KATA PENGANTARPuji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, yang telah memberikan Berkat dan Rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan
makalah yang berjudul AFTA 2010 ini, bertujuan untuk mengetahui
pengaruh dan dampak dari AFTA terhadap masyarakat Indonesia pada
umumnya. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, hal itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas.
Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen
serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap dengan penulisan
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan
bagi para pembaca umumnya serta semoga dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa
yang akan datang.
Pekanbaru,April 2014
Penulis
DAFTAR ISIKATA
PENGANTAR...................................................................iDAFTAR
ISI..............................................................................iiBAB.I.PENDAHULUANA.Lahirnya
AFTA..............................................................................................
1B.Tujuan
AFTA.................................................................................................
1C.Manfaat dan tantangan AFTA bagi
Indonesia.............................................. 1D. Jangka
waktu realisasi
AFTA.........................................................................
2E.Skema
CEPT...................................................................................................2BAB
II ISIA. Menyongsong implementasi AFTA
2010......................................................
5B.Regionalosasi ekonomi di Asia Tenggara & kemunculan
AFTA..................... 5C. Menjadi
ancaman.........................................................................................
10D. Menjadi
tantangan.......................................................................................
11F. Krisis ekonomi
Regional...............................................................................
12DAFTAR
PUSTAKA....................................................................iiiBAB
I PENDAHULUANA. LAHIRNYA AFTAAFTA dibentuk pada waktu Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya
AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari
kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan
bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi
kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis
produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008),
kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat
lagi menjadi tahun 2002.Skema Common Effective Preferential Tariffs
For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk
1 mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%,
penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif
lainnya.Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah
adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang
bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia,
Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia,
Laos,Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.AFTA diberlakukan secara
penuh untuk negara ASEAN-6 sejak 1 Januari 2002 dengan
fleksibilitas (terhadap produk-produk tertentu tarifnya masih
diperkenankan lebih dari 0-5%). Target tersebut diterapkan untuk
negara ASEAN-6 sedangkan untuk negara baru sbb : Vietnam (2006);
Laos dan Myanmar (2008); dan Cambodia (2010).B. TUJUAN AFTA
Menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif
sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global.
Menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI). Meningkatkan
perdagangan antar negara anggota ASEAN(Intra ASEAN Trade).C.
MANFAAT DAN TANTANGAN AFTA BAGI INDONESIAManfaat : Peluang pasar
yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia dengan penduduk
sebesar +/- 500 juta dan tingkat pendapatan masyarakat yang
beragam. Biaya produksi yang semakin rendah dan pasti bagi
pengusaha /produsen Indonesia yang sebelumnya membutuhkan barang
modal dan bahan baku penolong dari negara anggota ASEAN lainnya dan
temasuk biaya pemasaran. Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk
yang tersedia di pasar domestik semakin banyak dengan tingkat harga
dan mutu tertentu. Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin
terbuka dengan beraliansi dengan pelaku bisnis di negara anggota
ASEAN lainnya.Tantangan : Pengusaha/produsen Indonesia dituntut
terus menerus dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis
secara profesional guna dapat memenangkan kompetisi dariproduk
ASEAN lainnya. D. JANGKA WAKTU REALISASI AFTAKTT Asean ke-9 tanggal
7-8 Oktober 2003 di Bali, dimana enam negara anggota Asean Original
Signatories Of Cept For AFTA yaitu, Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Philipina, Singpura, dan Thailand, sepakat untuk mencapai
target bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal 60% dan inclusion
list (ii) tahun 2003; bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal 80%
dari inclusion list tahun 2007; dan pada tahun 2010 seluruh tarif
bea masuk dengan tingkat tarif 0% harus sudah 100% untuk anggota
Asean yang baru, tarif 0% tahun 2006 untuk Vietnam, tahun 2008
untuk Laos dan Myanmar dan tahun 2010 untuk Cambodia.BAB II ISIA.
MENYONGSONG IMPLEMENTASI AFTA 2010Banyak pihak menantikan Januari
2010 dengan harap-harap cemas,karena pada saat itulah genderang
perang laissez faire akan menggema di seantero Asia Tenggara.
Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, tengah
bersiap-siap mengantisipasi seribu macam kemungkinan yang dapat
terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas
antar anggota ASEAN yang ternyata bertambah satu negara
non-anggota, yaitu China.Berbagai reaksi, mulai dari yang paranoid
terhadap serbuan komoditi asal China hingga yang mencerca
pemerintah yang dinilai terlalu memaksakan diri bergabung dengan
rejim perdagangan bebas tersebut, ramai menghiasi headline
media-media massa utama di tanah air. Tak kalah lantang,
kelompok-kelompok tertentu bahkan memvonis keputusan bergabung
dalam AFTA sebagai sebuah kesalahan yang masih mungkin untuk
direvisi kembali. Terkait dengan dinamika tersebut, artikel ini
dimaksudkan untuk memberi gambaran bagaimana kira-kira kesiapan
Indonesia dalam AFTA+China yang implementasinya akan efektif sejak
1 Januari 2010 yang akan datang.B. REGIONALISASI EKONOMI DI ASIA
TENGGARA & KEMUNCULAN AFTA
Sejak tahun 1980an, terjadi serangkaian perubahan fundamental di
dunia, antara lain : 1) Munculnya lingkungan ekonomi dunia yang
kompetitif dan terjadinya perubahan cepat menuju ekonomi
berorientasi pasar khususnya di Eropa eks-sosialis dan juga di Asia
yang ditandai dengan adanya reformasi ekonomi melalui
privatisasi,deregulasi dan liberalisasi. 2) Terjadinya revolusi
teknologi informasi yang memungkinkan peningkatan secara luar biasa
traksaksi perdagangan dan saling ketergantungan antar negara di
dunia. 3)Meningkatnya regionalisasi yang ditandai dengan munculnya
pengaturan perdagangan dan investasi dalam lingkup regional di
berbagai belahan dunia.Pada saat yang sama, negara-negara Asia pada
umumnya mulai menerima prinsip-prinsip liberalisasi yang disertai
dengan meningkatnya tekanan strategi pembangunan yang berbasis daya
tarik bagi investasi asing langsung serta munculnya kesadaran di
kalangan para pemimpin ASEAN untuk memperkuat kerja sama ekonomi
guna menghadapi tekanan komparatif dari luar kawasan.Berbagai
kecenderungan tersebut kemudian mendorong para pemimpin negara
Asia, khususnya negara-negara anggota ASEAN, untuk mendirikan suatu
organisasi ekonomi regional di Asia tenggara. Setelah melalui
serangkaian negosiasi dan perdebatan yang panjang, pada Millenium
Summit ke-4 ASEAN di Singapura tahun 1992, ASEAN yang saat itu
masih beranggotakan 6 negara (Brunei, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, dan Thailand) sepakat membentuk kawasan
perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dalam rentang waktu 15 tahun dimulai
sejak 1 Januari 1993.Dengan adanya kawasan perdagangan bebas
tersebut maka seluruh negara anggota ASEAN akan mengurangi hambatan
arus perdagangan dan investasi antar mereka secara bertahap hingga
tahun 2008 yang diletakkan dalam skema Common Effective
Preferential Tariff (CEPT). Vietnam yang bergabung dengan ASEAN
pada tahun 1995 disusul oleh Laos dan Myanmar dua tahun kemudian
serta Kamboja pada tahun 1999 secara otomatis tergabung dalam
keanggotaan AFTA bersamaan dengan masuknya mereka ke organisasi
regional tersebutMelihat latar belakang dibentuknya kawasan
perdagangan bebas ASEAN, oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa
keberadaan AFTA lebih dilandasi oleh tujuan ekonomi dan bukan
tujuan lain seperti keamanan ataupun politik, di mana main
goals-nya adalah guna menarik investasi asing langsung dalam rangka
menopang pertumbuhan ekonomi di kawasan, mempertahankan keunggulan
komparatif, serta untuk menjaga hubungan ekonomi dengan
negaranegara partner utama Asia yaitu Amerika Serikat, Jepang dan
Eropa. Disamping itu, seperti halnya organisasi serupa di kawasan
lain, terdapat tujuan lain yang lebih spesifik yakni guna
menggairahkan hubungan ekonomi dan perdagangan antar sesama anggota
ASEAN yang sebelumnya menunjukkan level kurang menggembirakan
(grafik 2).
C. MENJADI ANCAMAN
AFTA-CHINA yang diberlakukan di tahun 2010 ini bisa menjadi
ancaman jika kondisi pelaku usaha dalam negeri khususnya usaha
kecil dan menengah belum memiliki kwalitas dan kemampuan dalam hal
memasarkan produk mereka, lebih detailnya untuk pelaku usaha kecil
di Indonesia masih banyak yang tidak memiliki kemampuan akan produk
mereka, bagaimana pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia bisa
memiliki produk yang berkwalitas dan di jual dengan harga murah
seperti halnya produk China.
