+ All Categories
Home > Documents > Traumatic Brain Injury

Traumatic Brain Injury

Date post: 19-Jan-2016
Category:
Author: atet-kurniadi
View: 161 times
Download: 2 times
Share this document with a friend
Description:
TBI
Embed Size (px)
of 136 /136
49 Rehabilitasi Cedera Otak (Brain Injury) Bab ini membahas rehabilitasi pada pasien brain injury, yang didefinisikan sebagai suatu injury (cedera) pada otak yang didapatkan oleh pasien, yang bersifat nonprogresif. Cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury (TBI)) adalah bentuk cedera yang paling sering terjadi. Yang kurang begitu sering terjadi, cedera otak biasa diakibatkan oleh anoksia dan beberapa tipe tertentu dari stroke, infeksi, dan tumor otak. Meskipun etiolologinya berbeda-beda, banyak pasien penderita brain injury memiliki riwayat klinis yang serupa—yang berawal dengan melemahnya fungsi global otak, perkembangan- perkembangan setelah melalui suatu periode penyembuhan fungsional, dan berakhir dengan level fungsi yang stabil tanpa adanya kerusakan lebih lanjut. Kesamaan riwayat klinisnya merupakan dasar pemikiran untuk memberikan program rehabilitasi yang sama dalam memperlakukan brain injury dengan etilogi-etiologi yang berbeda-beda, seperti halnya program-program rehabilitasi untuk urat saraf sumsum tulang belakang memperlakukan paraplegia dan tetraplegia dengan etiologi yang berbeda-beda.
Transcript

49

49

Rehabilitasi Cedera Otak (Brain Injury)

Bab ini membahas rehabilitasi pada pasien brain injury, yang didefinisikan sebagai suatu injury (cedera) pada otak yang didapatkan oleh pasien, yang bersifat nonprogresif. Cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury (TBI)) adalah bentuk cedera yang paling sering terjadi. Yang kurang begitu sering terjadi, cedera otak biasa diakibatkan oleh anoksia dan beberapa tipe tertentu dari stroke, infeksi, dan tumor otak. Meskipun etiolologinya berbeda-beda, banyak pasien penderita brain injury memiliki riwayat klinis yang serupayang berawal dengan melemahnya fungsi global otak, perkembangan-perkembangan setelah melalui suatu periode penyembuhan fungsional, dan berakhir dengan level fungsi yang stabil tanpa adanya kerusakan lebih lanjut. Kesamaan riwayat klinisnya merupakan dasar pemikiran untuk memberikan program rehabilitasi yang sama dalam memperlakukan brain injury dengan etilogi-etiologi yang berbeda-beda, seperti halnya program-program rehabilitasi untuk urat saraf sumsum tulang belakang memperlakukan paraplegia dan tetraplegia dengan etiologi yang berbeda-beda.Bab ini mengkaji bahasan mengenai rehabilitasi brain injury dari sudut pandang kedokteran yang bertanggungjawab terhadap manajemen individu-individu penderita brain injury setelah berhenti dari perawatan akut. Bab ini menekankan pada komplikasi-komplikasi medis pasien-pasien rawat inap yang mendapatkan rehabilitasi brain injury. Topic-topik yang berkaitan dengan rehabilitasi brain injury yang tercakup di dalam buku ini pada bab-bab yang lain antara lain spastisitas (Bab 29), gangguan komunikasi (Bab 3), pengukuran outcome (Bab 8), ambulasi (Bab 5), dan kemampuan hidup sehari-hari (Bab 25).TBI diketahui sejak awal di dalam catatan sejarah kedokteran,96, 294 namun baru setelah abad duapuluh-an program-program rehabilitasi untuk pasien-pasien penderita brain injury ditemukan. Selama Perang Dunia I, 44 program-program tersebut mulai diadakan untuk membantu veteran-veteran perang yang menderita brain injury. Akhir abad duapuluh-an, perkembangan di bidang ini berkembang dengan begitu pesatnya, yang setidaknya memacu empat faktor yang terkait satu sama lain: (1) perkembangan-perkembangan sistem-sistem penanganan trauma dan perawatan neurosurgical yang meningkatkan angka harapan hidup penderita TBI203,317; (2) peningkatan prevalensi penderita-penderita yang mampu bertahan dari brain injury dengan kecacatan jangka panjang, yang menimbulkan beban emosional dan finansial bagi keluarga mereka351; (3) edukasi publik oleh organisasi-organisasi advokasi nasional, khususnya Brain Injury Association (dulunya the National Head Injury Foundation) di Amerika Serikat dan Headway di Inggris, yang meningkatkan pengenalan publik tentang kebutuhan-kebutuhan para penderita brain injury yang mampu bertahan dan keluarganya; (4) pertumbuhan pengetahuan mengenai biaya-biayayang diperkirakan $25.9 hingga $34.4 milyar di Amerika Serikat selama tahun 1986184bahwa TBI mengganggu hidup kemasyarakatan. Permasalahan brain injury saat ini merupakan fokus umum perhatian dari berbagai bidang, dari ilmu syaraf hingga pencegahan injury. Informasi lebih detil mengenai rehabilitasi brain injury, dan mengenai TBI pada umumnya, dapat ditemui di berbagai buku dan monograf. 25, 52, 88, 114, 149, 154, 171, 207, 215, 232, 260, 261, 295, 345. TERMINOLOGI BRAIN INJURYTraumatic Brain Injury. Istilah Traumatic Brain Injury (TBI) disahkan sebagai istilah umum untuk semua jenis injury terhadap otak yang disebabkan oleh faktor eksternal. 207 Seperti spinal cord injury, TBI merupakan istilah umum yang tidak mengimplikasikan suatu keadaanpatologi yang spesifik. Istilah alternatif dapat digunakan ketika terdapat kepentingan untuk menjelaskan keadaanpatologi TBI. Tabel 49-1 menampilkan terminologi yang umum digunakan untuk TBI. Sedangkan beberapa istilah terdahulu, yang singkatnya disebut head injury (atau head trauma), masih digunakan untuk menunjuk pada TBI, istilah-istilah dapat menyalahartikan. Head injury, sebagai contoh, hanya mengimplikasikan adanya injury pada otak. Lebih lanjut, istilah ini kadang kala digunakan untuk mengacu pada injury yang terbatas hanya di bagian wajah atau kepala, namun tanpa adanya injury pada otak. Dengan demikian istilah brain injury dipilih karena dengan jelas menunjukkan bahwa injury pd otak merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas, dan bahwa karena injury tersebut disebabkan oleh faktor eksternal.Nontraumatik Brain Injuries. Terminologi nontraumatic brain injuries mengindikasikan etiologi dan keadaanpatologi yang spesifik, dan oleh karenanya siap untuk dipahami. Istilah anoxic brain injury mengacu pada injury yang disebabkan oleh berkurangnya suplai oksigen ke otak. 145 Istilah ini ekuivalen dengan istilah hypoxic brain injury (injury otak hipoksi) dan hypoxic encephalopathy. Penyebab-penyebab utama injury otak anoksik adalah gagal jantung, gagal pernapasan, dan keracunan karbon monoksida. Istilah-istilah untuk injury otak nontraumatis lainnya, seperti stroke (Bab 50), infeksi, tumor, dan injury otak toksik-metaabolik,9 semuanya sudah cukup dikenal.PATOFISIOLOGI BRAIN INJURY

Bagian ini membahas patofisiologi kerusakan otak pada TBI dan injury otak anoksik. Patofisiologi stroke dijelaskan pada Bab 50. Detil-detil mengenai terminologi dan patofisiologi penyebab injury otak yang lainnya dibahas di bagian-bagian lain.9,24Traumatic Brain Injury

Patofisiologi TBI berbeda antara cedera kepala terbuka dan cedera kepala tertutup, di lain sisi, dan cedera otak penetrating di lain sisi. Berbagai macam mekanisme yang menyebabkan kerusakan otak traumatik dapat dikategorikan kepada mekanisme-mekanisme primer dan sekunder. Mekanisme primer terjadi pada saat tabrakan; meknisme sekunder dipacu oleh mekanisme primer dan, sebaliknya menyebabkan kerusakan otak.TABEL 49-1 Terminologi Traumatic Brain Injury

IstilahDefinisi

Cedera kepala akibat benda tumpulTrauma otak

Gegar otak (commotio cerebri)

Craniocerebral injury

Closed Head Injury

Cedera kepala (trauma capitis)

Trauma kepala

Cedera kepala traumatis

Cedera kepala terbuka

Cedera tembak

Penetrating head injury

Penetrating brain injury

Cedera tikaman

Traumatic brain injury yang disebabkan oleh kontak antara kepala dan benda tumpul; sinonim dengan nonpenetrating traumatic brain injury.Sinonim dengan traumatic brain injurySinonim dengan closed head injury, khususnya, closed head injury ringan.

Sinonim dengan traumatic brain injuryTraumatic brain injury dimana dura tetap utuh.

Traumatic brain injury dimana dura terbuka (misalnya., tercedera karena senjata tajam, terbentur benda bergerak, bertabrakan)

Tipe penetratic traumatic brain injury (misalnya., tembakan, pecahan bom dari suatu ledakan, senapan angin)Traumatic brain injury yang disebabkan oleh benda asing yang berpenetrasi ke dura memasuki otak (misalnya., cedera tembak, cedera tusukan, laserasi oleh suatu bend yng bergerak)Tipe penetrating traumatic brain injury (misalnya., tercedera dengan pisau)

Cedera Kepala Terbuka atau TertutupPada cedera kepala tertutup atau terbuka, otak dapat menjadi rusak karena kontak antara kepala dengan benda lain, dan/atau oleh akselerasi atau deselerasi otak dengan tengkorak kepala.146 Pada kasus yang dikarenakan pasien terjatuh, misalnya, otak dengan cepat berdeselerasi ketika kepala membentur tanah, dan dalam keadaancedera otak dengan cepat berakselerasi ketika senjata tersebut membentur kepala. Kecelakaan-kecelakaan motorik biasanya melibatkan baik akselerasi dan deselerasi.Sebagian besar meknisme-mekanisme primer kerusakan otak pada cedera kepala terbuka maupun tertutup disebabkan oleh akselerasi-deselerasi. Mekanisme-mekanisme utama kerusakan otak dihasilkan oleh akselerasi-deselerasi antara lain diffuse axonal injury (cedera aksonal yang menyebar), multiple petechial hemorrhages, cedera memar, dan cedera saraf kranial. Diffuse axonal injury133 mengacu kepada peregangan akson-akson yang tersebar meluas yang disebabkan oleh rotasi otak mengelilingi aksisnya. Distribusi kerusakan aksonal bersifat konsisten dengan model sentripetal cedera kepala tertutup,268 yang mempostulasikan bahwa tekanan yang terdesak oleh karena rotasi otak mencapai nilai terbesar di permukaan otak dan melemah pada struktur-struktur otak yang lebih dalam. Model tersebut dengan tepat memprediksikan bahwa neuroimaging (penginderaan saraf) abnormalitas-abnormalitas pada TBI yang lebih ringan cenderung ditemui di dekat korteks, namun pada TBI yang lebih parah ditemui di bagian dalam seperti halnya daerah-daerah permukaan otak.222 Pada TBI yang parah, kerusakan aksonal cenderung lebih besar pada saluran-saluran fiber yang lebih panjang (misalnya., corpus callosum).146 Tanpa mempedulikan poin yang menyebutkan kontak kepala dengan suatu objek eksternal, cedera-cedera memar paling sering terjadi di lobus-lobus inferior frontal dan anterior temporal, dimana tempurung kepala berdekatan dengan permukaan-permukaan bersifat irregular.146Mekanisme-mekanisme sekunder kerusakan otak traumatis termasuk pendarahan intrakranial (epidural, subdural, dan hematoma-hematoma intraserebral), pembengkakan otak (edema vasogenik atau sitogenik), eksitotoksitas, cedera oksidan, dan hipoksia yang dikarenakan menurunnya tekanan perfusion serebral. Baik kerusakan otak primer maupun sekunder dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial (increased intracranial pressure (ICP)), yang sebaliknya dapat memacu mekanisme-mekanisme kerusakan otak sekunder dalam suatu simpul feedback positif.146 Perubahan dan herniasi otak dapat dihasilkan oleh efek massa pembengkakan otak atau pendarahan intrakranial.hidrosefalus merupakan suatu sebab utama kerusakan otak sekunder yang dapat terjadi jauh setelah cedera tersebut dialami. (Perhatikan gambar 49-1 sebagai contoh kasus beberapa mekanisme cedera.)Excitotoxicity mengacu kepada kerusakan neuronal yang diakibatkan oleh pengeluaran neurotransmitter excitatory di atas normal oleh neuron-neuron yang mengalami cedera.146 Kerusakan otak excitotoxic dapat dikurangi dengan hipotermia sedang. 80, 81, 234, 235 Dalam penelitian terhadap 82 orang pasien dengan cedera kepala tertutup yang parah, Marion et al235 menunjukkan bahwa perawatan awal (rata-rata 10 jam pasca-cedera) dengan hipotermia memacu penyembuhan neurologis dan meningkatkan outcome pada pasien dengan skor GCS antara 5 hingga 7. para pasien ditempatkan pada suhu 32 hingga 33C selama 24 jam, dan kemudian dihangatkan kembali.

