Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingkat kesadaran yang semakin tinggi akan kebutuhan pelayanan kesehatan
yang disertai dengan kesadaran hukum menciptakan masyarakat yang semakin kritis
dalam upaya pemenuhan keadilan akan hak-haknya sebagai manusia seutuhnya. Hal
ini tidak terlepas dari tingkat pendidikan dan pengetahuan yang semakin maju. Atas
dasar itulah maka masyarakat berupaya memenuhi kebutuhan kesehatan disertai
dengan keinginan untuk mendapatkan penjelasan atau informasi yang detail dan
akurat sebagai perwujudan pemenuhan hak sebagai manusia.
Dalam upaya pemenuhan kesehatan, seorang pasien dapat memperoleh
pengobatan, perawatan, tindakan operasi atau lainnya, maka ia berhak untuk
mendapatkan penjelasan dari seseorang yang dianggap ahli. Dalam Undang-Undang
Praktik Kedokteran telah dikemukakan tentang kewajiban dokter sebagai
penyelenggaraan kesehatan untuk memenuhi keinginan dalam hal informasi /
penjelasan dengan melakukan kegiatan Informed Consent yakni dalam UU nomer 29
tahun 2004 pasal 45 ayat 1 sampai 6.
Perlu diketahui bahwa hubungan yang tercipta tidak hanya sebagai hubungan
dokter selaku penyedia jasa dengan pasien selaku penerima jasa, tetapi juga memiliki
hubungan bila terjadi kasus pidana. Dalam hal ini dokter tidak hanya sebagai
pemeriksa tetapi juga bertindak sebagai pemberi keterangan kepada pihak penyidik
dan pasien dapat bertindak sebagai korban yang berkedudukan sebagai bukti. Dengan
demikian dokter dalam melaksanakan tugas sehari-hari, sewaktu-waktu dapat diminta
bantuan oleh penegak hukum.
Oleh karena itu dalam referat ini akan dibahas mengenai peran Informed
Consent sebagai salah satu bagian dari hak atas informasi dalam hubungan dokter
dengan pasien terutama bila terjadi suatu perkara pidana.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana peranan informed consent dalam tindakan medik?
1
Page 2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
peranan informed consent dalam tindakan medik.
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan khususnya adalah untuk mengetahui peranan informed consent
dalam menghadapi tuntutan malpraktek.
1.4 Manfaat
Melalui penulisan ini diharapkan agar dokter selalu memberikan
informed consent kepada pasiennya sebelum melakukan tindakan medik tidak
terjadi kesalahpahaman dikemudian hari. Untuk pasien agar mengerti dan
paham akan tindakan medik yang akan dilakukan terhadap diri / keluarganya.
Untuk pengadilan, diharapkan bisa membantu hakim dalam memutuskan
perkara yang berkaitan dengan dugaan malpraktek medis. Untuk masyarakat
agar dapat membuka wawasan akan pentingnya komunikasi dan informasi
antara dokter dengan pasien.
2
Page 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Informed Consent
2.1.1 Latar Belakang Timbulnya Informed Consent
Pada zaman informasi seperti saat ini disertai dengan bertambah cerdasnya
masyarakat Indonesia, maka timbullah keinginan untuk menambah pengetahuan serta
untuk mengetahui tentang apa yang baru atau hal yang dianggap asing. Informasi
berarti keterangan, data, penjelasan atas suatu hal. Tanpa informasi maka manusia
akan ketinggalan.
Hal tersebut mempengaruhi norma atau nilai dalam masyarakat, sehingga turut
berubah. Dahulu seorang dokter disebut “paternalistik” , namun tidak demikian saat
ini. Saat ini terdapat prinsip “otonomi” pada pasien, sehingga harus diberikan
penjelasan, informasi karena pasien memiliki hak untuk mengetahui apa yang akan
terjadi pada dirinya. Apakah pasien akan setuju atau bahkan menolak suatu rencana
terhadap dirinya. ( Guwandi. J, 1992 )
Bagan 1. Analisa hubungan dokter-pasien menurut Fader-Beauchamp ( Guwandi. J,
1992 )
Pada hakikatnya persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah
informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri di
dalam praktik dokter. Secara konkret persyaratan informed consent adalah untuk
setiap tindakan baik yang bersifat diagnostik maupun terapeutik, pada azasnya
3
THESE
Paternalisme
Value of health
Fiduciary relationship
ANTI THESE
Autonomy
Value of Autonomy
Self determination
SYNTHESE
Informed Consent
Page 4
senantiasa diperlukan persetujuan pasien yang bersangkutan. ( Komalawati. V, 2002 ).
