Page 1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-
Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil
diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Muthia Cendradewi sebagai
tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu
kami dalam proses tutorial ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan
yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan
kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian
hari.
Mataram, 4 Juli 2013
Penyusun
1
Page 2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………. 1
Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 2
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Skenario………………………………………………………….…3
1.2 Learning Objective (LO)……………..……………………….……3
1.3 Mind Map……………………………………………………….….4
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Tuberkulosis ……………………………………................................5
2.2 Penyakit Paru Obrtuksi Kronis……………………………………....17
2.3 Bronkiektasis.......................................................................................25
2.4 Kanker Paru.........................................................................................32
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan……………………....………………………………………46
Daftar Pustaka……………………………………………………………………...47
2
Page 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario 5
A 32 year old male comes to the pulmonology clinic at hospital with shortness of breath. He
has productive cough with thick sputum (once or twice tinged with blood) for the last 5
months. His weight decreased since the last 3 months, along with decreased appetite. He has
been smoking 2 packs of cigarrete per day since the last 15 years. He has a son that currently
undergoes DOTS medication. On physical examination, his weight is 45 kg, his height is 167
cm, his blood pressure is 130/80 mmHg, pulse 88x/minute, respiratory rate 26x/minute,
temperature 36.7C, expiratory wheezing and coughing during maximal inspiration. In
spirometry test, the FEV1/FVC ratio is 68%. The physician then plans further supportive
examinations to settle the diagnosis.
1.2 Learning Objective (LO)
Diagnosis Dieferensial:
1. Tuberkulosisi
2. PPOK
3. Bronkiektasis
3
Page 4
1.3 Mind Maping
4
Pria 32 tahun
KU
Sesak Nafas
KP
Batuk berdahak disertai darah
Penurunan BB
Penurunan Nafsu Makan
RPS
Anak Menderita TB
Pemeriksaan Fisik
Whezing
Pemeriksaan Penunjang : FEV1/FVC 68%
Page 5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TUBERKULOSIS
A. Epidemiologi
WHO menyatakan bahwa sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis. Setiap tahunnya diseuruh dunia didapatkan sekitar 4 juta
penderita baru TB menular, ditambah dengan jumah yang sama TB yang tidak menular dan
sekitar 3 juta meninggal setiap tahunnya. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap tahun
terdapat 10-20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1-5 per 100.000
penduduk sedang di negara berkembang angkanya masih tinggi.
Menurut survei pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta
kematian akibat TB diseluruh dunia dimana 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di
dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB
lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Dari semua
penderita TB, sekitar 75% adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-
50 tahun).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak
yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22
negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun
1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Munculnya
pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan
meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda
kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah
akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.
WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat
TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001
di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB paru BTA (+) yang diobati (23% dari perkiraan
penderita TB BTA (+)). Tiga perempat dari kasus berusia 15-49 tahun dan baru 20% yang
tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis yang dilaksanakan pemerintah.
5
Page 6
B. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. Yang tergolong dalam kuman
Mycobacterium tuberculosae complex adalah :
1. M. tuberculosae,
2. Varian Aisan,
3. Varian African I,
4. Varian African II,
5. M. Bovis.
Pembagian di atas berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
Cara penularan
- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 dahak.
- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan gelap dan lembab.
- Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko penularan
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari
pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu
6
Page 7
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
Risiko menjadi sakit TB
1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.
sekitar 50 di antaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.
7
Page 8
C. Patogenesis
Tb primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung dengan ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan
berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Bla pertikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan
menempel pada jaringan paru atau saluran napas. partikel dapat masuk ke alveolar bila
ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman pertama kali akan dihadapi oleh neutrofil, kemudian
baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag.
Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan
paru akan berbentuk sarang tuberculosis penumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek
primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan
paru. Bila menjalar sampai ke pleura maka akan terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga
masuk melalui GIT, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati reginal
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak,
ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh organ paru
dan terjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke).
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi:
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, ini yang banyak terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada lesi penumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di
antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
8
Page 9
Komplikasi dan menyebar secara : a) perkontinuitatum, yakni menyebar ke
sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun pada paru
sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar
ke usus, c) secara limfogen, ke organ tubuh lainnya, d) secara hematogen, ke organ
tubuh lainnya.
Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer =
TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder
terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes,
AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi
di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histosit
dan sel Datia langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit
dan berbagai jaringan ikat.
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB
usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas
pasien, sarang dini ini dapat menjadi :
Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras menimbulkan perkapuran. Sarang
dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat
sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar dan terjadilah kavitas. Kavitas ini
bermula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi
jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).
Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam
nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan
9
Page 10
sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic
disseminate TB yang terjadi pada immunodefisisensi dan usia lanjut.
Pada TB pasca primer ini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri yang sangat banyak.
Kavitas dapat :
1. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk
dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru
sebelahnya atau tertelan lambung dan selanjutnya ke usus dan jadi TB usus. Bisa juga
terdapat TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura
2. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini
dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi
kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti
Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma
3. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh dengan
membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang
terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni :
1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi
2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan lengkap dan sempurna
3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh
spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya
diberi pengobatan yang sempurna juga.
Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika disebabkan
oleh strain resisten obat atau terjadi pada pasien berusia lanjut, dengan debilitas, atau
mengalami gangguan kekebalan yang berisiko tinggi menderita tuberkulosis milier.
a. Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi
lanjut.
10
Page 11
Komplikasi dini :
- Pleuritis
- Efusi pleura
- Radang tenggorokan
- Usus,
- Poncet’s arthropathy.
komplikasi lebih lanjut:
- Obstruksi jalan nafas -> SOPT(Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis)
- Kerusakan parenkim berat -> fibrosis paru.
- Cor pulmonale.
- Amiloidosis.
- Karsinoma paru-paru.
- Pernapasan sindrom kegagalan dewasa (ARDS)
- Sering terjadi pad dalam TB milier dan kavitas TB.
D. Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Anamnesis :
1. Gejala respiratorius :
Batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas
2. Sistemik :
Demam subfebril, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan
menurun
Pemeriksaan Fisik :
Tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru
1. Penarikan struktur sekitar
2. Suara nafas bronchial
3. Amforik seperti suara kavitas, tetapi dengan nada tinggi, kualitas suara nyaring
4. Ronki basah
11
Page 12
5. Pada efusi pleura didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan dan suara napas
menurun sampai tidak terdengar
6. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe sering
didaerah leher kadang disertai adanya skrofuloderma
Pemeriksaan laboratorium :
1. Pemeriksaan bakteriologis
2. Pemeriksaan dahak
Dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu) dengan pewarnaan ziehl-nielsen atau
kinyoun gabbet. Positif bila didapatkan sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan
BTA (+). Bila hanya 1 spesimen positif, perlu pemeriksaan foto thoraks atau SPS
ulang. Bila foto toraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru BTA (+).
