Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit viral
arthropod yang paling penting di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
penyakit ini dapat menimbulkan kematian pada penderita dalam kurun waktu
yang sangat cepat dan daerah penyebarannya yang cukup luas.1 Sejak pertama
kali ditemukan pada zaman Dinasti Chin China (65-40 SM) belum ditemukan
obat spesifik untuk penyakit ini.2
Penularan penyakit DBD sering tidak terduga dengan serangan yang
tiba -tiba. Suatu daerah yang bebas DBD dapat segera menjadi daerah
endemik karena adanya pendatang yang membawa virus atau carrier.3
Penyakit ini berpindah dengan cepat karena adanya populasi nyamuk menular
(vektor) yaitu Aedes aegypti dan Aedes Albopictus, kedua jenis nyamuk ini
terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia, kecuali di tempat-tempat
dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas pemukaan air laut.4
Kejadian luar biasa DBD terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 1998,
dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk. Pada tahun 1999,
IR menurun sebesar 10,17% menjadi 31,6. Tahun-tahun berikutnya, angka IR
menjadi lebih kecil, tetapi terjadi peningkatan yang cukup signifikan, yaitu
15,99 (tahun 2000):1,66 (tahun 2001); 19,4 (tahun 2002), dan 3, 87 (tahun
2003).4
Pemberantasan DBD dengan pengobatan tidak efektif dan memerlukan
biaya yang mahal. Sampai saat ini, anti viral dan vaksin DBD belum
ditemukan dan masih dalam penelitian para ahli kesehatan dunia. Oleh karena
itu, perilaku pencegahan DBD merupakan langkah yang paling tepat untuk
memberantas penyakit ini. Pemberantasan sarang nyamuk (breeding places)
oleh masyarakat merupakan cara yang paling efektif, mudah dilaksanakan, dan
murah. Akan tetapi, cara ini memerlukan partisipasi masyarakat secara
menyeluruh.
1
Page 2
Usaha sosialisasi maupun pelaksana program pencegahan DBD
melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dilakukan pemerintah
sebenarnya sudah cukup banyak, misalnya pemberitaan melalui media massa
mengenai abatisasi dan penggalakan program 3M, pemeliharaan ikan tempalo,
dan fogging gratis. Sebagian masyarakat sebenarnya telah melaksanakan
usaha pencegahan yang bersifat individual misalnya penggunaan insektisida
pembunuh nyamuk dan jentik, penggunaan repellent, pemasangan kelambu,
dan kawat anti nyamuk.
Pada kenyataannya, angka kejadian DBD di Indonesia khususnya
Sumatera selatan tetap tinggi yaitu terdapat 158.912 kasus atau prevalensi
sebesar 2.2% dengan jumlah kematian 1.420 orang pada tahun 2009.5
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengapa usaha pencegahan
yang dilakukan oleh masyarakat terasa kurang efektif padahal sosialisasinya
sudah cukup baik dan usaha pencegahannya itu sendiri cukup mudah.
Hambatan ini disebabkan beberapa faktor, misalnya pengetahuan masayarakat
mengenai demam berdarah rendah. Sujono (1991) dalam Kajian Utama Untuk
Memberantas DBD mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat di Indonesia
pada umumnya relatif masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan
sosialisasi berulang mengenai pencegahan DBD. Menurut Ajeng, (1996)
dalam Sosialisasi Pencegahan DBD, penyuluhan tentang pencegahan DBD
harus sering dilakukan agar masyarakat termotivasi untuk ikut berperan serta
dalam upaya-upaya tersebut.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui efektivitas penyuluhan
terhadap tingkat pegetahuan ibu-ibu balita di Posyandu tentang penyakit
Demam Berdarah Dengue. Selain itu juga, penelitian ini dapat digunakan
sebagai refrensi penelitian selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana efek penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan ibu-ibu
balita di Posyandu tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Desa C Nawangsasi,Tugumulyo.
2
Page 3
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui efek penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan ibu-
ibu balita di Posyandu tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Desa C Nawangsasi,Tugumulyo.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui efektivitas penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan
Ibu-ibu Balita di Posyandu Tentang Penyebab Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Desa C Nawangsasi,Tugumulyo.
2. Mengetahui efektivitas penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan
Ibu-ibu Balita di Posyandu Tentang Pencegahan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Desa C Nawangsasi,Tugumulyo.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan
dalam pembelajaran mengenai tingkat pengetahuan ibu-ibu balita
tentang penyebab dan pencegahan DBD.
2. Pelayanan Komunitas
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber acuan dalam
meningkatkan pelayanan Komunitas terutama dalam menangani
masalah tingkat pengetahuan ibu-ibu balitatentang pencegahan DBD.
3. Penelitian Selanjutnya
Hasil Penelitian ini juga dapat digunakan peneliti selanjutnya sebagai
bahan perbandingan dan referensi tambahan terkait dengan faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD).
