Top Banner
“TENTANG SAYA” 1 KHAERUL UMAM NOER Tulisan ini adalah versi lain dari tulisan yang telah saya ajukan dalam tugas yang berbeda. Sebagaimana tulisan sebelumnya, saya katakan bahwa tidak ada pretensi atau tendensi apapun ketika tulisan ini dibuat. Tulisan ini jauh lebih ringkas, sebab saya tidak membagi periode waktu kehidupan saya sebagaimana yang saya lakukan sebelumnya, namun tetap tidak mengurangi konten yang harus dibicarakan. Sedapat mungkin saya menceritakan bagaimana perlintasan- perlintasan hidup, yang telah membuat diri saya saat ini, yang membentuk pandangan hidup saya saat ini, yang dalam prosesnya telah mengubah hidup saya selamanya. Tulisan ini hanya dibangi dalam dua bagian. Pada bagian pertama saya akan bercerita mengenai perlintasan- perlintasan hidup saya. Mengingat tulisan ini dibuat hampir bersamaan dengan tugas sebelumnya, maka saya pun mempergunakan lima sumber data yang sama: diri saya sendiri, keluarga saya, catatan pribadi saya, dokumentasi foto dan video, dan dokumen resmi (termasuk sertifikat, piagam, dan lain sebagainya). Bagian kedua berisi pandangan saya mengenai kebudayaan. Pandangan saya itu tidak lain adalah refleksi saya atas keadaan diri saya, bagaimana saya 1 Diajukan sebagai tugas akhir Matakuliah Konsep Kebudayaan Dalam Kajian Antropologi, Program Pascasarjana Antropologi, Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia Tahun 2011. Secara pribadi saya ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Iwan Tjitradjaja, Ph.D. atas bimbingannya sepanjang kuliah tersebut. http://www.umamnoer.com 3
47

Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Jul 04, 2015

Download

Documents

Tulisan ini adalah refleksi atas diri saya, karenanya bersifat sangat subjektif. Jika anda ingin mengenal saya lebih dekat, anda dapat membaca tulisan ini. Tulisan ini adalah tugas kuliah Konsep Kebudayaan Dalam Kajian Antropologi, Program Pascasarjana Antropologi, Departemen Antropologi FISIP UI. Secara khusus saya ingin berterimakasih kepada Iwan Tjitradjaja, Ph.D atas bimbingannya sepanjang kuliah ini dan teman-teman lainnya.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

“TENTANG SAYA”1

KHAERUL UMAM NOER

Tulisan ini adalah versi lain dari tulisan yang telah saya ajukan dalam tugas yang berbeda. Sebagaimana tulisan sebelumnya, saya katakan bahwa tidak ada pretensi atau tendensi apapun ketika tulisan ini dibuat. Tulisan ini jauh lebih ringkas, sebab saya tidak membagi periode waktu kehidupan saya sebagaimana yang saya lakukan sebelumnya, namun tetap tidak mengurangi konten yang harus dibicarakan. Sedapat mungkin saya menceritakan bagaimana perlintasan-perlintasan hidup, yang telah membuat diri saya saat ini, yang membentuk pandangan hidup saya saat ini, yang dalam prosesnya telah mengubah hidup saya selamanya.

Tulisan ini hanya dibangi dalam dua bagian. Pada bagian pertama saya akan bercerita mengenai perlintasan-perlintasan hidup saya. Mengingat tulisan ini dibuat hampir bersamaan dengan tugas sebelumnya, maka saya pun mempergunakan lima sumber data yang sama: diri saya sendiri, keluarga saya, catatan pribadi saya, dokumentasi foto dan video, dan dokumen resmi (termasuk sertifikat, piagam, dan lain sebagainya). Bagian kedua berisi pandangan saya mengenai kebudayaan. Pandangan saya itu tidak lain adalah refleksi saya atas keadaan diri saya, bagaimana saya memandang diri saya, dan mengaitkannya dalam konteks kebudayaan.

Tulisan ini mencoba sedapat mungkin untuk merangkum dua puluh empat tahun hidup saya. Menarasikan hidup adalah sebuah tantangan, dan untuk menjawab tantangan, sekaligus tugas akademik, saya mulai menuliskan cerita saya. Oleh karena itu, izinkan saya bertutur.

1 Diajukan sebagai tugas akhir Matakuliah Konsep Kebudayaan Dalam Kajian Antropologi, Program Pascasarjana Antropologi, Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia Tahun 2011. Secara pribadi saya ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada Iwan Tjitradjaja, Ph.D. atas bimbingannya sepanjang kuliah tersebut.

http://www.umamnoer.com3

Page 2: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

I

Dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Ujungharapan pada tanggal 23 Maret 1986, anak laki-laki kecil itu diberi nama Khaerul Umam Noer. Agak aneh sebenarnya, karena saya memiliki dua buah nama dengan hanya perbedaan kecil: Khoirul Umam Noer dan Khaerul Umam Noer. Nama kedua lebih saya gunakan, sebab nama kedua ini tercantum di ijazah. Saya memiliki dua buah akta kelahiran, dua buah KTP (yang satu sudah hampir mati), dan tercantum di dua Kartu Keluarga. Barangkali hal tersebut dianggap melanggar aturan, namun faktanya di daerah saya memiliki lebih dari satu pengenal bukan hal yang aneh.

Dahulu desa tersebut lebih dikenal dengan Ujungmalang, dan konon atas saran dari Adam Malik berubah nama menjadi Ujungharapan. Desa tersebut kini menjadi kelurahan Bahagia, dan nama Ujungharapan telah turun pangkat hanya sebatas kampung. Kelurahan Bahagia terletak di Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Desa tersebut adalah perlintasan, bahkan sejak desa tersebut kali pertama mengenal jalan.

Desa tersebut adalah perlintasan utama, bagi mereka yang berasal dari wilayah Babelan dan Bojong untuk menuju Bekasi dan Jakarta Timur atau sebaliknya. Saat ini bahkan menjadi jauh lebih sibuk, terutama sejak dimulainya ekplorasi minyak bumi oleh Pertamina di kawasan Wates, tidak jauh dari desa tersebut; dan dengan mulai masuknya para pengembang, menginvasi desa tersebut dengan “rumah monopoli”, dan menjadikannya sebagai hunian para pekerja, musafir yang telah meninggalkan kampung halamannya.

Anak laki-laki kecil itu tumbuh sebagaimana anak laki-laki lainnya. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang panuh kasih sayang (setidaknya saya memandangnya seperti itu), anak laki-laki kecil itu tumbuh menjadi laki-laki yang ada saat ini. Anak itu, merupakan kombinasi genetis yang mengagumkan. Perpaduan dari DNA Bekasi (ibu saya lahir dan dibesarkan di Bekasi) dan DNA Cirebon (ayah saya dilahirkan dan dibesarkan di Cirebon), perpaduan etnisitas Betawi dan Sunda, perpaduan temperamental yang berbeda, itu lah saya.

http://www.umamnoer.com3

Page 3: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis, jika saya diizinkan menyatakan hal tersebut. Sejak usia sangat dini saya sudah dikenalkan dengan agama Islam. Sejak usia kanak-kanak saya sudah masuk Taman Kanak-Kanak yang memfokuskan pada pembelajaran Al Quran. Sayang sekali saat itu (sebelum tahun 1990) istilah Taman Pendidikan Al Quran belum dikenal, barangkali kalau sudah ada pasti saya dimasukkan ke TPA oleh orangtua saya.

Sejak TK, terutama sejak saya telah menyelesaikan pendidikan Iqra (panduan singkat mempelajari dan membaca Al Quran), saya sudah dibelikan Al Quran super besar. Saya masih menyimpan Al Quran tersebut. Al Quran hardcover dengan sampul berwarna biru bercampur ungu dan putih, dengan plastik laminating yang sudah mengelupas di sana-sini. Hurup Al Quran tersebut besar, sangat besar malah. Barangkali orangtua saya bertujuan agar saya dapat dengan mudah membaca Al Quran. Agak menggelikan sesungguhnya bagi saya, sebab ketika saya kali pertama memegang Al Quran tersebut bahkan saya tidak dapat mengangkatnya tinggi-tinggi, selain bahwa pada saat yang bersamaan saya masih belajar Iqra jilid V. Kali pertama saya membaca Al Quran, saya ingat betul, butuh waktu hampir tujuh tahun untuk menyelesaikan bacaan saya. Pada saat saya takhtim (menamatkan membaca Al Quran) untuk pertama kali, orangtua saya menyelenggarakan sebuah acara kecil-kecilan, dengan membagikan makanan ke saudara-saudara yang rumahnya berdekatan dengan rumah. Satu hal lain yang saya ingat, sejak saya takhtim itu, saya dibebaskan untuk memilih Al Quran mana pun yang saya suka.

Saya ingat, pilihan saya saat itu adalah Al Quran yang dibawa oleh ibu saya ketika dia pulang dari menunaikan ibadah haji pada tahun 1996. Al Quran tersebut terlihat begitu cantik di mata saya. Dengan ukuran yang jauh lebih kecil dari Al Quran pertama saya, AL Quran tersebut dibungkus dengan kulit berwarna abu-abu yang dicap kaligrafi berwarna emas, dan memiliki kotak pembungkus yang dibalut beludru warna senada. Sangat disayangkan, Al Quran tersebut lenyap entah ke mana. Satu hal yang nampaknya jelas, sejak saat itu, setiap saya mengganti Al Quran, saya selalu memilih Al Quran yang dicetak di Arab Saudi, pun ukurannya semakin mengecil. Al Quran yang saya pergunakan saat ini (jika tidak salah ingat ini Al Quran yang kedelapan), saya beli di sebuah toko di Madinah ketika melaksanakan

http://www.umamnoer.com3

Page 4: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

haji pada tahun 2009 lalu, sebuah Al Quran seharga 27 real (jika di rupiah kan kurang lebih Rp. 67.500). Al Quran hardcover berwarna biru, dengan kertas yang sangat tipis, seperti kertas roti, dan ukurannya yang kecil, lebih besar sedikit ketimbang kartu ATM, dan ketebalannya yang tipis, membuatnya nyaman di genggaman tangan saya.

Saya ingat bagaimana kebiasaan keluarga saya untuk bertadarus (satu orang mengaji dan yang lainnya menyimak) Al Quran setiap hari setelah melaksanakan salat magrib. Terus terang saya merindukan kebiasaan tersebut. Kebiasaan ini mulai punah manakala saya menginjak ke Madrasah Tsanawiyah. Setiap selesai magrib, saya biasanya membaca Al Quran, dan ibu saya mendengarkan dari kamarnya yang tidak jauh dari tempat saya mengaji. Agak aneh sebenarnya, sebab ibu saya selalu tahu ketika saya salah dalam membaca dengan berdehem, tanda yang digunakan kalau saya salah dalam membaca, dan saya akan mengulangi bacaan tersebut. Jika dibandingkan ibu yang sangat ketat dalam mengajarkan anak-anaknya membaca Al Quran, ayah saya cenderung lebih bebas dalam mendidik saya dan kedua kakak saya dalam membaca Al Quran.

Saya baru menyadari, ibu saya baru akan melepas anak-anaknya untuk membaca Al Quran tanpa pengawasan yang ketat ketika anaknya telah menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah. Barangkali, saya menduga, hal ini didasarkan pada asumsi, ketika saya dan kedua kakak saya telah memasuki Madrasah Tsanawiyah dianggap telah mampu membaca Al Quran secara mandiri tanpa perlu pengawasan yang terlalu ketat. Namun hanya ketika kami beranjak ke Madrasah Aliyah lah ibu saya baru melepaskan sepenuhnya anak-anaknya untuk mengaji.