Bila foto toraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang.
Bila SPS ulang hasilnya negative berarti bukan penderita TB. Bila SPS positif berarti
penderita TB BTA (+). Bila foto toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS
negative, maka diagnosis adalah TB paru BTA negative rontgen positif.
3. Foto toraks
4. Tes tuberculin (mantoux test)
Tuberculin 0,1 ml disuntikkan secara intrakutan. Setelah 48-72 jam reaksi harus
dibaca dalam cahaya yang terang dan posisi lengan sedikit ditekuk. Yang harus
dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan mm. hasil >= 5 mm
orang dengan + HIV, >=10mm, dan >= 15 mm orang dengan factor resiko TB yang
tidak diketahui.
Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan darah rutin namun tak spesifik. LED untuk evaluasi kesembuhan
2. Pemeriksaan serologi
3. Pemeriksaan histopatologi jaringan menunjukkan adanya granuloma dengan
perkejuan
Saat menegakkan diagnosis TB dan sebelum menentukan pengobatan yang diberikan, harus
ditentukan pula definisi kasus TB. Definisi kasus ditentukan oleh 4 determinan yaitu :
1. Lokasi penyakit
2. Hasil hapusan dahak
12
Page 13
3. Riwayat pengobatan sebelumnya
4. Beratnya penyakit
Definisi kasus berdasarkan lokasi penyakit :
TB paru bila penyakit melibatkan parenkim paru
TB ekstra paru TB pada organ selain paru
Definisi kasus berdasarkan hasil hapusan dahak :
TB paru BTA +, bila 2 atau lebih dari pemeriksaan dahak didapatkan BTA + atau satu
BTA + plus abnormalitas radiologis yang menunjukkan TB paru, atau satu hapusan
BTA + plus kultur M.tb positif.
TB paru BTA -, yaitu diluar definisi pada BTA + tersebut
Definisi kasus berdasarkan beratnya penyakit :
Lokasi penyakit, luasnya kelainan, bacillary load menentukan beratnya penyakit. Yang di
klasifikasikan berat bila penyakit dapat mengancam jiwa atau da atau menimbulkan cacat
(TB milier, efusi pericardial, efusi pleura massif atau bilateral meningitis TB, TB spinal,
intestinal, genitourinaria).
Definisi kasus berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :
1. Kasus baru (new case) :
Penderita yang belum pernah diobati TB dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari 1 bulan
2. Kambuh (relaps) :
Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif (hapusan atau kultur)
3. Gagal pengobatan (treatment after failure) :
Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan pengobatan
sebelumnya. Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
13
Page 14
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA negative
menjadi positif pada akhir bulan kedua.
4. Pengobatan setelah default :
Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah berhenti
minumm obat 2 bulan atau lebih.
5. Pindahan (transfer in) :
Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian pindah ke
kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/pindah.
6. Kasus kronik :
Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang dengan
kategori-2.
E. Tatalaksana TB
Pengobatan TB harus dilakukan secara tepat sehingga secara tidak langsung akan
mencegah penyebaran penyakit ini. Berikut adalah beberapa obat yang biasanya digunakan
dalam pengobatan penyakit TB:
1) Isoniazid (INH)
Obat yang bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) ini
merupakan prodrug yang perlu diaktifkan dengan enzim katalase untuk menimbulkan
efek. Bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel mikrobakteri.
2) Rifampisin / Rifampin
Bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bekerja dengan mencegah
transkripsi RNA dalam proses sintesis protein dinding sel bakteri.
3) Pirazinamid
Bersifat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat pembentukan asam lemak
yang diperlukan dalam pertumbuhan bakteri.
4) Streptomisin
14
Page 15
Termasuk dalam golongan aminoglikosida dan dapat membunuh sel mikroba
dengan cara menghambat sintesis protein.
5) Ethambutol
Bersifat bakteriostatik. Bekerja dengan mengganggu pembentukan dinding sel
bakteri dengan meningkatkan permeabilitas dinding.
6) Fluoroquinolone
Fluoroquinolone adalah obat yang menghambat replikasi bakteri M. tuberculosis.
Replikasi dihambat melalui interaksi dengan enzim gyrase, salah enzim yang mutlak
diperlukan dalam proses replikasi bakteri M. Tuberculosis. Enzim ini tepatnya bekerja
pada proses perubahan struktur DNA dari bakteri, yaitu perubahan dari struktur double
helix menjadi super coil (Gambar 5). Dengan struktur super coil ini DNA lebih mudah
dan praktis disimpan di dalam sel. Pada proses tersebut enzim gyrase berikatan dengan
DNA, dan memotong salah satu rantai DNA dan kemudian menyambung kembali
(Gambar 5). Dalam proses ini terbentuk produk sementara (intermediate product)
berupa ikatan antara enzim gyrase dan DNA (kompleks gyrase-DNA).
Fluoroquinolone mamiliki kemampuan untuk berikatan dengan kompleks gyrase-
DNA ini, dan membuat gyrase tetap bisa memotong DNA, tetapi tidak bisa
menyambungnya kembali. Akibatnya, DNA bakteri tidak akan berfungsi sehingga
akhirnya bakteri akan mati. Selain itu, ikatan fluoroquinolone dengan kompleks gyrase-
DNA merupakan ikatan reversible, artinya bisa lepas kembali sehingga bisa di daur
ulang. Akibatnya, dengan jumlah yang sedikit fluoroquinolone bisa bekerja secara
efektif.
Dalam terapi TB, biasanya dipilih pemberian dalam bentuk kombinasi dari 3-4 macam
obat tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri terhadap
obat. Dosis yang diberikan berbeda untuk tiap penderita, bergantung tingkat keparahan
infeksi. Karena bakteri tuberkulosa sangat lambat pertumbuhannya, maka penanganan TB
cukup lama, antara 6 hingga 12 bulan yaitu untuk membunuh seluruh bakteri secara tuntas.
Pengobatan harus dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus, walaupun pasien telah
merasa lebih baik / sehat. Pengobatan yang terhenti ditengah jalan dapat menyebabkan
bakteri menjadi resisten. Jika hal ini terjadi, maka TB akan lebih sukar untuk disembuhkan
dan perlu waktu yang lebih lama untuk ditangani. Untuk membantu memastikan penderita
TB meminum obat secara teratur dan benar, keterlibatan anggota keluarga atau petugas
kesehatan diperlukan yaitu mengawasi dan jika perlu menyiapkan obat yang hendak
15
Page 16
dikonsumsi. Oleh karena itu, perlunya dukungan terutama dari keluarga penderita untuk
menuntaskan pengobatan agar benar-benar tercapai kesembuhan.
Obat diminum pada waktu yang sama setiap harinya untuk memudahkan penderita
dalam mengkonsumsi obat. Lebih baik obat diminum saat perut kosong sekitar setengah jam
sebelum makan atau menjelang tidur.
