Top Banner

of 32

TP 2 - Manajemen Kesulitan Jalan Napas Pada Pediatrik Dengan Deform It As Wajah

Jul 19, 2015

Download

Documents

fickroy
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I PENDAHULUAN

Salah satu tantangan terbesar yang dapat dialami oleh dokter ahli anestesi adalah dalam hal kesulitan jalan napas. Data dari American Society of Anesthesiologist (ASA) menunjukkan lebih banyaknya kejadian komplikasi pernapasan pada populasi pediatrik, bahkan sampai 43% dari kejadian komplikasi itu sendiri. Komplikasi ini sebagian besar akibat ventilasi yang tidak adekuat (20%), sisanya akibat intubasi esofagus, obstruksi jalan napas, dan sulit intubasi (14%). Menurut data Pediatric Perioperative Cardiac Arrest (POCA), 20% henti jantung diakibatkan oleh sistem pernapasan. Obstruksi jalan napas dan sulit intubasi merupakan penyebab masing-masing 27% dan 13% kejadian ini dan pasien-pasien ini sebagian besar memang memiliki penyakit atau sindrom yang mendasarinya.1 Bayi atau anak-anak pada dasarnya memang memiliki perbedaan anatomis dibandingkan dengan dewasa. Karena itu pengetahuan mengenai perbedaan anatomis, sindrom kongenital, dan kondisi penyakit tertentu sangat diperlukan dalam manajemen kesulitan jalan napas.1,2

1

BAB II JALAN NAPAS PADA PEDIATRIK

ANATOMI JALAN NAPAS PADA PEDIATRIK Jalan napas anak, terutama bayi memiliki perbedaan dengan jalan napas orang dewasa. Pada anak laring terletak lebih sefalad, yaitu pada C3-4 pada bayi, dan bergeser semakin ke kaudad pada usia 6 tahun yaitu ke C5 seperti pada orang dewasa. Karena laring pada bayi terletak lebih tinggi, lidah menjadi terletak lebih dekat ke palatum dan lebih mudah terjatuh ke palatum, akibatnya obstruksi jalan napas dapat terjadi selama induksi anestesi atau saat membangunkan pasien dari anestesia. Kesalahan istilah yang terjadi adalah menyatakan laring pada bayi lebih anterior padahal yang benar adalah lebih rostral atau superior. Pada sindrom dengan hipoplasia mandibula, seperti pada Pierre Robin, laring terletak pada posisi yang lebih posterior daripada normal. Hal ini mengakibatkan angulasi curam yang lebih besar antara muara laring dengan dasar lidah. Pada kondisi ini visualisasi langsung pada glottis akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin dilakukan. Karena posisi laring yang lebih sefalad dan oksiput yang besar, posisi sniffing tidak dapat membantu dalam memvisualisasi laring. Mengangkat kepala hanya menggerakkan laring ke posisi lebih anterior. Bayi sebaiknya diposisikan dengan kepala dan bahu pada permukaan datar dengan kepala pada posisi netral dan leher difleksikan, bukan diekstensikan.1-3 Epiglottis pada bayi lebih panjang, kaku, dan seringkali dikatakan berbentuk omega atau huruf U. Proyeksinya di posterior di atas glottis dengan sudut 45 derajat. Karena epiglottis lebih bersudut oblik, visualisasi pita suara akan lebih sulit selama laringoskopi direk. Pengangkatan epiglotis dengan bilah laringoskop mungkin dibutuhkan untuk memvisualisasi pita suara. Dulu bilah laringoskop yang lurus lebih banyak dipilih untuk keperluan ini, namun saat ini penggunaannya sudah tidak dianjurkan karena menyebabkan trauma pada laring.1-3 Kartilago krikoid adalah bagian tersempit pada jalan napas bayi (dengan diameter sekitar 5 mm) berbeda dengan pada orang dewasa yaitu pada pita suara. Laring bayi berbentuk seperti corong dengan penyempitan pada kartilago krikoid, 2

berbeda dengan jalan napas orang dewasa yang berbentuk silinder. Pipa endotrakea yang terlalu besar dapat menekan mukosa pada bagian tersebut sehingga dapat mengakibatkan edema pada1,2

saat

ekstubasi

dan

terjadi

peningkatan tahanan terhadap aliran udara.

Tabel 1. Perbedaan Anatomi Jalan Napas pada Pediatrik dibandingkan Dewasa3 Anatomi Lidah mencakup Makna Klinis besar Posisi glottis yang lebih tinggi dan anterior besar dibandingkan dewasa

yang sebagian

rongga mulut Ujung trakea yang tinggi: Sebagian dokter anestesi memilih laringoskop C1 pada bayi, C3-4 pada usia bilah lurus untuk mengangkat lidah yang besar untuk memvisualisasi laring yang lebih tinggi 7 tahun, C4-5 pada dewasa Oksiput yang besar dapat Posisi sniffing sangat disarankan. Oksiput yang menyebabkan fleksi pada lebih besar seringkali menaikkan kepala menjadi jalan napas, lidah yang relatif posisi sniffing pada bayi dan anak. Ganjalan bahu lebih besar mudah jatuh ke mungkin dibutuhkan untuk menaikkan badan faring posterior Cincin krikoid bagian (seperti dewasa) tersempit pita suara relatif terhadap kepala pada bayi kecil. adalah ETT non cuff dapat memberikan seal yang trakea adekuat pada bagian cincin krikoid pada Ukuran ETT yang tepat sangat penting karena kita tidak dapat menggunakan variabel

pengembangan cuff ETT Variasi anatomik sesuai 8 tahun: mirip dewasa nasotrakea Tonsil dan adenoid yang Intubasi Sudut antara

usia dengan variasi normal

membesar dapat mengalami kontraindikasi perdarahan. epiglottis dan mulut laring menjadi sangat tajam Membran krikoid kecil Krikotirotomi sulit dilakukan

EVALUASI JALAN NAPAS PADA PEDIATRIK

3

Evaluasi

jalan

napas

pada

pediatrik

harus

dimulai

dari

anamnesis

dan

pemeriksaan fisik. Petunjuk yang dapat dijadikan pedoman kemungkinan kesulitan jalan napas antara lain tidur mengorok, napas berbunyi, sulit bernapas saat makan atau terkena infeksi saluran napas atas, dan batuk disertai sesak yang berulang. Hidung mampat dan gangguan penghidu serta rinorea berulang merupakan tandatanda pembesaran adenoid. Riwayat henti napas atau mengantuk sepanjang hari juga dapat menandakan adanya kemungkinan obstructive sleep apnea. Perhatian khusus pada suara atau tangisan anak dapat memberikan informasi berharga. Suara serak atau menghilang merupakan tanda laringomalasia. Perubahan kualitas suara dapat terjadi pada paralisis pita suara unilateral.2,3 Harus diperhatikan pula adanya riwayat trauma atau operasi yang melibatkan jalan napas. Catatan medis anestesia sebelumnya juga dapat memberikan petunjuk yang berguna. Pada kejadian kesulitan jalan napas, dokumentasi yang lengkap akan sangat berguna di masa depan. Anestesia yang tidak bermasalah pada saat ini bukan merupakan jaminan kesuksesan pada anestesia berikutnya karena perubahan anatomis dapat terjadi selama pertumbuhan.1 Pengetahuan mengenai sindom-sindrom tertentu pada anak yang mempengaruhi jalan napas sangat penting dalam manajemen kesulitan jalan napas. Jika terdapat suatu kelainan, maka harus dicari kelainan yang lain. Gambaran paling sering pada sindrom-sindrom ini adalah mikrognatia. Mikrognatia menimbulkan banyak kesulitan selama laringoskopi direk akibat lidah yang relatif lebih besar sehingga glottis akan semakin sulit untuk divisualisasi. Intubasi dapat menjadi semakin sulit atau mudah seiring pertumbuhan anak, tergantung pada jenis sindrom yang diderita. Pada sindrom dengan gambaran mikrognatia seperti sindrom Pierre Robin, intubasi akan semakin mudah saat pasien semakin tumbuh besar. Sebaliknya pada pasien dengan kelainan mukopolisakarida, pasien dengan mikrosomia hemifasial, atau pasien dengan kelainan yang melibatkan vertebra servikal (contohnya sindrom Klippel-Feil), intubasi dapat semakin sulit saat anak bertumbuh besar.1,2,4 Abnormalitas pada telinga dapat dijadikan salah satu indikator kemungkinan kesulitan intubasi. Pada sebuah penelitian, mikrotia bilateral dihubungkan dengan peningkatan insidensi sulit intubasi (42% dibandingkan dengan 2% pada mikrotia unilateral). Hipoplasia mandibula lebih banyak terjadi pada mikrotia bilateral dibandingkan mikrotia unilateral (50% dibandingkan 5%), karenanya mikrotia 4

