Top Banner
ii ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L. TESIS Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Master of Science (M.Sc.) Magister Farmasi Sains dan Teknologi Oleh : Purwanto 09/291328/PFA/00845 Kepada : PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011
155

Tesis Purwanto

Aug 06, 2015

Download

Documents

Agil Uchiha
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Tesis Purwanto

ii

ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM

DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L.

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapaiderajat Master of Science (M.Sc.)

Magister Farmasi Sains dan Teknologi

Oleh :

Purwanto

09/291328/PFA/00845

Kepada :PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU FARMASIFAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

2011

Page 2: Tesis Purwanto

-

tll

ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI I{EM

DARI FLII{GI ENDOFIT TANAMAN Artemisiu annua L.

dipersiapkan dan disusun oleh :

PURWANTO

09/291328{PFA/00845

telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal I 7 Juni 201 I

Mengetahui:Fakultas Farmasi

Universitas Gadjah Mada

Prof. Dr. Mustof4 M.Kes., Apt. Prof. :N6rchaban, DESS., Apt.

imbing Pendamping d'

I

I

Page 3: Tesis Purwanto

iv

Yang bertanda tangan di

Nama

NIM

SURAT PERNYATAAN

bawah ini :

: Purwanto

: 091291328/PFA/00845

Judul penelitian : Isolasi dan identifikasi senyawa penghambat

polimerisasi hem dari fungi endofit tanaman

Artemisia annuaL.

Menyatakan bahwa penelitian ini adalah hasil karya tesis dan di dalam tesis ini

tidak terdapatkarya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar magister di

suatu Perguruan Tinggi; dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya

atau pendapatyang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang

secara terfulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

uni 201 1

Page 4: Tesis Purwanto

v

PERSEMBAHANKU

”Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),

kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada

Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap” (Al-Insyiroh : 6-8)

Kekayaan yang paling tinggi nilainya adalah akal pikiran

Kemiskinan yang paling parah adalah kebodohan

Kesepian yang menakutkan adalah bangga pada diri sendiri

Kekaguman yang paling mulia adalah budi pekerti yang luhur

(Ali bin Abi Tholib)

Anda akan menjadi pribadi yang dihargai dan tidak terlupakan,jika Anda menjadikan kehadiran Andamerupakan sebuah keuntungan bagi orang lain(Mario Teguh)

Kupersembahkan kepada :

Rabbku, tanpa cinta-Mu apalah arti hidupku

Rasulku, tanpa teladanmu bagaimana jalan hidupku

Ibu dan bapakku, sebagai tanda baktiku yang telah mendidikku

dengan penuh curahan kasih sayang

Adikku, tanpa canda kalian, bagaimana asa di jiwa ini

Seluruh saudaraku, tanpa kalian, aku tidaklah bisa seperti sekarang ini

Almamaterku

Page 5: Tesis Purwanto

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji kepada Alloh Tuhan Semesta

Alam, yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, hidayah, dan bimbingan-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Isolasi dan identifikasi

senyawa penghambat polimerisasi hem dari fungi endofit tanaman Artemisia

annua L.”. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosululloh

Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam, dan segenap umatnya hingga akhir

zaman. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai derajad Magister of

Science (M.Sc.) pada program Pascasarjana Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah

membantu jalannya penelitian ini baik langsung maupun tidak langsung, kepada :

1. Prof. Dr. Marchaban, DESS., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi yang

telah memberikan ijin penelitian.

2. Prof. Dr. Wahyono, S.U., Apt. selaku dosen pembimbing utama yang

telah banyak memberikan bimbingan, saran dan motivasi.

3. Prof. Dr. Mustofa, M.Kes., Apt. selaku dosen pembimbing pendamping

yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan motivasi.

4. Dr. Pudjono, S.U., Apt. dan Dr.rer.nat. Yosi Bayu Murti, M.Si., Apt.

selaku dosen penguji, atas saran dan masukan yang diberikan.

5. Mbak Wiwied dan Mas Bibit yang telah banyak membantu dalam

penyelesaian penelitian ini.

Page 6: Tesis Purwanto

vii

6. Ibu, Bapak, dan Endri yang senantiasa memberi dorongan dan doa hingga

selesainya penelitian ini.

7. Iramie DKI, S. Farm. atas kerelaannya memberikan saran, dorongan,

motivasi, bantuan selama kerja dan penyusunan penelitian ini.

8. Herlina Rante, M.Si., Apt dan Indah Purwantini, M.Si., Apt. atas diskusi

dan masukan selama penelitian ini.

9. Dr. Nanang Fakhrudin, M.Si., Apt. dan Sylvia Utami TP., M.Si atas

kiriman jurnal-jurnalnya.

10. Segenap karyawan Bagian Biologi Farmasi yang telah banyak membantu

dalam pengambilan data penelitian ini.

11. Segenap karyawan perpustakaan Fakultas Farmasi UGM yang telah

banyak membantu dalam penyusunan penelitian ini.

12. Sahabat-sahabatku, Fahrauk, Sri, Ari Sartinah, Hasnawati, Sumardi,

Mbak Dewi, Mbak Jovie, Mbak Lika, Mbak Yos, Mbak Maria, Mbak

Isnindar, atas kebersamaannya selama ini.

13. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu, semoga Alloh

membalas kebaikan kalian semua dengan pahala berlimpah.

Penulis menyadari bahwa buah karya ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu saran, kritik, dan masukan sangat diharapkan demi penyempurnaan karya ini.

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat. Amin

Yogyakarta, Juni 2011

Penulis

Page 7: Tesis Purwanto

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ...……………………………………………... iii

HALAMAN PERNYATAAN ...…………………………………………….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...…………………………………………… v

KATA PENGANTAR …………………………………………………........... vi

DAFTAR ISI………………………………………………………………….. viii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xi

DAFTAR TABEL……………………………………………………………... xii

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….. xiii

DAFTAR SINGKATAN KATA ……………………………………………… xiv

INTISARI …...………………………………………….................................... xv

ABSTRACT …...……………………………………….................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………............ 3

C. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Artemisia annua L .…………………….................. 4

B. Senyawa antiplasmodium dalam tanaman A. annua L............. 7

C. Malaria .............……………………………………............... 16

D. Mikroba Endofit …….…………………………………......... 24

E. Fermentasi ...................………………………………............ 27

F. Liquid Chromatography - Mass Spectrometer (LC-MS) …… 31

G. Landasan Teori ………………………………………………. 32

H. Hipotesis……………………………………………………... 33

Page 8: Tesis Purwanto

ix

BAB III CARA PENELITIAN

A. Bahan dan Alat Penelitian ………………………………........ 34

1. Definisi operasional dan variabel penelitian .................. 34

2. Bahan penelitian ............................................................. 34

3. Alat penelitian ...………………………………………. 35

B. Cara Penelitian…………………………………………….… 36

1. Identifikasi tanaman .……………………………..…... 36

2. Isolasi fungi endofit dari A. annua L. ........................…. 36

a. Pembuatan media PDA ......................................... 36

b. Isolasi fungi ........................................................... 37

3. Fermentasi fungi endofit ................................……….... 38

a. Pembuatan media M 102b ..................................... 38

b. Fermentasi ............................................................. 39

4. Bioassay guided fractionation ....................................... 39

a. Ekstraksi media fermentasi dan miselia fungi ...... 39

b. Analisis profil KLT ekstrak etil asetat ................. 40

c. Uji penghambatan polimerisasi hem ..................... 40

d. Analisis ekstrak aktif dengan HPLC ..................... 45

e. Analisis ekstrak aktif dengan LC-MS ................... 45

5.Identifikasi golongan senyawa yang terdapat di dalamekstrak aktif .............................………………………..

46

6. Analisis profil pertumbuhan fungi ................................. 47

7. Identifikasi fungi .……………....................................... 47

C. Data dan Analisis Data .......…...…………………………….. 48

Page 9: Tesis Purwanto

x

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Isolasi fungi endofit dari A. annua L.……………………….. 50

1. Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA) …….... 50

2. Isolasi fungi .................................................................... 50

B. Fermentasi fungi endofit ......................................................... 52

C. Bioassay guided fractionation ................................................. 53

1. Ekstraksi media fermentasi dan miselia fungi ………… 53

2. Hasil analisis profil KLT ekstrak etil asetat …………... 54

3. Hasil uji penghambatan polimeriasi hem ....................... 58

4. Hasil analisis dengan HPLC ........................................... 63

5. Hasil analisis dengan LC-MS ......................................... 65

D. Hasil identifikasi golongan senyawa dengan KLT .................. 69

E. Hasil analisis profil pertumbuhan fungi …………………….. 75

F. Hasil identifikasi fungi ……………………………………… 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………………………………………………….. 77

B. Saran …………………………………..…………………….. 77

DAFTAR PUSTAKA ……………………..……………................................... 78

LAMPIRAN ……………………………………………................................... 85

Page 10: Tesis Purwanto

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Struktur kimia artemisinin dan turunannya ............................. 8

Gambar 2Mekanisme artemisinin dan turunannya yang melaluipenghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin ..............

10

Gambar 3 Jalur biosintesis artemisinin .................................................... 14

Gambar 4 Siklus hidup Plasmodium ….................................................... 19

Gambar 5 Struktur kimia hematin …........................................................ 23

Gambar 6 Struktur kimia agen antimalaria .............................................. 24

Gambar 7Bagan prosedur kerja penelitian identifikasi senyawa aktifpada fungi endofit A. annua L. ..............................................

49

Gambar 8Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102b dengan volumepenotolan 7,5 µL .....................................................................

55

Gambar 9Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102b dengan volumepenotolan 30 µL ......................................................................

56

Gambar 10 Profil KLT ekstrak etil asetat miselia fungi ........................... 57

Gambar 11 Kurva baku larutan hematin dalam larutan NaOH 0,1 M ....... 59

Gambar 12a Hasil elusi standar artemisinin dengan HPLC ......................... 64

Gambar 12b Hasil elusi ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC .. 64

Gambar 12cElusi hasil penambahan standar adisi artemisinin terhadapekstrak etil asetat miselia fungi E ............................................

65

Gambar 13aPola fragmentasi artemisinin setelah terprotonasi padametode ESI ..............................................................................

65

Gambar 13bPola fragmentasi dihidroartemisinin setelah terprotonasi padametode ESI ..............................................................................

66

Gambar 13cPola fragmentasi artemether setelah terprotonasi padametode ESI ..............................................................................

66

Gambar 13dPola fragmentasi arteether setelah terprotonasi pada metodeESI

66

Gambar 13ePola fragmentasi artesunat setelah terprotonasi pada metodeESI ...........................................................................................

67

Gambar 14aSpektra spektrometer massa ekstrak miselia fungi E dalamrentang m/z 100 sampai m/z 1200 ...........................................

68

Gambar 14bSpektra spektrometer massa ekstrak miselia fungi E dalamrentang m/z 235 sampai m/z 818 .............................................

68

Page 11: Tesis Purwanto

xii

Gambar 15 Hasil elusi tanpa penyemprotan .............................................. 70

Gambar 16 Hasil penyemprotan dengan larutan FeCl3 .............................. 70

Gambar 17 Hasil penyemprotan dengan larutan Dragendorff ................... 71

Gambar 18 Hasil penyemprotan dengan anisaldehid asam sulfat .............. 71

Gambar 19 Hasil penyemprotan dengan larutan vanilin asam sulfat ......... 72

Gambar 20 Hasil penyemprotan dengan larutan SbCl3 .............................. 72

Gambar 21 Kurva pertumbuhan fungi E .................................................... 75

DAFTAR TABEL

Tabel IPengaruh pemberian ekstrak miselia fungi terhadap aktivitaspenghambatan polimerisasi hem .....................................................

60

Tabel IIKemungkinan nilai m/z yang terbentuk pada analisis artemisinindan turunannya dengan ESI pengionan positif ................................

67

Page 12: Tesis Purwanto

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat identifikasi tanaman Artemisia annua L. ……………... 85

Lampiran 2 Gambar tanaman Artemisia annua L. ………………………. 86

Lampiran 3 Gambar penanaman eksplan dalam media PDA ……………. 86

Lampiran 4 Gambar fungi endofit hasil isolasi .......................................... 87

Lampiran 5 Surat identifikasi fungi E ……………………………………. 88

Lampiran 6 Gambar morfologi fungi E secara mikroskopis ...................... 89

Lampiran 7Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasihem fungi A .............................................................................

90

Lampiran 8Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasihem fungi E .............................................................................

94

Lampiran 9Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasihem fungi F .............................................................................

98

Lampiran 10Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasihem klorokuin difosfat ............................................................

99

Page 13: Tesis Purwanto

xiv

DAFTAR SINGKATAN KATA

ADS : amorfa-4,11-diena sintaseBB : berat badanCPR : sitokrom P-450 reduktaseCYP71AV1 : sitokrom P-450 monooksigenaseDMSO : dimetil sulfoksidaEC50 : Effective Concentration 50FTIR : Fourier Transform Infra Redg : gramHPLC : High Performance Liquid Chromatographyi.d. : inner diameterIC50 : Inhibitory Concentration 50kg : kilogramkV : kilo VoltKLT : Kromatografi Lapis TipisL : literLAF : Laminar Air FlowLC-MS : Liquid Chromatography-Mass SpectrometryM : Molarmg : milligrammL : mililiterOD : Optical DensityPDA : Potato Dextrose Agarppm : part per millionRf : Retention factorSDS : Sodium Dodesyl SulphateUV : Ultra Violetv/b : volume per beratoC : derajat Celsiusµg : mikrogramµL : mikroliter

Page 14: Tesis Purwanto

xv

INTISARI

Malaria adalah penyakit yang disebabkan parasit Plasmodium dan banyakmengancam kehidupan manusia. Penyebaran yang cepat dari malaria yangresisten terhadap obat golongan kuinolin mendorong pencarian antimalaria baru.Tanaman Artemisia annua L. yang mengandung metabolit sekunder artemisininsudah sejak lama digunakan sebagai antimalaria. Salah satu sumber senyawabioaktif adalah fungi endofit, fungi yang hidup di dalam jaringan tanaman danmampu menghasilkan metabolit yang sama atau mirip dengan tanaman inangnya.

Penelitian ini dilakukan dengan cara isolasi fungi endofit dari jaringantanaman A. annua L., fermentasi fungi, ekstraksi media fermentasi maupunmiselia fungi, analisis profil kromatografi dengan KLT, uji aktivitaspenghambatan polimerisasi hem, analisis dengan HPLC dan LC-MS, analisisgolongan senyawa aktif, dan identifikasi fungi.

Dari 6 macam fungi endofit yang berhasil diisolasi, 3 fungi diantaranyadiduga menghasilkan artemisinin secara intraseluler, yaitu fungi A, E, dan F.Fungi E memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem yang tertinggi, yaitudengan nilai IC50 0,499 mg/mL. Hasil analisis dengan HPLC dan LC-MS,menunjukkan bahwa metabolit intraseluler fungi E tersebut tidak mengandungartemisinin atau turunannya, yaitu dihidroartemisinin, artemether, arteether, atauartesunat. Hasil analisis golongan senyawa menunjukkan bahwa senyawa yangterkandung di dalam ekstrak miselia fungi E yang termasuk dalam genusTritirachium sp. tersebut adalah senyawa golongan terpenoid.

Kata kunci : malaria, fungi endofit, fermentasi, artemisinin, polimerisasi hem

Page 15: Tesis Purwanto

xvi

ABSTRACT

Malaria is a life-threatening disease caused by Plasmodium parasites. Therapid spread of malaria-quinoline resistance enforce a finding of new antimalariadrug. Artemisia annua L plant that had artemisinin as secondary metabolic, hadbeen used as antimalaria agent for long time ago. One source of bioactivecompound is endophytic fungus. This fungus can produce the same or similar toits host plant.

This research was done by isolation endophytic fungus, fermentation,extraction of fermentation medium and fungus miselium, analysis chromatogramwith KLT, analysis of the haem polymerization inhibitory activity, analysis withHPLC and LC-MS, analysis of active compound group, and fungus identification.

From 6 kind of fungus isolated from A. annua L., 3 kind of those fungus(fungus A, E, and F) was guessed could produce intracellular artemisinin. FungusE had the highest value of the haem polymerization inhibitory activity with IC50

0,499 mg/mL. However, the analysis result of HPLC and LC-MS showed thatfungus E did not contain artemisinin or its derivates, such dihydroartemisinin,arthemether, artheether, or artesunate. The result analysis of active compoundgroup showed that fungus E miselium was consisted of terpenoid groupcompound, and this fungus was included in genus Tritirachium sp.

Key words : malaria, endophytic fungus, fermentation, artemisinin, the haempolymerization

Page 16: Tesis Purwanto

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Malaria adalah salah satu penyakit endemis di negara tropis. Pada tahun

2008 dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia sekitar 243 juta orang,

dan 1 juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya (Shio et al., 2010). Di

Indonesia, malaria tergolong penyakit menular yang masih menjadi masalah

utama dalam bidang kesehatan. Kejadian Luar Biasa malaria pada tahun 2004 di

kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan kepulauan Karimun, Riau, menyebabkan

909 orang terinfeksi malaria dan 11 orang diantaranya meninggal dunia. Pada

bulan Juni 2005 di kabupaten Pangkal Pinang, Bangka Belitung, sebanyak 5000

orang terserang malaria dan 6 orang diantaranya meninggal dunia (Aryanti et al.,

2006).

Antimalaria sudah tersedia sejak lama, tetapi sampai kini belum ada

antimalaria ideal. Antimalaria yang ideal adalah efektif terhadap semua jenis dan

stadium parasit, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, cara pemakaiannya

mudah, harga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, efek samping ringan,

serta toksisitas rendah (Yuliani et al., 2005).

Saat ini, antimalaria baru yang lebih efektif perlu dicari kembali

mengingat adanya penyebaran Plasmodium yang resisten terhadap obat golongan

kuinolin secara cepat dan luas (Huy et al., 2007). Salah satu usaha pencarian

antimalaria baru adalah melalui penelitian terhadap tanaman obat yang secara

tradisional telah digunakan oleh masyarakat untuk mengobati malaria.

1

Page 17: Tesis Purwanto

2

Keberhasilan pengembangan tanaman obat sebagai antimalaria telah terbukti

nyata dengan ditemukannya obat baru, yaitu artemisinin dan derivatnya dari

tanaman Artemisia annua L. (Suwandi et al., 2008) yang sudah lama digunakan

secara tradisional di Cina untuk mengobati malaria (Krishna et al., 2004).

Artemisinin dan turunannya, yaitu artemeter, artesunat, arteeter, dan

dihidroartemisinin, sulit untuk disintesis dan hanya menghasilkan randemen yang

rendah (Ferreira, 2004). Sementara itu, masalah yang dihadapi di Indonesia dalam

pengembangan obat dengan bahan aktif artemisinin adalah tidak tersedianya

bahan baku (tanaman artemisia) yang mempunyai kandungan artemisinin lebih

besar dari 0,5% sehingga tidak bernilai ekonomis bagi skala industri

(Anonim, 2009).

Salah satu sumber senyawa bioaktif adalah fungi endofit. Fungi ini hidup

di dalam jaringan tanaman dan merupakan sumber alam yang melimpah yang

dapat dijadikan sumber penemuan obat baru. Endofit mampu memproduksi

senyawa yang mirip atau sama dengan senyawa yang diproduksi inangnya karena

telah terjadi rekombinasi genetik antara endofit dengan inang. Pertumbuhan

endofit lebih cepat dari inangnya, sehingga eksplorasi endofit sebagai sumber

penemuan obat baru sangat menguntungkan (Strobel and Daisy, 2003).

Salah satu mekanisme aksi senyawa antimalaria adalah melalui

penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin. Plasmodium memetabolisme

hemoglobin eritrosit menjadi asam amino dan hem. Asam amino diperlukan

Plasmodium untuk kelangsungan hidupnya, sedangkan hem yang bersifat toksik

bagi Plasmodium diubah menjadi hemozoin dan disimpan dalam vakuola

Page 18: Tesis Purwanto

3

digestifnya. Hemozoin akan dilepaskan dalam darah pada saat Plasmodium pecah

menjadi merozoit dan skizon. Penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin

ini telah digunakan sebagai skrining awal uji aktivitas antiplasmodium (Basilico et

al., 1998).

Dalam penelitian ini dicari fungi endofit dari tanaman A. annua L. yang

menghasilkan metabolit sekunder dengan efek sebagai antiplasmodium melalui

mekanisme penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin.

B. Rumusan masalah

1. Apakah fungi endofit A. annua L. mengandung metabolit sekunder yang

mempunyai efek menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin ?

2. Senyawa golongan apakah yang berefek menghambat polimerisasi hem

tersebut ?

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan fungi endofit A. annua L. yang menghasilkan metabolit

sekunder yang mampu menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin

serta isolasi senyawa aktif tersebut.

2. Mengetahui golongan senyawa yang mempunyai aktivitas menghambat

polimerisasi hem tersebut.

Page 19: Tesis Purwanto

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Artemisia annua L.

Klasifikasi tanaman A. annua L. dalam sistematika tumbuhan adalah :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Asterales

Suku : Asteraceae

Marga : Artemisia

Jenis : Artemisia annua L. (Anonim, 1999)

Artemisia annua L. adalah tanaman tradisional yang berasal dari provinsi

Char dan Suiyuan, Cina (Bhakuni et al., 2001) serta digunakan kurang lebih 2000

tahun yang lalu sebagai antimalaria, obat demam, dan pereda gangguan

menstruasi. Nama artemisia diambil dari nama dewi bangsa Yunani "Artemis",

yang dianggap mampu menyembuhkan penyakit dan mencegah hal-hal yang

buruk (Ferreira, 2004). Kegunaan lain dari tanaman ini adalah untuk terapi

hemoroid, aromaterapi, antikanker, antivirus, antitripanosoma (Ferreira and

Janick, 2009), antibakteri, industri parfum, dan kosmetik (Muzemil, 2008).

Artemisia annua L. adalah tanaman semusim dengan tinggi 30-100 cm.

Batang tegak, bulat persegi, berwarna hijau kecoklatan. Daunnya bersifat

majemuk, bentuk oval, lonjong, panjang 10-18 cm, lebar 6-15 cm, ujung runcing,

pangkal tumpul, tepi bergerigi, anak daun bentuk oval, tepi bergerigi, pertulangan

4

Page 20: Tesis Purwanto

5

daun tegas, warna ungu kehijauan atau hijau. Tanaman ini mempunyai bunga

majemuk, bentuk tandan, terletak di ujung batang, panjang mencapai 30 cm,

kelopak hijau, bentuk bintang, berlekuk 5, mahkota halus mengelilingi cawan

bunga tempat benang sari dan putik, diameter 2-3 cm, warna putih gading. Biji

berbentuk lanset, kecil, berwarna coklat. Akar serabut, berwarna putih kekuningan

(Anonim, 1999).

Sebagian besar spesies artemisia adalah tanaman yang tidak tergantung

musim. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran tinggi dengan

ketinggian 1000-1500 m di atas permukaan laut. Kondisi tanah yang cocok adalah

tanah yang berpasir atau berlempung, berdrainase baik dengan pH 5,5-8,5 (pH

optimum 6-8), dan curah hujan 700-1000 mm/tahun. Ketersediaan air merupakan

faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada

umur 1-2 bulan (Gusmaini dan Nurhayati, 2007).

Perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji yang dipanen saat tanaman

berumur 13 minggu. Setelah berumur 40-50 hari ditanam dalam bedeng, benih

siap ditanam di tanah lapang. Panen dilakukan setelah tanaman berumur 5 bulan,

dan saat yang terbaik untuk panen adalah saat antara pembentukan kuncup bunga

dan pembungaan awal, karena kandungan artemisininnya mencapai jumlah yang

optimal, yaitu 0,3-0,6% terhadap bahan kering (Kardinan, 2008).

Sebagian besar kandungan metabolit sekunder A. annua L. adalah

terpenoid dan flavonoid. Minyak atsiri yang terkandung sebagian besar terdiri dari

monoterpen. Kandungan minyak atsiri berkisar antara 0,3-0,4% (v/b). Kandungan

kimianya pun berbeda-beda. Minyak atsiri A. annua L. dari Cina mengandung

Page 21: Tesis Purwanto

6

63,9% artemisia keton; 7,5% artemisia alkohol; 5,1% mirsena; 4,7% α-guaina;

dan 3,3% kamfor; sedangkan tanaman dari Vietnam mengandung 21,8% kamfor;

18,3% germaserena-D; 5,6% α-kariofilina; 3,8% trans-α-farnesena; dan 3,1% 1,8-

sineol. Analisis GC-MS terhadap minyak atsiri diperoleh 38 senyawa, terdiri dari

22 senyawa monoterpen (57,89%), 14 senyawa seskuiterpen (36,84%), dan 2

senyawa fenolik (5,55%). Dari senyawa yang volatil, kamfor adalah komponen

terbanyak dengan jumlah mencapai 43,84% (Bhakuni et al., 2001). Senyawa

seskuiterpen yang terkandung dalam A. annua L. misalnya artemisinin (arteanuin

A), arteanuin B, artemisiten, dan asam artemisinat (Ferreira and Janick, 2009).

Fraksi kloroform dari ekstrak etanolik 70% herba A. annua L. banyak

mengandung flavonoid metoksi seperti artemetin, krisoplenetin, krisosplenol-D,

dan sirsilineol. Ekstrak ini mampu melawan P. falciparum secara in vitro dengan

Inhibitor Concentration 50 (IC50) sebesar 2,4-6,5 . 10-5 M (Muzemil, 2008).

Ekstrak air tanaman yang sedang berbunga sangat mematikan larva nyamuk Culex

pipiens dengan nilai Effective Concentration 50 (EC50) sebesar 4 g/L setelah 24

jam perlakuan, dan sangat nyata membunuh nematoda Meloidogyne incognita

pada konsentrasi 40 ppm (Aryanti et al., 2006). Alkaloid dalam A. annua L.

berefek sebagai inhibitor asetilkolin esterase sehingga mampu mencegah penyakit

Alzheimer’s (Mojarad et al., 2005).

Minyak atsiri banyak terdapat pada daun, dengan komponen utamanya

adalah tujon (mencapai 70%). Fungsi tujon adalah sebagai antioksidan,

antimikroba, dan antijamur. Pemakaian tujon dosis tinggi dapat berefek

halusinasi. Rasa pahit pada herba A. annua L. disebabkan oleh absinthin dan

Page 22: Tesis Purwanto

7

anabsinthin. Minyak atsiri yang dicampurkan dengan minuman bersifat

aprodisiaka dan tonik (Kardinan, 2008).

