1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan peradaban Islam dari masa kemasa telah banyak mewarnai berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat di berbagai belahan dunia. Negeri-negeri yang berada disemenanjung Arab, benua Afrika, Eropa sampai ke Indonesia telah dipengaruhi oleh penyebaran budaya dan peradaban Islam. Perkembangan bidang pemikiran dan filsafat, bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang pemerintahan dan politik telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan masyarakat di zaman modern. Pada masa silam kemajuan peradaban manusia terjadi pada masa kekuasaan Islam di hampir semua belahan dunia. Ketika Islam berada pada masa kejayaannya disaat yang sama Eropa sedang berada dalam masa kegelapan yang kita kenal dengan istilah the darkness age. Peradaban Islam telah mengalami perubahan yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari perkembangan kebudayaan, pemikiran dan peradaban, baik pada masa Rosulullah, Khulafaurrasyidin maupun pada masa Umayyah dan Abasiyah. Islam yang hadir di tengah kerasnya peradaban jahiliyah, melaui Muhammad saw. Akan tetapi untuk selanjutnya Islam mampu bermetamorfosa menyebar hampir ke seluruh penjuru jagad. Setelah masa Rasulullah saw, yang kemudian dilanjutkan oleh masa khulafaurrasyidin dan dinasti-dinasti Islam yang muncul sesudahnya. Dan telah berhasil membangun peradaban dan kekuatan politik yang menandingi dinasti besar lainnya pada masa itu, yakni Bizantium dan Persia 1 .[1] Baghdad dan Cordova merupakan salah satu bukti betapa tinggi dan majunya peradaban Islam. Pada masa kekuasaan Khalifah Bani Umayyah al Muntashir di Andaluisa, selain istana-istana yang megah, jalan-jalan sudah diperkeras dan diberi penerangan pada malam hari, kesulitan air diatasi dengan sistim irigasi 2 , padahal pada saat itu di London hampir tidak ada satupun lentera yang menerangi jalan, dan di Paris di musim hujan lumpur bisa mencapai mata kaki. Dinasti Umayyah sukses 1 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. 2 Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009, hlm. 8 2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 105
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan peradaban Islam dari masa kemasa telah banyak mewarnai
berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat di berbagai belahan dunia. Negeri-negeri
yang berada disemenanjung Arab, benua Afrika, Eropa sampai ke Indonesia telah
dipengaruhi oleh penyebaran budaya dan peradaban Islam. Perkembangan bidang
pemikiran dan filsafat, bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang pemerintahan
dan politik telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan
masyarakat di zaman modern. Pada masa silam kemajuan peradaban manusia terjadi
pada masa kekuasaan Islam di hampir semua belahan dunia. Ketika Islam berada
pada masa kejayaannya disaat yang sama Eropa sedang berada dalam masa kegelapan
yang kita kenal dengan istilah the darkness age.
Peradaban Islam telah mengalami perubahan yang signifikan, hal ini dapat
dilihat dari perkembangan kebudayaan, pemikiran dan peradaban, baik pada masa
Rosulullah, Khulafaurrasyidin maupun pada masa Umayyah dan Abasiyah. Islam
yang hadir di tengah kerasnya peradaban jahiliyah, melaui Muhammad saw. Akan
tetapi untuk selanjutnya Islam mampu bermetamorfosa menyebar hampir ke seluruh
penjuru jagad. Setelah masa Rasulullah saw, yang kemudian dilanjutkan oleh masa
khulafaurrasyidin dan dinasti-dinasti Islam yang muncul sesudahnya. Dan telah
berhasil membangun peradaban dan kekuatan politik yang menandingi dinasti besar
lainnya pada masa itu, yakni Bizantium dan Persia1.[1]
Baghdad dan Cordova merupakan salah satu bukti betapa tinggi dan majunya
peradaban Islam. Pada masa kekuasaan Khalifah Bani Umayyah al Muntashir di
Andaluisa, selain istana-istana yang megah, jalan-jalan sudah diperkeras dan diberi
penerangan pada malam hari, kesulitan air diatasi dengan sistim irigasi2, padahal pada
saat itu di London hampir tidak ada satupun lentera yang menerangi jalan, dan di
Paris di musim hujan lumpur bisa mencapai mata kaki. Dinasti Umayyah sukses
1 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. 2 Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009,
hlm. 8 2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 105
2
menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang menjadi andalan hidup
msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai daerah kekuasaan3.
Dari sisi ilmu pengetahuan, tidak hanya dari kalangan muslim sendiri, orang-
orang barat pun telah mengakui, bahwa sebagian besar dasar-dasar ilmu pengetahuan
di lahirkan oleh para ilmuwan muslim. Begitu pula dengan masa kebangkitan Eropa
yang tidak lepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam,
dimana para pelajar-pelajar dari Eropa telah dikirim ke Baghdad dan Cordova untuk
menggali ilmu pengetahuan di sana. Di bidang-bidang ilmu keIslaman,
perkembangan sastra dan bahasa Arab secara meluas terjadi pada masa Umayyah.
Selain itu lahir pula ulama-ulama besar baik pada masa Umayyah I maupun Umayyah
II (Sejarawan membagi Dinasti Umayah menjadi dua, yaitu ; pertama Dinasti
Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat
di Damaskus / Siria. Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah system
pemerintahan dari system khalifah pada system mamlakat (kerajaan/monarki). Dan
kedua, Dinasti Umayyah di Andalusia / Siberia yang pada awalnya merupakan
wilayah taklukan Umayyah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid
Ibn Abd Al-Malik; kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan
Dinasti Bani Abbasiyah setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayyah di
Damaskus)4.