bilateral dapat dijadikan prediktor tidak langsung terhadap kemungkinan sulit intubasi, walaupun demikian mikrotia unilateral juga tidak lepas dari kemungkinan sulit intubasi terlebih jika disertai dengan mikrosomia hemifasial.1 Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada kepala, leher, dan vertebra servikal. Banyak evaluasi yang digunakan untuk mengantisipasi kesulitan jalan napas pada orang dewasa yang tidak dapat dipakai pada anak-anak. Kerjasama pasien diperlukan untuk evaluasi yang lebih tepat karenanya pada anak kecil atau yang tidak kooperatif, evaluasi menjadi terbatas. Klasifikasi Mallampati mungkin tidak dapat menjadi prediktor yang sensitif pada populasi pediatrik. Ahli anestesi pediatrik diharuskan bekerja dengan sedikit informasi mengenai jalan napas pasiennya, karenanya sangat dibutuhkan keterampilan khusus pada kesulitan jalan napas pada pediatrik.1,2 Evaluasi harus difokuskan pada ukuran dan bentuk mandibula, ukuran mulut dan lidah, tidak adanya gigi atau adanya gigi yang menonjol, adanya gigi yang goyang, dan panjang dan gerak leher. Pemeriksaan lateral kepala dan leher mungkin dapat memberikan petunjuk adanya mikrognatia. Adanya celah wajah, celah bibir atau celah palatum juga patut menjadi perhatian untuk persiapan manajemen jalan napas. Pembesaran mandibula juga menjadi faktor risiko sulit intubasi. Pada pemeriksaan leher mungkin ditemukan deformitas, keterbatasan gerak dari vertebra servikal. Deviasi trakea dapat terdeteksi melalui palpasi. Auskultasi paru penting untuk mendiagnosis adanya penyakit paru tertentu, seperti asma bronkial.1-3 Evaluasi radiografik pada pasien dengan obstruksi jalan napas dapat dilakukan pada pasien yang tidak mengalami distres pernapasan. Pemeriksaan radiografik sebaiknya dilakukan dengan posisi tegak karena obstruksi dapat memburuk dengan posisi telentang. Pada situasi ini, diharuskan ada ahli yang terlatih dalam hal manajemen jalan napas dan mampu menangani kesulitan jalan napas pediatrik yang ikut mendampingi pasien lengkap dengan peralatan yang memadai.1,5 Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT) akan sangat membantu dalam mengevaluasi kelainan jalan napas. Endoskopi fiberoptik fleksibel juga akan sangat membantu dalam intubasi saat visualisasi pita suara diperkirakan akan sulit atau jika dicurigai adanya kelainan jalan napas. Pada

5

pasien dengan mikrosomia hemifasial, evaluasi radiografik terhadap anatomi mandibula dapat membantu untuk memperkirakan tingkat kesulitan intubasi.1,5 ALAT-ALAT JALAN NAPAS PADA PEDIATRIK Saat menangani kesulitan jalan napas, kemampuan untuk ventilasi dengan sungkup muka lebih penting daripada intubasi endotrakea, karena itu sangat dibutuhkan ketersediaan sungkup muka dengan berbagai ukuran dan bentuk. Sungkup muka dengan ukuran besar (mencakup seluruh wajah) dapat juga digunakan untuk memberikan ventilasi pada kasus-kasus celah wajah yang lebar atau makrostomia. Sungkup dengan balon plastik bening yang dapat dikembangkan adalah yang paling sering digunakan. Sungkup ini harus dapat mencakup mulai dari dagu hingga ke batang hidung. Seal yang tidak bocor diberikan dengan tekanan minimal di sekeliling wajah dan mandibula. Sungkup transparan juga mempermudah visualisasi sekresi atau muntah selama induksi. Saat ini juga tersedia sungkup muka yang telah dimodifikasi untuk intubasi dengan fiberoptik.1,4,6,7 Sumbatan jalan napas atas dapat terjadi selama induksi anestesia karena lidah bayi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan orofaring. Karenanya oropharyngeal airway (OPA) dengan ukuran tepat dibutuhkan untuk membantu pertukaran udara. Jika OPA yang digunakan terlalu pendek, obstruksi dapat menjadi lebih berat, namun jika terlalu panjang, epiglottis dan uvula dapat tercederai. Penggunaan tongue depressor untuk memasukkan OPA disarankan untuk menghindari drainasi limfatik lidah. Saat ini telah tersedia OPA dengan cuff (COPA), namun dibutuhkan maneuver yang lebih banyak untuk memposisikannya secara tepat dibandingkan dengan Laryngeal Mask Airway (LMA) (masing-masing 28,6% dan 2,9%). Namun demikian tidak ada perbedaan dalam hal insidensi laringospasme atau bronkospasme pada keduanya. Nasopharyngeal airway (NPA) untuk anak juga tersedia, namun harus digunakan dengan hati-hati terutama pada pasien pediatrik dengan hipertrofi adenoid. Namun demikian, pada bayi atau anak yang lebih kecil serta pada kasus-kasus dengan kelainan di rongga mulut sebenarnya NPA lebih efektif karena OPA mudah bergeser sehingga posisinya berubah dalam rongga mulut dan malah menimbulkan obstruksi.1,6,7 Pipa endotrakea (ETT) harus disiapkan sesuai dengan berat badan dan usia pasien, ditambah dengan satu ukuran lebih besar dan lebih kecil dari ukuran yang 6

diperkirakan. Dahulu untuk pasien di bawah usia 8 tahun digunakan ETT tanpa cuff, namun saat ini telah tersedia ETT dengan cuff yang low pressure, high volume yang dapat digunakan untuk pasien dengan compliance paru yang rendah atau untuk pasien dengan risiko aspirasi. Untuk ETT dengan cuff ini digunakan satu nomor lebih kecil dibandingkan ETT tanpa cuff. 1,6,7 ETT exchanger dapat digunakan untuk mengganti ETT yang rusak atau untuk menyiapkan jalur untuk re-intubasi jika diperlukan. ETT exchanger ini juga tersedia dalam ukuran pediatrik, dengan ujungnya yang tumpul dan melengkung untuk digunakan pada kasus-kasus saat visualisasi glottis tidak adekuat. 1,6,7 Bilah laringoskop tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk sebelum induksi dimulai. Bentuk bilah laringoskop ada dua macam, melengkung dan lurus. Dahulu bilah laringoskop lurus direkomendasikan untuk digunakan pada neonatus dan bayi untuk mengangkat epiglottis, sedangkan bilah melengkung lebih sesuai untuk anak yang lebih besar. Namun saat ini bilah lurus sudah tidak direkomendasikan lagi karena banyaknya insidensi cedera pada laring. 1,6,7 Oxyscope adalah bilah Miller 1 fiberoptik dengan port untuk insuflasi oksigen selama intubasi. Insuflasi oksigen selama laringoskopi pada bayi yang dalam anestesi dengan napas spontan ternyata dapat meminimalisir tekanan oksigen transkutan, sehingga membuat penggunaan alat-alat jalan napas lebih aman. 1,6,7 Laringoskop komisura anterior banyak digunakan oleh ahli THT (telinga, hidung dan tenggorok) untuk memvisualisasi glottis. Alat ini berupa bilah laringoskop lurus dan kaku dengan sumber cahaya di bagian distal. Disain ini dapat memperkuat visualisasi dengan mencegah lidah menghalangi lapang pandang. 1,6,7 Laringoskop Bullard adalah jenis laringoskop indirek yang dilengkapi dengan fiberoptik dan cermin untuk visualisasi laring. Penggunaan fiberoptik dan bilah melengkung memungkinkan visualisasi laring di sekitar ujung bilah, sehingga tidak membutuhkan aksis mulut, faring, dan trakea. Laringoskop jenis ini hanya membutuhkan buka mulut yang minimal untuk masuk dan telah digunakan untuk mengintubasi pasien dengan vertebra servikal yang tidak stabil, sindrom Pierre Robin, Treacher Collins, Noonans, dan Klippel-Feil.1,6,7 Angulated Video-Intubation Laryngoscope (AVIL) memiliki ujung bilah distal yang bersudut 25 derajat yang dapat meningkatkan pandangan lensa fiberoptik. AVIL 7

telah digunakan pada pasien mulai dari usia 3 bulan hingga 17 tahun stabilisasi leher manual in line. Pada bayi dan anak kecil, insersi bilah harus berhati-hati karena dapat terlalu dalam.1,6,7 Pada penanganan kesulitan jalan napas, harus tersedia stilet. Stilet dimasukkan ke dalam ETT sampai bagian ujung distal stilet berada di ujung ETT. ETT dan stilet dapat dibengkokkan sesuai bentuk yang diinginkan, biasanya berbentuk stik hoki. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain trauma trakea, obstruksi ETT, dan patahnya stilet. Karena itu jika stilet sulit dilepaskan, ujungnya harus diperiksa kembali. Saat ini juga terdapat stilet dengan video-optik.1,6,7 Lighted stylet atau light wand digunakan untuk menjadi pedoman intubasi endotrakea secara blind berdasarkan transiluminasi. Adanya bayangan cahaya pada leher yang berbatas tegas menandakan letak trakea. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk suksesnya intubasi dengan teknik ini antara lain: (1) ganjal bahu berukuran kecil digunakan untuk menjaga kepala tetap pada posisi netral sampai sedikit ekstensi. Hal ini sangat penting terutama pada bayi yang memiliki oksiput besar. (2) Light wand harus didorong pada garis tengah, jika tergeser harus ditarik dan direposisi. (3) Epiglottis dinaikkan dengan mengangkat dagu dengan tangan yang non-dominan. (4) Transiluminasi harus dinilai sebelum light wand didorong terlalu dalam. (5) Intubasi nasal blind pada anak seringkali lebih mudah dengan stilet yang kaku. Stilet dibengkokkan sedikit saja dibandingkan untuk intubasi per oral.1,6,7 Optical stylet dapat mempermudah intubasi dengan melihat langsung dibantu dengan iluminasi cahaya. Selain itu juga terdapat port oksigen yang dapat memberikan oksigen tambahan bagi pasien. Optical stylet dapat digunakan pada kasus cedera leher, buka mulut kecil, lidah besar, dan terbatasnya mobilitas mandibula.1,6,7 Laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan salah satu standar dalam algoritma kesulitan jalan napas menurut ASA. LMA juga dapat digunakan untuk membantu intubasi blind atau sebagai alat bantu pada intubasi fiberoptik. Sebuah guidewire dimasukkan melalui LMA dan posisinya dikonfirmasi dengan fluoroskopi, lalu ETT dimasukkan melalui guidewire tersebut lalu LMA dilepaskan. Pada anak teknik insersi dengan cuff mengembang sebagian ternyata memberikan angka

