Top Banner
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit viral arthropod yang paling penting di Indonesia. Hal ini disebabkan karena penyakit ini dapat menimbulkan kematian pada penderita dalam kurun waktu yang sangat cepat dan daerah penyebarannya yang cukup luas. 1 Sejak pertama kali ditemukan pada zaman Dinasti Chin China (65-40 SM) belum ditemukan obat spesifik untuk penyakit ini. 2 Penularan penyakit DBD sering tidak terduga dengan serangan yang tiba -tiba. Suatu daerah yang bebas DBD dapat segera menjadi daerah endemik karena adanya pendatang yang membawa virus atau carrier. 3 Penyakit ini berpindah dengan cepat karena adanya populasi nyamuk menular (vektor) yaitu Aedes aegypti dan Aedes Albopictus, kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas pemukaan air laut. 4 Kejadian luar biasa DBD terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 1998, dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk. Pada tahun 1999, IR menurun sebesar 10,17% menjadi 31,6. Tahun-tahun 1
40

The Suwit's Project Irwan

Dec 15, 2015

Download

Documents

irwansyah

pengetahuan mengenai penyakit dbd
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: The Suwit's Project Irwan

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit viral

arthropod yang paling penting di Indonesia. Hal ini disebabkan karena

penyakit ini dapat menimbulkan kematian pada penderita dalam kurun waktu

yang sangat cepat dan daerah penyebarannya yang cukup luas.1 Sejak pertama

kali ditemukan pada zaman Dinasti Chin China (65-40 SM) belum ditemukan

obat spesifik untuk penyakit ini.2

Penularan penyakit DBD sering tidak terduga dengan serangan yang

tiba -tiba. Suatu daerah yang bebas DBD dapat segera menjadi daerah

endemik karena adanya pendatang yang membawa virus atau carrier.3

Penyakit ini berpindah dengan cepat karena adanya populasi nyamuk menular

(vektor) yaitu Aedes aegypti dan Aedes Albopictus, kedua jenis nyamuk ini

terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia, kecuali di tempat-tempat

dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas pemukaan air laut.4

Kejadian luar biasa DBD terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 1998,

dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk. Pada tahun 1999,

IR menurun sebesar 10,17% menjadi 31,6. Tahun-tahun berikutnya, angka IR

menjadi lebih kecil, tetapi terjadi peningkatan yang cukup signifikan, yaitu

15,99 (tahun 2000):1,66 (tahun 2001); 19,4 (tahun 2002), dan 3, 87 (tahun

2003).4

Pemberantasan DBD dengan pengobatan tidak efektif dan memerlukan

biaya yang mahal. Sampai saat ini, anti viral dan vaksin DBD belum

ditemukan dan masih dalam penelitian para ahli kesehatan dunia. Oleh karena

itu, perilaku pencegahan DBD merupakan langkah yang paling tepat untuk

memberantas penyakit ini. Pemberantasan sarang nyamuk (breeding places)

oleh masyarakat merupakan cara yang paling efektif, mudah dilaksanakan, dan

murah. Akan tetapi, cara ini memerlukan partisipasi masyarakat secara

menyeluruh.

1

Page 2: The Suwit's Project Irwan

Usaha sosialisasi maupun pelaksana program pencegahan DBD

melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dilakukan pemerintah

sebenarnya sudah cukup banyak, misalnya pemberitaan melalui media massa

mengenai abatisasi dan penggalakan program 3M, pemeliharaan ikan tempalo,

dan fogging gratis. Sebagian masyarakat sebenarnya telah melaksanakan

usaha pencegahan yang bersifat individual misalnya penggunaan insektisida

pembunuh nyamuk dan jentik, penggunaan repellent, pemasangan kelambu,

dan kawat anti nyamuk.

Pada kenyataannya, angka kejadian DBD di Indonesia khususnya

Sumatera selatan tetap tinggi yaitu terdapat 158.912 kasus atau prevalensi

sebesar 2.2% dengan jumlah kematian 1.420 orang pada tahun 2009.5

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengapa usaha pencegahan

yang dilakukan oleh masyarakat terasa kurang efektif padahal sosialisasinya

sudah cukup baik dan usaha pencegahannya itu sendiri cukup mudah.

Hambatan ini disebabkan beberapa faktor, misalnya pengetahuan masayarakat

mengenai demam berdarah rendah. Sujono (1991) dalam Kajian Utama Untuk

Memberantas DBD mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat di Indonesia

pada umumnya relatif masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan

sosialisasi berulang mengenai pencegahan DBD. Menurut Ajeng, (1996)

dalam Sosialisasi Pencegahan DBD, penyuluhan tentang pencegahan DBD

harus sering dilakukan agar masyarakat termotivasi untuk ikut berperan serta

dalam upaya-upaya tersebut.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui efektivitas penyuluhan

terhadap tingkat pegetahuan ibu-ibu balita di Posyandu tentang penyakit

Demam Berdarah Dengue. Selain itu juga, penelitian ini dapat digunakan

sebagai refrensi penelitian selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana efek penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan ibu-ibu

balita di Posyandu tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Desa C Nawangsasi,Tugumulyo.

