Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus beredarnya video kekerasan sejumlah siswa di salah satu Sekolah Dasar Swasta di Kota Bukit tinggi Sumatera Barat. Dalam video yang diunggah di jejaring youtube tersebut tampak seorang siswi berpakaian seragam SD dan berjilbab berdiri di pojok ruangan. Sementara beberapa siswa termasuk siswi lainnya secara bergantian melakukan pemukulan dan tendangan. Sang siswi yang menjadi obyek kekerasan tersebut tampak tidak berdaya/ pasrah dan menangis menerima perlakuan kasar teman-temannya itu. Tampak pula adegan tendangan salah seorang siswa yang dilakukan sambil melompat bak aktor laga. Di sela-sela penyiksaan, ada juga siswa yang tertawa-tawa sambil menghadap kamera dan terdengar pula ungkapan dalam bahasa minang yang meminta agar aksi tersebut dihentikan. (sumber:http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan- pendidikan-karakter) Kemudian Kasus bullying dengan kekerasan terjadi di Sumbar. Kali ini bullying menimpa seorang siswa SMP di salah satu sekolah di Kota Padang pada hari kamis (12/3). Akibat dari bullying yang ia terima, korban pun mengalami pecah pembuluh darah di bagian kepala belakangnya sehingga mengalami pendarahan dan harus menjalani operasi. Kejadian berawal saat sepulang sekolah korban bernama FA (14) dimintai uang sebesar Rp 1000 oleh KV (14). Namun FA menolak memberikan uang kepada KV. Kemudian KV pun memukul FA, dan FA 1
38

terbaru kuanti

Feb 17, 2016

Download

Documents

SyainiSukijan31

yy
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: terbaru kuanti

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus beredarnya video kekerasan sejumlah siswa di salah satu Sekolah Dasar

Swasta di Kota Bukit tinggi Sumatera Barat. Dalam video yang diunggah di jejaring

youtube tersebut tampak seorang siswi berpakaian seragam SD dan berjilbab berdiri di

pojok ruangan. Sementara beberapa siswa termasuk siswi lainnya secara bergantian

melakukan pemukulan dan tendangan. Sang siswi yang menjadi obyek kekerasan tersebut

tampak tidak berdaya/ pasrah dan menangis menerima perlakuan kasar teman-temannya

itu. Tampak pula adegan tendangan salah seorang siswa yang dilakukan sambil melompat

bak aktor laga. Di sela-sela penyiksaan, ada juga siswa yang tertawa-tawa sambil

menghadap kamera dan terdengar pula ungkapan dalam bahasa minang yang meminta agar

aksi tersebut dihentikan.

(sumber:http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter)

Kemudian Kasus bullying dengan kekerasan terjadi di Sumbar. Kali ini bullying

menimpa seorang siswa SMP di salah satu sekolah di Kota Padang pada hari kamis (12/3).

Akibat dari bullying yang ia terima, korban pun mengalami pecah pembuluh darah di

bagian kepala belakangnya sehingga mengalami pendarahan dan harus menjalani operasi.

Kejadian berawal saat sepulang sekolah korban bernama FA (14) dimintai uang sebesar Rp

1000 oleh KV (14). Namun FA menolak memberikan uang kepada KV. Kemudian KV pun

memukul FA, dan FA sempat membalasnya. Tidak terima dengan balasan tersebut KV

kembali menyerang FA dan memukul kepala belakangnya.

(http://www.infosumbar.net/berita/berita-sumbar/kasus-bullying-oleh-siswa-smp-terjadi-

di-kota-padang)

Kasus di atas merupakan kasus bullying atau kekerasan. Banyaknya kasus

mengenai kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan terutama pada anak-anak usia

sekolah akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Hal ini perlu adanya perhatian yang lebih

bagi pendidik maupun orang tua. Bullying sering terjadi di sekolah, sekolah yang

seharusnya menjadi tempat bagi anak untuk membina ilmu dan membantu membentuk

karakter pribadi yang positif (Wiyani 2012), namun kenyataannya sekolah menjadi tempat

tumbuhnya tindakan-tindakan bullying dan masih dijumpai siswa senior melakukan 1

Page 2: terbaru kuanti

tindakan bullying terhadap adik kelasnya dengan cara melakukan kekerasan fisik,

pemalakan atau pemerasan, menghina, membentak, sehingga dibeberapa sekolah tindakan

bullying menjadi suatu tradisi.

Bullying yang dimaksud adalah salah satu bentuk usaha berperilaku untuk

menyakiti yang dilakukan oleh sebuah kelompok atau seseorang. Bulllying sebagai sebuah

perilaku didefiniskan sebagai interaksi antara individu yang lebih dominan yang sering kali

berbentuk tindakan agresif kepada individu lain yang kurang dominan (korban) dengan

tujuan menyusahkan si korban (Olweus, 1991; Smith and Thompson,1991 dalam Craig

dkk, 2000). Seorang anak dapat dikatakan sebagai korban perilaku bullying jika ia sering

dan terus menerus diperlakukan buruk oleh murid yang lain. Perilaku buruk yang

dimaksud adalah jika seseorang secara dengan sengaja menimbulkan ataupun berusaha

menimbulkan ketidaknyamanan kepada orang lain. Bentuk perilaku buruk ini bisa secara

verbal, fisik, ataupun psikologis. Dengan kata lain bullying adalah perilaku kekerasan yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan/kekuatan untuk

menyakiti orang lain secara fisik ataupun psikis melalui tindakan atau ucapan sehingga

korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya. Peristiwa ini mungkin terjadi berulang-

ulang.

Perilaku bullying termasuk dalam tindakan kekerasan yang merugikan orang lain.

Disebut kekerasan karena tindakan yang dilakukan untuk menyakiti orang lain, atau bisa

juga dengan tujuan tertentu, misalnya mencari perhatian, menginginkan kekuasaan di

sekolah, ingin dibilang jagoan, pamer atau menunjukkan kekayaan seperti motor baru.

Selama ini upaya mengidentifikasi tindakan bullying siswa mengalami hambatan. Perilaku

bullying terselubung dan para korban yang enggan atau takut melaporkan tindakan bullying

yang dialaminya membuat para guru dan orangtua siswa tidak dapat mendeteksi adanya

tindakan bullying di sekolah. Tidak hanya itu, selama ini kampanye anti-bullying di

sekolah dan masyarakat juga masih sedikit dan terbatas. Setiap perilaku agresif, apapun

bentuknya, pasti memiliki dampak buruk bagi korbannya.

