TRANSFORMASI BUDAYA: UPACARA ADAT TOTOKNG DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Hendrikus Kurniawan NIM: 044314001 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TRANSFORMASI BUDAYA: UPACARA ADAT TOTOKNG
DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
Hendrikus Kurniawan
NIM: 044314001
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
iv
MOTTO
“Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?”
Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada”
(Paulo Cuelho, dalam Sang Alkhemis).
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Sebuah kado kecil ini aku persembahkan kepada:
Papaku:
Y.V. Madarius
Mamaku:
Yulita Krisnah
Adik-adiku:
Rosalina (Almarhum)
Netty Widiastuty
Winarsih Ratna Sari
Irma suryani
Della Ratu
“Terima kasih atas kasih sayang, dorongan, nasihat, motivasi
dan doanya Tuhan Yesus Memberkati, Aleluya Amin…”
Cahaya Hatiku:
Paulina Rete
“Ma’ Kasih atas kasih sayangmu yang begitu dalam padaku,
sehingga membuat hidup ini menjadi lebih bermakna, bagi
mewujudkan cita-cita ini...”
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali seperti yang telah disebutkan
dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya-
karya ilmiah.
Yogyakarta, 25 Juni 2010
Penulis,
Hendrikus Kurniawan
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Hendrikus Kurniawan
Nomor Mahasiswa : 044314001
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: TRANSFORMASI BUDAYA : UPACARA ADAT TOTOKNG DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN. Beserta perangkat yang perlu (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 13 Juli 2010 Yang menyatakan Hendrikus Kurniawan
vii
ABSTRAK
Hendrikus Kurniawan UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam Masyarakat Dayak Kanayatn”, ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan budaya Dayak Kanayatn yang dari hari ke hari semakin dilupakan dan bahkan hampir punah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan awal kemunculan Upacara Adat Totokng, dinamika, makna atau simbol dan sejauh mana fungsinya bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Lebih dari itu, untuk mencari kausalitas munculnya ketegangan budaya sebagai bentuk transformasi budaya dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Secara khusus, penelitian ini menggunakan sumber lisan atau metode wawancara. Selanjutnya, sebagai data-data pendukung menggunakan sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian dan majalah. Sementara dalam upaya untuk memahami masyarakat Kanayatn dan Upacara Adat Totokng menggunakan teori Emile Durkheim tentang pilar-pilar utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred (yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas. Sedangkan, untuk melihat simbol-simbol dalam Upacara Adat Totokng menggunakan metode thick description atau anthropology interpretative milik Clifford Geertz. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, upacara adat totokng merupakan bentuk wujud masyarakat Dayak Kanayatn untuk mengaktualisasi diri kepada adat istiadat, leluhur dan Sang Penciptanya Jubata (Tuhan). Upacara Adat totokng melambangkan sikap “pertobatan” si pengayau”, sebagai upaya memperoleh jalan keselamatan. Selain itu, dengan melaksanakan Upacara Adat Totokng diyakini akan mendatangkan berkah, terutama di bidang pertanian serta untuk menghindari berbagai musibah. Namun demikian dalam perkembangannya, Upacara Adat Totokng telah mengalami transformasi budaya yang signifikan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan munculnya transformasi budaya dalam Upacara Adat Totokng yaitu; Perjanjian Tumbang Anoi 1894, Masuknya Ajaran Agama Katolik dan Modernisasi Upacara Adat Totokng. Kata kunci: Upacara Adat Totokng, masyarakat Dayak Kanayatn dan
Transformasi budaya.
viii
ABSTRACT
Hendrikus Kurniawan SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
Researching which tittled “Culture Transformation: Upacara Adat Totokng in Dayak Kanayatn Society”, emerged from concerning of Dayak Kanayatn’s culture which abandoned day by day and no longer existed. This research aimed to describe the appear of Upacara Adat Totokng, the dynamics, the meaning or symbol and the founction of Upacara Adat Totokng for the Dayak Kanayatn society. More than that to find the causality the emerge of culture tension as a form of culture transformation in Dayak Kanayatn society.
This research used interview methods. The supporting data used written sources such as book, research report and magazine. Meanwhile in understanding Kanayatn society and Upacara Adat Totokng used Emile Durkheim’s theory about main pilars supporting society which combined internaly. They were the sacred, clarification, ritus and solidarity. On the other hand to figure out the symbols in Upacara Adat Totokng used thick description method or anthropology intepretative by Clifford Geertz.
The results of the research showed that Upacara Adat Totokng was a form of Dayak Kanayatn society to actualize themselves to their ancestors, culture and God. Upacara Adat Totokng symbolized repented of “si pengayau” as a way to get safety. The process of doing Upacara Adat Totokng believed could give blessing, especially in farming and avoided many kinds of disaster. In the development, Upacara Adat Totokng had been experienced culture transformation which were significance. At least there were three things which emerged culture transformation in Upacara Adat Totokng. There were: Tumbang Anoi agreement in 1894, the enter of Catholic doctrine and the modernization of Upacara Adat Totokng. Key words: Upacara Adat Totokng, Dayak Kanayatn society and culture
transformation.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kasih atas berkat dan bimbingan
tangannya kasihNya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi
yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam
Masyarakat Dayak Kanayatn”.
Tersusunya skripsi ini tidak terlepas dari campuran tangan dan bantuan
dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas semua
bantuannya penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Pada
kesempatan ini penulis dengan penuh ketulusan hati menghaturkan limpah terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra.
2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu
Nina, Monik, Vina Rete dan masih banyak lagi yang lainnya.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna karena
terbatasanya data-data yang diperoleh. Oleh karena itu, penulis dengan senang
hati dan penuh keterbukaan, mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut.
Yogyakarta, 25 Juni 2010
Penulis,
Hendrikus Kurniawan
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………. iii
HALAMAN MOTTO………………………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………. …. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………....... vi
ABSTRAK……………………………………………………………………… vii
ABSTRACT……………………………………………………………………. vii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………... … xii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….. …. 1
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………. 8 1.3 Tujuan Penelitian.…………………………………………………….. 8 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………. 9 1.5 Tinjauan Pustaka………………………………………………………9 1.6 Landasan Teori………………………………………………………..12 1.7 Metode Penelitian……………………………………………………..14 1.8 Sistematika Penulisan………………………………………………... 16
BAB II MASYARAKAT SUKU DAYAK KANAYATN…………………… 17
2.1 Lokasi Suku Dayak Kanayatn…………………………………………17 2.2 Asal Usul…………………………………………………………… 18 2.2.1 Penciptaan yang dilakukan oleh tiga pribadi Jubata (Tuhan). 18
2.2.2 Alam Semesta Yang Berpusat Pada Pohon Asam Besar………………………………………………………… 19
2.3 Sistem Kepercayaan……………………………………………… 20 2.3.1 Pandangan Terhadap Hidup Manusia……………………… 20 2.3.2 Pandangan Tentang Kematian……………………………… 21
2.4 Sistem Pemerintahan……………………………………………… 23 2.5 Sistem Perekonomian……………………………………………… 24
3.1 Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn......…………….................................................................. 29
3.1.1 Tradisi Mengayau …………………………………………. 29 3.1.2 Latar Belakang Adat Mengayau……………………………. 30
3.1.3 Tujuan Mengayau……………............................................... 31 3.2 Prosesi Upacara Adat Totokng……………...................................... 34
Suku Dayak1 identik dengan masyarakat yang mendiami pulau
Kalimantan, sampai saat ini masih memiliki adat istiadat yang kuat. Secara
kompleks, adat istiadat tersebut sangat mempengaruhi pola pikir atau pandangan
hidup masyarakat suku Dayak dalam setiap kehidupannya. Dalam adat istiadat
tercakup sistem nilai budaya, norma dan hukum. Singkatnya adat istiadat adalah
sistem budaya.2
Sistem budaya yang tercermin dalam adat istiadat masyarakat Dayak
memiliki hubungan yang sangat erat dengan tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan
ungkapan ekspresi fisik-mental dalam suatu kebudayaan yang disebarkan secara
lisan dan diwariskan secara turun temurun oleh suatu masyarakat.3 Dengan
1Berdasarkan hasil kesepakatan dalam Seminar Kebudayaan Dayak yang
bertemakan “Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi” antar etnis Dayak se-Kalimantan tahun 1992 di Pontianak, Kalimantan Barat. Maka, secara resmi nama atau istilah “Dayak” mengalami perubahan di mana sebelumnya, Dayak, Dyak, Daya’, kemudian lebih dipertegaskan menjadi “Dayak”. Untuk lebih jelasnya lihat, Jhon Bamba, 2008. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku Dayak Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakology,. hlm. 9-10, Stepanus Djuweng,. Dayak, Dyak, Daya’, Dan Daya (Cermin Kekaburan Sebuah Identitas) dalam Kalimantan Review No.I/Th.I, Januari-Juni, 1992, dan Edi Petebang, 2003. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.
2Paulus Yusnono, 1997. “Peranan Strategis Yang Semestinya Diperankan Dewan Adat” dalam Paulus Florus dkk (ed)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 106.
3Albert Rufinus, 1997. “Tradisi Dalam Tata Upacara Adat Pada Teknologi Pertanian Asli Masyarakat Dayak Kanayatn” dalam Nico Andasputra &
2
demikian, tradisi lisan sangat erat hubungannya dengan cara pandang atau
gagasan dalam menuntun dan menjiwai pedoman kehidupan masyarakat dalam
lingkungan beserta kebudayaannya.
Tradisi lisan juga hidup pada masyarakat Dayak Kanayatn. Adapun jenis-
jenis tradisi lisan yang ditemukan oleh para peneliti lembaga Dayak (Institut
Dayakology) meliputi dua kelompok yaitu: (1) yang bercorak cerita seperti cerita
biasa tales, mitos, legenda, epik; dan (2) yang bukan bercorak cerita seperti
ungkapan, nyanyian, puisi lisan, peraturan/ upacara adat.
1. Bercorak Cerita
a) Singara yaitu jenis cerita rakyat, seperti cerita tentang binatang, pelipur
lara percintaan, dan cerita jenaka.
b) Gesah yaitu cerita yang berhubungan dengan kepercayaan lama,
semisalnya asal usul orang Dayak Bukit (Kanayatn).
c) Osolant yaitu kisah atau tentang asal usul keturunan (sisilah). Osolant dan
Gesah memiliki hubungan yang sangat erat. Sehingga, dalam menjelaskan
tentang asal usul digunakan arti yang sama atau secara bolak-balik oleh
masyarakat.
d) Batimang yaitu cerita yang dibacakan oleh orang tua saat anaknya
beranjak akan tidur.
2. Bercorak Non Cerita
a) Renyah, merupakan sebuah nyanyian atau pantun yang dilantunkan.
Semisalnya, berbentuk sindiran atau berupa nasihat. Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59.
3
b) Murat’an, biasanya berupa doa agar seseorang tidak tertimpa malapetaka.
c) Gawe, merupakan upacara atau pesta ucapan syukur atau menandai awal
suatu kehidupan baru, seperti, naik dango (pasca panen), gawe balak (awal
masa remaja) dan gawe panganten (menempuh hidup baru berkeluarga).
d) Liatn, merupakan upacara asli adat Dayak Kanayatn yang memiliki
kekuatan magis dan sakral. Liatn biasanya berbentuk tarian, doa dan prosa
berirama. Upacara adat ini biasanya dilaksanakan ketika adanya
pengobatan, permohonan niat dan sebagainya.
e) Totokng, merupakan upacara adat besar sebagai penerimaan dan
pemeliharaan kepala hasil mengayau.4
Berdasarkan pengelompokkan di atas, upacara adat totokng tergolong ke
dalam tradisi lisan yang bercorak non cerita. Upacara adat totokng adalah ritual
yang dilakukan oleh nenek moyang suku Dayak pada zaman dahulu setelah
melakukan kegiatan mengayau. Mengayau artinya mencari kepala atau memotong
kepala musuh. Dalam tradisi masyarakat Dayak Lamandau dan Delang di
Kalimantan Tengah, ”mengayau” berasal dari kata “kayau” atau “kayo” yang
artinya mencari. Mengayau artinya mencari kepala; “ngayau” adalah orang yang
mencari kepala. Kata “ngayau”, bisa juga diartikan dengan orang yang mencari
kepala atau memotong kepala musuh.5 Menurut masyarakat Dayak Kanayatn, kata
“mengayau” mempunyai 3 komponen makna. “Kayo” artinya mencari, “ngayo”
4Ibid., hlm. 98-99. Lihat juga Stepanus Djuweng dkk (ed), 2003. Tradisi
Lisan Dayak: Yang Tergusur Dan Terlupakan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59-66.
Kanisius., hlm. 35. 22Suhartono W. Pranoto, 2010. Teori dan Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Graha Ilmu., hlm. 11.