B. Senyawa antiplasmodium dalam tanaman A. annua L.

Diantara senyawa yang terkandung dalam A. annua L., artemisinin adalah

komponen yang paling banyak menarik perhatian karena efek antimalarianya

dalam menanggulangi P. falciparum yang telah resisten terhadap klorokuin dan

kuinin. Artemisinin dan derivatnya juga berefek sebagai antisitotoksik dalam sel

tumor. Asam artemisinat, prekursor semi sintesis artemisia, berefek sebagai

antibakteri (Bhakuni et al., 2001).

Artemisinin merupakan senyawa induk yang aktif sebagai antimalaria dan

saat ini telah diproduksi derivat artemisinin secara semi sintesis, diantaranya

adalah artemether, arteether, dan artesunat. Artemether dan arteether bersifat lebih

non polar daripada turunan lain dan larut dalam eter, sementara itu, artesunat

bersifat lebih polar dapat larut dalam air. Artemisinin dan ketiga derivatnya

tersebut akan termetabolisme di dalam tubuh menjadi derivat aktif yang

bertanggung jawab sebagai antimalaria, yaitu dihidroartemisinin (Robert et al.,

2001). Rumus kimia artemisinin dan turunannya tertera pada Gambar 1.

Page 23: Tesis Purwanto

8

Artemisinin Artemether

Arteether Artesunat

Dihidroartemisinin

Gambar 1. Struktur kimia artemisinin dan turunannya (Sweetman, 2009)

Artemisinin adalah endoperoksida lakton seskuiterpen dan merupakan

kandungan utama dalam tanaman A. annua L. (Jian-Wen et al., 2002).

Artemisinin pertama kalinya ditemukan oleh peneliti dari Cina pada abad ke-20.

Senyawa ini aktif terhadap malaria dengan mekanisme aksi yang berbeda dari

obat konvensional. Artemisinin mampu menghambat proliferasi, migrasi dan

pembentukan vena endotelial sel, menghambat vascular endothelial growth factor

(VEGF) dengan cara berikatan dengan permukaan reseptor pada HUVEC (Human

Page 24: Tesis Purwanto

9

umbilical vein endothelial cell). Senyawa ini juga mampu mereduksi replikasi

virus hepatitis B dan C, herpes, influensa, dan HIV-1 dengan dosis rendah dalam

mikromolar (Krishna et al., 2008).

Artemisinin mampu melawan P. falciparum, malaria serebral, dan parasit

lain penyebab malaria yang telah resisten terhadap klorokuin dan kuinin (Bhakuni

et al., 2001). Untuk mencegah terjadinya resistensi, pemakaian artemisinin dan

turunannya sering dikombinasikan dengan obat lain, misalnya : artesunat dengan

meflokuin, artemether dengan lumefantrin, dan artesunat dengan amodiakuin

(Fidock et al., 2004).

Mekanisme aksi artemisinin dan turunannya sebagai antimalaria terjadi

melalui banyak mekanisme dan belum bisa dibuktikan secara pasti (Cui and Su,

2009). Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain : penghambatan polimerisasi

hem menjadi hemozoin melalui pembentukan radikal bebas dari lakton

seskuiterpen yang akan mengalkilasi hem membentuk kompleks hem-artemisinin

(Muzemil, 2008), penghambatan proses respirasi pada mitokondria, dan

penghambatan transporter ion Ca2+ yang disebut PfATP6, suatu sarco-

endoplasmic reticulum calcium-dependent ATPases (SERCAs) yang hanya

terdapat pada P. falciparum (Cui and Su, 2009). Mekanisme aksi artemisinin dan

turunannya yang diusulkan sebagai agen antiplasmodium melalui penghambatan

polimerisasi hem menjadi hemozoin adalah seperti Gambar 2.

Page 25: Tesis Purwanto

10

Hemoglobin

1. Pembentukankompleks denganhem

Hem 2. Penghambatanpembentukanhemozoin 3. Peruraian

hemozoin

Hemozoin

GlobinPeptida Asam amino

Serin proteasePlasmepsin I&II danSistein protease

Penghambatan protease oleh hem bebas

Endoperoksida Penyimpanan sementarahem bebas

Pembentukanradikal bebas

a. Kerusakan membranb. Alkilasi protein malariac. Hemolisis

Kematian parasit

Gambar 2. Mekanisme artemisinin dan turunannya yang melalui penghambatanpolimerisasi hem menjadi hemozoin (Pandey et al., 1999)

Artemisinin akan berikatan dengan Plasmodium falciparum histidin rich

protein II (PfHRP II), suatu protein yang menjadi katalis dalam polimerisasi hem

di dalam vakuola digestif Plasmodium, sehingga polimerisasi hem menjadi

hemozoin menjadi terhambat (Cui and Su, 2009). Mekanisme melalui rute ini

sebenarnya bukan rute yang utama karena ternyata artemisinin yang ditemukan

dalam vakuola digestif Plasmodium hanya berkisar 13-15% saja (Krishna et al.,

2004). Ion besi dapat mengkatalisis dekomposisi baik ikatan hidrogen peroksida

maupun peroksida organik lain menjadi radikal bebas. Efek katalitik ini dimiliki

Page 26: Tesis Purwanto

11

oleh ion besi dalam keadaan bebas maupun yang terikat hem. Hal ini dibuktikan

bahwa deoksiartemisinin, senyawa yang molekulnya tidak terdapat ikatan

endoperoksida, ternyata tidak aktif sebagai antimalaria. Bukti lain adalah bahwa

penangkap radikal bebas seperti asam askorbat dan vitamin E ternyata

menurunkan efek antimalaria dari obat baik secara in vitro dan in vivo. Bukti

bahwa ion besi berperan adalah penambahan khelator besi, ternyata menurunkan

efektifitas agen antimalaria (Meshnick, 1994).

Aksi artemisinin pada penghambatan respirasi pada mitokondria

ditunjukkan bahwa Saccharomyces cerevisiae yang mengalami delesi pada gen

penyandi NADH dehidrogenase di sistem transpor elektron dalam mitokondria

memicu terjadinya resistensi terhadap artemisinin, sedangkan ekspresi berlebihan

dari gen ini meningkatkan sensitivitas terhadap artemisinin. Dari data ini dapat

disimpulkan bahwa proses transpor elektron dalam mitokondria dapat

mengaktivasi artemisinin melalui pembentukan spesies radikal bebas dan dapat

menon-aktifkan mitokondria tersebut (Cui and Su, 2009).

Mekanisme aksi artemisinin terbaru yang diusulkan adalah melalui

penghambatan terhadap PfATP6, suatu transporter transmembran pada retikulum

endoplasmik yang hanya terdapat pada P. falciparum (Krishna et al., 2008)

sehingga influks ion Ca2+ menjadi terhambat. Sebuah studi di Perancis ditemukan

bahwa PfATP6 yang mengalami mutasi, yaitu terjadi pergantian asam amino ke-

769 (serin) dengan asparagin menyebabkan nilai IC50 artemether terhadap

Plasmodium tersebut meningkat lebih dari 20 kalinya, atau terjadi resistensi pada

kadar normal, yaitu dari 5,6 nM menjadi 116,8 nM. Selain itu, di Senegal, mutasi

Page 27: Tesis Purwanto

12

pada asam amino ke-431 (glutamat) menjadi lisin ternyata meningkatkan nilai

IC50 artesunat dari 5,46 nM menjadi 20,8 nM.

Sifat antifungi dari artemisinin ditunjukkan dengan kemampuannya

melawan Pneumocytis carinii secara in vitro. Efikasinya juga efektif untuk

penyakit infeksi nonparasit seperti Schistosomiasis yang disebabkan oleh

Schistosoma japonicum, S. mansoni, dan S. haematobium. Senyawa turunan

artemisinin, α-arteether mempunyai mekanisme mengeblok enzim DNA-girase

pada E. coli, Mycobacterium smegmatis, dan M. tuberculosis yang telah resisten

terhadap kuinolin (Kumar et al., 2004).

Artemisinin berpotensi sebagai anti kanker pada uji sel dan pada hewan.

Pada uji secara in vivo, artemisinin aktif untuk menanggulangi kanker kolorektal

(Krishna et al., 2008). Beberapa pasien yang menderita kanker kulit, payudara,

dan paru berhasil disembuhkan dengan artemisinin (Kardinan, 2008). Turunan

artemisinin, yaitu artesunat, mampu melawan kanker kolon, payudara, paru dan

pankreas dengan mekanisme penghambatan angiogenesis. Artesunat efektif

mereduksi CMV-5 (Human Herpes Virus-5) pada anak 12 tahun dengan dosis 100

mg perhari selama 30 hari tanpa adanya gejala toksisitas (Krishna et al., 2008).

Kombinasi dihidroartemisinin dengan fero sulfat mampu mereduksi pertumbuhan

kanker, khususnya kanker payudara. Obat ini selektif karena tidak menyerang sel

normal (Ferreira, 2004).

Pada percobaan dengan tikus, pemberian artemisinin dengan dosis 200-

300 mg/kgBB tidak menimbulkan toksisitas. Dosis lazim pemakaian artemisinin

pada manusia adalah 30 mg/kgBB. Kelemahan artemisinin dalam terapi adalah

Page 28: Tesis Purwanto

13

bioavailabilitas rendah dan waktu paruh biologisnya yang pendek. Derivat

artemisinin (dihidroartemisinin, artesunat, artemeter, dan arteeter) mempunyai

bioavailabilitas yang lebih baik (Ferreira and Janick, 2009). Waktu paruh biologis

yang pendek dari artemisinin ini mempunyai keuntungan, yaitu meminimalkan

terjadinya resistensi karena kadar artemisinin dalam plasma akan berada dalam

kadar subterapetik yang singkat (Cui and Su, 2009).

Pemberian artemisinin selama 4 minggu secara intraperitoneal dengan

dosis 100 dan 200 mg/kgBB mampu menurunkan konsentrasi glukosa darah tikus

secara signifikan dibandingkan kontrol. Selain itu, pada dosis tersebut, artemisinin

mampu merelaksasi organ terisolasi aorta tikus yang diinduksi fenilefrin secara

signifikan (Mojarad et al., 2005). Artemisinin mampu menghambat pertumbuhan

akar beberapa jenis alang-alang sebanyak 50% pada kadar 33 μM. Hal ini

menunjukkan bahwa artemisinin dapat berfungsi sebagai herbisida (Bhakuni et

al., 2001).

Artemisinin dapat meningkatkan produksi asam lambung, sehingga perlu

hati-hati terhadap penderita tukak lambung. Artemisinin juga bersifat merangsang

menstruasi, sehingga dilarang untuk wanita hamil (Kardinan, 2008). Senyawa ini

juga dikontraindikasikan untuk wanita sehabis melahirkan dengan pendarahan

serta pasien demam dengan gangguan limpa dan perut (Anonim, 1993).

Jalur biosintesis artemisinin dalam tumbuhan dimulai dengan prekursor

farnesil difosfat. Jalur biosintesis artemisinin dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 29: Tesis Purwanto

14

Farnesil difosfat Amorfa-4,11-diena

Dihidroartemisinat alkohol Artemisinat alkohol

Dihidroartemisinat aldehid Artemisinat aldehid

Dihidro asam artemisinat Asam artemisinat

Artemisinin

Gambar 3. Jalur biosintesis artemisinin (Teoh et al., 2006)

Enzim yang terlibat dalam biosintesis artemisinin adalah amorfa-4,11-

diena sintase (ADS), sitokrom P-450 monooksigenase (CYP71AV1), dan

Page 30: Tesis Purwanto

15

sitokrom P-450 reduktase (CPR). Enzim ADS dan CYP71AV1 terdapat melimpah

dalam tanaman yang sedang tumbuh. Kedua enzim tersebut banyak terdapat di

daun, yaitu 16 dan 8 kali lebih banyak daripada di akar; serta 10 dan 8 kali lebih

banyak daripada di batang. Tanaman yang sedang berbunga dan kultur yang

disimpan dalam lingkungan dingin menghasilkan ADS dan CYP71AV1 lebih

banyak (Zeng et al., 2009). Enzim ADS adalah enzim yang mengkatalisis siklisasi

farnesil difosfat membentuk amorfa-4,11-diena, suatu intermediet terbentuknya

asam artemisinat. Sementara itu, CYP71AV1 akan mengoksidasi amorfa-4,11-

diena menjadi artemisinat alkohol, artemisinat aldehid, dan asam artemisinat

(Lulu et al., 2008).

Intermediet stabil, yaitu dihidro asam artemisinat, bertindak sebagai

penangkap radikal oksigen. Reaksi oksidatif ini menghasilkan asam artemisinat

hidroperoksida. Radikal oksigen sering dihasilkan tanaman sewaktu sel-sel

tanaman dikenai tekanan oksidatif, seperti paparan cahaya dan suhu. Dengan

percobaan radiolabelling, ditemukan bahwa asam artemisinat adalah prekursor

umum bagi artemisinin A dan artemisinin B (Zeng et al., 2009).

Kandungan artemisinin dalam A. annua L. bervariasi, yaitu antara 0,1-

1,8% tergantung pada kondisi geografis tumbuh (Muzemil, 2008). Artemisinin

banyak ditemukan dalam daun dan bunga dari A. annua L., sementara itu di dalam

akar, batang, dan serbuk sari kandungan artemisininnya rendah (Kumar et al.,

2004). Artemisinin ditemukan dalam organ yang mengandung glandular trichoma

(Ferreira, 2004). Glandular trichoma adalah tempat penyimpanan minyak atsiri

Page 31: Tesis Purwanto

16

aromatik, artemisia keton, 1,8-sineol kamfor, germaserena-D, kamfen hidrat, α-

pinena, β-kariofilena, mirsena, dan artemisia alkohol (Ferreira and Janick, 2009).

Artemisinin dan turunannya mempunyai struktur yang rumit akibat adanya

gugus peroksida dan banyaknya atom karbon kiral sehingga sulit untuk disintesis

secara kimiawi. Salah satu metode yang mudah untuk memproduksi artemisinin

adalah dengan teknik kultur jaringan tanaman menggunakan bioreaktor sehingga

dapat dihasilkan artemisinin dalam jumlah yang besar (Sharaf-Eldin and Elkholy,

2009). Kultur akar rambut A. annua L. mampu menghasilkan artemisinin paling

besar dibandingkan jaringan lain (Jien-Wen et al., 2002). Produksi artemisinin

meningkat menjadi 66,7-95,6% (7,5-8,8 mg/g berat kering) dengan adanya stress

lingkungan berupa suhu lingkungan kultur yang diturunkan pada 4oC, perlakuan

dengan water bath 42oC, dan sinar UV (80 Watt, berjarak 20 cm); masing-masing

selama 30 menit. Dari ketiga faktor tersebut, efek pendinginan memberikan

pengaruh yang paling besar. Peningkatan ini terjadi karena peningkatan ekspresi

gen amorfa-4,11-diena sintase dan sitokrom P-450 monooksigenase. Suhu yang

rendah meningkatkan ekspresi kedua gen tersebut 11 kali dan 7 kali lebih banyak

dibandingkan kontrol (Lulu et al., 2008).

C. Malaria

Malaria adalah salah satu penyakit endemis di negara tropis. Pada tahun

2008 dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia sekitar 243 juta orang,

dan 1 juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya (Shio et al., 2010). Di

Indonesia, malaria tergolong penyakit menular yang masih menjadi masalah

utama dalam bidang kesehatan. Kejadian Luar Biasa malaria pada tahun 2004 di

Page 32: Tesis Purwanto

17

kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan kepulauan Karimun, Riau, menyebabkan

909 orang terinfeksi malaria dan 11 orang diantaranya meninggal dunia.

Pada bulan Juni 2005 di kabupaten Pangkal Pinang, Bangka Belitung, sebanyak

5000 orang terserang malaria dan 6 orang diantaranya meninggal dunia (Aryanti

et al., 2006).

Malaria adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh suatu protozoa dari

genus Plasmodium. Malaria yang menyerang manusia dapat disebabkan oleh P.

malariae, P. vivax, P. falciparum, dan P. oval. Penularan penyakit tersebut

diperantarai oleh nyamuk Anopheles betina (Harijanto, 2000; Pinheiro et al.,

2003). Faktor penentu epidemiologi yang penting adalah keadaan imunologi serta

genetik populasi, spesies parasit dan nyamuk dalam komunitas yang beresiko,

tingkat turunnya hujan, temperatur, distribusi tempat berkembang biaknya

nyamuk, penggunaan obat anti malaria, dan penerapan tindakan lainnya yang

dapat menurunkan penularan (Harijanto, 2000).

Di Indonesia, secara umum spesies yang paling sering ditemukan adalah

P. falciparum, dan P. vivax; sedangkan untuk P. malariae dan P. ovale jarang

ditemukan di Indonesia (Harijanto, 2000; Sutisna, 2004). Sifat malaria dapat

berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Sifat ini tergantung pada beberapa faktor,

yaitu faktor parasit, manusia, nyamuk sebagai vektor, dan lingkungan.

Agar dapat hidup sebagai parasit, Plasmodium harus ada dalam tubuh

manusia untuk waktu yang cukup lama dan menghasilkan gametosit jantan dan

betina pada saat yang sesuai untuk penularannya. Sifat spesifik parasit berbeda

untuk tiap jenis malaria. Plasmodium falciparum mempunyai masa infeksi

Page 33: Tesis Purwanto

18

pendek, namun menghasilkan parasitemia paling tinggi dan gejala paling berat.

Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Dari 400

lebih spesies nyamuk Anopheles di dunia, hanya sekitar 67 spesies yang terbukti

mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria. Di Indonesia telah

ditemukan 24 spesies Anopheles yang menjadi vektor malaria (Harijanto, 2000).

Secara patofisiologi, gejala malaria timbul pada saat pecahnya eritrosit

yang mengandung parasit. Gejala yang paling mencolok adalah demam yang

diduga disebabkan oleh pirogen endogen. Demam ini menyebabkan terjadinya

vasodilatasi. Pembesaran limpa disebabkan oleh peningkatan jumlah eritrosit yang

terinfeksi parasit (Pinheiro et al., 2003), teraktivasinya sistem retikuloendoteal

untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat

hemodialisis, penurunan jumlah trombosit dan leukosit neutrofil, serta anemia

yang disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem

retikuloendoteal (Harijanto, 2000).

Siklus Hidup

Siklus hidup Plasmodium dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 34: Tesis Purwanto

19

Gambar 4. Siklus Hidup Plasmodium (Anonim, 2010)

Secara garis besar Plasmodium memiliki siklus hidup yang sama, yaitu :

a. Siklus aseksual (dalam tubuh manusia) dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu :

1). Siklus hati

Infeksi malaria alami terjadi dengan masuknya sporozoit

melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit.

Siklus aseksual Plasmodium dimulai dengan masuknya sporozoit ini

ke dalam sirkulasi darah. Sporozoit ini segera menghilang dari

sirkulasi darah dan menetap di sel parenkim hati untuk

bermultiplikasi dan berkembang menjadi skizon jaringan. Siklus ini

dikenal sebagai fase pre-eritrosit atau eksoeritrosit, dan berlangsung

selama 5-16 hari tergantung dari jenis Plasmodium. Setelah

Page 35: Tesis Purwanto

20

perkembangan beberapa hari, skizon jaringan ini akan pecah dan

melepaskan beribu-ribu merozoit dan akan memasuki eritrosit.

2). Siklus darah/siklus eritrosit

Merozoit dari hati memasuki sel-sel darah merah. Pada infeksi

P. falciparum dan P. ovale beberapa skizon tetap dalam keadaan

laten untuk kemudian menimbulkan relaps. Parasit dalam eritrosit

memperbanyak diri membentuk tropozoit dan akhirnya menjadi

skizon matang. Eritrosit yang mengandung skizon ini kemudian

pecah melepaskan 6-24 merozoit ke sirkulasi darah. Merozoit ini

memasuki eritrosit lain dan mengulangi lagi fase skizogoni.

Penghancuran eritrosit yang terjadi secara periodik inilah yang

menimbulkan gejala khas malaria, yaitu demam yang diikuti

menggigil.

b. Siklus seksual (dalam tubuh Anopheles)

Sejumlah merozoit berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan betina.

Gametosit-gametosit ini tidak berkembang dan akan mati bila tidak

dihisap oleh nyamuk Anopheles betina. Gametosit dapat berpindah ke

nyamuk pada saat nyamuk menggigit pasien. Hal ini menandai dimulainya

siklus seksual. Gametosit jantan mengalami proses eksflagelasi dan

kemudian terjadi pembuahan dalam usus nyamuk. Zigot berkembang lebih

lanjut menjadi ookinet yang menembus dinding lambung nyamuk. Ookinet

berkembang lebih lanjut menjadi ookist di luar dinding lambung nyamuk.

Ookist yang telah matang kemudian pecah melepaskan sporozoit yang

Page 36: Tesis Purwanto

21

bermigrasi ke kelenjar air liur nyamuk. Sporozoit menginfeksi manusia

lain melalui gigitan nyamuk (Ganiswara, 1995).

Manifestasi Klinis

Secara klinis, malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan

interval tertentu (disebut parokisme), diselingi oleh suatu periode yang

penderitanya bebas sama sekali dari demam (disebut periode laten). Sebelum

demam biasanya pasien merasa lemah, nyeri kepala, anoreksia, mual atau muntah

(semua gejala ini disebut gejala prodromal). Pasien dengan infeksi

majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau oleh satu jenis

Plasmodium tetapi infeksi berulang) mengalami serangan terus-menerus (tanpa

interval). Gejala yang khas di atas merupakan gejala yang biasanya ditemukan

pada penderita non imun (Harijanto, 2000).

Masa inkubasi adalah waktu terjadinya infeksi sampai timbul gejala klinis

malaria. Masa inkubasi malaria bervariasi antara 9-30 hari, sangat bergantung

pada Plasmodium yang menginfeksi. Masa inkubasi paling pendek dijumpai pada

malaria falciparum, dan yang terpanjang pada malaria kuartana (P. malariae).

Pada malaria yang alami, yang penularannya melalui gigitan nyamuk, masa

inkubasi adalah 12 hari untuk P. falciparum, 14 hari untuk P. vivax, 28 hari untuk

P. malariae, dan 17 hari untuk P. ovale.

Antimalaria yang ideal adalah obat yang efektif terhadap semua jenis dan

stadium malaria, menyembuhkan semua infeksi malaria, cara pemakaiannya

mudah, mudah diperoleh, efek samping ringan, toksisitasnya rendah, dan harga

terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Sampai saat ini belum ada obat

Page 37: Tesis Purwanto

22

tunggal yang memenuhi persyaratan tersebut. Cara pengobatan, dosis, dan jenis

obat tergantung pada jenis parasit, berat badan, umur penderita, dan tingkat

sensitivitas terhadap antimalaria (Anonim, 1990).

Degradasi hemoglobin

Selama perkembangan di dalam sel eritrosit inang, Plasmodium

mendegradasi hemoglobin sel eritrosit tersebut guna menghasilkan produk

katabolik sebagai sumber asam amino. Proses degradasi hemoglobin ini terjadi di

dalam vakuola Plasmodium dan dikatalisis oleh enzim sistein dan aspartat

proteinase (Pinheiro et al., 2003), dan menghasilkan hem bebas yang bersifat

toksik dan oksidatif terhadap sel inang dan Plasmodium serta dapat

mengakibatkan kematian bagi Plasmodium tersebut (Basilico et al., 1998). Karena

ketiadaan hem oksigenase, Plasmodium tidak mampu memecah hem menjadi

cincin tetra pirol terbuka yang mudah untuk diekskresikan. Untuk mengatasi efek

toksik ini, Plasmodium mendetoksifikasi hem bebas dengan cara netralisasi

dengan protein kaya histidin, degradasi dengan glutation tereduksi, atau

kristalisasi menjadi hemozoin, suatu pigmen malaria tidak larut air yang

diproduksi dalam vakuola makanan (Huy et al., 2007).

Senyawa β-hematin, suatu kristal hem sintesis, mempunyai struktur

kimiawi yang sama dengan hemozoin. Hal ini menunjukkan bahwa secara in vitro,

penghambatan pembentukan β-hematin adalah target ideal suatu agen antimalaria.

Faktor-faktor seperti suhu, protein kaya histidin, lipida, dan alkohol

mempengaruhi proses pembentukan β-hematin. Struktur kimia hematin terlihat

seperti pada Gambar 5.

Page 38: Tesis Purwanto

23

Gambar 5. Struktur kimia hematin (Wood et al., 2003)

Pengobatan Malaria

Berdasarkan kinerja pada tahapan perkembangan Plasmodium, antimalaria

dibedakan atas skizontosid jaringan dan darah, gametosid, dan sporontosid.

Untuk mengendalikan serangan klinik digunakan skizontosid darah yang

bekerja terhadap merozoit di eritrosit sehingga tidak terbentuk skizon baru dan

tidak terjadi penghancuran eritrosit yang menimbulkan gejala klinik. Contoh

obatnya adalah klorokuin, kuinin, dan meflokuin. Pirimetamin dan primakuin

efektif bekerja pada skizon yang baru memasuki jaringan hati dan mencegah

infeksi eritrosit lebih lanjut.

Gametositosid membunuh gametosid yang berada dalam eritrosit sehingga

dapat menghambat perpindahannya ke nyamuk. Gametosid P. vivak dan P.

malariae efektif dibunuh dengan klorokuin dan kuinin, sedangkan gametosid P.

falciparum dapat diatasi dengan primakuin. Obat golongan sporontosid

menghambat perkembangan gametosid lebih lanjut ke tubuh nyamuk yang

menghisap darah pasien sehingga dapat memutus rantai penularan. Contoh obat

dalam golongan ini adalah primakuin dan kloroguanid (Ganiswara, 1995).

Page 39: Tesis Purwanto

24

Guna mencegah tejadinya resistensi, pengobatan malaria saat ini banyak

digunakan kombinasi obat. Salah satu harapannya adalah, saat obat yang satu

sudah tereliminasi dari dalam tubuh karena waktu paruhnya pendek, obat yang

kedua masih aktif bekerja sehingga kinerja terhadap Plasmodium lebih optimal.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah kombinasi antara lumefantrin dan artemeter,

piperakuin dan dihidroartemisinin (Kiboi et al., 2009; Cui and Su, 2009).

Struktur kimia beberapa agen antimalaria terlihat pada Gambar 6.

