Page 1
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
1
Antara WC dan Merah Putih
Aji memacu motornya secepat mungkin. Jarum Speedometer menunjukkan
angka 80 Km/Jam. Pedal gas diputarnya maksimal. Senin pagi itu dia tidak mau
telat, seperti minggu yang lalu.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, dia menghentikan motornya.
“Kepada, Sang Saka Merah Putih, Hormat…, grak!!!” terdengar suara
komandan upacara, memberi komando.
Sialan! telat lagi, gerutunya dalam hati. Dia menghela nafas panjang.
Kepalanya tertunduk lesu. Dapat dipastikan, dalam setengah jam kedepan, dirinya
akan berhadapan dengan Pak Sahid (guru BK), dan itu artinya sengsara.
Aji sebenarnya siswa yang cerdas. Dia tidak perlu membaca buku hingga
berulang-ulang untuk memahami pelajaran. Jika besok ada ulangan, malamnya
hanya belajar satu atau dua jam. Itu cukup baginya sebagai bekal untuk
menyelesaikan soal ujian. Dan hasil ulangannya pun bagus.
“Yang penting nilai saya bagus, Bunda,” begitulah pembelaannya, saat
Bunda berkali-kali memperingatkannya untuk mengurangi kebiasaan buruknya.
Cowok cuek, yang saat ini duduk di kelas tiga SMA 2 itu, jika sudah memegang
stick Plays Station, dia akan lupa segalanya.
Itulah kenapa pagi ini dia terlambat untuk mengikuti upacara bendera.
Seremonial yang selalu diadakan setiap Senin pagi. Semalam dia berkutat dengan
PS-nya hingga larut. Hasilnya bisa ditebak: bangun kesiangan.
Setengah jam lebih, Aji menunggu di luar pagar sekolah. Akhirnya
upacara bendera pun selesai. Para siswa bubar teratur, menuju kelas masing-
masing.
“Pak!” panggil Aji.
Toilet I’m in Love Page 1
Page 2
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Satpam penjaga pintu gerbang itu keluar dari pos, menghampirinya.
“Terlambat lagi?” tanya satpam Pak Raden itu. Siswa-siswi SMA 2
memanggil dengan sebutan semacam itu, sebab kumisnya lebat, tegak berjajar
seperti sapu ijuk.
“Tolong, gerbangnya dibukakan,” Aji cengar-cengir, merasa bersalah.
Pak Raden itu menggeleng-geleng. “Kamu ini belum kapok juga, ya?
Senin yang lalu sudah disetrap. Sekarang telat lagi.”
Aji masih mematung di depan gerbang, bertengger di sebelah motornya,
menunggu dibukakan.
“Ini sudah dua kali, awas kalau sampai tiga kali,” Pak Raden memberi
ultimatum.
“Kenapa Pak? Dapat hadiah piring?”
“Ee…, kamu ini salah, malah membantah!! Ayo ikut saya menghadap Pak
Sahid,” Pak Raden naik pitam. Dia membuka gerbang, lalu menggelandang Aji
menuju ruang BK.
# # #
Pak Sahid adalah guru BK (Bimbingan dan Konseling). Dia tidak akan pernah
memberi ampun siapapun yang tidak ikut upacara bendera. Baginya upacara
bendera adalah sakral. Sebab itu, jika ada murid tidak mengikutinya, berarti dia
telah melakukan dosa besar.
Duda berumur 45 tahun, dan beranak satu itu, seolah ingin menyampaikan
pesan yang jelas kepada seluruh penghuni SMA 2, bahwa Merah Putih berbeda
dengan kain pel atau kain lap meja dapur. Untuk merebut simbol kemerdekaan itu,
diperlukan pengorbanan yang luar biasa. Banyak darah yang tumpah, dan ribuan
nyawa yang melayang.
“Kamu ini maunya apa?!” bentak Pak Sahid.
Aji menundukkan kepala. Sedikitpun tidak berani menatap guru BK itu.
Mata Pak Sahid melotot. “Jawab!!!” bentaknya sekali lagi.
“Tit… tit… tidak, Pak. Tidak mau apa-apa,” Aji tergagap.
“Terus kenapa terlambat lagi?”
Toilet I’m in Love Page 2
Page 3
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Motor saya mogok, Pak,” Aji mencoba berbohong.
“Mogok?” ujar Pak Sahid penuh selidik.
“Iya,” Aji mengangguk pelan.
Pak Sahid menggeleng-geleng. “Jika kamu berbohong, saya akan memberi
hukuman dua kali lebih berat. Kamu tidak hanya menghormat ke Bendera selama
satu jam, tapi juga membersihkan WC selama satu minggu.”
Aji gelagapan. Ditatapnya wajah guru BK itu. Wajah Pak Sahid masih
tegang, kaku, sekaku aspal. Tubuh tinggi dan kurus, dibalut kulit hitam, bukan
kesan wibawa yang timbul, melainkan menakutkan.
Para siswa juga biasa memanggilnya Pak Sangit. Itu bahasa Jawa Timur-
an, artinya hangus. Klop. Cocok dengan kulit Pak Sahid, yang hitam, mirip kulit
ubi bakar.
“Bagaimana? Masih mau membohongi saya?” lanjut Pak Sahid. “Senin
yang lalu kamu bilang bannya bocor. Sekarang mogok. Masa ada kesialan
datangnya tiap Hari Senin pagi? Mirip jadwal pelajaran saja. Terus Senin depan
kamu mau buat alasan apa lagi?”
Aji makin gelagapan, tersadar bahwa dirinya sama sekali tidak mempunyai
bakat untuk berbohong. Dia menelan ludah, membayangkan ‘bencana’ yang
sebentar lagi menimpa dirinya. “Ma… ma… maaf, Pak,” ucapnya dengan mimik
memelas, memohon pengampunan.
“Jadi kenapa kamu terlambat upacara bendera lagi?”
“Saya bangun kesiangan, Pak.”
“Hemm…” lagi, Pak Sangit menggeleng-geleng. “Jadi hukuman apa, yang
kira-kira bisa membuatmu tidak bangun kesiangan lagi?”
“Kali ini saya sungguh-sungguh minta maaf, Pak. Janji, tidak akan telat
lagi.”
“Janji?!”
“Sumpah, Pak. Samber waria kalau saya bohong. Eh, maksud saya samber
geledek,” Aji mengacungkan dua jari membentuk huruf V.
“Gak lucu. Jangan bercanda!” ucap Pak Sangit dengan mata masih
melotot.
“Ii…, iii… iya, Pak. Janji.”
Toilet I’m in Love Page 3
Page 4
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Emm…, baiklah jika begitu,” urat saraf di wajah Pak Sangit mulai
mengendur. Nada suaranya merendah.
“Jadi saya, tidak jadi dihu…”
“Siapa bilang begitu?! Kamu masih tetap dihukum,” bantak Pak Sangit.
“Sekarang juga, kamu ke lapangan depan. Kamu harus menghormat bendera
selama setengah jam. Setelah itu, kamu membersihkan satu kamar WC, di bagian
gedung kelas III.”
“Waduh…, Pak. Ampun. Biarlah saya menghormat pada Merah Putih
selama setengah jam. Tapi saya tidak usah membersihkan WC ya, Pak,” Aji
merajuk. Wajahnya memelas, memohon, mirip tawanan perang hendak
dieksekusi.
“Kamu pikir saya jualan cabe, pake ditawar segala?!”
“Ini namanya tidak berperikemanusiaan, Pak,” protes Aji memberanikan
diri.
“Mana yang tidak berperikemanusiaan? Membersihkan WC atau
menghormat pada Merah Putih?”
“Dua-duanya.”
“WC itu kamu sendiri yang menggunakan, bukan saya. Dan apa susahnya
mengormat bendera selama setengah jam, dibanding dengan para pahlawan yang
berperang mengorbankan nyawa, demi bendera itu. Sudah, tidak usah membantah
lagi. Sekarang juga, laksanakan hukuman!!”
Fyuh…, lengkap sudah penderitaan ini, bisik Aji dalam hati. Cowok
dengan tinggi/berat badan 165Cm/70Kg itu, berjalan gontai menuju lapangan
depan sekolah. Perasaannya bercampur aduk: marah, benci, merasa goblok,
dongkol, dan sebagainya.
“Jangan coba-coba mencuri waktu! Saya mengawasi dari sini,” teriak Pak
Sangit.
“Beres, Bos,” jawab Aji sekenanya, tanpa menoleh.
“Apa kamu bilang, ‘Bos’?! Kamu sudah melanggar tata-tertib, masih saja
tidak sopan. Saya tambah hukumannya. Hormat bendera satu jam, dan bersihkan
dua kamar WC,” teriak Pak Sangit.
# # #
Toilet I’m in Love Page 4
Page 5
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Satu jam berlalu. Hukuman hormat bendera telah selesai. Sekarang tinggal
membersihkan WC. Kulit Aji yang aslinya berwarna sawo matang, makin gelap
saja, setelah terpanggang matahari.
Setelah minum es Setrup di kantin Mbak Mimi, Aji bergegas menuju lokal
WC, dibagian timur gedung kelas III. Dia tidak bisa berbuat curang, karena Pak
Sangit mengawasi dari kejauhan. Dia hanya bisa menggerutu dalam hati.
Sambil menutup hidung, dibukanya pintu WC. Wauw… rupanya pagi ini,
Pak Bun (tukang kebun sekolah) belum sempat membersihkannya. Air yang
menggenang di lubang WC nampak keruh kekuningan. Lantainya pun kotor oleh
sisa-sisa tanah yang menempel di sepatu.
Tidak kuat menahan nafas, Aji melepas dua jari yang menutup hidungnya.
Augghh…, aroma khas senyawa urea menyengat hidungnya. Dia batuk-batuk.
Sontak ditutupnya kembali pintu WC. Rasanya dia ingin berteriak, misuh-misuh,
atau berlari saja meninggalkan hukuman itu. Tapi mau lari kemana. Besok juga
dia harus masuk sekolah, dan ketemu Pak Sangit lagi. Tidak ada pilihan lain,
selain menyelesaikan hukuman itu. Anggap saja ‘Fear Factor,’ bisiknya dalam
hati.
Minggu yang lalu saat dia telat mengikuti upacara bendera, Pak Sangit
hanya menghukumnya dengan menghormat bendera selama setengah jam. Namun
saat ini, dia tidak menduga bahwa guru BK itu memberinya ‘bonus’
membersihkan WC.
Seumur-umur, Aji hampir tidak pernah melakukan hal itu. Bahkan
mungkin belum pernah sama sekali. Jangankan membersihkan WC, sekedar
bersih-bersih rumah saja malasnya minta ampun. Jika tidak diseret-seret atau
diteriaki Sinta- adiknya- dia tidak akan melakukan hal itu.
Pernah suatu ketika, adiknya yang manis itu menyindirnya. “Mas, kamu
ini kan nama lengkapnya Kusuma Aji?”
“Terus kenapa?” Aji balik bertanya.
“Berarti namamu bukan Aji Massaid, toh?”
“Lha iya, terus kenapa?!”
“Kok males banget, kalau bantu bersih-bersih rumah?”
“Hehehe….,” paham disindir adiknya, Aji hanya nyengir.
Toilet I’m in Love Page 5
Page 6
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Tak mau kalah, dia mengajukan pembelaan. “Begini, Adek manja putri
Bunda. Mas-mu ini paham, dirinya bukan artis, bintang sinetron, atau anggota
dewan. Mukanya juga pas-pasan.”
“Tuh… kan…, sudah paham. Bintang sinetron bukan, pejabat juga bukan,
kok malesnya minta ampun?”
“Itu karena Mas-mu ini baik hati.”
“Huh! Orang males kok baik hati?!” jawab Sinta sewot.
“Hayo coba dipikir. Jika kamu menyapu rumah ini dengan ikhlas, berarti
semua pahalanya kamu yang ngambil. Mas Aji tidak kebagian apa-apa. Artinya,
pahalamu lebih banyak dari pahala Mas. Dan nanti, kamu akan masuk surga lebih
dulu. Kurang baik bagaimana Mas-mu ini? mempersilahkan Adiknya lebih dulu
masuk surga.”
“Bukan kurang baik, tapi kurang ajar!”
Begitulah dialog yang sering terjadi pada senja hari, saat Sinta sibuk
menyapu rumah, dan Aji hanya enak-enakan berkutat dengan stick PS-nya. Dialog
semacam itu biasanya diakhiri dengan kejar-kejaran diantara mereka: Sinta
dengan membawa sapu ijuk diacung-acungkan, dan Aji yang berlari-lari kecil
ketakutan. Adegan semacam itu hanya akan berakhir saat Bunda datang melerai.
Dan sudah pasti, bunda akan berpihak pada Sinta.
Dua puluh menit sudah Aji melaksanakan hukuman itu. Sedikit lagi WC
itu akan bersih disikatnya. Disaat sedang sibuk ‘menikmati bonus’ yang diberikan
oleh Pak Sangit itu, tiba-tiba saja seorang cewek cantik masuk ke WC wanita
yang hanya berjarak dua meter dari WC yang dibersihkannya.
Mata mereka saling beradu pandang. Cewek itu tersenyum. Aji merasa ada
kesan tersembunyi di balik senyum itu. Iya benar, tidak salah lagi, dibalik senyum
manis, dari bibir merah-merekah dan menggoda itu, ada kesan geli. Bukan
senyum meledek atau mencibir, hanya senyum geli.
Saat itu, seharusnya Aji merasa malu. Karena buah dari kebandelannya,
disaksikan oleh Mawar. Siapa yang tidak kenal Mawar. Dia adalah gadis tercantik
di SMA 2. Nama lengkapnya Mawar Puteri. Berkali-kali cewek ini menjuarai
lomba Art Modelling. Berkali juga wajahnya nongol di sampul majalah remaja.
Tubuhnya tinggi, proporsional dengan berat badannya. Kulitnya putih bersih. Di
Toilet I’m in Love Page 6
Page 7
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
atas matanya yang teduh dengan pupil biru keperakan, bertengger alis lebat,
melengkung bak bulan sabit. ‘Bunga’ SMA 2 yang mempunyai wajah Indo itu,
bukan hanya menawan, tapi juga cerdas. Biografinya pernah ditulis dalam sebuah
majalah remaja: dia suka puisi, novel, dan segala hal yang berbau sastra.
Seharusnya Aji malu. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Dia sama sekali
tidak merasa malu. Cuek. Jangankan hanya gadis cover girl bermata biru, dan
berwajah Indo. Ada bidadari turun dari kahyangan sekalipun, dia tidak akan malu.
Saat ini dia berpikir bahwa tidak ada gunanya menaruh rasa yang berlebih
terhadap wanita. Merasa sok gengsi, jaim, dan sebagainya.
Dari mana dia sampai mempunyai pikiran semacam itu? Dari pengalaman
pahit. Dalam kurun waktu hampir tiga tahun ini, sudah dua kali ‘panah Cupid-
nya’ melenceng dari sasaran. Cinta pertamanya yang ditolak adalah pada gadis
bernama Lala, anak SMA Pahlawan. Dan yang kedua adalah cewek Tionghoa,
bernama Mei Ling, tetangganya. Ditolak juga. “Cukup sudah!!! Gak ‘Wo ai ni-
Wo ai ni-an. Gak pathéken,” keluhnya kala itu.
Dua kali patah hati bukanlah prestasi yang hebat. Apalagi tiga. Sebab itu,
saat ini dia cuek dengan segala rasa terhadap cewek.
Setelah beberapa menit berada dalam WC, Mawar kembali keluar. Melihat
Aji yang masih sibuk menggosok-gosok lantai dengan sikat. Kembali dia
tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum tuan puteri? Mau bantuin?” tegur Aji tanpa
menoleh.
“Enggak deh, makasih banyak. Tukang bersih-bersih WC-nya sekarang
ganti, ya?” ledek Mawar.
“Bukan tukang bersih-bersih WC yang ganti, tapi ruang kelas saya yang
ganti. Pindah ke sini,” jawab Aji kesal.
Mawar tersenyum. Bibir merah yang sensusal itu mengembang. Senyum
semacam itu, sebenarnya sudah dapat membuat jantung laki-laki manapun deg-
deg ser. Tapi dasar Aji, sekali cuek tetap cuek.
“Oh iya, Pak. Ini WC wanita masih kotor. Sekalian disemprot dong,”
kembali Mawar meledek.
Toilet I’m in Love Page 7
Page 8
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Semprot saja sendiri,” merasa dongkol, Aji melemparkan selang dengan
air yang masih mengalir, ke arah Mawar.
“Aa…!!!” teriak Mawar. Rupanya air yang mengalir dari selang itu,
muncrat, membasahi bajunya.
Aji gelagapan. “Haduh…, maaf Neng, Non, Mbak, Tante, Suz. Gak
sengaja.”
“Gak sengaja apanya?! Jelas-jelas kamu melempar selang,” Mawar marah,
lalu ngeloyor pergi.
Semua hukuman telah dilaksanakan. Kini Aji duduk sendiri di kantin
Mbak Mimi. Tidak mungkin dia ikut pelajaran dalam kelas. Celana dan bajunya
basah oleh keringat dan air. Belum lagi bau keringat bercampur aroma khas WC.
“Es teh satu, bakso satu, Mbak,” ucap Aji.
Setelah beberapa saat menunggu, Mbak Mimi keluar meletakkan pesanan
itu di meja.
Kantin masih sepi. Para siswa mengikuti pelajaran dalam kelas masing-
masing. Aji mengangkat gelas es teh itu, lalu meminumnya hingga separoh. Tiba-
tiba saja ponselnya bergetar, sebuah sms masuk.
FROM : DODIK GENTONG
BRO’ AKU TELAT.
MUNGKIN, NANTI JAM PELAJARAN KEDUA
AKU BARU MASUK KELAS.
Fyuhh…! ini juga, hobi kok telat masuk sekolah, gumam Aji dalam hati.
Cepat-cepat Aji membalas sms itu.
TO : DODIK GENTONG
AKU JUGA TELAT MASUK.
SEKARANG LAGI DI KANTIN MBAK MIMI.
Aji memasukkan ponselnya ke dalam saku, dan kembali menikmati
baksonya.
Toilet I’m in Love Page 8
Page 9
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Setengah jam kemudian, dia terkantuk-kantuk karena kelalahan. Dia
merebahkan badannya di atas bangku kantin. Tiba-tiba saja, “GEDEBUKK!!!”
terdengar suara, seperti karung beras jatuh.
Tiga detik kemudian, “KRUWAKK!!!” disusul suara seperti sarung sobek.
Suara itu berasal dari belakang kantin. Aji bangun, bergegas kaluar kantin,
lalu menengok ke belakang. Ternyata itu adalah suara Dodik dan Lutfi, sahabat
sekelas Aji. Tubuh gendut Dodik, menimbulkan suara berdebum, saat meloncat
dan terjatuh dari atas pagar sekolah.
Hemm…, lagi-lagi jalur khusus, desah Aji dalam hati. Dengan langkah
malas, dia kembali masuk ke dalam kantin.
Jalur khusus, demikian Dodik, Lutfi, dan Aji menyebutnya.
Kedengarannya mirip jalur istimewa, bagi orang-orang istimewa. Bukan, bukan
begitu. Mereka menyebutnya begitu karena jalur itu harus meloncati pagar
sekolah, lalu jatuh tepat di belakang kantin Mbak Mimi. Jalur yang sempurna,
bagi mereka yang telat datang sekolah. Jalur ini juga aman. Bahkan Pak Sangit
yang mempunyai penciuman tajam- setajam anjing pelacak- tidak mengetahuinya.
Aman bukan berarti tanpa resiko. Sebab pagar sekolah itu, bagian atasnya
diberi kawat berduri. Meskipun pada bagian jalur khusus itu, kawatnya sedikit
dibengkokkan, namun tidak menutup kemungkinan, jika celana sobek akibat
kecantol sisa-sisa kawat berduri yang tidak sepenuhnya dibengkokkan itu.
Kini mereka sudah berada dalam kantin Mbak Mimi.
“Kolor kutang, Pak!” ucap Dodik tegas, dan berdiri tegak, tepat di depan
Aji.
“Celana kolor, Pak!” sahut Lutfi, yang juga berdiri sigap, berbaris di
sebelah Dodik.
“Hemm…, apa kalian tidak punya hobi lain, selain telat sekolah?”
“Ada, Pak,” jawab Dodik tegas.
“Apa?”
“Makan.”
“Goblok!!! itu kebutuhan, bukan hobi,” bentak Aji. “Jadi kenapa kalian
telat sekolah?!”
“Mogok, Pak. Motor saya kehabisan bensin.”
Toilet I’m in Love Page 9
Page 10
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Goblok kok dipelihara. Kalau mogok, ya dibelikan bensin.”
“Kalau saya belikan bensin, jatah makan bakso di kantin Mbak Mimi bisa
berkurang, Pak.”
“Dalam sehari berapa kali kamu makan bakso.”
“Lima kali, Pak.”
“Bagus, kamu harus jaga kondisi.”
Perut gendut Dodik bergoyang-goyang karena menahan tawa. Seragam
putihnya kotor, terlabur debu dan tanah, akibat terjatuh tadi.
“Terus kamu,” pandangan Aji beralih ke Lutfi.
“Kutang kolor, Pak. Eh…, maksud saya, siap, Pak!” jawab Lutfi tegas.
Cowok ini berkulit putih, rambutnya kribo, tinggi sekitar 150Cm, dan agak kurus.
“Kenapa celanamu, pake kamu robek segala? Kamu pikir sekarang lagi
mode, celana robek di bagian pantat?”
“Kecantol, Pak,” jawab Lutfi.
“Apa, pentol?”
“Maksud saya botol, Pak.”
“Apa kamu bilang, dodol?”
Kembali perut gendut Dodik yang mirip gentong itu bergoyang naik turun.
Setengah mati dia menahan tawa, hingga getaran tawa yang tertahan itu beralih ke
perutnya.
“Boleh tanya, Pak?” ujar Lutfi.
“Hemm…, boleh. Tanya apa?”
“Kenapa seragam Bapak basah, dan aromanya…”
“Kenapa aromanya?!” bentak Aji.
“Aromanya seperti… seperti aroma ‘begituan’.”
“’Begituan’ bagaimana maksudmu?”
“Seperti aroma éék, Pak.”
“Goblok!!! Ini bukan aroma éék, tapi parfum Chanel Number Five, fersi
WC.”
“Bruwaakakaka…!!!” tawa mereka meledak bersama.
Dan drama gila itu pun berakhir.
# # #
Toilet I’m in Love Page 10
Page 11
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Ji…, Bangun!” panggil bunda dari luar kamar.
Pagi telah merekah. Sinar merah mentari terhambur di pelataran rumah.
Kesibukan nampak sudah dimulai. Di jalanan beberapa motor dan mobil terlihat
melintas. Sementara itu, di dalam rumah, tepatnya dalam kamar Aji, nampak
masih belum ada gerak apapun. Cowok itu masih saja mlungker, masih terlena
dengan sisa-sisa mimpinya.
“Dokk…, dokk…!!! Bangun the sleeper!!!,” teriak Sinta.
“Iya…, ya…!” jawab Aji dengan suara serak.
Pelan, dia beringsut dari tempat tidur. Termangu sebentar di atas
pembaringan, lalu dengan sangat berat hati meninggalkan bantal dan gulingnya.
Dengan kesadaran yang masih belum pulih sepenuhnya, berjalan menuju kamar
mandi. Dan…“Bruwakkk!!!” kepalanya terbentur pintu. Tidak sadar jika pintu
kamar mandi tertutup dan terkunci. Ternyata Adiknya sudah ada di dalam.
“Iya…! sebentar,” jawab Sinta dari dalam kamar mandi.
“Aduh! Cepetan!”
“Gak, gak mau. Aku nyantai aja mandinya.”
“Cepetan, manja!”
“Gak mau. Salah sendiri males bangun pagi,” bantah Sinta.
“Dok… dok… dok! Ayo!” Aji mengetuk pintu kamar mandi.
“Aa…, Bunda…!!!” teriak Sinta.
Bunda yang sedari tadi sibuk di dapur, mendengar keributan kakak beradik
itu, datang menghampiri. “Haduh… haduh…! Kalian ini, ngantri mandi masih
sempat ribut,” lerainya, sambil menggenggam ulekan ditangan. “Hayo cepetan,
nanti telat sekolah lho.”
“Cepetan, jelek,” panggil Aji sekali lagi.
Jelek. Kadang Aji meledek adiknya semacam itu. Tapi Sinta sama sekali
tidak jelek. Gadis itu cantik, juga manis. Kulitnya sawo matang, sama seperti
kakaknya. Wajah bulatnya yang mirip Yuni Sarah, terbingkai oleh rambut lurus.
Belum lagi senyum rekah dari bibirnya yang mungil.
Manja. Kadang juga Aji meledek adiknya begitu. Kalau yang ini benar.
Sinta memang manja.Wajar, mereka hanya dua bersaudara, dan dia anak terakhir.
Toilet I’m in Love Page 11
Page 12
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Keributan-keributan kecil semacam itu memang sering terjadi. Namun
diluar itu semua mereka adalah keluarga yang kompak. Ayah selalu mendukung
cita-cita mereka, apapun yang mereka mau, asalkan itu baik. Beliau sangat
demokratis, meskipun bukan anggota dewan.
Tentang Bunda. Beliau adalah orang yang selalu ada, saat anak-anaknya
sedang sedih. Beliau yang selalu memberikan nasehat rasional, saat anak-anaknya
terjerat masalah cinta picisan.
Pernah suatu ketika, Sinta yang masih duduk di kelas satu SMA Pahlawan
itu, terlilit masalah romansa picisan semacam itu. Lesung pipit yang muncul dari
pipinya, saat dia menebarkan senyum Yuni Sarah-nya, menimbulkan masalah.
Buah senyum indah itu, tidak seindah yang diduga. Sebab Heri- kakak
kelasnya- kepincut setengah mati. Berawal dari sebuah perkenalan dan percakapan
ringan saat pulang sekolah. Tanpa diduga sedikitpun, tiba-tiba saja Heri bilang: “I
am fall in love with you, Sin.”
“Opo Mas? Tresno?!” jawab Sinta gelagapan. Sebab dia tidak merasakan
getaran apapun saat berada di dekat cowok itu.
Tiga malam Sinta tidak dapat tidur tenang, memikirkan peristiwa itu. Baru
lima hari mereka berkenalan, dan Heri sudah nekat mengutarakan isi hatinya.
Jawabannya sudah pasti, Sinta tidak bisa menerima uluran hati cowok itu. Namun
yang menjadi masalah adalah, bagaimana menolak secara baik, dan tidak
menyakiti perasaan.
“Katakan saja sejujurnya, Sayang,” nasehat Bunda waktu itu, sembari
mengelus rambutnya. “Kalau memang kamu tidak bisa menyambut cintanya, mau
gimana lagi? Yang penting menyampaikannya harus sopan.”
Akhirnya, dengan tidak berat hati, dan rasa takut yang tertahan, Sinta
menampik ulura cinta Heri.
Tapi ceritanya belum selesai sampai di situ.
“Aku tidak akan menyerah, Sin. Jika kau menolak cintaku, suatu saat aku
akan memotong urat nadiku di depanmu,” begitu ucap Heri, setelah mendengar
penolakan Sinta.
Toilet I’m in Love Page 12
Page 13
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Segalanya bertambah ruwet. Cewek mana yang tidak ngeri, menghadapi
‘Samurai Cinta’ yang gila macam itu. Yang akan melakukan Harakiri atau
Harakanan dengan memotong nadinya jika cintanya ditolak.
Sinta sedih, begitu juga Bunda. Hingga akhirnya, Aji mengetahui
permasalahan picisan itu.
“Baiklah, ini masalah laki-laki,” ucapnya sambil bergegas pergi ke SMA
Pahlawan, ditemani Lutfi dan Dodik.
Aji menghadang Heri saat pulang sekolah.
“Kamu ini waria muka tembok, atau pria sejati!!!” hardik Aji saat itu.
“Kamu ini siapa?” Heri kebingungan.
“Kakak Sinta!”
“O…, aku jatuh cinta dengan Adikmu, bukan denganmu. Jadi ini bukan
urusanmu.”
“Ternyata benar dugaannku: kamu ini banci muka tembok. Pria sejati tidak
akan berbuat begitu saat ditolak cintanya.”
“BAKK!!! BUKK!!! BEKK!!! BOKK!!!” duel goblok antara dua
Samurai tak berpedang itu, tidak dapat dihindari.
Muka Aji bonyok, begitu juga Heri. Tidak ada yang menang atau kalah.
Namun cara itu ampuh. Sebab setelah itu, Heri sama sekali tidak berani mendekati
Sinta.
“Kamu tahu Ji, bedanya kerbau dengan manusia?” nasehat Bunda kala itu,
saat menyaksikan wajah puteranya jontor di sana-sini.
Aji tertawa culun, merasa tersindir.
“Kerbau itu Ji,” Bunda melanjutkan, “menyelesaikan masalah dengan otot:
dipakai bajak disawah, menarik pedati, dan sebagainya. Sedangkan manusia
menyelesaikan masalah dengan pikirannya. Ngerti bedanya?”
Lagi-lagi Aji hanya nyengir.
Kembali pada keributan kecil di depan kamar mandi pagi itu. Dengan
adanya Bunda sebagai penengah, keributan antara Aji dan Sinta berakhir. Mereka
sudah rapi, dengan mengenakan seragam masing–masing, duduk berkumpul
melingkari meja makan, menikmati sarapan.
# # #
Toilet I’m in Love Page 13
Page 14
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Lima belas menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Di dalam kelas IIIA, murid-
murid asyik dengan aktifitasnya masing-masing: sebagian ada yang bersenda
gurau, sebagian lagi ngerumpi.
Sementara itu Dodik dipusingkan dengan PR-nya yang belum selesai.
“Angga, aku mau pinjam, cepetan!” ujarnya.
Berbeda dengan Aji, Lutfi, dan Dodik yang cenderung sableng, Angga
adalah anak yang rajin. Cowok berkacamata dan berkulti cokelat itu pandai dalam
semua mata pelajaran, terutama pelajaran eksakta: Matematika, Fisika, dan Kimia.
Sebab itu, dialah yang dijadikan rujukan sahabat-sahabatnya.
“Haduh, ada PR Matematika, ya?” ucap Lutfi yang baru saja datang.
Tanpa banyak bicara, cowok kribo itu langsung mengeluarkan buku. “Minggir!
Bagi tempat duduknya, Gentong,” Dodik menggeser pantatnya, yang setara
dengan tiga orang itu.
Tentang PR Matematika, tidak akan ada yang berani untuk tidak
mengerjakan. Sebab Pak Bonar- guru Matematika- bukanlah guru sembarangan.
Guru berdarah Batak itu, mempunyai bentuk wajah kotak, dengan tekstur yang
tidak rata. Semacam ada bekas lubang-lubang kecil di kulit mukanya. Ditambah
lagi dengan deretan jerawat yang sebesar jempol tangan. Itulah kenapa murid-
murid memberinya julukan penjahat sinetron. Dia tidak akan memberi ampun
terhadap murid bandel, yang tidak mengerjakan PR.
Kurang lima menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Dodik dan Lutfi masih
tergopoh-gopoh mencontek PR Angga. Masih kurang satu nomer lagi.
“Gentong, ada makanan apa itu. Serius sekali?” sapa Aji yang baru saja
datang. Dilihatnya Dodik dan Lutfi sibuk mengerumuni sesuatu
“Nih, makan!” Dodik melempar buku PR-nya yang baru selesai ia tulis.
Sekilas Aji menatap buku PR Dodik yang terjatuh di atas meja, tepat di
depannya. Matanya terbelalak. “Celaka seratus tiga belas, ada tugas Matematika,
ya?!”
Kini kurang tiga menit lagi bel akan berbunyi. Pelajaran Matematika jam
pertama. Sontak Aji mengeluarkan buku tugas Matematikanya. Dengan tergesa
dia menyalin PR yang tertulis di buku Dodik.
Toilet I’m in Love Page 14
Page 15
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Bel masuk berbunyi, satu menit setelah itu Pak Bonar masuk ke kelas.
“Selamat pagi anak-anak,” sapanya.
“Selamat pagi, Pak.”
Kelas yang riuh, sontak menjadi sunyi, sesunyi kuburan.
“Ada PR?” tanya Pak Bonar.
Tidak satupun murid yang menjawab.
“Hemm…, jika kau diam, itu artinya ada PR. Baiklah, kumpulkan!”
perintah guru berwajah penjahat sinetron itu.
Serempak para siswa mengeluarkan buku tugas Matematikanya, lalu
mengumpulkannya di depan.
Untung tak bisa diraih, malang mungkin bisa ditolak. Aji masih belum
selesai menyalin semua PR itu. Kurang dua nomer. Tapi tidak apalah, dari pada
tidak mengerjakan sama sekali. Aji pun mengumpulkan PR-nya.
“Saya akan periksa nama-nama buku tugas ini. Bagi yang tidak
mengerjakan, kau sudah tahu hukumannya,” ucap Pak Bonar sinis, dengan logat
Batak yang kental.
Seluruh siswa SMA 2 tahu hukuman favorit Pak Bonar, jika ada murid
yang tidak mengerjakan PR. Yaitu berdiri satu kaki di luar kelas, sambil
mengangkat kursi di kepala, dan membaca puisi keras-keras hingga jam pelajaran
usai.
Beberapa menit Pak Bonar memeriksa buku-buku tugas itu. Hingga
sampailah dia memeriksa buku Aji. Dilihatnya PR itu tidak dikerjakan seluruhnya.
Dari sepuluh nomer, hanya delapan nomer yang dikerjakan. “Aji!” panggilnya.
“Iya, Pak,” jawab Aji. Dia maju kedepan kelas, ke meja guru.
“Kenapa yang dua nomer tidak kau dikerjakan?” tanya Pak Bonar, dengan
mimik menyeramkan.
“Emm…., aemm….,” selama beberapa detik, Aji hanya ber-aem-aem
sambil mengaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Kau pilih hukuman, atau kau kerjakan yang dua nomer ini di papan tulis,”
Pak Bonar memberikan pilihan.
“Saya kerjakan di papan saja saja, Pak,” sahut Aji.
