kepada payee. Akan
tetapi, payee dapat tidak setuju dengan perlakuan tersebut, paling
tidak atas opportunity cash yang hilang karena pemotongan pajak
yang lebih besar. Mengatasi hal ini, payor bisa saja setuju dengan
tarif 2% atau 4,5% dengan meminta jaminan (warranty) bahwa payee
akan bertanggung jawab atas selisih kurangpotong berikut sanksi
administrasi perpajakan jika nantinya terdapat pemeriksaan pajak
dan terbit SKPKB.Untuk itu, antara kedunaya dapat memasukkan
klausul indemnity atau warranty atas resiko perpajakan diatas tadi
dalam kontrak yang ditandatangani. Dari sisi payee, klausul
indemnity atau warranty tadi sebenarnya dapat diantisipasi dengan
beberapa cara. Pertama, payee dapat melakukan riset perpajakan atas
perlakuan pajak yang pernah ada sebelumnya yang analog dengan jasa
yang dikerjakan oleh payee berdasarkan regulasi yang pernah
dikeluarkan oleh pihak otoritas perpajakan. Analisis analogi ini
kemudian disepakati oleh kedua belah pihak sebagai suatu
kecenderungan yang akan diambil pihak pemeriksa pajak saat mereka
menemukan kasus yang terjadi. Kedua, payee atau payor dapat
menunjuk pihak independen (biasanya konsultan pajak) untuk
memberikan opini atas perlakuan perpajakan yang sesuai secara
teknis maupun praktis atas kasus di atas apabila masih belum
mendapatkan titik temu antara keduanya. Keutamaan dari cara kedua
ini umumnya karena pihak konsultan pajak independen dapat
memberikan opini dalam jangka waktu yang predictable, disamping
keakuratannya yang relative terjaga karena pengalaman teknis dan
praktiknya di lapangan. Kriteria konsultan pajak independen yang
akan ditunjuk, lebih lanjut dapat didiskusikan antara payor dan
payee, khususnya apabila keduanya punya preferensi tertentu.Yang
terakhir, cara ketiga adalah dengan pengajuan private ruling oleh
salah satu pihak kepada pihak otoritas pajak selaku tax regulator.
Jawaban berupa konfirmasi, penegasan atau klarifikasi yang
diberikan oleh pihak otoritas pajak akan dijadikan sebagai acuan
utama untuk memperlakukan pemotongan pajak atas transaksi yang
dilakukan. Payor dan payee harus respect terhadap private ruling
ini, kedua belah pihak dimungkinkan untuk menghindari klausul
indemnity atau warranty dalam kontrak perdatanya, meski demikian
factor waktu sering kali menjadi permasalahan karena time frame
untuk mendapatkan jawaban dari pihak otoritas pajak sukar untuk
dipastikan.
2.4 Peran Pencatatan Akuntansi Dalam Pemotongan PajakDalam
pembahasan tabel pemotongan pajak sebelumnya, diketahui bahwa basis
pengenaan pajak PPh pot-put dapat berbentuk jumlah bruto pembayaran
(gross amount) atau nilai estimasi bersih (net estimated income),
tidak termasuk PPN.Definisi jumlah bruto yang merupakan dasar
pengenaan pajak di atas diatur dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak
Nomor: SE-53/PJ/2009 yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c
angka 2 UU PPh yang berlaku adalah seluruh jumlah penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan
pemerintah, subjek pajak bdan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaab luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk:(1) Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga
kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna
jasa yang dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftat pembayaran
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan;(2) Pembayaran atas
pengadaan/pembelian barang atau material dengan bukti pendukung
berupa faktur pembelian barang atau material;(3) Pembayaran kepada
pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada
pihak ketiga dengan alat bukti berupa faktur tagihan dari pihak
ketiga disertai dengan perjanjian tertulis;(4) Pembayaran
penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua
kepada pihak ketiga dengan bukti berupa faktur tagihan atau bukti
pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak
ketiga.
Namun, jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas penghasilan yang
dibayarkan sehubungan dengan jasa catering atau dalam hal
penghasilan yang dibayarkan telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.Seringkali dalam pemeriksaan pajak oleh pihak
otoritas pajak, pihak pemeriksa melakukan teknik rekonsiliasi obyek
PPh pot-put antara jumlah yang terdapat dalam laporan keuangan
dengan jumlah yang telah dilaporkan perusahaan dalam SPT Masa PPh
pot-putnya. Dalam praktiknya, jumlah yang diambil untuk kepentingan
rekonsiliasi tadi adalah angka sesuai pos perkiraan dalam laporan
laba-rugi perusahaan. Untuk memudahkan pihak perusahaan jika
nantinya terdapat temuan oleh fiskus dan juga kemudahan dalam
rekonsiliasi, pencatatan akuntansi untuk komponen jasa dan
pembelian material sebaiknya tidak digabungkan.Peran pencatatan
akuntansi juga menjadi signifikan dalam pengelolaan kewajiban PPh
pot-put, khususnya untuk wajib pajak yang bergerak di
industri-industri tertentu yang umumnya tidak dikenakan PPN,
seperti perbankan, asuransi dan multifinance. Biasanya, karena
status perusahaan dalam industri tersebut sebagai non-PKP, mereka
cenderung mengkapitalisir PPN atas suatu jasa menjadi beban.
