Top Banner
TRANSFORMASI BUDAYA: UPACARA ADAT TOTOKNG DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh: Hendrikus Kurniawan NIM: 044314001 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010
124

TRANSFORMASI BUDAYA

Oct 23, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TRANSFORMASI BUDAYA

TRANSFORMASI BUDAYA: UPACARA ADAT TOTOKNG

DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

Hendrikus Kurniawan

NIM: 044314001

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

Page 2: TRANSFORMASI BUDAYA
Page 3: TRANSFORMASI BUDAYA
Page 4: TRANSFORMASI BUDAYA

iv

MOTTO

“Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?”

Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada”

(Paulo Cuelho, dalam Sang Alkhemis).

Page 5: TRANSFORMASI BUDAYA

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebuah kado kecil ini aku persembahkan kepada:

Papaku:

Y.V. Madarius

Mamaku:

Yulita Krisnah

Adik-adiku:

Rosalina (Almarhum)

Netty Widiastuty

Winarsih Ratna Sari

Irma suryani

Della Ratu

“Terima kasih atas kasih sayang, dorongan, nasihat, motivasi

dan doanya Tuhan Yesus Memberkati, Aleluya Amin…”

Cahaya Hatiku:

Paulina Rete

“Ma’ Kasih atas kasih sayangmu yang begitu dalam padaku,

sehingga membuat hidup ini menjadi lebih bermakna, bagi

mewujudkan cita-cita ini...”

Page 6: TRANSFORMASI BUDAYA

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali seperti yang telah disebutkan

dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya-

karya ilmiah.

Yogyakarta, 25 Juni 2010

Penulis,

Hendrikus Kurniawan

Page 7: TRANSFORMASI BUDAYA

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Hendrikus Kurniawan

Nomor Mahasiswa : 044314001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: TRANSFORMASI BUDAYA : UPACARA ADAT TOTOKNG DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN. Beserta perangkat yang perlu (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 13 Juli 2010 Yang menyatakan Hendrikus Kurniawan

Page 8: TRANSFORMASI BUDAYA

vii

ABSTRAK

Hendrikus Kurniawan UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam Masyarakat Dayak Kanayatn”, ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan budaya Dayak Kanayatn yang dari hari ke hari semakin dilupakan dan bahkan hampir punah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan awal kemunculan Upacara Adat Totokng, dinamika, makna atau simbol dan sejauh mana fungsinya bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Lebih dari itu, untuk mencari kausalitas munculnya ketegangan budaya sebagai bentuk transformasi budaya dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Secara khusus, penelitian ini menggunakan sumber lisan atau metode wawancara. Selanjutnya, sebagai data-data pendukung menggunakan sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian dan majalah. Sementara dalam upaya untuk memahami masyarakat Kanayatn dan Upacara Adat Totokng menggunakan teori Emile Durkheim tentang pilar-pilar utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred (yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas. Sedangkan, untuk melihat simbol-simbol dalam Upacara Adat Totokng menggunakan metode thick description atau anthropology interpretative milik Clifford Geertz. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, upacara adat totokng merupakan bentuk wujud masyarakat Dayak Kanayatn untuk mengaktualisasi diri kepada adat istiadat, leluhur dan Sang Penciptanya Jubata (Tuhan). Upacara Adat totokng melambangkan sikap “pertobatan” si pengayau”, sebagai upaya memperoleh jalan keselamatan. Selain itu, dengan melaksanakan Upacara Adat Totokng diyakini akan mendatangkan berkah, terutama di bidang pertanian serta untuk menghindari berbagai musibah. Namun demikian dalam perkembangannya, Upacara Adat Totokng telah mengalami transformasi budaya yang signifikan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan munculnya transformasi budaya dalam Upacara Adat Totokng yaitu; Perjanjian Tumbang Anoi 1894, Masuknya Ajaran Agama Katolik dan Modernisasi Upacara Adat Totokng. Kata kunci: Upacara Adat Totokng, masyarakat Dayak Kanayatn dan

Transformasi budaya.

Page 9: TRANSFORMASI BUDAYA

viii

ABSTRACT

Hendrikus Kurniawan SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA

Researching which tittled “Culture Transformation: Upacara Adat Totokng in Dayak Kanayatn Society”, emerged from concerning of Dayak Kanayatn’s culture which abandoned day by day and no longer existed. This research aimed to describe the appear of Upacara Adat Totokng, the dynamics, the meaning or symbol and the founction of Upacara Adat Totokng for the Dayak Kanayatn society. More than that to find the causality the emerge of culture tension as a form of culture transformation in Dayak Kanayatn society.

This research used interview methods. The supporting data used written sources such as book, research report and magazine. Meanwhile in understanding Kanayatn society and Upacara Adat Totokng used Emile Durkheim’s theory about main pilars supporting society which combined internaly. They were the sacred, clarification, ritus and solidarity. On the other hand to figure out the symbols in Upacara Adat Totokng used thick description method or anthropology intepretative by Clifford Geertz.

The results of the research showed that Upacara Adat Totokng was a form of Dayak Kanayatn society to actualize themselves to their ancestors, culture and God. Upacara Adat Totokng symbolized repented of “si pengayau” as a way to get safety. The process of doing Upacara Adat Totokng believed could give blessing, especially in farming and avoided many kinds of disaster. In the development, Upacara Adat Totokng had been experienced culture transformation which were significance. At least there were three things which emerged culture transformation in Upacara Adat Totokng. There were: Tumbang Anoi agreement in 1894, the enter of Catholic doctrine and the modernization of Upacara Adat Totokng. Key words: Upacara Adat Totokng, Dayak Kanayatn society and culture

transformation.

Page 10: TRANSFORMASI BUDAYA

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kasih atas berkat dan bimbingan

tangannya kasihNya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi

yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam

Masyarakat Dayak Kanayatn”.

Tersusunya skripsi ini tidak terlepas dari campuran tangan dan bantuan

dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas semua

bantuannya penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Pada

kesempatan ini penulis dengan penuh ketulusan hati menghaturkan limpah terima

kasih kepada:

1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra.

2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu

Sejarah.

3. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno M. Hum., selaku dosen

pembimbing yang telah perhatian dan meluangkan waktunya dengan sabar

membimbing, mengarahkan, memberi masukan, sehingga penulisan ini

dapat terselesaikan.

4. Dosen-dosen pembimbing akademik seperti bapak Prof. P.J. Soewarno,

S.H. (almarhum), bapak Dr. St. Sunardi, Romo Dr. FX Baskara T.

Wardaya SJ, Romo Dr. G. Budi Subanar SJ, bapak Dr. Anton Haryono M.

Hum., Drs. H. Purwanta M. A., Ibu Dra. Lucia Juningsih M. Hum., dan

bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, yang berkenan menjadi pengajar dan

Page 11: TRANSFORMASI BUDAYA

x

membimbing kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi

mahasiswa di Universitas Sanata Dharma.

5. Karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma kerja

sama yang diberikan kepada penulis penyelesaian skripsi ini.

6. Para-para Informan antara lain, Bapak Maniamas Midden (Mantan Aktivis

Institut Dayakology), Bapak Amuk Jolak (Kepala Adat Binua Satolo,

Menyuke) dan Pastor Yeremias Ofm. Cap (biarawan), yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya.

7. Bruder Bram, MTB, selaku pimpinan Kongregasi Maria Tak Bernoda

(MTB) yang selalu memberikan nasihat, dorongan dan motivasi.

8. Bapak Jhon Bamba, selaku Direktur utama Lembaga Penelitian Institut

Dayakology (ID) yang dengan senang hati memberikan ijin untuk

melakukan penelitian.

9. Kepada keluarga besarku di Darit, Jabeng, Kayuara, Mamek, Bengkayang,

dan di Pontianak. Terima kasih atas tempat tumpangan selama melakukan

penelitian di lapangan dan berserta nasihat-nasihatnya yang membangun.

Tarima kasih manyak boh…(Terima kasih banyak ya…)

10. Bapak Lambertus Rete dan sekeluarga, terima kasih atas dorongan,

motivasi dan nasihat-nasihatnya yang membangun. Terima Kasih banyak

ya…Tuhan Yesus Memberkati. AMIN….

11. Rekan-rekan seperjuangan 2004, The Best My Friend (Gusse, Darwin,

Bay), Anon (Semaun), Mexez dan Maria. Rekan-rekan 05, 06, 07, 08 dan

Page 12: TRANSFORMASI BUDAYA

xi

09. Tetap semangat dan jangan pernah menyerah, bangkitkan terus

jurusan Ilmu Sejarah. “VIVA HISTORY”.

12. Sahabat-sahabatku, Anggoro, Budi, Ibet, Hanu, Tri, Theo Sigit (Dorce

Gama Baru), Alek, Doni, Sedo, Petrus, Ucilo, Denny (Joshua), Jezz

Castro, Bene, Bosse, Ade Bayor, Mukry, Boncel, Niko, kak Githa, kak

Nina, Monik, Vina Rete dan masih banyak lagi yang lainnya.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna karena

terbatasanya data-data yang diperoleh. Oleh karena itu, penulis dengan senang

hati dan penuh keterbukaan, mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut.

Yogyakarta, 25 Juni 2010

Penulis,

Hendrikus Kurniawan

Page 13: TRANSFORMASI BUDAYA

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………. iii

HALAMAN MOTTO………………………………………………………….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………. …. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………....... vi

ABSTRAK……………………………………………………………………… vii

ABSTRACT……………………………………………………………………. vii

KATA PENGANTAR………………………………………………………….. ix

DAFTAR ISI………………………………………………………………... … xii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….. …. 1

1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………. 8 1.3 Tujuan Penelitian.…………………………………………………….. 8 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………. 9 1.5 Tinjauan Pustaka………………………………………………………9 1.6 Landasan Teori………………………………………………………..12 1.7 Metode Penelitian……………………………………………………..14 1.8 Sistematika Penulisan………………………………………………... 16

BAB II MASYARAKAT SUKU DAYAK KANAYATN…………………… 17

2.1 Lokasi Suku Dayak Kanayatn…………………………………………17 2.2 Asal Usul…………………………………………………………… 18 2.2.1 Penciptaan yang dilakukan oleh tiga pribadi Jubata (Tuhan). 18

2.2.2 Alam Semesta Yang Berpusat Pada Pohon Asam Besar………………………………………………………… 19

2.3 Sistem Kepercayaan……………………………………………… 20 2.3.1 Pandangan Terhadap Hidup Manusia……………………… 20 2.3.2 Pandangan Tentang Kematian……………………………… 21

2.4 Sistem Pemerintahan……………………………………………… 23 2.5 Sistem Perekonomian……………………………………………… 24

2.6 Sistem Kekerabatan……………………………………………….. 25

Page 14: TRANSFORMASI BUDAYA

xiii

2.7 Adat Perkawinan..................................................................................26

BAB III UPACARA ADAT TOTOKNG…………………………………… 28

3.1 Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn......…………….................................................................. 29

3.1.1 Tradisi Mengayau …………………………………………. 29 3.1.2 Latar Belakang Adat Mengayau……………………………. 30

3.1.3 Tujuan Mengayau……………............................................... 31 3.2 Prosesi Upacara Adat Totokng……………...................................... 34

3.2.1 Bahaump…………………………………………………… 34 3.2.2 Ngampar Bide……………………………………………… 35

3.2.3 Na’ap Tariu………………………………………………… 36 3.2.4 Pasinyangan………………………………………………… 37 3.2.5 Mare’ Topeng Makatn……………………………………… 38 3.2.6 Ngantat Tariu Pulakng……………………………………… 39 3.2.7 Macah Bantatn……………………………………………… 40 3.2.8 Balamur……………………………………………………… 40 3.2.9 Malutn Bide…………………………………………………. 41 3.2.10 Mulangkatn Kapala Kayo…………………………………… 41 3.3 Simbolisme Upacara Adat Totokng………………………………… 41

BAB IV TRANSFORMASI UPACARA ADAT TOTOKNG………………. 45

4.1 Perjanjian Tumbang Anoi 1894…………………………………. 45 4.2 Pengkristenan Orang Dayak……………………………………… 50 4.2.1 Masuknya Agama Katolik…………………………………. 50 4.2.2 Enkulturasi Budaya………………………………………… 52 4.2.3 Upacara Adat Totokng Dalam Tinjauan Ajaran Katolik….…. 55 4.3 Modernisasi Upacara Adat Totokng………………………………… 56

BAB V FUNSI UPACARA ADAT TOTOKNG BAGI MASYARAKAT

DAYAK KANAYATN……………………………………………… 60

5.1 Konsep Kosmis…………………………………………………… 60 5.2 Penghormatan Kepada Roh Leluhur……………………………… 61

5.3 Melindungi Pertanian……………………………………………… 63 5.4 Membangun Identitas……………………………………………… 64

5.4.1 Pelestarian Tradisi Lisan…………………………………… 64 5.4.2 Upaya Membangun Identitas……………………………… 66

BAB VI PENUTUP………………………………………………………… 68

6.1 Kesimpulan……………………………………………………… 68 6.2 Saran……………………………………………………………… 70

Page 15: TRANSFORMASI BUDAYA

xiv

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 72

LAMPIRAN…………………………………………………………………… 75

Page 16: TRANSFORMASI BUDAYA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Suku Dayak1 identik dengan masyarakat yang mendiami pulau

Kalimantan, sampai saat ini masih memiliki adat istiadat yang kuat. Secara

kompleks, adat istiadat tersebut sangat mempengaruhi pola pikir atau pandangan

hidup masyarakat suku Dayak dalam setiap kehidupannya. Dalam adat istiadat

tercakup sistem nilai budaya, norma dan hukum. Singkatnya adat istiadat adalah

sistem budaya.2

Sistem budaya yang tercermin dalam adat istiadat masyarakat Dayak

memiliki hubungan yang sangat erat dengan tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan

ungkapan ekspresi fisik-mental dalam suatu kebudayaan yang disebarkan secara

lisan dan diwariskan secara turun temurun oleh suatu masyarakat.3 Dengan

1Berdasarkan hasil kesepakatan dalam Seminar Kebudayaan Dayak yang

bertemakan “Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi” antar etnis Dayak se-Kalimantan tahun 1992 di Pontianak, Kalimantan Barat. Maka, secara resmi nama atau istilah “Dayak” mengalami perubahan di mana sebelumnya, Dayak, Dyak, Daya’, kemudian lebih dipertegaskan menjadi “Dayak”. Untuk lebih jelasnya lihat, Jhon Bamba, 2008. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku Dayak Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakology,. hlm. 9-10, Stepanus Djuweng,. Dayak, Dyak, Daya’, Dan Daya (Cermin Kekaburan Sebuah Identitas) dalam Kalimantan Review No.I/Th.I, Januari-Juni, 1992, dan Edi Petebang, 2003. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.

2Paulus Yusnono, 1997. “Peranan Strategis Yang Semestinya Diperankan Dewan Adat” dalam Paulus Florus dkk (ed)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 106.

3Albert Rufinus, 1997. “Tradisi Dalam Tata Upacara Adat Pada Teknologi Pertanian Asli Masyarakat Dayak Kanayatn” dalam Nico Andasputra &

Page 17: TRANSFORMASI BUDAYA

2

demikian, tradisi lisan sangat erat hubungannya dengan cara pandang atau

gagasan dalam menuntun dan menjiwai pedoman kehidupan masyarakat dalam

lingkungan beserta kebudayaannya.

Tradisi lisan juga hidup pada masyarakat Dayak Kanayatn. Adapun jenis-

jenis tradisi lisan yang ditemukan oleh para peneliti lembaga Dayak (Institut

Dayakology) meliputi dua kelompok yaitu: (1) yang bercorak cerita seperti cerita

biasa tales, mitos, legenda, epik; dan (2) yang bukan bercorak cerita seperti

ungkapan, nyanyian, puisi lisan, peraturan/ upacara adat.

1. Bercorak Cerita

a) Singara yaitu jenis cerita rakyat, seperti cerita tentang binatang, pelipur

lara percintaan, dan cerita jenaka.

b) Gesah yaitu cerita yang berhubungan dengan kepercayaan lama,

semisalnya asal usul orang Dayak Bukit (Kanayatn).

c) Osolant yaitu kisah atau tentang asal usul keturunan (sisilah). Osolant dan

Gesah memiliki hubungan yang sangat erat. Sehingga, dalam menjelaskan

tentang asal usul digunakan arti yang sama atau secara bolak-balik oleh

masyarakat.

d) Batimang yaitu cerita yang dibacakan oleh orang tua saat anaknya

beranjak akan tidur.

2. Bercorak Non Cerita

a) Renyah, merupakan sebuah nyanyian atau pantun yang dilantunkan.

Semisalnya, berbentuk sindiran atau berupa nasihat. Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59.

Page 18: TRANSFORMASI BUDAYA

3

b) Murat’an, biasanya berupa doa agar seseorang tidak tertimpa malapetaka.

c) Gawe, merupakan upacara atau pesta ucapan syukur atau menandai awal

suatu kehidupan baru, seperti, naik dango (pasca panen), gawe balak (awal

masa remaja) dan gawe panganten (menempuh hidup baru berkeluarga).

d) Liatn, merupakan upacara asli adat Dayak Kanayatn yang memiliki

kekuatan magis dan sakral. Liatn biasanya berbentuk tarian, doa dan prosa

berirama. Upacara adat ini biasanya dilaksanakan ketika adanya

pengobatan, permohonan niat dan sebagainya.

e) Totokng, merupakan upacara adat besar sebagai penerimaan dan

pemeliharaan kepala hasil mengayau.4

Berdasarkan pengelompokkan di atas, upacara adat totokng tergolong ke

dalam tradisi lisan yang bercorak non cerita. Upacara adat totokng adalah ritual

yang dilakukan oleh nenek moyang suku Dayak pada zaman dahulu setelah

melakukan kegiatan mengayau. Mengayau artinya mencari kepala atau memotong

kepala musuh. Dalam tradisi masyarakat Dayak Lamandau dan Delang di

Kalimantan Tengah, ”mengayau” berasal dari kata “kayau” atau “kayo” yang

artinya mencari. Mengayau artinya mencari kepala; “ngayau” adalah orang yang

mencari kepala. Kata “ngayau”, bisa juga diartikan dengan orang yang mencari

kepala atau memotong kepala musuh.5 Menurut masyarakat Dayak Kanayatn, kata

“mengayau” mempunyai 3 komponen makna. “Kayo” artinya mencari, “ngayo”

4Ibid., hlm. 98-99. Lihat juga Stepanus Djuweng dkk (ed), 2003. Tradisi

Lisan Dayak: Yang Tergusur Dan Terlupakan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59-66.

5Edi Petebang, 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 3.

Page 19: TRANSFORMASI BUDAYA

4

artinya adalah orang yang mengayau, dan “mengayo” adalah kata kerja yang

artinya melakukan praktek kayo.6

Mengayau adalah adat atau ritual yang dilakukan secara khusus sesuai

dengan aturan-aturan adat yang berlaku. Jadi, dalam hal ini mengayau tidak bisa

dilakukan dengan sembarangan. Menurut adat, mengayau sesungguhnya adalah

hukuman yang teramat berat bagi pihak yang “menang”.7 Dalam konteks ini, bagi

pihak yang menang harus membayar adat dengan melaksanakan upacara adat

totokng selama tujuh keturunan. Dengan melaksanakan upacara adat tersebut,

maka pihak si pengayau diyakini akan mendapat semacam pengampunan dari

kepala orang yang di kayau dan dipercaya akan terhindar dari jukat (musibah).8

Namun demikian sejarah kemunculan pengayauan dalam masyarakat

Dayak sebenarnya sampai saat ini belum ada yang mengetahui dengan jelas,

kapan praktek dari kegiatan itu mulai terjadi. Salah satu sumber untuk mengetahui

kapan dimulainya adat mengayau ini dengan merekonstruksi tradisi lisan (cerita

rakyat) orang Dayak, karena adat mengayau terdapat dalam berbagai cerita rakyat

dari berbagai sub-suku Dayak. Menurut tradisi lisan Dayak, adat mengayau sudah

dilakukan jaman purbakala, ketika manusia dengan Tuhannya serta semua

binatang masih dapat saling berkomunikasi (berbicara).9

6Ibid. 7Ibid., hlm. 4. 8Hasil wawancara dengan Maniamas Midden. Tanggal 7 Maret 2009. Di

dusun Saleh, Simpakng Aur, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. 9Edi Petebang., op. cit., hlm. 9.

Page 20: TRANSFORMASI BUDAYA

5

Terkait dengan hal di atas, secara historis dalam tradisi lisan Dayak

Kanayatn, kegiatan adat totokng sejaman atau sama tuanya dengan adat

mengayau. Secara kronologis, kedua ritual adat tersebut memiliki kesinambungan

dan keterkaitan. Upacara adat totokng merupakan perayaan terakhir dari kegiatan

mengayau. Karena setelah berhasil mendapatkan kepala dari si pengayau, maka

upacara ritual adat itu baru bisa dilaksanakan.

Hanya saja, tradisi adat totokng ini menjadi langka setelah pemerintah

Kolonial Hindia Belanda membuat kesepakatan damai atau yang lebih dikenal

dengan “Perjanjian Tumbang Anoi”, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Januari

1894 sampai dengan 30 Maret 1894 di rumah Damang Bahtu, Lovu kampung

Tumbang Anoi (Kalimantan Tengah). Perjanjian damai itu dihadiri hampir

seluruh pemuka adat suku Dayak di Borneo (Kalimantan). Dalam pertemuan

tersebut, seluruh para pemuka adat Dayak sepakat tidak lagi saling mengayau.10

Kesepakatan damai tersebut tidak begitu saja ditaati, bahkan tetap saja

berlanjut sampai dengan tahun 1930-an. Di mana sekitar 1930-an, kegiatan

mengayau masih berlaku dalam masyarakat Dayak Punan (Kapuas Hulu-

Kalimantan Barat), Dayak Iban (Sarawak-Malaysia) dan Dayak Lamandau

(Kalimantan Tengah).11 Namun, setidaknya melalui kesepakatan damai tersebut

membuat kegiatan pengayauan antar sub-suku Dayak menjadi sedikit berkurang.

Sehubungan dengan itu, kemunculan para missionaris Katolik dan zending

Protestan juga mempengaruhi tingkat kesadaran orang-orang Dayak untuk

10Elias Ngiuk, 2003. “Totokng, Menghapus Dosa Mengayau” dalam

Majalah Kalimantan Review (KR)., Agustus 2003., hlm. 39. 11Ibid., hlm. 4.

Page 21: TRANSFORMASI BUDAYA

6

perlahan-lahan menghilangkan kebiasaan adat mengayau. Dalam hal ini, para

missionaris dan zending banyak keluar-masuk ke daerah pedalaman suku Dayak

untuk memberikan khotbah tentang ajaran cinta kasih.

Dalam perkembangannya, para missionaris dan zending di Kalimantan

Barat telah berhasil mengemban misi suci untuk memajukan masyarakat Dayak.

Untuk memajukan suku Dayak, mereka membuka sekolah-sekolah dengan

maksud memerangi apa yang mereka sebut sebagai “kebodohan”.12 Oleh karena

itu, melalui pendidikan memberikan peradaban yang lebih maju yang kadangkala

disertai dengan tindakan pelecehan atau penolakan terhadap adat istiadat, budaya

dan agama adat.13

Pada tahun 1950-an di daerah Jangkang (Sanggau Kapuas), terjadi

penghapusan terhadap upacara ritual totokng, belian (dukun),14 dan yang lainnya

karena dianggap kuno, primitif, tidak beradab (uncivilized), kotor, takhayul dan

ateis.15 Dengan penghapusan tersebut, secara tidak langsung memutus ikatan

orang-orang Dayak dan budayanya dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru

yang dianggap lebih beradab (maju).

Pada masa kini kebudayaan Dayak telah mengalami masa transformasi

budaya yang sangat signifikan. Namun, perubahan-perubahan tersebut kerap

membuat kebudayaan Dayak berada di persimpangan jalan. Salah satu

12Ricardus Giring, 2004. “Agama Adat Orang Dayak di “Titik” Degradasi”

dalam Petronella Regina (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 19.

13Ibid. 14Belian merupakan upacara ritual adat untuk memohon kesembuhan dari

berbagai macam bentuk penyakit.

15Ricardus Giring., op.cit., hlm. 22.

Page 22: TRANSFORMASI BUDAYA

7

penyebabnya adalah ketidakmampuan orang Dayak dalam mempertahankan dan

melestarikan budayanya.

Sebagaimana uraian di atas, budaya masyarakat Dayak Kanayatn juga

mengalami hal yang sama. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab

terjadinya perubahan dalam budaya masyarakat Dayak Kanayatn; (1) faktor intern

meliputi melemahnya struktur-struktur adat dan pemerintahan setempat; (2) faktor

ekstern meliputi teknologi dan informasi. Dari kedua penyebab tersebut, tentunya

sangat mempengaruhi tradisi lisan Dayak Kanayatn. Transformasi budaya yang

cenderung meninggalkan tradisi asli Dayak Kanayatn dapat dilihat dari

keengganan generasi muda untuk belajar ritual upacara adat totokng. Menurut

mereka upacara adat totokng identik dengan tradisi kuno atau primitif di tengah-

tengah modernitas yang menggejala di Kalimantan Barat.

Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng

Dalam Masayarakat Dayak Kanayatn, ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan

budaya Dayak Kanayatn yang dari hari ke hari semakin dilupakan dan bahkan

hampir punah. Selain itu, munculnya sejumlah pandangan atau pemahaman yang

terkadang kabur dalam memahami budaya Dayak. Semisalnya, mengenai adat

mengayau yang kerap membuat suku Dayak dicap sebagai suku yang tidak

beradab, ateis, kotor, kanibal dan yang lainnya. Dalam rangka untuk menjawab

sejumlah pandangan atau pemahaman yang bernada negatif tersebut, maka

penelitian ini mencoba menguraikan bagaimana awal kemunculan upacara adat

totokng, makna, simbol-simbol, dinamika dan sejauhmana fungsinya bagi

masyarakat Dayak Kanayatn.

Page 23: TRANSFORMASI BUDAYA

8

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak dari latarbelakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Mengapa masyarakat Dayak Kanayatn melakukan Upacara Adat totokng?

2. Bagaimana dinamika Upacara Adat totokng pada masyarakat Dayak

Kanayatn?

3. Sejauhmana fungsi Upacara Adat totokng bagi masyarakat Dayak

Kanayatn?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Akademis

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

mendeskripsikan serta menganalisa latarbelakang munculnya upacara totokng

dalam masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Selain itu, penelitian ini

juga menjelaskan tata cara pelaksanaan upacara adat totokng serta peranan

upacara adat totokng bagi masyarakat Dayak Kanayatn.

