Top Banner
TRAUMA WAJAH ---------------------------------------------------------------------------------------------------RD-Collection 2002 Pada penderita cedera wajah, terlebih dulu harus diperhatikan pernapasan, sirkulasi, dan kesadaran. Jika terdapat patah tulang dengan atau tanpa perdarahan, jalan nafas atas mudah tersumbat akibat dislokasi, udeem, atau perdarahan. Harus selalu diingat bahaya aspirasi darah atau regurgitasi isi lambung. Disamping itu lidah mudah menutup faring pada penderita yang pingsan. Pada cedera wajah perlu pula diperhatikan secara khusus cedera saraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan saluran liur. Disamping itu diperhatikan dampak cedera pada fungsi bicara, mengunyah, menelan, pernafasan dan penglihatan. Dampak jangka panjang seperti retraksi bekas luka pada bibir, hidung dan kelopak mata serta aspek kosmetik juga penting sekali pada pengelolaan luka wajah. Pada umumnya luka diwajah akan cepat sembuh per primam intentionem karena vaskularisasi yang baik. Oleh karena itu pada penjahitan perlu diperhatikan kerapian dan adaptasi yang seksama pada tepi luka, khususnya didaerah hidung, bibir dan mata. Jarum dan benang jahit yang digunakan harus yang halus. Cedera maksilofasial menempati urutan kedua kasus cedera yang paling sering ditemukan di unit gawat darurat setelah cedera lengan. Di Amerika Serikat angka kejadian cedera maksilofasial kuranglebih 3 juta kasus per tahun. Fraktur maksilofasial diperkenalkan pertama kali oleh oleh Hippocrates pada tahun 400 SM. Pada tahun 1901 Rene Le Fort, seorang ilmuwan dari Perancis, setelah mempelajari fraktur wajah pada 1900 jenazah menjelaskan bahwa ada 3 tipe fraktur pada daerah wajah, yang kemudian dikenal sebagai Le Fort I - III. Kurang lebih pada tahun yang sama Sir Harold Gilles, Bapak Bedah Plastik, pentingnya penanganan masalah pernapasan pada kasus-kasus trauma pada wajah dengan menganjurkan posisi supine untuk menjamin patensi jalan nafas. Cedera maksilofasial sering disertai dengan cedera kepala, sehingga perlu penanganan multidisiplin dalam mengelola trauma maksilofasial. Patogenesis Fraktur maksilofasial dapat disebabkan oleh trauma tumpul ataupun trauma tajam. Penyebab trauma tumpul paling sering ditemukan, diantaranya oleh karena kecelakaan lalulintas, cedera olahraga, kecelakaan kerja, jatuh dari ketinggian. Sedangkan trauma tajam sering disebabkan oleh karena luka tembak, luka tusuk dan ledakan. Disamping kecepatan, massa, kepadatan dan bentuk dari benda yang membentur pada wajah sangat mempengaruhi tipe dan kepararahan cedera maksilofasial. Dari besarnya daya bentur yang bisa menyebabkan fraktur pada daerah maksilo fasial dibedakan atas daya bentur kuat (lebih dari 50 g) dan daya bentur rendah (kurang dari 50 g). Sebagai contoh untuk bisa menyebabkan fraktur angulus mandibula dibutuhkan daya bentur sebesar 70 g, simpisis mandibula dan tulang frontalis 100 g, rima supraorbitalis 200 g. Sedangkan pada tulang zygoma dibutuhkan daya sebesar 50 g, os nasal sebesar 30 g. Trauma Wajah dibagi menjadi : a. Trauma Jaringan Lunak Yang perlu perhatian adalah : N. VIII (facialis) keluar dari depan telinga , menginervasi otot ekspresi wajah Ductus parotis stensen bermuara pada Molar 2 Arteri dan saraf .sensibel b. Trauma Tulang Proses penyembuhan tulang muka sekitar 3 minggu. Fraktur Orbita Disebabkan oleh trauma langsung pada tepi tulang orbita atau trauma tidak langsung yang menyebabkan tekanan besar didalam orbita sehingga timbul efek letusan didalamnya yang berakibat tulang dasar orbita
22

Trauma Wajah ( maxilofacial trauma ) - azis aai -

Sep 11, 2015

Download

Documents

azis aimaduddin

Trauma Wajah ( maxilofacial trauma - azis aai -
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Nama:

TRAUMA WAJAH

---------------------------------------------------------------------------------------------------RD-Collection 2002

Pada penderita cedera wajah, terlebih dulu harus diperhatikan pernapasan, sirkulasi, dan kesadaran. Jika terdapat patah tulang dengan atau tanpa perdarahan, jalan nafas atas mudah tersumbat akibat dislokasi, udeem, atau perdarahan. Harus selalu diingat bahaya aspirasi darah atau regurgitasi isi lambung. Disamping itu lidah mudah menutup faring pada penderita yang pingsan. Pada cedera wajah perlu pula diperhatikan secara khusus cedera saraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan saluran liur. Disamping itu diperhatikan dampak cedera pada fungsi bicara, mengunyah, menelan, pernafasan dan penglihatan. Dampak jangka panjang seperti retraksi bekas luka pada bibir, hidung dan kelopak mata serta aspek kosmetik juga penting sekali pada pengelolaan luka wajah. Pada umumnya luka diwajah akan cepat sembuh per primam intentionem karena vaskularisasi yang baik. Oleh karena itu pada penjahitan perlu diperhatikan kerapian dan adaptasi yang seksama pada tepi luka, khususnya didaerah hidung, bibir dan mata. Jarum dan benang jahit yang digunakan harus yang halus.

Cedera maksilofasial menempati urutan kedua kasus cedera yang paling sering ditemukan di unit gawat darurat setelah cedera lengan. Di Amerika Serikat angka kejadian cedera maksilofasial kuranglebih 3 juta kasus per tahun. Fraktur maksilofasial diperkenalkan pertama kali oleh oleh Hippocrates pada tahun 400 SM. Pada tahun 1901 Rene Le Fort, seorang ilmuwan dari Perancis, setelah mempelajari fraktur wajah pada 1900 jenazah menjelaskan bahwa ada 3 tipe fraktur pada daerah wajah, yang kemudian dikenal sebagai Le Fort I - III. Kurang lebih pada tahun yang sama Sir Harold Gilles, Bapak Bedah Plastik, pentingnya penanganan masalah pernapasan pada kasus-kasus trauma pada wajah dengan menganjurkan posisi supine untuk menjamin patensi jalan nafas. Cedera maksilofasial sering disertai dengan cedera kepala, sehingga perlu penanganan multidisiplin dalam mengelola trauma maksilofasial. Patogenesis

Fraktur maksilofasial dapat disebabkan oleh trauma tumpul ataupun trauma tajam. Penyebab trauma tumpul paling sering ditemukan, diantaranya oleh karena kecelakaan lalulintas, cedera olahraga, kecelakaan kerja, jatuh dari ketinggian. Sedangkan trauma tajam sering disebabkan oleh karena luka tembak, luka tusuk dan ledakan. Disamping kecepatan, massa, kepadatan dan bentuk dari benda yang membentur pada wajah sangat mempengaruhi tipe dan kepararahan cedera maksilofasial. Dari besarnya daya bentur yang bisa menyebabkan fraktur pada daerah maksilo fasial dibedakan atas daya bentur kuat (lebih dari 50 g) dan daya bentur rendah (kurang dari 50 g). Sebagai contoh untuk bisa menyebabkan fraktur angulus mandibula dibutuhkan daya bentur sebesar 70 g, simpisis mandibula dan tulang frontalis 100 g, rima supraorbitalis 200 g. Sedangkan pada tulang zygoma dibutuhkan daya sebesar 50 g, os nasal sebesar 30 g.Trauma Wajah dibagi menjadi :

a. Trauma Jaringan Lunak ( Yang perlu perhatian adalah :

