Top Banner
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya. Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Muthia Cendradewi sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini. Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari. Mataram, 4 Juli 2013 1
69

tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Dec 15, 2015

Download

Documents

Cok Anan

tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-

Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil

diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Muthia Cendradewi sebagai

tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga

mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu

kami dalam proses tutorial ini.

Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan

yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan

kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian

hari.

Mataram, 4 Juli 2013

Penyusun

1

Page 2: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………. 1

Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 2

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Skenario………………………………………………………….…3

1.2 Learning Objective (LO)……………..……………………….……3

1.3 Mind Map……………………………………………………….….4

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Tuberkulosis ……………………………………................................5

2.2 Penyakit Paru Obrtuksi Kronis……………………………………....17

2.3 Bronkiektasis.......................................................................................25

2.4 Kanker Paru.........................................................................................32

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan……………………....………………………………………46

Daftar Pustaka……………………………………………………………………...47

2

Page 3: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario 5

A 32 year old male comes to the pulmonology clinic at hospital with shortness of breath. He

has productive cough with thick sputum (once or twice tinged with blood) for the last 5

months. His weight decreased since the last 3 months, along with decreased appetite. He has

been smoking 2 packs of cigarrete per day since the last 15 years. He has a son that currently

undergoes DOTS medication. On physical examination, his weight is 45 kg, his height is 167

cm, his blood pressure is 130/80 mmHg, pulse 88x/minute, respiratory rate 26x/minute,

temperature 36.7C, expiratory wheezing and coughing during maximal inspiration. In

spirometry test, the FEV1/FVC ratio is 68%. The physician then plans further supportive

examinations to settle the diagnosis.

1.2 Learning Objective (LO)

Diagnosis Dieferensial:

1. Tuberkulosisi

2. PPOK

3. Bronkiektasis

3

Page 4: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

1.3 Mind Maping

4

Pria 32 tahun

KU

Sesak Nafas

KP

Batuk berdahak disertai darah

Penurunan BB

Penurunan Nafsu Makan

RPS

Anak Menderita TB

Pemeriksaan Fisik

Whezing

Pemeriksaan Penunjang : FEV1/FVC 68%

Page 5: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TUBERKULOSIS

A. Epidemiologi

WHO menyatakan bahwa sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan terinfeksi

oleh Mycobacterium tuberculosis. Setiap tahunnya diseuruh dunia didapatkan sekitar 4 juta

penderita baru TB menular, ditambah dengan jumah yang sama TB yang tidak menular dan

sekitar 3 juta meninggal setiap tahunnya. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap tahun

terdapat 10-20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1-5 per 100.000

penduduk sedang di negara berkembang angkanya masih tinggi.

Menurut survei pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta

kematian akibat TB diseluruh dunia dimana 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di

dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB

lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Dari semua

penderita TB, sekitar 75% adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-

50 tahun).

Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak

yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22

negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun

1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Munculnya

pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan

meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda

kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah

akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan

menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.

WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat

TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001

di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB paru BTA (+) yang diobati (23% dari perkiraan

penderita TB BTA (+)). Tiga perempat dari kasus berusia 15-49 tahun dan baru 20% yang

tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis yang dilaksanakan pemerintah.

5

Page 6: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

B. Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk

batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. Yang tergolong dalam kuman

Mycobacterium tuberculosae complex adalah :

1. M. tuberculosae,

2. Varian Aisan,

3. Varian African I,

4. Varian African II,

5. M. Bovis.

Pembagian di atas berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.

Cara penularan

- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif

- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 dahak.

- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam

waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar

matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa

jam dalam keadaan gelap dan lembab.

- Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan

dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin

menular pasien tersebut.

- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko penularan

1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru

dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari

pasien TB paru dengan BTA negatif.

2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis

Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu

6

Page 7: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk

terinfeksi setiap tahun.

3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.

4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

Risiko menjadi sakit TB

1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.

2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000

terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun.

sekitar 50 di antaranya adalah pasien TB BTA positif.

3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya

tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit

TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler

(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti

tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa

mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah

pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan

meningkat pula.

7

Page 8: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

C. Patogenesis

Tb primer

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar

menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam

udara bebas selama 1-2 jam, tergantung dengan ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi

yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan

berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Bla pertikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan

menempel pada jaringan paru atau saluran napas. partikel dapat masuk ke alveolar bila

ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman pertama kali akan dihadapi oleh neutrofil, kemudian

baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag

keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dan sekretnya.

Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag.

Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan

paru akan berbentuk sarang tuberculosis penumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek

primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan

paru. Bila menjalar sampai ke pleura maka akan terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga

masuk melalui GIT, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati reginal

kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak,

ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh organ paru

dan terjadi TB milier.

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis

regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke).

Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat

menjadi:

Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, ini yang banyak terjadi.

Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di

hilus, keadaan ini terdapat pada lesi penumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di

antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

8

Page 9: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Komplikasi dan menyebar secara : a) perkontinuitatum, yakni menyebar ke

sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun pada paru

sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar

ke usus, c) secara limfogen, ke organ tubuh lainnya, d) secara hematogen, ke organ

tubuh lainnya.

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer =

TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder

terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes,

AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi

di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke

daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10

minggu sarang ini menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histosit

dan sel Datia langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit

dan berbagai jaringan ikat.

TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB

usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas

pasien, sarang dini ini dapat menjadi :

Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan

fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras menimbulkan perkapuran. Sarang

dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat

sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk

jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar dan terjadilah kavitas. Kavitas ini

bermula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi

jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).

Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam

nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan

9

Page 10: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic

disseminate TB yang terjadi pada immunodefisisensi dan usia lanjut.

Pada TB pasca primer ini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri yang sangat banyak.

Kavitas dapat :

1. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk

dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru

sebelahnya atau tertelan lambung dan selanjutnya ke usus dan jadi TB usus. Bisa juga

terdapat TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura

2. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini

dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi

kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti

Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma

3. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh dengan

membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas yang

terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped.

Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni :

1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi

2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan lengkap dan sempurna

3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh

spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya

diberi pengobatan yang sempurna juga.

Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika disebabkan

oleh strain resisten obat atau terjadi pada pasien berusia lanjut, dengan debilitas, atau

mengalami gangguan kekebalan yang berisiko tinggi menderita tuberkulosis milier.

a. Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi

lanjut.

10

Page 11: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Komplikasi dini :

- Pleuritis

- Efusi pleura

- Radang tenggorokan

- Usus,

- Poncet’s arthropathy.

komplikasi lebih lanjut:

- Obstruksi jalan nafas -> SOPT(Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis)

- Kerusakan parenkim berat -> fibrosis paru.

- Cor pulmonale.

- Amiloidosis.

- Karsinoma paru-paru.

- Pernapasan sindrom kegagalan dewasa (ARDS)

- Sering terjadi pad dalam TB milier dan kavitas TB.

D. Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Anamnesis :

1. Gejala respiratorius :

Batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas

2. Sistemik :

Demam subfebril, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan

menurun

Pemeriksaan Fisik :

Tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru

1. Penarikan struktur sekitar

2. Suara nafas bronchial

3. Amforik seperti suara kavitas, tetapi dengan nada tinggi, kualitas suara nyaring

4. Ronki basah

11

Page 12: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

5. Pada efusi pleura didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan dan suara napas

menurun sampai tidak terdengar

6. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe sering

didaerah leher kadang disertai adanya skrofuloderma

Pemeriksaan laboratorium :

1. Pemeriksaan bakteriologis

2. Pemeriksaan dahak

Dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu) dengan pewarnaan ziehl-nielsen atau

kinyoun gabbet. Positif bila didapatkan sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan

BTA (+). Bila hanya 1 spesimen positif, perlu pemeriksaan foto thoraks atau SPS

ulang. Bila foto toraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru BTA (+).

Bila foto toraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang.

Bila SPS ulang hasilnya negative berarti bukan penderita TB. Bila SPS positif berarti

penderita TB BTA (+). Bila foto toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS

negative, maka diagnosis adalah TB paru BTA negative rontgen positif.

3. Foto toraks

4. Tes tuberculin (mantoux test)

Tuberculin 0,1 ml disuntikkan secara intrakutan. Setelah 48-72 jam reaksi harus

dibaca dalam cahaya yang terang dan posisi lengan sedikit ditekuk. Yang harus

dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan mm. hasil >= 5 mm

orang dengan + HIV, >=10mm, dan >= 15 mm orang dengan factor resiko TB yang

tidak diketahui.

Pemeriksaan penunjang :

1. Pemeriksaan darah rutin namun tak spesifik. LED untuk evaluasi kesembuhan

2. Pemeriksaan serologi

3. Pemeriksaan histopatologi jaringan menunjukkan adanya granuloma dengan

perkejuan

Saat menegakkan diagnosis TB dan sebelum menentukan pengobatan yang diberikan, harus

ditentukan pula definisi kasus TB. Definisi kasus ditentukan oleh 4 determinan yaitu :

1. Lokasi penyakit

2. Hasil hapusan dahak

12

Page 13: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

3. Riwayat pengobatan sebelumnya

4. Beratnya penyakit

Definisi kasus berdasarkan lokasi penyakit :

TB paru bila penyakit melibatkan parenkim paru

TB ekstra paru TB pada organ selain paru

Definisi kasus berdasarkan hasil hapusan dahak :

TB paru BTA +, bila 2 atau lebih dari pemeriksaan dahak didapatkan BTA + atau satu

BTA + plus abnormalitas radiologis yang menunjukkan TB paru, atau satu hapusan

BTA + plus kultur M.tb positif.

TB paru BTA -, yaitu diluar definisi pada BTA + tersebut

Definisi kasus berdasarkan beratnya penyakit :

Lokasi penyakit, luasnya kelainan, bacillary load menentukan beratnya penyakit. Yang di

klasifikasikan berat bila penyakit dapat mengancam jiwa atau da atau menimbulkan cacat

(TB milier, efusi pericardial, efusi pleura massif atau bilateral meningitis TB, TB spinal,

intestinal, genitourinaria).

Definisi kasus berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :

1. Kasus baru (new case) :

Penderita yang belum pernah diobati TB dengan OAT atau sudah pernah menelan

OAT kurang dari 1 bulan

2. Kambuh (relaps) :

Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif (hapusan atau kultur)

3. Gagal pengobatan (treatment after failure) :

Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan pengobatan

sebelumnya. Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

13

Page 14: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA negative

menjadi positif pada akhir bulan kedua.

4. Pengobatan setelah default :

Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah berhenti

minumm obat 2 bulan atau lebih.

5. Pindahan (transfer in) :

Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian pindah ke

kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/pindah.

6. Kasus kronik :

Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang dengan

kategori-2.

E. Tatalaksana TB

Pengobatan TB harus dilakukan secara tepat sehingga secara tidak langsung akan

mencegah penyebaran penyakit ini. Berikut adalah beberapa obat yang biasanya digunakan

dalam pengobatan penyakit TB:

1) Isoniazid (INH)

Obat yang bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) ini

merupakan prodrug yang perlu diaktifkan dengan enzim katalase untuk menimbulkan

efek. Bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel mikrobakteri.

2) Rifampisin / Rifampin

Bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bekerja dengan mencegah

transkripsi RNA dalam proses sintesis protein dinding sel bakteri.

3) Pirazinamid

Bersifat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat pembentukan asam lemak

yang diperlukan dalam pertumbuhan bakteri.

4) Streptomisin

14

Page 15: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Termasuk dalam golongan aminoglikosida dan dapat membunuh sel mikroba

dengan cara menghambat sintesis protein.

5) Ethambutol

Bersifat bakteriostatik. Bekerja dengan mengganggu pembentukan dinding sel

bakteri dengan meningkatkan permeabilitas dinding.

6) Fluoroquinolone

Fluoroquinolone adalah obat yang menghambat replikasi bakteri M. tuberculosis.

Replikasi dihambat melalui interaksi dengan enzim gyrase, salah enzim yang mutlak

diperlukan dalam proses replikasi bakteri M. Tuberculosis. Enzim ini tepatnya bekerja

pada proses perubahan struktur DNA dari bakteri, yaitu perubahan dari struktur double

helix menjadi super coil (Gambar 5). Dengan struktur super coil ini DNA lebih mudah

dan praktis disimpan di dalam sel. Pada proses tersebut enzim gyrase berikatan dengan

DNA, dan memotong salah satu rantai DNA dan kemudian menyambung kembali

(Gambar 5). Dalam proses ini terbentuk produk sementara (intermediate product)

berupa ikatan antara enzim gyrase dan DNA (kompleks gyrase-DNA).

Fluoroquinolone mamiliki kemampuan untuk berikatan dengan kompleks gyrase-

DNA ini, dan membuat gyrase tetap bisa memotong DNA, tetapi tidak bisa

menyambungnya kembali. Akibatnya, DNA bakteri tidak akan berfungsi sehingga

akhirnya bakteri akan mati. Selain itu, ikatan fluoroquinolone dengan kompleks gyrase-

DNA merupakan ikatan reversible, artinya bisa lepas kembali sehingga bisa di daur

ulang. Akibatnya, dengan jumlah yang sedikit fluoroquinolone bisa bekerja secara

efektif.

Dalam terapi TB, biasanya dipilih pemberian dalam bentuk kombinasi dari 3-4 macam

obat tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri terhadap

obat. Dosis yang diberikan berbeda untuk tiap penderita, bergantung tingkat keparahan

infeksi. Karena bakteri tuberkulosa sangat lambat pertumbuhannya, maka penanganan TB

cukup lama, antara 6 hingga 12 bulan yaitu untuk membunuh seluruh bakteri secara tuntas.

Pengobatan harus dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus, walaupun pasien telah

merasa lebih baik / sehat. Pengobatan yang terhenti ditengah jalan dapat menyebabkan

bakteri menjadi resisten. Jika hal ini terjadi, maka TB akan lebih sukar untuk disembuhkan

dan perlu waktu yang lebih lama untuk ditangani. Untuk membantu memastikan penderita

TB meminum obat secara teratur dan benar, keterlibatan anggota keluarga atau petugas

kesehatan diperlukan yaitu mengawasi dan jika perlu menyiapkan obat yang hendak

15

Page 16: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

dikonsumsi. Oleh karena itu, perlunya dukungan terutama dari keluarga penderita untuk

menuntaskan pengobatan agar benar-benar tercapai kesembuhan.