D. MENJADI TANTANGAN
Dengan adanya pasar bebas ini bagi sebagian kalangan dunia
usaha, khususnya untuk mereka yang memiliki usaha yang memiliki
kwalitas dan manajemen yang baik, dengan adanya pasar bebas ini
bisa dijadikan tantangan bagi pelaku dunia usaha bagaimana mereka
bisa bersaing secara sehat dengan produk-produk dari China sehingga
pelaku usaha akan semakin menjadikan pasar bebas ini menjadi
semangat dan modal untuk memotivasi mereka untuk selalu
meningkatkan kwalitas dan harga produk mereka sehingga bisa
terjangkau oleh konsumen.
Dengan adanya dua hal tersebut diatas sangatlah nyata bahwa
dengan adanya pasar bebas ini termasuk ancaman atau tantangan
tergantung dari kesiapan atau tidak kesiapanya pelaku usaha kita di
dalam negeri. Karena ketika pelaku Usaha dalam negeri sudah kuat
dna memiliki kwalitas terbaik dan dengan harga yg murah dan
terjangkau pasar bebas ini tidak perlu dikhawatirkan.
E. FAKTA KONDISI UKM DI INDONESIA
Fakta dilapangan pelaku usaha kecil di Indonesia masih belum
banyak yang siap dengan adanya pasar bebas ini karena pada
kenyataanya pelaku usaha kecil kita kadang masih memiliki
maslaah-masalah yang menyulitkan kelancaran nusaha mereka. Misalnya
dari permodalan, pemasaran, sampai manajemen usaha mereka yang
masih dikelola dengan kemampuan yang terbatas dan juga kurangnya
bimbingan dari pihak pemerintah yang bisa meningkatkan kelancaran
usha mereka.
Ada peran lain yang bisa kita lakukan untuk membantu
menyelamatkan dan membantu usaha kecil dan menengah supaya pelaku
UKM tidak bangkrut dan tetap berani bersaing dengan adanya pasar
bebas dan membludaknya produk China itu, yakni dengan cara membuat
sebuah gerakan bernama AKU CINTA PRODUKSI INDONESIA dengan gerakan
ini diharapkan bisa membantu para pelaku UKM untuk tetap bisa
bersaing dengan produk China.
Namun para pelaku usaha kecil dan menengah juga harus selalu dan
terus meningkatkan mutu dan kwalitas mereka sehingga masyarakat
Indonesia tidak kecewa dengan produk yang mereka beli dari produk
Indonesia akan tetapi justru semakin bangga membeli Produk
Indonesia karena Produksi Indonsia memiliki kwalitas yang sangat
bagus dan harga yang murah dan terjangkau.
Dan untuk wujudkan itu perlu diadakan kerjasama dan koordinasi
dari banyak pihak dari pelaku usaha keil dna menengah itu sendiri,
Pemerintah dengan mengeluarkan bantuan dana khusus untuk pelaku
Usaha Kecil dan menengah dengan bunga sekecil-kecilnya dan juga
bimbingan secara terus menerus. Selanjutnya adalah peran masyarakat
melalui Gerakan Cinta Produksi Indonesia adalah peran yang sangat
baik dan bermanfaat sehingga jika ini terjalin dan berjalan dengan
baik maka Indonesia akan berani berteriak SELAMAT DATANG PASAR
BEBAS.
F. KRISIS EKONOMI REGIONAL
Sejak awal tahun 1990an, ekonomi Indonesia sangat sustainable
dan attractive bagi investasi asing hingga terjadinya krisis
moneter di Asia pada 1997. Selama tiga dekade sebelumnya, ekonomi
Indonesia tumbuh rata-rata 7% dan GDP riil rata-rata 7-8 % hingga
tahun 1996. Pertumbuhan ekspor sangat sehat dan balance of payments
dalam tataran aman, sehingga apabila dibandingkan dengan negara
lain di lingkup regional, Indonesia adalah salah satu yang memiliki
defisit anggaran paling rendah dan rasio cadangan devisa yang
paling tinggi.