Oleh karena itu pasien hanya dapat memberikan persetujuan riil apabila yang
bersangkutan dapat menyimak situasi yang dihadapinya, maka satu-satunya yang
diperlukan adalah informasi. ( Komalawati. V,2002 ). Selain itu diperlukannya izin
pasien adalah karena tindakan medik dilakukan oleh dokter, hasilnya penuh dengan
ketidakpastian ( uncertainly ) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik karena
dipengaruhi oleh faktor lain yang berada diluar kontrol dan kekuasaan dokter. Juga
hampir semua tindakan medik mengandung resiko dan bahkan mungkin diikuti
dengan akibat dan yang menanggung itu semua adalah diri pasien itu sendiri.
( Dahlan. S, 2000)
Atas dasar itu maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medik mutlak
diperlukan, kecuali dalam keadaan tertentu. Juga adanya hubungan antara dokter dan
pasien yang secara yuridis dimasukkan ke dalam golongan kontrak. Sehingga
dikenallah istilah informed consent, sebab sebelum diberikan kepada pasien atau
keluarganya harus diberikan informasi terlebih dahulu mengenai beberapa hal dari
tindakan medik yang akan dilakukan. Dengan demikian sifat hubungannya memiliki 2
cirii yaitu adanya suatu persetujuan ( consensual, agrrement ) dan adanya suatu
kepercayaan ( fiduciary ). ( Guwandi. J, 1996 ). Maka secara hukum hubungan dokter
dan pasien merupakan hubungan yang dibentuk melalui perjanjian atau kontrak yang
kemudian dikenal dengan istilah transaksi teraputik. ( Amir.A dan Hanafiah. J , 1999 )
Adapun tindakan yang dimaksud dalam suatu transaksi terapeutik adalah
perilaku dalam kaitannya dengan persetujuan, maka istilah ini tidak dikacaukan
dengan istilah tindakan medik dalam arti ilmu kedokteran. ( Komalawati. V, 2002 )
Pada dasarnya timbulnya informed consent tidak lepas dari sumber hak azasi
manusia, disertai dengan berkembangnya pola kehidupan masyarakat yang semakin
materialistik dan hedonik maka telah memberikan distribusi yang tidak kecil terhadap
konsep informed consent.
2.1.1.1 Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter
Disamping hak azasi manusia secara umum, terdapat pula hak dan kewajiban
bagi pasien sebagai penerima jasa dan dokter sebagai penyedia jasa dalam proses
pelayanan kesehatan.
4
Page 5
Hak pasien dalam pelayanan kesehatan : (Nasution.B,2005 ; Komite Etik
RSDS,2001 ; Amir.A,1999)
1. Hak atas perawatan
2. Hak untuk menolak perawatan secara umum
3. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat
pasien
4. Hak atas informasi
5. Hak untuk menolak perawatan tanpa ijin
6. Hak atas rasa aman
7. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan
8. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan
9. Hak untuk memberikan persetujuan
10. Hak atas rahasia kedokteran
11. Hak atas second opinion
12. Hak atas twenty four a day visitor
13. Hak pasien menggugat atau menuntut
14. Hak pasien mengenai bantuan hukum
15. Hak pasien untuk menasehatkan mengenai percobaan oleh tenaga
kesehatan atau lain
Kewajiban pasien dalam pelayanan kesehatan : (Nasution.B,2005 ; Komite Etik
RSDS,2001)
1. Kewajiban memberikan informasi
2. Kewajiban untuk melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan
3. Kewajiban untuk berterus terang bila timbul masalah dalam hubungannya
dengan dokter atau tenaga kesehatan
4. Kewajiban memberikan imbalan jasa
5. Kewajiban memberikan ganti rugi, apabila tindakannya merugikan dokter
atau tenaga kesehatan
Hak dokter sebagai pengemban profesi : (Nasution.B,2005 ; Komite Etik RSDS,2001)
1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-
jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis
dan terapeutik
5
Page 6
2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadapat pelayanan yang
diberikan pada pasien
3. Hak atas itikad baik dati pasien atau keluarganya dalam melaksanakan
transaksi terapeutik
4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan
kesehatan yang diberikannya
5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien atau
keluarganya
6. Hak atas privacy
7. Hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, profesi dan etik
Kewajiban dokter :
Jika diperhatikan Kode Etik Kedokteran Indonesia dala SK Menkes RI No. 34 / Th.
1983, didalamnya terkandung beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
dokter di Indonesia, meliputi : ((Nasution.B,2005 ; MKEK IDI,2001. Komite Etik
RSDS,2001)
1. Kewajiban umum hubungan dokter dengan pasien dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesi pasal 10,11,12 dan 13 :
10. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien.
Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut
11. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien
agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan
penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya
12. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya terhadap seorang pasien, bahkan setelah pasien itu
meninggal dunia
13. Setiap dokter wajib memberikan pertolongan darurat sebagai
suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bersedia dan lebih mampu memberikannya.
6
Page 7
Izin pengungkapan rahasia pasien Izin pasien
Hak atas rahasia
Pengungkapan rahasia kedokteran oleh pasien
Informed consent
Pasien Dokter-RS
Fiduciary Relationship
Hak atas privacy
2. Kewajiban dokter dengan teman sejawatnya dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia pasal 14 dan 15:
14. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana
saya sendiri ingin diperlakukan.
15. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman
sejawatnya tanpa persetujuannya.
3. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri dalam Kode Etik Indonesia pasal 16
dan 17:
16. Setiap dokter berkewajiban memelihara kesehatannya supaya
dapat bekerja dengan baik
17. Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan
2.1.1.2 Bilamana suatu hak gugur
Gugurnya hak privasi manusia, disebutkan bahwa dalam hak asasi manusia
terdapat hak atas privasi atau hak pribadi atau personal right atau disebut juga hak
untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) yaitu hak yang
dimiliki setiap orang yakni untuk tidak dicampuri urusan pribadinya oleh orang lain
tanpa persetujuannya. (Guwandi, 1992)
Hak atas privasi dalam bidang hukum kedokteran merupakan kelanjutan
proses I.C., yaitu:
Bagan 2 Hubungan Pasien dan Dokter
7
Page 8
Terdapat keadaan tertentu dimana pasien dapat menggunakan wewenangnya
untuk melepaskan haknya. Hal ini disebut dengan hak Waiver, dengan memberikan
izin kepada dokternya untuk mengungkapkan, misal demi kepentingan dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Walaupun demikian sang dokter
haruslah berusaha sedapat mungkin agar identitas para penderita tidak diketahui, hal
ini termasuk etikanya. (Guwandi, 1992)
Atau keadaan khusus memiliki pengecualian yaitu bila kepentingan publik
menuntut diberikannya publikasi tersebut. Hak pribadi harus mengalah untuk
kepentingan masyarakat banyak. Ini dapat terjadi terhadap tokoh negara, pimpinan,
tokoh yang disegani atau orang-orang yang sudah dianggap sebagai ‘public figure’
atau merupakan milik masyarakat. Dalam hal peristiwa demikian masyarakat
menuntut agar keadaan kesehatan penderita tersebut diumumkan dan tidak boleh
ditutup-tutupi. Hal ini merupakan kebiasaan di seluruh dunia. (Guwandi, 1992)
2.1.2 Informed Consent dalam Pelayanan Medis
Seperti telah dicantumkan sebelumnya bahwa hubungan antara dokter dan
pasien secara yuridis merupakan golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan
pikiran dari dua orang mengenai suatu hal. Pihak pertama mengikatkan diri untuk
memberikan pelayanan, dan pihak kedua menerima pemberian pelayanan tersebut.
Pasien datang meminta kepada dokter untuk diberikan pelayan pengobatan sedangkan
sang dokter menerima untuk memberikannya. Karena bersifat kontrak maka harus
dipenuhi persyaratan, yaitu: (Guwandi, 1996)
1. Persetujuan dari pihak-pihak yang berkontrak
2. Obyek yang merupakan substansi dari kontak
3. Harus ada suatu sebab (causa) atau pertimbangan (consideration)
Dengan adanya status kontrak tersebut maka muncullah hak dan kewajiban
antara pihak pertama dan kedua dan harus dihormati oleh para pihak. (Isfandyarie,
2006)
8
Page 9
2.1.2.1 Pengertian Informed Consent
Istilah I.C. terdiri dari kata ’Informed’ dan ‘Consent’ yang memiliki
pengertian sebagai berikut: Informed artinya sudah mendapat penjelasan, atau telah
mendapatkan informasi, dan Consent artinya kesediaan atau persetujuan (ijin).