Primakuin Meflokuin

Kuinin Klorokuin

Gambar 6. Struktur kimia agen antimalaria (Robert et al., 2001)

D. Mikroba Endofit

Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup berkoloni dalam jaringan

tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan inangnya

(Simanjuntak et al., 2002; Radji, 2005). Istilah endofit diperkenalkan pertama kali

oleh De Bary pada tahun 1866 sebagai mikroorganisme yang hidup dalam

Page 40: Tesis Purwanto

25

jaringan tanaman yang menyebabkan infeksi asimtomatis tetapi tidak berupa

simtom penyakit (Wang et al., 2008).

Hampir semua jaringan tanaman mengandung mikroba endofit (Faeth,

2002), termasuk ganggang laut dan lumut (Tan and Zou, 2001). Hasil berbagai

penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mikroba endofit yang ditemukan

adalah fungi (Strobel et al., 2004). Identifikasi fungi endofit yang banyak

dilakukan adalah dengan mengamati morfologi dari miselia dan konidianya

(Wang et al., 2008).

Pada permukaan daun, koloni fungi endofit dapat dilihat secara langsung

tanpa ditumbuhkan dalam media pertumbuhan fungi, sedangkan pada akar dan

batang, koloni fungi endofit hanya dapat diamati setelah ditumbuhkan dalam

media pertumbuhan. Fungi yang masih dalam bentuk spora baik pada daun,

akar, dan batang tidak dapat diamati tanpa ditumbuhkan dalam media

pertumbuhan. Populasi fungi endofit yang terdapat pada batang dan daun lebih

banyak dibandingkan pada akar (Morris et al., 2001).

Hubungan antara fungi endofit dan tumbuhan inang dapat terjadi melalui

infeksi yang tidak menimbulkan gejala penyakit sampai hubungan simbiosis

mutualisme. Mikroba endofit dalam jaringan tanaman memperoleh nutrisi dan

perlindungan dari inang, sebaliknya mikroba endofit membantu kehidupan inang

dengan cara memproduksi metabolit yang dibutuhkan inang tersebut. Tanaman

yang mengandung endofit sering tumbuh lebih cepat dari tanaman yang tidak

terinfeksi. Efek ini terjadi karena endofit memproduksi fitohormon seperti indole-

3-acetic acid (IAA), sitokin, dan senyawa pemacu pertumbuhan lain. Selain itu

Page 41: Tesis Purwanto

26

endofit dapat membantu inang dalam mengambil nutrisi seperti nitrogen dan

fosfor (Tan and Zou, 2001).

Tumbuhan inang juga dapat memperoleh perlindungan dari hasil

metabolit fungi endofit terhadap serangan patogen seperti fungi, bakteri, insekta

dan predator lainnya (Strobel and Daisy, 2003). Mikroba endofit juga mampu

meningkatkan kemampuan adaptasi inang terhadap stress lingkungan (Faeth,

2002) dan ketahanan terhadap fitopatogen, herbivora, cacing, serangga pemakan

inang, serta bakteri dan fungi patogen. Endofit yang tumbuh pada rerumputan

biasanya menambah toleransi terhadap kekeringan (Tan and Zou, 2001; Faeth and

Fagan, 2002).

Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya, dan

telah berhasil dibiakkan dalam media pembenihan yang sesuai. Metabolit

sekunder dari fungi endofit belum dieksporasi secara luas, tetapi fungi ini

menjanjikan sebagai sumber metabolit aktif karena melimpahnya populasi dan

kemampuannya untuk berasosiasi terhadap organisme lain (Lee et al., 1996).

Metabolit sekunder tersebut ada yang berupa antibiotik, misalnya adalah

munumbicin, antibiotik berspektrum luas yang dihasilkan oleh endofit

Streptomyces spp. strain NRRL 30562 yang merupakan endofit yang diisolasi dari

tanaman Kennedianigriscans. Senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan

Bacillus anthracis dan Mycobacterium tuberculosis yang multiresisten terhadap

berbagai obat anti TBC (Castillo et al., 2002). Contoh lainnya adalah fungi

endofit Pestalotiopsis microspora yang hidup pada tanaman Taxus taxifolia

mampu menghasilkan asam toreyanat yang berefek sebagai anti kanker dengan

Page 42: Tesis Purwanto

27

mekanisme pemacuan apoptosis. Senyawa anti kanker ini dihasilkan dari P.

microspora yang ditanam dalam media Potato Dextrose Agar (PDA) dan

diekstrak dengan etil asetat (Lee et al., 1996).

E. Fermentasi

Fermentasi dalam mikrobiologi industri digambarkan sebagai proses untuk

mengubah bahan dasar menjadi produk yang dikehendaki dalam kultur mikroba

tertentu. Dalam pengambilan hasil fermentasi, terdapat sejumlah tahapan yang

tergantung bahan awal, konsentrasi awal, kestabilan produk, dan tingkat

kemurnian produk akhir yang diinginkan (Rahman, 1992).

Fermentasi dapat menghasilkan : a) Biomassa (sel-sel mikrobia), misalnya

protein sel tunggal; b) Enzim, misalnya amilase dan protease; c) Metabolit

mikroba, yaitu metabolit primer misalnya polisakarida, protein, asam nukleat,

dan metabolit sekunder misalnya antibiotika; d) Produk rekominan, misalnya

insulin dan interferon; dan e) Biokonversi, misalnya konversi asam asetat dari

etanol, aseton dari propanol, sorbosa dari sorbitol serta produk steroid, antibiotika

dan prostaglandin (Stanburry et al., 1995).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses fermentasi adalah :

a) Kecepatan aerasi sering tidak sesuai dengan jumlah oksigen yang dibutuhkan

dan oksigen yang terlarut dalam media. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan

detektor untuk mengontrol oksigen yang terlarut; b) Jumlah sumber karbon dan

nutrisi lain harus sesuai baik dalam jumlah dan komposisi dengan mikroba dan

produk yang diinginkan; c) Toksin yang terakumulasi dan dapat menghambat

pertumbuhan; d) Perubahan pH selama proses fermentasi. Hal ini dapat diatasi

Page 43: Tesis Purwanto

28

dengan melakukan titrasi pH selama fermentasi berlangsung; e) Busa yang

mungkin timbul. Busa dapat disebabkan oleh : kandungan garam, pH, suhu,

komposisi media, aliran udara, agitasi, dan penambahan antibusa yang berlebihan.

Anti busa yang ditambahkan dalam media fermentasi dapat mengurangi jumlah

oksigen yang terlarut media (McNeil and Harvey, 2008).

Sistem fermentasi dapat dilakukan dengan 3 macam, yaitu :

1. Sistem Batch

Sistem ini adalah sistem yang paling sederhana dan sering digunakan

di laboratorium untuk mendapatkan produk sel atau metabolitnya.

Fermentasi sistem batch adalah sistem tertutup, artinya semua nutrisi yang

dibutuhkan mikroba selama pertumbuhan dan pembentukan produk berada

di dalam 1 fermentor. Jadi tidak ada penambahan bahan atau pengambilan

hasil selama fermentasi berlangsung.

Keuntungan sistem ini adalah mudah, sederhana, dan kecil

kemungkinan adanya kontaminasi; sedangkan kerugiannya adalah kultur

mikroba yang menua, yaitu tidak ada perbaruan pertumbuhan mikroba,

pembentukan metabolit toksik yang bercampur dengan produk, konsentrasi

substrat terbatas, dan sukar untuk diaplikasikan dalam skala besar.

2. Sistem Fed-batch

Sistem ini tidak tertutup seperti halnya sistem batch. Selama

fermentasi, substrat, nutrisi, atau induser dapat ditambahkan ke dalam

fermentor. Sistem fed-batch dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu sistem

volume tetap dan sistem volume berubah. Sistem volume tetap berarti setiap

Page 44: Tesis Purwanto

29

ada penambahan medium baru ke dalam fermentor, ada medium lama,

produk, atau sel yang dikeluarkan sebanyak medium baru yang dimasukkan

fermentor; sedangkan sistem volume berubah, berarti ke dalam fermentor

ditambahkan medium baru tetapi tidak ada medium lama atau produk yang

dikeluarkan dari dalam fermentor.

Keuntungan sistem ini adalah mudah dalam pengontrolan konsentrasi

medium/substrat, pertumbuhan mikroba dapat dioptimalkan dan tingkat

kebutuhan oksigen dapat dikontrol; sedangkan kerugiannya adalah

membutuhkan pengetahuan tentang profil pertumbuhan mikroba, kontrol

lebih ketat, dan membutuhkan peralatan dan operator yang lebih terlatih.

3. Sistem Continous

Sistem fermentasi ini biasanya digunakan dalam skala industri.

Sistem continous adalah sistem batch yang fase eksponensialnya

diperpanjang, dengan tetap menjaga fluktuasi nutrisi dan jumlah

sel/biomassa. Mikroba diberi nutrisi/medium segar, sementara itu sejumlah

sel atau medium dikeluarkan dari sistem dengan kecepatan yang sama. Hal

ini menjamin tingkat kestabilan dari faktor-faktor seperti volume kultur,

biomassa, konsentrasi produk dan substrat, pH, suhu, dan oksigen terlarut.

Keuntungan sistem ini adalah mempunyai produktivitas dan

kecepatan pertumbuhan dapat dioptimalkan, proses dalam waktu lama dapat

dijalankan, dapat digunakan model sel amobil, serta faktor fisis dan

lingkungan mudah dianalisis; sedangkan kerugiannya adalah tidak sesuai

dengan kaidah Good Manufacturing Practice sehingga dilarang digunakan

Page 45: Tesis Purwanto

30

untuk memproduksi produk farmasi, resiko kontaminasi yang besar, produk

yang belum optimal terbentuk, dan mudah timbul perubahan/evolusi pada

mikroba (McNeil and Harvey, 2008).

Pertumbuhan mikrobia di dalam media terjadi melalui 4 tahap, yaitu : a)

Fase Lag, merupakan fase adaptasi, fase penyesuaian mikroba pada lingkungan

baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, tetapi hanya terjadi

peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal

mikrobia dan media pertumbuhan; b) Fase Log/eksponensial, mikroba tumbuh

dan membelah dengan kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikrobia,

sifat media, dan kondisi pertumbuhan; c) Fase stasioner, pertumbuhan mikroba

terhenti dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dan sel yang

mati. Pada fase ini terjadi akumulasi buangan yang toksik; d) Fase kematian,

jumlah sel yang mati meningkat. Faktor penyebabnya adalah ketidak-tersediaan

nutrisi dan akumulasi produk toksik (Pratiwi, 2008).

Media fermentasi

Secara umum, harus tersedia semua nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba

untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan pembentuk sel dan biosintesis

produk-produk. Dalam pemeriksaan laboratorium mikrobiologi penggunaan

media sangat penting untuk isolasi, identifikasi maupun diferensiasi. Media

merupakan kumpulan zat makanan (nutrisi) yang digunakan untuk pertumbuhan

mikroba dengan syarat-syarat tertentu.

Berdasarkan komposisinya, media dibedakan menjadi 3, yaitu : a) Media

sintetik. Media ini komposisinya tertentu dan diketahui, serta berasal dari bahan-

Page 46: Tesis Purwanto

31

bahan kimia; b) Media semi sintetik. Media ini sama dengan media sintetik, hanya

ditambah dengan bahan-bahan tertentu yang jumlahnya diketahui tetapi

komposisinya tidak pasti, seperti ekstrak yeast, bacto pepton; c) Media kompleks.

Media ini tidak mempunyai komposisi yang tetap dan sama dari batch ke batch.

Contoh media golongan ini adalah corn steep liquor, soya bean meals, molase,

dan hidrolisat amilum (McNeil and Harvey, 2008).

Menurut konsistensinya, media dibedakan menjadi 3 macam, yaitu : a)

Media cair, contohnya antara lain media gula, media kaldu, media pepton, dan

kaldu darah; b) Media semi padat, contohnya antara lain SSS (Semi Solid

Sucrose), Corry & Blair medium, dan Fletcher’s medium; c) Media padat, pada

media padat digunakan suatu bahan pembeku (solidifying agent) supaya media

dapat memadat, contohnya adalah agar (Pratiwi, 2008).

F. Liquid Chromatography - Mass Spectrometer (LC-MS)

Metode LC-MS telah banyak digunakan sebagai metode pemisahan dan

identifikasi bagi kebanyakan senyawa obat/organik. Metode ini sangat sensitif dan

selektif dibandingkan metode deteksi dengan sinar UV biasa (Ortelli et al., 2000).

Setelah pemisahan analit pada kolom HPLC, analit akan masuk ke detektor massa.

Di dalam detektor ini, analit akan mengalami ionisasi menjadi ion dalam fase gas.

Ion-ion tersebut akan terpisah berdasarkan rasio mass to charge (m/z) dan akan

terdeteksi berdasarkan kelimpahan masing-masing ion.

Salah satu metode ionisasi dalam spektrometer massa adalah electrospray

(ESI). Prinsip kerja metode ini adalah terbentuknya droplet campuran pelarut (fase

gerak HPLC) dan analit yang bermuatan listrik karena dilewatkan melalui celah

Page 47: Tesis Purwanto

32

sempit yang berpotensial listrik tinggi (4-5 kV). Metode pengionan dengan ESI

adalah metode yang lunak karena hanya menghasilkan sedikit fragmentasi analit

dan proses dapat dilakukan pada tekanan atmosfer. Metode ESI dapat

menggunakan pilihan pengionan positif atau negatif. Pengionan positif akan

membuat analit menjadi terprotonasi atau menjadi kation, sedangkan pengionan

negatif akan membuat analit menjadi anion atau mengalami deprotonasi

(Kazakevich and Lobrutto, 2007). Kation-kation yang sering terbentuk dalam

metode ESI adalah ion pseudomolekul hasil adisi antara analit dengan proton

(H)+. Oleh karena itu, nilai m/z dalam spektra akan sering bernilai (M+H)+ atau

(2M+H)+, dengan M adalah bobot molekul analit (Kazakevich and Lobrutto,

2007).

G. Landasan teori

Malaria adalah salah satu penyakit endemis di negara tropis. Pada tahun

2008 dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia sekitar 243 juta orang,

dan 1 juta diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya (Shio et al., 2010).

Saat ini, antimalaria baru yang lebih efektif perlu dicari kembali

mengingat adanya penyebaran Plasmodium yang resisten terhadap obat golongan

kuinolon secara cepat dan luas (Huy et al., 2007). Salah satu usaha pencarian

antimalaria baru adalah melalui penelitian terhadap tanaman obat yang digunakan

secara tradisional oleh masyarakat untuk mengobati malaria. Keberhasilan

pengembangan tanaman obat untuk antimalaria telah terbukti nyata dengan

ditemukannya obat baru yaitu artemisinin dan derivatnya (Suwandi et al., 2008).

Page 48: Tesis Purwanto

33

Artemisinin ini terbukti mampu menanggulangi Plasmodium yang telah resisten

terhadap klorokuin dan kuinin (Bhakuni et al., 2001).

Saat ini artemisinin dan turunannya sangat sukar disintesis secara kimia,

dan masih banyak diperoleh dengan cara isolasi dari tanaman walaupun memiliki

randemen yang rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan sumber-sumber

baru yang dapat menghasilkan artemisinin lebih efisien, yaitu dengan

memanfaatkan mikroba endofit yang hidup dalam jaringan tanaman (Simanjuntak

et al., 2002). Setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba

endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang

diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik dari tanaman inang ke

mikroba endofit. Kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit

sekunder sesuai dengan tanaman inang merupakan peluang yang sangat

menguntungkan (Radji, 2005).

H. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori diatas, maka :

1. Fungi endofit tanaman A. annua L. mengandung senyawa yang berefek

sebagai antiplasmodium dengan mekanisme penghambatan polimerisasi

hem.

2. Senyawa yang menghambat polimerisasi hem tersebut adalah senyawa

golongan terpenoid (artemisinin dan turunannya).

Page 49: Tesis Purwanto

BAB III

CARA PENELITIAN

A. Bahan dan alat penelitian

1. Definisi operasional dan variabel penelitian

Penelitian ini akan dilakukan secara eksperimental in vitro.

a. Variabel bebas

Konsentrasi ekstrak etil asetat media fermentasi dan miselia fungi

endofit A. annua L. yang proses ekstraksinya dibantu dengan gelombang

ultrasonik.

b. Variabel tergantung

Persentase penghambatan polimerisasi hem.

c. Variabel terkendali

Media fermentasi, suhu fermentasi, waktu fermentasi, suhu

inkubasi, cairan penyari, jumlah pencucian kristal β- hematin.

2. Bahan penelitian

Bahan yang akan digunakan untuk ditumbuhkan fungi endofitnya

adalah daun, bunga, akar, dan batang dari tanaman A. annua L.. Tanaman ini

berumur 6 bulan, berasal dari Balai Penelitian Tanaman Obat,

Tawangmangu. Untuk bagian batang, digunakan batang yang ada di tengah-

tengah tanaman, jangan yang terlalu muda atau tua. Untuk bunga dan akar,

digunakan bagian yang sudah tua. Untuk daun, digunakan daun yang sudah

34

Page 50: Tesis Purwanto

35

tua dan agak menguning karena fungi endofit banyak terdapat dalam daun

yang telah tua.

Media isolasi fungi endofit adalah Potato Dextrose Agar (PDA) dan

media untuk fermentasi fungi endofit adalah media M 102b. Bahan

desinfektan yang digunakan adalah larutan NaOCl 5,25% (merk bayclean)

dan etanol 70%. Penyari untuk ekstraksi adalah etil asetat teknis. Guna

keperluan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pendahuluan digunakan fase

gerak etil asetat p.a. (E-Merck) dan n-heksana p.a. (Sigma Co.); fase diam

berupa plate silika gel F254 (E-Merck). Bahan uji aktivitas penghambatan

polimerisasi hem digunakan klorokuin difosfat (Sigma Co.), hematin, asam

asetat glasial, NaOH, DMSO (E-Merck). Analisis dengan High Performance

Liquid Chromatography (HPLC) digunakan fase gerak asetonitril, metanol

(Sigma. Co.), dan akuades; fase diamnya adalah LiChorsper®100 RP-18e

(25 cm x 4,6 mm i.d., 5µm); sedangkan untuk keperluan Liquid

Chromatography-Mass Spectrometry (LC-MS) digunakan fase gerak

metanol p.a. (E-Merck) dan akuades; fase diam Supelco RP-18 (25 cm x 2,0

mm i.d., 5µm). Uji golongan senyawa dengan KLT digunakan fase gerak etil

asetat p.a., metanol p.a., toluena p.a. (E-Merck), dan akuades; fase diamnya

adalah plate silika gel F254 (E-Merck).

3. Alat penelitian

Neraca analitik (BP 221 S), Autoclave (Sakura, Tokyo), Laminar Air

Flow cabinet (FARR co), hot plate (Ikamag® RH), mesin shaker

(Thermolyne), ultrasonikator (Nihonseiki Kaisha US 5 Q dan Ultrasons P

Page 51: Tesis Purwanto

36

Selecta), sentrifugator (Universal 32 R), inkubator (Lab Line), Elisa reader

(Bio-Rad Benchmark), mikrokultur 96 sumuran steril (Nalgene Nunc

International, Denmark), HPLC (Shimadzu SPD-20A) dengan detektor UV,

LC-MS (Hitachi L 6200, Mariner Biospectrometry) dengan sistem ESI

(Electrospray Ionization) Positive Ion Mode, seperangkat mikropipet, lampu

UV. Perlengkapan lain berupa : blue tip, yellow tip, eppendorf centrifuge

5417R 1,5 ml; kertas saring, kapas, aluminium foil, cawan porselin, pisau

skalpel, pinset, dan alat-alat gelas (gelas ukur, pipet tetes, erlenmeyer, beker

gelas, dan pipet volume).

B. Cara penelitian

1. Identifikasi tanaman

Identifikasi tanaman A. annua L. dilakukan di Laboratorium

Farmakognosi, Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM di bawah

bimbingan Joko Santoso, M.Si.

2. Isolasi fungi endofit dari A. annua L.

a. Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA) sebanyak 100 mL

Timbang saksama 3,9 g serbuk media PDA, masukkan ke dalam

erlenmeyer 250 mL. Tambah akuades hingga tanda 100 mL. Tutup

erlenmeyer dengan kapas dan aluminium foil. Panaskan di atas kompor

listrik sampai serbuk media PDA larut. Sterilkan dalam autoklaf pada

suhu 121oC selama 15 menit. Pada saat akan dipakai, panaskan dan

cairkan dahulu media PDA padat di atas kompor listrik. Dinginkan dalam

Page 52: Tesis Purwanto

37

suhu kamar hingga suhunya mencapai + 40oC, segera tuang secara

aseptis ke dalam cawan petri sebanyak + 10 mL. Biarkan media PDA

dalam cawan petri menjadi dingin dan memadat sebelum digunakan.

b. Isolasi fungi

Bagian-bagian tanaman A. annua L. yang akan digunakan sebagai

eksplan dicuci dengan air mengalir guna menghilangkan tanah dan

kotoran yang menempel dan dikecilkan ukurannya menjadi + 2 cm.

Masukkan dalam erlenmeyer 250 ml, tambahkan etanol 70% sampai

terendam. Gojok pelan dan lakukan sterilisasi selama 2 menit. Buang

etanol 70%, lanjutkan sterilisasi dengan bayclean (NaClO 5,25%) selama

2 menit. Bilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali, masing-masing

selama 1 menit. Lakukan sterilisasi dengan erlenmeyer steril secara

aseptis di dalam LAF kabinet.

Tiriskan bahan-bahan tersebut dalam cawan petri steril. Potong-

potong dengan pisau skalpel steril menjadi ukuran + 1 cm. Untuk bagian

batang, hilangkan bagian kulitnya. Tanam bagian-bagian tersebut dalam

media PDA di dalam cawan petri steril pada suhu kamar (25oC) selama 1

minggu atau sampai ada pertumbuhan fungi endofit. Sebagai kontrol,

inokulasikan air bilasan terakhir eksplan pada media PDA. Setelah terjadi

pertumbuhan fungi, segera isolasi guna mendapatkan biakan murni.

Biakan murni fungi endofit ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan

petri (Liu et al., 2001; Peterson et al., 2005).

Page 53: Tesis Purwanto

38

3. Fermentasi fungi endofit

a. Pembuatan media M 102b sebanyak 1 L

Timbang saksama bahan-bahan berikut ini :

- Sukrosa 30 g

- Malt extract 20 g

- Bactopepton 2 g

- Yeast extract 1 g

- KCl 0,5 g

- MgSO4. 7H2O 1 g

- KH2PO4 1 g

Masukkan bahan-bahan tersebut ke dalam erlenmeyer 1 L. Tambah

akuades hingga tanda 500 mL. Panaskan di atas kompor listrik dan

pengaduk magnetik sampai semua bahan larut, setelah itu tambahkan

akuades hingga tanda 1 L.

Untuk masing-masing fungi yang akan difermentasi membutuhkan

media M 102b sebanyak 250 mL, dengan rincian 50 mL untuk fermentasi

tahap awal, dan 200 mL untuk fermentasi tahap lanjut. Cara

pengerjaannya adalah masukkan 50 mL media M 102b tersebut kedalam

erlemmeyer 100 mL dan 200 mL media tersebut ke dalam erlenmeyer

500 mL. Masing-masing erlenmeyer tersebut disumbat dengan kapas dan

aluminium foil. Sterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15

menit.

Page 54: Tesis Purwanto

39

b. Fermentasi

Sebelum fermentasi, terlebih dahulu dibuat inokulum fungi endofit

yang telah dimurnikan galurnya. Inokulum dibuat dengan menanam 2

irisan plug fungi endofit berdiameter 5 mm dalam 50 ml media M 102b

steril dan digojok dengan kecepatan 200 rpm selama 3 hari pada suhu

kamar. Pertumbuhan fungi endofit ditandai dengan tumbuhnya miselia

dalam media. Ambil 50 ml kultur tersebut, inokulasikan ke dalam 200 ml

media M 102b steril. Lakukan fermentasi selama 18 hari pada suhu

kamar (25oC) (Prihatiningtias, 2005).

4. Bioassay guided fractionation

a. Ekstraksi media fermentasi dan miselia fungi dengan etil asetat

Sebelum diekstraksi, pisahkan miselia fungi dan media fermentasi

dengan cara filtrasi menggunakan kertas saring. Proses ekstraksi ini

dilakukan dengan etil asetat (Liu et al., 2001) terhadap media fermentasi

dan miselia fungi. Untuk media fermentasi, digunakan cairan penyari

dengan jumlah sama banyak dengan jumlah media. Bagi cairan penyari

menjadi 4 bagian dan lakukan ekstraksi 4 kali terhadap media fermentasi.

Untuk miselia fungi, ekstraksi dilakukan dengan bantuan gelombang

ultrasonik berfrekuensi 20 kHz dan daya 60 Watt selama 30 menit

(Magnani et al., 2009) di dalam etil asetat sama banyak dengan bobot

miselianya, kemudian saring dengan kertas saring. Uapkan sari etil asetat

yang diperoleh di atas penangas air sampai diperoleh ekstrak kering atau

tidak ada cairan penyari yang menguap lagi.

Page 55: Tesis Purwanto

40

b. Analisis profil KLT ekstrak etil asetat

Buat larutan ekstrak etil asetat media fermentasi dan miselia fungi

dalam metanol dengan kadar 5 mg/mL, serta standar artemisinin dengan

kadar 2 mg/mL. Elusi secara KLT dengan fase gerak n-heksana : etil

asetat (7:3), fase diam plate silika gel F254. Amati pola elusinya dengan

sinar UV 254 dan 366 nm, kemudian visualisasi bercak dengan disemprot

larutan anisaldehid asam sulfat, panaskan pada suhu 105oC selama 5

menit. Amati di bawah sinar tampak dan UV 366 nm.

c. Uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem

1) Pembuatan larutan NaOH 0,2 M sebanyak 250 mL (untuk

melarutkan hematin-porcine H3218)

Timbang saksama sebanyak 2000 mg kristal NaOH, masukkan ke

dalam labu takar 250 mL. Tambah 100 mL akuades, gojok hingga

kristal NaOH larut. Tambah akuades hingga tanda 250,0 mL.

2) Pembuatan larutan NaOH 0,1 M sebanyak 250 mL (untuk

melarutkan kristal β-hematin)

Timbang saksama sebanyak 1000 mg kristal NaOH, masukkan ke

dalam labu takar 250 mL. Tambah 100 mL akuades, gojok hingga

kristal NaOH larut. Tambah akuades hingga tanda 250,0 mL.