2

Page 3: The Suwit's Project Irwan

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui efek penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan ibu-

ibu balita di Posyandu tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

di Desa C Nawangsasi,Tugumulyo.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui efektivitas penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan

Ibu-ibu Balita di Posyandu Tentang Penyebab  Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Desa C Nawangsasi,Tugumulyo.

2. Mengetahui efektivitas penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan

Ibu-ibu Balita di Posyandu Tentang Pencegahan  Demam Berdarah

Dengue (DBD) di Desa C Nawangsasi,Tugumulyo.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan

dalam pembelajaran mengenai tingkat pengetahuan ibu-ibu balita

tentang penyebab dan pencegahan DBD.

2. Pelayanan Komunitas

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber acuan dalam

meningkatkan pelayanan Komunitas terutama dalam menangani

masalah tingkat pengetahuan ibu-ibu balitatentang pencegahan DBD.

3. Penelitian Selanjutnya

Hasil Penelitian ini juga dapat digunakan peneliti selanjutnya sebagai

bahan perbandingan dan referensi tambahan terkait dengan faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue

(DBD).

3

Page 4: The Suwit's Project Irwan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam berdarah dengue mempunyai beberapa definisi, antara lain :

1. Adalah demam virus akut yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti,

disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel

darah putih dan ruam-ruam.6

2. Adalah demam disertai pendarahan bawah kulit, selaput hidung dan

lambung disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui nyamuk Aedes

Aegypty.7

3. Adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi

perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi

darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran

plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS).8

2.2. Sejarah DBD

Sejak tahun 1950an, DBD telah menjadi masalah kesehatan di Asia

Tenggara. Penyakit ini mewabah pertama kali di Filipina pada tahun 1954,

Thailand pada tahun 1958 dan Singapura pada tahun 1960 (Hammon,

1973 dan Kho, 1969). Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di

Surabaya pada tahun 1968 walaupun konfirmasi virologisnya baru didapat

pada tahun 1973, dan kemudian menyebar ke berbagai daerah.6

2.3. Epidemiologi

Dengue telah dilaporkan sejak abad ke-18. Sepanjang periode itu

epidemik terjadi pada interval umur 10-40 tahun di Asia, Afrika, dan

Amerika Utara. Nyamuk Aedes dan virus dengue saling bergantung

transmisi melalui pembuluh darah untuk membawa virus tersebut dari satu

populasi ke populasi lainnya, dan ketika serotype baru ditemukan,

epidemik baru terjadi.9 Ini berarti bahwa terjadi kejadian luar biasa (KLB)

4

Page 5: The Suwit's Project Irwan

yang terfokus terutama pada daerah perairan. Epidemiologi dengue

berubah setelah perang dunia kedua, disebabkan peningkatan pertumbuhan

ekonomi dan urbanisasi dari Asia Tenggara, dimana jutaan orang pindah

ke kota. Pusat urban tumbuh secara cepat, sering dengan kurangnya sistem

perairan dan sistem pembuangan, yang mendukung lingkungan untuk

nyamuk Aedes untuk bertelur.10 Virus dengue menyebar secara cepat dan

penyakit berkembang menjadi pandemik.11 Kota Palembang memiliki

angka kejadian yang tinggi. Terjadi tren peningkatan jumlah penderita

DBD dari tahun 2001-2006, pada tahun 2001 angka kejadian sebesar 816

penderita dan pada tahun 2006 sebanyak 1475 penderita.12

Gambar 1. Sebaran negara terjangkit atau berisiko terjangkit DBD di dunia 2008.13

Penyakit ini sebagian besar menyerang anak berumur < 15 tahun,

namun dapat juga menyerang orang dewasa. Pada tahun 2009, terdapat

158.912 kasus dengan jumlah kematian 1.420 orang. Dengan demikian, IR

DBD pada tahun 2009 adalah 68,22 per 100.000 penduduk dan CFR

sebesar 0,89%. Angka-angka tersebut mengalami peningkatan

5

Page 6: The Suwit's Project Irwan

dibandingkan tahun 2008 dengan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk

dan CFR sebesar 0,86%.

Gambar 2. Persentase kabupaten/kota terjangkit DBD di Indonesia tahun 20095

Meskipun CFR tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun 2008,

namun sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, nampak adanya

kecenderungan penurunan CFR. Kecenderungan penurunan tersebut tidak

nampak pada IR per 100.000 penduduk. Angka Insidens (IR) tertinggi

terdapat di Provinsi DKI Jakarta, yaitu 313,41 per 100.000 penduduk,

diikuti oleh Kalimantan Barat sebesar 228,3 per 100.000 penduduk dan

Kalimantan Timur sebesar 173,84 per 100.000 penduduk. Sedangkan IR

terendah di Provinsi NTT sebesar 8,44 dan Jambi sebesar 8,55 per 100.000

penduduk. Provinsi Maluku melaporkan 0 kasus.5

Pada tahun 2009, provinsi dengan CFR tertinggi adalah Kep.

Bangka Belitung sebesar 4,58%, diikuti oleh Bengkulu sebesar 3,08%,

Gorontalo sebesar 2,2%. Sedangkan CFR terendah terdapat di provinsi

Sulawesi Barat, dimana tidak ada kasus meninggal, dan DKI Jakarta

sebesar 0,11%.

