Top Banner

of 21

TRAUMA BRAIN INJURY 2.docx

Jul 20, 2015

Download

Documents

jaiz_ando
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Cedera kepala yang akan dibicirakan adalah cedera akibat rudapaksa kepala (trauma capitis). Dinegara maju kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama pada umur antara 2-44 tahun, dimana 70% diantaranya mengalami rudapaksa kepala. Trauma capitis merupakan kejadian yang sangat sering dijumpai. Lebih dari 50% penderita trauma adalah trauma capitis. Bila multi trauma (cedera lebih dari 1 bagian tubuh), maka 50% penderita adalah masalah trauma capitis.

2. Tujuan Penulisan Tujuan umum : Untuk memperoleh pengetahuan mengenai trauma barain injury. Tujuan Khusus: Untuk mengetahui pengertian dan penyebab sehingga seseorang bisa mengalami trauma brain injury. Untuk mengetahui tanda dan gejala yang ditimbulkan dari trauma brain injury. Untuk mengetahui tindakan, penanganan, serta Asuhan Keperawatan gawat darurat yang tepat diberikan pada pasien yang mengalami trauma brain injury. 3. Manfaat Penulisan Agar kita memperoleh pengetahuan mengenai trauma brain injury. Agar kita dapat mengetahui penyebab, tanda dan gejala dari trauma brain injury. Agar kita dapat mempratekkan Asuhan Keperawatan gawat darurat yang tepat secara langsung pada klien yang mengalami trauma brain injury.

1

BAB II PEMBAHASAN

KONSEP DASAR MEDIS

1. DEFINISI TRAUMA BRAIN INJURY

Trauma Brain Injury atau cedera kepala merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanent (PERDOSI,2006) Trauma Brain Injury adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional, gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan fungsi otak (Pedoman Penaggulangan Gawat Darurat Ems 119 Jakarta, 2008). Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).

2. ANATOMI FISIOLOGI

2

Kulit Kepala (SCALP) Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu: Skin atau kulit Connective Tissue atau jaringan penyambung Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan langsung dengan tengkorak. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar Merupakan tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal). Perikranium

Tulang Tengkorak Terdiri dari Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3 fosa : Anterior atau tempat lobus frontalis. Media atau tempat lobus temporalis. Posterior tempat batang otak bawah dan serebelum.

Meningen

Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan : 1) Durameter

Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat

3

sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial. Arteri-arteri meningen terletak pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural.

2) Arachnoid

Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen. Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu lapisan yang berhubungan dengan durameter dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut dengan piameter. Ruangan diantara membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah, arachnoid melubangi durameter, dengan membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di dalam sinus venous durameter. Bagian ini dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke daerah sinus venous. Arachnoid merupakan selaput tipis dan transparan. Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara arachnoid dan piameter terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges.

3) Piameter

Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.

4

Otak

a. Serebrum

Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara.

b. Serebelum

Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.

c. Batang otak

Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis.

Cairan Serebrospinalis

Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar 500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1 foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke aliran vena Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural5

absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction).

Tentorium

Tentorium serebri membagi rongga tengkorak menjadi ruang : Supratentorial yang berisi fosa kranii anterior Infratentorial yang berisi fosa kranii posterior

Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut insisura tentorial. Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk kontraksi pupil mata berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu.

3. KLASIFIKASI

Klasifikasi trauma kepala berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) :

1. Minor GCS 13-15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.6

2. Sedang 3. Berat GCS 3-8 Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. GCS 9-12 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

Klasifikasi berdasarkan morfologinya menurut mufti (Mufti, 2009), terdiri dari :

a.

Trauma kepala terbuka

Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala terbuka yaitu : Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid) Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga). Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung). Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung). Othorrhoe (liquor keluar dari telinga).

b.

Trauma kepala tertutup.

1. Komosio Cedera kepala ringan. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali. Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit. Tanpa kerusakan otak permanen.7

Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah. Disorientasi sementara. Tidak ada gejala sisa

2. Konkusio. Ada memar otak. Perdarahan kecil lokal/difusi. Perdarahan

Gejalanya : Gangguan kesadaran lebih lama. Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsiv. Gejala TIK meningkat. Amnesia lebih nyata

3. Hematoma epidural Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter. Lokasi tersering temporal dan frontale. Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus

Gejalanya : Adanya desak ruang. Penurunan kesadaran ringan saat kejadian. Penurunan kesadaran hebat. Koma. Nyeri kepala hebat. Reflek patologik positif

4. Hematoma subdural Perdarahan antara durameter dan arachnoid. Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis.8

Akut = gejala 24-48 jam, sering berhubungan dengan cedera otak dan medula oblongata, tekanan intrakranial meningkat, sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat. Subakut = berkembang 7-10 hari, konkusio agak lambat, adanya gejala TIK meningkat, kesadaran menurun. Kronis = perdarahan kecil terkumpul dan meluas, sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang, disfagia

5. Hematoma intrakranial. Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih. Selalu diikuti oleh konkusio

4. ETIOLOGI Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu : 1) Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil. 2) Jatuh. 3) Kecelakaan saat olahraga. 4) Cedera akibat kekerasan.

Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala terdiri dari : 1) Benda tajam. 2) Benda tumpul. 3) Peluru. 4) Kecelakaan lalu lintas

Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala yaitu: 1) Olah raga. 2) Jatuh. 3) Kecelakaan kenderaan bermotor.

9

5. PATOFISIOLOGI

Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

6. MANIFESTASI KLINIK

Menurut Hoffman (1996)dan Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah : Tanda dan gejala fisik : 1) Nyeri kepala. 2) Nausea

10

Tanda dan gejala kognitif : 1) Gangguan memori. 2) Gangguan perhatian dan berfikir kompleks Tanda dan gejala emosional/kepribadian : 1) Kecemasan. 2) Iritabilitas Gambaran klinis secara umum : Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal. Respon pupil mungkin lenyap. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan intracranial. Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK. Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

1) 2) 3) 4) 5) 6)

7. KOMPLIKASI

Menurut Engram. B (1998), komplikasi dari cedera kepala adalah :

1) 2) 3) 4)

Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK). Perdarahan. Kejang. Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea). 5) Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Menurut Mufti (2009), pemeriksaan diagnostik pada cedera kepala adalah : CT-Scan (dengan atau tanpa kontras).

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan otak. MRI (magnetig resonan imaging)11

Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. Serebral angiography

Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma . X-Ray tulang (fraktur), perubahan struktur garis

Mendeteksi perubahan struktur (perdarahan/edema), fragmen tulang. CSF, lumbal fungsi

Jika diduga perdarahan sub arachnoid Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial. Scree toxicologi

Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran. AGDA (analisa gas darah arteri)

Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.

9. PENATALAKSANAAN MEDIS Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan medis pada cedera kepala adalah :

1) Dexamethason/kalmethason. Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. 2) Therapy hiperventilasi. Untuk mengurangi vasodilatasi. 3) Pemberian analgetika. 4) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10%. 5) Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole. 6) Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan apapun kecuali hanya cairan infus dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.12

7) Pembedahan 8) Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dektosa 5% 8 jam pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan dektrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya apabila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrictube (25003000TKTP). 9) Pemberian protein tergantung nilai urea nitrogen.

13

KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

I.

Primary Survey

1. Airway Pengkajian :

Kaji adanya benda asing, sekret, sputum, cairan pada saluran pernapasan. Kaji apakah lidah jatuh ke belakang sehubungan dengan penurunan kesadaran.

Dx : Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b/d adanya benda asing

Tujuan : bersihan jalan nafas efektif, tidak ada sumbatan. Kriteria hasil : tidak ada penumpukan sputum/sekret pada saluran pernafasan. Intervensi dan rasional : 1) Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan nafas. R/ obstruktif dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme, atau masalah terhadap tube. 2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap jam) R/ pergerakan yang simetris dan suara nafas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum. 3) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan posisi miring sesuai indikasi. R/ untuk memudahkan ekpansi paru/ventilasi paru dan menurunkan kemungkinan adanya lidah jatuh yang dapat menyumbat jalan nafas. 4) Anjurkan pasien untuk melakukan pernapasan dalam jika pasien sadar. R/ mencegah atau menurunkan ateletaksis. 5) Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-suara nafas yang tidak normal. R/ untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti ateletaksis, obstruktif jalan nafas yang membahayakan oksigenasi. 6) Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. R/ pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.14

7) Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. R/ peningkatan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.

2. Breathing

Pengkajian :

Kaji frekuensi pernapasan. Kaji suara nafas. Apakah ada suara nafas tambahan seperti wheezing, ronchi, atau ralez. Kaji gerakan dada. Apakah simetris atau tidak. Kaji irama pernafasan. Apakah teratur atau tidak, dangkal atau dalam. Lakukan perkusi bila memungkinkan. Auskultasi suara nafas.

Dx : Tidak efektifnya pola nafas b/d depresi pada pusat nafas di otak.

Tujuan : Pola nafas kembali efektif. Ekspansi paru maksimal. Kriteria hasil : Frekuensi pernafasan 16-20 X/menit Tidak ada suara nafas tambahan. Irama pernaasan teratur.

Intervensi dan rasional :

1) Hitung pernapasan dalam 1 menit. R/ pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik. 2) Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi.

15

R/ pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas. 3) Cek ventilasi setiap waktu (15 menit) R/ adanya obstruktif dapa menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat. 4) Siapkan ambu bag tetap berada pada dekat pasien. R/ membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator. 5) Beri oksigen. R/ memaksimalkan oksigen darah dalam arteri dan mencegah hipoksia.

3. Circulation

Pengkajian :

Kaji TTV (suhu, nadi, tekanan darah) Kaji apakah ada sianosis. Kaji apakah ada perdarahan pada daerah cedera. Kaji jumlah perdarahan. Kaji apakah ada mual dan muntah

Dx : Gangguan perfusi jaringan otak b/d edema otak. Tujuan : perfusi jaringan otak memadai.