Ayah saya, dalam derajat tertentu, adalah kebalikan dari ibu saya. Jika ibu saya begitu ketat mendidik anak-anaknya dalam masalah pelajaran agama Islam, utamanya mempelajari penulisan hurup Arab; ayah saya justru ketat mendidik kami dalam penulisan hurup latin. Ayah saya, sejak saya masih kanak-kanak, telah mengajarkan saya membaca hurup latin. Dahulu di rumah keluarga saya terdapat satu ruang yang dinamakan ruang koboi. Di kamar tersebut diletakkan puluhan lemari yang penuh krayon, pensil gambar, dan kertas;

http://www.umamnoer.com3

Page 5: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

terdapat pula papan tulis dan kota berisi mainan lainnya. Singkatnya, kamar itu adalah kamar teman saya dan kedua kakak saya bermain. Saat ini kamar itu telah berubah fungsi menjadi musalla, tempat salat bagi para tamu yang kebetulan datang ke rumah.

Saat ini saya semakin menyadari kebiasaan menulis yang berbeda antara ibu dan ayah saya. Ibu saya lebih banyak menggunakan bahasa Arab atau setidaknya Melayu ketika menulis catatan-catatan yang akan dia pergunakan ketika mengajar. Ibu saya baru akan menuliskan catatan dengan hurup latin pada dua keadaan: entah itu menulis catatan belanja atau catatan gaji tukang yang bekerja untuk ibu saya. Ayah saya adalah kebalikannya, ayah saya selalu mempergunakan hurup latin ketika menuliskan catatan. Saya sangat jarang melihat ayah saya mempergunakan hurup Arab, meskipun ayah dan ibu saya adalah lulusan Timur Tengah.

Lebih jauh lagi, ibu saya memiliki toleransi yang rendah sekali terhadap kemalasan anak-anaknya dalam belajar mengaji. Meskipun saya tidak pernah mendapatkan hukuman serius dari ibu saya, namun kedua kakak saya pernah mendapat hukuman dari ibu saya karena malas dalam belajar mengaji. Ayah saya lagi-lagi adalah kebalikan dari ibu saya. Ayah saya memiliki tingkat toleransi yang besar terhadap anak-anaknya yang sering malas belajar mengaji.

Saat saya mulai masuk ke sekolah dasar, saya dimasukkan ke Madrasah Ibtidaiyah Attaqwa 03 tidak jauh dari rumah saya. Barangkali ini kebiasaan orangtua saya. Sekolah TK saya persis berada di seberang rumah, jadi ibu saya hanya mengantar ke pintu gerbang, melihat anaknya menyebrangi jalan, dan disambut oleh guru di pintu gerbang sekolah. Ibu saya, begitu saya telah selamat tiba di sekolah, yang memang berada di depan rumah, langsung masuk ke rumah dan bersiap untuk mengajar. Maklum lah, ibu saya bukan lah tipe ibu rumah tangga yang menetap di rumah sepanjang hari, apalagi menunggui anaknya yang ‘bersekolah’ di Taman Kanak-kanak.

Sejak awal saya menyadari, bahwa ibu saya bukan lah milik saya pribadi, ia adalah milik masyarakat. Ibu saya adalah seorang yang mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk dunia pendidikan. Ia mengajar di, entah berapa banyak, majelis taklim perempuan yang ada di wilayah Bekasi, Jakarta, dan kadangkala Karawang. Ia juga

http://www.umamnoer.com3

Page 6: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

mengajar di Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Setiap hari, ibu saya menerima banyak tamu, baik itu murid-muridnya yang berasal dari berbagai wilayah, staf tata usaha Pondok Pesantren Attaqwa Putri yang memberikan laporan kegiatan, maupun para pejabat, mulai dari yang penting sampai yang sok penting. Saya sih senang-senang saja, toh banyak makanan yang tersedia, jadi dalam hal terdapat simboisis mutualisme antara saya dan ibu saya. Ibu saya, melalui tamu yang datang, menghasilkan banyak makanan, sedangkan saya menyediakan keramahan dan waktu untuk menyambut setiap tamu yang datang.

Ibu saya menyediakan banyak waktu untuk mengajar, sebanyak waktu yang ia sediakan untuk menerima kunjungan dari murid-muridnya. Saya tidak tahu persis sejak kapan ibu saya berkecimpung di dunia pendidikan. Menurut pengakuan muridnya, yang merupakan ibu dari teman saya, ibu saya pernah mengajar ketika ibu teman saya itu sedang di Madrasah Tsanawiyah tahun 1973. Jika informasi tersebut benar, berarti ibu saya telah mengajar hampir empat puluh tahun. Bukan waktu yang sebentar, pun bukan waktu yang panjang. Bagi ibu saya, waktu adalah relatif. Saya semakin melihat kebenaran kata-kata ibu saya mengenai relativitas waktu. Rasanya baru kemarin ketika saya menyelesaikan pendidikan saya di Madrasah Aliyah dan menerima ijazah saya, namun ternyata sudah tujuh tahun yang lalu.

Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa yang dilakukan ibu saya terkait erat dengan “status” yang dia sandang. Sebagai anak dari seorang Pahlawan Nasional, kakek saya, Almaghfurillah KH. Noer Alie, konon katanya membesarkan anak-anaknya untuk meneruskan cita-citanya, membentuk sebuah masyarakat madani yang menjadikan pendidikan sebagai asas pembentuknya. Saya rasa kakek saya pasti bangga dengan anak-anaknya, entah apakah dia memiliki kebanggaan yang sama dengan cucu-cucunya. Keluarga besar saya, tidak hanya ibu saya saja, yang hampir seluruhnya berkecimpung di dunia pendidikan, memandang pendidikan sebagai suatu kewajiban, hampir-hampir sebagai perintah Allah yang harus diimani. Oleh karena itu, tidak lah terlalu mengherankan, manakala pendidikan menjadi kompetisi tersendiri dalam keluarga kami.

http://www.umamnoer.com3

Page 7: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Ayah saya, dalam banyak hal, memiliki perbedaan dengan ibu saya. Meskipun sama-sama mengabdikan diri pada dunia pendidikan, ayah saya tidak lah mengajar di taklim-taklim sebagaimana ibu saya. Pengajian atau majelis taklim bagi laki-laki di tempat saya memang agak jarang, yang banyak itu adalah pengajian laki-laki yang berkaitan dengan kegiatan “dadakan” seperti ratib atau haul (umumnya memperingati tahun kematian seseorang), ada pula taklim biasa namun ayah saya datang hanya sebagai tamu biasa. Ayah saya, seingat saya, agak jarang untuk hadir ke acara-acara yang sifatnya seremonial. Biasanya ayah saya datang ke acara yang mengundang dirinya, terutama jika si pengundang itu memiliki hubungan dengan ayah saya, entah itu murid atau kolega.

Ayah saya lebih tertarik membangun relasi-relasi pribadi dengan orang-orang ada di sekitarnya. Saat ini bahkan lebih ajaib lagi. Ayah saya adalah pendengar yang luar biasa. Dia dapat mendengarkan ocehan orang tanpa sekalipun membuat orang tersebut merasa telah mengoceh terlalu banyak. Ayah saya sanggup mendengar keluhan atau curhat sepanjang waktu, terutama setelah salat zuhur atau asar, tanpa sedikit pun mencela orang tersebut. Ayah saya adalah tipe orang ikhlas bangun dari tidur siang hanya untuk mendengar curhat dari para tamu yang menyengajakan diri datang. Akibat dari kemampuannya yang luar biasa ini, banyak orang yang tiba-tiba datang ke rumah mencari ayah saya. Tentu saja awalnya hal ini sangat mengagumkan saya dan keluarga. Bayangkan, agaknya ayah saya mengisi “celah kehampaan”, di mana orang hanya bicara tanpa mau mendengarkan. Saya bahkan sering tertawa terkikik ketika melihat ayah saya dalam posisi dewa: bersandar dengan miring, dengan tangan kanan menyandar ke pegangan sofa, dan tangan kirinya berada di pahanya, sebuah posisi sempurna yang menggambarkan seseorang yang sedang mendengarkan dengan seksama. Di tambah segelas teh hangat dan beberapa potong gorengan, saya percaya, bahkan pun terjadi gempa, ayah saya tidak akan bergeser dari posisinya.

Jika ada hal yang sering membuat saya risih tekait dengan ayah saya, maka itu adalah sebutan yang gelar yang disematkan di depan nama ayah saya: kiai. Saya bukan anak kiai, sebab saya tidak pernah menganggap ayah saya sebagai kiai. Bahkan ayah saya sendiri sering

http://www.umamnoer.com3

Page 8: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

tertawa ketika dipanggil kiai. Salah satu keunggulan yang dimiliki ayah saya adalah kemampuannya untuk memberikan sugesti kepada orang lain. Kemampuan ini tidak mempan terhadap anak-anaknya. “Kesaktian” ayah saya boleh dikatakan sudah melegenda. Banyak di antara murid-muridnya datang ke rumah hanya untuk curhat, dan ayah saya hanya memberikan sedikit nasihat, dan mereka yang datang akan mengangguk-angguk terkena mantra sugesti ayah saya. Kadang saya berpikir, mengapa saya yang notabene adalah anaknya seringkali tidak sependapat dengan ayah saya. Lebih mengherankan lagi adalah pandangan heran orang-orang yang jika saya katakan ayah saya hanya lah seorang pria paruh baya yang doyan makan gorengan dan penuh humor. Barangkali mereka berpikir ayah saya lebih sakti dari yang dipertunjukkan, namun saya dapat meyakinkan siapa pun yang mengenal ayah saya, bahwa ayah saya hanya lah orang yang sangat tidak luar biasa.

Saya belajar banyak hal dari ibu dan ayah saya. Saya belajar banyak mengenai etos kerja, tanggungjawab dan loyalitas dari ibu saya, bagaimana ia bekerja untuk memajukan pendidikan murid-muridnya tanpa memandang batasan usia, gender dan etnisitas. Saya belajar banyak mengenai toleransi, keterbukaan dan humor dari ayah saya, bagaimana ia mampu membangun relasi dengan banyak orang sekaligus membuka diri mereka pada orang-orang tersebut. Kedua orangtua saya tentu saja mengajarkan banyak hal secara formal, namun mereka mengajarkan lebih banyak lagi secara non formal.

Hal lain yang saya pelajari dari kedua orang saya adalah tujuan dan negosiasi untuk mencapai tujuan tersebut. Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga di mana negosiasi menjadi salah satu cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Walaupun terkesan diktator dan otoritarian, ibu dan ayah saya mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mengatakan apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka inginkan, dan apa yang mereka keluhkan. Saya sendiri sejak kecil telah bernegosiasi dengan ibu dan ayah dalam banyak hal. Ketika saya kecil misalnya, ibu saya selalu bernegosiasi pada saat saya hendak membaca komik. Ibu saya selalu berkata kepada saya “penuhi hak Tuhan baru tuntut hakmu”, maksudnya adalah agar saya terlebih dahulu salat atau mengaji baru nonton tv atau baca komik.

http://www.umamnoer.com3

Page 9: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Semakin beranjak dewasa, saya baru menyadari, bahwa saya semakin mahir melakukan negosiasi dengan ibu dan ayah saya. Misalnya ketika ketika saya bernegosiasi untuk tidak dikirim ke Madura, atau ketika saya menolak untuk ke Timur Tengah, atau ketika saya memilih satu subjek ilmu yang bahkan tidak saya ketahui wujudnya: antropologi. Saya menyadari sepenuhnya negosiasi yang saya lakukan dengan ibu dan ayah saya adalah cara mereka membangun karakter demokrasi di rumah kecil kami. Karakter yang sama yang coba dibangun pada dua orang anaknya yang lain.

