Top Banner

of 74

Terorisme adalah serangan

Jul 14, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama. Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati. Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai September Kelabu, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon. Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia[1].

Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut. Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional[2]. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[3], yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill[4]. Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear[5]. Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[6]. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war. Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[7], hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu. Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity,

dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[8]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali[9]. Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)[10]. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se[11] , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang[12]. Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme[13]. Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[14], Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena[15]: 1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.

2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undangundang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu. 3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya. 4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian. Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria[16]: 1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang. 2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut. Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti[17]: 1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP. 2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya. 3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain[18]. Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)[19]. Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia[20]. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut. Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi[21]: 1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen. 2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri. 3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. 4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.

Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik. Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror[22]. Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun[23]. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat[24]. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada UndangUndang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi

Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan[25].(http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme)

Korporasi dalam tataran hukum pidana Indonesia termasuk bentuk lain dari badan hukum. Selain badan hukum, organisasi maupun perkumpulan orang yang tidak terdaftar sekalipun, juga dapat dikatakan sebagai korporasi dalam hukum pidana. Perluasan makna tersebut, menggeser substansi badan hukum yang dikenal dalam hukum perdata seperti yang terdapat dalam Pasal 1563 BW. Seharusnya penafsiran terhadap korporasi dalam sistem perundang-undangan Indonesia tidak melebihi dari makna badan hukum itu sendiri. Dengan keadaan yang demikian, dalam praktek hukum peradilan menimbulkan penjeratan yang semakin luas. Kewenangan hakim untuk menciptakan hukum baru (judges law maker) melalui putusan-putusan yang terkait korporasi dalam aspek pidana teruji disini. Menilik kasus yang ada, untuk menentukan suatu korporasi bukan badan hukum dapat dipidana, Hakim mempunyai kapasitas menafsirkan sejauh apa suatu organisasi maupun perkumpulan orang dikatakan sebagai korporasi sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai peristiwa teror yang terjadi di negara kita seperti peristiwa Bom Bali, peledakan bom di hotel JW Marriot, di depan kedutaan besar Australia, kerusuhan di Poso dan Ambon, dan berbagai peristiwa teror lainnya, menimbulkan tuduhan dan prasangka terhadap berbagai pihak. Ada yang menuduh Tentara Nasional Indonesia (TNI), rekayasa intelijen Indonesia, keterlibatan Amerika, misi Australia menguasai Indonesia, dan ada juga yang menuding keterlibatan sebuah organisasi Islam yang bernama Al-Jamaah Al-Islamiyah atau yang populer disebut Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al-Qaeda beserta Osama Bin Laden.[1] Menyadari akan hal tersebut, upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan secepatnya mengusut tuntas tindak pidana terorisme dengan memidana para pelaku di balik peristiwaperistiwa tersebut. Pemerintah sebagai pelaksana yang mempunyai wewenang untuk mengatur jalannya pemerintahan demi keberlangsungan negara, maka sudah merupakan kewajibannya pula untuk melindungi setiap Hak Asasi Manusia (HAM) yang ada. Sebagaimana dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke-IV yang menyatakan: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia Faktanya setelah melakukan penyelidikan-penyelidikan yang ada, bahwa sebuah tindak pidana terorisme dilakukan atas adanya sebuah organisasi yang terlibat dalam afiliasi terorisme tersebut, maka pastilah adanya struktur organisasi yang terdiri dari beberapa bagian antara lain seperti

ketua, orang yang menyuruh melakukan atau menggerakkan, yang turut serta melakukan atau membantu terjadinya suatu tindak pidana terorisme, serta pelaku utama yang melakukannya. Berawal dari penangkapan terhadap pelaku bom Bali dan dengan diikuti sejumlah peristiwa serupa yang menyusul berikutnya, yang mengancam pertahanan negara inilah, maka usaha kerja pihak kepolisian menyelidiki pelaku-pelaku teroris terbuka satu per satu. Bahwa tindak pidana terorisme yang terjadi dalam negara kita merupakan bentuk dari adanya suatu jaringan organisasi terorisme. Hal ini menjadi prioritas utama dalam rangka upaya melakukan penegakan hukum, sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 menjamin perlindungan atas keselamatan diri pribadi setiap orang dari ancaman rasa takut dan/ atau teror yang terdapat di dalam Pasal 28G ayat (1), menyatakan: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Untuk mengungkap ataupun memberantas jaringan terorisme yang ada di Indonesia, para penegak hukum dalam melakukan pengusutan memerlukan perangkat hukum memadai yang mengatur tentang tindak pidana terorisme tersebut. Pemerintah menyadari akan hal ini, akan tetapi penanggulangannya masih didasarkan pada peraturan yang umum, yakni Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang belum mengatur secara khusus serta tidak cukup untuk memberantas tindak pidana terorisme ini.[2] Salah satu bagian dari hukum yang selalu menjadi ukuran untuk efektifitas hukum dalam masyarakat adalah hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Sebagai bagian dari hukum publik, maka negara dengan tangan penguasa yang berdaulat akan diberikan kekuasaan untuk mengatur dan membatasi hak-hak dan kebebasan setiap individu dalam masyarakat demi terciptanya ketertiban hidup bermasyarakat dalam suatu bangsa dan negara yang merupakan tujuan utama dari hukum pidana.[3] Oleh karenanya, pemerintah perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 telah disahkan dan mulai berlaku menjadi Undang-Undang dengan Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan Hukum Pidana Khusus di luar KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini telah diatur oleh pembentuk undang-undang di dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, yang menyatakan: Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Sebagai Undang-Undang khusus, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur baik dalam KUHP maupun dalam KUHAP. Di dalam Undang-Undang Terorisme diatur pula hal yang secara khusus menyebutkan bahwa suatu korporasi yang melakukan suatu tindak pidana terorisme dapat dipidana, karena ia merupakan subjek hukum. Sebagaimana dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 menyebutkan:

Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya. Oleh karena adanya sebuah organisasi yang terlibat dalam aktifitas terorisme maka pastilah adanya struktur organisasi yang terdiri dari orang-orang yang melakukan kegiatan terorisme. Baik itu ketua dari organisasi tersebut ataupun orang yang menyuruh melakukan atau menggerakkan (doen plegen), yang turut serta melakukan atau membantu terjadinya suatu tindak pidana (medeplichtigen) serta pelaku utama yang melakukannya (daderschap) yang selebihnya dijelaskan dalam Pasal 55 KUHP ayat (1) dan (2) BAB V mengenai penyertaan dalam tindak pidana, yang menyatakan: (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Di Indonesia terhadap korporasi dapat dilakukan pemidanaan, hal yang mengaturnya tersebut tersebar di dalam beberapa perundang-undangan yang menyatakan bahwa suatu korporasi dapat dinyatakan sebagai subjek hukum pidana, sehingga oleh karenanya dapatlah dilakukan suatu pemidanaan atas korporasi tersebut. Seperti yang terdapat didalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal yang menyebutkan demikian juga terdapat pada Undang-Undang tentang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15), Undang-Undang tentang Pos (Pasal 19 ayat (3)), Undang-Undang tentang Psikotropika, Narkotika, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Ketenagalistrikan, dan sebagainya. Dari hasil perkembangan penyelidikan dan penyidikan maupun keterangan para terororis terdahulu yang telah ditangkap, serta informasi intelijen, aparat kepolisian berhasil menangkap salah seorang terorisme yang tergabung dalam sebuah jaringan terorisme diantaranya adalah Zuhroni alias Zarkasih yang terbukti sebagai ketua sebuah korporasi terorisme yang bernama Lajnah Ihtiar Linasbil Amir (LILA), yang merupakan cluster dari organisasi Jamaah Islamiyah yang kita kenal dengan JI. Selain itu, Zarkasih dinyatakan melakukan pembantuan dalam tindak pidana terorisme yang mana ia membantu menyembunyikan, memasok senjata api, amunisi dan bahan peledak, berdasarkan putusan pengadilan Nomor 2192/PID.B/2007/PN.JKT.SL. Oleh karenanya melalui penelitian ini penulis akan mengkaji putusan yang telah dijatuhkan kepada Zarkasih tersebut apakah telah sesuai dengan perundang-undangan yang ada. B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis mencoba menarik hal-hal yang dianggap dapat dijadikan suatu penelitian dengan adanya permasalahan yang dapat diangkat, sebagai berikut: 1. Apa syarat dan kriteria Al-Jamaah Al-islamiyah (JI) sebagai korporasi yang melakukan tindak pidana terorisme? 2. Apakah penjatuhan putusan pemidanaan terhadap Zuhroni alias Zarkasih selaku Terdakwa sebagai pengurus dalam korporasi Al-Jamaah Al-Islamiyah (JI) maupun sebagai Ketua Lajnah Ihtiar Linasbil Amir (LILA) dalam putusan Nomor 2192/PID.B/2007/PN.JKT.SL. telah sesuai dengan teori-teori hukum pidana yang ada maupun undang-undang? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan yang hendak dicapai dengan melakukan penulisan ini adalah: 1. Menentukan syarat dan kriteria dari Al-Jamaah Al-Islamiyah (JI) termasuk dalam korporasi yang melakukan tindak pidana terorisme atau hanya berupa korporasi keagamaan biasa. Dalam hal ini pemenuhan atas hal apa saja yang dapat menyatakan suatu korporasi itu dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana terorisme. 2. Terhadap putusan yang telah diputus kepada Terdakwa telah tepat atau tidaknya bila kita melihat dari ilmu hukum pidana serta peraturan perundang-undangan yang dipakai dalam menangani kasus tersebut terkait dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana, menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Adapun Manfaat melakukan penulisan ini adalah: 1. Dalam praktek, bagi aparat dan praktisi hukum diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pengetahuan pada suatu perkara tindak pidana terorisme yang akan datang. 2. Untuk melihat sejauh apa putusan-putusan yang dibuat oleh para pembuat hukum (judge law maker) dalam menangani kasus pidana terorisme. Apakah Hakim telah melalui suatu proses penanganan secara tepat melalui ketentuan hukum yang ada guna memberikan sanksi hukuman sesuai dengan aturan-aturan yang ada guna memberikan sanksi hukuman sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan memenuhi keadilan hukum. 3. Secara teoritis memberikan wawasan dan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu Hukum Pidana pada umumnya, dan bidang Hukum Pidana Khusus yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme sehingga bisa menambah dan melengkapi kepustakaan. D. Kerangka Teoretis Perumusan korporasi ini, dapat diartikan secara luas maupun sempit. Perumusan korporasi dalam arti sempit yaitu korporasi sebagai badan hukum a corporation is a legal person artinya korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian seperti dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya sumpah palsu, perkosaan, dan sebagainya.[4] Dalam arti luas

korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Arti sempit, korporasi mempunyai figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi eksistensi suatu korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja. Artinya bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya tetapi harus ada yang mendirikannya. Menurut hukum perdata yang diakui, mendirikan korporasi adalah orang manusia (natural person) dan badan hukum. Dalam hukum pidana bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV dan persekutuan, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum. Juga sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatanperbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan dengan korporasi.[5] Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model-model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai berikut: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab, 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.[6] Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan bila pelaku memenuhi unsur-unsur tertentu, sehingga pelaku dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab-pidanakan perbuatannya dapat ditentukan pemidanaan kepada pelaku dengan pemenuhan unsur yang harus diteliti dahulu dan dibuktikan bahwa: 1. 2. 3. 4. 5. Subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang, Terdapat kesalahan pada pelaku, Tindakan itu bersifat melawan hukum, Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan-keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.[7]

Adapun prinsip pertanggungjawaban dalam korporasi dikenal dengan dua macam, yakni: prinsip absolut liability atau yang disebut dengan striet liability dan prinsip vicarious liability. Menurut prinsip striet liability, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat diartikan sebagai liability without fault.[8] Selain itu penganutan di Indonesia, dapat dilihat dalam RUU KUHP 2004 yang telah menerima ajaran pertanggungjawaban mutlak tersebut. Sebagaimana pada pasal 35 ayat (2) dari RKUHP tersebut, menyatakan:

Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.[9] Dalam hukum pidana kesalahan meliputi, adanya unsur kesengajaan, kelalaian, dapat dipertanggungjawabkan, dan tiadanya alasan pemaaf. Pompe dan Jonkers memasukkan juga melawan hukum sebagai kesalahan disamping sengaja dan kesalahan (schuld) dan dapat dipertanggungjawabkan.[10] Disebut ciri atau unsur kesalahan, yaitu:[11] 1. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat, 2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan (culpa), 3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapuskan dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat. Dari unsur yang ketiga, dapat dilihat kaitan antara kesalahan dan melawan hukum. Tidak mungkin ada kesalahan tanpa adanya melawan hukum. Tetapi seperti dikatakan Vos, mungkin ada melawan hukum tanpa adanya kesalahan. Melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara objektif. Kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti bukan perbuatan abnormal. Untuk hal ini tidak lagi diperlukan jawaban siapa pembuatnya. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum berarti pembuatnya tidak bersalah. Kesalahan adalah unsur subjektif, yaitu untuk pembuat tertentu.[12] Prinsip yang kedua, vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Secara singkat diartikan the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another.[13] Apabila teori ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapa pun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut.[14] Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara pemberi kerja (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut.[15] Kedua doktrin ini merupakan doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi dari common law system maupun civil law system.[16] Pendapat Muladi dan Priyatno, doktrin tersebut dapat ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umum atau masyarakat, misalnya perlindungan di bidang makanan, minuman, serta kesehatan lingkungan hidup.[17] Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pada si pelaku sesuai dengan adagium res ipsa loquitur, fakta sudah berbicara sendiri.[18] Relevansi dalam penulisan ini antara korporasi dengan terdakwa adalah dipidananya terdakwa sebagai ketua dari suatu korporasi. Untuk itu perlu dipahami bentuk-bentuk hubungan tindakan yang dilakukan terdakwa sehingga dipidana, tentulah perlu diketahui pemahaman teori dari penyertaan dalam hukum pidana. Karena hubungan antara peserta-peserta satu sama lainnya

tentu tidaklah sama. Haruslah dibedakan hubungan antara seseorang yang menyuruh terhadap yang disuruh, dengan hubungan seseorang yang menggerakkan (uitlokker) terhadap yang digerakkan (iutgelokte); hubungan antara seseorang dan orang lain yang bersama-sama (berbarengan) melakukan suatu tindak pidana, dengan seseorang yang membantu orang lain melakukan kejahatan.[19] Pembedaan hubungan antara para pelaku peserta tersebut adalah sangat penting karena akibat hukum atau pertanggungjawaban yang dikaitkan pada para pelaku peserta diperbedakan secara tegas tergantung pada erat tidaknya hubungan-hubungan itu. Dengan singkat dapat dikatakan yang menjadi pokok persoalan dalam ajaran penyertaan adalah untuk menentukan bentuk hubungan antara peserta-peserta tersebut yang kemudian menentukan pertanggungjawaban pidana dan masing-masing peserta, karena telah melakukan suatu tindak pidana. Pengertian penyertaan (deelneming) adalah semua bentuk yang ditentukan dalam Pasal 55 KUHP. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan pembantuan (medeplichtigheid) yang terdapat dalam Pasal 56 KUHP sebagaimana substansi dari pasal tersebut memiliki pengertian yang sama dengan Pasal 13 dan 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme yang mengatur ketentuan pidana secara khusus di luar ketetntuan umum KUHP maupun KUHAP. E. Metodologi Penelitian Di dalam melakukan penelitian hukum dikenal dengan dua sifat penelitian, yaitu penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Ciri khas penelitian hukum normatif adalah bahan-bahan yang digunakan untuk membahas permasalahan hukum yang berasal dari literatur-literatur yang ada. Sedangkan penelitian hukum empiris adalah bahan-bahan yang digunakan untuk membahas permasalahan berasal dari obyek-obyek yang bersangkutan dalam penelitian ini. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang ditujukan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.[20] Penelitian hukum bertujuan untuk memberi kemampuan dan keterampilan mengungkapkan kebenaran melalui kegiatan yang sistematis, metodologis dan konsisten.[21] Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua metode penulisan dalam penelitian ini, yaitu: Metode Penelitian Kepustakaan Merupakan suatu metode data yang dilakukan melalui bahan-bahan pustaka dan data ini dinamakan data sekunder. Data sekunder ini dapat diperoleh melalui penelusuran: 1. Data primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Yaitu data dasar, data asli yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Pada umumnya data primer mengandung

data aktual yang didapat dari penelitian lapangan, dengan berkomunikasi dengan anggota-anggota masyarakat di lokasi tempat penelitian dilakukan. Dalam penulisan ini data diperoleh dengan cara meminta pendapat langsung dari informan yang berhubungan dengan permasalahan di atas. Bahan primer dalam penulisan ini, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang akan diangkat, seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHAP, BW, RKUHP dan Putusan Pengadilan. 2. Data sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi peneliti. Dalam penulisan ini, seperti: hasil karya dari kalangan hukum yang berupa buku-buku teks tentang hukum, pendapat dari media massa, jurnal dan sebagainya. 3. Data tersier, yaitu data ataupun bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dapat diperoleh dari kamus, ensiklopedia, dan sebagainya. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode yuridis normative, yaitu dengan melihat kepada asas-asas hukum yang sudah ada sebelumnya. Dari data normatif yang diperoleh tersebut dianalisa kemudian dijelaskan pembahasannya secara deskriptif analitis yaitu penyajian dengan menggambarkan secara lengkap dan mendetail aspek-aspek tertentu yang bersangkut-paut dengan masalah yang kemudian dianalisa untuk mendapatkan kebenaran dan berusaha memahami kebenaran tersebut. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan suatu kumpulan orang dapat dikatakan sebagai korporasi, baik itu gambaran secara umum dalam aspek hukum perdata maupun pidana. Sedangkan metode analisis digunakan untuk menganalisa hasil putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada Terdakwa apakah telah sesuai dengan asas-asas hukum acara pidana. II. PEMIDANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI A. Subjek Hukum Tindak Pidana Pasal 6 Universal Declaration of Human Rights menyebutkan: Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law. Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi di hadapan undang-undang, dimana saja ia berada. Jika pernyataan tersebut dijadikan suatu batasan, maka man is person before the law dan ini merupakan suatu asas hukum (rechtsbeginsel). Dalam sejarah perundang-undangan hukum pidana, telah dikenal bahwa subjek dari suatu tindak pidana adalah manusia (persoon). Mengikuti perkembangannya pada abad pertengahan, selain manusia hewan juga merupakan subjek hukum pidana, demikianlah pada abad pertengahan (tahun 1571) pernah dipidana seekor banteng karena telah membunuh seorang wanita. Namun sekarang sudah tidak dianut lagi.