Melihat pada pengaruh dari daulah dinasti Bani Umayyah terhadap
perkembangan peradaban Islam dan dunia inilah yang mendasari penulis dalam
menulis makalah ini. Sebab peradaban masa kini merupakan efek domino dari sejarah
yang tidak putus. Dengan meneliti dan memahami sejarah peradaban Islam pada
masa Bani Umayyah I di Bagdad dan Umayyah II di Andalusia kita akan dapat
memetakan sejarah peradaban Islam secara lebih spesifik. Pemetaan yang merupakan
rantai tak terpisahkan dari perkembangan peradaban modern.
3 Al-Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar, 2004, hlm. 183 4 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, cet-10, 2008, hal. 103
3
B. Rumusan masalah.
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah:
1. Bagaimana Perkembangan Agama dan Filsafat pada masa Umayyah?
2. Bagaimana Perkembangan Sain dan Teknologi pada masa Umayyah?
3. Bagaimana Sistem Pemerintahan yang Dibangun Oleh Umayyah?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Dinasti Umayyah
a. Umayyah I
Kekhalifahan bani Umayyah, adalah kekhalifahan pertama setelah masa
khulafaur rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan
sekitarnya, serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk
kepada Umayyah bin ‘Abd Asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani
Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan5. Beliau pada mulanya hanyalah
gubernur Syam. Akan tetapi setelah terjadi pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan,
maka situasi itu dimanfaatkannya untuk melawan kekuasaan Ali bin Abi Thalib.
Sehingga timbul perang Siffin6.
Dinasti ini dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf,
nenek moyang Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar
sejarah yang cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri
Umayyah dan keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi
Muhammad. Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi
tokoh-tokoh muslim lainnya7.
Umayyah ibn Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf.
Keduanya masih keturunan Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan
kedudukan dan kehormatan8. Pertarungan mereka berujung pada pertarungan ideologi
agama, khususunya ketika Allah memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu
Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah berada di sebrang
kekufuran dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara mayoritas keturunan
Hasyim berada di sebrang keimanan dan menjadi pendukung utama Muhammad.
5 Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri Publishing, 2011, hal : 123 6 Haidar Putra Daulay & nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 39 7 Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The
Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257
8 Jalaludin Rahmat, Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. Bandung: Muthahhari Press. 2002, Cet.
Ke-1, hlm. 16.
5
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di
bangun oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia
dan Bizantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa
dilakukan oleh pemimpin islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini
seperti Muawiyah I, Abd al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan
revolusi pemerintahan yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Perkembangan yang dapat dilihat pada daerah Hijaz, Makkah dan Madinah serta Irak
dan Basrah menjadi pusat aktifitah Intelektual dunia Islam9
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan
mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa
dirasakan sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan
Dinasti Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir,
Marwan II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara
bani Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa
pemerintahan Dinasti Umayyah jilid I selama lebih murang 90 tahun. Kelak salah
satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos dari pengejaran kelompok Bani Abbasiyah
akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II.
Nama-nama Khalifah Bani Umayyah I:
1. Muawiyyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (tahun 64-65 H/683-684 M)
4. Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-86 H/685-705 M)
6. Walid bin ‘Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin ‘Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
8. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
9. Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
9 Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 159
6
12. Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
13. Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
14. Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)10
b. Umayyah II (Penaklukan Spanyol dan sejarah terbentuknya dinasti
Umayyah Spanyol)
Spanyol/Andalusia di kuasai oleh umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid
(705-715 M) salah seorang khalifah Daulah Umayah yang berpusat di Damaskus11.
Bani Umayyah merebut Spanyol dari bangsa Gothia pada masa khalifah al Walid ibn
‘Abd al Malik (86-96/705-715). Penaklukan Spanyol diawali dengan pengiriman 500
orang tentara muslim dibawah pimpinan Tarif ibn Malik pada tahun 91/710.
Pengiriman pasukan Tarif dilakukan atas undangan salah satu raja Gothia Barat,
dimana salah satu putri ratu Julian yang sedang belajar di Toledo ibu kota Visigoth
telah diperkosa oleh raja Roderick. Karena kemarahan dan kekecewaannya, umat
Islam diminta untuk membantu melawan raja Roderick. Pasukan Tarifa mendarat di
sebuah tempat yang kemudian diberi nama Tarifa. Ekspedisi ini berhasil, dan Tarifa
kembali ke Afrika Utara dengan membawa banyak Ghanimah. Musa ibn Nushair,
Gubernur Jenderal al Maghrib di Afrika Utara pada masa itu, kemudian mengirimkan
7000 orang tentara di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad. Ekspedisi II ini mendarat di
bukit karang Giblartar (Jabal al Thariq) pada tahun 92/711. Sehubungan Tentara
Gothia yang akan dihadapi berjumlah 100.000 orang, maka Musa Ibn Nushair
menambah pasukan Thariq menjadi 12.000 orang12.
Pertempuran pecah di dekat muara sungai Salado (Lagund Janda) pada bulan
Ramadhan 92/19 Juli 711. Pertempuran ini mengawali kemenangan Thariq dalam
pertempuran-pertempuran berikutnya, sampai akhirnya ibu kota Gothia Barat yang
bernama Toledo dapat direbut pada bulan September tahun itu juga. Bulan Juni 712
Musa ibn Nushair berangkat ke Andalusia membawa 18.000 orang tentara dan
menyerang kota-kota yang belum ditaklukan oleh Thariq sampai pada bulan Juni
tahun berikutnya. Di kota kecil Talavera Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada 10 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, 2003: Kalam Mulia, hal. 1 11 Badri yabtim, Sejarah Peradaban Islam, PT: Gravindo Persada, 2003 hal.87 12 Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Lesfi, 2004, hal 80.