2. Praktis

Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, penelitian ini bertujuan untuk

memberikan pemahaman bahwa upacara adat totokng masih memiliki fungsi yang

sangat signifikan. Dengan mengingat akan begitu pentingnya upacara adat ini bagi

aspek kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn, maka upacara adat ini harus tetap

di laksanakan secara turun temurun.

Page 24: TRANSFORMASI BUDAYA

9

1.4 Manfaat Penelitian

1. Teoretis

Penelitian ini bermanfaat bagi penelitian-penelitian tentang kebudayaan

Dayak, serta lebih khusus lagi menyangkut soal adat istiadat Dayak Kanayatn.

Sumbangan dari tinjauan historis adalah memberikan konteks kesejarahan atas

munculnya sebuah tradisi. Dalam konteks upacara adat totokng, penelitian ini

memberikan penjelasan historis tentang kemunculan upacara adat totokng serta

perkembangannya di kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

2. Praktis

Dalam dimensi praksis, keterangan sejarah menyangkut upacara adat

totokng bermanfaat bagi masyarakat Dayak Kanayatn terlebih bagi generasi

muda agar tidak melupakan budaya leluhur serta melestarikannya. Dengan

demikian, sehingga pemahaman atas upacara adat totokng tidak hanya dimaknai

sebagai ritualitas kebudayaan yang bersifat monumental. Melainkan dapat

bermanfaat bagi pembentukan serta pelestarian identitas Dayak Kanayatn.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini berdasarkan hasil riset di lapangan berupa wawancara dan

pengamatan. Sedangkan untuk mendukung data-data yang diperoleh dari

lapangan, maka diperlukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku, laporan

penelitian, majalah dan artikel di internet.

Patut diakui bahwa penelitian sejenis sudah dilakukan oleh para peneliti

terdahulu. Hasil-hasil penelitian yang sudah dibukukan atau ditulis dalam jurnal

hasil penelitian itu antara lain adalah “Totokng, Menghapus Dosa Mengayau”

Page 25: TRANSFORMASI BUDAYA

10

dalam Majalah Kalimantan Review (KR) terbitan Agustus 2003 yang ditulis oleh

Elias Ngiuk. Majalah ini menguraikan awal kemunculan upacara adat totokng,

prosesi, makna simbol-simbol dan fungsinya. Namun, majalah ini belum lengkap

menguraikan apa yang mendasari orang Dayak Kanayatn untuk melaksanakan

upacara adat totokng.

Selanjutnya adalah Buku Narasi Upacara Adat Totokng yang ditulis oleh

Maniamas Midden S. Buku ini menuliskan tentang prosesi upacara adat totokng

secara lebih terperinci. Selain itu, buku ini juga menjelaskan awal kemunculan

upacara adat totokng, makna dan simbol-simbol dari upacara adat tersebut.

Namun, buku ini tidak menjelaskan munculnya transformasi budaya dalam

upacara adat totokng.

Buku yang ditulis Edi Petebang Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu,

Mangkok Merah. Buku ini menguraikan awal kemunculan tradisi mengayau

dalam masyarakat Dayak dan hanya sedikit menjelaskan tentang upacara adat

totokng, sehingga belum mampu untuk menjawab apa yang melatarbelakangi

orang Dayak Kanayatn dan sejauhmana fungsinya bagi masyarakat tersebut.

Buku selanjutnya adalah Tradisi Lisan Dayak yang Tergusur dan

Terlupakan ditulis oleh Stephanus Djuweng dkk. Buku ini merupakan hasil

penelitian dari tim peneliti lembaga Institut Dayakology (ID) yang dilakukan di

berbagai tempat dalam sub-sub suku Dayak di Kalimantan Barat, seperti Dayak

Simpakng, Bukit (Kanayatn), Pompakng dan Krio. Karena topik penelitianya

tentang Dayak Kanayatn, maka itu, lebih difokuskan untuk memahami tradisi

lisan Dayak Kanayatn. Dalam buku ini hanya sedikit menjelaskan tentang upacara

Page 26: TRANSFORMASI BUDAYA

11

adat totokng, sehingga belum mampu untuk menjawab latar belakang

kemunculan, dinamika, simbol-simbol dan sejauhmana fungsinya bagi masyarakat

Dayak Kanayatn.

Kemudian, buku yang berjudul Mencermati Dayak Kanayatn tulisan

Nico Andasputra dan Vincentius Julipin bercerita tentang awal kemunculan

orang-orang Dayak Kanayatn serta tradisi-tradisi yang melingkupinya. Buku ini

sangat penting dijadikan sebagai sumber penelitian untuk memahami sejauhmana

proses dari budaya Dayak Kanayatn lewat ide-ide, konsep-konsep dan

aktivitasnya.

Buku Mickhail Commans yang berjudul Manusia Daya; Dahulu,

Sekarang dan Masa Depan menuliskan perjalanan sejarah masyarakat Dayak

secara umum di Kalimantan Timur. Dalam hal ini, Commans, ingin memaparkan

tentang realitas sosial masyarakat Dayak dan kebudayaanya. Selain itu, juga

dijelaskan mengenai masalah-masalah munculnya proses transformasi dalam

budaya Dayak.

Buku yang berjudul Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi

yang ditulis oleh Paulus Florus dkk. Bercerita tentang realitas sosial kehidupan

dari suku Dayak pada umumnya, serta peranannya dan sejauhmana eksistensi

budaya Dayak dalam proses terciptanya pembangunan Nasional.

Berdasarkan sumber-sumber di atas, penelitian ini tidak hanya untuk

mendeskripsikan tentang masyarakat Dayak kanayatn dan upacara adat totokng

semata, tetapi sejarah munculnya ketegangan budaya. Penelitian ini akan mencoba

mencari kausalitas munculnya ketegangan sebagai bentuk dari transformasi

Page 27: TRANSFORMASI BUDAYA

12

budaya Dayak, terutama masyarakat Dayak Kanayatn. Inilah yang membedakan

penulisan ini dengan karya-karya peneliti terdahulu.

1.6 Landasan Teori

Dalam kajian sejarah, penggunaan landasan teori dimaksudkan untuk

mengidentifikasi fakta-fakta sejarah menjadi klasifikasi-klasifikasi tertentu,

sehingga penyusunan narasi sejarah dapat lebih kronologis dan sistematis. Secara

lebih spesifik, landasan teori atau “kerangka pemikiran” bertujuan untuk

menangkap, menerangkan dan menunjukan masalah yang telah didefinisikan.16

Dengan demikian, untuk melengkapi semuanya tersebut ilmu sejarah

membutuhkan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, agama,

politik dan ekonomi. Dalam kajian sejarah, ilmu-ilmu sosial tersebut bermanfaat

untuk memperkaya wacana penulisan sejarah. Artinya, teori-teori ilmu sosial itu

memiliki daya penjelas yang lebih besar bagi sejarawan dalam memberikan

keterangan historis (historical explanation).

Penelitian ini menggunakan teori Emile Durkheim, tentang pilar-pilar

utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred

(yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas.17 Pada dasarnya, keeempat pilar-

pilar tersebut tidak dapat dipisahkan, di mana the sacred merupakan induk utama

yang berperan penting untuk menciptakan kesatuan masyarakat.

16Dudung Abdurahman, 2007. Metodologi Penelitian Sejarah.

Yogyakarta: Az-Ruzz Media., hlm. 61. 17Johanes Supriyono, 2005. “Paradigma Kultural Masyarakat Durkheim”

dalam Mudji Sutrisno & Hendra Putranto (ed)., Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius., hlm. 89.

Page 28: TRANSFORMASI BUDAYA

13

Menurut Emile Durkheim, the sacred (yang keramat) bisa diartikan

sebagai moralitas atau agama. The sacred juga bisa berubah menjadi ideologi atau

semacamnya yang menjadi utopia masyarakat. Nilai-nilai yang disepakati (the

sacred) berperan penting menjaga keutuhan dan ikatan sosial masyarakat, secara

normatif dapat mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Dengan

demikian, masyarakat tidak dizinkan untuk melanggar nilai-nilai tersebut.18

Dalam konteks penelitian ini, maka perlu dilihat pilar-pilar pendukung

masyarakat tentang ritus atau ritual. Ritus merupakan mediasi yang berakar dari

the sacred, yang menghadirkan kembali makna realitas dalam masyarakat (makna

sosial). Dalam hal ini, ritus memiliki kekuatan untuk memperkokoh keberakaran

rasa kolektivitas, sehingga masyarakat menempatkan ritus sebagai sumber

kekeramatan bersama.

Sementara itu, untuk memahami simbol atau makna mengenai upacara

adat totokng, akan digunakanya teori thick description yang dikembangkan oleh

Clifford Geertz. Menurut Geertz, budaya merupakan kesatuan yang kompleks

dengan membaca dari tanda-tanda, simbol-simbol, mitos-mitos rutinitas dan

kebiasaan-kebiasaan dalam sistem budaya masyarakat. Dalam perumusan teori

ini, Geertz menggunakan pendekatan hermeneutik. Untuk memahami semua itu,

Geertz menganjurkan sebuah metode deskripsi mendalam atau anthropology

interpretative.19

18Ibid., hlm. 9. 19Mh. Nurul Huda, 2005. “Budaya Teks: Narasi Dan Hermeutik” dalam

Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed)., Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius., hlm. 212.

Page 29: TRANSFORMASI BUDAYA

14

Menurut Geertz, metode ini merupakan intrepretasi yang komprehensif

dan fokus etnografis terhadap peristiwa-peristiwa kecil dan waktu-riel dari pada

terobsesi untuk menemukan lautan makna dan merencanakan yang abstrak.20

Dalam etnografis, tugas teori adalah menyediakan sebuah kosakata di mana apa

yang harus dinyatakan tindakan simbolis tentang dirinya, yakni tentang peranan

kebudayaan dalam kehidupan manusia dapat diungkapkan.21 Lebih dari itu,

dengan menggunakan metode thick description, bermaksud untuk menangkap

cara berpikir atau pola kerja dari sistem budaya.

1.7 Metode Penelitian

Metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan objek penelitian.

Selain itu, metode juga bisa diartikan bagaimana cara untuk membuat atau

mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur.22 Dalam

metode penelitian sejarah, metode ini bertujuan agar penulisan sejarah menjadi

lebih terstruktur dan sistematis.

Terkait dengan hal di atas, maka penelitian ini akan menggunakan metode

penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo dalam penelitian sejarah secara umum

terdapat lima tahapan yaitu, pemilihan topik, pengumpulan sumber, Verifikasi

20Ibid., hlm. 213. 21Clifford Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius., hlm. 35. 22Suhartono W. Pranoto, 2010. Teori dan Metodologi Sejarah.

Yogyakarta: Graha Ilmu., hlm. 11.

Page 30: TRANSFORMASI BUDAYA

15

(kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi: analisis & sintesis dan

penulisan.23

Berdasarkan metode penelitian di atas, pemilihan topik sudah ditentukan

yaitu upacara adat totokng dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Setelah topik

penelitian berhasil ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah pengumpulan

sumber. Penelitian ini menggunakan sumber lisan dan tertulis. Sumber lisan

dilakukan dengan metode wawancara. Metode wawancara ini dilakukan dengan

mewawancarai kepala adat, biarawan dan mantan aktivis Institut Dayakology.

Wawancara tersebut dilakukan di Kecamatan Menyuke, Sengah Temila dan

Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sedangkan, sumber sekunder

diperoleh dengan studi pustaka, seperti, buku-buku, laporan penelitian dan artikel-

artikel di Institut Dayakology dan dari internet.

Setelah sumber-sumber itu terkumpul, selanjutnya dilakukan pemilahan

yang bertujuan untuk melihat mana-mana saja sumber yang layak dipakai sebagai

bahan kajian penelitian. Kemudian, untuk menguji kebenaran dan akurasi atau

ketepatan sumber-sumber tersebut menggunakan cara kritik ekstern dan intern

atau yang lebih dikenal dengan “metode verifikasi” (keabsahan sumber).

Tahapan selanjutnya, setelah sumber-sumber tersebut diuji tingkat

kebenarannya (validitas), kemudian dikumpulkan menjadi satu dan

dinterpretasikan untuk menemukan kesimpulan. Setelah sumber-sumber tersebut

selesai diintrepretasikan, kemudian sampailah pada tahapan terakhir yaitu, metode

penulisan.

23Kuntowijoyo, 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarata: Bentang., hlm. 91.

Page 31: TRANSFORMASI BUDAYA

16

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil Penelitian ini dijabarkan ke dalam tulisan dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab I Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan

Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II berisikan Masyarakat Suku Dayak Kanayatn, yang akan diuraikan

dalam beberapa sub bab; Lokasi Suku Dayak Kanayatn, Asal Usul, Sistem

Kepercayaan, Sistem Pemerintahan, Sistem Perekonomian, Sistem Kekerabatan

dan Adat Perkawinan.

Bab III berisikan Upacara Adat Totokng, yang akan diuraikan dalam

beberapa sub bab; Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn,

Prosesi Upacara Adat Totokng dan Simbolisme Upacara Adat Totokng.

Bab IV berisikan Transformasi Upacara Adat Totokng, yang akan

diuraikan dalam beberapa sub bab yakni; Perjanjian Tumbang Anoi 1894,

Pengkristenan Orang Dayak dan Modernisasi Upacara adat Totokng.

Bab V berisikan Fungsi Upacara Adat Totokng Bagi Masyarakat Dayak

Kanayatn, yang akan diuraikan dalam beberapa sub bab yakni; Konsep Kosmis,

Penghormatan Kepada Roh Leluhur, Melindungi Pertanian dan Membangun

Identitas.

Bab VI Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

Page 32: TRANSFORMASI BUDAYA

17

BAB II

MASYARAKAT SUKU DAYAK KANAYATN

2.1 Lokasi Suku Dayak Kanayatn

Suku Dayak Kanayatn24 merupakan salah satu sub-suku Dayak yang

terdapat di Propinsi Kalimantan Barat. Dayak Kanayatn biasanya dikenal sebagai

orang Dayak Ba’ahe dan Banana’. Sebutan ini disesuaikan karena sebagian besar

masyarakat suku Dayak Kanayatn berdialek menggunakan bahasa Ba’ahe dan

Banana’.

Secara garis besar tempat pemukiman suku Dayak Kanayatn tersebar luas

di dua kabupaten yaitu, Landak dan Pontianak. Di kabupaten Landak terdapat di

kecamatan Karangan, Menjalin, Menyuke, Menyuke Hulu, Meranti, Air Besar,

Sengah Temila, Toho dan Mandor. Sementara di kabupaten Pontianak terdapat di

kecamatan Anjungan, Toho dan Sungai Ambawang.25

2.2 Asal Usul

Asal usul masyarakat Dayak Kanayatn, secara terperinci terungkap dalam

tradisi lisannya. Dari tradisi lisan tersebut dengan jelas dikisahkan tentang

24Mengenai kata “Kanayatn”, menurut penuturan Maniamas Midden

(Kepala Adat Binua Talaga, Simpang Aur, Kec. Sengah Temila Kab. Landak), bahwa sebelumnya tidak ada satu pun orang Dayak Kanayatn yang mengatakan dirinya “kanayatn”. Mereka hanya menyebut dirinya Dayak Bukit. Kata “Kanayatn” mulai akrab ditelinga orang-orang Dayak Kanayatn pada tahun 1980-an. Persis pada saat diadakannya upacara adat naik dango di Anjungan, kabupaten Pontianak. Untuk lebih jelasnya lihat Jhon Bamba, 2008. Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.

25Jhon Bamba, 2008. Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 37.

17

Page 33: TRANSFORMASI BUDAYA

18

penciptaan alam semesta dan manusia. Ada dua versi yang berbeda tentang kisah

penciptaan yakni: kisah penciptaan yang dilakukan oleh tiga Jubata (Tuhan) dan

Alam semesta yang berpusat pada Pohon Asam Besar (Pusat Ai’ Pauh Janggi).

2.2.1 Penciptaan Yang Dilakukan Oleh Tiga Pribadi Jubata (Tuhan)

Ketiga pribadi Jubata yang turut andil dalam menciptakan dunia dan

manusia itu adalah Jubata Ne’ Jubata Panitah, Jubata Ne’ Patampa atau Jubata

Ne’ Panjaji dan Jubata Ne’ Pangedokng. Menurut kisah penciptaan tersebut

ketiga nama pribadi untuk Jubata (Tuhan) ini bukan berarti ada tiga Jubata,

melainkan hanya satu pribadi Pencipta. Dari sabda atau titah Jubata Ne’ Panitah

(yang betitah) ditempalah manusia dari tanah liat segambar dengan diri-Nya.26

Pekerjaan menempa ini dilakukan oleh Jubata Ne’ Patampa. Setelah

proses penciptaan selesai, Jubata Ne’ Panjaji menjadikannya persis dengan

gambaran Jubata (Sang Pencipta). Namun hasil karya Jubata Ne’ Pajanji dan Ne’

Patampa belum sempurna karena manusia tersebut belum bernapas. Untuk

menyempurnakan manusia tersebut Jubata Ne’ Pangedokng memberikan nafas,

sehingga hidup. Dari akhir penciptaan ini terciptalah sepasang manusia yaitu Ne’

Adam dan Ne’ Siti Hawa.27

26Nico Andasputra dan Vincentius Julipin, 1997. “Orang Kanayatnkah

atau Orang Dayak Bukit?” dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 3.

27Ibid., hlm. 3-4.

Page 34: TRANSFORMASI BUDAYA

19

2.2.2 Alam Semesta Yang Berpusat Pada Pohon Asam Besar

Menurut kisahnya, pohon asam besar ini adalah pohon kehidupan sumber

segala sumber penciptaan dan kepada-Nya semua ciptaan akan kembali. Dari

kisah penciptaan tersebut memiliki peranan yang penting dalam kejadian alam

semesta dan kisah penciptaan manusia adalah perkawinan kosmis. Kisah

penciptaan tersebut sebagai berikut:

“Kulikng langit dua putar tanah’ Sino Nyandong dan Sino Nyoba. Memperanakan Si Nyati anak Balo Bulatn, Tapancar anak matahari Memperanakan Iro-iro dua angin-angin Memperanakan Uang-uang dua Gantong Tali Memperanakan Tukang Nange dua Malaekat Memperanakan Sumarakng Ai’ sumarakng sunge Memperanakan Tunggur batukng dua mara puhutn Memperanakan Antayut dua Barujut Memperanakan Popo’ dua rusuk”.28

Terjemahan: Kubah langit dan bulan bumi, Sino Nyandong dan Sino Nyoba Memperanakan Si Nyati puteri bulan dan terpancar putera matahari Memperanakan Kacau Balau dan Badai Memperanakan Udara Mengawang dan Embun Menggantung Memperanakan Pandai besi dan Sang Dewi Memperanakan Segala air dan segala sungai

28Fridolin Ukur, 1994. “Makna Religi Dari Alam Sekitar Dalam

Kebudayaan Dayak” dalam Paulus Florus dkk (ed)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Institut Dayakology., hlm. 6-7

Page 35: TRANSFORMASI BUDAYA

20

Memperanakan Bambu dan perpohonan Memperanakan Tumbuhan merambat dan umbi-umbian Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga.

Kemudian berdasarkan penuturan sejarah yang lain dijelaskan, bahwa

Kesejukan Lumpur itu adalah isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami.

Mereka memperanakkan sepasang manusia bernama Ne’ Galeber dan istrinya

bernama Ne’ Anteber. Sepasang insan inilah yang dianggap sebagai nenek

moyang suku Dayak Kanayatn.29

2.3 Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan yang akan dibahas pada bagian ini adalah pandangan

suku Dayak Kanayatn terhadap hidup manusia dan pandangan terhadap kematian.

2.3.1 Pandangan Terhadap Hidup Manusia

Dalam pandangan hidupnya, suku Dayak Kanayatn sangat percaya dan

patuh terhadap aturan-aturan yang dapat mengatasi segala hal yang terjadi di alam

semesta ini. Aturan alam raya ini diyakini bersifat stabil, selaras dan kekal serta

menentukan kemuliaan dan kebahagian bagi manusia. Di mana di dalamnya

terdapat pola dasar yang tetap dan tertentu, yang memberikan makna kepada

segala apa yang ada. Oleh sebab itu, perbuatan manusia harus disesuaikan dengan

aturan alam raya tersebut.

Manusia yang hidup selaras dan patuh terhadap aturan-aturan akan

mencapai kebahagiaan. Keselarasan tingkah laku manusia dengan aturan yang

29Ibid.

Page 36: TRANSFORMASI BUDAYA

21

universal itu akan mengangkat hidup manusia menjadi otentik dan bernilai

luhur.30 Oleh sebab itu, manusia harus menaruh harapan kepada Penciptanya

Jubata (Tuhan).

Kehidupan merupakan proses yang telah diatur oleh Jubata (Sang

Pencipta). Manusia itu harus melaksanakan aturan-aturan yang bersifat universal

lewat ketaaatannya pada adat istiadat. Dengan demikian, ia akan dicintai oleh

penguasa alam semesta, sedangkan bagi mereka yang tidak taat akan dihukum

dalam rupa penyakit, bencana alam, kelaparan dan yang lainnya.

Dayak Kanayatn percaya bahwa manusia memiliki jiwa dan roh keduanya

bersifat kekal. Sumangat (jiwa) merupakan kekuatan inti badan atau tubuh.

Dengan jiwa, manusia dapat berpikir dan merasa dan bertindak. Sedangkan, roh

manusia setelah mati akan kembali ke Subayatn (alam baka).31

2.3.2 Pandangan Tentang Kematian

Kematian merupakan suatu proses yang bersifat alamiah. Bagi masyarakat

Dayak Kanayatn peristiwa kematian adalah hal yang wajar, asalkan bukan

kecelakaan, bunuh diri dan mati melahirkan. Dalam konteks ini, manusia harus

bisa memahami dirinya sebagai unsur alamiah yang berasal dari alam dan akan

kembali ke Subayatn (surga).

30Dihi Dillen, 1993, “Alam Kehidupan dan Kematian Bagi Suku Dayak Kanayatn”, dalam Majalah Kalimantan Review (KR), No. 4/Th. II/ Mei-Agustus, hlm. 33.

31Dihi Dillen dan Vincentius, 1997. “Alam Kehidupan Dan Kematian Menurut Dayak Kanayatn” dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontiank: Institut Dayakology., hlm. 53.

Page 37: TRANSFORMASI BUDAYA

22

Menurut kepercayaan suku Dayak Kanayatn, roh dan jiwa orang yang

telah meninggal akan kembali ke Subayatn. Oleh sebab itu, orang yang telah

meninggal harus dikuburkan dengan cara yang pantas. Apabila tidak dikuburkan

dengan cara yang pantas, maka jiwa dan roh orang yang telah meninggal diyakini

akan menjadi pidara (hantu).32

Peristiwa kematian dipercayai sebagai peralihan dari dunia bawah (dunia

manusia) ke dunia atas (dunia abadi tempat keilahian). Kematian adalah awal dari

taraf hidup yang serba baru. Oleh karena itu, selayaknya diadakan upacara yang

sebaik mungkin untuk mengantarkan jasad orang yang telah meninggal ke tempat

yang baru, ke martabat hidup yang baik dengan mengembalikannnya kepada

Jubata (Tuhan). Dalam hal ini, jasad orang yang telah meninggal pada saat

upacara pemakaman diberi pesan berupa nasihat, petunjuk-petunjuk yang harus

diikuti supaya ia tidak tersesat menuju ke tempatnya semula.33

Sebelum sampai pada puncak upacara pemakaman, biasanya jasad orang

yang meninggal diberi sejumlah perangkat adat, seperti makanan, minuman,

pakaian dan alat-alat pertanian sebagai lambang bekal hidup abadi. Dalam hal ini,

yang menjadi inti kepercayaan adalah jiwa dan roh manusia yang berasal dari

kekekalan untuk hidup selama-lamanya dan kembali ke Jubata (Tuhan).34

32Ibid. 33Dihi Dillen., op. cit., hlm. 34-45. 34Ibid.

Page 38: TRANSFORMASI BUDAYA

23

2.4 Sistem Pemerintahan

Masyarakat Dayak Kanayatn tidak mengenal sistem pemerintahan seperti

yang diterapkan di Negara Indonesia atau beberapa negara lainnya di dunia.

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, sistem pemerintahan mereka dibagi dalam

beberapa wilayah yang di sebut binua.35 Setiap binua tersebut biasanya dipimpin

oleh Timanggong (Kepala Adat), yang berperan sebagai abdi bagi seluruh

masyarakat.

Dalam suatu wilayah Katimanggongan ada yang disebut radakng

(kampung, desa dan dusun). Semua persoalan yang menyangkut keamanan

radakng beserta peraturan yang berlaku ditangani oleh Timanggong setelah

mencapai kesepakatan melalui baharump (musyawarah). Kemudian di bawah

Timanggong terdapat Pasirah (penasihat adat) yang berperan memberi saran atau

petunjuk kepada Timanggong, sebelum memutuskan segala sesuatu demi

kepentingan bersama.

Namun demikian, sejak pemerintahan Orde Baru menetapkan Undang-

Undang No. 5 Tahun 1979, sistem pemerintahan suku Dayak Kanayatn yang

seperti ini menyatu ke dalam pemerintahan yang diterapkan. Dengan

ditetapkannya undang-undang tersebut, membuat peranan Timanggong selaku

pemimpin masyarakat dan adat menjadi lemah, karena setiap keputusan atau

35Yonarius Kompu. 2003. Sistem Perladangan Daur Ulang Dayak

Kanayatn Sebagai Upaya Mengembalikan Alam Pada Citranya (Tinjauan Kultural Teologis)., Malang: (Skripsi ) Sekolah Tinggi Filsafat Teologi., hlm. 17.

Page 39: TRANSFORMASI BUDAYA

24

kebijkakan yang diambil kebanyakan berdasarkan pertimbangan dari kepala

desa.36

2.5 Sistem Perekonomian

Dalam dunia perekonomian, orang Dayak pada umumnya di Kalimantan

Barat membiarkan perekonomian mereka diatur oleh sekelompok suku lain.37 Hal

ini juga berlaku untuk masyarakat Dayak Kanayatn. Sistem perekonomian yang

dimaksudkan di sini adalah mata pencaharian pokok. Mata pencaharian pokok

sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn adalah petani karet.