15
(kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi: analisis & sintesis dan
penulisan.23
Berdasarkan metode penelitian di atas, pemilihan topik sudah ditentukan
yaitu upacara adat totokng dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Setelah topik
penelitian berhasil ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah pengumpulan
sumber. Penelitian ini menggunakan sumber lisan dan tertulis. Sumber lisan
dilakukan dengan metode wawancara. Metode wawancara ini dilakukan dengan
mewawancarai kepala adat, biarawan dan mantan aktivis Institut Dayakology.
Wawancara tersebut dilakukan di Kecamatan Menyuke, Sengah Temila dan
Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sedangkan, sumber sekunder
diperoleh dengan studi pustaka, seperti, buku-buku, laporan penelitian dan artikel-
artikel di Institut Dayakology dan dari internet.
Setelah sumber-sumber itu terkumpul, selanjutnya dilakukan pemilahan
yang bertujuan untuk melihat mana-mana saja sumber yang layak dipakai sebagai
bahan kajian penelitian. Kemudian, untuk menguji kebenaran dan akurasi atau
ketepatan sumber-sumber tersebut menggunakan cara kritik ekstern dan intern
atau yang lebih dikenal dengan “metode verifikasi” (keabsahan sumber).
Tahapan selanjutnya, setelah sumber-sumber tersebut diuji tingkat
kebenarannya (validitas), kemudian dikumpulkan menjadi satu dan
dinterpretasikan untuk menemukan kesimpulan. Setelah sumber-sumber tersebut
selesai diintrepretasikan, kemudian sampailah pada tahapan terakhir yaitu, metode
penulisan.
23Kuntowijoyo, 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarata: Bentang., hlm. 91.
16
1.8 Sistematika Penulisan
Hasil Penelitian ini dijabarkan ke dalam tulisan dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan
Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II berisikan Masyarakat Suku Dayak Kanayatn, yang akan diuraikan
dalam beberapa sub bab; Lokasi Suku Dayak Kanayatn, Asal Usul, Sistem
Kepercayaan, Sistem Pemerintahan, Sistem Perekonomian, Sistem Kekerabatan
dan Adat Perkawinan.
Bab III berisikan Upacara Adat Totokng, yang akan diuraikan dalam
beberapa sub bab; Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn,
Prosesi Upacara Adat Totokng dan Simbolisme Upacara Adat Totokng.
Bab IV berisikan Transformasi Upacara Adat Totokng, yang akan
diuraikan dalam beberapa sub bab yakni; Perjanjian Tumbang Anoi 1894,
Pengkristenan Orang Dayak dan Modernisasi Upacara adat Totokng.
Bab V berisikan Fungsi Upacara Adat Totokng Bagi Masyarakat Dayak
Kanayatn, yang akan diuraikan dalam beberapa sub bab yakni; Konsep Kosmis,
Penghormatan Kepada Roh Leluhur, Melindungi Pertanian dan Membangun
Identitas.
Bab VI Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
17
BAB II
MASYARAKAT SUKU DAYAK KANAYATN
2.1 Lokasi Suku Dayak Kanayatn
Suku Dayak Kanayatn24 merupakan salah satu sub-suku Dayak yang
terdapat di Propinsi Kalimantan Barat. Dayak Kanayatn biasanya dikenal sebagai
orang Dayak Ba’ahe dan Banana’. Sebutan ini disesuaikan karena sebagian besar
masyarakat suku Dayak Kanayatn berdialek menggunakan bahasa Ba’ahe dan
Banana’.
Secara garis besar tempat pemukiman suku Dayak Kanayatn tersebar luas
di dua kabupaten yaitu, Landak dan Pontianak. Di kabupaten Landak terdapat di
kecamatan Karangan, Menjalin, Menyuke, Menyuke Hulu, Meranti, Air Besar,
Sengah Temila, Toho dan Mandor. Sementara di kabupaten Pontianak terdapat di
kecamatan Anjungan, Toho dan Sungai Ambawang.25
2.2 Asal Usul
Asal usul masyarakat Dayak Kanayatn, secara terperinci terungkap dalam
tradisi lisannya. Dari tradisi lisan tersebut dengan jelas dikisahkan tentang
24Mengenai kata “Kanayatn”, menurut penuturan Maniamas Midden
(Kepala Adat Binua Talaga, Simpang Aur, Kec. Sengah Temila Kab. Landak), bahwa sebelumnya tidak ada satu pun orang Dayak Kanayatn yang mengatakan dirinya “kanayatn”. Mereka hanya menyebut dirinya Dayak Bukit. Kata “Kanayatn” mulai akrab ditelinga orang-orang Dayak Kanayatn pada tahun 1980-an. Persis pada saat diadakannya upacara adat naik dango di Anjungan, kabupaten Pontianak. Untuk lebih jelasnya lihat Jhon Bamba, 2008. Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.
25Jhon Bamba, 2008. Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 37.
17
18
penciptaan alam semesta dan manusia. Ada dua versi yang berbeda tentang kisah
penciptaan yakni: kisah penciptaan yang dilakukan oleh tiga Jubata (Tuhan) dan
Alam semesta yang berpusat pada Pohon Asam Besar (Pusat Ai’ Pauh Janggi).
2.2.1 Penciptaan Yang Dilakukan Oleh Tiga Pribadi Jubata (Tuhan)
Ketiga pribadi Jubata yang turut andil dalam menciptakan dunia dan
manusia itu adalah Jubata Ne’ Jubata Panitah, Jubata Ne’ Patampa atau Jubata
Ne’ Panjaji dan Jubata Ne’ Pangedokng. Menurut kisah penciptaan tersebut
ketiga nama pribadi untuk Jubata (Tuhan) ini bukan berarti ada tiga Jubata,
melainkan hanya satu pribadi Pencipta. Dari sabda atau titah Jubata Ne’ Panitah
(yang betitah) ditempalah manusia dari tanah liat segambar dengan diri-Nya.26
Pekerjaan menempa ini dilakukan oleh Jubata Ne’ Patampa. Setelah
proses penciptaan selesai, Jubata Ne’ Panjaji menjadikannya persis dengan
gambaran Jubata (Sang Pencipta). Namun hasil karya Jubata Ne’ Pajanji dan Ne’
Patampa belum sempurna karena manusia tersebut belum bernapas. Untuk
menyempurnakan manusia tersebut Jubata Ne’ Pangedokng memberikan nafas,
sehingga hidup. Dari akhir penciptaan ini terciptalah sepasang manusia yaitu Ne’
Adam dan Ne’ Siti Hawa.27
26Nico Andasputra dan Vincentius Julipin, 1997. “Orang Kanayatnkah
atau Orang Dayak Bukit?” dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 3.
27Ibid., hlm. 3-4.
19
2.2.2 Alam Semesta Yang Berpusat Pada Pohon Asam Besar
Menurut kisahnya, pohon asam besar ini adalah pohon kehidupan sumber
segala sumber penciptaan dan kepada-Nya semua ciptaan akan kembali. Dari
kisah penciptaan tersebut memiliki peranan yang penting dalam kejadian alam
semesta dan kisah penciptaan manusia adalah perkawinan kosmis. Kisah
penciptaan tersebut sebagai berikut:
“Kulikng langit dua putar tanah’ Sino Nyandong dan Sino Nyoba. Memperanakan Si Nyati anak Balo Bulatn, Tapancar anak matahari Memperanakan Iro-iro dua angin-angin Memperanakan Uang-uang dua Gantong Tali Memperanakan Tukang Nange dua Malaekat Memperanakan Sumarakng Ai’ sumarakng sunge Memperanakan Tunggur batukng dua mara puhutn Memperanakan Antayut dua Barujut Memperanakan Popo’ dua rusuk”.28
Terjemahan: Kubah langit dan bulan bumi, Sino Nyandong dan Sino Nyoba Memperanakan Si Nyati puteri bulan dan terpancar putera matahari Memperanakan Kacau Balau dan Badai Memperanakan Udara Mengawang dan Embun Menggantung Memperanakan Pandai besi dan Sang Dewi Memperanakan Segala air dan segala sungai
28Fridolin Ukur, 1994. “Makna Religi Dari Alam Sekitar Dalam
Kebudayaan Dayak” dalam Paulus Florus dkk (ed)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Institut Dayakology., hlm. 6-7
20
Memperanakan Bambu dan perpohonan Memperanakan Tumbuhan merambat dan umbi-umbian Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga.
Kemudian berdasarkan penuturan sejarah yang lain dijelaskan, bahwa
Kesejukan Lumpur itu adalah isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami.
Mereka memperanakkan sepasang manusia bernama Ne’ Galeber dan istrinya
bernama Ne’ Anteber. Sepasang insan inilah yang dianggap sebagai nenek
moyang suku Dayak Kanayatn.29
2.3 Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang akan dibahas pada bagian ini adalah pandangan
suku Dayak Kanayatn terhadap hidup manusia dan pandangan terhadap kematian.
2.3.1 Pandangan Terhadap Hidup Manusia
Dalam pandangan hidupnya, suku Dayak Kanayatn sangat percaya dan
patuh terhadap aturan-aturan yang dapat mengatasi segala hal yang terjadi di alam
semesta ini. Aturan alam raya ini diyakini bersifat stabil, selaras dan kekal serta
menentukan kemuliaan dan kebahagian bagi manusia. Di mana di dalamnya
terdapat pola dasar yang tetap dan tertentu, yang memberikan makna kepada
segala apa yang ada. Oleh sebab itu, perbuatan manusia harus disesuaikan dengan
aturan alam raya tersebut.
Manusia yang hidup selaras dan patuh terhadap aturan-aturan akan
mencapai kebahagiaan. Keselarasan tingkah laku manusia dengan aturan yang
29Ibid.
21
universal itu akan mengangkat hidup manusia menjadi otentik dan bernilai
luhur.30 Oleh sebab itu, manusia harus menaruh harapan kepada Penciptanya
Jubata (Tuhan).
Kehidupan merupakan proses yang telah diatur oleh Jubata (Sang
Pencipta). Manusia itu harus melaksanakan aturan-aturan yang bersifat universal
lewat ketaaatannya pada adat istiadat. Dengan demikian, ia akan dicintai oleh
penguasa alam semesta, sedangkan bagi mereka yang tidak taat akan dihukum
dalam rupa penyakit, bencana alam, kelaparan dan yang lainnya.
Dayak Kanayatn percaya bahwa manusia memiliki jiwa dan roh keduanya
bersifat kekal. Sumangat (jiwa) merupakan kekuatan inti badan atau tubuh.
Dengan jiwa, manusia dapat berpikir dan merasa dan bertindak. Sedangkan, roh
manusia setelah mati akan kembali ke Subayatn (alam baka).31
2.3.2 Pandangan Tentang Kematian
Kematian merupakan suatu proses yang bersifat alamiah. Bagi masyarakat
Dayak Kanayatn peristiwa kematian adalah hal yang wajar, asalkan bukan
kecelakaan, bunuh diri dan mati melahirkan. Dalam konteks ini, manusia harus
bisa memahami dirinya sebagai unsur alamiah yang berasal dari alam dan akan
kembali ke Subayatn (surga).
30Dihi Dillen, 1993, “Alam Kehidupan dan Kematian Bagi Suku Dayak Kanayatn”, dalam Majalah Kalimantan Review (KR), No. 4/Th. II/ Mei-Agustus, hlm. 33.
31Dihi Dillen dan Vincentius, 1997. “Alam Kehidupan Dan Kematian Menurut Dayak Kanayatn” dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontiank: Institut Dayakology., hlm. 53.
22
Menurut kepercayaan suku Dayak Kanayatn, roh dan jiwa orang yang
telah meninggal akan kembali ke Subayatn. Oleh sebab itu, orang yang telah
meninggal harus dikuburkan dengan cara yang pantas. Apabila tidak dikuburkan
dengan cara yang pantas, maka jiwa dan roh orang yang telah meninggal diyakini
akan menjadi pidara (hantu).32
Peristiwa kematian dipercayai sebagai peralihan dari dunia bawah (dunia
manusia) ke dunia atas (dunia abadi tempat keilahian). Kematian adalah awal dari
taraf hidup yang serba baru. Oleh karena itu, selayaknya diadakan upacara yang
sebaik mungkin untuk mengantarkan jasad orang yang telah meninggal ke tempat
yang baru, ke martabat hidup yang baik dengan mengembalikannnya kepada
Jubata (Tuhan). Dalam hal ini, jasad orang yang telah meninggal pada saat
upacara pemakaman diberi pesan berupa nasihat, petunjuk-petunjuk yang harus
diikuti supaya ia tidak tersesat menuju ke tempatnya semula.33
Sebelum sampai pada puncak upacara pemakaman, biasanya jasad orang
yang meninggal diberi sejumlah perangkat adat, seperti makanan, minuman,
pakaian dan alat-alat pertanian sebagai lambang bekal hidup abadi. Dalam hal ini,
yang menjadi inti kepercayaan adalah jiwa dan roh manusia yang berasal dari
kekekalan untuk hidup selama-lamanya dan kembali ke Jubata (Tuhan).34
Masyarakat Dayak Kanayatn tidak mengenal sistem pemerintahan seperti
yang diterapkan di Negara Indonesia atau beberapa negara lainnya di dunia.
