Top Banner
I. PENDAHULUAN Tumor rongga mulut adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi pada rongga mulut. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada bagian anterior, posterior rongga mulut, dan tulang rahang. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (maligna) atau jinak (benigna). Tindakan bedah dibutuhkan untuk mengangkat tumor, agar tumor tidak tumbuh lebih besar dan bermetastase ke tempat lain yang dapat mengganggu kesehatan, estetis dan fungsi organ. 1 Tindakan pembedahan merupakan tindakan operasi yang dilakukan untuk mengangkat jaringan tumor yang terdapat pada bagian rongga mulut. Hasil dari pemotongan tumor berakibat kecacatan pada bagian tersebut. Kecacatan hasil dari pemotongan berupa hilangnya bentuk anatomis yang mengakibatkan terganggunya fungsi secara nyata dan estetika 1 Kejadian tumor palatum mencapai sekitar 2% dari keganasan kepala dan leher. Sebagian besar dari tumor palatum adalah karsinoma sel skuamos. Namun adapula non-skuamos sel karsinoma, meliputi tumor pada kelenjar saliva, sarcoma, dan melanoma. Palatum merupakan atap rongga mulut,memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung dan terdiri atas palatum keras dan lunak (di bagian posteriornya) 2 1
34

Tu. Palatum

Dec 07, 2014

Download

Documents

Nur Fitriah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Tu. Palatum

I. PENDAHULUAN

Tumor rongga mulut adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang

terjadi pada rongga mulut. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada bagian

anterior, posterior rongga mulut, dan tulang rahang. Pertumbuhannya dapat

digolongkan sebagai ganas (maligna) atau jinak (benigna). Tindakan bedah

dibutuhkan untuk mengangkat tumor, agar tumor tidak tumbuh lebih besar

dan bermetastase ke tempat lain yang dapat mengganggu kesehatan, estetis

dan fungsi organ.1

Tindakan pembedahan merupakan tindakan operasi yang dilakukan

untuk mengangkat jaringan tumor yang terdapat pada bagian rongga mulut.

Hasil dari pemotongan tumor berakibat kecacatan pada bagian tersebut.

Kecacatan hasil dari pemotongan berupa hilangnya bentuk anatomis yang

mengakibatkan terganggunya fungsi secara nyata dan estetika1

Kejadian tumor palatum mencapai sekitar 2% dari keganasan kepala dan

leher. Sebagian besar dari tumor palatum adalah karsinoma sel skuamos.

Namun adapula non-skuamos sel karsinoma, meliputi tumor pada kelenjar

saliva, sarcoma, dan melanoma. Palatum merupakan atap rongga

mulut,memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung dan terdiri atas

palatum keras dan lunak (di bagian posteriornya)2

II. ANATOMI

Secara anatomi, palatum terbagi menjadi palatum durum (merupakan

bagian dari rongga mulut) dan palatum molle (merupakan bagian dari

oropharynx). Palatum memisahkan rongga mulut dengan rongga hidung dan

sinus maksilaris. Mukosa palatum merupakan keratinisasi epitel skuamos

pseudostratified. Namun demikian, submukosa memiliki banyak sekali

kelenjar saliva minor, terutama pada palatum durum. Periosteal yang

membungkus palatum durum menjadi barier relative terhadap pemisaha

kanker kedalam tulang palatine.2

Batas-batas rongga mulut ialah1,2 :

Depan : tepi vermilion bibir atas dan bibir bawah

Atas : palatum durum dan molle

1

Page 2: Tu. Palatum

Lateral : bukal kanan dan kiri

Bawah : dasar mulut dan lidah

Belakang : arkus faringeus anterior kanan kiri dan uvula, arkus

glossopalatinus kanan kiri, tepi lateral pangkal lidah,

papilla sirkumvalata lidah.

Ruang lingkup tumor rongga mulut meliputi daerah spesifik dibawah ini :

a. bibir

b. lidah 2/3 anterior

c. mukosa bukal

d. dasar mulut

e. ginggiva atas dan bawah

f. trigonum retromolar

g. palatum durum

h. palatum molle1

Suplai neurovascular palatum berasal dari foramina palatine, yang

berada di medial sampai gigi molar ketiga. Foramina ini membagi jalur

untuk pemisahan tumor. Arteri palatina desendes dari maksilari interna

membagi suplai darah. Pembuluh darah melewati secara anterio melalui

foramen nasopalatina sampai ke hidung. Sensoris dan serat sekretomotor

dari nervus maksilaris (VII) cabang dari nervus trigeminus dan ganglion

pterygopalatina melintasi palatum durum melalui nervus palatine major dan

minus.2

Secara anatomi, palatum molle adalah bagian dari oropharynx. Ini

mengandung mukosa pada kedua permukaanya. Intervensi antara kedua

permukaan mukosa adalah jaringan penyambung, serat otot, aponeurosis,

banyak pembuluh darah, limfatik, dan kelenjar saliva minor. Secara

fungsional, palatum molle berperan untuk memisahkan oropharynx dari

nasopharynx selama menelan dan berbicara. Palatum molle mendekat ke

dinding posterior pharyngeal selama menelan untuk mencegah regurgitasi

nasopharyngeal dan mendekat selama berbicara untu mencegah udara keluar

dari hidung.2

2

Page 3: Tu. Palatum

3

3

Page 4: Tu. Palatum

III. FISIOLOGI

Palatum merupakan atap rongga mulut,memisahkan rongga mulut

dengan rongga hidung dan terdiri atas palatum keras dan lunak (di bagian

posteriornya). Palatum ini terbagi dua yaitu4 :