Obat diminum pada waktu yang sama setiap harinya untuk memudahkan penderita

dalam mengkonsumsi obat. Lebih baik obat diminum saat perut kosong sekitar setengah jam

sebelum makan atau menjelang tidur.

Pencegahan TB

Pencegahan terhadap kemungkinan terjangkitnya penyakit ini merupakan langkah

yang paling efektif dan efisien. Adapun yang dapat kita lakukan sebagai upaya pencegahan

adalah sebagai berikut:

Konsumsi makanan bergizi

Dengan asupan makanan bergizi, daya tahan tubuh akan meningkat. Produksi leukosit pun

tidak akan mengalami gangguan, hingga siap melawan bakteri TB yang kemungkinan

terhirup. Selain itu, konsumsi makanan bergizi juga menghindarkan terjadinya komplikasi

berat akibat TB.

Vaksinasi

Dengan vaksinasi BCG yang benar dan di usia yang tepat, sel-sel darah putih menjadi

cukup matang dan memiliki kemampuan melawan bakteri TB. Meski begitu, vaksinasi ini

tidak menjamin penderita bebas sama sekali dari penyakit TB, khususnya TB paru. Hanya

saja kuman TB yang masuk ke paru-paru tidak akan berkembang dan menimbulkan

komplikasi. Bakteri juga tidak bisa menembus aliran darah dan komplikasi pun bisa

dihindarkan. Dengan kata lain, karena sudah divaksin BCG, anak hanya menderita TB

ringan.

Lingkungan

Lingkungan yang kumuh dan padat akan membuat penularan TB berlangsung cepat.

Untuk itulah mengapa lingkungan yang sehat dan kebersihan makanan dan minuman

sangat perlu untuk dijaga.

16

Page 17: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis

A.Epidemiologi

Diperkirakan 14 juta penduduk amerika menderita COPD dan merupakan peringkat ketiga

penyebab kematian terbanyak menurut WHO.

PPOK merupakan masalah kesehatan utama dimasyarakat yang menyebabkan 26.000

kematian/tahun di Inggris. Prevalensinya adalah lebih dari 600.000. Angka ini lebih tinggi

dinegara maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah dan pada

manula.

Survey tahun 2001 menunjukan kira-kira 21.1 juta jiwa menderita PPOK. The asia pacific

COPD Rountable Group memperkirakan, jemlah penderita COPD sedang hingga berat

dinegara-negara asia pasifik mencapai 56.6 juta penderita dengan angka prevalensi 6,3%.

Angka prevalensi bagi masing-masing negara berkisar 3,5-6,7%, antara lain cina dengan

angka khusus mencapai 38,160 juta jiwa, jepang 5,014 juta orang, vietnam 2,068 penderita.

Sementara itu di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%.

Kejadian akan meningkat dengan bertambahnya jumlah prokok.

B. Etiologi

Penyebab dari PPOK ini yang terbanyak adalah infeksi tracheobronchial tree.

Penyebab lain yang sering terjadi adalah:

a. Polusi udara

b. Pneumoni

c. Gagal jantung kanan ata kiri atau aritmia

d. Emboli paru

e. Pneumotoraks spontan

f. Pemberian O2 tidak tepat

g. Obat-obatan (hipnotik, tranquilliser, diuretika)

h. Penyakit metabolik (diabetes, gangguan elektrolit)

i. Status nutrisi jelek

j. Stadium akhir penyakit (Winariani, dkk,2005)

17

Page 18: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

C. Manifestasi klinis

Sesak napas dan batuk merupakan keluhan utama

Sesak napas: timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula

ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah

berat mendadak ada eksaserbasi.

Suara mengi: menunjukkan komponen reversible penyakit pada PPOK. Dapat

ditemukan mengi pada pengerahan tenaga (exertion) mungkin oleh karena udara lewat

saluran napas yang sempit oleh radang atau sikatrik.

Batuk kronik: biasanya berdahak kadang episodic dan memberat waktu pagi. Dahak

biasanya mukoid tetapi berubah purulen bila eksaserbasi.

Batuk darah : dapat dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari

saluran napas yang radang dan khasnya “blood-streaked purulen sputum”. Penyebab

batuk darah yang lain seperti tumor, bronkiektasis, tuberculosis dn payah jantung

perlu dicari.

Nyeri dada

Anoreksia dan berat badan menurun

Perbandingan tipe-tipe klinis COPD

Gambaran Pink Puffer (emfisematosa) Blue Bloater (bronkitis)

Awitan Usia 30-40 tahun Usia 20an dan 30an (batuk

akibat merokok)

Usia saat diagnosis ± 60 tahun ± 50 tahun

Etiologi Faktor-faktor yang tidak

diketahui

Predisposisi genetik

Merokok

Polusi udara

Faktor-faktor yang tidak

diketahui

Merokok

Polusi udara

Cuaca

Sputum Sedikit Banyak sekali

Dispnea Relatif dini Reltif lambat

18

Page 19: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Rasio V/Q Ketidakseimbangan V/Q

minimal

Ketidakseimbangan V/Q

nyata

Bentuktubuh Kurus dan ramping Gizi cukup

Diameter AP dada Sering berbentuk tong Tidak bertambah

Patologi anatomi paru Empfisema panlobular Emfisema sentrilobular

banyak ditemukan

Pola pernapasan Hiperventilasi dan dispnea

yang jelas, dapat timbul

sewaktu istirahat

Hilangnya dorongan

pernapasan

Sering terjadi hipoventilasi,

berakibat hipoksia dan

hiperkapnea

Volume paru FEV1 rendah

TLC dan RV meningkat

FEV1 rendah

TLC normal, RV meningkat

sedang

PaCO2 Normal atau rendah (35-40

mmHg)

Meningkat (50-60 mmHg)

PaO2 65-75 mmHg 45-60 mmHg

SaO2 Normal Desaturasi tinggi karena

ketidakseimbangan V/Q

Hematokrit 35% - 45% 50-55 %

Polisitemia Hb dan Htc normal sampai

tahap akhir

Sering terjadi peningkatan

Hb dan Htc

Sianosis Jarang Sering

Kor pulmonale Jarang, kecualitahap akhir Sering, disertai banyak

serangan

19

Page 20: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

D. Patogenesis

Peradangan pada saluran pernapasan pasien PPOK tampaknya menjadi modifikasi

dari respon inflamasi pada saluran pernafasan terhadap iritasi kronis seperti asap rokok.

Mekanisme peradangan ini belum dipahami tetapi mungkin ditentukan secara genetik. Pasien

dapat berkembang menjadi PPOK tanpa merokok, tetapi sifat dari respon inflamasi pada

pasien ini tidak diketahui. Stres oksidatif dan kelebihan proteinase di paru-paru lebih

memodifikasi radang paru-paru. Secara bersama-sama, mekanisme tersebut menyebabkan

perubahan patologis karakteristik pada PPOK. Radang paru-paru berlanjut setelah berhenti

merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, meskipun autoantigen dan

mikroorganisme persisten mungkin memainkan peran.

