A. PENDAHULUANTrauma merupakan penyebab kematian dan kecacatan
terbanyak di Amerika pada usia < 40 tahun, lebih dari 150.000
kecelakaan menyebabkan kematian setiap tahunnya, dan lebih dari
500.000 trauma menyebabkan kecacatan permanen. Dengan meningginya
kecelakaan lalu lintas atau traffic accident, ditambah dengan sifat
khusus dari hidung yang merupakan bagian tubuh yang paling menonjol
serta tak ada bagian tubuh yang lain melindunginya, maka dalam
setiap kecelakaan lalu lintas dengan trauma capitis, kemungkinan
besar disertai dengan trauma nasi. Atau dapat dikatakan trauma nasi
sering bersamaan dengan trauma muka (maxillofacial
trauma).1,2,4Tulang hidung merupakan salah satu bagian tubuh yang
memiliki insiden fraktur tersering ketiga setelah klavikula dan
pergelangan tangan.. Cedera di dalam hidung biasanya terjadi ketika
benda asing masuk ke dalam hidung atau ketika seseorang memakai
obat-obatan melalui hidung. Cedera di luar hidung biasanya
berhubungan dengan aktifitas olahraga, kekerasan, penyiksaan atau
kecelakaan. 1,2Tulang hidung adalah tulang wajah yang paling sering
patah karena tulang tersebut adalah tulang dengan posisi paling
depan pada wajah. Meskipun tidak mengancam jiwa, patah tulang
hidung dapat menyebabkan kelainan bentuk baik secara estetik dan
fungsional. Patah tulang hidung juga dapat merusak selaput yang
melapisi jalan nafas melalui hidung, menyebabkan terbentuknya
jaringan parut sehingga menyumbat jalan nafas dan merusak indera
penciuman seseorang. 1Penanganan dan pengobatan Trauma Hidung dapat
berbeda tergantung pada kondisi pasien dan penyakit yang
dideritanya. Pilihan pengobatan adalah pembedahan hidung.
Pencegahan trauma hidung berupa menghindari faktor risiko yang
memungkinkan terjadinya trauma hidung. 1,5
B. ANATOMI HIDUNGHidung merupakan bagian penting pembentuk
wajah, fungsinya sebagai jalan napas, alat pengatur kondisi udara
(air condition), penyaring & pembersih udara2, indera penghidu,
resonansi suara, membantu proses berbicara, dan refleksi nasal.
Hidung juga merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan
saluran air mata. 3
Gambar 1: Facial Skeleton2Hidung terdiri atas hidung luar dan
hidung bagian dalam. Struktur hidung luar dibedakan atas tiga
bagian yaitu :1. Kubah tulang. Letaknya paling atas dan bagian
hidung yang tidak dapat digerakkan.2. Kubah kartilago (tulang
rawan). Letaknya dibawah kubah tulang dan bagian hidung yang
sedikit dapat digerakkan.3. Lobulus hidung. Letaknya paling bawah
dan bagian hidung yang paling mudah digerakkan.Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit,jaringan kulit,dan beberapa otot keci yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Tulang keras terdiri
dari tulang hidung (os nasal), processus frontalis os maxilla,
processus nasalis os frontal. Sedangkan tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung
yaitu sepasang kartilago nasalis latelaris superior, sepasang
kartilago nasalis latelaris inferior (kartilago ala mayor), tepi
anterior kartilago septum. 2,4Gambar 2: External nasal skeleton
tampak A: Frontal . B: Oblique 1Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung
(bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Gambar 3: Struktur Nasal ekstenal2Struktur Hidung bagian dalam
terdiri atas: 1. Septum nasiSeptum membagi kavum nasi menjadi dua
ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina
perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, Krista
palatine serta krista sfenoid.2. Kavum nasi, terdiri dari: Dasar
hidung, dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. Atap hidung, terdiri dari kartilago
lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os
maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar
atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh
filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior. Dinding Lateral, dibentuk oleh
permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka
superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial. Konka, Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media
disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat
(konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan
konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila
bagian superior dan palatum. Gambar 4: Struktur Nasal Internal
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi
dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan
kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh
lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian
atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus.2Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari
arteri ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang dari
arteri oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan
hidung) terutama pada anak.2
Gambar 5: Vaskularisasi cavum nasiVena hidung memiliki nama yang
sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum
dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi hingga ke intrakranial.Bagian depan dan atas rongga hidung
mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang
merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila
(N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2
Gambar 6: Innervasi hidung bagian lateralEfek persarafan
parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi.
Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi
sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus
(silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lender meliputinya untuk
melembabkan rongga hidung.C. FISIOLOGI HIDUNGBerdasarkan teori
struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologi hidung dan sinus paranasalis adalah:3,41. Fungsi
respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal. Pada inspirasi, udara masuk melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir
jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh palut lendir, sebaliknya pada musim dingin. Suhu
udara yang melalui hidung diatur 37 derajat selsius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah
dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara
akan disaring di hidung oleh ; rambut pada vestibulum nasi, silia,
palut lendir.Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan
silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa
jenis bakteri, yang disebutlysozyme.2. Fungsi penghidu karena
adanya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat.3. Fungsi hidung untuk membantu
indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari
berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi,
jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang
berasal dari cuka dan asam jawa.4. Fungsi fonetik yang berguna
untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran
suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung
penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng)5. Fungsi statik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas.6. Refleks nasal, mukosa hidung merupakan reseptor
refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan
pernafasan. Contoh iritasi mukosa hidung menyebabkanrefleks bersin
dan nafas berhenti, dan rangsang bau tertentu akan
menyebabkansekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
D. DEFINISI 1,5Trauma Hidung didefinisikan sebagai cedera pada
hidung atau struktur terkait yang dapat mengakibatkan pendarahan,
sebuah cacat fisik, penurunan kemampuan untuk bernapas normal
karena obstruksi, atau terjadi gangguan penciuman. cedera mungkin
baik internal maupun eksternal.E. EPIDEMIOLOGIPada penelitian yang
dilakukan di Brazil menyatakan bahwa berdasarkan umur, kelompok
usia 11-40 tahun sering mengalami trauma nasal. Berdasarkan jenis
kelamin, baik pria maupun wanita tidak ada perbedaan statistik pada
trauma hidung, namun insiden pada usia remaja laki-laki dua kali
lebih sering mengalami trauma hidung dibandingkan pada
perempuan.6
F. KLASIFIKASI 1Trauma hidung dapat mengenai hidung, jaringan
subcutis, mukosa yang meliputi cavum nasi, kerangka tulang dan
tulang rawan yang membentuk hidung itu sendiri. Trauma pada hidung
terdiri atas: 1. Trauma soft tissue: trauma kulit, jaringan
subcutis dan mukosa yang meliputi cavum nasi, dapat berupa contusio
jaringan atau tanpa hematoma, laserasi, echymosis, abrasi, vulnus,
corpus allienum yang tertinggal di tempat trauma atau hilangnya
bagian-bagian hidung tersebut.2. Trauma tulang: trauma pada tulang
dapat berupa 1) Fraktur (kominutif yang banyak mengenai pada orang
tua, fraktur terbuka/tertutup), 2) Dislokasi (banyak terjadi pada
anak), dapat mengenai semua sendi rangka hidung / septum, 3)
Kombinasi fraktur-dislokasi. 1Trauma kerangka tulang dan tulang
rawan dapat dibagi atas:1. Fraktura os nasalis2. Trauma
naso-orbitalTrauma berdasarkan hubungan dengan dunia luar , dibagi
atas:1. trauma terbuka 2. trauma tertutupMenurut arah traumanya
dapat dibagi pula atas: 51. Trauma lateral2. Trauma frontal
Gambar 7: Klasifikasi trauma berdasarkan arahnya
Terdapat 4 tipe fraktur hidung berdasarkan arah trauma:1. Tipe I
: Depresi tulang hidung unilateral. Disebabkan trauma dari arah
lateral dengan kekuatan yang ringan dan sedang2. Tipe II : Fraktur
multipel dari piramid hidung akibat trauma tumpul arah
Frontolateral. Terjadi fraktur pada os nasal dan lamina
perpendikularis dengan fragmen eksternal dislokasi ke lateral3.
Tipe III : Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal
karena trauma langsung dari arah frontal. Fraktur lamina
perpendikularis dan kartilago dapat terjadi karena depresi yang
hebat.4. Tipe IV : Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma
arah kaudal kranial 15
Gambar 8: Fraktur Nasal (A)Unilateral, (B) Bilateral, (C) Open
Book, (D) Comminuted, (E) Posterior inferior impaction, (F) Medial
canthal ligament
G. PATOMEKANISME 1,2,4,5,8Hidung merupakan bagian penting
pembentuk wajah dan merupakan struktur yang prominen dari wajah.
