I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moluska merupakan kelompok yang mendominasi perairan setelah kelompok ikan, jumlahnya mencapai 1500 jenis siput dan 1000 jenis kerang. Salah satu jenis siput yang dapat dijumpai di perairan Indonesia adalah abalon. Abalon merupakan kelompok moluska laut yang lebih dikenal sebagai “kerang mata tujuh” atau “siput lapar kenyang”. Beberapa jenisnya merupakan komoditi ekonomis. Daging abalon merupakan sumber makanan berprotein tinggi, rendah lemak, makanan tambahan (food suplement) dan di Jepang dianggap mampu menyembuhkan penyakit ginjal. Cangkang dari abalon juga memiliki nilai ekonomis yang tidak kalah tinggi dibandingkan dagingnya (Suwignyo, 2005) dalam (Nurfajrie dkk., 2014). Produksi abalone saat ini lebih banyak diperoleh dari tangkapan di alam, dan ini akan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pengambilan yang tak terkendali, kemudian lambatnya pertumbuhan abalone
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Moluska merupakan kelompok yang mendominasi perairan setelah
kelompok ikan, jumlahnya mencapai 1500 jenis siput dan 1000 jenis kerang.
Salah satu jenis siput yang dapat dijumpai di perairan Indonesia adalah abalon.
Abalon merupakan kelompok moluska laut yang lebih dikenal sebagai “kerang
mata tujuh” atau “siput lapar kenyang”. Beberapa jenisnya merupakan komoditi
ekonomis. Daging abalon merupakan sumber makanan berprotein tinggi, rendah
lemak, makanan tambahan (food suplement) dan di Jepang dianggap mampu
menyembuhkan penyakit ginjal. Cangkang dari abalon juga memiliki nilai
ekonomis yang tidak kalah tinggi dibandingkan dagingnya (Suwignyo, 2005)
dalam (Nurfajrie dkk., 2014).
Produksi abalone saat ini lebih banyak diperoleh dari tangkapan di alam,
dan ini akan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pengambilan yang tak
terkendali, kemudian lambatnya pertumbuhan abalone sehingga terjadinya
kelangkaan yang berakhir pada kepunahan. Untuk itu perlunya upaya yang
dilakukan, diantaranya stock enhancement pada habitat aslinya,
pengembangbiakan abalone secara buatan dan terkendali, serta menjadikan
abalone komoditas budidaya yang dapat dikomersilkan menjadi usaha yang
menguntungkan (Novia dkk., 2010).
Budidaya laut abalone secara komersial telah menjadi suatu industri global
berkembang yang dapat menjanjikan masa depan karena abalone dibayar dengan
harga tinggi, ditambah dengan penurunan produksi dalam perikanan akibat
penangkapan ikan yang berlebihan. Abalone merupakan salah satu spesies laut
yang paling berharga di dunia, dimana permintaannya jauh melebihi persediaan,
terutama untuk di negara-negara Asia seperti : Hongkong, Cina, Jepang, Taiwan
dan Singapura, dimana negara-negara tersebut merupakan target tujuan utama
pasar (Moodley, 2014).
Di Indonesia, teknologi budidaya abalone relatif lambat, beberapa kendala
pembudidayaan abalone diantaranya, terbatasnya tenaga ahli dan teknologi
pembenihan abalone tropis, kesulitan mendapatkan suplai benih (spat) secara
kontinyu dan berkualitas, serta waktu pemeliharaan yang lama (Yunus et al.,
1997). Selain itu, terbatasnya jumlah unit pembenihan dan tingkat kelangsungan
hidup benih yang masih rendah khususnya pada stadia larva mengakibatkan
jumlah benih yang dapat dihasilkan sangat kecil (Soleh dan Murdjani, 2006)
dalam (Novia dkk., 2010).
Salah satu langkah yang menjadi solusi bagi eksploitasi secara langsung di
alam adalah dengan melakukan budidaya. Budidaya abalon di Indonesia mulai
diteliti di Loka Budidaya Laut Lombok sejak tahun 1997(Sofyan et al., 2006).
Budidaya abalon menbutuhkan benih yang bagus agar dapat menghasilkan abalon
yang baik. Pemilihan benih dapat dikakukan dengan cara melihat keragaman
genetik untuk memperoleh individu yang unggul. Keragaman genetik dipandang
sebagai sumber gen. Sumber gen yang beragam memungkinkan untuk mencari
gen unggul melalui proses seleksi sehingga dapat ditemukan suatu individu yang
memiliki berbagai keunggulan baik dari segi pertumbuhan, tahan terhadap
penyakit maupun kemampuan beradaptasi yang tinggi (Sugama et al., 1996)
dalam (Litaay dkk., 2011).
Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan budidaya abalon adalah
masih terbatasnya sediaan benih baik jumlah, ukuran dan mutunya, juga metode
pemeliharaan serta jenis pakan yang cocok belum banyak diketahui. Berdasarkan
beberapa permasalahan diatas, perlu dilakukan penelitian tentang perbaikan teknik
pemeliharaan yuwana abalon dengan memberikan jenis pakan yangberbeda,
sehingga diperoleh tingkatpertumbuhan abalon yang cepat dan
mudahdiaplikasikan di masyarakat (Susanto dkk., 2010).
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari paper ini adalah untuk mengetahui cara budidaya abalon mulai
dari penanganan induk sampai dengan produksi larva. Sedangkan manfaatnya
yaitu agar mahasiswa dapat mengetahui tentang cara budidaya abalon mulai dari
penanganan induk sampai dengan produksi larva.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Spesies dan Penyebaran
Abalone merupakan jenis gastropoda laut yang dapat ditemukan diseluruh
dunia di perairan beriklim sedang dan beriklim tropis dari zona intertidal dan
hingga kedalaman 40 m (Porras, et al 2014).
Menurut Setyono (2009) dalam Agustina (2013) abalon tropis (Haliotis
asinina) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Archaegastropoda
Famili : Haliotidae
Genus : Haliotis
Spesies : Haliotis asinina
(Linnaeus 1758)
Di dunia terdapat kurang lebih 100 spesiesabalone yang terdistribusi pada daerah
tropis, subtropics dan artik dimana spesies berukuran kecilterdapat pada daerah
tropis dan Gambar 1 : Morfologi Abalon
artik jikadibandingkan dengan daerah sub-tropis(Bevelander, 1988).Di
Indonesia terdapat tujuhspesies abalone yaitu Haliotis asinina, H. varia,H.
squamata, H. ovina, H. glabra, H. planata danH. crebriscuplta (Dharma,
1988).Haliotisasinina merupakan spesies abalone berukuranbesar yang ditemukan
pada provinsi Indo-Pasifiktermasuk perairan Indonesia Timur (Setyono, 2006)
dalam(Uneputty dan Tala, 2011).
Abalon banyak ditemui di Indonesia bagian Timur (Bali, Lombok,
Sumbawa, Sulawesi, Maluku Dan Papua).Di pulau Lombok abalon banyak
dijumpai di pantai selatan, Lombok tengah yaitu pantai kutai dan sekitarnya.
Selama ini abalon telah banyak di eksploitasi oleh penduduk setempat secara tidak
selektif sehingga mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan dan dapat
Sistem saraf abalone berkembang kurang baik. Terdapat empat pasang pusat
saraf otak yang terletak disekeliling mulut; rangkaian saraf kaki, pusat saraf usus,
rangkaian saraf tepi dan saraf penghubung dimana terhubung panjang dan saling
silang.
Gambar 4 : Sistem saraf abalone (1-saraf penghubung otak; 2-pusat saraf otak; 3-saraf disamping otak; 4-saraf dibawah otak; 5-sisi pedal pusat saraf; 6-saraf pedal; 7-pusat saraf ventral (bawah); 8-rangkaian saraf pedal dibawah kerongkongan; 9-pusat saraf usus diatas kerongkongan; 10-pusat saraf insang).
System Peredaran Darah
Sistem peredaran darah dari abalone ditandai dengan “patency”. Jantung
dalam rongga perikardial terdiri dari satu ventrikel dan dua atrium. Darah tidak
berwarna dan mengandung amoebocytes. Darah dari jantung berjalan ke sinus
darahdi antara organ-organ melalui sistem sirkulasi. Darah di sinus berjalan ke
arteri insang dan kemudian ke insang itu sendiri. Darah yang mengandung
oksigen tersebut kemudian berjalan ke serambi insang melalui vena insang.
Abalone memiliki sepasang arteri insang dan sepasang pembuluh darah insang.
Gambar 5. System Peredaran Darah System otot
Otot cangkang sebelah kanan berdiri sebagai sendi vertikal yang dekat
dengan urat yang berlanjut ke otot-otot kaki. Urat otot ini menempel pada kulit
oleh sel epitel pipih. Otot tersebut menempel pada cangkang. Sejumlah urat otot
mengulurkan dan menarik masuk epipodium sepertibila digunakan untuk
menangkap makanan.
Bagian kaki merupakan otot yang kuat yang luas dan datar. Hampir sama
dengan aperture cangkang, yang dibagi menjadi epipodium dan kaki bawah, yang
terakhir adalah diskoid. Inilah yang menempelkan abalone disubstrat (biasanya
permukaan berbatu) dan bergerak ketika mencari makanan. Kaki ini memiliki
kekuatan sehingga membuat mereka sulit terlepas dari substratnya.Terdapat
kelenjar pedal pada bagian kaki. Ada sel mukosa di beberapa epitel kaki yang
berbentuk oval
System Eskresi
Ginjal merupakan organ ekskresi utama di haliotidae. Yang berkembang
dengan baik dan terletak di sebelah kanan perikardium, biasanya letaknya dekat
atau sama dengan kelenjar pencernaan. Hampir semua darah vena melewati ginjal
kanan dan terbawa oleh pembuluh ginjal eferen. Ginjal kiri terletak di sebelah kiri
perikardiumdan terdiri dari kantung papillated.
System Pencernaan
Sistem pencernaan pada abalone terletak pada sisi kiri otot aduktor yang
letaknya di pertengahan organ tubuh. Sistem pencernaan termasuk mulut,
kerongkongan (gullet), perut (stomach), dubur usus (intestine rectum) dan anus.