7
Musa, dan pada saat itu pula Musa mengumumkan bahwa Andalusia menjadi bagian
dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Penaklukan
Islam di Andaluisa oleh Thariq hampir meliputi seluruh wilayah bagiannya,
keberhasilannya tidak terlepas dari bantuan Musa ibn Al Nushair13.
Ketika Daulah Bani Umayyah Damaskus runtuh pada tahun 132/750,
Andalusia menjadi salah satu provinsi dari Daulah Bani Abbas. Salah satu pangeran
Dinasti Umayyah yang bernama Abd al Rahman ibn Mu’awwuyah (Abdurrahman I),
cucu khalifah Umawiyah kesepuluh Hisyam Ibn Abd al Malik berhasil melarikan diri
dari kejaran-kejaran orang-orang Abbasiyah setelah runtuhnya pemerintahan Bani
Umayyah di Damaskus dan menginjakan kaki di Spanyol. Atas keberhasilannya
meloloskan diri ia diberi gelar al Dâkhil (pendatang baru)14.
Al Dâkhil memproklamirkan diri sebagai khalifah dengan gelar amîr al
mu’minîn. Sejak saat itulah babak kedua kekuasan Dinasti Ummayah dimulai.
Pemerintahan Bani Umayyah Spanyol (Bani Umayyah II) merupakan pemerintahan
pertama yang memisahkan diri dari dunia pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah.
Pendirinya adalah Abdurrahman ad Dakhil bin Mu’awiyah bin Hisyam bin Abd
Malik al Umawi.
Dengan demikian, maka dimulailah peradaban Islam baru di Spanyol yang
dinamakan Dinasti Umayyah Spanyol (Umayyah II)
Diantara khalifah - khalifah Umayyah II yang terkemuka diantaranya:
1. Abdurrahman ad Dakhil (755-788 M)
2. Al Hakam bin Hisyam (796-821 M)
3. Abdurrahman ibnul Hakam (821-852 M)
4. Muhammad bin Abdurrahman (852-886 M)
5. Abdullah bin Muhammad (889-912 M)
6. Abdurrahman bin Muhammad (912-961 M)
Al Dâkhil berhasil meletakan sendi dasar yang kokoh bagi tegaknya Daulah
bani Umayyah II di Spanyol. Pusat kekuasan Umayyah di Spanyol dipusatkan di
13 Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal 70 14 Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 647
8
Cordova sebagai ibu kotanya. Al Dâkhil berkuasa selama 32 tahun, dan selama masa
kekuasaannya ia berhasil mengatasi berbagai masalah dan ancaman, baik
pemberontakan dari dalam maupun serangan musuh dari luar. Ketangguhan al Dâkhil
sangat disegani dan ditakuti, karenanya ia dijuliki sebagai Rajawali Quraisy. Pada
masa didirikannya dinasti Umayyah II ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh
kemajuan-kemajuan baik dibidang politik maupun bidang peradaban. Abd al-Rahman
al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar
Spanyol. Hisyam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang
memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abd al-Rahman al-Ausath
dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai pada periode
ini, terutama di zaman Abdurrahman al-Ausath. Bani Umayyah II mencapai puncak
kejayaannya pada masa al Nashir dan kekuasaannya masih tetap dapat dipertahankan
hingga masa kepemimpinan Hakam II al Muntashir (350-366/961-976).
Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya
gerakan Kristen fanatik yang mencari kesahidan (Martyrdom). Gangguan politik yang
paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak
di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80
tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang
terpenting diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan
anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan
antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi. Namun ada
yang berpendapat pada masa ini dibagi menjadi dua yaitu masa KeAmiran (755-912)
dan masa ke Khalifahan (912-1013)15. Jadi Gelar yang digunakan pada masa dinasti
ini adalah Amîr, dan ini tetap dipertahankan oleh penerusnya sampai awal
pemerintahan amir kedelapan Abd al Rahman III (300-350/912-961). Proklamasi
Khilafah Fathimiyyah di Ifriqiyah (297/909, serta merosotnya kekuatan Daulah
Abasiyyah sepeninggal al Mutawakkil (232-247/847-861) mendorong Abd al rahman
III untuk memproklamasikan diri sebagai khalifah dan bergelar amîr al mu’minîn. Ia
juga menambahkan gelar al Nashir dibelakang namanya mengikuti tradisi dua
15 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Penada Media, 2003) Hal, 119
9
khalifah lainnya16. Jadi penggunaan khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai
kepada Abdurrahman III, bahwa Muktadir, Khalifah daulah Bani Abbas di Baghdad
meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilainnya, keadaan
ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam
kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk memakai
gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun
lebih. Karena itulah gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar
yang memerintah pada masa ini ada tiga orang yaitu Abd al-Rahman al-Nasir (912-
961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan
kejayaan menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad. Abd al-Rahman al-Nasir
mendirikan universitas Cordova
Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova
menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak
sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
Kekuasaan Umayyah mulai menurun setelah al Muntashiru wafat. Ia
digantikan oleh putera mahkota Hisyam II yang beru berusia 10 tahun. Hisyam II
dinobatkan menjadi khalifah dengan gelar al Mu’ayyad. Muhammad ibn Abi Abi
Amir al Qahthani yang merupakan hakim Agung pada masa al Muntashir berhasil
mengambil alih seluruh kekuasaan dan menempatkan khalifah dibawah pengaruhnya.
ia memaklumkan dirinya sebagai al Malik al Manshur Billah (366-393/976-1003) dan
ia terkenal dalam sejarah dengan sebutan Hajib al Manshur17.
