Top Banner
:::::::TUGAS REMEDIAL BAHASA INDONESIA:::::: Membuat 10 Cerpen Nama : ZhyBensen Michael Kelas : X Ap 2 Prog.K : Akomodasi Perhotelan Periode : 2011 - 2012 ----Selamat Membaca---- -| " Naruto-kun Milikku " |-
49

Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Jul 24, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

:::::::TUGAS REMEDIAL BAHASA INDONESIA::::::

Membuat 10 Cerpen

Nama : ZhyBensen MichaelKelas : X Ap 2Prog.K : Akomodasi PerhotelanPeriode : 2011 - 2012

----Selamat Membaca----

-| " Naruto-kun Milikku " |-

Hinata tampak berguling-guling gelisah di tempat tidurnya, dan saat ia mendengar jam alarm yang berada di meja di samping tempat tidurnya berbunyi nyaring, ia segera melompat dari tempat tidurnya dengan senyum lebar yang terukir di wajahnya. Baginya, hari ini adalah hari terbaik karena Naruto, orang yang diam-diam ia sukai, akan mengajaknya pergi berjalan-jalan ke Konoha Land sebagai imbalan karena Hinata telah membantunya mengerjakan tugas sekolah.

 

Page 2: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Yah, meskipun mungkin bagi Naruto ini hanya acara jalan-jalan biasa, tapi bagi Hinata ini adalah hari yang luar biasa karena akhirnya ia bisa berjalan berdua saja dengan Naruto. Tidak mau mengulur waktu terlalu lama, ia bergegas mandi dan bersiap-siap pergi menuju Konoha Land.

Jantungnya berdetak semakin cepat sesampainya ia di gerbang Konoha Land. Hinata menghela nafas, mencoba mengurangi rasa gugupnya. Setelah ia merasa cukup, ia melangkahkan kaki memasuki Konoha Land. Sepasang mata lavendernya melihat sekeliling, mencoba mencari sosok Naruto di tengah-tengah keramaian orang yang berlalu-lalang.

' Ah…Itu dia …' pikir Hinata saat matanya menangkap sosok Naruto yang tengah duduk salah satu bangku taman. Hinata kembali merasakan jantungnya berdetak kencang dan wajahnya mulai memanas. Hinata menggeleng-geleng, 'Tenanglah Hinata… Kau tidak boleh menghancurkan acara hari ini karena tindakan bodohmu!'

Dengan perlahan Hinata berjalan ke arah Naruto. Ditepuknya pelan pundak Naruto dan kemudian ia duduk di samping Naruto. "Hai… Na-Naruto-kun… Kau sedang melihat apa?"

"Langit, burung ... Dan beberapa pesawat yang terbang di langit" jawab Naruto yang membuat Hinata mengerutkan dahi, Naruto pun tertawa melihat reaksi Hinata.

"Hahaha, aku bercanda kok, Hinata. Oh ya apa kau mau es krim? Aku akan membelikannya untukmu."

"Ehh… Tidak perlu repot-repot Naruto-kun…" 

"Tidak apa. Aku juga tiba-tiba ingin es krim kok. Tunggu di sini ya!" seru Naruto sambil berjalan ke arah penjual es krim yang tidak jauh dari tempat mereka duduk. Hinata hanya tersenyum melihat Naruto yang tengah membawa dua es krim di tangannya. Namun senyuman Hinata langsung menghilang ketika melihat ada sekelompok perempuan yang mengedipkan mata dan melambaikan tangan ke arah Naruto.

 

'Apa? Tidak! Naruto-kun milikku..'pikir Hinata yang sudah mulai mengeluarkan emosinya saat melihat gadis itu mulai menggoda Naruto.

 Sedangkan Naruto malah menyengir dan balas mengedipkan mata pada gadis itu, membuat emosi Hinata semakin mencapai titik puncaknya.

 'Naruto-kun milikku…'

Gadis itu mulai berjalan ke arah Naruto dengan senyum lebar yang masih menghiasai wajahnya.

 'Naruto-kun ... ADALAH MILIKKU!'

 

Page 3: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Tanpa basa basi, Hinata bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah Naruto, sementara gadis berambut pirang panjang itu mulai bergelayut di lengan Naruto."Hei, siapa namamu?" tanya gadis itu, sama sekali tidak mempedulikan Hinata yang sudah berada di samping Naruto.

Tapi sebelum Naruto sempat menjawab, Hinata menyela, "Namaku Hinata, Hyuuga Hinata." jawabnya sambil tersenyum manis, sedangkan gadis berambut pirang itu menatap sinis ke arah Hinata.

"Aku tidak bertanya padamu, gadis kampungan! Ayo kita pergi saja, sayang." ujar gadis itu sambil menarik lengan kanan Naruto untuk menjauhi Hinata, namun langkah mereka terhenti saat Hinata menahan lengan kiri Naruto.

"Lepaskan! Gadis kampungan!" teriak gadis itu, Hinata tidak bergeming dan tetap menahan lengan Naruto sekuat tenaga.

"Ti… Tidak! Aku tidak mau!" balas Hinata tidak mau kalah. Hingga terjadilah aksi tarik-tarikan dengan Naruto sebagai korbannya, membuat Naruto kelimpungan dengan tingkah dua gadis ini.

"Kalian berdua tenanglah…" kata Naruto dengan gugup, namun kedua gadis itu sama sekali tidak mendengarnya.

"Kau keras kepala sekali gadis kampungan! Memangnya kau punya hubungan apa dengan cowok ini hah!"

Hinata menatap tajam ke arah gadis itu sebelum menjawab, "Dia milikku! NARUTO-KUN MILIKKU!" teriak Hinata tanpa sadar sambil menarik Naruto sekuat tenaga sampai genggaman gadis itu terlepas dan sukses membuatnya terjatuh, otomatis es krim di tangan Naruto juga ikut terjatuh tepat di baju gadis itu.

"AHHH! BAJUKU! BAJU BARUKU! SIALAN! AWAS SAJA KAU NANTI CEWEK KAMPUNGAN!" teriak gadis itu sambil berlari meninggalkan Naruto dan Hinata.

Sementara mata Naruto melebar karena shock. Ia tidak pernah menyangka gadis pemalu dan kalem seperti Hinata bisa berteriak bahkan bersikap seperti itu. Tapi yang lebih membuatnya terkejut adalah kata-kata Hinata yang…

"Hi… Hinata?"

Hinata terdiam. Kali ini wajahnya benar-benar memerah. Gila! Apa yang baru saja ia lakukan! Terlebih lagi teriakannya yang menyatakan Naruto adalah miliknya. Oh gosh! Kemana sifat Hyuuga yang ada dalam dirinya? Gila! Benar-benar gila!

"Hinata?" panggil Naruto sekali lagi. Hinata yang sudah tidak kuat menahan rasa malunya akhirnya malah mendorong Naruto sampai terjungkal ke belakang.

 

Page 4: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

"Go… Gomen… Maafkan aku Naruto-kun!" Hinata segera berbalik dan bersiap untuk kabur, namun baru beberapa langkah ia berlari, Naruto segera menahan lengannya.

Hinata meronta-ronta, namun tentu saja kekuatan Naruto lebih kuat. Ia membalik tubuh Hinata dan menatap langsung ke sepasang mata milik Hinata, "Ne… Katakan Hinata, kau menyukaiku?"

Hinata akhirnya pasrah dan menjawab pelan, "I… Iya… Aku… selalu menyukai Naruto-kun… dari dulu… Maaf… hiks… hiks…"

Naruto tersenyum dan membawa Hinata ke dalam pelukannya dan mengecup kening Hinata, "Kenapa kau meminta maaf? Aku juga menyukaimu Hinata… Sudah… Jangan menangis lagi ya…"

Seketika ada kelegaan yang sarat saat Hinata mendengar jawaban tulus dari Naruto. Perlahan tangisannya mereda dan ia mulai menyamankan dirinya di pelukan Naruto. Perlahan Naruto menunduk dan berbisik di telinga gadis Hyuuga itu.

"Hinata…"

"Ya, Naruto-kun?"

"Kau tahu, aku sangat menyukai sifatmu yang posesif itu…"

Kali ini Hinata tidak bisa menahan dirinya untuk tidak pingsan mendengar kalimat itu…

-| " Diary Untuk Ayah" |-

Hari mulai petang, awan yang tadinya cerah berubah menjadi gelap. Tak ada lagi sinar mentari di langit yang ada hanya cahaya-cahaya kecil dari bintang yang bertaburan di langit petang.

 

Page 5: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Saat itu, aku tidak merasakan ngantuk sama sekali. Akhirnya aku mantapkan kakiku melangkah ke luar rumah duduk termenung sendrian menatap bintang. Sampai pada akhirnya, aku tertuju kepada satu bintang yang cahayanya paling terang. Dan saat itu juga aku teringat kepada seseorang. Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Kebetulan hari ini, tanggal 21 juli, tepat saat aku kehilangan seseorang yang berarti itu.

 

***

 

12 tahun lalu, aku mengalami peristiwa yang hebat, tepatnya pada tangal 21 Juli 1999. Pada tangal itu, aku dan keluarga pergi ke pernikahan salah satu keluarga kami. semua keluargaku sudah sibuk menyiapkan semuanya sehari sebelumnya. Menyiapkan baju dan gaun yang akan dipakai, makanan serta seserahan untuk calon pengantin. Aku sendiri sudah membeli baju baru untuk digunakan di pernikahan tersebut. Setelah semua siap, pagi-pagi sekali kita berangkat ke daerah Jombang, tempat saudaraku merayakan pesta pernikahannya. Aku naik mobil sama ayah, ibu, dan adik kecilku. Aku duduk di pangkuan ayahku, sedangkan adik berada digendongan ibuku, maklum adik masih usia 8 bulan. Sebenarnya kami akan naik mobil yang satunya, mobil teman ibu. Tapi karena mobilnya belum datang, aku memaksa ibu dan ayah untuk naik mobil yang sekarang sedang aku tumpangi. Di sepanjang perjalanan, ayah selalu mencetuskan lelucon-lelucon yang membuat aku tertawa. Ayah dan aku juga menyanyi lagu anak-anak seusiaku.

“naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali”

Tawa canda terus terdengar dariku dan ayah, sampai kemudian peristiwa itu terjadi. Sebuah bus besar mendahului mobilku dengan kencang, sementara di lajur yang berbeda ada sebuah tuck yang melaju kencang pula. Lalu bus tersebut tidak bisa mendahului mobilku dan malah menabrak mobilku sampai mobilku masuk ke sungai. Ggerrr…. Ccciiitttzz….. BBBrakkkk…. BBrakkkk…. BBBrakkkk….. duuuaazzz…… . Mobilku masuk kesungai, tapi aku dan ayahku terlempar keluar lewat jendala, dan kami masuk ke sawah di arah yang berlawanan dari sungai. Saat terlempar, aku tidak merasakan apa-apa. Aku hanya merasakan pelukan hangat seseorang dan dekapanan kuat yang mencoba untuk melindungiku. Setelah masuk ke sawah, aku terlepas dari pelukan dan dekapan penuh sayang itu. Yaahh… aku terlepas dari dekapan ayahku. Dan melihat ayahku berada di sampingku sedang tak sadarkan diri. Disitu aku bingung harus berbuat apa, sementara tidak ada satupun orang disana. Hanya aku dan ayahku yang berada di tengah sawah tersebut. Aku mencoba untuk menyadarkan ayah, menepuk-nepuk kedua bahunya sambil menangis dan berkata,

“ayah… ayah… bangun yah…”

“ bangun… tolong yah… ayah harus bangun….”

“ Yah… bangun yah…”

Page 6: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Aku sudah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap nihil. Ayah tidak bangun dari tidurnya. Aku menangis dan terus menangis sambil terus menyebut namanya, dan berharap ayah bisa bangun.

***

Tak lama kemudian, mobil yang lain dari keluargaku datang. Mereka semua menangis dan menyesali apa yang telah terjadi. Terdengar juga saudara sepupuku menangis kencang sambil meneriakkan namaku. Berharap tidak terjadi apa-apa denganku. Kemudian kami segera ditolong dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit aku diperiksa, dan dokter berbicara dengan tanteku tentang hasil pemeriksaanku.

“Dok bagaimana keadaan ponakan saya?”

“tidak ada yang terlalu parah bu, hanya saja tangan kanannya patah”

“astaghfirulloh, lalukan saja yang terbaik dok,,”

 

“pasti bu, kami akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan ponakan ibu”

“terima kasih dok”

“sama-sama bu, itu memang sudah jadi tugas kami”

Ya, hasil pemeriksaan dokter menyatakan kalau tangan kananku patah. Selain itu di tempat yang berbeda, ayah masih tidak sadarkan diri dan masih berada di ruang UGD. Ayah masih diperiksa keadaannya oleh dokter. Selang beberapa waktu, dokter yang tadi memeriksa ayah keluar, dan segera menginformasikan keadaan ayah kepada saudaraku.

“ bagaimana keadaannya dok?”

“maaf pak, kami sudah melakukkannya semaksimal mungkin” , dokter tersebut berkata dengan wajah pasrah.

  “maksud dokter?”

  “korban sudah tidak bisa ditolong lagi”

  “innalillahi wainnailaihi rojiun”

 Semua anggota keluargaku tidak percaya, kalau ayahku pergi secepat itu. Padahal ayah masih harus menjaga aku dan adikku yang masih kecil.

 ***

Page 7: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

   Di ruang anak ibu masih menggendong dan menyusui adik. Ibu tidak mengalami luka yang cukup serius. Ibu hanya luka memar di bagian wajah karena terbentur pintu mobil. Sedangkan adikku tidak luka sedikitpun. Ia selamat dalam keadaan baik seperti tidak ikut dalam peristiwa itu. Setelah cukup lama menyusui adik, ibu ingin ke ruangan ayah. Tapi dokter terus menghalangi ibu.

  “ibu mau kemana?”

  “saya mau melihat suami saya bentar dok,”

  “jangan dulu bu, ibu harus menjaga bayi ibu dulu disini”

  “tapi dok, saya ingin melihat suami saya sebentar, sebentar saja dok…”

  “jangan bu, disusui dulu aja anaknya”

Melihat dokter yang seakan-akan menghalangi langkahnya untuk menemui ayah, ibu semakin cemas. Dari tadi ibu memang sudah mendapat firasat yang buruk. Takut terjadi apa-apa dengan ayah. Setelah dokter tersebut pergi memeriksa pasien lain, ibu langsung memantapkan langkahnya ke ruangan tempat ayah diperiksa tadi. Sesampainya di depan ruangan tersebut, ibu mendapati saudara- saudaranya menangis mengisakkan air mata. Ibu langsung menangis dan bertanya ke saudaranya.

 

“ada apa?? Mengapa kalian semua menangis? Mana suami saya? Suami saya baik-baik saja kan??”

 

“tenang… tenang…. Duduk dulu”

 

“enggak, saya mau lihat suami saya”

 

“suami kamu sudah tiba ajalnya”

 

“nggak…. Nggak mungkin…. Itu nggak mungkin terjadi….”

 

Page 8: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

“yang sabar ya, ikhlas… kasihan suamimu kalau kamu seperti ini”

 

Semua orang berusaha menenangkan ibu. Ibu terus meneteskan air mata, seakan tidak percaya atas kepergian ayah yang terlalu singkat. Untunglah keluargaku berhasil menenangkan ibu.

Setelah semua administrasi beres, aku pulang bersama ibu dan adik. Aku sempat bertanya kepada ibu.

“bu, ayah mana? Kok nggak ikut pulang?”

“ayah masih harus di rumah sakit nak, ayah masih sakit

“tapi aku ingin sama ayah bu…”

“ besok kalau ayah sembuh, ayah pasti pulang”

“benar ya, bu….”

“iya nak… 

Ya, saat itu semua orang memang merahasiakan kepergian ayah dariku. Takut kalau aku tidak bisa menerima kepergian ayah. Semua keluargaku memang tau, aku dan ayah seperti soulmate, dimana ada ayah pasti aku juga ada bersamanya. Aku memang anak kesayangan ayah. Ayah selalu mengutamakan kebahagiaanku. Ibu aja pernah dimarahin oleh ayah, karena ibu mencubit aku. Tapi bukan salah ibu juga sih, aku memang bandel.hehehe… .Setelah sampai di depan rumah, aku mendapati rumahku sesak dari gerumelan orang. Tetanggaku berkumpul di rumah. Memangnya ada apa? Aku baertanya dalam hati. Tapi kemudian, aku dibawa ke rumah saudaraku,yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Ternyata aku memang sengaja disembunyikan dari ayah. Tidak lama setelah aku pergi, mobil ambulance datang mengantarkan ayah ke rumah. Semua tetanggaku sibuk, ayah langsung diangkat ke dalam, dimandikan, dikafani, dan dikuburkan. Setelah ayah dikuburkan, barulah aku dibawa pulang kerumah. 

Hari berganti hari, aku menjalani hidupku seperti anak kecil pada umumnya. Bermain, tertawa, bercanda. Smpai suatu hari aku bertanya kepada ibu.

“bu, ayah kapan pulang? Aku kangen sama ayah bu,”

  “ayah masih sakit nak, ayah masih harus di rumah sakit”

  “tapi kapan ayah pulang bu?”

  “kalau ayah sudah saembuh, ayah pasti langsung pulang”

Page 9: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

   Saat itu aku memang percaya dengan apa yang ibu katakan. Maklum, aku masih kecil, belum tahu mana yang bohong mana yang jujur. Aku menganggap semua yang dikatakan ibu itu memang suatu kejujuran.

 Ibu mempunyai inisiatif lain. Supaya aku gag terus-terusan bertanya tentang keberadaan ayah, aku dimasukkan ibu ke taman kanak-kanak (TK), ya walaupun usiaku masih 3,5 tahun. Ibu berharap setelah aku di TK, aku bisa berbaur dengan teman-teman yang lain dan bisa lupa tentang ayah. Memang setelah berada di TK, aku selalu mengisi hari-hariku dengan kesibukan di sana. Bermain, bergurau bersama teman-temanku. Walaupun terkadang ada temanku yang meledek aku, karena mereka menganggap aku tidak punya ayah.

  “ hahaha…. Kamu nggak punya ayah ya?”

“siapa bilang, ayah aku masih di rumah sakit, ayah masih sakit”

“bohong, kamu nggak punya ayah”

“aku punya ayah,”

“mana buktinya? Ayah kamu kok nggak pulang’ 

“ayah pulang kalau ayah sudah sembuh” 

“bohong…. Bohong…. Kamu nggak punya yah”

“ngak punya ayah…. Nggak punya ayah….”

Celotehan temanku itu sering kali membuat aku menagis dan langsung pulang. Jarak rumah dengan TK memang cukup dekat. Sesampainya di rumah, aku langsung bercerita kepada ibu. Aku memaksa ibu untuk menyuruh ayah pulang. Tapi ibu tidak menjawab, dan hanya menangis.

