Top Banner
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected]) 1 Antara WC dan Merah Putih Aji memacu motornya secepat mungkin. Jarum Speedometer menunjukkan angka 80 Km/Jam. Pedal gas diputarnya maksimal. Senin pagi itu dia tidak mau telat, seperti minggu yang lalu. Sesampainya di depan gerbang sekolah, dia menghentikan motornya. “Kepada, Sang Saka Merah Putih, Hormat…, grak!!!” terdengar suara komandan upacara, memberi komando. Sialan! telat lagi, gerutunya dalam hati. Dia menghela nafas panjang. Kepalanya tertunduk lesu. Dapat dipastikan, dalam setengah jam kedepan, dirinya akan berhadapan dengan Pak Sahid (guru BK), dan itu artinya sengsara. Aji sebenarnya siswa yang cerdas. Dia tidak perlu membaca buku hingga berulang-ulang untuk memahami pelajaran. Jika besok ada ulangan, malamnya hanya belajar satu atau dua jam. Itu cukup baginya sebagai bekal untuk menyelesaikan soal ujian. Dan hasil ulangannya pun bagus. Toilet I’m in Love Page 1
196

Toilet I'm in Love

Aug 14, 2015

Download

Documents

Ahjab Iko Kae

One Stop Comedy. Ini adalah
Sebuah Novel Komedi, dari penulis Novel Best Seller KEMBANG PADI
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

1

Antara WC dan Merah Putih

Aji memacu motornya secepat mungkin. Jarum Speedometer menunjukkan

angka 80 Km/Jam. Pedal gas diputarnya maksimal. Senin pagi itu dia tidak mau

telat, seperti minggu yang lalu.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, dia menghentikan motornya.

“Kepada, Sang Saka Merah Putih, Hormat…, grak!!!” terdengar suara

komandan upacara, memberi komando.

Sialan! telat lagi, gerutunya dalam hati. Dia menghela nafas panjang.

Kepalanya tertunduk lesu. Dapat dipastikan, dalam setengah jam kedepan, dirinya

akan berhadapan dengan Pak Sahid (guru BK), dan itu artinya sengsara.

Aji sebenarnya siswa yang cerdas. Dia tidak perlu membaca buku hingga

berulang-ulang untuk memahami pelajaran. Jika besok ada ulangan, malamnya

hanya belajar satu atau dua jam. Itu cukup baginya sebagai bekal untuk

menyelesaikan soal ujian. Dan hasil ulangannya pun bagus.

“Yang penting nilai saya bagus, Bunda,” begitulah pembelaannya, saat

Bunda berkali-kali memperingatkannya untuk mengurangi kebiasaan buruknya.

Cowok cuek, yang saat ini duduk di kelas tiga SMA 2 itu, jika sudah memegang

stick Plays Station, dia akan lupa segalanya.

Itulah kenapa pagi ini dia terlambat untuk mengikuti upacara bendera.

Seremonial yang selalu diadakan setiap Senin pagi. Semalam dia berkutat dengan

PS-nya hingga larut. Hasilnya bisa ditebak: bangun kesiangan.

Setengah jam lebih, Aji menunggu di luar pagar sekolah. Akhirnya

upacara bendera pun selesai. Para siswa bubar teratur, menuju kelas masing-

masing.

“Pak!” panggil Aji.

Toilet I’m in Love Page 1

Page 2: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Satpam penjaga pintu gerbang itu keluar dari pos, menghampirinya.

“Terlambat lagi?” tanya satpam Pak Raden itu. Siswa-siswi SMA 2

memanggil dengan sebutan semacam itu, sebab kumisnya lebat, tegak berjajar

seperti sapu ijuk.

“Tolong, gerbangnya dibukakan,” Aji cengar-cengir, merasa bersalah.

Pak Raden itu menggeleng-geleng. “Kamu ini belum kapok juga, ya?

Senin yang lalu sudah disetrap. Sekarang telat lagi.”

Aji masih mematung di depan gerbang, bertengger di sebelah motornya,

menunggu dibukakan.

“Ini sudah dua kali, awas kalau sampai tiga kali,” Pak Raden memberi

ultimatum.

“Kenapa Pak? Dapat hadiah piring?”

“Ee…, kamu ini salah, malah membantah!! Ayo ikut saya menghadap Pak

Sahid,” Pak Raden naik pitam. Dia membuka gerbang, lalu menggelandang Aji

menuju ruang BK.

# # #

Pak Sahid adalah guru BK (Bimbingan dan Konseling). Dia tidak akan pernah

memberi ampun siapapun yang tidak ikut upacara bendera. Baginya upacara

bendera adalah sakral. Sebab itu, jika ada murid tidak mengikutinya, berarti dia

telah melakukan dosa besar.

Duda berumur 45 tahun, dan beranak satu itu, seolah ingin menyampaikan

pesan yang jelas kepada seluruh penghuni SMA 2, bahwa Merah Putih berbeda

dengan kain pel atau kain lap meja dapur. Untuk merebut simbol kemerdekaan itu,

diperlukan pengorbanan yang luar biasa. Banyak darah yang tumpah, dan ribuan

nyawa yang melayang.

“Kamu ini maunya apa?!” bentak Pak Sahid.

Aji menundukkan kepala. Sedikitpun tidak berani menatap guru BK itu.

Mata Pak Sahid melotot. “Jawab!!!” bentaknya sekali lagi.

“Tit… tit… tidak, Pak. Tidak mau apa-apa,” Aji tergagap.

“Terus kenapa terlambat lagi?”

Toilet I’m in Love Page 2

Page 3: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Motor saya mogok, Pak,” Aji mencoba berbohong.

“Mogok?” ujar Pak Sahid penuh selidik.

“Iya,” Aji mengangguk pelan.

Pak Sahid menggeleng-geleng. “Jika kamu berbohong, saya akan memberi

hukuman dua kali lebih berat. Kamu tidak hanya menghormat ke Bendera selama

satu jam, tapi juga membersihkan WC selama satu minggu.”

Aji gelagapan. Ditatapnya wajah guru BK itu. Wajah Pak Sahid masih

tegang, kaku, sekaku aspal. Tubuh tinggi dan kurus, dibalut kulit hitam, bukan

kesan wibawa yang timbul, melainkan menakutkan.

Para siswa juga biasa memanggilnya Pak Sangit. Itu bahasa Jawa Timur-

an, artinya hangus. Klop. Cocok dengan kulit Pak Sahid, yang hitam, mirip kulit

ubi bakar.

“Bagaimana? Masih mau membohongi saya?” lanjut Pak Sahid. “Senin

yang lalu kamu bilang bannya bocor. Sekarang mogok. Masa ada kesialan

datangnya tiap Hari Senin pagi? Mirip jadwal pelajaran saja. Terus Senin depan

kamu mau buat alasan apa lagi?”

Aji makin gelagapan, tersadar bahwa dirinya sama sekali tidak mempunyai

bakat untuk berbohong. Dia menelan ludah, membayangkan ‘bencana’ yang

sebentar lagi menimpa dirinya. “Ma… ma… maaf, Pak,” ucapnya dengan mimik

memelas, memohon pengampunan.

“Jadi kenapa kamu terlambat upacara bendera lagi?”

“Saya bangun kesiangan, Pak.”

“Hemm…” lagi, Pak Sangit menggeleng-geleng. “Jadi hukuman apa, yang

kira-kira bisa membuatmu tidak bangun kesiangan lagi?”

“Kali ini saya sungguh-sungguh minta maaf, Pak. Janji, tidak akan telat

lagi.”

“Janji?!”

“Sumpah, Pak. Samber waria kalau saya bohong. Eh, maksud saya samber

geledek,” Aji mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

“Gak lucu. Jangan bercanda!” ucap Pak Sangit dengan mata masih

melotot.

“Ii…, iii… iya, Pak. Janji.”

Toilet I’m in Love Page 3

Page 4: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Emm…, baiklah jika begitu,” urat saraf di wajah Pak Sangit mulai

mengendur. Nada suaranya merendah.

“Jadi saya, tidak jadi dihu…”

“Siapa bilang begitu?! Kamu masih tetap dihukum,” bantak Pak Sangit.

“Sekarang juga, kamu ke lapangan depan. Kamu harus menghormat bendera

selama setengah jam. Setelah itu, kamu membersihkan satu kamar WC, di bagian

gedung kelas III.”

“Waduh…, Pak. Ampun. Biarlah saya menghormat pada Merah Putih

selama setengah jam. Tapi saya tidak usah membersihkan WC ya, Pak,” Aji

merajuk. Wajahnya memelas, memohon, mirip tawanan perang hendak

dieksekusi.

“Kamu pikir saya jualan cabe, pake ditawar segala?!”

“Ini namanya tidak berperikemanusiaan, Pak,” protes Aji memberanikan

diri.

“Mana yang tidak berperikemanusiaan? Membersihkan WC atau

menghormat pada Merah Putih?”

“Dua-duanya.”

“WC itu kamu sendiri yang menggunakan, bukan saya. Dan apa susahnya

mengormat bendera selama setengah jam, dibanding dengan para pahlawan yang

berperang mengorbankan nyawa, demi bendera itu. Sudah, tidak usah membantah

lagi. Sekarang juga, laksanakan hukuman!!”

Fyuh…, lengkap sudah penderitaan ini, bisik Aji dalam hati. Cowok

dengan tinggi/berat badan 165Cm/70Kg itu, berjalan gontai menuju lapangan

depan sekolah. Perasaannya bercampur aduk: marah, benci, merasa goblok,

dongkol, dan sebagainya.

“Jangan coba-coba mencuri waktu! Saya mengawasi dari sini,” teriak Pak

Sangit.

“Beres, Bos,” jawab Aji sekenanya, tanpa menoleh.

“Apa kamu bilang, ‘Bos’?! Kamu sudah melanggar tata-tertib, masih saja

tidak sopan. Saya tambah hukumannya. Hormat bendera satu jam, dan bersihkan

dua kamar WC,” teriak Pak Sangit.

# # #

Toilet I’m in Love Page 4

Page 5: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Satu jam berlalu. Hukuman hormat bendera telah selesai. Sekarang tinggal

membersihkan WC. Kulit Aji yang aslinya berwarna sawo matang, makin gelap

saja, setelah terpanggang matahari.

Setelah minum es Setrup di kantin Mbak Mimi, Aji bergegas menuju lokal

WC, dibagian timur gedung kelas III. Dia tidak bisa berbuat curang, karena Pak

Sangit mengawasi dari kejauhan. Dia hanya bisa menggerutu dalam hati.

Sambil menutup hidung, dibukanya pintu WC. Wauw… rupanya pagi ini,

Pak Bun (tukang kebun sekolah) belum sempat membersihkannya. Air yang

menggenang di lubang WC nampak keruh kekuningan. Lantainya pun kotor oleh

sisa-sisa tanah yang menempel di sepatu.

Tidak kuat menahan nafas, Aji melepas dua jari yang menutup hidungnya.

Augghh…, aroma khas senyawa urea menyengat hidungnya. Dia batuk-batuk.

Sontak ditutupnya kembali pintu WC. Rasanya dia ingin berteriak, misuh-misuh,

atau berlari saja meninggalkan hukuman itu. Tapi mau lari kemana. Besok juga

dia harus masuk sekolah, dan ketemu Pak Sangit lagi. Tidak ada pilihan lain,

selain menyelesaikan hukuman itu. Anggap saja ‘Fear Factor,’ bisiknya dalam

hati.

Minggu yang lalu saat dia telat mengikuti upacara bendera, Pak Sangit

hanya menghukumnya dengan menghormat bendera selama setengah jam. Namun

saat ini, dia tidak menduga bahwa guru BK itu memberinya ‘bonus’

membersihkan WC.

Seumur-umur, Aji hampir tidak pernah melakukan hal itu. Bahkan

mungkin belum pernah sama sekali. Jangankan membersihkan WC, sekedar

bersih-bersih rumah saja malasnya minta ampun. Jika tidak diseret-seret atau

diteriaki Sinta- adiknya- dia tidak akan melakukan hal itu.

Pernah suatu ketika, adiknya yang manis itu menyindirnya. “Mas, kamu

ini kan nama lengkapnya Kusuma Aji?”

“Terus kenapa?” Aji balik bertanya.

“Berarti namamu bukan Aji Massaid, toh?”

“Lha iya, terus kenapa?!”

“Kok males banget, kalau bantu bersih-bersih rumah?”

“Hehehe….,” paham disindir adiknya, Aji hanya nyengir.

Toilet I’m in Love Page 5

Page 6: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Tak mau kalah, dia mengajukan pembelaan. “Begini, Adek manja putri

Bunda. Mas-mu ini paham, dirinya bukan artis, bintang sinetron, atau anggota

dewan. Mukanya juga pas-pasan.”

“Tuh… kan…, sudah paham. Bintang sinetron bukan, pejabat juga bukan,

kok malesnya minta ampun?”

“Itu karena Mas-mu ini baik hati.”

“Huh! Orang males kok baik hati?!” jawab Sinta sewot.

“Hayo coba dipikir. Jika kamu menyapu rumah ini dengan ikhlas, berarti

semua pahalanya kamu yang ngambil. Mas Aji tidak kebagian apa-apa. Artinya,

pahalamu lebih banyak dari pahala Mas. Dan nanti, kamu akan masuk surga lebih

dulu. Kurang baik bagaimana Mas-mu ini? mempersilahkan Adiknya lebih dulu

masuk surga.”

“Bukan kurang baik, tapi kurang ajar!”

Begitulah dialog yang sering terjadi pada senja hari, saat Sinta sibuk

menyapu rumah, dan Aji hanya enak-enakan berkutat dengan stick PS-nya. Dialog

semacam itu biasanya diakhiri dengan kejar-kejaran diantara mereka: Sinta

dengan membawa sapu ijuk diacung-acungkan, dan Aji yang berlari-lari kecil

ketakutan. Adegan semacam itu hanya akan berakhir saat Bunda datang melerai.

Dan sudah pasti, bunda akan berpihak pada Sinta.

Dua puluh menit sudah Aji melaksanakan hukuman itu. Sedikit lagi WC

itu akan bersih disikatnya. Disaat sedang sibuk ‘menikmati bonus’ yang diberikan

oleh Pak Sangit itu, tiba-tiba saja seorang cewek cantik masuk ke WC wanita

yang hanya berjarak dua meter dari WC yang dibersihkannya.

Mata mereka saling beradu pandang. Cewek itu tersenyum. Aji merasa ada

kesan tersembunyi di balik senyum itu. Iya benar, tidak salah lagi, dibalik senyum

manis, dari bibir merah-merekah dan menggoda itu, ada kesan geli. Bukan

senyum meledek atau mencibir, hanya senyum geli.

Saat itu, seharusnya Aji merasa malu. Karena buah dari kebandelannya,

disaksikan oleh Mawar. Siapa yang tidak kenal Mawar. Dia adalah gadis tercantik

di SMA 2. Nama lengkapnya Mawar Puteri. Berkali-kali cewek ini menjuarai

lomba Art Modelling. Berkali juga wajahnya nongol di sampul majalah remaja.

Tubuhnya tinggi, proporsional dengan berat badannya. Kulitnya putih bersih. Di

Toilet I’m in Love Page 6

Page 7: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

atas matanya yang teduh dengan pupil biru keperakan, bertengger alis lebat,

melengkung bak bulan sabit. ‘Bunga’ SMA 2 yang mempunyai wajah Indo itu,

bukan hanya menawan, tapi juga cerdas. Biografinya pernah ditulis dalam sebuah

majalah remaja: dia suka puisi, novel, dan segala hal yang berbau sastra.

Seharusnya Aji malu. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Dia sama sekali

tidak merasa malu. Cuek. Jangankan hanya gadis cover girl bermata biru, dan

berwajah Indo. Ada bidadari turun dari kahyangan sekalipun, dia tidak akan malu.

Saat ini dia berpikir bahwa tidak ada gunanya menaruh rasa yang berlebih

terhadap wanita. Merasa sok gengsi, jaim, dan sebagainya.

Dari mana dia sampai mempunyai pikiran semacam itu? Dari pengalaman

pahit. Dalam kurun waktu hampir tiga tahun ini, sudah dua kali ‘panah Cupid-

nya’ melenceng dari sasaran. Cinta pertamanya yang ditolak adalah pada gadis

bernama Lala, anak SMA Pahlawan. Dan yang kedua adalah cewek Tionghoa,

bernama Mei Ling, tetangganya. Ditolak juga. “Cukup sudah!!! Gak ‘Wo ai ni-

Wo ai ni-an. Gak pathéken,” keluhnya kala itu.

Dua kali patah hati bukanlah prestasi yang hebat. Apalagi tiga. Sebab itu,

saat ini dia cuek dengan segala rasa terhadap cewek.

Setelah beberapa menit berada dalam WC, Mawar kembali keluar. Melihat

Aji yang masih sibuk menggosok-gosok lantai dengan sikat. Kembali dia

tersenyum.

“Kenapa senyum-senyum tuan puteri? Mau bantuin?” tegur Aji tanpa

menoleh.

“Enggak deh, makasih banyak. Tukang bersih-bersih WC-nya sekarang

ganti, ya?” ledek Mawar.

“Bukan tukang bersih-bersih WC yang ganti, tapi ruang kelas saya yang

ganti. Pindah ke sini,” jawab Aji kesal.

Mawar tersenyum. Bibir merah yang sensusal itu mengembang. Senyum

semacam itu, sebenarnya sudah dapat membuat jantung laki-laki manapun deg-

deg ser. Tapi dasar Aji, sekali cuek tetap cuek.

“Oh iya, Pak. Ini WC wanita masih kotor. Sekalian disemprot dong,”

kembali Mawar meledek.

Toilet I’m in Love Page 7

Page 8: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Semprot saja sendiri,” merasa dongkol, Aji melemparkan selang dengan

air yang masih mengalir, ke arah Mawar.

“Aa…!!!” teriak Mawar. Rupanya air yang mengalir dari selang itu,

muncrat, membasahi bajunya.

Aji gelagapan. “Haduh…, maaf Neng, Non, Mbak, Tante, Suz. Gak

sengaja.”

“Gak sengaja apanya?! Jelas-jelas kamu melempar selang,” Mawar marah,

lalu ngeloyor pergi.

Semua hukuman telah dilaksanakan. Kini Aji duduk sendiri di kantin

Mbak Mimi. Tidak mungkin dia ikut pelajaran dalam kelas. Celana dan bajunya

basah oleh keringat dan air. Belum lagi bau keringat bercampur aroma khas WC.

“Es teh satu, bakso satu, Mbak,” ucap Aji.

Setelah beberapa saat menunggu, Mbak Mimi keluar meletakkan pesanan

itu di meja.

Kantin masih sepi. Para siswa mengikuti pelajaran dalam kelas masing-

masing. Aji mengangkat gelas es teh itu, lalu meminumnya hingga separoh. Tiba-

tiba saja ponselnya bergetar, sebuah sms masuk.

FROM : DODIK GENTONG

BRO’ AKU TELAT.

MUNGKIN, NANTI JAM PELAJARAN KEDUA

AKU BARU MASUK KELAS.

Fyuhh…! ini juga, hobi kok telat masuk sekolah, gumam Aji dalam hati.

Cepat-cepat Aji membalas sms itu.

TO : DODIK GENTONG

AKU JUGA TELAT MASUK.

SEKARANG LAGI DI KANTIN MBAK MIMI.

Aji memasukkan ponselnya ke dalam saku, dan kembali menikmati

baksonya.

Toilet I’m in Love Page 8

Page 9: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Setengah jam kemudian, dia terkantuk-kantuk karena kelalahan. Dia

merebahkan badannya di atas bangku kantin. Tiba-tiba saja, “GEDEBUKK!!!”

terdengar suara, seperti karung beras jatuh.

Tiga detik kemudian, “KRUWAKK!!!” disusul suara seperti sarung sobek.

Suara itu berasal dari belakang kantin. Aji bangun, bergegas kaluar kantin,

lalu menengok ke belakang. Ternyata itu adalah suara Dodik dan Lutfi, sahabat

sekelas Aji. Tubuh gendut Dodik, menimbulkan suara berdebum, saat meloncat

dan terjatuh dari atas pagar sekolah.

Hemm…, lagi-lagi jalur khusus, desah Aji dalam hati. Dengan langkah

malas, dia kembali masuk ke dalam kantin.

Jalur khusus, demikian Dodik, Lutfi, dan Aji menyebutnya.

Kedengarannya mirip jalur istimewa, bagi orang-orang istimewa. Bukan, bukan

begitu. Mereka menyebutnya begitu karena jalur itu harus meloncati pagar

sekolah, lalu jatuh tepat di belakang kantin Mbak Mimi. Jalur yang sempurna,

bagi mereka yang telat datang sekolah. Jalur ini juga aman. Bahkan Pak Sangit

yang mempunyai penciuman tajam- setajam anjing pelacak- tidak mengetahuinya.

Aman bukan berarti tanpa resiko. Sebab pagar sekolah itu, bagian atasnya

diberi kawat berduri. Meskipun pada bagian jalur khusus itu, kawatnya sedikit

dibengkokkan, namun tidak menutup kemungkinan, jika celana sobek akibat

kecantol sisa-sisa kawat berduri yang tidak sepenuhnya dibengkokkan itu.

Kini mereka sudah berada dalam kantin Mbak Mimi.

“Kolor kutang, Pak!” ucap Dodik tegas, dan berdiri tegak, tepat di depan

Aji.

“Celana kolor, Pak!” sahut Lutfi, yang juga berdiri sigap, berbaris di

sebelah Dodik.

“Hemm…, apa kalian tidak punya hobi lain, selain telat sekolah?”

“Ada, Pak,” jawab Dodik tegas.

“Apa?”

“Makan.”

“Goblok!!! itu kebutuhan, bukan hobi,” bentak Aji. “Jadi kenapa kalian

telat sekolah?!”

“Mogok, Pak. Motor saya kehabisan bensin.”

Toilet I’m in Love Page 9

Page 10: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Goblok kok dipelihara. Kalau mogok, ya dibelikan bensin.”

“Kalau saya belikan bensin, jatah makan bakso di kantin Mbak Mimi bisa

berkurang, Pak.”

“Dalam sehari berapa kali kamu makan bakso.”

“Lima kali, Pak.”

“Bagus, kamu harus jaga kondisi.”

Perut gendut Dodik bergoyang-goyang karena menahan tawa. Seragam

putihnya kotor, terlabur debu dan tanah, akibat terjatuh tadi.

“Terus kamu,” pandangan Aji beralih ke Lutfi.

“Kutang kolor, Pak. Eh…, maksud saya, siap, Pak!” jawab Lutfi tegas.

Cowok ini berkulit putih, rambutnya kribo, tinggi sekitar 150Cm, dan agak kurus.

“Kenapa celanamu, pake kamu robek segala? Kamu pikir sekarang lagi

mode, celana robek di bagian pantat?”

“Kecantol, Pak,” jawab Lutfi.

“Apa, pentol?”

“Maksud saya botol, Pak.”

“Apa kamu bilang, dodol?”

Kembali perut gendut Dodik yang mirip gentong itu bergoyang naik turun.

Setengah mati dia menahan tawa, hingga getaran tawa yang tertahan itu beralih ke

perutnya.

“Boleh tanya, Pak?” ujar Lutfi.

“Hemm…, boleh. Tanya apa?”

“Kenapa seragam Bapak basah, dan aromanya…”

“Kenapa aromanya?!” bentak Aji.

“Aromanya seperti… seperti aroma ‘begituan’.”

“’Begituan’ bagaimana maksudmu?”

“Seperti aroma éék, Pak.”

“Goblok!!! Ini bukan aroma éék, tapi parfum Chanel Number Five, fersi

WC.”

“Bruwaakakaka…!!!” tawa mereka meledak bersama.

Dan drama gila itu pun berakhir.

# # #

Toilet I’m in Love Page 10

Page 11: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Ji…, Bangun!” panggil bunda dari luar kamar.

Pagi telah merekah. Sinar merah mentari terhambur di pelataran rumah.

Kesibukan nampak sudah dimulai. Di jalanan beberapa motor dan mobil terlihat

melintas. Sementara itu, di dalam rumah, tepatnya dalam kamar Aji, nampak

masih belum ada gerak apapun. Cowok itu masih saja mlungker, masih terlena

dengan sisa-sisa mimpinya.

“Dokk…, dokk…!!! Bangun the sleeper!!!,” teriak Sinta.

“Iya…, ya…!” jawab Aji dengan suara serak.

Pelan, dia beringsut dari tempat tidur. Termangu sebentar di atas

pembaringan, lalu dengan sangat berat hati meninggalkan bantal dan gulingnya.

Dengan kesadaran yang masih belum pulih sepenuhnya, berjalan menuju kamar

mandi. Dan…“Bruwakkk!!!” kepalanya terbentur pintu. Tidak sadar jika pintu

kamar mandi tertutup dan terkunci. Ternyata Adiknya sudah ada di dalam.

“Iya…! sebentar,” jawab Sinta dari dalam kamar mandi.

“Aduh! Cepetan!”

“Gak, gak mau. Aku nyantai aja mandinya.”

“Cepetan, manja!”

“Gak mau. Salah sendiri males bangun pagi,” bantah Sinta.

“Dok… dok… dok! Ayo!” Aji mengetuk pintu kamar mandi.

“Aa…, Bunda…!!!” teriak Sinta.

Bunda yang sedari tadi sibuk di dapur, mendengar keributan kakak beradik

itu, datang menghampiri. “Haduh… haduh…! Kalian ini, ngantri mandi masih

sempat ribut,” lerainya, sambil menggenggam ulekan ditangan. “Hayo cepetan,

nanti telat sekolah lho.”

“Cepetan, jelek,” panggil Aji sekali lagi.

Jelek. Kadang Aji meledek adiknya semacam itu. Tapi Sinta sama sekali

tidak jelek. Gadis itu cantik, juga manis. Kulitnya sawo matang, sama seperti

kakaknya. Wajah bulatnya yang mirip Yuni Sarah, terbingkai oleh rambut lurus.

Belum lagi senyum rekah dari bibirnya yang mungil.

Manja. Kadang juga Aji meledek adiknya begitu. Kalau yang ini benar.

Sinta memang manja.Wajar, mereka hanya dua bersaudara, dan dia anak terakhir.

Toilet I’m in Love Page 11

Page 12: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Keributan-keributan kecil semacam itu memang sering terjadi. Namun

diluar itu semua mereka adalah keluarga yang kompak. Ayah selalu mendukung

cita-cita mereka, apapun yang mereka mau, asalkan itu baik. Beliau sangat

demokratis, meskipun bukan anggota dewan.

Tentang Bunda. Beliau adalah orang yang selalu ada, saat anak-anaknya

sedang sedih. Beliau yang selalu memberikan nasehat rasional, saat anak-anaknya

terjerat masalah cinta picisan.

Pernah suatu ketika, Sinta yang masih duduk di kelas satu SMA Pahlawan

itu, terlilit masalah romansa picisan semacam itu. Lesung pipit yang muncul dari

pipinya, saat dia menebarkan senyum Yuni Sarah-nya, menimbulkan masalah.

Buah senyum indah itu, tidak seindah yang diduga. Sebab Heri- kakak

kelasnya- kepincut setengah mati. Berawal dari sebuah perkenalan dan percakapan

ringan saat pulang sekolah. Tanpa diduga sedikitpun, tiba-tiba saja Heri bilang: “I

am fall in love with you, Sin.”

“Opo Mas? Tresno?!” jawab Sinta gelagapan. Sebab dia tidak merasakan

getaran apapun saat berada di dekat cowok itu.

Tiga malam Sinta tidak dapat tidur tenang, memikirkan peristiwa itu. Baru

lima hari mereka berkenalan, dan Heri sudah nekat mengutarakan isi hatinya.

Jawabannya sudah pasti, Sinta tidak bisa menerima uluran hati cowok itu. Namun

yang menjadi masalah adalah, bagaimana menolak secara baik, dan tidak

menyakiti perasaan.

“Katakan saja sejujurnya, Sayang,” nasehat Bunda waktu itu, sembari

mengelus rambutnya. “Kalau memang kamu tidak bisa menyambut cintanya, mau

gimana lagi? Yang penting menyampaikannya harus sopan.”

Akhirnya, dengan tidak berat hati, dan rasa takut yang tertahan, Sinta

menampik ulura cinta Heri.

Tapi ceritanya belum selesai sampai di situ.

“Aku tidak akan menyerah, Sin. Jika kau menolak cintaku, suatu saat aku

akan memotong urat nadiku di depanmu,” begitu ucap Heri, setelah mendengar

penolakan Sinta.

Toilet I’m in Love Page 12

Page 13: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Segalanya bertambah ruwet. Cewek mana yang tidak ngeri, menghadapi

‘Samurai Cinta’ yang gila macam itu. Yang akan melakukan Harakiri atau

Harakanan dengan memotong nadinya jika cintanya ditolak.

Sinta sedih, begitu juga Bunda. Hingga akhirnya, Aji mengetahui

permasalahan picisan itu.

“Baiklah, ini masalah laki-laki,” ucapnya sambil bergegas pergi ke SMA

Pahlawan, ditemani Lutfi dan Dodik.

Aji menghadang Heri saat pulang sekolah.

“Kamu ini waria muka tembok, atau pria sejati!!!” hardik Aji saat itu.

“Kamu ini siapa?” Heri kebingungan.

“Kakak Sinta!”

“O…, aku jatuh cinta dengan Adikmu, bukan denganmu. Jadi ini bukan

urusanmu.”

“Ternyata benar dugaannku: kamu ini banci muka tembok. Pria sejati tidak

akan berbuat begitu saat ditolak cintanya.”

“BAKK!!! BUKK!!! BEKK!!! BOKK!!!” duel goblok antara dua

Samurai tak berpedang itu, tidak dapat dihindari.

Muka Aji bonyok, begitu juga Heri. Tidak ada yang menang atau kalah.

Namun cara itu ampuh. Sebab setelah itu, Heri sama sekali tidak berani mendekati

Sinta.

“Kamu tahu Ji, bedanya kerbau dengan manusia?” nasehat Bunda kala itu,

saat menyaksikan wajah puteranya jontor di sana-sini.

Aji tertawa culun, merasa tersindir.

“Kerbau itu Ji,” Bunda melanjutkan, “menyelesaikan masalah dengan otot:

dipakai bajak disawah, menarik pedati, dan sebagainya. Sedangkan manusia

menyelesaikan masalah dengan pikirannya. Ngerti bedanya?”

Lagi-lagi Aji hanya nyengir.

Kembali pada keributan kecil di depan kamar mandi pagi itu. Dengan

adanya Bunda sebagai penengah, keributan antara Aji dan Sinta berakhir. Mereka

sudah rapi, dengan mengenakan seragam masing–masing, duduk berkumpul

melingkari meja makan, menikmati sarapan.

# # #

Toilet I’m in Love Page 13

Page 14: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Lima belas menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Di dalam kelas IIIA, murid-

murid asyik dengan aktifitasnya masing-masing: sebagian ada yang bersenda

gurau, sebagian lagi ngerumpi.

Sementara itu Dodik dipusingkan dengan PR-nya yang belum selesai.

“Angga, aku mau pinjam, cepetan!” ujarnya.

Berbeda dengan Aji, Lutfi, dan Dodik yang cenderung sableng, Angga

adalah anak yang rajin. Cowok berkacamata dan berkulti cokelat itu pandai dalam

semua mata pelajaran, terutama pelajaran eksakta: Matematika, Fisika, dan Kimia.

Sebab itu, dialah yang dijadikan rujukan sahabat-sahabatnya.

“Haduh, ada PR Matematika, ya?” ucap Lutfi yang baru saja datang.

Tanpa banyak bicara, cowok kribo itu langsung mengeluarkan buku. “Minggir!

Bagi tempat duduknya, Gentong,” Dodik menggeser pantatnya, yang setara

dengan tiga orang itu.

Tentang PR Matematika, tidak akan ada yang berani untuk tidak

mengerjakan. Sebab Pak Bonar- guru Matematika- bukanlah guru sembarangan.

Guru berdarah Batak itu, mempunyai bentuk wajah kotak, dengan tekstur yang

tidak rata. Semacam ada bekas lubang-lubang kecil di kulit mukanya. Ditambah

lagi dengan deretan jerawat yang sebesar jempol tangan. Itulah kenapa murid-

murid memberinya julukan penjahat sinetron. Dia tidak akan memberi ampun

terhadap murid bandel, yang tidak mengerjakan PR.

Kurang lima menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Dodik dan Lutfi masih

tergopoh-gopoh mencontek PR Angga. Masih kurang satu nomer lagi.

“Gentong, ada makanan apa itu. Serius sekali?” sapa Aji yang baru saja

datang. Dilihatnya Dodik dan Lutfi sibuk mengerumuni sesuatu

“Nih, makan!” Dodik melempar buku PR-nya yang baru selesai ia tulis.

Sekilas Aji menatap buku PR Dodik yang terjatuh di atas meja, tepat di

depannya. Matanya terbelalak. “Celaka seratus tiga belas, ada tugas Matematika,

ya?!”

Kini kurang tiga menit lagi bel akan berbunyi. Pelajaran Matematika jam

pertama. Sontak Aji mengeluarkan buku tugas Matematikanya. Dengan tergesa

dia menyalin PR yang tertulis di buku Dodik.

Toilet I’m in Love Page 14

Page 15: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Bel masuk berbunyi, satu menit setelah itu Pak Bonar masuk ke kelas.

“Selamat pagi anak-anak,” sapanya.

“Selamat pagi, Pak.”

Kelas yang riuh, sontak menjadi sunyi, sesunyi kuburan.

“Ada PR?” tanya Pak Bonar.

Tidak satupun murid yang menjawab.

“Hemm…, jika kau diam, itu artinya ada PR. Baiklah, kumpulkan!”

perintah guru berwajah penjahat sinetron itu.

Serempak para siswa mengeluarkan buku tugas Matematikanya, lalu

mengumpulkannya di depan.

Untung tak bisa diraih, malang mungkin bisa ditolak. Aji masih belum

selesai menyalin semua PR itu. Kurang dua nomer. Tapi tidak apalah, dari pada

tidak mengerjakan sama sekali. Aji pun mengumpulkan PR-nya.

“Saya akan periksa nama-nama buku tugas ini. Bagi yang tidak

mengerjakan, kau sudah tahu hukumannya,” ucap Pak Bonar sinis, dengan logat

Batak yang kental.