Sebenarnya pencatatan seperti ini sah-sah saja, akan tetapi ketika
nantinya fiskus melakukan ekualisasi, akan terdapat perbedaan angka
(unreconciled item) atas kewajiban pemotongan PPh pot-put atau
suatu jasa karena jumlah pada SPT Masa PPh pot-put tidak sama
dengan biaya sehubungan jasa tersebut pada laporan keuangan. Dalam
hal ini, akan lebih baik jika perusahaan melakukan pemisahan antara
biaya jasa dan PPN atas jasa tersebut.
2.5 Rekonsiliasi Obyek Pemotongan PPh Pot-PutPembahasan
rekonsiliasi/ekualisasi obyek pemotongan PPh pot-put ini dapat
dilakukan tinjauannya dari 2 (dua) aspek, yaitu: aspek perusahaan
sebagai pihak pemotong (withholding tax agent) dan segi perusahaan
selaku pihak yang dipotong oleh pihak ketiga (pelanggan). Uraian
rinci dari keduanya disajikan di bawah ini.(a) Rekonsiliasi obyek
PPh pot-put bagi perusahaan selaku pemotongUpaya manajemen pajak
yang terukur apabila perusahaan bertindak selaku pemotong pajak,
salah satunya adalah melakukan rekonsiliasi/ekualisasi atas
kewajiban pemotongan PPh pot-put. Caranya adalah dengan
membandingkan obyek pemotongan PPh pot-put berdasarkan angka yang
tertera dalam laporan keuangan dengan dasar pengenaan pajak yang
telah dilaporkan perusahaan dalam SPT Masa PPh pot-put yang
bervariasi, mulai dari pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), 15, 21/26,
dan 23/26, tergantung obyeknya.Untuk kewajiban PPh pot-put Pasal 4
ayat (2), 15, 22, dan 23/26 seringkali digabungkan kertas kerjanya
dalam kasus pemeriksaan pajak umum, mempertimbangkan kesamaan obyek
dan efisiensi pengerjaannya. Identifikasi atas selisih hasil
rekonsiliasi obyek PPh pot-put menurut pencatatan pembukuan dan
pelaporan pajaknya, merupakan hal penting yang harus dilakukan
perusahaan. Perbedaan atau selisih (un-reconciled items) tersebut
dipengaruhi beberapa factor, yaitu:(i) Secara substantial, biaya
tersebut sebenarnya bukan merupakan obyek PPh pot-put (masalah beda
interpretasi);(ii) Jumlah yang menjadi obyek PPh pot-put tidak
seluruhnya benar/akurat, terkait dengan masalah reimbursement, PPN
atau biaya-biaya lain yang digabungkan penjurnalannya;(iii) Masalah
beda waktu, misalnya movementa atas biaya dibayar dimuka (prepaid)
yang kewajiban PPh pot-putnya dilakukan saat pembayaran, sementara
pembebanannya dilakukan lintas tahun, melalui metode
alokasi/amortisasi atau beda waktu atas biaya yang masih akrual
sehingga diakui pembebanannya oleh perusahaan yang kewajiban PPh
pot-putnya ditunaikan saat pembayaran kepada pihak vendor;(iv)
Selisih jumlah tadi sebenarnya secara yuridis bukan merupakan obyek
pemotongan PPh pot-put, hanya saja memerlukan pembuktian
dokumentasi yang cukuo masif. Misalnya, pembayaran jasa kepada
pihak vendor yang telah mendapatkan pembebasan pemotongan pajak
yang perlu di dukung dengan bukti SKB (Surat Keterangan Bebas)
Pemotongan Pajak;(v) Perbedaan kurs (foreign exchange different),
dimana pencatatan pembukuan dan pembayaran PPh pot-put dilakukan
dengan basis kurs konversi yang berbeda.(b) Rekonsiliasi obyek PPh
pot-put bagi perusahaan selaku pihak yang dipotongSelaku penerima
penghasilan yang merupakan obyek PPh pot-put, perusahaan akan
dipotong pajaknya oleh pelanggan. Untuk kepentingan perpajakan,
perusahaan dapat melakukan rekonsiliasi obyek PPh pot-put
berdasarkan bukti potong yang diterima dari pelanggan dengan
penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan atau audit
report laporan keuangannya.Beberapa penyebab perbedaan atau selisih
(un-reconciled items) yaitu diantaranya:(i) Masalah beda waktu
(temporary or timing different), dimana pihak perusahaan telah
mengakui penghasilan saat penerbitan tagihan (invoice) kepada
pelanggan, sementara pemotongan PPh pot-put nya dilakukan lintas
tahun, saat pembayaran oleh pihak pelanggan.(ii) Masalah perbedaan
kurs (foreign exchange different), dimana perusahaan penerima
penghasilan mencatat revenue berdasarkan kurs yang berlaku saat
pengakuan penghasilan sementara bukti potong yang diterima
pelanggan mengkonversinya berdasarkan kurs PMK saat pembayaran.
