Top Banner
TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7 tahun 1996, keamanan pangan adalah suatu kondisi atau upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Ruang lingkup keamanan pangan adalah bahaya biologis (bahaya mikrobiologis), kimia dan fisik. Ketiga jenis bahaya ini menurut Winarno (1997) akan selalu ada dalam industri katering, karena beragamnya bahan baku yang berasal dari produk hasil peternakan dan pertanian yang berpotensi sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme. Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan disesuaikan dengan penerapan sistem jaminan mutu pangan untuk setiap mata rantai dalam setiap proses. Daging Daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun atas jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005). Secara umum, kandungan gizi daging terdiri atas protein, air, lemak, karbohidrat dan mineral (Aberle et al., 2001). Berbeda dengan daging segar, daging olahan mengandung lebih sedikit protein dan air, serta lebih banyak lemak dan mineral. Kenaikan persentase mineral daging olahan disebabkan penambahan bumbu-bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan penambahan karbohidrat dan protein yang berasal dari biji-bijian, tepung dan susu skim (Soeparno, 2005). Sosis Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang digiling dan dibumbui yang umumnya dibentuk menjadi bentuk yang simetris (Kramlich, 1973). Menurut DSN (1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa
20

TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

Sep 03, 2018

Download

Documents

truongphuc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

TINJAUAN PUSTAKA

Keamanan Pangan

Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7 tahun 1996, keamanan pangan

adalah suatu kondisi atau upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran

biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan

membahayakan kesehatan manusia. Ruang lingkup keamanan pangan adalah bahaya

biologis (bahaya mikrobiologis), kimia dan fisik. Ketiga jenis bahaya ini menurut

Winarno (1997) akan selalu ada dalam industri katering, karena beragamnya bahan

baku yang berasal dari produk hasil peternakan dan pertanian yang berpotensi

sebagai tempat pertumbuhan mikroorganisme. Pengembangan sistem mutu dan

keamanan pangan disesuaikan dengan penerapan sistem jaminan mutu pangan untuk

setiap mata rantai dalam setiap proses.

Daging

Daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil

pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan

bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan

karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama

penyusun daging. Daging juga tersusun atas jaringan ikat, epitel, jaringan-jaringan

saraf, pembuluh darah dan lemak (Soeparno, 2005).

Secara umum, kandungan gizi daging terdiri atas protein, air, lemak,

karbohidrat dan mineral (Aberle et al., 2001). Berbeda dengan daging segar, daging

olahan mengandung lebih sedikit protein dan air, serta lebih banyak lemak dan

mineral. Kenaikan persentase mineral daging olahan disebabkan penambahan

bumbu-bumbu dan garam, sedangkan kenaikan nilai kalorinya disebabkan

penambahan karbohidrat dan protein yang berasal dari biji-bijian, tepung dan susu

skim (Soeparno, 2005).

Sosis

Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang digiling dan dibumbui

yang umumnya dibentuk menjadi bentuk yang simetris (Kramlich, 1973). Menurut

DSN (1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging

halus (tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  4

penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan

dimasukan ke dalam selongsong sosis. Bahan baku yang digunakan untuk membuat

sosis terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es,

minyak, garam dan lemak. Sedangkan bahan tambahannya yaitu bahan pengisi,

bahan pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang

diizinkan (bahan inovasi).

Istilah sosis berasal dari kata dalam bahasa latin “salsus”, yang memiliki arti

garam, sehingga sosis dapat diartikan sebagai daging giling yang diawetkan dengan

garam. Sosis didefinisikan sebagai makanan yang dibuat dari daging yang dicacah

serta dibungkus dalam casing menjadi bentuk silinder (Kramlich, 1973). Sosis

merupakan salah satu jenis emulsi, namun emulsi sosis bukanlah emulsi

sesungguhnya seperti mayonnaise atau emulsi minyak dalam air lainnya. Emulsi

sosis yang secara umum dimaksud oleh industri sosis adalah campuran daging yang

digiling halus, lemak, dan bumbu-bumbu. Lemak pada sosis dibungkus oleh protein

daging lean dengan struktur serupa dengan emulsi, walaupun bukan emulsi minyak

dalam air yang sesungguhnya. Protein larut garam, terutama myosin, diekstrak

dengan garam dan selama proses pencacahan membentuk sejenis emulsi yang

membungkus partikel lemak (Pearson dan Tauber, 1985). Komposisi nutrisi sosis

daging sapi menurut DSN (1995) dapat dilihat pada Tabel 1.

Daging yang banyak digunakan untuk membuat sosis adalah daging penutup ,

pendasar gandik, lemusir, pada depan, dan daging iga. Sebenarnya hampir semua

jenis daging dari bagian karkas dapat digunakan, namun karena perbedaan

kandungan lemak dan jaringan ikat tiap bagian daging maka penggunaannya

disesuaikan dengan mutu produk yang dihasilkan (Effie, 1980). Daging digunakan

sebagai bahan baku pada sosis karena memiliki daya ikat terhadap air dan memiliki

daya mengemulsi lemak. Bahan utama sosis ialah jaringan daging hewan selain

daging murni, juga ditambah daging berlemak untuk memberi rasa lezat. Jumlah

penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan

penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30% bobot daging

(Kramlich, 1973).