Seluruh siswa SMA 2 tahu hukuman favorit Pak Bonar, jika ada murid

yang tidak mengerjakan PR. Yaitu berdiri satu kaki di luar kelas, sambil

mengangkat kursi di kepala, dan membaca puisi keras-keras hingga jam pelajaran

usai.

Beberapa menit Pak Bonar memeriksa buku-buku tugas itu. Hingga

sampailah dia memeriksa buku Aji. Dilihatnya PR itu tidak dikerjakan seluruhnya.

Dari sepuluh nomer, hanya delapan nomer yang dikerjakan. “Aji!” panggilnya.

“Iya, Pak,” jawab Aji. Dia maju kedepan kelas, ke meja guru.

“Kenapa yang dua nomer tidak kau dikerjakan?” tanya Pak Bonar, dengan

mimik menyeramkan.

“Emm…., aemm….,” selama beberapa detik, Aji hanya ber-aem-aem

sambil mengaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

“Kau pilih hukuman, atau kau kerjakan yang dua nomer ini di papan tulis,”

Pak Bonar memberikan pilihan.

“Saya kerjakan di papan saja saja, Pak,” sahut Aji.

Toilet I’m in Love Page 15

Page 16: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Hanya dalam waktu tiga menit, Aji mengerjakan dua nomer itu. Dan

pekerjaannya benar.

“Hem…, bagus. Kau boleh duduk,” ucap Pak Bonar.

Aji kembali duduk. Wajahnya sumringah, merasa lolos dari ‘bencana’.

Duah puluh menit sudah berlalu. Pak Bonar selesai memeriksa seluruh

buku tugas Matematika itu. “Baiklah, untuk memastikan apakah kalian

mengerjakan PR ini dengan pikiran sendiri atau hanya sekedar mencontek.

Sekarang saya akan pilih secara acak, untuk maju kedepan. Mengerjakan soal PR

ini tanpa melihat jawaban di buku tugas.”

“Haduh!” ucap Dodik keceplosan.

“Kenapa haduh?!! Siapa tadi yang bilang haduh?” mata Pak Bonar melotot

seperti topenk Bali. Pandangannya disapukan keseluruh kelas. Ditatapnya satu

persatu wajah di depannya. Semuanya menunduk. Suasana hening, sangat hening.

Pak Bonar mengambil buku absensi, lalu membukanya. “Hemm…,

baiklah. Aku mulai dari kau yang punya nama Rina. Kerjakan soal nomor tiga.”

Rina maju, mengambil kertas soal dari tangan Pak Bonar, lalu

mengerjakannya di papan tulis. Hanya butuh waktu dua menit untuk

menyelesaikannya.

“Bagus,” puji Pak Bonar.

Rina kembali duduk.

“Sekarang giliran kau, yang punya nama Angga. Kerjakan soal nomor

lima,” panggil Pak Bonar.

Angga pun maju mengerjakannya. Satu menit selesai.

“Pintar,” sanjung Pak Bonar.

Angga kembali duduk.

“Berikutnya, kau yang punya nama Lutfi. Kerjakan nomor satu.”

Deg!!! Jantung Lutfi rasanya ingin copot. Mampuslah diriku, bisik Lutfi

dalam hati. Dengan langkah gontai, dan hati ketar-ketir, dia menuju depan kelas.

Diambilnya kertas soal dari tangan Pak Bonar, lalu beranjak ke depan papan tulis.

Dalam tiga puluh detik, dia hanya terpaku. Pandangannya bertukar antara papan

tulis dan kertas soal.

Toilet I’m in Love Page 16

Page 17: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Emm…, no…, no…, nomor satu ya, Pak,” ucapnya terbata. Jantungnya

berdegub kencang bak genderang perang.

“Ah! kau ini,” jawab Pak Bonar kesal, “memang kau taruh dimana kau

punya telinga, ha?!”

“Iy… iy… ya, Pak. Maaf.”

Tiga menit sudah berlalu. Tak satu pun angka yang dituliskan Lutfi di

papan.

“Ah!!! Payah kau!!!” bentak Pak Bonar. “Sudah, terserah kau saja.

Kerjakan nomor barapa saja yang kau suka.”

Lutfi mengangguk berat.

Lima menit berlalu. Masih belum ada satu goresan pun yang dibuatnya di

papan.

“PR-mu tadi nyontek, ya?!!” bentak Pak Bonar.

“Iy…, iy…, iy….,” Lutfi tergagap.

“Nyontek siapa?” bentak Pak Bonar lagi, sebelum Lutfi menuntaskan

kalimatnya.

Lutfi diam terpaku. Lututnya terasa hendak copot. Keringat dingin

membasahi telapak tangan dan kakinya.

“Kalau kau tak mau bilang, hukumanmu akan lebih berat. Kau akan

berdiri satu kaki di luar kelas, dengan kursi di atas kepala, dan membaca puisi

keras-keras, selama satu bulan. Setiap jam pelajaran Matematika.”

Pada awalnya Lutfi tidak ingin mengaku. Atas nama setia kawan, dia ingin

melindungi Angga. Tapi dengan ancaman hukuman semacam itu, masa bodoh

dengan setia kawan.

“Siapa!!!” bentakan Pak Bonar, membubarkan lamunan Lutfi.

“A… Ang…. ga, Pak,” jawab Lutfi terbata.

“Yang jelas!”

“Angga, Pak.”

Angga yang duduk di kursi belakang langsung terkulai lemas.

“Angga, maju!” panggil Pak Bonar.

Dengan langkah lesu, cowok berkacamata itu maju.

“Kau pikir, kau sudah hebat, ha?!”

Toilet I’m in Love Page 17

Page 18: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Ma… maaf, Pak. Saya hanya menolong teman,” Angga membela diri.

“Menolong muka kau itu. Kau itu tidak menolong, malah membuat

sahabat kau jadi tambah goblok,” bantah Pak Bonar. “Siapa lagi yang kau kasih

contekan?”

Angga menunduk, tidak menjawab.

“Kalau kau tak mau bilang, akan kutambah hukuman kau, sepuluh kali

lipat.”

Angga menelan ludah, membayangkan betapa sengsara dirinya jika

memang Pak Bonar serius. Dan guru bertampang penjahat sinetron itu memang

tidak pernah main-main dengan ucapannya.

“Bilang! Siapa?!!”

“Dodik dan Aji, Pak.”

Lengkap sudah. Empat sekawan itu: Lutfi, Angga, Dodik, dan Aji,

berbaris di depan kelas. Mereka siap menanti hukuman, seperti tawanan perang

yang menunggu dieksekusi.

Untuk beberapa saat, Pak Bonar menulis puisi liris pada empat lembar

kertas. Selanjutnya dibagikan kepada para ‘pesakitan’ yang siap dijatuhi hukuman

itu.

“Baiklah, seperti tadi yang sudah aku katakan,” Pak Bonar memberi

instruksi, “kau ambil kursi kalian masing-masing. Angkat kursi itu di atas kepala,

sambil berdiri dengan satu kaki di depan kelas. Satu lagi, baca keras-keras puisi

yang tadi kubagikan.”

Maka, keempat ‘pesakitan’ itu berbaris di depan kelas. Melaksanakan

semua instruksi hukuman yang telah diberikan. Bersamaan, mereka membaca

puisi keras-keras:

Kau beri aku sampahKu rangkai bunga

Kau lempar lumpurAku bersyukur

Kau tumpahkan makiKu jadikan puisi

Jalan kau tabur duri

Toilet I’m in Love Page 18

Page 19: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Aku menariBunga sampahmuSampah bungaku

Pak Bonar memang guru yang aneh, juga luar biasa. Sebab meskipun guru

Matematika, dengan tampang penjahat sinetron, tapi dia suka puisi. Ternyata di

balik wajah yang sangar mirip topeng Bali, tersimpan hati kupu-kupu.

# # #

Jam istirahat pertama. Kantin Mbak Mimi mulai ramai.

“Baksonya tambah lagi, Mbak,” ucap Dodik. Si Gentong ini mempunyai

selera makan yang luar biasa.

“Jadi bagaimana, nanti sore kita jadi ngeband?” tanya Angga.

“Hem…, terserah Lutfi saja deh,” jawab Aji sembari mengangkat gelas

esnya.

“Gimana, Lut?” pandangan Angga beralih ke Lutfi.

“Hem…, terfelaah Zzodzik zazja,” jawab Lutfi dengan mulut penuh tahu

goreng.

“Jadi ngeband, Dod?” tambah Aji.

“Eh…, eh…, ada apa?” tanya Dodik dengan wajah culun. Si Gentong itu

sedari tadi konsentrasi dengan baksonya, jadi tidak menyimak percakapan

sahabatnya.

“Ada gempa,” Aji memukul lengannya.

Ditengah asyik berbincang ringan, di antara riuh rendah para pembeli,

tiba-tiba Dina dan Lisa muncul. Mereka juga sahabat akrab Aji, Dodik, Lutfi, dan

Angga.

“Hai!” sapa Lisa sembil memukul punggung Dodik.

Diluar dugaan, Dodik yang sedang memasukkan pentol ke mulutnya,

akibat pukulan di punggungnya, pentol itu masuk begitu saja dan tersangkut di

tenggorokannya.

Toilet I’m in Love Page 19

Page 20: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Haup!!! Haup!!!” mata dodik melotot. Nafasnya megap-megap, persis

ikan mas koki dalam akuarium yang kehabisan oksigen.

“Nine one-one! Nine one-one! Nine one-one!” teriak Lisa. Dia panik,

tidak tahu apa yang harus dilakukan. Cewek tomboy itu hanya berlari-lari kecil,

mondar-mandir kebingungan, keluar-masuk kantin.

Sementara Dina diam terpaku. Cewek berhati peka itu hanya menangis

ketakutan.

Suasana kantin jadi geger. Seluruh pembeli seperti tersihir. Mereka panik,

tidak tahu harus berbuat apa, untuk memberikan pertolongan.

“Air!!! Air!!! Air!!!” teriak Lutfi.

“Jangan! Jangan diberi air! Pukul saja tengkuknya!” perintah Mbak Mimi.

Dengan sigap, Aji mendekati Dodik, menegakkan punggungnya,

dan…”Bukk!!! Buk!!! Bukk!!!”, dia memukul punggung Dodik dengan keras.

Pentol yang tersangkut di tenggorokannya, meloncat keluar melalui mulutnya.

Ketegangan itu berakhir. Keadaan kritis sudah berlalu. Nyawa Dodik yang

berada di ujung tanduk berhasil diselamatkan. Si Gentong itu menarik nafas lega.

Plong, rasanya. Wajahnya masih merah, tubuhnya lemas. Dia meminum esnya,

lalu menenangkan diri.

“Haduh, maaf ya, Dod,” Lisa merajuk. Cewek dengan potongan rambut

model pria itu merasa bersalah.

“Fyuh…,” Dodik mendesah lemas.

“Makanya, kalau makan bakso minta dikunyahin dulu sama Mbak Mimi,

biar tidak tersedak,” ledek Aji.

“Dimaafin ya, Dod?!” lagi Lisa merajuk.

“Ada syaratnya.”

“Apa?”

“Cium pipiku.”

“Huu…!” Lisa mendorong pipi Dodik.

“Ya sudah, kalau tidak mau. Baksoku di bayarin saja.”

“Iya deh, aku traktir,” Lisa nyengir. Kesalahan yang tidak disengaja itu,

dibayarnya seharga bakso dua mangkuk.

“Ada apa sih, datang-datang bikin heboh?” tanya Lutfi.

Toilet I’m in Love Page 20

Page 21: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Lisa mengeluarkan selebaran dari sakunya. “Nih lihat! Brosur festival

Band.”

Serempak: Lutfi, Aji, dan Angga mengerumuni lembaran pamflet itu.

Kecuali Dodik, dia termangu-mangu menghela nafas. Masih sok.

“Ikut yuk!” ajak Angga.

“Ikut saja. Hadiahnya lumayan lho. Nanti kalau menang, kalian makan-

makan di rumahku. Aku akan masak yang enak,” Dina memberi semangat.

“Apa? Makan enak?” sahut Dodik yang sedari tadi hanya termangu. Tiba-

tiba saja jadi bersemangat. Spontan matanya berbinar. Lupa terhadap apa yang

baru saja menimpanya. “Iya! Iya! Kita harus ikut,” ujarnya bersemangat.

Dina memang tidak bisa bermain musik, seperti sahabat-sahabatnya.

Namun cewek dengan rambut dikepang kuda ini jago masak. Seperti halnya tahun

lalu, waktu sahabat-sahabatnya tidak menjuarai festival musik. Cewek itu tetap

membuatkan masakan yang enak.

Berbeda dengan Lisa. Cewek itu tomboy. Rambutnya pendek model pria.

Gaya jalannya juga mirip pria. Ngomongnya ceplas-ceplos. Jangankan masak,

berdandan saja tidak bisa.

“Jadi gimana? Ikut?” Angga menegaskan.

Aji dan Lutfi mengangguk.

“Haduh! Pendaftarannya terakhir besok,” ucap Lutfi kaget, sembari

menatap pamflet itu. “Kapan kita daftar?”

“Pulang sekolah saja,” jawab Aji.

“Tenang, band kita sudah aku daftarkan,” sahut Lisa.

Enam orang bersahabat ini memang sering ngeband. Permainan musik

mereka lumayan. Cukup layak jika ikut festival musik, meskipun belum pernah

menang.

Toilet I’m in Love Page 21

Page 22: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

2

Hukuman Membawa Berkah

Malam minggu. Susana Matahari Shoping center riuh. Stan-stan baju, celana,

kaos, pakain dalam, dan sebagainya, dipenuhi pengunjung. Diantara deretan

manusia yang sedang asyik memilih itu, tampak Aji dan Sinta. Kakak beradik itu

juga ikut memilih kaos yang tergantung berjajar.

“Ini bagus,” ucap Sinta. Dia menunjukkan kaos berwarna merah muda

pada kakaknya.

“Lagi jatuh cinta?” tanya Aji cuek.

“Huu…! Apa hubungannya?!” Sinta sewot.

“Lha, iya toh? Merah itu cinta?”

“Kayak film saja, Merah itu Cinta.”

“Lha, terus apa?”

“Merah itu macem-macem. Merah tua itu artinya emosional. Merah hangat

itu energik atau sehat. Nah, kalau ini,” Sinta menyodorkan kaos merah muda itu,

“artinya tenang.”

“Wah…, kamu kok tahu semuanya, Sin,” Aji mengeleng-geleng.

“Makanya baca buku, jangan main PS saja.”

“Hehe…, ya sudah. Lulus sekolah kamu jadi tukang foto aura saja,” ledek

Aji.

“Ya sudah. Lulus sekolah kamu buka rental PS saja,” balas Sinta.

“Sin, lihat! Bagus ya?” Aji menunjukkan kaos putih dengan garis-garis

melintang berwarna merah.

Tawa Sinta meledak. Lesung pipit muncul dari wajah mirip Yuni Sarah

itu. “Mau jadi Pak Sakerah?!” ledeknya.

Toilet I’m in Love Page 22

Page 23: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Abooo…, dorema be’en Bing. Ojo ngenyik sampiyan,” ucap Aji dengan

Bahasa Madura asal-asalan.

Aji mencoba kaos itu. Pas. Mirip pendekar Carok dari pulau garam.

Kembali Sinta terkekeh-kekeh.

“Aku ambil ini saja, Sin.”

“Serius?!”

“Sejuta rius.”

Sinta mengambil kaos warna merah muda, sedangkan Aji mengambil kaos

loreng-loreng merah itu. Kemudian mereka membayar di kasir.

“Lapar, Mas. Cari makan yuk!” ajak Sinta setelah membayar di kasir.

“Oke. Sekarang giliran kamu yang traktir, ya?!”

“Lho?! Minggu kemarian kan aku yang traktir,” Sinta mlongo.

“Iya, sekarang giliran kamu lagi yang traktir,” Aji cengar-cengir.

“Aa…! Gak! Gak! Gak!” rengek Sinta.

“Adek manja…,” rayu Aji, “nanti tanggal muda, kalau Mas sudah ‘gajian’

dari Bunda. Mas akan traktir kamu dua kali lipat.”

Begitulah rayuan andalan Aji, jika ingin ditraktir adiknya. Padahal setiap

kali tanggal muda- saat menerima jatah uang dari Bunda- dia tidak pernah

menepati janjinya.

“Janji?!!” kata Sinta.

“Suer deh, biar disamber waria kalau bohong,” Aji mengacungkan jarinya,

membentuk huruf V.

“Awas kalau bohong lagi! Ya sudah, ayo makan,” luluh juga hati Sinta.

“Teng kyu, rentenir.”

“Biarin.”

Mereka berdua bergegas menuju ekskalator. Naik ke lantai lima, sebab

stan-stan fast food berada di sana.

# # #

Toilet I’m in Love Page 23

Page 24: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Masih di Matahari Shoping center, tepatnya di lantai lima. Kursi-kursi stan fast

food ramai oleh pengungjung.

Sementara itu, di sebuah stan café, tampak Mawar. Gadis cantik berwajah

Indo itu, duduk pada salah satu kursi. Tidak sendirian, di depannya ada seorang

cowok. Ia adalah Bobi.

Bobi adalah pacar mawar. Dia juga anak SMA 2, dan sekelas dengannya.

Tampangnya ganteng. Tinggi dan berkulit putih. Cowok yang selalu tampil

perlente itu juga anak orang kaya.

“Silakan dinikmati pesanannya,” ucap seorang pelayan yang baru saja

datang membawa pesanan.

“Ayo, diminum!” ucap Bobi.

Mawar menggapai gelas jus tomat, lalu sedotan jingga itu ditempelkan

pada bibirnya yang merah merekah. “Ramai, ya?” ucapnya membuka percakapan.

Bobi tidak menjawab, tatapan matanya masih terpaku pada wajah Indo

yang ada di depannya itu.

“Lihat apa?” serga Mawar.

“Ah, enggak. Ah, iya, rame,” Bobi blingsatan.

“Jadi ikut festival musik, minggu depan?”

“Kalau kamu lihat, aku pasti ikut.”

“Lho, kok begitu? Kalau aku gak lihat?”

“Ya, kamu harus lihat.”

“Kalau aku ada urusan?”

“Pokoknya kamu harus lihat.”

“Kok maksa?”

“Untuk apa aku ikut festival, jika kamu gak lihat aksiku.”

Mawar menggigit kentang goreng yang tadi dipesannya. Deretan gigi

putihya, terlihat berjajar rapi.

“Kok sekarang jarang latihan band?” tanya Mawar.

“Lagi males. Main bola saja seru,” jawab Bobi acuh.

“Lho, kalau jarang latihan, mana bisa bagus main band-nya? Nanti kalau

ikut festival bisa memalukan.”

Toilet I’m in Love Page 24

Page 25: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Terkadang Mawar merasa jenuh dengan Bobi. Cowok itu sungguh keras

kepala dan semaunya sendiri. Namun untuk melepasnya, rasanya masih berat.

Bukan karena dia cewek matre, atau karena ingin ngetop sebab jadi pacar cowok

ganteng dan kaya. Apa yang kurang dari Mawar? Dia cewek tercantik di SMA 2.

Wajahnya berkali-kali nongol di majalah remaja. Dia juga anak orang kaya.

Ketenaran dia miliki. Uang juga berlebih. Jika dia masih merasa berat untuk

melepas Bobi, itu karena masalah lain.

Tiga bulan yang lalu, Bobi adalah siswa baru di SMA 2. Kebetulan dirinya

ditempatkan di kelas IIIE. Disitulah dia kenal Mawar. Gadis dengan senyum

seteduh rembulan itu, sungguh mempesonanya. Singkat cerita Bobi tergila-gila

pada Mawar. Berkali-kali dia mengajukan cintanya. Namun berkali-kali juga

Mawar menolak. Hingga pada suatu hari, saat jam istirahat, Bobi mengeluarkan

kaleng Baygon. “Mawar, akan kubuktikan bahwa cintaku padamu tidak main-

main,” ucapnya.

“Bob, apa yang kamu lakukan?” Mawar gelagapan kala itu.

Tanpa banyak cingcong lagi, Bobi membuka kaleng Baygon, lalu

menenggak isinya.

Mawar berteriak histeris. Seluruh kelas IIIE jadi geger. Tubuh Bobi

terkapar dengan mulut berbusa-busa. Beberapa murid pria bergegas menggotong

tubuh Bobi ke klinik sekolah. Dia diberi pertolongan pertama, lalu dilarikan ke

rumah sakit.

Jika dalam kisah Romeo dan Juliet, Romeo-nya mati. Maka dalam roman

picisan antara Bobi dan Mawar, nyawa Bobi berhasil di selamatkan. Beruntunglah

dia, karena pada masa kini banyak rumah sakit.

Cowok ganteng, sombong, dengan penyakit ego bengkak itu, ternyata bisa

gendeng juga jika urusan cinta. Semangat Bobi yang pantang menyerah itulah,

yang membuat Mawar lambat-laun luluh hatinya.

Kembali ke meja Bobi dan Mawar, yang sedang berkencan.

Mawar mulai tidak dapat menyembunyikan kejenuhannya, akibat sikap

Bobi yang keras kepala dan acuh.

”Kamu kenapa?” tanya Bobi sinis.

Toilet I’m in Love Page 25

Page 26: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Gak kenapa-kenapa,” jawab Mawar cuek.

“Kamu ini maunya apa sih?!” sergah Bobi setengah berteriak. Emosinya

mulai terpancing.

“Kamu yang maunya apa?!!” teriak Mawar.

Seluruh pengunjung café menoleh ke arah mereka.

Merasa menjadi pusat perhatian, mereka terdiam. Sambil menahan emosi

masing-masing.

Tiba-tiba datang seorang pria. Wajahnya sudah tidak asing lagi. Pria itu

adalah Aji. Dengan santai, cowok itu menyalami Bobi dan Mawar yang sedang

bersitegang. Sinta mengikuti dari belakang.

“Em…, permisi,” sapa Aji berlagak sopan.

Mawar hanya diam tidak mempedulikan.

“Kamu anak IIIA, kan?!” tanya Bobi sinis.

“Yup. Kamu anak IIIE, kan?!” jawab Aji acuh.

Siapa yang tidak kenal Bobi. Seluruh anak SMA 2 mengenalnya. Cowok

kaya, ganteng, dan pacar Mawar. Aji pura-pura tidak kenal, sebab Bobi bersikap

tidak sopan.

“Ada apa?” tanya Bobi dengan mimik tidak bersahabat.

“Emm…, sebenarnya keperluanku bukan denganmu, tapi dengan

pacarmu.”

“Apa?” mata Bobi melotot.

“Tenang-tenang. Jangan salah paham. Aku cuma mau minta maaf.”

“Ada apa ini?”

Aji menceritakan peristiwa di WC sekolah beberapa hari yang lalu. Bahwa

dirinya dengan tidak sengaja membasahi baju Mawar.

“Tidak sengaja bagaimana? Jelas-jelas kamu melempar selang itu dengan

sengaja!” bentak Bobi. Pada situasi semacam itu, dia merasa harus jadi pahlawan.

Sinta menarik pergelangan tangan Aji dari belakang. “Mas, sudah. Ayo

pergi saja. Jangan bikin malu,” ucapnya.

Aji menepis tangan adiknya. “Sssstt. Ini urusan, Mas. Biar aku selesaikan

dulu.”

Toilet I’m in Love Page 26

Page 27: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Mawar yang sedari tadi hanya diam, bangkit dari kursinya. “Sudah,

anggap saja kamu dimaafkan. Pergilah!” ucapnya.

“Waduh, memberi maaf kok terpaksa begitu,” Aji mlongo, merasa niat

baiknya tidak disambut dengan tulus. “Yang ikhlas dong.”

“Kurang ajar!!” bentak Bobi. “Kamu ini benar-benar tidak tahu diri.”

Keributan di salah satu meja café itu menarik perhatian. Seluruh mata

pengunjung tertuju pada mereka.

“Aku kan sudah minta maaf, goblok!!” Aji balas memaki. Emosinya sudah

membuncah. Siapa yang tidak marah, jika niat baiknya diacuhkan. Bukan hanya

diacuhkan, malah dimaki-maki.

Dan, peristiwa selanjutnya adalah…

”Duakkk!!!” Aji melemparkan gelas jus Mawar ke muka Bobi.

Tak mau kalah, Bobi meloncat menerjang sambil memukul muka Aji.

Mereka berdua bergumul di lantai.

Mawar hanya menangis, tidak berani melerai. Sedangkan Sinta, dia hanya

berdiri mematung, ketakutan.

Begitu juga pengunjung café, mereka hanya diam menyaksikan. Jarang-

jarang ada pertunjukkan gulat life show semacam itu. Namun akhirnya tontonan

itu tidak berlangsung lama, sebab security segera datang melerai.

# # #

“Ji, aku ini kok jadi bingung sama kamu,” Ayah membuka percakapan.

Mereka duduk berkumpul di ruang tengah: Ayah, Bunda, Aji, dan Sinta.

Telivisi dibiarkan menyala. Tapi pandangan mereka tidak tertuju ke acara

sinetron, sebab ada tontonan yang lebih menarik: muka Aji yang lebam di sana-

sini.

“Bingung apanya, Yah?” Aji mengelus-elus bibirnya yang jontor.

“Kamu ini ingin jadi pemain bola, atau jadi pegulat?”

“Sudah ah, males. Aku mau tidur, capek,” tepis Aji. Dia bangkit dari

duduknya, hendak beranjak ke kamar tidur, tapi....

Toilet I’m in Love Page 27

Page 28: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Ee…, tunggu dulu. Ayah belum selesai ngomong. Ini kan malam minggu,

malam panjang katanya,” cegah Ayah.

Dengan menahan kesal, Aji kembali duduk. Ayah memang sabar,

demokratis, kadang juga homuris. Tapi jangan coba-coba untuk tidak

mempedulikan nasehatnya. Sebab beliau bisa berubah menjadi sangat tegas.

“Jawab dulu pertanyaan Ayah!”

“Gak pingin dua-duanya. Jadi satrawan saja,” jawab Aji asal-asalan.

Sinta yang duduk di sebeleh Bunda, memerotkan bibirnya, meledek.

Aji melotot ke arah adiknya, mengancam sambil mengepalkan tangan.

Bunda menggeleng-geleng. Sementara Sinta hanya meringis tak peduli.

“Wah, bagus itu. Tapi setahu Ayah, sastrawan itu suka damai. Sepanjang

sejarah, belum ada sastrawan yang suka perang. Coba baca kisah-kisah penulis

besar: Albert Camus, Boris Pasternak, Leo Tolstoy, Rabindranath Tagore, Pablo

Neruda, dan seterusnya. Kecuali sastrawan gadungan.”

“Tidak suka perang, tapi suka main wanita. Apa bedanya?!” bantah Aji.

“Huss!! Gak sopan,” sahut Bunda, yang sedari tadi hanya diam

mendengarkan.

“Bukan gak sopan Bunda, tapi kenyataannya memang begitu.”

Bunda melotot ke arah Aji, merasa nasehatnya dibantah.

“Siapa yang suka main wanita?” tanya Ayah.

“Itu, yang terakhir Ayah sebut.”

“Pablo Neruda?”

“Nah, tepat. Pablo Neruda itu Yah, di kota mana pun dia singgah, di dalam

maupun di luar negeri, pertama kali yang dicarinya adalah wanita. Maksud Aji

adalah wanita penghibur.”

“Aji!! Jangan ngawur!” bentak Bunda.

“Ayah mau dengar cerita tentang Ernest Heningway? Dia malah lebih

parah.”

Ayah hanya terpaku. Baru tahu, rupanya wawasan anaknya sampai sejauh

itu. “Ah! Kamu jangan menuduh orang sembarangan,” ucapnya.

“Ini kenyataan, Yah.”

“Kamu baca dari mana?”

Toilet I’m in Love Page 28

Page 29: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Internet, mereka sendiri yang menulis dibuku hariannya.”

Aji memang jarang membaca buku. Jangankan buku sastra, buku

pelajaranpun jarang disentuhnya. Jika dia sampai tahu informasi semacam itu,

mungkin secara tidak sengaja diperolehnya waktu browsing di internet.

Ayah manggut-manggut. “Kalau benci dengan sastrawan, terus kenapa

pingin jadi sastrawan?”

“Gak jadi, gak jadi pingin jadi sastrawan.”

“Hemm…, kamu ini. Terus mau jadi apa? Jadi sastrawan plus?

“Plus?!” Aji melotot.

“Plus tukang pukul maksudnya. Habis baca puisi, terus tawuran. Begitu?”

Aji hanya terkekeh, tidak menjawab. Pelipisnya terasa linu, akibat lebam,

bibirnya yang jontor juga terasa nyeri.

“Sudah ya, Aji capek pingin tidur,” Aji memohon.

“Jangan, gak boleh tidur! Sidangnya belum selesai,” ledek Sinta.

Aji bangkit dari duduknya, namun lagi-lagi langkahnya ditahan. Kali ini

giliran Bunda.

“Eiit! Mau kemana? Bunda belum ngomong.”

“Aduh…, apa lagi sih Bunda?” Aji meratap. “Iya…, iya…. Aji sudah tahu

perbedaan manusia dengan kerbau.”

“Bukan, bukan itu. Bunda cuma mau bilang: sebagai hukuman karena

kamu berantem, Bunda tidak akan memberi uang jajan selama satu minggu. Dan

kalau masih berantem lagi, kamu tidak akan mendapat uang jajan selama satu

bulan.”

“Hehehe…, puasa deh, lu!” ujar Sinta.

“Haduh…, jangan dong, Bunda. Please…, jangan diembargo ekonomi ya?

Hiks,” Aji merengek.

“Sudah. Keputusan sidang tidak dapat diganggu gugat.”

Sinta hanya cengingisan. Merasa menang atas kesialan yang dialami

kakaknya. Cewek manis dengan senyum Yuni Sarah itu beranjak ke kamarnya.

“Bye…, selamat berpuasa,” ucapnya.

Ayah meraih remote, lalu memindah-mindah chanel televisi.

Toilet I’m in Love Page 29

Page 30: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Sementara Aji masih saja memohon pada Bunda, agar ‘embargo ekonomi’

yang dikenakan pada dirinya dicabut. “Haduh… Bunda… tega nian,” rengeknya.

“Salah kamu sendiri,” jawab Bunda tidak menghiraukan, tatapannya

tertuju pada televisi yang ada di depanya.

“Aduh Bunda…., itu kan bukan salah Aji. Bobi yang memulai. Orang

semacam itu harus dikasih pelajaran.”

“Kamu ini!” Bentak Bunda, “Sudah berapa kali aku kasih nasehat. Kamu

tahu gak sih, bedanya manusia dengan sapi? Bedanya manusia sama kambing?

Bla… bla… bla…”

Haduh!!! Bunda mulai lagi deh, ratap Aji dalam hati.

Begitulah, jika Bunda sudah membandingkan antara manusia dengan

binatang, maka nasehatnya akan jadi panjang. Sebab seluruh hewan yang ada

dalam kebun binatang, akan dibandingkan dengan manusia.

Malam minggu itu, sungguh menjadi malam yang sial bagi Aji.

# # #

Di dalam kamar, Aji mematikan lampu, lalu mencoba memejamkan mata. Tapi

rasanya sulit. Kebodohan yang dia perbuat beberapa jam yang lalu, melintas

berulang-ulang di pikirannya. Mirip trailer adegan film action: mulai dari

gayanya yang sok jantan meminta maaf, dan seterusnya.

“Ah!! Persetan!” umpat Aji dalam kegelapan kamar. Dia menarik selimut

hingga menutupi seluruh badannya, lalu mencoba lagi untuk tidur. Tapi lagi-lagi

potongan-potongan adegan itu berlanjut, melintas di pikirannya.

“Fyuh!” Aji menyibakkan selimutnya, bangkit dari tidur, lalu menyalakan

lampu. Dia duduk di depan cermin, memandangi wajahnya yang memar di sana-

sini.

Bagus-bagus... Tindakanmu sudah benar, bayangan dari dalam cermin itu

seolah berbicara padanya. Melakukan sedikit duel, untuk membuktikan bahwa

kamu layak disebut laki-laki, adalah tindakan yang tepat.

Toilet I’m in Love Page 30

Page 31: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Kamu ini tahu gak, bedanya manusia dengan monyet?!” ucap Aji

menirukan nasehat Bunda.

Ah! Memangnya kamu ini tahu apa perbedaan antara manusia dengan

monyet?! sahut bayangan itu. Hanya lima persen dari komposisi gennya yang

berbeda. Dan itu yang membuat kamu disebut manusia, atau monyet.

“Lima persen, tapi sangat membedakan tingkah laku mereka kan?”

Ah, siapa bilang?! Lima persen itu terbukti tidak banyak membedakan

mereka. Monyet serakah, manusia juga serakah. Monyet egois, manusia juga

egois. Monyet mencuri, manusia juga ‘mencuri’. Monyet suka tawuran, kamu

juga suka berantem. Lebih banyak persamaan di antara mereka.

“Ahh…! Ngawur…! Ngawur…! Ngawur…!” Aji melempar cermin itu

dengan bantal, lalu berpaling. Dia menyalakan komputer, mengambil stick PS,

mencoba melupakan segalanya dengan melarutkan diri dalam game bolanya.

# # #

Bel masuk sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Jam pertama adalah

pelajaran Bahasa Indonesia. Namun Bu Tatik- guru Bahasa Indonesia- belum juga

masuk.

“Aha, jam kosong!” seru Dodik.

Kelas IIIA yang semula tenang, berubah menjadi riuh. Cewek–cewek

kembali ngerumpi. Begitu juga dengan para cowok, ada yang bergosip atau

sekedar bercerita apa saja.

Sementara itu, Aji hanya diam di bangkunya. Lutfi, Dodik, dan Angga

masih penasaran dengan wajah Aji yang seperti di make up. Kembali mereka

menginterogasi.

“Ah, yang bener. Masa jatuh dari motor sampai biru-coklat begitu?” tanya

Lutfi.

“Aku ralat, memang bukan jatuh dari motor,” jawab Aji.

“Nah…, begitu. Yang jujur sama sohib,” sahut Angga.

“Jadi kenapa?” tanya Dodik.

Toilet I’m in Love Page 31

Page 32: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Habis dicium waria,” jawab Aji.

“Plok!!” Lutfi menampar pelan wajah Aji, karena pertanyaannya tidak

ditanggapi dengan serius.