Kaitannya dengan bentuk spiral tubuh, saluran sistem pencernaan mulai dari
mulut sampai anus yang letaknya berdekatan pada satu sisi. Mulut berbentuk
bulat dan ovate dan dinding terdiri atas jaringan otot (muscular) yang tebal.Dalam
mulut terdapat cuping kelopak (calyx lobe), radula dan kelenjar ludah (salivary
glands). Kerongkongan (gullet) abalone panjang dan sempit. Perut abalone
berkantung dan berbentuk huruf V dan letaknya di depan kerongkongan (gullet).
Usus buntut (appendix) vermiform dan hati (liver) berhubungan dengan perut.
Gambar 6 : Organ pencernaan abalone. (1-Anus; 2-Usus; 3-Hati; 4-Kerongkongan; 5-7. Kelenjar ludah; 8-radula; 9-Mulut; 10-Perut).
System Reproduksi
Reproduksi abalone terjadi secara generativ yaitu bertemunya sel telur dan
sperma. Abalone mengandalkan berbagai isyarat lingkungan dan kemotaksis
untuk gamet bertepatan dengan terjadinya fertilisasi. Menurut Haesman dan Savva
(2007), Abalone jantan umumnya mengeluarkan sperma terlebih dahulu, sehingga
merespon abalone betina untuk memijah. Fertilisasi telur terjadi pada kolom air.
Ejakulasi abalone jantan terlihat seperti asap berwarna keabu-abuan dan telur
abalone betina seperti asap berwarna hijau.
Telur abalone berbentuk bola. Telur matang berdiameter 220 mikrometer,
sedangkan kuning telurnya berdiameter 180 mikrometer. Selaput selular
transparan memiliki ketebalan 40-50 mikrometer. Telur berada dalam indung telur
dan bentuknya berupa segi banyak tidak beraturan. Pemijahan telur yang
berbentuk bola dengan seketika akan diserap oleh air laut dan tenggelam ke dasar.
Dalam beberapa kasus, simulasi pemijahan buatan menghasilkan telur yang
berbentuk silindris atau berbentuk seperti mutiara. Banyak telur yang belum
matang. Telur-telur dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori : a) normal, b)
telur tanpa selaput telur, c) telur tanpa selaput koloidal. Dua kategori telur yang
terakhir merupakan telur yang belum matang. Telur yang belum matang
cenderung bergumpal; mereka jarang terfertilisasi, dan kalaupun fertilisasi dapat
dilakukan, embrio yang dihasilkan akan mengalami perkembangan yang
abnormal.
Abalon bersifat gonokoris, memiliki satu gonad (jantan atau betina) yang
berada di sebelah kanan tubuh. Abalon mengalami matang gonad setelah berumur
6-8 bulan dengan panjang cangkang 35,O-40,O mm. Jenis kelamin abalon mudah
dikenali, yaitu ketika gonad telah masak, testes berubah berwarna cream dan ovari
menjadi kehijauan. Fertilisasi ekstemal tejadi saat jantan dan'betina mengeluarkan
gamet langsung ke kolom air. Ukuran telur sangat kecil, sekitar 0,2 mm dan
bejumlah sangat banyak. Fekunditas sangat bergantung pada spesies. Dinyatakan
pula bahwa fekunditas abalon memiliki hubungan eksponensial dengan panjang
cangkang dan memiliki hubungan linear dengan bobot basah tubuh (Faisal, 2005
dalam Riyadi 2008).
Reproduksi menyangkut mobilisasi internal, biosintesis dan bioakumulasi
dari materi yang berasal dari induk untuk dideposit pada telur yang akan dibuahi.
Pada saat dibuahi, dengan informasi genetik dari sperma yang berasal dari induk
jantan, keseluruhan isi dari telur harus mendukung perkembangan embrio dan
tahapan awal larva lesitotrofik. Pemahaman antara interaksi nutrisi-reproduksi dan
penentuan nutrisi yang diperlukan untuk keberhasilan maturasi dan pemijahan
diperlukan untuk memproduksi hewan budidaya terutama produksi moluska pasca
larva pada skala besar untuk operasi industri yang lebih luas. Selanjutnya,
penentuan peranan dari nutrisi spesifik (sumber-sumber diet alami) dalam lingkup
reproduksi, dan perubahan dalam dinamika deposit, mobilisasi dan utilisasi atau
pemanfaatan nutrisi akan mempermudah pemahaman fisiologi reproduksi dan
strategi siklus reproduksi.
Pengeluaran gamet tejadi dalam 2 malarn setiap 2 minggu pada periode
bulan gelap purnama. Hubungan antara pemijahan dengan periode bulan (lunar
periode) belum diketahui secara pasti. Terkadang pemijahan berlangsung pada 2
lokasi populasi Haliotis asinina di Heron Reef, Australia. Diduga perbedaan
pasang surut sangat mempengaruhi pemijahan. Perseniax pemijahan terbesar,
terjadi ketika ada kehadiran kelamin abalon yang berlawanan. Frekuensi ejakulasi
jantan tertinggi ketika ada kehadiran betina. Di tempat budidaya abalon,
pemijahan serentak terjadi dalam 6 minggu dan setelah periode ini pemijahan
menjadi tidak teratur dan tidak serentak (Counihan et al., 2001 dalam Riyadi
2008).
Reproduksi menyangkut mobilisasi internal, biosintesis dan bioakumulasi
dari materi yang berasal dari induk untuk dideposit pada telur yang akan dibuahi.
Pada saat dibuahi, dengan informasi genetik dari sperma yang berasal dari induk
jantan, keseluruhan isi dari telur harus mendukung perkembangan embrio dan
tahapan awal larva lesitotrofik. Pemahaman antara interaksi nutrisi-reproduksi dan
penentuan nutrisi yang diperlukan untuk keberhasilan maturasi dan pemijahan
diperlukan untuk memproduksi hewan budidaya terutama produksi moluska pasca
larva pada skala besar untuk operasi industri yang lebih luas. Selanjutnya,
penentuan peranan dari nutrisi spesifik (sumber-sumber diet alami) dalam lingkup
reproduksi, dan perubahan dalam dinamika deposit, mobilisasi dan utilisasi atau
pemanfaatan nutrisi akan mempermudah pemahaman fisiologi reproduksi dan
strategi siklus reproduksi.
C. Pertumbuhan dan Perkembangan
Menurut Nurfajrie dkk., (2014), Hal yang juga menarik dari budidaya abalon
adalah bersifat low tropic level (larvanya memakan benthic diatom dan dewasanya
memakan rumput laut/makroalga) dengan demikian dapat dikatakan biaya
produksinya relatif murah. Konsekuensi logis dari pengembangan budidaya
abalon adalah tersedianya benih dalam jumlah dan kontinuitas yang memadai.
Menurut Hibbert (1977) dalam Gimin et al. (2002) estimasi pertumbuhan
pada moluska dilakukan dengan menghitung dan mengukur dimensi cangkang
atau volume biota. Setyono (2003) menambahkan bahwa fase juvenil dibagi
menjadi dua, yaitu fase juvenil awal dan juvenil. Fase juvenil awal dimulai pada
saat terjadinya penempelan sampai abalon memiliki cangkang sepanjang 10 mm.
Selanjutnya, fase juvenil dimulai dari ukuran ini, yaitu ketika abalon mulai makan
makro alga.
Kajian mengenai abalon tropis jenis Haliotis asinina dinyatakan oleh
Setyono (2009) dalam Agustina (2013), bahwa jenis abalon ini tumbuh mencapai
ukuran layak tebar (10-30 mm) dalam waktu berkisar 3 sampai 5 bulan, mencapai
matang gonad pada ukuran 40-50 mm, dan diduga mencapai ukuran layak panen
(50-60 mm) dalam waktu kurang dari 2 tahun. Kajian mengenai abalon tropis
(H.asinina) dilaporkan dari Thailand, bahwa H.asinina adalah jenis abalon tropis
yang tumbuh paling cepat dengan laju pertumbuhan lebih dari 40 mm/tahun.
Meskipun spesies ini tidak tumbuh sebesar abalon di daerah sub-tropis, tetapi
spesies ini mendapat harga yang bagus di pasar internasional. H.asinina
mempunyai ukuran cangkang yang lebih kecil dibandingkan dengan abalon sub-
tropis, tetapi ukuran dagingnya dapat mencapai 6-7 kali ukuran cangkangnya.
H.asinina dengan ukuran panjang cangkang 10 cm dan berat total 190 g
mengandung daging 85% atau sekitar 161,5 g.
Perkembangan embryo abalone sangat dipengaruhi oleh salinitas dan suhu,
tetapi pengaruh suhu sangat dominan. Larva abalone bersifat lecithotropic artinya
phase larva sangat singkat dan tidak membutuhkan makan. Sehingga sampai pada
fase trochophore pertumbuhannya berasal dari penggunaan nutrien pada kuning
telurnya. Phase pelagic dari embrio abalone pada suhu 29-30˚C hanya 22-26 jam
tetapi pada suhu 23˚C akan mencapai 72 jam. Sesudah phase pelagis, larva abalon
akan menempel dan akan bermetamorphosis pada substrat jika tersedia alga
crustose coralline, diatom, algae Hijau, lendir dari juvenile abalone. Veliger dan
larva yang menempel hanya mampu makan pada alga bersel tunggal dan atau
bahan-bahan organik. Bentik diatom merupakan pakan yang sangat penting untuk
post larva dan juvenile muda. Di hatchery plastik plat yang dilapisi dengan diatom
seperti Navicula sp, cooconeis sp dan Nitzschia sp merupakan pakan dan substart
untuk fase creeping larva. Sedangkan Juvenile muda abalone diberi makan dengan
rumput laut utamanya jenis Gracillaria spp.
Stadia larva merupakan stadia paling kritis terkait dengan ketersediaan
pakan alaminya. Kelangsungan hidup (SR) benih dalam pembenihan abalon yang
telah dilakukan di BBL Lombok dilaporkan baru mencapai 0.6%. Hal ini diduga
karena kurangnya ketersediaan pakan alami pada saat larva mulai menempel. Oleh
karena itu, pada tahun anggaran 2008 dilakukan diversifikasi pakan alami yang
sifatnya menempel pada substrat selain Nitzchia yaitu Amphora dan Navicula.