Kemudian pertengahan abad bagian terakhir, dan beberapa waktu sesudahnya dalam pengadilan, orang kadang-kadang memperlakukan hewan seolah-olah hewan itu adalah purusa. Untuk mana hewan diberi bantuan kuasa hukum dan dapat berakhir dengan keputusan hukuman gantung, ditenggelamkan dalam air, atau dibakar. Yang dimaksud dengan purusa adalah: 1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia purusa yang tunggal, 2. Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah dia purusa (badan hukum).[22] Perkembangan hukum pidana selanjutnya, anggapan bahwa hewan merupakan subjek hukum sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Sofjan Sastrawidjaja berpendapat, hal-hal yang harus dipenuhi untuk menyatakan kriteria subjek bila disesuaikan dengan sistem undang-undang (KUHP) maka haruslah ada unsur yang memenuhinya, antara lain:[23] 1. Terdapatnya perumusan tindak pidana yang dimulai dengan perkataan barang siapa, seorang, seseorang. Ini berarti tidak lain adalah manusia, 2. Jenis-jenis tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP, hanya ditujukan terhadap manusia. Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Lazimnya dalam hukum dan pergaulan hukum dikenal dengan istilah subjek hukum (subjektum juris).[24] Subjek hukum merupakan salah satu pengertian pokok dan bentuk dasar yang dipelajari oleh teori hukum, karena itu pertanyaan apa itu subjek hukum juga merupakan persoalan teori hukum yaitu teori dari hukum positif, artinya teori yang hanya dapat diuraikan bertalian dengan hukum positif. Teori hukum tersebut tidak menghendaki penggambaran tentang isi dari sesuatu hukum positif dan juga tidak mempersoalkan dasar dari isi hukum itu tetapi berhasrat memahami bentuk-bentuknya, kemudian membuat gambaran tentang fakta-fakta dan unsur-unsur yang akan dijadikan bahan oleh hukum dan ilmu pengetahuannya untuk membangun sistemnya.[25] Selanjutnya menurut Paul Scholten, manusia adalah orang (persoon) dalam hukum. Kata-kata ini mengandung dua pengertian, yaitu: 1. Manusia dalam hukum sewajarnya diakui sebagai yang berhak atas hak-hak subjektif dan sewajarnya diakui sebagai pihak atau pelaku dalam hukum objektif. Di sini perkataan manusia bagi hukum mempunyai nilai etis. Yang menjadi persoalan ialah suatu sollen dan juga dinyatakan sebagai suatu asas hukum. Dengan demikian hal ini juga yang menjadi dasar arti dari pengertian yang kedua, yaitu: 2. Dalam hukum positif manusia merupakan persoon adalah subjek hukum, mempunyai wewenang. Dalil ini mengandung petunjuk di mana tempat manusia dalam sistem hukum dan dengan demikian dinyatakan suatu kategori hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa pertama, subjek hukum itu adalah yang berhak atas hak-hak subjektif dan pelaku dalam hukum objektif dan yang kedua, subjek hukum dalam hukum positif itu adalah orang (persoon).[26]

KUHP di Indonesia menganut pendirian bahwa hanya manusia yang merupakan subjek atau pelaku tindak pidana. Pendirian yang demikian itu adalah warisan KUHP Belanda yang merupakan sumber asal KUHP Indonesia. Sebagaimana diketahui, KUHP Indonesia berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkordansi yang memberlakukan KUHP Belanda, Wetboek van Strafretch, di wilayah Hindia Belanda pada 1918. Adapun KUHP Belanda diundangkan pada tahun 1918 berasal dari KUHP Perancis ketika Perancis yang dipimpin oleh Napoleon pada tahun 1801 menjajah Belanda dalam upaya Napoleon menguasai Eropa. KUHP Perancis yang kemudian telah dirujuk dalam pembuatan KUHP Belanda dibuat berdasarkan pendirian bahwa hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana, sehingga karena itu hanya manusia yang merupakan subjek hukum pidana.[27] Untuk menjadi subjek hukum, seseorang harus memenuhi kualitas tertentu yang seringkali ditentukan oleh hukum atau peraturan perundang-undangan. Misalnya untuk dapat menikah, menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1971 tentang Perkawinan, seorang wanita haruslah berumur minimal 16 (enam belas) tahun. Jadi wanita sebagai subjek hukum perkawinan hanyalah apabila ia telah berusia 16 tahun. Di bawah usia tersebut, ia bukanlah subjek hukum perkawinan. Demikian pula menurut L. J. Van Apeldoorn bahwa orang dalam artian yuridis adalah setiap orang yang mempunyai wewenang hukum. Wewenang hukum ialah kecakapan untuk menjadi subjek hukum. Selanjutnya dikatakan, bahwa hukum terikat hanya sampai pada manusia saja, karena hanya manusia saja yang dapat memiliki hak-hak subjektif artinya wewenang dan kewajiban.[28] Menurut H.B. Vos, subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia, setidak-tidaknya karena 3 alasan , yaitu[29]: 1. Rumusan dari KUHP sendiri, yang dimulai dengan kata barangsiapa yang dalam Bahasa Belanda hij die, yang artinya tidak lain adalah manusia, 2. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalani oleh manusia, misalnya pidana penjara, 3. Di dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan (schuld) bagi seorang manusia pribadi. Dianutnya pendirian bahwa manusia yang menjadi subjek hukum pidana dapat diketahui dari frasa yang digunakan dalam KUHP Belanda itu berupa hij die dan yang akhirnya juga tertulis demikian di dalam KUHP Indonesia. Frasa tersebut akhirnya diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan frasa barang siapa atau siapa pun. Barang siapa mempunyai arti siapa pun. Dalam Bahasa Indonesia, kata siapa merujuk kepada manusia, sehingga dapat diartikan barang siapa atau siapa pun berarti setiap manusia.[30] Selain digunakan istilah barang siapa, digunakan juga berbagai istilah lain yang merujuk kepada manusia. Misalnya, setiap orang (Pasal 2 dan 4 KUHP), warga negara Indonesia (Pasal 5 KUHP), pejabat atau pegawai (Pasal 7 KUHP), dokter (Pasal 267 KUHP), orang yang telah cukup umur atau orang dewasa (Pasal 392 KUHP), dan pengacara (Pasal 393bis). Mengenai subjek hukum pidana dalam pengertian yang dapat dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana, dapat dilihat pada Pasal 55 KUHP baik pada ayat (1) dan ayat (2), yaitu dibagi menjadi 4 jenis:[31] 1. Orang yang melakukan