“Augh!!! Augh!!! Augh!!!” Aji berteriak-teriak kesakitan. Tamparan Lutfi

mendarat di pipinya, dan tepat pada bagian yang lebam.

Dodik, Angga, dan Lutfi tertawa terbahak-bahak.

“Makanya, ditanya serius, jawabnya juga yang serius,” ucap Lutfi.

“Hiya…, hiya…, ampun, ” Aji mengangguk-angguk.

“Jadi kenapa?” lanjut Angga.

“Disengat lebah,” Aji menutupi wajahnya dengan tas. Takut ditampar lagi.

“Huu…!” Angga memukul lengan Aji.

“Laper nih. Ke kantin, yuk,” ajak Dodik.

“Hemm…, dasar gentong. Ke kantin saja sendiri,” sahut Aji.

Tanpa mengulang ajakannya untuk kedua kali, Dodik langsung bangkit

dari duduknya. Dia berlari kecil, melintasi gang di antara deretan meja. Perutnya

yang mirip gentong air itu berayun-ayun. Saat itu pikirannya sudah berada di

dalam mangkuk bakso Mbak Mimi. Tanpa disadari, dia hampir saja menabrak Pak

Sangit. Guru BK itu tiba-tiba saja muncul di gawang pintu kelas.

Pak Sangit terjingkat. Mengelus dada sambil menghela nafas.

Seisi kelas menahan tawa. Sebab siapa yang berani menertawakan ‘tukang

eksekusi’ murid itu, resikonya adalah berdiri di depan kelas, sambil tertawa

seperti orang gila.

“Mau kemana?” tanya Pak Sangit.

“Maa…ma.. uu.. ke..ke.. bel.. lakang, Pak,” jawab Dodik tergeragap. Dia

kaget, sebab tiba-tiba saja orang itu muncul di hadapannya.

Kelas yang riuh, sontak menjadi tenang. Para murid kembali duduk di

kursi masing-masing.

Sementara Dodik harus pura-pura ke WC selama beberapa menit, lalu

kembali lagi masuk ke kelas. Dari pada ketahuan hendak ke kantin. Dan itu

artinya harus menerima hukuman membersihkan WC.

Toilet I’m in Love Page 32

Page 33: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Pak Sangit berdiri di depan kelas. Kesan angker yang timbul dari sosok

tubuhnya, ditambah lagi dengan reputasinya selama menjadi guru BK, membuat

tak satupun murid berani bersuara. Suasana kelas hening, sehening kuburan.

“Kalau jam kosong digunakan untuk belajar. Jangan bercanda sendiri.

Jangan ngerumpi,” nasehatnya.

“Kalian ini sudah kelas tiga,” Pak Sangit melanjutkan. “Sebentar lagi

Ujian nasional, jadi porsi untuk belajar harus ditambah.”

Pak Sangit beranjak dari tempatnya berdiri, lalu duduk di kursi guru.

“Belajarlah yang rajin. Gunakan waktu sebaik-baiknya. Kelas tiga SMA adalah

saat yang paling menentukan, ke arah mana nanti kalain akan melanjutkan

langkah. Saya katakan sekali lagi, jangan menyia-nyiakan waktu. Sebab waktu

tidak bisa terulang barang sedetik pun. Penyesalan itu datangnya selalu

belakangan.”

Di kursi belakang, Aji hanya menundukkan kepala. Sedikit pun tidak

berani untuk menatap Pak Sangit. Takut jika wajahnya yang memar ketahuan.

“Sebagai guru BK,” Pak Sangit melanjutkan nasehatnya, “adalah

kewajiban saya untuk memotifasi kalian, memberi nasehat, masukan, dan

untuk…”

Untuk menjemur kalian di lapangan sekolah, untuk menghukum

membersihkan WC, bantah Aji dalam hati.

“…untuk mendisiplinkan kalian. Jika kalian bandel,” lanjut Pak Sangit.

Entah kenapa, tiba-tiba saja Aji mendongak. Matanya beradu pandang

dengan Pak Sangit. Dia terkejut. Namun berusaha menyembunyikan

kekhawatirannya.

Pak Sangit menghentikan pembicaraannya. Dengan penasaran dia

melangkah ke bangku belakang, mendekati Aji. Ditatapnya wajah Aji dengan

keheranan. Kini pandangan seluruh kelas tertuju ke Aji yang hanya diam

membatu.

“Habis berantem?” tanya Pak Sangit penuh selidik.

“Oh…eh… enggak, Pak. Enggak,” Aji berusaha untuk tetap tenang.

“Terus kenapa?”

“Malam minggu kemarin kecelakaan, Pak.”

Toilet I’m in Love Page 33

Page 34: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Hemm…, di mana?”

“Di jalan raya, Pak.”

Pak Sangit terdiam sesaat. Begitu juga Aji. Kelas masih sunyi.

“Lain kali, kalau naik motor hati-hati,” ucap Pak Sangit.

“Iya, Pak.”

Pak Sangit kembali beranjak ke depan.

Alhamdulillah…! Selamat…selamat…, bisik Aji dalam hati.

# # #

Bel pulang sekolah berbunyi. Murid kelas satu dan kelas dua berhambur keluar

kelas. Mereka bergegas menuju parkir sepeda. Sebagian lagi langsung menyerbu

gerbang depan untuk pulang. Sementara itu, murid kelas tiga hanya berdiam di

kelas. Sebagian lagi ada yang ke kantin untuk makan siang, atau sekedar jajan.

Mulai hari itu akan ada tambahan jam les, untuk persiapan Ujian nasional. Dan les

itu diberikan setelah jam pelajaran sekolah usai.

Kantin Mbak Mimi siang itu tidak begitu ramai. Hanya ada sekitar sepuluh

atau tiga belas murid kelas tiga yang sedang jajan. Beberapa di antara mereka

adalah Aji, Dodik, Angga, Lutfi, Lisa, dan Dina.

“Awas lho, ya! Jangan main pukul lagi.” Dodik memasukkan pentol

bakso ke dalam mulutnya.

Lisa yang duduk di sebelah Dodik hanya terkekeh.

“Ini pesenannya,” Mbak Mimi meletakkan beberapa gelas es teh.

“Sudah ada ide? Kita bawakan lagu apa, untuk festival nanti?” tanya Lisa

sambil memotong pentol bakso dalam mangkoknya.

“Terserah Angga saja deh,” jawab Aji sambil menyendok nasi pecelnya.

“Terserah Lutfi saja deh,” sahut Angga sambil mengangkat gelas esnya.

“Terserah Dodik saja deh,” tambah Lutfi. “Ya, gak, Dod?!”

“Ha…ho…, kenapa?” tanya Dodik dengan wajah culun dan mulut penuh

pentol bakso. Seperti biasa, jika sudah ada mangkok bakso di depannya, tidak ada

satu pun yang dapat mengalihkan perhatiannya.

Toilet I’m in Love Page 34

Page 35: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Ada tsunami!” bentak Lutfi.

“Dimana?”

“Di mukamu!!” Lutfi mengepalkan tangan, berpura-pura memukul

punggung Dodik. Dan tiba-tiba…

“Broosss!!!” Dodik menyemburkan pentol yang memenuhi mulutnya. Dia

takut peristiwa beberapa hari yang lalu terulang lagi.

“Aaaa!!! Aaaa!!! Auwww!!!” Lisa berteriak-teriak. Semburan Dodik tepat

mengenai mukanya, juga seragam putihnya. Wajahnya dipenuhi dengan pecahan-

pecahan pentol yang belum seluruhnya terkunyah. Bajunya dipenuhi dengan

bercak-bercak merah caos, kotoran muntahan makanan. “Hiks…, hiks…, hiks…,”

dia menangis.

“Kamu ini bagaimana sih, Dod?!” Dina membela Lisa.

“Haduh…, maaf Lis. Maaf, tidak kelihatan,” rengek Dodik.

“Orang segede ini tidak kalihatan? Bagaimana sih kamu?!”

Dodik panik. Begitu juga Angga, Aji, dan Lutfi.

“Hayo cepet, bawa ke kamar mandi! Cuci mukanya !” perintah Aji.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Dodik mengalihkan perhatiannya dari

mangkuk bakso yang belum habis dia makan. Dia menuntun Lisa ke kamar mandi

dan mencuci mukanya.

Kini wajah Lisa sudah dibasuh dengan air. Baju seragamnya yang kotor

diganti dengan kaos. Namun matanya masih terasa peri.

“Haduh…, maaf ya, Lis,” Dodik merajuk.

“Gak,” Lisa marah.

“Ampun, Sayang. Beribu-ribu ampun. Tadi tidak sengaja.”

“Males,” jawab Lisa acuh.

“Ini kan gara-gara Lutfi. Kalau sampai tersedak dua kali, aku bisa dapat

hadiah piring.”

Lutfi hanya tertawa cekikikan. Begitu juga Aji dan Angga.

Lisa yang sedari tadi marah jadi ikut tersenyum.

“Naah…, gitu dong senyum. Berarti aku sudah dimaafkan?” rajuk Dodik.

“Gak, tetap gak,” Lisa menahan tawa.

“Lho, kok tadi ikut senyum?”

Toilet I’m in Love Page 35

Page 36: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Memangnya orang marah gak boleh senyum?!”

Keributan kecil itu tiba-tiba terhenti. Sebab seluruh perhatian mereka

berpindah pada seorang siswi cantik berwajah Indo, yang baru saja masuk kantin.

Mawar melenggang dengan digandeng cowok ganteng berbadan tinggi.

Wajah cowok itu lebam di sana-sini. Dia adalah Bobi. Dan muka lebam itu hasil

duelnya dengan Aji, malam minggu yang lalu.

Aji duduk tenang sambil menenggak sisa es tehnya. Dipandangnya

pasangan yang sok harmonis ala artis itu. Tatapannya bertukar antara Mawar dan

Bobi.

Sontak Mawar terkejut, tidak menyangka akan bertemu dengan Aji di

kantin Mbak Mimi. Dia jadi canggung. Namun berusaha untuk tetap tenang.

Dua sejoli itu membeli beberapa roti, dan dua teh botol. Tatapan Aji masih

tajam, namun tenang. Sesekali Bobi balas melirik dengan sinis.

Setelah membungkus beberapa roti dan teh botol, pasangan itu bergegas

meninggalkan kantin.

Rupanya sedari tadi Angga dan Lutfi melihat kejanggalan itu. Muka Aji

lebam, muka Bobi juga. Pasti itu bukan kebetulan.

“Aha…, aku tahu sekarang,” ucap Lutfi.

“Tahu apa?” Aji pura-pura tidak mengerti.

“Kamu habis berantem dengan Bobi, ya?” tanya Angga tanpa basa-basi.

“Ada masalah apa antara kamu dengan Bobi? Kok gak ngajak-ngajak

kalau tawuran?!” tambah Lutfi.

“Hem…, hanya waria yang suka tawuran. Laki-laki sejati harus duel,”

jawab Aji tanpa ekspresi.

“Jadi benar?!” kejar Lutfi.

“Benar apanya?”

“Kamu habis berantem dengan Bobi.”

“Memangnya aku tadi bilang apa?”

“Memangnya kamu tadi bilang apa?” Lutfi balas bertanya.

“Waria.”

“Plok!” Lutfi menampar pelan wajah Aji.

“Auww!!! Auww!!!! Auww!!!” Aji meraung-raung kesakitan.

Toilet I’m in Love Page 36

Page 37: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Sementara Angga, Lutfi, Lisa, Dina, dan Dodik hanya terkekeh-kekeh.

“Makanya kalau ditanya serius, jawabnya yang serius,” ucap Angga.

“Haduh…! Hiks! Sialan kalain,” umpat Aji sambil mengelus-elus pipinya

yang lebam.

###

Dua minggu sudah berlalu, semenjak peristiwa duel antara Aji dengan Bobi.

Malam minggu, suasana Gelanggang Olah Raga sangat ramai. Festival

musik pelajar se-Jawa dan Bali, berlangsung semenjak siang tadi. Di luar gedung,

terpampang spanduk-spanduk besar bertuliskan: “MUSIC FESTIVAL 2009.”

Penonton datang berduyun dan berjubel, mengantri masuk. Tampang mereka

aneh-aneh: ada yang model rambutnya berdiri ke atas, mirip penangkal petir. Ada

yang miring ke samping seperti tanduk sapi, dan sebagainya.

Sementara itu di dalam gedung, penonton berdesakan.

“Baiklah…, peserta yang ke tujuh belas, kita sambut ‘Yellow Band’ dari

Bojonegoro…!” suara MC menggema, memandu acara festival malam itu.

Penonton bersorak, bergemuruh. Yellow Band beranggotakan empat orang

cowok. Tampang mereka sangar. Berambut gondrong. Tangan penuh tato. Cuping

hidung dan telinga diberi anting. Mereka juga mengenakan celana jeans ketat.

Suasana hening sejenak. Para penonton siap menanti. Melihat dari

penampilannya, lagu mereka pastilah lagu cadas, dengan bit cepat dan

menghentak.

Vokalisnya meraih mikrofon. Anggota yang lain siap dengan alat musik

yang mereka pegang masing-masing.

Dan, yang terjadi berikutnya adalah…

“Oh Sephia… Malam ini kutakkan datang…Mencoba tuk berpaling sayang….Dari cintamu….

Toilet I’m in Love Page 37

Page 38: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Tampang sangar vokalis itu tiba-tiba berubah menjadi melankolis. Mirip

artis dangdut Ida Laila, saat membawakan lagu sedih.

Untuk beberapa detik penonton hanya melongo. Seperti tidak percaya

dengan apa yang disaksikannya. Mereka merasa dikhianati dengan penampilan

sangar itu.

“Turun!!!” teriak salah seorang penonton, yang potongan rambutnya mirip

penangkal petir.

“Turun!!! Turun!!!” teriak yang lain. Mereka terprofokasi.

“Bubar!!! Turun!!! Buyar!!!” penonton makin gaduh.

“….Selamat tidur kekasih gelapku….,” vokalis itu terus saja

menyanyi. Tak peduli dengan protes penonton.

Merasa protesnya tidak digubris, penonton semakin beringas. Dan tiba-tiba

saja…

“Duakkk!!!” sebuah botol minuman melayang, menghantam kepala

vokalis itu.

Cukup sudah. Mumpung belum sebongkah batu yang melayang

menghantam kepalanya, vokalis itu melempar mikrofon lalu berlari turun

panggung, begitu juga dengan anggota band yang lain.

“Tenang saudara-saudara! Tenang!” MC itu mencoba menenangkan

penonton yang gaduh. “Jangan buat keributan. Saya harap anda menghargai

hiburan gratis ini.”

Perlahan penonton mulai tenang.

“Untuk peserta berikutnya,” MC itu melanjutkan acara, “kita sambut

Perlente Band.”

Kembali penonton bersorak riuh.

Beberapa saat kemudian, tampak Bobi naik panggung dengan diikuti

keempat anggota bandnya. Perlente Band, membawakan lagu Laskar Cinta-nya

Dewa. Lumayan, penonton tidak ribut lagi.

Tujuh menit kemudian, penampilan Perlente band usai. Bobi dan teman-

temannya turun panggung.

“Baiklah,” ucap MC menyambung acara, “selanjutnya adalah peserta yang

ke sembilan belas. Kita sambut… Sableng Band.”

Toilet I’m in Love Page 38

Page 39: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Lagi penonton bersorak riuh.

Beberapa detik kemudian, tampak lima orang bergantian naik ke pentas.

Mereka adalah Aji, Dodik, Lutfi, Angga, dan Lisa.

Dodik mengenakan kaos hitam, dengan celana kain kedodoran. Lutfi dan

Angga juga mengenakan kaos hitam dengan celana jeans botol. Sedangkan Lisa

berdandan tomboy, mirip cowok jika dilihat dari bawah panggung. Berbeda

dengan sahabat-sahabatnya, Aji berdandan paling nyentrik. Dia mengenakan kaos

lurik-lurik merah, dengan celana kain komprang. Mirip Bruddin.

Sorak riuh penonton, tiba-tiba berubah menjadi suara tawa cekikikan di

sana-sini.

“Abooo… dorema, Ojo ngenyik sampiyan!!,” teriak Aji melalui mikrofon,

yang berikutnya disambut dengan tawa serempak dari penonton.

“Mohon perhatiannya sebentar,” suara Lisa menenangkan, “Kami dari

Sableng Band. Sebelumnya akan saya perkenalkan: pada drum adalah Dodik

Gentong, pada key board Lutfi, pada gitar rythem Angga, pada gitar melodi Aji,

dan vokal adalah saya, Lisa.”

Kembali penonton bersorak.

“Baiklah,” lanjut Lisa, “Kami akan membawakan sebuah lagu dari Jewel.”

Listen dearI need you to hear.I cannot disappearI've tried again and again and again.

Suara Lisa memang tidak semerdu Jewel, tapi salah jika dikatakan tidak

enak. Sebab seluruh penonton benar-benar terbius dengan lagu itu.

…..And if you will, I willTry to let it goAnd if you try, I'll try

Beberapa saat kemudian, sebagaian penonton menyalakan korek api dan

mengacungkannya ke atas, sebagai tanda dukungan atau salut.

This is do or die

Toilet I’m in Love Page 39

Page 40: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

And I will stay in love'Til you say enoughThere is no giving inThere is no giving up in loveIn love, in loveWe're in love…..

Lagu itu pas dengan vokal Lisa. Seluruh penonton menikmatinya. Bahkan

dengan potongan rambut mirip penangkal petir itu pun ikut bersorak, saat lagu

berjudul Again and Again itu selesai dinyanyikan.

Selesai membawakan lagu itu, Lisa, Aji, Lutfi, Angga, dan Dodik kembali

turun panggung. Bersama dengan Dina yang sedari tadi menunggu di bawah,

mereka beranjak keluar dari kerumunan penonton. Lalu berkumpul pada sisi lain

panggung, dan tidak jauh dari kerumunan penonton yang sedang melonjak-lonjak

itu.

“Toss!!” seru Aji setengah berteriak, sebab suara riuh penonton.

“Toss!” sahut Lutfi, Angga, Lisa, dan Dodik sembari mengacungkan botol

minum yang tadi dibawakan Dina.

“Wah…, tadi penampilan kalian bagus. Hebat,” ucap Dina.

“Siiip, mudah-mudahan masuk nominasi,” tambah Lutfi..

“Siapa dulu dong vokalisnya?! Jewel” ucap Dina bercanda.

“Jewel-an bakso, apa Jewel-an soto?” ledek Lutfi.

“Jualan maksudnya?” Angga pura-pura tidak paham.

Merasa diledek, Lisa memukul perut Lutfi. Lalu tawa mereka meledak

bersama.

“Jewel apanya?!! Jewel pingin bersin?!!” maki Bobi, yang tiba-tiba

muncul di hadapan mereka. Dia tidak sendirian, ada empat orang yang mengikuti

di belakangnya.

Sontak saja, Lutfi, Angga, Dodik, Lisa, dan Dina terkejut. Pikiran mereka

sama: apa urusan Bobi, hingga tiba-tiba datang memaki seperti itu? Ditambah lagi

dengan empat orang yang mengikuti di belakangnya. Jelas mereka bukan murid

SMA 2. Sebab wajah mereka sangat asing. Tidak ada yang mengenal keempat

orang itu. Bahkan potongan mereka lebih mirip preman, dengan rambut gondrong

dan bertato.

Toilet I’m in Love Page 40

Page 41: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Sementara itu Aji sudah paham dengan gelagat Bobi. Cowok itu pasti

ingin melanjutkan duel tempo hari yang tertunda. Hanya saja dia tidak menduga,

ternyata Bobi masih menaruh dendam.

“Saat ini aku akan menghajarmu!!” bentak Bobi. “Tidak akan ada lagi

satpam yang akan melerai.”

“Silahkan saja banci. Kalau kamu memang pria tulen, kenapa mesti

mengajak preman segala?” sahut Aji.

“Agar aku puas menghajarmu!!”

Lutfi, Angga, Dodik, Lisa, dan Dina baru tersadar, rupanya lebam-lebam

di muka Aji dua minggu lalu, adalah akibat perkelahiannya dengan Bobi. Hanya

saja ada permasalahan apa di antara mereka, belum ada yang tahu.

Kini emosi Lutfi mulai menanjak. Dia memang paling pendek di antara

sahabatnya. Namun jangan salah, dialah yang paling nekad.

Aji jadi teringat ancaman Bunda: ‘embargo ekonomi’ selama satu bulan.

Bagaimanapun dia harus menghindari keributan ini, atau puasa jajan selama satu

bulan.

“Jangan! Tidak perlu ada keributan. Tentang tempo hari, anggap saja aku

yang salah. Aku minta maaf,” Aji menenangkan.

Lisa dan Dina terdiam ketakutan. Sementara Dodik dan Angga sudah

bersiap-siap. Lutfi sedari tadi menahan amarah, rasanya ingin segera menyerbu

saja, namun Aji menghalanginya. “Jangan Lut! Jangan ikut-ikut. Ini urusanku.”

“Biarkan aku mencopot kepala orang sombong ini!” Lutfi berontak,

namun Aji tetap menahannya.

“Maafkan aku,” Aji menenangkan kembali.

“Oh…, jadi cuma segitu nyalimu?! Pengecut!! Pecundang!! Looser!!!”

maki Bobi tiada henti.

Dan tiba-tiba saja…

“Pruwakkk!!!” Lutfi menghantamkan botol minuman yang sedari tadi

dipegangnya ke kepala Bobi.

“Aoowww!!! Aoww!!!” Bobi berteriak, melolong kesakitan.

Toilet I’m in Love Page 41

Page 42: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Keributan itu benar-benar tidak dapat dihindari. Keempat preman sewaan

Bobi itu menyerbu. Dodik dan Angga tidak tinggal diam. Mereka maju,

membantu Aji dan Lutfi yang lebih dulu berkelahi.

Sementara Dina dan Lisa menjauh. Mereka hanya berteriak-teriak

ketakutan.

Sungguh di luar dugaan. Perkelahian itu, memancing keributan yang lebih

besar. Penonton yang sedari tadi hanya melonjak-lonjak sambil bernyanyi,

menjadi ikut ribut. Mungkin karena udara pengap dan panas. Jadi sedikit saja

terjadi singgungan, emosi mereka terpancing.

Konser itupun rusuh. Sesama penonton saling melempar botol minuman

atau benda-benda lain. Saling memukul, menginjak, dan menendang.

# # #

SURABAYA- HARIAN RAKYATKerusuhan yang terjadi saat diadakannya festival musik se-Jawa Bali,menelan 19 korban luka.

Lagi, dan lagi. Selalu saja moment pertunjukkan musik di negeri

ini diwarnai dengan kerusuhan. Rasanya tidak lengkap jika tidak ada

keributan. Begitulah yang terjadi saat diadakannya festival musik

pelajar se-Jawa-Bali, pada hari Sabtu (13/1) kemarin. Festival musik itu

dimualai semenjak siang, dan berakhir dengan kerusuhan pada malam

harinya.

Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 23.30, saat festival itu hendak

usai. Tidak jelas, apa yang memicu terjadinya kerusuhan tersebut.

Namun menurut keterangan dari pihak keamanan, kerusuhan itu

berawal dari beberapa penonton yang saling senggol, saat sedang

meloncat-loncat mengikuti irama lagu. Sedangkan beberapa

narasumber lain mengatakan bahwa kerusuhan itu dipicu oleh

perkelahian sekelompok orang.

Toilet I’m in Love Page 42

Page 43: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Banyak kerusakan yang ditimbulkan akibat peristiwa itu.

Perlengkapan sound system dirusak oleh penonton yang sedang

mengamuk. Beberapa dekorasi panggung juga.

Bukan hanya panitia yang menanggung kerugian akibat

peristiwa itu, para pedagang yang berjualan di sekitar gedung

Gelanggang Olah Raga juga ikut merasakannya. Sebab kerusuhan

yang berawal dari dalam gedung itu, berlanjut ke luar, saat festival itu

bubar. Mirip seporter bola yang mengamuk, para penonton yang

beringas itu menendang rombong pedagang bakso, soto, pentol, dan

pedagang-pedagang lain yang berjualan di sekitar gedung.

# # #

Hari Senin di sekolah, tepatnya di ruangan kepala sekolah, sedang

berlangsung ‘sidang’ yang menegangkan. Saat itu juga harus diputuskan, tindakan

apa yang harus diambil. Harus diputuskan, siapa yang benar dan siapa yang salah.

“Kalian sungguh di luar batas!!” bentak Pak Sangit. “Apa mau kalian?!!”

Aji, Angga, Lutfi, dan Dodik hanya terdiam menunduk. Begitu juga

dengan Bobi.

“Apa kalian ini mau jadi preman?!!”

“Baiklah. Sekarang, saya ingin mendengar pengakuan kalian,” Bapak

kepala sekolah yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. “Ada masalah apa di

antara kalian? Hingga kalian membuat keributan semacam itu, di acara festival

musik. Saya tidak mau salah mengambil keputusan. Jika memang tindakan kalian

pantas disebut pidana, maka saya akan menyerahkan kalain kepada Bapak polisi,

yang ada di depan kalain ini. Tentunya dengan didampingi orang tua kalain.”

Ternyata pihak panitia penyelenggara festival, menyerahkan sepenuhnya

masalah keributan itu kepada kepolisian. Hingga akhirnya tim penyidik dari

kepolisian, datang ke SMA 2.

Toilet I’m in Love Page 43

Page 44: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Dodik, Lutfi, dan Angga saling tatap. Mereka sama sekali tidak menduga

akan terlibat masalah serius. Dan ironisnya, mereka tidak tahu, apa yang menjadi

penyebab masalah itu.

“Emm…,” suara Aji bersamaan dengan Bobi. Mereka hendak memulai

penjelasan, namun kembali diam.

“Apa?!!” bentak Bapak kepala sekolah. “Kalian jangan mempermainkan

saya! Kalian sudah membuat malu nama sekolah ini. Kalian mau saya keluarkan

dari sini?!”

“Enggak, Pak. Enggak. Ja… ja… jangan,” jawab Dodik tergagap.

“Baiklah, jika begitu mulai dari kamu. Jelaskan ada masalah apa

sebenarnya?”

Dodik kebingungan, tidak paham permasalahannya. Dia juga ketakutan,

rasanya ingin kencing di celana.

Suasana menjadi hening sejenak.

“Ayo bicara! Jangan diam saja!!!” bentak Pak Sangit.

“Saa…saa…saya tidak tahu, Pak,” Dodik tergagap.

“Tidak tahu bagaimana?” tanya Bapak kepala sekolah.

“Mereka memang tidak tahu, Pak,” Aji angkat bicara. “Sayalah yang

memulai semuanya.”

“Hemm…, begitu,” sahut Bapak kepala sekolah. “Coba ceritakan

kejadiannya! Jangan coba-coba membohongi saya. ”

Maka Aji menceritakan kronologis kejadiannya; Mulai dari dia melempar

selang ke arah Mawar. Keributan di Matahahari Shoping center, yang dipicu oleh

keinginannya meminta maaf dibalas dengan makian. Hingga keributan di festival

kemarin, yang dipicu Bobi.

“Hemm…, jadi begitu permasalahannya,” Bapak kepala sekolah

mengangguk-angguk.

“Benar begitu?” tanya Bapak kepala sekolah pada Bobi, yang kepalanya

masih dibalut perban.

“Iya, Pak,” Bobi mengangguk. “Tapi itu kan karena saya membela

Mawar.”

“Bukankah Aji sudah meminta maaf,” bantah Kepala sekolah.

Toilet I’m in Love Page 44

Page 45: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Bobi kembali terdiam, begitu juga yang lain.

“Maaf, Pak. Boleh saya bicara pada Bobi?” ucap salah satu polisi

berseragam kepada Bapak Kepala sekolah.

“Silahkan, Pak.”

“Siapa empat orang yang kamu ajak dalam keributan itu?” tanya polisi.

“Emm… Saa.. sa… saya membayar orang, Pak,” Bobi tergagap.

Polisi itu mengangguk-angguk. “Begini, Pak,” ucapnya pada Bapak kepala

sekolah, “Saya memang tidak bisa mempersalahkan mereka atas kerusuhan yang

terjadi di festival musik kemarin. Sebab bisa saja kerusuhan itu bukan mereka

yang memicu, melainkan persinggungan di antara penonton. Namun tindakan

yang dilakukan Bobi adalah pidana. Dengan sengaja dia membayar preman untuk

melakukan penganiayaan pada orang lain.”

“Hemm… iya… iya…” Bapak kepala sekolah mengangguk-angguk.

“Tindakannya itu diluar kenakalan remaja sewajarnya. Jadi masalah ini

akan kami proses di kantor polisi.”

Bobi tersentak ketakutan. “Maaf, Pak. Maafkan saya. Saya tidak akan

mengulanginya lagi,” rengeknya.

Bapak kepala sekolah menghela nafas panjang. Dia berpikir keras. “Dia

adalah anak didik kami,” ucapnya pada polisi itu, “bagaimana jika kami sendiri

yang menyelesaikan masalah ini?”

“Tindakannya dapat membahayakan keselamatan orang lain. Dan

peristiwa itu terjadi di luar jam sekolah. Jadi bagaimanapun ini menjadi

wewenang kami,” jawab polisi itu.

“Baiklah,” Bapak kepala sekolah memutuskan dengan berat hati. “Saya

akan menghubungi orang tuanya.”

“Tidak perlu, Pak. Sekarang juga kami akan ke rumahnya.”

Maka kedua polisi itu menggelandang Bobi pergi.

Dodik, Lutfi, Angga dan Aji, seperti dikomando mereka menghela nafas

lega bersama, merasa sudah terbebas dari ‘bencana’.

“Saya peringatkan kalian berempat,” ucap Pak Sangit, “jadikan ini sebagai

pelajaran. Jangan sampai terulang lagi.”

“Iya, Pak,” jawab Dodik, Lutfi, Angga dan Aji serempak.

Toilet I’m in Love Page 45

Page 46: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Kalian ini sudah kelas tiga, sebentar lagi ujian. Dari pada ribut, kan lebih

enak belajar,” nasehat Pak Sangit dengan suara merendah, seolah murkanya sudah

sirna.

“Baiklah, kalau begitu…”

“Jadi kami dimaafkan, Pak?” sahut Dodik dengan mata berbinar.

“Siapa bilang?!!” murka Pak Sangit tiba-tiba datang lagi.

Dodik, Lutfi, Angga dan Aji menunduk, tanpa bersuara sedikitpun.

Dugaan mereka salah, ternyata masih belum terlepas dari cengkeraman ‘maut’.

“Mulai besok, sepulang sekolah kalian akan membersihkan WC selama

satu minggu. Tiap orang satu kamar WC,” Pak Sangit menjatuhkan hukuman

favoritnya.

“Haduh!” gerutu Dodik.

“Kenapa, haduh?!!” bentak Pak Sangit. “Mau ditambah lagi jadi satu

bulan?!!”

“Jangan, Pak. Jangan. Ampun. Seminggu saja cukup,” serempak mereka

memohon.

Toilet I’m in Love Page 46

Page 47: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

3

Maafku untukmu, Maafmu untukku

Jika kesialan sudah datang, maka kadang datangnya itu berderet seperti antrian

BLT. Hal itulah yang terjadi pada Aji. Dua minggu yang lalu dia dihukum

menghormat bendera selama setengah jam, plus membersihkan WC oleh Pak

Sangit. Belum cukup dengan itu, dia masih diberi ‘embargo uang jajan’ selama

seminggu oleh Bunda, akibat berantem dengan Bobi. Dan kini, akibat keributan

yang terjadi diluar kehendaknya, dia harus menanggung kesialan lagi. Tidak

tangung-tanggung: membersihkan WC selama satu minggu sepulang sekolah. Dan

yang jauh lebih sengsara dari semua itu adalah, Bunda tidak memberikan uang

jajan selama satu bulan. Itu artinya puasa.

Malam itu Aji benar-benar tidak bersemangat untuk melakukan apapun.

Siang tadi adalah hari yang melelahkan. Pulang sekolah harus melaksanakan

hukuman dari Pak Sangit. Dan sorenya masih harus mengikuti ‘sidang’ lagi. Kali

ini pemimpin sidangnya adalah Ayah. Isi sidangnya adalah mendengar omelan

Bunda, yang lagi-lagi pidato tentang perbedaan manusia dengan sapi, monyet,

kambing, dan seluruh jenis hewan dalam kebun binatang.

Dalam kamarnya, Aji hanya duduk memaku di atas kursi belajar.

Diambilnya majalah yang tergeletak di atas meja, lalu dibukanya. Dia mencoba

mengalihkan rasa penatnya dengan membaca majalah itu. Setelah beberapa detik

membaca… “Ah…!!” desah Aji sembari melempar majalah ke atas

pembaringannya. Dia merasa konsentrasinya sedang tidak beres, rasa kesal akibat

kejadian tadi siang masih belum juga hilang.

Kali ini Aji menyalakan komputernya, lalu meraih stick PS. Pertandingan

sepak bola dalam game itu, sedikit menghibur hatinya.

Toilet I’m in Love Page 47

Page 48: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Baru empat menit dia bermain, tiba-tiba saja konsentrasinya beralih ke

ponselnya yang berbunyi. Dia menghampiri ponsel itu, ada sebuah sms masuk.

FROM : +6281803111518

RASANYA KEEGOISANKU, SUDAH

BANYAK MENIMBULKAN KESULITAN

BAGI ORANG LAIN. AKU MINTA MAAF.

(MAWAR)

Aji tersentak. “Mawar?!” gumamnya dengan mata terbelalak. Sungguh

diluar dugaannya, gadis itu mengiriminya sms seperti itu. Dari mana dia tahu

nomerku? bisik Aji dalam hati. Setelah minyimpan nomer itu dalam memori

ponsel, Aji membalas:

TO : MAWAR

BUKAN. LEBIH TEPATNYA,

KEBODOHANKU MENIMBULKAN KESULITAN

BAGIKU. DAN MEMBUAT BASAH SERAGAM

ORANG LAIN. MAAF.

Setelah menunggu satu menit, balasan sms itu datang lagi.

FROM : MAWAR

ITUPUN AKIBAT KEISENGANKU,

MELEDEK ORANG LAIN YANG

SEDANG MELAKUKAN ‘AMAL BAKTI’.

Aji tertawa sendiri. Ternyata cewek berwajah Indo itu, mempunyai selera

humor yang bagus.