 

*** Dan Hal Tersebut Lah Yang Membuat Ku lelah tuk Hidup***

 

 

  -| " 7 Years of Love "|-

 Tak bosan. Tak akan pernah bosan aku menatap sesosok gadis di hadapanku. Tetap cantik, meski kini ia tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat pasi. Entah mengapa, dalam

Page 10: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

tak kesadarannya aku seakan melihatnya tengah tersenyum kepadaku. Senyum yang tak asing buatku. Senyum yang akrab menyapaku di setiap hari-hariku….. dulu,,,,

“Aku merindukanmu”

Ucapku terisak bukan untuk yang pertama kalinya. Aku yakin ia akan mendengar apa yang ku katakan, walau tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Hanya suara dari mesin pendeteksi detak jantung yang ramaikan suasana yang ada kini. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.

*****

28 Desember 2010

 

“Pritha, ada bintang jatuh!!!”

“Lalu?”

“Kata orang sih, kalau ada bintang jatuh… segala keinginan kita akan terwujud”.

“Apa kamu percaya sama hal itu? Kamu kan cowo?”

“Emang cowo nggak boleh percaya begituan?! Udah deh, mending kita coba dulu ajah!!”

Langit malam bersolek indah malam ini. Gemintang anggun hiasi kepekatan malamnya. Dan di bawah dekapan malamnya, ku habiskan waktu bersama Pritha, sahabatku. Seorang gadis cengeng yang periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang terus mengajakku untuk main boneka bersamanya, meski ia tahu bahwa aku seorang bocah laki-laki. Gadis cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri. selalu memaksa aku untuk terus memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan kami, meski kami sudah mengitarinya lebih dari 5 kali.

“Udah berapa lama ya kita saling kenal?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.

“Nggak tau!! Emang kenapa? Toh, pada awalnya aku terpaksa kan mau main dan kenal sama kamu!”

“Bawel amat sih, aku serius,Pram!!”

“Emang siapa yang nggak serius sih?!”

“Jadi udah berapa lama ya kita jadi sahabat?”

“Enam tahun”.

Page 11: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

“Sok tahu! Emang kamu beneran yakin?”

“. . . .”

“Prithaaaaaa!!!!” tiba-tiba suara tante Vivi hadir memecah sunyi yang ada di antara kami.

“Dipanggil noh, Non.”

“iya iya,..aku duluan ya Pram. Sampai besok…:)”

“Aku yakin banget,Tha. Kita udah deket selama enam tahun. Aku nggak bakal lupa. Nggak akan pernah lupa, Tha. Besok adalah genap enam tahun pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak lupa”, ucapku dalam hati setelah sosok Pritha melangkah menjauh dariku.

*****

 

29 Desember 2010

“‘dddrrrrt….dddrrrttt…ddrrrttt’

From :     Pritha

        +628133xxxxxxx

Pram, jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa. Jam 9. Oke? Aku tunggu.

. . .

Sekali lagi ku lirik jam tanganku. Pukul 9.05. Sampai saat ini aku belum menemukan sosok Pritha. Tak biasanya ia terlambat. Dia selalu tepat waktu. Padahal, tadi aku sudah benar-benar terburu waktu, berusaha untuk tak terlambat walau hanya untuk kali ini saja. Kekesalanku mulai muncul. Apa Pritha sengaja datang terlambat untuk mengerjai aku? Awas saja dia.

Sembari menunggu, ku pandangi tulisan yang terukir di pohon Mahoni yang rindang ini. Kami menulisnya tepat enam tahun yang lalu. Dan sejak itulah, kami tetapkan hari itu sebagai hari jadi kami sebagai seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu hadir disaat salah satu di antara kami jatuh ataupun sebaliknya. Sahabat yang selalu menjadi pendengar paling baik bahkan terkadang melebihi orangtua kami sendiri. Selalu ada. Selalu bersama. Sekarang. Dan selamanya. Amiin J

9.15. Pritha masih belum menampakkan sosoknya. Apa dia baik-baik saja? Tak seperti biasanya ia terlmbat. Apalagi dia yang membuat janji. Tak ada jawaban dari panggilan ku ke ponselnya. Semua pesanku juga tak mendapat respon.

To :    Pritha

Page 12: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

        08133xxxxxxx

Tha, kamu dimana? Uda jam beapa ini, Sayang? Inget ya, aku sibuk. Nggak bisa nunggu lama-lama aku. Kalau bisa bales sms ini. Harus!!!. Still waiting for you, Tha.

Tiga puluh menit.

Empat puluh lima menit.

Dan sekarang, hampir satu jam aku menunggunya. Pritha masih belum hadir di sini. Aku ingin marah. Aku benar-benar merasa dihianati. Tapi, sepertinya aku tak bisa. Ingin aku segera angkat kaki dari tempat ini. Hilang harap sudah untuk yakin bahwa Pritha akan menginjakkan kakinya di taman ini. Baiklah lima menit lagi. Ku beri kesempatan lima menit lagi. Tak lebih. Pritha, ku mohon…

----Lima menit kemudian….----

“Pramana!!!”

Sebuah suara menghentikan langkahku. Suara yang tak asing, begitu akrab di telingaku, namun terdengar lemah. Suara Pritha. Aku berbalik. Dapat ku lihat seutas senyum tersimpul di wajah Pritha. Ia tampak pucat. Lemas. Apa dia sakit? Tapi,….

“Maafin aku yah, Pram….” Dia berhamburan ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. “Kamu marah kan sama aku? Maaf banget, Maaf”.

Ku rasakan bulir-bulir bening hangat basahi bajuku. Aku tak mampu berkata-kata. Aku sendiri bingung dengan perasaan yang berkecamuk di dadaku. Apa ku harus marah pada sahabatku? Atau apa? Aku harus bagaimana? Aku tak tahu.

“Nggak, Tha… nggak,….” Ku tarik tubuhnya dari dekapanku.

“Pramana,…??” ujarnya pelan. Meluncur lagi bulir-bulir bening dari kedua pelupuk matanya.

“Nggak, Tha…. Nggak ada yang perlu dimaafin. J” ku rasakan dingin pipinya saat ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. “Emang tadi kamu kemana?”

“Emm,… anu… ee… er… tt..taadi…”

“Tadi kenapa?” potongku sambil menariknya untuk duduk di rumah pohon kami.

“Tha, tadi kenapa?” ku ulang pertanyaanku sesampainya kami di atas (di rumah pohon)

“Tadi,….. jam di rumahku mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah,…”

Page 13: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

“kenapa nggak bales sms ku? Toh kamu juga bisa lihat jam yang ada di hape kamu kan?”

“Em, hapeku mati. Batrey.nya habis. Sori…”

“Trus, jam di rumah kamu kan nggak cuma satu kan, Tha?”

“Iya sih, Cuma nggak tahu tuh… pada rusak berjamaah. Tadi papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama juga—“

“iya iya. Aku ngerti kok. Nggak usahpanjang-panjang ceritanya. Bawel!!”

“Dasar kamu!! Masih aja ya nyebelin.”

 “Emang kamu ngapain ngajak ketemuan? Mau traktir nih?”

“Iih, nih orang. Doyan banget ama yang gratisan. Emang kamu lupa ya?”

“lupa?”

“hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan. Pikun banget sih kamu!!”

“O.” jawabku sekenanya.

“Sumpah ya, kamu itu,….. awas kamu, Pram…!!!” protesnya sambil memukul ku gemas.

“Tentu aku nggak lupa, Tha. Dan aku seneng kamu juga nggak lupa”, batinku.

**Sesampai nya 7 tahun Mendatang Orang Tersebut Telah Melupakan nya**

-| " For My Best Friends"| -

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan.

Page 14: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

 

Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat.

 

Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku.

 

Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.

 

Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku.

 

Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi

Page 15: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku.

Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya.

Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

**Gadis Penghuni Rumah Tua**

Masih dengan senyum yang sama, baju merah yang sama dan posisi duduk di atas balkon rumah itu. Rambut panjangnya ia biarkan terurai yang sesekali terkibas angin sore itu. Aku menundukkan kepalaku sambil menyapa “Sore mba…”, Ia hanya tersenyuum sambil menatapku, tapi yang slalu bikin haran, pandangan mata itu selalu kosong. “ Aneh..” Pikirku.

 

Seperti Sore Ini, Aku pulang agak cepat dari sekolah. Dari kejauhan kulihat tubuh kecilnya duduk dibalkon rumah itu. Memandang jauh seolah ia sedang menerawang jauh, semakin dekat kulihat sesekali bibirnya bergumam, entah apa yang dia katakana. “Sore Mba…”. Kataku membuyarkan lamunannya, ia menoleh ke arahku sedikit kaget lalu tersenyum menganggukan

Page 16: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

kepala. Selalu tanpa suara “ Bisu kali yah…”, Pikirku. “He..He.., Sorry mba… abis nggak pernah mau jawab sih”, Bathinku.

“Mari mba…”, Kataku lagi, Ia mengangguk lagi. “Ih..bosen tau ngagguk-ngangguk mulu, ngomong ke” bathinku lagi seraya pergi menjauh.