Sehingga I.C. adalah pernyataan persetujuan untuk dilakukan tindakan terhadap diri
seseorang yang telah mendapatkan penjelasan secukupnya. Adapun Informed Consent
dalam profesi kedokteran adalah: pernyataan setuju atau ijin dari pasien yang
diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup
tentang tindakan kedokteran yang dimaksud. (Anna, 2004)
Sedangkan istilah dalam bahasa Indonesia tentang I.C. sesuai dengan
Permenkes 585 tahun 1989 adalah Persetujuan Tindakan Medik, yaitu: persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. (Permenkes RI, 1989)
Terkait dengan hak azasi manusia seperti tersebut sebelumnya maka I.C. ini
timbul akibat adanya otonomi yang mengandung prinsip privacy, bahwa ia berhak,
berhak memutuskan untuk menerima atau menolak atas dasar pilihannya sendiri. Jay
Katz dalam teorinya ”the Idea of Informed Consent” mengatakan bahwa I.C. pada
hakekatnya adalah: suatu pemikiran bahwa keputusan tentang pemberian pengobatan
kepada seorang pasien harus terjadi secara kolaboratif antara dokter dan pasien.
(Guwandi, 1992)
Pengertian I.C. juga disampaikan oleh Komalawati (1989:86) yaitu: suatu
kesepakatan persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter
terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi segala resiko
yang mungkin terjadi. I.C. ini merupakan syarat subjektif yang bertumpu pada dua
macam hak azasi dasar manusia yaitu hak atas informasi dan hak untuk menentukan
nasib sendiri. (Isfandyarie, 2006)
Kata Informed Consent itu sendiri perlu mendapat perhatian karena informasi
yang diberikan harus sedemikian rupa sehingga pasien benar-benar memahami
persoalan tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya beserta dengan
akibat yang mungkin terjadi. Dengan informasi maka kemudian dapat
dipertimbangkan dan memutuskan, bila dalam memberikan persetujuan dilakukannya
tindakan medis seorang tidak mengerti atau salah mengartikan penjelasan yang
9
Page 10
diberikan, hal ini dapat dianggap sebagai suatu kesalahan dari pihak dokter.
(Guwandi.J, 1992)
Karenanya dapat disimpulkan bahwa dasar dari I.C. adalah: (Guwandi.J, 1992)
1. Hubungan dokter-pasien yang berdasarkan kepercayaan
2. Hak otonomi atau menentukan sendiri atas dirinya
3. Adanya hubungan perjanjian antara dokter-pasien.
2.1.2.2 Manfaat I.C.
Kesadaran hukum masyarakat dan pola berpikir yang semakin maju
melahirkan kebiasaan baru yaitu menuntut dokter yang dianggap melanggar hak-hak
pasiennya, sayangnya munculnya teknologi kedokteran yang canggih dan
meningkatkan kesadaran hukum ini tidak segera ditanggapi dengan ketentuan hukum
yang mengaturnya dengan jelas. Dengan demikian sebagai salah satu bentuk kontrak
secara yuridis maka timbulnya I.C. ini sangat bermanfaat, yaitu: (Anna, 2004;
Guwandi.J, 1992)
1. Melindungi pasien dari kesewenangan dokter atau terhadap segala
tindakan medik tanpa sepengetahuan pasien.
2. Melindungi dokter dari kesewenangan dan tuntutan pasien atau terhadap
akibat yang tidak terduga atau bersifat negatif.
3. Sebagai alat bukti pada persidangan sehubungan dengan adanya gugatan
dari pasien.
4. Untuk menjaga hubungan manusiawi yang didasari rasa saling percaya
anatra dokter dengan pasien dan keluarganya.
Pentingnya persetujuan ini dicetuskan pula di dalam deklarasi Helsinki, yaitu:
1. Melindungi otonomi pasien karena pasien menguasai hidupnya sendiri
2. Melindungi martabat manusia karena pasien bertanggung jawab pada
hidupnya
3. Memperlihatkan kepada masyarakat bahwa subjek tidak dapat
dimanipulasi atau ditipu
4. Menciptakan suasana kepercayaan antara subjek penelitian dan dokter
2.1.2.3 Bentuk persetujuan dalam I.C.
Secara teoritis yuridis dianggap kedudukan pasien dan dokter dalam hubungan
terapeutik adalah sederajat dan seimbang. Namun kenyataannya tidak demikian,
10
Page 11
Faden dan Beuchamp menyatakan bahwa: ‘A fiduciary relationship exist because
patiens and phycysians are unequal in possesion of information and power to control
the circumstance under which they meet. One party is fit and medically
knowledgeable, the other sick and medically ignorant’
Dokter berkedudukan lebih kuat karena:
- ia mempunyai ilmu pengetahuan tentang kedokteran
- tidak bergantung pada pasien dan berkedudukan bebas
- umumnya dalam keadaan sehat dan tidak dibawah tekanan mental
Pasien berkedudukan lebih lemah karena:
- umumnya tidak berpengetahuan kedokteran
- sangat bergantung, tidak berdaya dan dalam keadaan sakit dan tidak bebas
karena penyakitnya.