6

Page 7: The Suwit's Project Irwan

Tabel 1. Incidence rate DBD per 100.000 penduduk di Indonesia tahun 20095

Pola perkembangan DBD pada tahun 2009 secara nasional

menunjukkan terjadinya peningkatan kasus dan kematian DBD

dibandingkan tahun 2008. Puncak peningkatan kasus tahun 2009 terjadi

pada bulan Januari, Februari dan Maret, kemudian kasus menurun kembali

setelah bulan Juli dan mencapai titik terendah pada bulan September,

namun terjadi peningkatan sedikit pada bulan November dan Desember.

Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD sejak tahun 1968 sampai dengan

2009 cenderung mengalami peningkatan seiring dengan terjadinya

pemekaran wilayah di Indonesia. Puncak IR DBD terjadi pada tahun 1973,

1988, 1998 dan 2005. Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD terus

meningkat sampai tahun 1998, dan sedikit menurun di tahun 1999,

kemudian meningkat kembali sampai tahun 2007. Pada tahun 2008 sebesar

73,5% kabupaten/kota terjangkit, sedangkan tahun 2009 tercatat 384

Kabupaten/kota dari 497 Kabupaten/kota yang ada atau sebesar 77,26%.

7

Page 8: The Suwit's Project Irwan

2.4. Faktor Risiko

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus

dengue yaitu :

1. Vektor

a. Perkembangbiakan vektor

Untuk berkembang biak, nyamuk dewasa bertelur di air,

hari pertama langsung menjadi jentik sampai hari ke-4, lalu

menjadi pupa (kepompong), kemudian akan meninggalkan rumah

pupa-nya menjadi nyamuk dewasa. Hanya bertelur di tempat

genangan air jernih dan tidak bersarang di air got dan semacamnya.

Nyamuk aedes dapat berkembang di dalam air bersih yang

menggenang lebih dari lima hari. Dapat berkembang biak di air

dengan volume minimal kira-kira 0.5 sentimeter atau sama dengan

satu sendok teh saja. Siklus perkembangbiakan nyamuk berkisar

antara 10-12 hari. Kemampuan terbangnya antara 40 hingga 100

m.

b. Kebiasaan menggigit

Biasanya pada spesies A. aegypti aktivitas menggigitnya

pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2

jam sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari

tenggelam.

c. Kepadatan vektor di lingkungan

Umur nyamuk betina berkisar antara 2 minggu sampai 3

bulan atau rata-rata 11/2 bulan dan tergantung suhu kelembaban

udara sekelilingnya. Kepadatan nyamuk akan meningkat saat

musim hujan.

d. Transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain

Nyamuk Aedes Aegypty mulanya berasal dari Mesir yang

kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut atau

8

Page 9: The Suwit's Project Irwan

udara. Nyamuk hidup dengan baik di belahan dunia yang beriklim

tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika.

2. Pejamu

Semua orang rentan terhadap penyakit ini, anak – anak

biasanya menunjukkan gejala lebih ringan dibandingkan orang

dewasa. Sembuh dari infeksi dengan satu jenis serotipe akan

memberikan imunitas homolog seumur hidup tetapi tidak memberikan

perlindungan terhadap infeksi serotipe lain.

3. Lingkungan

Aedes aegypti umumnya berkembang biak di rumah

penduduk, aedes albopictus lebih suka di cekungan dahan pohon yang

menampung air. Makanya nyamuk jenis ini lebih sering ditemukan di

kebun-kebun.

Setelah ditelusuri, ternyata penyebabnya banyak nyamuk

albopictus terdapat di kebun-kebun warga. Persamaannya, kedua jenis

nyamuk ini sama-sama menyukai air bersih dan nyaris terdapat di

seluruh Indonesia. Kecuali di daerah yang mempunyai ketinggian

lebih dari 1.000 meter di atas permukaan air laut.

2.5. Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus Dengue, yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus

merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam rebonukleat

rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.1

Terdapat empat serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan

DEN-4 yang semuanya menyebabkan DBD. Keempat serotipe ditemukan

di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat

reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow

fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus.1,6

Dalam laboratorium virus Dengue dapat bereplikasi pada hewan

mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei

9

Page 10: The Suwit's Project Irwan

epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus

Dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada arthropoda

menunjukan virus Dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes

(Stegomyia) dan Toxorhynchites.1,7

2.6. Manifestasi Klinis

Petanda penting yang perlu dikenali adalah munculnya demam dan

perdarahan-perdarahan.

1. Demam, penyakit infeksi pada umumnya menunjukkan gejala demam.

Gejala demam pada DBD adalah khas yaitu sifat demamnya tinggi

lebih 38,500C, berlangsung 2-7 hari, tipe demam menyerupai

punggung pelana kuda.

Gejala penyerta selain demam adalah adalah nyeri kepala, pusing,

kelemahan umum, rasa mual, muntah, nyeri otot dan sendi.

2. Perdarahan, petanda penting lain adalah perdarahan-perdarahan mulai

yang sangat ringan yaitu baru positif muncul tanda perdarahan bila

dilakukan uji bendungan, bintik-bintik dan bentol-bentol perdarahan

spontan pada kulit, biru-biru bekas tusukan jarum, epitaksis, gusi

berdarah, sampai perdarahan nyata spontan dan berat muntah darah,

berak darah.

