Top Banner
104 Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan gizi. Jakarta Mien, K. M. et. Al. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Dep. Kes. RI. Direktorat bina Gizi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Jakarta Mulyadi. 1997. Akutansi Manajemen Konsep Manfaat dan Rekayasa. STIE YKPN. Yogyakarta Muchtadi, D., T. R., Purwiyatino dan A. Basuki. 1987. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor Schroeder, F. 1997. Food Packaging. The AVI Publishing Company Inc. West Port Connecticut. United Staters Of Amerika. Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. PT. Bhratara Karya Aksara. Jakarta Sulistyowati, A. 2004. Membuat Kripik Buah dan Sayur. Puspa Swara, Anggota IKAPI. Jakarta Suprapti, L. M. 1997. Seputar Penanganan Kedelai dalam Industri dan Rumah Tangga. Vidi Ariesta. Surabaya Suratman. 2001. Studi Kelayakan Proyek: Teknik dan Prosedur Penyusunan Laporan. Edisi pertama. J&J Learning. Yogyakarta. Sutojo, S., 1996, Studi Kelayakan Proyek, Teori dan Praktek, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Urlich, Kart T. and Epinger, Steven D. Eppinger . 2000 Perancangan dan Pengembangan Produk. Diterjemahkan oleh Azmi, nora dan Iveline A. M. 2001 Salemba Teknika. Jakarta. Van Arsdel, W. B., M. J. Coply, And A. I. Morgan. 1973. Food Dehydration, Methods and Phenomena. Vol. 1. 2nd ed. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut Vickers, Z. 1979. Crispness and Crunchiness of Food in Food Texture and Theologi. Academic Press. London Wang, H. L., Swain, E. W., dan Kwolek, W. F. 1984. Effect Of Soybean Varietas On The Yield And Quality Of Tofu. Cereal Chemistry. 60:245-248 Widyawati, W. 1996. Indentifikasi Variabel yang Berpengaruh Terhadap Tumbuh Kembang Industri Tahu di Kota Kediri. Skripsi Fak. Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang 1 DEWAN REDAKSI PENANGGUNG JAWAB TEGUH SARWO AJI,SP.,MMA (Dekan Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan) REDAKTUR Ir. REKNA WAHYUNI, MP PENYUNTING HAPSARI TITI PALUPI, MP MATHEUS NUGROHO, MP Ir. ERNAWATI, MP IKA ATSARI DEWI, MP PENYUNTING AHLI Prof.Dr. MOCH.SOCHIB (REKTOR Univ. Yudharta Pasuruan) DENY UTOMO, MP TATA USAHA AMMA FAZIZAH, S.Sos ALAMAT REDAKSI Prodi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan Jl. Yudharta 07 Pandean Sengonagung Purwosari Pasuruan Telp/Fax. (0343) 611186, e-mail: [email protected] Media Informasi dan Komunikasi Ilmiah Teknologi Pertanian PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN Jl. Yudharta 07 Sengonagung Purwosari Pasuruan Telp/Fax. (0343) 611186, e-mail: [email protected]
54

Teknologi Pangan Legal

Oct 20, 2015

Download

Documents

hgi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Teknologi Pangan Legal

104

Direktorat Bina Gizi Masyarakat

dan Pusat Penelitian dan

Pengembangan gizi. Jakarta

Mien, K. M. et. Al. 1990. Komposisi

Zat Gizi Pangan Indonesia.

Dep. Kes. RI. Direktorat bina

Gizi. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Gizi. Jakarta

Mulyadi. 1997. Akutansi Manajemen

Konsep Manfaat dan Rekayasa.

STIE YKPN. Yogyakarta

Muchtadi, D., T. R., Purwiyatino dan

A. Basuki. 1987. Teknologi

Pemasakan Ekstrusi. Pusat

Antar Universitas. IPB. Bogor

Schroeder, F. 1997. Food Packaging.

The AVI Publishing Company

Inc. West Port Connecticut.

United Staters Of Amerika.

Soekarto, S. T. 1985. Penilaian

Organoleptik untuk Industri

Pangan dan Hasil Pertanian.

PT. Bhratara Karya Aksara.

Jakarta

Sulistyowati, A. 2004. Membuat

Kripik Buah dan Sayur. Puspa

Swara, Anggota IKAPI.

Jakarta

Suprapti, L. M. 1997. Seputar

Penanganan Kedelai dalam

Industri dan Rumah Tangga.

Vidi Ariesta. Surabaya

Suratman. 2001. Studi Kelayakan

Proyek: Teknik dan Prosedur

Penyusunan Laporan. Edisi

pertama. J&J Learning.

Yogyakarta.

Sutojo, S., 1996, Studi Kelayakan

Proyek, Teori dan Praktek, PT.

Pustaka Binaman Pressindo,

Jakarta.

Urlich, Kart T. and Epinger, Steven

D. Eppinger . 2000 Perancangan

dan Pengembangan Produk.

Diterjemahkan oleh Azmi,

nora dan Iveline A. M. 2001

Salemba Teknika. Jakarta.

Van Arsdel, W. B., M. J. Coply, And

A. I. Morgan. 1973. Food

Dehydration, Methods and

Phenomena. Vol. 1. 2nd ed. The

AVI Publishing Company, Inc.

Westport. Connecticut

Vickers, Z. 1979. Crispness and

Crunchiness of Food in Food

Texture and Theologi.

Academic Press. London

Wang, H. L., Swain, E. W., dan

Kwolek, W. F. 1984. Effect Of

Soybean Varietas On The

Yield And Quality Of Tofu.

Cereal Chemistry. 60:245-248

Widyawati, W. 1996. Indentifikasi

Variabel yang Berpengaruh

Terhadap Tumbuh Kembang

Industri Tahu di Kota Kediri.

Skripsi Fak. Pertanian.

Universitas Brawijaya. Malang

1

DEWAN REDAKSI PENANGGUNG JAWAB

TEGUH SARWO AJI,SP.,MMA (Dekan Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan)

REDAKTUR

Ir. REKNA WAHYUNI, MP

PENYUNTING

HAPSARI TITI PALUPI, MP MATHEUS NUGROHO, MP

Ir. ERNAWATI, MP IKA ATSARI DEWI, MP

PENYUNTING AHLI

Prof.Dr. MOCH.SOCHIB (REKTOR Univ. Yudharta Pasuruan) DENY UTOMO, MP

TATA USAHA

AMMA FAZIZAH, S.Sos

ALAMAT REDAKSI

Prodi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan Jl. Yudharta 07 Pandean Sengonagung Purwosari Pasuruan

Telp/Fax. (0343) 611186, e-mail: [email protected]

Media Informasi dan Komunikasi Ilmiah Teknologi Pertanian

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS YUDHARTA

PASURUAN

Jl. Yudharta 07 Sengonagung Purwosari Pasuruan

Telp/Fax. (0343) 611186, e-mail: [email protected]

Page 2: Teknologi Pangan Legal

2 103

Apriantono, A. 2002. Pengaruh

Pengolahan Terhadap Nilai

Gizi Dan Keamanan Pangan.

Makalah ini disampaikan pada

Seminar Online Kharisma ke-2,

www. kharisma.com. tanggal

akses 15 April 2005

Asri, M. dan J. Suprihanto. 1986.

Manjemen Perusahaan Pende-

katan Operasional. BPFE.

Yogyakarta.

Atmosudirdjo, S. P. 1982. Beberapa

Pandangan Umum Tentang

Pengambilan Keputusan (Deci-

sions making). Ghalia Indonesia.

Jakarta

DeGarmo, E.P., W.G. Sullivan and

J.R. Canada. 1984. Engineering

Economy. Macmillan Publishing

Company. New York.

Fellow, P. 1990. Food Processing

Technology. Principles and

Practice. Ellis Horwood

Limited. West Sussex. England

________ . 1992. Dehydration dalam

Hui, Y. H. (ed.). 1992.

Encyclopedia of Food Science

and Technology. Vol. 1. pp. 556

– 575. John Willey & Sons, Inc.

New York.

Gruenwald, G., 1997. New Product

Development. NCT Business

Books, USA

Harris, R. S. Dan E. Karmas. 1989.

Evaluasi Gizi pada Pengolahan

Bahan Pangan. Terbitan ke-2.

Penerbit ITB. Bandung.

Husnan S. dan suwarsono. 1999. Studi

Kelayakan Proyek. Unit

Penerbit dan Percetakan (UPP)

AMP YKPN. Yogyakarta.

Indrasari, S., dan Darmardjati, D. S. !991.

Sifat Fisik dan Kimia Varietas

Kedelai dan Hubungannya

Dengan Rendemen Dan Mutu

Tahu. Media Penelitian

Sukamandi. 9: 43-49

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi

Minyak dan Lemak Pangan. UI-

Press. Jakarta.

Koswara, S. 1995. Teknologi

Pengolahan Kedelai. Pustaka

Sinar Harapan. Jakarta

Kotler, P. Alih Bahasa, Teguh H. dkk.

2002, Manajemem Pemasaran.

PT. Prenhallindo. Jakarta

Kusnadi, Nanang, S. Dan Jahroh. 1999.

Akutansi Biaya. Fakultas

Ekonomi Universitas Ahmad

Yani. Bandung

Luh, H. 1980. Rice Production and

Utillization. The Avi Publishing

Company. Inc. Westport.

Connecticut

Mangkusubroto, K. Dan Trisnadi, C. L.

1987. Analisa Keputusan

Pendekatan Sistem dalam

Manajemen Usaha Proyek.

Ganeca Exacta. Bandung

Mahmud, M. K., D. S. Slamet, R. R.

Apriantono dan Hermana. 1990.

Komposisi Zat Gizi Pangan

Indonesia. Dep. Kes. RI.

Page 3: Teknologi Pangan Legal

102

baku produksi, bahan pembantu, bahan

pengemas, utilitas, biaya penyusutan

peralatan, gaji tenaga kerja dan biaya

administrasi selama tiga bulan kerja.

Modal kerja yang digunakan

diasumsikan modal kerja sendiri tanpa

meminjam ke bank, sehingga aliran kas

bunga bank tidak diperhitungkan.

Kapasitas produksi pertahun

yang direncanakan adalah 384.000 ke-

masan dengan berat tiap kemasan

adalah 100 gram harga pokok penjual-

an (HPP) adalah Rp. 977,08 sedangkan

harga jualnya direncanakan Rp.

1400,00 dengan mark up sebesar 40%.

Jumlah produk yang terjual

diasumsikan sebesar 90% dari produk

yang diproduksi. Pada tahu pertama

pendapatan bersih yang diterima oleh

perusahaan sebesar Rp.

108.917.800,00.

Hasil analisa Break Even Point

(BEP) menunjukkan bahwa kapasitas

produksi yang direncanakan

memberikan keuntungan bagi

perusahan. Dengan kapasitas produksi

sebesar 384.000 kemasan per tahun di

dapat titik impas dengan memproduksi

tofu chip sebanyak 42517 Kemasan.

Payback Periode(PP) didapat pada 3

tahun 9 bulan 0hari dengan asumsi

tingkat produksi tetap dan harga stabil

pada tingkat inflasi 6,5 %.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

perhitungan yang telah dilakukan,

produk terpilih adalah S1T3 ( Tofu

Chips yang berbahan baku dari tahu

putih dengan suhu penggorengan

sebesar 200oC). yang akan

menghasilkan tofu chips dengan kadar

protein 20,57 % , kadar lemak 8,67 %,

kadar air 0,076 %, dan rendemen

sebesar 20,23 %. Produk S1T3

mempuyai nilai perlakuan tertinggi ini

menunjukan produk ini yang dipilih

oleh konsumen dengan skor 2,653.

Investasi awal yang dibutuhkan

untuk mendirikan industri tofu chips

dengan kapasitas produksi 128 kg per

hari adalah sebesar Rp.

139.160.950,00. Harga Pokok Produksi

(HPP) didapat sebesar Rp. 977,08 per

kemasan dengan berat 100 gram, harga

jual yang direncanakan sebesar Rp.

1400 dengan penambahan mark up

sebesar 40% , Break Even Point (BEP)

terjadi pada volume penjualan 42517

kemasan senilai Rp. 59.344.554,46.

Payback Periode (PP) adalah 3 tahun 9

bulan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut tentang umur simpan produk tofu

chips khususnya berkaitan dengan

kerenyahan produk yang dihubungkan

dengan jenis kemasan yang cocok

digunakan.

DAFTAR RUJUKAN

Anonymous. 2003. Konsumsi Penduduk

Jawa Timur Tahun 2002 Ber-

dasarkan Data Modul Konsumsi

Survey Sosial Ekonomi Masional

(Susenas) 2002. BPS Prop. Jawa

Timur. Surabaya.

3

Vol. 1 No. 1, Januari 2011

DAFTAR ISI

Hapsari Titi Palupi PENGARUH PRE GELATINISASI TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG SINGKONG

Halaman 1

Rekna Wahyuni OPTIMASI PENGOLAHAN KEMBANG GULA JELLY CAMPURAN KULIT DAN DAGING BUAH NAGA SUPER MERAH (Hylocereus costaricensis) DAN PRAKIRAAN BIAYA PRODUKSI

Halaman 15

Deny Utomo PEMANFAATAN IKAN GABUS (Ophiocephalus striatus) MENJADI BAKSO DALAM RANGKA PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT DAN UPAYA MENINGKATKAN NILAI EKONOMISNYA

Halaman 38

Rakhmad Wiyono STUDI PEMBUATAN SERBUK EFFERVESCENT TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb) KAJIAN SUHU PENGERING, KONSENTRASI DEKSTRIN, KONSENTRASI ASAM SITRAT DAN Na-BIKARBONAT

Halaman 56

Ernawati PENGEMBANGAN PRODUK TAHU MENJADI TOFU CHIPS (KAJIAN JENIS BAHAN BAKU, SUHU PENGGORENGAN DAN BIAYA PRODUKSI)

Halaman 86

Page 4: Teknologi Pangan Legal

4 101

pengaruhnya terhadap biaya

produksi/satuan barang yang akan

dihasilkan dan kepastian apakah jenis

teknologi yang dipilih pernah

diterapkan secara berhasil ditempat lain

(Sutojo, 1996).

Proses Produksi

Produksi tofu chips

direncanakan dalam satu hari satu kali

proses, waktu kerja direncanakan 7

jam/hari per orang. Total waktu proses

yang dibutuhkan untuk memproduksi

sebanyak 128 kg tofu chips adalah

2032 menit atau 33, 86 jam (Peta

Proses Operasi: Gambar 4). Waktu

2032 menit tersebut terdiri dari 1850

waktu proses dan 180 menit waktu

delay dan 2 menit untuk storage.

Waktu terlama terdapat pada proses

pengeringan, yang membutuhkan

waktu 240 menit atau 4 jam.

Jumlah tenaga kerja yang

digunakan pada proses produksi tofu

chips ini dihitung berdasarkan pen-

dekatan lamanya waktu proses

produksi tofu chips yang diperlukan

dibagi dengan jam kerja yang tersedia,

sehingga jumlah tenaga kerja yang

diperlukan untuk proses produksi

sebanyak 5-6 orang.

ANALISIS BIAYA PRODUKSI

Analisis biaya produksi

dilakukan untuk mengetahui tingkat

kelayakan industri yang akan

direncanakan. Analisis biaya produksi

yang dilakukan pada perencanaan

industri tofu chips skala usaha kecil

menengah (UKM) ini meliputi biaya

produksi (BP), Break Even Point

(BEP) dan Payback Periods (PP).

Investasi awal dalam pendirian

industri tofu chips skala usaha kecil

menegah (UKM) ini adalah sebesar Rp.

139.160.950,00. Investasi awal di-

peroleh dari hasil penjumlahan modal

tetap dengan modal kerja selama tiga

bulan. Modal tetap yang direncanakan

Rp. 45.410.200,00 nilai ini diperoleh

dari penjumlahan dari biaya investasi

ruang produksi dan kantor, biaya

instalasi, biaya investasi peralatan

produksi, peralatan kantor dan sarana

tranportasi. Sedangkan kebutuhan

modal kerja selama tiga bulan adalah

Rp. 93.750.750,00 nilai ini diperoleh

dari hasil penjumlahan biaya bahan

Spesifikasi Mesin dan Peralatan Industri Tofu Chips No Nama Mesin Jumlah Fungsi Spesifikasi

1 Bak Penampung 4 Mencampur adonan Plastik 1 m,

t=0,45 m

2 Timbangan 1 Menimbang Kapasitas 100 kg

3 Sealer 1 Mengemas Impulse Sealer

4 Pres Hidrolik 1 Mengurangi kadar air

tahuKapasitas 5 kg

5 Pengering Rak 1 Mengeringkan Stainless steel, 4 pintu, 80 rak

6 Kompor 4 Pemanas Merk “Hook” 64 sumbu

7 Dandang 4 Mengukus Aluminium “Gajah” kap 20 L

8 Penggiling Roti 2 Memipihkan adonan Stainless Steel 6 skala

Page 5: Teknologi Pangan Legal

100

Kebutuhan Bahan Baku Selama Satu

BulanNo Jenis Persediaan Jumlah

1 Tahu Putih 10000 kg

2 Tepung Trigu 375 kg

3 Tepung Tapioka 375 kg

Tabel diatas menunjukkkan

kebutuhan bahan baku yang digunakan

dalam industri tofu chips skala rumah

tangga dengan kapasitas produksi 128

kg. per hari dengan hari kerja efektif 25

hari untuk tiap bulannya

Kebutuhan Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan bagian

dari suatu industri yang penting,

mengingat tugas dari tenaga kerja yang

meliputi pengawasan dan pelaksanaan

produksi, mulai dari penyiapan bahan

baku, proses konversi sampai distribusi

produk jadi (Schroeder, 1997).

Industri tofu chips direncanakan

dalam skala usaha kecil menengah

(UKM), sehingga tenaga kerja yang

diperlukan tidak begitu banyak. Jumlah

tenaga kerja yang digunakan didasarka

pada peta proses operasi yang dapat

dilihat pada lampiran 17 Perencanaan

kebutuhan tenaga kerja ini didapat dari

total waktu produksi dibagi dengan

ketersediaan jam kerja.

Pada Tabel dapat dilihat bahwa

kebutuhan operasional perhari adalah

33,86 jam. Waktu kerja direncanakan 7

jam/hari per orang. Dengan demikian

industri ini membutuhkan 5-6 orang

tenaga kerja untuk kegiatan proses

produksi. Bagian administrasi dan

pemasaran masing-masing

membutuhkan satu orang tenaga kerja.

Tenaga kerja untuk proses produksi

direncanakan menggunakan sistem

kontrak sehingga upah diberikan

apabila proses produksi berlangsung

dan sebaliknya jika tidak produksi upah

tidak diberikan sedangkan tenaga kerja

pada bagian administrasi dan

pemasaran diberikan gaji tetap tiap

bulannya. Perhitungan biaya tenaga

kerja dalam produksi perlu dicatat

sebagai dasar untuk menetapkan upah

(Gitosumarmo, 1984).

Kebutuhan Mesin dan Peralatan

Produksi

Faktor-faktor yang perlu

dipertimbangkan dalam pemilihan jenis

teknologi antara lain jenis teknologi

yang diajukan harus cocok dengan

persyaratan yang diperlukan untuk

mencapai kapasitas produksi ekonomis

yang ditentukan, perhitungan jumlah

dana yang diperlukan untuk pembelian

mesin dan peralatan yang dibutuhkan,

Kebutuhan Tenaga Kerja

ProsesWaktu Proses

(Menit)

Penimbangan 50

Pengepresan 60

Pencampuran 90

Pemipihan 30

Pengukusan 180

Pengilingan 240

Pemipihan 240

Pengirisan 240

Pengeringan 480

Penggorengan 240

Penirisan 60

Pengemasan 122

Total 2032 (33,86

jam)

1

PENGARUH PRE GELATINISASI TERHADAP

KARAKTERISTIK TEPUNG SINGKONG

(Influence of Pre Gelatinization to Characteristics of Cassava Flour)

Hapsari Titi P, A. Zainul A, M. Nugroho

Abstrak: Selama ini tepung singkong masih terbatas penggunaannya, karena

secara umum dibatasi oleh sifat fisik dan kimia-nya. Tepung singkong

terbuat dari potongan ubi kayu yang telah kering. Tepung Pre gelatinisasi

adalah tepung yang mengalami proses gelatinisasi dengan perebusan

(parboiling) dan selanjutnya dikeringkan, sehingga memperbaiki kualitas,

sifat reologi dan pasta tepung. Tujuan penelitian adalah mempelajari

pembuatan dan karakteristik tepung singkong pre gelatinisasi dan pengaruh

suhu pre-gelatinisasi 1000C, 900C, 800C terhadap karakteristik tepung

singkong . Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan yaitu A = Tanpa pre

gelatinisasi, B = Pre gelatinisasi pada suhu 1000C, C = Pre gelatinisasi pada

suhu 900C, D = Pre gelatinisasi pada suhu 800C.

Dari analisa statistik terdapat perbedaan nyata perlakuan tanpa pre

gelatinisasi dan pre gelatinisasi terhadap karakteristik kadar air, kadar HCN,

kadar amilosa, derajat putih, organoleptik, dan sifat amilografi. Perlakuan pre

gelatinisasi mampu menurunkan suhu dan waktu awal gelatinisasi, suhu dan

waktu gelatinisasi (saat granula pecah), viskositas dingin, dan viskositas

balik. Analisa statistik terhadap perlakuan suhu pre gelatinisasi 1000C, 900C,

800C memberikan pengaruh yang berbeda nyata, kadar amilosa, derajat putih,

dan penerimaan organoleptik (warna, kenampakan, dan aroma) terhadap sifat

amilografi.

Kata kunci : pre gelatinisasi, tepung singkong, sifat amilografi

Abstract: The use of cassava flour is still very limited until nowadays,

because it is constrained by its physical and chemical properties. Cassava

flour is made from dried cassava chips traditionally. Pre gelatinized cassava

flour is obtained from complete gelatinization process using parboiling

technique and then to be dried to improve their quality, rheology and pasting

behavior. The objective of the research is to study the production and

characteristic of pre gelatinized cassava flour and the influence of various

temperatures e.g. 1000C, 900C, 800C to cassava flour properties. This research

consists of 4 treatments, those are A = Non pre gelatinization, B = Pre

gelatinization at temperature of 1000C, C = Pre gelatinization at temperature

of 900C, and D = Pre gelatinization at temperature of 800C.

Statistical analysis reveal difference significant between non pre

Page 6: Teknologi Pangan Legal

2

gelatinization and pre gelatinization flour of water content, HCN content,

amylase content, whiteness, organoleptic attribute and the amilographic

characteristics. Pre gelatinization treatment will be able to decrease initial

temperature and time of gelatinization, peak time and temperature of

gelatinization, cold viscosity and set back viscosity. Statistical analysis of

various temperature of pre gelatinization i.e. 1000C, 900C, 800C showed

significant difference of amylase content, whiteness, and organoleptic

attribute and pasting behavior characteristics

Key words : pre gelatinization, cassava flour, amilograph properties

PENDAHULUAN

Tanaman singkong (Manihot

esculenta Crantz) banyak tumbuh di

Indonesia, karena tanaman ini

mempunyai sifat yaitu mudah tumbuh

di daerah tropis, tahan terhadap suhu

tinggi, hasil produksi besar dan tidak

mudah terserang hama dan penyakit.

Umbi singkong merupakan sumber

karbohidrat yang sangat tinggi,

sehingga mampu menyediakan energi

dalam jumlah yang cukup besar dan

rendah kadar lemaknya. Usaha

diversifiaksi pangan yang

diprogramkan pemerintah dengan tidak

menggantungkan terhadap bahan

pangan dari serealea (padi, jagung,

gandum) berpotensi mengangkat

potensi dari singkong.

Umbi singkong dapat dimanfaat-

kan dalam beberapa bentuk makanan

jadi atau setengah jadi (intermediate).

Pengolahan singkong menjadi tepung

dapat meningkatkan nilai tambah dan

kegunaan singkong, serta memperpan-

jang masa simpannya. Chuzel, Zakhia

and Cereda (1994) menyatakan bahwa

beberapa produk antara (intermediate)

singkong (chips, tepung, dan pati)

merupakan sumber nutrisi untuk

manusia dan ternak, serta bahan baku

berbagai macam industri makanan

seperti roti dan kerupuk. Singkong

mengandung komponen toksik dalam

bentuk glukosa sianogenik, tetapi

kadarnya dapat diturunkan atau

dihilangkan melalui beberapa proses

seperti perebusan, perendaman,

fermentasi dan pengeringan.

Tepung singkong terbuat dari

potongan ubi kayu yang telah kering

kemudian dihaluskan. Selama ini

tepung singkong masih terbatas

penggunaannya, karena secara umum

dibatasi oleh sifat fisik dan kimia-nya.

Pati pre gelatinisasi adalah pati yang

mengalami proses gelatinisasi dan

selanjutnya dikeringkan. Pati ini akan

mengalami perubahan sifat fisik dan

sifat pati alami. Menurut Padmaja et.

al. (1996) modifikasi tepung secara pre

gelatinisasi dengan perebusan

(parboiling) dapat memperbaiki

karakteristik dari pasta tepung.

Temperatur merupakan salah satu

faktor penting yang mempengaruhi

proses pre gelatinisasi. Jika pati tidak

dipanaskan pada temperatur yang

99

dan kapasitas mesin serta peralatan

yang dimiliki perusahaan serta dengan

memperhatikan kualitas dan kuantitas

sumberdaya manusia dalam proses

produksi, kemampuan keuangan

perusahaan dan kemungkinan adanya

perubahan teknologi produksi di masa

yang akan datang.

Kapasitas produksi yang diren-

canakan didasarkan pada pertimbangan

skala usaha, kemampuan mesin dan

peralatan, sehingga ditetapkan ka-

pasitas produksi per hari 128 kg . Dari

hasil penelitian pendahuluan yang

telah dilakukan, diketahui rendemen

dari tofu chips yang telah dibuat adalah

sebesar 29,06 %. Sehingga

diperkirakan kebutuhan bahan baku

untuk satu hari kerja adalah 400 kg

tahu, 15 kg tepung tapioka, 15 kg

Tepung trigu, 3,6 kg garam, 0,74 kg

baking soda, 1,5 kg penyedap rasa, 3

kg bawang putih, dan 1,5 kg mrica.

Kebutuhan Bahan Baku

Bahan – bahan yang digunakan dalam

industri tofu chips adalah :

a. Tahu Putih

Bahan baku ini dipilih berdasarkan

dari hasil penelitian lapang yang

menunjukkkan tofu chips yang

berbahan baku dari tahu putih lebih

banyak disukai daripada tofu chips

yang berbahan baku dari tahu takwa

kuning. Tahu putih ini didapatkan

dari industri pembuatan tahu yang

ada diberbagai wilayah jawa timur

khususnya di kota Malang dan kota

Kediri yang dikenal sebagai sentra

industri tahu yang cukup besar.

Bentuk tahu yang dipakai kubus

dengan ketebalan sekitar 3-4 cm,

struktur kenyal dengan kadar air

sekitar 37,5% dengan harga Rp.

2.000,00 per kg.

b. Tepung Trigu

Tepung trigu yang digunakan adalah

tepung trigu dengan merk dagang

segi tiga biru karena tepung trigu ini

memiliki kadar gluten yang rendah

sehingga akan meningkatkan

kerenyahan produk. Harga tepung

trigu dipasaran eceran Rp.

4.500,00 per kg.

c. Tepung Tapioka

Tepung tapika ditambahkan untuk

meningkatkan kerenyahan produk.

Tepung tapioka ini didapat dari

pasar dengan harga eceran Rp.

3.000,0 per kg.

Pada industri skala usaha kecil

menengah (UKM) ini persedianan

bahan baku tahu direncanakan

pengadaan tiap dua hari sekali karena

tahu memiliki umur simpan yang relatif

pendek, sedangkan tepung trigu dan

tepung tapioka direncanakan tiap bulan

atau 25 hari kerja. Pengadaan bahan

baku perlu direncanakan agar proses

produksi dapat berjalan lancar tanpa

terjadi kekurangan persediaan ataupun

kelebihan persediaan yang terlalu besar

(Asri dan Suprihanto, 1986). Jumlah

bahan baku yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan produksi

perbulan dapat dilihat pada Tabel .

Page 7: Teknologi Pangan Legal

98

kerenyahan produk dapat

dipertahankan dalam waktu yang

lama.

Perencanaaan Kapasitas Produksi Kapasitas produksi dari suatu

pabrik atau industri yang akan

didirikan, dapat dilakukan dengan dua

cara pendekatan. Pertama adalah

dengan memperkirakan tingkat per-

mintaan potensial terhadap produk

pada masa depan, sedangkan kedua

adalah dengan pendekatan terhadap

ketersediaan bahan bakunya.

Menurut Suratman (2001),

Konsep yang paling sederhana dalam

menentukan skala operasi (luas

produksi) adalah bergantung pada

kemungkinan perkembangan pangsa

pasar (market share) yang dapat diraih

Tahu 200 Kg

Dipres

Dicampur

Adonan 188,45 Kg

Diblanching

Digiling

Dipotong - Potong

Dikeringkan

Tofu Chips Mentah

134,33 Kg

Trigu 15 Kg Tapioka 15 Kg

Bumbu 10,34 Kg

Air 246Kg

Tahu menempel 4 Kg

Uap air 33,58 Kg

Digoreng

Tofu Chips Matang

128 Kg

Uap air 6,71 Kg

Adonan hilang 1.9 Kg

Adonan hilang 1.7 Kg

Uap air 18,84 Kg

Dikemas

Diagram Alir Massa Proses Pembuatan Tofu Chips

3

sesuai maka derajat pengembangan

granula pati tidak tepat dan tidak

memberikan sifat yang diinginkan.

Tujuan penelitian ini adalah

mempelajari karakteristik antara tepung

singkong yang dibuat dengan tanpa pre

gelatinisasi dan pre gelatinisasi; serta

mempelajari pengaruh temperatur pre

gelatinisasi terhadap karakteristik fisik,

kimia dan fungsional tepung singkong.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan mulai

bulan April sampai Juli 2007, di

labolatorium Teknologi Hasil Pertanian

Universitas Yudharta.

Bahan baku penelitian adalah

singkong varietas UJ berumur 8 bulan

yang diperoleh dari Balitkabi (Balai

Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-

umbian) Malang. Alat yang digunakan

adalah pemanas, termometer,

timbangan, pengiris singkong, alat

penepung, ayakan, loyang, oven,

maffel furnace, centrifuge, Viscoamilograph, Colorimeter.

Penelitian ini menggunakan

rancangan percobaan Rancangan Acak

Kelompok (RAK) faktor tunggal,

diulang 3 kali. Terdiri dari 4 perlakuan

yaitu A = Tanpa pre gelatinisasi, B =

Pre gelatinisasi pada suhu 1000C, C =

Pre gelatinisasi pada suhu 900C, D =

Pre gelatinisasi pada suhu 800C: Dari 4

perlakuan disusun 3 pembandingan

linier ortogonal kontras yaitu:

1. A vesus BCD,

berarti melihat apakah terdapat

perbedaan karakteristik tepung

singkong antara perlakuan tanpa pre

gelatinisasi dan pre gelatinisasi.

2. B versus C

Melihat apakah terdapat perbedaan

karakteristik tepung singkong antara

perlakuan suhu 1000C dan 900C.

3. C versus D

Melihat apakah terdapat perbedaan

karakteristik tepung singkong antara

perlakuan suhu 900C dan 800C.

Pelaksanaan Penelitian meliputi :

1. Pembuatan tepung singkong tanpa

pre gelatinisasi :

a. Pencucian dan pengupasan

singkong

b. Pengirisan ukuran 1 cm

c. Pengeringan selama 24 - 36 jam

d. Penggilingan dan pengayakan

e. Tepung singkong

2. Pembuatan tepung singkong pre

gelatinisasi

a. Pencucian dan pengupasan

b. Pengirisan ukuran 1 cm

c. Pemanasan (parboiling) dalam

air, selama 10 menit (temperatur

800C, 900C, dan 1000C)

d. Pembuangan air (decanting)

e. Pengeringan selama 24 - 36 jam

f. Penggilingan dan pengayakan

g. Tepung singkong

Baku singkong dilakukan analisa

proksimat meliputi kadar air, serat

kasar, kadar lemak, kadar HCN, kadar

pati, kadar protein (AOAC, 1989).

Tepung singkong dilakukan analisa

pada kadar air, kadar pati, kadar

amilosa, kadar HCN, warna (whiteness

tester) pembanding BaS04 100%

(AOAC, 1989). Sfat amilografi tepung

singkong dianalisa menggunakan

Viscoamilograph untuk mengukur suhu

gelatinisasi, waktu gelatinisasi dan

viskositas. Analisa organoleptik

Page 8: Teknologi Pangan Legal

4

meliputi parameter warna, kenampakan

dan aroma (Larmond, 1984).

