Page 1
TELAAH PEMERIKSAAN
HB ELEKTROFORESIS METODE KAPILARISASI
UNTUK DIAGNOSIS THALASEMIA
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Tugas Akhir Pendidikan
Diploma III Teknologi Laboratorium Medis
Oleh
Alifah Budi Setyaningrum
P3.73.34.1.17.002
POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA III
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PRODI D III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
TAHUN 2020
Page 2
ii
Abstrak
Thalasemia adalah kelainan darah herediter autosomal resesif akibat mutasi
sintesis rantai α-globin atau rantai β-globin. Data dari Yayasan Thalassaemia
Indonesia, terjadi peningkatan kasus Talasemia yang terus menerus sejak tahun
2012 sebanyak 4896 kasus hingga tahun 2018 meningkat sampai dengan
8761 kasus. Pada thalasemia penting dilakukan skrining dan diagnosis untuk
menentukan risiko memiliki keturunan yang menderita thalasemia dan untuk
pengobatan dan penanganan yang baik pada penderita.
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah bagaimana pemeriksaan Hb
Elektroforesis metode kapilarisasi untuk diagnosis thalasemia. Karya Tulis Ilmiah
(KTI) ini bersifat kualitatif eksplanatif yang dibuat berdasarkan eksplorasi studi
literatur dari buku, jurnal penelitian dan review artikel. Pembuatan KTI dilakukan
pada bulan Februari-Juli 2020.
Pada KTI ini ditelaah Pemeriksaan Hb elektroforesis metode capillary
electrophoresis (CE). Kesesuaian identitas pasien, informasi klinis dan riwayat
keluarga, kualitas reagen dan sampel serta waktu pemeriksaa perlu diperhatikan.
Pemeriksaan dilakukan menggunakan sampel darah EDTA berdasarkan prinsip sel-
sel merah yang dilisiskan dengan buffer alkali (pH 9,4) dan akan bergerak dari
anoda ke katoda dengan dibantu oleh arus dan tegangan tinggi beserta reagen yang
digunakan. Apabila proses migrasi telah selesai alat akan melakukan pembacaan
hasil pada panjang gelombang 415 nm untuk Hb Elektroforesis. Sebelum
dikeluarkan hasil cek kembali, evaluasi, interpretasi serta verifikasikan hasil
analisis baru dilakukan validasi. Perlu diperhatikan dengan teliti terhadap pola Hb,
parameter hematologi lain, status besi, usia dan jenis kelamin pasien, asal etnis, dan
riwayat keluarga. Pemeriksaan Hb elektroforesis metode (CE) dibandingkan
dengan metode HPLC keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-
masing dan dapat digunakan untuk kuantifikasi varian hemoglobin yang akurat dan
tepat.
Kata kunci : Thalasemia, Hb elektroforesis. Pra analitik, analitik, post analitik.
Kepustakaan : 52 (2005-2020)
Page 3
iii
ABSTRACT
Thalassemia is an autosomal recessive hereditary blood disorder caused by
mutations in the synthesis of α-globin chains or β-globin chains. Data from the
Indonesian Thalassemia Foundation shows an increase in Thalassemia cases,
which continues to increase from 2012 to 4896 cases and in 2018 it increased to
8761 cases. Screening and diagnosis of thalassemia is important to determine the
risk of thalassemia and to get treatment and care properly.
The aims of this study is to review how the capillarization method of hb
electrophoretic test for the diagnosis of thalassemia. Method of this research is an
explanative qualitative study based on exploratory studies from textbook, research
journals and article reviews. KTI was made in February - July 2020.
In this study, Hb electrophoresis by capillary electrophoresis (CE) method
was reviewed. The suitability of the patient's identity, clinical information and
family history, the quality of the reagents and samples as well as the time of the
health examination need to be considered. The test is carried out using EDTA blood
samples based on the principle of red blood cells which are lysed with an alkaline
buffer (pH 9.4) and will move from the anode to the cathode assisted by high
currents and voltage along with the reagents used. When the migration process is
complete it will read the results at a wavelength of 415 nm for Hb Electrophoresis.
Before the results are released, it needs to be reviewed, evaluated, interpreted and
verified the results of the analysis and then validation can be carried out. This
requires careful attention to Hb patterns, other hematological parameters, iron
status, age and sex of the patient, ethnic origin, and family history. Hb
electrophoresis test by the capillary electrophoresis method was compared with the
HPLC. Each method has advantages and disadvantages and it can be used for
accurate and precise quantification of hemoglobin variants.
Keywords : Thalassemia, Electrophoresis Hemoglobin, Pre analytic, analytic,
post analytic.
Literatures : 52 (2005-2020)
Page 7
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai
kemudahan, petunjuk serta karunia yang tak terhingga sehingga penulis dapat
menyelesaikan Laporan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul TELAAH
PEMERIKSAAN HB ELEKTROFORESIS METODE KAPILARISASI
UNTUK DIAGNOSIS THALASEMIA.
Laporan Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh derajat Ahli Madya Teknologi Laboratorium Medis di Jurusan
Teknologi Laboratorium Medis Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta III. Dalam
penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis telah mendapatkan banyak bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Yupi Supartini, S.Kep., MSc, selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes
Jakarta III
2. Dra. Mega Mirawati, M. Biomed, selaku Ketua Jurusan Teknologi
Laboratorium Medis Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta III
3. Retno Martini W., S.Si. M.Biomed, selaku Ketua Program Studi D III
Teknologi Laboratorium Medis Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta III
4. Drs. Chairlan, M. Biomed, selaku pembimbing I sekaligus pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan serta motivasi kepada
penulis selama menjalani pendidikan di Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Jakarta III hingga penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
5. Dewi Astuti, S.Si. M.Biomed, selaku pembimbing II, yang telah memberikan
bimbingan, arahan serta motivasi kepada penulis, sehingga Karya Tulis Ilmiah
ini dapat terwujud
6. Seluruh dosen dan staff jurusan Teknologi Laboratorium Medis Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta III.
7. Ibu dan Bapak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil,
serta kasih sayang dalam setiap langkah kaki penulis.
Page 8
viii
8. Adik Fauzan yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
9. Amel, Fadjry, Fenia, Wulan, Zahra, Indah dan Mauren atas kebersamaannya
yang selalu memberikan motivasi, dorongan, semangat serta menemani hingga
penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
10. Teman-teman seperjuangan Program Studi D III Teknologi Laboratorium
Medis Angkatan 23 yang telah membantu dan memberikan semangat dalam
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
11. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu-
persatu sehingga Karya Tulis Ilmiah ini dapat selesai pada waktunya.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah ini belum sempurna.
Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan manfaat serta berguna bagi
semua pihak yang berkepentingan.
Bekasi, Juli 2020
Penulis
Page 9
ix
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
ABSTRACT .................................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah .......................................................................... 5
D. Perumusan Masalah............................................................................ 6
E. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
F. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori Tentang Thalasemia
1. Thalasemia ................................................................................... 7
2. Penurunan Gen atau Sifat Thalasemia .......................................... 8
3. Patofisiologi Thalasemia ............................................................... 10
4. Klasifikasi Thalasemia .................................................................. 13
5. Tanda dan Gejala Klinis Thalasemia ............................................ 17
6. Epidemiologi Thalasemia.............................................................. 19
7. Pemeriksaan Laboratorium Thalasemia ........................................ 21
8. Pemeriksaan Hb Elektroforesis ..................................................... 23
B. Kerangka Berpikir .............................................................................. 25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Definisi Operasional Variabel ............................................................ 26
B. Desain Penelitian ................................................................................ 26
C. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 26
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 26
E. Prosedur Pemeriksaan ......................................................................... 27
F. Sumber Data ....................................................................................... 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar ............................................................................................ 31
B. Tahap Pra Analitik .............................................................................. 33
C. Tahap Analitik .................................................................................... 37
Page 10
x
D. Tahap Pasca Analitik .......................................................................... 41
E. Perbandingan Capillary Electroporesis (CE) dan HPLC .................... 43
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................ 46
B. Saran ................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48
Page 11
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 2.1. Skema pewarisan sifat thalasemia .............................................. 10
Gambar 2.2. Alur pemeriksaan thalasemia ................................................... 23
Gambar 4.1. Electropherogram perbandingan waktu penyimpanan ............ 36
Gambar 4.2. Hasil Hb eletroforesis pada darah normal ............................... 40
Gambar 4.3. Hasil Hb elektroforesis dengan alat minicap sebia .................. 41
Page 12
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Agenda Bimbingan
Page 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thalasemia merupakan penyakit darah herediter karena gangguan
sintesis hemoglobin (Hb). Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi
terbanyak di dunia. Thalasemia menjadi penyakit hemolitik herediter
dengan prevalensi dan insidensi paling tinggi di seluruh dunia. Penyakit ini
menjadi salah satu masalah kesehatan yang sangat serius mengingat ratusan
ribu anak meninggal setiap tahunnya. Prevalensi thalasemia terbanyak
dijumpai di daerah-daerah yang disebut sebagai sabuk thalasemia yaitu
Mediterania, Timur Tengah, Asia Selatan, Semenanjung Cina, Asia
Tenggara, serta Kepulauan Pasifik (Rujito, 2019).
Indonesia merupakan negara yang berada dalam
sabuk thalasemia dengan prevalensi karier thalasemia mencapai sekitar
3,8% dari seluruh populasi. Data Yayasan Thalassaemia Indonesia, terjadi
peningkatan kasus Thalasemia yang terus menerus sejak tahun 2012 (4896)
hingga tahun 2018 (8761) (Kementrian Kesehatan RI, 2019). Frekuensi
pembawa sifat Thalasemia di Indonesia yang dilaporkan adalah sebagai
berikut: Medan dengan pembawa sifat Thalasemia β sebesar 4,07 %,
Yogyakarta sebesar 6 %, Banyumas 8 %, Ambon sebesar 6,5 %, Jakarta
sebesar 7%, Ujung Pandang sebesar 8 %, Banjarmasin sebesar 3 %,
Maumere dan Bangka sebesar 6 %, dan beberapa daerah memiliki
prevalensi hingga 10 %, dengan rata-rata frekuensi secara keseluruhan
Page 14
2
adalah 3-10 %. Gambaran tersebut mengindikasikan bahwa tiap-tiap daerah
memiliki jumlah pembawa sifat yang berbeda-beda (Rujito, 2019).
Thalasemia ditandai dengan adanya defek pada sintesis satu atau
lebih rantai polipeptida hemoglobin. Hemoglobin normal manusia dewasa
terdiri dari 2 rantai beta dan 2 rantai alfa yang membentuk tetramer α2β2
(HbA). Komposisi HbA dalam sirkulasi darah mencapai > 97%, sedangkan
HbA2 2-3% dan HbF <1% (Menteri Kesehatan RI, 2018). Penderita
thalasemia mengalami kelainan pada komposisi HbA, HbF dan HbA2. HbF
dan HbA2 yang dibentuk secara berlebihan tersebut mempunyai afinitas
terhadap oksigen yang lebih tinggi sehingga oksigen yang dilepas ke
jaringan lebih sedikit. Kondisi itu menimbulkan berbagai gejala klinis,
tergantung pada berat rigannya penyakit (Kesuma, S., & Octavia, E. 2018).