8

keberhasilan insersi pada percobaan pertama yang lebih tinggi dan lebih cepat dilakukan dibandingkan dengan cuff yang dikempiskan seluruhnya.1,6,7 Rigid ventilating bronchoscope sangat berguna untuk membantu ventilasi pasien dengan jalan napas sulit dan termasuk dalam algoritma kesulitan jalan napas ASA yang terbaru sebagai alat alternative pada situasi sulit ventilasi dan sulit intubasi.1,6,7 MANAJEMEN KESULITAN JALAN NAPAS PADA PEDIATRIK Kesulitan jalan napas menurut panduan ASA adalah situasi klinis di mana dokter ahli anestesi yang terlatih secara konvensional mengalami kesulitan dengan ventilasi sungkup muka pada jalan napas atas, kesulitan dengan intubasi endotrakea, atau keduanya. Prinsip yang digunakan pada manajemen kesulitan jalan napas pada pedoman ASA juga dapat diterapkan pada pasien pediatrik. Kuncinya adalah evaluasi, pengenalan, dan persiapan.6-8

Premedikasi Banyak dokter anestesi yang merasa bahwa penggunaan premedikasi sedatif pada anak dengan jalan napas terobstruksi atau yang potensial terobstruksi adalah suatu kontraindikasi. Namun masalah yang sebenarnya terjadi jika anak ketakutan saat akan masuk ruang operasi. Jika anak dengan jalan napas yang potensial sulit menangis maka ia akan menghasilkan banyak sekret, dan mungkin sulit untuk membawa anak ke tempat alat-alat pemantauan untuk kemudian dipasang kateter intravena atau melakukan induksi inhalasi. Karena itu, untuk memfasilitasi induksi yang smooth, obat premedikasi dosis kecil seperti midazolam oral (0,3-0,5 mg/kg) sangat disarankan. Antimuskarinik (atropin dan glikopirolat) sangat berguna untuk mengeringkan secret dan membantu menopang denyut jantung selama induksi. Atropin dapat digunakan oral (30-40 mcg/kg) dengan efek maksimal 90 menit atau intramuskular (20 mcg/kg) dengan efek maksimal setelah 25 menit.6-8

Teknik Induksi

9

Preoksigenasi sebelum intervensi pada sulit jalan napas pada pasien pediatrik harus tetap diusahakan walaupun sulit. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa waktu optimal untuk preoksigenasi pada pasien pediatrik berbeda dengan dewasa, yaitu 80-100 detik. Dalam memanajemen kesulitan jalan napas, hal yang penting adalah cepatnya memanggil bantuan, intubasi awake, dan menjaga ventilasi tetap spontan. Pendekatan awake atau awake dengan sedasi dapat menjadi metode yang lebih dipilih dalam manajemen kesulitan jalan napas. Bagaimanapun, pasien pediatrik biasanya tidak kooperatif sehingga membatasi penggunaan intubasi awake. Salah satu teknik yang dapat dipakai adalah penggunaan LMA yang dilubrikasi pada bayi yang awake, yang dapat memastikan jalan napas tetap terjaga selama induksi inhalasi.6-8 Pendekatan tradisional pada penanganan kesulitan jalan napas pada pediatrik adalah menjaga ventilasi spontan dengan anestesia inhalasi. Induksi inhalasi dapat dilakukan dengan halotan atau sevofluran dengan oksigen 100%. Kelarutan darahgas sevofluran yang rendah yang menyebabkan cepatnya induksi dan emergence merupakan keuntungan tersendiri dalam manajemen kesulitan jalan napas. Jika ventilasi sungkup dapat dilakukan, relaksan dosis kecil atau propofol dapat diberikan untuk memfasilitasi intubasi.6-8 Pada pasien yang dapat mentoleransi teknik awake dengan sedasi, berbagai obat dapat digunakan, namun pemberian sedasi sendiri dapat menekan jalan napas. Karena itu pemberian sedasi tidak dianjurkan pada pasien dengan distres pernapasan akut atau pasien dengan potensi obstruksi akut. Penggunaan obat sedatif harus berdasarkan pemeriksaan fisik yang teliti, dokter anestesi berpengalaman dengan obat yang digunakan, dan bergantung pada kondisi pasien secara umum. Jika tidak ada pilihan lain, dapat dilakukan titrasi pelan obat-obatan supaya ventilasi spontan tetap dapat dijaga. Penggunaan propofol dengan dosis 0,5-1 mg/kg dititrasi perlahan atau ketamin dengan dosis 1-2 mg/kg dapat menjaga napas tetap spontan sekaligus memberikan efek sedasi pada pasien yang menolak sungkup muka untuk inhalasi.6-8 Penggunaan obat-obatan yang memiliki antagonis sangat dianjurkan. Untuk anak yang lebih besar atau remaja, dapat digunakan kombinasi midazolam dan fentanil. Pada kasus-kasus tertentu, kehadiran orang tua saat induksi dapat dilakukan. Begitu pasien mulai hilang kesadaran, orang tua dapat langsung dipersilakan keluar dari ruang operasi.6-8 10

Hal lainnya yang dapat dilakukan dalam manajemen jalan napas adalah anestesia lokal (topikal). Pada pasien pediatrik hal ini dapat dilakukan dengan nebulisasi, semprot, atau swab larutan anestesia lokal atau dengan mengoleskan jel kental. Bronkoskopi fiberoptik dengan suction port dapat digunakan untuk menyemprotkan anestetik lokal pada pita suara. Dosis maksimum anestetik lokal yang diijinkan harus diperhitungkan sebelum diberikan. Obat pilihannya adalah lidokain karena relatif lebih aman. Dosis maksimum lidokain adalah 5 mg/kg.6-8

Teknik Manajemen Jalan Napas Teknik Ventilasi Obstruksi jalan napas atas seringkali didapatkan pada pasien pediatrik selama induksi inhalasi. Teknik untuk mengatasi obstruksi jenis ini adalah memasukkan OPA atau NPA atau keduanya. Ukuran yang dipakai harus tepat atau obstruksi dapat menjadi lebih buruk. Chin lift atau jaw thrust dikombinasikan dengan continuous positive airway pressure (CPAP) 10 cmH2O terbukti dapat meningkatkan patensi jalan napas atas.1,6-8 Teknik lain yang dapat digunakan untuk ventilasi sungkup, antara lain teknik dua orang (1 orang memegang sungkup dengan dua tangan, 1 orang menekan bagging). Atau dapat juga menggunakan ventilator untuk melakukan ventilasi sehingga cukup 1 orang dapat memegang sungkup muka dengan kedua tangan.1,68

Teknik Intubasi 1. Laringoskopi Direk Teknik yang penting untuk membantu visualisasi laring antara lain dengan menggunakan tekanan laring luar dan posisi yang tepat. Laringoskopi direk 11

meliputi garis aksis oral, faring, dan laring untuk memvisualisasi glottis. Karena laring terletak di posisi yang lebih sefalad dan oksiput berukuran besar, posisi sniffing pada bayi tidak dapat membantu visualisasi laring. Bayi sebaiknya diposisikan dengan kepala pada posisi netral dengan leher difleksikan atau diekstensikan. Ganjal bahu atau leher yang kecil dapat membantu. Optimum external laryngeal manipulation (OELM) sebaiknya digunakan pada pandangan laringoskopik yang kurang baik untuk memperbaiki visualisasi. OELM ini bukan melakukan tekanan krikoid saja, namun menekan ke posterior dan sefalad pada kartilago tiroid, hyoid, dan krikoid. Mekanismenya adalah dengan memperpendek jarak gigi incisor-glottis. Namun demikian penekanan krikoid yang berlebih pada bayi atau anak yang masih kecil terkadang justru dapat menyebabkan obstruksi trakea.6-8 Teknik dua dokter anestesi meliputi manipulasi laring dengan pandangan langsung dengan yang melakukan laringoskopi dan intubasi dilakukan oleh dokter anestesi yang kedua.6-8 Teknik retromolar atau paraglosal dilaporkan berguna pada kasus-kasus kesulitan intubasi akibat mandibula kecil. Bilah laringoskop lurus dimasukkan pada ujung paling kanan mulut di bawah molar sehingga mengurangi jarak ke pita suara. Lalu bilah diteruskan ke rongga antara lidah dan dinding lateral faring sampai epiglottis atau glottis tervisualisasi. Kepala dirotasikan ke kiri untuk memperbaiki visualisasi ketika melakukan tekanan laring luar sehingga laring tergeser ke kanan. ETT dimasukkan dengan menarik ujung mulut untuk mempermudah ETT masuk. ETT berstilet dapat dibentuk menjadi bentuk stik hoki.6-8 Pendekatan alternatifnya yaitu dengan meletakkan ETT dari sisi kiri mulut. Peletakkan bilah laringoskop di lateral mengurangi tekanan pada jaringan lunak karena lidah dilewati. Struktur maksila juga dilewati dengan peletakkan bilah laringoskop di lateral, karenanya dapat memperbaiki pandangan. Karena pada sindrom dengan mikrognatia rongga untuk menggeser lidah menjadi sempit, pendekatan ini dapat sangat berguna. Teknik retromolar dilaporkan dapat digunakan untuk intubasi pasien dengan sindrom Pierre Robin.6-8 Pada laringoskopi direk, jumlah percobaan harus dibatasi, karena edema dapat terjadi dengan cepat dan menyebabkan kejadian sulit ventilasi dan intubasi.6-8 12