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, sistem pemerintahan mereka dibagi dalam
beberapa wilayah yang di sebut binua.35 Setiap binua tersebut biasanya dipimpin
oleh Timanggong (Kepala Adat), yang berperan sebagai abdi bagi seluruh
masyarakat.
Dalam suatu wilayah Katimanggongan ada yang disebut radakng
(kampung, desa dan dusun). Semua persoalan yang menyangkut keamanan
radakng beserta peraturan yang berlaku ditangani oleh Timanggong setelah
mencapai kesepakatan melalui baharump (musyawarah). Kemudian di bawah
Timanggong terdapat Pasirah (penasihat adat) yang berperan memberi saran atau
petunjuk kepada Timanggong, sebelum memutuskan segala sesuatu demi
kepentingan bersama.
Namun demikian, sejak pemerintahan Orde Baru menetapkan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1979, sistem pemerintahan suku Dayak Kanayatn yang
seperti ini menyatu ke dalam pemerintahan yang diterapkan. Dengan
ditetapkannya undang-undang tersebut, membuat peranan Timanggong selaku
pemimpin masyarakat dan adat menjadi lemah, karena setiap keputusan atau
35Yonarius Kompu. 2003. Sistem Perladangan Daur Ulang Dayak
Kanayatn Sebagai Upaya Mengembalikan Alam Pada Citranya (Tinjauan Kultural Teologis)., Malang: (Skripsi ) Sekolah Tinggi Filsafat Teologi., hlm. 17.
24
kebijkakan yang diambil kebanyakan berdasarkan pertimbangan dari kepala
desa.36
2.5 Sistem Perekonomian
Dalam dunia perekonomian, orang Dayak pada umumnya di Kalimantan
Barat membiarkan perekonomian mereka diatur oleh sekelompok suku lain.37 Hal
ini juga berlaku untuk masyarakat Dayak Kanayatn. Sistem perekonomian yang
dimaksudkan di sini adalah mata pencaharian pokok. Mata pencaharian pokok
sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn adalah petani karet.
Sistem pertanian suku Dayak Kanayatn dilakukan secara terpadu. Selain
sebagai petani karet, mereka pun memelihara berbagai macam hewan ternak,
seperti ayam, babi, sapi, itik dan yang lainnya. Hasil peternakan ini selain
digunakan dalam berbagai upacara adat, juga dikonsumsi sendiri dan dijual untuk
membeli kebutuhan hidup.
Selain bertani dan beternak, untuk menunjang perekonomiannya mereka
juga memanfaatkan hasil hutan seperti kayu, rotan, damar dan madu. Hasil kayu
biasanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Namun dengan masuknya orang-
36Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa,
lembaga-lembaga adat berada dibawah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan kepala desa merangkap sebagai ketua. Keberadaan Lembaga-Lembaga Adat atau Lembaga Kemasyarakatan dalam Undang-Undang 5 Tahun 1979, pasal 17 ayat (1) dipertegaskan ”Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawarahan/permufakatan yang keanggotaannya yang terdiri atas kepala dusun, Pemimpin Lembaga Masyarakat dan Pemuka Masyarakat di desa yang bersangkutan”. Lihat, http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu-5-1979.htm. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
37P. Florus, 1995, “Orang Dayak dan Bisns”, dalam Majalah Kalimantan Review (KR), No. 01/Th. IV April Juni, hlm. 11.
25
orang luar yang mengeksploitasi hutan dengan mengambil kayu, maka membuat
masyarakat suku Dayak Kanayatn menjadi pebisnis kayu.
Pertambangan rakyat merupakan sektor ekonomi lain yang cukup penting.
Lewat pertambangan ini mereka memperoleh emas yang dapat secara langsung
dijual ke pasar-pasar lokal ataupun kepada penadah. Namun, sektor pertambangan
ini semakin hari semakin tersingkir dengan hadirnya proyek-proyek pertambangan
yang berskala besar dengan ditunjang alat-alat modern.
Masuknya Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Perkebunan
dan pertambangan yang sifatnya berskala besar ternyata telah menggeser sumber-
sumber perekonomian asli suku Dayak Kanayatn.38 Oleh karena itu, mereka
banyak yang menjadi buruh seperti pada perkebunan kelapa sawit, perusahaan
swasta maupun negeri dan yang lainnya.
2.6 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Dayak Kanayatn dikenal dengan istilah
page waris (keturunan keluarga).39 Secara rinci hubungan kekerabatannya sebagai
berikut:
1) Sa’ pusat atau tatak pusat, 2) Sakadiriatn atau pupu sakali, 3) Dua madi’ enek atau pupu dua kali 4) Dua madi’ saket atau pupu tiga kali 5) Duduk dantar atau pupu ampat kali 6) Dantar page atau pupu dua kali 7) Page atau pupu enam kali.40
Terjemahan: 1) Satu ibu satu bapak (kakak-adik). 2) Satu Kakak 3) Kakek kakak-adik. 4) Nenek sepupu sekali atau satu kakek uyut 5) Antara kakek sepupu dua kali 6) Kedua kakeknya satu kakek sudah uyut 7) Kedua kakeknya sudah dantar page.
Hubungan kekerabatan di atas sangat berperan penting dalam kehidupan
masyarakat Dayak Kanayatn. Semisalnya, apabila terjadi perkara dengan pihak
lain, maka orang yang bersengketa meminta page waris (keturunan keluarga)
untuk mendengar atau memecahkan perkaranya. Sistem kekerabatan ini juga
berguna untuk menentukan pembagian warisan dan hubungan perkawinan.
Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Dayak Kanayatn tidak
mengenal adanya warisan yang jatuh ke pihak anak laki-laki atau perempuan.
Sistem kekerabatan ini berdasarkan keseimbangan keduanya (ambilineal).41
Semua anak dalam satu keluarga mendapatkan warisan, tetapi biasanya anak
tertua dan yang bungsu mendapat warisan lebih besar.
2.7 Adat Perkawinan
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, adat perkawinan dapat dilakukan
apabila dari hasil baosol (menyelusuri asal-usul) dalam kegiatan bakomo’
(musywarah keluarga) kedua belah pihak tidak ditemukan garis waris (keturunan,
keluarga dan kerabat).42
Perkawinan antar keluarga dapat dilakukan apabila hubungan keluarga
sudah mencapai garis keturunan kedelapan. Apabila perkawinan masih berada
41Ibid., hlm. 54. 42Ibid.
27
pada garis keturunan yang ketujuh, yaitu page atau sepupu enam kali maka kedua
belah pihak akan dikenai sanksi adat pangarus.43
Namun garis keturunan yang paling kuat tidak boleh melangsungkan
perkawinan adalah garis ketiga, dua madi’ ene’ (sepupu dua kali). Untuk garis
keturunan keempat sampai dengan ketujuh, di masa kini sudah terlihat rapuh.
Walapun bisa melangsung adat perkawinan, tetapi kedua belah pihak tetap akan
dikenakan sanksi.
43Stepanus Djuweng (ed)., op.cit., hlm. 55.
28
BAB III
UPACARA ADAT TOTOKNG
Tradisi mengayau atau memburu kepala antar sub suku dalam masyarakat
Dayak, kerap membuat orang-orang Dayak mendapat stigmanisasi negatif.
Pandangan tersebut sudah berkembang sejak zaman Pemerintahan Kolonial
Hindia Belanda sampai dengan pemerintahan Orde Baru. Tradisi adat mengayau
terus di cap negatif sebagai identitas masyarakat suku Dayak.44 Dalam hal ini,
orang Dayak cenderung dipandang sebagai suku yang kejam, bengis, tidak
beradab, kotor, berekor, pemakan manusia (kanibal) dan tidak
berperikemanusiaan. Dengan kata lain, “mengayau” adalah simbol
ketidakmanusiawinya suku Dayak.
Pada dasarnya pandangan tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta
yang sebenarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Anton Nieuwenhuis
(1894) dalam pengalamanya memasuki kampung-kampung di pedalaman suku
Dayak, ia menjumpai orang-orang Dayak bersikap lembut dan cinta damai.45
Sehubungan dengan hal di atas, apabila dilihat dari kaca mata orang
Dayak, tentu saja adat mengayau bukanlah hanya semata-mata bertujuan untuk
memburu kepala, tetapi melampaui hal itu. Pada konteks ini, adat mengayau
tentunya telah disesuaikan dengan adat dan tradisi yang berlaku. Dengan
44Yekti Maunati, 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi Dan Politik
Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS., hlm. 8. 45Anton Nieuwenhuis. 1994. Di Pedalaman Borneo. Perjalanan Dari
Pontianak Ke Samarinda 1894. Jakarta: PT. Gramedia., hlm. xx.
28
29
demikian, yang dapat memahami dan merasakannya hanyalah orang Dayak
sendiri. Lebih dari itu, orang Dayak ingin menunjukan sikap kepatuhan mereka
terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh leluhurnya (nenek moyang).
3.1 Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn
3.1.1. Tradisi Mengayau
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, tradisi mengayau itu bisa ditemukan
dalam cerita rakyat Ne’ Baruang Kulub tentang asal mula padi. Dalam cerita
rakyat tersebut ada terselip nama seorang tokoh bernama Maniamas yang konon
suka mengayau. Alkisahnya adalah sebagai berikut:
“Suatu hari, Maniamas yang sedang mencari anak kayau kelelahan. Ia beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda bergelantungan di pohon bambu tak jauh dari tempatnya. Setelah berkenalan, rupanya nama pemuda itu rupanya Ne’ Jaek. Ia adalah anak Jubata (Tuhan). Ne’ Jaek pun tinggal di rumah Maniamas. Hari berlalu tak terasa. Ne’ Jaek akhirnya menikahi Dara Amutn, adik perempuan Maniamas. Mereka tinggal di rumah panjang. Sementara itu kegiatan kayau-mengayau terus berlangsung. Setiap hari para pemudanya pergi mengayau, kecuali Ne’ Jaek. Suatu hari Maniamas membujuk Ne’ Jaek untuk ikut pergi mengayau. Rupanya Maniamas benci dengan sikap Ne’ Jaek yang yang ketika pertama berjumpa menuduhnya anak haram. Maniamas membujuk Ne’ Jaek pergi mengayau agar Ne’ Jaek mati dibunuh anak kayau (pengayau). Ne’ Jaek pun setuju. Setelah semua pemuda kampung itu berkumpul, disertai dengan tariu, berangkatlah mereka mengayau. Setelah mengayau, Ne, Jaek tidak mendapatkan kayoan (kepala). Maka sesampai di rumah ia diusir istrinya karena ia dianggap bukan lelaki jantan dan tidak bertanggung jawab”.46 Dari cerita lisan di atas, dapat diketahui bahwa motif dari munculnya
praktek pengayauan (mencari kepala) adalah sebagai salah bentuk balas dendam
46Maran Marcellinus Aseng, 1997. “Memahami Nilai-Nilai Sastra Lisan
Yang Membentuk Budaya Dayak Bukit” dalam Nico Andasputra & Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology,. hlm. 106-107.
30
yang melambangkan kejantanan, keperkasaan dan sebagai bentuk tanggung jawab
seorang lelaki terhadap keluarganya.
Namun demikian cerita lisan tentang adat mengayau di atas, secara historis
sulit untuk dipertanggungjawabkan akan kebenaran beserta dengan bukti-bukti
yang kuat, sebagaimana layaknya kajian sejarah sesungguhnya. Sehubungan
dengan itu, Commans mengatakan bahwa masyarakat Dayak itu mempunyai
sejarahnya sendiri, yaitu sejarah zaman purba yang berasal dari kejadian mitologis
atau zaman keselamatan waktu orang masih dekat dengan roh-roh.47 Oleh karena
itu, makna akan kebenaran sejarah yang terjadi dalam masyarakat Dayak tidak
dapat dikaitkan dengan kejadian historis yang sesungguhnya.
3.1.2 Latar Belakang Adat Mengayau
Menurut Amuk Jolak, latar belakang munculnya adat mengayau dalam
masyarakat Dayak Kanayatn adalah dikarenakan adanya perselisihan masalah
batas tanah..48 Persilisihan ini terjadi biasanya dikarenakan sebelumnya tanah
tersebut telah disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, apabila salah
satu pihak yang sedang bersengketa tidak mengindahkan kesepakatan atau
perjanjian yang telah disetujui, maka terjadilah adat mengayau.