Gambar 7. Fase atau tahap perkembangan abalone (1-terlihat kutub tubuh pada fertilisasi telur (15 – 30 menit); 2-2 fase sel; 3-4 sel (80 menit); 4-8 sel (120 menit); 5-6 sel (160 menit); 6-fase morula (195 menit); 7-fase gastrula (6 jam); 8-trocophore dalam selaput telur (7-8 jam); 9-trocophore (10-12 jam); 10-veliger muda (15 jam); 11-veliger dewasa (48 jam)).
Gambar 8. Lanjutan fase atau tahap perkembangan abalone. (12- fase peristomal (6-8 hari); 13- larva muda dendan epipodes (19 hari); 14-15. juvenil abalone (45 hari)).
Dalam pembesaran buatan, juvenil abalone mencapai panjang lebih dari 5
mm selama 80 hari. Empat bulan setelah fertilisasi, abalone mencapai lebih dari
12 mm dan memakan Laminaria, Undaria, atau rumput laut lainnya (Agustina.,
2013)
Pemahaman tentang kecepatan pertumbuhan abalon penting bagi
mariculture dan manajement perikanan. Dimana, kecepatan pertumbuhan
menentukan waktu penunndaan antara settlement larva dan recruitment sampai
mencapai ukuran pasar. Abalon merupakan hewan yang hidupnya panjang (logh-
lived animals) dan kebanyakan studi kecepatan pertumbuhan abalon menunjukkan
bahwa pada kecepatan pertumbuhan, dan kualitas serta kuantitas nampaknya
penting.(Day dab Flemming,1990 dalam Idul 2010).
Komsumsi pakan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam
menunjang keberhasilan budidaya kerang abalon, kelangsungan hidup dan
pertumbuhan. Ketepatan jenis pakan yang diberikan menjadi pertimbangan utama
dalam pemberian pakan. Jenis pakan abalon adalah seaweed yang biasa disebut
makroalga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber
makanan, Saat pemberian pakan, perlu diperhatikan kebersihan dan kesegaran
pakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya predator-predator yang
terbawa dan menghindari pakan yang hampir/telah mati yang nantinya akan
membusuk dan menimbulkan racun bagi kerang abalon (Tisna, 2008) dalam
(Azlan., dkk 2013).
D. Metamorfosis
Metamorfosis merupakan proses dimana larva veliger berenang bebas
menjadi juvenil bentik. Ada serangkaian tahapan yang berbeda dalam proses ini
dan bervariasi pada masing-masing spesies. Namun, setelah proses metamorfosis
telah dimulai, proses tersebut akan selesai dalam 24 jam. Tidak ada proses makan
selama periode ini dan seluruh proses bergantung pada energi kuning telur larva.
Beberapa stimulan yang dapat menginduksi settlement dan metamorfosis
pada larva abalone yaitu diatom, lendir dan GABA (Leighton, 2008). Settlement
adalah proses veligers mencari substrat yang cocok dan kemudian berubah dari
larva yang berenang menjadi bentik juvenile dan menjalani proses metamorfosis.
Perubahan dari larva yang berenang menjadi crawling, feeding pasca-
larvadisebut "settlement" dianggap sebagai salah satu tahapan yang paling penting
dalam pembenihan abalon yangdapat dibagi menjadi 2 tahap yang berbeda yaitu
attachment dan metamorfosis. Selama attachment, larva berhenti berenang,
tenggelam ke dasar, dan attach pada substrat oleh kakinya. Ini merupakan
perubahan kebiasaan dan reversible karena velum belum shed dan dapat
melanjutkanberenang. Tahap ini dicapai H. asinina 26-30 jam setelah pembuahan
dan dapat berlangsung 2-3 hari. Di sisi lain, metamorfosis adalah proses non-
reversible, yang terdiri dari 2 tahapan yaitu initiation dan metamorfosis yang
sempurna. Inisiasi metamorfosis ditunjukkandengan hilangnya velum. Jika pasca-
larva terus berkembang secara normal setelah inisiasimetamorfosis, kemudian
dimulainya proses makan dan pertumbuhan shell peristomal terjadi hal tersebut
menunjukkan terjadinyametamorfosis sempurna (Capinpin, 2015).
Utting dan Millican (1998) dalam Litaay (2005) menernukan bahwa
diameter dari telur moluska berhubungan dengan suhu dan ketersediaan makanan.
Pada hewan laut lainnya seperti pada ikan, keberhasilan fertilisasi, penetasan dan
ketahanan hidup dari embrio dan alevin merupakan indikator biologi. Disamping
itu, ukuran telur, volume kantong kuning telur, dan ukuran alevin pada penetasan
merupakan indikator morfologi dari kualitas telur (Srivastava dan Brown, 1991
dalam Litaay, 2005).
E. Nutrisi
Nutrisi adalah faktor utama yang berperan dalam pematangan seksual,
sehingga dapat mempengaruhi reproduksi hewan di alam ataupun dalam lingkup
budidaya. Di alam, nutrisi yang tersedia bervariasi dan tergantung pada tingkat
tropik. Kondisi ini secara alami merupakan salah satu faktor eksternal penting
bagi siklus reproduksi. Dalam budidaya,lingkungan fisik dan nutrisi induk dapat
dimanipulasi untuk mempercepat pematangan gonad dan proses pembentukan
gamet (gametogenesis). Keberhasilan pengkondisian induk tergantung pada
penyediaan kondisi di hatchery yang mendekati kondisi di alam selama siklus
reproduksi alami, yaitu dengan cara manipulasi air laut dan penyediaan makanan
yang memadai (Litaay, 2005).
Kandungan nutrisi yang terdapat pada pada pakan sangat berpengaruh bagi
pertumbuhan abalone, zat-zat gizi yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga,
mengganti sel-sel tubuh yang rusak, dan untuk tumbuh antara lain pritein, lemak,
karbohidrat, vitamin, mineral, dan air. Namun zat yang paling berperan dalam
pertumbuhan adalah protein (Mujuman, 1992 dalam Susanto, 2010).
Nutrisi menunjukkan nutrien dasar (komponen biokimia) yang diperlukan
untuk mendukung semua sistem metabolik untuk menjalankan fungsinya masing-
dan asam lemak berperan dalam keberhasilan perkembangan embrio. Kekurangan
dari salah satu faktor di atas akan berpengaruh pada perkembangan telur. Lemak
adalah komponen utama dari biomembran dan cadangan makanan utama dalam
perkembangan ikan dan embrio invertebrata. Lemak juga merupakan salah satu
unsur utama,dari komponen diet induk yang mempengaruhi komposisi telur.
Lemak juga menyediakan asam lemak esensial. Selain lemak, protein yang berasal
dari sirkulasi maternal akan merupakan sumber asam-asam amino dan juga
sebagai sumber energi untuk perkernbangan embrio (Sargent, 1995 dalam Litaay,
2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Mariaet al, (2014) mengatakan bahwa
besar atau ukuran suatu spesies, kualitas protein yang dimakan dan kondisi
lingkungan serta beberapa faktor lain menjadi sebab mengapa kerang mempunyai
tingkat protein dan energy yang berbeda dalam pakan. Protein untuk rasio energy
memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan juvenile abalone.
Kelangsungan hidup dan rasio konversi pakan tidak dipengaruhi oleh rasio
protein-energy dalam pakan. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa rasio
protein-energy dari 0.058 dan 0.064 g/kcal memiliki pertumbuhan yang baik dan
deposisi protein yang tinggi pada juvenile abalone topshell, T. niloticus.
Beberapa spesies juvenile abalone akan mengalami panjang cangkang yang
tinggi ketika diberi pakan Ulva lens. memiliki tingkat protein sebesar 28%. tetapi
tingkatan protein tersebut berkisar antara 25-30% bergantung pada spesies
abalone itu sendiri. Namun, untuk memaksimalkan pemanfaatan protein tidak
hanya harus mengandung pakan yang cukup. Protein mudah dicerna, tetapi harus
seimbang antara asam amino esensial dan non esensial. Oleh karena itu, pakan
U.lens/N. jeffreyi dapat menyediakan komponen biokimia yang lebih dekat
dengan tingkat optimal pada abalone juvenile H. laevigata agar dihasilkan
individu yang lebih besar.
Abalone termasuk hewan herbivorous segingga dapat mengosumsi rumput
laut sebagai pakan. Jenis rumput laut yang digunakan sebagai pakan abalone
adalah glacillaria maupun ulva. Abalone dapat mencerna rumput laut karena
memiliki enzim yang dapat melisis jaringan dinding sel rumput laut seperti enzim
selulase dan pektinase atau secara komersial di sebut dengan macerozyme
(mulyaningrung dan suryati, 2008). Glacillaria merupakan makanan yang baik
untuk perkembangan gonad induk abalone jenis haliotis asinine.
III. PEMBAHASAN
a. Pemilihan Induk
Syarat abalone yang akan dijadikan induk dalam kegiatan pembenihan perlu
dilakukan pengamatan. Induk abalone yang sehat dapat kita lihat dari warna tubuh
kerang abalone dan tidak terserang hama penyakit dan gerakannya sangat agresif.
Seleksi induk, syarat-syarat induk berkualitas: ukuran cangkang >5cm, sehat,
tanpa cacat atau luka, perbedaan jantan dan betina (jantan gonadnya berwarna
cream/putih sedangkan betina warna gonadnya hijau/cokelat kadang kebiruan
(Khoironi, 2012).
Menurut NSW Department of Primary Industries Abalone memerlukan
beberapa penanganan sebelum dipijahkan untuk mendapatkan hasil yang sesuai
dengan yang diharapkan, beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam
manajemen induk adalah memperhatikan desain pembagian tupoksi bagi para
pembudidaya sehingga penanganan stadia hidup abalone dapat diberikan
perlakuan yang tepat. hal yang paling penting dilakukan yakni menjaga
temperature air dan keadaan lingkungan/wadah pemijahan. Bak/tank digunakan
sebagai wadah untuk pemijahan, kemudian wadah dibersihkan sebelum diisii
dengan air laut (Guzman dan Greencia, 2014).