3
Page 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue mempunyai beberapa definisi, antara lain :
1. Adalah demam virus akut yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti,
disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel
darah putih dan ruam-ruam.6
2. Adalah demam disertai pendarahan bawah kulit, selaput hidung dan
lambung disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui nyamuk Aedes
Aegypty.7
3. Adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi
perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi
darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran
plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS).8
2.2. Sejarah DBD
Sejak tahun 1950an, DBD telah menjadi masalah kesehatan di Asia
Tenggara. Penyakit ini mewabah pertama kali di Filipina pada tahun 1954,
Thailand pada tahun 1958 dan Singapura pada tahun 1960 (Hammon,
1973 dan Kho, 1969). Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di
Surabaya pada tahun 1968 walaupun konfirmasi virologisnya baru didapat
pada tahun 1973, dan kemudian menyebar ke berbagai daerah.6
2.3. Epidemiologi
Dengue telah dilaporkan sejak abad ke-18. Sepanjang periode itu
epidemik terjadi pada interval umur 10-40 tahun di Asia, Afrika, dan
Amerika Utara. Nyamuk Aedes dan virus dengue saling bergantung
transmisi melalui pembuluh darah untuk membawa virus tersebut dari satu
populasi ke populasi lainnya, dan ketika serotype baru ditemukan,
epidemik baru terjadi.9 Ini berarti bahwa terjadi kejadian luar biasa (KLB)
4
Page 5
yang terfokus terutama pada daerah perairan. Epidemiologi dengue
berubah setelah perang dunia kedua, disebabkan peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan urbanisasi dari Asia Tenggara, dimana jutaan orang pindah
ke kota. Pusat urban tumbuh secara cepat, sering dengan kurangnya sistem
perairan dan sistem pembuangan, yang mendukung lingkungan untuk
nyamuk Aedes untuk bertelur.10 Virus dengue menyebar secara cepat dan
penyakit berkembang menjadi pandemik.11 Kota Palembang memiliki
angka kejadian yang tinggi. Terjadi tren peningkatan jumlah penderita
DBD dari tahun 2001-2006, pada tahun 2001 angka kejadian sebesar 816
penderita dan pada tahun 2006 sebanyak 1475 penderita.12
Gambar 1. Sebaran negara terjangkit atau berisiko terjangkit DBD di dunia 2008.13
Penyakit ini sebagian besar menyerang anak berumur < 15 tahun,
namun dapat juga menyerang orang dewasa. Pada tahun 2009, terdapat
158.912 kasus dengan jumlah kematian 1.420 orang. Dengan demikian, IR
DBD pada tahun 2009 adalah 68,22 per 100.000 penduduk dan CFR
sebesar 0,89%. Angka-angka tersebut mengalami peningkatan
5
Page 6
dibandingkan tahun 2008 dengan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk
dan CFR sebesar 0,86%.
Gambar 2. Persentase kabupaten/kota terjangkit DBD di Indonesia tahun 20095
Meskipun CFR tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun 2008,
namun sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, nampak adanya
kecenderungan penurunan CFR. Kecenderungan penurunan tersebut tidak
nampak pada IR per 100.000 penduduk. Angka Insidens (IR) tertinggi
terdapat di Provinsi DKI Jakarta, yaitu 313,41 per 100.000 penduduk,
diikuti oleh Kalimantan Barat sebesar 228,3 per 100.000 penduduk dan
Kalimantan Timur sebesar 173,84 per 100.000 penduduk. Sedangkan IR
terendah di Provinsi NTT sebesar 8,44 dan Jambi sebesar 8,55 per 100.000
penduduk. Provinsi Maluku melaporkan 0 kasus.5
Pada tahun 2009, provinsi dengan CFR tertinggi adalah Kep.
Bangka Belitung sebesar 4,58%, diikuti oleh Bengkulu sebesar 3,08%,
Gorontalo sebesar 2,2%. Sedangkan CFR terendah terdapat di provinsi
Sulawesi Barat, dimana tidak ada kasus meninggal, dan DKI Jakarta
sebesar 0,11%.
6
Page 7
Tabel 1. Incidence rate DBD per 100.000 penduduk di Indonesia tahun 20095
Pola perkembangan DBD pada tahun 2009 secara nasional
menunjukkan terjadinya peningkatan kasus dan kematian DBD
dibandingkan tahun 2008. Puncak peningkatan kasus tahun 2009 terjadi
pada bulan Januari, Februari dan Maret, kemudian kasus menurun kembali
setelah bulan Juli dan mencapai titik terendah pada bulan September,
namun terjadi peningkatan sedikit pada bulan November dan Desember.
Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD sejak tahun 1968 sampai dengan
2009 cenderung mengalami peningkatan seiring dengan terjadinya
pemekaran wilayah di Indonesia. Puncak IR DBD terjadi pada tahun 1973,
1988, 1998 dan 2005. Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD terus
meningkat sampai tahun 1998, dan sedikit menurun di tahun 1999,
kemudian meningkat kembali sampai tahun 2007. Pada tahun 2008 sebesar
73,5% kabupaten/kota terjangkit, sedangkan tahun 2009 tercatat 384
Kabupaten/kota dari 497 Kabupaten/kota yang ada atau sebesar 77,26%.
7
Page 8
2.4. Faktor Risiko
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu :
1. Vektor
a. Perkembangbiakan vektor
Untuk berkembang biak, nyamuk dewasa bertelur di air,
hari pertama langsung menjadi jentik sampai hari ke-4, lalu
menjadi pupa (kepompong), kemudian akan meninggalkan rumah
pupa-nya menjadi nyamuk dewasa. Hanya bertelur di tempat
genangan air jernih dan tidak bersarang di air got dan semacamnya.
Nyamuk aedes dapat berkembang di dalam air bersih yang
menggenang lebih dari lima hari. Dapat berkembang biak di air
dengan volume minimal kira-kira 0.5 sentimeter atau sama dengan
satu sendok teh saja. Siklus perkembangbiakan nyamuk berkisar
antara 10-12 hari. Kemampuan terbangnya antara 40 hingga 100
m.
b. Kebiasaan menggigit
Biasanya pada spesies A. aegypti aktivitas menggigitnya
pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2
jam sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari
tenggelam.
c. Kepadatan vektor di lingkungan
Umur nyamuk betina berkisar antara 2 minggu sampai 3
bulan atau rata-rata 11/2 bulan dan tergantung suhu kelembaban
udara sekelilingnya. Kepadatan nyamuk akan meningkat saat
musim hujan.
d. Transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain
Nyamuk Aedes Aegypty mulanya berasal dari Mesir yang
kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut atau
8
Page 9
udara. Nyamuk hidup dengan baik di belahan dunia yang beriklim
tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika.
2. Pejamu
Semua orang rentan terhadap penyakit ini, anak – anak
biasanya menunjukkan gejala lebih ringan dibandingkan orang
dewasa. Sembuh dari infeksi dengan satu jenis serotipe akan
memberikan imunitas homolog seumur hidup tetapi tidak memberikan
perlindungan terhadap infeksi serotipe lain.
3. Lingkungan
Aedes aegypti umumnya berkembang biak di rumah
penduduk, aedes albopictus lebih suka di cekungan dahan pohon yang
menampung air. Makanya nyamuk jenis ini lebih sering ditemukan di
kebun-kebun.
Setelah ditelusuri, ternyata penyebabnya banyak nyamuk
albopictus terdapat di kebun-kebun warga. Persamaannya, kedua jenis
nyamuk ini sama-sama menyukai air bersih dan nyaris terdapat di
seluruh Indonesia. Kecuali di daerah yang mempunyai ketinggian
lebih dari 1.000 meter di atas permukaan air laut.
2.5. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus Dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam rebonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.1
Terdapat empat serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4 yang semuanya menyebabkan DBD. Keempat serotipe ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat
reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow
fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus.1,6
Dalam laboratorium virus Dengue dapat bereplikasi pada hewan
mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei
9
Page 10
epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus
Dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada arthropoda
menunjukan virus Dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes
(Stegomyia) dan Toxorhynchites.1,7
2.6. Manifestasi Klinis
Petanda penting yang perlu dikenali adalah munculnya demam dan
perdarahan-perdarahan.
1. Demam, penyakit infeksi pada umumnya menunjukkan gejala demam.
Gejala demam pada DBD adalah khas yaitu sifat demamnya tinggi
lebih 38,500C, berlangsung 2-7 hari, tipe demam menyerupai
punggung pelana kuda.
Gejala penyerta selain demam adalah adalah nyeri kepala, pusing,
kelemahan umum, rasa mual, muntah, nyeri otot dan sendi.
2. Perdarahan, petanda penting lain adalah perdarahan-perdarahan mulai
yang sangat ringan yaitu baru positif muncul tanda perdarahan bila
dilakukan uji bendungan, bintik-bintik dan bentol-bentol perdarahan
spontan pada kulit, biru-biru bekas tusukan jarum, epitaksis, gusi
berdarah, sampai perdarahan nyata spontan dan berat muntah darah,
berak darah.
3. Pasien tetap sakit meskipun suhu turun, dan kondisi klinisnya
menyimpang dengan terjadinya kulit lembab, ekstrimitas dingin dan
berkeringat, dan gelisah.
2.7. Derajat
Pembagian derajat DBD menurut WHO (1997). 1,2,3,10
1. Derajat I : Demam mendadak tinggi dengan gejala lain yang
tidak jelas disertai perdarahan pada uji bendungan.
2. Derajat II : Derajat 1 disertai dengan perdarahan spontan biasanya
pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lainnya.