Dalam masyarakat suku Dayak Kanayatn, khususnya yang ada di
kecamatan Menyuke, munculnya adat mengayau biasanya dilakukan sesudah adat
pati nyawa (ganti nyawa) tidak diterima oleh musuh. Dalam hal ini, apabila
47Mikhail Commans, 1987. Dayak Dahulu, Sekarang Dan Masa depan,
Jakarta: PT. Gramedia., hlm. 78. 48Hasil wawancara dengan Amuk Jolak, Tanggal 7 Januari 2009, Didusun
Angkamu, Desa Kayu Ara, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak.
31
seorang warga Dayak Kanayatn terbunuh atau dibunuh, maka pihak keluarga akan
menuntut pihak yang membunuh dengan menggantikannya adat pati nyawa.49
Apabila, pihak yang membunuh tidak membayar dengan adat tersebut, maka
terjadilah pengayauan.50
Selain itu, menurut kepercayaan orang Dayak Kanayatn mengayau
dilakukan karena kepala seseorang mempunyai sumangat (semangat, jiwa dan
kekuatan), yang dapat memberikan kekuatan bagi si pengayau (orang yang
mengayau).51 Karena mempunyai sumangat, maka si pengayau akan mendapatkan
kedudukan dan penghormatan bagi berbagai pihak, termasuk para gadis.52
Selanjutnya, adalah untuk membalas adat mengayau dengan sub-suku
Dayak yang lainnya. Dalam konteks ini, apabila sub-suku Dayak lain mengayau
pada orang Dayak Kanayatn, maka orang Kanayatn harus membalas. Adat
mengayau tidak akan berhenti, apabila jumlah kepala yang dikumpulkan musuh
sama dengan jumlah yang mereka peroleh.53
3.1.3 Tujuan Mengayau
Pada prinsipnya, setiap sub-suku Dayak mempunyai tujuan yang hampir
sama mengapa mereka melakukan adat mengayau. Menurut JU Lontaan, dalam
49Adat patih nyawa ini bertujuan untuk menggantikan nyawa orang yang
telah terbunuh atau dibunuh. Adat patih nyawa maksudnya, “bukan nyawa ganti nyawa”, tapi wujudnya dalam benda-benda adat. Seperti gong untuk mengganti nyawa, tempayan untuk mengganti tubuh dan lainnya.
bukunya yang berjudul ”Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat”, ada
lima tujuan dilakukannya kegiatan adat mengayau yaitu:
1) Untuk melindungi pertanian. Dalam rangka untuk menghindari wabah
penyakit yang akan menyerang hasil pertanian, maka untuk memulihkan
keadaan itu perlu mempersembahkan tengkorak dari hasil mengayau.
2) Untuk mendapatkan tambahan daya jiwa. Secara supranatural, orang
Dayak menggangap tengkorak hasil kayau mempunyai kekuatan dahsyat.
Dengan kekuatan tersebut, seseorang dapat melindungi diri, keluarga dan
sekaligus seluruh sukunya.
3) Sebagai motif balas dendam. Bagi masyarakat Dayak Iban balas dendam
dalam adat pengayauan sangat sulit dilupakan, karena setiap orang tua
selalu menceritakannya kepada keturunannya. Dalam struktur masyarakat
yang demikian dapat dipahami, apabila seorang warga kampung terbunuh,
maka seluruh penduduk dalam kampung akan membalasnya.
4) Daya tahan berdirinya suatu bangunan. Dalam hal ini, orang Dayak sangat
mempercayai rumah yang dibuat membutuhkan kurban. Untuk
memperkuat bangunan rumah tersebut, maka kegiatan mengayau perlu
dilaksanakan.
5) Untuk tenaga kerja. Kadang kala orang yang di kayau tidak dibunuh tetapi,
mereka dijadikan sebagai budak atau kuli.54
Sementara itu, mengenai tradisi mengayau ini sangat menarik untuk
ditelusuri, terutama pada permasalahan mengapa yang diambil hanya kepala,
54JU. Lontaan., op. cit., hlm. 533-535.
33
sedangkan tubuhnya dibuang?. Sebagaimana kutipan Yekti Maunati dalam
bukunya Charles Miller yang berjudul “Black Borneo” adalah sebagai berikut:
“Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal (dari lehernya) cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah bubuhi ramu-ramuan, bila dimanipulasi dengan tepat, cukup kuat untuk menghasilkan, meningkatkan hasil panen padi, mengusir roh-roh jahat, dan membagikan pengetahuan dari orang-orang pintar dari suku itu. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatanya sudah mulai pudar dan diperlukanya tengkorak yang lebih segar. Tentu saja semakin banyak tengkorak kering yang ada, semakin besar kekuatan yang dihasilkan oleh gabungan dari kekuatan-kekuatannya. Suku yang tak memiliki kepala, atau ulu, atas namanya tidak akan mampu melawan mandau-mandau dan panah-panah yang beracun milik suku tetangga mereka yang sudah lengkap peralatannya”.55 Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, tujuan mereka mengayau adalah
untuk menambah kekuatan jiwa.56 Dalam hal ini, masyarakat Dayak Kanayatn
sangat mempercayai bahwa, setiap manusia memiliki manna57 yakni, jiwa dan
kekuatan. Manna itu terdapat di kepala, itulah sebabnya dalam mengayau hanya
mengambil kepala. Semakin banyak manna yang didapat, maka akan mempunyai
banyak kekuatan yang memberi banyak keuntungan dan berkah kepada seluruh
kampungnya.58
55Yekti Maunati., op. cit., hlm. 10. 56Edi Petebang., op. cit., hlm. 15. 57Sebagaimana yang disetir oleh P. Yeremias, bahwa tidak bisa dipastikan
apakah “manna” itu mempunyai badan atau tidak. Namun, yang pasti “manna” ada dalam seluruh badan manusia mulai dengan rambut. Oleh sebab itulah, maka kepala mandau yang diberi rambut panjang hasil pengayauan diyakini memiliki kekuatan supranatural. Untuk lebih jelasnya lihat, Edi Petebang, 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Institut Dayakology,. hlm. 49-51.
58Elius Ngiuk., op. cit., hlm. 44.
34
Dalam adat mengayau, ada dua pandangan menarik, terutama bagi mereka
yang dianggap sebagai pemenang. Pertama, bagi pihak yang menang akan
mendapatkan wilayah kekuasaan, kemudian diangkat menjadi Pangalangok
(Panglima). Kedua, ia akan dihukum dengan melaksanakan upacara adat totokng
selama tujuh keturunan.59 Karena yang namanya membunuh, apapun alasanya
berdosa. Oleh sebab itu, maka untuk menghapus dosanya tersebut diadakanlah
upacara adat totokng sebagai bentuk wujud untuk memohon pengampunan dari
Jubata (Sang Pencipta).
3.2 Prosesi Upacara Adat Totokng 3.2.1 Bahaupm (rapat)
Sebelum prosesi dimulai, pertama-tama kepala keluarga yang berniat
mengadakan upacara adat totokng, terlebih dahulu melaksanakan bahaump
(rapat). Bahaump ini bertujuan untuk mengumpulkan page samadiatn (kerabat
keluarga) untuk menentukan kapan acara tersebut akan dilaksanakan. Setelah
mencapai kesepakatan dalam waktu yang bersamaan menyembelih 1 ekor ayam
jantan merah untuk memberitahukan kepada Jubata, bahwa akan diadakannya
upacara adat totokng.
Selanjutnya pihak tuan rumah mulai menyebarkan undangan masing-
masing 1 lembar kepada Panyangahatn (Imam), Pamangko Gawe, Kepala
Pajajakng atau pelayan Totokng, tujuh lembarnya untuk Anak Kayoan dan
selebihnya akan diberikan kepada tamu-tamu khusus.
59Maniamas Midden, 2003. Buku Narasi Upacara Adat Totokng.
Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 2.
35
3.2.2 Ngampar Bide (Meletakkan tikar rotan)
Upacara adat ini dilaksanakan pada malam hari, sebelumnya waktu siang
hari mengambil kepala kayo yang akan di totokng ke rumah pangkalatn tempat
penyimpanan tersebut. Pertama-tama, para pelaksana adat totokng seperti
Panyangahant, Pamangko Gawe, Anak Kayoatn dan Kepala Pajajakng sudah
berada tempat sebagai tanda bahwa upacara adat totokng akan dimulai.
Selanjutnya, Imam nyangahatn mengadakan upacara adat ngantukng atau masa
persiapan. Dalam masa persiapan telah dipersiapkan alat-alat atau peraga adat
totokng seperti pekasam ikan, salai burung, tengkasam babi hutan dan yang
lainnya. Sementara itu, selama masa ngantukng telah dibunyikan Dau, gong,
gendang besar selama tujuh hari tujuh malam.
Sebelum membentangkan tikar terlebih dahulu ditandai upacara adat
nyangahatn (berdoa) untuk meminta perlindungan kepada Jubata (Tuhan), agar di
lingkungan tersebut aman, tentram dan bebas dari gangguan yang tidak
diinginkan. Sehubungan dengan itu, langsung menyembelih satu ekor ayam jantan
merah, 1 ekor babi 7 real (kira-kira 70 kg)60 yang telah dilengkapi dengan
sesajian.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara nakat pangkalant menyembelih 1
ekor ayam jantan merah. Sementara di Pangkalatn totokng telah terisi sesajian
seperti satu buah tempayan Siton hitam, 1 buah gong besar, beras kuning 1
60Hewan kurban seperti, babi dan ayam harus berjenis kelamin jantan ini
melambangkan kejantanan karena yang berangkat mengayau hanyalah kaum laki-laki. Sementara, warna merah itu melambangkan tali persahabatan orang Dayak Kanayatn dengan hantu Kamang. Kamang adalah roh yang menyerupai manusia tetapi tidak kelihatan.
36
pinggan putih, 1 bibit kelapa, 1 buah tempayan hitam siam, 1 buah tempayan
Jampa, 1 buah kelapa, gula arem atau gula merah, daun sirih, buah pinang, salai
daging atau kepala babi hutan, salai tupai, salai burung elang, pekasam babi,
pekasam ikan, salai burung dan tempayan kecil. Selanjutnya, semua sesajian
tersebut diletakkan di atas serambi rumah sebelah kiri depan.
Sementara di Pangkalatn didirikan satu batang tebu hutan lengkap dengan
daun-daunya, satu batang kayu burangsakng dan kayu sumiakng. Selanjutnya
diadakanya upacara adat nyangahatn ka’ pabarasatn di tempat beras. Upacara ini
bertujuan untuk mendapatkan berkat atau rahmat dari Sang Pencipta. Kemudian
acara ini dilanjutkan dengan upacara adat ditempat mandi atau tepian tumpang
yang dibuat dari daun kelapa dengan menyembelih satu ekor ayam jantan warna
merah. Maksudnya adalah selama siang dan malam, selama pelaksanaan upacara
totokng laki-laki dan perempuan mengambil air ditempian tidak diganggu oleh roh
halus.
Upacara ini berakhir dengan dilanjutkanya adat netek di kepala tangga
dengan menyembelih satu ekor ayam jantan warna merah. Adat netek bertujuan
untuk memberitahukan kepada kepala kayo, bahwa akan diberikan makan selama
tujuh hari tujuh malam. Kemudian setiap malamnya diharuskan untuk memotong
1 ekor ayam warna merah jantan.
3.2.3 Na’ap Tariu (Menjemput Tariu)
Sebelum upacara adat ini dilaksanakan, Imam membacakan doa untuk
bahan-bahan sesajian di dalam talam dengan maksud untuk memberitahukan
kepada Jubata, bahwa keesokan harinya akan membawa sesajian mentah dan
37
dimasak di tempat pantak.61 Sehubungan dengan itu, dilaksanakannya upacara
menjemput Kamang Tariu62 atau upacara adat na’ap tariu sebagai langkah
mengawali prosesi upacara ritual adat totokng.
Persyaratanya adalah menyiapkan alat peraga adat seperti beras biasa,
beras pulut secukupnya dan 1 ekor ayam jantan berwarna merah. Setelah sesajian
tersebut dikumpulkan, ketujuh Anak Kayoatn dan Imam meletakan cat warna
merah didahi dan pipi mereka. Selanjutnya, langsung menyembelih 1 ekor ayam
jantan dan darahnya dicampurkan dengan nasi dan garam untuk memberikan
makan kepada Kamang Tariu.
Pada saat yang sama, mereka masih menunggu ayam yang dipotong
sampai masak. Setelah daging ayam itu masak, Imam mengucapkan nyangahatn
(doa) untuk memberkati ayam tersebut. Sebelum mereka berangkat ke rumah
kayoatn, Imam itu berkeliling sambil berteriak sebanyak tiga kali dan mengadakan
upacara adat pasinyangan. Di pasinyangan para pelaksana adat totokng
beristirahat untuk sementara waktu menunggu pelaksanaan upacara adat totokng.