a. Palatum keras (palatum durum) yang terdiri atas tulang (prosesus

palatine dari maxilla dan tulang-tulang palatine) Sifatnya:kaku,sehingga

lidah dapat melakukan tekanan untuk mencampur makanan dan

memperlancar mekanisme menelan) Penyusunnya: Epitel berlapis gepeng

dengan lapisan tanduk, lamina proprianya bersatu dengan periosteum. Di

dalam lamina propia terdapat banyak kelenjar kecil dan sedikit jaringan

lemak.Pada garis tengah lamina propianya tipis dan melekat pada jalur

median tulang. Daerah linear disebut Raphe Tambahan: Terdapat suatu

tonjolan jaringan di bagian tengah ,hamper tepat di belakang central incisors

dan disebut incisive papilla.Sedangkan di bagian bawah papilla tersebut

terdapat incisive foramen (membawa nervus nasopalatine  ke

mucous membrane lingual lalu ke maxillary incisor).4

di bagian Posterolateral,menuju ke arah second and third mazillary

molars,terdapat dua lubang palatinum major dan juga dua lubang

palatinum minor (tempat saraf yang lainnya menuju ke hard palate)

jaringan di bawah Palatal epithelium,bervariasi dari bagian ke bagian.di

bagian tengah,jaringan sedikit tipis dan palatum terasa keras dan

bertulang.di bagian anterolateral jaringan tersebut mengandung sel-sel

lemak dan lebih tebal.di bagian posterolateral tetap ada sel-sel lemak

tetapi ada beberapa minor salivary glands.yang mengsekeresikan mucus

yang berfungsi menjaga agar epitel tetap basah.4

tidak jarang terdapat juga tulang berlebih tumbuh di bagian tengah dari

palatum keras,sejajar dengan foramen incisive,disebut torus palatinus.

Penghubung antara palatum keras dan lunak membentuk 2 garis

kurva,dengan posterior nasal spine dari palatine bone menjadi garis batas

yang utama di bagian tengah.dan juga terdapat 2 turunan kecil,satu di

4

Page 5: Tu. Palatum

setiap spine,disebut fovae palatinae,yang mana menandai spine sebagai

garis batas pembentukan gigi-gigi atas.

b. Palatum lunak(palatum molle) yang di bagian tengahnya terdiri atas

jaringan ikat fibrosa kuat dan karenanya dapat digerakkan

Sifatnya:Lunak ,berfungsi untuk menutup nasofaring dan orofaring sewaktu

menelan,jadi mencegah masuknya makanan ke dalam rongga hidung.4

Penyusunnya terjadi bagian tengah terdiri atas jaringan ikat fibrosa

kuat,sedangkan bagian bawah diliputi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapis

tanduk,dengan banyak kelenjar dalam lamina propianya.Selapis otot

rangka(muskulus uvulus)terletak di antara lamina propia dan aponeurosis

palatine,suatu lembaran jaringan ikat fibrosa.Pada sisi nasal langit-langit

lunak dilapisi oleh epitel bertingkat silindris bersilia dari rongga

hidung,meskipun di bagian belakang epitel mulut melanjutkan diri

melampaui tepi belakang langit-langit lunak ke permukaan nasal bagian

superior. Hampir semua bagian belakang merupakan bagian dari faring. Di

bagian belakang tepat di tengah-tengah terdapat uvula.4

pada kondisi istirahat atau santai, palatum lunak bergerak ringan dari satu

sisi ke sisi lain tetapi ketika berbicara atau mengunyah palatum lunak

bergerak ke berbagai posisi dan menutup bagian depan dari nasal

pharynx.gerakan ini disebabkan oleh the levator veli palatine

muscle,yang mendorong palatum lunak naik dan ke belakang hingga dia

menyentuh dinding tenggorokan bagian belakang.

terdapat lima macam otot di palatum lunak, yakni Palatoglossal muscle,

Palatopharyngeal muscle, muscles of uvula, Levator Levi

Palatini,Tensor Veli Palatini4

IV. EPIDEMIOLOGI

Kejadian tumor palatum molle mencapai sekitar 2% dari keganasan

kepala dan leher. Sebagian besar dari tumor palatum durum adalah

karsinoma sel skuamos seperti yang terlihat pada gambar di bawah. Non-

skuamos sel karsinoma, meliputi tumor pada kelenjar saliva, sarcoma, dan

5

Page 6: Tu. Palatum

melanoma, meliputi sebagian yang lain (lihat distibusi histologi dari

keganasan neoplasma palatum durum dan tipe histologi dan frekuensi dari

neoplasma kelenjar saliva pada gambar dibawah).2

Gambar. Skuamos sel karsinoma pada palatum durum2

Namun, pada palatum molle, sekitar 80% merupakan skuamos sel

karsinoma. Keganasan nonskuamos sel karsinoma meliputi 20%sisanya.