3. Pasien tetap sakit meskipun suhu turun, dan kondisi klinisnya

menyimpang dengan terjadinya kulit lembab, ekstrimitas dingin dan

berkeringat, dan gelisah.

2.7. Derajat

Pembagian derajat DBD menurut WHO (1997). 1,2,3,10

1. Derajat I : Demam mendadak tinggi dengan gejala lain yang

tidak jelas disertai perdarahan pada uji bendungan.

2. Derajat II : Derajat 1 disertai dengan perdarahan spontan biasanya

pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lainnya.

10

Page 11: The Suwit's Project Irwan

3. Derajat III : Derajat II disertai tanda-tanda dari kegagalan sirkulasi

ditandai, denyut nadi lemah, cepat dan lemah, tekanan darah rendah,

kulit teraba dingin/lembab serta gelisah.

4. Demam IV : Syok berat, ditandai: nadi lemah dan cepat, tekanan

darah menyempit, kulit dingin, lembab, dan hipotensi.

2.8. Kriteria Diagnosis

Karena luasnya variasi dari manifestasi klinis DBD, maka WHO

membuat kriteria diagnosis DBD (1997), yaitu diagnosis dugaan DBD

berdasarkan kriteria-kriteria berikut.

1. Kriteria Klinis

a. Demam tinggi mendadak dan berlangsung terus-menerus selama

2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Pada umumnya demam akan

menurun pada hari ke-3 sampai hari ke-4 yang kemudian

meningkat lagi pada hari ke-5 sampai ke-6, menunjukkan

gambaran grafik suhu badan seperti pelana kuda.2,9

b. Manifestasi perdarahan : Uji bendungan/tourniquet positif,

petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,

perdarahan saluran cerna (hematemesis-melena), hematuria.1,2,8

c. Hepatomegali.1,2

d. Syok : nadi kecil, cepat, lemah, sampai tidak teraba, penurunan

tekanan darah, kulit teraba dingin, lembab terutama di daerah

akral seperti ujung kaki, jari, hidung, sianosis di sekitar mulut,

ujung jari tangan dan kaki, gelisah.1,2,11

2. Kriteria Laboratorium 1,2

a. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang).

b. Hemokonsentrasi/peningkatan nilai hematokrit 20% atau lebih.

Diagnosis DBD dipastikan dengan pemeriksaan serologi.

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis

adalah hipoalbuminemia, hiponatremia, peningkatan SGOT/SGPT,

limfosit plasma biru (20-50%).

11

Page 12: The Suwit's Project Irwan

Diagnosis ditegakkan bila terdapat 2 atau lebih gejala klinis disertai

trombositopenia dengan atau tanpa hemokonsentrasi. Diagnosis pasti

ditegakkan dengan pemeriksaan seroimunologi.

2.9. Penatalaksanaan

Pencegahan dan Pemberantasan Wabah DBD

Sejauh ini usaha-usaha pencegahan yang telah dilakukan dapat

mengurangi mortality rate sebesar 3-4%, tetapi kecenderungan kejadian

DBD justru menunjukan peningkatan. Karena itu, dibutuhkan peningkatan

usaha-usaha pencegahan untuk mengatasi masalah DBD yang meliputi

sektor kesehatan dan sektor non kesehatan1.

Sektor Kesehatan

Diagnosa dan perawatan yang cepat dan tepat memang penting

dalam upaya mencegah dengue shock sysndrome (DSS) yang berisiko

tinggi menyebabkan kematian14. Akan tetapi, lebih penting lagi

mengurangi insiden DBD memalui prosedur dan implementasi yang tepat.

Sesuai dengan slogan “mencegah lebih baik daripada mengobati” maka

usaha pencegahan lebih baik dikedepankan daripada tindakan yang

dilakukan hanya pada situasi darurat atau pada saat penyakit telah

menyerang. Di Indonesia usaha pengendalian Aedes aegypti dilakukan

melaui metode pengendalian kimia, pengendalian fisik, pengendalian

biologis dan perlindungan perorangan15.

1. Perlindungan kimia

Metode ini menggunakan insektisida untuk menekan populasi

nyamuk Aedes aegypti melalui cara antara lain:

Membunuh larva dengan menggunakan

bubuk abate yang dibubuhkan pada tempat penyimpanan air

dengan dosis 1 pp, (part per million), yaitu 10 gram untuk 100 liter

air.

Setelah dibubuhkan abate maka:

12

Page 13: The Suwit's Project Irwan

1. Selama 3 bulan bubuk abate dalam air tersebut mampu

membunuh jentik Aedes aegypti.

2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan

dibersihkan/diganti airnya, hendaknya jangan menyikat

bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut.

3. Air yang telah dibubuhi abate dengan takaran yang benar,

tidak membahayakan dan tetap aman bila air tersebut

diminum.