Trend positif tersebut berubah ketika terjadi gelombang moneter
di Asia yang bermula pada tanggal 2 Juli 1997 ketika Bank sentral
Thailand menyerah terhadap tekanan yang menyerang kurs
nasionalnya.Thailand memutuskan untuk memotong tali yang
menghubungkan Baht dengan US dollar sehingga memprovokasi jatuhnya
Baht vis--vis US$. Beberapa hari kemudian, Filipina mengikuti
langkah yang ditempuh Thailand. Dengan maksud memproteksi cadangan
devisanya, Filipina melepaskan standard tukar mata uangnya--biasa
disebut peg-- terhadap US$, sehingga Peso Filipina jatuh hingga
sepersepuluh dari nilai sebelumnya.
Efek domino tersebut kemudian mempengaruhi Malaysia dan
Indonesia beberapa waktu setelahnya. Pada Juli 1997, tekanan yang
kuat terhadap kurs tukar Rupiah disambut dengan keputusan Bank
Sentral Indonesia dengan menaikkan level peg tertinggi dan
menurunkan level peg terendah hingga 12%. Namun, pertahanan atas
rupiah tersebut hanya bertahan sebulan karena pada tanggal 14
Agustus 1997 Bank Indonesia memutuskan untuk menghentikan upaya
mempertahankan diri dari gempuran moneter tersebut sehingga nilai
rupiah tiba-tiba jatuh terhadap US$. Dalam beberapa minggu, nilai
rupiah merosot dari 2.449 pada 30 Juni menjadi 3.800 per US$ pada
minggu kedua Oktober 1997.
Badai ekonomi tersebut berlanjut pada tahun berikutnya. Pada
akhir Mei 1998, kurs nilai tukar rupiah jatuh bebas pada level
Rp.11.000 per US$ dari Rp 2.300 per US$ atau setara dengan
sepertujuh dari nilai sebelum krisis. Sebagai konsekuensi,
barang-barang impor menjadi luar biasa mahal dalam takaran rupiah,
memicu penyerbuan barangbarang impor dan komoditas utama di
pasar-pasar perkotaan. GDP riil menurun hingga 10-20%, inflasi
mencapai 70-100%, pengangguran meningkat, dan kemiskinan menyapu
hampir seluruh prestasi ekonomi yang dibangun selama tiga dekade
sebelumnya. Masih lagi, pemerintah harus menghadapi persoalan lain
yaitu jatuhnya harga minyak hingga hanya mencapai level 10-12$ per
barrel.
Dapat dibayangkan kondisi keuangan negara pada saat tax revenue
menurun drastis sedangkan expenditure meningkat tajam. Kondisi
inilah yang dikenal sebagai era runtuhnya infrastruktur ekonomi
Indonesia, sebuah tragedi yang sampai saat ini masih terus
diupayakan pemulihannya. Krisis moneter tersebut sudah pasti
mempengaruhi kesiapan masing - masing anggota ASEAN dalam
menghadapi AFTA, namun cukup sulit untuk memprediksi kesiapan
aktual peserta AFTA berdasarkan perspektif ini.
Terdapat paling tidak tiga alasan yang mendasarinya, yaitu:
Pertama, masing-masing anggota ASEAN memiliki tingkat kecepatan
recovery ekonomi yang bervariasi. Sebagai misal, Malaysia dan
Singapura saat sekarang bisa dikatakan telah pulih hampir 100%
namun Indonesia mungkin masih dikisaran 90% atau bahkan kurang;
Kedua, menggunakan indikator yang ada sekarang akan menimbulkan
bias mengingat beberapa negara masih berada dalam proses recovery
sementara negara lain telah berada pada titik balik (berdasarkan
teori conjunctur ekonomi), dan; Ketiga, seluruh negara anggota
ASEAN mengalami krisis moneter, sehingga Indonesia bukanlah
satu-satunya negara yang terkena dampaknya. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut maka analisis komparatif
kapasitas Indonesia terhadap anggota ASEAN lainnya lebih difokuskan
pada indikator-indikator pada sekitar awal berdirinya AFTA.
G. PROSPEK AFTA BAGI INDONESIA
Inti dari Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT)
dalam persetujuan AFTA adalah pengurangan berbagai tarif impor dan
penghapusan hambatan non-tarif atas perdagangan dalam lingkup
ASEAN. Hal ini membawa implikasi bagi Indonesia berupa perubahan
harga relatif produk-produk Indonesia yang diekspor ke
negara-negara ASEAN disamping akan menjadi insentif bagi masuknya
investasi asing yang selama ini menjadi salah satu pilar untuk
memutar roda perekonomian nasional.