Bullying yang terjadi di sekolah dinamakan school bullying. Para ahli menyatakan

bahwa perilaku bullying atau istilah lain school bullying mungkin merupakan bentuk

agresivitas antarsiswa yang memiliki dampak paling negatif bagi korbannya. Hal ini

disebabkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan di mana pelaku yang berasal dari

kalangan siswa/siswi yang merasa lebih senior melakukan tindakan tertentu kepada korban

2

Page 3: terbaru kuanti

yaitu siswa/siswi yang lebih yunior dan mereka merasa tidak berdaya karena tidak dapat

melakukan perlawanan.

Berdasarkan penelitian Basuki (2010) School bullying termasuk dalam tindakan

kekerasan yang merugikan orang lain. Disebut kekerasan karena tindakan yang dilakukan

untuk menyakiti orang lain, atau bisa juga dengan tujuan tertentu, misalnya mencari

perhatian, menginginkan kekuasaan di sekolah, ingin dibilang jagoan, pamer atau

menunjukkan kekayaan seperti motor baru. Sedangkan Budi (2010) menjelaskan mengenai

bullying di salah satu SMA di kota Yogyakarta (2010) mengemukakan bahwa siswa

menyatakan mendapatkan bullying di sekolah 69,03% dan di tempat bermain 35,4%.

Sedangkan di rumah yang seharusnya sebagai tempat yang paling aman karena ada

orangtua dan saudara-saudara ternyata 28,32% anak mengatakan bahwa mendapatkan

kekerasan dari orangtua maupun dari saudara. Di jalan menuju sekolah ketika anak

melakukan perjalanan sendiri ada 9,7% mengalami bullying.

Berdasarkan laporan mingguan salah satu lembaga pendidikan MTs di kota

Bangkalan tertanggal 25 Januari 2015 tercatat bahwa terdapat dua siswa bermasalah

terkait dengan perilaku mengejek, atas nama M.F dan M.I. Selain itu, dari hasil wawancara

dengan guru kelas (wali kelas) dan kepala sekolah, diketahui bahwa kedua subyek tadi

memang memiliki perilaku bermasalah. Subyek memiliki kecenderungan perilaku

mengejek yang terus menerus sehingga beberapa minggu yang lalu subyek mendapatkan

hukuman dari sekolah karena perilaku tersebut. Dalam hal ini kemungkinan besar

menunjukkan adanya kelompok senioritas yang masih menjadi sebuah fenomena yang

terjadi di sebuah lembaga pendidikan. Adanya ketidakseimbangan kekuatan baik fisik

maupun mental kemungkinan menjadi salah satu faktor penyebab terjadi perilaku bullying

di sekolah.

Pada Dasarnya Bullying memiliki dampak yang negatif bagi anak-anak yang

menjadi korban. Dampak tersebut dapat bersifat fisik maupun psikologis. Eratnya

hubungan antara kesejahteraan psikologis dan kesehatan fisik menyebabkan korban

bullying terkadang juga mengalami gangguan pada fisiknya. Dampak bullying pada

kesehatan fisik korban termanifestasi dalam bentuk sakit kepala (Williams dkk, dalam

Djuwita, 2005), sakit tenggorokan, flu, dan batuk (Wolke dkk, dalam Riauskina dkk,

2005), bibir pecah-pecah dan sakit dada (Rigby dalam Riauskina, 2005). Bullying yang

dilakukan secara fisik bisa berdampak pada kondisi fisik anak yang menurun, terkadang

merasa sakit pada bagian tubuh tertentu dan mengalami luka secara fisik. Dampak lain 3

Page 4: terbaru kuanti

yang tidak terlihat akan tetapi memiliki efek jangka panjang adalah penyesuaian sosial

yang buruk pada anak. Korban bullying akan merasakan emosi yang negatif dalam dirinya

seperti perasaan dendam, marah, hina, kecemasan, tertekan, takut, malu, sedih, tidak

nyaman dan terancam serta merasa tidak mampu untuk mengatasi permasalahan yang

dialaminya. Korban bullying biasanya mengalami berbagai macam gangguan yang

meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low psychological well-being) di mana

korban akan merasa tidak nyaman, takut, rendah diri serta tidak berharga (Rigby dalam

Djuwita dkk, 2005), penyesuaian sosial yang buruk di mana korban merasa takut ke

sekolah bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan, prestasi akademik yang

menurun karena mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar bahkan buruknya

korban memiliki keinginan untuk bunuh diri daripada harus menghadapi tekanan-tekanan

berupa hinaan dan hukuman Dalam jangka waktu yang cukup panjang, emosi tersebut akan

menimbulkan perasaan rendah diri karena merasa dirinya tidak berharga di lingkungan.

Menurut Levianti (2008) bullying tidak hanya berdampak negatif bagi korban, namun juga

bagi pelakunya. Siswa pelaku bullying berpotensi menjadi pelaku kriminal sejak dini

ataupun di kemudian hari.

Pada usia remaja ini ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya

menjadi sangat kuat. Hal ini karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat

memahami mereka, sehingga hanya dengan seusianya ada kedekatan secara fisik ataupun

psikis. Mereka kadang-kadang bergurau melampaui batas kewajaran sehingga tidak

disadari membuat orang lain di sekitarnya menderita, dan bila diperingatkan biasanya tidak

mau menerima dan bahkan berbuat lebih dahsyat lagi. Hal yang demikian itu menyebabkan

remaja bangga dengan perbuatan yang dianggap tidak wajar. Tanpa disadari, tindakan

bullying sering terjadi di lingkungan remaja baik di sekolah, rumah bahkan di mana pun.

Oleh karena itu dukungan sosial dari guru, teman maupun masyarakat lingkungan

sekitar sangat dibutuhkan oleh individu itu sendiri. Dukungan sosial merupakan

kenyamanan, perhatian mapun bantuan yang diterima individu dari orang disekitaranya.

Dukungan sosial bisa bersumber dari orang-orang yang berada disekitarnya seperti teman

dekat, guru, sanak keluarga, pasangan hidup (suami-istri) dan lain-lain. Beberapa faktor

diyakini menjadi penyebab terjadinya perilaku bullying di sekolah salah satunya adalah

faktor dukungan sosial. Kurangnya dukungan sosial memberikan pengaruh terhadap

tumbuhnya perilaku bullying di sekolah. Dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang

dirasakan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diperoleh seseorang dari orang lain

4

Page 5: terbaru kuanti

atau kelompok (Sarafino, 1998 dalam Rohmah, 2006). Menurut Rohmah (2006) Dukungan

sosial bertujuan untuk memberikan kesejahteraan pada penerimanya. Bagaimana seseorang

menerima dukungan sosial tersebut lebih merupakan suatu pengalaman pribadi yang

melibatkan penghayatannya atas dukungan dari orang lainyang diterimanya.