Toilet I’m in Love Page 15
Page 16
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Hanya dalam waktu tiga menit, Aji mengerjakan dua nomer itu. Dan
pekerjaannya benar.
“Hem…, bagus. Kau boleh duduk,” ucap Pak Bonar.
Aji kembali duduk. Wajahnya sumringah, merasa lolos dari ‘bencana’.
Duah puluh menit sudah berlalu. Pak Bonar selesai memeriksa seluruh
buku tugas Matematika itu. “Baiklah, untuk memastikan apakah kalian
mengerjakan PR ini dengan pikiran sendiri atau hanya sekedar mencontek.
Sekarang saya akan pilih secara acak, untuk maju kedepan. Mengerjakan soal PR
ini tanpa melihat jawaban di buku tugas.”
“Haduh!” ucap Dodik keceplosan.
“Kenapa haduh?!! Siapa tadi yang bilang haduh?” mata Pak Bonar melotot
seperti topenk Bali. Pandangannya disapukan keseluruh kelas. Ditatapnya satu
persatu wajah di depannya. Semuanya menunduk. Suasana hening, sangat hening.
Pak Bonar mengambil buku absensi, lalu membukanya. “Hemm…,
baiklah. Aku mulai dari kau yang punya nama Rina. Kerjakan soal nomor tiga.”
Rina maju, mengambil kertas soal dari tangan Pak Bonar, lalu
mengerjakannya di papan tulis. Hanya butuh waktu dua menit untuk
menyelesaikannya.
“Bagus,” puji Pak Bonar.
Rina kembali duduk.
“Sekarang giliran kau, yang punya nama Angga. Kerjakan soal nomor
lima,” panggil Pak Bonar.
Angga pun maju mengerjakannya. Satu menit selesai.
“Pintar,” sanjung Pak Bonar.
Angga kembali duduk.
“Berikutnya, kau yang punya nama Lutfi. Kerjakan nomor satu.”
Deg!!! Jantung Lutfi rasanya ingin copot. Mampuslah diriku, bisik Lutfi
dalam hati. Dengan langkah gontai, dan hati ketar-ketir, dia menuju depan kelas.
Diambilnya kertas soal dari tangan Pak Bonar, lalu beranjak ke depan papan tulis.
Dalam tiga puluh detik, dia hanya terpaku. Pandangannya bertukar antara papan
tulis dan kertas soal.
Toilet I’m in Love Page 16
Page 17
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Emm…, no…, no…, nomor satu ya, Pak,” ucapnya terbata. Jantungnya
berdegub kencang bak genderang perang.
“Ah! kau ini,” jawab Pak Bonar kesal, “memang kau taruh dimana kau
punya telinga, ha?!”
“Iy… iy… ya, Pak. Maaf.”
Tiga menit sudah berlalu. Tak satu pun angka yang dituliskan Lutfi di
papan.
“Ah!!! Payah kau!!!” bentak Pak Bonar. “Sudah, terserah kau saja.
Kerjakan nomor barapa saja yang kau suka.”
Lutfi mengangguk berat.
Lima menit berlalu. Masih belum ada satu goresan pun yang dibuatnya di
papan.
“PR-mu tadi nyontek, ya?!!” bentak Pak Bonar.
“Iy…, iy…, iy….,” Lutfi tergagap.
“Nyontek siapa?” bentak Pak Bonar lagi, sebelum Lutfi menuntaskan
kalimatnya.
Lutfi diam terpaku. Lututnya terasa hendak copot. Keringat dingin
membasahi telapak tangan dan kakinya.
“Kalau kau tak mau bilang, hukumanmu akan lebih berat. Kau akan
berdiri satu kaki di luar kelas, dengan kursi di atas kepala, dan membaca puisi
keras-keras, selama satu bulan. Setiap jam pelajaran Matematika.”
Pada awalnya Lutfi tidak ingin mengaku. Atas nama setia kawan, dia ingin
melindungi Angga. Tapi dengan ancaman hukuman semacam itu, masa bodoh
dengan setia kawan.
“Siapa!!!” bentakan Pak Bonar, membubarkan lamunan Lutfi.
“A… Ang…. ga, Pak,” jawab Lutfi terbata.
“Yang jelas!”
“Angga, Pak.”
Angga yang duduk di kursi belakang langsung terkulai lemas.
“Angga, maju!” panggil Pak Bonar.
Dengan langkah lesu, cowok berkacamata itu maju.
“Kau pikir, kau sudah hebat, ha?!”
Toilet I’m in Love Page 17
Page 18
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Ma… maaf, Pak. Saya hanya menolong teman,” Angga membela diri.
“Menolong muka kau itu. Kau itu tidak menolong, malah membuat
sahabat kau jadi tambah goblok,” bantah Pak Bonar. “Siapa lagi yang kau kasih
contekan?”
Angga menunduk, tidak menjawab.
“Kalau kau tak mau bilang, akan kutambah hukuman kau, sepuluh kali
lipat.”
Angga menelan ludah, membayangkan betapa sengsara dirinya jika
memang Pak Bonar serius. Dan guru bertampang penjahat sinetron itu memang
tidak pernah main-main dengan ucapannya.
“Bilang! Siapa?!!”
“Dodik dan Aji, Pak.”
Lengkap sudah. Empat sekawan itu: Lutfi, Angga, Dodik, dan Aji,
berbaris di depan kelas. Mereka siap menanti hukuman, seperti tawanan perang
yang menunggu dieksekusi.
Untuk beberapa saat, Pak Bonar menulis puisi liris pada empat lembar
kertas. Selanjutnya dibagikan kepada para ‘pesakitan’ yang siap dijatuhi hukuman
itu.
“Baiklah, seperti tadi yang sudah aku katakan,” Pak Bonar memberi
instruksi, “kau ambil kursi kalian masing-masing. Angkat kursi itu di atas kepala,
sambil berdiri dengan satu kaki di depan kelas. Satu lagi, baca keras-keras puisi
yang tadi kubagikan.”
Maka, keempat ‘pesakitan’ itu berbaris di depan kelas. Melaksanakan
semua instruksi hukuman yang telah diberikan. Bersamaan, mereka membaca
puisi keras-keras:
Kau beri aku sampahKu rangkai bunga
Kau lempar lumpurAku bersyukur
Kau tumpahkan makiKu jadikan puisi
Jalan kau tabur duri
Toilet I’m in Love Page 18
Page 19
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Aku menariBunga sampahmuSampah bungaku
Pak Bonar memang guru yang aneh, juga luar biasa. Sebab meskipun guru
Matematika, dengan tampang penjahat sinetron, tapi dia suka puisi. Ternyata di
balik wajah yang sangar mirip topeng Bali, tersimpan hati kupu-kupu.
# # #
Jam istirahat pertama. Kantin Mbak Mimi mulai ramai.
“Baksonya tambah lagi, Mbak,” ucap Dodik. Si Gentong ini mempunyai
selera makan yang luar biasa.
“Jadi bagaimana, nanti sore kita jadi ngeband?” tanya Angga.
“Hem…, terserah Lutfi saja deh,” jawab Aji sembari mengangkat gelas
esnya.
“Gimana, Lut?” pandangan Angga beralih ke Lutfi.
“Hem…, terfelaah Zzodzik zazja,” jawab Lutfi dengan mulut penuh tahu
goreng.
“Jadi ngeband, Dod?” tambah Aji.
“Eh…, eh…, ada apa?” tanya Dodik dengan wajah culun. Si Gentong itu
sedari tadi konsentrasi dengan baksonya, jadi tidak menyimak percakapan
sahabatnya.
“Ada gempa,” Aji memukul lengannya.
Ditengah asyik berbincang ringan, di antara riuh rendah para pembeli,
tiba-tiba Dina dan Lisa muncul. Mereka juga sahabat akrab Aji, Dodik, Lutfi, dan
Angga.
“Hai!” sapa Lisa sembil memukul punggung Dodik.
Diluar dugaan, Dodik yang sedang memasukkan pentol ke mulutnya,
akibat pukulan di punggungnya, pentol itu masuk begitu saja dan tersangkut di
tenggorokannya.
Toilet I’m in Love Page 19
Page 20
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Haup!!! Haup!!!” mata dodik melotot. Nafasnya megap-megap, persis
ikan mas koki dalam akuarium yang kehabisan oksigen.
“Nine one-one! Nine one-one! Nine one-one!” teriak Lisa. Dia panik,
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Cewek tomboy itu hanya berlari-lari kecil,
mondar-mandir kebingungan, keluar-masuk kantin.
Sementara Dina diam terpaku. Cewek berhati peka itu hanya menangis
ketakutan.
Suasana kantin jadi geger. Seluruh pembeli seperti tersihir. Mereka panik,
tidak tahu harus berbuat apa, untuk memberikan pertolongan.
“Air!!! Air!!! Air!!!” teriak Lutfi.
“Jangan! Jangan diberi air! Pukul saja tengkuknya!” perintah Mbak Mimi.
Dengan sigap, Aji mendekati Dodik, menegakkan punggungnya,
dan…”Bukk!!! Buk!!! Bukk!!!”, dia memukul punggung Dodik dengan keras.
Pentol yang tersangkut di tenggorokannya, meloncat keluar melalui mulutnya.
Ketegangan itu berakhir. Keadaan kritis sudah berlalu. Nyawa Dodik yang
berada di ujung tanduk berhasil diselamatkan. Si Gentong itu menarik nafas lega.
Plong, rasanya. Wajahnya masih merah, tubuhnya lemas. Dia meminum esnya,
lalu menenangkan diri.
“Haduh, maaf ya, Dod,” Lisa merajuk. Cewek dengan potongan rambut
model pria itu merasa bersalah.
“Fyuh…,” Dodik mendesah lemas.
“Makanya, kalau makan bakso minta dikunyahin dulu sama Mbak Mimi,
biar tidak tersedak,” ledek Aji.
“Dimaafin ya, Dod?!” lagi Lisa merajuk.
“Ada syaratnya.”
“Apa?”
“Cium pipiku.”
“Huu…!” Lisa mendorong pipi Dodik.
“Ya sudah, kalau tidak mau. Baksoku di bayarin saja.”
“Iya deh, aku traktir,” Lisa nyengir. Kesalahan yang tidak disengaja itu,
dibayarnya seharga bakso dua mangkuk.
“Ada apa sih, datang-datang bikin heboh?” tanya Lutfi.
Toilet I’m in Love Page 20
Page 21
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Lisa mengeluarkan selebaran dari sakunya. “Nih lihat! Brosur festival
Band.”
Serempak: Lutfi, Aji, dan Angga mengerumuni lembaran pamflet itu.
Kecuali Dodik, dia termangu-mangu menghela nafas. Masih sok.
“Ikut yuk!” ajak Angga.
“Ikut saja. Hadiahnya lumayan lho. Nanti kalau menang, kalian makan-
makan di rumahku. Aku akan masak yang enak,” Dina memberi semangat.
“Apa? Makan enak?” sahut Dodik yang sedari tadi hanya termangu. Tiba-
tiba saja jadi bersemangat. Spontan matanya berbinar. Lupa terhadap apa yang
baru saja menimpanya. “Iya! Iya! Kita harus ikut,” ujarnya bersemangat.
Dina memang tidak bisa bermain musik, seperti sahabat-sahabatnya.
Namun cewek dengan rambut dikepang kuda ini jago masak. Seperti halnya tahun
lalu, waktu sahabat-sahabatnya tidak menjuarai festival musik. Cewek itu tetap
membuatkan masakan yang enak.
Berbeda dengan Lisa. Cewek itu tomboy. Rambutnya pendek model pria.
Gaya jalannya juga mirip pria. Ngomongnya ceplas-ceplos. Jangankan masak,
berdandan saja tidak bisa.
“Jadi gimana? Ikut?” Angga menegaskan.
Aji dan Lutfi mengangguk.
“Haduh! Pendaftarannya terakhir besok,” ucap Lutfi kaget, sembari
menatap pamflet itu. “Kapan kita daftar?”
“Pulang sekolah saja,” jawab Aji.
“Tenang, band kita sudah aku daftarkan,” sahut Lisa.
Enam orang bersahabat ini memang sering ngeband. Permainan musik
mereka lumayan. Cukup layak jika ikut festival musik, meskipun belum pernah
menang.
Toilet I’m in Love Page 21
Page 22
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
2
Hukuman Membawa Berkah
Malam minggu. Susana Matahari Shoping center riuh. Stan-stan baju, celana,
kaos, pakain dalam, dan sebagainya, dipenuhi pengunjung. Diantara deretan
manusia yang sedang asyik memilih itu, tampak Aji dan Sinta. Kakak beradik itu
juga ikut memilih kaos yang tergantung berjajar.
“Ini bagus,” ucap Sinta. Dia menunjukkan kaos berwarna merah muda
pada kakaknya.
“Lagi jatuh cinta?” tanya Aji cuek.
“Huu…! Apa hubungannya?!” Sinta sewot.
“Lha, iya toh? Merah itu cinta?”
“Kayak film saja, Merah itu Cinta.”
“Lha, terus apa?”
“Merah itu macem-macem. Merah tua itu artinya emosional. Merah hangat
itu energik atau sehat. Nah, kalau ini,” Sinta menyodorkan kaos merah muda itu,
“artinya tenang.”
“Wah…, kamu kok tahu semuanya, Sin,” Aji mengeleng-geleng.
“Makanya baca buku, jangan main PS saja.”
“Hehe…, ya sudah. Lulus sekolah kamu jadi tukang foto aura saja,” ledek
Aji.
“Ya sudah. Lulus sekolah kamu buka rental PS saja,” balas Sinta.
“Sin, lihat! Bagus ya?” Aji menunjukkan kaos putih dengan garis-garis
melintang berwarna merah.
Tawa Sinta meledak. Lesung pipit muncul dari wajah mirip Yuni Sarah
itu. “Mau jadi Pak Sakerah?!” ledeknya.
Toilet I’m in Love Page 22
Page 23
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Abooo…, dorema be’en Bing. Ojo ngenyik sampiyan,” ucap Aji dengan
Bahasa Madura asal-asalan.
Aji mencoba kaos itu. Pas. Mirip pendekar Carok dari pulau garam.
Kembali Sinta terkekeh-kekeh.
“Aku ambil ini saja, Sin.”
“Serius?!”
“Sejuta rius.”
Sinta mengambil kaos warna merah muda, sedangkan Aji mengambil kaos
loreng-loreng merah itu. Kemudian mereka membayar di kasir.
“Lapar, Mas. Cari makan yuk!” ajak Sinta setelah membayar di kasir.
“Oke. Sekarang giliran kamu yang traktir, ya?!”
“Lho?! Minggu kemarian kan aku yang traktir,” Sinta mlongo.
“Iya, sekarang giliran kamu lagi yang traktir,” Aji cengar-cengir.
“Aa…! Gak! Gak! Gak!” rengek Sinta.
“Adek manja…,” rayu Aji, “nanti tanggal muda, kalau Mas sudah ‘gajian’
dari Bunda. Mas akan traktir kamu dua kali lipat.”
Begitulah rayuan andalan Aji, jika ingin ditraktir adiknya. Padahal setiap
kali tanggal muda- saat menerima jatah uang dari Bunda- dia tidak pernah
menepati janjinya.
“Janji?!!” kata Sinta.
“Suer deh, biar disamber waria kalau bohong,” Aji mengacungkan jarinya,
membentuk huruf V.
“Awas kalau bohong lagi! Ya sudah, ayo makan,” luluh juga hati Sinta.
“Teng kyu, rentenir.”
“Biarin.”
Mereka berdua bergegas menuju ekskalator. Naik ke lantai lima, sebab
stan-stan fast food berada di sana.
# # #
Toilet I’m in Love Page 23
Page 24
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Masih di Matahari Shoping center, tepatnya di lantai lima. Kursi-kursi stan fast
food ramai oleh pengungjung.
Sementara itu, di sebuah stan café, tampak Mawar. Gadis cantik berwajah
Indo itu, duduk pada salah satu kursi. Tidak sendirian, di depannya ada seorang
cowok. Ia adalah Bobi.
Bobi adalah pacar mawar. Dia juga anak SMA 2, dan sekelas dengannya.
Tampangnya ganteng. Tinggi dan berkulit putih. Cowok yang selalu tampil
perlente itu juga anak orang kaya.
“Silakan dinikmati pesanannya,” ucap seorang pelayan yang baru saja
datang membawa pesanan.
“Ayo, diminum!” ucap Bobi.
Mawar menggapai gelas jus tomat, lalu sedotan jingga itu ditempelkan
pada bibirnya yang merah merekah. “Ramai, ya?” ucapnya membuka percakapan.
Bobi tidak menjawab, tatapan matanya masih terpaku pada wajah Indo
yang ada di depannya itu.
“Lihat apa?” serga Mawar.
“Ah, enggak. Ah, iya, rame,” Bobi blingsatan.
“Jadi ikut festival musik, minggu depan?”
“Kalau kamu lihat, aku pasti ikut.”
“Lho, kok begitu? Kalau aku gak lihat?”
“Ya, kamu harus lihat.”
“Kalau aku ada urusan?”
“Pokoknya kamu harus lihat.”
“Kok maksa?”
“Untuk apa aku ikut festival, jika kamu gak lihat aksiku.”
Mawar menggigit kentang goreng yang tadi dipesannya. Deretan gigi
putihya, terlihat berjajar rapi.
“Kok sekarang jarang latihan band?” tanya Mawar.
“Lagi males. Main bola saja seru,” jawab Bobi acuh.
“Lho, kalau jarang latihan, mana bisa bagus main band-nya? Nanti kalau
ikut festival bisa memalukan.”
Toilet I’m in Love Page 24
Page 25
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Terkadang Mawar merasa jenuh dengan Bobi. Cowok itu sungguh keras
kepala dan semaunya sendiri. Namun untuk melepasnya, rasanya masih berat.
Bukan karena dia cewek matre, atau karena ingin ngetop sebab jadi pacar cowok
ganteng dan kaya. Apa yang kurang dari Mawar? Dia cewek tercantik di SMA 2.
Wajahnya berkali-kali nongol di majalah remaja. Dia juga anak orang kaya.
Ketenaran dia miliki. Uang juga berlebih. Jika dia masih merasa berat untuk
melepas Bobi, itu karena masalah lain.
Tiga bulan yang lalu, Bobi adalah siswa baru di SMA 2. Kebetulan dirinya
ditempatkan di kelas IIIE. Disitulah dia kenal Mawar. Gadis dengan senyum
seteduh rembulan itu, sungguh mempesonanya. Singkat cerita Bobi tergila-gila
pada Mawar. Berkali-kali dia mengajukan cintanya. Namun berkali-kali juga
Mawar menolak. Hingga pada suatu hari, saat jam istirahat, Bobi mengeluarkan
kaleng Baygon. “Mawar, akan kubuktikan bahwa cintaku padamu tidak main-
main,” ucapnya.
“Bob, apa yang kamu lakukan?” Mawar gelagapan kala itu.
Tanpa banyak cingcong lagi, Bobi membuka kaleng Baygon, lalu
menenggak isinya.
Mawar berteriak histeris. Seluruh kelas IIIE jadi geger. Tubuh Bobi
terkapar dengan mulut berbusa-busa. Beberapa murid pria bergegas menggotong
tubuh Bobi ke klinik sekolah. Dia diberi pertolongan pertama, lalu dilarikan ke
rumah sakit.
Jika dalam kisah Romeo dan Juliet, Romeo-nya mati. Maka dalam roman
picisan antara Bobi dan Mawar, nyawa Bobi berhasil di selamatkan. Beruntunglah
dia, karena pada masa kini banyak rumah sakit.
Cowok ganteng, sombong, dengan penyakit ego bengkak itu, ternyata bisa
gendeng juga jika urusan cinta. Semangat Bobi yang pantang menyerah itulah,
yang membuat Mawar lambat-laun luluh hatinya.
Kembali ke meja Bobi dan Mawar, yang sedang berkencan.
Mawar mulai tidak dapat menyembunyikan kejenuhannya, akibat sikap
Bobi yang keras kepala dan acuh.
”Kamu kenapa?” tanya Bobi sinis.
Toilet I’m in Love Page 25
Page 26
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Gak kenapa-kenapa,” jawab Mawar cuek.
“Kamu ini maunya apa sih?!” sergah Bobi setengah berteriak. Emosinya
mulai terpancing.
“Kamu yang maunya apa?!!” teriak Mawar.
Seluruh pengunjung café menoleh ke arah mereka.
Merasa menjadi pusat perhatian, mereka terdiam. Sambil menahan emosi
masing-masing.
Tiba-tiba datang seorang pria. Wajahnya sudah tidak asing lagi. Pria itu
adalah Aji. Dengan santai, cowok itu menyalami Bobi dan Mawar yang sedang
bersitegang. Sinta mengikuti dari belakang.
“Em…, permisi,” sapa Aji berlagak sopan.
Mawar hanya diam tidak mempedulikan.
“Kamu anak IIIA, kan?!” tanya Bobi sinis.
“Yup. Kamu anak IIIE, kan?!” jawab Aji acuh.
Siapa yang tidak kenal Bobi. Seluruh anak SMA 2 mengenalnya. Cowok
kaya, ganteng, dan pacar Mawar. Aji pura-pura tidak kenal, sebab Bobi bersikap
tidak sopan.
“Ada apa?” tanya Bobi dengan mimik tidak bersahabat.
“Emm…, sebenarnya keperluanku bukan denganmu, tapi dengan
pacarmu.”
“Apa?” mata Bobi melotot.
“Tenang-tenang. Jangan salah paham. Aku cuma mau minta maaf.”
“Ada apa ini?”
Aji menceritakan peristiwa di WC sekolah beberapa hari yang lalu. Bahwa
dirinya dengan tidak sengaja membasahi baju Mawar.
“Tidak sengaja bagaimana? Jelas-jelas kamu melempar selang itu dengan
sengaja!” bentak Bobi. Pada situasi semacam itu, dia merasa harus jadi pahlawan.
Sinta menarik pergelangan tangan Aji dari belakang. “Mas, sudah. Ayo
pergi saja. Jangan bikin malu,” ucapnya.
Aji menepis tangan adiknya. “Sssstt. Ini urusan, Mas. Biar aku selesaikan
dulu.”
Toilet I’m in Love Page 26
Page 27
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Mawar yang sedari tadi hanya diam, bangkit dari kursinya. “Sudah,
anggap saja kamu dimaafkan. Pergilah!” ucapnya.
“Waduh, memberi maaf kok terpaksa begitu,” Aji mlongo, merasa niat
baiknya tidak disambut dengan tulus. “Yang ikhlas dong.”
“Kurang ajar!!” bentak Bobi. “Kamu ini benar-benar tidak tahu diri.”
Keributan di salah satu meja café itu menarik perhatian. Seluruh mata
pengunjung tertuju pada mereka.
“Aku kan sudah minta maaf, goblok!!” Aji balas memaki. Emosinya sudah
membuncah. Siapa yang tidak marah, jika niat baiknya diacuhkan. Bukan hanya
diacuhkan, malah dimaki-maki.
Dan, peristiwa selanjutnya adalah…
”Duakkk!!!” Aji melemparkan gelas jus Mawar ke muka Bobi.
Tak mau kalah, Bobi meloncat menerjang sambil memukul muka Aji.
Mereka berdua bergumul di lantai.
Mawar hanya menangis, tidak berani melerai. Sedangkan Sinta, dia hanya
berdiri mematung, ketakutan.
Begitu juga pengunjung café, mereka hanya diam menyaksikan. Jarang-
jarang ada pertunjukkan gulat life show semacam itu. Namun akhirnya tontonan
itu tidak berlangsung lama, sebab security segera datang melerai.
# # #
“Ji, aku ini kok jadi bingung sama kamu,” Ayah membuka percakapan.
Mereka duduk berkumpul di ruang tengah: Ayah, Bunda, Aji, dan Sinta.
Telivisi dibiarkan menyala. Tapi pandangan mereka tidak tertuju ke acara
sinetron, sebab ada tontonan yang lebih menarik: muka Aji yang lebam di sana-
sini.
“Bingung apanya, Yah?” Aji mengelus-elus bibirnya yang jontor.
“Kamu ini ingin jadi pemain bola, atau jadi pegulat?”
“Sudah ah, males. Aku mau tidur, capek,” tepis Aji. Dia bangkit dari
duduknya, hendak beranjak ke kamar tidur, tapi....
Toilet I’m in Love Page 27
Page 28
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Ee…, tunggu dulu. Ayah belum selesai ngomong. Ini kan malam minggu,
malam panjang katanya,” cegah Ayah.
Dengan menahan kesal, Aji kembali duduk. Ayah memang sabar,
demokratis, kadang juga homuris. Tapi jangan coba-coba untuk tidak
mempedulikan nasehatnya. Sebab beliau bisa berubah menjadi sangat tegas.
“Jawab dulu pertanyaan Ayah!”
“Gak pingin dua-duanya. Jadi satrawan saja,” jawab Aji asal-asalan.
Sinta yang duduk di sebeleh Bunda, memerotkan bibirnya, meledek.
Aji melotot ke arah adiknya, mengancam sambil mengepalkan tangan.
Bunda menggeleng-geleng. Sementara Sinta hanya meringis tak peduli.
“Wah, bagus itu. Tapi setahu Ayah, sastrawan itu suka damai. Sepanjang
sejarah, belum ada sastrawan yang suka perang. Coba baca kisah-kisah penulis
besar: Albert Camus, Boris Pasternak, Leo Tolstoy, Rabindranath Tagore, Pablo
Neruda, dan seterusnya. Kecuali sastrawan gadungan.”
“Tidak suka perang, tapi suka main wanita. Apa bedanya?!” bantah Aji.
“Huss!! Gak sopan,” sahut Bunda, yang sedari tadi hanya diam
mendengarkan.
“Bukan gak sopan Bunda, tapi kenyataannya memang begitu.”
Bunda melotot ke arah Aji, merasa nasehatnya dibantah.
“Siapa yang suka main wanita?” tanya Ayah.
“Itu, yang terakhir Ayah sebut.”
“Pablo Neruda?”
“Nah, tepat. Pablo Neruda itu Yah, di kota mana pun dia singgah, di dalam
maupun di luar negeri, pertama kali yang dicarinya adalah wanita. Maksud Aji
adalah wanita penghibur.”
“Aji!! Jangan ngawur!” bentak Bunda.
“Ayah mau dengar cerita tentang Ernest Heningway? Dia malah lebih
parah.”
Ayah hanya terpaku. Baru tahu, rupanya wawasan anaknya sampai sejauh
itu. “Ah! Kamu jangan menuduh orang sembarangan,” ucapnya.
“Ini kenyataan, Yah.”
“Kamu baca dari mana?”
Toilet I’m in Love Page 28
Page 29
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Internet, mereka sendiri yang menulis dibuku hariannya.”
Aji memang jarang membaca buku. Jangankan buku sastra, buku
pelajaranpun jarang disentuhnya. Jika dia sampai tahu informasi semacam itu,
mungkin secara tidak sengaja diperolehnya waktu browsing di internet.
Ayah manggut-manggut. “Kalau benci dengan sastrawan, terus kenapa
pingin jadi sastrawan?”
“Gak jadi, gak jadi pingin jadi sastrawan.”
“Hemm…, kamu ini. Terus mau jadi apa? Jadi sastrawan plus?
“Plus?!” Aji melotot.
“Plus tukang pukul maksudnya. Habis baca puisi, terus tawuran. Begitu?”
Aji hanya terkekeh, tidak menjawab. Pelipisnya terasa linu, akibat lebam,
bibirnya yang jontor juga terasa nyeri.
“Sudah ya, Aji capek pingin tidur,” Aji memohon.
“Jangan, gak boleh tidur! Sidangnya belum selesai,” ledek Sinta.
Aji bangkit dari duduknya, namun lagi-lagi langkahnya ditahan. Kali ini
giliran Bunda.
“Eiit! Mau kemana? Bunda belum ngomong.”
“Aduh…, apa lagi sih Bunda?” Aji meratap. “Iya…, iya…. Aji sudah tahu
perbedaan manusia dengan kerbau.”
“Bukan, bukan itu. Bunda cuma mau bilang: sebagai hukuman karena
kamu berantem, Bunda tidak akan memberi uang jajan selama satu minggu. Dan
kalau masih berantem lagi, kamu tidak akan mendapat uang jajan selama satu
bulan.”
“Hehehe…, puasa deh, lu!” ujar Sinta.
“Haduh…, jangan dong, Bunda. Please…, jangan diembargo ekonomi ya?
Hiks,” Aji merengek.
“Sudah. Keputusan sidang tidak dapat diganggu gugat.”
Sinta hanya cengingisan. Merasa menang atas kesialan yang dialami
kakaknya. Cewek manis dengan senyum Yuni Sarah itu beranjak ke kamarnya.
“Bye…, selamat berpuasa,” ucapnya.
Ayah meraih remote, lalu memindah-mindah chanel televisi.
Toilet I’m in Love Page 29
Page 30
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Sementara Aji masih saja memohon pada Bunda, agar ‘embargo ekonomi’
yang dikenakan pada dirinya dicabut. “Haduh… Bunda… tega nian,” rengeknya.
“Salah kamu sendiri,” jawab Bunda tidak menghiraukan, tatapannya
tertuju pada televisi yang ada di depanya.
“Aduh Bunda…., itu kan bukan salah Aji. Bobi yang memulai. Orang
semacam itu harus dikasih pelajaran.”
“Kamu ini!” Bentak Bunda, “Sudah berapa kali aku kasih nasehat. Kamu
tahu gak sih, bedanya manusia dengan sapi? Bedanya manusia sama kambing?
Bla… bla… bla…”
Haduh!!! Bunda mulai lagi deh, ratap Aji dalam hati.
Begitulah, jika Bunda sudah membandingkan antara manusia dengan
binatang, maka nasehatnya akan jadi panjang. Sebab seluruh hewan yang ada
dalam kebun binatang, akan dibandingkan dengan manusia.
Malam minggu itu, sungguh menjadi malam yang sial bagi Aji.
# # #
Di dalam kamar, Aji mematikan lampu, lalu mencoba memejamkan mata. Tapi
rasanya sulit. Kebodohan yang dia perbuat beberapa jam yang lalu, melintas
berulang-ulang di pikirannya. Mirip trailer adegan film action: mulai dari
gayanya yang sok jantan meminta maaf, dan seterusnya.
“Ah!! Persetan!” umpat Aji dalam kegelapan kamar. Dia menarik selimut
hingga menutupi seluruh badannya, lalu mencoba lagi untuk tidur. Tapi lagi-lagi
potongan-potongan adegan itu berlanjut, melintas di pikirannya.
“Fyuh!” Aji menyibakkan selimutnya, bangkit dari tidur, lalu menyalakan
lampu. Dia duduk di depan cermin, memandangi wajahnya yang memar di sana-
sini.
Bagus-bagus... Tindakanmu sudah benar, bayangan dari dalam cermin itu
seolah berbicara padanya. Melakukan sedikit duel, untuk membuktikan bahwa
kamu layak disebut laki-laki, adalah tindakan yang tepat.
Toilet I’m in Love Page 30
Page 31
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Kamu ini tahu gak, bedanya manusia dengan monyet?!” ucap Aji
menirukan nasehat Bunda.
Ah! Memangnya kamu ini tahu apa perbedaan antara manusia dengan
monyet?! sahut bayangan itu. Hanya lima persen dari komposisi gennya yang
berbeda. Dan itu yang membuat kamu disebut manusia, atau monyet.
“Lima persen, tapi sangat membedakan tingkah laku mereka kan?”
Ah, siapa bilang?! Lima persen itu terbukti tidak banyak membedakan
mereka. Monyet serakah, manusia juga serakah. Monyet egois, manusia juga
egois. Monyet mencuri, manusia juga ‘mencuri’. Monyet suka tawuran, kamu
juga suka berantem. Lebih banyak persamaan di antara mereka.
“Ahh…! Ngawur…! Ngawur…! Ngawur…!” Aji melempar cermin itu
dengan bantal, lalu berpaling. Dia menyalakan komputer, mengambil stick PS,
mencoba melupakan segalanya dengan melarutkan diri dalam game bolanya.
# # #
Bel masuk sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Jam pertama adalah
pelajaran Bahasa Indonesia. Namun Bu Tatik- guru Bahasa Indonesia- belum juga
masuk.
“Aha, jam kosong!” seru Dodik.
Kelas IIIA yang semula tenang, berubah menjadi riuh. Cewek–cewek
kembali ngerumpi. Begitu juga dengan para cowok, ada yang bergosip atau
sekedar bercerita apa saja.
Sementara itu, Aji hanya diam di bangkunya. Lutfi, Dodik, dan Angga
masih penasaran dengan wajah Aji yang seperti di make up. Kembali mereka
menginterogasi.
“Ah, yang bener. Masa jatuh dari motor sampai biru-coklat begitu?” tanya
Lutfi.
“Aku ralat, memang bukan jatuh dari motor,” jawab Aji.
“Nah…, begitu. Yang jujur sama sohib,” sahut Angga.
“Jadi kenapa?” tanya Dodik.
Toilet I’m in Love Page 31
Page 32
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Habis dicium waria,” jawab Aji.
“Plok!!” Lutfi menampar pelan wajah Aji, karena pertanyaannya tidak
ditanggapi dengan serius.
“Augh!!! Augh!!! Augh!!!” Aji berteriak-teriak kesakitan. Tamparan Lutfi
mendarat di pipinya, dan tepat pada bagian yang lebam.
Dodik, Angga, dan Lutfi tertawa terbahak-bahak.
“Makanya, ditanya serius, jawabnya juga yang serius,” ucap Lutfi.
“Hiya…, hiya…, ampun, ” Aji mengangguk-angguk.
“Jadi kenapa?” lanjut Angga.
“Disengat lebah,” Aji menutupi wajahnya dengan tas. Takut ditampar lagi.
“Huu…!” Angga memukul lengan Aji.
“Laper nih. Ke kantin, yuk,” ajak Dodik.
“Hemm…, dasar gentong. Ke kantin saja sendiri,” sahut Aji.
Tanpa mengulang ajakannya untuk kedua kali, Dodik langsung bangkit
dari duduknya. Dia berlari kecil, melintasi gang di antara deretan meja. Perutnya
yang mirip gentong air itu berayun-ayun. Saat itu pikirannya sudah berada di
dalam mangkuk bakso Mbak Mimi. Tanpa disadari, dia hampir saja menabrak Pak
Sangit. Guru BK itu tiba-tiba saja muncul di gawang pintu kelas.