Melakukan fogging dengan malthion atau fenitrotion dalam dosis

438 gr/ha; dilakukan di dalam rumah dan di sekitar rumah dengan

menggunakan larutan 4% dalam solar atau minyak tanah. Fogging

ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa. Tindakan

pengendalian secara kimia memang terbukti dapat menekan

populasi nyamuk Aedes Aegypti, namun hal tersebut

membutuhkan biaya yang cukup tinggi apabila dilakukan secara

terus menerus. Untuk itu, tindakan ini sebaiknya dilaksanakan

beberapa saat sebelum mulainya masa penularanan yang

diperkirakan. Saat yang cocok di Indonesia ialah pada permulaan

musin hujan atau segera sebelum mulainya musim hujan dengan

memberikan prioritas pada daerah dengan kepadatan vektor

tertinggi disertai riwayat adanya wabah DBD pada masa-masa

sebelumnya.

Selain pertimbangan biaya, penggunaan dosis pada

pengendalian kimia harus diperhatikan karena penggunaan dosis

yang kurang tepat dapat menimbulkan resistensi nyamuk terhadap

insektisida.

2. Pengendalian Fisik

Pemerintah Indonesia mengeluarkan program pengendalian

sektor DBD yang murah, mudah dan amam. Program ini meliputi

keigiatan-kegiatan yang dikenal dengan singkatan 3M, yaitu :

13

Page 14: The Suwit's Project Irwan

Menguras/mengganti air di tempat-tempat penampungan air

yang terbuka, seperti bak mandi, vas bunga, tempat minum

burung dan lain-lain. Penggantian dilakukan seminggu sekali

dangan maksud agar daur hidup nyamuk stadium larva yang

memerlukan 8-10 hari tidak tercapai untuk menjadi dewasa.

Menutup rapat tempat penampungan air yang digunakan untuk

keperluan memasak dan air minum agar nyamuk tidak dapat

memasuk kedalamnya dan meletakan telur.

Mengubur barang-barang bekas yang berpotensi menjadi

termpat bertelur nyamuk diluar rumah apabila terkena air

hujan, seperti kaleng, botol, ban dan lain-lain.

Keberhasilan program PSN membutuhkan partisipasi

masyarakat. Untuk itu perlu dilaksanakan usaha untuk mendorong

masyarakat melalui program pendidikan kepada masyarakat.

Untuk mencegah epidemik DBD berdasarkan UU tahun

1988 tentang pencegahan dan pengendalian penyekit infeksi maka

semua kasus DBD yang terdiagnosa secara klinis wajib dilaporkan

ke kantor Depkes daerah terdekat dalam kurun waktu 4 jam.

Pelaporan ini harus sesegera mungkin dilakukan tanpa harus

menunggu hasil laboratorium, sehingga bisa segera di ambil

tindakan pengendalian di daerah itu. Keterlambatan pelaporan akan

menyebabkan keterlambatan tindakan pencegahan yang

selanjutnya dapat menyebabkan kejadian luar biasa (KLB).

3. Pengendalian Biologis

Metode ini memanfaatkan predator larva untuk membasmi

larva Aedes aegypti seperti ikan pemakan larva, beberapa spesies

bakteri dan cyclopoida. Masyarakat dianjurkan untuk memelihara

ikan tempalo di bak-bak penampungan air. Ikan tempalo dapat

14

Page 15: The Suwit's Project Irwan

memakan larva nyamuk sehingga digunakan untuk mencegah

demam berdarah.

4. Perlindungan Perorangan

Metode ini ditujukan untuk mencegah gigitan Aedes aegypti,

antara lain dengan pemasangan kasa penolak nyamuk, penggunaan

mosquito repellent, insektisida aerosol, pemakaian kelambu,

pemakaian pakaian yang cukup melindungi tubuh dan obat nyamuk

bakar. Pemberian sinar matahari langsung yang lebih banyak

menyingkirkan pakaian-pakaian yang tergantung dilakukan untuk

meniadakan tempat-tempat persembunyian nyamuk.

Sektor Nonkesehatan16

Selama ini pengaruh faktor nonkesehatan terhadap penyakit

belum mendapat perhatian yang cukup. Sektor ini meliputi pengaruh

ekonomi, sosial dan sikap mental yang masih berorientasi pada tindakan

emergensi pada saat KLB saja.

Agar program pencegahan dan pengendalian DBD berhasil,

maka sektor non kesehatan dapat dicapai melalui cara-cara sebagai berikut

:

1. Peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat yang terkait dengan

masalah DBD, seperti :

o Sanitasi lingkungan

o Bahaya dan kompilikasi DBD

o Tindakan pengendalian DBD, temasuk pengendalian sarang

nyamuk (PSN )

2. Penyuluhan dapat dilaksanakan melalui pendekatan :

o Massa : TV, radio, pemutaran film

o Kelompok : Kader, Pkk dan lain-lain

o Individu : Puskesmas, RS, lapangan dan rumah ke rumah

15

Page 16: The Suwit's Project Irwan

3. Peningkatan alokasi anggaran dana untuk pencegahan demam berdarah

dengue dan program pengendalian air bak.

4. Pengikutsertaan media massa dalam meningkatkan kewaspadaan

masyarakat terhadap DBD.

5. Program kebersihan lingkungan secara teratur yang dikoordinir ketua-

ketua RW.

6. Kerjasama berkelanjutan antara institusi pemerintah dan organisai

masyarakat untuk memunculkan kewaspadaan terhadap DBD.