TO : MAWAR

AMAL BAKTI?? …

ITU SIKSAAN DARI PAK SANGIT.

Datang lagi sms balasan.

FROM : MAWAR

BESOK SEPULANG SEKOLAH,

Toilet I’m in Love Page 48

Page 49: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

KAU MAU MAMPIR KE RUMAH?

RASANYA TIDAK SOPAN, JIKA AKU MEMINTA

MAAF LEWAT SMS.

Aji menghela nafas panjang. Lalu membalas.

TO : MAWAR

TENTU. AKU JUGA MERASA

KURANG SOPAN JIKA MEMINTA MAAF

MELALUI PONSEL.

# # #

Hal terbaik yang dimiliki seseorang adalah, saat dia tidak kuat untuk menyimpan

rasa bersalah terlalu lama dalam hatinya. Seperti menyimpan celana dalam kotor,

dalam tas bawaan. Ingin segera mengeluarkannya, dan mencuci secepatnya.

Begitulah yang dirasakan Aji. Pulang sekolah, setelah mengikuti les tambahan dan

membersihkan WC, dia langsung memacu motornya ke rumah Mawar.

Sore itu, matahari tidak begitu terik. Sesampainya di sebuah kawasan

perumahan elit, Aji memelankan motornya. Terdapat dua lajur jalan masuk yang

luas di perumahan itu. Sebuah prasasti batu besar dengan hiasan patung prajurit

Romawi menunggang kuda, terdapat di gerbang masuk. Prasasti itu bertuliskan

“HEDONA GARDEN REGENCY”. Gerbang masuk yang terdiri dua lajur jalan

itu, ditutup dengan pagar tinggi. Besi pilin dengan ukiran singa dan bunga.

Tepat di depan gerbang hunian, Aji menghentikan motornya. Dia

menghampiri dua satpam yang sedang berjaga di pos.

“Selamat sore, Pak,” sapa Aji.

“Sore. Ada perlu apa, Mas?” satpam itu keluar dari bilik pos, menghampiri

Aji.

“Saya mau ke rumah Mawar, Pak.”

“Mawar?” kening petugas itu berkerut, mengingat sesuatu.

“Iya, Pak. Blok G nomer 3.”

“Oh…, itu rumahnya Bapak Vincent.”

Toilet I’m in Love Page 49

Page 50: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Iya, maksud saya Mawar itu anaknya Bapak Vincent, Pak.”

“Oh… iya… iya…,” satpam itu mengangguk-angguk. “Silahkan

meninggalkan KTP, Mas.”

Aji mengernyitkan kening sejenak. KTP…? Bisiknya dalam hati, sembari

mengeluarkan dompet, mengambil KTP, lalu menyerahkan pada satpam itu.

Sejenak satpam itu mengamati KTP ditangannya. Beberapa kali

pandangannya bertukar antara foto dalam KTP itu dengan wajah Aji. Sekian detik

kemudian petugas itu membuka gerbang.

Aji memacu motornya pelan, sambil sesekali menengok deretan rumah

megah yang berada di kanan-kiri jalan. Dia mengikuti arah yang tadi ditunjukkan

oleh satpam. Rumah-rumah megah itu berarsitektur Renaisance. Berdiri angkuh

dan kukuh. Suasana hunian itu tenang, malah cenderung sepi. Hanya sesekali

terdengar gonggongan anjing.

Nah, itu dia, Blok G nomer 3, gumamAji dalam hati.

Aji mengentikan motornya, lalu memencet bel.

Selang satu menit kemudian, seorang pembantu membukakan pintu.

“Silahkan masuk. Ditunggu ya, Mas. Non Mawar masih mandi.”

Aji duduk di beranda. Suasana tenang dan sejuk. Warna-warni bunga

Caladium yang ditanam di pot, menambah asri suasana. Ditambah lagi dengan

bunga anggrek bulan yang beraneka ragam, digantung berjajar rapi. Membuat

siapa saja menjadi kerasan berlama-lama di beranda itu.

“Maaf, jika membuatmu menunggu lama,” ucap Mawar yang tiba-tiba

muncul dari dalam rumah.

“Oh… eh… enggak. Enggak lama kok,” Aji tergeragap, kaget melihat

Mawar yang tiba-tiba mucul di depannya.

Mawar duduk di kursi, bersebelahan dengan Aji. Hanya meja kayu jati

kecil dengan ukiran-ukiran etnik, yang memisahkan mereka.

“Masuk ke dalam, yuk,” Mawar membuka percakapan.

“Sudah lama aku tidak melihat anggrek bulan,” Aji menghela nafas,

sembari menatap deretan anggrek yang sedang mekar berwarna-warni. “Disini

saja. Rasanya tenang.”

“Susah nyari alamatnya?”

Toilet I’m in Love Page 50

Page 51: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Ah, enggak. Hanya saja tadi ada sedikit masalah di depan.”

“Masalah? Masalah apa?” mata Mawar mendelik. Wajah Indo yang ayu

itu, dengan pupil mata biru keperakan, menunjukkan raut keheranan.

“Pake ninggal KTP di depan. Mirip…”

“Mirip mengunjungi LP (Lembaga Pemasyarakatan),” sahut Mawar.

Aji tertawa. Begitu juga Mawar.

Pembantu Mawar keluar dengan membawa minuman. “Silahkan

diminum.”

Aji meraih gelas es itu, lalu meminumnya.

Untuk beberapa saat mereka hanya diam. Tidak tahu harus memulai dari

mana. Rasa bersalah dalam hati mereka seperti lem, yang tiba-tiba saja merambat

ke dalam kerongkongan, lalu mencekat pita sura.

“Aku sudah membaca semua beritanya di koran,” Mawar memulai lagi

percakapan. “Tentang Bobi yang berurusan dengan polisi, karena menyewa

preman untuk balas dendam kepadamu.”

Memang benar. Berita tentang Bobi yang sedang berurusan dengan polisi,

akibat keributan di malam festival musik itu, sudah menyebar. Seluruh siswa

SMA 2 juga sudah tahu.

Aji menghela nafas panjang. “Aku minta maaf,” ucapnya.

“Bukan. Bukan kamu yang harus minta maaf, tapi aku,” sahut Mawar.

“Semua masalah ini berawal dariku. Jika saja malam minggu itu- waktu di café-

aku tidak bersikap cuek dan egois terhadapmu, mungkin tidak akan sampai terjadi

keributan. Dan berbuntut panjang seperti ini.”

Aji meminum es jeruk yang tersaji di depannya. Mencoba untuk

melarutkan lem yang mencekat pita suaranya. Mawar hanya terdiam, merasa

bersalah.

“Ya, sudahlah. Sudah terjadi kok. Mau bagaimana lagi. Gak apa-apa.

Mukaku malah jadi sedikit tambah ganteng. Lihat!” Aji menunjuk sisa lebam di

mukanya. Dia mencoba mencairkan suasana yang kaku, laksana telenovela itu.

Mawar tersenyum. Sebaris gigi putih, rapi berjajar. Bibir merah merekah

itu mengembang. Seulas senyum yang mampu menjatuhkan panglima perang

manapun, tanpa harus menembaknya.

Toilet I’m in Love Page 51

Page 52: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Lha, ketawa? Meledek, ya?” Aji bercanda.

“Enggak. Gak meledek. Memang tambah tampan kok,” jawab Mawar

tidak ikhlas. Tampak raut mukanya menahan tawa.

Kini giliran Aji yang meledakkan tawanya. Senang rasanya, suasana

tegang penuh dengan ewuh-pakewuh itu, akhirnya cair juga.

“Aku minta maaf padamu, juga sama sahabat-sahabatmu, yang terkena

imbasnya,” lanjut Mawar.

“Enggak apa-apa. Biar saja mereka sekali-kali melakukan ‘amal bakti’.

Mawar menyunggingkan senyum. Mengembalikan posisi rambut

hitamnya, yang tergerai jatuh di wajah, akibat hembusan angin senja.

“Emm…, ngomong-ngomong, apa kedatanganku ke sini tidak akan

menyebabkan masalah lagi?” mimik muka Aji berubah kembali serius.

“Masalah apa lagi?” Mawar terheran.

“Yang aku maksud adalah Bobi.”

Ucapan Aji membuat Mawar terdiam. Wajah cerah itu, kini muram

kembali. Gadis jelita itu tidak berkata apa-apa, memaku di tempat duduknya.

Pandangannya menyapu daun-daun Caladium yang berwarna-warni.

Aji jadi serba salah. Haduh, ada apalagi ini? gerutunya dalam hati.

“Emm…, maaf. Jika barusan ucapanku salah. Kita bicara topik lain saja, ya,” dia

mencoba memulihkan suasana.

“Aku sudah putus dengan Bobi,” terdengar suara Mawar lirih. Kini gadis

jelita itu menundukkan kepala, sesekali mendongak ke atas, berusaha menahan air

yang mulai menggenang di matanya agar tidak jatuh menetes.

Aji mendelik, kerongkongannya serasa tercekat. Dia menelan ludah.

Suasana yang tadi sudah mencair, tiba-tiba saja membeku kembali.

“Maaf, seharusnya aku tadi tidak membicarakan topik itu,” Aji merasa

bersalah.

“Gak apa-apa. Memang sudah tidak layak untuk dipertahankan. Aku sudah

menduga, bahwa akhir semacam ini akan terjadi. Hanya masalah waktu saja. Aku

tidak bisa membohongi hatiku seterusnya. Hanya akan menyiksa diri saja.”

Memang begitulah keadaannya. Pada awalnya Mawar menerima uluran

cinta Bobi hanya karena kasihan. Wataknya yang nekad, bahkan sempat mimik

Toilet I’m in Love Page 52

Page 53: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Bygon segala, sempat membuat hati Mawar kerut-kerut dan luluh. Namun setelah

sekian lama berpacaran dengannya, mulailah terlihat sifat Bobi sebenarnya: kasar,

sombong, semaunya, sok hebat, sok pinter, dan sebagainya.

# # #

Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Jam pertama adalah Matematika.

Karena tidak ada tugas dari Pak Bonar, maka Dodik, Lutfi, dan Aji bisa berleha-

leha sembari bercanda. Tidak perlu khwatair lagi berdiri mengangkat kursi, sambil

membaca puisi. Begitu juga murid-murid yang lain. Sebab jika guru bertampang

penjahat sinetron itu memberi tugas, maka rasanya bukan tugas yang mereka

terima, melainkan semacam kuis yang ditayangkan di televisi. Karena jika mereka

tidak dapat mempertanggung jawabkan pekerjaannya, maka hukuman lucu plus

sengsara itu, akan mereka terima.

“Aku punya tebakan untuk kalian,” ucap Lutfi.

“Apa?” tanya Aji.

“Apa perbedaan gajah dengan Dodik.”

“Gajah makan rumput , Dodik makan apa saja,” jawab Angga.

“Huwahahaa…,” tawa mereka meledak bersama.

“Salah,” sahut Lutfi.

“Terus apa?” tanya Dodik culun, sama sekali tidak mencium gelagat akan

diledek.

“Gajah belalainya di atas, kalau Dodik belalainya di bawah.”

Kembali tawa mereka meledak.

“Ngawur…, ngawur…, jorok,” Dodik memukul lengan Lutfi.

“Nah…, ini nih. Ada tebakan lagi,” kata Angga.

“Apa?” tanya Lutfi.

“Masih tentang Dodik. Apa persamaan Dodik dengan gajah?”

“Mereka satu spesies,” jawab Lutfi dan Aji serempak.

“Wakaka…!” tawa mereka berederai kembali.

Toilet I’m in Love Page 53

Page 54: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Dodik kesal, dan tidak ikut tertawa. Tidak mau kalah, dia mengajukan

tebakan pada sahabatnya itu. “Aku juga punya,” ucapnya.

“Apa masih tentang gajah lagi?” ledek Lutfi.

“Gak. Begini nih: apa Bahasa Mandarin-nya ‘kalian kurang ajar’?”

Lutfi, Aji, dan Angga saling tatap, lalau mengerutkan kening. Mereka

tidak menduga bahwa Si Gentong itu punya tebakan juga.

Satelah satu menit berpikir, mereka tidak juga menemukan jawabannya.

Bahkan jawaban sekenanya sekalipun.

“Apa?” Lutfi menyerah.

“Dengarkan!” ucap Dodik angkuh. “Bahasa Mandarin-nya adalah ‘Haiaa

Lu Xia Lan Haaa…”

Lutfi, Aji, dan Angga hanya mlongo, merasa kalah. Sementara Dodik

tertawa terkekeh-kekeh. Perutnya yang buncit bergoyang naik-turun.

Sudah lima menit mereka bercanda menunggu jam pelajaran dimulai.

Namun tiba-tiba saja kelas yang gaduh itu berubah menjadi tenang. Perhatian

mereka tertuju kepada gadis cantik yang baru saja masuk ke dalam kelas. Gadis

itu adalah Mawar.

Mawar melangkah tenang, masuk ke dalam kelas IIIA. Rambutnya yang

tergerai, bergoyang seiring dengan langkahnya. Tubuh tinggi putih, yang

proporsional dengan berat badannya itu, melangkah bak pragawati. Bukan dibuat-

buat, tapi memang begitulah caranya berjalan. Gadis jelita itu menghampiri Aji

yang sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatnya di bangku belakang.

“Hai,” sapa Mawar.

Aji tersenyum. “Hai juga,” balasnya.

Lutfi, Dodik, dan Angga hanya mendelik, kaget, heran, bercampur

bingung, menyaksikan adegan yang sedang berlangsung di depannya. Sebab tidak

biasa-biasanya cewek foto model itu bertandang ke kelas IIIA. Ditambah lagi dia

menghampiri Aji, lalu menyapanya dengan ramah. Bukankah baru kemarin lusa

Bobi- pacarnya itu- ribut dengan mereka.

“Kenalkan, ini sahabat-sahabatku,” ucap Aji hanya berbasa-basi.

Sebenarnya mereka sudah saling tahu.

Mawar menjabat tangan, Dodik, Angga, dan Lutfi.

Toilet I’m in Love Page 54

Page 55: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Aku minta maaf pada kalian, atas peristiwa di malam festival yang lalu,”

ucap Mawar.

“Tidak masalah, asal kamu mau membantu membersihkan WC, sepulang

sekolah,” jawab Lutfi bercanda.

“Tidak masalah juga. Asalkan aku dimaafkan.”

Lutfi, Aji, Dodik, dan Angga saling tatap. Mereka hampir tidak percaya

dengan kalimat yang baru saja terucap dari mulut Mawar. Ternyata cewek di

depannya itu, bukan hanya wajahnya yang jelita, tapi juga hatinya.

“Beneran, kamu mau membantu membersihkan WC?” sahut Dodik

dengan mata berbibar-binar.

“Plokk!” Aji menampar pelan pipi tembem Dodik.

“Hehehe… tidak usah dimasukkan hati. Lutfi dan Dodik hanya bercanda,”

tambah Aji.

“Hehehe…,” Senyum simpul yang mampu menjatuhkan panglima perang

manapun itu, mengembang di bibir Mawar.

“Oh iya, sebentar,” ucap Aji seperti mengingat sesuatu. Dia mengambil tas

dari dalam kolong bangku, membukanya, lalu mengambil sebuah novel, dan

memberikannya pada Mawar. “Ini yang mau kau pinjam.”

“Terima kasaih.”

Keheranan Dodik, Angga, dan Lutfi, semakin besar. Pikiran mereka sama:

Sejak kapan Aji suka baca novel? Di muka bumi ini, satu-satunya yang menarik

minatnya hanya Play Station.

Memang benar. Seumur hidup Aji belum pernah membaca novel, apalagi

memiliki novel. Jadi dari mana dia memperoleh novel?

Ternyata novel itu dia pinjam dari Sinta. “Waah…, tumben pake baca

novel segala. Kesurupan ya? Katanya mau jadi pengusaha rental PS,” begitulah

ledek Sinta tadi malam, waktu dia meminjam novel.

“Huss, berisik. Udah, mana novelnya, tidak usah banyak komentar,” jawab

Aji malam itu.

“Gak boleh. Bilang dulu kenapa?”

“Kakakmu ini mau jadi sastrawan plus. Seperti yang Ayah bilang,” sahut

Aji sewot.

Toilet I’m in Love Page 55

Page 56: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Plus jadi juragan PS?”

“Plus jadi tukang pukul!! Sudah… sudah… mana pinjem.”

“Bilang dulu,” jawab Sinta tetap pada pendiriannya. “Atau…, jangan-

jangan…” cewek dengan senyum Yuni Sarah itu mengerdipkan matanya, sengaja

menggoda kakaknya.

“Jangan asem?!” sahut Aji gusar.

“Jangan-jangan…”

“Halah, kelamaan,” tanpa menggubris adiknya yang masih mengerdip-

ngerdipkan mata, Aji langsung menyerbu masuk ke dalam kamar Sinta. Menuju

rak buku, lalau mencari-cari novel.

“Ahh…!! Bunda…!!!” teriak Sinta mengadu.

Keributan kakak beradik itu pun dimulai lagi. Dan seperti biasa, dengan

tergopoh-gopoh Bunda datang melerai. “Ada apa lagi ini?”

“Kak Aji, gak boleh pinjem novel kok maksa,” Sinta mengadu.

“Hemm….” Bunda menggeleng-geleng. “Kamu ini Sin, wong kakaknya

pinjam novel saja kok gak boleh?”

Tidak seperti biasanya, kali ini Bunda membela Aji.

“Kan lebih bagus, jika kakakmu itu baca novel. Dari pada main PS.”

Bagitulah, malam sewaktu Aji meminjam novel pada adiknya.

Sementara itu Dodik, Angga, dan Lutfi masih dalam kebingungannya.

Setan mana yang bersarang di kepala Aji, hingga dia punya novel dalam tasnya.

Begitulah yang ada dalam pikiran mereka.

“Aku pinjam dulu, ya?” Mawar menerima novel itu dari tangan Aji.

Setelah itu Mawar kembali ke kelasnya.

Dodik, Angga, dan Lutfi serempak menatap Aji.

“Ada yang punya tebakan lagi?” tanya Aji kepada sahabatnya itu.

Dodik, Angga, dan Lutfi hanya diam, dan masih menatap Aji dengan

pandangan yang sulit untuk diartikan.

Sementara Aji yang dipandangi terus semacam itu, merasa kikuk juga.

“Kenapa dengan kalian?” tanyanya.

“Kalian melihat sesuatu?” tanya Lutfi kepada Dodik dan Angga, masih

dengan menatap wajah Aji.

Toilet I’m in Love Page 56

Page 57: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Dodik dan Angga menatap wajah Aji dengan seksama.

“Iya, aku melihat sesuatu di wajah yang pas-pasan itu,” jawab Dodik.

“Apa?”

“Ada sisa lebam.”

“Plokk!” Lutfi menampar pelan pipih tembem Dodik. “Wrong answer”.

“Kamu melihat sesuatu?” kini pertanyaan Lutfi beralih ke Angga.

Dengan tatapan penuh selidik, Angga mengamati wajah Aji.

“Sudah… sudah… ada apa sih kalian ini?!” Aji mulai gusar.

“Aha… iya, aku melihat sesuatu,” sahut Angga tidak mempedulikan

kegusaran Aji.

“Apa yang kamu lihat?”

“Aku melihat cinta di udara,” ucap Angga asal-asalan. Menirukan dialog

yang diucapkan Sanasuke Sagara, dalam serial Samurai-X. Saat Yosi jatuh hati

pada gadis pemain sirkus.

“Di muka Aji, goblok! Bukan di udara,” Lutfi geram.

“Hihihi…,” Angga meringis culun.

“Jadi, apa yang kamu lihat di muka Aji, Lut?” tanya Dodik dan Angga

serempak.

Lutfi menghela nafas panjang. “Aku melihat penghianatan,” ucapnya.

Dodik dan Angga mengangguk pelan, tanda setuju.

“Ya, itulah yang aku maksud,” ucap Angga.

“Aku juga melihatnya sekilas,” tambah Dodik.

Aji tertawa terbahak. “Kalian pikir aku homo? Pake menghianati kalian

segala. Memangnya kalian ini istri-istriku? Sejak kapan aku poligami dengan

kalian? Gak nyambung.”

“Nyambung, Ji,” sahut Lutfi. “Kamu menghianati ucapanmu sendiri,

menghianati diri sendiri.”

“Huwalah, kalian ini kenapa sih? Apa salahnya tambah sahabat. Lagian

Mawar anaknya baik, kan? Tidak sombong dan anggkuh, seperti perkiraan banyak

orang.”

“Hati-hati, Ji. Awas jatuh cinta,” sahut Angga sekenanya.

Toilet I’m in Love Page 57

Page 58: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Meminjami novel saja kok jatuh cinta. Enggak, gak jatuh cinta. Lagi pula

mana mungkin dia mau denganku? Berwajah pas-pasan, miskin pula.”

“Awas, Ji. Hati-hati kalau ngomong. Siapa tahu Mawar memang jenuh

pacaran dengan cowok ganteng dan kaya. Terus pingin coba-coba pacaran dengan

cowok jelek dan miskin. Wah, kamu malah jadi penghianat dua kali, Ji. Kalau Pak

Bonar bilang: penghianat pangkat dua,” ujar Lutfi.

“Plokk!” Aji menampar pelan pipi Lutfi. “Menghina!”

“Haduh! Kamu sendiri kan, yang bilang begitu? Oh iya, hati-hati dengan

Bobi. Nanti bisa ribut lagi. Bukannya takut, tapi kita kasihan sama kamu. Kalau

ribut lagi, kamu bakalan puasa jajan setahun.”

“Mawar sudah putus dengan Bobi,” jawab Aji pelan.

Dodik, Angga, dan Lutfi hanya mlongo, mereka saling tatap.

Begitulah. Memang semenjak setahun yang lalu, Aji malas menaruh hati

pada cewek. Di awal sudah diceritakan, bahwa semenjak cintanya ditampik

mentah-mentah sebanyak dua kali, maka untuk sementara dia memasang benteng

beton di hatinya. Dan benteng itu bertuliskan: “Gak Wo ai ni- Wo ai ni-an, gak

pathéken”. Tentu saja Dodik, Angga, dan Lutfi mengetahui semua kisah itu, tidak

terkecuali tentang prinsip sementara yang dipegang Aji. Itulah kenapa mereka

meledek Aji sebagai penghianat.

# # #

Minggu- di rumah Dina. Dodik, Angga, dan Lisa sudah berkumpul. Mereka sibuk

membantu Dina menyiapkan semua bahan masakan. Sama seperti tahun lalu saat

mereka kalah dalam festival musik, Dina mengajak sahabat-sahabatnya

merayakannya dengan masak-masak di rumahnya. Sabtu kemarin hasil dari

festival musik diumumkan, dan band mereka kalah.

Dina adalah anak tunggal. Sedangkan Ayah dan Ibunya keluar kota. Jadi

keberadaan sahabatnya itu sekaligus menemaninya dirumah.

“Kare ayam ini pake bumbu apa saja, Din?” tanya Lisa. Cewek tomboy itu

memang tidak bisa masak.

Toilet I’m in Love Page 58

Page 59: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Itu bumbunya, sudah aku siapkan di atas meja. Kamu yang bersihkan

saja. Biar nanti aku yang meracik,” jawab Dina sembari memotong daging ayam.

Sementara itu, pada sisi dapur yang lain, di meja makan, Dodik dan Angga

sedang sibuk mengupas buah-buahan, yang nanti akan mereka gunakan untuk

rujak manis.

“Sudah selesai?” tanya Lisa.

“Maa…ffii… beffum… ffelesaai…,” jawab Dodik dengan mulut penuh

pepaya.

“Mana Aji? Kok telat datang?” tanya Lisa penasaran.

“Gak tahu,” jawab Angga.

“Lis, tolong kompornya kamu nyalakan, ya!” ucap Dina sembari mencuci

daging ayam yang sudah dipotongnya.

“Haduh, Dod. Ini jadi rujakan, gak? Kamu ini membantu makan, atau

ngupas?” tanya Angga. Sedari tadi Dodik hanya makan buah yang dikupasnya.

Tak satupun yang ditaruhnya di panci.

Terdengar suara bel dari pintu depan.

“Itu Aji,” ucap Lisa dengan wajah cerah. “Tolong bukakan pintu, Ga!”

“Makan aja. Bukakan pintu, Dod,” sahut Angga, melemparkan perintah

Lisa pada Dodik.

Dengan mulut tidak berhenti mengunyah, mirip sapi yang sedang

memamah biak, Dodik berlari kecil ke depan.

“Siapa, Dod? Aji, ya?” tanya Lisa tidak sabar.

“Ini mangga yang tadi kalian pesan,” ucap Lutfi yang tiba-tiba muncul di

dapur dengan Dodik disebelahnya.

“Heem…, iya. Sekalian saja dikupas,” jawab Lisa dengan mimik kecewa.

Ternyata yang datang bukan Aji. “Aji mana, Lut? Kok gak bareng kamu?”

“Lha? Tadi aku pikir sudah datang duluan.”

“Aku bantu ya, Lut,” ucap Dodik. Matanya berbinar dan jakunnya naik-

turun Dia mendekati Lutfi yang mulai mengupas mangga.

“Bantuin makan? Gak usah.”

Sepuluh menit kemudian, kembali terdengar suara bel pintu.

“Lut, tolong bukakan pintu,” ucap Dina yang sedang meracik bumbu kare.

Toilet I’m in Love Page 59

Page 60: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Lutfi bergegas ke depan.

Hihi..., kesempatan, bisik Dodik dalam hati. Sedari tadi dia menahan air

liurnya, melihat mangga yang sedang dikupas Lutfi. Sontak, dengan gerakan

cepat, dia menyambar mangga yang sudah dikupas dan dipotong-potong itu.

Lima detik kemudian, Lutfi muncul di dapur bersama dengan Aji dan

Mawar.

Serempak, Dodik, Angga, Dina, dan Lisa, menatap Mawar. Mereka

keheranan.

“Maaf, aku yang mangajak Mawar,” ucap Aji menjawab kekagetan

mereka. “Emm…, ngomong-ngomong, Mawar pinter masak juga lho.”

Tanpa diminta, Mawar langsung bergegas membantu Dina meracik

bumbu. “Mau masak apa ini?”

“Kare ayam?” Dina bersemangat, merasa mempunyai sahabat baru yang

sehobi dengannya.

Dina dan Lisa sebenarnya sudah sangat mengenal Mawar, sebab mereka

sama-sama kelas IIIE. Hanya saja selama ini mereka tidak akrab. Di luar dugaan,

jika selama ini mereka mengira Mawar itu pilih-pilih teman, dan sombong,

ternyata tidak begitu kenyataannya. Mawar sangat supel, mudah bergaul, humoris,

dan baik hati.

Jika Dina senang dengan adanya Mawar sebagai anggota baru dalam

persahabatan mereka. Berbeda dengan Lisa. Sikap cewek tomboy itu menjadi

agak aneh. Meskipun dengan sekuat hati dia menyembunyikan rasa kesal dan

cemburu, namun tetap saja raut kecewa tampak tersirat di wajahnya.

“Bira aku yang memotong bawangnya,” Mawar menawarkan diri.

“Jangan! Biar aku saja,” jawab Lisa dengan senyum dipaksakan. Lebih

mirip senyum monyet: kaku, dan tidak indah.

“Kamu bantuin aku buat bumbu rujak saja,” ajak Dina.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja Lisa menitikkan air mata.

Lutfi melotot keheranan, begitu juga Dodik dan Aji.

Tanpa diperintah, Angga langsung menghampiri Lisa. “Kamu kenapa,

Lis? Kok nangis? Jika kamu sedih, aku juga jadi sedih,” ucap Angga penuh

perhatian.

Toilet I’m in Love Page 60

Page 61: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Kena bawang!!!” bentak Lisa.

Serempak, Aji, Lutfi, dan Dodik tertawa terkekeh-kekeh.

“Wuuss….! Plok!!” dengan kesal, Angga melemparkan bawang yang

sudah dikupas ke arah Aji, Lutfi, dan Dodik.

“Auww..!!! Auww!!” lemparan itu tepat mengenai muka Dodik. Si

Gentong itu berteriak-teriak, matanya kepanasan terkena bawang.

“Air…!!! Air…!!!” teriak Lutfi panik.

“Byorrr!!!” Aji menyiramkan air sisa cucian daging ayam ke muka Dodik.

Dodik menarik nafas lega, mengucek-ngucek mata. Matanya tidak begitu

perih lagi. Hanya saja kini seluruh tubuhnya bau amis.

Kini giliran Angga yang tertawa terkekeh-kekeh.

Dua jam sudah berlalu. Masakan sudah siap di meja makan. Begitu juga

dengan rujak manisnya. Tanpa dikomando, Dodik langsung meraih piring,

mengisihnya dengan nasi. Hingga gundukan nasi itu mirip bukit kecil.

Tidak diragukan lagi, masakan Dina memang lezat.

Namun ada yang berubah pada diri Lisa. Jika yang lain dengan lahap

‘memamah biak’ masakan Dina. Cewek tomboy itu malah tidak bersemangat

untuk makan. Dia hanya mengambil potongan kecil ayam, lalu menyuapkan

sedikit nasi ke mulutnya.

“Kenapa, Lis? Ada yang kurang pas dengan bumbunya?” tanya Dina.

“Ah, enggak. Enak kok. Siapapun akan bilang, jika masakanmu ini enak,”

Lisa menutupi suasana hatinya. “Tanya saja Aji. Iya kan, Ji?”

“Wah, enak sekali. Beneran. Tanya saja Dodik. Iya kan, Dod?” ucap Aji.

“Enyak…, enyak…, enyak!” jawab Dodik dengan mulut penuh nasi.

“Huu… Dodik kok ditanya tentang masakan,” ledek Lutfi.

Tiga jam berlalu. Acara makan-makan telah selesai. Hari beranjak sore.

Setelah bersantai beberapa jam di rumah Dina, Mawar pamit.

“Terima kasih,” Mawar menyalami sahabat-sahabat barunya. “Lain kali di

rumahku, ya.”

“Wah.. iya.. iya, ide bagus itu,” sahut Dodik dengan mata berbinar.

“Plokk!!” tamparan pelan Angga mendarat di pipi Dodik. “Gentong tak

tahu malu.”

Toilet I’m in Love Page 61

Page 62: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Aku juga pamit duluan, ya,” ucap Aji. Tadi dia datang bersama Mawar,

jadi saat gadis itu pamit, dia juga ikut pulang menemaninya.

“Aji… Aji…, kamu memang bedebah paling beruntung di muka bumi,”

ucap Lutfi disertai tawa terkekeh dari sahabat-sahabatnya.

Jika yang lain tertawa terkekeh-kekeh, lain halnya dengan Lisa. Dia hanya

tersenyum kecut sembari menelan ludah, menahan rasa kecewa.

# # #

Minggu malam- di kamarnya- Lisa hanya duduk termangu di atas pembaringan.

Selama ini dia masih kuat menahan persaanya terhadap Aji. Dan bersikap wajar di

hadapan sahabatnya yang lain. Dulu banyak pertimbangan yang dipikirkannya,

hingga enggan untuk menunjukan perasaannya itu. Pertama: Aji adalah sahabat

akrabnya, sama seperti Lutfi, Dodik, dan Angga. Jika dia menunjukkna rasa

sukanya, itu akan menimbulkan rasa canggung saat mereka berkumpul bersama.

Kedua: Sama seperti sahabatnya yang lain, Lisa juga tahu kisa tentang Aji, serta

prinsip bodoh yang dianutnya. Dan ketiga: Di antara mereka sudah membuat

komitmen bahwa tidak akan saling jatuh cinta dengan sahabat sendiri.

Jika selama ini cewek tomboy itu masih tenang-tenang saja menahan

getaran hatinya. Namun tadi siang, melihat Aji begitu akrab dengan Mawar,

segalanya jadi berubah. Dadanya bergemuruh, perasaannya kacau. Hampir saja

sahabat-sahabatnya mengetahuinya, saat dia menangis di dapur Dina. Untung

bawang merah menyelamatkan mukanya.

Mana yang lebih benar: jujur tapi malu? atau berbohong tapi sakit hati?

Bisik Lisa dalam hati. Dia mengambil gitarnya yang tersandar di dinding, di

sebelah meja belajar. Dipetiknya gitar itu pelan. Sebuah syair lagu Kelly Clarkson,

mengalun merdu dari bibirnya;

Are you there?Are you watching me?As I lie here on this floor

Toilet I’m in Love Page 62

Page 63: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Suara lisa bergetar. Syair lagu yang keluar dari mulutnya menjadi

tersendat. Namun dia tetap malanjutkan.

….Why is it so hard?Why can't you just take me?I don't have much to go

Mata lisa menjadi berkaca-kaca. Dengan terbata, dia tetap melanjutkan

lagu itu.

…Can you feel how cold I am?Do you cry as I do?Are you lonely up there all by yourself?

Sebutir air menerobos barisan bulu matanya yang lentik, jatuh dari

pelupuknya, membentuk jejak air di pipinya. Dengan sesenggukan, dia terus

melanjutkan nyanyiannya.

As I lie here on this floorDo you cry, do you cry with me?Cry with me tonight…

Dan akhirnya air mata itu tumpah juga. Siapa yang mengira, cewek

tomboy dengan suara merdu itu, ternyata mempunyai hati selembut kupu-kupu.

# # #

Pulang sekolah, itu adalah hari terakhir bagi Dodik, Lutfi, Aji, dan Angga

membersihkan WC. Sudah genap satu minggu mereka melaksanakan ‘titah’ dari

Pak Sangit. Sore itu, setelah mengikuti les tambahan, dan WC yang menjadi

tanggung jawab mereka sudah bersih, terlebih dahulu mereka menghadap ke

kantor BK.

“Bagaimana, masih ingin ‘bonus’ lagi?” tanya Pak Sangit bercanda.

“Tidak, Pak. Terima kasih atas kebaikan hati Bapak,” jawab Aji balas

menyindir.

Ruang BK itu tidak terlalu besar. Hanya 3m x 4m. Tanpa fentilasi,

sirkulasi udara hanya melalui jendela kaca kecil yang berada di depan, serta dari

pintu yang selalu terbuka. Dari situlah Pak Sangit menjalankan ‘kekuasaannya’.

Udara sore itu panas. Sebuah kipas angin kecil yang berada di atas meja

kerja Pak Sangit, tidak membantu menyejukkan udara. Sementara itu seragam

Lutfi, Aji, dan Angga, basah kuyub oleh keringat bercampur cipratan air WC.