- Dibawah tekanan psikis, cemas, ketakutan. (Guwandi.J, 1992)
Oleh karena itu maka dokter diharapkan oleh hukum untuk mengadakan
keseimbangan dengan memberikan informasi kepada pasien, sehingga pasien benar-
benar mengerti dan dapat mengambil suatu keputusan persetujuan. Persetujuan
tersebut dapat berbentuk:
1. Dianggap diberikan (tersirat atau implied atau tacit consent)
Yakni persetujuan yang diberikan oleh penderita yang dapat dilihat dari sikap
saat datang guna menyampaikan keluhan untuk dilakukan pemeriksaan medik
terhadap dirinya. Pemeriksaan ini mencakup tindakan medik sederhana seperti
pemeriksaan fisik dan diagnosa penyakit ringan pada umunya. (Guwandi.J,
1994)
Dapat juga bila berlangsung dalam keadaan normal dan dalam keadaan gawat
darurat (presumed consent), serta dapat berupa substitue dan proxy consent.
(Isfandyarie, 2006). Dengan demikian datangnya pasien tanpa disuruh dapat
ditarik kesimpulan bahwa ia memang sudah menyetujui atau telah memberkan
ijin untuk dilakukan tindakan-tindakan tertentu. (Guwandi.J, 1992)
2. Dengan persetujuan tersurat (express), meliputi lisan (oral) dan tertulis
(written)
Ketentuan ini terdapat dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 pasal 2. (Anna,
1997)
Pasal 2. Persetujuan lisan ataupun tertulis yang diberikan setelah pasien
menerima informasi yang aktual tentang perlunya tindakan medis yan
11
Page 12
bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkan. Dan cara penyampaian
serta isi informasi harus sesuai dengan tingkat pendidikan serta situasi dan
kondisi pasien.
Dalam pernyataan lisan atau oral perlu kirannya persetujuan dihadiri
olehpihak ketiga, mengingat dokter tidak punya bukti nyata selain pihakketiga
sebagai saksi, dan dilakukan untuk tindakan yan berisiko tinggi.
Persetujuan tertulis (written) dijelaskan dalam Permenkes No.585 tahun 1989
pasal 3.
Pasal 3. Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tingi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberi
persetujuan. Dalam halini penderita tidak dapat membaca maupun menulis
maka setelah menerti persetujuan dapat diberikan denan cara cap jari dengan
disaksikan minimal satu orang saksi.
2.1.2.4 Informed Consent Dalam Keadaan Khusus
Terdapat pemberian persetujuan dalam I. C pada kondisi-kondisi yang khusus.
Berdasar permenkes 585/1989, bahwa yang boleh memberikan persetujuan adalah
semua pasien dewasa, telah berumur 21 tahun atau telah menikah, yang berada dalam
keadaan sadar dan sehat mental. (Permenkes RI, 1989; Anna, 2004)
Adapun hal-hal khusus tersebut dalam Permenkes 585/1989 adalah sebagai
berikut:
1. Pasien dibawah umur.
2. Pasien dewasa dibawah pengampuan
3. Pasien dengan gangguan mental
4. Persetujuan suami/isteri
5. Perluasan operasi
6. Ketentuan lain
12
Page 13
2.1.3. Informed Consent dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Semakin berkembangnya kesadaran hukum masyarakat dan semakin
beragamnya kejadian dalam masyarakat menuntut pemerintah RI untuk
mengimbanginya dengan menyusun suatu perundang-undangan yang baru pula.
Berikut adalah ketentuan-ketentuan yang berkaitan antara Informed Consent dengan
sistem perundang-undangan yang lama sebelum terbentuknya UU RI tentang praktek
kedokteran yang baru no. 29 tahun 2004 dan Informed Consent di dalam UU RI
tentang Praktek Kedokteran yang baru.
2.1.3.1. Informed Consent dalam peraturan perundang-undangan dalam UU RI
tentang Praktik Kedokteran No.29/2004
Walaupun UU Praktik Kedokteran telah diundangkan sejak tanggal 6 Oktober
2004 dan berlaku pada tanggal 6 Oktober 2005, tetapi Permenkes No.585 tahun 1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik perlu kita telaah, karena belum ada peraturan
pelaksanaan dari UU Praktik Kedokteran yang khusus mengatur tentang hal tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari Ketentuan Peralihan dari UU Praktik Kedokteran dalam
pasal 81. (Isfandyarie.A, 2006)
Pasal 81.Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini (UU Praktik
Kedokteran) semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan
yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap
berlaku sepanjang tentang bertentangan dan atau belum diganti
berdasarkan undang-undang ini.