Sistem pertanian suku Dayak Kanayatn dilakukan secara terpadu. Selain

sebagai petani karet, mereka pun memelihara berbagai macam hewan ternak,

seperti ayam, babi, sapi, itik dan yang lainnya. Hasil peternakan ini selain

digunakan dalam berbagai upacara adat, juga dikonsumsi sendiri dan dijual untuk

membeli kebutuhan hidup.

Selain bertani dan beternak, untuk menunjang perekonomiannya mereka

juga memanfaatkan hasil hutan seperti kayu, rotan, damar dan madu. Hasil kayu

biasanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Namun dengan masuknya orang-

36Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa,

lembaga-lembaga adat berada dibawah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan kepala desa merangkap sebagai ketua. Keberadaan Lembaga-Lembaga Adat atau Lembaga Kemasyarakatan dalam Undang-Undang 5 Tahun 1979, pasal 17 ayat (1) dipertegaskan ”Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawarahan/permufakatan yang keanggotaannya yang terdiri atas kepala dusun, Pemimpin Lembaga Masyarakat dan Pemuka Masyarakat di desa yang bersangkutan”. Lihat, http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu-5-1979.htm. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.

37P. Florus, 1995, “Orang Dayak dan Bisns”, dalam Majalah Kalimantan Review (KR), No. 01/Th. IV April Juni, hlm. 11.

Page 40: TRANSFORMASI BUDAYA

25

orang luar yang mengeksploitasi hutan dengan mengambil kayu, maka membuat

masyarakat suku Dayak Kanayatn menjadi pebisnis kayu.

Pertambangan rakyat merupakan sektor ekonomi lain yang cukup penting.

Lewat pertambangan ini mereka memperoleh emas yang dapat secara langsung

dijual ke pasar-pasar lokal ataupun kepada penadah. Namun, sektor pertambangan

ini semakin hari semakin tersingkir dengan hadirnya proyek-proyek pertambangan

yang berskala besar dengan ditunjang alat-alat modern.

Masuknya Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Perkebunan

dan pertambangan yang sifatnya berskala besar ternyata telah menggeser sumber-

sumber perekonomian asli suku Dayak Kanayatn.38 Oleh karena itu, mereka

banyak yang menjadi buruh seperti pada perkebunan kelapa sawit, perusahaan

swasta maupun negeri dan yang lainnya.

2.6 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Dayak Kanayatn dikenal dengan istilah

page waris (keturunan keluarga).39 Secara rinci hubungan kekerabatannya sebagai

berikut:

1) Sa’ pusat atau tatak pusat, 2) Sakadiriatn atau pupu sakali, 3) Dua madi’ enek atau pupu dua kali 4) Dua madi’ saket atau pupu tiga kali 5) Duduk dantar atau pupu ampat kali 6) Dantar page atau pupu dua kali 7) Page atau pupu enam kali.40

38Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., op. cit,. hlm. 9. 39Ibid,. hlm. 11. 40Stepanus Djuweng (ed), 2003,. op.cit., hlm. 55.

Page 41: TRANSFORMASI BUDAYA

26

Terjemahan: 1) Satu ibu satu bapak (kakak-adik). 2) Satu Kakak 3) Kakek kakak-adik. 4) Nenek sepupu sekali atau satu kakek uyut 5) Antara kakek sepupu dua kali 6) Kedua kakeknya satu kakek sudah uyut 7) Kedua kakeknya sudah dantar page.

Hubungan kekerabatan di atas sangat berperan penting dalam kehidupan

masyarakat Dayak Kanayatn. Semisalnya, apabila terjadi perkara dengan pihak

lain, maka orang yang bersengketa meminta page waris (keturunan keluarga)

untuk mendengar atau memecahkan perkaranya. Sistem kekerabatan ini juga

berguna untuk menentukan pembagian warisan dan hubungan perkawinan.

Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Dayak Kanayatn tidak

mengenal adanya warisan yang jatuh ke pihak anak laki-laki atau perempuan.

Sistem kekerabatan ini berdasarkan keseimbangan keduanya (ambilineal).41

Semua anak dalam satu keluarga mendapatkan warisan, tetapi biasanya anak

tertua dan yang bungsu mendapat warisan lebih besar.

2.7 Adat Perkawinan

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, adat perkawinan dapat dilakukan

apabila dari hasil baosol (menyelusuri asal-usul) dalam kegiatan bakomo’

(musywarah keluarga) kedua belah pihak tidak ditemukan garis waris (keturunan,

keluarga dan kerabat).42

Perkawinan antar keluarga dapat dilakukan apabila hubungan keluarga

sudah mencapai garis keturunan kedelapan. Apabila perkawinan masih berada

41Ibid., hlm. 54. 42Ibid.

Page 42: TRANSFORMASI BUDAYA

27

pada garis keturunan yang ketujuh, yaitu page atau sepupu enam kali maka kedua

belah pihak akan dikenai sanksi adat pangarus.43

Namun garis keturunan yang paling kuat tidak boleh melangsungkan

perkawinan adalah garis ketiga, dua madi’ ene’ (sepupu dua kali). Untuk garis

keturunan keempat sampai dengan ketujuh, di masa kini sudah terlihat rapuh.

Walapun bisa melangsung adat perkawinan, tetapi kedua belah pihak tetap akan

dikenakan sanksi.

43Stepanus Djuweng (ed)., op.cit., hlm. 55.

Page 43: TRANSFORMASI BUDAYA

28

BAB III

UPACARA ADAT TOTOKNG

Tradisi mengayau atau memburu kepala antar sub suku dalam masyarakat

Dayak, kerap membuat orang-orang Dayak mendapat stigmanisasi negatif.

Pandangan tersebut sudah berkembang sejak zaman Pemerintahan Kolonial

Hindia Belanda sampai dengan pemerintahan Orde Baru. Tradisi adat mengayau

terus di cap negatif sebagai identitas masyarakat suku Dayak.44 Dalam hal ini,

orang Dayak cenderung dipandang sebagai suku yang kejam, bengis, tidak

beradab, kotor, berekor, pemakan manusia (kanibal) dan tidak

berperikemanusiaan. Dengan kata lain, “mengayau” adalah simbol

ketidakmanusiawinya suku Dayak.

Pada dasarnya pandangan tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta

yang sebenarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Anton Nieuwenhuis

(1894) dalam pengalamanya memasuki kampung-kampung di pedalaman suku

Dayak, ia menjumpai orang-orang Dayak bersikap lembut dan cinta damai.45

Sehubungan dengan hal di atas, apabila dilihat dari kaca mata orang

Dayak, tentu saja adat mengayau bukanlah hanya semata-mata bertujuan untuk

memburu kepala, tetapi melampaui hal itu. Pada konteks ini, adat mengayau

tentunya telah disesuaikan dengan adat dan tradisi yang berlaku. Dengan

44Yekti Maunati, 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi Dan Politik

Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS., hlm. 8. 45Anton Nieuwenhuis. 1994. Di Pedalaman Borneo. Perjalanan Dari

Pontianak Ke Samarinda 1894. Jakarta: PT. Gramedia., hlm. xx.

28

Page 44: TRANSFORMASI BUDAYA

29

demikian, yang dapat memahami dan merasakannya hanyalah orang Dayak

sendiri. Lebih dari itu, orang Dayak ingin menunjukan sikap kepatuhan mereka

terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh leluhurnya (nenek moyang).

3.1 Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn

3.1.1. Tradisi Mengayau

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, tradisi mengayau itu bisa ditemukan

dalam cerita rakyat Ne’ Baruang Kulub tentang asal mula padi. Dalam cerita

rakyat tersebut ada terselip nama seorang tokoh bernama Maniamas yang konon

suka mengayau. Alkisahnya adalah sebagai berikut:

“Suatu hari, Maniamas yang sedang mencari anak kayau kelelahan. Ia beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda bergelantungan di pohon bambu tak jauh dari tempatnya. Setelah berkenalan, rupanya nama pemuda itu rupanya Ne’ Jaek. Ia adalah anak Jubata (Tuhan). Ne’ Jaek pun tinggal di rumah Maniamas. Hari berlalu tak terasa. Ne’ Jaek akhirnya menikahi Dara Amutn, adik perempuan Maniamas. Mereka tinggal di rumah panjang. Sementara itu kegiatan kayau-mengayau terus berlangsung. Setiap hari para pemudanya pergi mengayau, kecuali Ne’ Jaek. Suatu hari Maniamas membujuk Ne’ Jaek untuk ikut pergi mengayau. Rupanya Maniamas benci dengan sikap Ne’ Jaek yang yang ketika pertama berjumpa menuduhnya anak haram. Maniamas membujuk Ne’ Jaek pergi mengayau agar Ne’ Jaek mati dibunuh anak kayau (pengayau). Ne’ Jaek pun setuju. Setelah semua pemuda kampung itu berkumpul, disertai dengan tariu, berangkatlah mereka mengayau. Setelah mengayau, Ne, Jaek tidak mendapatkan kayoan (kepala). Maka sesampai di rumah ia diusir istrinya karena ia dianggap bukan lelaki jantan dan tidak bertanggung jawab”.46 Dari cerita lisan di atas, dapat diketahui bahwa motif dari munculnya

praktek pengayauan (mencari kepala) adalah sebagai salah bentuk balas dendam

46Maran Marcellinus Aseng, 1997. “Memahami Nilai-Nilai Sastra Lisan

Yang Membentuk Budaya Dayak Bukit” dalam Nico Andasputra & Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology,. hlm. 106-107.

Page 45: TRANSFORMASI BUDAYA

30

yang melambangkan kejantanan, keperkasaan dan sebagai bentuk tanggung jawab

seorang lelaki terhadap keluarganya.

Namun demikian cerita lisan tentang adat mengayau di atas, secara historis

sulit untuk dipertanggungjawabkan akan kebenaran beserta dengan bukti-bukti

yang kuat, sebagaimana layaknya kajian sejarah sesungguhnya. Sehubungan

dengan itu, Commans mengatakan bahwa masyarakat Dayak itu mempunyai

sejarahnya sendiri, yaitu sejarah zaman purba yang berasal dari kejadian mitologis

atau zaman keselamatan waktu orang masih dekat dengan roh-roh.47 Oleh karena

itu, makna akan kebenaran sejarah yang terjadi dalam masyarakat Dayak tidak

dapat dikaitkan dengan kejadian historis yang sesungguhnya.

3.1.2 Latar Belakang Adat Mengayau

Menurut Amuk Jolak, latar belakang munculnya adat mengayau dalam

masyarakat Dayak Kanayatn adalah dikarenakan adanya perselisihan masalah

batas tanah..48 Persilisihan ini terjadi biasanya dikarenakan sebelumnya tanah

tersebut telah disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, apabila salah

satu pihak yang sedang bersengketa tidak mengindahkan kesepakatan atau

perjanjian yang telah disetujui, maka terjadilah adat mengayau.

Dalam masyarakat suku Dayak Kanayatn, khususnya yang ada di

kecamatan Menyuke, munculnya adat mengayau biasanya dilakukan sesudah adat

pati nyawa (ganti nyawa) tidak diterima oleh musuh. Dalam hal ini, apabila

47Mikhail Commans, 1987. Dayak Dahulu, Sekarang Dan Masa depan,

Jakarta: PT. Gramedia., hlm. 78. 48Hasil wawancara dengan Amuk Jolak, Tanggal 7 Januari 2009, Didusun

Angkamu, Desa Kayu Ara, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak.

Page 46: TRANSFORMASI BUDAYA

31

seorang warga Dayak Kanayatn terbunuh atau dibunuh, maka pihak keluarga akan

menuntut pihak yang membunuh dengan menggantikannya adat pati nyawa.49

Apabila, pihak yang membunuh tidak membayar dengan adat tersebut, maka

terjadilah pengayauan.50

Selain itu, menurut kepercayaan orang Dayak Kanayatn mengayau

dilakukan karena kepala seseorang mempunyai sumangat (semangat, jiwa dan

kekuatan), yang dapat memberikan kekuatan bagi si pengayau (orang yang

mengayau).51 Karena mempunyai sumangat, maka si pengayau akan mendapatkan

kedudukan dan penghormatan bagi berbagai pihak, termasuk para gadis.52

Selanjutnya, adalah untuk membalas adat mengayau dengan sub-suku

Dayak yang lainnya. Dalam konteks ini, apabila sub-suku Dayak lain mengayau

pada orang Dayak Kanayatn, maka orang Kanayatn harus membalas. Adat

mengayau tidak akan berhenti, apabila jumlah kepala yang dikumpulkan musuh

sama dengan jumlah yang mereka peroleh.53

3.1.3 Tujuan Mengayau

Pada prinsipnya, setiap sub-suku Dayak mempunyai tujuan yang hampir

sama mengapa mereka melakukan adat mengayau. Menurut JU Lontaan, dalam

49Adat patih nyawa ini bertujuan untuk menggantikan nyawa orang yang

telah terbunuh atau dibunuh. Adat patih nyawa maksudnya, “bukan nyawa ganti nyawa”, tapi wujudnya dalam benda-benda adat. Seperti gong untuk mengganti nyawa, tempayan untuk mengganti tubuh dan lainnya.

50Ibid., hlm. 11. 51Ibid. 52Ibid., 12. 53Ibid., hlm. 13.

Page 47: TRANSFORMASI BUDAYA

32

bukunya yang berjudul ”Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat”, ada

lima tujuan dilakukannya kegiatan adat mengayau yaitu:

1) Untuk melindungi pertanian. Dalam rangka untuk menghindari wabah

penyakit yang akan menyerang hasil pertanian, maka untuk memulihkan

keadaan itu perlu mempersembahkan tengkorak dari hasil mengayau.

2) Untuk mendapatkan tambahan daya jiwa. Secara supranatural, orang

Dayak menggangap tengkorak hasil kayau mempunyai kekuatan dahsyat.

Dengan kekuatan tersebut, seseorang dapat melindungi diri, keluarga dan

sekaligus seluruh sukunya.

3) Sebagai motif balas dendam. Bagi masyarakat Dayak Iban balas dendam

dalam adat pengayauan sangat sulit dilupakan, karena setiap orang tua

selalu menceritakannya kepada keturunannya. Dalam struktur masyarakat

yang demikian dapat dipahami, apabila seorang warga kampung terbunuh,

maka seluruh penduduk dalam kampung akan membalasnya.

4) Daya tahan berdirinya suatu bangunan. Dalam hal ini, orang Dayak sangat

mempercayai rumah yang dibuat membutuhkan kurban. Untuk

memperkuat bangunan rumah tersebut, maka kegiatan mengayau perlu

dilaksanakan.

5) Untuk tenaga kerja. Kadang kala orang yang di kayau tidak dibunuh tetapi,

mereka dijadikan sebagai budak atau kuli.54

Sementara itu, mengenai tradisi mengayau ini sangat menarik untuk

ditelusuri, terutama pada permasalahan mengapa yang diambil hanya kepala,

54JU. Lontaan., op. cit., hlm. 533-535.

Page 48: TRANSFORMASI BUDAYA

33

sedangkan tubuhnya dibuang?. Sebagaimana kutipan Yekti Maunati dalam

bukunya Charles Miller yang berjudul “Black Borneo” adalah sebagai berikut:

“Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal (dari lehernya) cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah bubuhi ramu-ramuan, bila dimanipulasi dengan tepat, cukup kuat untuk menghasilkan, meningkatkan hasil panen padi, mengusir roh-roh jahat, dan membagikan pengetahuan dari orang-orang pintar dari suku itu. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatanya sudah mulai pudar dan diperlukanya tengkorak yang lebih segar. Tentu saja semakin banyak tengkorak kering yang ada, semakin besar kekuatan yang dihasilkan oleh gabungan dari kekuatan-kekuatannya. Suku yang tak memiliki kepala, atau ulu, atas namanya tidak akan mampu melawan mandau-mandau dan panah-panah yang beracun milik suku tetangga mereka yang sudah lengkap peralatannya”.55 Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, tujuan mereka mengayau adalah

untuk menambah kekuatan jiwa.56 Dalam hal ini, masyarakat Dayak Kanayatn

sangat mempercayai bahwa, setiap manusia memiliki manna57 yakni, jiwa dan

kekuatan. Manna itu terdapat di kepala, itulah sebabnya dalam mengayau hanya

mengambil kepala. Semakin banyak manna yang didapat, maka akan mempunyai

banyak kekuatan yang memberi banyak keuntungan dan berkah kepada seluruh

kampungnya.58

55Yekti Maunati., op. cit., hlm. 10. 56Edi Petebang., op. cit., hlm. 15. 57Sebagaimana yang disetir oleh P. Yeremias, bahwa tidak bisa dipastikan

apakah “manna” itu mempunyai badan atau tidak. Namun, yang pasti “manna” ada dalam seluruh badan manusia mulai dengan rambut. Oleh sebab itulah, maka kepala mandau yang diberi rambut panjang hasil pengayauan diyakini memiliki kekuatan supranatural. Untuk lebih jelasnya lihat, Edi Petebang, 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Institut Dayakology,. hlm. 49-51.

58Elius Ngiuk., op. cit., hlm. 44.

Page 49: TRANSFORMASI BUDAYA

34

Dalam adat mengayau, ada dua pandangan menarik, terutama bagi mereka

yang dianggap sebagai pemenang. Pertama, bagi pihak yang menang akan

mendapatkan wilayah kekuasaan, kemudian diangkat menjadi Pangalangok

(Panglima). Kedua, ia akan dihukum dengan melaksanakan upacara adat totokng

selama tujuh keturunan.59 Karena yang namanya membunuh, apapun alasanya

berdosa. Oleh sebab itu, maka untuk menghapus dosanya tersebut diadakanlah

upacara adat totokng sebagai bentuk wujud untuk memohon pengampunan dari

Jubata (Sang Pencipta).

3.2 Prosesi Upacara Adat Totokng 3.2.1 Bahaupm (rapat)

Sebelum prosesi dimulai, pertama-tama kepala keluarga yang berniat

mengadakan upacara adat totokng, terlebih dahulu melaksanakan bahaump

(rapat). Bahaump ini bertujuan untuk mengumpulkan page samadiatn (kerabat

keluarga) untuk menentukan kapan acara tersebut akan dilaksanakan. Setelah

mencapai kesepakatan dalam waktu yang bersamaan menyembelih 1 ekor ayam

jantan merah untuk memberitahukan kepada Jubata, bahwa akan diadakannya

upacara adat totokng.

Selanjutnya pihak tuan rumah mulai menyebarkan undangan masing-

masing 1 lembar kepada Panyangahatn (Imam), Pamangko Gawe, Kepala

Pajajakng atau pelayan Totokng, tujuh lembarnya untuk Anak Kayoan dan

selebihnya akan diberikan kepada tamu-tamu khusus.

59Maniamas Midden, 2003. Buku Narasi Upacara Adat Totokng.

Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 2.

Page 50: TRANSFORMASI BUDAYA

35

3.2.2 Ngampar Bide (Meletakkan tikar rotan)

Upacara adat ini dilaksanakan pada malam hari, sebelumnya waktu siang

hari mengambil kepala kayo yang akan di totokng ke rumah pangkalatn tempat

penyimpanan tersebut. Pertama-tama, para pelaksana adat totokng seperti

Panyangahant, Pamangko Gawe, Anak Kayoatn dan Kepala Pajajakng sudah

berada tempat sebagai tanda bahwa upacara adat totokng akan dimulai.

Selanjutnya, Imam nyangahatn mengadakan upacara adat ngantukng atau masa

persiapan. Dalam masa persiapan telah dipersiapkan alat-alat atau peraga adat

totokng seperti pekasam ikan, salai burung, tengkasam babi hutan dan yang

lainnya. Sementara itu, selama masa ngantukng telah dibunyikan Dau, gong,

gendang besar selama tujuh hari tujuh malam.

Sebelum membentangkan tikar terlebih dahulu ditandai upacara adat

nyangahatn (berdoa) untuk meminta perlindungan kepada Jubata (Tuhan), agar di

lingkungan tersebut aman, tentram dan bebas dari gangguan yang tidak

diinginkan. Sehubungan dengan itu, langsung menyembelih satu ekor ayam jantan

merah, 1 ekor babi 7 real (kira-kira 70 kg)60 yang telah dilengkapi dengan

sesajian.

Setelah itu dilanjutkan dengan upacara nakat pangkalant menyembelih 1

ekor ayam jantan merah. Sementara di Pangkalatn totokng telah terisi sesajian

seperti satu buah tempayan Siton hitam, 1 buah gong besar, beras kuning 1

60Hewan kurban seperti, babi dan ayam harus berjenis kelamin jantan ini

melambangkan kejantanan karena yang berangkat mengayau hanyalah kaum laki-laki. Sementara, warna merah itu melambangkan tali persahabatan orang Dayak Kanayatn dengan hantu Kamang. Kamang adalah roh yang menyerupai manusia tetapi tidak kelihatan.

Page 51: TRANSFORMASI BUDAYA

36

pinggan putih, 1 bibit kelapa, 1 buah tempayan hitam siam, 1 buah tempayan

Jampa, 1 buah kelapa, gula arem atau gula merah, daun sirih, buah pinang, salai

daging atau kepala babi hutan, salai tupai, salai burung elang, pekasam babi,

pekasam ikan, salai burung dan tempayan kecil. Selanjutnya, semua sesajian

tersebut diletakkan di atas serambi rumah sebelah kiri depan.

Sementara di Pangkalatn didirikan satu batang tebu hutan lengkap dengan

daun-daunya, satu batang kayu burangsakng dan kayu sumiakng. Selanjutnya

diadakanya upacara adat nyangahatn ka’ pabarasatn di tempat beras. Upacara ini

bertujuan untuk mendapatkan berkat atau rahmat dari Sang Pencipta. Kemudian

acara ini dilanjutkan dengan upacara adat ditempat mandi atau tepian tumpang

yang dibuat dari daun kelapa dengan menyembelih satu ekor ayam jantan warna

merah. Maksudnya adalah selama siang dan malam, selama pelaksanaan upacara

totokng laki-laki dan perempuan mengambil air ditempian tidak diganggu oleh roh

halus.

Upacara ini berakhir dengan dilanjutkanya adat netek di kepala tangga

dengan menyembelih satu ekor ayam jantan warna merah. Adat netek bertujuan

untuk memberitahukan kepada kepala kayo, bahwa akan diberikan makan selama

tujuh hari tujuh malam. Kemudian setiap malamnya diharuskan untuk memotong

1 ekor ayam warna merah jantan.

3.2.3 Na’ap Tariu (Menjemput Tariu)

Sebelum upacara adat ini dilaksanakan, Imam membacakan doa untuk

bahan-bahan sesajian di dalam talam dengan maksud untuk memberitahukan

kepada Jubata, bahwa keesokan harinya akan membawa sesajian mentah dan

Page 52: TRANSFORMASI BUDAYA

37

dimasak di tempat pantak.61 Sehubungan dengan itu, dilaksanakannya upacara

menjemput Kamang Tariu62 atau upacara adat na’ap tariu sebagai langkah

mengawali prosesi upacara ritual adat totokng.

Persyaratanya adalah menyiapkan alat peraga adat seperti beras biasa,

beras pulut secukupnya dan 1 ekor ayam jantan berwarna merah. Setelah sesajian

tersebut dikumpulkan, ketujuh Anak Kayoatn dan Imam meletakan cat warna

merah didahi dan pipi mereka. Selanjutnya, langsung menyembelih 1 ekor ayam

jantan dan darahnya dicampurkan dengan nasi dan garam untuk memberikan

makan kepada Kamang Tariu.

Pada saat yang sama, mereka masih menunggu ayam yang dipotong

sampai masak. Setelah daging ayam itu masak, Imam mengucapkan nyangahatn

(doa) untuk memberkati ayam tersebut. Sebelum mereka berangkat ke rumah

kayoatn, Imam itu berkeliling sambil berteriak sebanyak tiga kali dan mengadakan

upacara adat pasinyangan. Di pasinyangan para pelaksana adat totokng

beristirahat untuk sementara waktu menunggu pelaksanaan upacara adat totokng.

3.2.4 Pasinyangan (Persinggahan)

Di pasinyangan, Imam nyangahatn bapipis’ manta’ dengan menyembelih

1 ekor ayam warna merah. Di samping itu, diadakanya upacara menggunakan

61Dalam masyarakat Dayak Kanayatn Pantak adalah patung yang

memiliki kekuatan spiritualitas tinggi. Pantak itu sendiri dibagi kedalam 3 jenis yaitu, 1). Pantak Payugu (tokoh pertanian), 2). Pantak Padagi (Panglima dan dukun), 3). Pantak Keluarga (Peneladan keluarga).

62Tariu adalah teriakan yang mempunyai kekuatan magis yang tinggi, yang dalam masyarakat Dayak diyakini dari teriakan tersebut bisa membuat orang menjadi berani dan kebal, ketika akan berangkat berperang atau mengayau. Sedangkan, Kamang adalah roh yang menyerupai manusia tetapi tidak kelihatan.

Page 53: TRANSFORMASI BUDAYA

38

topeng, ada dua macam topeng yaitu; topeng buta dan oho’. Topeng buta dipakai

kurang dari 50 orang, sedangkan topeng oho’ jumlahnya cenderung tidak dibatasi.

Selanjutnya, Imam membacakan doa sesajian mentah sampai dengan

masak selama di pasinyangan. Selesai iman nyangahatn, ketujuh Anak Kayoatn

dan beserta rombongan berangkat untuk menuju ke Pangkalatn. Sesampai di situ,

mereka langsung disambut oleh Timanggong (Kepala Adat), kemudian sambil

memperlihatkan sebuah tempayan Siton berwarna hitam yang berisikan undang-

undang tentang tata tertib upacara adat totokng.

Setelah itu, Imam nyangahatn melaksanakan upacara adat nigakng manta’

untuk memberi makan topeng dengan nasi pulut. Setelah diberikan makan,

toperng anak Kayoatn itu dipersilahkan untuk naik keplantaran dan menari

bersama Imam dan Tuan rumah untuk mengelilingi babanyang dengan cara maju-

mundur sebanyak tiga kali.

Ketika upacara adat nigakng mantak selesai, Imam tersebut melaksanakan

adat nigakng masak. Sebelum, sesajian tersebut masak, ketujuh Anak Kayoatn

terlebih dahulu dipersilahkan untuk mengelilingi babanyang yang telah diisi

dengan sesajian yang telah masak. Kemudian kira-kira jam 10 malam, Imam

nyangahatn menyampaikan persembahan dari tuan rumah kepada Jubata (Tuhan),

agar mereka terlepas dari sumpah kayo.

3.2.5 Mare’ Topeng Makatn (memberi Topeng makan)

Adat ini dilakukan kira-kira jam 4 dini hari, yang diawali dengan diberinya

beras biasa dan pulut dan 1 ekor ayam merah jantan pada topeng buta, sedangkan

topeng oho’ diberikan satu bungkus nasi yang berisikan sayur daging babi.