10
Page 11
3. Derajat III : Derajat II disertai tanda-tanda dari kegagalan sirkulasi
ditandai, denyut nadi lemah, cepat dan lemah, tekanan darah rendah,
kulit teraba dingin/lembab serta gelisah.
4. Demam IV : Syok berat, ditandai: nadi lemah dan cepat, tekanan
darah menyempit, kulit dingin, lembab, dan hipotensi.
2.8. Kriteria Diagnosis
Karena luasnya variasi dari manifestasi klinis DBD, maka WHO
membuat kriteria diagnosis DBD (1997), yaitu diagnosis dugaan DBD
berdasarkan kriteria-kriteria berikut.
1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak dan berlangsung terus-menerus selama
2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Pada umumnya demam akan
menurun pada hari ke-3 sampai hari ke-4 yang kemudian
meningkat lagi pada hari ke-5 sampai ke-6, menunjukkan
gambaran grafik suhu badan seperti pelana kuda.2,9
b. Manifestasi perdarahan : Uji bendungan/tourniquet positif,
petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan saluran cerna (hematemesis-melena), hematuria.1,2,8
c. Hepatomegali.1,2
d. Syok : nadi kecil, cepat, lemah, sampai tidak teraba, penurunan
tekanan darah, kulit teraba dingin, lembab terutama di daerah
akral seperti ujung kaki, jari, hidung, sianosis di sekitar mulut,
ujung jari tangan dan kaki, gelisah.1,2,11
2. Kriteria Laboratorium 1,2
a. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang).
b. Hemokonsentrasi/peningkatan nilai hematokrit 20% atau lebih.
Diagnosis DBD dipastikan dengan pemeriksaan serologi.
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis
adalah hipoalbuminemia, hiponatremia, peningkatan SGOT/SGPT,
limfosit plasma biru (20-50%).
11
Page 12
Diagnosis ditegakkan bila terdapat 2 atau lebih gejala klinis disertai
trombositopenia dengan atau tanpa hemokonsentrasi. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan seroimunologi.
2.9. Penatalaksanaan
Pencegahan dan Pemberantasan Wabah DBD
Sejauh ini usaha-usaha pencegahan yang telah dilakukan dapat
mengurangi mortality rate sebesar 3-4%, tetapi kecenderungan kejadian
DBD justru menunjukan peningkatan. Karena itu, dibutuhkan peningkatan
usaha-usaha pencegahan untuk mengatasi masalah DBD yang meliputi
sektor kesehatan dan sektor non kesehatan1.
Sektor Kesehatan
Diagnosa dan perawatan yang cepat dan tepat memang penting
dalam upaya mencegah dengue shock sysndrome (DSS) yang berisiko
tinggi menyebabkan kematian14. Akan tetapi, lebih penting lagi
mengurangi insiden DBD memalui prosedur dan implementasi yang tepat.
Sesuai dengan slogan “mencegah lebih baik daripada mengobati” maka
usaha pencegahan lebih baik dikedepankan daripada tindakan yang
dilakukan hanya pada situasi darurat atau pada saat penyakit telah
menyerang. Di Indonesia usaha pengendalian Aedes aegypti dilakukan
melaui metode pengendalian kimia, pengendalian fisik, pengendalian
biologis dan perlindungan perorangan15.
1. Perlindungan kimia
Metode ini menggunakan insektisida untuk menekan populasi
nyamuk Aedes aegypti melalui cara antara lain:
Membunuh larva dengan menggunakan
bubuk abate yang dibubuhkan pada tempat penyimpanan air
dengan dosis 1 pp, (part per million), yaitu 10 gram untuk 100 liter
air.
Setelah dibubuhkan abate maka:
12
Page 13
1. Selama 3 bulan bubuk abate dalam air tersebut mampu
membunuh jentik Aedes aegypti.
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan
dibersihkan/diganti airnya, hendaknya jangan menyikat
bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut.
3. Air yang telah dibubuhi abate dengan takaran yang benar,
tidak membahayakan dan tetap aman bila air tersebut
diminum.
Melakukan fogging dengan malthion atau fenitrotion dalam dosis
438 gr/ha; dilakukan di dalam rumah dan di sekitar rumah dengan
menggunakan larutan 4% dalam solar atau minyak tanah. Fogging
ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa. Tindakan
pengendalian secara kimia memang terbukti dapat menekan
populasi nyamuk Aedes Aegypti, namun hal tersebut
membutuhkan biaya yang cukup tinggi apabila dilakukan secara
terus menerus. Untuk itu, tindakan ini sebaiknya dilaksanakan
beberapa saat sebelum mulainya masa penularanan yang
diperkirakan. Saat yang cocok di Indonesia ialah pada permulaan
musin hujan atau segera sebelum mulainya musim hujan dengan
memberikan prioritas pada daerah dengan kepadatan vektor
tertinggi disertai riwayat adanya wabah DBD pada masa-masa
sebelumnya.
