Top Banner
THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE TELEVISION DRAMA HANA NOCHI HARE Elmira Fanadia Azka, Rouli Esther Pasaribu Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected], [email protected] Abstract Fairy tales have positive benefits to spread educational and moral values to society. However, most fairy tales have the same pattern, weakening women's position and strengthening men's, such as the Cinderella tale. This study aims to find differences from the drama Hana Nochi Hare which was adapted from the fairy tale of Cinderella. This study will use adaptation theory from Linda Hutcheon (2006) with descriptive analysis methods and feminist perspective reading. From the results of the analysis, there were two major differences in the fairy tales and the drama, the potrayal of the female lead character and the relations between female and male characters. Hana Nochi Hare featured the lead character as a "Feminist Cinderella" who tries to break the order and restrictions on gender in Cinderella fairy tales and offers a new gender relations between male and female character, in which the female character is the one who saved the male character. Linked to gender issues in Japan during the drama production year, the television drama Hana Nochi Hare can be seen as a reflection of Japanese patriarchal society nowadays. Keywords: Fairy tales; Cinderella; Adaptation; Television Drama; Feminism 1. PENDAHULUAN Wacana tentang gender kini masih ramai dibahas dalam berbagai waktu dan kesempatan. Perbedaan antara kedudukan dan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan menimbulkan adanya ketidaksetaraan gender. Sebagai contoh, kata-kata ”Bapak bekerja, Ibu memasak” dan “Bapak ke sawah, Ibu ke pasar” yang kerap menghiasi buku-buku pelajaran siswa sekolah dasar secara tidak langsung telah membentuk konstruksi sosial berupa pembatasan terhadap posisi laki- laki dan perempuan di kehidupan nyata. Salah satu contoh pembatasan tersebut tercermin pada dongeng. Menurut Kamisa (1997: 144), dongeng berfungsi untuk menyampaikan ajaran moral yang mendidik dan juga menghibur. Dongeng dipercaya memiliki manfaat positif dalam memberikan nilai edukasi dan moral pada masyarakat, terutama pada anak-anak. Namun apabila melihat pola cerita dongeng-dongeng terkenal seperti Cinderella, Sleeping Beauty, dan Snow White, dapat dilihat alur yang relatif sama dan muncul berulang-ulang. Cerita selalu berawal dari munculnya putri cantik dan baik hati yang hidup sengsara karena ulah ibu tiri atau penyihir, pada akhirnya diselamatkan oleh pangeran tampan yang akhirnya menikahi putri cantik tersebut. Menurut Setiawan dkk (2013: 2) apabila dikaji dalam studi gender, pola tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari institusionalisasi dari domestifikasi perempuan. Karakter perempuan yang cantik, lemah, dan lembut yang dianggap sebagai kriteria perempuan idaman mendapat banyak kritikan karena melemahkan perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan domestik. Hal ini diperkuat dengan munculnya peran tokoh laki-laki dalam dongeng yang digambarkan tampan, kuat, dan menjadi penyelamat perempuan. Secara tidak langsung, hal ini menyiratkan bahwa perempuan harus selalu bergantung pada kaum laki-laki untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidupnya. UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019 International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 25
17

THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Nov 30, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY

IN JAPANESE TELEVISION DRAMA HANA NOCHI HARE

Elmira Fanadia Azka, Rouli Esther Pasaribu

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

[email protected], [email protected]

Abstract

Fairy tales have positive benefits to spread educational and moral values to society. However,

most fairy tales have the same pattern, weakening women's position and strengthening men's,

such as the Cinderella tale. This study aims to find differences from the drama Hana Nochi Hare

which was adapted from the fairy tale of Cinderella. This study will use adaptation theory from

Linda Hutcheon (2006) with descriptive analysis methods and feminist perspective reading. From

the results of the analysis, there were two major differences in the fairy tales and the drama,

the potrayal of the female lead character and the relations between female and male characters.

Hana Nochi Hare featured the lead character as a "Feminist Cinderella" who tries to break the

order and restrictions on gender in Cinderella fairy tales and offers a new gender relations

between male and female character, in which the female character is the one who saved the male

character. Linked to gender issues in Japan during the drama production year, the television

drama Hana Nochi Hare can be seen as a reflection of Japanese patriarchal society nowadays.

Keywords: Fairy tales; Cinderella; Adaptation; Television Drama; Feminism

1. PENDAHULUAN

Wacana tentang gender kini masih ramai dibahas dalam berbagai waktu dan kesempatan.

Perbedaan antara kedudukan dan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan menimbulkan

adanya ketidaksetaraan gender. Sebagai contoh, kata-kata ”Bapak bekerja, Ibu memasak” dan

“Bapak ke sawah, Ibu ke pasar” yang kerap menghiasi buku-buku pelajaran siswa sekolah dasar

secara tidak langsung telah membentuk konstruksi sosial berupa pembatasan terhadap posisi laki-

laki dan perempuan di kehidupan nyata.

Salah satu contoh pembatasan tersebut tercermin pada dongeng. Menurut Kamisa (1997:

144), dongeng berfungsi untuk menyampaikan ajaran moral yang mendidik dan juga menghibur.

Dongeng dipercaya memiliki manfaat positif dalam memberikan nilai edukasi dan moral pada

masyarakat, terutama pada anak-anak. Namun apabila melihat pola cerita dongeng-dongeng

terkenal seperti Cinderella, Sleeping Beauty, dan Snow White, dapat dilihat alur yang relatif sama

dan muncul berulang-ulang. Cerita selalu berawal dari munculnya putri cantik dan baik hati yang

hidup sengsara karena ulah ibu tiri atau penyihir, pada akhirnya diselamatkan oleh pangeran

tampan yang akhirnya menikahi putri cantik tersebut. Menurut Setiawan dkk (2013: 2) apabila

dikaji dalam studi gender, pola tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari institusionalisasi

dari domestifikasi perempuan. Karakter perempuan yang cantik, lemah, dan lembut yang

dianggap sebagai kriteria perempuan idaman mendapat banyak kritikan karena melemahkan

perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan domestik. Hal ini diperkuat

dengan munculnya peran tokoh laki-laki dalam dongeng yang digambarkan tampan, kuat, dan

menjadi penyelamat perempuan. Secara tidak langsung, hal ini menyiratkan bahwa perempuan

harus selalu bergantung pada kaum laki-laki untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan

dalam hidupnya.

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 25

Page 2: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Salah satu dongeng terkenal dengan pola tersebut adalah Cinderella. Sejak zaman Yunani

kuno, Cinderella telah berkembang di Eropa dengan berbagai versi. Penulis yang pertama kali

membuat versi yang baku mengenai Cinderella adalah Giambattista Basile dalam bukunya The

Pentamerone (the Story of Stories) dengan judul Cenerentola (1634). Pada tahun 1697, kisah

Cinderella dimuat kembali oleh penulis dari Prancis, Charles Perrault dalam Histories ou Contes

du Temps Passe (The Tales of Mother Goose) dengan judul The Little Glass Slipper. Seterusnya,

banyak bermunculan Cinderella-Cinderella versi lainnya seperti karya Grimm Brothers, Hans

Christian Andersen, dan Oster Wilde, namun Cinderella versi Charles Perrault -dengan ibu peri

dan sepatu kaca- inilah yang paling banyak diketahui oleh masyarakat. Versi ini kemudian

diangkat ke layar lebar oleh Disney pada tahun 1950 dengan judul Cinderella.

Seiring berkembangnya zaman, Cinderella mengalami beberapa kali penulisan ulang.

Beberapa penyesuaian dilakukan terhadap unsur-unsur di dalam cerita agar dapat dikonsumsi oleh

berbagai kalangan pembaca. Karen Rowe (1979) menyatakan dongeng Cinderella berdampak

negatif pada sosialisasi dan akulturasi perempuan, dengan membawa keyakinan bahwa hanya

kepasifan dan kecantikan perempuanlah yang dihargai dalam masyarakat. Kesadaran terebut yang

mengundang penulis-penulis untuk membuat feminist retelling atau penulisan ulang sebagai kritik

feminis dari dongeng Cinderella.