Sebelum melakukan kegiatan budidaya dilakukan penyeleksian terlebih
dahulu dengan mengecek kondisi tubuh yaitu dilihat ada tidaknya luka pada
anggota tubuh serta cangkang. Setelah itu, dilakukan proses aklimatisasi selama
1–2 bulan yangdilanjutkan dengan pemisahan induk jantan dan induk betina untuk
menghindari spontaneous spawning. Proses aklimatisasi ini dilakukan dengan
cara induk ditebar dengan kepadatan rendah yaitu 100 ekor/bak kemudian
dilakukan sirkulasi air yang besar, mengalir kontinyu serta dijaganya kualitas air
yang dilakukan dengan cara disiphon setiap hari. Setelah itu diberikan pakan
rumput laut yang bervariatif (Novia dkk., 2010).
Seleksi bertujuan mendapatkan induk matang gonad yang siap untuk
dipijahkan. Waktu seleksi dapat dilakukan menjelang waktu pemijahan. Secara
morfologi sulit membedakan individu jantan atau betina. Induk yang siap
dipijahkan memiliki kandungan gonad >60% dimana gonad dengan kondisi penuh
adalah 100%. Untuk melihat gonad abalone diperlukan spatula, selanjutnya otot
pada sisi yang belawanan dari lubang di bagian cangkang dikuak menggunakan
spatula. Induk betina ditandai dengan warna hijau dan jantan warna oranye muda
atau putih tulang.
Pemilihan induk untuk kegiatan pembenihan harus sesuai dengan
kebutuhan, jika kebutuhan benih hanya untuk perorangan maka dibutuhkan induk
dalam jumlah yang sedikit sedangkan apabila kebutuhan untuk diri sendiri dan
unit lain maka dibutuhkan dalam jumlah ratusan induk. Organisme yang dipilih
harus organisme yang hanya seedikit memiliki kekurangan dan abalone harus
dipastikan sehat dengan perbandingan jantan dan betina 1:3 atau 4 (Leighton,
2008).
Dalam kegitan buudidaya, keberhasilan dapat dirasakan apabila pada
kegiatan tersebut telah mampu untuk memproduksi benih. Untuk menghasilkan
benih yang baik maka perlu digunakan indukan yang baik pula demi mencapai
keberhasilan kegiatan budidaya, berikut syarat pemilihan induk untuk pembenihan
abalone menurut Al-rashdi and Fermin, (2012), yaitu:
a. induk yang terbaik dapat diambil langsung dialam, dengan meminimalkan
jumlah luka pada abalone.
b. Adanya luka yang serius dapat menyebabkan infeksi pada tubuh abalone,
mortalitas dapat meningkat apabila abalone terluka pada bagian kepala,
usus besar dan otot kaki.
c. Pengambilan induk/pemilihan induk untuk pemijahan baiknya dilakukan
pada saat bulan purnama pada saat abalone tidak bergerak aktif dan mudah
untuk didapatkan dan pada saat suhu perairan meningkat
d. pemilihan induk disesuaikan dengan kebutuhan produksi, apabila
kebutuhan produksi besar makan jumlah induk yang dibutuhan juga besar,
namun apabila kebutuhan produksi relative kecil maka penggunaan induk
lebih sedikit (Leighton, 2008).
e. Memilih induk yang unggul, dengan induk unggul diharapkan abalone
yang kemudian yang dihasilkan memiliki sifat unggulan dari indukannya.
Induk abalone baik dari alam maupun breeding yang baik mempunyai ciri
ciri sebagai berikut:
- Tingkat kematangan gonad cukup
- Otot kaki atau daging terlihat segar dengan warna gelap dan tidak lembek dan
lemas
- Melekat kuat pada substrat
- Dapat membalikkan tubuhnya segera bila diletakkan dalam air dengan posisi
terbalik
- Sehat, organ tubuh tidak luka dan utuh
- Ukuran panjang cangkang sekitar 5 cm
- Merayap/berjalan jika dilepaskan dari genggamam
Gambar 9. Ciri-ciri induk Abalon yang sehat (Sumber: Gallardo, 2003)
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penanganan induk adalah kondisi
lingkungan dari abalone. Abalone merupakan hewan nocturnal yang aktif pada
malam hari sehingga membutuhkan lingkungan yang gelap. Suhu air dalam
wadah pemeliharaan berkisar antara 27-290C, sedangkan salinitas berkisar antara
32-35 ppt. perbandingan antara jantan dan betina dalam setiap wadah
pemeliharaan adalah 1:4.
Abalon akan tumbuh lebih baik pada tempat yang terdapat lebih banyak
shelter. Pada wadah pendederan dan pemeliharaan induk, shelter dibuat dari
potongan pipa PVC berdiameter 6 inci dengan panjang 30 cm yang dibelah
menjadi dua, dan ditempatkan di dalam kotak industri masing-masing 1 potong
per kotak industri (3 potong dalam 1 bak). Abalon akan bersembunyi di balik
shelter sepanjang hari dan akan merayap keluar pada malam hari. Sedangkan pada
pemeliharaan larva digunakan rearing plate.
b. Memicu Pematangan Gonad
Banyak factor pokok yang berpengaruh dalam produksi induk matang
gonad, Faktor-faktor dimaksud antara lain ukuran induk, ketersediaan jenis dan
kualitas pakan dan kondisi lingkungan media pemeliharaan. Melalui manipulasi
lingkungan, dapat dihasilkan induk abalon melalui kegiatan budidaya khususnya
dibak. Salah satu parameter Iingkungan adalah suhu yang perlu dikendalikan
fluktuasinya terutama dibak sistim indoor agar tetap optimal (Soleh dan Suwoyo,
2008).
Tingkat kematangan gonad dapat juga ditentukan berdasarkanprosentase
penutupan ovari terhadap hepatopangkreas pada bagian posterior.Gonad dapat
dilihat dengan cara membuka pada bagian posterior antara ototkaki dan cangkang
dengan spatula. Testis dapat dengan mudah dilihat danmudah dibedakan dengan
hepatopangkreas karena berwarna putih susu,sementara ovari berwarna hijau
gelap dan agak sulit dibedakan denganhepatopangkreas. (Anonymous, 1992)
dalam (Susanto dkk., 2009).
Induk abalon dengan pemberian pakan Gracillaria menunjukkan
perkembangan gonad tingkat tiga sebesar 5,26 - 10,53 % (Susanto et al., 2007).
Induk abalon yang telah matang gonad dan memijah, kemudian akan
menunjukkan perkembangan gonad yang berikutnya setelah masa pemeliharaan
sekitar 2-3 bulan. Sampai dengan September 2008 induk abalone yang dapat
memijah sebanyak 8 kali dengan jumlah veliger yang dihasilkan sekitar
1.954.750 ekor.
Untuk menentukan induk abalon yang matang gonad dan siap dipijahkan
adalah dengan melihat tingkat kematangan gonadnya (TKG). Dalam menentukan
tingkat kematangan gonad yang siap dipijahkan adalah TKG stadia 3 yaitu dengan
ciri-ciri gonad membesar dan bila dilihat dari samping volume gonad melebihi
cangkang (Susanto dkk., 2009).
Table 1. Tahap Perkembanagan Gonad H. asinina TKG Kriteria yang digunakan untuk observasi menggunakan mata0 Belum terlihat perkembanagan gonad1 Gonad menutupi sebagian kecil hepatopankreas2 Gonad menutupi 25% dari hepatopankreas3 Gonad menutupi 50% dari hepatopankreass
Gambar 10. Pemeriksaan TKG pada Abalon(Sumber: Seafdac Aquaculture Departement, 2000)
c. Metode Pemijahan
Berbagai metode telah diterapkan dalam proses pemijahan abalon antara
lain dengan cara perlakuan suhu (pengeringan), photoperiod, penyinaran sinar
ultra violet, menggunakan bahan kimia hidrogen peroksida atau kombinasi. Pada
pemijahan yang menggunakan perlakuan suhu pada prinsipnya adalah mengatur
fluktuasi tinggi-rendahnya suhu lingkungan agar induk abalon terangsang untuk
memijah akibat pengaruh perubahan tersebut. Kondisi ini mengikuti pola pasang
surut secara alami. Pada metode kering, abalon diangin-anginkan pada udara
bebas tanpa media air sehingga suhu tubuh terpengaruhi oleh suhu udara luar yang
cenderung lebih tinggi. Keuntungan dengan cara ini yaitu pelaksanaannya lebih
praktis. Sebaliknya resiko yang mungkin dihadapi adalah abalon bisa kekeringan
dan sulit mengontrol suhunya sehingga dapat menimbulkan kematian. Sebaliknya
pada kondisi basah, abalon berada dalam media air dan cukup oksigen serta
control suhu relatif mudah dilakukan melalui pengaturan suhu dan waktu
penggunaan alat pemanas (heater).
Pada pemijahan alami, abalon yang telah masak gonad dapat memijah
dengan rangsangan perubahan suhu secara tiba-tiba oleh sebab pasang-surut.
Pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa pemijahan alami di bak dari
abalon hasil tangkapan diketahui bertepatan dengan phase bulan muda dan
purnama selama 2 bulan pertama dengan pemijahan berikutnya terjadi kira-kira
intervalnya 2 minggu atau interval antara 13 -15 hari (Capinpin et.al., 1998). Pada
awal pemijahan, abalon jantan dan betina dipisah dan dilanjutkan dengan
pengeluaran produk genital. Selain pemijahan alami, induk abalon yang matang
gonad dapat dipijahkan secara buatan.
