Top Banner
TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG, KABUPATEN BANDUNG BARAT NURUL DWI NOVIKARUMSARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
80

TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

Jun 29, 2018

Download

Documents

buihuong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH

PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG,

KABUPATEN BANDUNG BARAT

NURUL DWI NOVIKARUMSARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Page 2: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...
Page 3: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Tingkat Difusi-Adopsi

Inovasi Biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat adalah benar

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Nurul Dwi Novikarumsari

NRP I351120031

Page 4: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

RINGKASAN

NURUL DWI NOVIKARUMSARI. 2014. Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas

oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.

Dibimbing oleh SITI AMANAH sebagai Ketua Komisi, dan BASITA GINTING

SUGIHEN sebagai Anggota Komisi.

Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun baru

berkembang setelah adanya Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola oleh Koperasi

Susu Bandung Utara (KPSBU) dan bekerjasama dengan LSM internasional

Human Institute for Development Cooperation (Hivos) dan Foundation of

Netherlands Volunteers (SNV) pada tahun 2010. Saat ini terdapat 4 197 Rumah

Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP) yang berpotensi mengadopsi biogas.

Terdapat beragam penyebab hambatan dalam proses difusi adopsi biogas, baik

dari aspek inovasi biogas tersebut, mau pun dari sisi peternak. Pemanfaatan

limbah sapi perah sebagai bahan dasar biogas dapat memberikan manfaat baik

secara ekonomi mau pun lingkungan. Dengan demikian diperlukan percepatan

difusi biogas dengan semakin banyaknya adopter biogas dari peternak. Penelitian

ini berupaya menjawab pertanyaan tentang tingkat difusi adopsi biogas. Adapun

tujuan penelitian ini meliputi hal berikut: (1) menganalisis persepsi peternak

mengenai sifat inovasi biogas, (2) menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi

biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan (3) menganalisis

hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas,

tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi

inovasi biogas.

Penelitian dilakukan di Desa Cibodas dan Suntenjaya, Kecamatan Lembang,

Kabupaten Bandung Barat. Sampel penelitian adalah seluruh Rumah Tangga

Peternak Sapi Perah (RTPSP) penerap inovasi biogas sebanyak 266 RTPSP.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga April 2014. Data primer

dikumpulkan melalui kuesioner yang terdiri dari 55 pertanyaan meliputi variabel

karakteristik RTPSP meliputi pendidikan formal, lama beternak, jumlah ternak,

tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan luas lahan untuk

biogas. Selanjutnya, variabel penelitian juga mencakup persepsi terhadap sifat

inovasi meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat

kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas serta variabel tingkat

akses informasi dan fasilitasi penyuluh meliputi akses terhadap informasi inovasi

biogas, dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas. Pengolahan data

dilakukan secara deskriptif, dan untuk melihat faktor-faktor yang berkorelasi

dengan tingkat difusi dan adopsi biogas, digunakan analisis korelasi rank

Spearman.

Litterer (Asngari 1984) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan

pemahaman atau pandangan manusia tentang obyek di sekitarnya. Sifat inovasi

biogas yang dinilai peternak meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat

kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas.

Penilaian peternak tentang sifat inovasi biogas menjadikan peternak mau

mengadopsi biogas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biogas layak diterapkan menurut

persepsi RTPSP namun jumlah adopter masih di bawah 50 persen. Motivasi,

Page 5: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

keuntungan relatif, kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas berkorelasi

nyata dan positif dengan kecepatan adopsi biogas, sedangkan lama beternak,

keuntungan relatif dan triabilitas berkorelasi positif nyata dengan difusi biogas.

Akses informasi inovasi biogas dan frekuensi pertemuan tidak berkorelasi nyata

dengan difusi-adopsi biogas. Dari kedua desa penelitian, sebesar 87.2 persen

kecepatan adopsi peternak termasuk kategori sedang, dan sebesar 51.8 persen

penyebaran biogas oleh peternak termasuk kategori tinggi.

Kata kunci: difusi, adopsi, biogas, persepsi, ciri inovasi

Page 6: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

SUMMARY

NURUL DWI NOVIKARUMSARI. 2014. Rate of Biogas Diffusion-Adoption

Biogas Innovation by Dairy Farmers in Lembang Sub District, Bandung Barat

District. Supervised by SITI AMANAH and BASITA GINTING SUGIHEN.

Biogas had been initiating since 2006 in Lembang Subdistrict, but had been

growth in 2010 through Biogas Rumah (BIRU). BIRU is managed by Koperasi

Susu Bandung Utara (KPSBU) which is cooperated with internasional NGO as

Human Institute for Development Cooperation (Hivos) and Foundation of

Netherlands Volunteers (SNV). Nowdays, there are 4 197 dairy farmer household

as prospected biogas adopters in Lembang Subdistrict. The barriers of diffusion

adoption biogas due to the aspect of the biogas innovation, and the dairy farmers.

Dairy waste utilization as the main material of biogas can provide economic

benefits and environment, so that need a research about diffusion-adoption biogas.

This research try to answer questions about the diffusion-adoption of biogas. The

objective of research was analysted dairy farmer perception attributes of biogas

innovation, analyze the household characteristics of dairy farmer (RTPSP),

perception attributes of biogas inovation, the rate of access information and the

frequency of meetings with extension workers with the rate of diffusion-adoption

biogas innovation and analyze the rate of diffusion-adoption biogas innovation in

Lembang Subdistrict, Bandung Barat District.

This research was conducted in Cibodas and Suntenjaya village. All of the

population member (266 households) were the research respondents. The data was

collected from March to April 2014, by through interviewing respondents using

questionnaires that consist of 55 questions covering the household characteristics

of dairy farmer, include formal education, dairy exprience, number of cattle,

income, motivation (intrinsic and extrinsic), and land area for biogas.

Furthermore, the study also includes perception of innovation include relative

advantage, complexity, compatibility, observability and trialability and the rate of

access information and the frequency of meetings with the extension workers.

Secondary data were obtained from various relevant agencies. The data were

processed using rank Spearman. Litterer (Asngari 1984), perception is the understanding or view people

have of things in the world around them. Attribute of innovation are relative

advantage, complexity, compatibility observability and trialability. Dairy farmers

decide to use biogas by understanding the attribute of biogas.

The research results showed biogas feasible to use but rate of adopter

under 50 percent. Motivation, relative advantage, complexity, compatibility,

observability have positive correlation with adoption while relative advantage,

length of dairy farmers experiences, and trialability have positive correlation with

diffusion. The access of biogas information and frequency metting with extention

workers haven’t correlation with rate of diffusion-adoption. From both of village,

87.2 percent adoption of dairy farmer is medium and 51.8 percent biogas diffusion

is high.

Keywords: diffusion, adoption, biogas, perception, attribute of innovation

Page 7: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Page 8: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...
Page 9: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH

PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG,

KABUPATEN BANDUNG BARAT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

NURUL DWI NOVIKARUMSARI

Page 10: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

Penguji Luar Komisi: Prof Dr H Pang S Asngari, MEd

Page 11: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

Judul Tesis : Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di

Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat

Nama : Nurul Dwi Novikarumsari

NRP : I351120031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Ketua

Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

11 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

Page 12: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas karunia dan berkah-Nya,

tesis ini dapat diselesaikan. Tesis menganalisis persepsi peternak mengenai sifat

inovasi biogas, menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan

Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan menganalisis hubungan antara

karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas, tingkat akses informasi

dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

Penyelesaian tesis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr Ir Siti Amanah, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Basita

Ginting Sugihen, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing, Dr Ir Dwi

Sadono, MSi serta Prof Dr H Pang S Asngari, MEd sebagai penguji luar

komisi.

2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan

Beasiswa Unggulan (BU) tahun 2012 dalam menempuh program Magister.

3. Kedua orang tua penulis, Arif Sukarmo, SPd dan Ibu Jumiati, SPd (Alm)

terima kasih atas segala kasih sayang, semangat, doa, dan nasehatnya.

4. Kepala Desa Suntenjaya (Bpk Asep), Kepala Dusun Sukaluyu (Bpk Dase),

Ketua Kelompok Ternak Mekar Saluyu (Bpk Aep Juanda) dan responden

peternak sapi perah di dua desa yang telah memberikan informasi selama

penelitian.

5. Rekan-rekan pada Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

(PPN) Angkatan 2012 atas kerja sama dan diskusi-diskusi selama ini.

6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi

perkembangan biogas di Indonesia.

Bogor, Agustus 2014

Nurul Dwi Novikarumsari

Page 13: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 4

Biogas 4

Peternakan Sapi Perah 5

Energi 7

Persepsi 7

Difusi dan Adopsi Inovasi 8

METODE PENELITIAN 18

Rancangan dan Pendekatan Penelitian 15 1 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 18

Populasi dan Sampel 18

Jenis dan Pengumpulan Data 18

Uji Validitas dan Reliabilitas 23

Analisis Data 24

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 25

Kondisi Geografi dan Kependudukan di Dua Desa Penelitian 25

Perkembangan Biogas di Kecamatan Lembang 26

HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Deskripsi Karakteristik Rumahtangga Peternak Sapi Perah 29

Persepsi tentang Sifat Inovasi 34

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi

Biogas

46

SIMPULAN

SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

52

53

53

59

66

Page 14: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

DAFTAR TABEL

1 Potensi produksi gas dari berbagai jenis kotoran 5

2 Nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis

ternak

7

3 Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa 9

4 Populasi rumah tangga peternak sapi perah (RTPSP) 18

5 Hasil uji instrumen penelitian 22

6 Jumlah penduduk dua desa menurut mata pencaharian 24

7 Populasi ternak di Desa Suntenjaya 26

8 Populasi ternak di Desa Cibodas 27

9 Penyebaran biogas tahun 2006-2012 di Jawa Barat 28

10 Hasil pengembangan biogas di Kabupaten Bandung Barat 29

11 Distribusi sampel berdasarkan karakteristik RTPSP 30

12 Motivasi peternak dalam menerapkan biogas 33

13 Rincian tipe ukuran reaktor 33

14 Persepsi tentang sifat inovasi biogas 34

15 Sumber informasi tentang inovasi biogas 39

16 Akses sumber informasi tentang inovasi biogas 39

17 Frekuensi pertemuan peternak dengan penyuluh biogas 40

18 Difusi RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Suntenjaya 41

19 Distribusi sebaran inovasi biogas di Desa Suntenjaya 42

20 Sebaran RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Cibodas 43

21 Perkembangan inovasi biogas di Dua Desa Penelitian 43

22 Difusi biogas pada tiap dusun di Desa Cibodas 45

23 Distribusi kategori kecepatan 45

24

25

Distribusi kategori penyebaran

Hubungan variabel karakteristik RTPSP dengan tingkat difusi

inovasi biogas

46

46

26 Hubungan variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas dengan

tingkat difusi inovasi biogas

49

27 Hubungan variabel perilaku komunikasi dengan tingkat difusi

inovasi biogas

50

DAFTAR GAMBAR

1 Alur berpikir penelitian 17

2 Kurva penerimaan inovasi biogas di Desa Suntenjaya dan Desa

Cibodas

44

Page 15: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

DAFTAR LAMPIRAN

1 Materi penyuluhan biogas dari feces sapi perah 59

2 Dokumentasi Penelitian 64

Page 16: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biogas berkembang sejak tahun 1700-an. Pada tahun 1776 hingga tahun

1910 dilakukan penelitian lanjutan tentang biogas. Dari berbagai penelitian biogas

dengan menggunakan kotoran hewan, penemuan oleh Sohngen pada tahun 1910

diakui menjadi dasar penelitian biogas hingga saat ini (Abbasi et al. 2011).

Negara-negara yang memiliki populasi ternak yang tinggi, seperti Amerika

Serikat, India, Taiwan, Korea, Cina telah memanfaatkan kotoran hewan sebagai

bahan baku pembuatan bahan bakar. Di Asia Tenggara, India dan China

merupakan negara pelopor dan pengguna energi biogas. China merupakan negara

dengan program biogas terbesar di dunia. Pada akhir tahun 2005 dibangun 2 492

biogas skala menengah dan skala besar dari peternakan unggas, sedangkan 137

000 digester biogas dibangun untuk pemurnian air limbah rumah tangga.

Indonesia mulai mengadopsi teknologi pembuatan biogas pada awal tahun

1970-an. Biogas di Indonesia mulai berkembang karena adanya dukungan dana

dari Food and Agriculture Organization (FAO). Pada tahun 1981dibangun contoh

instalasi biogas di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Unit biogas yang

dibangun berupa digester fixed dome dengan kapasitas 9 m3. Pada tahun 1982

pemerintah membantu penambahan unit biogas sebanyak 20 unit dengan Program

Bantuan Presiden (BANPRES). Setelah pembangunan intalasi biogas di daerah

Pujon berhasil maka dilanjutkan pengembangan unit biogas di Kediri yang

dilakukan pada tahun 1983. Pembangunan unit biogas di Kediri mengadopsi unit

biogas yang dikembangkan di Pujon dengan program yang sama yaitu Program

BANPRES (Prihandana dan Hendroko 2008). Sekitar tahun 2000 dikembangkan

reaktor biogas skala kecil (rumah tangga) dengan konstruksi sederhana, terbuat

dari plastik siap pasang (knockdown) dan dengan harga yang relatif murah.

Teknologi biogas berkembang kembali sejak tahun 2006 ketika kenaikan harga

bahan bakar minyak. Awalnya, biogas dibangun dalam bentuk demplot oleh

pemerintah dengan reaktor berbentuk kubah terapung yang terbuat dari drum yang

disambung, kemudian sekarang reaktor biogas telah berkembang, di antaranya

terbuat beton, plastik, dan serat kaca (fiber glass) (Wahyuni 2011).

Program pengembangan teknologi biogas kepemilikan kolektif dan

dipelihara secara bersama dimulai pada tahun 2006, seperti yang dicanangkan

oleh Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan

Departemen Pertanian Republik Indonesia melalui Program Pengembangan

Biogas Ternak bersama Masyarakat (BATAMAS). Pada tahun 2008, Direktorat

Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya

Mineral, Pemerintah Indonesia, meminta Kedutaan Besar Belanda untuk

mempelajari potensi biogas di Indonesia. Kedutaan kemudian menugaskan

Foundation of Netherlands Volunteers (SNV) sebuah Lembaga Swadaya

Masyarakat/LSM Belanda untuk melakukan studi kelayakan. Hasil penelitian

menunjukkan potensi biogas di Indonesia bisa mencapai satu juta unit dan tingkat

pengembalian keuangan menguntungkan untuk peternak. Berdasarkan hal

tersebut, LSM dari Belanda lain yaitu Hivos didukung oleh SNV sejak tahun 2009

memulai program biogas skala rumah tangga pada delapan provinsi di Indonesia,

Page 17: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

2

yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Banten, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara

Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat (Kementrian ESDM 2014).

Penelitian mengenai pengembangan energi alternatif biogas yang dihasilkan

dari feces ternak babi dilakukan di Bogor, Jawa Barat pada tahun 1984 oleh

D.T.H Sihombing, Simamora dan Sri Wahyuni, peneliti Institut Pertanian Bogor

(Sihombing et al. 1984). Pada tahun 1997 dilakukan pula penelitian pembuatan

biogas dari feces sapi akan tetapi baru diperkenalkan kepada masyarakat pada

tahun 2002 di Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor.

Penelitian dilakukan oleh Suhut Simamora dan Sri Wahyuni, peneliti dari

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut, biogas yang

dikembangkan digunakan sebagai sumber energi untuk memasak, penerangan,

pemanas atau menggerakkan generator (listrik) (Simmamora et al. 2003).

Salah satu kabupaten di Jawa Barat yang juga mengembangkan energi

biogas yang berasal dari feces sapi perah adalah Kecamatan Lembang, Kabupaten

Bandung Barat yang merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah. Dimulai

sejak tahun 2010, biogas di Kecamatan Lembang berkembang dengan adanya

Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola Koperasi Susu Bandung Utara

(KPSBU) bekerjasama dengan Hivos dengan bantuan teknis dari SNV. Melalui

The Indonesia Domestic Biogas Programme (IDBP) maka dibentuklah BIRU

(Biogas Rumah) yang merupakan sebuah program kerjasama antara Humanistic

Institute for Development Cooperation (Hivos) dan SNV yang didanai oleh

pemerintah Kerajaan Belanda dan didukung oleh Kementrian Energi dan

Sumberdaya Mineral Indonesia. Program BIRU mengembangkan pembangunan

reaktor biogas skala rumah tangga yang menghasilkan bahan bakar dari feces sapi

perah. Inovasi biogas kemudian mulai diintroduksikan pada dua desa di

Kecamatan Lembang. Kedua desa tersebut adalah Desa Cibodas dan Desa

Suntenjaya, hingga saat ini sekitar 39.4 persen dari jumlah rumah tangga di dua

desa yang terdapat biogas telah menerapkan. Dari sejumlah peternak yang telah

menerapkan biogas tersebut, lebih lanjut diharapkan biogas dapat juga diterapkan

oleh peternak lain yang belum menerapkan.

Penyuluhan erat kaitannya dengan difusi-adopsi iovasi adalah salah satu

maksud penyuluhan menunjuk pada proses pembelajaran bagi pelaku utama serta

pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan

dirinya dalam mengakses teknologi, serta meningkatkan kesadaran dalam

pelestarian fungsi lingkungan hidup. Prakteknya, banyak tantangan yang dihadapi

masyarakat pedesaan di Kecamatan Lembang dalam upaya difusi-adopsi biogas.

Bantuan subsidi dana yang tersedia untuk pembiayaan konstruksi dan instalasi

inovasi biogas, hal ini dapat membantu untuk memfasilitasi difusi teknologi, akan

tetapi hal penting yang perlu dilihat pula adakah cara peternak ini mau

menerapkan dan menyebarkan inovasi biogas ini kepada peternak lainnya, karena

terdapat berbagai hal yang melatarbelakangi setiap tindakan yang dilakukan oleh

peternak.

Dalam penelitian Stoddard (2010), bahwa potensi difusi biogas di daerah

Lembang terjadi jika peternak didorong oleh kebutuhan akan energi alternatif

Page 18: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

3

sebagai perbandingan dengan energi lain yang digunakan untuk memasak

(minyak tanah, Liquid Petroleum Gas/ LPG dan bahan bakar kayu). Sehubungan

dengan difusi inovasi biogas di Indonesia, khususnya di Kecamatan Lembang,

Kabupaten Bandung Barat tersebut, maka penting dilakukan penelitian mengenai

tingkat difusi-adopsi biogas oleh rumatangga peternak sapi perah.

Masalah Penelitian

Berbagai inovasi dalam bidang pertanian semakin berkembang, hal ini

ditunjukkan dengan berbagai inovasi yang diperkenalkan kepada petani. Inovasi

dalam bidang pertanian di antaranya adalah inovasi SRI (System of Rice

Intensification), teknologi traktor tangan, pengendalian hama penyakit,

pemupukan berimbang, yang dapat dilihat secara langsung hasilnya pada saat

panen. Biogas juga merupakan inovasi dari segi pertanian dan energi terbarukan.

Berbeda dengan inovasi lain, biogas berkaitan dengan pengelolaan limbah sapi

perah, karena biogas tidak dapat memberikan hasil secara langsung dari segi

produksi seperti halnya inovasi SRI pada padi yang secara langsung dapat dilihat

dari hasil produktivitas padi yang dipanen. Hal ini menjadi khas, karena walaupun

tidak secara langsung memberikan keuntungan dari produktivitas ternak, tetapi

melalui inovasi biogas, peternak sapi perah juga memperoleh keuntungan dari

feces sapi perah yang biasanya dibuang.

Inovasi biogas di Kecamatan Lembang pada awalnya sebagai upaya

pemanfaatan feces sapi sebagai energi alternatif dan mengurangi pencemaran

lingkungan. Sehubungan dengan itu, muncul masalah yang berhubungan dengan

penerapan biogas di kalangan peternak sapi perah. Menurut teori Rogers (2003),

difusi-adopsi berhubungan dengan cepat lambatnya seorang individu mengadopsi

inovasi lebih dini dibanding anggota sistem sosial lainnya. Sebaran kategori

adopter dibagi ke dalam lima kategori innovator, pelopor (early adopter),

penganut dini (early majority), penganut akhir (late majority), dan kaum kolot

(laggard), masing-masing memiliki karakteristik dan perilaku komunikasi

tertentu. Sebelum diadopsi dan terdifusi, peternak melakukan penilaian tentang

sifat inovasi meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kompatibilitas, triabilitas

dan observabilitas (Rogers 2003). Mengingat kemanfaatan biogas baik bagi

pemenuhan energi rumah tangga peternak maupun untuk menjaga lingkungan,

maka diperlukan penelitian tentang difusi-adopsi biogas sebagai inovasi yang

berprospek. Sampai saat ini baru sekitar 39.4 persen rumah tangga peternak sapi

perah (RTPSP) di dua desa lokasi penelitian yang memanfaatkan biogas.

Diharapkan selanjutnya setidaknya terdapat potensi penambahan jumlah RTPSP

yang mengusahakan biogas.

Lebih lanjut kedalaman penelitian juga diukur melalui variabel-variabel

yang diidentifikasi, maka variabel-variabel apa sajakah yang berhubungan dengan

tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang?

Page 19: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

4

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan tujuan penelitian:

1. Menganalisis persepsi peternak sapi perah tentang sifat inovasi biogas.

2. Menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang

Kabupaten Bandung Barat.

3. Menganalisis hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat

inovasi biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat

difusi-adopsi inovasi biogas.

Manfaat Penelitian

Penelitian berguna sebagai:

1. Manfaat teoritis yaitu dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang difusi-

adopsi inovasi teknologi.

2. Manfaat praktis, yaitu bahan masukan kepada pihak yang terkait yang selama

ini membantu peternak dalam pemanfaatan limbah ternak yang dapat

memberikan nilai tambah bagi peternak sapi perah dan mengurangi

pencemaran sungai oleh feces ternak sehingga kedepannya dapat menyusun

strategi penyuluhan untuk difusi inovasi teknologi yang sesuai kondisi daerah.

TINJAUAN PUSTAKA

Biogas

Menurut Haryati (2006), biogas merupakan renewable energy yang dapat

dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal

dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam. Proses pembentukan biogas melalui

pencemaan anaerobik merupakan proses bertahap, dengan empat tahap utama

yaitu hidrolisis, acidifikasi, produksi acetic acid dan produksi methan. Tahap

pertama adalah hidrolisis, pada tahap ini bahan-bahan organik seperti karbohidrat,

lipid dan protein didegradasi oleh mikroorganisme hidrolitik menjadi senyawa

terlarut seperti asam karboksilat, asam keton, asam hidroksi keton, alkohol, gula

sederhana, asam-asam amino, H2, dan CO2. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap

acidifikasi senyawa terlarut tersebut diubah menjadi asam-asam lemak rantai

pendek yang umumnya asam asetat dan asam format oleh mikroorganisme

asidogenik. Tahap produksi acetic acid dan produksi methan adalah dimana pada

tahap ini asam-asam lemak rantai pendek diubah menjadi H2, CO2, dan asetat.

Asetat akan mengalami dekarboksilasi dan reduksi CO2, kemudian bersama-

sama dengan H2 dan CO2 menghasilkan produk akhir, yaitu metana(CH4) dan

karbondioksida (CO2) (Wellinger et al. 2013).

Di beberapa negara, biogas membawa keuntungan untuk kesehatan, sosial,

lingkungan dan finansial. Menurut Departemen Pertanian (2009), manfaat energi

biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan

dipergunakan untuk memasak. Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai

pembangkit tenaga listrik, disamping itu produksi biogas juga menghasilkan sisa

Page 20: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

5

olahan kotoran ternak yang langsung dapat digunakan sebagai pupuk organik pada

tanaman atau budidaya pertanian.

Beberapa hal yang menarik dari teknologi biogas adalah kemampuannya

untuk membentuk biogas dari limbah organik yang jumlahnya berlimpah dan

tersedia secara bebas. Biogas sebagai sumber energi alternatif memberikan

manfaat ganda bagi peternak yaitu manfaat ekonomis dan manfaat lingkungan.