Pak Sangit terjingkat. Mengelus dada sambil menghela nafas.
Seisi kelas menahan tawa. Sebab siapa yang berani menertawakan ‘tukang
eksekusi’ murid itu, resikonya adalah berdiri di depan kelas, sambil tertawa
seperti orang gila.
“Mau kemana?” tanya Pak Sangit.
“Maa…ma.. uu.. ke..ke.. bel.. lakang, Pak,” jawab Dodik tergeragap. Dia
kaget, sebab tiba-tiba saja orang itu muncul di hadapannya.
Kelas yang riuh, sontak menjadi tenang. Para murid kembali duduk di
kursi masing-masing.
Sementara Dodik harus pura-pura ke WC selama beberapa menit, lalu
kembali lagi masuk ke kelas. Dari pada ketahuan hendak ke kantin. Dan itu
artinya harus menerima hukuman membersihkan WC.
Toilet I’m in Love Page 32
Page 33
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Pak Sangit berdiri di depan kelas. Kesan angker yang timbul dari sosok
tubuhnya, ditambah lagi dengan reputasinya selama menjadi guru BK, membuat
tak satupun murid berani bersuara. Suasana kelas hening, sehening kuburan.
“Kalau jam kosong digunakan untuk belajar. Jangan bercanda sendiri.
Jangan ngerumpi,” nasehatnya.
“Kalian ini sudah kelas tiga,” Pak Sangit melanjutkan. “Sebentar lagi
Ujian nasional, jadi porsi untuk belajar harus ditambah.”
Pak Sangit beranjak dari tempatnya berdiri, lalu duduk di kursi guru.
“Belajarlah yang rajin. Gunakan waktu sebaik-baiknya. Kelas tiga SMA adalah
saat yang paling menentukan, ke arah mana nanti kalain akan melanjutkan
langkah. Saya katakan sekali lagi, jangan menyia-nyiakan waktu. Sebab waktu
tidak bisa terulang barang sedetik pun. Penyesalan itu datangnya selalu
belakangan.”
Di kursi belakang, Aji hanya menundukkan kepala. Sedikit pun tidak
berani untuk menatap Pak Sangit. Takut jika wajahnya yang memar ketahuan.
“Sebagai guru BK,” Pak Sangit melanjutkan nasehatnya, “adalah
kewajiban saya untuk memotifasi kalian, memberi nasehat, masukan, dan
untuk…”
Untuk menjemur kalian di lapangan sekolah, untuk menghukum
membersihkan WC, bantah Aji dalam hati.
“…untuk mendisiplinkan kalian. Jika kalian bandel,” lanjut Pak Sangit.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Aji mendongak. Matanya beradu pandang
dengan Pak Sangit. Dia terkejut. Namun berusaha menyembunyikan
kekhawatirannya.
Pak Sangit menghentikan pembicaraannya. Dengan penasaran dia
melangkah ke bangku belakang, mendekati Aji. Ditatapnya wajah Aji dengan
keheranan. Kini pandangan seluruh kelas tertuju ke Aji yang hanya diam
membatu.
“Habis berantem?” tanya Pak Sangit penuh selidik.
“Oh…eh… enggak, Pak. Enggak,” Aji berusaha untuk tetap tenang.
“Terus kenapa?”
“Malam minggu kemarin kecelakaan, Pak.”
Toilet I’m in Love Page 33
Page 34
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Hemm…, di mana?”
“Di jalan raya, Pak.”
Pak Sangit terdiam sesaat. Begitu juga Aji. Kelas masih sunyi.
“Lain kali, kalau naik motor hati-hati,” ucap Pak Sangit.
“Iya, Pak.”
Pak Sangit kembali beranjak ke depan.
Alhamdulillah…! Selamat…selamat…, bisik Aji dalam hati.
# # #
Bel pulang sekolah berbunyi. Murid kelas satu dan kelas dua berhambur keluar
kelas. Mereka bergegas menuju parkir sepeda. Sebagian lagi langsung menyerbu
gerbang depan untuk pulang. Sementara itu, murid kelas tiga hanya berdiam di
kelas. Sebagian lagi ada yang ke kantin untuk makan siang, atau sekedar jajan.
Mulai hari itu akan ada tambahan jam les, untuk persiapan Ujian nasional. Dan les
itu diberikan setelah jam pelajaran sekolah usai.
Kantin Mbak Mimi siang itu tidak begitu ramai. Hanya ada sekitar sepuluh
atau tiga belas murid kelas tiga yang sedang jajan. Beberapa di antara mereka
adalah Aji, Dodik, Angga, Lutfi, Lisa, dan Dina.
“Awas lho, ya! Jangan main pukul lagi.” Dodik memasukkan pentol
bakso ke dalam mulutnya.
Lisa yang duduk di sebelah Dodik hanya terkekeh.
“Ini pesenannya,” Mbak Mimi meletakkan beberapa gelas es teh.
“Sudah ada ide? Kita bawakan lagu apa, untuk festival nanti?” tanya Lisa
sambil memotong pentol bakso dalam mangkoknya.
“Terserah Angga saja deh,” jawab Aji sambil menyendok nasi pecelnya.
“Terserah Lutfi saja deh,” sahut Angga sambil mengangkat gelas esnya.
“Terserah Dodik saja deh,” tambah Lutfi. “Ya, gak, Dod?!”
“Ha…ho…, kenapa?” tanya Dodik dengan wajah culun dan mulut penuh
pentol bakso. Seperti biasa, jika sudah ada mangkok bakso di depannya, tidak ada
satu pun yang dapat mengalihkan perhatiannya.
Toilet I’m in Love Page 34
Page 35
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Ada tsunami!” bentak Lutfi.
“Dimana?”
“Di mukamu!!” Lutfi mengepalkan tangan, berpura-pura memukul
punggung Dodik. Dan tiba-tiba…
“Broosss!!!” Dodik menyemburkan pentol yang memenuhi mulutnya. Dia
takut peristiwa beberapa hari yang lalu terulang lagi.
“Aaaa!!! Aaaa!!! Auwww!!!” Lisa berteriak-teriak. Semburan Dodik tepat
mengenai mukanya, juga seragam putihnya. Wajahnya dipenuhi dengan pecahan-
pecahan pentol yang belum seluruhnya terkunyah. Bajunya dipenuhi dengan
bercak-bercak merah caos, kotoran muntahan makanan. “Hiks…, hiks…, hiks…,”
dia menangis.
“Kamu ini bagaimana sih, Dod?!” Dina membela Lisa.
“Haduh…, maaf Lis. Maaf, tidak kelihatan,” rengek Dodik.
“Orang segede ini tidak kalihatan? Bagaimana sih kamu?!”
Dodik panik. Begitu juga Angga, Aji, dan Lutfi.
“Hayo cepet, bawa ke kamar mandi! Cuci mukanya !” perintah Aji.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Dodik mengalihkan perhatiannya dari
mangkuk bakso yang belum habis dia makan. Dia menuntun Lisa ke kamar mandi
dan mencuci mukanya.
Kini wajah Lisa sudah dibasuh dengan air. Baju seragamnya yang kotor
diganti dengan kaos. Namun matanya masih terasa peri.
“Haduh…, maaf ya, Lis,” Dodik merajuk.
“Gak,” Lisa marah.
“Ampun, Sayang. Beribu-ribu ampun. Tadi tidak sengaja.”
“Males,” jawab Lisa acuh.
“Ini kan gara-gara Lutfi. Kalau sampai tersedak dua kali, aku bisa dapat
hadiah piring.”
Lutfi hanya tertawa cekikikan. Begitu juga Aji dan Angga.
Lisa yang sedari tadi marah jadi ikut tersenyum.
“Naah…, gitu dong senyum. Berarti aku sudah dimaafkan?” rajuk Dodik.
“Gak, tetap gak,” Lisa menahan tawa.
“Lho, kok tadi ikut senyum?”
Toilet I’m in Love Page 35
Page 36
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Memangnya orang marah gak boleh senyum?!”
Keributan kecil itu tiba-tiba terhenti. Sebab seluruh perhatian mereka
berpindah pada seorang siswi cantik berwajah Indo, yang baru saja masuk kantin.
Mawar melenggang dengan digandeng cowok ganteng berbadan tinggi.
Wajah cowok itu lebam di sana-sini. Dia adalah Bobi. Dan muka lebam itu hasil
duelnya dengan Aji, malam minggu yang lalu.
Aji duduk tenang sambil menenggak sisa es tehnya. Dipandangnya
pasangan yang sok harmonis ala artis itu. Tatapannya bertukar antara Mawar dan
Bobi.
Sontak Mawar terkejut, tidak menyangka akan bertemu dengan Aji di
kantin Mbak Mimi. Dia jadi canggung. Namun berusaha untuk tetap tenang.
Dua sejoli itu membeli beberapa roti, dan dua teh botol. Tatapan Aji masih
tajam, namun tenang. Sesekali Bobi balas melirik dengan sinis.
Setelah membungkus beberapa roti dan teh botol, pasangan itu bergegas
meninggalkan kantin.
Rupanya sedari tadi Angga dan Lutfi melihat kejanggalan itu. Muka Aji
lebam, muka Bobi juga. Pasti itu bukan kebetulan.
“Aha…, aku tahu sekarang,” ucap Lutfi.
“Tahu apa?” Aji pura-pura tidak mengerti.
“Kamu habis berantem dengan Bobi, ya?” tanya Angga tanpa basa-basi.
“Ada masalah apa antara kamu dengan Bobi? Kok gak ngajak-ngajak
kalau tawuran?!” tambah Lutfi.
“Hem…, hanya waria yang suka tawuran. Laki-laki sejati harus duel,”
jawab Aji tanpa ekspresi.
“Jadi benar?!” kejar Lutfi.
“Benar apanya?”
“Kamu habis berantem dengan Bobi.”
“Memangnya aku tadi bilang apa?”
“Memangnya kamu tadi bilang apa?” Lutfi balas bertanya.
“Waria.”
“Plok!” Lutfi menampar pelan wajah Aji.
“Auww!!! Auww!!!! Auww!!!” Aji meraung-raung kesakitan.
Toilet I’m in Love Page 36
Page 37
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Sementara Angga, Lutfi, Lisa, Dina, dan Dodik hanya terkekeh-kekeh.
“Makanya kalau ditanya serius, jawabnya yang serius,” ucap Angga.
“Haduh…! Hiks! Sialan kalain,” umpat Aji sambil mengelus-elus pipinya
yang lebam.
###
Dua minggu sudah berlalu, semenjak peristiwa duel antara Aji dengan Bobi.
Malam minggu, suasana Gelanggang Olah Raga sangat ramai. Festival
musik pelajar se-Jawa dan Bali, berlangsung semenjak siang tadi. Di luar gedung,
terpampang spanduk-spanduk besar bertuliskan: “MUSIC FESTIVAL 2009.”
Penonton datang berduyun dan berjubel, mengantri masuk. Tampang mereka
aneh-aneh: ada yang model rambutnya berdiri ke atas, mirip penangkal petir. Ada
yang miring ke samping seperti tanduk sapi, dan sebagainya.
Sementara itu di dalam gedung, penonton berdesakan.
“Baiklah…, peserta yang ke tujuh belas, kita sambut ‘Yellow Band’ dari
Bojonegoro…!” suara MC menggema, memandu acara festival malam itu.
Penonton bersorak, bergemuruh. Yellow Band beranggotakan empat orang
cowok. Tampang mereka sangar. Berambut gondrong. Tangan penuh tato. Cuping
hidung dan telinga diberi anting. Mereka juga mengenakan celana jeans ketat.
Suasana hening sejenak. Para penonton siap menanti. Melihat dari
penampilannya, lagu mereka pastilah lagu cadas, dengan bit cepat dan
menghentak.
Vokalisnya meraih mikrofon. Anggota yang lain siap dengan alat musik
yang mereka pegang masing-masing.
Dan, yang terjadi berikutnya adalah…
“Oh Sephia… Malam ini kutakkan datang…Mencoba tuk berpaling sayang….Dari cintamu….
Toilet I’m in Love Page 37
Page 38
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Tampang sangar vokalis itu tiba-tiba berubah menjadi melankolis. Mirip
artis dangdut Ida Laila, saat membawakan lagu sedih.
Untuk beberapa detik penonton hanya melongo. Seperti tidak percaya
dengan apa yang disaksikannya. Mereka merasa dikhianati dengan penampilan
sangar itu.
“Turun!!!” teriak salah seorang penonton, yang potongan rambutnya mirip
penangkal petir.
“Turun!!! Turun!!!” teriak yang lain. Mereka terprofokasi.
“Bubar!!! Turun!!! Buyar!!!” penonton makin gaduh.
“….Selamat tidur kekasih gelapku….,” vokalis itu terus saja
menyanyi. Tak peduli dengan protes penonton.
Merasa protesnya tidak digubris, penonton semakin beringas. Dan tiba-tiba
saja…
“Duakkk!!!” sebuah botol minuman melayang, menghantam kepala
vokalis itu.
Cukup sudah. Mumpung belum sebongkah batu yang melayang
menghantam kepalanya, vokalis itu melempar mikrofon lalu berlari turun
panggung, begitu juga dengan anggota band yang lain.
“Tenang saudara-saudara! Tenang!” MC itu mencoba menenangkan
penonton yang gaduh. “Jangan buat keributan. Saya harap anda menghargai
hiburan gratis ini.”
Perlahan penonton mulai tenang.
“Untuk peserta berikutnya,” MC itu melanjutkan acara, “kita sambut
Perlente Band.”
Kembali penonton bersorak riuh.
Beberapa saat kemudian, tampak Bobi naik panggung dengan diikuti
keempat anggota bandnya. Perlente Band, membawakan lagu Laskar Cinta-nya
Dewa. Lumayan, penonton tidak ribut lagi.
Tujuh menit kemudian, penampilan Perlente band usai. Bobi dan teman-
temannya turun panggung.
“Baiklah,” ucap MC menyambung acara, “selanjutnya adalah peserta yang
ke sembilan belas. Kita sambut… Sableng Band.”
Toilet I’m in Love Page 38
Page 39
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Lagi penonton bersorak riuh.
Beberapa detik kemudian, tampak lima orang bergantian naik ke pentas.
Mereka adalah Aji, Dodik, Lutfi, Angga, dan Lisa.
Dodik mengenakan kaos hitam, dengan celana kain kedodoran. Lutfi dan
Angga juga mengenakan kaos hitam dengan celana jeans botol. Sedangkan Lisa
berdandan tomboy, mirip cowok jika dilihat dari bawah panggung. Berbeda
dengan sahabat-sahabatnya, Aji berdandan paling nyentrik. Dia mengenakan kaos
lurik-lurik merah, dengan celana kain komprang. Mirip Bruddin.
Sorak riuh penonton, tiba-tiba berubah menjadi suara tawa cekikikan di
sana-sini.
“Abooo… dorema, Ojo ngenyik sampiyan!!,” teriak Aji melalui mikrofon,
yang berikutnya disambut dengan tawa serempak dari penonton.
“Mohon perhatiannya sebentar,” suara Lisa menenangkan, “Kami dari
Sableng Band. Sebelumnya akan saya perkenalkan: pada drum adalah Dodik
Gentong, pada key board Lutfi, pada gitar rythem Angga, pada gitar melodi Aji,
dan vokal adalah saya, Lisa.”
Kembali penonton bersorak.
“Baiklah,” lanjut Lisa, “Kami akan membawakan sebuah lagu dari Jewel.”
Listen dearI need you to hear.I cannot disappearI've tried again and again and again.
Suara Lisa memang tidak semerdu Jewel, tapi salah jika dikatakan tidak
enak. Sebab seluruh penonton benar-benar terbius dengan lagu itu.
…..And if you will, I willTry to let it goAnd if you try, I'll try
Beberapa saat kemudian, sebagaian penonton menyalakan korek api dan
mengacungkannya ke atas, sebagai tanda dukungan atau salut.
This is do or die
Toilet I’m in Love Page 39
Page 40
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
And I will stay in love'Til you say enoughThere is no giving inThere is no giving up in loveIn love, in loveWe're in love…..
Lagu itu pas dengan vokal Lisa. Seluruh penonton menikmatinya. Bahkan
dengan potongan rambut mirip penangkal petir itu pun ikut bersorak, saat lagu
berjudul Again and Again itu selesai dinyanyikan.
Selesai membawakan lagu itu, Lisa, Aji, Lutfi, Angga, dan Dodik kembali
turun panggung. Bersama dengan Dina yang sedari tadi menunggu di bawah,
mereka beranjak keluar dari kerumunan penonton. Lalu berkumpul pada sisi lain
panggung, dan tidak jauh dari kerumunan penonton yang sedang melonjak-lonjak
itu.
“Toss!!” seru Aji setengah berteriak, sebab suara riuh penonton.
“Toss!” sahut Lutfi, Angga, Lisa, dan Dodik sembari mengacungkan botol
minum yang tadi dibawakan Dina.
“Wah…, tadi penampilan kalian bagus. Hebat,” ucap Dina.
“Siiip, mudah-mudahan masuk nominasi,” tambah Lutfi..
“Siapa dulu dong vokalisnya?! Jewel” ucap Dina bercanda.
“Jewel-an bakso, apa Jewel-an soto?” ledek Lutfi.
“Jualan maksudnya?” Angga pura-pura tidak paham.
Merasa diledek, Lisa memukul perut Lutfi. Lalu tawa mereka meledak
bersama.
“Jewel apanya?!! Jewel pingin bersin?!!” maki Bobi, yang tiba-tiba
muncul di hadapan mereka. Dia tidak sendirian, ada empat orang yang mengikuti
di belakangnya.
Sontak saja, Lutfi, Angga, Dodik, Lisa, dan Dina terkejut. Pikiran mereka
sama: apa urusan Bobi, hingga tiba-tiba datang memaki seperti itu? Ditambah lagi
dengan empat orang yang mengikuti di belakangnya. Jelas mereka bukan murid
SMA 2. Sebab wajah mereka sangat asing. Tidak ada yang mengenal keempat
orang itu. Bahkan potongan mereka lebih mirip preman, dengan rambut gondrong
dan bertato.
Toilet I’m in Love Page 40
Page 41
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Sementara itu Aji sudah paham dengan gelagat Bobi. Cowok itu pasti
ingin melanjutkan duel tempo hari yang tertunda. Hanya saja dia tidak menduga,
ternyata Bobi masih menaruh dendam.
“Saat ini aku akan menghajarmu!!” bentak Bobi. “Tidak akan ada lagi
satpam yang akan melerai.”
“Silahkan saja banci. Kalau kamu memang pria tulen, kenapa mesti
mengajak preman segala?” sahut Aji.
“Agar aku puas menghajarmu!!”
Lutfi, Angga, Dodik, Lisa, dan Dina baru tersadar, rupanya lebam-lebam
di muka Aji dua minggu lalu, adalah akibat perkelahiannya dengan Bobi. Hanya
saja ada permasalahan apa di antara mereka, belum ada yang tahu.
Kini emosi Lutfi mulai menanjak. Dia memang paling pendek di antara
sahabatnya. Namun jangan salah, dialah yang paling nekad.
Aji jadi teringat ancaman Bunda: ‘embargo ekonomi’ selama satu bulan.
Bagaimanapun dia harus menghindari keributan ini, atau puasa jajan selama satu
bulan.
“Jangan! Tidak perlu ada keributan. Tentang tempo hari, anggap saja aku
yang salah. Aku minta maaf,” Aji menenangkan.
Lisa dan Dina terdiam ketakutan. Sementara Dodik dan Angga sudah
bersiap-siap. Lutfi sedari tadi menahan amarah, rasanya ingin segera menyerbu
saja, namun Aji menghalanginya. “Jangan Lut! Jangan ikut-ikut. Ini urusanku.”
“Biarkan aku mencopot kepala orang sombong ini!” Lutfi berontak,
namun Aji tetap menahannya.
“Maafkan aku,” Aji menenangkan kembali.
“Oh…, jadi cuma segitu nyalimu?! Pengecut!! Pecundang!! Looser!!!”
maki Bobi tiada henti.
Dan tiba-tiba saja…
“Pruwakkk!!!” Lutfi menghantamkan botol minuman yang sedari tadi
dipegangnya ke kepala Bobi.
“Aoowww!!! Aoww!!!” Bobi berteriak, melolong kesakitan.
Toilet I’m in Love Page 41
Page 42
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Keributan itu benar-benar tidak dapat dihindari. Keempat preman sewaan
Bobi itu menyerbu. Dodik dan Angga tidak tinggal diam. Mereka maju,
membantu Aji dan Lutfi yang lebih dulu berkelahi.
Sementara Dina dan Lisa menjauh. Mereka hanya berteriak-teriak
ketakutan.
Sungguh di luar dugaan. Perkelahian itu, memancing keributan yang lebih
besar. Penonton yang sedari tadi hanya melonjak-lonjak sambil bernyanyi,
menjadi ikut ribut. Mungkin karena udara pengap dan panas. Jadi sedikit saja
terjadi singgungan, emosi mereka terpancing.
Konser itupun rusuh. Sesama penonton saling melempar botol minuman
atau benda-benda lain. Saling memukul, menginjak, dan menendang.
# # #
SURABAYA- HARIAN RAKYATKerusuhan yang terjadi saat diadakannya festival musik se-Jawa Bali,menelan 19 korban luka.
Lagi, dan lagi. Selalu saja moment pertunjukkan musik di negeri
ini diwarnai dengan kerusuhan. Rasanya tidak lengkap jika tidak ada
keributan. Begitulah yang terjadi saat diadakannya festival musik
pelajar se-Jawa-Bali, pada hari Sabtu (13/1) kemarin. Festival musik itu
dimualai semenjak siang, dan berakhir dengan kerusuhan pada malam
harinya.
Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 23.30, saat festival itu hendak
usai. Tidak jelas, apa yang memicu terjadinya kerusuhan tersebut.
Namun menurut keterangan dari pihak keamanan, kerusuhan itu
berawal dari beberapa penonton yang saling senggol, saat sedang
meloncat-loncat mengikuti irama lagu. Sedangkan beberapa
narasumber lain mengatakan bahwa kerusuhan itu dipicu oleh
perkelahian sekelompok orang.
Toilet I’m in Love Page 42
Page 43
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Banyak kerusakan yang ditimbulkan akibat peristiwa itu.
Perlengkapan sound system dirusak oleh penonton yang sedang
mengamuk. Beberapa dekorasi panggung juga.
Bukan hanya panitia yang menanggung kerugian akibat
peristiwa itu, para pedagang yang berjualan di sekitar gedung
Gelanggang Olah Raga juga ikut merasakannya. Sebab kerusuhan
yang berawal dari dalam gedung itu, berlanjut ke luar, saat festival itu
bubar. Mirip seporter bola yang mengamuk, para penonton yang
beringas itu menendang rombong pedagang bakso, soto, pentol, dan
pedagang-pedagang lain yang berjualan di sekitar gedung.
# # #
Hari Senin di sekolah, tepatnya di ruangan kepala sekolah, sedang
berlangsung ‘sidang’ yang menegangkan. Saat itu juga harus diputuskan, tindakan
apa yang harus diambil. Harus diputuskan, siapa yang benar dan siapa yang salah.
“Kalian sungguh di luar batas!!” bentak Pak Sangit. “Apa mau kalian?!!”
Aji, Angga, Lutfi, dan Dodik hanya terdiam menunduk. Begitu juga
dengan Bobi.
“Apa kalian ini mau jadi preman?!!”
“Baiklah. Sekarang, saya ingin mendengar pengakuan kalian,” Bapak
kepala sekolah yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. “Ada masalah apa di
antara kalian? Hingga kalian membuat keributan semacam itu, di acara festival
musik. Saya tidak mau salah mengambil keputusan. Jika memang tindakan kalian
pantas disebut pidana, maka saya akan menyerahkan kalain kepada Bapak polisi,
yang ada di depan kalain ini. Tentunya dengan didampingi orang tua kalain.”
Ternyata pihak panitia penyelenggara festival, menyerahkan sepenuhnya
masalah keributan itu kepada kepolisian. Hingga akhirnya tim penyidik dari
kepolisian, datang ke SMA 2.
Toilet I’m in Love Page 43
Page 44
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Dodik, Lutfi, dan Angga saling tatap. Mereka sama sekali tidak menduga
akan terlibat masalah serius. Dan ironisnya, mereka tidak tahu, apa yang menjadi
penyebab masalah itu.
“Emm…,” suara Aji bersamaan dengan Bobi. Mereka hendak memulai
penjelasan, namun kembali diam.
“Apa?!!” bentak Bapak kepala sekolah. “Kalian jangan mempermainkan
saya! Kalian sudah membuat malu nama sekolah ini. Kalian mau saya keluarkan
dari sini?!”
“Enggak, Pak. Enggak. Ja… ja… jangan,” jawab Dodik tergagap.
“Baiklah, jika begitu mulai dari kamu. Jelaskan ada masalah apa
sebenarnya?”
Dodik kebingungan, tidak paham permasalahannya. Dia juga ketakutan,
rasanya ingin kencing di celana.
Suasana menjadi hening sejenak.
“Ayo bicara! Jangan diam saja!!!” bentak Pak Sangit.
“Saa…saa…saya tidak tahu, Pak,” Dodik tergagap.
“Tidak tahu bagaimana?” tanya Bapak kepala sekolah.
“Mereka memang tidak tahu, Pak,” Aji angkat bicara. “Sayalah yang
memulai semuanya.”
“Hemm…, begitu,” sahut Bapak kepala sekolah. “Coba ceritakan
kejadiannya! Jangan coba-coba membohongi saya. ”
Maka Aji menceritakan kronologis kejadiannya; Mulai dari dia melempar
selang ke arah Mawar. Keributan di Matahahari Shoping center, yang dipicu oleh
keinginannya meminta maaf dibalas dengan makian. Hingga keributan di festival
kemarin, yang dipicu Bobi.
“Hemm…, jadi begitu permasalahannya,” Bapak kepala sekolah
mengangguk-angguk.
“Benar begitu?” tanya Bapak kepala sekolah pada Bobi, yang kepalanya
masih dibalut perban.
“Iya, Pak,” Bobi mengangguk. “Tapi itu kan karena saya membela
Mawar.”
“Bukankah Aji sudah meminta maaf,” bantah Kepala sekolah.
Toilet I’m in Love Page 44
Page 45
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Bobi kembali terdiam, begitu juga yang lain.
“Maaf, Pak. Boleh saya bicara pada Bobi?” ucap salah satu polisi
berseragam kepada Bapak Kepala sekolah.
“Silahkan, Pak.”
“Siapa empat orang yang kamu ajak dalam keributan itu?” tanya polisi.
“Emm… Saa.. sa… saya membayar orang, Pak,” Bobi tergagap.
Polisi itu mengangguk-angguk. “Begini, Pak,” ucapnya pada Bapak kepala
sekolah, “Saya memang tidak bisa mempersalahkan mereka atas kerusuhan yang
terjadi di festival musik kemarin. Sebab bisa saja kerusuhan itu bukan mereka
yang memicu, melainkan persinggungan di antara penonton. Namun tindakan
yang dilakukan Bobi adalah pidana. Dengan sengaja dia membayar preman untuk
melakukan penganiayaan pada orang lain.”
“Hemm… iya… iya…” Bapak kepala sekolah mengangguk-angguk.
“Tindakannya itu diluar kenakalan remaja sewajarnya. Jadi masalah ini
akan kami proses di kantor polisi.”
Bobi tersentak ketakutan. “Maaf, Pak. Maafkan saya. Saya tidak akan
mengulanginya lagi,” rengeknya.
Bapak kepala sekolah menghela nafas panjang. Dia berpikir keras. “Dia
adalah anak didik kami,” ucapnya pada polisi itu, “bagaimana jika kami sendiri
yang menyelesaikan masalah ini?”
“Tindakannya dapat membahayakan keselamatan orang lain. Dan
peristiwa itu terjadi di luar jam sekolah. Jadi bagaimanapun ini menjadi
wewenang kami,” jawab polisi itu.
“Baiklah,” Bapak kepala sekolah memutuskan dengan berat hati. “Saya
akan menghubungi orang tuanya.”
“Tidak perlu, Pak. Sekarang juga kami akan ke rumahnya.”
Maka kedua polisi itu menggelandang Bobi pergi.
Dodik, Lutfi, Angga dan Aji, seperti dikomando mereka menghela nafas
lega bersama, merasa sudah terbebas dari ‘bencana’.
“Saya peringatkan kalian berempat,” ucap Pak Sangit, “jadikan ini sebagai
pelajaran. Jangan sampai terulang lagi.”
“Iya, Pak,” jawab Dodik, Lutfi, Angga dan Aji serempak.
Toilet I’m in Love Page 45
Page 46
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Kalian ini sudah kelas tiga, sebentar lagi ujian. Dari pada ribut, kan lebih
enak belajar,” nasehat Pak Sangit dengan suara merendah, seolah murkanya sudah
sirna.
“Baiklah, kalau begitu…”
“Jadi kami dimaafkan, Pak?” sahut Dodik dengan mata berbinar.
“Siapa bilang?!!” murka Pak Sangit tiba-tiba datang lagi.
Dodik, Lutfi, Angga dan Aji menunduk, tanpa bersuara sedikitpun.
Dugaan mereka salah, ternyata masih belum terlepas dari cengkeraman ‘maut’.
“Mulai besok, sepulang sekolah kalian akan membersihkan WC selama
satu minggu. Tiap orang satu kamar WC,” Pak Sangit menjatuhkan hukuman
favoritnya.
“Haduh!” gerutu Dodik.
“Kenapa, haduh?!!” bentak Pak Sangit. “Mau ditambah lagi jadi satu
bulan?!!”
“Jangan, Pak. Jangan. Ampun. Seminggu saja cukup,” serempak mereka
memohon.
Toilet I’m in Love Page 46
Page 47
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
3
Maafku untukmu, Maafmu untukku
Jika kesialan sudah datang, maka kadang datangnya itu berderet seperti antrian
BLT. Hal itulah yang terjadi pada Aji. Dua minggu yang lalu dia dihukum
menghormat bendera selama setengah jam, plus membersihkan WC oleh Pak
Sangit. Belum cukup dengan itu, dia masih diberi ‘embargo uang jajan’ selama
seminggu oleh Bunda, akibat berantem dengan Bobi. Dan kini, akibat keributan
yang terjadi diluar kehendaknya, dia harus menanggung kesialan lagi. Tidak
tangung-tanggung: membersihkan WC selama satu minggu sepulang sekolah. Dan
yang jauh lebih sengsara dari semua itu adalah, Bunda tidak memberikan uang
jajan selama satu bulan. Itu artinya puasa.
Malam itu Aji benar-benar tidak bersemangat untuk melakukan apapun.
Siang tadi adalah hari yang melelahkan. Pulang sekolah harus melaksanakan
hukuman dari Pak Sangit. Dan sorenya masih harus mengikuti ‘sidang’ lagi. Kali
ini pemimpin sidangnya adalah Ayah. Isi sidangnya adalah mendengar omelan
Bunda, yang lagi-lagi pidato tentang perbedaan manusia dengan sapi, monyet,
kambing, dan seluruh jenis hewan dalam kebun binatang.
Dalam kamarnya, Aji hanya duduk memaku di atas kursi belajar.
Diambilnya majalah yang tergeletak di atas meja, lalu dibukanya. Dia mencoba
mengalihkan rasa penatnya dengan membaca majalah itu. Setelah beberapa detik
membaca… “Ah…!!” desah Aji sembari melempar majalah ke atas
pembaringannya. Dia merasa konsentrasinya sedang tidak beres, rasa kesal akibat
kejadian tadi siang masih belum juga hilang.
Kali ini Aji menyalakan komputernya, lalu meraih stick PS. Pertandingan
sepak bola dalam game itu, sedikit menghibur hatinya.
Toilet I’m in Love Page 47
Page 48
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Baru empat menit dia bermain, tiba-tiba saja konsentrasinya beralih ke
ponselnya yang berbunyi. Dia menghampiri ponsel itu, ada sebuah sms masuk.
FROM : +6281803111518
RASANYA KEEGOISANKU, SUDAH
BANYAK MENIMBULKAN KESULITAN
BAGI ORANG LAIN. AKU MINTA MAAF.
(MAWAR)
Aji tersentak. “Mawar?!” gumamnya dengan mata terbelalak. Sungguh
diluar dugaannya, gadis itu mengiriminya sms seperti itu. Dari mana dia tahu
nomerku? bisik Aji dalam hati. Setelah minyimpan nomer itu dalam memori
ponsel, Aji membalas:
TO : MAWAR
BUKAN. LEBIH TEPATNYA,
KEBODOHANKU MENIMBULKAN KESULITAN
BAGIKU. DAN MEMBUAT BASAH SERAGAM
ORANG LAIN. MAAF.
Setelah menunggu satu menit, balasan sms itu datang lagi.
FROM : MAWAR
ITUPUN AKIBAT KEISENGANKU,
MELEDEK ORANG LAIN YANG
SEDANG MELAKUKAN ‘AMAL BAKTI’.
Aji tertawa sendiri. Ternyata cewek berwajah Indo itu, mempunyai selera
humor yang bagus.
TO : MAWAR
AMAL BAKTI?? …
ITU SIKSAAN DARI PAK SANGIT.
Datang lagi sms balasan.
FROM : MAWAR
BESOK SEPULANG SEKOLAH,
Toilet I’m in Love Page 48
Page 49
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
KAU MAU MAMPIR KE RUMAH?
RASANYA TIDAK SOPAN, JIKA AKU MEMINTA
MAAF LEWAT SMS.
Aji menghela nafas panjang. Lalu membalas.
TO : MAWAR
TENTU. AKU JUGA MERASA
KURANG SOPAN JIKA MEMINTA MAAF
MELALUI PONSEL.
# # #
Hal terbaik yang dimiliki seseorang adalah, saat dia tidak kuat untuk menyimpan
rasa bersalah terlalu lama dalam hatinya. Seperti menyimpan celana dalam kotor,
dalam tas bawaan. Ingin segera mengeluarkannya, dan mencuci secepatnya.