Selain itu, perkembangan teknologi juga membuka peluang penulisan ulang ke medium-

medium baru, salah satunya adalah adaptasi ke layar lebar. Misalnya film Working Girl (1988)

tentang Cinderella di zaman modern, digambarkan sebagai seorang sekretaris yang dieksploitasi

di tempat kerjanya, namun akhirnya menjadi eksekutif di perusahaannya. Pada film, mendapatkan

hati tokoh pangeran tidak dilihat sebagai tujuan utama tokoh Cinderella. Contoh lainnya yaitu

film Ever After: A Cinderella Story (1998) yang menceritakan tentang Danielle, tokoh Cinderella

yang bertentangan dengan Cinderella di dongeng, Danielle lah yang menyelamatkan dirinya

sendiri dari keluarganya yang jahat dan menyelamatkan pangerannya dari musuh.

Dongeng Cinderella tersebar di seluruh penjuru dunia. Begitu pula di Jepang, Cinderella

sangat populer di tengah masyarakatnya. Nama Cinderella muncul pada manga, film, buku, dan

berbagai bentuk budaya populer lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, dalam

salah satu episode animenya, Hello Kitty berperan sebagai Cinderella (Tsuji, 1989). Banyak lagu-

lagu yang bertemakan Cinderella seperti Cinderella Summer oleh Ishikawa Yuko dan Cinderella

Christmas oleh Kinki Kids. Beberapa manga atau komik Jepang juga menggunakan Cinderella

dalam judulnya, seperti Cinderella Express (Matsumoto, 1984) dan Cinderella’s Stairs

(Kurebayashi, 2007). Miller (2008) melihat Cinderella dikaitkan dengan perempuan mencapai

impiannya akan cinta atau kesuksesan. Ia juga mendapati bahwa Cinderella masih dianggap

simbol kecantikan di Jepang, dibuktikan dari industri kecantikan yang menawarkan ‘kecantikan

sperti Cinderella’ dari produknya.

Masyarakat Jepang masih menganut budaya patriarki yang kental. Berdasarkan laporan

indeks gender gap pada bulan November 2017, kesetaraan gender di Jepang menempati posisi ke-

114 dari total 149 negara1. Pada survei yang sama pada bulan Desember tahun 2018, posisi Jepang

mengalami kenaikan menjadi posisi ke-1102, namun masih tetap menjadi negara yang kesetaraan

gendernya paling rendah di antara negara G7, tujuh negara yang memiliki industri paling kuat di

dunia. Hal ini membuktikan bahwa meskipun sudah menjadi negara yang maju, isu gender masih

menjadi masalah di Jepang.

Berangkat dari rendahnya kesetaraan gender tersebut, beberapa drama Jepang modern

setelah tahun 2000an membahas isu-isu gender. Seigi no Mikata (NTV, 2008) menceritakan

1 The Global Gender Gap Report 2017. World Economic Forum: https://www.weforum.org/reports/the-

global-gender-gap-report-2017 2 The Global Gender Gap Report 2018. World Economic Forum: https://www.weforum.org/reports/the-

global-gender-gap-report-2018

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 26

Page 3: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

tentang seorang wanita lulusan Universitas Tokyo dan bekerja di lembaga pemerintahan, Makiko,

yang superior terhadap keluarga dan suaminya. Selain itu drama Ohitorisama (TBS, 2009)

menceritakan tentang tokoh utama perempuannya, Satomi, seorang wanita karir yang bertemu

dengan Shinichi, laki-laki freeter 3 yang pandai memasak dan membersihkan rumah,

berkebalikan dengan Satomi. Selanjutnya drama Unnatural (TBS, 2018), menceritakan tentang

seorang dokter patologi perempuan yang kerap mendapat diskriminasi dari rekan-rekan kerja di

bidangnya yang kebanyakan adalah laki-laki. Sebagian besar drama-drama yang membahas isu

gender bertemakan realita pada dunia kerja atau rumah tangga, namun isu gender sangat jarang

dibahas pada drama televisi untuk anak-anak maupun remaja.

Berbeda dari drama-drama televisi Jepang yang sudah disebutkan, drama Hana Nochi

Hare: HanaDan Next Season (TBS, 2018) dapat dilihat sebagai karya adaptasi berperspektif

feminis dari dongeng Cinderella dengan latar kehidupan remaja di sekolah. Drama dengan total

11 episode ini diangkat dari manga4 dengan judul yang sama karya Kamio Yoko yang diterbitkan

tahun 2015. Drama ini mengisahkan tentang Edogawa Oto, seorang siswi di SMA bergengsi untuk

kaum borjuis, Eitoku Gakuen. Suatu hari perusahaan keluarganya mengalami kebangkrutan dan

hidupnya berubah 180 derajat. Sementara ayahnya bekerja jauh dari rumah untuk menebus hutang,

Oto bekerja paruh waktu, menggantikan peran ayahnya untuk menghidupi ibunya dan dirinya

sendiri. Oto bertunangan dengan Hase Tenma, teman masa kecilnya yang berasal dari keluarga

kaya sekaligus ketua OSIS di Momonozono Academy, sekolah rival Eitoku Gakuen. Pertunangan

tersebut tetap berlaku walau keluarga Oto telah jatuh miskin, namun dengan syarat Oto harus

tetap bersekolah di Eitoku Gakuen. Demi memenuhi ekspektasi ibunya untuk mengubah nasib

mereka, Oto menyanggupinya. Selain menampilkan tokoh utamanya sebagai sosok Cinderella

yang kuat dan mandiri, ide penceritaan kembali dongeng Cinderella dalam drama juga tercermin

dalam lagu pembuka drama yang berjudul Cinderella Girl, dinyanyikan oleh grup idola laki-laki

King & Prince (dirilis Mei 2018).

Gambar 1.1 Poster Drama Hana Nochi Hare

Sesuai judul lengkapnya, Hana Nochi Hare: HanaDan Next Season adalah sekuel dari

drama Hana Yori Dango yang populer pada tahun 2005, ditulis oleh pengarang yang sama.

Meskipun disebut sekuel, Hana Nochi Hare memiliki cerita yang berbeda dan hanya mengambil

3 Kaum muda Jepang berusia antara 15 sampai 34 tahun yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan bekerja

paruh waktu 4 Manga (漫画 manga) adalah komik atau cerita bergambar dari Jepang, dengan gaya penggambaran

yang dikembangkan di Jepang mulai abad ke-19

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 27

Page 4: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

latar yang sama yaitu Eitoku Gakuen, dengan selang waktu 10 tahun sejak tokoh utama di Hana

Yori Dango lulus. Meneruskan kesuksesan Hana Yori Dango, berdasarkan survei yang dilakukan

modelpress, drama Hana Nochi Hare ini pun menduduki peringkat ke-3 drama yang paling

diminati pada tahun 2018.5

Penelitian yang menganalisis drama Hana Nochi Hare belum pernah dilakukan

sebelumnya. Namun, terdapat penelitian terdahulu yang membahas isu-isu gender dalam drama

Jepang. Poerwandari, Thouars, dan Hirano (2014) serta Fiqoh (2018) mengkaji konstruksi gender

dalam drama-drama Jepang, yaitu Anego, Jotei, Magerarenai Onna, Ohitorisama, Freeter Ie O

Kau, dan Higanbana: Onnatachi no Hanzai Fairu, dan ditemukan bahwa mayoritas perempuan

Jepang masih terjebak dalam stereotip peran-peran feminin, ketika perempuan berupaya

membebaskan diri dan mencoba mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas, mereka harus

dihadapkan dengan berbagai penderitaan dan tantangan. Drama-drama tersebut menawarkan

konstruksi ideologi dan relasi gender yang berbeda, di mana perempuan dan laki-laki dapat

mengembangkan kemitraan yang lebih setara, serta relasi seksual yang lebih bebas tanpa stereotip.