Saya adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertama saya laki-laki bernama Adang Iskandar, sedangkan kakak kedua saya perempuan bernama Ade Nailul Huda. Sama seperti saya, kedua kakak saya menerima pendidikan yang sama baiknya dengan saya. Saat ini, keduanya sudah menikah, dan nampaknya mereka akan sangat sibuk dengan keluarga masing-masing. Kakak pertama saya menikah dengan perempuan bernama Siti Hinsyana Nunia, dan dikaruniai satu orang anak perempuan bernama Azka Arzaki. Kakak kedua saya menikah dengan laki-laki bernama M. Azizan Fitriana, dan dikaruniai satu orang anak perempuan bernama Ma’azzah Nurul Maula. Nah, karena saya saat ini belum menikah, saya menikmati waktu saya bermain dengan dua orang keponakan, yang walaupun sering bikin saya jengkel setengah mati, tapi mereka dapat membawa warna baru dalam kehidupan saya.

Kakak pertama saya, Adang Iskandar, numpang lahir di negri orang. Lahir ketika orangtua saya sedang menyelesaikan studi magister di Al Azhar Mesir, namun jangan bayangkan kakak laki-laki saya mirip orang Arab, ia jauh berbeda bahkan dalam imaji paling absurd sekalipun. Secara umum, kami bertiga tidak ada satu pun yang mirip. Berbeda dengan teman-teman saya yang dalam derajat tertentu memiliki kemiripan fisik dengan kakaknya, saya sama sekali tidak mirip dengan kakak-kakak saya. kemiripan di antara kami bertiga terletak pada temperamen dan kadar emosi. Kakak laki-laki saya selalu mengatakan bahwa ia adalah eksperimen pertama dari ibu dan ayah saya. Dia dibesarkan, menurutnya, dalam lingkungan yang ortodoks. Menurut pengakuan kedua kakak saya, mereka sering dihukum oleh ibu saya manakala mereka gagal membaca Al Quran atau malas mengaji atau

http://www.umamnoer.com3

Page 10: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

bahkan malas ke sekolah. Berbeda dengan saya, yang lagi-lagi menurut mereka, lebih ringan bahkan lebih lembek.

Kakak laki-laki saya ini dapat digolongkan sebagai tipe yang santai. Barangkali karena orangtua tidak terlalu memberikan target yang harus dicapai dalam dunia akademik. Kakak laki-laki saya adalah satu-satunya orang yang sempat merasakan bersekolah di luar Attaqwa ketimbang dua adiknya. Pada saat menginjak Madrasah Aliyah, kakak saya pindah ke Pondok Modern Islam Assalam yang terletak di Surakarta. Saya ingat betul kebiasaan saya dan ayah saya, yang setiap jumat pertama pasti ke terminal Pulogadung untuk mengunjungi kakak saya di pondoknya. Ayah saya memiliki teman di Solo, dahulu teman ayah saya mengajar di Ngruki, namun kemudian entah karena alasan apa ia pindah untuk mengajar ke Assalam. Setiap mengunjungi kakak saya, sambil membawa pesanannya yang luar biasa banyak dan merepotkan, ayah saya selalu datang ke rumah temannya untuk menginap. Setiap jumat sore saya dan ayah saya berangkat, menginap satu malam di Solo, dan senin pagi dapat dipastikan kami telah tiba kembali di rumah.

Kakak saya, walaupun sering menjengkelkan, adalah tumpuan keluarga untuk hal-hal yang berkaitan dengan komputer. Adalah sebuah kesalahan, setidaknya bagi saya, ketika kakak saya mengambil kuliah di bidang ekonomi Islam, padahal ia akan jauh lebih baik mengembangkan diri jika mengambil komputer atau teknologi informasi. Walaupun akhirnya lulus juga, dengan sejumlah pelototan mata dan omelan orangtua, terutama sejak ibu saya menerobos urusan akademik dengan menghubungi temannya, yang merupakan guru besar di UIN, untuk membantu kakak saya. Saat ini kakak saya sedang menikmati usahanya yang baru, entah yang keberapa saya lupa, yang lagi-lagi berhubungan dengan teknologi.

Kakak kedua saya, perempuan, dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan saya. Kami berdua sama-sama doyan masak dan makan. Kami berdua pun berbagi beban akademik yang sama yang diberikan orangtua. Entah kenapa, ayah dan ibu saya selalu memberikan target akademik yang harus dicapai oleh kakak perempuan saya dan saya. Saya sendiri tidak mau berspekulasi lebih jauh mengenai hal ini. Kakak perempuan saya, karena merupakan

http://www.umamnoer.com3

Page 11: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

kakak perempuan satu-satunya, adalah teman yang baik untuk bercerita. Saya dan kakak saya yang satu ini, dahulu ketika kami masih bersekolah, sering mengendap-endap pada malam hari ke dapur, memasak nasi goreng, yang celakanya lebih sering terlalu pedas atau asin, kemudian ngobrol di depan teve sambil menyantap masakan yang kami buat.

Saya memiliki banyak hal aneh yang dilakukan dengan kakak perempuan saya. Boleh dikatakan, dalam beberapa hal saya lebih akrab dengan kakak perempuan saya ketimbang kakak laki-laki saya. Barangkali karena kami hanya tiga bersaudara, dan kakak perempuan saya berjarak lebih dekat ketimbang kakak laki-laki, menyebabkan saya lebih akrab dengan kakak perempuan saya. Saya masih ingat betapa saya sedih ketika mengantar kakak perempuan saya, saat ia memutuskan untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah, atau lebih tepatnya Mesir. Saya ingat kegilaan saya untuk menulis surat kecil, hanya berdiameter 15cm, namun panjangnya hingga mencapai dua meter. Dalam surat-surat yang saya kirimkan, bersamaan dengan kiriman orangtua jika kebetulan ada yang akan ke Mesir, saya bercerita banyak hal. Mulai dari kegiatan sekolah hingga berbagai kejadian lucu di keluarga kami.

Kakak perempuan saya, dalam beberapa hal, sangat mirip dengan ibu saya, terutama pilihannya untuk melanjutkan studi di Al Azhar. Keluarga besar kami dibesarkan dalam tradisi keilmuan agama Islam yang bersumber dari Al Azhar. Anggap lah ini merupakan ortodoksi keluarga besar kami. Hampir seluruh kakak dan adik ibu saya adalah jebolan Al Azhar, hanya satu yang jebolan IIQ Islamabad, dan satu lulusan dalam negri. Dapat dibayangkan bahwa pendidikan yang diambil oleh ibu saya dan saudara-saudaranya akan diturunkan ke anak-anaknya. Kakak laki-laki saya sejak awal menolak untuk dikirim ke Al Azhar, bahkan kakak saya itu lebih asik mengoprek komputer ketimbang belajar. Pilihan utama jatuh ke kakak perempuan saya, yang memang paling serius ketika belajar. Pilihan itu pun awalnya hendak ‘diturunkan’ ke saya, namun saya menolak dan melarikan diri ke bidang sosial. Dalam hal ini saya memiliki sejumput rasa bersalah pada kakak perempuan saya, membiarkan dia sendiri terkubur dalam kitab-kitab klasik.

http://www.umamnoer.com3

Page 12: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Satu hal yang saya kagumi dari kakak saya adalah keputusannya untuk melanjutkan studi ke Sudan. Sudan adalah negara terakhir yang ada dalam bayangan saya untuk melanjutkan studi setelah dari Mesir. Sudan sepengetahuan saya adalah daerah konflik yang berkepanjangan. Namun kakak saya dengan keputusan bulat memilih Sudan, dan yang dapat saya lakukan adalah berdoa. Dalam hal ini terdapat kesamaan antara saya dan kakak saya, ketika kami sudah memilih sesuatu, hanya wahyu dari langit yang dapat mengubah keputusan tersebut. Saya paham dan tahu betul, apapun provokasi yang saya lakukan tidak akan berpengaruh pada keputusan yang telah dibuat kakak perempuan saya.

Meskipun saya menyayangi kedua kakak saya, namun tidak berarti hidup kami damai sentosa. Saya sering bertengkar dengan kedua kakak saya, bahkan untuk hal yang tidak penting sekalipun. Saya bahkan merasa, mengingat saya adalah satu-satunya anak yang belum menikah di rumah, saya sering diperlakukan tidak adil oleh keluarga saya. Saya sering berada di tengah pertengkaran keluarga, atau bahkan saya yang memicu pertengkaran itu. Sebagai anak terakhir atau bontot, posisi saya super kejepit. Ketika ibu saya marah terhadap kakak, atau si bibi yang membantu di rumah, maka saya lah yang menjadi sasaran omelan dan diharuskan menyampaikan ‘pesan’ yang berisi omelan tersebut; pun sebaliknya. Celakanya, sejak ibu dan ayah saya memasukkan penyempitan pembuluh darah dan struk ringan ke daftar riwayat kesehatan mereka, maka saya memiliki peran lain: sebagai pemadam kebakaran. Adalah tanggungjawab saya untuk menyediakan suplai obat-obatan bagi ibu saya dan obat herbal bagi ayah saya, dan adalah tanggungjawab saya pula untuk menerima omelan, bahkan ketika saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau ulah apa yang dilakukan oleh dua orang kakak saya, bahkan saat ini lebih parah, hingga masalah supir atau si bibi pun saya yang kena getahnya.

Di luar keluarga inti, masih ada si bibi yang singgah lama dalam keluarga saya. Nama aslinya adalah Aprillah binti Salim. Sudah menjadi tradisi dalam keluarga kami untuk mengambil “pembantu”, sebetulnya agak risih menggunakan istilah ini sebab bagi keluarga kami mereka adalah orang yang membantu (kami cenderung menghindari kata ‘pembantu’ atau ‘pekerja rumah tangga’) yang

http://www.umamnoer.com3

Page 13: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

kemudian dianggap sebagai saudara, yang berasal dari Cirebon. Semua yang pernah membantu dan bekerja di rumah pasti memiliki momongan tersendiri (kalau sekarang disebut baby sitter). Si bibi, begitu kami memanggil dirinya, bahkan panggilan ini sudah sangat terkenal di kampung kami (agak menarik sebab semua murid ibu dan ayah saya pasti memanggilnya dengan nama bibi tanpa mereka tahu nama aslinya), telah datang ke rumah sejak tahun 1996, atau ketika saya berada di kelas enam Madrasah Ibtidaiyah. Jangan bertanya mengapa kami selalu mengambil orang Cirebon untuk membantu di rumah. Barangkali jawaban terbaik yang dapat saya berikan adalah karena ayah saya orang Cirebon dan kami sekeluarga sangat akrab dengan masakan sunda, yang di dominasi sayur dan pepes.

Si bibi ini, karena sudah empat belas tahun ada di rumah, sudah saya anggap sebagai keluarga. Dia sering bepergian bersama keluarga, kemanapun keluarga kami jalan-jalan pasti dirinya tidak pernah absen. Bahkan dia menemani saya dan ibu saya untuk melaksanakan ibadah haji tahun 2009 silam. Bagi saya, bibi adalah partner masak yang menyenangkan. Saya senang melakukan eksperimen masakan dengan si bibi, dan walaupun kadang-kadang hasilnya aneh, yang kami lakukan hanya lah tertawa dan mencoba menyelamatkan eksperimen tersebut sedapat mungkin. Saking lamanya si bibi berada di rumah, dia bahkan tahu kesukaan masing-masing anggota keluarga, yang bahkan tidak saya sadari. Bibi misalnya tahu persis kebencian ibu saya terhadap terasi dan makanan bau lainnya (petai dan jengkol) yang tidak akan masuk ke dalam menu masakan, atau kebencian kakak perempuan saya terhadap makanan pahit dan peralatan makan yang berat. Dia bahkan selalu menyisakan sayap ayam, jika kebetulan sedang membuat ayam goreng, untuk saya, sebab dia selalu melihat bahwa saya tidak pernah menolak sayap ayam.