Kerusakan otak dalam TBI oleh karenanya merupakan suatu hasil akhir dari berbagai efek mekanisme-mekanisme primer dan sekunder ganda yang terjadi berkali-kali yang pada umumnya menimbulkan pola-pola kerusakan yang cenderung bersifat menyebar daripada bersifat fokal, terutama pada para pasien penderita cedera kepala tertutup. Pola kerusakan otak yang menyebar konsisten dengan gambar kronis atrofi serebral dan pembesaran ventrikular yang biasanya didapati pada neuroimaging para mantan penderita cedera kepala tertutup.18 Selain komonalitas-komonalitas tersebut, perbedaan-perbedaan individual dalam pola-pola kerusakan otak menghasilkan pola-pola campuran kerusakan-kerusakan neurologis dan neuro-psikologi14 pada individu-individu mantan penderita TBI. Menyadari pentingnya penundaan, atau penderitaan-penderitaan sekunder pada otak yang tercedera, the American Academy of Neurological Surgery (AANS) menerbitkan the Guidelines for the Management of Severre Head Injury16 untuk mempromosikan perawatan yang lebih baik dengan menggunakan panduan berdasarkan fakta-fakta yang telah dikembangkan setelah diadakan suatu kajian yang teliti terhadap literatur. Dokumen ini terdiri dari rekomendasi-rekomendasi untuk resusitasi tekanan darah dan oksigenasi, tekanan perfusi serebral, indikasi-indikasi monitoring ICP dan ambang batas perawatan, dan teknologi monitoring ICP. Juga dibahas tentang penggunaan hiperventilasi pada manajemen akut, penggunaan mannitol dan barbiturat-barbiturat, peranan glukokortikoid-glukokortikoid, perawatan hipertensi intrakranial terelevasi, dukungan nutrisi, dan peranan profilaksis anti-serangan.Cedera Tembak di Otak

Pada cedera-cedera tembak, sebagian besar kerusakan otak terletak sepanjang jejak peluru dan fragmen-fragmen tulang yang terkena.333 implikasi rehabilitasi utama adalah bahwa cedera tembak pada otak pada umumnya menyebabkan sindrom-sindrom kerusakan otak fokal (misalnya., hemiplegia, hemianopsia), dengan secara relatif menghemat pemfungsian bagian-bagian otak yang terletak jauh dari lintasan misil. (lihat gambar 49-2 untuk suatu contoh kasus cedera tembak pada otak.) Cedera Otak AnoksikMekanisme kerusakan otak pada cedera otak anoksik adalah iskhemi yang disebabkan oleh hipoksia atau penurunan perfusi serebral.145 Meskipun cedera otak anoksik biasanya menyebabkakan kematian dan cedera neuronal yang menyebar, terdapat kerentanan selektif neuron-neuron pada bagian-bagian di dalam hippocampus, cerebellum, dan basal ganglia, dan di dalam zona-zona batas arterial (misal., area-area yang tertutup cairan) pada serebrum.145 neuron-neuron pada bagian hippocampus adalah bagian yang paling rentan, yang berkorelasi dengan tingginya frekuensi amnesia yang menyertai cedera otak anoksik.170 Lebih lanjut, frekuensi gangguan-gangguan gerak pada populasi ini berkorelasi dengan kerentanan yang bersifat selektif terhadap hipoksia neron-neuron di dalam bangsal ganglia dan serebellum. (lihat gambar 49-3 untuk suatu contoh kasus cedera otak anoksik.)

EPIDEMIOLOGI CEDERA OTAK TRAUMATIK (TBI)Bagian ini membahas mengenai epidemiologi TBI. Epidemiologi stroke dibahas di Bab 50. Epidemiologi tumor-tumor otak dan cedera-cedera otak nontraumatis lainnya dibahas pada bab lain.9, 224 Secara relatif lebih sedikit hal yang diketahui mengenai epidemiologi cedera otak anoksik.

TBI merupakan satu dari gangguan-gangguan neurologis yang paling sering mengakibatkan kematian dan kecacatan. Kajian-kajian mutakhir30, 196, 197-199, 315 meringkas bahwa penelitian-penelitian epidemiologis besar di Amerika Serikat memperkirakan bahwa angka insidensi tahunan penderita TBI yang dirawat di rumah sakit mendekati 200 orang per 100,000 orang. Hampir 80% kasus TBI yang baru dirawat di rumah sakit digolongkan dari kasus TBI ringan hingga memiliki angka survival hingga mendekati 100%. Angka insidensi TBI ringan yang sesungguhnya dapat dua kali lebih besar dari yang diperkirakan berdasarkan karcis masuk rumah sakit karena banyak pasien TBI ringan gagal untuk mendapatkan perhatian medis atau dikirim pulang dari instalasi gawat darurat.87, 316 Sisanya sejumlah 20% kasus-kasus TBI yang baru dirawat di rumah sakit dapat dikelompokkan secara merata sebagai kasus TBI sedang dan parah. Akan tetapi, kasus TBI parah memiliki angka kelangsungan hidup kira-kira 40%, sebagai perbandingan, angka kelangsungan hidup untuk kasus TBI sedang berkisar antara 90%-95%. Perhatikan Tabel 49-2 untuk angka-angka penderita TBI baru yang terproyeksikan di Amerika Serikat pada tahun 2000.335Resiko TBI sangat dapat diperkirakan melalui faktor-faktor demografis. Kaum pria pada semua kelompok usia beresiko lebih tinggi. Puncak resiko adalah sepanjang masa dewasa muda dan khususnya antara usia 18-25 tahun.315 Angka insidensi tahunan pria dalam kelompok usia tersebut diperkirakan antara 350-700 orang per 100,000 orang.198 Hal ini menjelaskan predominansi laki-laki dewasa muda dalam rehabilitasi TBI.144 Terdapat juga puncak yang lebih kecil pada angka insidensi TBI di kelompok umur pediatrik dan geriatrik.Satu-satunya penyebab tidak langsung TBI mungkin adalah penyalahgunaan alkohol.92, 94 Satu-satunya penyebab eksternal TBI adalah kecelakaan kendaraan bermotorik, diikuti dengan frekuensi kecelakaan pejalan kaki-pengguna jalan, jatuh, dan tercedera (termasuk juga cedera tembakan).197, 199 Tingkat pentingnya masing-masing penyebab eksternal ini berbeda-beda di antara kelompok-kelompok demografis. Kecelakaan kendaraan bermotorik menempati proporsi terbesar dalam kasus-kasus penderita TBI dewasa muda. Kecelakaan kendaraa bermotorik dengan pejalan kaki atau pengguna sepeda biasanya lebih sering terjadi di antara kelompok anak-anak daripada di kelompok-kelompok umur lainnya. Jatuh secara relatif lebih sering terjadi pada kelompok umur anak-anak dan orang-orang tua jika dibandingkan kelompok usia muda atau paruh baya.197,199 Ciri-ciri epidemiologis bahwa TBI mendukung pandangan bahwa TBI mewakili sebuah jalur umum final permasalahan-permasalahan sosial seperti penyelahgunaan substansi, kejahatan, bahaya-bahaya lingkungan dan tempat kerjacara mengemudikan yang tidak aman, penyalahgunaan anak-anak, dan supervisi anak-anak dan kaum orang tua yang tidak memadai.TEKNIK-TEKNIK PENILAIAN DAN PROGNOSIS

Bagian ini membahas penilaian dan perkiraan outcome TBI dan cedera otak anoksik. Detil-detil penilaian dan prognostikasi stroke dibahas pada Bab 50. Referensi-referensi lain membahas topik-topik ini dalam kaitannya dengan nontraumatic brain injuries (cedera-cedera otak nontraumatis).9, 224

MENGUKUR TINGKAT KEPARAHAN BRAIN INJURY: (GLASGOW KOMA SCALE) SKALA KOMA GLASGOW

Glasgow Koma Scale. Kurangnya cara untuk mengukur tingkat keparahan brain injury secara langsung, sebagian besar pusat-pusat menggunakan Glasgow Koma Scale (GCS)324 untuk mengukur keparahan brain injury, khususnya selama tahap-tahap awal penyembuhan. Meskipun GCS pada mulanya didesain untuk TBI, GCS juga digunakan dengan anoxic brain injury dan nontraumatic brain injuries lainnya yang menjadi penyebab kerusakan kesadaran. Dasar pemikiran menggunakan GCS sebagai suatu ukuran keparahan adalah hubungan antara tingkat keparahan brain injury, yang tidak dapat diukur secara langsung, dan tingkat kesadaran, yang dapat diamati dan diperingkat. GCS, yang nampak pada Tabel 49-3, terdiri dari pemeringkatan repon-respon motorik dan bicara pasien yang terbaik serta stimulus terlemah yang dipercederan untuk membuka mata. Pemeringkatan tiga respon tersebut diringkas untuk mendapatkan suatu skor GCS yang berkisar dari nilai minimum 3 hingga nilai maksimum 15. Skor-skor GCS yang lebih rendah mengindikasikan tingkatan kesadaran yang lebih rendah dan oleh karenanya mengimplikasikan tingkat keparahan brain injury yang lebih besar. Sebaliknya, skor-skor GCS yang lebih tinggi mengindikasikan tingkatan kesadaran yang lebih mendekati normal, yang mengimplikasikan brain injury yang tidak terlalu parah. Telah ditunjukkan berulang kali bahwa kedalaman dan durasi ketidaksadaran, seperti yang terukur melalui skor GCS, merupakan satu-satunya prediktor terbaik outcome TBI.78, 337 Sebuah modifikasi GCS juga tersedia untuk anak-anak.339Skor GCS post-resusitasi yang terendah, diperoleh kapanpun setelah melalui resusitasi, merupakan indeks keparahan yang terpilih. Keuntungan utama menggunakan skor GCS post-resusitasi yang terendah adalah bahwa skor tersebut bisa merefleksikan perusakan lebih lanjut yang tidak akan direfleksikan oleh suatu skor GCS yang diperoleh pada saat itu juga atau segera setelah tiba di rumah sakit.110 Kerugian yang paling utama menggunakan skor GCS post-resusitasi yang terendah adalah bahwa skor tersebut bisa jadi ditekan karena adanya intracranial injuries (cedera-cedera intrakranial)(misalnya., terguncang).