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  5

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Sosis Daging Sapi

Komposisi nutrisi Persentase (%)

Air Maks 67,0

Protein Min 13,0

Abu Maks 3,0

Lemak Maks 25,0

Karbohidrat Maks 8

Sumber: Dewan Standarisasi Nasional (1995)

Jumlah penambahan lemak dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama

pengolahan dan penanganan (Wilson et al., 1981), yaitu tidak boleh lebih dari 30%

bobot daging (Kramlich, 1973). Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan

penggilingan daging sapi yang telah dicacah menggunakan glinder. Menurut

Rust (1977), dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan penggilingan

menentukan jenis sosis. Tahap selanjutnya dilakukan penggilingan dan pencampuran

bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi sebagai proses homogenisasi

semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat adonan sosis. Alat yang

digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga ditambahkan serpihan es atau

air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan tambahan lainnya sehingga

terdistribusi merata (Kramlich, 1973).

Tahap ini ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu

penggilingan agar tetap dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi

(Tauber, 1977). Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan

alat filler. Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi

dan mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi

mutu sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk

menghasilkan jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan

membersihkan permukaan sosis (Girard, 1992).

Bahan-bahan dalam pembuatan sosis memiliki fungsi agar sosis memiliki

rasa yang berbeda dan lebih gurih dari yang beredar di pasaran pada umumnya.

Bahan tersebut diantaranya adalah minyak merupakan salah satu faktor yang penting

karena dapat menentukan aroma dan rasa selain itu juga dapat mempengaruhi

palatabilitas daging. Air es berfungsi untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  6

minyak) daging, melarutkan protein larut air, membentuk larutan garam untuk

melarutkan protein larut garam, sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga

temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan curing

(Soeparno, 2005).

Lemak merupakan bahan utama dalam emulsi daging karena lemak berperan

sebagai fase diskontinu pada emulsi sosis. Kadar lemak berpengaruh pada

keempukan dan jus daging. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil karena

lemak sapi mengandung lebih banyak asam lemak jenuh. Sosis masak harus

mengandung lemak tidak lebih dari 30 % (Kramlich, 1973). Penambahan bumbu

pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan

flavour. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan

sosis (Soeparno, 2005). Dalam beberapa hal bumbu juga bersifat sebagai

bakteriostatik dan antioksidan. Garam mempunyai sifat mendehidrasi dan mampu

mengubah tekanan osmotik, dengan demikian garam bisa mengurangi pertumbuhan

mikroba dan menjadikan daging olahan menjadi lebih awet (Pearson dan Tauber,

1985). Garam berfungsi untuk menambah citarasa, sebagai pengawet, dan juga

melarutkan protein.

Bahan Baku Pembuatan Sosis

Bahan baku yang digunakan untuk membuat sosis umumnya terdiri dari

bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, es atau air es, garam,

dan lemak atau minyak, sedangkan bahan tambahan yaitu bahan pengisi, bahan

pengikat, bumbu-bumbu, bahan penyedap dan bahan makanan lain yang diizinkan.

Formulasi menurut Soeparno (2005) adalah menghasilkan daging proses dengan

penampakan yang kompak, cita rasa dan sifat fisik yang stabil serta seragam.

Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk menambah atau

meningkatkan flavour.

Bahan Pengisi

Bahan pengisi adalah bahan yang mampu mengikat sejumlah air tetapi

mempunyai pengaruh yang kecil terhadap emulsifikasi. Bahan pengisi berfungsi

memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki sifat irisan, mengurangi proses

penyusutan selama proses pemasakan, peningkatan cita rasa dan mereduksi biaya

produksi. Bahan pengisi ternyata dapat meningkatkan daya mengikat air karena

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  7

mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat

mengabsorbsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula. Contoh dari bahan

pengisi ialah tepung gandum dan tepung terigu (Soeparno, 2005). Tapioka adalah

pati yang berasal dari ekstra umbi ketela pohon yang telah mengalami pencucian dan

pengeringan. Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk

meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama

proses pengolahan dan pemanasan. Disamping itu, tepung berpati dapat mengabsorbsi

air dua sampai tiga kali dari berat semula, sehingga adonan bakso menjadi lebih besar

(Ockerman, 1983). Salah satu bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan

sosis adalah tepung tapioka.

Es atau Air Es

Fungsi air es adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak)

daging, menggantikan sebagian air yang hilang selama proses pembuatan,

melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang

diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari

emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bumbu

pada saat curing (Soeparno, 2005). Menurut Kramlich (1973), pada proses

pembuatan sosis biasanya ditambahkan air dalam bentuk es sebanyak 20-30%.

Nitrit

Nitrit dan nitrat sebagai garam natrium atau kalium dipergunakan dalam

daging cured dengan tujuan untuk mengembangkan warna daging menjadi warna

merah muda terang, mempercepat proses curing (Soeparno, 2005). Fungsi utama

nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan

warna daging, untuk sosis masak dianjurkan penggunaannya sebanyak 3-50 ppm

(Ockerman, 1983). Jumlah maksimum nitrit yang bisa ditambahkan dalam curing

daging adalah 62,8 g/100 Kg. Dosis nitrit yang lebih dari 15-20 mg/Kg berat badan

akan menimbulkan kematian (Aberle et al., 2001). Penggunaan natrium nitrit sebagai

pengawet untuk mempertahankan warna daging ternyata dapat menimbulkan efek

yang membahayakakan kesehatan. Nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida

yang menghasilkan turunan nitrosamin yang bersifat karsinogenik

(Husni et al., 2007). Penambahan nitrit tidak terlalu mempengaruhi karakteristik

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  8

sensori, akan tetapi nitrit mempengaruhi proses oksidatif dan pembentukan

komponen volatil yang berasal dari mikroorganisme (Marco et al., 2006).