Page 54: TRANSFORMASI BUDAYA

39

Maknanya adalah untuk memberi makan hantu dengan harapan tidak menggangu

kampung tempat pelaksanaan upacara adat totokng.

Selesai memberikan topeng makan, dilanjutkan dengan acara

melemparkan tumpi’ (cucur) di atas rumah yang bertujuan untuk menerbangkan

sumpah kayo terhadap orang yang telah dibunuh oleh nenek moyang mereka.

Upacara ini bertujuan mengangkat janji atau sumpah kayo, bahwa harus

memelihara dan memberikanya makan sampai dengan tujuh keturunan. Apabila

tidak maka keturunan si pengayau tersebut akan terkena jukat (musibah). Setelah

itu, dilanjutkan dengan upacara adat ngagar bawar sebagai tahap akhir dari

serangkaian pelaksanaan upacara adat totokng di Pangkalatn. Selesai adat ini,

Imam, Anak Kayoatn dan Pajajakng langsung menuju ke tempat pasinyangan.

3.2.6 Ngantat Tariu Pulakng (Mengantarkan Tariu Pulang)

Ngantat tariu adalah upacara mengantarkan tariu pulang ke tempat

kediamanya. Dalam pelaksanaanya pertama-tama, Imam mendoakan sesajian dan

1 ayam jantan warna merah yang bertujuan untuk memanggil roh-roh halus

(kamang) untuk dikumpulkan di Pasiyangan.

Selesai nyangahatn, Imam itu menyembelihkan ayam merah jantan dan

darahnya diambil sebagai makanan hantu tariu. Selesai memberi tariu makan,

ayam yang disembelih tadi dimasak. Selanjutnya, Imam nyangahatn (mendoakan)

ayam yang sudah masak dan memberikannya kepada kamang. Setelah diberi

makan, Imam nyangahatn menyuruhnya pulang sambil membacakan doa yang

berbunyi:

Page 55: TRANSFORMASI BUDAYA

40

“Karena upacara adat totokng sudah berakhir kalian kamang tariu pulanglah ketempat kalian di Tajur di Gantekng. Kalau hantu Pujut, Mama’, Mawikng, Sarinteke, Ante’enge, Salahpena, Sansa’ lalu pulang di garah di Karabet di situlah tempat kalian. Segala setan iblis pulanglah di Lamo’ Bagenakng Timpurukng Pasuk di tanah yang tidak diinjak orang di air yang tidak pernah di pinum urakng Abo’ kayu Samponga di Pentek Kayu Mati disitulah negeri kalian dan kalian jangan suka merantau ke negeri manusia. Pulanglah kalian untuk selama-lamanya”.63

3.2.7 Macah Bantatn

Setelah melaksanakan upacara mengantarkan Tariu, para anak kayoan

pulang ke tempat pangkalatn. Selanjutnya, akan diadakan upacara macah bantatn.

Upacara adat ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata (Tuhan), tentang

pembagian upah/imbalan kepada seluruh petugas upacara adat totokng berupa

uang, daging babi dan yang lainnya.

3.2.8 Balamur

Balamur adalah masa tenggang atau masa tenang selama 3 hari 3 malam.

Pada saat masa tenang, orang-orang yang ikut melaksanakan ritual seperti

Pamangko, Gawe Totokng tetap menunggu, sedangkan Anak Kayoatn dan

Pajajakng pulang ke rumahnya masing-masing. Setelah masa tenang tersebut

selesai, maka diadakan upacara ngalantekatn. Upacara ini bertujuan untuk

memberitahukan kepada Jubata (Tuhan), bahwa besok akan diadakanya upacara

malutn bidei.

63Maniamas Midden., op. cit., hlm. 7.

Page 56: TRANSFORMASI BUDAYA

41

3.2.9 Malutn Bide (Menggulung Tikar Rotan)

Upacara adat malutn bide adalah menggulung tikar rotan tempat meletakan

tengkorak kayo dan peraga adat totokng. Dalam upacara ini dibutuhkan alat

sesajian seperti ayam jantan warna merah, babi tumpi’ (cucur) dan poe

(lemang)’. Setelah sesajian itu disiapkan, maka Pamangko Totokng membacakan

doa bagi persembahan kepada Jubata (Tuhan) dengan menyembelih 1 ekor ayam

jantan warna merah dan 1 ekor babi.

Upacara ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata, bahwa alat-

alat peraga totokng akan dibuka dan rumah tempat diadakannya upacara adat

totokng telah terbebaskan dari sumpah kayo. Selanjutnya, Imam memanggil

semangat tuan rumah agar terhindar dari segala macam bentuk jukat (musibah).

3.2.10 Mulangkatn Kapala Kayo (Mengembalikan Kepala Kayo)

Mulangkant kapala kayo merupakan prosesi terakhir dari keseluruhan

upacara adat totokng. Upacara ritual ini diwajibkan untuk menyembelih 1 ekor

ayam jantan merah. Setelah Iman nyangahatn menyembelih ayam tersebut, maka

acara prosesi upacara adat totokng telah selesai.

3.3 Simbolisme Upacara Adat Totokng

Manusia adalah makhluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan

simbol-simbol. Dalam konteks ini bisa dipahami bahwa budaya manusia penuh

diwarnai dengan simbolisme yaitu, suatu tata pemikiran atau paham yang

menekan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada simbol. Dengan

Page 57: TRANSFORMASI BUDAYA

42

demikian, manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dalam bentuk ungkapan-

ungkapan dipenuhi oleh simbolis”.64

Secara etimologis, kata “simbol” atau yang biasa disebut lambang itu

berasal dari bahasa yunani symbolon yang berarti tanda pengenal atau emblem

atau sinyal. Selain itu, simbol juga didenifisikan sebagai sesuatu yang bertindak

bagi atau mewakili sesuatu yang lain; terutama suatu benda yang dipakai untuk

menghadirkan sesuatu yang bersifat abstrak.65

Dalam konsep religi, manusia percaya akan kekuatan tertinggi untuk

patuhi dan disembah sebagai pencipta atau penguasa alam semesta. Karena

memiliki kekuatan yang bersifat abstrak, maka simbol berperanan penting untuk

mengungkap kepercayaan terhadap mereka. Di mana kekuatan tersebut

menghubungkan manusia dengan dunia abstrak, kekuatan tertinggi atau

supranatural, di samping untuk meminta kehadiran kekuatan tersebut di antara

manusia.66

Sementara, untuk memahami atau mengerti konsep cara pandang orang

Dayak, tentang simbol-simbol dalam upacara ritual tidaklah mudah. Karena

keyakinan akan sesuatu yang terjadi dalam masyarakat Dayak yang dapat melihat,

mengerti dan merasakan hanyalah orang Dayak itu sendiri. Hal ini, dikarenakan

konsep pandangan hidup orang Dayak yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan

64Budiono Herusantoso, 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.

Yogyakarta: Penerbit PT. Hanindita., hlm. 10. 65Stepanus Buan, 2004. “Simbol-simbol dalam Ungkapan Religius di

Kalangan Dayak Mualang” dalam Regina Petronella (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59.

66Ibid., hlm. 60.

Page 58: TRANSFORMASI BUDAYA

43

religio-magis. Dengan demikian, tidak mengherankan terkadang sulit bagi orang

non-Dayak untuk bisa mempercayai kekuatan simbol-simbol atau tanda yang

terjadi dalam masyarakat Dayak.

Dalam cara pandang masyarakat Dayak memaknai ritus (ritual), menurut

Commans dibagi menjadi dua yaitu, logis dan kritis. Namun sering sulit

membedakan pemikiran logis dan kritis, karena pemikiran mitologis mengambil

peranan penting. Pemikiran mitologis memainkan peranan besar, apabila mereka

berhadapan dengan peristiwa-peristiwa, kejadian tersebut tidak dapat

diterangkannya.67 Konsep pemikiran logis dan kritis orang Dayak tersebut

semisalnya;

“Meskipun, orang Dayak percaya bahwa ritus tersebut akan membawa efek, namun ia tidak menyangkal bahwa ia sendiri harus memelihara ladangnya dengan baik, merumput pada waktunya, membuat pagar untuk menghindarkan kera dan babi masuk ladang dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan pemikiran logis dan kritis. Akan tetapi, kalau panen itu gagal tanpa adanya alasan yang jelas maka pemikiran mitologis yang nampak lagi. Dibelakang kegagalan tersebut disangkanya suatu intensi atau maksud dari dunia ilahi yaitu, yaitu roh yang menggangu atau roh yang menghukum. Cara pandang ini yang berdasarkan prasangka bahwa adanya intensi atau maksud tertentu dari dunia ilahi, kita sebutkan cara pemikiran askriptif (pemikirtan berdasarkan prasangka). Lawanya ialah cara pemikiran deskriptif, yang mencari akal untuk mengatasi segala rintangan dan hambatan. Karena batas antara pemikiran kritis dan pemikiran mitologis tidak selalu jelas baginya, maka orang Dayak merasa wajib mengadakan upacara, bilamana mengalami rintangan dan hambatan seperti penyakit, kegagalan panen, dan lain sebagainya.68 Dalam konteks upacara adat totokng, upacara adat ini dilaksanakan

sebagai salah satu bentuk wujud si pengayau untuk memperoleh jalan

67Michael Commans., op.cit., hlm. 99. 68Ibid.

Page 59: TRANSFORMASI BUDAYA

44

keselamatan. Menurut adat mengayau, kepala hasil mengayau harus diberikan

penghormatan melalui upacara adat totokng sampai dengan tujuh keturunan,

apabila tidak maka keturunan si pengayau tersebut dalam kehidupannya tidak

akan pernah sempurna dan diyakini akan mendapatkan hukuman berupa jukat

(musibah). Semisalnya, dalam bentuk penyakit, kegagalan hasil panen dan yang

lainnya.

Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, upacara

adat totokng merupakan simbol “pertobatan” si pengayau. Upacara adat totokng

juga melambangkan bahwa, masyarakat Dayak Kanayatn sangat patuh terhadap

aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh roh leluhurnya. Kemudian dengan

nyangahatn (doa), melambangkan sikap religius masyarakat Dayak Kanayatn

kepada Sang Penciptanya Jubata (Tuhan).

Page 60: TRANSFORMASI BUDAYA

45

BAB IV

TRANSFORMASI UPACARA ADAT TOTOKNG

Secara kompleks budaya masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan Barat,

pada masa kini telah mengalami transformasi budaya, hal ini terlebih dengan

upacara adat totokng. Oleh karena itu, untuk melihat penyebab transformasi

budaya tersebut maka akan dijelaskan secara terperinci mengenai Perjanjian

Tumbang Anoi 1894, Pengkristenan Orang Dayak dan Modernisasi upacara adat

totokng.

4.1 Perjanjian Tumbang Anoi 1894

Sejak abad ke-17, Belanda di bawah bendera VOC telah mengadakan

hubungan dagang dengan kesultanan Sukadana dan Sambas di Kalimantan Barat.

Namun, ketertarikan Pemerintahan Kolonial Belanda untuk menguasai daerah

pedalaman Kalimantan baru muncul setelah diadakannya perjanjian Inggris dan

Belanda tahun 1814.69

Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menduduki Kalimantan Barat pada

awal abad ke-19. Upaya pendudukan Belanda di Kalimantan Barat dilakukan

karena Inggris di bawah James Brooke berhasil menguasai wilayah Sarawak pada

tahun 1883. Hal ini terkait dengan persaingan politik penguasaan wilayah jajahan

sekaligus menjamin keberlangsungan perdagangan mereka di Asia Tenggara.

Dalam masa pendudukannya, Belanda sekaligus melakukan campur

tangan terhadap kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Salah satu campur

69Michael R, Dove (Ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor., hlm. 260.

45

Page 61: TRANSFORMASI BUDAYA

46

tangan Kolonial Belanda yang paling serius adalah masalah perang antar suku

Dayak atau kegiatan pengayauan. Bagi masyarakat Dayak kegiatan mengayau ini

merupakan adat, namun dalam pandangan Barat kegiatan mengayau menunjukan

bahwa, orang Dayak tidak beradab, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Atas

dasar tersebut, maka kegiatan pengayauan antar sub-suku dalam masyarakat

Dayak ini harus dihentikan. Secara politis, apabila kegiatan tersebut berhasil

dihentikan, maka akan mempermudah mereka untuk menguasai daerah-daerah

pedalaman suku Dayak. Lebih dari itu, untuk menjaga keamanan dan ketertiban,

karena terkadang menjadi sasaran dari para pengayau.

Dalam rangka untuk mempermudah kepentingannya, maka pemerintahan

Hindia Belanda mengambil inisiatif untuk mengumpulkan seluruh Kepala Adat

dan pemuka Dayak di Kalimantan. Sehubungan dengan itu, maka pada awal tahun

1893, Residen Banjar memprakarsai pertemuan yang akan diadakan di Kuala

Kapuas.

Atas dasar tersebut, maka pada pertengahan tahun 1893, Residen Tuan

Brus bersama controleur dan serdadunya datang ke Kuala Kapuas (Tumbang

Kapuas). Selanjutnya, pada tanggal 14 Juni 1893 mereka melaksanakan

pertemuan di Kuala Kapuas (Tumbang Kapuas).

Adapun sejumlah agenda yang akan dibicarakan sebagai berikut:

1) Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus

sebagai tuah rumah untuk menghentikan 3 H (Hokanyou)= saling

mengayau, Hobunu’ = saling membunuh dan Hotohtok= saling memotong

kepala musuhnya.

Page 62: TRANSFORMASI BUDAYA

47

2) Merencanakan tempat perdamaian.

3) Kapan pelaksanaan akan dilaksanakan.

4) Berapa lama sidang itu akan dilaksanakan.

5) Residen Banjar menawarkan siapa yang bersedia menjadi tuan dan

menanggung biaya pertemuan tersebut. Dalam kesepakatan ini, diputuskan

Damang Bahtu, dengan alasan karena beliau memiliki wawasan yang luas

tentang adat istiadat yang ada di Kalimantan.

Kemudian dari pertemuan tersebut disetujui hal-hal sebagai berikut:

1) Pertemuan ini akan dilaksanakan di Lovu (kampung) Tumbang Anoi, yaitu

di Betang tempat tinggalnya Damang Bahtu’.

2) Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Bahtu untuk mempersiapkan acara.

3) Pertemuan itu akan berlangsung selama 3 bulan.

4) Undangan akan disampaikan melalui tokoh atau kepala suku masing-

masing daerah secara lisan, sejak dibubarkanya rapat di Tumbang Kapuas.

5) Utusan yang diutus dalam pertemuan tersebut harus benar-benar mengerti

dan memahami adat di daerahnya masing-masing.

6) Pertemuan damai akan dimulai pada tanggal 1 Januari 1894 sampai

dengan 30 Maret 1894.70

Setelah pertemuan tersebut mencapai kesepakatan, maka pada tanggal 1

Januari 1894 sampai dengan 30 Maret 1894, perjanjian damai atau “Perjanjian

Tumbang Anoi”, secara resmi dilaksanakan yang berpusat di rumah Betang

(rumah panjang) tempat kediaman Damang Bahtu, Lovu kampung Tumbang Anoi

70Edi Petebang., op.cit., hlm. 33-34.

Page 63: TRANSFORMASI BUDAYA

48

(Kalimantan Tengah). Dalam pertemuan tersebut, dihadiri hampir seluruh Kepala

Adat dan pemuka Adat di Borneo (Kalimantan) dengan menghasilkan beberapa

kesepakatan sebagai berikut:

1) Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim disebut 3H

(Hokanyou= saling mengayau, Hobunu’= saling membunuh dan

Hotohtok= saling memotong kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu

itu).

2) Menghentikan sistem Jiphon Kopali’ (hamba atau budak belian) dan

membebaskan para Jiphon dari segala keterikatanya dari Tepui

(majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lainnya

yang bebas.

3) Menggantikan wujud Jiphon dari manusia dengan barang-barang yang

bisa di nilai seperti bolanga’ (tempayan mahal atau tajau), halamaung,

lalang, tanah/kebun dan yang lainnya.

4) Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum adat yang bersifat umum,

seperti bagi yang membunuh, maka akan mendapatkan sanksi sesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku yakni, berupa Sahiring (saknsi

adat).

5) Memutuskan agar setiap orang yang membunuh orang lain, ia harus

membayar Sahiring sesuai dengan keputusan sidang adat yang diketuai

oleh Damang Bahtu’. Semuanya itu harus dibayar langsung pada waktu itu

juga, oleh pihak yang bersalah.

Page 64: TRANSFORMASI BUDAYA

49

6) Menata dan memberlakukan ada istiadat secara khusus di masing-masing

daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tananan kehidupan yang dianggap

baik.71

Melalui perjanjian damai tersebut, setidaknya telah membawa perubahan

terutama masalah stabilitas keamanan yang semakin terjamin, karena kegiatan

pengayauan antar sub-suku masyarakat Dayak sudah berkurang. Selain itu,

masalah jipen (perbudakan) yang telah dipraktekkan penguasa suku Dayak jauh

sebelum pendudukan Belanda di Kalimantan, dihapuskan melalui Perjanjian

Tumbang Anoi.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun seluruh isi perjanjian tersebut telah

tersebar luas di seluruh pelosok Kalimantan. Praktek pengayauan, hukum adat,

permusuhan dan kebiasaan hidup yang berpindah-pindah dikalangan Orang Dayak

berhasil dikurangi, meskipun masih belum signifikan. Namun, setidaknya

pemerintah Belanda mulai mengenal dengan cukup baik Orang Dayak yang

katanya dikenal ganas.

Lebih dari itu, secara substansi kelembagaan adat dan hukum adat Dayak

secara garis besar diseragamkan, agar tidak terjadi lagi kesimpang-siuran satu

dengan lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan antar suku Dayak. Dengan

demikian, hukum adat yang berlaku di seluruh Borneo (Kalimantan) disesuaikan

dengan keputusan musyawarah hasil dari Perjanjian Tumbang Anoi.

71Ibid.

Page 65: TRANSFORMASI BUDAYA

50

Setelah sukses “menjinakan” Dayak dengan strategi pertama yakni melalui

perjanjian damai, pemerintah Belanda menggunakan strategi kedua, yakni dengan

mengkristenkan orang Dayak.

4.2 Pengkristenan Orang Dayak

4.2.1 Masuknya Agama Katolik

Secara historis, berdasarkan sumber dari Ordo Kapusin,72 agama Katolik

pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada tahun 1313 oleh Ordo Kapusin.

Namun, secara substansi misi ajaran agama Katolik mulai tersampaikan kepada

masyarakat Kalimantan Barat sejak tahun 1885 yang dibawa oleh para pastor

Ordo Yesuit73 dengan mendirikan stasi di Singkawang. Pater Staal SJ sebagai

pastor Paroki yang pertama. Misi ini bertujuan untuk mendirikan basis karya misi

bagi masyarakat suku Dayak. Dengan didirikanya stasi tersebut, maka menandai

babak awal bagi para missionaris untuk melebarkan sayapnya di bumi

khatulistiwa. Hanya saja, di tahun-tahun ini para missionaris banyak mengalami

72Kapusin adalah ordo Gereja Katolik Roma yang berasal ordo Fransiskan.

Kehadiran ordo Kapusin dalam Gereja Katolik, disebabkan munculnya berbagai Reformasi yang terjadi dalam gereja Katolik tahun 1525. Akibatnya, ordo Fransiskan mengalami perpecahan. ordo Kapusin mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1905. Sejak Februari 1994 dimekarkan menjadi 3 propinsi: Medan, Sibolga dan Pontianak. Lihat, http://id.wikipedia.org/Ordo_Kapusin. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.

73Yesuit atau Jesuit biasa dikenal dengan Serikat Yesus adalah ordo Gereja Katolik. Serikat ini didirikan pada 1534 oleh sekelompok mahasiswa pasca-sarjana dari Universitas Paris yang merupakan teman-teman dari Ignatius Loyola. Mereka bersumpah untuk melanjutkan persahabatan mereka setelah mereka selesai studi, hidup dalam kemiskinan sesuai injil dan pergi mengemban perutusan di Yerusalem. Mereka menyebut diri mereka sahabat-sahabat di dalam Tuhan. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ordo_yesuit. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.

Page 66: TRANSFORMASI BUDAYA

51

kendala, salah satunya adalah kurangnya tenaga rohaniawan. Selain itu, juga

dikarenakan kondisi di tempat tersebut belum terlalu aman.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pada awal abad 20 Vikaris

Apostolik74 Jakarta meminta bantuan tenaga kelompok religius dari Negeri

Belanda. Atas dasar tersebut, maka pada tanggal 11 Februari 1905 Prefektur

Apostolik75 Borneo (Kalimantan) secara resmi berdiri di Kalimantan. Berdasarkan

keputusan tersebut, hasilnya Ordo Kapusin Propinsi Belanda diberikan mandat

untuk menyebarluaskan ajaran agama Katolik di Kalimantan. Selanjutnya, para

missionaris secara teratur berdatangan ke pelbagai tempat di Kalimantan.

74Vikaris Apostolik adalah bentuk otoritas untuk suatu kawasan dalam gereja Katolik Roma yang dibentuk dalam wilayah misi dan dinegara yang belum memiliki keuskupan Biasanya status suatu wilayah dalam Vikars Apostolik bersifat sementara, walaupun tetap saja dapat berlangsung hingga lebih dari seabad, hingga wilayah misi itu sudah berkembang, memiliki pertumbuhan umat yang cukup dan bisa memenuhi syarat untuk menjadi keuskupan yang mandiri. Pada dasarnya, vikaris Apostolik kekuasaannya masih dibawah keuskupan. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Vikaris_ Apostolik. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.

75Prefektur Apostolik adalah bentuk otoritas rendah untuk suatu wilayah pelayanan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk di sebuah daerah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan Prefektur Apostolik dipimpin oleh seorang Prefektur Apostolik, yang biasanya adalah seorang pastor. Kalau sebuah Prefektur Apostolik berkembang, statusnya akan ditingkatkan menjadi Vikaris Apostolik dan akan dipimpin oleh orang yang berjabatan uskup sambil membentuk badan-badan institusi yang diperlukan untuk menjadi sebuah keuskupan penuh. Tahapannya adalah misi, menjadi Prefektur Apostolik, Vikarist Apostolik dan kemudian menjadi keuskupan. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Prefektur_Apostolik. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.

Page 67: TRANSFORMASI BUDAYA

52

Kemudian pada tanggal 30 November 1905 para missionaris tiba di

Singkawang.76

Tujuan missionaris (Katolik) tersebut, tidak lain adalah mengemban tugas

misi kemanusian. Kedatangan para missionaris ini sangat membantu penduduk

suku Dayak, terutama dalam dunia pendidikan. Karena sebelum masuknya

kedatangan para missionaris, masyarakat Dayak dikenal sebagai orang yang

bodoh, kolot, primitif, takhayul, tidak berperikemanusiaan dan yang lainnya.

Sesuai dengan kondisi di atas, maka selain menyebarkan ajaran-ajaran

agama Katolik mereka juga mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit dan

membantu masyarakat Dayak di dalam bidang pertanian. Dari kebijakan tersebut,

para missionaris, lebih menitik berat pada dunia pendidikan. Oleh karena itu,

melalui pendidikan dapat memberikan orang-orang Dayak peradaban yang lebih

maju, agar kelak mereka tidak lagi mudah dibodohi atau diperdayakan oleh para

penguasa raja-raja Melayu dan penjajahan Kolonial Hindia.

4.2.2 Enkulturasi Budaya

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, para missionaris mulai masuk

pertama kali sekitar tahun 1947-1948 di Tiang Tanjung (sekarang masuk dalam

wilayah kecamatan Mempawah Hulu) yang disebarkan oleh Ordo Kapusin.

Masuknya pengaruh ajaran agama Katolik di Landak, seperti di daerah-daerah

pedalaman yang lainnya, juga disertai dengan pendirian sekolah dan rumah sakit.

76http://stellamaris-siantan.blogspot.com/2008/09/bermulanya-organisasi-

gereja-katolik-di.html. Data diakses Selasa, 10 Oktober 2009.

Page 68: TRANSFORMASI BUDAYA

53

Dengan didirikanya sekolah dan rumah sakit, secara tidak langsung mendorong

masyarakat Dayak Kanayatn untuk memeluk agama Katolik.

Masuknya ajaran agama Katolik di Landak, yang dibawa oleh para

missionaris, diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini terlebih

didukung dengan sikap para missionaris yang bersikap baik terhadap masyarakat.

Selain itu, agama Katolik sangat berbeda dengan agama-agama lain seperti Islam

dan Protestan. Dalam hal ini, agama Katolik lebih toleran terhadap budaya dan

adat dan tradisi yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat.

Terkait dengan hal di atas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Syarif

Ibrahim Alqadrie menegaskan bahwa:

“…Dibanding kedua agama (Islam dan Protestan), agama Katolik lebih memberi orang Dayak ruang kesempatan untuk praktik adat istiadat dan budayanya, sehingga masyarakat Dayak lebih leluasa mempertahankan adat istiadat dan budaya”.77 Selain itu, sejak pemerintah menetapkan perundangan TAP MPRS No.

XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, seluruh warga

Negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama resmi yang

ditetapkan. Alasan utama ditetapkannya perundangan ini adalah untuk

membendung masuknya paham ajaran Komunisme di Indonesia. Atas dasar

tersebut, maka setiap masyarakat yang tidak menganut salah agama resmi negara

akan dicap sebagai penganut ajaran Komunisme.78 Dengan ditetapkannya

77Paulus Yusnono., op. cit., hlm.10. 78Menurut TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, agama yang diakui oleh

pemerintah ada lima yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Sedangkan, agama-agama Lokal, digolongkan menjadi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Itu pun agama-agama lokal tertentu. Dalam konteks ini, agama lokal

Page 69: TRANSFORMASI BUDAYA

54

perundangan ini, membuat banyak orang-orang Dayak Kanayatn masuk menjadi

agama Katolik.79

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, pengaruh penyebaran agama Katolik

dianggap cukup berhasil, karena berhasil menggunakan adat dan tradisi sebagai

sarana/media dalam pengajaran dan doa (enkulturasi). Bentuk wujud enkulturasi

tersebut bisa dilihat dengan hadirnya buku kecil tata upacara doa agama Katolik

dalam bahasa Kanayatn tahun 1980-an, yang disusun oleh P. Samuel dan

Adrianus Adiran (Katekis di dusun Saginah, kecamatan Sengah Temila), yang

kemudian dipraktekkan dalam sembahyang.80

Selain itu, dalam upacara yang berkenaan dengan keagamaan khususnya,

agama Katolik juga baik langsung maupun tidak langsung masih mengandalkan

yang berasal dari upacara adat. Seperti halnya, dalam upacara adat pemberkatan

benih-benih hasil pertanian lewat nyangahatn (doa) (ijin ka’ Jubata, Ne’

Patampa), agar bibit tersebut mendapat perlindungan dan restu yang benar,

terhindar dari segala macam gangguan seperti bencana, penyakit dan yang

lainnya.

