Top Banner
Acara II CHITIN DAN CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh : Nama : Stephanie Wijayanti W NIM : 12.70.0012 Kelompok E2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
34

THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Dec 26, 2015

Download

Documents

Reed Jones

Praktikum yang dilakukan adalah mengenai chitin dan chitosan.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

CHITIN DAN CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh :

Nama : Stephanie Wijayanti W

NIM : 12.70.0012

Kelompok E2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2014

Page 2: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan Chitin-chitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel1. Hasil rendemen kitin-kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I

(%)

Rendemen Kitin II

(%)

Rendemen

Kitosan (%)

E1

HCl 0,75 N

NaOH 3,5%

NaOH 40%

34 18,987 15,333

E2

HCl 0,75N

NaOH 3,5%

NaOH 40%

18 13,514 16,400

E3

HCl 1 N

NaOH 3,5%

NaOH 50%

21 14,285 15,200

E4

HCl 1 N

NaOH 3,5%

NaOH 50%

14 14,706 12,000

E5

HCl 1,25 N

NaOH 3,5%

NaOH 60%

22 14,706 17,333

E6

HCl 1,25 N

NaOH 3,5%

NaOH 60%

26 28,571 8,500

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitin 2 lebih rendah

dibandingkan dengan nilai rendemen kitin sebelumnya. Namun pada kelompok 4

dan 6 terjadi kesalahan, nilai rendemen kitin 2 lebih tinggi dibandingkan dengan

nilai rendemen kitin1.

1

Page 3: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini yang dilakukan adalah pembuatan chitin dan chitosan. Dalam

pembuatan kitin dan kitosan ini menggunakan bahan limbah udang. Metode

pembuatan kitin dan kitosan ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu demineralisasi,

deproteinasi dan deasetilasi. Limbah udang mengandung protein dan mineral yang

cukup tinggi, serta astaxantin yang merupakan pro-vitamin A untuk pembentukan

warna (Dutta et al ,2004). Muzzarelli (1985) menambahkan bahwa cangkang hewan

invertebrata laut, terutama Crustacea mengandung kitin dalam kadar tinggi, berkisar

antara 20-60% tergantung spesies. Selain itu, kitin mempunyai fungsi biologis

utama yaitu sebagai penyangga dan pembentukan eksoskeleton atau dinding sel

organism. Sumber kitin antara lain cangkang kepiting, udang, prawn, krill, lobster,

tulang rawan cumi-cumi, serangga, dan jamur (Beaney et al., 2005). Menurut

Marganov (2003), limbah udang mengandung konstituen utama yang terdiri atas

protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen dan abu. Protein yang terdapat pada kulit

udang yaitu sekitar 25- 40%, sedangkan kalsium karbonat sekitar 45-50%, dan kitin

yang terkandung didalamnya sebesar 15-20%.

Kitin merupakan salah satu polisakarida yang mempunyai kandungan nitrogen yang

tinggi dan berat molekul yang tinggi. Kitin merupakan polisakarida yang sukar larut

pada pH netral (Naznin,2005). Kitin mempunyai sifat yang mudah terdegradasi

secara biologis, tidak beracun, tidak larut air, asam anorganik encer dan asam-asam

organik tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Ornum,

1992).

2

Page 4: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Gambar1. Struktur kitin dan kitosan

2

Page 5: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa enzim seperti papain,

lactase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase. Kitin juga dapat

dimanfaatkan dalam insutri pangan maupun industri kosemetik (Peter, 1995).

Namun kitin sangat sulit untuk larut dengan air sehingga hal ini menyebabkan

terbatasnya pemanfaatan kitin tersebut untuk produk yang berguna. Sehingga kitin

tersebut harus diolah atau di modifikasi struktur kimianya maka akan diperoleh

turunan kitin yang disebut dengan kitosan. Menurut Hirano (1989), kitosan

merupakan suatu biopolimer dari D-glukosamin yang dihasilkan dari proses

deasetilasi kitin dengan menggunakan alkali kuat. Kitosan ini dapat larut dalam

asam seperti asam asetat, asam format, asam sitrat, dan lain-lain. Kitosan dapat

mudah larut dengan asam asetat karena asam asetat memiliki gugus karboksil yang

akan mempermudah pelarutan kitosan yang disebabkan karena terjadinya interaksi

hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan. Viskositas dari

kitosan ini kelarutannya tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi dari

polimer kitin. Dalam penyimpanannya, kitosan tidak boleh terbuka atau mengalami

kontak dengan udara karena hal ini akan menyebabkan terjadi perubahan-perubahan

yang tidak diinginkan seperti warna dan viskositas kitosan tersebut (Dunn et

al. ,1997).