Garam

Garam merupakan komponen yang penting dalam pembuatan produk sosis.

Garam mempunyai fungsi (1) meningkatkan citarasa, (2) pelarut protein yaitu miosin

sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, (3) sebagai pengawet, karena dapat

mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan (4) untuk

meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan alkali fosfat

(Buckle et al., 1987). Penggunaan garam bervariasi, umumnya 2-2,5% karena

penggunaan garam yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit, salah satunya

adalah penyakit darah tinggi.

Sodium Tripolifosfat (STPP)

Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak

dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Penambahan polifosfat

dalam bentuk kering rata-rata sekitar 0,3% (Wilson et al., 1981). Fungsi penambahan

alkali fosfat pada produk daging adalah (1) meningkatkan pH daging dan

mengakibatkan meningkatnya daya mengikat air, (2) fosfat dan garam mempunyai

fungsi sinergis sehingga mempengaruhi daya mengikat air, (3) dapat menurunkan

penyusutan makanan karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan,

(4) meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan, (5) menstabilkan warna

dan keseragaman, (6) menghambat ketengikan karena fosfat memiliki sifat sebagai

antioksidan, dan (7) selain dapat meningkatkan mutu produk daging, harganya relatif

murah (De Freitas et al., 1997; Ockerman, 1983).

Lemak

Lemak atau minyak pada pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa

lezat, mempengaruhi keempukan dan juicenes daging dari produk yang dihasilkan.

Lemak menghasilkan fase dispersi (diskontinyu) dari emulsi daging sehingga lemak

merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung asam lemak jenuh

lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Sosis masak harus

mengandung lemak maksimum 30% (Kramlich. 1973).

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  9

Rosela

Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn) adalah tanaman yang berkembang biak

dengan biji, bermanfaat untuk kesehatan antara lain meningkatkan stamina tubuh,

mengandung vitamin C dan mineral essensial yang cukup tinggi yang mampu

menangkal radikal bebas penyebab kanker (Maria dan Ramli, 2008). Wianti et al.,

(2008) menyebutkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam kelopak bunga rosela

untuk TBC yaitu campuran asam sitrat dan asam malat 13%, anthocianin

(Hydroxyflavone) dan Hibiscin 2%, asam askorbat (vitamin C) 0,004%-0,005%,

protein (6,7% BS dan 7,9% BK), flavonol glucoside hibiscritin, flavonoid

gossypetine, hibiscetine dan sabdaretine, delphinidine 3-monoglucoside, cyanidin 3-

monoglucoside dan delphinidine. Dalam 100 g kelopak bunga rosela, mengandung

unsur-unsur, seperti berikut ini: kalori 49 kal, H2O 84,5%, protein 1,9 gr, lemak 0,1

gr, 12,3 g karbohidrat, serat 1,2 gr, kalsium 0,0172 gr, phospor 0, 57 gr, logam 0,029

gr, karotene B-3 gr, asam askorbat gr 0,14, abu 6,90 gr, 0117 mg thiamine dan

riboflavin 0,277 mg. Gambar kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Gambar 1.

 

Gambar 1. Kelopak Bunga Rosela (Amanda dan Prima, 2008)

Penyimpanan ekstrak rosela selama tujuh hari pada suhu kamar menyebabkan

penurunan konsentrasi antosianin serta kenaikan nilai pH dari ekstrak rosela tersebut,

sedangkan penyimpanan ekstrak selama tujuh hari pada suhu dingin menyebabkan

kenaikan nilai pH tetapi tidak menyebabkan penurunan konsentrasi antosianin

(Retno et al., 1999). Bridle dan Timberlake (1996) menambahkan, warna merah dari

antosianin lebih baik atau cerah pada pH yang sangat rendah (pH<2). Pada nilai pH

di atas 3,5 warna merah dari antosianin mulai memudar. Adapun komposisi kimia

dari bunga Rosela jenis Hibiscuss Sabdariffa L dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  10

Tabel 2. Komposisi Kimia Bunga Rosela Jenis Hibiscuss Sabdariffa L dalam 100 g

Komposisi Jumlah Protein 1,14 g Lemak 2,61 g Serat 12,0 g Kalsium 1,26 mg Fosfor 273,2 mg Besi 8,98 mg Karoten 0,029 mg Tiamin 0,117 mg Riboflavon 0,277 mg Niasin 3,76 mg Sumber : Amanda dan Prima (2008)

Pigmen Angkak

Pigmen angkak merupakan pigmen yang dihasilkan oleh kapang, yang

digunakan sebagai zat pewarna makanan dan minuman di negara-negara Asia seperti

Cina, Jepang, Taiwan, Filipina dan Indonesia (Sutrisno, 1987). Angkak dapat dilihat

pada Gambar 2.

Gambar 2. Beras Merah Cina atau Angkak

(Kasim et al., 2005)

Pigmen angkak dapat diproduksi dengan cara fermentasi media padat maupun

dengan cara menggunakan sistem fermentasi media cair (Wong dan Koehler, 1981).