Begitulah yang dirasakan Aji. Pulang sekolah, setelah mengikuti les tambahan dan
membersihkan WC, dia langsung memacu motornya ke rumah Mawar.
Sore itu, matahari tidak begitu terik. Sesampainya di sebuah kawasan
perumahan elit, Aji memelankan motornya. Terdapat dua lajur jalan masuk yang
luas di perumahan itu. Sebuah prasasti batu besar dengan hiasan patung prajurit
Romawi menunggang kuda, terdapat di gerbang masuk. Prasasti itu bertuliskan
“HEDONA GARDEN REGENCY”. Gerbang masuk yang terdiri dua lajur jalan
itu, ditutup dengan pagar tinggi. Besi pilin dengan ukiran singa dan bunga.
Tepat di depan gerbang hunian, Aji menghentikan motornya. Dia
menghampiri dua satpam yang sedang berjaga di pos.
“Selamat sore, Pak,” sapa Aji.
“Sore. Ada perlu apa, Mas?” satpam itu keluar dari bilik pos, menghampiri
Aji.
“Saya mau ke rumah Mawar, Pak.”
“Mawar?” kening petugas itu berkerut, mengingat sesuatu.
“Iya, Pak. Blok G nomer 3.”
“Oh…, itu rumahnya Bapak Vincent.”
Toilet I’m in Love Page 49
Page 50
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Iya, maksud saya Mawar itu anaknya Bapak Vincent, Pak.”
“Oh… iya… iya…,” satpam itu mengangguk-angguk. “Silahkan
meninggalkan KTP, Mas.”
Aji mengernyitkan kening sejenak. KTP…? Bisiknya dalam hati, sembari
mengeluarkan dompet, mengambil KTP, lalu menyerahkan pada satpam itu.
Sejenak satpam itu mengamati KTP ditangannya. Beberapa kali
pandangannya bertukar antara foto dalam KTP itu dengan wajah Aji. Sekian detik
kemudian petugas itu membuka gerbang.
Aji memacu motornya pelan, sambil sesekali menengok deretan rumah
megah yang berada di kanan-kiri jalan. Dia mengikuti arah yang tadi ditunjukkan
oleh satpam. Rumah-rumah megah itu berarsitektur Renaisance. Berdiri angkuh
dan kukuh. Suasana hunian itu tenang, malah cenderung sepi. Hanya sesekali
terdengar gonggongan anjing.
Nah, itu dia, Blok G nomer 3, gumamAji dalam hati.
Aji mengentikan motornya, lalu memencet bel.
Selang satu menit kemudian, seorang pembantu membukakan pintu.
“Silahkan masuk. Ditunggu ya, Mas. Non Mawar masih mandi.”
Aji duduk di beranda. Suasana tenang dan sejuk. Warna-warni bunga
Caladium yang ditanam di pot, menambah asri suasana. Ditambah lagi dengan
bunga anggrek bulan yang beraneka ragam, digantung berjajar rapi. Membuat
siapa saja menjadi kerasan berlama-lama di beranda itu.
“Maaf, jika membuatmu menunggu lama,” ucap Mawar yang tiba-tiba
muncul dari dalam rumah.
“Oh… eh… enggak. Enggak lama kok,” Aji tergeragap, kaget melihat
Mawar yang tiba-tiba mucul di depannya.
Mawar duduk di kursi, bersebelahan dengan Aji. Hanya meja kayu jati
kecil dengan ukiran-ukiran etnik, yang memisahkan mereka.
“Masuk ke dalam, yuk,” Mawar membuka percakapan.
“Sudah lama aku tidak melihat anggrek bulan,” Aji menghela nafas,
sembari menatap deretan anggrek yang sedang mekar berwarna-warni. “Disini
saja. Rasanya tenang.”
“Susah nyari alamatnya?”
Toilet I’m in Love Page 50
Page 51
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Ah, enggak. Hanya saja tadi ada sedikit masalah di depan.”
“Masalah? Masalah apa?” mata Mawar mendelik. Wajah Indo yang ayu
itu, dengan pupil mata biru keperakan, menunjukkan raut keheranan.
“Pake ninggal KTP di depan. Mirip…”
“Mirip mengunjungi LP (Lembaga Pemasyarakatan),” sahut Mawar.
Aji tertawa. Begitu juga Mawar.
Pembantu Mawar keluar dengan membawa minuman. “Silahkan
diminum.”
Aji meraih gelas es itu, lalu meminumnya.
Untuk beberapa saat mereka hanya diam. Tidak tahu harus memulai dari
mana. Rasa bersalah dalam hati mereka seperti lem, yang tiba-tiba saja merambat
ke dalam kerongkongan, lalu mencekat pita sura.
“Aku sudah membaca semua beritanya di koran,” Mawar memulai lagi
percakapan. “Tentang Bobi yang berurusan dengan polisi, karena menyewa
preman untuk balas dendam kepadamu.”
Memang benar. Berita tentang Bobi yang sedang berurusan dengan polisi,
akibat keributan di malam festival musik itu, sudah menyebar. Seluruh siswa
SMA 2 juga sudah tahu.
Aji menghela nafas panjang. “Aku minta maaf,” ucapnya.
“Bukan. Bukan kamu yang harus minta maaf, tapi aku,” sahut Mawar.
“Semua masalah ini berawal dariku. Jika saja malam minggu itu- waktu di café-
aku tidak bersikap cuek dan egois terhadapmu, mungkin tidak akan sampai terjadi
keributan. Dan berbuntut panjang seperti ini.”
Aji meminum es jeruk yang tersaji di depannya. Mencoba untuk
melarutkan lem yang mencekat pita suaranya. Mawar hanya terdiam, merasa
bersalah.
“Ya, sudahlah. Sudah terjadi kok. Mau bagaimana lagi. Gak apa-apa.
Mukaku malah jadi sedikit tambah ganteng. Lihat!” Aji menunjuk sisa lebam di
mukanya. Dia mencoba mencairkan suasana yang kaku, laksana telenovela itu.
Mawar tersenyum. Sebaris gigi putih, rapi berjajar. Bibir merah merekah
itu mengembang. Seulas senyum yang mampu menjatuhkan panglima perang
manapun, tanpa harus menembaknya.
Toilet I’m in Love Page 51
Page 52
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Lha, ketawa? Meledek, ya?” Aji bercanda.
“Enggak. Gak meledek. Memang tambah tampan kok,” jawab Mawar
tidak ikhlas. Tampak raut mukanya menahan tawa.
Kini giliran Aji yang meledakkan tawanya. Senang rasanya, suasana
tegang penuh dengan ewuh-pakewuh itu, akhirnya cair juga.
“Aku minta maaf padamu, juga sama sahabat-sahabatmu, yang terkena
imbasnya,” lanjut Mawar.
“Enggak apa-apa. Biar saja mereka sekali-kali melakukan ‘amal bakti’.
Mawar menyunggingkan senyum. Mengembalikan posisi rambut
hitamnya, yang tergerai jatuh di wajah, akibat hembusan angin senja.
“Emm…, ngomong-ngomong, apa kedatanganku ke sini tidak akan
menyebabkan masalah lagi?” mimik muka Aji berubah kembali serius.
“Masalah apa lagi?” Mawar terheran.
“Yang aku maksud adalah Bobi.”
Ucapan Aji membuat Mawar terdiam. Wajah cerah itu, kini muram
kembali. Gadis jelita itu tidak berkata apa-apa, memaku di tempat duduknya.
Pandangannya menyapu daun-daun Caladium yang berwarna-warni.
Aji jadi serba salah. Haduh, ada apalagi ini? gerutunya dalam hati.
“Emm…, maaf. Jika barusan ucapanku salah. Kita bicara topik lain saja, ya,” dia
mencoba memulihkan suasana.
“Aku sudah putus dengan Bobi,” terdengar suara Mawar lirih. Kini gadis
jelita itu menundukkan kepala, sesekali mendongak ke atas, berusaha menahan air
yang mulai menggenang di matanya agar tidak jatuh menetes.
Aji mendelik, kerongkongannya serasa tercekat. Dia menelan ludah.
Suasana yang tadi sudah mencair, tiba-tiba saja membeku kembali.
“Maaf, seharusnya aku tadi tidak membicarakan topik itu,” Aji merasa
bersalah.
“Gak apa-apa. Memang sudah tidak layak untuk dipertahankan. Aku sudah
menduga, bahwa akhir semacam ini akan terjadi. Hanya masalah waktu saja. Aku
tidak bisa membohongi hatiku seterusnya. Hanya akan menyiksa diri saja.”
Memang begitulah keadaannya. Pada awalnya Mawar menerima uluran
cinta Bobi hanya karena kasihan. Wataknya yang nekad, bahkan sempat mimik
Toilet I’m in Love Page 52
Page 53
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Bygon segala, sempat membuat hati Mawar kerut-kerut dan luluh. Namun setelah
sekian lama berpacaran dengannya, mulailah terlihat sifat Bobi sebenarnya: kasar,
sombong, semaunya, sok hebat, sok pinter, dan sebagainya.
# # #
Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Jam pertama adalah Matematika.
Karena tidak ada tugas dari Pak Bonar, maka Dodik, Lutfi, dan Aji bisa berleha-
leha sembari bercanda. Tidak perlu khwatair lagi berdiri mengangkat kursi, sambil
membaca puisi. Begitu juga murid-murid yang lain. Sebab jika guru bertampang
penjahat sinetron itu memberi tugas, maka rasanya bukan tugas yang mereka
terima, melainkan semacam kuis yang ditayangkan di televisi. Karena jika mereka
tidak dapat mempertanggung jawabkan pekerjaannya, maka hukuman lucu plus
sengsara itu, akan mereka terima.
“Aku punya tebakan untuk kalian,” ucap Lutfi.
“Apa?” tanya Aji.
“Apa perbedaan gajah dengan Dodik.”
“Gajah makan rumput , Dodik makan apa saja,” jawab Angga.
“Huwahahaa…,” tawa mereka meledak bersama.
“Salah,” sahut Lutfi.
“Terus apa?” tanya Dodik culun, sama sekali tidak mencium gelagat akan
diledek.
“Gajah belalainya di atas, kalau Dodik belalainya di bawah.”
Kembali tawa mereka meledak.
“Ngawur…, ngawur…, jorok,” Dodik memukul lengan Lutfi.
“Nah…, ini nih. Ada tebakan lagi,” kata Angga.
“Apa?” tanya Lutfi.
“Masih tentang Dodik. Apa persamaan Dodik dengan gajah?”
“Mereka satu spesies,” jawab Lutfi dan Aji serempak.
“Wakaka…!” tawa mereka berederai kembali.
Toilet I’m in Love Page 53
Page 54
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Dodik kesal, dan tidak ikut tertawa. Tidak mau kalah, dia mengajukan
tebakan pada sahabatnya itu. “Aku juga punya,” ucapnya.
“Apa masih tentang gajah lagi?” ledek Lutfi.
“Gak. Begini nih: apa Bahasa Mandarin-nya ‘kalian kurang ajar’?”
Lutfi, Aji, dan Angga saling tatap, lalau mengerutkan kening. Mereka
tidak menduga bahwa Si Gentong itu punya tebakan juga.
Satelah satu menit berpikir, mereka tidak juga menemukan jawabannya.
Bahkan jawaban sekenanya sekalipun.
“Apa?” Lutfi menyerah.
“Dengarkan!” ucap Dodik angkuh. “Bahasa Mandarin-nya adalah ‘Haiaa
Lu Xia Lan Haaa…”
Lutfi, Aji, dan Angga hanya mlongo, merasa kalah. Sementara Dodik
tertawa terkekeh-kekeh. Perutnya yang buncit bergoyang naik-turun.
Sudah lima menit mereka bercanda menunggu jam pelajaran dimulai.
Namun tiba-tiba saja kelas yang gaduh itu berubah menjadi tenang. Perhatian
mereka tertuju kepada gadis cantik yang baru saja masuk ke dalam kelas. Gadis
itu adalah Mawar.
Mawar melangkah tenang, masuk ke dalam kelas IIIA. Rambutnya yang
tergerai, bergoyang seiring dengan langkahnya. Tubuh tinggi putih, yang
proporsional dengan berat badannya itu, melangkah bak pragawati. Bukan dibuat-
buat, tapi memang begitulah caranya berjalan. Gadis jelita itu menghampiri Aji
yang sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatnya di bangku belakang.
“Hai,” sapa Mawar.
Aji tersenyum. “Hai juga,” balasnya.
Lutfi, Dodik, dan Angga hanya mendelik, kaget, heran, bercampur
bingung, menyaksikan adegan yang sedang berlangsung di depannya. Sebab tidak
biasa-biasanya cewek foto model itu bertandang ke kelas IIIA. Ditambah lagi dia
menghampiri Aji, lalu menyapanya dengan ramah. Bukankah baru kemarin lusa
Bobi- pacarnya itu- ribut dengan mereka.
“Kenalkan, ini sahabat-sahabatku,” ucap Aji hanya berbasa-basi.
Sebenarnya mereka sudah saling tahu.
Mawar menjabat tangan, Dodik, Angga, dan Lutfi.
Toilet I’m in Love Page 54
Page 55
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Aku minta maaf pada kalian, atas peristiwa di malam festival yang lalu,”
ucap Mawar.
“Tidak masalah, asal kamu mau membantu membersihkan WC, sepulang
sekolah,” jawab Lutfi bercanda.
“Tidak masalah juga. Asalkan aku dimaafkan.”
Lutfi, Aji, Dodik, dan Angga saling tatap. Mereka hampir tidak percaya
dengan kalimat yang baru saja terucap dari mulut Mawar. Ternyata cewek di
depannya itu, bukan hanya wajahnya yang jelita, tapi juga hatinya.
“Beneran, kamu mau membantu membersihkan WC?” sahut Dodik
dengan mata berbibar-binar.
“Plokk!” Aji menampar pelan pipi tembem Dodik.
“Hehehe… tidak usah dimasukkan hati. Lutfi dan Dodik hanya bercanda,”
tambah Aji.
“Hehehe…,” Senyum simpul yang mampu menjatuhkan panglima perang
manapun itu, mengembang di bibir Mawar.
“Oh iya, sebentar,” ucap Aji seperti mengingat sesuatu. Dia mengambil tas
dari dalam kolong bangku, membukanya, lalu mengambil sebuah novel, dan
memberikannya pada Mawar. “Ini yang mau kau pinjam.”
“Terima kasaih.”
Keheranan Dodik, Angga, dan Lutfi, semakin besar. Pikiran mereka sama:
Sejak kapan Aji suka baca novel? Di muka bumi ini, satu-satunya yang menarik
minatnya hanya Play Station.
Memang benar. Seumur hidup Aji belum pernah membaca novel, apalagi
memiliki novel. Jadi dari mana dia memperoleh novel?
Ternyata novel itu dia pinjam dari Sinta. “Waah…, tumben pake baca
novel segala. Kesurupan ya? Katanya mau jadi pengusaha rental PS,” begitulah
ledek Sinta tadi malam, waktu dia meminjam novel.
“Huss, berisik. Udah, mana novelnya, tidak usah banyak komentar,” jawab
Aji malam itu.
“Gak boleh. Bilang dulu kenapa?”
“Kakakmu ini mau jadi sastrawan plus. Seperti yang Ayah bilang,” sahut
Aji sewot.
Toilet I’m in Love Page 55
Page 56
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Plus jadi juragan PS?”
“Plus jadi tukang pukul!! Sudah… sudah… mana pinjem.”
“Bilang dulu,” jawab Sinta tetap pada pendiriannya. “Atau…, jangan-
jangan…” cewek dengan senyum Yuni Sarah itu mengerdipkan matanya, sengaja
menggoda kakaknya.
“Jangan asem?!” sahut Aji gusar.
“Jangan-jangan…”
“Halah, kelamaan,” tanpa menggubris adiknya yang masih mengerdip-
ngerdipkan mata, Aji langsung menyerbu masuk ke dalam kamar Sinta. Menuju
rak buku, lalau mencari-cari novel.
“Ahh…!! Bunda…!!!” teriak Sinta mengadu.
Keributan kakak beradik itu pun dimulai lagi. Dan seperti biasa, dengan
tergopoh-gopoh Bunda datang melerai. “Ada apa lagi ini?”
“Kak Aji, gak boleh pinjem novel kok maksa,” Sinta mengadu.
“Hemm….” Bunda menggeleng-geleng. “Kamu ini Sin, wong kakaknya
pinjam novel saja kok gak boleh?”
Tidak seperti biasanya, kali ini Bunda membela Aji.
“Kan lebih bagus, jika kakakmu itu baca novel. Dari pada main PS.”
Bagitulah, malam sewaktu Aji meminjam novel pada adiknya.
Sementara itu Dodik, Angga, dan Lutfi masih dalam kebingungannya.
Setan mana yang bersarang di kepala Aji, hingga dia punya novel dalam tasnya.
Begitulah yang ada dalam pikiran mereka.
“Aku pinjam dulu, ya?” Mawar menerima novel itu dari tangan Aji.
Setelah itu Mawar kembali ke kelasnya.
Dodik, Angga, dan Lutfi serempak menatap Aji.
“Ada yang punya tebakan lagi?” tanya Aji kepada sahabatnya itu.
Dodik, Angga, dan Lutfi hanya diam, dan masih menatap Aji dengan
pandangan yang sulit untuk diartikan.
Sementara Aji yang dipandangi terus semacam itu, merasa kikuk juga.
“Kenapa dengan kalian?” tanyanya.
“Kalian melihat sesuatu?” tanya Lutfi kepada Dodik dan Angga, masih
dengan menatap wajah Aji.
Toilet I’m in Love Page 56
Page 57
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Dodik dan Angga menatap wajah Aji dengan seksama.
“Iya, aku melihat sesuatu di wajah yang pas-pasan itu,” jawab Dodik.
“Apa?”
“Ada sisa lebam.”
“Plokk!” Lutfi menampar pelan pipih tembem Dodik. “Wrong answer”.
“Kamu melihat sesuatu?” kini pertanyaan Lutfi beralih ke Angga.
Dengan tatapan penuh selidik, Angga mengamati wajah Aji.
“Sudah… sudah… ada apa sih kalian ini?!” Aji mulai gusar.
“Aha… iya, aku melihat sesuatu,” sahut Angga tidak mempedulikan
kegusaran Aji.
“Apa yang kamu lihat?”
“Aku melihat cinta di udara,” ucap Angga asal-asalan. Menirukan dialog
yang diucapkan Sanasuke Sagara, dalam serial Samurai-X. Saat Yosi jatuh hati
pada gadis pemain sirkus.
“Di muka Aji, goblok! Bukan di udara,” Lutfi geram.
“Hihihi…,” Angga meringis culun.
“Jadi, apa yang kamu lihat di muka Aji, Lut?” tanya Dodik dan Angga
serempak.
Lutfi menghela nafas panjang. “Aku melihat penghianatan,” ucapnya.
Dodik dan Angga mengangguk pelan, tanda setuju.
“Ya, itulah yang aku maksud,” ucap Angga.
“Aku juga melihatnya sekilas,” tambah Dodik.
Aji tertawa terbahak. “Kalian pikir aku homo? Pake menghianati kalian
segala. Memangnya kalian ini istri-istriku? Sejak kapan aku poligami dengan
kalian? Gak nyambung.”
“Nyambung, Ji,” sahut Lutfi. “Kamu menghianati ucapanmu sendiri,
menghianati diri sendiri.”
“Huwalah, kalian ini kenapa sih? Apa salahnya tambah sahabat. Lagian
Mawar anaknya baik, kan? Tidak sombong dan anggkuh, seperti perkiraan banyak
orang.”
“Hati-hati, Ji. Awas jatuh cinta,” sahut Angga sekenanya.
Toilet I’m in Love Page 57
Page 58
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Meminjami novel saja kok jatuh cinta. Enggak, gak jatuh cinta. Lagi pula
mana mungkin dia mau denganku? Berwajah pas-pasan, miskin pula.”
“Awas, Ji. Hati-hati kalau ngomong. Siapa tahu Mawar memang jenuh
pacaran dengan cowok ganteng dan kaya. Terus pingin coba-coba pacaran dengan
cowok jelek dan miskin. Wah, kamu malah jadi penghianat dua kali, Ji. Kalau Pak
Bonar bilang: penghianat pangkat dua,” ujar Lutfi.
“Plokk!” Aji menampar pelan pipi Lutfi. “Menghina!”
“Haduh! Kamu sendiri kan, yang bilang begitu? Oh iya, hati-hati dengan
Bobi. Nanti bisa ribut lagi. Bukannya takut, tapi kita kasihan sama kamu. Kalau
ribut lagi, kamu bakalan puasa jajan setahun.”
“Mawar sudah putus dengan Bobi,” jawab Aji pelan.
Dodik, Angga, dan Lutfi hanya mlongo, mereka saling tatap.
Begitulah. Memang semenjak setahun yang lalu, Aji malas menaruh hati
pada cewek. Di awal sudah diceritakan, bahwa semenjak cintanya ditampik
mentah-mentah sebanyak dua kali, maka untuk sementara dia memasang benteng
beton di hatinya. Dan benteng itu bertuliskan: “Gak Wo ai ni- Wo ai ni-an, gak
pathéken”. Tentu saja Dodik, Angga, dan Lutfi mengetahui semua kisah itu, tidak
terkecuali tentang prinsip sementara yang dipegang Aji. Itulah kenapa mereka
meledek Aji sebagai penghianat.
# # #
Minggu- di rumah Dina. Dodik, Angga, dan Lisa sudah berkumpul. Mereka sibuk
membantu Dina menyiapkan semua bahan masakan. Sama seperti tahun lalu saat
mereka kalah dalam festival musik, Dina mengajak sahabat-sahabatnya
merayakannya dengan masak-masak di rumahnya. Sabtu kemarin hasil dari
festival musik diumumkan, dan band mereka kalah.
Dina adalah anak tunggal. Sedangkan Ayah dan Ibunya keluar kota. Jadi
keberadaan sahabatnya itu sekaligus menemaninya dirumah.
“Kare ayam ini pake bumbu apa saja, Din?” tanya Lisa. Cewek tomboy itu
memang tidak bisa masak.
Toilet I’m in Love Page 58
Page 59
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Itu bumbunya, sudah aku siapkan di atas meja. Kamu yang bersihkan
saja. Biar nanti aku yang meracik,” jawab Dina sembari memotong daging ayam.
Sementara itu, pada sisi dapur yang lain, di meja makan, Dodik dan Angga
sedang sibuk mengupas buah-buahan, yang nanti akan mereka gunakan untuk
rujak manis.
“Sudah selesai?” tanya Lisa.
“Maa…ffii… beffum… ffelesaai…,” jawab Dodik dengan mulut penuh
pepaya.
“Mana Aji? Kok telat datang?” tanya Lisa penasaran.
“Gak tahu,” jawab Angga.
“Lis, tolong kompornya kamu nyalakan, ya!” ucap Dina sembari mencuci
daging ayam yang sudah dipotongnya.
“Haduh, Dod. Ini jadi rujakan, gak? Kamu ini membantu makan, atau
ngupas?” tanya Angga. Sedari tadi Dodik hanya makan buah yang dikupasnya.
Tak satupun yang ditaruhnya di panci.
Terdengar suara bel dari pintu depan.
“Itu Aji,” ucap Lisa dengan wajah cerah. “Tolong bukakan pintu, Ga!”
“Makan aja. Bukakan pintu, Dod,” sahut Angga, melemparkan perintah
Lisa pada Dodik.
Dengan mulut tidak berhenti mengunyah, mirip sapi yang sedang
memamah biak, Dodik berlari kecil ke depan.
“Siapa, Dod? Aji, ya?” tanya Lisa tidak sabar.
“Ini mangga yang tadi kalian pesan,” ucap Lutfi yang tiba-tiba muncul di
dapur dengan Dodik disebelahnya.
“Heem…, iya. Sekalian saja dikupas,” jawab Lisa dengan mimik kecewa.
Ternyata yang datang bukan Aji. “Aji mana, Lut? Kok gak bareng kamu?”
“Lha? Tadi aku pikir sudah datang duluan.”
“Aku bantu ya, Lut,” ucap Dodik. Matanya berbinar dan jakunnya naik-
turun Dia mendekati Lutfi yang mulai mengupas mangga.
“Bantuin makan? Gak usah.”
Sepuluh menit kemudian, kembali terdengar suara bel pintu.
“Lut, tolong bukakan pintu,” ucap Dina yang sedang meracik bumbu kare.
Toilet I’m in Love Page 59
Page 60
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Lutfi bergegas ke depan.
Hihi..., kesempatan, bisik Dodik dalam hati. Sedari tadi dia menahan air
liurnya, melihat mangga yang sedang dikupas Lutfi. Sontak, dengan gerakan
cepat, dia menyambar mangga yang sudah dikupas dan dipotong-potong itu.
Lima detik kemudian, Lutfi muncul di dapur bersama dengan Aji dan
Mawar.
Serempak, Dodik, Angga, Dina, dan Lisa, menatap Mawar. Mereka
keheranan.
“Maaf, aku yang mangajak Mawar,” ucap Aji menjawab kekagetan
mereka. “Emm…, ngomong-ngomong, Mawar pinter masak juga lho.”
Tanpa diminta, Mawar langsung bergegas membantu Dina meracik
bumbu. “Mau masak apa ini?”
“Kare ayam?” Dina bersemangat, merasa mempunyai sahabat baru yang
sehobi dengannya.
Dina dan Lisa sebenarnya sudah sangat mengenal Mawar, sebab mereka
sama-sama kelas IIIE. Hanya saja selama ini mereka tidak akrab. Di luar dugaan,
jika selama ini mereka mengira Mawar itu pilih-pilih teman, dan sombong,
ternyata tidak begitu kenyataannya. Mawar sangat supel, mudah bergaul, humoris,
dan baik hati.
Jika Dina senang dengan adanya Mawar sebagai anggota baru dalam
persahabatan mereka. Berbeda dengan Lisa. Sikap cewek tomboy itu menjadi
agak aneh. Meskipun dengan sekuat hati dia menyembunyikan rasa kesal dan
cemburu, namun tetap saja raut kecewa tampak tersirat di wajahnya.
“Bira aku yang memotong bawangnya,” Mawar menawarkan diri.
“Jangan! Biar aku saja,” jawab Lisa dengan senyum dipaksakan. Lebih
mirip senyum monyet: kaku, dan tidak indah.
“Kamu bantuin aku buat bumbu rujak saja,” ajak Dina.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja Lisa menitikkan air mata.
Lutfi melotot keheranan, begitu juga Dodik dan Aji.
Tanpa diperintah, Angga langsung menghampiri Lisa. “Kamu kenapa,
Lis? Kok nangis? Jika kamu sedih, aku juga jadi sedih,” ucap Angga penuh
perhatian.
Toilet I’m in Love Page 60
Page 61
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Kena bawang!!!” bentak Lisa.
Serempak, Aji, Lutfi, dan Dodik tertawa terkekeh-kekeh.
“Wuuss….! Plok!!” dengan kesal, Angga melemparkan bawang yang
sudah dikupas ke arah Aji, Lutfi, dan Dodik.
“Auww..!!! Auww!!” lemparan itu tepat mengenai muka Dodik. Si
Gentong itu berteriak-teriak, matanya kepanasan terkena bawang.
“Air…!!! Air…!!!” teriak Lutfi panik.
“Byorrr!!!” Aji menyiramkan air sisa cucian daging ayam ke muka Dodik.
Dodik menarik nafas lega, mengucek-ngucek mata. Matanya tidak begitu
perih lagi. Hanya saja kini seluruh tubuhnya bau amis.
Kini giliran Angga yang tertawa terkekeh-kekeh.
Dua jam sudah berlalu. Masakan sudah siap di meja makan. Begitu juga
dengan rujak manisnya. Tanpa dikomando, Dodik langsung meraih piring,
mengisihnya dengan nasi. Hingga gundukan nasi itu mirip bukit kecil.
Tidak diragukan lagi, masakan Dina memang lezat.
Namun ada yang berubah pada diri Lisa. Jika yang lain dengan lahap
‘memamah biak’ masakan Dina. Cewek tomboy itu malah tidak bersemangat
untuk makan. Dia hanya mengambil potongan kecil ayam, lalu menyuapkan
sedikit nasi ke mulutnya.
“Kenapa, Lis? Ada yang kurang pas dengan bumbunya?” tanya Dina.
“Ah, enggak. Enak kok. Siapapun akan bilang, jika masakanmu ini enak,”
Lisa menutupi suasana hatinya. “Tanya saja Aji. Iya kan, Ji?”
“Wah, enak sekali. Beneran. Tanya saja Dodik. Iya kan, Dod?” ucap Aji.
“Enyak…, enyak…, enyak!” jawab Dodik dengan mulut penuh nasi.
“Huu… Dodik kok ditanya tentang masakan,” ledek Lutfi.
Tiga jam berlalu. Acara makan-makan telah selesai. Hari beranjak sore.
Setelah bersantai beberapa jam di rumah Dina, Mawar pamit.
“Terima kasih,” Mawar menyalami sahabat-sahabat barunya. “Lain kali di
rumahku, ya.”
“Wah.. iya.. iya, ide bagus itu,” sahut Dodik dengan mata berbinar.
“Plokk!!” tamparan pelan Angga mendarat di pipi Dodik. “Gentong tak
tahu malu.”
Toilet I’m in Love Page 61
Page 62
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Aku juga pamit duluan, ya,” ucap Aji. Tadi dia datang bersama Mawar,
jadi saat gadis itu pamit, dia juga ikut pulang menemaninya.
“Aji… Aji…, kamu memang bedebah paling beruntung di muka bumi,”
ucap Lutfi disertai tawa terkekeh dari sahabat-sahabatnya.
Jika yang lain tertawa terkekeh-kekeh, lain halnya dengan Lisa. Dia hanya
tersenyum kecut sembari menelan ludah, menahan rasa kecewa.
# # #
Minggu malam- di kamarnya- Lisa hanya duduk termangu di atas pembaringan.
Selama ini dia masih kuat menahan persaanya terhadap Aji. Dan bersikap wajar di
hadapan sahabatnya yang lain. Dulu banyak pertimbangan yang dipikirkannya,
hingga enggan untuk menunjukan perasaannya itu. Pertama: Aji adalah sahabat
akrabnya, sama seperti Lutfi, Dodik, dan Angga. Jika dia menunjukkna rasa
sukanya, itu akan menimbulkan rasa canggung saat mereka berkumpul bersama.
Kedua: Sama seperti sahabatnya yang lain, Lisa juga tahu kisa tentang Aji, serta
prinsip bodoh yang dianutnya. Dan ketiga: Di antara mereka sudah membuat
komitmen bahwa tidak akan saling jatuh cinta dengan sahabat sendiri.
Jika selama ini cewek tomboy itu masih tenang-tenang saja menahan
getaran hatinya. Namun tadi siang, melihat Aji begitu akrab dengan Mawar,
segalanya jadi berubah. Dadanya bergemuruh, perasaannya kacau. Hampir saja
sahabat-sahabatnya mengetahuinya, saat dia menangis di dapur Dina. Untung
bawang merah menyelamatkan mukanya.
Mana yang lebih benar: jujur tapi malu? atau berbohong tapi sakit hati?
Bisik Lisa dalam hati. Dia mengambil gitarnya yang tersandar di dinding, di
sebelah meja belajar. Dipetiknya gitar itu pelan. Sebuah syair lagu Kelly Clarkson,
mengalun merdu dari bibirnya;
Are you there?Are you watching me?As I lie here on this floor
Toilet I’m in Love Page 62
Page 63
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Suara lisa bergetar. Syair lagu yang keluar dari mulutnya menjadi
tersendat. Namun dia tetap malanjutkan.
….Why is it so hard?Why can't you just take me?I don't have much to go
Mata lisa menjadi berkaca-kaca. Dengan terbata, dia tetap melanjutkan
lagu itu.
…Can you feel how cold I am?Do you cry as I do?Are you lonely up there all by yourself?
Sebutir air menerobos barisan bulu matanya yang lentik, jatuh dari
pelupuknya, membentuk jejak air di pipinya. Dengan sesenggukan, dia terus
melanjutkan nyanyiannya.
As I lie here on this floorDo you cry, do you cry with me?Cry with me tonight…
Dan akhirnya air mata itu tumpah juga. Siapa yang mengira, cewek
tomboy dengan suara merdu itu, ternyata mempunyai hati selembut kupu-kupu.
# # #
Pulang sekolah, itu adalah hari terakhir bagi Dodik, Lutfi, Aji, dan Angga
membersihkan WC. Sudah genap satu minggu mereka melaksanakan ‘titah’ dari
Pak Sangit. Sore itu, setelah mengikuti les tambahan, dan WC yang menjadi
tanggung jawab mereka sudah bersih, terlebih dahulu mereka menghadap ke
kantor BK.
“Bagaimana, masih ingin ‘bonus’ lagi?” tanya Pak Sangit bercanda.
“Tidak, Pak. Terima kasih atas kebaikan hati Bapak,” jawab Aji balas
menyindir.
Ruang BK itu tidak terlalu besar. Hanya 3m x 4m. Tanpa fentilasi,
sirkulasi udara hanya melalui jendela kaca kecil yang berada di depan, serta dari
pintu yang selalu terbuka. Dari situlah Pak Sangit menjalankan ‘kekuasaannya’.
Udara sore itu panas. Sebuah kipas angin kecil yang berada di atas meja
kerja Pak Sangit, tidak membantu menyejukkan udara. Sementara itu seragam
Lutfi, Aji, dan Angga, basah kuyub oleh keringat bercampur cipratan air WC.
Toilet I’m in Love Page 63
Page 64
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Namun yang lebih parah dari mereka adalah Dodik. Tubuhnya yang menimbun
lemak, membuat badannya jadi lebih mudah kepanasan dan berkeringat. Hingga
saat itu, dia mirip orang yang kecemplung sungai.
“Emm… emm… boleh minta air minumnya, Pak?” Dodik tidak mampu
lagi menahan rasa hausnya.
“Baiklah, sila….”
Belum sempat Pak Sangit menuntaskan kalimatnya, Dodik sudah
menyerbu galon air mineral yang tertumpu pada sebuah dispenser. Dia mengambil
gelas yang sudah tersedia, lalu membuka krannya.