7. Pengawasan bangunan-bangunan yang dapat menjadi tempat

perkembangbiakan nyamuk.

16

Page 17: The Suwit's Project Irwan

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah studi cross-sectional dengan metode survei

analitik dengan membandingkan pengetahuan masyarakat tentang demam

berdarah dengue sebelum dan setelah penyuluhan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di posyandu balita Desa A, C, F, G1 dan I

kecamatan Tugumulyo pada tanggal 2-11 Januari 2013.

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah semua ibu-ibu balita di posyandu A, C, F, G1

dan I kecamatan Tugumulyo.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi terjangkau penelitian adalah semua warga di kecamatan

Tugumulyo.

3.4.2 Sampel

Pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling,

semua subyek yang memenuhi criteria inklusi dimasukkan dalam penelitian

hingga jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi (Sastroasmoro).

Kriteria inklusi yang digunakan:

Sampel yang akan diwawancarai adalah ibu-ibu balita di atas 17 tahun.

Tinggal di A, C, F, G1 dan I kecamatan Tugumulyo

17

Page 18: The Suwit's Project Irwan

Kriteria eksklusi adalah:

Tidak bersedia diikutsertakan dalam penelitian

Data tidak lengkap

3.4.3 Besar sampel

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu-ibu balita yang

datang pada posyandu balita sesuai dengan kriteria inklusi.

3.5 Definisi Operasional

1. Sosiodemografi

Data sosiodemografi dari peserta penyuluhan terdiri dari usia,

perkerjaan, dan tempat tinggal.

a. Usia

Usia adalah umur penderita dan akan diklasifikasikan sesuai dengan

formula Sturges:

K = 1 + 3,3 log n

R = umur tertua – umur termuda

I = R / K =Interval

b. Tempat tinggal

Tempat tinggal yaitu alamat tempat tinggal ibu-ibu balita.

c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah tingkatan pendidikan terakhir yang dijalani

ibu-ibu balita peserta penyuluhan.

d. Pekerjaan

Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan oleh ibu-ibu balita peserta

yang bertujuan untuk mendapatkan hasil / pendapatan.

18

Page 19: The Suwit's Project Irwan

2. Pengetahuan Ibu-Ibu balita di posyandu Desa A, C, F, G1 dan I kecamatan

Tugumulyo.

1. Definisi

Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan atau pemahaman

masyarakat tentang DBD, meliputi pengertian DBD, penyebab DBD,

faktor risiko terjadinya DBD dan cara pencegahan.

2. Alat Ukur

Menggunakan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan dengan

kemungkinan menjawab pertanyaan dengan benar atau salah. Diukur

dengan nilai 1 jika menjawab benar dan 0 jika salah.

3. Hasil Ukur

Berdasarkan total skor tingkat pengetahuan yang dikategorikan menurut

Effendi (1992) yaitu:8

a. Kategori Baik dengan nilai 80 – 100% menjawab benar.

b. Kategori Cukup dengan nilai 65 – 79 % menjawab benar.

c. Kategori Kurang bila nilai kurang dari 65 % menjawab benar.

4. Skala : Ordinal.

3.6 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

1. Alat Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner

untuk mengetahui karakteristik responden yang terdiri dari umur, tingkat

pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan masyarakatt di Desa A, C, F, G1

dan I kecamatan Tugumulyo meliputi pengertian DBD, penyebab DBD,

faktor risiko terjadinya DBD dan cara pencegahan DBD. Kuesioner dalam

penelitian ini menggunakan pertanyaan dengan model MCQ (Multiple

Choice Question).

2. Cara Pengambilan Data

Penelitian ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :

19

Page 20: The Suwit's Project Irwan

a. Peneliti mendatangi sampel penelitian yang setuju berpartisipasi

dalam penelitian ini.

b. Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian dan sifat

keikutsertaan dalam sampel penelitian.

c. Peneliti mewawancarai sampel penelitian agar sampel penelitian

menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan.

3.7 Tehnik dan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan tahap sebagi berikut:

a. Editting (penyuntingan)

Editting dalam penelitian ini berupa kegiatan pengecekan pengisian

formulir dari responden telah lengkap, jelas, relevan dan konsisten dengan

penelitian.

b. Coding (Pengkodean)

Tahap pengkodean meliputi kegiatan mengubah data berbentuk huruf

menjadi data berbentuk angka atau bilangan dari hasil wawancara yang

diisikan pada kuesioner. Untuk menjawab variabel pengetahuan diberikan

skor 1 jika jawaban benar dan skor 0 jika jawaban salah, sedangkan

variabel praktek pencegahan, untuk jawaban “ya” diberi skor 1 dan

jawaban “tidak”diberi skor 0.

c. Scoring (Penilaian)

Pada tahap penilaian ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan

skor yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh

peneliti berdasarkan hasil wawancara.

d. Tabulating (Tabulasi)

Kegiatan tabulasi meliputi memasukkan data-data hasil penelitian ke

dalam tabel-tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan berdasarkan

kuesioner yang telah ditentukan skornya.

e. Data Entry (Memasukkan data)

20

Page 21: The Suwit's Project Irwan

Tahap akhir dalam penelitian ini yaitu pemprosesan data dengan

memasukkan data dari kuesioner ke dalam paket program komputer.

