1 Azmi Abubakar dan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa tinmiswary (48), Februari 2018 Koran Kompas, Jumat, 2 Februari 2018 Azmi di Museum miliknya
1
Azmi Abubakar
dan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa tinmiswary (48), Februari 2018
Koran Kompas, Jumat, 2 Februari 2018
Azmi di Museum miliknya
2
Hari ini media nasional ternama di tanah air, Koran Kompas, meliput cerita tentang
seorang putra Aceh yang dalam beberapa tahun terakhir bermukim di Jakarta. Kisah ini
terpampang di ruprik sosok pada halaman 16 Kompas Edisi Jumat, 2 Februari 2018.
Sebagai orang Aceh, apalagi sebagai teman yang hampir saban hari meneguk kopi
bersama selama beliau di Aceh, tentunya tidak ada yang bisa melarang saya untuk
berbangga hati. Tentu tidak hanya saya dan juga teman-teman beliau yang lain, seluruh
masyarakat Aceh, atau bahkan masyarakat Indonesia pun patut berbangga dengan sosok
Azmi Abubakar. Sosok yang sedikit bicara tapi banyak bekerja.
Saya saat mendampingi Azmi
mewawancarai Tionghoa di Bireuen
Membaca ulasan tentang sosok Azmi
Abubakar yang ditulis secara apik
oleh Andreas Maryoto, wartawan
senior Kompas dengan tajuk “Azmi
Abubakar Membongkar Stigma”,
semakin memperteguh keyakinan saya,
bahwa seseorang itu dikenal, dihargai
dan dikenang bukanlah melalui mulut
besarnya, tapi melalui pengabdian dan
karya-karyanya. Azmi Abubakar
sudah membuktikan itu melalui
usaha-usaha dan pengabdiannya
selama bertahun-tahun.
Melalui Museum Pustaka Peranakan
Tionghoa yang dirintisnya secara
mandiri, Azmi telah membuka akses
informasi yang seluas-luasnya bagi
etnis peranakan Tionghoa di
Indonesia, bahkan di Asia, atau
mungkin di dunia. Museum yang berisi
puluhan ribu koleksi buku-buku,
dokumen dan berbagai naskah tua
telah menjelma sebagai salah satu
pusat wisata sejarah, khususnya bagi
3
Tionghoa. Museum ini tidak hanya dikunjungi oleh para pelajar atau masyarakat, tapi juga
menjadi sasaran riset para peneliti dari luar negeri.
https://steemitimages.com/0x0/https://steemitimages.com/DQmQHAqF6C6fHp3rHsbTcPFa3w4WxHDN2yXnB4Suti2aVdj/azmi4.jpg
Azmi semasa masih aktivis bersama Gusdur
Apa yang dilakukan Azmi tidak lahir tiba-tiba alias bin salabin, tapi dengan ketekunan
dan kerja keras yang terus menerus selama bertahun-tahun, dan tanpa mengeluh.
Dimulai dengan mengumpulkan buku-buku dan dokumen-dokumen tua selembar demi
selembar dan akhirnya menggunung yang kemudian dijaga dan disimpan rapi. Dalam
sejumlah buku dan dokumen tersebut tersimpan banyak cerita, kisah dan peristiwa di
masa lampau, tentang kejayaan, kebangkitan dan kejatuhan generasi terdahulu.
Azmi di depan Museum
Semoga saja apa yang dilakukan oleh Azmi dapat memberi inspirasi bagi generasi muda
untuk tidak lelah dalam mengabdi dan berkarya. Tahniah Bang Azmi Abubakar!
Lantai bawah Koleksi Museum Pustaka
Peranakan Tionghoa berisi berbagai dokumen,
termasuk buku dan surat kabar dari puluhan
hingga ratusan tahun lalu.
4
Koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Demikian dulu Tuan dan Puan Steemians, lain waktu disambung kembali…
Merajut Kebinekaan
Lewat Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Karlina Sintia Dewi
26 Feb 2018, 14:22 WIB
Liputan6.com, Tangerang - Banyak cara dalam merajut kebinekaan, salah satunya yang
dilakukan pemuda berdarah Aceh di Banten. Dia mendirikan Museum Pustaka Peranakan
Tionghoa sebagai bentuk kepeduliannya kepada etnis Tionghoa yang pernah mengalami
masa kelam pada 1998.