Terkait dengan hal di atas, walaupun agama Katolik bisa masuk dan

berafiliasi dengan adat dan tradisi setempat, namun bukan berarti semuanya dapat

diterima dengan baik. Dalam proses enkulturasi, sebetulnya dapat menimbulkan

kesalahpahaman (bertolak belakang dengan tradisi asli) jika agama yang

Dayak tidak termasuk dalam lima agama tersebut maupun Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

79Ibid., hlm. 19. 80Stepanus Djuweng (ed) ., op.cit., hlm. 75.

Page 70: TRANSFORMASI BUDAYA

55

bersangkutan tidak inklusif, yakni menghargai dan melibatkan konsep-konsep

masyarakat pribumi dalam pengajaran dan penyebaran keimananya. Dengan kata

lain, akan menimbulkan miskomunikasi yakni, munculnya sikap skeptis

(penyerderhanaan) yang berlebihan terhadap pengetahuan dan kepercayaan

masyarakat setempat.81

4.2.3 Upacara Adat Totokng Dalam Tinjauan Ajaran Agama Katolik

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, masuknya ajaran agama

Katolik dalam masyarakat Dayak bisa disilangkan atau dikawinkan dengan tradisi

masyarakat setempat (enkulturasi). Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak

sepenuhnya adat dan tradisi masyarakat setempat bisa diterima dengan baik oleh

ajaran agama Katolik. Di sisi lain, masyarakat Dayak masih sangat berpegang

teguh dengan adat dan tradisi yang berlaku. Perbedaan pandangan inilah yang

kemudian kerap memunculkan konflik atau ketegangan antara ajaran agama

Katolik dengan adat dan tradisi masyarakat Dayak.

Dalam konteks upacara adat totokng, apabila ditinjau dari sudut pandang

ajaran agama Katolik, tentunya akan mengundang sejumlah pandangan yang

bersifat negatif. Sebagaimana yang terdapat sepuluh firman Allah pada perintah

pertama yang intinya adalah mengecam keberhalaan berbunyi:

“Dimintai dari manusia supaya hanya beriman kepada Allah, dan bukan kepada allah-allah lain, dan supaya tidak menghormati allah-allah di samping Allah yang Esa. Kitab suci mendesak terus menerus untuk menolak berhala. Pemujaan berhala tidak hanya ditemukan dalam upacara

81Albert Rufinus, 2004. “Ne’ Baruakng Kulub: Tema Dan Pesan” dalam

Petronella Regina (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Institut Dayakology., hlm. 56.

Page 71: TRANSFORMASI BUDAYA

56

palsu di dunia kafir. Ia juga merupakan satu godaan yang terus bagi umat beriman. Pemujuaan berhala itu ada apabila, manusia menghormati dan menyembah suatu hal pencipta sebagai pengganti Allah, apakah itu dewa-dewa atau setan (umpamanya satanisme) atau kekuasaan, kenikmatan, bangsa, nenek moyang, negara, uang, atau hal-hal semacam itu”.82 Sesuai dengan pandangan ajaran gereja Katolik di atas, bisa ditafsirkan

bahwa manusia hanya boleh mempercayai satu Allah yaitu, Allah yang Maha Esa.

Sementara itu, bentuk-bentuk penyembahan di luar tersebut adalah bentuk

penyembahan berhala dan menyangkal dari perintah Allah. Jadi, secara dogma

manusia hanya percaya, taat, hormat dan patuh pada satu kekuatan yaitu Allah

Yang Kuasa.

Lalu bagaimana dengan upacara adat totokng dalam tata perayaannya

bertujuan untuk memohon atau memuja kepada Allah mereka sendiri yaitu,

Jubata (Tuhan)? Selain itu, mereka juga sangat patuh dengan aturan-aturan yang

telah ditetapkan oleh nenek moyang. Apabila ditinjau dari sepuluh firman Allah

dalam alinea pertama, tentunya sangat bertentangan dengan ajaran agama Katolik.

Karena sesuai dengan ajaran agama Katolik, bahwa bentuk kepercayaan semacam

ini dikategorikan ke dalam bentuk penyembahan berhala atau penyangkalan

terhadap Allah yang Maha Esa.

4.3 Modernisasi Upacara Adat Totokng

Kata “modernisasi” adalah simbol kemajuan. Modernisasi berasal dari kata

dasar modern, di mana kata modern tersebut mengacu pada masyarakat yang tidak

terbelakang. Menurut Everett Rogers, modernisasi merupakan proses dengan

82P. Herman Embuiru, 1995. Katekismus Gereja Katolik. Ende Flores:

Arnoldus., 544.

Page 72: TRANSFORMASI BUDAYA

57

mana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih

kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah.83

Manusia dan budayanya dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan

yang begitu cepat. Perubahan tersebut seiring dengan semakin majunya teknologi

dan informasi dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, pola pikir dan cara

pandangan suatu masyarakat terhadap budayanya juga mengalami hal yang sama.

Oleh sebab itu, semua bentuk karakteristik manusia dan kebudayaanya

disesuaikan dengan perubahan zaman.

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi, muncul rasa

keenganan, terutama bagi generasi muda untuk mempelajari dan memahami nilai-

nilai kekayaan warisan budaya leluhurnya. Sikap semacam inilah yang kerap

membuat adat dan tradisi masyarakat Dayak Kanayatn semakin hari semakin sepi

dari perhatian atau bahkan terkesan hampir punah.

Di tengah-tengah dampak transformasi budaya yang terus menggejala,

upacara adat totokng masih tetap dilaksanakan.84 Hanya saja, upacara adat

tersebut telah jarang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Kanayatn. Karena

menurut tradisi, kepala hasil mengayau boleh dikubur atau dibakar setelah

dipelihara selama tujuh keturunan. Selain itu, disebabkan adanya kata sepakat

83M. Franscis Abraham, 1991. Modernisasi Di Dunia Ketiga: Suatu Teori

Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya., hlm. 5. 84Upacara adat totokng tidak dilaksanakan setiap tahun, seperti halnya

dengan upacara adat naik dango. Upacara adat naik dango merupakan acara rutinitas yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Kanayatn sebagai bentuk wujud rasa syukur atas keberhasilan hasil panen padi. Upacara ini di laksanakan setiap tanggal 27 April. Sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Dayak Kanayatn di kecamatan Menyuke, upacara adat totokng biasanya di laksanakan minimal 4 tahun sekali.

Page 73: TRANSFORMASI BUDAYA

58

tidak mengayau di daerah Sijangko, perbatasan antara kecamatan Mandor dan

Sengah Temila. Lebih dari itu, kepala- kepala hasil mengayau pada beberapa abad

silam sudah hampir punah setelah dikubur atau dibakar. 85

Selain itu, untuk melaksanakan upacara adat totokng dibutuhkan biaya

yang sangat besar. Upacara adat ini harus disesuaikan dengan asal-usul keluarga

dan dari keturunan cerdik-pandai adat, di samping itu dikhawatirkan mendapatkan

jukat (musibah).86

Apabila dilihat dari segi fungsinya, upacara adat totokng telah mengalami

pergeseran. Zaman dahulu upacara adat totokng dilaksanakan dalam rangka untuk

mengaktualisasikan diri bagi mendapatkan pengampunan dosa dari Jubata (Sang

Pencipta). Selain itu, menurut kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn yang

terdapat di kecamatan Menyuke, upacara adat ini sangat berperan penting bagi

kehidupan. Pada konteks ini, apabila dalam kehidupan masyarakat mengalami

berbagai macam jukat (musibah). Semisalnya, penyakit dan hasil panen

mengalami penurunan dalam periode 4 tahun terakhir, maka diadakannyalah

upacara adat totokng.87

Dalam perkembangannya, upacara adat totokng dilaksanakan dengan

kecendrungan lebih pada unsur ekonomis. Dalam hal ini, setelah selesai

menyelenggarakan upacara adat totokng dilanjutkan dengan acara kesenian daerah

85Elias Ngiuk., op. cit., hlm. 44. 86Petronella Regina (dkk)., op. cit., hlm. 67. 87Hasil wawancara dengan Amuk Jolak. Tanggal 7 Januari 2009. Dusun.

Angkamu, Desa Kayu Ara, Kecamatan Menyuke Kabupaten Landak.

Page 74: TRANSFORMASI BUDAYA

59

yakni Jonggan.88 Dengan disertai Jonggan, ini tentunya akan mengundang

munculnya warung, perjudian, mabuk-mabukan dan yang lainnya. Dengan

demikian, apabila dilihat dari kaca mata adat, tentunya sangat bertentangan atau

menyimpang dari upacara adat totokng yang sesungguhnya.

88Elias Ngiuk., op. cit., hlm. 48.

Page 75: TRANSFORMASI BUDAYA

60

BAB V

FUNGSI UPACARA ADAT TOTOKNG

BAGI MASYARAKAT DAYAK KANAYATN

5.1 Konsep Kosmis

Menurut Nico Andasputra, secara umum cara pandang atau pemikiran

masyarakat suku Dayak mencakup tiga dimensi yakni realitas mutlak, manusia

dan alam.89 Ketiga dimensi ini dihayati dalam setiap tingkah laku manusia Dayak,

di mana memiliki keterkaitan atau terjadinya proses kesinambungan, sehingga

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bagi masyarakat suku Dayak,

pandangan tentang makna kehidupan tidak tergantung pada masalah

kesejahteraan, realitas atau objektivitas sebagaimana yang dipahami oleh manusia

modern, tetapi dalam keseimbangan (kosmis).90 Hal inilah yang terkadang

membuat masyarakat suku Dayak dalam setiap realitas kehidupanya sangat

dipengaruhi oleh dunia mistis dan sulit untuk dinalar dengan akal pikiran.

Secara kompleks, kebudayaan Dayak berpangkal pada alam pikiran mistis

realitas manusia Dayak yang tertuang dalam unsur-unsur kebudayaan seperti adat

istiadat, bahasa dan kesenian yang telah disesuaikan dengan sub-suku masyarakat

Dayak. Namun demikian, terkandung konsep yang sama yaitu pengakuan akan

adanya realitas yang bersifat sangat mutlak pada alam.91

89Nico Andasputra, 1992, “Manusia Dayak Dan Konsep Pemikirannya”

dalam Kalimantan Review (KR), No. I/Th. I/ November-Maret, hlm. 16. 90Fridolin Ukur., op. cit., hlm. 15. 91Nico Andasputra., op. cit., hlm. 13.

60

Page 76: TRANSFORMASI BUDAYA

61

Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, seperti layaknya sub-suku Dayak

lainnya, masih memiliki adat dan tradisi yang kuat. Sehingga tidak

mengherankanlah kalau cara pandang atau pola pikirnya sangat dipengaruhi

kekuatan religio-magis. Kepercayaan religio-magis tersebut salah satunya

terwujud dalam tradisi mengadakan berbagai upacara tradisional seperti hal,

upacara adat totokng sebagai salah satu bentuk wujud penyerahan diri kepada

Jubata (Sang Pencipta).

Masyarakat Dayak Kanayatn sangat mempercayai, bahwa keterkaitan

antara dunia nyata dengan dunia gaib merupakan sumber kehidupan atau sesuatu

yang dapat memberikan kehidupan kepada manusia.92 Selain melalui upacara

adat, perwujudan kepercayaan kosmis masyarakat adat Kanayatn tercermin dalam

perbuatan dan tindakan sehari-hari yang selalu selaras dengan mitos yang menjadi

sumber kebijakan mereka dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan

hidupnya.

5.2 Penghormatan Kepada Roh Leluhur

Secara umum, masyarakat Dayak memiliki suatu kepercayaan yang

kompleks dan sangat berkembang dalam hal sistem kepercayaan. Berdasarkan

tradisi dalam masyarakat Dayak, kompleksitas sistem kepercayaan tersebut

mengandung dua prinsip yakni: 1) unsur kepercayaan yang menekan pada

pemujaan nenek moyang. 2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu dengan

92Poltak Johansen & Christiany Ariani, 1993, “Masyarakat Dayak Dan

Lingkungannya”, dalam majalah Kalimantan Review (KR), No. 5 / Th II/ September-Desember, hlm. 5.

Page 77: TRANSFORMASI BUDAYA

62

kekuasaan tertinggi dan merupakan suatu prima causa dari kehidupan manusia.93

Sementara itu, prinsip-prinsip dari sistem kepercayaan itu sesuai dengan hasil

penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan Dan

Kebudayaan Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:

“Di temukan bahwa, sistem kepercayaan kepada nenek moyang atau leluhur dalam masyarakat Dayak itu berisi tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang dan manusia dengan alam berserta isinya. Sedangkan, Tuhan tertinggi yang satu memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (divinity). Karakter pertama mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi” dan karakter yang lainnya tinggal di bawah atau yang “lebih rendah”. Dalam hal ini, orang Dayak sangat mempercayai kedua karakter ini masing-masing memuat yang baik dan buruk. Secara kompleks, masyarakat suku Dayak sama-sama mempercayai kedua prinsip tersebut memiliki kekuatan yang lebih tinggi”. 94 Sehubungan dengan itu, menurut Coomans, sikap religius suku Dayak

sangat patuh terhadap aturan-aturan atau adat dan tradisi yang telah ditetapkan

oleh nenek moyang mereka. Dengan kata lain, segala macam bentuk tindakan,

perbuatan, tingkah laku dan teladan nenek moyang harus di patuhi dengan baik.

Sikap yang tidak meniru teladan nenek moyang adalah bentuk perbuatan yang

tidak direstui oleh dunia ilahi. Dengan menuruti sikap teladan nenek moyang ia

akan menjadi bahagia hidup di dunia ini. Dengan demikian, tingkah laku dan

93 Syarif Ibrahim Alqadrie, 1994. “Mesianisme Dalam Masyarakat Dayak

Di Kalimantan Barat: Keterkaitan Antara Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang Dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi, dalam Paulus Florus (dkk)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 23.

94Ibid.

Page 78: TRANSFORMASI BUDAYA

63

perbuatanya berdasarkan realitas, objektivitas dan nilai-nilai yang terkandung

pada peristiwa zaman purba yang diaktualiasikan kembali dalam dirinya.95

Atas dasar tersebut, upacara ritual adat totokng dalam masyarakat suku

Dayak Kanayatn, tidaklah bisa dikatakan sebagai bentuk menyembah berhala.

Secara kolektivitas, upacara adat totokng merupakan salah satu bentuk aturan-

aturan adat dan tradisi yang telah dilaksanakan oleh leluhurnya selama beberapa

ribu tahun yang lalu.

Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn, upacara adat ini

dilaksanakan karena mereka sangat patuh akan peraturan yang telah ditetapkan

roh-roh leluhurnya (nenek moyang). Kalau tidak melaksanakannya, maka secara

kosmos keterkaitan antara mereka, alam dan Jubata (Sang Pencipta) akan menjadi

terputus. Kalau hubungan itu terputus, maka masyarakat tersebut akan mendapat

jukat (musibah).

5.3 Melindungi Pertanian

Upacara adat totokng bagi masyarakat Dayak Kanayatn di masa kini masih

sangat relevan dilaksanakan karena diyakini dapat membawa berkah terutama di

bidang pertanian. Hal ini terkait dengan tradisi mengayau pada zaman dahulu,

apabila hasil panen mengalami penurunan atau terkena hama dan yang lainnya,

dibutuhkan kepala hasil mengayau sebagai persembahan.

Pada prinsipnya kepala orang yang dipersembahkan dalam pelaksanaan

upacara adat totokng, biasanya kepala orang-orang yang mempunyai manna (jiwa

dan kekuatan) yang tinggi. Semisalnya, orang kaya (hasil pertanian, harta pusaka

95Mikhail Commans., op. cit., hlm. 79.

Page 79: TRANSFORMASI BUDAYA

64

dan sebagainya), panglima dan baliant (dukun handal). Karena memiliki manna

yang tinggi, maka diyakini akan mendatangkan berkah atau rejeki yang melimpah

di bidang pertanian. Selain itu, mampu melindungi seluruh kampung dari berbagai

macam jukat (musibah).

Pada masa kini, orang Dayak Kanayatn tidak lagi melaksanakan adat

mengayau. Untuk itu, kepala yang dipersembahkan untuk upacara totokng adalah

kepala hasil mengayau pada zaman dahulu.

5.4 Membangun Identitas

5.4.1 Pelestarian Tradisi Lisan

Masyarakat Dayak adalah masyarakat lisan. Oleh karena itu, tradisi lisan

memainkan peranan sentral dalam tatanan masyarakat. Dalam tradisi lisan

tercakup totalitas konspsi-konsepsi dasar ideologi, dogma, doktrin, filsafat

sejarah, bahasa, sastra, hukum dan kebiasaan serta nilai-nilai sentral, struktur

sosial, serta cara-cara berhubungan dengan alam nyata dan alam mistik.96

Atas dasar tersebut, maka tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat

Dayak Kanayatn harus tetap dijaga dan dilestarikan. Secara kolektivitas, tradisi

lisan itu menghubungkan antara masyarakat dan kebudayaanya. Selain itu,

sejumlah tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat Dayak Kanayatn berfungsi

sebagai pengikat tali persaudaraan atau kebersamaan.

96Stepanus Djuweng, 1996. “Orang Dayak, Pembangunan Dan Agama

Resmi, dalam Th. Sumarthana (ed)., Kisah Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Dian/ Inferdei., hlm. 8.

Page 80: TRANSFORMASI BUDAYA

65

Tradisi lisan Dayak Kanayatn merupakan pengetahuan bersama

masyarakat yang dipakai sebagai sumber informasi, penyaksian dan kebiasaan

lisan. Pertama, sebagai informasi, tradisi lisan dapat ditemui dalam bentuk cerita

lisan seperti, tentang kepahlawanan, Ne’ Kancat, Ne’ Dara Itapm, asal usul,

kejadian, cerita Ne’ Baruakng Kulub dan yang lain-lainya. Kedua, penyaksian,

tradisi lisan berupa pengetahuan masyarakat diwujudkan lewat upacara

keagamaan seperti totokng, baliatn, badendo97 dan nyangahatn.98 Ketiga,

kebiasaan lisan pengetahuan tentang gotong royong dalam kegiatan balale’ ka’

uma (bersama-sama ke ladang).99 Ketiganya tersebut, secara rutinitas

dipraktekkan dari waktu ke waktu dan merupakan sesuatu yang telah mengikat

dan mengakar dalam masyarakat Dayak Kanayatn.

Sementara nilai yang terkandung dari tradisi lisan tersebut di dalamnya

dapat langsung dirasakan dan diperoleh. Dengan kata lain, tradisi lisan tersebut

dapat memberikan makna dan harga (nilai). Adapun makna atau nilai dari tradisi

lisan bagi masyarakat Dayak Kanayatn adalah sebagai berikut:

1) Dalam hal pekerjaan sebagai bentuk karya atau amal perbuatan.

2) Sebagai langkah untuk memahami tentang waktu.

3) Untuk menghubungkan manusia dengan sesamanya.

97Upacara yang berhubungan kegiatan pengobatan atau membayar niat. 98Nyangahatn atau biasanya disebut doa. Nyangahatn biasanya dipratekan

doa-doa dalam setiap upacara seperti, Baliatn atau Liatn, Naik Dango (pesta padi), totokng, dan sejumlah deretan dalam prosesi upacara keagamaan lama yang lainnya.

99Albert Rufinus., op.cit., hlm. 60.

Page 81: TRANSFORMASI BUDAYA

66

4) Menghubungkan manusia dengan alam sekitarnya (kosmis).100

Lebih dari itu, tradisi lisan Dayak Kanayatn kini telah hadir dalam

kegiatan formal seperti, pendidikan dan materi kajian pemerintahan desa. Hal ini

terlebih didukung oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1) Karena tradisi lisan setempat diikutsertakan dalam kurikulum materi

kebudayaan.

2) Mampu menyadarkan tentang masyarakat norma-norma adat yang

berlaku.

3) Dalam dunia pendidikan, terutama bagi siswa-siswi SLTP dan SMA

dijadikan sebagai bahan mata pelajaran Muatan Lokal.

4) Sebagai media atau alat cerita komunikasi bagi generasi muda atau

sumber pengetahuan untuk memperkuat identitas.101

5.4.2 Upaya Membangun Identitas

Menurut Jhon D. Waiko tradisi lisan merupakan landasan kesadaran diri

dan otonomi dalam sebuah komunitas, ketika mereka berinteraksi dengan

lingkungannya. Atas dasar tersebut, apabila peranan tradisi lisan itu tergeserkan

dan terlupakan maka kesadaran diri, otonomi dan identitas masyarakat juga pasti

demikian.102

Sebagaimana ungkapan Jhon D. Waiko di atas, ingin menegaskan agar

tradisi lisan Dayak Kanayatn yang dikenal cukup kaya harus tetap dijaga dan

100Ibid., hlm. 61. 101Ibid. 102Stepanus Djuweng (ed)., op. cit., hlm. x.

Page 82: TRANSFORMASI BUDAYA

67

dilestarikan, apalagi jangan sampai dilupakan. Tradisi lisan itu sendiri tercakup

dalam komponen yang dinamakan dengan “kebudayaan”. Lebih dari itu, tradisi

lisan merupakan bentuk cerminan atau identitas masyarakat Dayak Kanayatn.

Seperti halnya, dengan tradisi lisan dalam upacara keagamaan adat yang

lainnya, upacara adat totokng masih sangat penting untuk dilestarikan. Dengan

mengingat upacara adat ini masih dilaksanakan secara tutun temurun. Dalam hal

ini pelaksanaan upacara adat totokng tidak hanya dipandang sebagai simbol

“pertobatan”, tetapi juga merupakan simbol “kemakmuran”. Selain itu, upacara

adat ini juga memiliki nilai kearifan lokal terhadap pelestarian hutan.103 Secara

kompleks, semua praktek upacara adat ritual dalam keagamaan adat memiliki

makna bagi setiap aspek kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn.

Atas dasar tersebut, maka upacara adat totokng harus tetap dijaga dan

dilestarikan, karena mengingat upacara adat ini sangat berfungsi bagi kehidupan

masyarakat Dayak Kanayatn. Dalam konteks ini, setidaknya bagi generasi muda

Dayak Kanayatn harus bisa mengetahui, mengerti dan memahami adat dan

tradisinya. Selain itu, orang Dayak Kanayatn harus merasa bangga akan

budayanya sendiri. Dengan demikian, akan meningkatkan kesadaran yang tinggi

demi menjaga keeksistensi budayanya untuk membangun identitas yang mantap

dan tangguh.

103http:// kompas-cetak/ 0507/daerah/ 1870227.

Page 83: TRANSFORMASI BUDAYA

68

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang “Transformasi Budaya: Upacara

Adat totokng dalam Masyarakat Dayak Kanayatn, secara keseluruhan dapat

disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, menurut masyarakat Dayak Kanayatn, dengan melaksanakan

upacara adat totokng, menunjukan sikap kepatuhan mereka kepada adat dan tradisi

yang telah ditetapkan oleh leluhurnya. Selain itu, untuk menjaga keseimbangan

antara alam dan Sang Penciptanya Jubata (Tuhan). Apabila, hubungan tersebut

terputus maka, akan mendapat hukuman berupa jukat (musibah). Untuk

menghindari hal tersebut, maka masyarakat Dayak Kanayatn melaksanakan

upacara adat totokng.

Kedua, terjadinya proses dinamika pada upacara adat totokng, setidaknya

disebabkan oleh tiga permasalahan; kebijakan Pemerintahan Kolonial Hindia

Belanda melalui Perjanjian Tumbang Anoi 1894, pengaruh masuknya ajaran

agama Katolik dan pengaruh modernisasi dalam upacara adat totokng. Dari ketiga

permasalahan tersebut membawa dampak transformasi budaya pada upacara adat

totokng.

Pada abad ke-19, pemerintahan Hindia Belanda telah berhasil membawa

perubahan dalam budaya masyarakat Dayak, terutama melalui Perjanjian

Tumbang Anoi 1894. Melalui Perjanjian Tumbang Anoi, telah terjadi

penyeragaman terhadap adat dan tradisi seluruh masyarakat Dayak di Borneo

68

Page 84: TRANSFORMASI BUDAYA

69

(Kalimantan). Sementara itu, adat mengayau dalam masyarakat secara umum

berhasil diminimalisirkan. Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, dampak dari

perjanjian tersebut membuat kegiatan adat mengayau secara perlahan-lahan

dihentikan dan upacara adat totokng semakin jarang dilaksanakan.

Sementara itu, kemunculan para missionaris (Katolik) dianggap telah

berhasil karena mampu melepaskan masyarakat Dayak dari kebodohan dan

penindasan melalui pendidikan. Keberhasilan para missionaris tidak lain karena

mereka bersikap toleransi terhadap adat dan tradisi yang berlaku dalam

masyarakat Dayak. Dalam hal ini, para missionaris berhasil memasukan dan

mempersatukan unsur-unsur agama Katolik dalam budaya Dayak Kanayatn yang

lebih dikenal dengan istilah “enkulturasi budaya”. Namun demikian bukan berarti

budaya Dayak dan agama Katolik tidak ada pertentangan, hanya saja dalam

bentuk skala kecil (miskomunikasi). Karena tidak semua adat dan tradisi dalam

masyarakat Dayak Kanayatn bisa diterima dengan sepenuhnya, hal ini terlebih

dengan upacara adat totokng. Menurut ajaran gereja Katolik, bentuk upacara

semacam ini tentu saja sangat menyimpang dan diakui sebagai bentuk

penyembahan berhala.

Dalam modernisasi dengan semakin majunya perkembangan teknologi dan

informasi dan semakin melemahnya struktur adat, membuat upacara adat totokng

berada di persimpangan jalan dan bahkan seakan terkesan punah. Transformasi

budaya ini tidak hanya terjadi pada upacara adat totokng, tetapi mencakup semua

adat dan tradisi dalam masyarakat Dayak Kanayatn.