Selain pertimbangan biaya, penggunaan dosis pada
pengendalian kimia harus diperhatikan karena penggunaan dosis
yang kurang tepat dapat menimbulkan resistensi nyamuk terhadap
insektisida.
2. Pengendalian Fisik
Pemerintah Indonesia mengeluarkan program pengendalian
sektor DBD yang murah, mudah dan amam. Program ini meliputi
keigiatan-kegiatan yang dikenal dengan singkatan 3M, yaitu :
13
Page 14
Menguras/mengganti air di tempat-tempat penampungan air
yang terbuka, seperti bak mandi, vas bunga, tempat minum
burung dan lain-lain. Penggantian dilakukan seminggu sekali
dangan maksud agar daur hidup nyamuk stadium larva yang
memerlukan 8-10 hari tidak tercapai untuk menjadi dewasa.
Menutup rapat tempat penampungan air yang digunakan untuk
keperluan memasak dan air minum agar nyamuk tidak dapat
memasuk kedalamnya dan meletakan telur.
Mengubur barang-barang bekas yang berpotensi menjadi
termpat bertelur nyamuk diluar rumah apabila terkena air
hujan, seperti kaleng, botol, ban dan lain-lain.
Keberhasilan program PSN membutuhkan partisipasi
masyarakat. Untuk itu perlu dilaksanakan usaha untuk mendorong
masyarakat melalui program pendidikan kepada masyarakat.
Untuk mencegah epidemik DBD berdasarkan UU tahun
1988 tentang pencegahan dan pengendalian penyekit infeksi maka
semua kasus DBD yang terdiagnosa secara klinis wajib dilaporkan
ke kantor Depkes daerah terdekat dalam kurun waktu 4 jam.
Pelaporan ini harus sesegera mungkin dilakukan tanpa harus
menunggu hasil laboratorium, sehingga bisa segera di ambil
tindakan pengendalian di daerah itu. Keterlambatan pelaporan akan
menyebabkan keterlambatan tindakan pencegahan yang
selanjutnya dapat menyebabkan kejadian luar biasa (KLB).
3. Pengendalian Biologis
Metode ini memanfaatkan predator larva untuk membasmi
larva Aedes aegypti seperti ikan pemakan larva, beberapa spesies
bakteri dan cyclopoida. Masyarakat dianjurkan untuk memelihara
ikan tempalo di bak-bak penampungan air. Ikan tempalo dapat
14
Page 15
memakan larva nyamuk sehingga digunakan untuk mencegah
demam berdarah.
4. Perlindungan Perorangan
Metode ini ditujukan untuk mencegah gigitan Aedes aegypti,
antara lain dengan pemasangan kasa penolak nyamuk, penggunaan
mosquito repellent, insektisida aerosol, pemakaian kelambu,
pemakaian pakaian yang cukup melindungi tubuh dan obat nyamuk
bakar. Pemberian sinar matahari langsung yang lebih banyak
menyingkirkan pakaian-pakaian yang tergantung dilakukan untuk
meniadakan tempat-tempat persembunyian nyamuk.
Sektor Nonkesehatan16
Selama ini pengaruh faktor nonkesehatan terhadap penyakit
belum mendapat perhatian yang cukup. Sektor ini meliputi pengaruh
ekonomi, sosial dan sikap mental yang masih berorientasi pada tindakan
emergensi pada saat KLB saja.
Agar program pencegahan dan pengendalian DBD berhasil,
maka sektor non kesehatan dapat dicapai melalui cara-cara sebagai berikut
:
1. Peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat yang terkait dengan
masalah DBD, seperti :
o Sanitasi lingkungan
o Bahaya dan kompilikasi DBD
o Tindakan pengendalian DBD, temasuk pengendalian sarang
nyamuk (PSN )
2. Penyuluhan dapat dilaksanakan melalui pendekatan :
o Massa : TV, radio, pemutaran film
o Kelompok : Kader, Pkk dan lain-lain
o Individu : Puskesmas, RS, lapangan dan rumah ke rumah
15
Page 16
3. Peningkatan alokasi anggaran dana untuk pencegahan demam berdarah
dengue dan program pengendalian air bak.
4. Pengikutsertaan media massa dalam meningkatkan kewaspadaan
masyarakat terhadap DBD.
5. Program kebersihan lingkungan secara teratur yang dikoordinir ketua-
ketua RW.
6. Kerjasama berkelanjutan antara institusi pemerintah dan organisai
masyarakat untuk memunculkan kewaspadaan terhadap DBD.
7. Pengawasan bangunan-bangunan yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk.
16
Page 17
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah studi cross-sectional dengan metode survei
analitik dengan membandingkan pengetahuan masyarakat tentang demam
berdarah dengue sebelum dan setelah penyuluhan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di posyandu balita Desa A, C, F, G1 dan I
kecamatan Tugumulyo pada tanggal 2-11 Januari 2013.
3.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah semua ibu-ibu balita di posyandu A, C, F, G1
dan I kecamatan Tugumulyo.