2. Teknik Intubasi Blind Blind nasotracheal intubation Intubasi dengan cara ini membutuhkan ventilasi spontan yang tetap dijaga, baik dengan anestesia umum atau dengan anestetik topikal pada mukosa hidung. Ujung ETT diarahkan langsung menuju laring dengan mendengarkan intensitas suara napas atau dengan pemantauan kapnograf. Teknik ini membutuhkan banyak latihan sebelumnya. Teknik ini meliputi tekanan luar pada leher yang dapat mengarahkan glottis ke ETT; peletakkan stilet ke dalam ETT setelah dilewatkan melalui nasofaring untuk mengarahkan ujung ETT ke glottis; mengembangkan cuff ETT dengan udara untuk mengarahkan ke glottis dan kemudian mengempiskannya kembali untuk dapat dimasukkan ke jalurnya; dan mereposisi kepala (fleksi/ekstensi) jika percobaan intubasi pertama gagal. Pasien pediatrik dengan pembesaran adenoid berisiko untuk terjadi perdarahan dan trauma dengan teknik ini.6-8 Digital endotracheal intubation Intubasi dengan bantuan jari merupakan teknik blind yang relative mudah dipelajari. Jari telunjuk kiri dimasukkan di garis tengah sepanjang permukaan lidah sampai melewati epiglottis. Ibu jari kiri dapat melakukan tekanan krikoid untuk menstabilkan laring. ETT didorong ke dalam trakea dengan menggunakan jari telunjuk kiri sebagai pedoman. Teknik ini telah digunakan sebagai teknik utama untuk intubasi neonatus pada beberapa center neonatus.6-8 Light wand Intubasi dengan light wand merupakan teknik blind yang terbukti sukses dalam manajemen kesulitan jalan napas pediatrik. Angka kesuksesan meningkat seiring dengan pengalaman, dengan latihan pada pasien dengan anatomi normal terlebih dahulu. Kontraindikasi penggunaan teknik ini adalah adanya tumor, infeksi, trauma, dan benda asing pada jalan napas atas. Penyebab kegagalan intubasi antara lain terjebaknya alat di valekula atau di celah ariepiglottis. Ganjal bahu dapat membantu mengekstensikan kepala dan leher dan meningkatkan pajanan pada leher anterior. Rahang diangkat dengan tangan non dominan atau bilah laringoskop, lalu light wand dimasukkan pada 13

garis tengah mulut pasien dan diputar di sekitar lidah pasien, lalu dengan perlahan diarahkan maju atau mundur. Jika wand sudah berada dalam trakea, akan terlihat cahaya berpendar yang berbatas tegas pada tingkat subglottis di permukaan anterior leher.6-8 3. Laringoskopi Fiberoptik Perlengkapan intubasi fiberoptik antara lain sungkup muka, OPA, guidewire, dan LMA. OPA dapat digunakan untuk membantu intubasi fiberoptik pada pediatrik, yaitu untuk membantu mengarahkan fiberoptik supaya tetap berada di garis tengah. Penggunaan ukuran yang lebih kecil disarankan sehingga pangkal lidah dan epiglottis dapat divisualisasi.6-8 Laringoskopi fiberoptik fleksibel adalah salah satu pilihan terakhir dalam manajemen kesulitan jalan napas. Persiapan laringoskopi fiberoptik meliputi persiapan pasien (antisialogue) dan memeriksa ulang fiberscope, light source, dan suction sebagai standar perlengkapan jalan napas. Asisten dibutuhkan untuk mengawasi pasien dan membantu melakukan pengangkatan rahang (jaw lift). Jaw lift berguna karena mengangkat lidah dari faring posterior. Untuk anak yang lebih besar dan remaja yang akan disedasi selama prosedur, penjelasan sangat membantu untuk menenangkan pasien. Metode untuk memberikan oksigen juga sangat penting, baik melalui sirkuit anestesia atau melalui nasal kanula. Pada pasien yang tidak disedasi, LMA atau sungkup endoskopi dapat digunakan untuk memberikan ventilasi pasien selama intubasi dilakukan. Saran untuk intubasi oral yang sukses antara lain meletakkan fiberscope di garis tengah, mendorong fiberscope hanya jika struktur yang dikenali dapat tervisualisasi, dan retraksi lidah menggunakan klem jika dibutuhkan. Jika pandangan pada fiberscope adalah mukosa merah muda, fiberscope ditarik perlahan-lahan sampai struktur yang dikenal terlihat. Jika rute nasal yang dipilih, vasokonstriktor topikal dapat dipilih untuk menurunkan kemungkinan perdarahan. Pada 46 kasus pasien dengan kesulitan jalan napas, intubasi nasal dengan fiberoptik berhasil dilakukan pada percobaan pertama pada 37 pasien (80,4%) dan pada percobaan kedua dan ketiga pada 7 pasien (15,2%). Dua kegagalan, yang pertama akibat perdarahan dan yang kedua akibat tidak dapat meletakkan scope di rongga nasal.6-8

14

Laringoskopi fiberoptik fleksibel dapat dilakukan dengan berbagai cara. Teknik standar adalah dengan melewatkan fiberscope ke dalam ETT. Terdapat juga laringoskop fiberoptik ultrathin dengan ujung fleksibel untuk melakukan intubasi dengan menggunakan ETT 2,5 mm. Fiberscope juga dapat digunakan untuk intubasi nasal baik secara langsung ataupun dengan bantuan guide. Pada kasus ini, bronkoskopi fiberoptik dimasukkan pada salah satu lubang hidung dan ETT didorong ke trakea melalui lubang hidung satunya. Jika ETT tidak dapat dimanipulasi untuk masuk ke glottis, guide dimasukkan ke lubang hidung sebelahnya dah diarahkan ke trakea, lalu ETT dipindahkan dan dimasukkan melalui guide tersebut.6-8 Bronkoskopi fiberoptik fleksibel melalui LMA juga dapat dilakukan. Setelah bronkoskop diletakkan melalui LMA dan pita suara tervisualisasi, guidewire dimasukkan melalui port suction menuju trakea. LMA dan bronkoskop kemudian dilepaskan secara hati-hati dan ETT dimasukkan melalui guidewire tadi.6-8 4. Laringoskop Bullard Laringoskop Bullard untuk pediatrik diletakkan di orofaring dengan posisi horizontal. Setelah melewati lidah, gagang diputar ke posisi vertikal. Posisi harus tetap di garis tengah selama bilah menggeser lidah. Kemudian gagang diangkat untuk memvisualisasi glottis. Setelah glottis tervisualisasi, ETT berstilet dimasukkan ke dalam trakea dengan pandangan langsung.6-8 5. Dental Mirror-Assisted Laryngoscopy Alat ini dapat digunakan untuk membantu saat laringoskopi direk untuk memvisualisasi laring anterior. Setelah dilakukan laringoskopi direk, dental mirror dimasukkan di sisi kanan mulut dan di arahkan sudutnya sehingga dapat memvisualisasi pita suara. Lalu gagang dental mirror dipindahkan ke kiri dan dipegang dengan tangan kiri. Kemudian ETT berstilet yang sudah dibentuk dimasukkan ke trakea sambil melihat ke dental mirror tersebut.6-8 6. Intubasi Retrograd

15

Teknik retrograd klasik meliputi pemasangan kateter intravena perkutaneus melalui membrane krikotiroid ke dalam trakea diikuti dengan pemasangan guidewire. Guidewire akan muncul di mulut atau hidung dan ETT lalu diganti melalui guidewire. Jika ada tahanan selama memasukkan ETT, rotasi ETT berlawanan arah jarum jam mungkin dapat membantu. Cara lainya adalah dengan mengkombinasikannya dengan bronkoskop.6-8 7. Akses Gawat-darurat Akses gawat-darurat terbagi menjadi 2 macam, yaitu bedah dan non bedah. Akses bedah seringkali sulit dan membutuhkan dokter anestesi yang terlatih. Hal ini adalah hal terakhir yang dilakukan pada kondisi cannot ventilate, cannot intubate pada algoritma kesulitan jalan napas menurut ASA. Prosedur yang termasuk dalam kategori ini adalah trakeostomi emergensi, krikotiroidotomi emergensi, dan percutaneous needle cricothyroidotomy. Pada anak kurang dari 6 tahun, trakeostomi adalah prosedur pilihan karena membrane krikotiroid yang masih terlalu kecil untuk kanulasi. Pada anak yang lebih besar, percutaneous needle cricothyroidotomy seringkali dijadikan pilihan karena dapat dilakukan hampir semua dokter anestesi dengan cepat dan memiliki risiko cedera jaringan sekitar yang lebih kecil.6-8 Prosedur non bedah antara lain penggunaan LMA, esophageal-tracheal Combitube, dan transtracheal jet ventilation (TTJV). LMA merupakan alat yang sangat berguna pada manajemen kesulitan jalan napas pada pediatrik karena dapat digunakan untuk menjaga ventilasi spontan maupun untuk alat bantu intubasi. Namun demikian, jika terjadi obstruksi di glottis atau sub glottis, LMA menjadi tidak efektif. TTJV adalah teknik pilihan pada kondisi seperti ini. Namun TTJV pada kasus obstruksi di glottis atau sub glottis dapat menimbulkan barotrauma karena terbatasnya udara dan oksigen yang dapat keluar. 6-8