Adapun Undang-undang yang mengatur tentang I.C adalah:
UU RI No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat 1 sampai
dengan 6
Permenkes RI No. 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran
Dalam UU Praktik Kedokteran, persetujuan tindakan medik tercantum dalam
Bab VII tentang Penyelenggaraan praktik kedokteran, bagian ketiga tentang
Pemberian Pelayanan paragraph 2 dengan nama ‘Persetujuan Tindakan
13
Page 14
Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang dituangkan dalam pasal 45 ayat 1 sampai
dengan 6. (Isfandyarie.A, 2006; UU RI No.29,2004)
Ayat 1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan
Ayat 2. Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat 1 diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap
Ayat 3. Penjelasan sebagaiana dimaksud ayat 2 sekurang-kurangnya
mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternative tindakan lain dan resikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Ayat 4. Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan
Ayat 5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung
resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda
tangani oleh pihak memberikan persetujuan.
Ayat 6.Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),(2),(3),(4) dan (5) diatur oleh
peraturan menteri.
Persetujuan tindakan medik dalam Permenkes No. 1419 / Menkes/ Per / X/ 2005
belum menjelaskan secara rinci tentang persetujuan tindakan medik.
Secara tersirat disebutkan dalam pasal 13 ayat 1 (Isfandyarie. A, 2006)
Pasal 13 (1) Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
didasarkan pada kesepakatan antara dokter dan dokter gigi dengan
pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan.
Sedangkan secara eksplisit disebutkan dalam pasal 17
Pasal 17 (1) Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan
14
Page 15
penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan.
(2) Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat 1 harus mendapat
persetujuan pasien
(3) Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat 1 dan
2
dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dari bunyi pasal 17 ayat 3 jelas bahwa Permenkes ini belum mengatur secara rinci
tentang persetujuan tindakan medik, sehingga berdasarkan peraturan peralihan pasal
81 UU praktik kedokteran yang telah disebutkan di atas, maka masih bisa mengacu
pada Permenkes no. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
2.1.4 Hal Dimana Informed Consent Tidak Diperlukan
Meskipun persetujuan dari penderita mutlak diperlukan sebelum dilakukan
suatu tindakan, namun suatu I.C sama sekali tidak diperlukan bila meliputi tiga hal
yang dicantumkan dalam Permenkes RI no 585 tahun 1989 pasal 7, 11, dan pasal 14,
yaitu : (Anna, 2004)
Pasal 7: (1) informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi
(2) Perluasan operasi yang tidak diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien
(3) Setelah dilakukan perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat 2
dilakukan, dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarga.
Pasal 11: Dalam hal pasien tidak sadar atau pingsan serta tidak didampingi oleh
keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat
yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya tidak diperlukan
persetujuan dari siapapun.
Pasal 14: Dalam hal tindakan medik yang harus dilakukan sesuai dengan program
pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak,
maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan.
2.1.5 Aspek Etis Informed Consent
Pada dasarnya pelaksanaan I.C ini bersumber pada multi disiplin ilmu yaitu
berdasar pada falsafah moral, sosial budaya dan politik. Saat ini pengaruh disiplin
yang paling kuat adalah hukum dan falsafah moral ( Etika ). Dari pendekatan falsafah
15
Page 16
moral atau etika maka I.C bersumber dari salah satu prinsip hak-hak azasi manusia
(HAM), yaitu bahwa hak otonomi seseorang harus diindahkan (Guwandi. J, 1994)
Selain itu juga memenuhi prinsip etika universal , yaitu 1. Prinsip menghormati harkat
dan martabat manusia ( respect for person ), 2. Prinsip berbuat baik ( beneficience ),
3. Prinsip keadilan ( justice ). ( Loedin, 2004 ; Jacobalis. S, 2004 )
1. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia
Prinsip ini mencakup dua keyakinan etika fundamental yaitu menghormati
otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia mampu untuk menentukan
pilihan pribadinya, harus dihormati kemampuannya untuk mengambil
keputusan sendiri dan melindungi manusia yang otonominya kurang atau
terganggu.
2. Prinsip berbuat baik, prinsip ini menyangkut kewajiban etika untuk berupaya
memperoleh manfaat maksimal dengan kerugian minimal.
3. Prinsip keadilan , mengacu kepada kewajiban etika untuk memperlakukan
setiap manusia dengan moral yang benar dan pantas serta memberi setiap
orang yang merupakan hak nya.