Analisis data dilakukan secara

statistik menggunakan analisis sidik

ragam (uji F) dengan selang

kepercayaan 5% dan 1%. Dan

dilakukan uji pembandingan linier

orthogonal kontras untuk

membandingkan antar perlakuan

(Sastrosupadi, 1999). Untuk

organoleptik menggunakan uji

acceptance (tingkat penerimaan) terdiri

15 panelis. Data yang diperoleh

dianalisis menggunakan analisis sidik

ragam (uji F) dan pembandingan linier

orthogonal kontras (Larmond, 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air

Rerata kadar air tepung singkong

pada penelitian ini berkisar antara

11.9267 % sampai 14.7067 % (Gambar

1). Menurut Ananymous (2000) kadar

air tepung tapioka setelah pengeringan

berkisar antara 12-13%

Berdasarkan analisis ragam

(pembandingan linier ortogonal)

perlakuan pre gelatinisasi pada tepung

singkong memberikan penurunan kadar

air tepung secara nyata dibandingkan

tepung tanpa pre gelatinisasi.

Menurunnya kadar air pada tepung pre

gelatinisasi disebabkan karena

perlakuan pre gelatinisasi secara

parboiling (perebusan) memberikan

pemanasan yang menyebabkan

terjadinya penyerapan air dan

pembengkakan granula pati.

Pemanasan menyebabkan lemahnya

ikatan hidrogen dalam granula,

sehingga granula yang telah

membengkak memiliki ukuran yang

besar dan bersifat irreversibel. Ketika

dilakukan proses pengeringan tepung

yang telah tergelatinisasi, air mudah

lepas dari ikatan hidroksil sehingga

kadar air sedikit menurun. Menurut

Kenneth, Leon and J Peter (1991)

penggunaan panas yang terus

meningkat menyebabkan ikatan

hidrogen intermolukuler antara rantai

amilosa dan rantai cabang amilopektin

mulai melemah, sehingga granula pati

mengembang secara cepat. Granula

yang telah mengembang mempunyai

struktur yang lebih lunak dan bersifat

irreversibel.

Perlakuan pre gelatinisasi pada suhu

yang berbeda 800C, 900C, dan 1000C

tidak memberikan pengaruh yang nyata

pada kadar air tepung. Perlakuan

tersebut merupakan suhu dimana telah

terjadi proses gelatinisasi dan

pembengkakan granula. Berdasarkan

14.707612.8

11.9333 11.9267

0.0

5.0

10.0

15.0

1Perlakuan

Kad

ar

air

(%

)

A B C D

Keterangan:

A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 1. Grafik Rerata Kadar Air

Tepung Singkong

97

untuk menggurangi kadar minyak

goreng yang terserap pada saat

penggorengan, meningkatkan

kerenyahan bahan, dan juga

memperlama waktu simpan

produk.

i) Pengemasan

Pengemasan dilakukan dengan

menggunakan alumunium foil,

dengan pertimbangan bahan ini

mempuyai kekedapan udara yang

cukup tinggi, sehingga tekstur dan

Tahu + Terigu + Tapioka

(10 :1 :1)

Pengadukan

Pengadukan hingga rata

Pengadukan hingga kalis

Pengisian kedalam cetakan

Pengukusan, 100 oC, 30 menit

Penggilingan adonan tebal 1 mm

Pemotongan bentuk segi empat

Ukuran 1,5x1 cm

Pengeringan Cabinet Dryer 4 jam

Penggorengan, Deep Frying,

180oC, 190oC, 200oC, 15 menit

Penirisan

pengemasan

Tofu Chips

Garam 2,5%

Air hangat (¼)

Pengadukan hingga larut

Baking soda 0,5%,

Merica 1%,

Bawang Putih 2%,

Penyedap rasa

Analisis :

- Kadar air

- Kadar Lemak

- Kadar Protein

- Rendemen

- Organoleptik

Diagram Alir Pembuatan Tofu Chips

Page 9: Teknologi Pangan Legal

96

bahan baku tahu takwa kuning) dan

terendah adalah 8,67 % (pada

penggorengan suhu 200oC, jenis bahan

baku tahu putih), sedangkan untuk

kadar air tertinggi adalah sebesar 0,152

% (pada penggorengan suhu 180oC

untuk jenis bahan baku tahu putih ) dan

terendah adalah 0.064 % (pada

penggorengan suhu 200oC, jenis bahan

baku tahu takwa kuning).

TEKNOLOGI PROCCESING

TOFU CHIPS

Gambaran Teknologi Proccesing Tofu

ChipsTeknologi yang digunakan

dalam pembuatan tofu chips relatif

sederhana, peralatan yang digunakan

juga tidak terlalu mahal dan sulit untuk

diperoleh, dan juga modal kerja yang

diperlukan tidak terlalu banyak,

sehingga produk ini tidak sulit untuk

dikembangkan pada skala usaha kecil

menengah (UKM). Tahapan proses

pembuatan tofu chips adalah sebagai

berikut :

a) Pecucian

Tahu yang akan digunakan sebagai

bahan baku dalam pembuatan tofu

chips, dicuci dan direndam dengan

tujuan untuk membersihkan bahan

dan untuk menghilangkan bau

asam pada tahu.

b) Penghancuran dan pengepresan

Proses ini bertujuan untuk

mengurangi kadar air pada bahan

baku tahu, mempermudah pada

perlakuan selanjutnya, mengurangi

jumlah penambahan tepung dan

meningkatkan kadar protein

produk

c) Pengadukan

Bahan baku tahu yang telah dipres

selanjutnya ditambah dengan

tepung terigu, tepung kaji dengan

perbandingan 1 : 10 untuk masing-

masing tepung, dan ditambah

bumbu sebagai penyedap rasa,

selanjutnya diaduk sampai

terbentuk adonan yang homongen.

d) Pengukusan

Pengukusan ini bertujuan untuk

membantu dalam proses gela-

tinisasi bahan. Pengukusan

merupakan unit operasi yang

bertujuan untuk mencapai

gelatinisasi pati yang sempurna

makanan (Luh, 1980).

e) Pengilingan dan Pemotongan

Adonan yang telah dikukus,

digiling menjadi lembaran-

lembaran tipis dengan ketebalan 1

mm, kemudian dipotong dengan

lebar 1,5 x 1,5 cm.

f) Pengeringan

Pengeringan dilakukan selama 18

jam pada suhu 50oC dengan tujuan

untuk menggurangi kadar air dan

kelembaban pada bahan. Tipe

pengering yang digunakan adalah

Pengering kabinet

(CabinetDrying).g) Pengorengan

Tofu Chips yang masih mentah dan

sudah dikeringkan selama 4 jam

selanjutnya digoreng dengan

menggunkan Deep Frying. Suhu

penggorengan yang digunakan

dibagi menjadi 3 level yaitu : 180,

190, 200oC.

h) Penirisaan

Penirisan dilakukan dengan tujuan

5

analisis amilografi, tepung singkong

pre gelatinisasi telah mengalami

gelatinisasi pada suhu sekitar 800C

(Tabel 1). Ikatan hidrogen melemah

sehingga rantai dan struktur pati

menjadi lebih lunak. Ikatan hidrogen

intramolekuler berfungsi

mempertahankan struktur integritas

granula pati. Proses pengeringan

kembali pati yang telah mengalami

gelatinisasi, akan memudahkan

terlepasnya air yang terikat didalam

granula pati.

Kadar HCN

Tepung singkong mempunyai rerata

kadar HCN ini berkisar antara 10.7833

ppm sampai 14.7860 ppm (Gambar 2).

Berdasarkan analisis ragam dan

perbandingan linier ortogonal perlaku-

an tepung secara pre gelatinisasi

memberikan pengaruh yang nyata

terhadap kadar HCN, dibandingkan

dengan tepung singkong tanpa pre

gelatinisasi. Perlakuan pre gelatinisasi

menurunkan kadar HCN pada tepung

singkong, dibandingkan tepung

singkong tanpa pre gelatinisasi. Hal ini

disebabkan pada proses pembuatan

tepung dengan pre gelatinisasi melalui

tahap parboling (perebusan) pada suhu

80-1000C akan merusak aktivitas enzim

linamarase dan melarutkan asam

sianogenik. Proses selanjutnya yaitu

pembuangan air hasil perebusan

menurunkan dan menghilangkan asam

sianida.

Beberapa tahap proses pada

pembuatan tepung singkong akan

menurunkan HCN. Proses perebusan

dalam air mendidih selama 10 menit

akan merusak aktivitas enzim

linamarase dan melarutkan asam

hidrosianida. Proses pembuangan air

rebusan (decanting) menurunkan atau

menghilangkan kandungan sianida

(Balagopalan, 2002). Menurut Padmaja

et.al. (1996) HCN merupakan

komponen toksik yang terdapat dalam

singkong dalam bentuk glukosa

sianogenik. Seluruh cultivar singkong

mengandung HCN berkisar natara 10-

500 ppm. Keracunan yang serius terjadi

bila kandungan HCN melebihi batas

150 ppm.

Perlakuan pre gelatinisasi pada suhu

yang berbeda 800C, 900C, dan 1000C

tidak memberikan perbedaan yang

nyata pada kadar HCN tepung

singkong. Hal ini menunjukkan pada

suhu 800C sudah dapat menurunkan

kadar HCN tepung singkong, walaupun

pemanasan pada suhu 900C

memberikan kadar HCN terendah yaitu

10.7833 ppm. Tahapan proses pada

14.7876

11.1167 10.783311.3600

0.0

4.0

8.0

12.0

16.0

Ka

da

r H

CN

(p

pm

1900Perlakuan

A B C D

Keterangan: A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 2. Grafik Rerata Kadar

HCN Tepung Singkong

Page 10: Teknologi Pangan Legal

6

pembuatan tepung singkong seperti

pemanasan menggunakan dan

pembuangana air rebusan (decanting)

melarutkan kandungan asam sianida.

Kadar Pati

Tepung singkong mempunyai rerata

kadar pati ini berkisar antara 76.7400%

sampai 81.3533% (Gambar 3).

Berdasarkan analisis ragam

perlakuan pre gelatinisasi tidak

memberikan pengaruh yang nyata

terhadap kadar pati tepung singkong,

dibandingkan dengan perlakuan tanpa

pre gelatinisasi. Berdasarkan

perbandingan linier ortogonal tepung

singkong dengan perlakuan yang

berbeda (pre gelatinisasi dan tanpa pr

gelatinisasi) mempunyai kadar pati

yang hampir sama. Kondisi ini

menunjukkan bahwa perlakuan pre

gelatinisasi tidak mempengaruhi

jumlah pati yang terdapat dalam tepung

singkong.

Berdasarkan analisis ragam dan

perbandingan linier ortogonal

perlakuan suhu pre gelatinisasi yang

berbeda yaitu 80, 90, 1000C tidak

memberikan pengaruh yang nyata pada

kadar pati tepung singkong. Tepung

singkong mempunyai kisaran kadar

pati dalam jumlah hampir sama.

Kadar Amilosa

Rerata kadar air amilosa

tepung singkong singkong berkisar

antara 20.3397 % sampai 21.7303 %

(Gambar 4.)

Berdasarkan analisis ragam

perlakuan dan perbandingan linier

ortogonal pre gelatinisasi memberikan

pengaruh yang nyata terhadap kadar

amilosa tepung dibandingkan tanpa pre

79.1000 81.353376.7400 80.4317

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

1Perlakuan

Ka

da

r P

ati

(%

)

A B C D

Keterangan:

A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 3. Grafik Rerata Kadar Pati

Tepung Singkong

21.7303 20.7467

20.339720.6810

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

1Perlakuan

Kad

ar

Am

ilosa

(%

)

A B C D

Keterangan:

A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 4. Grafik Rerata Kadar

Amilosa Tepung Singkong

95

dan rendemen sebesar 29,06 %.

KUALITAS PRODUK

Karakteristik Tofu Chips yang

Dihasilkan

Kripik tahu (tofu chips) yang

dihasilkan berbentuk segi empat

dengan lebar 1,5 cm x 1,5 cm dengan

ketebalan 1 mm sedangkan

kenampakan visual produk relatif sama,

berwarna kuning kecoklatan.

Sedangkan tingkat kerenyahan produk

bervariasi antara satu dengan yang lain,

aroma produk memiliki aroma yang

khas seperti pada bahan bakunya.

Tofu chips Jika dibandingkan

dengan produk makanan ringan yang

lainnya mempuyai kelebihan memiliki

kandungan protein yang cukup tinggi.

Dari hasil penelitian terlihat kadar

protein yang terkandung bervariasi

untuk tiap jenis bahan baku yang

digunakan. Untuk tahu putih berkisar

antara 20,57 – 23,73 % sedangkan

untuk tahu takwa kuning berkisar

antara 22,43- 25,95 %.

Karakteristik Kimia Produk Tofu

Chips

Berdasarkan hasil analisa kimia

yang telah dilakukan terhadap produk

tofu chips diperoleh hasil sebagai

berikut :

Hasil uji kimia yang terlihat pada

Tabel diatas menunjukkan bahwa

peningkatan suhu penggorengan dapat

menyebabkan kadar protein, kadar

lemak produk menjadi turun. Suhu

yang tinggi pada pengolahan makanan

dapat menyebabkan terdenaturasinya

kandungan protein produk sehingga

menyebabkan menurunnya kandungan

protein bahan, hal ini sesuai dengan

pendapat Apriyanto (2002), yang

menyatakan kebanyakan protein

pangan terdenaturasi jika dipanasakan

pada suhu yang moderat (60-90oC)

selama satu jam atau kurang.

Dari data tersebut diatas

menunjukkan kadar protein tertinggi

adalah sebesar 25,95 % (pada

penggorengan suhu 180oC untuk jenis

bahan baku tahu takwa kuning) dan

terendah adalah 20,57 % (pada

penggorengan suhu 200oC, jenis bahan

baku tahu putih). Untuk kadar lemak

tertinggi adalah sebesar 16,03 % (pada

penggorengan suhu 180oC untuk jenis

Hasil Analisis Kimia Produk Tofu Chips

Perlakuan

Kadar

Protein

Kadar

Lemak Kadar Air

Tahu Putih, Suhu 180oC 23.73 12.4 0.152

Tahu Putih, Suhu 190oC 21.05 9.29 0.091

Tahu Putih, Suhu 200oC 20.57 8.67 0.076

Tahu Takwa, Suhu 180oC 25.95 16.03 0.136

Tahu Takwa, Suhu 190oC 24.74 11.03 0.108

Tahu Takwa, Suhu 200oC 22.43 9.26 0.064

Page 11: Teknologi Pangan Legal

94

0

1

2

3

4

5

S1T1 S1T2 S1T3 S2T1 S2T2 S2T3

Produk

Skor

Grafik Rata-Rata Penilaian Panelis

Terhadap Kerenyahan Tofu Chips

Pada grafik diatas terlihat

penilaian panelis terhadap kerenyahan

tofu chips, rata- rata nilai kesukaan

berkisar antara 1,8 sampai 3,6, panelis

paling menyukai tofu chips pada

perlakuan pertama yaitu tofu chips

yang berbahan baku dari tahu putih dan

digoreng pada suhu 180oC. Panelis

memilih tofu chips yang dihasilkan

pada perlakuan pertama ini dengan

alasan suhu yang terlalu tinggi pada

proses penggorengan dapat

menyebabkan tingkat kehilangan kadar

air bahan terlalu banyak sehingga akan

dapat mempengaruhi rasa dan tingkat

kerenyahan produk. Panelis

beranggapan pada suhu 180oC tingkat

kerenyahan tofu chips sudah dapat

dicapai dengan baik

Pada makanan kering seperti

keripik, timbulnya bunyi disebabkan

adanya rongga antar sel yang kaku dan

rapuh yang berisi udara (Vickers,

1979). Selain itu, tingkat kerenyahan

berhubungan erat dengan kadar air

produk. Pada kadar air yang terlalu

tinggi menjadikan tekstur kurang

garing/tidak renyah (Muchtadi dkk.,

1987). Kerenyahan juga berhubungan

dengan daya patah. Daya patah

merupakan besarnya usaha yang

dilakukan untuk mematahkan produk.

Semakin rendah nilai daya patah maka

akan semakin meningkatkan nilai

kerenyahannya.

Produk Terbaik

Pemilihan alternatif Produk

terbaik dilakukan dengan menggunakan

metode Indeks Effektivitas. Menurut De

Garmo, Sullivan, and Canada (1984),

keuntungan penggunaan indeks

effektivitas adalah:

a. Dapat dipakai untuk alternatif yang

memiliki banyak kriteria. Masing-

masing kreteria atau atribut dapat

berbeda tingkat kepentingannya

(dinyatakan dengan bobot).

b. Mudah divisualisasikan dan cukup

sederhana.

Berdasarkan dari kuisioner

tingkat kepentingan kriteria yang

diberikan pada panelis, diperoleh hasil

bobot tertinggi pada kriteria rasa

dengan bobot 0,466 kemudian diikuti

kerenyahan dan warna produk memiliki

bobot yang sama yaitu 0,266.

Perhitungan pembobotan kriteria dapat

dilihat pada lampiran 4. Setelah

diketahui bobot tiap kriteria,

selanjutnya dilakukan perhitungan nilai

efektifitas untuk mendapatkan nilai

produk. Berdasarkan hasil perhitungan,

diperoleh nilai produk tertinggi pada

perlakuan S1T3 (Jenis Bahan Baku

Tahu Putih ; Suhu Penggorengan

200oC) yang akan menghasilkan tofu

chips dengan kadar protein 20,57 % ,

kadar lemak 8,67 %, kadar air 0,076 %,

7

74.1000 69.566771.3667

72.3000

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

1Perlakuan

Der

aja

t P

uti

h (

%)

A B C D

Keterangan:

A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 5. Grafik Rerata Derajat

Putih Tepung Singkong

gelatinisasi. Perlakuan pre gelatinisasi

sedikit menurunkan kadar amilosa

tepung singkong. Hal ini disebabkan

ketika pati dipanaskan dalam air pada

temperatur gelatinisasi, energi panas

menyebabkan ikatan hidrogen pati

menjadi melemah. Ikatan yang lemah

memudahkan air masuk ke dalam

granula dan memungkinkan sedikit

melarutnya dan terjadi pertukaran

molekul amilosa menuju ke air.

Berdasarkan perbandingan

ortogonal perlakuan suhu pre

gelatinisasi 80, 90, dan 1000C tidak

memberikan perbedaan yang nyata

terhadap kadar amilosa tepung

singkong. Hal ini disebabkan suhu

yang digunakan pada perlakuan ini

merupakan suhu diatas suhu

gelatinisasi tepung singkong. Pada

kisaran temperatur tersebut proses

gelatinisasi pati telah berlangsung,

sehingga telah terjadi pertukaran

molekul amilosa ke air, dan pati masih

dalam fragmen yang melingkupi.

Annison dan Topping (2000)

menyatakan bahwa gelatinisasi terdiri

dari dua tahap proses yaitu suspensi

pati yang dipanaskan pada suhu 60-

700C sebagian granula akan

mengembang. Ketika suhu dinaikkan

menjadi 900C granula akan

mengembang seluruhnya dan

kehilangan bentuknya, meskipun pati

masih terdiri dari suatu fragmen yang

melingkupinya.

Derajat Putih

Rerata derajat putih tepung

singkong berkisar antara 69.5667%

sampai 74.100% (Gambar 5).

Berdasarkan analisis ragam

perlakuan pre gelatinisasi memberikan

pengaruh yang sangat nyata

dibandingkan tanpa pre gelatinisasi dan

berdasarkan perbandingan ortogonal

terdapat perbedaan derajat putih tepung

pre gelatinisasi dan tanpa gelatinisasi.

Kondisi ini disebabkan oleh proses

pemanasan pada pre gelatinisassi akan

melarutkan beberapa komponen kimia

dalam tepung dan sel pati seperti gula,

amilosa, protein. Proses pengeringan

kembali pati yang tergelatinisasi

memungkinkan senyawa-senyawa

terlarut tersebut, seperti gula perduksi

dan protein bereaksi menghasilkan

pigmen berwarna coklat.

Berdasarkan perbandingan linier

ortogonal perlakuan pre gelatinisasi

pada suhu yang berbeda memberikan

pengaruh yang sangat nyata terhadap

derajat putih tepung singkong. Suhu

Page 12: Teknologi Pangan Legal

8

1000C memberikan nilai derajat putih

tepung yang lebih rendah dibandingkan

perlakuan pr gelatinisasi suhu 900C,

dan pre gelatinisasi 800C memberikan

derajat putih yang lebih tinggi

dibandingkan pre gelatinisasi pada

suhu 900C. Kondisi ini disebabkan

semakin tinggi suhu pre gelatinisasi

akan semakin melarutkan komponen

kimia dalam sel, sehingga

memungkinkan gula dan protein untuk

bereaksi menghasilkan pigmen

berwarna coklat.

Kandungan utama singkong

adalah karbohidrat yang sebagian besar

merupakan pati, tetapi pada umumnya

sedikit mengandung protein.

Komponen kimia tepung singkong

adalah pati, serat, gula, lemak, protein

dan sejumlah kecil komponen lain

(Moorthy, Rickard and Blanshard,

1996). Menurut Anaymous (2000)

cairan dalam sel kaya akan kandungan

gula dan protein. Proses perusakan sel

menyebabkan larutan dalam sel akan

keluar berinteraksi dengan udara dan

kemudian bereaksi dengan oksigen

membentuk komponen warna. Menurut

Belitz and Groszh (1987) interaksi

komponen amino dan monosakarida,

yang diikuti dengan pelepasan air, akan

membentuk senyawa imine

intermediary atau N glikosida. N-

glikosida merupakan produk awal yang

selanjutnya dapat membentuk senyawa

Amadori (Amadori rearrangement)

Senyawa ini merupakan produk

intermediate, yang selanjunya

merupakan rangkaian dari reaksi

Maillard yaitu reaksi yang

menyebabkan warna coklat pada bahan

makanan.

Sifat Amilografi

Sifat amilografi dari tepung

singkong diukur menggunakan alat

Viscoamilograph. Sifat amilografi

meliputi suhu awal gelatinisasi, waktu

awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi

(saat granula pecah), waktu gelatinisasi

(granula pecah), viskositas maksimum,

viskositas dingin, dan viskositas balik

(Tabel 1).

Suhu awal gelatinisasi adalah

Tabel 1. Sifat Amilografi Tepung Singkong

Perlakuan

Suhu Awal

Gel. (OC)

Waktu Awal

Gel. (Menit)

Suhu

Gel.

(OC)

Waktu

Gel.

(OC)

Visk.

Maks.

(Cp)

Visk.

50 OC

(Cp)

Visk

Balik

(Cp)

A 67.40 10.00 90.30 16.00 3915.80 3046.40 -869.40

B 33.20 1.00 81.60 13.00 761.60 1395.20 633.60

C 30.00 1.00 80.30 13.00 1350.40 1676.80 326.40

D 30.10 1.00 86.90 15.00 2156.80 2556.80 400.00

Keterangan:

A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

93

luar dari bahan pangan sedangkan jenis

lemak yang digunakan berpengaruh

sangat kecil terhadap warna permukaan

bahan pangan (Ketaren, 1986).

Rasa

Penilaian terhadap rasa (flavour)

pada makanan, pada dasarnya tidak

hanya dirasakan oleh indera pencicip

saja. Rasa makanan tersebut,

merupakan campuran dari tanggapan

cicip, bau, dan yang ditimbulkan oleh

kesan-kesan lain seperti penglihatan,

sentuhan, dan pendengaran. Jadi, ketika

kita merasakan makanan, sebenarnya

kenikmatan tersebut diwujudkan

bersama-sama oleh kelima indera

(Soekarto, 1985). Pada Gambar di

bawah dapat dilihat data rata-rata

penilaian panelis terhadap rasa tofu

chips.

0

1

2

3

4

5

S1T1 S1T2 S1T3 S2T1 S2T2 S2T3

Produk

Sko

r

Grafik Rata-Rata Penilaian Panelis

Terhadap Rasa Tofu Chips

Pada grafik diatas terlihat

penilaian panelis terhadap rasa tofu

chips, rata- rata nilai kesukaan

berkisar antara 2,2 sampai 3,2, panelis

paling menyukai rasa pada perlakuan

yang keenam yaitu tofu chips yang

berbahan baku dari tahu takwa yang

digoreng pada suhu 200oC. Tofu chips

yang dihasilkan pada perlakuan ini

disukai konsumen dengan alasan

bahwa kalau dilihat dari bahan

bakunya, tahu takwa sudah memiliki

rasa yang khas sedangkan tahu putih

tidak berasa, disamping itu suhu

pengorengan yang cocok dalam

pengolahan makanan akan dapat

meningkatkan cita rasa produk.

Menurut Fellow(2000), faktor utama

yang mempengaruhi warna, rasa dan

bau adalah jenis minyak goreng yang

digunakan, suhu penyimpanan minyak,

suhu dan lama penggorengan, ukuran,

kelembaban dan penampakan dari

makanan serta perlakuan setelah

penggorengan.

Kerenyahan

Kerenyahan suatu produk

makanan dapat dinilai berdasarkan

bunyi yang dihasilkan bila produk

dipatahkan. Biasanya untuk produk

yang semakin renyah akan

menghasilkan bunyi yang lebih nyaring

(Vickers, 1979). Kerenyahan pada

produk seperti keripik juga dapat

dirasakan ketika produk itu digigit.

Pada Gambar di bawah dapat dilihat

data rata-rata penilaian panelis terhadap

kerenyahan tofu chips.

Page 13: Teknologi Pangan Legal

92

menentukan penilaian seseorang

terhadap produk yang digoreng seperti

kripik adalah kenampakan (warna),

flavour (rasa dan aroma), dan tekstur

(kerenyahan). Data hasil pembobotan

kriteria yang telah dilakukan oleh

panelis pada produk tofu chips dapat

dilihat pada Tabel dibawah.

Dari Tabel diatas dapat dilihat

bobot tiap-tiap kriteria yang melekat

pada tofu chips antara lain yaitu warna

memiliki skor 0,26, rasa memiliki skor

0,46, kerenyahan memiliki skor 0,26,

disini terlihat kriteria rasa memiliki

bobot yang paling tinggi dan

selanjutnya diikuti oleh kerenyahan dan

warna produk. Hal ini karena panelis

memilih rasa sebagai kriteria produk

yang paling penting, dengan alasan

bahwa rasa merupakan indikasi awal

yang dapat dirasakan oleh indra

manusia untuk menilai suatu produk

makanan. Ada juga panelis yang

memberikan skor tertinggi pada warna

produk dengan alasan, konsumen akan

menilai suatu produk dari kenampakan

visual dulu, baru rasa dan kerenyahan

produk.

Uji Kesukaan Terhadap Kriteria

Warna

Warna merupakan respon mata

manusia terhadap sinar (Soekarto,

1985). Produk makanan dapat me-

mantulkan sinar, sehingga dapat dilihat

oleh mata manusia. Warna yang

ditimbulkan makanan dapat menim-

bulkan ketertarikan tersendiri bagi

konsumen untuk mengkosumsinya.

Pada Gambar dibawah dapat dilihat

data rata-rata penilaian panelis terhadap

warna tofu chips.

0

1

2

3

4

5

S1T1 S1T2 S1T3 S2T1 S2T2 S2T3

Produk

Skor

Grafik Rata-Rata Penilaian Panelis

Terhadap Warna Tofu Chips

Pada grafik diatas terlihat

penilaian panelis terhadap warna tofu

chips rata- rata nilai kesukaan berkisar

antara 2 sampai 3, panelis paling

menyukai warna pada perlakukan yang

kedua yaitu tofu chips yang berbahan

baku dari tahu putih malang, dan

digoreng pada suhu 190oC. ini

menunjukkan bahwa jenis bahan baku

dan suhu pengorengan sangat

berpengaruh terhadap warna tofu chips.

Bahan baku tahu putih malang bila

digoreng pada suhu 190oC, akan

menghasilkan warna putih kekuningan.

Kombinasi warna seperti ini yang

disukai oleh konsumen, hal ini karena

apabila suhu di turunkan akan

menghasilkan warna agak pucat dan

sebaliknya apabila suhu penggorengan

ditingkatkan akan menyebabkab

kegosongan dan menghasilkan warna

agak kecoklatan.

Timbulnya warna pada

permukaan bahan disebabkan oleh

reaksi browning artau reaksi maillard.

Tingkat intensitas warna tergantung

dari lama dan suhu menggoreng dan

juga komponen kimia pada permukaan

9

suhu pada saat ikatan mulai melemah

dan terjadinya pembengkakan granula

pati. Tepung singkong tanpa pre

gelatinisasi mempunyai suhu dan

waktu awal gelatinisasi yang tinggi

yaitu 67.40 OC dan 10 menit. Perlakuan

pre gelatinisasi menurunkan suhu dan

waktu awal gelatinisasi. Perlakuan pre

gelatinisasi pada suhu 800C, 900C dan

1000C mempunyai kisaran suhu awal

yang hampir sama yaitu 33.200C,

30.000C, dan 30.100C, dan waktu

gelatinisasi yang sama yaitu 1 menit

(Tabel 1). Kondisi ini menunjukkan

pada suhu tersebut tepung singkong pre

gelatinisasi mulai menyerap air dan

terhidrasi kembali pada kisaran suhu

300C. Perlakuan pre gelatinisasi

merubah sifat dari tepung singkong,

Tepung yang mengalami pre

gelatinisasi memiliki kemampuan

menyerap air pada suhu yang lebih

rendah, dan ketika terjadi peningkatan

suhu maka proses pembengkakan dan

pecahnya granula lebih cepat terjadi.

Suhu gelatinisasi adalah suhu

pecahnya granula pati karena

pembengkakan granula setelah

melewati titik maksimum. Secara

umum perlakuan pre gelatinisasi akan

menurunkan suhu dan waktu

gelatinisasi. Pati singkong tanpa pre

gelatinisasi mempunyai suhu dan

waktu gelatinisasi tertinggi yaitu

90.300C dan 16 menit. Waktu

gelatinisasi pada perlakuan suhu pre

gelatinisasi 80 dan 900C mempunyai

waktu yang yang singkat yaitu 13

menit, dibandingkan pre gelatinisasi

1000C yang mempunyai waktu

gelatinisasi 15 menit. Penurunan waktu

gelatinisasi menunjukkan bahwa proses

gelatinisasi pati pada tepung pre

gelatinisasi lebih pendek dari pada

tanpa pre gelatinisasi. Perlakuan pre

gelatinisasi pada suhu 90 dan 1000C

mempunyai suhu gelatinisasi yang

paling rendah yaitu 80.30 dan 81.600C.

Menurut Daramola dan Osanyinlusi

(2005) waktu gelatinisasi yang singkat

akan menurunkan biaya, sedangkan

suhu gelatinisasi yang rendah akan

mempersingkat proses pengolahan.

Tepung yang mengalami pre

gelatinisasi dengan perebusan atau

(parboling) telah mengalami perubahan

struktur ikatan dan bentuk granula.

Ikatan hidrogen antara amilosa dan

amilopektin melemah karena adanya

pemanasan awal. Gelatinisasi menga-

kibatkan dehidrasi dan konversi dari

bentuk amarphous amilosa ke bentuk

helik. Bentuk helik menjadi bagian

yang lemah dari kristal granula pati.

Menurut Zallie (1988) temperatur

gelatinisasi dipengaruhi oleh kuat

lemahnya ikatan di dalam granula.

Viskositas maksimum adalah

titik maksimum viskositas tepung

selama proses pemanasan. Viskositas

maksimum tepung singkong tanpa pre

gelatinisasi adalah 3915.80 Cp, yang

merupakan nilai tertinggi dibandingkan

dengan perlakuan lain. Menurut

Daramola dan Osanyinlusi (2005)

viskositas tinggi menunjukkan bahwa

tepung memiliki water binding

(pengikatan air) yang sangat tinggi.

Perlakuan pre gelatinisasi menurunkan

nilai viskositas tepung singkong,

dimana viskositas maksimum adalah

761.60 sampai 2156.80 Cp. Nilai

Page 14: Teknologi Pangan Legal

10

viskositas maksimum terendah dimiliki

oleh perlakuan pre gelatinisasi pada

suhu 1000C yaitu 761.60 Cp .

Perlakuan pre gelatinisasi mampu

mengubah puncak kurva amilograf

tepung singkong (Gambar 6). Tepung

singkong tanpa pre gelatinisasi

mempunyai puncak kurva yang

runcing, sedangkan perlakuan pre

gelatinisasi mampu merubah puncak

kurva menjadi tumpul. Pre gelatinisasi

800C memberikan puncak kurva

amilograf yang lebih landail

dibandingkan suhu 900C, dan pre

gelatinisasi 900C mempunyai puncak

yang lebih landai dari pada pre

gelatinosasi 1000C. Tepung singkong

tanpa pre gelatinisasi mempunyai laju

ketahanan yang lebih rendah selama

proses pemanasan/ pengolahan.

Menurut Champbell et al. (1950) dalam

Muharram (1994) bentuk kurva

amilograph dapat tajam, sempit atau

lebar tergantung pada laju

pembengkakan dan ketahanan granula

pati terhadap kepecahan. Pati dengan

puncak tajam dan sempit membutuhkan

pengawasan yang ketat selama

pengolahan/pemanasan. Tepung

dengan puncak lebar atau plateu lebih

disukai karena menghasilkan

pembengkakan yang seragam.

Viskositas balik adalah tepung

singkong pre gelatinisasi 900C

mempunyai viskositas balik yang

rendah yaitu 326.40 Cp. Viskositas

balik yang rendah menunjukkan bahwa

pasta tepung mempunyai stabilitas

melawan retrogradasi (Daramola dan

Osanyinlusi, 2005).

Warna

Rerata penerimaan warna tepung

singkong berkisar antara 2.6667

(netral) sampai 4.1333 (menerima).