Toilet I’m in Love Page 63

Page 64: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Namun yang lebih parah dari mereka adalah Dodik. Tubuhnya yang menimbun

lemak, membuat badannya jadi lebih mudah kepanasan dan berkeringat. Hingga

saat itu, dia mirip orang yang kecemplung sungai.

“Emm… emm… boleh minta air minumnya, Pak?” Dodik tidak mampu

lagi menahan rasa hausnya.

“Baiklah, sila….”

Belum sempat Pak Sangit menuntaskan kalimatnya, Dodik sudah

menyerbu galon air mineral yang tertumpu pada sebuah dispenser. Dia mengambil

gelas yang sudah tersedia, lalu membuka krannya.

Pak Sangit menggeleng-geleng.

“Hemm… begini,” Pak Sangit memulai penjelasan, “saya hanya mau

mengatakan pada kalian bahwa perbuatan kalian itu jangan diulangi lagi.”

Dodik, Lutfi, Aji, dan Angga hanya mengangguk-angguk. Sebenarnya

mereka sudah sangat capek dan malas mendengar nasehat Pak Sangit. Selalu itu-

itu saja pidatonya. Tidak ada yang baru. Tidak kreatif memilih pembicaraan. Tapi

siapa yang berani menentangnya. Lebih baik menurut saja, dari pada kesengsaraan

mereka diperpanjang.

“Untung kemarin kalian tidak sampai cidera,” lanjut Pak Sangit.

“Bayangkan jika preman yang dibayar Bobi membawa senjata tajam. Bisa-bisa

kalian terluka. Malah mungkin nyawa kalian melayang.”

“Oh iya, urusan Bobi dengan polisi bagaimana, Pak?” tanya Lutfi.

“Bobi ditahan,” jawab Pak Sangit.

“Dipenjara?!” Aji kaget.

“Iya, satu bulan. Dan bukan hanya itu. Hasil rapat dengan kepala sekolah

kemarin, diperoleh keputusan bahwa Bobi dikeluarkan dari sekolah ini.”

“Dikeluarkan?!” ucap Aji dan Lutfi serempak. Mereka kaget mendengar

berita itu. Begitu juga dengan Angga dan Dodik. Mereka hanya melongo, menatap

Pak Sangit yang duduk di mejannya tanpa ekspresi apapun.

“Kenapa? Apa tindakan kami salah? Bukankah sudah sepantasnya dia

mendapat sanksi semacam itu? Perbuatan yang dia lakukan sudah di luar batas

kewajaran. Itu bukan kenakalan remaja biasa. Perbuatan itu tergolong kriminal

kelas berat. Jika begitu, apa bedanya Bobi dengan preman?”

Toilet I’m in Love Page 64

Page 65: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Dodik, Lutfi, Aji, dan Angga hanya diam terpaku di kursi. Mulut mereka

menganga.

“Pada awalnya, Bapak kepala sekolah juga merasa berat untuk

melepaskannya. Sebab bagaimanapun, pihak sekolah juga bertanggung jawab

untuk mendidiknya. Namun setelah dipertimbangkan lebih dalam lagi, tidak ada

gunanya mempertahankan siswa semacam itu.”

Pak Sangit menarik nafas panjang, lalu menyandarkan punggungnya di

kursi. “Maka dari itu, aku berpesan pada kalian, janganlah kalian mengulangi

perbuatan itu lagi. Jangan bandel. Belajar yang rajin. Kalian sudah kelas tiga.

Sebentar lagi banyak ujian, bla… bla… bla….”

Begitulah, nasehat Pak Sangit selalu saja berakhir seperti itu. Hanya

pengulangan dari pidatonya yang lalu.

“Baiklah, cukup itu saja pesan saya. Ada yang kalian tanyakan?” ujar Pak

Sangit menutup nasehatnya.

“Enggak, Pak,” jawab Lutfi, Aji, dan Angga. Mereka merasa lega, sebab

nasehat panjang itu akhirnya selesai.

“Tanya, Pak,” tiba-tiba Dodik menyahut.

Sontak saja, Lutfi, Aji, dan Angga menatap Dodik. Perasaan mereka sama:

geram. Andai saja saat itu tidak ada Pak Sangit, pasti mereka sudah menampar

pipi tembem Si Gentong itu bersamaan.

“Tanya apa?” ucap Pak Sangit.

“Boleh minta minumnya lagi, Pak?”

“Haduh!!” gerutu Lutfi, Aji, dan Angga serempak.

Toilet I’m in Love Page 65

Page 66: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

4

Saat Hasrat Salah Alamat

Bel pulang sekolah berbunyi. Seperti biasa, hanya murid kelas satu dan dua yang

berhambur pulang. Sementara kelas tiga- karena ada jam tambahan les- mereka

hanya diam menunggu di dalam kelas. Sebagian ada yang makan di kantin, sholat

Dhuhur, atau hanya duduk-duduk di beranda kelas.

Sementara itu Lisa hanya diam di dalam kelas, bersama beberapa teman

lainnya. Jika biasanya pada jedah waktu seperti itu dia langsung menyerbu ke

kantin Mbak Mim untuk jajan dan nongkrong bareng sahabat-sahabatnya, kali ini

Toilet I’m in Love Page 66

Page 67: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

dia merasa malas. Sedari tadi ditatapnya Mawar. Gadis jelita itu tampak bercanda

dengan teman-teman sekelas yang lain. Ada rasa iri di hatinya. Kedekatan cewek

cantik itu dengan Aji, membuat dadanya merasa seperti ditindih beban. Ada rasa

cemburu karena tersaingi. Berkali-kali dia berusaha menepis perasaan itu, namun

sulit.

“Kok bengong, Lis? Gak makan siang?” sapa Mawar menghampiri Lisa.

“Oh… eh…, gak. Gak lapar,” Lisa tergagap. Sapaan Mawar

membangunkan lamunannya.

“Tumben, biasanya langsung ke kantin, atau kumpul sama teman-teman?”

“Gak ada apa-apa. Lagi males saja,” Lisa tersenyum, menutupi suasana

hatinya.

“Oh iya. Dina ke mana?”

“Entahlah. Paling ke kantin.”

“Kalau begitu aku kantin dulu, ya? Kamu mau nitip apa?”

“Em…, gak usah deh. Makasih.”

“Beneran nih? Gak lapar?”

“Gak, makasih,” Lisa menggeleng pelan.

Mawar beranjak ke kantin, meninggalkan Lisa sendirian di bangkunya.

Lima menit kemudian, Angga datang menghampiri Lisa yang masih termangu di

kursinya.

“Lis! Haduh, aku pikir kamu ke mana. Kutunggu di kantin kok gak ada,”

sapa Angga.

Lisa tersenyum lesu. “Ya di sini. Memang mau lari kemana lagi?”

“Syukurlah, aku pikir dibawa lari Pak Sangit.”

Pak Sangit sering dijadikan bahan benyolan bagi cewek-cewek di SMA 2,

sebab guru BK itu duda beranak satu.

“Huss, ngawur. Bukan dibawa lari, tapi kabur bersama,” ujar Lisa.

Angga hanya terkekeh.

“Kamu kok gak ngumpul sama teman-teman?”

“Gak apa-apa. Lagi malas aja.”

Angga menatap wajah Lisa. Berbeda dari biasanya, dia tidak menemukan

kesan ceriah pada raut muka itu. Hanya ekspresi lesu dan tidak bersemangat. Jika

Toilet I’m in Love Page 67

Page 68: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

selama ini cewek tomboy itu yang paling rame di antara sahabatnya, kali ini dia

lebih banyak diam. Bahkan memilih menyendiri di kelas.

“Biasanya langsung ke kantin. Gak makan?” tanya Angga.

“Gak lapar.”

“Nanti sakit lho? Jaga kesehatan, kan mau ujian,” ucap Angga penuh

perhatian.

“Kalau aku sakit, kan ada kamu?” jawab Lisa tanpa ekspresi.

“Ha…, memang kenapa? Apa hubungannya?” Angga melongo. Hatinya

berdebar-debar, merasa mendapat perhatian lebih.

Ternyata selama ini Angga memendam rasa pada Lisa. Rasa suka, rasa

cinta, rasa sayang, dan seterusnya. Namun Angga malu dan segan untuk

mengungkapkan isi hatinya. Tentu saja hal itu disebabkan karena kesepakaatn

yang sudah dibuat bersama sahabat-sahabatnya.

“Kalau aku sakit, kamu yang jadi dukunnya,” goda Lisa tanpa semangat.

“Ah, kamu ini ada-ada saja,” muka Angga memerah, tersipu malu. Cowok

berkacamata itu memang jarang mendapat perhatian dari cewek.

Untuk beberapa detik mereka hanya terdiam. Angga tenggelam dalam rasa

yang berdebar-debar. Sementara Lisa masih tenggelam dalam rasa cemburunya

yang berkepanjangan.

“Akhir-akhir ini kamu aneh, Lis?” Angga menyambung percakapan.

“Aneh bagaimana?”

“Kamu berubah.”

“Kayak iklan rokok saja. Apa obsesimu? Cut! Cut! Cut!”

“Hehehe…, bukan begitu, Lis.”

“Terus kenapa? Ada jerawat baru di mukaku, ya?”

“Yang itu benar. Tapi ada lagi.”

“Apa lagi? Perasaan tidak ada bisul di hidungku,” Lisa memerotkan

cuping hidungnya.

“Bukan itu, Lis.”

“Terus apa?”

“Kalau kamu tertawa, gigimu kuning. Sekarang kamu jarang sikat gigi,

ya?” Angga bercanda.

Toilet I’m in Love Page 68

Page 69: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Huuu…, ngawur!” Lisa mencubit lengan Angga.

“Maksudku…, sekarang kamu lebih banyak diam, Lis.”

Kembali Lisa terdiam. Dia baru tersadar, ternyata kesedihannya tercium

oleh sahabatnya.

“Ada masalah apa, Lis?”

“Em…, enggak kok. Gak ada apa-apa,” Lisa menggeleng, memaksakan

diri untuk tersenyum.

“Aku tidak keberatan, jika perubahan pada dirimu itu hanya tumbuhnya

jerawat di muka. Bahkan aku juga tidak keberatan, jika perubahan itu hanya

warna kuning pada gigimu. Anggap saja sekarang lagi mode tidak sikat gigi. Tapi

aku keberatan, jika perubahan itu adalah keceriaan menjadi kesedihan.”

Lisa tersenyum sejenak. Lalu kembali terdiam. Matanya berkaca-kaca.

Kali ini tidak ada bawang merah yang menyelamatkan mukanya. Maka dia

berusaha keras untuk tidak menangis.

“Kalau kamu sedih, aku juga ikut sedih, Lis.”

“Makasih. Tapi memang tidak ada apa-apa kok,” Lisa menggeleng pelan.

“Yakin, tidak ada apa-apa?”

“Pak Ainul Yakin guru Kimia? Dia kan sudah pensiun setahun yang lalu,”

jawab Lisa bercanda.

Mereka tersenyum bersama. Lalu kembali diam. Yang satu memendam

cinta, sedang yang lain memendam kecewa.

Di saat mereka sedang tenggelam dalam pikiran dan suasana hati masing-

masing, tiba-tiba saja Dodik menghambur ke dalam kelas. Dia menghampiri Lisa

dan Angga yang sedang duduk termangu berdampingan. “Ga! Aduh, ke mana saja

kamu? Aku cari-cari,” ucapnya.

“Ada apa, Gentong?!” jawab Angga.

“Gawat!” jawab Dodik panik, dengan nafas terengah-engah.

“Apa? Gajah lewat?!”

“Ini serius, Brut. Eh, maksudku, Bro.”

“Ada apa sih?”

“Pak Sangit. Maksudku…, kamu dipanggil Pak Sangit.”

Toilet I’m in Love Page 69

Page 70: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Ha…! Yang bener. Ada apa lagi?!” Angga panik. Dia bangkit dari

duduknya. Matanya melotot.

“Entahlah…,” Dodik menggeleng.

“Ada urusan apa lagi? Kan sudah beres semuanya?!”

“Aduh, aku juga tidak tahu. Pokoknya kamu dicari. Segera menghadap.

Penting katanya.”

Angga beranjak dari duduknya. Lisa yang sedari tadi hanya diam bersedih,

kini juga ikut panik. Dia mengikuti Angga dari belakang. Penasaran, ingin tahu

apa yang sedang terjadi. Sementara Dodik sudah menghilang, keluar terlebih

dahulu.

Angga berjalan menyusuri koridor gedung kelas III, menuju kantor BK.

Perasaannya bercampur aduk: khawatir, takut, heran, penasaran, dan lain

sebagainya. Dia bingung, perasaan akhir-akhir ini tidak pernah membuat masalah

di sekolah. Ada apa lagi hingga guru BK itu tiba-tiba memanggilnya.

Gedung kelas III berada pada bagian paling belakang, dari keseluruhan

bangunan sekolah. Jadi dibutuhkan waktu beberapa detik lebih lama untuk

menuju kantor BK.

Kini Angga sudah berada pada ujung koridor kelas III. Selanjutnya dia

akan melewati koridor kelas I. Antara bangunan kelas III dan kelas I itu ada

sebuah lorong besar. Dan di dalam lorong itu terdapat WC. Pada saat Angga

melintasinya, tiba-tiba saja- dengan langkah mengendap- Lutfi mengejar dari

belakang. Dia membawa timba penuh berisi air. Setelah Angga berada dalam

jarak jangkauannya, tiba-tiba…

“Byurrr!!!” Lutfi menyiramkan timbah berisi air itu ke tubuh Angga.

Angga hanya melotot bingung. Belum reda dari kagetnya, tiba-tiba…

“Bruusss!!!” Aji berlari mendekat, lalu menghantamkan sekantung plastik

tepung kanji ke tubuh Angga.

Selang seper sekian detik kemudian…

“Pyookk!!! Pyokk!!!” Dodik menghantamkan beberapa butir telur ke

tubuh Angga.

Lengkap sudah. Seluruh tubuh Angga basah kuyup, berwarna putih tepung

bercampur dengan isi telur mentah.

Toilet I’m in Love Page 70

Page 71: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Aji, Lutfi, dan Dodik, tertawa terbahak-bahak. “Selamat ulang tahun!”

teriak mereka dari kejauhan. “Semoga panjang umur, semoga dapat cewek,

semoga cita-citamu jadi dukun bayi terkabul.” Angga memang punya cita-cita jadi

dokter kandungan.

“Sialan, kalian!!! Sialaaaaaaaan!!!” teriak Angga.

“Aku tunggu traktirannya,” ucap Dodik.

“Awas! Tunggu pembalasanku!” lagi Angga berteriak kesal.

Dina dan Mawar tertawa terkekeh-kekeh. Mereka menghampiri Angga,

yang hanya diam berdiri seperti patung kapur.

“Selamat ulang tahun,” Mawar menjabat tangan Angga.

“Terima kasih,” Angga meringis culun.

“Wah, kamu tambah ganteng. Selamat ulang tahun,” kata Dina.

Lisa datang mendekati Angga. Jika beberapa hari ini dia tidak dapat

tersenyum, kali ini dia tertawa terbahak-bahak. “Wah…, wah…, kamu sudah

masuk perangkap, Ga,” ucapnya.

Ternyata Dodik hanya berpura-pura. Dia sengaja memancing Angga, agar

mau keluar dari kelas. Sementara Lutfi, Aji, dan Dodik sudah menyusun rencana

itu matang-matang.

“Selamat ulang tahun. Aku tunggu traktirannya,” Lisa menyalami Angga.

“Oke, beres.”

# # #

“Halo, selamat malam. Dari siapa?” sapa Sinta, setelah mengangkat gagang

telepon.

“Dari Mawar. Aji ada?” jawab suara dalam telepon itu.

“Ada. Sebentar saya panggilkan.”

Sinta bergegas menuju kamar kakaknya. Malam minggu kali ini, Aji

memilih berdiam di rumah. Tidak ada gunanya keluar jalan-jalan. Jangankan

untuk membeli kaos Sakera lurik-lurik, membeli semangkuk bakso saja tidak

mampu. ‘Embargo ekonomi’ dari Bunda masih belum dicabut.

Toilet I’m in Love Page 71

Page 72: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Pintu kamar itu tidak terkunci. Sinta langsung menyerbu ke dalam.

“Kak, ada telepon,” ucap Sinta.

“Haduh…! Siapa lagi sih?!” jawab Aji tanpa menoleh. Dia sibuk dengan

pertandingan PS-nya. “Bilang saja aku gak ada.”

“Beneran, nih?”

“Hiya…, hiya…! Bilang saja aku keluar.”

“Katanya sih, namanya Mawar. Suaranya renyah dan serak-serak basah

gitu,” goda Sinta. “Tapi kalau tidak mau menerima teleponnya, ya sudah.” Sinta

beranjak keluar kamar.

“Eit…! Tunggu!!” Aji melempar stik PS-nya. Meloncat bangkit, lalu

menarik tangan adiknya. Dia bergegas menuju meja telepon yang berada di ruang

tengah.

“Hai,” sapa Aji.

“Lagi ngapain?” tanya Mawar.

“Gak ngapa-ngapain. Tumben telepon?”

“Hehehe…, iya. Aku sms kok gak terkirim. Akhirnya aku telepon rumah

saja. Oh iya, novelnya sudah selesai aku baca. Aku kembalikan sekarang, ya?”

“Ha, malam-malam begini? Gak usah repot-repot. Hari Senin saja di

sekolah.”

“Enggak repot kok. Sekarang aku lagi jalan-jalan. Sekalian saja nanti

mampir, ya?”

“Baiklah kalau begitu.”

Setelah menutup telepon, Aji mengambil gitar, duduk di ruang tamu

menunggu kedatangan Mawar.

Sementara itu, Bunda, Ayah, dan Sinta, masih berdandan. Mereka hendak

pergi menghadiri undangan resepsi pernikahan.

Malam lindap di luar. Bintang-bintang memicing di kejauhan. Bulan yang

hanya separuh, terbaring bak perahu karam di pantai, di ujung senja. Dari dalam

ruang tamu- melalui kaca- tampak sebuah sedan mewah berhenti di depan pagar

rumah. Samar terlihat, seorang gadis keluar dari BMW merah itu. Rambutnya

tergerai, berjalan anggun mendekat ke rumah.

Toilet I’m in Love Page 72

Page 73: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Sontak Aji meletakkan gitarnya. Bangkit dari tempat duduknya, lalu

membuka pintu. “Silakan masuk.”

“Makasih,” Mawar tersenyum.

Mawar masuk ke ruang tamu, lalu duduk di kursi. Gadis ayu berwajah

Indo itu mengenakan jeans biru, dipadu dengan kemeja putih press body

berlengan panjang dengan motif bunga sakura. Anggun, cantik, sempurna. Mirip

foto model yang sudah siap untuk sesi pemotretan.

“Kok cepet,” Aji membuka percakapan.

“Iya, tadi cuma putar-putar saja. Suntuk diam di rumah. Aku pikir sekalian

saja mengembalikan novelmu.” Mawar mengulurkan tangan, memberikan novel

itu ke Aji.

“E…, ada tamu toh?” ucap Bunda yang tiba-tiba saja muncul dari dalam.

Beliau sudah selesai berdandan. Sebuah sanggul besar bertengger di belakang

kepalanya. Mengenakan jarik cokelat, bermotif kembang dan burung.

Mawar mendekat, lalu menyalami Bunda.

“Satu SMA, ya, sama Aji?” tanya Bunda.

“Iya, Tante,” jawab Mawar.

Beberapa detik kemudian, Ayah dan Sinta juga muncul di ruang tamu.

Mereka sudah berdandan rapi. Bersiap hendak pergi.

“Mbak Mawar, ya?” sapa Sinta sok kenal.

“Iya,” Mawar tersenyum, lalu menyalami gadis imut itu, kemudian

menyalami Ayah yang berada di sampingnya.

“Sok akrab,” ledek Aji.

“Hehehe…, kan fotonya sering nongol di majalah,” jawab Sinta.

“Em…, baiklah. Kita tinggal dulu, ya,” sahut Ayah.

“Jaga rumah yang baik, ya?” ledek Sinta pada kakaknya.

Mereka pun beranjak pergi, meninggalkan Aji dan Mawar di rumah.

Sendirian di rumah, di temani ‘bidadari’, jantung siapa yang tidak

berdebum. Begitulah yang dialami Aji. Sudah sebulan lebih dia akrab dengan

Mawar. Jika awal mereka kenal, Aji tidak mempedulikannya, kali ini lain. Jantung

cowok itu serasa seperti tertimpa gempa 9,9 Skala Richter. Namun ia berusaha

keras untuk menekan segala rasa dan gelora itu.

Toilet I’m in Love Page 73

Page 74: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Cukup sudah, cukup!! bisik Aji dalam hati, menekan perasaannya. Cukup

dua kali saja patah hati dan malu. Aku tidak akan menggenapinya menjadi tiga!

“Bagaimana novelnya, bagus?” ucap Aji. Memulai pembicaraan

sewajarnya dan tanpa beban. Mencoba menutupi gejolak hatinya.

“Bagus. Sangat bagus,” jawab Mawar antusias. Novel itu berjudul ‘Yang

Tergusur’, karangan Sally Morgan. Terjemahan dari fersi Inggris ‘My Place’.

Aji hanya mengangguk, pura-pura mengerti. Padahal seumur hidup dia

belum pernah membaca novel.

“Kalau menurut kamu bagaimana?” Mawar balik bertanya.

“Bagaimana apanya?” Aji gelagapan, namun berusaha sebaik mungkin

manutupi kepongahannya.

“Tentang isi novel itu. Tentang perlawanan Sally, sebagai kaum Aborigin

yang tertindas. Pribumi Australia, yang akibat kedatangan bangsa Eropa,

keberadaan mereka menjadi terpinggirkan. Bahkan terancam untuk dimusnahkan,

baik kebudayaannya, juga manusianya.”

Aji hanya plonga-plongo. Dia baru sadar, ternyata ‘bidadari’ di depannya

itu bukan hanya cantik, tapi juga cerdas. Mempunyai minat yang besar terhadap

sastra dan sejarah.

Sungguh tidak biasa, bisik Aji dalam hati. Kebanyakan cewek cantik

otaknya blong, kosong mlompong. Sudah menjadi semacam rumus alam. Jika

Tuhan memberikan kelebihan pada fisik seseorang, maka Dia akan mengambil

separuh dari isi otaknya sebagai gantinya. Tapi untuk Mawar, hukum itu tidak

berlaku.

“Bagaimana, Ji?”

“Oh…, eh…! Iya, iya,” Aji gelagapan. Pertanyaan Mawar membangunkan

lamunannya.

“Iya bagaimana?”

“Emm…, maksudku begini,” Aji memutar otak. Mencoba merangkai

jawaban yang masuk akal, guna menutupi kepongahannya. “Aku setuju. Aborigin

adalah bangsa pribumi Australia. Mereka punya hak penuh atas tanah, air, dan

seluruh kekayaan alam yang ada di dalamnya. Jika kemudian Bangsa Eropa

datang, lalu merampas milik mereka. Maka mereka harus melakukan sesuatu.”

Toilet I’m in Love Page 74

Page 75: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Kini Mawar mengangguk. Berpikir bahwa jawaban Aji masuk akal juga.

Dia tidak tahu, jika Aji belum pernah membaca novel itu. Dan cowok itu hanya

merangkai jawaban sekenanya.

“Tapi sayang, kaum Aborigin tidak mampu melakukan perlawanan

apapun,” Mawar menghela nafas. “Bahkan yang lebih tragis, mereka berakhir

menjadi budak bagi kaum penjajah itu. Kehidupan mereka musnah, hak mereka

musnah, budaya mereka musnah, apapun yang mereka miliki musnah.”

“Bumerang tidak akan mampu mengalahkan senapan mesin. Tombak tidak

mampu melawan Dollar,” sahut Aji. “Namun setidaknya Sally sudah melakukan

perlawanan. Meskipun hanya melalui novel. Setidaknya itu bisa menjadi semacam

pekik pembelaan hak mereka yang dimusnahkan. Meskipun kadang percuma.”

Dahsyat. Kencan dadakan malam minggu itu benar-benar bermutu. Di

depan Mawar, tiba-tiba saja Aji menjadi budayawan, sastrawan, pengamat politik

luar negeri, ahli sejarah, dan sebagainya.

# # #

Masih pada malam minggu yang sama, namun di tempat lain, tepatnya di alun-

alun kota. Tampak Angga dan Lisa berjalan di sela-sela keramaian orang. Pada

malam hari, alun-alun tersebut berubah fungsi menjadi tempat hiburan

masyarakat. Penjual makanan, minuman, baju, celana, boneka, dan sebagainya,

berderet mengelilingi alun-alun. Selain itu juga terdapat hiburan anak-anak: kereta

kelinci yang ditarik mobil dan andong yang ditarik kuda.

“Mau ditraktir apa?” tanya Angga yang berjalan di sebelah Lisa.

“Em…., apa ya?!” Lisa mengerutkan dahi berpikir. “Nanti dulu deh.

Masih bingung. Kita jalan-jalan saja dulu, ya!” ajaknya.

“Oke-lah.”

Merekapun kembali melenggang berdampingan, menyusuri jalan sebelah

luar alun-alun yang dipenuhi pedagang. Pada malam minggu, pedagang selalu

lebih banyak dibandingkan hari biasa.

Hingga akhirnya langkah Lisa terhenti di depan penjual bakso. Ditatapnya

bola-bola bakso yang sebesar kepala bayi itu. Dia menelan ludah. “Kita makan

bakso, yuk!”

Toilet I’m in Love Page 75

Page 76: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Hehehe…, kamu ini seperti Dodik saja. Terserah kamulah,” jawab

Angga.

Mereka beranjak menuju penjual bakso itu. Kemudian duduk di atas trotor

yang diberi alas karpet. Beberapa pembeli yang lebih dahulu datang, tampak

sudah menikmati hidangan bola-bola besar itu.

“Silahkan,” ucap penjual itu, setelah meletakkan dua mangkuk bakso dan

dua gelas es teh di depan Angga dan Lisa.

Dengan penuh semangat, Lisa memotong pentol sebesar kepala bayi itu

kecil-kecil, lalu melahapnya.

Lain halnya dengan Angga. Cowok berkacamata itu terlihat tidak

bernafsu. Pikirannya berkecamuk, jantungnya berdebum-debum.

Angga menghela nafas pelan. Apakah harus sekarang? Bisiknya dalam

hati.

Ah, tidak. Jangan sekarang! suara hati yang lain melarangnya.

Kalau tidak sekarang, kapan lagi? tanya hatinya lagi.

Masih banyak waktu yang lebih baik, bantah hatinya.

Ahh…!!! Masa bodoh. Aku tidak mau menunda lagi. Aku tidak mau mati

penasaran. Aku sudah tidak mampu lagi menahan gejolak ini. Aku tidak mau

sengsara dalam penantian. Aku tidak mau……

“Kenapa, Ga?” Lisa keheranan melihat Angga yang hanya termangu di

depan mangkuk baksonya.

“Oh…, eh…, gak ada apa-apa,” Angga tergagap, terbangun dari

lamunannya.

“Kamu gak suka bakso, ya?”

“Suka kok. Meskipun tidak se-maniak Dodik.”

“Lho, kok diam aja?”

“Hehe…, masih berdoa,” Angga mencoba berbohong.

Kembali mereka terdiam, tenggelam dalam mangkuk baksonya masing-

masing. Hingga Lima belas menit kemudian, mangkuk bakso mereka kosong tak

tersisa.

“Lis. Em…,” dengan ragu, Angga memulai lagi percakapn. “Boleh

bertanya?”

Toilet I’m in Love Page 76

Page 77: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Hehehe…, Angga… Angga…, berapa lama kita sudah kenal? Berapa

lama kita bersahabat? Mau nanya saja pake minta konfirmasi. Kayak ngomong

sama pejabat saja. Mau nanya apa?” Lisa mengangkat gelas es tehnya.

“Emm…, menurut kamu, apakah seseorang harus jujur dengan hatinya?”

“Aku pikir memang harus begitu. Agar perasaan jadi ringan dan tidak ada

beban,” Jawab Lisa sekenanya.

“Meskipun nanti akibatnya menyakitkan?” sahut Angga.

Lisa mengerutkan dahi, berpikir. Cewek tomboy itu tidak langsung

menjawab. Dia mencoba mencerna pertanyaan itu. Tidak biasanya Angga seperti

itu. “Kenapa mesti menyakitkan?”

“Emm…, maksudku…, em…,” Angga jadi salah tingkah.

“Haduh, kamu ini kok aem…, aem… saja sih?!”

“Maksudku, meskipun nanti pada kenyataannya, jawabannya tidak sesuai

dengan yang kita inginkan.”

“Jawaban?! Jawaban apa?”

“Haduh!” Angga blingsatan. Kata itu tiba-tiba saja meloncat dari lidahnya.

Malam itu dia merasa seperti kambing bego. Jago Matematika, Fisika, dan Kimia,

tidak menjamin bahwa dia dapat menyusun rayuan dengan baik.

Sudah kepalang basah, bisik Angga dalam hati.

“Mulai sekarang, mulai menit ini, detik ini, aku mau jujur terhadap kata

hatiku, Lis,” ucap Angga sembari menegakkan punggung, menyiapkan mentalnya.

“Nah, itu bagus,” Lisa mengacungkan jempol. Sedikitpun tidak menyadari,

apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.

“Aku suka kamu, Lis. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu.”

Sontak Lisa tidak bisa berkata-kata. Serasa ada biji kedondong yang

menyangkut di tenggorokannya. Matanya mendelik. Pipinya memerah.

“Sayy… say…yang? Ci…ci…cin…ta?” Lisa tergeragap.

“Iya, Lis. Aku jujur dengan kata hatiku.”

Lisa menarik nafas dalam-dalam. Sekuat tenaga, berusaha menenangkan

hatinya. Hingga sekian menit kemudian, dia sudah dapat mengendalikan diri.

“Kamu sudah lupa, Ga?”

“Lupa apa?”

Toilet I’m in Love Page 77

Page 78: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Dulu, kita sudah membuat kesepakatan, bahwa di antara kita tidak boleh

ada cinta.”

“Ah…, hanya kesepakatan bodoh. Kenapa mesti diikuti?!”

“Kamu tidak merasa berkhianat pada sahabat-sahabatmu?”

Angga terdiam sejenak, lalu menghela nafas. “Apa aku salah, jika aku

mencintaimu?” ucapnya.

“Tidak. Kamu tidak salah. Tapi apakah kamu rela kehilangan sahabat-

sahabatmu?”

“Kenapa mesti kehilangan?”

“Sebab mereka kecewa denganmu. Sebab mereka merasa kamu khianati.

Sebab mereka….”

“Halah!! Hanya kesepakatan goblok. Kenapa mesti dipedulikan?!” Angga

gusar.

Lisa terdiam, begitu juga Angga. Dalam dua menit, tidak ada sepatah

katapun yang terucap dari bibir mereka. Hingga kemudian, Angga memulai lagi

percakapan. “Bukankah beberapa menit yang lalu, kamu yang bilang bahwa aku

harus jujur dengan suara hatiku?”

Mata Lisa berkaca-kaca. Rasanya dia ingin berteriak dan menangis. Dia

teringat akan dirinya, yang selama ini tidak pernah jujur terhadap isi hatinya, yang

selalu menekan perasaannya terhadap Aji.

“Lis?! Apakah cintaku tidak bertepuk sebelah tangan? Apakah gayungku

ini akan bersambut?”

Lisa menghela nafas panjang. Menatap Angga dengan teduh, serta

menyunggingkan senyum kepedulian. “Aku juga sayang sama kamu. Ta…”

Belum tuntas Lisa melanjutkan penjelasannya, Angga sudah meloncat

kegirangan. “Yahu…!! Yahu…!!!”

Seluruh perhatian pembeli baksos, tertuju ke Angga yang meloncat-loncat

seperti anak kecil.

“Jadi kamu menerima cintaku, Lis?” mata Angga berbinar.

“Haduh!” Lisa menundukkan muka, merasa malu menjadi perhatian

suluruh pembeli disitu. “Sssst! Duduk dulu! Dengar dulu!”

Angga kembali duduk. Mendengarkan dengan seksama penjelasan Lisa.

Toilet I’m in Love Page 78

Page 79: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Selama ini kita sudah bersahabat baik.” Lisa melanjutkan. “Jadi sayangku

padamu adalah sayang persahabatan. Atau semacam sayang seorang adik pada

kakaknya. Atau semacam sayang seorang saudara, pada saudaranya yang lain.”

Sontak wajah Angga berubah lesu. Dia tertunduk malu. “Lebih baik sakit

di awal. Namun setelah itu, segalanya menjadi jelas,” ucapnya.

“Bukan begitu. Kamu tidak usah sakit hati, atau kecewa. Aku juga sayang

kamu, tapi biarkanlah rasa itu terbingkai dalam persahabatan. Akan lebih baik jika

seperti itu. Mengertilah keadaan ini.”

Kembali mereka berdua terdiam. Menenangkan hati masing-masing.

Mencoba menerima keadaan sebagaimana adanya.

Hingga kemudian sebuah andong berhias- dengan ditarik kuda- melintas di

jalan, tidak jauh dari mereka.

“Kita naik andong, yuk!” ajak Lisa, mencoba mencairkan suasana.

Angga mengangguk lesu, menahan sisa kecewa dihatinya. “Teserah deh,”

ucapnya.

Setelah membayar bakso itu. Mereka beranjak menuju pangkalan andong

hias, yang tidak begitu jauh dari situ.

“Dua orang, bayar berapa, Pak” tanya Lisa.

“Sepuluh ribu, Mbak,” jawab kusir itu.

Angga hanya terdiam pasrah di sebelah Lisa. Mirip anak idiot, dia hanya

termangu-mangu tidak berkata-kata. Malam itu hatinya telah pecah berserakan.

Mirip gelas kopi yang dibanting ke lantai.

“Putar alun-alun berapa kali?” tanya Lisa.

“Tiga kali, Mbak,” jawab Kusir.

“Gimana, jadi naik?” tanya Lisa pada Angga.

“Terserah deh…,” jawab Angga. Dia benar-benar seperti robot gedek yang

rusak. Tidak ada kata lain yang bisa diucapkannya, selain ‘Terserah deh…’

Akhirnya mereka naik ke atas andong hias itu. Setelah itu Pak Kusir

menghentakkan tali kekang kuda. Andong itu melaju dengan tenang mengelilingi

alun-alun, di antara ramainya orang yang berlalu-lalang.