Gejala klinis pada thalasemia mulai dari yang paling ringan (bentuk
heterozigot) yang disebut thalasemia minor atau thalasemia trait
(carrier/pengemban sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot)
yang disebut thalasemia mayor. Tipe yang paling sering ditemukan dengan
tanda klinis yang umumnya berat adalah thalasemia β (kelainan pada rantai
β) dan thalasemia α (kelainan pada rantai α) (Kesuma, S., & Octavia, E.
2018).
Penyakit thalasemia belum bisa disembuhkan dan harus transfusi
darah seumur hidup. Thalasemia perlu dicurigai jika ditemukan tanda dan
gejala, seperti pucat kronik, kulit/mata menguning, facies Cooley (batang
hidung tidak tampak, tulang-tulang pipi menonjol, dan rahang atas maju ke
Page 15
3
depan), perut membuncit akibat pembesaran hati dan limpa, kulit
menghitam, mudah sakit, gangguan tumbuh kembang, dan keterlambahan
pertumbuhan seks sekunder. Biasanya terdapat riwayat transfusi rutin pada
keluarga besar (Wahidiyat, P. A., et al. 2019). Namun pada pembawa sifat
(carrier) thalasemia dapat hanya sedikit atau sama sekali tidak bergejala
sehingga dapat beraktivitas selayaknya orang sehat (Kementrian Kesehatan
RI, 2019).
Pemeriksaan hematologi harus dilakukan secara komprehensif,
tidak dapat hanya dari pemeriksaan dasar berupa pemeriksaan kadar Hb, Ht
dan gambaran hapus darah tepi. Pemeriksaan yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis thalasemia antara lain kadar hemoglobin, kadar Ht,
indeks eritrosit, red cell distribution width (RDW), apusan darah tepi, dan
analisis Hb. Jika diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan analisis DNA
(Utami, 2019).
Analisis Hb dengan mendeteksi varian struktural hemoglobin (Hb)
dan thalasemia telah menjadi semakin penting dalam laboratorium klinis
semua negara lebih dari 10 tahun terakhir (Oyaert, M., et al. 2014). Dua
teknik yang sering digunakan adalah High-Performance Liquid
Chromatography (HPLC) dan Capillary Zone Electrophoresis (CZE)
(Rujito, 2019). Pada metode HPLC dapat dilakukan pemisahan molekul
hemoglobin secara optimal dan kuantifikasi hemoglobin yang signifikan
yaitu HbA2, HbS dan HbF dan cocok untuk diagnosis pembawa β-
thalassemia. Ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi varian Hb
Page 16
4
yang paling relevan secara klinis. Namun adanya hemoglobin varian seperti
HbS atau HbE dapat menghambat deteksi HbE β- thalasemia dan HbE
homozigot (Barrett, A. N et al., 2016). Saat ini elektroforesis kapiler
semakin sering digunakan di banyak laboratorium, terutama di daerah
dengan angka kejadian Hb E dan thalassemia yang tinggi misalnya di
Thailand (Viprakasit, V., & Ekwattanakit, S, 2018). Metode ini memiliki
kemampun untuk memisahkan fraksi hemoglobin secara kuantitatif menjadi
HbA2, HbE, dan HbF. Hal ini penting untuk diagnosis thalasemia dan
hemoglobinopati (Riza & Widiretnani, S, 2015).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/Menkes/1/2018 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Thalasemia, Elektroforesis Hemoglobin
merupakan baku emas dalam skrining karier thalasemia. Namun,
Pemeriksaan elektroforesis Hb masih belum banyak tersedia di pelayanan
laboratorium di Indonesia karena untuk melakukan pemeriksaan tesebut
dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang telah terlatih dan alat
pemeriksaan khusus, serta biaya pemeriksaan yang cukup besar
(Atmakusuma et al, 2009; Okan et al, 2009; Wirawan, 2011; Ayu
Rembulan, 2015). Berdasarkan uraian tersebut penulis ingin dibuat Karya
Tulis berbasis studi literatur mengenai Telaah pemeriksaan Hb
Elektroforesis metode kapilarisasi untuk diagnosis thalasemia.
Page 17
5
B. Identifikasi Masalah
1. Thalasemia merupakan penyakit hemolitik herediter dengan prevalensi
dan insidensi paling tinggi di seluruh dunia dan menyebabkan ratusan
ribu anak meninggal setiap tahunnya.
2. Indonesia merupakan negara yang berada dalam
sabuk Thalasemia dengan prevalensi karier thalasemia mencapai
sekitar 3,8% dari seluruh populasi.
3. Penyakit thalasemia belum dapat disembuhkan dan penderita harus
melakukan terapi transfusi darah seumur hidup.
4. Beberapa penyakit lain misalnya anemia defisiensi besi kronis dan
anemia sideroblastik memberikan gambaran darah yang serupa dengan
thalasemia, sehingga diperlukan Pemeriksaan hematologi yang
komprehensif.
5. Pemeriksaan elektroforesis Hb merupakan baku emas dalam skrining
karier thalasemia, namun masih terbatas laboratorium kesehatan yang
melakukan karena membutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yang
telah terlatih dan alat pemeriksaan khusus, serta biaya pemeriksaan yang
cukup besar.
C. Pembatasan Masalah
Karya Tulis ini dibatasi pada Telaah Pemeriksaan Hb Elektroforesis metode
Kapilarisasi Untuk Diagnosis Thalasemia yang dilakukan melalui
pengumpulan literatur ilmiah.
Page 18
6
D. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pemeriksaan Hb Elektroforesis metode kapilarisasi
digunakan untuk diagnosis thalasemia?
E. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Menjelaskan secara komprehensif bagaimana pemeriksaan Hb
Elektroforesis metode kapilarisasi digunakan untuk diagnosis
thalasemia
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui proses pra analitik pada pemeriksaan Hb
Elektroforesis.
2. Untuk mengetahui proses analitik pemeriksaan Hb Elektroforesis.
3. Untuk mengetahui proses pasca analitik pemerikssan Hb
Elektroforesis.
4. Perbandingan Pemeriksaan Hb Elektroforesis metoda Capilarity
Electrophoresis (CE) dengan HPLC.
F. Manfaat Penelitian
1. Untuk Instansi Pelayanan Kesehatan:
Dapat digunakan sebagai referensi informasi mengenai pemeriksaan
Hb Elektroforesis metode kapilarisasi untuk diagnosis thalasemia.
2. Untuk Intitusi Pendidikan
Dapat menjadi bahan pengembangan pembelajaran khususnya di
bidang hematologi terapan.
Page 19
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori Tentang Thalasemia
1. Thalasemia
Thalasemia (thal) adalah anemia hemolitik kronis herediter
resesif autosom yang disebabkan oleh defisiensi parsial atau lengkap
dalam sintesis rantai α-globin (α-thal) atau rantai β-globin (β-thal) yang
menyusun hemoglobin dewasa utama (HbA), tetramer dari α2 β2.
Keadaan ini disebabkan oleh satu atau lebih dari beberapa ratus mutasi
pada gen yang bersesuaian. Rantai globin yang tidak berpasangan dan
tidak stabil akan mengendap secara intraseluler sehingga menyebabkan
hemoliysis dan penghancuran prematur (oleh apoptosis) prekursor sel
darah merah (RBC) di sumsum tulang. Sel darah merah dewasa akan
mengalami rentang hidup pendek dalam sirkulasi. Produk pemecahan
Hb, heme dan besi akan mengkatalisasi reaksi kimia yang menghasilkan
radikal bebas, termasuk spesies oksigen reaktif (ROS), yang berlebihan
berbahaya, menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital seperti
jantung dan hati dan sistem endokrin (Rund, D., & Rachmilewitz, E.,
2005).
Penderita thalasemia tidak mampu memproduksi salah satu dari
protein tersebut dalam jumlah yang cukup sehingga sel darah merahnya
tidak terbentuk dengan sempurna. Oleh karena itu, akan terbentuk
eritrosit yang relatif mempunyai fungsi yang berkurang. Hal tersebut
Page 20
8
akan mengakibatkan hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen
dalam jumlah yang cukup (Yunitha, R. A. Y, 2013). Thalasemia
diklasifikasikan berdasarkan defisiensi pembentukan rantai globin
dibedakan menjadi thalasemia alpha dan thalasemia betha. Klasifikasi
thalasemia berdasarkan gejala klinis dikategorikan menjadi dua yaitu
thalasemia minor dan thalasemia mayor (Suryani, Wiharto, &
Wahyudiani, 2015).
2. Penurunan Gen atau Sifat Thalasemia
Penyakit Thalasemia tergolong kelainan darah yang bersifat
diwariskan karena ada cacat genetik pembentuk globin yang berasal dari
orang tuanya. (Kusuma, 2016). Permasalahan thalasemia akan muncul
jika thalasemia trait kawin dengan sesamanya sehingga kemungkinan
yang bisa terjadi adalah 25% dari keturunannya menurunkan thalasemia
mayor, 50% anak mereka menderita thalasemia trait dan hanya 25%
anak mempunyai darah normal (Regar, 2009).
Menurut Sukri (2016) dikutip dalam Nazilarahma, D. (2019) berikut
adalah mekanisme penurunan gen atau sifat Thalasemia:
1. Individu carrier + individu normal, maka anak yang lahir dari
pasangan ini memiliki kemungkinan 50% normal, 50% carrier.
2. Individu carrier + individu carrier, maka anak yang lahir dari
pasangan ini akan memiliki kemungkinan terlahir dalam kondisi
normal 25%, carrier 50%, dan thaller 25%.
Page 21
9
3. Individu thaller + individu normal, maka anak yang lahir dari
pasangan ini akan memiliki kemungkinan terlahir dalam kondisi
normal 0%, carrier 100%, dan thaller 0%.
4. Individu thaller + individu carrier, maka anak yang lahir dari
pasangan ini akan memiliki kemungkinan terlahir dalam kondisi
normal 0%, carrier 50%, dan thaller 50%.
5. Individu thaller + individu thaller, maka anak yang lahir dari
pasangan ini, akan memiliki kemungkinan terlahir dalam kondisi
normal 0%, carrier 0%, dan thaller 100%.
Seorang individu normal adalah yang tidak memiliki gen
Thalasemia dalam tubuhnya. Individu carrier adalah individu yang di
dalam tubuhnya memiliki gen pembawa sifat Thalasemia. Individu
thaller adalah penyandang Thalasemia.