Demikian gambaran sepintas tentang dinasti Umayyah I di Bagdad dan
Umayyah II di Spanyol.
B. Perkembangan agama dan Filsafat pada masa Bani Umayyah.
Konsep dasar kebijakan pemerintah Umar bin Abdul Aziz dapat dilihat pada
pidato pertama beliau sehari setelah dibaiat segabai khalifah “sesungguhnya aku
menasehatkan kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah swt (dalam hidup dan
kehidupan) serta meninggalkan segala hal yang menjauhkan dari ketakwaan kepada-
Nya. Perbanyaklah mengingat kematian, karena ia pemutus segala kenikmatan
(duniawi), maka persiapkanlah diri untuk menghadap kematian dengan sebaik-
baiknya. Sesungguhnya (kesesatan dan kehancuran) ummat ini bukan pada
perselisihan (dalam pemahaman dan peribadatan) terhadap Tuhan maupun kitab suci
tapi lebih pada pertentangan dalam masalah dinar dan dirham (uang/urusan duniawi).
Maka sesungguhnya aku tidak akan memberikannya dengan bathil kepada seseorang
dan tidak akan menahannya dari seseorang (jika memang ia berhak
mendapatkannya)18.
Dalam berijtihad Umar bin Abdul Aziz menghormati ijtihad para ulama
walaupun mungkin hasilnya bertentangan dengannya. Hal ini dilakukan untuk dapat
merangkul semua golongan dan menyatukan umat. Beliau menjadikan musyawarah
dengan ulama’ sebagai salah satu cara kontrol pemerintahannya agar selalu berjalan
dalam garis-garis yang telah ditetapkan syariat.
1. Perkembangan Agama
Selama pemerintahan Dinasti ini, terdapat peluang untuk berkembangnya
berbagai aliran yang trumbuh di kalangan masyarakat meskipun aliran itu tidak
dikehendaki oleh penguasa waktu itu. Aliran-aliran tersebut diantaranya adalah Syiah,
Khawarij, Mu’tazilah dan yang lainnya19.
Mulainya ekspansi wilayah kekuasaan semasa Umayyah telah membuat
Islam bersinggungan dengan dunia barat (Eropa)Penaklukan Spanyol dan upaya
untuk menguasai Bizantium membuat umat Islam mau tidak mau bertemu dengan
pemikiran filsafat Yunani yang sudah berkembang sebelumnya. Hal ini
mengakibatkan sedikit banyaknya berpengaruh kepada perkembangan corak
pemikiran para ulama-ulama Islam saat itu.
Dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara Umar selalu merujuk
kepada sumber-sumber hukum berikut ini:
a. Al-Qur’an dan as-Sunnah
18 Mustafa as Siba’i, Kebangkitan Kebudayaan Islam, terj. Nabhan Husein Jakarta : Media Dakwah, 1987, hal. 45 19 Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999, hal. 83.
11
b. Peninggalan hukum (jurisprudensi) Abu Bakar dan Umar bin Khatab
c. Ijma’ ulama’20.
Ijma’ dilakukan dengan cara mengumpulkan keputusan-keputusan hukum
para ulama sebelumnya dan bermusyawarah dengan para ulama’ yang masih hidup
pada zamannya. Berikut adalah nama para ulama’ yang masih hidup pada zamannya;
Anas bin Malik, Said bin Musayyab, Salim bin Abdullah bin Umar bin Khatab,
Muhammad bin Syihab, Maimun bin Mahran, ‘Uwah bin Zubair, Sulaiman bin
Yasar, Al-qasim bin Muhammad, Khorijah bin Zaid dan Abullah bin ‘Amir bin
Rubai’ah21.
Dalam berijtihad Umar bin Abdul Aziz menghormati ijtihad para ulama
walaupun mungkin hasilnya bertentangan dengannya. Hal ini dilakukan untuk dapat
merangkul semua golongan dan menyatukan umat. Beliau menjadikan musyawarah
dengan ulama’ sebagai salah satu cara kontrol pemerintahannya agar selalu berjalan
dalam garis-garis yang telah ditetapkan syariat. Cara berijtihad kecuali Umar bin Abdul
Aziz. Ini disebabkan para khalifah Bani Umawiyah lebih terfokus kepada urusan politik agar
kekuasaan tidak berpindah ketangan yang lain. Tidak seperti pada masa Khulafa’urrasyidin.
Pada masa ini urusan agama diserahkan pada Ulama dan penguasa hanya bertanggung jawab pada
urusan politik saja. Pemikiran ulama besar, karena bukan produk legislatif tidak memiliki kekuatan
yang mengikat. Hasil pemikiran tersebut cenderung bersifat sebagai fatwa dan mengikuti fatwa bagi
masyarakat muslim sifatnya sukarela. Tetapi karena ulama itu biasanya orang yang
dipercaya,maka fatwa tersebut disegani oleh banyak pengikut. Namun karena
pemerintahan ini masih “berlabel” Islam maka pemikiran ulama yang sekiranya sejalan
dengan kebijakan pemerintah diadopsi dan ulama tersebut akan diangkat sebagai mufti di istana,
meskipun pada kenyataanyabanyak ulama-ulama besar yang menolak jabatan tersebut22.