16

The Unexpected Difficult Pediatric IntubationVentilasi sungkup dapat dilakukan? BERHASILJalur non emergensi Jika ventilasi sungkup menjadi tidak adekuat

GAGALJalur emergensi

Pilihan Intubasi lainnya teknik berbedaUbah posisi Teknik kepala intubasi berbeda LMA untuk guide intubasi Light wand fiberopti k retrogra d OELM Ganti bilah dengan laringoskop rigid (batasi percobaan untuk menghindari trauma)

Panggil bantuanBangunk an pasienVentilasi Pilihan Oksigenasi/Ventilasi sungkup Emergensi LMA 2 orang Krikotiroto mi perkutan Bronkosko pi rigid

stilet

Pendekat an retromola r

BERHASIL BERHASIL GAGALAnestesia umum dengan LMA Jalan napas dengan bedah Anesthesia regional Jalan napas dengan bedah

GAGAL Jalan napas dengan bedah

Anestesia umum dengan sungkup Bangunk an pasien Teknik intubasi awake Batalkan dan ulangi

Jalan napas definitif

Gambar 1. Algoritma Kesulitan Jalan Napas yang Tidak Diharapkan pada Pasien Pediatrik9

17

BAB III JALAN NAPAS PADA PEDIATRIK DENGAN DEFORMITAS WAJAH

Klasifikasi kesulitan jalan napas pada pediatrik dapat dibuat berdasarkan lokasi anatomik yang berkaitan. Kelainan mayor bisa terletak pada kepala, wajah, mulut dan lidah, nasofaring, laring, trakea, dan leher.1 Jalan napas pada anak banyak dipengaruhi oleh kemungkinan adanya sindromsindrom yang melibatkan kepala, leher, dan tulang servikal. Jalan napas dan struktur-struktur di dekatnya berdeviasi dari lengkung brankial. Lengkung pertama berkembang menjadi maksila, mandibula, inkus, maleus, zigoma, dan sebagian tulang temporal. Lengkung kedua berkembang menjadi stapes, processus styloideus tulang temporal, dan sebagian tulang hyoid. Lengkung ketiga berkembang menjadi sisa tulang hyoid. Lengkung keempat dan keenam bersatu membentuk struktur laring termasuk tiroid, krikoid, dan kartilago aritenoid. Otot faring berkembang dari lengkung keempat sedangkan otot laring berkembang dari lengkung keenam. Kegagalan dari salah satu perkembangan lengkung-lengkung ini dapat mengakibatkan anomali yang khas.1 Tumor Tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada jalan napas antara lain adalah higroma kistik, teratoma leher, dan cherubism. Higroma kistik paling sering mengenai leher (75%) dan aksila (20%). Dengan semakin membesarnya tumor, dapat terjadi gejala penekanan pada trakea, faring, pembuluh darah, lidah, dan saraf, serta dapat membuat jalan napas terhambat. Lidah seringkali terdorong keluar mulut dan membuat mulut sulit menutup sehingga pemeliharaan jalan napas semakin sulit. Obstruksi jalan napas adalah komplikasi yang paling berbahaya dari higroma kistik pada leher. Jalan paling aman pada kasus ini adalah dengan intubasi nasal, baik blind ataupun dengan bantuan fiberoptik dengan pasien tetap1

terjaga

(awake).

Bahkan

jika

diperlukan

dapat

dilakukan

trakeostomi.

Teratoma pada kepala dan leher seringkali disertai dengan distres pernapasan atau bahkan asfiksia pada saat lahir, sehingga dibutuhkan rencana yang matang 18

untuk penanganan jalan napas secara dini. Jika tidak diatasi, angka mortalitas pasien dengan tumor ini mencapai 80-100%. Ultrasonografi dapat digunakan untuk diagnosis prenatal. Ex utero intrapartum technique (EXIT) dapat digunakan untuk tetap mempertahankan sirkulasi fetoplasenta selama section caesarea. Kepala dan bahu bayi dilahirkan, namun plasenta tetap di dalam sehingga aliran darah uteroplasenta tetap terjaga. Dengan lahirnya bagian kepala dan bahu, berbagai manuver jalan napas dapat dilakukan, mulai dari laringoskopi, intubasi fiberoptik, atau trakeostomi. Setelah jalan napas aman, tali pusat diklem dan proses kelahiran dilanjutkan.1 Cherubism adalah penyakit keturunan pada anak dengan pembesaran mandibula dan terkadang maksila. Hipertrofi ramus mandibula membatasi rongga submandibula untuk menyingkirkan lidah sehingga membuat visualisasi glottis selama laringoskopi direk lebih sulit.1 Hipoplasia Kongenital 1. Akrosefalosindaktili Hipoplasia maksila merupakan akibat sinostosis prematur dari sutura fasialis dan kranialis dan seringkali bermanifestasi sebagai gambaran abnormal tunggal atau multipel dalam kelompok sindrom yang jarang namun kompleks yang disebut akrosefalosindaktili. Retrusi bagian tengah wajah memberikan gambaran prognatia, walaupun sebenarnya mandibula lebih kecil dari normal. Selain itu, sering didapatkan pula kelainan pada sistem saraf pusat (SSP) (peningkatan tekanan intrakranial dan tidak adanya korpus kalosum), ekstremitas dan jantung (pada sebagian kecil penderita). Jalan napas atas dan bawah dapat terganggu pada pasien-pasien ini.1 Kondisi patologik multipel dapat juga terjadi, seperti regresi maksila yang berakibat stenosis atau atresia koana, reduksi rongga nasofaring, dan deformitas palatum walaupun (sempit, seiring sangat melengkung, anak atau bercelah). dapat Hal-hal ini dapat karena menyebabkan gangguan pernapasan atau apnea obstruktif pada awal kehidupan, bertumbuhnya obstruksi memburuk pertumbuhan daerah maksila yang terus terhambat.1 Insidensi obstruksi jalan napas banyak terjadi pada sindrom-sindrom tertentu. Pada 40 pasien dengan kraniosinostosis sindromik (13 dengan sindrom Apert 19

dan 27 dengan Crouzon), 40% memiliki manifestasi obstruksi jalan napas (12,5% obstruksi berat dan 27,5% obstruksi ringan). Tidak ada perbedaan antara tingkat keparahan obstruksi pada kedua sindrom ini. Penyebab pada 5 pasien dengan obstruksi berat adalah hipoplasia setengah wajah, obstruksi jalan napas bawah, hipertrofi tonsil dan adenoid, dan atresia koana.1 Gangguan dan jalan napas bawah pada akrosefalosindaktili trakea seperti ini terjadi akan berupa memiliki

trakeomalasia, bronkomalasia, cincin trakea yang tidak memiliki kartilago padat, stenosis trakea. Pasien dengan kecenderungan untuk terjadi cedera trakea, edema, dan stenosis dan potensial terhadap infeksi jalan napas (trakeitis dan bronkitis) serta sumbatan mukus karena kurangnya aktivitas silia trakea.1 Masalah jalan napas dapat dibagi berdasarkan bagian-bagiannya, yaitu rongga hidung, nasofaring, palatum, dan trakea. Deviasi septum hidung sering didapatkan pada pasien kraniosinostosis dan merupakan temuan utama pada sindrom Saethre-Chotzen. Penyempitan rongga hidung disebabkan oleh hipoplasia maksila. Walaupun atresia koana dapat terjadi, gejala yang paling sering terjadi adalah penyempitan secara keseluruhan. Nasofaring menjadi lebih dangkal karena hipoplasia maksila dan mengganggu angulasi dasar tengkorak. Selain itu abnormalitas palatum juga akan menindih nasofaring. Deformitas ini dapat berupa palatum yang melengkung atau bertambah tebalnya jaringan lunak. Derajat obstruksi jalan napas berbeda-beda pada pasien-pasien ini, dengan yang terberat pada sindrom Apert. Komplikasi dapat berupa kematian akibat obstruksi jalan napas. obstruksi jalan napas bawah dapat terjadi akibat stenosis subglottis dan kartilago trakea yang menyatu secara vertikal. Stenosis subglottis banyak terjadi khususnya pada pasien sindrom Crouzon, sedangkan kartilago trakea yang menyatu secara vertikal dilaporkan terjadi pada kasus-kasus Apert, Crouzon, dan Pfeiffer. Pasien dengan kelainan ini akan mengalami episode infeksi saluran napas bawah berulang, jalan napas yang reaktif, dan retensi sekret kronis.1 Kelainan akrosefalosindaktili terdiri dari sindrom Apert dan Apert-Crouzon, namun dapat juga terjadi pada sindrom Choten dan akrosefalosindaktili tipe Pfeiffer.1 a. Sindrom Apert Sindrom Apert ditandai dengan agenesis atau penutupan prematur dari sutura kranialis, hipoplasia midfasial, dan sindaktili tangan dan kaki yang 20