Oleh karena itu, dalam hal ini profil perdagangan dan investasi
Indonesia, dengan perbadingan profil negara-negara anggota lainnya,
sangat penting diketahui guna melihat sejauh mana AFTA akan membawa
dampak positif bagi Indonesia. Pertama dan yang paling penting
dalam sistem ekonomi pasar adalah perdagangan.
Sementara itu, dalam transaksi perdagangan di kawasan,
sepertinya Indonesia tidak bisa berharap terlalu banyak. Terlebih
jika mengingat bahwa produk kayu lapis dan plywood berbahan dasar
kayu hutan, dan bukan rahasia lagi bahwa luas hutan di Indonesia
mengalami penyusutan yang sangat drastis dari tahun ke tahun.
Dengan kata lain, secara ekonomi produk tersebut tidak akan dapat
dijadikan produk andalan dalam jangka menengah apalagi jangka
panjang, mengingat semakin langkanya bahan baku kayu.
Hal lain yang menghambat peningkatan volume perdagangan intra
regional dan pada gilirannya kurang menguntungkan Indonesia
khususnya, adalah fakta dimana produk-produk ekspor andalan negara
anggota AFTA secara umum lebih bersifat subtitutif daripada
komplementer, dalam arti produk-produk yang dihasilkan cenderung
serupa sehingga sulit diharapkan agar masing-masing anggota dapat
menyerap produk mereka satu sama lain. Bahkan di pasar produkproduk
mereka akan bersaing dan dapat mematikan produk yang tidak unggul
secara komparatif. Seperti terlihat pada tabel, dari seluruh
anggota AFTA hanya Singapura yang relatif memiliki produk unggulan
berbeda, yaitu di sektor-sektor menyangkut penggunaan teknologi
elektronik dan informatika, sisanya lebih menekankan pada pertanian
dan hasil alam.
Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana agar di dalam
pelaksanaan AFTA negara anggota yang kurang memiliki variasi produk
unggulan tidak tenggelam dalam persaingan, dimana hal tersebut akan
bertentangan dengan tujuan awal dibentuknya organisasi ini.
Tantangan inilah diantara yang harus dijawab oleh AFTA dan
anggota-anggotanya, khususnya Indonesia. Apabila pemerintah mampu
memecahkan persoalan ini dan dapat secara jeli memetakan dan
kemudian memanfaatkan pasar regional ASEAN yang saat ini mencapai
lebih dari setengah milyar jiwa, terdapat dua peluang besar terbuka
bagi Indonesia terkait dengan perdagangan, yaitu kesempatan untuk
fully-recovered pasca krisis ekonomi; dan yang kedua adalah
kesempatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang stabil dan
signifikan sebagaimana yang terjadi pada periode tahun 1970an
hingga menjelang krisis ekonomi 1997.
Di sisi lain, dengan adanya pengurangan hambatan dan tariff
perdagangan, sudah barang tentu akan terjadi peningkatan volume
transaksi perdagangan antar anggota AFTA, namun muncul pesimisme
bahwa peningkatan tersebut akan mencapai jumlah yang signifikan dan
mampu bertahan dalam waktu yang lama. Sejauh ini kekhawatiran
tersebut memang belum cukup terbukti dan memang untuk sementara ini
secara umum AFTA telah menunjukkan efektifitasnya. Sebagai misal,
pada tahun 1994, setahun setelah percobaan implementasi AFTA, total
perdagangan ASEAN dengan dunia tumbuh sebesar 21% (dari US$ 448
milyar pada tahun 1993 menjadi US$ 543 milyar pada tahun 1994, dan
perdagangan Intra ASEAN juga meningkat dari US$ 89 milyar tahun
1993 menjadi US$ 110 milyar tahun 1994 atau naik sebesar 24%.
Terlebih mengingat keunggulan komparatif bukanlah satu satunya
indikator penentu keberhasilan perdagangan suatu negara. Namun
demikian tidak ada salahnya, khususnya bagi Indonesia, untuk
memperkirakan berbagai kemungkinan di masa datang di dalam AFTA,
dan yang lebih utama lagi guna meyakinkan manfaat organisasi ini
bagi masing-masing anggotanya. Selain perdagangan, yang juga vital
adalah investasi. Ketika Sukarno memerintah mulai awal kemerdekaan
hingga pertengahan tahun 1960an, perekonomian nasional dirangsang
dengan fiscal stimulus yang dibiayai dengan cara mencetak uang dan
mendevaluasikan mata uang. Akibatnya terjadi inflasi yang parah
hingga mencapai 1,500 persen disertai dengan langkanya
barang-barang produksi dan meroketnya pengangguran.