20 Ijma’adalah sumber hukum setelah tidak ditemukannya nash dari Al-qur’an dan Sunnah. Menurut Ibnu
Taimiyyah ijma’ bisa dijadikan hujjah dan kewajibannya termasuk dalam fardu kifayah, sebagaimana firman-Nya dalam Al-qur’an surat Ali Imran:104. Maka Umar bin Abdul Aziz selalu bermusyawarah dengan para ulama’,sehingga ijma’ mereka dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i dan bermanfaat bagi rakyat agar dapat kembali berjalan di atas syariah Islam yang benar
21 Qutb Ibrahim Muhammad, As-Siyasah Al-Maliyah li ‘Umar bin Abdul Aziz, Kairo: al-haiah al-Mishriyyah al-
‘amah li al-kuttab, 1988, hal. 53-54 22 DR. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: 1997, hal. 61
12
Kebijakan pemerintahan yang membedakan urusan agama dan negara ini berakibat
padamunculnya pemikiran ulama-ulama yang lain. Terlebih lagi dengan semakin luasnya
wilayahkekuasaan Islam pada masa ini, dengan kata lain semakin luasnya daerah dakwah bagi
parasahabat dan tabi‟in yang berbekal informasi hadits yang berbeda-beda pula23.
Nilai fatwa mereka adalah sebagai pendapat individu yang kalau fatwanya benar, maka ia
datangnya dariAllah. Sedang kalau salah, itu merupakan kesalahan sendiri. Oleh karena itu, tak
seorang pun diantara mereka mengharuskan orang lain untuk mengikuti fatwanya. Argumentasi
merekamengindikasikan atas adanya kebebasan mereka dalam menarik kemaslahatan dan
mencegahkerusakan.Secara umum, ulama pada masa ini mengikuti langkah-langkah para sahabat
dalampenetapan hukum. Kendati demikian ada beberapa perkembangan baru yang
membedakanperkembangan fiqih pada periode ini dengan periode sebelumnya, khususnya ulama
yangberada di Irak untuk memandang hukum sebagai timbangan rasionalitas. Mereka tidak
sajabanyak menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi peristiwa dan
persoalanyang muncul, tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberi
hukumnya24
a. Ahlul Hadits
Dalam masyarakat Islam pada masa itu terdapat kelompok ulama yangmetode
pemahamannya terhadap ajaran wahyu sangat terikat oleh informasi dariRasulullah. Dengan kata
lain, ajaran Islam hanya diperoleh dari Al Qur‟an dan petunjuk hadits Rasulullah saja. Maka dari
itu mereka disebut sebagai ahlul hadits.Mulanya kelompok ini timbul di Hijaz, utamanya di
Madinah karenapenduduk Hijaz lebih banyak mengetahui hadits dan tradisi Rasulullah
dibandingpenduduk di luar Hijaz. Hijaz adalah daerah yang perkembangan budayanya
dalampantauan Rasulullah hingga beliau wafat. Di Madinah sebagai ibukota Islam,beredar hadits
Rasulullah yang lebih lengkap dibanding daerah lain di manapun.Masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz dikenal sebagai masa permulaanpembukuan hadits. Kekhawatiran khalifah akan
semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi menggerakkan hatinya untuk memerintahkan ulama
hadits khususnya.
23 Muhammad Hasan Al Hajwi, Al Fikru Assaamy fi Tarikh Fiqh Al Islamy, Beirut: 1995, hal. 330 24 Jaih Mubarok, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, Badung: Rosda Karya, 2000, Hal 56.
13
Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai masa permulaan pembukuan
hadits. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi menggerakkan
hatinya untuk memerintahkan ulama hadits khususnyai Hijaz agar membukukan hadits. Diantara
ulama yang masuk kedalam kategori aliran ini adalah: Sa‟id bin Al Musayyab, Ahmad bin
Hanbal
Umar bin Abdul Aziz, ketika ia diangkat sebagai khalifah, progam utama
pemerintahannya terfokus pada usaha pengumpulan hadist untuk dibukukan Abu
Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-zuhri seorang yang
tepat dan siap melaksanakan perintah kholifah, maka ia bekerja sama dengan perowi-
perowi yang dianggap ahli untuk dimintai informasi tentang hadist-hadist nabi yang
berceceran ditengah masyarakat islam untuk dikumpulkan, ditulis dan dibukukan.
Abu Bakar Muhammad, dianggap pengumpul hadits yang pertama pada masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ini.Jejak Abu Bakar Muhammad, diikuti oleh
generasi dibawahnya, seperti Imam Malik menulis kumpulan buku hadist terkenal
Muwatha’, imam Syafii menulis Al-Musnad. Pada tahap selanjutnya, program
pengumpulan hadist mendapat sambutan serius dari tokoh-tokoh islam, seperti:
1. Imam Bukhari, terkenal dengan Shohih Bukhari
2. Imam Muslim, terkenal dengan Shohih Muslim
3. Abu Daud, terkenal dengan Sunan Abu Daud
4. An –Nasa’i, terkenal dengan Sunan An-Nasa’i
5. At-Tirmidzi, terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi
6. Ibnu Majah, terkenal dengan Sunan Ibnu Majah
Kumpulan para ahli hadist tersebut diatas, terkenal dengan nama Kutubus Shittah.