Page 56: Tesis Purwanto

41

3) Pembuatan larutan hematin 1 mM sebanyak 100 mL dalam

larutan NaOH 0,2 M

Timbang saksama sebanyak 66,349 mg kristal hematin, masukkan ke

dalam labu takar 100 mL. Tambahkan 50 mL larutan NaOH 0,2 M;

gojok hingga kristal hematin larut. Tambahkan larutan NaOH 0,2 M

hingga tanda 100,0 mL.

4) Pembuatan kurva baku hematin

a) Buat seri kadar larutan hematin (dalam larutan NaOH 0,1 M ) :

250, 125; 62,5; 31,25; 15,6; 7,8; dan 3,9 μM. Masing-masing

kadar tersebut dibuat sebanyak 400 μL.

Larutan hematin 250 μM : ambil 100 μL larutan hematin

1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah

300 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.

Larutan hematin 125 μM : ambil 50 μL larutan hematin

1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah

350 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.

Larutan hematin 62,5 μM : ambil 25 μL larutan hematin

1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah

375 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.

Larutan hematin 31,25 μM : ambil 12,5 μL larutan hematin

1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah

387,5 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.

Page 57: Tesis Purwanto

42

Larutan hematin 15,6 μM : ambil 6,25 μL larutan hematin

1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah

393,75 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.

Larutan hematin 7,8 μM : ambil 3,125 μL larutan hematin

1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah

396,875 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.

Larutan hematin 3,9 μM : ambil 1,56 μL larutan hematin

1 mM, masukkan ke dalam effendorf ukuran 1,5 mL. Tambah

398,44 μL larutan NaOH 0,1 M. Homogenkan.

b) Sebanyak 100 μL dari masing-masing kadar tersebut dimasukkan

dalam sumuran mikrokultur 96 sumuran.

c) Baca nilai OD pada λ 405 nm dengan Elisa reader.

5) Pembuatan seri konsentrasi sampel

a) Buat stok larutan sampel dengan konsentrasi 5,0 mg/mL

sebanyak 600 μL. Caranya adalah timbang saksama 3 mg

sampel, masukkan ke dalam effendorf 1,5 mL. Tambahkan 60 μL

DMSO 100%, gojok pelan hingga larut dan homogen. Setelah

sampel larut, tambah dengan 540 μL akuades. Homogenkan.

b) Buat larutan DMSO 10% sebanyak 10 mL dengan cara : ambil

1000 μL DMSO 100%, masukkan labu takar 10 mL. Tambah

akuades hingga tanda 10,0 mL. Homogenkan.

c) Larutan sampel yang akan dibuat adalah larutan dengan

konsentrasi 5,00; 2,50; 1,25; 0,63; 0,31 mg/mL.

Page 58: Tesis Purwanto

43

Sampel konsentrasi 5,00 mg/mL

Langsung mengambil dari larutan stok sampel

Sampel konsentrasi 2,50 mg/mL

Ambil 150 μL larutan stok sampel, masukkan effendorf

1,5 mL; tambah 150 μL larutan DMSO 10%. Homogenkan.

Sampel konsentrasi 1,25 mg/mL

Ambil 75 μL larutan stok sampel, masukkan effendorf

1,5 mL; tambah 225 μL larutan DMSO 10%. Homogenkan.

Sampel konsentrasi 0,63 mg/mL

Ambil 37,5 μL larutan stok sampel, masukkan effendorf

1,5 mL; tambah 262,5 μL larutan DMSO 10%. Homogenkan.

Sampel konsentrasi 0,31 mg/mL

Ambil 18,75 μL larutan stok sampel, masukkan effendorf

1,5 mL; tambah 281,25 μL larutan DMSO 10%.

Homogenkan.

6) Uji penghambatan polimerisasi hem

Efek antimalaria senyawa uji dilakukan secara in vitro, yaitu

dengan metode uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem. Uji ini

dilakukan dengan metode Basilico (1998) yang dimodifikasi, yaitu

masalah kadar larutan hematin dan kadar sampel uji yang digunakan.

Sebanyak 100 µL larutan hematin 1 mM dalam NaOH 0,2 M

dimasukkan ke dalam tabung effendorf, kemudian ditambahkan

50 µL bahan uji dengan berbagai tingkatan kadar, yaitu 5,00; 2,50;

Page 59: Tesis Purwanto

44

1,25; 0,63; dan 0,31 mg/mL. Replikasi sebanyak 4 kali untuk

masing-masing kadar. Untuk memudahkan pembuatan larutan

ekstrak dan klorokuin, proses pelarutannya ditambahkan DMSO

hingga konsentrasi DMSO 10% (Guetzoyan et al., 2009).

Untuk memulai reaksi polimerisasi hem, tambahkan 50 µL

larutan asam asetat glasial (pH 2,6) pada tabung effendorf yang

sudah berisi larutan hematin dan sampel, kemudian inkubasi pada

suhu 37oC selama 24 jam. Sebagai kontrol positif adalah klorokuin

difosfat, sedangkan sebagai kontrol negatif adalah akuades dan

larutan DMSO 10%.

Setelah inkubasi berakhir, tabung effendorf disentrifuse

dengan kecepatan 8000 rpm selama 10 menit. Buang supernatannya,

endapan dicuci sebanyak 4 kali dengan 200 µL DMSO. Masing-

masing pencucian dengan cara disentrifuse berkecepatan 8000 rpm

selama 10 menit. Endapan yang diperoleh ditambah 200 µL NaOH

0,1 M. Setiap 100 µL larutan yang diperoleh dimasukkan ke dalam

mikroplate 96 sumuran dan dibaca nilai OD dengan Elisa reader

pada panjang gelombang 405 nm.

Nilai aktivitas penghambatan polimerisasi hem dinyatakan

dalam IC50 yaitu kadar yang mampu menghambat polimerisasi hem

hingga 50% yang dibandingkan dengan kontrol negatif. Kurva

standar dibuat dengan cara membuat seri konsentrasi hematin (yang

telah dilarutkan dalam NaOH 0,2 M). Seri kadarnya adalah : 250;

Page 60: Tesis Purwanto

45

125; 62,5; 31,25; 15,6; 7,8; dan 3,9 mM. Sebanyak 100 µL dari

masing-masing kadar ini dimasukkan ke dalam sumuran mikrokultur

96 sumuran dan nilai OD dengan Elisa reader pada panjang

gelombang 405 nm.

d. Analisis ekstrak aktif dengan HPLC

Ditimbang 10 mg ekstrak etil asetat miselia fungi E secara

saksama, masukkan effendorf. Tambahkan 600 µL asetonitril dan 400

µL metanol, gojok hingga larut dan homogen. Injeksikan 20 µL larutan

tersebut ke dalam HPLC dengan sistem fase gerak asetonitril : akuades :

metanol (5:3:2); kolom RP-18e; laju alir fase gerak 1 mL/menit pada

suhu ruangan dan sistem isokratik. Standar yang digunakan adalah

larutan artemisinin dengan kadar 5 mg/mL yang dibuat dengan cara

melarutkan 5 mg artemisinin dalam pelarut yang terdiri dari 600 µL

asetonitril dan 400 µL metanol. Detektor yang digunakan adalah

detektor UV dengan panjang gelombang 215 nm (Lapkin et al., 2009).

e. Analisis ekstrak aktif dengan Chromatography-Mass Spectrometer

(LC-MS)

Dibuat ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan kadar 1 mg/mL

dalam pelarut metanol p.a. Injeksikan 20 µL larutan tersebut ke dalam

LC-MS dengan sistem fase gerak metanol : akuades (9:1); kolom RP-18,

laju alir fase gerak 1 mL/menit, detektor ESI-MS positive ion mode.

Sistem elusi yang digunakan adalah isokratik pada suhu ruangan.

Page 61: Tesis Purwanto

46

5. Identifikasi golongan senyawa yang terdapat di dalam ekstrak aktif

Analisis golongan senyawa ini dilakukan dengan teknik KLT.

Sebanyak 7,5 µL ekstrak aktif (fungi E) dengan kadar 30 mg/mL dalam

pelarut metanol ditotolkan pada fase diam plate silika gel F254. Fase gerak

yang digunakan adalah fase gerak A = etil asetat : metanol : akuades

(100:13,5:10); dan fase gerak B = toluena : etil asetat (93:7)

Lakukan pengamatan di bawah sinar UV 254 dan 366 nm. Untuk

identifikasi senyawa golongan fenolik digunakan pembanding eugenol,

visualisasi bercak dengan disemprot larutan FeCl3; senyawa golongan

alkaloid digunakan pembanding piperin, visualisasi bercak dengan

disemprot Dragendorff; senyawa golongan terpenoid digunakan pembanding

timol, eugenol, dan saponin, visualisasi bercak dengan disemprot

anisaldehid asam sulfat, vanilin asam sulfat dan larutan SbCl3. Masing-

masing pembanding tersebut dibuat dengan kadar 10 mg/mL dan volume

penotolan 7,5 µL.

Setelah perlakuan dengan pereaksi semprot, lakukan pengamatan

sebagai berikut : a) pereaksi anisaldehid asam sulfat dan vanilin asam sulfat :

setelah disemprot, plate dipanaskan pada suhu 105oC selama 5 menit, amati

di bawah sinar tampak dan sinar UV 366 nm; b) pereaksi Dragendoff, FeCl3,

dan SbCl3 : setelah disemprot, plate diamati di bawah sinar tampak tanpa

pemanasan (Wagner and Bladt, 1996).

Page 62: Tesis Purwanto

47

6. Analisis profil pertumbuhan fungi

Analisis profil pertumbuhan fungi dilakukan dengan cara mengukur

bobot kering miselia fungi selama periode fermentasi tertentu. Ke dalam 40

buah erlenmeyer ukuran 50 mL, masing-masing dimasukkan media M 102b

sebanyak 10 mL. Sterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15

menit. Sebanyak satu buah plug berdiameter 5 mm dari fungi E dalam media

PDA, inokulasikan ke dalam masing-masing erlenmeyer tersebut secara

aseptis. Fungi tersebut difermentasi pada suhu kamar sambil digojok dengan

kecepatan 80 rpm. Setiap hari pertumbuhan, ambil 2 buah erlenmeyer yang

digojok tersebut, saring miselia fungi dengan kertas saring yang telah ditara,

cuci kertas saring dengan 75 mL akuades, kemudian keringkan pada suhu

60oC hingga bobotnya konstan. Buat kurva hubungan antara waktu

fermentasi dengan bobot kering miselia fungi.

7. Identifikasi fungi

Identifikasi yang dilakukan adalah identifikasi morfologi fungi secara

mikrokopis dan akan didapatkan genus dari fungi yang bersangkutan.

Identifikasi ini dilakukan di laboratorium gisi dan pangan, Pusat Antar

Universitas, UGM.

Page 63: Tesis Purwanto

48

C. Data dan analisis data

Untuk mengetahui kadar kristal β-hematin yang terbentuk (setelah

pencucian dengan DMSO), nilai OD pada masing-masing konsentrasi perlakuan

diinterpolasikan ke persamaan kurva baku.

Persentase hambatan polimerisasi hem dihitung dengan rumus :

: %100xA

BA

Dengan A adalah kadar hematin pada kontrol negatif (akuades) dan B adalah

kadar hematin setelah pemberian senyawa uji.

Data ditampilkan dalam bentuk tabel yang menghubungkan antara dosis

senyawa uji dengan persentase penghambatan. Aktivitas penghambatan

polimerisasi hem dinyatakan dalam IC50 (kadar ekstrak yang mampu menghambat

polimerisasi hem hingga 50%). Nilai IC50 ini diperoleh menggunakan analisis

probit. Perbedaan nilai IC50 untuk masing-masing perlakuan dianalisis dengan

menggunakan uji Anava (taraf kepercayaan 95%).

Bagan prosedur kerja penelitian ini adalah terlihat pada Gambar 7.

Page 64: Tesis Purwanto

49

Gambar 7. Bagan prosedur kerja penelitian identifikasi senyawa aktifpada fungi endofit dari A. annua L.

Pengambilan sampel

Fungi endofit

Fermentasi

Ekstraksi

Uji penghambatan polimerisasi hem

Analisis dengan HPLC dan LC-MS

Analisis golongan senyawa

Identifikasi fungi

Penyiapan sampel tanaman

Determinasi tanaman

Isolasi fungi endofit

Miselia fungi

Bobot sel

Profil kurva pertumbuhan

Supernatan Endapan

Page 65: Tesis Purwanto

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Isolasi fungi endofit dari A. annua L.

1. Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA)

Media yang dipakai untuk menumbuhkan fungi endofit A. annua L.

adalah media Potato Dextrose Agar (PDA). Media ini digunakan karena

media ini tidak cocok untuk pertumbuhan bakteri dan fungi patogen pada

manusia sehingga mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi (Strobel et

al., 2001). Media PDA mengandung ekstrak kentang, salah satu sumber

karbohidrat. Fungi dapat tumbuh pada media PDA karena fungi mampunyai

enzim untuk memotong polisakarida tersebut menjadi monosakarida yang

siap digunakan fungi untuk kelangsungan hidupnya (Strobel et al., 2001).

2. Isolasi fungi

Eksplan dari tanaman A. annua L. diambil pada saat tanaman berumur

6 bulan karena masa panen A. annua L. adalah saat tanaman berumur lebih

dari 5 bulan. Pada umur ini kandungan metabolit sekundernya sudah optimal

sehingga diharapkan fungi endofit yang berada dalam jaringan tanaman pada

waktu ini juga sudah mengalami rekombinasi genetik dan mampu

menghasilkan metabolit sekunder sama dengan tanaman inangnya, yaitu

artemisinin. Pengambilan eksplan diutamakan pada daun karena bagian ini

paling banyak mengandung artemisinin, yaitu mencapai 89% dari total

artemisinin yang terdapat dalam tanaman (Kardinan, 2008). Bagian daun

50

Page 66: Tesis Purwanto

51

yang diambil adalah daun yang sudah tua karena fungi endofit banyak

tumbuh dalam jaringan daun yang sudah tua (Suryanarayanan and

Thennarasan, 2004). Eksplan bagian batang perlu dihilangkan kulit arinya

terlebih dahulu sehingga fungi endofit yang tumbuh adalah benar-benar dari

dalam jaringan eksplan tersebut, bukan fungi yang berasal dari luar jaringan.

Proses sterilisasi eksplan tidak digunakan etanol murni, tetapi

digunakan etanol 70% karena proses denaturasi protein mikroba memerlukan

keberadaan air, dan etanol dengan kadar 70% adalah kadar yang optimal

untuk tujuan ini (Pratiwi, 2008). Dalam larutan, natrium hipoklorit (NaClO)

akan melepaskan radikal klor (Cl.) yang mampu merusak membran dan

protein mikroba. Gambar penanaman eksplan dalam media PDA dapat

dilihat dalam Lampiran 3.

Dari berbagai macam eksplan yang ditanam dalam media PDA, fungi

endofit hanya tumbuh dari eksplan daun, batang, dan akar. Endofit biasanya

bertempat pada bagian tanaman yang berada di atas tanah, seperti daun,

batang, kulit batang, tangkai daun, dan alat reproduktif. Hal ini berhubungan

dengan banyaknya paparan sinar matahari yang diterima bagian tersebut

(Faeth and Fagan, 2002). Beberapa fungi endofit hanya membentuk

koloni di salah satu bagian dalam jaringan tanaman, sehingga tidak semua

jaringan tanaman yang ditanam secara acak terjadi pertumbuhan fungi

endofit (Johnston et al., 2006). Kontrol akuades steril bilasan eksplan yang

ditanam dalam media PDA tidak terdapat pertumbuhan fungi. Hal ini

menunjukkan bahwa fungi-fungi yang tumbuh pada eksplan adalah fungi

Page 67: Tesis Purwanto

52

yang berasal dari dalam jaringan tanaman tersebut, bukan fungi yang berasal

dari spora yang menempel di permukaan eksplan tersebut.

Dari penanaman eksplan yang dilakukan, diperoleh 6 fungi endofit,

yaitu 1 fungi endofit dari eksplan batang (fungi A) dan 5 fungi endofit dari

eksplan daun (fungi B, C, D, E, dan F). Gambar fungi endofit hasil isolasi

dapat dilihat pada Lampiran 4.

B. Fermentasi fungi endofit

Proses fermentasi fungi endofit dilakukan dengan media semi sintetik,

artinya media yang tersusun dari bahan kimia yang diketahui jumlah dan unsur

penyusunnya, dan dicampur dengan bahan nabati yang tidak pasti

komposisinya, yaitu ekstrak malt, bactopepton, dan ekstrak yeast. Tujuan

pencampuran ini adalah agar nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan

fungi dapat tersedia lengkap sehingga proses pertumbuhan fungi di dalamnya

dapat optimal. Selama proses fermentasi, media digojok selama 24 jam agar

konsentrasi nutrisi dan oksigen dalam media dapat dipertahankan

homogenitasnya. Fermentasi pendahuluan bagi fungi yang berhasil diisolasi

dilakukan dengan 2 tahap, yaitu 3 hari pertama untuk mempercepat fase lag,

sedangkan tahap kedua, yaitu fermentasi selama 18 hari, di dalamnya

termasuk fase logaritma dan fase stasioner (Prihatiningtias, 2005). Selama fase

stasioner ini metabolit sekunder akan dibentuk dan pada akhir tahap ini proses

fermentasi dihentikan.

Media yang digunakan untuk inokulum adalah sama dengan media

yang digunakan untuk produksi, yaitu M 102b. Tujuannya adalah untuk

Page 68: Tesis Purwanto

53

meminimalkan fase adaptasi (fase lag) akibat perbedaan media pertumbuhan.

Volume inokulum yang digunakan adalah 4% dari volume media produksi,

yaitu 8 mL inokulum dengan volume media produksi 200 mL. Volume

inokulum yang optimal adalah sebanyak 3-10% volume media produksi. Pada

jumlah volume inokulum tersebut diharapkan dapat meminimalkan fase lag

dan memaksimalkan pertumbuhan biomassa (Stanbury et al., 1995).

Proses fermentasi fungi endofit digunakan media cair karena

fermentasi dengan media cair lebih efektif untuk memproduksi biomassa

(Pokhrel and Ohga, 2007) dan senyawa bioaktif dibandingkan fermentasi

dalam media padat (Yan et al., 2010). Hal ini karena dalam fermentasi cair

terdapat proses agitasi yang memungkinkan nutrisi dalam media dapat terus

homogen dan tidak ada gradien konsentrasi produk/toksin sehingga mikrobia

dapat lebih optimal mengabsorbsi nutrisi tersebut. Guna menghasilkan proses

agitasi yang sempurna, perbandingan jumlah media dengan ukuran fermentor

adalah 2 : 5 (Wu et al., 2004).

C. Bioassay-guided fractionation

1. Ekstraksi media fermentasi dan miselia fungi dengan etil asetat

Proses fermentasi dilakukan terhadap fungi A, B, C, D, E, dan F.

Proses penyarian dilakukan terhadap media fermentasi dan miselia fungi

guna mengetahui apakah metabolit aktif fungi diekskresikan secara

ekstraseluler atau intraseluler. Penyarian media dilakukan dengan

etil asetat sama banyak dengan jumlah media dan dibagi menjadi 4 kali

replikasi guna meningkatkan efisiensi transfer massa sehingga

Page 69: Tesis Purwanto

54

metabolit dalam media dapat tersari ke dalam etil asetat secara maksimal,

sedangkan untuk miselia fungi, sebelum proses ekstraksi, sel-sel miselia

fungi dipecah dahulu dengan gelombang ultrasonik pada frekuensi 20 kHz

selama 30 menit. Sebagai medium dalam proses tersebut sekaligus sebagai

cairan penyari adalah etil asetat dengan jumlah sama banyak dengan bobot

fungi yang bersangkutan.

Gelombang ultrasonik menghasilkan getaran kuat yang menyebabkan

gelombang kejut dan radikal bebas reaktif (radikal hidroksil dan hidrogen

peroksida) sehingga sel menjadi pecah dan terjadi inaktivasi struktur

mikrobia. Material sel akan pecah dan masuk ke dalam medium penyarinya.

Metode ini sederhana dan tidak menghasilkan produk toksik yang dapat

membahayakan sampel (Naddeo et al., 2007).

2. Hasil analisis profil KLT ekstrak etil asetat

Langkah ini dimaksudkan sebagai uji pendahuluan, apakah fungi hasil

isolasi menghasilkan metabolit sekunder artemisinin. Pengujian dilakukan

terhadap ekstrak etil asetat media fermentasi dan miselia fungi. Hasil

pengujian dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) terhadap ekstrak etil

asetat tersebut dapat dilihat pada Gambar 8, 9, dan 10.

Page 70: Tesis Purwanto

55

8a 8b

8c 8d

Gambar 8. Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102bdengan volume penotolan 7,5 µL

a) sebelum disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 254 nm;b) sebelum disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm;c) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah sinar tampak;d) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm

Sistem KLT : fase gerak : n-heksana : etil asetat (7:3); fase diam silika gel F254

Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;5) Fungi D; 6) Fungi E; 7) Fungi F; dan 8) Media M 102b

Pada Gambar 8 terlihat bahwa ekstrak etil asetat media fermentasi

fungi A, B, C, D, E, dan F dengan kadar 5 mg/mL dan volume penotolan 7,5

μL tidak menunjukkan bercak apapun, sedangkan bercak standar artemisinin

dengan kadar 2 mg/mL dan volume penotolan 15 μL sudah kelihatan dengan

Page 71: Tesis Purwanto

56

jelas. Untuk itu dicoba menambah volume penotolan sampel karena diduga

penyebab tidak tampaknya bercak karena kadar senyawa di dalamnya terlalu

kecil. Hasil KLT dengan jumlah totolan setelah ditingkatkan menjadi 4 kali

adalah seperti pada Gambar 9.

9a 9b

Gambar 9. Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102b dengan volume penotolan sampel 30 μL

a) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah sinar tampak;b) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm

Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;5) Fungi D; 6) Fungi E; 7) Fungi F; 8) Media M 102 b; dan9) Ekstrak etanolik 95% herba A. annua L.

Dari Gambar 9 terlihat bahwa walaupun volume penotolan sampel

sudah dinaikkan menjadi 4 kali lipat, yaitu menjadi 30 μL, pada sampel uji

tidak terlihat adanya bercak dengan nilai Rf yang mirip dengan nilai Rf

artemisinin standar. Dari data ini disimpulkan bahwa di dalam media

fermentasi fungi endofit uji, tidak terdapat metabolit sekunder artemisinin.

Dengan kata lain, fungi-fungi tersebut tidak mengekskresikan metabolit

yang diduga artemisinin secara ekstraseluler. Hasil kromatografi miselia

fungi tertera pada Gambar 10.

Page 72: Tesis Purwanto

57

10a 10b

10c 10d

Gambar 10. Profil KLT ekstrak etil asetat miselia fungia) sebelum disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 254 nm;b) sebelum disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm;c) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah sinar tampak;d) setelah disemprot anisaldehid asam sulfat, di bawah UV 366 nm

Sistem KLT : fase gerak : n-heksana : etil asetat (7:3); fase diam silika gel F254

Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;5) Fungi D; 6) Fungi E; dan 7) Fungi F

Dari Gambar 10, sampel dengan kadar 5 mg/mL dan volume

penotolan 20 μL, menunjukkan bahwa fungi A, E, dan F mempunyai bercak

dengan nilai Rf yang mirip dengan standar artemisinin, yaitu 0,60. Warna

bercak-bercak tersebut berbeda dengan artemisinin (Gambar 10c), yaitu

Page 73: Tesis Purwanto

58

coklat tua, sedangkan artemisinin mempunyai warna coklat tua kekuningan.

Perbedaan warna ini dimungkinkan karena dalam bercak sampel tersebut

berisi lebih dari satu macam senyawa, atau mungkin merupakan senyawa

yang berbeda dengan artemisinin, tetapi mempunyai tingkat kepolaran yang

sama dengan artemisinin sehingga mempunyai nilai Rf yang mirip. Dari

pola kromatogram ini dapat disimpulkan sementara bahwa ekstrak etil asetat

miselia fungi A, E, dan F mengandung metabolit sekunder yang sama atau

mirip dengan artemisinin, sehingga ekstrak dari fungi ini yang akan

dilakukan uji tahap selanjutnya.

3. Hasil uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem

Untuk kelangsungan hidupnya, P. falciparum di dalam eritrosit akan

memecah hemoglobin menjadi globin dan hem bebas di dalam vakuola

digestifnya. Globin ini akan diuraikan menjadi asam-asam amino sebagai

bahan baku sintesis protein bagi Plasmodium. Hem bebas ini, yaitu fero-

protoporfirin IX, akan segera teroksidasi menjadi feri-protoporfirin IX di

dalam vakuola digestif yang bersifat asam, dan bersifat toksik bagi sel inang

dan Plasmodium (Huy et al., 2007). Hem bebas bersifat sangat toksik karena

dapat membentuk spesies radikal oksigen yang dapat menyebabkan

kematian bagi Plasmodium (Kumar et al., 2007).

Oleh Plasmodium, hem bebas ini akan diubah menjadi bentuk dimer

yang inert, yaitu hemozoin (pigmen malaria). Pembentukan pigmen malaria

ini, menjadi salah satu target aksi bagi agen antimalaria golongan kuinolin

(Huy et al., 2007). Senyawa basa lemah seperti senyawa turunan kuinolin

Page 74: Tesis Purwanto

59

(klorokuin) akan menghambat terbentuknya polimerisasi hem menjadi

hemozoin (Pisciotta and Sullivan, 2008). Suatu polimer yang identik dengan

hemozoin, yaitu β-hematin, dapat terbentuk secara in vitro dari hematin

dalam suasana asam. Dengan alat Fourier Transform Infra Red (FTIR)

terlihat bahwa ikatan antara ion besi-karboksilat dari dua molekul hem

dalam hemozoin adalah sama dengan analognya, yaitu β-hematin (Wood et

al., 2003). Kristal β-hematin ini selanjutnya dapat diukur serapannya dengan

Elisa reader pada panjang gelombang 405 nm. Jumlah kristal β-hematin

yang terbentuk berbanding terbalik dengan aktivitas agen antimalaria

penghambat polimerisasi hem tersebut (Basilico et al., 1998). Hasil

pengukuran kurva baku hematin tertera pada Gambar 11.