(Gambar 7).

Berdasarkan analisis ragam

perlakuan pre gelatinisasi memberikan

pengaruh yang sangat nyata

dibandingkan tanpa pre gelatinisasi.

Berdasarkan perbandingan linier

otogonal terdapat perbedaan tepung

singkong pre gelatinisasi dan tanpa pre

gelatinisasi. Pre gelatinisasi memberi-

kan penurunan tingkat penerimaan

panelis terhadap warna tepung

singkong, dibandingkan perlakuan

Keterangan:A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 6. Kurva Amilografi

Tepung Singkong

91

cukup.

Potensi pasar makanan ringan

yang sangat besar tersebut terbagi atas

krupuk, emping dan snack, sedangkan

kripik sendiri oleh Badan Pusat

Statistik (BPS) digolongkan kedalam

kategori krupuk. Dari potensi pasar

yang tersedia, tofu chips direncanakan

diproduksi dengan kapasitas produksi

38.400 kg per tahunnya atau sekitar

0,03 % dari potensi pasar yang tersedia.

Kapasitas produksi ditetapkan

berdasarkan pertimbangan ketersediaan

modal kerja dan fasilitas mesin dan

peralatan yang dimiliki oleh

perusahaan.

Segmen pasar yang dituju untuk

pertama kalinya hanya masyarakat

Jawa Timur dengan pertimbangan

sedikitnya biaya distribusi produk yang

diperlukan, karena daerah Jawa Timur

ini berdekatan dengan perusahaan yang

memproduksi produk

tofu chips yang

direncanakaan di kota

Malang, disisi lain

jumlah penduduk

Jawa Timur yang

relatif banyak se-

hingga daerah ini cu-

kup memenuhi untuk

dijadikan sebagai da-

erah awal untuk uji

coba produk tofu

chips sebelum mem-

produksi dengan ka-

pasitas produksi yang

lebih besar lagi. Hal

ini karena dalam

proses komersialisasi

perusahaan dapat me-

milih strategi geografis untuk mencapai

target pasar yang diinginkan (Kotler,

2002)

HASIL UJI KESUKAAN Tofu Chips

Pembobotan Kriteria

Pembobotan kriteria merupakan

tahapan untuk menentukan tingkat

kepentingan dari atribut-atribut yang

ada pada produk. Pada penelitian ini

atribut produk yang digunakan untuk

menilai atau menentukan produk

terpilih merupakan atribut-atribut yang

dapat dinilai dan dirasakan secara

langsung oleh indera manusia. Hal ini

disebabkan, secara umum konsumen

menggunakan indera yang dimilikinya,

untuk menilai dan memilih produk

makanan yang akan dikonsumsinya,

terutama terhadap produk-produk yang

baru dikenalnya. Menurut Budiman

(1985), beberapa sifat penting yang

Data Hasil Pembobotan Kriteria Tofu Chips

ParameterPanelis

Warna Rasa Kerenyahan

Total

1 3 2 1 6

2 1 3 2 6

3 1 3 2 6

4 2 3 1 6

5 1 3 2 6

Total 8 14 8 30

Bobot 0.266667 0.466667 0.26666667 0

Keterangan :

Panelis 1. Pemilik industri tahu dan stik Mikimos Jl. Patimura 59

Panelis 2 Karyawan industri tahu dan stik Mikimos Jl. Patimura 59

Panelis 3. Pemilik industri tahu dan stik tinalan IV/47 Kediri

Panelis 4. Karyawan industri tahu dan stik tinalan IV/47 Kediri

Panelis 5. Pemilik Caprina Tlogomas Malang

Page 15: Teknologi Pangan Legal

90

cara sebagai berikut:

Kadar lemak (AOAC, 1975 dalam

Sudarmadji dkk, 1984).

Kadar air (AOAC, 1975 dalam

Sudarmadji dkk, 1984).

Kadar protein (AOAC, 1975 dalam

Sudarmadji dkk, 1984).

Rendemen (Suryanto, 2000).

Analisa Biaya Produksi

Analisis biaya produksi

dilakukan untuk mengetahui apakah

produk tofu chips terpilih, layak untuk

direncanakan dan dikembangkan

menjadi suatu industri. Analisis biaya

produksi dilakukan dengan

menggunakan Break Even Point (BEP)

dan Payback Periods (PP) (Mulyadi,

1997).

HASIL PENELITIAN

STUDI PENGEMBANGAN

PRODUK

Potensi Bahan Baku

Bahan baku merupakan elemen

yang sangat penting pada proses

produksi, ketersediaan dan kontinuitas

bahan baku sangat berpengaruh pada

proses produksi. Bahan baku industri

tofu chips di Jawa Timur menyebar

diberbagai daerah. Salah satu sentra

industri tahu yang besar dan dikenal

oleh masyarakat Jawa Timur adalah di

wilayah kota Kediri. Selain di kota

Kediri juga banyak terdapat di beragai

kabupaten yang ada di wilayah Jawa

Timur misalnya di kabupaten Malang

dan sekitarnya.

Bahan baku yang digunakan

pada industri tofu chips yang diren-

anakan adalah tahu putih Malang.

Menurut Badan Pusat Statistik di

wilayah Jawa Timur terdapat lebih dari

50 industri tahu yang menyebar di

wilayah kota Malang dan Surabaya.

Data di Desperindag kota Malang

menunjukkan pada tahun 2005,

terdapat 8 industri tahu formal dengan

kapasitas produksi 673.900 kg atau

setara dengan 673,9 ton per tahunnya.

sedangkan di wilayah kabupaten Kediri

sendiri terdapat 27 industri tahu formal

dengan kapasitas produksi total

7.991.900 potong/ bulan dan juga

terdapat industri tahu non formal

sebanyak 22 buah dengan kapasitas

produksi total 7.239.000 potong/ bulan.

(Disperindag, 2004).

Potensi Pasar

Pasar dari produk tofu chips

yang dituju adalah masyarakat yang

gemar mengkonsumsi makanan ringan

mulai dari anak-anak sampai dewasa.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik

(BPS) Jatim pada tahun 2002 tingkat

konsumsi per kapita untuk produk

makanan ringan yang digolongkan ke

dalam krupuk, emping, dan snack

mencapai 63 gram per kapita per

minggu atau 3,276 kg per kapita per

tahun. dengan jumlah penduduk Jawa

Timur sebanyak 34.783.640 jiwa

(2003), maka jumlah konsumsi

makanan ringan penduduk Jawa Timur

mencapai 113.951.205 kg per tahun

(Anonymous, 2003). Pasar yang cukup

luas tersebut memungkinkan untuk

menjadi dasar dalam pengembangan

makanan ringan yang mempuyai

kandungan nutrisi dan gizi bahan yang

11

4.1333

2.46673.33333.4677

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1Perlakuan

Rera

ta K

en

am

pa

ka

n

A B C D

Keterangan:

A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC,

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC,

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 8. Grafik Rerata

Kenampakan (Tekstur) Tepung

Singkong

tanpa pre gelatinisasi.

Perlakuan suhu pre gelatinisasi

yang berbeda memberikan pengaruh

yang sangat nyata terhadap penerimaan

warna. Berdasarkan perbandingan

linier ortogonal pre gelatinisasi 800C

memberikan perbedaan yang sangat

nyata dibandingkan perlakuan pre

gelatinisasi pada suhu 900C. Pre

gelatinisasi 800C meningkatkan skor

penerimaan warna 3.5333 (menerima)

daripada pre gelatinisasi 900C yaitu

3.1333 (netral).

Tingkat penerimaan warna

berhubungan dengan nilai derajat putih

dari tepung singkong. Perlakuan tanpa

pre gelatinisasi mempunyai tingkat

penerimaan yang lebih tinggi

dibandingkan pre gelatinisasi karena

mempunyai derajat putih yang lebih

tinggi. Perlakuan pregelatinisasi secara

umum menurunkan derajat putih

tepung, walaupun dengan perlakuan

suhu yang berbeda akan mempengaruhi

nilai derajat putih tepung singkong.

Tepung singkong singkong tanpa

perlakuan pre gelatinisasi memberikan

kadar derajat putih tertinggi 74.100%,

sedangkan tepung dengan perlakuan

pre gelatinisasi 1000C memberikan

derajat putih terendah 69.5667%

(Gambar 5).

Kenampakan (Tekstur)

Rerata penerimaan kenampakan

(tekstur) tepung singkong berkisar

antara 2.4667 (tidak menerima) sampai

4.1333 (menerima) (Gambar 8).

Berdasarkan analisis ragam

perlakuan pre gelatinisasi memberikan

pengaruh yang sangat nyata

dibandingkan tanpa pre gelatinisasi.

Berdasarkan perbandingan linier

ortogonal kontras pre gelatinisasi

memberikan perbedaan penerimaan

4.1333

2.66673.1333

3.5333

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1Perlakuan

Rer

ata

Warn

a (

%)

A B C D

Keterangan:

A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 7. Grafik Rerata Warna

Tepung Singkong

Page 16: Teknologi Pangan Legal

12

kenampakan (tekstur) dibandingkan

perlakuan tanpa pre gelatinisasi, terjadi

penurunan tingkat penerimaan panelis

terhadap kenampakan (tekstur) tepung

singkong. Kondisi ini disebabkan

karena perlakuan pemanasan atau

parboiling pada menyebabkan

perubahan struktur dan ukuran granula.

Proses pre gelatinisasi mengakibatkan

granula pati mengembang, dan

mengalami perubahan bentuk,

meskipun tetap pada suatu lapisan atau

fragmen yang melingkupinya. Proses

pre gelatini asi ini bersifat ireversibel,

dimana pati yang telah mengalami

gelatinisasi tidak dapat kembali pada

kondisi semula. Menurut Light (1999)

pregelatinisasi merupakan salah satu

teknik modifikasi fisik yang dapat

mengatur ukuran partikel. Annison

dan Topping (2000) menyatakan bahwa

gelatinisasi terdiri dari dua tahap proses

yaitu suspensi pati yang dipanaskan

pada suhu 60-700C sebagian granula

akan mengembang. Ketika suhu

dinaikkan menjadi 900C granula akan

mengembang seluruhnya dan

kehilangan bentuknya, meskipun pati

masih terdiri dari suatu fragmen yang

melingkupinya.

Perlakuan suhu pre gelatinisasi

yang berbeda memberikan pengaruh

yang sangat nyata terhadap penerimaan

kenampakan. Pre gelatinisasi 1000C

memberikan skor penerimaan terendah

yaitu 2.4667 (tidak menerima). Suhu

pre gelatinisaisi 90 dan 800C

memberikan penerimaan yang lebih

baik. Pre gelatinisasi 800C

meningkatkan skor penerimaan

kenampakan yaitu 3.4677 (netral).

Menurut Light (1999) dan Huang,

(1998) temperatur adalah faktor

penting pada proses pengolahan

(gelatinisasi) pati. Temperatur dan

waktu pengolahan (gelatinisasi) tepat,

akan memberikan derajat

pengembangan granula yang sesuai dan

memberikan sifat yang diinginkan.

Aroma

Rerata penerimaan aroma tepung

singkong berkisar antara 3.200 (netral)

sampai 3.8000 (menerima) (Gambar 9).

Berdasarkan analisis ragam

perlakuan tanpa pre gelatinisasi

memberikan pengaruh yang sangat

nyata dibandingkan perlakuan pre

gelatinisasi. Berdasarkan perbandingan

linier ortogonal terdapat perbedaan

penerimaan aroma tepung pre

gelatinisasi dan tanpa pre gelatinisasi.

3.80003.6000 3.2677

3.2000

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

1Perlakuan

Rer

ata

Aro

ma

A B C D

Keterangan:

A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,

B = Tepung Pre Gelatinisasi 100OC,

C = Tepung Pre Gelatinisasi 90OC,

D = Tepung Pre Gelatinisasi 80OC

Gambar 9. Grafik Rerata Aroma

Tepung Singkong

89

direncanakan dilakukan oleh 5 orang

panelis ahli dari produsen makanan

ringan, antara lain yaitu Caprina

Malang, produsen stik dan tahu Tinalan

Kediri, produsen stik dan tahu Mikimos

Kediri. Uji yang dilakukan meliputi

rasa, warna, dan kerenyahan dengan

menggunakan metode “Hedonic Scale”

(Meilgard, 1999).

Pemilihan Produk terbaik

Perlakuan terbaik adalah

perlakuan dengan skor nilai tertinggi

dari derajat kepentingan produk yang

diharapkan oleh konsumen. Proses

pengambilan keputusan perlakuan

terbaik dilakukan dengan indeks

effektivitas (DeGarmo, dkk. 1987).

Prosedur perhitungan indeks

effektivitas adalah sebagai berikut:

a. Memberikan bobot nilai pada

masing-masing variabel dengan

angka relatif 0-1. bobot nilai yang

diberikan tergantung dari

kepentingan masing-masing

variabel yang hasilnya diperoleh

dari perlakuan.

b. Membagi variabel menjadi 2

kelompok,

1. Kelompok A terdiri dari

variabel-variabel yang makin

tinggi reratanya semakin baik,

meliputi kadar protein, kadar

lemak, rendemen.

2. Kelompok B terdiri dari

variable-variabel yang makin

tinggi reratanya semakin jelek

seperti kadar air

c. Mencari bobot normal dari masing-

masing parameter, yaitu bobot

parameter dibagi bobot total.

d.

e. Menghitung nilai effektivitas

dengan rumus:

Keterangan:

NE = Nilai Effektivitas

Np = Nilai Perlakuan

Ntj = Nilai Terjelek

Ntb = Nilai Terbaik

f. Untuk parameter dengan rerata

semakin besar semakin baik, maka

nilai terendah sebagai nilai terjelek

dan nilai tertinggi sebagai nilai

terbaik, demikian juga sebaliknya.

g. Menghitung nilai perlakuan (NP)

yang diperoleh dari hasil perkalian

bobot normal dengan nilai

effektivitas (NE).

NH = NP x Bobot

h. Menjumlahkan nilai hasil dari

semua parameter perlakuan yang

memiliki nilai hasil tertinggi adalah

perlakuan terbaik pada kelompok

parameter.

i. Perlakuan terbaik dipilih dari

perlakuan yang memiliki NP

tertinggi.

Analisa Kualitas

Analisis Kualitas yang dilakukan

meliputi kadar lemak, kadar air, kadar

protein, dan rendemen yang diperoleh.

Pelaksanaan pengamatan terhadap

parameter-parameter tersebut

dilaksanakan dengan menggunakan

NtjNtb

NtjNpNE

Bobot =Nilai total tiap

Nilai total seluruh

Page 17: Teknologi Pangan Legal

88

Malang, BPS Kediri, Dinas

Perindustrian dan Perdagangan

(Disperindag) kota Kediri, Disperindag

kota Malang. Caprina Malang,

produsen stik tahu Kediri dan studi

literature di perpustakaan Universitas

Brawijaya Malang mulai bulan Mei –

Juli 2009.

Penelitian Eksperimental

Penelitian ini dilakukan di

Laboratorium Rekayasa Proses dan

Sistem Produksi, Jurusan Teknologi

Industri Pertanian, Fakultas Teknologi

Pertanian, Universitas Brawijaya

Malang, pada bulan Mei sampai

dengan Juni 2009.

Metode Pelaksanaan Penelitian

Metode pelaksanaan penelitian

terbagi atas pembuatan tofu chips,

analisa kualitas, penerimaan konsumen,

produk terbaik, dan analisa kelayakan

finansial dari produk tofu chips terbaik.

Pembuatan Tofu Chips

Pembuatan tofu chips dilakukan

menggunakan 2 faktor. Faktor 1 terdiri

dari 2 level dan faktor 2 terdiri dari 3

level.

Faktor-faktor yang digunakan adalah:

Faktor I : Jenis Tahu

S1 : Tahu Putih Malang

S2 : Tahu Takwa Kediri

Faktor II : Suhu Penggorengan

T1 : 180oC

T2 : 190oC

T3 : 200oC

Dari dua faktor tersebut dapat diperoleh

kombinasi perlakuan sebagai berikut:

S1T1 : Tahu Putih Malang dan

Suhu Penggorengan

180oC

S1T2 : Tahu Putih Malang dan

Suhu Penggorengan

190oC

S1T3 : Tahu Putih Malang dan

Suhu Penggorengan

200oC

S2T1 : Tahu Takwa Kediri dan

Suhu Penggorengan

180oC

S2T2 : Tahu Takwa Kediri dan

Suhu Penggorengan

190oC

S2T3 : Tahu Takwa Kediri dan

Suhu Penggorengan

200oC

Uji Kesukaan Produk

Untuk mengetahui tingkat

kesukaan terhadap produk tofu chips

dilakukan dengan menggunkanan uji

organoleptik. Uji organoleptik yang

P e m b u a ta n T o f u C h ip s

U j i K e su k a a n P ro d uk

P ro d u k T e rb a i k

A n a l i s i s K u a l i t a s

K e s i m p u l a n

A n a l i s i s B i a y a P ro d u k s i

Diagram Alir Penelitian

13

Perlakuan pre gelatinisasi memberikan

sedikit penurunan tingkat penerimaan

panelis terhadap aroma tepung

singkong.

Perlakuan suhu pre gelatinisasi

1000C memberikan pengaruh yang

nyata dibandingkan suhu 900C,

sedangkan perlakuan pre gelatinisasi

900C memberikan pengaruh yang tidak

nyata dibanding kan suhu 800C. Pre

gelatinisasi pada suhu 900C dan 800C

memberikan tingkat penerimaan

terhadap aroma yang hampir sama

yaitu netral .

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Terdapat perbedaan yang nyata

antara tepung singkong tanpa pre

gelatinisasi dan pre gelatinisasi

terhadap karakteristik kadar air,

kadar HCN, kadar amilosa dan

derajat putih. Begitupula dengan

penerimaan organoleptik, terdapat

perbedaan yang nyata antara

tepung singkong tanpa pre

gelatinisasi dan pre gelatinisasi

terhadap penerimaan warna,

kenampakan dan tekstur.

2. Pada sifat amilografi terdapat

perubahan karakteristik antara

tepung tanpa pre gelatinisasi dan

pre gelatinisasi. Perlakuan pre

gelatinisasi mampu menurunkan

suhu dan waktu awal gelatinisasi,

suhu dan waktu gelatinisasi (saat

granula pecah), viskositas dingin,

dan viskositas balik.

3. Perlakuan suhu pre gelatinisasi

(800C, 900C dan 1000C)

memberikan karakteristik yang

berbeda terhadap sifat amilografi,

kadar amilosa, derajat putih, dan

penerimaan organoleptik (warna,

kenampakan (tekstur), dan aroma).

4. Perlakuan pre gelatinisasi 900C

merupakan perlakuan terbaik

dengan karakteristik kadar air

11,9333%; kadar HCN 10.7833

ppm.; kadar pati 76.7400%; kadar

amilosa 11.9267 %; derajat putih

71,3667%; suhu dan waktu awal

gelatinisasi 300C selama 1 menit;

suhu dan waktu gelatinisasi 800C

selama 13 menit; viskositas

maksimum 1350.40 Cp; viskositas

balik 326.40 Cp; organoleptik

warna netral (3.1333); organoleptik

kenampakan netral (3.3333); dan

tekstur netral (3.2677).

Saran

1. Perlu dipelajari tentang pengaruh

waktu dam suhu pre gelatinisasi

terhadap karakteristik tepung

singkong

2. Perlu dipelajari tentang penggunaan

tepung singkong pre gelatiniasai

pada bahan pangan seperti kue,

cake, kerupuk, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2000. Tapioca (Cassava)

Starch. International Starch

Institute Science Park, Aarhus.

Denmark

Anonymous. 2005. High Quality

Cassava Flour. Integrated

Cassava Project. Nigeria.

Page 18: Teknologi Pangan Legal

14

Annison, G and Topping D. L. 2000.

Nutritional Role of Resistant

Starch ; Chemical Structure vs

Physiology Fuction. J. Nutr.14.

p: 297-320.

AOAC. 1989. Official Methods of

Analysis of The Association of

Official Analytical Chemist. 25th

Ed., Publisher AOAC Inc., US.

Balagopalan, C. 2002. Cassava

Utilization in Food, Feed and

Industry. Cassava : Biology

Production an Utilizion. p : 301-

318.

Belitz H., D. and W. Groszh . 1987.

Food Chemistry. Spinger-Verlag,

Berlin.

Chuzel, G.; N Zakhia, and M., P.,

Cereda. 1994. The Potential For

New Cassava Products in Brazil.

Cassava Flour and Starch:

Progress in Research and

Development p: 299-303.

Daramola, B., and Osanyinlusi, S., A.

2006. Production,

Characterization, and

Application of Banana (Musa

spp) Flour in Whole Maize.

African Journal of

Biotechnology Vol 5 (10) : 992-

995.

Huang, D. P. 1998. New Perspective

on Starch and Derivatives for

Snack Applications. National

Starch and Chemical Company

Bridgewater, New Jersey.

Light, M., Joseph. 1999. Modified

Food Starch : Why, What, Where

and How. The American

Association of Cereal Chemists,

Inc.

Moorthy, S.,N.; J. Rickard and J. M. V.

Blanshard. 1996. Influence of

Gelatinization Characteristics of

Cassava Starch and Flour on the

Textural Properties of Some

Food Product. Cassava Flour

and Starch: Progress in Research

and Development p: 150-154.

Muharam, S. 1992. Sifat Karakteristik

Fisiko-Kimia dan Fungsional

Tepung Singkong (Manihot

esculenta Crantz) dengan

Modifikasi Pengukusan,

Penyangraian dan Penambahan

GMS serta Aplikasinya dalam

Pembuatan Roti Tawar. Skripsi

FATETA-IPB, Bogor.

Padmaja, G.; C. Balagopalan; S.N.

Moorthy; and V., P., Potty. 1996.

Yuca Rava and Yuca Porridge :

The Funtional Properties and

Quality of Two Novel Cassava Poducts. Cassava Flour and

Starch: Progress in Research and

Development p: 323-330.

Sastrosupadi, Adji. 1999. Rancangan

Percobaan Praktis Bidang

Pertanian. Penerbit Kanisius,

Yogyakarta.

87

tekstur dari tahu kuning biasanya lebih

padat jika dibandingkan dengan tahu

putih biasa.

Produksi tahu dari tahun ketahun

mengalami peningkatan. Berdasarkan

penelitian Widyawati (1996), pada

tahun 1989, kotamadya Kediri

mempuyai 35 (tiga puluh lima)

perusahaan tahu. Jumlah ini terus

meningkat menjadi 54 perusahaan

dalam tahun 1992, demikian pula pada

perusahaan tahu merk “Sari Lezat

POO”, tahun 1989 mempuyai kapasitas

produksi 130.000 biji/ bulan, pada

tahun 1995 meningkat menjadi 300.000

biji/ bulan. Sedangkan di kota Malang

pada tahun 2005, terdapat 8 industri

tahu formal dengan kapasitas produksi

673.900 kg (Desperindag 2005).

Peningkatan kapasitas produksi tahu

tiap tahun memungkinkan untuk

dikembangkan menjadi produk olahan

lain, sehingga nilai ekonomis tahu

dapat meningkat dan pasar tidak

menggalami kejenuhan .

Alternatif baru dalam pengem-

bangan produk tahu adalah kripik.

Kripik adalah makanan ringan (snack

food) yang tergolong jenis makanan

crackers, yaitu makanan yang bersifat

kering, renyah (crispy), dan memiliki

kandungan lemaknya tinggi

(Sulistyowati, 2004). Produk kripik

sangat digemari oleh masyarakat.

Berdasarkan data BPS Jawa Timur

menyebutkan tingkat konsumsi per

kapita untuk produk makanan ringan

yang digolongkan ke dalam krupuk,

emping, dan snack di Jawa Timur pada

tahun 2002 mencapai 63 gram per

kapita per minggu (Anonymous, 2003).

Kripik tahu (tofu chips) mempuyai

kelebihan dibandingkan kripik lain

berdasarkan bahan bakunya, yaitu

memiliki kandungan protein dan lemak

yang tinggi.

Berdasarkan penjelasan tersebut

tahu memiliki peluang yang cukup

bagus untuk dikembangkan menjadi

kripik (tofu chips). Pada penelitian

pengembangan tahu menjadi produk

tofu chips ini ditekankan pada

bagaimana proses pengolahan tofu

chips ditinjau dari suhu pengorengan

dan bahan baku tahu yang digunakan,

karena diketahui suhu pengorengan

yang tinggi dapat menyebabkan

kandungan protein tahu dapat

terdenaturasi. Menurut Apriyanto

(2002), kebanyakan protein pangan

terdenaturasi jika dipanasakan pada

suhu yang moderat (60-90oC) selama

satu jam atau kurang dan bagaimana

analisis biaya produksinya.

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan

merupakan gabungan dari penelitian

dengan metode deskriptif dan

eksperimental. Penelitian diskriptif

dilakukan untuk mengetahui lebih

lanjut mengenai tofu chips, potensi

bahan baku, tingkat penerimaan

konsumen dan potensi pasar. Penelitian

eksperimental dilakukan untuk

mendapatkan produk tofu chips yang

dapat diterima oleh konsumen.

Penelitian Deskriptif

Penelitian ini dilaksanakan di

sumber data sekunder seperti BPS kota

Page 19: Teknologi Pangan Legal

86

PENGEMBANGAN PRODUK TAHU MENJADI TOFU CHIPS (KAJIAN

JENIS BAHAN BAKU, SUHU PENGGORENGAN DAN BIAYA

PRODUKSI)

Ernawati

Abstrak: Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan tofu chips yang

baik dan disukai oleh konsumen berdasarkan pada pemilihan bahan baku dan

penggunaan suhu penggorengan yang tepat. serta mendapatkan gambaran

perencanaan produksi tofu chips ditinjau dari aspek finansial. Penelitian yang

dilakukan merupakan gabungan dari penelitian dengan metode deskriptif dan

eksperimental. Metode pelaksanaan penelitian meliputi : pembuatan tofu

chips, uji kesukaan produk, produk terbaik, analisis kualitas, dan analisis

finansial. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tofu chips yang dibuat dengan

bahan baku tahu putih Malang, digoreng pada suhu 200oC, terpilih sebagai

produk terbaik dengan skor 2,653. Karakteristik produk terbaik yaitu

berwarna kuning kecoklatan, dan memiliki rasa yang khas seperti bahan

bakunya sedangkan karakteristik kimia produk adalah sebagai berikut kadar

protein 20,57%, kadar lemak 8,67, kadar air 0,0765 dan rendemen sebesar

29,06%. Investasi awal yang dibutuhkan untuk mendirikan industri tofu chips

dengan kapasitas produksi 128 kg per hari adalah sebesar Rp.

139.160.950,00. Harga Pokok Produksi (HPP) didapat sebesar Rp. 977,08 per

kemasan dengan berat 100 gram, harga jual yang direncanakan sebesar Rp.

1400 dengan penambahan mark up sebesar 40% , Break Even Point (BEP)

terjadi pada volume penjualan 42517 kemasan senilai Rp. 59.344.554,46.

Payback Periode (PP) adalah 3 tahun 9 bulan.

Kata kunci : pengembangan produk, tahu.

Tahu merupakan makanan

tradisional Indonesia yang banyak

dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia

karena harganya relatif murah dan

memiliki kandungan gizi terutama

protein yang tinggi, yaitu 10,9 gram per

100 gram tahu (Mahmud, dkk. 1990).

Pola konsumsi masyarakat akan tahu

telah berkembang. Tahu tidak hanya

dikonsumsi sebagai lauk pauk,

melainkan telah berkembang menjadi

berbagai macam produk olahan seperti

stik tahu. Pengolahan menjadi produk

olahan lain sangat diperlukan karena

tahu memiliki daya simpan yang

rendah, disamping itu juga untuk

meningkatkan nilai ekonomisnya.

Terdapat dua macam jenis tahu

yaitu tahu putih dan tahu takwa kuning.

Kedua macam tahu tersebut dibedakan

berdasarkan cara pembuatannya. Pada

tahu takwa kuning ditambahkan kunyit

yang berfungsi sebagai pewarna dan

juga dapat berfungsi sebagai pengawet,

15

OPTIMASI PENGOLAHAN KEMBANG GULA JELLY

CAMPURAN KULIT DAN DAGING BUAH NAGA SUPER

MERAH (Hylocereus costaricensis) DAN PRAKIRAAN BIAYA

PRODUKSI

Rekna Wahyuni

Abstrak: Tujuan penelitian adalah menentukan jenis dan proporsi bahan pengenyal pada pembuatan kembang gula jelly, mengetahui persentase kulit buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) yang optimal pada pembuatan kembang gula jelly kulit buah naga merah untuk meningkatkan kualitas kembang gula jelly yang dihasilkan dan mengetahui biaya produksi dan kelayakan usaha pembuatan kembang gula jelly kulit buah naga merah (Hylocereus costaricensis). Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Penelitian tahap I terdiri dari 2 faktor (jenis dan persentase bahan pengenyal), faktor pertama terdiri dari 2 level (tepung karaginan dan tepung agar-agar) dan faktor kedua terdiri dari 4 level (2% ; 4% ; 6% ; dan 8% b/b). Analisa dilakukan menggunakan uji Organoleptik hedonic scale (warna, aroma, rasa dan tekstur) . Penelitian tahap II menggunakan Rancangan Acak Tunggal, dengan perlakuan persentase menambahkan kulit buah naga super merah , terdiri dari 6 level (0 % ; 20 % ; 40 % ; 60 % ; 80 % dan 100 %). Data yang didapat dari penelitian tahap I pada masing-masing variabel dianalisa dengan Uji Friedman. Perlakuan terbaik dianalisa menggunakan metode indeks efektifitas deGarmo et al., (1984) yang dimodifikasi oleh Susrini (2003). Penelitian tahap II dianalisa dengan uji F dan jika terdapat perbedaan dianalisa dengan Uji BNT 5%. Pemilihan perlakuan terbaik menggunakan Indeks Efektifitas. Selanjutnya perlakuan terbaik yang didapatkan dari uji Indeks Efektifitas diuji Analisa biaya produksi dan kelayakan usaha dengan menggunakan Analisa Finansial. Hasil penelitian didapatkan kombinasi perlakuan persentase kulit 100 % (tanpa penambahan daging buah) dan bahan pengenyal berupa tepung karaginan 6% b/b merupakan kombinasi yang paling baik dan memenuhi syarat mutu kembang gula yang ditetapkan dalam SNI 3547.2-2008, dengan karakteristik sebagai berikut: rerata kadar air 20.602% ; kadar abu 1.267% ; gula reduksi 20.700% ; serat kasar 1.428% ; antioksidan (DPPH) 6.493% serta rerata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa 3.900 ; warna 4.667 ; aroma 3.533 dan tekstur 4.100. Berdasarkan analisa prakiraan biaya produksi dan finansial didapatkan pengolahan kembang gula kulit buah naga super merah layak diproduksi dengan lokasi di wilayah Kabupaten Malang. Perhitungan BEP dicapai pada volume penjualan 2.131 Kg atau senilai Rp. 83,918,794,00. Nilai paybackperiod dicapai pada 1 tahun 3 bulan 3 hari. Nilai Net Present Value (NPV)sebesar Rp. 52.868.819,00. Nilai Profitability Index (PI) sebesar 1.575.

Kata kunci: kulit buah naga super merah, kembang gula jelly, karaginan, serat, antioksidan

Page 20: Teknologi Pangan Legal

16

Kembang gula atau permen

sangat lekat dengan keseharian

masyarakat, bukan hanya anak-anak

tetapi juga remaja dan orang dewasa.

Kembang gula yang beredar di tengah

masyarakat terdiri dari dua jenis, keras

(hard candy) dan lunak (soft candy).

Perbedaan tersebut didasarkan pada

teksturnya. Kembang gula keras

adalah kembang gula yang teksturnya

padat dan dimakan dengan cara

menghisap. Kembang gula jenis ini

larut bersama air liur sementara

kembang gula lunak ditandai dengan

teksturnya yang lunak. Jenis kembang

gula ini bukan untuk dihisap

melainkan dikunyah.

Menurut SNI 3547.2-2008

kembang gula jelly termasuk dalam

kembang gula lunak. Kembang gula

lunak dibagi menjadi kembang gula

lunak bukan jelly dan kembang gula

lunak jelly. Kembang gula lunak jelly

adalah kembang gula bertekstur lunak ,

yang diproses dengan penambahan

komponen hidrokoloid seperti agar,

gum, pektin, pati, karaginan, gelatin

dan lain-lain yang digunakan untuk

modifikasi tekstur sehingga

menghasilkan produk yang kenyal,

harus dicetak dan diproses aging

terlebih dahulu sebelum dikemas.

Proses aging yaitu penyimpanan

produk dalam kondisi dan waktu

tertentu untuk mencapai karakter

produk yang diinginkan.

Pada dasarnya kandungan kalori

dalam satu butir kembang gula cukup

rendah, sekitar 20-30 kalori. Selain

kalori, kembang gula sebetulnya sama

sekali tidak memiliki kandungan gizi.

