BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus beredarnya video kekerasan sejumlah siswa di salah satu Sekolah Dasar Swasta di Kota Bukit tinggi Sumatera Barat. Dalam video yang diunggah di jejaring youtube tersebut tampak seorang siswi berpakaian seragam SD dan berjilbab berdiri di pojok ruangan. Sementara beberapa siswa termasuk siswi lainnya secara bergantian melakukan pemukulan dan tendangan. Sang siswi yang menjadi obyek kekerasan tersebut tampak tidak berdaya/ pasrah dan menangis menerima perlakuan kasar teman-temannya itu. Tampak pula adegan tendangan salah seorang siswa yang dilakukan sambil melompat bak aktor laga. Di sela-sela penyiksaan, ada juga siswa yang tertawa-tawa sambil menghadap kamera dan terdengar pula ungkapan dalam bahasa minang yang meminta agar aksi tersebut dihentikan. (sumber:http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan- pendidikan-karakter) Kemudian Kasus bullying dengan kekerasan terjadi di Sumbar. Kali ini bullying menimpa seorang siswa SMP di salah satu sekolah di Kota Padang pada hari kamis (12/3). Akibat dari bullying yang ia terima, korban pun mengalami pecah pembuluh darah di bagian kepala belakangnya sehingga mengalami pendarahan dan harus menjalani operasi. Kejadian berawal saat sepulang sekolah korban bernama FA (14) dimintai uang sebesar Rp 1000 oleh KV (14). Namun FA menolak memberikan uang kepada KV. Kemudian KV pun memukul FA, dan FA 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus beredarnya video kekerasan sejumlah siswa di salah satu Sekolah Dasar
Swasta di Kota Bukit tinggi Sumatera Barat. Dalam video yang diunggah di jejaring
youtube tersebut tampak seorang siswi berpakaian seragam SD dan berjilbab berdiri di
pojok ruangan. Sementara beberapa siswa termasuk siswi lainnya secara bergantian
melakukan pemukulan dan tendangan. Sang siswi yang menjadi obyek kekerasan tersebut
tampak tidak berdaya/ pasrah dan menangis menerima perlakuan kasar teman-temannya
itu. Tampak pula adegan tendangan salah seorang siswa yang dilakukan sambil melompat
bak aktor laga. Di sela-sela penyiksaan, ada juga siswa yang tertawa-tawa sambil
menghadap kamera dan terdengar pula ungkapan dalam bahasa minang yang meminta agar
menyebarkan gosip. Ketiga, perilaku non-verbal langsung antara lain melihat dengan
sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau
mengancam, biasanya disertai bullying fisik atau verbal. Keempat, Perilaku non-verbal
tidak langsung dengan mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga
menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
8
Kelima, Pelecehan Seksual, kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal
(Riauskina dkk, 2005 dalam Budi, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan terkena Bullying Pepler dan
Craig, 1989 dalam Budi 2010) adalah pertama, faktor internal. Secara internal, anak-
anak yang rentan menjadi korban bullying biasanya memiliki temperamen pencemas,
cenderung tidak menyukai situasi sosial, atau memiliki karakteristik fisik khusus
pada dirinya yang tidak terdapat pada anak-anak lain, seperti warna rambut atau kulit
yang berbeda atau kelainan fisik lainnya. Kedua, faktor eksternal yaitu anak yang pada
umumnya berasal dari keluarga yang overprotektif, sedang mengalami masalah keluarga
yang berat, dan berasal dari strata ekonomi/kelompok sosial yang terpinggirkan atau
dipandang negatif oleh lingkungan.
Penelitian terdahulu terkait dengan bullying
Peneliti Metode Hasil Saran
Nenad Glumbic & Vesna Zunic-Palvovic (2010)
Metode Kuantitatif (Korelatif)
Subjek adalah 61 siswa dengan disabilitas intelektual
Meski dengan disabilitas, Sekitar 18% dari siswa dengan disabilitas ini juga terlibat dalam perilaku bullying (6 orang pelaku bullying, 4 orang korban bullying dan 1 orang pelaku/korban bullying)
Penanganan perilaku bullying perlu untuk dilakukan disemua sekolah tanpa memandang tipe sekolah (di sekolah umum, sekolah khusus, dan sekolah inklusif)
Hulya Karatas & Candan Ozturk (2011)
Metode Kuantitatif (Korelatif)
Siswa yang mempunyai skor tinggi sebagai korban bullying sering mengalami permasalahan kesehatan seperti sakit kepala, merasa tidak nyaman, menangis terus-terusan, grogi, gangguan tidur, pusing.