N. VIII (facialis) ( keluar dari depan telinga , menginervasi otot ekspresi wajah

Ductus parotis stensen( bermuara pada Molar 2

Arteri dan saraf .sensibel

b. Trauma Tulang

Proses penyembuhan tulang muka sekitar 3 minggu. Fraktur Orbita

Disebabkan oleh trauma langsung pada tepi tulang orbita atau trauma tidak langsung yang menyebabkan tekanan besar didalam orbita sehingga timbul efek letusan didalamnya yang berakibat tulang dasar orbita patah dan sebagian isi orbita masuk kedalam sinus maksilaris, dikenal sebagai cedera letup atau blow out injury . Trokel (1986) membagi fraktur orbita menjadi:

Interna ( pada dasar, dinding medial dan atap orbita

Eksterna ( pada pinggir orbita dan meluas ke ruang intra kranial dan tulang- tulang muka

Trauma bola mata, menurut penyebabnya dapat dibagi : Kombustio bola mataLuka bakar bola mata dapat terjadi karena paparan bahan kimia yang bersifat asam atau basa. Asam lebih berbahaya daripada basa karena akan menyebabkan koagulasi kornea. Paparan bahan kimia pada mata memerlukan pertolongan darurat berupa irigasi dengan air bersih atau sebaiknya larutan garam 0,9 % segera dan terus menerus sampai penderita dirawat di rumah sakit. Mata tidak boleh ditutup agar bola mata terus dapat bergerak. Gejala kombustio adalah blefarosme, mata berair terus, konjungtivitis sehingga penderita perlu menggosok-gosok matanya. Pada pemeriksaan tampak pembengkakan kornea, stroma bagian luar berawan, dan tampak sel-sel mengapung dikamar depan. Pupil sering melebar dan tidak bereaksi. Penyulit berupa ulserasi kornea dapat berlanjut menjadi perforasi. Trauma tumpul dan tajam

Trauma tumpul dapat menyebabkan ekimosis, perdarahan subkonjungtiva, hifema, iris terlepas, dan luksasio lensa. Bila trauma hebat dapat terjadi perdarahan korpus vitreum. Trauma tajam dapat berupa luka tembus cukup berbahaya dan menimbulkan kebutaan. Pemeriksaan dimulai dengan menilai visus. Kalau mata tidak dapat dibuka, sebaiknya diberikan anestetik yang diteteskan pada mukosa kelopak mata bagian bawah secukupnya, kalau perlu berulangkali sampai kelopak mata dapat dibuka. Hematom pada mata umumnya disebabkan oleh trauma kepala yang disertai patah tulang dasar tengkorak. Hematom ini dapat pula disebabkan oleh patah tulang maksila, dalam hal ini hematom segera tampak, sedangkan hematom akibat patah tulang dasar tengkorak baru tampak beberapa jam setelah terjadi cedera. Perdarahan subkonjungtiva terbatas umumnya bukan disebabkan oleh cedera yang berarti, sedangkan hematom subkonjungtiva yang luas menandai trauma berat. Benda asing di konjungtiva dapat ditemukan dan dikeluarkan setelah kelopak mata ats dibalik tanpa perlu dianestesi.. Pada pemeriksaan ditemukan penglihatan ganda / diplopia, hematom monokel, hematom maksila, mati rasa di pipi atau dahi. Pemeriksaan penunjang berupa foto posisi posteroanterior orbita atau proyeksi Cadwell dan Waters dan posisi lateral untuk sisi yang terkena. Bila kedua cara tidak memuaskan dapat dilakukan proyeksi Fueger dan Milaukas yang memfokuskan bagian belakang dasar orbita dan mengetahui keadaan patologi orbita. Pemeriksaan lain berupa Tes Forced Duction untuk membedakan gaguan ferakan bola mata ke atas setelah trauma. Bila hasil positif ( fraktur blow out bisa ditegakkan. Pengelolaan fraktur blow Out tidak memerlukan tindakan segera, operasi dapat ditunda sampai 14 hari post trauma

Pemeriksaan Fraktur Orbita

Fraktur Nasal

Merupakan fraktur tersering dari keseluruhan fraktur, penyebab biasanya karena trauma langsung pada tulang hidung. Bentuk Fraktur nasal berupa :

Angulasi ke lateral

Depresi

Communited

Pada pemeriksaan ditemukan deformitas, krepitasi, gangguan penglihatan, pembengkakan hidung, epistaksis, nyeri tekan dan teraba garis fraktur pada hidung. Pemeriksaan radiologi ( LATERAL ( PROFIL HIDUNG ), PA, WATERSFraktur tulang hidung ini harus segera direposisi sebelum 10 hari dengan anestesi local dan immobilisasi dilakukan dengan memasukkan tampon kedalam lubang hidung yang dipertahankan selama 3-4 hari. Patahan dapat dilindungi dengan gips tipis berbentuk kupu-kupu untuk satu hingga dua minggu. Fraktur nasal dapat dilakukan reposisi dengan anastesi lokal atau umum dengan menggunakan forceps Walsham, Asch maupun SalingerPemeriksaan Fraktur Nasal

Fraktur Zigoma.

Disebabkan trauma langsung pada sisi lateral wajah sehingga sering menyebabkan fraktur yang mendesak bola mata, memberi gambaran klinis berupa penglihatan ganda / diplopia, perdarahan dan pembengkakan pipi didaerah arkus zigomatikus. Zigoma yang membentuk dinding lateral orbita sering mengalami fraktur akibat trauma langsung sehingga terjadi impresi yang mendesak bola mata yang menyebabkan diplopia. Fraktur ini sering terbatas pada arkus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai dengan hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi didaerah arkus zygomatikus. Diagnosis ditegakkan secara klinik atau foto rontgen menurut waters yaitu posisi temporooksipital. Bila tidak terdapat pergeseran atau dengan pergeseran minimal fragmen fraktur ( konservatif dengan evaluasi selama 2 6 minggu. Bila didapatkan adanya pergeseran bola mata dengan atau tanpa jepitan saraf atau otot ( OPERATIF Zygomatikomaksilaris komplek berperan utama dalam pembentukan, fungsi dan penampilan estetik kerangka wajah. Komplek ini memberikan kontur pipi yang normal dan memisahkan isi orbita dari fosa temporalis dan sinus maksila. Juga mempunyai peran dalam penglihatan dan mastikasi. Zygomatikomaksilaris menopang bola mata dari lateral untuk penglihatan binokuler. Arkus zygoma adalah tempat insersi otot maseter dan melindungi otot temporalis dan prosesus coronoid.

Frekuensi fraktur zygoma merupakan kedua tersering setelah fraktur nasal. Permukaan yang cembung menonjol menjadikannya mudah terkena trauma. Meskipun hanya terjadi minimal displace pada fraktur zygoma dapat menimbulkan deformitas fungsional dan estetik. AnatomiZygoma kadang disebut juga tulang malar, bersudut empat dengan permukaan cembung bagian luar yang tidak rata, permukaan bagian dalam cekung dan empat prosesus yang berartikulasio dengan tulangtulang frontalis, maksilaris dan temporalis serta sphenoidalis. Melalui artikulasio ini menghasilkan penyangga yang kuat antara maksila dan kranium. Permukaan yang cembung membentuk prominen. Permukaan bagian dalam yang cekung ikut serta membentuk fosa temporalis. Zygoma memiliki artikulasio yang kuat dengan maksila dan frontalis, mempunyai artikulasio yang lemah dengan sphenoidalis dan temporalis. Posisi ini ikut serta dalam membentuk sebagian besar dasar lateral orbita dan dinding superior lateral sinus maksilaris. Permukaannya memberikan perlekatan untuk otototot masseter, temporalis, dan zygomatikus. Tulang zygoma mempunyai foramina kecil yang dilalui nervus zygomtikomaksilaris dan zygomatikofrontalis yang memberikan inervasi sensoris pada jaringan lunak dan kulit pipi yang terletak diatas prominen zygoma dan sebagian besar regio anterior temporalis.