Padahal kelebihan kalori yang

dikonsumsi akan ditumpuk dalam

bentuk cadangan lemak yang

menyebabkan terjadinya kelebihan

berat badan. Kegemukan berkaitan erat

dengan penyakit kencing manis dan

gangguan jantung. Jadi sebetulnya

kembang gula termasuk golongan junk

food atau “makanan sampah” yang

miskin akan zat gizi (Anonymous,

2008b). Disamping itu flavour serta

gelatin yang digunakan dalam

pembuatan kembang gula jelly kerap

diragukan kehalalannya, karena sering

digunakan alkohol sebagai pelarut

flavor, dan gelatin didapatkan dari

jaringan tubuh binatang yang tidak

halal (Anonymous, 2008a).

Untuk menghilangkan anggapan

bahwa kembang gula adalah makanan

yang tidak sehat untuk dikonsumsi

maka perlu dibuat jenis kembang gula

yang mempunyai manfaat bagi

konsumen baik anak-anak, remaja,

maupun orang dewasa. Bahan yang

ditambahkan harus mempunyai nilai

nutrisi yang tinggi.

Bahan utama yang ditambahkan

dalam penelitian ini adalah karaginan

dan agar-agar yang berasal dari rumput

laut serta buah naga super merah

Hylocereus costaricensis yang kini

telah banyak dibudidayakan dan sangat

populer serta memiliki peluang besar

untuk disebarluaskan di Indonesia

(Sutomo, 2007).

Kembang gula jelly yang berasal

dari rumput laut mempunyai

karakteristik tertentu yaitu kekenyalan,

rasa manis yang cukup. Dengan

penambahan flavor dan pewarna seperti

85

Suhardi. 1997. Prosedur Analisa

Untuk Bahan Makanan dan

Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Sugiharto, A.R. 2004. Pengaruh Lama

Penyimpanan Temulawak Bentuk

Segar Dan Bubuk Terhadap

Aktivitas Antioksidan Dan

Antibakteri. Skripsi. FTP.

UNIBRAW. Malang.

Sukasedati, N., Sutrisno., L.K.

Darusman., M. Januwati., A.S.

Ranti., I. Batubara., dan E.I.

Kumala. 2004. Prosiding

Fasilitas Forum Kerjasama

Pengembangan Biofarmaka.

Yogyakarta.

Sumiaty, 1997. Minuman Berkhasiat

dari Temulawak (Curcuma

Xanthorriza). Fakultas Teknologi

Pertanian. IPB. Bogor.

Suparti, W. 2000. Pembuatan Pewarna

Bubuk dari Ekstrak Angkak:

pengaruh Suhu, Tekanan dan

Konsentrasi Dekstrin. Tesis.

Program Pascasarjana.

Universitas Brawijaaya. Malang.

Susilowati., B. Subagjo., dan W.

Dyatmiko. 1999. Pengaruh Daya

Antimikroba Dari Rimpang

Curcuma Domestical Val.

Terhadap Bakteri Escherichia

Coli. Abstrae. Pusat Penelitian

Pengembangan Obat Tradisional.

Universitas Airlangga. Jakarta.

Susilo, A.O. 2005. Pembuatan Bubuk

Effervescent Dari Ekstrak Ubi

Ungu Jepang (Ipomoea batatas

var. Ayammurasaki). Skripsi.

FTP. Universitas Brawijaya.

Malang.

Sutjipto., Djumidi, dan J.R. Hutapea.

(1985). Pengaruh Waktu Dan

Pangeringan Dalam Tanur

Pemanas, dan Tabal Irisan

Terhadap Kadar Minyak

Menguap Rimpang Temulawak.

UNPAD. Bandung.

Taryono, E.M., Ramat, S. Dan Sardino,

A. 1987. Plasma Nuffah

Tanaman Temu-Temuan. Balai

Penelitian Rempah dan Obat.

Bogor. 3 (1) : 47.

Wahid, P., Soediarto. 1999.

Pembudidayaan Tanaman

Temulawak. Abstrae. Balai

Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat. Badan LitbangPertanian.

Departemen Pertanian. Jakarta.

Wahono, T., 2006. Dasar-dasar Uji

Indrawi. Fakultas Teknologi

Pertanian. Universitas Brawijaya

Malang.

Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan,

Perancangan, Analisis dan

Interpretasinya. PT Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta.

Page 21: Teknologi Pangan Legal

84

Effervescent Kunyit Putih).

Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian. Fakultas Teknologi

Pertanian. Universitas Brawijaya.

Malang.

Oehadian, H., M.E. Sjafiudin dan

Nuraini. 1999. Efek Anti Jamur

Dari Curcuma Xanthorrhizza

Roxb (Temulawak) Terhadap

Beberapa Jamur Golongan

Dermatophyta. UNPAD.

Bandung.

Ramlan, Aseng. 1999. Etnobotani

Marga Curcuma Di Jawa Barat.

Fakultas Matemátika Dan Ilmu

Pengetahuan Alam. Unpad.

Reynolds, James E.F. 1982. Martindale

The Extra Pharmacopolia, Edition

Twenty Eigth. The

Pharmacentical Press. London.

Potter, N.W. 1973. Food Science. 2th.

The Avi Publishing Company,

Inc. New York. 156 – 185.

Pramono Suwijiyo, (1995). Kontrol

Efektifitas Berbagai Cara

Pembuatan Ekstrak Temulawak

Dilihat Dari Kandungan

Kurkumin Dan Minyak Atsirinya.

Abstrak. Fakultas Farmasi UGM.

Yogyakarta.

Prawira, L. 1996. Pemanis Rendah

Kalori: Aspartam. Buletin

Teknologi dan Industri Pangan

Vol. VII (3). IPB. Bogor.

Purnomowati, S., A. Yoganingrum.

1997. Tinjauan Literatur

Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb). Pusat

Dokumentasi Dan Informasi

Ilmiah, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Rukmana, R., 2000. Temulawak

Tanaman Rempah dan Obat.

Kanisius. Yogyakarta.

Setijadi, T. (1985). The Identification

of The Active Ingredients of

Curcuma Xanthorrhiza Rox and

Curcuma Longa Vahl. After

Extraction With Supercritical

Carbondioxide. PT. Darya Varia

Laboratoria. Bogor.

Sidik., Moeljono., A. Muhtadi., M.

Sirait., dan Moesdarsono. 1999.l

TEMULAWAK (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) Yayasan

Pengembangan Obat Bahan Alam

Phytomedica. Jakarta.

Sirait, M., 1979. Materia Medika

Indonesia. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia. Jakarta.

Soewarno., T. Soekarto. 1985.

Penilaian Organoleptik. Bhatara

Karya Aksara. Bogor.

Sudarmadji, S., B. Haryono., dan

17

buah-buahan akan memiliki aroma dan

warna yang menarik. Keunggulan

kembang gula jelly rumput laut

(Anonymous, 2009a) adalah:

Kaya akan nutrisi bila dibandingkan

dengan produk sejenis di pasaran

yang mengandung bahan kimia.

Bahan/peralatan serta proses

pembuatannya cukup sederhana,

sehingga dapat dilakukan dalam

skala rumah tangga.

Memiliki bentuk, aroma serta warna

yang menarik sehingga dapat

menarik minat konsumen khususnya

bagi anak-anak.

Karaginan dan agar-agar adalah

produk olahan dari rumput laut. Bahan

tambahan ini membuat kembang gula

jelly menjadi lembut dan kenyal serta

mengandung serat yang tinggi

(Anonymous, 2008c). Menurut

Caturini (2009) pengolahan rumput laut

menjadi kembang gula jelly aneka rasa

ini, selain menyehatkan dan murah juga

menghasilkan keuntungan ekonomi di

pesisir pantai Jawa Timur.

Kembang gula jelly disukai

karena mempunyai rasa buah-buahan

yang segar dan warna yang cerah,

tetapi selama ini yang banyak

digunakan oleh produsen adalah berupa

perasa makanan atau flavour dan zat

pewarna buatan, sehingga kea-

manannya kurang dapat dipertang-

gungjawabkan. Penambahan juice

buah segar dan pewarna alami

merupakan alternatif yang sangat baik

untuk mengatasi permasalahan ini.

Salah satu buah yang memenuhi

kriteria ini adalah buah naga jenis super

merah (Hylocereus costaricensis)

karena mempunyai rasa yang manis,

segar, beraroma dan memiliki warna

yang merah terang tanpa harus diberi

zat pewarna tambahan lain sehingga

menghilangkan keraguan akan

berakibat buruk pada kesehatan

(Anonymous, 2007b).

Tanaman buah naga dalam satu

tahun bisa berbuah tiga kali, dan

produksinya bisa terus meningkat,

asalkan dirawat dengan baik .

Tanaman akan mulai berbuah pada

umur 11 - 17 bulan dan dalam sekali

tanam usianya bisa bertahan sampai 30

tahun. Pada tahun pertama, setiap

batang pohon bisa menghasilkan 1-2

kg, tahun kedua, bisa sampai 4 kg,

pada tahun ke tiga bisa mencapai 8 kg,

dan seterusnya bertambah setiap tahun.

Dari lahan seluas satu hektar bisa

ditanami 6.000 pohon (Rahmatillah,

2009).

Kota Malang dinilai cocok untuk

tanaman buah naga merah karena

berada 400-700 di permukaan laut.

Walaupun memiliki udara yang cukup

sejuk, namun sinar matahari yang

cukup merupakan modal untuk

pertumbuhan buah naga merah

(Anonymous, 2009e). Lahan yang

digunakan untuk budidaya buah naga

dapat ditumpang sari dengan tanaman

lainnya, yakni padi, semangka dan

sayur-sayuran (Anonymous, 2009d).

Luas lahan buah naga super

merah (Hylocereus costaricensis) di

Malang menurut Tulus Subagyo dalam

Anonymous (2009g) adalah sekitar 10

hektar tersebar di Malang Raya (kodya

Malang, Kabupaten Malang dan Kota

Page 22: Teknologi Pangan Legal

18

Batu), ditanami sekitar 40.000 batang

pohon naga super merah (Hylocereus

costaricensis) dimana setiap batang

menghasilkan 2 – 8 kg buah segar. Jadi

potensi buah naga super merah di

Malang Raya sekitar 80 – 320 ton per

tahun buah segar. Bila 10% saja diolah

menjadi produk makanan atau

minuman maka potensi dari kulitnya

(30 – 35% berat buah) sekitar 2,4 – 9,6

ton per tahun. Menurut Ridwan

Rahmatillah (2009) selain di Malang,

buah naga super merah juga

dikembangkan di Desa Purwodadi

Kabupaten Pasuruan Jawa Timur seluas

17 hektar sejak tahun 2003 sampai

tahun 2010, Jember, Lumajang, Batam

dan beberapa kota lain di Indonesia.

Menurut Saati (2009), kulit buah

naga berjumlah 30-35 % dari berat

buahnya dan seringkali hanya dibuang

sebagai sampah saja. Padahal hasil

penelitian menunjukkan kulit buah

naga merah (Hylocereus costaricensis)

mengandung antosianin yang dapat

merendahkan kadar kolesterol (Kanner

et al. 2001).

Menurut Li Chen Wu (2005)

daging dan kulit buah naga jenis super

merah (Hylocereus costaricensis)

sama-sama kaya polyphenol dan

sumber antioksidan yang baik . Bahkan

menurut studi yang dilakukannya

terhadap total phenolic konten,

aktivitas antioksidan dan kegiatan

antiproliferative, kulit buah naga merah

adalah lebih kuat inhibitor

pertumbuhan sel-sel kanker daripada

dagingnya.

Permasalahan yang timbul adalah

bagaimana caranya membuat kembang

gula jelly dari kulit buah naga super

merah (Hylocereus costaricensis) yang

layak untuk diproduksi serta berapakah

kandungan bahan pengenyal dan

persentase kulit buah naga super merah

yang optimal pada pembuatan kembang

gula jelly kulit buah naga super merah

sehingga memenuhi syarat mutu

kembang gula yang ditetapkan dalam

SNI 3547.2-2008.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada

bulan Maret 2010 sampai bulan Mei

2010 bertempat di Laboratorium

Rekayasa Teknologi Industri Pertanian

Universitas Brawijaya Malang dan

Laboratorium Teknologi Hasil

Pertanian Universitas Muhammadiyah

Malang.

Rancangan penelitian meliputi :

Penelitian Tahap I

Dengan meneliti pembuatan kembang

gula jelly dengan perlakuan macam dan

persentase bahan pengenyal. Metode

penelitian yang digunakan adalah Uji

Friedman dimana terdiri dari 2 faktor,

faktor pertama terdiri dari 2 level dan

faktor kedua terdiri dari 4 level.

Faktor pertama yaitu : Macam

Bahan Pengenyal (B) yang terdiri

dari :

B1 : Tepung Karaginan

B2 : Tepung Agar-agar

Faktor kedua yaitu persentase

Bahan Pengenyal (P) yang terdiri

dari :

P1 : 2% b/b

P2 : 4% b/b

83

I. Sudjono. 1999. Budidaya

Tanaman Temulawak (Curcuma

xanthorrhizza Roxb) Dan Prospek

Pengembangannya di Indonesia.

Abstrak. Jurusan Budidaya

Pertanian. Fakultas Pertanian

Universitas Padjadjaran. Bandung.

Dwidjoseputro, D. 1998. Dasar-Dasar

Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan.

Gramedia pustaka Utama, Jakarta.

Fennema, O.R. 1976. Principles of

Foods Science. Marcel Dekker.

Inc. New York.

Ganiswarna, S.G. 1995. Farmakologi

dan Terapi Edisi IV. Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran.

Universitas Indonesia. Jakarta.

Hadi, S. 1999. Manfaat Temulawak

Ditinjau Dari Segi Kedokteran.

Abstrak. Fakultas Kedokteran.

UNPAD. Bandung.

Hargono, D. 1985. Prospek

Pemanfaatan Temulawak.

Direktorat Pengawasan Obat

Tradisional. Dirjen POM. Depkes

R.I. Jakarta.

Indriati A., 2001. Analisis Antioksidan

Pada Buah Jambu Mete

(Annarcardium occidentalle L.)

Tesis. Program Pascasarjana

Universitas Brawijaya Malang.

Kusumawardani, A.N. 2006. Kajian

Penambahan Antioksidan

Terhadap Mutu Simplesia

Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb). Skripsi.

FATETA. IPB. Bogor.

Liang, O.B., Y. Apsarton, T. Widjaja,

dan S. Puspa. 1999. Beberapa

Aspek Isolasi, Identifikasi Dan

Penggunaan Komponen-

Komponen Curcuma xanthorrhiza

Roxb, Dan Curcuma domestica

Val. Abstrak. Pt Darya Varia

Laboratoria. Jakarta.

Majeed, M., V. Badinaev, U.

Shivakumar, R. Rajendran. 1995.

Curcuminoids: Antioksidant

Phytonutrients. NutriScience

Publishers Inc., New Jersey.

Muchtadi, D. 1977. Pengolahan Hasil

Pertanian II. IPB. Bogor.

Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba

dari Tanaman. Fakultas

Kehutanan IPB. Bogor.

http://www.kompas.com/Senyawa

Antimikroba. Akses 9 November

2006.

Nirbita, T. 2002. Uji Aktivitas

Antioksidan dan Antibakteri (

Esccheria coli dan Staphylococcus

aureus ) Kunyit putih dan Produk

Olahannya ( Bubuk dan

Page 23: Teknologi Pangan Legal

82

424, 591, 654. Departemen

Kesehatan. Republik Indonesia.

Jakarta.

Anonymous, 2002. Kajian Keamanan

Bahan Tambahan Pangan Pemanis

Buatan.

http://www.pom.go.id/nonpublic/

makanan/standart//News1.html.9.

Tanggal Akses 9 April 2007.

Anonymous, 2004. Prospek

Temulawak. Suara Merdeka edisi

24 Nopember 2004

http://www.suaramerdeka.com .

Tanggal akses 9 Juni 2006.

Anonymous, 2005. Bunga

Kecombrang, Deodoran Alami,

Dan Antimikroba. Suara Merdeka.

Cyber News. Nasional.

Anonymous, 2007. Asam Sitrat.

Wikipedia Indonesia, ensiklopedia

bebas berbahasa Indonesia.

http://id.wikipedia.org/wiki /asam

sitrat. Tanggal akses 27 maret

2007.

Ansel, H. 1989. Pengantar Bentuk

Sediaan Farmasi. Edisi ke 4. UI –

Press. Jakarta.

AOAC. 1990. Official Method of

Analysis of the Association of

Official of Analytical Chemist. 11st

Edition. Washington.

Aref, M. 1987. Ilmu Meracik Obat

Berdasar Teori Dan Praktek.

Universitas Gajahmada Press.

Yogyakarta.

Arifin, Z., Kardiyono. 1985.

Temulawak Dalam Pengobatan

Tradisional. P.T. Air Mancur.

Jakarta.

Buckle, K.A. R.A, Edwars, G.H. Fleet

and M. Wotton., 1987. Terjemahan

Purnomo, H. dan Adiyono. Ilmu

Pangan. Universitas Indonesia

Prees. Jakarta.

Dart, R.K. 1996. Microbiology For

The Analytical Chemist. The

Royal Scociety of Chemistry. UK.

De Man, J.M. 1997. Kimia Makanan.

Penerjemah K. Padmawinata.

Penerbit ITB. Bandung.

Desroier, N.W. 1988. Teknologi

Pengawetan Pangan. (terjemaahan

Muchji Muljohardjo). UI – Press.

Jakarta.

Dewi, A.K. 2000. Pengaruh Jenis Dan

Konsentrasi Bahan Pengisi

Terhadap Sifat fisik, Kimiawi Dan

Organoleptik Serbuk Effervescent

Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb). Skripsi. FTP.

UNIBRAW. Malang.

Djakamihardja, S.P., Setyadiredja dan

19

P3 : 6% b/b

P4 : 8% b/b

Dari kedua faktor tersebut didapat 8

kombinasi perlakuan yaitu:

B1P1 : Tepung Karaginan 2% b/b

B1P2 : Tepung Karaginan 4% b/b

B1P3 : Tepung Karaginan 6% b/b

B1P4 : Tepung Karaginan 8% b/b

B2P1 : Tepung Agar-agar 2% b/b

B2P2 : Tepung Agar-agar 4% b/b

B2P3 : Tepung Agar-agar 6% b/b

B2P4 : Tepung Agar-agar 8% b/b

Penelitian Tahap II

Penelitian tahap kedua

merupakan lanjutan dari hasil

penelitian tahap I, dimana hasil yang

paling baik pada penelitian tahap

pertama merupakan dasar penelitian

tahap kedua. Pada penelitian tahap ke II

ini menggunakan Rancangan Acak

Tunggal, yaitu dengan menambahkan

kulit buah naga super merah ke dalam

sari buah naga super merah dengan

persentase yang berbeda yaitu

persentase kulit (K) yang terdiri dari :

K1 : 0 %

K2 : 20 %

K3 : 40 %

K4 : 60 %

K5 : 80 %

K6 : 100 %

Masing-masing perlakuan diulang

sebanyak tiga kali sehingga didapat 18

perlakuan

Analisa Data

Data yang didapat dari hasil

pengamatan setelah perlakuan

penelitian tahap I pada masing-masing

variabel dimasukkan dalam tabel untuk

dianalisa Uji Friedman. Perlakuan

terbaik dianalisa menggunakan metode

indeks efektifitas deGarmo et al.,

(1984) yang dimodifikasi oleh Susrini

(2003).

Sedangkan penelitian tahap II

dianalisa dengan uji F dan jika terdapat

perbedaan dianalisa dengan Uji BNT

5%. Pemilihan perlakuan terbaik

(penentuan titik optimum)

menggunakan Indeks Efektifitas

deGarmo et al., (1984) yang

dimodifikasi oleh Susrini (2003).

Selanjutnya perlakuan terbaik yang

didapatkan dari uji Indeks Efektifitas

diuji Analisa biaya produksi dan

kelayakan usaha dengan menggunakan

Analisa Finansial.

Analisa Biaya Produksi dan

Kelayakan Usaha

Analisa biaya produksi dan

kelayakan usaha dilakukan terhadap

perlakuan macam dan proporsi bahan

pengenyal serta persentase kulit buah

naga super merah (Hylocereus

costaricensis) yang terpilih. Kriteria-

kriteria kelayakan yang akan diukur

meliputi (Husnan dan Suwarsono,

1991) :

– Net Present Value

– Break Even Point (kg, Rp)

– Profitability Indeks (PI)

– Payback Period (PP)

Variabel yang diteliti adalah :

a. Biaya investasi

Parameternya adalah : Harga mesin,

peralatan, harga tanah dan

bangunan

b. Biaya Operasional

Page 24: Teknologi Pangan Legal

20

Parameternya adalah :

– Harga bahan baku dan gaji

pekerja

– Biaya penggunaan air, listrik,

telepon dan bahan bakar

c. Kelayakan Finansial

Parameternya adalah :

– Harga bahan baku, harga mesin

dan peralatan

– Biaya penggunaan air, listrik,

telepon dan bahan bakar

– Harga tanah dan bangunan serta

gaji pekerja

HASIL PENELITIAN

Penelitian tahap I

Penelitian tahap I bertujuan

untuk menentukan jenis dan proporsi

bahan pengenyal yang optimal dalam

pembuatan kembang gula jelly.

Penelitian ini menggunakan 2 jenis

bahan pengenyal yaitu tepung

karaginan dan agar-agar serta 4 macam

proporsi bahan pengenyal yaitu 2% b/b,

4% b/b, 6% b/b, 8% b/b sesuai dengan

penelitian pendahuluan yang telah

dilakukan.

Pengamatan pada penelitian

tahap I meliputi uji organoleptik, rasa,

warna, aroma dan tekstur. Pendekatan

dengan penilaian organoleptik

dianggap paling praktis lebih murah

biayanya. Pengujian sensori (uji panel)

berperan penting dalam pengembangan

produk dengan meminimalkan resiko

dalam pengambilan keputusan. Panelis

dapat mengidentifikasi sifat-sifat

sensori yang akan membantu untuk

mendeskripsikan produk.

Uji organoleptik yang digunakan

adalah uji afektif (affective test).

Pengujian Afektif adalah menguji

kesukaan dan/atau penerimaan terhadap

suatu produk dan membutuhkan jumlah

panelis tidak dilatih yang banyak yang

sering dianggap untuk mewakili

kelompok konsumen tertentu

(Anonymous, 2006). Dalam penelitian

ini digunakan panelis tidak dilatih

sebanyak 30 orang dari berbagai

kalangan baik usia tingkat pendidikan,

gender maupun pekerjaan.

Rasa

Bahan pangan pada umumnya

tidak hanya memilki salah satu rasa

melainkan gabungan berbagai macam

rasa secara terpadu. Rasa lebih banyak

melibatkan panca indera yaitu lidah,

dengan lidah senyawa dapat dikenali

rasanya.

Hasil uji organoleptik menunjuk-

kan bahwa rerata ranking kesukaan

panelis terhadap rasa kembang gula

jelly berkisar antara 2,33 – 3,73.

Semakin tinggi rerata ranking kesukaan

panelis, maka tingkat kesukaan panelis

terhadap rasa kembang gula jelly

semakin besar. Rerata ranking tingkat

kesukaan panelis terhadap rasa

kembang gula jelly ditunjukkan pada

Gambar 1.

Rerata nilai kesukaan panelis

terhadap rasa kembang gula jelly

mempunyai nilai terendah 2,33

didapatkan dari bahan pengenyal

tepung agar-agar 4% b/b dan 6% b/b,

sedangkan nilai tertinggi 3,73

didapatkan dari bahan pengenyal

tepung karaginan 6% b/b.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa pembuatan

81

reabsorbsi, pH, rendemen, gula

reduksi dan antioksidan serbuk sari

temulawak.

2. Perlakuan konsentrasi dekstrin 20%

dan suhu pengering 50°C

merupakan perlakuan terbaik tahap I

dari serbuk sari temulawak yang

memiliki karakteristik kadar air

10,11%; tingkat kecerahan (L*)

55,10; tingkat kemerahan (a*)

14,56; tingkat kekuningan (b*)

44,20; rendemen 24,63%; pH 5,63;

reabsorbsi air 2,78; kadar gula

reduksi 1,88% dan kadar

antioksidan 62,27% sedangkan

rerata tingkat kesukaan panelis

terhadap warna 5,55; rasa 5,95 dan

aroma 4,15

3. Pada tahap II, perlakuan konsentrasi

asam sitrat dan natrium bikarbonat

menunjukkan pengaruh sangat nyata

( = 0,01) terhadap kadar air,

intensitas kecerahan (L*),

kekuningan (b*), kelarutan dan

antioksidan. Pada parameter pH

memberikan pengaruh nyata ( =

0,05) sedangkan intensitas

kemerahan (a*) dan gula reduksi

tidak berpengaruh nyata

4. Perlakuan konsentrasi asam sitrat

10% dan natrium bikarbonat 20%

merupakan perlakuan terbaik tahap

II yang memiliki karakteristik kadar

air 7,48%; tingkat kecerahan (L*)

59,37; tingkat kemerahan (a*)

14,53; tingkat kekuningan (b*)

46,50; pH 5,33; kelarutan 88,17;

kadar gula reduksi 2,49% dan kadar

antioksidan 46,53%

Saran

1. Masih terdapat endapan dalam

minuman setelah serbuk

effervescent temulawak dilarutkan,

sehingga perlu adanya penelitian

lebih lanjut untuk meminimalkan

atau menghilangkan endapan yang

ada dengan memperkecil ukuran

bubuk partikel.

2. Masa simpan produk belum

diketahui secara pasti, sehingga

perlu penelitian lebih lanjut tentang

masa simpan produk dengan

beberapa macam bahan penstabil..

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, E., dan Tim Lentera. 2003.

Khasiat Dan Manfaat Temulawak

Rimpang Penyembuh Aneka

Penyakit. Agromedia Pustaka.

Jakarta.

Agatha, 2006. Optimasi Formula

Granul Effervescent Ekstrak

Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb) Dengan

Kombinasi Asam Sitrat , Asam

Tartrat (Aplikasi Metoda Desain

Faktorial). Intisari. Universitas

Sanata Drama. Yogyakarta.

Anonymous, 1985. Color Reader CR-

10 Operation Manual. Minolta,

Japan.

Anonymous, 1995. Farmakope

Indonesia, Edisi IV, 50, 338, 354,

Page 25: Teknologi Pangan Legal

80

20%, sedangkan rerata nilai kesukaan

panelis terhadap warna tertinggi

didapatkan dari kombinasi perlakuan

konsentrasi asam sitrat 15% dan

natrium bikarbonat 10% sebesar 5,00.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa kombinasi

perlakuan konsentrasi asam sitrat

dan natrium bikarbonat memberikan

pengaruh nyata terhadap rerata

kesukaan panelis terhadap warna

effervescent temulawak. Kombinasi

perlakuan terbaik terhadap warna

diperoleh dari konsentrasi asam sitrat

20% dan natrium bikarbonat 10%.

Aroma

Hasil uji organoleptik me-

nunjukkan bahwa rerata nilai kesukaan

panelis terhadap aroma effervescent

temulawak mempunyai nilai rerata

terendah sebesar 2,60 yaitu pada

kombinasi perlakuan konsentrasi asam

sitrat 15% dan natrium bikarbonat

20%, sedangkan rerata nilai kesukaan

panelis terhadap aroma tertinggi

didapatkan dari kombinasi perlakuan

konsentrasi asam sitrat 10% dan

natrium bikarbonat 20% yaitu 4,64.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa kombinasi

perlakuan konsentrasi asam sitrat

dan natrium bikarbonat memberikan

perbedaan nyata terhadap rerata

kesukaan aroma panelis. Kombinasi

perlakuan terbaik kesukaan aroma

panelis diperoleh dari penambahan

konsentrasi asam sitrat 10% dan

natrium bikarbonat 20%.

Pemilihan Perlakuan Terbaik

Hasil perhitungan perlakuan

terbaik pada tahap II untuk parameter

fisikokimia serbuk effervescent

temulawak yaitu dari kombinasi

perlakuan konsentrasi asam sitrat 10%

dan natrium bikarbonat 20% dengan

karakteristik sebagai berikut: kadar air

7,48%; tingkat kecerahan (L*) 59,37;

tingkat kemerahan (a*) 14,53; tingkat

kekuningan (b*) 46,50; pH 5,33;

kelarutan 88,17; kadar gula reduksi

2,49% dan kadar antioksidan 46,53%

Hasil perhitungan parameter

organoleptik didapatkan perlakuan

terbaik pada serbuk effervescent

temulawak dengan perlakuan terbaik

yang tidak sama dengan parameter

fisikokimia yaitu kombinasi perlakuan

konsentrasi asam sitrat 15% dan

natrium bikarbonat 10% dengan

karakteristik sebagai berikut: rerata

tingkat kesukaan panelis terhadap

warna 6,25; rasa 5,85 dan aroma 5,15.

Sehingga perlakuan terbaik dari tahap

II diambil dari data organoleptik karena

penilaian oleh panelis terhadap suatu

produk lebih diutamakan daripada

parameter fisikokimia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil

dari penelitian ini adalah:

1. Pada tahap I, perlakuan konsentrasi

dekstrin dan suhu pengering

menunjukkan pengaruh sangat nyata

( = 0,01) terhadap kadar air,

intensitas kecerahan (L*),

kemerahan (a*), kekuningan,

21

kembang gula jelly dengan dua jenis

bahan pengenyal (tepung karaginan

dan tepung agar-agar) serta dengan

empat variasi persentase (2% b/b, 4%

b/b, 6% b/b dan 8% b/b) memberikan

pengaruh nyata terhadap rerata

kesukaan rasa kembang gula jelly.

Kombinasi perlakuan terbaik tingkat

kesukaan rasa diperoleh dari

kembang gula jelly berbahan

pengenyal karaginan dengan

persentase 6% b/b.

Perbedaan rasa disebabkan

penggunaan bahan pengenyal yang

berbeda, masing-masing bahan

pengenyal memiliki sifat dan karakter

yang berbeda. Karaginan dan agar-agar

berasal dari rumput laut yang tidak

memiliki rasa khas, sehingga rasa

manis gula lebih tajam dan menonjol.

Warna

Warna merupakan indikator

yang pertama kali dilihat dan diamati

oleh konsumen karena warna

merupakan faktor kenampakan yang

langsung dapat dilihat oleh konsumen

(Kartika, 1988). Warna makanan dapat

menarik dan mempengaruhi selera

konsumen, sehingga dengan warna

dapat membangkitkan selera makan.

Bahkan warna juga dapat menjadi

petunjuk bagi kualitas dari makanan

yang dihasilkan.

Hasil uji organoleptik menunjuk-

kan bahwa rerata ranking kesukaan

panelis terhadap warna kembang gula

jelly berkisar antara 2,63 – 3,67.

Semakin tinggi rerata ranking kesukaan

panelis, maka tingkat kesukaan panelis

terhadap warna kembang gula jelly

semakin besar. Rerata ranking tingkat

kesukaan panelis terhadap warna

kembang gula jelly ditunjukkan pada

Gambar 2.

Rerata nilai kesukaan panelis

terhadap warna kembang gula jelly

mempunyai nilai terendah 2,63

didapatkan dari bahan pengenyal

Gambar 1. Rerata kesukaan panelis terhadap rasa kembang gula jelly

Page 26: Teknologi Pangan Legal

22

tepung agar-agar 4% b/b dan 8% b/b,

sedangkan nilai tertinggi 3,67

didapatkan dari bahan pengenyal

tepung karaginan 6% b/b, hal ini

dikarenakan kembang gula jelly yang

mempergunakan bahan pengenyal

tepung karaginan mempunyai warna

yang lebih jernih dibandingkan dengan

kembang gula jelly yang

mempergunakan bahan pengenyal

tepung agar-agar.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa pembuatan

kembang gula jelly dengan dua jenis

bahan pengenyal (tepung karaginan

dan tepung agar-agar) serta dengan

empat variasi persentase (2% b/b, 4%

b/b, 6% b/b dan 8% b/b) memberikan

pengaruh nyata terhadap rerata

kesukaan warna kembang gula jelly.

Kombinasi perlakuan terbaik tingkat

kesukaan warna diperoleh dari

kembang gula jelly berbahan

pengenyal karaginan dengan

persentase 6% b/b.

Warna merupakan hasil

pengamatan dengan penglihatan yang

dapat membedakan antara satu warna

dengan warna lainnya, cerah, buram,

bening, dan sebagainya. Salah satu sifat

kembang gula adalah memiliki warna

jernih, semakin jernih suatu produk

kembang gula jelly maka akan

menunjukkan kualitas yang semakin

baik, kembang gula jelly berbahan

pengenyal karaginan dengan

persentase 6% b/b lebih disukai

panelis karena memiliki tingkat

kejernihan yang paling baik.

Aroma

Aroma merupakan indikator

yang penting dalam industri pangan

karena dengan cepat dapat memberikan

hasil penilaian diterima atau tidaknya

produk tersebut. Aroma (“odour”)

meliputi berbagai sifat seperti harum,

amis, apek, busuk, dan sebagainya.

Gambar 2. Rerata kesukaan panelis terhadap warna kembang gula jelly

79

Semakin meningkat konsentrasi

asam sitrat maka kadar antioksidan

serbuk effervescent temulawak semakin

tinggi tetapi semakin tinggi natrium

bikarbonat maka kadar antioksidannya

semakin rendah. Konsentrasi asam

sitrat yang semakin banyak akan

melindungi senyawa antioksidan yang

ada pada serbuk effervescent

temulawak sehingga kadar

antioksidannya semakin tinggi, karena

antioksidan yang ada pada temulawak

(kurkuminoid) akan stabil pada pH

rendah. tetapi dengan semakin

meningkatnya natrium bikarbonat akan

dapat menurunkan kadar antioksidan

sehingga kadarnya rendah, karena

natrium bikarbonat bersifat basa dan

antioksidan temulawak (kurkuminoid)

tidak stabil pada pH basa.