Sedangkan siswa yang memiliki skor tinggi sebagai pelaku bullying hanya mengalami gangguan nafsu makan saja
Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan berdasarkan tipe bullying dan jenis kelamin. Selain itu, siswa, orangtua dan guru sebaiknya dilibatkan secara bersamaan.
Penelitian dalam skala besar sebaiknya melibatkan sampel yang besar meliputi pelaku, korban, korban-pelaku dan by-standers (penonton).
Wendy M. Craig, Debra Pepler & Rona
Metode Kuantitatif
Perilaku bullying yang paling banyak muncul baik di kelas atau di tempat
Untuk memperkuat temuan ini dan mendalami mengenai faktor-faktor yang berhubungan
9
Atlas (2000) Pengumpulan data menggunakan metode observasi dan rating, sedangkan analisa data menggunakan inter-rater agreement
Sampel penelitian berjumlah 34 siswa kelas 1-6 (24 laki-laki, 10 perempuan).
bermain adalah verbal bullying.
Pelaku secara umum hanya melakukan bullying kepada siswa lain yang satu jenis kelamin.
Perilaku bullying yang terjadi di kelas lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, sedangkan di tempat bermain tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Teman sebaya dapat menjadi penguat dan juga pencegah munculnya perilaku bullying, terutama di luar kelas.
dengan bullying, penelitian selanjutnya dilakukan dapat dengan mengggabungkan metode observasi serta self-report.
Sharyn Burns, Bruce Maycock, Donna Cross & Graham Brown (2008)
Metode penelitian kualitatif.
Subjek penelitian berjumlah 51 orang siswa kelas 7 dari 15 sekolah di Perth Australia.
Tekanan dari sebaya untuk konformitas kelompok mendorong dan menguatkan perilaku bullying. Bahkan untuk tetap diterima dalam kelompoknya, beberapa siswa merasa perlu untuk melakukan bullying kepada siswa lain.
Untuk menurunkan munculnya perilaku bullying perlu dilakukan beberapa hal antara lain edukasi seputar bullying bagi guru dan orangtua, dan program pencegahan harus terencana dan evidence-based.
B. Perceived Social Support
Usia remaja secara umum adalah usia yang labil dan rentan, dimana pada usia
tersebut masa mereka berusaha untuk mencari identitas diri (jati diri) dan mudah menerima
serta menyerap informasi dari luar dirinya. Remaja sangat membutuhkan dukungan dari
lingkungannya. Dukungan dari luar yaitu dukungan sosial baik berupa perhatian, motivasi,
penghargaan, cinta dan kasih sayang sehingga individu akan merasa diterima, dihargai,
diperhatikan di lingkungan tempat tinggalnya. Dukungan sosial adalah informasi yang
diperoleh individu dipercayai bahwa dia dicintai, dihargai dan memiliki hubungan yang
saling keterikatan (Also Cobb, 1976 dalam Gulati 2010). Sedangkan menurut Gulati
(2010) bahwa dukungan sosial dapat didefinisikan sebagai dukungan yang didapatkan dari
10
keluarga, teman, tetangga dan lembaga yang bergerak di bidang psikologi yang membantu
individu dalam aspek afektif, fisik maupun kognitif. Dukungan sosial didefinisikan sebagai
keberadaan orang yang dapat diandalkan, orang yang peduli, menghargai dan mencintai
kita Sarason, dkk (1983). Karakus dkk (2014) menjelaskan dukungan sosial didefinisikan
sebagai bantuan yang didapatkan dari orang-orang yang berada di sekitar kita.
Dari beberapa definisi para tokoh diatas dapat disimpulkan dukungan sosial
merupakan kenyamanan fisik atau psikologis yang diterima individu, baik berupa bantuan,
kasih sayang, perhatian, penghargaan, cinta dan lain-lain dari orang lain maupun
kelompok.