Hal ini menarik, sebab bibi dapat menceritakan kebiasaan makan keluarga kami dengan sangat detail. Siapa suka masakan apa, apakah itu pedas atau asin, apakah itu panas atau dingin, dan lain sebagainya. Kadang saya malu sendiri dengan keahlian akademik untuk memperhatikan detail manakala saya berhadapan dengan si bibi yang tahu betul detail kebiasaan di keluarga kami. Bagaimana ia tahu kebiasaan saya untuk menumpuk buku dan kemalasan saya membereskan tempat tidur, sehingga setiap saya selesai sekolah (dulu

http://www.umamnoer.com3

Page 14: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

waktu masih sekolah) kamar saya pasti langsung beres, bahkan hingga hari ini ketika saya kembali dari Depok, kamar saya pasti sangat rapih. Dia bahkan tahu kesukaan ibu saya terhadap aroma melati dan kenanga, yang kebetulan memang tumbuh di depan rumah. Setiap selesai belanja misalnya, ketika ibu saya sedang berolahraga di luar, bibi pasti masuk ke kamar ibu saya, membersihkan, membuang bunga yang lama, dan mengganti dengan bunga yang baru saja dia petik.

Selain si bibi, masih ada supir, kami menyebutnya dengan panggilan bang Amin. Panggilan itu hanya berlaku jika tidak dalam kondisi marah atau jengkel, namun jika sedang marah, kami sekeluarga memanggilnya dengan panggilan Mintul. Bang Amin adalah supir yang amanah, pekerja kebun dan kolam yang rajin, ahli ibadah yang taat, dan mekanik yang buruk. Jangan pernah menyerahkan urusan bengkel kepadanya, dijamin kacau. Dia adalah pekebun yang cukup rajin, terutama menebang pohon-pohon yang menurut anggapannya terlalu rimbun. Saya sering bertengkar dengannya manakala dia memotong pohon buah yang telah menghasilkan, atau ketika dia mencabut pohon bunga yang saya beli. Dia juga bertugas untuk merawat kolam ikan mini milik saya, di mana tugasnya mencakup pemeliharaan kolam beserta isinya.

Keluarga kecil saya, hanya berisi ayah+ibu+kakak laki (dan keluarga kecilnya)+kakak perempuan (dan keluarga kecilnya)+saya+si bibi+supir, adalah keluarga yang bukan seperti digambarkan dalam sinetron atau film layar lebar. Keluarga kecil kami penuh intrik politik, konflik berkepanjangan, perdamaian yang penuh sogokan makanan, dan ritual makan bersama di meja makan atau nonton bareng. Meskipun demikian, keluarga kecil ini adalah bagian dari hidup saya. Di samping orang-orang tersebut di atas, masih ada dua sosok lain yang juga dianggap sebagai bagian dari keluarga saya: dua orang murid ibu saya, Zuhriah dan Dede Zubaidah. Keduanya telah lama “mengabdi” pada orangtua saya, jika tidak salah sejak tahun 1991. Mereka pun mengetahui dengan baik kebiasaan yang berlaku di keluarga saya. Kami semua, biasanya masih ditambah yang membantu di rumah kakak perempuan dan laki-laki, pasti akan ikut serta jika keluarga kami akan ke luar kota. Benar-benar perjalanan yang luar biasa ramai.

http://www.umamnoer.com3

Page 15: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Saya lupa sampai mana bercerita. Ah ya, saya baru bercerita ketika saya masuk ke Taman Kanak-kanak. Taman Kanak-kanak yang saya masuki berada persis di depan rumah saya. rasanya tidak banyak yang saya ingat pada fase ini. Saya hanya ingat beberapa keping mozaik kehidupan saya ketika berada di Taman Kanak-kanak. Salah satunya adalah ketakutan saya terhadap darah, di mulai di fase ini. Suatu hari teman bermain saya terlempar dari ayunan dan dengan sukses mendarat di paving blok di halaman sekolah. Dengan wajah yang terlebih dahulu mendarat, teman saya itu mengalami luka serius, yang lansung di bawa ke puskesmas di desa saya. Sejak saat itu saya selalu mual ketika melihat darah bercucuran.

Ingatan lain yang juga membekas di memori saya adalah ketika saya belajar Iqra. Ketika saya tampil dalam acara kenaikan tingkat di TK, dan saya untuk kali pertama tampil di hadapan publik. Setelah acara itu, ibu saya membelikan saya Al Quran pertama saya; dan mulai lah masa itu: belajar membaca Al Quran di bawah bimbingan ibu saya. Saya ingat betul, sejak saat itu hingga saya lulus MI enam tahun kemudian, saya selalu menunggu ibu saya selesai salat maghrib, kemudian mulai secara perlahan membaca Al Quran superbesar yang ada di hadapan saya. Kamar ibu saya bersebelahan dengan ruang di mana saya biasa mengaji, dan ibu saya mendengarkan dari dalam kamar. Jika suara saya kurang terdengar, maka ibu saya pasti akan meminta saya menaikkan suara saya; dan jika saya salah, maka ibu saya akan berdehem, yang menandakan saya keliru dalam membaca.

Lebih dari itu, tidak banyak hal penting yang terjadi di TK. Pada tahun 1992 saya akhirnya lulus dari Taman Kanak-Kanak, dan melanjutkan pendidikan ke Madrasah Ibtidaiyah Attaqwa 03, tidak jauh daru rumah saya. Tahukah anda bahwa saya lompat kelas? Saya hanya mengenyam pendidikan kelas I hanya sekitar kurang dari dua bulan. Menurut kepala sekolah saat itu, yang juga masih saudara saya, saya itu kurang serius dalam mendengarkan pelajaran. Bukan karena saya malas atau bodoh, tapi materi yang diajarkan telah saya pelajari di rumah. Ketika teman sebaya saya masih berkutat dengan hurup alphabet dan hijaiyah di kelas, saya sudah mempelajarinya di rumah dan TK. Barangkali untuk alasan efisiensi, saya langsung dinaikkan ke kelas II. Hingga saat ini saya bersyukur bahwa saya lompat kelas. Bayangkan, saya memiliki saudara, yang secara kultural saya lebih

http://www.umamnoer.com3

Page 16: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

tua, dia harus memanggil saya abang, jika saya saya tidak lompat kelas, maka saya harus memanggil dia kakak (dengan alasan senioritas). Saya senang bahwa kemungkinan itu tidak perlu terjadi.

Perjalanan akademik saya di tingkat sekolah dasar biasa-biasa saja. Tidak ada yang terlalu istimewa. Saya bersekolah di MIA 03 Al Barkah hanya sampai kelas III (karena pada saat itu memang hanya sampai kelas III saja), dan melanjutkan ke MIA 01 Pusat Putra untuk jenjang kelas IV-VI. Dapat saya katakan saya termasuk sangat baik dalam bidang akademik. Saya selalu berada di tiga besar, dengan tingkat yang fluktuatif. Satu hal yang akan selalu saya kenang, saya pernah mendapat nilai sepuluh di pelajaran Bahasa Arab pada kelas V, luar biasa (buat saya tentunya). Pada saat itu, setiap kegiatan kenaikan kelas, bagi yang ranking 1 sampai 3 dipastikan akan mendapatkan piagam. Saya masih menyimpan dengan baik piagam-piagam tersebut.

Perjalanan akademik saya dilanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Attaqwa Pusat Putra. Mulai dari kelas I hingga kelas III saya jalankan dengan lancar, terlalu lancar malah. Tidak banyak kesan saya ketika saya berada di Madrasah Tsanawiyah, kecuali kebiasaan saya untuk duduk di bawah pohon sengon besar di samping jembatan di depan sekolah ketika istirahat siang. Sekolah saya adalah pondok pesantren, saat ini trend disebut fullday school. Saya mulai belajar pukul 07.30 pagi hingga pukul 11.30 siang, dari pukul 12.30-13.30 istirahat, dari pukul 13.30-15.30 kembali belajar, dari pukul 16.00-19.00 istirahat, dan dari pukul 19-21.00 muhadarah. Pada pukul 12.30 itu lah saya mulai duduk, ditemani beberapa teman sambil makan gorengan dan minuman dingin. Saya bisa duduk di sana hingga waktu yang tidak ditentukan, biasanya sampai seorang guru, yang saya yakin hampir semua guru tahu tabiat saya untuk duduk di bawah pohon, memanggil semua murid yang ada di asrama untuk masuk kelas. Khusus untuk saya, sang guru, biasanya Kepala Madrasah Tsanawiyah sendiri, bahkan harus memanggil nama saya melalui pengeras suara agar saya, dan teman-teman saya, bangun dari duduk di bawah pohon dan masuk ke kelas. Celakanya hal tersebut berlangsung hampir setiap hari di setiap minggu.

http://www.umamnoer.com3

Page 17: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Selesai di Madrasah Tsanawiyah, sebenarnya saya agak takut dan khawatir. Ibu saya kembali meminta saya melanjutkan di pondok temannya di Madura, Pondok Pesantren Al Amin di Sumenep, Madura. Akhirnya saya mampu memberikan argumentasi dengan menolak untuk melanjutkan ke Madura. Saya kembali melanjutkan ke Attaqwa. Saya meneruskan di Madrasah Aliyah Attaqwa Pusat Putra. Sebagaimana di Madrasah Tsanawiyah, karir akademik saya di Madrasah Aliyah pun berjalan dengan baik. Salah satu hal terbaik yang saya dapatkan ketika belajar di Madrasah Aliyah adalah kesempatan saya untuk menjadi senior. Saya dan teman-teman diangkat menjadi pengurus Persatuan Pelajar Attaqwa (PPA) pada tahun 2002. Saya sendiri diangkat menjadi Sekretaris Umum. Entah apa yang ada dipikiran Ketua Umum, waktu itu Iwan Rahmat, dengan mengangkat saya sebagai sekretaris. Barangkali pertimbangannya waktu itu saya dianggap mampu mengurusi manajemen dan administasi, selain fakta bahwa sekretaris adalah tumbal utama ketika melakukan berbagai kegiatan, sebab melalui sekretaris lah seluruh perizinan disampaikan ke pimpinan pondok, yang notabene adalah paman saya sendiri.

Anda boleh tanya ke teman-teman lain bagaimana saya menjadi sekretaris yang kejam dan bertangan besi. Pada masa saya menjabat sekretaris, saya mencabut seluruh hak setiap departemen untuk membuat surat-menyurat, sekaligus mencabut hak mereka untuk memohon perizinan. Dengan dicabutnya hak tersebut, saya merasa seperti orang penting. Bayangkan setiap sabtu saya selalu diburu oleh teman-teman kepala departemen untuk mengajukan permohonan melakukan kegiatan, sebab seluruh surat dan perizinan harus sepengetahuan dan seizin sekretaris. Saya bahkan memaksa seluruh departemen untuk menghentikan seluruh kegiatan satu minggu sebelum Sidang Pleno Anggota PPA. Kepengurusan kami, di bawah tangan besi saya, yang mencatat sejarah: menyerahkan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) dua hari sebelum Sidang Pleno Anggota PPA dibuka, dan diserahkan langsung kepada seluruh pimpinan di Pondok Pesantren Attaqwa Putra. Taktik tersebut berhasil memaksa Presidium Sidang untuk menolak usulan Dewan Perwakilan Kelas untuk mengadakan rapat terbatas untuk keperluan evaluasi. Argumentasinya sederhana: mereka kan sudah memegang LPJ dua hari sebelum pleno dimulai, harusnya mereka sudah rapat sebelum

http://www.umamnoer.com3

Page 18: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

pleno dimulai. Dan dimulai lah Sidang Pleno dengan kemenangan 1-0 di pihak kami. Ketika saya menjabat sekretaris, cukup banyak yang saya lakukan, dan yang paling sering adalah membuat Ketua I, saat itu dipegang teman saya, Mirwan Nijan, menangis tersedu-sedu. Dia (Mirwan) adalah tipe melankolis, sang ratu drama. Saya akui, saya bukan lah sekretaris yang kelewat taat apa kata bos. Saya adalah tipe pembangkang. Meskipun demikian, saya selalu berusaha untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan tepat waktu.