Begitupun keterlibatan keluarga dimana individu yang kurang mendapat perhatian,

pola asuh yang kurang sehat atau pernah menjadi korban bullying kemungkinan

munculnya perilaku bullying. Keluarga merupakan bagian kecil dari masyarakat yang

terdiri dari bapak. Ibu dan anak serta saudara yang menempati sebuah rumah atau hunian.

Karekteristik keluarga yang sehat, bila anggota keluarganya berinteraksi satu dengan yang

lainnya, anggota keluarga terlibat dalam peran masing-masing secara flexsibel, anggota

keluarga selalu termotivasi untuk berkomunikasi dengan keluarga lainnya dan juga

masyarakat sekitar serta setiap anggota keluarga menguasai salah satu tugas seperti

pengembilan keputusan atau upaya pencarian informasi (Achjar, 2010 Sari dkk (...). Setiap

individu selalu mendambakan tinggal dengan keluarga yang hangat, harmonis dan damai.

Karena apabila fungsi keluarga itu berjalan dengan baik maka sedikit banyak individu

mampu menjalani hidup dengan baik dan terhindar dari hal-hal yang negatif seperti

perilaku bulllying. Keluarga yang selalu dipenuhi dengan kekerasaan (antar orang tua dan

anak) akan berdampak pada perkembangan anak. Seorang anak yang selalu mengalami

tindakan kekerasan tidak menutup kemungkinan bahwa ketika remaja atau dewasa akan

melakukan tindakan kekerasaan pula atau perilaku bullying. Menurut Sari dkk (...) bahwa

ditemukan rata-rata individu yang mendapat dukungan keluarga dengan yang tidak

mendapat dukungan keluarga lebih banyak yang tidak mendapat dukungan keluarga yang

melakukakn tindakan bullying.

Eskisu (2014) menyatakan ada beberapa faktor yang memicu terjadinya bullying

salah satunya faktor keluarga yaitu bahwa keluarga dari siswa yang mem-bully siswa lain

mempunyai hubungan keluarga yang tidak baik, kedisiplinan yang buruk, kasih sayang

yang tidak cukup antara orang tua dan anak, kurangnya kegiatan keluarga dan

ketidakefektifan pengawasan orang tua. Menurut Rothon dkk (2011) dukungan sosial

berupa dukungan dari teman dan keluarga dapat melindungi korban bullying dari

rendahnya performa akademik dan perasaan depressif. Meski demikian, dukungan dari

teman dan keluarga tidak dapat mencegah munculnya dampak negatif bullying pada

korban.

5

Page 6: terbaru kuanti

Terdapat dua alasan utama dalam penelitian ini. Pertama, data menunjukkkan

tingginya angka perilaku kekerasan atau bullying. Dua, telah banyak penelitian yang

dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang membentuk perilaku bullying atau kekerasan.

Pada penelitian ini difokuskan pada dua hal pengaruh peer group (dukungan sosial) dan

faktor keluarga (family function). Kedua faktor tersebut merupakan hal yang terdekat

dengan anak-anak. Maka penelitian ini ingin menguji secara empirik apakah dukungan

sosial dan fungsi keluarga dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi perilaku bullying

pada siswa MTs di Kota Bangkalan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis

mengajukan sebuah rumusan masalah yang akan diteliti yaitu “Apakah ada hubungan

perilaku bullying, peran keluarga, dan dukungan sosial pada remaja pelaku bullying?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan perilaku bullying,

peran keluarga, dan dukungan sosial pada remaja pelaku bullying.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa

pengetahuan dan wawasan mengenai kajian perilaku bullying serta hubungannya

dengan perceived sosial support dan fungsi keluarga pada ilmu psikologi,

khususnya bidang Pendidikan

2. Manfaat Praktis

Melalui penelitian mengenai perilaku bullying serta hubungannya dengan

perceived sosial support dan fungsi keluarga ini, diharapkan dapat menjadi arahan

bagi para orang tua, guru dan masyarakat, khususnya para murid dalam instansi

pendidikan MTS kota Bangkalan.

6

Page 7: terbaru kuanti

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Bullying

Bulllying sebagai sebuah perilaku didefiniskan sebagai interaksi antara individu

yang lebih dominan yang sering kali berbentuk tindakan agresif kepada individu lain yang

kurang dominan (korban) dengan tujuan menyusahkan si korban (Olweus, 1991; Smith and

Thompson,1991 dalam Craig dkk, 2000). Meski demikian bullying tidaklah sama dengan

kekerasan atau agresi, namun merupakan bagian dari keduanya, jadi kurang tepat jika

kemudian kita menggantikan istilah bullying ini dengan istilah kekerasan (Bauman & Rio,

2005).

Bullying merupakan perilaku-perilaku membahayakan dan disengaja dilakukan

berulang-ulang oleh satu atau beberapa siswa terhadap siswa yang lebih lewah (Olweus

dalam Eskisu, 2014). Adapun bullying didefinisikan sebagai tindakan bermusuhan,

berulang dari waktu ke waktu, yang sengaja merusak dan terjadi tanpa provokasi (Harris &

Petrie dalam Long & Alexander, 2010).

Perilaku bullying merujuk pada penggunaan fisik, psikologis dan verbal, baik

perorangan maupun berkelompok, untuk menyusahkan orang lain baik secara fisik maupun

psikologis. Terdapat 3 kunci pokok dalam memahami bullying, membedakannya dengan

perilaku yang lain, yaitu daya tahan, pengulangan dan adanya ketidak seimbangan

kekuatan antara korban dan pelaku. Karakteristik umum pelaku bullying adalah agresif,

keras, percaya diri, kuat, impulsif, dan lebih banyak ditemukan berjenis kelamin laki-laki.

Sedangkan karakteristik umum korban bullying adalah tidak populer, sendiri, dikucilkan,

pencemas, depresi, tidak berminat balas dendam dan kurang percaya diri. (Reynolds, 2004

dalam Zunic & Glumbić 2010).

Dari pengertian tentang bullying di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan

mengenai bullying yaitu adanya motif atau keinginan untuk melukai baik fisik maupun

mental yang dilakukan individu atau kelompok kepada orang lain secara sengaja, berulang-

ulang, serta adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban bullying. Ada

beberapa hal penting mengenai bullying yang perlu kita garis bawahi, adanya perbedaan

dominasi, adanya pengulangan dan dilakukan dengan tujuan menyakiti, menyusahkan,

7

Page 8: terbaru kuanti

membuat tidak nyaman atau menekan korban. Tiga hal ini merupakan kunci utama dalam

memahami perilaku bullying.

