TERAPI NON HORMONAL PADA KONTRASEPSI HORMONAL DAN NON HORMONAL YANG MENGALAMI PENDARAHAN UTERUS ABNORMAL Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD). (1) 1. Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk mencegah kehilangan darah. Perdarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya. (2) 2. Perdarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk perdarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan penanganan yang cepat dibandingkan PUA akut. (2) 3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid yangterjadi di antara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TERAPI NON HORMONAL PADA KONTRASEPSI HORMONAL DAN NON HORMONAL YANG MENGALAMI PENDARAHAN UTERUS ABNORMAL
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun
lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang
memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan
haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal
yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan
ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional
(PUD).(1)
1. Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang banyak
sehingga perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk mencegah kehilangan darah. Perdarahan
uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.(2)
2. Perdarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk perdarahan uterus
abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan
penanganan yang cepat dibandingkan PUA akut.(2)
3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid yangterjadi di
antara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di
waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk menggantikan terminologi metroragia.(2)
Salah satu penyebab wanita memilih untuk berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal
adalah akibat dari pendarahan uterus abnormal. Bentuk pendarahan yang terjadi berupa
pendarahan tiba-tiba dan spot merupakan yang paling mengganggu. Hal ini dapat terjadi pada
semua metode kontrasepsi hormonal dan alat kontrasepsi dalam rahim. Pendarahan uterus tiba-
tiba sering kali terjadi padda bula pertama pemakaian dan berangsur-angsur berhenti. Intervensi
berupa pencegahan atau pengobatan untuk mengatasi pendarahan ini dapat meningkatkan
penerimaan metode kontrasepsi yang bersangkutan bahkan meningkatkan kepatuhan
penggunaanya.(3)
Patogenesis dari pendarahan akibat penggunaan kontrasepsi belum diketahui secara pasti.
Saat penggunaan awal metode ini, kemungkinan pendarahan disebabkan oleh perubahan dari
dinding endometrium yang tebal menjadi tipis akibat kandungan progestin pada metode
dalam menurunkan kejadian pendarahan akibat penggunaan kontrasepsi hormonal
kombinasi kontinyu.(6)
5. Disiplin dalam konsumsi Pil Progestin Only
Konsumsi pil tepat pada waktu yang sama setiap hari nya dan mengurangi
kejadian lupa meminum obat dapat menurunkan frekuensi (11)
6. Memperpendek jarak penyuntikan DMPA
Penyuntikan DMPA yang lebih sering merupakan penanganan pendarahan
abnormal akibat kontrasepsi, walaupun penggunaanya kerap kali ditemukan, akan
tetapi belum ada bukti mengenai efektifitas terapi ini.
Gambar 4. Cara kerja Cox-2 Inhibitor(18)
Apabila pasien dikontraindikasikan untuk menerima dengan regimen mengandung
estrogen dan regimen progestin only tidak berhasil mengontrol pendarahan dapat digunakan
asam aminocaproic dan desmopressin. Pada pendarahan yang hebat dan tidak berespon setelah
pemberian terapi hormonal atau pada penderita dengan gangguan pembekuan darah maka
pemberian antihemostatik atau antifibrinolitik dapat diberikan. Obat golongan anti fibrinolitik
bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen akan diubah menjadi
plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi fibrin degradation products (FDP). Oleh
karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-
faktor yang memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian
trombosis. Efek sampingnya adalah gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala.(12)
Gambar 5. Cara kerja obat golongan Antifibrinolitik dalam menangani pendarahan uterus
abnormal(13)
Pemberian Asam aminocaproic dapat diberikan secara oral dengan tatacara pemberian
sebagai berikut, 5 gram peroral (10 tab 500mg atau 4 sendok teh (20 mL) syrup-12,5g/5mL pada
satu jam pertama dilanjutkan dengan 1-1,25 g (2 tab 500 mg atau 1 sendok teh (5 mL) diberikan
setiap jam. Tatacara pemberian secara intravena juga dapat diberikan, 4-5g IV (16-20mL dari
250 mg/mL solusi dalam 250 mL pelarut) diberikan selama 1 jam pertama, dilanjutkan dengan
pemberian melalui infus dengan laju 1g/jam (4 mL dari 250 mg/mL dalam 50 mL pelarut).
Pemberian ini dilanjutkan hingga 8 jam atau hingga pendarahan terkontrol.(13,14)
Pemberian Desmopressin diberikan secara intravena dengan tatacara sebagai berikut,
0,3mcg/kg IV selama 15-30 menit, pemberiannya dapat diulang dalam 48 jam. Apabila dengan
pemberian antihemostatik pendarahan tidak juga teratasi maka tindakan pembedahan diperlukan.
Penghentian penggunaan metode kontrasepsi tersebut diatas maka siklus pendarahan yang terjadi
akan kembali seperti pertama kali sebelum menggunakan kontrasepsi. Pemulihan kembali
menjadi normal dapat terjadi dengan menunggu atau dengan proaktif melalui pengaturan siklus
menstruasi kembali. Pada pengguna DMPA siklus pendarahan akan kembali seperti sebelum
menggunakan kontrasepsi dalam waktu 3 bulan.(12,13,14)
Evidence Based Medicine(5,15) Rekomendasi
Pendarahan ireguler yang terjadi pada wanita berusia 35 tahun
sebaiknya dilakukan biopsi endometrial
B
Pemeriksaan Transvaginal sonografi atau Saline-infused
sonohysterogram(SIS) sebaiknya dilakukan pada wanita
perimenopause yang mengalami pendarahan uterus abnormal
C
Obat golongan Anti Inflamasi Non Steroid sebaiknya digunakan
sebagai penanganan pertama pada wanita dengan menoragia
B
Terapi non hormonal seperti AINS dan Anti fibrinolitik dapat
digunakan secara efektif dalam menangani pendarahan uterus
abnormal yang berat, yang bersifat siklik atau yang dapat
diprediksi
I-A
Penggunaan Estrogen dosis tinggi dan asam traneksamat dapat
mengurangi atau menghentikan pendarahan uterus abnormal akut
berat.
III-C
Kualitas Penilaian Bukti
I : Bukti yang didapatkan dari setidaknya satu RCT
II-1 : Bukti dari penelitian terkontrol yang baik tanpa adanya pengacakan
II-2: Bukti dari penelitian kohort yang baik (prospektif,retrospektif) atau studi kasus control, sebaiknya lebih dari satu pusat penelitian atau kelompok riset
II-3: Bukti yang didapatkan dariperbandingan antara waktu atau tempat dengan atau tanpa intervensi. hasil dramatis pada penelitian tanpa control (seperti penatalaksanaan dengan menggunakan penisilin pada tahun 1940 an) dapat juga dimasukkan dalam kategori ini.
III : Opini dari otoritas yang berhubungan, berdasarkan pengalaman klinis, studi deskriptif, atau laporan para ahli(15)
Klasifikasi Rekomendasi
A: Ada bukti yang baik untuk merekomendasikan tindakan pencegahan klinis.
B: Ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan tindakan pencegahan klinis.
C: bukti yang ada berlawanan dan tidak bisa dipakai sebagai rekomendasi untuk atau menentang pemakaian pada tindakan pencegahan klinis, bagaimanapun faktor lain dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
D: Ada bukti yang cukup untuk tidak merekomendasikan tindakan pencegahan klinis.
E: Ada bukti yang baik untuk tidak merekomendasikan tindakan pencegahan klinis.
L: Tidak ada bukti yang cukup (baik dalam kuantitas ataupun kualitas) untuk merekomendasikan; bagaimanapun,faktor lain bisa mempengaruhi pengambilan keputusan.(15)
Tindakan Pembedahan yang dapat dilakukan untuk menangani pendarahan uterus
abnormal yang tidak teratasi antara lain:
1. Dilatasi dan Kuretase
Dilatasi dan kuretase selain dapat memperbaiki gejala PUA dan mengurangi keluhan
perdarahan, juga sekaligus dapat digunakan untuk mendiagnosa kemungkinan displasia
atau keganasan. Namun demikian tindakan berulang dapat menyebabkan adhesi
intrauterin.(4)
2. Ablasi endometrial laser dengan Neodymium:yttrium-aluminium-garnet (Nd:YAG)
Metode ini adalah metode yang lebih baru. Tingkat keberhasilannya mencapai 85% dan
lebih efektif pada pasien berumur lebih dari 35 tahun. Amenore dapat terjadi pada 29%
pasien. Muncul kekhawatiran bahwa dengan metode ini keganasan tidak dapat dideteksi
karena tidak ada jaringan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan patologi. Risiko
yang mungkin terjadi meliputi kelebihan cairan, endometritis dan perforasi uterus.
Peralatan laser butuh biaya mahal dan membutuhkan kehatia-hatian khusus.(6,9,15)
3. Hysteroscopic transcervical resection of endometrium (TCRE)
metode yang dilakukan dengan koagulasi dengan memakai elektrokauter untuk
menghentikan perdarahan. Dengan melakukan tindakan ini kebutuhan akan histerektomi
dapat dikurangi hingga 90%. Metode ini juga diketahui lebih murah dari segi biaya
dibanding histerektomi. Tujuan dari metode ini adalah ablasi dan adhesi endometrium
yang menyebabkan hipomenore atau amenore. Histeroskopi paling efektif dilakukan
pada wanita berumur diatas 35 tahun.(15,16)
4. Thermal uterine balloon
Ablasi endometrium dengan histeroskopi juga dapat dilakukan dengan memasukkan
thermal uterine balloon . Sistem ini terdiri atas sebuah kontrol sistem yang
disambungkan ke kateter yang panjangnya 16 cm dengan balon latex pada tepi ujung
dengan elemen pemanas. Kemudian larutan dextrose 5% dimasukkan hingga tekanan
mencapai 160 – 180 mmHg. Larutan ini dipanaskan sampai 870 C selama 8 menit,
kemudian alat dilepas. Cara ini sama efektifnya dengan metode ablasi yang lain namun
dengan lebih sedikit komplikasi.(15)
5. Histerektomi
Histerektomi tetap merupakan pengobatan absolut untuk PUA. Histerektomi elektif
memiliki angka mortalitas 6 per 10.000 operasi. Sebuah studi mengungkapkan bahwa
histerektomi menyebabkan morbiditas dan waktu penyembuhan lebih lama dibanding
ablasi endometrium. Metode ini tetap menjadi metode yang populer untuk pengobatan
PUA terutama di negara berkembang.(4,17)
DAFTAR PUSTAKA
1. Hestiantoro A,Wiweko A. Panduan Tatalaksana perdarahan Uterus Disfungsional.Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia.2007:1-32
2. Munro MG, Hilary O.D,Michael S. FIGO classification system (PALM-COEIN) for causes of abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age. International Journal of Gynecology and Obstetrics.2011;113:3-13
3. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Management of Unscheduled
Bleeding in Women Using Hormonal Contraception. Faculty of Sexual &
4. George A.Vilos,Guylaine L,Gillian R,Halifax. Guidelines For The Management Of abnormal Uterine Bleeding.SOGC.2001;106:1-6
5. John W. Ely,Colleen M. Kennedy, Elizabeth C,Noelle C. Abnormal Uterine Bleeding: A Management Algorithm. J Am Board Fam Med. 2006;19(6):590-602.
6. Yovanni C. Management of Dysfunctional Uterine Bleeding. Obstet Gynecol Clin N Am. 2008;35: 219–34.
7. Nathirojanakun P,Taneepanichskul S,sappakitkumjorn N,Efficacy of a selective COX-2 inhibitor for controlling irregular uterine bleeding in DMPA users.Contraception 2006;73.584
9. Bertha H. Chen,linda C, Giudice. Dysfunctional Uterine Bleeding. West J Med. 1998; 169:280-284.
10. Jain JK,Nicosia AF,Nucatola DL,et al. Mifepristone for the prevention of breakthrough bleeding in a new starters of depo-medroxyprogesterone acetate.Steroid 2003;68:1115.
11. Schrager S. Abnormal Uterine Bleeding Associated with Hormonal Contraception. Wisconsin Am Fam Physician. 2002;65(10):2073-2081.
12. Rimsza M. Dysfunctional Uterine Bleeding. Pediatrics in Review 2002;23;227
13. Manucci PM, Hemostatic drug. N Engl J Med 1998;339:245.
14. Manucci PM. Treatment of von Willebrand’s Disease. N Engl J Med 2004;351:683.
15. Singh S, Best C, Dunn S, Leyland N, Lynn W. Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Women. J Obstet Gynaecol Can 2013;35(5):473–75
16. Welsh A. Heavy menstrual bleeding. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. 2007;1-164
17. Wheeler T,Matteson K,Balk E,Murphy M,Abed H. Clinical Practice Guidelines for Abnormal Uterine Bleeding: Hysterectomy Versus Non-Hysterectomy. Society of Gynecologic Surgeons . 2005: 1-29.
18. http:// daum.net/shchang425/17043750. Selective Inhibitors Of Cyclooxygenase-2. N Engl J Med. 2001;345: 433-42.
19. Indah N . Obat anti pendarahan. Farmakologi Dian husada. http://nurindahs4ri.com
20. Bridgman S, Dunn K. Has endometrial ablation replaced hysterectomy for the treatment of dysfunctional uterine bleeding? National figures. Br J Obstet Gynaecol. 2000;107(53):1-534.
21. Marret H, Fauconnier A, Buffet C, Cravello L, Golfier J, Gondry A. Agostini M, Bazot, Brailly S. Brun J,DeRaucourt E, Gervaise A. Gompel O. Graesslin C. Huchon J. Lucot G.Bureau P,Roman H, Fernandez H. Clinical practice guidelines on menorrhagia: management of abnormal uterine bleeding before menopause. EURO-7035.2010:1-5
22. Desi D. Farmakologi Dasar Obat Golongan NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs).http://www.doktermuslimah.com. 2013