Prevalensi dari kanker rongga mulut dan oropharynx memiliki variasi

geografis, dengan frekuensi terbanyak dilaporkan dari India, sekitar 50%

kasus berasal dari negara tersebut.2

Distribusi histologi dari keganasan tumor palatum durum sebagai

berikut2:

- skuamos sel karsinoma 53%

- karsinoma kista adenoid 15%

- karsinoma mukoepidermoid 10%

- adenokarsinoma 4%

- karsinoma anaplastik 4%

- lain-lain 14%

Tipe dan frekuensi histology dari keganasan kelenjar saliva minor dari

palatum, sebagai berikut2,5:

- benigna 26%

- maligna 74%, secara keseluruhan

- karsinoma kista adenoid 30%

- karsinoma mukoepidermoid 16%

- adenokarsinoma 18%

6

Page 7: Tu. Palatum

- tumor mix 8%

- lain-lain 2%

V. ETIOLOGI

Seperti halnya tumor pada umumnya, etiologi tumor pada rongga mulut

tidak diketahui secara pasti dan bersifat multifaktorial.

Faktor-faktor resiko terjadinya tumor palatum antara lain :2,6

1.   Merokok

Merokok dan penggunaan tembakau seperti menginang berkaitan

dengan sekitar 75% kasus kanker mulut, disebabkan oleh iritasi mukosa

mulut dari rokok dan panas saat menghisap rokok atau cerutu. Tembakau

mengandung karsinogenik yang poten seperti nitrosamine (nicotine),

polycyclic aromatic hydrocarbons, nitrosodicthanolamine, nitrosoproline

dan polonium.2,6

2.    Alkohol

Tiga dari empat orang yang menderita kanker mulut, termasuk tumor

palatum dan tenggorokan sering mengkonsumsi alkohol. Orang yang

sering minum alkohol memiliki resiko 6 kali lebih besar terjadinya

kanker rongga mulut. Sedangkan orang yang minum alkohol dan

merokok memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan orang

yang hanya menggunakan tembakau.  Penggunaan alkohol dan tembakau

mempunyai efek sinergistik. Alkohol sebagai suatu zat yang

memberikan iritasi, secara teori menyebabkan terjadinya pembakaran

terus-menerus dan meningkatkan permeabilitas selaput lendir. Hal ini

menyebabkan penyerapan zat karsinogen yang ada di alkohol maupun

tembakau. 2,6

3.   Infeksi HPV (Human Papilloma Virus)

Infeksi HPV, terutama tipe 16, merupakan faktor resiko dan faktor

penyebab kanker mulut (Gilsion dkk. Johns Hopkins). Kanker oral

karena virus ini cenderung pada tonsil dan peritonsil, dasar lidah dan

orofaring. 2,6

4.   Oral higiene yang jelek

7

Page 8: Tu. Palatum

Oral higiene yang jelek meningkatkan resiko terjadinya infeksi kronis

yang dapat menyebabkan transformasi sel epitel. Iritasi kronis dari

tambalan gigi, gigi yang tajam atau alat yang lain diduga dapat

meningkatkan resiko. 2,6

5.   Usia

Tumor palatum biasanya timbul pada usia > 40 tahun, kemungkinan

disebabkan karena menurunnya sistem imunitas karena bertambahnya

usia, akumulasi dari perubahan-perubahan genetik dan lamanya terpapar

oleh insisiator dan promotor keganasan (meliputi iritan kimia dan fisik,

virus, efek hormonal, penuaan sel dan penurunan imunitas. 2,6

6.   Jenis kelamin

Kanker rongga mulut lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan

wanita, dengan perbandingan 3:2 sampai 2:1. 2,6

VI. PATOMEKANISME

Perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik dapat membantu untuk

menilai perkembangan tumornya. Skuamos sel karsinoma perluasan luar

dari palatum durum terjadi pada sekitar 70% lesi. Perluasan posterior

meliputi palatum molle, dengan kemungkinan terjadinya insufisiensi

velopharingeal dan bicara hypernasal. Hipestesi palatum menunjukkan

keterlibatan saraf trigeminus di foramen sphenopalatina atau perpanjangan

fosa pterygopalatine. Ketiadaan refleks kornea mengindikasikan perluasan

dasar tengkorak melalui foramen rotundum, foramen ovale, atau inferior

fisura orbitalis. Gigi yang matirasa dapat mengindikasikan invasi perineural.