Pak Sangit menggeleng-geleng.
“Hemm… begini,” Pak Sangit memulai penjelasan, “saya hanya mau
mengatakan pada kalian bahwa perbuatan kalian itu jangan diulangi lagi.”
Dodik, Lutfi, Aji, dan Angga hanya mengangguk-angguk. Sebenarnya
mereka sudah sangat capek dan malas mendengar nasehat Pak Sangit. Selalu itu-
itu saja pidatonya. Tidak ada yang baru. Tidak kreatif memilih pembicaraan. Tapi
siapa yang berani menentangnya. Lebih baik menurut saja, dari pada kesengsaraan
mereka diperpanjang.
“Untung kemarin kalian tidak sampai cidera,” lanjut Pak Sangit.
“Bayangkan jika preman yang dibayar Bobi membawa senjata tajam. Bisa-bisa
kalian terluka. Malah mungkin nyawa kalian melayang.”
“Oh iya, urusan Bobi dengan polisi bagaimana, Pak?” tanya Lutfi.
“Bobi ditahan,” jawab Pak Sangit.
“Dipenjara?!” Aji kaget.
“Iya, satu bulan. Dan bukan hanya itu. Hasil rapat dengan kepala sekolah
kemarin, diperoleh keputusan bahwa Bobi dikeluarkan dari sekolah ini.”
“Dikeluarkan?!” ucap Aji dan Lutfi serempak. Mereka kaget mendengar
berita itu. Begitu juga dengan Angga dan Dodik. Mereka hanya melongo, menatap
Pak Sangit yang duduk di mejannya tanpa ekspresi apapun.
“Kenapa? Apa tindakan kami salah? Bukankah sudah sepantasnya dia
mendapat sanksi semacam itu? Perbuatan yang dia lakukan sudah di luar batas
kewajaran. Itu bukan kenakalan remaja biasa. Perbuatan itu tergolong kriminal
kelas berat. Jika begitu, apa bedanya Bobi dengan preman?”
Toilet I’m in Love Page 64
Page 65
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Dodik, Lutfi, Aji, dan Angga hanya diam terpaku di kursi. Mulut mereka
menganga.
“Pada awalnya, Bapak kepala sekolah juga merasa berat untuk
melepaskannya. Sebab bagaimanapun, pihak sekolah juga bertanggung jawab
untuk mendidiknya. Namun setelah dipertimbangkan lebih dalam lagi, tidak ada
gunanya mempertahankan siswa semacam itu.”
Pak Sangit menarik nafas panjang, lalu menyandarkan punggungnya di
kursi. “Maka dari itu, aku berpesan pada kalian, janganlah kalian mengulangi
perbuatan itu lagi. Jangan bandel. Belajar yang rajin. Kalian sudah kelas tiga.
Sebentar lagi banyak ujian, bla… bla… bla….”
Begitulah, nasehat Pak Sangit selalu saja berakhir seperti itu. Hanya
pengulangan dari pidatonya yang lalu.
“Baiklah, cukup itu saja pesan saya. Ada yang kalian tanyakan?” ujar Pak
Sangit menutup nasehatnya.
“Enggak, Pak,” jawab Lutfi, Aji, dan Angga. Mereka merasa lega, sebab
nasehat panjang itu akhirnya selesai.
“Tanya, Pak,” tiba-tiba Dodik menyahut.
Sontak saja, Lutfi, Aji, dan Angga menatap Dodik. Perasaan mereka sama:
geram. Andai saja saat itu tidak ada Pak Sangit, pasti mereka sudah menampar
pipi tembem Si Gentong itu bersamaan.
“Tanya apa?” ucap Pak Sangit.
“Boleh minta minumnya lagi, Pak?”
“Haduh!!” gerutu Lutfi, Aji, dan Angga serempak.
Toilet I’m in Love Page 65
Page 66
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
4
Saat Hasrat Salah Alamat
Bel pulang sekolah berbunyi. Seperti biasa, hanya murid kelas satu dan dua yang
berhambur pulang. Sementara kelas tiga- karena ada jam tambahan les- mereka
hanya diam menunggu di dalam kelas. Sebagian ada yang makan di kantin, sholat
Dhuhur, atau hanya duduk-duduk di beranda kelas.
Sementara itu Lisa hanya diam di dalam kelas, bersama beberapa teman
lainnya. Jika biasanya pada jedah waktu seperti itu dia langsung menyerbu ke
kantin Mbak Mim untuk jajan dan nongkrong bareng sahabat-sahabatnya, kali ini
Toilet I’m in Love Page 66
Page 67
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
dia merasa malas. Sedari tadi ditatapnya Mawar. Gadis jelita itu tampak bercanda
dengan teman-teman sekelas yang lain. Ada rasa iri di hatinya. Kedekatan cewek
cantik itu dengan Aji, membuat dadanya merasa seperti ditindih beban. Ada rasa
cemburu karena tersaingi. Berkali-kali dia berusaha menepis perasaan itu, namun
sulit.
“Kok bengong, Lis? Gak makan siang?” sapa Mawar menghampiri Lisa.
“Oh… eh…, gak. Gak lapar,” Lisa tergagap. Sapaan Mawar
membangunkan lamunannya.
“Tumben, biasanya langsung ke kantin, atau kumpul sama teman-teman?”
“Gak ada apa-apa. Lagi males saja,” Lisa tersenyum, menutupi suasana
hatinya.
“Oh iya. Dina ke mana?”
“Entahlah. Paling ke kantin.”
“Kalau begitu aku kantin dulu, ya? Kamu mau nitip apa?”
“Em…, gak usah deh. Makasih.”
“Beneran nih? Gak lapar?”
“Gak, makasih,” Lisa menggeleng pelan.
Mawar beranjak ke kantin, meninggalkan Lisa sendirian di bangkunya.
Lima menit kemudian, Angga datang menghampiri Lisa yang masih termangu di
kursinya.
“Lis! Haduh, aku pikir kamu ke mana. Kutunggu di kantin kok gak ada,”
sapa Angga.
Lisa tersenyum lesu. “Ya di sini. Memang mau lari kemana lagi?”
“Syukurlah, aku pikir dibawa lari Pak Sangit.”
Pak Sangit sering dijadikan bahan benyolan bagi cewek-cewek di SMA 2,
sebab guru BK itu duda beranak satu.
“Huss, ngawur. Bukan dibawa lari, tapi kabur bersama,” ujar Lisa.
Angga hanya terkekeh.
“Kamu kok gak ngumpul sama teman-teman?”
“Gak apa-apa. Lagi malas aja.”
Angga menatap wajah Lisa. Berbeda dari biasanya, dia tidak menemukan
kesan ceriah pada raut muka itu. Hanya ekspresi lesu dan tidak bersemangat. Jika
Toilet I’m in Love Page 67
Page 68
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
selama ini cewek tomboy itu yang paling rame di antara sahabatnya, kali ini dia
lebih banyak diam. Bahkan memilih menyendiri di kelas.
“Biasanya langsung ke kantin. Gak makan?” tanya Angga.
“Gak lapar.”
“Nanti sakit lho? Jaga kesehatan, kan mau ujian,” ucap Angga penuh
perhatian.
“Kalau aku sakit, kan ada kamu?” jawab Lisa tanpa ekspresi.
“Ha…, memang kenapa? Apa hubungannya?” Angga melongo. Hatinya
berdebar-debar, merasa mendapat perhatian lebih.
Ternyata selama ini Angga memendam rasa pada Lisa. Rasa suka, rasa
cinta, rasa sayang, dan seterusnya. Namun Angga malu dan segan untuk
mengungkapkan isi hatinya. Tentu saja hal itu disebabkan karena kesepakaatn
yang sudah dibuat bersama sahabat-sahabatnya.
“Kalau aku sakit, kamu yang jadi dukunnya,” goda Lisa tanpa semangat.
“Ah, kamu ini ada-ada saja,” muka Angga memerah, tersipu malu. Cowok
berkacamata itu memang jarang mendapat perhatian dari cewek.
Untuk beberapa detik mereka hanya terdiam. Angga tenggelam dalam rasa
yang berdebar-debar. Sementara Lisa masih tenggelam dalam rasa cemburunya
yang berkepanjangan.
“Akhir-akhir ini kamu aneh, Lis?” Angga menyambung percakapan.
“Aneh bagaimana?”
“Kamu berubah.”
“Kayak iklan rokok saja. Apa obsesimu? Cut! Cut! Cut!”
“Hehehe…, bukan begitu, Lis.”
“Terus kenapa? Ada jerawat baru di mukaku, ya?”
“Yang itu benar. Tapi ada lagi.”
“Apa lagi? Perasaan tidak ada bisul di hidungku,” Lisa memerotkan
cuping hidungnya.
“Bukan itu, Lis.”
“Terus apa?”
“Kalau kamu tertawa, gigimu kuning. Sekarang kamu jarang sikat gigi,
ya?” Angga bercanda.
Toilet I’m in Love Page 68
Page 69
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Huuu…, ngawur!” Lisa mencubit lengan Angga.
“Maksudku…, sekarang kamu lebih banyak diam, Lis.”
Kembali Lisa terdiam. Dia baru tersadar, ternyata kesedihannya tercium
oleh sahabatnya.
“Ada masalah apa, Lis?”
“Em…, enggak kok. Gak ada apa-apa,” Lisa menggeleng, memaksakan
diri untuk tersenyum.
“Aku tidak keberatan, jika perubahan pada dirimu itu hanya tumbuhnya
jerawat di muka. Bahkan aku juga tidak keberatan, jika perubahan itu hanya
warna kuning pada gigimu. Anggap saja sekarang lagi mode tidak sikat gigi. Tapi
aku keberatan, jika perubahan itu adalah keceriaan menjadi kesedihan.”
Lisa tersenyum sejenak. Lalu kembali terdiam. Matanya berkaca-kaca.
Kali ini tidak ada bawang merah yang menyelamatkan mukanya. Maka dia
berusaha keras untuk tidak menangis.
“Kalau kamu sedih, aku juga ikut sedih, Lis.”
“Makasih. Tapi memang tidak ada apa-apa kok,” Lisa menggeleng pelan.
“Yakin, tidak ada apa-apa?”
“Pak Ainul Yakin guru Kimia? Dia kan sudah pensiun setahun yang lalu,”
jawab Lisa bercanda.
Mereka tersenyum bersama. Lalu kembali diam. Yang satu memendam
cinta, sedang yang lain memendam kecewa.
Di saat mereka sedang tenggelam dalam pikiran dan suasana hati masing-
masing, tiba-tiba saja Dodik menghambur ke dalam kelas. Dia menghampiri Lisa
dan Angga yang sedang duduk termangu berdampingan. “Ga! Aduh, ke mana saja
kamu? Aku cari-cari,” ucapnya.
“Ada apa, Gentong?!” jawab Angga.
“Gawat!” jawab Dodik panik, dengan nafas terengah-engah.
“Apa? Gajah lewat?!”
“Ini serius, Brut. Eh, maksudku, Bro.”
“Ada apa sih?”
“Pak Sangit. Maksudku…, kamu dipanggil Pak Sangit.”
Toilet I’m in Love Page 69
Page 70
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Ha…! Yang bener. Ada apa lagi?!” Angga panik. Dia bangkit dari
duduknya. Matanya melotot.
“Entahlah…,” Dodik menggeleng.
“Ada urusan apa lagi? Kan sudah beres semuanya?!”
“Aduh, aku juga tidak tahu. Pokoknya kamu dicari. Segera menghadap.
Penting katanya.”
Angga beranjak dari duduknya. Lisa yang sedari tadi hanya diam bersedih,
kini juga ikut panik. Dia mengikuti Angga dari belakang. Penasaran, ingin tahu
apa yang sedang terjadi. Sementara Dodik sudah menghilang, keluar terlebih
dahulu.
Angga berjalan menyusuri koridor gedung kelas III, menuju kantor BK.
Perasaannya bercampur aduk: khawatir, takut, heran, penasaran, dan lain
sebagainya. Dia bingung, perasaan akhir-akhir ini tidak pernah membuat masalah
di sekolah. Ada apa lagi hingga guru BK itu tiba-tiba memanggilnya.
Gedung kelas III berada pada bagian paling belakang, dari keseluruhan
bangunan sekolah. Jadi dibutuhkan waktu beberapa detik lebih lama untuk
menuju kantor BK.
Kini Angga sudah berada pada ujung koridor kelas III. Selanjutnya dia
akan melewati koridor kelas I. Antara bangunan kelas III dan kelas I itu ada
sebuah lorong besar. Dan di dalam lorong itu terdapat WC. Pada saat Angga
melintasinya, tiba-tiba saja- dengan langkah mengendap- Lutfi mengejar dari
belakang. Dia membawa timba penuh berisi air. Setelah Angga berada dalam
jarak jangkauannya, tiba-tiba…
“Byurrr!!!” Lutfi menyiramkan timbah berisi air itu ke tubuh Angga.
Angga hanya melotot bingung. Belum reda dari kagetnya, tiba-tiba…
“Bruusss!!!” Aji berlari mendekat, lalu menghantamkan sekantung plastik
tepung kanji ke tubuh Angga.
Selang seper sekian detik kemudian…
“Pyookk!!! Pyokk!!!” Dodik menghantamkan beberapa butir telur ke
tubuh Angga.
Lengkap sudah. Seluruh tubuh Angga basah kuyup, berwarna putih tepung
bercampur dengan isi telur mentah.
Toilet I’m in Love Page 70
Page 71
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Aji, Lutfi, dan Dodik, tertawa terbahak-bahak. “Selamat ulang tahun!”
teriak mereka dari kejauhan. “Semoga panjang umur, semoga dapat cewek,
semoga cita-citamu jadi dukun bayi terkabul.” Angga memang punya cita-cita jadi
dokter kandungan.
“Sialan, kalian!!! Sialaaaaaaaan!!!” teriak Angga.
“Aku tunggu traktirannya,” ucap Dodik.
“Awas! Tunggu pembalasanku!” lagi Angga berteriak kesal.
Dina dan Mawar tertawa terkekeh-kekeh. Mereka menghampiri Angga,
yang hanya diam berdiri seperti patung kapur.
“Selamat ulang tahun,” Mawar menjabat tangan Angga.
“Terima kasih,” Angga meringis culun.
“Wah, kamu tambah ganteng. Selamat ulang tahun,” kata Dina.
Lisa datang mendekati Angga. Jika beberapa hari ini dia tidak dapat
tersenyum, kali ini dia tertawa terbahak-bahak. “Wah…, wah…, kamu sudah
masuk perangkap, Ga,” ucapnya.
Ternyata Dodik hanya berpura-pura. Dia sengaja memancing Angga, agar
mau keluar dari kelas. Sementara Lutfi, Aji, dan Dodik sudah menyusun rencana
itu matang-matang.
“Selamat ulang tahun. Aku tunggu traktirannya,” Lisa menyalami Angga.
“Oke, beres.”
# # #
“Halo, selamat malam. Dari siapa?” sapa Sinta, setelah mengangkat gagang
telepon.
“Dari Mawar. Aji ada?” jawab suara dalam telepon itu.
“Ada. Sebentar saya panggilkan.”
Sinta bergegas menuju kamar kakaknya. Malam minggu kali ini, Aji
memilih berdiam di rumah. Tidak ada gunanya keluar jalan-jalan. Jangankan
untuk membeli kaos Sakera lurik-lurik, membeli semangkuk bakso saja tidak
mampu. ‘Embargo ekonomi’ dari Bunda masih belum dicabut.
Toilet I’m in Love Page 71
Page 72
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Pintu kamar itu tidak terkunci. Sinta langsung menyerbu ke dalam.
“Kak, ada telepon,” ucap Sinta.
“Haduh…! Siapa lagi sih?!” jawab Aji tanpa menoleh. Dia sibuk dengan
pertandingan PS-nya. “Bilang saja aku gak ada.”
“Beneran, nih?”
“Hiya…, hiya…! Bilang saja aku keluar.”
“Katanya sih, namanya Mawar. Suaranya renyah dan serak-serak basah
gitu,” goda Sinta. “Tapi kalau tidak mau menerima teleponnya, ya sudah.” Sinta
beranjak keluar kamar.
“Eit…! Tunggu!!” Aji melempar stik PS-nya. Meloncat bangkit, lalu
menarik tangan adiknya. Dia bergegas menuju meja telepon yang berada di ruang
tengah.
“Hai,” sapa Aji.
“Lagi ngapain?” tanya Mawar.
“Gak ngapa-ngapain. Tumben telepon?”
“Hehehe…, iya. Aku sms kok gak terkirim. Akhirnya aku telepon rumah
saja. Oh iya, novelnya sudah selesai aku baca. Aku kembalikan sekarang, ya?”
“Ha, malam-malam begini? Gak usah repot-repot. Hari Senin saja di
sekolah.”
“Enggak repot kok. Sekarang aku lagi jalan-jalan. Sekalian saja nanti
mampir, ya?”
“Baiklah kalau begitu.”
Setelah menutup telepon, Aji mengambil gitar, duduk di ruang tamu
menunggu kedatangan Mawar.
Sementara itu, Bunda, Ayah, dan Sinta, masih berdandan. Mereka hendak
pergi menghadiri undangan resepsi pernikahan.
Malam lindap di luar. Bintang-bintang memicing di kejauhan. Bulan yang
hanya separuh, terbaring bak perahu karam di pantai, di ujung senja. Dari dalam
ruang tamu- melalui kaca- tampak sebuah sedan mewah berhenti di depan pagar
rumah. Samar terlihat, seorang gadis keluar dari BMW merah itu. Rambutnya
tergerai, berjalan anggun mendekat ke rumah.
Toilet I’m in Love Page 72
Page 73
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Sontak Aji meletakkan gitarnya. Bangkit dari tempat duduknya, lalu
membuka pintu. “Silakan masuk.”
“Makasih,” Mawar tersenyum.
Mawar masuk ke ruang tamu, lalu duduk di kursi. Gadis ayu berwajah
Indo itu mengenakan jeans biru, dipadu dengan kemeja putih press body
berlengan panjang dengan motif bunga sakura. Anggun, cantik, sempurna. Mirip
foto model yang sudah siap untuk sesi pemotretan.
“Kok cepet,” Aji membuka percakapan.
“Iya, tadi cuma putar-putar saja. Suntuk diam di rumah. Aku pikir sekalian
saja mengembalikan novelmu.” Mawar mengulurkan tangan, memberikan novel
itu ke Aji.
“E…, ada tamu toh?” ucap Bunda yang tiba-tiba saja muncul dari dalam.
Beliau sudah selesai berdandan. Sebuah sanggul besar bertengger di belakang
kepalanya. Mengenakan jarik cokelat, bermotif kembang dan burung.
Mawar mendekat, lalu menyalami Bunda.
“Satu SMA, ya, sama Aji?” tanya Bunda.
“Iya, Tante,” jawab Mawar.
Beberapa detik kemudian, Ayah dan Sinta juga muncul di ruang tamu.
Mereka sudah berdandan rapi. Bersiap hendak pergi.
“Mbak Mawar, ya?” sapa Sinta sok kenal.
“Iya,” Mawar tersenyum, lalu menyalami gadis imut itu, kemudian
menyalami Ayah yang berada di sampingnya.
“Sok akrab,” ledek Aji.
“Hehehe…, kan fotonya sering nongol di majalah,” jawab Sinta.
“Em…, baiklah. Kita tinggal dulu, ya,” sahut Ayah.
“Jaga rumah yang baik, ya?” ledek Sinta pada kakaknya.
Mereka pun beranjak pergi, meninggalkan Aji dan Mawar di rumah.
Sendirian di rumah, di temani ‘bidadari’, jantung siapa yang tidak
berdebum. Begitulah yang dialami Aji. Sudah sebulan lebih dia akrab dengan
Mawar. Jika awal mereka kenal, Aji tidak mempedulikannya, kali ini lain. Jantung
cowok itu serasa seperti tertimpa gempa 9,9 Skala Richter. Namun ia berusaha
keras untuk menekan segala rasa dan gelora itu.
Toilet I’m in Love Page 73
Page 74
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Cukup sudah, cukup!! bisik Aji dalam hati, menekan perasaannya. Cukup
dua kali saja patah hati dan malu. Aku tidak akan menggenapinya menjadi tiga!
“Bagaimana novelnya, bagus?” ucap Aji. Memulai pembicaraan
sewajarnya dan tanpa beban. Mencoba menutupi gejolak hatinya.
“Bagus. Sangat bagus,” jawab Mawar antusias. Novel itu berjudul ‘Yang
Tergusur’, karangan Sally Morgan. Terjemahan dari fersi Inggris ‘My Place’.
Aji hanya mengangguk, pura-pura mengerti. Padahal seumur hidup dia
belum pernah membaca novel.
“Kalau menurut kamu bagaimana?” Mawar balik bertanya.
“Bagaimana apanya?” Aji gelagapan, namun berusaha sebaik mungkin
manutupi kepongahannya.
“Tentang isi novel itu. Tentang perlawanan Sally, sebagai kaum Aborigin
yang tertindas. Pribumi Australia, yang akibat kedatangan bangsa Eropa,
keberadaan mereka menjadi terpinggirkan. Bahkan terancam untuk dimusnahkan,
baik kebudayaannya, juga manusianya.”
Aji hanya plonga-plongo. Dia baru sadar, ternyata ‘bidadari’ di depannya
itu bukan hanya cantik, tapi juga cerdas. Mempunyai minat yang besar terhadap
sastra dan sejarah.
Sungguh tidak biasa, bisik Aji dalam hati. Kebanyakan cewek cantik
otaknya blong, kosong mlompong. Sudah menjadi semacam rumus alam. Jika
Tuhan memberikan kelebihan pada fisik seseorang, maka Dia akan mengambil
separuh dari isi otaknya sebagai gantinya. Tapi untuk Mawar, hukum itu tidak
berlaku.
“Bagaimana, Ji?”
“Oh…, eh…! Iya, iya,” Aji gelagapan. Pertanyaan Mawar membangunkan
lamunannya.
“Iya bagaimana?”
“Emm…, maksudku begini,” Aji memutar otak. Mencoba merangkai
jawaban yang masuk akal, guna menutupi kepongahannya. “Aku setuju. Aborigin
adalah bangsa pribumi Australia. Mereka punya hak penuh atas tanah, air, dan
seluruh kekayaan alam yang ada di dalamnya. Jika kemudian Bangsa Eropa
datang, lalu merampas milik mereka. Maka mereka harus melakukan sesuatu.”
Toilet I’m in Love Page 74
Page 75
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Kini Mawar mengangguk. Berpikir bahwa jawaban Aji masuk akal juga.
Dia tidak tahu, jika Aji belum pernah membaca novel itu. Dan cowok itu hanya
merangkai jawaban sekenanya.
“Tapi sayang, kaum Aborigin tidak mampu melakukan perlawanan
apapun,” Mawar menghela nafas. “Bahkan yang lebih tragis, mereka berakhir
menjadi budak bagi kaum penjajah itu. Kehidupan mereka musnah, hak mereka
musnah, budaya mereka musnah, apapun yang mereka miliki musnah.”
“Bumerang tidak akan mampu mengalahkan senapan mesin. Tombak tidak
mampu melawan Dollar,” sahut Aji. “Namun setidaknya Sally sudah melakukan
perlawanan. Meskipun hanya melalui novel. Setidaknya itu bisa menjadi semacam
pekik pembelaan hak mereka yang dimusnahkan. Meskipun kadang percuma.”
Dahsyat. Kencan dadakan malam minggu itu benar-benar bermutu. Di
depan Mawar, tiba-tiba saja Aji menjadi budayawan, sastrawan, pengamat politik
luar negeri, ahli sejarah, dan sebagainya.
# # #
Masih pada malam minggu yang sama, namun di tempat lain, tepatnya di alun-
alun kota. Tampak Angga dan Lisa berjalan di sela-sela keramaian orang. Pada
malam hari, alun-alun tersebut berubah fungsi menjadi tempat hiburan
masyarakat. Penjual makanan, minuman, baju, celana, boneka, dan sebagainya,
berderet mengelilingi alun-alun. Selain itu juga terdapat hiburan anak-anak: kereta
kelinci yang ditarik mobil dan andong yang ditarik kuda.
“Mau ditraktir apa?” tanya Angga yang berjalan di sebelah Lisa.
“Em…., apa ya?!” Lisa mengerutkan dahi berpikir. “Nanti dulu deh.
Masih bingung. Kita jalan-jalan saja dulu, ya!” ajaknya.
“Oke-lah.”
Merekapun kembali melenggang berdampingan, menyusuri jalan sebelah
luar alun-alun yang dipenuhi pedagang. Pada malam minggu, pedagang selalu
lebih banyak dibandingkan hari biasa.
Hingga akhirnya langkah Lisa terhenti di depan penjual bakso. Ditatapnya
bola-bola bakso yang sebesar kepala bayi itu. Dia menelan ludah. “Kita makan
bakso, yuk!”
Toilet I’m in Love Page 75
Page 76
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Hehehe…, kamu ini seperti Dodik saja. Terserah kamulah,” jawab
Angga.
Mereka beranjak menuju penjual bakso itu. Kemudian duduk di atas trotor
yang diberi alas karpet. Beberapa pembeli yang lebih dahulu datang, tampak
sudah menikmati hidangan bola-bola besar itu.
“Silahkan,” ucap penjual itu, setelah meletakkan dua mangkuk bakso dan
dua gelas es teh di depan Angga dan Lisa.
Dengan penuh semangat, Lisa memotong pentol sebesar kepala bayi itu
kecil-kecil, lalu melahapnya.
Lain halnya dengan Angga. Cowok berkacamata itu terlihat tidak
bernafsu. Pikirannya berkecamuk, jantungnya berdebum-debum.
Angga menghela nafas pelan. Apakah harus sekarang? Bisiknya dalam
hati.
Ah, tidak. Jangan sekarang! suara hati yang lain melarangnya.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi? tanya hatinya lagi.
Masih banyak waktu yang lebih baik, bantah hatinya.
Ahh…!!! Masa bodoh. Aku tidak mau menunda lagi. Aku tidak mau mati
penasaran. Aku sudah tidak mampu lagi menahan gejolak ini. Aku tidak mau
sengsara dalam penantian. Aku tidak mau……
“Kenapa, Ga?” Lisa keheranan melihat Angga yang hanya termangu di
depan mangkuk baksonya.
“Oh…, eh…, gak ada apa-apa,” Angga tergagap, terbangun dari
lamunannya.
“Kamu gak suka bakso, ya?”
“Suka kok. Meskipun tidak se-maniak Dodik.”
“Lho, kok diam aja?”
“Hehe…, masih berdoa,” Angga mencoba berbohong.
Kembali mereka terdiam, tenggelam dalam mangkuk baksonya masing-
masing. Hingga Lima belas menit kemudian, mangkuk bakso mereka kosong tak
tersisa.
“Lis. Em…,” dengan ragu, Angga memulai lagi percakapn. “Boleh
bertanya?”
Toilet I’m in Love Page 76
Page 77
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Hehehe…, Angga… Angga…, berapa lama kita sudah kenal? Berapa
lama kita bersahabat? Mau nanya saja pake minta konfirmasi. Kayak ngomong
sama pejabat saja. Mau nanya apa?” Lisa mengangkat gelas es tehnya.
“Emm…, menurut kamu, apakah seseorang harus jujur dengan hatinya?”
“Aku pikir memang harus begitu. Agar perasaan jadi ringan dan tidak ada
beban,” Jawab Lisa sekenanya.
“Meskipun nanti akibatnya menyakitkan?” sahut Angga.
Lisa mengerutkan dahi, berpikir. Cewek tomboy itu tidak langsung
menjawab. Dia mencoba mencerna pertanyaan itu. Tidak biasanya Angga seperti
itu. “Kenapa mesti menyakitkan?”
“Emm…, maksudku…, em…,” Angga jadi salah tingkah.
“Haduh, kamu ini kok aem…, aem… saja sih?!”
“Maksudku, meskipun nanti pada kenyataannya, jawabannya tidak sesuai
dengan yang kita inginkan.”
“Jawaban?! Jawaban apa?”
“Haduh!” Angga blingsatan. Kata itu tiba-tiba saja meloncat dari lidahnya.
Malam itu dia merasa seperti kambing bego. Jago Matematika, Fisika, dan Kimia,
tidak menjamin bahwa dia dapat menyusun rayuan dengan baik.
Sudah kepalang basah, bisik Angga dalam hati.
“Mulai sekarang, mulai menit ini, detik ini, aku mau jujur terhadap kata
hatiku, Lis,” ucap Angga sembari menegakkan punggung, menyiapkan mentalnya.
“Nah, itu bagus,” Lisa mengacungkan jempol. Sedikitpun tidak menyadari,
apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.
“Aku suka kamu, Lis. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu.”
Sontak Lisa tidak bisa berkata-kata. Serasa ada biji kedondong yang
menyangkut di tenggorokannya. Matanya mendelik. Pipinya memerah.
“Sayy… say…yang? Ci…ci…cin…ta?” Lisa tergeragap.
“Iya, Lis. Aku jujur dengan kata hatiku.”
Lisa menarik nafas dalam-dalam. Sekuat tenaga, berusaha menenangkan
hatinya. Hingga sekian menit kemudian, dia sudah dapat mengendalikan diri.
“Kamu sudah lupa, Ga?”
“Lupa apa?”
Toilet I’m in Love Page 77
Page 78
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Dulu, kita sudah membuat kesepakatan, bahwa di antara kita tidak boleh
ada cinta.”
“Ah…, hanya kesepakatan bodoh. Kenapa mesti diikuti?!”
“Kamu tidak merasa berkhianat pada sahabat-sahabatmu?”
Angga terdiam sejenak, lalu menghela nafas. “Apa aku salah, jika aku
mencintaimu?” ucapnya.
“Tidak. Kamu tidak salah. Tapi apakah kamu rela kehilangan sahabat-
sahabatmu?”
“Kenapa mesti kehilangan?”
“Sebab mereka kecewa denganmu. Sebab mereka merasa kamu khianati.
Sebab mereka….”
“Halah!! Hanya kesepakatan goblok. Kenapa mesti dipedulikan?!” Angga
gusar.
Lisa terdiam, begitu juga Angga. Dalam dua menit, tidak ada sepatah
katapun yang terucap dari bibir mereka. Hingga kemudian, Angga memulai lagi
percakapan. “Bukankah beberapa menit yang lalu, kamu yang bilang bahwa aku
harus jujur dengan suara hatiku?”
Mata Lisa berkaca-kaca. Rasanya dia ingin berteriak dan menangis. Dia
teringat akan dirinya, yang selama ini tidak pernah jujur terhadap isi hatinya, yang
selalu menekan perasaannya terhadap Aji.
“Lis?! Apakah cintaku tidak bertepuk sebelah tangan? Apakah gayungku
ini akan bersambut?”
Lisa menghela nafas panjang. Menatap Angga dengan teduh, serta
menyunggingkan senyum kepedulian. “Aku juga sayang sama kamu. Ta…”
Belum tuntas Lisa melanjutkan penjelasannya, Angga sudah meloncat
kegirangan. “Yahu…!! Yahu…!!!”
Seluruh perhatian pembeli baksos, tertuju ke Angga yang meloncat-loncat
seperti anak kecil.
“Jadi kamu menerima cintaku, Lis?” mata Angga berbinar.
“Haduh!” Lisa menundukkan muka, merasa malu menjadi perhatian
suluruh pembeli disitu. “Sssst! Duduk dulu! Dengar dulu!”
Angga kembali duduk. Mendengarkan dengan seksama penjelasan Lisa.
Toilet I’m in Love Page 78
Page 79
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Selama ini kita sudah bersahabat baik.” Lisa melanjutkan. “Jadi sayangku
padamu adalah sayang persahabatan. Atau semacam sayang seorang adik pada
kakaknya. Atau semacam sayang seorang saudara, pada saudaranya yang lain.”
Sontak wajah Angga berubah lesu. Dia tertunduk malu. “Lebih baik sakit
di awal. Namun setelah itu, segalanya menjadi jelas,” ucapnya.
“Bukan begitu. Kamu tidak usah sakit hati, atau kecewa. Aku juga sayang
kamu, tapi biarkanlah rasa itu terbingkai dalam persahabatan. Akan lebih baik jika
seperti itu. Mengertilah keadaan ini.”
Kembali mereka berdua terdiam. Menenangkan hati masing-masing.
Mencoba menerima keadaan sebagaimana adanya.
Hingga kemudian sebuah andong berhias- dengan ditarik kuda- melintas di
jalan, tidak jauh dari mereka.
“Kita naik andong, yuk!” ajak Lisa, mencoba mencairkan suasana.
Angga mengangguk lesu, menahan sisa kecewa dihatinya. “Teserah deh,”
ucapnya.
Setelah membayar bakso itu. Mereka beranjak menuju pangkalan andong
hias, yang tidak begitu jauh dari situ.
“Dua orang, bayar berapa, Pak” tanya Lisa.
“Sepuluh ribu, Mbak,” jawab kusir itu.
Angga hanya terdiam pasrah di sebelah Lisa. Mirip anak idiot, dia hanya
termangu-mangu tidak berkata-kata. Malam itu hatinya telah pecah berserakan.
Mirip gelas kopi yang dibanting ke lantai.
“Putar alun-alun berapa kali?” tanya Lisa.
“Tiga kali, Mbak,” jawab Kusir.
“Gimana, jadi naik?” tanya Lisa pada Angga.
“Terserah deh…,” jawab Angga. Dia benar-benar seperti robot gedek yang
rusak. Tidak ada kata lain yang bisa diucapkannya, selain ‘Terserah deh…’
Akhirnya mereka naik ke atas andong hias itu. Setelah itu Pak Kusir
menghentakkan tali kekang kuda. Andong itu melaju dengan tenang mengelilingi
alun-alun, di antara ramainya orang yang berlalu-lalang.
Lisa berusaha melupakan saja apa yang barusan terjadi. Dan mencoba
menikmati laju andong yang kendarainya. Namun lain halnya dengan Angga.
Toilet I’m in Love Page 79
Page 80
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Cowok berkacamata itu masih duduk termangu-mangu. Tubuhnya berada di situ,
tapi pikirannya seperti kosong, entah kemana.
Tiba-tiba saja Pak Kusir melambatkan laju andongnya.