Uji Organoleptik

Rasa

Hasil uji organo-

leptik menunjukkan bah-

wa rerata nilai kesukaan

panelis terhadap rasa

effervescent temulawak

mempunyai nilai terendah

3,15 didapatkan dari

kombinasi perlakuan

penambahan konsentrasi

asam sitrat 20% dan

natrium bikarbonat 10%

sedangkan nilai tertinggi

5,85 didapatkan dari

kombinasi perlakuan kon-

sentrasi asam sitrat 15%

dan natrium bikarbonat

10%.

Hasil analisis Uji

Friedman menunjukkan bahwa

kombinasi perlakuan konsentrasi

asam sitrat dan natrium bikarbonat

memberikan pengaruh nyata

terhadap rerata kesukaan rasa

effervescent temulawak. Kombinasi

perlakuan terbaik tingkat kesukaan

rasa diperoleh dari konsentrasi asam

sitrat 15% dan natrium bikarbonat 10%.

Warna

Hasil uji organoleptik menun-

jukkan bahwa rerata nilai kesukaan

panelis terhadap warna effervescent

temulawak semakin meningkat

rerata kesukaan panelis terhadap

warna dengan semakin

meningkatnya konsentrasi asam

sitrat dan natrium bikarbonat. Rerata

nilai kesukaan panelis terhadap warna

terendah adalah 2,12 yaitu pada

kombinasi perlakuan konsentrasi asam

sitrat 20% dan natrium bikarbonat

Tabel 11. Rerata Kadar Antioksidan Serbuk Sari

temulawak pada Berbagai Kombinasi

Perlakuan Konsentrasi Asam Sitrat dan

Natrium BikarbonatKonsentrasi

Asam Sitrat

(%)

Natrium

Bikarbonat

(%)

Kadar

Antioksidan

(%)

DMRT

( =0,01)

10

10

15

20

54,76d

41,72a

46,53b

3,45

3,04

3,38

15

10

15

20

63,96e

50,43c

43,75a

-

3,41

3,19

20

10

15

20

50,59c

46,32b

43,96ab

3,43

3,34

3,27

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang

sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

pada uji Duncan 1%

Page 27: Teknologi Pangan Legal

78

Nilai kelarutan serbuk

effervescent temulawak cenderung naik

dengan semakin tingginya konsentrasi

asam sitrat dan natrium bikarbonat. Hal

ini disebabkan asam sitrat bersifat

higroskopis sehingga semakin tinggi

jumlah asam sitrat akan memperbesar

proporsi bahan yang dapat laut dalam

air. Selain itu juga dengan adanya

natrium bikarbonat akan bereaksi cepat

dengan asam sitrat yang dihasilkan

karbondioksida. Mohrle (1989)

menyatakan bahwa reaksi yang terjadi

pada larutan effervescent adalah reaksi

antara asam dan senyawa karbonat

untuk menghasilkan gas karbon-

dioksida yang memberikan efek

sparkle atau rasa seperti pada air soda.

Semakin tinggi konsentrasi

asam sitrat yang ditambahkan maka

kelarutan akan meningkat. Asam sitrat

mengandung air apabila bereaksi

dengan natrium bikarbonat yang

mengandung gas karbondioksida akan

menghasilkan natrium sitrat, air dan

akan terbentuk gas-gas karbondioksida

tiga kali lebih cepat yang dapat

membantu kelarutan, hal ini didukung

oleh Nugroho (1999) yang menyatakan

adanya gas-gas karbondioksida yang

dihasilkan mampu membantu kelarutan

tanpa melibatkan pengadukan manual

dengan syarat semua komponennya

sangat mudah larut dalam air.

Kadar Gula Reduksi

Rerata kadar gula reduksi serbuk

effervescent temulawak terendah

didapatkan dari perlakuan penambahan

konsentrasi asam sitrat 10% dan

natrium bikarbonat 10% dengan nilai

terendahnya adalah 2,46 sedangkan

rerata kadar gula reduksi serbuk

effervescent temulawak tertinggi

diperoleh dari perlakuan penambahan

konsentrasi asam sitrat 15% dan

natrium bikarbonat 20% dengan nilai

tertingginya adalah 2,58%.

Hasil analisis sidik ragam gula

reduksi menunjukkan bahwa perlakuan

konsentrasi asam sitrat dan natrium

bikarbonat serta interaksi antar kedua

perlakuan tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap kadar gula reduksi

serbuk effervescent temulawak

Penambahan asam sitrat dan natrium

bikarbonat diduga tidak menyebabkan

perubahan terhadap kandungan gula

reduksi serbuk effervescent temulawak

seperti reaksi fisik misalnya pemanasan

atau reaksi kimia yang menyebabkan

terjadinya perubahan gula reduksi.

Kadar Antioksidan

Hasil analisis sidik ragam kadar

antioksidan memberikan pengaruh

sangat nyata ( = 0,01) terhadap

kadar antioksidan serbuk effervescent

temulawak. Rerata kadar antioksidan

pada berbagai kombinasi perlakuan

konsentrasi asam sitrat dan natrium

bikarbonat ditunjukkan Tabel 11.

Tabel 11 menunjukkan bahwa

rerata kadar antioksidan serbuk

effervescent temulawak tertinggi

didapatkan dari kombinasi perlakuan

konsentrasi asam sitrat 15% dan natrium

bikarbonat 10% dengan nilai 63,96%,

sedangkan kadar antioksidan terendah

didapatkan dari kombinasi perlakuan

konsentrasi asam sitrat 10% dan natrium

bikarbonat 15% dengan nilai 41,72%.

23

Aroma atau bau sendiri sukar

untuk diukur sehingga biasanya

menimbulkan pendapat yang berlainan

dalam menilai kualitas aromanya

(Kartika 1988). Perbedaan pendapat

disebabkan tiap orang memiliki

perbedaan penciuman meskipun

mereka dapat membedakan aroma

namun setiap orang mempunyai

kesukaan yang berlainan.

Hasil uji organoleptik

menunjukkan bahwa rerata ranking

kesukaan panelis terhadap aroma

kembang gula jelly berkisar antara 2,53

– 3,83. Semakin tinggi rerata ranking

kesukaan panelis, maka tingkat

kesukaan panelis terhadap aroma

kembang gula jelly semakin besar.

Rerata ranking tingkat kesukaan

panelis terhadap aroma kembang gula

jelly ditunjukkan pada Gambar 3.

Rerata nilai kesukaan panelis

terhadap aroma kembang gula jelly

mempunyai nilai terendah 2,53

didapatkan dari bahan pengenyal

tepung agar-agar 2% b/b dan 4% b/b,

sedangkan nilai tertinggi 3,83

didapatkan dari bahan pengenyal

tepung karaginan 8% b/b, hal ini

dikarenakan kembang gula jelly dengan

bahan pengental tepung karaginan

mempunyai aroma yang lebih harum

dari pada tepung agar-agar dan tingkat

keharumannya bertambah seiring

dengan bertambahnya prosentase bahan

pengenyal yang digunakan.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa pembuatan

kembang gula jelly dengan dua jenis

bahan pengenyal (tepung karaginan

dan tepung agar-agar) serta dengan

empat variasi persentase (2% b/b, 4%

b/b, 6% b/b dan 8% b/b) memberikan

pengaruh nyata terhadap rerata

kesukaan aroma kembang gula jelly.

Kombinasi perlakuan terbaik tingkat

kesukaan aroma diperoleh dari kem-

bang gula jelly berbahan pengenyal

Gambar 3. Rerata kesukaan panelis terhadap aroma kembang gula jelly

Page 28: Teknologi Pangan Legal

24

karaginan dengan persentase 8% b/b.

Hal ini disebabkan karena aroma

tepung karaginan lebih harum

dibandingkan dengan aroma tepung

agar-agar sehingga mempengeruhi

kembang gula jelly yang dihasilkan.

Semakin besar persentase penam-

bahan tepung karaginan aroma yang

dihasilkan semakin harum dan

disukai.

Tekstur

Tekstur merupakan sensasi

tekanan yang dapat diamati dengan

melihat dan dirasakan pada waktu

digigit, dikunyah, ditelan ataupun

perabaan dengan jari (Kartika, 1988).

Tekstur secara langsung dapat dilihat

kenampakannya (dari luar) oleh

konsumen sehingga berpengaruh

terhadap penilaian diterima atau

tidaknya produk tersebut. Tekstur

(konsistensi) adalah hasil pengamatan

yang berupa sifat lunak, liat, keras,

halus, kasar, dan sebagainya.

Hasil uji organoleptik menunjuk-

kan bahwa rerata ranking kesukaan

panelis terhadap tekstur kembang gula

jelly berkisar antara 2,13 – 4,13.

Semakin tinggi rerata ranking kesukaan

panelis, maka tingkat kesukaan panelis

terhadap tekstur kembang gula jelly

semakin besar. Rerata ranking tingkat

kesukaan panelis terhadap tekstur

kembang gula jelly ditunjukkan pada

Gambar 4.

Rerata nilai kesukaan panelis

terhadap tekstur kembang gula jelly

mempunyai nilai terendah 2,13

didapatkan dari bahan pengenyal

tepung agar-agar 2% b/b, sedangkan

nilai tertinggi 4,13 didapatkan dari

bahan pengenyal tepung karaginan 6%

b/b.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa pembuatan

kembang gula jelly dengan dua jenis

bahan pengenyal (tepung karaginan

dan tepung agar-agar) serta dengan

empat variasi persentase (2% b/b, 4%

Gambar 4. Rerata kesukaan panelis terhadap tekstur kembang gula jelly

77

temulawak juga semakin kuning.

Karlsen (1985), menyatakan bahwa

kurkumin stabil pada pH rendah, dalam

keadaan asam akan berwarna kuning

atau kuning jingga sehingga stabilitas

optimum kurkumin dipertahankan pada

pH kurang dari 7.

pH

Hasil analisis sidik ragam pH

menunjukkan bahwa pH serbuk

effervescent temulawak tertinggi

didapatkan dari perlakuan konsentrasi

asam sitrat 10% dengan nilai 5,28

sedangkan pH terendah didapatkan dari

perlakuan konsentrasi asam sitrat 20%

dengan nilai 5,20. Perlakuan asam sitrat

15% dan 20% tidak terdapat perbedaan

yang nyata tetapi pada perlakuan

konsentrasi asam sitrat 10% berbeda

dengan 2 perlakuan yang lain.

Semakin tinggi konsentrasi

asam sitrat yang ditambahkan maka

nilai pH serbuk effervescent temulawak

semakin rendah (cenderung asam).

Penurunan pH seiring dengan

meningkatnya konsentrasi asam sitrat.

Hal ini diduga karena ion H+ dari asam

sitrat memberikan tambahan pada

effervescent temulawak sehingga pH-

nya turun. Ini sesuai dengan pernyataan

Lehninger (1996), bahwa semakin

banyak jumlah asam yang ditambahkan

maka akan semakin besar pula ion H+

yang dilepaskan sehingga menurunkan

nilai pH.

Kelarutan

Rerata kelarutan serbuk

effervescent temulawak terendah

didapatkan dari perlakuan penambahan

konsentrasi asam sitrat 10% dan

natrium bikarbonat 10%

dengan nilai terendahnya

adalah 66,68, sedangkan rerata

kelarutan serbuk effervescent

temulawak tertinggi diperoleh

dari perlakuan penambahan

konsentrasi asam sitrat 10%

dan natrium bikarbonat 20%

dengan nilai tertingginya

adalah 88,17. Semakin tinggi

penambahan konsentrasi asam

sitrat dan natrium bikarbonat

maka kelarutan serbuk

effervescent temulawak akan

semakin tinggi.

Adapun Rerata

Kelarutan Serbuk Effervescent

Temulawak pada Berbagai

Kombinasi Perlakuan dapat

dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rerata Kelarutan Serbuk

Effervescent Temulawak pada

Berbagai Kombinasi Perlakuan

Konsentrasi Asam Sitrat dan

Natrium Bikarbonat

Konsentrasi

Asam Sitrat

(%)

Konsentrasi

Natrium

Bikarbonat

(%)

Kelarutan DMRT

( =0,01)

10

10

15

20

66,68a

85,44d

88,17e

1,30

1,48

-

15

10

15

20

81,12bc

81,85c

85,20d

1,43

1,45

1,47

20

10

15

20

80,19b

80,82b

84,28d

1,37

1,40

1,46

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf

yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji Duncan 1%

Page 29: Teknologi Pangan Legal

76

bikarbonat serta interaksi antar

perlakuan memberikan pengaruh sangat

nyata ( = 0,01) terhadap Intensitas

warna serbuk effervescent temulawak.

Rerata kecerahan serbuk

effervescent temulawak yang dihasilkan

berkisar antara 58,47-60,23. Rerata

kemerahan serbuk effervescent temu-

lawak yang dihasilkan berkisar antara

14,03-14,63. Rerata kekuningan serbuk

sari temulawak yang dihasilkan

berkisar antara 45,20-46,90.

Tingkat kecerahan serbuk

effervescent temulawak terendah dida-

patkan dari perlakuan konsentrasi asam

sitrat 15% dan natrium bikarbonat 10%

dengan nilai 58,47 dan tertinggi adalah

dari perlakuan konsentrasi asam sitrat

20% dan natrium bikarbonat 20%

dengan nilai kecerahan 60,23.

Penambahan konsentrasi asam sitrat dan

natrium bikarbonat semakin tinggi maka

tingkat kecerahan serbuk effervescent

temulawak juga semakin meningkat,

karena warna asam sitrat dan natrium

bikarbonat cenderung putih sehingga

dengan adanya penambahan asam sitrat

dan natrium bikarbonat semakin banyak

maka tingkat kecerahan serbuk

effervescent temulawak juga semakin

meningkat.

Tingkat kekuningan (b*) serbuk

effervescent temulawak terendah

didapatkan dari perlakuan konsentrasi

asam sitrat 10% dan natrium bikarbonat

10% dengan nilainya adalah 45,20.

Sedangkan nilai tertinggi untuk

parameter tingkat kekuningan (b*)

serbuk effervescent temulawak dida-

patkan dari perlakuan konsentrasi asam

sitrat 15% dan natrium bikarbonat 15%

dengan nilainya 46,90. Semakin tinggi

konsentrasi asam sitrat yang

ditambakkan dan juga dengan semakin

meningkatnya natrium bikarbonat maka

tingkat kekuningan serbuk effervescent

temulawak juga semakin meningkat.

Semakin tinggi konsentrasi asam

sitrat dan natrium bikarbonat maka

tingkat kecerahan (L*) serbuk

effervescent temulawak juga semakin

tinggi (cerah), atau dapat dikatakan

bahwa semakin tinggi konsentrasi asam

sitrat dan natrium bikarbonat maka

warna serbuk yang dihasilkan cen-

derung semakin putih. Hal ini

disebabkan karena konsentrasi asam

sitrat dan natrium bikarbonat yang

ditambahkan semakin banyak

menyebabkan kecerahannya semakin

tinggi (cerah) ditandai dengan nilai

kecerahannya lebih besar dari 50. Nilai

kecerahan mendekati 100 maka tingkat

kecerahannya semakin tinggi.

Demikian pula pada tingkat

kekuningan, semakin nilainya positif

kearah 100 maka tingkat kekuningannya

semakin tinggi.Warna kuning dari

serbuk effervescent temulawak

disebabkan karena kandungan kurcumin

dari temulawak. Karena dari asam sitrat

dan natrium bikarbonat sendiri berwarna

putih, oleh sebab itu dengan semakin

banyaknya konsentrasi yang ditam-

bahkan maka kecerahan serbuk sari

temulawak semakin meningkat dan

warna kuning dari serbuk effervescent

temulawak semakin meningkat.

Kurkumin stabil pada pH rendah,

sehingga dengan penambahan asam

sitrat yang semakin banyak menye-

babkan warna serbuk effervescent

25

b/b, 6% b/b dan 8% b/b) memberikan

pengaruh nyata terhadap rerata

kesukaan tekstur kembang gula jelly.

Kombinasi perlakuan terbaik tingkat

kesukaan tekstur diperoleh dari

kembang gula jelly berbahan

pengenyal karaginan dengan

persentase 6% b/b. Hal ini

disebabkan karena bahan pengenyal

tepung karaginan menghasilkan

tekstur kembang gula jelly yang lunak

dan bersifat seperti karet sedangkan

tepung agar-agar menghasilkan

tekstur kembang gula jelly yang lunak

tetapi rapuh sehingga kurang disukai.

Persentase karaginan 6 % b/b

dinilai pas oleh sebagian besar

panelis karena apabila persentase

ditambah menjadi 8 % b/b

menghasilkan kembang gula jelly

yang keras dan terlalu liat, apabila

dikurangi akan menghasilkan

kembang gula jelly yang terlalu

lembek dan berair.

Pemilihan alternatif terbaik

penelitian tahap I

Penentuan perlakuan terbaik

kembang gula jelly pada penelitian

tahap I dilakukan dengan menggunakan

metode indeks efektivitas (De Garmo,

Sullivan dan Canada, 1984). Metode ini

dilakukan pada parameter organoleptik

meliputi, rasa, warna, aroma dan

tekstur. Bobot parameter tertinggi

adalah rasa dengan bobot 0,475 diikuti

masing-masing tekstur 0,357 warna

0,244 serta aroma 0,181. Penilaian

perlakuan terbaik disajikan pada Tabel

1.

Hasil perhitungan (Lampiran 8)

menunjukkan kombinasi perlakuan

terbaik pada tahap penelitian I

pembuatan kembang gula jelly

diperoleh dari kembang gula jelly

berbahan pengenyal tepung karaginan

dengan persentase 6% b/b dengan

karakteristik sebagai berikut: rerata

tingkat kesukaan panelis terhadap rasa

3,73 ; warna 3,67 ; aroma 3,80 dan

tekstur 4,13.

Penelitian tahap II

Penelitian tahap II bertujuan

untuk menentukan persentase

penambahan kulit buah naga super

Tabel 1. Penilaian perlakuan terbaik terhadap parameter organoleptik pada

kembang gula jelly perlakuan jenis dan persentase bahan pengenyal.

Kembang gula jelly Nilai Produk

Tepung Karaginan 2% b/b (B1P1) 0,478

Tepung Karaginan 4% b/b (B1P2) 0,735

Tepung Karaginan 6% b/b (B1P3) 1,354*

Tepung Karaginan 8% b/b (B1P4) 0,635

Tepung Agar-agar 2% b/b (B2P1) 0,048

Tepung Agar-agar 4% b/b (B2P2) 0,009

Tepung Agar-agar 6% b/b (B2P3) 0,047

Tepung Agar-agar 8% b/b (B2P4) 0,030

* = perlakuan terbaik

Page 30: Teknologi Pangan Legal

26

merah (Hylocereus costaricensis) yang

optimal dalam pembuatan kembang

gula jelly kulit buah naga super merah.

Penelitian ini menggunakan enam

variasi persentase kulit buah naga super

merah yaitu 0% ; 20% ; 40% ; 60% ;

80% dan 100%. Pengamatan pada

penelitian tahap II meliputi uji kimiawi

kadar air, kadar abu, gula reduksi,

kadar serat kasar serta antioksidan

(DPPH) serta uji organoleptik, rasa,

warna, aroma dan tekstur.

Kadar air

Kadar air merupakan syarat mutu

kembang gula jelly yang tercantum di

dalam SNI kembang gula No. 3547.2-

2008 bahwa kembang gula harus

memiliki kadar air maksimal 20 % b/b.

Rerata kadar air kembang gula jelly

kulit buah naga super merah pada

berbagai kombinasi perlakuan

persentase kulit buah naga super merah

yang dihasilkan berkisar antara 20,60 -

20,94%.

Hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa adanya pengaruh

yang sangat nyata antara persentase

bahan pengenyal 6% b/b dengan

persentase kulit buah naga super merah

(BNT 5%) terhadap kadar air. Rerata

nilai kadar air pada berbagai kombinasi

perlakuan ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan uji BNT

5% kombinasi perlakuan terbaik kadar

air diperoleh dari bahan pengenyal

karaginan 6% b/b dengan penambahan

kulit buah naga sebesar 100% (100%

kulit tanpa penambahan daging buah

naga super merah) yaitu 20,60%

dengan hasil yang tidak berbeda nyata

dengan perlakuan penggunaan bahan

pengenyal karaginan 6% b/b dengan

penambahan kulit buah naga super

merah 80 % dan sangat berbeda nyata

dengan yang lain.

Menurut Winarno (1992) dalam

bahan makanan, air merupakan

komponen yang penting, karena air

dapat mempengaruhi penampakan,

tekstur, serta cita rasa makanan.

Disamping itu kandungan air didalam

bahan makanan ikut menentukan daya

tahan bahan tersebut.

Dari hasil pengujian kadar air

pada keenam sampel belum memenuhi

Tabel 2. Rerata Kadar Air (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan

Kombinasi Perlakuan Rerata

Kadar Air (%) BNT 5%

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 20.94 c

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 20.84 b

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 20.81 b

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 20.77 b

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 20.66 a

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 20.60 a

0.0712

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5%

75

organoleptik didapatkan perlakuan

terbaik pada serbuk sari temulawak

dengan perlakuan terbaik yang sama

dengan parameter fisikokimia yaitu

kombinasi perlakuan konsentrasi

dekstrin 20% dan suhu pengering 500C

dengan karakteristik sebagai berikut:

rerata tingkat kesukaan panelis

terhadap warna 5,55; rasa 5,95 dan

aroma 4,15.

Penelitian Tahap II Serbuk

Effervescent Temulawak

Kadar Air

Hasil analisis sidik

ragam menunjukkan bahwa

adanya perbedaan konsentrasi

asam sitrat dan Natrium

bikarbonat serta interaksi

antar perlakuan memberikan

pengaruh sangat nyata (

= 0,01) terhadap kadar air

serbuk effervescent temu-

lawak. Rerata nilai kadar air

pada berbagai kombinasi

perlakuan ditunjukkan pada

Tabel 9.

Rerata kadar air serbuk

effervescent temulawak

terendah didapatkan dari

kombinasi perlakuan konsen-

trasi asam sitrat 10% dan

Natrium bikarbonat 10% dengan nilai

terendahnya adalah 4,86%, sedangkan

rerata kadar air serbuk effervescent

temulawak tertinggi diperoleh dari

kombinasi perlakuan konsentrasi asam

sitrat 20% dan Natrium bikarbonat 20%

dengan nilai tertingginya adalah 9,63%.

Semakin tinggi penambahan

konsentrasi asam sitrat dan natrium

bikarbonat maka kadar air dari serbuk

effervescent temulawak akan semakin

meningkat.

Perlakuan peningkatan

konsentrasi asam sitrat dan natrium

bikarbonat akan meningkatkan kadar

air serbuk effervescent temulawak. Hal

ini terjadi karena asam sitrat dan

natrium bikarbonat yang ditambahkan

bersifat higroskopis (mudah menyerap

uap air), sehingga dengan semakin

banyak asam sitrat dan natrium

bikarbonat yang ditambahkan maka

kadar air serbuk effervescent temu-

lawak akan semakin tinggi.

Intensitas Warna (Kecerahan/L*,

Kemerahan/a* dan Kekuningan/b*)

Hasil analisis sidik ragam

Intensitas warna (Kecerahan, Ke-

merahan, Kekuningan) menunjukkan

bahwa kombinasi perlakuan kon-

sentrasi asam sitrat dan natrium

Tabel 9. Rerata Kadar Air (%) Serbuk

Effervescent Temulawak pada

Berbagai Kombinasi Perlakuan Asam

Sitrat dan Natrium Bikarbonat Konsentrasi

Asam Sitrat

(%)

Natrium

Bikarbonat

(%)

Kadar

Air (%)

DMRT

( =0,01)

10

10

15

20

4,86a

6,37b

7,48c

0,21

0,22

0,22

15

10

15

20

7,77d

8,02e

8,03e

0,23

0,23

0,23

20

10

15

20

8,57f

8,72f

9,63g

0,24

0,24

-

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang

sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji Duncan 1%

Page 31: Teknologi Pangan Legal

74

sentrasi dekstrin 20% dengan suhu

pengering 500C.

Warna

Hasil uji organoleptik

menunjukkan bahwa rerata ranking

kesukaan panelis terhadap warna

serbuk sari temulawak akibat perlakuan

konsentrasi dekstrin dan suhu

pengering berkisar antara 4,05-5,55.

Rerata nilai kesukaan panelis

terhadap warna serbuk sari te-

mulawak mempunyai kecenderung-

an semakin meningkat dengan

semakin meningkatnya konsentrasi

dekstrin dan peningkatan suhu

pengering. Rerata nilai kesukaan

panelis terhadap warna terendah adalah

4,05 yaitu pada kombinasi perlakuan

konsentrasi dekstrin 15% dan suhu

pengering 40°C sedangkan rerata nilai

kesukaan panelis terhadap warna

tertinggi didapatkan dari kombinasi

perlakuan konsentrasi dekstrin 20%

dengan suhu pengering 500C sebesar

5,55.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa perlakuan kon-

sentrasi dekstrin dan suhu pengering

memberikan pengaruh nyata

terhadap rerata kesukaan panelis

terhadap warna serbuk sari temu-

lawak. Perlakuan terbaik kesukaan

panelis terhadap warna diperoleh

dari konsentrasi dekstrin 20% dengan

suhu pengering 500C.

Aroma

Hasil uji organoleptik menun-

jukkan bahwa rerata ranking kesukaan

panelis terhadap aroma serbuk sari

temulawak akibat perlakuan konsen-

trasi dekstrin dan suhu pengering

berkisar antara 3,35-5,85.

Rerata nilai kesukaan panelis

terhadap aroma serbuk sari te-

mulawak mempunyai nilai rerata

terendah sebesar 3,35 yaitu pada

kombinasi perlakuan konsentrasi

dekstrin 15% dan suhu pengering 50°C,

sedangkan rerata nilai kesukaan panelis

terhadap aroma tertinggi didapatkan

dari kombinasi perlakuan konsentrasi

dekstrin 10% dan suhu pengering 60°C

yaitu 5,85.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa kombinasi

perlakuan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengering memberikan per-

bedaan nyata terhadap rerata

kesukaan aroma panelis. Kombinasi

perlakuan terbaik kesukaan aroma

panelis diperoleh dari penambahan

konsentrasi dekstrin 10% dengan suhu

pengering 600C.

Pemilihan Alternatif Terbaik

Hasil perhitungan menunjuk-

kan perlakuan terbaik pada tahap I

untuk parameter fisikokimia dan

organoleptik serbuk sari temulawak

yaitu dari kombinasi perlakuan

konsentrasi dekstrin 20% dan suhu

pengering 500C dengan karakteristik

sebagai berikut: kadar air 10,11%;

tingkat kecerahan (L*) 55,10; tingkat

kemerahan (a*) 14,56; tingkat

kekuningan (b*) 44,20; rendemen

24,63%; pH 5,63; reabsorbsi air 2,78;

kadar gula reduksi 1,88% dan kadar

antioksidan 62,27%

Hasil perhitungan parameter

27

syarat mutu kembang gula jelly yang

tercantum dalam SNI 3547.2-2008

yaitu maksimal 20%, hal ini

disebabkan karena proses pengeringan

yang dilakukan kurang maksimal

karena mempergunakan pengeringan

dengan sinar matahari. Jika ingin

mendapatkan hasil kadar air yang

optimal maka sebaiknya digunakan

pengering mekanis.

Kadar abu

Abu merupakan zat organik sisa

hasil pembakaran suatu bahan organik.

Kadar abu ada hubungannya dengan

mineral suatu bahan. Mineral suatu

bahan merupakan garam organik

(garam-garam malat, oksalat, asetat,

pektat) dan garam anorganik (garam

fosfat, karbonat, klorida, sulfat dan

nitrat) (Fennema, 1996).

Rerata kadar abu pada berbagai

kombinasi perlakuan persentase pe-

nambahan kulit buah naga super merah

berkisar antara 1,11 – 1,27% .

Hasil analisis sidik ragam me-

nunjukkan bahwa adanya pengaruh

yang sangat nyata antara persentase

bahan pengenyal 6% b/b dengan

persentasse kulit buah naga super

merah (BNT 5%) terhadap kadar abu.

Rerata nilai kadar abu pada berbagai

kombinasi perlakuan ditunjukkan pada

Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan uji BNT

5% kombinasi perlakuan terbaik kadar

abu diperoleh dari bahan pengenyal

karaginan 6% b/b dengan penambahan

kulit buah naga sebesar 0% (tanpa

penambahan kulit buah naga super

merah) yaitu 1,11% dengan hasil yang

tidak berbeda nyata dengan perlakuan

penggunaan bahan pengenyal karaginan

6% b/b dengan penambahan kulit buah

naga super merah 20% ; 40% ; 60% dan

sangat berbeda nyata dengan persentase

penambahan kulit 80% dan 100%.

Abu sendiri adalah hasil reaksi

unsur logam dengan oksigen, karena

logam masa jenis lebih besar maka

oksidanya tertinggal sebagai abu,

sementara oksida non logam misal CO2

karena ringan maka terbang sebagai

asap.

Dari hasil pengujian kadar abu

pada keenam sampel sudah memenuhi

syarat mutu kembang gula jelly yang

tercantum dalam SNI3547.2-2008 yaitu

Tabel 3. Rerata Kadar Abu (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan

Kombinasi Perlakuan Rerata

Kadar Abu (%) BNT 5%

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 1.11 a

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 1.12 a

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 1.15 a

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 1.15 ab

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 1.22 bc

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 1.27 c

0.0704

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5%

Page 32: Teknologi Pangan Legal

28

maksimal 3%.

Gula reduksi

Perbedaan kandungan gula

reduksi dalam variasi perlakuan

penelitian ini disebabkan oleh

perbedaan kadar gula pada daging dan

kulit buah naga super merah. Dalam

daging buah naga super merah

mengandung kadar gula yang cukup

tinggi yaitu mencapai 13-18 briks

(Anonymous.2008h).

Rerata kandungan gula reduksi

pada berbagai kombinasi perlakuan

persentase penambahan kulit buah naga

super merah berkisar antara 20,70% -

20,72% .

Hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa adanya pengaruh

yang sangat nyata antara persentase

bahan pengenyal 6% b/b dengan

persentase kulit buah naga super merah

(BNT 5%) terhadap kandungan gula

reduksi. Rerata nilai gula reduksi pada

berbagai kombinasi perlakuan

ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan uji BNT

5% kombinasi perlakuan terbaik gula

reduksi diperoleh dari bahan pengenyal

karaginan 6% b/b dengan penambahan

kulit buah naga sebesar 100% yaitu

20,70% dengan hasil yang tidak berbeda

nyata dengan perlakuan penggunaan

bahan pengenyal karaginan 6% b/b

dengan penambahan kulit buah naga

super merah 80 % dan 60% dan sangat

berbeda nyata dengan persentase

penambahan kulit lainnya.

Pada dasarnya reaksi inversi

sukrosa menjadi gula reduksi adalah

reaksi hidrolisis. Menurut Risvan

Kuswurj (2009) dalam Sugar

Technology and Research, kerugian

dari gula invert antara lain, mudah

menyebabkan produk menjadi basah,

afinitas dalam air tinggi, memberikan

efek karamelisasi, menyebabkan warna

menjadi kecoklatan.

Dari hasil pengujian kadar gula

reduksi pada keenam sampel sudah

memenuhi standar mutu kembang gula

jelly yang tercantum dalam SNI

3547.2-2008 yaitu maksimal 25%.

Kadar serat kasar

Kandungan serat buah naga

Tabel 4. Rerata Gula reduksi (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan

Kombinasi Perlakuan Rerata

Gula reduksi (%) BNT 5%

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 20.72 c

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 20.72 c

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 20.71 b

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 20.71 a

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 20.70 a

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 20.70 a

0.00499

Keterangan :Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5%

73

interaksi antar perlakuan memberikan

pengaruh sangat nyata ( = 0,01)

terhadap kadar antioksidan serbuk sari

temulawak. Rerata kadar antioksidan

pada berbagai kombinasi perlakuan

konsentrasi dekstrin dan suhu

pengering ditunjukkan pada Tabel 8.

Rerata kadar antioksidan ser-

buk sari temulawak tertinggi didapatkan

dari kombinasi perlakuan konsentrasi

dekstrin 20% dan suhu pengering 40 C

dengan nilai 63,13%, sedangkan kadar

antioksidan terendah didapatkan dari

kombinasi perlakuan konsentrasi

dekstrin 10% dan suhu pengering 60 C

dengan nilai 30,23%.

Semakin meningkat konsentrasi

dekstrin maka kadar antioksidan serbuk

sari temulawak semakin tinggi tetapi

semakin tinggi suhu pengeringan maka

kadar antioksidannya semakin rendah.

Konsentrasi dekstrin yang semakin

banyak akan melindungi senyawa

antioksidan yang ada pada serbuk sari

temulawak sehingga kadar

antioksidannya semakin tinggi. Fungsi

bahan pengisi dekstrin akan melindungi

senyawa antioksidan serbuk sari

temulawak, tetapi dengan

semakin meningkatnya suhu

pengering akan dapat

merusak struktur antioksidan

sehingga kadarnya rendah.