3.2.4 Pasinyangan (Persinggahan)
Di pasinyangan, Imam nyangahatn bapipis’ manta’ dengan menyembelih
1 ekor ayam warna merah. Di samping itu, diadakanya upacara menggunakan
61Dalam masyarakat Dayak Kanayatn Pantak adalah patung yang
memiliki kekuatan spiritualitas tinggi. Pantak itu sendiri dibagi kedalam 3 jenis yaitu, 1). Pantak Payugu (tokoh pertanian), 2). Pantak Padagi (Panglima dan dukun), 3). Pantak Keluarga (Peneladan keluarga).
62Tariu adalah teriakan yang mempunyai kekuatan magis yang tinggi, yang dalam masyarakat Dayak diyakini dari teriakan tersebut bisa membuat orang menjadi berani dan kebal, ketika akan berangkat berperang atau mengayau. Sedangkan, Kamang adalah roh yang menyerupai manusia tetapi tidak kelihatan.
38
topeng, ada dua macam topeng yaitu; topeng buta dan oho’. Topeng buta dipakai
kurang dari 50 orang, sedangkan topeng oho’ jumlahnya cenderung tidak dibatasi.
Selanjutnya, Imam membacakan doa sesajian mentah sampai dengan
masak selama di pasinyangan. Selesai iman nyangahatn, ketujuh Anak Kayoatn
dan beserta rombongan berangkat untuk menuju ke Pangkalatn. Sesampai di situ,
mereka langsung disambut oleh Timanggong (Kepala Adat), kemudian sambil
memperlihatkan sebuah tempayan Siton berwarna hitam yang berisikan undang-
undang tentang tata tertib upacara adat totokng.
Setelah itu, Imam nyangahatn melaksanakan upacara adat nigakng manta’
untuk memberi makan topeng dengan nasi pulut. Setelah diberikan makan,
toperng anak Kayoatn itu dipersilahkan untuk naik keplantaran dan menari
bersama Imam dan Tuan rumah untuk mengelilingi babanyang dengan cara maju-
mundur sebanyak tiga kali.
Ketika upacara adat nigakng mantak selesai, Imam tersebut melaksanakan
adat nigakng masak. Sebelum, sesajian tersebut masak, ketujuh Anak Kayoatn
terlebih dahulu dipersilahkan untuk mengelilingi babanyang yang telah diisi
dengan sesajian yang telah masak. Kemudian kira-kira jam 10 malam, Imam
nyangahatn menyampaikan persembahan dari tuan rumah kepada Jubata (Tuhan),
agar mereka terlepas dari sumpah kayo.
3.2.5 Mare’ Topeng Makatn (memberi Topeng makan)
Adat ini dilakukan kira-kira jam 4 dini hari, yang diawali dengan diberinya
beras biasa dan pulut dan 1 ekor ayam merah jantan pada topeng buta, sedangkan
topeng oho’ diberikan satu bungkus nasi yang berisikan sayur daging babi.
39
Maknanya adalah untuk memberi makan hantu dengan harapan tidak menggangu
kampung tempat pelaksanaan upacara adat totokng.
Selesai memberikan topeng makan, dilanjutkan dengan acara
melemparkan tumpi’ (cucur) di atas rumah yang bertujuan untuk menerbangkan
sumpah kayo terhadap orang yang telah dibunuh oleh nenek moyang mereka.
Upacara ini bertujuan mengangkat janji atau sumpah kayo, bahwa harus
memelihara dan memberikanya makan sampai dengan tujuh keturunan. Apabila
tidak maka keturunan si pengayau tersebut akan terkena jukat (musibah). Setelah
itu, dilanjutkan dengan upacara adat ngagar bawar sebagai tahap akhir dari
serangkaian pelaksanaan upacara adat totokng di Pangkalatn. Selesai adat ini,
Imam, Anak Kayoatn dan Pajajakng langsung menuju ke tempat pasinyangan.
Ngantat tariu adalah upacara mengantarkan tariu pulang ke tempat
kediamanya. Dalam pelaksanaanya pertama-tama, Imam mendoakan sesajian dan
1 ayam jantan warna merah yang bertujuan untuk memanggil roh-roh halus
(kamang) untuk dikumpulkan di Pasiyangan.
Selesai nyangahatn, Imam itu menyembelihkan ayam merah jantan dan
darahnya diambil sebagai makanan hantu tariu. Selesai memberi tariu makan,
ayam yang disembelih tadi dimasak. Selanjutnya, Imam nyangahatn (mendoakan)
ayam yang sudah masak dan memberikannya kepada kamang. Setelah diberi
makan, Imam nyangahatn menyuruhnya pulang sambil membacakan doa yang
berbunyi:
40
“Karena upacara adat totokng sudah berakhir kalian kamang tariu pulanglah ketempat kalian di Tajur di Gantekng. Kalau hantu Pujut, Mama’, Mawikng, Sarinteke, Ante’enge, Salahpena, Sansa’ lalu pulang di garah di Karabet di situlah tempat kalian. Segala setan iblis pulanglah di Lamo’ Bagenakng Timpurukng Pasuk di tanah yang tidak diinjak orang di air yang tidak pernah di pinum urakng Abo’ kayu Samponga di Pentek Kayu Mati disitulah negeri kalian dan kalian jangan suka merantau ke negeri manusia. Pulanglah kalian untuk selama-lamanya”.63
3.2.7 Macah Bantatn
Setelah melaksanakan upacara mengantarkan Tariu, para anak kayoan
pulang ke tempat pangkalatn. Selanjutnya, akan diadakan upacara macah bantatn.
Upacara adat ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata (Tuhan), tentang
pembagian upah/imbalan kepada seluruh petugas upacara adat totokng berupa
uang, daging babi dan yang lainnya.
3.2.8 Balamur
Balamur adalah masa tenggang atau masa tenang selama 3 hari 3 malam.
Pada saat masa tenang, orang-orang yang ikut melaksanakan ritual seperti
Pamangko, Gawe Totokng tetap menunggu, sedangkan Anak Kayoatn dan
Pajajakng pulang ke rumahnya masing-masing. Setelah masa tenang tersebut
selesai, maka diadakan upacara ngalantekatn. Upacara ini bertujuan untuk
memberitahukan kepada Jubata (Tuhan), bahwa besok akan diadakanya upacara
malutn bidei.
63Maniamas Midden., op. cit., hlm. 7.
41
3.2.9 Malutn Bide (Menggulung Tikar Rotan)
Upacara adat malutn bide adalah menggulung tikar rotan tempat meletakan
tengkorak kayo dan peraga adat totokng. Dalam upacara ini dibutuhkan alat
sesajian seperti ayam jantan warna merah, babi tumpi’ (cucur) dan poe
(lemang)’. Setelah sesajian itu disiapkan, maka Pamangko Totokng membacakan
doa bagi persembahan kepada Jubata (Tuhan) dengan menyembelih 1 ekor ayam
jantan warna merah dan 1 ekor babi.
Upacara ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata, bahwa alat-
alat peraga totokng akan dibuka dan rumah tempat diadakannya upacara adat
totokng telah terbebaskan dari sumpah kayo. Selanjutnya, Imam memanggil
semangat tuan rumah agar terhindar dari segala macam bentuk jukat (musibah).
3.2.10 Mulangkatn Kapala Kayo (Mengembalikan Kepala Kayo)
Mulangkant kapala kayo merupakan prosesi terakhir dari keseluruhan
upacara adat totokng. Upacara ritual ini diwajibkan untuk menyembelih 1 ekor
ayam jantan merah. Setelah Iman nyangahatn menyembelih ayam tersebut, maka
acara prosesi upacara adat totokng telah selesai.
3.3 Simbolisme Upacara Adat Totokng
Manusia adalah makhluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan
simbol-simbol. Dalam konteks ini bisa dipahami bahwa budaya manusia penuh
diwarnai dengan simbolisme yaitu, suatu tata pemikiran atau paham yang
menekan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada simbol. Dengan
42
demikian, manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dalam bentuk ungkapan-
ungkapan dipenuhi oleh simbolis”.64
Secara etimologis, kata “simbol” atau yang biasa disebut lambang itu
berasal dari bahasa yunani symbolon yang berarti tanda pengenal atau emblem
atau sinyal. Selain itu, simbol juga didenifisikan sebagai sesuatu yang bertindak
bagi atau mewakili sesuatu yang lain; terutama suatu benda yang dipakai untuk
menghadirkan sesuatu yang bersifat abstrak.65
Dalam konsep religi, manusia percaya akan kekuatan tertinggi untuk
patuhi dan disembah sebagai pencipta atau penguasa alam semesta. Karena
memiliki kekuatan yang bersifat abstrak, maka simbol berperanan penting untuk
mengungkap kepercayaan terhadap mereka. Di mana kekuatan tersebut
menghubungkan manusia dengan dunia abstrak, kekuatan tertinggi atau
supranatural, di samping untuk meminta kehadiran kekuatan tersebut di antara
manusia.66
Sementara, untuk memahami atau mengerti konsep cara pandang orang
Dayak, tentang simbol-simbol dalam upacara ritual tidaklah mudah. Karena
keyakinan akan sesuatu yang terjadi dalam masyarakat Dayak yang dapat melihat,
mengerti dan merasakan hanyalah orang Dayak itu sendiri. Hal ini, dikarenakan
konsep pandangan hidup orang Dayak yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan
64Budiono Herusantoso, 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Penerbit PT. Hanindita., hlm. 10. 65Stepanus Buan, 2004. “Simbol-simbol dalam Ungkapan Religius di
Kalangan Dayak Mualang” dalam Regina Petronella (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59.
66Ibid., hlm. 60.
43
religio-magis. Dengan demikian, tidak mengherankan terkadang sulit bagi orang
non-Dayak untuk bisa mempercayai kekuatan simbol-simbol atau tanda yang
terjadi dalam masyarakat Dayak.
Dalam cara pandang masyarakat Dayak memaknai ritus (ritual), menurut
Commans dibagi menjadi dua yaitu, logis dan kritis. Namun sering sulit
membedakan pemikiran logis dan kritis, karena pemikiran mitologis mengambil
peranan penting. Pemikiran mitologis memainkan peranan besar, apabila mereka
berhadapan dengan peristiwa-peristiwa, kejadian tersebut tidak dapat
diterangkannya.67 Konsep pemikiran logis dan kritis orang Dayak tersebut
semisalnya;
“Meskipun, orang Dayak percaya bahwa ritus tersebut akan membawa efek, namun ia tidak menyangkal bahwa ia sendiri harus memelihara ladangnya dengan baik, merumput pada waktunya, membuat pagar untuk menghindarkan kera dan babi masuk ladang dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan pemikiran logis dan kritis. Akan tetapi, kalau panen itu gagal tanpa adanya alasan yang jelas maka pemikiran mitologis yang nampak lagi. Dibelakang kegagalan tersebut disangkanya suatu intensi atau maksud dari dunia ilahi yaitu, yaitu roh yang menggangu atau roh yang menghukum. Cara pandang ini yang berdasarkan prasangka bahwa adanya intensi atau maksud tertentu dari dunia ilahi, kita sebutkan cara pemikiran askriptif (pemikirtan berdasarkan prasangka). Lawanya ialah cara pemikiran deskriptif, yang mencari akal untuk mengatasi segala rintangan dan hambatan. Karena batas antara pemikiran kritis dan pemikiran mitologis tidak selalu jelas baginya, maka orang Dayak merasa wajib mengadakan upacara, bilamana mengalami rintangan dan hambatan seperti penyakit, kegagalan panen, dan lain sebagainya.68 Dalam konteks upacara adat totokng, upacara adat ini dilaksanakan
sebagai salah satu bentuk wujud si pengayau untuk memperoleh jalan
67Michael Commans., op.cit., hlm. 99. 68Ibid.
44
keselamatan. Menurut adat mengayau, kepala hasil mengayau harus diberikan
penghormatan melalui upacara adat totokng sampai dengan tujuh keturunan,
apabila tidak maka keturunan si pengayau tersebut dalam kehidupannya tidak
akan pernah sempurna dan diyakini akan mendapatkan hukuman berupa jukat
(musibah). Semisalnya, dalam bentuk penyakit, kegagalan hasil panen dan yang
lainnya.
Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, upacara
adat totokng merupakan simbol “pertobatan” si pengayau. Upacara adat totokng
juga melambangkan bahwa, masyarakat Dayak Kanayatn sangat patuh terhadap
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh roh leluhurnya. Kemudian dengan
nyangahatn (doa), melambangkan sikap religius masyarakat Dayak Kanayatn
kepada Sang Penciptanya Jubata (Tuhan).