 

“Vin, Sini deh” kataku pada adikku sesampai dirumah. “apa sih kak, ganggu aja. Lagi nonton nih!!!” meski ngomel tak urung juga ia menghampiriku dan duduk di dekatku. “Ada apa sih kak, kok malah bengong”, katanya lagi. “Ehm... Vin, beberapa hari ini aku sering lihat ada gadis dirumah ujung jalan sana, cantik banget lho!!!” kataku tanpa menoleh kepadanya. “Rumah ujang jalan…… rumah tua itu kak?”, ia Sedikit heran. “Iya… kamu juga pernah liat kan??” kataku meyakinkan hati. Ia menggelengkan kepala. “Yang bener kak , Setau aku sejak setahun kita pindah ke sini, itu rumah kan nggak ada yang nempatin??”, Ia Semakin keherenan. “Penduduk baru kali tuh” , Kataku. “bisa jadi tuh kak, tapi aku belum pernah lihat sih, emang kakak lihatnya kapan?”, Kata adikku sedikit mengerutkan dahinya. “Setiap kakak pulang kuliah, Ida pasti ada diatas balkon rumah itu dan slalu senyum sama kakak, Cuma herannya dia sama sekali nggak pernah ngejawab setiap kakak nyapa dia, Cuma senyum doang … bisu kali yah!!!” kataku panjang lebar . ”ah kakak ada-ada aja, malu kali kak, biasanya cewek kan suka malu-malu kak!!!” kata adikku seolah membela kaumnya. “ Iya Kali, udah ah…kakak mandi dulu deh” kataku seraya pergi. “ Ya Udah sana, bau tau…” adikku menggoda dengan menutup hidungnya.

 

Seminggu sudah aku melihat gadis manis dirumah ujung jalan itu, ada keinginan untuk lebih mengenalnya lebih jauh, aku yakinkan hati ku sore ini aku harus tau namanya dan ngobrol sama dia. Bergegas aku pulang. Ingin cepat-cepat sampe dirumah itu, benar saja ia duduk di balkon rumah itu, masih dengan pandangan menerawang. “Sore mba…” ia menoleh kepadaku, seolah sudah menunggu dari tadi wajahnya berubah cerah. Ia mengangguk. “Boleh saya masuk mba…???” tapi tak urung juga ia terlihat keheranan. “Makasih…” aku melangkahkan kakiku seraya membuka pintu pagar, tiba-tiba ada angin berhembus menerpa mukaku dan wewangian bunga tercium, bau bunga itu sedikit aneh, membuat bulu kudukku langsung berdiri “ ahh….. rumah ini kan sudah sedikit tua, Pasti baunya juga agak aneh”, Pikirku. Ia keluar dari dalam rumah, dengan wajah murung dan pandangan hampanya. “ Ni Cewe aneh, Bikin penasaran” bathinku. Ia tersenyum dengan tangan mempersilah kan duduk. Kulihat ia duduk tanpa mau menatapku, Aku memberanikan diri memulai percakapan. “Kenalin mba ,Saya Rafli” kataku sambil menyodorkan tangan, Ia Hanya tersenyum tanpa mau membalas jabatan tanganku, ia mengucapkan sebuah kata. ”Saras….”.sambil menarik kembali tangan ku, aku bertanya “Mba… Penghuni baru ya?” Ia Menggelengkan kepala. “aneh…”, Pikirku. “Kok Sepi , Yang lain pada kemana ???” Ia Hanya tersenyum tanpa mau menjawab juga. “Ah… jadi bosen, dia hanya senyum dan senyum” Pikirku. “Mungkin saya ngeganggu ya, Kalo Gitu saya pamit deh” kataku sambil berdiri. Ia mengangguk lagi. “wahh…. Ni Cewe Aneh”, Pikirku. Aku melangkahkan kaki keluar rumah, tiba-tiba angin berhembus membawa aroma wewangian bunga itu kembali menusuk hidung. “Suasana disini semakin seram!!!” Bathinku Sambil Bergegas keluar meninggalkan rumah itu.

Page 17: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

 

Sudah tiga hari tak terlihat gadis itu. “ Kemana Dia, Biasanya kan dia duduk di balkon rumah nya?” pikirku keheranan. Esok harinya, masih dalam rasa penasaran dengan keberadaan gadis itu, ku percepat laju motorku agar cepat sampai rumah gadis itu. “ kali Aja dia sekarang ada!!!” pikirku. Sesampainya disana Suana Rumah itu semakin menyeramkan, Kali ini terlihat kotor sekali. Aku diam didepan pagar sambil duduk di jok motorku sampai seorang satpam mendatangiku dan berkata “Ada yang bisa saya bantu mas???” Kata satpam itu. Aku sedikit tersentak… Karna kaget, Reflex Aku Loncat dari motor. “Oh..enggak pak, saya Cuma heran…, bapak tau seorang gadis yang tinggal dirumah ini?, Namanya Saras…” Kataku. Bapak satpam Itu sedikit kaget ketika aku menyebut nama saras. “Saras…?” Ia Terlihat Ketakutan. “Kita Ngobrol di Pos aja mas” Katanya. Aku Mengikutinya Sambil Menuntun Motor Ku.

 

“Dua tahun lalu terjadi musibah yg sangat mengejutkan warga komplek sini” Ia membuka percakapan dengan sedikit takut. “ Bagaimana tidak, seluruh keluarga pak harun meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, Pak Harun dan istrinya meninggal beserta anak semata wayangnya , namanya saras” Sontak Helm yang ada dipangkuan ku terjatuh mendengar cerita bapak itu. “ saras…. Apa itu saras yang sama” Pikirku dengan gemetaran. “Sejak Kejadian Itu rumah itu kosong tak berpenghuni, pernah ada keluarganya hendak menjual rumah itu tapi sampai sekarang tak pernah laku. Takut kai orang-orang, soalnya saya pernah dengar beberapa kali ada gadis berbaju merah terlihat di balkon, seperti yang mas lihat!!!” Kali Ini Ia Bicara Sedikit pelan dan tengak-tengok, seolah takut didengar orang. “sebaiknya Mas pulang saja, Jangan lagi tengak-tengok ke atas balkon rumah itu” katanya lagi sambil berdiri “ Saya pulang dulu mas, itu pengganti saya sudah datang!!!” Katanya sambil Pergi.

 

Badan ku Terasa Lemas, Sulit Sekali untuk sampai dirumah. Sesampai dirumah, kulihat pandangan heran adikku, Ia menghampiriku yang masih duduk di jok motor. “Kenapa kak…. Kok lemes. Pucet lagi?“, Aku Hanya Terdiam. “Kak, jangan Bikin Penasaran dong, ada apa sih… atau kakak kesambet ya???” Katanya Lagi dan Mulai Ketakutan. Kupandangi wajahnya Sambil berkata. “Ternyata gadis…. Gadis dirumah ujung jalan itu….” Aku tak melanjutkan kata-kata ku. “Apasih kak, Kenapa dengan gadis itu, dia Nolak kakak?” Ia semakin heran. Sambil berjalan dari motorku, Aku Menjawab. “dia…….Dia sudah meninnggal dua tahun yang lalu…..” Aku Semakin Lemas . “Apa…?ya Allah… jadi… jadi dia………….” Kini Vina yang terduduk lemas, “Aku semakin tak mengerti kenapa ia memperlihatkan wujudnya padakau, apa karna aku warga baru Komplek ini sehingga aku tak pernah tahu cerita ini, atau karna Dia suka padaku, Ih amit-amit!!!” Aku Menerawang menerka nerka Tak Mau tahu

**Cowok Malaikat Dalam Kegelapan**

Page 18: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

“ahhhhhh………… kurang ajar dasar brengsek kenapa loe tega pacaran sama sahabat gw sendiri,” (mengacak-acak kamar kos)

“Hidup gw sudah hancur lebur enggak kayak dulu, nyokab bokap gw cerai, dan entah mereka ada dimana, mereka sudah engggak mau lagi ngurusin anak-anaknya, Sebulan yang lalu abang gw masuk penjara dan tadi pagi adik gw kecelakaan, sekarang gw,,, (menarik nafas dan duduk lemas dikursi) gw dihianatin sama pacar dan sahabat gw sendiri, lengkap bener tuhan penderitaan gw” (ngomong sendirii kayak orang gila sambil berlari menuju kebun teh)

   “gw ngerasa tenang setelah berada disini, serasa beban hidup gw berkurang (meneteskan air mata) andai semua seperti dulu, mungkin abang gw gak akan masuk penjara, semuanya gara-gara nyokab bokap, gw benci mereka (melepaskan cincin pemberian nyokab dan melemparkannya jauh-jauh).

#ada seorang cowok naik kuda lewat depan gw dan dia berhenti dihadapan gw

“gw perhatiin kayaknya loe betah banget disini, emang disini tempat favorit loe..” cowok itu berbicara dengan ramah ke gw

  “yaa begitulah… (jwb gw singkat, kedua tangan mengusap air mata dipipi)

“emmm, kalau boleh tau siapa nama loe?? Tanya cowok itu ke gw

Tiba-tiba handphone gw bunyi, dan gw langsung angkat telephone itu, satu menit kemudian telephone itu mati, cowok tersebut tetap menanyakan nama gw,

“eeeehh,, maaf gw harus pergi..” kata gw menepuk bahunya

“tapi nama loe siapa??? cowok itu memaksa gw

“nama gw ay…” jawab gw sambil berlari

#gw berada dirumah sakit, ternyata adek gw nyawanya gak bisa tertolong lagi dia meninggal, gw semakin sedih atas semua kejadian ini, kayaknya semua orang yang gw sayangi akan pergi dari hidup gw, “tuhan kenapa cobaan ini berat banget, gw merasa enggak kuat dan enggak sanggup untuk mengatasinya, gw sudah bener-bener putus asa, rasanya gw pengen bunuh diri saja” gerutu gw dalam hati melihat muka adek gw yg terakhir kalinya.

Keesokan harinya adik gw dikubur, gw disitu kaya sudah mengumpulkan air mata seember, Gw nangis terus disitu, gw enggak sanggup adik gw dikubur, tapi harus bagaimana mungkin ini sudah takdir dari tuhan.