Juga manusia sebagai makhluk ‘otonom’ karena kemampuan rasionalnya,
maka berkewajiban untuk memanfaatkan segala sumber daya untuk kelangsungan
hidupnya. Namun dalam menggunakan otonomi, tidak tanpa batas karena tiap
individu tidak boleh merugikan orang lain dan setiap keputusannya dan atau
tindakannya harus dapat dipertanggungjawabkan. (Komalawati, V, 2002 )
Tanggungjawab manusia harus diwujudkan didasarkan akal budi dan rasa
hormat atas kemanusiaan manusia, serta dalam kendali kecerdasan manusia.
Sedangkan kodrat manusia dilihat dari segi rasionalitasnya, hati nuraninya dan rasa
tanggung jawabnya. Kesadaran etis bersumber dari akal manusia dan ditegaskan oleh
hati nurani yang memutuskan tindakan atau pilihan didasarkan informasi yang
secukupnya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antar manusia dapat terjadi
karena adanya keputusan untuk mengikatkan diri yang dapat dipertanggungjawabkan,
sehingga diperlukan informasi yang memadai. ( Komalawati, V, 2004 ).
16
Page 17
2.1.6 Isi Informed Consent
KKI memberikan 12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada
pasien / keluarganya, yaitu :
1. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak
diobati
2. Ketidakpastian tentang prognosis
3. Pemilihan obat atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya,
termasuk pilihan untuk tidak diobati
4. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan
5. Untuk setiap tindakan , diperlukan keterangan tentang
kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya dan
diskusi tentang kemungkinan resiko yang serius atau sering terjadi , dan
perubahan gaya hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut.
6. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih
eksperimental
7. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingnya akan
dimonitor atau dinilai kembali
8. Nama dokter yang bertanggungjawab secara keseluruhan untuk
pengobatan tersebut
9. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan,
maka sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang
akan dilakukan.
10. Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap
waktu
11. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari
dokter lain
12. Bila memungkinkan juga diberitahu tentang rincian biaya
Menurut pasal 7 , PERMENKES No.290/MENKES/PER/III/2008
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada
pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan
diberikan kepada keluarga atau yang mengantar
17
Page 18
Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain, dan resikonya
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
f. Perkiraan biaya.
18
Page 19
BAB III
ILUSTRASI KASUS
24 hari sudah Nona A, usia 17 tahun, warga Jalan Perum Pucung Baru Blok
D2 No.6 Kecamatan Kota Baru, Cikampek ini terbaring ditempat tidur Rumah Sakit
N.
Menurut cerita orangtuanya yang juga karyawan Rumah Sakit N, Nona A.
masuk ke rumah sakit pada tanggal 15 Februari 2013 lalu karena mengeluh tak bisa
buang air besar.
Setelah sampai di rumah sakit, dokter langsung memberikan obat untuk
memperlancar buang air besarnya. Namun karena tak kunjung sembuh, dokter
kemudian menebak sakit Nona A kemungkinan karena menderita apendik atau usus
buntu.
Nona A pun langsung dibedah dibagian ulu hati hingga dibawah puser, tapi
anehnya, dokter yang menangani pembedahan tidak memberitahukan atau tidak minta
ijin terlebih dahulu kepada orangtuanya, sebagai prosedur yang harus ditempuh dokter
bila ingin melakukan tindakan operasi atau pembedahan.
Ternyata setelah dibedah, dugaan bahwa Nona A menderita usus buntu tidak
terbukti. Dokter lalu membuat kesimpulan berdasarkan diagnosa, Nona A menderita
kebocoran kandung kemih. Nona A kemudian dioperasi tapi juga tidak
memberitahukan orangtuanya. Bekas-bekas operasi itu terlihat di perut Nona A yang
dijahit hingga 10 jahitan lebih.
Kedua orangtua Nona A hanya bisa pasrah dan minta pertanggungjawaban
pihak Rumah Sakit N atas kesehatan anaknya. Ayah Nona A yang juga bekerja di
Rumah Sakit N ini akan mengadukan kasusnya ke Menteri Kesehatan dan siap dipecat
dari pekerjaannya.