Manfaat ekonomis yaitu dapat menghemat pengeluaran dengan membeli bahan

bakar untuk keperluan sehari-hari, sedangkan manfaat bagi lingkungan yatitu

dapat menjaga kelestarian lingkungan dengan penggunaan yang tepat dari limbah

ternak. Pada beberapa literatur sering menyebutkan nilai energi yang berbeda dari

komposisi bahan yang sama, hal ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan

setempat dan karakteristik substrat yang tidak selalu sama. Potensi produksi gas

dari berbagai jenis kotoran menurut Plochl dan Heiermann (Tom Bond 2011),

disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Potensi Produksi Gas dari Berbagai Jenis Kotoran

No. Asal

kotoran

Produksi

kotoran per

hari (kg)

% DM Biogas yang

dihasilkan (m3/kg

DM)

Biogas yang

dihasilkan

(m3/

hewan/hari)

1 Babi 2 17 3.6-4.8 1.43

2 Sapi 8 16 0.2-0.3 0.32

3 Ayam 0.08 25 0.35-0.8 0.01

4 Manusia 0.5 20 0.35-0.5 0.04

Keterangan: DM = dry material

Jika dibandingkan dengan biogas dari kotoran sapi, ayam dan manusia,

kotoran babi tiap harinya mampu menghasilkan biogas paling banyak yaitu

sebesar 1.43 m3/

hewan/hari. Walaupun sapi menghasilkan 8 kg per harinya, tetapi

memiliki selisih 0.11 m3/

hewan/hari lebih rendah dibandingkan biogas yang

dihasilkan babi yang menghasilkan 2 kg kotoran per harinya.

Berdasarkan penelitian Nurhasanah et al. (2006), wilayah Propinsi Jawa

Barat sangat potensial untuk pengembangan digester yang menghasilkan energi

biogas. Ada beberapa jenis digester biogas diantaranya adalah digester tipe kubah

tetap (fixed-dome), digester tipe terapung (floating drum), digester tipe PTP-ITB,

dan digester balon (Indartono 2006). Keempat jenis digester memiliki kelebihan

masing-masing, dan dari keempat jenis digester biogas yang sering digunakan

adalah tipe kubah tetap (fixed-dome) dan tipe drum terapung (floating drum)

karena perawatannya lebih mudah dan biaya konstruksi lebih murah.

Peternakan Sapi Perah

Peternakan sapi perah di Indonesia dimulai sejak abad ke-17. Sapi perah

juga didatangkan dari Australia dan Eropa dan sapi-sapi tersebut diternakkan di

daerah pegunungan karena kebutuhan susu yang semakin meningkat pada abad

ke-20. Pada tahun 1800-an mulailah peternakan sapi perah rakyat yang

memelihara sapi perah dewasa antara dua hingga tiga ekor per peternak. Peternak

umumnya para petani di daerah dataran tinggi seperti di daerah Boyolali (Jawa

Page 21: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

6

Tengah), serta Pujon dan Nongkojajar (Jawa Timur), Pangalengan dan Lembang

(Jawa Barat) (Sudono 2002).

Hingga saat ini, perkembangan sapi perah terus meningkat. Hal ini terbukti

dengan adanya jalur-jalur produsen dan konsumen susu meliputi (1) jalur susu di

Jawa Barat yang meliputi jalur Kuningan-Cirebon dan jalur Pengalengan-

Lembang-Bandung-Cianjur-Sukabumi-Bogor-Jakarta,(2) jalur susu di Jawa Te-

ngah meliputi jalur Boyolali-Solo-Yogyakarta dan jalur Temanggung Magelang-

Ungaran-Semarang, dan (3) jalur susu di Jawa Timur yaitu Pasuruan (Grati)-

Malang-Surabaya.

Fries Holland (FH) atau Holstein merupakan jenis sapi perah yang

umumnya diternakkan di Indonesia, sapi FH memiliki berat standar betina seberat

625 kg dan jantan seberat 900kg, sapi jantan dapat mencapai berat badan lebih

dari 1 ton. Sapi Holstein ini dapat menghasilkan rata-rata susu 6000 liter per

laktasi. Pada tahun 1891-1892 sapi Holstein masuk ke Indonesia, selain betina

didatangkan juga sapi jantan Holstein ke daerah Pasuruan Jawa Timur. Pejantan

tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas sapi-sapi setempat ke arah perah

(grading up).Sejak tahun 1900 di daerah Lembang, Jawa Barat telah terdapat

peternakan sapi perah yang memelihara Holstein. Di Lembang ini kemudian

menyebar ke beberapa wilayah di daerah Jawa Barat (Makin 2011).

Jumlah sapi perah di Indonesia tahun 2012 sebanyak 597 021 ekor. Tahun

2013 terdapat sapi perah sebanyak 611 094 ekor dengan pertumbuhan 2.41%.

Jenis ternak yang diusahakan di wilayah Kabupaten Bandung Barat adalah ternak

besar dan kecil, produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2009 jumlah ternak

sapi perah mencapai 29 878 ekor dengan rataan produksi susu mencapai 13.384

kg per hari. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat 2013).

Usaha ternak sapi perah di Kecamatan Lembang sebagian besar merupakan

usaha peternakan rakyat berskala kecil serta merupakan usaha yang terintegrasi

dengan usaha tani. Kepemilikan ternak yang masih rendah ini berkaitan dengan

jenis tenaga kerja yang digunakan yakni didominasi oleh penggunaan tenaga kerja

dari dalam keluarga dan skala usahaternak yang masih dalam skala kecil. Pada

usaha sapi perah, jumlah ternak yang dipelihara diukur dalam Satuan Ternak (ST).

Menurut Direktorat Jenderal Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil

Peternakan (Muatib 2008), satuan ternak memiliki arti ganda yaitu ternak itu

sendiri dan ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak

dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Usaha sapi potong jumlah ternak yang

pelihara diukur dalam satuan ternak (ST). Satuan Ternak (ST) adalah ukuran yang

digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah makanan

ternak yang dimakan. Salmi (2008), ST memiliki arti ganda, yaitu ternak itu

sendiri atau jumlah makanan ternak yang dimakannya. ST digunakan pada

ruminansia untuk mengetahui daya tampung suatu padang rumput terhadap

jumlah ternak yang dapat dipelihara. Satu ekor sapi dewasa lebih dari 2 tahun

akan mengkonsumsi rumput/ dedaunan/ hijauan sebanyak sekitar 35 kg sehari.

Sapi muda (umur 1 hingga 2 tahun) mengkonsumsi rumput/ dedaunan/ hijauan

15-17½ kg dan seekor pedet (umur kurang dari 1 tahun) akan mengkonsumsi

rumput/ dedaunan/ hijauan 7½ - 9 kg dan disebut satu ekor sapi dewasa sama

dengan 1 Satuan Ternak (ST), satu ekor sapi muda sama dengan ½ ST dan 1 ekor

anak sapi sama dengan ¼ ST.

Page 22: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

7

Satuan Ternak (ST) atau Animal Unit (AU) merupakan satuan untuk ternak

yang didasarkan atas konsumsi pakan. Setiap satu AU diasumsikan atas dasar

konsumsi seekor sapi perah dewasa non laktasi dengan berat 325 kg atau seekor

kuda dewasa. Secara rinci nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan

umur fisiologis ternak disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis ternak

No. Jenis Ternak ST per ekor 1 ST setara dengan

Jumlah Ternak

1. Kuda 1.00 1

2. Sapi 1.00 1

3. Sapi Pejantan 1.00 1

4. Sapi muda, umur lebih 1 tahun 0.50 2

5. Pedhet (anak sapi) 0.25 4

6. Anak kuda (colt) 0.50 2

7. Babi induk/pejantan 0.40 2,5

8. Babi seberat 90 kg 0.20 5

9. Domba Induk/pejantan 0.14 7

10. Anak domba 0.07 14

11. Ayam (setiap 100 ekor) 1.00 100

12. Anak ayam (setiap 200 ekor) 1.00 200

Sumber: Ensminger 1989

Berdasarkan nilai konversi ST pada berbagai ternak, diketahui 1 ST sapi

setara dengan 2 ekor babi. 1 ST sapi juga setara dengan 7 ekor domba atau setara

juga dengan 100 ekor ayam. 1 ST sapi sama dengan 2 ekor sapi muda, sama

dengan 5 ekor babi muda, sama dengan 14 ekor domba muda dan juga sama

dengan 200 ekor anak ayam.

Energi

Sumberdaya energi mempunyai peran yang sangat penting bagi

pembangunan ekonomi nasional. Energi diperlukan untuk pertumbuhan kegiatan

industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga (Widodo et al. 2005). Energi baru

dan terbarukan adalah energi yang pada umumnya sumber daya nonfosil yang

dapat diperbaharui atau yang bila dikelola dengan baik, maka sumber dayanya

tidak akan habis. Sumber energi yang termasuk dalam energi baru dan terbarukan

antara lain energi panas bumi, energi air, energi surya, energi angin, energi

biomassa/biogas, energi samudra, fuel cell (sel bahan bakar), dan energi nuklir

(Febriono dan Priyanto 2012).

Menurut Hambali et al. (2007), ada beberapa jenis energi yang bisa

dijadikan pengganti bahan bakar fosil seperti tenaga baterai (fuel cells), panas

bumi (geo-thermal), tenaga laut (ocean power), tenaga matahari (solar power),

tenaga angin (wind power), nuklir dan bioenergi, dan di antara jenis energi

alternatif tersebut, bioenergi cocok untuk mengatasi masalah energi karena

beberapa kelebihannya. Bioenergi selain bisa diperbaharui bersifat ramah

lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumak kaca dan

Page 23: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

8

kontinyuitas bahan baku cukup terjamin. Bahan baku bioenergi dapat diperoleh

dengan cara sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan

memanfaatkan limbah yang ada di sekitar kehidupan manusia (Setiawan 2008).

Energi biogas adalah salah satu dari banyak macam sumber energi

terbarukan, karena energi biogas dapat diperoleh dari air buangan rumah tangga,

kotoran cair dari peternakan ayam, sapi, babi, sampah organik dari pasar, industri

makanan dan limbah buangan lainnya. Produksi biogas memungkinkan pertanian

berkelanjutan dengan sistem proses terbarukan dan ramah lingkungan. Pada

umumnya, biogas terdiri atas gas metana (CH4) sekitar 55-80%, dimana gas

metana diproduksi dari kotoran hewan yang mengandung energi 4 800-6 700

Kcal/m3, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8 900 Kcal/m

3. Sistem

produksi biogas mempunyai beberapa keuntungan seperti: (a) mengurangi

pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (c)

sebagai pupuk, dan (d) produksi daya dan panas (Soehadji 1992).

Persepsi

Beragam pengertian tentang persepsi dikemukakan oleh para ahli dalam

Asngari (1984), Litterer mengungkapkan bahwa persepsi adalah “the

understanding or view people have of things in the world around them.” Menurut

Allport bahwa, “perception has something to do with awareness of content upon

the impression these object make upon our senses. It is the way things look to us,

or the way they sound, feel, taste or smell. But perception also involves, to some

degree, and understanding awareness, a meaning or a recognition of these

objects,” dan Hillgard (Narso et al. 2012), menyebutkan bahwa “perception is the

process of becoming aware of objects”. Robbins (2008), mengemukakan bahwa

individu yang melihat sebuah obyek dan berusaha untuk menginterpretasikan

obyek tersebut, interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik

pribadi dari pembuat persepsi tersebut, seperti sikap, kepribadian, motif, minat,

pengalaman-pengalaman masa lalu dan harapan-harapan seseorang.

Beberapa variabel yang memengaruhi laju adopsi, yaitu persepsi tentang

sifat inovasi tersebut akan memengaruhi pengambilan keputusan menerapkan

inovasi. Lima karakteristik inovasi meliputi keuntungan relatif (relative

advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan

diuji cobakan (trialability), dan kemampuan diamati (observability). Keunggulan

relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik dari yang pernah

ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi ekonomi,

prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan

relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.

Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan

nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi (Rogers

2003).

Page 24: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

9

Difusi dan Adopsi Inovasi

Difusi merupakan suatu proses inovasi dikomunikasikan melalui suatu

saluran dalam jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial; jadi dalam difusi

terdapat empat unsur penting yaitu inovasi, saluran komunikasi, waktu dan

anggota sistem sosial (Rogers 2003). Dalam proses difusi inovasi, waktu

merupakan elemen penting yang tidak dapat diabaikan, dimana keterlibatan waktu

dalam proses difusi inovasi dalam hal:

(1) Proses pengambilan keputusan inovasi oleh individu atau dapat disebut

tahapan adopsi yaitu sejak mulai pertama kali individu mengetahui adanya

suatu invasi sampai menolak atau mengadopsi inovasi tersebut. Jadi, adopsi

merupakan bagian dari pross difusi. dimana adopsi mengacu pada aksi

inovasi oleh individu sedangkan difusi berhubungan dengan penyebaran

inovasi dalam sebuah komunitas.

(2) Tingkat kecepatan individu dalam mengadopsi atau tingkat keinovativan

individu merupakan kecepatan penerimaan suatu inovasi baru. Adopsi

terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang bisa

menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Kecepatan diukur

dengan jumlah penerimaan yang pengadopsian suatu ide baru dalam suatu

priode tertentu (Leeuwis 2009).

Berdasarkan waktu dalam mengadopsi inovasi maka Rogers dan Shoemaker

(1971) membagi tingkat keinovativan individu maka sebaran kategori adopter

ke dalam lima kategori: innovator, pelopor (early adopter), penganut dini

(early majority), penganut akhir (late majority), dan kaum kolot (laggard).

Inovator sebesar 2.5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi.

Inovator ini memiliki keberanian mengambil resiko, cerdas, kemampuan

ekonomi tinggi. Early Adopter sebanyak 13.5% yang menjadi para perintis

dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang

yang dihormati, akses di dalam tinggi. Early Majority, sebanyak 34% yang

menjadi para pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal

tinggi. Late Majority sebanyak 34% yang menjadi pengikut akhir dalam

penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan

ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati. Laggard sebanyak 16%

terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi,

wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas. Orang

terlambat adalah yang terakhir di dalam suatu sistem sosial untuk mengadopsi

suatu inovasi.

(3) Jumlah anggota sistem sosial yang mengadopsi dalam kurun waktu tertentu.

Derajat adopsi biasanya diukur dari panjangnya waktu yang diperlukan untuk

mengadopsi suatu inovasi berdasarkan jumlah anggota sistem sosial yang

mengadopsi inovasi tersebut.

Terdapat empat tipe proses pengambilan keputusan inovasi, yaitu opsional,

kolektif, otoritas, dan kontingensi; keempatnya dibedakan berdasarkan unit

pengambil keputusan dan unit adopsi dalam pengambilan keputusan inovasi

tersebut. Pada pengambilan keputusan inovasi opsional, individu merupakan unit

pengambil keputusan dan unit adopsi inovasi, sedangkan pada pengambilan

keputusan kolektif, baik unit pengambil keputusan maupun unit adopsi inovasinya

adalah kelompok atau suatu sistem sosial. Berbeda dengan tipe sebelumnya, pada

Page 25: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

10

tipe otoritas, pengambilan keputusan inovasi dilakukan oleh seseorang yang

mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat) sedangkan unit adopsinya

adalah anggota sistem sosial bawahannya (subordinat). Adapun pada tipe

kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau lebih

keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe lain

yang mendahuluinya. Saluran komunikasi juga merupakan elemen penting, dimana saluran

komunikasi ini meliputi saluran komunikasi interpersonal dan saluran komunikasi

media massa. Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa

ditunjukkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa

No

.

Karakteristik Saluran

Interpersonal

Media massa

1. Arus komunikasi Cenderung dua arah Cenderung searah

2. Konteks komunikasi Tatap muka Melalui media

3. Tingkat umpan balik Tinggi Rendah

4. Kemampuan mengatasi

tingkat selektivitas *)

Tinggi Rendah

5. Kecepatan jangkauan

terhadap khalayak banyak

Relatif lambat Relatif cepat

6. Efek yang mungkin terjadi Perubahan dan

pembentukan sikap

Perubahan

pengetahuan

Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971)

Keterangan: *) Terutama selektivitas (untuk) terdedah atau selective exposure

Media massa memiliki kecepatan jangkauan yang relatif cepat kepada

khalayak walaupun umpan baliknya rendah misalnya televisi yang memberikan

efek perubahan pengetahuan ketika khalayak menonton acara berita.

Difusi juga erat kaitannya dengan sistem sosial yang diartikan suatu

seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam upaya

mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah. Anggota-

anggota sistem sosial bisa terdiri dari individu, kelompok informal, organisasi,

dan/atau subsistem-subsistem. Sistem sosial memiliki seperangkat batasan di

dalam mana inovasi menyebar oleh karena itu perlu pemahaman mengenai

struktur sosial dalam sistem yang mempengaruhi pola-pola difusi inovasi.

Struktur sosial mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, di

antaranya peranan tokoh pemuka pendapat dan agen perubahan. Pemimpin opini

(opinion leader) adalah seseorang yang melalui pendapatnya dapat memengaruhi

orang lain untuk melakukan tindakan tertentu. Ciri-ciri pemimpin opini adalah (1)

pemimpin opini yang terlibat dalam komunikasi eksternal melalui media massa,

frekuensi keluar yang tinggi, (2) memiliki jaringan interpersonal yang lebih luas

dalam menyabarkan pesan inovasi, (3) memiliki status ekonomi yang lebih tinggi,

dan (4) inovatif, diakui sebagai seorang ahli yang kompeten dan terpercaya.

Dalam konteks peranan opinion leader dimungkinkan adanya individu yang

mengembangkan struktur komunikasi homofili dan heterofili. Homofili adalah

derajat dimana dua orang atau lebih individu yang berinteraksi memiliki

kesamaan atribut atau karakteristik tertentu, seperti kepercayaan, pendidikan,

Page 26: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

11

status sosial, dan lainnya. Adapun heterofili adalah derajat dimana pasangan

individu-individu yang berinteraksi memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut

Rogers dan Shoemaker (1971), komunikasi interpersonal yang homofili dapat

menghambat proses difusi, karena memungkinkan penyebaran inovasi hanya

secara horizontal, baik hanya di kalangan lapisan atas atau hanya di kalangan

lapisan bawah. Para pemimpin opini dalam proses difusi adopsi inovasi

memegang peranan penting baik dalam mempercepat proses difusi adopsi,

maupun dalam proses menghambatnya. Oleh sebab itu, keberadaan para

pemimpin opini memegang peranan peting dalam kegiatan penyuluhan

(Hanan 2005).

Adopsi adalah proses sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru

sampai orang tersebut menolak atau menerima hal baru tersebut. Elemen yang

penting yang perlu diperhatikan dalam proses adopsi inovasi (a) adanya sikap

mental untuk melakukan adopsi inovasi, dan (b) adanya konfirmasi dari keputusan

yang telah diambil, menurut Rogers (2003) adopsi meliputi:

(1) Tahap pengetahuan: dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi

mengenai inovasi baru. Informasi mengenai inovasi tersebut harus

disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui

media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara

masyarakat

(2) Tahap persuasi: tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran

calon adopter. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan diperoleh

jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan

diskusi dengan orang lain, ada kecenderungan untuk mengadopsi atau

menolak inovasi tersebut.

(3) Tahap pengambilan keputusan: dalam tahap ini, seseorang membuat

keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah

inovasi. Setelah melakukan pengambilan keputusan, tidak menutup

kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.

(4) Tahap implementasi: seseorang mulai menggunakan inovasi sambil

mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut.

(5) Tahap konfirmasi: setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan

mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut

diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan

yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian

mengubah keputusan yang tadinya menolak menjadi menerima inovasi

setelah melakukan evaluasi.

Menurut Hasanuddin (2005) bahwa adopsi inovasi merupakan kemampuan

petani dalam menggunakan suatu teknologi untuk kegiatan usaha taninya.

Menurut Subagyo et al. (2005) proses adopsi merupakan proses pelaksanaan suatu

teknologi yang dapat berjalan secara sistematis sehingga memberikan keuntungan

secara ekonomis dan memberikan dorongan untuk msyarakat setempat.

Inovasi memiliki tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau

praktek, dan produk (barang dan jasa) dan ntuk dapat disebut inovasi maka ketiga

komponen tersebut harus mempunyai sifat baru. Sifat tersebut tidak selalu berasal

dari penelitian yang mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu juga dapat disebut

inovasi, apabila diintroduksikan kepada seseorang atau unit masyarakat yang

belum pernah mengenal sebelumnya. Jadi sifat baru pada suatu inovasi dilihat dari

Page 27: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

12

sudut pandang calon pengadopsi atau pengetrap, bukan kapan inovasi tersebut

dihasilkan. Kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan pada kurun waktu

ditemukannya inovasi, akan tetapi bahwa adanya anggapan sebagai sesatu yang

baru dalam diri adopter (Nasution 1995). Inovasi juga dapat berupa sesuatu yang

benar-benar baru atau sudah lama tetapi masih dianggap baru oleh peternak.

Keputusan menerima inovasi ini merupakan proses mental, yang terjadi sejak

peternak sasaran tersebut mengetahui suatu inovasi sampai menerima atau

menolaknya dan kemudian mengukuhkannya (Ibrahim et al. 2003).

Mengadopsi biogas berlangsung mulai dari peternak tahu adanya teknologi

biogas sampai peternak mau mencoba serta menggunakan teknologi ini terus-

menerus. Adopsi inovasi biogas dapat dilihat dari keinginan peternak

menggunakan biogas dalam kegiatan rumah tangganya, seperti memasak.

Penerapan meliputi kegiatan pemakaian dan pemeliharaan. Cara-cara pemakaian

meliputi: pengisian reaktor, mencuci saluan masuk, penggunaan katup,

pemeriksaan kebocoran gas, menguras air, membersihkan overflow, menggunakan

keran gas, membuat kompos, menggunakan alat pengukur tekanan, menggunakan

kompor (Pedoman Pengguna BIRU 2010).

Beberapa penelitian mengenai difusi-adopsi inovasi di bidang pertanian

yang telah dilakukan, di antaranya:

(a) Humaedah (2007), bahwa kontaktani berperan sebagai pengambil keputusan,

sebagai pemimpin, sebagai agen perubahan dan sebagai dinamisator kelas

belajar.

(b) Roswida (2003) meneliti mengenai tahapan proses keputusan adopsi inovasi

pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, karakteristik

internal meliputi tingkat pendidikan formal, pengalaman usahatani, luas lahan

usahatani, kekosmopolitan, keinovativan usahatani, sikap kepemimpinan,

sikap kewirausahaan, keanggotaan dalam kelompoktani, sedangkan

karakteristik eksternal meliputi ketersediaan sumber informasi, intensitas

penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar dan intensitas promosi

pestisida.

(c) Menurut Purnaningsih (2006), faktor yang mampu menjelaskan keputusan

petani dalam mengadopsi pola kemitraan agribisnis di empat kabupaten di

Jawa Barat adalah karakteristik individu, kondisi sosial dan fisik,

pengetahuan petani tentang pola kemitraan, persepsi petani tentang ciri

inovasi pola kemitraan dan kinerja petani dalam mengelola usahataninya.

(d) Syafril (2002) dari hasil studinya menemukan bahwa adopsi inovasi

Teknologi Sistem Usaha Pertanian (SUP) Jagung bekorelasi nyata dengan:

(a) karakteristik pribadi, khususnya kekosmopolitan, (b) karakteristik rumah

tangga, khususnya ketersediaan modal, dan (c) kesesuaian stimulan dan

frekuensi pembinaan teknologi SUP jagung, serta (d) jaringan komunikasi.

Selanjutnya bahwa derajat integrasi individu, keterbukaan klik dan

keterbukaan sistem dalam jaringan komunikasi sangat mempengaruhi

penerimaan dan pertukaran informasi di dalam jaringan komunikasi yang

pada akhirnya mempengaruhi tingkat adopsi. Selain itu, opinion leader dalam

sistem sosial juga cukup efektif dalam memengaruhi adopsi inovasi teknologi

sistem usaha pertanian jagung.