Kurva baku hematin

y = 0.0069x + 0.0667

R2

= 0.9995

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

0 50 100 150 200 250 300

Kadar hematin (mM)

Ser

ap

an

Gambar 11. Kurva baku hematin dalam larutan NaOH 0,1 M

Dalam suasana asam, hematin akan berpolimerisasi menjadi kristal

β-hematin. Senyawa uji yang mampu menghambat polimerisasi hematin ini

akan mengurangi kristal β-hematin yang terbentuk. Data pengukuran nilai

IC50 tertera pada Tabel I.

Page 75: Tesis Purwanto

60

Tabel I. Pengaruh pemberian ekstrak miselia fungi terhadapaktivitas penghambatan polimerisasi hem

Bahan ujiKonsentrasi

(mg/mL)

Rerata kadarhemozoin

(mM) + SD

Rerata persenpenghambatan

+ SD

IC50

(mg/mL)

5,00 47,77 + 15,43 54,34 + 14,74

2,50 82,02 + 15,90 21,61 + 15,19

1,25 63,18 + 11,24 39,61 + 10,74

0,63 59,08 + 6,96 43,54 + 6,65

Fungi A

0,31 77,97 + 8,34 25,48+ 7,97

14,359

5,00 8,30 + 2,41 92,06 + 2,31

2,50 17,87 + 3,04 82,92 + 2,90

1,25 33,14 + 8,94 68,33 + 8,54

0,63 36,61 + 4,71 65,01 + 4,50

Fungi E

0,31 69,61+ 6,83 33,47 + 6,53

0,499

5,00 57,77 + 1,89 44,78 + 1,80

2,50 67,68 + 4,10 35,32 + 3,92

1,25 131,88 + 2,63 -26,04 + 2,51

0,63 139,71 + 15,61 -33,52 + 14,92

Fungi F

0,31 137,82 + 11,92 -31,72 + 11,40

-

5,00 51,49 + 1,01 50,79 + 0,97

2,50 37,10 + 5,49 64,54 + 5,25

1,25 63,33 + 11,82 39,47 + 11,30

0,63 69,37 + 7,76 33,70 + 7,41

Klorokuin

0,31 76,81 + 12,25 26,59 + 11,71

2,320

Akuades 104,63 + 0,22 0,00 + 0,00

DMSO 10% 103,91 + 0,93 0,00 + 0,00

Hasil uji menunjukkan, ekstrak etil asetat miselia fungi A, E, dan

kontrol positif klorokuin mempunyai nilai IC50 sebesar 14,359 mg/mL,

0,499 mg/mL; dan 2,320 mg/mL. Nilai IC50 ekstrak etil asetat miselia fungi

F tidak bisa dihitung karena menyebabkan endapan β-hematin yang lebih

banyak dibandingkan kontrol negatif akuades.

Page 76: Tesis Purwanto

61

Titik isoelektrik hematin adalah pada pH 5, seperti halnya kondisi

pH dalam vakuola digestif Plasmodium. Untuk mencapai keadaan tersebut

digunakan asam asetat sebagai pengatur tingkat keasaman pada reaksi

polimerisasi hematin menjadi hemozoin (Guetzoyan et al., 2009).

Polimerisasi hematin dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam karena pada

suhu dan waktu tersebut, kristal β-hematin yang terbentuk adalah optimal

(Basilico et al., 1998). Kondisi yang digunakan dalam polimerisasi hem ini

meniru suasana pada sel hidup (eritrosit yang terinfeksi Plasmodium). Pada

sel hidup banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi aktivitas

antiplasmodium dibandingkan uji dengan reaksi kimiawi biasa, misalnya

adanya enzim, protein, dan lemak yang akan mempengaruhi absorbsi dan

penetrasi molekul obat ke dalam eritrosit dan Plasmodium.

Proses pembentukan β-hematin akan didahului dengan pembentukan

endapan amorf hem, dan diikuti dengan konversi secara lambat menjadi β-

hematin kristalin (Kumar et al., 2007). Proses pencucian endapan β-hematin

dimaksudkan untuk menghilangkan hematin yang terjerap dalam endapan β-

hematin. Pencucian tersebut dapat menggunakan DMSO, larutan SDS 2,5%,

atau larutan 0,1 M dapar natrium bikarbonat pH 9,1. Larutan pencuci

tersebut tidak melarutkan kristal β-hematin. Dalam penelitian ini digunakan

DMSO karena tidak menimbulkan busa selama proses dan merupakan

larutan pencuci yang siap digunakan.

Walaupun mekanisme kerja suatu antiplasmodium tidak hanya

melalui penghambatan polimerisasi hem, tetapi aktivitas penghambatan

Page 77: Tesis Purwanto

62

polimerisasi hem adalah metode yang mudah dan cukup akurat untuk

mengetahui efek sebagai antimalaria. Aktivitas penghambatan polimerisasi

hem merupakan kerja dari satu atau dua mekanisme, yaitu : 1) terjadi

interaksi antara senyawa terpenoid, fenol dan sterol dengan sistem elektronik

hem, 2) ekstrak tersebut terdiri dari senyawa-senyawa yang memiliki gugus

hidroksil yang dapat berikatan dengan ion besi hem (Basilico et al., 1998).

Dalam ekstrak etil asetat miselia fungi sangat mungkin terdapat

berbagai macam senyawa yang berpengaruh dalam aktivitas penghambatan

polimerisasi hem. Kondisi keasaman ekstrak, warna, dan pencucian endapan

β-hematin sangat berpengaruh terhadap hasil pembacaan serapan pada Elisa

reader. Menurut Baelsman et al. (2000), senyawa yang mempunyai nilai

IC50 penghambatan polimerisasi hem yang lebih kecil dari nilai IC50

kloroquinsulfat, yaitu 37,5 mM (12 mg/mL), maka senyawa tersebut dapat

dikatakan memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem. Berdasarkan

data tersebut, ekstrak etil asetat miselia fungi A dan E memiliki aktivitas

penghambatan polimerisasi hem, sedangkan untuk ekstrak miselia fungi F

tidak memiliki aktivitas tersebut karena tidak menghambat terbentuknya

endapan β-hematin, tetapi malah menjadi katalisator terbentuknya endapan

β-hematin karena menghasilkan endapan β-hematin yang lebih besar

dibandingkan kontrol akuades. Pengujian tahap selanjutnya hanya akan

dilakukan pada fungi E karena mempunyai nilai aktivitas penghambatan

polimerisasi hem secara in vitro yang paling tinggi, yaitu dengan IC50 0,499

mg/mL. Analisis hasil pengujian aktivitas penghambatan polimerisasi hem

Page 78: Tesis Purwanto

63

ini tidak perlu dilakukan uji Anava karena perbedaan nilai aktivitas antar

ketiga fungi tersebut sangat jauh.

4. Hasil analisis ekstrak aktif dengan HPLC

Analisis dengan HPLC dan KLT mempunyai mekanisme pemisahan

yang mirip, yaitu terjadinya interaksi antara analit, fase gerak, dan fase

diam. Pola interaksi yang berdasarkan tingkat kepolaran tersebut akan

memisahkan analit dari campurannya. Kelebihan analisis dengan HPLC

dibandingkan metode KLT adalah lebih sensitif dan bisa menghasilkan

resolusi pemisahan yang lebih baik.

Hasil analisis ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC

menunjukkan bahwa di dalam ekstrak tersebut tidak mengandung

artemisinin. Hal ini terlihat pada Gambar 12b, tidak ada puncak yang

mempunyai nilai waktu retensi yang sama dengan waktu retensi artemisinin,

yaitu 2,748 menit. Hal ini ditegaskan dengan pemberian standar adisi

artemisinin standar pada ekstrak etil asetat miselia fungi E tersebut, seperti

terlihat pada Gambar 12c.

Page 79: Tesis Purwanto

64

Waktu retensi (menit)

Gambar 12a. Hasil elusi standar artemisinin dengan HPLC

Waktu retensi (menit)

Gambar 12b. Hasil elusi ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC

Page 80: Tesis Purwanto

65

Waktu retensi (menit)

Gambar 12c. Elusi hasil penambahan standar adisi artemisinin terhadapekstrak etil asetat miselia fungi E

5. Hasil analisis dengan Liquid Chromatography - Mass Spectrometer

(LC-MS)

Walaupun metode ESI adalah metode yang lunak, tetapi fragmentasi

molekul analit masih dapat terjadi. Menurut Shi et al. (2006), fragmentasi

yang terjadi pada molekul artemisinin dan turunannya setelah terprotonasi

pada metode ESI adalah seperti pada Gambar 13.

HO+H

O

O

HO+

O

H

O

H

H

O

O - CH3OH

- CH3OH

m/z 283,3 m/z 219,2

Gambar 13a. Pola fragmentasi artemisinin setelah terprotonasi pada metode ESI

Page 81: Tesis Purwanto

66

HO+H HHO+

O

H

OH

H

H

O

OO

HO

HO+H

- H2O

- C2H5OH

- C2H2O2

m/z 285,3 m/z 221,3 m/z 163,3

Gambar 13b. Pola fragmentasi dihidroartemisinin setelah terprotonasi padametode ESI

HO+H HHO+

O

H

O

H

H

O

OO

HO

HO+H

- CH3OH

- C2H5OH

- C2H2O2

m/z 299,4 m/z 221,3 m/z 163,3

Gambar 13c. Pola fragmentasi artemether setelah terprotonasi pada metode ESI

HO+H HHO+

O

H

O

H

H

O

OO

HO

HO+H

- C2H5OH

- C2H5OH

- C2H2O2

m/z 313,4 m/z 221,3 m/z 163,3

Gambar 13d. Pola fragmentasi arteether setelah terprotonasi pada metode ESI

Page 82: Tesis Purwanto

67

HO+

O

H

O

H

H

O

O

OH

O

O HO+H H

OHO

HO+H

- C4H6O4

- C2H5OH

- C2H2O2

m/z 385,4 m/z 221,3 m/z 163,3

Gambar 13e. Pola fragmentasi artesunat setelah terprotonasi pada metode ESI

Dari hasil protonasi dan fragmentasi artemisinin dan turunannya, maka

kemungkinan nilai m/z yang terbentuk adalah seperti pada Tabel II.

Tabel II. Kemungkinan nilai m/z yang terbentuk pada analisis artemisinin danturunannya dengan ESI pengionan positif, dengan m/z H = 1,01;C = 12,01; dan O = 15,99

Nilai m/z ionpseudomolekul

Nilai m/z hasilfragmentasi ke-No. Senyawa Nilai M

(M+H)+ (2M+H)+ 1 2

1. Artemisinin 282,3 283,3 565,6 219,2 -

2. Dihidroartemsinin 284,3 285,3 569,6 221,3 163,3

3. Artemether 298,4 299,4 597,8 221,3 163,3

4. Arteether 312,4 313,4 625,8 221,3 163,3

5. Artesunat 384,4 385,4 769,8 221,3 163,3

Hasil spektra ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan ESI-MS terlihat

pada Gambar 14.

Page 83: Tesis Purwanto

68

99.0 319.2 539.4 759.6 979.8 1200.0

Mass (m/z)

0

207.7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

%In

tens

ity

Mariner Spec /132:135 (T /6.50:6.65) -111:124 (T -6.50:6.65) ASC=>NR(2.00)[BP= 279.3,208]

279.31

295.29

280.31

296.30 557.02335.19

411.10 619.81 707.56510.96163.47 261.32 936.20839.84 1028.80

Gambar 14a. Spektra spektrometer massa ekstrak miselia fungi Edalam rentang m/z 100 sampai m/z 1200

235.0 351.6 468.2 584.8 701.4 818.0

Mass (m/z)

0

1000.9

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

%In

ten

sit

y

Mariner Spec /132:135 (T /6.50:6.65) -111:124 (T -6.50:6.65) ASC=>NR(2.00)=>CT[BP= 279.3,1001]

279.31

295.29

319.25280.31557.02

395.16335.19296.30558.00320.21 393.14 634.07255.33 474.36 707.56511.86 750.88

Gambar 14b. Spektra spektrometer massa ekstrak miselia fungi Edalam rentang m/z 235 sampai m/z 818

Dari Gambar 14a dan 14b, tidak terlihat adanya nilai m/z artemisinin

dan turunannya, baik dalam bentuk (M+H)+, (2M+H)+, ataupun hasil

fragmentasinya. Pada Gambar 14a, terdapat puncak dengan m/z 163,47;

tetapi puncak ini bukan puncak dari hasil fragmentasi kedua dari turunan

artemisinin karena selain puncak dengan m/z tersebut tidak dijumpai puncak

dengan m/z 221,3 sebagai produk fragmentasi pertama, ataupun m/z dari ion

Page 84: Tesis Purwanto

69

pseudomolekul dari (M+H)+. Puncak dengan m/z 163,47 tersebut

kemungkinan adalah ion pseudomolekul atau hasil fragmentasi molekul lain

yang bukan turunan artemisinin.

D. Hasil identifikasi golongan senyawa dengan KLT

Prinsip dari identifikasi golongan senyawa ini adalah dengan cara

membandingkan warna bercak hasil elusi ekstrak uji dengan senyawa standar

setelah disemprot dengan reagen pembentuk warna dan dilihat di bawah sinar

tampak atau sinar UV 366 nm. Fase gerak A digunakan untuk identifikasi

golongan senyawa yang lebih polar seperti : antraglikosida, alkaloid,

flavonoid, dan saponin, sedangkan fase gerak B digunakan untuk identifikasi

golongan senyawa yang lebih non polar seperti : kumarin dan terpenoid

(Wagner and Bladt, 1996).

Hasil identifikasi KLT setelah disemprot berbagai macam pereaksi

semprot dapat dilihat pada kromatogram berikut ini (dalam tiap plate, bercak

sebelah kiri adalah hasil elusi standar, sedangkan bercak sebelah kanan adalah

hasil elusi sampel).

Page 85: Tesis Purwanto

70

15a 15b 15c 15d

Gambar 15. Hasil elusi tanpa penyemprotan15a) fase gerak A, sinar UV 254 nm; 15b) fase gerak A, sinar UV 366 nm15c) fase gerak B, sinar UV 254 nm; 15d) fase gerak B, sinar UV 366 nm

16a 16b

Gambar 16. Hasil penyemprotan dengan larutan FeCl3,tanpa pemanasan, dengan standar eugenol

16a) fase gerak A, sinar tampak; 16b) fase gerak B, sinar tampak

4

6

8

2

4

6

8

2

4

6

8

2

Page 86: Tesis Purwanto

71

17a 17b

Gambar 17. Hasil penyemprotan dengan larutan Dragendorff,tanpa pemanasan, dengan standar piperin

17a) fase gerak A, sinar tampak; 17b) fase gerak B, sinar tampak

18a 18b 18c 18d

Gambar 18. Hasil penyemprotan dengan anisaldehid asam sulfatsetelah dipanaskan pada suhu 105oC selama 5 menit denganstandar timol

18a) fase gerak A, sinar tampak; 18b) fase gerak A, sinar UV 366 nm18c) fase gerak B, sinar tampak; 18d) fase gerak B, sinar UV 366 nm

4

6

8

2

4

6

8

2

4

6

8

2

Page 87: Tesis Purwanto

72

19a 19b

Gambar 19. Hasil penyemprotan dengan larutan vanilin asam sulfat,setelah dipanaskan pada suhu 105oC selama 5 menit denganstandar eugenol

19a) fase gerak A, sinar tampak; 19b) fase gerak B, sinar tampak

20a 20b

Gambar 20. Hasil pencelupan dengan larutan SbCl3 ,tanpa pemanasan, dengan standar saponin (1), daneugenol (2)

20a) fase gerak A, sinar tampak; 20b) fase gerak B, sinar tampak

1 2 1 2

4

6

8

2

4

6

8

2

Page 88: Tesis Purwanto

73

Plate silika gel F254 akan berflorosensi kuning-hijau jika terkena sinar

UV 254 nm. Senyawa yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi dalam

struktur molekulnya, akan mengabsorbsi sinar UV tersebut sehingga bagian

plate yang terdapat bercak senyawa tersebut akan terjadi pemadaman.

Sementara itu, senyawa yang mampu berpendar di bawah sinar UV 366 nm,

menunjukkan bahwa senyawa tersebut mempunyai struktur kromofor, planar,

dan kaku. Pada Gambar 15a, terdapat bercak dengan nilai Rf 0,90. Senyawa

yang mampu memadamkan fluorosensi plate silika ini mempunyai struktur

ikatan rangkap terkonjugasi, dengan kemungkinan senyawa tersebut adalah

golongan antraglikosida, kumarin, alkaloid tertentu (turunan indol, kuinolin,

dan isokuinolin). Pada Gambar 15d, terdapat bercak dengan nilai Rf 0,53.

Kemungkinan bercak tersebut adalah senyawa golongan antraglikosida,

kumarin, flavonoid, atau asam orto hidroksi karboksilat (Wagner and Bladt,

1996).

Hasil penyemprotan dengan larutan FeCl3 (Gambar 16) menunjukkan

bahwa di dalam sampel tidak terdapat senyawa yang mempunyai gugus

fenolik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukannya bercak hasil elusi sampel

yang berwarna ungu kecoklatan sebagai hasil reaksi antara ion feri dengan

gugus hidroksi fenolik.

Pereaksi Dragendorff adalah pereaksi yang khas untuk senyawa

golongan alkaloid dengan membentuk warna merah-jingga. Tidak terdapatnya

bercak dengan warna merah-jingga pada hasil elusi sampel (Gambar 17)

menandakan bahwa sampel tidak mengandung senyawa golongan alkaloid.

Page 89: Tesis Purwanto

74

Pereaksi anisaldehid asam sulfat adalah pereaksi yang tidak khas untuk

golongan senyawa tertentu. Hampir semua senyawa bisa bereaksi dan

membentuk warna dengan pereaksi ini walaupun senyawa tersebut tidak

mempunyai gugus fungsional yang aktif, artinya hanya mempunyai ikatan

tunggal antar atom pembentuk senyawa tersebut dan hanya tersusun dari atom

karbon dan hidrogen, seperti halnya kebanyakan senyawa golongan terpenoid.

Pada Gambar 18c, terlihat adanya bercak dengan warna merah tua pada hasil

elusi sampel. Menurut Wagner and Bladt (1996), anisaldehid asam sulfat

dengan senyawa golongan minyak atsiri (monoterpenoid dan seskuiterpenoid)

akan memberikan warna merah, coklat, atau biru; dan akan terelusi dengan

baik dalam sistem fase gerak B, sedang sistem fase gerak A akan

menghasilkan bercak dengan nilai Rf yang mendekati 1 (satu).

Pada Gambar 19b, setelah perlakuan semprot dengan vanilin asam

sulfat, pada elusi sampel terdapat bercak merah keunguan pada nilai Rf 0,36.

Menurut Wagner and Bladt (1996), bercak tersebut kemungkinan adalah

senyawa golongan terpenoid. Sementara itu, setelah perlakuan dengan reagen

SbCl3, pada hasil elusi sampel (Gambar 20) terdapat bercak dengan warna

coklat kekuningan. Reagen ini spesifik terhadap senyawa golongan terpenoid,

terutama saponin.

Dari data-data KLT di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa senyawa

yang terdapat dalam ekstrak etil asetat miselia fungi F adalah senyawa

golongan terpenoid. Hal ini sesuai dengan Basilico et al. (1998) yang

Page 90: Tesis Purwanto

75

menyatakan bahwa senyawa yang mempunyai aktivitas penghambatan

polimerisasi hem diantaranya adalah senyawa golongan terpenoid.

E. Hasil analisis profil pertumbuhan fungi

Pengujian kurva pertumbuhan fungi E dilakukan dengan media yang

sama dengan media fermentasi sehingga meminimalkan perbedaan

pertumbuhan karena pengaruh media. Pola pertumbuhan ini dilakukan dengan

mengukur massa miselia fungi selama periode fermentasi. Fungi E pada

pertumbuhannya menghasilkan banyak miselia yang tidak homogen dalam

media fermentasinya, sehingga pengambilan sampel per satuan waktu tidak

bisa dikerjakan hanya dalam 1 fermentor, tetapi proses fermentasi fungi harus

dilakukan dengan jumlah fermentor sebanyak jumlah sampel massa miselia

yang akan diambil. Kurva pertumbuhan fungi E terlihat pada Gambar 21.

Kurva pertumbuhan fungi E

0

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 16 17 18 19 20

Hari ke-

Ma

ssa

ker

ing

fun

gi

(mg

)

Gambar 21. Kurva pertumbuhan fungi E

Dari Gambar 21 terlihat bahwa fungi E tidak mempunyai fase adaptasi

tetapi langsung memasuki fase pertumbuhan eksponensial. Hal ini

menunjukkan bahwa media yang digunakan untuk fermentasi fungi E sudah

Page 91: Tesis Purwanto

76

sesuai dengan karakter pertumbuhan fungi sehingga tidak memerlukan fase

adaptasi terlebih dahulu. Fungi E memasuki fase stasioner sekitar hari ke-10

fermentasi. Pada fase ini metabolit sekunder akan mulai terbentuk. Pada

fermentasi pendahuluan (fermentasi pertama kali) yang dilakukan, yaitu

selama 18 hari, ternyata kondisi fungi E sudah berada dalam fase stasioner,

sehingga pada hari ke-18 tersebut sangat mungkin fungi sudah membentuk

berbagai macam metabolit sekundernya, salah satunya adalah metabolit yang

aktif dalam menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin.

F. Hasil identifikasi fungi

Identifikasi fungi E dilakukan dengan cara pengamatan morfologi

secara mikroskopis di Laboratorium Gizi dan Pangan, Pusat Antar

Universitas, UGM. Morfologi fungi E yang teramati selanjutnya dibandingkan

dengan data base morfologi fungi. Dari hasil identifikasi tersebut, didapatkan

bahwa fungi E termasuk ke dalam fungi dengan genus Tritirachium sp. Fungi

genus ini banyak diisolasi dari kertas, jerami, kain, dan gipsum yang

digunakan pada dinding. Habitat asli fungi ini adalah di dalam tanah dan

tanaman yang telah membusuk. Fungi ini bersifat patogen bagi serangga dan

pada manusia dapat menyebabkan mikosis seperti ulcer pada kornea dan

otomikosis (Moraes et al., 2010). Bukti surat identifikasi dan gambar

morfologi fungi E tertera dalam Lampiran 5 dan 6.

Page 92: Tesis Purwanto

77

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Fungi endofit yang berhasil diisolasi dari herba tanaman A. annua L.

menghasilkan metabolit sekunder yang mampu menghambat polimerisasi

hem secara intraseluler.

2. Metabolit intraseluler fungi E mengandung senyawa golongan terpenoid.

B. Saran

1. Perlu dilakukan uji antiplasmodium bagi metabolit intraseluler fungi E

dengan P. falciparum secara in vitro.

2. Perlu dilakukan elusidasi struktur terhadap senyawa aktif yang terdapat

dalam metabolit intraseluler fungi E yang mempunyai aktivitas

menghambat polimerisasi hem.

3. Perlu dilakukan identifikasi secara urutan DNA bagi fungi E guna

mendapatkan jenis fungi tersebut.

Page 93: Tesis Purwanto

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1990, Malaria, Pengobatan Radikal Malaria, Buku 3, DirektoratJenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan LingkunganPemukiman, Dep. Kes. RI., Jakarta.

Anonim, 1993, Chinese Herbal Medicine : Materia Medica, compiled andtranslated by Dan Bensky and Andrew Gamble, 110-111, Eastland Press,Washington.

Anonim, 1999, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, edisi V, 17-18, Dep.Kes. RI,Jakarta.

Anonim, 2009, Laporan Tahunan, 47-48, Balai Penelitian Tanaman Obat danAromatik, Bogor.

Anonim, 2010, Malaria, http//www.dpd.cdc.gov/dpdx, diakses tanggal 3 April2010.

Aryanti, Ermayanti, T.M., Prinadi, K.I., dan Dewi, R.M., 2006, Uji dayaantimalaria Artemisia spp. terhadap Plasmodium falciparum, MajalahFarmasi Indonesia, 17 (2), 81-84.

Basilico, N., Pagani, E., Monti, D., Olliaro, P., and Taramelli, D., 1998, Amicrotitre-based method for measuring the haem polymerizationinhibitory activity (HPIA) of antimalarial drugs, Journal of AntimicrobialChemotherapy, 42, 55-60.

Baelsmans, R., Deharo, E., Munoz, V., Sauvain, M., and Ginsburg, H., 2000,Experimental conditions for testing the inhibitory activity of chloroquineon the formation of β-hematin, Experimental Parasitology., 42, 55-60.

Bhakuni, R.S., Jain, D.C., Sharma, R.P., and Kumar, S., 2001, Secondarymetabolites of Artemisia annua and their biological activity, CurrentScience, 80 (1), 35-48.

Castillo, U.F., Strobel, G.A., Ford, E.J., Hess, W.M., Porter, H., Jensen, J.B. et al.,2002, Munumbicins, wide-spectrum antibiotics produced byStreptomyces NRRL 30562, endophytic on Kennedia nigricans,Microbiology, 148, 2676.

Cui, L. and Su, X., 2009, Discovery, mechanisms of action and combinationtherapy of artemisinin, Expert Review of Anti Infective Therapy, 7 (8),999-1013.

78

Page 94: Tesis Purwanto

79

79

Faeth, S.H., 2002, Are endophytic fungi defensive plant mutualist?, Oikos, 98, 25-36.

Faeth, S.H. and Fagan, W.F., 2002, Fungal endophytes : common host plantsymbionts but uncommon mutualists, Integrative and ComparativeBiology, 42, 360-368.

Ferreira, J. and Janick, J., 2009, Annual Wormwood (Artemisia annua L.),www.hort.purdue.edu/newcrop/cropfactsheets/artemisia.pdf, diaksestanggal 18 Maret 2010.

Ferreira, J.F.S., 2004, Artemisia annua L. : The hope against malaria and cancer,Medicinal and aromatic plants : Production, business and applications,Proceedings of the January 15-17 meeting, Mountain State University,Beckley.

Fidock, D.A., Rosenthal, P.J., Croft, S.L., Brun, R., and Nwaka, S., 2004,Antimalarial drug discovery : efficacy models for compound screening,Nature Reviews, 3, 509-520.

Ganiswara, S.G., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 545-547, BagianFarmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

Guetzoyan, L., Yu, X., Ramiandrasoa, F., Pethe, S., Rogier, C., Pradines, B.,Cresteil, T., Perrée-Fauvet, M., dan Mahy, J., 2009, Antimalarialacridines: Synthesis, in vitro activity against P. falciparum andinteraction with hematin, Bioorganic & Medicinal Chemistry, 17, 8032-8039.

