Top Banner

of 36

tugas PSDP ala ala.doc

Mar 03, 2016

Download

Documents

Wildan Maulana

tugas mata kuliah perubahan sosial dan dinamika pemerintahan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

TUGAS RESUME BUKU

Max Weber, Emile Durkheim, dan Karl Marx

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan

Dosen: Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., MA

Disusun Oleh:

WILDAN MAULANA

170410120106

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

JATINANGOR

2015

Judul Buku: Max Weber Etika Protestan dan Semangat KapitalismeKarangan: Max WeberPenerbit: Pustaka Pelajar

Max Weber mendefinisikansemangat kapitalisme sebagai gagasan dankebiasaanyang menunjang pengejarankeuntunganekonomisecararasional. Weber juga menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah terbatas padabudaya Baratbila hal itu dipandang sebagai sikapindividual, namun bahwa upaya individual yang heroik (demikian ia menyebutnya) tidak dapat dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme).

Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatukutukandan beban yang harus dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan yang sederhana.

Setelah mendefinisikan 'semangat kapitalisme'. Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan dariReformasi. Banyak pengamat sepertiWilliam Petty,Montesquieu,Henry Thomas Buckle,John Keats, dan lain-lainnya telah mengomentari kedekatan antara Protestanisme dengan perkembangan komersialisme.

Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntunganekonomiyang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh maknaspiritualdan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi. Weber menelusuri asal-usul etika Protestan padaReformasi. Dalam pandangannya, di bawahGereja Katolik Romaseorang individu dapat dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akansakramen-sakramen gereja dan otoritas hierarkinya. namun, Reformasi secara efektif telah menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber mengakui bahwa seorang "genius keagamaan" sepertiMartin Luthermungkin dapat memiliki jaminan-jaminan tersebut.

Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia menjadi sebuah ukuran keselamatan. MendahuluiAdam Smith (tapi dengan menggunakan argumen yang sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja yang mulai berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun. Namun demikian, Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalamLutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba, melainkan dalam bentuk Kekristenan yangCalvinis.

Dalam pengertian yang sederhana yang ditemukan Weber adalah:

a. Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk mengikuti suatu panggilan sekular dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.b. Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini untuk kemewahan pribadi atau untuk membeliikon-ikonkeagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandanga negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.

Cara memecahkan keadaan ini, demikian Weber, adalahmenginvetasikanuang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme. Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan pada umumnya telah lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisanBenjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani.

Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal sebagian disebabkan oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang mewah yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima produk-produk yang seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi. Weber menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama Puritan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi diEropadanAmerika Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya termasuk rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan antaraobservasidenganmatematika,aturanilmiahdanyurisprudensi,sistematisasirasionalterhadappemerintahan, dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan, menurut Weber, semata-mata hanyalah menyelidiki suatutahapdariemansipasidarimagi,pembebasan dari ilusi dunia, yang dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan daribudaya Barat.

Weber mengamati bahwa agama Kristen memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat kodrati. Ia berpendapat bahwa meskipun orang Kristen memiliki tujuan tertinggi di dunia lain, namun di dunia ini, termasuk aspek-aspek material yang ada padanya dinilai secara positif sebagai tempat untuk melakukan usaha-usaha yang aktif. Ia sendiri menemukan sikap terhadap dunia material tersebut teramat kuat di kalangan orang-orang Kristen Protestan.

Menurut Weber, sikap seperti itu erat hubungannya dengan salah satu konsep yang berkembang di kalangan Protestan yakni konsep Beruf (Jerman), atau mungkin lebih jelas dalam bahasa Inggris sering disebut Calling (panggilan). Bagi dia, konsepsi tentang panggilan merupakan konsep agama, yang baru muncul semasa reformasi. Istilah ini tidak ditemukan sebelumnya dalam lingkungan orang Katolik atau zaman purba, melainkan hanya ditemukan di lingkungan Protestan. Lutherlah yang mengembangkan konsep ini pada dekade pertama dari aktivitasnya sebagai seorang Reformator.

Lebih jauh, Weber menjelaskan bahwa arti penting dari konsep panggilan dalam agama Protestan adalah untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Panggilan bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya. Panggilan merupakan suatu cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan kedudukannya di dunia. Panggilan adalah konsepsi agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana seseorang harus bekerja.

Namun demikian, bagi Weber, panggilan sebagaimana dipahami oleh Luther masih tradisionalistis. Hal ini terutama berdasarkan penekanannya yang kuat terhadap unsur nasib di mana seseorang tetap berada pada tempatnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan demikian, maka tidak mungkin bagi Luther untuk mengembangkan hubungan yang fundamental antara aktivitas duniawi dengan prinsip-prinsip keagamaan. Akan tetapi, dengan konsep itu paling tidak Luther telah meletakkan dasar yang kuat bagi pengembangan konsep tersebut selanjutnya.

Ajaran Luther mengenai panggilan selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak sama persis. Bagi Calvin, dunia ada untuk melayani kemuliaan Tuhan dan hanya ada untuk tujuan itu semata. Orang-orang Kristen terpilih di dunia hanya dimaksudkan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Akan tetapi, Tuhan menghendaki adanya pencapaian sosial dari orang-orang Kristen sebab Tuhan menghendaki bahwa kehidupan sosial dari orang-orang Kristen semacam itu harus dikelola menurut firman-Nya. Aktivitas sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini adalah in majorem gloriam Dei (semua demi kemuliaan Tuhan). Ciri ini kemudian dilakukan dalam kerja dalam suatu panggilan hidup yang dapat melayani kehidupan duniawi dari masyarakatnya.

Weber menyatakan bahwa berbeda dengan orang-orang Katolik yang melihat kerja sebagai suatu keharusan demi kelangsungan hidup, maka Calvinisme khususnya sekte-sekte Puritan telah melihat kerja sebagai panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai tugas suci. Penyucian kerja berarti mengingkari sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia.

Weber mencoba memberi perhatian pada salah satu ajaran Calvinis yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi para pengikutnya, yaitu ajaran mengenai predestinasi. Lewat ajaran predestinasi dikatakan bahwa Allah menerima sebagian orang sehingga mereka dapat mengharapkan kehidupan, dan memberikan hukuman kepada yang lain untuk menjalani kebinasaan. Calvin sendiri berpendapat bahwa hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa yang dimaksudkan sebagai dasar predestinasi adalah Allah tahu segala hal dari sebelumnya. Dengan kata lain, apabila kita menganggap bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum waktunya, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa segala hal itu sudah sejak kekal dan sampai kekal berada di hadapan Allah. Sebelum penciptaan, manusia sebenarnya sudah ditentukan untuk diselamatkan atau dihukum. Sejak semula, demikian Calvin, semua orang tidak diciptakan dalam keadaan yang sama. Oleh karena itu, kita harus mengatakan bahwa dasar predestinasi bukanlah pada pekerjaan manusia. Artinya, tidak ada satu pun manusia yang mampu mengubah keadaan tersebut, dan tidak ada yang bisa menolong seseorang yang sudah ditentukan bahwa ia akan dihukum setelah kematiannya sebab predestinasi adalah keputusan Allah yang kekal dalam dirinya sendiri, tidak memperhitungkan sesuatu yang berada di luar.