Secara tradisoinal, umumnya pembuatan angkak dilakukan dengan sistem fermentasi

media padat, karena tekniknya lebih sederhana dan praktis. Menurut Palo et al.

(1960), suhu optimum untuk memproduksi pigmen angkak adalah 27 oC dengan

kisaran 20 oC-37 oC. Produksi pigmen Monascus purpureus dapat pula dihasilkan

dengan menggunakan sumber karbon selain beras seperti gadung, kentang, ganyong,

seweg, ubi jalar, gaplek dan tapioka. Tabel 3 berikut ini menyajikan komposisi

kimiawi dari angkak.

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  11

Tabel 3. Komposisi Kimiawi Angkak

Kandungan Jumlah (%) Air 7-0 Pati 53-60 Nitrogen 2,4-2,6 Protein kasar 15-16 Lemak kasar 6-7 Abu 0,9-1 Sumber : Steinkraus (1983)

Angkak dapat dijadikan pewarna makanan yang baik, tetapi sebelumnya

perlu diperhatikan pula kondisi fermentasinya untuk menghasilkan pigmen angkak

yang baik, serta sedikit atau tidak mengandung citrinin sama sekali

(Pattanagul et al, 2007). Masalah utama dalam penggunaan zat pewarna alami

adalah stabilitas pigmen. Pewarna alami sangat sensitif terhadap suhu, cahaya,

keasaman, udara dan perubahan aktivitas air (Wong dan Koehler, 1981). Menurut

Sutrisno (1987), pigmen angkak yang diproduksi oleh Monascus sp ini sedikit larut

dalam air dan kurang stabil terhadap pengaruh-pengaruh fisika dan kimia. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pigmen angkak yang dimodifikasi dengan

menggunakan asam amino asetat, asam p-amino benzoat dan asam glutamat lebih

stabil terhadap pengaruh fisik dan kimia serta kelarutan yang lebih baik dalam air.

Sutrisno (1987) telah melakukan penelitian terhadap sifat fisik pigmen

angkak. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitiannya adalah pigmen angkak

yang dipengaruhi oleh sinar matahari, sinar ultraviolet, pH, suhu dan indikator.

Pengaruh suhu akan menyebabkan zat warna mengalami dekomposisi dan berubah

strukturnya, sehingga dapat terjadi pemucatan. Pigmen angkak paling stabil pada

pH 9,2 bila dibandingkan dengan pH 7 dan pH 3. pemanasan pada suhu 100oC

selama satu jam tidak mengakibatkan kerusakan yang nyata terhadap pigmen

angkak.

Sifat Antimikroba Pigmen Angkak

Hasil penelitian Fardiaz et al. (1996), yang melakukan serangkaian

pengujian toksisitas pigmen angkak yang diproduksi dari limbah cair tapioka

terhadap jenis tikus wistar, terlihat bahwa pemberian pigmen angkak sampai dosis

tertinggi yaitu 3,913 g/kg selama 4 minggu tidak menyebabkan pembengkakan

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  12

hati, ginjal, dan pankreas. Selain itu, dari hasil pengujian imunogenisitasnya,

pigmen angkak yang dihasilkan dari limbah cair tapioka tidak menyebabkan

ketidakabnormalan sel limfosit, yang berarti tidak mengganggu sistem kekebalan.

Jenie dan Kuswanto (1994) telah membuktikan pada penelitiannya bahwa

pigmen angkak dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, yaitu B. Cereus

dan bakteri perusak Pseudomonas sp. Selanjutnya sifat antimikroba dari pigmen

angkak ini diterapkan oleh Justiawan (1997) dengan kesimpulan konsentrasi

pigmen angkak 7,5 g cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan sel bakteri

B. Stearothermophilus bahkan konsentrasi 40 ppm nitrit yang dimodifikasi dengan

5,0 g angkak lebih baik penghambatannya daripada konsentrasi 125 ppm nitrit.

Pigmen Angkak Sebagai Bahan Pewarna Sosis

Warna merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat

kualitas dari sosis. Intensistas warna dapat dihasilkan diantaranya dari konsentrasi

larutan curing (Shehata et al., 1998). Penggunaan nitrit dalam pengolahan

makanan telah lama dilakukan yaitu sebagai senyawa ”curing” terutama untuk

produk-produk olahan daging. Awalnya nitrit digunakan untuk memperoleh warna

merah pada daging, sebagai bahan pengawet dan sebagai bahan pembentuk faktor-

faktor sensori (warna, aroma dan citarasa). Nitrit dapat berikatan dengan amino

dan amida dalam protein daging dan membentuk turunan nitrosamin. Perhatian

terhadap nitrosamin meningkat pada awal tahun enampuluhan, mengikuti suatu

bencana penyakit hati berat pada biri-biri di Norwegia, yang menunjukkan bahwa

biri-biri menjadi sakit setelah mengkonsumsi tepung ikan yang diawetkan dengan

nitrit (Muchtadi, 1987).

Menteri kesehatan telah mengeluarkan peraturan mengenai penggunaan

nitrat dan nitrit dalam daging yang diawetkan. Menurut standar USDA (2000),

batas maksimum nitrit (dalam bentuk NaNO2) yang digunakan untuk sosis masak

adalah 156 ppm (Justiawan, 1997). Hasil penelitian Fabre et al. (1993)

menyatakan bahwa pigmen angkak dapat mewarnai sosis. Semakin banyak pigmen

angkak yang ditambahkan, maka intensitas warna merah sosis semakin tinggi.