Pencegahan TB
Pencegahan terhadap kemungkinan terjangkitnya penyakit ini merupakan langkah
yang paling efektif dan efisien. Adapun yang dapat kita lakukan sebagai upaya pencegahan
adalah sebagai berikut:
Konsumsi makanan bergizi
Dengan asupan makanan bergizi, daya tahan tubuh akan meningkat. Produksi leukosit pun
tidak akan mengalami gangguan, hingga siap melawan bakteri TB yang kemungkinan
terhirup. Selain itu, konsumsi makanan bergizi juga menghindarkan terjadinya komplikasi
berat akibat TB.
Vaksinasi
Dengan vaksinasi BCG yang benar dan di usia yang tepat, sel-sel darah putih menjadi
cukup matang dan memiliki kemampuan melawan bakteri TB. Meski begitu, vaksinasi ini
tidak menjamin penderita bebas sama sekali dari penyakit TB, khususnya TB paru. Hanya
saja kuman TB yang masuk ke paru-paru tidak akan berkembang dan menimbulkan
komplikasi. Bakteri juga tidak bisa menembus aliran darah dan komplikasi pun bisa
dihindarkan. Dengan kata lain, karena sudah divaksin BCG, anak hanya menderita TB
ringan.
Lingkungan
Lingkungan yang kumuh dan padat akan membuat penularan TB berlangsung cepat.
Untuk itulah mengapa lingkungan yang sehat dan kebersihan makanan dan minuman
sangat perlu untuk dijaga.
16
Page 17
2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis
A.Epidemiologi
Diperkirakan 14 juta penduduk amerika menderita COPD dan merupakan peringkat ketiga
penyebab kematian terbanyak menurut WHO.
PPOK merupakan masalah kesehatan utama dimasyarakat yang menyebabkan 26.000
kematian/tahun di Inggris. Prevalensinya adalah lebih dari 600.000. Angka ini lebih tinggi
dinegara maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah dan pada
manula.
Survey tahun 2001 menunjukan kira-kira 21.1 juta jiwa menderita PPOK. The asia pacific
COPD Rountable Group memperkirakan, jemlah penderita COPD sedang hingga berat
dinegara-negara asia pasifik mencapai 56.6 juta penderita dengan angka prevalensi 6,3%.
Angka prevalensi bagi masing-masing negara berkisar 3,5-6,7%, antara lain cina dengan
angka khusus mencapai 38,160 juta jiwa, jepang 5,014 juta orang, vietnam 2,068 penderita.
Sementara itu di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%.
Kejadian akan meningkat dengan bertambahnya jumlah prokok.
B. Etiologi
Penyebab dari PPOK ini yang terbanyak adalah infeksi tracheobronchial tree.
Penyebab lain yang sering terjadi adalah:
a. Polusi udara
b. Pneumoni
c. Gagal jantung kanan ata kiri atau aritmia
d. Emboli paru
e. Pneumotoraks spontan
f. Pemberian O2 tidak tepat
g. Obat-obatan (hipnotik, tranquilliser, diuretika)
h. Penyakit metabolik (diabetes, gangguan elektrolit)
i. Status nutrisi jelek
j. Stadium akhir penyakit (Winariani, dkk,2005)
17
Page 18
C. Manifestasi klinis
Sesak napas dan batuk merupakan keluhan utama
Sesak napas: timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula
ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah
berat mendadak ada eksaserbasi.
Suara mengi: menunjukkan komponen reversible penyakit pada PPOK. Dapat
ditemukan mengi pada pengerahan tenaga (exertion) mungkin oleh karena udara lewat
saluran napas yang sempit oleh radang atau sikatrik.
Batuk kronik: biasanya berdahak kadang episodic dan memberat waktu pagi. Dahak
biasanya mukoid tetapi berubah purulen bila eksaserbasi.
Batuk darah : dapat dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari
saluran napas yang radang dan khasnya “blood-streaked purulen sputum”. Penyebab
batuk darah yang lain seperti tumor, bronkiektasis, tuberculosis dn payah jantung
perlu dicari.
Nyeri dada
Anoreksia dan berat badan menurun
Perbandingan tipe-tipe klinis COPD
Gambaran Pink Puffer (emfisematosa) Blue Bloater (bronkitis)
Awitan Usia 30-40 tahun Usia 20an dan 30an (batuk
akibat merokok)
Usia saat diagnosis ± 60 tahun ± 50 tahun
Etiologi Faktor-faktor yang tidak
diketahui
Predisposisi genetik
Merokok
Polusi udara
Faktor-faktor yang tidak
diketahui
Merokok
Polusi udara
Cuaca
Sputum Sedikit Banyak sekali
Dispnea Relatif dini Reltif lambat
18
Page 19
Rasio V/Q Ketidakseimbangan V/Q
minimal
Ketidakseimbangan V/Q
nyata
Bentuktubuh Kurus dan ramping Gizi cukup
Diameter AP dada Sering berbentuk tong Tidak bertambah
Patologi anatomi paru Empfisema panlobular Emfisema sentrilobular
banyak ditemukan
Pola pernapasan Hiperventilasi dan dispnea
yang jelas, dapat timbul
sewaktu istirahat
Hilangnya dorongan
pernapasan
Sering terjadi hipoventilasi,
berakibat hipoksia dan
hiperkapnea
Volume paru FEV1 rendah
TLC dan RV meningkat
FEV1 rendah
TLC normal, RV meningkat
sedang
PaCO2 Normal atau rendah (35-40
mmHg)
Meningkat (50-60 mmHg)
PaO2 65-75 mmHg 45-60 mmHg
SaO2 Normal Desaturasi tinggi karena
ketidakseimbangan V/Q
Hematokrit 35% - 45% 50-55 %
Polisitemia Hb dan Htc normal sampai
tahap akhir
Sering terjadi peningkatan
Hb dan Htc
Sianosis Jarang Sering
Kor pulmonale Jarang, kecualitahap akhir Sering, disertai banyak
serangan
19
Page 20
D. Patogenesis
Peradangan pada saluran pernapasan pasien PPOK tampaknya menjadi modifikasi
dari respon inflamasi pada saluran pernafasan terhadap iritasi kronis seperti asap rokok.
Mekanisme peradangan ini belum dipahami tetapi mungkin ditentukan secara genetik. Pasien
dapat berkembang menjadi PPOK tanpa merokok, tetapi sifat dari respon inflamasi pada
pasien ini tidak diketahui. Stres oksidatif dan kelebihan proteinase di paru-paru lebih
memodifikasi radang paru-paru. Secara bersama-sama, mekanisme tersebut menyebabkan
perubahan patologis karakteristik pada PPOK. Radang paru-paru berlanjut setelah berhenti
merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, meskipun autoantigen dan
mikroorganisme persisten mungkin memainkan peran.