Saya menyelesaikan pendidikan Madrasah Aliyah saya pada tahun 2003. Ada yang unik pada tahun 2003. Pada tahun 2003 lah dimulai standardisasi nilai Ujian Nasional. Saya adalah angkatan pertama yang menjadi kelinci percobaan UN. Di saat teman-teman yang lain sibuk belajar UN, saya malah sibuk mempersiapkan SPMB (sekarang bernama SNMPTN). Saya memilih untuk mengambil les tambahan di bimbingan belajar Nurul Fikri, meskipun saya harus mengambil resiko bolos belajar setiap hari senin, selasa dan kamis. Jadual pun saya susun ulang, dan hanya membolos pada hari senin, sebab jadual bimbel saya ubah menjadi senin, jumat dan minggu. Pada waktu itu pengaturan jadual diperketat, sebab angkatan saya akan melaksanakan UN yang pengawasnya langsung didatangkan KKM Provinsi.

Jauh sebelum UN dilaksanakan, saya telah terdaftar sebagai calon mahasiswa dari Universitas Paramadina. Tanpa saringan masuk, sebab sekolah kami memiliki kuota. Tak lama kemudian saya mendaftar di SPMB dan diterima di Universitas Airlangga, dan mengingat prospek di Unair lebih menyenangkan buat saya, saya melepaskan Universitas Paramadina. Saya lulus UN dengan nilai yang cukup meyakinkan, sebesar keyakinan saya bahwa setiap siswa di sekolah saya akan lulus. Saya yakin hal itu, mengingat kami adalah korban pertama, maka pihak sekolah pun melakukan berbagai upaya agar kami semua dapat lulus.

Setelah acara perpisahan dengan seluruh guru dan teman-teman, saya berpisah jalan dengan teman-teman saya. Di saat teman-teman saya lebih memilih untuk berkuliah di Jakarta dan Yogyakarta, saya tersesat sendiri di Surabaya. Saya harus akui, saya menikmati kesendirian saya di Surabaya. Saya kaget, ternyata saya tidak lah sesendiri yang saya

http://www.umamnoer.com3

Page 19: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

bayangkan. Ternyata ada seorang saudara saya di Surabaya, seorang laki-laki bernama Ibnu Satria, yang ternyata pula satu angkatan dengan saya di Universitas Airlangga walaupun berbeda fakultas. Saya adalah mahasiswa FISIP jurusan antropologi, sedangkan dia adalah mahasiswa FK jurusan pendidikan dokter. Saya rasa dunia dengan dunianya terkadang sangat berbeda. Meskipun dia sudah berada di Surabaya sejak SMA, namun saya lebih mengenal Surabaya dari pada dia. Boleh jadi hal ini disebabkan saya di Surabaya menggantungkan hidup saya pada angkutan umum (di Surabaya dikenal dengan nama Lyn) dan taksi, sedangkan dia menggantungkan hidupnya pada kendaraan pribadi.

Secara umum dapat saya katakana kehidupan saya di Surabaya sangat menyenangkan. Saya kos di Dharmawangsa Barat No.18, di rumah Bapak Kasmari lah saya tinggal selama enam tahun. Di rumah tersebut, ibu saya menyebutnya kandang burung, sebab saya tinggal di lantai dua, sedangkan si ibu kos dan keluarganya berada di lantai 1. Terdapat enam kamar di lantai dua, awalnya tujuh kamar, tapi satu kamar dibongkar untuk menciptakan ruang tamu di belakang. Kamar tersebut tidak pernah terisi penuh. Pada awal saya datang tahun 2003, terdapat enam kos laki-laki di sepanjang Dharmawangsa Barat, dan ketika saya meninggalkannya pada tahun 2010, hanya dua tempat yang masih bertahan: kos tempat saya dan kos yang berada di depan kos saya. Saya memperhatikan, bahwa umumnya laki-laki yang kos membawa kendaraan, dan mereka lebih memilih untuk kos yang agak jauh dengan pertimbangan harga kos yang lebih murah (beberapa bahkan nekat pulang-pergi walaupun dia tinggal di Sidoarjo bahkan Gresik).

Saya enggan pindah dari kos saya yang lama sebab letaknya yang strategis. Hanya berjalan lima menit saya telah tiba di jalan Airlangga-Dharmawangsa, dan tercatat sepuluh angkutan yang melewati jalan tersebut ke segala arah di Surabaya, dan tercatat puluhan penjual makanan siap memenuhi selera saya atas masakan. Saya bukan orang yang suka pilih-pilih makanan atau pun tempat makan, oleh karena itu saya menikmati seluruh tempat makan di sekitar kos saya, bahkan dalam radius 2km dari kos saya. Saya bahkan punya hobi baru ketika di Surabaya, saya suka naik lyn hanya untuk tahu lyn yang saya tumpangi melewati jalan apa saja, pertokoan apa saja, pasar apa saja,

http://www.umamnoer.com3

Page 20: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

rumah sakit apa saja, taman apa saja, kantor apa saja, dan berakhir di mana lyn tersebut. Hobi ini tidak jarang membuat saya tersesat, dan taksi adalah penyalamat saya. Saya akui hobi saya itu agak mahal dan kurang bermanfaat, tapi saya menikmatinya sebagai bagian dari ritus peralihan saya.

Masa kuliah sarjana saya lalui dengan lancar. Sesuai target, saya sudah menyelesaikan penulisan skripsi saya pada semester tujuh. Hanya ada sedikit masalah. Pihak fakultas tidak mengizinkan saya mengambil KKN pada semester enam, alhasil saya harus ikut KKN semester tujuh. Kondisi ini unik, sebab saya sudah dinyatakan lulus secara yudisium padahal saya belum KKN, dan ini membuat saya harus mengikuti wisuda semester delapan, menunggu nilai KKN turun. Saya wisuda pada Oktober 2007 dengan nilai lumayan bagus, walaupun mepet-mepet cum laude. Nilai IPK saya pas 3.50, batas minimal cum laude. Akibat dari telatnya saya wisuda, saya tidak mungkin langsung melanjutkan, sebab ijazah belum keluar. Saya berpikir praktis, saya akan melanjutkan ke jenjang magister di mana tidak dibutuhkan ijazah, cukup surat keterangan. Di mana lagi saya bisa melakukan hal itu kecuali di Universitas Airlangga, tempat di mana sarjana saya berasal. Tolong jangan salah paham, bukan berarti saya tidak menyukai almamater saya. Saya mencintai almamater saya sebab melalui Amrta Airlangga lah saya seperti ini. Maka melaju lah saya di jenjang magister, dan saya memilih Ilmu-Ilmu Sosial sebagai jurusan saya.

Saya memiliki banyak kenangan sangat manis ketika sarjana. Pada saat itu lah, untuk pertama kalinya saya jatuh cinta pada antropologi. Bayangkan seperti ini. Saya dididik dalam tradisi pesantren, maka tidak ada antropologi dalam pendidikan saya. Alasan saya memilih antropologi adalah karena saya percaya takdir menghendaki demikian. Maka saya menggelar pilihan jurusan, mengambil koin, membaca basmalah, dan melempar koin tersebut. Koin tersebut jatuh di Universitas Airlangga dan menutupi empat pilihan: ekonomi, psikologi, sosiologi, dan antropologi. Saya berpikir, ekonomi? Saya tidak paham dengan teori ekonomi yang membingungkan. Psikologi? Persaingannya sangat ketat, sehingga saya ragu saya akan lulus. sosiologi? Saya mengasosiasikan ilmu ini dengan statistik, dan karena saya tidak bisa statistik maka saya menolak memilih sosiologi. Antropologi? Apa yang

http://www.umamnoer.com3

Page 21: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

saya tahu tentang antropologi? Tidak ada. Saya mengasosiasikan antropologi dengan arkeologi, saudara saya bahkan mengasosiasikan ilmu ini dengan ilmu perbintangan (barangkali maksudnya astronomi). Setelah menimbang, saya memilih antropologi dengan alasan sederhana: saya anggap ilmu itu unik sebab saya sama sekali tidak tahu subjek yang dibahas. Ilmu ini menjadi lebih unik sebab hanya saya di keluarga besar saya, bahkan di lingkungan sosial saya, yang mau mengambil subjek ini. Pilihan kedua jatuh pada sastra Arab UI, sebenarnya saya mau ambil sejarah, namun orangtua, terutama ibu saya menolak keinginan saya.

Antropologi, di satu sisi bagi saya adalah sebuah bentuk pelarian. Keluarga besar saya banyak yang menceburkan diri pada bidang ilmu agama. Buat saya hal tersebut tentu bukan masalah yang harus dibesar-besarkan. Barangkali saya bisa membuat statistik sederhana. Dari sepuluh orang, lima dipastikan akan dikirim ke Timur Tengah atau Asia Selatan, tiga orang dengan senang hati mendaftar di universitas berbasis Islam, satu orang akan memilih universitas yang masih berbau Islam, dan satu orang lagi adalah devian. Saya adalah devian tersebut. Sendiri memilih universitas sekuler (agak keterlaluan membandingkan Airlangga dengan UIN), dengan jurusan yang tidak hubungannya sama sekali dengan agama yang saya anut. Di sisi yang berbeda, saya jatuh cinta dengan antropologi sebab membuat saya menjadi lebih terbuka. Orang-orang di sekeliling saya selalu menilai bahwa saya memiliki pemikiran yang kelewat sekular, walaupun saya kadang bingung di mana letak sekularitas (jika memang boleh disebut sekularitas) saya.

Kuliah di antropologi membawa kebahagiaan tersendiri buat saya. Antropologi dapat menjawab kesenangan saya berkeluyuran di daerah orang. Bayangkan. Sejak semester satu hingga semester enam selalu terdapat kuliah lapangan. Saya sudah menghitung, rasanya hampir seluruh kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah telah saya datangi. Namun kesenangan saya sedikit berkurang ketika menginjak program master dalam bidang antropologi. Ketika mengambil program sarjana, saya banyak ditemani oleh teman-teman yang menyenangkan. Saya akui, saya memiliki kelompok tersendiri yang sama-sama doyan jalan, sama-sama doyan makan, dan sama-sama doyan keluyuran. Saat ini saya kangen sama teman-teman saya itu.

http://www.umamnoer.com3

Page 22: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Perjalanan akademik saya di pascasarjana antropologi boleh dibilang berjalan sangat baik. Meskipun pada awalnya ada persitegangan antara saya dan pihak fakultas, terutama dengan hilangnya matakuliah antropologi pada semester dua dan tiga. Saya diberi tahu, bahwa antropologi adalah peminatan yang ditawarkan, bukan program studi itu sendiri. Ah rasanya saya ditipu. Tapi tidak apa-apa lah. Tidak ada penipuan jika dalam ilmu pengetahuan, jadi saya terima keputusan tersebut. Di program pasca ini, saya tidak menemukan teman yang memiliki minat yang sama dengan saya. Saya maklum sepenuhnya, sebab teman-teman pasca saya sebagian besarnya sudah bekerja, dan sebagian besar lainnya sudah berkeluarga. Jika dibandingkan dengan saya yang belum bekerja dan belum menikah, dapat berjalan tanpa beban adalah sebuah kemewahan buat mereka.

Pada saat pasca ini lah saya mulai membangun karir akademik. Saya mulai mengembangkan minat saya. Hingga saat ini saya mengakui bahwa saya memiliki begitu banyak minat. Saya memiliki minat dalam bidang kajian perempuan dan feminisme (yang saya yakin karena latar belakang historis saya dan pengaruh dosen), bidang kajian budaya popular (yang saya yakin karena minat saya pada musik dan film), dan saat ini saya sedang tertarik bidang kajian postkolonial (saya yakin ini gara-gara mantan dosen saya yang selalu menyuruh saya membaca buku-buku postkolonial). Bagi saya, minat-minat tersebut bukan lah untuk dipertentangkan atau dipilah-pilih. Saya menyukai seluruh minat-minat tersebut, setidaknya hingga saat ini.