Gusmaini dan Nurhayati, H., 2007, Potensi pengembangan budidaya Artemisiaannua L. di Indonesia, Perspektif, 6 (2), 57-67.

Harijanto, J.R.S., 2000, Malaria, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinisdan penanganan, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Huy, N.T., Maeda, A., Uyen, D.T., Trang, D.T.X., Sasai, M., Shiono, T. et al.,2007, Alcohols induce beta-hematin formation via the dissociation ofaggregated hem and reduction in interfacial tension of the solution, ActaTropica, 101, 130–138.

Jian-Wen, W., Zhong-Hao, X., and Ren-Xiang, T., 2002, Elicitation onartemisinin biosynthesis in Artemisia annua hairy roots by theoligosaccharide extract from the endophytic Colletotrichum sp B501,Acta Botanica Sinica, 44 (10), 1233-1238.

Page 95: Tesis Purwanto

80

80

Johnston, P.R., Sutherland, P.W., dan Joshee,S., 2006, Visualising endophyticfungi within leaves by detection of (1/3)-ß-D-glucans in fungal cell walls,Mycologist, 20, 159-162.

Kardinan, A., 2008, Artemisia (Artemisia annua) tanaman anti malaria, WartaPenelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor, 14(2), 1-3.

Kazakevich, Y. and Lobrutto, R., 2007, HPLC for Pharmaceutical Scientist, 282,288, 289, 299, 304-306, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.

Kiboi, D.M., Irungu, B.N., Langat, B., Wittlin, S., Brun, R., Chollet, J., Abiodun,O., Nganga, J.K., Nyambati, V.C.S., rukunga, G.M., Bell, A., and Nzila,A., 2009, Plasmodium berghei ANKA : selection of resistance topiperaquine and lumefantrine in a mouse model, ExperimentalParasitology, 122, 196-202.

Krishna, S., Uhlemann, A., and Haynes, R.K., 2004, Artemisinins : mechanismsof action and potential for resistance, Drug Resistance Updates, 7, 233-244.

Krishna, S., Bustamante, L., Haynes, R.K., and Staines, H.M., 2008,Artemisinins: their growing importance in medicine, Trends inPharmacological Sciences, 29 (10), 520-527.

Kumar, S., Gupta, S.K., Singh, P., Bajpai, P., Gupta, M.M., Singh, D., Gupta,A.K., Ram, G., Shasany, A.K., and Sharma, S., 2004, High yields ofartemisinin by multi-harvest of Artemisia annua crops, Industrial Cropsand Products, 19, 77-90.

Kumar, S., Guha, M., Choubey, V., Maity, P., and Bandyyopaddhay, U., 2007,Antimalarial drugs inhibiting hemozoin (β-hematin) formation : A mechanistic update, Life Sciences, 80, 813-828.

Lapkin, A.A., Walker, A., Sullivan, N., Khambay, B., Mlambo, B., and Chemat,S., 2009, Development of HPLC analytical protocols for quantification ofartemisinin in biomass and extracts, Journal of Pharmaceutical andBiomedical Analysis, 49, 908-915.

Lee, J.C., Strobel, G.A., Lobkovsky, E., and Clardy, J., 1996, Torreyanic acid : Aselectively cytotoxic quinine dimmer from the endophytic fungusPestalotiopsis microspora, Journal of Organic Chemistry, 61, 3232-3233.

Liu, C.H, Zou, W.X., Lu, H., and Tan, R.X., 2001, Antifungal activity orArtemisia annua endophyte cultures against phytopathogenic fungi, TheJournal of Biotechnology, 88, 277-282.

Page 96: Tesis Purwanto

81

81

Lulu, Y., Chang, Z., Ying, H., Ruiyi, Y., and Qingping, Z., 2008, Abiotic stress-induced expression of artemisinin biosynthesis genes in Artemisia annuaL., Chinese Journal of Applied & Environmental Biology, 14 (1), 001-005.

Magnani, M., Calliari, C.M., de Macedo Jr., F.C., Mori, M.P., de Syllos Cólus,I.M., and Castro-Gomez, R.J.H., 2009, Optimized methodology forextraction of (1→3)(1→6)-β-D-glucan from Saccharomyces cerevisiaeand in vitro evaluation of the cytotoxicity and genotoxicity of thecorresponding carboxymethyl derivative, Carbohydrate Polymers, 78,658–665.

McNeil, B. and Harvey, L.M., 2008, Practical Fermentation Technology, 42, 70-90, 100-101, John Wiley & Son Ltd., England.

Meshnick, S.R., 1994, The mode of action of antimalarial endoperoxides,Supplement, 88 (1), 31-32.

Mojarad, T.B., Roghani, M., and Zare, N., 2005, Effect of subchronicadministration of aqueous Artemisia annua extract on α1-adrenoceptoragonist-induced contraction of isolated aorta in rat, Iranian BiomedicalJournal, 9 (2), 57-62.

Moraes, R.N.R., Ribeiro, M.C.T., Nogueira, M.C.L., Cunha, K.C., Soares,M.M.C.N., and Almeida, M.T.G., 2010, First report of Tritirachiumoryzae infection of human scalp, Mycopathologia, 169, 257-259.

Morris, C., Bacon, C.W., and White, J.F., 2001, Microbial Endophyte, 225,Marcel Dekker, Inc., New York.

Muzemil, A., 2008, Determination of artemisinin and essential oil contents ofArtemisia annua L. grown in Ethiopia and in vivo antimalarial activity ofits crude extracts against Plasmodium berghei in mice, Thesis, School ofPharmacy, Addis Ababa University, Ethiopia.

Naddeo, V., Belgiorno, V., dan Napoli, R.M.A., 2007, Behavior of natural organicmater during ultrasonic irradiation, Desalination, 210, 175-182.

Ortelli, D., Ructaz, S., Cognarct, E., and Veuthey, J.L, 2000, Analysis ofDihydroartemisinin in Plasma by Liquid Chromatography-MassSpectrometry, Chromatographia, 52 (7/8), 445-450.

Pandey, A.V., Tekwani, B.L., Singh, R.L., and Chauhan, V.S., 1999, Artemisinin,an endoperoxide antimalarial, disrupts the hemoglobin catabolism andhem detoxification systems in malarial parasite, The Journal ofBiological Chemistry, 274 (27), 19383-19388.

Page 97: Tesis Purwanto

82

82

Peterson, S.W., Vega, F.E., Posada, F., and Nagai, C., 2005, Penicillium coffeae, anew endophytic species isolated from a coffee plant and its phylogeneticrelationship to P. fellutanum and P. brocae based on parsimony analysisof multilocus DNA sequences, Mycologia, 97 (3), 659-666.

Pinheiro, J.C., Kiralj, R., and Ferreira, M.M.C., 2003, Artemisinin derivativeswith antimalarial activity against Plasmodium falciparum designed withthe aid of quantum chemical and partial least squares methods, QSAR &Combinatorial Science, 22, 830-842.

Pisciotta, J.M. and Sullivan, D., 2008, Hemozoin: oil versus water, ParasitologyInternational, 57, 89-96.

Pokhrel, C.P. and Ohga, S., 2007, Submerged culture conditions for mycelialyield and polysaccharides production by Lyophyllum decastes, FoodChemistry, 105, 641-646.

Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, Erlangga, Jakarta.

Prihatiningtias, W., 2005, Senyawa bioaktif fungi endofit akar kuning (Fibraureachloroleuca Miers) sebagai agensia antimikroba, Tesis, SekolahPascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rahman, A., 1992, Teknologi Fermentasi Industrial II, 123, Arcan, Jakarta.

Radji, M., 2005, Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembanganobat herbal, Majalah Ilmu Kefarmasian, 2 (3), 113-126.

Robert, A., Benoit-Vical, F., Dechy-Cabaret, O., and Meunier, B., 2001, Fromclassical antimalarial drugs to new compounds based on the mechanismof action of artemisinin, Pure and Applied Chemistry, 73 (7), 1173-1188.

Sharaf-Eldin, M. and Elkholy, S., 2009, Artemisinin production from shootculture systems of Artemisia annua L., Australian Journal of Basic andApplied Sciences, 3 (3), 2212-2216.

Shi, B., Yu, Y., Li, Z., Zhang, L., Zhong, Y., Su, S., and Liang, S., 2006,Quantitative Analysis of Artemether and its MetaboliteDihydroartemisinin in Human Plasma by LC with Tandem MassSpectrometry, Chromatographia, 64 (9/10), 523-530.

Shio, M.T., Kassa, F.A., Bellemare, M.J., and Olivier, M., 2010, Innateinflammatory response to the malarial pigment hemozoin, Microbes andInfection, doi: 10.1016/j.micinf.2010.07.001.

Page 98: Tesis Purwanto

83

83

Simanjuntak, P., Parwati, T., Bustanussalam, Prana, T.K., dan Shibuya, H., 2002,Produksi alkaloid kuinina oleh beberapa mikroba endofit denganpenambahan zat induser, Majalah Farmasi Indonesia, 13 (1), 1-6.

Stanburry, P. F., Whitaker A., and Hall, S.J., 1995, Principle of FermentationTechnology, 2nd edition, 1-5, 147-149, Elsevier Science Ltd., Oxford.

Strobel, G.A., Dirkse, E., Sears, J., and Markworth, C., 2001, Volatileantimicrobials from Muscodor albus, a novel endophytic fungus,Microbiology, 147, 2943-2950.

Strobel, G. and Daisy, B., 2003, Bioprospecting for microbial endophytes andtheir natural products, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 67(4), 491-502.

Strobel, G., Daisy, B., Castillo, U., and Harper, J., 2004, Natural products fromendophytic microorganisms, Journal of Natural Products, 67, 257-268.

Suryanarayanan, T.S. and Thennarasan, S., 2004, Temporal variations inendophyte assemblages of Plumeriarubra leaves, Fungal Diversity, 15,197-204.

Sutisna P., 2004, Malaria secara Ringkas, cetakan I, EGC, Penerbit BukuKedokteran, Jakarta.

Suwandi, J.F., Wijayanti, M.A., dan Mustofa, 2008, Aktivitas penghambatanpolimerisasi hem antiplasmodium ekstrak daun sungkai (Peronemacanescens) in vitro, Seminar Nasional sains dan Teknologi II, Prosiding,Universitas Lampung.

Sweetman, S.C., 2009, Martindale : The complete drug reference, 36th edition,598, Pharmaceutical Press, Great Britain.

Tan, R.X. and Zou, W.X., 2001, Endophytes : a rich source of functionalmetabolits, Natural Product Reports, 18, 448-459.

Teoh, K.H., Polichuk, D.R., Reed, D.W., Nowak, G., and Covello, P.S., 2006,Artemisia annua L. (Asteraceae) trichome-specific cDNAs reveal CYP71AV1, a cytochrome P450 with a key role in the biosynthesis ofthe antimalarial sesquiterpene lactone artemisinin, FEBS Letters, 580,1411-1416.

Wagner, H. and Bladt, S., 1996, Plant Drug Analysis : A thin layerchromatography atlas, 2nd edition, 349-364, Springer-Verlag, Berlin.

Page 99: Tesis Purwanto

84

84

Wang, Y., Lo, H., and Wang, P., 2008, Endophytic fungi from Taxus mairei inTaiwan : first report of Colletotrichum gloeosporioides as an endophyteof Taxus mairei, Botanical Studies, 49, 39-43.

Wood, B.R., Langford, S.J., Cooke, B.M., Glenister, F.K., Lim, J., andMcnaughton, D., 2003, Raman imaging of hemozoin within the foodvacuole of Plasmpdium falciparum trophozoites, FEBS Letters, 554, 247-252.

Wu, J., Cheung, P.C.K., Wong, K., and Huang, N., 2004, Studies on submerged

fermentation of Pleurotus tuber-regium (Fr.) Singer. Part 2: effect ofcarbon-to-nitrogen ratio of the culture medium on the content andcomposition of the mycelial dietary fibre, Food Chemistry, 85, 101-105.

Yan, J., Li, L., Wang, Z., and Wu, J., 2010, Structural elucidation of anexopolysaccharide from mycelial fermentation of a Tolypocladium sp.fungus isolated from wild Cordyceps sinensis, Carbohydrate Polymers,79, 125-130.

Yuliani, M., Machfudz, S., dan Sadjimin, T., 2005, Efikasi terapi artemeter danprimakuin versus klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderitamalaria tanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap, Samigaluh,Girimulyo Kabupaten Kulon Progo, Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (1),13-19.

Zeng, Q., Zeng, X., Yin, L., Yang, R., Feng, L., and Yang, X., 2009,Quantification of three key enzymes involved in artemisinin biogenesisin Artemisia annua by polyclonal antisera-based ELISA, Plant MolecularBiology Reporter, 27, 50-57.

Page 100: Tesis Purwanto

85

Lampiran 1. Surat identifikasi tanaman Artemisia annua L.

Page 101: Tesis Purwanto

86

Lampiran 2. Gambar tanaman Artemisia annua L.

Lampiran 3. Gambar penanaman eksplan dalam media PDAA. Eksplan batang A. annua L.B. Eksplan daun A. annua L.

Page 102: Tesis Purwanto

87

Lampiran 4. Gambar fungi endofit hasil isolasi

Page 103: Tesis Purwanto

88

Lampiran 5. Surat identifikasi fungi E

Page 104: Tesis Purwanto

89

Lampiran 6. Gambar morfologi fungi E secara mikroskopis

Page 105: Tesis Purwanto

90

Lampiran 7. Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasi hemfungi A

Page 106: Tesis Purwanto

91

Page 107: Tesis Purwanto

92

Page 108: Tesis Purwanto

93

Page 109: Tesis Purwanto

94

Lampiran 8. Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasi hemfungi E

Page 110: Tesis Purwanto

95

Page 111: Tesis Purwanto

96

Page 112: Tesis Purwanto

97

Page 113: Tesis Purwanto

98

Lampiran 9. Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasi hemfungi F

Page 114: Tesis Purwanto

99

Lampiran 10. Hasil analisis probit aktivitas penghambatan polimerisasi hemklorokuin difosfat

Page 115: Tesis Purwanto

100

Page 116: Tesis Purwanto

101

Page 117: Tesis Purwanto

102

Page 118: Tesis Purwanto

RINGKASAN

ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM

DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L.

Oleh :

Purwanto09/291328/PFA/00845

PROGRAM PASCASARJANAFAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADA2011

Page 119: Tesis Purwanto

Persetujuan Ringkasan Tesis

ISOLASI DAN IDENTIF'I.KASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM

DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annuaL.

Oleh:

Purwanto09t291328tPFAl0084s

Telah disetujui oleh :

. Wahyono, S.U., Apt.

'. t . t rtL9lr"",(V

Tanggal : t1lt tlI?

Prof. Dr. Mustofa.

Page 120: Tesis Purwanto

2

ABSTRAK

Malaria adalah penyakit yang disebabkan parasit Plasmodium dan banyakmengancam kehidupan manusia. Penyebaran yang cepat dari malaria yangresisten terhadap obat golongan kuinolin mendorong pencarian antimalaria baru.Tanaman Artemisia annua L. yang mengandung metabolit sekunder artemisininsudah sejak lama digunakan sebagai antimalaria. Salah satu sumber senyawabioaktif adalah fungi endofit, fungi yang hidup di dalam jaringan tanaman danmampu menghasilkan metabolit yang sama atau mirip dengan tanaman inangnya.

Penelitian ini dilakukan dengan cara isolasi fungi endofit dari jaringantanaman A. annua L., fermentasi fungi, ekstraksi media fermentasi maupunmiselia fungi, analisis profil kromatografi dengan KLT, uji aktivitaspenghambatan polimerisasi hem, analisis dengan HPLC dan LC-MS, analisisgolongan senyawa aktif, dan identifikasi fungi.

Dari 6 macam fungi endofit yang berhasil diisolasi, 3 fungi diantaranyadiduga menghasilkan artemisinin secara intraseluler, yaitu fungi A, E, dan F.Fungi E memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem yang tertinggi, yaitudengan nilai IC50 0,499 mg/mL. Hasil analisis dengan HPLC dan LC-MS,menunjukkan bahwa metabolit intraseluler fungi E tersebut bukan artemisininatau turunannya, yaitu dihidroartemisinin, artemether, arteether, atau artesunat.Hasil analisis golongan senyawa menunjukkan bahwa senyawa yang terkandungdi dalam ekstrak miselia fungi E yang termasuk dalam genus Tritirachium sp.tersebut adalah senyawa golongan terpenoid.

Kata kunci : malaria, fungi endofit, fermentasi, artemisinin, polimerisasi hem

Page 121: Tesis Purwanto

3

RINGKASAN

A. LATAR BELAKANG

Malaria adalah salah satu penyakit endemik di negara tropis. Pada

tahun 2008 dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia adalah sekitar

243 juta orang, dan 1 juta diantaranya meninggal dunia (Shio et al., 2010).

Antimalaria sudah tersedia sejak lama, tetapi sampai kini belum ada yang

ideal (Yuliani et al., 2005).

Saat ini, antimalaria baru yang lebih efektif perlu dicari kembali

mengingat adanya penyebaran malaria yang cepat dan luas, terutama malaria

yang resisten terhadap obat golongan kuinolin (Huy et al., 2007). Salah satu

usaha tersebut adalah melalui penelitian terhadap tanaman obat yang secara

tradisional telah digunakan oleh masyarakat untuk mengobati malaria, salah

satunya adalah Artemisia annua L. (Suwandi et al., 2008) yang mengandung

artemisinin. Metabolit ini, termasuk turunannya, sulit untuk disintesis dan

hanya menghasilkan randemen yang rendah (Ferreira, 2004) sehingga

umumnya hanya diisolasi dari tanaman A. annua L.

Salah satu sumber senyawa bioaktif adalah fungi endofit. Fungi ini

hidup di dalam jaringan tanaman dan merupakan sumber alam yang melimpah

yang dapat dijadikan sumber penemuan obat baru. Endofit mampu

memproduksi senyawa yang mirip atau sama dengan senyawa yang

diproduksi inangnya (Strobel and Daisy, 2003).

Salah satu mekanisme aksi senyawa antimalaria adalah melalui

penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin. Plasmodium

memetabolisme hemoglobin eritrosit menjadi hem dan asam amino. Hem yang

bersifat toksik bagi Plasmodium tersebut diubah menjadi hemozoin.

Penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin ini telah digunakan

sebagai skrining awal uji aktivitas antiplasmodium (Basilico et al., 1998).

Dalam penelitian ini dicari fungi endofit dari tanaman A. annua L.

yang menghasilkan metabolit sekunder dengan efek sebagai antiplasmodium

melalui mekanisme penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin.

Page 122: Tesis Purwanto

4

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah fungi endofit A. annua L. mengandung metabolit sekunder yang

mempunyai efek menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin ?

2. Senyawa golongan apakah yang berefek menghambat polimerisasi hem

tersebut ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Mendapatkan fungi endofit A. annua L. yang menghasilkan metabolit

sekunder yang mampu menghambat polimerisasi hem menjadi hemozoin serta

isolasi senyawa aktif tersebut dan mengetahui golongan senyawa yang

mempunyai aktivitas tersebut.

D. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tanaman Artemisia annua L.

Artemisia annua L. adalah herba tradisional yang berasal dari Cina

(Bhakuni et al., 2001) serta digunakan kurang lebih 2000 tahun yang lalu

sebagai antimalaria, obat demam, dan pereda gangguan menstruasi

(Ferreira, 2004). Sebagian besar kandungan metabolit sekunder A. annua

L. adalah terpenoid dan flavonoid. Minyak atsiri yang terkandung sebagian

besar terdiri dari monoterpen (Bhakuni et al., 2001). Senyawa seskuiterpen

yang terkandung dalam A. annua L. misalnya artemisinin (arteanuin A),

arteanuin B, artemisiten, dan asam artemisinat (Ferreira and Janick, 2009).

2. Senyawa antiplasmodium dalam tanaman A. annua L.

Artemisinin adalah komponen yang paling banyak menarik

perhatian karena efek antimalarianya dalam menanggulangi P. falciparum

yang telah resisten terhadap klorokuin dan kuinin (Bhakuni et al., 2001).

Mekanisme aksi artemisinin dan turunannya sebagai antimalaria terjadi

melalui banyak mekanisme dan belum bisa dibuktikan secara pasti (Cui

and Su, 2009). Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain :

penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin melalui pembentukan

Page 123: Tesis Purwanto

5

radikal bebas dari lakton seskuiterpen yang akan mengalkilasi hem

membentuk kompleks hem-artemisinin (Muzemil, 2008), penghambatan

proses respirasi pada mitokondria, dan penghambatan transporter ion Ca2+

yang disebut PfATP6, suatu sarco-endoplasmic reticulum calcium-

dependent ATPases (SERCAs) yang hanya terdapat pada P. falciparum

(Cui and Su, 2009).

3. Malaria

Malaria adalah infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus

Plasmodium. Malaria yang menyerang manusia dapat disebabkan oleh P.

malariae, P. vivax, P. falciparum, dan P. oval. Penularan penyakit tersebut

diperantarai oleh nyamuk Anopheles betina (Harijanto, 2000). Agar dapat

hidup sebagai parasit, Plasmodium harus ada dalam tubuh manusia untuk

waktu yang cukup lama dan menghasilkan gametosit jantan dan betina

pada saat yang sesuai untuk penularannya (Harijanto, 2000). Secara garis

besar Plasmodium memiliki 2 siklus hidup, yaitu siklus aseksual yang

terjadi dalam tubuh manusia dan siklus seksual yang terjadi dalam tubuh

nyamuk (Ganiswara, 1995).

4. Mikroba endofit

Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup berkoloni dalam

jaringan tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan

inangnya (Radji, 2005). Hampir semua jaringan tanaman mengandung

mikroba endofit (Faeth, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sebagian besar mikroba endofit adalah fungi (Strobel et al., 2004).

Hubungan antara mikroba endofit dan tumbuhan inang terjadi melalui

infeksi yang tidak menimbulkan gejala penyakit sampai hubungan

simbiosis mutualisme. Mikroba endofit dalam jaringan tanaman

memperoleh nutrisi dan perlindungan dari inang, sebaliknya mikroba

endofit membantu kehidupan inang dengan cara memproduksi metabolit

yang dibutuhkan inang tersebut (Tan and Zou, 2001).

Page 124: Tesis Purwanto

6

E. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini akan dilakukan secara eksperimental in vitro. Sebagai

variabel bebas adalah konsentrasi ekstrak etil asetat media fermentasi dan

miselia yang telah disonikasi, variabel tergantung adalah persentase

penghambatan polimerisasi hem, dan sebagai variabel terkendali adalah

media fermentasi, suhu fermentasi, waktu fermentasi, suhu inkubasi, cairan

penyari, jumlah pencucian kristal β- hematin.

F. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN

Daun, bunga, akar, dan batang tanaman A. annua L.; media Potato

Dextrose Agar (PDA) dan M 102b; larutan NaOCl 5,25%, etanol 70%; etil

asetat teknis; etil asetat p.a., toluena (E-Merck), n-heksana p.a. (Sigma Co.),

plate silika gel F254 (E-Merck); klorokuin difosfat (Sigma Co.), hematin, asam

asetat glasial, NaOH, DMSO (E-Merck); asetonitril dan metanol (Sigma. Co.),

akuades, LiChorsper®100 RP-18e (25 cm x 4,6 mm i.d., 5µm); Supelco RP-

18 (25 cm x 2,0 mm i.d., 5µm).

Alat yang digunakan adalah : Autoclave (Sakura, Tokyo), mesin shaker

(Thermolyne), ultrasonikator (Nihonseiki Kaisha US 5 Q dan Ultrasons P

Selecta), sentrifugator (Universal 32 R), inkubator (Lab Line), Elisa reader

(Bio-Rad Benchmark), HPLC (Shimadzu SPD-20A) dengan detektor UV,

LC-MS (Hitachi L 6200) dengan sistem ESI Positive Ion Mode.

G. CARA PENELITIAN

1. Tahap pertama adalah isolasi fungi endofit dari tanaman A. annua L.

dalam media PDA, fermentasi dalam media M 102b, dan ekstraksi media

fermentasi dan miselia fungi yang telah disonikasi dengan etil asetat.

2. Kedua adalah uji profil KLT terhadap kedua ekstrak tersebut dengan

pembanding artemisinin.

3. Tahap ketiga adalah pengujian aktivitas penghambatan polimerisasi hem

dengan metode Basilico et al. (1998) yang dimodifikasi, yaitu masalah

Page 125: Tesis Purwanto

7

kadar larutan hematin dan kadar sampel uji yang digunakan dan perbedaan

dalam hal kecepatan dan waktu pencucian kristal β-hematin.

4. Ekstrak yang paling aktif dalam menghambat polimerisasi hem dianalisis

senyawa aktifnya dengan HPLC dan LC-MS.

5. Analisis golongan senyawa dalam ekstrak aktif dengan KLT.

6. Analisis profil pertumbuhan fungi dan identifikasi fungi.

H. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi fungi endofit dari A. annua L..

Media yang dipakai untuk menumbuhkan fungi endofit A. annua L.

adalah media PDA karena media ini tidak cocok untuk pertumbuhan

bakteri dan fungi patogen pada manusia sehingga mengurangi

kemungkinan adanya kontaminasi (Strobel et al., 2001). Eksplan dari

tanaman A. annua L. diambil pada saat umur tanaman 6 bulan karena pada

saat itu kandungan metabolit sekundernya sudah optimal sehingga

diharapkan fungi endofit yang berada di dalamnya sudah mengalami

rekombinasi genetik dan juga mampu menghasilkan metabolit sekunder

sama dengan tanaman inangnya, yaitu artemisinin. Dari penanaman

eksplan yang dilakukan, diperoleh 6 fungi endofit, yaitu fungi endofit dari

batang sebanyak 1 fungi (fungi A) dan fungi endofit dari daun sebanyak 5

fungi (fungi B, C, D, E, dan F).

2. Dari hasil analisis profil KLT, media fermentasi tidak mengandung

artemisinin, sedangkan analisis terhadap miselia fungi yang telah

disonikasi menunjukkan bahwa fungi A, E, dan F; diduga mengandung

metabolit artemisinin/turunannya karena mempunyai bercak dengan nilai

Rf yang sama dengan Rf standar artemisinin.

3. Hasil uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem, diperoleh nilai IC50

untuk fungi A adalah 14,359 mg/mL; fungi E 0,499 mg/mL; fungi F tidak

mempunyai aktivitas penghambatan polimerisasi hem; dan kontrol positif

klorokuin difosfat 2,320 mg/mL.