Klasifikasi

Dalam hal fraktur zygoma, para dokter menghadapi fraktur yang bukan hanya sekedar fraktur struktur anatomis tunggal. Fraktur zygoma sering kali mengenai tulang yang didekatnya yang berartikulasio. Knight dan North mengatakan bahwa fraktur pada zygoma dari sudut klinis dianggap sebagai fraktur malar. Para peneliti menyatakan bahwa fraktur pada regio zygoma, separasi kearah medial biasanya diakibatkan oleh fraktur pada maksila yang melalui dasar orbita dan dinding anterior dan lateral maksila, kearah lateral diakibatkan oleh fraktur pada prosesus zigoma temporalis, serta keatas dan belakang oleh separasi pada zygomatikofrontalis dan zygomatikosphenoidalis. Fraktur pada arkus zygoma melibatkan prosesus temporalis pada zygoma dan prosesus zigomtikus pada tulang temporalis. Knight dan North membuat klasifikasi kedalam 6 group, sebagai berikut :

1. Grup I

Tidak terdapat pergeseran yang signifikan . Pada grup ini yang meliputi 6% . dari keseluruhan kasus, dari temuan rontgen mengindisikan fraktur, tetapi tidak ditemukan bukti klinis terjadinya pergeseran.2. Grup II,

Frktur arkus zygomatikus meliputi 10% dari keseluruhan kasus yang diteliti. Pada grup ini, dimana fraktur diakibatkan oleh trauma langsung terhadap arkus zygomatikus, Arkus melengkung atau bengkok kedalam tanpa melibatkan dinding antrum atau orbita. Pembengkokan ini menghasilkan kerusakan anguler tipikal dengan tiga garis fraktur dan dua fragmen.

3. Grup III. Fraktur corpus tanpa rotasi meliputi 33% dari keseluruhan kasus. Yang merupakan bagian terbanyak, dan traumanya disebabkan oleh karena trauma langsung terhadap prominen corpus zygoma dimana fraktur dan pergeseran tulang kedalam antrum. Tulang biasanya mengarah langsung kebelakang, kedalam, dan agak kebawah, menghasilkan pipi yang rata dengan kerusakan yang teraba pada margin infraorbita. Pada pemeriksaan rontgen, pergeseran tampak kearah bawah pada infraorbita dan kearah dalam pada prominen zygoma dengan sedikit pergeseran pada sutura zygomatikofrontalis4. Grup IV. Fraktur corpus dengan rotasi kemedial

a. Kearah luar pada prominen zygomakus

b. Kearah dalam pada suturaa zygomatikofrontal

Fraktur corpus dengan rotasi kemedial meliputi 11% dari keseluruhan kasus. Fraktur dan pergeseran tampaknya disebabkan oleh trauma pada prominen zygoma diatas aksis horisontalnya, sehingga fraktur tulang bergeser kebelakng, kedalam dan kebawah. Tulang sebelah kiri tampak berotasi berlawanan dengan arah jarum jam bila dilihat depan, dan searah jarum jam atau ketengah / midline pada sebelah kanan. Pemeriksaan rontgen pada posisi woters memperlihatkan pergeseran kearah bawah pada margin infraorbita dan pergeseran kearah luar pada prominen zygomatikus(Tipe A) ataupun kearah dalam pada sutura zygomatikofrontalis.(Tipe B)

5. Grup V. Fraktur corpus dengan rotasi kelateral

a. Kearah atas pada margin infraorbita

b. Kearah luar pada sutura zygomatikofrontal

Fraktur corpus dengan rotasi kearah lateral. Grup ini meliputi 22% dari keseluruhan kasus. Fraktur pada grup ini tampaknya disebabkan oleh trauma dibawah aksis horizontal tulang, yang mengarah kedalam dan kebelakang. Tulang tampak rotasi searah jarum jam pada sebelah kiri dan bila dilihat dari depan dan berlawanan dengan jarum jam atau menjauh dari garis tengah pada sebelah kanan. Pemeriksaan rontgen memeperlihatkan pergeseran kedalam pada prominen zygomatikus dan keatas pada margin infraorbita (Tipe A) atau kearah luar pada sutura zygomatikofrontlis (Tipe B)

6. Fraktur kompleks

Fraktur komplek meliputi 18% . Yang termasuk disini adalah seluruh kasus yang terdapat tambahan garis fraktur yang melalui fragmen utama, derajad frakturnya kominutif.

Gambaran Klinis

Zygoma adalah salah satu penyangga utama antara maksila dengan kranium. Fraktur zygoma biasanya melibatkan rim infraorbita, zygoma akan terdorong masuk kedalam sinus maksilaris. Cideranya daerah sinus akan menyebabkan hematom atau pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya darah masuk kedalam sinus dan kedalam jaringan dibawah pipi dan canthus lateral mata. Biasanya ditemukan adanya epitaksis, hematom, dan echimosis. Fraktur zygoma komplek akan menekan menurut arah trauma, yang pada kebanyakan kasus kearah posterior, arah bawah dan arah medial. Fraktur berat dengan pergeseran kemedial arkus zigoma menyebabkan fragmen-fragmen tulang mengenai otot temporalis daan prosesus koronoid pada mandibula. Kesulitan membuka mulut hampir selalu berhubungan dengan fraktur pada arkus, yang disebabkan oleh karena pergeseran segmen dan bergeraknya prosesus koronoid mandibula kearah depan dan belakang ketika pasien berusaha untuk membuka mulutnya.Bila fragmen-fragmen yang tidak tereduksi terjadi penetrasi kedalam jaringan lunak dan tetap berkontak dengan prosesus koronoid, hal ini akan mengakibatkan ankilosis fibro-osesuous dengan fiksasi yang komplit dengan mandibula. Komplikasi ini memerlukan eksisi prosesus koronoid. Pada fraktur zigoma komplek yang mengalami pergeseren, kerusakan yang terjadi dapat teraba melalui kulit pada regio sutura zygomatikofrontalis atau sepanjang margin orbita inferior. Kerusakan yang dapat terjadi pada fraktur dengan pergeseran di rim orbita lateral, Dimana ligamen palpebra lateral yang melekat pada zygoma rim orbita dan terjadi pergeseran tulang yang dipalpebra lateral yang dilekatinya, akan menyebabkan kerusakan yang berat.Kelainan pada dasar dan dinding lateral orbita menyebabkan disfungsi bola mata. Septum orbita pada kelopak mata bawah, yang melekat pada orbitalis inferior, pergeseran pada fraktur displaced ridge infraorbitnya, akan mengakibatkan retraksi dan pemendekan kelopak mata. Hilangnya dukungan tulang pada dasar orbita menyebabkan pergeseran bola mata dan isi orbita , yang selanjutnya akan mengakibatkan bergesernya kapsul tenon dan ligamen palpebra lateral kearah bawah. Fraktur mungkin bertambah komplek dengan adanya fragmentasi dan fenomena kerusakan dasar orbita, Rusaknya periorbita dan lapisan sinus dengan fragmentasi dan bergesernya segmen tulang mengakibatkan terbukanya sinus maksilaris. Isi orbita dapat keluar sebagian kedalam sinus maksilaris dimana lemak, periosteum dan otot menjadi terperangkap diantara segmen segmen tulang yang fraktur. Kegagalan untuk mengenali dan merawat keadaan ini akan mengakibatkan diplopia permanen karena terperangkapnya otot oblique inferior dan kemungkinan otot rectus inferior. Otot yang terperangkap tidak dapat merotasi mata kearah bawah dan kearah luar serta sebagai pengendali terhadap fungsi otot rectus superior yang menggerakkan rotasi keatas. Hilangnya sensasi pada regio yang disupali oleh nervus infraorbita adalah bisa ditemukan pada fraktur zigomatikomaksilaris komplek. Nervus infraorbita muncul dari arah rim orbita dari kanal melalui atap maksila tetapi sangat dekat dengan zigoma. Fraktur pada regio ini akan merusak nervus karena cidera atau tertekan fragmen tulang didalam kanal.Laserasi nervus didalam kanal oleh impaksi fragmen tulang akan mengakibatkan anestesi permanen. Jika terjadi anestesi permanen merupakan indikasi untuk dilakukan eksplorasi kanal nervus. Diagnosis