Page 85: TRANSFORMASI BUDAYA

70

Ketiga, upacara adat totokng selain disimbolisasikan sebagai lambang

“pertobatan”, untuk memperoleh jalan keselamatan dari Jubata (Sang Maha

Penciptanya). Upacara adat ini juga sangat berfungsi bagi masyarakat Dayak

Kanayatn, karena diyakini akan mendatangkan berkah bagi seluruh masyarakat

terutama di bidang pertanian. Lebih dari itu, untuk menghindari jukat (musibah),

seperti munculnya berbagai macam penyakit, gagal panen, mengusir roh halus dan

yang lainnya.

6.2 Saran

Pertama, kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Dayak Kanayatn

harus dijaga dan dilestarikan, agar secara turun temurun dapat berjalan dengan

baik. Dalam suatu komunitas masyarakat yang tangguh, mereka sangat

menjunjung tinggi dan menghargai adat dan tradisinya sebagai pengikat identitas

diri. Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, terutama bagi generasi muda tidak hanya

memandang sebelah mata terhadap kebudayaannya. Dalam hal ini, mereka harus

memiliki rasa bangga menjadi kesatuan dalam masyarakat Dayak Kanayatn.

Kedua, masyarakat Dayak Kanayatn harus berkembang dan berubah untuk

membangun diri dengan syarat harus tetap berada di atas rel tradisi, melalui

perilaku murni Dayak Kanayatn. Dalam hal ini, masyarakat Dayak Kanayatn

diharapkan supaya untuk memperkuat potensi dasar yang kokoh dan kuat yang

dikembangkan dalam kehiduapan nyata.

Ketiga, semua pihak yang terkait seperti, Lembaga Adat, Lembaga

Swadya Masyarakat (LSM), generasi muda Dayak Kanayatn dan pihak yang

lainnya, secara kolektif mempublikasikan adat dan tradisinya melalui media

Page 86: TRANSFORMASI BUDAYA

71

massa maupun cetak. Dengan harapan, agar semua intrepretasi (gambaran)

tentang budaya Dayak tidak hanya dipandang sebelah mata atau hanya dilihat dari

sisi eksotisnya. Dengan demikian, semua bentuk stigma tentang Dayak dan

budayanya, secara kompleks yang dikenal sebagai pemburu kepala, kotor, bodoh,

primitif, takhayul, tidak beradab dan yang lainnya, tidak secara terus menerus di

amini oleh berbagai pihak. Lebih dari itu, hal ini akan mampu memperkuat

identitas masyarakat suku Dayak Kanayatn yang mantap dan tangguh.

Page 87: TRANSFORMASI BUDAYA

72

KEPUSTAKAAN

A. Buku

Abraham, Franscis. M. 1991. Modernisasi Di Dunia Ketiga: Suatu Teori Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Anyang Thambun. 2001. Daya Taman Kalimantan: Dalam Arus Modernisasi.

Jakarta: Grasindo. Bamba, Jhon (Ed). 2008. Mozaik Dayak: Keberagaman Sub-Suku Dan Bahasa

Dayak Di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakology. Budiono Herusantoso, 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:

Penerbit PT. Hanindita. Commans, Mickhail. 1987. Manusia Daya; Dahulu, Sekarang dan Masa Depan.

Jakarta: PT. Gramedia Utama. Dudung Abdurahman, 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media. Djuweng, Stepanus (dkk). 2003. Tradisi Lisan Dayak: Yang Tergusur Dan

Terlupakan. Pontianak: Institut Dayakology (ID). Edi Petebang. 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Institut

Dayakology (ID) Embuiru, Herman P. 1995. Katekismus Gereja Katolik. Ende Flores: Arnoldus.

Florus, Paulus dkk. 2005. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology (ID).

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hulten, H.J. Van. 1992. Hidupku Di antara Suku Daya. Jakarta: PT. Gramedia.

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Lontaan, JU. 1975. Sejarah Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda TK.I Kalbar.

Maniamas Midden. 2000. Buku Narasi Upacara Adat Totokng. Pontianak: Institut

Dayakology (ID).

72

Page 88: TRANSFORMASI BUDAYA

73

Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Nieuwenhuis, A.W. 1994. Di Pedalaman Borneo. Perjalanan Dari Pontianak Ke

Samarinda 1894. Jakarta: Gramedia. Petronella, Regina (Ed). 2004. Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut

Dayakology. R. Dove, Michael (Ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam

Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sumarthana (Ed). 1996. Kisah Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama

Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Dian/ Inferdei. Yekti Maunati, 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi Dan Politik Kebudayaan.

Yogyakarta: LKIS. Vinsentius Julipin, Nico Andasputra (Ed). 1997. Mencermati Dayak Kanayatn.

Pontianak: Institut Dayakology. B. Majalah, Skripsi dan Internet

Http:// kompas-cetak/ 0507/daerah/ 1870227. “Totokng” Tradisi Dayak Menghormati Tengkorak Musuh”. Jumat, 27 Mei 2007.

Http// stellamaris-siantan blogspot.com/2009/08/ Bermulanya Gereja Katolik Di

Kalimantan Barat. Sabtu, 10 Oktobert 2009.

Http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu-5-1979.htm. Minggu, 20 Juni 2010.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Vikaris_ Apostolik. Minggu 20 Juni 2010.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Prefektur_Apostolik. Minggu 20 Juni 2010.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Ordo_Yesuit. Minggu 20 Juni 2010.

Http://id.wikipedia.org/Ordo_Kapusin. Minggu 20 Juni 2010.

Majalah Kalimantan Review, No.IV/ Th. II/ Mei-Agustus, 1993. Majalah Kalimantan Review (KR), No. 96/Th. XII/ Agustus, 2003. Majalah Kalimantan Review (KR), No. I/ Th. IV/ April-Juni, 1995.

Page 89: TRANSFORMASI BUDAYA

74

Majalah Kalimantan Review (KR), No. 5 / Th II/ September-Desember, 1993. Majalah Kalimantan Review (KR), No. 2 / Th. I/ Januari-Juni, 1992. Yonarius Kompu. 2003. Sistem Perladangan Daur Ulang Dayak Kanayatn

Sebagai Upaya Mengembalikan Alam Pada Citranya (Tinjauan Kultural Teologis). Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana. Tidak diterbitkan.

Yohansen, Sejarah Borneo dan Isi Perjanjian Tumbang Anoi. http://bs-ba.Face

Book.com?topic.php?uid=119020229698&topic=11007je napisao/laAugust 24, 2009 u 9:56 prije podne.

C. Sumber Wawancara

N0 Nama Lengkap Umur Pendidikan

Terakhir Pekerjaan Alamat

01 Amuk Jolak 79 Tahun

SR Kepala Adat Dusun Angkamu, Ds. Kayu Ara, Kec. Menyuke, Kab. Landak.

02 Maniamas Midden 69 Tahun

SR Kepala Adat Dusun Saleh, Simpang Aur, kec. Sengah Temila, Kab. Landak.

03 P. Yeremias Ofm.Cap 71 Tahun

S2 Biarawan Pastoran Menjalin, Kec. Menjalin, Kab. Landak.

Page 90: TRANSFORMASI BUDAYA

75

LAMPIRAN

HASIL TRANSKRIP WAWANCARA

Nara Sumber: Amuk Jolak

Umur: 79 tahun

Jabatan : Kepala Adat Binua Setolo

Alamat: Dusun Angkamu, Desa Kayu Ara, Kecamatan Menyuke Kabupten

Landak

Tanggal: 7 Januari 2009

Hari: Rabu

Jam: 11.12

Topik: Upacara Adat Totokng Versi Menyuke

P :Kek, pertama-tama aku mau nanya pendapat kakek dulu, apakah yang

dimaksud dengan upacara adat totokng itu?

NS :Maksud totokng kan ritual mengangkat hidup.

P :Ya…itu pengertianya ya…

NS :Ha…

P :Habis itu, totokng dan notokng, apa perbedaanya?

NS :Totokng dan notokng?

P :Iya…

NS :Sama jak, ndak ada bedanya.

P :Mungkin bisa kakek bisa jelaskan secara panjang, bagaimana sejarah

munculnya upacara adat totokng itu gimana zaman dulu?

NS :Sejarah munculnya totokng zaman dulu itu begini, jadi zaman

pengayauan ini ndak salah, peperangan antar daerah ke daerah lain,

asalnya yang terjadi perselisihan batas, bunuh membunuh antara suku

Dayak dengan Dayak. Jadi, sudah terjadi pembunuhan segala panglima-

panglima yang sebelah itu tadi, Semisalnya, antara Sambas dan Sekayam,

siapa yang menang itu yang totokng. Totokngkan kan kepala itu, Jadi,

totokng itu ritualnya mengangkat hidup, disamping untuk karena ada

75

Page 91: TRANSFORMASI BUDAYA

76

suatu-suatu kehidupan kita orang Dayak ini yang agak susah ya

dilaksanakannyalah adat totokng. Adat ini adat yang tua, adat laki atau

gawe laki atau kata bahasa Dayaknya, supaya kehidupan yang merosot tadi

bisa makmur lagi, kalau tidak dapat padi, kalau padi ini banyak kena hama

diadakannyalah upacara adat totokng. Jadi, totokng dan peraga totokng dan

kepala kering tetap diadakan.

P :Tadikan kakek mengatakan bahwa, kepala itu harus kering dan kalau

basah itu bedanya apa?

NS :Yang basah ini dapat baru, kalau yang kering yang kita dapat waktu

zaman nenek dulu.

P :Jadi, kepala itu harus benar-benar kering

NS :Ya, benar-benar kering. Ndak ada sekarang kepala basah lagi.

P :Ha…kalau kriteria untuk kepala itu, ha, apakah memenuhi kriteria

tertentu apakah dia memang orang hebat atau apa gitu, di daerah jajahan

itu?

NS :Ya, daerah orang yang hebat, yang hebat panglima, hebatnya kaya, yaitu

itu. Entah, istilahnya dia itu istilahnya dukun begitu. Ya, Itu kepalanya

yang diambil yang bisa kita simpan.

P :Itu kenapa, Kek?

NS :Karena itu mengambil tuah manusia itu, mengambil rejekinya, sepertinya,

saya kepala adat dan saya dicintai oleh daerah sana, harus dapat kepala

saya ini. Supaya kalau dapat saya tetap totokng, saya yang totokngkan dia

kata yang mengijinkan. Sekali dapat ya dan dibersihkan diserahkan dengan

dia. Ha…kepala dia ”lihat ini dia gitu”, diserahkan barulah mengadakan

upacara adat totokng. Jadi, yang itu ada upahnya.

P :Upahnya itu berapa apa?

NS :Upahnya berupa adat, seperti babi, segala ayam dan yang lainnya, apa

namanya peraga-peraga adatnya tu yang lengkap ngasi dia dan babinya itu

sebelah.

P :Dipotong dulu ya...

NS :Ha..a…

Page 92: TRANSFORMASI BUDAYA

77

P :Itu dipotong dulu sebelah itu kenapa, Kek, maksud dan makna itu apa?

NS :Itu apa namanya untuk upah bagi seseorang yang berhasil mendapat

kepala.

P :Memang harus demikian ya, Kek,

NS :Ya…

P :Kalau nggak, gimana, Kek?

NS :Kalau ndak diberi itu wilayah kekuasaannya diambil.

P :O begitu ya…

NS :Karena sudah janji.

P :O..karena sudah ada perjanjian sebelumnya, ya..Kek.

NS :Ha…kalau begitu kau ndak bisa totokngkan ini ndak ngupah saya ambil

tanah-tanah kau ini karena udah menjadi bagian dari hak saya.

P :Ha…biasanya tu yang ikut ikut berperang apakah itu Timanggong

ataukah orang-orang yang terkuat di desa itu atau gimana?

NS :Biasanya yang ikut ini para pengurus adat, dan para panglima, sepertinya

kita di Banyuke ini Patih juga ikut. Segala panglima-panglima itu

kumpulkan datang kesana dan orang-orang kaya kumpulkan untuk

memberi tunjangan, kalau ndak ada beras dan untuk memberi makan bagi

anak istrinya mereka yang ikut pergi mengayau. Selama ngayau 7 hari,

dapat ndak dapat pulang.

P :Apa namanya tad?

NS :Hari Kamang, kamang itu kan orang 7, jadi kan bejalan bertujuh, kita

makai dia 7 hari jak.

P :Oya…biasanya mengenai Kamang, sejauh pemahaman saya membaca

tentang adat Dayak Kanayatn itu, kalau Sengah Temila sepengetahuan

saya itu ada empat nama Kamang dan Banyuke itu ada tujuh Kamang,

kalau Banyuke yang ketujuh nama kamang itu siapa saja namanya?

NS :Saya sih ndak tahu nama Kamangnya, tapi saya cobalah jawabnya…

P :Ha,..

Page 93: TRANSFORMASI BUDAYA

78

NS :Nama Kamang itu, Bujakng Nyangko (kepala Kamang), Kamang Tariu,

Kamang Layo, Kamang Bantukng, Kamang Kebugo, Kamang Kedahing,

(ahe seko’agi’ ya..) (apa satu lagi ya), Kamang Bunsu.

P :Itu biasanya kan zaman dulu ada mengayau, apa segala macam mereka

itu kan yang duluan kan roh-roh nenek moyanglah mungkin ya Kek,

NS :Ya…

P :Itu biasanya kalau mau melaksanakan kegiatan mengayau (mencari

kepala) itu dipanggil mereka semuanyakah dan dikumpul atau bagaimana?

NS :Kamangnya?

P :Ya,…dipanggil.

NS :Ndak. Waktu kita mau pergi dipanggil, waktu itu kita manggilnya bukan

dirumah di Patok dengan kamang.

P :Patok itu apa? bahasa Indonesianya…

NS :Istilah adat.

P :Ho…istilah adat.

NS :Ha..

NS :Bikin adat di Patok dulu.

P :Ho…mau bikin adat ya patok itu..

NS :Ya…kita matok itu dianok itu ndak ditajur kalau patok kamang itu ditajur

tu dibukit, ayam 1 anjing 1 dibawa situ.

P :Itu baru berangkat ya?

NS :Ya, kalau mau berangkat.

P :Biasanyakan setiap desa-desa kan itukan perang dulu, setelah mereka

dapat kepala dan badanya diambil atau dibuang atau bagaimana dan

kepala kan pasti dibawa sedangkan badanya gimana?

NS :Dibuang

P :O…

NS :Tinggalkan.

P :O…gitu ya,..

NS :Kepalanya jak yang diambil bawa pergi. Lalu lihatkan mukanya dengan

orang yang minta tadi.

Page 94: TRANSFORMASI BUDAYA

79

P :Itu biasanya tergantung persetujuan antara masayarakat mau menyerang

siapa gitu ya?

NS :Ha,

P :Misalnya, apa namanya misalnya mau menangkap Tono, misalnya kan?

apakah sudah ada persetujuan sebelumnya di antara masyarakat?

NS :Memang sudah persetujuan.

P :O…memang harus menangkap itu…

NS :Ha,

P :Jadi, itu memang udah diincar ya…

NS :Ha, memang dah diincar. Tapi, yang paling banyak terbunuh itu, itu udah

merayap namanya kita ndak bisa menangkan dialah kan!

P :Ha,..

NS :Ketemu bunuh itu namanya udah merayap. Kalau yang dincar ini yang

udah kita yang kita ajaki gitulah. Udah kita cintai, Itu memang di patok

dulu siapa kekuatannya daerah itu, panggil rohnya kalau kita datang disitu

dia ndak anok, ndak angkat termasuk ndak bersemangat lagi, cari masing-

masing cari dan kalau dia disitu namanya kita mencintai satu kampung

itulah, itu bahkan memang dia siap apa namanya benteng untuk menjaga

kampung itu, maka kita itu di Patok dulu dia supaya dia ndak

bersemangat. Jadi, malam berapa kita bukanya begitu, hari apa, alatnya

apa-apa yang kita dibawakan. Maka dianggap 7 Kamang ini tadi, adanya

namanya Penoret kan, ada yang sebagai kepala karena yang nama

penoreh, adanya yang sebagai kepala, ada yang penyimpan, ini dah

kemanusiaannya, apa ndak kalau kita totokng itu pakai anak Kayo 7 (anak

Kayo) yang tukang nyari-nyari itu tujuh. Maka, Kamang itu memang

disebut 7 Tujuh beradik.

P :Ya,..tujuh kakak adik ya...Biasanya dulu itu terjadinya mau mencari

kepala itu harus jauh ya?

NS :Jauh…misalnya, kita mengayau di daerah Sambas, Sekayam dan

mempawah, ini biasanya terjadi karena pertentangan batas.

P :Jauh-jauh yang nyari nya.

Page 95: TRANSFORMASI BUDAYA

80

NS :Aok…(ya). Mengayau Mempawah ini kan perkelahian pertentangan

batas.

P :O…Biasanya terjadi adat mengayau itu apa-apa saja permasalahanya,

Kek,?

NS :Biasanya asal mula terjadi pengayauan perselisihan batas.

P :Misalnya, batas itu memang sudah ada terjadi perselisihan. Selain batas,

apalagi itu lagi, Kek?

NS :Ya, itulah selain masalah batas ndak ada, tapi siapa yang memperkuatkan

batas ini.

P :O...gitu untuk mempertahankan diri

NS :Untuk mempertahankan diri, menjadi benteng, misalnya Timanggong

Sano, umpamanya lah kan atau mangku sano panglimanya sano, ha, itu

yang di Patok tu. Itu diteliti dulu mempertahankan batas biar sampai kita

bebunuh dibatas itu jangan sampai diberikan. Masalah timbul kayo-

mengayau. Jadi perkara ini asalnya, kan perkara dulu antara dua batas ini

dan laporlah kepada raja.

P :Kek, kalau zaman dulu, raja itu disebut apa di masyarakat Dayak?

NS :Memang raja. Memang zaman dulu raja, raja Melayu dan raja Jawa. Jadi,

perkara ini tak terputus-putus, sama keraskan, belumlah bebunuh belum.

Jadi, ini hasutan dari raja suku Melayu dengan mengirimkan tembako.

P :Tembako itu maksudnya apa?

NS :Tembako punjam tu satu keranjang.

P :Itu, sebagai upetikah itu?

NS :Ini sebagai tanda hasutan.

P :Ho, cari panas gitu ya…

NS :Supaya menghasut yang sebelah ini, kirim tembako dan kain hitam,jadi

kain hitam itu dikirimlah ke untuk apa dan ini tembako ini untuk sugih

artinya kau ini perempuan bukan jantan, bukan jago, bukan berani. Jadi,

kalau gini raja nyuruh kita peranglah, peranglah, jadi timbullah kayo-

mengayau. Intai, mengintai, sampai disitu bunuh-sampai disitu bunuh.

Bunuh yang sipil-sipilnyalah dulu untuk cari perkelahian ini. Barulah cari

Page 96: TRANSFORMASI BUDAYA

81

Panglimanya, lalu bagaimana cari panglimanya ya…di patok. Timbulkan

jalan adat patok gitu bah cerita asal perang ngayau tu. Dapat kepala itu

barulah kita bikinkan adat totokng.

P :O..gitu ya, berarti dari situ ya proses sejarahnya, itukan zaman dulu dan

sekarangkan sudah berubah pasti ya. Jadi, saya disini ingin melihat

bagaimana perkembangan upacara totokng zaman dulu dan sekarang. Jadi,

sekarang saya mau nanya sama kakek, bagaimana proses upacara mulai

dari awal berupa persiapan, bahan-bahan apa-apa dan pelaksanaanya

gimana gitu sampai selesai.

NS :Jadi, adat upacara totokng itu kan kumpulkan masyarakat-masyarakat,

pengurus-pengurus, kita mau mengadakan upacara adat totokng. Totokng

ini adatnya sejenis gawe.

P :Apa itu gawe?

NS :Sejenis adat pesta atau gawe seperti, gawe totokng, gawe sunat, gawe

baliant, gawe balenggang, gawe naik dango, ini yang disebut gawe. Tapi

yang gawe padi itu gawe meluakng.

P :Meluakng itu apa, Kek?

NS :Ngumpulkan orang.

P :O..ya,

NS :Bikin adat, bikin tempat padi itu tinggi-tinggi, pakai bidei, pakai tikarkan

lampan kata zaman dulu, toyo, Betoyo tu

P :He…Betoyo itu apa?

NS :Bidei atau kelasah (tikar anyaman dari rotan).

P :Oya tahu..

NS :Yang dimasukan dalam anok ni, pas nanti isi padi itu nama gawe

bahanyi’ atau (ngarah), namanya beberapa kampung itu dikarah dulu

dikumpulkan gawe padi namanya. Ini gawe totokng, gawe laki, gawe tua.

Setiap gawe itu hanya makai 1 hari 1 malam, baliant 3 malam, pun 1 hari

1 malam yang pakai. Mengapa, waktu kita membunuh babi yang besar itu,

dukun tu kan! itukan besoknya mau habis malam ini-hari ini dia mau

bunuhnya, disebut gawe sahari samalam, (satu hari satu malam). Biarpun,

Page 97: TRANSFORMASI BUDAYA

82

Balenggang 7 hari 7 malam pun 1 hari 1 malam yang disisakan begitu

untuk terakhirnya, maka di Banyuke seluruh Menyuke, kalau dah gawe tu

1 hari 1 malam.

P :Ngak lebih ya?

NS :Ndak, Karena ini bunuh tanun liant tadi, tanum babi itu. Kalau

balenggang tu kan bunuh tanumnya waktu naik dango, Ha, itu tanum

orang balenggang ke dango bunuh dia. Kalau baliant ini ada di dangau

ada yang di baliant kan itu disebut 1 hari 1 malam, hari ini bunuh babi

besoknya selesai.

P :Biasanya Kek, babinya itu ada kriteria tertentu ngak?

NS :Totokng?

P :Ya..

NS :Tertentu.

P :Misalnya, kayak gimana itu?

NS :Terutama bikin adatkan, totokng tu buka bidei, 1 babi kan, baru

malamnya satu babi baru datang dari pasingahant dari tempat pantak

tadikan 1 babi hanya 3, keempat naik dango, kelima penutup kita baliant.

P :Kek, biasanya kalau persiapanya apa aja kalau mau totokng itu?

NS :Persiapannya totokng, peraga adatnya kah?

P :Ha, sepertinya tumenggung kan pasti ikut jadi pemimpinkan,

NS :Iya…

P :Biasanya siapa saja yang dibawa gitu?

NS :Untuk persiapan, persiapan yang mau dipakaikah?

P :Iya,

NS :Kan, sebelum melakukan ritual itukan pasti ngumpulin apa-apa yang mau

dibutuhkan gitu?

NS :Ha, persiapanya kita itu kan bikin pentasnya dulu kan!

P :Ha,

NS :Tempat segala pangkeng-pangkeng kata bahasa kita itu Paseban.

P :Paseban itu apa?

NS :Alat yang didepan rumah, yang bentuknya seperti meja.

Page 98: TRANSFORMASI BUDAYA

83

P :Oya, kata bahasa diri’ (kita).

NS :Segala buluh kuning bunuh bala tu, buluh bala 7 pokok

P :Apa-apa aja itu?

NS :Buluh bala, bambu yang kuning, yang kuning garis.

P :Harus kuning ya, itu Kek?

NS :Kuning!

P :Kalau nggak kuning kenapa?

NS :Ndak bisa.

P :Kalau nggak bisa itu, kenapa itu?

NS :Memang udah peraturanya,

P :Ho, memang udah peraturanya…

NS :Baru kita bikin anok kelangkangnya tu aur yang besar yang besar gini

bah,

P :Iya, ha...

NS :Itu tujuh tu, belahnya ini tujuh dan tingkatnya 3, ha, 3 tingkat.

P :Kalau mengenai bahan-bahannya apa saja, Kek?

NS :Tumpi’ (cucur), poe’ (lemang), ini istilahnya pinggankan!

P :Ha,..

NS :Inikan diberi keretan poe’ kan! Poe’ (lemang) bukan di kerat begini

disusun rapi, jadi semua alat distu semuanya 7, tumpinya 7, bontokngnya

7, karetnya 7, itu alat baru itu lagi kita letakan di Paseban ada belahan

buluh 7 pokok namanya kasih makan kamang, apa bah namanya itu,

o…kita ngasih kamang makan. Beri kamang makan dia 7 beradik

P :Oya, jadi makanannya serba tujuh gitu ya o…jatah buat 7 kamang itu….

NS :Tengkobakng.

P :Tengkobang itu apa?

NS :Tengkobakng, itu buluh yang bulat begini cari yang panjang anok panjang

luasnya dibelah dan sebelah ditancap sikit dan sebelah tancap sikit baru

diberi ronkok tujuh. Diberi nasi, darah, kapur sirih, darah ayam, itulah kita

kasi.

Page 99: TRANSFORMASI BUDAYA

84

P :Kek, kan setiap dari misalnya darah apa segala segala macam itu, apakah

mempunyai makna tersendiri, misalnya kenapa harus makai ayam, babi,

NS :Itu untuk dia kasih dia makan. Jadi, mereka itu, itulah bentuk

pengampunan kita terhadap dia persembahanlah gitu kepada orang yang

halus tadi yang kita panggil begitu. Kalau ndak lengkap itu ndak boleh.

P :Misalnya, ayam harus warna merah itu kenapa?

NS :Ndak, yang bunuh warna putih, semuanya merah, semua jago.

P :Kalau babinya gimana kriterianya?

NS :Laki-laki.

P :O…jadi, semua binatang yang dipersembahkan pada kamang itu laki-laki

semua.

NS :Laki-laki semuanya. Ayam laki, babi laki, anjingnya laki, anjingnya laki,

dan P :Kalau anjingnya?

NS :Warna merah

P :Merah sekali atau bagaimana?

NS :Hitam boleh, merah memang itulah dia…

P :Ha, untuk kriteria untuk binatangnya ada berat-berat tertentu nggak?

NS :Binatangnya ada berat tertentu..

P :Biasanya berapa itu?

NS :Babi, yang pertama sekitar kalau sekarang beratnya 25 kilo, ngampar

bidei (tikar) kalau malam kita itu sekitar 50 kg itu untuk nama betagakng,

maka disebut betagakng maka itu disebut gawe. Betagakng dulu

malamnya kumpulkan segala anak cucu tu menghadap kesitu, belum dia

lagi yang diluar sana tu.

P :Kalau ayamnya, Kek, berapa kilo?

NS :Ayamnya berat 1/5 kg

P :Kalau anjingnya?

NS :Anjingnya sudah bujang, udah ngalanga kata kami.

P :O..persyaratan lihat itu! jadi nggak perkilo?

NS :Yang udah bujang, bersih, jangan bunuh anjing yang sedang berkurap,

segala kadal, segalanya itu ndak boleh dan babinya harus bersih gitu bah.

Page 100: TRANSFORMASI BUDAYA

85

P :Biasa bahan-bahan kayak, anjing, ayam, segala babi biasanya bahan untuk

prosesi itu berapa ekor biasanya?