Selain itu dijelaskan lebih lanjut bahwa penambahan angkak justru memperbaiki

tekstur dan flavour.

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  13

Pengujian angkak sebagai subtitusi nitrit pada sosis daging sapi telah

dilakukan oleh Justiawan (1997). Hasil pengujian organoleptik menunjukkan dari

segi warna dan penampakan penelis lebih menyukai sosis daging sapi dengan

jumlah penambahan angkak 2,5 g/kg daging. Hasil penelitian Justiawan (1997)

dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini untuk menentukan jumlah angkak

yang ditambahkan dalam formulasi.

Pembuatan Sosis

Proses pembutan sosis sapi dimulai dengan penggilingan daging sapi yan

telah dicacah menggunakan glinder. Dalam proses pembuatan sosis, faktor kehalusan

penggilingan menentukan jenis sosis (Rust, 1977). Tahap selanjutnya dilakukan

penggilingan dan pencampuran bumbu dalam cutter. Proses pencampuran berfungsi

sebagai proses homogenisasi semua bahan-bahan yang digunakan untuk membuat

adonan sosis. Alat yang digunakan sebagai cutter bowl mixer. Tahap ini juga

ditambahkan serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan

tambahan lainnya sehingga terdistribusi merata (Kramlich, 1973). Tahap ini

ditambahkan serutan es yang bertujuan untuk menjaga suhu penggilingan agar tetap

dibawah 20 oC dan untuk mencegah pecahnya emulsi (Tauber, 1977).

Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam casing dengan alat filler.

Penggunaan filler dimaksudkan untuk mempertahankan kestabilan emulsi dan

mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang akan mempengaruhi mutu

sosis (Henrickson, 1978). Tahap pemasakan selain bertujuan untuk menghasilkan

jenis sosis masak, juga untuk mengurangi kandungan mikroba dan membersihkan

permukaan sosis (Girard, 1992).

Umur Simpan

Umur simpan adalah rentang waktu antara produk mulai dikemas atau

diproduksi sampai digunakan dengan mutu yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi.

Kerusakan pangan diukur laju degradasinya dengan menggunakan model matematis

tertentu (Labuza, 1982). Penyimpangan produk dari mutu awalnya disebut

deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi

deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air,

cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat diawali oleh hentakan

mekanis seperti vibrasi dan kompresi (Arpah, 2001). Tingkat kerusakan produk

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  14

dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju kerusakan dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan penyimpanan. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat

disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu

reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti

proses fisika dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan

menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan

tekstur, flavor, warna, penampilan fisik, nilai gizi dan lain-lain (Arpah, 2001).

Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi kerusakan pada produk pangan disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Beberapa Faktor dan Efek Deterioratif Pada Pangan

Faktor Utama Efek Deterioratif

Oksigen Oksidasi lipida Kerusakan vitamin Kerusakan protein Oksidasi pigmen

Uap air Kehilangan/kerusakan vitamin Perubahan organoleptik Oksidasi lipida

Cahaya Oksidasi Pembentukan bau/perubahan flavor Kerusakan vitamin

Kompresi/bantingan, vibrasi, abrasi, penanganan secara kasar

Perubahan organoleptik Kebocoran pada pengemas

Bahan kimia toksik/bahan kimia off-flavor

Off-flavor Perubahan organoleptik Perubahan kimia Pembentukan racun

Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang

disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak

tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal

bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti

cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu,

Fe, Co dan Mn serta enzim-enzim lipooksidase (Winarno, 1997).

Penyimpangan-penyimpangan ini menyebabkan produk pangan tidak

menyerupai tekstur seperti aslinya pada awal produksi. Tergantung pada tingkat

deteriorasi yang berlangsung. Perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  15

tidak dapat lagi digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau bahkan tidak

dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluarsa (Arpah, 2001).

Menurut Syarief et al. (1989), penentuan umur simpan bahan pangan dapat

dilakukan dalam tiga metode yaitu metode konvensional, metode akselerasi kondisi

penyimpanan dan metode nilai paruh waktu (half value point). Metode konvensional

menitikberatkan pada pengaruh kadar air dan perubahan yang terjadi pada produk

yang dikemas dengan RH beragam. Metode akselerasi kondisi penyimpanan

dilakukan dengan pengamatan kenaikan atau penyusutan berat produk yang dikemas

dengan menggunakan berbagai jenis kemasan, sedangkan metode nilai paruh waktu

juga memperhitungkan kadar air yang diserap pengemas dan kadar air kritis produk.

Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap

suhu. Keadaan suhu ruang penyimpanan sebaiknya tetap dari waktu ke waktu, tetapi

seringkali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah (Syarief dan Halid, 1993).

Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan Dingin pada Pertumbuhan Mikroorganisme

Perubahan kualitas daging beku sangat minimal pada temperatur

penyimpanan -18 oC, sehingga temperatur pembekuan ini digunakan sebagai dasar

penyimpanan beku. Penyimpanan beku pada temperatur di bawah -10 oC akan sangat

menurunkan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk

(Soeparno, 2005). Pertumbuhan mikroorganisme pada makanan pada suhu di bawah

kira-kira -12 oC belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan

beku pada suhu sekitar -18 oC dan di bawahnya akan mencegah kerusakan

mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar.