Ketika Suharto mulai memerintah pada tahun 1966, strategi ini
dirubah 180 derajad. Perekonomian nasional disusun berdasarkan
program nasional terencana dengan rentang waktu 5 tahun dengan
menekankan pertanian dan hasil alam sebagai mesin penggeraknya.
Mulai tahun 1986, seiring dengan kuatnya tekanan ekonomi yang
berorientasi pasar dan kebijakan ekonomi nasional Indonesia yang
memperlebar peran swasta dalam perekonomian, investasi asing
langsung mulai mengambil peran menentukan dalam pertumbuhan ekonomi
nasional Indonesia.
Pada tataran yang lebih teknis, untuk menggerakkan perekonomian
diperlukan capital yang pembiayaannya dapat diperoleh dari berbagai
sumber, misalnya pendapatan pemerintah, investasi, tabungan, atau
dengan privatisasi aset-aset negara. Namun diantara sumber-sumber
tersebut, yang paling mudah, praktis, efektif, dan memungkinkan
bagi Indonesia saat ini adalah investasi karena disamping sifatnya
yang langsung, sumber-sumber pembiayaan lain masih sulit
diandalkan. Krisis multidimensional terburuk dalam sejarah
Indonesia pasca-1998 telah mengurangi secara drastis kemampuan
pemerintah untuk membiayai pembangunan.
Pada saat yang sama, tuntutan pihak-pihak donor agar pemerintah
Indonesia memperkecil defisit anggaran biaya negara sebagai
prasyarat pengucuran paket bantuan, telah meniadakan kemungkinan
pemerintah memberikan stimulus fiskal dari sumber APBN. Usaha
pemerintah yang memprivatisasi perusahaanperusahaan milik negara
sejak tahun 1999 memang cukup membantu mengangkat perekonomian,
tetapi masih jauh dari target yang diinginkan; dan, kedua,
investasi berperan sebagai sarana untuk memfasilitasi terjadinya
transfer kemampuan dan tehnologi yang biasanya menyertai investasi.
Keuntungan kedua ini memang tidak cukup mendesak dalam jangka
pendek bagi Indonesia karena prioritas recovery economy tentunya
lebih utama dan pada periode boom investasi sejak tahun 1980-an
transfer kemampuan dan tehnologi tersebut telah terjadi, bahkan
sempat membawa Indonesia pada status negara semi industri di
kawasan Asia.
Namun dalam jangka menengah pasca krisis, penguasaan Indonesia
atas teknologi khususnya tehnologi produksi akan sangat vital
apabila tidak ingin ditinggalkan oleh negara lain di kawasan.
Apalagi dengan pesatnya perkembangan tehnologi informasi yang
demikian dahsyat selama satu dekade terakhir. Namun ternyata tidak
mudah bagi Indonesia menarik minat para investor asing untuk masuk
ke Indonesia. Meskipun gebrakan - gebrakan pemberantasan korupsi,
reformasi hukum, dan good governance semakin gegap gempita
digalakkan, hingga saat ini trend investasi asing langsung masih
menunjukkan grafik naik turun.
Berbagai upaya menarik kembali para investor telah dilakukan
pemerintah, seperti misalnya restrukturisasi sistem perbankan
nasional, perbaikan sistem hukum, dan privatisasi asset negara.
Namun sejauh ini berbagai upaya tersebut belum membuahkan hasil
seperti yang diharapkan dan mungkin adanya kekhawatiran akan
efektifitas kebijakan desentralisasi yang digulirkan sejak tahun
2001 tampaknya merupakan penyebab Indonesia belum cukup menarik di
mata investor.
Di sinilah tampaknya Indonesia akan berharap banyak dengan
keberadaan AFTA. Tidak dapat dipungkiri bahwa AFTA secara tidak
langsung telah menjadi penghubung yang dapat diandalkan antara
kawasan Asia Tenggara dengan dunia luar. Potensi pasar kolektif
yang demikian besar dan pertumbuhanekonomi yang relatif signifikan
selama beberapa dekade terakhir memungkinkan hal tersebut dapat
terealisasi. Jika selama masa sebelum berdirinya AFTA, tiap-tiap
anggota cenderung bergerak secara individual, sehingga dalam
perekonomian dunia secara keseluruhan mereka kurang memiliki daya
tawar signifikan, maka dengan keberadaan AFTA tiap-tiap anggota,
atas nama kolektif, dapat memaksa dunia luar untuk lebih berpihak
pada kepentingan mereka.