b. Ahlur Ra’y
Istilah Ahlur ra‟y digunakan untuk menyebut kelompok pemikir hokum Islam
yang memberi porsi akal lebih banyak dibanding pemikir lainnya. Bila Ahlul Hadits dalam
menjawab persoalan tampak terikat oleh teks maka Ahlur ra’y sebaliknya meskipun tidak
sepenuhnya menggunakan akal sebagai alat untuk mengambil kesimpulan hukum. Mereka juga
menggunakan nash sebagai dasarpenetapan hokum hanya saja mereka dalam melihat nash lebih
cenderung kepadasubstansi masalah daripada textual.Mereka berpendapat bahwa nash syar’I itu
14
memiliki tujuan tertentu. Dan nash syar‟i secara kumulatif bertujuan untuk
mendatangkan maslahat bagi manusia (Mashalihul Ibad). Karena banyaknya persoalan
yang mereka hadapi dan terbatasnya jumlah nash yang ada maka para Ahlur Ra‟y
berupaya untuk memikirkan rahasia yang terkandung di balik nash. Diantara ulama yang masuk
kedalam kategori aliran ini adalah: AlQamahbin Qois (w. 62 H), Syuraih bin Al Harits (w. 78 H).
Untuk memahami Al-Qur’an para Ahli telah melahirkan sebuah disiplin ilmu
baru yaitu ilmu tafsir, ilmu ini dikhususkan untuk mengetahui kandungan ayat-ayat
Al-Qur’an. Ketika Nabi masih hidup, penafsiran ayat-ayat tertentu dituntun dana
ditunjukkan melalui malaikat Jibril. Setelah Rasulullah wafat para sahabat Nabi
seperti Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud. Ubay bin
Ka’ab mulai menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an bersandar dari Rasulullah lewat
pendengaran mereka ketika Rasulullah masih hidup.
Dalam perkembangan generasi berikutnya, pada masa Dinasti Umayyah Islam
telah berkembang luas. Apalagi pemahaman terhadap Bahasa Arab bagi umat non-
Arab mengalami kesulitan. Makalahirlah tokoh-tokoh dibidang Tafsir, seperti
Muqatil bin Sulaiman (w.150H), Muhammad bin Ishak, Muhammad bin Jarir At-
Thabary (w. 310).
c. Dibidang Ilmu Fiqih
Al –Qur’an sebagai kitab suci yang sempurna, merupakan sumber utama bagi
umat islam, terkhusus dalam menentukan masalah-masalah hukum. Pada masa
Khulafaurrasyidin, penetapan hukum disamping bersumber dari Rasulullah dilakukan
sebuah metode penetapan hukum, yaitu ijtihad. Ijtihad pada awalnya hanya
pengertian yang
Sederhana, yaitu pertimbangan yang berdasarkan kebijaksanaan yang
dilakukan dengan adil dalam memutuskan sesuatu msalah. Pada tahap perkembangan
pemikiran islam, lahir sebuah ilmu hukum yang disebut Fiqih, yang berarti pedoman
hukum dalam memahami masalah berdasarkan suatu perintah untuk melakukan suatu
perbuatan, perintah tidak melakukan suatu perbuatan dan memilih antara melakukan
atau tidak melakukannya. Pada masa ini bermunculan para tokoh ahli fiqih, antara
lain :
15
1. Sa’id bin Al-Musayyid (Madinah)
2. Salim bin Abdullah bin Umar (Madinah)
3. Rabi’ah bin Abdurahman (Madinah)
4. Az –Zuhri (Madinah)
5. Ibrahim bin Nakha’ai (Kufah)
6. Al –Hasan Basri (Basrah)
7. Thawwus bin Khaissan (Yaman)
8. Atha’ bin Ra’bah (Mekah)
9. Asy –Syu’aibi (Kufah)
10. Makhul (Syam)
Pada zaman dinasti Umayyah ini telah berhasil meletakkan dasar-dasar hukum
islam menurut pertimbnagan kebijaksanaan dalam menetapkan keputusan yang
berdasar Al-Qur’an dan pemahaman nalar/akal.
Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang
memperkenalkan mazhab ini disana adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pad masa Hisyam ibn Abd
al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya yaitu Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id
al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal25
d. Bidang Ilmu Taswuf
Taswuf merupakan sebuah ilmu tentang cara mendekatkan diri kepada Allah
saw, tujuannya agar hidup semakin mendapatkan makna yang mendalam, serta
mendapatkan ketentraman jiwa. Ilmu tasawuf berusaha agar hidup manusia memilki
akhlak mulia, sempurna dan kamil. Munculnya tasawuf, karena setelah umat semakin
jauh dari Nabi, terkadang hidupnya tak terkendali, utamanya dalam hal kecintaan
terhadap materi. Tokoh –tokoh dalam hal tasawuf antara lain sebagai berikut :
d.1. Hasan Al-Basri
Hasan al-Basri mengenalkan kepada umat tentang pentingnya tasawuf, karena
tasawufdapat melatih jiwa/hati memiliki sifat zuhud(hatinya tidak terpengaruh
dengan harta benda, walau lahiriyah kaya), sifat roja’(harta benda, anak-anak,
25 Badri Yatim, Op. Cit., hal 103
16
jabatan tidak bisa menolong hidupnya tanpa adanya harapan ridho dari Allah swt)
dan sifat khouf(sifat takut kepada Allah swt yang dalam dan melekat dalam
jiwanya).
d.2. Sufyan Ats-Tsauri
Beliau lahir dikufah tahun 97 H, mempunyai nama lengkap: Abu Abdullah Sufyan
bin SA’id Ats-Tsauri. Pemikiran bidang taswuf merangkum sebagai berikut:
a. Manusia dapat memiliki sifat zuhud, bila saat ajalnya menghampirinya,
karena kelezatan dunia telah diambil Allah swt, maka manusia baru ingat
makna kehidupannya.
b. Manusia dalam menjalani hidup didunia harus bekerja keras agar
hidupnya tercukupi, dengan kerja manusia dapat terhindar dari kegelapan
dan kehinaan.