Apolipoprotein E4 dan Prognosis TBI. Perhatian terhadap adanya apolipoprotein E4 (APOE-4), sebelumnya dikaitkan dengan penyakit Alzheimer, begitu banyak laporan yang menyatakan bahwa hal tersebut bisa jadi merupakan suatu penanda kerentanan outcome yang tidak diinginkan setelah mengalami TBI. 187, 325 APOE, yang merupakan satu-satunya transporter lipid yang signifikan di dalam otak dan cairan serebrospinal,85 dipercayai memainkan peran penting pada regenerasi neural.72 Penelitian-penelitian menyatakan bahwa kehadiran apolipoprotein 4 allele (yang memproduksi APOE-4) meningkatkan resiko penyakit Alzheimer116, 307 dan tingkat keparahan defisit neurologis kronis pada populasi-populasi TBI tertentu.187, 325Gambar 49-1. Traumatic Brain Injury parah yang terkomplikasi oleh Hidrosefalus. Pencitraan CT Scan otak seorang wanita berusia 47 tahun yang menderita traumatic brain injury yang parah karena jatuh dari kuda. Skor Glasgow Koma Scale 14 pada saat itu juga namun kemudian turun menjadi 8. A. Scan hari pertama menunjukkan cedera memar hemorrhagic pada lobus kiri frontal dan membengkak pada hemisphere serebral kiri, dengan cedera memar yang kurang ekstensif pada bagian kanan frontal dan lobus temporal anterior kiri. B. Scan follow-up 14 hari setelah tercedera menunjukkan peningkatan cedera memar pada hemisphere serebral kiri yang mengakibatkan herniasi dini dan efek massa. Lobectomy sebagian di bagian lobus frontal kiri kemudian dilaksanakan. Ia mendapatkan kembali kemandiriannya dalam ambulasi dan perawatan diri sendiri, namun tetap dalam keadaan amnesia posttraumatis (PTA/Posttraumatic Amnesia). C. Scan follow-up 2 bulan setelah mengalami cedera, diperoleh karena masa stabil awal penyembuhan fungsional, menunjukkan pembesaran sistem ventrikular tergeneralisasi yang konsisten dengan keterkaitannya dengan hidrosefalus. Setelah peletakkan sebuah ventrikuloperitoneal (VP) shunt, ia jelas terbebas dari PTA. D. Scan follow-up 7 bulan setelah tercedera, diperoleh karena munculnya permasalahan-permaslahan kognitif dan perilaku yang semakin memburuk, menunjukkan hematoma subdural frontal-parietal kanan kronis. Setelah pengeringan hematoma, penyembuhan fungsional mengalami kemajuan hingga beberapa bulan ke depan. Setelah 15 bulan pasca cedera, ia lolos evaluasi uji mengemudi dan mandiri untuk berbelanja dan memasak, namun tidak lagi bekerja. Evaluasi neuropsikologis menunjukkan defisit memori saat ini yang bersifat selektif, sedang dan koordinasi tangan kanan.Gambar 49-2. Penetrating Traumatic Brain Injury yang disebabkan oleh Tembakan. Hasil CT scan awal atas seorang anak lelaki berusia 14 tahun ditembak dalam jarak dekat ketika tercedera melibatkan pergulatan di tanah dengan seorang remaja lainnya. A. cedera entry di area frontal kanan superior dengan jejak peluru melintasi garis tengah. Fragmen-fragmen tulang indriven mendasari cedera entry. B. cedera Exit di area temporal-parietal kiri. Perusakan jaringan otak dapat terlihat sepanjang jalur peluru. Cedera-cedera fokal ke area frontal superior bilateral dan ke area parietal-frontal kiri berkorelasi dengan paresis kronis ekstrimitas bawah bilateral dan defisit bahasa-tulisan. Setelah terapi fisik dan okupasional secara menyeluruh, pasien memperoleh kemandirian dalam memprogram setup dan mobilitas dengan menggunakan kursi roda bermotorik.Gambar 49-3. Anoxic Brain Injury. Hasil CT menunjukkan anoxic brain injury pada seorang pria berusia 32 tahun yang terus-menerus mengalami traumatic brain injury dan facial injury (zygomatic arch dan fraktur) karena jatuh dari tangga, dan kemudian mengalami gagal jantung selama 10 menit ketika mengalami operasi facial. Gambar-gambar tersebut dalam posisi horisontal melalui lapisan ventrikel-ventrikel lateral, yang ditunjukkan sebelum dan sesudah brain injury. A. scan pada hari tersebut, dilakukan untuk membersihkan pria tersebut guna keperluan operasi, menunjukkan tidak adanya abnormalitas intrakaranial. B. Scan follow-up yang dilakukan 20 hari kemudian, menunjukkan perubahan-perubahan atrofik predominan di bagian lobus frontal dan temporal. Selama bulan pertama pasca tercedera, ia merasa gelisah dan bingung, namun perlahan-lahan ia pulih kemandiriannya dalam ambulasi dan perawatan pribadi. Follow up setelah 4 bulan pasca tercedera mengindikasikan anesia parah dimana ia emnerima supervisi sepanjang waktu. Setelah 1 tahun pasca tercedera, tingkat kemampuan fungsinya telah meningkat hingga hanya perlu supervisi paruh waktu. Pasien tidak pernah lagi bekerja, mengemudi, atau pergi tanpa pengawasan selama 24 jam.TABEL 49-2 Angka Insidensi Tahunan Traumatic Brain Injury Yang Terestimasi Di Amerika Serikat pada Tahun 2000

Populasi A.S.

(kira-kira 274,634,000) per 1 juta

Total insidensi 549,628 2000

Total kematian pre-rumah sakit 54,927 200

Hidup

TBI ringan 395,473 1440

TBI sedang 49,434 180 TBI parah 49,434 180Dipulangkan (hidup) TBI ringan 395,473 1440 TBI sedang 45,864 167 TBI parah 20,872 76

TABEL 49-3 Glasgow Koma ScaleRespon-respon Pasien Skor

Membuka mataMata terbuka secara spontan 4Mata terbuka ketika diajak berbicara 3Mata terbuka jika merasakan stimulus menyakitkan 2Mata tidak membuka 1MotorikMengikuti perintah 6Membuat gerakan melokalisasi jika terasa sakit 5 Membuat gerakan menarik jika terasa sakit 4Flexor (decorticate) posturing jika terasa sakit 3Extensor (decerebrate) posturing jika terasa sakit 2Tidak ada respon motorik terhadap rasa sakit 1VerbalTerorientasi tempat dan tanggal 5Terbalik-balik namun tetap terdisorientasi 4

Mengucapkan kata-kata tidak jelas, tidak terbalik-balik 3Mengucapkan suara nonverbal yang tidak dapat dimengerti 2

Tidak dapat bersuara 1

Instruksi: Angka merespon paling baik kategori verbal dan motorik dan stimulus yang dipercederan untuk membuka mata. Jumlahkan ketiga angka untuk mendapatkan nilainya.Pengklasifikasian Tingkat Keparahan TBI

Saat ini dapat diterima bahwa tingkat keparahan TBI sebaiknya diperingkat ke dalam tiga kategoriringan, sedang, dan parahberdasarkan skor GCS pasien (Tabel 49-4).TBI parah, didefinisikan sebagai skor GCS terendah 8, mengimplikasikan bahwa pasien dalam keadaankoma. Koma didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana pasien tidak membuka mata dan tidak menunjukkan fakta-fakta kognisi, seperti mengikuti perintah-perintah atau berkomunikasi.180, 279 Dalam beberapa penelitian, kriteria durasi koma > 6 jam telah ditambahkan guna mengantisipasi kemungkinan skor GCS yang ditekan karena extracranial injury atau sedasi. TBI parah bertanggung jawab atas mayoritas pasien rawat inap pada unit-unit rehabilitasi yang mengalami brain injury akut.144 Dalam istilah prognosis, mayoritas bekas penderita TBI parah memiliki kerusakan-kerusakan neurologis dan neuropsikologis yang berakibat pada kecacatan-kecacatan fungsional.218, 229, 299 Waktu yang dipercederan untuk memperoleh penyembuhan neurologis maksimum dari TBI parah sekitar satu tahun pada kasus-kasus besar,79 namun bisa jadi lebih lama dalam sebagian besar cedera yang lebih parah.TBI sedang, yang berkaitan dengan skor GCS terendah pada kisaran 9 hingga 12, mengimplikasikan bahwa tingkat kesadaran pasien bersifat kombatif atau letargis. Pada skor GCS 9 hingga 12, bisa jadi pasien mengikuti perintah-perintah, namun tida dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan tepat. TBI sedang bertanggung jawab atas minoritas pasien rawat inap pada rehabilitasi TBI akut.144 Dengan mempertimbangkan prognosis, mayoritas pasien dengan TBI sedang dan dengan tanpa komplikasi cedera intrakranial mampu untuk memulai lagi aktifitas-aktifitasnya seperti sebelum mengalami cedera, selain defisit kognitif permanen, ringan dengan proporsi yang tidak dapat ditentukan pada populasi ini.106, 229, 290, 320 Waktu yang diperlukan untuk mencapai penyembuhan neurologis maksimal pada TBI sedang lebih pendek daripada TBI parah.TBI ringan, didefinisikan oleh skor GCS yang rendah 13, mengindikasikan bahwa pasien mungkin mengalami kebingungan atau disorientasi, namun tetap sadar (atau sadar ketika diajak berbicara), mengikuti perintah-perintah, dan berbicara dengan koheren. Istilah concussion (gegar otak) yang sering digunakan sebanding dengan TBI ringan. Diagnosis TBI ringan dapat dibuat meskipun skor GCS-nya adalah 15 jika terdapat bukti hasil neuroimaging trauma otak atau jika cedera tersebut diakibatkan status mental yang berubah seperti kehilangan kesadaran, mengalami suatu peride kebingungan atau disorientasi, atau amnesia karena cedera itu sendiri. Berdasarkan penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa temuan-temuan hasil neuroimaging merupakan satu-satunya indikator prognostik yang terbaik untuk TBI ringan, direkomendasikan bahwa pasien dengan GCS berkisar antara 13 hingga 15 dapat dikategorikan berdasarkan computed tomography (CT) scanning kepala yang menunjukkan trauma otak apapun. Secara spesifik, direkomendasikan bahwa pasien TBI ringan dengan bukti-bukti trauma otak pada CT scanning sebaiknya diklasifikasikan sebagai complicated mild TBI atau high risk mild TBI (TBI ringan beresiko tinggi).173, 350 Sebaliknya, pasien-pasien TBI tanpa bukti-bukti trauma otak pada CT scanning sebaiknya diklasifikasikan sebagai uncomplicated mild TBI atau low risk TBI (TBI beresiko rendah). Meskipun TBI ringan itu sendiri bukan merupakan suatu indikasi untuk rehabilitasi pasien rawat inap, TBI ringan seringkali terjadi kembali dengan cedera sumsum tulang belakang dan cedera muskuloskeletal yang benar-benar membutuhkan rehabilitasi rawat inap.103 Prognosis TBI ringan jangka panjang bersifat kontroversial, sepertiyang akan didiskusikan kemudian pada Bab ini. Akan tetapi, telah didemonstrasikan bahwa outcome suatu uncomplicated mild TBI yang terjadi pada seorang anak atau dewasa muda biasanya dapat kembali ke aktifitas-aktifitas sebelum mengalami cedera, tanpa terdeteksi adanya kerusakan-kerusakan.210, 229, 306 Lebih lanjut, waktu yang diperlukan untuk penyembuhan neurologis dari TBI ringan pada kasus demikian paling lama 3 bulan,212 dan mungkin kurang dari satu bulan pada sebagian besar kasus.Sebagai suatu indeks keparahan, GCS memiliki kekurangan-kekurangan yang signifikan yang penting dipertimbangkan. Pertama, semua atau sebagian dari GCS bisa jadi tidak dapat diskor selama fase perawatan akut awal karena paralisis kimiawi atau sedasi, cedera sumsum tulang belakang, cedera wajah, atau intubasi.110, 233 sensitifitas GCS terhadap sedasi dapat menjadi permasalahan utama dalam pengelompokan tingkat keparahan cedera otak. Meskipun skor GCS pada seorang pasien dalam keadaan koma bisa jadi tidak terpengaruh oleh intubasi endotrakeal (yang menghalangi pasien untuk melakukan respon verbal), intubasi dapat mengaburkan perbedaan antara TBI sedang dan TBI ringan. Skor GCS dapat terpengaruh oleh intoksikasi. Skor GCS juga tidak dapat diketahui padapasien-pasien yang tidak memahami bahasa penguji.180 Meskipun skor GCS kadang kala tidak tercatat selama periode perawatan akut, biasanya memungkinkan untuk memberikan skor GCS secara retrospektif berdasarkan catatan-catatan status mental dan neurologis pasien.TABEL 49-4. Pengklasifikasian Tingkat Keparahan Cedera Otak Traumatis (TBI) Berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)TBI ringanskor GCS 13-15 pada poin terendah setelah resusitasi dan tidak ada abnormalitas-abnormalitas yang terkait dengan TBI pada pemeriksaan neurologis

Uncomplicated mild TBICT scan normal otak

Complicated mild TBICT scan otak menunjukkan trauma otakTBI sedangskor GCS 9-12 pada poin terendah setelah resusitasi.

TBI parah skor GCS 3-8 pada poin terendah setelah resusitasi.