Page 22
10
perkawinan
normal vs minor
perkawinan
minor vs minor
Perkawinan
normal vs mayor
Keterangan :
: Individu normal
: Thalasemia minor
: Thalasemia mayor
Gambar 2.1. Skema pewarisan sifat thalasemia (Rujito, 2019)
3. Patofisiologi thalasemia
Pada trimester pertama kehidupan intrauterin, zeta, epsilon, alpha,
dan rantai gamma berada pada kadar yang signifikan dan pada beberapa
kondisi membentuk Hb Gower I, Hb Gower II, Hb Portland, dan
hemoglobin F. Hb Gower dan Hb Portland segera menghilang, HbF
akan menetap dan membentuk pigmen respirasi selama kehidupan
Perkawinan
minor vs mayor
Perkawinan
mayor vs mayor
Page 23
11
intrauterin. Sebelum lahir, produksi rantai gamma (γ) mulai berkurang
sehingga setelah usia 6 bulan setelah kelahiran, hanya tersisa HbF (<2%)
dalam jumlah sedikit yang terdeteksi di dalam darah. Pada fase awal
kehidupan intrauterin, sintesis rantai beta dipertahankan dalam kadar
rendah, akan tetapi secara bertahap meningkat sampai kadar signifikan
pada akhir trimester ketiga dan berlanjut hingga neonatal dan dewasa.
Sintesis rantai delta tetap dipertahankan dalam kadar rendah sampai usia
dewasa (<3%). Oleh karena itu selama perkembangan normal, sintesis
Hb Gower janin dan Portland digantikan oleh sintesis HbF, dan nantinya
digantikan oleh hemoglobin dewasa, HbA dan HbA2 (Marengo-Rowe,
2007).
Rantai γ yang digantikan rantai β akan berikatan dengan rantai α
membentuk HbA. Reduksi rantai globin β menyebabkan penurunan
sintesis dari HbA serta meningkatnya rantai globin α bebas sehingga
menyebabkan terbentuknya eritrosit hipokromik dan mikrositik
Ketidakseimbangan sintesis rantai globin α dan β mempengaruhi derajat
thalasemia. Presipitat yang terbentuk dari akumulasi rantai α
membentuk badan inklusi pada eritrosit, menyebabkan kerusakan
membran eritrosit serta destruksi dini eritroblas yang sedang
berkembang di sumsum tulang. Kerusakan membran menyebabkan
imunoglobulin dan komplemen berikatan dengan membran, memberi
sinyal kepada makrofag untuk menyingkirkan prekursor eritroid dan
eritrosit yang rusak. Sel retikuloendotelial menyingkirkan eritrosit
Page 24
12
abnormal dari limpa, hati, dan sumsum tulang sebelum masa hidupnya
berakhir, sehingga tercipta keadaan anemia hemolitik. Eritropoiesis
yang tidak efektif serta hemolisis inilah tanda utama dari thalasemia β
(Wijaya, Nency, & Farida, 2018).
Eritrosit masih dapat mempertahankan produksi rantai γ, berikatan
dengan rantai α bebas yang berlebihan membentuk HbF. Pengikatan
tersebut menyebabkan kadar rantai α bebas berkurang sehingga
mengurangi gejala penyakit dan menyediakan hemoglobin tambahan
yang mampu mengikat oksigen. Namun, kenaikan kadar HbF berakibat
meningkatnya afinitas oksigen sehingga terjadi hipoksia. Keadaan
anemia dan hipoksia menstimulasi produksi eritropoietin. Eritropoiesis
yang tidak efektif meningkat, menyebabkan perluasan dan deformitas
tulang (Wijaya, Nency, & Farida, 2018).
Eritropoiesis yang tidak efektif menghambat produksi hepcidin oleh
hati yang bertugas menghambat absorpsi besi dan pelepasan besi dari
makrofag serta hepatosit. Maka, pada thalasemia beta terjadi
peningkatan absorpsi besi serta pelepasan besi dari makrofag, berakibat
penumpukan besi pada sirkulasi dan kemudian pada organ-organ. Besi
disimpan dalam jaringan dalam bentuk ferritin, yang kemudian
terdegradasi menjadi hemosiderin, sehingga pada thalasemia beta kadar
ferritin serta hemosiderin meningkat (Wijaya, Nency, & Farida, 2018).
Page 25
13
4. Klasifikasi Thalasemia
a. Berdasarkan Kelainan genetik
Secara garis besar thalasemia terbagi menjadi dua bagian
yaitu thalasemia alpha dan thalasemia beta. Thalasemia alpha
yaitu keadaan dimana rantai globin alpha mengalami gangguan,
sedangkan thalasemia beta merupakan keadaan dimana rantai
globin beta mengalami gangguan (Kusuma, W, 2016).
1. Thalasemia -β
Thalasemia -β disebabkan oleh kelainan pada rantai globin –
β Gen globin β terletak di lengan pendek kromosom 11.
Thalasemia β terjadi oleh karena mutasi resesif dari satu atau dua
rantai globin β tunggal pada kromosom 11.
Jenis thalasemia β dibagi menjadi:
a) Thalasemia β mayor (Cooley’s Anemia)
Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk
hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen
yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan
akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif,
maupun kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan
transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi
kelangsungan hidupnya (Kusuma, W. 2016).
Thalasemia beta (β) Mayor ditandai dengan rusaknya
sel darah merah serta perubahan morfologi pada sel darah
Page 26
14
merah yang meliputi bentuk dan ukuran sel. Perubahan
tersebut ditandai dengan adanya sel-sel abnormal yaitu sel
mikrositik, eritrosit berinti (eritroblast), small fragment dan
sel target (leptocytes) (Suryani, Wiharto, & Wahyudiani,
2015).
b) Thalasemia intermedia.
Kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa
memproduksi sedikit rantai beta globin. Derajat anemia
tergantung derajat mutasi gen yang terjadi (Lazuana, 2014).
Thalasemia intermedia ditandai oleh gambaran klinis dan
derajat keparahan yang berada di antara bentuk mayor dan
minor. Penderita ini secara genetik bersifat heterogen.
Umumnya penderita dengan kelainan ini cukup sehat dan
hanya membutuhkan transfusi darah pada saat terjadinya
infeksi (Regar, 2009).
c) Thalasemia β minor (trait)
Penderita memiliki satu gen normal dan satu gen
yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia
mikrositik ringan (Wijaya, Nency, & Farida, 2018).
Penderita biasanya secara klinis asimtomatik.
Umumnya hemoglobin yang ditemukan adalah Hb A, dan
yang khas proporsi Hb A2 (α2δ2) meningkat dengan nilai
Page 27
15
kira-kira 4-7% dari total hemoglobin, tidak seperti halnya
dengan angka normal, yaitu sekitar 2-3% (Regar, 2009).
2. Thalasemia -α
Thalasemia α disebabkan oleh mutasi salah satu atau
seluruh globin rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari
Silent Carrier State, α Thalasemia Trait, Hb H Disease, dan
α Thalasemia Mayor (Rodiani, R., & Anggoro, A, 2017).
1. Thalasemia-α silent carrier, terjadi delesi pada gen tunggal
(-α/αα) akan menyebabkan keadaan asimptomatik dan
hematologi normal.
2. Thalasemia-α trait (minor), terjadi delesi pada 2 gen (--/αα)
yang menyebabkan mikrositosis dan tidak terdapat anemia.
3. Thalasemia-α intermedia atau HbH disease terjadi delesi 3
gen (--/-α) menyebabkan anemia hemolitik, inefektif
eritropoesis, kelaian tulang dan splenomegali.
4. Delesi 4 gen (--/--) akan menyebabkan thalasemia-α mayor
dan Hb Bart’s syndrome (rantai gamma). Keadaan ini dapat
menyebabkan hydrops fetalis pada fetus dan bersifat letal
(Pratama, & Kurniati, 2019)
b. Berdasarkan Klasifikasi Klinis
klasifikasi thalasemia terbagai atas 3 golongan utama yaitu
thalasemia mayor, thalasemia, intermedia, dan thalasemia minor
(Rujito, et al., 2018). Klasifikasi berdasarkan berat ringannya
Page 28
16
klinis, mulai dari tanpa gejala klinis pada pembawa sifat atau
karier (thalasemia minor), gejala anemia ringan sampai sedang
(thalasemia intermedia), dan anemia berat yang bergantung pada
transfusi darah bahkan bisa menyebabkan kematian pada janin
atau bayi baru lahir (Thalasemia mayor) (Bakta I.M., 2007
dalam Willy, 2014).
1. Thalasemia mayor
Pada thalasemia mayor produksi rantai globin
terganggu, sehingga terdapat ketidakseimbangan sintesis
rantai globin (alfa>beta). Hal ini menyebabkan eritropoesis
tidak efektif dan terjadi anemia hipokrom mikrositik berat.
Rantai alfa yang tidak mempunyai pasangan akan
membentuk suatu substansi yang akan merusak membran sel
darah merah, kerusakan prematur ini menyebabkan kematian
intramedular dan eritropoesis yang tidak efektif (Alam, M.
D. S., Sudjud, R. W., & Indriasari, 2014).
2. Thalasemia intermedia
Thalasemia intermedia terjadi akibat kelainan pada
2 kromosom yang menurun dari ayah dan ibunya. Pada
Thalasemia intermedia terdapat 2 gen mutan yang menurun
yaitu kombinasi mutan berat dan ringan, atau mutan ringan
dan mutan ringan. Pasien intermedia tidak rutin dalam
memenuhi transfusi darah nya, terkadang hanya 3 bulan
Page 29
17
sekali, 6 bulan sekali atau bahkan 1 tahun sekali. Namun
pada keadaan tertentu, keadaan intermedia dapat jatuh ke
keadaan mayor jika tubuh mengeluarkan darah yang cukup
banyak, atau tubuh memerlukan metabolisme yang tinggi
atau keadaan klinis lain yang melemahkan sistem fisiologis
hematologi atau sistem darah. (Rujito, 2019).
3. Thalasemia minor/trait/pembawa sifat:
Thalasemia minor (thalasemia trait) yaitu thalasemia
pembawa sifat, diturunkan dari salah satu orang tua sehingga
bersifat heterozigot. Klinis dapat tanpa gejala atau disertai
anemia mikrositik ringan yang tidak memerlukan transfusi
darah (Rodiani, R., & Anggoro, A. 2017). Keadaan ini terjadi
pada orang yang sehat, namun dapat menurunkan gen
thalasemia pada keturunannya (Rinda Y, 2019).
5. Tanda dan Gejala klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan pada penderita thalasemia
bervariasi, mulai dari tanpa gejala klinis pada pembawa sifat/karier
(thalasemia minor), gejala anemia ringan sampai sedang (thalasemia
intermedia), dan gejala anemia berat sehingga bergantung pada
transfusi darah (blood transfusion dependent thalasemia) bahkan
bisa menyebabkan kematian pada janin atau bayi baru lahir
(Hydrops foetalis), pada thalasemia mayor (Au & Liang, 2007).
Derajat berat manifestasi klinis yang timbul tergantung dari jenis
Page 30
18
mutasi pada gen globin dan genotipnya (Muncie & Campbell, 2009
dalam Eva & Dewi, 2014). Selain itu, thalasemia juga dapat
menyebabkan pembesaran limpa, dan Fascies Cooley’s (sumsum
memproduksi sel darah merah berlebihan sehingga rongga sumsum
membesar menyebabkan penipisan tulang dan penonjolan pada
dahi) (Sawitri, H., & Husna, C. A, 2018).
Thalasemia Intermedia biasanya memiliki gejala anemia
mikrositik dan hipokromik yang lebih parah. Gejala yang dapat
dijumpai adalah anemia, hepatosplenomegali, kardiomegali, dan
perubahan system skeletal akibat ekspansi sumsum tulang. Pasien
thalaemia intermedia memiliki fenotip thalasemia β homozigot,
defek thalasemia a dan B, atau thalasemia B dengan tingkat HbF
yang tinggi (Margarita, et al., 2019).