Begitu pula dalam penelitiannya yang membahas drama Around 40: Chuumon no Ooi Onnatachi,

Freedman (2011) mendapati tokoh utama seorang Arafo6 yang ‘gagal’ memenuhi ekspektasi

masyarakat terhadap perempuan, menyimbolkan kondisi budaya politik dan tren ekonomi di

Jepang. Drama-drama yang dibahas pada penelitian-penelitian tersebut adalah drama dengan latar

dunia kerja, masih belum mewakilkan konstruksi gender yang ada pada kaum muda Jepang.

Terdapat beberapa penelitian lain yang membahas tentang penceritaan kembali dongeng

Cinderella dengan perspektif feminis, yang pertama yaitu From Glass Slipper to Glass Ceiling:

“Cinderella” and The Endurance of A Fairy Tale oleh Amy deGraff (1996) yang meneliti film

Working Girl (1988) tentang modern-day Cinderella, yang awalnya hanya seorang sekretaris yang

dieksploitasi di tempat kerjanya, akhirnya menjadi eksekutif di perusahaannya. DeGraff

berpendapat “sepatu kaca” yang dinilai sebagai standar perempuan cantik dalam dongeng diubah

menjadi “ide kreatif perempuan” di film, memberikan pesan bahwa perempuan juga memiliki

kekuatan, kapabilitas, kecerdasan dan kreatifitas. Tokoh Cinderella pada film akhirnya dapat

bersatu dengan laki-laki idamannya, namun hal tersebut tidak dilihat sebagai tujuan utama,

melainkan kesuksesan tokoh perempuan dalam mencapai status di tempat kerja yang lebih tinggi

yang ia inginkan.

Selanjutnya, Crowley dan Pennington (2010) meneliti tiga feminist retellings

"Cinderella" oleh tiga penulis perempuan Barbara Walker, Emma Donoghue, and Francesca Lia.

Penulis berargumen feminist retelling perlu dilakukan lebih dari sekadar mereplikasi struktur

kisah dongeng asli. Inklusi gender bukanlah revolusi gender, ketika dongeng menjadi preskriptif

(bagaimana dongeng seharusnya diceritakan) dan bukan deskriptif (bagaimana sebenarnya

dongeng diceritakan). Dongeng feminis yang kuat harus lebih dari sekadar pesan feminis tunggal,

tidak percaya semata-mata karena ‘sihir ibu peri’.

Garduno-Jaramillo (2017) dalam penelitiannya yang berjudul Once Upon a Gender

Role:Re-Envisioning the Strength of Females in Fairy Tales membahas tentang karakterisasi para

putri dalam dongeng Little Snow White, Little Briar Rose, dan Cinderella dan

membandingkannya dengan karakter putri dalam dongeng modern The Paper Bag Princess.

Dongeng memberi pengaruh pada anak-anak, adanya anggapan perempuan hanya perlu cantik,

naif, dan tidak tegas untuk menemukan kebahagiaan di masyarakat. Dongeng modern merombak

cerita, menceritakan bagaimana perempuan bisa menjadi kuat dan juga feminin secara bersamaan.

5 読者が選ぶ「2018 年最もハマったドラマ」ランキング Rangking “drama yang paling diminati

pada tahun 2018” pilihan pembaca https://mdpr.jp/news/detail/1810958 (modelpress 2018) 6 Singkatan dari “around 40”, kata yang populer pada tahun 2008. Arafo adalah sebutan untuk

perempuan berusia 35-45 tahun yang memiliki kebebasan dalam memilih antara pekerjaan dan keluarga.

(Freedman 2011:296).

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 28

Page 5: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Dalam konteks masyarakat Jepang, Miller (2008) meneliti makna dan representasi

Cinderella yang telah bergeser dalam masyarakatnya, yang dimanfaatkan oleh produsen di Jepang.

Mengesampingkan kepasifan perempuan dalam Cinderella, simbol Cinderella digunakan untuk

menunjukkan seseorang yang dapat mengatasi hambatan atau untuk mencapai impiannya.

Produsen merekonstruksi pesan dongeng Cinderella dengan cara yang menarik bagi konsumen.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, cukup banyak penelitian yang membahas isu

gender dalam drama Jepang maupun feminisme dalam penceritaan kembali dongeng Cinderella,

namun belum ada penelitian yang membahas feminisme dalam drama Jepang yang diadaptasi dari

dongeng Cinderella. Penelitian ini mencoba mengisi rumpang pengetahuan tersebut dengan

membahas mengenai drama Hana Nochi Hare yang tokoh utamanya adalah remaja, berbeda dari

drama-drama Jepang lainnya yang kebanyakan menggambarkan feminisme di dunia kerja dan

rumah tangga. Penelitian ini tidak akan membahas adaptasi versi manga ke drama, namun akan

berfokus pada penciptaan kembali dongeng Cinderella ke dalam drama televisi.

Penelitian ini akan dilakukan dengan metode analisis deskriptif, membahas segi naratif dan

visual objek penelitian. Tahapan pertama adalah membandingkan dan mencari perbedaan antara

dongeng Cinderella dan drama Hana Nochi Hare dengan perspektif feminisme. Dari perbedaan-

perbedaan yang telah ditemukan, langkah berikutnya adalah menemukan pola besar yang menjadi

perbedaan paling menonjol. Setelah itu, analisis akan dikaitkan dengan kerangka pemikiran teori

adaptasi dari Linda Hutcheon. Terakhir, hasil analisis tersebut akan dikaitkan dengan keadaan

sosial budaya masyarakat Jepang dalam konteks patriarki. Metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tinjauan pustaka dari buku,

jurnal ilmiah, dan artikel yang terkait dengan topik penelitian.

Penelitian ini akan menggunakan beberapa teori, yang pertama yaitu teori adaptasi oleh

Linda Hutcheon. Dalam bukunya yang berjudul A Theory of Adaptation, Hutcheon mengatakan

bahwa adaptasi adalah sebuah proses sekaligus produk dari penerjemahan suatu wacana yang ada.

An openly acknowledged and extended reworking of particular other texts, adaptations

are often compared to translations. Just as there is no such thing as a literal translation,

there can be no literal adaptation. Nevertheless, the study of both has suffered from

domination by “normative and source-oriented approaches”. transposition to another

medium, or even moving within the sameone, always means change or, in the language

of the new media, “reformatting.” (Hutcheon 2006 : 18)

“Adaptasi, sebagai karya yang secara terbuka diakui dan diperluas dari teks-teks tertentu,

sering kali dikomparasikan dengan terjemahan. Sama seperti tidak adanya terjemahan

literal, tidak ada pula adaptasi literal. Namun demikian, studi keduanya telah mengalami

permasalahan terkait “normatif dan pendekatan berorientasikan sumber”. Dalam

transposisi ke media lain atau media yang sama, pasti terdapat perubahan yang dalam

bahasa media baru disebut sebagai "memformat ulang."”

Adaptasi dapat dikatakan sebagai terjemahan karena pada prinsipnya, terjemahan

mencoba memaknai suatu wacana ke dalam medium, bahasa, bentuk yang berbeda, atau bahkan

hanya sekedar membuat interpretasi dengan tujuan agar lebih mudah dipahami. Sehingga,

menurut Hutcheon, akan selalu ada unsur yang berubah dari suatu proses penerjemahan. Ini

berarti, tidak ada hal yang disebut sebagai “terjemahan literal”. Dalam melihat adaptasi, terdapat

kerangka berpikir yang digunakan untuk memahami perubahan dalam sebuah adaptasi. Kerangka

berpikir tersebut meliputi pertanyaan 5W1H (what, when, where, who, why, how) yang ditujukan

kepada karya adaptasi yang ada.