3.4 Populasi dan Sampel
3.4.1 Populasi
Populasi terjangkau penelitian adalah semua warga di kecamatan
Tugumulyo.
3.4.2 Sampel
Pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling,
semua subyek yang memenuhi criteria inklusi dimasukkan dalam penelitian
hingga jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi (Sastroasmoro).
Kriteria inklusi yang digunakan:
Sampel yang akan diwawancarai adalah ibu-ibu balita di atas 17 tahun.
Tinggal di A, C, F, G1 dan I kecamatan Tugumulyo
17
Page 18
Kriteria eksklusi adalah:
Tidak bersedia diikutsertakan dalam penelitian
Data tidak lengkap
3.4.3 Besar sampel
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu-ibu balita yang
datang pada posyandu balita sesuai dengan kriteria inklusi.
3.5 Definisi Operasional
1. Sosiodemografi
Data sosiodemografi dari peserta penyuluhan terdiri dari usia,
perkerjaan, dan tempat tinggal.
a. Usia
Usia adalah umur penderita dan akan diklasifikasikan sesuai dengan
formula Sturges:
K = 1 + 3,3 log n
R = umur tertua – umur termuda
I = R / K =Interval
b. Tempat tinggal
Tempat tinggal yaitu alamat tempat tinggal ibu-ibu balita.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah tingkatan pendidikan terakhir yang dijalani
ibu-ibu balita peserta penyuluhan.
d. Pekerjaan
Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan oleh ibu-ibu balita peserta
yang bertujuan untuk mendapatkan hasil / pendapatan.
18
Page 19
2. Pengetahuan Ibu-Ibu balita di posyandu Desa A, C, F, G1 dan I kecamatan
Tugumulyo.
1. Definisi
Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan atau pemahaman
masyarakat tentang DBD, meliputi pengertian DBD, penyebab DBD,
faktor risiko terjadinya DBD dan cara pencegahan.
2. Alat Ukur
Menggunakan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan dengan
kemungkinan menjawab pertanyaan dengan benar atau salah. Diukur
dengan nilai 1 jika menjawab benar dan 0 jika salah.
3. Hasil Ukur
Berdasarkan total skor tingkat pengetahuan yang dikategorikan menurut
Effendi (1992) yaitu:8
a. Kategori Baik dengan nilai 80 – 100% menjawab benar.
b. Kategori Cukup dengan nilai 65 – 79 % menjawab benar.
c. Kategori Kurang bila nilai kurang dari 65 % menjawab benar.
4. Skala : Ordinal.
3.6 Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
1. Alat Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
untuk mengetahui karakteristik responden yang terdiri dari umur, tingkat
pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan masyarakatt di Desa A, C, F, G1
dan I kecamatan Tugumulyo meliputi pengertian DBD, penyebab DBD,
faktor risiko terjadinya DBD dan cara pencegahan DBD. Kuesioner dalam
penelitian ini menggunakan pertanyaan dengan model MCQ (Multiple
Choice Question).
2. Cara Pengambilan Data
Penelitian ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
19
Page 20
a. Peneliti mendatangi sampel penelitian yang setuju berpartisipasi
dalam penelitian ini.
b. Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian dan sifat
keikutsertaan dalam sampel penelitian.
c. Peneliti mewawancarai sampel penelitian agar sampel penelitian
menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan.
3.7 Tehnik dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan tahap sebagi berikut:
a. Editting (penyuntingan)
Editting dalam penelitian ini berupa kegiatan pengecekan pengisian
formulir dari responden telah lengkap, jelas, relevan dan konsisten dengan
penelitian.
b. Coding (Pengkodean)
Tahap pengkodean meliputi kegiatan mengubah data berbentuk huruf
menjadi data berbentuk angka atau bilangan dari hasil wawancara yang
diisikan pada kuesioner. Untuk menjawab variabel pengetahuan diberikan
skor 1 jika jawaban benar dan skor 0 jika jawaban salah, sedangkan
variabel praktek pencegahan, untuk jawaban “ya” diberi skor 1 dan
jawaban “tidak”diberi skor 0.
c. Scoring (Penilaian)
Pada tahap penilaian ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan
skor yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh
peneliti berdasarkan hasil wawancara.
d. Tabulating (Tabulasi)
Kegiatan tabulasi meliputi memasukkan data-data hasil penelitian ke
dalam tabel-tabel sesuai kriteria yang telah ditentukan berdasarkan
kuesioner yang telah ditentukan skornya.
e. Data Entry (Memasukkan data)
20
Page 21
Tahap akhir dalam penelitian ini yaitu pemprosesan data dengan
memasukkan data dari kuesioner ke dalam paket program komputer.