Pasien thalasemia beta gejala yang ditunjukkan sejak lahir
yaitu pasien tampak pucat, lemah, mudah infeksi, susah makan, dan
pertumbuhan terganggu. Sebagian besar pasien thalasemia akan
mengalami anemia ringan, tetapi ada yang mengalami anemia berat
terutama pada thalasemia beta mayor karena pasien mengalami
kegagalan dalam pembentukan sel darah. Pada penderita anemia
yang berat dan lama dapat ditemukan splenomegali dan
hepatomegali yang mengakibatkan perut tampak buncit (Permono,
2005; Saniyah N, 2011 dalam Ardian, A. D, 2018). Penyakit
thalasemia belum bisa disembuhkan dan harus transfusi darah
Page 31
19
seumur hidup, tetapi dapat dicegah dengan mencegah pernikahan
sesama pembawa sifat thalasemia (Kemenkes RI, 2019). Tranfusi
yang cukup dapat membantu pertumbuhan yang normal pada anak
sampai usia pubertas, dengan risiko kelebihan zat besi atau
hemosiderosis bila tidak mendapatkan terapi pengikat besi (Ardian,
2018).
6. Epidemiologi thalasemia
Awalnya, thalasemia ditemukan di daerah endemis malaria,
yaitu di Mediterania dan sebagian besar Asia dan Afrika. Salah satu
alasannya adalah karena individu carrier lebih tahan terhadap
serangan malaria. Keuntungan ini menyebabkan adanya seleksi
terhadap penduduk yang tinggal di daerah endemis malaria di daerah
tropik dan sub tropik sehingga terjadi peningkatan frekuensi gen
penyebab hemoglobinopati di daerah-daerah tersebut (Wulandari,
2018). Populasi imigran dan pernikahan antara berbeda etnis
kelompok menyebabkan thalasemia menjadi menyebar ke semua
negara, bahkan negara di Eropa utara tempat thalasemia sebelumnya
tidak ada. Diperkirakan bahwa sekitar 1,5 persen dari populasi dunia
adalah pembawa thalasemia, dengan sekitar 60.000 orang menandai
kelahiran setiap tahun; sebagian besar lainnya ada di negara
berkembang. Menurut Penilaian Federasi Internasional Thalasemia,
hanya sekitar 200.000 pasien dengan thalasemia mayor masih hidup
Page 32
20
dan terdaftar dan secara teratur menerima pengobatan di seluruh
dunia (Kaveh., et al. 2018).
Indonesia termasuk salah satu negara dalam sabuk
thalasemia dunia, yaitu negara dengan frekuensi gen (angka
pembawa sifat) thalasemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari
penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa
frekuensi gen thalasemia beta berkisar 3-10%, namun data dari
rumah sakit di Indonesia angka yang didapatkan masih jauh lebih
rendah dari perkiraan jumlah yang sebenarnya. Hal ini dapat
disebabkan karena jenis mutasi gen yang ada di Indonesia sangat
bervariasi mulai dari sangat berat sampai ringan, sehingga tidak
membutuhkan transfusi (asimptomatis), atau memang karena
kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan maupun fasilitas
laboratorium diagnostik, sehingga tidak terdeteksi (under-
diagnosed) (Menteri Kesehatan RI, 2018).
Berdasarkan data Yayasan Thalasemia Indonesia (YTI) dan
Perhimpunan Orangtua Penderita Thalasemia Indonesia (POPTI)
dari hasil skrining pada masyarakat umum dari tahun 2008-2017,
didapatkan pembawa sifat thalasemia sebanyak 699 orang (5,8%)
dari 12.038 orang yang diperiksa, sedangkan hasil skrining pada
keluarga thalasemia tahun 2009-2017 didapatkan sebanyak
1.184 orang (28,61%) dari 4.137 orang. Data RSCM, sampai bulan
Page 33
21
Oktober 2016 terdapat 9.131 pasien thalasemia yang terdaftar di
seluruh Indonesia (Salsabila, Perdani, & Irawati, 2019).
7. Pemeriksaan laboratorium Thalasemia
Sebelum pemeriksaan laboratorium pada pasien thalasemia
dilakukan diagnosis thalasemia terlebih dahulu dimulai anamnesis
berupa gejala dan tanda diserta riwayat keluarga pasien (Pratama, B., &
Kurniati., 2019). Berdasarkan pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) dikutip dalam Rembulan NA (2015)
pemeriksaan penunjang Thalasemia berupa pemeriksaan laboratorium
hematologi. Pada pemeriksaan darah tepi lengkap:
1. Hemoglobin rendah, di bawah nilai normal.
2. Gambaran Sediaan apus darah tepi eritrosit terlihat mikrosit,
hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit
muda/normoblas, fragmentosit, dan sel target.
3. Indeks erirosit: MCV, MCH, dan MCHC menurun, RDW
meningkat. Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL
(mikrositik) dan Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH)
< 27 pg (hipokromik). Thalasemia mayor biasanya memiliki
MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.
Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalasemia,
dan juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya
karena lebih sedikit dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi
Page 34
22
(less suscpetible to storage changes) (Menteri Kesehatan RI,
2018).
Menurut NP, Rembulan Ayu (2015) Konfirmasi dengan analisis
hemoglobin menggunakan:
1. Elektroforesis hemoglobin tidak ditemukannya HbA dan
meningkatnya HbA2 dan Hb F.
2. Elektroforesis cellulose acetate digunakan untuk mengetahui
jenis Hb varian kualitatif.
3. Metode kromatografi mikrokolom digunakan untuk mengetahui
HbA2 kuantitatif.
4. Metode Alkali denaturasi modifikasi betke digunakan untuk
deteksi Hb F.
5. Metode High-Performance Liquid Chromatography (HPLC)
analisis kualitatif dan kuantitatif.
Jika diperlukan dilakukan analisis DNA untuk memastikan jenis
mutasi apa yang terkandung dalam setiap sel individu Thalasemia.
Pada beberapa kasus analisis DNA pada thalasemia menjadi
diagnosis definitif karena gambaran darah dan elektroforesis
hemoglobin yang meragukan (Rujito, 2019).
Page 35
23
Gambar 2.2 Alur pemeriksaan thalasemia beserta tingkatan fasilitas
pelayanan kesehatan sesuai teknologi yang dimiliki (Kemenkes, 2016)
8. Pemeriksaan Hb Elektroforesis
Pemeriksaan hemoglobin elektroforesis bertujuan untuk
mengetahui pembentukan rantai globin secara spesifik dan untuk
menentukan tipe thalasemia yang diderita pasien. Pemeriksaan ini
pula yang digunakan sebagai diagnosa pasti pada kasus thalasemia.
Pemeriksaan hemoglobin elektroforesis sebaiknya juga dilakukan
kepada orangtua pasien guna menentukan gen varian pembawa
thalasemia dan menentukan prognosis pasien (Bakta, 2007 dikutip
Page 36
24
dalam Ardian, 2018). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1/2018 Tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Thalasemia
ada beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat
dilakukan, berupa pemeriksaan 415 varians kuantitatif
(electrophoresis cellose acetat membrane), HbA2 kuantitatif (metode
mikrokolom), HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau
pemeriksaan elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin
electrophoresis. Metode yang sering digunakan dalam pelayanan
kesehatan saat ini adalah HPLC dan Capillary Zone Electrophoresis
(CZE). Menurut Rujito (2019) Pemeriksaan ini akan fokus pada kadar
HbA2 dan HbF sebagai penentu status karier Thalasemia minor yaitu
HbA2 ≥ atau ≤ 3.5 % dan juga nilai persentase HbF.
Anak dengan β-thalasemia minor pada Hb elektroforesis
memperlihatkan setelah usia 12-16 bulan selalu terdiagnosis ketika
level HBA2, HB F, atau keduanya meningkat. Pada β-thalasemia
mayor pada Hb elektroporesis memperlihatkan hanya Hb F dan
HbA2 pada anak anak dengan β0- thalasemia homozigot. Mereka
dengan gen β+-thalasemia memiliki beberapa Hb A tetapi
mengalami peningkatan pada Hb F dan HbA2. Diagnosis homozygot
β -thalasemia sebaiknya juga diperkuat dengan temuan B-thalasemia
minor pada kedua orang tua penderita (Liansyah, T. M., & Herdata,
H. N, 2018).
Page 37
25
B. Kerangka Berpikir
: Bagian yang diteliti
: Bagian yang tidak diteliti
Pasien diduga thalasemia
Anamnesis riwayat genetik
dan gejala klinik
Pemeriksaan darah lengkap
Hb rendah
MCV rendah, MCH rendah
Gambaran Darah Tepi Eritrosit
( mikrosit, hipokrom, anisositosis, poikilositosis, sel eritrosit muda/normoblas, fragmentosit,sel target)
Analisis Hemoglobin
Hasil pemeriksaan darah lengkap normal
Page 38
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Definisi Operasional
1. Penderita Thalasemia adalah individu yang secara klinis dinyatakaan
menderita thalasemia mayor, thalasemia intermidia atau thalasemia
minor yang terjadi karena kelainan genetik pada pembentukan
hemoglobin α atau β.
2. Hb elektroforesis adalah hasil pemeriksaan berupa persentase varian
hemoglobin individu diduga thalasemia menggunakan metode
elektroforesis kapiler.
B. Desain Penelitian
Karya Tulis Ilmiah (KTI) kualitatif eksplanatif ini dibuat
berdasarkan eksplorasi studi literatur mengenai pemeriksaan Hb
Elektroforesis metode kapilarisasi untuk diagnosis thalasemia.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di jurusan Teknologi Laboratorium Medis
Poltekkes Kemenkes Jakarta III, mulai dari bulan Maret sampai dengan Juli
2020
D. Teknik Pengumpulan data
1. Melakukan observasi pemeriksaan laboratorium yang diterapkan pada
pemeriksaan Hb Elektroforesis metode kapilarisasi untuk diagnosis
thalasemia. Observasi ini dilakukan sewaktu penulis melakukan Praktik
Kerja Lapangan (PKL).
Page 39
27
2. Melakukan penulusuran dan pendalaman teoritis mengenai
pemeriksaan Hb Elektroforesis metode kapilarisasi untuk diagnosis
thalasemia.
3. Melakukan penelusuran data sekunder dari sumber sumber yang
relevan.
4. Mengolah, menganalisis dan menyajikan informasi yang diperoleh.
E. Prosedur Pemeriksaan Hb Elektroforesis
Prosedur pemeriksaan Hb Elektroforesis metode kapilarisasi untuk
diagnosis thalasemia berdasarkan studi literatur dapat menggunakan alat
Capillary electrophoresis model Minicap Flex-piercing (Sebia, 2010)
1. Tujuan
Untuk mengetahui tipe-tipe fraksi Hb dalam darah, dilakukan ketika ada
kecurigaan bentuk abnormal dari hemoglobin. Fraksi- fraksi Hb yang
bisa didapatkan: A, F, A2, C, E, S, D, Hope, Bart’s, J, N-Baltimore dan
H.