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 29

Page 6: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

1. What: Membahas apa yang diadaptasi dan pola adaptasi yang digunakan. Terdapat

tiga jenis pola adaptasi yang dipaparkan oleh Hutcheon. Pola pertama adalah

telling—showing, perubahan yang terjadi adalah wacana berbentuk literal maupun

verbal, diubah ke dalam bentuk visual yang bersifat menunjukkan dan menghadirkan

wacana tersebut untuk ditangkap oleh indera penglihatan, atau sebaliknya. Pola

kedua adalah showing--showing, dalam pola ini wacana yang berbentuk visual

diadaptasi ke dalam bentuk visual lainnya, seperti film yang diadaptasi ke dalam

pertunjukan. Kemudian pola ketiga yaitu interacting--telling/showing, ketika wacana

yang berbentuk visual maupun verbal literal, diadaptasi ke dalam bentuk interaktif

seperti video game, atau sebaliknya, dari video game menjadi bentuk pertunjukan

atau naratif.

2. Who: Membahas siapa yang mengadaptasi. Apa latar belakang mereka dan

bagaimana pemikiran mereka.

3. Why: Membahas alasan adaptor membuat sebuah adaptasi daripada membuat sesuatu

yang baru. Terdapat berbagai kemungkinan dalam mencari tahu alasan di balik

pembuatan karya adaptasi. Beberapa di antaranya yang disebutkan oleh Hutcheon

adalah alasan ekonomi, kekayaan pengetahuan, dan adanya suatu pandangan politik

tertentu.

4. How: Membahas bagaimana karya adaptasi mendapat reaksi dari penonton atau

pembaca, dan bagaimana karya tersebut mempengaruhi mereka.

5. When: Membahas waktu atau masa saat suatu karya adaptasi dibuat. Sebuah karya

tidak muncul pada situasi yang vakum. Oleh karena itu, suatu karya akan memiliki

hubungan intertekstualitas dengan fenomena yang terjadi di dalam realita.

6. Where: Suatu karya yang lahir akan memiliki keterkaitan dengan ruang di mana karya

tersebut hadir. Oleh karena itu, relevansi isu yang dibawa oleh suatu karya terbatas

pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Hal inilah yang membuat faktor

masyarakat dari suatu negara tempat lahirnya sebuah karya menjadi penting untuk

dikaji agar dapat melihat konteksnya.

Penulis akan menggunakan pembacaan berperspektif feminis untuk menganalisis data.

Sebagai acuan, penulis menggunakan konsep kritik sastra feminis oleh Soenarjati Djajanegara

(2000). Kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-

penulis wanita untuk menunjukkan citra wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara

ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarki yang dominan. Perempuan

dimasukkan dalam kubu rumah yang terbatas pada ranah domestik; lingkungan serta kehidupan

di rumah, sedangkan laki-laki dimasukkan dalam kubu umum yang mencakup lingkungan dan

kehidupan di luar rumah. Pada kelas-kelas dalam masyarakat, kaum wanita disamakan dengan

kelas buruh yang hanya memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modal atau alat-alat produk,

ditindas dan diperas tenaganya.

2. PEMBAHASAN

Pada bagian ini, penulis akan membandingkan dan mencari perbedaan antara dongeng

Cinderella dengan drama Hana Nochi Hare. Dongeng Cinderella yang dibuat acuan adalah versi

Charles Perrault berjudul Cinderella; or, The Little Glass Slipper (1697) dalam bahasa Prancis

dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dalam Histories, or tales of past times pada tahun

1729) yang kemudian diadaptasi ke film oleh Disney (1950), menjadikannya versi Cinderella

yang paling dikenal secara universal oleh berbagai kalangan. Perbedaan-perbedaan yang

ditemukan akan dianalisis akan dikaitkan dengan kerangka pemikiran teori adaptasi dari Linda

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 30

Page 7: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Hutcheon. Terakhir, hasil analisis tersebut akan dikaitkan dengan keadaan sosial budaya

masyarakat Jepang dalam konteks patriarki.

2.1 Perbedaan Penggambaran Tokoh Cinderella dalam Drama Hana Nochi Hare

Pada bagian ini, analisis berfokus pada perbedaan penggambaran penokohan dari tokoh

Cinderella pada drama dan tokoh Edogawa Oto pada drama. Dari temuan yang didapat, diketahui

bahwa drama Hana Nochi Hare karya adaptasi berusaha menampilkan tokoh Cinderella yang

mandiri dan kuat secara sifat, ekspresi emosi, pikiran, dan tindakan. Sementara pada versi

dongeng, sosok Cinderella digambarkan pasif, tak mempunyai kuasa atas tubuhnya, serta terjebak

dalam stereotip ‘perempuan cantik’.

Cinderella dalam versi Perrault (1697), mengisahkan tentang tokoh utama perempuannya,

Cinderella, seorang seorang gadis yang terhormat, cantik, dan hidup dalam lingkungan yang

menyayanginya. Nasibnya berubah saat ibunya meninggal dan ayahnya menikah dengan wanita

lain. Ibu tiri dan saudara-saudara tirinya kemudian memperlakukan dirinya seperti pembantu di

rumahnya sendiri.

”The gentleman had also a young daughter, of rare goodness and sweetness of temper,

which she took from her mother, who was the best creature in the world”. ... “The

stepmother gave her the meanest work in the house to do; she had to scour the dishes,

tables, etc., and to scrub the floors and clean out the bedrooms. The poor girl had to sleep

in the garret, upon a wretched straw bed, ...” (Perrault 1729 : 5)

Suatu hari, pangeran kerajaan mengundang semua gadis untuk menghadiri pesta dansa di

Istana. Cinderella bersedih hati karena tidak dapat mengukuti pesta tersebut. Namun, dengan

bantuan ibu peri yang memberikannya sepatu kaca, gaun, dan kereta kuda, Cinderella dapat

menyusul ke istana. Cinderella berhasil memukau para tamu dan pangeran yang sedang mencari

jodoh. Sihir ibu peri pun hilang setelah pukul 12 malam sehingga Cinderella terpaksa

meninggalkan pangeran, namun sepatu kacanya terlepas saat ia berlari menuruni tangga istana.

Pangeran pun melakukan pencarian untuk si empunya sepatu kaca. Pada akhirnya pangeran

menemukan Cinderella dan nasib Cinderella berubah saat ia menikah dengan pangeran yang jatuh

cinta pada dirinya. Cinderella pun hidup bahagia selamanya.

Sementara itu, drama Hana Nochi Hare menceritakan tokoh utama perempuannya yaitu

Edogawa Oto. Oto adalah seorang siswi SMA Eitoku Gakuen, sekolah borjuis yang hanya bisa

dimasuki orang-orang kaya. Nasibnya berubah karena perusahaan ayahnya, Edo Quality

Cosmetics bangkrut dan ia harus hidup berdua bersama ibunya dengan bekerja paruh waktu di

minimarket, sementara ayahnya bekerja di tempat yang jauh untuk melunasi hutang-hutang

mereka.

Oto bertunangan dengan Hase Tenma, teman masa kecilnya sekaligus ketua OSIS di

Momonozono Academy, sekolah rival Eitoku Gakuen. Pertunangan tersebut tetap berlaku walau

keluarga Oto telah jatuh miskin, namun dengan syarat Oto harus tetap bersekolah di Eitoku

Gakuen. Demi memenuhi ekspektasi ibunya untuk mengubah nasib mereka dengan menikahi

keluarga Tenma yang kaya, Oto menyanggupi persyaratan tersebut. Namun di Eitoku Gakuen

sedang marak diberlakukan shomin-gari, perburuan terhadap siswa miskin yang tidak mampu

membayar biaya dan sumbangan sekolah, dipimpin oleh Kaguragi Haruto dan kawan-kawannya,

kelompok C5 yang menguasai Eitoku Gakuen. Kisah Oto yang harus menyembunyikan

kemiskinannya untuk mempertahankan statusnya sebagai siswi di Eitoku Gakuen pun dimulai.