Pembenihan abalone diawali dengan melakukan pemijahan antara induk
abalone jantan dan induk betina. Abalone jenis Haliotis squamata dapat
dipijahkan dengan cara alami dan buatan. Proses pemijahan abalone secara
buatan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu pertama dilakukan proses
dry up sekitar 1 jam dengan cara mengangkat induk abalone dari dalam air dan
dibiarkan berada pada tempat yang tanpa air, kemudian memasukkan induk
abalone jantan dan betina masing-masing 3 ekor dalam bak yang terpisah volume
20 50 liter yang berisi air yang telah melalui UV dan ditempatkan dalam ruangan
dengan kondisi gelap, menaikkan dan turunkan suhu air (±3-5 C) dalam bak
pemijahan secara terkontrol sampai terjadi pemijahan, dilanjutkan dengan
melakukan fertilisasi telur, kemudian menyiphon telur dan cuci beberapa kali serta
ditempatkan dalam bak penetasan. Sementara pemijahan abalon secara alami
dengan melakukan proses dry up sekitar 1 jam, dilanjutkan memasukkan 10 ekor
abalon jantan dan 20 ekor betina dalam keranjang plastic secara terpisah,
kemudian kedua keranjang tersebut dimasukkan dalam satu bak fibre glas dengan
sistem air mengalir hingga memijah. Dilakukan pengamatan setiaphari untuk
melihat telur atau telah menjadi veliger dalam bak (Susanto dkk., 2009).
Demikian juga metode penyinaran sinar ultra violet yang dilewatkan air
laut. Volume air pada waktu penyinaran UV adalah 1/20 dari kapasitas sterilisasi
normal. Selain itu digunakan lampu UV dengan kapasitas keluaran antara 15 W –
2 KW dan tekanan sterilisasi rendah akan lebih efektif dalam kisaran gelombang
275-180 mm. Metode lain pada pemijahan abalon dilakukan dengan rangsangan
pengeringan.
Keberhasilan metode pengeringan tercapai pada saat gonad hewan telah
masak penuh. Jantan memijah lebih dahulu dan sperma dalam bak pemijahan
memicu betina untuk memijah. Abalon jantan dan betina yang masak ditaruh
dalam udara bebas selama 2 jam dan kemudian dipindahkan ke wadah pemijahan.
RAS (1990) dalam Suwoyo, (2008) memberikan perlakuan pemijahan dengan
metode pengeringan, waktu pengeringannya bervariasi tergantung tingkat
kematangan induk, dari 30 menit hingga 2 jam. Sofyan (2006) menggunakan
perlakuan dengan membiarkannya tanpa air selama 30 menit, pada sore hari.
Kemudian dialiri air ke wadah pemijahan dan dipasang heater 100 watt (2 unit)
dan suhu meningkat 3˚C diatas suhu normal.
Pemijahan abalone terjadi dengan cara abalone jantan dan betina
melepaskan gamet kedalam. Pembuahan terjadi di luar saat sperma dan telur
dikeluarkan bersama. Namun, abalone jantan cenderung mengeluarkan spermanya
terlebih dahulu, baru kemudian disusul yang betina (Stephenson, 1924 dalam
Rudiana dkk., 2005).
Feisal (2006) dalam (Bidaryati dkk., 2009) menambahkan bahwa abalon
memiliki tingkah laku khusus dalam memijah. Selain memperkecil dan
memperbanyak jumlah gamet sebagai strategi reproduksinya, abalon memijah
secara berkelompok untuk mempertinggi peluang pembuahan. Disamping itu,
abalon jantan cenderung lebih mudah terangsang untuk memijah bila
dibandingkan dengan yang betina dan sperma abalon yang memijah dapat
merangsang abalon lain baik jantan maupun betina yang sudah matang gonad ikut
memijah. Dengan demikian, diharapkan proses pemijahan lebih optimal sehingga
produksi telur lebih maksimal.
d. Produksi Benih
Pembuahan merupakan proses bertemunya sel sperma dan sel telur dimana
spermatozoa dapat menyampaikan informasi genetiknya ke dalam sel telur.
Pembuahan terjadi jika letak spermatozoa mampu untuk bergabung dengan
membran plasma telur. Hal itu akan terjadi melalui pergerakan sperma dengan
reaksi akrosomal. Pergerakan sperma tergantung pada akti4itas flagelnya. Dan
telur memiliki daya Tarik berupa zat kimia yang dapat mempengaruhi
pergerakansperma untuk mengerubungi sel telur. Tidak terjadinya pembuahan
dapatdisebabkan oleh kepadatan sperma yang tidak optimal, ukuran telur dan
kantungkuning telur. kesuksesan fertilisasi sebagian besar spesies abalon adalah
pada kepadatan spermatozoa yang optimal, yaitu 105-106 sel/ml(Suminto et al.,
2010).
Menurut Roux (2011), selama fertilisasi, sperma abalon mencapai lapisan
vitelline telur setelah menembus lapisan seperti gelatin. Lapisan vitelline terdiri
dari karbohidrat, protein, dan serat glikoprotein, yang diikat oleh ikatan hidrogen.
Setelah mencapai lapisan vitelline, reaksi akrosom exocytotic diinduksi selama
sperma mengeluarkan protein 16-kDa kationik non-enzimatik yang disebut lisin
ke permukaan lapisan vitelline. NH2-terminal pada lisin berfungsi sebagai
pengikat dan COOH-terminal terlibat dalam mengurai mambran vitelline.. Setelah
itu, lisin akan menyebabkan serat vitelline untuk mengurai dan melebarkan lalu
terpisah sehingga membuat sebuah lubang pada lapisan vitelline. Saat itulah
sperma dapat menembus ke dalam sitoplasma sel telur.
Proses pembuahan abalon terjadi di luar tubuh (external fertilization).
Betina dan jantan yang berdekatan akan mengeluarkan telur dan sperma kemudian
bercampur di dalam air. Telur abalon tidak mengapung tetapi tenggelam, namun
karena ukuran dan masa jenisnya sangat kecil dan tidak berbeda jauh dengan masa
jenis air menyebabkan telur-telur ini terangkat ke kolom air oleh gerakan air.
Selama 4 jam telur akan mengapung di permukaan selanjutnya memasuki kolom
air dan melayang mengikuti arus (Fallu, 1991) dalam (Bidaryati dkk., 2009).
Pemanenan telur dilakukan pada induk abalone yang telah memijah di
dalam wadah biasanya terlihat dari kondisi air yang keruh dan tercium aroma air
dalam bak yang amis. Telur yang telah terbuahi akan berada di dasar bak dan
kemudian akan menetas menjadi trochopore yang akan melayang di permukaan
air dan akan keluar melalui outlet (Novia dkk., 2010).
Siklus hidup abalone meliputi larva, postlarval, juvenile dan dewasa.
Perkembangan larva terjadi secara bertahap, dimana pada setiap tahap
perkembangannya memiliki ciri atau khas tertentu. Larva abalone settle pada
ukuran panjang 0,25 mm (Roberts, et al 2007).
Perkembangan embrio abalone sangat dipengaruhi oleh salinitas dan suhu,
tetapi pengaruh suhu sangat dominan. Suhu memberikan pengaruh terhadap
fertilisasi, daya tetas telur, perkembangan awal embrio dan tahap settlement. Telur
abalone yang telah dibuahi berbentuk bulat. Embrio mulai membelah menjadi 2
sel dalam waktu 20-30 menit setelah pembuahan (Setyono, 2005).
Embriogenesis abalone (H. asinine) berlangsung selama 5-6 jam pada suhu air
26°C. Pembelahan pertama dimulai 15 menit sejak pemijahan dan selesai (kurang
lebih 20 menit sejak pembuahannya) serta waktu untuk setiap pembelahan adalah
sekitar 15 menit. Morula terbentuk setelah 1,5 jam dan stereoblastula setelah 2
jam. Gastrula terbentuk setelah 3 jam dan larva sudah bergerak didalam telur
setelah 4-5 jam. Antara jam ke5 dan ke6 larva trochophore menetas (Sarida,
2008).
Didalam siklus hidup abalone terdapat masa transisi dari sifat planktonik ke
pelagic melalui melekatnya larva (settlement) ke substrat. Fase ini merupakann
fase yang kritis, dimana mempertahankan sintasan abalone setelah fase pelekatan
merupakan tantangan terbesar dalam kegiatan pembenihan (Zhang et al., 2004
dalam Xing et al., 2008).
Larva veliger yang mulai membentuk kaki dan operculum dan masih bersifat
planktonis, kemudin akan membentuk statosis atau organ pengatur keseimbangan.
Kemudian, larva sudah memiliki statosis. Organ ini berbentuk bintik hitam seperti
mata pada bagian anterior di tengah-tengah lempeng apical. Keberadaan statosis
ini menunjukkan bahwa larva siap untuk turun ke dasar (settle). Larva akan
mencari pakan yang sumbernya dari luar tubuhnya. Perbedaan waktu settlement
disebabkan karena perbedaan pemicu settlement pada substrat dan pakan (bentik
diatom). Plat yang ditumbuhi pakan (Nitzhia spp dan Navicula spp.) dapat
memicu larva melekat lebih cepat. Larva trochopore menetas menjadi larva
veliger kemudian berenang pada permukaan dalam waktu 5-6 jam setelah
pembuahan, dan melekat pada substrat setelah 2-4 hari tergantung pada
ketersediaan pakan (diatom) dan kecocokan substrat (Setyono, 2005).
e. Pemeliharaan Larva
Stadia larva merupakan stadia paling kritis terkait dengan ketersediaan
pakan alaminya. Kelangsungan hidup (SR) benih dalam pembenihan abalon yang
telah dilakukan di BBL Lombok dilaporkan baru mencapai 0.6%. Hal ini diduga
karena kurangnya ketersediaan pakan alami pada saat larva mulai menempel. Oleh
karena itu, pada tahun anggaran 2008 dilakukan diversifikasi pakan alami yang
sifatnya menempel pada substrat selain Nitzchia yaitu Amphora dan Navicula.
Upaya pembenihan Abalone telah dikembangkan, tetapi tingkat
kelangsungan hidup yang masih rendah sekitar 10-15%. Faktor lingkungan, jenis
pakan, keanekaragaman ukuran menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat
kelangsungan hidup abalone.
Ketersediaan makanan bagi abalon yang baru memasuki masa post larva
adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan sintasannya. Laju pertumbuhan
pada fase hidup awal abalone bergantung pada ketersediaan makanan dan
kemampuan masing-masing individu dalam memanfaatkan makanan yang
tersedia. Tingkat kematian yang tinggi terjadi apabila benih abalon tidak segera
memperoleh pakan yang sesuai, baik jenis maupun jumlahnya (Marzuqi, dkk
2012).