2. Metode : Kapilarisasi
3. Prinsip
Pada pemeriksaan Hemoglobin elektroforesis sampel dicampurkan
dengan hemolyzinge untuk memecah sel darah. Selanjutnya sampel
dinaikkan ke kedua buah katub anode kapiler 1 dan kapiler 2. Sampel
akan bergerak dari anoda ke katoda dengan dibantu oleh arus dan
tegangan tinggi beserta reagen yang digunakan. Apabila proses
perpindahan telah selesai selanjutnya alat akan melakukan pembacaan
Page 40
28
hasil dengan menggunakan panjang gelombang dari lampu halogen
dengan panjang gelombang 415 nano meter untuk Hb Elektroforesis.
4. Alat dan Bahan
a. Alat Sebia Minicap Flex-piercing
b. Reagent and Dilution cups
c. Bins for used cups
d. Sampel : Darah EDTA
e. Reagen :
i. Minicap Hb
ii. Buffer
iii. Hemolysing Solution
iv. Wash Solution
5. Prosedur Penggunaan Alat
a. Sebelum alat dinyalakan pastikan Buffer, Wash Solution, H20,
Dilution Cup sudah terisi, Waste dan Bin sudah kosong.
b. alat MINICAP Sebia dinyalakan
c. software “PHORESIS” pada desktop dibuka
d. Password dimasukan pastikan tidak ada kolom yang tercentang
e. Akan muncul pemberitahuan level reagent pada alat. Klik “Ok”
akan muncul persetujuan, Continue Cycle (untuk melanjutkan
program) dan Change Analysis Technique (untuk berpindah
parameter tanpa menunggu “Ready”)
f. dipilih sesuai keperluan klik “Ok”
g. Alat akan melakukan inisialisasi selama 15 menit
Page 41
29
h. Alat siap digunakan bila sudah muncul “Ready”
6. Prosedur Quality Control
Untuk parameter “elfor Hb” menggunakan CARAUSEL NO 2
a. Dimasukkan control di carausel posisi 28 dengan tube terbuka
b. Dimasukan control di carausel posisi 28.
c. Dimasukkan Hemolysing Solution pada posisi 27
d. Ditunggu sekitar 10 detik, akan muncul kolom “SELECT A
CONTROL” isi number of dilution dengan angka 1.
e. Klik “OK”
f. Lihat hasil kontrol klik gambar “Curve Mosaic”
g. Bila kontrol sudah masuk dalam nilai batas, dimasukkan sampel
pada carausel posisi 1, 2, 3, dst.
7. Prosedur Analisis Sampel
a. Sampel dimasukkan pada carausel posisi 1,2,3, dst.
b. Pengisian data pasien dipilih gambar “Worklist By Table”.
c. “Worklist By Table” diisi nama pasien, jenis kelamin dan umur
(sesuai dengan posisi sampel)
d. Untuk print hasil pasien dibuka Curve yang akan diprint
kemudian klik “Print”.
e. Alat dimatikan dengan klik “Shutdown” lalu klik “Yes”
f. Lama “Shutdown” sekitar 20 menit. Tampilan saat proses
shutdown telah selesai.
Page 42
30
8. Prosedur Mengubah Parameter
a. Pastikan alat dalam kondisi “Ready”
b. Dipilih Parameter di kanan atas
c. kolom “Section Of New Technique” akan muncul pada layar
d. Dipilih parameter yang diinginkan, klik “Next” akan muncul
ID.no dari reagent sesuai parameter yang dipilih, klik “Next”
e. Klik “Finish”, tunggu hingga “Ready”
Waktu perpindahan antar parameter sekitar 20 menit.
9. Nilai Rujukan
HbA : 96,8 – 97,8 %
HbA2 : 2,2 – 3,2 %
HbF : < 0,5 %
F. Sumber Data
KTI dibuat berdasarkan data sekunder dari buku, artikel, jurnal, penelitian
terdahulu dan sumber ilmiah dari lembaga yang kompeten.
Page 43
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengantar
Thalasemia adalah kelainan darah herediter bersifat autosomal
resesif karena berkurangnya sintesis salah satu rantai globin akibat mutasi
gen globin (Tursinawati, Y., & Fuad, W. 2018). Hemoglobin normal
manusia dewasa terdiri dari 2 rantai beta dan 2 rantai alfa yang membentuk
tetramer α2β2 (HbA). Komposisi HbA dalam sirkulasi darah mencapai
>97%, sedangkan HbA2 2-3% dan HbF <1% (Menteri Kesehatan RI, 2018).
Gejala klinis thalasemia meliputi suatu keadaan yang paling ringan (bentuk
heterozigot) yang disebut thalasemia minor atau thalasemia trait (carrier)
hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang disebut thalasemia
mayor yang sangat tergantung pada transfusi. Bentuk heterozigot
diturunkan oleh salah satu orang tuanya yang mengidap penyakit
thalasemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan oleh kedua orang
tuanya yang mengidap penyakit thalasemia (Hutahaen, F. V. A., &
Hendrianingtyas, M., 2017).
Tanda dan gejala thalasemia dapat berupa anemia dengan berbagai
derajat keparahan, hepatosplenomegali, gagal jantung kongestif, dan gagal
tumbuh pada pasien thalasemia anak. Pasien thalasemia juga mengalami
kelainan tulang yang disebabkan karena hiperplasia sumsum tulang
terutama pada tulang wajah dan tengkorak (Tursinawati, Y., & Fuad, W.
2018).
Page 44
32
Pemeriksaan parameter hematologi untuk skrining thalasemia terdiri
dari perhitungan darah lengkap (Completely Blood Count/CBC) untuk
mengetahui nilai MCV, MCH, MCHC, RDW, RBC, hapusan darah (blood
smear), dan analisis Hb (Sotianingsih, Charles, dan Ita, 2018). Diagnosis
banding thalasemia dengan penyakit kelainan darah lainnya, yang memberi
gambaran klinis yang sama dilakukan melalui analisis Hb (Yunitha, R. A,
2013).
Metode yang digunakan untuk mendeteksi varian Hb sebagian besar
didasarkan pada perbedaan muatan rantai globin yang termutasi. Metoda
Pemeriksaan elektroforesis gel, kromatografi penukar kation, dan baru-baru
ini, elektroforesis kapiler (Frédéric Cotton & Béatrice Gulbis, 2013).
Elektroforesis Hemoglobin merupakan baku emas dalam skrining
karier thalasemia dengan melihat adanya peningkatan kadar HbA2 (Menteri
Kesehatan, 2018). Pemeriksaan hemoglobin elektroforesis bertujuan untuk
mengetahui pembentukan rantai globin secara spesifik dan untuk
menentukan tipe thalasemia yang diderita pasien (Bakta, 2007 dikutip
dalam Ardian, 2018). Pada penderita thalasemia mengalami kelainan pada
komposisi HbA, HbF dan HbA2 (Kesuma, S., & Octavia, E., 2018). Pada
manusia normal Komposisi HbA dalam sirkulasi darah mencapai >97%,
sedangkan HbA2 2-3% dan HbF <1% (Menteri Kesehatan RI, 2018). Sel-
sel darah merah sampel akan dilisiskan dalam elektroforesis dengan buffer
alkali (pH 9,4) yang memungkinkan pemisahan diarahkan oleh pH dan
endosmosis. Deteksi elusi tipe hemoglobin dilakukan dengan menggunakan
Page 45
33
perubahan absorbansi 415 nm. Sampel akan bergerak dari anoda ke katoda
dengan dibantu oleh arus dan tegangan tinggi beserta reagen yang
digunakan. Electropherogram dibagi menjadi 15 zona yang masing-masing
zona disebut sebagai Z. Ketika proses migrasi telah selesai selanjutnya alat
akan melakukan pembacaan hasil dengan menggunakan panjang gelombang
dari lampu halogen dengan panjang gelombang 415 nm (Seyedeh, Fatemeh,
Narges, 2019).
Capillary zone electrophoresis (CZE) dengan sistem Sebia
Capillarys telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sejak
tahun 2007 untuk evaluasi hemoglobinopati. Bukti yang dapat dipercaya
menunjukkan bahwa CZE dapat menjadi alat yang akurat untuk skrining
dan diagnosis hemoglobinopati. (Ghahfarokhi, S.M., Asadi, F. & Obeidi,
N., 2017). CZE memungkinkan keberhasilan pemisahan fraksi hemoglobin
manusia normal, tetapi juga dapat mendeteksi varian hemoglobin abnormal
dengan perubahan muatan yang dihasilkan dari mutasi yang secara langsung
mempengaruhi muatan molekul atau secara tidak langsung dari mutasi yang
mengubah struktur tingkat tinggi (Oikonomidis et al., 2019).
B. Tahap Pra analitik
Kegiatan tahap pra analitik adalah serangkaian kegiatan
laboratorium sebelum pemeriksaan spesimen, yang meliputi: persiapan
pasien, pemberian identitas spesimen, pengambilan dan penampungan
spesimen, penanganan spesimen, pengiriman spesimen, pengolahan dan
penyiapan spesimen. Pengendalian tahap pra analitik bertujuan untuk
Page 46
34
menjamin bahwa spesimen yang diterima benar dan dari pasien yang benar
pula serta memenuhi syarat yang telah ditentukan (Siregar, M. T., et. al.
2018).
Kesalahan-kesalahan yang muncul sehingga menyebabkan ketidak
akuratan hasil pada tahap pra-analitik yaitu sebesar 46-77%. Persiapan yang
baik dan cermat berupa identifikasi pasien diperlukan untuk mendapatkan
informasi klinis yang meliputi usia, etnis, riwayat dan timbulnya anemia,
status kehamilan, riwayat transfusi darah (tanggal terbaru transfusi), dan
riwayat keluarga. Semua informasi ini sangat penting untuk interpretasi
analisis Hb (Viprakasit, V., & Ekwattanakit, S, 2018). Teknisi Laboratorium
diharapkan membaca paket insert dengan seksama. Baca dengan baik
manual instruksi minicap, lihat juga lembar data keselamatan (Sebia, 2010).
Kondisi lain yang mempengaruhi kesalahan pada tahap pra analitik adalah
hemolisis (53,2%), volume spesimen kurang (7,5%), tulisan tangan yang
tidak bisa dibaca (7,1%), salah spesimen, spesimen ada bekuan, vacum
container yang salah / antikoagulan, volume antikoagulan yang tidak sesuai
dengan specimen (Syauqiah, N. R. 2018).
Sampel yang direkomendasikan untuk analisis digunakan dalam
pemeriksaan Hb elektroforesis adalah darah segar dengan antikoagulan
yang umum seperti EDTA. Darah harus dikumpulkan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan yang digunakan dalam pengujian laboratorium
klinis. Meskipun sampel dapat disimpan hingga 7 hari antara 2 dan 8°C,
namun pemeriksaan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Degradasi
Page 47
35
hemoglobin secara progresif dapat terjadi untuk sampel yang disimpan lebih
dari 7 hari pada suhu 2 - 8 ° C. (Sebia, 2010). Semakin lama penyimpanan
spesimen pada suhu 4°C akan menyebabkan munculnya band Hb A
terdegradasi pada hari ke 10 dan pada penyimpanan yang lama pada suhu
kamar pada hari ke 7. Hal ini penting diperhatikan saat menganalisis sampel
yang dikirim dari di luar rumah sakit dan mungkin mengalami
keterlambatan. sehingga tidak salah mempresentasikan hasil rendah varian
hemoglobin (Borbely, et. al. 2013).