Tipe-tipe perilaku bullying antara lain adalah sebagai berikut (Long &

Alexander, 2010) yaitu pertama, Physical bullying (bullying fisik), meliputi perilaku-

perilaku seperti, memukul, menendang, mengambil paksa ataupun menghancurkan

barang- barang korban. Bullying tipe ini termasuk tipe yang mudah untuk ditemukan

karena dapat dilihat secara langsung. Kedua, Verbal bullying (bullying verbal), adalah

perilaku bullying yang menggunakan kata-kata untuk menyakiti ataupun menghina

korban. Tipe ini meliputi perilaku-perilaku seperti, memberi julukan-julukan tertentu,

mengancam, menghina, mengungkapkan kata-kata yang rasis atupun menggoda atau

mengusik. Meski tidak menimbulkan bekas luka yang nampak, namun akibat dari tipe in

lebih membekas daripada tipe sebelumnya (fisik). Kedua jenis di atas (bullying fisik dan

verbal) oleh Long dan Alexander (2010) disebut juga sebagai direct bullying (bullying

langsung). Ketiga, Relational bullying (bullying relasi dengan orang lain), perilaku

ini meliputi menghancurkan hubungan-hubungan yang dimiliki oleh korban, mengucilkan

dan sejenisnya. Tipe ini sangat erat terkait dengan bullying verbal dan muncul ketika

tersebar rumor atau isu-isu tertentu mengenai korban. Tipe ini lebih sering ditemukan

pada anak-anak perempuan dibandingkan dengan anak-anak laki-laki. Akibat yang

dimunculkan juga akan sangat berbahaya, terlebih ketika anak pada tahapan

perkembangan dimana ia sangat membutuhkan hubungan sosial dengan teman sebaya.

Tipe ini juga biasa disebut sebagai indirect bullying (bullying tidak langsung).

Bentuk-bentuk Perilaku bullying meliputi lima kelompok yaitu pertama, Kontak

fisik langsung antara lain : memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang,

mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar juga termasuk memeras dan

merusak barang-barang yang dimiliki orang lain. Kedua, kontak verbal langsung antara

lain mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan

nama, sarkasme, merendahkan, mencela/ mengejek, mengintimidasi, memaki,

menyebarkan gosip. Ketiga, perilaku non-verbal langsung antara lain melihat dengan

sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau

mengancam, biasanya disertai bullying fisik atau verbal. Keempat, Perilaku non-verbal

tidak langsung dengan mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga

menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.

8

Page 9: terbaru kuanti

Kelima, Pelecehan Seksual, kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal

(Riauskina dkk, 2005 dalam Budi, 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan terkena Bullying Pepler dan

Craig, 1989 dalam Budi 2010) adalah pertama, faktor internal. Secara internal, anak-

anak yang rentan menjadi korban bullying biasanya memiliki temperamen pencemas,

cenderung tidak menyukai situasi sosial, atau memiliki karakteristik fisik khusus

pada dirinya yang tidak terdapat pada anak-anak lain, seperti warna rambut atau kulit

yang berbeda atau kelainan fisik lainnya. Kedua, faktor eksternal yaitu anak yang pada

umumnya berasal dari keluarga yang overprotektif, sedang mengalami masalah keluarga

yang berat, dan berasal dari strata ekonomi/kelompok sosial yang terpinggirkan atau

dipandang negatif oleh lingkungan.

Penelitian terdahulu terkait dengan bullying

Peneliti Metode Hasil Saran

Nenad Glumbic & Vesna Zunic-Palvovic (2010)

Metode Kuantitatif (Korelatif)

Subjek adalah 61 siswa dengan disabilitas intelektual

Meski dengan disabilitas, Sekitar 18% dari siswa dengan disabilitas ini juga terlibat dalam perilaku bullying (6 orang pelaku bullying, 4 orang korban bullying dan 1 orang pelaku/korban bullying)

Penanganan perilaku bullying perlu untuk dilakukan disemua sekolah tanpa memandang tipe sekolah (di sekolah umum, sekolah khusus, dan sekolah inklusif)

Hulya Karatas & Candan Ozturk (2011)

Metode Kuantitatif (Korelatif)

Siswa yang mempunyai skor tinggi sebagai korban bullying sering mengalami permasalahan kesehatan seperti sakit kepala, merasa tidak nyaman, menangis terus-terusan, grogi, gangguan tidur, pusing.

Sedangkan siswa yang memiliki skor tinggi sebagai pelaku bullying hanya mengalami gangguan nafsu makan saja

Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan berdasarkan tipe bullying dan jenis kelamin. Selain itu, siswa, orangtua dan guru sebaiknya dilibatkan secara bersamaan.

Penelitian dalam skala besar sebaiknya melibatkan sampel yang besar meliputi pelaku, korban, korban-pelaku dan by-standers (penonton).

Wendy M. Craig, Debra Pepler & Rona

Metode Kuantitatif

Perilaku bullying yang paling banyak muncul baik di kelas atau di tempat

Untuk memperkuat temuan ini dan mendalami mengenai faktor-faktor yang berhubungan

9

Page 10: terbaru kuanti

Atlas (2000) Pengumpulan data menggunakan metode observasi dan rating, sedangkan analisa data menggunakan inter-rater agreement

Sampel penelitian berjumlah 34 siswa kelas 1-6 (24 laki-laki, 10 perempuan).

bermain adalah verbal bullying.

Pelaku secara umum hanya melakukan bullying kepada siswa lain yang satu jenis kelamin.

Perilaku bullying yang terjadi di kelas lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, sedangkan di tempat bermain tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Teman sebaya dapat menjadi penguat dan juga pencegah munculnya perilaku bullying, terutama di luar kelas.

dengan bullying, penelitian selanjutnya dilakukan dapat dengan mengggabungkan metode observasi serta self-report.

Sharyn Burns, Bruce Maycock, Donna Cross & Graham Brown (2008)

Metode penelitian kualitatif.

Subjek penelitian berjumlah 51 orang siswa kelas 7 dari 15 sekolah di Perth Australia.

Tekanan dari sebaya untuk konformitas kelompok mendorong dan menguatkan perilaku bullying. Bahkan untuk tetap diterima dalam kelompoknya, beberapa siswa merasa perlu untuk melakukan bullying kepada siswa lain.

Untuk menurunkan munculnya perilaku bullying perlu dilakukan beberapa hal antara lain edukasi seputar bullying bagi guru dan orangtua, dan program pencegahan harus terencana dan evidence-based.