Page 126: Tesis Purwanto

8

4. Hasil analisis dengan HPLC terhadap fungi E, menunjukkan bahwa fungi

tersebut tidak menghasilkan artemisinin secara intraseluler. Hal ini terbukti

tidak ada puncak dengan waktu retensi yang sama dengan waktu retensi

artemisinin standar. Hasil uji dengan LC-MS juga menunjukkan bahwa

fungi tersebut tidak menghasilkan artemisinin atau turunannya.

Kesimpulan ini didapatkan dari hasil analisis m/z spektra massa dengan

kemungkinan m/z fragmen artemisinin dan turunannya setelah dianalisis

dengan sistem ESI positive ion mode.

5. Hasil analisis golongan senyawa dalam ekstrak miselia fungi E tersebut

menunjukkan hasil yang negatif terhadap golongan flavonoid, kumarin,

alkaloid, dan fenolik. Pereaksi semprot yang menunjukkan hasil positif

muncul warna pada bercak adalah anisaldehid H2SO4, vanilin H2SO4, dan

SbCl3. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat dalam ekstrak

tersebut adalah golongan terpenoid. Hal ini sesuai dengan Basilico et al.

(1998), bahwa senyawa yang mampu menghambat polimerisasi hem,

adalah senyawa fenolik atau terpenoid.

6. Hasil analisis profil pertumbuhan fungi E menunjukkan bahwa fungi E

dalam media M 102b tidak mempunyai fase lag, tetapi langsung memasuki

fase log. Fase stasioner dicapai setelah 6 hari fermentasi dalam media

tersebut. Hasil analisis morfologi fungi secara mikroskopis, fungi E

termasuk fungi dengan genus Tritirachium sp.

I. KESIMPULAN

1. Fungi endofit yang berhasil diisolasi dari herba tanaman A. annua L.

menghasilkan metabolit sekunder yang mampu menghambat polimerisasi

hem secara intraseluler.

2. Metabolit intraseluler fungi E mengandung senyawa golongan terpenoid.

Page 127: Tesis Purwanto

9

J. SARAN

1. Perlu dilakukan uji antiplasmodium bagi metabolit intraseluler fungi E

dengan P. falciparum secara in vitro.

2. Perlu dilakukan elusidasi struktur terhadap senyawa aktif yang terdapat

dalam metabolit intraseluler fungi E yang mempunyai aktivitas

menghambat polimerisasi hem.

K. DAFTAR PUSTAKA

Basilico, N., Pagani, E., Monti, D., Olliaro, P., and Taramelli, D., 1998, Amicrotitre-based method for measuring the haem polymerizationinhibitory activity (HPIA) of antimalarial drugs, Journal of AntimicrobialChemotherapy, 42, 55-60.

Bhakuni, R.S., Jain, D.C., Sharma, R.P., and Kumar, S., 2001, Secondarymetabolites of Artemisia annua and their biological activity, CurrentScience, 80 (1), 35-48.

Cui, L. and Su, X., 2009, Discovery, mechanisms of action and combinationtherapy of artemisinin, Expert Review of Anti Infective Therapy, 7 (8),999-1013.

Faeth, S.H., 2002, Are endophytic fungi defensive plant mutualist?, Oikos, 98, 25-36.

Ferreira, J. and Janick, J., 2009, Annual Wormwood (Artemisia annua L.),www.hort.purdue.edu/newcrop/cropfactsheets/artemisia.pdf, diaksestanggal 18 Maret 2010.

Ferreira, J.F.S., 2004, Artemisia annua L. : The hope against malaria and cancer,Medicinal and aromatic plants : Production, business and applications,Proceedings of the January 15-17 meeting, Mountain State University,Beckley.

Ganiswara, S.G., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 545-547, BagianFarmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

Harijanto, J.R.S., 2000, Malaria, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinisdan penanganan, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Page 128: Tesis Purwanto

10

Huy, N.T., Maeda, A., Uyen, D.T., Trang, D.T.X., Sasai, M., Shiono, T., Oida, T.,Harada, S., and Kamei, K., 2007, Alcohols induce beta-hematinformation via the dissociation of aggregated hem and reduction ininterfacial tension of the solution, Acta Tropica, 101, 130–138.

Radji, M., 2005, Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembanganobat herbal, Majalah Ilmu Kefarmasian, 2 (3), 113-126.

Shio, M.T., Kassa, F.A., Bellemare, M.J., and Olivier, M., 2010, Innateinflammatory response to the malarial pigment hemozoin, Microbes andInfection, doi: 10.1016/j.micinf.2010.07.001.

Strobel, G. and Daisy, B., 2003, Bioprospecting for microbial endophytes andtheir natural products, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 67(4), 491-502.

Strobel, G., Daisy, B., Castillo, U., and Harper, J., 2004, Natural products fromendophytic microorganisms, Journal of Natural Products, 67, 257-268.

Suwandi, J.F., Wijayanti, M.A., dan Mustofa, 2008, Aktivitas penghambatanpolimerisasi hem antiPlasmodium ekstrak daun sungkai (Peronemacanescens) in vitro, Seminar Nasional sains dan Teknologi II, Prosiding,Universitas Lampung.

Tan, R.X. and Zou, W.X., 2001, Endophytes : a rich source of functionalmetabolits, Natural Product Reports, 18, 448-459.

Yuliani, M., Machfudz, S., dan Sadjimin, T., 2005, Efikasi terapi artemeter danprimakuin versus klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderitamalaria tanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap, Samigaluh,Girimulyo Kabupaten Kulon Progo, Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (1), 13-19.

Page 129: Tesis Purwanto

SUMMARY

ISOLATION AND IDENTIFICATIONTHE HAEM POLYMERIZATION INHIBITOR COMPOUND

FROM ENDOPHYTIC FUNGUS OF Artemisia annua L. PLANT.

By :

Purwanto09/291328/PFA/00845

GRADUATE PROGRAMFACULTY OF PHARMACY

UNIVERSITAS GADJAH MADA2011

Page 130: Tesis Purwanto

Persetujuan Ringkasan Tesis dalam Bahasa Inggris

ISOLATION AND IDENTIF'ICATIONTHE HAEM POLYMERIZATION INHIBITOR COMPOUND

FROM ENDOPI{YTIC FUNGUS OF Artemisia annua L. PLANT

Oleh:

Purwanto09t291328tPFA/00845

Telah disetuiui oleh:

Pembim

Prof. . Wahyono, S.U., Apt, Prof. Dr. Mustofa,

T l: l9i r t)'| (t ranggal ' LUllr"

bing Pendamping

Page 131: Tesis Purwanto

2

ABSTRACT

Malaria is a life-threatening disease caused by Plasmodium parasites. Therapid spread of malaria-quinoline resistance enforce a finding of new antimalariadrug. Artemisia annua L plant that had artemisinin as secondary metabolic, hadbeen used as antimalaria agent for long time ago. One source of bioactivecompound is endophytic fungus. This fungus can produce the same or similar toits host plant.

This research was done by isolation endophytic fungus, fermentation,extraction of fermentation medium and fungus miselium, analysis chromatogramwith KLT, analysis of the haem polymerization inhibitory activity, analysis withHPLC and LC-MS, analysis of active compound group, and fungus identification.

From 6 kind of fungus isolated from A. annua L., 3 kind of those fungus(fungus A, E, and F) was guessed could produce intracellular artemisinin. FungusE had the highest value of the haem polymerization inhibitory activity with IC50

0,499 mg/mL. However, the analysis result of HPLC and LC-MS showed thatfungus E did not contain artemisinin or its derivates, such dihydroartemisinin,arthemether, artheether, or artesunate. The result analysis of active compoundgroup showed that fungus E miselium was consisted of terpenoid groupcompound, and this fungus was included in genus Tritirachium sp.

Key words : malaria, endophytic fungus, fermentation, artemisinin, the haempolymerization

Page 132: Tesis Purwanto

3

SUMMARY

A. BACKGROUND

Malaria is one of common diseases in a tropical country. In 2008 has

been reported that there were an estimated 243 million cases of malaria, with

nearly one million deaths (Shio et al., 2010). Antimalaria has been known for

long time ago, but there hasn’t been an ideal drug until this time (Yuliani et al.,

2005).

Now, an effective new antimalaria need to be found because there

were the rapid spread of resistance quinolone Plasmodium (Huy et al., 2007).

One struggle of that case was done by a research of drug plant that has been

used traditionally as antimalaria, such as Artemisia annua L. (Suwandi et al.,

2008). Artemisinin and its derivatives, an A. annua L. metabolites, were

difficult to be an synthetic compound and only has a low randemen (Ferreira,

2004) so that it commonly was isolated from A. annua L.

One source of bioactive compound is endophytic fungus. This fungus

lives in the plant tissue and can act as a source of new drug. Furthermore,

endophytes can produce similar or same compound with their host (Strobel

and Daisy, 2003).

One of mechanism of antimalarial drug is done by inhibiting haem

polymerization to hemozoin. Plasmodium metabolize erithrocitic haemoglobin

to free haem and amino acid. This free haem is toxic and converted to

hemozoin. Inhibition of the haem polymerization to hemozoin have been used

for primary screening antiplasmodium compound (Basilico et al., 1998).

This research look for an endophytic fungus from A. annua L.

producing secondary metabolite as antiplasmodium that has mechanism

inhibition of the haem polymerization.

Page 133: Tesis Purwanto

4

B. PROBLEM STATEMENT

1. Does endophytic fungus of A. annua L. contain secondary metabolite that

has the haem polymerization inhibitory activity?

2. What is class of the compound that has the haem polymerization inhibitory

activity?

C. OBJECTIVE OF RESEARCH

To get endophytic fungus producing secondary metabolite that has the

haem polymerization inhibitory activity to hemozoin, isolation of this active

compound and know, what class of that active compound is.

D. THEORITICAL BASIS

1. Artemisia annua L. plant

Artemisia annua L. is a traditional herbal from China (Bhakuni et

al., 2001) and has been used to cure malaria, fever, and to decrease

menstruation sindrome for 2000 years ago (Ferreira, 2004). Most of

secondary metabolite of A. annua L. are terpenoid dan flavonoid. Most of

essential oil in this plant are monoterpene (Bhakuni et al., 2001). Thus,

sesquiterpenes compound contained in A. annua L. are artemisinin

(arteanuin A), arteanuin B, artemisiten, dan artemisinic acid (Ferreira and

Janick, 2009).

2. Antiplasmodium compounds in A. annua L. plant

Artemisinin is the most interesting compound because of its

antimalarial activity against P. falciparum that have been resistant to

chloroquine and quinine (Bhakuni et al., 2001). The mechanism action of

artemisinin and its derivatives as antimalarial occur through many

mechanisms and can not be proved certainty (Cui and Su, 2009). These

mechanisms include: inhibition of polymerization hem into hemozoin via

free radical formation from the lactone sesquiterpenes which will alkylate

hem form a complex hem-artemisinin (Muzemil, 2008), inhibition of the

process of respiration in mitochondria, and inhibition of transporter ion

Page 134: Tesis Purwanto

5

Ca2+ called PfATP6, a Sarco-endoplasmic reticulum calcium-dependent

ATPases (SERCAs) present only in P. falciparum (Cui and Su, 2009).

3. Malaria

Malaria is an infection caused by protozoa of the genus

Plasmodium. Malaria that infect humans can be caused by P. malariae, P.

vivax, P. falciparum, and P. oval. Transmission of the disease is mediated

by the female Anopheles mosquito (Harijanto, 2000). To be able to live as

a parasite, Plasmodium must exist in the human body for a long time and

produces male and female gametocytes at the time that is suitable for

transmission (Harijanto, 2000). Plasmodium has 2 kind of life cycles,

namely asexual cycle that occurs in the human body and the sexual cycle

that occurs in the mosquito's body (Ganiswara, 1995).

4. Endophytic microbe

Endophytic microbes are microbes that live in colonies in plant

tissues without causing disease symptoms on host plants (Radji, 2005).

Almost all plant tissues contain endophytic microbes (Faeth, 2002). The

results showed that most microbes are endophytic fungi (Strobel et al.,

2004). The relationship between endophytic microbes and host plants

occurs through infection that does not cause symptoms until the disease

symbiotic relationship mutualism. Endophytic microbes in plant tissue

obtain nutrients and protection from the host, whereas endophytic

microbes help the host's life by producing the required host metabolites

(Tan and Zou, 2001).

E. RESEARCH DESIGN

This research will be done experimentally in vitro. As an independent

variable is the concentration of ethyl acetate extracts of fermentation media

and mycelia that have been sonicated, dependent variable is the percentage

inhibition of the haem polymerization, and as the controlled variable is the

fermentation medium, fermentation temperature, fermentation time,

Page 135: Tesis Purwanto

6

incubation temperature, liquid extractor, the number of β-hematin crystals

washing .

F. MATERIALS AND RESEARH EQUIPMENT

Leaves, flower, root, and stem of A. annua L.; Potato Dextrose Agar

(PDA) dan M 102b medium; solution of NaOCl 5,25%, solution of ethanol

70%; ethyl acetate technical; ethyl acetate p.a., toluene (E-Merck), n-hexane

p.a. (Sigma Co.), silica gel F254 plate (E-Merck); chloroquine diphosphate

(Sigma Co.), hematin, glacial acetic acid, NaOH, DMSO (E-Merck);

acetonitrile and methanol (Sigma. Co.), aquades, LiChorsper®100 RP-18e

(25 cm x 4,6 mm i.d., 5µm); Supelco RP-18 (25 cm x 2,0 mm i.d., 5µm).

Equipment that is used : Autoclave (Sakura, Tokyo), shaker machine

(Thermolyne), ultrasonicator (Nihonseiki Kaisha US 5 Q and Ultrasons P

Selecta), centrifugator (Universal 32 R), incubator (Lab Line), Elisa reader

(Bio-Rad Benchmark), HPLC (Shimadzu SPD-20A) with UV detector, LC-

MS (Hitachi L 6200) with ESI Positive Ion Mode system.

G. RESEARCH PROCEDURE

1. The first stage was isolation of endophytic fungus from A. annua L. in

PDA medium, fermentation in M 102b medium, and extraction of

fermentation medium and fungal mycelia which has been sonicated with

ethyl acetate.

2. The second was analysis of TLC profile of both extract with artemisinin

comparison.

3. The third stage was analysis of haem polymerization inhibitory activity

with modified Basilico et al. (1998) methode, about concentration of

hematin solution and sample and the difference in speed and time of β-

hematin crystals washing.

4. Analyzed the most active extracts that inhibit the haem polymerization by

HPLC and LC-MS.

Page 136: Tesis Purwanto

7

5. Analyzed of classes of compounds in the active extracts by TLC.

6. Analysis of fungal growth profile and identification of fungus.

H. RESULT AND DISCUSSION

1. Isolation of endophytic fungus of A. annua L.

Media used to grow the endophytic fungus of A. annua L. was

PDA medium because this medium was not suitable for the growth of

bacteria and fungal pathogens in humans, thereby reducing the possibility

of contamination (Strobel et al., 2001). Explants of A. annua L. was taken

when the plant was 6 months because at that time were optimal secondary

metabolites so hopefully endophytic fungus residing in it have suffered

genetic recombination and also capable of producing secondary

metabolites similar to its host plant, namely artemisinin. There were 6

endophytic fungus obtained in this research, 1 fungus (fungus A) from

stem and 5 endophytics fungus from leaves (fungus, B, C, D, E, and F).

2. From the results of TLC profile analysis, fermentation medium did not

contain artemisinin, whereas analysis of mycelial fungus have shown that

fungus A, E, and F sonicated; suspected to contain metabolites of

artemisinin or its derivatives because they have the spots with the same Rf

value Rf artemisinin standard.

3. From the results of haem polymerization inhibitory activity assay, IC50

values obtained for fungus A was 14,359 mg/mL; fungus E 0,499 mg/mL;

fungus F did not have the haem polymerization inhibitory activity, and

positive controls chloroquine diphosphate 2,320 mg/mL.

4. The results of fungus E analysis by HPLC, indicated that these fungi did

not produce intracellular artemisinin. It was proved that there was no peak

with the same retention time with retention time of artemisinin. Test

results with LC-MS also showed that these fungus did not produce

artemisinin or its derivatives. This conclusion was obtained from analysis

of m/z mass spectra with the possibility of m/z fragment of artemisinin and

its derivatives after the system was analyzed by positive ion ESI mode.

Page 137: Tesis Purwanto

8

5. The result analysis of class of compounds in the extracts of fungal mycelia

E showed a negative result on the class of flavonoids, coumarins, alkaloids,

and phenolic. Spray reagent which showed positive results/color appear on

the spot was anisaldehid H2SO4, vanillin H2SO4, and SbCl3. This indicated

that the compound contained in the extract are the terpenoids. This was in

accordance with Basilico et al. (1998), that compounds capable of

inhibiting polymerization hem, were a phenolic or terpenoid compounds.

6. The result of fungal growth profile analysis showed that the fungal E in M

102b medium did not have the lag phase, but directly enter the log phase.

Stationary phase was reached after 6 days of fermentation in these medium.

Morphological analysis results in a microscopic fungus, the genus of

fungus E was Tritirachium genus sp.

I. CONCLUSION

1. Endophytic fungus isolated from A. annua L. plant produced intracellular

secondary metabolites which can inhibit the polymerization hem.

2. These intracellular fungal metabolite compound contains terpenoids.

J. ADVICE

1. Antiplasmodial test needs to be done for fungus E intracellular metabolite

by P. falciparum in vitro.

2. Necessary structure elucidation of active compounds contained in the

fungus E intracellular metabolite, which has the haem polymerization

inhibitory activity.

Page 138: Tesis Purwanto

9

K. REFERENCES

Basilico, N., Pagani, E., Monti, D., Olliaro, P., and Taramelli, D., 1998, Amicrotitre-based method for measuring the haem polymerizationinhibitory activity (HPIA) of antimalarial drugs, Journal of AntimicrobialChemotherapy, 42, 55-60.

Bhakuni, R.S., Jain, D.C., Sharma, R.P., and Kumar, S., 2001, Secondarymetabolites of Artemisia annua and their biological activity, CurrentScience, 80 (1), 35-48.

Cui, L. and Su, X., 2009, Discovery, mechanisms of action and combinationtherapy of artemisinin, Expert Review of Anti Infective Therapy, 7 (8),999-1013.

Faeth, S.H., 2002, Are endophytic fungi defensive plant mutualist?, Oikos, 98, 25-36.

Ferreira, J. and Janick, J., 2009, Annual Wormwood (Artemisia annua L.),www.hort.purdue.edu/newcrop/cropfactsheets/artemisia.pdf, diaksestanggal 18 Maret 2010.

Ferreira, J.F.S., 2004, Artemisia annua L. : The hope against malaria and cancer,Medicinal and aromatic plants : Production, business and applications,Proceedings of the January 15-17 meeting, Mountain State University,Beckley.

Ganiswara, S.G., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 545-547, BagianFarmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

Harijanto, J.R.S., 2000, Malaria, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinisdan penanganan, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Huy, N.T., Maeda, A., Uyen, D.T., Trang, D.T.X., Sasai, M., Shiono, T., Oida, T.,Harada, S., and Kamei, K., 2007, Alcohols induce beta-hematinformation via the dissociation of aggregated hem and reduction ininterfacial tension of the solution, Acta Tropica, 101, 130–138.

Radji, M., 2005, Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembanganobat herbal, Majalah Ilmu Kefarmasian, 2 (3), 113-126.

Shio, M.T., Kassa, F.A., Bellemare, M.J., and Olivier, M., 2010, Innateinflammatory response to the malarial pigment hemozoin, Microbes andInfection, doi: 10.1016/j.micinf.2010.07.001.

Page 139: Tesis Purwanto

10

Strobel, G. and Daisy, B., 2003, Bioprospecting for microbial endophytes andtheir natural products, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 67(4), 491-502.

Strobel, G., Daisy, B., Castillo, U., and Harper, J., 2004, Natural products fromendophytic microorganisms, Journal of Natural Products, 67, 257-268.

Suwandi, J.F., Wijayanti, M.A., dan Mustofa, 2008, Aktivitas penghambatanpolimerisasi hem antiPlasmodium ekstrak daun sungkai (Peronemacanescens) in vitro, Seminar Nasional sains dan Teknologi II, Prosiding,Universitas Lampung.

Tan, R.X. and Zou, W.X., 2001, Endophytes : a rich source of functionalmetabolits, Natural Product Reports, 18, 448-459.

Yuliani, M., Machfudz, S., dan Sadjimin, T., 2005, Efikasi terapi artemeter danprimakuin versus klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderitamalaria tanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap, Samigaluh,Girimulyo Kabupaten Kulon Progo, Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (1), 13-19.

Page 140: Tesis Purwanto

NASKAH PUBLIKASI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM

DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L.

Program Studi Ilmu FarmasiMagister Farmasi Sains dan Teknologi

Oleh :

Purwanto09/291328/PFA/00845

KepadaPROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU FARMASIFAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

2011

Page 141: Tesis Purwanto

NASKAH PUBLIKASI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASISEI.{YAWA PENGIIAMBAT POLIMBRISASI HEM

DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annuaL.

Oleh:

Purwanto

0912913281PFA/00845

Telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

. Wahyono, S.U., Apt.

anggaT: Irll , \((?

mbing Pendamping

Prof. Dr. Mustofa, M.

Tanggal: ,r{U,t

Page 142: Tesis Purwanto

1

ISOLASI DAN IDENTIFIKASISENYAWA PENGHAMBAT POLIMERISASI HEM

DARI FUNGI ENDOFIT TANAMAN Artemisia annua L.

ISOLATION AND IDENTIFICATIONTHE HAEM POLYMERIZATION INHIBITOR COMPOUND

FROM ENDOPHYTIC FUNGUS OF Artemisia annua L. PLANT

Purwanto1), Wahyono1), Mustofa2)

1) Fakultas Farmasi UGM2) Fakultas Kedokteran UGM

INTISARIMalaria adalah penyakit yang disebabkan parasit Plasmodium dan banyak

mengancam kehidupan manusia. Penyebaran yang cepat dari malaria yang resistenterhadap obat golongan kuinolin mendorong pencarian antimalaria baru. TanamanArtemisia annua L. yang mengandung metabolit sekunder artemisinin sudah sejak lamadigunakan sebagai antimalaria. Salah satu sumber senyawa bioaktif adalah fungiendofit, fungi yang hidup di dalam jaringan tanaman dan mampu menghasilkanmetabolit yang sama atau mirip dengan tanaman inangnya.

Penelitian ini dilakukan dengan cara isolasi fungi endofit dari jaringan tanamanA. annua L., fermentasi fungi, ekstraksi media fermentasi maupun miselia fungi,analisis profil kromatografi dengan KLT, uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem,analisis dengan HPLC dan LC-MS, analisis golongan senyawa aktif, dan identifikasifungi.

Dari 6 macam fungi endofit yang berhasil diisolasi, 3 fungi diantaranya didugamenghasilkan artemisinin secara intraseluler, yaitu fungi A, E, dan F. Fungi E memilikiaktivitas penghambatan polimerisasi hem yang tertinggi, yaitu dengan nilai IC50 0,499mg/mL. Hasil analisis dengan HPLC dan LC-MS, menunjukkan bahwa metabolitintraseluler fungi E tersebut bukan artemisinin atau turunannya, yaitudihidroartemisinin, artemether, arteether, atau artesunat. Hasil analisis golongansenyawa menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung di dalam ekstrak miselia fungiE yang termasuk dalam genus Tritirachium sp. tersebut adalah senyawa golonganterpenoid.

Kata kunci : malaria, fungi endofit, fermentasi, artemisinin, polimerisasi hem

ABSTRACTMalaria is a life-threatening disease caused by Plasmodium parasites. The rapid

spread of malaria-quinoline resistance enforce a finding of new antimalaria drug.Artemisia annua L plant that had artemisinin as secondary metabolic, had been used asantimalaria agent for long time ago. One source of bioactive compound is endophyticfungus. This fungus can produce the same or similar metabolite to its host plant.

This research was done by isolation endophytic fungus, fermentation, extractionof fermentation medium and fungus miselium, analysis chromatogram with KLT,

Page 143: Tesis Purwanto

2

analysis of the haem polymerization inhibitory activity, analysis with HPLC and LC-MS, analysis of active compound group, and fungus identification.

From 6 kind of fungus isolated from A. annua L., 3 kind of those fungus (fungusA, E, and F) was guessed could produce intracellular artemisinin. Fungus E had thehighest value of the haem polymerization inhibitory activity with IC50 0,499 mg/mL.However, the analysis result of HPLC and LC-MS showed that fungus E did notproduce artemisinin or its derivates, such dihydroartemisinin, arthemether, artheether,or artesunate. The result analysis of active compound group showed that fungus Emiselium was consisted of terpenoid group compound, and this fungus was included ingenus Tritirachium sp.

Key words : malaria, endophytic fungus, fermentation, artemisinin, the haempolymerization------------------------------------------------------------Korespondensi : PurwantoAlamat : Fakultas Farmasi UGMEmail : [email protected]

PENDAHULUAN

Malaria adalah salah satu penyakit endemis di negara tropis. Pada tahun 2008

dilaporkan bahwa jumlah penderita malaria di dunia adalah sekitar 243 juta orang, dan 1

juta diantaranya meninggal dunia (Shio et al., 2010). Antimalaria sudah tersedia sejak

lama, tetapi sampai kini belum ada yang ideal, yaitu efektif terhadap semua jenis dan

stadium parasit, cara pemakaiannya mudah, harga terjangkau, efek samping ringan,

serta toksisitas rendah (Yuliani et al., 2005).

Saat ini, antimalaria baru yang lebih efektif perlu dicari kembali mengingat

adanya penyebaran malaria yang cepat dan luas, terutama malaria yang resisten

terhadap obat golongan kuinolin (Huy et al., 2007). Salah satu usaha tersebut adalah

melalui penelitian terhadap tanaman obat yang secara tradisional telah digunakan oleh

masyarakat untuk mengobati malaria, salah satunya adalah Artemisia annua L.

(Suwandi et al., 2008) yang mengandung artemisinin. Metabolit ini, termasuk

turunannya, sulit untuk disintesis dan hanya menghasilkan randemen yang rendah

(Ferreira, 2004) sehingga umumnya hanya diisolasi dari tanaman A. annua L.