Stres oksidatif. Stres oksidatif merupakan mekanisme penting dalam memperkuat
PPOK. Biomarker stres oksidatif (misalnya, hidrogen peroksida, 8-isoprostan) meningkat saat
menghembuskan napas kondensat, dahak, dan sirkulasi sistemik pasien PPOK. Stres oksidatif
lebih meningkat dalam eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikel
inhalasi lainnya, dan dilepaskan dari sel-sel inflamasi diaktifkan seperti makrofag dan
neutrofil. Mungkin juga penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK sebagai akibat
dari pengurangan faktor transkripsi disebut Nrf2 yang mengatur banyak gen antioksidan.
Ketidakseimbangan Protease-antiprotease. Ada bukti kuat ketidakseimbangan dalam
paru-paru pasien PPOK antara protease yang memecah komponen jaringan ikat dan
antiprotease yang melindunginya. Beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan
sel epitel, yang meningkat pada pasien PPOK. Ada semakin banyak bukti bahwa mereka
dapat berinteraksi satu sama lain. Perusakan protease-dimediasi elastin, komponen utama
jaringan ikat di parenkim paru, diyakini menjadi fitur penting dari emfisema dan mungkin
tidak dapat ditarik.
Sel inflamasi. PPOK ditandai dengan pola spesifik peradangan yang melibatkan
peningkatan jumlah CD8+ (sitotoksik) Tc1 limfosit yang hanya muncul pada perokok yang
mengembangkan penyakit ini. Sel-sel ini, bersama-sama dengan neutrofil dan makrofag,
20
Page 21
melepaskan mediator inflamasi dan enzim dan berinteraksi dengan sel struktural dalam
saluran udara, parenkim paru dan pembuluh darah paru.
Mediator inflamasi. Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti
meningkat pada pasien PPOK menarik sel-sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik),
memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan mendorong perubahan struktural
(faktor pertumbuhan).
Penyulit
1. Gagal napas
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Prognosis
Setelah muncul secara klinik, median survival kira-kira 10 tahun. Beberapa faktor
yang telah diidentifikasi dapat memprediksi survival jelek pada PPOK : FEV1 rendah, masih
merokok, hipoksemi, nutrisi jelek, corpulmonale, penyakit comorbid dan kapasitas difusi
rendah.
Pasien dengan FEV1 <35% prediksi mempunyai mortalitas 10% pertahun. Jika pasien
mengatakan tidak mampu berjalan 100 meter tanpa harus berhenti oleh karena sesak napas,
five year survival hanya 30%.
Indeks prognostik yang multi dimensi adalah BODE INDEX (Body mass index,
obstructive ventilatory defect severity, dyspneu severity and exercise capacity).
21
Page 22
E. Tatalaksana PPOK
A. Tujuan;
Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kwalitas hidup
B. Tatalaksana PPOK Stabil
Teraapi terdiri dari; edukasi, obat-obatan, Oksigen, Ventilasi Mekanik, Rehabilitasi
medik, dan Oprasi.
Intensitas terapi ditingkatkan berdasarkan berat penyakit
1. Edukasi
- Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakitnya dan status
kesehatan
- Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok.
2. Obat-obatan
- Tidak ada obat-obatan untuk PPOK yang telah terbukti mampu mengubah
penurunan faal paru jangka panjang
- Obat-obatan digunakan untuk mengurangi keluhan dan atau komplikasi. Terdiri
dari;
a. Bronkodilator
Agonis beta-2 ; Salbutamol, Terbutalin, fenoterol
Antikolinergis ; Ipatropium bromide
Derivat santin ; Aminofilin, teofilin.
Terapi inhalasi lebih dianjurkan
Pemilihan antara ketiga obat tersebut atau kombinasinya tergantung
dari obat yang tersedia dan respon individu terhadap terapi tersebut
serta efek samping obat tersebut.
Obat kombinasi dapat meningkatkan efikasi dan menurunkan resiko
efek samping obbat dibanding peningkatan dosis obat tunggal.
22
Page 23
b. Kortikosteroid
Terapi rutin kortikosteroid inhalasi hanya diberikan;
- Bila terbukti ada respon yang diukur dengan faal paru atau
- PPOK dengan FEV1 <50% prediksi atau
- Eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotik atau kortikosteroid
oral
- Kortikosteroid ora;l jangka panjang tidak dianjurkan.
c. Mukolitik
- Pada beberapa pasien dengan sputum yang kental mukolitik akan
bermanfaat, namun secara keseluruhan manfaatnya kecil.
3. Oksigen
Oksigen jangka panjang (>15 jam/ hari) pada PPOK dengan gagal napas kronis
terbukti dapat meningkatkan survival.
Indikasi;
o Pa O2 <55 mmHg atau SaO <88% dengan atau tanpa hiperkapneu, atau
o Pa O2 antara 55 mmHg dan 60 mmHg atau SaO2 89% tetapi ada hipertensi
pulmonal.
4. Ventilator
- Sampai saat ini belum ada data yang membuktikan bahwa ventilator punya
peranan pada penaatalaksanaan PPOK stabil.
5. Rehabilitasi Medik
- Rehab paru komperhensif terdiri dari ; exercise training, konsultasi nutrisi, dan
edukasi.
6. Operasi
- Bulektomi dan Transplantasi paru bterbukti efektif memperbaiki kwalitas hidup
dan kapasitas fungsional. (Sudoyo,2006)
Pencegahan
Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara. Berhenti merokok
merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi resiko
berkembangnya PPOK dan memperlambat progresifitas penyakit.
23
Page 24
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok – 5 A :
1). Ask (Tanyakan)
Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan
2). Advise (Nasehati)
Memberikan dorongan kuat untuk semua perokok untuk berhenti merokok
3). Assess (Nilai)
Memberikan penilaian untuk usaha berhenti merokok
4). Assist (Bantu)
Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis,
merekomendasikan penggunaan farmakoterapi
5). Arrange (Atur)
Jadwal kontak lebih lanjut (GOLD, 2007).
Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama
tatalaksana COPD (Corwin, 2007).
24
Page 25
2.3 Brokiektasis
Bronchiectasis merupakan dilatasi bronchi yang bersifat abnormal atau permanen.
Bronchiectasis dapat bersifat fokal (melibatkan daerah parenkim paru yang terbatas) atau
bersifat diffuse (melibatkan daerah saluran pernapasan yang lebih luas), umumnya mengenai
bronkus kecil. Komponen dinding saluran pernapasan termasuk kartilago, otot, jaringan ikat
dirusak dan digantikan oleh jaringan fibrosa. Saluran pernapasan yang mengalami dilatasi
seringkali mengandung akumulasi materi purulen dan kental sedangkan saluran pernapasan
perifer seringkali teroklusi oleh sekret dan digantikan oleh jaringan fibrosa.
A.Etiologi
Kelainan kongenital
Bronkiektasis yang timbul secara kongenital memiliki ciri sebagai berikut
- Mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru.