Pemeriksaan yang terperinci akan membantu dalam menegakkan diagnosis. Dari pengetahuan tentang mekanisme trauma dan arah tekanan, derajad dan kerusakan dapat diprediksi. Kerusakan yang disebabkan oleh pukulan dan jatuh mengenai benda yang keras , atau luka yang berat pada daerah wajah akan memngakibatkan fraktur pada zygoma. Bila pasien ditangani segera setelah cidera, sebelum gambaran klinis menjadi kabur karena odem dan hemaatom, tanda-tanda fraktur pada regio ini dapat terlihat. Wajah yang menjadi rata mungkin disertai dengan depresi bola mata, bergesernya ligamen palpebra lateral, retraksi kelopak mata bawah dengan perataan promienen malar, dan ekimosis pada kelopak mata, konjunctiva dan sclera serta epitaksis unilateral. Rasa sakit ketika menggerakan mandibula dan kesulitan membuka mulut menunjukan terjadinya fraktur yang melibatkan arkus zigoma. Anestesia pada distribusi nervus infra orbita yaitu, kelopak mata atas, alis mata bawah dan nasal lateral menunjukkan fraktur maksila yang berdekatan dengan trauma pada nervus infraorbita. Fraktur dengan pergeseran yang berat dapat mengakibatkan diplopia.

Palpasi komparatif bimanual pada struktur tulang wajah mungkin menunjukkan aadanyaa fraktur. Kedua sisi wajah dipalpasi secara simultan dan ketika jari tangan sampai disekitar rim orbita, fraktur pada atau yang berdekatan dengan sutura zygomatikofrontalis atau zygomatikomaksilaris dapat teraba. Fraktur arkus zygoma dapat ditentukan dengan irregulritas atau lekukan pada arkus. Fraktur pada dinding lateral dan anterior maksila pada sambungan dengan prosesus zygoma akan terlihat secara intraoral dengan gambaran irregularitas dibawah mukosa ketika jari tangan meraba dinding maksila anterior dan lateral. Prominen zygoma intraoral normal mungkin hilang dan depress yang dalam mungkin teraba dari pergeseran medial prosesus maksilaris pada zygoma.

Radiologis

Pemeriksaan radiologis yang paling berguna untuk mengevaluasi fraktur zygomatikomaksilaris komplek adalah proyeksi oblique posteroanterior wajah yang dikenal sebagai posisi Waters. Dengan proyeksi ini memperlihatkan struktur tulang dan outline kontur irreguler zygoma dengan superimposisi minimal terhadap struktur lainnya. Roentgenogrm harus dibuat dengan metode stereoskopik.. Arkus zigomatikkus dapat diperlihatkan dengan baik melalui proyeksi submental vertical pada arkus zygomatikus.Pemeriksaan radiologis tergantung pada lokasi fraktur dan derajad pergeseran. Hasil pemeriksaan yang bisanya ditemukan adalah kerusakan pada margin infraorbita dan separasi pada sutura zygomatikofrontlis. Irregularitas dinding lateral maksila terlihat dengan baik pada posisi Water. Opasitas atau pengkabutan pada sinus maksilaris yang disebabkan oleh darah terlihat hampir pada seluruh kejadian fraktur zygomatikomaksilaris. Penatalaksanaan 1. Pendekatan Intraoral

Keen menjelaskan metode pendekatan intraoral unuk menangani fraktur zygoma. Biasanya dengan general anestesi, dengan posisi pipi ditarik oleh asisten, operator melewatkan alat elevator yang tajam melalui vestibulum bukalis dibelakang tuberositas maksila. Dapat dengan insisi atau dengan elevator yang tajam ditusukan menembus mukosa sampai prominen zygoma. Dengan tekanan keatas, kedepan dan keluar atau lateral akan mengangkat zegoma dan mengembalikan ke posisi semula.

2. Pendekatan melalui Sinus Maksilaris

Lohtrop menggunakan pendekatan antrostomi pada turbinate inferior dan memasukkan trokar berbentuk kurva ke dalam sinus maksilaris dan dihubungkan dengan dinding superior lateral dan kemudian diputar sehingga dapat mengakibatkan fraktur zygoma bergerak naik, keluar dan kembali keposisinya.

3. Pendektan Temporal

Pendekatan temporal untuk menangani fraktur zygoma telah dijelaskaan oeh beberapa ahli ntara lain: Gillies, Kilner dan Stone. Pendekatan temporal sangat baik dan efektif , melalui pendekatan temporal ini pengungkitan yang kuat dapat menempatkaan zygoma pada posisi yang diinginkan.

Operasi dilakukan melalui vertical temporal dengan insisi kuranglebih 2 cm di bagian atas dan belakang hair line. Insisi kemudian diperdalam dari kulit, subkutan dan fascia temporalis, indentifikasi fascia temporalis, Kemudian elevator dimasukan sampai temporal zygoma. Sponge diletakan di scalp sebagai tempat trumpuan untuk pengungkitan. Elevator melewati bagian samping menuju arkus zygoma dan bukan ke dalam fosa temporalis. Palpasi tulang untuk menghindari over koreksi.

4. Pendekatan Dingman

Dibawah pengaruh general anestesi, disuntikan epineprin 1:100 000 kedalam jaringan didaerah lateral brow dan infraorbita. Dilakukan insisi dilateral brow kurang lebih 1,5 cm. Insisi yang lain di infraorbita. Dengan menggunakan elevator , maka sutura zygomatikofrontalis dan zygomatikomaksilaris terekpos. Elevator dimasukan melalui insisi dibelakang atas lateral menuju margin orbita kedalam fosa temporalis. Dengan gerakan keatas, kedepan dan keluar maka segmen fraktur tulang dapat dikembalikan keposisinya. Selama proses reposisi sigoma dipalpasi dan diarahkan kedalam posisinya kemudian dibuat lobang dengan bor ditiap tiap sisi fraktur pada sutura zygomatikofrontalis dan zygomatikomaksilaris. Wire dipasang melalui lubang-lubang dan saling diikatkan untuk menahan fragmen tulang. Arkus zygoma juga dapaat diangkat melalui supraorbita. Fraktur zygoma kominutif

1. Packing Sinus Maksilaris

Pendekatan sinus maksilaris pada fraktur kominutif zygoma bisa jadi efektif tetapi tidak sering digunakan untuk fraktur zygoma karena bagian kecil dari zygoma yang memberi kontribusi pada sinus maksilaris. Jika frakturnya berkaitan dengan fraktur maksila yang melibatkan dasar orbita, sinus maksilaris bisa jadi efektif. Manipulasi dasar orbita melalui sinus maksilaris harus dibuat sehubungan dengan dasar orbita yang terekpos untuk memperkecil kemungkinan fragmen tulang yang merusak globe atau saraf orbita. Packing dilakukan melalui Caldwell-Luc intraoral insisi. Mukoperiosteum diatas canina dari maksila diangkat, dan jika tidak terjadi fraktur dinding anterior maksila dibuat lubang. Melalui lubang ini ada kemungkinan mengurangi fragmen zygoma dengan tekanan keatas dan keluar. Fragmen dasar orbita yang mungkin turun dalam sinus maksilaris diposisikan dan ditahan dengan packing kuat sinus dengan salvage-edge gauze.Drain penrose gauze rubber dapat dipergunakan

2. Pendekatan Intraoral

Reduksi fraktur zygoma dapat dilakukan dengan merefleksikan mukoperiosteal flap dari dinding lateral maksila untuk mengekpose zygomatikomaksilaris junction. Frktur yang terjepit atau sembuh sebagian dikeluarkan dengan elevator atau osteotomi. Kemudian dilakukan fiksasi dengan wire.