“Kenapa, Pak?” tanya Lisa.
“Kudanya buang kotoran, Mbak,” jawab Kusir.
Kotoran berwarna hijau sebesar kepalan tangan, keluar beberapa kali dari
pantat kuda itu. Ada sebuah kantung penadah, yang terletak di bagian belakang,
tepat di bawah ekor kuda. Kantung itu berfungsi sebagai penadah kotoran. Namun
yang terjadi berikutnya adalah…
“Bokkk!!!” entah kenapa, mungkin kuda itu merasa gatal, hingga kaki
belakangnya menendang kantung penadah itu. Dan kotoran yang tertampung di
dalamnya terbang berhamburan ke belakang.
Kini tubuh ketiga orang yang berada di belakang itu berlumuran kotoran
kuda.
Lengkap sudah, bagi Angga ini adalah malam minggu yang sempurna.
Pertama: cintanya ditolak. Dan kedua: tubuhnya berlabur kotoran kuda.
# # #
Senin pagi, lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi. Murid-murid kelas
IIIA terlihat agak tegang. Terutama yang tugasnya belum selesai. Sebab jam
pelajaran pertama adalah Matematika.
Seperti biasa, dalam situasi seperti itu Dodik dan Lutfi selalu datang lebih
pagi, mencari contekan. Namun mereka kaget tatkala tiba di dalam kelas. Angga
yang biasanya selalu dapat mereka andalkan, pagi ini belum datang.
“Waduh, bagaimana ini?” gerutu Dodik.
“Iya, apa dia sakit? Biasanya selalu datang lebih pagi dari kita,” sahut
Lutfi.
“Haduh, kemana dia?”
Toilet I’m in Love Page 80
Page 81
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Tak mau mengambil resiko, Lutfi dan Dodik mencari alternatif contekan
yang lain. Ikut berkerumun bersama muird-murid lain, yang sedang mencontek
sebuah buku tugas, entah milik siapa.
Satu menit kemudian, Aji datang. Dia tampak santai. “Ha…, ada tugas
ya?” ucapnya.
“Iya!” sahut Lutfi tanpa menoleh.
Aji meletakkan tasnya dalam kolong meja, kemudian duduk tenang.
“Kamu mau baca puisi lagi, sambil ngangkat bangku?” tanya Lutfi
keheranan, melihat Aji yang santai tak peduli.
“Tugasmu sudah selesai, ya?” tanya Dodik.
“Hehehe…, beres,” jawab Aji.
“Sialan, kenapa tidak bilang dari tadi,” sahut Lutfi sembari menyerbu ke
bangku Aji, lalu menggeledah tasnya.
Empat menit kemudian bel masuk berbunyi. Namun Angga masih juga
belum datang. Benar-benar tidak biasanya dia seperti itu. Yang ada dalam pikiran
Aji, Lutfi, dan Dodik adalah Angga pasti sakit. Sebab jika tidak, atau ada
halangan lain, anak itu selalu datang labih cepat dari sahabatnya. Bukan hanya itu,
tugas apapun yang diberikan guru, selalu dia selesaika di rumah dengan baik.
Selang satu menit dari suara bel, Pak Bonar masuk ke dalam kelas.
Langkah guru bertampang penjahat sinetron itu tegap. Mirip parade kadet, dalam
upacara hari besar nasional.
Seperti biasa, saat penjahat sinetron itu masuk. Maka tidak ada satu suara
pun yang terdengar. Murid-murid melipat tangan dengan rapi di atas bangku. Rasa
gatal ditahan, batuk ditahan, bahkan kentutpun juga ditahan.
“Apa ada PR anak-anak?” tanya Pak Bonar dengan suara bariton, berat
dan serak.
Murid-murid masih terdiam, kaku seperti patung lilin.
“Aha…! Aku tahu kebiasaan kau. Kalau kau diam, berarti ada PR,” lanjut
Pak Bonar. “Nah, sekarang kau kumpulkan PR itu. Aku mau periksa.”
Seperti kopral yang mendapat komando dari kaptennya, tanpa banyak cin
cong, mereka langsung mengumpulkan buku tugas ke meja guru.
Toilet I’m in Love Page 81
Page 82
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Pak Bonar memeriksa buku tugas itu satu persatu. Mencocokkan nama
yang tertera pada buku itu dengan absensi. Dengan begitu dia tahu, siapa yang
belum mengumpulkan tugas. Sementara itu, Dodik dan Lutfi berdebar-debar di
bangku belakang. Mereka tidak henti-hentinya berdoa, agar kali ini kesialan
mereka tidak terulang.
“Kau yang punya nama Angga, belum mengumpulkan tugas,” ucap Pak
Bonar, setelah lima menit memeriksa buku-buku itu.
“Angga tidak masuk, Pak,” jawab beberapa murid.
“O…, jadi anak itu tak masuk.”
“Iya, Pak.”
“Baiklah. Kalau begitu, secara acak kau akan kupanggil maju kedepan.
Mengerjakan tugas ini di papan tulis, tanpa melihat buku kalian,” ucap Pak Bonar
sembari melihat daftar nama dalam absensi.
Di bangku belakang, jantung Dodik dan Lutfi berdentang bak bel katedral.
Kaki dan tangan mereka dingin berkeringat. Mulut mereka komat-kamit berdoa,
semoga nama mereka tidak dipanggil untuk maju kedepan. Sebab itu berarti
bencana.
“Aku panggil kedepan, kau yang punya Do…”
“Tok! Tok! Tok! Selamat pagi, Pak,” belum selesai Pak Bonar berbicara,
tiba-tiba Angga muncul di depan gawang pintu.
Sejenak Pak Bonar tersentak. Ditatapnya Angga. Rambutnya agak kusut.
Matanya merah, mungkin kurang tidur. Kini perhatian seluruh kelas tertuju
kepadanya.
“Pagi. Kenapa kau terlambat,” tanya Pak Bonar.
“Maaf, Pak. Saya terlambat,” jawab Angga lirih.
“Apa pula kau ini? Iya aku tahu, kau terlambat. Tapi kenapa kau
terlambat? Dari mana saja kau?”
“Dari rumah, Pak.”
“Ah…, kau ini. Payah! Kemana otak kau itu. Pastilah dari rumah, masa
dari kandang sapi?!!” bentak Pak Bonar.
Angga hanya diam. Semenjak malam Minggu kemarin, otaknya agak
kacau. Segala kalimat yang diucapkannya terasa tidak nyambung.
Toilet I’m in Love Page 82
Page 83
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Maaf, Pak.”
“Ah, sudahlah. Sekarang mana tugas kau?”
“Tugas?” Angga melongo.
“Iya, tugas kau mana?!”
“Belum selesai, Pak,” Angga menunduk.
“Apa?!” bentak Pak Bonar. Matanya mendelik seperti topeng Bali. “Kau
ini mau mempermainkan aku, ya? Sudah datang terlambat, tugas tak kau kerjakan
pula!!”
Di bangku belakang, Aji, Lutfi, dan Dodik, melihat kejadian itu dengan
terheran-heran. Mereka bingung dengan kelakuan sahabatnya itu. Namun mereka
tidak bisa berbuat apa-apa, selain terdiam menunggu apa yang selanjutnya terjadi.
“Baiklah,” lanjut Pak Bonar, “Sekarang kau tahu, apa yang harus kau
lakukan.”
Tanpa bertanya lagi, Angga beranjak ke tempat duduknya. Dia
mengangkat kursi itu di atas kepala. Lalu membawanya keluar kelas.
Pak Bonar mendekati cowok linglung itu. Memberikan secarik kertas,
yang sudah dia tulisi beberapa bait puisi. “Ini, kau baca puisi ini keras-keras,”
ucapnya
“Apa saya boleh membaca karya sendiri, Pak?” tanya Angga lirih.
“Aha.., rupanya kau suka buat puisi pula. Boleh, kau baca puisi karangan
kau itu keras-keras.”
Angga melaksakan hukuman itu. Diangkatnya kursi itu di atas kepala,
sembari berdiri di luar, di depan pintu kelas. Kemudian diucapkannya puisi
karyanya itu dengan lantang:
Kusemaikan melati di jantungku.Kurabukkan cintaHingga wanginya sempurna.
Kupersembahkan kelopak putih ini untukmu.Meski kau tak mau tahu.
Kurangkaikan karangan bunga ini.Meski kau tak peduli.
Meski wangi yang pernah ditebar,tak pernah mengambil bagian dalam jiwamu.
Toilet I’m in Love Page 83
Page 84
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Hebat. Siapa yang menduga, jika Angga yang lebih menyukai pelajaran
eksakta dari pada Bahasa Indonesia itu, dapat membuat puisi sebagus itu.
Angga mengucap puisi itu dengan lantang. Urat saraf malunya seolah
sudah hilang. Bahkan Pak Bonar, yang selama sepuluh tahun mengajar belum
pernah tersenyum di depan siswanya, kali ini tertawa terkekeh-kekeh. Melihat Pak
Bonar tertawa, seluruh murid yang sedari tadi menahan tawa, jadi ikut
meledakkan tawanya. Kelas jadi riuh. Semuanya terpingkal-pingkal, melongok
melalui jendela, melihat fragmen goblok yang sedang berlangsung di luar.
Kegaduhan pagi itu juga terdengar sampai kelas lain, terutama dari kelas
IIIE. Tata letak bangunan kelas tiga berbentuk huruf U. Jadi kelas IIIA, tepat
berhadapan dengan kelas IIIE. Hanya di batasi dengan taman bunga di
halamannya.
Sementara itu dari dalam kelas IIIE- yang kebetulan jam pelajarannya
kosong- beberapa murid melongok ke jendela, menyaksikan kejadian itu. Begitu
juga Mawar, Dina, dan Lisa. Jika Mawar dan Dina hanya terheran-heran dan
tertawa terbahak-bahak. Lain halnya dengan Lisa. Cewek itu terdiam. Hatinya
terenyuh, tergetar mendengar puisi yang diucapkan Angga dengan lantang. Tak
terasa, tetes-tetes air jatuh dari sudut matanya.
“Lis, kamu kenapa?! Kok nangis?” tanya Dina kebingungan.
“Oh…, eh…, gak. Gak kenapa-kenapa kok,” Lisa mengusap air matanya
cepat-cepat.
Cinta memang lucu. Saat dia meremukkan hati seseorang, maka sisi lain
dari pribadinya bisa muncul kepermukaan. Yang waras bisa jadi gila. Yang gila
bisa jadi tobat, dan sebagainya.
# # #
Bel pulang sekolah berbunyi. Saat itu tambahan les diliburkan. Seluruh siswa
kelas satu, dua, dan tiga berhambur keluar. Sebagaian menuju ke tempat parkir,
mengambil sepeda motor masing-masing, sebagaian lagi langsung menuju
gerbang, yang baru saja dibukakan satpam Pak Raden.
Toilet I’m in Love Page 84
Page 85
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Bagi kebanyakan murid sekolah di seluruh dunia, bel pulang sekolah
adalah bel kebebasan. Merdeka dari kungkungan tata tertib, merdeka dari
pelajaran yang dijejalkan. Namun saat itu berbeda dengan Angga. Cowok yang
habis dihajar cinta itu berjalan lunglai ke luar kelas. Dia tidak bersemangat untuk
pulang sekolah, bahkan untuk melakukan apapun.
“Ga!” panggil Aji dari belakang, yang sedang berjalan bersamaan dengan
Dodik dan Lutfi.
Angga tidak menoleh. Dia masih terus berjalan gontai.
Aji mengejar, begitu juga dengan Lutfi dan Dodik.
“Kamu ini kenapa, Ga?” tanya Lutfi, sembari menghadang di depannya.
“Tidak apa-apa,” jawab Angga pelan, sembari menyunggingkan senyum
kecut, dan terus berlalu.
“Kamu kesurupan di mana, Ga?” tanya Dodik sekenanya.
“Di warung bakso.”
“Ha…! Warung bakso mana yang ada setannya?” Dodik melongo.
“Alun-alun,” jawab Angga singkat. Dia terus berjalan dengan disertai
sahabatnya di sampingnya.
“Plokkk!” Aji menampar pelan pipi Angga. “Yang serius! Kamu ini
kenapa?”
“Plokkk!” Lutfi juga ikut menampar pelan pipi Angga. “Kalau ada
masalah, kamu harus berbagi dengan sahabatmu,” ucapnya penuh perhatian.
“Plokkk!” kini giliran Dodik yang menampar pipi Angga. “Kamu kena…”
“Sudah!!! Sudah!!!” bentak Angga. Kali ini dia benar-benar marah.
Mukanya sontak memerah. “Pergi kalian semua. Sejak kapan kalian menjadi
pacarku. Aku juga tidak pernah poligami dengan kalian. Jadi kalian tidak perlu
mempedulikan aku. Bisakah kalian membiarkan aku sendirian? Sehari saja?!!”
Rentetan makian itu membuat Aji, Lutfi, dan Dodik terdiam. Mata mereka
melotot saling pandang. Tidak biasanya Angga seperti itu. Sekian lama mereka
mengenalnya, belum pernah Angga semurka itu. Sekian lama mereka bersahabat,
belum pernah Angga menanggapi guyonan sahabatnya dengan amarah seperti itu.
Aji menghela nafas panjang. Merasa iba dengan sahabatnya. Namun kali
ini sepertinya tidak ada yang bisa dilakukan. “Baiklah…. Maafkan kita. Jika
Toilet I’m in Love Page 85
Page 86
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
selama ini ada salah kata, salah perbuatan, salah menaruh celana dalam, salah
menaruh kutang, dan sebagainya. Mungkin saat ini, lebih baik kamu sendiri,”
ucapnya sembari menepuk punggung Angga, lalu pergi.
“Kita akan tetap bersahabat. Meskipun taruhannya kita tetap menjadi laki-
laki sejati, tidak menjadi homo. Dan itu artinya, kita tidak bisa menikah,” sahut
Lutfi sembari menepuk punggung Angga, kemudian berlalu.
“Kalau begitu…” Dodik mendekati Angga, “aku tidak akan beli bakso di
alun-alun. Biarlah badanku sedikit kurus, yang penting aku tidak kesurupan.”
Letak SMA 2 agak jauh dari jalan raya. Jadi kini Angga sendiri, menyusuri
jalan kecil menuju ke jalan raya, untuk menumpang angkutan umum. Sahabat-
sahabatnya sudah berlalu. Mereka pulang terlebih dahulu. Cowok berkacamata itu
masih gontai. Terik Matahari siang yang membakar kulit tidak dipedulikannya.
“Becak, Mas,” ucap seorang abang becak yang mengikutinya.
Angga hanya menggeleng tanpa berkata apa-apa.
“Tiga Ribu sampai depan, Mas,” abang becak itu menawarkan harga.
Lagi, Angga menggeleng acuh.
“Dua Ribu saja, Mas,” abang becak itu menurunkan harga.
Angga hanya diam.
“Sudah deh, Seribu Lima Ratus saja, Mas. Saya sudah banting harga ini,”
abang becak itu belum juga mau menyerah.
“Hoi, Bang! Jangankan Seribu Lima Ratus, gratis pun saya tidak akan
naik. Jangankan kamu banting harga, kamu banting bacak sekalipun, aku tidak
peduli,” ucap Angga memaki-maki.
“Gendeng!!!” abang becak itu balas memaki, lalu mengayuh becaknya
pergi.
Kini kembali Angga berjalan sendiri di bawah terik Matahari. Debu-debu
yang diterpa angin mengambang di udara. Tiba-tiba saja…
“Angga…!!” dari kejauhan terdengar suara cewek memanggil.
Angga menoleh kebelakang, ternyata suara Lisa. Cewek tomboy itu
berlari-lari kecil menghampirinya.
Angga menghentikan langkahnya, menanti Lisa.
Toilet I’m in Love Page 86
Page 87
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Tumben gak bawa motor, Lis?” tanya Angga, setelah cewek itu tiba di
hadapannya.
“Enggak, lagi pingin naik angkot,” jawab Lisa ngos-ngosan.
Mereka kembali berjalan santai, sembari melanjutkan perbincangan.
Untuk beberapa menit tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka.
Angga berjalan sembari menundukkan kepala, sesekali menendang batu-batu kecil
yang terserak di pinggir jalan. Begitu juga Lisa, gadis itu sedikit enggan memulai
percakapan. Dalam hati dia merasa bersalah, atas perubahan yang terjadi dalam
diri sahabatnya itu.
“Kita cari es buah, yuk!” ajak Lisa, mencoba membangun percakapan.
“Terserah kamu saja deh,” jawab Angga tidak bersemangat.
Akhirnya mereka masuk ke warung es buah, yang berada di pinggir jalan.
Dinginnya es buah, memberikan kesegaran di tengah siang yang terik itu.
“Kenapa kamu berubah?” Lisa memulai percakapan.
“Cut! Cut! Cut!” teriak Angga. Menirukan adegan iklan rokok.
Lisa tersenyum sejenak, lalu kembali serius.
“Enggak, Lis. Gak ada yang berubah.”
“Sekian lama aku kenal denganmu, belum pernah aku melihatmu menulis,
apalagi membaca puisi. Tapi tadi pagi…, di luar kelas, waktu jam pelajaran Pak
Bonar…”
“Ah, itu kan karena aku dihukum saja. Lagi pula, itu puisi karya Pak
Bonar kok.”
“Jangan bohong lagi, Ga. Kalau kamu tidak jujur, masalah ini tidak akan
pernah selesai. Aku tahu puisi itu buatan kamu. Aku juga tahu puisi itu sengaja
kamu tulis untukku. Malahan aku berpikir, kamu sengaja telat dan tidak
mengerjakan PR, agar memperoleh kesempatan membaca puisi itu.”
“Ah, enggak. Siapa yang bilang begitu? Aku memang lagi malas
mengerjakan PR. Aku juga lagi pingin membuat puisi, sekalian pingin
membacanya. Puisi itu juga bukan...”
“Sudah! Sudah! Kamu jangan buat aku sedih lagi,” sahut Lisa. Tiba-tiba
saja gadis itu menangis. Air mata berguguran membasahi pipinya.
Angga terdiam. Dia menundukkan kepala.
Toilet I’m in Love Page 87
Page 88
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Kamu sayang sama aku, Ga? tanya Lisa sesenggukan.
Angga mengangguk pelan tanpa bersuara.
“Aku juga sayang sama kamu,” jawab Lisa. “Jika kamu sayang sama aku,
berarti kamu tidak ingin kalau aku sedih, kan?”
“Iya,” jawab Angga lirih.
“Maukah kamu berjanji kepadaku?”
“Berjanji apa?”
“Kamu tetap seperti yang dulu. Jika kamu melanggar janjimu, itu berati
kamu membuatku sedih.”
“Berarti aku tidak boleh membuat atau membaca puisi?”
“Bukan begitu. Maksudku kamu harus tetap rajin seperti dulu.”
“Emm…, baiklah. Aku janji.”
“Dan yang terakhir.”
“Apa lagi?”
“Membiarkan rasa sayang itu tetap seperti ini, tanpa harus pacaran.”
Angga menghela nafas panjang, lalu mengangguk pelan. “Baiklah.”
Lisa bangkit dari tempat duduknya, lalu mengecup kening Angga.
Begitulah, adegan kampungan dalam warung pinggir jalan itu pun
berakhir.
Toilet I’m in Love Page 88
Page 89
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
5
Spora Cinta
Sebulan telah berlalu semenjak Angga menjadi linglung, akibat uluran
cintanya ditampik Lisa dengan gaya diplomasi model telenovela. Kini segalanya
kembali normal. Cowok itu sudah dapat menerima kenyataan sebagaimana
adanya. Menganggap Lisa tetap sebagai sahabat baiknya, tanpa tendensi apapun.
Dia juga rajin seperti sediakala: mengerjakan semua tugas sekolahnya dengan
baik, dan datang ke sekolah lebih awal dari sahabatnya.
Begitu juga dengan Lisa. Gadis itu lebih memilih melupakan perasaannya
terhadap Aji. Dia berpikir segalanya akan lebih baik jika tetap seperti itu. Mereka
akan tetap menjadi sahabat yang kompak, dan saling peduli satu sama lain. Istilah
‘pacar’ hanya akan membatasi kebebasan mereka. Status ‘pacar’ akan
Toilet I’m in Love Page 89
Page 90
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
menimbulkan sekat, batas yang tak kasat mata di antara sahabat-sahabatnya. Dan
yang lebih bahaya lagi akan menimbulkan kecemburuan. Bayangkan jika
seandainya dia pacaran dengan Aji. Betapa hancurnya perasaan Angga, yang
selama ini ternyata memendam cinta terhadapnya. Maka bisa dipastikan, perang
dingin antara sahabatnya itu tidak dapat dihindari. Maka satu-satunya pilihan
bijaksana adalah membiarkan segalanya tetap seperti sediakala.
Sore itu, Angga, Aji, Dodik, Lutfi, Lisa, dan Dina berkumpul di rental
studio musik. Mereka sepakat, bahwa saat itu adalah terakhir bagi mereka untuk
ngeband bersama. Sebab Ujian nasional tinggal dua bulan lagi. Jadi setelah itu
mereka akan memusatkan perhatian untuk belajar.
I didn't hear you leaveI wonder how am I still hereAnd I don't want to move a thing
Sebuah lagu Dido- Here With Me, mengalun dari mulut Lisa. Cewek
tomboy itu punya suara lumayan, meskipun tidak pernah menang dalam festival
musik.
“Stop! Stop!” ucap Dodik sembari menghentikan permainan drumnya.
“Ada apa sih, Dod?” tanya Lisa jengkel.
“Sori… Din, roti yang tadi kamu bawa masih ada, gak?” Dodik nyengir.
“Haduh, makan saja diurusi,” gerutu Angga.
“Dari pada main drumnya tidak bertenaga karena perut lapar?!” Dodik
membela diri.
“Ini,” Dina menglurkan roti dari tasnya.
Beberapa detik kemudian, mereka melanjutkan lagu itu.
Lisa terlihat sangat menghayati lagu itu. Sesekali dia mengembangkan
tangan, atau menempelkannya di dada. Seolah-olah beraksi di atas panggung
dengan disaksikan puluhan ribu manusia.
“Stop! Stop!” teriak Lutfi sembari menghentikan permainan key board-
nya.
“Haduh…! Haduh…! Ada apa lagi sih?” gerutu Lisa. Lagi-lagi aksinya itu
terhenti.
“Sori…, sori…,” ujar Lutfi cengingisan. “Din, minta air minumnya.”
Toilet I’m in Love Page 90
Page 91
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Kamu ini kok ikut-ikutan Dodik?” protes Lisa.
“Dari pada main key board-nya gak konsentrasi, karena haus?!”
Dina membuka tas rangselnya, mencarai-cari botol minuman yang tadi
sepertinya sempat di bawanya.
“Waduh!” gerutu Dina. Dia terus membongkar isi tasnya.
“Ada apa, Din?” tanya Lutfi.
“Lupa, aku gak bawa minum.”
“Ambil saja di tasku, Lut,” sahut Aji.
Lutfi beranjak mengambil tas Aji yang tergeletak di sudut ruangan. Dia
membukanya, mengambil botol minuman yang ada di dalamnya.
Puas dengan minumnya, dia mengembalikan botol itu ke dalam tas.
Namun tiba-tiba saja matanya terbelalak, dikejutkan oleh sesuatau yang ada dalam
tas Aji. Dalam beberapa detik dia hanya bengong.
“Ada apa, Lut?” Aji kebingungan.
Melihat gelagat itu, maka Angga, Dodik, Lisa dan Dina, ikut keheranan.
Kini perhatian mereka tertuju ke Lutfi.
“Ada apa sih, Lut?” tanya Lisa jengkel.
“Daah…dah… dahsyat,” Lutfi tergagap.
“Apanya yang dahsyat?” Angga penasaran.
“Bukunya.”
“Halah, melihat buku saja seperti melihat hantu. Kamu itu berlebihan,”
sahut Dina.
Dengan gaya yang dibuat-dibuat, seperti adegan dalam film silat, Lutfi
mengeluarkan buku itu dari dalam tas Aji.
“Kahlil Gibran,” ucap Lutfi sembari memegang buku itu dengan tangan
bergetar, bak memegang pusaka sakti.
Sontak saja, Angga, Dodik, Lisa dan Dina, menjadi bengong. Mata mereka
mendelik, lalu serempak menghampiri Lutfi, meyakinkan apa yang sedang
dilihatnya. Ternyata benar itu adalah buku Khalil Gibran- Balada Sang Kekasih.
“Aji membawa buku Khalil Gibran dalam tasnya?!” ujar Angga. Seolah
tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Toilet I’m in Love Page 91
Page 92
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Wajar jika mereka bengong dan kaget seperti melihat setan. Sebab setelah
sekian lama mereka bersahabat dengan Aji, belum pernah sekalipun cowok itu
menyentuh, membicarakan, apalagi membawa bahkan membaca buku sastra.
Kejadian itu sangat tidak masuk akal. Sama saja dengan melihat kambing
membaca puisi.
Dodik mendekati Aji yang sedang salah tingkah. Dia menempelkan
punggung telapak tangannya ke kening Aji. Sekian detik kemudian, dia
menempelkan punggung telapak tangan itu ke pantatnya. “Kepala kamu tidak
panas, Ji. Berarti kamu tidak kesurupan kan?” tanyanya.
“Halah…!” Aji menepis tangan Dodik, yang hendak ditempelkan di
keningnya lagi.
Sementara itu- pada sudut ruangan studio- dengan dikelilingi Dina, Lisa,
dan Angga- Lutfi membuka buku itu dan membacanya dengan lantang.
Kakasihku, berkunjunglah padaku. Mari kita terbang
membubung ke puncak-puncak bukit, karena salju telah mengalir dan
hidup telah terbangun dari lelapnya dan kini telah mengembara di
antara bukit dan lembah, menyusuri jejak tak berujung yang
ditinggalakan musim semi dan menghitung puncak-puncak bukit untuk
menulis puisi di atas lembah hijau yang dingin…..
“Brakk!!!” Aji melempar gitar yang dipegangnya, lalu bergegas ke arah
Lutfi, merebut buku yang sedang dibacanya.
“Wusss!!!” Lutfi melempar buku yang dibawanya ke arah Dodik, yang
berada pada sisi yang lain.
Setelah berhasil menangkapnya, Dodik membuka buku itu, lalu
membacanya lagi dengan lantang.
Kekasihku, marilah kita mengembara ke padang-padang, karena
musim petik telah tiba…
Kini Aji mengejar Dodik, mencoba merebut buku yang dibacanya. Namun
tiba-tiba saja…
Toilet I’m in Love Page 92
Page 93
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Gelodakk!!!” tanpa sengaja, kakinya tersandung gitar yang tadi dia
hempaskan begitu saja di lantai. Dan yang terjadi berikutnya adalah tubuh Aji
jatuh menimpa drum, ditambah lagi dengan dua gagang mikrofon jatuh menimpa
tubuhnya.
Tawa sahabat-sahabatnya meledak berderai.
Sementara itu Dodik, masih saja dengan lantang membaca buku itu.
Marilah kita kemas buah-buah bumi, sebagaimana jiwa yang
membentengi kuncup-kuncup kebahagiaan dari bibit-bibit cinta yang
melukai dada kita…
# # #
Minggu sore, Aji memacu motornya dengan kecepatan sedang.
“Yuhuii…!” Mawar yang berada di boncengan belakang berteriak
kegirangan. Seumur-umur baru kali ini dia naik motor. Maklum anak orang kaya,
kemana-mana naik mobil mewah.
“Kemana, nih?” tanya Aji.
“Puter-puter saja, sampai bensin habis,” jawab Mawar bercanda.
“Hehehe…, oke sajalah.”
Motor itu terus melaju menyusuri jalan kota. Minggu sore jalanan tidak
begitu ramai. Hanya beberapa mobil melaju cepat di tengah jalan. Matahari telah
bergeser jauh ke barat. Sore itu tidak begitu terik.
Bagi Aji, hal itu sungguh di luar dugaannya. Siang tadi- dua jam yang
lalu- dia masih duduk-duduk di beranda rumah Mawar, menikmati segelas jus
tomat dan kacang kulit. Namun tiba-tiba saja Mawar minta diajari naik motor.
“Ah, jangan bercanda,” jawab Aji waktu itu.
“Lho, beneran. Aku tidak bercanda,” Mawar meyakinkan.
“Mau jadi tukang ojek?”
“Memang apa salahnya kalau aku jadi tukang ojek?”
Toilet I’m in Love Page 93
Page 94
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Wah, jangan. Bahaya. Pangkalan ojek bisa geger, sebab seluruh
penumpang pasti ingin naik motormu. Apalagi penumpang pria. Kasihan bapak-
bapak tukang ojek yang lain. Mereka kalah cantik sama kamu.”
“Beneran, aku pingin bisa naik motor. Ajari aku, ya?!” rengek Mawar
manja.
Sontak jantung Aji berdebum, seperti digocoh gempa 9,9 Skala Richter.
Sama sekali diluar dugaannya, jika Mawar sampai merengek manja seperti itu.
Wajah Indo-nya terlihat sangat cantik. Mata birunya terlihat sangat mempesona.
Dada pria mana yang tidak bergemuruh, jika melihat pemandangan seperti itu.
Nafas laki-laki mana yang tidak sesak, jika menerima permintaan manja dari
wajah seperti itu.
Wajar jika Aji jadi blingsatan dan salah tingkah. Dia menenggak habis jus
tomat yang dihidangkan di depannya. Mencoba menenangkan diri, mengatur
nafas, dan meredam irama detak jantungnya yang tidak teratur.
“Boleh?” tanya Mawar penuh harap.
Aji tidak menjawab. Dia diam memutar otak. Bukannya tidak mau
mengajari. Dia hanya tidak mau mengambil resiko, jika sampai Mawar terjatuh
dan nyungsep di atas aspal.
“Emm…, begini saja. Kita jalan-jalan saja, naik motor!” Aji mencoba
mengalihkan perhatian.
“Males, ah...! Orang pingin belajar, malah diajak jalan-jalan,” Mawar
ngambek.
“Maksudku, sebelum belajar naik motor, seseorang terlebih dahulu harus
merasakan bagaimana dibonceng naik motor,” jawab Aji asal-asalan, mencoba
membujuk.
“Gak nyambung,” Mawar menyunggingkan senyum. “Ya sudahlah, kita
jalan-jalan saja.”
Begitulah awalnya. Maka pada minggu sore itu mereka jalan-jalan
menyusuri kota, dengan Aji yang memegang kendali motor dan Mawar berada di
boncengan belakang.
Sampai di perempatan jalan, lampu merah menyala. Aji menghentikan
motornya, menunggu beberapa saat.
Toilet I’m in Love Page 94
Page 95
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Aku ada ide bagus,” ujar Mawar.
“Apa?”
“Kita lihat pemandangan yang segar di mata, yuk!”
“Pemandangan segar apa? Orang jual es di alun-alun?”
Mawar mencubit perut Aji.
“Auw!!!” teriak Aji kesakitan.
“Maksudku, kita lihat sawah-sawah yang menghampar hijau di pedesaan,”
ucap Mawar.
“Oke, ide bagus.”
Lampu hijau menyala. Aji memutar pedal gas, motor itu melaju, menikung
di pertigaan berikutnya, menuju ke arah jalan pedesaan.
Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di kawasan pedesaan.
Hamparan sawah menghijau bak permadani. Beberapa petak sudah menguning,
siap dipanen. Serombongan burung manyar terbang rendah dipermukaan padi.
Burung-burung itu hendak hinggap mencuri bulir padi, tapi tiba-tiba saja terbang
ketakutan. Sebab seorang petani memukul kentongan sambil berteriak-teriak
mengusir mereka pergi.
Aji memelankan motornya. Mereka menikmati pemandangan, hamparan
sawah yang menghijau di kanan-kiri jalan, sembari menghirup udara senja yang
segar dan bebas polusi.
Jalan beraspal selebar 2,5 meter itu sepi. Hanya sesekali penduduk yang
melintas berjalan, atau mengendarai sepeda ontel.
“Itu! Berhenti di situ, Ji!” ucap Mawar spontan, sambil menunjuk sebuah
batu besar. Batu itu sebesar kerbau, terletak di pinggir sawah, tidak jauh dari jalan.
Aji menghentikan motornya, memarkirnya di pinggir jalan. Setelah itu
mereka beranjak ke batu besar itu, menaikinya, lalu duduk di atasnya. Di sebelah
batu itu mengalir sungai kecil, dengan air yang sangat bening.
Dari atas batu itu Mawar menyapukan pandangannya jauh kedepan, ke
seluruh penjuru sawah, yang membentang hingga kejauhan. Gadis jelita itu
menghirup nafas panjang, menikmati udara segar pedesaan. Rambutnya yang
hitam tergerai, bergoyang disapu angin.
Toilet I’m in Love Page 95
Page 96
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Aji yang duduk di samping Mawar, memandangi gadis itu dengan
keheranan. “Belum pernah lihat sawah, ya?”
Mawar menyunggingkan senyum. “Beberapa tahun terakhir ini memang
jarang.”
“Memang dulu kamu sering ke sawah? Ngapain, nyari katak?!” ledek Aji.
“Auwww!!!” teriak Aji. Mawar mencubit perutnya.
“Dulu waktu masih SMP,” Mawar melanjutkan, “saat masih tinggal di
Bandung, Papa sering mengajakku ke Lembang. Di sana banyak perkebunan teh.
Paling tidak sebulan dua kali. Biasanya pada hari minggu kami sekeluarga
menghabiskan liburan berjalan-jalan menyusuri perkebunan itu.”
“Wah, kok gak cerita dari dulu?”
“Memangnya kamu wartawan gosip?” ledek Mawar.
“Hehehe…, wartawan flora dan fauna.”
“Auwww!!!” teriak Aji kesakitan, Mawar mencubit perutnya lagi.
“Kamu sih gak nanya,” ucap Mawar.
Begitulah, Mawar menceritakan semuanya pada Aji: tentang dirinya dan
keluarganya. Bahwa Papanya adalah orang Belanda. Seorang tenaga ahli dalam
bidang pertambangan, yang sengaja dikontrak dan didatangkan dari negerinya.
Industri pertambangan yang mengontrak ayahnya itu berkantor pusat di Bandung.