5
Seperti ditayangkan Liputan6 Siang SCTV, Senin (26/2/2018), sederet papan nama
bekas pada zaman dulu pernah berjaya menandai rumah pemiliknya. Kini papan nama
tersebut menjadi bagian benda koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di kawasan
Serpong, Tangerang, Banten.
BACA JUGA
VIDEO: Sukmawati Dilaporkan ke Polisi
Livi Zheng Bikin Film Tempat Kelahiran Bung Karno
Puti Guntur Akan Jaga dan Kembangkan Wisata Religi di Jatim
Azmi Abubakar adalah sosok dibalik berdirinya Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Dia
tertarik menggali lebih jauh khazanah dan jejak sejarah etnis peranakan Tionghoa di
Tanah Air.
"Museum ini menawarkan informasi yang tidak diketahui oleh masyarakat. Kita memiliki
puluhan ribu karya dari etnis Tionghoa. Mereka menulis berbagai hal seperti medis,
olahraga, dan polisi. Saya kira ini kekayaan tak ternilai yang dimiliki bangsa dan belum
diketahui,” jelas Azmi.
Seperti kata pepatah 'Tak Kenal Maka Tak Sayang', dengan mengenal maka akan
menyayangi. Berangkat dari pepatah itulah Azmi mengajak setiap eleman masyarakat
untuk menyikapi keberagaman dengan cara mempelajari jejak sejarah.
Museum ini ternyata membuka pengetahuan baru bagi pengunjungnya, seperti halnya
Bambang. Dia mengaku bisa membaca segala dan mendapatkan nillai positif.
"Di museum ini saya bisa baca segala hal. Ternyata banyak kebaikan-kebaikan dari adat
istiadat bangsa Tionghoa," terang Bambang.
Aktivitas Azmi dalam merajut kebinekaannya tak hanya pada museum. Jalinan
silahturahmi pun kerap dilakukannya pada etnis Tionghoa yang menyumbangkan buku ke
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Salah satunya kepada Oma Yeni yang telah
menyumbangkan buku terbitan tahun 1915.
"Kalau saya tidak ada gak tahu nanti buku-bukunya akan dikemanain. Kalau mereka (anak
dan cucu) mau urus, ya kalau gak mau? Saya berpikir lebih baik saya kasih saja ke
museum,” jelas Oma Yeni.
Kebinekaan bukan hanya sekedar slogan bagi Azmi Abubakar. Dia mengubahnya jadi
sebuah ketulusan dalam bertindak. Kebinekaan bukan sebagai perbedaan tetapi sebagai
keberagaman yang saling menguatkan.
6
"Kita selalu bicara merajut kebinekaan, tetapi bagaimana cara merajut itu? Saya kira
dengan membuka museum ini saya membuat langkah kecil saja. Meskipun saya orang Aceh
dan istri saya orang Minang, saya peduli etnis Tionghoa. Sebaliknya, mungkin nanti orang
Tionghoa peduli terhadap orang Ambon, misalnya. Jadi saya harap Indonesia bisa
bersatu dalam persaudaraan, bukan bersatu dalam keterpaksaan,” jelas Azmi.
Ariel Heryanto
https://twitter.com/ariel_heryanto/status/963232342717358080
Banyak laporan jurnalistik sudah saya baca tentang Museum ini dan pemiliknya. Tapi
semua terasa dangkal dan miskin dibandingkan yang saya jumpai sendiri ketika
berkunjung dan berjumpa dengan dua pemiliknya. Di hadapan Azmi Abubakar dan
Fajreini Fairuz, saya merasa sangat kecil.
7
Kisah Papan Nama Organisasi Modern Tionghoa Pertama di Indonesia
Azmi Abubakar (46) di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang diririkannya tahun 2011.
(Kompas.com/Silvita Agmasari)
SILVITA AGMASARI
15/03/2018, 18:15 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Azmi terkejut ketika membuka buku 'Peranakan Tionghoa
Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya' terbitan Initisari Mediatama. Di bab pembuka
'Menjadi Peranakan Tionghoa' ada foto hitam putih yang menampilkan barisan orang
Tionghoa zaman lampau berpakaian gaya Eropa.