Page 28: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

13

(e) Mulyadi et al. (2007), bahwa dalam saluran komunikasi berhubungan nyata

dengan keputusan mengadopsi inovasi, saluran komunikasi ini menggunakan

saluran komunikasi vertikal (top-down) dari pemerintah, kepala suku, pendeta

serta menggunakan media massa. Emmann (2013), faktor yang

mempengaruhi penerimaan inovasi biogas antara petani adalah

keinovativan/karakteristik dari petani itu sendiri. Faktor-faktor internal yang

mempengaruhi cepat lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, luas

lahan, tingkat pendapatan, partisipasi dalam kelompok, aktivitas mencari

informasi, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan, motivasi

berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan dogmatisme (sistem kepercayaan yang

tertutup).

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi

Inovasi Biogas

Penelitian tentang difusi-adopsi di bidang pertanian khususnya tentang

biogas masih terbatas, penelitian tentang biogas di luar negeri seperti penelitian

oleh Sanders (2010) tentang identifikasi dukungan digester dalam bidang

peternakan yang memasukkan variabel keinginan akan tenaga alternatif, umur,

pendidikan, politik, pendapatan, dan penatagunaan lingkungan. Penelitian oleh

Walekhwa (2009) di Uganda, hasil empiris menunjukkan bahwa faktor yang

memengaruhi adopsi teknologi biogas adalah usia kepala rumah tangga,

peningkatan pendapatan rumah tangga, peningkatan jumlah ternak yang dimiliki,

peningkatan ukuran rumah tangga, laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan

meningkatnya biaya bahan bakar tradisional. Sebaliknya, kemungkinan adopsi

menurun dengan meningkatnya lokasi rumah tangga yang terpencil dan

meningkatnya luas lahan rumah tangga.

Hasil penelitian Kabir Humayun (2013) di Bangladesh, menyatakan bahwa

tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah ternak, dan perempuan sebagai

kepala keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan instalasi

pembangkit biogas. Semakin meningkat tingkat pendidikan, pemberdayaan

perempuan, pendapatan tahunan dan jumlah sapi cenderung meningkatkan tingkat

adopsi biogas. Selain itu, manfaat lingkungan, ekonomi, sosial, dan teknologi juga

dipertimbangkan oleh responden dalam adopsi biogas. Penelitian lain yaitu

Wei Qu et al. (2013) di China, menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat

memengaruhi penerapan biogas, antara lain adanya promosi pemerintah tentang

biogas, usia kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga yang tinggal di

rumah, pendapatan rumah tangga dan tingkat persepsi dari tentang inovasi biogas.

Penelitian tentang biogas di Indonesia, salah satunya penelitian oleh

Yusriadi (2011), bahwa faktor yang berhubungan dengan adopsi peternak sapi

perah tentang teknologi biogas di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan yaitu

selang dari tahu sampai menggunakan teknologi biogas, pendidikan, pendapatan,

umur, sikap peternak, motivasi peternak, kontak dengan anggota kelompok, dan

jarak instalasi biogas dari penampung gas ke dapur.

Page 29: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

14

Setelah mereview beberapa penelitian maka variabel-variabel penelitian

meliputi:

(1) Tingkat pendidikan formal

Penelitian oleh Sanders (2010) dan penelitian oleh Humayun (2013) di

Bangladesh mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan memegaruhi

penerapan biogas.

(2) Lama beternak

Menurut Roswida (2003), lama berusahatani termasuk karakteristik internal

petani. Pengalaman berusahatani berpengaruh terhadap pengambilan

keputusan dalam menghadapi pemilihan inovasi teknologi pertanian. Semakin

lama pengalaman seseorang berusahatani, maka akan semakin mudah dalam

memahami suatu inovasi teknologi dan cenderung lebih mudah

menerapkannya (Rogers 2003).

(3) Jumlah ternak sapi perah

Jumlah ternak menunjuk pada banyaknya ternak yang dimiliki oleh peternak.

Peluang sebuah rumah tangga peternak dalam mengadopsi teknologi biogas

dipengaruhi oleh peningkatan jumlah ternak yang dimiliki (Walekhwa 2009).

(4) Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)

Walekhwa (2009), Humayun (2013) dan Wi Qu et al. (2013),mengungkapkan

bahwa tingkat pendapatan rumah tangga berhubungan dengan tingkat adopsi

biogas. Pendapatan merupakan jumlah keseluruhan yang diperoleh dari

pemanfaatan tenaga kerja dan modal lainnya (Penny 1990).

(5) Motivasi (motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik) Menurut Robbins dan Coulter (2010), motivasi mengacu pada suatu

dorongan, arahan pada seseorang untuk mencapai tujuan. Teori Hierarki

kebutuhan Maslow, kebutuhan fisiologis (dapat berupa kebutuhan makan,

minum, tempat berteduh dan kebutuhan lainnya), kebutuhan keamanan

(kebutuhan keamanan dan perlindungan fisik), kebutuhan sosial (kebutuhan

penerimaan dan persahabatan), kebutuhan penghargaan (kebutuhan

penghargaan internal seperti harga diri, dan penghargaan eksternal seperti

status, pengakuan dan perhatian), dan kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan

pencapaian potensi, dan pemenuhan diri). Penelitian ini membatasi pada

motivasi intrinsik untuk kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan

penghargaan.

Teori Motivasi Dua Faktor dari Herzberg (Robbin dan Coulter 2010), teori

ini menyatakan bahwa pada setiap melakukan sesuatu akan terdapat dua

faktor penting yang memengaruhi suatu pekerjaan dilaksanakan dengan baik

atau tidak. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor-faktor

motivasi (intrinsik) meliputi motivasi karena kebutuhan fisiologis, kebutuhan

sosial dan kebutuhan penghargaan. Menurut Asngari (2001), kelayan yang

memiliki motivasi intrinsiknya tinggi akan lebih aktif dibandingkan bagi yang

baru tumbuh motivasi ekstrinsiknya, maka perlu dipacu oleh penyuluh agar

memiliki motivasi intrinsik yang tinggi, sehingga nantinya dia lebih dinamis

membantu diri sendiri. Faktor ekstrinsik diantaranya adalah bantuan kredit

dari KPSBU maupun bantuan dari pemerintah. Sugiyono (2013) menyatakan

pemerintah harus memberikan kredit pembutan instalasi biogas bagi

masyarakat di desa-desa terpencil untuk memotivasi orang-orang di desa-desa

terpencil tersebut

Page 30: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

15

(6) Tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas,

tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas

Rogers (2003) mengungkapkan bahwa difusi inovasi dipengaruhi oleh

persepsi tentang sifat inovasi meliputi persepsi tentang keuntungan relatif,

kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas. Beberapa faktor yang

mempengaruhi adopsi inovasi juga diungkapkan Soekartawi (2005), yaitu (1)

macam dan proses adopsi, (2) apakah memberikan keuntungan atau tidak, (3)

kompatabilitas atau kelanjutan teknologi, (4) kompleksitas/teknologi makin

mudah, (5) triabilitas/kemudahan mencoba, (6) observabilitas/ dapat diamati.

(7) Luas lahan untuk biogas

Lahan ini merupakan lahan yang dimiliki peternak dan digunakan sebagai

kandang dan reaktor. Lahan untuk kandang dan instalasi biogas yang

diperlukan oleh peternak tergantung dari besarnya reaktor. Sebagian peternak

membangun tangki reaktor ukuran 4cm2 dan 6 m

2, kemudian pula diperlukan

ruang terbuka untuk inlet kotoran sapi, dan penampung ampas biogas.

Terdapat dua tipe kandang ternak yang dimiliki peternak yaitu kandang

ternak di dekat rumah dengan luasan lahan yang cukup dan kandang terpisah

dengan rumah. Hasil penelitian Mwirigi et al. (2009), menungkapkan bahwa

dalam adopsi biogas juga dipengaruhi oleh lahan yang dimiliki peternak sapi

perah.

(8) Akses terhadap informasi inovasi biogas

Informasi diperoleh dari beberapa jenis saluran komunikasi, baik saluran

antar pribadi maupun saluran komunikasi media massa. Media yang termasuk

dalam saluran komunikasi massa elektronik adalah radio, televisi dan film

(Nasution 1995). Dampak yang ditimbulkan dari salura komunikasi antar

pribadi tidak hanya sampai pada tahap pengetahuan, namun dapat sampai

tahap perubahan sikap. Akses terhadap informasi merupakan suatu upaya

yang timbul dari diri dalam mencari dan memperoleh informasi yang

berkaitan dengan biogas kemudian dapat mengambil keputusan untuk

menerapkan.

(9) Frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas

Penyuluh yang dimaksudkan adalah penyuluh biogas dari Koperasi Susu

Bandung Utara Lembang (KPSBU), dimana penyuluh ini juga sebagai agen

pembaruan. Seorang penyuluh bertugas menyebarkan informasi yang

bermanfaat, mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan sesuai

bidang penyuluhannya, memberikan rekomendasi yang menguntungkan guna

perbaikan kehidupan sasaran penyuluhan, membantu mengusahakan sarana

produksi, fasilitas kerja serta bahan informasi pertanian yang diperlukan oleh

petani, dan mengembangkan swakarya dan swasembada para petani sehingga

taraf kehidupannya lebih meningkat (Kartasapoetra 1994). Intensitas

penyuluhan merupakan kehadiran penyuluh dan peternak dalam

membicarakan inovasi biogas. Semakin banyaknya kehadiran peternak dan

penyuluh membicarakan inovasi biogas, akan membuka wawasan dan cara

berpikir petani sehingga terbuka dalam mengadopsi inovasi biogas.

Page 31: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

16

Kerangka Berpikir

Inovasi biogas di Kecamatan Lembang merupakan sumber energi alternatif

untuk keperluan rumah tangga. Biogas dapat dikatakan sebagai suatu inovasi jika

memiliki tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau praktek, dan produk

(barang dan jasa) tersebut harus mempunyai sifat baru. Hasil penelitian yang telah

lalu juga dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada seseorang atau

unit masyarakat yang belum pernah mengenal sebelumnya, sehingga kebaruan

pada suatu inovasi dilihat dari sudut pandang calon adopter atau penerap, bukan

kapan inovasi tersebut dihasilkan. Kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan

pada kurun waktu ditemukannya inovasi, akan tetapi bahwa adanya anggapan

sebagai sesatu yang baru dalam diri adopter seperti halnya biogas yang dirasakan

sebagai hal baru bagi peternak di Kecamatan Lembang.

Sejak tahun 2010, biogas di Kecamatan Lembang berkembang dengan

adanya Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola Koperasi Susu Bandung Utara

(KPSBU) bekerjasama dengan Hivos dengan bantuan teknis dari SNV. Program

BIRU (Biogas Rumah) yang merupakan sebuah program kerjasama antara

Humanistic Institute for Development Cooperation (Hivos) dan SNV dan

didukung oleh Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral Indonesia, biogas

diharapkan dapat diterapkan oleh peternak yang belum menerapkan. Inovasi

biogas telah lama berkembang, namun pada kenyataannya, belum sepenuhnya

dapat diadopsi oleh peternak. Salah satu syarat diterima teknologi biogas,

kesesuaian teknologi dengan karakteristik masyarakat.

Setelah mereview beberapa penelitian, maka beberapa variabel penelitian

meliputi variabel karakteristik rumah tangga peternak sapi perah (RTPSP) (X1),

persepsi terhadap sifat inovasi biogas (X2) dan variabel tingkat akses informasi

dan fasilitasi penyuluh (X3). Karakteristik peternak yang diduga berhubungan

dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas yaitu tingkat pendidikan formal, lama

beternak, jumlah ternak, tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik),

dan luas lahan untuk biogas. Selanjutnya, variabel dalam penelitian juga

mencakup persepsi terhadap sifat inovasi meliputi tingkat keuntungan relatif,

tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas (kesesuaian), tingkat observabilitas

(dapat diamati) dan tingkat triabilitas (dapat dicoba) serta variabel tingkat akses

informasi dan fasilitasi penyuluh meliputi akses terhadap informasi inovasi

biogas, dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas. Secara lengkap, alur

berpikir disajikan pada Gambar 1.

Page 32: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

17

Gambar 1. Alur Berpikir Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak

Sapi Perah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat

Hipotesis Penelitian

Mengacu pada permasalahan dan kerangka pikir penelitian, hipotesis

penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Karakteristik RTPSP (tingkat pendidikan formal, lama beternak, jumlah ternak,

tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan luas lahan untuk

biogas) berhubungan nyata dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

2. Persepsi terhadap sifat inovasi biogas (tingkat keuntungan relatif, tingkat

kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat

triabilitas) berhubungan nyata dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

3. Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh berhubungan nyata dengan

tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

(X2) Persepsi terhadap Sifat

inovasi biogas :

(X2.1) Tingkat Keuntungan relatif

(X2.2) Tingkat Kompleksitas

(X2.3) Tingkat Kompatibilitas

(kesesuaian)

(X2.4) Tingkat Observabilitas

(dapat diamati)

(X2.5) Tingkat Triabilitas (mudah

dicoba)

(X1) Karakteristik

peternak sapi perah:

(X1.1) Tingkat Pendidikan

Formal

(X1.2) Lama beternak

(X1.3) Jumlah ternak

(X1.4) Tingkat Pendapatan

RTPSP

(X1.5) Motivasi (intrinsik

dan ekstrinsik)

(X1.6) Luas lahan peternak

untuk biogas

(X3) Tingkat Akses Informasi

dan Fasilitasi Penyuluh

(X3.1) Akses terhadap

informasi inovasi biogas

(X3.2) Frekuensi pertemuan

dengan penyuluh biogas

(Y) Tingkat Difusi-

Adopsi inovasi

biogas :

(Y1) Kecepatan (waktu)

(Y2) Penyebaran (jumlah

orang yang

menerapkan)

Page 33: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

18

METODE PENELITIAN Rancangan dan Pendekatan Penelitian

Penelitian bersifat deskriptif eksplanatori yang dimaksudkan untuk

menjelaskan, merinci, mendeskripsikan dan menguji hubungan variabel-variabel

yang diamati (Riduwan, 2011). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

kuantitatif sebagai tumpuan analisis. Penelitian terdiri variabel bebas yaitu (X1)

adalah karakteristik peternak sapi perah, persepsi terhadap sifat inovasi (X2), dan

tingkat akses informasi dann fasilitasi penyuluh (X3) sedangkan variabel terikat

(Y) adalah tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Pemilihan daerah ini dilakukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan

Lembang dengan mengambil dua desa yaitu Desa Suntenjaya karena alasan

mendasar, yakni kekhasan lokasi ini dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu

(1) Wilayah perkembangan sektor peternakan sapi perah di Jawa Barat, dan (2)

Desa Cibodas merupakan desa percontohan dalam pengembangan inovasi bagi

desa-desa lainnya di Kecamatan Lembang, sedangkan Desa Suntenjaya memiliki

potensi pengembangan biogas, pupuk organik dan batapi (batu bata dari feces

sapi), serta berdasarkan data Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat

(KLH KBB) tahun 2012, kedua desa yang berlokasi di hulu Sungai Cikapundung mengalami pencemaran akibat kotoran dari peternakan sapi. Selanjutnya,

penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga April 2014.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah semua rumah tangga peternak sapi perah

penerap biogas di Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas, Kecamatan Lembang

Kabupaten Bandung Barat. Selanjutnya, seluruh anggota populasi merupakan

sampel penelitian (sensus) yang berjumlah sebanyak 266 rumah tangga peternak

sapi perah. Secara lengkap populasi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Populasi Rumah tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)

No. Desa Populasi RTSP Populasi RTSP penerap biogas

1. Suntenjaya 420 141

2. Cibodas 255 125

Jumlah 675 266

Jenis dan Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui kueisioner yang disebarkan kepada

responden. Selain itu, dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan sejumlah

responden. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen dan pustaka berbagai

sumber yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Sumber-sumber tersebut

Page 34: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

19

antara lain adalah dokumen tentang profil kecamatan dan dua desa yang menjadi

lokasi penelitian, dokumen-dokumen dan pustaka yang berasal dari berbagai

sumber yang berhubungan dan menunjang penelitian.

Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri dari tiga variabel utama yaitu variabel bebas dan

tingkat difusi-adopsi inovasi biogas sebagai variabel terikat. Variabel bebas terdiri

dari tiga sub variabel yaitu karakteristik peternak, persepsi terhadap sifat inovasi

biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3). Secara variabel

penelitian rinci dijelaskan sebagai berikut:

(A) Variabel bebas (X) terdiri dari:

(1) Karakteristik peternak sapi perah (X1) adalah ciri yang melekat pada

peternak sapi perah, meliputi indikator tingkat pendidikan formal, lama

beternak, tingkat pendapatan RTPSP, jumlah ternak, motivasi dan luas

lahan peternak untuk biogas.

(2) Persepsi terhadap sifat inovasi biogas (X2) adalah pandangan peternak

terhadap inovasi biogas meliputi indikator tingkat keuntungan relatif,

tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat triabilitas dan

tingkat observabilitas.

(3) Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3) adalah berbagai

macam sumber informasi tentang biogas yang diakses oleh peternak dan

banyaknya frekuensi pertemuan peternak dengan penyuluh biogas.

Secara rinci konsep dan operasionalisasi tiap variabel dan sub variabel

dijelaskan sebagai berikut:

Konsep dan operasionalisasi variabel

(1) Sub-variabel karakteristik peternak (X1) terdiri sebagai berikut:

(a) Tingkat Pendidikan Formal adalah lamanya responden menempuh jenis

pendidikan formal tertinggi dan dihitung dalam tahun. Tingkat pendidikan

diukur dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif

dilakukan penggolongan sebagai berikut:

1) Rendah : ≤6 tahun (SD/SR)

2) Sedang : 7-12 tahun (SMP-SMA)

3) Tinggi : ≥13 tahun (Diploma/Perguruan Tinggi)

(b) Lama beternak adalah lamanya responden berusaha di bidang peternakan

sapi perah dan dihitung dalam tahun. Lama beternak diukur dengan skala

rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif penggolongan sebagai

berikut:

1) Rendah : ≤ 5 tahun

2) Sedang : 6-11 tahun

3) Tinggi : ≥12 tahun

(c) Jumlah ternak sapi perah adalah jumlah sapi dewasa, sapi muda dan sapi

anakan yang dimiliki responden dan dihitung dalam satuan ternak. Jumlah

ternak dinyatakan dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis

deskriptif dikategorikan sebagai berikut:

1) Sedikit : ≤ 2.2 ST

2) Sedang : 2.3-4.5 ST

3) Banyak : ≥ 4.6 ST

(d) Tingkat Pendapatan RTPSP adalah besarnya uang yang diterima oleh rumah

tangga petani sebagai hasil dari usahatani-ternak dalam kurun waktu satu

Page 35: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

20

tahun dan dihitung dalam Rupiah (Rp). Pendapatan usahatani-ternak

diyatakan dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif

dikategorikan sebagai berikut:

1) Rendah : ≤ 9 828 435.31

2) Sedang : 9 828 435.32–81 932 751

3) Tinggi : ≥ 81 932 751.1

(e) Motivasi beternak adalah yaitu kekuatan-kekuatan atau dorongan dari dalam

dan dari luar diri responden untuk menyebarkan inovasi biogas motivasi

terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik

karena kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan.

Motivasi ekstrinsik berupa dorongan yang berasal dari adanya bantuan/

kredit pengadaan reaktor biogas oleh pemerintah daerah maupun pihak

swasta. Motivasi ini diukur dengan menilai jawaban responden atas

pertanyaan yang terkait motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Jumlah pertanyaan

yang diajukan adalah sebanyak tujuh pertanyaan. Responden dapat memilih

salah satu dari tiga jawaban yakni sangat setuju (skor 3), setuju (skor 2),

tidak setuju (skor1) dan untuk kepentingan analisis deskriptif dikategorikan

menjadi tiga yakni:

1) Rendah : jika skor ≤11

2) Sedang : jika skor 12-16

3) Tinggi : jika skor ≥17

(f) Luas lahan peternak untuk biogas adalah luas lahan yang dimiliki oleh

peternak yang digunakan untuk membangun instalasi biogas dan dihitung

dalam m2. Luas lahan diukur dengan skala rasio dan dan untuk analisis

deskriptif dikategorikan sebagai berikut:

1) Sempit : jika luas lahan 4 m2

2) Sedang : jika luas lahan 5 m2

3) Luas : jika luas lahan 6 m2

(2) Sub-variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas (X2) meliputi:

a. Tingkat keuntungan relatif adalah derajat dimana inovasi biogas dipandang

memberikan keuntungan pada RTPSP, bahan bakar untuk memasak

dibanding menggunakan LPG, kayu bakar, arang, hemat waktu dan tenaga,

serta prestise (kebanggaan) sosial. Keuntungan relatif diukur menggunakan

skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah

pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak enam pertanyaan. Responden

dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni sangat setuju (skor 3),

setuju (skor 2), tidak setuju (skor 1) dan untuk analisis deskriptif

dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Rendah : jika skor rata-rata 1.00-1.67

2) Sedang : jika skor rata-rata 1.68-2.34

3) Tinggi : jika skor rata-rata 2.35-3.00

b. Tingkat kompleksitas adalah derajat dimana biogas dianggap relatif tidak

sulit/mudah dapat berupa: kesulitan peternak memahami cara merakit

instalasi biogas, kesulitan peternak menggunakan teknologi untuk memasak

dibanding menggunakan minyak tanah/LPG, kesulitan peternak

memasukkan feces pada tangki pengurai, kesulitan peternak menyediakan

air untuk teknologi biogas, kesulitan peternak mengolah limbah biogas,

kesulitan peternak merawat instalasi biogasnya. Kompleksitas diukur

Page 36: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

21

menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas

pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak tiga

pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni

sangat sulit (skor 3), mudah (skor 2) dan sangat mudah (skor 1). Skor yang

diperoleh kemudian dijumlahkan dan dan untuk analisis deskriptif

dikategorikan menjadi tiga yakni: 1) Sangat rumit : jika skor rata-rata 2.35-3.00

2) Cukup rumit : jika skor rata-rata 1.68-2.34

3) Tidak rumit : jika skor rata-rata 1.00-1.67

c. Tingkat kompatibilitas adalah derajat dimana biogas sesuai dengan nilai

kepercayaan peternak sapi perah, situasi dan kebutuhan peternak sapi

perah. Kompatibilitas diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai

jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan

adalah sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari

tiga jawaban yakni sangat sesuai (skor 3), sesuai (skor 2) dan tidak sesuai

(skor 1). Skor yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan untuk analisis

deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni: 1) Tidak sesuai : jika skor rata-rata 1.00-1.67

2) Cukup sesuai : jika skor rata-rata 1.68-2.34

3) Sangat sesuai : jika skor rata-rata 2.35-3.00

d. Tingkat triabilitas adalah derajat dimana biogas dapat dicoba dalam skala

rumah tangga, meliputi: seberapa sering peternak memasukkan feces ke

tangki pengurai dapat dicoba, sering peternak menggunakan gas biogas

untuk memasak dapat dicoba. Triabilitas diukur menggunakan skala ordinal

dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan

yang diajukan adalah sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih

salah satu dari tiga jawaban yakni sangat mudah (skor 3), mudah (skor 2)

dan tidak mudah (skor 1). Skor yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan

untuk analisis deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Tidak mudah dicoba : jika skor rata-rata 1.00-1.67

2) Cukup mudah dicoba : jika skor rata-rata 1.68-2.34

3) Sangat mudah dicoba : jika skor rata-rata 2.35-3.00

e. Tingkat observabilitas adalah derajat dimana inovasi biogas dapat diamati,

mencakup: pembentukan gas pada digester dapat diamati oleh peternak,

memasak dengan menggunakan biogas dapat diamati oleh peternak,

keunggulan biogas dibanding bahan bakar lain dan mudah diamati oleh

peternak. Observabilitas diukur menggunakan skala ordinal dengan

menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang

diajukan adalah sebanyak dua pertanyaan. Responden dapat memilih salah

satu dari tiga jawaban yakni sangat mudah (skor 3), cukup mudah (skor 2)

dan tidak mudah (skor 1). Kemudian jumlah skor rata-rata yang diperoleh

kemudian dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Tidak mudah diamati : jika skor rata-rata 1.00-1.67

2) Cukup mudah diamati : jika skor rata-rata 1.68-2.34

3) Sangat mudah diamati : jika skor rata-rata 2.35-3.00

Page 37: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

22

(3) Sub-variabel tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3) terdiri sebagai

berikut:

(a) Akses terhadap sumber informasi inovasi biogas adalah frekuensi

mengakses sumber informasi dan jumlah sumber informasi inovasi biogas

bagi individu, yang meliputi saluran komunikasi interpersonal dan media

massa. Akses terhadap sumber informasi diukur menggunakan skala

ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah

pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak dua pertanyaan yang kemudian

jawaban dinilai dengan skor 3, skor 2 dan skor 1 dan dikategorikan menjadi

tiga yakni: 1) Rendah : jika skor ≤2

2) Sedang : jika skor 4-5

3) Tinggi : jika skor ≥6

(b) Frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas adalah total kegiatan

kunjungan (rumah, usahatani) yang dilakukan penyuluh atau agen

pembaruan dalam memperkenalkan biogas sampai mengadopsi inovasi.