Uji Organoleptik

Rasa

Hasil uji organolep-

tik menunjukkan bahwa

rerata ranking kesukaan

panelis terhadap rasa sari

temulawak akibat perlakuan

konsentrasi dekstrin dan

suhu pengering berkisar

antara 3,20-5,95.

Rerata nilai kesu-

kaan panelis terhadap rasa

serbuk sari temulawak mempunyai

nilai terendah 3,20 didapatkan dari

kombinasi perlakuan penambahan kon-

sentrasi dekstrin 15% dan suhu

pengering 40°C sedangkan nilai ter-

tinggi 5,95 didapatkan dari kombinasi

perlakuan konsentrasi dekstrin 20% dan

suhu pengering 50°C.

Hasil analisis Uji Friedman

menunjukkan bahwa kombinasi

perlakuan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengering memberikan pe-

ngaruh nyata terhadap rerata ke-

sukaan rasa serbuk sari temulawak.

Kombinasi perlakuan terbaik tingkat

kesukaan rasa diperoleh dari kon-

Tabel 8. Rerata Kadar Antioksidan Serbuk

Sari temulawak pada Berbagai

Kombinasi Perlakuan Konsentrasi

Dekstrin dan Suhu Pengering

Konsentrasi

Dekstrin

(%)

Suhu

Pengering

( C)

Kadar

Antioksidan

(%)

DMRT

( =0,01)

10

40

50

60

52,37e

43,67bc

30,23a

1,95

1,84

1,75

15

40

50

60

60,12g

54,35f

48,06d

1,98

1,96

1,92

20

40

50

60

63,13i

62,27hi

44,36c

-

1,99

1,88

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang

sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata pada uji Duncan 1%

Page 33: Teknologi Pangan Legal

72

rendemen yang dihasilkan juga akan

semakin tinggi.

Gula Reduksi

Hasil analisis sidik ragam gula

reduksi diketahui terdapat pengaruh

sangat nyata ( = 0,01) antara

konsentrasi dekstrin, suhu pengering

dan interaksi antar kedua perlakuan.

Rerata nilai gula reduksi pada berbagai

kombinasi perlakuan ditunjukkankan

pada Tabel 7.

Rerata kadar gula reduksi

serbuk sari temulawak terendah

didapatkan dari perlakuan penambahan

konsentrasi dekstrin 10% dengan suhu

pengering 400C dengan nilai

terendahnya adalah 1,45%, sedangkan

rerata kadar gula reduksi serbuk sari

temulawak tertinggi diperoleh dari

perlakuan penambahan konsentrasi

dekstrin 20% dengan suhu pengering

600C dengan nilai tertingginya adalah

2,23%. Semakin tinggi penambahan

konsentrasi dekstrin maka kadar gula

reduksi dari serbuk sari temulawak

akan semakin tinggi dan semakin tinggi

suhu pengeringan maka kadar gula

reduksi serbuk sari temulawak juga

akan semakin tinggi.

Penambahan konsentrasi

dekstrin akan menyebabkan pening-

katan kadar gula reduksi serbuk sari

temulawak, karena sema-

kin tinggi konsentrasi

dekstrin maka gugus

hidroksi reaktifnya juga

semakin banyak dan

gugus hidroksi reaktif itu

menunjukkan sifat pe-

reduksi. Winarno (1991)

menyatakan bahwa, ada

tidaknya sifat pereduksi

dari suatu molekul gula

ditentukan oleh ada ti-

daknya gugus hidroksil

(OH) bebas yang reaktif.

Peningkatan suhu

pengering juga akan

mempengaruhi peningkat-

an gula reduksi dari ser-

buk sari temulawak. Hal

ini disebakan karena semakin tinggi

suhu maka pemecahan dekstrin

menjadi gula-gula reduksi akan

semakin banyak dan gula reduksi

menunjukkan kadar dari gula reduksi.

Kadar Antioksidan

Hasil analisis sidik ragam pH

menunjukkan bahwa konsentrasi

dekstrin dan suhu pengering serta

Tabel 7. Rerata Kadar Gula Reduksi (%) Serbuk

Sari temulawak pada Berbagai Kombinasi

Perlakuan Konsentrasi Dekstrin dan Suhu

Pengering

Konsentrasi

Dekstrin (%)

Suhu

Pengering

( C)

Kadar

Gula

Reduksi

(%)

DMRT

( =0,01)

10

40

50

60

1,45a

1,56b

1,71cd

0,04

0,40

0,40

15

40

50

60

1,60b

1,93f

2,16g

0,40

0,40

0,40

20

40

50

60

1,72d

1,88e

2,23h

0,40

0,40

-

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang

sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata pada uji Duncan 1%

29

mencapai 0,7-0,9 gram per 100 gram

daging buah dan sangat baik untuk

menurunkan kadar kolesterol. Di dalam

saluran pencernaan, serat akan

mengikat asam empedu (produk akhir

kolesterol) yang kemudian dikeluarkan

bersama tinja. Dengan demikian,

semakin tinggi konsumsi serat, semakin

banyak asam empedu dan lemak yang

dikeluarkan oleh tubuh.

Rerata kadar serat kasar pada

berbagai kombinasi perlakuan per-

sentase penambahan kulit buah naga

super merah berkisar antara 1,06% –

1,43% .

Hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa adanya pengaruh

yang sangat nyata antara persentase

bahan pengenyal 6% b/b dengan

persentase kulit buah naga super merah

(BNT 5%) terhadap kadar serat kasar.

Rerata nilai kadar serat kasar pada

berbagai kombinasi perlakuan ditun-

jukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan uji BNT

5% kombinasi perlakuan terbaik kadar

serat kasar diperoleh dari bahan

pengenyal karaginan 6% b/b dengan

penambahan kulit buah naga sebesar

100% sebesar 1,43% dengan hasil yang

tidak berbeda nyata dengan perlakuan

penggunaan bahan pengenyal karaginan

6% b/b dengan penambahan kulit buah

naga super merah 80 % dan 60% dan

sangat berbeda nyata dengan persentase

penambahan kulit 20% dan 0%.

Dari hasil pengujian kadar serat

kasar pada keenam sampel diketahui

bahwa kadar serat kasarnya lebih tinggi

dari pada serat yang terkandung dalam

daging buah naga super merah segar

yaitu 0,7 -0,9 gram per 100 gram

daging buah naga super merah, hal ini

disebabkan adanya penambahan serat

kasar dari bahan tambahan lainnya

yaitu tepung karaginan yang

merupakan sumber serat yang tinggi.

Kadar air bahan juga berpengaruh

terhadap tingginya serat kasar yang

diuji dimana kadar air daging buah

naga super merah segar adalah 82,5 –

83,0 gram per 100 gram daging buah

sedangkan kadar air kembang gula jelly

kulit buah naga super merah adalah

Tabel 5. Rerata Kadar Serat Kasar (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan

Kombinasi Perlakuan

Rerata

Kadar Serat Kasar

(%)

BNT 5%

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 1.06 a

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 1.24 b

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 1.40 c

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 1.41 c

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 1.42 c

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 1.43 c

0.05783

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5%

Page 34: Teknologi Pangan Legal

30

20,602 - 20,944 gram per 100 gram

kembang gula jelly kulit buah naga

super merah.

Menurut Goldberg (1994)

kandungan serat pada buah naga juga

sangat berguna dalam sistem

pencernaan. Serat pangan (dietary

fiber) mampu memperpendek transit

time, yaitu waktu yang dibutuhkan

makanan sejak dari rongga mulut

hingga sisa makanan dikeluarkan

dalam bentuk feses. Di dalam saluran

pencernaan serat akan mengikat asam

empedu (produk akhir kolesterol) dan

kemudian dikeluarkan bersama fases.

Dengan demikian, semakin tinggi

konsumsi serat, semakin banyak asam

empedu dan lemak yang dikeluarkan

oleh tubuh. Disebutkan pula bahwa

serat pangan sangat baik untuk

mencegah penyakit diabetes melitus,

jantung, stroke, kanker, dan penyakit

kardiovaskular lainnya. Sayangnya,

konsumsi serat di Indonesia saat ini

masih sangat rendah, yaitu sekitar 10

gram per orang per hari. Padahal,

konsumsi serat pangan yang dianjurkan

adalah 20-30 gram per orang per hari.

Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa

yang akan menghambat atau menunda

proses oksidasi substrat pada

konsentrasi yang rendah (Vaya dan

Aviram, 2001). Secara umum,

antioksidan mengurangi kecepatan

reaksi inisiasi pada reaksi berantai

pembentukan radikal bebas dalam

konsentrasi yang sangat kecil, yaitu

0,01% atau bahkan kurang (Madhavi et

al., 1995). Karakter utama senyawa

antioksidan adalah kemampuannya

untuk menangkap radikal bebas

(Prakash et al., 2001).

Pengujian aktivitas antioksidan

dalam penelitian ini menggunakan

metoda efek penangkapan radikal

bebas DPPH (Diphenyl Picryl

Hydrazil) yang prinsipnya adalah

penangkapan hidrogen dari antioksidan

oleh radikal bebas. Dalam hal ini

DPPH menjadi sumber radikal bebas,

untuk dipertemukan dengan ekstrak

kembang gula jelly kulit buah naga

super merah yang menjadi antioksidan.

Rerata kadar antioksidan

(DPPH) pada berbagai kombinasi

perlakuan persentase penambahan kulit

buah naga super merah berkisar antara

6,49% – 6,91% .

Hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa adanya pengaruh

yang sangat nyata antara persentase

bahan pengenyal 6% b/b dengan

persentase kulit buah naga super merah

(BNT 5%) terhadap kadar antioksidan.

Rerata nilai kadar antioksidan pada

berbagai kombinasi perlakuan

ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan uji BNT

5% kombinasi perlakuan terbaik kadar

antioksidan diperoleh dari bahan

pengenyal karaginan 6% b/b dengan

penambahan kulit buah naga sebesar

0% (tanpa penambahan kulit buah naga

super merah) sebesar 6,91% dengan

hasil yang sangat berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya

71

ini adalah dekstrin maka sisa asam akan

semakin banyak menyebabkan nilai pH

serbuk sari temulawak akan semakin

menurun.

Rendemen

Hasil analisis sidik ragam

rendemen menunjukkan bahwa

konsentrasi dekstrin dan suhu

pengering serta interaksi antar

perlakuan memberikan pengaruh sangat

nyata ( = 0,01) terhadap rendemen

serbuk sari temulawak. Rerata

rendemen pada berbagai kombinasi

perlakuan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengering ditunjukkan pada Tabel

6.

Rerata rendemen serbuk sari

temulawak terendah didapatkan dari

perlakuan penambahan konsentrasi

dekstrin 10% dengan suhu pengering

400C dengan nilai terendahnya adalah

14,025%, sedangkan rerata rendemen

serbuk sari temulawak tertinggi

diperoleh dari perlakuan penambahan

konsentrasi dekstrin 20% dengan suhu

pengering 600C dengan nilai

tertingginya adalah 26,21%. Semakin

tinggi penambahan konsentrasi dekstrin

maka rendemen serbuk sari temulawak

akan semakin tinggi dan semakin tinggi

suhu pengering maka rendemen serbuk

sari temulawak juga akan semakin

tinggi.

Nilai rendemen serbuk sari

temulawak cenderung naik dengan

semakin tingginya konsentrasi dekstrin.

Hal ini karena semakin tinggi

konsentrasi bahan pengisi dalam hal ini

dekstrin yang ditambahkan

maka konsentrasi sari

temulawak cair semakin

sedikit. Kenaikan

konsentrasi dekstrin yang

ditambahkan dapat me-

ningkatkan rendemen dan

densitas kamba tepung

instan sari buah nanas

(Warsiki, 1995).

Rendemen serbuk

sari temulawak semakin

meningkat dengan mening-

katnya konsentrasi bahan

pengisi yang semakin besar.

Hal ini diduga semakin

banyak bahan pengisi yang

ditambahkan maka jumlah

total padatan dalam serbuk sari

temulawak semakin tinggi sehingga

meningkatkan jumlah rendemen.

Master (1979) menyatakan bahwa

semakin tinggi total padatan pada

bahan yang dikeringkan maka

Tabel 6. Rerata Rendemen (%) Serbuk Sari

temulawak pada Berbagai Kombinasi

Perlakuan Konsentrasi Dekstrin dan

Suhu Pengering

Konsentrasi

Dekstrin

(%)

Suhu

Pengering

( C)

Rendemen

(%)

DMRT

( =0,01)

10

40

50

60

14,02a

15,79b

16,90c

0,38

0,40

0,41

15

40

50

60

16,95c

18,10d

20,09e

0,41

0,42

0,42

20

40

50

60

22,29f

24,63g

26,21h

0,43

0,43

-

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang

sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata pada uji Duncan 1%

Page 35: Teknologi Pangan Legal

70

tertingginya adalah 4,07%. Semakin

tinggi penambahan konsentrasi dekstrin

maka reabsorpsi serbuk sari temulawak

akan semakin tinggi dan semakin tinggi

suhu pengering maka reabsorpsi serbuk

sari temulawak juga akan semakin

tinggi.

Nilai reabsorpsi serbuk sari

temulawak cenderung naik dengan

semakin tingginya konsentrasi dekstrin.

Hal ini disebabkan semakin tinggi

konsentrasi bahan pengisi dalam hal ini

dekstrin yang ditambahkan maka gugus

hidroksil yang terkandung dalam

serbuk sari temulawak akan semakin

banyak dan reabsorpsinya juga akan

semakin tinggi. Gugus hidroksil dalam

jumlah banyak dapat meningkatkan

kemampuan dalam meningkatkan air

dalam senyawa tersebut (Alexander,

1992 dalam Puspaningrum, 2003).

pH

Hasil analisis sidik ragam pH

(Lampiran 18) menunjukkan bahwa

konsentrasi dekstrin dan suhu

pengering serta interaksi antar

perlakuan memberikan pengaruh sangat

nyata ( = 0,01) terhadap pH serbuk

sari temulawak. Rerata pH pada

berbagai kombinasi perlakuan kon-

sentrasi dekstrin dan suhu pengering

ditunjukkan pada Tabel 5.

Rerata pH serbuk

sari temulawak tertinggi

didapatkan dari kombi-

nasi perlakuan konsen-

trasi dekstrin 10% dan

suhu pengering 40 C

dengan nilai 6,03, se-

dangkan pH nilai

terendah didapatkan dari

kombinasi perlakuan

konsentrasi dekstrin

20% dan suhu penge-

ring 40 C dengan nilai

5,57.

Semakin tinggi

konsentrasi dekstrin

yang ditambahkan maka

nilai pH serbuk sari

temulawak semakin ren-

dah. Hal ini diduga karena sisa asam

pada dekstrin akibat proses hidrolisis

dengan asam atau enzim. Thomas and

Alusell (1997) menyatakan bahwa

dekstrin an produk sejenisnya dibuat

dengan hidrolisis pati dengan

pemanasan dan asam atau enzim. Oleh

karena itu semakin tinggi konsentrasi

bahan pengisi yang ditambahkan dalam

Tabel 5. Rerata pH Serbuk Sari temulawak pada

Berbagai Kombinasi Perlakuan Konsentrasi

Dekstrin dan Suhu Pengering

Konsentrasi

Dekstrin (%)

Suhu

Pengering

( C)

pHDMRT

( =0,01)

10

40

50

60

6,03d

5,67ab

5,77c

-

0,13

0,13

15

40

50

60

5,63a

5,67abc

5,70bc

0,12

0,13

0,13

20

40

50

60

5,57a

5,63ab

5,67abc

0,12

0,13

0,13 Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama

pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada

uji Duncan 1%

31

Gambar 6. Bobot Parameter Penelitian Tahap II Kembang Gula Jelly Kulit Buah

Naga Super Merah

Dari hasil penelitian didapatkan

bahwa semakin besar persentase

penambahan kulit buah naga super

merah maka aktivitas antioksidannya

semakin menurun, dimana DPPH

tertinggi pada perlakuan tanpa

penambahan kulit dan nilai terendah

pada perlakuan tanpa penambahan

daging buah. Hal ini membuktikan

bahwa kandungan antioksidan pada

kulit lebih rendah daripada daging

buahnya meskipun perbedaanya sangat

kecil.

Hasil riset Agricultural Research

Service (ARS), United States

Department of Agriculture (USDA)

Tabel 6. Rerata Kadar Antioksidan (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan

Kombinasi Perlakuan Rerata Kadar

Antioksidan (%) BNT 5%

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 6.91 a

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 6.85 b

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 6.79 c

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 6.68 d

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 6.56 ed

Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 6.49 e

0.0679

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT 5%

Page 36: Teknologi Pangan Legal

32

Tabel 7. Penilaian perlakuan terbaik terhadap parameter kimiawi dan

organoleptik pada kembang gula jelly kulit buah naga super merah

perlakuan persentase penambahan kulit buah naga super merah.

Kembang gula jelly kulit buah naga super merah Nilai Produk

Persentase Kulit 0% 0.458

Persentase Kulit 20% 0.481

Persentase Kulit 40% 0.472

Persentase Kulit 60% 0.386

Persentase Kulit 80% 0.462

Persentase Kulit 100% 0.542*

* = perlakuan terbaik

dalam Pratomo (2007), buah naga

berdaging merah mengandung total

fenolat 1.076 /mol gallic acid

equivalents (GAE)/g puree. Aktivitas

antioksidan mencapai 7,59 /mol trolox

equivalents (TE)/g puree. Sedangkan

yang berdaging putih Hylocereus

undatus mengandung total fenolat 523

/mol GAE/g dan aktivitas antioksidan

2,96 /mol TE/g.

Pemilihan alternatif terbaik

penelitian tahap II

Penentuan perlakuan terbaik

kembang gula jelly kulit buah naga

super merah pada penelitian tahap II

dilakukan dengan menggunakan

metode indeks efektivitas (De Garmo,

Sullivan dan Canada, 1984). Metode ini

dilakukan pada parameter kimiawi

meliputi uji kadar air, kadar abu, gula

reduksi, kadar serat kasar serta

antioksidan (DPPH) serta uji

organoleptik, rasa, warna, aroma dan

tekstur. Bobot parameter tertinggi

adalah rasa dengan bobot 0.186 diikuti

masing-masing tekstur 0.171 ; warna

0.157 ; antioksidan (DPPH) 0.116 ;

serat kasar 0.094 ; aroma 0.091 ; gula

reduksi 0.078 ; kadar air 0.064 dan

kadar abu 0.042. Bobot parameter

disajikan pada Gambar 6.

Sedangkan penilaian perlakuan terbaik

kembang gula jelly kulit buah naga

super merah disajikan pada Tabel 7.

Hasil perhitungan menunjukkan

kombinasi perlakuan terbaik pada

penelitian tahap II pembuatan kembang

gula jelly kulit buah naga super merah

diperoleh dari kembang gula jelly kulit

buah naga super merah dengan

persentase penambahan kulit sebesar

100% dengan karakteristik sebagai

berikut: rerata kadar air 20.602% ;

kadar abu 1.267% ; gula reduksi

20.700% ; serat kasar 1.428% ;

antioksidan (DPPH) 6.493% serta

rerata tingkat kesukaan panelis

terhadap rasa 3.900 ; warna 4.667 ;

aroma 3.533 dan tekstur 4.100.

Analisis Finansial

Analisis finansial dilakukan

untuk mengetahui tingkat kelayakan

unit pengolahan pembuatan produk

kembang gula jelly kulit buah naga

69

dekstrin sendiri berwarna putih, oleh

karena itu dengan semakin banyaknya

konsentrasi yang ditambahkan maka

kecerahan serbuk sari temulawak

semakin meningkat dan warna kuning

dari sari temulawak semakin rendah.

Semakin tinggi suhu

pengering maka kece-

rahan/L* serbuk sari temu-

lawak semakin turun dan

tinggkat kekuningan dan

kemerahan semakin mening-

kat. Ini disebakan karena

dengan adanya peningkatan

suhu pengering dari 40°C ke

50°C dan 60°C akan lebih

cepat memacu proses

pencoklatan nonenzimatis

(reaksi maillard). Pada

pengeringan suhu 60°C akan

cepat memacu proses

pencoklatan pada bubuk sari

temulawak sehingga dihasil-

kan warna lebih coklat keku-

ningan daripada pengeringan

suhu 40°C dan 50°C.

Labuza (1982) menyatakan

bahwa suhu mempunyai pengaruh yang

lebih besar terhadap pencoklatan

nonenzimatis, dimana setiap kenaikan

suhu sebesar 10°C kecepatan proses

pencoklatan meningkat antara 4-8 kali.

Menurut Desrosier (1988), Yeo and

Shibamoto (1991) menyatakan bahwa

suhu tinggi menyebabkan reaksi

pencoklatan dari gula dan asam amino

(reaksi maillard) makin meningkat yang

berpengaruh terhadap warna dan flavor

yang tidak diinginkan pada bahan

makanan.

Reabsorpsi

Hasil analisis sidik ragam

reabsorpsi menunjukkan bahwa

konsentrasi dekstrin dan suhu

pengering serta interaksi antar

perlakuan memberikan pengaruh sangat

nyata ( = 0,01) terhadap reabsorpsi

serbuk sari temulawak. Rerata

reabsorpsi pada berbagai kombinasi

perlakuan konsentrasi dekstrin dan

suhu pengering ditunjukkan pada Tabel

4.

Rerata reabsorpsi serbuk sari

temulawak terendah didapatkan dari

perlakuan penambahan konsentrasi

dekstrin 10% dengan suhu pengering

400C dengan nilai terendahnya adalah

1,28%, sedangkan rerata reabsorpsi

serbuk sari temulawak tertinggi

diperoleh dari perlakuan penambahan

konsentrasi dekstrin 20% dengan suhu

pengering 600C dengan nilai

Tabel 4. Rerata Reabsorpsi Serbuk Sari

temulawak pada Berbagai Kombinasi

Perlakuan Konsentrasi Dekstrin dan

Suhu Pengering

Konsentrasi

Dekstrin

(%)

Suhu

Pengering

( C)

Reabsorpsi

(%)

DMRT

( =0,01)

10

40

50

60

1,28a

2,46bc

3,35d

0,16

0,18

0,18

15

40

50

60

2,30b

2,67c

3,96,ef

0,17

0,18

-

20

40

50

60

2,36bc

2,78cd

4,07f

0,17

0,18

0,17

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang

sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata pada uji Duncan 1%

Page 37: Teknologi Pangan Legal

68

semakin rendah ini disebabkan karena

kecepatan pengeringan akan semakin

meningkat dengan semakin mening-

katnya suhu pengering. Desrosier

(1988) menyatakan faktor-faktor yang

mempengaruhi kecepatan pengeringan

produk pangan beberapa diantaranya

adalah suhu pengeringan yang

digunakan, lama pengeringan (waktu),

metode pengeringan dan sifat dan

bentuk bahan.

Intensitas Warna (Kecerahan/L*,

Kemerahan/a* dan Kekuningan/b*)

Hasil analisis sidik ragam

Intensitas warna (kecerahan, ke-

merahan, kekuningan) menunjukkan

bahwa perlakuan konsentrasi dekstrin

dan suhu pengering serta interaksi antar

perlakuan memberikan pengaruh sangat

nyata ( = 0,01) terhadap ketiganya

serbuk sari temulawak. Rerata ke-

cerahan serbuk sari temulawak yang

dihasilkan berkisar antara 54,00-60,10.

Rerata kemerahan serbuk sari te-

mulawak yang dihasilkan berkisar

antara 13,23-15,45. Rerata kekuningan

serbuk sari temulawak yang dihasilkan

berkisar antara 42,37-46,53.

Tingkat kecerahan serbuk sari

temulawak terendah didapatkan dari

perlakuan konsentrasi dekstrin 20% dan

suhu pengering 60°C dengan nilai 54,00

dan tertinggi adalah dari perlakuan

konsentrasi dekstrin 10% dan suhu

pengering 40°C dengan nilai kecerahan

60,10. Penambahan konsentrasi dekstrin

semakin tinggi maka tingkat kecerahan

serbuk sari temulawak juga semakin

meningkat, karena warna dekstrin

cenderung putih sehingga dengan

adanya penambahan dekstrin yang

banyak maka tingkat kecerahan serbuk

sari temulawak juga semakin me-

ningkat.

Tingkat kemerahan dan ke-

kuningan serbuk sari temulawak

terendah didapatkan dari perlakuan yang

sama yaitu konsentrasi dekstrin 10%

dan suhu pengering 40°C dengan

nilainya berturut-turut adalah 13,23 (a*)

dan 42,37 (b*). Sedangkan nilai

tertinggi untuk parameter tingkat

kemerahan dan kekuningan sari te-

mulawak juga didapatkan dari perlakuan

yang sama yaitu konsentrasi dekstrin

20% dan suhu pengering 60°C dengan

nilainya berturut-turut 15,45 (a*) dan

46,53 (b*). Semakin tinggi konsentrasi

dekstrin yang ditambakkan dan juga

dengan semakin meningkatnya suhu

pengering maka tingkat kemerahan dan

kekuningan serbuk sari temulawak juga

semakin meningkat.

Semakin tinggi konsentrasi

dekstrin, tingkat kecerahan (L*) serbuk

sari temulawak cenderung semakin

tinggi (cerah), sedangkan tingkat

kemerahan/a* dan tingkat keku-

ningan/b* serbuk sari temulawak

cenderung semakin rendah atau dapat

dikatakan bahwa semakin tinggi

konsentrasi dekstrin maka warna serbuk

yang dihasilkan cenderung semakin

putih dan sedikit kuning-kemerahan.

Hal ini disebabkan karena konsentrasi

dekstrin yang ditambahkan semakin

banyak menyebabkan kecerahannya

semakin cerah dan agak sedikit kuning.

Wara kuning dari bubuk sari temulawak

disebabkan karena kandungan kurcumin

dari remulawak. Karena dari bubuk

33

Tabel 8. Ringkasan hasil analisis finansial kembang gula jelly kulit buah naga

super merah dengan kapasitas 10 Kg/hari.

No. Komponen Jumlah (Rp)

1 Biaya Tetap selama 1 tahun (FC) 60,615,120

2 Biaya Tidak Tetap selama 1 tahun (VC) 31,490,537

3 Total Biaya Produksi selama 1 tahun (TC) 92,105,657

4 Jumlah Produksi selama 1 tahun (kg) Q 2,880

5 Biaya tidak tetap selama 1 tahun per kg (VC per kg) 10,934

5 HPP (Rp)= TC/Q 31,981

6 Mark Up (53,90%) 7,394

7 Harga Jual (Rp) (P) 40,000

8 BEP (unit) 2,131

9 BEP (Rp) 83,918,794

super merah. Analisis finansial

meliputi analisis kebutuhan modal,

biaya operasional, analisis Break Event

Point (BEP), dan analisis kelayakan

investasi yang meliputi perhitungan

Payback Periode, Net Present Value,

dan Profitability Index. Ringkasan hasil

analisis finansial solusi optimal dapat

dilihat pada Tabel 8.

Biaya Produksi

Total biaya produksi selama 1

tahun kembang gula jelly kulit buah naga

super merah adalah sebesar Rp.

92,105,657,- dengan perincian biaya

tetap (fixed cost) sebesar Rp.

60,615,120,- dan biaya tidak tetap

(variable cost) sebesar Rp.

31,490,537,- . Perhitungan biaya

produksi dilakukan dalam periode 1

tahun yang merupakan jumlah

keseluruhan dari biaya tetap dan biaya

tidak tetap dalam 1 tahun yang

melibatkan biaya bahan baku, biaya

tenaga kerja dan biaya overhead pabrik

(Husnan dan Sudarsono, 1994).

Harga Pokok Produksi (HPP)

Harga Pokok Produksi (HPP)

sebesar Rp. 31,981,-/Kg. Harga jual

yang dihitung di tingkat produsen ke

pengecer sebesar Rp. 40,000,-/Kg

dengan asumsi pengambilan mark up

sebesar 53,90% dari setiap produk unit

yang terjual. Menurut Fatchi (2004),

besarnya mark up di tingkat produsen

langsung ke konsumen sebesar 20%,

jika melalui agen sampai ke pengecer

besarnya mark up 50%, dan bila

pengecer menjual produk ke konsumen

akhir mark up yang ditentukan sebesar

70%. Sehingga diperkirakan pengecer

menjual produk ke konsumen akhir

dengan mark up 70%, maka

diperkirakan harga produk sampai ke

konsumen sebesar Rp 55,000,- /Kg.

Harga jual di tingkat konsumen ini jika

dibandingkan dengan produk sebanding

yang ada di pasaran, maka harga

produk kembang gula kulit buah naga

super merah hasil penelitian relatif

lebih murah dimana harga produk

sejenis yang dijual curah di pasaran

Page 38: Teknologi Pangan Legal

34

mempunyai harga Rp. 77,000,-/Kg.

Break Event Point (BEP)

Break Event Point (BEP)

merupakan titik impas, dimana nilai

penjualan atau pendapatan sama

dengan total biaya. Analisis BEP

tersebut merupakan cara untuk

mengetahui volume penjualan minimal

agar suatu usaha tidak mengalami

kerugian tetapi juga belum memperoleh

laba (laba sama atau dengan 0). BEP

sangat sensitif terhadap perubahan fixed

operating cost, variable operating cost

per unit dan harga jual per unit hasil

produksi perusahaan. Hasil perhitungan

BEP menunjukkan bahwa titik balik

pokok akan dicapai pada volume

penjualan 2.131 Kg atau senilai Rp.

83,918,794,-. Apabila perusahaan telah

mencapai angka penjualan tersebut di

atas, maka dapat diartikan bahwa

perusahaan telah mencapai titik dimana

perusahaan tidak mengalami kerugian

maupun memperoleh keuntungan.

Payback Period (PP)

Payback Period merupakan

metode yang digunakan untuk

mengukur kecepatan pengembalian

modal investasi yang dinyatakan dalam

tahun. Hasil perhitungan pada

menunjukkan bahwa nilai payback

period dicapai pada 1 tahun 3 bulan 21

hari. Hal ini menunjukkan bahwa

dalam jangka waktu tersebut nilai

investasi usaha sebesar Rp.

91,873,996,- telah kembali. Lama

payback period lebih pendek daripada

umur proyek yang direncanakan yaitu

selama 5 tahun, sehingga dapat

dikatakan proyek ini layak untuk

dilaksanakan.

Net Present Value (NPV)

Nilai Net Present Value (NPV)

bernilai positif atau lebih besar dari nol,

yaitu sebesar Rp. 52.868.819,-, dengan

demikian unit usaha industri kembang

gula kulit buah naga super merah layak

dilaksanakan.

Profitability Index (PI)

Nilai Profitability Index (PI)

bernilai positif atau lebih besar dari nol,

yaitu sebesar 1.575, dengan demikian

unit usaha industri kembang gula kulit

buah naga super merah layak

dilaksanakan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kombinasi perlakuan terbaik

berdasarkan indeks efektifitas pada

penelitian tahap I diperoleh dari

kombinasi perlakuan B1P3 yaitu

kembang gula jelly dengan bahan

pengenyal tepung karaginan dengan

persentase 6 % b/b dengan nilai

produk 1,354 yang memiliki

karakteristik sebagai berikut: rerata

tingkat kesukaan panelis terhadap rasa

3,73 ; warna 3,67 ; aroma 3,80 dan

tekstur 4,13.

Pada tahap II, berdasarkan indeks

efektifitas kombinasi perlakuan bahan

pengenyal tepung karaginan 6% b/b

dengan campuran kulit buah naga super

merah tanpa tambahan daging buahnya

(kulit 100%) merupakan perlakuan

terbaik dengan nilai produk 0.542 yang

memiliki karakteristik sebagai berikut:

67

adanya perbedaan konsentrasi dekstrin

dan suhu pengering serta interaksi antar

perlakuan memberikan pengaruh sangat

nyata ( = 0,01) terhadap kadar air

serbuk sari temulawak. Rerata nilai

kadar air pada berbagai kombinasi

perlakuan ditunjukkankan pada Tabel

3.

Rerata kadar air serbuk sari

temulawak terendah didapatkan dari

perlakuan penambahan konsentrasi

dekstrin 20% dengan suhu pengering

600C dengan nilai terendahnya adalah

8,54%, sedangkan rerata kadar air

serbuk sari temulawak tertinggi

diperoleh dari perlakuan penambahan

konsentrasi dekstrin 10% dengan suhu

pengering 400C dengan nilai

tertingginya adalah 13,88%. Semakin

tinggi penambahan konsentrasi dekstrin

maka kadar air dari serbuk sari

temulawak akan semakin rendah dan

semakin tinggi suhu pengeringan maka

kadar air serbuk sari temulawak juga

akan semakin rendah.

Penambahan konsentrasi

dekstrin akan menurunkan kadar air

serbuk sari temulawak. Hal ini terjadi

karena pada konsentrasi bahan pengisi

yang ditambahkan semakin

banyak atau lebih tinggi

maka perbandingan

konsentrasi ekstrak sari

temulawak cair akan lebih

rendah sehingga kadar air

dari bahan akan semakin

rendah. Selain itu adanya

penambahan konsentrasi

bahan pengisi dekstrin yang

semakin meningkat akan

mengikat air yang ada pada

sari temulawak sehingga

kadar airnya semakin

rendah. Menurut Warsiki

(1995), mengemukakan

bahwa kenaikan

konsentrasi dekstrin dari 5-

15% akan menurunkan

kadar air, meningkatkan

rendemen dan densitas kamba tepung

instan sari buah nanas. Ditambahkan

oleh Al Kahtani dan Hassan (1990)

dalam Puspaningrum (2003),

penambahan bahan pengisi akan

meningkatkan jumlah total padatan

dalam bahan sehingga jumlah air pada

bahan yang dikeringkan akan semakin

sedikit.