Efusi pada telinga tengah merupakan sugestif dari perluasan nasopharyngel

atau invasi dari muskulus tensor veli palatine.2

Keterlibatan dari divisi mandibula dari nervus trigeminus dapat

bermanifestasi sebagai hipestesi sepanjang mandibula atau kelelahan pada

temporalis atau muskulus masseter. Ini merupakan indikatif dari keterlibatan

fossa infratemporal. Trismus, maloklusi, dan nyeri merupakan symptom dari

invasi terhadap muskulus pterygoid. Perluasan terhadap gingival

membutuhkan penanganan. Soket gigi menyediakan sebuah jalur invasi

8

Page 9: Tu. Palatum

menuju ke proses alveolar dari tulang maksilla dan menuju ke sinus

maksilaris. Keterlibatan dasar hidung dapat terjadi akibat perluasan langsung

melalui palatum.2

Keterlibatan nodus limfatik mendapat perhatian khusus terhadap

kejadian skuamos sel karsinoma dan kanker mukoepidermoid derajat tinggi.

Sangat jarang terjadi pada karsinoma kelenjar saliva. Sekitar 30% pasien

mengalami metastasis nodul cervical pada tiap kejadian. Nodul

submandibular (tingkat 1) dan nodul limfatik jugular dalam bagian atas

(tingkat 2) merupakan eselon pertama dari drainage nodul. Namun, pada

tumor palatum molle posterior perluasan, nodul retropharyngeal dapat

terlibat. Tumor palatum digolongkan sebagai kanker oropharyngeal

berdasarkan American Joint Committee on Cancer (lihat penggolongannya)2

Hampir separuh dari pasien menunjukkan manifestasi berupa perluasan

dari tumor palatum molle. Lokasi yang sering menunjukkan perluasan

meliputi tonsil, trigonum retromolar, proses alveolar inferior atau superior,

palatum durum, dan dasar lidah. Perluasan kedalam foramen sphenopalatina

dapat menyebabkan hipostasis palatum. Pada lesi yang luas, perluasan ke

dalam nasopharynx, efusi telinga tengah sering terjadi. Tumor dapat meluas

secara anterosuperior kedalam pterygomaxilar dan fossa infratemporal.2

VII. DIAGNOSIS

VII. a. Anamnesis

Tumor palatum bermanifestasi sebagai lesi permukaan yang

bersifat ulseratif. Seringkali, asimptomatik pada pasien dengan

stadium awal, tetapi mereka dapat mengalami nyeri pada stadium

lanjut. Sebuah massa pada palatum, perdarahan, bau mulut, sakit gigi

pada pasien edentulous atau kehilangan gigi dapat terjadi pada

stadium lanjut kanker palatum molle, insufisiensi velopharyngeal,

perubahan cara bicara, kesulitan menelan, otalgia, trismus, atau

sebuah massa pada leher dapat terjadi. Karena area ini mudah untuk

dilihat, tumor seringkali ditemukan pada stadium awal secara tidak

sengaja oleh pasien atau pemeriksa.2

9

Page 10: Tu. Palatum

Disisi lain, tumor kelenjar saliva minor bermanisfestasi sebagai

lesi submukosa, sebagaimana disajikan pada gambar dibawah,

dengan dibungkus mukosa normal yang licin. Melamona adalah lesi

hitam licin namun dapat berwarna coklat atau abu-abu kecoklatan.

Karsinoma Kaposi berupa lesi kebiruan yang sering ditemukan pada

pasien dengan infeksi HIV. Hiperplasia pseudoepitelomatous dan

nekrosis sialometaplasia adalah lesi benigna yang dapat menyerupai

skuamos sel karsinoma dan perlu dipisahkan secara histologist.

Torus palatine (misalnya, hyperplasia tulang dari palatum) berupa

massa keras pada garis tengah yang tidak memberikan gejala dan

tidak seharusnya mengacaukan dengan tumor.2

VII. b. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis yang penting7

1. Keadaan Umum pasien7

2. Pemeriksaan rongga mulut, evaluasi gerakan dan kekuatan otot

mulut dan otot lidah7,8

3. Pemeriksaan orofaring, pergerakan palatum molle, sensibilitas

orofaring dengan sentuhan spatel lidah, reflex muntah, reflex

menelan, dan evaluasi suara (keterlibatan laring)8

4. Pemeriksaan faring-laring : gerakan pangkal lidah, gerakan arkus

faring, uvula, epiglottis, pita suara, plika ventrikularis, dan sinus

piriformis

Faringoskopi7

Inspeksi

Penderita diinstruksikan membuka mulutLakukan penekanan

lidah dengan spatel lidah Tampak memperhatikan keadaan cavum

oris sampai orofaring 7

Palpasi

Dengan menggunakan sarung tangan lakukan palpasipada daerah

mukosa bukkal, dasar lidah dan daerahpalatum untuk menilai adanya

kelainan-kelainan dalam rongga mulut7

10

Page 11: Tu. Palatum

Laringoskopi indirek

Melakukan pemilihan cermin laring yang tepat, kemudian

instruksikan penderita untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah

sejauhny. Pegang lidah dengan kasa steril . Pasien

diinstruksikanuntuk bernafas secara normal lalu masukkan cermin

laring yang telah dilidah apikan kedalam orofaring . Posisikan

cermin laring sedemikian rupa hingga tampakstruktur di daerah

hipofaring. Menilai mobilitas plika vocalis dengan menyuruh

penderita mengucapkan huruf i berulang kali7

5. Pemeriksaan neurologis fungsi motorik dan sensorik saraf cranial

Memeriksa paresis palatum mole

• Normalnya saat istirahat : uvula menunjuk ke bawah, konkavitas

palatum mole simetris, bila mengucapkan “aa, ee” : bergerak-gerak,

tetap simetris

• Paresis bilateral pada saat istirahat: seperti normal bila

mengucapkan “aaa, eee” : mungkin uvula sedikit bergerak

• Paresis unilateral pada saat istirahat: seperti normal, bila

mengucapkan “aaa, eee” : palatum mole terangkat ke sisi sehat,

uvula miring, menunjuk ke sisi sehat, konkavitas asimetris

6. Periksa posisi dan kelenturan leher/tulang servikal, evaluasi massa

leher, pembesaran KGB leher7

VII. c. Pemeriksaan Penunjang

Radiologi

Evaluasi radiologi dapat membantu meningkatkan keakuratan

diagnosis stadiumnya. CT scan dan MRI adalah modalitas pilihan.

Berikut tampilan CT scan axial dan coronal. Tampilan coronal,

sebagaimana dilihat dibawah, adalah posisi terbaik untuk menilai

sejauh mana invasi tulang pada palatum dan perluasannya ke daerah

fosa nasal atau sinus maksilaris.2,9,10

- CT scan dapat menilai perluasan pada dasar carnial. Pembesaran

pada foramina dasar cranial mengindikasikan invasi tumor

11

Page 12: Tu. Palatum

tersebut. Penampakan aksial dapat menilai perluasan secara

horizontal sepanjang palatum molle, pterygoid, dan otot, fossa

infratemporal, dan ruang masticator2,9

- CT scan dengan infuse kontras intravena seharusnya meliputi

leher untuk menilai keterlibatan nodul cervical. Ini sangat

penting terutama untuk skuamos sel karsinoma dan karsinoma

mukoepidermoid stadium berat.2,9

- MRI, seperti pada gambar dibawah, lebih akurat untuk menilai

perluasan perineural melalui foramina. Ini penting utamanya

untuk karsinoma kista adenoid dengan propensitas untuk invasi

perineural.2,9

- Pada tumor tingkat lanjut dengan keterlibatan sinus paranasalis,

pencitraan MRI lebih baik dibandingkan CT scan dalam

membedakan penyakit infeksi dari neoplasma2,9

Penampakan radiografi dada untuk menilai metastasis pulmo,

merupakan pilihan kedua atau dua-duanya. Tes fungsi liver, adekuat

untuk menilai metastasis ke liver. Berdasarkan CT scan abdomen

dan dada dapat menilai ukuran metastasis secara lebih akurat.2,9

Biopsi

Biopsi lesi ulseratif dapat dengan mudah dapat diambil dengan

menggunakan forceps biopsy dengan pasien berada dibawah

pengaruh anestesi. Secara alternative, aspirasi jarum sitologi dapat

dilakukan jika terdapat sitopatologis yang berpengalaman.2,9

- Untuk lesi ulseratif, sangat penting pengambilan specimen

biopsy dilakukan pada pusat tumor secara dekat untuk

menghindari neksosis dari komponen pusat2,9

- Pada ukuran besar, non-ulseratif palatum, sebuah insisi melalui

mukosa yang intak perlu dilakukan lebih dulu untuk biopsi.

Tempat insisi biopsi memungkinkan pemindahan subsekuen dari

skar biopsi pada kontinuitas tumor.2,9

12

Page 13: Tu. Palatum

- Lesi submukosa dapat ditangani dengan biopsi eksisi. Jika hasil

patologi mengindikasikan keganasan, maka perlu dilakukan

penanganan. 2,9

VIII. STADIUM

Pengelompokan stadium berdasarkan American Joint Committee on

Cancer sebagai protocol karena penting untuk prognosis penyakit pasien.

Status tumor dan nodus untuk rongga mulut dan oropharynx digunakan

untuk stadium. Stadium untuk kanker dari oropharynx dan rongga mulut,

diambil dari 2002 American Joint Committee on Cancer, sebagai

berikut111,12,13 :

- T (tumor primer)

- TX – tumor primer tidak dapat ditemukan

- T0 – tidak ada tumor primer

- T1 – tumor 2 cm atau lebih kecil

- T2 – tumor lebih besar dari 2 cm tetapi tidak lebih besar dari 4 cm

- T3 – tumor lebih besar dari 4 cm

- T4 – tumor merusak jaringan sekitar (seperti tulang kortikal,

jaringan lunak leher, dalam otot lidah)

- N (kelenjar limfa regional)

- NX – tidak dapat ditemukan kelenjar limfa regional

- N0 – tidak ada metastasis kelenjar limfa regional

- N1 – metastasis pada satu ipsilateral nodul limfa, lebih besar dari 3

cm tetapi tidak lebih besar dari 6 cm; pada multiple ipsilateral

nodul limfa, tidak lebih besar dari 6 cm; atau pada bilateral atau

kontralateral nodul limfa, tidak lebih besar dari 6 cm.