Karena fungsinya yang berkaitan dengan kontrol atas kepatuhan
perpajakan perusahaan, pihak otoritas pajak telah memasukkan
prosedur ekualisasi/rekonsiliasi ini sebagai salah satu metode yang
digunakan oleh pemeriksa pajak sebagai salah satu alat untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi perusahaan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor: PER-04/PJ/2012 tertanggal 3 Pebruari 2012,
disebutkan bahwa Teknik-teknik Pemeriksaan yang dapat digunakan
Pemeriksa Pajak, meliputi: (a) pemanfaatan informasi internal
dan/atau eksternal Direktorat Jenderal Pajak; (b) pengujian
keabsahan dokumen; (c) evaluasi; (d) analisis angka-angka; (e)
penelusuran angka-angka (tracing); (f) penelusuran bukti; (g)
pengujian keterkaitan; (h) ekualisasi atau rekonsiliasi; (i)
permintaan keterangan atau bukti; (j) konfirmasi; (k) inspeksi; (l)
pengujian kebenaran fisik; (m) pengujian kebenaran perhitungan
matematis; (n) wawancara; (o) uji petik (sampling); (p) Teknik
Audit Berbantuan Komputer (TABK); dan/atau (q) Teknik-teknik
Pemeriksaan lainnya. Untuk meyakini kebenaran pos-pos SPT yang
diperiksa, Pemeriksa Pajak dapat menggunakan satu atau lebih
teknik-teknik pemeriksaan sesuai pertimbangan professional
pemeriksa pajak, kecuali ditentukan lain oleh suatu peraturan.
2.6 Perencanaan Pajak pada PPh Potong PungutUntuk mencapai
efisiensi yang maksimal, perencanaan pajak pada PPh pot-put harus
difokuskan pada dua sisi, yakni sisi sebagai wajib potong manakala
perusahaan melakukan pembayaran atas obyek PPh pot-put dan sisi
sebagai pihak yang dipotong manakala perusahaan menerima/memperoleh
penghasilan yang merupakan obyek PPh pot-put. Hal ini dikarenakan
dapat saja dalam masa yang sama perusahaan berada pada posisi
sebagai wajib potong dan sekaligus berada pada posisi pihak yang
dipotong.
Contoh:Pada laporan rugi laba PT. A terdapat objek PPh pot-put
baik pada pos penghasilan maupun pada pos biaya, sebagai
berikut:Pada pos penghasilan: Penghasilan royalty dari PT.B (objek
PPh Ps.23) Penghasilan dari sewa peralatan dari PT.C (Objek PPh
Ps.4 ayat (2)/ PPh final)Pada pos biaya: Biaya bunga pinjaman
kepada PT.C (objek PPh Ps.23) Biaya sewa showroom kepada PT.D
(objek PPh Ps.4 ayat(2)/PPh final) Biaya fee jasa konsultan pajak
XYZ (objek PPh Ps. 23)
Apabila objek PPh pot-put tersebut ada pada pos penghasilan
berarti PT.A merupakan pihak yang dipotong PPh pot-put, sedangkan
apabila objek PPh pot-put ada pada pos biaya berarti PT. A
merupakan pihak yang wajib memotong PPh pot-put tersebut.