Singkatnya, keberadaan AFTA diharapkan akan mampu meningkatkan
daya tawar masing-masing anggotanya terhadap dunia luar kawasan
sekaligus meningkatkan image di mata investor. Sebagai konsekuensi
logis sistem perdagangan bebas, Indonesia sudah barang tentu akan
dihadapkan pada negara-negara partner ekonomi di dalam organisasi
AFTA yang menjanjikan berbagai peluang keuntungan, namun pada saat
yang sama Indonesia juga akan mempunyai pesaing-pesaing baru karena
prinsip perdagangan bebas (yang menjadi landasan AFTA) akan
mendorong tiap-tiap anggota untuk memperbesar keunggulan komparatif
masing-masing, di mana pada akhirnya hanya negara yang punya
keunggulan komparatif terbesarlah yang cenderung meraih keuntungan
optimal. Dalam keragka ini, perlu kiranya kita melihat profil makro
ekonomi Indonesia dan negara-negara partner, sehingga kita akan
dapat melihat sampai dimana sesungguhnya kesiapan Indonesia
dibandingkan dengan anggota lainnya dalam free market di Asia
Tenggara.
Sehubungan dengan hal itu, analisis berdasarkan datadata pada
tabel 2 kiranya cukup memberi gambaran obyektif. Pertama
berdasarkan indikator penapatan perkapita dan pertumbuhan GDP tahun
1970 -1997. dari pendapatan perkapita tahun 1995, di situ tampak
bahwa Indonesia bersama sama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam
termasuk negara miskin di kawasan, bahkan dalam daftar masuk urutan
ke dua terbawah setelah Vietnam atau setara dengan sepertigapuluh
pendapatan perkapita Singapura. Jika mengingat bahwa Indonesia
adalah negara yang kaya sumber daya alam mulai dari minyak hingga
kekayaan tropis yang beraneka ragam, kenyataan ini terkesan
kontradiktif dan memprihatinkan.
Disamping karena besarnya jumlah penduduk, tentu ada
faktor-faktor lain yang tidak perlu diuraikan dalam tema ini.
Sementara pertumbuhan GDP relatif stabil dari tahun ke tahun dengan
rata-rata 7.3% pertahun. Berdasarkan indikator ini, dibandingkan
dengan negara anggota lainnya,Indonesia bisa dibilang cukup siap,
setara dengan Malaysia dan Singapura. Begitu pula dengan saving
ratio dan investasi, dimana Indonesia termasuk yang cukup berhasil
menggalang saving dan investasi dengan ukuran rata-rata anggota
AFTA. Yang mengkhawatirkan dan selalu menjadi bahan pemikiran para
pakar ekonomi Indonesia adalah persoalan hutang luar negeri, dimana
jumlahnya telah mencapai angka diatas 50% dari GDP.
Angka tersebut hingga 1997 sebenarnya telah masuk dalam kategori
kritis berdasarkan ukuran ekonomi, namun krisis ekonomi yang
diikuti dengan penurunan secara drastis nilai tukar rupiah pada
kurun waktu 1997-1999 telah membengkakkan hutang negeri Indonesia
yang mayoritas dalam bentuk US$ (Sebagai catatan: di antara anggota
AFTA, hanya Indonesia, Vietnam dan Filipina yang dicekam persoalan
hutang luar negeri). Serangkaian kebijakan telah diterapkan,
termasuk rescheduling hutang luar negeri dan konversi capital. Akan
tetapi dengan cara ini bukan berarti persoalan hutang luar negeri
telah selesai karena recheduling hutang pada dasarnya hanya
merupakan upaya penundaan kewajiban dan bahkan justru dapat
memperberat perekonomian Indonesia di masa setelahnya.
Hal ini-lah yang sebenarnya menjadi tugas terberat tim ekonomi
pemerintah yang saat ini masih harus terbebani oleh
persoalan-persolan semi-politis. Persoalan inflasi juga tak kalah
pelik. Seperti tampak pada tabel 3, dapat diasumsikan bahwa budaya
inflasi telah melekat dengan Indonesia. Sejak tahun 1990, inflasi
selalu mencapai angka hampirdua digit. Apabila dianalisa, fenomena
inflasi tergolong unik. Berdasar teori ekonomi, inflasi terjadi
karena suplay barang dan jasa yang lebih rendah daripada uang
beredar. Namun yang dominan terjadi di Indonesia adalah inflasi
rutin menjelang hari-hari besar agama tiap akhir tahun. Jadi
inflasi lebih di picu oleh ekspektasi inflasi oleh masyarakat.