Peningkatan suhu pengering juga

akan menurunkan kadar air serbuk sari

temulawak, karena semakin tinggi suhu

pengering maka kadar air bahan akan

Tabel 3. Rerata Kadar Air (%) Serbuk Sari

Temulawak pada Berbagai Kombinasi

Perlakuan Konsentrasi Dekstrin dan

Suhu Pengering

Konsentrasi

Dekstrin

(%)

Suhu

Pengering

( C)

Kadar

Air (%)

DMRT

( =0,01)

10

40

50

60

13,88g

13,13f

12,37e

-

0,30

0,29

15

40

50

60

12,11de

11,80c

10,32b

0,29

0,29

0,28

20

40

50

60

11,98cd

10,11b

8,54a

0,29

0,27

0,26

Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf

yang sama pada kolom yang sama tidak

berbeda nyata pada uji Duncan 1%

Page 39: Teknologi Pangan Legal

66

Aspartam dapat digunakan untuk

semua jenis gula rendah kalori

misalnya untuk kegemukan dan

diabetes karena kandungan kalorinya

yang rendah dan tidak menyebabkan

kelainan gigi seperti karies. Penelitian

toksikologi aspartam oleh “Joint Expert

Committee for Food Additives” dan

WHO menetapkan nilai “Acceptable

Daily Intake” (AID) untuk aspartam

sebesar 40 mg/hari (Susilo.2005)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di

Laboratorrium Pengolahan Hasil Balai

Besar Diklat Tanaman Pangan dan

Tanaman Obat, Laboratorium Pengo-

lahan Hasil Pertanian Fakultas Tek-

nologi Pertanian UNIBRAW Malang,

Laboratorium MIPA UNIBRAW

Malang. Dilaksanakan pada bulan April

sampai dengan Juli 2007.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang

digunakan dalam Penelitian Tahap I

(Pembuatan Sari Temulawak) dan

Penelitian Tahap II (Pembuatan

Serbuk Effervescent Temulawak)

menggunakan Rancangan Acak Ke-

lompok (RAK). Perlakuan terdiri dari

dua faktor, masing-masing faktor

terdiri dari tiga level dengan 3 kali

ulangan.

Variabel Pengamatan Penelitian

Tahap I

Uji aktivitas antioksidan, Kadar

Air, Gula Reduksi, Intensitas Warna,

Rendemen, pH, Reabsorpsi dan Uji

organoleptik

Variabel Pengamatan Penelitian

Tahap II

Uji aktivitas antioksidan,

Intensitas Warna, Kadar Air, Kelarutan

Kecerahan, pH, Gula Reduksi, dan Uji

organoleptik.

Analisa Data

Data yang didapat dari hasil

pengamatan setelah perlakuan

penelitian tahap I dan tahap II pada

masing-masing variabel dimasukkan ke

dalam tabel untuk dilakukan analisa

Inferensial dengan uji F metode Sidik

Ragam (ANOVA), jika kombinasi

perlakuan terjadi interaksi (diterima

H1), maka dilakukan uji lanjut dengan

uji perbandingan Duncan 1 %

Data hasil organoleptik dikaji

menggunakan uji kesukaan terhadap

warna, rasa, bau dan tektur yang meng-

gunakan Uji Friedman. Sedangkan pe-

milihan perlakuan terbaik meng-

gunakan metode Indeks efektifitas

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Tahap I Sari Temulawak

Pengamatan pada penelitian

Tahap I meliputi kadar air, gula

reduksi, aktivitas antioksidan, ren-

demen, pH, reabsorpsi, kecerahan,

intensitas warna merah (a+), intensitas

warna kuning (b+) serta uji orga-

noleptik yang terdiri dari rasa, warna

dan aroma.

Kadar Air

Hasil analisis sidik ragam

(Lampiran 13) menunjukkan bahwa

35

rerata kadar air 20.602% ; kadar abu

1.267% ; gula reduksi 20.700% ; serat

kasar 1.428% ; antioksidan (DPPH)

6.493% serta rerata tingkat kesukaan

panelis terhadap rasa 3.900 ; warna

4.667 ; aroma 3.533 dan tekstur 4.100.

Perhitungan BEP dicapai pada

volume penjualan 2.131 Kg atau senilai

Rp. 83,918,794,-. Nilai payback period

dicapai pada 1 tahun 3 bulan 21 hari.

Nilai Net Present Value (NPV) sebesar

Rp. 52.868.819,-. Nilai Profitability

Index (PI) sebesar 1.575 dengan

demikian unit usaha industri kembang

gula jelly kulit buah naga super merah

layak dilaksanakan.

Saran

Perlu dikaji penelitian lebih

lanjut tentang pembuatan sirup kulit

buah naga super merah (Hylocereus

costaricensis) sehingga kontinuitas

bahan baku dapat terjaga dan kapasitas

produksi dapat ditingkatkan sepanjang

tahun mengingat buah naga super

merah termasuk dalam buah musiman.

DAFTAR RUJUKAN

Anonymous. 2002. Genetic resource

and conservation. Durio-

A.Bibiographic Review. http://

www.ipgri.cgiar.org.region/expo

/publication/durio.htm. 4

Agustus, 2009.

__________. 2004. Manfaat Rumput

Laut dan Algae. Artikel

Seaweed.

http://rumputlaut.org/datalama/ar

tikel/Manfaat%20Rumput%20La

ut%20dan%20Algae.pdf. Akses

12 Desember 2009.

__________. 2007a. Permen Jelly.

Teknologi Pangan dan

Agroindustri. Vol. 1. Nomor 10.

Jurusan Teknologi Pangan dan

Gizi IPB. Bogor.

__________. 2007b. Hylocereus

polyrhizus Buah Naga. Jabatan

Pertanian Sabah. Unit

Perkhidmatan Pengembangan

Pertanian .Pejabat Pertanian

Tawau.

Afrianto, E dan E, Liviawati, 1989.

Budidaya Rumput Laut dan

Cara Pengolahannya. Bhatara.

Jakarta.

Angkasa, Wisman Indra, Heri Purwoto,

Jana Anggadiredja. 2008.

Teknik Budidaya Rumput

Laut.

http://kenshuseidesu.tripod.com.

Akses 10 Desember 2009.

AOAC, 1990. Association of Official

Analytical Chemist Official

Methods of Analysis food

composition. 15th edition. Vol

II. Agricultural chemical;

Contaminants; Drugs.

Apriadji, W.H. 2002a. Makanan juga

bisa berfungsi sebagai obat.

Sedap Sekejap Edisi 7/II: 72

Apriadji, W.H.2002b. Manfaat sehat

food combining. Sedap Sekejap

Edisi7/III:70

A/S Kobenhvs Pektifabrik, 1978.

Page 40: Teknologi Pangan Legal

36

Carrageenan. Lilleskensved.

Denmark

Aslan, L.M 1991. Seri Budi Daya

Rumput laut.

Kanisius.Yogyakarta

Aslan, L.M 1998. Seri Budi Daya

Rumput laut.

Kanisius.Yogyakarta

Astawan, Made. 2007a. Agar-agar

Pencegah Hipertensi dan

Diabetes.

http://askara09.wordpress.com.

Akses 14 Oktober 2009.

Djadmika, Eko. 1988. Pembuatan

Minuman Berkarbon Sari

Lidah Buaya (Aloe Vera).

Institut Pertanian Bogor.

DKP. 2008. Dorong Rumput Laut

Sebagai Sumber Pangan Dan

Energi. Siaran Pers No.

66/PDSI/X/2008

http://www.dkp.go.id Akses 23

Juli 2009

Doty MS. 1985. Eucheuma alvarezii

sp.nov (Gigartinales,

Rhodophyta) from Malaysia.

Di dalam: Abbot IA, Norris JN

(editors). Taxonomy of Economic

Seaweeds. California Sea Grant

College Program. p 37 – 45.

Escribano, J., Pedreño, M.A., Garcia-

Carmona, F. & Muñoz, R. 1998.

Characterization of the

Antiradical Activity of

Betalains from Beta Vulgaris

L. Roots. Phytochemical

Analysis 9: 124-127.

Evy Syariefa. 2009. Merah super.

Trubus Majalah Pertanian

Indonesia : Gao-Xi, A. and Wan,

R. 2004. Study in producing

piytaya ice cream. China-Dairy

industry 32 (10): 9-11.

Glicksman M. 1983.. Gum

Technology in the Food

Industry. New York: Academic

Press. p 214- 224.

Goldberg, I. 1994. Functional Foods.

Chapman & Hall. London,

Englan duiseley and Renn, 1977

Halimah Abdullah Sani, Asmazila .B,

Muhammad Azam. A & Isma

Illyani. I. 2009. Keberkesanan

Ekstrak Hylocereus polyrhizus

Merendahkan Lipid Serum

dan Aras MDA-TBAR Hati

Tikus Teraruh

Hiperkolesterolemia (

Effectiveness of Hylocereus

polyrhizus Extract in

Decreasing Serum Lipids and

Liver MDA-TBAR Level in

Hypercholesterolemic Rats).

Sains Malaysiana 38(2)(2009):

271–279.

Hambali,Erliza 2004. Membuat

Aneka Olahan Rumput Laut.

Penebar

Swadaya . Jakarta.

Hellebust JA, Cragie JS. 1978.

Handbook of Phycological

Methods. London:Cambridge

University Press. p 54-66.

65

digunkan soda kue dengan aktifitas

cepat karena memiliki kelarutan yang

tinggi dalam air dingin, sehingga

pelepasan karbondioksidanya juga

cepat (Winarno, 1997). Sedangkan

soda kue dengan aktifitas lambat

banyak digunakan sebagai bahan

pengembang dalam adonan roti atau

biskuit.

Pada pembuatan ”effervescent”

temulawak yang dilakukan oleh Zuhroh

(2001), penggunaan Na-bikarbonat

505 merupakan hasil yang terbaik.

Wardiningrum (2001) menggunakan

Na-bikarbonat 32% pada pembuatan

”effervescent” mengkudu.

Asam Sitrat

Asam sitrat adalah asam dengan

3 gugus karboksil, berbentuk granula

atau bubuk putih, tidak berbau dan

meniliki karakteristik rasa asam,

dengan rumus C6H8O7.

Asam sitrat merupakan asidulan

pangan yang mempunyai fungsi

bervariasi. Industri makanan dan

minuman kebanyakan mengkonsumsi

asidulan untuk mempertegas flavour

dan warna. Hui (1992), lebih lanjut

menyebutkan fungsi lain asam sitrat

adalah mengontrol keasaman dengan

beberapa alasan. Pengontrolan pH yang

tepat akan mempercepat pertumbuhan

mikroba dan bertidak sebagai pengawet

serta membantu zat antioksidan

terjadinya reaksi pencoklatan. Jumlah

asam sitrat yang ditanbahkan pada

minuman tidak berkarbonasi tergantung

flavour produk dengan

mempertimbangkan hasil evaluasi ke-

sukaan konsumen.

Asam sitrat digunakan sebagai

asidulan pertama dalam minuman

terkarbonasi dan minuman bubuk yang

memberikan rasa jeruk yang tajam.

Asam sitrat yang digunakan dalam

”effervescent” umumnya dalam bentuk

monohidrat digunakan sebagai sumber

asam dalam pembuatan serbuk atau

tablet ”effervescent” karena memiliki

kelarutan yang tinggi dalam air dingin,

mudah didapat dalam bentuk granular

atau serbuk (Reynold, 1982)..

Pada pembuatan serbuk

”effervescent” beras kencur, Husna

(2003) menyimpulkan bahwa peng-

gunaan asam sitrat 50% memberikan

hasil yang terbaik. Wardiningrum

(2001), menyimpulkan bahwa

penggunaan asam sitrat 32% mem-

berikan hasil terbaik pada pembuatan

”effervescent” mengkudu.

Aspartam

Aspartam adalah dieptil metil

ester yang terdiri dari dua asam amino,

yaitu fenil alanin dan asam aspartat.

Senyawa ini mudah larut dalam air dan

sedikit terlarut dalam alkohol dan tidak

larut dalam lemak atau minyak

(Reynolds, 1982).

Aspartam memiliki rasa manis

160 sampai 200 kali sukrosa, tidak ada

rasa pahit atau ”after teste” yang

serinng terdapat pada pemanis buatan.

Satu gram aspartam setara dengan 200

gram gula. Aspartam paling stabil pada

suasana asam lemah yaitu antara pH 3-

5 pada suhu 25oC (Anonymous 2002).

Aspartam terdekomposisi jika

mendapat perlakuan panas sehingga

intensitas rasa manisnya berkurang .

Page 41: Teknologi Pangan Legal

64

Effervescent

Garam ”effervescent”

merupakan garam atau serbuk kasar

sampai kasar sekali mengandung unsur

obat dalam campuran kering biasanya

terdiri dari bahan obat, asam tartrat,

asam sitrat, dan sodium bikarbonat

(Agatha, 2006).

Menurut Ansel (1989), granula

adalah gumpalan-gumpalan partikel

kecil yang dibuat dengan melembabkan

serbuk yang diinginkan lalu

melewatkannya pada celah ayakan

dengan ukuran lubang sesuai dengan

ukuran granula yang dihasilkan.

Reaksi yang terjadi pada

pelarutan ”effervescent” adalah reaksi

antara senyawa asam dan senyawa

karbonat untuk menghasilkan gas

karbondioksida yang memberikan efek

”sparkle” atau rasa seperti air soda.

Reaksi ini dikehendaki terjadi secara

spontan ketika ”effervescent” di-

larutkan dalam air. Ansel (1989),

menambahkan, larutan dengan kar-

bonat yang dihasilkan menutupi rasa

garam atau rasa yang tidak diinginkan

dari zat obat. Formula garam

”effervescent” resmi yang ada unsur

pembentuk ”effervescent” terdiri dari

53% sodium karbonat, 28% asam

tartrat, dan 19% asam sitrat.

Minuman dalam bentuk serbuk

ini memiliki keunggulan yaitu

kestabilan produk dan massanya lebih

kecil serta bisa memenuhi permintaan

dalam skala yang besar (Susilo, 2005).

Natrium Bikarbonat

Senyawa karbonat yang banyak

digunakan dalam formulasi

“effervescent” adalah garam karbonat

kering karena kemampuannya meng-

hasilkan karbondioksida. Garam

karbonat tersebut antara lain Na-

bikarbonat, Na-karbonat, K-bikarbonat,

Na-seskuikarbonat dan lain-lain. Na-

bikarbonat (NaHCO3) dipilih sebagai

senyawa karbondioksida dalam sistem

”effervescent” karena harganya murah

dan bersifat larut sempurna dalam air.

Ansel (1989), menambahkan bahwa

Na-bikarbonat bersifat non higroskopis

dan tersedia secara komersial mulai

dari bentuk bubuk sampai bentuk

granular dan mampu menghasilkan

52% karbondioksida.

Na-Bikarbonat (NaHCO3) me-

rupakan serbuk kristal berwarna putih

yang mampu menghasilkan kar-

bondioksida. Na-bikarbonat memiliki

berat molekul 84,01 (tiap gramnya

mengandung 11,9 mmol natrium), Na-

bikarbonat anhidrat terkonversi pada

suhu 250-300oC, pada RH di atas 85%

akan cepat menyerap air dari

lingkungannya dan menyebabkan

dikomposisi dengan hilangnya

karbondioksida dapat mengalami

dekomposisi karena adanya panas yaitu

pada suhu diatas 120oC (Reynolds

1982)

Na-Bikarbonat sering disebut

sebagai soda kue, terdapat dua macam

soda kue yaitu soda kue dengan

aktifitas cepat (aktifitas tinggi) dan

soda kue dengan aktifitas lambat

(aktifitas ganda). Perbedaan antara

keduanya adalah pada mudah tidaknya

komponen asam larut dalam air dingin.

Untuk produk-produk ”effervescent”

37

Hidayat Nur, Ken Ikaristiana, 2006.

Membuat Permen Jelly. Trubus

Agrisarana. Surabaya.

Kumalaningsih, Sri, 2006,

Antioksidan Alami Penangkal

Radikal Bebas. Trubus

Agrisarana. Surabaya.

Langseth, Lilian. 1995. Oxidant,

Antioxidant, and Disease

Prevention. International Life

Science Institute press. Belgium.

Li Chen Wu, Hsiu-Wen Hsu, Yun-

Chen Chen, Chih-Chung Chiu,

Yu-In Lin and Annie Ho . 2005.

Antioxidant And

Antiproliferative Activities Of

Red Pitaya . Department of

Applied Chemistry, National

Chi-Nan University, Nomor 1

University Road, Puli, Nantou,

545 Taiwan

Page 42: Teknologi Pangan Legal

38

PEMANFAATAN IKAN GABUS (Ophiocephalus striatus)

MENJADI BAKSO DALAM RANGKA PERBAIKAN GIZI

MASYARAKAT

DAN UPAYA MENINGKATKAN NILAI EKONOMISNYA

Deny Utomo, Rekna Wahyuni, Rakhmad Wiyono

Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh perbandingan proporsi

ikan gabus dan tepung tapioka yang tepat sehingga diperoleh bakso ikan gabus

yang berkualitas baik secara fisik, kimia dan organoleptik serta mengetahui

aspek kelayakan finansial produksi bakso ikan gabus skala industri kecil.

Hasil penelitian tahap I menunjukkan perlakuan terbaik adalah

perlakuan tapioka 70% dan ikan gabus 30% dengan kadar air 49,27%, kadar

abu 10,365 mg/100 g, tekstur 13,05 N, kadar pati 18,805%, kadar lemak

1,7675%, kadar protein 22,8275%, kesukaan : warna 5,95 (mendekati suka),

kekenyalan 5,35 (antara agak suka sampai suka), aroma 6,4 (antara suka

sampai sangat suka) dan rasa 5,45 (antara agak suka sampai suka).

Hasil penelitian tahap II menghasilkan perhitungan aspek finansial

produk bakso ikan gabus skala industri kecil yang berkapasitas produksi 118

kg bakso ikan gabus / hari layak secara finansial dengan kriteria-kriteria

sebagai berikut: PBP sebesar 4,941 tahun, Net BC ratio= 1,223 , RCR = 1,372,

NPV (pada suku bunga pinjaman 15%) = Rp. 8.659.111,91, IRR = 16,53% ,

BEP = 4.851,86 unit atau Rp. 37.775.000,08 atau 6,9%.

Kata Kunci : Bakso Ikan Gabus

PENDAHULUAN

Ikan merupakan sumber pangan

hewani yang sudah dikenal berbagai

lapisan masyarakat di berbagai belahan

negara. Di Indonesia, ikan merupakan

sumber protein yang banyak dikon-

sumsi saat ini, mengingat sumber

protein hewani lain seperti daging sapi

sangat mahal yaitu Rp. 50.000/kg,

sedangkan daging ayam yang relatif

lebih murah banyak ditakuti ma-

syarakat karena merebaknya kasus flu

burung.

Mahalnya harga-harga produk

pangan sumber protein hewani

dibarengi meningkatnya kasus gizi

buruk di Indonesia menyebabkan

perlunya mencari alternatif sumber

protein yang murah. Alternatif sumber

protein hewani yang saat ini

memungkinkan untuk dikembangkan

adalah ikan gabus (Ophiocephalus

striatus) atau di Jawa dikenal sebagai

ikan “kutuk”. Ikan gabus merupakan

ikan yang banyak terdapat secara alami

di sungai-sungai dan bendungan serta

63

enolisable stiril keton mampunyai

kontribusi yang nyata pada sifat

antioksidan kurkumin.

Aktivitas antioksidan

temulawak segar lebih tinggi

dibandingkan temulawak bubuk

sebelum dilakukan penyimpanan

masing-masing 57,10% dan 43,10%

kedua bentuk temulawak tersebut

memiliki aktivitas antioksidan lebih

tinggi dibandingkan antioksidan

sintesis BHT 1% sebesar 34,49%.

Setelah penyimpanan selama 15 hari,

temulawak segar dengan penyimpanan

5 hari mempunyai aktivitas antioksidan

tertinggi sedangkan temulawak bubuk

dengan lama penyimpanan 15 hari

memiliki aktivitas terendah masing-

masing sebesar 51,37% dan 16,22%

(Sugiarto, 2004).

Dekstrin

Dekstrin merupakan

polisakarida yang dihasilkan dari

hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-

enzim tertentu atau hidrolisis oleh

asam, berwarna putih sampai kuning.

Pada pembuatan dekstrin, rantai

panjang pati mengalami pemutusan

oleh enzim atau asam menjadi dekstrin

dengan molekul yang lebih pendek,

yaitu 6-10 unit glukosa, dengan rumus

molekul (C6H10O5)n. Berkurangnya

panjang rantai menyebabkan terjadinya

perubahan sifat dari pati yang tidak

larut dalam air menjadi dekstrin yang

mudah larut dalam air, memiliki

kekentalan lebih rendah dibandingkan

pati (Reynold, 1982).

Arief, (1987), mengemukakan

bahwa struktur molekul dekstrin

berbentuk spiral, sehingga molekul-

molekul flavor yang terperangkap di

dalam struktur spiral helix. Dengan

demikian penambahan dekstrin dapat

menekan kehilangan komponen

volatile selama proses pengolahan.

Dekstrin mempunyai viskositas

yang relatif rendah, sehingga

pemakaian dalam jumlah banyak

masih diijinkan. Hal ini justru akan

menguntungkan jika pemakaian

dekstrin ditujukan sebagai bahan

pengisi (filler) karena dapat

meningkatkan berat produk yang

dihasilkan (Warsiki, 1995).

Dekstrin dapat digunakan pada

proses enkapsulasi, untuk melindungi

senyawa volatile, melindungi senyawa

yang peka terhadap oksidasi atau

panas, karena molekul dari dekstrin

stabil terhadap panas dan oksidasi .

Dekstrin dapat melindungi stabilitas

flavor selama pengeringan dengan

menggunakan spray dryer (Suparti,

2000).

Warsiki, (1995),

mengemukakan bahwa kenaikan

konsentrasi dekstrin dari 5-15% akan

meningkatkan rendemen, densitas

kamba, penurunan kadar air, total

padatan terlarut serta gula pereduksi

tepung instan sari buah nanas. Wijaya,

(1995) dalam Suprapti (2000),

menyarankan penggunaan dekstrin

sebesar 1,5% pada pembuatan pewarna

bubuk dari daun suji dan daun pandan.

Konsentrasi dekstrin 12,5 % akan

memberikan perlakuan terbaik pada

pembuatan bubuk sari buah sirsak

menggunakan metode foam-mat

drying (Suryanto, 2000).

Page 43: Teknologi Pangan Legal

62

Kandungan Temulawak

Kandungan Zat yang terdapat

pada rimpang temulawak terdiri atas

pati, abu, serat, dan minyak atsiri.

Temulawak mengandung zat kuning

yang disebut kurkumin dan minyak

atsiri. Minyak atsirinya mengandung

phelandrin, kamfer, borneol,

xanthorrhozol, tumerol dan sineal.

Berkat kandungan kurkukmin dan

minyak atsiri tadi diduga penyebab

berkashiatnya temulawak (Susilo,

2005).

Rimpang temulawak segar

mengandung air sekitar 75 %. Selain

itu mengandung minyak atsiri, lemak

(fixed oil), zat warna, protein, resin,

selulosa, pati, mineral zat-zat

penyebab rasa pahit (Afifah, 2003).

Menurut Sumiati (1997), rimpang

temulawak dengan kadar air 10 %

memiliki komposisi yang terdiri atas

pati, lemak, kurkukmin, serat kasar,

protein, mineral dan minyak atsiri.

Komposisi rimpang temulawak

kering dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Rimpang

Temulawak Kering (kadar air

10 %)

Komposisi Kadar (%)

Pati

Lemak (fixed oil)

Minyak atsiri

Abu

Mineral

Serat kasar

Protein

Kurkumin

58.24

12.10

4.90

4.90

4.29

4.20

2.90

1.55

Sumber : Sumiati (1997)

Menurut Sidik, (1999),

menyatakan bahwa rimpang temulawak

kering mengandung 12 % kadar air, 7

- 30 % minyak atsiri, 37 - 61 %

karbohidrat dan 1 - 4 % kurkumin.

Minyak atsiri temulawak terdiri dari

40 komponen yang sebagian besar

terdiri dari kurkumin 41,4 % dan

xanthorrhizol 21,5 % Kedua zat

tersebut merupakan ciri khas minyak

atsiri temulawak

Antioksidan

Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa ekstrak

temulawak ternyata mempunyai efek

antioksidan. Sidik, (1999) mengukur

antioksidan dari jenis rimpang temu-

temuan dengan metoda Tiosianat dan

metoda Tiobarbituric Acid (TBA)

dalam sistem air-alkohol. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa

aktivitas antioksidan ekstrak

temulawak ternyata lebih besar

dibandingkan dengan aktivitas tiga

jenis kurkuminoid diperkirakan

terdapat dalam temulawak. Jadi, diduga

ada zat lain selain ketiga kurkuminoid

tersebut yang mempunyai efek

antioksidan.

Berikut ini beberapa hasil

penelitian tentang zat aktif kurkumin

yang terdapat dalam tumbuhan

Kurkuma jenis lainnya. Dilaporkan

bahwa secara invitro, efek antioksidan

terjadi karena kurkumin berlaku

sebagai penangkap oksigen bebas dan

hidroksil bebas. Majeed, (1995)

menyatakan bahwa kurkumin lebih

aktif dibandingkan dengan vitamin E,

beta karotin, asam lipoat, dsb.

Selanjutnya dibuktikan bahwa gugus

fenol, metoksil, 1,3 diketon dan

39

belum pernah dibudidayakan. Nilai gizi

ikan gabus cukup tinggi, yaitu protein

sebesar 42% , lemak 1,7 %, dan juga

mengandung berbagai mineral dan

vitamin A; dengan demikian ikan gabus

sangat potensial untuk dikembangkan

dalam industri pangan.

Pengolahan ikan gabus perlu

dilakukan untuk lebih meningkatkan

nilai komersial ikan gabus dan

memperpanjang umur simpan.

Berbagai teknologi pengolahan produk

ikan telah banyak dilakukan, antara lain

pembuatan nuggets, berbagai jenis

sosis, abon maupun bakso; namun

pengolahan ikan yang relatif paling

sederhana, murah, tidak membutuhkan

bahan-bahan kimia tambahan dan

mudah dilakukan oleh rumah tangga

adalah bakso. Bakso juga merupakan

jenis makanan yang sudah umum

dikenal baik dikota bahkan di pelosok-

pelosok pedesaan, terjangkau oleh

berbagai kalangan ekonomi dan

digemari oleh berbagai lapisan usia;

berbeda dengan nuggets dan sosis yang

selama ini lebih dikenal sebagai produk

pangan untuk kalangan menengah

keatas.

Untuk memperoleh produk bakso

ikan gabus yang berkualitas dan disukai

konsumen, maka proses pembuatan

bakso harus diperhatikan. Faktor yang

terutama sangat mempengaruhi kualitas

bakso adalah jumlah penambahan

tapioka, oleh karena itu perbandingan

proporsi ikan dan tepung tapioka yang

tepat perlu diteliti sehingga didapatkan

bakso ikan gabus yang berkualitas baik

dari karakteristik fisik, kimia dan

tentunya disukai konsumen.

Kelayakan finansial produksi

bakso ikan gabus skala rumah tangga

pun perlu dikaji apakah mengun-

tungkan atau tidak, mengingat bahwa

pada saat ini tingkat inflasi dan suku

bunga selalu naik turun dan usaha skala

rumah tangga biasanya sangat rentan

terhadap perubahan-perubahan ter-

sebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus)

Ikan gabus merupakan ikan

karnivora yang suka memakan hewan

lain yang lebih kecil, seperti cacing,

udang, ketam, plankton dan udang

renik (Djuhanda, 1981).

Jenis-jenis ikan keluarga

Ophiocephalus adalah ikan gabus,

tomang, kerandang, yang hampir

ditemukan di seluruh wilayah

Indonesia.

Suprayitno (2006) Protein ikan

gabus segar mencapai 25,1%,

sedangkan 6,224 % dari protein

tersebut berupa albumin. Jumlah ini

sangat tinggi dibanding sumber protein

hewani lainnya. Albumin merupakan

jenis protein terbanyak di dalam plasma

yang mencapai kadar 60 persen dan

bersinergi dengan mineral Zn yang

sangat dibutuhkan untuk perkembangan

sel maupun pembentukan jaringan sel

baru seperti akibat luka dan

penyembuhan luka akibat operasi.

Selain itu, kadar lemak ikan gabus

relatif rendah dibandingkan kadar

lemak jenis-jenis ikan lain (tongkol

24,4% dan lele 11,2% lemak)

memungkinkan umur simpan ikan

gabus lebih panjang karena

Page 44: Teknologi Pangan Legal

40

kemungkinan mengalami ketengikan

lebih lama.

Bakso

Bakso adalah salah satu bentuk

olahan restrukturisasi daging yang

merupakan produk pangan berbentuk

bola atau yang lain, yang diperoleh

dari campuran daging / ikan yang telah

dihaluskan dengan cara digiling (kadar

daging/ikan minimal 50%) dan pati

atau serealia dengan atau tanpa

penambahan bahan-bahan kimia lain

serta bahan tambahan makanan yang

diijinkan (SNI, 1995).

Menurut Hardoko (1994) daging

ikan sebagai bahan utama pembuatan

bakso merupakan sumber protein

myofibril yang membentuk gel.

Sedangkan pati yang ditambahkan

berfungsi sebagai pembentuk sekaligus

memperbaiki adonan, meningkatkan

daya ikat air dan memperbaiki tekstur.

Kriteria mutu untuk tekstur

bakso adalah tekstur kompak, elastis,

tidak ada serat daging, tidak ada duri

dan tulang, tidak basah berair dan

rapuh (Wibowo, 1999). Proses

pengikatan ini merupakan suatu reaksi

yang dipengaruhi oleh pemanasan,

karena daging dalam keadaan segar

(Hardoko, 1994).

Proses pembuatan bakso ikan

meliputi: pencucian ikan segar,

pemisahan daging ikan dari duri dan

jerohan, penggilingan, penirisan,

pencampuran dengan tepung tapioka

dan bumbu-bumbu yaitu bawang

putih, merica, gula, garam, MSG yang

telah dihaluskan; kemudian pencetakan

berbentuk bola, perendaman dalam air

hangat 40oC 15 menit, perebusan

sampai mengapung (matang) dan

penirisan (Wibowo, 1999).

Tepung Tapioka

Pengolahan ubi kayu (Manihot

esculenta, Crantz) menjadi tepung

tapioka dalam industri makanan

Indonesia sebesar 19,7 % dari total

industri (Anonim, 2006).

Jones dan Amos (1967) dalam

Saraswati (1986) mengatakan bahwa

pati yang berasal dari ubikayu yaitu

tapioka merupakan bahan dasar

pembuatan kerupuk. Penggunaan

tapioka dalam pembuatan kerupuk

didasarkan atas kemampuan daya

kembang yang tinggi dibandingkan

dengan jenis tepung lainnya. Tapioka

mengandung amilosa 17% dan

amilopektin 83% dengan ukuran

granula 3-3,5 mikron, dengan nisbah

amilosa-amilopektin cukup tinggi

sehingga proses penyerapan air selama

pemasakan juga meningkat.

METODE PENELITIAN

Rancangan Percobaan

Penelitian ini merupakan

penelitian eksperimental dengan satu

variable bebas yaitu proporsi

penambahan tepung tapioka dan tujuh

variable tergantung yaitu kadar pati,

kadar protein, kekenyalan, warna,

tekstur, aroma dan rasa. Rancangan

pecobaan menggunakan Rancangan

Acak Kelompok factor tunggal.

Prosedur Penelitian

a. Analisis proksimat daging ikan

gabus

61

Temulawak mengandung minyak atsiri

seperti limonina yang mengharumkan,

sedangkan kandungan flavonoida-nya

berkasiat menyembuhkan radang,

minyak atsiri juga bisa membunuh

mikroba. Kurkumin yang terdapat pada

rimpang tumbuhaan ini bermanfaat

sebagaai acnevulgaris, disamping

sebagai anti inflamasi, antioxidan, anti

hepototoksik (anti keracunan empedu)

dan anti tumor (Sidik, 1999).

Ramuan untuk menyembuhkan

kanker dapat dikonsumsi jika penyakit

ini masih dalam stadium dini, namun

bila tak kunjung ada perubahan atau

tanda membaik setelah minum ramuan

obat selama dua bulan , sebaiknya

berkonsultasi dengan dokter. Mangan,

(2004) ramuan untuk mengobati kanker

dapat dikonsumsi segera setelah

menjalani operasi pengangkatan

kanker dan radiasi. Hal ini di-

maksudkan untuk memutus rantai sel

kanker yang mungkin masih tertinggal.

Sementara itu, jika menjalani

pengobatan dengan kemoterapi, ra-

muan diminum dua minggu sejak

kemoteri dilakukan.