Kompleksitas diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban

responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah

sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga

jawaban dengan penilaian skor 3, skor 2, dan skor 1. Kemudian jumlah

skor yang diperoleh kemudian dikategorikan menjadi tiga yakni: 1) Rendah : jika skor 3-4

2) Sedang : jika skor 5-6

3) Tinggi : jika skor ≥7

(B) Variabel Tingkat Difusi-Adopsi inovasi biogas (Y) meliputi:

(a) Kecepatan adalah waktu yang dibutuhkan sejak mendengar atau mengenal

inovasi biogas sampai dengan menerapkan. Merujuk kepada fakta bahwa

inovasi biogas telah dikenal peternak Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas,

sejak tahun 2006 atau sekitar 7 tahun yang lalu, ketika salah seorang warga

mempunyai menerapkan biogas tipe plastik untuk pertama kalinya, variabel

ini diukur dengan skala rasio dan dikategorikan menjadi:

(1) Rendah : jika RTSP menerapkani inovasi biogas setelah lebih dari

empat tahun sejak digunakan warga desa yang pertama

kali (2013-sekarang)

(2) Sedang : jika jika RTSP menerapkan inovasi biogas tiga sampai

empat tahun tahun sejak digunakan warga desa yang

pertama kali (2010-2012)

(3) Tinggi : jika jika RTSP menerapkani inovasi biogas dalam dua

tahun pertama tahun sejak digunakan warga desa yang

pertama kali (2006-2009)

(b) Penyebaran adalah jumlah rumah tangga peternak yang mengadopsi

inovasi biogas dalam periode waktu (tahun), sejak masuknya biogas sampai

dengan digunakannya oleh sebagian besar anggota sistem sosial (desa).

Penyebaran dinyatakan oleh skala rasio dalam persentase (%) jumlah orang

masing-masing dusun di Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas. Penyebaran

dikategorikan menjadi tiga yaitu:

Page 38: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

23

1) Rendah : ≤ 21.1%

2) Sedang : 21.2%- 47.20%

3) Tinggi : ≥ 47.23%

Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen yang dipakai harus

dilakukan sebelum instrumen diberikan kepada responden, agar data valid dan

reliabel. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk

mengukur apa yang seharusnya diukur, dan reliabel bila terdapat kesamaan data

dalam waktu yang berbeda. Sugiyono (2011) menyebutkan bahwa instrumen yang

valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal. Validitas internal

merupakan kesahihan penelitian apabila kriteria dalam instrumen secara teoritis

mencerminkan apa yang akan diukur. Validitas eksternal merupakan kesahihan

penelitian apabila terdapat kesesuaian antara kriteria yang ada pada instrumen

dengan fakta-fakta di lapangan (Sarwono 2006). Pengujian dilakukan melalui

langkah-langkah sebagai berikut: (a) definisi operasional variabel yang akan

diukur (b) studi literatur/pustaka sebagai referensi, (c) konsultasi dengan

pembimbing sebagai ahli, dan (d) Uji coba instrumen dilakukan pada 10 orang

peternak sapi perah di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang, Kabupaten

Bandung Barat (e) Uji validitas dilakukan dengan rumus korelasi Product Moment

sebagai berikut:

2222 )()()()(

))(()(

YYnXXn

YXXYnrxy

Dimana: rxy = koefisien korelasi suatu butir/item

N = jumlah responden

X = skor suatu butir/item

Y = skor total

(f) Dari rumus korelasi Product Moment kemudian membandingkan angka

korelasi dengan angka kritik pada tabel korelasi nilai r pada taraf tertentu (5%).

Apabila angka korelasi tersebut lebih besar daripada angka pada tabel nilai r=

0.632, maka item pertanyaan tersebut dinyatakan valid.

Uji Reliabilitas adalah tingkat konsistensi suatu alat ukur yang menunjukkan

sejauh mana alat ukur tersebut dapat dipercaya atau diandalkan bila dipakai

berulang-ulang (Suryabrata 2006). Jika nilai koefisien cronbach alpha (α) lebih

besar dari kisaran 0.5–1.0, maka alat ukur dinilai reliabel. Menurut Riduwan

(2013), penilaian reliabilitas sebagai berikut:

(a) Nilai koefisien alpha 0.00 – 0.199 berarti kurang reliabel

(b) Nilai koefisien alpha 0.20 – 0.399 berarti agak reliabel

(c) Nilai koefisien alpha 0.40 – 0.599 berarti cukup reliabel

(d) Nilai koefisien alpha 0.60 – 0.799 berarti reliabel

(e) Nilai koefisien alpha 0.80 – 1.00 berarti sangat reliabel

Hasil uji instrumen penelitian yang telah dilakukan ditampilkan dalam Tabel 5.

Page 39: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

24

Tabel 5 Hasil uji instrumen penelitian

No Variabel Uji Reliabilitas Uji Validitas Ket.

1 Motivasi 0.780 (Reliabel) 0.683*-0.854* Valid

2 Keuntungan relatif 0.786 (Reliabel) 0,660**-0,938** Valid

3 Kompleksitas 0.750 (Reliabel) 0,824**-0,911** Valid

4 Kompatibilitas 0.735 (Reliabel) 0,686*-0,908** Valid

5 Triabilitas 0.830 ( Sangat

Reliabel)

0,664*-0,935** Valid

6 Observabilitas 0.848 (Sangat Reliabel) 0,810**-0,836** Valid

7 Frekuensi pertemuan

dengan penyuluh

0.764 (Reliabel) 0.372*-0.954** Valid

Dari hasil uji yang disajikan dalam Tabel 4, dapat diketahui bahwa semua

item dalam instrumen tergolong reliabel dengan nilai 0.753 dan 0.786, serta

sangat reliabel dengan nilai 0.826, 0.848 dan 0.865. Dengan demikian instrumen

dapat dikatakan memiliki konsistensi terhadap respon atau pengukuran pada

fenomena yang sama. Pada uji validitas, diperoleh hasil bahwa pada umumnya

item instrumen valid, hal ini berarti bahwa instrumen dapat mengukur apa yang

akan diukur.

Analisis Data

Data dianalisis secara kuantitatif dengan statistik deskriptif dan inferensial

untuk mendalami faktor-faktor yang memengaruhi tingkat difusi-adopsi dan

memberikan penjelasan kualitatif sebagai pendukung. Data yang diperoleh dari

kuisioner dikelompokkan menurut variabel yang telah ditentukan dengan

mengggunakan skoring dan pengkategorian. Pengkategorian menggunakan skala

Likert, dalam skala ini dijabarkan dalam sub variabel dan indikator. Indikator ini

merupakan dasar dalam penyusunan instrumen dengan Skala Likert jenjang 3

(tinggi=3, sedang=2, rendah=1)

Pengolahan data menggunakan program SPSS (Statistical Package for the

Social Science) dimana data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan

kuantitatif. Analisis data ini bertujuan: (1) untuk mendeskripsikan tingkat difusi-

adopsi inovasi biogas dengan statistik deskriptif dengan menampilkan distribusi

frekuensi, dan persentase, (3) analisis statistik inferensial yang digunakan adalah

analisis korelasi rank Spearman. Rumus korelasi rank Spearman (rs) yaitu:

rs = 1 - NN

diN

i

3

1

26

Keterangan : rs = koefisien korelasi Rank Spearman

N = jumlah sampel

di = selisih setiap pasangan Rank Spearman (Riduwan, 2010).

Page 40: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

25

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografi dan Kependudukan di Dua Desa Penelitian

Kecamatan Lembang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten

Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan ini berada pada ketinggian

antara 1 312 hingga 2 084 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 17°-

27 °C. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat tahun

2013, jumlah penduduk Kecamatan Lembang adalah 180 526 jiwa. Terdapat

sebanyak 4 149 peternak dengan jumlah populasi sapi perah sebanyak 17 396 ekor

di Kecamatan Lembang.

Lokasi penelitian dipilih secara purposive mengambil dua desa di

Kecamatan lembang yaitu Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas yang merupakan

dua desa yang terletak di Kecamatan Lembang dengan populasi peternak sapi

perah sebanyak 420 (Rumah tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP) di Desa

Suntenjaya dan sebanyak 255 RTSP di Desa Cibodas dan memiliki jumlah

bangunan reaktor biogas terbanyak di Kecamatan Lembang. Lokasi pertama

adalah Desa Suntenjaya memiliki luas lahan sebesar 4 556.56 hektar. Desa ini

berjarak 13.5 kilometer dari ibukota kecamatan. Desa ini tergolong dalam desa

daratan tinggi dengan ketinggian sebesar 1 280 meter dari permukaan laut. Curah

hujan di desa ini adalah 2 027 milimeter dengan suhu rata-rata 20 27 °C per

harinya. Wilayah Desa Suntenjaya berbatasan dengan wilayah lain yaitu, sebelah

utara berbatasan dengan Desa Bukanagara, Kecamatan Cisalak, Suban, kemudian

sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan,

Bandung, sebelah timur berbatasan dengan Desa Cipanjalu, Kecamatan

Cilengkrang, Bandung dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibodas,

Kecamatan Lembang, Bandung Barat.

Desa Suntenjaya dibagi menjadi 17 Rukun Warga (RW) dan 47 Rukun

Tetangga (RT). Hampir sebagian besar lahan di desa dimanfaatkan sebagai lahan

pertanian (63.24 persen) dan kehutanan (17.56 persen). Tingginya persentase

pemanfaatan lahan sebagai lahan pertanian secara umum menunjukkan bahwa

sektor pertanian merupakan sektor utama bagi keberlangsungan hidup masyarakat

Suntenjaya, selain itu juga sektor peternakan menjadi sektor matapencaharian bagi

28.18 persen penduduk Desa Suntenjaya. Jumlah penduduk secara keseluruhan

pada tahun 2011 adalah 7 302 orang, meliputi 3 685 orang laki-laki dan 3 617

orang perempuan. Total keluarga yang tinggal di desa ini adalah 2 234 Kepala

Keluarga (KK). Jumlah keluarga pertanian adalah 1 334 rumah tangga dengan

tingkat kepadatan penduduk di desa adalah sebesar 0.4 per kilometer.

Berbagai sarana di Desa Suntenjaya dibangun untuk meningkatkan taraf

hidup masyarakatnya. Sarana-sarana tersebut antara lain sarana pendidikan, sarana

peribadatan, sarana kesehatan, serta sarana sosial lainnya. Sarana pendidikan yang

tersedia di Desa Suntenjaya, terdiri dari tiga Sekolah Dasar Negeri, satu SMP

Negeri yang berada di desa tetangga yang jaraknya kurang lebih 8 km, satu

program paket A setara SD atau MI (Madrasah Ibtidaiah), satu PKBM (Pusat

Kegiatan Belajar Masyarakat) yang menyelenggarakan program pendidikan

kesetaraan Paket B dan satu program paket C setara SMP atau MTs. Adapun

potensi yang berasal dari sumber daya alam baik peternakan maupun pertanian

cukup memberikan harapan terutama peternakan sapi perah.

Page 41: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

26

Jumlah petani di Desa Suntenjaya sebanyak 1 206 orang, sedangkan di Desa

Cibodas sebanyak 597 orang. PNS 65 rang, 60 orang, TNI 2 orang, 3 orang, bidan

swsta 3, dokter 1 orang,pedagang keliling 116 orang, 53orang seniman 6

orangSecara lebih rinci jumlah penduduk menurut mata pencaharian disajikan

dalam Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk dua desa penelitian menurut mata

pencaharian tahun 2014

No Pekerjaan Desa Suntenjaya Desa Cibodas

n % n %

1 Petani 1 206 40.6 1 685 69.74

3 Buruh migran 424 14.09 11 0.45

4 Pegawai Negeri Sipil 65 2.16 60 2.48

5 Pengrajin industri rumah

tangga

40 1.32 9 0.37

6 Pedagang keliling 116 3.85 53 2.19

7 Peternak 848 28.18 514 21.27

10 Pembantu rumah tangga 59 1.96 25 1.03

11 TNI 2 0.06 3 0.12

12 Pensiunan

PNS/TNI/POLRI

55 1.82 15 0.62

16 Lainnya 179 5.94 41 1.69

Sumber: Diolah dari data Profil Desa Suntenjaya Tahun 2014

Jumlah penduduk Suntenjaya sebanyak 3 009 orang dengan berbagai

macam mata pencaharian. Mayoritas penduduk yaitu sebanyak 848 orang atau

28.18 persen bekerja sebagai peternak dimana sektor peternakan ini diikuti

dengan perkembangan jumlah ternak yang dimiliki seperti disajikan dalam Tabel

7.

Tabel 7 Populasi ternak di Desa Suntenjaya

No. Jenis Ternak Jumlah (ST) Persentase (%)

1. Sapi 2 179 96.28

2. Ayam Kampung 4.2 0.18

3. Domba 78.54 3.48

4. Burung puyuh 0.952 0.04

5. Kelinci 0.594 0.02

Total 2 263.28 100

Sumber: Diolah dari data Profil Desa Suntenjaya Tahun 2014

Sapi diternakkan oleh 28.18 persen penduduk Desa Suntenjaya, selain itu

domba juga banyak diternakkan dengan jumlah 78.54 ST. Sapi yang diternakkan

adalah sapi perah Fries Holland (FH) atau Holstein yang dapat menghasilkan susu

hingga 12 liter per ekor setiap harinya.

Lokasi penelitian kedua adalah Desa Cibodas yang terletak 1 260 meter di

atas permukaan laut di atas ketinggian laut dan memiliki luas wilayah 1 273.4

hektar. Desa ini memiliki batas wilayah yaitu sebelah utara berbatasan dengan

Page 42: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

27

Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang, sebelah selatan berbatasan dengan

Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, sebelah barat berbatasan dengan Desa

Langensari, Kecamatan Lembang, dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa

Suntenjaya, Kecamatan Lembang. Wilayah Desa Cibodas merupakan daerah

perbukitan dengan kondisi tanahnya secara umum subur, berwarna merah

kehitaman sampai dengan hitam. Lahan di wilayah Desa Cibodas digunakan

untuk berbagai keperluan antara lain untuk pertanian seluas 637.74 Ha/m2, untuk

pemukiman seluas 113.5 Ha/m2, untuk hutan lindung seluas 351 Ha/m

2 , dan

untuk peternakan seluas 15.05 Ha/m2.

Desa Cibodas dibagi menjadi 3 wilayah Dusun, 17 wilayah Rukun Warga

(RW), dan 66 wilayah Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk sebanyak

10 425 jiwa. Kepala Keluarga (KK) sebesar 2 949 KK. Desa Cibodas terdiri dari 3

dusun yaitu:

a) Dusun 1 yang terdiri dari 6 RW, yaitu RW 01, RW 16 (pemekaran RW 01),

RW 02, RW 03, RW 14 (pemekaran RW 03), dan RW 04

b) Dusun 2 yang terdiri dari 5 RW, yaitu RW 05, RW 06, RW 07, RW 08, RW

17 (pemekaran dari RW 06)

c) Dusun 3 yang terdiri dari 6 RW, yaitu RW 9, RW 10, RW 11, RW 13, RW

15.

Mayoritas penduduk desa Cibodas beternak sapi perah, dan beragam hewan

lain yang diternakkan di Desa Cibodas. Secara rinci populasi ternak di Desa

Cibodas disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Populasi ternak di Desa Cibodas

No Jenis Ternak Jumlah (ST) Persentase (%)

1 Sapi 2 710 95.39

2 Ayam Kampung 22.7 0.8

3 Ayam Broiler 77 2.71

4 Domba 10..92 0.37

5 Bebek 0.16 0.01

6 Kuda 20 0.71

7 Kelinci 0.106 0.03

Total 2 840.88 100

Sumber: Diolah dari Profil Desa Cibodas Tahun 2014

Sama halnya Desa Suntenjaya dimana peternakan menjadi mata pencaharian

kedua setelah pertanian, di Desa Cibodas ini sektor peternakan juga menjadi mata

pencaharian kedua setelah pertanian, khususnya peternakan sapi perah yang

menghasilkan produksi peternakan berupa susu sebanyak 2 820 000 kg/tahun,

serta ternak lain sebanyak 77 ST ayam broiler.

Perkembangan Biogas di Kecamatan Lembang

Kabupaten Bandung Barat

Kecamatan Lembang memiliki 4 149 penduduk yang bermata pencaharian

sebagai peternak sapi perah. Hal ini menjadikan potensi bagi pengembangan

biogas dari feces sapi perah yang terus berkembang setiap tahunnya.

Pengembangan biogas dengan berbagai macam tipe seperti tipe plastik, tipe beton,

Page 43: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

28

hingga tipe fiber, akan tetapi tipe beton merupakan tipe reaktor biogas yang paling

banyak dibangun di Kecamatan Lembang. Ada dua pihak yang berperan dalam

pengembangan biogas di Jawa Barat yaitu Pemerintah propinsi melalui Dinas

Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat dan pihak swasta yaitu

Humanistic Institute for Development Cooperation (Hivos) melalui program

Biogas Rumah (BIRU).

Program BIRU merupakan program pengembangan sektor biogas yang

dimulai pada tahun 2009 dan merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia,

yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Pemerintah Kerajaan

Belanda. Program ini menargetkan 8 000 digester biogas terbangun hingga tahun

2012. Implementasi program ini dilakukan oleh dengan dukungan dari Hivos dan

SNV, keduanya merupakan lembaga non-pemerintah dari Belanda yang telah

berpengalaman mengembangkan biogas.

Pemerintah Jawa Barat melalui Dinas ESDM memulai pengembangan

inovasi biogas sejak tahun 2006. Penyebaran biogas meliputi berberapa daerah

yaitu Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan Tasik, Kabupaten Garut,

Kabupaten Ciamis, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bogor, Kabupaten

Bandung Barat, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten

Subang. Keseluruhan daerah tersebut memperoleh bantuan pengembangan biogas

dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral yang berawal dari tahun 2006 hingga

tahun 2013 di Jawa Barat, dan ditampilkan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Penyebaran biogas tahun 2006-2012 di Jawa Barat

No. Kabupaten Jumlah (unit) Persentase (%)

1. Sumedang 384 18.8

2. Kuningan Tasik 10 0.40

3. Garut 240 11.7

4. Ciamis 70 3.40

5. Majalengka 684 33.50

6. Bogor 177 5.70

7. Bandung Barat 102 5.00

8. Cirebon 4 0.10

8. Sukabumi 14 0.60

9. Subang 15 0.70

Jumlah Total 2038 100

Sumber: Diolah dari data Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral 2014

Kabupaten Bandung Barat yang memiliki potensi besar dalam

pengembangan inovasi biogas terdiri dari beberapa desa diantaranya Desa

Jambudipa, Desa Kertawangi, Desa Cihideung, Desa Suntenjaya dan Desa

Cibodas. Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas ini memiliki potensi paling besar

dibanding desa lainnya. Lebih lanjut, hasil pengembangan biogas di Kabupaten

Bandung Barat dapat dilihat dalam Tabel 10.

Page 44: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

29

Tabel 10 Hasil pengembangan biogas di Kabupaten Bandung Barat

No. Wilayah Desa Jumlah biogas Tahun

1. Cisarua Jambudipa 20 2010

Kertawangi 20 2010

2. Parongpong Cihideung 10 2011

3. Lembang Suntenjaya 10 2011

4. Lembang Suntenjaya 100 2012

5. Lembang Cibodas 82 2012

Jumlah 242

Sumber: Diolah dari data Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral 2014

Sejumlah 242 bantuan instalasi biogas dibangun di tiga kecamatan

Kabupaten Bandung Barat meliputi Cisarua, Prongpong dan Lembang, namun

Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas memperoleh bantuan terbanyak karena

merupakan daerah untuk percontohan pengembangan biogas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Karakteristik Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)

Sampel peternak di Desa Suntenjaya terdiri dari laki-laki sebanyak 133

orang atau 94.3 persen dan perempuan sebanyak 8 orang 5.7 persen, sedangkan

peternak di Desa Cibodas terdiri dari 107 laki-laki atau 85.6 persen dan sebanyak

12 orang atau 14.4 persen, baik laki-laki maupun perempuan tidak berbeda dalam

menjalankan usaha ternaknya.

Menurut Lovell (1983) (Basleman dan Mappa, 2011), tahap perkembangan

manusia dibagi menjadi enam kategori, yaitu umur pra awal dewasa (umur 11-16

tahun), umur remaja16-20 tahun, umur awal dewasa 20-25 tahun, umur dewasa

35-40 tahun, umur 40-60 tahun dan umur pra pensiun yaitu 60-65 tahun ke atas.

Umur peternak dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu kurang dari 39 tahun,

peternak berusia 40 sampai dengan 58 tahun dan peternak yang berumur lebih dari

59 tahun. Di Desa Suntenjaya sebanyak 63 peternak yang berumur kurang dari 39

tahun, 64 peternak berumur 40 sampai dengan 58 tahun, dan 14 peternak yang

berumur lebih dari 59 tahun. Di Desa Cibodas sebanyak 55 peternak yang

berumur kurang dari 39 tahun, 6 peternak berumur 40 sampai dengan 58 tahun,

dan 64 peternak yang berumur lebih dari 59 tahun. Di dua lokasi penelitian,

kategori umur peternak sapi perah tergolong dewasayaitu pada interval kurang

dari 39 tahun, dengan presentase tertinggi yaitu sebanyak 44.6 persen di Desa

Suntenjaya dan sebanyak 44 persen di Desa Cibodas. Menurut Badan Pusat

Statistik (2009) umur ini juga digolongkan sebagai umur produktif. Kondisi ini

menunjukkan bahwa peternak secara fisik sangat kuat untuk menjalankan

kegiatan usahanya secara baik. Peternak sudah memiliki kemampuan bekerja dan

berpikir yang lebih tinggi dibanding dengan peternak yang sudah tidak produktif.

Peternak yang lebih muda selalu mempunyai semangat tinggi karena

keingintahuannya sehingga mereka berusaha lebih cepat menerapkan inovasi

(Soekartawi, 2005).

Page 45: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

30

Karakteristik RTPSP meliputi tingkat pendidikan formal, jumlah ternak

sapi perah, lama beternak, tingkat pendapatan, motivasi dan luas lahan untuk

biogas. Dari beragam karakteristik tersebut, hanya tingkat pendapatan dan luas

lahan untuk biogas yang berbeda nyata di dua desa penelitian. Berikut adalah

distribusi responden pada berbagai karakteristik yang diamati (Tabel 11).