Mikroorganisme psikofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu

lemari es, terutama di antara 0 oC dan 5 oC. Jadi penyimpanan yang lama pada suhu-

suhu ini dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan oleh mikroorganisme. Walaupun

jumlah mikroba biasanya menurun selama pembekuan dan penyimpanan beku

(kecuali spora), makanan beku tidak steril dan seringkali cepat membusuk.

Pembekuan dan penyimpanan makanan beku juga mempunyai pengaruh nyata pada

kerusakan sel mikroba. Jika sel yang rusak atau luka tersebut mendapat kesempatan

menyembuhkan dirinya, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan

sekitarnya memungkinkan (Buckle et al., 1987).

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  16

Berdasarkan temperatur maksimum dan optimum untuk pertumbuhan,

mikroorganisme dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mesophylles yang tumbuh pada

suhu optimum antara 15 oC sampai 40 oC, sedangkan thermophylles tumbuh

optimum pada suhu 45 oC sampai 60 oC dan psychrophillic tumbuh optimum pada

suhu -1 sampai 3 oC. pertumbuhan bakteri pada dan di dalam daging dapat di bagi

menjadi 4 fase, yaitu fase lag, fase pertumbuhan logaritmik, fase konstan dan fase

kematian.

Berdasarkan definisi pembekuan atau penyimpanan beku daging, pembekuan

dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan pada suhu

dimana daging dalam kondisi yang cukup keras dan tahan pada penimbunan. Dalam

pelaksanaannya ialah penggunaan suhu di bawah -15 oC. Dalam tubuh hewan yang

masih hidup terdapat suatu mekanisme organisme biologi tertentu yang tidak

berfungsi lagi setelah hewan mati, dan yang akan mengakibatkan enzim pencernaan

akan menyerang jaringan tubuh (Desroisier, 1988).

Kerusakan yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama

disebabkan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang masuk ke dalam daging

hewan yang telah mati berasal dari daerah sekitarnya dan terjadi mulai dari saat

pemotongan hewan serta pada proses penanganan lebih lanjut. Dalam daging, bakteri

tumbuh dan berkembang biak dengan baik dan untuk itu bakteri mengambil

kebutuhan pangannya dari daging yang setempat. Tingkat kerusakan daging

tergantung dari tingkat kebutuhan bahan pangan (nutrisi) bakteri. Kebanyakan

bakteri termasuk bakteri pembusuk daging dari genus pseudomonas, mempunyai

kebutuhan energi tingkat menengah. Temperatur pembekuan dan pendinginan

sebenarnya tidak jauh berbeda, suhu pembekuan yaitu -15 oC. Ini dapat mengurangi

bahaya dari bakteri pathogen dan memperlambat pertumbuhan dan pembusukan yang

terjadi karena mikroorganisme. Kebanyakan bakteri patogen termasuk Pseudomonas

sp, adalah bakteri yang paling menonjol pada permukaan daging, pada penyimpanan

dingin dan beku pada penyimpanan daging. Jika pendinginan dilakukan dengan cepat

di bawah suhu 10 oC sebelum pH di otot menjadi 6, maka serat pada otot akan

berkontraksi dan daging akan mengeras pada saat pemasakan (USDA, 2000).

Daging seperti bahan biologis yang lain, tidak mempunyai titik beku tertentu,

akan tetapi mempunyai kisaran titik beku, jumlah air yang terdapat sebagai es

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  17

ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 0 oC belum terdapat es, pada suhu

-10 oC kira-kira 83% beku dan baru pada suhu -40 oC semua air yang ada membeku

pada titik beku. Menurut Buckle et al. (1987), daging yang dibekukan mengalami

kerusakan yang lambat selama penyimpanan beku, terutama yang disebabkan oleh

oksida lemak, dapat mempengaruhi rasa terutama pada daging yang mengandung

banyak lemak. Lama penyimpanan dingin (≤0 oC) dari produk segar dan sudah

dimasak ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Penyimpanan Dingin untuk Produk Segar dan Sudah Dimasak

Produk Lama Waktu Penyimpanan

Unggas 1 atau 2 hari

Daging sapi, daging kambing 3 sampai 5 hari

Hari, otak, jantung (organ bagian dalam) 1 atau 2 hari

Daging yang telah diasinkan, dimasak

sebelum dimakan

5 sampai 7 hari

Sosis, kalkun yang belum dimasak 1 sampai 2 hari

Telur 3 sampai 5 hari

Sumber: USDA (2000)

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keawetan daging,

diantaranya adalah pendinginan. Menurunkan suhu penyimpanan dapat berdampak:

(1) berkurangnya pertumbuhan mikroorganisme dan (2) melambatnya aktifitas

fisiologis pada jaringan tumbuhan dan aktivitas metabolisme dari jaringan hewan

post-mortem. Penyimpanan dingin biasanya dilakukan untuk mengontrol beberapa

komponen seperti suhu, kelembaban (RH), kecepatan udara, komposisi udara, dll

(Ramaswamy dan Marcotte, 2006).  Pendinginan akan dapat mempertahankan

kesegaran serta dapat memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan

(Desroisier, 1988). 