2. Analisa Data
Data diolah menggunakan program SPSS dan dianalisis dengan
menggunakan uji marginal homogenenity test.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sosiodemografi
4.1.1 Umur
Distribusi umur menunjukkan peserta penyuluhan banyak pada
kelompok umur 29 – 33 tahun yaitu sebanyak 31 orang dan terendah pada
kelompok umur 44 – 48 tahun. Kelompok umur 19 -23 tahun sebanyak 23
orang, kelompok 24 – 28 tahun sebanyak 28 orang, kelompok 34 – 38
tahun sebanyak 14 orang, kelompok 39 – 43 tahun sebanyak 8 orang dan
kelompok 44 – 48 tahun sebanyak 1 orang dapat dilihat pada table 1.
Tabel 1. Distribusi umur
Umur Frekuensi Persen
19 – 23 23 21.9
24 – 28 28 26.7
29 – 33 31 29.5
34 – 38 14 13.4
39 – 43 8 7.6
44 – 48 1 0.9
Total 105 100.0
4.1.2. Jenis kelamin
Distribusi jenis kelamin peserta menunjukkan seluruh peserta
merupakan wanita dan tidak ada kelompok pria, dapat dilihat pada table 2.
Tabel 2. Distribusi jenis kelamin
Umur Frekuensi Persen
Laki – laki 0 0
21
Page 22
Perempuan 105 100
Jumlah 105 100
4.1.3. Tempat tinggal
Distribusi tempat tinggal menunjukkan peserta berasal dari
Posyandu Balita Widodo sebanyak 15 orang (14.3%), Posyandu Balita
Nawangsasi sebanyak 27 orang (25.7%), Posyandu Balita Trikoyo
sebanyak 14 orang (13.3 %), Posyandu Balita I Sukomulyo sebanyak 29
orang (27.6%) dan Posyandu Balita G1 Mataram sebanyak 20 orang
(19.1%) dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Tempat Tinggal
Umur Frekuensi Persen
Posyandu Balita A 15 14.3
Posyandu Balita C
Posyandu Balita F
Posyandu Balita I
Posyandu Balita G1
27
14
29
20
25.7
13.3
27.6
19.1
Jumlah 105 100
4.1.4 Pendidikan
Distribusi pendidikan menunjukkan peserta terbanyak
berpendidikan setingkat SMP yaitu sebanyak 43 orang (40.9%) ,
pendidikan setingkat SMA sebanyak 38 orang (36.2%), pendidikan
setingkat SD sebanyak 20 orang (19.1%), pendidikan setingkat perguruan
tinggi sebanyak 1 orang (0.9%) tidak bersekolah sebanyak 3 orang (2.9%)
Tabel 4. Distribusi Pedidikan
Pendidikan Frekuensi Persen
Tidak sekolah 3 2.9SDSMP
2043
19.140.9
SMA 38 36.2Perguruan Tinggi 1 0.9
Total 105 100.0
22
Page 23
4.1.5 Pekerjaan
Distribusi pekerjaan menunjukkan peserta terbanyak adalah ibu
rumah tangga sebanyak 86 orang (81.9%) ,bekerja sebagai petani
sebanyak 12 orang (11.45), bekerja swata sebanyak 5 orang (4.8%), dan
bekerja sebagai PNS sebanyak 2 orang (1.9%).
Tabel 5. Distribusi Pekerjaan
Pekerjaan Frekuensi Persen
Ibu rumah tangga 86 81.9
PNS 2 1.9
Swasta 5 4.8
Tani 12 11.4
Total 105 100.0%
4.2 Tingkat Pengetahuan Ibu-ibu Sebelum dan Sesudah Penyuluhan PSN
di Posyandu Balita C Nawangsasi
Pada Tabel 7, tampak bahwa sebelum penyuluhan, sebanyak 29.6% warga
memiliki pengetahuan yang baik maupun kurang dan 40.8% yang memiliki
tingkat pengetahuan cukup. Setelah diberikan penyuluhan tingkat pengetahuan
warga meningkat secara bermakna (p = 0,000, marginal homogeneity test dengan
α < 0.05 maka hubungan ini signifikan pada tingkat interval kepercayaan 95%)
yang berarti penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan tentang Demam
Berdarah Dengue, dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Pengetahuan Ibu-Ibu Sebelum dan Sesudah Penyuluhan tentang
DBD di Posyandu Balita C Nawangsasi
PenyuluhanTingkat pengetahuan
Baik Cukup Kurang Uji kemaknaan
23
Page 24
Sebelum 8 11 8
P: 0.000(29.6%) (40.8%) (29.6%)
Sesudah 22 5 0
(81.5%) (18.5%) (0%)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini menunjukkan distribusi kelompok umur terbanyak
adalah kelompok 29 – 33 tahun yaitu sebanyak 31 orang dan terendah pada
kelompok umur 44 – 48 tahun. Distribusi jenis kelamin peserta menunjukkan
seluruh peserta merupakan wanita dan tidak ada kelompok pria. Distribusi
pendidikan menunjukkan peserta terbanyak berpendidikan setingkat SMP.
Distribusi pekerjaan menunjukkan peserta terbanyak adalah ibu rumah tangga.