Lulus dari program pascasarjana minat studi antropologi, saya mendapat hadiah luar biasa dari ibu saya: berangkat haji. Adalah sebuah anugerah bagi saya, sebab berangkat haji adalah mimpi bagi semua pemeluk agama Islam. Menunaikan rukun Islam yang kelima merupakan pengalaman paling unik yang pernah saya alami. Saya merasa bahwa saya sedang melakukan mudik. Mudik atau kembali ke udik, adalah kembali ke asal muasal di mana saya berasal. Meskipun saya dilahirkan di Bekasi, saya menghormati tanah kelahiran ayah saya di Cirebon, dan bagi saya Cirebon hanya lah satu kota di Jawa Barat tempat DNA saya berasal. Tidak lebih dan tidak kurang. Oleh karena itu saya tidak pernah menganggap perjalanan ke Cirebon sebagai mudik. Perjalanan mudik saya adalah ke Tanah Suci. Ini adalah perjalanan kedua saya ke sana. Saya pernah mengunjungi

http://www.umamnoer.com3

Page 23: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

tanah suci dalam rangka umrah pada tahun 1996. Tidak banyak yang saya ingat pada masa itu, maklum saja, saya baru berusia sepuluh tahun. Tiga belas tahun kemudian saya kembali dan mencoba menyesap kembali semua memori itu.

Perjalanan haji menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. Empat puluh hari bersama dengan sembilan puluh orang (KBIH yang saya ikuti membawa jamaah dua bis atau setara 90 orang), dan berinteraksi selama itu dengan orang-orang tersebut. Berbeda dengan kegiatan penelitian lain yang pernah saya lakukan, berinteraksi selama empat puluh hari membawa nuansa yang sama sekali baru. Selama empat puluh hari itu pula saya mencoba sedikit mengesampingkan rasa keindonesiaan saya dengan sedapat mungkin menolak makanan Indonesia. Sudah saya katakan, saya adalah pemakan segala. Saya menikmati semua jenis makanan yang ada di Arab Saudi, sambil membayangkan proses membuatnya, siapa tahu bisa saya aplikasikan ketika saya kembali ke Indonesia.

Kembali ke tanah air saya secara tidak langsung menambah bobot pada nama saya. Tiba-tiba saya sering dipanggil “aji Umam”, dan tiba-tiba pula saya merasa risih. Pada awalnya panggilan tersebut terasa sangat asing, bahkan rasa itu belum juga hilang hingga saat ini. Saya merasa tidak nyaman dengan panggilan tersebut. Saya sadari sepenuhnya, bahwa panggilan tersebut berkaitan erat dengan status baru dan peran yang harus saya mainkan dengan status tersebut. Saya adalah seorang muslim yang dianggap paripurna sebab telah menunaikan ibadah haji, dan peran yang harus saya mainkan adalah peran sebagai orang berhaji yang baik dan benar. Tentu saja hal ini cukup menyulitkan. Bahkan tanpa peran baru ini pun, peran yang saya mainkan sudah cukup kompleks. Namun, mengutip teman saya, bahwa peran yang saya mainkan adalah sebuah kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir kecil orang, dan saya tidak sepatutnya mengeluh terus-menerus mengenai hal tersebut. Barangkali teman saya benar. Bayangkan bahwa saudara saya yang baru akan membayar biaya ONH, baru akan mendapat jatah kuota pada tahun 2013, tiga tahun lagi tanpa adanya kepastian umur. Mengingat hal tersebut, saya pun berhenti mengeluh dan mencoba beradaptasi dengan peran baru ini.

http://www.umamnoer.com3

Page 24: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Kembali dari tanah suci satu kegiatan besar menanti: melanjutkan studi saya. Banyak orang bertanya, untuk apa saya belajar terus. Saya katakan bahwa saya mengikuti anjuran nabi dengan belajar terus hingga akhirnya saya mati. Di satu sisi, saya melakukan ini karena permintaan khusus ibu saya. Ibu saya menuntut agar saya dapat menyelesaikan jenjang pendidikan tertinggi yang dapat dicapai, dan karena saya sangat menghormati dan mencintai ibu saya, saya enggan menolak permintaan tersebut. Di sisi yang lain, saya menyadari bahwa melanjutkan pendidikan adalah semua anugerah yang tidak dapat dicapai oleh semua orang, dan dengan menyia-nyiakan kesempatan tersebut saya khawatir dikatakan sebagai orang yang tidak pandai bersyukur. Saya sendiri menyukai belajar karena saya tidak memiliki beban. Saya belum berkeluarga, dan dengan demikian membuat langkah saya lebih ringan dalam melakukan banyak hal.

Akhirnya saya memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan saya. Akhirnya saya pindah dari Surabaya dan menjadi penghuni baru Depok. Di Universitas Indonesia saya berlabuh. Melanjutkan program doktoral saya, sambil terus meyakinkan diri bahwa saya sanggup bertahan dan menyelesaikan studi saya. Memang bukan hal yang ringan, namun saya rasa saya tidak perlu terlalu khawatir. Terhitung sejak Agustus 2010 saya menjadi penghuni kota yang baru ini. Saya sedang mencoba memahami ruwetnya jalan kota ini, sambil mencoba berbagai moda angkutan dari dan ke kota ini. Di rumah saya, Bekasi, adalah sebuah kemewahan saya dapat keluyuran naik angkutan umum, sebab saya biasanya selalu di antar kemanapun saya hendak pergi. Dengan migrasi saya ke Depok, saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk naik angkutan umum, sebagaimana yang sering saya lakukan ketika berada di Surabaya. Cukup lah hingga saat ini saya katakana bahwa saya menyukai Depok, meskipun kota ini belum dapat saya anggap sebagai rumah ketiga saya. Rumah pertama saya adalah tempat saya dilahirkan, dan Surabaya akan selalu menjadi rumah kedua saya. Apakah Depok akan menjadi rumah ketiga saya? Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan ini.

II

http://www.umamnoer.com3

Page 25: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Pada bagian sebelumnya saya telah banyak bercerita mengenai kehidupan saya, orang-orang di sekeliling saya, dan lingkungan saya. Saya juga sudah bercerita mengenai apa yang terjadi dalam hidup saya. Saya harus akui, bahwa kehidupan saya bukan lah kehidupan yang tenang, bahkan saya sendiri meragukan apakah kehidupan yang tenang itu ada. Kehidupan saya penuh perlintasan, penuh lika-liku, dan tidak jarang membuat saya tersesat. It’as a bumpy ride. Saya menyadari banyak hal, sejak saya menuliskan kalimat pertama dalam tugas ini. Sebuah kesadaran yang menyeruak, manakala saya mulai memperhatikan kehidupan saya, dan bagaimana kehidupan saya terbentuk.

Akhirnya saya sampai pada satu pertanyaan penting: apa yang saya maksud dengan kebudayaan? Secara sederhana, kebudayaan bagi saya adalah: “jejaring makna... yang ditransmisikan secara sosial dengan segala variasi yang tercipta... yang dengannya menjadikan saya berbeda... dan sejauh apapun saya berjalan, saya akan tetap kembali di tempat saya berasal.”

Pertama, saya memandang kebudayaan sebagai “jejaring makna...”. Saya setuju dengan Geertz (1973b), yang juga setuju dengan Weber, bahwa manusia terjerat dengan jejaring yang dibuatnya sendiri. Manusia dapat dianalogikan seperti laba-laba yang terjerat pada jejaring yang dibuatnya sendiri, yang secara sadar dipintal, dianyam setiap jelujurnya, dan sepenuhnya bergantung pada pintalan jaring tersebut. Di sisi yang berbeda, jejaring makna itu sendiri dimanifestasikan ke publik dalam bentuk simbol-simbol. Simbol itu sendiri tidak lain adalah wahana pemaksanaan yang bersifat publik, sebab makna yang ditimbulkan pun harus bersifat publik.

Rasanya sulit membayangkan penjelasan di atas, maka saya akan mencoba melihatnya dalam kehidupan saya. Dalam kumpulan episode kehidupan saya, saya selalu bersinggungan dengan simbol-simbol. Ada yang mengatakan bahwa manusia adalah animal simbolikum (rasanya penulisannya betul). Salah satu simbol yang paling terlihat adalah nama belakang saya. Sejak awal saya menyadari, bahwa nama belakang saya adalah salah simbol yang harus terus saya bawa. Nama saya bukan hanya sekedar nama untuk kepentingan administrasi

http://www.umamnoer.com3

Page 26: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

belaka, bukan juga penanda diri saya semata. Nama belakang saya adalah beban moral yang terus saya bawa sepanjang hidup saya (yang entah sampai kapan). Nama “NOER” di belakang nama saya diambil dari nama kakek saya, nama yang sama hanya dimiliki oleh empat orang saudara-saudara saya, saya salah satunya. Kedua kakak kandung saya saja tidak memiliki nama belakang itu. Sepengetahuan saya, tidak ada orang di tempat saya tinggal yang memiliki nama “NOER” di belakang namanya.

Nama belakang saya itu unik, begitu “keramat”, sehingga tidak semua cucu kakek saya “berhak” menyandang nama tersebut. Nama belakang itu baru saya dapatkan ketika saya berusia tujuh belas tahun. Entah apa alasannya, namun saya adalah orang terakhir di keluarga besar saya yang menyandang nama tersebut. Di atas saya telah ada tiga orang, dan ketiganya memiliki latar belakang akademik yang mumpuni. Pemberian kata “NOER” di belakang nama saya, menurut pengakuan ibu saya, sudah terlebih dahulu dibicarakan dengan saudara-saudaranya yang lain. Tentu saja saya heran, masalah nama kenapa menjadi sangat pelik? Saya pun menyadari, hanya empat orang dari sepuluh orang anak kakek saya yang anaknya (cucu kakek saya) memiliki nama NOER. Bahkan ada cerita ketika para saudara-saudara ibu saya menolak memberikan nama itu pada salah satu anak dari saudaranya (entah apa alasannya). Isu yang terbaru menyebutkan bahwa adik bungsu ibu saya mengajukan nama NOER untuk anak pertamanya, yang tahun depan akan berusia tujuh belas tahun.

Barangkali saya dapat membayangkan, bahwa hanya di keluarga saya saja yang mempersoalkan masalah nama dengan sangat serius. Saya pun sadar, di belakang nama terletak sebuah posisi di mana saya berdiri, dan posisi itu mengharuskan saya untuk berperilaku sebagaimana diharapkan oleh orang-orang di sekitar si penyandang nama itu, termasuk masyarakat luas. Nama saya itu menjadi penanda paling signifikan, dan harus saya akui membawa kemudahan bagi saya ketika berurusan dengan birokrasi. Tidak jarang urusan birokrasi yang harus saya jalani menjadi super kilat ketika membaca nama saya. Di satu sisi, nama adalah pemberian yang tidak dapat diubah dengan seenak hati, Di sisi yang berbeda, nama saya menjadi penanda bahwa

http://www.umamnoer.com3

Page 27: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

saya berbeda dengan orang kebanyakan. Sejenis ‘hak khusus’ yang ‘diberikan’.

Secara historis, wilayah desa saya tidak dapat dilepaskan dari bayang-bayang kakek saya. Tentu saja kakek saya bukan lah orang yang melakukan ‘babad alas’ atau orang yang kali pertama datang, namun orang yang membawa perubahan besar di wilayah saya. Bahkan kakek saya sendiri (setidaknya saya melihatnya demikian) adalah simbol yang dimitoskan. Cerita mengenai perjuangan kakek saya begitu melegenda, dan lembaga pendidikan yang didirikan, yang awalnya hanya lah sebuah pondok kecil tidak jauh dari rumah saya, menggurita dan membawa banyak kehormatan di dalamnya. Saya sadar sepenuhnya, bahwa apa yang dilakukan kakek saya adalah untuk kepentingan masyarakat, namun cerita yang berkembang tidak lah sama.