Neuroimaging Cedera Otak

CT scanning dan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan modalitas-moda;itas neuroimaging yang utama yang diaplikasikan pada cedera otak dan khususnya pada TBI.131, 134, 174 Pada TBI, CT merupakan teknik alternatif selama tahap perawatan akut karena sensitifitasnya terhadap adanya darah, fraktur-fraktur tengkorak atau wajah, dan sebagian besar cedera intrakranial lainnya yang membutuhkan perawatan kegawatdaruratan. CT scan kepala bisa didapatkan dengan cepat dan tidak bersifat kontraindikasi dengan adanya material logam di dalam tubuh atau peralatan penunjang hidup. Keterkaitan-keterkaitan antara hasil-hasil awal CT scanning otak dan outcome total di kemudian hari (kemampuan untuk tetap bertahan sadar vs. kematian atau vegetatif) dapat dipahami dengan baik. Temuan-temuan CT normal menunjukkan prognosis yang terbaik, dan temuan-temuan CT pada hematoma subdural akut, pendarahan intraserebral, dan pembengkakan hemisphere bilateral besar-besaran menunjukkan prognosis yang lebih buruk.110, 337 Nilai temuan CT scan dalam memprediksi outcome mantan penderita TBI selama rehabilitasi masih perlu didefinisikan.90 MRI otak pada umumnya lebih sensitif daripada CT lesi-lesi otak traumatis karena resolusinya yang lebih besar. MRI secara selektif lebih sensitif daripada CT terhadap cedera-cedera sayatan nonpendarahan dan terhadap luka-luka memar di beberapa area tertentu, seperti area frontal inferior dan batang otak, yang terletak di dekat permukaan-permukaan yang tulang-tulangnya menonjol yang menghasilkan artefak pada CT scanning.131 Kekurangan-kekurangan MRI adalah waktu yang diperlukan untuk scanning cukup lama, ketidakmampuan terakses pasien selama masa tersebut, dan kontraindikasinya dengan material-material logam di dalam tubuh pasien atau peralatan medis. (Lihat Gambar 49-4 untuk suatu kasus contoh scan otak MRI pada pasien penderita TBI).Usaha-usaha untuk memperluas peran CT dan MRI sebagai indikator prognostik telah dilakukan, namun kemampuan mereka untuk memprediksi outcome bervariasi. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan outcome yang buruk pada pasien-pasien dengan abnormalitas-abnormalitas CT seperti kompresi sisternal dan herniasi.257, 332 Penelitian-penelitian lain327, 365 tidak menemukan CT scan memiliki nilai prediktif dalam menentukan outcome fungsional. Nilai MRI dalam memprediksikan outcome rehabilitasi TBI nampaknya menjanjikan jika dipandang katerkaitan antara abnormalitas-abnormalitas MRI dan defisit-defisit neuropsikologis pada pasien-pasien TBI ringan dan sedang.223 MRI lebih bermanfaat daripada CT scanning dalam perencanaan rehabilitasi karena MRI lebih membantu dalam menjelaskan defisit-defisit neurologis dan neuropsikologis pasien.Akhirnya, hasil-hasil penelitian yang menjanjikan yang diperoleh dengan CT scanning emisi proton tunggal (SPECT) pada otak pasien TBI143, 226 menyatakan kemungkinan bahwa SPECT scanning dapat memiliki peran penting dalam pengevaluasian ketidasadaran atau cedera otak ringan para pasien di masa mendatang. Penelitian lain mendemonstrasikan kegunaan SPECT dalam pengidentifikasian pesien-pasien dengan hasil yag tidak baik.6 Kegunaan potensial SPECT scanning dalam cedera otak telah dikaji akhir-akhir ini.70, 166, 328, 367 GAMBAR 49-4. Scan MRI dengan bobot T-2 terhadap cedera otak traumatis yang parah. Scan MRI dengan bobot T-2 terhadap seorang wanita berusia 32 tahun yang terluka dalam suatu kecelakaan antara pejalan kaki dengan pengendara mobil 1 bulan sebelumnya. CT scan awal menunjukkan hematoma subdural frontal kanan. Gambar ini menunjukkan kumpulan-kumpulan cairan subdural bifrontal dan luka sayatan pada splenium corpus callosum. Lesi corpus callosum, yang merupakan tanda klasik cedera aksonal menyebar, tidak nampak pada hasil CT scan. Pada umumnya, MRI dapat memvisualisasikan jumlah lesi-lesi traumatis yang lebih banyak daripada CT, terutama lesi-lesi nonpendarahan atau terletak di area-area yang tulang-tulangnya menonjol. Pasien, yang telah lebih dulu memiliki Glasgow koma scale dengan skor 7, menjalani rawat inap dan rehabilitasi post-akut. Ia kembali bekerja sebagai seorang sekretaris dan hidup secara mandiri.

Penelitian-penelitian NeurofisiologisApabila CT dan MRI menyediakan informasi struktural, electroencephalography (EEG) dan alat-alat penilaian elektrofisiologis lainnya, seperti potensial-potensial yang ditimbulkan, memberikan informasi mengenai fungsi-fungsi neurofisiologis. EEG lebih umum digunakan dalam penilaian suatu penyakit yang bersifat serangan. Akan tetapi, kegunaannya sebagai suatu prediktor serangan-serangan posttraumatis sangat terbatas karena abnormalitas-abnormalitas EEG interiktal semata-mata dapat merefleksikan tingkat keparahan cedera otak. 101, 176, 311 Perlambatan fokal, abnormalitas EEG yang sering terjadi, dapat tetap bertahan dalam jangka waktu lama tanpa adanya serangan-serangan klinis.95Dalam setting akut, EEG merupakan prediktor yang handal akan kemampuan seseorang sembuh dari cedera otak traumatis.322 Sebagai prediktor outcome fungsional, bagaimanapun juga, peran EEG konvensional dan EEG kuantitatif masih tetap digambarkan.331 Pola-pola tertentu EEG, seperti spindle (kumparan-kumparan) tidur yang abnormal dan predominansi gelombang-gelombang alfa, menunjukkan prognosis yang buruk.60,341 Suatu kajian mengenai topik242 ini menyatakan bahwa pasien-pasien komatose, EEG kuantitatif mungkin memiliki suatu peran dalam memprediksikan outcome kelangsungan hidup dan fungsional serta secara kontinyu memonitor status neurologis. Suatu kajian penelitian-penelitian yang menggunakan potensial-potensial yang dibangkitkan untuk memprediksi outcome TBI275 menyimpulkan bahwa absensi bilateral gelombang-gelombang N20 hingga P22 pada potensial-potensial somatosensori yang dibangkitkan pada pasien-pasien TBI komatose dulunya merupakan prediktor kuat kegagalan penyembuhan kesadaran.ulasan yang sama275 menyimpulkan bahwa ketiadaan gelombang V atau komponen-komponen lain potensial-potensial auditori batang otak yang dibangkitkan dulunya juga prediktif akan suatu outcome yang buruk; akan tetapi, kehadiran potensial-potensial auditori batang otak yang dibangkitkan bukan merupakan prediktor yang valid akan outcome yang baik. Potensial-potensial somatosensori yang dibangkitkan (SEP) juga telah digambarkan untuk memprediksikan outcome jangka panjang cedera otak parah.99 Penilaian elektrofisiologis pada cedera otak dibahas secara lebih mendetit di bagian lain.284, 331

Penilaian Neuropsikologis

Uji-uji neuropsikologis merupakank alat-alat utama yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi-fungsi kognitif pada pasien-pasien penderitacedera otak.34, 209, 329 Tabel 49-5 menyajikan defisit-defisit kognitif yang seringkali diakibatkan oleh cedera otak, beserta dengan uji-uji neuropsikologis yang pada umumnya digunakan (yang dideskripsikan oleh Lezak227), beberapa diantaranya digunakan pada proyek Sistem-sistem Model TBI. Beberapa kelebihan penilaian neuropsikologis pada rehabilitasi cedera otak anatara lain:

1. Memberikan suatu pemahaman tentang kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan kognitif pasien yang dapat digunakan untuk menentukan tujuan-tujuan rehabilitasi; menilai kompetensi (kesesuaian) consent prosedur-prosedur medis dan membuat keputusan-keputusan lainnya, menilai kesiapan untuk memulai lagi aktifitas-aktifitas (misalnya, bekerja, sekolah, mengemudi); merekomendasikan modifikasi-modifikasi dalam rangka meningkatkan keselamatan dan efisiensi; serta memprediksikan outcome.

2. Menyediakan ukuran-ukuran terstandarisasi yang dapat diulang dalam rangka untuk memonitor perubahan seiring dengan penyembuhan, intervensi-intervensi, atau komplikasi-komplikasi medis.

3. Menyediakan suatu dasar pemikiran untuk diagnosis gangguan-gangguan kognitif dan perilaku diferensial dimana terdapat gangguan yang muncul sebelum atau sesudahnya (misalnya, ketidakmampuan untuk belajar, demensia).

4. Mendeteksi performa-performa tugas yang invalid (misalnya, malingering).

Kekurangan-kekurangan penilaian neuropsikologis termasuk waktu yang diperlukan dalam menilai, kesulitan dalam menghadapi pasien-pasien nonkooperatif, serta ketersediaan uji-uji untuk level rendah dan pasien-pasien yang tidak dapat berbahasa Inggris yang terbatas.

Ringkasan Indikator-indikator Prognostik AkutTabel 49-6 menyajikan indikator-indikator prognostik utama TBI yang tersedia berdasarkan daftar pasien rehabilitasi akut.78, 189, 274 Prediktor-prediktor outcome TBI yang terbaik adalah skor GCS dan indikator-indikator lain dari semua tingkat keparahan cedera otak.78, 225 Skor GCS juga merupakan prediktor kuat outcome TBI penetrating.13 Perlu untuk dicatat bahwa validitas banyak dari indikator-indikator tersebut sebagai perediktor outcome kasar tahap akut telah didemonstrasikan dalam penelitian-penelitian neurosurgical multi-center.110, 337 Karena secara relatif hanya ada lebih sedikit penelitian mengenai rehabilitasi pasien, beberapa indikator-indikator ini bisa jadi kurang valid dalam memprediksikan outcome fungsional manatan penderita TBI daripada indikator-indikator yang memprediksikan angka kelangsungan hidup itu sendiri.366 Karena durasi ketidaksadaran merefleksikan tingkat keparahan cedera otak, hal ini merupakan indikator prognostik yang dapat digunakan secara kombinasi dengan skor-skor GCS, atau tanpa adanya skor-skor GCS, untuk memprediksikan outcome. Sebagai contoh, seorang pasien dengan skor GCS terendahnya 7 yang mengalami ketidaksadaran hanya selama 1 hari bisa jadi memiliki tingkat keparahan cedera otak yang jauh lebih rendah daripada jika pasien mengalami ketidaksadaran selama seminggu. Durasi amnesia posttraumatis merupakan indikator prognostik yang kuat, namun tidak muncul dalam sebagian besar pasien-pasien TBI pada saat admisi rehabilitasi.perlu adanya suatu prosedur untuk mengkombinasikan indikator-indikator yang tersedia untuk menghasilkan kategori atau skor outcome yang terprediksi. Meskipun Choi 78 telah menciptakan prosedur-prosedur tersebut, mereka perlu untuk dievaluasi di dalam setting rehabilitasi.Prognosis pada cedera otak anoksik dibahas berikut ini, pada bagian manajemen koma. Prediksi outcome stroke dibahas pada bab 50 dan prognosis tumor-tumor otak dibahas pada bab-bab lainnya.225 Sayangnya, jauh lebih sedikit informasi yang tersedia mengenai prognosis rehabilitasi cedera otak nontraumatis dan hal ini tetap menjadi target penelitian di masa mendatang.153, 264

Pengukuran-pengukuran Outcome Cedera OtakKarena cedera otak dapat berdampak pada aspek-aspek yang berbeda-beda dalam kehidupan seseorang, ukuran-ukuran cedera otak sebaiknya bersifat multidimensional. Bagaimanapun juga, untuk menghindari kebutuhan akan pengukuran-pengukuran outcome multiple, para peneliti cedera otak telah dengan sangat hati-hati memeringkatkan skala-skala yang mengurangi berbagai outcome yang berbeda-beda hingga hanya menjadi satu peringkat outcome global.185 Skala Outcome Glasgow (GOS),178 seperti yang tampak pada Tabel 49-&, adalah pengukuran outcome yang paling umum digunakan dalam penelitian cedera otak. Meskipun GOS telah dikritik di dalam literatur rehabilitasi mengenai insensitifitas terhadap perubahan dan kekurangan-kekurangan lainnya,185 GOS masih tetap menjadi pengukuran outcome primer dalam percobaan-percobaan klinis perawatan-akut. Kefamilieran dalam menggunakan skala ini penting untuk membaca literatur outcome cedera otak. The Diasability Rating Scale (DRS)286, 287 didesain untuk memberikan pengukuran yang lebih sensitif dan komprehensif daripada GOS. Tabel 49-8 membandingkan pengukuran-pengukuran outcome utama yang digunakan di dalam rehabilitasi cedera otak.KESINAMBUNGAN PELAYANAN-PELAYANAN

REHABILITASI CEDERA OTAKRehabilitasi pasien penderita cedera otak biasanya dibagi ke dalam rehabilitasi akut dan rehabilitasi pot-akut. Jalur pelayanan-pelayanan rehabilitasi pasien-pasien penderita cedera otak nampak pada Gambar 49-5. Rehabilitasi akut mengacu pada perawatan yang diberikan kepada pasien rawat inap pada suatu unit rumah sakit, selama tahap-tahap awal penyembuhan. Rehabilitasi post-akut mengacu kepada perawatan setelah rumah sakit memulangkan pasien selama tahap-tahap kelanjutan penyembuhan.230