45
BAB IV
TRANSFORMASI UPACARA ADAT TOTOKNG
Secara kompleks budaya masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan Barat,
pada masa kini telah mengalami transformasi budaya, hal ini terlebih dengan
upacara adat totokng. Oleh karena itu, untuk melihat penyebab transformasi
budaya tersebut maka akan dijelaskan secara terperinci mengenai Perjanjian
Tumbang Anoi 1894, Pengkristenan Orang Dayak dan Modernisasi upacara adat
totokng.
4.1 Perjanjian Tumbang Anoi 1894
Sejak abad ke-17, Belanda di bawah bendera VOC telah mengadakan
hubungan dagang dengan kesultanan Sukadana dan Sambas di Kalimantan Barat.
Namun, ketertarikan Pemerintahan Kolonial Belanda untuk menguasai daerah
pedalaman Kalimantan baru muncul setelah diadakannya perjanjian Inggris dan
Belanda tahun 1814.69
Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menduduki Kalimantan Barat pada
awal abad ke-19. Upaya pendudukan Belanda di Kalimantan Barat dilakukan
karena Inggris di bawah James Brooke berhasil menguasai wilayah Sarawak pada
tahun 1883. Hal ini terkait dengan persaingan politik penguasaan wilayah jajahan
sekaligus menjamin keberlangsungan perdagangan mereka di Asia Tenggara.
Dalam masa pendudukannya, Belanda sekaligus melakukan campur
tangan terhadap kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Salah satu campur
69Michael R, Dove (Ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor., hlm. 260.
45
46
tangan Kolonial Belanda yang paling serius adalah masalah perang antar suku
Dayak atau kegiatan pengayauan. Bagi masyarakat Dayak kegiatan mengayau ini
merupakan adat, namun dalam pandangan Barat kegiatan mengayau menunjukan
bahwa, orang Dayak tidak beradab, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Atas
dasar tersebut, maka kegiatan pengayauan antar sub-suku dalam masyarakat
Dayak ini harus dihentikan. Secara politis, apabila kegiatan tersebut berhasil
dihentikan, maka akan mempermudah mereka untuk menguasai daerah-daerah
pedalaman suku Dayak. Lebih dari itu, untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
karena terkadang menjadi sasaran dari para pengayau.
Dalam rangka untuk mempermudah kepentingannya, maka pemerintahan
Hindia Belanda mengambil inisiatif untuk mengumpulkan seluruh Kepala Adat
dan pemuka Dayak di Kalimantan. Sehubungan dengan itu, maka pada awal tahun
1893, Residen Banjar memprakarsai pertemuan yang akan diadakan di Kuala
Kapuas.
Atas dasar tersebut, maka pada pertengahan tahun 1893, Residen Tuan
Brus bersama controleur dan serdadunya datang ke Kuala Kapuas (Tumbang
Kapuas). Selanjutnya, pada tanggal 14 Juni 1893 mereka melaksanakan
pertemuan di Kuala Kapuas (Tumbang Kapuas).
Adapun sejumlah agenda yang akan dibicarakan sebagai berikut:
1) Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus
sebagai tuah rumah untuk menghentikan 3 H (Hokanyou)= saling
mengayau, Hobunu’ = saling membunuh dan Hotohtok= saling memotong
kepala musuhnya.
47
2) Merencanakan tempat perdamaian.
3) Kapan pelaksanaan akan dilaksanakan.
4) Berapa lama sidang itu akan dilaksanakan.
5) Residen Banjar menawarkan siapa yang bersedia menjadi tuan dan
menanggung biaya pertemuan tersebut. Dalam kesepakatan ini, diputuskan
Damang Bahtu, dengan alasan karena beliau memiliki wawasan yang luas
tentang adat istiadat yang ada di Kalimantan.
Kemudian dari pertemuan tersebut disetujui hal-hal sebagai berikut:
1) Pertemuan ini akan dilaksanakan di Lovu (kampung) Tumbang Anoi, yaitu
di Betang tempat tinggalnya Damang Bahtu’.
2) Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Bahtu untuk mempersiapkan acara.
3) Pertemuan itu akan berlangsung selama 3 bulan.
4) Undangan akan disampaikan melalui tokoh atau kepala suku masing-
masing daerah secara lisan, sejak dibubarkanya rapat di Tumbang Kapuas.
5) Utusan yang diutus dalam pertemuan tersebut harus benar-benar mengerti
dan memahami adat di daerahnya masing-masing.
6) Pertemuan damai akan dimulai pada tanggal 1 Januari 1894 sampai
dengan 30 Maret 1894.70
Setelah pertemuan tersebut mencapai kesepakatan, maka pada tanggal 1
Januari 1894 sampai dengan 30 Maret 1894, perjanjian damai atau “Perjanjian
Tumbang Anoi”, secara resmi dilaksanakan yang berpusat di rumah Betang
(rumah panjang) tempat kediaman Damang Bahtu, Lovu kampung Tumbang Anoi
70Edi Petebang., op.cit., hlm. 33-34.
48
(Kalimantan Tengah). Dalam pertemuan tersebut, dihadiri hampir seluruh Kepala
Adat dan pemuka Adat di Borneo (Kalimantan) dengan menghasilkan beberapa
kesepakatan sebagai berikut:
1) Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim disebut 3H
(Hokanyou= saling mengayau, Hobunu’= saling membunuh dan
Hotohtok= saling memotong kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu
itu).
2) Menghentikan sistem Jiphon Kopali’ (hamba atau budak belian) dan
membebaskan para Jiphon dari segala keterikatanya dari Tepui
(majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lainnya
yang bebas.
3) Menggantikan wujud Jiphon dari manusia dengan barang-barang yang
bisa di nilai seperti bolanga’ (tempayan mahal atau tajau), halamaung,
lalang, tanah/kebun dan yang lainnya.
4) Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum adat yang bersifat umum,
seperti bagi yang membunuh, maka akan mendapatkan sanksi sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku yakni, berupa Sahiring (saknsi
adat).
5) Memutuskan agar setiap orang yang membunuh orang lain, ia harus
membayar Sahiring sesuai dengan keputusan sidang adat yang diketuai
oleh Damang Bahtu’. Semuanya itu harus dibayar langsung pada waktu itu
juga, oleh pihak yang bersalah.
49
6) Menata dan memberlakukan ada istiadat secara khusus di masing-masing
daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tananan kehidupan yang dianggap
baik.71
Melalui perjanjian damai tersebut, setidaknya telah membawa perubahan
terutama masalah stabilitas keamanan yang semakin terjamin, karena kegiatan
pengayauan antar sub-suku masyarakat Dayak sudah berkurang. Selain itu,
masalah jipen (perbudakan) yang telah dipraktekkan penguasa suku Dayak jauh
sebelum pendudukan Belanda di Kalimantan, dihapuskan melalui Perjanjian
Tumbang Anoi.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun seluruh isi perjanjian tersebut telah
tersebar luas di seluruh pelosok Kalimantan. Praktek pengayauan, hukum adat,
permusuhan dan kebiasaan hidup yang berpindah-pindah dikalangan Orang Dayak
berhasil dikurangi, meskipun masih belum signifikan. Namun, setidaknya
pemerintah Belanda mulai mengenal dengan cukup baik Orang Dayak yang
katanya dikenal ganas.
Lebih dari itu, secara substansi kelembagaan adat dan hukum adat Dayak
secara garis besar diseragamkan, agar tidak terjadi lagi kesimpang-siuran satu
dengan lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan antar suku Dayak. Dengan
demikian, hukum adat yang berlaku di seluruh Borneo (Kalimantan) disesuaikan
dengan keputusan musyawarah hasil dari Perjanjian Tumbang Anoi.
71Ibid.
50
Setelah sukses “menjinakan” Dayak dengan strategi pertama yakni melalui
perjanjian damai, pemerintah Belanda menggunakan strategi kedua, yakni dengan
mengkristenkan orang Dayak.
4.2 Pengkristenan Orang Dayak
4.2.1 Masuknya Agama Katolik
Secara historis, berdasarkan sumber dari Ordo Kapusin,72 agama Katolik
pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada tahun 1313 oleh Ordo Kapusin.
Namun, secara substansi misi ajaran agama Katolik mulai tersampaikan kepada
masyarakat Kalimantan Barat sejak tahun 1885 yang dibawa oleh para pastor
Ordo Yesuit73 dengan mendirikan stasi di Singkawang. Pater Staal SJ sebagai
pastor Paroki yang pertama. Misi ini bertujuan untuk mendirikan basis karya misi
bagi masyarakat suku Dayak. Dengan didirikanya stasi tersebut, maka menandai
babak awal bagi para missionaris untuk melebarkan sayapnya di bumi
khatulistiwa. Hanya saja, di tahun-tahun ini para missionaris banyak mengalami
72Kapusin adalah ordo Gereja Katolik Roma yang berasal ordo Fransiskan.
Kehadiran ordo Kapusin dalam Gereja Katolik, disebabkan munculnya berbagai Reformasi yang terjadi dalam gereja Katolik tahun 1525. Akibatnya, ordo Fransiskan mengalami perpecahan. ordo Kapusin mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1905. Sejak Februari 1994 dimekarkan menjadi 3 propinsi: Medan, Sibolga dan Pontianak. Lihat, http://id.wikipedia.org/Ordo_Kapusin. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
73Yesuit atau Jesuit biasa dikenal dengan Serikat Yesus adalah ordo Gereja Katolik. Serikat ini didirikan pada 1534 oleh sekelompok mahasiswa pasca-sarjana dari Universitas Paris yang merupakan teman-teman dari Ignatius Loyola. Mereka bersumpah untuk melanjutkan persahabatan mereka setelah mereka selesai studi, hidup dalam kemiskinan sesuai injil dan pergi mengemban perutusan di Yerusalem. Mereka menyebut diri mereka sahabat-sahabat di dalam Tuhan. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ordo_yesuit. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
51
kendala, salah satunya adalah kurangnya tenaga rohaniawan. Selain itu, juga
dikarenakan kondisi di tempat tersebut belum terlalu aman.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pada awal abad 20 Vikaris
Apostolik74 Jakarta meminta bantuan tenaga kelompok religius dari Negeri
Belanda. Atas dasar tersebut, maka pada tanggal 11 Februari 1905 Prefektur
Apostolik75 Borneo (Kalimantan) secara resmi berdiri di Kalimantan. Berdasarkan
keputusan tersebut, hasilnya Ordo Kapusin Propinsi Belanda diberikan mandat
untuk menyebarluaskan ajaran agama Katolik di Kalimantan. Selanjutnya, para
missionaris secara teratur berdatangan ke pelbagai tempat di Kalimantan.
74Vikaris Apostolik adalah bentuk otoritas untuk suatu kawasan dalam gereja Katolik Roma yang dibentuk dalam wilayah misi dan dinegara yang belum memiliki keuskupan Biasanya status suatu wilayah dalam Vikars Apostolik bersifat sementara, walaupun tetap saja dapat berlangsung hingga lebih dari seabad, hingga wilayah misi itu sudah berkembang, memiliki pertumbuhan umat yang cukup dan bisa memenuhi syarat untuk menjadi keuskupan yang mandiri. Pada dasarnya, vikaris Apostolik kekuasaannya masih dibawah keuskupan. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Vikaris_ Apostolik. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
75Prefektur Apostolik adalah bentuk otoritas rendah untuk suatu wilayah pelayanan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk di sebuah daerah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan Prefektur Apostolik dipimpin oleh seorang Prefektur Apostolik, yang biasanya adalah seorang pastor. Kalau sebuah Prefektur Apostolik berkembang, statusnya akan ditingkatkan menjadi Vikaris Apostolik dan akan dipimpin oleh orang yang berjabatan uskup sambil membentuk badan-badan institusi yang diperlukan untuk menjadi sebuah keuskupan penuh. Tahapannya adalah misi, menjadi Prefektur Apostolik, Vikarist Apostolik dan kemudian menjadi keuskupan. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Prefektur_Apostolik. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
52
Kemudian pada tanggal 30 November 1905 para missionaris tiba di
Singkawang.76
Tujuan missionaris (Katolik) tersebut, tidak lain adalah mengemban tugas
misi kemanusian. Kedatangan para missionaris ini sangat membantu penduduk
suku Dayak, terutama dalam dunia pendidikan. Karena sebelum masuknya
kedatangan para missionaris, masyarakat Dayak dikenal sebagai orang yang
bodoh, kolot, primitif, takhayul, tidak berperikemanusiaan dan yang lainnya.
Sesuai dengan kondisi di atas, maka selain menyebarkan ajaran-ajaran
agama Katolik mereka juga mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit dan
membantu masyarakat Dayak di dalam bidang pertanian. Dari kebijakan tersebut,
para missionaris, lebih menitik berat pada dunia pendidikan. Oleh karena itu,
melalui pendidikan dapat memberikan orang-orang Dayak peradaban yang lebih
maju, agar kelak mereka tidak lagi mudah dibodohi atau diperdayakan oleh para
penguasa raja-raja Melayu dan penjajahan Kolonial Hindia.