Oleh karena struktur tersebut, hidung mudah terkena trauma. Trauma
hidung dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecerobohan
dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan perkelahian serta
kecelakaan olah raga, trauma pada hidung juga bisa berupa trauma
akibat inhalasi. Trauma hidung dapat merupakan trauma sendiri atau
pun bagian trauma wajah lainnya dan dapat mengenai kulit, jaringan
subkutis, kerangka tulang, septum atau os maksila. 1,2,5,8Trauma
hidung bisa terjadi secara internal maupun eksternal. Trauma
internal pada hidung biasanya terjadi ketika sebuah benda asing
(termasuk jari) dimasukkan didalam hidung atau ketika seseorang
mengonsumsi obat-obatan penyalahgunaan (inhalants atau kokain)
melalui hidung. Trauma eksternal hidung biasanya disebabkan
kekerasan atau trauma tumpul yang dapat berhubungan dengan
olahraga, tindakan pidana (pemukulan), kekerasan yang dilakukan
orangtua terhadap anak, kecelakaan mobil atau sepeda. Jenis trauma
ini dapat mengakibatkan fraktur hidung. 4,5
Kerusakan yang dapat terjadi pada trauma hidung bervariasi
tergantung dari beberapa faktor yaitu: 1,51. Usia usia pasien yang
sangat berpengaruh pada fleksibilitas jaringan dalam meredam energi
dari pukulan.2. Besar kekuatan trauma/ besarnya gaya yang
mengenaiTenaga sebesar 25 75 pons per meter persegi cukup untuk
membuat fraktur nasal.3. Arah pukulan dimana akan menentukan bagian
nasal yang rusak. Trauma dari arah lateral berbeda dengan trauma
dari arah frontal
Gambar 9 Menunjukkan adanya peningkatan derajat kerusakan karena
peningkatan kekuatan trauma berdasar pola trauma dari: A. arah
frontal, B. arah laterala. Trauma lateralTrauma dari arah lateral
paling sering terjadi dan bervariasi beratnya mulai dari fraktur
sederhana ipsilateral (simple-fracture) sampai kerusakan lengkap
(complete-fracture) dari tulang nasal disertai trauma jaringan
lunak intranasal dan ekstranasal.
b. Trauma frontalTrauma dari arah depan energi rendah biasanya
memecahkan septum lebih dahulu sebelum menyebabkan trauma piramid
nasal. Pada trauma dengan energi yang lebih besar menyebabkan
pemisahan nyata dari tulang nasal yang merupakan bagian dari
fraktur nasoorbital ethmoid kompleks54. Kondisi dari obyek yang
menyebabkan trauma nasal Pola trauma tulang berupa fragmen-fragmen
tulang yang tidak kominutif, penyebab tersering karena pukulan
tangan saat perkelahian, trauma olahraga, jatuh tersandung, atau
kecelakaan kendaraan kecepatan rendah. Pada trauma ini sejumlah
energi yang besar diabsorbsi oleh kerangka nasal dan wajah,
menyebabkan putusnya fragmen tulang, rusaknya jaringan lunak regio
nasal dan rusaknya kerangka orbital wajah. Penyebabnya biasanya
pukulan keras tongkat atau pipa, jatuh dari ketinggian, kecelakaan
olahraga dengan proyektil (bola) yang bergerak cepat, atau
kecelakaan kendaraan kecepatan tinggi.
H. DIAGNOSIS 1,5,7A. AnamnesisJumlah terjadinya cedera secara
detail akan memudahkan untuk mengetahui tipe dan tingkat keparahan
yang terjadi. Pada kasus kecelakaan kendaraan , informasi yang bisa
kita dapatkan yaitu kecepatan mengendara, benturan secara langsung.
Pada anak-anak yang duduk di bangku depan akan berisiko pada trauma
di kepala dan di servikal. Selain itu yang harus dievaluasi adalah
adanya perubahan fungsi pada pernapasan, dan apakah ada perdarahan
dengan rasa manis atau asin ( untuk megetahui kebocoran cairan
serebrospinal). Anosmia persisten atau hiposmia akan terjadi
setidaknya 5% pada individu yang menderita trauma kepala dengan
atau tanpa trauma hidung.Anamnesis mengenai riwayat pasien termasuk
riwayat trauma pada hidung, deformitas sebelumnya pada hidung,
riwayat operasi, dispneu, alergi, dan adanya riwayat sinusitis.
Orang yang melakukan rinoplasty sebelumnya akan lebih mudah
mengalami fraktur hidung. Diagnosis fraktur tulang hidung biasanya
berdasarkan adanya riwayat trauma hidung dan gejala klinis.
Epistaksis mungkin dapat terjadi ataupun tidak sama sekali, bisa
disertai rhinorrhea, obstruksi jalan napas, atau deformitas.B.