Kriteria hasil : Suhu 36-37,5 C TD 120/80 mmHg Nadi 60-100 X/menit

Intervensi dan rasional :

1) Monitorr TTV tiap 30 menit. R/ Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.16

2) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan. R/ Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan vena jugularis dan menghambat aliran darah otak,untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial. 3) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan. Pertahankan pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan. R/ Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial. 4) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. R/ kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. 5) Beri oksigen sesuai dengan kondisi pasien. R/ dapat menurunkan hipoksia otak. 6) Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar. R/ membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.

4. Disability

Pengkajian :

Pada pasien dengan trauma kepala sedang sampai berat dapat mengalami penurunan kesadaran. Namun pada pasien dengan cedera kepala sedang mengalami penurunan kesadaran kurang dari 24 jam (GCS 9-12), sedangkan pada pasien cedera kepala berat dapat mengalami koma (GCS 3- 8). Dilatasi pupil dapat terjadi akibat peningkatan tekanan atau menyebarnya bekuan darah pada otak sehingga mendesak otak tepatnya di korteks serebri pada lobus oksipital. Kejang dapat terjadi akibat kerusakan lobus frontalis dan juga akibat dari manifestasi klinis peningkatan TIK.

Dx : Resiko injury b/d penurunan kesadaran

Tujuan : mencegah terjadinya resiko injury sehubungan dengan penurunan kesadaran.

17

Kriteria hasil : Pasien tidak mengalami injury.

Intervensi dan rasional

1) Berikan posisi dengan kepala lebih tinggi. R/ Memonilisasi rangsangan yang dapat meningkatkan TIK 2) Kaji tanda-tanda penurunan kesadaran. R/ Menentukan tindakan keperawatan selanjutnya 3) Observasi TTV R/ Mengetahui keadaan pasien 4) Atur posisi pasien untuk menghindari kerusakan karena tekanan. R/ Perubahan posisi secara teratur menyebabkan penyebaran terhadap BB dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh 5) Beri bantuan untuk melakukan latihan gerak. R/ melakukan mobilisasi fisik dan mempertahankan kekuatan sendi

5. Exposure

Pengkajian :

Kaji adanya luka atau jejas pada daerah cedera. Kaji tanda-tanda infeksi pada daerah cedera terutama cedera terbuka

Dx : Resiko infeksi b/d adanya trauma terbuka. Tujuan : meminimalkan terjadinya infeksi Kriteria hasil : Tidak terjadinya infeksi. Tidak terjadi demam akibat infeksi. Mencegah syok septik. Intervensi dan rasioal : 1) Berikan perawatan antiseptic dan aseptic. Pertahankan teknik cuci tangan yang baik. R/ Cara pertama menghindari terjadinya infeksi nasokomial.18

2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan. R/ deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan melakukan tindakan segera. 3) Pantau suhu tubuh secara teratur. R/ dapat mengidentifikasi perkembangan sepsis. 4) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi. R/ menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman penyebab penyakit. 5) Berikan antibiotic sesuai indikasi R/ menurunkan perkembangan bakteri dan mencegah infeksi nasokomial. 6) Ambil bahan pemeriksaan sesuai indikasi. R/ memastikan adanya infeksi. II. Secondary survei 1) Kaji riwayat trauma. Mekanisme trauma. Posisi klien saat ditemukan. Memori. 2) Pengkajian head to toe. 3) Pantau tanda-tanda vital

EVALUASI

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Bersihan jalan napas kembali efektif, pasien terbebas dari aspirasi. Ekspansi paru maksimal, pola napas efektif. Tidak terdapat tanda-tanda syok. Tidak terjadi penurunan kesadaran/disorientasi. Perfusi jaringan serebral adekuat. Tanda-tanda vital kembali normal.

19

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

Cedera kepala merupakan komplikasi trauma yang serius. Agar memberikan terbaik untuk sembuh bagi penderita, anda harus terbiasa dengan anatomi penting pada kepala dan system susunan saraf pusat, dan memahami bagaimana penampilan klinis utama pada berbagai bagian tubuh. Hal terpenting pada penatalaksanaan cedera kepala adalah pemeriksaan yang cepat, penatalaksanaan jalan nafas yang baik, pencegah hipotensi, rujukan segera ke pusat trauma, dan pemeriksaan yang berulang-ulang. Juga pencatatan hasil pemeriksaan yang demikian penting untuk pengambilan keputusan dalam penatalaksanaan penderita.

2. Saran Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang akan datang, diantaranya : Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat mengetahui atau mengerti tentang rencana keperawatan pada pasien dengan trauma brain injury, pendokumentasian harus jelas dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan klien dan keluarga. Dalam rangka mengatasi masalah resiko injuri pada klien dengan trauma brain injury maka tugas perawat yang utama adalah sering mengobservasi akan kebutuhan klien yang mengalami trauma brain injury. Untuk perawat diharapkan mampu menciptakan hubungan yang harmonis dengan keluarga sehingga keluarga diharapkan mampu membantu dan memotivasi klien dalam proses penyembuhan.

20

21