B. Perceived Social Support

Usia remaja secara umum adalah usia yang labil dan rentan, dimana pada usia

tersebut masa mereka berusaha untuk mencari identitas diri (jati diri) dan mudah menerima

serta menyerap informasi dari luar dirinya. Remaja sangat membutuhkan dukungan dari

lingkungannya. Dukungan dari luar yaitu dukungan sosial baik berupa perhatian, motivasi,

penghargaan, cinta dan kasih sayang sehingga individu akan merasa diterima, dihargai,

diperhatikan di lingkungan tempat tinggalnya. Dukungan sosial adalah informasi yang

diperoleh individu dipercayai bahwa dia dicintai, dihargai dan memiliki hubungan yang

saling keterikatan (Also Cobb, 1976 dalam Gulati 2010). Sedangkan menurut Gulati

(2010) bahwa dukungan sosial dapat didefinisikan sebagai dukungan yang didapatkan dari

10

Page 11: terbaru kuanti

keluarga, teman, tetangga dan lembaga yang bergerak di bidang psikologi yang membantu

individu dalam aspek afektif, fisik maupun kognitif. Dukungan sosial didefinisikan sebagai

keberadaan orang yang dapat diandalkan, orang yang peduli, menghargai dan mencintai

kita Sarason, dkk (1983). Karakus dkk (2014) menjelaskan dukungan sosial didefinisikan

sebagai bantuan yang didapatkan dari orang-orang yang berada di sekitar kita.

Dari beberapa definisi para tokoh diatas dapat disimpulkan dukungan sosial

merupakan kenyamanan fisik atau psikologis yang diterima individu, baik berupa bantuan,

kasih sayang, perhatian, penghargaan, cinta dan lain-lain dari orang lain maupun

kelompok.

Dalam penelitian Shahyad dkk (2011) menjelaskan dukungan sosial dibagi menjadi

dua bagian yaitu received social support dan preceived social support. Received sosial

support dianggap sebagai bagian perilaku dukungan sosial karena ketergantungan pada

interaksi dengan orang lain sedangkan preceived social support dianggap sebagai bagian

kognisi dukungan sosial dimana penerimaan individu apakah dia dicintai dan dihargai oleh

orang lain (Gulacti, 2010).

Menurut Adler dkk (2012) model preceived social support bisa berasal dari

dukungan sosial keluarga, teman, dan signifikan other yaitu guru atau teman kelas.

Dukungan sosial (perceived sosial support) terdiri dari tiga dimensi, dukungan sosial dari

keluarga, dukungan dari teman dan dukungan sosial dari significant others (orang-orang

terdekat). Dengan kata lain perceived social support merupakan persepsi atau penilaian

seseorang terhadap dukungan yang diperoleh dari orang lain atau kelompok.

Menurut Karakus dkk (2014) dukungan sosial terdiri dari empat jenis. Pertama,

dukungan emosional yaitu jenis dukungan dimana individu mengalami perasaan seperti,

dicintai, dihargai, empati, peduli, diterima dan diperhatikan. Kedua, Dukungan instrumen

yaitu jenis dukungan dimana individu mendapatkan sesuatu yang nyata, berupa finansial,

bantuan dan pendidikan. Ketiga dukungan informasi yaitu dukungan dimana individu

mendapatkan berupa saran, nasehat dan bimbingan dalam mengambil keputusan. Keempat,

dukungan umum yaitu dukungan dimana individu mengabiskan waktu luang dengan

bersenang-senang, santai dan mempererat hubungan sosialnya.

11

Page 12: terbaru kuanti

Peneiltian terkait perceived social support dengan perilaku Bullying:

Peneliti Metode Hasil Saran

Catherein Rothon, Jenny Head, Emily Klineberg, & Stephen Stansfeld (2011)

Metode Penelitian: Kuantitatif

Analisa Data:Multivariate Logistic Regression Analysis

Subjek Penelitian:2790 orang siswa kelas 7 dan kelas 9.

Pengumpulan data pertama pada tahun 2001 dan yang kedua pada tahun 2003.

Mereka yang memiliki dukungan sosial yang tinggi memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk terkena sindrom depresi.

Dukungan dari teman dan keluarga dapat melindungi korban bullying dari rendahnya performa akademik dan perasaan depressif.

Meski demikian, dukungan dari teman dan keluarga tidak dapat mencegah munculnya dampak negatif bullying pada korban.

Perlu disusun strategi untuk mengatasi masalah bullying sebelum berdampak pada hal-hal yang lebih serius. Selain itu juga perlu dilakukan intervensi sedari dini dan meluas.

Mustafa Eskisu (2014)

Metode Penelitian:Kuantitaif (Korelasi-Uji Perbedaan)

Subjek Penelitian:683 orang siswa sekolah menangah.

Pengumpulan data:Skala SARS, FAD & PSSS-R.

Pelaku bullying mempersepsikan diri mereka kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga. Tidak hanya dari keluarga, korban bullying merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan guru

Program pencegahan dan intervensi perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan sosial, baik itu guru, teman sebaya maupun orangtua.

C. Family Function

Salah satu bentuk dukungan sosial yaitu dukungan sosial dari keluarga. Kondisi

keluarga yang harmonis akan memberikan dampak yang positif bagi anggota keluarga

untuk mencapai tujuan bersama. Keluarga yang berfungsi dengan baik sedikit banyak

akan mempengaruhi perkembangan mental dan kepribadian seseorang. Dengan memiliki

hubungan orang tua-anak yang baik dapat membantu anak mengembangkan diri dengan

positif dan baik, baik secara emosional, sosial ataupun kognitif. Dan sebaliknya, hubungan 12

Page 13: terbaru kuanti

orangtua-anak yang negatif dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan diri pada anak,

munculnya karakter anti-sosial, dan ketidak puasan hidup Gulacia (2010)

Menurut Miller dkk (2000) fungsi keluarga dapat digambarkan dengan

kemampuan keluarga dalam enam dimensi. Pertama, penyelesaian masalah, komunikasi,

peran, reponsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku.

Penyelesaian Masalah adalah kemampuan keluarga untuk menemukan jalan keluar

dari masalah yang dihadapi sehingga efektifitas fungsi keluarga dapat terjaga. Masalah

keluarga dapat dibagi menjadi dua macam, instrumental dan afektif. Instrumental meliputi

permasalahan teknis sehari-hari seperti permasalahan keuangan dan pengambilan

keputusan renacana liburan. Sedangkan permasalahan afektif meliputi semua masalah

yang melibatkan perasaan dan emosi.