Stres oksidatif. Stres oksidatif merupakan mekanisme penting dalam memperkuat

PPOK. Biomarker stres oksidatif (misalnya, hidrogen peroksida, 8-isoprostan) meningkat saat

menghembuskan napas kondensat, dahak, dan sirkulasi sistemik pasien PPOK. Stres oksidatif

lebih meningkat dalam eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikel

inhalasi lainnya, dan dilepaskan dari sel-sel inflamasi diaktifkan seperti makrofag dan

neutrofil. Mungkin juga penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK sebagai akibat

dari pengurangan faktor transkripsi disebut Nrf2 yang mengatur banyak gen antioksidan.

Ketidakseimbangan Protease-antiprotease. Ada bukti kuat ketidakseimbangan dalam

paru-paru pasien PPOK antara protease yang memecah komponen jaringan ikat dan

antiprotease yang melindunginya. Beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan

sel epitel, yang meningkat pada pasien PPOK. Ada semakin banyak bukti bahwa mereka

dapat berinteraksi satu sama lain. Perusakan protease-dimediasi elastin, komponen utama

jaringan ikat di parenkim paru, diyakini menjadi fitur penting dari emfisema dan mungkin

tidak dapat ditarik.

Sel inflamasi. PPOK ditandai dengan pola spesifik peradangan yang melibatkan

peningkatan jumlah CD8+ (sitotoksik) Tc1 limfosit yang hanya muncul pada perokok yang

mengembangkan penyakit ini. Sel-sel ini, bersama-sama dengan neutrofil dan makrofag,

20

Page 21: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

melepaskan mediator inflamasi dan enzim dan berinteraksi dengan sel struktural dalam

saluran udara, parenkim paru dan pembuluh darah paru.

Mediator inflamasi. Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti

meningkat pada pasien PPOK menarik sel-sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik),

memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan mendorong perubahan struktural

(faktor pertumbuhan).

Penyulit

1. Gagal napas

2. Infeksi berulang

3. Kor pulmonal

Prognosis

Setelah muncul secara klinik, median survival kira-kira 10 tahun. Beberapa faktor

yang telah diidentifikasi dapat memprediksi survival jelek pada PPOK : FEV1 rendah, masih

merokok, hipoksemi, nutrisi jelek, corpulmonale, penyakit comorbid dan kapasitas difusi

rendah.

Pasien dengan FEV1 <35% prediksi mempunyai mortalitas 10% pertahun. Jika pasien

mengatakan tidak mampu berjalan 100 meter tanpa harus berhenti oleh karena sesak napas,

five year survival hanya 30%.

Indeks prognostik yang multi dimensi adalah BODE INDEX (Body mass index,

obstructive ventilatory defect severity, dyspneu severity and exercise capacity).

21

Page 22: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

E. Tatalaksana PPOK

A. Tujuan;

Mengurangi gejala

Mencegah eksaserbasi berulang

Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Meningkatkan kwalitas hidup

B. Tatalaksana PPOK Stabil

Teraapi terdiri dari; edukasi, obat-obatan, Oksigen, Ventilasi Mekanik, Rehabilitasi

medik, dan Oprasi.

Intensitas terapi ditingkatkan berdasarkan berat penyakit

1. Edukasi

- Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakitnya dan status

kesehatan

- Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok.

2. Obat-obatan

- Tidak ada obat-obatan untuk PPOK yang telah terbukti mampu mengubah

penurunan faal paru jangka panjang

- Obat-obatan digunakan untuk mengurangi keluhan dan atau komplikasi. Terdiri

dari;

a. Bronkodilator

Agonis beta-2 ; Salbutamol, Terbutalin, fenoterol

Antikolinergis ; Ipatropium bromide

Derivat santin ; Aminofilin, teofilin.

Terapi inhalasi lebih dianjurkan

Pemilihan antara ketiga obat tersebut atau kombinasinya tergantung

dari obat yang tersedia dan respon individu terhadap terapi tersebut

serta efek samping obat tersebut.

Obat kombinasi dapat meningkatkan efikasi dan menurunkan resiko

efek samping obbat dibanding peningkatan dosis obat tunggal.

22

Page 23: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

b. Kortikosteroid

Terapi rutin kortikosteroid inhalasi hanya diberikan;

- Bila terbukti ada respon yang diukur dengan faal paru atau

- PPOK dengan FEV1 <50% prediksi atau

- Eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotik atau kortikosteroid

oral

- Kortikosteroid ora;l jangka panjang tidak dianjurkan.

c. Mukolitik

- Pada beberapa pasien dengan sputum yang kental mukolitik akan

bermanfaat, namun secara keseluruhan manfaatnya kecil.

3. Oksigen

Oksigen jangka panjang (>15 jam/ hari) pada PPOK dengan gagal napas kronis

terbukti dapat meningkatkan survival.

Indikasi;

o Pa O2 <55 mmHg atau SaO <88% dengan atau tanpa hiperkapneu, atau

o Pa O2 antara 55 mmHg dan 60 mmHg atau SaO2 89% tetapi ada hipertensi

pulmonal.

4. Ventilator

- Sampai saat ini belum ada data yang membuktikan bahwa ventilator punya

peranan pada penaatalaksanaan PPOK stabil.

5. Rehabilitasi Medik

- Rehab paru komperhensif terdiri dari ; exercise training, konsultasi nutrisi, dan

edukasi.

6. Operasi

- Bulektomi dan Transplantasi paru bterbukti efektif memperbaiki kwalitas hidup

dan kapasitas fungsional. (Sudoyo,2006)

Pencegahan

Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara. Berhenti merokok

merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi resiko

berkembangnya PPOK dan memperlambat progresifitas penyakit.

23

Page 24: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok – 5 A :

1). Ask (Tanyakan)

Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan

2). Advise (Nasehati)

Memberikan dorongan kuat untuk semua perokok untuk berhenti merokok

3). Assess (Nilai)

Memberikan penilaian untuk usaha berhenti merokok

4). Assist (Bantu)

Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis,

merekomendasikan penggunaan farmakoterapi

5). Arrange (Atur)

Jadwal kontak lebih lanjut (GOLD, 2007).

Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama

tatalaksana COPD (Corwin, 2007).

24

Page 25: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

2.3 Brokiektasis

Bronchiectasis merupakan dilatasi bronchi yang bersifat abnormal atau permanen.

Bronchiectasis dapat bersifat fokal (melibatkan daerah parenkim paru yang terbatas) atau

bersifat diffuse (melibatkan daerah saluran pernapasan yang lebih luas), umumnya mengenai

bronkus kecil. Komponen dinding saluran pernapasan termasuk kartilago, otot, jaringan ikat

dirusak dan digantikan oleh jaringan fibrosa. Saluran pernapasan yang mengalami dilatasi

seringkali mengandung akumulasi materi purulen dan kental sedangkan saluran pernapasan

perifer seringkali teroklusi oleh sekret dan digantikan oleh jaringan fibrosa.

A.Etiologi

Kelainan kongenital

Bronkiektasis yang timbul secara kongenital memiliki ciri sebagai berikut

- Mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru.