Menurut Hutcheon (2006: 30), untuk menarik perhatian pasar global maupun pasar yang

lebih khusus, serial televisi atau teater musikal harus mengubah pokok-pokok kebudayaan, daerah,

dan sejarah pada konteks yang diadaptasi. Hal ini dapat dilihat dari tokoh Oto dalam drama, yaitu

seorang siswi SMA agar menyesuaikan dengan target penonton remaja Jepang. Perbedaan lainnya

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 31

Page 8: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

juga dapat dilihat dalam perbedaan penggambaran tokoh utama perempuannya yaitu tokoh

Cinderella dan tokoh Oto.

Tabel 2.1 Perbandingan Penggambaran Tokoh Utama Perempuan dalam Dongeng dan

Drama

No Dongeng Cinderella, or The Little

Glass Slipper (1729)

Drama Hana Nochi Hare (2018)

1 Tokoh Cinderella mendapat beban

kerja domestik

“She employed her in the meanest

work of the house. She scoured the

dishes, tables, etc., and cleaned

madam's chamber, and those of

misses, her daughters.” (Perrault

1729 : 7)

Tokoh Oto bekerja di luar rumah

untuk menanggung biaya hidup

dirinya dan ibunya

Maeno: 音ちゃんってさあ週何回

入ってんの?

Maeno: Oto-chan, seminggu masuk

kerja berapa kali?

Oto: 週 5 です

Oto: Seminggu lima kali.

(Hana Nochi Hare. 2018: Episode 1.

00:12:28- 00:12:33)

2 Tokoh Cinderella tidak berani

mengadu dan melawan

“The poor girl bore it all patiently,

and dared not tell her father, who

would have scolded her; for his wife

governed him entirely.” (Perrault

1729 : 8)

Tokoh Oto berpendirian teguh, berani

melawan jika ada yang tidak sesuai

dengan pendiriannya

英徳学園?やめていいならとっく

にやめてるあんな冷たい人達しか

いない最低な学園いっつも高い所

からふんぞり返って 弱い人を切

り捨ててあんたって ホントしょ

うもない!

Eitoku Gakuen? Kalau aku bisa

berhenti sekolah disini, aku sudah

berhenti dari dulu! Tempat di mana

hanya ada orang-orang dingin,

sekolah yang terburuk! Selalu

berlagak tinggi dan membuang orang

yang lemah! Benar-benar

menyebalkan!

(Hana Nochi Hare. 2018: Episode 1.

01:00:19 - 01:00:38)

3 Tokoh Cinderella digambarkan

berparas rupawan, berusaha untuk

tampil cantik di depan pangeran

“The finest princess was there, the

most beautiful that mortal eyes have

ever seen.”

(Perrault 1729 : 19)

Tokoh Oto digambarkan tidak terlalu

peduli dengan penampilan fisiknya

シャンプー代がもったいなくて

髪も切った

Oto: Untuk mengirit sampo, maka

aku memotong rambutku

(Hana Nochi Hare. 2018: Episode 1.

00:02:34 - 00:02:37)

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 32

Page 9: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

4 Membutuhkan pertolongan ibu peri

untuk mencapai apa yang

diinginkannya

“She cried; "but must I go in these

nasty rags?" Her godmother then

touched her with her wand, and, at

the same instant, her clothes turned

into cloth of gold and silver, all

beset with jewels. This done, she

gave her a pair of glass slippers, the

prettiest in the whole world.”

(Perrault 1729 : 17)

Tidak bergantung pada siapapun

untuk mencapai apa yang

diinginkannya.

Tidak diselamatkan, tapi

menyelamatkan.

Tidak seperti tokoh Cinderella dalam dongeng, tokoh Oto dalam drama ditampilkan

sebagai tokoh yang berani dan mandiri. Tokoh Oto tidak bergantung kepada ibu peri atau

pangeran untuk meraih kebahagiaannya. Ruang gerak Oto tidak dibatasi dalam ranah domestik

saja, namun Oto juga bekerja paruh waktu di minimarket untuk menunjang hidupnya dan ibunya.

Pada drama, Oto dijodohkan dengan Hase Tenma, anak dari mendiang sahabat ibu Oto

yang berasal dari keluarga kaya. Sepeninggal Ibu Tenma, ayah Tenma menikah lagi dengan

wanita lain sementara keluarga Oto jatuh miskin karena perusahaannya bangkrut. Ibu tiri Tenma

mengizinkan perjodohan berlangsung, namun dengan syarat Oto tetap bersekolah di Eitoku

Gakuen sampai Oto berusia 18 tahun. Oto terpaksa harus menyembunyikan kemiskinannya agar

tidak dikeluarkan dari Eitoku Gakuen.

Oto: ねえ お母さん 私が…英徳学園やめたらどうなる?

Ibu, jika aku...keluar dari Eitoku Gakuen, maka apa yang akan

terjadi?

Ibu: それは…死ぬしかないわね 家族全員でもう それしか道が

ないわ。

Itu...tak ada pilihan lagi selain mati, lengkap kita sekeluarga.

Hanya itu satu-satunya jalan.

Oto: そんな大げさな!

Itu berlebihan!

(Hana Nochi Hare, episode 1. 00:34:03,81 - 00:34:29,843)

Oto khawatir apabila suatu hari kemiskinannya terbongkar dan akan berakibat

dikeluarkannya ia dari Eitoku Gakuen, ia pun bertanya tentang pendapat ibunya. Ibu Oto sangat

mengharapkan perjodohannya dengan keluarga Tenma terus dilanjutkan, baginya itu adalah satu-

satunya harapan bagi keluarga mereka untuk keluar dari situasi kemiskinan mereka saat itu.

Jawaban ibu Oto mewakili pemikiran yang berasal dari dongeng Cinderella, merepresentasikan

masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan hanya bisa bergantung pada laki-laki untuk

meraih kesuksesannya. Menurut Fakih (1997), penghinaan atau perampasan kebebasan secara

sewenang-wenang terhadap perempuan menimbulkan subordinasi, yaitu penempatkan

perempuan pada posisi yang tidak penting atau di bawah laki-laki yang disebabkan oleh kontruksi

masyarakat. Misalnya, anggapan perempuan hanya akan turun ke dapur sehingga tidak perlu

sekolah tinggi-tinggi atau anggapan bahwa perempuan tidak bisa memimpin. Dalam drama,

terlihat dari ibu Oto yang yakin bahwa hanya perjodohan lah yang dapat mengubah nasib mereka,

bukannya meminta Oto untuk melanjutkan sekolah yang tinggi dan mendapat pekerjaan yang

layak.

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 33

Page 10: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Perjodohan dapat dikatakan sebagai objektifikasi terhadap perempuan. Nussbaum (1995:

257) telah mengidentifikasikan tujuh gagasan yang termasuk ke dalam upaya memperlakukan

seseorang sebagai objek, yaitu 1) Instrumentality, memperlakukan seseorang sebagai alat untuk

tujuan tertentu; 2) Denial of autonomy, memperlakukan seseorang dengan menghilangkan

otonomi diri orang tersebut, sehingga ia tidak dapat menentukan sesuatu bagi dirinya sendiri atau

mengenali dirinya; 3) Inertness, membatasi partisipasi dan aktivitas; 4) Fungibility,

memposisikan seseorang sebagai sesuatu yang dapat ditukar, memiliki nilai tukar, atau dapat

disubtitusikan dengan benda lain; 5) Violability, perlakuan terhadap seseorang dengan

menghilangkan batasan integritas. 6) Ownership, perlakuan yang memposisikan seseorang

sebagai milik seseorang lainnya.; dan 7) Denial of subjectivity, upaya pengabaian atas

pengalaman dan perasaan seseorang.