Weber berargumentasi bahwa akibat dari ajaran tentang predestinasi bagi para pemeluk Calvinis adalah adanya suatu kesepian di dalam hati mereka. Artinya, mereka harus berhadapan dengan nasibnya sendiri yang telah diputuskan Tuhan sejak awal penciptaan. Mereka harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi dan tidak dapat memilih seseorang yang dapat memahami secara bersamaan firman Tuhan, terkecuali hatinya sendiri. Dalam persoalan yang menentukan ini, setiap orang harus berjalan sendirian saja, tidak seorang pun dapat menolong dirinya, termasuk kaum agamawan. Tidak pula sakramen, karena sakramen bukanlah sarana untuk memperoleh rahmat. Bukan pula Gereja, sebab bagaimanapun, keanggotaan Gereja abadi mencakup mereka yang terkutuk. Akhirnya, bahkan Allah pun tidak bisa membantu.

Kalau demikian, bagi para pemeluk Calvinis, usaha untuk mencari identitas dirinya yang pasti masih merupakan misteri yang belum terungkapkan. Sementara itu, ia tetap terikat dengan berbagai aktivitas penghidupan dunia. Para pemeluk Calvinis sadar bahwa adanya dunia adalah diciptakan untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan, sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri. Begitu pula terpilihnya orang-orang Kristen di dunia adalah untuk meningkatkan pemujaannya terhadap Tuhan. Ini berarti bahwa orang Kristen harus mengikuti perintah-perintah-Nya sesuai dengan kemampuannya yang paling baik. Tuhan sendiri mengajarkan agar kehidupan sosial ini diatur sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Aktivitas sosial yang dilakukannya semata-mata diperuntukkan bagi kemuliaan Tuhan. Namun demikian, hal yang paling penting dari aktivitas-aktivitas itu dilakukan dengan dasar kerja dalam panggilan untuk melayani kehidupan masyarakat dunia.

Implikasinya adalah, pertama, setiap orang mempunyai suatu kewajiban untuk menganggap dirinya sebagai orang terpilih. Ia harus menghilangkan semua sifat keragu-raguan karena perasaan dosa. Bagi Calvin, adanya rasa kurang percaya kepada diri sendiri merupakan akibat dari keyakinan yang kurang sepenuhnya. Adanya sifat keragu-raguan terhadap kepastian pemilihan adalah bukti adanya keyakinan yang tidak sempurna. Kedua, kegiatan duniawi yang sangat intens merupakan sarana yang paling baik dan sesuai untuk mengembangkan dan mempertahankan pemilihan. Weber berpendapat bahwa karena kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif, dan aktif.

Kesimpulan yang di dapat dari buku ini, Max Weber mencari hubungan antara penghayatan agama dengan pola-pola perilaku, termasuk ekonomi. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh pengalamannya sendiri ketika ia memperhatikan kenyataan yang terjadi di Eropa bahwa orang-orang yang memiliki posisi penting dalam beberapa bidang pekerjaan, sebagian besar adalah orang-orang yang menganut agama Kristen Protestan. Bagi Weber, kenyataan seperti itu tentu bukan suatu kebetulan belaka. Ia berusaha mencari faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pada awal pencariannya, Weber memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara orang Katolik dan orang Protestan dalam hal sikap terhadap pekerjaan. Menurutnya, orang Katolik mempunyai suatu kecenderungan yang lebih kuat untuk tetap bekerja dalam dunia kerajinan mereka, tanpa ada keinginan keras untuk maju. Sebaliknya, orang Protestan memiliki keinginan yang kuat dan tertarik untuk terus meningkat dan berkembang sehingga sasaran mereka adalah bagian-bagian terpenting dari perusahaan-perusahaan modern.

Lebih jauh, Weber memusatkan usaha pencariannya pada kalangan Protestan. Ia mengamati bahwa agama Kristen Protestan memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat kodrati. Sikap seperti itu, demikian Weber, erat hubungannya dengan salah satu konsep yang berkembang di kalangan Protestan yakni konsep panggilan. Bagi dia, konsepsi tentang panggilan merupakan konsep agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana seseorang harus bekerja. Ajaran mengenai panggilan ini mula-mula dicetuskan oleh Luther, namun selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak sama persis.

Calvin mengajarkan bahwa aktivitas sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini bertujuan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Dengan demikian, bagi penganut Calvinis, kerja dilihat sebagai suatu panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai tugas suci. Selanjutnya, lewat ajaran mengenai predestinasi Calvin mengajarkan bahwa setiap orang harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi sebab tidak ada orang lain atau hal lain yang bisa membantunya, termasuk Tuhan. Di sinilah Weber melihat bahwa karena kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia ini memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif, dan aktif.Kesimpulan

Buku merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional. Pada suatu titik tertentu, rasional ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.

Selain daripada itu Weber menyatakan bahwa ketelitian yang khusus, perhitungan dan kerja keras dari Bisnis Barat didorong olehperkembangan etika Protestan yang muncul pada abad ke- 16dan digerakkan olehdoktrin Calvinisme,yaitu doktrin tentang takdir. Pemahaman tentang takdir menuntut adanya kepercayaan bahwa Tuhan telah memutuskan tentang keselamatan dan keeclakaan. Selain itu, doktrin tersebut menegaskan bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui apakah dia termasuk salah seorang yang terpilih. Dalam kondisi seperti mi menurut Weber, pemeluk Calvinisme mengalami "panik terhadap keselamatan." Cara untuk menenangkan kepanikan tersebut adalah orang harus berpikir bahwa seseorangtidak akan berhasil tanpa diberkahi Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapaikeberhasilan, seseorang harus melakukan aktivitas kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi dan politik, yang dilandasioleh disiplin clan bersahaja, menjauhi kehidupan bersenangsenang, yang didorong oleh ajaran keagamaan. MenurutWeber etika kerja dari Calvinisme yang berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat Barat kepada perkembangan masyarakat kapitalis modern. Jadi, doktrin Calvinisme tentang takdir memberikan days dorong psikologis bagi rasionalisasi clan sebagai perangsang yang kuat dalam meningkatkan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya.

Weber menjelaskan bahwa minat paling utamanya adalah lahirnya rasionalisme khas Barat. Dalam bukunya itu bukanlah buku tentang kelahiran kapitalisme modern, melainkan tentang asal-usul semangat tertentu yang pada akhirnya membuat kapitalisme modern berkembang dan mulai mendominasi ekonomi. Menurut pandangan Weber, semangat kapitalisme tidak dapat didefinisikan begitu saja berdasarkan kerakusan ekonomi. Dia adalah sistem etika, dan etos, yang memang jadi salah satu pendorong terjadinya kesuksesan ekonomi. Namun, protestanisme berhasil mengalihkan upaya mencari keuntungan menjadi semacam jihad moral.

Weber melakukan perbandingan sah antara Barat dan Cina adalah bahwa keduanya memiliki prasyarat bagi perkembangan kapitalisme. Di Cina, terdapat tradisi penguasaan secara intens dan persaingan bebas. Ada industri besar dan peluang kerja luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Terdapat sejumlah gilda yang begitu kuat. Penduduk meningkat. Terjadi pertumbuhan logam mulia secara terus-menerus. Menurut pandangan Weber, kapitalisme dasar di Cina menuju kearah yang berlawanan dengan perkembangan perusahaan ekonomi rasional.