Pemeriksaan fisis Pemeriksaan intranasal dilakukan dalam rangka
mencari sebuah defek berupa hematoma yang dapat mengakibatkan
konsekuensi yang serius seperti matinya jaraingan kartilago yang
mengalami defek. Pemeriksaan fisik pada hidung dilakukan untuk
menentukan ada tidaknya nyeri, mobilitas, kestabilan, dan
krepitasi. C. Pemeriksaan penunjang (Radiography)Biasanya pemakaian
sinar X belum diperlukan, namun pada keadaan fraktur yang lebih
hebat misal yang melibatkan beberapa tulang sebuah computed
tomography (CT scan) mungkin diperlukan. Sseorang dokter harus
mencari klinis cedera terkait seperti ekimosis periorbital, mata
berair, atau diplopia (penglihatan ganda) yang menunjukkan adanya
cedera orbital. Selain itu, fraktur gigi-geligi dan kebocoran
cairan serebrospinal harus dicari. Kebocoran cairan serebrospinal
mengindikasikan adanya sebuah cedera yang lebih parah dan
memungkinkan terjadinya fraktur tulang etmoid.
I. PENATALAKSANAAN 1,5,13,15Pilihan penatalaksanaan bisa dengan
reduksi tertutup atau reduksi terbuka pada fraktur piramida
eksternal atau septum. Kesempatan terbaik untuk keberhasilan terapi
adalah pada saat 3 jam pertama setelah cedera.Indikasi untuk
reduksi tertutup adalah fraktur unilateral atau bilateral dari
tulang hidung dan fraktur nasal septal kompleks dengan septum.
Sedangkan pada reduksi terbuka umumnya baik untuk fraktur luas
dengan diskolasi tulang hidung dan septum, deviasi piramida hidung,
fraktur disertai dislokasi pada septum bagian caudal, fraktur
septum terbuka, dan deformitas persisten setelah reduksi tertutup.
Indikasi lain untuk reduksi terbuka termasuk hematoma septum,
pengurangan tulang yang tidak memadai karena deformitas septum,
cacat gabungan septum dan kartilago alar, fraktur pengungsi dari
tulang belakang hidung anterior, dan riwayat operasi intranasal
baru-baru ini.
J. PROGNOSIS 1,5,8Fraktur tulang hidung tanpa malposisi memiliki
prognosis yang sangat baik, biasanya penyembuhan tanpa cacat
kosmetik atau fungsional. Pada fraktur dengan malposisi, bahkan
setelah dilakukan reduksi tertutup, sering meninggalkan kelainan
kosmetik dan deviasi septum, dan mengharuskan dilakukannya
rinoplasti dan/atau septoplasti.Prognosis untuk trauma jaringan
lunak hidung tergantung pada penyebab dan sejauh mana luka yang
terjadi. Seperti cedera robek yang disebabkan oleh gigitan memakan
waktu lebih lama untuk sembuh daripada luka yang sederhana, dan
mungkin memerlukan bedah plastik di kemudian hari untuk
mengembalikan penampilan hidung. Kerusakan jaringan lapisan hidung
yang disebabkan oleh paparan iritasi asap atau tembakau dalam
lingkungan biasanya reversibel setelah pasien dijauhkan atau
menghindar dari kontak dengan zat yang merusak. K. KOMPLIKASI
5,9,10,12a. KosmetikKelainan fisik secara eksternal merupakan hasil
dari trauma hidung yang termasuk diantaranya pembengkokan bagian
belakang, deviasi sisi lateral pada bagian dorsum dan ujung, serta
ujung hidung yang miring. Kelainan septum kompleks (dan obstruksi)
juga bisa mengakibatkan pembengkokan tulang, perubahan kompleks
pada hidung, defleksi angular pada septum. Secara internal, bisa
ditemukan laserasi disertai obstruksi jaringanb. Disfungsi
penciumanTrauma kepala dapat menyebabkan fraktur hidung, fraktur
yang lebih dari 2 mingu menyebakan deformitas, dan anosmia post
traumatic.16c. Epistaksis dan kebocoran cairan
serebrospinalPermulaan edema dan epistaksis pada trauma hidung
biasanya tanpa intervensi bisa ditangani. Meskupun, epistaksis
persisten pada trauma nasal memerlukan tamponade. Dengan kebocoran
cairan serebrospinal, kerusakan akan terjadi secara signigikan
lebih berat. Terapi yang dilakukan biasanya melakukan observasi
tertutup, bone grafting. 9,14d. Septal hematom dan Saddle nose
deformitySeptal hematom merupakan hasil dari perdarahan, jarang
terjadi secara bilateral, di dalam subperikondrial pada septum.
Jika tanpa kendali, fibrosis pada septal kartikalago akan terjadi,
diikuti dengan nekrosis dan perforasi selama 3-4 hari.
Penanganannya sangat penting dan dilakukan pembuatan insisi secara
horizontal pada dasar septal. Deformitas pada hidung bisa terjadi
akibat trauma lahir. 11e. Perforasi septalPerforasi septal dapat
disebabkan oleh trauma iatrogenic, trauma selama septoplasty,
trauma akibat kateterisasi, pengobatan yang tidak adekuat akibat
abses septal. 10
19