3. Metode Suspensi

Metode ini dikemukakan oleh Kazanjian dan digunakan dalam fraktur yang setelah dilakukan reduksi cenderung kambuh lagi. Dibuat ekpose langsung pada margin infraorbita dan dengan lubang bor kecil dibuat sepanjang margin infraorbita zygoma, batas bawah zygoma dapat juga diekpose melalui pendekatan intraoral dan dibuat lubang bor, dari kulit ke zygoma , wire dimsukan kedalam lubang dan ujungnya dikeluarkan dan diputar, lalu diikatkan dengan pita karet pada alat.yang ditempatkan didahi. 4. Open Reduksi

Tehnik ini efektif untuk reduksi pada fraktur simple atau komplek fraktur kominutif. Insisi 1,5 cm melalui alis mata dan kelopak mata subciliary untuk ekpose dan akses di margin lateral dan inferior orbita lalu dibuat lubang dengan bor dan wire dipasang untuk fiksasi.

Compound Fraktur kominutif

1. Open Reduksi ( Dilakukan open reduksi dan fiksasi langsung intraoseus

2. Fiksasi dengan Pin

Brown, Freyer dn McDowell memakai tehnik dengan satu atau lebih pin (Kirshner wire atau Steinmann pin).

Fraktur MaksilaStruktur tulang maksilofasial terdiri dari os maksila, zigomatikus dan etmoid, yang berperan sebagai pelindung otak. Golden Period luka di wajah 24 jam, sedang Golden Periode luka di tempat lain sekitar 8 jam. Fraktur maksila umumnya bilateral. Fraktur unilateral terjadi pada trauma local langsung. Secara klinik wajah tampak bengkak, mata tertutup karena hematom, ingus berdarah dan seringkali disertai gangguan kesadaran. Pemeriksaan local dilakukan dengan inspeksi dan palpasi ekstraoral maupun intraoral. Inspeksi diperhatikan adanya asimetri muka, udeem, hematom, trismus, dan nyeri spontan serta maloklusi. Fraktur maksilofacial biasanya disertai udeem dan hematom sehingga muka tampak sangat bengkak. Terapi dengan . Fiksasi dan immobilisasi selama 6-8 minggu. LeFort membedakan fraktur maksilofacial menjadi 3 macam yaitu :

1. LeFort III Fraktur 1/3 atas dengan batas tepi atas orbita yaitu bagian os frontalis , craniofacial dysjunction / melintasi fissura orbitalis superior os disjuction) ethmoidalis dan os nasalis

2. LeFort II Fraktur 1/3 tengah yang dibatasi oleh tepi atas orbita dan tepi bawah baris gigi atas yaitu bagian maksila. fraktur berbentuk piramid / melintasi posterolateral sinus maxilaris dan uperomedial sulcus infraorbitalis 3. LeFort IFaktur 1/3 bawah yang meliputi daerah mandibula. fraktur berbentuk horizontal / pada Superior proc. Alveolaris melewati septum nasi

Pemeriksaan Fraktur Maxila

Fraktur MandibulaMandibula merupakan tulang berbentuk U yang dapat bergerak, terdiri dari corpus, dua ramus dan berhubungan dengan tengkorak bilateral pada sendi temporomandibuler; dilekatkan pada tulang-tulang wajah oleh otot dan ligamen. Juga berhubungan dengan maksila oleh gigi-geligi Mandibula dibagi menjadi :

Segmen horizontal terdiri (1) Alveolaris(2) parasimphisis,simphisis(3) corpus, Segmen vertikal terdiri dari, . (4) Angulus (5) Ramus (6) Processus coronoideus, (7) Condylus, collum condylus. Mandibula merupakan tulang yang kuat tetapi mempunyai beberapa area yang lemah, seperti area subcondyler, angulus mandibula, gigi molar ke tiga, gigi taring di mana akar yang panjang dan foramen mentale melemahkan parasimphisis. Corpus mandibula merupakan tulang yang tersusun dari korteks yang padat dengan sedikit substansia spongiosa yang dilalui oleh pembuluh darah, limfe dan saraf. Mandibula menipis pada angulus di mana corpus berhubungan dengan ramus, dan pada collum condylus.

Terdapat beberapa otot yang mempengaruhi gerakan mandibula. Otot-otot ini memegang peranan penting dalam mempengaruhi derajat pergeseran fragmen fraktur mandibula. Kelompok otot mandibula posterior disebut juga sebagai otot-otot mastikasi, berbentuk pendek dan tebal, dan mempunyai kemampuan yang sangat kuat dalam menarik mandibula. Otot-otot mastikasi ini terdiri dari musculus temporalis, masseter, dan pterygoideus lateralis dan medialis. Kelompok otot mandibula anterior disebut sebagai otot pembuka mandibula. Dengan fiksasi os hyoideus, otot-otot ini menekan mandibula. Jika terjadi fraktur mandibula, otot-otot ini akan menggeser segmen fraktur ke bawah, ke posterior dan ke medial. Kelompok otot ini terdiri dari musculus geniohyoideus, genioglossus, mylohyoideus dan digastricus. Fraktur mandibula sering multipel, jika diidentifikasi tunggal, harus dicari fraktur yang lain. Pasien dengan fraktur mandibula menampakkan tanda dan gejala yang berhubungan dengan tipe fraktur. Nyeri, bengkak, dan ekimosis sering terlihat dan biasanya terjadi bersama fraktur gigi, laserasi mukosa, dan terlihatnya fragmen tulang. Pada kasus dengan terjadinya pembengkakan jaringan lunak yang nyata, jatuhnya lidah ke belakang dapat menyebabkan gangguan saluran nafas sekunder.

Pada fraktur mandibula kontraksi otot menyebabkan keregangan, antara lain :

Otot anterior (genohyoid, mylohyoid, digastric) menarik rahang ke belakang dan kebawah

Otot posterior (masseter, pterygoid, temporal) menimbulkan keregangan fraktur korpus mandibula

Pada anamnesa biasanya ada riwayat trauma baik langsung maupun tidak langsung, gangguan oklusi dan kemungkinan disertai fraktur servikal. Pemeriksaan dengan X-foto panoramic / OPG untuk melihat fraktur halus dan pergeseran tulang yang minimal, juga pada fraktur condylus mandibula. Prinsip penanganan fraktur mandibula adalah reduksi dan imobilisasi fragmen fraktur secara dini , bertujuan untuk memperbaiki anatomis dan mengurangi nyeri. Konservatif dengan Burton Sling pada anak usia < 10 tahun. Operatif Reposisi terbuka dilakukan jika didapatkan lokasi fraktur pada bagian belakang, fiksasi mandibula-maksila gagal, pada pasien retardasi mental, pasien asma, pasien miastenia gravis, atau dengan fraktur kominutif. Reposisi tertutup dilanjutkan dengan imobilisasi menggunakan interdental fixation/wiring dan intermaxillary fixation/wiring dengan atau tanpa arch bar.Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan : Arah fraktur dan kemudahan penanganan Horizontal : Favorable dan Unfavorable Vertikal : Favorable dan Unfavorable

Derajat berat ringannya fraktur Simple fracture : tidak ada kontak tulang yang fraktur dengan dunia luar. Di sini tidak ada diskontinuitas struktur jaringan lunak sekitarnya.