(a) Perencanaan pajak pada posisi sebagai pemotongPada posisi
sebagai pemotong, perusahaan memiliki kewajiban yang wajib
dilaksanakan dan apabila perusahaan tidak atau lalai melaksanakan
kewajiban tersebut, maka secara otomatis perusahaan akan terkena
sanksi pajak. Adapun kewajiban perusahaan sebagai Wajib potong PPh
pot-put adalah :(i) Kewajiban MemotongPemotongan objek PPh pot-put
dilakukan menggunakan sarana bukti potong. Terdapat beberapa sanksi
pajak yang terkait, seperti: sanksi kurang potong (2% dari pajak
yang kurang dipotong); sanksi terlambat potong (2% perbulan dari
pajak yang terlambat dipotong), salah potong misalnya seharusnya
memotong PPh Pasal 23 tapi dipotong PPh Pasal 21 (dianggap tidak
memotong), sanksi tidak memotong, dll.(ii) Kewajiban Menyetor pajak
yang telah dipotongPenyetoran atas pajak yang telah dipotong
menggunakan saran Surat Setoran Pajak (SSP). Terdapat beberapa
sanksi pajak terkait, seperti: sanksi terlambat setor (2% perbulan
dari pajak yang terlambat disetor), sanksi kurang setor (2% dari
pajak yang kurang disetor), sanksi tidak menyetor, dll.(iii)
Kewajiban Melaporkan pajak yang telah dipotong dan disetorPelaporan
atas pajak yang telah dipotong dan disetor tersebut ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat perusahaan terdaftar dengan menggunakan
sarana SPT Masa (SPM). Terdapat sanksi pajak jika terlambat
melaporkan yaitu terkena sanksi administrasi sebesar Rp
100.000,00
Adapun tujuan dari perencanaan pajak pada posisi sebagai Wajib
potong adalah untuk mencapai efisiensi dengan cara menghindari
sanksi-sanksi pajak terkait dengan tiga kewajiban diatas. Untuk
menghindari sanksi pajak terkait dengan kewajiban perpajakan
diatas, maka perusahaan harus memperhatikan beberapa hal berikut,
yaitu:(i) Kapan saat terutangnya PPh potong pungut tersebut(ii) Apa
saja objek dan tarif PPh pot-put(iii) Kapan PPh pot-put harus
dibayarkan ke Kas Negara(iv) Kapan PPh yang telah dipotong tersebut
harus dilaporkan ke KPP(v) Apa saja sanksi terkait dengan ketiga
kewajiban tersebut.
(b) Perencanaan pajak pada posisi sebagai pihak yang
dipotongPada posisi sebagai pihak yang dipotong, perusahaan
memiliki hak pengkreditan atas PPh yang telah dipotong oleh pihak
ketiga terhadap PPh Badan perusahaan (sepanjang PPh yang dipotong
tidak tergolong PPh final). Hak pengkreditan tersebut tidak
bersifat otomatis, karena untuk dapat mengkreditkan perusahaan
harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yakni:(i) Harus
didukung oleh bukti potong asli (atau legalisir sesuai asli)(ii)
Tahun pengkreditan harus sesuai dengan tahun yang tertera pada
bukti potong(iii) Jenis pajak yang tercantum pada bukti potong dan
SSP harus benar (atau didukung oleh Surat Pemindahbukuan yang
diterbitkan oleh KPP jika terjadi kesalahan jenis PPh yang
dipotong).Adapaun tujuan dari perencanaan pajak pada posisi sebagai
pihak yang dipotong adalah untuk mencapai efisiensi dengan cara
memaksimalkan pemanfaatan hak pengkreditan tersebut. Untuk itu
perusahaan harus selalu memperhatikan persyaratan-persyaratan untuk
dapat melakukan pengkreditan PPh potong pungut diatas.
3. Kesimpulan
Karena kompleksitas system PPh Pemotongan dan Pemungutan
(withholding income taxes sytem), perusahaan harus mengetahui dan
mengerti beberapa hal terkait system PPh Pemotongan dan Pemungutan
(PPh Pot-Put) ini. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam manajemen
PPh pot-put yaitu:1. Ketentuan PPh Pemotongan dan Pemungutan2.
Klausul Withholding Income Tax dalam PPh pot-put3. Mengelola
perbedaan interpretasi dalam PPh pot-put4. Peran pencatatan
akuntansi dalam pemotongan pajak5. Rekonsiliasi/ekualisasi objek
pemotongan PPh pot-put6. Perencanaan pajak pada PPh potong
pungut
Dengan mengetahui hal-hal tersebut diatas beserta pilihan yang
dapat diambil jika terjadi masalah sehubungan pemotongan dan
pemungutan pajak, perusahaan dapat meminimalkan resiko dari
kompleksitas system PPh pot-put. Serta dengan manajemen pajak yang
baik, pajak perusahaan lebih efisien dan perusahaan dapat terhindar
dari sanksi perpajakan yang mungkin terjadi.
Daftar Pustaka
Imam Santoso & Ning Rahayu. 2013. Corporate Tax Management.
Jakarta: OrtaxMardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi 2011.
Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.Gunadi. 2007. Pajak Internasional.
Jakarta: Lembaga Penerbit FEUITata Cara dan Ketentuan Pajak diakses
pada 10 April 2015 dari www.pajak.go.id