- Sering menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya seperti Mucoviscidosis (Cystic
pulmonary fibrosis), sindrom Kartagener (bronkiektasis kongenital, sinusistis,
paranasal, dan situs inversus), hipo/agamaglobulinemia, penyakit jantung bawaan,
kifoskoliosis kongenital.
Patogenesis bronkiektasis kongenital tidak diketahui secara pasti mekanismenya namun
diduga erta hubungannya dengan faktor genetik serta faktor pertumbuhan dan
perkembangan fetus dalam kandungan.
Kelainan didapat
- Infeksi
Adenovirus dan virus influenza merupakan virus utama yang menyebabkan
bronkiektasis yang berhubungan dengn saluran repirasi bagian bawah. Infeksi bakteri
virulen seperti S. aureus, Klebsiella, dan bakteri anaerob dapat menyebabkan
bronkiektasis apabila terapi antibiotik untuk pneumonia tidak diberikan atau ditunda.
Infeksi Bordetella pertusis saat kecil juga dihubungkan dengan penyakit saluran
pernaasan kronik. Bronkiektasis juga ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV yang
dicurigai karena infeksi sekunder oleh bakteri. Tuberkulosis merupakan penyabab
major bronkiektasis yang menyebabkan dilatasi saluran pernapasan karena terjadi
nekrosis pada parenkim paru dan saluran pernapasan serta sebagai akibat dari
obstruksi saluran pernapasan karena bronkostenosis atau kompresi oleh limfonodus.
25
Page 26
- Noninfeksi
Paparan terhadap substansi yang menyebabkan respon inflamasi yang berat seperti
inhalasi gas toksik (ammonia) atau aspirasi asam lambung.
Defisiensi α1- antitrypsin
Yellow nail syndrome
Pada bronkiektasis didapat terdapat beberapa faktor yang diduga ikut berperan seperti
faktor obstruksi bronkus, faktor infeksi pada bronkus atau paru, faktor adanya beberapa
penyakit tertentu, dan faktor intrinsik dalam bronkus atau paru.
B. Manifestasi klinis
Pada bronkiektasis keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal
berikut:
Adanya kerusakan dinding bronkus
Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan distorsi dinding bronkus, kerusakan
jaringan ikat, tulang rawan, otot polos, mukosa dan silia. Kerusakan tersebut akan
menimbulkan stasis sputum, gangguan ekspektorasi, gangguan refleks batuk dan sesak
napas.
Adanya kerusakan fungsi bronkus
Adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada Luas atau
banyaknya bronkus yang terkena luas dan beratnya penyakit, lokasi bronkus yang terkena,
dan ada tidaknya komplikasi lanjut.
Gejala
- Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung
kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi
(umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi
tidur atau bangun dari tidur.
- Hemoptisis
Terjadi pada 50% kasus bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau
destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul pendarahan.
Pada bronkiektasis kering (dry-bronchiectasis), hemoptisis justru merupakan satu-
26
Page 27
satunya gejala karena bronkiektasis jenis ini letaknya di lobus superior paru,
drainasenya baik dan tidak terjadi akumulasi sputum serta kurang menimbulkan
refleks batuk.
- Sesak napas
Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya bronkitis kronik
yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru
yang terjadi akibat infeksi berulang (ISPA). Kadang ditemukan suara wheezing akibat
adanya obstruksi bronkus.
- Demam berulang
Akibat mengalami infeksi yang berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga
sering terjadi demam berulang.
Pemeriksaan fisik
Pada saat pemeriksaan fisik, mungkin pasien sedang mengalami baruk-batuk dengan
pengeluaran sputum, sesak napas, demam atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisik
umum yang dapat ditemukan meliputi sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis komplikasi
bronkiektasis. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah yang jelas pada lobus
bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke waktu, atau ronki basah
ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain.
Apabila bagian paru yang diserang amat luas terjadi retraksi dinding dada dan
berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi pergeseran
mediastinum ke daerah paru yang terkena.
Pemeriksaan laboratorium
Peemriksaan lab. Darah
Pada derajat ringan, gambaran pemeriksaan darah menunjukkan masih dalam batas
normal. Pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan
polisitemia sekunder. Sering ditemukan anemia yang menunjukkan adanya infeksi
kronik, atau ditemukan leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi sepuratif.
Pemeriksaan urin
Urin umumnya normal, kecuali bila ada komplikasi amiloidosis akan ditemukan
proteinuria.
Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan untuk menentukan
kuman apa yang terdapat dalam sputum
Pemeriksaan radiologi
27
Page 28
Gambaran foto dada pada pasien ini sangat bervariasi, tergantung berat ringannya
kelainan serta letak kelainannya. Pada pasien ini biasanya menunjukkan kista-kista kecil
dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honey comb appearance) pada
daerah yang terkena. Kadang-kadang juga menunjukkan adanya bercak-bercak
pneumonia, fibrosis, atau kolaps.
Derajat keparahan bronkiektasis menurut Brewis diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
1. Ringan
- Batuk dan sputum terjadi setelah demam;
- Produksi sputum diinduksi oleh perubahan posisi;
- Hemoptisis ringan;
- Pasien tampak sehat dan fungsi paru normal;
- Chest X-ray normal;
2. Sedang
- Batuk produktif setiap saat;
- Sputum timbul saat berwarna hijau, seringkali tidak mukoid, berbau tidak enak;
- Hemoptisis;
- Pasien tampak sehat dan fungsi paru normal;
- Jarang terdapat clubbing finger;
- Ronki basah kasar pada paru yang terkena;
- Chest X-ray cenderung masih normal.
3. Berat
- Batuk produktif dengan sputum yang banyak yang berwarna kotor dan berbau;
- Sering ditemui pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura;
- Terdapat clubbing finger;
- Terdapat tanda obstruksi seperti dyspnea, sianosis, dan respiratory distress;
- Keadaan umum kurang baik;
- Infeksi piogenik pada kulit, mata, dsb;
- Mudah timbul pneumonia, septikemia, abses metastasis, amiloidosis;
- Ronki basah kasar pada paru yang terkena;
- Chest X-ray : penambahan bronchovascular marking dan terdapat multiple cyst
containing fluid levels (honey comb appearance)
C. Terapi
28
Page 29
a. Pengobatan Konservatif
Pengelolaan umum, meliputi
Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
- Buat ruangan tempat pasien hangat dan udara ruangan kering;
- Cegah atau anjurkan pasien untuk berhenti merokok;
- Hindari paparan iritan.
Memperbaiki drainase sekret bronkus
- Drainase postural;
- Cairkan sputum dengan cara inhalasi uap air panas atau dingin, obat-obatan
mukolitik, perbaiki hidrasi tubuh;
- Atur posisi tidur pasien;
- Kontrol infeksi saluran napas.
Pengelolaan Khusus
Kemoterapi menggunakan obat antibiotik terpilih selama 7-10 hari. Pemilihan
antibiotik yang akan digunakan harus sesuai dengan hasil uji sensitivitas kuman
terhadap antibiotik.