Judul Buku: Emile Durkheim Aturan-aturan Metode SosiologisKarangan: Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M,A.Penerbit: CV Rajawali, Jakarta1. The Division of Labor in SocietyThe Division of Labor in Society (Durkheim, 1893/1964; Gibbs,2003) telah disebut sebagai karya klasik pertama sosiologi. Di dalam karya tersebut, Durkheim mengamati perkembangan relasi modern di antara para individu dan masyarakat. Secara khusus, Durkheim ingin menggunakan ilmu sosiologinya yang baru untuk mengetahui pandangan masyarakat pada saat itu mengenai krisis moralitas modern.

Di Prancis pada masa Durkheim, tersebar luasnya perasaan krisis moral. Revolusi Prancis telah mencerminkan fokus pada hak-hak individu yang sering mengungkapkan diri sebagai suatu serangan kepada otoritas tradisional dan kepercayaan-kepercayaan agamis. Tren itu berlanjut bahkan setelah jatuhnya pemerintahan revolusioner. Pada pertengahan abad kesembilan belas, banyak orang merasa bahwa tatanan sosial terancam karena masyarakat cenderung individualistis dan egois. Dalam waktu kurang dari 100 tahun antara Revolusi Prancis dan masa dewasa Durkheim, Prancis mengalami tiga monarki, dua kekaisaran, dan tiga republik. Rezim-rezim itu menghasilkan empat belas konstitusi. Perasaan mengenai krisis moral dipengaruhi juga oleh kekalahan Prancis, yang mencakup pencaplokan yang dilakukan Prancis pada tempat kelahiran Durkheim. Hal itu di ikuti oleh revolusi yang berlangsung singkat dan keras yang dikenal sebagai Komune Paris. Baik kekalahan maupun revolusi berikutnya di anggap sebagai akibat individualisme yang merajalela.

Menurut Aguste Comte, banyak dari peristiwa di atas dapat di jelaskan melalui pembagian kerja yang semakin bertambah. Di dalam masyarakat sederhana memiliki mata pencaharian yang homogen yaitu bertani. Mereka mempunyai pengalaman yang sama sehingga memiliki nilai-nilai bersama. Sebaliknya, di dalam masyarakat modern setiap orang mempunyai pekerjaan yang berbeda. Setiap individu memiliki tugas yang berbeda dan terspesialisai. Sehingga mereka tidak memiliki pengalaman bersama. Keberagaman itu menghancurkan kepercayaan moral yang seharusnya dimiliki oleh suatu masyarakat. Akibatnya, individu tidak akan berkorban secara sosial pada saat-saat dibutuhkan atau egoisme. Comte menginginkan agar sosiologi menciptakan suatu pseudo-agama yang akan mengembalikan lagi kohesi sosial. Dalam derajat yang besar, The Division of Labor in Society dapat di lihat sebagai suatu penyangkalan atas analisis Comte (Gouldner,1962). Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja tidak melambangkan lenyapnya moralitas sosial, tetapi lebih melambangkan jenis moralitas sosial yang baru.

Tesis The Division of Labor ialah bahwa masyarakat modern tidak di satukan oleh masyarakat yang homogen tetapi sudah heterogen. Pembagian kerja itulah yang menarik setiap individu untuk saling bergantung satu sama lain. Telah tampak bahwa pembagian kerja adalah suatu kebutuhan ekonomis yang merusak perasaan solidaritas, tetapi menurut Durkheim layanan ekonomis tidak begitu penting di bandingkan dengan efek moral yang di hasilkan dan fungsi sebenarnya ialah untuk menciptakan perasaan solidaritas antara dua orang atau lebih.

2. Kepadatan Dinamis

Pembagian kerja ialah suatu fakta sosial material bagi Durkheim karena merupakan suatu pola interaksi di dalam dunia sosial. Berdasarkan hal tersebut, fakta-fakta sosial harus di jelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain. Durkheim percaya bahwa penyebab peralihan dari solidaritas mekanis ke solidaritas organis ialah kepadatan dinamis. Konsep itu mengacu kepada jumlah orang di dalam suatu masyarakat dan jumlah interaksi yang terjadi di antara mereka. Semakin banyak orang akan mengakibatkan persaingan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Begitu pula semakin banyak interaksi maka semakin berat perjuangan dalam mempertahankan hidup di antara komponen masyarakat yang pada dasarnya sama.

Masalah-masalah yang di hubungkan dengan dinamika interaksi biasanya di pecahkan melalui diferensiasi sehingga munculnya spesialisasi. Munculnya pembagian kerja atau spesialisai memungkinkan orang-orang untuk saling melengkapi, di bandingkan berkonflik dengan satu sama lain. Selanjutnya, pembagian kerja yang bertambah menghasilkan efisiensi yang lebih besar. Akibatnya sumber-sumber daya bertambah dan membuat persaingan di antara mereka lebih damai.

Hal itu menunjukkan perbedaan final antara solidaritas mekanis dan organis. Pada masyarakat organis, kurangnya persaingan dan diferensiasi yang lebih banyak memungkinkan individu untuk saling bekerja sama dan semua individu di dukung oleh sumber daya yang sama. Karena itu dalam masyarakat organis perbedaan lebih banyak dari pada persamaannya. Maka dalam solidaritas organis ada lebih banyak solidaritas dan juga lebih banyak pula indivualitasnya di bandingkan dengan masyarakat solidaritas mekanis. Sehingga individualitas bukanlah lawan dari ikatan-ikatan sosial yang erat melainkan suatu persyaratan untuk itu.

3. Fakta Sosial

Istilah fakta sosial pertama kali di perkenalkan oleh Emile Durkheim. Ia mengartikannya sebagai suatu cara bertindak yang tetap atau sementara yang memiliki kendala dari luar (constraint). Fakta sosial di sebut juga suatu cara bertindak yang umum dalam suatu masyarakat yaitu individu yang bebas dari manifestasi individual.

Durkheim menyajikan contoh-contoh dari fakta sosial yaitu pendidikan anak sejak bayi. Seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada waktu tertentu, diwajibkan taat dan menjaga ketenangan serta kebersihan, di haruskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan kebiasaan. Di sini kita dapat menemukan unsur-unsur yang di kemukakan oleh Durkheim yaitu ada cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang bersumber pada suatu kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu, dan berada diluar kehendak pribadi individu. Seorang anak yang tidak menaati cara yang diajarkan padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar misalnya orang tuanya.

Contoh dari fakta sosial lainnya ialah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian dan kaidah ekonomi. Fakta sosial tersebut mengendalikan dan memaksa individu, karena bila melanggarnya ia akan terkena sanksi. Fakta sosial inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi. Sehingga metode yang harus di tempuh untuk mempelajari fakta sosial seperti metode untuk meneliti suatu fakta sosial, menjelaskan fungsinya dan juga untuk menjelaskan faktor penyebabnya. Contohnya dalam buku Sucide (1968) yaitu menjelaskan tentang penyebab terjadinya suatu fakta sosial yang konkret, angka bunuh diri.

Masyarakat secara paling sederhana di pandang oleh Durkheim sebagai kesatuan intergral dari fakta-fakta sosial itu. Masyarakat memiliki kesadaran kolektif yang membuahkan nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang ideal bagi individu.