Gambar 49-5. Jalur Rehabilitasi untuk Cedera Otak. Bagan alur menunjukkan jalur-jalur yang biasanya diikuti oleh pasien-pasien cedera melewati rehabilitasi fase-fase akut dan post-akut. Evaluasi oleh seorang dokter spesialis rehabilitasi merupakan langkah awal, yang penting sebelum para pasien dipindahkan dari perawatan akut ke program-program rehabilitasi. Para pasien bisa jadi ditransfer antara program-program rehabilitasi akut dan subakut tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan individu. Pilihan program post-akut bisa jadi tergantung pada ketersediaannya di tempat tersebut.Rehabilitasi Cedera Otak AkutRehabilitasi pasien-pasien penderita cedera otak sebaiknya dimulai selama perawatan kritis. Pada tahap ini dokter spesialis rehabilitasi dapat mengintervensi untuk mencegah komplikasi yang dapat memperbesar ketidakmampuan yang akan datang. Sebagai contoh, pasien yang tidak sadar tanpa berbagai kontraindikasi sebaiknya menjalani rangkai gerak pasif dua kali sehari untuk mencegah kontraktur-kontraktur dan abnormalitas-abnormalitas persendian lainnya, serta sebaiknya diposisikan untuk mencegah adanya tekanan bisul-bisul, edema dan kontraktur-kontraktur. Intervensi-intervensi tambahan dapat direkomendasikan untuk spastisitas, nutrisi dan incontinence. Meskipun manajemen ortopedik definitif fraktur-fraktur pada pasien-pasien penderita TBI seringkali dapat ditunda, perawatan surgical dini cedera-cedera ortopedik dapat meminimalisasi kecacatan.161 Evaluasi dini rehabilitasi dapat menentukan apakah pasien sesuai untuk rehabilitasi akut (entah pada unit rehabilitasi umum atau unit khusus cedera otak), untuk program subakut, atau untuk perawatan dalam suatu program post-akut. Transfer ke program rehabilitasi akut sebaiknya dilakukan dengan dasar pertimbangan apabila pasien secara medis dinyatakan stabil dan apabila perawatan medis yang sedang berlangsung secara substansial tidak mengganggu kemajuan rehabilitasi.250 Kriteria perintah-perintah yang menyertai sebelum admisi hingga rehabilitasi tidak dapat ditentukan karena, seperti tampak pada Tabel 49-9, mayoritas mantan pasien-pasien TBI yang mengalami ketidaksadaran akhirnya medapatkan kembali kesadarannya. Malah, dokter spesialis rehabilitasi dapat menggunakan indikator-indikator prognostik untuk menyeleksi pasien-pasien yang mengalami ketidaksadaran dengan probabilitas penyembuhan tertinggi. Pemindahan secara langsung pasien yang mengalami ketidaksadaran dari perawatan akut ke bangsal, tanpa adanya evaluasi terlebih dahulu oleh dokter spesialis rehabilitasi, sebaiknya dihindari. Hal ini dikarenakan resiko mengabaikan pembentukan komplikasi-komplikasi atau tanda-tanda perkembangan, dan dikarenakan resiko penundaan atau bahkan pencegahan akses rehabilitasi.Indikasi-indikasi admisi ke unit khusus rehabilitasi cedera otak, daripada ke unit rehabilitasi umum, termasuk (1) ketidaksadaran atau bukti-bukti kesadaran yang tidak konsisten, (2) agitasi yang memerlukan modifikasi-modifikasi lingkungan, (3) resiko komplikasi-komplikasi (misalnya, spastisitas, yang memerlukan manajemen khusus, dan (4) kerusakan kognitif parah yang membutuhkan modifikasi-modifikasi terapi dan prosedur-prosedur keperawatan. Unit-unit yang dikhususkan untuk rehabilitasi cedera otak memiliki kelebihan-kelebihan yaitu staf yang berpengalaman, jaringan konsultan-konsultan dengan keahlian-keahlian khusus dalam hal cedera otak, program-program untuk pendidikan keluarga dan masyarakat, dan protokol-protokol untuk permasalahan-permasalahan rehabilitasi cedera otak pada umumnya. Tim terapi unit rehabilitasi akut cedera otak biasanya melibatkan disiplin-disiplin rehabilitasi tradisional, seorang dokter spesialis rehabilitasi dengan keahlian dalam bidang cedera otak, dan seorang neuropsikolog. Tim tersebut juga membutuhkan akses ke para spesialis di optometri dan orthotic. Deskripsi-deskripsi detil terapi-terapi rehabilitasi untuk pasien-pasien penderita cedera otak sudah tersedia.43, 152, 206, 245, 355, 363Penelitian lebih lanjut diperlukan utnuk mengevaluasi kemanfaatan unit-unit rehabilitasi akut yang dikhususkan untuk cedera otak, jika diperbandingkan dengan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien penderita cedera otak di unit-unit rehabilitasi umum.289 Berbagai ulasan penelitian-penelitian kemanfaatan rehabilitasi TBI akut74, 167 telah menemukan bahwa, ketika pasien-pasien penderita TBI dalam penelitian-penelitian ini biasanya membuat perkembangan-perkembangan besar selama rehabilitasi rawat inap, kemajuan-kemajuan tersebut tidak dapat secara unik diatribusikan terhadap rehabilitasi karena penelitian-penelitian gagal untuk mengontrol penyembuhan spontan atau perbedaan-perbedaan yang sudah ada sebelumnya antara kelompok perawatan dan perbandingan. Lebih lanjut, pengukuran-pengukuran outcome yang digunakan dalam penelitian-penelitian ini bisa jadi tidak sesuai atau tidak cukup sensitif atau komprehensif untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan dalam perkembangan.160 Mayoritas perkembangan fungsional pada pasien-pasien cedera otak selama rehabilitasi akut bisa jadi dikarenakan penyembuhan neurologis secara spontan, dengan terapi memainkan peran pencegahan berbagai komplikasi (misalnya, kontraktur-kontraktur), mengkondisikan ulang setelah ketidakaktifan selama perawatan akut, menyediakan lingkungan yang telah diberi pengetahuan, strategi-strategi imbangan pengajaran (termasuk modifikasi-modifikasi lingkungan), dan kemungkinan pemfasilitasan reorganisasi neurologis.56, 263, 342Tahap-tahap Penyembuhan Neurobehavioral dari Cedera OtakDibandingkan dengan gangguan-gangguan neurologis lainnya yang dirawat dalam rehabilitasi, cedera otak memiliki jangka waktu penyembuhan yang lama. Sebagai contoh, pasien-pasien penderita TBI pada umumnya membuat kemajuan fungsional yang lebih besar selama rehabilitasi rawat inap daripada para pasien pada kelompok-kelompok diagnostik lainnya.69 Jangka waktu penyembuhan dari cedera otak yang parah meliputi tahap-tahap yang berbeda-beda, seperti tampak pada Gambar 49-6. Tahap-tahap penyembuhan neurobehavioral dari cedera otak anoksik, putusnya arteri anurisme komunikasi anterior, dan banyak cedera otak nontraumatis lainnya menyerupai TBI. Level-level skala Pemfungsian Kognitif (The Levels of Cognitive Fungtioning scale), tampak pada Tabel 49-10, tercipta di Rancho Los Amigos Medical Center231 untuk mendeskripsikan rangkaian penyembuhan neurobehavioral dari TBI dan untuk memberikan suatu dasar pemikiran bagi rehabilitasi kognitif pada masing-masing tahap penyembuhan. Meskipun Level-level skala Pemfungsian Kognitif telah dikritik karena penyembuhan dari TBI lebih bervariasi daripada yang diimplikasikan oleh skala, skala tersebut memiliki keuntungan yaitu membedakan tahap-tahap utama penyembuhan dan memberikan suatu dasar komunikasi antar anggota tim. Strategi-strategi rehabilitasi selama rehabilitasi akut sebagian besar ditentukan oleh tahap-tahap penyembuhan pasien, seperti yang dijelaskan pada bagian-bagian berikut.Koma dan Ketidaksadaran

Riwayat alamiah penyembuhan cedera-cedera otak traumatis dimulai dengan koma, suatu keadaan dimana pasien menunjukkan tidak adanya bukti-bukti kognisi dan tidak membuka matanya, meskipun diberi stimulus yang menyakitkan.180 Pada cedera otak yang diakibatkan oleh trauma, koma dan ketidaksadaran disebabkan oleh gangguan input terhadap struktur-struktur permukaan otak dari struktur-struktur yang lebih dalam yang mensyarafi gerakan dan keadaan terjaga seseorang.279 Gangguan ini dapat, sebaliknya, dihasilkan oleh diskoneksi jalur-jalur fiber yang arahnya naik yang dikarenakan cedera aksonal yang menyebar, atau oleh kompresi batang otak atau struktur-struktur diensefalik sebagai akibat dari efek massa lesi-lesi supratentorial. Pada pasien-pasien mantan penderita, terdapat rangkaian penyembuhan fungsi tubuh yang cukup konsisten dari keadaan koma yang dimulai dengan pembukaan matadan siklus-siklus tidur-bangun, dan kemudian kemajuan-kemajuan untuk mengikuti perintah-perintah dan, pada akhirnya, untuk berbicara.59 rangkain proses penyembuhan ini konsisten dengan model TBI sentripetal, yang memperkirakan bahwa fungsi-fungsi yang disyarafi oleh struktur-struktur otak yang lebih dalam, seperti siklus-siklus bangun-tidur, seharusnya sembuh terlebih dahulu daripada fungsi-fungsi yang disyarafi oleh struktur-struktur otak di bagian permukaan, seperti memori.268 Kognisi biasanya didemonstrasikan pertama kalinya oleh kemampuan pasien untuk berkomunikasi, seperti mengikuti perintah-perintah atau melakukan gerakan bahasa isyarat. Pada pasien-pasien yang sembuh dengan cepat, uji tanda-tanda kognisi awal ini biasanya bersifat langsung dan tidak memerlukan teknik-teknik tertentu. Pada pasien-pasien yang sembuh dengan lambat, bagaiamanpun juga, teknik-teknik khusus mungkin diperlukan untuk mendeteksi kemajuan-kemajuan, atau bahkan bukti-bukti adanya kesadaran.343 Pada penelitian-penelitian terdahulu mengenai TBI parah, 10% hingga 15% dari para pasien yang bertahan hidup masih tetap dalam keadaantidak sadar pada saat dipulangkan dari ruang perawatan akut.221 Sebagian besar para pasien yang masih tetap tidak sadar hingga setelah satu bulan telah mendapatkan kembali siklus-siklus bangun-tidur, dan oleh karenanya mereka membuka mata secara spontan pada sebagian waktu. Mereka biasanya juga menunjukkan reaktifitas pupilari dan refleks-refleks okulosefalik, perilaku-perilaku primitif seperti mengunyah dan menggerakkan mata berputar-putar, dan fungsi fungsi vegetatif seperti respirasi spontan, yang kesemuanya itu merefleksikan batang otak yang masih berfungsi dan fungsi-fungsi hipotalamik. Ketika terdapat kesepakatan umum akan kriteria diagnostik keadaan koma, ketidakakuratan diagnostik dan kebingungan menyertai usaha-usaha untuk membedakan vegetatif dari kesadaran minimal atau keadaan-keadaan responsif minimal. Istilah persistent vegetative state (PVS) telah digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan dimana pasien dengan keadaan koma sebelumnya telah pulih kembali siklus-siklus tidur-bangunnya dan membuat kemajuan-kemajuan hingga mencapai keadaan suatu keadaan terjaga tanpa adanya kesadaran. 180, 279 Pasien-pasien dengan PVS tidak memiliki respon behavioral yang bersifat dapat bereproduksi, bermakna, atau dengan kesadaran terhadap stimulus-stimulus, dan tidak ada bukti-bukti komprehensi atau ekspresi bahasa. Selama bertahun-bertahun, PVS telah dipergunakan secara tidak tepat sebagai suatu istilah prognostik, yang mengakibatkan diagnosis yang tidak akurat, rekomendasi-rekomendasi perawatan yang tidak tepat, keterbatasan-keterbatasan pelayanan-pelayanan medis dan rehabilitasi, dan buruknya pemanfaatan dan penganggaran sumber-sumber daya.The Multi-society Task Force on PVS menyatakan bahwa, karena PVS semata-mata mengacu pada suatu keadaankecacatan di masa lampau dan berlanjut di masa mendatang dengan tanpa adanya suatu kepastian, PVS lebih merupakan suatu diagnosis daripada suatu prognosis.255, 256 Suatu keadaanyang terkait, permanent vegetative state, mengungkapkan irreversibilitas dan oleh karenanya merupakan suatu prognosis. The Task Force mendefinisikan secara operasional PVS sebagai suatu keadaan vegetatif yang muncul satu bulan setelah cedera otak traumatis atau nontraumatis yang akut. Keadaan vegetatif sebaiknya tidak dilabel permanen hingga terdapat suatu prognosis irreversibilitas yang dapat ditetapkan dengan kepastian klinis yang berderajat tinggi, setelah 12 bulan bertahan dalam keadaanvegetatif post-TBI dan 3 bulan mengikuti cedera-cedera nontraumatis. Tabel 49-11 menyajikan terminologi yang digunakan untuk pasien-pasien dalam keadaantidak sadar atau kesadarannya berada dalam level yang rendah.139 Gambar 49-6. Proses Pemulihan Memori setelah Cedera Otak. Garis waktu menunjukkan tahapan-tahapan pemulihan kognitif yang berlangsung pada sebagian besar penderita cedera otak parah yang masih bertahan hidup. TBI ringan dan sedang akan mendemonstrasikan tahapan-tahapan yang sama seperti yang digambarkan, kecuali untuk datang. Beberapa pasien yang mampu bertahan hidup tidak sembuh dari keadaantidak sadar atau dari amnesia posttraumatis/Post-traumatic Amnesia (PTA). Mayoritas pasien-pasien yang puluh dari PTA dan memiliki suatu kesenjangan memori permanen tentang pengalaman-pengalaman yang terjadi selama keadaantidak sadar, PTA, dan suatu periode pra-cedera yang lebih pendek (amnesia retrograde).Rehabilitasi Pasien-pasien dengan Gangguan KesadaranPasien-pasien yang tetap saja tidak sadar meskipu dipindahkan dari ruang perawatan akut menunjukkan permasalahan-permasalahan uji dan perawatan yang sulit, dan sebaiknya dirujuk ke program rehabilitasi cedera otak. Dengan ketiadaan perawatan yang telah terbukti kemanjurannya untuk memfasilitasi penyembuhan ketidaksadaran, tujuan-tujuan rehabilitasi para pasien penderita TBI adalah (1) untuk memindahkan penghambat-penghambat penyembuhan, dengan demikian memungkinkan para pasien yang memiliki potensial untuk mendapatkan kembali kesadarannya untuk memindahkan penghambat-penghambat tersebut; (2) untuk merawat komplikasi-komplikasi medis yang dapat meningkatkan kecacatan pada pasien-pasien yang telah sembuh; dan (3) untuk memberikan edukasi, konseling, dan dukungan bagi para anggota keluarga. Ulasan yang lebih detil mengenai manajemen pasien-pasien tersebut tersedia.38, 51, 138, 265, 304, 346