8
Di atas barisan orang tersebut, terdapat papan nama besar dalam aksara Mandarin.
Tulisan, bentuk aksara, dan ukuran papannya sama persis dengan yang ia gantung di atas
pintu Museum Pustaka Peranakan Tionghoa miliknya.
Baca juga : Indonesia di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Papan tersebut adalah papan organisasi modern Tionghoa pertama di Indonesia, Tiong
Hoa Hwee Kwan (THHK). Sebuah organisasi yang didirikan oleh para tokoh Tionghoa
intelektual tahun 1900.
Organisasi ini juga menjadi cikal bakal berdirinya sekolah-sekolah Tionghoa di Hindia
Belanda dan penyebutan nama Tionghoa, yang merujuk pada etnis peranakan Tiongkok
yang lahir dan tinggal di Indonesia.
"Saya tidak tahu ternyata itu papan bersejarah. Kaget saya lihat foto itu. Saya sampai
terharu," kata Azmi ditemui di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Serpong,
Tangerang Selatan, Selasa (13/3/2018).
Azmi Abubakar (46) adalah pemilik Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang dibuka
sejak 2011. Azmi yang berdarah Aceh selama puluhan tahun mengumpulkan literatur
Tionghoa agar dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
Foto anggota Tiong Hoa Hwee Kwan, organisasi modern Tionghoa pertama
di Hindia Belanda. (Kompas.com/Silvita Agmasari)
"Saya cuma bilang sama teman-teman di awal. Kalau lihat papan nama besar aksara
Mandarin tolong kabari. Saya butuh untuk papan nama museum," kata Azmi.
9
Sampai suatu saat ada temannya yang menelpon, melihat papan nama besar dari kayu jati
di Solo, Jawa Tengah. Pergilah Azmi ke Solo, menuju pedagang yang dimaksud.
"Sampai sana pedagangnya bilang papannya masih ada tapi sedikit retak. Dia taruh di
rumah karena sudah lama tidak laku," jelas Azmi. Sepanjang jalan pulang dari Solo
dengan kereta api, ia cuma berharap papan nama besar yang dibawa tersebut bukan
bertuliskan rumah abu.
"Saya tidak bisa baca tulisannya. Pedagangnya juga tidak bisa," kata Azmi. Sampailah ia
di Serpong, dan ia pajang papan nama tersebut di depan ruko, lokasi Museum Pustaka
Peranakan Tionghoa.
Baca juga : Kisah John Lie, Pahlawan Indonesia Keturunan Tionghoa
"Suatu pagi ada engkoh-engkoh lari pagi, ia datangi saya tanya dapat dari mana papannya.
Lalu engkoh itu bilang itu tulisannya Tiong Hoa Hwee Kwan. Saya sih iya-iya saja,
namanya juga orang tua," kata Azmi yang mengaku tak percaya di awal. Sampai suatu
ketika ia ikut seminar bertema Tionghoa dan bertemu dengan buku yang memuat foto
THHK tersebut.
Pulang dari seminar tersebut, Azmi langsung mencabut papan nama tersebut dan
menaruhnya di dalam museum. Kini papan berusia 118 tahun tersebut menjadi koleksi
berharga Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang tidak akan ia jual.
THHK sendiri merupakan organisasi modern yang mendorong lahirnya organisasi
pergerakan nasional modern di Hindia Belanda. Salah satunya Boedi Oetomo yang
berperan besar dalam kemerdekaan RI.
THHK yang juga menjadi sekolah swasta pertama tanpa pengantar bahasa Belanda.
Mendorong berdirinya sekolah-sekolah lain untuk mandiri, mengajarkan ilmu kepada
anak-anak tanpa campur tangan kolonial.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Papan Nama Organisasi
Modern Tionghoa Pertama di Indonesia",
https://travel.kompas.com/read/2018/03/15/181500927/kisah-papan-nama-organisasi-modern-tionghoa-pertama-di-indonesia.
Penulis : Silvita Agmasari
Editor : Sri Anindiati Nursastri