Lisa berusaha melupakan saja apa yang barusan terjadi. Dan mencoba

menikmati laju andong yang kendarainya. Namun lain halnya dengan Angga.

Toilet I’m in Love Page 79

Page 80: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Cowok berkacamata itu masih duduk termangu-mangu. Tubuhnya berada di situ,

tapi pikirannya seperti kosong, entah kemana.

Tiba-tiba saja Pak Kusir melambatkan laju andongnya.

“Kenapa, Pak?” tanya Lisa.

“Kudanya buang kotoran, Mbak,” jawab Kusir.

Kotoran berwarna hijau sebesar kepalan tangan, keluar beberapa kali dari

pantat kuda itu. Ada sebuah kantung penadah, yang terletak di bagian belakang,

tepat di bawah ekor kuda. Kantung itu berfungsi sebagai penadah kotoran. Namun

yang terjadi berikutnya adalah…

“Bokkk!!!” entah kenapa, mungkin kuda itu merasa gatal, hingga kaki

belakangnya menendang kantung penadah itu. Dan kotoran yang tertampung di

dalamnya terbang berhamburan ke belakang.

Kini tubuh ketiga orang yang berada di belakang itu berlumuran kotoran

kuda.

Lengkap sudah, bagi Angga ini adalah malam minggu yang sempurna.

Pertama: cintanya ditolak. Dan kedua: tubuhnya berlabur kotoran kuda.

# # #

Senin pagi, lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi. Murid-murid kelas

IIIA terlihat agak tegang. Terutama yang tugasnya belum selesai. Sebab jam

pelajaran pertama adalah Matematika.

Seperti biasa, dalam situasi seperti itu Dodik dan Lutfi selalu datang lebih

pagi, mencari contekan. Namun mereka kaget tatkala tiba di dalam kelas. Angga

yang biasanya selalu dapat mereka andalkan, pagi ini belum datang.

“Waduh, bagaimana ini?” gerutu Dodik.

“Iya, apa dia sakit? Biasanya selalu datang lebih pagi dari kita,” sahut

Lutfi.

“Haduh, kemana dia?”

Toilet I’m in Love Page 80

Page 81: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Tak mau mengambil resiko, Lutfi dan Dodik mencari alternatif contekan

yang lain. Ikut berkerumun bersama muird-murid lain, yang sedang mencontek

sebuah buku tugas, entah milik siapa.

Satu menit kemudian, Aji datang. Dia tampak santai. “Ha…, ada tugas

ya?” ucapnya.

“Iya!” sahut Lutfi tanpa menoleh.

Aji meletakkan tasnya dalam kolong meja, kemudian duduk tenang.

“Kamu mau baca puisi lagi, sambil ngangkat bangku?” tanya Lutfi

keheranan, melihat Aji yang santai tak peduli.

“Tugasmu sudah selesai, ya?” tanya Dodik.

“Hehehe…, beres,” jawab Aji.

“Sialan, kenapa tidak bilang dari tadi,” sahut Lutfi sembari menyerbu ke

bangku Aji, lalu menggeledah tasnya.

Empat menit kemudian bel masuk berbunyi. Namun Angga masih juga

belum datang. Benar-benar tidak biasanya dia seperti itu. Yang ada dalam pikiran

Aji, Lutfi, dan Dodik adalah Angga pasti sakit. Sebab jika tidak, atau ada

halangan lain, anak itu selalu datang labih cepat dari sahabatnya. Bukan hanya itu,

tugas apapun yang diberikan guru, selalu dia selesaika di rumah dengan baik.

Selang satu menit dari suara bel, Pak Bonar masuk ke dalam kelas.

Langkah guru bertampang penjahat sinetron itu tegap. Mirip parade kadet, dalam

upacara hari besar nasional.

Seperti biasa, saat penjahat sinetron itu masuk. Maka tidak ada satu suara

pun yang terdengar. Murid-murid melipat tangan dengan rapi di atas bangku. Rasa

gatal ditahan, batuk ditahan, bahkan kentutpun juga ditahan.

“Apa ada PR anak-anak?” tanya Pak Bonar dengan suara bariton, berat

dan serak.

Murid-murid masih terdiam, kaku seperti patung lilin.

“Aha…! Aku tahu kebiasaan kau. Kalau kau diam, berarti ada PR,” lanjut

Pak Bonar. “Nah, sekarang kau kumpulkan PR itu. Aku mau periksa.”

Seperti kopral yang mendapat komando dari kaptennya, tanpa banyak cin

cong, mereka langsung mengumpulkan buku tugas ke meja guru.

Toilet I’m in Love Page 81

Page 82: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Pak Bonar memeriksa buku tugas itu satu persatu. Mencocokkan nama

yang tertera pada buku itu dengan absensi. Dengan begitu dia tahu, siapa yang

belum mengumpulkan tugas. Sementara itu, Dodik dan Lutfi berdebar-debar di

bangku belakang. Mereka tidak henti-hentinya berdoa, agar kali ini kesialan

mereka tidak terulang.

“Kau yang punya nama Angga, belum mengumpulkan tugas,” ucap Pak

Bonar, setelah lima menit memeriksa buku-buku itu.

“Angga tidak masuk, Pak,” jawab beberapa murid.

“O…, jadi anak itu tak masuk.”

“Iya, Pak.”

“Baiklah. Kalau begitu, secara acak kau akan kupanggil maju kedepan.

Mengerjakan tugas ini di papan tulis, tanpa melihat buku kalian,” ucap Pak Bonar

sembari melihat daftar nama dalam absensi.

Di bangku belakang, jantung Dodik dan Lutfi berdentang bak bel katedral.

Kaki dan tangan mereka dingin berkeringat. Mulut mereka komat-kamit berdoa,

semoga nama mereka tidak dipanggil untuk maju kedepan. Sebab itu berarti

bencana.

“Aku panggil kedepan, kau yang punya Do…”

“Tok! Tok! Tok! Selamat pagi, Pak,” belum selesai Pak Bonar berbicara,

tiba-tiba Angga muncul di depan gawang pintu.

Sejenak Pak Bonar tersentak. Ditatapnya Angga. Rambutnya agak kusut.

Matanya merah, mungkin kurang tidur. Kini perhatian seluruh kelas tertuju

kepadanya.

“Pagi. Kenapa kau terlambat,” tanya Pak Bonar.

“Maaf, Pak. Saya terlambat,” jawab Angga lirih.

“Apa pula kau ini? Iya aku tahu, kau terlambat. Tapi kenapa kau

terlambat? Dari mana saja kau?”

“Dari rumah, Pak.”

“Ah…, kau ini. Payah! Kemana otak kau itu. Pastilah dari rumah, masa

dari kandang sapi?!!” bentak Pak Bonar.

Angga hanya diam. Semenjak malam Minggu kemarin, otaknya agak

kacau. Segala kalimat yang diucapkannya terasa tidak nyambung.

Toilet I’m in Love Page 82

Page 83: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Maaf, Pak.”

“Ah, sudahlah. Sekarang mana tugas kau?”

“Tugas?” Angga melongo.

“Iya, tugas kau mana?!”

“Belum selesai, Pak,” Angga menunduk.

“Apa?!” bentak Pak Bonar. Matanya mendelik seperti topeng Bali. “Kau

ini mau mempermainkan aku, ya? Sudah datang terlambat, tugas tak kau kerjakan

pula!!”

Di bangku belakang, Aji, Lutfi, dan Dodik, melihat kejadian itu dengan

terheran-heran. Mereka bingung dengan kelakuan sahabatnya itu. Namun mereka

tidak bisa berbuat apa-apa, selain terdiam menunggu apa yang selanjutnya terjadi.

“Baiklah,” lanjut Pak Bonar, “Sekarang kau tahu, apa yang harus kau

lakukan.”

Tanpa bertanya lagi, Angga beranjak ke tempat duduknya. Dia

mengangkat kursi itu di atas kepala. Lalu membawanya keluar kelas.

Pak Bonar mendekati cowok linglung itu. Memberikan secarik kertas,

yang sudah dia tulisi beberapa bait puisi. “Ini, kau baca puisi ini keras-keras,”

ucapnya

“Apa saya boleh membaca karya sendiri, Pak?” tanya Angga lirih.

“Aha.., rupanya kau suka buat puisi pula. Boleh, kau baca puisi karangan

kau itu keras-keras.”

Angga melaksakan hukuman itu. Diangkatnya kursi itu di atas kepala,

sembari berdiri di luar, di depan pintu kelas. Kemudian diucapkannya puisi

karyanya itu dengan lantang:

Kusemaikan melati di jantungku.Kurabukkan cintaHingga wanginya sempurna.

Kupersembahkan kelopak putih ini untukmu.Meski kau tak mau tahu.

Kurangkaikan karangan bunga ini.Meski kau tak peduli.

Meski wangi yang pernah ditebar,tak pernah mengambil bagian dalam jiwamu.

Toilet I’m in Love Page 83

Page 84: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Hebat. Siapa yang menduga, jika Angga yang lebih menyukai pelajaran

eksakta dari pada Bahasa Indonesia itu, dapat membuat puisi sebagus itu.

Angga mengucap puisi itu dengan lantang. Urat saraf malunya seolah

sudah hilang. Bahkan Pak Bonar, yang selama sepuluh tahun mengajar belum

pernah tersenyum di depan siswanya, kali ini tertawa terkekeh-kekeh. Melihat Pak

Bonar tertawa, seluruh murid yang sedari tadi menahan tawa, jadi ikut

meledakkan tawanya. Kelas jadi riuh. Semuanya terpingkal-pingkal, melongok

melalui jendela, melihat fragmen goblok yang sedang berlangsung di luar.

Kegaduhan pagi itu juga terdengar sampai kelas lain, terutama dari kelas

IIIE. Tata letak bangunan kelas tiga berbentuk huruf U. Jadi kelas IIIA, tepat

berhadapan dengan kelas IIIE. Hanya di batasi dengan taman bunga di

halamannya.

Sementara itu dari dalam kelas IIIE- yang kebetulan jam pelajarannya

kosong- beberapa murid melongok ke jendela, menyaksikan kejadian itu. Begitu

juga Mawar, Dina, dan Lisa. Jika Mawar dan Dina hanya terheran-heran dan

tertawa terbahak-bahak. Lain halnya dengan Lisa. Cewek itu terdiam. Hatinya

terenyuh, tergetar mendengar puisi yang diucapkan Angga dengan lantang. Tak

terasa, tetes-tetes air jatuh dari sudut matanya.

“Lis, kamu kenapa?! Kok nangis?” tanya Dina kebingungan.

“Oh…, eh…, gak. Gak kenapa-kenapa kok,” Lisa mengusap air matanya

cepat-cepat.

Cinta memang lucu. Saat dia meremukkan hati seseorang, maka sisi lain

dari pribadinya bisa muncul kepermukaan. Yang waras bisa jadi gila. Yang gila

bisa jadi tobat, dan sebagainya.

# # #

Bel pulang sekolah berbunyi. Saat itu tambahan les diliburkan. Seluruh siswa

kelas satu, dua, dan tiga berhambur keluar. Sebagaian menuju ke tempat parkir,

mengambil sepeda motor masing-masing, sebagaian lagi langsung menuju

gerbang, yang baru saja dibukakan satpam Pak Raden.

Toilet I’m in Love Page 84

Page 85: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Bagi kebanyakan murid sekolah di seluruh dunia, bel pulang sekolah

adalah bel kebebasan. Merdeka dari kungkungan tata tertib, merdeka dari

pelajaran yang dijejalkan. Namun saat itu berbeda dengan Angga. Cowok yang

habis dihajar cinta itu berjalan lunglai ke luar kelas. Dia tidak bersemangat untuk

pulang sekolah, bahkan untuk melakukan apapun.

“Ga!” panggil Aji dari belakang, yang sedang berjalan bersamaan dengan

Dodik dan Lutfi.

Angga tidak menoleh. Dia masih terus berjalan gontai.

Aji mengejar, begitu juga dengan Lutfi dan Dodik.

“Kamu ini kenapa, Ga?” tanya Lutfi, sembari menghadang di depannya.

“Tidak apa-apa,” jawab Angga pelan, sembari menyunggingkan senyum

kecut, dan terus berlalu.

“Kamu kesurupan di mana, Ga?” tanya Dodik sekenanya.

“Di warung bakso.”

“Ha…! Warung bakso mana yang ada setannya?” Dodik melongo.

“Alun-alun,” jawab Angga singkat. Dia terus berjalan dengan disertai

sahabatnya di sampingnya.

“Plokkk!” Aji menampar pelan pipi Angga. “Yang serius! Kamu ini

kenapa?”

“Plokkk!” Lutfi juga ikut menampar pelan pipi Angga. “Kalau ada

masalah, kamu harus berbagi dengan sahabatmu,” ucapnya penuh perhatian.

“Plokkk!” kini giliran Dodik yang menampar pipi Angga. “Kamu kena…”

“Sudah!!! Sudah!!!” bentak Angga. Kali ini dia benar-benar marah.

Mukanya sontak memerah. “Pergi kalian semua. Sejak kapan kalian menjadi

pacarku. Aku juga tidak pernah poligami dengan kalian. Jadi kalian tidak perlu

mempedulikan aku. Bisakah kalian membiarkan aku sendirian? Sehari saja?!!”

Rentetan makian itu membuat Aji, Lutfi, dan Dodik terdiam. Mata mereka

melotot saling pandang. Tidak biasanya Angga seperti itu. Sekian lama mereka

mengenalnya, belum pernah Angga semurka itu. Sekian lama mereka bersahabat,

belum pernah Angga menanggapi guyonan sahabatnya dengan amarah seperti itu.

Aji menghela nafas panjang. Merasa iba dengan sahabatnya. Namun kali

ini sepertinya tidak ada yang bisa dilakukan. “Baiklah…. Maafkan kita. Jika

Toilet I’m in Love Page 85

Page 86: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

selama ini ada salah kata, salah perbuatan, salah menaruh celana dalam, salah

menaruh kutang, dan sebagainya. Mungkin saat ini, lebih baik kamu sendiri,”

ucapnya sembari menepuk punggung Angga, lalu pergi.

“Kita akan tetap bersahabat. Meskipun taruhannya kita tetap menjadi laki-

laki sejati, tidak menjadi homo. Dan itu artinya, kita tidak bisa menikah,” sahut

Lutfi sembari menepuk punggung Angga, kemudian berlalu.

“Kalau begitu…” Dodik mendekati Angga, “aku tidak akan beli bakso di

alun-alun. Biarlah badanku sedikit kurus, yang penting aku tidak kesurupan.”

Letak SMA 2 agak jauh dari jalan raya. Jadi kini Angga sendiri, menyusuri

jalan kecil menuju ke jalan raya, untuk menumpang angkutan umum. Sahabat-

sahabatnya sudah berlalu. Mereka pulang terlebih dahulu. Cowok berkacamata itu

masih gontai. Terik Matahari siang yang membakar kulit tidak dipedulikannya.

“Becak, Mas,” ucap seorang abang becak yang mengikutinya.

Angga hanya menggeleng tanpa berkata apa-apa.

“Tiga Ribu sampai depan, Mas,” abang becak itu menawarkan harga.

Lagi, Angga menggeleng acuh.

“Dua Ribu saja, Mas,” abang becak itu menurunkan harga.

Angga hanya diam.

“Sudah deh, Seribu Lima Ratus saja, Mas. Saya sudah banting harga ini,”

abang becak itu belum juga mau menyerah.

“Hoi, Bang! Jangankan Seribu Lima Ratus, gratis pun saya tidak akan

naik. Jangankan kamu banting harga, kamu banting bacak sekalipun, aku tidak

peduli,” ucap Angga memaki-maki.

“Gendeng!!!” abang becak itu balas memaki, lalu mengayuh becaknya

pergi.

Kini kembali Angga berjalan sendiri di bawah terik Matahari. Debu-debu

yang diterpa angin mengambang di udara. Tiba-tiba saja…

“Angga…!!” dari kejauhan terdengar suara cewek memanggil.

Angga menoleh kebelakang, ternyata suara Lisa. Cewek tomboy itu

berlari-lari kecil menghampirinya.

Angga menghentikan langkahnya, menanti Lisa.

Toilet I’m in Love Page 86

Page 87: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Tumben gak bawa motor, Lis?” tanya Angga, setelah cewek itu tiba di

hadapannya.

“Enggak, lagi pingin naik angkot,” jawab Lisa ngos-ngosan.

Mereka kembali berjalan santai, sembari melanjutkan perbincangan.

Untuk beberapa menit tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka.

Angga berjalan sembari menundukkan kepala, sesekali menendang batu-batu kecil

yang terserak di pinggir jalan. Begitu juga Lisa, gadis itu sedikit enggan memulai

percakapan. Dalam hati dia merasa bersalah, atas perubahan yang terjadi dalam

diri sahabatnya itu.

“Kita cari es buah, yuk!” ajak Lisa, mencoba membangun percakapan.

“Terserah kamu saja deh,” jawab Angga tidak bersemangat.

Akhirnya mereka masuk ke warung es buah, yang berada di pinggir jalan.

Dinginnya es buah, memberikan kesegaran di tengah siang yang terik itu.

“Kenapa kamu berubah?” Lisa memulai percakapan.

“Cut! Cut! Cut!” teriak Angga. Menirukan adegan iklan rokok.

Lisa tersenyum sejenak, lalu kembali serius.

“Enggak, Lis. Gak ada yang berubah.”

“Sekian lama aku kenal denganmu, belum pernah aku melihatmu menulis,

apalagi membaca puisi. Tapi tadi pagi…, di luar kelas, waktu jam pelajaran Pak

Bonar…”

“Ah, itu kan karena aku dihukum saja. Lagi pula, itu puisi karya Pak

Bonar kok.”

“Jangan bohong lagi, Ga. Kalau kamu tidak jujur, masalah ini tidak akan

pernah selesai. Aku tahu puisi itu buatan kamu. Aku juga tahu puisi itu sengaja

kamu tulis untukku. Malahan aku berpikir, kamu sengaja telat dan tidak

mengerjakan PR, agar memperoleh kesempatan membaca puisi itu.”

“Ah, enggak. Siapa yang bilang begitu? Aku memang lagi malas

mengerjakan PR. Aku juga lagi pingin membuat puisi, sekalian pingin

membacanya. Puisi itu juga bukan...”

“Sudah! Sudah! Kamu jangan buat aku sedih lagi,” sahut Lisa. Tiba-tiba

saja gadis itu menangis. Air mata berguguran membasahi pipinya.

Angga terdiam. Dia menundukkan kepala.

Toilet I’m in Love Page 87

Page 88: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Kamu sayang sama aku, Ga? tanya Lisa sesenggukan.

Angga mengangguk pelan tanpa bersuara.

“Aku juga sayang sama kamu,” jawab Lisa. “Jika kamu sayang sama aku,

berarti kamu tidak ingin kalau aku sedih, kan?”

“Iya,” jawab Angga lirih.

“Maukah kamu berjanji kepadaku?”

“Berjanji apa?”

“Kamu tetap seperti yang dulu. Jika kamu melanggar janjimu, itu berati

kamu membuatku sedih.”

“Berarti aku tidak boleh membuat atau membaca puisi?”

“Bukan begitu. Maksudku kamu harus tetap rajin seperti dulu.”

“Emm…, baiklah. Aku janji.”

“Dan yang terakhir.”

“Apa lagi?”

“Membiarkan rasa sayang itu tetap seperti ini, tanpa harus pacaran.”

Angga menghela nafas panjang, lalu mengangguk pelan. “Baiklah.”

Lisa bangkit dari tempat duduknya, lalu mengecup kening Angga.

Begitulah, adegan kampungan dalam warung pinggir jalan itu pun

berakhir.

Toilet I’m in Love Page 88

Page 89: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

5

Spora Cinta

Sebulan telah berlalu semenjak Angga menjadi linglung, akibat uluran

cintanya ditampik Lisa dengan gaya diplomasi model telenovela. Kini segalanya

kembali normal. Cowok itu sudah dapat menerima kenyataan sebagaimana

adanya. Menganggap Lisa tetap sebagai sahabat baiknya, tanpa tendensi apapun.

Dia juga rajin seperti sediakala: mengerjakan semua tugas sekolahnya dengan

baik, dan datang ke sekolah lebih awal dari sahabatnya.

Begitu juga dengan Lisa. Gadis itu lebih memilih melupakan perasaannya

terhadap Aji. Dia berpikir segalanya akan lebih baik jika tetap seperti itu. Mereka

akan tetap menjadi sahabat yang kompak, dan saling peduli satu sama lain. Istilah

‘pacar’ hanya akan membatasi kebebasan mereka. Status ‘pacar’ akan

Toilet I’m in Love Page 89

Page 90: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

menimbulkan sekat, batas yang tak kasat mata di antara sahabat-sahabatnya. Dan

yang lebih bahaya lagi akan menimbulkan kecemburuan. Bayangkan jika

seandainya dia pacaran dengan Aji. Betapa hancurnya perasaan Angga, yang

selama ini ternyata memendam cinta terhadapnya. Maka bisa dipastikan, perang

dingin antara sahabatnya itu tidak dapat dihindari. Maka satu-satunya pilihan

bijaksana adalah membiarkan segalanya tetap seperti sediakala.

Sore itu, Angga, Aji, Dodik, Lutfi, Lisa, dan Dina berkumpul di rental

studio musik. Mereka sepakat, bahwa saat itu adalah terakhir bagi mereka untuk

ngeband bersama. Sebab Ujian nasional tinggal dua bulan lagi. Jadi setelah itu

mereka akan memusatkan perhatian untuk belajar.

I didn't hear you leaveI wonder how am I still hereAnd I don't want to move a thing

Sebuah lagu Dido- Here With Me, mengalun dari mulut Lisa. Cewek

tomboy itu punya suara lumayan, meskipun tidak pernah menang dalam festival

musik.

“Stop! Stop!” ucap Dodik sembari menghentikan permainan drumnya.

“Ada apa sih, Dod?” tanya Lisa jengkel.

“Sori… Din, roti yang tadi kamu bawa masih ada, gak?” Dodik nyengir.

“Haduh, makan saja diurusi,” gerutu Angga.

“Dari pada main drumnya tidak bertenaga karena perut lapar?!” Dodik

membela diri.

“Ini,” Dina menglurkan roti dari tasnya.

Beberapa detik kemudian, mereka melanjutkan lagu itu.

Lisa terlihat sangat menghayati lagu itu. Sesekali dia mengembangkan

tangan, atau menempelkannya di dada. Seolah-olah beraksi di atas panggung

dengan disaksikan puluhan ribu manusia.

“Stop! Stop!” teriak Lutfi sembari menghentikan permainan key board-

nya.

“Haduh…! Haduh…! Ada apa lagi sih?” gerutu Lisa. Lagi-lagi aksinya itu

terhenti.

“Sori…, sori…,” ujar Lutfi cengingisan. “Din, minta air minumnya.”

Toilet I’m in Love Page 90

Page 91: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Kamu ini kok ikut-ikutan Dodik?” protes Lisa.

“Dari pada main key board-nya gak konsentrasi, karena haus?!”

Dina membuka tas rangselnya, mencarai-cari botol minuman yang tadi

sepertinya sempat di bawanya.

“Waduh!” gerutu Dina. Dia terus membongkar isi tasnya.

“Ada apa, Din?” tanya Lutfi.

“Lupa, aku gak bawa minum.”

“Ambil saja di tasku, Lut,” sahut Aji.

Lutfi beranjak mengambil tas Aji yang tergeletak di sudut ruangan. Dia

membukanya, mengambil botol minuman yang ada di dalamnya.

Puas dengan minumnya, dia mengembalikan botol itu ke dalam tas.

Namun tiba-tiba saja matanya terbelalak, dikejutkan oleh sesuatau yang ada dalam

tas Aji. Dalam beberapa detik dia hanya bengong.

“Ada apa, Lut?” Aji kebingungan.

Melihat gelagat itu, maka Angga, Dodik, Lisa dan Dina, ikut keheranan.

Kini perhatian mereka tertuju ke Lutfi.

“Ada apa sih, Lut?” tanya Lisa jengkel.

“Daah…dah… dahsyat,” Lutfi tergagap.

“Apanya yang dahsyat?” Angga penasaran.

“Bukunya.”

“Halah, melihat buku saja seperti melihat hantu. Kamu itu berlebihan,”

sahut Dina.

Dengan gaya yang dibuat-dibuat, seperti adegan dalam film silat, Lutfi

mengeluarkan buku itu dari dalam tas Aji.

“Kahlil Gibran,” ucap Lutfi sembari memegang buku itu dengan tangan

bergetar, bak memegang pusaka sakti.

Sontak saja, Angga, Dodik, Lisa dan Dina, menjadi bengong. Mata mereka

mendelik, lalu serempak menghampiri Lutfi, meyakinkan apa yang sedang

dilihatnya. Ternyata benar itu adalah buku Khalil Gibran- Balada Sang Kekasih.

“Aji membawa buku Khalil Gibran dalam tasnya?!” ujar Angga. Seolah

tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.

Toilet I’m in Love Page 91

Page 92: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Wajar jika mereka bengong dan kaget seperti melihat setan. Sebab setelah

sekian lama mereka bersahabat dengan Aji, belum pernah sekalipun cowok itu

menyentuh, membicarakan, apalagi membawa bahkan membaca buku sastra.

Kejadian itu sangat tidak masuk akal. Sama saja dengan melihat kambing

membaca puisi.

Dodik mendekati Aji yang sedang salah tingkah. Dia menempelkan

punggung telapak tangannya ke kening Aji. Sekian detik kemudian, dia

menempelkan punggung telapak tangan itu ke pantatnya. “Kepala kamu tidak

panas, Ji. Berarti kamu tidak kesurupan kan?” tanyanya.

“Halah…!” Aji menepis tangan Dodik, yang hendak ditempelkan di

keningnya lagi.

Sementara itu- pada sudut ruangan studio- dengan dikelilingi Dina, Lisa,

dan Angga- Lutfi membuka buku itu dan membacanya dengan lantang.

Kakasihku, berkunjunglah padaku. Mari kita terbang

membubung ke puncak-puncak bukit, karena salju telah mengalir dan

hidup telah terbangun dari lelapnya dan kini telah mengembara di

antara bukit dan lembah, menyusuri jejak tak berujung yang

ditinggalakan musim semi dan menghitung puncak-puncak bukit untuk

menulis puisi di atas lembah hijau yang dingin…..

“Brakk!!!” Aji melempar gitar yang dipegangnya, lalu bergegas ke arah

Lutfi, merebut buku yang sedang dibacanya.

“Wusss!!!” Lutfi melempar buku yang dibawanya ke arah Dodik, yang

berada pada sisi yang lain.

Setelah berhasil menangkapnya, Dodik membuka buku itu, lalu

membacanya lagi dengan lantang.

Kekasihku, marilah kita mengembara ke padang-padang, karena

musim petik telah tiba…

Kini Aji mengejar Dodik, mencoba merebut buku yang dibacanya. Namun

tiba-tiba saja…

Toilet I’m in Love Page 92

Page 93: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Gelodakk!!!” tanpa sengaja, kakinya tersandung gitar yang tadi dia

hempaskan begitu saja di lantai. Dan yang terjadi berikutnya adalah tubuh Aji

jatuh menimpa drum, ditambah lagi dengan dua gagang mikrofon jatuh menimpa

tubuhnya.

Tawa sahabat-sahabatnya meledak berderai.

Sementara itu Dodik, masih saja dengan lantang membaca buku itu.

Marilah kita kemas buah-buah bumi, sebagaimana jiwa yang

membentengi kuncup-kuncup kebahagiaan dari bibit-bibit cinta yang

melukai dada kita…

# # #

Minggu sore, Aji memacu motornya dengan kecepatan sedang.

“Yuhuii…!” Mawar yang berada di boncengan belakang berteriak

kegirangan. Seumur-umur baru kali ini dia naik motor. Maklum anak orang kaya,

kemana-mana naik mobil mewah.

“Kemana, nih?” tanya Aji.

“Puter-puter saja, sampai bensin habis,” jawab Mawar bercanda.

“Hehehe…, oke sajalah.”

Motor itu terus melaju menyusuri jalan kota. Minggu sore jalanan tidak

begitu ramai. Hanya beberapa mobil melaju cepat di tengah jalan. Matahari telah

bergeser jauh ke barat. Sore itu tidak begitu terik.

Bagi Aji, hal itu sungguh di luar dugaannya. Siang tadi- dua jam yang

lalu- dia masih duduk-duduk di beranda rumah Mawar, menikmati segelas jus

tomat dan kacang kulit. Namun tiba-tiba saja Mawar minta diajari naik motor.

“Ah, jangan bercanda,” jawab Aji waktu itu.

“Lho, beneran. Aku tidak bercanda,” Mawar meyakinkan.

“Mau jadi tukang ojek?”

“Memang apa salahnya kalau aku jadi tukang ojek?”

Toilet I’m in Love Page 93

Page 94: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Wah, jangan. Bahaya. Pangkalan ojek bisa geger, sebab seluruh

penumpang pasti ingin naik motormu. Apalagi penumpang pria. Kasihan bapak-

bapak tukang ojek yang lain. Mereka kalah cantik sama kamu.”

“Beneran, aku pingin bisa naik motor. Ajari aku, ya?!” rengek Mawar

manja.

Sontak jantung Aji berdebum, seperti digocoh gempa 9,9 Skala Richter.

Sama sekali diluar dugaannya, jika Mawar sampai merengek manja seperti itu.

Wajah Indo-nya terlihat sangat cantik. Mata birunya terlihat sangat mempesona.

Dada pria mana yang tidak bergemuruh, jika melihat pemandangan seperti itu.

Nafas laki-laki mana yang tidak sesak, jika menerima permintaan manja dari

wajah seperti itu.

Wajar jika Aji jadi blingsatan dan salah tingkah. Dia menenggak habis jus

tomat yang dihidangkan di depannya. Mencoba menenangkan diri, mengatur

nafas, dan meredam irama detak jantungnya yang tidak teratur.

“Boleh?” tanya Mawar penuh harap.

Aji tidak menjawab. Dia diam memutar otak. Bukannya tidak mau

mengajari. Dia hanya tidak mau mengambil resiko, jika sampai Mawar terjatuh

dan nyungsep di atas aspal.

“Emm…, begini saja. Kita jalan-jalan saja, naik motor!” Aji mencoba

mengalihkan perhatian.

“Males, ah...! Orang pingin belajar, malah diajak jalan-jalan,” Mawar

ngambek.

“Maksudku, sebelum belajar naik motor, seseorang terlebih dahulu harus

merasakan bagaimana dibonceng naik motor,” jawab Aji asal-asalan, mencoba

membujuk.

“Gak nyambung,” Mawar menyunggingkan senyum. “Ya sudahlah, kita

jalan-jalan saja.”

Begitulah awalnya. Maka pada minggu sore itu mereka jalan-jalan

menyusuri kota, dengan Aji yang memegang kendali motor dan Mawar berada di

boncengan belakang.

Sampai di perempatan jalan, lampu merah menyala. Aji menghentikan

motornya, menunggu beberapa saat.

Toilet I’m in Love Page 94

Page 95: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Aku ada ide bagus,” ujar Mawar.

“Apa?”

“Kita lihat pemandangan yang segar di mata, yuk!”

“Pemandangan segar apa? Orang jual es di alun-alun?”

Mawar mencubit perut Aji.

“Auw!!!” teriak Aji kesakitan.

“Maksudku, kita lihat sawah-sawah yang menghampar hijau di pedesaan,”

ucap Mawar.

“Oke, ide bagus.”

Lampu hijau menyala. Aji memutar pedal gas, motor itu melaju, menikung

di pertigaan berikutnya, menuju ke arah jalan pedesaan.

Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di kawasan pedesaan.

Hamparan sawah menghijau bak permadani. Beberapa petak sudah menguning,

siap dipanen. Serombongan burung manyar terbang rendah dipermukaan padi.

Burung-burung itu hendak hinggap mencuri bulir padi, tapi tiba-tiba saja terbang

ketakutan. Sebab seorang petani memukul kentongan sambil berteriak-teriak

mengusir mereka pergi.

Aji memelankan motornya. Mereka menikmati pemandangan, hamparan

sawah yang menghijau di kanan-kiri jalan, sembari menghirup udara senja yang

segar dan bebas polusi.

Jalan beraspal selebar 2,5 meter itu sepi. Hanya sesekali penduduk yang

melintas berjalan, atau mengendarai sepeda ontel.

“Itu! Berhenti di situ, Ji!” ucap Mawar spontan, sambil menunjuk sebuah

batu besar. Batu itu sebesar kerbau, terletak di pinggir sawah, tidak jauh dari jalan.

Aji menghentikan motornya, memarkirnya di pinggir jalan. Setelah itu

mereka beranjak ke batu besar itu, menaikinya, lalu duduk di atasnya. Di sebelah

batu itu mengalir sungai kecil, dengan air yang sangat bening.

Dari atas batu itu Mawar menyapukan pandangannya jauh kedepan, ke

seluruh penjuru sawah, yang membentang hingga kejauhan. Gadis jelita itu

menghirup nafas panjang, menikmati udara segar pedesaan. Rambutnya yang

hitam tergerai, bergoyang disapu angin.

Toilet I’m in Love Page 95

Page 96: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Aji yang duduk di samping Mawar, memandangi gadis itu dengan

keheranan. “Belum pernah lihat sawah, ya?”

Mawar menyunggingkan senyum. “Beberapa tahun terakhir ini memang

jarang.”

“Memang dulu kamu sering ke sawah? Ngapain, nyari katak?!” ledek Aji.

“Auwww!!!” teriak Aji. Mawar mencubit perutnya.

“Dulu waktu masih SMP,” Mawar melanjutkan, “saat masih tinggal di

Bandung, Papa sering mengajakku ke Lembang. Di sana banyak perkebunan teh.

Paling tidak sebulan dua kali. Biasanya pada hari minggu kami sekeluarga

menghabiskan liburan berjalan-jalan menyusuri perkebunan itu.”

“Wah, kok gak cerita dari dulu?”

“Memangnya kamu wartawan gosip?” ledek Mawar.

“Hehehe…, wartawan flora dan fauna.”

“Auwww!!!” teriak Aji kesakitan, Mawar mencubit perutnya lagi.