Compound fracture : fraktur di mana terdapat kerusakan kulit atau mukosa dan struktur sekitarnya dengan hubungan langsung tempat fraktur dengan dunia luar. Penyebab fraktur

Trauma langsung : benturan pada tempat fraktur yang menimbulkan diskontinuitas tulang

Trauma tidak langsung : benturan pada sisi yang berlawanan dari rahang bawah atau terdapat jarak dengan tempat fraktur Ada tidaknya gigi pada segmen mandibula

Klas I : terdapat gigi pada kedua sisi garis fraktur

Klas II : gigi hanya terdapat pada satu sisi dari garis fraktur

Klas III : tidak terdapat gigi pada kedua sisi garis fraktur

Pada pemeriksaaan harus diperhatikan adanya asimetri dan maloklusi. Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat kerusakan n. mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi ditempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kekranial. Fraktur pada bagian tulang yang menyangga gigi dapat difiksasi dengan kawat interdental untuk menjamin pulihnya oklusi dengan baik. Jika tidak dapat dilakukan dengan pemasangan kawat, diperlukan reposisi dan fiksasi terbuka dengan osteosintesis.

Pemeriksaan Fraktur Mandibula

Gambaran Klinis1. Nyeri ( timbul pada gerakan dan dijumpai segera setelah fraktur karena trauma dari nervus alveolaris inferior dan jaringan lunak sekitarnya.

2. Nyeri tekan ( nyeri tekan hebat pada tempat fraktur. membantu menentukan lokasi fraktur

3. Disability. ( Pasien tidak dapat membuka mulutnya dan menolak makan makanan yang biasa karena merasa tidak nyaman

4. Edema. ( Pembesaran jaringan lunak pada tempat fraktur sebagai hasil perdarahan dan edema. Segera setelah trauma biasanya terdapat distorsi dan pembesaran jaringan lunak sekitarnya.

5. Ekimosis. ( Perdarahan dapat terlihat sebagai ekimosis atau hematom jaringan lunak pada tempat fraktur

6. Deformitas. ( Karena segmen fraktur dislokasi, pasien sulit untuk membuka atau menutup mulutnya 7. Gerakan abnormal. Pada fraktur condylus dengan pergeseran, waktu pasien mencoba membuka mulutnya mandibula dapat bergeser ke sisi yang terlibat. Hal ini karena non fungsi muskulus pterygoideus lateralis pada tempat fraktur. 8. Krepitasi. ( Pasien merasa mendengar suara yang mengganggu pada gerakan mandibula

9. Salivasi. ( Nyeri dan nyeri tekan merangsang hiperaktivitas kelenjar ludah 10. Bau mulut. ( Karena tidak ada aktifitas gerakan normal saat mengunyah, setelah satu atau dua hari debris tertimbun di sekeliling gigi. Makanan, jendalan darah, jaringan mati dan mucus menyebabkan pertumbuhan bakteri.Diagnosis fraktur mandibula dibuat dg satu atau lebih temuan klinis berikut :

1. Gerakan pada tempat fraktur. Manipulasi bimanual menimbulkan gesekan pada tempat fraktur khususnya corpus mandibula. Satu tangan memegang ramus mandibula, sedang tangan yang lain menggerakkan simphisis mandibula. Fraktur akan tampak dengan adanya gerakan dan rasa tidak nyaman.

2. Maloklusi. Mungkin temuan yang paling sering didapatkan pada fraktur mandibula adalah maloklusi.

3. Disfungsi. Pasien sulit untuk menggunakan rahang bawahnya dan akan meminta makanan lunak yang hanya memerlukan gerakan minimal rahang bawah saat mengunyah. Berbicara sulit karena nyeri atau karena gerakan mandibula.

4. Krepitasi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan manipulasi tempat fraktur, tetapi tidak sering digunakan karena ketidaknyamanan pasien.

5. Bengkak pada tempat fraktur. Bengkak biasanya cepat membesar dan berhubungan dengan ekimosis dan hematom subkutan.

6. Nyeri tekan di atas tempat fraktur. Teutama daerah sendi temporomandibuler, merupakan dugaan kuat adanya fraktur.PEMERIKSAAN RADIOLOGISEvaluasi radiologis rutin yang standar digunakan pada mandibula adalah proyeksi postero-anterior (PA), lateral, dan lateral oblik kiri dan kanan. Bila ada indikasi dapat ditambahkan proyeksi dari sendi temporomandibuler, panoramic, submentovertek dan Townes, serta intraoral dental.

Proyeksi PA dapat memperlihatkan ramus ascenden, angulus dan corpus mandibula dari depan. Karena ada superimposisi dengan vertebra cervical, gambaran simphisis mandibula tidak begitu jelas. Proyeksi lateral oblik merupakan proyeksi konvensional yang paling sering digunakan. Proyeksi ini dapat memperlihatkan corpus mandibula, termasuk alveolus, angulus,dan ramus ascenden, serta condylus dan processus coronoideus mandibula. Bagian kanalis mandibularis yang berisi nervus alveolaris inferior juga terlihat. Proyeksi lateral memberikan informasi terbatas, karena superimposisi dengan kedua bagian mandibula. Proyeksi ini dapat mengetahui simetri pertumbuhan mandibula dan hubungan dasar tengkorak dengan mandibula.

Proyeksi panoramic menyediakan gambaran rahang atas dan bawah, termasuk gigi dan sinus maksilaris. Radiograf tunggal ini menunjukkan seluruh mandibula atau maksila meliputi begian terbawah fossa nasalis dan anthrum maksila. Pemeriksaan ini juga menunjukkan gambaran terbaik sendi temporomandibuler, baik dalam posisi terbuka maupun tertutup.

Radiografi intraoral dilakukan dengan paket film gigi kecil. Ada tiga proyesi dasar intraoral : periapical, bitewing, dan occlusal. Bila ada kecurigaan fraktur, proyeksi occlusal merupakan pemeriksaan yang paling penting karena tampak gambaran permukaan anterior dan posterior simphisis. Computed tomography (CT) menjadi perangkat diagnostik penting pada assesmen trauma mandibula. Pemeriksaan ini meliputi gambaran tulang dan jaringan lunak. CT menunjukkan bermacam-macam fraktur dan deformitas sekunder sampai pergeseran. Selain itu, trauma jaringan lunak termasuk edema, pembentukan hematom, dan benda asing dapat diketahui. Penemuan terbaru CT helica (spiral) memberikan kualitas yang lebih baik. Gambaran 3 dimensi ini membuat apresiasi yang lebih baik dari deformitas fraktur sehingga berguna untuk ahli bedah dalam melakukan pembedahan koreksi.

PENATALAKSANAANPertimbangan utama dalam penanganan fraktur mandibula adalah mengembalikan fungsi mandibula dan efisiensi mastikasi gigi. Prinsip-prinsip penanganan fraktur yaitu :

1. Mengembalikan fragmen tulang yang fraktur ke posisi anatomis

2. Memfiksasi fragmen tulang yang fraktur pada posisinya sampai proses penyembuhan selesai

3. Mengendalikan infeksi

Fraktur Mandibula Klas I

Fiksasi segmen fraktur dapat dilakukan tanpa fiksasi intermaksila dengan menggunakan beberapa metode sederhana.1. Horizontal Interdental Wiring

Fraktur dapat direduksi secara manual dan disatukan bersama dengan menggunakan stainless steel wire ukuran 25, dipilin di sekitar leher dari beberapa gigi pada kedua sisi fraktur.