- N2a – metastasis pada salah satu ipsilateral nodul limfa lebih besar

dari 3 cm tapi tidak lebih besar dari 6 cm

- N2b – metastasis pada multiple ipsilateral nodul limfa, tidak lebih

besar dari 6 cm.

13

Page 14: Tu. Palatum

- N2c – metastasis pada bilateral atau kontralateral nodul limfa, tidak

lebih besar dari 6 cm

- N3 – metastasis pada sebuah nodul limfa lebih besar dari 6 cm

- M (metastase jauh)

- MX – tidak ditemukan metastasis jauh

- M0 – tidak ada metastasis jauh

- M1 – terdapat metastasis jauh

IX. PENATALAKSANAAN

Penanganan yang spesifik pada tumor palatum tergantung dari lokasi

tumor (palatum durum vs palatum molle), stadium tumor (lihat pembagian

stadium), dan tipe patologis dari kanker. Untuk alasan ini, penanganan

skuamos sel karsinoma dan asal dari karsinoma kelenjar saliva minor

didiskukan secara terpisah.2

IX.a. Pembedahan

Pembedahan adalah penanganan lebih untuk skuamos sel karsinoma

palatum durum. Namun, radiasi megavotase juga telah berhasil digunakan

sebagai alternative dalam menangani pasien dengan tumor ini. Lesi kecil T1

dan T2 dapat diatas dengan penanganan pembedahan atau terapi radiasi.