“Kamu sih gak nanya,” ucap Mawar.

Begitulah, Mawar menceritakan semuanya pada Aji: tentang dirinya dan

keluarganya. Bahwa Papanya adalah orang Belanda. Seorang tenaga ahli dalam

bidang pertambangan, yang sengaja dikontrak dan didatangkan dari negerinya.

Industri pertambangan yang mengontrak ayahnya itu berkantor pusat di Bandung.

Disitu Papanya bekerja sebagai konsultan. Dan di Bandung Papanya berjumpa

dengan Mamanya, dan kemudian menikahinya. Namun tepat setelah Mawar lulus

SMP, kantor pertambangan tempat Papanya bekerja, membuka cabang di Jawa

Timur. Dan Papanya dipindah tugaskan ke kantor baru tersebut. Maka seluruh

keluarganya juga ikut pindah.

“Khalil Gibran-nya bagus?” tanya Mawar. Beberapa hari yang lalu dia

meminjamkan bukunya itu pada Aji.

“Bagus, bagus sekali. Hanya saja sulit untuk dipahami.”

Hari makin beranjak sore. Matahari merendah di ufuk barat. Hamparan

padi yang tadi menghijau, kini berubah menjadi berkilau jingga keemasan. Dari

kejauhan terlihat beberapa petani naik dari sawahnya ke pematang. Mereka

membersihkan kaki yang penuh lumpur dalam anak sungai yang mengalir di sela

pematang.

Toilet I’m in Love Page 96

Page 97: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Mawar memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, seolah ingin

memasukan seluruh hembusan angin senja itu ke dalam paru-parunya.

“Ji!” ucap Mawar tanpa menoleh.

“Yup!” jawab Aji tanpa menoleh pula. Tatapannya masih menerawang

jauh ke hamparan sawah yang berwarna jingga keemasan.

“Aku mau berteriak sepuas-puasnya. Biar perasaanku plong. Biar hatiku

lega.”

Sontak Aji menoleh. Dia kebingungan, ditatapnya gadis yang ada di

sampingnya itu. Namun Mawar bergeming, tatapannya masih lurus ke depan, ke

arah hamparan sawah yang luas. “Lho, memang apa hubungannya? Berteriak bisa

meringankan perasaan, ya? Teriak-teriak juga bisa menghilangkan beban dalam

hati, ya?” tanyanya.

Mawar menoleh, lalu menyunggingkan senyum. “Aku pernah membaca

buku yang isinya semacam itu. Jika kita berteriak lepas, maka seluruh energi

negatif yang mengendap di tubuh kita akan terlepas. Dengan begitu perasaan kita

akan menjadi ringan.”

“Ow…, begitu.”

“Sekarang aku coba, ya?!” Mawar menarik nafas dalam-dalam, bersiap

untuk berteriak.

“Eiit! Jangan! Bahaya!” larang Aji, sambil menarik pergelangan tangan

Mawar.

Mawar menghembuskan nafasnya kembali, membatalkan rencananya.

“Memang kenapa?”

“Nanti dikira orang aku mau berbuat yang tidak-tidak sama kamu. Bisa-

bisa orang kampung datang kemari sambil bawa pentungan. Wah, bisa jadi ‘tempe

penyet’ tubuhku.”

Mawar tersenyum. “Sedikit saja ya, Ji. Gak keras kok,” rengeknya manja.

Siapa yang mampu menolak rengekan manja dari bidadari secantik itu.

Dalam suasana senja yang romantis pula.

“Em…, baiklah. Tapi jangan keras-keras, ya!” Aji memberi syarat.

“Oke. Jangan khawatir.”

Toilet I’m in Love Page 97

Page 98: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Mawar bersiap. Dia menarik nafas dalam-dalam. Memenuhi paru-parunya

dengan udara. Dan…

“Oooo…! Ooo…!! Ooo…!!!!!!!!” Mawar berteriak seperti Tarzan. Pada

awalnya teriakan itu hanya dengan suara sedang. Namun makin lama, teriakan itu

makin mengeras, dan tidak terkontrol.

Aji gelagapan. Tidak mau mengambil resiko babak belur di pukuli orang

kampung, dengan gerakan cepat dia membungkam mulut Mawar.

“Huuppp!!” sontak teriakan Mawar terhenti. Tangan Aji membungkam

mulutnya. Namun yang terjadi berikutnya adalah…

“Bukk!!!” tanpa sengaja, dengan gerakan reflek, tangan kanan Mawar

menyikut dada Aji. Cowok itu terpelanting ke samping. Dan dengan gerakan

reflek pula, tangan Aji meraih tangan Mawar. Dan…

“Gedebukk!!! Byorrr!!!” tubuh mereka jatuh dari atas batu itu, tepat

mendarat terlentang di atas anak sungai yang mengalir di bawahnya.

“Aji…!!!” teriak Mawar sembari mencubit pipi Aji.

Fragmen bodoh mirip film India itu berakhir dengan kocak. Dinaungi

langit senja, lengkap dengan semilir angin, kini tubuh mereka basah kuyub, kotor

berlabur lumpur.

# # #

Senja baru saja beranjak. Perlahan gelap merayap. Di teras rumah, kini Mawar

duduk sendiri. Anggrek bulan dari berbagai jenis, yang mekar berderet, baginya

terlihat begitu lain malam itu. Sinar lampu teras yang terhambur di kelopak-

kelopaknya, menambah indah warna-warninya.

Ah, atau jangan-jangan memang hatinya saja yang saat itu sedang

berwarna-warni. Tidakkah bunga-bunga anggrek itu sudah dua tahun berada di

teras itu, dan sudah berkali-kali berbunga. Tidakkah lampu teras itu juga sudah

sekian lama bertengger di sana, dan masih lampu itu-itu juga. Jika saat ini kelopak

anggrek yang tersinari lampu teras itu menjadi demikian indah, jauh lebih indah

dari waktu-waktu yang lalu, itu karena hatinya saja yang sedang berbinar indah.

Toilet I’m in Love Page 98

Page 99: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Ada getaran aneh yang merambat lalu merengkuh sukmanya. Getaran itu

menciptakan lensa yang tidak kasat mata. Sehingga apapun yang ditatapnya

menjadi lebih mempesona. Jangankan kelopak-kelopak anggrek bulan, batang

kayu kering pun akan berubah menjadi ukiran indah. Getaran itu tidak disadarinya

merambat memenuhi hatinya, semenjak kenal lebih dekat dengan Aji. Sesuatu

yang tidak pernah dirasakannya saat dia pacaran dengan Bobi.

Tiba-tiba saja sebuah kembang anggrek yang layu jatuh dari tandannya.

Mawar menghela nafas pelan. Biarlah yang layu akan gugur ke tanah, dan

kelopak-kelopak baru akan menggantikannya, gumamnya dalam hati.

“Lagi ngelamun apa, Sayang?” sapa Mama-nya yang tiba-tiba muncul dari

dalam rumah.

“Ah, Mama. Enggak ngelamun apa-apa. Lagi pingin lihat bunga-bunga

saja,” Mawar blingsatan, tidak menyadari kehadiran Mamanya.

“Ayo makan bareng, itu ditunggu Papa di dalam.”

“Mama duluan saja deh, Mawar belum lapar.”

“Beneran, belum lapar?”

“Iya.”

“Ya sudah,” Setelah mengelus kepala puterinya, Mama kembali masuk ke

dalam rumah.

Bintang-bintang terlihat samar, menggelayut di bawah langit. Mawar

bangkit dari duduknya, beranjak ke taman bunga. Dibelainya daun-daun

Caladium yang warna-warninya menjadi samar, akibat bias lampu taman. Hingga

sesaat kemudian, pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang berhenti di pintu

pagar. Seseorang keluar dai dalamnya, lalu menekan bel.

Mawar bergegas menuju pintu pagar. Tiba-tiba saja dia terhenyak. “Boo…

Bob… Bi?” ucapnya tergagap, lalu membuka pintu pagar.

“Maaf, jika aku datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu,” jawab Bobi

angkuh.

Kini mereka berdua duduk di kursi teras. Untuk beberapa saat mereka

hanya diam. Mawar enggan untuk memulai percakapan.

“Bagaimana kabarmu?” Bobi memulai percakapan.

“Sehat,” jawab Mawar singkat.

Toilet I’m in Love Page 99

Page 100: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Kok, kamu tidak pernah memberi kabar?”

“Akhir-akhir ini repot. Konsentrasi belajar, mau ujian.”

Bobi mengeluarkan bungkusan kertas dari tasnya. “Aku minta maaf untuk

segalanya, untuk semua yang telah terjadi,” dia mengulurkan rangkaian bunga

plastik, memberikannya ke Mawar.

Mata Mawar melotot. Gadis itu terdiam tanpa bereaksi. “Tidak Bob, apa

maksudmu?” ujarnya beberapa detik kemudian.

”Aku mau meminta maaf.”

“Jika kamu mau minta maaf, seharusnya kamu datang ke rumah Aji dan

sahabatnya. Bukan ke sini dengan membawa bunga.”

Bobi terdiam, bunga itu masih berada ditangannya. “Aku masih

mencintaimu,” ucapnya pelan.

Mawar menghela nafas panjang. Dia tidak terkejut dengan ungkapan Bobi,

sebab dia sudah menduganya. “Terus kenapa, Bob?”

“Akk…ku…akk…ku…,” Bobi tergagap. Dia ingin mengungkapkan

sesuatu, namun rasanya kata itu terhenti di kerongkongannya.

“Sudahlah, Bob. Sudah berlalu.”

“Aku menginginkan kesempatan kedua. Aku ingin kembali padamu,” Bobi

memohon.

Mawar terdiam sejenak, menundukkan kepala, lalu menggeleng. “Bukan

masalah kesempatan kedua, tapi ini masalah hati.”

“Apa maksudmu? Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?” Bobi mulai gusar.

“Maafkan aku Bob, jika dulu aku berada di sampingmu bukan karena

hatiku menginginkannya. Namun karena aku kasihan padamu.”

Sontak Bobi naik pitam. Mukanya memerah, mirip pantat babi. “Jadi

kau…., Pembohong!!!” bentaknya. “Aku tidak butuh belas kasihanmu!!!”

“Ada apa ini?!” ucap Mama yang muncul dari dalam rumah.

Bobi diam, tidak menggubris kehadiran orang tua Mawar. Tatapan

matanya masih melotot, tertuju ke gadis yang telah memporak-porandakan

hatinya itu.

Dengan tenang, Mawar menghampiri Mamanya, lalu membisikkan

sesuatu. Setelah itu Mamanya kembali ke dalam rumah.

Toilet I’m in Love Page 100

Page 101: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Mawar kembali duduk di kursi, terdiam sejenak, lalu berucap; “Jika aku

memang berbohong, kebohongan itu aku tujukan pada perasaanku sendiri. Salah

jika kamu bilang aku membohongimu. Aku sudah berusaha untuk belajar

mencintaimu, dan mengubah watakmu yang kasar itu. Tapi sudah terbukti,

keduanya gagal aku lakukan.”

“Halah!! Omong kosong!!” Bobi memukulkan genggaman tangannya ke

udara. Beberapa detik kemudian dia meremas-remas rambutnya.

“Sudahlah, Bob. Kita terima saja kenyataan ini,” Mawar mencoba

menenangkan.

“Tidak!!” sahut Bobi, masih dengan suara membentak. Beberapa saat

kemudian dia mengambil kantung plastik dari dalam tasnya, lalu mengeluarkan

sebuah kaleng dari dalam plastik itu.

“Jangan, Bob!!” sergah Mawar. Mata gadis itu melotot, panik, bingung,

melihat sebuah kaleng Bygon berada dalam genggaman tangan Bobi. “Jangan

lakukan!!”

Mawar bangkit, mencoba merebut kaleng Baygon itu. Namun percuma

saja, dia tidak mampu melawan tenaga Bobi. Hanya dengan sekali dorong, Mawar

jatuh ke lantai.

“Akan kubuktikan bahwa cintaku padamu, jauh lebih kuat dari pada

kematian,” Bobi membuka kaleng Bygon di tangannya, dan bersiap untuk

menenggaknya.

“Jangan bodoh, Bob!” teriak Mawar sesenggukan.

Bobi tidak menggubris Mawar yang sedang menangis. Mulutnya

menganga dan menengadah ke atas, tangannya siap menuangkan cairan Bygon.

Tiba-tiba saja…

“Sreeppp!!! Jangan buat keributan disini, goblok!!” dua orang satpam

datang. Yang seorang berhasil merebut kaleng Baygon dari tangan Bobi, dan yang

seorang lagi memiting Bobi dari belakang. Kini Bobi tidak berkutik lagi.

Ternyata beberapa menit yang lalu, Mawar membisikan pada Mamanya

agar memanggil satpam, untuk mengantisipasi jika situasinya semakin runyam.

Dan kedua petugas itu datang tepat pada waktunya.

Toilet I’m in Love Page 101

Page 102: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Plakkk!!!” satpam itu menampar muka Bobi. “Kamu ini maunya apa,

ha?! Sudah bosan hidup, ya?!”

Bobi terdiam, tidak berkutik dalam pitingan satpam.

“Plakkk!!!” lagi satpam itu menamparnya. “Kalau mau bunuh diri,

lakukan saja di rumahmu! Jangan di sini. Melibatkan orang lain saja!!” bentak

satpam itu.

“Plakkk!!! Sekali lagi satpam itu menamparnya. “Kalau mau mencari

perhatian, bunuh diri di tengah pasar saja!!”

Bobi digelandang ke pos satpam. Dan sudah dapat dipastikan bahwa

dalam beberapa menit kedepan, dia akan berurusan dengan polisi, untuk yang

kedua kalinya.

# # #

Sementara itu di tempat lain, pada waktu yang sama, tepatnya di rumah Aji,

suasana berlalu seperti biasa. Hanya saja ada yang berubah pada dirinya.

Kini dia duduk diruang tengah, menonton telivisi. Hatinya terasa bimbang

sekaligus tidak tenang. Kedua perasaan itu merayap, menggenang di dadanya.

Dan saat genangan itu menjadi penuh, selanjutnya berubah menjadi gundah-

gulana. Hari-hari pada bulan ini, lebih banyak dia habiskan bersama Mawar dari

pada bersama sahabat-sahabatnya. Dan gadis itu, sedikit banyak telah mengubah

warna kelabu di hatinya. Menggemburkan ladang jiwanya yang mengering.

Cinta? Apakah secepat itu?

Dinding beton yang dipasangkan di gawang hatinya memang kuat. Hingga

senyuman dari gadis manapun selama ini yang ditemuinya tidak mampu

menjebolnya. Meskipun jarang juga ada cewek yang rela tersenyum padanya.

Namun cinta? rasanya dia masih enggan untuk menyebut kata itu. Apalagi

menebarkan benih pada ladang jiwanya yang mulai menggembur.

Ah…, Mawar, desah Aji dalam hati. Jangan-jangan Lutfi memang benar:

dia sudah bosan pacaran dengan orang kaya, ganteng, dan memiliki segalanya.

Kemudian dia ingin dekat dengan cowok miskin, wajah pas-pasan, dan tidak

mempunyai apapun untuk dibanggakan, selain keahliannya bermain PS.

Toilet I’m in Love Page 102

Page 103: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Aji menghela nafas panjang, menghempaskan kepalanya di sandaran kursi.

Halah…! Ngawur! Ngawur!, desahnya, menepis segala perasaannya yang mulai

semrawut.

Dia menyambar gitar yang tergeletak di sebelahnya, lalu mulai bernyanyi

sekenanya. Tidak dihiraukannya acara telivisi yang berlangsung di depannya.

Bunda keluar dari kamar, menghampiri Aji, lalu ikut duduk di

sampingnya. Beliau mengambil remote kontrol, lalu memindah-mindah chanel,

mencari acara yang bagus.

“Nah, itu Bu! Bagus!” seru Ayah yang tiba-tiba muncul dari belakang, lalu

ikut nimbrung bersama.

“Ji, mbok ya sudah dulu main gitarnya. Acara beritanya tidak

kedengaran,” perintah Bunda.

“Ah, Bunda ini mengganggu saja,” gerutu Aji. Dia meletakkan gitarnya.

“Lha?! Kamu ini dibilangi kok ngeyel. Mbok ya belajar sana. Kamu ini

kan mau ujian.”

“Hemm…, lagi gak semangat,” jawab Aji malas.

“Lagi gak semangat, atau lagi jatuh cinta?!” sahut Sinta yang baru saja

keluar dari kamarnya. Cewek dengan senyum Yuni Sarah itu berdiri di gawang

pintu kamar.

Sontak saja, Ayah, Bunda, dan Aji menoleh ke arah Sinta. Sesaat mereka

hanya bengong. Terutama Ayah dan Bunda, tidak paham dengan perkataan anak

gadisnya itu.

Sinta tersenyum simpul. Dengan percaya diri, dia berdiri anggun di

gawang pintu kamar. Secarik kertas putih berada pada tangan kanannya.

Kemudian dengan gaya berdeklamasi, dia membaca tulisan di kertas itu dengan

lantang:

Jika kepedulian adalah tetes embun.Maka biarlah kupetik butiran itu.Pada tiap-tiap pagi yang kujumpai.

Kan kurelakan ini untukmu.Sebagai penawar dahagamu.

(Mawar Puteri)

Toilet I’m in Love Page 103

Page 104: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Saat Sinta mengucapkan nama ‘Mawar Puteri’ pada akhir deklamasinya,

sontak Aji terperanjat. Seperti ada jarum yang menusuk pantatnya, seperti ada

palu godam yang menghantam tengkuknya. Terbangun dari lamunannya, dia

meloncat dari tempat duduk, berlari menyerbu ke arah Sinta.

“Brakkk!!!” terlambat. Dengan cepat Sinta masuk ke kamarnya,

membanting pintu, lalu menguncinya dari dalam.

Bunda dan Ayah masih melongo, tidak paham dengan adegan yang sedang

berlangsung.

“Brakk!! Brakk!! Brak!!” Aji menggedor pintu kamar adiknya. “Manja…!

Buka…!!” teriaknya.

Sinta bergeming, tidak ada jawaban. Pintu kamar itu masih terkunci rapat

dari dalam.

“Brakkk! Brakk!! Brakkk!!!” lagi Aji menggedor.

Pertarungan adek dan kakak itupun dimulai. Seperti biasa, Bunda datang

campur tangan. “Haduh…, haduh…, kalian ini…! Gak siang gak malam, perang

terus. Mbok ya sehari saja ada genjatan senjata. Ada apa sih, Ji?”

“Sinta yang memulai,” Aji membela diri.

“Memulai apa?! Wong adeknya baca puisi kok diuber-uber?!”

“Itu masalahnya.”

“Masalah apa?!”

“Iya…, itu…kan bukan puisi Sinta, Bunda,” Aji cengar-cengir.

“Memangnya itu puisi kamu?”

“Bukan juga.”

“Lha, terus apa salah adekmu?”

“Tapi puisi itu sepertinya buat Aji.”

Bunda menghela nafas sambil menggeleng-geleng. “Dok! Dok! Dok!”

beliau mengetuk pintu kamar. “Sin…! Buka pintunya!”

Pintu kamar itu terbuka perlahan. Dengan senyum culun, Sinta muncul

dari baliknya.

“Kenapa kamu mengambil puisi kakakmu?” tanya Bunda.

“Sinta gak ngambil kok.”

Toilet I’m in Love Page 104

Page 105: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Terus kenapa ada di tanganmu?”

“Salah sendiri puisi itu ada di dalam novel Sinta, yang dulu dipinjam Mas

Aji.”

Aji tersentak, matanya melotot. “Kamu gak bohong?!” tanyanya dengan

mimik serius.

“Sumpah! Beneran,” Sinta mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

“Mana puisi itu?”

Perlahan, Sinta mengeluarkan kertas itu dari saku bajunya. Dan…

“Settt!!!” dengan gerakan cepat Aji menyambar kertas di tangan adiknya.

Setelah berhasil mendapatkan puisi itu, dia mencubit hidung adiknya.

“Auuwww!!! Bunda….!!!” teriak Sinta.

“Aji…!! Sudah…! Sudah…!” teriak Bunda melerai.

Ayah, yang kini sudah paham permasalahannya, hanya tertawa terkekeh-

kekeh di depan telivisi.

Toilet I’m in Love Page 105

Page 106: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

6

Kiss Bye Pak Sangit

SURABAYA- HARIAN RAKYAT

Hari ini, Selasa (17/4), sebanyak 400.843 siwa SMA se-Jawa Timur,serempak mengikuti Ujian Nasional (UNAS). Pengetahuan mereka selama tiga tahun menimba ilmu di sekolah itu, diujikan di 3.971 sekolah penyelenggara.

Di hari pertama pelaksanaan Ujian nasional ini, Gubernur Jawa

Timur melakukan Inspeksi mendadak (Sidak) ke beberapa sekolah,

diantaranya yaitu: SMA Pahlawan, SMA Cendrawasih, dan SMA 2.

"Secara keseluruhan, pelaksanaan Unas kali ini lebih baik dari

tahun lalu. Ini terlihat dari pengamanan pendistribusian soal yang

sangat ketat. Naskah ujian dibuat dua macam, tapi dengan bobot yang

sama, sebagai cara untuk menghindari kecurangan dalam ujian," ucap

orang nomer satu di Jawa Timur itu.

Toilet I’m in Love Page 106

Page 107: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, DR. Koplo juga

mengatakan bahwa dalam pelaksanaan UNAS tahun ini, sudah

diadakan peningkatan sistem pelaksanaannya. Soal dibuat dengan dua

jenis yang berbeda, namun dengan bobot yang sama, antara siswa

dengan nomer ujian genap dan ganjil. Dengan demikian diharapkan

dapat menghindari kecurangan. Koplo juga optimis bahwa kelulusan

ujian tahun ini akan mencapai 100 persen. Tentang panitia pengawas

ujian, akan dilakukan silang penuh antara satu sekolah dengan sekolah

lainnya. Dengan demikian dapat menghindari guru-guru yang akan

membantu muridnya sendiri, saat mengerjakan soal ujian. Peserta

maupun pengawas ujian dilarang membawa ponsel ke dalam ruang.

"Bagi siswa yang ketahuan melakukan kecurangan, akan dikenakan

sanksi dikeluarkan dari ruang ujian dan dianggap gagal dalam ujian,"

katanya.

Jumlah peserta Unas di Jatim tahun sebanyak 139.871 siswa

SMA, 107.625 siswa SMK, 52.027 siswa MA, dan 92 siswa PLB.

Sementara jumlah peserta Unas di SMAN 2 sebanyak 368 siswa.

Sekretaris Tim Pemantau Independen (TPI) Jawa Timur, Drs

Kopler MSi mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan pemantauan

sesuai dengan aturan yang ada pada Badan Standar Nasional

Pendidikan (BSNP). Dimana hal-hal yang perlu dipantau adalah;

kesesuaian ruangan dengan jumlah siswa, pengawas dan peserta

ujian, pengaturan tempat duduk, dan pelaksanaan ujian itu. Dalam

pemantauannya, beberapa pelanggaran yang ditemukan TPI dicatat,

kemudian dijadikan laporan ke BNSP.

Salah seorang murid SMA 2, Dodik, mengaku kaget saat melihat

kedatangan Gubernur Jawa Timur ke dalam kelasnya. Dia tidak

menyangka akan ada sidak ke sekolah itu. Meskipun soal-soal yang

dikerjakan tidak mudah, apalagi hari pertama adalah Matematika,

namun dia tidak merasa kesulitan untuk menyelesaikan sebagaina

besar soal itu. “Saya sudah cukup familier dengan soal-soal ini. Sebab

bentuk soal semacam ini sering saya kerjakan saat mengikuti les di

sekolah,” ucapnya.

Toilet I’m in Love Page 107

Page 108: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

# # #

Ujian nasional telah usai, begitu juga dengan ujian praktik yang tidak dikutkan

dalam daftar Ujian nasional. Sedangkan pengumuman kelulusan masih satu bulan

lagi. Kini murid-murid SMA 2 hendak berwisata ke Yogyakarta. Mereka ingin

lembaran-lembaran kisah yang mereka tulis selama tiga tahun di sekolah, ditutup

dengan cerita yang indah. Kenangan sepahit apapun yang terjadi selama di

sekolah akan terasa lebih baik jika diakhiri dengan kisah wisata yang menarik.

Lima bis besar berderet di luar gerbang sekolah. Kendaraan itu siap

mengangkut siswa-siswi kelas tiga yang sudah berkumpul di lapangan depan.

“Baiklah anak-anak, saya minta perhatiannya sebentar. Jangan gaduh!”

terdengar suara Pak Sangit, dari spkeaker jinjing yang ditentengnya. “Saya minta

kalian berkumpul sesuai dengan kelasnya masing-masing.”

Di bawah temaram lampu-lampu pancang halaman sekolah, gerombolan

murid itu bergerak, bergeser mengatur diri, berkumpul sesuai dengan kelasnya

masing-masing. Aji, Lutfi, Dodik, dan Angga berbaris pada bagian kelas IIIA.

Sedangkan Dina, Lisa, dan Mawar berbaris pada bagian kelas IIIE.

“Saya minta masing-masing ketua kelas, atau lebih tepatnya mantan ketua

kelas untuk mengabsen anggotanya masing-masing,” ujar Pak Sangit.

Beberapa kerumunan murid tampak tidak memperhatikan himbauan Pak

Sangit. Mereka masih tenang-tenang nongkrong di pojok halaman sambil

menghisap rokok.

“Hoi!! Kalian yang di pojok, tidak dengar perintah saya?!” panggil Pak

Sangit.

Kerumunan itu bergeming. Mereka tidak mempedulikan panggilan Pak

Sangit.

“Hoi!!! Bandel, apa mau kalian?! Apa mau membersihkan WC lagi, ha?!!”

Pak Sangit mulai gusar.

“Huuuuu……!!!” teriak seluruh siswa.

“Saat ini Bapak sudah tidak sakti lagi!” teriak Lutfi dari kerumunan kelas

IIIA. “Kekuasaan Bapak sudah berakhir!”

Toilet I’m in Love Page 108

Page 109: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Terdengar gemuruh tawa dari murid-murid yang berada di lapangan itu.

Merasa diremehkan, dada Pak Sangit bergemuruh. Emosinya memuncak.

Kepalanya panas. “Diaaam…!!!” teriaknya.

Bukannya diam, atau takut, tawa murid-murid itu malah semakin keras.

Pak Sangit menghela nafas panjang. Akhirnya dia mengalah. Belasan

tahun dia mengabdi di sekolah itu, selama itu pula dia memegang kekuasaan.

Namun malam itu segalanya berubah. Mungkin ada benarnya, bahwa dia sudah

tidak sakti lagi. Murid-murid itu sudah selesai ujian, dan satu bulan lagi mereka

akan lulus. Itu artinya cengkraman kekuasannya telah berakhir.

“Baiklah, maafkan saya,” nada suara Pak Sangit merendah. Dia terdiam

sejenak, lalu melanjutkan; “ Saya hanya mau berpesan bahwa nanti di dalam

perjalanan ataupun di tempat tujuan, bersikaplah yang baik. Jangan bertingkah

yang aneh-aneh. Jangan membuat keributan, apalagi mabuk-mabukan. Jangan

mempermalukan diri kalian sendiri.

Oh iya. Jika selama ini saya punya salah terhadap kalian, dari lubuk hati

yang paling dalam, saya minta maaf. Kalaupun saya memberlakukan hukuman-

hukuman yang tegas, itu karena saya sayang pada kalain. Saya hanya ingin kalian

disiplin. Sebab tidak ada kesuksesan, jika kalian tidak belajar dengan keras dan

disiplin. Sekali lagi saya minta maaf atas ketegasan yang saya terapkan di sekolah.

Itu adalah cinta dalam bentuk lain. Selebihnya, saya menyayangi kalain seperti

anak sendiri. ”

Suasana gaduh malam itu, tiba-tiba berubah menjadi hening. Kerumunan

murid di halaman sekolah itu, mendengarkan pidato Pak Sangit dengan khidmat.

Bukan karena mereka takut, seperti saat masih memegang status sebagai siswa.

Melainkan karena Pak Sangit mengucapkan nasehat itu dengan keikhlasan dan

ketulusan. Bukan dengan ancaman dan intimidasi.

“Bruuttt…!!!” tiba-tiba suasana hening itu dipecah dengan getaran

gelombang kentut. Suara memekakkan itu berasal dari barisan kelas IIIA.

Ternyata itu kelakuan Dodik.

“Plak! Plok! Buk!!” tak ayal lagi, keheningan sesaat itu berubah menjadi

keributan. Lutfi menampar pipi kanan Dodik, Aji menampar pipi kirinya, dan

Angga memukul perutnya yang mirip gentong air itu.

Toilet I’m in Love Page 109

Page 110: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Pidato sentimentil dan kegaduhan itu berakhir. Murid-murid masuk ke

dalam bis masing-masing. Dan di bawah selimut malam, bis-bis itu melesat ke

luar kota, menuju Yogyakarta.

7Yogyakarta

Pulang ke kotamuAda setangkup haru dalam rinduMasih seperti duluTiap sudut, menyapaku bersahabatPenuh salaksa makna…

Lagu yang pernah populer dibawakan Katon Bagaskara itu, ternyata hanya

omong kosong. Setidaknya bagi Aji. Hal itu telah terbukti. Pertama: baru satu jam

dia menginjakkan kaki di Malioboro, dompetnya amblas digasak copet. Kedua:

tak ada senyum sapa bersahabat di tiap sudut. Yang ada hanya pemabuk, berjalan

terhuyung di antara pedagang. Dan ketiga: Malioboro sudah berubah. Beberapa

dekade yang lalu tempat itu menjadi legenda, bukan hanya di Indonesia tapi juga

di manca negara. Dulu Malioboro adalah pusat berkumpulnya seniman kelas

kakap, penulis hebat, dan budayawan kondang. Namun saat ini tempat itu menjadi

budak kapitalisme. Mal-mal megah berdiri. Angkringan berubah menjadi café

mewah.

Toilet I’m in Love Page 110

Page 111: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Tapi apa boleh buat. Begitulah keadaannya. Selamat datang di kota

budaya. Selamat datang di Malioboro yang gabuk. Sudah tidak ada lagi sesuatu

yang dahsyat di situ, selain masa lalu.

Malioboro yang kosong. Sama halnya dengan perasaan Aji: kosong

bercampur dongkol. Baru satu bulan terbebas dari sanksi ‘embargo ekonomi’. Dan

sore itu, baru setengah jam kakinya turun dari bis, dompetnya sudah raip.

Kini Aji sedang berjalan bersama sahabat-sahabatnya menyusuri trotoar,

melihat pedagang kerajinan dan sovenir yang berderet pada sebelah kanan-kiri

jalan.

“Bagus gak, Ji?” tanya Mawar. Gadis jelita itu mencoba kalung yang

terbuat dari untaian akar, dan berhiaskan kerang.

“Emm…, kamu jadi mirip orang Hipies. Tapi apapun yang kamu pakai,

kamu cantik,” jawab Aji tenang.

Mawar tersenyum simpul.

Sementara itu Lisa memilah-milah sanggul di rak pedagang. Angga

mengikutinya dari belakang. “Lha, sip! Kamu cantik kalau pake itu, Lis. Mirip

bakul jamu,” ledek Angga. “Mau aku belikan?”

“Hehe…, gak usah, terima kasih. Jadi pengantinnya masih lama kok,”

jawab Lisa. “Kamu beli sendiri saja.”

“Iya bener, Ga. Biar kamu jadi ibu bencong Kartini,” ledek Dina.

Angga tergelak.

Sementara itu Dodik tampak bersemangat. Dia berhenti pada stan

pedagang barang-barang antik. Tangannya mengelus-elus keris yang dijual

pedagang itu. “Wah…, bagus,” ucapnya dengan tatapan berbinar.

“Huwahaha…, iya bagus. Kamu beli saja. Masa keturunan Raja Surakarta

beli keris di Malioboro,” ledek Lutfi.

Dodik memang sering bercerita pada sahabat-sahabatnya bahwa Ayahnya

adalah turunan ke-7 dari Raja Surakarta. Artinya dia adalah turunan yang ke-8.

Entah memang benar, atau hanya membual. Yang jelas Si Gentong itu sangat

menyukai barang-barang antik berbau mistik, terutama keris.

Tidak mempedulikan ledekan Lutfi, pandangan Dodik masih terpaku pada

keris yang ada di tangannya. “Berapa, Pak?” tanyanya.

Toilet I’m in Love Page 111

Page 112: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Lima puluh ribu, Mas,” jawab pedagang itu.

“Boleh kurang?”

“Mau ditawar berapa, Mas?”

“Dua puluh ribu. Boleh?”

“Wah, gak boleh, Mas,” pedagang itu menggaruk kepalanya. “Dua puluh

lima ribu. Kalau tidak mau, ya sudah.”

Dodik berpikir sejenak. Dia menimang-nimang keris dengan sarung

berukiran kasar itu. “Baiklah, saya ambil satu,” ujarnya.

Dengan bangga dan angkuh, Dodik memasukkan keris yang baru dibelinya

itu ke tas rangselnya.

Aji menghampirinya, menepuk-nepuk pundaknya. “Bagus, Dod. Seorang

putera mahkota Keraton Surakarta harus punya pusaka. Meskipun seharga lima

mangkuk bakso.”

Angga, Lutfi, Dina, Lisa, dan Mawar, tertawa terbahak-bahak, melihat

lagak Dodik yang tidak peduli dengan ledekan Aji.

Sudah hampir dua jam mereka meyusuri trotor Malioboro. Melihat-lihat

suasana jalan itu sambil membeli beberapa pernak-pernik kerajinan. Dan kini

langkah mereka terhenti di depan sebuah depot makan.

Melihat deretan ayam bakar, daging, telur, ikan laut, dan berbagai macam

ikan lain yang disajikan di piring, lambung Dodik tiba-tiba berbunyi. Mirip

kokokan ayam. “Haduh, perutku keroncongan ini. Makan yuk,” rengek Dodik.

Lutfi melihat jam tangannya. Dua puluh menit lagi waktu jalan-jalan

mereka habis. Dan harus berkumpul lagi di bis, untuk kembali ke penginapan.

“Bagaimana, kita makan?” ujarnya.

Ternyata yang kelaparan bukan hanya Dodik. Maka merekapun

menyetujui usul itu.