2. Analisa Data

Data diolah menggunakan program SPSS dan dianalisis dengan

menggunakan uji marginal homogenenity test.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sosiodemografi

4.1.1 Umur

Distribusi umur menunjukkan peserta penyuluhan banyak pada

kelompok umur 29 – 33 tahun yaitu sebanyak 31 orang dan terendah pada

kelompok umur 44 – 48 tahun. Kelompok umur 19 -23 tahun sebanyak 23

orang, kelompok 24 – 28 tahun sebanyak 28 orang, kelompok 34 – 38

tahun sebanyak 14 orang, kelompok 39 – 43 tahun sebanyak 8 orang dan

kelompok 44 – 48 tahun sebanyak 1 orang dapat dilihat pada table 1.

Tabel 1. Distribusi umur

Umur Frekuensi Persen

19 – 23 23 21.9

24 – 28 28 26.7

29 – 33 31 29.5

34 – 38 14 13.4

39 – 43 8 7.6

44 – 48 1 0.9

Total 105 100.0

4.1.2. Jenis kelamin

Distribusi jenis kelamin peserta menunjukkan seluruh peserta

merupakan wanita dan tidak ada kelompok pria, dapat dilihat pada table 2.

Tabel 2. Distribusi jenis kelamin

Umur Frekuensi Persen

Laki – laki 0 0

21

Page 22: The Suwit's Project Irwan

Perempuan 105 100

Jumlah 105 100

4.1.3. Tempat tinggal

Distribusi tempat tinggal menunjukkan peserta berasal dari

Posyandu Balita Widodo sebanyak 15 orang (14.3%), Posyandu Balita

Nawangsasi sebanyak 27 orang (25.7%), Posyandu Balita Trikoyo

sebanyak 14 orang (13.3 %), Posyandu Balita I Sukomulyo sebanyak 29

orang (27.6%) dan Posyandu Balita G1 Mataram sebanyak 20 orang

(19.1%) dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Tempat Tinggal

Umur Frekuensi Persen

Posyandu Balita A 15 14.3

Posyandu Balita C

Posyandu Balita F

Posyandu Balita I

Posyandu Balita G1

27

14

29

20

25.7

13.3

27.6

19.1

Jumlah 105 100

4.1.4 Pendidikan

Distribusi pendidikan menunjukkan peserta terbanyak

berpendidikan setingkat SMP yaitu sebanyak 43 orang (40.9%) ,

pendidikan setingkat SMA sebanyak 38 orang (36.2%), pendidikan

setingkat SD sebanyak 20 orang (19.1%), pendidikan setingkat perguruan

tinggi sebanyak 1 orang (0.9%) tidak bersekolah sebanyak 3 orang (2.9%)

Tabel 4. Distribusi Pedidikan

Pendidikan Frekuensi Persen

Tidak sekolah 3 2.9SDSMP

2043

19.140.9

SMA 38 36.2Perguruan Tinggi 1 0.9

Total 105 100.0

22

Page 23: The Suwit's Project Irwan

4.1.5 Pekerjaan

Distribusi pekerjaan menunjukkan peserta terbanyak adalah ibu

rumah tangga sebanyak 86 orang (81.9%) ,bekerja sebagai petani

sebanyak 12 orang (11.45), bekerja swata sebanyak 5 orang (4.8%), dan

bekerja sebagai PNS sebanyak 2 orang (1.9%).

Tabel 5. Distribusi Pekerjaan

Pekerjaan Frekuensi Persen

Ibu rumah tangga 86 81.9

PNS 2 1.9

Swasta 5 4.8

Tani 12 11.4

Total 105 100.0%

4.2 Tingkat Pengetahuan Ibu-ibu Sebelum dan Sesudah Penyuluhan PSN

di Posyandu Balita C Nawangsasi

Pada Tabel 7, tampak bahwa sebelum penyuluhan, sebanyak 29.6% warga

memiliki pengetahuan yang baik maupun kurang dan 40.8% yang memiliki

tingkat pengetahuan cukup. Setelah diberikan penyuluhan tingkat pengetahuan

warga meningkat secara bermakna (p = 0,000, marginal homogeneity test dengan

α < 0.05 maka hubungan ini signifikan pada tingkat interval kepercayaan 95%)

yang berarti penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan tentang Demam

Berdarah Dengue, dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Tingkat Pengetahuan Ibu-Ibu Sebelum dan Sesudah Penyuluhan tentang

DBD di Posyandu Balita C Nawangsasi

PenyuluhanTingkat pengetahuan

Baik Cukup Kurang Uji kemaknaan

23

Page 24: The Suwit's Project Irwan

Sebelum 8 11 8

P: 0.000(29.6%) (40.8%) (29.6%)

Sesudah 22 5 0

(81.5%) (18.5%) (0%)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini menunjukkan distribusi kelompok umur terbanyak

adalah kelompok 29 – 33 tahun yaitu sebanyak 31 orang dan terendah pada

kelompok umur 44 – 48 tahun. Distribusi jenis kelamin peserta menunjukkan

seluruh peserta merupakan wanita dan tidak ada kelompok pria. Distribusi

pendidikan menunjukkan peserta terbanyak berpendidikan setingkat SMP.