Menurut Hirano (1989), kitosan merupakan suatu biopolimer yang berasal dari D-

glukosamin yang dihasilkan dari proses deasetilasi kitin dengan menggunakan basa

kuat maupun asam kuat. Kitosan juga merupakan produk alami yang tidak beracun

dan polisakarida yang tidak larut air serta merupakan biopolimer kationik yang

dapat didegradasi (Kofuji et al., 2005). Kitosan merupakan suatu polimer linear

yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin dalam ikatan β-(1-

4). Berat molekul dari kitosan ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan

pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer

kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan

(Tang et al., 2007). Cahyaningrum et al.,(2007), menambahkan bahwa kitosan

memilik sifat yang sangat spesifik yaitu dengan adanya sifat bioaktif, hidrofilik,

biokompatibel, pengkelat, antibakteri, dapat terbiodegradasi dan mempunyai afinitas

yang besar terhadap enzim.

Page 6: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Proses pembuatan kitin dan kitosan dalam praktikum ini meliputi tiga proses

penting, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Tahap pertama yang

dilakukan adalah tahap demineralisasi. Proses demineralisasi ini bertujuan untuk

menghilangkan senyawa seperti garam-garam inorganik atau kandungan mineral

yang ada pada kitin terutama kalsium karbonat (CaCO3) (Laila & Hendri, 2008).

Hal ini juga didukung oleh dasar teori dari Bastaman (1999), yang menyatakan

bahwa demineralisasi juga bertujuan untuk penghilangan mineral karena bagian

cangkang umumnya mengandung banyak kalsium oleh karena itu harus dihilangkan

terlebih dahulu.

Pertama-tama limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan lalu dicuci

dengan menggunakan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian

disini bertujuan agar kotoran yang ada pada kulit udang dapat hilang karena kotoran

tersebut dapat mencemari ekstrak kitin yang dihasilkan. Sedangkan proses

pengeringan bertujuan untuk membuat air panas yang masih berada pada kulit

udang dapat dihilangkan sehingga kadar air yang terletak pada kulit udang tersebut

dapat berkurang dan produk akhirnya akan kering. Setelah mengalami proses

pengeringan, dilakukan proses penghancuran sehingga akan menjadi serbuk dan

diayak dengan menggunakan ayakan dengan ukuran 40-60 mesh. Proses

penghancuran ini bertujuan untuk memperbesar luas permukaan bahan sehingga

pelarut yang nantinya digunakan dapat dengan maksimal untuk melarutkan

komponen-komponen (Prasetyo,2006). Setelah dihancurkan, dicampur dengan

menggunakan HCl dengan perbandingan 10:1. Untuk kelompok 1 dan 2

menggunakan HCl 0,75N, kelompok 3 dan 4 menggunakan HCl 1N dan untuk

kelompok 5 dan 6 menggunakan HCl 1,25N. Penambahan HCl disini bertujuan

untuk melarutkan semua komponen mineral yang terdapat pada kulit udang. Mineral

tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu (Bastaman,1989). Kemudian larutan

tersebut diaduk selama 1 jam sambil dipanaskan pada suhu 900C. Setelah

dipanaskan larutan tersebut disaring dengan menggunakan kain saring dan dicuci

hingga pH menjadi netral kemudian ampas tersebut ditimbang dan dikeringkan

dengan suhu 800C selama 24 jam. Proses pengeringan disini bertujuan untuk

menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian, sehingga produk kitin

akhir nantinya adalah berbentuk kering.