Terapi radiasi diberikan dengan dosis total 60-70Gy. Komplikasi dari tumor

tulang dan komplikasi yang potensial yakni osteoradionekrosis membuat

terapi radiasi kurang memberi harapan untuk penanganan lesi ini. Di sisi

lain, pembedahan untuk lesi tersebut cukup sederhana, dengan morbiditas

yang rendah dan tidak ada kehilangan fungsi.2

Pendekatan transoral, sebagaimana gambar dibawah, memberikan

paparan yang adekuat untuk tumor superfisial pada palatum durum yang

belum menginvasi tulang. Anestesi general membantu memberikan

kenyamanan pasien. Pasien diposisikan pada posisi supine dengan kepala

ekstensi.2

14

Page 15: Tu. Palatum

Gambar. Reseksi transoral dari karsinoma mukoepidermoid pada

palatum2

Dingman atau Crockrad pembuka mulut menyediakan retractor

untuk memfasilitasi pandangan ke arah pembedahan seperti gambar

Gambar. Skematik pendekatan per-oral palatum menggunakan

retractor mulut Dingman2

Secara alternative, bantalan gigit keras atau penyumbat Denhardt

dapat digunakan untuk meretraksikan pembukaan mulut untuk eksposur

lapangan pandang. Lesinya dipetakan dengan margin yang adekuat yakni

sekitar 1 cm. Insisi jaringan lunak dibuat dengan pisau atau alat

elektrokauter. Elektrokauter mengurangi kehilangan darah. Cara lain adalah

dengan penggunaan laser karbondioksida yang adekuat untuk hemostasis

dan menyebabkan kerusakan yang lebih sedikit. Penggunaan elevator

periosteal, periosteum meningkat dibawah secara langsung dan ketika tumor

dipindahkan.2,14

Pada kasus dimana tumor menyerang periosteum dan tulang, tulang

harus diangkat dengan tepinya. Disini dibolehkan penggunaan pemotongan

15

Page 16: Tu. Palatum

duri. Jika memungkinkan, penjagaan cakupan mukoperiosteal superior untuk

mencegah fistula oronasal, meskipun ini nampaknya sulit. Alat prostetik

sangat efektif untuk rehabilitasi menelan dan bicara2,14

Pada kasus dimana tumor berada di daerah lateral dan meliputi

pengerutan alveolar, maka alveolektomi meliputi reseksis palatum. Untuk

meningkatkan paparan, sebuah inisisi pada sulkus buccogingival dibuat pada

level dinding maksila anterior. Nervus infraorbital dibutuhkan. Sebuah

pembukaan dibuat kedalam antrum maksilaris untuk memaparkan

permukaan superior dari palatum. Bedasarkan insisi jaringan lunak,

pemotongan tulang dibuat menggunakan gergaji Stryker. Pemaparan

permukaan jaringan lunak dibungkus dengan skin graft yang tebal, kecuali

untuk menutupi rongga. Rehabilitasi prostetik dilakukan dengan pertolongan

prostodontis yang mempersiapkan preoperative sebagai alat prostetik

sementara. 2,14

Untuk tumor palatum durum yang perluasaanya meliputi palatum

durum bilateral, palatektomi total dan maksilekstomi bilateral inferior perlu

dilakukan. Reseksi ini dapat meninggalkan bekas midfasial pada palatum,

rahang atas dan sinus. Pengangkatan dan rekonstruksi graft pada defek ini

terbilang sulit, seringkali hasilnya membawa pada fistula oroantral atau

oronasal. Rehabilitasi prostetik total sangat efektif untuk mengembalikan

deglusi, bicaral\ dan kontur wajah dan untuk membuat pembedahan post

operatif lebih mudah dimonitor.2,14

Pada kasus kanker palatum molle, lesi mukosa sangat kecil dapat

direseksi dengan transoral dengan preservasi mukosa superior. Jika defeknya

dekat dengan palatum durum, rotasi lanjutan dari palatum durum dapat

digunakan untuk mendekatkan defeknya. Defek yang kecil pada margin

posterior dari palatum molle mungkin dapat ditutup dengan mendekatkan

superior dan inferior mukosanya. Hasil dari insufisiensi velopharyngeal

benar setiap waktu. Pengangkatan dasar superior dari pharyngeal dapat

digunakan untuk menutup defeknya.2

16

Page 17: Tu. Palatum

IX.b. Radioterapi

Baik radioterapi dan pembedahan adekuat untuk mengendalikan lesi

awal. Untuk lesi tingkat lanjut T3 dan T4, radioterapi tradisional dengan

sinar eksternal sendiri memberikan harapan hidup yang buruk. Akibatnya,

untuk tumor stadium lanjut III dan IV, direncanakan penatalaksanaan

bersama, meliputi pembedahan reseksi yang diikuti terapi radiasi untuk

tumor primer dan leher. 2

Dikarenakan sulitnya rekonstruksi yang adekuat, terapi radiasi telah

direkomendasikan sebagai penatalaksaan pada kanker palatum molle dimasa

lalu. Meskipun kemajuan dalam teknik rekonstruksi dan prostetik yang

efektif telah banyak dilakukan pada pasien dengan kanker palatum molle,

namun terapi radiasi masih menjadi modalitas utama pada beberapa pusat

untuk lesi T1, T2, dan T3 yang memberikan hasil yang sebanding dengan

pembedahan. Penggunaan radioterapi sebagai penatalaksaan utama, dapat

mengendalikan lesi T1 sebanyak 80-90%, lesi T2 60-70%, dan lesi T3 55-

65%. Angka ini kurang dari 50% pada lesi T4. Penanganan yang efektif

untuk lesi primer membutuhkan dosis mendekati 70 Gy.2

Komplikasi yang potensial pada penananganan radioterapi meliputi

xerostomia berat, fibrosis muscular, dan trismus, osteoradionekrosis pada

mandibula, dan ulkus jaringan lunak. Komplikasi dari radioterapi

bergantung pada volume dan dosis. Baru-baru ini, beberapa pusat penelitian

lebih memilih penggunaan brachyterapi interstisial menggunakan iridium Ir

192 mengawali penggunaan sinar ekternal pada radioterapi. Tumor primer

diberikan 40-60 Gy radiasi sinar eksternal, diikuti 20-40 Gy dari

brachyterapi. Pendorongan tumor primer dengan dosis tinggi memberikan

peningkatan kendali lokoregional dari tumor, disertai penurunan komplikasi

dengan mengabaikan luas bidang, radiasi dosis tinggi. 2

IX.c. Kemoterapi

Terapi alternative yakni dengan kemoterapi dipadukan dengan

radioterapi, yang diikuti pembedahan. Cisplatin dan 5 flurouracil merupakan

agen kemoreapi yang digunakan. Kemoterapi mungkin diberikan sebanyak

2-3 siklus untuk melihat respon pasien dan evaluasinya. Jika pasien

17

Page 18: Tu. Palatum

berespon terhadap kemoterapi, radiasi diberikan sebanyak 70 Gy;