Seminggu kemudian setelah adik gw meninggal gw putusin untuk enggak lanjut sekolah lagi dan memilih bekerja disuatu restaurant, abang gw masih berada dalam sel tahanan, rencananya sepulang kerja ini gw pengen ngejenguk abang gw, namun di jalan gw keserempet mobil, ternyata orang yang nolongin gw adalah cowok yang waktu itu dikebun the.

Page 19: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

“makasih” ucap gw sedikit jutek sama dia

 # Cowok itu hanya tersenyum melihat gw ngomong makasih,,

“Aneh” kata gw dalam hati

“ay, makanya kalau jalan hati-hati coba biar enggak kayk gini, tuh tangan lue luka” jetus dia (omongannya kayak guru gw disekolah hahaaa)

“iya, gw enggak kenapa-kenapa koq, sudahlah lue enggak usah khawatir sama gw” kata gw jutek dan tampang gw pun cuek sama dia

“loe mau kemana ay? Tanya cowok itu

  “gw,,,, gw mau kepenjara…” jawab gw agak gugup ngomongnya

“hah?? Emangnya yang dipenjara siapa ay? Tanya nya lagii

“Abang gw” jawab gw singkat

“ya sudah gw temenin ya?! Pintanya pada gw

ternyata cowok itu beneran nemenin gw jenguk abang gw, dijalan gw ngobrol sama dia banyyyyyaaaaaaaakk banget,dan panjang lebar. Dia cerita tentang dirinya, dia orangnya asyik juga..

Lambat laun gw semakin mengenal cowok itu dan hati gw semakin suka sama dia, dia selalu ada buat gw disaat gw dalam keadaan apapun, dalam kesedihan dan kebahagiaan, dia pun selalu nemenin gw kalau gw kemana-mana, hingga abang gw bebas dari penjara berkat bantuan dia, dan gw kembali kesekolah . malahan gw bekerja dibutik punya ibunya, gw bener ngerasa beruntung punya kekasih seperti dia, dia malaikat dalam kegelapan gw. namun ………… sayang kemarin dia pergi ninggalin gw untuk selamanya, gara-gara penyakit otak dikepalanya, dia juga pernah bilang sama gw mau menyusul adik gw disorga sana, ternyata ucapan dia benar.

“semoga dia disana tenang, sumpah tuhan gw gak sanggup ditinggal sama cowok berhati mulia kayak dia, selamat jalan sayang, tunggu gw disorga.” Melangkah meninggalkan kuburan cowok itu,sambil meneteskan air mata yang terakhir lalu mengusapnya.

Baru sebentar gw ngerasain kebahagiaan, sekarang sudah ditinggal lagi sama orang yang tersayang. Ternyata dibalik semua cobaan ini membuat gw tersadar kalau tuhan masih memberikan kebahagian kepada gw, mulai detik itu juga gw menjalani hidup ini dengan semangat dengan senyuman, karena disamping gw masih ada orang yang gw sayang, yaitu abang gw dan masa depan gw masih panjang, gw harus menggapai cita-cita gw, semoga gw menjadi orang yang bermanfaat buat orang lain seperti cowok malaikat dalam kegelapan gw itu”

Selesai………………………….

Page 20: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

**Mimpi Terindah Sebelum Mati**

sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.

 

Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.

NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.

Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?

Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.

"Untuk apa?" tanyaku.

"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."

Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"

Page 21: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.

Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.

Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.

Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.

Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"

"Benar," jawabnya.

"Di mana?"

"Di langit ke tujuh."

"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.

"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."

"Apa syaratnya?" sahutku semangat.

"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."

"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.

"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."

"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."

Page 22: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

"Percayalah, kau akan menyukainya."

"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"

"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."

"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.

"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.

"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."

"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"

"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."

"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"

"Ya."

"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"

"Tentu saja."

"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.

"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.

"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."

"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"

Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.

Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan

Page 23: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.

Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.

Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.

AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.

 Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.

 Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?

 Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.

 Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.

Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***

**Ajaran Kehidupan Seorang Nenek**

Jauh-jauh aku datang, dimulai hari pertama aku sudah mendapat kekecewaan.

Page 24: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Ibu tidur di kamar Puspa, tapi tidak boleh menggendong dia,” kata anak sulungku.

“Kalau dia terbangun dan menangis?”

“Biarkan saja! Anakku tidak kubiasakan digendong.”

Seolah-olah dia tidak yakin bahwa aku mengerti kata-katanya, anakku mengulangi, nada suaranya terkesan mengancam,

“Betul lho, Bu! Jangan sampai begitu Ibu pulang, aku direpoti anak manja dan terlalu minta diperhatikan!”

Barangkali karena kaget, aku terdiam. Bayangkan! Hanya ibuku yang seharusnya berhak berbicara dalam nada seperti itu kepadaku. Aku tersinggung. Semakin umur bertambah, sakit hati semakin sering kualami.

Aku direktris suatu rantai usaha swadaya yang boleh dikatakan sukses. Semua karyawan di tempatku hormat kepada, berbicara nyaris kuanggap berlebihan terlalu sopan bagiku. Di saat-saat mengunjungi perusahaan atau kantor lain, orang-orang menerimaku dengan sikap dan pandang ering 1) yang acapkali membuat aku merasa risi sendiri. Meskipun aku tahu pasti bahwa kelakuan mereka itu didasari pengakuan terhadap kenyataan yang tidak bisa dibantah. Karena selain disebabkan oleh kedudukanku, upayaku pengembanan usaha kami ke lain daerah yang berhasil, lebih-lebih sebagai perempuan aku mampu mengendalikan serta mempertahankan kesuksesan wiraswasta yang ditinggalkan ayahku. Walaupun benar itu “hanya” berupa warisan. Tapi, itu jatuh ke tanganku tidak secara otomatis, dengan cuma-cuma. Aku harus melewati tes di antara empat saudara kandungku.

Dalam sebuah dongeng diceritakan bahwa raja di suatu negeri tidak dapat memutuskan kepada siapa pun dia akan menyerahkan takhtanya. Dia mempunyai empat anak, putra dan putri. Masing-masing berpenampilan cakap, dan sepintas lalu kelihatan berperilaku baik. Namun, sang raja tidak yakin bahwa putra sulungnya yang suka berpesta akan memerintah secara adil sehingga rakyat akan bahagia. Begitu pula dengan putra keduanya. Walaupun pandai berulah senjata, namun kebiasaannya mabuk-mabukan dan berjudi merupakan ancaman besar bagi kelangsungan pemerintahan yang harus didasari kejernihan pikiran dan hati tenang. Anak yang ketiga dan keempat adalah perempuan. Paras cantik, kelakuan lembut, mumpuni dalam mengatur urusan rumah tangga ataupun penerimaan tamu. Keduanya juga sudah diajari dasar-dasar mempergunakan senjata seperlunya sehingga jika bahaya datang, mereka tahu mempertahankan diri atau keraton bahkan kerajaan.

Pendek kata, sang raja kebingungan memilih satu di antara empat anak tersebut. Maka agar tidak menimbulkan kecemburuan, ayah itu menyuruh anak-anaknya mengembara selama kurun waktu tertentu. Selain mereka harus mendapatkan pasangan masing-masing, juga harus pulang membawa tambahan pengetahuan yang bisa digunakan untuk masyarakatnya.

Ayah kami bukan seorang raja, ibuku bukan keturunan bangsawan. Tapi mereka telah membangun satu usaha kecil dari cucuran keringatnya. Sebagai modal, ayahku tidak berutang

Page 25: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

atau meminjam, melainkan menjual sepedanya. Dari memotong, menjahit dan menjual sendiri sandal-sandal hasil buatannya dari pintu ke pintu calon pembeli, sampai kemudian mempunyai toko. Lalu ibuku menambahkan membikin tas-tas bagor dan aneka anyaman dari bahan alami yang dikeringkan. Selang beberapa waktu, kombinasi dibuat untuk memanfaatkan limbah kulit asli atau sintetis.

Ketika akan menambah karyawan, aku baru lulus sekolah menengah atas. Kukatakan, mengapa tidak mempekerjakan orang-orang sekampung saja di rumah mereka masing-masing. Mereka diberi bahan sebagai pinjaman. Jika hasilnya bagus, kami beli. Setelah diperbaiki atau disempurnakan guna menjaga mutu dan nama baik, kami jual di toko. Itulah asal mula mengapa di kawasan tempat kami tinggal, sekarang terdapat begitu banyak pengrajin sandal, sepatu, dan tas yang terbuat dari aneka bahan. Beberapa tetangga bahkan mencoba pula mendirikan toko. Tapi hingga sekarang, hanya produk kami yang berhasil memiliki tingkat penjualan memadai, bahkan melayani pesanan dari luar negeri.

Kakakku sulung sudah berkeluarga sejak aku masih duduk di SD. Dia bekerja sebagai sopir. Kuliahnya terhenti sebelum tahun pertama selesai. Kakak kedua perempuan lebih berhasil menjadi penjual makanan matangan. Suaminya adalah tukang becak. Setelah selesai shalat asar, setiap sore dia menyorong gerobak ke pinggir jalan, ditinggal di sana. Lalu iparku balik lagi sambil mengusung dadangan bersama istrinya. Dengan cara demikian, sekarang dua anak mereka bersekolah di akademi akuntansi dan informatika, yang seorang di kelas tertinggi SMA. Saudara kandung yang tepat di atasku tidak lulus SMP, bekerja di bengkel. Bisa dikatakan hidupnya berhasil karena mampu membeli tiga kendaraan yang disewakan sebagai angkutan. Kadang terdengar berita dia ditipu sopir yang dipekerjakannya. Tapi di depan keluarga, dia tampak tenang saja, selalu mampu mengatasi semua kesulitannya.