NS :Babi 5 ekor,

P :Ayamnya berapa ekor?

NS :Ayamnya 7 ekor yang jantan,

P :Ha, anijngnya?

NS :Anjingnya 1 ekor.

P :Ha, waktu motong itu ada cara tersendiri ndak? apakah langsung dipantus

(langsung potong saja) atau gimana gitu?

NS :Anak kayo naik dia motong anjing dulu, setelah anjing itu potong dia kita

tukang anok pawangnya mengambil darahnya ditaru dinasi, nasikan

memang ada didaun taruh disitu darahnya. Anak kayo itu tujuh kali dia

ngangkat, dengan palang yang dibawanya tadi, ini darahnya kan naikan

u…u…sampai 7 kali dia mantus (memotong) babi lagi pak…hantam

babinya

P :Sampai putus ya,

NS :Ndak, supaya darahnya keluar dia pun 7 kali ngasih pawangnya makan.

Habis itu potong lagi ayam kasi lagi darahnya, baru darah, babi, anjing,

ayam, kita yang anok pendoa ni pawang kasi dia makan, sama tujuh

kamang itu. Panggil “woi…nia nagsi’ kita’ makatn” (woi…ini kami beri

makan dengan kalian)

P :Biasanya, kalau bacaan itu kira-kira bagaimana? apakah menggunakan

asa, dua, talu (satu, dua, tiga) atau gimana?

NS :Ndak.

P :Ndak, beda ya?

NS :Beda.

P :Beda dengan upacara adat lain ya,

NS :Ya, kalau kita hanya tu kita udah beri makan ndak lagi baca-baca tinggal

ngampak jak.

P :Ngampak itu apa?

NS :Manggil dia.

Page 101: TRANSFORMASI BUDAYA

86

P :O ya, gitu ya.

NS :”Woi gitu…”Ini nia kasii’ kita’ makan”, na’ usah ngacau, ganggu, anak

perempuan, penonton, na’ usah ngaco dijalan di tajur di Gampeng, kalau

nang agi’ tidur laka’ makatn nia permohonan ma’af kami pada kita’ ”.

P :Bilang Kamang itu ya,

NS :Ha, bilang kamang.

P :Kan, pelaksanaanya sudah selesai apa lagi yang dilakukan?

NS :Dah, ngasi dia makan lagi, babinya itu kan dimasak, toleh (diiris-iris),

direbus, segala, ambil peraga-peraganya dan dilentangkan di Paseban itu,

diletakan di daki tumpinya yang tujuh tadi kan. Di atasnya kan ada

babinya, segala karet poe’ nya 7. Itu diletakan disitu beri sirih masaknya 7

begitu.

P :O…

NS :Ya, Jadi, buis babi ini digantung. Ada buisnya (kulit ini bah), ada

tulangnya, hatinya, tulang rusuk, jadi itu digantung kepada ke bambu yang

kuning tadi yang 7. Jadi anak kayo itu megang kalau udah untuk

penggembalikan nanti, umpamanya habis aku bacakan kasih orang makan,

baca masaknya gitulah beri makan lagi. Habis beri makan kita manusia

pun makan dulu, ini dah penutupan. Udah makan, kita pun bunyikan Dau,

gong, kita mau mengembalikan dia. Setelah itu, kita pawangnya ini

manggil lagi, kamang ini dipanggil lagi ”Kita’ kamang tari, kamang tajoh,

kamang ganting, darah karebekng” nyuruh mengembalikan segala bahu,

kedukuk, pasak, latsa marikng. Jadi, pulakng…pulakng…ini diguncang ni.

Jadi kasih tau kamang itu, pulakng…pulakng…sambillah berteriak,

pulakng…kan panggil lagi “Kalau ada segala penyakit ini- penyakit ini

sa’ ia pulakng man kamang tariu” guncang pulakng…pulakng…kubehnya

tuk...duk…., tandanya dia dah pulang. Jadi, bunyikan lagi tang..tung…

tung… lagi kan! panggil lagi diam jak dulu, panggil lagi penyakit babi,

penyakit ayam pokoknya semuanya dikembalikan. Baru kita manggil

semangat padi…”Kalo ada semangat padi layo sasa, negeri hong kong,

negeri siam, negeri Sinangkan, layo ka’ cina, ka’ laut ka’ belanda pokok

Page 102: TRANSFORMASI BUDAYA

87

sampe urangkng dagang, supaya kita’ kamang tariu pulakngan…iya’ layo,

iya’ sasat”, baru anok lagi kan! “Pulakng…pulakng…pulakng man

kamang tariu ame ditamaan ka’ padi” dan baca lagi dan apalagi dah

terakhir setelah itu habis. Kita anak kayo ini natas babi ini kita ambil

sendiri, masing-masing ngambil

P :Oya, yang para tumenggung itu…

NS :Ha, pada anak kayo. Kepala binua juga ada makanya

P :Kepala Binua (Kepala Adat) juga ikut makan.

NS :Ada masing-masing dapat bagian. Ada dapat kaki, ada yang dapat ini

kepala binua, kepala totokng ini sepertinya tuah rumah dapat ini, anok

pengatur totokng dapat ini, sampai dapat buis babi sebesar gini. Diatur tu,

kita kumpul semua pawang-pawang,semua anak kayo, semua pak ahli-ahli

pengatur adat, kumpul kau tumenggung ini, kepala kampung ini, kau

pasirah ini, berturut makanan itu namanya kebagian, kebagaian ngatur

adat babi (pembagian). Baru tukang pawang, pengantar penyangahatn ini

(pendoa), tuah patok, tuah tahu,tuah bidei, ini sampai disitu ngaturnya,

bidan, dukun semua dapat babi.

P :Itu kan prosesinya sudah selesaikan, kan, setelah selesai itukan ha, tempat

acara tadi masih ditinggalkan dalam berapa hari?

NS :3 hari 3 malam

P :Jadi, selama tiga hari tiga malam itu ada diberikan bacaan tertentu,

nggak?

NS :Ndak, ada cuma dibiarkan saja.

P :Jadi, setelah tiga hari tiga malam itu, kenapa lagi?

NS :Bongkar dia, motong ayam 1 ekor Lgi.

P :Dan, babinya?

NS :Untuk baliant, di rumah tempat upacara notokng.habis itu pagi motong

ayam lagi ditempat Paseban lagi kan. Jadi, semua barang-barang itu

dihantar kehutan diletakan dipokok-pokok kayu yang besar

P :Kayunya itu ada kriteria-kriteria tertentu nggak?

Page 103: TRANSFORMASI BUDAYA

88

NS :Ndak, pokoknya jangan sampai dilewati orang.disimpan disitu dan potong

ayam, anjing disitu dan selama 3 hari itu ndak boleh diambil lalu setelah

itu baru boleh diambil. Itu namanya Simpana (pantangnya). tukang

pawang diberi pinggan 1 dan tempayan 1 itu sebagai pangkaras, anak kayo

yang tujuh 7 pingganya untuk dia pulang. Kalau ada kerasukan berarti

potong ayam dekat rumahnya, anak kayo ini tidak bisa langsung pulang

masuk rumah tinggal diam saja disitu menghadap pintu tinggal beri orang

makan segala roh-roh tadi jangan ikut setelah dikembalikan baru dia boleh

masuk.kalau masuk pun dia akan dimandikan air bunga, orang tertentu tadi

anak kayo, pembaca doa dan 3 malam tidak boleh tidur didalam, tidur

dengan istri, anak.

P :Itu biasanya paling lama berapa hari?

NS :1 hari 1 malam, Cuma persiapannya yang lama

P :Waktu pelaksanaan upacara itu apakah ada tarian atau gimana gitu?

NS :Ada, yang mau nari boleh.

P :Apa nama tariannya?

NS :Tarian suka-suka, menari gitu, kalau siapa yang nari ini ada tampung

tawarnya Carek dan Pawang harus menari dan misalnya, kalau saya mau

menari boleh.

P :Sejauh pemahaman saya dalam masyarakat Sengah temila ada makai

gong, sedangkan kalau dalam masyarakat Banyuke,

NS :Makai 4 gong

P :Selain gong apalagi?

NS :Gong, Dau, kubeh (gong yang paling besar) dan pemukulannya

menggunakan rotan yang besar.

P :Oya kek, kan bu

NS :Kalau harapan saya sebagai pengurus adat, sebagaimana pun adat ini

jangan sampai dilepaskan dan dipunahkan. Itu harapan saya sebagai

pengurus adat. Maka kami ini selaku pengurus adat akan terus mencari

aturan-aturan adat, walaupun kami rasanya sudah cukup kami akan

Page 104: TRANSFORMASI BUDAYA

89

mencari lagi. Harapan kami, jangan sampai adat itu jangan sampai

dihilangkan, gitu jak!

P :O.. itu harapan kakek, kalau selama ini apakah semacam salah satu usaha

atau upaya dari para Tumemggumg di Banyuke ini untuk memperkuat

budaya, itu apakah sudah ada sebelumnya baik acara apa gitu biar secara

turun temurun, itu udah ada ya?

NS :Belum ada.karena apa, karena generasi muda ini ndak pernah menanya,

kita ini mau nyalinkan sama siapa atau memungsikannya dia kan, sebagai

pengganti atau penerus, karena apa sekarang, maaf ya, pengaruhnya

televisi, minuman, jadi disitu anak-anak ndak percaya.kalau jaman kami

dulu orang tua itu cerita waktu gawe (pesta), pertemuan, sunat, pertemuan

naik dango, makan padi baru, itu cerita dia tentang adapt jadi anak-anak

ini suka dengar. Jadi, kalau sekarang putar Televisi dan dia lihat televisi,

secara ini sudah hilang. Zaman dulu udah zaman ketinggalan, jadi itu

hampir-hampir tidak nyambung ritual adat itu karena ndak yang nanya.

Kalau dia minum bukanya 1 gelas, sebelum mabuk belum puas, lalu mau

bagaimana lagi.

NS :Kalau tentang totokng itu memang sangat penting bagi adat, karena

fungsi-fungsinya tadi, pengambalian hama, setan, penyakit, pemanggilan

segala semangat padi, maka ndak bisa dihilangkan sebenarnya. Sekian

tahun harus dilakukan atau tujuh tahun atau 5 tahun, tapi kebanyak tujuh

tahun. Kita bikin adat itu dirasakan dulu, apakah manfaatnya, berhasil atau

tidak ya, kalau dia berhasil 7 tahun atau dari tujuh juga ndak apa-apa. Tapi

kalau dia ndak berhasil 5 tahun kita udah bikin aja. Tapi ini sekarang adat

totokng ini secara pribadi sudah mengikutsertakan seluruh kecamatan.

P :Kek, mengenai tentang upacara totokng tentang Banyuke sudah kakek

jelaskan,tapi saya ingin minta pendapat dari kakek,apa perbedaanya yang

sangat kental antara dayak Banyuke dan Sengah Temila, itu apa?

NS :Perbedaanya yang sangat kental, kalau sengah Temila makai totokng 7

hari memang dikatakan adat tapi sudah bisnis, tapi kalau Banyuke ini

kalau totokng betul totokng upacara apapun tinggalkan tidak boleh, cara

Page 105: TRANSFORMASI BUDAYA

90

bikin adatnya, judi, buka Jonggan kan! kalau menyamping kesitu ngak

boleh. Dah, itu perbedaan kalau disana buka judi baru dapat hasil untuk

biaya totokng katanya, biaya, tapi ndak ada.Tapi kalau Menyuke dipungut

dulu ni kumpulkan dulu ongkos-ongkos ini cukup ndak! asal cukup boleh.

kalau belum cukup cari lagi bagaimana untuk mencari dana kepada

masyarakat, kumpulkan kepala kampung, ketua tahun, Pasirah dan

Timanggong, sekarangkan udah ada dewan adat pak camat, itu

menyaksikan semua kumpulkan berapa biaya hitung.apa-apa yang

diperlukan. Kalau jaman kami dulu binua Angkabang 1 babinya, binua

Setolo 1 babinya, binua betung 1 babinya, binua Sakandis, tujuh binua 7

ekor babi, yang dipakai 5 dan 2 ini untuk dimakan sebagai sayurlah, kasi-

kasi makan kepada yang diundang, segala tumengung, pasirah itu dikasi

makan itu dimulaikan dia panggil makan. Ayam satu-satu 1 binua. Jadi,

Timanggong ini manggil lagi kepada binuanya (Kepala Adat) siapa yang

mau anok babinya, ho..saya ada, ada berat sekian.kalau untuk anok duit,

mau padi, ho..padi kumpulkan padi untuk membayar tadi.

P : Kek, saya rasa acara wawancaranya sudah cukup. ”Ma’ kasih manya’

boh” (terima kasih ya).

NS : Aok…(Iya).

Nara sumber: Maniamas Midden

Umur: 69 tahun

Jabatan: Mantan Aktivis Institut Dayakology (ID)

D/a: Dusun Saleh, Simpakng Aur, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak

Hari: Minggu

Tanggal: 7 Maret 2009.

Jam: 15.27 Wiba.

Topik: Upacara Adat Totokng Versi Sengah Temila

Page 106: TRANSFORMASI BUDAYA

91

P :Apakah yang maksud dengan totokng? ya, mungkin bapak bisa jelaskan

dengan cara panjang lebih atau lebih komprehensiflah gitu?

NS : Apa perbedaan arti kata totokng dan notokng?

P : Ya.

NS : Jadi totokng itulah salah satu bentuk dari upacara adat, notokng adalah

orang yang melaksanakan adat totokng. Jadi, upacara totokng itu berarti

tadi telah dijelaskan bahwa, disitulah dia membuang dosa.karena

bagaimanapun kalau sifatnya membunuh sesama manusia itu dianggap

berdosa, apa boleh buat tadi karena ingin mempertahankan wilayah, kalau

ndak perang zaman dulu terpaksa membunuh orang. Jadi, dianggapnya

membunuh orang itu, namun dengan alasan bagaimana pun tetap berdosa

makanya dia mengadakan upacara adat totokng. Jadi, seolah-olah dia

menyesali perbuatanya begitu, mengaku kesalahanya kepada Tuhan. Di

samping itu juga karena musuh yang dibunuh itu bukan langsung dibunuh

langsung, tetapi dia dilukai dulu, sehingga dia tidak bisa melawan dan

ditanya namanya siapa dari kampung mana orang itu.Nah, setelah itu

orang itu menjawab saya dari kampung ini,ini nama saya, ni bapak-ibu

saya, tapi sudah jodoh saya mau kamu bunuh terima kasih apa boleh buat,

cuman kepala tengkorak saya ini harus di upacara adatkan saya harus

diberi makan gitu kan? dan, tujuh keturunan dari bapak, anak,cucu harus

adakan upacara adat totokng kalau keturunan kalaian tidak sempurna,

sumpahnya itu. Jadi, supaya jangan sumpahnya itu akan menjadi tuah

terhadap kehidupan orang itu maka dia akan melaksanakan upacara

totokng itu sampai 7 keturunan. Nah, di samping dia mampu mengusir

musuh dan mengmbil wilayah kembali maka dia diangkat sebagai

panglima di daerahnya, tapi disisi lain mendapat hukuman, hukuman itu

tadi tujuh keturunan totokng.

P :Kalau, kira-kira faktor-faktor apa saja, misalnya faktor-faktor perebutan

kekuasaan tanah, apa segalanya, ingin mendapat kekuasaan, apakah ada

faktor-faktor lain, misalnya seperti yang telah sebutkan tadi ada yang lain

nggak, faktor yang menyebab munculnya pengayauan (peperangan) tadi?

Page 107: TRANSFORMASI BUDAYA

92

NS :Ya, ada juga yang lain tapi itu salah versi menurut saya. Memang ada juga

kadang dia bilang kalau itu mau kawin, harus nyari tengkorak, setelah ada

tengkorak baru perempuan kawin sama di. Ha..ini begitu tujuan yang

sebenarnya, masih dari dulu sampai sekarang masih ada. Umpama kalau

dulu, karena itu mampu mempertahankan wilayahnya, mampu

mempertahankan Binuanya atau kampung halamannya, sehingga dia

diangkat pangalokng (Panglima), ya jelaslah tetap maulah perempuan

kawin dengan dia, karena dia orang yang bertanggung jawab mampu

melindungi ”begitu kan”! tetapi dasar pokoknya bukan terlalu itu, sama

gak dengan sekarang, kalau orang tu dah sarjana tetap banyaklah

perempuan yang mau kawin dengan dia.

P : He……

NS :Begitu pengertiannya. Jadi, seratus persen ndak bisa dilimpahkan kesitu

untuk pengertian ini ndak juga, bukan juga karena dia mau kawin mau

ngayau (perang) dulu cari kepala, ini sudah memojokan dengan yang

aslinya.

P :Jadi, itu mungkin sebagai salah satu dari yang keberapanya gitu ya!

NS :Ya, begitulah kira-kira.

P :Kalau fungsi. Maksudnya, fungsi dari upacara ini kalau jaman dahulu itu

apa aja, Kek?

NS :Ya…

P :Kalau dikontekskan dengan jaman sekarang?

NS :Ya, fungsinya kalau jaman dulukan tujuanya yang saya katakan tadi,

bahwa walaupun dia mengganggap dirinya paling benar. Tetapi

membunuh manusia itu bukan mudah dia dirinya masih bersalah. Jadi,

fungsinya upacara adat itu, itu tadi supaya jangan dia buat dosa lagi.

Jangan menjadi kutukan lagi begitu.

P :A..mungkin apa nama itu. Langsung ke bagaimana prosesi upacara

totokng tu, A…mungkin bapak bisa langsung jelaskan, bagaimana prosesi

upacara ritual totokng itu mulai dari awal sampai akhirnya!

Page 108: TRANSFORMASI BUDAYA

93

NS :Makanya, upacara adat totokng itu tadi ha…itu. Umpamanya, dia itu yang

menyerang ada 7 orang atau 8 orang. Jadi, semua orang yang membunuh

tadi, semua mengadakan upacara adat totokng. Makanya,kalau dia mau

mengadakan upacara adat totokng itu kan rapat dulu, rapat supaya

kampung tahu, pengurus adat tahu, dan malah kalau sekarang aparat

pemerinyah harus tahu adat itu akan dilaksanakan kapan, tanggal berapa,

hari apa. Jadi, dia ngadakan rapat, setelah diumumkan dalam rapat bahwa

dia akan mengadakan upacara adat totokng itu kan segala yang ikut

mengambil yang membunuh orang itu tadi juga ikut keluar biaya. Jadi

tentukan hari sekian, tanggal sekian, sesudah habis rapat lalu jadi setelah

mau mulai acara adat itu ad namanya upacara adat ngantukng itu. Artinya,

masa dalam persiapan uapacara totokng, persiapan alat-alat, namanya

tengkasam ikankah, salai burung, salai tupai, tengkasam babi hutan,

umpamanya. Ha..itu semua kan mok dicari, jadi dalam masa ngantukng,

jadi dalam bahasa ngantukng itu masa persiapan. Tetapi, dalam ngantukng

itu, jadi dia sudah mulai dibunyikan segala Dau, segala gong, segala

gendang besar itu 7 hari 7 malam lamanya. Ha, itu ada upacara adat nanya

namanya ngampar bidei. Ngampar bidei itu artinya upacara adat

membentangkan tikar untuk tempat mereka duduk dirumah dengan

upacara adat ngampar bidei, ya, potong ayam 1 ekor itu. Ha, jadi tujuh

malam untuk dia ngantukng tiap malam juga dia potong ayam 1 ekor-ekor

ditangga rumah. Maksudnya, kepala yang mau di totokng tadi udah

disiapkan. Ha, ayam yang 1 ekor dikasih makan sama kepala itu dengan

ayam yang 1 ekor, 7 hari 7 malam prosesnya. Sesudah itu, sesudah 7 hari 7

malam, udah mau hari “H” nya, besok hari “H” nya, hari dia pergi ke

tempat persembahan ke Panyugu atau Padagi namanya atau ke Pantak

disitu dia potong ayam bulu merah dia panggil Tariu ngambil Kamang

Tariu untuk dibawa ke Upacara adat totokng selesai dia disana, dia pulang

kerumah itu dengan anak Kayoan, anak-cucu, orang yang ikut mengayau

ke sana pulang dia dirumah. Bila dekat kampung, ada nama tempat

persinggahan namanya Pasingahatn

Page 109: TRANSFORMASI BUDAYA

94

P : Pasingahatn itu artinya apa pak?

NS : Tempat dia istirahat.

NS : Oya…

P : Tempat dia istirahat, dia ganti pakaian atau mau mandi, atau makan di

sana kan?

NS : Ya…

P : Ha, topeng-topeng yang mau pasang topeng kemuka itu kan?

NS : Ha,

P : Ha, itulah nama tempat pasengahatn, disitu juga dia potong ayam. Kira-

kira jam 4 Sore, dia mau naik kerumah ngadakan upacra adat totokng.

Jadi, disana udah ada, ha, yang menyambut yang pertama-tama kepala

adat, Timanggong, menyambut kedatangan dari para panyugu tadi bahwa,

sekarang biasa Kapolsek untuk memberikan pengarahan supaya ndak ada

yang macam-macam disitukan. Ha, baru nama upacara adat itu nama

upacara adat Nigakng mantak itu baru membacakan doa ayamnya belum

disembelih namanya ”nigakng mantak”, Sesudah itu, apabila ayam sudah

direbus sudah masak baru dia mengadakan upacara adat Nigakng masak

berarti ayam itu direbus udah masak baru dia berdoa iman baru dia menari

ditengah lantaran rumah itu dia menari 7 kali keliling baru dia masuk

rumah.

P : Maksudnya tujuh kali itu, apa itu artinya?

NS : Tujuh kali berputar.

P : Maksudnya tujuh kali berputar, ada alasan atau arti tertentu nggak disitu?

NS : Ya, ada tertentu karena sifat hitungan itu harus tujuh, maka doa orang

Dayak itu, asa, dua, taluh, ampat, lima, anam, tujuh begitu juga kalau dia

mau berputar tujuh kali. Itu apa namanya, kode dengan roh halus. Setelah

dia ke dalam rumah, kira-kira setengah jam ada lagi upacara adat

mandikan babi karena mau motong babi. Jadi, babi itu dimandikan dengan

air bunga dibersihkanya babi itu, maksudnya, tujuanya, maknanya,

memerhatikan bunga itu begitu juga dengan orang yang notokng tadi

dianggap berdosa dah kotor dosanya sudah terbersihkan dengan upacara

Page 110: TRANSFORMASI BUDAYA

95

ada itu tadi. Ha, sehabis itu dia bunuh babi, sesudah babi dibunuh direbus

sampai masak, baru dia mengadakan bagi iman namanya ngalesesatn

tumpi, ngalesesatn tumpi itu melemparkan cucur yang besar itu dilempar

diatas rumah maksudnya itu membuang dosa. Kalau bisa lagi cucur itu

kembali kedalam rumah, kembali lagi dosa itu kepada mereka. Kalau ndak

kembali, berarti dosa ndak kembali lagi begitu maksudnya. Artinya

membuang dosa. Habis kira-kira jam 4 dini hari. Ini udah pada mau

terakhir ni, topeng-topeng udah pada berpulangan-berdatangan dikasihlah

makan pulut yang dimasak atau pun topeng buta itu dikasih ayam 1 satu

ekor-ekor, lalu pada siang hari ada upacara adat magalbawar arti upacara

adat dirumah sudah selesai ndak ada lagi. Sehabis magar bawar, anak

kayoan dan iman pergi lagi ke tempat istirahat tadi ke pasengahatn tempat

ganti pakaian disitu dia berarti mengembalikan roh-roh halus yang

dipanggil tadi. Supaya jangan lagi kekampung halaman manusia. Totokng

sudah selesai begitu.

P :Prosesnya berapa lama tu, ha…itu biasanya kan kepala itukan

digantungkan?

NS :Ya.

P :Ha, itu prosesnya setelah itu berapa lama setelah itu?

NS :Kepala itu digantung?

P :Hu..maksud dikembalikan roh itu gitu bah!

NS :Ya, itu tadi apabila selesai acara dirumah kan!

P :Ha,

NS :Kepala itu, masih…disimpan dalam talam tembaga, dia belum digantung

lagi, dia mengembalikan roh-roh halus dulu.

P :Ho…dikembalikan dulu

NS :Hantu Kamang, Hantu pujuk, antah (entah) hantu apalah dikembali dulu

lah. Kan!

P :Ha,

NS :Baru dia pulang kerumah ada acara matah bantatn. Acara matah bantatn

itu mata subak tapi kalau bahasa adatnya gitu, tapi kalau bahasa orang

Page 111: TRANSFORMASI BUDAYA

96

pintar itu apa ya…masuklah balas jasa, iman, pendoa, balas jasa orang-

orang yang bekerja disitu.Habis itu 3 malam 3 hari lagi kepala itu belum

dikembalikan tempat asalnya tempat gantunganya masih dalam rumah tu 3

hari 3 malam. Jadi, hanya menunggu disitu iman habis 3 hari 3 malam dia

potong 1 ekor ayam lagi baru dia mengembalikan kepala itu digantung di

atas lalu digantung lagi. Ha, tapi kalau upacara adat totokng itu udah

selesai sampai tujuh keturunan akan dikuburkan kembali ketanah.

P :Itu maksudnya kenapa harus dikuburkan kembali lagi?

NS :Karena manusia itu ndak boleh digantung lagi, karena pemeliharaanya

udah cukup.

P :Ho…a…

NS :Jadi, kalau kau asal dari tanah kembalilah tanah gitu…kan!

P :Kan, mengenai apa nama tu…a…misalnya kayak ayam, kayak babon

(babi) segala macamnya itu, biasanya ada kriteria tertentu ngak?

NS :Memang, kalau totokng itu banyak menggunakan bulu merah,kalau

panyugu, pasengayangatn, dikepala tangga itu merah, tapi yang lain

boleh-boleh saja. Hanya, tiga ekor itu yang harus merah.

P :Kalau babi, kalau babi itu kan hitam ada kriteria hitam semuanya, kalau

babi ndak yang penting itu kan babi ngak pilih bulu.

P :Siapa tau ada berapanya berapa gitu?

NS :Beratnya memang ada, kalau sebenarnya7 real. Kalau 7 real itu bahasa

adat, kalau bahasa timbangan kurang lebih 70 kg lah gitulah beratnya.

P :Wah…

NS :Makanya besar babinya.

P :Yang warna merah itu ada maksudnya ngak? Artinya apa?

NS :Merah itu tali persahabatan dengan orang bukit, dengan orang Pajoh atau

hantu Kamang begitu yang maba (bawa) Tariu.