Kesimpulan didapatkan bahwa tingkat pengetahuan tentang DBD yang
meliputi penyebab dan cara penularan, gejala dan tanda bahaya, pencegahan,
dan pertolongan pertama, meningkat setelah diberikan penyuluhan.
Pengetahuan merupakan faktor penting yang mempengaruhi sikap dan
perilaku sesorang. Kurangnya pengetahuan dapat berpengaruh pada tindakan
yang dilakukan karena pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi
untuk terjadinya perilaku.5-7 Oleh karena itu untuk mendidik masyarakat agar
mempunyai perilaku yang baik, warga perlu diberikan pengetahuan.
Pada penelitian ini, pengetahuan yang diberikan adalah mengenai
penyebab, pencegahan, dan pertolongan pertama. Dengan pengetahuan
tersebut diharapkan warga dapat memahami penyebab, pencegahan, dan
pertolongan pertama sehingga dapat melakukan pemberantasan DBD dengan
benar. Sebelum penyuluhan, hasil survei tingkat pengetahuan warga
menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu ibu di posyandu balita desa C
Nawangsasi tergolong kurang padahal telah diberikan penyuluhan dari tenaga
medis, paramedis puskesmas C Nawangsasi. Hal tersebut dapat dimengerti
karena umumnya warga desa mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dan
24
Page 25
sosial ekonomi yang kurang. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola
pikir dan daya cerna seseorang terhadap informasi yang diterima. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula informasi yang dapat
diserap dan tingginya informasi yang diserap mempengaruhi tingkat
pengetahuannya,demikian juga sebaliknya. Orang yang berpendidikan tinggi
lebih besar kepeduliannya terhadap masalah kesehatan dan peningkatan
pendidikan akan meningkatkan partisipasi warga dalam menjaga kesehatan.
Selain itu metode penyuluhan kurang efektif sehingga informasi penyuluhan
tentang DBD kurang dipahami.
Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan warga meningkat secara
bermakna setelah diberikan penyuluhan yang berarti penyuluhan dapat
meningkatkan pengetahuan warga di lima desa mengenai DBD. Benthem et
al.7 meneliti tingkat pengetahuan masyarakat di Thailand mengenai
pemberantasan dan pencegahan DBD. Hasilnya menunjukkan masyarakat
yang memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai DBD memiliki upaya
pencegahan yang jauh lebih baik. Konraadt et al.8 dan Kittigul et al.9
5.2 Saran
1. Diharapkan petugas kesehatan setempat meningkatkan penyuluhan pada
bulan-bulan rawan Demam Berdarah Dengue yaitu pada bulan April
sampai Mei dan Agustus sampai Septembar yang di titik beratkan pada
masalh 3M.
2. Seluruh masyarakat perlu diikutsertakan dalam pelaksanaan 3M dengan
memanfaatkan organisasi social LKMD, PKK, Pengajian, dan
sebagainya yang ada dikelurahan sehingga mereka akan merasa lebih
bertanggung jawab atas kesehatan diri sendiri dan keluarga.
3. Perlu diadakan dana sehat untuk pelaksanaan 3M dimsyarakat dengan
bimbingan Lurah.
4. Penyuluhan yang ditujukan kepada ibu-ibu rumah tangga, pengelolahan
tempat-tempat umum den penjaga sekolah lebih ditingkatkan.
25
Page 26
5. Pemberdayaan tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan cara
memberikan fatwa/anjuran/khotbah kepada masyarakat misalnya shalat
jum’at dan kebaktian di gereja, mengenai pentingnya upaya
pencegahan penyakit DBD. Anjuran ini hendaknya dilakukan secara
terus-menerus dengan waktu tidak terlalu lama, sehingga dapat dicerna
dan diamalkan oleh para jemaah
6. Diharapkan petugas kesehatan yang bekerjasama dengan pejabat
pemerintah setempat untuk menggalakkan kembali gerakan “jumat
bersih” di tiap-tiap lokasi baik yang rawan BDB maupun yang tidak
DBD sebagai upaya untuk pencegahan penularan penyakit DBD.
26
Page 27
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrens R, Carroll B. Dengue infections and travel. British Travel
Health Association Newsletter: Travel wise 1999;4 (Spring):4-5.
2. Gubler DJ, Meltzer M. Impact of dengue/ dengue haemorrhagic fever
on the developing world. Adv Virus Res 1999;53:35-70.
3. Gibbons R & Vaughn D. Dengue: an escalating problem. BMJ
2002;324:1563-6.
4. Laporan Kota Palembang. Laporan Kasus DBD Tahun 2004. Dinkes
Kota Palembang. 2004.
5. World Health Organization. International Travel and Health. Geneva,
2009
6. Profil Kesehatan Republik Indonesia 2009. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Tersedia di:
http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_2009/index.html
7. Effendi (1992) dalam Riswanto (2003). Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pencegahan DBD. Banda Aceh : Kafilah Ilmu.
27