Durkheim pun menjadikan fakta solidaritas sosial sebagai unsur dasar dalam masyarakat. Ia membagi masyarakat ke dalam dua tipe utama dengan cara pembagian yang mirip dengan yang dilakukan Tonnies yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis.

Kedua jenis masyarakat hasil rumusannya itu dianalisis oleh dirinya untuk menjawab permasalahan mengenai bagaimana caranya suatu transformasi solidaritas sosial dapat terjadi serta bagaimana menentukan keadaan proses transformasi itu. Dia percaya bahwa bila penduduk berkembang lebih banyak, maka masyarakat akan lebih kompleks. Pembagian kerja akan sebanding dengan volume dan kepadatan masyarakat. Lebih dari itu, pertumbuhan sosial terjadi pula dengan adanya kondensasi masyarakat. Formasi-formasi demikian menuntut adanya pembagian kerja yang lebih besar.

4. Soldaritas Mekanis dan Solidaritas Organis

Konsep-konsep dalam The Division of Labor di lanjutkan Durkheim dalam The Rules of Sociological Method (1895). Solidaritas sosial di pandang sebagai perpaduan kepercayaan dan perasaan yang di miliki para anggota suatu masyarakat tertentu. Rangkaian kepercayaan ini membentuk suatu sistem dan memiliki ruh tersendiri. Pada kajian lebih dalamnya, Durkheim mengemukakan pernyataan yang lebih meyakinkan mengenai hakikat fakta-fakta sosial dan juga menetapkan kriteria metode analisinya. Hasilnya adalah sebuah statemen terbaik untuk mengungkapkan positivistik yang di terapkan di zamannya. Prestasi lainnya adalah di perolehnya kepastian bahwa solidaritas sosial harus di analisis sampai kebeberapa unsur komponennya.

Berdasarkan analisis Durkheim, persoalan tentang solidaritas di kaitkan dengan sanksi yang di berikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Bagi Durkhem indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan(represif). Hukum-hukum ini mendefinisikan setiap perilaku penyimpangan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai serta mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman represif tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap keteraturan sosial(sosial order).Sanksi dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis tidak di maksudkan sebagai suatu proses yang rasional.

Hukuman tidak harus merepresentasikan pertimbangan rasional dalam masyarakat. Hukum represif dalam masyarakat mekanis tidak termasuk pertimbangan yang di berikan yang sesuai dengan bentuk pelanggarannya. Sanksi atau hukuman yang di kenakan kepada orang yang menyimpang dari keteraturan, tidak lain merupakan bentuk atau wujud kesadaran kolektif masyarakat terhadap tindakan individu tersebut.

Pelanggaran terhadap kesadaran kolektif merupakan bentuk penyimpangan dari homogenitas dalam masyarakat. Karena dalam analisis Durkheim, ciri khas yang paling penting dari solidaritas mekanis itu terletak pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja(division of labor)bersifat terbatas.

Model solidaritas seperti ini biasa di temukan dalam masyarakat primitif atau masyarakat tradisional yang masih sederhana. Dalam masyarakat seperti ini pembagian kerja hampir tidak terjadi. Seluruh kehidupan di pusatkan pada sosok kepala suku. Pengelolaan kepentingan kehidupan sosial bersifat personal. Keterikatan sosial terjadi karena kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat. Demikian juga sistem kepemimpinan yang di laksanakan berjalan secara turun-temurun.

Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri. Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim yang membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori :

1. Solidaritas mekanis

Solidaritas mekanis ini, terjadi dalam masyarakat yang memiliki ciri khas keseragaman pola-pola relasi sosial, memiliki latar belakang pekerjaan yang sama dan kedudukan semua anggota. Apabila nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, dapat menyatukan mereka secara menyeluruh. Maka akan memunculkan ikatan sosial yang kuat dan di tandai dengan munculnya identitas sosial yang kuat pula. Individu menyatukan diri dalam kebersamaan, sehingga tidak ada aspek kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat. Karena itu, tidak terbayangkan bahwa hidup mereka masih dapat berlangsung apabila salah satu aspek kehidupan di pisahkan dari kebersamaan.

Solidaritas mekanis menunjukan berbagai komponen atau indikator penting. Contohnya yaitu, adanya kesadaran kolektif yang di dasarkan pada sifat ketergantungan individu yang memiliki kepercayaan dan pola normatif yang sama. Individualitas tidak berkembang karena di hilangkan oleh tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya.

Singkatnya, solidaritas mekanis di dasarkan pada suatu kesadaran kolektif(collective consciousness)yang di lakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total di antara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.

Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok social atau masyarakat yang di dasarkan pada solidaritas mekanis, yakni :

a) Pembagian kerja rendah

b) Kesadaran kolektif kuat

c) Hukum represif dominan

d) Individualitas rendah

e) Konsensus terhadap pola normatif penting

f) Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang

g) Secara relatif sifat ketergantungan rendah

h) Bersifat primitif atau pedesaan.

Contoh masyarakat solidaritas mekanis dan organis. Yaitu masyarakat yang memiliki pola pembagian kerja yang sedikit, seperti pada masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki homogenitas pekerjaan yang tinggi misalnya sebagai petani. Karena kesamaan yang dimiliki oleh masyarakat desa, membuat membuat kesadaran kolektif antara individu di dalam masyarakat itu sangat tinggi. Masyarakat desa juga homogenitas dalam hal kepercayaan di bandingkan masyarakat kota. Homogenitas itulah yang mepersatukan masyarakat desa.

2. Solidaritas organis

Solidaritas organisterjadi di masyarakat yang relatif kompleks dalam kehidupan sosialnya namunterdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Pada kelompok sosialnya, terdapatciri-ciri tertentu, yaitu :

a) Adanya pola antar-relasi yang parsial dan fungsional

b) Terdapat pembagian kerja yang spesifik,

c) Adanya perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya.

Perbedaan pola relasi-relasi dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran yang membutuhkan kebersamaan serta diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Karena itu, ikatan solidaritas tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.

Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini di dasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini di akibatakan karena spesialisasi yang tinggi di antara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus mengurangi kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya, kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser. Keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula di dasarkan oleh kesadaran kolektif.

Contoh dalam solidaritas organis ialah perusahaan dagang. Alasan yang mempersatukan organisasi itu kemungkinan besar ialah motivasi-motivasi anggotanya. Keinginan mereka akan imbalan ekonomi yang akan di terima atas partisipasinya, dan di dalam organisasi dagang masing-masing anggotanya akan merasa tergantung satu dengan yang lain. Misalnya dalam suatu pabrik, ada kecenderungan orang berada di mesin teknisi, pengawas, penjual, orang yang memegang pembukuan, sekretaris, dan seterusnya. Semua kegiatan mereka memiliki hubungan spesialisasi dan saling ketergantungan. Sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi berdasarkan pada saling ketergantungan.

Contoh lainnya yaitu dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis, proses perubahan kepemimpinan di lakukan secara turun temurun dari kepala suku atau etua adat. Berbeda dengan masyarakat organis proses suksesi kepemimpinan di lakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat atau individu. Contohnya seperti pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia melalui Pemilu yang melibatkan seluruh warga Negara Indonesia.

Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, di mana dalam solidaritas organis di ciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja tersebut membagi aktivitas yang mulanya hanya dilaksanakan oleh satu individu menjadi lebih besar dengan bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja akan menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional di butuhkan untuk saling melengkapi. Karena itu untuk memunculkan suatu solidaritas sosial dalam kelompok berdasarkan kepentingan bersama yang sifatnya tertentu.