Langkah pertama dalam menguji pasien dengan kerusakan kesadaran yang parah adalah dengan mengendalikan kemungkinan bahwa kegagalan untuk membangkitkan kesadaran merupakan artifak dari teknik-teknik pemeriksaan atau dikarenakan faktor-faktor medis reversibel. Pasien-pasien yang gagal untuk mengikuti perintah-perintah karena ketidakpahaman akan bahasa yang digunakan penguji atau karena afasia atau apraksia217 mungkin saja berhasil jika teknik-teknik pemeriksaan yang digunakan dimodifikasi dengan tepat. Yang paling penting, timbulnya gerakan pasien dan munculnya responsifitas pasien dapat dirusak oleh obat-obat pensedasi, penyakit-penyakit sistemik, malnutrisi, dan permasalahan-permasalahan medis lain yang bisa dikoreksi.

Khususnya, permasalahan obat sedasi terindusi pada pasien-pasien yang tidak sadar lebih serius daripada yang terapresiasi pada umumnya dan perlu untuk diperhatikan. Perlu untuk diketahui bahwa efek-efek samping sedatif dapat memperparah keadaanotak yang cedera, dan bahkan meski perubahan kecil sekalipun dalam hal melakukan gerakan dapat berdampak pada kemampuan pasien dalam merespon. Pengobatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang tidak sadar sebaiknya diperiksa dengan teliti guna mengurangi efek-efek yang tidak penting dan, jika memungkinkan, untuk menggantikan obat-obat yang penting dengan obat-obatan yang bersifat kurang sedatif. Pengobatan-pengobatan yang potensial berefek sedasi yang seringkali diberikan kepada para pasien yang tidak sadar tercantum pada Tabel 49-12. Profilaksis antikonsulvan seperti carbamazepine (Tegretol) atau valproic acid. Perawatan hipertensi dengan clonidine, inhibitor-inhibitor angiotensin-converting enzyme, penghalang-penghalang channel calcium, atau diuretik bisa jadi memungkinkan untuk digunakan daripada menggunakan antihipersensitif dengan efek-efek samping mensedasi, seperti propranolol, metoprolol, dan methyldopa. Penggunaan metoclopramide (Reglan) sebaiknya dihindari pada perawatan pengosongan lambung yang tertunda karena efek-efek samping pensedasinya. Benzodiazepine seperti diazepam (Valium), yang sering digunakan untuk kontrol spastisitas, sebaiknya juga dihindari. Antidepressant seperti amitriptyline (Elavil), yang kadang kala digunakan untuk meningkatkan level kesadaran, dapat secara paradoks menurunkan timbulnya gerakan karena efek-efek anticholinergic yang mereka miliki. Tidak ada aturan untuk neuroleptic seperti haloperidol (Haldol), chloropromazine (Thorazine), dan thioridazine (Mellaril) dalam manajemen medik pasien-pasien yang tidak sadar.Prediktor-prediktor apakah pasien-pasien yang tidak sadar akan mendapatkan kembali kesadarannya adalah etiologi, umur, dan durasi ketidaksadaran itu sendiri.255, 256 Penelitian-penelitian outcome pada pasien-pasien TBI yang tidak sadar selama kira-kira satu bulan post-cedera (seperti yang diringkas pada Tabel 49-9) menunjukkan bahwa 40% hingga 50% mendapatkan kembali kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera. Temuan-temuan ini juga mendukung rekomendasi bahwa pasien-pasien TBI yang tidak sadar selama dipindahkan dari ruang perawatan akut sebaiknya dirujuk ke program-program rehabilitasi cedera otak daripada ditransfer ke fasilitas-fasilitas keperawatan, dimana terdapat suatu resiko tidak akan pernah mendapatkan perawatan khusus bahkan hingga setelah pulih kesadarannya. Ulasan tentang semua kasus-kasus keadaan vegetatif yang diperpanjang yang terverifikasi yang mengikuti TBI menyimpulkan bahwa, pada pasien-pasien yang tidak sadar selama 3 bulan post-cedera, probabilitas mendapatkan kembali kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera adalah 36%; akan tetapi, pada pasien-pasien yang tetap tidak sadar selama 6 bulan post-cedera, probabilitasnya menurun hingga 21%.255, 256 Pada pasien-pasien dengan cedera otak nontraumatis yang tetap tidak sadar selama 3 bulan post-cedera, probabilitas mendapatkan kembali kesadarannya dalam waktu satu tahun post-cedera hanya 7% dan, pada pasien-pasien nontraumatis yang tetap tidak sadar selama 6 bulan post-cedera, probabilitasnya bahkan lebih rendah.255, 256 Kajian yang sama yang melaporkan lebih sedikit dari duapuluh kasus yang terverifikasi tentang pasien-pasien TBI yang pulih kesadarannya setelah menetap dengan status vegetatif yang lebih lama dari satu tahun, dan menyimpulkan bahwa pemulihan kesadaran setelah satu tahun benar-benar sangat jarang.255,256Umur merupakan prediktor kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis, dengan tingkat kesembuhan terbaik dapat ditemukan pada anak-anak, yang diikuti oleh usia dewasa di bawah 40 tahun.255, 256 Akan tetapi, umur tidak memprediksikan secara kuat kesembuhan dari ketidaksadaran nontraumatis.226 Terdapat juga bukti-bukti bahwa kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis lebih sedikit ditemui pada pasien-pasien dengan bukti-bukti hasil neuroimaging atrofi serebral parah atau ketiadaan bilateral potensial-potensial somatosensori yang terbangkitkan.255, 256, 275 Banyak prediktor-prediktor potensial lain menyangkut kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis yang telah dipelajari,221 namun tidak satupun yang telah divalidasi untuk digunakan dalam prediksi klinis.Pada pasien-pasien yang tidak sadar atau yang tidak secara konsisten merespon dengan selektif, terdapat tuntutan yang kuat untuk suatu teknik uji yang dapat merunut proses penyembuhan. GCS dan Rancho Los Amigos Levels of Cognitive Fungtioning Scale dianggap kurang sensitif untuk diaplikasikan pada pasien-pasien yang tidak sadar yang telah mendapatkan kembali kemampuan membuka matanya secara spontan.51 Beberapa skala peringkat telah ditetapkan untuk menguji responsifitas pasien-pasien yang tidak sadar atau dengan level kesadaran rendah.172 Contoh-contoh skala-skala tersebut antara lain Skala Koma/Mendekati Koma,285 Skala Penyembuhan Koma,140 Western Neuro Sensory Stimulation Profile,24 dan Sensory Stimulation Assessment Measure.282 Meski tidak satupun dari skala-skala ini dapat memprediksikan kesembuhan pasien-pasien yang masih tetap tidak sadar, mereka dapat berguna dalam memonitor apakah seorang pasien yang sadar kehilangan responsifitasnya dari waktu ke waktu, yang dapat menjadi pertanda adanya suatu sedasi atau suatu komplikasi yang dapat diobati. Sebagai pilihan alternatif dari skala-skala ini, teknik-teknik saat ini telah diciptakan untuk mendeteksi bukti-bukti kesadaran pada para pasien dengan respon-respon yang tidak frekuentif atau ambigu.343 Rehabilitasi pasien-pasien yang tidak sadar masih saja menjadi suatu hal yang kontroversial.54, 244, 354, 372 Khususnya, kemanjuran stimulasi sensori (juga disebut stimulasi koma), dimana pasien-pasien diberi stimulasi terarah pada modalitas-modalitas ganda,51 tidak didukung oleh percobaan-percobaan klinis. Kajian mengenai penelitian-penelitian yang telah diterbitkan354 tidak menemukan adanya bukti-bukti bahwa stimulasi sensori meningkatkan kesembuhan dari ketidaksadaran traumatis kronis, meskipun terdapat beberapa bukti efek perawatan pada pasien-pasien penderita TBI akut yang masih dalam keadaan koma.Pengobatan farmakologis masih menjadi intervensi yang paling menjanjikan untuk secara langsung meningkatkan timbulnya gerakan dan memfasilitasi penyembuhan kesadaran pasien-pasien tersebut. Tabel 49-13 meringkas beberapa pengobatan yang digunakan untuk stimulasi neuro. Terdapat banyak laporan yang bersifat anekdot mengenai pasien-pasien penderita TBI yang tidak sadar yang mendapatkan kembali kesadarannya ketika dirawat dengan stimulan-stimulan (misalnya, methylphenidate, dextroamphetamine) atau agen-agen anti parkinsonian (misalnya, bromocriptine, amantadine).50, 51, 118, 119, 201, 358, 369 Meski percobaan-percobaan yang terkontrol terhadap obat-obatan tersebut belum pernah dilakukan, berdasarkan pengalaman kami mereka digunakan secara meluas pada perawatan neurotrauma dan rehabilitasi cedera otak akut.