Heldman dan Singh (1988) menyatakan bahwa semakin rendah suhu

lingkungan, aktivitas mikroorganisme serta sistem enzim menjadi semakin

berkurang. Penyimpanan dengan cara pendinginan menggunakan suhu yang tidak

begitu juah dibawah suhu pembekuan dan biasanya melibatkan sistem pendinginan

dengan es atau refrigerasi mekanik. Cara ini digunakan sebagai pengawetan utama

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  18

untuk bahan pangan atau untuk pengawetan sementara sampai proses pengawetan

lebih lanjut dilakukan (Frazier, 1967).

Penyimpanan karkas atau daging pada suhu dingin, meskipun dalam waktu

yang singkat diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan

kerusakan dan perkembangan mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau

karkas selama masa penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan cara menyimpan

karkas dalam bentuk yang belum dipotong-potong (Soeparno, 2005). Pada

umumnya, makin besar ukuran karkas dan lemak eksternal, makin lama waktu yang

dibutuhkan untuk pendinginan pada suhu kecepatan udara pendingin tertentu

(Bouton et al., 1978). Suhu, kecepatan udara dan kelembaban merupakan parameter

penting yang mempengaruhi kekeringan/ pengeringan produk. Semakin tinggi suhu

udara semakin cepat proses pengeringan. Semakin cepat aliran angina akan

memperlambat proses pengeringan. Menurut Ramaswamy dan Marcotte (2006)

ukuran, bentuk dan luas permukaan produk sangat mempengaruhi kekeringan serta

kecepatan kering produk.

Sifat Fisik Sosis

Daya Serap Air (DSA)

Muchtadi dan Sugiono (1992), menyatakan bahwa daya serap air (DSA)

menunjukan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini sangat penting

dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti sosis dan bakso. Produk sosis dan

bakso diperlukan DSA yang tinggi.

Menurut Ellinger (1972), keberadaan air dalam daging mempengaruhi susut

berat, sifat kekerasan dan kekenyalan. Natrium Chlorida (NaCl) mempunyai peranan

untuk meningkatkan mutu, menekan susut berat dan daya mengikat air terutama pada

penggunaan daging segar. Semakin tinggi konsentrasi NaCl yang digunakan terjadi

peningkatan daya mengkat air.

Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dalam setiap

pembuatan produk olahan daging. Nilai pH dipengaruhi oleh bahan-bahan yang

digunakan dalam produk tersebut terutama daging yang digunakan. Nilai pH

berpengaruh terhadap sifat-sifat produk yang dihasilkan, yaitu masa simpan, DMA,

tekstur, stabilitas emulsi, kekenyalan, dan warna produk (Indriyani, 2007).

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  19

Kekenyalan

Faktor yang mempengaruhi kekenyalan daging digolongkan menjadi faktor

antemortem (genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, dan umur) dan

faktor postmortem (metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, dan pH

daging). Bertambahnya penggunaan tapioka menjadikan sosis lebih kenyal

(Gadiyaram dan Kannan, 2004). Menurut Moedjiharto (2003) pembentukan

kekenyalan berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan kemampuan

pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin, campuran dengan lemak, gula,

garam, dan pati.

Sifat Organoleptik

Sifat mutu subjektif pangan disebut organoleptik atau indrawi karena

penilaiannya menggunakan organ indra manusia. Kadang-kadang juga disebut sifat

sensorik karena penilaiannya berdasarkan pada rangsangan sensorik pada organ

indra. Palatabilitas panelis dapat ditujukan melalui uji organoleptik yang meliputi

warna, rasa, aroma, kekenyalan, dan tekstur (Soekarto, 1990).

Bakteri Patogen

Bakteri yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri pada bahan

pangan meliputi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Mikroba-mikroba

tersebut dapat digolongkan dalam mikroba bakteri perusak. Mikroba yang dapat

menyebabkan keracunan dan infeksi saat ikut terkonsumsi disebut mikroba patogen.

Escherichia coli

E. coli tergolong dalam famili Enterobacteriaceae dan termasuk bakteri gram

negatif, berbentuk batang dengan ukuran panjang 2,0-6,0 mikrometer, E. coli

terdapat dalam bentuk tunggal atau berpasangan, bersifat motil atau non motil.

Aktivitas air (aw) minimum yang memungkinkan pertumbuhan E. coli adalah antara

0,95 sampai 0,96 (Fraizer dan Westhoff, 1998).

E. coli merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan

manusia dan hewan. Sel bakteri ini terdapat pada feses dan air yang terkontaminasi

oleh feses. Bakteri ini stabil dalam medium yang mengandung glukosa, amonium

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  20

sulfat dan sedikit garam mineral (Salle, 1961). Gambar bakteri E. coli dapat dilihat

pada Gambar 3.

Gambar 3. Escherichia Coli

(http://www.lintasberita.com/go/226395)

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan mikroflora normal yang berada dalam

daging yang dapat disebabkan oleh terdapatnya kontaminasi selama pengolahan.

Bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat sehingga

dapat menyebabkan turunnya pH daging. Turunnya pH daging dapat membantu

menekan pertumbuhan bakteri patogen pembusuk yang ada (Fardiaz, 1992). Bakteri

asam laktat termasuk bakteri gram positif, tidak berspora, selnya berbentuk batang

atau bulat, baik tunggal, berpasangan maupun berantai dan kadang berbentuk tetrad

(Banwart, 1983).