Nampak bahwa pada solidaritas organis menekankan tingkat saling ketergantungan yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu. Perbedaan individu akan mengurangi kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organis menurut Durkheim di tandai dengan eksistensi hukum yang bersifat restitutif atau memulihkan, melindungi pola ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Doyle Paul Johnson pun secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial atau masyarakat pada solidaritas organis, yakni;

a) Pembagian kerja tinggi;

b) Kesadaran kolektif lemah;

c) Hukum restitutif/memulihkan dominan;

d) Individualitas tinggi;

e) Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;

f) Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;

g) Saling ketergantungan tinggi; dan

h) Bersifat industrial perkotaan.

Agar lebih jelasnya berikut ini adalah perbedaan solidaritas mekanis dan solidaritas organis :

Solidaritas MekanisSolidaritas Organis

a.) Relatif berdiri sendiri (tidak bergantung pada orang lain) dalam keefisienan kerja.b.) Terjadi di masyarakat sederhana.c.) Ciri dari masyarakat tradisional (pedesaan)d.) Kerja tidak terorganisire.) Beban lebih berat f.) Tidak bergantung dengan orang lain

a.) Saling keterkaitan dan mempengaruhi dalam keefisienan kerja.b.) Di langsungkan oleh masyarakat yang kompleks.c.) Ciri dari masyarakat modern (perkotaan).d.) Kerja terorganisir dengan baik.e.) Beban ringan.f.) Banyak saling bergantungan dengan yang lain

Dapat di simpulkan bahwa solidaritas mekanis di bentuk oleh masyarakat yang masih memiliki kesadaran kolektif yang sangat tinggi, kepercayaan yang sama, cita-cita dan komitmen moral. Masyarakat yang menggunakan solidaritas mekanis, mereka melakukan aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama.

Sebaliknya, solidaritas organis di bentuk karena semakin banyak dan beragamnya pembagian kerja. Sehingga pembagian kerja tersebut membuat spesialisasi pekerjaan di dalam masyarakat yang menyebabkan kesadaran kolektif menjadi menurun. Semua kegiatan spesialisasi mereka berhubungan dan saling tergantung satu sama lain, sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi didasarkan pada saling ketergantungan.

5. Hukum Refresif dan Restitutif

Durkheim menghubungkan persoalan solidaritas organis dengan fenomena pemberian hukuman atau sanksi. Kuatnya solidaritas organis di tandai oleh munculnya hukum yang bersifat memulihkan(restitutive)bukan yang bersifat represif. Kedua model hukum pada prakteknya juga memiliki tujuan yang berbeda.

Hukum represif yang di jumpai dalam masyarakat mekanis ialah ungkapan dari kemarahan kolektif masyarakat. Sementara hukum restitutif berfungsi untuk mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara sejumlah individu yang memilki spesialisasi tersebut. Karena itu sifat sanksi yang di berikan kepada individu yang melanggar keteraturan dalam dua kategori masyarakat ini juga berbeda. Tipe sanksi dalam masyarakat mekanis bersifat restitutif sebagaimana di kemukan Durkheim: bukan bersifat balas dendam, melainkan sekedar memulihkan keadaan.

Kemarahan kolektif tidak mungkin terjadi dalam masyarakat dengan tipe organis, karena masyarakat sudah hidup dengan kesadaran individual bukan kesadaran kolektif. Sebagai gantinya masyarakat dengan tipe solidaritas organis mengelola kehidupan secara rasional. Karena itu, bentuk hukumannya pun bersifat rasional di sesuaikan dengan bentuk pelanggaran tersebut. Pelaksanaan sanksi tersebut bertujuan untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan.

Maka dari itu akan dengan adanya hukuman tersebut akan memulihkan kondisi ketergantungan fungsional dalam masyarakat. Durkheim menjelaskan bahwa bentuk solidaritas tersebut terutama dalam masyarakat modern. Pola-pola restitutif ini nampak dalam hukum dan peraturan-peraturan kepemilikan, hukum kontrak, perdagangan dan peraturan administratif atau prosedur-prosedur dalam sebuah institusi masyarakat modern.

Peralihan dari hukum represif menuju hukum restitutif seiring sejalan dengan semakin bertambahnya kompleksitas dalam masyarakat. Kompleksitas tersebut berdampak pada pembagian kerja(divison of labor)yang semakin beragam pula.

6. Normal dan Patologis

Pemikiran Durkheim yang paling kontroversial ialah bahwa sosiolog mampu membedakan antara masyarakat yang sehat dan patologis. Setelah menggunakan buku itu di dalam The Division of Labor, Durkheim menulis buku lain yaitu The Rules of Sosiological Method (1895-1982). Di dalam buku tersebut, Durkheim mencoba membela ide itu. Dia mengklaim bahwa masyarakat yang sehat dapat di kenali karena sosiolog akan menemukan kondisi-kondisi serupa di dalam masyarakat lain pada tahap-tahap yang serupa. Apabila suatu masyarakat menyimpang dari apa yang di temukan mungkin masyarakat itu patologis.

Ide tersebut bersifat kontroversial sehingga di tentang pada masa itu dan hanya segelintir sosiolog yang mendukungnya. Namun Durkheim pun tidak lagi berusaha membela idenya yang kontroversial. Hal itu terbukti dengan prakatanya untuk edisi ke dua The Rules : Tampaknya tidak berarti bagi kami kembali ke kontroversi-kontroversi lain yang telah dimunculkan buku ini, karena hal itu tidak menyentuh hal yang hakiki. Orientasi umum metode itu tidak bergantung pada prosedur-prosedur yang lebih suka mengklasifikasi tipe-tipe sosial atau membedakan hal yang normal dari patologis.

Akan tetapi, ada satu ide yang menarik yang di ambil Durkheim dari idenya itu. Ide yang menunjukan bahwa kejahatan adalah normal (Smith:2008) ketimbang patologis. Dia berargumen bahwa karena kejahatan di temukan di setiap masyarakat, kejahatan pastilah normal dan memberikan suatu fungsi yang berguna. Durkheim mengklaim, kejahatan membantu masyarakat mendefinisikan dan menggambarkan nurani kolektif mereka.

Di dalam The Division of Labor, dia menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk abnormal pembagian kerja yang di terima di dalam masyarakat modern. Dia mengenali tiga bentuk abnormal yang mana Durkheim bersikeras bahwa krisis modernitas oleh Comte dan orang-orang lain di samakan dengan pembagian kerja, sebenarnya di sebabkan oleh bentuk-bentuk abnormal tersebut.

Ketiga bentuk abnormal itu ialah :

a. Pembagian kerja anomik

Pembagian kerja ini mengacu kepada kurangnya pengaturan di dalam suatu masyarakat yang mengenal individualitas yang terisolasi dan menahan diri dari mengatakan apa yang harus di lakukan orang-orang. Durkheim mengembangkan lebih lanjut konsep anomie itu di dalam karyanya bunuh diri yang di diskusikan nanti. Di dalam kedua karya itu, dia menggunakan istilah anomie untuk mengacu kondisi-kondisi sosial ketika manusia kekurangan pengendalian moral yang memadai ( Bar-Haim, 1997; Hilbert, 1986). Bagi Durkheim, masyarakat modern selalu condong kepada anomie, tetapi ia tampil ke permukaan pada masa-masa krisis sosial dan ekonomi.