Amnesia Posttraumatis dan Agitasi

Mengikuti pulihnya kesadaran, para pasien cedera otak biasanya melalui suatu periode kebingungan dan disorientasi yang disebut amnesia posttraumatis (PTA).214, 300 PTA didefinisikan sebagai peride dimana kemamppuan pasien untuk belajar informasi-informasi baru sangat minim atau bahakan tidak ada. Sebagai contoh, pada PTA tahap awal, para pasien bisa saja tidak sadar bahwa ia berada di rumah sakit dan justru merasa bahwa mereka di rumah atau di tempat kerja. Ingatan akan kejadian-kejadian fiksisius yang salah ini, disebut konfabulasi, yang lebih bersifat organis daripada suatu gejala fungsional. Menuju periode akhir PTA, para pasien menjadi tidak terlalu konfabulatori namun masih saja gagal untuk mengingat kembali episode-episode yang spesifik (misalnya, pengunjung yang menjenguk kemarin). Setelah pulih dari PTA, pasien-pasien tersebut memiliki kesenjangan memori permanen untuk kejadian-kejadian yang terjadi selama periode PTA. Mereka biasanya juga memiliki suatu kesenjangan memori untuk kejadian-kejadian yang terjadi beberapa waktu sebelum waktu cedera (disebut amnesia retrogade). Walaupun istilah PTA mengimplikasikan bahwa cedera otak disertai itrauma, para pasien cedera otak anoksik dan cedera otak nontraumatis tertentu lainnya (misalnya, putusnya arteri anurisme komunikasi anterior) melalui tahap-tahap penyembuhan yang sama. Oleh karenanya, suatu istilah alternatif diperlukan untuk menjelaskan amnesia tanpa menspesifikasikan suatu etiologi traumatis.Ukuran-ukuran yang berbeda tersedia untuk menguji apakah seorang pasien dalam keadaan PTA atau sedang dalam masa penyembuhan dari PTA. Ukuran yang paling banyak digunakan adalah orientasi terhadap tempat dan waktu, namun hal ini dapat kurang tepat diaplikasikan pada unit-unit rehabilitasi dimana para pasien sering diberi latihan-latihan orientasi realitas.93 Teknik standar yang digunakan untuk menguji PTA adalah Galveston Orientation and Amnesia Test (GOAT),214 suatu interview singkat yang mengkuantifikasikan orientasi dan ingatan akan kejadian-kejadian tertentu. Skor GOAT dapat berkisar dari 0 hingga 100, dengan skor >75 didefinisikan sebagai normal. Akhir PTA dapat didefinisikan sebagai tanggal setelah skor GOAT yang didapat konsisten >75. Keuntungan menggunakan GOAT adalah bahwa hasil-hasil dapat langsung dibandingkan dengan penelitian-penelitian outcome yang juga menggunakan skala ini.112

Durasi PTA merupakan suatu indikator tingkat keparahan cedera otak dan sebaiknya digunakan sebagai suplemen skor GCS, durasi ketidaksadaran, dan temuan-temuan neuroimaging. Kenyataannya, durasi PTA indikator tingkat keparahan pertama yang diterima secara meluas.123 Perlu dicatat bahwa durasi PTA, seperti durasi ketidaksadaran, dapat merefleksikan faktor-faktor selain tingkat keparahan cedera otak itu sendiri. Kegagalan untuk pulih dari PTA dapat mengindikasikan suatu gangguan amnesik permanen, seperti yang dihasilkan oleh cedera otak anoksik, atau dapat menjadi sinyal adanya komplikasi-komplikasi yang dapat dicegah misalnya hidrosefalus.Selama PTA banyak pasien-pasien menampakkan sindrom neurobehavioral, yang disebut agitasi, yang meliputi kebingungan kognitif, kelabilan emosi yang ekstrim, aktifitas motorik yang berlebihan, dan agresi fisik atau verbal. Pasien yang mengalami agitasi biasanya tidak mampu untuk mempertahankan atensi dan usaha dalam jangka waktu yang cukup lama untuk melakukan tugas-tugas sederhana, seperti berpakaian, dan dapat bereaksi berlebihan hingga perasaan frustasi dengan menangis atau berteriak. Pasien dapat dengan mudah merasa frustasi dan tersinggung, dan pada umumnya menunjukkan perilaku yang tidak semestinya terhadap staf atau anggota keluarga. Terhadap tanggal, tidak ada konsensus mengenai definisi agitasi. Sandel dan Mysiw,303 berdasarkan kajian mereka terhadap berbagai literatur, mendefinisikan agitasi posttraumatis sebagai suatu subtipe delirium, yang terjadi selama periode amnesia posttraumatis, yang dicirikan oleh perilaku yang berlebihan, termasuk beberapa kombinasi agresi, akathisia, disinhibisi, dan kelabilan emosi. Lebih lanjut, mereka mengingatkan bahwa gangguan mood dan pikiran harus didiagnosa secara terpisah. Pada suatu survey para anggota Brain Injury Special Interest Group of The American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation, Fugate et al126 menemukan bahwa mayoritas tidak menggunakan teknik-teknik yang standar untuk mengukur agitasi. Hanya 6% yang menggunakan Agitated Behaviour Scale/Skala Perilaku Teragitasi (ABS), ukuran yang paling sering digunakan. ABS adalah skala yang meliputi 14 item yang memeringkat perilaku ke dalam tiga bidang yang saling terkait: disinhibisi, agresi, dan labilitas.91 Mudah untuk mengkategorikan dan telah terbukti memiliki realibilitas antar ukuran pemeringkat yang baik.Agitasi menjadi sangat penting jika pasien membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain (misalnya, merenggut botol-botol, menjatuhkan diri, atau berusahamelarikan diri dari ruang perawatan). Sebelumnya diyakini bahwa sebagian besar pasien-pasien TBI yang menunjukkan tanda-tanda agitasi selama PTA, seperti yang diimplikasikan oleh skala Rancho Los Amigos.231 Akan tetapi, riset menunjukkan bahwa agitasi disertai agresi terjadi hanya pada sebagian kecil pasien-pasien penderita penyakit tersebut, sedangkan yang lainnya hanya menunjukkan tanda-tanda agitasi disertai kegelisahan motorikik,63, 288 dan yang lainnya lagi tidak menunjukkan tanda-tanda agitasi. Faktor-faktor resiko agitasi masih perlu diidentifikasi namun para pakar menyatakan bahwa defisit-defisit kognitif parah dankerusakan lobus frontal mungkin prediktif.Rehabilitasi Pasien Penderita AgitasiMeski agitasi seringkali ditemui pada cedera otak, namun sebaiknya didiagnosis secara terpisah. Permasalahan-permasalahan neurologis atau medis konkuren dapat menyebabkan atau memperburuk delirium (kekacauan pikiran) dan perilaku teragitasi. Jelas, kondisi-keadaanini perlu diperlakukan secara berbeda dengan perlakuan yang diberikan terhadap agitasi. Kekacauan metabolik, hipertiroidisme, infeksi dan sepsis, hipoglikemia, hipoksemia, pengobatan-pengobatan (misalnya, anticholinergics), dan obat penenang (misalnya, baclofen, sedatif-sedatif, hipnotis-hipnotis) termasuk beberapa obat penyebab kekacauan pikiran dan agitasi. Di antara komplikasi-komplikasi neurologis yang menunjukkan kekacauan pikiran atau agitasi antara lain serangan-serangan, hidrosefalus, lesi-lesi massa intrakranial (misalnya, hematoma,higroma), dan migrain. Rasa sakit, khususnya pada seorang pasien yang mengalami kebingungan dan tidak mampu berkomunikasi, merupakakn penyebab agitasi yang seringkali teramati. Merupakan hal yang masuk akal untuk melakukan berbagai uji dalam evaluasi pasien yang mengalami kebingungan dan agitasi (Tabel 49-14). Hanya setelah kondisi-keadaanmedis dan neurologis dapat dikendalikan sebaiknya diagnosis suatu agitasi segeera ditentukan.

Perawatan agitasi meliputi pengobatan-pengobatan, strategi-strategi behavioral, dan manajemen lingkungan. Pengekangan fisik yang berlebihan tidak berhasil. Atas dasar keprihatinan publik, the Joint Comission on the Accreditation of Health Care Institution (JCAHO) dan the Health Care Financing Agency (HCFA) akhir-akhir ini memperketat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penggunaan model-model pengekangan. Cedera-cedera yang terkait dengan penggunaan rompi pengekang telah dicatat.62 Jika diperlukan, pengekang sebaiknya diaplikasikan pada tingkatan yang paling rendah, contohnya sarung tangan dengan bantalan dan sabuk kecil yang lunak demi keamanan kursi roda. Penggunaan kasur lantai (Gambar 49-7) memberikan lingkungan yang aman dan terkontrol dan dapat mengeliminasi kebutuhan akan pengekang. Teknik-teknik modifikasi perilaku tradisional, seperti menggunakan penghargaan untuk perilaku yang diharapkan, dianggap tidak efektif untuk agitasi karena pasien biasanya bingung dan amnestik. Usaha-usaha nonfarmakologis diarahkan ke manajemen lingkungan dan restrukturisasi terapi-terapi (Tabel 49-15). Tujuan manajemen lingkungan adalah untuk menurunkan level stimulasi dan kompleksitas kognitif pada lingkungan terdekat pasien. Lebih lanjut untuk edukasi staf dan perencanaan strategi, keluarga perlu untuk memahami teknik-teknik manajemen yang digunakan dan dilibatkan dalam implementasi sebagaimana mestinya. Perilaku teragitasi yang ditunjukkan oleh seseorang yang kita cintai seringkali membuat keluarga sangat tertekan, dan ini dapat dimaklumi. Penting untuk meyakinkan ulang keluarga bahwa agitasi merupakan suatu tahap penyembuhan yang dapat diprediksi dan bahwa usaha-usaha terus dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab-penybab perilaku tersebutyang dapat disembuhkan. Pembahasan-pembahasan yang lebih detil mengenai manajemen lingkungan agitasi tersedia pada publikasi-publikasi lain. Gambar 49-7. Craig Bed. Pasien-pasien penderita agitasi nonambulatori seringkali diuntungkan dengan penggunaan kasur lantai (Craig Bed). Matras-matras dapat diletakkan di lantai dan dinding dengan bantala setinggi 3-4 kaki pada keempat sisi memungkinkan pasien untuk berguling-guling. Penggunaan kasur lantai dengan pengawasan ketat serta penggunaan sarung tangan dan helm (jika perlu) seringkali mengeliminasi kebutuhan untuk pengekang.

Tidak ada satupun aturan mengenai penggunaan obat-obatan bagi penderita agitasi. Sedasi sebaiknya digunakan hanya ketika strategi-strategi lingkungan tidak berhasil dan pada situasi-situasi darurat. Pada survey yang sama yang dilakukan oleh Fugate at al.125, 126 ditemukan bahwa obat yang paling sering diresepkan oleh para ahli TBI adalah carbamazepine, tricyclic antidepressants (TCAs), trazodone, amantadine, dan beta-blockers. Para ahli ini juga sepertinya lebih jarang menggunakan obat dengan efek sedasi daripada non-ahli, seperti haloperidol dan benzidiaspines. Tabel 49-16 menyebutkan beberapa macam obat-obatan yang umum digunakan. Hanya sedikit dari obat-obatan tersebut yang telah dievaluasi kemanjurannya melalui uji-uji klinis.64 Dalam situasi-situasi dimana agitasi tidak dapat dikontrol dan berkembang ke arah kekerasan, intramuscular lorazepam (Ativan), 1 hingga 2 mg, bisa jadi diperlukan. Obat ini direkomendasikan hanya untuk situasi-situasi darurat dimana muncul bahaya dadakan yang mengancam pasien atau orang lain, dan bukan sebagai substitusi untuk intervensi-intervensi lingkungan dan obat-obat yang lebih aman. Dokter sebaiknya juga harus berhati-hati terhadap peningkatan paradoksikal dalam agitasi, yang dapat terjadi dengan penggunaan lorazepam.Rehabilitasi Selama dan Setelah Amnesia PosttraumatisProgram rehabilitasi selama PTA sebaiknya dimodifikasi untuk pasien-pasien dengan kerusakan-kerusakan memori parah. Unit rehabilitasi sebaiknya memiliki suatu sistem (misalnya, pita tangan yang berwarna-warni) untuk mengidentifikasi seberapa ketat pengawasan yang diperlukan oleh pasien. Pasien yang beresiko tinggi menyerang atau menyakiti dirinya sendiri atau orang lain mungkin membutuhkan suatu area terkunci atau pengawasan langsung oleh staf perawat. Untuk mengorientasi ulang pasien dengan lingkungannya, tempat dan tanggal dan suatu jadwal harian sebaiknya ditempelkan pada kamar-kamar pasien, dan informasi orientasi dapat diulang sepanjang hari.93 mungkin sangat membantu pasien-pasien untuk menerima makanan dan terapi-terapi mereka di ruang rehabilitasi saja, guna menghindari stimulasi yang berlebihan. Tim sebaiknya menghindari menstimulasi pasien secara berlebihan dengan jadwal terapi yang terlalu banyak persyaratan, ekspektasi-ekspektasi terapetik yang tidak realistis, dan interaksi-interaksi emosional yang tidak menyenangkan dengan keluarga atau staf. Pasien-pasien yang masih mampu berjalan dapat mungkin saja membutuhkan pengawasan ketat karena pertimbangan-pertimbangan keamanan dan mungkin akan lebih aman dengan menggunakan kursi roda apabila tidak sedang menjalani terapi-terapi. Seiring dengan meningkatnya ketahanan dan kesadaran pasien akan keamanan mendekati waktu akhir PTA, tim dapat membiarkan pasien berjalan, berkegiatan kamar mandi, dan aktifitas-aktifitas lainnya sendiri dengan tingkat pengawasan yang dikurangi.Setelah pasien lepas dari PTA, suatu evaluasi neuropsikologis seharusnya dilaksanakan untuk merencanakan rehabilitasi dan merekomendasikan batasan-batasan aktifitas. Latihan-latihan yang lebih realistis dan banyakpersyaratan dapat dilakukan di dalam terapi, seperti membaur dengan masyarakat. Permasalahan-permasalahan behavioral sebaiknya segera diobati apabila mereka mengganggu kemajuan-kemajuan rehabilitasi.175 Ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan dalam terpi dapat ditanggulangi dengan teknik-teknik manajemen behavioral.228, 313 Gangguan-gangguan mood, yang kadang muncul dalam bentuk kurangnya kemauan atau motivasi untuk berpartisipasi dalam terapi, dapat ditanggulangi dengan antidepressant.359 Keluarga membutuhkan edukasi mengenai gejala-gejala cedera otak dan training mengenai teknik-teknik manajemen behavioral dan fisik yang perlu untuk dilakukan di rumah. Untuk memfasilitasi training keluarga, sebaiknya ada waktu untuk menginap satu hari satu malam (atau setidaknya satu hari) sebelum pasien dipulangkan ke rumah guna memverifikasi bahwa keluarga telah menerima training yang mencukupi, untuk mengecek apakah level pengawasan di rumah akan mencukupi, dan untuk mengevaluasi peralatan dan modifikasi-modifikasi rumah.