Komunikasi adalah pola pertukaran informasi dalam sebuah keluarga. Komunikasi

yang dimaksud terbatas pada komunikasi verbal. Komunikasi non-verbal diabaikan karena

besarnya kemungkinan kesalahpahaman yang muncul komunikasi model itu. Terdapat dua

aspek dalam komunikasi ini, kejelasan isi informasi dan kejelasan tujuan informasi

tersebut disampaikan (kepada siapa informasi tersebut ditujukan.

Peran adalah pola perilaku masing-masing anggota dalam melaksanakan fungsi

masing-masing keluarga, dalam bahas lain dapat disebut sebagai tugas-tugas rutin anggota

keluarga. Misalnya siapa yang bertugas memasak, menyapu, membersihkan rumah, dan

merawat taman.

Respon afektif adalah kemampuan keluarga untuk merespon berbagai stimulus

yang muncul dengan emosi atau perasaan yang tepat, baik secara kualitas maupun

kuantitas. Kualitas emosi terkait dengan kesesuaian emosi yang dimunculkan dengan

stimulus dan konteks. Kuantitas emosi terkait dengan tingkatan respon dari kurang

merespon, merespon dengan tepat dan merespon terlalu berlebihan.

Keterlibatan afektif adalah derajat dimana keluarga sebagai satu kesatuan

menunjukkan minat dan menghargai aktivitas dan minat anggota keluarga yang lain.

Keterlibatan ini tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan bersama-sama tetapi

lebih kepada seberapa terlibat anggota keluarga dalam kegiatan yang dilakukan.

Kontrol perilaku adalah pola yang digunakan oleh keluarga untuk menangani

perilaku di tiga macam situasi; situasi yang berbahaya secara fisik, situasi yang 13

Page 14: terbaru kuanti

melibatkan pertemuan dan pengungkapan kebutuhan psikobiologis (makan, tidur, seks,

dan agresi), dan situasi yang melibatkan perilaku sosialisasi interpersonal baik antara

anggota keluarga atau dengan orang lain di luar anggota keluarga.

Peneliti Metode Hasil Saran

Spriggs, (2007) Metode Penelitian:Kuantitatif

Subjek Penelitian:11.033 orang siswa dari seluruh wilayah Amerika Serikan

Komunikasi orangtua-anak dan keterlibatan orangtua dalam urusan sekolah anak memiliki hubungan negatif dengan munculnya perilaku bullying (pelaku maupun korban), artinya semakian baik komunikasi dan keterlibatan orangtua maka semakin rendah kemungkinan munculnya perilaku bullying.

Salah satu sebab intervensi terhadap perilaku bullying kurang mendapatkan hasil yang memuaskan adalah karena selama ini intervensi yang dilakukan hanya berfokus pada hubungan sebaya saja tanpa memperhatikan faktor-faktor yang lain seperti faktor keluarga dan sekolah.

Untuk mengembangkan program pencegahan perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan melibatkan populasi masyarakat secara umum.

Mustafa Eskisu (2014)

Metode Penelitian:Kuantitaif (Korelasi-Uji Perbedaan)

Subjek Penelitian:683 orang siswa sekolah menangah.

Jika keluarga tidak berfungsi dengan baik, terutama dalam komunikasi dan penyelesaian masalah, semakin besar kemungkinan anak menjadi pelaku

Program pencegahan dan intervensi perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan sosial, baik itu guru, teman

14

Page 15: terbaru kuanti

Pengumpulan data:Skala SARS, FAD & PSSS-R.

maupun korban bullying.

Anak yang berada dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan merasa mendapatkan dukungan sosial memiliki kepercayaan diri yang baik dan menjauhi perilaku bullying.

Pelaku bullying memiliki keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang kurang, sedangkan mereka yang menjadi pelaku sekaligus korban berada dalam keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang sangat rendah.

sebaya maupun orangtua.

D. Hubungan perilaku bullying dengan fungsi keluarga dan social support pada remaja.

Perilaku bullying dan hubungan yang mempengaruhinya telah dilakukan uji

keabshannya dibeberapa negara. Kemungkinan individu berperilaku bullying atau menjadi

pelaku bullying dipengaruhi beberapa variable. Variable umum dari penelitian-penelitain

sebelumnya meliputi individu itu sendiri, hubungan keluarga, kelompok teman sebaya,dan

iklim sekolah, dimana memberikan kontribusi pada individu dalam melakukan perilaku

bullying.

Menurut Spriggs dkk (2007) Komunikasi orang tua-anak dan keterlibatan orangtua

dalam urusan sekolah anak memiliki hubungan negatif dengan munculnya perilaku

bullying (pelaku maupun korban), artinya semakian baik komunikasi dan keterlibatan

orangtua maka semakin rendah kemungkinan munculnya perilaku bullying. Salah satu

15

Page 16: terbaru kuanti

sebab intervensi terhadap perilaku bullying kurang mendapatkan hasil yang memuaskan

adalah karena selama ini intervensi yang dilakukan hanya berfokus pada hubungan teman

sebaya saja tanpa memperhatikan faktor-faktor yang lain seperti faktor keluarga dan

sekolah. Sedangkan Hayati (2012) menjelaskan bahwa latar belakang para pelaku bullying

memiliki kekhasan, banyak di antara mereka orang tuanya tidak memperikan panduan

atau bimbingan yang cukup mengenai perilaku positif. Pola asuh yang terlalu permisif,

terlalu keras, atau tidak konsisten dalam menjalankan disiplin juga berpengaruh dalam

pembentukan seorang anak memiliki kecenderungan melakukan bullying terhadap anak

lain.

Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian Eskisu (2014) di negara turki yaitu

apabila keluarga tidak berfungsi dengan baik, terutama dalam komunikasi dan

penyelesaian masalah, semakin besar kemungkinan anak menjadi pelaku maupun korban

bullying. Anak yang berada dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan merasa

mendapatkan dukungan sosial memiliki kepercayaan diri yang baik dan menjauhi perilaku

bullying. Pelaku bullying memiliki keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan

dukungan sosial yang kurang, sedangkan mereka yang menjadi pelaku sekaligus korban

berada dalam keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang

sangat rendah.

Kerangka konseptual

16

Dukungan sosial

Perilaku bullying

Fungsi keluarga

Page 17: terbaru kuanti

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan perilaku bullying dengan dukungan

sosial dan fungsi keluarga pada remaja pelaku bullying. Ada hubungan perilaku bullying

dengan dukung sosial pada remaja pelaku bullying. Ada hubungan perilaku bullying

dengan fungsi keluarga pada remaja pelaku bullying.