Aku sendiri, mungkin karena aku anak perempuan bungsu, maka aku lebih senang bermain dengan limbah apa pun yang terdapat di lantai di ruangan menjahit dan menggunting aneka bahan. Ketika duduk di taman kanak-kanak, aku memberikan sebuah bantalan tempat mencocok jarum berbentuk ikan kepada ibuku. Itu adalah hadiah ulang tahunnya. Sampai sekarang, benda tersebut masih digunakan, mendapat tempat di kotak jahitan ibu kami. Untuk seterusnya, sekolahku aman-aman saja hingga aku mampu menyelesaikan kuliah dan menggondol gelar sarjana ekonomi. Aku sadar bahwa keluargaku sangat bangga dengan pencapaian gelarku tersebut. Apa lagi di masa itu belum marak didesuskan orang tentang pembelian ijazah ataupun gelar.

Setelah berunding sekeluarga, kami empat bersaudara dikirim ke seluruh penjuru Tanah Air untuk mencari kemungkinan pengembangan, baik kemitraan ataupun kerja sama di bidang niaga kerajinan. Masing-masing diberi sejumlah uang, dan kami disuruh memilih sendiri ke mana tujuan kami. Setiap hari Kamis harus mencatat semua pengeluaran secara teliti. Seorang dari kami yang dianggap paling berhasil akan menerima tanggung jawab tiga toko bersama atelir pengrajinnya sekalian.

Ternyata kakak-kakakku tidak menggerutu menerima tugas itu. Mereka mempunyai hubungan atau teman bekas sekolah yang tersebar di berbagai kota Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Bahkan kakakku perempuan, yang kelihatannya tidak keluar dari lingkungannya, langsung

Page 26: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

berkata akan ke Bandar Lampung, mencari kemungkinan kerja sama dengan sebuah toko di sana. Rupanya hanya diriku yang bingung ke mana harus pergi. Aku tidak begitu pandai bergaul. Bekas teman-teman sekolah atau kuliah tidak ada yang bisa kuandalkan. Selain yang tinggal sekota, tidak kuketahui di mana mereka lainnya menetap.

Setelah berpuasa dan berdoa menuruti ajaran orangtua, aku menetapkan tujuan: Bali. Orangtuaku hanya diam mendengar itu. Kakak-kakakku tertawa atau tersenyum tanpa kuketahui apa maknanya. Di waktu itu, pariwisata baru sayup-sayup menunjukkan pengembangannya. Walaupun di Bali dibikin aneka kerajinan sebagai benda kenang-kenangan, apa salahnya jika kami kirim pula hasil dari Bantul. Siapa tahu dengan keberuntungan dan nasib baik, aku akan menemukan mitra sejajar yang bisa diajak bekerja sama dalam hal pemasaran produk kami.

Wahyu Ilahi ternyata tidak dapat diabaikan. Aku kembali dari perjalananku dua pekan kemudian bersama seorang pemuda. Juga kemungkinan dapat mengirim ratusan mungkin ribuan benda dagangan ke berbagai kios dan toko di Pantai Kuta serta sebuah toko eksklusif di Ubud. Setelah masa tunangan beberapa bulan, aku dinikahi seorang anak pemilik sebuah restoran di Sanur. Menurut adat, lebih dulu aku diangkat menjadi anak oleh seorang pegawai rumah makan itu yang berkasta sudra supaya dapat kawin dengan upacara Hindu Bali.

Kulewati berbagai cobaan yang menggoyahkan keteguhan batinku. Terus terang, gelombang dan alun yang melanda bahtera kehidupanku nyaris meluluhlantakkan ketegaranku. Aku mensyukuri “kebebasan” ibuku sebagai perempuan Jawa dalam mengatur rutinitas keseharian, namun tidak membosankan. Yang dinamakan aturan ini-itu sehubungan dengan tradisi Jawa tidak terlalu mengekang atau menyita waktu.

Terjun bebas tanpa paksaan ke lingkungan tradisi dan rutinitas sehari-hari di Bali, aku hampir kehabisan napas karena kekurangan waktu ataupun ruang gerak. Semua serba upacara. Semua serba penyiapan sesaji. Memang benar aku belajar banyak. Aku menyukai serba-neka ajaran menganyam serta mendekor sesaji. Tapi, aku tidak kuasa hadir di dunia ini hanya untuk melakukan hal-hal tersebut. Tekanan lebih-lebih datang dari mertuaku perempuan. Dia menginginkan aku mengganti kedudukannya kelak sebagai tetua wanita dalam keluarga. Padahal ada dua menantu perempuan lain. Semua impitan keharusan untuk melaksanakan upacara itu membenihkan kerikil-kerikil di dada, hingga pada akhirnya membentuk satu bongkahan yang mengimpit pernapasanku. Untunglah aku masih sadar bahwa aku sedang melayang-layang di ambang stres. Lalu kuputuskan untuk bertindak demi kesehatan rohani dan keutuhan kepribadianku sendiri.

Aku purik 2). Satu anak perempuan yang sudah sekolah kutinggal, seorang balita dan bayi kubawa. Satu bulan penuh aku berkeras-kepala tidak pulang ke rumah tanggaku.

Akhirnya, suami menjemput dan berkata bahwa ibunya menyetujui semua keinginanku untuk kurang berperan sebagai penyelenggara aneka keperluan tradisi dan upacara. Kukatakan bahwa tidak ada gunanya sekolahku bertahun-tahun jika akhirnya harus hanya mengurusi upacara-upacara yang sebenarnya dapat diserahkan kepada orang lain. Bukannya aku merendahkan ritual tersebut! Waktuku memang untuk keluarga, namun aku juga mempunyai tanggung jawab

Page 27: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

perusahaan yang di masa itu sudah diserahkan total kepadaku oleh orangtua dan kakak-kakakku. Setiap akhir tahun, mereka tinggal menerima bagian keuntungannya saja.

Pengalaman itu bisa dikatakan ringan jika didengar. Tapi bagi yang menjalani, merupakan tahun-tahun penuh tekanan. Sebab, yang disebut upacara di Bali nyaris terjadi setiap hari setiap saat. Sedangkan perempuan adalah tiang utama bagi pelaksanaan tradisi karena merekalah yang menyiapkan serba uborampe 2)-nya.

Kini di usia yang mendekati enam puluh tahun, aku mendapat ajaran lain, yaitu bagaimana mengendalikan perasaan sebagai seorang nenek. Aku tidak dihadapkan kepada cucuku, melainkan kepada ibu si cucu itu. Anak terkejut. Mentalku tidak siap untuk itu. Di sekolah dan perguruan tinggi aku tidak pernah mendapat pelajaran bagaimana menjadi seorang nenek.

Anak sulungku yang biasanya tidak membantah atau mengguruiku di waktu-waktu sebelumnya, kini setelah tinggal di rumahnya sendiri, dapat dikatakan dia menggelincir lepas dari sela-sela jari tanganku. Sewaktu dia melahirkan, aku diminta datang untuk menemani di klinik, lalu mendampingi sebagai ibu baru di rumahnya. Karena suaminya orang Jawa, selamatan yang kujalankan adalah brokohan. Secara sederhana, kami mengirim nasi beserta sayuran bumbu urap 3) dengan kerupuk dan gereh 4) layur ke lingkungan tetangga maupun teman dekat.

Selama selapan 5) bisa dikatakan beberapa kali aku mondar-mandir memantau keadaan anakku dan bayinya. Tak tersirat gejala-gejala kepemilikannya yang ekstrem mengenai anaknya. Tiga bulan kemudian mereka berangkat ke Australia di mana si suami akan meneruskan belajar. Di waktu itu pun, belum terlihat tanda-tanda “kebengisan” anak sulungku terhadapku.

Aku percaya bahwa mempunyai cucu adalah impian semua nenek sedunia. Setelah begitu lama tidak menggendong atau menimang bahkan memandikan bayi, tentu saja aku ingin sekali melakukannya. Apalagi cucuku sendiri, manusia mungil yang keluar dari rongga perut anakku perempuan yang dulu pada waktunya juga keluar dari badanku.

Keesokan hari dari kedatanganku, setelah mendapat berbagai indoktrinasi mengenai aturan dalam rumahnya, aku mendapat teguran lagi,

“Kalau mengeringkan badan Puspa tidak begitu, Bu. Mana, biar aku saja! Ibu kan sudah memandikan! Biar sekarang kutangani….” dengan gerakan setengah merebut, anakku mendesakku ke samping.

Aku diam, mencari kesibukan dengan membenahi barang-barang, ke kamar mandi akan membuang air dari wadah.

“Sudah biarkan, Bu! Biar kukerjakan nanti! Ibu tidak tahu tempat benda-benda…!” dari jauh anakku berseru menggangguku dengan “perintah”-nya.

Sewaktu tiba saat menyuapi si bayi, aku tidak mau mengalah. Sebagaimana tadi dia merebut kain handuk dari tanganku, aku setengah memaksa mengambil mangkuk makanan cucuku. Bayi usia delapan bulan sudah diberi makanan agak ketat. Tidak seperti ibunya yang dulu kuberi makan

Page 28: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

pisang dicampur nasi lembek, cucuku diberi makanan spesial untuk bayi yang dijual di toko-toko tertentu.

“Didudukkan yang tegak lho, Bu. Jangan sembarangan menyuapinya! Nanti dia tersedak!”