Page 48
36
Gambar 4.1.
Electropherogram dari sampel normal pada hari 1 (a) dan hari 16
(b), setelah penyimpanan pada 4° C. Perhatikan bahwa dalam sampel
normal ini tidak ada hemoglobin F yang jelas. Pada penyimpanan yang lama
sebuah band telah muncul di zona 11 (Borbely, et. al. 2013).
Reagen yang akan digunakan harus diperhatikan juga. Pemeriksaan
dari semua reagen kit yang sama harus selalu digunakan bersama dan sesuai
dengan petunjuk dari paket. Reagan harus dibuang jika sudah terjadi
Page 49
37
perubahan dari sebelumnya misalnya menjadi keruh karena kontaminasi
mikrobakteri (Sebia, 2010). Sebelum pemeriksaan sampel pasien dilakukan
pemeriksaan bahan kontrol. Laboratorium wajib melakukan pemeliharaan
dan kalibrasi alat baik secara berkala atau sesuai kebutuhan, agar dalam
melaksanakan pemeriksaan spesimen pasien tidak mengalami kendala atau
gangguan yang berasal dari alat laboratorium (Siregar, M. T., et. al. 2018).
C. Tahap Analitik
Tahap analitik merupakan kegiatan laboratorium yang dilakukan
meliputi: Pemeriksaan spesimen, pemeliharaan dan kalibrasi alat, uji
kualitas reagen, uji ketelitian dan uji ketepatan. Pengendalian tahap analitik
bertujuan untuk menjamin bahwa hasil pemeriksaan spesimen dari pasien
dapat dipercaya/valid, sehingga klinisi dapat menggunakan hasil
pemeriksaan laboratorium tersebut untuk menegakkan diagnosis terhadap
pasiennya (Siregar, M. T., et. al. 2018). Kesalahan-kesalahan yang muncul
yang menyebabkan ketidak-akuratan hasil pada tahap analitik yaitu sebesar
7-13% (Syauqiah, N. R. 2018). Walaupun tingkat kesalahan tahap analitik
tidak sebesar tahap pra analitik, laboratorium tetap harus memperhatikan
kegiatan pada tahap ini (Siregar, M. T., et. al. 2018). Harap baca dengan
baik manual instruksi minicap (Sebia, 2010).
Capillary zone electrophoresis (CZE) sering disingkat sebagai
Capillary Electrophoresis (CE) dilakukan menggunakan sistem Minicap
sesuai untuk pedoman pabrik. Pemeriksaan Hb Elektroforesis dengan alat
Capillary electrophoresis model Minicap Flex-piercing. Tujuan
Page 50
38
Pemeriksaan Hb metoda CE untuk mengetahui tipe-tipe fraksi Hb dalam
darah, ketika ada kecurigaan bentuk abnormal dari hemoglobin. Fraksi-
fraksi Hb yang bisa di dapatkan: A, F, A2, C, E, S, D, Hope, Bart’s, J, N-
Baltimore dan H (Sebia, 2010)
Instrumen ini dilengkapi untuk re-suspend kembali, melisiskan,
memisahkan, dan menganalisis keseluruhan darah EDTA untuk varian
hemoglobin. Sampel menggunakan built-in bar code reader dan
electropherograms ditampilkan secara otomatis. Sel-sel merah dilisiskan
dalam elektroforesis dengan buffer alkali (pH 9,4) yang memungkinkan
pemisahan diarahkan oleh pH dan endosmosis. Deteksi elusi tipe
hemoglobin dilakukan dengan menggunakan perubahan absorbansi 415 nm.
Electropherogram dibagi menjadi 15 zona yang masing-masing zona
disebut sebagai Z. Sampel akan bergerak dari anoda ke katoda dengan
dibantu oleh arus dan tegangan tinggi beserta reagen yang digunakan.
Apabila proses migrasi telah selesai selanjutnya alat akan melakukan
pembacaan hasil dengan menggunakan panjang gelombang dari lampu
halogen dengan panjang gelombang 415 nm untuk Hb Elektroforesis
(Seyedeh, Fatemeh, Narges, 2019). Posisi potensial dari varian hemoglobin
yang berbeda (diidentifikasi dalam zona yang disebut Z1 hingga Z15) akan
ditampilkan pada layar sistem dan lembar hasil. Terdapat tabel interpretasi
yang menunjukkan varian yang dikenal yang mungkin ada di setiap zona
yang sesuai. Ketika software mengidentifikasi fraksi hemoglobin di zona
yang ditentukan, nama zona ini ada dalam frame (Sebia, 2010). Konfirmasi
Page 51
39
hasil metode CE perlu dilakukan analisis genetik termasuk, ARMS-PCR,
RFLPPCR dan sanger sequencing (Seyedeh, Fatemeh, Narges, 2019).
CE tidak memerlukan kalibrasi harian, tetapi kontrol Hb A normal
dan migrasi Hb A2 dianalisis melalui setiap kapiler setiap hari sebelum
tambahan QC atau sampel pasien dijalankan untuk memastikan muatan dan
fungsi kapiler yang tepat. (Greene, et. al. 2012). Pada saat memasukan
kontrol normal HbA2 Fraksi Hb A harus menunjukkan kepadatan optik
minimum (OD) 0,12. Jika di bawah nilai ini, pola elektroforetik tidak akan
terjadi dengan benar (Sebia. 2010).
Uji kualitas metoda CE prosedur Minicap Hemoglobin (E) dan
sistem elektroforesis kapiler untuk analisis hemoglobin melalui deteksi
kelainan hemoglobin telah dilakukan pada 200 sampel darah yang berbeda,
termasuk sampel dengan varian hemoglobin, seperti hemoglobin S, C, D
dan E. Hasil dianalisis dengan semua hemoglobin abnormal atau kadar
hemoglobin normal yang terdeteksi tidak ada kasus yang diamati diperoleh
hasil false positive. Penelitian lain untuk uji kualitas juga dilakukan melalui
deteksi kelainan Hemoglobin juga dilakukan pada 57 sampel darah berbeda,
termasuk sampel dengan varian hemoglobin, seperti hemoglobin S, C, D
dan E, dianalisis dengan prosedur Minicap Hemoglobin (E) dan sistem
elektroforesis kapiler yang tersedia secara komersial untuk analisis
hemoglobin. Semua hemoglobin abnormal atau kadar abnormal hemoglobin
normal yang terdeteksi tidak didapatkan hasil dengan false positive (Sebia,
2010).
Page 52
40
Hemoglobin A, F, A2, dan C diidentifikasi sementara dan diberi
kode warna. Identifikasi sementara varian hemoglobin lainnya
(digambarkan sebagai puncak abu-abu) digambarkan dengan
menggerakkan mouse komputer ke zona yang relevan untuk menghasilkan
daftar drop-down dari hemoglobin normal dan varian yang diketahui
bermigrasi di zona tersebut (Borbely N et al., 2013).
Gambar 4.2 Hasil Hb elektroforesis pada darah normal
(Sebia, 2010).
Page 53
41
Gambar 4.3. hasil Hb elektroforesis menggunakan alat minicap sebia
capillary.
Pada bayi baru lahir hingga usia 6-9 bulan, disarankan untuk
menganalisis sampel darah yang berbeda-beda (dikumpulkan setiap bulan,
misalnya) untuk memeriksa konsentrasi Hb F. Ini akan memungkinkan
untuk memverifikasi penurunan konsentrasi Hb F dan potensi kehadiran
varian. Dalam kasus tidakpasti, disarankan untuk mengkonfirmasi dengan
menggunakan data pelengkap dan untuk menganalisis sampel darah orang
tua (Sebia, 2010).
D. Tahap pasca Analitik
Tahap Pasca-Analitik adalah tahap mulai dari mencatat hasil
pemeriksaan dan melakukan validasi hasil serta memberikan interpretasi
hasil sampai dengan pelaporan (Menteri Kesehatan RI, 2012). Pemantapan
mutu tahap pasca analitik adalah usaha pengendalian dan usaha
meminimalisir faktor kesalahan pada data keluaran hasil pemeriksaan.
Dilakukan pengecekan ulang antara hasil analisis dengan tahap pra analitik
Page 54
42
dan tahap analitik. Pertama pada kelengkapan identitas pasien, nomor
batch/log, parameter pemeriksaan apakah sudah sama dengan yang tertulis
pada formulir pemeriksaan. Pada hasil cek kembali, evaluasi, interpretasi
serta verifikasikan hasil analisis. Perlukah dilakukan pengulangan,
penulisan catatan/komentar. Apabila sudah layak dan dapat dipertanggung
jawabkan, kedua langkah tersebut sudah dilakukan dan dinyatakan benar,
barulah dilakukan validasi hasil analisis, dan hasil dikeluarkan, dikirim ke
konsumen (Siregar, M. T., et. al. 2018).
Kesalahan-kesalahan yang muncul yang menyebabkan ketidak
akuratan hasil pada tahap pasca analitik yaitu sebesar 18,5% (Syauqiah, N.
R. 2018). Kesalahan tahap pasca analitis sangat sedikit, tetapi terkadang
menjadi kritis, ketika terjadi kesalahan seperti pelaporan hasil yang salah,
keterlambatan dalam pelaporan, atau pemberian informasi waktu tes dapat
menghambat keputusan klinis yang penting (Siregar, M. T., et. al. 2018).
Ketika hemoglobin abnormal terdeteksi, dapat identifikasikan juga
menggunakan metode yang lain, dan konsultasikan atau kirim sampel ke
laboratorium khusus lain (Sebia, 2010). Setiap metode menggunakan
prinsip yang berbeda untuk memisahkan berbagai spesies molekul Hb
(Viprakasit, V., & Ekwattanakit, S, 2018).
Pada hasil perlu diperhatikan dengan teliti terhadap pola (nilai HbA,
adanya peningkatkan HbF, kehadiran fraksi tambahan, seperti potensi Hb
Bart, Hob H), Parameter hematologi (Hb, MCV, kelainan morfologis dll.),
status besi (untuk membedakan thalasemia alfa minor dari anemia defisiensi
Page 55
43
besi), Usia dan jenis kelamin pasien (HbF meningkat, HbA2 menurun untuk
anak kecil atau wanita hamil), asal etnis, dan riwayat keluarga (Sebia, 2010).
E. Perbandingan Capilarry Electrophoresis (CE) Minicap dengan HPLC
Beberapa penelitian menunjukkan korelasi yang sangat baik antara
elektroforesis kapiler atau Capilarry Electrophoresis (CE) dan
kromatografi pertukaran kation kinerja tinggi atau High pressure liquid
chromatography (HPLC) untuk analisis hemoglobin kualitatif dan
kuantitatif (Old J et al., 2012). Studi klinis telah menemukan bahwa CE dan
HPLC adalah metode yang saling melengkapi, dan dapat digunakan
bersama-sama untuk kuantifikasi varian hemoglobin yang akurat dan tepat
(Greene, D. N et al., 2012).