Pada tahap larva, perbedaan substrat akan mempengaruhi tingkat
pertumbuhan. Dimana tingkat keberhasilan larva dalam proses settlement
ditentukan oleh substrat dalam media pertumbuhan. Laju settlement larva abalone
tergantung pada ketersediaan pakan dan kompatibilitas substrat.
Diduga, saat abalone larva pada fase trochophore dan veliger. Kematian
massal sering terjadi yang disebabkan karena rendahnya tingkat ketahanan hidup
abalone yang dapat disebabkan karena ketersediaan pakan alami dimedia
pertumbuhan, kondisi lingkungan, media budidaya, ukuran pakan dan jenis pakan,
sertaa kurangnya kontrol pada pertumbuhan larva di wadah budidaya (Hadijah et
al, 2015).
Beberapa stimulan yang dapat menginduksi settlement dan metamorfosis
pada larva abalone yaitu diatom, lendir dan GABA (Leighton, 2008). Settlement
adalah proses veligers mencari substrat yang cocok dan kemudian berubah dari
larva yang berenang menjadi bentik juvenile dan menjalani proses metamorfosis.
Lendir disekresikan oleh kaki abalone juvenil dan dewasa. Larva telah
diamati untuk menetap di kepadatan tinggi pada lendir dalam tangki pembibitan.
Hal tersebut diyakini bahwa larva dapat membedakan jenis lendir yang
disekresikaan oleh kaki. Beberapa penetasan menggunakan lendir selain sebagai
pelapis bentik diatom untuk mendorong tingkat settlement larva.
Kualitas air yang masuk ke dalam bak pemeliharaan larva abalon dijaga
dengan menyaring air yang masuk melalui saluran inlet menggunakan cartridge
filter dengan serat polipropilen mesh size 1 μm yang selalu diganti setiap pagi dan
sore. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, di tiap bak pemeliharaan larva
dipasang 4 titik aerasi yang dipasang secara merata. namun demikian, teknik ini
masih kurang karena air dari laut yang masuk ke tandon utama tidak difilter.
Akibatnya, banyak ditemukan biota-biota kecil baik di air maupun menempel di
tubuh dan cangkang abalon karena tidak tersaring oleh cartridge filter.
Dikhawatirkan, hal ini akan menjadi agen pembawa (carier) penyakit dan
mengganggu pertumbuhan abalon.
Kualitas air selama pemeliharaan larva akan terus menurun dengan lamanya
proses pemeliharaan berlangsung. Untuk menjaga kualitas air diperlukan
pergantian air baru masuk ke dalam bak pemeliharaan larva. Pada umur < 60 hari
dapat dilakukan penyiponan dengan selang yang berdiameter kecil dan ujung
selang bagian luar dipasang saringan untuk mengantisipasi spat ikut tersedot
keluar.
f. Pakan alami larva
Ketersediaan pakan alami (Nitzchia sp.) menjadi faktor penting sebelum
dilakukannya penebaran dan pemeliharaan larva abalone. Indikator
untukmengetahui bahwa pakan alami sudah menempel adalah sudah terlihatnya
warnacoklat pada rearing plate dan dinding bak (Novia dkk., 2010).
Sebelum larva abalon ditebar ke bak pemeliharaan larva, pakan alami sudah
harus menempel di plate dan bak. Setyono (2004), menyatakan bahwa
pertumbuhan juvenil abalon dapat dipercepat dengan kondisi pemeliharaan yang
bagus termasuk pakan yang sesuai dan melimpah. Oleh karena itu, pakan alami
sudah harus ditebar dua minggu sebelumnya. Indikator bahwa pakan alami telah
menempel adalah warna coklat pada plate dan dinding-dinding bak.
Bentik diatom merupakan sumber makanan utama bagi larva abalone hingga
panjang cangkangnya 5 mm. Setelah itu, abalone akan memakan pakan
makroalga. Selama tahap awal pengembangan, larva abalone membutuhkan
bentik diatom yang berkualitas tinggi yang memberikan nutrisi yang cukup untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Hatchery komersial untuk pembenihan
abalone menyediakan sumber cahaya alami atau buatan untuk pengembangan dan
pemeliharaan diatom. Cahaya dan suhu dapat mempengaruhi komposisi biokimia
diatom yang juga dapat mempengaruhi nilai gizi dari abalone (Parker et al, 2007).
Bentik diatom secara tradisional telah digunakan sebagai makanan untuk
postlarval abalone pada pembenihan diseluruh dunia, mempertahankan film
diatom yang cocok adalah faktor penting dalam keberhasilan pembenihan
abalone. diatom harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta memiliki kualitas
yang baik untuk menjamin pertumbuhan dan kelangsungan hidup postlarvae
(Xing et al., 2008).
Penyediaan pakan awal berupa diatom merupakan poin penting dalam
menentukan keberhasilan pembenihan abalone. Dari hasil pengamatan jenis
plankton/diatom yang tumbuh pada bak pemeliharaan spat abalone terdapat
sekitar 9 jenis yaitu Nitzschiaspp, Cocconeis placentala, Melosira nummuloides,
2005). Derajat keasaman pH merupakan ukuran kosentarasi ion hydrogen dan
menujukan Susana air tersebut asam atau basa. Derajat keasaman keasaman yang
layak untuk memelihara larva abalone berkisar 6,5-8,5 (Anonym, 1995dalam
Rudiana dkk.,2005).
Menurut Wibisono (2005 dalam Agustina 2013) arus adalah gerakan
massa air laut kearah horizontal dalam skala besar. Arus di laut dipengaruhi oleh
banyak faktor, salah satunya adalah tiupan angin musim dan pasang surut. Arus
berperan dalam transportasi oksigen dan unsur hara di perairan. Abalon menyukai
tipe perairan yang berarus. Daerah yang berombak dan berarus akan memberikan
masukan oksigen kedalam perairan. Kecepatan arus yang ideal untuk budidaya
abalone berkisar antara 0.2 sampai 0.5 m/detik (Tahang et al. 2006 dalam
Agustina 2013).
Pasang surut juga memperkaya pemasukan oksigen di air. Berdasarkan
pola naikturunnya muka laut, pasang-surut di Indonesia dapat dibagi menjadi
empat jenis yaitu : pasut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal
tide), harian campuran dominan ganda, dan harian campuran tunggal. Jenis pasut
harian dominan ganda, artinya terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam
sehari, hal ini terjadi di sebagian besar perairan Indonesia bagian timur (Nontji
2005 dalam Agustina 2013). Pasang dan surut berpengaruh terhadap keberadaan
abalon, karena saat pergerakan pasang dan surut terjadi pemasukan oksigen ke
perairan. Berdasarkan pustaka abalone menyukai daerah dengan kandungan
oksigen terlarut yang tinggi.
Berbagai jenis abalon hidup di kedalaman yang berbeda-beda. Jenis
abalone putih (Haliotis sorensei) dilaporkan berada pada kedalaman 10 – 20 m
(Lafferty, et al. 2003 dalam Agustina 2013). Menurut Degnan et al. (2006) dalam
Agustina (2013) abalon ditemukan sepanjang terumbu karang dan batuan tubir,
dari permukaan sampai kedalaman 30 m. Abalon akan berada di kedalaman
dimana makroalga masih dapat tumbuh dan sinar matahari masih dapat masuk
kedalam perairan sehingga makroalga dapat melakukan proses fotosintesis.
Abalon biasanya ditemukan di substrat dasar berupa batuan, karena
abalone akan menggunakan batuan tersebut untuk menempel dan bersembunyi.
Abalon membutuhkan substrat yang permukaannya keras. Hal tersebut dinyatakan
oleh Fallu (1991) dalam Agustina (2013) bahwa kaki abalon tidak cocok
digunakan untuk merayap dan melekat di pasir, karena di substrat berpasir abalon
bisa dengan mudah terbalik dan dengan mudah akan dimangsa predator. Biasanya
batuan yang disukai abalon adalah batuan yang ditumbuhi makroalga, beberapa
jenis makroalga ditemukan menempel pada substrat batuan dan sebagian ada yang
hidup berasosiasi dengan lamun, batuan yang ditempeli makroalga adalah tempat
yang sangat cocok untuk dihuni abalone.
Tingkat keberhasilan usaha pembenihan abalone terutama pada tingkat
settlement ditentukan oleh kualitas induk, manajemen pemberian pakan,
pengelolaan kualitas air, dan pengendalian hama dan penyakit. Parameter kualitas
air untuk kerang abalone pembenihan adalah pH 7-8 , suhu di 28-29°C , salinitas
air 30 ppt dan DO pada 3-7 ppm (Hadijah 2015).
h. Hambatan
Perkembangan usaha pembenihan dan budidaya abalone di Indonesia belum
mengalami peningkatan yang pesat meskipun program stimulasi kerap dilakukan
oleh pemerintah dalam rangka memacu pertumbuhan usaha budidaya abalone ini.
Padahal, dalam penerapan teknologi yang dibutuhkan tidak terlalu sulit, lahan
tersedia cukup luas, pakan dari tumbuhan makroalga laut seperti rumput laut,
kualitas air masih baik untuk daerah-daerah yang jauh dari sentra industri dan
pemukiman masyarakat, permodalan juga tidak terlalu mahal untuk memulai
usaha pembenihan abalone tersebut. Permasalahannya adalah minat masyarakat
yang masih rendah mengingat kendala-kendala yang ada dilapangan.
Jika kita mencermati dalam upaya peningkatan budidaya abalone ada beberapa
permasalahan mendasar yang dapat kita temui, diantaranya adalah :
1. Ketersediaan benih yang masih terbatas baik kualitas dan kuantitas, dibeberapa
daerah masih mengandalkan benih alam.