19
Page 20
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus tersebut pihak dokter dan rumah sakit tidak memberikan
penjelasan sebelum melakukan tindakan operasi terhadap keluarga Nona A, sehingga
menimbulkan kesalahpahaman antara kedua belah pihak dan berujung pada tuntutan
malpraktek. Seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi apabila dokter memberikan
informasi sejelas-jelasnya kepada pasien dan keluarganya, antara lain mengenai
diagnosis, rencana pengobatan termasuk prosedur operasi dan komplikasi yang bisa
terjadi pada saat operasi maupun setelahnya (informed consent)
Tindakan dokter yang melakukan operasi tanpa izin keluarga ini tidak sesuai
UU Kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 53 ayat 2 yang berbunyi tenaga kesehatan
dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standart profesi dan
menghormati hak pasien. Hak pasien tersebut meliputi hak untuk mendapatkan
informasi tentang tindakan medik yang akan dilakukan dan memberikan persetujuan
atau penolakan terhadap tersebut (hak aoutonomy). Selain itu juga terhadap UU
Praktek Kedokteran No 29 tahun 2004 pasal 45 yaitu setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien
harus mendapat persetujuan. Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan
atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Namun, apabila
pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampuan (under curatele) persetujuan
atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat antara lain
suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung,
kecuali dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah
memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Karenanya, dokter tersebut dapat dituduh melakukan criminal malpractice dan
terancam mendapatkan sanksi perdata sesuai KUH Perdata 1366 “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya,”
pasal 1371 “Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau
kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya
penyembuhan, juga menuntut penggatian kerugian yang disebabkan oleh luka atau
20
Page 21
cacat tersebut.” Kemudian juga sanksi perdata menurut Undang-Undang RI No.23
Tahun 1992 pasal 55 ayat 1 “Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.”
Selain sanksi perdata dapat pula dikenai sanksi administratif berdasarkan
Undang-Undang Praktek Kedokteran No.29 Tahun 2004 pasal 66 ayat 1 “Setiap orang
yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.”
Dalam kasus-kasus seperti ini tampak peranan Informed Consent dan
komunikasi yang begitu penting antara pasien dan tenaga medis (dokter) di bidang
kedokteran. Sebagai salah satu bentuk kontrak secara yuridis maka Informed Consent
ini sangat bermanfaat, yaitu:
1. Melindungi pasien dari kesewenangan dokter atau terhadap segala
tindakan medik tanpa sepengetahuan pasien.
2. Melindungi dokter dari kesewenangan dan tuntutan pasien atau terhadap
akibat yang tidak terduga atau bersifat negatif.
3. sebagai alat bukti pada persidangan sehubungan dengan adanya gugatan
dari pasien.
4. Untun menjaga hubungan manusiawi yang didasari rasa saling percaya
anatra dokter dengan pasien dan keluarganya.
Dengan adanya Informed Consent dan komunikasi yang jelas maka akan
membentuk suatu hubungan pasien-dokter yang baik sehingga dapat menghindarkan
dokter dari tuduhan malpraktek di kemudian hari juga memberikan kepuasan pada
pasien (do no harm, to cure seldom, to relieve often, to comfort always).
21
Page 22
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Informed Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadapnya. Hal
ini muncul karena adanya kebutuhan akan perlindungan dari tindakan sewenang-
wenang dalam suatu tindakan medik. Informed Consent dapat melindungi dokter dari
aspek baik pidana, perdata, maupun administatif. Diperlukan adanya informasi yang
jelas, akurat dan mudah dimengerti oleh pasien atau keluarga untuk mendapatkan
persetujuan, dan hasilnya adalah bahwa Informed Consent bukan sekedar dokumen
tetapi telah mendapat tempat secara material dan yuridis dalam tatanan hukum di
indonesia.
Hal ini dapat berjalan secara berdampingan sehingga akan menghasilkan hasil
yang memuaskan semua pihak, pasien selaku obyek maupun dokter selaku produsen
apabila tetap memperhatikan etika yang berlaku bahwa dalam falsafah moral dan
etika dalam hubungan antar manusia bahwa prinsip hak azasi manusia berupa
otonomi seseorang juga harus diindahkan.
5.2 Saran
1. Institusi diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang
pemberian informed consent pada pasien. Selain itu diharapakan juga, institusi
lebih banyak menyediakan referensi-referensi tentang etika dan hukum
kedokteran.
2. Mahasiswa kedokteran, PPDS, tenaga medis, dan tenaga kesehatan
diharapkan mampu memahami tentang pemberian informed consent pada
pasien agar dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Undang-Undang Praktek Kedokteran No.29 Tahun 2004, menghimbau
kepada teman-teman sejawat agar selalu melakukan informed consent dalam
melakukan berbagai tindakan medik.
22
Page 23
D A F T A R P U S T A K A
Pitono S, dkk Etika dan Hukum di bidang Kesehatan. Edisi I, Komite Etik Rumah
Sakit RSU Dr. Soetomo 2001; 23, 45-48, 126-132
Koeswadji, Hermien Hadiati, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia, 2002, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, IDI Jakarta
Samil R.S., 2001, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta
23