Drainase Sekret dengan bronkoskop, penting dikerjakan terutama pada permulaan
perawatan pasien. Bertujuan antara lain untuk menentukan dari mana asel sekret
(sputum), identifikasi lokasi sianosis atau obstruksi bronkus, menghilangkan
obstruksi bronkus dengan suction drainage daerah obstruksi tadi.
Pengobatan Simptomatik
- Obstruksi bronkus (FEV <70%) : bronkodilator
- Hipoksia : oksigen aliran rendah (1 L/min)
- Hemoptisis : hentikan perdarahan dengan obat-obatan hemostatik.
- Demam : antibiotik dan bila perlu tambahkan dengan antipiretik.
b. Pengobatan Pembedahan
Tujuan dari pembedahan adalah untuk mengangkat segmen/lobus paru yang terkena.
Indikasi pembedahan :
Pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap
tindakan-tindakan konservatif yang adekuat.
Pasien bronkiektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau
hemoptisis.
Kontraindikasi :
29
Page 30
Pasien bronkiektasis dengan PPOK
Pasien bronkiektasis berat.
Pasien bronkiektasis dengan komplikasi korpulmonal kronik dekompensata.
D. Pathogenesis
Belum diketahui secara sempurna, tetapi nampaknya yang menjadi penyebab utama
adalah keradangan dengan destruksi otot, jaringan elastik dan tulang rawan dinding bronkus,
oleh mukopus yang terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus. Mukopus
mengandung produk-produk neutrofil yang bisa merusak jaringan paru (protease serin,
elastase, kolagenase), oksida nitrit, sitokin inflamasi (IL8) dan substansi yang menghambat
gerakan silia dan mucociliary clearance. Terjadi mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi
mekanik bronkus yang telah lunak oleh pengaruh proteolitik. Inflammatory insult yang
pertama akan diikuti oleh kolonisasi bakteri yang akan menyebabkan kerusakan bronkus
lebih lanjut dan predisposisi untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak
terputus. Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru sekitarnya
menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga terjadi distorsi. Distensi
juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus yang menyebabkan bronkus
mendapatkan tekanan intratorakal yang lebih besar.
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi brokiektasis yang dapat dijumpai pada pasien antara lain :
Bronkitis kronik
Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis
Pleuritis
Efusi pleura atau empiema (jarang)
Abses metastasis di otak
Hemoptisis
Sinusitis
Cor pulmonal kronik
Kegagalan pernapasan
amiloidosis
30
Page 31
E. Pencegahan
Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada bentuk congenital.
Adapun usaha yang dapat dilakukan adalah :
Pengobatan dengan antibiotic atau cara cara lain secara tepat terhadap semua bentuk
pneumonia yang timbul pada anak, akan mencegah terjadinya bronkiektasis
Tindakan vaksinasi terhadap pertusis dan lain lain (influenza, pneumonia) pada anak
dapat diartikan sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya bronkiektasis
F. Prognosis
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif
ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit
Pada kasus kasus yang berat dan tidak diobati, prognosis jelek, survivalnya tidak akan
lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah
jantung kanan, hemoptisis dan lain lain. Pada kasus kasus tanpa komplikasi bronchitis kronik
berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan.
31
Page 32
2.4 Kanker Paru
A. Etiologi dan epidemologi
Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai salah
satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan angka
kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena
kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 19901. Data yang dibuat WHO menunjukan
bahwa kanker paru adalah jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama
pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada
perempuan. Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya
penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit.
Hasil penelitian pada penderita kanker paru pascabedah menunjukkan bahwa, rerata angka
tahan hidup 5 tahunan stage I sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage
II, apalagi jika dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
B. Patofisiologi
Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel normal dapat menjadi
sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi ketidak seimbangan antara fungsi onkogen
dengan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel. Perubahan
atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan/atau
kurang/hilangnya fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak
terkendali. Perubahan ini berjalan dalam beberapa tahap atau yang dikenal dengan proses
multistep carcinogenesis. Perubahan pada kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti
kromosom atau LOH juga diduga sebagai mekanisme ketidak normalan pertumbuhan sel
pada sel kanker. Dari berbagai penelitian telah dapat dikenal beberapa onkogen yang
berperan dalam proses karsinogenesis kanker paru, antara lain gen myc, gen k-ras sedangkan
kelompok gen tumor suppresor antaralain, gen p53, gen rb. Sedangkan perubahan kromosom
pada lokasi 1p, 3p dan 9p sering ditemukan pada sel kanker paru.
C. Diagnosis
Tujuan pemeriksaan diagnosis adalah untuk menentukan jenis histopatologi kanker,
lokasi tumor serta penderajatannya yang selanjutnya diperiukan untuk menetapkan kebijakan
pengobatan.
Deteksi dini
32
Page 33
Keluhan dan gejala penyakit ini tidak spesifik, seperti batuk darah, batuk kronik, berat
badan menurun dan gejala lain yang juga dapat dijurnpai pada jenis penyakit paru lain.
Penernuan dini penyakit ini berdasarkan keluhan saja jarang terjadi, biasanya keluhan yang
ringan terjadi pada mereka yang telah memasuki stage II dan III. Di Indonesia kasus kanker
paru terdiagnosis ketika penyakit telah berada pada staging lanjut. Dengan rneningkatnya
kesadaran masyarakat tentang penyakit ini, disertai dengan meningkatnya pengetahuan dokter
dan peralatan diagnostik maka pendeteksian dini seharusnya dapat dilakukan.
Sasaran untuk deteksi dini terutama ditujukan pada subyek dengan risiko tinggi yaitu:
• Laki -laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok
• Paparan industri tertentu
Dengan satu atau lebih gejala: batuk darah, batuk kronik, sesak napas,nyeri dada dan berat
badan menurun.
Golongan lain yang perlu diwaspadai adalah perempuan perokok pasif dengan salah satu
gejala di atas dan seseorang yang dengan gejala klinik : batuk darah, batuk kronik, sakit dada,
penurunan berat badan tanpa penyakit yang jelas. Riwayat tentang anggota keluarga dekat
yang menderita kanker paru juga perlu jadi faktor pertimbangan. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk deteksi dini ini, selain pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan radio toraks
dan pemeriksaan sitologi sputum. Jika ada kecurigaan kanker paru, penderita sebaiknya
segera dirujuk ke spesialis paru agar tindakan diagnostik lebih lanjut dapat dilakukan lebih
cepat dan terarah.
Prosedur diagnostik
Gambaran Klinik
A. Anamnesis
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya,
terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan
utama dan perjalanan penyakit, serta faktor–faktor lain yang sering sangat membantu
tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :
• Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)
• Batuk darah
• Sesak napas
• Suara serak
• Sakit dada
• Sulit / sakit menelan
• Benjolan di pangkal leher
33
Page 34
• Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang
hebat.