Tanpa moralitas bersama yang kuat dari solidaritas mekanis, mungkin orang-orang tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai apa yang tepat dan tidak tepat dan perilaku yang dapat diterima. Meskipun pembagian kerja adalah suatu sumber kohesi di dalam masyarakat modern, pembagian kerja tidak dapat menutupi secara keseluruhan kelemahan moralitas bersama. Setiap individu dapat menjadi terasing dan terbawa di dalam kegiatan-kegiatan yang terspesialisasi. Mereka dapat dengan mudah berhenti merasakan ikatan umum dengan orang-orang yang bekerja dan yang tinggal di sekitarnya. Hal itu memunculkan anomie. Solidaritas organis condong kepada patologi yang khusus itu. Pembagian kerja modern mempunyai kemampuan untuk mendorong interaksi-interaksi moral yang bertambah dari pada mereduksi orang kepada tugas-tugas dan posisi-posisi yang mengasingkan dan tidak bermakna.

b. Pembagian kerja yang di paksakan

Durkheim percaya bahwa masyarakat membutuhkan aturan-aturan dan pengaturan untuk mengatakan kepada mereka apa yang harus dilakukan. Bentuk abnormal ini menunjukan sejenis aturan yang dapat menyebabkan konflik dan pengasingan sehingga menambah anomie. Patologi ini mengacu pada fakta bahwa norma-norma dan pengalaman-pengalaman yang sudah ketinggalan zaman dapat memaksa para individu, kelompok, dan kelas-kelas ke dalam posisi-posisi yang tidak cocok dengan mereka. Tradisi-tradisi, kekuasaan ekonomi atau status dapat menentukan siapa yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dengan mengabaikan bakat dan kualifikasi. Disinilah Durkheim datang paling dekat dengan pendirian Marxis.

Apabila satu kelas di haruskan agar dapat bertahan hidup ia akan membayar harga apapun untuk pekerjaannya. Sementara kelas yang lain dapat mengabaikan situasi itu, karena sumber-sumber daya sudah siap di gunakan, sumber-sumber daya yang bagaimanapun tidak perlu sebagai hasil suatu superioritas sosial. Kelompok yang superior tersebut mempunyai keuntungan yang tidak adil atas kelompok yang pertama berkenaan dengan hukum.

c. Pembagian kerja yang di koordinasikan dengan buruk

Bentuk pembagian kerja ini jelas ketika fungsi-fugsi yang terspesialisasi di laksanakan oleh orang-orang yang berbeda yaitu di koordinasikan dengan buruk. Sekali lagi Durkheim mengingatkan bahwa solidaritas organis mengalir dari saling ketergantungan masyarakat. Apabila spesialisasi orang-orang tidak menghasilkan saling ketergantungan yang meningkat tetapi hanya suatu pengasingan, maka pembagian kerja tersebut tidak menghasilkan solidaritas sosial.

7. Keadilan

Agar pembagian kerja berfungsi sebagai kekuatan moral dan menekankan secara sosial di masyarakat konsep modern, anomie, pembagian kerja yang dipaksakan, dan koordinasi spesialisasi yang tidak tepat harus diperhitungkan. Masyarakat modern tidak lagi di satukan oleh pengalaman-pengalaman bersama dan kepercayaan-kepercayaan bersama. Sebagai gantinya, mereka di persatukan melalui perbedaan-perbedaan mereka sendiri, selama perbedaan-perbedaan itu di izinkan berkembang dalam suatu cara yang mendorong saling ketergantungan. Kunci bagi hal tersebut untuk Durkheim adalah keadilan sosial.

Maka, tugas bagi masyarakat yang paling maju adalah suatu pekerjaan mewujudkan keadilan. Sebagaimana ide mengenai masyarakat-masyarakat yang lebih rendah ialah menciptakan atau memelihara sekuat tenaga kehidupan bersama, yang menyerap individu. Begitu juga cita-cita masyarakat adalah membuat relasi-relasi sosial selalu lebih pantas, sehingga menjamin perkembangan bebas seluruh kekuatan kita yang bermanfaat secara sosial.

Moralitas, solidaritas sosial, keadilan, hal itu adalah tema-tema besar untuk seseorang yang akan bekerja. Durkheim berkali-kali kembali kepada ide-ide tersebut di dalam karyanya, tetapi dia tidak akan pernah melihatnya dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dia memprediksi dalam bukunya yang kedua, The Rules Sociological Method bahwa sosiologi sendiri akan takluk kepada pembagian kerja dan terpecah menjadi suatu koleksi spesialitas-spesialitas. Apakah hal itu menimbulkan saling ketergantungan yang bertambah dan solidaritas organis di dalam sosiologi, masih merupakan pertanyaan yang terbuka.

8. Pilar pendukung masyarakat

Dalam buku Teori-teori Kebudayaan dipaparkan tentang pemikiran Emile Durkeim tentang masyarakat, terdapat 4 pilar-pilar utama pendukung masyarakat budaya, yaitu :

a. The Sacred ( yang keramat )

The sacred ialah nilai-nilai yang di sepakati yang berperan menjaga keutuhan dan ikatan sosial sebuah masyarakat serta secara normatif mengendalikan gerakan dinamika sebuah masyarakat. Nilai-nilai tersebut adalah nilai yang disakralkan atau disucikan. Hal yang sakral itu dapat berupa simbol utama, nilai-nilai, dan kepercayaan yang menjadi inti sebuah masyarakat.

b. Klasifikasi

Klasifikasi masyarakat yang paling primordial di dasarkan pada dimensi normatif dan religius. Dimensi normatif dan religius itu menjadi gambaran umum yang terdapat dalam kesadaran kolektif masyarakat. Jadi, dengan adanya tindakan simbolik menghukum dan hukuman yang berguna untuk menyadarkan kembali masyarakat pada tuntutan moral dan untuk menjaga persatuan komunitas yang di butuhkan secara sosial dan kultural.

c. Ritus

Ritus ialah kesatuan yang dibangun atas dasar kepentingan bersama yang suci. Bentuknya seperti perayaan-perayaan, festival, dan acara-acara budaya dalam masyarakat. Ritus di adakan secara kolektif dan regular agar masyarakat peka akan pengetahuan dan makna-makna kolektif. Di dalam ritus di hadirkan kembali makna realitas dan ikatan sosial dalam masyarakat ( makna sosial ). Ritus merupakan proses rekreasi masyarakat, yaitu melalui bentuk-bentuk ritus tersebut.

d. Ikatan Solidaritas

Pemahaman solidaritas dalam pemikiran budaya Durkheim hanya mungkin di tempatkan dalam hal the sacred yaitu ikatan primordial yang mempersatukan masyarakat. Sebenarnya, ketika membicarakan klasifikasi (the sacred and the profane), kita sudah menyentuh satu bagian solidaritas yaitu solidaritas terluka. Kejahatan dalam sebuah masyarakat di rasakan sebagai luka bagi seluruh anggota masyarakat tersebut. Solidaritas yang terluka di akibatkan karena terjadinya pelanggaran terhadap the sacred.