Nama belakang saya, saya menganggapnya sebagai simbol, dapat dilihat fetisisme. Sebuah nama yang begitu dipuja oleh banyak orang, yang seringkali membuat saya risih sendiri. Saya akhirnya terjerat dengan nama saya sendiri. Saya sendiri sering berkelakar, bahwa saya akan dengan senang hati menghapus nama saya itu, kelakar yang dimulai dengan tawa dan diakhiri dengan pelototan mata ibu saya. Saya pun semakin menyadari persoalan simbol ini manakala saya mulai bereksperimen dengan diri saya. Saya pernah bereksperimen untuk ‘bertindak di luar harapan’, dan saya mendapat konsekuensi moral atas tindakan tersebut.

Contoh lainnya saya rasa dapat jelas ketika saya pulang menunaikan ibadah haji, ketika saya menambahkan satu gelar di depan nama saya. “Aji Umam”, begitu saya biasa dipanggil kalau salat Jumat. Di wilayah saya, gelar haji bukan semata muncul sebagai konsekuensi ketika seseorang telah melaksanakan rukun Islam kelima. Panggilan itu memiliki efek samping: bahwa orang yang dipanggil demikian, lagi-lagi, diharapkan untuk berperilaku sebagaimana layaknya orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Ada sanksi moral ketika orang yang dipanggil haji tidak berperilaku “baik” dan “benar”, yakni munculnya anggapan, saya lebih suka menyebutnya stigma, bahwa haji orang tersebut tidak mabrur.

http://www.umamnoer.com3

Page 28: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Dalam konteks keislaman, seseorang baru dikatakan mendapat haji mambrur, yang artinya hajinya diterima Allah, jika setelah pulang haji, orang tersebut berperilaku “lebih baik” dan “lebih benar” jika dibandingkan sebelum berangkat haji. Jika sebelum berangkat haji orang itu sering berjudi, maka ketika pulang haji, dia “harus” meninggalkan kebiasaan berjudinya. Jika iya ternyata masih juga berjudi, maka ia dikatakan tidak mendapat haji mabrur. Namun itu contoh yang ekstrem. Dalam kasus yang lebih umum, mereka yang telah melaksanakan ibadah haji “diharapkan” untuk lebih taat beribadah dan berperilaku.

Saya setuju dengan Geertz, bahwa kebudayaan adalah suatu konteks, yang didalamnya segala hal dapat dijelaskan dengan gamblang. Saya rasa sama saja antara dua contoh yang saya berikan: nama belakang saya dan gelar haji. Keduanya harus dilihat dari konteksnya, yakni masyarakat di mana hal tersebut berasal. Bagi sebagian besar orang, ketika mendengar keluh kesah saya tentang nama belakang saya akan cenderung cuek, bahkan, mengutip Gus Dur, bilang “gitu aja kok repot”. Mereka tentu saja tidak repot, sebab mereka tidak memiliki nama belakang sebagaimana saya miliki, dan mereka tidak tinggal di wilayah di mana saya berasal. Dalam konteks masyarakat Ujungharapan, bahkan kalau persoalan administrasi itu sampai ke Kabupaten, nama belakang saya membawa kerepotan tersendiri.

Saya ingat dua bulan yang lalu, ketika saya mengantar istri kakak saya mengurus SKCK, iya harus menunggu hingga satu jam sebelum dilayani. Ketika iya dilayani, terdapat “kecelakaan”, KTP saya terjatuh, dan si petugas memungut KTP saya, dan tanpa sengaja membaca KTP saya. Ada yang menarik melihat reaksi petugas tersebut, yang ternyata adalah lulusan dari almamater yang sama. Iya mengenali saya dari nama saya, dan secara “refleks” meminta maaf atas prosedur yang merepotkan. Hanya butuh waktu lima menit, dan segala urusan mengenai SKCK selesai. Bahkan dia sendiri yang kemudian mengurus ke meja-meja yang lain. Bagi saya ini luar biasa, sebab biasanya butuh waktu sekurangnya 30 menit untuk membuat SKCK. Bagi mereka yang tidak mengetahui tentu akan berpikir bahwa saya menyogok oknum polisi agar dimudahkan, demikian pula dengan oknum kelurahan agar mudah mengeluarkan Surat Keterangan, namun kenyataannya bukan lah seperti itu. Saya tetap membayar

http://www.umamnoer.com3

Page 29: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

sesuai aturan dan tidak ada sogok-menyogok di sana. Apa yang sesungguhnya terjadi harus dilihat dari konteksnya, bahwa ada “makna” tersembunyi di balik nama.

Makna itu sendiri tidak lah mewujud dengan sendirinya, ia harus termanifestasikan melalui simbol. Bahkan lebih jauh, simbol itu sendiri harus bersifat publik, menyebar bagai jaring, dan menjerat siapapun yang bersinggungan dengan jaring tersebut. Saya sendiri mengakui, nama sebagai simbol bersifat sangat ambigu. Di satu sisi terasa risih, namun di sisi lain terasa nikmat (adalah sangat hipokrit jika saya merasa tidak diuntungkan). Nama tidak lagi sebatas penanda individu yang sifatnya privat, namun telah menjadi publik sebab dibuka di ruang-ruang publik, dan publik pun mengakui “makna” di balik nama tersebut. Jejaring makna menyebar dan mengikat kami semua kedalamnya.

Kedua, saya memandang kebudayaan sebagai sesuatu “yang ditransmisikan secara sosial dengan segala variasi yang tercipta...”. Dalam hal ini saya meminjam konsep dari Durham (2002) dan Barth (2002). Saya rasa, bahwa saya dapat meminjam konsep keduanya, terutama pada posisi melihat variasi, dalam menjelaskan apa yang terjadi dalam diri saya dan mengapa saya berbeda dengan kedua kakak saya.

Saya mencoba mencari titik temu di antara keduanya. Saya memandang diri saya sebagai hasil dari dimensi historis yang berjalan beriringan dengan dimensi kultural. Saya memandang diri sebagai hasil dari pengajaran, baik formal maupun non formal, baik di sengaja maupun tidak, baik terstruktur maupun tidak. Secara umum saya melihat bahwa kebudayaan yang saya miliki ditransmisikan secara sosial, melalui keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat pada umumnya. Namun proses transmisi itu tidak lah memberikan jaminan sepenuhnya atas pengetahuan yang terbagi secara merata. Transmisi itu sendiri mengisyaratkan terjadinya variasi-variasi.

Proses transmisi pada dasarnya berupaya untuk “membagi pengetahuan”, atau dalam hal ini apa yang dikenal sebagai “shared knowledge”, secara adil dan merata. Namun saya sendiri melihat, bahwa pengetahuan yang dibagi bersama itu tidak pernah sukses mencapai satu kondisi yang adil dan merata. Selalu terdapat variasi-

http://www.umamnoer.com3

Page 30: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

variasi yang muncul dalam proses transmisi itu. Variasi-variasi itu muncul karena banyak faktor, termasuk di antaranya adalah dalam proses dan penerimaan individu-individu. Durham menyebutnya sebagai kondisi di mana kebudayaan sebagai changing temporary collection of socially transmitted information. Saya setuju dengan Durham, kebudayaan dilihat sebagai bentuk informasi yang ditransmisikan secara sosial dan kontinu, serta secara faktual terus menerus mengalami perubahan. Variasi muncul sebagai akibat dari perubahan itu sendiri, atau dalam proses transmisi itu sendiri. Variasi selalu muncul sebagai konsekuensi logis dari tidak adanya jaminan keadilan dalam proses transmisi pengetahuan dan kebudayaan.

Transmisi sosial menjadi kata kunci yang penting dalam memahami munculnya variasi-variasi. Kebudayaan secara sederhana dilihat sebagai keseluruhan koleksi dari transmisi informasi secara sosial dalam masyarakat. Ketika melihat kebudayaan bukan sebagai sesuatu entitas yang utuh dan penuh, namun sebagai keseluruhan koleksi, maka kebudayaan dilihat sebagai kumpulan dari satuan-satuan, atau cultural unit. Nah, keseluruhan satuan-satuan ini tidak lah berada dalam alam pikiran keseluruhan anggota-anggota kelompok, namun lebih pada alam pikiran masing-masing anggota kelompok. Akibatnya, setiap anggota kelompok memiliki kumpulan satuan-satuannya sendiri yang membentuk diri atau individu tertentu, di samping bahwa kumpulan-kumpulan tersebut juga dapat dilihat dalam skala yang lebih besar. Dalam skala minimum, terdapat variasi di antara individual cultural items entah itu dari sisi isi, bentuk, atau ukuran dari informasi yang dimiliki oleh setiap individu

Saya mencoba memahami, proses transmisi apa yang telah saya jalani. Saya mencoba memahami, mengapa antara saya dan kedua kakak saya begitu berbeda, bahkan tidak ada kesamaan yang identik di antara kami bertiga. Meskipun kami bertiga sama-sama, secara faktual, belajar dari ibu dan ayah yang sama, namun hasilnya berbeda. Saya dan kakak perempuan saya misalnya. Meskipun memiliki kesamaan dalam derajat tertentu, namun terdapat perbedaan mendasar di antara kami berdua. Misalnya saya dan kakak perempuan saya. Meskipun kami sama-sama belajar membaca Al Quran dari ibu kami, namun saya dan kakak saya memiliki perbedaan dalam kondisi ketika membaca Al Quran. Kakak saya adalah orang yang tidak

http://www.umamnoer.com3

Page 31: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

mentolelir gangguan ketika ia membaca Al Quran, akibatnya siapapun yang hendak ‘mengganggu’ dengan alasan apapun terpaksa harus menunggu. Berbeda dengan saya yang dengan senang hati menerima gangguan, bahkan dengan senang hati menyegerakan untuk selesai mengaji. Sama halnya seperti saya dengan kakak laki-laki saya. Saya selalu membaca Al Quran dengan cepat dan bersuara jelas, sedangkan kakak laki-laki saya selalu membaca Al Quran lebih lambat dengan suara lebih pelan.

Saya berpikir. Jika saya dan kedua kakak saya menerima transmisi pengetahuan yang berasal dari sumber yang sama, apa yang menyebabkan saya dan kakak saya begitu berbeda? Mengapa terdapat variasi dalam cara kami membaca Al Quran? Jawaban paling sederhana datang dari si sumber, yakni ibu saya. Ibu saya mengakui bahwa ia mendidik kakak saya lebih keras karena ketidakmampuan lidahnya untuk menyesuaikan dengan lafal Al Quran, akibatnya ibu saya lebih garang ketimbang ketika mengajar saya. Akibatnya pula, hal yang diakui oleh kakak laki-laki saya, dia selalu gugup ketika membaca Al Quran. Berbeda dengan kakak perempuan saya yang sama seperti saya, yakni membaca Al Quran dengan cepat dan bersuara jelas. Namun ada perbedaan sikap antara saya dan kakak perempuan saya, dalam hal ini saya baru menemukan jawabannya dari apa yang diperintahkan oleh ibu saya. Di antara tiga orang anaknya, ibu saya hanya menekankan pendidikan menghafal Al Quran pada kakak perempuan saya. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa kakak perempuan saya memiliki memori jangka panjang yang sangat baik. Saya senang memperhatikan ketika kakak saya menghapal Al Quran, bahwa ia akan mengambil tempat yang tenang untuk mulai menghapal. Kebiasaan yang sama masih dia lakukan saat ini, terutama jika ia sedah melakukan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi.

Saya pun semakin berpikir. Rasanya ada yang hilang manakala saya melihat variasi yang muncul antara saya dan kedua kakak saya. Lalu saya menemukan apa yang hilang itu, persis di hadapan mata saya, bahkan telah saya tulis dalam bagian sebelumnya. Apa yang dikatakan oleh kakak laki-laki saya sebagai “kelinci percobaan”, dan saya pun memahami mengapa ibu saya melakukan proses transmisi yang berbeda. Kuncinya adalah perubahan itu sendiri. Izinkan saya sedikit

http://www.umamnoer.com3

Page 32: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

berimaji, bahwa ibu saya akhirnya melihat bahwa model pengajaran yang diberikan kepada kakak laki-laki saya tidak efektif, dan kemudian mengubah moda transmisi yang dilakukannya pada kakak perempuan saya, dan kemudian menyadari bahwa apa yang moda transmisi pada kakak kedua saya pun tidak berjalan efektif, dan diubahnya moda transmisi tersebut pada saya. Terus terang imaji ini agak menakutkan. Dapat lah saya bayangkan, seandainya saya memiliki satu orang adik, saya yakin moda transmisi pengetahuan yang akan dilakukan ibu saya akan berbeda dengan apa yang dilakukannya kepada saya.