Tabel 11 Distribusi sampel berdasarkan karakteristik RTPSP

Sub Variabel Desa

Suntenjaya

Desa

Cibodas

Signifikansi

n % n % Uji beda U Mann-

Whitney

1. Tingkat Pendidikan formal (tahun) a. Rendah 131 93 117 93.6

b. Sedang 9 6.3 2 1.6 0.667

c. Tinggi 1 0.7 6 4.8 Total 141 100 125 100 2. Jumlah ternak sapi perah (ST)

a. Sedikit 45 31.9 38 30.4 b. Sedang 62 44 69 55.2 0.069

c. Banyak 34 24.1 18 14.4 Total 141 100 125 100 3. Lama beternak (tahun)

a. Rendah 55 39 29 23.2 b. Sedang 36 25.6 55 44 0.371

c. Tinggi 50 35.4 41 32.8 Total 141 100 125 100

4. Tingkat Pendapatan RTSP (per tahun) a. Rendah 81 57.4 2 1.6 b. Sedang 50 35.4 115 92 0.00

c. Tinggi 10 7.2 8 6.4 Total 141 100 125 100 5. Motivasi

a. Rendah 6 4.3 6 4.8 b. Sedang 86 60.9 51 40.8 0.23

c. Tinggi 49 34.8 68 54.4 Total 141 100 125 100

6. Luas lahan untuk biogas

a. Sempit 98 69.5 41 32.8

b. Sedang 28 19.8 0 0 0.00

c. Luas 15 10.6 84 67.2

Total 141 100 125 100

Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata

nilai signifikansi U Mann Whitney >0.05, tidak berbeda nyata

Page 46: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

31

Tingkat Pendidikan Formal

Sebesar 93.4 % tingkat pendidikan formal responden hanya sampai Sekolah Dasar

(SD) yang ditempuh selama 6 tahun, walaupun terdapat 4 peternak atau sebanyak

1.5 persen yang menempuh pendidikan formal kurang dari 5 tahun hanya sampai

kelas 3, kelas 4 dan kelas 5 SD (tidak tamat SD), dan sebanyak 11 responden

berpendidikan SMP yang ditempuh selama 9 tahun serta sebanyak 7 responden

berpendidikan SMA yang ditempuh selama 12 tahun. Pendidikan tertinggi yang

ditempuh oleh peternak adalah Perguruan Tinggi yang ditempuh oleh satu orang

responden di Desa Suntenjaya. Hasil uji beda U Mann-Whitney menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan formal di Desa Suntenjaya dan

Desa Cibodas karena di dua desa tersebut mayoritas 93.2 persen peternak

menempuh pendidikan selama kurang dari enam tahun.

Jumlah Ternak Sapi Perah

Jenis ternak sapi perah di dua desa penelitian adalah sapi Fries Holland

(FH) atau Holstein dan dibedakan menjadi dua kategori yaitu sapi perah yang

dipelihara (berupa ternak milik dan ternak orang lain tetapi dipelihara dengan

sistem maro) dan sapi perah milik pribadi. Sistem maro dilakukan dengan cara

membagi anak yang dilahirkan oleh ternak yang dipelihara sebesar masing-

masing 50 persen untuk pemelihara dan pemilik ternak. Sapi perah yang

dipelihara dibagi menjadi tiga jenis yaitu sapi dewasa/induk (umur >2 tahun), sapi

muda/ dara (umur 1-2 tahun), dan anak sapi/ pedhet (umur <1 tahun), dan dihitung

dalam Satuan Ternak (ST) satu ekor sapi dewasa sama dengan 1 ST, satu ekor

sapi muda sama dengan 0.5 ST dan 1 ekor pedhet sama dengan 0.25 ST.

Selain sapi perah, terdapat pula peternak yang memelihara sapi

jantan/danten. Umur sapi perah yang dapat dikawinkan yaitu setelah berumur 1.5

tahun, dengan siklus birahi 18 sampai 24 hari, kemudian lama sapi tersebut

bunting selama 279 hari hingga 282 hari (Sitepoe 2009).

Di Desa Cibodas terdapat 4 peternak atau sebanyak 3.2 persen yang

memiliki sapi jantan, dan di Desa Suntenjaya terdapat 2 peternak atau sebanyak

1.4 persen yang memiliki sapi jantan. Terdapat 2 orang peternak di Desa

Suntenjaya tidak memiliki sapi perah tetapi menggunakan feces sapi perah milik

tetangganya untuk memproses biogas. Sebesar 43.9 persen atau sebanyak 62

peternak di Desa Suntenjaya dan sebesar 55.2 persen atau sebanyak 69 peternak di

Desa Cibodas yang memiliki jumlah ternak sedang (2.3-4.5 ST) sehingga tidak

terdapat perbedaan antara Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas.

Lama Beternak

Di bidang pertanian, pengalaman berusahatani berpengaruh terhadap

pengambilan keputusan dalam memilih inovasi teknologi pertanian (Roswida

2003). Di bidang peternakan, penelitian Yusriadi (2011) menytakan bahwa

semakin lama pengalaman seseorang beternak, maka akan semakin mudah dalam

memahami teknologi biogas dan cenderung akan lebih mudah menerapkannya.

Sebanyak 34.2 persen peternak di dua desa penelitian telah beternak selama 6-11

tahun, dan sebanyak 34.2 persen peternak juga telah beternak selama ≥ 12 tahun,

sedangkan 31.6 persen peternak telah beternak selama ≤6 tahun, sehingga

peternak melihat perkembangan reaktor biogas yang semakin berkembang, dari

Page 47: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

32

tipe plastik yang lebih rentan rusak hingga sekarang menggunakan reaktor tipe

beton (fixed dome) yang lebih awet dibanding tipe plastik.

Tingkat Pendapatan RTPSP

Pendapatan per tahun mayoritas peternak tergolong kategori sedang yaitu

antara Rp 9 828 435.32 hingga Rp 81 932 751 atau memiliki pendapatan per

bulan antara Rp 819 036.3 hingga Rp 6 827 729.3. Sebanyak 35.2 persen peternak

Desa Suntenjaya berpendapatan per tahun sebesar Rp 6 827 729.2 dan 92 persen

peternak di Desa Cibodas berpendapatan per tahun antara Rp 9 828 435.32 hingga

Rp 81 932 751.

Pendapatan RTPSP diperoleh dari pendapatan dari usaha ternak dan usaha

lain yang dilakukan oleh anggota RTPSP meliputi usaha pertanian, warung,

pensiunan TNI, pegawai perhutani, tukang ojek. Usahatani bunga kol dapat

mencapai panen 3 kali dalam satu tahun dengan harga rata-rata bunga kol per

pohonnya adalah Rp 2 000. Peternak sapi perah dapat menghasilkan susu yang

dilakukan setiap hari yaitu ketika pagi dan sore hari, dengan produksi rata-rata 12

liter per ekor setiap harinya tetapi sapi perah ini tidak selama setahun penuh dapat

menghasilkan susu. Masa produksi sapi perah dibagi dalam beberapa periode

yaitu periode kebuntingan (gestation period) selama kurang lebih 283 hari,

periode kering kandang (dry period), yaitu setelah sapi perah hamil 7 bulan, maka

sapi tersebut tidak dapat diperah selama 3 bulan hingga setelah usai

melahirkan.perdalam setahun sapi perah memiliki lactation period selama 305

hari (Makin 2011).

Harga perahan susu sapi adalah Rp 4 100 per liter. Harga ini telah

ditetapkan secara baku oleh KPSBU dan harga berubah sesuai dengan kualitas

susu yang dihasilkan oleh sapi perah. Kebutuhan pakan rumput ternak sapi perah

dipenuhi dengan sharing rumput dengan Perhutani dengan biaya Rp 75 000 per

tahun dan dibayarkan langsung melalui potongan di KPSBU. Hasil Uji beda U

Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan

antara Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas, hal ini ditunjukkan oleh sebanyak 92

persen responden di Desa Cibodas termasuk kategori tingkat pendapatan per bulan

sebesar Rp 819 036.2 sedangkan di Desa Suntenjaya sebanyak 57.4 persen

peternak berpendapatan Rp 819 036.3 hingga Rp 6 827 729.3.

Motivasi

Teori Herzberg dua faktor yang mendorong individu termotivasi yaitu

faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing

orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri

seseorang, terutama dari lingkungan. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong

oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada perolehan hal-hal yang

diinginkannya dari lingkungan (Sondang 2002). Berdasarkan kondisi di dua

daerah penelitian yaitu Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas, ada berbagai hal yang

mendorong RTPSP untuk menerapkan inovasi biogas yaitu adanya motivasi

intrinsik (menggunakan biogas sebagai energi alternatif karena hemat), dan

motivasi ekstrinsik (anjuran tokoh masyarakat, ikut-ikutan peternak lain, adanya

bantuan biogas gratis dan adanya kredit biogas dari KPSBU). Di Desa Suntenjaya

motivasi responden termasuk dalam kategori sedang untuk menerapkan inovasi

biogas yaitu sebanyak 86 orang atau sebanyak 60.9 persen peternak, sedangkan di

Page 48: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

33

Desa Cibodas sebanyak 68 peternak atau sebanyak 54.4 persen termasuk kategori

tinggi. Secara rinci motivasi peternak menerapkan biogas disajikan dalam Tabel

12.

Tabel 12 Motivasi peternak dalam menerapkan inovasibiogas di dua desa

penelitian tahun 2014

No Motivasi Desa Suntenjaya Desa Cibodas

n % n %

1 Menggunakan biogas karena

hemat waktu

2 1.41 2 1.6

2 Menggunakan biogas karena

hemat tenaga

1 0.07 2 1.6

3 Menggunakan biogas karena

hemat waktu dan tenaga

3 2.12 6 4.8

4 Anjuran tokoh masyarakat 6 4.2 2 1.6

5 Ikut-ikutan peternak lain 49 34.7 21 16.8

6 Adanya bantuan biogas gratis 37 26.2 80 64

7 Adanya kredit biogas dari

KPSBU

43 30.4 12 9.6

Total 141 100 125 100

Sebanyak 43.9% peternak termotivasi dalam menerapkan inovasi biogas

adalah karena adanya bantuan biogas gratis dari Dinas Energi dan Sumberdaya

Mineral Jawa Barat, hal ini menyebabkan peternak berminat untuk menerapkan

biogas dibandingkan sebelum adanya bantuan gratis.

Luas Lahan Peternak untuk Biogas

Terdapat tiga jenis luasan reaktor biogas yaitu biogas berukuran 6m3, 5m

3,

4m3. Di Desa Suntenjaya sebanyak 98 peternak memiliki reaktor biogas

berukuran 6m3, sebanyak 28 peternak memiliki reaktor biogas berukuran 5m

3,

sebanyak 15 peternak memiliki reaktor biogas berukuran 4m3 sedangkan di Desa

Cibodas sebanyak 41 peternak memiliki reaktor biogas berukuran 6m3, sebanyak

84 peternak memiliki reaktor biogas berukuran 4m3, dan tidak ada responden yang

memiliki memiliki reaktor biogas berukuran 4m3. Reaktor biogas berukuran 6m

3

membutuhkan luas lahan 6m2, sedangkan untuk reaktor berukuran 5m

3

membutuhkan luas lahan 5m2, serta rektor biogas dengan ukuran 4m

3

membutuhkan luas lahan sekitar 4 m2. Masing-masing ukuran biogas memiliki

kebutuhan jumlah feces sapi dan air disajikan dalam Tabel 13.

Tabel 13 Rincian Tipe Ukuran Reaktor

Ukuran

reaktor

(m3)

Pengisian

feces

perdana

(kg)

Pengisian

feces

harian

(kg)

Air untuk

dicampur

dengan feces

(liter)

Jumlah Ternak yang

dibutuhkan

(di dalam Kandang)

4 1600 32 32 3-4

6 2400 48 48 5-6

8 3400 64 64 7-8

Sumber : Pedoman Pengguna BIRU (2010)

Page 49: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

34

Dari segi luas lahan untuk biogas di dua desa penelitian terlihat berbeda,

perbedaan ukuran reaktor biogas dan luas yang diperlukan untuk membangun

instalasi biogas disesuaikan dengan luas lahan yang dimiliki oleh RTPSP, di

Suntenjaya yang terdapat tiga ukuran reaktor biogas, di Desa Cibodas tidak ada

reponden yang memiliki reaktor biogas dengan ukuran 5m3.

Persepsi Terhadap Sifat Inovasi Biogas

Beragam sifat inovasi meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat

kompatiblitas, tingkat kompleksitas, tingkat triabilitas dan tingkat observabilitas,

akan tetapi hanya tingkat keuntungan relatif dan tingkat triabilitas memiliki

perbedaan signifikan di dua desa penelitian. Secara lengkap persepsi tentang sifat

inovasi disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Persepsi peternak terhadap sifat inovasi biogas di dua desa penelitian

tahun 2014

No

.

Variabel Desa Suntenjaya

(n=141)

Desa Cibodas

(n=125)

Uji beda U

Mann-

Whitney

Signifikansi

1. Tingkat keuntungan

relatif

2.23 2.37 0.006

2. Tingkat kompleksitas 2.50 2.49 0.914

3. Tingkat kompatibilitas 2.35 2.35 0.956

4. Tingkat triabilitas 2.48 2.56 0.014

5. Tingkat observabilitas 2.25 2.20 0.536

6. Sifat inovasi biogas 2.36 2.36

Keterangan: Rentang skor 1.00-3.00

Rendah = Skor 1.00-1.67; Sedang = Skor 1.68-2.34

Tinggi = Skor 2.35-3.00

nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata

nilai signifikansi U Mann Whitney >0.05, tidak berbeda nyata

Persepsi tentang tingkat keuntungan relatif terlihat berbeda di dua di desa

penelitian, peternak Desa Suntenjaya tentang keuntungan relatif termasuk kategori

sedang, sedangkan di persepsi peternak Desa Cibodas tentang keuntungan relatif

termasuk kategori tinggi. Di dua desa penelitian, bioga dinilai tidak rumit/mudah,

begitu juga berdasarkan tingkat kompatibilitas, biogas juga dinilai sangat sesuai

dengan kebutuhan peternak. Persepsi peternak tentang tingkat triabilitas termasuk

kategori tinggi, dan persepsi peternak tentang tingkat observabilitas termasuk

kategori sedang.

Berdasarkan penyataan responden melalui kesioner, mayoritas 56.4 persen

peternak menilai bahwa biogas cukup menguntungkan, 61.6 persen peternak

menilai biogas tidak rumit, 53 persen peternak menilai biogas sangat sesuai

dengan kebutuhan peternak, dan 70.3 persen ketercobaan dinilai sangat mudah

serta 66.3 persen peternak menilai biogas cukup mudah teramati.

Page 50: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

35

Tingkat Keuntungan Relatif

Keuntungan relatif adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap suatu

yang lebih baik dari pada ide-ide yang ada sebelumnya, contohnya jika inovasi

biogas dibandingkan dengan bahan bakar yang dipakai RTPSP untuk memasak

sebelum menerapkan biogas. Biogas hanya memerlukan waktu dan tenaga untuk

memproses gas yang dihasilkan untuk memasak maupun untuk penerangan.

Peternak menilai bahwa biogas cukup memberikan keuntungan. Dalam

melihat keuntungan relatif dari inovasi biogas, peternak menyatakan sangat

setuju dan setuju jika inovasi biogas lebih menguntungkan dibandingkan

menggunakan bahan bakar lainnya seperti LPG, kayu bakar dan minyak tanah.

Lebih menguntungkan juga dilihat dari konsumsi bahan bakar tersebut untuk

memasak, contohnya jika dulu RTPSP membutuhkan 2 tabung gas LPG (3kg)

dengan harga Rp 21 000 per tabung untuk memasak, maka sekarang hanya

menggunakan biogas untuk kebutuhan memasak sehingga lebih hemat. Reaktor

biogas yang berukuran 4m3

dapat menghasilkan biogas yang digunakan untuk

memasak selama 3 jam lamanya, dengan menggunakan bahan baku feces 3 ember

dan 3 ember air, sehingga sehari cukup untuk digunakan satu rumah tangga untuk

memasak. Jika sebulan membutuhkan 2 tabung LPG seharga Rp 21 000 untuk

memasak maka sehari membutuhkan biaya Rp 1 400. Dengan menggunakan

biogas maka peternak bisa menghemat Rp 1 400 per hari, ataupun jika masih

menggunakan 1 tabung LPG maka RTSP juga tetap menghemat Rp 700 per

harinya.

Terdapat perbedaan persepsi tentang keuntungan relatif antara Desa

Suntenjaya dan Desa Cibodas yang ditunjukkan bahwa di dua desa penelitian

terdapat perbedaan. Persepsi peternak di Desa Suntenjata termasuk sedang

sedangkan persepsi peternak di Desa Cibodas termasuk tinggi. Di Desa

Suntenjaya terdapat 88 peternak atau sebesar 62.4 persen yang mengungkapkan

bahwa dengan menggunakan biogas, dapat menghemat waktu dan tenaga. Selain

itu terdapat 18 ataus sebesar 12.7 persen responden yang mengungkapkan dengan

menggunakan biogas hanya dapat menghemat waktu, karena responden dapat

memproses biogas sambil mengurus ternak di kandang dan tidak perlu membeli

gas LPG di warung yang letaknya 2 kilometer dari rumah warga. Seorang

peternak yang mengungkapkan dengan menggunakan biogas hanya dapat

menghemat tenaga karena responden tidak perlu lagi mencari kayu di hutan

untuk memasak. Sebanyak 34 responden atau sebanyak 24.1 persen yang

mengungkapkan dengan menggunakan biogas tidak menghemat waktu dan

tenaga, karena mereka tetap saja menggunakan kayu bakar dan LPG untuk

memasak.

Di Desa Cibodas, 58.4 persen atau sebanyak 73 peternak yang

mengungkapkan bahwa dengan menggunakan biogas, dapat menghemat waktu

dan tenaga. Sebanyak 20.8 persen atau 26 peternak yang mengungkapkan dengan

menggunakan biogas hanya dapat menghemat waktu, karena mereka tidak

memerlukan waktu untuk membeli bahan baka lain ataupun mencari kayu di

hutan dan dapat memproses biogas sambil mengurus ternak sapi perah di kandang

yang letaknya jauh dari rumah. Sebanyak 8 persen atau 10 peternak dengan

menggunakan biogas hanya dapat menghemat tenaga karena peternak tidak perlu

lagi mencari kayu di hutan untuk memasak, serta sebanyak 12.8 persen atau

sebanyak 16 peternak yang mengungkapkan dengan menggunakan biogas tidak

Page 51: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

36

menghemat waktu dan tenaga, karena untuk menghasilkan biogas harus

meluangkan waktu untuk megumpulkan feces sapi dan harus pula mengeluarkan

tenaga untuk mengangkut feces tersebut, mengambil air kemudian untuk

memproses biogas. Peternak Desa Cibodas menilai biogas sangat menguntungkan

dibandingkan menggunakan bahan bakar lain seperti kayu bakar dan LPG,

sehingga jumlah penerap di Desa Cibodas sebesar 55.5 persen dari keseluruhan

peternak, hal ini juga terkait dengan peternak yang tergabung dalam kelompok

ternak di Desa Cibodas. Kelompok ternak Desa Cibodas terbagi dalam enam

kelompok (Karya Bersama, Sarongge Indah, Mekar Rahayu, Sumber Hurip,

Mekar Saluyu dan Bakti Saluyu), dua keompok diantaranya yaitu Mekar Saluyu

dan Bakti Saluyu terletak dalam satu lokasi dan mendpat bantuan biogas

percontohan energi alternatif untuk memasak dan untuk penerangan berupa lampu

biogas, sehingga peternak dapat lebih bisa menilai keuntungan biogas dari

percontohan tersebut sebelum menerapkan biogas, selain itu lokasi Desa Cibodas

yang lebih dekat dengan pusat kota (Kecamatan Lembang), sehingga peternak

lebih mudah dalam mengakses informasi baru dibandingkan Desa Suntenjaya

yang letaknya lebih jauh dari pusat kota.

Tingkat Kompleksitas

Tingkat kompleksitas adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif

sulit untuk digunakan atau dengan kata lain mudah untuk digunakan. Taraf

kerumitan pemakaian dan perawatan inovasi biogas menjadi hal yang penting.

Pemakaian biogas dinilai dari taraf kemudahan dalam memproses biogas, dan

bagaimana pula taraf kemudahan dalam merawat instalasi biogas, seperti kompor,

pipa, inlet, pengaduk, kran dan reaktor biogas.

Peternak menilai biogas relatif tidak rumit/cukup mudah untuk digunakan.

Tidak terdapat perbedaan persepsi peternak tentang kompleksitas antara Desa

Suntenjaya dan Desa Cibodas, keduanya termasuk kategori tidak rumit untuk

digunakan. Sebanyak 67,7 persen peternak di dua desa penelitian menilai tidak

rumit untuk mencoba biogas dan untuk menyediakan air untuk memproses biogas,

karena Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas merupakan daerah pegunungan yang

sangat mudah dalam mendapatkan air langsung dari mata air pegunungan untuk

kebutuhan sehari-hari. Taraf kemudahan dalam merawat kompor di Desa Cibodas

juga termasuk rendah karena responden dapat memperbaiki kompor biogas,

bahkan mampu merakit kompor biogas.

Tingkat Kompatibilitas

Tingkat kompatibilitas merupakan tingkatan sejauh mana inovasi dianggap

konsisten dengan nilai-nilai yang ada, dan kebutuhan penerima. Tingkat

kompatibilitas termasuk tinggi dimana 141 peternak atau sebesar 53 persen

peternak menyatakan bahwa mereka sangat setuju bahwa inovasi biogas sesuai

dengan kebutuhan energi alternatif untuk memasak dan sesuai untuk mengurangi

pencemaran lingkungan, walaupun terdapat 7 peternak atau sebesar 4.9 persen

peternak yang menyatakan bahwa biogas justru akan lebih mencemari sungai

Cikapundung karena pemrosesan biogas dengan mencampur feces sapi perah

dengan air dengan perbandingan 1:1, dan menghasilkan slurry yang belum

digunakan sebagai pupuk, hal ini seperti diungkapkan Bapak A (Peternak-petani

hortikultura, 36 tahun):

Page 52: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

37

“Kalau untuk kebutuhan memasak, tidak semua peternak memiliki

kandang yang dekat dengan rumah, dan terkadang hanya

digunakan untuk mandi sapi karena letak biogas di kandang,

sedangkan untuk mengurangi pencemaran sungai itu belum cocok

menggunakan biogas, bahkan akan lebih mencemari sungai

karena slurry yang dihasilkan juga lebih banyak dan belum

dimanfaatkan lebih lanjut, seperti dibuat pupuk cacing dengan

lahan 16 m2 yang lebih menguntungkan karena sebulan bisa

menghasilkan 35 karung pupuk cacing yang dijual Rp 17 000 per

karung.”

Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi

tentang tingkat kompatibilitas antara Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas.

Sebanyak 55.3 persen responden di Desa Suntenjaya dan 50.4 persen responden di

Desa Cibodas menyatakan bahwa biogas sesuai dengan kebutuhan sebagai energi

alternatif dan sesuai sebagai upaya mengurangi pencemaran sungai Cikapundung

akibat feces sapi perah.

Tingkat Triabilitas

Tingkat triabilitas adalah adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dapat

dicoba dengan mudah. Sebanyak 187 peternak dapat langsung mencoba

menggunakan biogas ketika pertama kali mencobanya. Setelah instalasi biogas

dibangun, maka setidaknya tujuh hari kemudian, dapat langsung dicoba dan

langsung digunakan. Ada pula responden yang mencoba menggunakan kompor

biogas setelah empat hari sejak pengisian pertama. Hasil uji beda menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan persepsi tentang tingkat triabilitas antara Desa

Suntenjaya dan Desa Cibodas. Hanya terdapat satu peternak di Desa Suntenjaya

yang menyatakan bahwa mereka sangat sulit mencoba memproses biogas,

membutuhkan lebih dari 4 kali mencoba memasukkan feces ke pengaduk dan

lebih dari 4 kali mencoba menyalakan kompor biogas sedangkan di Desa Cibodas

terdapat 6 peternak menyatakan yang sangat sulit mencoba memproses biogas,

membutuhkan lebih dari 4 kali mencoba memasukkan feces ke pengaduk dan

lebih dari 4 kali mencoba menyalakan kompor biogas. Peternak Desa Suntenjaya

terbagi dalam tujuh kelompok ternak yaitu kelompok ternak Mekar Mawar,

Mekar Budaya, Jaya mekar, Pasir Angling, Sawagi, Mekar Saluyu dan Mekar

Asih. Peternak Desa Cibodas terbagi dalam enam kelompok yaitu kelompok

Karya Bersama, Sarongge Indah, Mekar Rahayu, Sumber Hurip, Mekar Saluyu

dan Bakti Saluyu. Tingkat triabilitas di dua desa penelitian terlihat berbeda.