Dalam penelitian Shahyad dkk (2011) menjelaskan dukungan sosial dibagi menjadi
dua bagian yaitu received social support dan preceived social support. Received sosial
support dianggap sebagai bagian perilaku dukungan sosial karena ketergantungan pada
interaksi dengan orang lain sedangkan preceived social support dianggap sebagai bagian
kognisi dukungan sosial dimana penerimaan individu apakah dia dicintai dan dihargai oleh
orang lain (Gulacti, 2010).
Menurut Adler dkk (2012) model preceived social support bisa berasal dari
dukungan sosial keluarga, teman, dan signifikan other yaitu guru atau teman kelas.
Dukungan sosial (perceived sosial support) terdiri dari tiga dimensi, dukungan sosial dari
keluarga, dukungan dari teman dan dukungan sosial dari significant others (orang-orang
terdekat). Dengan kata lain perceived social support merupakan persepsi atau penilaian
seseorang terhadap dukungan yang diperoleh dari orang lain atau kelompok.
Menurut Karakus dkk (2014) dukungan sosial terdiri dari empat jenis. Pertama,
dukungan emosional yaitu jenis dukungan dimana individu mengalami perasaan seperti,
dicintai, dihargai, empati, peduli, diterima dan diperhatikan. Kedua, Dukungan instrumen
yaitu jenis dukungan dimana individu mendapatkan sesuatu yang nyata, berupa finansial,
bantuan dan pendidikan. Ketiga dukungan informasi yaitu dukungan dimana individu
mendapatkan berupa saran, nasehat dan bimbingan dalam mengambil keputusan. Keempat,
dukungan umum yaitu dukungan dimana individu mengabiskan waktu luang dengan
bersenang-senang, santai dan mempererat hubungan sosialnya.
11
Peneiltian terkait perceived social support dengan perilaku Bullying:
Peneliti Metode Hasil Saran
Catherein Rothon, Jenny Head, Emily Klineberg, & Stephen Stansfeld (2011)
Subjek Penelitian:2790 orang siswa kelas 7 dan kelas 9.
Pengumpulan data pertama pada tahun 2001 dan yang kedua pada tahun 2003.
Mereka yang memiliki dukungan sosial yang tinggi memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk terkena sindrom depresi.
Dukungan dari teman dan keluarga dapat melindungi korban bullying dari rendahnya performa akademik dan perasaan depressif.
Meski demikian, dukungan dari teman dan keluarga tidak dapat mencegah munculnya dampak negatif bullying pada korban.
Perlu disusun strategi untuk mengatasi masalah bullying sebelum berdampak pada hal-hal yang lebih serius. Selain itu juga perlu dilakukan intervensi sedari dini dan meluas.
Mustafa Eskisu (2014)
Metode Penelitian:Kuantitaif (Korelasi-Uji Perbedaan)
Subjek Penelitian:683 orang siswa sekolah menangah.
Pengumpulan data:Skala SARS, FAD & PSSS-R.
Pelaku bullying mempersepsikan diri mereka kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga. Tidak hanya dari keluarga, korban bullying merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan guru
Program pencegahan dan intervensi perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan sosial, baik itu guru, teman sebaya maupun orangtua.
C. Family Function
Salah satu bentuk dukungan sosial yaitu dukungan sosial dari keluarga. Kondisi
keluarga yang harmonis akan memberikan dampak yang positif bagi anggota keluarga
untuk mencapai tujuan bersama. Keluarga yang berfungsi dengan baik sedikit banyak
akan mempengaruhi perkembangan mental dan kepribadian seseorang. Dengan memiliki
hubungan orang tua-anak yang baik dapat membantu anak mengembangkan diri dengan
positif dan baik, baik secara emosional, sosial ataupun kognitif. Dan sebaliknya, hubungan 12
orangtua-anak yang negatif dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan diri pada anak,
munculnya karakter anti-sosial, dan ketidak puasan hidup Gulacia (2010)
Menurut Miller dkk (2000) fungsi keluarga dapat digambarkan dengan
kemampuan keluarga dalam enam dimensi. Pertama, penyelesaian masalah, komunikasi,
peran, reponsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku.