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar
paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau
patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :
• Berat badan berkurang
• Nafsu makan hilang
• Demam hilang timbul
• Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy", trombosis
vena perifer dan neuropatia.
34
Page 35
B. Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat
sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan
terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan
ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura
atau penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini
juga dapat memberikan data untuk penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau
35
Page 36
tumor diluar paru. Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya
fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.
Gambaran radiologis
Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak
dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium
penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral,
bila mungkin CT-scan toraks, bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT
dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis.
a. Foto toraks :
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan
ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler,
disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah
invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan
keterlibatan KGB untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita
penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan.
Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis
penyakit paru, harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan
perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker
paru, tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian
antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik
pneumonia tersebut
Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan
pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan foto
toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan
bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
b.CT-Scan toraks :
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto
toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih
tepat.
Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan
bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang
tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala.
36
Page 37
Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan
stage juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
c.Pemeriksaan radiologik lain :
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah
terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya
Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau
bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen
dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga
perut.
Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan
untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas.
Pemeriksaan ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti
terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif,
mudah berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi
tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.
b. Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah
berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi
jarum, karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila
tumor ada dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi
dan informasi metastasis KGB subkarina atau paratrakeal.
d.Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi
paru lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.
e.Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)
Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan flouroscopic
angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan
TTB dengan tuntunan CTscan.
f. Biopsi lain
37
Page 38
Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba masa
yang dapat terlihat superfisial. Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB
supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di
paru belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB
suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi
dan biopsi pleura harus dilakukan jika ada efusi pleura.
g.Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal
dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.
h. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah. Kekurangan
pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik
pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan
inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan.
Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke
laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan
harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol
absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi dalamformalin 4%.
Pemeriksaan invasif lain
Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti Torakoskopi dan
tindakan bedah mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka
dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila
dari semua cara pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak
dapat ditegakkan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat ditentukan :
1. Jenis histologis.
2. Derajat (staging).
3. Tampilan (tingkat tampil, "performance status").
Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.
Pemeriksaan lain
a. Petanda Tumor
Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.
b. Pemeriksaan biologi molekuler
38
Page 39
Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara paling sederhana dapat
menilai ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti
protein p53, bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah
menentukan prognosis penyakit.
Jenis histologis
Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis
menurut WHO tahun 1999 (Lampiran 1), tetapi untuk kebutuhan klinis cukup jika hanya
dapat diketahui :
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma)
Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi
mengalami kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk
kepentingan pemilihan jenis terapi, minimal harusditetapkan, apakah termasuk kanker paru
karsinoma sel kecil (KPKSK atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC).
Penderajatan (Staging) Kanker Paru
Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For Lung Cancer
1997, berdasarkan sistem TNM (Lampiran. 2). Pengertian T adalah tumor yang dikatagorikan
atas Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) yang dikategorikan
atas Nx, No s/d N3, sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh
(Lampiran. 3).
Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan obyektif yang dapat
dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala international untuk menilai tampilan ini, antara lain
berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak dipakai di Indonesia, tetapi juga dapat dipakai
skala tampilan WHO (Lampiran. 4). Tampilan inilah yang sering jadi penentu dapat tidaknya
kemoterapi atau radioterapi kuratif diberikan.
D. Pengobatan
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi).
Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis,
derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-medisseperti fasiliti yang
dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita juga merupakan faktor yang amat menentukan.
39
Page 40
Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II.
Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine modality therapy”, misalnya kemoterapi
neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang
memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror
berat.
Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan
KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau
reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan
diperiksa dengan potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor.
KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi
anatomis.
Alur Tindakan Diagnosis Kanker Paru
Hal penting lain yang penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah
mengetahui toleransi penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi
40
Page 41
penderita yang akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak
memungkin dapat dinilai dari hasil analisis gas darah
(AGD) :
Syarat untuk reseksi paru
Resiko ringan untuk Pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral baik, VEP1>60%
Risiko sedang pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral > 35%, VEP1 > 60%
Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau paliatif. Pada terapi
kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk KPKBSK stadium
IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif.
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk meringankan keluhan
penderita, seperti sindroma vena kava superiror, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding
dada dan metastasis tumor di tulang atau otak.
Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor
1. Staging penyakit
2. Status tampilan
3. Fungsi paru
Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui :
- Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan
- Penilaian batas sayatan oleh ahli Patologi Anatomi (PA)
Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 – 6000 cGy, dengan cara
pemberian 200 cGy/x, 5 hari perminggu.
Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah :
1. Hb > 10 g%
2. Trombosit > 100.000/mm3
3. Leukosit > 3000/dl
Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni :
1. PS < 70.
2. Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan.
3. Fungsi paru buruk.
Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus
ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance status) harus lebih dan 60
41
Page 42
menurut skala Karnosfky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan dengan
menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan
tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat dilakukan.
Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen kemoterapi adalah:
1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
2. Respons obyektif satu obat antikanker s 15%
3. Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
4. harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 sikius pada penilaian terjadi tumor
progresif.
Regimen untuk KPKBSK adalah :
1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
2. PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid)
3. Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin
4. Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin
5. Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin
Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi
1. Tampilan > 70-80, pada penderita dengan PS < 70 atau usia lanjut, dapat diberikan obat
antikanker dengan regimen tertentu dan/atau jadual tertentu.
2. Hb > 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski Hb < 10 g% tidak
perlu tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai dengan penyebab anemia.
3. Granulosit > 1500/mm3
4. Trombosit > 100.000/mm3
5. Fungsi hati baik
6. Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit)
Dosis obat anti-kanker dapat dihitung berdasarkan ketentuan farmakologik masing
masing. Ada yang menggunakan rumus antara lain, mg/kg BB, mg/luas permukaan tubuh
(BSA), atau obat yang menggunakan rumusan AUC (area under the curve) yang
menggunakan CCT untuk rumusnya. Luas permukaan tubuh (BSA) diukur dengan
menggunakan parameter tinggi badan dan berat badan, lalu dihitung dengan menggunakan
rumus atau alat pengukur khusus (nomogram yang berbentuk mistar) Untuk obat anti-kanker
yang mengunakan AUC ( misal AUC 5), maka dosis dihitung dengan menggunakan rumus
atau nnenggunakan nomogram. Dosis (mg) = (target AUC) x ( GFR + 25) Nilai GFR atau
gromenular filtration rate dihitung dari kadar kreatinin dan ureum darah penderita.
42
Page 43
Evaluasi hasil pengobatan
Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 sikius/sekuen, bila penderita menunjukkan
respons yang memadai. Evaluasi respons terapi dilakukan dengan melihat perubahan ukuran
tumor pada foto toraks PA setelah pemberian (sikius) kemoterapi ke-2 dan kalau
memungkinkan menggunakan CT-Scan toraks setelah 4 kali pemberian. Evaluasi dilakukan
terhadap:
- Respons subyektif yaitu penurunan keluhan awal
- Respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan, bertambahnya berat badan
- Respons obyektif
- Efek samping obat
Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan
1. Respons komplit (complete response , CR) : bila pada evaluasi tumor hilang 100% dan
keadan ini menetap lebih dari 4 minggu.