pembedahan disediakan untuk penyelamatan. Pembedahan diperlukan jika

pasien memberikan respon yang buruk terhadap kemoterapi.2

Kemoterapi mungkin diberikan bersamaan dengan radioterapi,

persiapan pembedahan untuk penyelamatan. Administrasi 5 fluorourasil

dapat diberikan secara bolus intravena atau infus kontinous diatas 72-120

jam. Dosis yang diberikan berkisar 800-1200 mg/m. Untuk cisplatin,

biasanya dosis yang digunakan 60-100 mg/m setiap 3 minggu. Percepatan

fraksinasi radioterapi telah harapan hidup yang sebanding dengan penyakit

tertentu ketika dibandingkan dengan kemoterapi (cisplatin) seiring dengan

penggunaan lokal pada stadium tingkat lanjut pada kanker oropharyngeal

stadium III dan IV A/B, dimana menghasilkan angka yang rendah untuk

ketergantungan jangka panjang pada pemberian makan dengan nasogastric

tube. Standar radiasi fraksinasi dibawah dari percepatan fraksinasi dan untuk

kemoterapi pada kelompok ini. 2

X. KOMPLIKASI

Komplikasi dari tumor palatum meliputi (1) insufisiensi velopharyngeal,

paling sering, (2) bicara hypernasal, (3) disfagia, dan (4) efusi telinga dari

skar pada pembukaan tuba eustachius atau kehilangan fungsi tensor dan/atau

muskulus levaror palatine. Secara jelas, pembesaran dan potensial dari

komplikasi ini tergantung dari perluasan tumor, ukuran defek, dan metode

rekonstruksi. Semakin besar tumor dan defeknya, semakin besar

kemungkinan terjadinya komplikasi. Palatum molle merupakan struktur

yang dinamis; fungsi yang optimal darinya memerlukan aksi dari otot untuk

mengelevasi dan menegangnya selama deglusi dan relaksasi selama respirasi

nasal. Karenanya, destruksi apapun pada palatum molle dan prostetik tidak

menghasilkan fungsi ini; malah akan membatasi fungsinya.2

Komplikasi dari tumor palatum durum tergantung pula dari perluasaan

tumor. Untuk tumor jaringan dengan preservasi dari tulang palatum durum

dan palatum molle, hasilnya penyembuhan defek dengan granulasi dan

epitalisasi, dan tidak ada komplikasi yang diharapkan. Jika pasien telah

18

Page 19: Tu. Palatum

menjalani terapi radiasi sebelumnya pada daerah itu, penyembuhan mungkin

dapat tertunda.2

Untuk perluasan yang lebih pada oroantral atau defek oronasal, oronasal

dan fistula oroantral dapat berkembang. Defek yang kecil dapat menutup

dengan kepakan sekitar dari palatum durum yang istirahat atau dari mukosa

buccal. Defek yang lebih besar diatasi secara adekuat dan efektif dengan

penyumbat. Karena organ ini tidak dinamis, penyumbat sangat efektif dan

toleran.2

XI. PROGNOSIS

Pada 5 tahun terakhir, inklusi dari kualitas hidup pasien diukur

berdasarkan keputusan pengobatan untuk kanker kepala dan leher menjadi

penting. Kanker oropharyngeal yang meliputi palatum molle merupakan

area yang menjadi banyak penelitian aktif, menggunakan kualitas hidup

pasien sebagai standar ukuran hasilnya. Dengan menggabungkan modalitas

terapi yakni meliputi pembedahan dan radioterapi atau kemoradiasi,

keduanya sebanding dalam mengatasi kanker stadium lanjut, prediksi

kualitas hidup pasien menjadi penting mengingat dalam membantu membuat

keputusan penanganan2,13.

19

Page 20: Tu. Palatum

DAFTAR PUSTAKA

1. Reksoprawiro, Sunarto. Protokol Peraboi 2003. Protokol Penatalaksanaan

Kanker Rongga Mulut. Jakarta; 2003.

2. Sadeghi, Nader. Malignant Tumor of Palate. Medscape Reference Drug,

Diseases, and Procedur [internet]. Juli 2011. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/847807-overview

3. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomi. Philadelphia : Elsevier Saunders

[internet];2012. Available from:

http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/008/8432-0550x0475.jpg ,

http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/056/56871-0550x0475.jpg

4. Lesson, Paparo. Buku Ajar Histologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedoktern EGC;

1996 : hal 346-347.

5. Bectrack,N. Minor salivary gland tumors of the palate: clinical and pathologic

correlates of outcome [internet]. November. 1995. Available from :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7475867.

6. Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

; 2007 : hal. 613-614

7. Hasanuddin, Universitas. Pemeriksaan Fisis Telinga Hidung dan Tenggorokan.

2009. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan. Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

8. Montgomery, William. Anatomi, Examination, and Diagnosis, Chapter1.

Surgery Of The Larynx, Trachea, Esophagus, and Neck. Pennsylvania:

Saunders; 2002: hal 1-6

9. Harrison, Louis. Head and Neck Cancer A Multidisciplinary Approach Second

Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Desktop Division;

2004: hal 266-340.

10. Brockstein, Bruce. Head and Neck Cancer. Chicago: Kluwer Academic

Publisher; 2002: hal 86-94

11. Boies, Adam. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC; 1997: hal. 429-437

20

Page 21: Tu. Palatum

12. Soepardi, Arsyad. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Edisi Keenam. Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: hal 191-193

13. Djulbegovic, Benjamin. Decision Making In Oncology Evidence Base

Management. United State of America: Churchill Livingstone Inc ; 1997: hal

129-131

14. Lore, John. An Atlas of Head & Neck Surgery Fourth Edition. Philadelphia :

Elsevier Saunders;2005: hal 752-765.

21

Page 22: Tu. Palatum

Lampiran

Referensi

22