Disitu Papanya bekerja sebagai konsultan. Dan di Bandung Papanya berjumpa
dengan Mamanya, dan kemudian menikahinya. Namun tepat setelah Mawar lulus
SMP, kantor pertambangan tempat Papanya bekerja, membuka cabang di Jawa
Timur. Dan Papanya dipindah tugaskan ke kantor baru tersebut. Maka seluruh
keluarganya juga ikut pindah.
“Khalil Gibran-nya bagus?” tanya Mawar. Beberapa hari yang lalu dia
meminjamkan bukunya itu pada Aji.
“Bagus, bagus sekali. Hanya saja sulit untuk dipahami.”
Hari makin beranjak sore. Matahari merendah di ufuk barat. Hamparan
padi yang tadi menghijau, kini berubah menjadi berkilau jingga keemasan. Dari
kejauhan terlihat beberapa petani naik dari sawahnya ke pematang. Mereka
membersihkan kaki yang penuh lumpur dalam anak sungai yang mengalir di sela
pematang.
Toilet I’m in Love Page 96
Page 97
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Mawar memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, seolah ingin
memasukan seluruh hembusan angin senja itu ke dalam paru-parunya.
“Ji!” ucap Mawar tanpa menoleh.
“Yup!” jawab Aji tanpa menoleh pula. Tatapannya masih menerawang
jauh ke hamparan sawah yang berwarna jingga keemasan.
“Aku mau berteriak sepuas-puasnya. Biar perasaanku plong. Biar hatiku
lega.”
Sontak Aji menoleh. Dia kebingungan, ditatapnya gadis yang ada di
sampingnya itu. Namun Mawar bergeming, tatapannya masih lurus ke depan, ke
arah hamparan sawah yang luas. “Lho, memang apa hubungannya? Berteriak bisa
meringankan perasaan, ya? Teriak-teriak juga bisa menghilangkan beban dalam
hati, ya?” tanyanya.
Mawar menoleh, lalu menyunggingkan senyum. “Aku pernah membaca
buku yang isinya semacam itu. Jika kita berteriak lepas, maka seluruh energi
negatif yang mengendap di tubuh kita akan terlepas. Dengan begitu perasaan kita
akan menjadi ringan.”
“Ow…, begitu.”
“Sekarang aku coba, ya?!” Mawar menarik nafas dalam-dalam, bersiap
untuk berteriak.
“Eiit! Jangan! Bahaya!” larang Aji, sambil menarik pergelangan tangan
Mawar.
Mawar menghembuskan nafasnya kembali, membatalkan rencananya.
“Memang kenapa?”
“Nanti dikira orang aku mau berbuat yang tidak-tidak sama kamu. Bisa-
bisa orang kampung datang kemari sambil bawa pentungan. Wah, bisa jadi ‘tempe
penyet’ tubuhku.”
Mawar tersenyum. “Sedikit saja ya, Ji. Gak keras kok,” rengeknya manja.
Siapa yang mampu menolak rengekan manja dari bidadari secantik itu.
Dalam suasana senja yang romantis pula.
“Em…, baiklah. Tapi jangan keras-keras, ya!” Aji memberi syarat.
“Oke. Jangan khawatir.”
Toilet I’m in Love Page 97
Page 98
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Mawar bersiap. Dia menarik nafas dalam-dalam. Memenuhi paru-parunya
dengan udara. Dan…
“Oooo…! Ooo…!! Ooo…!!!!!!!!” Mawar berteriak seperti Tarzan. Pada
awalnya teriakan itu hanya dengan suara sedang. Namun makin lama, teriakan itu
makin mengeras, dan tidak terkontrol.
Aji gelagapan. Tidak mau mengambil resiko babak belur di pukuli orang
kampung, dengan gerakan cepat dia membungkam mulut Mawar.
“Huuppp!!” sontak teriakan Mawar terhenti. Tangan Aji membungkam
mulutnya. Namun yang terjadi berikutnya adalah…
“Bukk!!!” tanpa sengaja, dengan gerakan reflek, tangan kanan Mawar
menyikut dada Aji. Cowok itu terpelanting ke samping. Dan dengan gerakan
reflek pula, tangan Aji meraih tangan Mawar. Dan…
“Gedebukk!!! Byorrr!!!” tubuh mereka jatuh dari atas batu itu, tepat
mendarat terlentang di atas anak sungai yang mengalir di bawahnya.
“Aji…!!!” teriak Mawar sembari mencubit pipi Aji.
Fragmen bodoh mirip film India itu berakhir dengan kocak. Dinaungi
langit senja, lengkap dengan semilir angin, kini tubuh mereka basah kuyub, kotor
berlabur lumpur.
# # #
Senja baru saja beranjak. Perlahan gelap merayap. Di teras rumah, kini Mawar
duduk sendiri. Anggrek bulan dari berbagai jenis, yang mekar berderet, baginya
terlihat begitu lain malam itu. Sinar lampu teras yang terhambur di kelopak-
kelopaknya, menambah indah warna-warninya.
Ah, atau jangan-jangan memang hatinya saja yang saat itu sedang
berwarna-warni. Tidakkah bunga-bunga anggrek itu sudah dua tahun berada di
teras itu, dan sudah berkali-kali berbunga. Tidakkah lampu teras itu juga sudah
sekian lama bertengger di sana, dan masih lampu itu-itu juga. Jika saat ini kelopak
anggrek yang tersinari lampu teras itu menjadi demikian indah, jauh lebih indah
dari waktu-waktu yang lalu, itu karena hatinya saja yang sedang berbinar indah.
Toilet I’m in Love Page 98
Page 99
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Ada getaran aneh yang merambat lalu merengkuh sukmanya. Getaran itu
menciptakan lensa yang tidak kasat mata. Sehingga apapun yang ditatapnya
menjadi lebih mempesona. Jangankan kelopak-kelopak anggrek bulan, batang
kayu kering pun akan berubah menjadi ukiran indah. Getaran itu tidak disadarinya
merambat memenuhi hatinya, semenjak kenal lebih dekat dengan Aji. Sesuatu
yang tidak pernah dirasakannya saat dia pacaran dengan Bobi.
Tiba-tiba saja sebuah kembang anggrek yang layu jatuh dari tandannya.
Mawar menghela nafas pelan. Biarlah yang layu akan gugur ke tanah, dan
kelopak-kelopak baru akan menggantikannya, gumamnya dalam hati.
“Lagi ngelamun apa, Sayang?” sapa Mama-nya yang tiba-tiba muncul dari
dalam rumah.
“Ah, Mama. Enggak ngelamun apa-apa. Lagi pingin lihat bunga-bunga
saja,” Mawar blingsatan, tidak menyadari kehadiran Mamanya.
“Ayo makan bareng, itu ditunggu Papa di dalam.”
“Mama duluan saja deh, Mawar belum lapar.”
“Beneran, belum lapar?”
“Iya.”
“Ya sudah,” Setelah mengelus kepala puterinya, Mama kembali masuk ke
dalam rumah.
Bintang-bintang terlihat samar, menggelayut di bawah langit. Mawar
bangkit dari duduknya, beranjak ke taman bunga. Dibelainya daun-daun
Caladium yang warna-warninya menjadi samar, akibat bias lampu taman. Hingga
sesaat kemudian, pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang berhenti di pintu
pagar. Seseorang keluar dai dalamnya, lalu menekan bel.
Mawar bergegas menuju pintu pagar. Tiba-tiba saja dia terhenyak. “Boo…
Bob… Bi?” ucapnya tergagap, lalu membuka pintu pagar.
“Maaf, jika aku datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu,” jawab Bobi
angkuh.
Kini mereka berdua duduk di kursi teras. Untuk beberapa saat mereka
hanya diam. Mawar enggan untuk memulai percakapan.
“Bagaimana kabarmu?” Bobi memulai percakapan.
“Sehat,” jawab Mawar singkat.
Toilet I’m in Love Page 99
Page 100
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Kok, kamu tidak pernah memberi kabar?”
“Akhir-akhir ini repot. Konsentrasi belajar, mau ujian.”
Bobi mengeluarkan bungkusan kertas dari tasnya. “Aku minta maaf untuk
segalanya, untuk semua yang telah terjadi,” dia mengulurkan rangkaian bunga
plastik, memberikannya ke Mawar.
Mata Mawar melotot. Gadis itu terdiam tanpa bereaksi. “Tidak Bob, apa
maksudmu?” ujarnya beberapa detik kemudian.
”Aku mau meminta maaf.”
“Jika kamu mau minta maaf, seharusnya kamu datang ke rumah Aji dan
sahabatnya. Bukan ke sini dengan membawa bunga.”
Bobi terdiam, bunga itu masih berada ditangannya. “Aku masih
mencintaimu,” ucapnya pelan.
Mawar menghela nafas panjang. Dia tidak terkejut dengan ungkapan Bobi,
sebab dia sudah menduganya. “Terus kenapa, Bob?”
“Akk…ku…akk…ku…,” Bobi tergagap. Dia ingin mengungkapkan
sesuatu, namun rasanya kata itu terhenti di kerongkongannya.
“Sudahlah, Bob. Sudah berlalu.”
“Aku menginginkan kesempatan kedua. Aku ingin kembali padamu,” Bobi
memohon.
Mawar terdiam sejenak, menundukkan kepala, lalu menggeleng. “Bukan
masalah kesempatan kedua, tapi ini masalah hati.”
“Apa maksudmu? Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?” Bobi mulai gusar.
“Maafkan aku Bob, jika dulu aku berada di sampingmu bukan karena
hatiku menginginkannya. Namun karena aku kasihan padamu.”
Sontak Bobi naik pitam. Mukanya memerah, mirip pantat babi. “Jadi
kau…., Pembohong!!!” bentaknya. “Aku tidak butuh belas kasihanmu!!!”
“Ada apa ini?!” ucap Mama yang muncul dari dalam rumah.
Bobi diam, tidak menggubris kehadiran orang tua Mawar. Tatapan
matanya masih melotot, tertuju ke gadis yang telah memporak-porandakan
hatinya itu.
Dengan tenang, Mawar menghampiri Mamanya, lalu membisikkan
sesuatu. Setelah itu Mamanya kembali ke dalam rumah.
Toilet I’m in Love Page 100
Page 101
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Mawar kembali duduk di kursi, terdiam sejenak, lalu berucap; “Jika aku
memang berbohong, kebohongan itu aku tujukan pada perasaanku sendiri. Salah
jika kamu bilang aku membohongimu. Aku sudah berusaha untuk belajar
mencintaimu, dan mengubah watakmu yang kasar itu. Tapi sudah terbukti,
keduanya gagal aku lakukan.”
“Halah!! Omong kosong!!” Bobi memukulkan genggaman tangannya ke
udara. Beberapa detik kemudian dia meremas-remas rambutnya.
“Sudahlah, Bob. Kita terima saja kenyataan ini,” Mawar mencoba
menenangkan.
“Tidak!!” sahut Bobi, masih dengan suara membentak. Beberapa saat
kemudian dia mengambil kantung plastik dari dalam tasnya, lalu mengeluarkan
sebuah kaleng dari dalam plastik itu.
“Jangan, Bob!!” sergah Mawar. Mata gadis itu melotot, panik, bingung,
melihat sebuah kaleng Bygon berada dalam genggaman tangan Bobi. “Jangan
lakukan!!”
Mawar bangkit, mencoba merebut kaleng Baygon itu. Namun percuma
saja, dia tidak mampu melawan tenaga Bobi. Hanya dengan sekali dorong, Mawar
jatuh ke lantai.
“Akan kubuktikan bahwa cintaku padamu, jauh lebih kuat dari pada
kematian,” Bobi membuka kaleng Bygon di tangannya, dan bersiap untuk
menenggaknya.
“Jangan bodoh, Bob!” teriak Mawar sesenggukan.
Bobi tidak menggubris Mawar yang sedang menangis. Mulutnya
menganga dan menengadah ke atas, tangannya siap menuangkan cairan Bygon.
Tiba-tiba saja…
“Sreeppp!!! Jangan buat keributan disini, goblok!!” dua orang satpam
datang. Yang seorang berhasil merebut kaleng Baygon dari tangan Bobi, dan yang
seorang lagi memiting Bobi dari belakang. Kini Bobi tidak berkutik lagi.
Ternyata beberapa menit yang lalu, Mawar membisikan pada Mamanya
agar memanggil satpam, untuk mengantisipasi jika situasinya semakin runyam.
Dan kedua petugas itu datang tepat pada waktunya.
Toilet I’m in Love Page 101
Page 102
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Plakkk!!!” satpam itu menampar muka Bobi. “Kamu ini maunya apa,
ha?! Sudah bosan hidup, ya?!”
Bobi terdiam, tidak berkutik dalam pitingan satpam.
“Plakkk!!!” lagi satpam itu menamparnya. “Kalau mau bunuh diri,
lakukan saja di rumahmu! Jangan di sini. Melibatkan orang lain saja!!” bentak
satpam itu.
“Plakkk!!! Sekali lagi satpam itu menamparnya. “Kalau mau mencari
perhatian, bunuh diri di tengah pasar saja!!”
Bobi digelandang ke pos satpam. Dan sudah dapat dipastikan bahwa
dalam beberapa menit kedepan, dia akan berurusan dengan polisi, untuk yang
kedua kalinya.
# # #
Sementara itu di tempat lain, pada waktu yang sama, tepatnya di rumah Aji,
suasana berlalu seperti biasa. Hanya saja ada yang berubah pada dirinya.
Kini dia duduk diruang tengah, menonton telivisi. Hatinya terasa bimbang
sekaligus tidak tenang. Kedua perasaan itu merayap, menggenang di dadanya.
Dan saat genangan itu menjadi penuh, selanjutnya berubah menjadi gundah-
gulana. Hari-hari pada bulan ini, lebih banyak dia habiskan bersama Mawar dari
pada bersama sahabat-sahabatnya. Dan gadis itu, sedikit banyak telah mengubah
warna kelabu di hatinya. Menggemburkan ladang jiwanya yang mengering.
Cinta? Apakah secepat itu?
Dinding beton yang dipasangkan di gawang hatinya memang kuat. Hingga
senyuman dari gadis manapun selama ini yang ditemuinya tidak mampu
menjebolnya. Meskipun jarang juga ada cewek yang rela tersenyum padanya.
Namun cinta? rasanya dia masih enggan untuk menyebut kata itu. Apalagi
menebarkan benih pada ladang jiwanya yang mulai menggembur.
Ah…, Mawar, desah Aji dalam hati. Jangan-jangan Lutfi memang benar:
dia sudah bosan pacaran dengan orang kaya, ganteng, dan memiliki segalanya.
Kemudian dia ingin dekat dengan cowok miskin, wajah pas-pasan, dan tidak
mempunyai apapun untuk dibanggakan, selain keahliannya bermain PS.
Toilet I’m in Love Page 102
Page 103
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Aji menghela nafas panjang, menghempaskan kepalanya di sandaran kursi.
Halah…! Ngawur! Ngawur!, desahnya, menepis segala perasaannya yang mulai
semrawut.
Dia menyambar gitar yang tergeletak di sebelahnya, lalu mulai bernyanyi
sekenanya. Tidak dihiraukannya acara telivisi yang berlangsung di depannya.
Bunda keluar dari kamar, menghampiri Aji, lalu ikut duduk di
sampingnya. Beliau mengambil remote kontrol, lalu memindah-mindah chanel,
mencari acara yang bagus.
“Nah, itu Bu! Bagus!” seru Ayah yang tiba-tiba muncul dari belakang, lalu
ikut nimbrung bersama.
“Ji, mbok ya sudah dulu main gitarnya. Acara beritanya tidak
kedengaran,” perintah Bunda.
“Ah, Bunda ini mengganggu saja,” gerutu Aji. Dia meletakkan gitarnya.
“Lha?! Kamu ini dibilangi kok ngeyel. Mbok ya belajar sana. Kamu ini
kan mau ujian.”
“Hemm…, lagi gak semangat,” jawab Aji malas.
“Lagi gak semangat, atau lagi jatuh cinta?!” sahut Sinta yang baru saja
keluar dari kamarnya. Cewek dengan senyum Yuni Sarah itu berdiri di gawang
pintu kamar.
Sontak saja, Ayah, Bunda, dan Aji menoleh ke arah Sinta. Sesaat mereka
hanya bengong. Terutama Ayah dan Bunda, tidak paham dengan perkataan anak
gadisnya itu.
Sinta tersenyum simpul. Dengan percaya diri, dia berdiri anggun di
gawang pintu kamar. Secarik kertas putih berada pada tangan kanannya.
Kemudian dengan gaya berdeklamasi, dia membaca tulisan di kertas itu dengan
lantang:
Jika kepedulian adalah tetes embun.Maka biarlah kupetik butiran itu.Pada tiap-tiap pagi yang kujumpai.
Kan kurelakan ini untukmu.Sebagai penawar dahagamu.
(Mawar Puteri)
Toilet I’m in Love Page 103
Page 104
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Saat Sinta mengucapkan nama ‘Mawar Puteri’ pada akhir deklamasinya,
sontak Aji terperanjat. Seperti ada jarum yang menusuk pantatnya, seperti ada
palu godam yang menghantam tengkuknya. Terbangun dari lamunannya, dia
meloncat dari tempat duduk, berlari menyerbu ke arah Sinta.
“Brakkk!!!” terlambat. Dengan cepat Sinta masuk ke kamarnya,
membanting pintu, lalu menguncinya dari dalam.
Bunda dan Ayah masih melongo, tidak paham dengan adegan yang sedang
berlangsung.
“Brakk!! Brakk!! Brak!!” Aji menggedor pintu kamar adiknya. “Manja…!
Buka…!!” teriaknya.
Sinta bergeming, tidak ada jawaban. Pintu kamar itu masih terkunci rapat
dari dalam.
“Brakkk! Brakk!! Brakkk!!!” lagi Aji menggedor.
Pertarungan adek dan kakak itupun dimulai. Seperti biasa, Bunda datang
campur tangan. “Haduh…, haduh…, kalian ini…! Gak siang gak malam, perang
terus. Mbok ya sehari saja ada genjatan senjata. Ada apa sih, Ji?”
“Sinta yang memulai,” Aji membela diri.
“Memulai apa?! Wong adeknya baca puisi kok diuber-uber?!”
“Itu masalahnya.”
“Masalah apa?!”
“Iya…, itu…kan bukan puisi Sinta, Bunda,” Aji cengar-cengir.
“Memangnya itu puisi kamu?”
“Bukan juga.”
“Lha, terus apa salah adekmu?”
“Tapi puisi itu sepertinya buat Aji.”
Bunda menghela nafas sambil menggeleng-geleng. “Dok! Dok! Dok!”
beliau mengetuk pintu kamar. “Sin…! Buka pintunya!”
Pintu kamar itu terbuka perlahan. Dengan senyum culun, Sinta muncul
dari baliknya.
“Kenapa kamu mengambil puisi kakakmu?” tanya Bunda.
“Sinta gak ngambil kok.”
Toilet I’m in Love Page 104
Page 105
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Terus kenapa ada di tanganmu?”
“Salah sendiri puisi itu ada di dalam novel Sinta, yang dulu dipinjam Mas
Aji.”
Aji tersentak, matanya melotot. “Kamu gak bohong?!” tanyanya dengan
mimik serius.
“Sumpah! Beneran,” Sinta mengacungkan dua jari membentuk huruf V.
“Mana puisi itu?”
Perlahan, Sinta mengeluarkan kertas itu dari saku bajunya. Dan…
“Settt!!!” dengan gerakan cepat Aji menyambar kertas di tangan adiknya.
Setelah berhasil mendapatkan puisi itu, dia mencubit hidung adiknya.
“Auuwww!!! Bunda….!!!” teriak Sinta.
“Aji…!! Sudah…! Sudah…!” teriak Bunda melerai.
Ayah, yang kini sudah paham permasalahannya, hanya tertawa terkekeh-
kekeh di depan telivisi.
Toilet I’m in Love Page 105
Page 106
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
6
Kiss Bye Pak Sangit
SURABAYA- HARIAN RAKYAT
Hari ini, Selasa (17/4), sebanyak 400.843 siwa SMA se-Jawa Timur,serempak mengikuti Ujian Nasional (UNAS). Pengetahuan mereka selama tiga tahun menimba ilmu di sekolah itu, diujikan di 3.971 sekolah penyelenggara.
Di hari pertama pelaksanaan Ujian nasional ini, Gubernur Jawa
Timur melakukan Inspeksi mendadak (Sidak) ke beberapa sekolah,
diantaranya yaitu: SMA Pahlawan, SMA Cendrawasih, dan SMA 2.
"Secara keseluruhan, pelaksanaan Unas kali ini lebih baik dari
tahun lalu. Ini terlihat dari pengamanan pendistribusian soal yang
sangat ketat. Naskah ujian dibuat dua macam, tapi dengan bobot yang
sama, sebagai cara untuk menghindari kecurangan dalam ujian," ucap
orang nomer satu di Jawa Timur itu.
Toilet I’m in Love Page 106
Page 107
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, DR. Koplo juga
mengatakan bahwa dalam pelaksanaan UNAS tahun ini, sudah
diadakan peningkatan sistem pelaksanaannya. Soal dibuat dengan dua
jenis yang berbeda, namun dengan bobot yang sama, antara siswa
dengan nomer ujian genap dan ganjil. Dengan demikian diharapkan
dapat menghindari kecurangan. Koplo juga optimis bahwa kelulusan
ujian tahun ini akan mencapai 100 persen. Tentang panitia pengawas
ujian, akan dilakukan silang penuh antara satu sekolah dengan sekolah
lainnya. Dengan demikian dapat menghindari guru-guru yang akan
membantu muridnya sendiri, saat mengerjakan soal ujian. Peserta
maupun pengawas ujian dilarang membawa ponsel ke dalam ruang.
"Bagi siswa yang ketahuan melakukan kecurangan, akan dikenakan
sanksi dikeluarkan dari ruang ujian dan dianggap gagal dalam ujian,"
katanya.
Jumlah peserta Unas di Jatim tahun sebanyak 139.871 siswa
SMA, 107.625 siswa SMK, 52.027 siswa MA, dan 92 siswa PLB.
Sementara jumlah peserta Unas di SMAN 2 sebanyak 368 siswa.
Sekretaris Tim Pemantau Independen (TPI) Jawa Timur, Drs
Kopler MSi mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan pemantauan
sesuai dengan aturan yang ada pada Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Dimana hal-hal yang perlu dipantau adalah;
kesesuaian ruangan dengan jumlah siswa, pengawas dan peserta
ujian, pengaturan tempat duduk, dan pelaksanaan ujian itu. Dalam
pemantauannya, beberapa pelanggaran yang ditemukan TPI dicatat,
kemudian dijadikan laporan ke BNSP.
Salah seorang murid SMA 2, Dodik, mengaku kaget saat melihat
kedatangan Gubernur Jawa Timur ke dalam kelasnya. Dia tidak
menyangka akan ada sidak ke sekolah itu. Meskipun soal-soal yang
dikerjakan tidak mudah, apalagi hari pertama adalah Matematika,
namun dia tidak merasa kesulitan untuk menyelesaikan sebagaina
besar soal itu. “Saya sudah cukup familier dengan soal-soal ini. Sebab
bentuk soal semacam ini sering saya kerjakan saat mengikuti les di
sekolah,” ucapnya.
Toilet I’m in Love Page 107
Page 108
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
# # #
Ujian nasional telah usai, begitu juga dengan ujian praktik yang tidak dikutkan
dalam daftar Ujian nasional. Sedangkan pengumuman kelulusan masih satu bulan
lagi. Kini murid-murid SMA 2 hendak berwisata ke Yogyakarta. Mereka ingin
lembaran-lembaran kisah yang mereka tulis selama tiga tahun di sekolah, ditutup
dengan cerita yang indah. Kenangan sepahit apapun yang terjadi selama di
sekolah akan terasa lebih baik jika diakhiri dengan kisah wisata yang menarik.
Lima bis besar berderet di luar gerbang sekolah. Kendaraan itu siap
mengangkut siswa-siswi kelas tiga yang sudah berkumpul di lapangan depan.
“Baiklah anak-anak, saya minta perhatiannya sebentar. Jangan gaduh!”
terdengar suara Pak Sangit, dari spkeaker jinjing yang ditentengnya. “Saya minta
kalian berkumpul sesuai dengan kelasnya masing-masing.”
Di bawah temaram lampu-lampu pancang halaman sekolah, gerombolan
murid itu bergerak, bergeser mengatur diri, berkumpul sesuai dengan kelasnya
masing-masing. Aji, Lutfi, Dodik, dan Angga berbaris pada bagian kelas IIIA.
Sedangkan Dina, Lisa, dan Mawar berbaris pada bagian kelas IIIE.
“Saya minta masing-masing ketua kelas, atau lebih tepatnya mantan ketua
kelas untuk mengabsen anggotanya masing-masing,” ujar Pak Sangit.
Beberapa kerumunan murid tampak tidak memperhatikan himbauan Pak
Sangit. Mereka masih tenang-tenang nongkrong di pojok halaman sambil
menghisap rokok.
“Hoi!! Kalian yang di pojok, tidak dengar perintah saya?!” panggil Pak
Sangit.
Kerumunan itu bergeming. Mereka tidak mempedulikan panggilan Pak
Sangit.
“Hoi!!! Bandel, apa mau kalian?! Apa mau membersihkan WC lagi, ha?!!”
Pak Sangit mulai gusar.
“Huuuuu……!!!” teriak seluruh siswa.
“Saat ini Bapak sudah tidak sakti lagi!” teriak Lutfi dari kerumunan kelas
IIIA. “Kekuasaan Bapak sudah berakhir!”
Toilet I’m in Love Page 108
Page 109
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Terdengar gemuruh tawa dari murid-murid yang berada di lapangan itu.
Merasa diremehkan, dada Pak Sangit bergemuruh. Emosinya memuncak.
Kepalanya panas. “Diaaam…!!!” teriaknya.
Bukannya diam, atau takut, tawa murid-murid itu malah semakin keras.
Pak Sangit menghela nafas panjang. Akhirnya dia mengalah. Belasan
tahun dia mengabdi di sekolah itu, selama itu pula dia memegang kekuasaan.
Namun malam itu segalanya berubah. Mungkin ada benarnya, bahwa dia sudah
tidak sakti lagi. Murid-murid itu sudah selesai ujian, dan satu bulan lagi mereka
akan lulus. Itu artinya cengkraman kekuasannya telah berakhir.
“Baiklah, maafkan saya,” nada suara Pak Sangit merendah. Dia terdiam
sejenak, lalu melanjutkan; “ Saya hanya mau berpesan bahwa nanti di dalam
perjalanan ataupun di tempat tujuan, bersikaplah yang baik. Jangan bertingkah
yang aneh-aneh. Jangan membuat keributan, apalagi mabuk-mabukan. Jangan
mempermalukan diri kalian sendiri.
Oh iya. Jika selama ini saya punya salah terhadap kalian, dari lubuk hati
yang paling dalam, saya minta maaf. Kalaupun saya memberlakukan hukuman-
hukuman yang tegas, itu karena saya sayang pada kalain. Saya hanya ingin kalian
disiplin. Sebab tidak ada kesuksesan, jika kalian tidak belajar dengan keras dan
disiplin. Sekali lagi saya minta maaf atas ketegasan yang saya terapkan di sekolah.
Itu adalah cinta dalam bentuk lain. Selebihnya, saya menyayangi kalain seperti
anak sendiri. ”
Suasana gaduh malam itu, tiba-tiba berubah menjadi hening. Kerumunan
murid di halaman sekolah itu, mendengarkan pidato Pak Sangit dengan khidmat.
Bukan karena mereka takut, seperti saat masih memegang status sebagai siswa.
Melainkan karena Pak Sangit mengucapkan nasehat itu dengan keikhlasan dan
ketulusan. Bukan dengan ancaman dan intimidasi.
“Bruuttt…!!!” tiba-tiba suasana hening itu dipecah dengan getaran
gelombang kentut. Suara memekakkan itu berasal dari barisan kelas IIIA.
Ternyata itu kelakuan Dodik.
“Plak! Plok! Buk!!” tak ayal lagi, keheningan sesaat itu berubah menjadi
keributan. Lutfi menampar pipi kanan Dodik, Aji menampar pipi kirinya, dan
Angga memukul perutnya yang mirip gentong air itu.
Toilet I’m in Love Page 109
Page 110
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Pidato sentimentil dan kegaduhan itu berakhir. Murid-murid masuk ke
dalam bis masing-masing. Dan di bawah selimut malam, bis-bis itu melesat ke
luar kota, menuju Yogyakarta.
7Yogyakarta
Pulang ke kotamuAda setangkup haru dalam rinduMasih seperti duluTiap sudut, menyapaku bersahabatPenuh salaksa makna…
Lagu yang pernah populer dibawakan Katon Bagaskara itu, ternyata hanya
omong kosong. Setidaknya bagi Aji. Hal itu telah terbukti. Pertama: baru satu jam
dia menginjakkan kaki di Malioboro, dompetnya amblas digasak copet. Kedua:
tak ada senyum sapa bersahabat di tiap sudut. Yang ada hanya pemabuk, berjalan
terhuyung di antara pedagang. Dan ketiga: Malioboro sudah berubah. Beberapa
dekade yang lalu tempat itu menjadi legenda, bukan hanya di Indonesia tapi juga
di manca negara. Dulu Malioboro adalah pusat berkumpulnya seniman kelas
kakap, penulis hebat, dan budayawan kondang. Namun saat ini tempat itu menjadi
budak kapitalisme. Mal-mal megah berdiri. Angkringan berubah menjadi café
mewah.
Toilet I’m in Love Page 110
Page 111
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Tapi apa boleh buat. Begitulah keadaannya. Selamat datang di kota
budaya. Selamat datang di Malioboro yang gabuk. Sudah tidak ada lagi sesuatu
yang dahsyat di situ, selain masa lalu.
Malioboro yang kosong. Sama halnya dengan perasaan Aji: kosong
bercampur dongkol. Baru satu bulan terbebas dari sanksi ‘embargo ekonomi’. Dan
sore itu, baru setengah jam kakinya turun dari bis, dompetnya sudah raip.
Kini Aji sedang berjalan bersama sahabat-sahabatnya menyusuri trotoar,
melihat pedagang kerajinan dan sovenir yang berderet pada sebelah kanan-kiri
jalan.
“Bagus gak, Ji?” tanya Mawar. Gadis jelita itu mencoba kalung yang
terbuat dari untaian akar, dan berhiaskan kerang.
“Emm…, kamu jadi mirip orang Hipies. Tapi apapun yang kamu pakai,
kamu cantik,” jawab Aji tenang.
Mawar tersenyum simpul.
Sementara itu Lisa memilah-milah sanggul di rak pedagang. Angga
mengikutinya dari belakang. “Lha, sip! Kamu cantik kalau pake itu, Lis. Mirip
bakul jamu,” ledek Angga. “Mau aku belikan?”
“Hehe…, gak usah, terima kasih. Jadi pengantinnya masih lama kok,”
jawab Lisa. “Kamu beli sendiri saja.”
“Iya bener, Ga. Biar kamu jadi ibu bencong Kartini,” ledek Dina.
Angga tergelak.
Sementara itu Dodik tampak bersemangat. Dia berhenti pada stan
pedagang barang-barang antik. Tangannya mengelus-elus keris yang dijual
pedagang itu. “Wah…, bagus,” ucapnya dengan tatapan berbinar.
“Huwahaha…, iya bagus. Kamu beli saja. Masa keturunan Raja Surakarta
beli keris di Malioboro,” ledek Lutfi.
Dodik memang sering bercerita pada sahabat-sahabatnya bahwa Ayahnya
adalah turunan ke-7 dari Raja Surakarta. Artinya dia adalah turunan yang ke-8.
Entah memang benar, atau hanya membual. Yang jelas Si Gentong itu sangat
menyukai barang-barang antik berbau mistik, terutama keris.
Tidak mempedulikan ledekan Lutfi, pandangan Dodik masih terpaku pada
keris yang ada di tangannya. “Berapa, Pak?” tanyanya.
Toilet I’m in Love Page 111
Page 112
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Lima puluh ribu, Mas,” jawab pedagang itu.
“Boleh kurang?”
“Mau ditawar berapa, Mas?”
“Dua puluh ribu. Boleh?”
“Wah, gak boleh, Mas,” pedagang itu menggaruk kepalanya. “Dua puluh
lima ribu. Kalau tidak mau, ya sudah.”
Dodik berpikir sejenak. Dia menimang-nimang keris dengan sarung
berukiran kasar itu. “Baiklah, saya ambil satu,” ujarnya.
Dengan bangga dan angkuh, Dodik memasukkan keris yang baru dibelinya
itu ke tas rangselnya.
Aji menghampirinya, menepuk-nepuk pundaknya. “Bagus, Dod. Seorang
putera mahkota Keraton Surakarta harus punya pusaka. Meskipun seharga lima
mangkuk bakso.”
Angga, Lutfi, Dina, Lisa, dan Mawar, tertawa terbahak-bahak, melihat
lagak Dodik yang tidak peduli dengan ledekan Aji.
Sudah hampir dua jam mereka meyusuri trotor Malioboro. Melihat-lihat
suasana jalan itu sambil membeli beberapa pernak-pernik kerajinan. Dan kini
langkah mereka terhenti di depan sebuah depot makan.
Melihat deretan ayam bakar, daging, telur, ikan laut, dan berbagai macam
ikan lain yang disajikan di piring, lambung Dodik tiba-tiba berbunyi. Mirip
kokokan ayam. “Haduh, perutku keroncongan ini. Makan yuk,” rengek Dodik.
Lutfi melihat jam tangannya. Dua puluh menit lagi waktu jalan-jalan
mereka habis. Dan harus berkumpul lagi di bis, untuk kembali ke penginapan.
“Bagaimana, kita makan?” ujarnya.
Ternyata yang kelaparan bukan hanya Dodik. Maka merekapun
menyetujui usul itu.