simetris dan melibatkan minimal jari kedua, ketiga dan keempat. Prevalensinya sekitar 1:65.000 kelahiran hidup. Sejumlah 4,5% dari kasus kraniostenosis merupakan sindrom ini. Malformasi sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan sebagian besar pasien sindrom ini mengalami retardasi mental. Papil edema dan atrofi optik dengan hilangnya penglihatan dapat terjadi pada pasien dengan peningkatan tekanan intra kranial. Abnormalitas lainnya biasanya berupa fusi tulang vertebra servikal, yang paling sering terjadi adalah pada C5-C6; fusi tulang dapat juga terjadi pada sendi lain pada ekstremitas dan vertebra, anomali kartilago trakea, dan hernia diafragmatika.1 Kelainan jalan napas disebabkan oleh abnormalitas wajah, yang terdiri dari nasofaring yang kecil dan hipoplastik dan maksila yang terletak lebih belakang (retropositioned). Kesulitan jalan napas pada sindrom Apert dapat juga disebabkan oleh trismus akibat fibrosis otot temporalis.1 b. Sindrom Crouzon Sindrom Crouzon adalah kelainan autosom dominan dengan berbagai

variabel tampilan. Di Amerika Serikat, prevalensinya sekitar 1:60.000 kelahiran hidup. Sejumlah 4,8% kasus kraniosinostosis saat lahir merupakan sindrom ini. Pasien sindrom Crouzon seringkali menderita hernia tonsilar kronik pada SSP (73%) dan hidrosefalus progresif (30%), dan siringomiela. Sinostosis sutura multipel seringkali melibatkan fusi prematur dari sutura dasar tengkorak, menyebabkan hipoplasia midfasial, orbita dangkal, dorsum nasal yang memendek, hipoplasia maksila, dan terkadang obstruksi jalan napas atas.1 Kelainan jalan napas pada pasien ini disebabkan oleh penutupan prematur dari sutura dasar kranial serta orbita dan kompleks maksila (kraniosinostosis). Gambaran lainnya antara lain hidung seperti paruh; bibir atas yang lebih pendek; prognatia mandibula; gigi atas yang overcrowding; maloklusi; lengkung gigi maksila berbentuk V; palatum sempit, tinggi atau bercelah; dan uvula ganda; hipoplasia maksila; dan prognatia mandibula relatif. Fusi servikal C2-C3 dan C5-C6 terjadi pada 18% kasus.1 c. Sindrom Saethre-Chotzen

21

Sindrom Saethre-Chotzen terjadi dengan prevalensi 1-2:50.000 orang. Gambaran khasnya berupa kraniosinostosis, wajah asimetris, garis rambut frontal yang rendah, ptosis, brakidaktili, dan sindaktili kutaneus pada jari tangan dan pada jari kaki kedua dan ketiga.1 2. Akrosefalopolisindaktili Akrosefalopolisindaktili terdiri dari 4 jenis sindrom, yaitu sindrom Noack (mirip dengan akrosefalosindaktili tipe V / tipe Pfeiffer), sindrom Carpenter (retardasi mental, bradidaktili), sindrom Sakati-Nyhan (hipoplasi tibia, deformitas fibula), sindrom Goodman (kelainan jantung kongenital, deviasi ulna).1 a. Sindrom Pfeiffer (Tipe I) Sindrom Pfeiffer memiliki 3 subtipe klinis dan memiliki manifestasi kraniosinostosis, jempol dan jari kaki yang lebar, retrusi maksila, dan sindaktili jaringan lunak parsial. Tipe I merupakan tipe klasik sindrom ini; pasien dengan sindrom tipe ini memiliki kecerdasan normal dan memiliki prognosis baik. Tipe II memiliki bentuk kepala cloverleaf, proptosis berat, dan ankilosis siku. Tipe III tidak memiliki bentuk kepala cloverleaf namun terdapat ankilosis siku dan memiliki morbiditas tinggi saat bayi. Abnormalitas lainnya berupa exorbitism yang menimbulkan risiko pajanan dan kerusakan pada kornea, palatum yang sangat melengkung, gigi yang banyak (crowded), hidrosefalus, dan kejang.1 Pada sindrom ini dapat terjadi obstruksi jalan napas atas dan bawah. Dilaporkan kasus dengan stenosis trakea congenital, obstruksi trakea akibat trakeomalasia kongenital, dan obstructive sleep apnea (OSA). Insidensi fusi vertebra juga banyak terjadi (73%) bersamaan dengan kelainan radiologik lainnya termasuk hipoplasia arkus neural, hemivertebra, dan vertebra kupu-kupu, dengan vertebra yang paling sering terkena yaitu setingkat C2-C3, walaupun fusi dapat terjadi di seluruh tingkat vertebra.1 b. Sindrom Carpenter Pasien dengan sindrom ini dapat diketahui sejak lahir. Karena

kraniosinostosis, ujung kepala berbentuk kerucut (akrosefali) atau kepala tampak pendek dan lebar (brakisefali). Selain itu sutura kranialis seringkali 22

berfusi tidak sempurna, sehingga kepala dan wajah tampak tidak sama antara sisi yang satu dengan yang lain (asimetri kraniofasial). Malformasi lainnya terdapat pada daerah tengkorak dan wajah (kraniofasial) yang meliputi lipatan kelopak mata (fisura palpebra) yang turun; batang hidung yang datar; displasia telinga dan letak rendah (low-set); malformasi gigi kecil; serta hipoplasia pada maksila atau mandibula atau keduanya. Abnormalitas lainnya seperti tubuh pendek, kelainan struktur jantung (kelainan jantung kongenital), obesitas ringan sampai sedang, hernia umbilikalis, atau undescensus testis (kriptokidisme) pada laki-laki. Pasienpasien ini dapat memiliki kecerdasan normal atau retardasi mental ringan. Sulit intubasi dapat terjadi pada kasus dengan hipoplasia mandibula atau maksila, malformasi rongga mulut, dan obesitas.1 3. Hipoplasia Mandibula Hipoplasia mandibula merupakan salah satu kelainan utama pada mandibula dengan akibat bermakna pada manajemen jalan napas. Mikrognatia menyebabkan regresi posterior pada lidah dan ruang hiomental yang sempit. Mandibula berkembang dari lengkung brankial pertama dan merupakan gambaran utama pada beberapa sindrom yang langka seperti sindrom Pierre Robin, Treacher Collins, Goldenhar, dan Nager. Walaupun mikrognatia banyak terdapat pada sindrom-sindrom ini, seringkali terdapat gambaran khas tambahan yang turut mempengaruhi jalan napas.1 Adanya fistel periaurikuler atau telinga luar (yang juga berkembang dari lengkung brankial pertama) yang tidak tumbuh normal, dapat dijadikan petunjuk kemungkinan kesulitan jalan napas. Mikrognatia dapat mempengaruhi jalan napas dengan beberapa cara: lidah yang sulit dipindahkan selama laringoskopi, jika lidah tidak ditarik ke depan seperti pada pertumbuhan normal, mulut laring akan menjadi lebih anterior dan sulit untuk divisualisasi, rongga mulut sulit untuk dibuka lebar. Glosoptosis dapat semakin mempersulit jalan napas pada pasien mikrognatia, karena membuat lidah sulit digeser ke kiri sehingga jalan napas sulit untuk divisualisasi.1 a. Sindrom Pierre Robin Sindrom ini terjadi pada 1 dari 8500 kelahiran hidup. Sindrom ini ditandai dengan retrognatia atau mikrognatia, glosoptosis, dan sumbatan jalan 23

napas. Celah palatum parsial terjadi pada 50% pasien dengan sindrom ini. Sindrom Pierre Robin terjadi akibat gagal tumbuhnya mandibula pada masa embriogenesis. Hal ini mengakibatkan letak lidah yang lebih posterior yang menghambat pertumbuhan normal dan penutupan palatum. Pada 50% pasien obstruksi terjadi karena letak lidah yang lebih posterior. Hal ini yang menjelaskan mengapa penggunaan oral atau nasopharyngeal airway saja tidak dapat membantu penanganan jalan napas dengan sungkup. Pasien yang gagal ditangani dengan glosopeksi atau penggunaan nasopharyngeal trakeostomi.1 Pada penelitian Li dkk1 terhadap 110 anak dengan sindrom ini, didapatkan bahwa posisi tengkurap efektif untuk mengatasi obstruksi ringan jalan napas pada 82 pasien (90,2%) yang memiliki suara napas tambahan. Hanya 30% pasien membutuhkan intubasi endotrakea dan 6,6% membutuhkan trakeostomi. Teknik intubasi yang dilaporkan berhasil antara lain: LMA, bronkoskop fiberoptik, intubasi fiberoptik melalui LMA, nasoendoskop rigid dengan kamera video, atau intubasi dengan video laringoskop, Trachlight dengan lighted stylet, dan intubasi retrograd. Intubasi endotrakea dengan bantuan jari maupun dengan posisi prone juga dilaporkan berhasil dilakukan.1 b. Sindrom Treacher Collins Sindrom ini disebut juga disostosis mandibula atau sindrom Franceschetti. Sindrom ini diakibatkan karena kurangnya suplai vaskuler pada lengkung visera pertama selama 3-4 minggu awal gestasi yang diperkirakan akibat perubahan gen pada kromosom 5 yang mempengaruhi pertumbuhan wajah dan mengakibatkan hipoplasia tulang wajah, terutama zigoma dan mandibula. Celah wajah menyebabkan gambaran wajah hipoplastik dengan deformitas pada telinga, orbita, dan rahang bawah. Gambaran klinis ini akibat gagalnya zigoma untuk menyatu dengan maksila, tulang frontalis dan tulang temporal. Banyak variasi yang ditemukan, namun yang paling sering adalah hipoplasia pipi, arkus zigoma, dan mandibula; mikrotia dengan kemungkinan tuli; celah palatum; koloboma; maloklusi; rongga mulut dan jalan napas kecil dengan lidah berukuran normal.1 24 airway atau keduanya, biasanya membutuhkan