Pada metode HPLC dapat melakukan pemisahan secara optimal,
deteksi akurat dan kuantifikasi hemoglobin yang signifikan secara klinis
dapat digunakan untuk kuantifikasi akurat HbA2, HbS dan HbF dan cocok
untuk diagnosis keadaan pembawa β-thalassemia. Ini juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi varian Hb yang paling relevan secara klinis. Namun
adanya turunan HbS atau HbE akan menghambat deteksi HbE β- thalasemia
dan HbE homozigot (Barrett, A. N et al., 2016). Selain itu, pada HPLC Hb
Lepore dan HbE dielusi bersama dengan HbA2, kehadiran mereka dalam
sampel memberikan persentase yang sangat tinggi (> 10%) dari HbA2.
Tingkat HbA2 ini hampir tidak pernah ada pada pembawa β-thalasemia.
Oleh karena itu sampel yang ditemukan memiliki tingkat HbA2 lebih besar
dari 10% harus diuji lebih lanjut untuk kemungkinan adanya varian
Page 56
44
hemoglobin lain bersamaan pada puncak HbA2 (Old J et al., 2014). Dalam
penelitiannya Dina N et al., (2012) mengemukakan bahwa pada metode
HPLC, Hb Bart dan Hb H terelusi dalam volume tertentu dan karena itu
hanya dapat dibedakan ketika konsentrasi sangat tinggi (>~ 5%), dan ketika
divisualisasikan, tidak dapat diukur secara kuantitatif tetapi dapat diukur
secara kualitatif. Disisi lain penelitian Greene, D. et al., (2012) pada
penelitiannya mengatakan CE dapat mendeteksi dan mengukur Hb Bart's
dan Hb H bahkan pada konsentrasi ~1%. Disamping itu, bilirubin dapat
terelusi dalam volume tertentu dan dapat disalahartikan sebagai Hb H dan
atau Hb Bart. Pada pemeriksaan CE bilirubin tidak mengganggu, membuat
deteksi Hb H dan Bart bahkan lebih bisa dipercaya. Menurut Barrett, A. N
et al., (2016) di beberapa daerah di Thailand, Laos dan Kamboja, memiliki
prevalensi HbE sebesar 60% sehingga untuk melakukan pemeriksaan varian
Hb sangat penting menggunakan metode selain HPLC.
Riza & Widiretnani, S, (2015) menyatakan mengukur fraksi
hemoglobin dengan sistem CE dapat digunakan karena cepat, akurat, tepat,
dan tidak membutuhkan volume darah yang besar. Kelebihan dari metode
ini adalah kemampuannya untuk memisahkan fraksi hemoglobin secara
kuantitatif menjadi HbA2, HbE, dan HbF. Ini penting untuk didiagnosis
Thalasemia dan hemoglobinopati. Sangkitporn et al. (2011) dalam
penelitiannya mengungkapkan keuntungan utama dari sistem CE adalah
kemampuannya untuk memisahkan dan menghitung Hb A2, Hb E, Hb F,
Hb H dan Hb Bart, yang merupakan parameter penting yang diperlukan
Page 57
45
untuk diagnosis thalasemia dan hemoglobinopati. Dalam penelitian tersebut
juga mengatakan bahwa CE mampu mendeteksi Hb H, Hb Bart dan
Hb Constant Spring (HbCS), dan beberapa hemoglobin langka. Penelitian
ini mengevaluasi posisi migrasi varian hemoglobin yang kurang umum,
tujuh dari sembilan di antaranya dipisahkan dari hb A, dua varian
hemoglobin tidak teridentifikasi.
Pemeriksaan analisa Hb baik secara HPLC maupun CE harus
dilakukan oleh tenaga terlatih untuk menginterpretasikan hasil secara
akurat. Setiap metode memiliki keuntungan dan kerugian teknis yang
diberikan. Deteksi mungkin tergantung pada prevalensi mutasi tertentu di
wilayah tersebut (Barrett, A. N et al., 2016).
Page 58
46
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan mengenai pemeriksaan Hb Elektroforesis metode kapilarisasi
untuk diagnosis thalasemia sebagai berikut:
1. Tahap proses pra analitik pada pemeriksaan Hb elektroforesis harus
memperhatikan kesesuaian identitas pasien, informasi klinis dan riwayat
keluarga. Sampel yang direkomendasikan adalah darah segar EDTA.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Tidak boleh
menggunakan reagen kadaluarsa, rusak atau terkontaminasi.
Pemeriksaan dari semua reagen kit yang sama harus selalu digunakan
bersama dan sesuai dengan instruksi sisipan paket.
2. Tahap proses analitik Hb Elektroforesis dengan metode Capillary
electrophoresis (CE), bertujuan untuk mengetahui tipe-tipe fraksi /
abnormalitas Hb dalam darah. Sel-sel merah dilisiskan dalam
elektroforesis dengan buffer alkali (pH 9,4). Sampel akan bergerak dari
anoda ke katoda dengan dibantu oleh arus dan tegangan tinggi beserta
reagen yang digunakan. Apabila proses migrasi telah selesai alat akan
melakukan pembacaan hasil pada panjang gelombang 415 nm untuk Hb
Elektroforesis. Electropherogram dibagi menjadi 15 zona yang masing-
masing zona disebut sebagai Z.
3. Tahap proses pasca analitik yang dilakukan pada pemeriksaan Hb
elektroforesis adalah sebelum dikeluarkan hasil cek kembali, evaluasi,
Page 59
47
interpretasi serta verifikasikan hasil analisis baru dilakukan validasi.
Perlu diperhatikan dengan teliti terhadap pola (nilai HbA, adanya
peningkatkan HbF, kehadiran fraksi tambahan, seperti potensi Hb Bart,
HbH), Parameter hematologi, status besi, usia dan jenis kelamin pasien,
asal etnis, dan riwayat keluarga.
4. Metode CE maupun HPLC memiliki keuntungan dan kerugian masing-
masing. Keduanya merupakan metode yang mampu melengkapi, dan
dapat digunakan secara tepat dan akurat.
B. Saran
1. Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian menggunakan
data primer atau sekunder sehingga dapat diperoleh juga variablel
pendukung lainnya misalnya parameter hematologi dan riwayat
keluarga.
2. Capillary electrophoresis (CE) merupakan metoda pemeriksaan Hb
elektroforesis yang digunakan untuk diagnosis thalasemia yang
termasuk baru dalam pelayanan laboratorium kesehatan, akan sangat
bermanfaat jika Mahasiswa Teknologi Laboratorium Medis atau Ahli
Teknologi Laboratorium medis (ATLM) menguasainya baik dari aspek
kognitif maupun keterampilannya.
Page 60
48
DAFTAR PUSTAKA
Alam, M. D. S., Sudjud, R. W., & Indriasari. 2014. Anestesia dan
Thalasemia. Majalah Anestesia dan Critical Care, Vol.32, No.1. dilihat
pada 20 Juni 2020.
http://journal.perdatin.org/index.php/macc/article/download/4/1
Ardian, A. D. 2018. HUBUNGAN KADAR HB DENGAN HT PADA PASIEN
THALASEMIA (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Semarang). Dilihat 30 Mei 2020. http://repository.unimus.ac.id/2281/
Barrett, A. N., Saminathan, R., & Choolani, M. 2017. Thalassaemia screening and
confirmation of carriers in parents. Best practice & research. Clinical
obstetrics & gynaecology, Vol.39. Dilihat 13 Juni 2020.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27890718/
Borbely, N., Phelan, L., Szydlo, R., & Bain, B. 2013. Capillary zone electrophoresis
for haemoglobinopathy diagnosis. Journal of clinical pathology, Vol.66,
No.1: 29-39. dilihat 19 juni 2020.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23105123/
Ghahfarokhi, S.M., Asadi, F. & Obeidi, N. 2017. Use of capillary electrophoresis
for detection of hemoglobinopathies in individuals referred to health centers
in Masjed-Soleiman. Iranian Journal of Blood and Cancer. Vol9, No.3: 89-
92. Dilihat pada 2 Juli 2020. http://ijbc.ir/article-1-735-en.html
Greene, D. N., Pyle, A. L., Chang, J. S., Hoke, C., & Lorey, T. 2012. Comparison
of Sebia Capillarys Flex capillary electrophoresis with the BioRad Variant
II high pressure liquid chromatography in the evaluation of
hemoglobinopathies. Clinica Chimica Acta, 413(15-16), 1232-1238.
Dilihat pada 25 juni 2020. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22515960/
Héctor H. Bautista. “Advantages of Capillary Electrophoresis Technologies For the
Screening Of Hemoglobinopathies “, SEBIA Diagnostic Department.
dilihat pada 5 juli 2020
http://patologiaclinicamexicana.org.mx/minisite/merida/conferencias/04/0
2.pdf
Hidayat, Willy Pujo. 2018. Gambaran Kadar Hemoglobin dan Nilai Eritrosit Rerata
Pada Penderita Thalasemia β Mayor. KTI. Jurusan Teknologi Laboratorium
Medis Poltekkes Jakarta III. Jakarta.
Hutahaen, F. V. A., & Hendrianingtyas, M. 2017. Hubungan Jumlah Transfusi
Dengan Kadar Tsh Pada Thalassemia. DIPONEGORO MEDICAL
JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO), 6(2), 558-566.
Page 61
49
Kementrian Kesehatan RI. 2019. Talasemia, Penyakit Berbiaya Tinggi ke-5 di
Indonesia. Dilihat 28 Mei 2020. http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-
p2ptm/pusat-/talasemia-penyakit-berbiaya-tinggi-ke-5-di-indonesia
Kesuma, S., & Octavia, E. (2018). Gambaran Fraksi Hemoglobin Penderita
Talasemia Menggunakan Metode Elektroforesis Kapiler. Meditory: The
Journal of Medical Laboratory, 6(2), 116-124. Dilihat 10 Juli 2020.
http://ejournal.poltekkes-denpasar.ac.id/index.php/M/article/view/450/143
Kusuma, W. 2016. Self Acceptance pada Remaja Penderita Thalasemia (Doctoral
dissertation, Universitas Medan Area). Dilihat 30 Mei 2020.
http://repository.uma.ac.id/handle/123456789/1859
Kusumaningrum, R. Y. D. 2019. Mekanisme Koping Orang Tua Dengan Anak
Thalasemia Di Rsud Dr. R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Purwokerto). Dilihat 19 Juni
2020. http://repository.ump.ac.id/9635/
Lazuana, T. 2014. Karakteristik Penderita Thalasemia yang Dirawat Inap di RSUP
H. Adam Malik Medan Tahun 2011-April 2014. Dilihat 4 Juni 2020.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/47106
Liansyah, T. M., & Herdata, H. N. 2018. Aspek Klinis dan Tatalaksana Thalasemia
pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medisa, Vol.1, No.1: 63-69.