2. Respons sebagian (partial response, PR) : bila pengurangan ukuran tumor > 50% tetapi <
100%.
3. Menetap {stable disease, SD) : bila ukuran tumor tidak berubahatau mengecil > 25% tetapi
< 50%.
4. Tumor progresif (progresive disease, PD) : bila terjadi petambahan ukuran tumor > 25%
atau muncul tumor/lesi baru di paru atau di tempat lain.
Hal lain yang perlu diperhatikan datam pemberian kemoterapi adalah timbulnya efek
samping atau toksisiti. Berat ringannya efek toksisiti kemoterapi dapat dinilai berdasarkan
ketentuan yang dibuat WHO (lampiran. 5).
Imunoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil penelitian
di Indonesia yang menyokong manfaatnya.
Hormonoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil penelitian
di Indonesia yang menyokong manfaatnya.
Terapi Gen
Tehnik dan manfaat pengobatan ini masih dalam penelitian.
Pengobatan Paliatif
Hal yang perlu ditekankan dalam terapi paliatif adalah tujuannya untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita sebaik mungkin. Gejala dan tanda karsinoma bronkogenik dapat
dikelompokkan pada gejala bronkopulmoner, ekstrapulmoner intratorasik, ekstratoraksik non
43
Page 44
metastasis dan ekstratorasik metastasis. Sedangkan keluhan yang sering dijumpai adalah
batuk, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Pengobatan paliatif untuk kanker paru
meliputi radioterapi, kemoterapi, medikamentosa, fisioterapi, dan psikososial. Pada beberapa
keadaan intervensi bedah, pemasangan stent dan cryotherapy dapat dilakukan.
Rehabilitasi Medik
Pada penderita kanker paru dapat terjadi gangguan muskuloskeletal terutama akibat
metastasis ke tulang. Manifestasinya dapat berupa inviltrasi ke vetebra atau pendesakan
syaraf. Gejala yang tirnbul berupa kesemutan, baal, nyeri dan bahkan dapat terjadi paresis
sampai paralisis otot, dengan akibat akhir terjadinya gangguan mobilisasi/ambulasi. Upaya
rehabilitasi medik tergantung pada kasus, apakah operabel atau tidak.
- Bila operabel tindakan rehabilitasi medik adalah preventif dan restoratif.
- Bila non-operabel tindakan rehabilitasi medik adalah suportif dan paliatif.
Untuk penderita kanker paru yang akan dibedah perlu dilakukan rehabilitasi medik
prabedah dan pascabedah, yang bertujuan membantu memperoleh hasil optimal tindakan
bedah, terutama untuk mencegah komplikasi pascabedah (misalnya: retensi sputum, paru
tidak mengembang) dan mempercepat mobilisasi. Tujuan program rehabilitasi medik untuk
kasus yang nonoperabel adalah untuk memperbaiki dan mempertahankan kemampuan
fungsional penderita yang dinilai berdasarkan skala Karnofsky. Upaya ini juga termasuk
penanganan paliatif penderita kanker paru dan layanan hospis (dirumah sakit atau dirumah).
E. Evaluasi
Angka kekambuhan (relaps) kanker paru paling tinggi terjadi pada 2 tahun pertarna,
sehingga evaluasi pada pasien yang telah diterapi optimal dilakukan setiap 3 bulan sekali.
Evaluasi meliputi pemeriksaan klinis dan radiologis yaitu foto toraks PA / lateral dan Ct-scan
thoraks, sedangkan pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi.
44
Page 45
F. Pencegahan
Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang dikandung
asap rokok itu bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat kaitan kuat antara
kebiasaan merokok dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat disangkal lagi
menghindarkan asap rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang dapat dilakukan.
Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data bahwa risiko seorang
perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi daripada mereka yang tidak
terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar penemuan di atas adalah wajar bahwa pencegahan
utama kanker paru berupa upaya memberantas kebiasaan merokok. Menghentikan seorang
perokok aktif adalah sekaligus menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif. Pencegahan
harus diusahakan sebagai usaha perang terhadap rokok dan dilakukan terus menerus. Program
pencegahan seharusnya diikuti dengan tindakan nyata anti-rokok yang melibatkan tenaga
medis dan mahasiswa FK dan non-FK
45
Page 46
BAB III
PENUTUP
3.I Kesimpulan
Penyakit Obstruktif saluran nafas bawah merupakan segala jenis obstruktif yang
terjadi pada daerah pernafasan dari epiglotis sampai dengan paru-paru yang mencakup
trachea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus. Penyakit ini terdapat pada hampir pada semua
umur. Banyak faktor yang dapat mencetuskan terjadinya sebuah penyakit obstruktif tersebut,
berupa kebiasaan merokok, tinggal pada lingkungan yang banyak menderita penyakit
obstruktif (ex : TB), maupun nutrisi yang kurang dari penderita dapat meningkatkan resiko
mengidap penyakit obstruktif. Gejala umum dari penyakit ini berupa batuk kronis,
pemendekan nafas, dan batuk yang dapat disertai keluarnya seputum yang kental dan bisa
disertai juga dengan darah segar. Adapun pemeriksaan penunjang yang sangat diperlukan
dalam menegakkan diagnosis seperti pemeriksaan sputum dan pemeriksaan x-ray. Untuk
penatalaksanaan nya tergantung dari penyebab obstruksi pada pasien nantinya
46
Page 47
DAFTAR PUSTAKA
1. GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. USA: 2007. p. 16-19. [serial online] 2007. [Cited] 20
Juni 2008. Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?
l1=2&l2=1&intId=1116
2. Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam, jilid II. EGC: Jakarta
3. Hariadi, Slamet et al. 2008. Dasar-Dasar Diagnostik Fisik Paru. Surabaya:
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR
4. Harrison. 2003. Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga.
Jakarta
5. Price, Wilson. 2006. Patifisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6,
volume 2. Jakarta : EGC
6. Sudoyo AW. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Weinbergger SE. Bronchiectasis. Kasper DL et al (eds). Harrison’s Principles of
internal medicine, 17th edition. New York : McGraw-Hill Companies
8.
9. Sudoyo, Aru W dkk. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta
10. Fauci et.al. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw-
Hill Companies, Inc. 2008 : part 10.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan I. Accessed from
www.tbindonesia.or.id/www.tbindonesia.or.id/ Accessed at 1 Juni 2012.
12. World Health Organization. 2010. Guidelines: Treatment of Tuberculosis. Edisi 4.
Accessed from http://whqlibdoc.who.int / Accessed at 1 Juni 2012.
47