4.2.2 Enkulturasi Budaya
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, para missionaris mulai masuk
pertama kali sekitar tahun 1947-1948 di Tiang Tanjung (sekarang masuk dalam
wilayah kecamatan Mempawah Hulu) yang disebarkan oleh Ordo Kapusin.
Masuknya pengaruh ajaran agama Katolik di Landak, seperti di daerah-daerah
pedalaman yang lainnya, juga disertai dengan pendirian sekolah dan rumah sakit.
gereja-katolik-di.html. Data diakses Selasa, 10 Oktober 2009.
53
Dengan didirikanya sekolah dan rumah sakit, secara tidak langsung mendorong
masyarakat Dayak Kanayatn untuk memeluk agama Katolik.
Masuknya ajaran agama Katolik di Landak, yang dibawa oleh para
missionaris, diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini terlebih
didukung dengan sikap para missionaris yang bersikap baik terhadap masyarakat.
Selain itu, agama Katolik sangat berbeda dengan agama-agama lain seperti Islam
dan Protestan. Dalam hal ini, agama Katolik lebih toleran terhadap budaya dan
adat dan tradisi yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat.
Terkait dengan hal di atas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Syarif
Ibrahim Alqadrie menegaskan bahwa:
“…Dibanding kedua agama (Islam dan Protestan), agama Katolik lebih memberi orang Dayak ruang kesempatan untuk praktik adat istiadat dan budayanya, sehingga masyarakat Dayak lebih leluasa mempertahankan adat istiadat dan budaya”.77 Selain itu, sejak pemerintah menetapkan perundangan TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, seluruh warga
Negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama resmi yang
ditetapkan. Alasan utama ditetapkannya perundangan ini adalah untuk
membendung masuknya paham ajaran Komunisme di Indonesia. Atas dasar
tersebut, maka setiap masyarakat yang tidak menganut salah agama resmi negara
akan dicap sebagai penganut ajaran Komunisme.78 Dengan ditetapkannya
77Paulus Yusnono., op. cit., hlm.10. 78Menurut TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, agama yang diakui oleh
pemerintah ada lima yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Sedangkan, agama-agama Lokal, digolongkan menjadi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Itu pun agama-agama lokal tertentu. Dalam konteks ini, agama lokal
54
perundangan ini, membuat banyak orang-orang Dayak Kanayatn masuk menjadi
agama Katolik.79
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, pengaruh penyebaran agama Katolik
dianggap cukup berhasil, karena berhasil menggunakan adat dan tradisi sebagai
sarana/media dalam pengajaran dan doa (enkulturasi). Bentuk wujud enkulturasi
tersebut bisa dilihat dengan hadirnya buku kecil tata upacara doa agama Katolik
dalam bahasa Kanayatn tahun 1980-an, yang disusun oleh P. Samuel dan
Adrianus Adiran (Katekis di dusun Saginah, kecamatan Sengah Temila), yang
kemudian dipraktekkan dalam sembahyang.80
Selain itu, dalam upacara yang berkenaan dengan keagamaan khususnya,
agama Katolik juga baik langsung maupun tidak langsung masih mengandalkan
yang berasal dari upacara adat. Seperti halnya, dalam upacara adat pemberkatan
benih-benih hasil pertanian lewat nyangahatn (doa) (ijin ka’ Jubata, Ne’
Patampa), agar bibit tersebut mendapat perlindungan dan restu yang benar,
terhindar dari segala macam gangguan seperti bencana, penyakit dan yang
lainnya.
Terkait dengan hal di atas, walaupun agama Katolik bisa masuk dan
berafiliasi dengan adat dan tradisi setempat, namun bukan berarti semuanya dapat
diterima dengan baik. Dalam proses enkulturasi, sebetulnya dapat menimbulkan
kesalahpahaman (bertolak belakang dengan tradisi asli) jika agama yang
Dayak tidak termasuk dalam lima agama tersebut maupun Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
bersangkutan tidak inklusif, yakni menghargai dan melibatkan konsep-konsep
masyarakat pribumi dalam pengajaran dan penyebaran keimananya. Dengan kata
lain, akan menimbulkan miskomunikasi yakni, munculnya sikap skeptis
(penyerderhanaan) yang berlebihan terhadap pengetahuan dan kepercayaan
masyarakat setempat.81
4.2.3 Upacara Adat Totokng Dalam Tinjauan Ajaran Agama Katolik
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, masuknya ajaran agama
Katolik dalam masyarakat Dayak bisa disilangkan atau dikawinkan dengan tradisi
masyarakat setempat (enkulturasi). Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak
sepenuhnya adat dan tradisi masyarakat setempat bisa diterima dengan baik oleh
ajaran agama Katolik. Di sisi lain, masyarakat Dayak masih sangat berpegang
teguh dengan adat dan tradisi yang berlaku. Perbedaan pandangan inilah yang
kemudian kerap memunculkan konflik atau ketegangan antara ajaran agama
Katolik dengan adat dan tradisi masyarakat Dayak.
Dalam konteks upacara adat totokng, apabila ditinjau dari sudut pandang
ajaran agama Katolik, tentunya akan mengundang sejumlah pandangan yang
bersifat negatif. Sebagaimana yang terdapat sepuluh firman Allah pada perintah
pertama yang intinya adalah mengecam keberhalaan berbunyi:
“Dimintai dari manusia supaya hanya beriman kepada Allah, dan bukan kepada allah-allah lain, dan supaya tidak menghormati allah-allah di samping Allah yang Esa. Kitab suci mendesak terus menerus untuk menolak berhala. Pemujaan berhala tidak hanya ditemukan dalam upacara
81Albert Rufinus, 2004. “Ne’ Baruakng Kulub: Tema Dan Pesan” dalam
Petronella Regina (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Institut Dayakology., hlm. 56.
56
palsu di dunia kafir. Ia juga merupakan satu godaan yang terus bagi umat beriman. Pemujuaan berhala itu ada apabila, manusia menghormati dan menyembah suatu hal pencipta sebagai pengganti Allah, apakah itu dewa-dewa atau setan (umpamanya satanisme) atau kekuasaan, kenikmatan, bangsa, nenek moyang, negara, uang, atau hal-hal semacam itu”.82 Sesuai dengan pandangan ajaran gereja Katolik di atas, bisa ditafsirkan
bahwa manusia hanya boleh mempercayai satu Allah yaitu, Allah yang Maha Esa.
Sementara itu, bentuk-bentuk penyembahan di luar tersebut adalah bentuk
penyembahan berhala dan menyangkal dari perintah Allah. Jadi, secara dogma
manusia hanya percaya, taat, hormat dan patuh pada satu kekuatan yaitu Allah
Yang Kuasa.
Lalu bagaimana dengan upacara adat totokng dalam tata perayaannya
bertujuan untuk memohon atau memuja kepada Allah mereka sendiri yaitu,
Jubata (Tuhan)? Selain itu, mereka juga sangat patuh dengan aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh nenek moyang. Apabila ditinjau dari sepuluh firman Allah
dalam alinea pertama, tentunya sangat bertentangan dengan ajaran agama Katolik.
Karena sesuai dengan ajaran agama Katolik, bahwa bentuk kepercayaan semacam
ini dikategorikan ke dalam bentuk penyembahan berhala atau penyangkalan
terhadap Allah yang Maha Esa.
4.3 Modernisasi Upacara Adat Totokng
Kata “modernisasi” adalah simbol kemajuan. Modernisasi berasal dari kata
dasar modern, di mana kata modern tersebut mengacu pada masyarakat yang tidak
terbelakang. Menurut Everett Rogers, modernisasi merupakan proses dengan
82P. Herman Embuiru, 1995. Katekismus Gereja Katolik. Ende Flores:
Arnoldus., 544.
57
mana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih
kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah.83
Manusia dan budayanya dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan
yang begitu cepat. Perubahan tersebut seiring dengan semakin majunya teknologi
dan informasi dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, pola pikir dan cara
pandangan suatu masyarakat terhadap budayanya juga mengalami hal yang sama.
Oleh sebab itu, semua bentuk karakteristik manusia dan kebudayaanya
disesuaikan dengan perubahan zaman.
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi, muncul rasa
keenganan, terutama bagi generasi muda untuk mempelajari dan memahami nilai-
nilai kekayaan warisan budaya leluhurnya. Sikap semacam inilah yang kerap
membuat adat dan tradisi masyarakat Dayak Kanayatn semakin hari semakin sepi
dari perhatian atau bahkan terkesan hampir punah.
Di tengah-tengah dampak transformasi budaya yang terus menggejala,
upacara adat totokng masih tetap dilaksanakan.84 Hanya saja, upacara adat
tersebut telah jarang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Kanayatn. Karena
menurut tradisi, kepala hasil mengayau boleh dikubur atau dibakar setelah
dipelihara selama tujuh keturunan. Selain itu, disebabkan adanya kata sepakat
83M. Franscis Abraham, 1991. Modernisasi Di Dunia Ketiga: Suatu Teori
Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya., hlm. 5. 84Upacara adat totokng tidak dilaksanakan setiap tahun, seperti halnya
dengan upacara adat naik dango. Upacara adat naik dango merupakan acara rutinitas yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Kanayatn sebagai bentuk wujud rasa syukur atas keberhasilan hasil panen padi. Upacara ini di laksanakan setiap tanggal 27 April. Sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Dayak Kanayatn di kecamatan Menyuke, upacara adat totokng biasanya di laksanakan minimal 4 tahun sekali.
58
tidak mengayau di daerah Sijangko, perbatasan antara kecamatan Mandor dan
Sengah Temila. Lebih dari itu, kepala- kepala hasil mengayau pada beberapa abad
silam sudah hampir punah setelah dikubur atau dibakar. 85
Selain itu, untuk melaksanakan upacara adat totokng dibutuhkan biaya
yang sangat besar. Upacara adat ini harus disesuaikan dengan asal-usul keluarga
dan dari keturunan cerdik-pandai adat, di samping itu dikhawatirkan mendapatkan
jukat (musibah).86
Apabila dilihat dari segi fungsinya, upacara adat totokng telah mengalami
pergeseran. Zaman dahulu upacara adat totokng dilaksanakan dalam rangka untuk
mengaktualisasikan diri bagi mendapatkan pengampunan dosa dari Jubata (Sang
Pencipta). Selain itu, menurut kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn yang
terdapat di kecamatan Menyuke, upacara adat ini sangat berperan penting bagi
kehidupan. Pada konteks ini, apabila dalam kehidupan masyarakat mengalami
berbagai macam jukat (musibah). Semisalnya, penyakit dan hasil panen
mengalami penurunan dalam periode 4 tahun terakhir, maka diadakannyalah
upacara adat totokng.87
Dalam perkembangannya, upacara adat totokng dilaksanakan dengan
kecendrungan lebih pada unsur ekonomis. Dalam hal ini, setelah selesai
menyelenggarakan upacara adat totokng dilanjutkan dengan acara kesenian daerah
85Elias Ngiuk., op. cit., hlm. 44. 86Petronella Regina (dkk)., op. cit., hlm. 67. 87Hasil wawancara dengan Amuk Jolak. Tanggal 7 Januari 2009. Dusun.
Angkamu, Desa Kayu Ara, Kecamatan Menyuke Kabupaten Landak.
59
yakni Jonggan.88 Dengan disertai Jonggan, ini tentunya akan mengundang
munculnya warung, perjudian, mabuk-mabukan dan yang lainnya. Dengan
demikian, apabila dilihat dari kaca mata adat, tentunya sangat bertentangan atau
menyimpang dari upacara adat totokng yang sesungguhnya.
88Elias Ngiuk., op. cit., hlm. 48.
60
BAB V
FUNGSI UPACARA ADAT TOTOKNG
BAGI MASYARAKAT DAYAK KANAYATN
5.1 Konsep Kosmis
Menurut Nico Andasputra, secara umum cara pandang atau pemikiran
masyarakat suku Dayak mencakup tiga dimensi yakni realitas mutlak, manusia
dan alam.89 Ketiga dimensi ini dihayati dalam setiap tingkah laku manusia Dayak,
di mana memiliki keterkaitan atau terjadinya proses kesinambungan, sehingga
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bagi masyarakat suku Dayak,
pandangan tentang makna kehidupan tidak tergantung pada masalah
kesejahteraan, realitas atau objektivitas sebagaimana yang dipahami oleh manusia
modern, tetapi dalam keseimbangan (kosmis).90 Hal inilah yang terkadang
membuat masyarakat suku Dayak dalam setiap realitas kehidupanya sangat
dipengaruhi oleh dunia mistis dan sulit untuk dinalar dengan akal pikiran.