Sebanyak 70.9 persen peternak Desa Suntenjaya menilai pemrosesan sangat

mudah dicoba Peternak Desa Sutenjaya, sedangkan sebanyak 69.6 persen

peternak Desa Cibodas menilai pemrosesan biogas mudah dicoba. Pada awal

penerapan biogas, terdapat biogas percontohan untuk kelompok ternak di dua desa

penelitian sehingga peternak dapat mencoba memproses biogas tanpa perlu

terlebih dulu membangun dalam skala rumah tangga, akan tetapi biogas

percontohan yang dibangun oleh PKPP RISTEK di Desa Suntenjaya hanya dapat

dioperasikan selama enam bulan kemudian rusak dan peternak tidak dapat

memperbaiki instalasi biogas tersebut.

Page 53: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

38

Tingkat Observabilitas

Tingkat observabilitas adalah tingkat dimana suatu inovasi dapat dilihat

hasilnya dan dapat dilihat prosesnya. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan persepsi tentang tingkat observabilitas antara Desa Suntenjaya

dan Desa Cibodas. Tingkat observabilitas termasuk kategori sedang dengan 55.6

persen dari keseluruhan peternak menilai cukup mudah mengamati keuntungan

yang diperoleh peternak lain melalui penggunaan biogas dan cukup mudah pula

mengamati pembentukan biogas dalam reaktor. Sebanyak 82 peternak di Desa

Suntenjaya termasuk dalam kategori sedang sedangkan di Desa Cibodas hanya 66

peternak yang termasuk dalam kategori sedang. Peternak tersebut menyatakan

bahwa pembentukan gas cukup mudah diamati dan peternak cukup mudah

mengamati keuntungan ekonomis yang diperoleh peternak lain.

Tingkat Akses Informasi dan Fasilitasi Penyuluh

Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluhan dilihat dari sumber

informasi tentang biogas yang diakses oleh peternak dan frekuensi pertemuan

penyuluh biogas dengan peternak.

Akses terhadap Informasi Inovasi Biogas

Peternak mengakses sumber informasi untuk mencari informasi terkait

inovasi. Petama kali peternak memperoleh informasi tentang inovasi biogas dari

berbagai macam sumber meliputi ketua kelompok ternak, penyuluh biogas

KPSBU, tetangga, peternak lain dalam satu desa, pendidikan formal (SMK). Dari

sisi difusi biogas di dua desa penelitian tampak bahwa peranan early adopter

sangat penting, early adopter ini memiliki ciri yaitu para teladan (pemuka

pendapat) dan orang yang dihormati. Early adopter di lokasi penelitian adalah

ketua kelompok ternak yang berpengaruh untuk memepercepat difusi biogas di

kalangan peternak. Pada tahun 2010 hingga 2011 di Desa Suntenjaya terdapat 16

responden atau sebanyak 15.4 persen sebagai early adopter, sedangkan di Desa

Cibodas sebanyak terdapat 11 responden atau sebanyak 4.3 persen sebagai early

adopter. Lebih lanjut pada tahun 2012 terjadi penambahan jumlah adopter di Desa

Suntenjaya 117 atau sebanyak 27.8 persen adopter, sedangkan di Desa Cibodas

sebanyak 96 responden atau 37.6 persen dan 78 responden menyatakan

termotivasi karena mengikuti ajakan dari ketua kelompok ternak, tokoh

masyarakat serta peternak lain yang terlebih dahulu menerapkan biogas. Secara

lebih rinci jenis sumber informasi disajikan dalam Tabel 15.

Page 54: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

39

Tabel 15 Sumber informasi tentang inovasi biogas di dua desa penelitian tahun

2014

No Sumber informasi Desa Suntenjaya Desa Cibodas

n % n %

1 Penyuluh biogas 6 4.2 34 27.2

2 Ketua kelompok

tani/ternak

100 70.9 82 65.5

3 Peternak lain

(Koordinator wilayah

KPSBU)

1 0.7 4 3.2

4 Tetangga 6 4.2 3 2.4

5 Keluarga 27 19.1 2 1.6

6 Pendidikan formal

(SMK)

1 0.7 0 0

Total 141 100 125 100

Selain sumber informasi yang diakses pertama kali, berbagai macam sumber

informasi lain juga diakses oleh RTPSP kemudian dikategorikan menjadi tiga

kategori yaitu rendah (jika hanya mengakses satu sumber informasi), sedang (jika

mengakses dua sampai tiga sumber iformasi) dan tinggi (jika mengakses lebih

dari tiga sumber informasi). Kategori tersebut secara lengkap disajikan dalam

Tabel 16.

Tabel 16 Akses sumber informasi tentang inovasi biogas di dua desa penelitian

tahun 2014

Kategori akses

terhadap sumber

informasi

Desa Suntenjaya Desa Cibodas Uji beda

Mann-

Whitney U

n % n % Signifikansi

Rendah 50 35.5 4 3.20

0.00 Sedang 57 40.4 42 33.6

Tinggi 34 24.1 79 63.2

Total 141 100 125 100

Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata

Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara Desa

Sutenjaya dan Desa Cibodas (p=0.00), karena terdapat berbagai macam sumber

informasi dan lebih dari satu sumber informasi yang diakses oleh RTPSP penerap

inovasi biogas. Mayoritas sebesar 40.4 persen peternak di Desa Suntenjaya

mengakses sumber informasi bersumber dari ketua kelompok ternak, penyuluh

biogas KPSBU, dan tetangga, sedangkan di Desa Cibodas sebesar 63.2 persen

peternak mengakses informasi dari televisi, ketua kelompok ternak, penyuluh

biogas KPSBU, dan tetangga, serta dari ketua koordinator wilayah KPSBU desa.

Page 55: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

40

Frekuensi Pertemuan dengan Penyuluh Biogas

Kebutuhan informasi merupakan kebutuhan yang sangat penting. Schram,

1973 dalam Isniyati (2010), bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang

tinggi cenderung lebih ingin mencari informasi dari media cetak. Dari berbagai

penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, mengungkapkan bahwa intensitas

dalam komunikasi dapat menentukan perubahan perilaku. Soekartawi (2005),

mengungkapkan pula bahwa faktor yang memepengaruhi adopsi adalah interaksi

antar individu dengan individu maupun antara individu dengan kelompok

masyarakat.

Penyuluh yang berperan menyampaikan informasi kepada peternak sapi

perah adalah penyuluh yang berasal dari KPSBU, walaupun terdapat penyuluh

dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat untuk wilayah

Kecamatan Lembang sebanyak satu orang penyuluh dan dalam setahun rata-rata

hanya sekitar 2 kali kunjungan ke desa-desa wilayah kerja yaitu Desa Suntenjaya

dan Desa Cibodas.

Pertemuan dengan penyuluh biogas seharusnya dapat dimanfaatkan oleh

peternak untuk mencari informasi lebih lanjut terkait inovasi biogas. Pertemuan

dengan penyuluh biogas seharusnya tidak hanya sebatas pengecekan instalasi

biogas tetapi juga komunikasi antar peternak dan penyuluh biogas agar peternak

mengerti tentang inovasi biogas.

Tabel 17 Frekuensi pertemuan responden dengan penyuluh biogas di dua desa

penelitian tahun 2014

Frekuensi

pertemuan dengan

penyuluh biogas

Desa Suntenjaya Desa Cibodas Uji beda U

Mann-

Whitney

n % n % Signifikansi

Rendah 132 93.6 125 100

0.00 Sedang 8 56.7 0 0

Tinggi 1 0.70 0 0

Total 141 100 125 100

Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata

Hasil uji beda U Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas antara Desa Suntenjaya dan Desa

Cibodas. Sebanyak 257 peternak atau sebesar 96.6 persen menyatakan bahwa

frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas termasuk dalam kategori rendah

yaitu kurang dari satu kali dalam sebulan. Penerap biogas BIRU atau bantuan

kredit bertemu dengan penyuluh biogas hanya ketika dilakukan pengecekan

setelah instalasi biogas secara intensif sekali seminggu pada tiga bulan pertama,

setelah itu responden bisa menghubungi petugas KPSBU jika terjdi kerusakan

instalasi biogas untuk nantinya diperbaiki. Sedangkan, untuk penerap biogas

gratis, setelah instalasi biogs dibangun, maka tidak dilakukan pengecekan/kontrol

dari pihak Dinas ESDM, karena untuk perawatan dan pemeliharaan instalasi

biogas telah menjadi tanggungjawab peternak penerap inovasi biogas tersebut.

Page 56: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

41

TINGKAT DIFUSI INOVASI BIOGAS DI DUA DESA PENELITIAN

Inovasi biogas mulai dirintis pada tahun 2006 di dua desa penelitian, akan

tetapi hanya berupa percobaan secara individu dari RTPSP dan Lembaga Swadaya

Masyarakat di luar desa, seperti di Desa Suntenjaya dilakukan oleh bantuan dari

Yayasan Pengembangan Masyarakat Diri Support (PESAT) yang terletak di

Dusun Pasir Angling, sedangkan di Desa Cibodas dilakukan oleh RTPSP dengan

bantuan dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

Dari tahun 2006 hingga tahun 2009, tidak terjadi perkembangan pengadaan

biogas oleh RTPSP karena berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan tersebut

dilihat bahwa tipe biogas ini rentan terhadap kerusakan. Akan tetapi dengan

adanya program BIRU melalui KPSBU (Koperasi Susu Bandung Utara), maka

mulailah perkembangan penerap biogas. Hingga pada tahun 2011 adanya bantuan

sarana pembuatan biogas dari Dinas ESDM Jawa Barat semakin menambah

RTPSP penerap inovasi biogas. Sampai saat ini Sekitar 12.7 persen atau sebanyak

123 Rumah Tangga peternak Sapi Perah (RTPSP) menggunakan biogas untuk

kebutuhan memasak sehari-hari di dapur dan memasak air untuk memandikan

sapi perah di kandang. Secara rinci difusi RTPSP di Desa Suntenjaya disajikan

dalam Tabel 18.

Tabel 18 Difusi RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Suntenjaya tahun 2014

Wilayah Jumlah RTSP Penerap Inovasi Biogas

Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013

Dusun

Sukaluyu

8 11 27 43

Dusun Cibodas 6 16 17 17

Dusun Batu

Loceng

0 12 27 27

Dusun

Cikapundung

1 10 14 13

Dusun Pasir

Angling

3 5 16 19

Dusun Gandok 0 5 6 12

Dusun Dago 5 6 11 10

Total 23 65 117 141

Pada tahun 2013 di Dusun Cikapundung dan Dusun Dago penerap biogas

berkurang karena sebanyak dua unit biogas mengalami kerusakan dan tidak

diperbaiki, keduanya merupakan biogas gratis bantuan dari Dinas Energi dan

Sumberdaya Mineral Propinsi Jawa Barat, sedangkan satu lagi merupakan proyek

percontohan biogas untuk pembangkit generator listrik dari Peningkatan

Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Riset dan Teknologi (PKPP RISTEK), akan

tetapi instalasi biogas tersebut hanya digunakan selama 6 bulan dan rusak

kemudian tidak ada tindak lanjut dari Kepala Desa Suntenjaya untuk memperbaiki

instalsi biogas tersebut. Terkait instalasi biogas bantuan dari Dinas Energi dan

Sumberdaya Mineral Propinsi Jawa Barat mengalami kerusakan, peternak yang

menerapkan biogas ini mengungkapkan bahwa tidak mau beralih kepada kredit

yang ditawarkan Koperasi Susu Bandung Utara (KPSBU) karena harus

Page 57: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

42

mengeluarkan biaya untuk perbaikan, seperti yang dikemukakan oleh Ibu EN

(Peternak, 37 tahun):

“Ah...itu kan bantuan teh, kalau rusak ya biarin aja rusak. Nanti

kalau diperbaiki kan harus keluar uang teh, beda kalau yang kredit

itu ada garansinya”.

Terdapat tujuh dusun di Desa Suntenjaya yaitu dusun Sukaluyu/ Asrama,

Dusun Cibodas, Dusun batu Loceng, Dusun Cikapundung, Dusun Pasir Angling,

Dusun Gandok, dan Dusun Dago. Persentase sebaran biogas di tujuh dusun di

Desa Suntenjaya disajikan dalam Tabel 19

.

Tabel 19 Distribusi sebaran inovasi biogas di Desa Suntenjaya tahun 2014

No Dusun RTPSP

penerap biogas

Jumlah

RTPSP

(n)

Persentase (%)

1 Dusun Sukaluyu 43 71 60.5

2 Dusun Cibodas 17 38 44.7

3 Dusun Batu Loceng 27 67 40.3

4 Dusun Cikapundung 13 51 25.4

5 Dusun Pasir Angling 19 99 19.2

6 Dusun Gandok 12 71 16.9

7 Dusun Dago 10 23 43.4

Dusun Sukaluyu menjadi Dusun dengan penerap tertinggi karena peternak

di dusun ini bekerja sebagai peternak yaitu sebanyak 71 rumah tangga dan

mendapat bantuan biogas gratis sebanyak 27 unit sedangkan 16 responden di

Dusun Sukaluyu dengan inisiatif sendiri menggunakan biogas dari BIRU sehingga

pada tahun 2011 dan tahun 2012 mengalami peningkatan penerap biogas. Dusun

lainya seperti Dusun Cibodas mendapatkan bantuan biogas gratis sebanyak 6 unit,

Dusun Batu Loceng sebanyak 28 unit Dusun Cikapundung mendapat 15 unit,

Dusun Pasir Angling mendapat 8 unit, Dusun Gandok mendapat 6 unit, dan

Dusun Dago mendapat 10 unit bantuan biogas gratis.

Biogas yang diterapkan oleh peternak sapi perah di Desa Suntenjaya terbagi

menjadi dua tipe, yaitu biogas dari BIRU (Biogas Rumah) dari Koperasi Susu

bandung Utara (KPSBU) dan biogas bantuan dari Pemerintah Propinsi Jawa

Barat. BIRU merupakan biogas dengan sistem kredit yang ditawarkan kepada

peternak sapi perah, dengan harga Rp 6 000000,- dengan subsidi sebesar

Rp 2 00000 sehingga harganya menjadi Rp 4 000000,- dan dapat dicicil selama 3

tahun 4 bulan sehingga cicilan per bulan sebesar Rp 100 000 dipotong dari setoran

susu kepada KPSBU. Biogas dari BIRU ini memiliki pedoman dalam

penggunaannya agar tetap awet hingga tahun-tahun berikutnya, dimana penerap

harus memperhatikan pengisian reaktor (perdana dan harian), penggunaan katup

gas udara, pemeriksaan kebocoran gas, penggunaan saluran penguras air

(waterdrain), pembersihan saluran peluap (overflow), penggunaan kran gas,

penggunaan kompor gas yang rentan mengalami kerusakan.

Biogas di Desa Cibodas pertama kali dibangun di Kampung Areng RT 01

RW 02 oleh kelompok ternak Bakti Saluyu. Tipe biogas yang dibangun adalah

tipe plastik dan merupakan bantuan dari Dinas Peternakan Kabupaten Bandung

Barat. Namun dalam perkembangannya, biogas ini cenderung mengalami

Page 58: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

43

kerusakan karena terbuat dari plastik. Lebih lanjut perkembangan biogas berawal

dari kredit biogas yang ditawarkan oleh KPSBU sejak tahun 2010, dimana

terdapat tiga peternak yang membangun biogas tersebut. Sekitar 99 persen

peternak sapi perah di Desa Cibodas memanfaatkan biogas untuk keperluan

memasak, sedangkan 1 persen menggunakan biogas untuk memasak dan lampu

penerangan. Desa Cibodas mendapatkan 82 unit biogas gratis yang diberikan pada

peternak di Dusun Areng dan sisanya sebanyak 43 unit biogas dari BIRU yang

tersebar di Dusun Cisarongge, Dusun Babakan Gentong, Dusun Cijero Kaso, dan

Dusun Sukamaju. Secara rinci sebaran RTPSP penerap biogas di Desa Cibodas

sisajikan dalam Tabel 20.

Tabel 20 Sebaran RTSP penerap inovasi biogas di Desa Cibodas

No Wilayah Jumlah RTSP Penerap Inovasi Biogas

2010 2011 2012 2013

1 Dusun Areng 3 4 82 104

2 Dusun Cisarongge 0 0 0 4

3 Dusun Babakan Gentong 1 1 2 2

4 Dusun Cijero kaso Wetan 2 3 7 8

5 Dusun Sukamaju 0 3 5 7

Total 6 11 96 125

Pada tahun 2010 hingga tahun 2012 tidak memperlihatkan perbedaan yang

besar antara satu dusun dan dusun lainnya, akan tetapi di tahun 2013

menunjukkan perbedaan yang sangat besar antara jumlah RTPSP penerap biogas

dari jumlah 96 RTSP penerap menjadi 125 RTPSP penerap biogas, dimana Dusun

Areng terdapat paling banyak RTPSP penerap dengan adanya bantuan biogas

gratis.

Secara massal, inovasi biogas diintroduksikan di dua desa penelitian pada

tahun 2010 melalui program BIRU dari KPSBU, sehingga waktu menerapkan

dimulai dari tahun 2010 sampai penelitian berlangsung yaitu memasuki tahun

2014. Secara lengkap perkembangan inovasi biogas di dua desa penelitian

disajikan dalam Tabel 21.

Tabel 21 Perkembangan inovasi biogas di dua desa penelitian

No. Tahun Desa Suntenjaya Desa Cibodas

1 2010 23 6

2 2011 65 11

3 2012 117 96

4 2013 141 125

Sebesar 55.5 persen RTPSP di Desa Cibodas telah menerapkan biogas

sedangkan di Desa Suntenjaya baru sebesar 33.5 persen RTPSP yang menerapkan

biogas. Seluruh RTPSP Desa Cibodas yang bertempat tinggal di Dusun Areng

telah menerapkan biogas, sedangkan selebihnya tersebar di Dusun Cisarongge,

Dusun Cijero Kaso Wetan, Dusun Sukamaju dan Dusun Babakan Gentong.

Page 59: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

44

Penerimaan Inovasi Biogas di Dua Desa Penelitian

Penambahan RTPSP yang mengadopsi inovasi biogas terjadi secara lambat

di Desa Suntenjaya yaitu sejak tahun 2010 akan tetapi pada tahun 2011 terjadi

percepatan karena adanya bantuan biogas gratis dari Dinas Energi dan Sumber

Daya Mineral sebanyak 100 reaktor pada tahun 2010, kemudian semakin

berkembang juga tidak hanya karena bantuan gratis akan tetapi adanya kredit

biogas dari KPSBU, selanjutnya peningkatan secara gradual akan menurun oleh

karena hanya tinggal beberapa orang saja yang akhirnya mengadopsi. Kurva-S ini

dinyatakan mengikuti distribusi normal karena dukungan teori kurva belajar

(learning curves) dan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Kurva penerimaan inovasi biogas di dua desa penelitian

Di Desa Cibodas juga menunjukkan distribusi adopter pada kurva-S

meningkat sangat lambat pada awalnya, yakni ketika hanya beberapa adopter saja

pada titik tertentu. Berdasarkan grafik juga dapat dilihat bahwa pada tahun 2011,

terdapat lebih banyak RTPSP penerap biogas di Desa Suntenjaya dibandingkan di

Desa Cibodas. Kemudian di Desa Cibodas terjadi percepatan peningkatan adopter

sampai maksimum ketika 49.01 persen atau sebanyak 125 RTPSP dalam sistem

sosial telah mengadopsi inovasi karena adanya bantuan biogas gratis sebanyak 82

unit reaktor biogas dari Dinas ESDM Jawa Barat. Selanjutnya peningkatannya

secara gradual akan menurun oleh karena hanya tinggal beberapa orang saja yang

akhirnya mengadopsi pada Tabel 22.

Kurva kategori adopter membentuk (S-shape curve) karena mengikuti suatu

sebaran normal, sehingga sesuai dengan asumsi bahwa jika suatu inovasi

diintroduksikan kepada suatu sistem sosial, maka dengan berjalannya waktu akan

menemukan bahwa orang yang mengadopsi inovasi akan semakin bertambah

banyak. Hal ini karena ada program bantuan pembangunan instalasi biogas dari

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Barat. Secara lengkap

difusi biogas di tiap dusun Desa Cibodas disajikan pada Tabel 22.

Page 60: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

45

Tabel 22 Difusi biogas pada tiap dusun di Desa Cibodas tahun 2014

No Dusun RTPSP penerap

biogas

Jumlah

RTPSP (n)

Persentase

(%)

1 Dusun Areng 104 104 100

2 Dusun Cisarongge 4 21 19

3 Dusun Babakan

Gentong

2 47 4.2

4 Dusun Cijero kaso

Wetan

8 39 20.5

5 Dusun Sukamaju 7 44 15.9

Perbedaan adopter biogas antar dusun di Desa Cibodas terlihat jelas, dimana

seluruh peternak Dusun Areng telah menerapkan biogas, sedangkan di dusun

lainnnya hanya dibawah 21 persen yang telah menerapkan biogas.

Tingkat difusi biogas meliputi kecepatan dan penyebaran. Kecepatan ini

diukur berdasarkan fakta bahwa inovasi biogas telah dikenal peternak Desa

Suntenjaya dan Desa Cibodas, sejak tahun 2006 atau sekitar 7 tahun yang lalu,

ketika salah seorang warga mempunyai menerapkan biogas tipe plastik untuk

pertama kalinya. Tidak terdapat perbedaaan kecepatan di dua desa penelitian.

Sebanyak 86.5 persen kecepatan adopsi peternak di Desa Suntenjaya tergolong

kategori sedang dan sebanyak 88 persen kecepatan adopsi di Desa Cibodas juga

tergolong kategori sedang. Dari kedua desa, sebesar 87.2 persen kecepatan adopsi

peternak termasuk kategori sedang. Secara lengkap distribusi kecepatan disajikan

dalam Tabel 23.

Tabel 23 Distribusi kategori kecepatan di dua desa penelitian tahun 2014

Kategori Desa Suntenjaya Desa Cibodas Signifikansi

n % n % Uji beda U

Mann-Whitney

Rendah 15 10.6 13 10.4

0.692 Sedang 122 86.5 110 88

Tinggi 4 2.90 2 1.6

Total 141 100 125 100

Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata

nilai signifikansi U Mann Whitney >0.05, tidak berbeda nyata

Variabel kedua dalam tingkat difusi adalah penyebaran yang diukur

berdasarkan jumlah rumah tangga peternak yang mengadopsi inovasi biogas

dalam periode waktu (tahun), sejak masuknya biogas sampai dengan

digunakannya oleh sebagian besar anggota sistem sosial (desa). Hasil Uji beda U

Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara Desa

Suntenjaya dan Desa Cibodas yang ditunjukkan bahwa Di Desa Cibodas tidak

terdapat penyebaran yang berada dalam kategori sedang, karena penyebaran di

Desa Cibodas berpusat di Dusun Areng yaitu sebanyak 104 peternak atau

keseluruhan peternak di Dusun Areng telah mengadopsi biogas, dan tidak merata

seperti di dusun-dusun di Desa Suntenjaya. Secara rinci dapat dilihat dalam Tabel

24.