Nyaris kujawab: aku suda berpengalaman menyuap bayi-bayi lain, termasuk kamu. Tapi aku berhasil mendinginkan kuping, berusaha mengabaikan si ibu sekaligus anak yang maunya sok paling tahu itu. Selesai memberi makan, ketika ibunya mandi, kumanfaatkan waktu bersama cucuku sebaik mungkin. Untuk mengeluarkan udara dari perutnya, dia kudekap ke arah bahu dalam posisi tegak. Aku berjalan ke sana kemari, singgah ke depan jendela besar yang memantulkan bayangan kami berdua di kacanya. Walaupun yang tampak hanya bayangan punggung si bayi dan wajahku, aku puas melihat diriku memeluk cucu. Kuajak dia berbicara, kuayun-ayunkan tubuhku. Dan sewaktu sendawa sudah keluar, kugendong dia dengan cara semestinya, melekat di dada menghadap ke depan sambil kami berpandangan. Aku terus mengucapkan kata-kata apa saja agar dia mendengar suaraku, agar menerka nadaku bahwa aku ingin bersahabat dengan dia.

Karena menerima sambutan anakku yang tidak menyenangkan itu, aku ingin mempersingkat kunjunganku. Di saat aku sedang menimbang-nimbang keputusanku, adikku menelepon memberi tahu bahwa ibu kami masuk rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya selama sebulan ibu harus diopname. Jadi aku akan segera pulang.

Barangkali memang harus demikian. Setiap orangtua menganggap dirinya yang paling tahu, yang paling “kuasa” menentukan segalanya, padahal kenyataannya masih ada yang lebih kuasa lagi, yaitu Tuhan. Jika sekarang anakku mengira dia berhak melarangku berbuat sesuatu terhadap anaknya, cucuku, mungkin dia benar. Lingkungannya telah menempanya bersikap begitu. Aku hanya seorang nenek, sedangkan dia adalah ibu bagi anaknya.

Pengalaman ini harus kucermati sebagai satu pelajaran guna menyambut kelahiran cucu-cucuku lainnya. Untuk kesekian kalinya kunyatakan bahwa belajar tidak ada batasan waktu dan usia.

**Mentari Yang Tak Pernah Terlewati**

Perlahan bunyi kursi itu menyeruak diantara keheningan, mentari baru sejenggal naik kpermukaan, tapi begitu raut wajah kuusap, terlintas dalam pikiran bahwa aku sendiri...

 Bunyi itu menimbang, mengalun, dan menyerbu telinga. Memunculkan rasa takut teramat sangat. Aku berdiri dipojok itu, memandangi hamparan rumput yang terbentang tak begitu luas. Kutengok kembali, ruangan itu, inci demi inci, tak kutemukan sosok yang ingin menghampiri. Tapi denyut nadi, degupan jantunglu semakin memburu dengan waktu.

Rak buku yang berjarak setengah kaki dariku, bergoyang. Tampak keanehan ini teramat sangat, aku yang linglung lantas berdiri, tak tahu apa yang ku pikirkan saat itu. Kupecahkan satu demi

Page 29: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

satu vas bunga yang ada di hadapan ku. Tanganku secepat angin, sekilas menyambar beberapa. Aku kembali berkoar tak jelas, telingaku bahkan tak mendengar dengan baik teriakanku. Teriakan itu jelas histeris, hingga energiku terkuras habis. Kurebahkan, tubuhku ke kasur dan terhenyak sesaat memandangi langit-langit kamarku yang putih lagi bersinar. Lalu kemudian tenggalam dalam tidur.

Saat itu hujan deras, malam yang teramat kelam. Tak ada bintang, bulan pun redup tertelan kabut. Desis air hujan mengalir keselokan. Hujan itu tampak biasa saja, ia tak membawa angin kencang, tak pula menuai badai. Ia tak menjadi banjir, tidak juga menghanyutkan rumah. Tetapi ketika itu, sosok itu berjalan dengan perlahan. Pandangannya terarah padaku yang berada diseberang jalan. aku yang melihatnya lantas melambaikan tangan. Ia membalasnya, dengan lambaian yang agak kencang, serta di barengi dengan senyum tipis pertanda kehangatan dan, kedekatannya denganku. Sekelilingku, tak nampak seorang pun. jalanan itu sunyi. Padahal daerah itu merupakan lintasan tersibuk saat malam menjelang.

Seketika ia berlari menghampiriku, ia melewati pembatas jalan. Sosok itu sangat ingin menghampiriku. ia bahkan rela, basah kuyup untuk menghampiriku. Ia berlari, terus berlari, hampir mendekatiku. Sayup-sayup kulihat dari kejauhan.

***

 Sirine mobil itu menyala, terdengar kepanikan disana-sini. Semua orang mengelu-elukan. Ada yang ternganga, termangu bahkan ada yang menangis. Mobil itu tetap melaju tanpa memperdulikan sekitarnya, ia terus saja melaju hingga kabut menutupi. Mobil itu bukan sedang mengangkut pencuri, juga bukan pemerkosa, mobil itu tidak sedang menahan seorang koruptor besar. ia berplat merah, berwarna putih, dan bertuliskan huruf kapital, yang kurang lebih bertuliskan A M B U L A N C E.

 ***

 Saat itu suasana rumah sakit panik seketika. Dua orang berbaju putih tampak tergesa-gesa menghampiri, mereka membawa kereta dorong. mereka pula yang menurunkan korban dari mobil, sementara korban tertidur pulas dengan berwajah lugu.

Tak lama berselang seorang paruh baya tampak menyarungkan baju putih dengan berjalan tergesa-gesa pula. Tampaknya, mereka berjalan menuju ruangan yang sama yang berada diujung lorong ini.

***

Satu-demi satu orang berdatangan menghampiri rumah petak dipersimpangan itu. Aku memperhatikan dengan seksama, mataku lantas memergoki beberapa orang yang keluar dengan tersedu-sedu, menghapus genangan yang air yang tertumpah ruah di matanya. Aku kemudian melanjutkannya beberapa langkah dengan agak terbata-bata. Ketengok kembali dengan lirih. Suara yang tak asing kudengar. Lantutannya menghanyutkan, membuat merinding. Lantunan

Page 30: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

yang dibawakan jibril kepada manusia pilihan Tuhan. Beberapa orang duduk bersila, memangku, menengadahkan sebuah kitab. Aku tahu persis kitab itu. Beberapa yang lain mengenakan pakaian serba-hitam. Serta duduk mengelilingi bungkusan kain yang tergeletak tak berdaya.

 ***

 Sampailah saatnya aku pada akhir yang kelam. Terbata melihat rentetan kisah teramat pedih. Dia ada tapi dengan sendirinya sirna. Dia diam dan tak juga menyapa, pergi dan tenggelam dalam kabut hampa. Butiran itu hangat, tanah menggunduk dengan nisan yang terpampang putih dengan taburan bunga yang menyengat. Ia di kelilingi hamparan pohon maut dan berkelindan dengan alam.

Aku terpaut dengan waktu, berlomba dengan alam, yang mengalir dengan lihai meninggalkan separuh kenangan. Aku pun tak ingin menjelaskan siapa yang pergi dan siapa yang di tinggalkan. Yang tersentak, terhenyak dan tersirat dalam benak ku hanyalah waktu, dia dan kisah.

**Sangidu Karya Prabantara Kesawamurti**

Ketika berjabat tangan, digenggamnya jemariku erat-erat. Kedua matanya menatapku ramah. Disebutnya namanya dengan mantap, "Sangidu!"

"Anwar," aku pun menyebut namaku.

"Lengkapnya?" Rupanya dia kurang puas.

"Anwar Haryono!"

"Kuliahnya?" tanyanya lagi seperti polisi menginterogasi. Kusebutkan nama tempat aku menuntut ilmu.

"Oooo…yang fakultasnya di sebelah selatan Selokan Mataram, kan?"

Aku mengangguk mengiyakan.

Dari ceritanya aku tahu bahwa ia menempati kamar sebelah yang sewaktu kutinggal pulang berlibur masih kosong. Kamarnya cuma dibatasi tembok dengan kamarku. Sehingga kalau ia membunyikan radio untuk mendengarkan acara pilihan pendengar kegemarannya, aku pun terpaksa mendengarnya.

Page 31: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Mas Ngidu, demikian ia minta agar aku memanggilnya begitu, sangat memperhatikan diriku. Apabila pukul empat sore belum mandi, aku diperingatkannya agar segera mandi. Sebab jika terbiasa mandi terlalu sore, orang bisa sakit reumatik. Demikian katanya.

"Kita harus selalu menjaga kebersihan kesehatan, Dik Anwar. Makan dan minum pun harus teratur. Apalagi Dik Anwar masih kuliah. Jadi, harus selalu makan makanan yang bergizi. Supaya cepat jadi insinyur. Jangan seperti diriku," Mas Ngidu menasihatiku banyak-banyak.

Pandang mata Mas Ngidu lurus ke depan. Seperti ada duka yang tertimbun di dalamnya.

"Maksud Mas Ngidu?" aku bertanya.

Aku, hmmmm…dulu pernah kuliah di Fakultas Kedokteran. Tapi, cuma tiga tahun karena tak ada lagi biaya. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk makan pun sulit."

Kenapa bisa begitu?"

Mas Ngidu memandang sekeliling, kemudian berkata pelan. "Ayahku gila judi. Sawah ladang sampai habis dijualnya."

"Oh," aku tertegun.

"Begitulah, Dik Anwar." Mas Mgidu membetulkan letak duduknya. Kemudian berkata, "Tetapi aku tidak putus asa. Aku laki-laki yang pantang menyerah. Meskipun sekarang aku cuma bekerja di laboratorium rumah sakit, tapi aku cukup puas. Ketahuilah, Dik, aku pegawai laboratorium yang terpercaya. Profesor Umbar, orang yang paling disegani oleh dokter-dokter di rumah sakitku juga sangat memercayaiku."