H. BERTARUNG DALAM LUMPUR AFTA
AFTA bagi Indonesia adalah pisau bermata ganda. Di satu sisi,
perdagangan bebas menyediakan sederet peluang dan harapannamun di
sisi lain berpotensi menggilas yang tidak siap melalui persaingan
tanpa ampun. Beberapa hal, oleh karenanya perlu ditekankan mbali
agar setiap kebijakan ekonomi ke depan dapat selalu diproyeksikan
pada peningkatan daya saing sembari memperhatikan ketahanan ekonomi
nasional, yaitu bahwa:
1) ketergantungan antar berbagai kekuatan ekonomi di kawasan
akan semakin besar dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian
domestik Indonesia, khususnya yang paling perlu diwaspadai adalah
transaksi perdagangan dan arus investasi asing langsung;
2) melihat berbagai indikator yang ada, Indonesia tidak dapat
berharap terlalu banyak dari AFTA kecuali Indonesia dapat
menciptakan terobosanterobosan di bidang perdagangan secara cukup
spektakuler. Keunggulan komparatif yang relatif rendah, kemiripan
produk-produk ekspor andalan di antara sesama anggota AFTA, adalah
antara lain yang mendasari asumsi ini;
3) Indonesia masih cukup dapat berharap banyak dari transaksi
perdagangan unilateral maupun perdagangan melalui media lain
seperti APEC, dimana partner-partner dagang tradisional Indonesia
berada. Namun hal ini bukan berarti Indonesia harus meninggalkan
AFTA karena bagaimanapun AFTA adalah fenomena regional yang
menyiratkan lebih banyak ketidakpastian apabila dihindari. Belajar
dari pengalaman Inggris dalam konteks masyarakat ekonomi eropa,
yang kiranya perlu dilakukan adalah menyiasati agar lahan yang
sebenarnya menjanjikan tersebut dapat bermanfaat seoptimal mungkin
bagi perekonomian nasional;
4) dibidang investasi, keberadaan AFTA menjadi penting bagi
Indonesia untuk menarik kembali sepenuhnya capital flight yang
terjadi selama periode krisis ekonomi. Oleh karenanya, disamping
perlu menciptakansuasana kondusif di dalam negeri, Indonesia juga
perlu semakin aktif melakukan promosi keluar.
Meskipun faktor kekayaan alam yang melimpah serta jumlah pasar
yang besar (210 juta orang) secara natural akan memposisikan
Indonesia sebagai lahan subur bagi investasi, namun perlu diingat
bahwa investasi selalu bergerak berdasarkan motivasi profit dari
revenue. Perlu diingat bahwa negaranegara lain seperti China,
India, Thailand, Vietnam, dan bahkan Kamboja dapat menjadi lebih
menarik di mata investor jika Indonesia tidak jeli menangkap
peluang yang ada.
Dalam rangka ini AFTA tampaknya akan dapat diandalkan sebagai
mediator yang efektif. Akhir kata, impian untuk menjadi kekuatan
ekonomi yang solid di kawasan Asia Tenggara dengan berbasis pada
kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk (pasar) yang besar, dan
pertumbuhan ekonomi yang stabil tampaknya masih memerlukan kerja
keras dan kecerdasan extra. Menurut teori pembangunan terencana
Suharto dan berbagai fakta pertumbuhan selama masa pemerintahannya,
semestinya Indonesia sudah berada dalam tahap tinggal landas dalam
artian telah lepas dari berbagai bentuk keterbelakangan ekonomi
sekaligus confident dalam mengantisipasi fenomenafenomena strategis
semisal perdagangan bebas.
Namun kenyataannya, memasuki tahun kesepuluh millenium kedua ini
Indonesia masih berjuang dengan krisis-krisis multidimensi yang
tidak hanya cenderung melemahkan performance ekonomi melainkan juga
meniadakan kemampuan untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada
sekaligus menyisakan perasaan khawatir akan terlindas roda ekonomi
global yang semakin hari semakin berputar cepat.
DAFTAR PUSTAKA
2010,http://www.google.co.id
2010,http://id.wikipedia.com
2010,http://www.kompas.com
2010,http://www.detik.com
6