- Sering menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya seperti Mucoviscidosis (Cystic

pulmonary fibrosis), sindrom Kartagener (bronkiektasis kongenital, sinusistis,

paranasal, dan situs inversus), hipo/agamaglobulinemia, penyakit jantung bawaan,

kifoskoliosis kongenital.

Patogenesis bronkiektasis kongenital tidak diketahui secara pasti mekanismenya namun

diduga erta hubungannya dengan faktor genetik serta faktor pertumbuhan dan

perkembangan fetus dalam kandungan.

Kelainan didapat

- Infeksi

Adenovirus dan virus influenza merupakan virus utama yang menyebabkan

bronkiektasis yang berhubungan dengn saluran repirasi bagian bawah. Infeksi bakteri

virulen seperti S. aureus, Klebsiella, dan bakteri anaerob dapat menyebabkan

bronkiektasis apabila terapi antibiotik untuk pneumonia tidak diberikan atau ditunda.

Infeksi Bordetella pertusis saat kecil juga dihubungkan dengan penyakit saluran

pernaasan kronik. Bronkiektasis juga ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV yang

dicurigai karena infeksi sekunder oleh bakteri. Tuberkulosis merupakan penyabab

major bronkiektasis yang menyebabkan dilatasi saluran pernapasan karena terjadi

nekrosis pada parenkim paru dan saluran pernapasan serta sebagai akibat dari

obstruksi saluran pernapasan karena bronkostenosis atau kompresi oleh limfonodus.

25

Page 26: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

- Noninfeksi

Paparan terhadap substansi yang menyebabkan respon inflamasi yang berat seperti

inhalasi gas toksik (ammonia) atau aspirasi asam lambung.

Defisiensi α1- antitrypsin

Yellow nail syndrome

Pada bronkiektasis didapat terdapat beberapa faktor yang diduga ikut berperan seperti

faktor obstruksi bronkus, faktor infeksi pada bronkus atau paru, faktor adanya beberapa

penyakit tertentu, dan faktor intrinsik dalam bronkus atau paru.

B. Manifestasi klinis

Pada bronkiektasis keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal

berikut:

Adanya kerusakan dinding bronkus

Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan distorsi dinding bronkus, kerusakan

jaringan ikat, tulang rawan, otot polos, mukosa dan silia. Kerusakan tersebut akan

menimbulkan stasis sputum, gangguan ekspektorasi, gangguan refleks batuk dan sesak

napas.

Adanya kerusakan fungsi bronkus

Adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi

Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada Luas atau

banyaknya bronkus yang terkena luas dan beratnya penyakit, lokasi bronkus yang terkena,

dan ada tidaknya komplikasi lanjut.

Gejala

- Batuk

Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung

kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi

(umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi

tidur atau bangun dari tidur.

- Hemoptisis

Terjadi pada 50% kasus bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau

destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul pendarahan.

Pada bronkiektasis kering (dry-bronchiectasis), hemoptisis justru merupakan satu-

26

Page 27: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

satunya gejala karena bronkiektasis jenis ini letaknya di lobus superior paru,

drainasenya baik dan tidak terjadi akumulasi sputum serta kurang menimbulkan

refleks batuk.

- Sesak napas

Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya bronkitis kronik

yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru

yang terjadi akibat infeksi berulang (ISPA). Kadang ditemukan suara wheezing akibat

adanya obstruksi bronkus.

- Demam berulang

Akibat mengalami infeksi yang berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga

sering terjadi demam berulang.

Pemeriksaan fisik

Pada saat pemeriksaan fisik, mungkin pasien sedang mengalami baruk-batuk dengan

pengeluaran sputum, sesak napas, demam atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisik

umum yang dapat ditemukan meliputi sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis komplikasi

bronkiektasis. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah yang jelas pada lobus

bawah paru yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu ke waktu, atau ronki basah

ini hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain.

Apabila bagian paru yang diserang amat luas terjadi retraksi dinding dada dan

berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi pergeseran

mediastinum ke daerah paru yang terkena.

Pemeriksaan laboratorium

Peemriksaan lab. Darah

Pada derajat ringan, gambaran pemeriksaan darah menunjukkan masih dalam batas

normal. Pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat ditemukan

polisitemia sekunder. Sering ditemukan anemia yang menunjukkan adanya infeksi

kronik, atau ditemukan leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi sepuratif.

Pemeriksaan urin

Urin umumnya normal, kecuali bila ada komplikasi amiloidosis akan ditemukan

proteinuria.

Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan untuk menentukan

kuman apa yang terdapat dalam sputum

Pemeriksaan radiologi

27

Page 28: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Gambaran foto dada pada pasien ini sangat bervariasi, tergantung berat ringannya

kelainan serta letak kelainannya. Pada pasien ini biasanya menunjukkan kista-kista kecil

dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honey comb appearance) pada

daerah yang terkena. Kadang-kadang juga menunjukkan adanya bercak-bercak

pneumonia, fibrosis, atau kolaps.

Derajat keparahan bronkiektasis menurut Brewis diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

1. Ringan

- Batuk dan sputum terjadi setelah demam;

- Produksi sputum diinduksi oleh perubahan posisi;

- Hemoptisis ringan;

- Pasien tampak sehat dan fungsi paru normal;

- Chest X-ray normal;

2. Sedang

- Batuk produktif setiap saat;

- Sputum timbul saat berwarna hijau, seringkali tidak mukoid, berbau tidak enak;

- Hemoptisis;

- Pasien tampak sehat dan fungsi paru normal;

- Jarang terdapat clubbing finger;

- Ronki basah kasar pada paru yang terkena;

- Chest X-ray cenderung masih normal.

3. Berat

- Batuk produktif dengan sputum yang banyak yang berwarna kotor dan berbau;

- Sering ditemui pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura;

- Terdapat clubbing finger;

- Terdapat tanda obstruksi seperti dyspnea, sianosis, dan respiratory distress;

- Keadaan umum kurang baik;

- Infeksi piogenik pada kulit, mata, dsb;

- Mudah timbul pneumonia, septikemia, abses metastasis, amiloidosis;

- Ronki basah kasar pada paru yang terkena;

- Chest X-ray : penambahan bronchovascular marking dan terdapat multiple cyst

containing fluid levels (honey comb appearance)

C. Terapi

28

Page 29: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

a. Pengobatan Konservatif

Pengelolaan umum, meliputi

Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien

- Buat ruangan tempat pasien hangat dan udara ruangan kering;

- Cegah atau anjurkan pasien untuk berhenti merokok;

- Hindari paparan iritan.

Memperbaiki drainase sekret bronkus

- Drainase postural;

- Cairkan sputum dengan cara inhalasi uap air panas atau dingin, obat-obatan

mukolitik, perbaiki hidrasi tubuh;

- Atur posisi tidur pasien;

- Kontrol infeksi saluran napas.

Pengelolaan Khusus

Kemoterapi menggunakan obat antibiotik terpilih selama 7-10 hari. Pemilihan

antibiotik yang akan digunakan harus sesuai dengan hasil uji sensitivitas kuman

terhadap antibiotik.