Penyelesaian Masalah adalah kemampuan keluarga untuk menemukan jalan keluar
dari masalah yang dihadapi sehingga efektifitas fungsi keluarga dapat terjaga. Masalah
keluarga dapat dibagi menjadi dua macam, instrumental dan afektif. Instrumental meliputi
permasalahan teknis sehari-hari seperti permasalahan keuangan dan pengambilan
keputusan renacana liburan. Sedangkan permasalahan afektif meliputi semua masalah
yang melibatkan perasaan dan emosi.
Komunikasi adalah pola pertukaran informasi dalam sebuah keluarga. Komunikasi
yang dimaksud terbatas pada komunikasi verbal. Komunikasi non-verbal diabaikan karena
besarnya kemungkinan kesalahpahaman yang muncul komunikasi model itu. Terdapat dua
aspek dalam komunikasi ini, kejelasan isi informasi dan kejelasan tujuan informasi
tersebut disampaikan (kepada siapa informasi tersebut ditujukan.
Peran adalah pola perilaku masing-masing anggota dalam melaksanakan fungsi
masing-masing keluarga, dalam bahas lain dapat disebut sebagai tugas-tugas rutin anggota
keluarga. Misalnya siapa yang bertugas memasak, menyapu, membersihkan rumah, dan
merawat taman.
Respon afektif adalah kemampuan keluarga untuk merespon berbagai stimulus
yang muncul dengan emosi atau perasaan yang tepat, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Kualitas emosi terkait dengan kesesuaian emosi yang dimunculkan dengan
stimulus dan konteks. Kuantitas emosi terkait dengan tingkatan respon dari kurang
merespon, merespon dengan tepat dan merespon terlalu berlebihan.
Keterlibatan afektif adalah derajat dimana keluarga sebagai satu kesatuan
menunjukkan minat dan menghargai aktivitas dan minat anggota keluarga yang lain.
Keterlibatan ini tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan bersama-sama tetapi
lebih kepada seberapa terlibat anggota keluarga dalam kegiatan yang dilakukan.
Kontrol perilaku adalah pola yang digunakan oleh keluarga untuk menangani
perilaku di tiga macam situasi; situasi yang berbahaya secara fisik, situasi yang 13
melibatkan pertemuan dan pengungkapan kebutuhan psikobiologis (makan, tidur, seks,
dan agresi), dan situasi yang melibatkan perilaku sosialisasi interpersonal baik antara
anggota keluarga atau dengan orang lain di luar anggota keluarga.
Peneliti Metode Hasil Saran
Spriggs, (2007) Metode Penelitian:Kuantitatif
Subjek Penelitian:11.033 orang siswa dari seluruh wilayah Amerika Serikan
Komunikasi orangtua-anak dan keterlibatan orangtua dalam urusan sekolah anak memiliki hubungan negatif dengan munculnya perilaku bullying (pelaku maupun korban), artinya semakian baik komunikasi dan keterlibatan orangtua maka semakin rendah kemungkinan munculnya perilaku bullying.
Salah satu sebab intervensi terhadap perilaku bullying kurang mendapatkan hasil yang memuaskan adalah karena selama ini intervensi yang dilakukan hanya berfokus pada hubungan sebaya saja tanpa memperhatikan faktor-faktor yang lain seperti faktor keluarga dan sekolah.
Untuk mengembangkan program pencegahan perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan melibatkan populasi masyarakat secara umum.
Mustafa Eskisu (2014)
Metode Penelitian:Kuantitaif (Korelasi-Uji Perbedaan)
Subjek Penelitian:683 orang siswa sekolah menangah.
Jika keluarga tidak berfungsi dengan baik, terutama dalam komunikasi dan penyelesaian masalah, semakin besar kemungkinan anak menjadi pelaku
Program pencegahan dan intervensi perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan sosial, baik itu guru, teman
14
Pengumpulan data:Skala SARS, FAD & PSSS-R.
maupun korban bullying.
Anak yang berada dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan merasa mendapatkan dukungan sosial memiliki kepercayaan diri yang baik dan menjauhi perilaku bullying.