Page 61: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

46

Tabel 24 Distribusi kategori penyebaran di dua desa penelitian tahun 2014

Kategori Desa Suntenjaya Desa Cibodas Signifikansi

n % n % Uji beda U

Mann-

Whitney

Rendah 25 17.7 28 22.4

0.00 Sedang 75 53.2 0 0

Tinggi 41 29.1 97 77.6

Total 141 100 125 100

Keterangan: nilai signifikansi U Mann Whitney ≤0.05, berbeda nyata

nilai signifikansi U Mann Whitney >0.05, tidak berbeda nyata

Di dua desa penelitian, mayoritas sebesar 51.8 persen penyebaran biogas

oleh peternak termasuk kategori tinggi, namun terdapat perbedaan penyebaran di

dua desa penelitian. Di Desa Suntenjaya sebanyak 33.57 persen peternak yang

mengadopsi biogas, sedangkan di Desa Cibodas sebanyak 55 persen peternak

yang telah mengadopsi biogas.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi

Biogas

Terdapat keberagaman karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi

dan akses terhadap informasi dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas

adopter biogas. Terdapat hubungan signifikan antara lama beternak, tingkat

keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas dan tingkat

observabilitas dengan kecepatan, sedangkan lama beternak, tingkat keuntungan

relatif serta tingkat triabilitas dan dengan penyebaran.

Karakteristik Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)

Karakteristik RTPSP meliputi tingkat pendidikan formal, lama beternak,

jumlah ternak, tingkat pendapatan RTPSP, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan

luas lahan untuk biogas. lama beternak berkorelasi positif dengan penyebaran,

sedangkan motivasi peternak berkorelasi positif dengan kecepatan. Secara rinci

hubungan variabel karakteristik dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas

disajikan dalam Tabel 25.

Tabel 25 Hubungan variabel karakteristik RTPSP dengan tingkat difusi-adopsi

inovasi biogas

No Variabel Kecepatan Penyebaran

1 Tingkat Pendidikan Formal 0.081 -0.072

2 Lama beternak 0.120 0.249**

3 Jumlah Ternak 0.071 -0.047

4 Tingkat Pendapatan RTPSP 0.069 0.113

5 Motivasi 0.181** -0.044

6 Luas lahan untuk biogas 0.004 0.072

Keterangan:

*Korelasi nyata pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05)

**Korelasi sangat nyata pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0,01)

Page 62: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

47

Tingkat pendidikan RTPSP tidak memiliki hubungan nyata dengan

kecepatan dan penyebaran, hal ini berarti bahwa responden yang memiliki tingkat

pendidikan rendah, sedang maupun tinggi tidak berhubungan dengan cepat

lambatnya RTPSP untuk menerapkan biogas dan pernyebaran biogas oleh

peternak yang telah menerapkan biogas di dua desa penelitian.

Sebanyak 34.2 persen peternak di dua desa penelitian telah beternak

selama 6-11 tahun, dan sebanyak 34.2 persen peternak juga telah beternak selama

≥ 12 tahun. Semakin lama beternak, maka semakin lama melihat perkembangan

inovasi biogas yang semakin tahun semakin berkembang dengan adanya biogas

gratis maupun biogas kredit maka akan semakin banyak persentase peternak yang

menerapkan inovasi biogas, sehingga lama beternak memiliki hubungan nyata dan

signifikan dengan penyebaran. Lama beternak memiliki hubungan nyata dan

positif dengan tingkat penyebaran di dua desa penelitian, namun tidak memiliki

hubungan nyata dengan kecepatan mengadopsi. Pada awal penerapan biogas yaitu

tahun 2006, biogas tidak berkembang di dua desa penelitian, dan hanya diadopsi

oleh enam peternak tanpa disebarkan ke peternak lain, namun pada tahun 2011

peternak adopter juga mengajak peternak lain untuk menerapkan biogas, karena

melihat reaktor biogas yang semakin berkembang dari tipe plastik yang lebih

rentan rusak hingga sekarang menggunakan reaktor tipe beton (fixed dome) yang

lebih awet dibanding tipe plastik. Pembangunan biogas tipe plastik dilakukan

pada skala rumah tangga dan tidak dilakukan dalam skala kelompok, sehingga

peternak yang mengerti tentang biogas memutuskan untuk tidak menerapkan

biogas tipe plastik karena pengalaman masa lalu ketidakberhasilan biogas tipe

plastik.

Jumlah ternak tidak memiliki hubungan nyata dengan kecepatan karena

peternak yang memiliki ternak sedikit ≤3 ekor, sedang (4-5 ekor) maupun banyak

(≥6 ekor) tidak berpengaruh pada peternak untuk menerapkan biogas. Terdapat

lima peternak yang tidak memiliki sapi perah akan tetapi tetap menerapkan biogas

dengan menggunakan feces sapi perah milik tetangga maupun saudara. Begitu

pula jumlah ternak tidak memiliki hubungan signifikan dengan penyebaran

biogas, banyak sedikitnya jumlah ternak tidak membuat peternak lebih cepat

mengadopsi biogas dan kemudian menyebarkan atau mengajak peternak lain

untuk mengadopsi biogas tersebut.

Tingkat pendapatan RTPSP tidak memiliki hubungan nyata dengan

kecepatan dan penyebaran biogas. Peternak yang memiliki pendapatan tinggi,

sedang maupun rendah tidak berhubungan dengan cepat lambatnya peternak

memutuskan untuk mengadopsi biogas. Peternak berpendapatan tinggi, sedang

maupun rendah yang telah mengadopsi biogas juga tidak menyebarkan biogas

tersebut untuk diadopsi peternak lain karena penyebaran lebih didorong adanya

bantuan biogas gratis dari Dina ESDM dan kredit biogas dari KPSBU dengan

sistem kredit yang ditawarkan kepada peternak sapi perah, dengan Rp 4 000000,-

dan dapat dicicil selama 3 tahun 4 bulan sehingga cicilan per bulan sebesar

Rp 100 000,- dipotong dari setoran susu kepada KPSBU. Bagi peternak yang

berpendapatan tinggi, sedang maupun rendah juga dapat memperoleh bantuan

biogas gratis dari Dinas ESDM karena peternak penerima bantuan dipilih oleh

ketua kelompok ternak ataupun mengajukan diri agar menerima bantuan biogas

gratis.

Page 63: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

48

Motivasi memiliki hubungan sangat nyata dan positif dengan kecepatan

menerapkan inovasi biogas, hal ini dikarenakan motivasi intrinsik maupun

ekstrinsik yang berhubungan dengan kecepatan RTPSP menerapkan inovasi

biogas. Di sisi lain, motivasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan

penyebaran karena peternak yang hanya termotivasi menerapkan biogas tanpa

termotivasi untuk mengajak peternak lain menerapkan biogas. Hal tersebut juga

sesuai dengan hasil penelitian Tondok et al. (2011) yang menemukan bahwa

motivasi berhubungan sangat nyata dengan tingkat penerapan teknologi, semakin

tinggi motivasi petani semakin tinggi tingkat penerapan teknologi. Di sisi lain,

motivasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penyebaran karena

peternak yang hanya termotivasi menerapkan biogas tanpa termotivasi untuk

mengajak peternak lain menerapkan biogas.

Di Desa Suntenjaya, sebanyak 86 orang atau sebanyak 60.9 persen peternak

cukup termotivasi untuk menerapkan biogas, sedangkan di Desa Cibodas

sebanyak 68 respoden atau sebanyak 54.4 persen sangat termotivasi menerapkan

biogas. Sebanyak 117 peternak atau sebesar 43.9 persen termotivasi menerapkan

biogas karena adanya biogas gratis menjadikan dorongan yang sangat kuat untuk

menerapkan biogas. Motivasi ini menyebabkan para penerima bantuan sarana

pembuatan biogas gratis menjadi tidak memiliki tanggungjawab dalam perawatan

dan pemeliharaan instalasi biogas, karena walaupun mereka mendapat biogas

dengan gratis akan tetapi mereka tetap tidak bersedia mengeluarkan biaya jika

terjadi kerusakan.

Luas lahan untuk biogas tidak memiliki hubungan signifikan dengan

kecepatan dan penyebaran, karena adanya beberapa tipe ukuran reaktor biogas

menjadi pertimbangan bagi penerima bantuan biogas gratis, sehingga jumlah

RTPSP penerap berbeda di tiap dusun di dua desa penelitian. Bagi peternak yang

memiliki lahan sempit juga dapat membangun satu unit biogas yang digunakan

bersama peternak lain, misalnya di Desa Cibodas terdapat 2 RTPSP yang

membangun instalasi biogas berukuran 6m3 untuk digunakan bersama.

Persepsi tentang Sifat Inovasi Biogas

Persepsi tentang sifat inovasi biogas ini meliputi persepsi terhadap tingkat

keuntungan relatif, tingkat komplekitas, tingkat kompatibilitas, tingkat triabilitas

dan tingkat observabilitas. Tingkat keuntungan relatif, tingkat kempatibilitas,

tingkat kemudahan, dan tingkat observabilitas berkorelasi positif dengan

kecepatan. Tingkat keuntungan reatif dan tingkat triabilitas berkorelasi positif

dengan penyebaran. Secara rinci hubungan variabel persepsi tentang sifat inovasi

biogas dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas dapat dilihat dalam Tabel 26.

Tingkat keuntungan relatif memiliki hubungan nyata dan positif dengan

kecepatan adopsi. Sebanyak 56 persen peternak menilai biogas cukup

menguntungkan. Dalam melihat keuntungan relatif dari inovasi biogas,

responden menyatakan sangat setuju dan setuju jika inovasi biogas lebih

menguntungkan dibandingkan menggunakan bahan bakar lainnya seperti LPG,

kayu bakar dan minyak tanah Dalam melihat keuntungan relatif dari inovasi

biogas, peternak menyatakan sangat setuju dan setuju jika inovasi biogas lebih

menguntungkan dibandingkan menggunakan bahan bakar lainnya, dengan melihat

keuntungan secara ekonomis maka respoden akan lebih cepat pula dalam

memutuskan untuk menerapkan biogas.

Page 64: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

49

Tabel 26 Hubungan variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas dengan tingkat

difusi-adopsi inovasi biogas

No Variabel Kecepatan Penyebaran

1 Tingkat Keuntungan

Relatif

0.204** 0.151**

2 Tingkat Kompleksitas 0.148* 0.013

3 Tingkat Kompatibilitas 0.132* -0.041

4 Tingkat Triabilitas 0.029 0.133*

5 Tingkat Observabilitas 0.236** -0.058

Keterangan:

*Korelasi nyata pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05)

**Korelasi sangat nyata pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)

Tingkat keuntungan relatif juga memiliki hubungan nyata dan positif

dengan penyebaran, sama halnya keuntungan ekonomis menjadi hal paling

penting yang menjadi alasan semakin bertambahnya responden yang menerapkan

inovasi biogas.

Tingkat kompleksitasatau kemudahan dalam menggunakan instalasi biogas

memiliki hubungan nyata dan positif dengan kecepatan adopsi, pemakaian

instalasi biogas, penyediaan air yang sangat mudah menjadi alasan untuk

responden cepat dalam menerapkan inovasi biogas. Di Desa Suntenjaya sebanyak

82 peternak atau sebesar 58.1 persen menilai biogas tidak rumit dan sebanyak 98

peternak atau sebesar 78.4 persen peternak di Desa Cibodas juga menilai bahwa

biogas tidak rumit. Tingkat kompleksitas tidak memiliki hubungan yang

signifikan dengan penyebaran persentase banyaknya RTPSP penerap di dua desa

penelitian karena peternak hanya menilai untuk diri mereka sendiri biogas bahwa

biogas tersebut tidak tanpa menyebarkan kepada peternak lain untuk

menerapkannya.

Tingkat kompatibilitas memiliki hubungan nyata dan positif dengan

kecepatan adopsi, sebanyak 78.2 persen reponden termasuk dalam kategori

kompatibilitas tinggi karena kesesuaian biogas dengan kebutuhan akan energi

alternatif, bahan bakar untuk memasak menjadikan responden cepat menerapkan

inovasi biogas. Selain sebagai pengganti bahan bakar untuk memasak, slurry

(limbah hasil proses biogas) dapat pula diproses menjadi pupuk sekaligus

mengurangi pembuangan limbah ke sungai. Lebih lanjut tingkat kompatibilitas

tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persentase banyaknya RTPSP

penerap di dua desa penelitian, jadi peternak hanya menilai untuk diri mereka

sendiri biogas bahwa biogas tersebut tidak tanpa menyebarkan kepada peternak

lain.

Tingkat triabilitas memiliki hubungan nyata dan positif dengan

penyebaran, hal ini karena kemudahan mencoba dan hanya membutuhkan waktu

dua minggu untuk memproses biogas dan menggunakanya untuk memasak. Hal

ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanni et al. (2013), bahwa

triabilitas berhubungan dengan difusi inovasi. Di sisi lain, tingkat triabilitas ini

tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kecepatan, karena mudah

tidaknya dicoba tidak memengaruhi pada tahun berapakah pertambahan penerap

Page 65: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

50

dari tahun ke tahun, karena di tahun 2011 terdapat bantuan gratis, sehingga

dengan tidak melihat triabilitas biogas, RTPSP akan tetap menerapkan biogas

gratis.

Tingkat observabilitas memiliki hubungan nyata dan positif dengan

kecepatan adopsi, biogas cukup menguntungkan dari segi ekonomi, dan lebih

mudah dalam memperoleh bahan bakar untuk memasak menjadikan responden

cepat menerapkan, hal ini juga didorong karena larangan bagi warga Desa

Cibodas untuk mengambil kayu dan rumput di hutan, sehingga untk pakan ternak

mereka harus sharing rumput dengan Perhutani. Di sisi lain, observabilitas tidak

memiliki hubungan yang signifikan dengan penyebaran. Dapat dikatakan persepsi

peternak tentang sifat inovasi biogas meliputi keuntungan relatif, kompleksitas

dan observabilitas sesuai dengan hasil penelitian Wei Qu et al. (2013) dan

Yusriadi (2011), ditunjukkan oleh (1) keuntungan dari segi ekonomi yang

diperoleh peternak yang menggunakan biogas dibandingkan dengan yang

menggunakan minyak tanah, LPG, kayu bakar untuk memasak, (2) peternak

menerima bahwa inovasi biogas karena sesuai dengan nilai-nilai yang dipercaya

peternak setempat, serta sesuai dengan kegiatan pengolahan limbah peternakan

yang sudah ada sebelumnya.

Persepsi tentang kelima sifat inovasi, hanya tingkat keuntungan relatif dan

tingkat triabilitas yang memiliki hubungan nyata dan positif dengan tingkat

penyebaran, hal ini berarti bahwa individu peternak mengadopsi biogas untuk

dirinya sendiri tanpa meyebarkan kepada peternak lain. Hanya bagi peternak yang

menilai bahwa menggunakan biogas cukup menguntungkan dan mudah mencoba

memproses biogas serta menaggunakan biogas menyebabkan peternak lain ikut

mengadopsi biogas tersebut. Dari segi ketercobaan, tidak semua inovasi dapat

dicoba dalam skala kecil dan hanya mencoba dari mengamati penggunaan oleh

orang lain, seperti handphone yang langsung dibeli dan baru dicoba

penggunaannya, begitupun biogas. Berbagai sifat inovasi di berbagai bidang dari

mulai inovasi di bidang pertanian, kesehatan ternyata berbeda dalam

memengaruhi adopsi individu, tergantung pada inovasi yang didifusikan dalam

situasi dan keadaan lingkungan penerimaan inovasi.

Tingkat Akses Informasi dan Fasilitasi Penyuluh

Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh meliputi akses terhadap informasi

terkait inovasi biogas dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas. Tingkat

akses informasi dan fasilitasi penyuluh tidak berkorelasi dengan kecepatan dan

penyebaran. Secara rinci hubungan variabel tingkat akses informasi dan fasilitasi

penyuluh dengan tingkat difusi inovasi biogas disajikan dalam Tabel 27.

Tabel 27 Hubungan variabel tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh

dengan tingkat difusi inovasi biogas

No Variabel Kecepatan Penyebaran

1 Akses informasi inovasi biogas 0.068 0.094

2 Frekuensi pertemuan dengan

penyuluh

0.070 0.095

Keterangan:

*Korelasi nyata pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05)

**Korelasi sangat nyata pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)

Page 66: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

51

Sebanyak 182 responden atau 68.4 persen informasi yang diperoleh

mengenai inovasi biogas bersumber dari ketua kelompok ternak. Mayoritas

sebesar 40.4 persen peternak di Desa Suntenjaya mengakses sumber informasi

bersumber dari ketua kelompok ternak, penyuluh biogas KPSBU, dan tetangga,

sedangkan di Desa Cibodas sebesar 63.2 persen peternak mengakses informasi

dari televisi, ketua kelompok ternak, penyuluh biogas KPSBU, dan tetangga, serta

dari ketua koordinator wilayah KPSBU. Peran ketua kelompok ternak hanya

sekedar menyampaikan informasi dari KPSBU dan memilih peternak yang

memenuhi kriteria untuk mendapatkan bantuan biogas gratis. Frekuensi

pertemuan dengan penyuluh biogas juga termasuk dalam kategori rendah karena

memang tidak ada pertemuan terjadwal dengan penyuluh biogas, hanya bagi

peternak yang menerapkan biogas kredit dari KPSBU yang akan dipantau

perawatan biogas yang dimilikinya, sedangkan untuk penyuluh dari Dinas

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat wilayah Kecamatan

Lembang juga tidak pernah melakukan penyuluhan terkait inovasi. Penyuluh

biogas hanya memantau perkembangan biogas, tanpa menjelaskan cara-cara

perawatan jika terjaid kerusakan sehingga peternak berusaha memperbaiki sendiri

jika terdapat kerusakan pada instalasi biogas.

Selain tidak adanya penyuluhan mengenai inovasi, kondisi di daerah

penelitian menunjukkan hal yang dapat menghambat adopsi peternak terhadap

inovasi biogas karena adanya bantuan pemerintah setempat sehingga banyak

peternak yang tergantung pada proyek pemerintah. Peternak selalu berharap

mendapatkan bantuan teknologi biogas dari pemerintah tanpa mengetahui cara

pemeliharaan dan perawatan dari berbagai bantuan tersebut. Seperti halnya

percontohan biogas yang dibangun oleh PKPP RISTEK (Peningkatan

Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementrian Riset dan Teknologi) di rumah

Kepala Desa Suntenjaya juga hanya berjalan selama enam bulan, karena

kurangnya pemahaman mengenai inovasi biogas tersebut. Ketiadaan pelatihan

khusus untuk biogas sehingga menyebabkan pengetahuan peternak menjadi

terbatas. Hal tersebut menjadi kendala utama bagi peternak dalam mengatasi

kerusakan yang sering terjadi, seperti kebocoran pipa dan kerusakan kompor

biogas. Saat ini terdapat dua instalasi biogas yang rusak dan tidak diperbaiki

karena peternak memang tidak mengetahui cara memperbaiki instalasi biogas

tersebut yang harusnya diinformasikan oleh penyuluh biogas.

Tidak terdapat hubungan nyata antara peternak meliputi akses informasi

inovasi biogas dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas dengan tingkat

difusi-adopsi biogas. Frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas juga termasuk

dalam kategori rendah. Kunjungan penyuluh dari Dinas maupun dari penyuluh

biogas KPSBU kurang dari sekali dalam sebulan, hanya bagi peternak yang

menerapkan biogas kredit dari KPSBU yang akan dikunjungi oleh penyuluh

biogas dari KPSBU dan petugas perbaikan unit biogas. Penyuluh biogas yang

berasal dari KPSBU merupakan program kerjasama antara Hivos dan KPSBU

melalui program BIRU. Penyuluh ini harusnya sebagai fasilitator dalam proses

transformasi perilaku, namun dalam pertemuan dengan penyuluh ini belum dalam

pola penyuluhan dalam konteks transformasi perilaku, dimana penyuluhan tidak

sekedar penerangan atau propaganda akan tetapi dengan menerapkan prinsip dapat

membantu orang lain agar orang tersebut dapat membantu dirinya sendiri (help

Page 67: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

52

people to help themselves). Kegiatan penyuluhan juga sangat berkaitan dengan

kegiatan fasilitasi, terutama dalam memfasilitasi petani terhadap hal-hal yang

berhubungan dengan usahatani yang ditekuni. Berdasarkan hasil wawancara,

penyuluh biogas hendaknya berperan sebagai fasilitator terkait inovasi biogas, dan

telah terbiasa memfasilitasi peternak sehingga mudah berinteraksi dengan

peternak, dan mampu peran dapat dilakukan dengan baik.

Pendekatan dan penawaran pembuatan instalasi biogas dari pihak KPSBU

dapat ditingkatkan dengan peningkatan peran penyuluh biogas dengan lebih

sering berkomunikasi dengan peternak mengenai biogas. Selain itu, luas lahan

yang dimiliki untuk membangun unit biogs juga menjadi pertimbangan,

kedepannya bisa dibangun biogas skala kelompok yang dapat digunakan secara

komunal/bersama. Penyuluh dari Dinas Peternakan Kabupaten Bandung Barat

hanya berjumlah satu orang untuk wilayah Kecamatan Lembang, sedangkan

penyuluh biogas dari KPSBU hanya berjumlah dua orang. Keberadaan penyuluh

yang minim, menjadikan ketua kelompok ternak sebagai opinion leader bisa

menjadi contoh dalam menerapkan inovasi. Pemimpin opini (opinion leader),

ketua kelompok ternak setiap bulan sekali mengikuti pertemuan rutin di kantor

KPSBU, melalui pertemuan rutin ini maka informasi disampaikan kepada kepada

ketua kelompok ternak utuk disebarluaskan kepada anggota kelompok ternak di

dua desa penelitian. Ketua kelompok tenak termasuk kategori early adopter

sehingga dengan adanya penyampai informasi ini sekaligus juga mengajak

peternak lain menerapkan biogas. Kerjasama antara pemerintah dan LSM

internasional (Hivos) serta KPSBU dapat dilaksanakan melalui kerjasama dalam

meningkatkan ketersediaan fasilitator untuk perawatan biogas. Pemerintah sebagai

pemberi bantuan biogas gratis telah membuka jalan bagi keberadaan biogas, maka

dengan adanya dukungan dari LSM melalui KPSBU akan lebih memantapkan

keberadaan biogas ini hingga di tahun-tahun berikutnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

(1) Persepsi peternak tentang sifat inovasi biogas meliputi tingkat keuntungan

relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat triabilitas dan

tingkat observabilitas di dua desa penelitian termasuk kategori tinggi, hal ini

berarti bahwa biogas layak diterapkan menurut perepsi peternak.

(2) Dari kedua desa penelitian, kecepatan adopsi peternak yaitu tiga hingga

empat tahun (tahun 2010 hingga 2012), dan penyebaran biogas oleh peternak

lebih dari limapuluh persen karena biogas menyebar dengan cepat di dua desa

penelitian karena peternak terlibat dalam program biogas yang disponsori

lembaga swadaya internasional.

(3) Motivasi, keuntungan relatif, kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas

berkorelasi nyata dan positif dengan kecepatan adopsi biogas, sedangkan

lama beternak, keuntungan relatif dan triabilitas berkorelasi positif nyata

dengan difusi biogas. Akses informasi inovasi biogas dan frekuensi

pertemuan tidak berkorelasi nyata dengan tingkat difusi-adopsi biogas.

Page 68: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

53

Saran

1. Jumlah penyuluh biogas yang minim menyebakan rendahnya tingkat akses

informasi tentang biogas, oleh karena itu diperlukan penambahan jumlah

penyuluh dari Dinas Peternakan Kabupaten Bandung Barat, KPSBU maupun

LSM.

2. Terdapat tiga unit instalasi biogas yang rusak karena karena ketidakpahaman

perawatan biogas, terlebih lagi peternak yang menerapkan biogas bantuan

tidak memiliki kesadaran dalam perawatan biogas sehingga diperlukan

pelatihan perawatan biogas yang dapat dilakukan oleh Dinas terkait mau pun

LSM.

DAFTAR PUSTAKA

Abbasi T, Abbasi SA, Tauseef SM. 2011. Biogas Energy. Spriger: New York.