Drainase Sekret dengan bronkoskop, penting dikerjakan terutama pada permulaan

perawatan pasien. Bertujuan antara lain untuk menentukan dari mana asel sekret

(sputum), identifikasi lokasi sianosis atau obstruksi bronkus, menghilangkan

obstruksi bronkus dengan suction drainage daerah obstruksi tadi.

Pengobatan Simptomatik

- Obstruksi bronkus (FEV <70%) : bronkodilator

- Hipoksia : oksigen aliran rendah (1 L/min)

- Hemoptisis : hentikan perdarahan dengan obat-obatan hemostatik.

- Demam : antibiotik dan bila perlu tambahkan dengan antipiretik.

b. Pengobatan Pembedahan

Tujuan dari pembedahan adalah untuk mengangkat segmen/lobus paru yang terkena.

Indikasi pembedahan :

Pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap

tindakan-tindakan konservatif yang adekuat.

Pasien bronkiektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau

hemoptisis.

Kontraindikasi :

29

Page 30: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Pasien bronkiektasis dengan PPOK

Pasien bronkiektasis berat.

Pasien bronkiektasis dengan komplikasi korpulmonal kronik dekompensata.

D. Pathogenesis

Belum diketahui secara sempurna, tetapi nampaknya yang menjadi penyebab utama

adalah keradangan dengan destruksi otot, jaringan elastik dan tulang rawan dinding bronkus,

oleh mukopus yang terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus. Mukopus

mengandung produk-produk neutrofil yang bisa merusak jaringan paru (protease serin,

elastase, kolagenase), oksida nitrit, sitokin inflamasi (IL8) dan substansi yang menghambat

gerakan silia dan mucociliary clearance. Terjadi mukokel yang terinfeksi setelah dilatasi

mekanik bronkus yang telah lunak oleh pengaruh proteolitik. Inflammatory insult yang

pertama akan diikuti oleh kolonisasi bakteri yang akan menyebabkan kerusakan bronkus

lebih lanjut dan predisposisi untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak

terputus. Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru sekitarnya

menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah sehingga terjadi distorsi. Distensi

juga bisa diperberat oleh atelektasis paru sekitar bronkus yang menyebabkan bronkus

mendapatkan tekanan intratorakal yang lebih besar.

Komplikasi

Ada beberapa komplikasi brokiektasis yang dapat dijumpai pada pasien antara lain :

Bronkitis kronik

Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis

Pleuritis

Efusi pleura atau empiema (jarang)

Abses metastasis di otak

Hemoptisis

Sinusitis

Cor pulmonal kronik

Kegagalan pernapasan

amiloidosis

30

Page 31: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

E. Pencegahan

Timbulnya bronkiektasis sebenarnya dapat dicegah, kecuali pada bentuk congenital.

Adapun usaha yang dapat dilakukan adalah :

Pengobatan dengan antibiotic atau cara cara lain secara tepat terhadap semua bentuk

pneumonia yang timbul pada anak, akan mencegah terjadinya bronkiektasis

Tindakan vaksinasi terhadap pertusis dan lain lain (influenza, pneumonia) pada anak

dapat diartikan sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya bronkiektasis

F. Prognosis

Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya

penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif

ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit

Pada kasus kasus yang berat dan tidak diobati, prognosis jelek, survivalnya tidak akan

lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah

jantung kanan, hemoptisis dan lain lain. Pada kasus kasus tanpa komplikasi bronchitis kronik

berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan.

31

Page 32: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

2.4 Kanker Paru

A. Etiologi dan epidemologi

Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai salah

satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan angka

kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena

kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 19901. Data yang dibuat WHO menunjukan

bahwa kanker paru adalah jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama

pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada

perempuan. Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya

penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit.

Hasil penelitian pada penderita kanker paru pascabedah menunjukkan bahwa, rerata angka

tahan hidup 5 tahunan stage I sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage

II, apalagi jika dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan.

B. Patofisiologi

Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel normal dapat menjadi

sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi ketidak seimbangan antara fungsi onkogen

dengan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel. Perubahan

atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan/atau

kurang/hilangnya fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak

terkendali. Perubahan ini berjalan dalam beberapa tahap atau yang dikenal dengan proses

multistep carcinogenesis. Perubahan pada kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti

kromosom atau LOH juga diduga sebagai mekanisme ketidak normalan pertumbuhan sel

pada sel kanker. Dari berbagai penelitian telah dapat dikenal beberapa onkogen yang

berperan dalam proses karsinogenesis kanker paru, antara lain gen myc, gen k-ras sedangkan

kelompok gen tumor suppresor antaralain, gen p53, gen rb. Sedangkan perubahan kromosom

pada lokasi 1p, 3p dan 9p sering ditemukan pada sel kanker paru.

C. Diagnosis

Tujuan pemeriksaan diagnosis adalah untuk menentukan jenis histopatologi kanker,

lokasi tumor serta penderajatannya yang selanjutnya diperiukan untuk menetapkan kebijakan

pengobatan.

Deteksi dini

32

Page 33: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Keluhan dan gejala penyakit ini tidak spesifik, seperti batuk darah, batuk kronik, berat

badan menurun dan gejala lain yang juga dapat dijurnpai pada jenis penyakit paru lain.

Penernuan dini penyakit ini berdasarkan keluhan saja jarang terjadi, biasanya keluhan yang

ringan terjadi pada mereka yang telah memasuki stage II dan III. Di Indonesia kasus kanker

paru terdiagnosis ketika penyakit telah berada pada staging lanjut. Dengan rneningkatnya

kesadaran masyarakat tentang penyakit ini, disertai dengan meningkatnya pengetahuan dokter

dan peralatan diagnostik maka pendeteksian dini seharusnya dapat dilakukan.

Sasaran untuk deteksi dini terutama ditujukan pada subyek dengan risiko tinggi yaitu:

• Laki -laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok

• Paparan industri tertentu

Dengan satu atau lebih gejala: batuk darah, batuk kronik, sesak napas,nyeri dada dan berat

badan menurun.

Golongan lain yang perlu diwaspadai adalah perempuan perokok pasif dengan salah satu

gejala di atas dan seseorang yang dengan gejala klinik : batuk darah, batuk kronik, sakit dada,

penurunan berat badan tanpa penyakit yang jelas. Riwayat tentang anggota keluarga dekat

yang menderita kanker paru juga perlu jadi faktor pertimbangan. Pemeriksaan yang dapat

dilakukan untuk deteksi dini ini, selain pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan radio toraks

dan pemeriksaan sitologi sputum. Jika ada kecurigaan kanker paru, penderita sebaiknya

segera dirujuk ke spesialis paru agar tindakan diagnostik lebih lanjut dapat dilakukan lebih

cepat dan terarah.

Prosedur diagnostik

Gambaran Klinik

A. Anamnesis

Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya,

terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan

utama dan perjalanan penyakit, serta faktor–faktor lain yang sering sangat membantu

tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :

• Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)

• Batuk darah

• Sesak napas

• Suara serak

• Sakit dada

• Sulit / sakit menelan

• Benjolan di pangkal leher

33

Page 34: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

• Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang

hebat.

Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar

paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau

patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :

• Berat badan berkurang

• Nafsu makan hilang

• Demam hilang timbul

• Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy", trombosis

vena perifer dan neuropatia.

34

Page 35: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

B. Pemeriksaan jasmani

Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat

sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan

terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan

ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura

atau penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini

juga dapat memberikan data untuk penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau

35

Page 36: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

tumor diluar paru. Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,

pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya

fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.

Gambaran radiologis

Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak

dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium

penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral,

bila mungkin CT-scan toraks, bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT

dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis.

a. Foto toraks :

Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan

ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler,

disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah

invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan

keterlibatan KGB untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.

Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita

penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan.

Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis

penyakit paru, harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan

perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker

paru, tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian

antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik

pneumonia tersebut

Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan

pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan foto

toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan

bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.

b.CT-Scan toraks :

Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto

toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih

tepat.

Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan

bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang

tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala.

36

Page 37: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan

stage juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga

ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.

c.Pemeriksaan radiologik lain :

Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah

terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya

Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau

bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen

dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga

perut.

Pemeriksaan khusus

a. Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan

untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas.

Pemeriksaan ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti

terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif,

mudah berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi

tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.

b. Biopsi aspirasi jarum

Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah

berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi

jarum, karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.

c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila

tumor ada dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi

dan informasi metastasis KGB subkarina atau paratrakeal.

d.Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)

Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi

paru lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.

e.Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)

Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan flouroscopic

angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan

TTB dengan tuntunan CTscan.

f. Biopsi lain

37

Page 38: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba masa

yang dapat terlihat superfisial. Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB

supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di

paru belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB

suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi

dan biopsi pleura harus dilakukan jika ada efusi pleura.

g.Torakoskopi medik

Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal

dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.

h. Sitologi sputum

Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah. Kekurangan

pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik

pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan

inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan.

Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke

laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan

harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol

absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi dalamformalin 4%.

Pemeriksaan invasif lain

Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti Torakoskopi dan

tindakan bedah mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka

dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila

dari semua cara pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak

dapat ditegakkan.

Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat ditentukan :

1. Jenis histologis.

2. Derajat (staging).

3. Tampilan (tingkat tampil, "performance status").

Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.

Pemeriksaan lain

a. Petanda Tumor

Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat

digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.

b. Pemeriksaan biologi molekuler

38

Page 39: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara paling sederhana dapat

menilai ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti

protein p53, bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah

menentukan prognosis penyakit.

Jenis histologis

Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis

menurut WHO tahun 1999 (Lampiran 1), tetapi untuk kebutuhan klinis cukup jika hanya

dapat diketahui :

1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)

2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)

3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)

4. Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma)

Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi

mengalami kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk

kepentingan pemilihan jenis terapi, minimal harusditetapkan, apakah termasuk kanker paru

karsinoma sel kecil (KPKSK atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis

karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC).

Penderajatan (Staging) Kanker Paru

Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For Lung Cancer

1997, berdasarkan sistem TNM (Lampiran. 2). Pengertian T adalah tumor yang dikatagorikan

atas Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) yang dikategorikan

atas Nx, No s/d N3, sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh

(Lampiran. 3).

Tampilan

Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan obyektif yang dapat

dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala international untuk menilai tampilan ini, antara lain

berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak dipakai di Indonesia, tetapi juga dapat dipakai

skala tampilan WHO (Lampiran. 4). Tampilan inilah yang sering jadi penentu dapat tidaknya

kemoterapi atau radioterapi kuratif diberikan.

D. Pengobatan

Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi).

Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis,

derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-medisseperti fasiliti yang

dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita juga merupakan faktor yang amat menentukan.

39

Page 40: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Pembedahan

Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II.

Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine modality therapy”, misalnya kemoterapi

neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang

memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror

berat.

Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan

KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau

reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan

diperiksa dengan potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor.

KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi

anatomis.

Alur Tindakan Diagnosis Kanker Paru

Hal penting lain yang penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah

mengetahui toleransi penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi

40

Page 41: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

penderita yang akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak

memungkin dapat dinilai dari hasil analisis gas darah

(AGD) :

Syarat untuk reseksi paru

Resiko ringan untuk Pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral baik, VEP1>60%

Risiko sedang pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral > 35%, VEP1 > 60%

Radioterapi

Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau paliatif. Pada terapi

kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk KPKBSK stadium

IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif.

Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk meringankan keluhan

penderita, seperti sindroma vena kava superiror, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding

dada dan metastasis tumor di tulang atau otak.

Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor

1. Staging penyakit

2. Status tampilan

3. Fungsi paru

Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui :

- Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan

- Penilaian batas sayatan oleh ahli Patologi Anatomi (PA)

Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 – 6000 cGy, dengan cara

pemberian 200 cGy/x, 5 hari perminggu.

Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah :

1. Hb > 10 g%

2. Trombosit > 100.000/mm3

3. Leukosit > 3000/dl

Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni :

1. PS < 70.

2. Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan.

3. Fungsi paru buruk.

Kemoterapi

Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus

ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance status) harus lebih dan 60

41

Page 42: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

menurut skala Karnosfky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan dengan

menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan

tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat dilakukan.

Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen kemoterapi adalah:

1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)

2. Respons obyektif satu obat antikanker s 15%

3. Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO

4. harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 sikius pada penilaian terjadi tumor

progresif.

Regimen untuk KPKBSK adalah :

1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)

2. PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid)

3. Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin

4. Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin

5. Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin

Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi

1. Tampilan > 70-80, pada penderita dengan PS < 70 atau usia lanjut, dapat diberikan obat

antikanker dengan regimen tertentu dan/atau jadual tertentu.

2. Hb > 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski Hb < 10 g% tidak

perlu tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai dengan penyebab anemia.

3. Granulosit > 1500/mm3

4. Trombosit > 100.000/mm3

5. Fungsi hati baik

6. Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit)

Dosis obat anti-kanker dapat dihitung berdasarkan ketentuan farmakologik masing

masing. Ada yang menggunakan rumus antara lain, mg/kg BB, mg/luas permukaan tubuh

(BSA), atau obat yang menggunakan rumusan AUC (area under the curve) yang

menggunakan CCT untuk rumusnya. Luas permukaan tubuh (BSA) diukur dengan

menggunakan parameter tinggi badan dan berat badan, lalu dihitung dengan menggunakan

rumus atau alat pengukur khusus (nomogram yang berbentuk mistar) Untuk obat anti-kanker

yang mengunakan AUC ( misal AUC 5), maka dosis dihitung dengan menggunakan rumus

atau nnenggunakan nomogram. Dosis (mg) = (target AUC) x ( GFR + 25) Nilai GFR atau

gromenular filtration rate dihitung dari kadar kreatinin dan ureum darah penderita.

42

Page 43: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

Evaluasi hasil pengobatan

Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 sikius/sekuen, bila penderita menunjukkan

respons yang memadai. Evaluasi respons terapi dilakukan dengan melihat perubahan ukuran

tumor pada foto toraks PA setelah pemberian (sikius) kemoterapi ke-2 dan kalau

memungkinkan menggunakan CT-Scan toraks setelah 4 kali pemberian. Evaluasi dilakukan

terhadap:

- Respons subyektif yaitu penurunan keluhan awal

- Respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan, bertambahnya berat badan

- Respons obyektif

- Efek samping obat

Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan

1. Respons komplit (complete response , CR) : bila pada evaluasi tumor hilang 100% dan

keadan ini menetap lebih dari 4 minggu.