Pelaku bullying memiliki keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang kurang, sedangkan mereka yang menjadi pelaku sekaligus korban berada dalam keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang sangat rendah.
sebaya maupun orangtua.
D. Hubungan perilaku bullying dengan fungsi keluarga dan social support pada remaja.
Perilaku bullying dan hubungan yang mempengaruhinya telah dilakukan uji
keabshannya dibeberapa negara. Kemungkinan individu berperilaku bullying atau menjadi
pelaku bullying dipengaruhi beberapa variable. Variable umum dari penelitian-penelitain
sebelumnya meliputi individu itu sendiri, hubungan keluarga, kelompok teman sebaya,dan
iklim sekolah, dimana memberikan kontribusi pada individu dalam melakukan perilaku
bullying.
Menurut Spriggs dkk (2007) Komunikasi orang tua-anak dan keterlibatan orangtua
dalam urusan sekolah anak memiliki hubungan negatif dengan munculnya perilaku
bullying (pelaku maupun korban), artinya semakian baik komunikasi dan keterlibatan
orangtua maka semakin rendah kemungkinan munculnya perilaku bullying. Salah satu
15
sebab intervensi terhadap perilaku bullying kurang mendapatkan hasil yang memuaskan
adalah karena selama ini intervensi yang dilakukan hanya berfokus pada hubungan teman
sebaya saja tanpa memperhatikan faktor-faktor yang lain seperti faktor keluarga dan
sekolah. Sedangkan Hayati (2012) menjelaskan bahwa latar belakang para pelaku bullying
memiliki kekhasan, banyak di antara mereka orang tuanya tidak memperikan panduan
atau bimbingan yang cukup mengenai perilaku positif. Pola asuh yang terlalu permisif,
terlalu keras, atau tidak konsisten dalam menjalankan disiplin juga berpengaruh dalam
pembentukan seorang anak memiliki kecenderungan melakukan bullying terhadap anak
lain.
Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian Eskisu (2014) di negara turki yaitu
apabila keluarga tidak berfungsi dengan baik, terutama dalam komunikasi dan
penyelesaian masalah, semakin besar kemungkinan anak menjadi pelaku maupun korban
bullying. Anak yang berada dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan merasa
mendapatkan dukungan sosial memiliki kepercayaan diri yang baik dan menjauhi perilaku
bullying. Pelaku bullying memiliki keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan
dukungan sosial yang kurang, sedangkan mereka yang menjadi pelaku sekaligus korban
berada dalam keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang
sangat rendah.
Kerangka konseptual
16
Dukungan sosial
Perilaku bullying
Fungsi keluarga
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan perilaku bullying dengan dukungan
sosial dan fungsi keluarga pada remaja pelaku bullying. Ada hubungan perilaku bullying
dengan dukung sosial pada remaja pelaku bullying. Ada hubungan perilaku bullying
dengan fungsi keluarga pada remaja pelaku bullying.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelatif. Penelitian kuantatif
korelatif adalah penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan hubungan dua atau lebih
variabel atau objek penelitian. Penelitian model ini dilakukan untuk membandingkan
persamaan dan perbedaan dari variabel-variabel penelitian. Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif survei. Metode survei adalah
penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan
mencari keterangan-keterangan secara faktual. Baik tentang institusi sosial,ekonomi atau
politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir : 2005). Pada penelitian kuatitatif
survei memiliki ciri yaitu menitikberatkan pada penelitian korelasional yaitu mempelajari
hubungan-hubungan variabel-variabel, sehingga secara langsung atau tidak langsung
Selain skala tersebut, untuk mendapatkan gambaran hasil penelitian yang lebih
baik dan untuk keperluan analisa hasil penelitian, data-data demografis subjek seperti
usia, jenis kelamin, dan keadaan keluarga juga dikumpulkan.
F. Uji Instrumen (Uji Validitas dan Reliabilitas Skala)
1. Validitas Alat Skala
Sebelum data dari angket diisi korelasinya, terlebih dahulu akan dilakukan
uji validitas angket dengan menggunakan inter-item correlation validity antara
dimensi-dimensi yang diukur dengan variabel masing-masing. Uji validitas ini
dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing aitem dari dimensi-dimensi
yang ada mengukur satu variabel yang sama atau tidak. Uji validitas ini dilakukan
dengan menggunakan bantuan software SPSS for Windows version 16.0.