Page 7: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

Proses pemanasan yang dilakukan selama 1 jam ini berfungsi untuk mempercepat

proses penghilangan mineral. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan

bersamaan dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk menghindari timbulnya

gelembung-gelembung udara yang akibat proses pemisahan mineral selama

terjadinya proses demineralisasi (Puspawati et al.,2010). Gelembung-gelembung

udara ini adalah hasil dari terbentuknya gas CO2 karena adanya penambahan larutan

HCl. Reaksi yang terjadi pada proses terbentuknya gelembung dari gas CO2 ini

adalah sebagai berikut:

CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).

(Robert, 1992). Sedangkan pencucian hingga pH nya netral disini bertujuan untuk

menaikkan asam menjadi pH yang normal yaitu pH 7. Untuk mengetahui apakan pH

sudah netral atau belum dengan menggunakan pH meter.

Tahap kedua yang dilakukan adalah tahap deproteinasi. Proses deproteinasi ini

bertujuan untuk memisahkan kandungan protein yang ada pada kitin (Alamsyah et

al.,2007). Lehninger (1975) menambahkan bahwa deproteinasi merupakan suatu

proses yang bertujuan untuk menghilangkan atau melarutkan protein semaksimal

mungkin dari substrat, biasa dilakukan dengan menggunakan larutan kimia yang

bersifat basa. Pada tahap proses ini, NaOH akan terionisasi didalam air sehingga ion

natrium serta ion hidroksida akan terbentuk. Apabila larutan tersebut ditambahkan

ke larutan asam maka ion hidroksida akan berinteraksi dengan ion hidrogen

sehingga molekul air akan terbentuk dan membuatnya bersifat asam. Namun apabila

jumlah ion hidroksida yang akan ditambahkan mempunyai jumlah yang sama

dengan ion hidrogen maka larutan tersebut akan berubah menjadi netral (Rogers

,1986).

Pada tahap ini, pertama-tama yang dilakukan adalah hasil tepung dari proses

demineralisasi ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat tepung tersebut.

Kemudian ditambahkan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1. Menurut

Rogers (1986), penambahan NaOH pada proses deproteinasi ini bertujuan untuk

memisahkan kandungan protein yang ada pada kitin Setelah itu diaduk selama 1 jam

sambil dipanaskan pada suhu 900C. Proses pengadukan dan pemanasan disini

mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menguapkan air dan mengkonsentrasikan

Page 8: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

NaOH. Setelah dipanaskan, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring dan

dicuci dengan air mengalir hingga pH nya netral. Proses penetralan ini akan

mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali karena Hal tersebut akan

mengakibatkan efektivitas proses hidrolisis basa pada gugus asetamida pada rantai

kitin akan lebih baik (Rogers,1986). Setelah itu endapan yang dihasilkan ditimbang

dan diletakan dalam suatu wadah kemudian dimasukkan ke oven untuk dikeringkan.

Pengeringan ini menggunakan suhu 800C selama 24 jam. Maka akan dihasilkan

kitin.

Tahap ketiga yang dilakukan adalah tahap deasetilasi. Menurut Ramadhan et al.

(2010), transformasi senyawa kitin menjadi senyawa kitosan pada tahap deastilasi

ini sendiri dilakukan dengan langkah penghilangan gugus asetil yang ada pada kitin

menjadi gugus amina yang ada pada kitosan. Pada tahap ini pertama-tama yang

dilakukan adalah hasil atau tepung dari proses deproteinasi ditimbang dan

ditambahkan NaOH, untuk kelompok 1 dan 2 konsentrasi NaOH yang digunakan

adalah 40%, untuk kelompok 3 dan 4 NaOH 50% dan untuk kelompok 5 dan 6

menggunakan NaOH 60% dengan perbandingan 20:1. Larutan tersebut diaduk

selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit kemudian dipanaskan. Suhu dan lama

pemanasan yang digunakan akan mempengaruhi derajat deasetilasi kitosan yang

terbentuk. Apabila suhu yang digunakan semakin tinggi maka derajat deasetilasi

dari kitosan yang terbentuk akan semakin meningkat pula. Selain itu tujuan dari

pemanasan ini sendiri adalah untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan

yang terbentuk. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan bersamaan dengan

proses pemanasan ini bertujuan untuk meratakan kitin yang digunakan sebagai

bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan sehingga proses deasetilasi berjalan

lebih optimal. Setelah pemanasan, larutan tersebut disaring dengan menggunakan

kain saring dan dicuci dengan air mengalir hingga pHnya netral. Lalu residu

ditimbang dan dikeringkan pada suhu 700C selama 24 jam. Maka akan dihasilkan

kitosan.