Dilihat pada 18 Juni 2020 http://jknamed.com/jknamed/article/view/23
Maharani, E. A., & Astuti, D. A. 2014. Penghitungan Indeks Formula Eritrosit Pada
Uji Saring Thalasemia Minor. Jurnal Ilmu Dan Teknologi
Kesehatan, Vol.2, No.1: 53-59. Dilihat pada 31 Mei 2020.
http://ejurnal.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php/jitek/article/download/124/
92
Margarita, et al., 2019. Anestesiologi Dan Terapi Intensif: Buku Teks Kati-Perdatin.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Menteri Kesehatan RI. 2012. PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG
PENYELENGGARAAN LABORATORIUM PUSAT KESEHATAN
MASYARAKAT. Dilihat 2 Juli 2020.
https://dpmpt.gunungkidulkab.go.id/upload/download/6818b91c11e54442
5531c9ddcbd6ff13_lab%20puskesmas.pdf
Menteri Kesehatan RI. 2018. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/1/2018
TENTANG PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN
TATA LAKSANA THALEMIA. Dilihat 21 Mei 2020.
https://www.persi.or.id/images/regulasi/kepmenkes/kmk12018.pdf
Page 62
50
Muktiarti, D., Wahidiyat, P. A., Nainggolan, I. M., & Setianingsih, I. 2006.
Thalassemia Alfa Mayor dengan Mutasi Non-Delesi Heterozigot Ganda.
Sari Pediatri. Vol.8. No.3. https://www.saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/download/821/756
Mulqiah, A. 2016. Uji Validitasi Indeks Mentzer sebagai Prediktor ß-Thalassemia
Minor dan Anemia Defisiensi Besi pada Populasi Anemia Hipokrom
Mikrositer (Doctoral dissertation, Universitas Kristen Maranatha).
http://repository.maranatha.edu/21473/
Nazilarahma, D. 2019. Coping Strategy Penderita Thalasemia di Perhimpunan
Orang tua Penderita Thalasemia Indonesia (POPTI) Kota
Bandung (Doctoral dissertation, FISIP UNPAS). Dilihat 18 Juni 2020.
http://repository.unpas.ac.id/44944/
NP, Rembulan Ayu. 2015. Indeks RDW dan Mentzer sebagai Uji Skrining
Diagnosis Thalassemia. Jurnal Majority, Vol.4, No.7, 7-12. Dilihat 16 Juni
2020.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1440
Oikonomidis, I. L., Tsouloufi, T. K., Mylonakis, M. E., & Kritsepi-Konstantinou,
M. 2019. Capillary hemoglobin electrophoresis of healthy and anemic dogs:
Quantification, validation, and reference intervals of hemoglobin
fractions. PloS one, Vol.14, No.9, e0217258. Dilihat 20 Juni 2020.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31483782/
Old, J. 2013. Hemoglobinopathies and Thalassemias. Emery and Rimoin’s
Principles and Practice of Medical Genetics, 1–44. doi:10.1016/b978-0-12-
383834-6.00075-6
Oyaert, M., Van Laer, C., Claerhout, H., Vermeersch, P., Desmet, K., Pauwels, S.,
& Kieffer, D. 2014. Evaluation of the Sebia Minicap Flex Piercing capillary
electrophoresis for hemoglobinopathy testing. International Journal of
Laboratory Hematology, Vol.37, No.3: 420–425. doi:10.1111/ijlh.12305.
Dilihat 21 Mei 2019. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25324031/
Pratama, B., & Kurniati, I. 2019. Pendekatan Diagnosis Berbasis Molekuler pada
Pasien Talasemia. Jurnal Medula, Vol.9, No.2: 339-345. Dilihat 20 Juni
2020.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/2649
Regar, J. 2009. Aspek genetik talasemia. JURNAL BIOMEDIS: JBM, Vol.1, No.3.
Dilihat 12 Juni 2020.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedis/article/view/829
Riza, M., & Widiretnani, S. 2015. Hemoglobin profiles of siblings of thalassemia
patients. Paediatrica Indonesiana, Vol.55, No.2: 70-73. Dilihat pada 2 Juli
2020.https://paediatricaindonesiana.org/index.php/paediatrica-
indonesiana/article/download/87/63
Page 63
51
Rodiani, R., & Anggoro, A. 2017. Talasemia pada Kehamilan. Jurnal Kedokteran
Universitas Lampung, Vol.1, No.3: 580-585.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/JK/article/view/1724
Rosita, B. & Khairani, U. 2018. Analisis Lama Waktu Pelayanan Laboratorium di
Rumah Sakit Uumum Daerah Pasaman Barat”, jurnal kesehatan perintis
(perintis’s health journal), vol. 5, no. 1: 114-121. doi:
10.33653/jkp.v5i1.153.
https://jurnal.stikesperintis.ac.id/index.php/JKP/article/view/153
Rujito, Lantip. 2019. Buku Referensi Talasemia: Genetik Dasar dan Pengelolaan
Terkini. Dilihat 27 Mei 2020.
https://www.researchgate.net/publication/337730108_Buku_Referensi_Tal
asemia_Genetik_Dasar_dan_Pengelolaan_Terkini/citation/download
Rujito, L., Lestari, D. W. D., Arjadi, F., & Faiza, D. 2018. Pelatihan PMR Sadar
Thalassemia pada Kegiatan Jumbara XXV Kabupaten Banyumas. Jurnal
Pengabdian Pada Masyarakat, Vol.3 No.2: 147-150
http://ppm.ejournal.id/index.php/pengabdian/article/view/60/62
Rund, D., & Rachmilewitz, E. 2005. Beta-thalassemia. The New England journal
of medicine, Vol. 353, No.11: 1135–1146. doi: NEJMra050436.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16162884/
Salsabila, N., Perdani, R. R. W., & Irawati, N. A. V. 2019. Nutrisi Pasien
Thalassemia. Jurnal Majority, Vol. 8, No.1: 178-182.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/2316
Sangkitporn, S., Sangkitporn, S. K., Tanjatham, S., Suwannakan, B., et al. 2011.
Multicenter validation of fully automated capillary electrophoresis method
for diagnosis of thalassemias and hemoglobinopathies in Thailand. The
Southeast Asian journal of tropical medicine and public health, Vol.42, No.
5: 1224–1232. Dilihat 24 Juni 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22299449
Sari, N. M., Arini, I., Suryawan, N., Susanah, S., Reniarti, L., Achmad, H. R., &
Idjradinata, P. 2020. Laporan kasus berbasis bukti: Pedoman Skrining
Populasi dengan Risiko Tinggi Talasemia. Sari Pediatri, Vol.21, No.5:
322-8.
https://www.saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/1666
Sawitri, H., & Husna, C. A. 2018. Karakteristik Pasien Thalasemia Mayor di BLUD
RSU Cut Meutia Aceh Utara Tahun 2018. AVERROUS, Vol.4, No.2: 62-68.
http://ojs.unimal.ac.id/index.php/averrous/article/download/1038/557
Sebia. 2010. Kit insert Sebia Minicap MINICAP HEMOGLOBIN (E) ref.2207-
2227;2010
Page 64
52
Siregar, M. T., Winke, S., Doni, S., Anik, N. 2018. Bahan Ajar Teknologi
laboratorium medik (TLM): Kendali Mutu. Pusat Pendidikan Sumber Daya
Manusia Badan Pengembangan Dan Pemeberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan. Jakarta
Sotianingsih, S., Charles, A. S., & Ita, M. (2018). Skrining Thalassemia Pada Suku
Anak Dalam Di Provinsi Jambi. Jambi Medical Journal" Jurnal Kedokteran
dan Kesehatan", 6(2), 159-164. Dilihat 6 Juni 2020.
https://www.online-journal.unja.ac.id/kedokteran/article/view/5946
Suryani, E., Wiharto, W., & Wahyudiani, K. N. 2015. Identifikasi Anemia
Thalasemia Betha (β) Mayor Berdasarkan Morfologi Sel Darah
Merah. Scientific Journal of Informatics, Vol.2, No.1: 15-27. dilihat 20 Juni
2020. https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/sji/article/view/4525
Syauqiah, N. R. 2018. Studi Kualitas Pemantapan Mutu Internalpra Analitik
Pemeriksaan Hematologi Pada Laboratoriumrumah Sakit Roemani
Muhammadiyah Semarang (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Semarang). Dilihat pada 25 Juni 2020.
http://repository.unimus.ac.id/3204/
Tari, K., Valizadeh Ardalan, P., Abbaszadehdibavar, M., Atashi, A., Jalili, A.,
Gheidishahran, M. 2018. Thalassemia an update: molecular basis, clinical
features and treatment. International Journal of Biomedicine and Public
Health, Vol.1, No.1: 48-58. doi: 10.22631/ijbmph.2018.56102 dilihat 19
Juni 2020 http://www.ijbmph.com/article_56102.html
Utami, Lidya. Peran Laboratorium Dalam Penapisan dan Diagnosis Thalassemia.
Sysmex Thalassemia (Special Edition). 2019. Dilihat pada 21 Mei 2020.
https://www.sysmex.co.id/wpcontent/uploads/2019/11/IO_0096.15_2019.
05_HEM_SE_THALASSEMIA-INTERNAL.pdf
Tursinawati, Y., & Fuad, W. 2018. Pengetahuan Pengaruhi Sikap dan Tindakan
Mahasiswa terhadap Program Pencegahan Thalassemia di
Indonesia. HIGEIA (Journal of Public Health Research and
Development), Vol.2, No.4: 654-662.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/download/25407/11
810
Viprakasit, V., & Ekwattanakit, S. 2018. Clinical classification, screening and
diagnosis for thalassemia. Hematology/Oncology Clinics, Vol.32, No.2:
193-211. Dilihat 5 Juni 2020. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29458726/
Wahidiyat, P. A., Sari, T. T., Rahmartani, L. D., Iskandar, S. D., & Pratanata, A.
Penanganan Klinis dan Prognosis Thalassemia. Sysmex Thalassemia
(Special Edition). 2019. Dilihat pada 21 Mei 2020.
https://www.sysmex.co.id/wpcontent/uploads/2019/11/IO_0096.15_2019.
05_HEM_SE_THALASSEMIA-INTERNAL.pdf
Page 65
53
Wijaya, L. J., Nency, Y. M., & Farida, H. 2018. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Prestasi Belajar Pasien Talasemia Mayor Anak. Diponegoro Medical
Journal (Jurnal Kedokteran Diponegoro), 7(2), 694-710. Dilihat 25 Juni
2020. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/article/view/20719
Wulandari, R. D. 2018. Kelainan pada Sintesis Hemoglobin: Thalassemia dan
Epidemiologi Thalassemia. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma, Vo.5, No.2: 33-44. Dilihat 1 Juni 2020.
https://journal.uwks.ac.id/index.php/jikw/article/view/340
Yuni, Natali Erlina. 2015. Kelainan darah. Nuha Medisa. Yogyakarta
Yunitha, R. A. 2013. Penatalaksaan Pada Pasien Talasemia. Jurnal Medula, Vol.1,
No.01: 10-18. Dilihat 25 Juni 2020.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/68
Page 66
Lampiran I : Agenda Bimbingan
Page 67
Lampiran I : Agenda Bimbingan
Page 68
Lampiran I : Agenda Bimbingan