Karena rahang dan jalan napas yang sempit dengan lidah berukuran normal, gangguan pernapasan dapat terjadi sejak lahir dan selama tidur ketika pangkal lidah menyumbat hipofaring yang kecil. Hal ini juga akan menjadi masalah selama induksi anestesia umum. Karena itu, trakeostomi mungkin dibutuhkan untuk menjaga jalan napas supaya adekuat. Penanganan jalan napas pada anak-anak dengan sindrom ini dilaporkan berhasil dengan menggunakan LMA, laringoskop Bullard, dan bronkoskop fiberoptik. Laringoskopi sebaiknya dilakukan sebelum induksi anestesia. Jika mulut glottis tervisualisasi, induksi inhalasi dapat dilanjutkan. Jika struktur glottis tidak dapat divisualisasi, dokter anestesi harus memilih antara intubasi awake, atau trakeostomi elektif, atau intubasi fiberoptik.1 c. Sindrom Goldenhar/mikrosomia hemifasial Gambaran utama sindrom ini adalah pertumbuhan tidak sempurna salah satu telinga (unilateral) akibat hambatan pertumbuhan rahang dan pipi pada sisi yang sama pada wajah. Jika hal ini terjadi bersamaan dengan kelainan seperti hemivertebra (biasanya pada leher), maka digolongkan menjadi sindrom Goldenhar. Otot pada sisi yang terkena tidak berkembang sempurna, dan seringkali terdapat fistel di depan telinga.1 Anak dengan sindrom ini memiliki kemungkinan terkena penyakit jantung bawaan pada 5-58% kasus (ventricular septal defect/VSD, patent ductus arteriosus/PDA, tetralogi Fallot, koarktasio aorta). Berbagai kelainan ginjal (ginjal ektopik, agenesis ginjal, hidronefrosis) juga dapat terjadi.1 Kesulitan pada manajemen jalan napas diakibatkan oleh hipoplasia mandibula, celah palatum, kelainan vertebra servikal, dan skoliosis. Berbagai pendekatan manajemen jalan napas yang disarankan antara lain lighted stylet, LMA dengan anestesia atau menggunakan intubasi awake menggunakan fiberoptik melalui LMA.1 d. Sindrom Nager Sindrom ini disebut juga disostosis mandibulofasial, merupakan kelainan kraniofasial yang langka, terjadi pada kurang dari 100 kasus yang dilaporkan pada literatur medis. Gambaran morfologis pada sindrom ini 25

antara lain batang hidung yang tinggi, atresia kanal auditorius eksterna, dan mikrognatia. Malformasi ekstremitas atas, meliputi tidak adanya atau hipoplasia pada ibu jari, hipoplasia radius, dan memendeknya tulang humerus. Karakteristik wajah dapat saja mirip dengan sindrom Treacher Collins, namun pada pasien Treacher Collins terdapat hipoplasia maksila dan zigoma yang lebih berat dan koloboma.1 Kesulitan manajemen jalan napas dan obstruksi jalan napas pasca operasi dapat terjadi akibat hipoplasia mandibula dengan mikrognatia, terbatasnya gerak rahang, dan mikrostomia. Celah palatum atau bibir atau keduanya dan hipoplasia maksila ditambah deformitas setengah wajah dapat semakin mempersulit manajemen jalan napas dan selama ventilasi dengan sungkup muka. Jalan napas dapat ditangani dengan LMA, intubasi retrograd, dan intubasi fiberoptik.1 e. Sindrom Turner Sindrom ini diakibatkan tidak adanya kromosom X yang kedua.

Manifestasinya berupa amenorea primer, imaturitas genitalia, dan tubuh pendek; kecerdasan biasanya normal. Gambaran lainnya yang dapat mempengaruhi manajemen anestesia adalah hipertensi, leher pendek, palatum tinggi, mikrognatia, stenosis aorta atau koarktasio aorta, dan tidak adanya ginjal. Kesulitan intubasi dapat terjadi pada kasus dengan mikrognatia dan leher pendek, dan karena tubuh pendek dapat terjadi intubasi endobronkial unilateral.1

Inflamasi Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA/penyakit Still) merupakan penyakit sistemik pada jaringan mesenkim, yang dapat mempengaruhi kolagen dan jaringan ikat pada semua organ. Abnormalitas yang dapat menyebabkan kesulitan manajemen jalan napas meliputi ankilosis temporomandibula, hipoplasia mandibula, dan artritis krikoaritenoid. Subluksasi atlantoaksial atau servikal bawah dapat terjadi. Vertebra juga mungkin gagal tumbuh. Kesulitan dalam menjaga patensi jalan napas dan ketidakmampuan untuk melakukan intubasi trakea merupakan suatu masalah anestesi yang perlu diperhatikan. Dilaporkan adanya kasus eksaserbasi 26

akut JRA yang bermanifestasi sebagai aritenoiditis akut dan menyebabkan obstruksi jalan napas atas. Pembengkakan simetris pada aritenoid dan pembengkakan pada epiglottis juga pernah dilaporkan. Pada beberapa kasus, intubasi dapat dilakukan dengan kesulitan dengan laringoskopi direk. Dalam kasus-kasus seperti ini harus disediakan bronkoskop fiberoptik.1 Kelainan pada Mulut 1. Mikrostomia Mikrostomia (rongga mulut sempit) merupakan kelainan yang jarang terjadi dan dapat merupakan kelainan kongenital maupun didapat. Mikrostomia pada anak mungkin kongenital (Freeman-Sheldon, Hallermann-Streiff, dan sindrom otopalatodigital), tetapi lebih banyak terjadi akibat cedera suhu, seperti akibat menggigit colokan listrik atau menelan cairan atau larutan rumah tangga yang bersifat alkali.1 a. Mikrostomia kongenital Sindrom Freeman-Sheldon merupakan kelainan kongenital yang langka, ditandai dengan kelainan wajah dan skeletal. Kelainan utama berupa mikrostomia dengan bibir mengerucut, kampodaktili dengan deviasi jari ke arah ulna, dan talipes ekuinovarus.1 Pada sindrom ini terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan anestesi, termasuk manajemen kesulitan jalan napas, kanulasi intravena, dan teknik regional. Pasien memiliki risiko yang meningkat terhadap hipertermi maligna dan komplikasi paru pasca operasi. Intubasi fiberoptik oral harus dipertimbangkan sebagai teknik manajemen jalan napas yang dapat dipilih (intubasi hidung tidak dapat dilakukan karena lubang hidung yang kecil). Terdapat pula laporan bahwa LMA dapat digunakan setelah laringoskopi direk gagal dilakukan.1 Sindrom Hallermann-Streiff juga disebut oculomandibulodyscephaly dengan hipotrikosis merupakan kelainan kongenital yang langka ditandai dengan dis-sefali dengan wajah seperti burung, kelainan sutura dengan ubun-ubun terbuka, hipoplasia mandibula, sendi temporomandibula yang bergeser maju, palatum tinggi dan melengkung, mulut kecil, kelainan gigi multipel, tubuh pendek namun proporsional. Hipoplasia mandibula dan mikrostomia membuat intubasi menjadi sulit. Pasien dengan sindrom ini 27

memiliki gigi susu yang rapuh yang mudah patah atau lepas selama laringoskopi. Sendi temporomandibula mudah terdislokasi. Kadang-kadang sendi temporomandibula tidak ada sehingga membuat intubasi oral tidak mungkin dilakukan. Lubang hidung kecil, deviasi septum hidung, palatum tinggi dan melengkung, serta laring anterior menyulitkan intubasi nasotrakea. Pilihan untuk kasus ini adalah intubasi awake, intubasi dengan bronkoskop fiberoptik, dan intubasi retrograd. Bahkan trakeostomi terbukti sulit dilakukan pada kasus-kasus pasien ini.1 b. Mikrostomia akuisata Luka bakar. Kontraktur akibat luka bakar di leher dapat menyebabkan hiperekstensi leher dan naiknya mandibula. Kesulitan laringoskopi direk dapat disebabkan oleh adanya jaringan parut yang kaku, yang mengaburkan anatomi mandibula dan laring, atau adanya mikrostomia akibat retraksi jaringan parut pada luka bakar pada wajah. Intubasi hiberoptik merupakan salah satu pilihan untuk mengamankan jalan napas, tetapi LMA dapat juga digunakan dengan sukses. Krulen dkk menyebutkan bahwa pembebasan kontraktur dengan insisi bedah pada leher dapat membantu intubasi endotrakea pada pasien luka bakar. Juga dilaporkan komisurotomi bilateral untuk mempermudah masuknya laringoskop ke dalam mulut.1 Luka bakar akibat menelan larutan alkali. Mikrostomia akibat hal tersebut bukan hanya berupa terbatasnya buka mulut tetapi juga dengan adanya jaringan parut intra oral yang dapat menghambat laringoskop fiberoptik rigid maupun fleksibel, membuat intubasi oral dan nasal menjadi sulit atau tidak mungkin untuk dilakukan.1 2. Makrostomia Makrostomia seringkali disertai dengan celah wajah transversal, ditemukan pada 1 dari 80.000 kelahiran dan terjadi lebih banyak pada laki-laki. Pada sebagian besar kasus terjadi unilateral, tetapi dapat terjadi bilateral pada 10-20% kasus. Lebih dari 50% kasus bilateral sering ditemui tanpa tambahan kelainan telinga atau kulit. Bagaimanapun, defek10

yang

terjadi

seringkali

lebih

besar

daripada

makrostomia unilateral.