Pertimbangan-pertimbangan untuk memulangkan pasien rawat inap dari rehabilitasi meliputi ketersediaan terapiyang penting dan layanan-layanan keperawatan dalam lingkungan yang kurang ketat dan probabilitas yang rendah bahwa rehabilitasi pasien rawat inap yang berkesinambungan akan menghasilkan atau berpengaruh terhadap kemajuan fungsional. Untuk pasien-pasien yang dapat dirawat di rumah sepanjang malam namun masih membutuhkan terapi intensif, program rehabilitasi akut dapat memberikakn program rumah sakit siang hari dimana para pasien melanjutkan level intensitas terapetik yang sama dan menerima asuhan keperawatan seperti yang dibutuhkan.Rehabilitasi Cedera Otak Post-AkutRehabilitasi post-akut meliputi intervensi-intervensi yang didesain untuk membantu pasien-pasien memasuki kembali masyarakat.230 Sebagian besar intervensi-intervensi post-akut didasarkan pada training para pasien untuk menggunakan strategi-strategi ibangan untuk mengatasi defisit-defisit mereka yang bersifat permanen (misalnya, agenda-agenda memori), atau mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga pasien bisa lebih fungsional meskipun dengan defisit-defisit ini (misalnya, mengikuti jadwal rutin). Terdapat kontroversi dalam rehabilitasi post-akut yang berkaitan dengan kemanjuran trainig ulang koginitif, grup-grup terapidiarahkan untuk meremediasi defisit-defisit memori, atensi, dan fungsi-fungsi kognitif lainnya. 7, 37, 163, 211, 238, 281, 314, 338, 352 Dokter spesialis rehabilitasi sebaiknya familier dengan program-program post-akut lokal dalam rangka membuat referal-referal yang sesuai dan memonitor kemajuan (lihat Tabel 49-17). Perlu untuk diketahui bahwa anggota keluarga pasien penderita cedera otak diposisikan pada stres emosional dan finansial jangka panjang.243, 351 Dokter spesialis rehabilitasi harus sensitif terhadap kemungkinan tekanan emosional dan permasalahan-permasalahan hubungan,66, 280 dan siap untuk memberikan dukungan emosional dan membantu dalam pengadvokasian pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan.KOMPLIKASI-KOMPLIKASI CEDERA OTAKPada akhir-akhir ini terdapat tren lama tinggal yang lebih pendek di ruang perawatan akut dan, oleh karenanya, admisi rehabilitasi yang lebih dini. Lebih lanjut, penelitian-penelitian terhadap para pasien penderita TBI pada tahun 1980-an menunjukkan bahwa sejumlah signifikan penderita komplikasi-komplikasi medik tidak didiagnosa sebelum rujukan rehabilitasi.128, 138 Pemeriksaan medik para pasien penderita cedera otak biasanya menjadi sulit karena ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan prosedur-prosedur. Untuk alasan-alasan ini, suatu evaluasi yang menyeluruh oleh dokter spesialis rehabilitasi diperlukan ketika pasien telah dirujuk ke unit rehabilitasi. Bagian-bagian berikut ini membahas komplikasi-komplikasi medik utama yang dihadapi dalam masa rehabilitasi cedera otak dan mengulas intervensi-intervensi terkait yang tersedia bagi dokter spesialis rehabilitasi. Beberapa komplikasi medik cedera otak tidak umum, seperti abnormalitas-abnormalitas endokrin dan dermatologis, dan tidak akan dibahas. Informasi yang lebih detil tersedia pada referensi-referensi khusus.158, 293 Spastisitas

Spastisitas yang diakibatkan oleh cedera otak memiliki banyak kesamaan dengan spastisitas yang menyertai stroke. Lebih lanjut, response of cerebral origin spasticity (COS) terhadap intervensi-intervensi sering kali berbeda dari spastisitas SCI, dalam hal penampakkannya. Sebagai contoh, COS secara karakteristik menunjukkan keadaankesehatan ekstensor yang lebih besar pada ekstremitas bawah dan tendensi spasme yang lebih kecil.

Meskipun spastisitas bisa jadi menguntungkan, penurunan resiko thrombophlebitis dan pada beberapa kasus membantu dalam hal fungsi, ia juga dapat menciptakan deformitas impresif, rasa sakit, dan komplikasi-komplikasi medik lainnya. Spastisitas yang mengganggu tujuan-tujuan fungsional memerlukan perawatan. Contoh-contoh tujuan-tujuan fungsional nampak pada Tabel 49-18. Tujuan-tujuan fungsional perawatan spastisitas sebaiknya didefinisikan secara jelas, dengan mempertimbangkan baik tujuan-tujuan pasien maupun keluarga. Lebih lanjut, komplikasi-komplikasi spastisitas yang potensial muncul (osifikasi heterotopik, borok akibat tekanan, infeksi-infeksi pernafasan, dll) sebaiknya dipertimbangkan. Perawatan-perawatan dasar untuk tujuan-tujuan tertentu menjamin bahwa intervensi-intervensi yang tepat bersifat terencana dan terinstitusi.Evaluasi terhadap pasien penderita spastisitas harus meliputi tidak hanya pemeriksaan neurologis biasa, namun juga pertimbangan terhadap faktor-faktor seperti kecepatan berjalan, keseimbangan, pola-polasinergi, kecepatan gerak, distribusi keadaankesehatan, skor Ashworth yang telah dimodifikasi (Tabel 49-19),48 evaluasi goniometris, dan uji-uji fungsional.

Di masa lampau, suatu pendekatan piramida tentang perawatan spastisitas dianjurkan untuk diterapkan. Piramida tersebut dimulai dengan pencegahan stimuli nosiseptif serta pendidikan dan kemajuan-kemajuan terapi (ROM, peregangan, casting, orthoses, modalitas-modalitas), dan kemudian berlanjut ke opsi-opsi yang lebih invasif seperti motorik point blocks. Intervensi-intervensi orthopedik dan neurosurgical merupakan opsi terakhir yang harus dipertimbangkan. Dengan perubahan-perubahan dalam pelayanan kesehatan dan kemjuan-kemajuan opsi-opsi terapetik, pendekatan ini telah kehilangan popularitasnya dan menjadi kurang praktis. Suatu pendekatan komplementer, diamana berbagai strategi perawatan diaplikasikan secara konkuren berdasarkan tujuan-tujuan terapetik, saat ini lebih disukai (lihat Gambar 49-8).Gambar 49-8. Pendekatan komplementer terhadap manajemen spastisitas yang bersumber pada serebral.

Pengobatan-pengobatan oral yang digunakan untuk merawat spastisitas seiring dengan etiologi-etiologi lainnya pada umumnya tidak direkomendasikan untuk para penderita yang bertahan hidup dari cedera otak, karena mereka mungkin mengganggu tujuan untuk memaksimalkan fungsi kognitif. Diazepam dan baclofen oral dapat bersifat merusak kemampuan kognitif tertentu. Dantrolene sodium telah dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan oral bagi populasi penderita TBI karena cara kerjanya yang secara perifer, pada otot. Dantrolene menurunkan depolarisasi-efflux kalsium yang terindusi ke dalam retikulum sakroplasmik. Bagaimanapun juga Dantrolen bersifat mensedasi, dan mengakibatkan kelemahan yang tergeneralisasi. Enzim-enzim liver juga perlu untuk dimonitor apabila kita menggunakan dantrolene sodium. Tizanidine, yang merupakan agonist 2 alfa seperti clonidine, telah menampakkan efek-efeknya dalam populasi-populasi penderita multiple sklerosis dan cedera sumsum sumsum tulang belakang.32, 33, 39, 204, 318 Hal ini rupanya meningkatkan inhibisi presynaptic neuron-neuron motorik dan mungkin mengurangi pelepasan asam amino eksitatori. Efek-efeknya menyerupai efek-efek baclofen oral.39 Casting yang berurutan mengacu kepada praktek pengaplikasian dan pemindahan pembalut (cast) ke anggota badan seiring dengan meningkatnya ruang gerak persendian. Modalitas-modalitas seperti pemanasan dan pendinginan juga dapat sangat membantu untuk meningkatkan gerak dalam waktu singkat, dan dapat digunakan dalam konjungsi-konjungsi dengan casting untuk memungkinkan peregangan yang lebih besar. Para pasien mungkin diuntungkan oleh analgesik untuk meningkatkan level kenyamanan mereka ketika pembalut-pembalut dipasang. Lebih dari satu anggota tubuh yang dapat dibalut pada saat yang bersamaan, namun klinisi harus mempertimbangkan tingkat agitasi yang mungkin ditimbulkan pada tiap kasus masing-masing orang. Kulit sebaiknya juga dimonitor karena pasien mungkin tidak dapat mengkomunikasikan kebutuhan mereka. Bantalan yang mencukupi di dalam pembalut merupakan hal yang sangat penting. Pada contoh-contoh kasus yang sangat jarang, keadaankesehatan pasien tidak memungkinkan untuk casting terutama karena terlukanya kulit yang potensial terjadi dan isu-isu behavioral. Pada kasus-kasus ini, injeksi-injeksi toksin botulinum dan/atau phenol harus dipertimbangkan untuk menurunkan spastisitas dan oleh karenanya menurunkan resiko.Peran teknik-teknik pengaturan posisipada manajemen spastisitas seringkali tidak diperhatikan. Pengaturan posisi yang tepat akan memaksimalkan relaksasi otak seperti halnya peningkatan kesejajaran/kelurusan, simetris, dan fungsi. Pengaturan posisi juga dapat digunakan untuk menurunkan refleks-refleks primitif yang dapat terjadi kembali pada para pasien setelah cedera otak. Sebagai contoh, meletakkan supine dapat meningkatkan tonic labyrinthine supine reflex (TLSR), dengan demikian meningkatkan keadaanekstensor. Salah satu tujuan dari berbagai tujuan yang dapat diterima mengenai rehabilitasi yaitu dapat memberikan resep-resep alat yang memungkinkan pengaturan posisi secara optimal. Pindai antispastisitas yang berbentuk bola untuk tangan yang spastis umum digunakan. Abduksi ibu jari dari telapak tangan dan menyebar ke digit-digit dapat mengurangi keadaan fleksor pada tangan. Seperti halnya casting, teknik-teknik pemindaian juga dapat digunakan baik untuk mengurangi keadaan dan meregangkan jaringan-jaringan lunak. Teknik-teknik ini juga dapat dokimbinasikan. Sebagai contoh, piringan kaki inhibitory difabrikasikan ke dalam pembalut ekstrimitas bawah yang meningkatkan dukungan dan kelurusan kaki bagian depan. Konsep-konsep ini dapat juga disertakan dalam orthoses. Peningkatan kelurusan kaki dan tungkai seringkali mengakibatkan pengurangan pola penampakan spastisitas.Opsi-opsi perawatan lain meliputi injeksi-injeksi seperti prosedur-prosedur neurolitik dan kemodenervasi dengan toksin botulinum. Prosedur-prosedur neurolitik memerlukan ketrampilan teknis tertentu untuk melakukannya. Pheno, alkohol, atau agen-agen anestetik diinjeksikan untuk merusak konduksi impuls-impuls.130 Neurolisis kimia mengacu kepada destruksi sebagian syaraf dengan alkohol atau phenol.130 Pada saat injeksi dilakukan pada syaraf-syaraf yang utamanya syaraf motorikik, mereka mengacu sebagai motorik point blocks atau motorik branch blocks. Toleransi keseluruhan dari prosedur baik, meskipun dapat menjadi hal yang menantang untuk mencobanya pada anak-anak dan pada pasien-pasien yang lebih teragitasi dan aktif, seiring dengan mereka membutuhkan untuk tetap beristirahat selama injeksi-injeksi. Sedasi mungkin penting dalam kasus-kasus ini. Efek samping neurolisis yang terlaporkan meliputi pembengkakan, rasa sakit, pendarahan, dysesthesia, dan trombosis vena bagian dalam. Setelah prosedur, para pasien sebaiknya beristirahat dan mengelevasi ekstremitas yang diinjeksi. A


Recommended