Adalah orang yang bertindak sendirian untuk mewujudkan segala tindak pidana (dader), 1. Orang yang menyuruh melakukan Artinya dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit ada dua orang, yaitu yang menyuruh dan yang disuruh. Jadi bukan pelaku utama itu sendiri yang menjadi pelaku, tetapi dengan bantuan orang lain yang merupakan alatnya saja. Orang yang menyuruh melakukan tentu dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan orang yang disuruh masih dapat mengelakkan hukuman atau tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya, sepanjang mengenai hal-hal sebagai berikut: 1. Pasal 44 KUHP, pelaku adalah seorang yang kurang waras/ gila atau terganggu pikirannya, 2. Pasal 45 KUHP, pelaku adalah orang dibawah umur, 3. Pasal 48 KUHP, berlaku berada dalam keadaan diancam, 4. Pasal 51 KUHP, menjalankan perintah jabatan yang sah, dan 5. Perbuatan itu tidak mempunyai kesalahan, karena dilakukan tanpa unsur kesengajaan. 1. Orang yang turut melakukan, Artinya orang yang melakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya (mede-dader) dalam hal ini pelaku tindak pidana tersebut harus lebih dari satu orang, 1. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan, atau martabat, memakai paksaan, dengan sengaja membujuk/ menghasut supaya melakukan tindak pidana (uitlokker), 2. Orang yang membantu melakukan tindak pidana (Pasal 56 KUHP), Namun, sebagaimana dapat diketahui juga lebih lanjut dalam Pasal 59 KUHP yang menyebutkan: Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggotaanggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana. Dengan kalimat Pasal 59 KUHP yang demikian itu, maka sekalipun pengurus korporasi bertindak mewakili korporasi atau bertindak atas nama korporasi, ketika suatu peristiwa yang dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana itu terjadi karena perbuatan pengurus korporasi tersebut, bukan korporasi yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidananya, tetapi pribadi-pribadi pengurus korporasi itu.[32] Hal ini menguatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal dalam KUHP. Hanya manusialah yang dikenal oleh KUHP sebagai subjek hukum pidana. Apabila pengurus suatu korporasi melakukan perbuatan hukum dalam kapasitasnya mewakili korporasi, sehingga karena itu bertindak untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidananya tidak dibebankan kepada korporasi, tetapi kepada pribadipribadi pengurus yang bersangkutan.[33]

Namun seiring terjadi perkembangan dalam masyarakat, ternyata badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang tertentu pidana yang diberikan adalah berupa (reele execute) terhadap harta kekayaannya. Sekalipun dalam Pasal 59 dan 169 KUHP ada ketentuan yang menentukan suatu perkumpulan sebagai subjek hukum yang dapat dikenai pidana, tetapi kesan pasal tersebut ternyata tertuju kepada manusianya, yaitu siapa yang ikut dalam perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana. Jadi sekarang ini hanya undang-undang di luar KUHP saja yang membuat ketentuan tentang dapat dipidananya badan hukum.[34] Antara lain, seperti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15), Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

10. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang 11. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 12. Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, 13. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, 14. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan lain sebagainya. Pembagian badan hukum menurut landasan atau dasar hukum di Indonesia, dikenal dua macam badan hukum, yakni: 1. Badan hukum orisinil, yaitu negara. Contohnya Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945, 2. Badan hukum yang tidak orisinil, yaitu badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata, yang menyatakan: Selain perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui juga perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.

Menurut pasal tersebut ada empat jenis badan hukum, sebagai berikut: 1. Badan hukum yang diadakan (didirikan) oleh kekuasaan umum, misalnya propinsi, bankbank yang didirikan oleh negara, 2. Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum, misalnya perseroan, maupun subak di Bali, 3. Badan hukum yang diperkenankan (dipernolehkan) karena diizinkan, 4. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud/ tujuan tertentu. Badan hukum jenis ketiga dan keempat ini dinamakan pula badan hukum dengan konstruksi keperdataan.[35] Masalah subjek pidana juga sangat erat kaitannya dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Subjek hukum pidana juga mempunyai dua syarat yang menjadi suatu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum (dari sisi perbuatan atau tindakannya), dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan (dari sisi kesalahannya).[36] KUHP menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Pertanggungjawaban pidana dengan bersumber pada prinsip adanya kesalahan ini di dalam perkembangannya sudah pula ditinggalkan. Hukum pidana fiskal, misalnya tidak memakai kesalahan. Jika seseorang telah melanggar ketentuan, ia diberi sanksi pidana denda.[37] Menurut Muljatno, seorang subjek pidana dikatakan mempunyai kesalahan (dan karenanya dapat dipidana), jika orang tersebut pada waktu melakukan perbuatannya, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela oleh masyarakat karena perbuatan itu merugikan orang lain, padahal ia tahu bahwa perbuatan itu seharusnya dapat dihindari. Artinya perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan.[38] Dan disimpulkan lebih lanjut bahwa kesalahan merupakan suatu keadaan psikologi yang dalam hukum pidana ditentukan sebagai perbuatan yang keliru dan dapat dicela.[39] B. Pengertian dan Pertanggungjawaban Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Batasan pengertian korporasi atau definisi korporasi, erat kaitannya dengan masalah dalam bidang hukum perdata. Sebab pengertian korporasi merupakan terminologi yang berkaitan erat dengan istilah badan hukum, dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata.[40] Terbentuknya suatu pengertian korporasi didorong oleh hal bahwa manusia juga di dalam hubungan hukum privat tidak hanya berhubungan terhadap sesame manusia saja, tetapi juga terhadap persekutuan. Jika sekarang kepada sesuatu golongan hak milik atau suatu hak lain diakui, sama seperti halnya yang berlaku bagi suatu individu, golongan itu menampakkan kepada hukum sebagai suatu subjek baru, yakni suatu badan hukum yang dalam hukum pidana disebut dengan korporasi. Soetan K. Malikoel Adil secara etimologis, menguraikan pengertian korporasi:

Korporasi (corporatie, Belanda), Corporation (Inggris), Korporation (Jerman) berasal dari kata corporatio dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan tio, maka corporatio sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata corpus (Indonesia=badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka akhirnya corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.[41] Apabila suatu hukum memungkinkan perbuatan manusia untuk menjadikan badan itu disamping manusia, dengan mana ia disamakan, maka itu berarti bahwa kepentingan masyarakat membutuhkannya, yakni untuk mencapai sesuatu yang oleh para individu tidak dapat dicapai atau amat susah untuk dicapai.[42] Berdasarkan uraian tersebut di atas, ternyata korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum. Menurut Utrecht, korporasi: Suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri satu personasifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masingmasing.[43] A.Z Abidin menilai korporasi: Sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak oleh sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.[44] Subekti dan Tjitrosudibio menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan korporasi: Suatu perseroan yang merupakan badan hukum.[45] Yan Pramadya Puspa Korporasi atau badan hukum, adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum; Korporasi atau perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (persona) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan. Contoh badan hukum itu adalah PT (Perseroan Terbatas), N.V. (Namloze Vennootschap) dan yayasan (stichting), bahkan negara pun juga merupakan badan hukum.[46] Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan korporasi sebagai: Suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota mana juga

mempunyai kekuasaan dlam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi dalam peraturan korporasi.[47] A. Abdurachman mendefinisikan sebagai: Corporatio (korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang suatu negara untuk menjalankan suatu usaha atau aktivitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan identitas itu dapat dituntut di muka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara. Pada umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah, atau partikelir.[48] Rudi Prasetyo Korporasi sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahas Belanda disebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.[49] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: (1) Badan usaha yang sah; (2) Badan hukum perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar.[50] Dalam Rancangan KUHP (RKUHP) Tahun 2004, memberikan pengertian korporasi sebagimana dimaksud dalam Pasal 166 sebagai berikut: Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.[51] Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1997, Pasal 1 butir 13 tentang Psikotropika: Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan. Dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dalam Pasal 1 butir 19, korporasi, yaitu: Kumpulan yang terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan. Selanjutnya pengertian korporasi sebagai subjek hukum pidana, menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan kualifikasi sebagai berikut menurut Pasal 20 ayat (2):

Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Sifat pembedaan sanksi pidana bagi badan hukum dan perorangan yang dianut dalam UndangUndang Narkotika juga dianut oleh Undang-Undang Anti Korupsi seperti yang tersebut dalam Pasal 79 ayat (4). Begitupun Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dikatakan bahwa kalau kepemilikan narkotika tersebut dilakukan oleh suatu badan hukum, maka sanksi pidana yang diberikan berupa denda. Sedangkan jika narkotika tersebut adalah milik perorangan, maka sanksi pidana yang diberikan berupa pidana penjara dan pidana denda. Tetapi dalam kenyataanya tidak selalu mudah untuk menarik suatu korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sekalipun di dalam undang-undang telah mengatur kemungkinan tersebut. Perumusan korporasi dinyatakan sebagai subjek hukum disebutkan juga dalam: Blacks Law Dictionary: Corporation. An entity having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and exist indefinitely; a group or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality istinct from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart from them, ad has the legal powers that its constitution gives it.[52] Pendapat ini diperkuat oleh Ronald A. Anderson et. al, yang menyatakan, bahwa: A corporation is an artificial legal being, created by goverment endowed with certain powers. That is the corporation exists in the eyes of the law as a person, separate and ditinct from the people who own the corporation. Selanjutnya dikatakan bahwa The corporation can sue and be sued in its own name with respect to corporate rights and liabilities, but the shareholders cannot sue or be sued as to those rights and liabilities.[53] Begitu juga dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) telah berpendirian korporasi sebagai subjek tindak pidana, sebagaimana Pasal 44 RKUHP tersebut menentukan Korporasi merupakan subjek tindak pidana. Ronald A. Anderson et. al, menggolongkan korporasi didasarkan kepada: 1. Hubungan dengan publik, 2. Sumber kekuasaan dari korporasi tersebut, 3. Sifat aktivitas dari korporasi. Dari penggolongan tersebut, maka jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Korporasi Publik adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas administrasi di bidang urusan publik. Contohnya di Indonesia seperti pemerintahan kabupaten atau kota. 2. Koporasi Privat adalah sebuah korporasi yang didirikan untuk kepentingan privat/ pribadi, yang dapat bergerak di bidang keuangan, industri, dan perdagangan. Korporasi privat ini sahamnya dapat dijual kepada masyarakat maka penyebutannya ditambah dengan istilah publik. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 1 angka 21 dikatakan bahwa Perusahaan Publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurang oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) atau suatu pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[54] 3. Korporasi Publik Quasi, lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan umum (public services). Selain jenis tersebut di atas, dihubungkan dengan penggolongan korporasi di kenal pula:[55] 1. Domestic and Foreign Corporation If a corporation has been created under the law of a particular state or nation, it is called a domestic corporation with respect to that state or nation. Any other corporation going into that state or nation is called a foreign corporation. Thus a corporation holding a Texas charter is a domestic corporation in Texas but foreign corporation in all other states and nations. 2. Special Service Corporation Corporation formed for transportation, banking, insurance, savings and loan operations, and similar specialized functions, are subject to separate codes or statutes with regard to their organization. 3. Close Corporation A corporation whose share are held by a single shareholder or a closely knit group of shareholders is known as a close corporation. The share are not traded publicly. 4. Professional Corporation A corporation may be organized for the purpose of canducting a profession. 5. Non profit Corporation A non profit corporation (or an eleemosynary corporation) is one that is Organized for charitable or benevolent purposes, such as certain hospital, homes and universities. Termasuk juga di dalamnya juga educational institutions, charities, privat hospital, fraternal orders, religious organizations, and other types of non profit corporations.

Dengan demikian menurut pandangan mereka ini, korporasi tetap dapat mempunyai kesalahan dengan konstruksi bahwa kesalahan tersebut adalah kesalahan para pengurus atau anggota direksi. Pandangan ini merupakan konsekuensi logis dari pandangan yang mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi melalui pengurusnya. Dalam hukum pidana dikenal dengan adagium actus non facit reum, nisi mens rea, atau an act does not make a man guilty of a crime, unless his mind be also gulity, hal ini dikenal pula sebagai tiada pidana tanpa kesalahan. Karena itu untuk dipidananya seseorang maka diperlukan perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana. Baik telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja (opset/ dolus) ataupun bukan karena kelalaiannya (culpa). Asas tersebut diakui dan dianut pula dalam hukum pidana Indonesia yang dalam sistem hukum kita dikenal dengan opset dan culpa.[56] Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah kealpaan. Dengan diterimanya pengertian kesalahan dalam arti luas sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologisch, kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologish (batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan. Pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak yang demikian.[57] Sedangkan pengertian kesalahan yang normatif, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar mengenai hubungan antara si pembuat dengan perbuatannya. Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat dalam masyarakatnya, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat.[58] Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan kealpaan lebih ringan.[59] Istilah kesalahan dapat dibedakan dalam arti:[60] 1. Ilmu pasti, matematika. Misal 9:3=2 adalah menghitung dengan kesalahan. 2. Secara yuridis, seorang dijatuhi pidana karena melakukan perbuatan pidana dengan kesalahan. Kesalahan yuridis juga masih dapat dibedakan antara: 1. Pemakaian dalam arti menerangkan keadaan psyche seseorang yang melakukan perbuatan. Atau dapat dikatakan pengertian sociaal-ethisch, yaitu hubungan jiwa antara