Salah satu sumber senyawa bioaktif adalah fungi endofit. Fungi ini hidup di dalam

jaringan tanaman dan merupakan sumber alam yang melimpah yang dapat dijadikan

sumber penemuan obat baru. Endofit mampu memproduksi senyawa yang mirip atau

sama dengan senyawa yang diproduksi inangnya (Strobel and Daisy, 2003).

Page 144: Tesis Purwanto

3

Salah satu mekanisme aksi senyawa antimalaria adalah melalui penghambatan

polimerisasi hem menjadi hemozoin. Plasmodium memetabolisme hemoglobin eritrosit

menjadi hem dan asam amino. Hem yang bersifat toksik bagi Plasmodium tersebut

diubah menjadi hemozoin. Penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin ini telah

digunakan sebagai skrining awal uji aktivitas antiplasmodium (Basilico et al., 1998).

Dalam penelitian ini dicari fungi endofit dari tanaman A. annua L. yang

menghasilkan metabolit sekunder dengan efek sebagai antiplasmodium melalui

mekanisme penghambatan polimerisasi hem menjadi hemozoin.

METODOLOGI

Bahan dan Alat Penelitian

Daun, bunga, akar, dan batang tanaman A. annua L. yang berumur 6 bulan; media

Potato Dextrose Agar (PDA) dan M 102b; larutan NaOCl 5,25%, etanol 70%; etil asetat

teknis; etil asetat p.a., toluena (E-Merck), n-heksana p.a. (Sigma Co.), plate silika gel

F254 (E-Merck); klorokuin difosfat (Sigma Co.), hematin, asam asetat glasial, NaOH,

DMSO (E-Merck); asetonitril dan metanol (Sigma. Co.), akuades, LiChorsper®100

RP-18e (25 cm x 4,6 mm i.d., 5µm); Supelco RP-18 (25 cm x 2,0 mm i.d., 5µm).

Alat yang digunakan adalah : Autoclave (Sakura, Tokyo), mesin shaker

(Thermolyne), ultrasonikator (Nihonseiki Kaisha US 5 Q dan Ultrasons P Selecta),

sentrifugator (Universal 32 R), inkubator (Lab Line), Elisa reader (Bio-Rad

Benchmark), HPLC (Shimadzu SPD-20A) dengan detektor UV, LC-MS (Hitachi L

6200) dengan sistem ESI Positive Ion Mode.

Jalannya Penelitian

Bagian tanaman A. annua L. yang telah didesinfeksi ditanam pada media PDA

pada suhu ruangan. Fungi yang diperoleh diisolasi dan difermentasi dengan media M

102b selama 18 hari pada suhu kamar dan diuji secara bioassay-guided fractionation.

Lakukan ekstraksi dengan etil asetat terhadap media fermentasi dan miselia fungi yang

telah disonikasi selama 30 menit. Amati profil KLT kedua ekstrak etil asetat tersebut

dengan fase gerak n-heksana : etil asetat (7:3) dan fase diam plate silika gel F254.

Uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem dilakukan secara in vitro

berdasarkan metode Basilico et al. (1998). Buat sampel dalam larutan DMSO 10%

dengan kadar 5,00; 2,50; 1,25; 0,63; dan 0,31 mg/ml. Tambahkan 100 µL larutan

Page 145: Tesis Purwanto

4

hematin 1 mM dalam NaOH 0,2 M dengan 50µL sampel. Untuk memulai reaksi

polimerisasi, tambahkan 50 µL asam asetat glasial. Inkubasi selama 24 jam pada suhu

37oC. Pisahkan endapan β-hematin yang terbentuk dengan centrifuge berkecepatan

8000 rpm selama 10 menit. Cuci endapan dari sisa hematin dengan 200 µL DMSO.

Larutkan kristal β-hematin dengan larutan NaOH 0,1 M. Sebanyak 100 µL larutan

tersebut masukkan ke dalam microplate 96 well, kemudian baca nilai OD pada λ 405

nm dengan Elisa reader. Hitung kadar β-hematin setiap perlakukan dengan

diinterpolasikan ke dalam baku larutan hematin.

Ekstrak etil asetat yang paling besar nilai penghambatannya terhadap polimerisasi

hem dianalisis lebih kandungan senyawa aktifnya dengan HPLC fase gerak asetonitril :

akuades : metanol (5:3:2); fase diam LiChorsper®100 RP-18e; kecepatan fase gerak 1

mL/menit pada suhu ruangan dan sistem isokratik, dan detektor yang digunakan adalah

detektor UV 215 nm (Lapkin et al., 2009). Analisis juga dengan LC-MS dengan

metanol : akuades (9:1); fase diam kolom Supelco RP-18 (25 cm, 5µm, ID 2 mm),

kecepatan alir fase gerak 1 mL/menit, detektor massa dengan sistem ESI positive ion

mode. Sistem elusi yang digunakan adalah isokratik dan suhu ruangan. Identifikasi

golongan senyawa dalam ekstrak aktif secara KLT dengan fase gerak A, etil asetat :

metanol : air (100:13,5:10) dan fase gerak B, toluena : etil asetat (93:7) dengan berbagai

macam pereaksi semprot penampak bercak (Wagner and Bladt, 1996). Lakukan

identifikasi morfologi fungi secara makroskopis.

Analisis Data

Persentase penghambatan polimerisasi hem dihitung dengan membandingkan β-

hematin yang terbentuk pada perlakuan dengan kontrol. Data ditampilkan dalam bentuk

tabel yang menghubungkan antara dosis senyawa uji dengan persentase penghambatan.

Aktivitas penghambatan polimerisasi hem dinyatakan dalam IC50 dan dilanjutkan

dengan uji Anava.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi fungi endofit dari A. annua L.

Media yang dipakai untuk menumbuhkan fungi endofit A. annua L. adalah media

PDA karena media ini tidak cocok untuk pertumbuhan bakteri dan fungi patogen pada

manusia sehingga mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi (Strobel et al., 2001).

Page 146: Tesis Purwanto

5

Eksplan dari tanaman A. annua L. diambil pada saat umur tanaman 6 bulan karena pada

saat itu kandungan metabolit sekundernya sudah optimal sehingga diharapkan fungi

endofit yang berada di dalamnya sudah mengalami rekombinasi genetik dan juga

mampu menghasilkan metabolit sekunder sama dengan tanaman inangnya, yaitu

artemisinin. Dari penanaman eksplan yang dilakukan, diperoleh 6 fungi endofit, yaitu

fungi endofit dari batang sebanyak 1 fungi (fungi A) dan fungi endofit dari daun

sebanyak 5 fungi (fungi B, C, D, E, dan F).

Fermentasi fungi endofit

Selama proses fermentasi, media digojok selama 24 jam agar konsentrasi nutrisi

dalam media dapat dipertahankan homogenitasnya. Media yang digunakan untuk

inokulum adalah sama dengan media yang digunakan untuk produksi, yaitu M 102b

guna meminimalkan fase adaptasi (fase lag) akibat perbedaan media pertumbuhan.

Volume inokulum yang optimal dibandingkan volume media produksi adalah 3-10%.

Pada volume inokulum ini diharapkan dapat meminimalkan fase lag dan

memaksimalkan pertumbuhan biomassa (Stanbury et al., 1995).

Bioassay-guided fractionation

Proses fermentasi dilakukan terhadap fungi A, B, C, D, E, dan F. Sebelum

ekstraksi, sel-sel miselia fungi dipecah dahulu dengan sonikasi pada frekuensi 20 kHz

selama 30 menit. Gelombang ultrasonik menghasilkan gelombang kejut dan radikal

bebas reaktif (radikal hidroksil dan hidrogen peroksida). Akibatnya adalah sel menjadi

pecah dan terjadi inaktivasi struktur mikrobia. Material sel akan pecah dan masuk ke

dalam medium penyarinya. Metode ini sederhana dan tidak menghasilkan produk toksik

yang dapat membahayakan sampel (Naddeo et al., 2007).

Hasil analisis profil KLT ekstrak etil asetat

Pada Gambar 1 terlihat bahwa ekstrak etil asetat media fermentasi fungi A, B, C,

D, E, dan F tidak menunjukkan bercak yang mempunyai nilai Rf sama dengan

artemisinin. Dari Gambar 1 dapat disimpulkan bahwa metabolit artemisinin atau

turunannya tidak diekskresikan secara ekstraseluler.

Page 147: Tesis Purwanto

6

1a 1b

Gambar 1. Profil KLT ekstrak etil asetat media M 102bsetelah disemprot anisaldehid asam sulfat

1a) di bawah sinar tampak; 1b) di bawah UV 366 nm.Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;

5) Fungi D; 6) Fungi E; 7) Fungi F; 8) Media M 102 b; dan9) Ekstrak etanolik 95% herba A. annua L.

Sementara itu, profil KLT ekstrak miselia fungi yang telah disonikasi (Gambar 2)

menunjukkan bahwa pada fungi A, E, dan F terdapat bercak dengan nilai Rf yang mirip

dengan Rf artemisinin, yaitu 0,60. Warna bercak-bercak tersebut berbeda dengan

artemisinin, yaitu coklat tua, sedangkan artemisinin mempunyai warna coklat tua

kekuningan. Perbedaan warna ini dimungkinkan karena dalam bercak sampel tersebut

berisi lebih dari satu macam senyawa, atau mungkin merupakan senyawa yang berbeda

dengan artemisinin, tetapi mempunyai tingkat kepolaran yang sama dengan artemisinin.

2a 2b

Gambar 2. Profil KLT ekstrak etil asetat miselia fungisetelah disemprot anisaldehid asam sulfat.

2a) di bawah sinar tampak; 2b) di bawah UV 366 nm.Bercak nomor : 1) Standar artemisinin; 2) Fungi A; 3) Fungi B; 4) Fungi C;

5) Fungi D; 6) Fungi E; dan 7) Fungi F

Hasil uji aktivitas penghambatan polimerisasi hem

Semakin banyak kristal β-hematin yang terbentuk, warna larutan (setelah kristal β-

hematin dilarutkan kembali dalam larutan NaOH 0,1 M) akan semakin pekat sehingga

nilai OD juga semakin besar. Dengan kata lain, senyawa uji yang mampu menghambat

polimerisasi hematin ini akan mengurangi kristal β-hematin yang terbentuk, sehingga

Page 148: Tesis Purwanto

7

semakin aktif senyawa uji, warna larutan akan semakin tidak berwarna, nilai OD akan

semakin kecil. Data pengukuran nilai IC50 tertera pada Tabel I.

Tabel 1. Pengaruh ekstrak miselia fungi terhadap aktivitaspenghambatan polimerisasi hem

Bahan ujiKonsentrasi

(mg/mL)

Rerata kadarhemozoin

(mM) + SD

Rerata persenpenghambatan

+ SD

IC50

(mg/mL)

5,00 47,77 + 15,43 54,34 + 14,742,50 82,02 + 15,90 21,61 + 15,191,25 63,18 + 11,24 39,61 + 10,740,63 59,08 + 6,96 43,54 + 6,65

Fungi A

0,31 77,97 + 8,34 25,48+ 7,97

14,359

5,00 8,30 + 2,41 92,06 + 2,312,50 17,87 + 3,04 82,92 + 2,901,25 33,14 + 8,94 68,33 + 8,540,63 36,61 + 4,71 65,01 + 4,50

Fungi E

0,31 69,61+ 6,83 33,47 + 6,53

0,499

5,00 57,77 + 1,89 44,78 + 1,802,50 67,68 + 4,10 35,32 + 3,921,25 131,88 + 2,63 -26,04 + 2,510,63 139,71 + 15,61 -33,52 + 14,92

Fungi F

0,31 137,82 + 11,92 -31,72 + 11,40

-

5,00 51,49 + 1,01 50,79 + 0,972,50 37,10 + 5,49 64,54 + 5,251,25 63,33 + 11,82 39,47 + 11,300,63 69,37 + 7,76 33,70 + 7,41

Klorokuin

0,31 76,81 + 12,25 26,59 + 11,71

2,320

Akuades 104,63 + 0,22 0,00 + 0,00DMSO 10% 103,91 + 0,93 0,00 + 0,00

Titik isoelektrik hematin adalah pada pH 5, seperti halnya kondisi pH dalam

vakuola digestif Plasmodium. Untuk mencapai keadaan tersebut digunakan aasm asetat

sebagai pengatur tingkat keasaman pada reaksi polimerisasi hematin menjadi hemozoin

(Guetzoyan et al., 2009). Dalam penelitian ini digunakan DMSO karena tidak

menimbulkan busa selama proses dan merupakan larutan pencuci yang siap digunakan.

Walaupun mekanisme kerja suatu antiplasmodium tidak hanya melalui penghambatan

polimerisasi hem, tetapi aktivitas penghambatan polimerisasi hem adalah metode yang

mudah dan cukup akurat untuk mengetahui efek sebagai antimalaria. Aktivitas

penghambatan polimerisasi hem merupakan kerja dari satu atau dua mekanisme, yaitu :

1) terjadi interaksi antara senyawa terpenoid, fenol dan sterol dengan sistem elektronik

Page 149: Tesis Purwanto

8

hem, 2) ekstrak tersebut terdiri dari senyawa yang memiliki gugus hidroksil yang dapat

berikatan dengan ion besi hem (Basilico, et al., 1998).

Menurut Baelsman et al. (2000), senyawa yang mempunyai nilai IC50

penghambatan polimerisasi hem yang lebih kecil dari nilai IC50 kloroquinsulfat, yaitu

37,5 mM (12 mg/mL), senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki aktivitas

penghambatan polimerisasi hem. Berdasarkan data tersebut, ekstrak miselia fungi A dan

E memiliki aktivitas penghambatan polimerisasi hem, sedangkan untuk ekstrak miselia

fungi F tidak memiliki aktivitas tersebut.

Hasil analisis ekstrak aktif dengan HPLC

Hasil analisis ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC menunjukkan

bahwa di dalam ekstrak tersebut tidak mengandung artemisinin. Hal ini terlihat pada

Gambar 3 dan 4, tidak ada puncak dengan nilai waktu retensi yang sama dengan waktu

retensi artemisinin, yaitu sekitar 2,748 menit.

Gambar 3. Hasil elusi ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan HPLC

Gambar 4. Hasil adisi artemisinin terhadap ekstrak etil asetat miselia fungi E

Hasil analisis dengan Liquid Chromatography - Mass Spectrometer (LC-MS)

Salah satu metode ionisasi dalam spektrometer massa adalah electrospray (ESI).

Pengionan positif akan membuat analit menjadi terprotonasi atau menjadi kation,

sedangkan pengionan negatif akan membuat analit menjadi anion. Kation-kation yang

Page 150: Tesis Purwanto

9

sering terbentuk dalam metode ESI adalah ion pseudomolekul hasil adisi antara analit

dengan proton (H)+. Oleh karena itu, nilai m/z dalam spektra akan sering bernilai

(M+H)+ atau (2M+H)+, dengan M adalah bobot molekul analit (Kazakevich and

Lobrutto, 2007). Dari hasil protonasi dan fragmentasi artemisinin dan turunannya, maka

kemungkinan nilai m/z yang terbentuk adalah seperti pada Tabel II.

Tabel II. Kemungkinan nilai m/z yang terbentuk pada analisis artemisinin danturunannya dengan ESI pengionan positif,dengan m/z H = 1,01; C = 12,01; dan O = 15,99

Nilai m/z ionpseudomolekul

Nilai m/z hasilfragmentasi ke-No. Senyawa Nilai M

M + H+ 2M + H+ 1 21. Artemisinin 282,3 283,3 565,6 219,2 -2. Dihidroartemsinin 284,3 285,3 569,6 221,3 163,33. Artemether 298,4 299,4 597,8 221,3 163,34. Arteether 312,4 313,4 625,8 221,3 163,35. Artesunat 384,4 385,4 769,8 221,3 163,3

Hasil spektra ekstrak etil asetat miselia fungi E dengan LC-MS metode ESI terlihat pada

Gambar 5 dan 6.

99.0 319.2 539.4 759.6 979.8 1200.0

Mass (m/z)

0

207.7

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

%In

ten

sit

y

Mariner Spec /132:135 (T /6.50:6.65) -111:124 (T-6.50:6.65) ASC=>NR(2.00)[BP= 279.3,208]

279.31

295.29

280.31

296.30 557.02335.19

411.10 619.81 707.56510.96163.47 261.32 936.20839.84 1028.80

Gambar 5. Spektra ekstrak miselia fungi E dalam rentang m/z 100 sampai m/z 1200

235.0 351.6 468.2 584.8 701.4 818.0

Mass (m/z)

0

1000.9

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

%In

tensit

y

Mariner Spec /132:135 (T/6.50:6.65) -111:124 (T-6.50:6.65) ASC=>NR(2.00)=>CT[BP= 279.3,1001]

279.31

295.29

319.25280.31557.02

395.16335.19296.30558.00320.21 393.14 634.07255.33 474.36 707.56511.86 750.88

Gambar 6. Spektra ekstrak miselia fungi E dalam rentang m/z 235 sampai m/z 818

Page 151: Tesis Purwanto

10

Dari Gambar 5 dan 6, tidak terlihat adanya nilai m/z artemisinin dan turunannya,

baik dalam bentuk (M+H)+, (2M+H)+, ataupun hasil fragmentasinya. Pada Gambar 5,

terdapat puncak dengan m/z 163,47; tetapi puncak ini bukan puncak dari hasil

fragmentasi kedua dari turunan artemisinin karena selain puncak dengan m/z tersebut

tidak dijumpai puncak dengan m/z 221,3 sebagai produk fragmentasi pertama, ataupun

m/z dari ion pseudomolekul dari (M+H)+. Puncak dengan m/z 163,47 tersebut

kemungkinan adalah ion pseudomolekul atau hasil fragmentasi molekul lain

Hasil elusi tersebut tertera pada pada Gambar 7 sampai 12.

7a 7b 8 9

10a 10b 11 12

Gambar hasil elusi KLT7a) tanpa disemprot, pada UV 254 nm; 7b) tanpa disemprot, pada UV 366 nm; 8)disemprot larutan FeCl3, pada sinar tampak, standar eugenol; 9) disemprot reagenDragendorff, pada sinar tampak, standar piperin; 10a) disemprot larutan anisaldehidasam sulfat, pada sinar tampak; 10b) disemprot larutan anisaldehid asam sulfat, padasinar UV 366 nm, standar timol; 11) disemprot larutan vanilin asam sulfat, pada sinartampak, standar eugenol; 12) dicelup larutan SbCl3, pada sinar tampak, standar1 : saponin, standar 2 : eugenol.

Dalam tiap plate, bercak sebelah kiri adalah hasil elusi standar, sedangkan bercak

sebelah kanan adalah hasil elusi sampel. Hasil elusi dengan fase gerak A menghasilkan

pola elusi yang tidak baik karena bercak sampel hampir selalu terikut dengan ujung fase

gerak berada, sehingga hanya elusi dengan fase gerak B saja yang dianalisis

4

6

8

2

4

6

8

2

1 2

Page 152: Tesis Purwanto

11

Pada Gambar 7a, terdapat bercak dengan nilai Rf 0,90. Senyawa yang mampu

memadamkan florosensi plate silika ini mempunyai struktur ikatan rangkap

terkonjugasi. Pada Gambar 7b, terdapat bercak dengan nilai Rf 0,53. Kemungkinan

bercak tersebut adalah senyawa golongan antraglikosida, kumarin, flavonoid, atau asam

orto hidroksi karboksilat (Wagner and Bladt, 1996).

Hasil penyemprotan dengan larutan FeCl3 (Gambar 8) menunjukkan bahwa di

dalam sampel tidak terdapat senyawa yang mempunyai gugus fenolik. Hal ini terbukti

dengan tidak ditemukannya bercak hasil elusi sampel yang berwarna ungu kecoklatan

sebagai hasil reaksi antara ion feri dengan gugus hidroksi fenolik. Pereaksi Dragendorff

adalah pereaksi yang khas untuk senyawa golongan alkaloid dengan membentuk warna

merah-jingga. Tidak terdapatnya bercak dengan warna merah-jingga pada hasil elusi

sampel (Gambar 9) menandakan bahwa sampel tidak mengandung senyawa golongan

alkaloid.

Pereaksi anisaldehid asam sulfat adalah pereaksi yang tidak khas untuk golongan

senyawa tertentu. Hampir semua senyawa bisa bereaksi dan membentuk warna dengan

pereaksi ini. Pada Gambar 10a, terlihat adanya bercak dengan warna merah tua pada

hasil elusi sampel. Menurut Wagner and Bladt (1996), anisaldehid asam sulfat dengan

senyawa golongan minyak atsiri akan memberikan warna merah, coklat, atau biru; dan

akan terelusi dengan baik dalam sistem fase gerak B, sedang sistem fase gerak A akan

menghasilkan bercak dengan nilai Rf yang mendekati 1 (satu).

Pada Gambar 11, setelah perlakuan semprot dengan vanilin asam sulfat, pada elusi

sampel terdapat bercak merah keunguan pada nilai Rf 0,36. Menurut Wagner and Bladt

(1996), bercak tersebut kemungkinan adalah senyawa golongan terpenoid. Sementara

itu, setelah perlakuan dengan reagen SbCl3, pada hasil elusi sampel (Gambar 12)

terdapat bercak dengan warna coklat kekuningan. Reagen ini spesifik terhadap senyawa

golongan terpenoid, terutama saponin.

Dari data-data KLT di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa senyawa yang

terdapat dalam ekstrak etil asetat miselia fungi F adalah senyawa golongan terpenoid.

Hal ini sesuai dengan Basilico et al. (1998) yang menyatakan bahwa senyawa yang

mempunyai aktivitas penghambatan polimerisasi hem diantaranya adalah senyawa

golongan terpenoid dengan cara berikatan dengan sistem elektronik hem.

Page 153: Tesis Purwanto

12

Hasil analisis profil pertumbuhan fungi

Kurva pertumbuhan fungi E

0

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 16 17 18 19 20

Hari ke-

Mas

sake

rin

gfu

ngi

(mg)

Gambar 13. Kurva pertumbuhan fungi E

Dari Gambar 13 terlihat bahwa fungi E tidak mempunyai fase adaptasi tetapi

langsung memasuki fase pertumbuhan eksponensial. Hal ini menunjukkan bahwa media

yang digunakan untuk fermentasi fungi E sudah sesuai dengan karakter pertumbuhan

fungi sehingga tidak memerlukan fase adaptasi terlebih dahulu. Fungi E memasuki fase

stasioner sekitar hari ke-10 fermentasi.

Hasil identifikasi fungi

Identifikasi fungi E dilakukan dengan cara pengamatan morfologi secara

mikroskopis di Laboratorium Gizi dan Pangan, Pusat Antar Universitas, UGM.

Morfologi fungi E yang teramati selanjutnya dibandingkan dengan data base morfologi

fungi. Dari hasil identifikasi tersebut, didapatkan bahwa fungi E termasuk ke dalam

fungi dengan genus Tritirachium sp.

KESIMPULAN

Fungi endofit yang berhasil diisolasi dari herba tanaman A. annua L.

menghasilkan metabolit sekunder yang mampu menghambat polimerisasi hem secara

intraseluler. Metabolit intraseluler fungi E tersebut mengandung senyawa golongan

terpenoid.

Page 154: Tesis Purwanto

13

DAFTAR PUSTAKA

Basilico, N., Pagani, E., Monti, D., Olliaro, P., and Taramelli, D., 1998, A microtitre-based method for measuring the haem polymerization inhibitory activity(HPIA) of antimalarial drugs, Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 42, 55-60.

Baelsmans, R., Deharo, E., Munoz, V., Sauvain, M., and Ginsburg, H., 2000,Experimental conditions for testing the inhibitory activity of chloroquine on theformation of β-hematin, Experimental Parasitology., 42, 55-60.

Ferreira, J.F.S., 2004, Artemisia annua L. : The hope against malaria and cancer,Medicinal and aromatic plants : Production, business and applications,Proceedings of the January 15-17 meeting, Mountain State University,Beckley.

Guetzoyan, L., Yu, X., Ramiandrasoa, F., Pethe, S., Rogier, C., Pradines, B., Cresteil,T., Perrée-Fauvet, M., dan Mahy, J., 2009, Antimalarial acridines: Synthesis, invitro activity against P. falciparum and interaction with hematin, Bioorganic &Medicinal Chemistry, 17, 8032-8039.

Huy, N.T., Maeda, A., Uyen, D.T., Trang, D.T.X., Sasai, M., Shiono, T., Oida, T.,Harada, S., and Kamei, K., 2007, Alcohols induce beta-hematin formation viathe dissociation of aggregated hem and reduction in interfacial tension of thesolution, Acta Tropica, 101, 130–138.

Kazakevich, Y. and Lobrutto, R., 2007, HPLC for Pharmaceutical Scientist, 282, 288,289, 299, 304-306, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.

Naddeo, V., Belgiorno, V., dan Napoli, R.M.A., 2007, Behavior of natural organicmater during ultrasonic irradiation, Desalination, 210, 175-182.

Shio, M.T., Kassa, F.A., Bellemare, M.J., and Olivier, M., 2010, Innate inflammatoryresponse to the malarial pigment hemozoin, Microbes and Infection, doi:10.1016/j.micinf.2010.07.001.

Stanburry, P. F., Whitaker A., and Hall, S.J., 1995, Principle of FermentationTechnology, 2nd edition, 1-5, 147-149, Elsevier Science Ltd.

Strobel, G.A., Dirkse, E., Sears, J., and Markworth, C., 2001, Volatile antimicrobialsfrom Muscodor albus, a novel endophytic fungus, Microbiology, 147, 2943-2950.

Strobel, G. and Daisy, B., 2003, Bioprospecting for microbial endophytes and theirnatural products, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 67 (4), 491-502.

Page 155: Tesis Purwanto

14

Suwandi, J.F., Wijayanti, M.A., dan Mustofa, 2008, Aktivitas penghambatanpolimerisasi hem antiPlasmodium ekstrak daun sungkai (Peronema canescens)in vitro, Seminar Nasional sains dan Teknologi II, Prosiding, UniversitasLampung.

Wagner, H. and Bladt, S., 1996, Plant Drug Analysis : A thin layer chromatographyatlas, 2nd edition, 349-364, Springer-Verlag, Berlin.

Yuliani, M., Machfudz, S., dan Sadjimin, T., 2005, Efikasi terapi artemeter danprimakuin versus klorokuin dan primakuin pada anak-anak penderita malariatanpa komplikasi di wilayah Puskesmas Kokap, Samigaluh, GirimulyoKabupaten Kulon Progo, Berkala Ilmu Kedokteran, 37 (1), 13-19.