Distribusi pekerjaan menunjukkan peserta terbanyak adalah ibu rumah tangga.

Kesimpulan didapatkan bahwa tingkat pengetahuan tentang DBD yang

meliputi penyebab dan cara penularan, gejala dan tanda bahaya, pencegahan,

dan pertolongan pertama, meningkat setelah diberikan penyuluhan.

Pengetahuan merupakan faktor penting yang mempengaruhi sikap dan

perilaku sesorang. Kurangnya pengetahuan dapat berpengaruh pada tindakan

yang dilakukan karena pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi

untuk terjadinya perilaku.5-7 Oleh karena itu untuk mendidik masyarakat agar

mempunyai perilaku yang baik, warga perlu diberikan pengetahuan.

Pada penelitian ini, pengetahuan yang diberikan adalah mengenai

penyebab, pencegahan, dan pertolongan pertama. Dengan pengetahuan

tersebut diharapkan warga dapat memahami penyebab, pencegahan, dan

pertolongan pertama sehingga dapat melakukan pemberantasan DBD dengan

benar. Sebelum penyuluhan, hasil survei tingkat pengetahuan warga

menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu ibu di posyandu balita desa C

Nawangsasi tergolong kurang padahal telah diberikan penyuluhan dari tenaga

medis, paramedis puskesmas C Nawangsasi. Hal tersebut dapat dimengerti

karena umumnya warga desa mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dan

24

Page 25: The Suwit's Project Irwan

sosial ekonomi yang kurang. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola

pikir dan daya cerna seseorang terhadap informasi yang diterima. Semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula informasi yang dapat

diserap dan tingginya informasi yang diserap mempengaruhi tingkat

pengetahuannya,demikian juga sebaliknya. Orang yang berpendidikan tinggi

lebih besar kepeduliannya terhadap masalah kesehatan dan peningkatan

pendidikan akan meningkatkan partisipasi warga dalam menjaga kesehatan.

Selain itu metode penyuluhan kurang efektif sehingga informasi penyuluhan

tentang DBD kurang dipahami.

Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan warga meningkat secara

bermakna setelah diberikan penyuluhan yang berarti penyuluhan dapat

meningkatkan pengetahuan warga di lima desa mengenai DBD. Benthem et

al.7 meneliti tingkat pengetahuan masyarakat di Thailand mengenai

pemberantasan dan pencegahan DBD. Hasilnya menunjukkan masyarakat

yang memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai DBD memiliki upaya

pencegahan yang jauh lebih baik. Konraadt et al.8 dan Kittigul et al.9

5.2 Saran

1. Diharapkan petugas kesehatan setempat meningkatkan penyuluhan pada

bulan-bulan rawan Demam Berdarah Dengue yaitu pada bulan April

sampai Mei dan Agustus sampai Septembar yang di titik beratkan pada

masalh 3M.

2. Seluruh masyarakat perlu diikutsertakan dalam pelaksanaan 3M dengan

memanfaatkan organisasi social LKMD, PKK, Pengajian, dan

sebagainya yang ada dikelurahan sehingga mereka akan merasa lebih

bertanggung jawab atas kesehatan diri sendiri dan keluarga.

3. Perlu diadakan dana sehat untuk pelaksanaan 3M dimsyarakat dengan

bimbingan Lurah.

4. Penyuluhan yang ditujukan kepada ibu-ibu rumah tangga, pengelolahan

tempat-tempat umum den penjaga sekolah lebih ditingkatkan.

25

Page 26: The Suwit's Project Irwan

5. Pemberdayaan tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan cara

memberikan fatwa/anjuran/khotbah kepada masyarakat misalnya shalat

jum’at dan kebaktian di gereja, mengenai pentingnya upaya

pencegahan penyakit DBD. Anjuran ini hendaknya dilakukan secara

terus-menerus dengan waktu tidak terlalu lama, sehingga dapat dicerna

dan diamalkan oleh para jemaah

6. Diharapkan petugas kesehatan yang bekerjasama dengan pejabat

pemerintah setempat untuk menggalakkan kembali gerakan “jumat

bersih” di tiap-tiap lokasi baik yang rawan BDB maupun yang tidak

DBD sebagai upaya untuk pencegahan penularan penyakit DBD.

26

Page 27: The Suwit's Project Irwan

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrens R, Carroll B. Dengue infections and travel. British Travel

Health Association Newsletter: Travel wise 1999;4 (Spring):4-5.

2. Gubler DJ, Meltzer M. Impact of dengue/ dengue haemorrhagic fever

on the developing world. Adv Virus Res 1999;53:35-70.

3. Gibbons R & Vaughn D. Dengue: an escalating problem. BMJ

2002;324:1563-6.

4. Laporan Kota Palembang. Laporan Kasus DBD Tahun 2004. Dinkes

Kota Palembang. 2004.

5. World Health Organization. International Travel and Health. Geneva,

2009

6. Profil Kesehatan Republik Indonesia 2009. Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia. Tersedia di:

http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_2009/index.html

7. Effendi (1992) dalam Riswanto (2003). Pemberdayaan Masyarakat

dalam Pencegahan DBD. Banda Aceh : Kafilah Ilmu.

27