17

Page 18: terbaru kuanti

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelatif. Penelitian kuantatif

korelatif adalah penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan hubungan dua atau lebih

variabel atau objek penelitian. Penelitian model ini dilakukan untuk membandingkan

persamaan dan perbedaan dari variabel-variabel penelitian. Pendekatan penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif survei. Metode survei adalah

penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan

mencari keterangan-keterangan secara faktual. Baik tentang institusi sosial,ekonomi atau

politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir : 2005). Pada penelitian kuatitatif

survei memiliki ciri yaitu menitikberatkan pada penelitian korelasional yaitu mempelajari

hubungan-hubungan variabel-variabel, sehingga secara langsung atau tidak langsung

hipotesa penelitian senantiasa dipertanyakan (Singarimbun, 1988)

B. Variabel penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini :

1. Variabel bebas atau variabel independen adalah variabel yang dipandang

sebagai sebab kemunculan variabel terikat yang diduga merupakan akibatnya

(Kerlinger, 2006). Variabel bebas ini nilainya dapat dimanipulasi untuk

memprediksikan hubungan sebab akibat antara variabel independen dan

variabel dependen. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Dukungan sosial

(Perceived Social Support) (X1) dan juga Familly Function (Fungsi Keluarga)

(X2).

2. Variabel Variabel terikat atau variabel dependen adalah variabel yang diamati

variasinya sebagai hasil yang diasumsikan berasal dari variabel bebas

(Kerlinger, 2006). Variabel terikat yang didefinisikan sebagai variabel perilaku

ini, didesain untuk mengukur efek dari variabel bebas. Variabel ini tidak

dimanipulasi, melainkan bervariasi mengikuti perubahan atau mengikuti variasi

dari variabel bebas sebagai dampak dari manipulasi terhadap variabel tersebut

(Kerlinger, 2006). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku

bullying(Y).

18

Page 19: terbaru kuanti

Maka variabel-variabel dalam penelitian ini :

a) Variabel tergantung Y (Dependent Variable) adalah perilaku Bullying.

b) Variabel bebas X1 (Independent Variable) adalah Dukungan sosial (Perceived

Social Support)

c) Variabel bebas X2 (Independent Variable) adalah Familly Function (Fungsi

Keluarga)

C. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Peneltian

1. Perilaku bullying

a) Definisi konseptual

Bullying merupakan perilaku-perilaku membahayakan dan disengaja

dilakukan berulang-ulang oleh satu atau beberapa siswa terhadap siswa yang

lebih lewah (Olweus dalam Eskisu, 2014).

b) Definisi operasional

Perilaku bullying merupakan skor total yang diperoleh oleh individu

dengan memberikan hasil self-report terhadap alat ukur Student relationship

attitude Scale (SRAS) dikembangkan oleh Koc (2006) Terdiri atas 21

pertanyaan dan 3 subskala tentang “bullying personality” (kepribadian

mem-bully), “self-confidence” (kepercayaan diri) dan “avoidance from

bullying” (menghindari bullying).

Blueprint

No

.

Dimensi Item Contoh item

1. Bullying Fisik 2, 4, 6, 9, 13, 15, 17, 20

Memukul teman dengan menggunakan

benda (2)

2 Bullying Verbal 1, 5, 8, 10, 12, 14, 18, 21

Membentak dan memaki-maki dengan

kasar (5)

3. Relational bullying 3, 7, 11, 16, 19 Mengucilkan orang yang tidak disukai

(7)

2. Dukungan Sosial (Perceived Social Support)

a) Definisi konseptual

Perceived social support dianggap sebagai bagian kognisi dukungan

sosial dimana penerimaan individu apakah dia dicintai dan dihargai oleh

orang lain (Gulacti, 2010). Menurut Adler dkk (2012) model perceived

19

Page 20: terbaru kuanti

social support bisa berasal dari dukungan sosial keluarga, teman, dan

signifikan other yaitu guru atau teman kelas

b) Definisi operasional

Perceived social support merupakan skor total yang diperoleh oleh

individu dengan memberikan hasil self report terhadap alat ukur MSPSS

yang telah digunakan oleh Chou, 2000; Lai et al., 1996. Terdiri atas 12

pertanyaan dan 3 poin dari subskala dukungan social yaitu keluarga, teman

dan guru.

Blue print MSPSS

No

.

Dimensi Item Contoh item

1. Keluarga 3, 4, 8, 11 Keluarga saya benar-benar mencoba

untuk membantu saya (3)

2 Teman 6, 7, 9, 12 Saya akan berbicara tentang masalah

saya dengan teman-teman saya (12)

3. Signifikan other

(orang spesial)

1, 2, 5, 10 Ada orang khusus (spesial) di sekitar

saya ketika saya membutuhkannya

3. Familly Function (Fungsi Keluarga)

a) Definisi konseptual

Menurut Miller dkk (2000) fungsi keluarga dapat digambarkan

dengan kemampuan keluarga dalam enam dimensi. Pertama, penyelesaian

masalah, komunikasi, peran, reponsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan

kontrol perilaku.

b) Definisi Operasional

Familly Function (Fungsi Keluarga) skor total yang diperoleh oleh

individu dengan memberikan hasil self report terhadap alat ukur Family

assessment devise (FAD) dikembangkan oleh Epstein, Boldwin dan Bishop

(1983) Terdiri atas 53 pertanyaan dan 7 subskala; penyelesaian masalah,

komunikasi, peran, reponsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol

perilaku.

20

Page 21: terbaru kuanti

Blue print FAD

No

.

Dimensi Item Contoh item

1. Penyelesaian masalah 1, 8, 15, 22, 29 Kami mencoba memikirkan berbagai

cara untuk menyelesaikan masalah (29)

2 Komunikasi 2, 9, 16, 23, 30,

37

Di dalam keluarga, kami berterus

terang terhadap satu sama lain (23)

3. Peran keluarga 3, 10, 17, 24, 31,

38, 44, 48

Kami memastikan setiap anggota

keluarga menjalankan tanggung jawab

masing-masing (10)

4. Responsivitas afektif 4, 11, 18, 25, 32,

40

Saya merasa, keluarga saya sulit

menunjukkan kasih sayang kepada satu

sama lain (4)

5. Keterlibatan afektif 5, 12, 19, 26, 33,

41, 45

Menurut saya, anggota keluarga saya

terlalu memikirkan diri sendiri (19)

6. Kontrol perilaku 6, 13, 20, 27, 34,

42, 46, 49, 51

Di dalam keluarga saya, kami dapat

dengan mudah melanggar aturan (6)

7. Fungsi Umum 7, 14, 21, 28, 35,

36, 39, 43, 47, 50,

52, 53

Dalam keluarga saya, setiap individu

diterima apa adanya (28)

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII MTsN Bangkalan, berjenis

kelamin laki-laki dan perempuan dengan total 105 siswa.