Ketiga, saya melihat kebudayaan sebagai sesuatu “yang dengannya menjadikan saya berbeda...”. Dalam hal ini saya meminjam konsep dari Lila Abu-Lughod (1991) dan Geertz (1973a). Harus saya akui, saya banyak berpikir mengenai apa yang ditulis oleh Abu-Lughod, bahkan terpengaruh dengan provokasinya. Dalam banyak hal saya setuju dengan Abu-Lughod, bahwa adalah sangat naif melihat kebudayaan melalui kacamata Barat, namun itu terlalu jauh dari apa yang saya alami. Kritik Abu-Lughod pada dasarnya sangat konstruktif. Jika kebudayaan dan konsep mengenai kebudayaan selalu dilihat melalaui kacamata Barat, tinggalkan saja. Saya sepakat sepenuhnya dengan pendapat tersebut. Namun kritik Abu-Lughod terlalu elitis jika melihat konteks diri saya.

Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, bahwa saya berbeda dengan dua orang kakak saya, sebagai akibat dari variasi yang muncul dalam proses transmisi pengetahuan. Dalam hal ini, saya melihat diri saya sebagai individu yang otonom, berbeda dengan kedua kakak saya. Dalam hal ini lah saya setuju dengan Abu-Lughod. Bahwa cerita mengenai saya adalah cerita mengenai yang partikular. Partikularitas menjadi sangat penting, sebab kebudayaan tidak hanya dilihat melalui kacamata raksasa, melalui seperangkat sistem dan struktur, melalui wujud artefak, atau pun pola-pola yang dapat dilihat dan dirasa. Dalam hal ini pula saya setuju dengan Geertz (1973a), bahwa konsepsi mengenai kebudayaan harus lah meletakkan manusia sebagai manusia seutuhnya.

Saya memahami diri saya sebagai entitas yang partikular. Entitas yang berbeda. Entitas yang dengannya saya dapat dengan bangga menyatakan “ini lah saya”. Saya memandang kompleksitas

http://www.umamnoer.com3

Page 33: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

kebudayaan sama kompleksnya dengan diri saya sendiri, yang mewujud dalam organisme biologis. Saya menyadari sepenuhnya, dan setuju sepenuhnya dengan Geertz, bahwa tanpa manusia tidak akan ada kebudayaan; lebih penting lagi, tanpa kebudayaan tidak akan manusia. Di sini lah saya melihat diri saya. Saya melihat diri saya melalui kebudayaan yang membentuk diri saya. Tanpa kehadiran diri, saya tidak akan memiliki kebudayaan; dan tanpa kehadiran kebudayaan, saya akan gagal mengatakan bahwa ini lah diri saya.

Dalam konteks ini saya memandang, bahwa apa yang ditawarkan oleh Abu-Lughod menjadi sangat penting. Dalam tulisannya, Abu-Lughos menggeser fokus pada sesuatu yang partikular, dalam hal ini diri saya sendiri. Saya melihat diri saya sendiri bukan sebagai robot yang mengikuti aturan-aturan budaya yang ketat dan tegas, namun sebagai individu yang berbeda dengan individu lain. Saya adalah individu yang tumbuh dan mengalami masa hidup yang penuh pasang-surut. Saya mencoba berbagai hal yang saya suka tanpa perlu merasa khawatir terlihat jelek di mata orang lain, mencoba berbagai hal baru, tersesat di tengah perjalanan, dan memutuskan untuk memilih berbagai pilihan yang tersedia bagi saya. Saya mencoba mencari dan menemukan kebahagiaan saya sendiri.

Partikularitas diri saya lah yang menjadikan saya saat ini. Sebagai diri, saya mewujud melalui fisik, dan terbentuk melalui pengalaman. Proses diri, diiringi proses trial and error, menjadikan diri saya saat ini. Saya tidak pernah malu mengatakan bahwa saya sering tersesat dalam proses tersebut. Saya tidak pernah malu mengatakan bahwa saya mengalami lebih banyak kesalahan dan kegagalan ketimbang, apa yang disebut sebagai, keberhasilan. Dalam proses itu lah saya mewujud dan mengada.

Keempat, saya memandang kebudayaan sebagai tempat di mana “sejauh apapun saya berjalan, saya akan tetap kembali di tempat saya berasal”. Saya meminjam konsep terakhir dari Karen Olwig (1997). Saya melihat diri sebagai musafir yang jauh berjalan. Semenjak saya dilahirkan, dua puluh empat tahun yang lalu, di tengah malam yang bermandi cahaya bulan, saya mulai berubah. Takdir membawa saya ke berbagai tempat, berbagai situasi, berbagai hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

http://www.umamnoer.com3

Page 34: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Saya tidak membayangkan akan menjadi diri saya saat ini: seorang mahasiswa pascasarjana program doktor antropologi yang mencoba melihat dan memahami hidupnya di tengah malam di kamar yang sepi. Alangkah lucunya saya, membayangkan banyak hal mengenai hidup hanya ditemani dua buah laptop, yang satu saya gunakan sebagai pengganti tv; sendiri di lantai dua rumah kos saya; tengah malam menulis, sambil menyayangkan penjual nasi goreng yang ternyata telah lama pergi, dan berdoa agar tulisan ini selesai untuk dikumpulkan esok hari. Itu lah gambaran diri saya saat ini, tidak kurang dan tidak lebih.

Lama sudah saya berjalan, menjauhi tempat di mana saya dilahirkan. Saya sudah berpindah dari satu ke tempat lain. Saya belajar di TK di depan rumah, bergeser ketika Ibtidaiyah (kelas 1-3) di lokasi yang kurang lebih 200 meter dari rumah, bergeser kembali ketika Ibtidaiyah (kelas 4-6) + Tsanawiyah yang kurang lebih 700 meter dari rumah, bergeser lagi ketika Aliyah kurang lebih 100 meter dari lokasi Tsanawiyah. Saya pun semakin menjauh kuliah, hampir 900 km dari rumah, dan kembali bergeser ke Depok, wilayah yang saya huni saat ini.

Saya menyadari sepenuhnya, sejauh apapun saya berjalan, saya akan kembali ke tempat di mana saya berasal. Olwig menyebutnya sebagai “sustaining a home in a deterritorialized world”, itu lah saya. Dalam dunia yang semakin terdeteritorialisasi, saya tetap mempertahankan rumah. Saya merasa tidak jauh berbeda dengan orang Nevis yang menjadi subjek kajian Olwig. Bahwa orang Nevis, sejauh apapun mereka berpindah, mereka tetap mempertahankan rumah mereka. Sama halnya dengan para Sayyid dari Hadhrami yang menjadi kajian Engseng Ho (2006), yang sejauh dan selama apapun mereka menetap di wilayah diaspora mereka, mereka tetap menjadikan Tarim sebagai wilayah asal mereka. Sama halnya dengan saya, bahwa sejauh apapun jalan yang telah saya tempuh, saya tetap kembali ke ‘rumah’ saya di Ujungharapan.

Meskipun saya mengeluh mengenai kondisi saya di sana, dengan segudang atribut yang dilekatkan pada diri saya, namun di sana lah saya berasal, dan di sana lah saya akan kembali. Saya selalu merasa memiliki kebutuhan tertentu untuk selalu berada di rumah. Tempat di

http://www.umamnoer.com3

Page 35: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

mana saya merasa aman. Tempat di mana saya merasa di sana lah jiwa saya diletakkan. Rumah yang menjadi sanctuary dan tempat kembali bagi diri saya yang telah lelah berjalan.

Saya merasa bahwa kebudayaan bagi saya adalah sesuatu berharga yang saya miliki. Saya menyebutnya sebagai “the precious”, merujuk pada cincin yang dimiliki oleh Isildur yang coba direbut oleh Penyihir dari Mordor dalam trilogi Lords of The Ring karya Tolkien. Benda berharga yang menjadi milik saya, diambil dari tanah yang dijanjikan, ditempa melalui pengalaman, digosok melalui kesalahan-kesalahan, dan dicuci melalui pengakuan. Benda itu lah yang saya miliki. Benda itu lah yang menjadi dasar justifikasi bahwa ini lah saya saat ini.

Akhirnya saya dapat mengatakan bahwa kebudayaan lah yang membentuk saya saat ini. Apa yang anda lihat dalam catatan super ringkas, dari dua puluh empat tahun hidup saya. Dalam perjalanan hidup saya, waktu adalah batasan saya, dan proses adalah aktivitas saya. Saya menyenangi hidup saya saat ini dengan keyakinan yang sama besarnya dengan keyakinan bahwa saya pun akan menyukai kehidupan saya nanti. Akan jadi apa saya nanti, lima, sepuluh, dua puluh tahun lagi? Entah lah. Hanya kepada Allah lah saya bergantung dan meminta, dengan harapan saya dapat menjadi diri saya apa adanya.

Sebagai catatan tambahan, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Pak Iwan, yang dengan “jahatnya” telah meminta saya menuliskan kisah ini. Saya hanya berdoa semoga Bapak tidak mengalami mimpi buruk setelah membaca catatan yang, mengutip Romo Sam, berisi hanya omong kosong. Saya telah mencapai titik di mana saya tidak tahu apa yang harus saya ucapkan lagi. Sebagai penutup, setelah mengetik sambil menonton film Anna & The King, saya terngiang kalimat Chulalongkorn, yang kelak menjadi raja besar di Siam, bahwa diri saat ini berhutang pada masa lalu. Maka saya pun menambahkan, hanya dengan memahami masa lalu lah saya dapat berdamai dengan diri saya saat ini. Saya pun harus kembali ke masa kini, masa di mana tubuh saya sudah tidak mau berkompromi untuk berkonsentrasi lebih lama lagi, maka akan saya menutup tulisan ini.

Sumber bacaan:

http://www.umamnoer.com3

Page 36: Tentang Saya, Khaerul Umam Noer

Abu-Lughod, Lila. 1991. “Writing Against Culture”, dalam Richard G. Fox (ed.) Recapturing Anthropology, Working in the Present. Santa Fe, New Mexico: School of American Research Press. Hlm. 137-162

Barth, Fredrik. 2002. “Toward a Richer Description and Analysis of Cultural Phenomena”, dalam Rchard G. Fox dan Barbara J. King (eds.) Anthropology Beyond Culture. Oxford, New York: Berg. Hlm. 23-36

Durham, William H. 2002. “Cultural Variation in Time and Space: the Case for the Populational Theory of Culture”, dalam Richard G. Fox dan Barbara J.King (eds.) Anthropology Beyond Culture. Oxford, New York: Berg. Hlm. 193-206

Engseng Ho. 2006. The Graves of Tarim, Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Los Angeles, California: University of California Press

Geertz, Clifford. 1973a. “Thick Description: Toward and Interpretive Theory of Culture”, dalam Clifford Geertz The Interpretation of Cultures, Selected Essays. New York: Basic Books. Hlm. 3-30

__________. 1973b. “The Impact of the Consept of Culture on the Concept of Man”, dalam Clifford Geertz The Interpretation of Cultures, Selected Essays. New York: Basic Books. Hlm. 33-54

Olwig, Karen F. 1997. “Cultural Sites: Sustaining a Home in a Deterritorialized World”, dalam Kirsten Hastrup dan Karen F. Olwig (eds.) Siting Culture, The Shifting Anthropological Object. London, New York: Routledge. Hlm. 17-38

http://www.umamnoer.com3