28

Tingkat keparahan celah dapat bervariasi, karena itu gejala tambahan dapat terjadi, misalnya fistel preaurikuler, mikrotia, defisiensi arkus zigomatikus, deformitas ramus mandibula, kondiler, dan celah kraniofasial lainnya. Celah dapat menjadi bagian dari sindrom tertentu dan terjadi dengan tidak adanya lingkaran orbita dan hipoplasia bulu mata pada sindrom Treacher Collins, asimetri fasial pada mikrosomia hemifasial, dan anomali vertebra pada sindrom Goldenhar.10 Makrostomia besar juga dilaporkan terjadi pada pasien dengan sindrom Tessier 7. Makrostomia seperti ini menyebabkan kesulitan dalam melakukan sungkup dan intubasi dapat menjadi tantangan tersendiri. Sungkup muka dapat disiasati dengan penggunaan sungkup muka berukuran besar yang menutupi seluruh wajah. Laringoskopi bisa jadi tidak mungkin dilakukan. Usaha berulang dapat menyebabkan edema dan perdarahan yang dapat mengakibatkan kesulitan ventilasi. Pada kasus yang dilaporkan Dasgupta D dkk11, dilakukan intubasi fiberoptik dengan guide LMA. Teknik blind sebaiknya dihindari karena terdapat risiko trauma dan perdarahan. Intubasi fiberoptik dengan guide LMA memiliki keuntungan karena LMA akan menjaga jalan napas, jalur bronkoskop, dan kontrol ventilasi sekaligus. Jika LMA tidak mengganggu pembedahan, LMA dapat ditinggalkan untuk menjaga jalan napas. Walburn dkk12 menggunakan guidewire untuk mengganti LMA dengan ETT pada kasus jalan napas sulit pada anak. Penggunaan exchanger tube (bougie elastik), stilet dewasa, dan dilator ureter juga pernah dilaporkan.11 3. Celah Bibir dan Palatum Celah bibir dan palatum merupakan kelainan kraniofasial yang paling banyak terjadi, yaitu 1 dari 800 kelahiran hidup. Secara embriologi, celah timbul akibat gagalnya fusi atau akibat rusaknya fusi antara nasal, prosesus maksila dan palatum yang membentuk struktur ini pada usia sekitar 8 minggu kehidupan intrauterin. Delapan puluh delapan persen kasus terjadi unilateral (57% di kiri dan 31% kanan), 10-25% kasus bilateral dan 50% memiliki celah palatum.13-14 Anestesia untuk pembedahan celah bibir dan palatum memiliki risiko tinggi dalam hal manajemen kesulitan jalan napas. Sebagian besar morbiditas yang terjadi justru banyak terkait dengan manajemen jalan napas, baik karena kesulitan intubasi maupun obstruksi jalan napas pasca operasi padahal penilaian derajat kesulitan intubasi sebelum operasi tidak selalu dapat dilakukan pada anak-anak yang masih kecil. Gunwardana15 melaporkan penelitiannya selama 10 tahun pada 800 pasien. Insidensi laringoskopi dan intubasi terjadi masing-masing 7,38% dan 29

8,38%. Pada penelitian Rinaldi dkk16 insidensi kesulitan intubasi pada anak yang menjalani operasi bibir sumbing adalah 6,5%. Penelitian lainnya oleh Xue dkk17 menemukan insidensi kesulitan laringoskopi dan intubasi pada bayi usia 1 bulan sampai 3 tahun masing-masing sebanyak 4,77% dan 1,93%. Pada penelitian ini didapatkan insidensi yang lebih rendah dikarenakan peneliti menggunakan suksametonium atau vekuronium selama induksi anestesia sehingga didapatkan relaksasi yang baik pada otot kepala dan leher untuk membantu visualisasi laringoskopik; semua bayi diposisikan sniffing yang optimal dengan ekstensi kepala dan meletakkan ganjalan bahu; serta penekanan laring dilakukan secara rutin untuk membantu visualisasi laringoskopik. Penelitian oleh Xue dkk17 ini menyimpulkan bahwa celah bibir dan alveolus, kombinasi celah bibir dan palatum bilateral, mikrognatia, dan usia < 6 bulan merupakan faktor risiko kesulitan laringoskopi. Kesulitan intubasi terutama terjadi pada bayi dengan visualisasi laringoskopik derajat III dan IV. Hal ini yang harus menjadi pertimbangan tersendiri saat merencanakan tindakan anestesia pada bayi dengan celah bibir dan palatum.17 Derajat kesulitan laringoskopik ini menurun seiring dengan pertambahan usia dengan tidak adanya kesulitan laringoskopi pada anak di atas usia 5 tahun. Hal ini berlawanan dengan kasus sindrom Goldenhar di mana intubasi semakin sulit seiring dengan pertambahan usia. Hampir semua kesulitan laringoskopi terjadi pada celah bilateral atau retrognatia.13-15 Selain itu kemungkinan adanya kelainan kongenital lainnya juga harus menjadi perhatian. Lebih dari 150 sindrom disebutkan terjadi bersamaan dengan celah bibir atau palatum, tetapi semuanya langka. Yang paling dikenal antara lain sindrom Pierre Robin, Treacher Collins, dan Goldenhar. Sindrom lainnya seperti Klipell-Feil dapat disertai abnormalitas vertebra servikal. Masalah jalan napas pada anak dengan celah bibir dan palatum ini telah dikenal oleh Magill sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, dan sejak itu telah dicari berbagai cara untuk menangani kesulitan jalan napas pada kasus-kasus seperti ini. Penekanan pada laring untuk memfasilitasi laringoskopi dengan bougie sebagai guide untuk intubasi trakea adalah salah satu cara yang paling sederhana dan berhasil dilakukan pada sebagian besar kasus. Intubasi trakea dibantu jari jarang digunakan, namun tidak membutuhkan peralatan khusus. Alat lainnya yang lebih canggih antara lain teknik fiberoptik yang membutuhkan alat khusus, pelatihan dan pengalaman. LMA juga direkomendasikan sebagai guide untuk intubasi fiberoptik pada anak dan berhasil digunakan pada pasien dengan sindrom Pierre Robin, Treacher Collins, dan 30

Goldenhar. Lighted stylet dan laringoskop khusus dapat digunakan namun harga alat ini relatif mahal. Teknik retrograd juga dapat digunakan pada bayi, namun angka keberhasilannya jauh lebih rendah daripada anak yang lebih besar atau dewasa. Intubasi fiberoptik awake melalui LMA dapat dilakukan pada bayi, akan tetapi sebagian besar dokter anestesi melakukan penilaian jalan napas dengan laringoskopik selama anestesia umum.13-14

31

BAB IV KESIMPULAN

Penanganan kesulitan jalan napas merupakan suatu kemampuan yang dibutuhkan oleh dokter anestesi. Hal ini tentunya merupakan tantangan tersendiri karena membutuhkan banyak pengalaman untuk dapat semakin terampil dalam melakukannya jika tiba-tiba dibutuhkan. Pada populasi pediatrik, kesulitan jalan napas juga banyak disebabkan oleh kelainan kongenital, karena itu penting untuk mengetahui jenis-jenis kelainan kongenital yang sering ditemukan sehingga dapat menjadi lebih waspada terhadap kemungkinan adanya kesulitan jalan napas. Dasar terpenting dalam mengantisipasi kemungkinan kesulitan jalan napas adalah: Alat-alat jalan napas yang sudah siap pakai sebelum pasien masuk ke ruang operasi Memiliki asisten yang terlatih, biasanya dokter anestesi lain yang juga terlatih Sudah memiliki rencana cadangan jika rencana awal gagal, bahkan hingga pilihan akhir membangunkan pasien atau melanjutkan membuka jalan napas dengan bedah Penanganan jalan napas pada pediatrik dengan deformitas wajah membutuhkan pengetahuan dan keterampilan mengenai jalan napas pediatrik yang berbeda dengan orang dewasa serta pengetahuan mengenai kemungkinan kelainan kongenital lainnya yang menyertainya sehingga dokter anestesi lebih siap dalam merencanakan penatalaksanaan anestesi secara komprehensif.

32