Menurut Jay (1996), bakteri asam laktat bersifat mesofilik dan termofilik,

beberapa dapat tumbuh pada suhu 5 oC dan suhu maksimum 45 oC, dapat bertahan

pada pH 3,2 dan pada pH yang lebih tinggi 9,6 serta beberapa bakteri asam laktat

dapat tumbuh pada kisaran pH yang sangat sempit (4,0-4,5). Bakteri asam laktat

menghasilkan beberapa senyawa antimikroba berupa asam-asam organik berupa

asetat, asam laktat dan karbondioksida (Ouwehand, 1998). Selain itu juga dihasilkan

hidrogen peroksida dan senyawa diasetil serta senyawa-senyawa reuterin dan 2-

pirolidon-5asam karboksilat, sehingga efektif dalam menghambat bakteri.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme

Faktor Intrinsik

Kandungan Nutrisi. Mikroorganisme membutuhkan nutrisi untuk kehidupan dan

pertumbuhannya yaitu sebagai sumber karbon, nitrogen, energi dan faktor

pertumbuhan yaitu mineral dan vitamin. Nutrisi tersebut dibutuhkan untuk

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  21

membentuk energi dan menyusun komponen-komponen sel (Jay, 2000). Ray (2004)

menyatakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme disempurnakan melalui sintesis

komponen-komponen sel dan energi. Kebutuhan akan nutrisi proses tersebut berasal

dari lingkungan yang dekat dengan sel-sel mikroorganisme. Sel-sel tersebut apabila

tumbuh, maka akan mensuplai nutrisi. Nutrisi-nutrisi ini terdiri atas karbohidrat,

protein, lemak, mineral dan vitamin.

Nilai pH dan TAT (Total Asam Tertitrasi). Nilai pH medium sangat

mempengaruhi jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Mikroorganisme

umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6. Kebanyakan bakteri memiliki pH

optimum yaitu pH untuk pertumbuhan maksimum sekitar 6,5-7,5 (Fardiaz, 1992).

Pengukuran TAT adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi dan tidak

terdisosiasi), sedangkan dalam pengukuran pH yang terukur adalah jumlah ion

hidrogen dalam bentuk terdisosiasi. Pengontrolan terhadap nilai TAT dan pH

merupakan suatu parameter yang penting, karena adanya perubahan nilai TAT dan

pH pada bahan pangan akan mempengaruhi kualitas bahan pangan tersebut. Nilai pH

dan TA dipengaruhi oleh produksi asam laktat dan asam organik lainnya sehingga

hasil metabolisme starter terhadap karbohidrat daging. Varnam dan Sutherland

(1995) menyatakan bahwa pembentukan asam laktat tergantung pada tingkat

aktivitas mikroba yang digunakan.

Aktivitas Air (aw). Adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba

untuk pertumbuhannya (Syarief dan Halid, 1993). Kandungan air suatu bahan tidak

dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan suatu

produk pangan. Ray (2004) menambahkan, bahwa aktivitas air merupakan

pengukuran ketersediaan air untuk menjalankan fungsi-fungsi biologis. Aktivitas air

berkaitan dengan keberadaan air dalam bahan pangan dalam bentuk bebas. Air yang

terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air

lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia

hidrolitik. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki aw minimal

yang berbeda.

Komponen Antimikroba. Bahan pangan kemungkinan dapat mengandung

komponen-komponen yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan - …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/54207/6/D12jgl_BAB... · TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan Sesuai dengan Undang-undang RI N0. 7

  22

Komponen antimikroba tersebut terdapat dalam bahan pangan melalui beberapa cara,

yaitu: (1) terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, (2) ditambahkan dengan

sengaja ke dalam bahan pangan dan (3) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad

renik yang tumbuh selama fermentasi bahan pangan (Fardiaz, 1992). Bakteri asam

laktat dapat menghasilkan bakteriosin yang dapat menghambat petumbuhan bakteri

patogen atau pembusuk (Ray, 2004). Proliferasi mikroorganisme dapat dipenaruhi

oleh komponen penghambat. Bahan-bahan yang dapat menghambat aktivitas

mikroorganisme disebut bacteriostat, sedangkan yang dapat membunuh

mikroorganisme disebut bactericide (Marriott, 1989).

Faktor Ekstrinsik

Suhu. Marriott (1989) menyatakan bahwa mikroorganisme memiliki suhu optimum,

minimum dan maksimum. Suhu di bawah minimum dan di atas maksimum, aktivitas

enzim akan berhenti atau bahkan terdenaturasi pada suhu yang terlalu tinggi.

Menurut Fardiaz (1992) suhu tempat suatu bahan pangan disimpan berpengaruh

besar terhadap mikroorganisme yang dapat tumbuh serta kecepatan

pertumbuhanannya.

Kelembaban Relatif (RH). Kelembaban relatif merupakan faktor ekstrinsik yang

mempengaruhi pertumbuhna mikroorganisme dan dipengaruhi oleh suhu. Semua

mikroorganisme memiliki kebutuhan air yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan

dan aktivitasnya. RH yang tinggi dapat menyebabkan uap air terkondensasi pada

makanan, peralatan, dinding dan langit-langit ruangan. Kondensasi tersebut dapat

menyebabkan permukaan menjadi lembab atau basah, sehingga kondusif bagi

pertumbuhan mikroorganisme dan kerusakan (Marriott, 1989). RH optimal bagi

bakteri adalah 92% atau lebih, sedangkan khamir membutuhkan 90% atau lebih, dan

kapang membutuhkan RH yang lebih kecil yaitu 85%-90%.