P :Sepahaman, selama ini kan warna merah itu kan warna berani gitu…

NS :He….Ha…

P :Mungkin sampai kesitulah barangkali. he…

NS :Itukan memang sudah simbolkan memang.

Page 112: TRANSFORMASI BUDAYA

97

P :Baik, kan setelah bapak selesai menjelaskan prosesinya sampai selesai,

jadi sekarang saya mau nanya lagi, sejauhmana peranan, maksudnya adat

tradisi lisan, terutama mengenai totokng ini. Harapan bapak, selaku orang

yang mengerti adat istiadat Dayak itu harapan untuk generasi muda

selanjutnya itu apa?

NS :Ya, harapan kami bagi generasi muda itu, tentang totokng takkan lah kita

mau kita mau mengayau lagi. Cuma, harapan kami ya, inilah menjadi

kesadaran kita semua, pertama, inilah budaya kita yang selanjutnya patut

kita angkat upacara ini karena kalau tidak tanggapan negatif orang lain ada

kepada kita, bahwa orang Dayak itu kalau ndak bunuh orang ndak kawin.

Gitu kan! Totokng itu orang Dayak berfoya-foya. Ya, keluar biaya

sebegitu-sebegini hanya cari tong judi itu kan!

P :Ha,

NS :Jadi, totokng itu bukan kemauan, tapi apa boleh buat dosa kita kan! maka,

kami yang begitulah mudahan-mudahan generasi muda itu bisa menangkis

yang itu.

P :Ya, ini khusus bagi generasi muda di Kal-bar, jadi saya nanya sebagai

jembatan untuk di luar itu ya, gimana?

NS :Ya,

P :Maksud orang Kalimantan di luarnya itu!

NS :Iya, kalau menurut saya si, ini mungkin juga terbentur pada kebiasan juga

mungkin ini ya,

P :Ya,

NS :Biasakan orang Jawa ini bilang kita berekor, biadab, kuno, kumuh, orang

zalim, tapi apabila kalau mau bunuh orang-bunuh orang. Ha, jadi begitulah

maksud saya supaya menghilangkan jejak-jejak yang begitu, ha, kita

dengan orang lain tanggapan orang lain begitu lagi maksud saya. Kalau

generasi muda juga menyebarluaskanya yang begitu dijelaskan dengan

yang lain.

P :Soalnya, biasalah kalau kayak sayalah, kalau mau kesana itu, apakah itu

ke Yogya atau kemana gitu,…

Page 113: TRANSFORMASI BUDAYA

98

NS :He….ha….

P :Pokoknya diluar Kalimantanlah, kalau mendengar namanya orang Dayak

itu wah…ngerikan katanya,

NS :Ha,

P :Pembunuh makan orang katanya, lalu ya lalu saya sering menjawab gini!

yang membunuh itu bukan orang Dayak, tetapi sesuatu yang tidak bisa kita

ketahui, mungkin saya jelaskan secara…

NS :Terperinci. He….

P :Ya, secara terperinci gitu…maksudnya secara ilmiahlah gitu, ya kalau

mau pandangilah budaya orang itu dengan baiklah.

NS :Iya,

P :Jadi, dengan melihat budaya orang itu tidak bersifat negatif yang

positiflah.

NS :Harus juga dilihat yang positifnya…

P :Ha, gini, Kek, kan setiap sejauh pemahaman saya sedikit-demi sedikit

membaca tentang totokng itu kan!

NS :Iya,

P :Ha, ternyata didalam masyarakat Dayak Kanayatn kan, Dayak Kanayatn

ni kan banyak ada Banyuke,

NS :Iya,

P :Sengah Temila, apa bahasanya Ba ahe, Ba nana’ Ba kamene dan

segalanya, dalam prosesi upacara totokng itukan agak berbeda.

NS :Iya,

P :Jadi, disini saya mau menanyakan sama kakek.

NS :Iya,

P :Perbedaan antara totokng Banyuke dengan Sengah Temila, apalah yang

paling berbeda?

NS :Dari kondisi daerah, contohnya: kalau kami di Binua Talaga ini, kalau

manggil Tariu yang ndak bisa pakai anjing, kalau motong ha…marah

kamang itu

P :Oya,

Page 114: TRANSFORMASI BUDAYA

99

NS :Tapi kalau didaerah Banyuke kan motong anjing, itu kan! karena kondisi

yang membedakan.

P :O…

NS :Totokng itu juga, mungkin berbeda dengan kami disini, tetapi hanya

perbedaan upacara nya tapi tujuanya tetap sama.

P :Oya…

NS : Ha, begitu, tujuanya sama, hanya upacaranya yang agak berbeda karena

kondisi, kondisi Darit (Banyuke) bisa pakai anjing, kalau kami ndak bisa.

P : He…

NS : Ha, itu perbedaanya.

P : Ha, Saya rasa cukup sampai sekian dulu ya kek, terima kasih.

NS : Iya…

Nama Narasumber: Pastor Yeremias Ofm. Cap

Umur: 71 Tahun

Pekerjaan: Biarawan

Alamat: Pastoran Menjalin, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak

Tanggal: 10 Desember 2009

Hari: Selasa

Jam: 12.00 Wib

Topik: Pengaruh Kristenisasi (Katolik) Terhadap Budaya Masyarakat Dayak

Kanayatn Dalam Upacara Adat Totokng

P :Kapan dan tahun berapa kaum missionaris mulai pertama kali masuk ke

Kalimantan Barat?

NS :Yang resmi seperti yang telah tertulis 1905, baru waktu itu sungguh-

sungguh dimulai seluruh Kalimantan.

P :Kalau tahun 1885 itu masih perindividual atau sudah perkelompok yang

datang?

NS :Bukan! pada waktu itu sudah ada kelompok lima orang…

Page 115: TRANSFORMASI BUDAYA

100

P :Siapa-siapa saja?

NS :Yang pertama Hervef Bosch yang menjadi uskup pertama dengan empat

kawan itu, tapi saya lupa nama-namanya itu…

P :Itu yang pasti Ordo Kapusin ya?

NS :Iya, sebelumnya Kalimantan Barat telah dikunjungi oleh beberapa pastor

Ordo Yesuit dari Jakarta.

P :Siapa-siapa saja namanya?

NS :Ini semua ada dalam buku sejarah gereja saya rasa ini tidak ada

problem…

P :Bagaimana pandangan masyarakat Dayak terhadap orang missionaris?

NS :Mereka menerima dengan baik, perhatian tidak terlalu besar yang jelas.

Orang Dayak baru menjadi Kristen itu secara perlahan-perlahan saja,

tetapi waktu itu para missionaris tidak terlalu berusaha untuk semua

menjadi katolik. Mereka memperhatikan nasib rakyat dengan kesehatan,

sekolah, terutama di daerah pedalaman karena pemerintah Hindia Belanda

tidak memperhatikan daerah pedalaman dari berapa sekolah itu pemerintah

punya yang lain punya swasta itu. Lewat itu juga, agama mulai tersebar

dengan dan mereka berbuat baik terhadap orang Dayak dan membuat

suatu suasana agar mereka diterima. Dan, kemudian waktu itu, mulai

kekosongan dan mereka mulai bilang yang dulu tidak bisa harus

memperbaharui diri mereka harus berpikir suatu agama, mereka pada

umumnya menjadi katolik sampai sekarang dan bahwa jumlah katolik

berhubung dengan statistik pemerintah lebih besar dari pada statistik

gereja. Gereja itu hanya mereka yang sudah dibabtis oleh yang juga

belajar, tapi yang lain tidak selalu jumlah orang staistik pemerintah lebih

tinggi karena banyak Dayak walaupun belum beragama disebut Katolik.

P :Apakah ada pertentangan, pastor tadi menjelaskan bahwa, dalam kaca

mata saya sebelum masuknya missionaris, ketika masuknya Hindia

Belanda muncul pertentangan disitu. Misalnya, masuknya pendidikan.

Apakah ada pertentangan antara missionaris denganh Hindia Belanda?

terutama dalam dunia pendidikan?

Page 116: TRANSFORMASI BUDAYA

101

NS :Mereka sampai tahun 1930-an itu mengalami kesulitan cukup besar pada

umumnya dengan pemerintah Hindia Belanda, sesudah itu kebebasan

untuk beragama jauh lebih besar dari sebelumnya, banyak dihalangi oleh

pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda, mereka tidak terlalu suka

pada umumnya seperti sekarang ini masih sedikit tempat pembuangan

sumatera, Kalimantan tetapi kurang kalau pegawai tidak cocok bicara atau

kesulitan. Jadi, sulit bagi perkembangan itu.

P :Kapan ajaran Agama Katolik pertama kali masuk di Landak?

NS :Saya tidak tahu kapan mulai, pada tahun 1905 baru Singkawang lalu ini

perlahan-lahan berkembang baru tahun 1910 baru sampai di Pontianak,

sejiram di daerah pedalaman jauh lebih dulu, tahun 1908 di beberapa

tempat di Nyarumkop sudah ada sekolah dan di Sejiram ada sekolah dan

dulu anak-anak pedalaman dari Landak dikirim di sekolah itu terutama

dari Tiang Tanjung sudah cukup lama sekitar tahun 1920-an sudah ada. Di

Landak sendiri belum terlalu hebat itu permulaan tapi pengaruh itu pasti

ada, tetapi waktu itu stasi di Landak belum ada. Landak waktu itu masuk

wilayah Nyarumkop, para pastor juga sering kelililing turne (memimpin

sembahyang) di Landak.

P :Tapi yang lebih nyata, dalam wilayah masyarakat Dayak Kanayatn yang

pertama kali dikunjungi oleh para missionaris di wilayah mana?

NS :Yang jelas itu Tiang Tanjung yang paling pertama. Sekarang Landak,

dulu tidak ya…

P :Ya…

NS :Karangan dan sebagainya itu masuk wilayah Pontianak..

P :Muncul ramainya stasi-stasi di seluruh kabupaten Landak itu kapan?

NS :Baru mulai setelah Jepang, sebelum Jepang belum ada satu pun stasi,

disini baru dimulai sekitar tahun 1947-1948 sebagai stasi disekitar sini.

Stasi di Ngabang ini baru sekitar 20-30 tahun yang lalu. Jadi, semuanya

relatif cukup baru itu, sekarang di Landak di Kabupaten Landak mulai ada

Paroki mulai dari Ngabang, Menjalin, Darit, Serimbuk dan Mandor.

Page 117: TRANSFORMASI BUDAYA

102

P :Seperti masuknya pengaruh-pengaruh missionaris di daerah Sejiram dan

yang lainnya. Kalau dalam masyarakat Dayak Kanayatn di Landak, itu

pertama kali itu bagaimana? Semisalnya, bagaimana orang missionaris

memandang orang Dayak pertama kali masuk disini dan sebaliknya orang

Kanayatn memandang para missionaris itu seperti apa?

NS :Dulu-dulu cukup sulit bagi para missionaris biasa tidak terlalu frontal

melawan apa mereka menerima segala-segalanya, namun apabila mereka

dibandingkan dengan orang Protestan jauh lebih toleran terhadap

kebiasaan adat istiadat masyarakat, baru setelah kemudian apa yang

disebut dengan menyesuaikan diri atau istilah enkulturasi, sampai sekarang

masalah enkulturasi itu belum beres masih ada pertentangan agama dan

adat, oleh dikarenakan orang Dayak Kanayatn, masih hidup dengan agama

yang mereka anut yaitu adat dan alam, sehingga ini belum bisa dipadukan

atau dikawinkan.

P :Lalu kira-kira alasan apakah yang membuat orang Dayak Kanayatn mau

menjadi agama Katolik? Apakah karena ajaran cinta kasih Yesus Kristus

itu atau apa seperti apa gitu?

NS :Sangat sulit untuk mengungkapkan semua itu, karena tidak ada sesuatu

untuk membuktikan pikiran tentang hal itu, ini ada beberapa alasan, satu

alasan jelas itu, orang Dayak hidup dalam suatu ketakutan terhadap alam

dan takut tiap ada persembahan, karena setiap kali ada sesuatu mereka

harus was-was, dan yang pasti mereka masuk menjadi agama Katolik,

karena rasa ketakutan mereka bisa hilang, karena mereka merasakan

bahwa Allah itu Maha baik, Salah satu contohnya: yang jelas bagi saya itu,

kalau hidup dalam satu kelompok belum beragama, agama resmi maksud

saya, mereka masuk Katolik itu sebelum tahu banyak apa yang mereka

tahu diberitahukan, Semisalnya mereka bikin kuburan Katolik itu supaya

benar-benar, orang anak-anak, orang tua dan supaya bisa dikuburkan

disitu, disembunyikan di hutan di tempat yang ditutup-tutup itu yang

menakutkan itukan itu ya, di mana tempat yang mengingatkan orang yang

sudah meninggal. Jadi, hanya satu tanda itu, bahwa tidak perlu lagi takut

Page 118: TRANSFORMASI BUDAYA

103

terhadap segala-galanya yang telah terjadi lagi, misalnya kalau burung

lewat sebab ada suatu tanda yang tidak beres dan ini meliputi seluruh

kehidupan mereka. Dan, kenyakinan pada Yesus ini juga jelas yang

merasakan segala-gala dan juga sesuatu yang jelas itu, orang Dayak juga

mengalami bahwa segala kepercayaan yang ada seperti jaman dahulu tidak

bisa dipertahankan dan dengan sendirinya hilang, E…kalau ngomong

mengenai burung, kalau dulu itu mereka ke ladang melihat burung terbang

kesini mereka pulang, kalau ada ular ini itu ada sesuatu yang terjadi.

Kemudian karena kemajuan, secara teknis juga mendobrak adat dan

mereka mulai mengalami kekosongan dan ini perlu diisi dan orang Dayak

tidak bisa hidup tanpa beragama dengan seluruh kebudayaan Dayak itu

dijiwai dengan segala-galanya yang dalam setiap langkah dalam

kehidupannya berhubungan dengan di atas, seperti halnya bertani dan

sebagainya. Sekarang ini tidak berlaku lagi dan tidak mungkin lagi dan

artinya kosong dan mereka mencari benar sesuatu dan isi dan ini yang

rupanya cocok yang dipertanyakan agama Katolik yang dikenal dengan

baik dan pastor-pastor yang berkeliling itu mengubah ini itu dan

menceritakan segala sesuatu.

P :Kan, tadi pastor mengatakan bahwa semenjak Indonesia merdeka baru

masuknya agama Katolik di Landak, lalu setelah masuknya ajaran agama

Katolik sampai jaman sekarang, sebagaimana yang kita ketahui dalam

masyarakat Dayak dengan adat istiadatnya kan sangat kuat. Semisalnya,

setiap mau melakukan kegiatan bertani harus terlebih dahulu mengadakan

ritual adat. Pastor, apakah pernah ada munculnya konflik, seperti halnya

dengan ritual adat totokng?

NS :Yang jelas, konflik-konflik itu pokoknya kalau ada sesuatu yang tidak

benar atau tidak sesuai, bukan semua pastor, mereka memberitahukan

dahulu dan sekarang ini segala itu yang sesuatu ini pasti ada sesuatu yang

tidak beres itu, sebagai contoh: di lingkungan saya hidup disini di

Menjalin saya pernah mempertanyakan tiba-tiba diproklamir pamali

(pantang) ada rumah terbakar, ada orang mati sebelumnya, tentang

Page 119: TRANSFORMASI BUDAYA

104

pantangan itu tanpa mereka cukup tahu, menurut saya tentang ritual itu apa

maksud dan tujuan itu mau diadakan yang pertama kurang sesuai dengan

peraturan adat sendiri, yang kedua dewan adat kecamatan ikut

memproklamir tidak berkuasa, ini menurut adat sama sekali tidak berkuasa

ini Timanggong (kepala Adat) yang berkuasa, dan sesudah berunding

dengan tokoh-tokoh masyarakat yang lainnya dalam hal itu, sama sekali

tidak dihubungi. Mereka juga menyesuaikan itu, dulu dimana itu tidak ada

upaya, tidak boleh memakai alat elektronik, saya bilang tidak boleh

telepon, saya bilang mereka tidak boleh bina instansi, tidak boleh kerja,

saya bilang kalau rumah terbakar tidak boleh dipadamkan, orang sakit

tidak boleh dibawa ke rumah sakit karena tidak boleh keluar dari rumah

juga dan banyak lagi, saya bilang pada dasarnya ritual itu bisa berarti,

bahwa kita tenang, merenungkan dan berdoa apa yang telah terjadi, tetapi

tidak sesudah itu untuk menghilangkan pantangan semacam itu dengan

peraturan dulu yang menggunkan elektronik, ha….disitu saya tegas itu,

ada beberapa orang yang marah yang mau membunuh saya.

P :Itu kapan pastor?

NS :2 tahun yang lalu, ada sebab kenapa saya katakan itu, bahwa tidak benar

bikin peraturan semacam itu, kalau mau menyesuaikan, ya disesuaikan

dengan situasi sekarang, bagaimana pun juga cinta kasih itu lebih penting,

ritual ini bukan maksud untuk membunuh orang atau apa, tapi kalau orang

sakit diberi ijin untuk dibawa ke rumah sakit. Dalam hal itu beberapa kali

ada petentangan di daerah Raba (dekat kecamatan Menjalin), pada waktu

itu pada hari jumat suci dengan mengadakan upacara adat dan panatang

saya bilang itu saya agak keberatan karena ini rumah tempat Tuhan itu hari

jumat agung kita kita menghormati Yesus yang mati tetapi jangan lepas

dari agama itu, saya waktu itu marah tapi distu otomatis ada konflik, tapi

bukan itu tidak bisa diatasi itu saya pikir kalau tidak omong waktu itu

banyak umat Katolik di Menjalin juga sangat gelisah dengan peraturan itu

mereka tidak berani melawan walaupun mereka menyakini dan ini

berbahaya akan mematikan adat kalau tidak sesuai dengan kebutuhan

Page 120: TRANSFORMASI BUDAYA

105

masyarakat sekarang ini, artinya mau dibuat sungguh-sungguh dari hanya

dibuat begitu-begitu saja.

P :Ya….Pastor ketika masuknya para missionaris di Landak, entah itu di

Mandor, Ngabang atau di Menjalin inilah peranan para missionaris yang

paling vital apalah, selain pendidikan dan kesehatan, apakah ada yang

lain?

NS :Ya dua bidang itu yang paling menonjol, dimana-mana itu dibangun, di

Sambas, Pontianak dan Sanggau karena waktu itu punya pemerintah

belum dimulai dan di Sintang beberapa tempat itu pertama dimulai dengan

puskesmas itu, juga didirikannya sejumlah sekolah dan pertanian dari dulu

itu sekolah pertanian sudah ada di Nyarumkop, ketiga bidang itu sangat

diperhatikan, yang bertujuan untuk memajukan orang Dayak.

P :Kalau di bidang sosial dan budaya?

NS :Sosial budaya itu tetap membela orang Dayak di dunia luar, dengan cara

mencoba untuk mempertahankan semua yang ada, walaupun pada awalnya

terlalu banyak yang mendukung, tetapi mereka masih melihat apa yang

bisa mereka katakan tidak. Hal ini karena kebudayaan Dayak itu bukan

gampang untuk memetik sesuatu yang bisa diterima oleh orang lain

terhadap apa yang orang lihat indah dan bagus, seperti sekarang tidak ada!.

Masalah seperti itu semuanya telah tercampur, semisalnya lukisan atau apa

segala macamnya dimana-mana ada dan kepercayaan adat memang

merupakan simbol-simbol yang bagus tetapi kekuatan yang ada tidak

terlalu hebat, jadi harus mengambil warna yang bagus dan segala

macamnya. Kalau jaman dulu, semisalnya lukisan dalam rumah panjang

sangat terlihat teknik. Kemudian ini harus memang ada orang teknik yang

mengerti itu semua. Dan, sekarang sudah mulai 50 tahun atau 100 tahun

yang lalu, 50 tahun pertama tidak muncul itu, kemudian cukup banyak

tulisan yang muncul yang dipakai sebagai sumber itu.

P :Lalu pastor masuknya para missionaris di Kalimantan Barat ini, apakah

diboncengi dengan pemerintahan Hindia Belanda atau seperti apa gitu?

Page 121: TRANSFORMASI BUDAYA

106

NS :Yang jelas itu para missionaris datang di Hindia Belanda, harus mendapat

persetujuan atau ijin dari Pemerintahan Belanda. Supaya lebih jelasnya,

dulu itu Batavia (Jakarta) membutuhkan tenaga untuk di Kalimantan, hal

ini terkait dengan kekurangan tenaga biarawan, yang pertama mereka

meminta bantuan dari Mill Hill sebuah kongregasi yang negara berasal

Inggris, yang sudah menetap sejak tahun 1885 di Sarawak (Malaysia),

yang pada waktu itu sudah berkembang dengan sangat pesat. Namun

karena berasal dari Inggris, akhirnya usulan tersebut ditolak oleh

pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Belanda hanya mau

menerima orang Belanda. Hal ini terkait dengan masalah permusuhan

antara Inggris dan Belanda dalam menguasai wilayah kekuasaannya di

Asia Tenggara. Untuk itu, mereka meminta bantuan para tenaga biarawan

dan biarawati Ordo Kapusin yang berasal dari negara Belanda dan

selebihnya dibantu oleh para pastor-pastor yang melayani pegawai

Belanda.

P :Kalau untuk setelah Indonesia merdeka, hubungan budaya Dayak dengan

agama Katolik seperti upacara ritual adat dan yang lainnya, itu bagaimana

dan perkembangannya seperti apa?

NS :Yang jelas itu ada tanda-tanda, bahwa budaya Dayak menjadi Katolik itu

identitas Dayak sering juga disebut Katolik, orang tidak bisa menawarkan

diri sebagai orang Dayak begitu saja, hal ini semua sudah berubah dan

mengenai perkembangan beberapa tahun yang lalu, kalau ada bis yang

lewat dan kalau bis-bis itu orang Dayak yang punya, biasanya disetiap

pintu dan dalam mobilnya mereka ada beri lambang salib, nah untuk itu

semakin lama-lama, agama dipakai sebagai orang Dayak, walaupun hanya

masih hanya berupa tanda-tanda, tetapi saya pikir yang lebih jelas itu

mereka baru menyesuaikan diri, tetapi itu hanya permulaan.

P :Kalau pastor sendiri datang dan tinggal di Menjalin ini sejak kapan?

NS :Tahun 1980.

P :O…mungkin pastor mengertilah, bagaimana pandangan pemerintahan

Orde Baru dalam memandang Budaya Dayak Kanayatn?

Page 122: TRANSFORMASI BUDAYA

107

NS :Ya saya rasa itu setiap daerah berbeda-beda, namun biasanya masyarakat

Dayak pada umumnya hanya dianggap sebagai penggangu dan kurang

dihargai.

P :Sejauhmana pemahaman saya membaca buku-buku tentang Dayak

dengan menyeluruh, bahwa sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan

masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat Dayak dan budayanya secara

terus menerus diskriminasi, semisalnya mengenai Betang (rumah panjang)

sebagainya yang dalam tanda kutip merupakan identitas Dayak, menurut

pastor itu bagaimana?

NS :Ya..itu hanya beberapa tanda, bahwa dengan adanya penghancuran

terhadap rumah panjang oleh para tentara, alasannya ini bahaya akan

sebuah kekhwatiran dan rumah ini dibongkar mulai dari serambi depan,

dipaksa tinggal dibongkar. Kalau di Landak khususnya di Menjalin rumah

panjangnya sudah musnah kira-kira 40 tahun yang lalu.

P :Pastor untuk menutup pembicaraan ini, saya mau bertanya dengan pastor

menurut pandangan pastor sendirilah, bagaimana pandangan pastor

terhadap budaya Dayak Kanayatn?

NS :Menurut saya orang Dayak pada umumnya hidup dalam dua dunia, adat

dulu dan agama, tetapi ini belum bisa dihubungkan dan ada usaha-usaha

yang dilakukan Lembaga Dayakology itu mereka mengatakan

melestarikan, mempertahankan adat, tetapi itu tidak bisa dikembalikan

seperti yang dulu, setiap adat dan kebudayaan yang bersifat statis yang

berhenti itu mati. Jadi, misalnya dengan tarian, sekarang bukan masyarakat

yang menari lagi, hanya orang-orang menari hanya menerima tamu, seperti

setiap saya datang kekampung ada acara biasanya pemerintah ndak pernah

hadir disitu dan mereka semua menari, orang muda, tua, dan orang-orang

yang cantik dan bahkan orang yang hampir pincang juga ikut menari.

Menurut yang saya adat itu tidak hanya dipertahankan, ini bahaya karena

adat itu bisa hilang itu, jadi orang itu harus menyelidiki apa arti, maksud,

tujuannya dan mengambil yang baik dan dipertahankan itu yang benar dan

memberikan isi yang benar, itu mungkin sebagian jiwa baru itu, bukan

Page 123: TRANSFORMASI BUDAYA

108

kepercayaan agama Katolik dengan kepercayaan Dayak jelas tidak! Tapi

sebagian cukup baik itu, bisa dipertahankan, tetapi selama masih berpikir

bahwa, adat tidak boleh berubah sedikit pun tidak ada harapan dan

sendirinya akan hilang dan orang akan berlomba untuk berani

menyesuaikan itu, saya bilang itu waktu pertemuan di Menjalin saya

bilang penyesuaian tidak boleh pakai telepon, itu omong kosong ini bukan

penyesuaian yang pasti jauh lebih mendalam itu. Selain itu, kebudayaan

Dayak sangat baik dan indah, umum itu orang itu dari dulu sudah lebih

100 tahun yang lalu sudah dimana-mana baik itu. Satu tanda adat sudah

mulai runtuh itu walaupun ada adat mengayau, orang tetap menghargai

Dayak sebagai manusia perbandingan dari 150 tahun yang lalu beberapa

yang meneliti di Kalimantan Barat, tentang budaya orang Dayak dan

Melayu. Dalam hal ini, orang Dayak tetap dihargai orang Dayak. Pada

akhirnya walaupun orang Dayak seing kali dikatakan kolot, primitif, tidak

beradab dan yang lainnya, namun tetap dihargai sebagai manusia.

Sedangkan, orang Melayu tidak. Oleh karena itu, ada sebab inti budaya

yang bagus dan ini harus kita lestarikan apa yang baik dan ini tugas

melestarikan dari pada membiarkan saja.

P :Pastor saya rasa cukupkan sampai disini dulu, terima kasih banyak ya

pastor.

NS :Iya, sama-sama…

Page 124: TRANSFORMASI BUDAYA

109