Jika yang lain tidak sabar untuk segera masuk ke dalam depot makan itu,

lain halnya dengan Aji. Dia blingsatan, enggan untuk masuk. Bukannya tidak

lapar, melainkan tidak ada satu rupiah pun uang yang tersisa dalam kantungnya,

setelah dompetnya disikat copet dua jam yang lalu. Sahabatnya tidak ada yang

tahu. Dia memilih tidak menceritakan kejadian itu. Sebab jika mereka tahu, bisa

dipastikan dia akan diledek habis-habisan karena kebodohan itu. Meskipun pada

Toilet I’m in Love Page 112

Page 113: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

akhirnya mereka akan mengasihaninya, lalu mentraktirnya makan. Namun dia

tidak mau mengambil resiko kehilangan muka. Labih baik sedikit kelaparan. Toh,

nanti malam ada jatah makan nasi kotak dari panitia penyelenggara.

“Emm…, kalian makan dulu saja deh,” ujarnya.

“Lho, kenapa?” tanya Lisa.

“Aku belum lapar. Aku melanjutkan jalan-jalan saja. Kita berpisah di sini.

Nanti ketemu di bis.”

“Aku temani ya, Ji,” sahut Mawar.

Lisa tersenyum kecut. Sekilas tampak raut cemburu di mukanya. Namun

dengan cepat dia menyembunyikan perasaan itu.

“Kamu gak lapar? Kamu makan saja,” ucap Aji.

Mawar menggeleng, lalu berjalan tenang ke sisi Aji. “Aku juga belum

lapar kok. Lagian aku juga belum puas jalan-jalannya.”

Sekali lagi, cewek cantik berwajah Indo dengan mata biru keperakan itu

menggocoh benteng pertahanan hati Aji. Seperti ada gelombang laut pasang yang

menggulung dadanya. Kemudian menggondol hatinya ke tengah lautan. Dan

membiarkannya terapung-apung tanpa kepastian.

Aji enggan menebak, dan takut untuk menduga-duga, apa sebenarnya yang

ada di hati Mawar.

“Tidak keberatan aku temani jalan-jalan?” pertanyaan Mawar yang

diulang membangunkan lamunan Aji.

“Oh… eh, enggak apa-apa. Aku malah senang. Ya sudah, kita jalan duluan

saja.”

Dodik, Angga, Lutfi, Lisa dan Dina masuk ke depot makan. Sementara itu

Aji dan Mawar melanjutkanjalan-jalannya, menyusuri trotoar jalan Malioboro,

menghabiskan sisa waktu yang sudah ditentukan oleh panitia.

Senja makin menepi. Bias merah dari sinar matahari tampak mewarnai

genting pendopo keraton Yogyakarta. Daun-daun pohon beringin yang tumbuh di

depannya seperti disepuh emas. Sore itu pengunjung tidak begitu ramai. Hanya

ada beberapa orang yang melihat-lihat dari halaman luar. Kini langkah Aji dan

Mawar terhenti di tempat itu. Mereka duduk di halaman depan, di atas rumput.

Toilet I’m in Love Page 113

Page 114: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Semilir angin senja berhembus turun dari puncak genting pendopo,

menyapa daun-daun beringin yang berwarna jingga keemasan, lalu membelai

rambut Mawar yang indah.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Mawar yang duduk bersila di samping

Aji.

“Apanya?” sahut Aji.

“Pendoponya, dan keseluruhan bangunannya?”

“Hemm…, eksotik. Tapi jujur saja, aku jadi ingat Dodik.”

“Dodik? Apa hubungannya?” mata Mawar yang indah itu, menatap Aji

penuh kebingungan.

“Coba lihat Dodik! Gendut, dengan selera makan luar biasa. Mengumbar

nafsu, agak bodoh, dan suka membual. Kamu sendiri tahu, dia menganggap

dirinya keturunan Raja Surakarta.”

“Apa maksudmu?”

“Hemm…, begini. Coba lihat pendopo keraton itu,” telunjuk Aji mengarah

ke pendopo yang berada di depan mereka. “Pendopo itu tepat menghadap ke arah

jalan Malioboro. Menurut sejarah, awalnya Malioboro adalah pasar tradisional

rakyat. Bayangkan, para Sultan dengan segala kemewahan, dengan istri dan selir-

selirnya, dengan angkuh memerintah rakyat jelata, yang hanya menggantungkan

hidup dari berjualan sayur di Malioboro. Para Sultan itu membohongi rakyat

bahwa dirinya adalah titisan Tuhan. Sebab itu dia harus disembah dan dijunjung.

Memangnya Tuhan berjenis kelamin betina, hingga punya titisan? Itu sama saja

dengan Dodik yang membohongi Lutfi bahwa dirinya adalah keturunan Raja

Surakarta. Goblok, ngawur, juga lucu.”

Mawar tertawa, kemudian kembali tertegun mendengarkan penjelasan Aji.

“Aristokrasi adalah kebohongan terbesar yang pernah dibuat oleh

manusia,” lanjut Aji. “Para raja itu secara turun temurun mengintimidasi rakyat.

Menciptakan mitos dengan keindahan mahkotanya, dengan kemegahan

keratonnya, dengan baju kebesaran dan segala uborampe-nya.”

Di luar dugaan, sekarang Aji punya wawasan seluas itu. Rupanya setelah

akrab dengan Mawar, dia mulai suka membaca buku. Dia tidak mau blingsatan

Toilet I’m in Love Page 114

Page 115: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

lagi, seperti beberapa bulan yang lalu, saat mereka membicarakan novel Sally

Morgan.

Mawar tertegun sesaat, tidak menyangka bahwa Aji bisa berbicara sejauh

itu. “Hemm…, kamu kok radikal begitu, Ji?”

“Radikal bebas maksudmu? Wah, kalau itu memang tidak baik untuk

kesehatan.”

Mereka tertawa bersama.

“Kalau menurut kamu bagaimana?” tanya Aji.

“Kalau aku, secara keseluruhan salut dengan Yogyakarta.”

“Salut dengan apanya?”

“Salut dengan kesabarannya, dengan keuletannya, dengan kreatifitasnya.

Coba lihat pedagang-pedagang kerajinan di sepanjang trotoar Malioboro. Mereka

ini semacam orang yang mampu mengubah sampah menjadi bunga, lalu

menjualnya.”

Kini mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran dan getaran hati

masing-masing. Bias mataharai senja makin memerah. Mawar merasa ada

ketenangan dan kedamaian, yang merayap pelan lalu memenuhi hatinya, saat

duduk di sebelah Aji. Sesuatu yang tidak pernah dirasakannya, saat berdekatan

dengan sahabatnya yang lain. Cowok di sebelahnya itu perlahan-lahan namun

pasti, mengisi ruang-ruang kosong hatinya.

Sementara itu pada ruang hati yang lain- tepatnya di hati Aji- segala rasa

bercampur aduk: tenang, getaran hasrat, harapan, rasa sayang, rasa bimbang, dan

sebagainya.

Berkali-kali hati cowok itu dibuat membubung ke angkasa oleh senyuman

dan kepedulian Mawar. Namun berkali-kali juga ia takut untuk mengartikan dan

menduganya. Dan pada akhirnya dia berusaha keras untuk menepisnya, meskipun

sulit.

“Emm…, aemm…,” Aji ingin mengatakan sesuatu, tapi rasanya sangat

sulit. Tenggorokannya serasa dilem, dan kalimatnya seperti tersangkut.

“Ada apa, Ji?” tanya Mawar.

“Emm…, anu…, aemm…, gak jadi, deh.”

“Lha?! Kok gak jadi?”

Toilet I’m in Love Page 115

Page 116: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Iya, gak jadi.”

“Ah, gak bisa. Jangan buat penasaran. Pokoknya harus jadi. Tadi mau

bilang apa?” rengek Mawar manja, sambil mencubit perut Aji.

“Hehehe…, iya…, iya…, sabar, jadi…, jadi…,” Aji memegang tangan

Mawar yang masih menempel di perutnya. Jari-jari lentik dan putih mulus itu

digenggamnya.

Mawar membiarkan tangan kirinya berada dalam genggaman tangan

kanan Aji. Ada getaran aneh yang merambat, menuju ke hati mereka masing-

masing.

Aji menarik nafas dalam-dalam. “Puisi kamu bagus,” ucapnya.

Mawar menarik tangannya dari genggaman Aji. “Puisi itu sudah beberapa

bulan yang lalu. Dan sekarang kamu baru bilang begitu?” ujarnya keheranan.

“Emm…, aem…, sebenarnya sudah lama aku mau mengatakannya. Tapi

aku jadi minder. Sebab aku tidak bisa menulis sebaik itu.”

“Aku kira kamu sudah membuangnya, atau melupakannya.”

“Ah, enggak kok. Malah sekarang aku bingkai, dan aku tempelkan di

dinding kamar. Terus, aku kasih kalung rangkaian bunga.”

“Ha?! Mirip foto orang meninggal?!” Mawar melongo.

“Huwahaha…, kalau yang ini aku bohong,” Aji tergelak.

“Auww!!!” teriak Aji. Mawar mencubit perutnya lagi.

“Sekarang giliran kamu, Ji,” ucap Mawar.

“Giliran apa?”

“Buatkan aku puisi.”

“Dikumpulkan sekarang, atau dibuat PR?”

“Terserah.”

“Di buku tugas Bahasa Indonesia, atau di lembaran kertas?”

“Terserah.”

“Auwww…!!!” Aji berteriak. Kali ini Mawar mencubit perutnya dengan

sangat keras.

Toilet I’m in Love Page 116

Page 117: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

8

Bukan Jenderal Cinta Bintang Tiga

Minggu siang itu, Aji, Lutfi, Angga, Dodik, Dina, dan Lisa, berkumpul di

rumah Mawar. Kelulusan telah diumumkan kemarin. Dan mereka semua lulus

ujian nasional. Ini adalah saat yang paling membahagiakan. Mereka

merayakannya dengan acara masak-masak.

Namun ada yang lain dengan Mawar. Jika biasanya gadis jelita itu selalu

ceriah dan supel, kali ini dia lebih banyak diam dan murung. Bukannya tidak lulus

ujian. Malahan dia lulus dengan nilai sempurna. Ada hal lain yang mengganggu

pikirannya.

Ketujuh anak itu berkumpul di dapur yang mewah, dengan desain rak dan

almari gaya Itali. Sebuah meja makan marmer bulat dan besar, berada pada bagian

tengah ruangan yang luas itu. Meja itu dikelilingi kursi kayu berukir yang antik.

Beberapa gelas kristal disusun rapi.

Toilet I’m in Love Page 117

Page 118: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Baiklah, kita masak apa enaknya?” ujar Dina sembari menatap daging

ayam, daging sapi, dan bumbu-bumbu yang ada di depannya.

“Kita masak apa, Ji?” tanya Mawar kurang bersemangat. Gadis cantik itu

sedari tadi mencuri pandang ke Aji. Ada raut sedih setiap kali matanya menatap

Aji.

“Emm…, terserah Angga saja deh,” jawab Aji sekenanya. Cowok itu

sudah mengetahui ada yang berubah dengan diri Mawar. Gadis cantik yang selalu

meretakkan benteng hatinya itu, tidak seceriah biasanya. Namun Aji memilih

diam.

“Terserah Lutfi saja,” sahut Angga.

“Masak apa, Dod?” Lutfi menepuk pundak Dodik.

“Masak saa…..”

“Halah!” Lutfi mendorong bibir Dodik hingga merot ke samping. Kalimat

yang diucapkannya belum sempat diselesaikan. “Kamu ini, daging mentah juga

enak.”

“Memangnya aku ini macan?!” sahut Dodik sewot.

“Sudahlah, terserah kalian saja,” Aji pasrah.

“Daging ayamnya kita kare saja, ya,” sahut Dina.

“Emm… dan daging sapinya kita buat steak saja,” ujar Mawar.

Mata Dodik langsung berbinar. Jakunnya naik-turun menelan ludah.

“Ho’oh…! Ho’oh…! Daging sapinya dibuat steak saja,” sahutnya.

Kini mereka berbagi tugas. Angga dan Aji mengupas mangga, pepaya, dan

melon yang akan digunakan untuk es setup. Pekerjaan ini tidak diserahkan pada

Dodik. Sebab jika diserahkan padanya, maka bisa dipastikan buah-buahan itu

tidak akan selamat dikupasnya. Sedangkan Dodik sendiri diserahi tugas mencuci,

serta memotong daging ayam dan sapi, bersama Lutfi.

“Bawang putihnya tolong kamu kupas ya, Lis,” ujar Dina. Team leader

dari acara masak-masak itu adalah Dina dan Mawar. Kedua cewek itu memang

jago masak.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Vincent- Papa Mawar- yang tiba-

tiba muncul di dapur bersama istrinya.

Toilet I’m in Love Page 118

Page 119: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Papa bantuin cuci daging saja. Atau nanti bantu-bantu cuci piring kalau

sudah selesai acaranya,” ujar Mawar bercanda.

Orang Belanda yang fasih berbahasa Indoesia itu, tertawa terbahak.

“Hehe…, iya Om. Bantuin potong-potong daging ayam donk,” sahut

Dodik.

“Plokkk!” Lutfi menampar pelan pipi tembem Dodik. “Jangan ngawur

kalau ngomong. Yang sopan,” bisiknya. Tangan Lutfi yang masih basah dan bau

amis daging itu, mengotori pipi kiri Dodik.

“Wuutt!! Plaakk!!!” tidak terima dengan perlakuan Lutfi. Dodik melempar

daging ayam yang telah dipotong pada Lutfi yang berada di sebelahnya.

Lutfi membalas dengan melempar daging sapi.

Lagi, Pak Vincent tertawa tergelak- kali ini diikuti istrinya- menyaksikan

insiden kecil yang sedang berlangsung di dapur mewahnya itu.

“Sudahlah, Pa. Kita bantuin makan saja nanti,” ujar istrinya. Dan mereka

meninggalkan dapur yang sibuk itu.

Dua jam telah berlalu. Kini semua hidangan telah siap disajikan di atas

meja makan marmer itu. Ada kare ayam dengan aroma yang menggoda, steak

daging sapi yang lezat, tempe goreng, tahu goreng, es stup, dan buah-buahan

pencuci mulut.

Aji, Lutfi, Angga, Dodik, Dina, dan Lisa duduk melingkari meja makan.

Sementara Mawar masih berada di ruang tengah memanggil kedua orang tuanya.

Berkali-kali Dodik mengusapkan lidah di antara bibirnya. Dia menelan

ludah dan jakunnya naik-turun, tidak sabar untuk mengganyang kelezatan yang

tersaji di depannya.

“Plakk!!” Angga memukul tangan Dodik yang menyambar sepotong kecil

steak. “Gak sopan. Tunggu tuan rumah dulu.”

Terlambat, potongan steak itu sudah masuk ke mulut Dodik. Si Gentong

itu mengunyah sambil meringis. Pelan-pelan dilumatnya daging itu, seolah takut

jika sampai kedengaran sahabat-sahabatnya.

Satu menit kemudian, Mawar dengan kedua orang tuanya muncul. Ia

menuju kursi kosong yang berada di sebelah Aji, lalu duduk di situ. Sementara

Papa dan Mamanya duduk pada sisi yang lain.

Toilet I’m in Love Page 119

Page 120: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Waduh, masakannya pasti lezat,” ujar Pak Vincent membuka percakapan.

“Kalian ini memang jago masak, ya,” sahut Mama.

Pak Vincent menghela nafas sejenak, menatap satu persatu wajah-wajah

yang ada di depannya: Aji, Lutfi, Angga, Dodik, Dina, dan Lisa.

“Well, saya dan Mama Mawar minta maaf, karena kami tidak dapat

menemani kalian menikmati masakan yang lezat ini. Hanya saja ada sesuatu yang

mau kami sampaikan pada kalian,” Pak Vincent menatap istrinya. “Papa atau

Mama yang bicara.”

“Papa saja,” jawab istrinya.

Kembali orang Belanda itu menarik nafas, lalu melanjutkan

pembicaraannya; “Kami selaku orang tua Mawar, mengucapkan banyak terima

kasih. Karena kalian sudah menjadi sahabat yang baik baginya. Dan sebagai orang

tua, kami berharap kalian tetap memelihara persahabatan itu. Meski nanti jarak

memisahkan kalian. Meski nanti Mawar berada di Belanda, dan sangat jauh dari

kalian. Sekali lagi harapan kami persahabatan ini tidak selesai sampai di sini.”

“Belanda?! Mawar ke Belanda?” mata Aji melotot. Tiba-tiba saja nafasnya

menjadi sesak. Seperti ada bongkahan batu yang menindih dadanya. Ditatapnya

Pak Vincent yang berada di seberang meja tanpa berkedip. Lalu pandangannya

beralih ke Mawar yang berada di sampingnya.

Gadis jelita itu balas menatap Aji, tanpa berkata sepatah katapun. Sorot

mata birunya sayu, ada raut sedih yang tidak bisa disembunyikan. Pandangan

mereka beradu dalam beberapa detik. Hingga kemudian, Mawar membuang

pandangannya ke atas meja.

“Iya, Mawar akan kuliah di Belanda,” jawab Pak Vincent.

Kini Aji tertunduk lunglai di kursinya. Dada dan hatinya serasa remuk.

Perutnya yang sedari tadi keroncongan, tiba-tiba menjadi tidak lapar. Selera

makannya hilang sama sekali. “Kapan Mawar berangkat ke Belanda?” tanyanya

lirih, berusaha mengendalikan kegundahan hatinya.

“Satu minggu lagi. Setelah ijazah dari sekolah keluar,” jawab Mama.

“Well, itu saja yang perlu kami katakan. Silakan kalian menikmati

hidangan lezat ini,” ujar Pak Vincent sembari menyunggingkan senyum. Setelah

itu dia dan istrinya beranjak meninggalkan ruang makan.

Toilet I’m in Love Page 120

Page 121: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Tanpa menunggu komando lagi, Dodik menyambar steak yang tersaji di

atas meja, memenuhi piringnya dengan potongan daging sapi itu dan

menimbunnya dengan nasi.

Lutfi, Angga, Dina, dan Lisa, juga mulai menikmati hidangan di atas meja

itu.

Jika sahabat-sahabatnya dengan lahap menyantap masakan lezat itu, lain

halnya dengan Aji. Kini hati cowok itu serasa dihempaskan ke dasar jurang, dan

hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Di depan meja itu, selera makannya

musnah. Kare ayam terlezat yang ada di depannya, tiba-tiba berubah seperti air

comberan. Bahkan steak sapi itu, kini di matanya seperti batang pisang. Dia hanya

mengambil sedikit nasi, dan sepotong kecil daging ayam, lalu memain-

mainkannya di atas piring.

Hal yang sama juga terjadi pada Mawar. Bidadari itu hanya mengambil

potongan kecil steak, lalu menusuk-nusuknya dengan garpu, tanpa memakannya.

# # #

Enam hari telah berlalu semenjak acara masak-masak di rumah Mawar. Dan

selama itu pula Aji labih banyak menghabiskan waktunya berada di dalam kamar.

Bukan bermain PS, atau membaca buku yang akhir-akhir ini mulai dia gemari,

melainkan hanya termangu di depan cermin. Rambutnya kusut. Seluruh badannya

lengket dengan daki, sebab selama itu tidak mandi. Tubuhnya juga menjadi lebih

kurus.

“Ji, buka pintunya. Bunda mau ngomong,” ujar Bunda di depan pintu

kamar. Beliau mulai khawatir dengan keadaan anaknya.

Pintu itu masih terkunci rapat dari dalam, dan tidak ada sepatah katapun

jawaban.

“Dok! Dok! Dok!” lagi Bunda mengetuk pintu. “Ji, kamu masih sayang

sama Bunda, gak?!”

Pintu kamar itu masih tidak bergerak sedikitpun.

Toilet I’m in Love Page 121

Page 122: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Kalau kamu tidak mau bicara dengan Bunda, berarti kamu sudah tidak

sayang.”

Gagang pintu kamar itu bergerak. Sesaat kemudian pintu itu terbuka.

Setelah membuka pintu, Aji kembali duduk di kursi belajarnya.

“Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan,” ujar Bunda sembari

masuk ke kamar, lalu duduk di pembaringan.

“Dan Aji bisa menyelesaikannya,” jawab Aji acuh.

“Jadi kenapa kamu hanya berdiam diri di kamar? Telepon dari sahabat-

sahabatmu tidak ada yang kamu terima. Bahkan ijazahmu yang sudah keluar,

tidak kamu ambil ke sekolah.”

“Dari mana Bunda tahu?”

“Dari telepon Lisa.”

“Bunda,” Aji menatap ibunya dengan sayu, “yang penting Aji sudah lulus.

Ijazahnya mau Aji ambil minggu depan, atau bulan depan, itu tidak masalah.”

Bunda menggeleng-geleng, semakin khawatir saja dengan anaknya.

“Kamu sayang sama Bunda, Ji?”

Aji mengangguk.

“Kenapa kamu tidak menceritakan masalahmu? Dua kepala yang

menanggung masalah, akan lebih baik.”

“Bunda sayang sama Aji?” Aji balas bertanya.

“Semenjak di dalam kandungan,” jawab Bunda serius.

“Jika Bunda sayang sama Aji, Bunda harus percaya bahwa dia dapat

menyelesaikan masalahannya sendiri. Ada kalanya, dimana masalah itu labih baik

ditanggung oleh satu kepala, dari pada banyak kepala.”

Bunda mendesah panjang. Aroma keringat menyengat hidungnya. Kamar

anaknya itu pengap, sebab beberapa hari ini pintunya jarang terbuka, begitu juga

dengan jendelanya. Baju dan celana kotor terhampar begitu saja di atas

pembaringan. “Kamu harus janji sama Bunda, bahwa kamu akan baik-baik saja,

bahwa kamu akan menyelesaikan masalahmu dengan bijaksana.”

“Aji janji, secepatnya akan selesai.”

Bunda mengusap kepala anaknya, lalu beranjak keluar kamar.

Toilet I’m in Love Page 122

Page 123: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Setelah menutup pintu, Aji kembali termangu di depan cerminnya. Dia

mendesah panjang, ditatapnya bayangan dalam cermin itu. Seumur-umur belum

pernah dia merasa nelangsa seperti itu. Rasa sedih akan kehilangan, meremas-

remas hatinya, menghimpit dadanya.

Ah, Mawar…, desahnya dalam hati. Jika selama ini dia memasang benteng

di hatinya. Kini bentengnya itu bukan hanya retak, tapi jebol, hancur berkeping-

keping menjadi butiran pasir.

“Baiklah, aku mengaku kalah,” gumam Aji. “Benteng itu telah ambrol.

Lalu bagaimana sekarang? Haruskah aku menggenapi patah hatiku mejadi tiga?

Dengan datang ke Mawar dan bilang: ‘Aku mencintaimu’. Kemudian Mawar

menjawab: ‘Selama ini kau kuanggap sebagai kakakku, Ji’. Saat itu aku akan

resmi menjadi “Jenderal cinta bintang tiga.”

Goblok!! bentak bayangan dalam cermin itu. Dari dulu kamu ini memang

goblok, Ji. Tidakkah kamu membaca sikap Mawar terhadapmu? Kepeduliannya,

kebaikannya, dan lain sebagainya? Bahkan dia juga memberimu puisi.

“Ah, hanya puisi,” bantah Aji. “Bukankah Mawar memang suka dengan

sastra. Dia juga suka menulis puisi di buku catatan. Mungkin saja puisi itu hanya

iseng, atau sekedar menyalurkan hobinya. Tentang kebaikannya, bukankah dia

juga baik pada semua sahabatnya. Dia memang anak yang baik.”

Dungu! sahut bayangan itu. Selama ini kamu sudah menjadi orang paling

dungu sedunia, Ji? Sebab kamu tidak pernah jujur pada hatimu. Baiklah, Anggap

saja dia menolak cintamu. Tapi besok pagi dia sudah hengkang ke Belanda. Dan

mungkin kamu tidak akan pernah melihat bidadari itu lagi. Jika kamu tidak

mengungkapkan isi hatimu. Selamanya kamu tidak akan pernah mengetahui isi

hatinya. Sampai kapan kamu akan menjadi pecundang yang takut dengan

bayangannya sendiri? Sampai kapan kamu akan membohongi diri sendiri?

“Sudah!!!” bentak Aji. “Cukup…! Cukup…!” Dia melempar bayangan di

cermin itu dengan celana dalam, yang sedari tadi tergelatak begitu saja di

pembaringan. Setelah itu dia menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur.

Berusaha keras meredam nelangsa hatinya, dan mencoba memejamkan mata.

# # #

Toilet I’m in Love Page 123

Page 124: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Pagi hari, kesibukan mulai tampak di rumah Mawar. Dua orang pembantu dengan

cekatan mengepak barang dan pakain, memasukkannya ke dalam tas-tas besar.

Seorang sopir sedang memanaskan sedan mewah, yang masih berada dalam garasi

dengan pintu depan terbuka.

Beberapa lama kemudian kedua pembantu itu mengangkat tas-tas besar,

memasukkannya ke dalam bagasi sedan.

Mawar sudah rapi. Gadis itu mengenakan celana putih, dipadu dengan

baju biru press body, berlengan panjang dan bermotif garis. Kulitnya yang putih,

terlihat segar dan bersih. Tubuhnya yang tinggi, tampak lebih anggun. Namun

wajahnya yang ayu tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya.

Dia melangkah pelan, keluar dari dalam rumah dan duduk di beranda.

Ditatapnya sisa-sisa embun yang masih menempel pada kelopak-kelopak bunga

anggrek. Kenapa bunga anggrek itu tidak seindah bulan yang lalu? desah Mawar

dalam hati.

Tidak ada yang berubah dengan anggrek itu. Anggrek itu masih juga

anggrek yang dulu. Malahan pagi itu kelopaknya menjadi lebih segar, karena

embun yang menempel belum teruapkan oleh panas matahari. Jika bunga anggrek

itu tiba-tiba menjadi tidak indah, itu karena warna-warni yang dahulu memenuhi

hatinya, musnah semenjak seminggu yang lalu. Ada rasa sedih yang menyesak di

dadanya, rasa nelangsa dan kehilangan.

“Kamu baik-baik saja, Sayang?” ujar Mama yang muncul dari dalam

rumah.

Mawar tersentak, terbangun dari lamunannya. “Ah, Mama. Mawar baik-

baik saja kok,” gadis itu memaksakan senyumnya.

Mama menatap wajah puterinya itu dengan lembut. Dia tahu ada

kesedihan di balik senyum itu. Rasa kehilangan yang disembunyikan. “Sudahlah

Sayang, segalanya akan baik-baik saja,” hibur Mama sambil mengusap kepala

puterinya.

Mawar tidak berkata apa-apa. Gadis itu membuang pandangannya ke

daun-daun Caladium yang berwarna-warni.

Toilet I’m in Love Page 124

Page 125: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Papa sudah menelepon saudaranya di Belanda,” ujar Mama. “Mereka

akan menjemputmu, begitu kamu tiba di bandara. Jangan nakal di sana. Jaga diri

baik-baik. Mama akan sering menelponmu. Oh ya, bulan depan Papamu

mengambil cuti. Kami akan membesukmu ke sana.”

Semua barang bawaan telah dimasukkan kedua pembantu kedalam bagasi

sedan. Dan supir itu sudah siap di belakang kemudi.

“Sudah siap, Sayang?” ujar Pak Vincent yang muncul dari dalam rumah

dengan pakian rapi. Dia dan istrinya akan mengantar puterinya hingga ke bandara.

“Apakah dokumen ke-imigrasian tidak ada yang ketinggalan?”

Mawar membuka tas jinjingnya. “Semuanya lengkap,” jawabnya.

“Well, kita bisa berangkat sekarang.”

Mama bangkit dari duduknya, diikuti dengan Mawar. Mereka hendak

beranjak menuju sedan mewah yang sudah dikeluarkan dari garasi. Namun tiba-

tiba saja sebuah motor Honda Supra berhenti di depan rumahnya. Ternyata itu

adalah Aji. Cowok itu memarkir motornya di luar pagar, kemudian melangkah

masuk ke beranda.

“Om, Tante,” Aji menyalami Pak Vincent dan istrinya.

“Lho, kok sendirian? Teman-temannya yang lain mana?” tanya Pak

Vincent.

“Angga, Lutfi, Dodik, Lisa, dan Dina, langsung ke bandara. Mereka

menunggu Mawar di sana.”

“Saya tunggu di mobil, ya,” ujar Mama. Dia menggandeng tangan

suaminya, lalu beranjak masuk ke sedan, membiarkan Mawar dan Aji berdua di

beranda.

Mawar kembali duduk di kursi, begitu juga dengan Aji. Untuk beberapa

saat mereka terdiam. Tenggelam dalam getar hati masing-masing. Kerongkongan

mereka serasa tercekat. Kata-kata seperti hilang entah ke mana. Hanya ada rindu

bercampur sedih, yang mengambang dalam rongga dada masing-masing.

“Kenapa kamu tidak pernah balas sms-ku dalam satu minggu ini?” ucap

Mawar lirih.

“Aku tidak punya pulsa,” jawab Aji berbohong.

Toilet I’m in Love Page 125

Page 126: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

“Jika tidak punya pulsa, kenapa juga kamu tidak mau menerima

teleponku?”

Aji hanya menunduk diam. Dia tidak berani menatap wajah Mawar yang

ayu dan teduh itu. Sebab sorot mata biru keperakan itu, tiba-tiba seperti sejuta

anak panah yang menghunjam, merajam dadanya.

“Akk…ak…aku minta maaf,” Aji tergagap.

“Maaf untuk apa?”

“Karena selama ini aku menjadi kambing di hadapanmu.”

“Apa maksudmu?”

Aji menarik nafas panjang, lalu mengangkat mukanya, memberanikan diri

menatap wajah bidadari di depannya itu. “Selama ini aku berusaha sangat keras

untuk menganggapmu tetap sebagai sahabat. Namun semakin keras aku berusaha,

semakin besar aku membohongi hatiku. Dan rasanya sakit. Aku lelah

membohongi diriku. Beginilah aku apa adanya: Aku mencintaimu. Tidak tahu

rasa itu datang dari mana, dan kenapa ada. Aku lebih sering merasakan

kehadiranmu, bahkan ketika kamu tidak di dekatku. Kurasakan kamu begitu

dekat, masuk, memenuhi relung-relung kosong di hatiku. Perasaan ini seperti

gumpalan awan yang memenuhi rongga dada, hingga nafasku terasa sesak.”

Mawar terdiam, tidak mampu lagi berkata-kata. Curahan isi hati Aji

seperti air bah, yang membanjiri hatinya, lalu menenggelamkannya. Ada perasaan

lega, sejuk, sekaligus rasa terhanyut. Tidak terasa ada genangan air, pelan-pelan

menutupi matanya yang indah. Setetes jatuh, meninggalkan jejak garis pada

pipinya yang merona.

Begitu juga dengan Aji. Sesuatu yang paling dibencinya dalam hidup

adalah pria yang meneteskan air mata. Haram hukumnya. Namun kali ini, mau

tidak mau dia harus mengesampingkan pantangan itu. Sebab beberapa tetas air,

telah jatuh dari sudut matanya.

Aji mengusap matanya yang tergenang air. Dia bangkit dari duduknya,

lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. “Aku masih punya hutang

padamu.” Dia membuka lipatan kertas itu, kemudian membacanya;

Jika kepedulian adalah butiran embun.

Toilet I’m in Love Page 126

Page 127: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Jangan biarkan kerinduan mengubahnyamenjadi serpihan kaca.

Sebab bias matahari pagi yang dibuatnya,tak akan mampu memuaskan dahagamu.Sebab rona-rona pelangi yang ditimbulkannya,hanya akan menyisahkan mimpi.

Biarkan tetes embun itu apa adanya.Yang akan menguap begitu saja, saat mentari pagimenghangatkannya.

Mawar bangkit dari duduknya. Gadis itu menyerbu ke arah Aji, menubruk

tubuhnya, lalu memeluknya erat. “Aku juga sayang kamu, Ji.” Air matanya tidak

terbendung lagi, jatuh berguguran membasahi wajahnya yang putih.

“Sejak kapan?” tanya Aji lirih.

“Sejak dulu.”

Untuk beberapa saat mereka hanya diam saling berpelukan. Semilir angin

pagi menyejukkan rongga dada mereka. Kini butir-butir embun itu, singgah pada

kelopak-kelopak hati mereka, menyegarkan sukma yang dahaga.

“Maukah kau berjanji padaku?” tanya Aji dengan suara bergetar.

“Berjanji apa?” tanya Mawar, yang tangannya masih melingkar pada

tubuh Aji.

“Untuk tidak merindukanku, mulai saat ini.”

Mawar terkejut, dilepaskannya pelukan itu. Ditatapnya Aji dengan

keheranan. “Kenapa tidak boleh?”

“Tidak ada yang melarangmu untuk mencintaiku. Sebagaimana tidak akan

ada yang melarang kita untuk saling mencintai. Tapi jika kamu merindukanku,

saat kita terpisah sangat jauh, perasaan itu hanya akan menyakitimu. Dan aku

tidak ingin itu terjadi.”

Mawar menunduk, terdiam. Hanya tangis sesenggukan yang keluar dari

mulutnya. Wajah ayu itu basah oleh air mata.

“Berjanjilah padaku,” lanjut Aji, “untuk tidak merindukanku lagi, saat

kamu tiba di Belanda. Berjanjilah padaku, untuk tidak menyakiti dirimu sendiri

dengan perasaan itu.”

Mawar tidak menjawab. Air mata masih berguguran di pipinya.

Toilet I’m in Love Page 127

Page 128: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Aji mendekati gadis itu, lalu mencium pipinya yang merona. “Biar aku

saja yang merindukanmu dari sini. Aku tidak akan membagi rasa sakit ini, dengan

orang yang aku cintai.”

Setelah berkata-kata, Aji beranjak pergi, meninggalkan bidadari itu di

beranda rumahnya yang megah.

La commedia e finitia. Sandiwara berakhir. Begitulah, Aji memang cowok

paling sial se-dunia. Tapi lumayan, setidaknya tidak menjadi “Jenderal cinta

bintang tiga”. Sebab kali ini ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

Meskipun pada akhirnya, rasanya sama dengan yang dulu-dulu: tragis, sakit, dan

sengsara.

**SELESAI**

Toilet I’m in Love Page 128

Page 129: Toilet I'm in Love

Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected])

Toilet I’m in Love Page 129