Secara kompleks, kebudayaan Dayak berpangkal pada alam pikiran mistis
realitas manusia Dayak yang tertuang dalam unsur-unsur kebudayaan seperti adat
istiadat, bahasa dan kesenian yang telah disesuaikan dengan sub-suku masyarakat
Dayak. Namun demikian, terkandung konsep yang sama yaitu pengakuan akan
adanya realitas yang bersifat sangat mutlak pada alam.91
89Nico Andasputra, 1992, “Manusia Dayak Dan Konsep Pemikirannya”
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, seperti layaknya sub-suku Dayak
lainnya, masih memiliki adat dan tradisi yang kuat. Sehingga tidak
mengherankanlah kalau cara pandang atau pola pikirnya sangat dipengaruhi
kekuatan religio-magis. Kepercayaan religio-magis tersebut salah satunya
terwujud dalam tradisi mengadakan berbagai upacara tradisional seperti hal,
upacara adat totokng sebagai salah satu bentuk wujud penyerahan diri kepada
Jubata (Sang Pencipta).
Masyarakat Dayak Kanayatn sangat mempercayai, bahwa keterkaitan
antara dunia nyata dengan dunia gaib merupakan sumber kehidupan atau sesuatu
yang dapat memberikan kehidupan kepada manusia.92 Selain melalui upacara
adat, perwujudan kepercayaan kosmis masyarakat adat Kanayatn tercermin dalam
perbuatan dan tindakan sehari-hari yang selalu selaras dengan mitos yang menjadi
sumber kebijakan mereka dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan
hidupnya.
5.2 Penghormatan Kepada Roh Leluhur
Secara umum, masyarakat Dayak memiliki suatu kepercayaan yang
kompleks dan sangat berkembang dalam hal sistem kepercayaan. Berdasarkan
tradisi dalam masyarakat Dayak, kompleksitas sistem kepercayaan tersebut
mengandung dua prinsip yakni: 1) unsur kepercayaan yang menekan pada
pemujaan nenek moyang. 2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu dengan
92Poltak Johansen & Christiany Ariani, 1993, “Masyarakat Dayak Dan
Lingkungannya”, dalam majalah Kalimantan Review (KR), No. 5 / Th II/ September-Desember, hlm. 5.
62
kekuasaan tertinggi dan merupakan suatu prima causa dari kehidupan manusia.93
Sementara itu, prinsip-prinsip dari sistem kepercayaan itu sesuai dengan hasil
penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
“Di temukan bahwa, sistem kepercayaan kepada nenek moyang atau leluhur dalam masyarakat Dayak itu berisi tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang dan manusia dengan alam berserta isinya. Sedangkan, Tuhan tertinggi yang satu memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (divinity). Karakter pertama mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi” dan karakter yang lainnya tinggal di bawah atau yang “lebih rendah”. Dalam hal ini, orang Dayak sangat mempercayai kedua karakter ini masing-masing memuat yang baik dan buruk. Secara kompleks, masyarakat suku Dayak sama-sama mempercayai kedua prinsip tersebut memiliki kekuatan yang lebih tinggi”. 94 Sehubungan dengan itu, menurut Coomans, sikap religius suku Dayak
sangat patuh terhadap aturan-aturan atau adat dan tradisi yang telah ditetapkan
oleh nenek moyang mereka. Dengan kata lain, segala macam bentuk tindakan,
perbuatan, tingkah laku dan teladan nenek moyang harus di patuhi dengan baik.
Sikap yang tidak meniru teladan nenek moyang adalah bentuk perbuatan yang
tidak direstui oleh dunia ilahi. Dengan menuruti sikap teladan nenek moyang ia
akan menjadi bahagia hidup di dunia ini. Dengan demikian, tingkah laku dan
93 Syarif Ibrahim Alqadrie, 1994. “Mesianisme Dalam Masyarakat Dayak
Di Kalimantan Barat: Keterkaitan Antara Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang Dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi, dalam Paulus Florus (dkk)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 23.
94Ibid.
63
perbuatanya berdasarkan realitas, objektivitas dan nilai-nilai yang terkandung
pada peristiwa zaman purba yang diaktualiasikan kembali dalam dirinya.95
Atas dasar tersebut, upacara ritual adat totokng dalam masyarakat suku
Dayak Kanayatn, tidaklah bisa dikatakan sebagai bentuk menyembah berhala.
Secara kolektivitas, upacara adat totokng merupakan salah satu bentuk aturan-
aturan adat dan tradisi yang telah dilaksanakan oleh leluhurnya selama beberapa
ribu tahun yang lalu.
Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn, upacara adat ini
dilaksanakan karena mereka sangat patuh akan peraturan yang telah ditetapkan
roh-roh leluhurnya (nenek moyang). Kalau tidak melaksanakannya, maka secara
kosmos keterkaitan antara mereka, alam dan Jubata (Sang Pencipta) akan menjadi
terputus. Kalau hubungan itu terputus, maka masyarakat tersebut akan mendapat
jukat (musibah).
5.3 Melindungi Pertanian
Upacara adat totokng bagi masyarakat Dayak Kanayatn di masa kini masih
sangat relevan dilaksanakan karena diyakini dapat membawa berkah terutama di
bidang pertanian. Hal ini terkait dengan tradisi mengayau pada zaman dahulu,
apabila hasil panen mengalami penurunan atau terkena hama dan yang lainnya,
dibutuhkan kepala hasil mengayau sebagai persembahan.
Pada prinsipnya kepala orang yang dipersembahkan dalam pelaksanaan
upacara adat totokng, biasanya kepala orang-orang yang mempunyai manna (jiwa
dan kekuatan) yang tinggi. Semisalnya, orang kaya (hasil pertanian, harta pusaka
95Mikhail Commans., op. cit., hlm. 79.
64
dan sebagainya), panglima dan baliant (dukun handal). Karena memiliki manna
yang tinggi, maka diyakini akan mendatangkan berkah atau rejeki yang melimpah
di bidang pertanian. Selain itu, mampu melindungi seluruh kampung dari berbagai
macam jukat (musibah).
Pada masa kini, orang Dayak Kanayatn tidak lagi melaksanakan adat
mengayau. Untuk itu, kepala yang dipersembahkan untuk upacara totokng adalah
kepala hasil mengayau pada zaman dahulu.
5.4 Membangun Identitas
5.4.1 Pelestarian Tradisi Lisan
Masyarakat Dayak adalah masyarakat lisan. Oleh karena itu, tradisi lisan
memainkan peranan sentral dalam tatanan masyarakat. Dalam tradisi lisan
tercakup totalitas konspsi-konsepsi dasar ideologi, dogma, doktrin, filsafat
sejarah, bahasa, sastra, hukum dan kebiasaan serta nilai-nilai sentral, struktur
sosial, serta cara-cara berhubungan dengan alam nyata dan alam mistik.96
Atas dasar tersebut, maka tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat
Dayak Kanayatn harus tetap dijaga dan dilestarikan. Secara kolektivitas, tradisi
lisan itu menghubungkan antara masyarakat dan kebudayaanya. Selain itu,
sejumlah tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat Dayak Kanayatn berfungsi
sebagai pengikat tali persaudaraan atau kebersamaan.
96Stepanus Djuweng, 1996. “Orang Dayak, Pembangunan Dan Agama
Resmi, dalam Th. Sumarthana (ed)., Kisah Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Dian/ Inferdei., hlm. 8.
65
Tradisi lisan Dayak Kanayatn merupakan pengetahuan bersama
masyarakat yang dipakai sebagai sumber informasi, penyaksian dan kebiasaan
lisan. Pertama, sebagai informasi, tradisi lisan dapat ditemui dalam bentuk cerita
lisan seperti, tentang kepahlawanan, Ne’ Kancat, Ne’ Dara Itapm, asal usul,
kejadian, cerita Ne’ Baruakng Kulub dan yang lain-lainya. Kedua, penyaksian,
tradisi lisan berupa pengetahuan masyarakat diwujudkan lewat upacara
keagamaan seperti totokng, baliatn, badendo97 dan nyangahatn.98 Ketiga,
kebiasaan lisan pengetahuan tentang gotong royong dalam kegiatan balale’ ka’
uma (bersama-sama ke ladang).99 Ketiganya tersebut, secara rutinitas
dipraktekkan dari waktu ke waktu dan merupakan sesuatu yang telah mengikat
dan mengakar dalam masyarakat Dayak Kanayatn.
Sementara nilai yang terkandung dari tradisi lisan tersebut di dalamnya
dapat langsung dirasakan dan diperoleh. Dengan kata lain, tradisi lisan tersebut
dapat memberikan makna dan harga (nilai). Adapun makna atau nilai dari tradisi
lisan bagi masyarakat Dayak Kanayatn adalah sebagai berikut:
1) Dalam hal pekerjaan sebagai bentuk karya atau amal perbuatan.
2) Sebagai langkah untuk memahami tentang waktu.
3) Untuk menghubungkan manusia dengan sesamanya.
97Upacara yang berhubungan kegiatan pengobatan atau membayar niat. 98Nyangahatn atau biasanya disebut doa. Nyangahatn biasanya dipratekan
doa-doa dalam setiap upacara seperti, Baliatn atau Liatn, Naik Dango (pesta padi), totokng, dan sejumlah deretan dalam prosesi upacara keagamaan lama yang lainnya.
99Albert Rufinus., op.cit., hlm. 60.
66
4) Menghubungkan manusia dengan alam sekitarnya (kosmis).100
Lebih dari itu, tradisi lisan Dayak Kanayatn kini telah hadir dalam
kegiatan formal seperti, pendidikan dan materi kajian pemerintahan desa. Hal ini
terlebih didukung oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1) Karena tradisi lisan setempat diikutsertakan dalam kurikulum materi
kebudayaan.
2) Mampu menyadarkan tentang masyarakat norma-norma adat yang
berlaku.
3) Dalam dunia pendidikan, terutama bagi siswa-siswi SLTP dan SMA
dijadikan sebagai bahan mata pelajaran Muatan Lokal.
4) Sebagai media atau alat cerita komunikasi bagi generasi muda atau
sumber pengetahuan untuk memperkuat identitas.101
5.4.2 Upaya Membangun Identitas
Menurut Jhon D. Waiko tradisi lisan merupakan landasan kesadaran diri
dan otonomi dalam sebuah komunitas, ketika mereka berinteraksi dengan
lingkungannya. Atas dasar tersebut, apabila peranan tradisi lisan itu tergeserkan
dan terlupakan maka kesadaran diri, otonomi dan identitas masyarakat juga pasti
demikian.102
Sebagaimana ungkapan Jhon D. Waiko di atas, ingin menegaskan agar
tradisi lisan Dayak Kanayatn yang dikenal cukup kaya harus tetap dijaga dan
Pontianak: Institut Dayakology. B. Majalah, Skripsi dan Internet
Http:// kompas-cetak/ 0507/daerah/ 1870227. “Totokng” Tradisi Dayak Menghormati Tengkorak Musuh”. Jumat, 27 Mei 2007.
Http// stellamaris-siantan blogspot.com/2009/08/ Bermulanya Gereja Katolik Di
Kalimantan Barat. Sabtu, 10 Oktobert 2009.
Http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu-5-1979.htm. Minggu, 20 Juni 2010.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Vikaris_ Apostolik. Minggu 20 Juni 2010.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Prefektur_Apostolik. Minggu 20 Juni 2010.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Ordo_Yesuit. Minggu 20 Juni 2010.
Http://id.wikipedia.org/Ordo_Kapusin. Minggu 20 Juni 2010.
Majalah Kalimantan Review, No.IV/ Th. II/ Mei-Agustus, 1993. Majalah Kalimantan Review (KR), No. 96/Th. XII/ Agustus, 2003. Majalah Kalimantan Review (KR), No. I/ Th. IV/ April-Juni, 1995.
74
Majalah Kalimantan Review (KR), No. 5 / Th II/ September-Desember, 1993. Majalah Kalimantan Review (KR), No. 2 / Th. I/ Januari-Juni, 1992. Yonarius Kompu. 2003. Sistem Perladangan Daur Ulang Dayak Kanayatn
Sebagai Upaya Mengembalikan Alam Pada Citranya (Tinjauan Kultural Teologis). Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana. Tidak diterbitkan.
Yohansen, Sejarah Borneo dan Isi Perjanjian Tumbang Anoi. http://bs-ba.Face
Book.com?topic.php?uid=119020229698&topic=11007je napisao/laAugust 24, 2009 u 9:56 prije podne.
C. Sumber Wawancara
N0 Nama Lengkap Umur Pendidikan
Terakhir Pekerjaan Alamat
01 Amuk Jolak 79 Tahun
SR Kepala Adat Dusun Angkamu, Ds. Kayu Ara, Kec. Menyuke, Kab. Landak.
02 Maniamas Midden 69 Tahun
SR Kepala Adat Dusun Saleh, Simpang Aur, kec. Sengah Temila, Kab. Landak.