seseorang dengan perbuatannya dan akibatnya, sehingga padanya dapat dipertanggungjawabkan. 2. Pemakaian dalam arti bentuk kesalahan di dalam undang-undang yang berupa kesengajaan dan kealpaan. Oleh Jonkers, didalam keterangan tentang schuldbegrip membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan, yaitu: 1. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld), 2. Meliputi juga sifat melawan hukum (de wedereechtelijkheid), dan 3. Kemampuan bertanggung jawab (de toerekenbaarheid).[61] Menurut Pompe: 1. Pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela yang pada hakekatnya tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum. 2. Pada hakekatnya tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum didalam perumusan hukum positif, di situ berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan yang mengarah kepada sifat melawan hukum, dan 3. Kemampuan bertanggung jawab.[62] Mr. D. Simons menerangkan kealpaan tersebut sebagai berikut: Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undangundang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh si pelaku adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan. Tentu dalam mempertimbangkan ada atau tidaknya dapat diduga lebih dahulu itu, harus diperhatikan pribadi si pelaku. Kealpaan tentang keadaan-keadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan itu tidak ada.[63] Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana . seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut.[64] Korporasi dapat diartikan secara luas maupun sempit. Perumusan korporasi dalam arti sempit yaitu korporasi sebagai badan hukum a corporation is a legal person artinya korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa

pengecualian seperti dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya sumpah palsu, perkosaan, dan sebagainya. Korporasi arti sempit mempunyai figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi eksistensi suatu korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja. Artinya bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya tetapi harus ada yang mendirikannya. [65] Dalam arti luas korporasi dalam hukum pidana dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV dan persekutuan, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum. Juga sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan dengan korporasi.[66] Menurut Mardjono Reksodiputro terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. keempat kemungkinan sistem yang dapat diberlakukan:[67] 1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul tanggungjawab pidana, 2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana, 3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana, 4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. Ada beberapa ajaran yang menjadi landasan bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. ajaran-ajaran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Doctrine of Strict Liability Menurut sejarahnya, prinsip tanggungjawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan pada mulanya dikenal dalam kebudayaaan kuno dari Babylonia. Dalam bentuknya yang lebih modern, prinsip ini dikenal dalam tahap awal dari hukum Romawi (abad kedua sebelum masehi) termasuk didalamnya doktrin mengenai culpa dalam Lex Aquilia. Lex Aquilia menentukan bahwa kerugian sebagai kesalahan seseorang baik disengaja maupun tidak, secara hukum, harus diberikan sentuhan. Prinsip ini kemudian menjadi hukum Romawi modern seperti terdapat dalam pasal 1382 Code Napoleon 1804 yang berbunyi: Any act whatever done by a man which causes damage to another obliges him by whose fault the damage was caused to repair it.[68]

Dalam ajaran ini pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan pelaku tindak pidana adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Oleh karena menurut ajaran ini pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan, maka Striet Liability dalam bahasa Indonesia digunakan istilah pertanggungjawaban mutlak.[69] Dalam Common Law, strict liability berlaku terhadap 3 macam delik: 1. Public nuaisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya dan sebagainya), 2. Criminal libel (pencemaran, fitnah), 3. Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan).[70] Praktek di Indonesia strict liability, Hakim dalam memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pelaku yang melanggar suatu peraturan.[71] Selain itu penganutan di Indonesia, dapat dilihat dalam RUU KUHP Tahun 2004 yang telah menerima ajaran pertanggungjawaban mutlak tersebut. Sebagaimana pada pasal 35 ayat (2) dari RKUHP tersebut, menyatakan: Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.[72] Dengan demikian RUU tersebut berpendirian bahwa apabila terhadap suatu tindak pidana pelakunya akan dipertanggungjawbakan tanpa keharusan melakukan pembuktian terhadap adanya kesalahan pada pihak pelaku ketika perilaku, baik perilaku yang berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang maupun tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan undang-undang, dilakukan oleh pelakunya, haruslah hal itu dengan tegas ditentukan dalam undang-undang itu sendiri.[73] 1. Doctrine of Vicarious Liability Ajaran kedua bagi korporasi untuk memberikan pembenaran pembebanan pertanggungjawaban kepada korporasi adalah menerapkan Doctrine of Vicarious Liability atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah pertanggungjawaban vikarius, adalah pembebanan pertanggungjawban pidana yang dilakukan oleh, misalnya A kepada B. Teori atau doktrin ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious Liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior. Menurut asas respondeat superior, dimana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi: qui facit per alium facit per se. Artinya seseorang yang berbuat melalui orang kain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu. Contohnya, adalah seorang principal (pemberi kuasa) bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh agent (penerima kuasa) sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam lingkup kewenangannya (tidak keluar dari batas kewenangannya). Oleh karena itu, ajaran Vicarious Liability juga disebut sebagai ajaran respondeat superior.[74]

Dalam perkembangan yang terjadi dalam hukum pidana, ternyata pada saat ini berdasarkan asas uang menyimpang dari asas umum tersebut di atas, suatu pihak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pihak lain. Apabila teori ini diterapkan dalam korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapa pun yang bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.[75] Akan tetapi penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antar pemberi kerja dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Menurut Lord Russell LJ, seseorang hanya dapat dibebani pertanggungjawaban secara vikarius atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya atau oleh kuasanya apabila:[76] . the conduct constituting the offence was pursued by such servant (employees) and agents within the scope or in the course of their employment. Dengan demikian seorang pemberi kerja hanya dapat dibebani pertanggungjawaban pidana secara vikarius apabila perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya adalah dalam rangka tugas pegawainya itu.[77] Begitu juga di Amerika, menerapkan doktrin ini, hanya saja apabila secara tegas ditentukan dlam undamg-undamgh yg bersangkutan. Pembatasan doktrin ini di Amerika, terbatas pada; (i). Yang ditetapkan oleh pengadilan, (ii) pembatasan yang diberikan oleh konstitusi Amerika Serikat.[78] Di Indonesia, sampai sekarang KUHP tidak menganut asas ini, akan tetapi asas ini diadopsi dan dimasukkan ke dalam RUU KUHP 2004, sebagaimana ternyata dari bunyi Pasal 35 ayat (3), menyatakan: Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang. Dan dijelaskan didalam Penjelasan Pasal 35 ayat (3) ini, sebagai berikut: Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas pidana tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas samapai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batasbatas perintahnya. Dan selanjutnya disebutkan: Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggungjawab mutlak atau vicarious liability.[79]

Doktrin atau pertanggungjawban vikarius ini dapat dibenarkan untuk membebankan pertanggungjawban pidna terhadap korporasi, dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Clarkson dan Keating, yaitu: The doctrin can be defended on pragmatic grounds. It is easy to apply. As long as someone (anyone) acting in the course of their employment has commited a crime the comapany can be held liable.[80] Bila dilihat berdasarkkan pertimbangan pragmatis, maka doktrin ini sebenarnya sangat mudah untuk dapat diterapkan, sepanjang seseorang maupun beberapa orang dalam rangka pkerjaannya telah melakukan suatu tindak pidana. Maka perusahaan tempatnya bekerja dapat membebani pertanggungjawaban pidana atasnya. Lebih lanjutnya dikatakan bahwa companies delegate powers to act, in their respective spheres, to all their employees and accordingly should be held responsible for their criminal acts. Suatu perusahaan mendelegasikan kuasa untuk bertindak dalam perspektif umum, kepada semua karyawannya dan menyesuaikan keharusan untuk memegang tanggung jawab tindakan kriminal mereka. 1. Doctrine of Delegation Doctrine of Delegation merupakan salah satu dasar pembenar untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pegawai kepada korporasi. menurut doktrin ini, alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Pendelegasian wewenang oleh seorang pemberi kerja kepada bawahannya merupakan alasan pembenar bagi dapat dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada si pemberi kerja atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu.[81] Namun demikian, seseorang tidak dapat lepas dari tanggungjawab dengan alasan bahwa yang bersangkutan telah memberikan pendelegasian tanggung jawabnya kepada orang lain dan sekalipun yang bersangkutan tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh bawahannya itu. Dengan kata lain, seorang yang telah mendelegasikan wewenang kepada bawahannya atau kuasanya untuk bertindak untuk dan atas namanya tetap harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan penerima delegasi apabila penerima delegasi melakukan tindak pidana, sekalipun dia tidak mengetahui (tidak memiliki pengetahuan mengenai) apa yang telah dilakukan oleh bawahannya tersebut.[82] Doctrine of Delegation merupakan salah satu dasar pembenar untuk dapat membebankan pertnaggungjawab pidana yang dilakukan oleh pegawai kepada korporasi. menurut doktrin ini, alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya.[83] 1. Doctrine of Identification Identification theory juga salah satu teori yang digunakan untuk memberikan pembenaran bagi pembebanan pertanggungjawban pidana kepada korporasi yang pada kenyataaanya korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berbuat sendiri dan tidak mungkin memiliki merasa karena memang

tidak memiliki kalbu. Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan pertanggungjawban pidana kepada suatu korporasi, maka penutut umum harus mampu mengidentifikasikan siapa yang melakukan tindak pidana tersebut. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh personel korporasi yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut.[84] 5. Doctrine of Aggregation Ajaran identifikasi (identification doctrine) dianggap tidak cukup untuk dijadikan landasan guna mengatasi relitas proses pengambilan keputusan di banyak perusahaan modern. Oleh karena itu, disarankanlah beberapa metode alternatif untuk dapat membedakan pertanggungjawaban pidana kepada suatu korporasi. Salah satu dari metode itu adalah memberlakukan aggregation doctrine atau ajaran agregasi. Ajaran ini memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang, untuk diatributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Menurut ajaran ini, semua perbuatan dan semua unsur mental dari berbagai orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja.[85] 1. Unsur-unsur Tindak Pidana dan Pemidanaan Korporasi Setiap tindak pidana yang terdapat didalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subyektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subejktif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.[86] Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah[87]: 1. Kesengajaaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa), 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP, 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain, 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP, 5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur lainnya, yaitu unsur objetif dari suatu tindak pidana itu adalah:129 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid,

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP, 3. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai suatu akibat. Yang dimaksud unsur objektif adalah pertanggungjawaban pidana yang dapat dilakukan bila pelaku memenuhi unsur-unsur tertentu, sehingga pelaku dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab-pidanakan perbuatannya dapat ditentukan pemidanaan kepada pelaku dengan pemenuhan unsur yang harus diteliti dahulu dan dibuktikan bahwa:[88] 1. 2. 3. 4. 5. Subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang, Terdapat kesalahan pada pelaku, Tindakan itu bersifat melawan hukum, Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan-keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang. 6. Sebagaimana telah dikemukakan pada penulisan sebelumnya, diketetahui bahwa para ahli hukum masih beragumen pendapat mengenai kedudukan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dilakukan pemidanaan atasnya, khususnya dalam arti siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam persidangan, atau siapakah yang akan mewakili korporasi dalam persidangan, dan bagaimana cara korporasi dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Oleh karena itu bila ditelaah melalui aturan-aturan perundangundangan yang berlaku dapat dilihat bagaimana posisi korporasi tersebut dalam proses pertanggungjawabannya di persidangan. Seperti untuk Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 15 ayat (3) yang menyatakan: Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suau perserikatan orang atau yayasan maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan diwakili oleh seorang pengurus atau jika ada lebih dari seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapt diwakili oleh orang lain. Hakin dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa ke muka hakim. Begitu juga dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan pada ayat (3) nya bahwa dalam persidangan pengurus dapat mewakili, ataupun dalam ayat (4) orang lain sebagai Wakil Pengurus. Kemudian pemikiran lebih lanjut apabila adanya suatu pemidanaan/ diterapinya suatu pidana, maka haruslah ada subjek yang menerima pemidanaan tersebut. Maka dalam korporasi, sebagaimana diatur dalam hal Untuk Tindak Pidana Ekonomi pada Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955: Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan, orang atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tat tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum,

perseroan, perserikatan, atau yayasan itu, baik pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagi pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. Atas uraian di atas maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap: 1. Korporasi