Kesimpulan Gejala-gejala sosial kerap ditafsirkan dengan perspekif religius. Terlebih masyarakat akan berpaling pada agama untuk mencari jawaban atas kompleksitas sosial yang rumit. Semakin permasalahan itu utama dalam kehidupan sosial, semakin agama dengan mudah ditemukan (walaupun agama belum tentu dapat menyelesaikan masalah tersebut). Artinya, agama menemukan makna aktualnya dalam interaksi dengan masyarakat. Agama menurut Durkheim, merupakan representasi kolektif masyarakat. Agama dikaitkan dirinya dengan aspek politis yaitu keseluruhan masyarakat. Jelas bagi kita bahwa agama dapat menjadi ikatan solidaritas masyarakat. Terlebih lagi, agama memiliki fungsi regulatif yang dapat menjadi batas antara yang diterima dan tidak diterima. Menurut Durkheim agama dalam pengertian luas dapat ditemukan dalam setiap kelompok.

Dengan demikian, tampak bahwa the sacred merupakan bagian dan dinamika kesadaran kolektif yang di libatkan secara prinsipial untuk memahami dan menghayati realitas dunianya. Dapat dikatakan bahwa the sacred merupakan bagian dari kesadaran kolektif.

Solidaritas masyarakat selain dibentuk oleh civil religion juga bersumber dari memori kolektif. The sacred sebagai suatu nilai kultural kolektif dan pengikat idenditas di abadikan dalam memori kolektif. The sacred bersumber dari peristiwa sejarah yang biasanya di modifikasi oleh kelas otoritas, merekalah yang memprodukasi makna kolektif atas sebuah peristiwa sebagai suatu yang keramat. Makna kolektif itu dapat merajai memori kolektif karena ada sharing of experience, yaitu merasakan pengalaman yang sama atau berkat proses sosialisasi. Sosialisasi ini di pelihara turun-temurun melalui perayaan, ritus-ritus, upacara-upacara, serta penulisan sejarah yang bertujuan mengabadikan masa lalu. Begitulah proses transfer makna kolektif. Karena itu memori kolektif sebagai salah satu simpul merupakan kondisi yang semakin memungkinkan keutuhan masyarakat berkat adanya identitas yang sama (the common source of identity).

Sehingga menurut Soerjono Soekanto (1985) bahwa masyarakat bukanlah semata-mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk oleh asosiasinya merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu. Dapat di katakan benar bahwa sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul tanpa kesadaran individual. Kesadaran itu harus di kombinasikan dengan cara tertentu kehidupan sosial.Judul Buku: Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme

Karangan: Franz Magnis-Suseno

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Akhir sistem kekuasaan komunis datang sangat cepat. Pada tahun 1989, selama hanya beberapa bulan, satu demi satu rezim-rezim komunis di Eropa Timur runtuh: pada awalnya Polandia, lalu Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia, dan akhirnya Rumania. Walaupun kekuatan komunisme sudah pudar dan pancaran tantangan intelektual pemikiran Marx telah redup, pemikiran yang pernah sedemikian terasa di sebagian besar dunia ini tetap menuntut perhatian. Ketika tantangannya tidak lagi langsung terasa, pemikiran-pemikiran yang masuk ke dalam marxisme dan komunisme justru perlu diteliti kembali mengapa sampai dapat sedemikian berpengaruh. Pemikiran Marx menjadi pengaruh besar bagi berkembangnya sosiologi, ilmu ekonomi, dan filsafat kritis. Yang terakhir, filsafat kritis berinspirasi dari pemikiran Karl Marx, menjadi salah satu aliran utama dalam filsafat abad ke 20. Ajaran Karl Marx yang biasa kita sebut Marxisme tentu memiliki perbedaan dengan Komunisme. Pertama, Komunisme yang biasa disebut dengan dengan komunisme internasional adalah nama gerakan kaum komunis. Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang sejak revolusi oktober 1917 di bawah pimpinan W.I. Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologis Internasional. Istilah komunisme juga dipakai untuk ajaran komunisme atau marxisme-leninisme yang merupakan ajaran atau ideologi resmi komunisme. Jadi marxisme menjadi salah satu komponen dalam sistem ideologi komunisme. Istilah Marxisme sendiri adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang terutama dilakukan oleh temannya Friedrich Engels dan tokoh teori Marxis Karl Kautsky. Dalam pembakuan ini sebenarnya sering sulit dimengerti disederhanakan agar cocok sebagai ideologi kaum buruh. George Lukacks menegaskan bahwa Marxisme Klasik adukan Engels dan Kautsky itu menyimpang dari apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Marx. Ajaran Marx itu sendiri, yang pertama ditemukan dalam The German Ideology tidak memuat segala apa yang dipikirkan oleh Marx, melainkan hanya apa yang oleh Marx dianggap betul dan definitif. Dalam buku pemikiran karl marx dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme dipaparkan mengenai pokok-pokok pemikiran dari karl marx, yang pada umumnya berisi tentang ajaran, paham, serta ideologi komunis. Komunis sendiri telah memberikan pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia. Pengalaman pahit tersebut kurang dihadapi secara kritis dan argumentatif, hanya ditabukan dan dimitoskan, selain menelusuri fokus pemikiran karl Marx juga perkembangan selanjutnya dari komunis itu sendiri, dalam buku ini membahas mengenai dampak pemikiran karl Marx yang dapat mengubah cara manusia bertindak, kejayaan komunis abad-19 mulai meredup dengan kegagalan kudeta G30S, namun meskipun kekuatan komunis itu perlahan telah memudar, pemikiran intelektual marx tetap menjadi perhatian karena masih meninggalkan pertanyaan mengapa dapat sedemikian berpengaruh, serta bagaimana ajaran marx itu menjadi ideologi kaum buruh, menurutnya faktor yang paling menentukan perkembangan masyarakat adalah bidang ekonomi, studinya mengkhususkan pada ekonomi kapitalistik yang menghasilkan penghisapan manusia pekerja dan pada akhirnya muncul pertentangan keras yang tajam, garis besar perkembangan pemikiran Karl marx terbagi pada lima tahap, yang pada tahap akhir mempertanyakan akankah lahir masyarakat dimana milik pribadi sama sekali terhapuskan buku pemikiran karl marx ini memaparkan tentang sosialisme cita-cita utopis yang telah dicetuskan jauh sebelum marx yang disebut sosialisme purba, yang akan menjadi pokok pemikiran marx yaitu para pemikir-pemikir sebelumnya, seperti Francois-noel Babeuf, Saint-simon, Charles fourier, Etinne cabet, Weitling, Proudhon, Moses hess, itulah orang-orang yang menyumbangkan gagasan-gagasan yang kemudian menjadi penting dalam pemikiran marx, Babeuf yang menyatakan bahwa nilai teringgi adalah kesamaan. Pengikut Babeuf menyatakan bahwa mereka akan membuktikan bahwa tanah dan bumi bukan milik pribadi melainkan milik semua. Dan mereka akan membuktikan bahwa apa yang diambil darinya oleh seseorang melebihi kebutuhan makannya merupakan pencurian terhadap masyarakat. Saint-Simon yang terkenal dengan kritikannya yang keras terhadap keadaan terlantar kaum buruh dan tuntutan emansipasi proletariat. Ia juga yakin bahwa tujuan sejarah adalah kemajuan dan kemajuan akan membawa perbaikan nasib orang banyak. Saint-Simon adalah apa yang sekarang disebut teknokrat. Robert Owen yang berargumentasi bahwa reformasi itu tidak hanya menguntungkan bagi kaum buruh, melainkan juga bagi kaum kapitalis sendiri dan seluruh masyarakat. Owen juga memperjuangkan perundangan sosial yang maju, seperti perlindungan pekerja, pembatasan pekerjaan anak-anak, dan diadakannya inspeksi berkala oleh negara. Fourier yang benci pada segala gagasan revolusioner. Pendekatannya teknokrasi. Menurutnya kemerelatan dan penghisapan kaum buruh serta krisis-krisis ekonomi merupakan akibat organisasi pekerjaan dan pertukaran dalam masyarakat yang salah. Jadi, organisasi itulah yang harus direformasi.Cabet menyebarluaskan cita-cita komunisme yang tidak revolusioner. Ia mendasarkan diri pada tradisi kristiani dan ajaran Yesus yang dianggapnya seorang komunis. Revolusi dan konspirasi sebagaimana diusahakan oleh Babouvisme ditolaknya karena akan mengakibatkan lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan. Blanqui adalah seorang revolusioner yang hendak mencapai sosialisme melalui pemberontakan kaum buruh. Dalam lingkungan Marxisme Blanquisme dipahami sebagai kebijakan yang ingin memenangkan sosialisme melalui pemberontakan bersenjata kelompok-kelompak kecil sebelum mayoritas rakyat berkembang menjadi prolektariat industri. Menurut Blanqui kelompok-kelompok kecil dapat menjadi perintis yang dapat mencapai sosialisme dengan lebih cepat. Marxisme menolak anggapan ini sebagai voluntarsioner revolusioner yang mau menggantikan syarat-syarat objektif revolusi dengan kehendak subjektif sang revolusioner. Weitling yang mempunyai gagasan lebih berupa khotbah tenatng keadilan dan tentang keharusan memberontak melawan kaum tiran daripada suatu analisis di sekitar situasi kaum buruh. Menurutnya, umat manusia melalui tiga tahap dalam sejarahnya. Semula di zaman emas, belum ada hak milik pribadi.Tahap kedua umat manusia adalah masa hak milik pribadi. Untuk menciptakan keadilan kita perlu masuk ke dalam tahap ketiga yaitu masa komunisme, di mana hak milik pribadi harus dihapus, segala kekayaan harus dimiliki oleh semua dan semua orang harus bekerja. Proudhon, yang berpikir praktis dan menyadari bahwa reformasi masyarakat harus mendasarkan diri pada ilmu ekonomi. Ia menolak komunisme dan sosialisme negara. Ia berpendapat bahwa ada sebuah tatanan masyarakat yang alami dan bahwa manusia sejak kelahirannya memiliki hak-hak azazi tertentu. Yaitu hak atas kebebasan, kesamaan, dan kedaulatan pribadi. Blanc yang percaya bahwa semau manusia pada dasarnya baik dan menjadi jelek karena persaingan. Blanc adalah pendahulu gerakan sosial demokrasi dan anti revolusioner. Hess, berpendapat bahwa umat manusia sedang masuk ke dalam perkembangannya di mana manusia dan Alloh, roh dan alam menyatu kembali. Apabila agama-agama kembali ke asal-usul bersama mereka, umat manusia akan mengalami pembebasan. Gagasan terpenting dari Hess adalah filsafat kemanusiaan sebagaimana dipaparkan oleh Feuerbach menuntut sosialisme sebagai implikasi politis. Dengan demikian Hess menjadi jembatan antara humanisme filosofis Feuerbach dan aktivisme revolusioner Marx. Komunisme harus dicapai melalui revolusi sosial yang akan menjadi akibat dari semakin lebarnya jurang yang menganga antara akumulasi kekayaan oleh kaum pemilik dan kemiskinan rakyat. Hal terpenting dari anggapan Hess adalah revolusi sosial lebih penting daripada revolusi politik. Perjalanan hidup marx yang pindah ke paris, prancis yang menjadikannya seorang sosialis. Jika ingin mengenali apa yang sebenarnya dipikirkan karl marx kita tidak boleh berfokus pada Marxisme melainkan harus menelusuri proses perkembangannya begitulah mungkin pesan yang dimaksud dalam buku tersebut, Karl marx sendiri banyak menulis buku diantara banyak buku yang ditulisnya istilah kunci Marx adalah keterasingan pertanyaan tersebut mendapatkan jawaban setelah ia berjumpa kaum sosialis radikal di paris, bahwa keterasingan yang paling mendasar berlangsung dalam proses pekerjaan manusia, yang pada hakikatnya disitulah manusia menemukan identitasnya. Konsekuensi langsung dari keterasingan manusia dari produk pekerjaannya, dari kegiatan hidupnya, dari hakikatnya sebagai manusia, adalah keterasingan manusia dari manusia. Keterasingan dalam pekerjaan adalah akibat langsung sistem hak milik pribadi. Keadaan tanpa ada milik pribadi itu disebut sosialisme. Naskah paris amat membantu untuk memahami acuan filosofis dan etis marx. Lalu pertentangan kelas antara kelas buruh dan kelas majikan ketidak mungkinan reformasi yaitu perbaikan kedudukan kelas-kelas yang saling bertentangan dalam sistem sosial yang sudah ada karena banyak menguntungkan kelas atas. Jadi menurut marx, kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh kedudukannya dalam kelas sosial. Analisis tentang ekonomi kapitalisme merupakan dasar pandangan marx tentang keniscayaan revolusi revolusi sosialis dan perwujudan masyarakat tanpa kelas.

Kesimpulan

Maksud Marx dengan komunisme tidak sama dengan sistem komunisme yang dibangun oleh Lenin. Ia mengatakan sosialisme berarti nasionalisasi jadi bahwa Negara mengambil hak milik pribadi, maka pabrik dan tempat produksi lain akan diurus langsung oleh mereka yang bekerja disitu. Tujuan marx adalah praktis, revolusi proletariat, penciptaan sosialisme. Peranan Friedrich Engels dianggap sebagai orang yang berperan terhadap marxisme yang menjadi negatif oleh kebanyakan marxolog. Tetapi jauh dari jelas apakah penekanan Engels itu betul-betul menyeleweng dari maksud Marx. Pada abad 20 Marxisme pecah dalam tiga cabang yang berkembang nyaris tanpa interaksi. Yang dahsyat adalah komunisme yang digagas lenin untuk menggembleng sebuah ideologi perjuangan dan kekuasaan partai komunis, yang menjadi dasar sistem kekuasaan diktatorial paling dahsyat, kejam dan totaliter yang pernah ada dalam sejarah umat manusia. Dengan membaca buku tersebut saya menjadi mengerti bahwa komunisme dan marxisme itu berbeda, Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang sejak revolusi Oktober 1917 di bawah pimpinan Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologi internasional. Komunisme juga dipakai untuk ajaran komunis dan Marxisme-Leninisme yang merupakan ajaran atau ideologi resmi komunisme. Istilah marxisme sendiri adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang terutama dilakukan oleh temanya Friedrich Engels Dalam pembakuan ini ajaran Marx yang sebenarnya ruwet dan sulit dimengerti, di sederhanakan agar cocok sebagai ideologi perjuangan kaum buruh. Marxisme Klasik itu menyimpang dari apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Marx.

35