2. Prefabricated Arch Bars

Lempengan lengkung yang dimodifikasi oleh Erich dibuat dari logam yang lentur semirigid dan dapat dipasang di lengkungan gigi dan dengan hati-hati dilekatkan di leher gigi tanpa peralatan khusus. Arch bar ini umumnya digunakan untuk fiksasi intermaksila, tetapi arch bar yang dipasang di gigi bawah untuk menyokong fraktur klas I dapat digunakan sebagai fiksasi monomaksila. 3. Cable Arch Wires

Jika tidak tersedia arch bar, kawat kabel dapat didesain untuk stabilisasi fragmen fraktur dan alat untuk fikasasi intermaksila. Ini dapat dilakukan dengan menggunakan stainless steel wire ukuran 22, yang dipasang mengelilingi gigi terakhir pada masing-masing kuadran lengkung gigi dan dipilin erat pada gigi, tetapi masih ditinggalkan cukup panjang. Kawat dari sisi kanan dipilin dengan kawat dari sisi kiri pada garis tengah dan sisanya dipotong. Pilinan kawat kemudian dimasukkan ke sekeliling leher gigi.4. Banded Dental Arch

Angle (1890) menemukan banded arch wire untuk memfiksasi fraktur mandibula. Ini terdiri dari band dengan berbagai ukuran yang pas untuk gigi molar atau premolar. Band ini dipasang dengan jackscrew dan mur yang diputar dengan erat sampai band terpasang pada gigi dengan aman. Potongan panjang kawat kuningan kuat ukuran 14 yang diratakan sampai ukuran 19 dipatri pada band. Kawat kuningan lunak ini kemudian dibentuk sepanjang permukaan lateral gigi, lalu diikat dengan stainless steel wire.5. Cast Cap Splints

Peralatan gigi ini didesain untuk menutupi bagian terbuka gigi dan memerlukan keahlian dokter dan tekhnisi gigi. Cast splint khususnya digunakan bila alat yang kuat diperlukan.6. Peralatan External Pin FixationPin fiksasi eksternal atau intramedullary wire pinning hanya sedikit digunakan untuk penanganan fraktur klas I karena adanya suara gigi pada tempat fraktur.7. Tekhnik Open ReductionDigunakan khususnya pada fraktur di regio simphisis dengan arah oblik Fraktur di daerah depan yang berjalan dengan arah yang unfavorable memerlukan operasi terbuka untuk reduksi dan fiksasi kawat. Bila gigi mencukupi, interosseus wiring ditambah dengan fiksasi intermaksila. Traksi kontinyu moderat dengan pita karet selama beberapa hari akan menghasilkan oklusi anatomi yang baik. Fraktur Mandibula Klas II

Pada fraktur klas II, gigi hanya terdapat pada satu sisi tempat fraktur. Masalah mengontrol fragmen tanpa gigi bervariasi tergantung dari arah garis fraktur dan posisi gigi. Open reduction dan direct osseus wiring diindikasikan untuk fraktur dengan pergeseran dan tidak adanya gigi di segmen posterior. Fraktur Horizontal dan Vertikal favorable Fiksasi pada fraktur klas II favorable dapat dipakai dengan menggunakan alat band dan bar, kabel dengan ikatan intermaxillary wire, atau dengan Erich arch bar dengan ikatan kawat atau pita karet. Kancing Kazanjian dapat digunakan untuk fiksasi segmen fraktur dengan gigi yang terisolasi. Fraktur yang unfavorable tidak dapat melawan pergeseran. Tarikan dari otot-otot elevator menyebabkan segmen posterior bergerak ke depan dan ke medial sehingga terjadi pergeseran. Pemasangan kawat pada gigi anterior tidak akan mampu menahan fragmen posterior ke posisi normal. Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol fragmen posterior.1. Interlocking Fragment

Kazanjian dan Converse (1974) menggunakan tekhnik di mana dengan manipulasi digital, fragmen-fragmen ditempatkan pada posisi anatomis dan disatukan bersama; sementara dalam posisi ini pada gigi-gigi dipasang fiksasi intermaksila. Jika fragmen mempunyai bentuk yang baik, interloking akan mempertahankan segmen posterior pada posisinya.2. Bite Block pada Segmen Posterior Tanpa Gigi

Bite block ditempatkan di antara gigi maksila dan mandibula untuk menahan fragmen proksimal pada posisinya selama proses penyembuhan.. Metode ini biasanya tidak memuaskan karena segmen posterior sulit untuk dikontrol dan bite block menyebabkan iritasi pada gusi dan menimbulkan nekrosis karena tekanan pada jaringan lunak dan tulang.3. Forked Wire Extension

Band dengan bar dipasang pada gigi, dengan menggunakan kawat ukuran 14 menyilang ke posterior garis fraktur dan menekan celah tulang dari segmen postrior, sehingga mencegah pergeseran ke depan. Tipe ini biasanya tidak efektif, karena stabilitas fragmen proksimal diragukan, dan dapat menimbulkan iritasi jaringan lunak dan tulang.

.A. Fiksasi fraktur mandibula klas II dengan maksila tanpa gigi. Bite block dipasang dan dipertahankan dengan kawat internal pada os frontalis. Circumferential wire dipasang melingkari mandibula.

B. Fiksasi dengan transalveolar wiringOpen Reduction dan Interosseus Wiring Indikasi pemasangan interosseus wiring :

1. Pada fraktur komplek di mana penggunaan gigi sebagai poin fiksasi tidak mencukupi

2. Pada fraktur dengan pergeseran fragmen posterior

3. Pada pasien tanpa gigi

Dengan proteksi terapi antibiotik, anestesi yang baik, persiapan rongga mulut yang baik, dan tekhnik aseptik, open reduction pada fraktur klas II merupakan tindakan yang bijaksana, positif dan aman. Hal yang paling penting untuk diperhatikan selama pemasangan interosseus wiring pada fragmen tulang dengan pendekatan intraoral adalah menghindari hematom. Infeksi biasanya mengikuti pembentukan hematom dan jika terjadi perlu dilakukan pengangkatan kawat. Pencegahan hematom terbaik didapat dengan menempatkan kateter antikolaps pada tempat fraktur dan dihubungkan dengan alat penghisap. Waktu untuk mencegah hematom biasanya 48 jam, dan kateter dapat dilepas.

Open reduction dan interosseus wiring pada fraktur mandibula

Fiksasi Eksternal Jika fiksasi eksternal dipakai pada penanganan fraktur, hal ini sebagai kontrol fragmen posterior tanpa gigi dengan kominutif luas pada tempat fraktur. Pin pada daerah ini mempertahankan posisi fragmen posterior melawan otot-otot elevator mandibula sampai konsolidasi segmen fraktur terjadi.Fiksasi dengan Kirschner Wire

Brown, Fryer, dan Mc Dowell memperkenalkan fiksasi Kirschner intrameduler untuk imobilisasi fraktur klas II dan III. Fraktur direduksi secara manual. Dengan fragmen tulang dipegang pada posisinya oleh asisten, K-wire dimasukkan dengan bur elektrik melaui tulang ke kanalis medularis. Diarahkan menyilang garis fraktur dan melalui kortek fragmen fraktur yang berlawanan.Ujung wire dipotong pada batas kulit dan dilepas dalam 6 sampai 8 minggu.Fraktur Kominutif 1. Operasi terbuka dan bone plate pada fraktur kominutif angulus mandibula

Penggunaan plate logam lebih disukai dibandingkan dengan direct wiring pada fragmen multipel atau fiksasi eksternal pada tulang kominutif. Mandibula diekspos melalui incisi di bawah batas inferior. Plate logam tipis dipasang screw dengan hati-hati, dan fragmen yang kominutif dimanipulasi saling kontak yang memungkinkan. Fiksasi dipertahankan sampai proses penyembuhan selesai.2. Traksi ekstraskeletal untuk mengontrol segmen proksimal

Kontrol terhadap segmen proksimal tanpa gigi dengan kawat eksternal yang dipasang dengan pita karet dan head cap disarankan oleh Lenormant dan Darcissac (1927). Hal ini dilakukan pada fraktur kominutif pada angulus mandibula ketika metode lain tidak dapat dilakukan.

3. Mengontrol fragmen kominutif

Bila tulang dilindungi dan didukung oleh periosteum dan jaringan lunak yang adekuat, tekhnik direct interosseus wiring sebaiknya digunakan.