2. Respons sebagian (partial response, PR) : bila pengurangan ukuran tumor > 50% tetapi <

100%.

3. Menetap {stable disease, SD) : bila ukuran tumor tidak berubahatau mengecil > 25% tetapi

< 50%.

4. Tumor progresif (progresive disease, PD) : bila terjadi petambahan ukuran tumor > 25%

atau muncul tumor/lesi baru di paru atau di tempat lain.

Hal lain yang perlu diperhatikan datam pemberian kemoterapi adalah timbulnya efek

samping atau toksisiti. Berat ringannya efek toksisiti kemoterapi dapat dinilai berdasarkan

ketentuan yang dibuat WHO (lampiran. 5).

Imunoterapi

Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil penelitian

di Indonesia yang menyokong manfaatnya.

Hormonoterapi

Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan meskipun belum ada hasil penelitian

di Indonesia yang menyokong manfaatnya.

Terapi Gen

Tehnik dan manfaat pengobatan ini masih dalam penelitian.

Pengobatan Paliatif

Hal yang perlu ditekankan dalam terapi paliatif adalah tujuannya untuk meningkatkan

kualitas hidup penderita sebaik mungkin. Gejala dan tanda karsinoma bronkogenik dapat

dikelompokkan pada gejala bronkopulmoner, ekstrapulmoner intratorasik, ekstratoraksik non

43

Page 44: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

metastasis dan ekstratorasik metastasis. Sedangkan keluhan yang sering dijumpai adalah

batuk, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Pengobatan paliatif untuk kanker paru

meliputi radioterapi, kemoterapi, medikamentosa, fisioterapi, dan psikososial. Pada beberapa

keadaan intervensi bedah, pemasangan stent dan cryotherapy dapat dilakukan.

Rehabilitasi Medik

Pada penderita kanker paru dapat terjadi gangguan muskuloskeletal terutama akibat

metastasis ke tulang. Manifestasinya dapat berupa inviltrasi ke vetebra atau pendesakan

syaraf. Gejala yang tirnbul berupa kesemutan, baal, nyeri dan bahkan dapat terjadi paresis

sampai paralisis otot, dengan akibat akhir terjadinya gangguan mobilisasi/ambulasi. Upaya

rehabilitasi medik tergantung pada kasus, apakah operabel atau tidak.

- Bila operabel tindakan rehabilitasi medik adalah preventif dan restoratif.

- Bila non-operabel tindakan rehabilitasi medik adalah suportif dan paliatif.

Untuk penderita kanker paru yang akan dibedah perlu dilakukan rehabilitasi medik

prabedah dan pascabedah, yang bertujuan membantu memperoleh hasil optimal tindakan

bedah, terutama untuk mencegah komplikasi pascabedah (misalnya: retensi sputum, paru

tidak mengembang) dan mempercepat mobilisasi. Tujuan program rehabilitasi medik untuk

kasus yang nonoperabel adalah untuk memperbaiki dan mempertahankan kemampuan

fungsional penderita yang dinilai berdasarkan skala Karnofsky. Upaya ini juga termasuk

penanganan paliatif penderita kanker paru dan layanan hospis (dirumah sakit atau dirumah).

E. Evaluasi

Angka kekambuhan (relaps) kanker paru paling tinggi terjadi pada 2 tahun pertarna,

sehingga evaluasi pada pasien yang telah diterapi optimal dilakukan setiap 3 bulan sekali.

Evaluasi meliputi pemeriksaan klinis dan radiologis yaitu foto toraks PA / lateral dan Ct-scan

thoraks, sedangkan pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi.

44

Page 45: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

F. Pencegahan

Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang dikandung

asap rokok itu bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat kaitan kuat antara

kebiasaan merokok dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat disangkal lagi

menghindarkan asap rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang dapat dilakukan.

Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data bahwa risiko seorang

perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi daripada mereka yang tidak

terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar penemuan di atas adalah wajar bahwa pencegahan

utama kanker paru berupa upaya memberantas kebiasaan merokok. Menghentikan seorang

perokok aktif adalah sekaligus menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif. Pencegahan

harus diusahakan sebagai usaha perang terhadap rokok dan dilakukan terus menerus. Program

pencegahan seharusnya diikuti dengan tindakan nyata anti-rokok yang melibatkan tenaga

medis dan mahasiswa FK dan non-FK

45

Page 46: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

BAB III

PENUTUP

3.I Kesimpulan

Penyakit Obstruktif saluran nafas bawah merupakan segala jenis obstruktif yang

terjadi pada daerah pernafasan dari epiglotis sampai dengan paru-paru yang mencakup

trachea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus. Penyakit ini terdapat pada hampir pada semua

umur. Banyak faktor yang dapat mencetuskan terjadinya sebuah penyakit obstruktif tersebut,

berupa kebiasaan merokok, tinggal pada lingkungan yang banyak menderita penyakit

obstruktif (ex : TB), maupun nutrisi yang kurang dari penderita dapat meningkatkan resiko

mengidap penyakit obstruktif. Gejala umum dari penyakit ini berupa batuk kronis,

pemendekan nafas, dan batuk yang dapat disertai keluarnya seputum yang kental dan bisa

disertai juga dengan darah segar. Adapun pemeriksaan penunjang yang sangat diperlukan

dalam menegakkan diagnosis seperti pemeriksaan sputum dan pemeriksaan x-ray. Untuk

penatalaksanaan nya tergantung dari penyebab obstruksi pada pasien nantinya

46

Page 47: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic

Obstructive Pulmonary Disease. USA: 2007. p. 16-19. [serial online] 2007. [Cited] 20

Juni 2008. Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?

l1=2&l2=1&intId=1116

2. Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam, jilid II. EGC: Jakarta

3. Hariadi, Slamet et al. 2008. Dasar-Dasar Diagnostik Fisik Paru. Surabaya:

Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR

4. Harrison. 2003. Prinsip Prinsip  Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga.

Jakarta

5. Price, Wilson. 2006. Patifisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6,

volume 2. Jakarta : EGC

6. Sudoyo AW. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

7. Weinbergger SE. Bronchiectasis. Kasper DL et al (eds). Harrison’s Principles of

internal medicine, 17th edition. New York : McGraw-Hill Companies

8.

9. Sudoyo, Aru W dkk. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Balai

Penerbit FKUI: Jakarta

10. Fauci et.al. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th Edition. The McGraw-

Hill Companies, Inc. 2008 : part 10.

11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Cetakan I. Accessed from

www.tbindonesia.or.id/www.tbindonesia.or.id/ Accessed at 1 Juni 2012.

12. World Health Organization. 2010. Guidelines: Treatment of Tuberculosis. Edisi 4.

Accessed from http://whqlibdoc.who.int / Accessed at 1 Juni 2012.

47

Page 48: tuberkulosis, PPOK dan Bronkiektasis

48