Berbeda dengan tokoh Cinderella yang tidak berani mengadu pada ayahnya ataupun

melawan perlakuan ibu dan saudara tirinya, tokoh Oto protes pada ibunya dengan mengatakan

perjodohannya ‘harapan terakhir keluarganya’ adalah berlebihan. Namun, Oto tetap menyanggupi

perjodohannya karena perasaan tidak ingin mengecewakan ibunya. Oto juga dibebani dengan

perasaan berutang budi pada mendiang ibu kandung Tenma, yang berpesan pada Oto agar terus

berada di samping Tenma.

Pada dongeng, Cinderella diceritakan tidak mau pergi ke pesta dansa dengan baju

rombengnya, ia merasa perlu tampil cantik di hadapan pangeran sehingga ibu peri

memberikannya gaun dan sepatu kaca. Sementara tokoh Oto digambarkan tidak terlalu peduli

dengan penampilannya, ia selalu terlihat memakai baju yang sederhana dengan jaket yang sama

setiap harinya. Oto juga memotong pendek rambutnya. Selain karena alasannya untuk menghemat

sampo, rambut pendeknya menunjukkan karakter perempuan yang dinamis dan ingin leluasa

bergerak tanpa direpotkan untuk menata rambut.

Stereotip wanita harus tampil cantik untuk laki-laki juga terdapat pada adegan ketika Oto

mengucapkan terima kasih atas kiriman baju, tas, dan sepatu dari ibu tiri Tenma tiap bulannya.

Merasa tidak enak karena telah dikirimi banyak barang mahal, Oto berkata dengan halus bahwa

ibu tiri Tenma tidak perlu mengiriminya lagi. Namun ibu tiri Tenma menjawab baju-baju tersebut

memang ia kirimkan agar Oto memakainya saat bertemu dengan Tenma, agar Oto lebih pantas

dilihat ketika bersanding dengan Tenma. Ibu tiri Tenma ingin agar setidaknya penampilan Oto

sebanding dengan keluarga Hase, walaupun keluarga Oto sekarang miskin.

Pandangan Oto tentang kecantikan perempuan juga terlihat dalam adegan pada episode

4, ketika salah satu anggota C5, Airi, berkunjung ke rumah Oto. Ibu Oto menawarkan Airi untuk

makan siang bersama mereka berdua. Namun, Airi yang sangat khawatir terhadap bentuk

badannya menolak dan mengatakan akan minum suplemen kecantikannya saja. Oto yang melihat

hal tersebut segera menutup kotak obat Airi, menyuruhnya untuk berhenti mengonsumsi

suplemen kecantikan yang tidak baik untuk kesehatan. Sikap Oto menunjukkan

ketidaksetujuannya akan kecantikan perempuan yang hanya dilihat dari fisiknya saja.

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 34

Page 11: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Gambar 2.1 Sepatu Airi yang dilepas

Setelah melarang Airi mengonsumsi suplemennya, Oto kemudian menyuruh Airi untuk

melepas sepatunya di luar rumah. Sepatu yang dilepas dapat diartikan sebagai kebebasan tokoh

dari stereotip-stereotip perempuan pada dongeng. Sepatu kaca merepresentasikan kecantikan

Cinderella dalam dongeng, barang berharga yang membuat Cinderella bersatu dengan sang

Pangeran.

Dalam drama, Oto digambarkan sebagai tokoh yang pemberani. Ia tidak membutuhkan

ibu peri maupun pangeran. Oto digambarkan sebagai perempuan yang suka menolong orang lain.

Oto tidak tinggal diam ketika melihat salah satu siswi diganggu oleh berandalan. Ia segera berlari

menyelamatkan siswi, tidak peduli kalau dirinya juga akan masuk dalam bahaya.

Gambar 2.2 Oto menyelamatkan murid perempuan dari gangguan berandalan

2.2 Relasi Tokoh Perempuan dengan Tokoh Laki-laki

Pada bagian ini analisis akan difokuskan pada relasi dan interaksi antara tokoh Oto

dengan tokoh-tokoh laki-laki pada drama serta akhiran drama. Pada drama, terdapat perbedaan

yang menonjol yaitu kehadiran pangeran alternatif, yang meruntuhkan stereotip peran gender

apabila dilihat relasinya dengan tokoh Oto. Opsi ini tidak diberikan kepada tokoh Cinderella

dalam dongeng.

Oto bertunangan dengan Hase Tenma. Dalam drama, Tenma digambarkan sangat pandai

di segala bidang. Tenma merepresentasikan bagaimana ekspektasi masyarakat Jepang terhadap

gambaran laki-laki yang sempurna. Kepada Tenma, Oto digambarkan tidak memiliki kuasa,

menurut, tidak melawan. Hal ini dibuktikan pada episode 2, pada saat Oto diajak makan malam

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 35

Page 12: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

bersama oleh Tenma di restoran mewah. Oto sebenarnya merasa tidak nyaman karena tidak pantas

berada disana, namun tak memiliki keberanian untuk mengatakannya pada Tenma.

Menurut Ruth Linhart - Fischer (1990) ada dua stereotip tentang wanita ideal yang disukai

oleh laki-laki Jepang dari sudut pandang barat. Pertama, wanita Jepang adalah wanita ideal, lemah

lembut, menyenangkan, dan patuh. Kedua, wanita Jepang memiliki hati yang lembut dan bersikap

tunduk dalam melayani pria dari pagi hingga malam sehingga mereka menyerah akan cita-cita

mereka sendiri. Kedua hal itulah yang berusaha diterapkan Oto saat bersama dengan Tenma.

Pada dongeng Cinderella karya Perrault hanya ada seorang pangeran, namun dalam

drama dimunculkan seorang ‘pangeran alternatif’, tokoh laki-laki lain yaitu Kaguragi Haruto.

Haruto dideskripsikan pada drama dengan sebutan hetare danshi, melalui beberapa judul episode

dalam dramanya7. Hetare (ヘタレ) mengandung arti kata good-for-nothing; loser; weakling

(serba payah, pengecut, lemah), sehingga dapat dikatakan bahwa Haruto adalah lelaki yang payah,

berlawanan dengan Tenma. Sejak kecil, Haruto dituntut untuk menjadi sempurna oleh ayahnya,

namun kerap mengecewakan ayahnya yang berdampak pada kepercayaan diri Kaguragi yang

rendah. Ia menyembunyikan kepayahan dan ketidakpercayaan dirinya di balik sikapnya yang

otoriter.

Gambar 2.3 Oto melawan Haruto yang menghina dirinya dan temannya

Berlainan dengan sikapnya pada Tenma, Oto berani melawan ketika Haruto mengancam

atau menghinanya. Pada episode pertama Oto melakukan dua kali perlawanan yaitu pada saat

diancam Haruto untuk keluar dari Eitoku Gakuen, Oto mengancam balik dengan berkata ia akan

membocorkan rahasia Haruto ke semua orang. Kemudian pada saat Haruto mencela dirinya dan

teman Oto, Oto tidak segan-segan meninju Haruto dengan sebongkah daging.

Karakter Haruto yang awalnya angkuh dan berusaha mendominasi, mengalami

perkembangan ke arah yang lebih baik akibat pertemanannya dengan Oto. Haruto pun lambat

laun menyukai Oto karena sifat dan pendirian teguh Oto. Ketika mengetahui Oto bertunangan

dengan Hase agar keluarganya tidak miskin lagi, Haruto berbicara kepada Oto.

Haruto: 江戸川!お前 ダッセーな。婚約者の馳にすがって 貧乏から脱

出か?プライドとかねえのかよ。ひっでえ人生だな 。悲惨す

ぎ。

7 Pada episode 2 yang berjudul ライバル校に潜入!?激突!!ヘタレ男子 vs. 運命の婚約者

(Sneaking into the rival school!? Clash!! Weakling guy vs. the fiancé of fate), episode 3 berjudul 庶民バ

レ絶体絶命!救世主はヘタレ男!?婚約者!? (Oto's desperate situation! Her savior...a weakling!? Or her

fiancé!?) dan episode 7 yang berjudul 道明寺邸ふたたび!!ばいばいヘタレ男子 (Domyoji's house

again!! Bye-bye, young man). (http://www.tbs.co.jp/hana_hare/story.html)

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 36

Page 13: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Edogawa! Kamu payah sekali. Bergantung pada tunanganmu, Hase,

untuk melarikan diri dari kemiskinan? Apakah kamu tak punya harga

diri? Hidupmu sangatlah buruk. Betapa menyedihkan.