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, dihasilkan hasil rendemen 1,

rendemen 2 dan rendemen kitosan. Hasil rendemen kitin 1 lebih tinggi dibandingkan

dengan hasil rendemen 2. Hal ini sudah sesuai dengan dasar teori dari Fennema

Page 9: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

(1985) yang mengatakan bahwa kelarutan mineral dan protein pada suasana basa

lebih besar apabila dibandingkan pada suasana asam. Basa yang digunakan adalah

NaOH, NaOH ini memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi apabila

dibandingkan dengan HCl. Oleh sebab itu seharusnya dengan penambahan NaOH,

proses deproteinasi menjadi lebih optimal untuk menghilangkan komponen mineral

dan protein sehingga rendemen kitin yang dihasilkan mengalami penurunan dari

rendemen sebelumnya (Fennema, 1985). Namun pada kelompok 4 dan 6, rendemen

kitin mengalami peningkatan dari sebelumnya. Hal ini mungkin dapat disebabkan

karena proses deproteinasi dan demineralisasi yang kurang optimal sehingga masih

ada pelindung mineral yang terletak pada kulit udang sehingga menghambat proses

deproteinasi. Selain itu, pada saat tahap pencucian, ada beberapa komponen juga

ikut terbuang sehingga masa kitin menjadi berkurang atau juga karena pada proses

pendinginan terjadi dalam waktu yang singkat sehingga pengendapan kitin belum

terjadi dengan maksimal yang mengakibatkan kitin mudah mudah terbuang saat

pencucian. Selain itu kitin juga dapat terdegradasi selama pengolahan yang

disebabkan karena penggunaan pelarut dengan konsentrasi yang terlalu tinggi.

Menurut Knorr (1984), apabila digunakan konsentrasi asam terlalu tinggi dan waktu

perendaman yang lebih lama, akan menyebabkan kitin terdegradasi. Pada

konsentrasi tinggi reaksi berjalan terlalu cepat sehingga asam klorida bereaksi

dengan protein sedangkan komponen mineralnya belum terlepas secara sempurna.

Apabila dilihat dari segi penambahan HCl pada rendemen kitin, hasil yang diperoleh

flutuaktif. Hal ini tidak sesuai dengan dasar teori dari Johnson dan Peterson (1974)

yang mengatakan bahwa apbila semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan

maka rendemen kitin yang dihasilkan pun akan semakin banyak. Hal ini dapat

disebabkan karena senyawa mineral pada serbuk udang semakin mudah untuk

dihilangkan atau dilepaskan.

Apabila dilihat dari segi penambahan NaOH pada rendemen kitosan, hasilnya

flutuaktif. Hal tersebut tidak sesuai dengan dasar teori dari Hong et al. (1989) dan

Naznin (2005) yang mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang

ditambahkan maka akan menghasilkan kitosan yang lebih rendah. Hal ini dapat

disebabkan karena NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul

Page 10: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

kitosan sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun. Hal ini juga didukung

oleh pernyataan dari Rochima et al. (2004), yang menyatakan bahwa penggunaan

konsentrasi NaOH yang tinggi pada saat proses deasetilasi akan menghasilkan

rendemen kitosan yang memiliki derajat deasetilasi tinggi. Hal ini disebabkan gugus

fungsional amino (-NH3+) yang mensubtitusi gugus asetil kitin di dalam sistem

larutan semakin aktif, maka semakin sempurnalah proses deasetilasi.

Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi atau dengan

menggunakan pemanasan akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-)

dari molekul kitin. Gugus amida pada kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen

yang bermuatan positif sehingga membentuk gugus amina bebas –NH2 . Dengan

adanya gugus ini kitosan dapat mengadsorpsi ion logam dengan membentuk

senyawa kompleks (khelat). Konsentrasi NaOH yang semakin tinggi,

menyumbangkan gugus –OH yang semakin banyak, sehingga gugus CH3COO-

yang tereliminasi juga semakin banyak dan menghasilkan gugus amida yang

semakin banyak (Mekawati et al., 2000).

deproteinasi dan demineralisasi pada proses ekstraksi kitin dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti konsentrasi larutan, suhu dan lama waktu reaksi (Lehninger,

1975). Ada beberapa faktor yang menyebabkan berhasil atau tidaknya pembuatan

kitin antara lain jenis bahan baku yang digunakan, serta proses ekstraksi kitin yang

dibagi menjadi dua metode yaitu proses demineralisasi dan proses deproteinasi.

Dalam mengekstrak kitin, dapat dilakukan dengan metode kimiawi maupun

enzimatis (Laila & Hendri ,2008). Dengan semakin lama proses pemanasan

(pengeringan), akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein yang terlarut

berkurang banyak. Namun, apabila pemanasan dilakukan dalam waktu yang lebih

singkat, hal ini mengakibatkan kandungan protein yang terlarut menjadi lebih

rendah karena protein yang ada di dalam kitin tersebut belum larut sepenuhnya. Hal

tersebut sesuai dengan teori dari Winarno (1997). Menurut Mukku dan Willem

(2005), kitin juga dapat dibuat dari kulit udang dengan menggunakan

Page 11: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan untuk proses

pembuatan kitin tersebut adalah Lactobacillus plantarum.

Berdasarkan jurnal yang berjudul Mechanical and thermal properties of crab chitin

reinforced carboxylated SBR composites, kitin merupakan polimer yang mempunyai

berat molekul yang tinggi, merupakan suatu polisakarida yang mengandung gugus

asetamida. Kitin dapat diperoleh dari cangkang kepiting. Pengaplikasian kitin sangat

banyak ditemui baik dalam industri pangan maupun industri lainnya. Pada

percobaan yang dilakukan pada jurnal ini, juga ada tahap deproteinisasi. Pada tahap

ini, pertama-tama bubuk kitin diaduk dan dipanaskan dengan 5% larutan KOH

selama 6 jam. Setelah itu kitin dicuci dengan menggunakan 17gram NaClO2 dalam 1

liter air yang telah dicampur dengan75ml asam asetat. Kemudian larutan tersebut

dipanaskan pada suhu 800C selama 2 jam. Prosedur tersebut diulang sebanyak 3 kali

ulangan.

Berdasarkan jurnal yang berjudul Control of Dongchimi Fermentation with

Chitosan Deacetylated by Alkali Treatment to Prevent Over-Ripening, kitosan

merupakan senyawa turunan kopolimer dari polimer kitin (poly-β(1,4)-N-acetyl-D-

glucosamine) yang ditemukan pada cangkang kepiting dan udang. Kitosan

mempunyai banyak manfaat seperti sebagai emulsifikasi, dye binding, dan senyawa

antimikroba. Kitosan banyak dimanfaatkan dalam bidang industri pangan termasuk

dalam jus buah, saus teremulsi, salad, dan mayonais. Senyawa antimikroba yang ada

pada kitosan disebabkan karena adanya interaksi gugus NH3+ pada molekuk kitosan

dengan gugus fosforil negatif dari senyawa fosfolipid yang ada pada membran sel

mikroba sehingga pertumbuhan mikroba dapat dicegah. Sebagai contoh kitosan

(0.1 g/L) dapat mengurangi jumlah mikroorganisme Lactobacillus spp. and

Pediococcus spp. Penelitian ini bertujuan untuk membuat kitosan dari kitin,

mengetahui efek pemanasan terhadap deasetilasi dan aktivitas antimikroba. Pada

penelitian ini tahap pertama yang dilakukan adalah pemurnian kitin, kemudian

penyiapan kitosan, pengukuran derajat deasetilasi dari kitosan tersebut,dan

seterusnya. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, didapat kesimpulan bahwa

derajat deasetilasi kitosan tergantuk pada suhu dan waktu pemanasan.