2. Perkembangan Bidang Filsafat.
Kemajuan pemikiran Islam, tidak dapat dipisahkan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan sangat berperan aktif dalam kemajuan suatu
peradaban. Ada tiga faktor yang menyebabkan berkembangnya ilmu pengetahuan di
dunia Islam pada masa kejayaannya, yaitu pertama, faktor agama (religius), kedua,
apresiasi masyarakat terhadap ilmu. Dan ketiga, patronase (perlindungan dan
dukungan) yang sangat dermawan dari para penguasa dan orang-orang kaya terhadap
berbagai kegiatan ilmiah26.
Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam berkembang cukup pesat dengan
dimulainya aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab.
Dalam hal ini Dar al-Hikmah yang dibangun Harun al-Rasyid menjadi pusat
kegiatannya, yang sekaligus sebagai pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno
ke dalam tradisi Islam. Tampilnya para filosof dan saintis muslim seperti al-Kindi, al-
Farabi, al-Khawarizmi dan Ibn Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang
mereka peroleh dari aktivitas penerjemahan dan membludaknya literatur-literatur
Yunani27.
26 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam Jakarta: Baitul Ihsan, 2006, hal. 12. 27 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Rajawali, Jakarta 1989, hal. 51
17
Peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600-800 tahun,
dimana kaum Muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu
pengetahuan. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh
lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini sejak
masa renaissance. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak
hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi
dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di
bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Secara historis, dunia
Islamlah yang pertama kali melakukan internationalization of knowledge di mana
karya-karya ilmuwannya dibaca oleh ilmuwan lain dari berbagai negara. Sebelum
munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini masih bersifat lokalistik-
nasionalistik. Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban Yunani,
ilmu yang terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lain-
lain28.
Kemajuan pemikiran yang demikian pesat dan mengagumkan ini seiring
dengan kebebasan mengeksplorasi pemikiran yang secara spesifik banyak
dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani. Sampai akhirnya perannya bergeser dengan
digantikan oleh tradisi sufistik yang dimotori oleh al-Ghazali yang sebenarnya juga
berangkat dari pijakan pemikiran filsafat. Pada masa ini dunia Islam mengalami
kemandekan pemikiran filsafat yang cukup panjang. Telah banyak usaha-usaha yang
dilakukan untuk menghidupkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam
pasca kejayaan pemikiran Islam29.
Disamping itu, sejalan dengan spirit modernisme yang sedang digemborkan di
negeri-negeri Arab, aspek rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas.
Usaha untuk mencari contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas
hanya dapat dijumpai dalam tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-
Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya interaksi
harmonis baik secara langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat modern. 28 Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia, Yogyakarta,
hal. 25 29 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1999, hal. 74
18
Masyarakat Arab saat ini selalu menyamakan posisi mereka dengan zaman kejayaan
mereka dulu, ketika mereka berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian Yunani.
Terlebih kini, ketika mereka sadar atau tidak--dikejutkan oleh banyaknya studi
tentang filsafat Islam yang dilakukan oleh orang Barat. Hal ini, untuk selanjutnya
menjadi cambuk pemicu bagi mereka untuk mengkaji sendiri tradisi dan warisan
intelektual mereka, karena seharusnya merekalah yang lebih mengetahui tradisi
sendiri30.
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian
dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang
dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap
filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama
pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad bin Abdurrahman
(832-886 M).
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor
dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan
universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani
Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar
pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr
Muhammad bin al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibnu Bajjah. Dilahirkan di
Saragosa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fezzan
tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti al-Farabi dan Ibnu Sina di
Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum
opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr bin
Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan
wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran,
astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay bin
Makmun, mesjid Seville, dan istana Al-Hamra di Granada, Masjid Batu ( Doom Of
Rock ).
F. Pengaruh Peradaban Islam Di Eropa
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam,
baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian, dan peradaban
antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di
bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa,
terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik37.Berawal dari
gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M
dan rasionalisme pada abad ke-17 M38
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke
Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di
universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville,
Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif
menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan itu
adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan
universitas yang sama. Universitas pertama eropa adalah Universitas Paris yang
didirikan pada tahun 1231 M tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir
zaman Pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-
universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan,
seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling
banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd39.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak
abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka
Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa
kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin40.
37 Philip K. Hitti, Op. Cit., hlm. 526-530 38 S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, Jakarta: P3M, 1986, hlm. 67 39 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Jakarta: Bulan Bintan, 1975, hal. 148-149 40 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hal. 32
25
G. Membangun Pemerintahan yang Tangguh
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan
masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman
politik Muawiyah sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu
mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang
pemerintahannya. Muawiyah bin Abu sufyan adalah seorang politisi handal di mana
pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada masa khalifah Utsman bin Affan
cukup mengantar dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari genggaman
keluarga Ali bin Abi Thalib.
Perintisan Dinasti Umayyah dilakukan oleh Muawiyah dengan cara menolak
membaiat Ali bin Abi Thalib, berperang melawan Ali, dan melakukan perdamaian
(Tahkim) dengan pihak Ali yang secara politik sangat menguntungkan Muawiyah.
Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak Khawarij
membunuh Khalifah Ali r.a. jabatan khalifah dipegang oleh putranya, Hasan Ibn Ali
selama beberapa bulan. Akan tetapi, karena tidak didukung oleh pasukan yangkuat,
sedangkan pihak Muawiyah semakin kuat, akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian
dengan Hasan Ibn Ali. Isi perjanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan
diserahkan kepada umat Islam setelah masa Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat
pada tahun 661 M (41 H). dan pada tahun tersebut dinamakan ‘amu Jama’ah karena
perjanjian ini mempersatukan umat Islam kembali menjadi satu kepemimpinan
politik, yaitu Muawiyah. Pada masa itu, umat Islam telah bersentuhan dengan
peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Muawiyah juga bermaksud meniru
cara suksesi kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu monarki
(kerajaan)41.
Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan,
masih menjabat sebagai gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib
sebagai khalifah keempat Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk
41 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, CV. Pustaka Setia, cet-10, 2008, hal. 103-104
26
bertanggung jawab atas kematian khalifah ketiga itu42. Bahkan ia menyatakan
memisahkan diri dari pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya sebagai khalifah
pada tahun 40 H/660 M di Iliya (Yerusalem)43. Pembaitan ini menjadi cikal bakal
berdirinya dinasti Umayyah dan kelompok Muawiyah ini menjadi bughot pertama
dalam sejarah Islam yang memisahakan diri dari pemerintahan islam yang sah.
Mereka mendirikan negara di dalam Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi
ibu kota pemerintahan islam. Padahal pusat pemerintahan yang sah adalah kufah di
bawah kepemimpinan Ali.
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua
Ali yang bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok
yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi
pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu,
ia melakukan kesepakatan damai44 dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun
kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum
muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu
Sufyan45.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan
kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat
itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak
menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar
untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia
kepadamu46.
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang
mungkin lebih tinggi tinimbang dibandingkan dengan khalifah-khalifah lainnya.
42 Ahmad al-Husairy, Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Diterjemahkan dari at-Tarikh al-
Islam oleh Samson Rahman, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2008, Cet. Ke-6, hal. 174. 43 Ibid., hal. 235. 44 Ibid., hal. 236. 45 Ibid., hal.177 46 Hitti, Op. Cit., hal. 245.
27
Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm,
kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu
dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang
sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan
membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri
yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan47.
Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah bentuk pemerintahan dari model
Khulafa’ur Rasyidin yang menggunakan konsep Syura pada mekanisme pergantian
kepemimpinan menjadi bentuk kerajaan dengan “pewarisan kekuasaan” pada
puteranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang cukup paham strategi. Ia
menerapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya, seperti mengurangi hak
politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan puteranya untuk menggantikannya agar
kedudukan politiknya kuat.
Namun dalam perspektif lain, Muawiyah memiliki kontribusi besar dalam
perubahan struktur sosial dan politik umat pada waktu itu. Muawiyah memisahkan
Qadhi dan Ulama, sehingga posisi qadhi atau hakim menjadi sebuah jabatan profesi.
Beliau juga memodernisasi militer sehingga lebih professional dalam menjalankan
tugas, kendati sering digunakan untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
Muawiyah juga memiliki prestasi lain di bidang politik luar negeri.
Penyebaran Islam ke luar yang telah dimulai sejak era Umar bin Khattab diteruskan
oleh Muawiyah dengan mengirim pasukan ke Afrika Utara (wilayah Maroko sampai
Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar yang menguasai daerah tersebut dan
sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai respons, gubernur Mesir, Amr bin Ash
menunjuk panglima Uqbah untuk menghadapi kekuatan Barbar dan akhirnya berhasil
menguasai Qairawan di Maroko sampai ke sebelah selatan Tunisia.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun di mulai ketika Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia tehadap anaknya, Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium48.
47 Ibid. 48 Badri Yatim, Op. Cit., hal. 42.
28
Beliau berhasil mencipataan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya,
tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja. Dan
mendirikan departemen pencatatan adiminstrasi negara, termasuk pembuatan stempel
pertama kali dalam sejarah pemerintahan islam. Pendirian pelayanan pos untuk
menghubungkan wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi
diantara pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya
menggunakan kuda dan keledai. Pembangunan departemen pemungutan pajak.
Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat49.
Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang baru untuk memenui
tuntutan perkebangna wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin komplek.
Salah satunya adalah dengan mengangkat penasehat sebagai pendamping khalifah
dan beberapa orang al-kuttab (sekretaris) untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Al-
kuttab ini meliputi:
a. Katib al-rasail: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi
dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b. Katib al-kharraj: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan
dan pengeluaran negara.
c. Katib al-jundi: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang
berkaitan dengan ketentaraan.
d. Katib al-qudat: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum
melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat50.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan jalanya pemerintah ditentukan oleh
empat departemen pokok (diwan). Ke-empat departemen kementrian tersebut adalah:
1. Kementrian pajak tanah (diwan al-kharraj) yang tugasnya mengawasi
departemen keuangan.
2. Kementrian khatam (diwan al-khatam) yang bertugas merancang dan
mengesahkan ordonansi pemerintah. Sebagaimana masa Muawiyah
materai resmi untuk memorandum dari khalifah, maka setiap tiruan dari
49 E. Abdul Aziz Tibrizi, Sejarah Kebudayaan Islam, Diktat II Tangerang: Ponpes Daarul el-Qalam, hal. 7. 50 Azizah, Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah), Yogyakarta, Nusantara Press, 2011, hal. 99.
29
memorandum itu dibuat kemudian ditembus dengan benang, disegel
dengan lilin yang ahirnya di press dengan segel kantor.
3. Kementrian surat menyurat (diwan al-rasail) dipercayakan untuk
mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari