Top Banner

of 42

Teori Dan Praktik Tax Expenditure Dalam Uu Pajak Di Indonesia

Oct 09, 2015

Download

Documents

SEMINAR PERPAJAKAN
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

TUGAS KELOMPOKMAKALAH SEMINAR PERPAJAKANTEORI dan PRAKTIK TAX EXPENDITURE DALAMUNDANG-UNDANG PAJAK DI INDONESIA

OLEH :1. EZRA FERIANTORO12021127301. NOVI FITRIYANI12021128301. SEPRINI12021353211. NOVELIA LOLYTHA H12021355311. NURRAHMA DEWI1202135566

DOSEN PEMBIMBING : ARRIDHO ABDUH, SST.Pa, M.Ak, BKP

JURUSAN AKUNTANSIFAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS RIAUPEKANBARU2014

STATEMENT OF AUTHORSHIPKami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk tugas pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menggunakannya.Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.Mata Kuliah: Seminar PerpajakanJudul Makalah: Teori dan Praktik Tax Expenditure Dalam UU Pajak Di IndonesiaTanggal: 1/10/2014Dosen: Arridho Abdhu, SST.Pa, M.Ak, BKPNama: EZRA FERIANTORO (1202112730) NOVI FITRIYANI (1202112830) SEPRINI (1202135321) NOVELIA LOLYTHA H (1202135531) NURRAHMA DEWI (1202135566)

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Marilah kita panjatkan Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Judul makalah ini adalah Teori dan Praktik Tax Expenditure Dalam Undang-Undang Pajak Di Indonesia. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan oleh Bapak Arridho Abduh, SST.Pa, M.Ak, BKP selaku dosen pengampu. Materi ini akan kami gunakan sebagai acuan presentasi apabila ditunjuk untuk menyajikannya di dalam perkuliahan pada hari yang bersangkutan.Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah syarat yang diajukan untuk mengikuti Ujian Semester V. Dalam penyusunan makalah ini, kami merasa masih ada beberapa kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu bagi dosen pembimbing kami minta kritik dan saran agar untuk berikutnya kami dapat memperbaiki pembuatan makalah ini di masa yang akan datang.Besar harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya mahasiswa Fakultas Ekonomi. Sekian dan terima kasih.

Pekanbaru, Oktober 2014

Penulis.

DAFTAR ISIKata Pengantar 3Daftar Isi 4Bab IPendahuluan 51.1 Latar Belakang Masalah 51.2 Rumusan Masalah 61.3 Tujuan Penulisan 6

Bab II Pembahasan72.1 Konsep Tax Expenditure 72.2 Komparasi Tax Expenditure Atas PPh 102.3 Tax Expenditure Atas Pajak Penghasilan Di Indonesia 152.4 Tax Expenditure Atas PPN Di Indonesia 21

Bab IIIPenutup393.1 Kesimpulan39

Daftar Pustaka41

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangTax Expenditure adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari pajak yang harus dikorbankan oleh pemerintah dengan memberikan beberapa tax relief atau pengurangan- pengurangan yang diperkenankan sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mencapai tujuantujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam implementasinya, tax expenditure ini diwujudkan dalam bentu pembebasan, pengurangan, penyesuaian, kredit dan penangguhan. Batasan untuk menentukan besaran dari pemasukan yang hilang umumnya bersifat subyektif dan berkaitan langsung dengan pengeluaran pemerintah. Namun, batasan itu bisa juga diperluas dengan tidak mengaitkannya secara langsung dengan pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain Tax expenditure merupakan suatu ketentuan khusus dari sistem perpajakan yang berlaku secara umum di suatu negara. Ketentuan khusus tersebut berdampak pada berkurangnya penerimaan pajak yang seharusnya bisa diperoleh suatu negara. Tren untuk mempertimbangkan transparansi serta pelaporan tax expenditure dalam kerangka anggaran pemerintah semakin banyak didiskusikan dan telah diterapkan di beberapa negara maju. Di sisi lain, negara-negara berkembang masih menghadapi persoalan yang lebih mendasar, yakni mendefinisikan tax expenditure. Di Indonesia sendiri terminologi tax expenditure ini pun masih baru dan belum banyak mendengar terlebih memahaminya. Dan pada kesempatan ini penulis akan mencoba membahas tentang teori dan penerapan ataupun (praktik) tax expenditure itu sendiri dalam Undang-Undang Pajak di Indonesia.1.2 Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah yang akan penulis utarakan di sini adalah:1. Apa sebenarnya konsep tax expenditure ini?2. Apakah ada kaitannya dengan Undang-Undang Pajak di Indonesia?3. Apakah tujuan utama dari pelaporan tax expenditure ini?4. Apakah Indonesia akan berhasil jika menerapkan konsep tax expenditure ini?5. Bagaimanakah sebenarnya pelaporan tax expenditure di Negara-Negara Maju khususnya yang tergabung dalam OECD?

1.3 Tujuan PenulisanAdapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:1. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Seminar Perpajakan oleh dosen pembimbing.2. Untuk menambah pengetahuan penulis maupun pembaca makalah mengenai Teori dan Praktik Tax Expenditure dalam Undang-Undang Pajak di Indonesia itu sendiri.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Konsep Tax ExpenditureKonsep tax expenditure pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1960an dalam sistem pajak penghasilan federal. Dalam konsep ini disebutkan bahwa sistem pajak penghasilan federal terdiri atas dua bagian, yaitu bagian yang berisi ketentuan yang sifatnya struktural untuk wajib pajak individu maupun perusahaan dan bagian yang sifatnya tax expenditure sebagai program bantuan melalui ketentuan perpajakan khusus sebagai ganti atas bantuan langsung pemerintah (direct expenditures). Konsep tax expenditure ini dimaksudkan sebagai alat kontrol bagi Kongres terhadap belanja pemerintah federal. Disisi lain, tax expenditure ini mendapat kritikan karena dianggap tidak memenuhi rasa kesetaraan (equity) dalam perpajakan, serta mengesampingkan asas efisiensi dan kesederhanaan (simplicity). Tax expenditure semakin mendapat tempat dalam kerangka penganggaran pemerintah di banyak negara, terutama negara-negara yang tergabung dalam OECD. Menurut OECD[footnoteRef:2], tax expenditure merupakan transfer sumber daya kepada publik yang dilakukan bukan dengan memberikan bantuan atau belanja langsung (direct transfer) namun melalui pengurangan kewajiban pajak dengan mengacu pada standar perpajakan yang berlaku (tax benchmark). Namun demikian tidak semua negara mengikuti definisi OECD ini. Banyak negara merumuskan konsep dan definisi tax expenditure sesuai dengan kondisi di negaranya masing-masing, terutama berkaitan dengan tax benchmark yang dipakai. Tax benchmark itu sendiri secara umum dianggap sebagai ketentuan umum perpajakan yang telah berlaku di setiap negara. Akibatnya, muncul adanya perbedaan dari berbagai ketentuan dan elemen perpajakan perbedaan di setiap negara, seperti struktur tarif pajak, standar perhitungan, pengurangan atas pembayaran yang sifatnya wajib, dan ketentuan untuk memfasilitasi administrasi pajak. [2: Diambil dari email : [email protected]]

OECD memberikan guideline bahwa pengurangan kewajiban pajak dapat dikategorikan sebagai tax expenditure apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: akan berkontribusi dan memberi manfaat kepada sektor industri, aktifitas, atau kelompok pendapatan wajib pajak tertentu; harus mendukung suatu maksud yang jelas dan tujuan yang dapat dicapai lewat kebijakan publik lainnya; harus ada patokan umum yang memadai sebagai pembeda (tax benchmark) dari ketentuan khusus tersebut; perubahan ketentuan pajak dimungkinkan jika sewaktu-waktu ingin menghilangkan tax expenditure; harus ada ketentuan lain dalam sistem pajak yang dapat mengimbangi dampak yang diperoleh dari tax expenditure.Tax expenditure diterapkan dengan tujuan yang belum tentu seragam di setiap negara. Namun demikian, secara umum terdapat beberapa kesamaan tujuan penerapan tax expenditure, yaitu untuk mencapai skala ekonomis dan menghemat biaya suatu program. Penghematan dan skala ekonomis didapat dari pemanfaatan sistem administrasi perpajakan yang sudah ada dibandingkan apabila program tersebut dijalankan sendiri yang tentu saja membutuhkan biaya penyelenggaraan administrasi program. Selain itu tax expenditure dianggap lebih simple dibandingkan dengan program bantuan langsung, misalnya cash transfer maupun subsidi belanja kepada kelompok tertentu karena tidak memerlukan pengajuan, pendataan ulang, atau verifikasi karena data dan administrasi perpajakan telah mengakomodasi hal ini.Saat ini dikenal tiga metode untuk mengukur besaran tax expenditure, yaitu revenue forgone method, final revenue loss method, dan outlay equivalent method. Revenue forgone method atau dikenal pula dengan initial revenue loss ini mengukur besaran tax expenditure dengan cara menghitung selisih penerimaan pajak akibat adanya ketentuan tax expenditure, dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan perilaku wajib pajak dan penerimaan dari pajak lainnya. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dan paling banyak dipakai di negara-negara berkembang maupun negara maju. Final revenue loss method mengukur besaran tax expenditure dengan cara menghitung selisih penerimaan pajak akibat adanya ketentuan tax expenditure dengan mempertimbangkan perubahan wajib pajak dan penerimaan dari pajak lainnya sebagai respon atas tax expenditure. Sedangkan outlay equivalent method dilakukan dengan cara menghitung besaran transfer dana kepada wajib pajak yang dibutuhkan apabila pemerintah hendak menanggung biaya tax expenditure wajib pajak.Pelaporan tax expenditure dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi anggaran pemerintah. Secara umum, tax expenditure dilaporkan dalam dokumen anggaran sebagai lampiran atau off budget sehingga legislatif atau masyarakat dapat mengkritisi tax expenditure tersebut. Miranda Steward, seorang profesor di bidang perpajakan dari Australia, merumuskan bahwa informasi yang dimuat dalam laporan tax expenditure haruslah mencakup aspek berikut: keandalan perhitungan dan kualitas data yang dipergunakan; sumber ketentuan tax expenditure baik yang berasal dari hukum pajak yang berlaku, praktik otoritas, maupun tax treaty; tipe tax expenditure (pengurangan, keringanan pajak, insentif, dan sebagainya); durasi berlakunya tax expenditure; argumen kebijakan; implikasi terhadap distribusi pendapatan; informasi waktu terakhir penilaian atas tax expenditure yang bernilai besar atau utama; data antar waktu; pengelompokan berdasarkan sektor (kesehatan, tunjangan sosial, lingkungan dsb) baik secara terpisah atau aggregat.Laporan tax expenditure tersebut juga harus disajikan dalam tiap tingkatan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

2.2 Komparasi Tax Expenditure Atas Pajak Penghasilan (PPh)Guna memahami berbagai prinsip dasar tax expenditure atas PPh, maka digunakanlah komparasi dari 10 negara lain. Negara yang dijadikan sebagai studi komparasi adalah: Amerika Serikat, Bangladesh, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Polandia, Perancis, Spanyol, dan Tiongkok. Selain karena keterbatasan data, negara-negara tersebut dipilih karena 2 hal : (i) mencakup negara yang manajemen tax expenditure nya telah maju maupun belum; (ii) berasal dari tingkat pendapatan yang bervariasi.

Definisi dan CakupanPada umunnya definisi atas tax expenditure di setiap negara hampirlah serupa yaitu: adanya ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan pajak secara umum (benchmark tax system). Perbedaan hanya terletak pada apa yang dikategorikan sebagai benchmark tax system. Sedemikian parahnya perbedaan brenchmark tax yang dianut oleh masing-masing negara, sehingga sangat tidak tepat untuk membuat komparasi[footnoteRef:3]. Berikut merupakan analisis mengenai perbandingan definisi dan cakupan atas tax expenditure di 10 negara. Detail mengenai hal ini dapat dilihat pada lampiran I. [3: Zhicheng Li Swift, Hala Polackova Brixi, dan Christian Valenduc, Op.Cit, 1-16.]

DefinisiDari 10 negara tersebut, 4 negara tidak memiliki definisi atas tax expenditure yang diatur secara hukum, yaitu: Bangladesh, Jerman, Spanyol, dan Korea Selatan. Walau demikian, secara praktik dan pemahaman umum, hampir seluruh negara tersebut mendefinisikan tax expenditure sebagai suatu deviasi dari benchmark tax system. Pengecualian terdapat pada Jepang yang menyatakan tax expenditure sebagai suatu special tax measures yaitu pengecualian atas prinsip pajak mendasar guna mencapai tujuan kebijakan lainnya.Beberapa negara juga melengkapi kriteria tax expenditure dengan prasyarat lain, terutama dari sisi pernyataan tujuan khusus diadakannya tax expenditure. Sebagai contoh Bangladesh menyatakan, tax expenditure bertujuan untuk mendorong tabungan individu, mendorong investasi serta memfasilitasi pembangunan infrastruktur. Hal yang serupa juga dapat ditemukan pua di Tiongkok dan Spanyol. Pada dasarnya, kriteria tambahan ini tidak bertentangan dengan ide mengenai tax expenditure yang esensinya merupakan belanja pemerintah lewat sistem pajak. Dengan demikian, penjelasan atas tujuan tersebut justru makin menegaskan dan, mengunci cakupan atas apa yang disebut sebagai tax expenditure.Lain halnya dengan Prancis. Di negara tersebut, definisi tax expenditure justru diterapkan secara meluas (broad definition), yaitu segala ketentuan hukum pajak yang pelaksanaannya menyebabkan penerimaan yang lebih rendah bagi negara. Akibatnya, seluruh aspek ketentuan yang mengurangi penerimaan dianggap sebagai tax expenditure, termasuk pula ketentuan khusus yang bersifat struktural seperti allowance untuk orangtua tunggal (single parent). Maka, tidak mengherankan bahwa Prancis memiliki 469 tax expenditure [2009].Perbedaan semakin besar pada saat menelaah apa yang menjadi definisi brenchmark tax system. Sebagian negara mendefinisikan hal ini secara mendetail, namun ada juga yang secara luas. Di Polandia, brenchmark tax system dipahami sebagai ketentuan pajak secara umum, sehingga segala perbedaan atasnya dapat dianggap sebagai tax expenditure. Sebagai contoh, ketentuan mengenai pajak tidak kenak pajak dianggap sebagai deviasi dari brenchmark tax system.Di sisi lain, ada baiknya mencontoh negara-negara yang mendefinisikan brenchmark tax system secara mendetai. Sebagai contoh, Kanada dan Tiongkok. Kanda, mendefinisikan brenchmark tax system secara mendetail, yaitu: sistem pajak penghasilan bagi badan usaha dan individu yang mencakup pula tarif pajak dan kelompok (tax brackets), subjek pajak, kerangka waktu, perlakuan inflasi pada perhitungan penghasilan, dan segala sesuatu yang diatur untuk mengurangi atau mengeliminasi pemajakan berganda[footnoteRef:4]. Oleh karena itu, perlakuan perhitungan fiskal yang berbeda tidak dianggap sebagai tax expenditure. Di Tiongkok, brenchmark tax system mencakup ketentuan umum atas subjek pajak, termasuk jika organisasi atau individu tidak dikenakan perlakuan pajak tertentu. Dengan demikian, perlakuan tarif 6% untuk wajib pajak kecil atau anggota militer yang memang tidak memiliki kewajiban pajak, tidak dianggap sebagai tax expenditure. [4: Marc Seguin dan Simon Burr, Federal Tax Expenditure in Canada dalam Tax Expenditure Shedding Light onGovernment Spending through Tax System, ed Hana Polackova Brixi, Christian M.A Valenduc, dan Zicheng Li Swift, (Washington D.C: The World Bank, 2004), 99 103.]

Walau berbeda-beda, pada dasarnya tidak ada suatu acuan bahwa definisi tax expenditure dan brenchmark tax di suatu negara lebih baik dari yang lain[footnoteRef:5]. [5: OECD, Tax Expenditure in OECD Coountries, Op.Cit, 18.]

Cakupan Jenis PajakCakupan pada umumnya dilihat lewat jenis pajak dan tingkat pemerintah yang memungutnya. Seluruh negara yang diperbandingkan mengaplikasikan tax expenditure pada seluruh jenis pajak mulai dari pajak penghasilan untuk badan usaha maupun individu, pajak pertambahan nilai, bea cukai, dan sebagainya. Walau demikian, hanya ada 1 negara yang tidak memperkenankan adanya tax expenditure untuk jenis pajak di luar penghasilan, yaitu: Amerika Serikat. Sedangkan, di beberapa negara, tax expenditure juga mencakup beberapa jenis pajak khusus, seperti pajak pertanian dan hutan (Polandia), pajak minuman keras (Jepang), pajak asuransi (Spanyol), dan sebagainya.Dari 10 negara, studi komparasi tersebut, hanya 3 diantaranya yang mengacu pada tax expemditure untuk jenis pajak yang dipungut di tingkat pusat saja. Ketiga negara tersebut adalah: Amerika Serikat (pajak federal), Korea Selatan, dan Spayol. Selebihnya tax expenditure dapat terdapat pada pajak yang dipungut baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Pengukuran dan PelaporanPengukuranSecara umum, terdapat paling tidak 3 pendekatan dalam mengukukur besaran tax expenditure yang diaplikasikan oleh suatu negara: revenue forgone method, final revenue loss method, and outlay equivalence method. Empat dari 10 negara yang dijadikan pembanding tidak memiliki metode estimasi yang jelas, yaitu: Bangladesh, Korea Selatan, Polandia, serta Tiongkok. Bahkan Bangladesh dan Tiongkok tidak pernah melakukan hal tersebut[footnoteRef:6]. Persoalan yang acapkali ditemui adalah: ketersediaan data. Database yang dimiliki oleh otoritas pajak dan keuangan merupakan sesuatu hal yang berguna dan dapat dijadikan sumber estimasi. Ketiadaan data menyebabkan tidak hanya dimungkinkannya penilaian dan evaluasi atas tax expenditure namun juga keterbatasan dalam mempertimbangkan skenario kebijakan alternatif. [6: Yaobin Shi, Establishing a Tax Expenditure Administrative System that Achieves a Sound Fiscal System in China dalam Tax Expenditure.]

PelaporanPelaporan merupakan isu yang penting dalam manajemen tax expenditure. Pelaporan tax expenditure pada umumnya dimasukkan dalam dokumen anggaran, sering kali hanya sebagai lampiran secara tahunan. Di sebagian negara, pelaporan tax expenditure juga telah memiliki format yang detail dan baku.

Telaah Kebijakan dan EvaluasiKarena sifatnya yang berpotensi mengurangi penerimaan negara, namun tidak dapat ditinjau secara berkala seperti halnya belanja pemerintah (karena lebih condong kepada ketentuan pajak yang tidak serta merta dapat dirubah), maka telaah dan evaluasi atas tax expenditure menjadi sesuatu hal yang penting. Jumlah tax expenditure sering kali tidak dapat dikontrol karena tersembunyi dan lolos dari pantauan pembuat kebijakan, oleh karena itu, kerangka kebijakan untuk penerapan tax expenditure menjadi penting untuk diperhatikan.Secara umum, tidak ada negara yang secara khusus mengatur tata cara untuk menambah atau mengurangi tax expenditure. Sebagian besar tax expenditure hanya dapat dilihat oleh implikasinya pada defisit anggaran dan batasan atas jumlah belanja negara, seperti di Jerman dan Spanyol.Hampir seluruh negara yang dijadikan komparasi ternyata tidak memiliki mekanisme evaluasi, atau jika pun ada hanyalah sebatas pada evaluasi biaya yang ditimbulkan oleh tax expenditure dan bukan seberapa efisien dan efektivitasnya tax expeniture tersebut terhadap apa yang menjadi tujuan kebijakan[footnoteRef:7]. [7: Lihat lampiran II.]

2.3 Tax Expenditure atas Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia Definisi dan CakupanHingga saat ini belum ada definisi yang jelas mengenai tax expenditure. Penjelasan umum yang diterima universal hanyalah deviasi atas benchmark tax system yang menyebabkan perbedaan penerimaan pajak. Selain itu, dalam praktiknya setiap negara memiliki definisi yang berbeda-beda, baik atas tax expenditure maupun atas definisi benchmark tax system.Untuk PPh paling tidak terdapat 47 jenis ketentuan yang dapat dianggap deviasi dari bencmark tax system atau sering disebut sebagai fasilitas pajak[footnoteRef:8]. Namun, apakah seluruh fasilitas pajak tersebut dapat secara otomatis dianggap sebagai tax expenditure? Jawabannya, belum tentu. Terdapat beberapa komponen fasilitas pajak yang sebenarnya kurang tepat diklasifikasikan sebagai tax expenditure. Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hal ini, kami menawarkan suatu definisi sempit atas tax expenditure atas PPh di Indonesia: [8: Diambil dari Direktorat Jenderal Pajak, Fasilitas dan Insentif Pajak Penghasilan di Indonesia : Edisi III, 2013, dengan beberapa penambahan (update) atas beberapa ketentuan yang berlaku.]

Berbagai ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system), yang memiliki relevansi tujuan pembangunan yang jelas, menyasar pada kelompok atau individu tertentu, dan memengaruhi jumlah penerimaan pajak. Sedangkan, sistem pemajakan secara umum mengacu pada basis pajak, tarif, cara perhitungan, serta mekanisme pemungutan.Definisi sempit yang diajukan ini mengacu pada berbagai ketentuan yang ada di negara lain dalam kategorisasi tax expenditure. Misalkan:a. ketentuan khusus yang berada dalam kerangka structural tax system tidak dapat dianggap sebagai tax expemditure (Jerman);b. adanya suatu tambahan tentang berkurangnya penerimaan negara akibat belanja via sistem perpajakan yang bukan untuk mencapai target sosial dan ekonomi bukanlah tax expenditure (Spanyol);c. penerapan cara perhitungan merupakan benchmark tax system dan bukan tax expenditure (Kanada);d. pihak yang memang tidak menjadi subjek pajak adalah bagian dari benchmark tax system, sehingga pembebasan pajak untuk kalangan tersebut bukanlah tax expenditure (Tiongkok);e. dan sebagainya.[footnoteRef:9] [9: Lihat lampiran I untuk detail lebih lanjut.]

Selain itu, saat ini belum diketahui apakah tax expenditure di Indonesia mencakup seluruh jenis pajak, dan berada baik di tingkat pusat dan daerah. Satu hal yang pasti, ketika membicarakan tentang PPh, maka hanya berada dalam kewenangan pajak pusat (pemerintah pusat).

PengukuranSetelah diketahui definisi dan jumlah tax expenditure di Indonesia, maka persoalan berikutnya adalah pengukuran. Sebagai permulaan, hal ini dapat dilakukan dengan metode yang paling mudah dahulu yaitu: revenue forgone method. Metode ini tidak perlu mempertimbangkan efek dengan tidak adanya tax expenditure terhadap perilaku wajib pajak maupun terhadap implikasinya kepada penerimaan jenis pajak lainnya. Metode ini juga popular digunakan di berbagai negara. Pengukuran atau estimasi biaya dari tax expenditure sebisa mungkin dilakukan secara terpisah per komponen tax expenditure yang diberikan guna mengetahui secara pasti implikasi per masing-masing komponen. Kesulitan dalam mengestimasi biayanya terletak pada ketersediaan data. Data yang dibutuhkan bisa bersumber dari 2 hal: (i) data tax return yang berada dalam kewenangan Dijen Pajak; dan (ii) data statistik ekonomi individu dan rumah tangga yang di Indonesia terletak dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesans).[footnoteRef:10] Perhitungan dengan data tax return sifatnya akan lebih andal dan dapat diaplikasikan untuk seluruh tax expenditure. Sedangkan perhitungan dengan data Susenas hanya akan berupa estimasi dan terbatas pada tax expenditure yang berbasis pada individu/rumah tangga saja. Selain itu, mempertimbangkan rendahnya angka kepatuhan pajak di Indonesia, maka data tax return dapat memberikan hasil yang lebih akurat mengenai selisih penerimaan dengan adanya tax expenditure yang terbatas pada jumlah wajib pajak yang patuh. Selain itu, kesulitan juga terletak pada investasi yang dibutuhkan oleh sektor pemerintah yang akan melakukan hal ini.[footnoteRef:11] [10: Untuk Tax Expenditure jenis pajak pertambahan nilai, data yang bisa dipergunakan untuk estimasi adalah data IO (Input-Output) Indonesia.] [11: Lisa Philipps, The Globalization of Tax Expenditure Reporting;Tranpalanting Transparency in India and The Global South, Osgoode Hall Law School Research Paper No 43/2012 (2012):14.]

Walau ukuran biaya tax expenditure memang tidak cukup, namun tidak cukup sebagai penilaian efisiensi. Ukuran biaya sayangnya tidak dapat memperhitungkan segala aspek penerapan tax expenditure dari sisi biaya dan manfaatnya.[footnoteRef:12] [12: Zhicheng Li Swift, Hana Polackova Brixi, dan Christian Valenduc, Op.Cit, 22.]

PelaporanEstimasi dan pelaporan tax expenditure secara berkala penting untuk dilakukan agar terdapat transparansi atas kebijakan pajak.[footnoteRef:13] Paling tidak terdapat 3 elemen penting mengenai pelaporan tax expenditure: pihak yang bertanggung jawab untuk melaporkan, format pelaporannya, serta bagaimana pelaporan tersebut terkait dengan laporan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). [13: Jens Arnold, Improving The Tax System in Indonesia, OECD Economics Department Working Papers No. 998, OECD Publlishing, 2012, 29.]

Pertama, untuk mempertanggungjawabkan pelaporan. Dari studi komparasi yang dilakukan di 10 negara, tidak ada satupun negara yang menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada otoritas pajak. Sebagian besar justru berada dalam ranah Kementrian Keuangan atau yang sejenis. Di Indonesia, tanggung jawab ini dapat diambil oleh Kementrian Keuangan, khususnya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dengan bekoordinasi mengenai ketersediaan data dengan Ditjen Pajak. BKF akan menjadi institusi yang tepat karena selain memiliki kapabilitas, juga dapat menelaah posisi tax expenditure dalam kerangka anggaran pemerintah.Kedua, mengenai format pelaporan tax expenditure. Telah disebutkan sebelumnya bahwa format pelaporan tax expenditure yang ideal haruslah mencakup banyak hal. Walau demikian, pelaporan di Indonesia dapat dimulai dengan format sederhana yang setidaknya menyatakan tentang: definisi tax expenditure, deskripsi masing-masing tax expenditure, serta estimasi biaya baik secara terpisah maupun secara agregrat.Terakhir, keterkaitan pelaporan tersebut dengan APBN. Tax Expenditure bersifat off budget, dalam artian nominal belanja pemerintah atas sistem pajak tidak dapat diperhitungkan baik sebagai komponen penerimaan maupun pengeluaran. Di banyak negara, upaya untuk mengikutsertakan komponen tax expenditure dilakukan dengan cara melampirkan estimasi biaya tax expenditure dalam laporan atau rencana anggaran. Di Indonesia, pelaporan dapat diikutsertakan dalam Nota Keuangan dan RAPBN secara rutin (tahunan). Dengan demikian, DPR maupun publik dapat mengetahui secara transparasi mengenai hal ini.

Kebijakan dan EvaluasiTerakhhir, hal yang paling penting adalah upaya untuk mengevaluasi dan membuat kerangka kebijakan yang baik untuk tax expenditure. Sama halnya dengan di beberapa negara lain, Indonesia saat ini tidak memiliki kerangka kebijakan secara khusus atas aspek tax expenditure, namun hanya memiliki batasan-batasan dalam hal penganggaran. Anggaran di Indonesia haruslah tunduk atas batasan defisit anggaran sebesar 3% dari PDB,[footnoteRef:14] sehingga dalam kerangka tersebut pemerintah mau tidak mau harus mengevaluasi segala kebijakan penerimaan dan pengeluarannya. [14: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.]

Di Indonesia, kebijakan untuk membatasi jumlah tax expenditure haruslah diletakkan pada bagaimana relevansinya terhadap perekonomian. Artinya, penambahan atau pengurangan tax expenditure bukanlah sesuatu yang harus dinilai dari jumlah dan nilai estimasi biayanya, namun juga harus dievaluasi berdasarkan relevansinya terhadap prioritas kebijakan dan sejauh mana hal tersebut dapat tercapai. Pada dasarnya, untuk mencapai suatu tujuan tertentu, pemerintah dapat saja menggunakan mekanisme pajak dan non pajak sebagai alat. Dengan demikian, ada baiknya dilakukan studi komparasi yang berisi simulasi mengenai implikasi dari kebijakan pajak (tax expenditure) dan non-pajak untuk target ekonomi tertentu.[footnoteRef:15] Hal ini misalkan, sangat relevan dalam konteks pengembangan suatu kawasan ekonomi, apakah betul keringanan pajak akan lebih relevan jika dibandingkan misalkan pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut. [15: Zhicheng Li Swift, Hana Polackova Brixi, dan Christian Valenduc, Op.Cit, 20]

Sebagai catatan, ada baiknya kebijakan pemberian ketentuan khusus yang berbentuk tax expenditure tidak banyak berada dalam diskresi Ditjen Pajak, namun dalam poduk hukum yang dibuat oleh lembaga yang lebih tinggi. Hal ini untuk menghindari adanya berbagai tax expenditure yang tidak berada dalam kerangka anggaran secara komprehensif. Singkatnya, pemberian tax expenditure oleh otoritas pajak haruslah dibatasi.[footnoteRef:16] [16: Jens Arnold, Op.Cit, 14.]

Pertanyaan berikutnya, bagaimanakah mekanisme evaluasi berbagai skema tax expenditure di Indonesia? Cara cerdas yang dapat ditempuh, ialah dengan mencontoh apa yang dilakukan di Korea Selatan. Di negara tersebut, terdapat ketetapan sunset dates untuk hampir seluruh tax expenditure. Adanya sunset dates akan mendorong suatu mekanisme evaluasi secara berkala atau pada saat suatu tax expenditure akan habis masa berlakunya.Sebagai penutup, efektivitas pemberian tax expenditure harus dinilai, sehingga menyasar pada aktivitas yang tepat serta secara produktif dapat menggenjot target pembangunan pemerintah. Dalam konteks ini, evaluasi menjadi sangat penting dan sebisa mugkin diserahkan kepada parlemen legislatif (DPR).

2.4 Tax Expenditure atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN)DTP mulai dikenal pada APBN-P tahun 2002. Pengertian DTP sama dengan pengertian "tax expenditure" yang banyak diterapkan di kelompok negara industri maju yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan juga telah sesuai dengan klasifikasi pendapatan negara dalam "Government Financial Statistic" (GFS) tahun 2001 serta IMF "paper".[footnoteRef:17] Maka dari itu kami akan membahas mengenai PPN-DTP. [17: Diambil dari http://pajaktaxes.blogspot.com/2008/03/pajak-ditanggung-pemerintah-demi.html (on-line) diakses pada 04 Oktober 2014 pukul 16:23 WIB.]

Pertumbuhan sektor industri pengolahan non-migas pada triwulan III mencapai 6,98%, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB yang sebesar 6,54%. Secara kumulatif, pertumbuhan industri pengolahan non-migas sampai dengan triwulan III tahun 2011 adalah 6,49%, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan industri non-migas sepanjang tahun 2010 yang hanya 5,09% dan merupakan pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2005. Pertumbuhan tertinggi cabang industri non- migas secara kumulatif hingga Triwulan III tahun 2011 dicapai oleh Industri Logam Dasar Besi & Baja sebesar 15,03%, Industri Tekstil, Barang Kulit & Alas Kaki sebesar 8,63%, Industri Makanan, Minuman & Tembakau sebesar 7,29%, serta Industri Alat Angkut, Mesin & Peralatannya sebesar 7,01%. Sementara itu, kinerja ekspor industri pengolahan nonmigas terus menunjukkan tren positif, di mana nilai ekspor periode Januari - September tahun 2011 mencapai US$ 91,8 miliar, atau mengalami peningkatan sebesar 33,4 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Hasil positif kinerja sektor industri tersebut dapat dicapai karena adanya sinergi nasional yang positif, yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah dan didukung oleh para pelaku usaha dan masyarakat dalam rangka pengembangan dan peningkatan daya saing industri nasional. Setelah pertumbuhan sektor manufaktur yang melaju kencang, optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang makin berkualitas tak menipis di tengah krisis yang mendera Amerika Serikat dan Eropa.Untuk menarik lebih banyak investasi ke sektor manufaktur, pemerintah menyiapkan menu insentif enam sehat tujuh sempurna. Menurut Menteri Perindustrian, keenam insentif tersebut mencakup tax holiday, tax alowance, penurunan tarif bea masuk, bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP), pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP), dan pemberian keringanan suku bunga pinjaman. Selain itu, pemerintah tetap berkomitmen melanjutkan kebijakan pengamanan industri dalam negeri, seperti melalui safeguard, pengenaan bea ekspor untuk produk bahan baku industri, dan pengenaan standard nasional Indonesia (SNI).1. Pertama, tax holiday. Kebijakan ini didasarkan pada PMK No. 130 Tahun 2011 mengenai Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Kebijakan ini ditujukan bagi industri pionir dengan investasi minimal Rp5 triliun. Ada lima industri yang akan mendapatkan insentif ini, yakni industri logam dasar, industri pengilangan minyak bumi dan atau kimia dasar organik berbasis migas, industri permesinan, industri di bidang sumber daya alam terbarukan, dan industri peralatan komunikasi. Tujuan pemberian tax holiday untuk meningkatkan infrastruktur di lokasi investasi, mendorong penyerapan tenaga kerja domestik, alih teknologi, dan meningkatkan nilai tambah industri di dalam negeri. Bentuk pemberian fasilitas berupa pembebasan PPh Badan dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan paling singkat 5 tahun terhitung sejak tahun dimulainya produksi komersial dengan nilai investasi sebesar 100%, dan pengurangan PPh Badan sebesar 50 % dari PPh Badan terutang selama 2 (dua) tahun pajak setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan PPh Badan.2. Kedua, tax allowance. Ini diatur dalam PP No. 62 tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- daerah Tertentu, di mana telah disetujui usulan revisi untuk 36 bidang usaha tertentu dan 38 bidang usaha tertentu di daerah tertentu untuk mendapat fasilitas pajak penghasilan, baik dalam rangka investasi baru maupun perluasan yang akan segera ditetapkan Peraturan Pemerintahnya.3. Ketiga, penurunan tarif bea masuk. Revisi PMK No. 241 Tahun 2010 tentang Perubahan Tarif Bea Masuk, yang menurunkan bea masuk beberapa kelompok industri seperti: Industri Pangan, Industri Pakan Ternak, serta Industri Manufaktur; mengingat beberapa bahan baku, bahan penolong, dan barang modal dari kelompok industri tersebut di atas belum diproduksi atau sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya masih terbatas, sehingga ketergantungan terhadap impor cukup tinggi dan mempengaruhi daya saing industri nasional. 4. Keempat, bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP). Pemberian fasilitas Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan untuk 14 sektor industri dalam rangka meningkatkan daya saing industri nasional yang sebagian bahan baku dan bahan penolong masih diimpor.5. Kelima, pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP). Pemerintah telah memberikan fasilitas PPN-DTP kepada beberapa sektor industri dalam rangka meningkatkan daya saing, sejak tahun 2009. Untuk tahun 2011, fasilitas PPN- DTP diberikan kepada industri antara lain minyak goreng (PMK No. 26 dan PMK No. 29 Tahun 2011), eksplorasi migas dan panas bumi (PMK No. 22 Tahun 2011), climate change, dan bahan bakar minyak tertentu dan elpiji 3 kg bersubsidi.6. Keenam, pemberian keringanan suku bunga. Sejak tahun 2007, Pemerintah telah menjalankan program restrukturisasi permesinan bagi beberapa sektor industri dengan skema pemberian keringanan suku bunga. Program ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan kapasitas produksi, yang akan meningkatkan daya saing sektor industri tersebut. Beberapa sektor industri yang sudah mendapatkan fasilitas ini di antaranya tekstil dan produk tekstil (sejak tahun 2007), gula (sejak tahun 2009), alas kaki (sejak tahun 2008), dan IKM Sandang (sejak tahun 2011).

Di samping itu, kebijakan pengamanan industri dalam negeri juga menjadi perhatian penting, di antara bea masuk tindak pengamanan (safeguards) berdasarkan Keppres No 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor. Selain itu ada kebijakan mengenaan bea keluar sesuai dengan PMK No. 67 Tahun 2010, untuk komoditas kulit, kayu, buah & kernel kelapa sawit, CPO dan produk turunannya, biji kakao, rotan. Pemerintah juga konsisten dengan penerapan SNI untuk produk-produk tertentu, guna menjamin kualitas produk industri yang beredar di pasaran. Saat ini terdapat 73 SNI yang diberlakukan wajib dari 3.969 SNI produk industri. Selanjutnya ada program peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN).

Dan berikut adalah daftar Peraturan yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP).[footnoteRef:18] [18: Diambil dari http://bpkimi.kemenperin.go.id/bpkimi/index.php?r=site/page&id=220 (on-line) diakses pada 04 Oktober 2014 pukul 13:20 WIB.]

KebijakanPeraturanTentang

1. PPN ditanggung Pemerintah (PPNDTP)1.1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.011/2011 Minyak Goreng (Minyakita)

1.2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.011/2011 Minyak Goreng (Minyak Curah)

1.3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 Eksplorasi Migas dan Panas Bumi

Minyak Goreng (Minyakita)Pada tahun 2011 Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas penyerahan minyak goreng di dalam negeri untuk Tahun Anggaran 2011.[footnoteRef:19] [19: Diambil dari www.fiskal.depkeu.go.id%2F2010%2Fadoku%2F2011%255Ckajian%255Cpkpn%255CPaper_Kebijakan_PPN_DTP_Migor_2011 (on-line) bertype pdf file, diakeses pada 04 Oktober 2014 pukul 11:28 WIB.]

Kebijakan ini digulirkan dalam rangka stabilisasi harga pangan dan perbaikan kualitas pangan (hiegenitas). Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) minyak goreng Tahun Anggaran 2011 ini adalah sebesar Rp250.000.000.000,00. Minyak goreng kemasan sederhana yang dimaksudkan dalam kebijakan ini adalah minyak goreng kemasan dengan merk tertentu. Minyakita merupakan merk milik pemerintah yang terdaftar atas nama Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan dan dibuat oleh produsen yang terdaftar di Direktorat Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan.Mengingat pada awal 2011 terjadi kenaikan harga minyak goreng yang cukup tinggi, maka diputuskan juga untuk memberikan juga fasilitas PPN DTP untuk minyak goreng curah dalam rangka membantu masyarakat kebanyakan dalam memenuhi kebutuhannya. Berikut diuraikan secara ringkas latar belakang, pokok-pokok pikiran dan proses perumusan serta langkah lanjutan dari kebijakan pemberian PPN DTP atas minyak goreng kemasan sederhana.

Latar Belakang[footnoteRef:20] [20: Diambil dari www.fiskal.depkeu.go.id%2F2010%2Fadoku%2F2011%255Ckajian%255Cpkpn%255CPaper_Kebijakan_PPN_DTP_Migor_2011 (on-line) bertype pdf file, diakeses pada 04 Oktober 2014 pukul 11:28 WIB.]

Dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilitas harga pangan khususnya minyak goreng yang merupakan salah satu komoditi kebutuhan pokok masyarakat dan untuk mewujudkan perdagangan pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan dan kesehatan guna meningkatkan harkat dan martabat konsumen maka Kementerian Perdagangan mempunyai program kebijakan minyak goreng kemasan sederhana dengan merk Minyakita.Program Kementerian Perdagangan tersebut sejalan dengan arah kebijakan nasional dimana pada tahun 2014 diharapkan tidak ada lagi penjualan minyak goreng dalam bentuk curah kepada konsumen. Saat ini di dunia hanya Indonesia dan Bangladesh yang masih melakukan penjualan minyak goreng dalam bentuk curah. Dengan program ini diharapkan dalam jangka panjang dapat menggantikan konsumsi minyak goreng curah masyarakat. Namun demikian, karena pada awal tahun 2011 harga minyak goreng secara umum mengalami kenaikan yang cukup tinggi, maka masih dipandang perlu untuk memberikan fasilitas PPN DTP untuk minyak goreng curah. Kebijakan ini sangat perlu untuk dilakukan mengingat sejak PPN DTP diberikan untuk minyak goreng mulai tahun 2008, pengaruh terhadap harga minyak goreng sangat signifikan. Setelah diberlakukan program pemberian fasilitas PPN DTP mulai tahun 2008, harga minyak goreng cenderung stabil dibandingkan periode sebelumnya.Terdapat paling tidak 24 produsen minyak goreng yang mendukung program pemerintah ini meskipun dengan risiko mempengaruhi tingkat penjualan merk yang dibuat oleh produsen sendiri. Pemerintah menghendaki bahwa harga jual Minyakita harus di bawah harga minyak goreng kemasan pada umumnya sehingga agar harganya bisa terjangkau masyarakat. Dalam rangka menekan harga maka kemasan juga dibuat sederhana dalam bentuk bantal (bukan botol) dan bahannya dari plastik polyethilene serta PPN yang terutang atas penjualan Minyakita ditanggung oleh pemerintah.Beralihnya konsumsi minyak goreng dari curah ke kemasan juga memiliki pengaruh terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja karena diproyeksikan dengan keberlanjutan program ini, maka jumlah penambahan lapangan kerja yang dapat diserap adalah sebanyak 32.000 orang untuk kegiatan pengemasan. Dengan demikian kebijakan ini tidak hanya berpengaruh terhadap stabilitas harga dan higienitas, namun juga berpotensi untuk menambah penerimaan pajak dari pajak penghasilan atas gaji yang diterima oleh karyawan. Pengaruh lain dari kebijakan ini adalah terbukanya potensi jalur distribusi baru sekaligus memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM) dimana UKM memiliki potensi untuk dapat berperan dalam usaha pengemasan karena pengemasan tidak memerlukan teknologi yang terlalu maju. Sehingga produsen minyak goreng hanya memproduksi minyak goreng dalam bentuk curah sesuai dengan SNI dan kemudian pengemasannya diserahkan kepada UKM.

Proses Perumusan[footnoteRef:21] [21: Diambil dari www.fiskal.depkeu.go.id%2F2010%2Fadoku%2F2011%255Ckajian%255Cpkpn%255CPaper_Kebijakan_PPN_DTP_Migor_2011 (on-line) bertype pdf file, diakeses pada 04 Oktober 2014 pukul 11:28 WIB.]

Berdasarkan hasil rapat pada tanggal 16 Desember 2010 di Ruang Rapat Pusat Kebijakan Pendapatan Negara yang dihadiri oleh para pejabat dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan disimpulkan bahwa Pemerintah tetap perlu melanjutkan kebijakan PPN DTP atas Minyakita untuk Tahun Anggaran 2011.Dan berdasarkan hasil Rakortas Ketahanan Pangan pada tanggal 9 Februari 2011 di Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian diputuskan bahwa fasilitas PPN DTP atas minyak goreng tahun 2011 selain diperuntukkan bagi minyak goreng kemasan sederhana merk Minyakita, juga diberikan untuk minyak goreng curah. Anggaran untuk PPN DTP minyak goreng "Minyakita" pada tahun 2011 dialokasikan sebesar Rp250.000.000.000,00. Anggaran tersebut berdasarkan proyeksi total perkiraan konsumsi minyak goreng dengan harga Rp8.000,00 per liter. Jumlah tersebut dimasukkan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja negara Tahun Anggaran 2011. Dan sesuai dengan amanat Undang-Undang tersebut, maka diterbitkanlah Peraturan menteri Keuangan nomor 26/PMK.011/2010 tanggal 17 Februari 2011 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng Kemasan Sederhana Di Dalam Negeri Untuk Tahun Anggaran 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan 29/PMK.011/2010 tanggal 2 Maret 2011 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng Sawit Curah Di Dalam Negeri Untuk Tahun Anggaran 2011 sebagai aturan pelaksanaannya.

Monitoring Pemanfaatan Insentif Fiskal[footnoteRef:22] [22: Diambil dari www.fiskal.depkeu.go.id%2F2010%2Fadoku%2F2011%255Ckajian%255Cpkpn%255CPaper_Kebijakan_PPN_DTP_Migor_2011 (on-line) bertype pdf file, diakeses pada 04 Oktober 2014 pukul 11:28 WIB.]

Meskipun untuk tahun 2011 fasilitas PPN DTP atas minyak goreng diberikan baik untuk minyak goreng kemasan sederhana maupun minyak goreng curah, namun tetap perlu dilakukan sosialisasi guna mendukung kelancaran program pengalihan minyak curah ke minyak kemasan sederhana yang lebih higienis mengingat realisasi pendistribusian Minyakita masih relatif kecil karena Minyakita merupakan merk baru yang belum terlalu dikenal oleh masyarakat. Sehubungan dengan tujuan kebijakan PPN DTP Minyakita dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng, Kementerian Perdagangan terus memonitor mengenai daerah-daerah yang mengalami gejolak harga minyak goreng dan kemudian menindaklanjutinya dengan melepas Minyakita ke pasar yang harga minyak gorengnya sedang bergejolak.Hasil monitoring mengenai realisasi PPN DTP atas minyak goreng akan sangat berguna dalam menentukan jumlah alokasi anggaran PPN DTP yang tepat untuk tahun berikutnya.Dan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomo 26/PMK.011/2011 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng Sederhana Di Dalam Negeri Untuk Tahun Anggaran 2011 bahwasanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas penyerahan minyak goreng sawit kemasan sederhana di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak ditangggung Pemerintah merupakan belanja subsidi pajak ditanggung pemerintah sebagamana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung pemerintah. Minyak Goreng Sawit kemasan sederhana adalah minyak goreng sawit curah yang dikemas dengan merek MINYAKITA diproduksi oleh produsen yang didaftarkan di Kementrian Perdagangan dengan model desain dan spesifikasi kemasan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan minyak goreng sawit kemasan sederhana di dalam negeri wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap PPN Ditanggung Pemerintah EKS PMK Nomor 26/PMK.011/2011.Selain itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Gunaryo, mengatakan, salah satu upaya menggairahkan penjualan Minyakita adalah merencanakan pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) untuk minyak goreng curah yang akan diberlakukan mulai 2014.

Minyak Goreng (Minyak Goreng Curah)Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan pajak pertambahan nilai minyak goreng curah masih ditanggung pemerintah sampai tahun depan. Dengan begitu, harga minyak goreng curah diharapkan tidak akan naik dan laju inflasi bisa ditekan. Terkait dengan hal itu, dia mengungkapkan masih akan mendorong program MinyaKita. Program ini adalah penjualan minyak goreng dalam kemasan yang disubsidi pemerintah. Saya ingin meng-encourage orang untuk membeli MinyaKita, kata Gita kemarin.Dari total 3,2 juta liter minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat, sebanyak 60-70 persen berupa minyak goreng curah, dan sisanya kemasan. Pemerintah mendorong penggunaan minyak goreng kemasan, khususnya MinyaKita, agar konsumen memilih produk higienis dan sebagai salah satu instrumen stabilisasi harga. Menurut Gita, tahun depan ditargetkan konsumsi minyak goreng curah bisa ditekan hingga di bawah 50 persen. Selain higienis, MinyaKita punya keunggulan karena harganya berbeda tipis dengan minyak goreng curah. MinyaKita dijual seharga Rp 9.500 per kemasan, lebih murah ketimbang minyak goreng curah, yang harganya Rp 10 ribuan per liter.Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Gunaryo mengungkapkan ada usulan menghapus pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk seluruh minyak goreng curah. Selama ini minyak goreng curah dipungut pajak sebesar 10 persen. Penghapusan pajak itu dilakukan lantaran harga minyak goreng cenderung stabil. Harga minyak goreng curah dan kemasan rata-rata nasional saat ini sebesar Rp 10.500 per liter dan Rp 9.600 per 620 mililiter. Belakangan pemerintah memutuskan menanggung PPN DTP minyak goreng curah untuk mencegah kenaikan harga.Gunaryo berharap disparitas harga minyak goreng curah dan MinyaKita semakin tipis. Saat ini produksi MinyaKita baru mencapai 2 persen dari total konsumsi 3,2 juta ton minyak goreng di Indonesia. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Erani Yustika, menilai penghapusan pajak untuk minyak goreng curah efektif menekan disparitas harga antara curah dan MinyaKita. Secara konvensional bisa efektif, ucapnya. Dia mengingatkan, permasalahan harga minyak goreng dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pasokan dan distribusi yang masih dikuasai segelintir pengusaha. Meski begitu, terobosan program pemerintah ini efektif meredam fluktuasi harga di pasar. Tahun ini (2011) pemerintah menyiapkan Rp 250 miliar untuk pengalihan minyak curah ke MinyaKita. Anggaran tersebut untuk menanggung PPN bagi produsen MinyaKita.Sementara pada tahun 2012 [footnoteRef:23]Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan pemerintah akan membahas lagi kerangka waktunya supaya ada tenggat yang jelas pemberian insentif tersebut untuk minyak goreng curah."Kami akan coba review dan membuat lagi time table yang lebih pas supaya ada batas waktunya untuk minyak curah," ujar Bayu, hari ini.Menurut Bayu, dalam desain awalnya, PPN DTP hanya diberikan kepada Minyakita. Minyakita adalah minyak goreng merek pemerintah dalam kemasan sederhana yang ditujukan untuk menggantikan penggunaan minyak goreng curah. Namun karena ada pertimbangan lain yaitu minyak curah yang beredar masih banyak, insentif itu diberikan juga kepada minyak goreng curah. Batas waktu pemberian insentif itu ditetapkan pada 2012."Pertimbangan kami saat itu, kalau kita cabut insentif untuk minyak curah, harganya pasti langsung naik. Akan kita lihat lagi timing yang pas. Kita akan bahas lagi."Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Gunaryo mengatakan pemerintah mulai mendorong lagi penjualan Minyakita di pasaran.Dia mengakui rendahnya penjualan Minyakita tersebut juga dipengaruhi oleh minimnya insentif bagi produsen Minyakita, sehingga menyebabkan produsen tidak bergairah memproduksi dan menjual Minyakita ke pasaran."Kita sudah mulai launching kembali setelah terhenti beberapa bulan," ujarnya. Dia mengungkapkan ada beberapa alasan mengapa penjualan Minyakita kembali digenjot. Saat ini, lanjutnya, hanya tinggal Indonesia dan Bangladesh yang masih mengonsumsi minyak goreng curah. Adapun negara lainnya telah menggunakan minyak goreng kemasan. [23: Diambil dari http://industri.bisnis.com/read/20111110/12/52904/insentif-ppn-dtp-minyak-goreng-dikaji-lagi (on-line) diakses pada 04 oktober 2014 pukul 13:24 WIB.]

Dari aspek ekonomi, lanjut Gunaryo, penggunaan Minyakita dapat mendorong stabilisasi harga minyak."Minyak dalam kemasan adalah barang dagangan. Kalau masih dalam format minyak curah, maka masuk dalam komoditi. Harga komoditi bisa naik turun tergantung situasi di luar sana sementara minyak kemasan relatif stabil. Ini yang kita dorong," jelasnya.Saat ini, kata Gunaryo, 63 % dari konsumsi minyak goreng dalam negeri merupakan minyak goreng curah. Jumlah tersebut, sambungnya, harus ditekan sehingga target penggunaan Minyakita secara menyeluruh pada 2015 dapat tercapai. Dia menambahkan selain aspek higienitas, penggunaan Minyakita juga dapat mendorong pertumbuhan sektor UKM terutama industri pengemasan.Gunaryo mengatakan dari 23 produsen Minyakita, hanya sembilan produsen yang aktif memproduksi minyak kemasan tersebut.Wilayah pemasarannya pun, masih terbatas di tujuh wilayah yaitu Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Denpasar, dan Makasar."Kami sudah melakukan kerjasama dengan distributor di daerah untuk mulai mengedarkan Minyakita."Dia berharap semakin tingginya konsumsi Minyakita di pasaran, dapat mendorong 14 produsen lainnya untuk kembali memproduksi dan menjual Minyakita.Sementara itu menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.011/2011 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng Sawit Curah Di Dalam Negeri Untuk Tahun Anggaran 2011 menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan minyak goreng sawit curah di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak ditanggung Pemerintah merupakan belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan minyak goreng sawit curah di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak ditanggung Pemerintah, diberikan pagu anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 dan perubahannya. Minyak goreng sawit curah yang dimaksud adalah minyak goreng sawit curah dan tidak bermerek. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan minyak goreng sawit curah di dalam negeri wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 29/PMK.011/2011.

Eksplorasi Migas dan Panas BumiMenurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Untuk Kgiatan Usaha Hulu Ekspolarasi Minyak Dan Gas Bumi Serta Kegiatan Usaha Ekspolarasi Panas Bumi Untuk Tahun Anggaran 2011 menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai terutang atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi oleh pengusaha di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau pengusaha di bidang kegiatan usaha panas bumi, ditanggung Pemerintah. Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah tersebut merupakan belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah. Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah tersebut diberikan pagu anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 beserta perubahannya.Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah tersebut diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi dengan ketentuan sebagai berikut:a. barang tersebutbelum dapat diproduksi di dalamnegeri;b. barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasiyang dibutuhkan;c. barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.

Kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi tersebut adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah yang ditentukan. Kegiatan usaha eksplorasi panas bumi tersebut juga adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika,geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaaan guna menemukan dan mendapatkanperkiraanpotensi panas bumi. Pengusaha yang sebagaimana dimaksud adalah:a. Pengusaha di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang mengikat kontrak kerjasama dengan Pemerintah Republik Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.b. Pengusaha di bidang kegiatan usaha panas bumi yang telah mengikat kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia atau mendapat Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi setelah tanggal 31 Desember 1994, atau pengusaha di bidang panas bumi yang mendapatkan penugasan untuk melakukan survei pendahuluan dari Pemerintah Republik Indonesia.

Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 adalah barang- barang yang tercantum dalam Pemberitahuan Pabean Impor yang telah mendapatkan nomor pendaftaran dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai atau Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai pelabuhan pemasukan sejak berlakunya PeraturanMenteri Keuangan ini.Permohonan untuk mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dilampiri dengan Rencana Impor Barang (RIB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011.Permohonan untuk mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dilampiri dengan Rencana Impor Barang (RIB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011.RIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 paling sedikit memuat elemen data sebagai berikut:a. Nomor danTanggal RIB;b. Nama PerusahaanKontraktor;c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);d. Alamat;e. Dasar Kontrak;f. Wilayah Kontrak;g. Kantor Pabean Tempat Pemasukan Barang;h. Pos Tarif;i. Uraian Barang;j. Negara Asal Barang;k. Jumlah/Satuan Barang;l. Perkiraan Harga/Nilai Impor;m. Jenis Kegiatan (eksplorasi atau eksploitasi);n. PimpinanPerusahaan Kontraktor.

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 diajukan bersama-sama dalam 1 (satu) RIB dengan pengajuan. permohonan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi beserta perubahannya.Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah menerima dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 , selanjutnya membubuhkan cap PPNDITANGGUNG'PEMERINTAH EKS PMK 22/PMK.011/2011 pada semua lembar Pemberitahuan Pabean Impor dan Surat Setoran Pajak.SalinanRIB sebagaimana dimaksud dalamPasal 5 ayat (1) atau ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 disampaikan kepada:a. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi untuk bidang usaha hulu minyak dan gas bumi;b. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk bidang usaha panas bumi.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan Daftar Jumlah Pajak ditanggung Pemerintah setiap triwulan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk belanja subsidi Pajak Ditanggung Pemerintah, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya triwulan.Berdasarkan Daftar Jumlah Pajak Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011, Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan memerintahkan kepada PejabatPembuatKom.itmen dan Pejabat PenandatanganSuratPerintah Membayar sesuaitugasnya masing-masing untuk:a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi pajak ditanggung pemerintah;b. Membuat Surat Perintah Membayar;c. Menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk subsidi Pajak Ditanggung Pemerintah.

BAB IIIPENUTUP5.1 Kesimpulan1. Walau konsep mengenai tax expenditure baru berkembang pada akhir 1906-an, sesungguhnya hal tersebut sudah hidup sejak lama dalam sistem perpajakan di berbagai negara. Di berbagai negara maju, terutama OECD, terdapat tren semakin pentingnya peran pelaporan dan evaluasi atas kebijakan tax expenditure. Menurut kami, definisi tax expenditure yang tepat bagi Indonesia adalah: Berbagai ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system), yang memiliki relevansi tujuan pembangunan yang jelas, menyasar pada kelompok atau individu tertentu, dan memengaruhi jumlah penerimaan pajak. Intinya memang betul bahwa terdapat pendapat yang menyatakan pentingnya mengeliminasi tax expenditure; walau demikian pemerintah Indonesia hendaknya tidak serta merta menghapus maupun mengurangi berbagai tax expenditure yang sudah ada. Tax expenditure pada hakikatnya bukanlah kesiaan belaka, namun yang paling penting adalah menyatukan (sinergi) hal tersebut dalam kerangka anggaran (budget framework).2. Mengenai penerapan Tax Expenditure (Pajak Ditanggung Pemerintah) dalam rana ataupun kategori Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kami menyimpulkan bahwasanya PPN-DTP ini sudah diatur sejak tahun 2008 silam. Namun, dikondisikan berbagai hal ataupun aspek, peraturan yang mengatur PPN-DTP ini sendiri telah mengalami beberapa perubahan yang sampai sekarang pun belum ditentukan dengan pasti oleh pihak terkait (dalam konteks ini mengacu pada Menteri Keuangan ataupun Direktorat Jendera Pajak). Namun dari berbagai artikel ataupun paper yang telah kami baca dari berbagai sumber, bahwasanya peraturan itu masih berlaku sampai sekarang ini (2014), walau hanya beberapa barang/sektor saja yang masih berlaku. Tapi walalaupun begitu, kami sangat berharap semoga kiranya makalah yang kami berikan ini bisa diterima dengan baik oleh Dosen Pengampu kami Bapak Arridho Abduh.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.011/2011 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng Sawit Curah Di Dalam Negeri Untuk Tahun Anggaran 2011.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.011/2011 Tentang Pajak PertambahanNilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang Untuk Kgiatan Usaha Hulu Ekspolarasi Minyak Dan Gas Bumi Serta Kegiatan Usaha Ekspolarasi Panas Bumi Untuk Tahun Anggaran 2011.Peraturan Menteri Keuangan Nomo 26/PMK.011/2011 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng Sederhana Di Dalam Negeri Untuk Tahun Anggaran 2011.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi beserta perubahannya.Zhicheng Li Swift, Hala Polackova Brixi, dan Christian Valenduc, Op.Cit, 1-16.Marc Seguin dan Simon Burr, Federal Tax Expenditure in Canada dalam Tax Expenditure Shedding Light onGovernment Spending through Tax System, ed Hana Polackova Brixi, Christian M.A Valenduc, dan Zicheng Li Swift, (Washington D.C: The World Bank, 2004), 99 103.OECD, Tax Expenditure in OECD Coountries, Op.Cit, 18.Yaobin Shi, Establishing a Tax Expenditure Administrative System that Achieves a Sound Fiscal System in China dalam Tax Expenditure.Direktorat Jenderal Pajak, Fasilitas dan Insentif Pajak Penghasilan di Indonesia : Edisi III, 2013, dengan beberapa penambahan (update) atas beberapa ketentuan yang berlaku.Lisa Philipps, The Globalization of Tax Expenditure Reporting;Tranpalanting Transparency in India and The Global South, Osgoode Hall Law School Research Paper No 43/2012 (2012):14.Zhicheng Li Swift, Hana Polackova Brixi, dan Christian Valenduc, Op.Cit, 22.Jens Arnold, Improving The Tax System in Indonesia, OECD Economics Department Working Papers No. 998, OECD Publlishing, 2012, 29.Zhicheng Li Swift, Hana Polackova Brixi, dan Christian Valenduc, Op.Cit, 20Jens Arnold, Op.Cit, 14.(on-line), (http://pajaktaxes.blogspot.com/2008/03/pajak-ditanggung-pemerintah-demi.html) diakses pada 04 Oktober 2014 pukul 16:23 WIB.(on-line), (http://bpkimi.kemenperin.go.id/bpkimi/index.php?r=site/page&id=220) diakses pada 04 Oktober 2014 pukul 13:20 WIB.(on-line), (http://industri.bisnis.com/read/20111110/12/52904/insentif-ppn-dtp-minyak-goreng-dikaji-lagi) diakses pada 04 oktober 2014 pukul 13:24 WIB. (on-line), (www.fiskal.depkeu.go.id%2F2010%2Fadoku%2F2011%255Ckajian%255Cpkpn%255CPaper_Kebijakan_PPN_DTP_Migor_2011) bertype pdf file, diakeses pada 04 Oktober 2014 pukul 11:28 WIB.42