Page 12: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Berdasarkan jurnal yang berjudul Production of Chitin and Chitosan fromShrimp

Shell in Batch Culture of Lactobacillus Plantarum , metode konvensional yang

biasanya digunakan untuk mengekstrak kitin adalah dengan metode kimia yang

menggunakan asam atau basa kuat untuk menghilangkan kandungan mineral dan

protein. Sehingga ada 3 tahap yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi.

Selain metode kimia, ada juga dengan menggunakan metode biologis. Tujuan dalam

penelitian ini adalah untuk menghasilkan kitin dari limbah udang melalui proses

biologi dan proses kimia. Pertama-tama limbah udang dibersihkan terlebih dahulu

dan dibuang bagian kaki dan kepalanya. Kemudian udang dicuci dengan

menggunakan air yang mengalir dan dikeringkan pada suhu 700C dan dihasilkan

udang kering yang berbentuk bubuk. Kemudian dilakukan preparasi dan inokulasi

mikroorganisme dan fermentasi. Kemudian dilakukan preparasi kitin dengan cari

fraksi padat hasil dari proses fermentasi diberi 0,5mol/L HCl dengan rasio

perbandingan antara HCl dengan kitin 1:25. Diaduk selama 2 jam pada suhu ruang

lalu dicuci dengan air. setelah diberi asam, ditambahkan NaOH dengan rasio

perbandingan 1:25 selama 2 kam pada suhu ruang dan dicuci dengan air. treatmen

ini akan menghasilkan kitin murni. Kitin tersebut kemudian dikeringkan pada suhu

550C selama 1 malam. Setelah melakukan preparasi kitin kemudian melakukan

preparasi kitosan dengan cara kitin murni diberi larutan NaOH 55% dengan rasio

perbandingan 1:25 pada water bath pada suhu 950C selama 4 jam. Kemudian

kitosan dicuci dengan air distilasi dan dikeringkan pada suhu 550C selama semalam.

Dan akan dihasilkan kitosan

Berdasarkan jurnal yang berjudul Extraction of chitin from chitosan from

exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry, kitin dapat

berfungsi untuk industri farmasi. Metode yang digunakan hampir sama dengan

metode lainnya yaitu persiapan sampel, ekstraksi kitin, deasetilasi ,dan pemurnian

kitosan.

Berdasarkan jurnal yang berjudul Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp

Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation, salah

satu perbedaan antara kitin dan kitosan adalah pada presentasi asetil glukosamin.

Apa bila presentasinya lebih dari 50% dinamakan kitin, sedangkan apabila

Page 13: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

presentasenya dibawah 50% dinamakan kitosan. Selain itu perbedaan lainnya

adalah seperti kitosan larut dalam asam asetat dengan konsentrasi rendah, sedangkan

kitin tidak dapat larut.

Page 14: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. KESIMPULAN

Kulit udang dapat berfungsi dalam pembuatan kitin dan kitosan.

Kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin

yang berikatan dengan ikatan glikosidik β (1,4).

Kitosan merupakan produk turunan dari kitin, dan merupakan senyawa

dengan rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa).

Proses penambahan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk

melarutkan komponen mineral yang dikandung oleh kulit udang.

Apabila konsentrasi HCl yang digunakan semakin tinggi maka rendemen

kitin yang dihasilkan pun akan semakin banyak.

Seharusnya rendemen kitin 2 lebih rendah dibandingkan dengan rendemen

kitin sebelumnya.

Dalam proses pembuatan kitosan ada 3 tahap yang harus dilakukan,

diantaranya adalah demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi

Semarang, 19 September 2014

Praktikan Asisten Dosen

Stella Gunawan

Stephanie Wijayanti W

12.70.0012

12

Page 15: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Beaney, P; J. L. Mendoza & M. Healy. (2005). Comparison of Chitins Produced by Chemical and Bioprocessing Methods. J. Chem Technol Biotechnol 80:145–150. Diakses pada tanggal 18 September 2013

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Dunn, ET., EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. 1997. Applications and properties of chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan :Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and IndustrialResearch.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77

Kofuji K, Qian CJ, Murata Y, Kawashima S. (2005). Preparation of chitosan microparticles by water-in-vegetable oil emulsion coalescence technique. Journal of Reactive and Functional Polymers 65: 77-83. Diakses pada tanggal 18 September 2013

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

13

Page 16: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

13

Page 17: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

M. Khorrami, G. D. Najafpour, H. Younesi, b and M. N. Hosseinpoura. (2012). Production of Chitin and Chitosan fromShrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217–223.

Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki, Hamid Reza Falahatpisheh1, Jafar Masoumi. (2008). Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Journal of Paramedical Sciences (JPS) Spring2010 Vol.1, No.2 ISSN 2008-496X. Iran

Mukku Shrinivas Rao and Willem F Stevens.(2005).Chitin production by Lactobacillus fermentation of shrimp biowaste in a drum reactorand its chemical conversion to chitosan.

Muzzarelli, R.A.A.. (1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed) Academic press Inc. Orlando, San Diego.

Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rochima, Emma; Maggy T.Suhartono; Dahrul Syah; dan Sugiyono. (2007). Viskositas dan Berat Molekul Kitosan Hasil Reaksi Enzimatis Kitin Deasetilase

Page 18: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Isolat Bacillus Papandayan K29-14. http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Makalah-6.Viskositas......pdf

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California

Tang ZX, Shi L, Qian J. (2007). Neutral Lipase from Aqueous Solutions on Chitosan nano particles. Journal Biochemical Engineering 34: 217-223. Diakses pada tanggal 18 September 2013.

Visakh, M. Monti, D. Puglia, M. Rallini, C. Santulli, F. Sarasini, S. Thomas, J. M. Kenny. (2012). Mechanical and thermal properties of crab chitin reinforced carboxylated SBR composites. eXPRESS Polymer Letters Vol.6, No.5 (2012) 396–409.

Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Woojin Lee, Tai-Sun Shin, Sanghoon Ko, and Hoon-Il Oh. (2010). Control of Dongchimi Fermentation with Chitosan Deacetylated by Alkali Treatment to Prevent Over-Ripening. Journal of Food Science Vol. 75, Nr. 5.

Yateendra Shanmukha Puvvada, Saikishore Vankayalapati, Sudheshnababu Sukhavasi. (2012). Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263. India

Page 19: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. LAMPIRAN 5.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen kitin I = berat keringberat basah I

x

100%

Rendemen kitin II = berat kitinberat basah II

x 100%

Rendemen kitosan = berat kitosanberat kitin III

x 100%

Kelompok E1

Rendemen Kitin I =3,4

10×100%

= 34 %

Rendemen Kitin II =1,5

7 .9×100 %

= 18,987 %

Rendemen Kitosan =0,92

6×100 %

= 15,333 %

Kelompok E2

Rendemen Kitin I =1,8

10×100%

= 18 %

Rendemen Kitin II =0,5

3,7×100 %

= 13,514 %

Rendemen Kitosan =0,41

2,5×100 %

= 16,4 %

Kelompok E3

Rendemen Kitin I =2,1

10×100%

= 21 %

Rendemen Kitin II =1

7×100 %

= 14,285 %

Rendemen Kitosan =0,76

5×100 %

= 15,20 %

Kelompok E4

Rendemen Kitin I =1,4

10×100 %

= 14 %

Rendemen Kitin II =0,5

3,4×100%

16

Page 20: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

= 14,706 %

16

Page 21: THL_StephanieWW_12.70.0012_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

endemen Kitosan =0,18

1,5×100 %

= 12 %

Kelompok E5

Rendemen Kitin I =2,2

10×100%

= 22 %

Rendemen Kitin II =1,0

6,8×100 %

= 14,706 %

Rendemen Kitosan =0,78

4,5×100 %

= 17,333 %

Kelompok E6

Rendemen Kitin I =2,6

10×100 %

= 26 %

Rendemen Kitin II =1,0

3,5×100 %

= 28,571 %

Rendemen Kitosan =0,17

2×100 %

= 8,5 %

5.2. Laporan Sementara

5.3. Diagram alir