Aku mengangguk –angguk.

"Apalagi calon-calon dokter yang masih muda itu. Mereka banyak bertanya kepadaku!"

Belum selesai kami berbincang-bincang, datang seorang gadis cantik dengan senyum kelopak mawar di bibirnya. Aku sempat tertegun sejenak, kemudian menyambutnya.

"Kenalkan Mas Ngidu. Ini Diah! Diah Permata Purnamasari , mahasiswi Fakultas Ekonomi," kataku sambil membimbing Diah mendekati Mas Ngidu.

"Pacarmu, Dik Anwar? Namanya cantik sekali, secantik orangnya." Mas Ngidu mengulurkan tangan dan Diah segera menyambutnya.Aku dan Diah cuma tersenyum.

Page 32: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

Saat itu percakapan dengan Mas Ngidu terputus karena Diah minta diantar ke Gramedia. Mencari buku.Suatu siang sepulang kuliah aku langsung tidur. Perut sudah kuisi gado-gado dan es jeruk di kafetaria fakultas. Kuliah dari Profesor Sudarsono memang cepat membuat lapar. Entah berapa lama terlelap, ketika terjaga Mas Ngidu sudah duduk di sampingku.

"Bangun, Dik Anwar, sudah sore! Ayo cepat mandi!!"Masih enggan rasanya. Namun, karena tak ingin menyinggung perasaan Mas Ngidu, aku pun segera mandi. Mas Ngidu tentu tersinggung bila aku tidak segera mandi. Dua bulan bergaul dengannya, aku pun lantas cukup kenal tabiatnya.

Mas Ngidu masih membaca koran di kamarku ketika aku selesai mandi.

"Dik Anwar," katanya sambil meletakkan koran.

"Ya, Mas."

"Aku ingin bicara serius denganmu."

"Mengenai apa?" tanyaku sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

"Selama ini Dik Anwar sudah kuanggap sebagai adik kandung sendiri, meskipun sebenarnya kita cuma kebetulan bersama-sama menyewa kamar di tempat ini."

Aku diam dan masih belum mengetahui tujuan kata-katanya.

"Terus terang, Dik, aku tak ingin kuliahmu gagal. Pengalaman pahitku tak perlu kau ulang lagi."

"Lantas," aku bertanya sambil mengenakan pakaian.

"Dik Anwar. Aku tahu, Diah memang gadis yang cantik. Tapi, sebagai orang yang sudah cukup umur, aku dapat menduga bahwa ia hanya cantik di luarnya saja. Hatinya belum tentu baik. Ini sangat berbahaya. Padahal hubunganmu kurasa sudah terlalu intim."

Aku mulai tak senang mendengar kata-kata Mas Ngidu.

"Lebih baik kau putuskan saja hubunganmu dengannya. Ini demi masa depanmu! Nanti setelah kau diwisuda menjadi sarjana, dengan mudah kau akan memeroleh gadis yang segalanya lebih daripada Diah. Daaaan…"

"Permisi dulu, Mas," cepat aku memotong kotbahnya.

Page 33: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

"Lo, mau ke mana?"

"Praktikum," jawabku sekenanya.

"Sore-sore begini?" Mas Ngidu terhenyak.

Tanpa menjawab pertanyaannya, segera aku pergi. Semakin lama bosan juga mendengar kata-katanya. Mas Ngidu terlalu ikut campur urusan orang lain. Itulah yang membuatku paling tak suka. Apalagi sampai menyuruh memutuskan hubungan dengan Diah? Hmmm.

Jika Mas Ngidu ke kamarku, selalu saja ada yang dibicarakannya. Menceritakan kehebatan-kehebatan dirinya. Memberi nasihat. Melarang ini, melarang itu. Kadangkala ia mengulang cerita-cerita yang sudah sering diceritakannya. Sebal! Perasaan itu yang sering kurasakan akhir-akhir ini.

Aku tidak betah tinggal di rumah kos. Sepulang kuliah lantas aku singgah di rumah teman, ke perpustakaan atau main-main ke suatu tempat. Lama-lama itu pun membosankan.

Pindah rumah? Menyewa kamar di lain tempat agar tidak lagi bertemu dengan Mas Ngidu? Itu juga tak mungkin. Aku telanjur menyukai kamar yang kusewa. Sejuk! Tidak terlalu bising, tapi juga tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta. Selain dekat dengan kampus, untuk belajar pun sangat tenang. Tentu saja sebelum Mas Ngidu datang!

Ketika TVRI usai menyiarkan Dunia dalam Berita, aku baru pulang. Mas Ngidu menyambutku. Rupanya dia sudah lama menunggu.

"Praktikum, kok, sampai jauh malam begini?"

"Ya!" jawabku sambil membuka pintu kamar. Cepat-cepat kukatakan bahwa aku lelah sekali. Maksudku agar Mas Ngidu tidak ke kamarku.

"Tidurlah, Dik Anwar! Rupanya kau menemui kesulitan ketika praktikum tadi. Kau memang tampak letih," katanya penuh perhatian. "Lain kali kalau mendapatkan kesulitan dalam praktikum atau berhubungan dengan biologi, jangan malu-malu bertanyalah kepadaku!"

"Ya, ya, yaaa!" jawabku seperti menirukan iklan KB.

Dengan aman aku tiduran. Geli rasanya membayangkan rencana yang kubuat bersama Diah di Balairung Gedung Pusat, seusai Diah kuliah. Suatu rencana yang akan kami lakukan atas diri Mas Ngidu agar ia tidak terlalu menggangguku dengan cerita-ceritanya. Tapi, bagaimana kalau

Page 34: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

gagal? Ah, mudah-mudahan berhasil. Memang, sebetulnya kami tak tega. Namun, apa boleh buat!

* * *

Suatu pagi hari Jumat, Diah datang dengan keadaan sangat panik. Sejenak berbicara denganku, kemudian pergi lagi dengan tergesa. Aku terlongong-longong dibuatnya.

"Apa yang terjadi dengan Diahmu itu. Tampaknya ia panik sekali?" Tiba-tiba Mas Ngidu sudah di muka pintu kamarku.

"Gawat, Mas!!"

"Kenapa?"

"Dia…dia terlambat."

"Nah, apa kataku? Dia terlambat datang bulan, kan? Sebagai mahasiswa kalian sudah bergaul terlalu intim.

Dik Anwar pun ternyata mengabaikan nasihatku. Kasihan orang tuamu kalau begini. Juga kasihan kota ini karena akibat ulah orang-orang seperti kalian, maka kota kita ini dikiranya pusatnya kumpul kebo." Mas Ngidu marah-marah.

Aku menunduk pucat.

"Namun, keterlambatan belum tentu bahwa dia pasti hamil, kan, Mas?" Aku takut sekali.

"Nanti mintalah urine Diah, biar kuselidiki!" perintahnya tanpa menjawab pertanyaanku.

"Kebetulan Diah juga sudah membawa. Itu dalam botol kecil."

Mas Ngidu segera ke laboratorium. Sebuah botol kecil berisi air kencing berada dalam tas yang dibawanya. Di rumah aku menanti hasil penyelidikan Mas Ngidu. Membaca koran kampus sambil mendengarkan Slow Rock Memory.

"Bangun, Dik Anwar, bangun!" Mas Ngidu mengambil koran yang menutupi wajahku.

Aku segera duduk. Jam duduk di atas meja menunjuk angka sebelas lebih.

"Bagaimanapun kau harus berani bertanggung jawab!" desis Mas Ngidu sambil menatap tajam

Page 35: Tugas Remedial Bahasa Indonesia

wajahku.

"Kenapa, Mas?’

"Tadi sudah kuselidiki. Hasilnya positip. Berarti Diah hamil!"

"Ah. Apakah Mas Ngidu tidak keliru?"

Mas Ngidu tertawa terbahak. Dengan nada mengejek dia berkata, "Tiga tahun lagi umurku empat puluh. Aku bekerja di laboratorium sejak usia dua puluh tiga.

Rupanya kau lupa, profesor yang disegani dokter-dokter sangat memercayaiku. Mana mungkin aku keliru?"

"Jadi….Diah benar-benar hamil?" Aku tergagap-gagap. Pucat.

"Ya! Aku pekerja laboratorium yang berpengalaman. Tidak mungkin aku keliru," katanya bangga. "Dik Anwar, kau tak perlu menyesal. Itulah akibatnya kalau kau menyepelekan semua nasihatku!"

Tawa Mas Ngidu meledak lagi ketika ia melihat wajahku semakin pucat. Mungkin dikiranya aku takut dengan kehamilan Diah. Seandainya itu yang terjadi dan memang aku penyebabnya, tentu saja aku berani bertanggung jawab. Siapa takut? Akan kulamar Diah untuk menjadi istriku. Itu pasti!

Namun, yang kutakutkan adalah hasil penyelidikan Mas Ngidu. Positip? Berarti hamil? Sungguh fantastis! Padahal botol kecil yang kuberikan kepada Mas Ngidu jelas berisi air kencingku.

Sama sekali bukan milik Diah! Ah, dapatkah laki-laki seperti diriku ini hamil? He he he. Aku geli. Tak dapat berpura-pura lagi.

Setelah kuberitahukan hal yang sebenarnya, tawa Mas Ngidu terputus. Dia pucat seketika. Namun, akhirnya kami tertawa bersama-sama. Sejak saat itu Mas Ngidu tak pernah membual lagi,..

~~~SELESAI~~~