2. Reliabilitas Alat Skala
Guna memastikan konsistensi, kemantapan dan stabilitas ukur skala
penelitian ini perlu dlakukan uji realibilitas alat ukur. Uji reliabilitas dilakukan
dengan menggunakan uji internal consistency atau Cronbach Alpha. Koefisien
alpha bergerak antara 0 hingga 1. Semakin besar koefisien alpha yang dihasilkan
artinya skala yang diuji semakin mantap dan stabil dalam mengukur variabel yang
22
dimaksud. Uji internal consistency dilakukan dengan bantuan SPSS for Windows
version 16.0.
G. Uji Asumsi dan Hipotesis
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
regresi berganda. Sebelum melakukan analisis data, terdapat beberapa uji asumsi yang
perlu dilakukan yaitu Normalitas, Multikolinieritas, Heteroskedastisitas, dan
Autokorelasi. Analisis data dan uji asumsi dilakukan dengan menggunakan bantuan
program komputer SPSS for Windows version 16.0.
23
Daftar Pustaka
Craig, W. M., Pepler, D., & Atlas, R. (2000). Observations of Bullying in the Playground and in the Classroom. School Psychology International , 21 (1), 22-36.
Hafsah, Budi Argiati. (2010). Studi Kasus Perilaku Bullying Pada Siswa SMA Di Kota Yogyakarta dalam jurnal Penelitian Bappabeda Kota Yogyakarta, Vol 5, 54-62.
Long, T., & Alexander, K. (2010). Bullying: Dilemmas, Definitions, and Solutions.Contemporary Issues in Education Research , 3 (2), 29-34.
Olweus, D. (1993). Bullying at School: What We Know and What We Can Do Understanding Children's Worlds. Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publisher Inc.
Bauman, S., & Del Rio, A. (2005). Knowledge and Beliefs about Bullying in School. School Psychology International , 26 (4), 428-442.
Levianti, (2008). Konformitas Dan Bullying Pada Siswa. Jurnal Psikologi Vol 6 No 1, 1-9.
Sari, Anita, Adi Heryanto & Spriyono M (...). Deskripsi Tentang Bullying Pada Remaja Di SMP Setiabudi Berdasarkan Dukungan Keluarga.
Rohmah, Siti Nurhayati, (2006). Pentingnya Dukungan Sosial Untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Masalah Bagi Korban. Dalam Seminar Nasional “Perempuan dan Isu Gender”
Eskisu, Mustafa (2014).The Relationship between Bullying, Family Functions and Perceived Social Support Among High School Students. Procedia - Social and Behavioral Sciences. (159), 492 - 496
Glumbic, Nenad & Zunic, Vesna (2010). Bullying behavior in children with intellectual disability. Procedia - Social and Behavioral Science. ( 2 ) 2784-2788.
Gülaçti, Fikret (2010) The Effect Of Perceived Social Support On Subjective Well-Being. Procedia - Social and Behavioral Science. ( 2 ) 3844-3849.
Singarimbun, M & Effendi, S. (1988). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.Nizar, Moh (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.Shahyad, Shima (2011). Dimensions of using Short Message Service and Perceived
Social. Procedia - Social and Behavioral Science. (15) 2421-2425.Adler, Carmen dkk (2012). Perceived Social Support and Perceived Self-Efficacy
during Adolescence. Procedia - Social and Behavioral Science. (8) 275 - 279.
Karakus, Ozlem dkk (2014). The relationship between types of humor and perceived social support among adolescents. Procedia - Social and Behavioral Sciences. (152) 1194 – 1200.
Miller, Ivan dkk (2000). The Mcmaster Approach to families: theory, assesment, treatment and research. Journal of family therapi (22) 168-189.
Hidayati, Nurul (2012) Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi. INSAN Vol. No. 01
Kerlinger, F.N. (2006). Azas-Azas Penelitian Behavioural Edisi Ketiga (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.