Oto: 言われなくても分かってる。 ホントしょうもないって。でもその

しょうもない人生にあなたは 1 ミリも関係ないでしょ!

Tanpa kamu katakan pun aku sudah tahu, betapa bodohnya hal itu. Tapi

kehidupan remehku ini, tidak ada hubungannya denganmu barang satu

inci pun!

(Drama Hana Nochi Hare, Episode 2, 00:22:28,341 - 00:23:07,974)

Walaupun menggunakan kata-kata yang kasar, Haruto menyiratkan ketidak setujuannya

dengan ide Oto menikah demi melarikan diri dari kemiskinan. Kepeduliannya pada Oto

digambarkan dengan menanyakan bahwa apakah itu yang benar-benar yang ia inginkan. Begitu

pula dengan Oto, ia mengerti dan sadar sepenuhnya bahwa dirinya dalam posisi yang dirampas

kebebasannya, namun tak memiliki kuasa untuk membatalkan pertunangan.

Berlainan dengan Cinderella yang diselamatkan oleh pangeran, pada drama Oto lah yang

menolong Haruto dengan memberikan dukungan moral pada Haruto. Haruto mengalami konflik

batin tidak bisa memenuhi ekspektasi ayahnya dan kegagalannya memimpin Eitoku Gakuen. Hal

itu membuatnya membandingkan dirinya dengan Hase yang serba sempurna.

Haruto: 俺だって そいつに負けねえぐらい完璧な男になってやる!

Aku akan menunjukkan padamu bahwa juga akan jadi laki-laki yang

sempurna, tak kalah dengan orang itu (Hase)!

Oto: いいんじゃない 完璧なんてならなくて。

Tidak apa-apa kok, kamu tidak perlu menjadi sempurna.

Haruto: えっ?

Eh?

Oto: 完璧になろうと必死に頑張ってるそんな神楽木には神楽木なり

のよさがあるはずだよ。

Kaguragi yang berjuang untuk menjadi sempurna, sebenarnya pasti juga

memiliki kelebihan tersendiri.

(Drama Hana Nochi Hare, Episode 3, 01:01:36,970 - 01:02:04,998)

Dalam dongeng, di akhir cerita diceritakan bahwa Cinderella yang berhasil memakai

sepatu kaca dibawa kepada sang pangeran di istana. Beberapa hari kemudian pangeran pun

menikahi Cinderella. Mereka hidup bahagia selamanya.

She was taken to the young prince, dressed as she was. He thought she was more

charming than before, and, a few days after, married her. (Perrault 1729 : 34)

Namun, pada akhir cerita drama Hana Nochi Hare, Oto justru memutuskan untuk

mengakhiri pertunangannya dengan Tenma. Oto memilih untuk menjadi kekasih Haruto,

pangeran alternatif. Hal ini mencerminkan bahwa tokoh Oto memiliki kebebasan untuk

menentukan sendiri pilihan hidupnya dan tidak terikat pada siapapun, dalam hal ini ia

memutuskan sendiri pasangannya. Pilihannya jatuh pada Haruto karena Oto merasa ia lebih bisa

menjadi dirinya sendiri di depan Haruto.

Tokoh Haruto sebagai pangeran alternatif berperan cukup besar karena hubungannya

dengan Oto menawarkan relasi gender yang baru, di mana perempuan tidak harus selamanya

menjadi yang lemah dan butuh pertolongan. Hal ini juga ditemukan pada tokoh Haruto sebagai

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 37

Page 14: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

laki-laki yang tidak sempurna dan membutuhkan pertolongan perempuan. Relasi ini melawan

stereotip gender yang mengakar dalam masyarakat.

2.3 Drama Hana Nochi Hare sebagai Refleksi terhadap Masyarakat Patriarki Jepang

Secara keseluruhan, perbedaan paling signifikan dalam dongeng Cinderella dan drama

Hana Nochi Hare adalah penggambaran sistem patriarki serta ada dan tidak adanya perlawanan

perempuan dalam lingkungan patriarki. Dalam dongeng, sistem patriarki dilihat sebagai hal yang

wajar dan tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut. Sementara di dalam drama, kuasa

patriarki diceritakan sebagai sesuatu yang bermasalah. Berbeda dengan tokoh Cinderella dalam

dongeng yang tidak banyak bersuara dan pasrah terhadap nasibnya, Oto berusaha keluar dari

opresi patriarki melalui sikap dan tindakannya.

Perbedaan yang dimunculkan dalam drama adaptasi tersebut berusaha memperlihatkan

dominasi sistem patriarki dalam masyarakat Jepang saat ini. Dalam upaya melihat relevansi

perbedaan tersebut dengan keadaan sosial budaya masyarakat Jepang, peneliti mengumpulkan

informasi mengenai isu-isu kesenjangan gender yang terjadi di Jepang pada tahun drama

diproduksi yaitu tahun 2018, dengan memfokuskan pada isu yang terjadi di lingkungan sekolah

atau perguruan tinggi.

Pada bulan Agustus 2018, Universitas Kedokteran Tokyo (Tokyo Medical University)

diduga mengubah hasil tes penerimaan untuk membatasi jumlah mahasiswi yang masuk (urat

kabar Yomiuri Shimbun, 2 Agustus 2018). Dilansir dari newsweek, Universitas tersebut

diperkirakan mencurangi hasil tes sejak tahun 2011, untuk memastikan jumlah mahasiswi pada

kisaran 30 persen, karena pada tahun 2010, jumlah mahasiswi dilaporkan sekitar 40 persen dari

total mahasiswa. Setelahnya, universitas menjaga presentase mahasiswi yang diterima setiap

tahunnya sekitar 30 persen. Tahun 2018, ada 141 mahasiswa dan 30 mahasiswi yang diterima.

Kesenjangan gender ini dapat dijadikan bukti bahwa norma-norma patriarki masih kuat mengakar

di dalam masyarakat Jepang.

Dilansir dari Japantimes, dilaporkan bahwa hanya dari para pendaftar sekolah kedokteran,

hanya perempuan saja yang diberi pertanyaan “Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda ingin

menikah atau mempunyai anak?” dalam tes wawancaranya. Diskriminasi gender tak hanya

berhenti pada anggapan hanya dokter laki-laki lah yang mampu mendukung kinerja rumah sakit

universitas, namun juga adanya anggapan ketika dokter perempuan menikah dan punya anak,

mereka biasanya akan berhenti bekerja dan memberatkan tugas dokter laki-laki.

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 38

Page 15: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Tabel 2.2 kesenjangan rasio laki-laki dan perempuan yang masuk ke perguruan tinggi

berdasarkan prefektur. (dari tinggi ke rendah). Sumber: The Asahi Shimbun tahun 2018

Dari survei yang dilakukan menteri pendidikan Jepang mengenai perbandingan rasio laki-

laki dan perempuan yang melanjukan ke universitas, hasilnya, terdapat perbedaan rasio

perempuan adalah yang lebih rendah 6.2 persen di bawah rasio laki-laki. Hasil survei

membuktikan bahwa jumlah perempuan yang belajar di perguruan tinggi jauh lebih sedikit

daripada laki-laki. Hal ini disebabkan karena dominasi laki-laki dalam masyarakat Jepang yang

kuat dan pandangan bias gendernya, bahwa perempuan tidak perlu belajar.