Fiksasi Fraktur klas II pada Maksila Tanpa GigiFiksasi pada fraktur klas II pada maksila tanpa gigi dapat dilakukan dengan menggunakan bite block berlawanan dengan oklusi gigi mandibula. Bite block dipertahankan pada posisinya dengan internal wiring, di mana kawat dilengkungkan mengikuti arcus zygomaticus atau dilekatkan pada os frontalis. Fiksasi mandibula dengan bite block dikerjakan dengan memakai kawat yang mengelilingi bagian anterior mandibula. Tekhnik open reduction dan direct wiring dapat digunakan melaui spina nasalis, melewati apertura pyriformis, melingkarkan kawat mengelilingi arcus zygomaticus, atau memasang kawat pada processus zygomatus os frontalis.Fraktur Condylus MandibulaCondylus mandibula dilindungi oleh pars zygomatica dari os temporalis dan didukung oleh kapsul, ligamentum, dan otot-otot di sekeliling sendi. Fraktur condylus paling sering disebabkan oleh trauma tak langsung. Walaupun metode open reduction diindikasikan untuk sebagian fraktur mandibula, kebanyakan fraktur condylus akan berespon terhadap metode konservatif sederhana. Biasanya fiksasi intermaksila sudah mencukupi. Sendi temporomandibuler dapat bertahan dalam periode lama fiksasi tanpa kekakuan atau disfungsi.Pada banyak center, closed reduction dan fiksasi intermaksila merupakan metode terpilih dalam penanganan fraktur condylus mandibula. Beberapa ahli bedah lebih suka memanipulasi mandibula sebelum memasang fiksasi intermaksila. Yang lain memanipulasi caput condylus dengan alat yang tajam dan runcing melaui intraoral atau melalui kulit untuk mendorong caput condylus kembali ke fossa. Semua manipulasi ini biasanya tidak berhasil, dan pemeriksaan sinar X sesudah reduksi biasanya tidak menunjukkan perbaikan posisi fragmen fraktur.

Open Reduction

Karena dalamnya letak condylus mandibula, proksimalnya cabang nervus tujuh dan arteri maksilaris interna, serta kuatnya tarikan musculus pterygoideus lateralis yang menimbulkan pergeseran, operasi terbuka untuk mereduksi fraktur condylus mandibula merupakan prosedur yang rumit. Indikasi open reduction adalah fraktur condylus dengan pergeseran caput condylus keluar dari fossa glenoidalis. Caput biasanya ditemukan di spatium pterigoidea dan pertimbangan operasi harus dilakukan untuk mengembalikan caput ke dalam fossa di mana terdapat sudut kira-kira 90 derajat pergeseran caput condylus dari posisi normalnya. Pengembalian posisi anatomis mutlak tidak diperlukan karena hampir tidak mungkin dicapai. Mempertahankan caput condylus di dalam fossa glenoidalis dengan sedikit pergeseran fragmen fraktur biasanya menghasilkan penyatuan tulang yang sempurna dan pengembalian pola menggigit yang normal. Fraktur Mandibula Klas III

Fraktur pada Mandibula Tanpa Gigi

Fraktur pada mandibula tanpa gigi lebih jarang pada pasien tua dari pada pasien muda, karena pasien tua jarang terlibat dalam situasi berbahaya di pekerjaan, olah raga dan perjalanan. Fraktur biasanya bilateral dengan pergeseran sedang. 1. Intraoral Appliances

Berguna pada fraktur sederhana tanpa pergeseran atau dengan pergeseran minimal. Bite block yang dibuat khusus dipasang pada rahang atas dan bawah untuk mempertahankan segmen mandibula.2. Circumferential Wiring

Dapat digunakan bersama dengan bite block akrilik untuk menahan fraktur oblik pada posisinya setelah reduksi.3. Direct Iinterosseus Wiring

Metode ini diindikasikan untuk penanganan fraktur mandibula tanpa gigi dengan pergeseran. Dapat dilakukan dengan pendekatan ekstraoral maupun intraoral.

Rute ekstraoral

Dilakukan incisi sekitar 1 cm di bawah tepi inferior mandibula. Fraktur direduksi, dilubangi dengan bur pada kedua sisi fraktur, kemudian difiksasi dengan stainless wire interosseus ukuran 24. Rute intraoral

Merupakan metode yang efektif pada fraktur mandibula tanpa gigi. Kawat ditempatkan pada tepi atas fraktur melawan tarikan otot sehingga baik untuk stabilisasi.

Keuntungan pendekatan intraoral :

Sederhana untuk dikerjakan

Tidak ada bahaya pembedahan yang mengenai cabang nervus tujuh, kelenjar submaksilaris, atau arteri maksilaris eksterna

Dapat dilakukan dengan instrumen minimal

Penyembuhan luka lebih cepat dan tanpa komplikasi

4. Fiksasi Eksterna

Indikasi fiksasi eksterna adalah :

Kasus yang tidak dapat ditangani dengan metode sederhana seperti interosseus atau circumferential wiring Fraktur angulus mandibula tanpa gigi dengan hilangnya tulang segmen anterior sampai posterior

Kasus dengan kontrol fragmen tulang selama prosedur rekonstruksi graft tulang diperlukan

Kasus jarang di mana pemasangan kawat pada rahang dikontraindikasikan

KOMPLIKASI Komplikasi Awal1. Perdarahan primer

Trauma tulang dan jaringan lunak ekstensif dapat menimbulkan kehilangan darah yang hebat. Biasanya hanya sedikit perdarahan pada fraktur tertutup dengan jaringan lunak tidak ekstensif terlibat. Klem dan ligasi vasa darah dan menutup luka dengan bebat tekan efektif untuk menghentikan perdarahan. 2. Komplikasi pernafasan

Terjadi pada fraktur bilateral corpus mandibula dengan pergeseran tulang ke posterior sehingga mendesak jaringan lunak di dasar mulut dan lidah jatuh menutupi airway. Menarik lidah, reposisi segmen anterior mandibula atau trakheotomi akan membebaskan airway.3. Infeksi

Dengan metode penanganan fraktur modern, infeksi relatif jarang. Banyak komplikasi infeksi dapat dihindari dengan membuang benda asing dari luka, fiksasi yang akurat, dan terapi antibiotik. Komplikasi Lanjut1. Nonunion, malunion, delayed union, 2. Ankilosis sendi temporomandibuler3. Anestesi nervus alveolaris inferior4. Jaringan parut5. Kontraktur mulut, dan deformitas wajah.

Catatan -------------------------------- RD 2002Penanganan fraktur maksilofasial terbagi atas 3 tahap: 1. Penanganan kedaruratan; 2. Penanganan dini; 3. Penanganan rekonstruksi lanjutan. Pertama awal pada kasus fraktur maksilofasial berpatokan pada prinsip-prinsip ATLS, Airway dengan proteksi servikal, Breathing dengan ventilasi dan oksigenisasi, Circulation dengan kontrol perdarahan dan pemeriksaan neurologis singkat. Penanganan dini pada fraktur maksilofasial bergantung pada dimana lokasi, jenis, pergeseran fraktur.

Penatalaksanaan Trauma Wajah

Konservatif

Pasang Barthon Sling kendor-kenceng selama 1 bulan

Tidak boleh mengunyah, diet cair

Operatif

Klas I & II ( Inter Dental Wire / IDW

Klas III ( pasang plate (trans osseous wiring / TOW)

Infeksi pada garis fraktur merupakan kontra indikasi

Prinsip Reposisi ( terjadi oklusi (point M1)

Pengambilan : - IMW ( 1 bulan

- IDW ( 6 bulanPada fraktur mandula khususnya Symphisis mentalis penting diperhatikan :1. Apakah lidah jatuh kebelakang

2. Biasanya disertai fraktur condylus sisi kontralateral

3. Perhatikan fraktur cervikal

EMBED Word.Picture.8

EMBED PI3.Image

EMBED PI3.Image

_1197095246.bin

_1197095337.bin

_1183845205.doc