Jika yang lain tidak sabar untuk segera masuk ke dalam depot makan itu,
lain halnya dengan Aji. Dia blingsatan, enggan untuk masuk. Bukannya tidak
lapar, melainkan tidak ada satu rupiah pun uang yang tersisa dalam kantungnya,
setelah dompetnya disikat copet dua jam yang lalu. Sahabatnya tidak ada yang
tahu. Dia memilih tidak menceritakan kejadian itu. Sebab jika mereka tahu, bisa
dipastikan dia akan diledek habis-habisan karena kebodohan itu. Meskipun pada
Toilet I’m in Love Page 112
Page 113
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
akhirnya mereka akan mengasihaninya, lalu mentraktirnya makan. Namun dia
tidak mau mengambil resiko kehilangan muka. Labih baik sedikit kelaparan. Toh,
nanti malam ada jatah makan nasi kotak dari panitia penyelenggara.
“Emm…, kalian makan dulu saja deh,” ujarnya.
“Lho, kenapa?” tanya Lisa.
“Aku belum lapar. Aku melanjutkan jalan-jalan saja. Kita berpisah di sini.
Nanti ketemu di bis.”
“Aku temani ya, Ji,” sahut Mawar.
Lisa tersenyum kecut. Sekilas tampak raut cemburu di mukanya. Namun
dengan cepat dia menyembunyikan perasaan itu.
“Kamu gak lapar? Kamu makan saja,” ucap Aji.
Mawar menggeleng, lalu berjalan tenang ke sisi Aji. “Aku juga belum
lapar kok. Lagian aku juga belum puas jalan-jalannya.”
Sekali lagi, cewek cantik berwajah Indo dengan mata biru keperakan itu
menggocoh benteng pertahanan hati Aji. Seperti ada gelombang laut pasang yang
menggulung dadanya. Kemudian menggondol hatinya ke tengah lautan. Dan
membiarkannya terapung-apung tanpa kepastian.
Aji enggan menebak, dan takut untuk menduga-duga, apa sebenarnya yang
ada di hati Mawar.
“Tidak keberatan aku temani jalan-jalan?” pertanyaan Mawar yang
diulang membangunkan lamunan Aji.
“Oh… eh, enggak apa-apa. Aku malah senang. Ya sudah, kita jalan duluan
saja.”
Dodik, Angga, Lutfi, Lisa dan Dina masuk ke depot makan. Sementara itu
Aji dan Mawar melanjutkanjalan-jalannya, menyusuri trotoar jalan Malioboro,
menghabiskan sisa waktu yang sudah ditentukan oleh panitia.
Senja makin menepi. Bias merah dari sinar matahari tampak mewarnai
genting pendopo keraton Yogyakarta. Daun-daun pohon beringin yang tumbuh di
depannya seperti disepuh emas. Sore itu pengunjung tidak begitu ramai. Hanya
ada beberapa orang yang melihat-lihat dari halaman luar. Kini langkah Aji dan
Mawar terhenti di tempat itu. Mereka duduk di halaman depan, di atas rumput.
Toilet I’m in Love Page 113
Page 114
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Semilir angin senja berhembus turun dari puncak genting pendopo,
menyapa daun-daun beringin yang berwarna jingga keemasan, lalu membelai
rambut Mawar yang indah.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Mawar yang duduk bersila di samping
Aji.
“Apanya?” sahut Aji.
“Pendoponya, dan keseluruhan bangunannya?”
“Hemm…, eksotik. Tapi jujur saja, aku jadi ingat Dodik.”
“Dodik? Apa hubungannya?” mata Mawar yang indah itu, menatap Aji
penuh kebingungan.
“Coba lihat Dodik! Gendut, dengan selera makan luar biasa. Mengumbar
nafsu, agak bodoh, dan suka membual. Kamu sendiri tahu, dia menganggap
dirinya keturunan Raja Surakarta.”
“Apa maksudmu?”
“Hemm…, begini. Coba lihat pendopo keraton itu,” telunjuk Aji mengarah
ke pendopo yang berada di depan mereka. “Pendopo itu tepat menghadap ke arah
jalan Malioboro. Menurut sejarah, awalnya Malioboro adalah pasar tradisional
rakyat. Bayangkan, para Sultan dengan segala kemewahan, dengan istri dan selir-
selirnya, dengan angkuh memerintah rakyat jelata, yang hanya menggantungkan
hidup dari berjualan sayur di Malioboro. Para Sultan itu membohongi rakyat
bahwa dirinya adalah titisan Tuhan. Sebab itu dia harus disembah dan dijunjung.
Memangnya Tuhan berjenis kelamin betina, hingga punya titisan? Itu sama saja
dengan Dodik yang membohongi Lutfi bahwa dirinya adalah keturunan Raja
Surakarta. Goblok, ngawur, juga lucu.”
Mawar tertawa, kemudian kembali tertegun mendengarkan penjelasan Aji.
“Aristokrasi adalah kebohongan terbesar yang pernah dibuat oleh
manusia,” lanjut Aji. “Para raja itu secara turun temurun mengintimidasi rakyat.
Menciptakan mitos dengan keindahan mahkotanya, dengan kemegahan
keratonnya, dengan baju kebesaran dan segala uborampe-nya.”
Di luar dugaan, sekarang Aji punya wawasan seluas itu. Rupanya setelah
akrab dengan Mawar, dia mulai suka membaca buku. Dia tidak mau blingsatan
Toilet I’m in Love Page 114
Page 115
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
lagi, seperti beberapa bulan yang lalu, saat mereka membicarakan novel Sally
Morgan.
Mawar tertegun sesaat, tidak menyangka bahwa Aji bisa berbicara sejauh
itu. “Hemm…, kamu kok radikal begitu, Ji?”
“Radikal bebas maksudmu? Wah, kalau itu memang tidak baik untuk
kesehatan.”
Mereka tertawa bersama.
“Kalau menurut kamu bagaimana?” tanya Aji.
“Kalau aku, secara keseluruhan salut dengan Yogyakarta.”
“Salut dengan apanya?”
“Salut dengan kesabarannya, dengan keuletannya, dengan kreatifitasnya.
Coba lihat pedagang-pedagang kerajinan di sepanjang trotoar Malioboro. Mereka
ini semacam orang yang mampu mengubah sampah menjadi bunga, lalu
menjualnya.”
Kini mereka kembali terdiam, tenggelam dalam pikiran dan getaran hati
masing-masing. Bias mataharai senja makin memerah. Mawar merasa ada
ketenangan dan kedamaian, yang merayap pelan lalu memenuhi hatinya, saat
duduk di sebelah Aji. Sesuatu yang tidak pernah dirasakannya, saat berdekatan
dengan sahabatnya yang lain. Cowok di sebelahnya itu perlahan-lahan namun
pasti, mengisi ruang-ruang kosong hatinya.
Sementara itu pada ruang hati yang lain- tepatnya di hati Aji- segala rasa
bercampur aduk: tenang, getaran hasrat, harapan, rasa sayang, rasa bimbang, dan
sebagainya.
Berkali-kali hati cowok itu dibuat membubung ke angkasa oleh senyuman
dan kepedulian Mawar. Namun berkali-kali juga ia takut untuk mengartikan dan
menduganya. Dan pada akhirnya dia berusaha keras untuk menepisnya, meskipun
sulit.
“Emm…, aemm…,” Aji ingin mengatakan sesuatu, tapi rasanya sangat
sulit. Tenggorokannya serasa dilem, dan kalimatnya seperti tersangkut.
“Ada apa, Ji?” tanya Mawar.
“Emm…, anu…, aemm…, gak jadi, deh.”
“Lha?! Kok gak jadi?”
Toilet I’m in Love Page 115
Page 116
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Iya, gak jadi.”
“Ah, gak bisa. Jangan buat penasaran. Pokoknya harus jadi. Tadi mau
bilang apa?” rengek Mawar manja, sambil mencubit perut Aji.
“Hehehe…, iya…, iya…, sabar, jadi…, jadi…,” Aji memegang tangan
Mawar yang masih menempel di perutnya. Jari-jari lentik dan putih mulus itu
digenggamnya.
Mawar membiarkan tangan kirinya berada dalam genggaman tangan
kanan Aji. Ada getaran aneh yang merambat, menuju ke hati mereka masing-
masing.
Aji menarik nafas dalam-dalam. “Puisi kamu bagus,” ucapnya.
Mawar menarik tangannya dari genggaman Aji. “Puisi itu sudah beberapa
bulan yang lalu. Dan sekarang kamu baru bilang begitu?” ujarnya keheranan.
“Emm…, aem…, sebenarnya sudah lama aku mau mengatakannya. Tapi
aku jadi minder. Sebab aku tidak bisa menulis sebaik itu.”
“Aku kira kamu sudah membuangnya, atau melupakannya.”
“Ah, enggak kok. Malah sekarang aku bingkai, dan aku tempelkan di
dinding kamar. Terus, aku kasih kalung rangkaian bunga.”
“Ha?! Mirip foto orang meninggal?!” Mawar melongo.
“Huwahaha…, kalau yang ini aku bohong,” Aji tergelak.
“Auww!!!” teriak Aji. Mawar mencubit perutnya lagi.
“Sekarang giliran kamu, Ji,” ucap Mawar.
“Giliran apa?”
“Buatkan aku puisi.”
“Dikumpulkan sekarang, atau dibuat PR?”
“Terserah.”
“Di buku tugas Bahasa Indonesia, atau di lembaran kertas?”
“Terserah.”
“Auwww…!!!” Aji berteriak. Kali ini Mawar mencubit perutnya dengan
sangat keras.
Toilet I’m in Love Page 116
Page 117
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
8
Bukan Jenderal Cinta Bintang Tiga
Minggu siang itu, Aji, Lutfi, Angga, Dodik, Dina, dan Lisa, berkumpul di
rumah Mawar. Kelulusan telah diumumkan kemarin. Dan mereka semua lulus
ujian nasional. Ini adalah saat yang paling membahagiakan. Mereka
merayakannya dengan acara masak-masak.
Namun ada yang lain dengan Mawar. Jika biasanya gadis jelita itu selalu
ceriah dan supel, kali ini dia lebih banyak diam dan murung. Bukannya tidak lulus
ujian. Malahan dia lulus dengan nilai sempurna. Ada hal lain yang mengganggu
pikirannya.
Ketujuh anak itu berkumpul di dapur yang mewah, dengan desain rak dan
almari gaya Itali. Sebuah meja makan marmer bulat dan besar, berada pada bagian
tengah ruangan yang luas itu. Meja itu dikelilingi kursi kayu berukir yang antik.
Beberapa gelas kristal disusun rapi.
Toilet I’m in Love Page 117
Page 118
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Baiklah, kita masak apa enaknya?” ujar Dina sembari menatap daging
ayam, daging sapi, dan bumbu-bumbu yang ada di depannya.
“Kita masak apa, Ji?” tanya Mawar kurang bersemangat. Gadis cantik itu
sedari tadi mencuri pandang ke Aji. Ada raut sedih setiap kali matanya menatap
Aji.
“Emm…, terserah Angga saja deh,” jawab Aji sekenanya. Cowok itu
sudah mengetahui ada yang berubah dengan diri Mawar. Gadis cantik yang selalu
meretakkan benteng hatinya itu, tidak seceriah biasanya. Namun Aji memilih
diam.
“Terserah Lutfi saja,” sahut Angga.
“Masak apa, Dod?” Lutfi menepuk pundak Dodik.
“Masak saa…..”
“Halah!” Lutfi mendorong bibir Dodik hingga merot ke samping. Kalimat
yang diucapkannya belum sempat diselesaikan. “Kamu ini, daging mentah juga
enak.”
“Memangnya aku ini macan?!” sahut Dodik sewot.
“Sudahlah, terserah kalian saja,” Aji pasrah.
“Daging ayamnya kita kare saja, ya,” sahut Dina.
“Emm… dan daging sapinya kita buat steak saja,” ujar Mawar.
Mata Dodik langsung berbinar. Jakunnya naik-turun menelan ludah.
“Ho’oh…! Ho’oh…! Daging sapinya dibuat steak saja,” sahutnya.
Kini mereka berbagi tugas. Angga dan Aji mengupas mangga, pepaya, dan
melon yang akan digunakan untuk es setup. Pekerjaan ini tidak diserahkan pada
Dodik. Sebab jika diserahkan padanya, maka bisa dipastikan buah-buahan itu
tidak akan selamat dikupasnya. Sedangkan Dodik sendiri diserahi tugas mencuci,
serta memotong daging ayam dan sapi, bersama Lutfi.
“Bawang putihnya tolong kamu kupas ya, Lis,” ujar Dina. Team leader
dari acara masak-masak itu adalah Dina dan Mawar. Kedua cewek itu memang
jago masak.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Vincent- Papa Mawar- yang tiba-
tiba muncul di dapur bersama istrinya.
Toilet I’m in Love Page 118
Page 119
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Papa bantuin cuci daging saja. Atau nanti bantu-bantu cuci piring kalau
sudah selesai acaranya,” ujar Mawar bercanda.
Orang Belanda yang fasih berbahasa Indoesia itu, tertawa terbahak.
“Hehe…, iya Om. Bantuin potong-potong daging ayam donk,” sahut
Dodik.
“Plokkk!” Lutfi menampar pelan pipi tembem Dodik. “Jangan ngawur
kalau ngomong. Yang sopan,” bisiknya. Tangan Lutfi yang masih basah dan bau
amis daging itu, mengotori pipi kiri Dodik.
“Wuutt!! Plaakk!!!” tidak terima dengan perlakuan Lutfi. Dodik melempar
daging ayam yang telah dipotong pada Lutfi yang berada di sebelahnya.
Lutfi membalas dengan melempar daging sapi.
Lagi, Pak Vincent tertawa tergelak- kali ini diikuti istrinya- menyaksikan
insiden kecil yang sedang berlangsung di dapur mewahnya itu.
“Sudahlah, Pa. Kita bantuin makan saja nanti,” ujar istrinya. Dan mereka
meninggalkan dapur yang sibuk itu.
Dua jam telah berlalu. Kini semua hidangan telah siap disajikan di atas
meja makan marmer itu. Ada kare ayam dengan aroma yang menggoda, steak
daging sapi yang lezat, tempe goreng, tahu goreng, es stup, dan buah-buahan
pencuci mulut.
Aji, Lutfi, Angga, Dodik, Dina, dan Lisa duduk melingkari meja makan.
Sementara Mawar masih berada di ruang tengah memanggil kedua orang tuanya.
Berkali-kali Dodik mengusapkan lidah di antara bibirnya. Dia menelan
ludah dan jakunnya naik-turun, tidak sabar untuk mengganyang kelezatan yang
tersaji di depannya.
“Plakk!!” Angga memukul tangan Dodik yang menyambar sepotong kecil
steak. “Gak sopan. Tunggu tuan rumah dulu.”
Terlambat, potongan steak itu sudah masuk ke mulut Dodik. Si Gentong
itu mengunyah sambil meringis. Pelan-pelan dilumatnya daging itu, seolah takut
jika sampai kedengaran sahabat-sahabatnya.
Satu menit kemudian, Mawar dengan kedua orang tuanya muncul. Ia
menuju kursi kosong yang berada di sebelah Aji, lalu duduk di situ. Sementara
Papa dan Mamanya duduk pada sisi yang lain.
Toilet I’m in Love Page 119
Page 120
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Waduh, masakannya pasti lezat,” ujar Pak Vincent membuka percakapan.
“Kalian ini memang jago masak, ya,” sahut Mama.
Pak Vincent menghela nafas sejenak, menatap satu persatu wajah-wajah
yang ada di depannya: Aji, Lutfi, Angga, Dodik, Dina, dan Lisa.
“Well, saya dan Mama Mawar minta maaf, karena kami tidak dapat
menemani kalian menikmati masakan yang lezat ini. Hanya saja ada sesuatu yang
mau kami sampaikan pada kalian,” Pak Vincent menatap istrinya. “Papa atau
Mama yang bicara.”
“Papa saja,” jawab istrinya.
Kembali orang Belanda itu menarik nafas, lalu melanjutkan
pembicaraannya; “Kami selaku orang tua Mawar, mengucapkan banyak terima
kasih. Karena kalian sudah menjadi sahabat yang baik baginya. Dan sebagai orang
tua, kami berharap kalian tetap memelihara persahabatan itu. Meski nanti jarak
memisahkan kalian. Meski nanti Mawar berada di Belanda, dan sangat jauh dari
kalian. Sekali lagi harapan kami persahabatan ini tidak selesai sampai di sini.”
“Belanda?! Mawar ke Belanda?” mata Aji melotot. Tiba-tiba saja nafasnya
menjadi sesak. Seperti ada bongkahan batu yang menindih dadanya. Ditatapnya
Pak Vincent yang berada di seberang meja tanpa berkedip. Lalu pandangannya
beralih ke Mawar yang berada di sampingnya.
Gadis jelita itu balas menatap Aji, tanpa berkata sepatah katapun. Sorot
mata birunya sayu, ada raut sedih yang tidak bisa disembunyikan. Pandangan
mereka beradu dalam beberapa detik. Hingga kemudian, Mawar membuang
pandangannya ke atas meja.
“Iya, Mawar akan kuliah di Belanda,” jawab Pak Vincent.
Kini Aji tertunduk lunglai di kursinya. Dada dan hatinya serasa remuk.
Perutnya yang sedari tadi keroncongan, tiba-tiba menjadi tidak lapar. Selera
makannya hilang sama sekali. “Kapan Mawar berangkat ke Belanda?” tanyanya
lirih, berusaha mengendalikan kegundahan hatinya.
“Satu minggu lagi. Setelah ijazah dari sekolah keluar,” jawab Mama.
“Well, itu saja yang perlu kami katakan. Silakan kalian menikmati
hidangan lezat ini,” ujar Pak Vincent sembari menyunggingkan senyum. Setelah
itu dia dan istrinya beranjak meninggalkan ruang makan.
Toilet I’m in Love Page 120
Page 121
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Tanpa menunggu komando lagi, Dodik menyambar steak yang tersaji di
atas meja, memenuhi piringnya dengan potongan daging sapi itu dan
menimbunnya dengan nasi.
Lutfi, Angga, Dina, dan Lisa, juga mulai menikmati hidangan di atas meja
itu.
Jika sahabat-sahabatnya dengan lahap menyantap masakan lezat itu, lain
halnya dengan Aji. Kini hati cowok itu serasa dihempaskan ke dasar jurang, dan
hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Di depan meja itu, selera makannya
musnah. Kare ayam terlezat yang ada di depannya, tiba-tiba berubah seperti air
comberan. Bahkan steak sapi itu, kini di matanya seperti batang pisang. Dia hanya
mengambil sedikit nasi, dan sepotong kecil daging ayam, lalu memain-
mainkannya di atas piring.
Hal yang sama juga terjadi pada Mawar. Bidadari itu hanya mengambil
potongan kecil steak, lalu menusuk-nusuknya dengan garpu, tanpa memakannya.
# # #
Enam hari telah berlalu semenjak acara masak-masak di rumah Mawar. Dan
selama itu pula Aji labih banyak menghabiskan waktunya berada di dalam kamar.
Bukan bermain PS, atau membaca buku yang akhir-akhir ini mulai dia gemari,
melainkan hanya termangu di depan cermin. Rambutnya kusut. Seluruh badannya
lengket dengan daki, sebab selama itu tidak mandi. Tubuhnya juga menjadi lebih
kurus.
“Ji, buka pintunya. Bunda mau ngomong,” ujar Bunda di depan pintu
kamar. Beliau mulai khawatir dengan keadaan anaknya.
Pintu itu masih terkunci rapat dari dalam, dan tidak ada sepatah katapun
jawaban.
“Dok! Dok! Dok!” lagi Bunda mengetuk pintu. “Ji, kamu masih sayang
sama Bunda, gak?!”
Pintu kamar itu masih tidak bergerak sedikitpun.
Toilet I’m in Love Page 121
Page 122
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Kalau kamu tidak mau bicara dengan Bunda, berarti kamu sudah tidak
sayang.”
Gagang pintu kamar itu bergerak. Sesaat kemudian pintu itu terbuka.
Setelah membuka pintu, Aji kembali duduk di kursi belajarnya.
“Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan,” ujar Bunda sembari
masuk ke kamar, lalu duduk di pembaringan.
“Dan Aji bisa menyelesaikannya,” jawab Aji acuh.
“Jadi kenapa kamu hanya berdiam diri di kamar? Telepon dari sahabat-
sahabatmu tidak ada yang kamu terima. Bahkan ijazahmu yang sudah keluar,
tidak kamu ambil ke sekolah.”
“Dari mana Bunda tahu?”
“Dari telepon Lisa.”
“Bunda,” Aji menatap ibunya dengan sayu, “yang penting Aji sudah lulus.
Ijazahnya mau Aji ambil minggu depan, atau bulan depan, itu tidak masalah.”
Bunda menggeleng-geleng, semakin khawatir saja dengan anaknya.
“Kamu sayang sama Bunda, Ji?”
Aji mengangguk.
“Kenapa kamu tidak menceritakan masalahmu? Dua kepala yang
menanggung masalah, akan lebih baik.”
“Bunda sayang sama Aji?” Aji balas bertanya.
“Semenjak di dalam kandungan,” jawab Bunda serius.
“Jika Bunda sayang sama Aji, Bunda harus percaya bahwa dia dapat
menyelesaikan masalahannya sendiri. Ada kalanya, dimana masalah itu labih baik
ditanggung oleh satu kepala, dari pada banyak kepala.”
Bunda mendesah panjang. Aroma keringat menyengat hidungnya. Kamar
anaknya itu pengap, sebab beberapa hari ini pintunya jarang terbuka, begitu juga
dengan jendelanya. Baju dan celana kotor terhampar begitu saja di atas
pembaringan. “Kamu harus janji sama Bunda, bahwa kamu akan baik-baik saja,
bahwa kamu akan menyelesaikan masalahmu dengan bijaksana.”
“Aji janji, secepatnya akan selesai.”
Bunda mengusap kepala anaknya, lalu beranjak keluar kamar.
Toilet I’m in Love Page 122
Page 123
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Setelah menutup pintu, Aji kembali termangu di depan cerminnya. Dia
mendesah panjang, ditatapnya bayangan dalam cermin itu. Seumur-umur belum
pernah dia merasa nelangsa seperti itu. Rasa sedih akan kehilangan, meremas-
remas hatinya, menghimpit dadanya.
Ah, Mawar…, desahnya dalam hati. Jika selama ini dia memasang benteng
di hatinya. Kini bentengnya itu bukan hanya retak, tapi jebol, hancur berkeping-
keping menjadi butiran pasir.
“Baiklah, aku mengaku kalah,” gumam Aji. “Benteng itu telah ambrol.
Lalu bagaimana sekarang? Haruskah aku menggenapi patah hatiku mejadi tiga?
Dengan datang ke Mawar dan bilang: ‘Aku mencintaimu’. Kemudian Mawar
menjawab: ‘Selama ini kau kuanggap sebagai kakakku, Ji’. Saat itu aku akan
resmi menjadi “Jenderal cinta bintang tiga.”
Goblok!! bentak bayangan dalam cermin itu. Dari dulu kamu ini memang
goblok, Ji. Tidakkah kamu membaca sikap Mawar terhadapmu? Kepeduliannya,
kebaikannya, dan lain sebagainya? Bahkan dia juga memberimu puisi.
“Ah, hanya puisi,” bantah Aji. “Bukankah Mawar memang suka dengan
sastra. Dia juga suka menulis puisi di buku catatan. Mungkin saja puisi itu hanya
iseng, atau sekedar menyalurkan hobinya. Tentang kebaikannya, bukankah dia
juga baik pada semua sahabatnya. Dia memang anak yang baik.”
Dungu! sahut bayangan itu. Selama ini kamu sudah menjadi orang paling
dungu sedunia, Ji? Sebab kamu tidak pernah jujur pada hatimu. Baiklah, Anggap
saja dia menolak cintamu. Tapi besok pagi dia sudah hengkang ke Belanda. Dan
mungkin kamu tidak akan pernah melihat bidadari itu lagi. Jika kamu tidak
mengungkapkan isi hatimu. Selamanya kamu tidak akan pernah mengetahui isi
hatinya. Sampai kapan kamu akan menjadi pecundang yang takut dengan
bayangannya sendiri? Sampai kapan kamu akan membohongi diri sendiri?
“Sudah!!!” bentak Aji. “Cukup…! Cukup…!” Dia melempar bayangan di
cermin itu dengan celana dalam, yang sedari tadi tergelatak begitu saja di
pembaringan. Setelah itu dia menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur.
Berusaha keras meredam nelangsa hatinya, dan mencoba memejamkan mata.
# # #
Toilet I’m in Love Page 123
Page 124
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Pagi hari, kesibukan mulai tampak di rumah Mawar. Dua orang pembantu dengan
cekatan mengepak barang dan pakain, memasukkannya ke dalam tas-tas besar.
Seorang sopir sedang memanaskan sedan mewah, yang masih berada dalam garasi
dengan pintu depan terbuka.
Beberapa lama kemudian kedua pembantu itu mengangkat tas-tas besar,
memasukkannya ke dalam bagasi sedan.
Mawar sudah rapi. Gadis itu mengenakan celana putih, dipadu dengan
baju biru press body, berlengan panjang dan bermotif garis. Kulitnya yang putih,
terlihat segar dan bersih. Tubuhnya yang tinggi, tampak lebih anggun. Namun
wajahnya yang ayu tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya.
Dia melangkah pelan, keluar dari dalam rumah dan duduk di beranda.
Ditatapnya sisa-sisa embun yang masih menempel pada kelopak-kelopak bunga
anggrek. Kenapa bunga anggrek itu tidak seindah bulan yang lalu? desah Mawar
dalam hati.
Tidak ada yang berubah dengan anggrek itu. Anggrek itu masih juga
anggrek yang dulu. Malahan pagi itu kelopaknya menjadi lebih segar, karena
embun yang menempel belum teruapkan oleh panas matahari. Jika bunga anggrek
itu tiba-tiba menjadi tidak indah, itu karena warna-warni yang dahulu memenuhi
hatinya, musnah semenjak seminggu yang lalu. Ada rasa sedih yang menyesak di
dadanya, rasa nelangsa dan kehilangan.
“Kamu baik-baik saja, Sayang?” ujar Mama yang muncul dari dalam
rumah.
Mawar tersentak, terbangun dari lamunannya. “Ah, Mama. Mawar baik-
baik saja kok,” gadis itu memaksakan senyumnya.
Mama menatap wajah puterinya itu dengan lembut. Dia tahu ada
kesedihan di balik senyum itu. Rasa kehilangan yang disembunyikan. “Sudahlah
Sayang, segalanya akan baik-baik saja,” hibur Mama sambil mengusap kepala
puterinya.
Mawar tidak berkata apa-apa. Gadis itu membuang pandangannya ke
daun-daun Caladium yang berwarna-warni.
Toilet I’m in Love Page 124
Page 125
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Papa sudah menelepon saudaranya di Belanda,” ujar Mama. “Mereka
akan menjemputmu, begitu kamu tiba di bandara. Jangan nakal di sana. Jaga diri
baik-baik. Mama akan sering menelponmu. Oh ya, bulan depan Papamu
mengambil cuti. Kami akan membesukmu ke sana.”
Semua barang bawaan telah dimasukkan kedua pembantu kedalam bagasi
sedan. Dan supir itu sudah siap di belakang kemudi.
“Sudah siap, Sayang?” ujar Pak Vincent yang muncul dari dalam rumah
dengan pakian rapi. Dia dan istrinya akan mengantar puterinya hingga ke bandara.
“Apakah dokumen ke-imigrasian tidak ada yang ketinggalan?”
Mawar membuka tas jinjingnya. “Semuanya lengkap,” jawabnya.
“Well, kita bisa berangkat sekarang.”
Mama bangkit dari duduknya, diikuti dengan Mawar. Mereka hendak
beranjak menuju sedan mewah yang sudah dikeluarkan dari garasi. Namun tiba-
tiba saja sebuah motor Honda Supra berhenti di depan rumahnya. Ternyata itu
adalah Aji. Cowok itu memarkir motornya di luar pagar, kemudian melangkah
masuk ke beranda.
“Om, Tante,” Aji menyalami Pak Vincent dan istrinya.
“Lho, kok sendirian? Teman-temannya yang lain mana?” tanya Pak
Vincent.
“Angga, Lutfi, Dodik, Lisa, dan Dina, langsung ke bandara. Mereka
menunggu Mawar di sana.”
“Saya tunggu di mobil, ya,” ujar Mama. Dia menggandeng tangan
suaminya, lalu beranjak masuk ke sedan, membiarkan Mawar dan Aji berdua di
beranda.
Mawar kembali duduk di kursi, begitu juga dengan Aji. Untuk beberapa
saat mereka terdiam. Tenggelam dalam getar hati masing-masing. Kerongkongan
mereka serasa tercekat. Kata-kata seperti hilang entah ke mana. Hanya ada rindu
bercampur sedih, yang mengambang dalam rongga dada masing-masing.
“Kenapa kamu tidak pernah balas sms-ku dalam satu minggu ini?” ucap
Mawar lirih.
“Aku tidak punya pulsa,” jawab Aji berbohong.
Toilet I’m in Love Page 125
Page 126
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
“Jika tidak punya pulsa, kenapa juga kamu tidak mau menerima
teleponku?”
Aji hanya menunduk diam. Dia tidak berani menatap wajah Mawar yang
ayu dan teduh itu. Sebab sorot mata biru keperakan itu, tiba-tiba seperti sejuta
anak panah yang menghunjam, merajam dadanya.
“Akk…ak…aku minta maaf,” Aji tergagap.
“Maaf untuk apa?”
“Karena selama ini aku menjadi kambing di hadapanmu.”
“Apa maksudmu?”
Aji menarik nafas panjang, lalu mengangkat mukanya, memberanikan diri
menatap wajah bidadari di depannya itu. “Selama ini aku berusaha sangat keras
untuk menganggapmu tetap sebagai sahabat. Namun semakin keras aku berusaha,
semakin besar aku membohongi hatiku. Dan rasanya sakit. Aku lelah
membohongi diriku. Beginilah aku apa adanya: Aku mencintaimu. Tidak tahu
rasa itu datang dari mana, dan kenapa ada. Aku lebih sering merasakan
kehadiranmu, bahkan ketika kamu tidak di dekatku. Kurasakan kamu begitu
dekat, masuk, memenuhi relung-relung kosong di hatiku. Perasaan ini seperti
gumpalan awan yang memenuhi rongga dada, hingga nafasku terasa sesak.”
Mawar terdiam, tidak mampu lagi berkata-kata. Curahan isi hati Aji
seperti air bah, yang membanjiri hatinya, lalu menenggelamkannya. Ada perasaan
lega, sejuk, sekaligus rasa terhanyut. Tidak terasa ada genangan air, pelan-pelan
menutupi matanya yang indah. Setetes jatuh, meninggalkan jejak garis pada
pipinya yang merona.
Begitu juga dengan Aji. Sesuatu yang paling dibencinya dalam hidup
adalah pria yang meneteskan air mata. Haram hukumnya. Namun kali ini, mau
tidak mau dia harus mengesampingkan pantangan itu. Sebab beberapa tetas air,
telah jatuh dari sudut matanya.
Aji mengusap matanya yang tergenang air. Dia bangkit dari duduknya,
lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. “Aku masih punya hutang
padamu.” Dia membuka lipatan kertas itu, kemudian membacanya;
Jika kepedulian adalah butiran embun.
Toilet I’m in Love Page 126
Page 127
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Jangan biarkan kerinduan mengubahnyamenjadi serpihan kaca.
Sebab bias matahari pagi yang dibuatnya,tak akan mampu memuaskan dahagamu.Sebab rona-rona pelangi yang ditimbulkannya,hanya akan menyisahkan mimpi.
Biarkan tetes embun itu apa adanya.Yang akan menguap begitu saja, saat mentari pagimenghangatkannya.
Mawar bangkit dari duduknya. Gadis itu menyerbu ke arah Aji, menubruk
tubuhnya, lalu memeluknya erat. “Aku juga sayang kamu, Ji.” Air matanya tidak
terbendung lagi, jatuh berguguran membasahi wajahnya yang putih.
“Sejak kapan?” tanya Aji lirih.
“Sejak dulu.”
Untuk beberapa saat mereka hanya diam saling berpelukan. Semilir angin
pagi menyejukkan rongga dada mereka. Kini butir-butir embun itu, singgah pada
kelopak-kelopak hati mereka, menyegarkan sukma yang dahaga.
“Maukah kau berjanji padaku?” tanya Aji dengan suara bergetar.
“Berjanji apa?” tanya Mawar, yang tangannya masih melingkar pada
tubuh Aji.
“Untuk tidak merindukanku, mulai saat ini.”
Mawar terkejut, dilepaskannya pelukan itu. Ditatapnya Aji dengan
keheranan. “Kenapa tidak boleh?”
“Tidak ada yang melarangmu untuk mencintaiku. Sebagaimana tidak akan
ada yang melarang kita untuk saling mencintai. Tapi jika kamu merindukanku,
saat kita terpisah sangat jauh, perasaan itu hanya akan menyakitimu. Dan aku
tidak ingin itu terjadi.”
Mawar menunduk, terdiam. Hanya tangis sesenggukan yang keluar dari
mulutnya. Wajah ayu itu basah oleh air mata.
“Berjanjilah padaku,” lanjut Aji, “untuk tidak merindukanku lagi, saat
kamu tiba di Belanda. Berjanjilah padaku, untuk tidak menyakiti dirimu sendiri
dengan perasaan itu.”
Mawar tidak menjawab. Air mata masih berguguran di pipinya.
Toilet I’m in Love Page 127
Page 128
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Aji mendekati gadis itu, lalu mencium pipinya yang merona. “Biar aku
saja yang merindukanmu dari sini. Aku tidak akan membagi rasa sakit ini, dengan
orang yang aku cintai.”
Setelah berkata-kata, Aji beranjak pergi, meninggalkan bidadari itu di
beranda rumahnya yang megah.
La commedia e finitia. Sandiwara berakhir. Begitulah, Aji memang cowok
paling sial se-dunia. Tapi lumayan, setidaknya tidak menjadi “Jenderal cinta
bintang tiga”. Sebab kali ini ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Meskipun pada akhirnya, rasanya sama dengan yang dulu-dulu: tragis, sakit, dan
sengsara.
**SELESAI**
Toilet I’m in Love Page 128
Page 129
Hak Cipta: Ahjab (email: [email protected] )
Toilet I’m in Love Page 129