Seperti yang sudah disinggung dalam pendahuluan, tingkat kesetaraan gender di Jepang

pada tahun 2018 menduduki posisi ke-110 dari 149 negara, paling rendah di antara negara G7.

Salah satu faktor di balik kesenjangan gender yang serius di Jepang adalah pemikiran yang

mengakar dalam keluarga Jepang bahwa anak perempuan tidak perlu masuk perguruan tinggi

karena pada akhirnya akan menikah dan mempunyai anak. Hal ini sangat miris mengingat saat

ini kuota penerimaan total mahasiswa perguruan tinggi cukup besar untuk mengakomodasi semua

pendaftar perguruan tinggi di seluruh Jepang.

Gambar 2.4 Dari kiri ke kanan: Kurosaki-kun no Iinari ni Nante Naranai, Ookami

Shojo to Kuro Ouji, Oboreru Knife (2016)

Wacana patriarki pun dapat ditemui pada banyak drama dan film Jepang bertemakan

sekolah. Contohnya adalah drama Kurosaki-kun no Iinari ni Nante Naranai (2016), film Ookami

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 39

Page 16: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Shojo to Kuro Ouji (2016), dan Oboreru Knife (2016). Masing-masing drama memiliki kesamaan

yaitu terdapat bias gender, di mana tokoh laki-lakinya digambarkan berkuasa, memaksakan

kehendak dan memperlakukan tokoh perempuan dengan kasar. Permasalahan muncul ketika hal

tersebut dianggap hal yang lumrah, bahkan dianggap sebagai nilai jual yang membuat penonton

berdebar-debar, ditambah dengan tokoh perempuannya yang pasrah dan tidak melawan. Hadirnya

drama Hana Nochi Hare ini dapat dilihat sebagai dobrakan dalam dunia drama televisi Jepang,

khususnya dalam genre school drama, yang masih sedikit menampilkan tema feminis.

Pemikiran-pemikiran yang telah dijelaskan tersebut berusaha direfleksikan oleh drama

Hana Nochi Hare. Drama memberi pesan bahwa patriarki adalah sebuah masalah serius yang

perlu ditangani dan diubah. Secara tidak langsung, drama juga memberikan dukungan untuk

perempuan-perempuan agar tidak tinggal diam dan tidak pasrah dengan ketidakadilan yang terjadi.

3. KESIMPULAN

Sebagaimana yang dipaparkan Linda Hutcheon dalam teorinya mengenai adaptasi, tidak

ada karya adaptasi yang dibuat sama persis dengan karya yang menjadi rujukan adaptasinya.

Berbeda dengan tokoh Cinderella dalam dongeng yang pasif, drama Hana Nochi Hare berusaha

dengan menampilkan tokoh utama “Cinderella Feminis”, dijelaskan melalui pemikiran dan

tindakannya yang berusaha mengubah stereotip dan menghapus batasan perempuan. Drama

Hana Nochi Hare juga menawarkan relasi gender yang baru antara tokoh laki-laki dan tokoh

perempuannya, di mana hubungan mereka tidak terikat pada peran gender masing-masing yang

terkontruksi dalam masyarakat.

Perbedaan dalam drama tidak terjadi begitu saja, tetapi dilatarbelakangi oleh kondisi

sosial budaya masyarakat di baliknya. Kesenjangan gender yang ada di Jepang membuktikan

bahwa norma-norma patriarki masih kuat mengakar di dalam masyarakat Jepang. Sebagai sarana

merefleksikan masyarakat patriarki Jepang, drama Hana Nochi Hare juga berusaha menggiring

penonton agar sadar akan situasi yang ada di Jepang saat ini. Kenyataan bahwa lebih banyak

drama televisi Jepang bertemakan sekolah yang mendukung wacana patriarki dibanding yang

mendukung wacana feminis seperti Hana Nochi Hare dapat dimaknai sebagai refleksi bahwa

ideologi patriarki masih kuat mengakar di masyarakat Jepang kontemporer. Hal ini terjadi tanpa

kita sadari di ranah yang sering kali luput dari perhatian seperti produk-produk budaya populer,

yang dapat dengan mudah kita temui dalam keseharian, tetapi ini justru “berbahaya” karena

internalisasi nilai-nilai patriarki akan terus terjadi secara halus dan diwajarkan. Oleh karena itu,

pembacaan kritis berperspektif feminis terhadap produk budaya populer menjadi penting untuk

dilakukan untuk mengguncang wacana patriarki.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat berbagai keterbatasan dalam penelitian ini.

Untuk prospek penelitian selanjutnya, drama Hana Nochi Hare dapat dibandingkan dengan drama

remaja Jepang lain yang membahas tentang isu gender untuk mendapatkan gambaran lebih luas

tentang isu dan kontruksi gender dalam masyarakat muda Jepang saat ini.

Dafar Pustaka

Crowley, C. & Pennington, J. (2010). Feminist Frauds on the Fairies? Didacticism and Liberation

in Recent Retellings of "Cinderella". Marvels & Tales, 24 (2), 297-313. deGraff, A. (1996). From Glass Slipper to Glass Ceiling: "Cinderella" and The Endurance of A

Fairy Tale. Merveilles & contes, 10(1), 69-85 .

Djajanegara, S. (2000). Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fakih, M. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 40

Page 17: THE ADAPTATION OF CINDERELLA STORY IN JAPANESE …

Freedmann, A. & Iwata-Weickgenannt, K. (2011). “Count what you have now. Don’t count what

you don’t have”: Japanese television drama Around 40 and the politics of women’s

happiness. Asian Studies Review, 35, 295-313.

Garduno-Jaramillo, I. E. (2017). Once Upon a Gender Role:Re-Envisioning the Strength of

Females in Fairy Tales. Honors in the Major Theses, 249.

Hutcheon, L. (2006). A Theory of Adaptation. New York: Rouletge.

Japan, An Underdeveloped Country for women. (2019, January 11). Diambil kembali dari

Japantimes: https://www.japantimes.co.jp/opinion/2019/01/11/commentary/japan-

commentary/japan-underdeveloped-country-women/#.XUOFNugzbIW

Kamisa. (1997). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika.

Linhart, R. & Fischer. (1990). Rethinking western notions of Japanese women: some aspects of

female Japanese reality versus stereotypes about Japanese women” . Rethinking Japan

Social Sciences, Ideology & Thought, 2, Volume II, 164-174.

Miller, L. (2008). Japan’s Cinderella Motif: Beauty Industry and Mass Culture Interpretations of

a Popular Icon. Asian Studies Association of Australia, 32(3), 393-409.

Perrault, C. (1792). Histories, or Tales of Past Times: Cinderella; or, The Little Glass Slipper.

London: W. Savage, 16 Walcot Place, Lambeth.

Rowe, K. E. (1979). Feminism and Fairy Tales. Women’s Studies: An Interdisciplinary Journal,

6, 237–57.

Setiawan, Budi dkk. (2013). BIAS GENDER DALAM CERITA RAKYAT: (Analisis Naratif

pada folklore Eropa, Cinderella, dengan Cerita Rakyat Indonesia, Bawang Merah

Bawang Putih). The Messenger, 5(2), 1-13.

Stewart, M. P. (2000). How Can This Be Cinderella if There is No Glass Slipper? Native

American "Fairy Tales". Studies in American Indian Literatures, 12(1), 3-19 .

The Global Gender Gap Report 2017. (2017, November 2). Diambil kembali dari World

Economic Forum: https://www.weforum.org/reports/the-global-gender-gap-report-2017

The Global Gender Gap Report 2018. (2018, December 17). Diambil kembali dari World

Economic Forum: https://www.weforum.org/reports/the-global-gender-gap-report-2018

William, C. (2010). Fairy Tale Films : The Shoe Still Fits: Ever After and the Pursuit of a Feminist

Cinderella . Colorado: University Press of Colorado, Utah State University Press.

UI Proceedings on Social Science and Humanities Vol. 3 2019

International Conference on Japanese Studies, Language, and Education 2019 41