E. Teknik Pengambilan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode survei dengan

menggunakan angket sebagai alat pengumpulan data. Pemberian angket dilakukan

dengan pertimbangan agar subjek bisa memberikan jawaban sendiri terkait dirinya

sendiri sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, atau disebut juga self-

report.

Skala yang akan digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini

merupakan skala yang diadaptasi dari beberapa penelitian terdahulu. Skala-skala

tersebut adalah:

21

Page 22: terbaru kuanti

1. Student Relationship Attitude Scale (SRAS). Skala ini digunakan untuk

mengumpulkan data mengenai perilaku bullying subjek penelitian. Sakal ini

dikembangkan oleh Koc (2006) dan terdiri atas 21 pertanyaan dan 3

subskala tentang “bullying personality” (kepribadian mem-bully), “self-

confidence” (kepercayaan diri) dan “avoidance from bullying” (menghindari

bullying).

2. MSPSS merupakan skala Perceived social support yang diperoleh oleh

individu dengan memberikan hasil self report terhadap alat ukur MSPSS

yang telah digunakan oleh Chou, 2000; Lai et al., 1996. Terdiri atas 12

pertanyaan dan 3 poin dari subskala dukungan social yaitu keluarga, teman

dan guru.

3. Family Assessment Devise (FAD.) Skala ini digunakan untuk mengukur

fungsi keluarga (family function). Skala ini dikembangkan oleh Epstein,

Boldwin dan Bishop (1983) dan terdiri atas 63 pertanyaan dan 7 subskala;

penyelesaian masalah, komunikasi, peran, reponsivitas afektif, keterlibatan

afektif, dan kontrol perilaku.

Selain skala tersebut, untuk mendapatkan gambaran hasil penelitian yang lebih

baik dan untuk keperluan analisa hasil penelitian, data-data demografis subjek seperti

usia, jenis kelamin, dan keadaan keluarga juga dikumpulkan.

F. Uji Instrumen (Uji Validitas dan Reliabilitas Skala)

1. Validitas Alat Skala

Sebelum data dari angket diisi korelasinya, terlebih dahulu akan dilakukan

uji validitas angket dengan menggunakan inter-item correlation validity antara

dimensi-dimensi yang diukur dengan variabel masing-masing. Uji validitas ini

dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing aitem dari dimensi-dimensi

yang ada mengukur satu variabel yang sama atau tidak. Uji validitas ini dilakukan

dengan menggunakan bantuan software SPSS for Windows version 16.0.

2. Reliabilitas Alat Skala

Guna memastikan konsistensi, kemantapan dan stabilitas ukur skala

penelitian ini perlu dlakukan uji realibilitas alat ukur. Uji reliabilitas dilakukan

dengan menggunakan uji internal consistency atau Cronbach Alpha. Koefisien

alpha bergerak antara 0 hingga 1. Semakin besar koefisien alpha yang dihasilkan

artinya skala yang diuji semakin mantap dan stabil dalam mengukur variabel yang

22

Page 23: terbaru kuanti

dimaksud. Uji internal consistency dilakukan dengan bantuan SPSS for Windows

version 16.0.

G. Uji Asumsi dan Hipotesis

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

regresi berganda. Sebelum melakukan analisis data, terdapat beberapa uji asumsi yang

perlu dilakukan yaitu Normalitas, Multikolinieritas, Heteroskedastisitas, dan

Autokorelasi. Analisis data dan uji asumsi dilakukan dengan menggunakan bantuan

program komputer SPSS for Windows version 16.0.

23

Page 24: terbaru kuanti

Daftar Pustaka

Craig, W. M., Pepler, D., & Atlas, R. (2000). Observations of Bullying in the Playground and in the Classroom. School Psychology International , 21 (1), 22-36.

Hafsah, Budi Argiati. (2010). Studi Kasus Perilaku Bullying Pada Siswa SMA Di Kota Yogyakarta dalam jurnal Penelitian Bappabeda Kota Yogyakarta, Vol 5, 54-62.

Long, T., & Alexander, K. (2010). Bullying: Dilemmas, Definitions, and Solutions.Contemporary Issues in Education Research , 3 (2), 29-34.

Olweus, D. (1993). Bullying at School: What We Know and What We Can Do Understanding Children's Worlds. Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publisher Inc.

Bauman, S., & Del Rio, A. (2005). Knowledge and Beliefs about Bullying in School. School Psychology International , 26 (4), 428-442.

Levianti, (2008). Konformitas Dan Bullying Pada Siswa. Jurnal Psikologi Vol 6 No 1, 1-9.

Sari, Anita, Adi Heryanto & Spriyono M (...). Deskripsi Tentang Bullying Pada Remaja Di SMP Setiabudi Berdasarkan Dukungan Keluarga.

Rohmah, Siti Nurhayati, (2006). Pentingnya Dukungan Sosial Untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Masalah Bagi Korban. Dalam Seminar Nasional “Perempuan dan Isu Gender”

Eskisu, Mustafa (2014).The Relationship between Bullying, Family Functions and Perceived Social Support Among High School Students. Procedia - Social and Behavioral Sciences. (159), 492 - 496

Glumbic, Nenad & Zunic, Vesna (2010). Bullying behavior in children with intellectual disability. Procedia - Social and Behavioral Science. ( 2 ) 2784-2788.

Gülaçti, Fikret (2010) The Effect Of Perceived Social Support On Subjective Well-Being. Procedia - Social and Behavioral Science. ( 2 ) 3844-3849.

Singarimbun, M & Effendi, S. (1988). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.Nizar, Moh (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.Shahyad, Shima (2011). Dimensions of using Short Message Service and Perceived

Social. Procedia - Social and Behavioral Science. (15) 2421-2425.Adler, Carmen dkk (2012). Perceived Social Support and Perceived Self-Efficacy

during Adolescence. Procedia - Social and Behavioral Science. (8) 275 - 279.

Karakus, Ozlem dkk (2014). The relationship between types of humor and perceived social support among adolescents. Procedia - Social and Behavioral Sciences. (152) 1194 – 1200.

Miller, Ivan dkk (2000). The Mcmaster Approach to families: theory, assesment, treatment and research. Journal of family therapi (22) 168-189.

Hidayati, Nurul (2012) Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi. INSAN Vol. No. 01

Kerlinger, F.N. (2006). Azas-Azas Penelitian Behavioural Edisi Ketiga (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

24