2. Siklus produksi yang relatif lama untuk setiap masa panen (1-1,5 tahun)
3. Rentan dengan pencemaran perairan
Saat ini belum diketahui seberapa cepat H. asinina di Indonesia dapat
tumbuh, baik pada habitat alaminya maupun pada wadah budidaya.Begitu pula
secara teknis budidaya, apakah H.asinina merupakan komoditas yang sesuai
untuk dikembangkan di Indonesia atau tidak.Salah satu indikasi untuk menduga
beberapa hal mengenai kecepatan tumbuh abalon adalah kecepatan tumbuh
larvanya (Sarida, 2005).
Dalam kegiatan di hatchery, pemeliharaan induk abalon sistem indoor
sering terjadi kematian beruntun dan bahkan masal yang diduga karena faktor
lingkungan yang disebabkan oleh adanya limbah yang dihasilkan atau
pembusukkan daging abalon yang mati. Kematian induk abalon sering berakibat
terganggunya produksi benih secara kontinyu. Oleh karena itu berbagai komponen
riset masih perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang faktor
lingkungan yang optimum bagi pemeliharaan abalon seperti salinitas maupun
system budidaya indoor yang berkelanjutan serta pengembangan pakan buatan
pada budidaya abalone (Rusdi dkk., 2010).
Kendala yang mempengaruhi proses pembenihan abalon adalah masuknya
air ke bak pemeliharaan tanpa adanyacartridge filtersehingga airterkadang keruh.
Pasokan pakan alami yang digunakan pada penebaran telurabalon harus optimal
guna memenuhi kebutuhan pakan larva sehingga dapatmengurangi tingkat
kelangsungan hidup larva abalone, pengadaan catridge filter sangat penting untuk
dilakukan karena salah satu penyebab tinggi tingkat kematian abalone pada tahap
pemeliharaan/penanganann yakni buruknya kualitas air, dan ketersediaan pakan
berupa diatom sangat penting untuk di adakan, dalam hal ini dikultur massal
sebagai pakan awal larva abalone (Putri, 2011).
Masalah utama yang dihadapi oleh para pengembang budidaya abalone
tropis adalah tingkat kematian tertinggi terjadi pada fase post larva mulai
menempel pada substrat dan kematian berikutnya terjadi pada saat juvenil
dipindahkan dari substrat ketempat pembesaran (Irwan, 2007). Demikian pula
hasil yang ditemukan oleh (Rashdi dan Iwao, 2008) dalam (Hamzah dkk., 2012)
bahwa kelangsunan hidup larva fase veliger cukup tinggi yaitu 35,9% - 73,7% dan
pada fase post larva turun dratis hingga mencapai 0,1 % - 3,0%.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini diperlukan berbagai cara
dan strategi untuk dapat menjawab kebutuhan akan permintaan pasar terhadap
komoditas abalone baik pasar domestik maupun pasar eksport.
i. Teknik Untuk Perbaikan Pembenihan
Dengan melihat dan mencermati permasalahan mendasar yang ada dalam
usaha pembenihan abalone tersebut, maka diperlukan beberapa langkah yang
dimaksudkan untuk mengatasi atau sebagai solusi efektif terhadap keadaan yang
sedang berlangsung tersebut. Permasalahan kualitas dan kuantitas benih adalah
masalah klasik yang selalu saja dihadapi dalam bidang perikanan secara umum,
tak terkecuali pembenihan abalone. Untuk mengatasi ketersediaan benih
semestinya dibuatkan program pemuliaan calon induk yang unggul dari alam
sebagai stok yang menjadi rujukan dalam memproduksi benih abalone skala
massal. Dengan cara ini, kualitas benih yang dihasilkan oleh induk-induk
pemuliaan menjadi tercatat dan dapat diperbaiki kembali dengan melakukan
perkawinan silang (breeding) untuk mendapat kualitas benih abalone yang unggul.
Permasalahan kuantitas (jumlah) bisa diatasi selain mendorong keterlibatan para
pihak swasta (pengusaha) juga dengan mengintesifkan program pembenihan
abalone pada lembaga/Instansi pemerintah yang menjadi unit pelaksana teknis
untuk melakukan program pembenihan abalone sebagai contoh bagi masyarakat
dan mengajak masyarakat sebagai bagian dari program tersebut. Dengan harapan,
masyarakat nanti secara mandiri dapat menjadi pelaksana sebagai penggiat usaha
budidaya abalone secara umumnya.
Teknologi produksi perlu dipersiapkan untuk memproduksi biomasa
abalon. Hal ini berkaitan dengan reproduksi abalon untuk menghasilkan benih
abalon. Karena itulah ilmu dan teknologi mengenai pengembangbiakan abalon
dan fasilitasinya sangat diperlukan. Fase terpenting dalam perkembangan setiap
biota akuatik adalah fase embrionik dan fase larva. Fallu (1991) dalam (Sarida,
2005) menyatakan bahwa kunci keberhasilan ekonomi dalam akuakultur adalah
cepat lambatnya suatu spesies tumbuh mencapai ukuran komersil, bukan ukuran
maksimum spesies tersebut dapat tumbuh. Budidaya abalon di daerah tropis
cukup menjanjikan jika ditemukan spesies yang memiliki kecepatan tumbuh yang
tinggi.
Pembenihan buatan ini menggunakan larutan ammonia dengan dosis
tertentu (berdasarkan spesiesnya) untuk meningkatkan motililitas spermatozoanya.
Pemberian ammonia pada larutan sperma akan meningkatkan pH media.
Kenaikan pH pada media dapat meningkatkan kematangan dan motilitas
spermatozoa, selain itu dapat menjadikan telur moluska yang tidak subur menjadi
subur sehingga dapat dibuahi oleh spermatozoa (Suminto, dkk.,2010)
Beberapa penelitian menginformasikan bahwa pengasaman lautan
memberikan pengaruh negatif pada perkembangan abalone. Ketika pH dinaikkan
dari 7,6-7,8 cangkang larva berkembang secara tidak normal. Pada penelitian yang
dilakukan pada H.kamtschakana, 60% larva pada 800 ppm CO2 dapat
menyebabkan perkembangan cangkang menjadi normal. Pada 1800 ppm,
perkembangan larva menjadi tidak normal atau kekurangan cangkang. Pada
penelitian yang lain pH rendah juga memberikan pengaruh negatif terhadap
toleransi termal abalone dan tahap veliger dapat berlangsung lebih lama (Dojiri
and Masahiro, 2014).
Untuk permasalahan pencemaran kualitas air dapat diantisipasi dengan
pemilihan lokasi yang telah diuji dengan studi kelayakan juga dengan tetap
mempertimbangkan Rencana Umum Tata Ruang/Wilayah masing-masing
pemerintahan disetiap tingkatannya. Untuk lokasi yang diperkirakan menjadi
wilayah pemukiman sebaiknya dihindari agar menjamin kelangsungan usaha
pembenihan.
j. Prospek Pengembangan Pembenihan Dimasa Yang Datang
Saat ini permintaan pasar khususnya pasar Asia seperti Cina, Singapura
Jepang dan lain-lain semakin meningkat, ini menunjukkan bahwa komoditi ini
layak untuk dikembangkan di masa mendatang. Selama ini pasokan pasar
diperoleh dari hasil tangkapan dari alam dengan hasil yang sedikit dan ukuran
yang beragam. Selain di NTB abalon ditemukan di beberapa perairan laut seperti
Kepulauan Seribu, Pulau Madura, pesisir selatan pulau Jawa, Bali, Kalimantan,
Sulawesi dan Maluku. Penduduk sekitar pantai menangkap abalone di balik batu-
batu karang saat surut terrendah pada pagi atau sore hari dengan menggunakan
alat berupa kait yang terbuat dari kawat. Jumlah dan ukuran beragam (tidak ada
pemilahan atau pembatasan) sehingga mengurangi populasi abalon baik ukuran
besar maupun ukuran kecil, bahkan untuk mendapatkan abalone yang bermutupun
semakin sulit.
Pengembangan usaha budidaya kerang abalone dimasa mendatang
memiliki prospek yang sangat baik mengingat beberapa keunggulan yang dimiliki
oleh kerang tersebut, diantaranya teknik budidayanya cukup sederhana dan mudah
juga harga pasar tinggi baik pasar dalam maupun luar negeri. Didalam negeri
harga jual kerang abalone berkisar antara Rp. 250.000,- s/d Rp. 600.000,-
tergantung dari ukurannya. Sementara dipasar dunia berkisar 22 s/d 66 US$.
Selain alasan tersebut diatas mengapa kerang abalone dipilih sebagai
komoditas yang dibudidayakan dimasa mendatang adalah karena eksploitasi
abalone di alam saat ini populasinya terancam punah karena penangkapan liar,
selain itu juga karena mudah dipelihara (mudah beradaptasi dengan lingkungan),
tingkat kehidupannya tinggi, biaya eksploitasi kecil (pakan utama dapat diperoleh
dari alam seperti rumput laut Gracilaria sp, sargasum sp, kotonni sp, ulva).
Pengembangan usaha perikanan abalon baik perikanan tangkap maupun
budidaya, diharapkan tidak hanya berorientasi untuk mencapai keuntungan.
Pengembangan tersebut harus juga memperhatikan ketersediaan stok alami di
alam dengan menjaga jumlah ketersediaan stok alaminya. Keuntungan
mengembangkan budidaya abalon di Indonesia adalah luasnya wilayah pesisir,
melimpahnya alga yang merupakan pakan alami bagi abalon, melimpahnya
sumberdaya alam untuk diproduksi menjadi makanan buatan bagi abalon (daging
ikan, kedelai, jagung, minyak ikan). Selain itu, upah tenaga kerja yang relatif tidak
mahal, tenaga kerja terlatih dalam bidang perikanan dan budidaya dan jaringan
pasar ekspor yang sudah terbangun (Setyono, 2004 dalam Octaviany, 2007).
Di beberapa negara abalone sudah dikembangakan sejak lama seperti
Jepang dimana disetiap propinsi memiliki unit hatchery abalone baik milik
pemerintah maupun swasta. Di Taiwan dengan asistensi JICA pembenihan
Haliotis asinina sudah berhasil sejak tahun 1989 begitu juga di Philipina
(SEAFDEC). Sedangkan di Indonesia Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
sejak dua tahun terakhir mulai menggalakkan budidaya abalone. Selain
mengembangkan teknik budidayanya, kini bersama sejumlah pengusaha asal
Jepang sedang membangun lembaga riset di Bali yang khusus menangani
penelitian dan pengembangan abalone.