USA.

Asngari PS. 1984. Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat Karasidenan dan Kepala

Penyuluh Pertanian terhadap Peran dan Fungsi Lembaga Penyuluhan

Pertanian di Negara Bagian Texas Amerika Serikat. Jurnal Media

Peternakan Vol. 9 No. 2 1984. Bogor (ID): Fakultas Peternakan IPB.

Asngari PS. 2001. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh dalam Usaha

Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola

Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas

Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. www.bps.go.id. [diunduh 25

Januari 2014].

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Daerah Kecamatan Lembang.

www.bps.go.id. [diunduh 25 Januari 2014].

Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi. 2004. Potensi energi

Terbaharukan di Indonesia. [diunduh 25 Januari 2014].

Deptan. 2009. Program Bio Energi Pedesaan. http://www. Deptan.go.id/html.

[diunduh 30 November 2013].

Ensminger . 1989. Feeds and Nutrition (2nd Edition). Ensminger Pub Co.

Emmann CH, Ludwig A, Ludwig T. 2013. Individual Acceptance of The Biogas

Innovation: A Structural Equation Model. Journal Scientdirect: Energy

Policy, Volume 62, November 2013, Pages 372-378 [diunduh 29 November

2013].

Febrianto dan Priyono. 2012. Studi Pemanfaatan Feces (kotoran manusia) sebagai

Bahan Baku Alternatif Energi Terbarukan. Telaah Jurnal Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi Volume 30 (1) 2012 : 19-24. [diunduh 12 Januari 2014].

Hanan A, Pulungan I, Lumintang RW. 2005. Beberapa Faktor yang Berhubungan

dengan Diakuinya Seseorang Sebagai Pemimpin Opini Dan Manfaatnya

Untuk Kegiatan Penyuluhan. Jurnal Penyuluhan September 2005, Vol. 1,

No.1 [diunduh 16 September 2013].

Page 69: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

54

Hambali, Mujdalifah S, Tambunan AH, Pattiwiru AW.2007. Teknologi Bioenergi.

Jakarta (ID): Agro Media Pusaka.

Haryati. 2006. Biogas : Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif.

Wartazoa 16(3):167. [diunduh 10 Desember 2013].

Hasanuddin. 2005. Adopsi inovasi dalam kegiatan usaha tani pada beberapa

spesifik sosial budaya petani di Provinsi Lampung. Agrijati 1(1):22.

[diunduh 10 Desember 2013].

Humaedah U. 2007. Peranan Kontaktani dalam Difusi Inovasi (Kasus:

Penyebaran Benih Padi Bersertifikat di UPT BPP Menes Kabupaten

Pandeglang, Banten) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ibrahim, A Sudiyono. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Malang

(ID): UMM Press.

Indartono YS. 2006. Reaktor Biogas Skal Kecil / Menengah. .[diunduh 19 Januari

2014]. Tersedia dalam http:www.indeni.org/content/view/63/48/.

Isniyati H. 2010. Kebutuhan dan Perilaku Pencarian Informasi Petani Gurem

(Kasus Desa Rowo Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung).

[Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Kabir Humayun, Yegbemey RN, Bauer S. 2013. Factors determinant of biogas

adoption in Bangladesh. Journal Renewable and Sustainable Energy

Reviews, Volume 28, December 2013, Pages 881-889.

http://www.sciencedirect.com [diunduh 29 Desember 2013].

Kartasapoetra AG. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Jakarta (ID):

Rineka Cipta.

Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat. 2012. Analisa Sampel

Sungai, Danau dan UMKM. Bandung.

Kementrian ESDM. 2012. Potensi Energi Baru Terbarukan Indonesia Cukup

Untuk 100 Tahun. http://www.esdm.go.id/news-archives/323-energi-baru-

dan-terbarukan/6071-potensi-energi-baru-terbarukan-indonesia-cukup-

untuk-100-tahun-.html. [diunduh 10 Desember 2013].

Kementrian ESDM. 2014. Program BIRU dukung Potensi Energi di Indonesia.

www.kementrian esdm.go.id . [diunduh 12 Januari 2014].

Leeuwis Cess. 2009. Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan. Yogyakarta (ID):

Kanisius.

Makin M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Graha

Ilmu.

Mappa, A Basleman (2011). Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta (ID):

Depdikbud.

Muatib K. 2008. Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah: Kasus

Peternak Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur dan

Kabupaten Bandung Jawa Barat . [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Mulyadi, Sugihen BS, Asngari PS, Susanto D. 2007. Proses Adopsi Inovasi

Pertanian Suku Pedalaman Arfak di Kabupaten Manokwari. Jurnal

Penyuluhan September 2007 Vol.03 No.02.

Mwirigi, Makenzi PM, Ochola WO. 2009. Socio-Economic Constraints to

Adoption and Sustainability of Biogas Technology by Farmers in Nakuru

Districts, Kenya. Journal Energy Volume 13, Issue 2, June 2009.

[diunduh14 Januari 2014].

Page 70: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

55

Narso, Saleh A, Asngari PS, Pudji Muljono. 2012. Persepsi Penyuluh Pertanian

Lapang tentang Perannya dalam Penyuluhan Pertanian Padi di Provinsi

Banten. Jurnal Penyuluhan Maret 2012 Vol. 8 No. 1.

Nasution Z. 1995. Perencanaan Program Komunikasi. Jakarta (ID): Universitas

Terbuka.

Nurhasanah, Bambang. 2006. Perkembangan Digester Biogas di Indonesia (Studi

Kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah). Balai Besar Pengembangan

Mekanisasi Pertanian. [diunduh12 Januari 2014].

Purnaningsih N. 2006. Adopsi Inovasi Kemitraan Agribisnis Sayuran di Propinsi

Jawa Barat.[disertasi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.

Pedoman Pengguna BIRU. 2010. Pedoman Pemakaian dan pemeliharaan BIRU

(Biogas Rumah). Jakarta (ID): BIRU (Biogas Rumah).

Penny DH. 1990. Kemiskinan Peranan Sistem Pasar. Jakarta (ID): UI Press.

Prihandana dan Hendroko. 2008. Energi Hijau. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Riduwan. 2013. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung (ID): Alfabeta.

Robbins, Stephen P dan Timothy AJ . 2008. Perilaku Organisasi Edisi ke-12.

Jakarta (ID) : Salemba Empat.

Robbins Stephens dan Coulter Mary. 2010. Manajeman Jilid 2 edisi kesepuluh.

Jakarta (ID): Erlangga.

Rogers Edan Shoemaker FF. 1971. Communication of Innovations. New York:

The Free Press.

Rogers E. 2003. Diffusion of Innovations Fifth edition. New York: The Free Press.

Roswida R. 2003. Tahapan Proses Keputusan Adopsi Inovasi Pengendalian

Hama dan Penyakit Tanaman dengan Agen hayati (Kasus Petani Sayur di

Kecamatan Banuhampu dan Sungai Puar Kabupaten Agam Sumatera Barat

.[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Salmi N. 2008. Analisis Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong pada Berbagai

Skala Tingkat Kepemilikan di Desa Mattunreng Tellue Kecamatan Sinjai

Tengah Kabupaten Sinjai. Tersedia

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/3323.[Tesis]. Universitas

Hasanudin.

Sanders DJ, Robbin MC, Ernst SC, Thraen CS. 2010. Digesters and

Demographics: Identifying Support for Anaerobic Digesters on Dairy

Farms. Journal of Dairy Science Vol. 93 No. 11. [diunduh 28 Juli 2013].

Sanni, Ademola S, Awang Z, Karim, Abdul NH, Abdullah, Noorhidawati,

Waheed, Mehwish. 2013. Using the Diffusion of Innovation Concept to

Explain the Factors That Contribute to the Adoption Rate. Department of

Library & Information Science, Faculty of Computer Science & Information

Technology, University of Malaya. Journal EBSCO ISSN: 0098-7913

[diunduh 12 April 2014].

Sarwono J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta (ID):

Graha Ilmu.

Sihombing, Simamora, Siagian. 1984. Pendaurulangan dan Penanganan Kotoran

Ternak Babi dan Pembuatan Biogas. Bogor (ID): Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor.

Simamora S, Siagian, Sri Wahyuni. 2003. Peneliti IPB temukan Energi alternatif.

www.sinarharapan.com /. [ diunduh 5 Januari 2014].

Sitepoe M. 2009. Cara Memelihara Sapi Organik. Jakarta (ID): PT. Indeks.

Page 71: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

56

Subagyo, Rusidi, dan Sekarningsih R. 2005. Kajian Faktor-faktor Sosial yang

Berpengaruh terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai

Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi Pertanian 18(2):313.

Sudono A. 2002. Ilmu Produksi Ternak Perah. Bogor (ID): Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor.

Sugiyono B, Purwono A, Suyanta, Rahbini. 2013. Biogas Digester as an

Alternative Energy Strategy in The Marginal Villages in Indonesia. Journal

Energy Procedia 32 ( 2013 ). Tersedia di www.sciencedirect.com. [diunduh

12 Januari 2014].

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung (ID): CV

Alfabeta.

Suryabrata S. 2006. Metode penelitian. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.

Setiawan A I. 2007. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Depok (ID): PT. Penebar

Swadaya.

Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta (ID): UI Press.

Soehadji. 1992. Usaha Peternakan Sekarang dan Masa di Depan. Prosiding Agro

Industri Peternakan di Pedesaan. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak

Bogor.

Stoddard I. 2010. Communal Polyethylene Biogas Systems Experiences from On-

farm Researchin Rural West Java. [Tesis]. Universitas Uppsala. [19 Januari

2014].

Syafril D. 2002. Hubungan Karakteristik Petani dan Jaringan Komunikasi dengan

Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung. (Kasus di

Kecamatan Rambah Hilir, Riau). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Tondok AR, Mappigau P, Kaimuddin. 2011. Pengaruh Motivasi, Modal Sosial

dan Peran Model Terhadap Adopsi Teknologi PTT Cabai di Kabupaten Maros.

Tesis. Makasar (ID): Universitas Hasanudin.

Tom Bond, Michael R Templeton. 2011. History And Future of Domestic Biogas

Plants In The Developing World. Journal Energy for Sustainable

Development Vol. 15 (2011) Pages 347–354. Tersedia di

www.sciencedirect.com. [diunduh 29 Mei 2014].

Wahyuni S. 2008. Biogas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

. 2011. Menghasilkan Biogas Dari Aneka Limbah. Jakarta (ID): Agro

Media Pustaka.

Walekhwa, Peter N, Mugisha, Johnny, Drake, Lars. Biogas Energy from Family-

Sized Digesters in Uganda: Critical Factors and Policy Implications.

Journal Energy Policy July 2009, Vol. 37. [diunduh 29 November 2013].

Widodo, A Asari, N Ana. 2006. Rekayasa dan Pengujian Reaktor Biogas Skala

Kelompok Tani Ternak. Jurnal Teknik Pertanian Vol.IV No. 1. BPPP dan

BPMEKTAN [diunduh 29 November 2013].

Wei Qu, Qin Tu, Bettina Bluemling. 2013. Which Factors are Effective for

Farmers’ Biogas Use?Evidence from a Large-Scale Survey in China .

Journal Scientdirect: Energy Policy, Volume 63, December 2013, Pages 26-

33. [diunduh 29 November 2013].

Page 72: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

57

Wellinger J, Patrick Murphy MD, Baxter D. 2013. The Biogas Handbook:

Science, Production and Applications (Woodhead Publishing Series in

Energy). Cambridge: Woodhead Publishing Series in Energy No. 25.

Yusriadi. 2011. Adopsi Teknologi Biogas oleh Peternak Sapi Perah peternak di

Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. [Tesis]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Page 73: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

59

Lampiran 1. Materi Penyuluhan Biogas dari Feces Sapi Perah

Pembangunan Instalasi Biogas Tipe Fixed Dome

Salah satu reaktor pengolahan biogas di Indonesia adalah jenis kubah yang

tidak dapat dipindah-pindah dan disemen (fixed dome). Reaktor biogas model

fixed dome berukuran 4m³, 6 m³, 8 m³, 10 m³ dan 12 m³. Informasi dasar

mengenai ukuran-ukuran reaktor biogas dan kuantitas bahan baku yang

dibutuhkan secara lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Ukuran reaktor biogas dan kuantitas bahan baku yang dibutuhkan

No.

Kapasitas

tempat

pengolahan*

(m³)

Produksi

gas

per hari

(m³)

Feces sapi

perah yang

dibutuhkan

per hari **

(kg)

Air yang

dibutuhkan

setiap hari

(liter)

Jumlah sapi

perah

yang

dibutuhkan

(ekor)

1. 4 0,8-1,6 20-40 20-40 3-4

2. 6 1,6-2,4 40-60 40-60 5-6

3. 8 2,4-3,2 60-80 60-80 7-8

4. 10 3,2-4,2 80-100 80-100 9-10

5. 12 4,2-4,8 100-120 100-120 11-12

* Kapasitas tempat pengolahan artinya adalah volume reaktor biogas dan kubah

penyimpanan gas

** rata-rata waktu penyimpanan feces sapi perah pertama kali sebelum digunakan

untuk memproses biogas adalah 50 hari.

Gambar 1 dan Gambar 2 merupakan instalasi biogas fixed dome yang dapat

digunakan oleh peternak:

Gambar 1 Instalasi biogas Gambar 2 Instalasi biogas

Keterangan

1. Tangki pecampur (inlet) dengan pipa masukan dan penjebak pasir.

2. Digester.

3. Kompensator dan tangki buangan (over flow).

4. Tempat gas (gasholder).

Page 74: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

60

5. Pipa gas.

6. Katup gas utama.

7. Digester

8. Pipa outlet.

9. Referensi ketinggian.

10. Buih.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika membangun instalasi biogas,

yaitu memperhatikan pembangunan inlet, reaktor dan penyesuaian saluran pipa

dengan penggunaan kompor biogas.

(1) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membangun reaktor:

1. Pembangunan reaktor

Pembuatan reaktor biogas dimulai dengan menggambar desain. Kegiatan ini

dilakukan untuk menentukan lokasi bangunan di tanah sebelum memulai

proses penggalian. Diawali dengan penancapan patok kecil di tanah, tepat

di tengah titik reaktor.

2. Penggalian lubang (Gambar 3)

Setelah desain tampilan selesai, mulailah menggali lubang. Peralatan seperti

linggis, pencongkel, sekop, pendorong, dan keranjang harus tersedia.

Gambar 3 Penggalian lubang reaktor

3. Pembangunan kubah penampung gas (Gambar 4)

a. Setelah pembangunan reaktor selesai, buatlah bentuk lengkung (kubah)

yang berfungsi sebagai tempat penampungan gas.

b. Pembangunan dilakukan dengan mencampur semen Portland: pasir: kerikil

dengan perbandingan 1:2:3 dibantu cetakan tanah yang disiapkan dari

timbunan tanah di sekitar reaktor.

c. Sebelum membangun kubah, bagian dalam reaktor harus diisi dengan

timbunan tanah yang dipadatkan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka tekanan

tanah dapat menimbulkan retakan pada reaktor. Sebuah pipa harus dipasang

pada sumbu tengah lantai. Ujung pipa ini harus menyembul 2.5 cm dari

cetakan tanah.

d. Setelah penimbunan selesai, pipa tegak bisa dikeluarkan dengan cara

ditarik. Pipa itu diganti dengan pipa yang lebih pendek berdiameter 0.5

inci, dengan panjang kira-kira 1 m. Sekarang, cetakan kubah dapat

digunakan.

e. Bagian atas cetakan tanah harus bersih ketika proses pencetakan dilakukan.

Cetakan itu bisa digunakan untuk memeriksa kepadatan tanah di bagian

Page 75: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

61

atas dan di bagian samping. Lebihjauh lagi, bagian cetakan yang mengenai

reaktor harus sesuai dengan keliling dinding itu. Hal ini penting ketika

cetakan tanah selesai dipadatkan. Tekanan tanah ditekan setelah

pengecoran kubah, ditambah beban sendiri dan beban coran, maka akan

menyebabkan keretakan. Tanah yang dipakai untuk cetakan harus lembab

untuk mencegah penyerapan air semen. Ketika bentuk cetakan tanah sudah

menyerupai kubah, pasir halus ditebarkan di permukaan cetakan. Sisa pasir

dan tanah yang berlebih di atas reaktor harus dibuang. Sebelum memulai

mengecor, harus tersedia jumlah pekerja yang cukup.

Gambar 4 Pembangunan kubah penampung gas

4. Memplester kubah penampung gas (Gambar 5)

Kepekatan gas dari penampung adalah hal terpenting untuk mengetahui

keefektifan reaktor biogas. Jika gas yang disimpan dalam penampungan lepas

melalui pori-pori kecil, pengguna tidak akan dapat menggunakan gas itu.

Gambar 5 Proses memplester kubah penampung gas

(2) Setelah pembangunan reaktor dan penampung gas selesai, hal lain yang perlu

diperhatikan yaitu pembangunan inlet (Gambar 6), meliputi:

1. Pipa inlet ditempatkan sejajar dengan posisi tiang pipa gas utama dan

overflow outlet.

2. Permukaan berbentuk lingkaran, tapi pondasinya berbentuk persegi.

3. Setelah dasar bangunan dibangun, bagian bundar dari tangki inlet juga

harus dibangun sebagai tempat percampuran kotoran dan air. Sebelum

memulai pembangunan dinding melingkar inlet, persiapan-persiapan dapat

Page 76: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

62

dilakukan pada dasar bangunannya di tempat proses percampuran

berlangsung.

4. Pembangunan tempat percampuran ini sebaiknya tidak hanya

mempertimbangkan kemudahan operasional, tetapi juga untuk

memperbaiki kualitas campuran. Untuk menentukan posisi ketepatan

tempat percampuran, poros harus diletakkan di tengah-tengah lantai inlet.

Kemudian, lantai inlet dibangun. Pada permukaan yang selesai dikerjakan,

buatlah tanda bundar dengan menggunakan benang atau kawat untuk

menentukan bagian dalam tangki.

5. Tinggi dinding saluran masuk harus mencapai 60 cm. Tinggi keseluruhan

termasuk dasar saluran adalah 90 cm. Pada kasus tertentu, ketinggian dari

tanah harus di atas 100 cm.

6. Setelah dinding bundar telah dibangun, biarkan hingga adukan kering

sempurna. Kedua bagian tangki diplaster menggunakan adukan semen (1

bagian semen : 3 bagian pasir).

7. Bagian dasar tangki setidaknya harus 15 cm di atas overflow dinding

outlet.

8. Posisi pipa saluran masuk di lantai harus disesuaikan sehingga tiang dan

batangan pipa dapat masuk tanpa ada menyulitkan penutupan sementara,

jika perlu dilakukan. Apabila posisi pipa saluran masuk tidak benar,

dinding saluran tersebut harus dijebol sedikit untuk memasukkan batangan

atau tiang ke dalamnya.

Gambar 6 Pembuatan inlet

(3) Penyesuaian Saluran Pipa dan Peralatan

Biogas diproduksi di reaktor dan disimpan di penampungan gas, baru

kemudian dialirkan melalui pipa. Apabila lapisan dan siku pipa tidak

dikerjakan dengan benar, gas yang dihasilkan tidak dapat dialirkan dengan

sempurna ke lokasi penggunaan kompor biogas.

Page 77: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

63

Gambar 7 Saluran pipa ke kompor biogas

Pemrosesan Biogas dari Feces Sapi Perah dengan Menggunakan Reaktor

Biogas Tipe Fixed Dome

Alat dan bahan serta langkah-langkah memproses biogas dari feces sapi

perah dijelaskan sebagai berikut:

A. Alat terdiri:

(1) Raktor biogas ukuran 4m3

beserta kompor biogas (Gambar 8 dan 9)

(2) Ember dan skop

Gambar 8 Instalasi biogas Gambar 9 kubah reaktor ukuran 4m

3

B. Bahan terdiri : 2 ember air dan 2 ember feces sapi perah (perbandingan 1:1)

C. Langkah-langkah pemrosesan biogas:

(1) Kumpulkan feces sapi perah yang murni dan tidak mengandung jerami

atau bahan lain (Gamber 10)

(2) Pisahkan bahan yang tidak diinginkan seperti sisa-sisa pakan, tanah, batu

dan material lainnya dari feces sapi perah atau pupuk kandang sebelum

mencampurnya dengan air.

(3) Pastikan perbandingan volume antara feces sapi perah dan air adalah 1:1

yaitu 2 ember feces: 2 ember air (Gambar 11) menghasilkan biogas yang

dapat dipakai memasak selama 3 jam. Hindari menggunakan slurry yang

sudah kering atau lama untuk dimasukkan ke dalam reaktor.

(4) Masukkan feces sapi perah ke dalam pengaduk, kemudian masukkan air ke

dalam inlet (Gambar 12), kemudian aduk, dan buka tutup lubang saluran

ke dalam reaktor biogas sehingga hasil adukan tadi masuk ke dalam

reaktor.

(5) Setelah diproses, gas yang dihasilkan akan langsung disalurkan melalui

selang yag terhubung pada kompor biogas (Gambar 13). Gas yang

Page 78: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

64

dihasilkan dalam reaktor digunakan untuk pembakaran di kompor biogas.

Keran gas mengatur aliran biogas. Aliran tergantung pada tekanan di

dalam reaktor. Sesuaikan pengatur gas yang ada di kompor hingga api

kompor berwarna biru, mekar dan mengeluarkan suara berdesis ketika

dipakai. Jika api berbentuk kuncup dan panjang, itu berarti efisiensi

kompor akan sangat rendah. Kompor biogas dengan satu tungku

umumnya mengkonsumsi sekitar 350-400 liter gas per jam.

Berikut adalah gambar langah-langkah pemrosesan biogas:

Gambar 11 Gambar 10

Gambar 12 Gambar 13

Page 79: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

65

Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian

Kegiatan wawancara dengan responden Tempat pembuatan pupuk cacing dari slurry

biogas

Tumpukan pupuk kandang yang siap dijual Sapi perah dewasa

Kompor dari BIRU Kompor Bantuan Dinas ESDM Jawa Barat

Page 80: TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/71095/1/2014ndn.pdf · Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun ...

66

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 24 November 1988.

Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara dengan orangtua bernama Arif Sukarmo,

S.Pd dan Jumiati, S.Pd (Almh). Pada tahun 2007, penulis mengikuti ujian SNMPTN

(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan diterima pada Program Studi

Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP) Fakultas Pertanian Universitas Negeri

Sebelas Maret Surakarta (UNS). Selama perkuliahan di UNS, penulis aktif dalam

kegiatan kemahasiswaan pada Gabungan Mahasiswa Penyuluhan dan Komunikasi

Pertanian (GAMAKOMTA). Penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata

kuliah Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian.

Pada tahun 2012 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan studi magister

pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Beasiswa Unggulan DIKTI. Selama kuliah,

penulis menjadi anggota PAPPI (Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan

Indonesia) dan menjadi panitia dalam seminar yang diadakan pada tanggal 28

November 2013 bertema “Transformasi Penyuluhan Pembangunan Memasuki Era

Konektivitas Asia”. Penulis pernah menjadi enumerator dalam penelitian berjudul “

Model Pengelolaan Limbah Domestik Berwawasan Gender di Daerah Aliran Sungai

Cikapundung dalam Merespon Perubahan Iklim” pada periode bulan Juni hingga

Oktober 2013. Penulis juga pernah terlibat dalam workshop internasional di Bandung

pada tanggal 28-29 Januari 2014 bertema “Climate and Water Security through

Sustainable Waste Management: Exploring New Bussiness Opportunities” yang

diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, bekerjasama dengan berbagai pihak yaitu

ADB (Asian Development Bank), IPB, CCROM (Center for Climate Risk and

Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific), AECOM, KADIN

INDONESIA (Kamar Dagang dan Industri), dan Energy for All.

Artikel ilmiah berjudul „Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas di Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat” telah disetujui untuk diterbitkan pada Jurnal

Penyuluhan edisi September 2014 Volume X Nomor 2.