Menurut Gallardo dkk., (2003) di philippina prospek pengembanagan
abalone diharapkan tumbuh dan berkembang karena:
1. Populasi liar bisa lebih dipanen, jika pengumpulan tidak diatur
2. Ada permintaan yang tinggi di pasar dunia, dengan gap 40% antara penawaran
dan permintaan.
3. Abalones tropis seperti Haliotis asinina lebih disukai oleh pasar terbesar(Cina).
4. Abalones tropis memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan reproduksi dari
spesies beriklim sedang.
5. Teknologi untukpembenihandan budidaya pembesarantersediadan ekonomis.
6. Filipina memiliki banyak situs yang cocok untuk abalone. Masih ada beberapa
kendala baik pembenihan dan pembesaran, namun, dengan melanjutkan
penelitian SEAFDEC/AQ Dini, masalah ini dalam budaya abalone bisa
diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina. J.J. 2013. Distribusi Spasial Abalon Tropis (Haliotis Sp.) di Perairan Dangkal Lombok Timur dan Sumbawa Barat (Nusa Tenggara Barat). Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Al Rashdi. K. M., A. C. Fermin. 2012. A Manual On Hatchery And Seed Production Of Omani Abalone Haliotis Mariae.Ministry Of Agriculture And Fisheries Wealth Directorate General Of Fisheries Research Aquaculture Center. Muscat, Sultanate Of Oman. 20 Hal.
Bidaryati, A., M. J. Chandra., F. Ashar. 2009. Pembenihan Abalon Haliotis asininaDi Balai Budidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat. Institut Pertanian Bogor. Program Kreatifitas Mahasiswa.
Capinpin, E.C.Jr. 2015. Settlement Of The Tropical Abalone Haliotis Asinina On Different Diatoms. International Journal of Fauna and Biological Studies. No.2 (1): 30-34. Dojiri, S.C and M. Dojiri. 2014. The Effects of Ocean Acidification on the Development andCalcification of the Larval Shells of the Red Abalone Haliotis rufescens Swainson, 1822. Journal ofEmerging Investigators.
Effendy. I. J., Dan Patadjai. A. B. 2009. Uji Produksi Massal Juvenile Abalone (Haliotis Asinina) Pada Hatchery Komersial. Dosen Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo, Kendari. Prosiding Seminar Nasional Moluska 2 “Moluska: Peluang Bisnis Dan Konservasi” Bogor, 11-12.
Faturahman., I. S. Rohyani., Sukiman., H. Akhyadi. 2013. Strategi Optimalisasi Metode Budidaya Abalon Sebagai Komoditas Unggulan Perikanan Laut. SN-PSMPIPA-PPSIK
Feisal, F., A.R.P. Tampubolon. 2010. Morfologi Dan Tingkah Laku ReproduksiAbalon Mata Tujuh (Haliotis asinina Lin. 1758). Jurnal Moluska Indonesia. Volume 1: 27-33.
Gallardo.,Wenresti, G., Salayo., Nerissa, D. 2003. Abalone Culture: A New BusinessOpportunity. SEAFDEC Asian Aquaculture, 25(3), 1, 25-28. Volume XXV. ISSN 0115-4974.
Guzman. A. L. D., L. A. Creencia. 2014. Fecundity and condition factor of abalone Haliotis asinina broodstockconditioned in banana leaf and “buho” slat substrates. Western Philippines University. The Palawan Scientist, 6: 1-13.
Hadijah, S.B., Z.E. Viky. 2015. The Influence of Substrate to Larval Settlement of the Tropical Abalone (Haliotis asinina). Modern Applied Science; Vol. 9, No. 1. ISSN 1913-1844. E-ISSN 1913-1852
Hamzah, M. S., S.A.P. Dwiono., S. Hafid. 2012.Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Anak Siput Abalon Tropis Haliotis asinina Dalam Bak Beton Pada Kepadatan Berbeda.Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 2, Hlm. 191-197.
Haesman, M. and N. Savva. 2007. Manual For Intensive Hatchery Production of Abalone. Theory and practice for year-round, high density seed
production of blacklip abalone (Haliotis rubra). Australian Ocean Biotechnology. 108 pp.
Litaay, M. 2005. Peranan Nutrisi Dalam Siklus Reproduksi Abalon. Oseana, Volume XXX, Nomor 3, Hal : 1 - 7 ISSN 0216-1877.
Litaay, M., R, Agus., St, Ferawati., Rusmidin. 2012. Variasi Genetik Abalon Tropis Haliotis asinina L. Asal Sulawesi Selatan; Prospek Budidaya. Jurusan Biologi Fmipa Universitas Hasnuddin Makassar 9024.
Maria, M.G.G., Crispino A. Saclauso, Rex Ferdinand Traifalgar. 2014. Low dietary protein to energy ratios support rapid growth of Juvenile topshell, Trochus niloticus. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies; 1(3):4-8.
Marzuqi, M., I. Rusdi., B. Susanto. 2012. Aplikasi Pakan Buatan Pada Pemeliharaan Benih Abalon (Haliotis Squamata). Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Laut.
Nurfajrie., Suminto., S. Rejeki. 2014. Pemanfaatan Berbagai Jenis Makroalga Untuk Pertumbuhan Abalon (Haliotis squamata) Dalam Budidaya Pembesaran. Journal Of Aquaculture Management And Technology Volume 3, Nomor 4, Halaman 142-150.
Novia. G. M., F. S. Syam., H. F. Marpaung. 2010. Pembenihan Kerang Abalone Haliotis squamata Di BalaiBudidaya Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Octaviany. M. J. 2007. Beberapa Catatan Tentang Aspek Biologi Dan Perikanan Abalon. Oseana, Volume Xxxii, Nomor 4, hal : 39- 47.
Parker, F., M.Davidson., K.Freeman., S.hair., S.Daume. 2007. Investigation Of Optimal Temperature And Light ConditionsFor Three Benthic Diatoms And Their Suitability To CommercialScale Nursery Culture Of Abalone (Haliotis Laevigata). Journal Of Shellfish Research, Vol(26)3:751–761.
Putri. D. R. 2011. Teknik PembenihanKerangAbalon(Haliotis asinina)Di BalaiBudidaya LautLombok, Desa Sekotong Barat,Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat,Provinsi Nusa Tenggara Barat. Universitas AirlanggaSurabaya. 3 Hal.
Pratama. I. S. 2013. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Juvenil Abalon Haliotis asinine pada Sistem Resirkulasi Menggunakan Biofilter Sekam Padi. FMIPA UI.
Porras, O.M., N.A. Botwright., S.M. Mcwilliam., M.T.Cook., J.O.Harris., G. Wiffells., M.L. Colgrave. 2014. Exploiting genomic data to identify proteins involved in abalone reproduction. Journal Of Proteomics 108337– 353.
Rudiana, E.Ir. M.Si., Kunarso, ST., Agus, I. Ir.M.Phil., Istiyanto, S. Dr. Ir. MS. 2005. Perbaikan Proses Pembenihan Abalone (Haliotis Sp) Dari Perairan
Kepulauan Karimunjawa Jepara. Laporan Akhir. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitan Diponegoro. 18 hal
Rusdi. I., A. Hanafi, B. Susanto, M. Marzuqi. 2010. Peningkatan Sintasan Benih Abalon Haliotis squamata di Hatchery Melalui Optimalisasi Pakan Dan Lingkungan. Program Intensif Peningkatan Kemampuan Penelitian Dan Rekayasa. Dewan Riset Nasional Kementrian Negara Riset dan Teknologi. 43 Hal.
Roberts, R.D., N.P.Revsbech., L.R. Damgaard. 2007. Effect Of Water Velocity And Benthic Diatom MorphologyOn The Water Chemistry Experienced By Postlarval Abalone. Journal Of Shellfish Research. Vol(26)3:745–750.
Roux, A. V. 2011. Reproduction Of The South African Abalone, Haliotis Midae. Disertasi. University Of Stellenbosch. Afrika Selatan.Seafdec Aquaculture Department. 2000. AbaloneSeedProductionAnd Culture. Southeast Asian Fisheries Development CenterTigbauan, Iloilo, Philippines.
Sarida, M. 2005. Studi Embriogenesis dan Perkembangan Larva Abalon Mata Tujuh(Haliotis asinina Lin. 1758). Jurusan Perikanan PS Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung 35142.
Setyabudi. H., Gagan. G., Arif. S., Adeyana. 2012. Rekayasa Kawin Silang Abalon Haliotis Asinina Dengan Haliotis Squamata Untuk Menghasilkan Benih Abalon Hibrid.
Setyono, D. E. D. 2005. Embryonic and larval development abalone (Haliotis asinine L). Oseana 30:15-19.
Suminto., Dyah, A. P. S., Titik, S. 2010.Prosentase Perbedaan Pengaruh Tingkat Kematangan Gonad Terhadap Fertilitas Dan Daya Tetas Telur Dalam Pembenahan Buatan Abalone (Haliotis asinina). Jurnal Saintek Perikanan Vol. 6(1): 79 – 87.
Susanto, B., I. Rusdi., S. Ismi., R. Rahmawati. 2010. Pemeliharaan Yuwana Abalon (Haliotis squamata) TurunanF-1 Secara Terkontrol Dengan Jenis Pakan Berbeda. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.
Susanto, B., I. Rusdi., S. Ismi., R. Rahmawati. 2009. Perbenihan Dan Pembesaran Abalon (Haliotis squamatadi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali. Prosiding Seminar Nasional Moluska 2. “Moluska: Peluang Bisnis Dan Konservasi”
Uneputty, P. A.,D. J. Tala. 2011. Karakteristik Biometrika Dan Potensi ReproduksiSiput Abalone (Haliotis Squamata).Ichthyos, Vol. 10 No. 1, Hal : 13-20.
Xing, R.L., C.H. Wang., X.B. Cao and Y.Q. Chang. 2008. Settlement, growth and survival of abalone, haliotis discus hannai, in response to eight monospecific benthic diatoms. Journal Appl. Phycol 20: 47-53.