Jika dokter memberi obat,

ramuan sebaiknya diminum dua jam

sebelum atau sesudah mengkonsumsi

obat dari dokter. Rimpang temulawak

mengandung kurkumin dan mono-

destmetoksi kurkumin yang bersifat

anti tumor. Temulawak juga berkasiat

menghilangkan rasa nyeri dan sakit

karena kanker. Ekstrak temulawak

sangat dianjurkan untuk dikonsumsi

guna mencegah penyakit hati, terma-

suk hepatitis B yang menjadi salah

satu factor resiko timbulnya kanker

hati. Disamping itu, juga terbukti bisa

menurunkan kadar colesterol dalam

darah dan sel hati. Semua kasiat itu

berkat adanya kandungan kurkumin,

yakni zat yang berguna untuk menjaga

dan menyehatkan hati atau lever atau

istilah medisnya hepatoprotektor.

(Hadi, 1985). Tanaman khas Indonesia

satu ini memiliki potensi yang luar

biasa untuk dikembangkan sebagai

tanaman obat. Bahkan konon, tanaman

ini memiliki keunggulan setara dengan

ginseng Korea. Tidak heran, banyak

orang menganggap, temulawak sebagai

ginsengnya Indonesia.

Tanaman obat jenis temulawak

ternyata dapat mencegah terjadinya

berbagai berbagai macam penyakit

seperti kolesterol, jantung koroner,

stroke dan rematik. Karena temulawak

mengandung senyawa aktif kurkumin

yang mempunyai aktifitas sebagai

antioksidan dan imunostimulator /

imunomodulator. Aktivitas imono-

modulator dari kurkumin dapat

meningkatkan daya tahan tubuh

terhadap serangan penyakit sehingga

tidak mudah sakit. Kurkuminnoid

sebagai sekumpulan senyawa yang

terdapat dalam temulawak telah

terbukti secara cepat dapat menurunkan

kadar SGPT dan SGOT pada penderita

hepatitis (Sampurno, 2005).

Masyarakat dianjurkan tidak

menkonsumsi temulawak melebihi 1

ons per hari karena dikawatirkan akan

menimbulkan efek samping. Masya-

rakat dianjurkan mengkonsumsi temu-

lawak tiga kali sehari dengan takaran

1/3 ons untuk sekali minum (Kerti,

2005).

Page 45: Teknologi Pangan Legal

60

cm dan lebar antara 10 – 18 cm.

Tanaman temulawak membentuk

rimpang induk bulat panjang dengan

anak rimpang sebanyak 3 – 7 buah.

Permukaan luar rimpang berkerut dan

berwarna coklat kuning sampai coklat

sedangkan bidang irisannya berwarna

coklat kuning buram, melengkung tidak

beraturan/tidak rata, sering dengan

tonjolan melingkar pada batas antara

silinder pusat dengan korteks

(Syamsudin, 1999).

Bunga muncul dari camping

batang, berbentuk bulir bulat meman-

jang dengan panjang antara 9-23 cm

dan lebar 4-6 cm. Daun pelindung

bunga banyak dan panjangnya melebihi

atau sama dengan mahkota bunga,

berbentuk bulat telur sungsang sampai

bentuk jorong berwarna merah, ungu

atau putih. Wahid, (1999), kelopak

bunga berwarna putih dan mahkota

bunga berbentuk tabung dengan

panjang keseluruhan 4-5 cm. Tabung

berwarna putih atau kuning, berukuran

2 – 2,5 cm Benang sari berwana

kuning muda dengan ukuran panjang

12 – 16 mm, lebar 10 – 15 mm,

tangkai sari panjang 3 – 4,5 mm, lebar

2,5 – 4,5 mm. Kepala sari berwarna

putih, panjang 6 mm, tangkai putik

panjang 3 – 7 mm, buah berbulu

panjang 20 mm.

Potensi dan Produksi Temulawak

Tanaman temulawak merupakan

salah satu tanaman obat yang mem-

punyai prospek cerah untuk dikem-

bangkan. Anonymous, (2004), eksport

temulawak Indonesia th 2003 sebesar

5,452 juta dolar AS dengan volume

9,149 ton. Pengembangan tanaman

temulawak di Indonesia sangat

potensial karena didukung dengan

jumlah produksi rimpang temulawak

yang mengalami peningkatan sejak

2001 - 2002. Jumlah prosi rimpang

temulawak pada tahun 1998 - 2002

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Produksi Rimpang

Temulawak Tahun Jumlah produksi (kg)

1998 11.559400

1999 4.615.800

2000 5.674.100

2001 6.089.077

2002 7.173.513

Sumber : BPS di dalam Statistika Pertanian

(2003).

Khasiat Rimpang Temulawak

Tumbuhan temulawak secara

empirik banyak digunakan sebagai

obat dalam bentuk tunggal maupun

campuran untuk mengatasi saluran

pencernaan, gangguan aliran getah

empedu, sembelit, radang rahim,

kencing nanah, kurang nafsu makan,

obesitas, radang lambung, cacar air,

ambeien, perut kembung, memulihkan

kesehatan sehabis melahirkan (Afifah,

2003).

Komposisi kimia dari rimpang

temulawak adalah protein pati sebesar

29 - 30 persen, kurkumin 1 - 2 %, dan

minyak atsiri 6 - 10 persen. Daging

buah rimpang temulawak mempunyai

kandungan senyawa kimia antara lain

berupa fellandrean dan tumerol atu

yang sering disebut minyak menguap.

Kemudian minyak atsiri, kamfer,

glukosida, foluymetik karbinol.

41

Ikan gabus dicuci bersih dan

diambil sample daging secukupnya

untuk dilakukan analisis proksimat

yang meliputi: kadar air, kadar protein,

kadar lemak, tekstur, kadar pati dan

kadar abu. Masing-masing analisis

dilakukan tiga kali (triplo) untuk

memperoleh nilai rata-rata ( x ) dan

simpangan baku (Sd).

b. Pembuatan bakso ikan gabus

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan

dengan melakukan analisis

karakteristik kimia yaitu kadar pati dan

kadar protein; karakteristik fisik yaitu

kekenyalan dan karakteristik

organoleptik yaitu kesukaan terhadap

warna, tekstur, aroma dan rasa. Data

yang meliputi karakteristik kimia dan

fisik diperoleh dari laboratorium,

sedangkan data karakteristik

organoleptik diperoleh dari pengisian

skor kesukaan oleh panelis minimal 20

orang. Skala nilai kesukaan mulai dari

1 (sangat tidak suka ) sampai 7 (sangat

suka).

Analisis Data

Analisis ragam dilakukan untuk

mengetahui adanya pengaruh perlakuan

perbandingan proporsi daging ikan dan

tepung tapioka terhadap kadar pati,

kadar protein, kekenyalan , warna,

tekstur, aroma dan rasa.

Apabila dari hasil analisis ragam

terdapat pengaruh perlakuan maka

dilanjutkan dengan Uji Beda Duncan

(Duncan Multiple Range Test) terhadap

data kuantitatif ( kadar protein, kadar

pati dan kekenyalan) untuk mengkaji

perlakuan mana yang berbeda nyata.

Untuk parameter-parameter ber-

sifat kualitatif yaitu kesukaan warna,

tekstur, aroma dan rasa dilakukan

analisis ragam dengan metode

Friedman (Basker, 1988).

Pengambilan Keputusan

Pengambilan Keputusan dilaku-

kan untuk menentukan perlakuan mana

yang terbaik dengan mempertimbang-

kan ke tujuh variable tergantung

tersebut. Metode pengambilan

keputusan yang dipergunakan adalah

Metode Indeks Efektivitas (De Garmo,

1980).

Analisis Kelayakan Finansial dan

Analisis Sensitivitas

Analisis kelayakan finansial

dilakukan terhadap perlakuan proporsi

ikan gabus dan tepung tapioka yang

terpilih berdasarkan tahap 5 diatas.

Kriteria-kriteria kelayakan finansial

yang akan diukur meliputi (Husnan dan

Suwarsono, 1991) :

- Net Present Value

- Break Even Point (kg, Rp)

- Internal Rate of Return

- Payback Period

Sedangkan analisis sensitivitas

dilakukan untuk mengetahui pengaruh

perubahan-perubahan variabel eksogen

(asumsi-asumsi) terhadap keputusan

investasi, yaitu sampai seberapa jauh

variabel-variabel eksogen tersebut

(naik/turun) dapat ditolerir tanpa

merubah keputusan investasi. Variabel-

variabel eksogen yang dipertim-

bangkan:

1. penurunan penerimaan penjualan

Page 46: Teknologi Pangan Legal

42

2. Kenaikan Biaya Operasional

3. Penurunan Penerimaan dan

Kenaikan Biaya

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air

Kadar air bakso ikan gabus

berkisar antara 46,72% (tapioka 90%

dan ikan gabus 10%) hingga 53,21%

(tapioka 40% dan ikan gabus 60%).

Grafik hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

kadar air bakso ikan dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan bahwa

semakin rendah

proporsi tapioka

dan semakin

tinggi ikan gabus

menyebabkan

makin tingginya

kadar air bakso,

dengan mengikuti

pola persamaan

linear y = 1,1705x

+ 45,546.

koefisien regresi

sebesar 94,98%

menunjukkan

bahwa perlakuan

proporsi ikan

gabus dan tapioka

mempunyai

pengaruh besar

terhadap kadar air

bakso ikan

Tabel 1 me-

nunjukkan rerata

kadar air akibat

perlakuan pro-

porsi ikan gabus

dan tapioka.

Tabel 1 menunjukkan bahwa

kadar air bakso tertinggi adalah akibat

perlakuan Tapioka 40% - ikan gabus

60%, sedangkan kadar air terendah

adalah akibat perlakuan Tapioka 90% -

ikan gabus 10% dan tidak berbeda nyata

dengan perlakuan Tapioka 80% - ikan

gabus 20%. Tampak pada Tabel 3

bahwa makin rendah kadar tapioka dan

makin tinggi ikan gabus menyebabkan

makin tinggi kadar air bakso. Hal ini

berkaitan dengan proses gelatinisasi pati

yang terkandung dalam tapioka dan

pembentukan ikatan silang antara pati

dengan protein

yang telah

mengalami de-

naturasi. Eskin

et al. (1971)

dalam Wibowo

(1999) me-

nyatakan bah-

wa reaksi gela-

tinisasi pati dan

denaturasi pro-

tein menyebab-

kan air terpe-

rangkap dalam

matriks kom-

pleks pati-pro-

tein, sedangkan

gelatinisasi pati

tersebut terjadi

pada suhu re-

latif tinggi (le-

bih dari 60oC)

menyebabkan

granula pati

membengkak

terisi air. De

y = 1,1705x + 45,546

R2 = 0,9498

42

44

46

48

50

52

54

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

ka

da

r a

ir (

%)

kadar air

Linear (kadar air)

Gambar 1. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

kadar air

Tabel 1. Kadar Air Bakso Ikan Gabus

Perlakuan Kadar Air

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 46,7175c

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 48,1975bc

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 49,27b

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 49,51b

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 50,9525b

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 53,21a

Keterangan: Angka yang didampingi huruf

yang sama menunjukkan tidak

berbeda pada taraf 5%

59

menjadi bentuk anhydraus dengan

pemanasan diatas 74oC (Anonymous,

2007). Asam sitrat sering digunakan

sebagai sumber asam dalam pembuatan

serbuk atau tablet effervescent karena

memiliki kelarutan yang tinggi dalam

air dingin, mudah didapat dalam bentuk

granular atau serbuk.

Na-Bikarbonat (NaHCO3) meru-

pakan serbuk kristal putih yang mampu

menghasilkan karbondioksida. Na-

Bicarbonat memiliki berat molekul

84,01 (tiap gramnya mengandung

11,9 mmol natrium). Na-Bicarbonat

anhidrat terkonversi pada suhu 2500 C-

3000 C, pada RH di atas 85 % akan

menyerap air dari lingkungannya dan

menyebabkan dekomposisi dengan

hilangnya karbondioksida (Reynolds,

1989). Pada pembuatan effervescent

mengkudu yang dilakukan oleh

Wardiningrum (2001), penggunaan

Na-Bicarbonat (NaHCO3) 32%

merupakan hasil yang tebaik. Pada

pembuatan effervescent ubi jalar ungu

digunakan Na-Bicarbonat (NaHCO3)

10 %.

Sejauh ini penelitian pembuatan

serbuk effervescent dari temulawak

dengan menggunakan kombinasi kajian

suhu pengering, dekstrin, asam sitrat

dan Na-Bicarbonat (NaHCO3) belum

banyak diungkapkan.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza

Roxb) termasuk famili Zingberaceae.

Temulawak satu famili dengan anggota

temu-temuan lainnya, yakni temu hitam

(Curcuma aeruginosa), kunyit

(Curcuma domestica Val.), kencur

(Kaempferia galanga) dan jahe

(Zingiber officinale Rosc). Di

sepanjang daerah tropis dan subtropis,

famili Zingiberaceae terdiri dari 47

genus dan 1400 spesies (Afifah, 2003).

Temulawak (Curcuma xanthorriza

Roxb) merupakan tanaman asli

Indonesia yang tumbuh liar di hutan-

hutan beberapa pulau di Indonesia

seperti Jawa, Madura, Maluku,

Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara

Temulawak sering kali dikaitkan

dengan kehadiran suku jawa. Dengan

meluasnya penggunaan temulawak,

saat ini sudah dilakukan

pembudidayaan terutama di Pulau jawa

(Rukmana, 2000).

Tumbuhan temulawak menyukai

lingkungan lembab terlindung, se-

hingga sering tumbuh di hutan jati atau

hutan bambu. Tanaman temulawak

merupakan tanaman hutan, namun

dapat tumbuh ditempat yang agak

cerah (Ramlan, 1999). Temulawak

dapat ditanam pada tanah yang agak

berpasir sampai tanah berat bertekstur

liat, dan dapat tumbuh pada ketinggian

5 - 1.500 meter diatas permukaan laut

(Hargono, 1985).

Temulawak termasuk tananaman

berbatang semu basah, berwarna hijau

atau coklat gelap, membentuk rumpun

yang tingginya bervariasi. Ada yang

mencapai 0,5 – 2,5 m tergantung

keadaan lingkungan tumbuhnya. Da-

unnya melebar panjang mirip daun

pisang dan tiap tanaman mempunyai

daun antara 2 – 9 helai, berwarna hijau

atau coklat keunguan terang sampai

gelap dengan ukuran panjang 31 – 84

Page 47: Teknologi Pangan Legal

58

penggunaannya sebagai sumber bahan

pangan, bahan baku industri, atau

bahan baku obat dapat dibedakan atas

beberapa fraksi, yaitu : fraksi pati,

fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak

atsiri (Sidik, 1999).Pada saat ini telah

banyak perusahaan obat tradisional

yang memproduksi jamu dalam bentuk

ekstrak, sehingga sedikit demi sedikit

akan menggantikan sebagian jamu

bentuk serbuk (terikut ampasnya) yang

dikatakan kurang efisien. Perusahaan

obat tradisional melakukan penyarian

bahan dengan cara menggodog

rajangan dan serbuk bahan dengan air

panas. Hal ini akan menyebabkan

gugus aktif bahan penyusun jamu

yang tersari kurang efektif (Pramono,

1999). Oleh karena itu dicari teknik

pengolahan yang tidak banyak

merusak gugus aktif.Serbuk

effervescent merupakan alternatif

pengembangan produk minuman

ringan yang menarik dan memberikan

variasi dalam penyajian minuman

tradisional juga praktis dalam

penyimpanan dan transportasi

dibanding minuman ringan biasa

dalam bentuk cair.

Keunggulan serbuk effervescent

dibanding minuman serbuk biasa

adalah kemampuan untuk

menghasilkan gas karbondiksida (CO2)

yang memberikan rasa segar seperti

pada air soda. Kartika (2000), adanya

gas tersebut akan menutupi rasa pahit

serta mempermudah proses

pelarutannya tanpa melibatkan

pengadukan secara manual, dengan

syarat semua omponennya bersifat

sangat mudah larut dalam air.

Komponen penyusun minyak atsiri

antara lain, Germakron berbentuk

kristal jarum tidak berwarna

mempunyai bobot molekul 218, rumus

molekul C15H22O. dengan titik leleh 53

– 55oC (Sidik, 1999). Oleh karena itu,

pengolahan rimpang temulawak

diperlukan perlakuan suhu pengeringan

di bawah titik leleh, untuk mem-

pertahankan gugus aktif temulawak

yang merupakan salah satu penentu

kualitas produk.

Teknologi pengeringan yang

mudah diterapkan dan murah yaitu

metode foam-mat draying.

Penambahan bahan pengisi seperti

dekstrin diperlukan dalam pembuatan

bubuk sari temulawak dengan metode

foam-mat draying, dengan tujuan untuk

mempercepat pengeringan dan

mencegah kerusakan akibat panas,

melapisi komponen flavour,

meningkatkan total padatan, dan

memperbesar volume (Murtala, 1999).

Penggunaan pengeringan dengan suhu

50±20C dan penambahan dekstrin

12,5% menghasilkan produk terbaik

pada pembuatan bubuk sari buah sirsak

(Suryanto, 2000) Teknologi

pengeringan ini, diharapkan dapat

mendukung pengembangan temulawak

menjadi bentuk bubuk sari temulawak

yang berkualitas.

Dalam minuman terkarbonasi

dan minuman bubuk asam sitrat dapat

memberikan rasa jeruk yang tajam.

Asam sitrat yang digunakan dalam

effervescent umumnya dalam bentuk

monohidrat didapatkan dari kristalisasi

asam sitrat dalam air dingin bentuk

monohidrat tersebut dapat diubah

43

y = 0,0599x + 10,178

R2 = 0,9245

10

10,1

10,2

10,3

10,4

10,5

10,6

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

kad

ar

ab

u (

%)

kadar abu

Linear (kadar abu)

Gambar 2. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

kadar abu

Mann (1997) menyatakan bahwa

adanya molekul-molekul protein yang

tinggi dalam bahan makanan akan

mengikat uap air dengan baik; hal ini

karena kemampuan ikat air dari asam

amino rantai samping yaitu

hidrokarbon. Hal ini mengakibatkan

bakso dengan proporsi ikan gabus yang

lebih tinggi menghasilkan bakso

dengan kadar air yang lebih tinggi pula.

Kadar Abu

Kadar abu bakso ikan gabus

berkisar antara 10,205% (tapioka 90%

dan ikan gabus

10%) hingga

10,5175% (ta-

pioka 40% dan

ikan gabus

60%). Grafik hu-

bungan antara

perlakuan pro-

porsi tapioka dan

ikan gabus de-

ngan kadar abu

bakso ikan dapat

dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2

menunjukkan

bahwa semakin

rendah proporsi

tapioka dan se-

makin tinggi

ikan gabus me-

nyebabkan ma-

kin tingginya

kadar abu bakso,

dengan meng-

ikuti pola persa-

maan linear y =

0,0599x + 10,178. koefisien regresi

sebesar 92,45% menunjukkan bahwa

perlakuan proporsi ikan gabus dan

tapioka mempunyai pengaruh besar

terhadap kadar abu bakso ikan. Tabel 2

menunjukkan rerata kadar abu akibat

perlakuan proporsi ikan gabus dan

tapioka.

Tabel 2 menunjukkan bahwa

kadar abu bakso tertinggi adalah akibat

perlakuan Tapioka 40% - ikan gabus

60% meskipun tidak berbeda dengan

Tapioka 50% - ikan gabus 50% maupun

Tapioka 60% - ikan gabus 40%,

sedangkan ka-

dar abu teren-

dah adalah

akibat perlaku-

an Tapioka

90% - ikan

gabus 10%.

Tampak

pada Tabel 2

bahwa makin

rendah kadar ta-

pioka dan ma-

kin tinggi ikan

gabus menye-

babkan makin

tinggi kadar

abu bakso. Hal

ini berkaitan de-

ngan kandung-

an alami mine-

ral yang ter-

kandung dalam

ikan gabus.

Hadiwiyoto

(1993) menya-

Tabel 2. Kadar Abu Bakso Ikan Gabus

Perlakuan

Kadar

Abu

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 10,205b

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 10,34ab

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 10,365ab

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 10,39a

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 10,51a

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 10,5175a

Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang

sama menunjukkan tidak berbeda

pada taraf 5%

Page 48: Teknologi Pangan Legal

44

takan bahwa ikan gabus mengandung

beberapa mineral yaitu Zinc sebesar

1,74 mg/100 g, Besi 0,9 mg/100 g,

Kalsium 62,0 mg/100 g dan Fosfor 176

mg/100 g.

Tekstur

Tekstur bakso ikan gabus berkisar

antara 10,05 N (tapioka 90% dan ikan

gabus 10%)

hingga 17,025 N

(tapioka 40%

dan ikan gabus

60%). Grafik hu-

bungan antara

perlakuan pro-

porsi tapioka

dan ikan gabus

dengan tekstur

bakso ikan dapat

dilihat pada

Gambar 3.

Gambar 3

menunjukkan

bahwa semakin

rendah proporsi

tapioka dan

semakin tinggi

ikan gabus me-

nyebabkan

makin tingginya

tekstur bakso,

dengan

mengikuti pola

persamaan linear

y = 1,5293x +

8,46. koefisien regresi sebesar 96,49%

menunjukkan bahwa perlakuan

proporsi ikan gabus dan tapioka

mempunyai pengaruh besar terhadap

tekstur bakso ikan. Tabel 3

menunjukkan rerata tekstur akibat

perlakuan proporsi ikan gabus dan

tapioka.

Tabel 3 menunjukkan bahwa tekstur

bakso tertinggi adalah akibat perlakuan

Tapioka 40% - ikan gabus 60%

meskipun tidak berbeda dengan Tapioka

50% - ikan

gabus 50%, se-

dangkan teks-

tur terendah a-

dalah akibat

perlakuan Ta-

pioka 90% -

ikan gabus

10% dan tidak

berbeda de-

ngan Tapioka

80% - ikan

gabus 20%.

Tampak pada

Tabel 3 bahwa

makin rendah

kadar tapioka

dan makin

tinggi ikan

gabus menye-

babkan makin

tinggi tekstur

bakso, atau

bakso makin

kenyal sehing-

ga butuh ener-

gi lebih besar

untuk mene-

kannya. Hal ini berkaitan dengan

pembentukan matriks antara pati dan

protein selama proses pemasakan. Pada

matriks terebut terdapat ikatan silang

y = 1,5293x + 8,46

R2 = 0,9649

8

10

12

14

16

18

20

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

tekstu

r (

N)

tekstur

Linear (tekstur)

Gambar 3. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

tekstur

Tabel 3. Tekstur Bakso Ikan Gabus

Perlakuan Tekstur

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 10,05d

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 10,95d

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 13,05c

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 15,425b

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 16,375ab

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 17,025a

Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang

sama menunjukkan tidak berbeda

pada taraf 5%

57

perlakuan konsentrasi dekstrin 20% dan suhu pengering 50°C

merupakan perlakuan terbaik tahap I dari serbuk sari temulawak yang

memiliki karakteristik kadar air 10,11%; tingkat kecerahan (L*)

55,10; tingkat kemerahan (a*) 14,56; tingkat kekuningan (b*) 44,20;

rendemen 24,63%; pH 5,63; reabsorbsi air 2,78; kadar gula reduksi

1,88% dan kadar antioksidan 62,27% sedangkan rerata tingkat

kesukaan panelis terhadap warna 5,55; rasa 5,95 dan aroma 4,15.

Hasil penelitian pada Tahap II menunjukkan bahwa kombinasi

perlakuan konsentrasi asam sitrat 10% dan natrium bikarbonat 20%

merupakan perlakuan terbaik tahap II yang memiliki karakteristik

kadar air 7,48%; tingkat kecerahan (L*) 59,37; tingkat kemerahan (a*)

14,53; tingkat kekuningan (b*) 46,50; pH 5,33; kelarutan 88,17; kadar

gula reduksi 2,49% dan kadar antioksidan 46,53%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kombinasi perlakuan

terbaik pada Tahap I yaitu, konsentrasi dekstrin 20% dan suhu

pengering 50°C dan Tahap II yaitu, konsentrasi asam sitrat 10% dan

natrium bikarbonat 20%. Saran dari penelitian ini perlu dilakukan

analisa kadar kurkuminoid sebagai senyawa antioksidan aktif yang

terdapat dalam temulawak.

Kata Kunci : Serbuk effervescent, Temulawak

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza

Roxb), merupakan tumbuhan asli

Indonesia. Dari sekitar 70 jenis

Curcuma yang tersebar di kawasan

Asia Selatan. Asia Tenggara sampai ke

Australia Utara, tidak kurang 20 jenis

tumbuh di Indonesia. Rimpang ini

paling banyak digunakan sebagai bahan

baku obat tradisional. Di samping itu,

rimpang tanaman ini juga merupakan

salah satu bahan eksport yang cukup

potensial. Kebutuhan akan temulawak

dari tahun ketahun semakin meningkat

dengan berkembangnya perusahaan

obat tradisional di Indonesia

(Yoganingrum, 1997).

Sebagai obat tradisional telah

diketahui manfaatnya oleh nenek mo-

yang sejak jaman dahulu, temulawak

paling umum dipakai ramuan jamu

untuk tambah nafsu makan, gangguan

hati, penyakit kuning malaria, tambah

nafsu makan, pegal-pegal dan sembelit

baik berupa air perasan maupun air

rebusan. Hadi (1999), telah mem-

buktikan khasiatnya melalui teknik

ilmu pengetahuan modern baik oleh

ilmuwan dalam maupun luar negeri.

Hasil-hasil penelitian membuktikan

bahwa temulawak mempunyai berbagai

macam khasiat, yaitu : sebagai

analgesik, antibakteri, antidiabetik,

antidiare, antiinflamasi, antihepatotok-

sik, insektisida dan lain-lain.

Kandungan kimia rimpang

temulawak yang memberi arti pada

Page 49: Teknologi Pangan Legal

56

STUDI PEMBUATAN SERBUK EFFERVESCENT

TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

KAJIAN SUHU PENGERING, KONSENTRASI DEKSTRIN,

KONSENTRASI ASAM SITRAT

DAN Na-BIKARBONAT

Rakhmad Wiyono

ABSTRACT

Abstract:This research aimed to get the combination of drying temperature

and dextrin concentration against the quality of temulawak’s essence, and the

combination between citric acid and Na- Bicarbonate treatment against

temulawak’s effervescent powder quality.

The result of the first step shows that the treatment combination

between 20% of dextrin concentration and 50°C of drying temperature which

is the best treatment of the first step from temulawak’s powder essence that

has characteristics on 10.11% of water content, ( L*) 55.10 of brightness

level, (a*) 14.56 of redness level, ( b*) 44.20 of yellowness level, 24.63% of

rendement, 5.63 of pH; 2.78 of water re-absorption; 1.88% of sugar content

reduction; 62.27% antioxidant content, 5.55 obtains panellists’ assessment

against color, 5.95 of taste, and 4.15 of aroma.

The result of the second step shows that the treatment combination

between 10% citric acid and 20% Na-bicarbonate that is the best treatment of

the second step that has characteristics on 7.48% of water content, (L*) 59.37

of brightness level, (a*) 14.53 of redness level, (b*) 46.50 of yellowness

level, 5.33 of pH, 88.17 of dissolving rate, 2.49% of sugar content reduction,

and 46.53% of antioxidant content.

The conclusion of this research is the best treatment combination

on the first step is 20% of dextrin concentration and 50°C drying temperature,

while at the second step is 10% citric acid concentration and 20% Na-

bicarbonate. The advice of this research is its necessary to analyze the

curcuminoid content as an active antioxidant compound in temulawak.

Key word : Effervescent powder, temulawak

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi suhu

pengeringan dan konsentrasi dekstrin terhadap kualitas sari

temulawak dan kombinasi perlakuan asam sitrat dan Na-Bicarbonat

terhadap kualitas serbuk effervescent temulawak.

Hasil penelitian pada Tahap I menunjukkan bahwa kombinasi

45

antara protein yang telah terdenaturasi

dan pati yang mengalami gelatinisasi.

Muchtadi dkk (1988) menyatakan bahwa

ikatan saling silang antara pati dan

protein merupaka ikatan ionik dan

kovalen sehingga membentuk tekstur

yang kuat, sedangkan gelatinisasi pati

tanpa adanya protein membentuk

jembatan hidrogen yang lebih ikatannya

lebih lemah dan berakibat pda tekstur

yang lebih lunak (Hardoko, 1994).

Kadar Pati

Kadar pati bakso ikan gabus

berkisar antara 22,65 % (tapioka 90%

dan ikan gabus 10%) hingga 14,7%

(tapioka 40%

dan ikan gabus

60%). Grafik

hubungan antara

perlakuan pro-

porsi tapioka

dan ikan gabus

dengan kadar

pati bakso ikan

dapat dilihat

pada Gambar 4.

Gambar 4

menunjukkan

bahwa semakin

rendah proporsi

tapioka dan se-

makin tinggi

ikan gabus me-

nyebabkan ma-

kin tingginya

kadar pati bak-

so, dengan

mengikuti pola

persamaan line-

ar y = -1,4108x + 23,427. koefisien

regresi sebesar 95,79% menunjukkan

bahwa perlakuan proporsi ikan gabus

dan tapioka mempunyai pengaruh besar

terhadap kadar pati bakso ikan. Tabel

4 menunjukkan rerata kadar pati akibat

perlakuan proporsi ikan gabus dan

tapioka.

Tabel 4 menunjukkan bahwa

kadar pati bakso terrendah adalah

akibat perlakuan Tapioka 40% - ikan

gabus 60%, sedangkan kadar pati

tertinggi adalah akibat perlakuan

Tapioka 90% - ikan gabus 10%.

Tampak pada Tabel 4 bahwa makin

rendah kadar tapioka dan makin tinggi

ikan gabus menye-

babkan makin ren-

dah kadar pati bak-

so, sebaliknya ma-

kin tinggi kadar

tapioka dan makin

rendah kadar ikan

gabus menyebab-

kan makin ting-

ginya kadar pati

yang diperoleh. Hal

ini karena tapioka

memang meru-

pakan sumber pati

(amilum) yang ber-

asal dari singkong,

sehingga makin

banyak proporsi

pati mengakibatkan

makin tingginya

kadar pati.

Saraswati menya-

takan bahwa kan-

dungan karbohidrat

Tabel 4. Kadar Pati Bakso Ikan Gabus

Perlakuan

Kadar

Pati

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 22,6525d

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 19,8975c

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 18,805bc

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 17,8825b

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 17b

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 14,7a

Keterangan: Angka yang didampingi huruf

yang sama menunjukkan tidak

berbeda pada taraf 5%

y = -1,4108x + 23,427

R2 = 0,9579

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

pa

ti (

%)

pati

Linear (pati)

Gambar 4. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus

dengan kadar pati

Page 50: Teknologi Pangan Legal

46

(yaitu pati) dalam tapioka adalah

sebesar 88,2 g per 100 g bahan.

Kadar Lemak

Kadar lemak bakso ikan gabus

berkisar antara 1,535 % (tapioka 90%

dan ikan gabus 10%) hingga 1,9825 %

(tapioka 40% dan ikan gabus 60%).

Grafik hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

kadar lemak

bakso ikan dapat

dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5

menunjukkan bah-

wa semakin ren-

dah proporsi tapi-

oka dan semakin

tinggi ikan gabus

menyebabkan ma-

kin tingginya ka-

dar lemak bakso,

dengan mengi-

kuti pola per-

samaan linear y

= 0,0828x +

1,4948. koefisien

regresi sebesar

96,58 % menun-

jukkan bahwa

perlakuan pro-

porsi ikan gabus

dan tapioka mem-

punyai pengaruh

besar terhadap ka-

dar lemak bakso ikan. Tabel 5

menunjukkan rerata kadar lemak

akibat perlakuan proporsi ikan gabus

dan tapioka.

Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar

lemak bakso tertinggi adalah akibat

perlakuan Tapioka 40% - ikan gabus

60%, sedangkan kadar lemak tertinggi

adalah akibat perlakuan Tapioka 90% -

ikan gabus 10%. Tampak pada Tabel 5

bahwa makin rendah kadar tapioka dan

makin tinggi ikan gabus menyebabkan

makin tinggi kadar lemak bakso,

sebaliknya makin tinggi kadar tapioka

dan makin ren-

dah kadar ikan

gabus me-

nyebabkan ma-

kin rendahnya

kadar lemak

yang diperoleh.

Hal ini karena

ikan gabus, seba-

gaimana kelom-

pok ikan pada u-

mumnya, me-

mang mengan-

dung lemak, se-

bagaimana dinya-

takan oleh Hadi-

wiyoto (1993)

bahwa kandung-

an lemak ikan

gabus adalah se-

besar 2,7 g /

100 g bahan. Se-

dangkan tapioka

juga mengan-

dung lemak na-

mun relatif lebih

sedikit yaitu 0,5 g / 100 g bahan

(Saraswati, 1986) sehingga kandungan

lemak ikan jelas lebih berpengaruh ter-

hadap kadar lemak bakso.

y = 0,0828x + 1,4948

R2 = 0,9658

1,4

1,5

1,6

1,7

1,8

1,9

2

2,1

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

lem

ak

(%

)

lemak

Linear (lemak)

Gambar 5. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabusdengan

kadar lemak

Tabel 5. Kadar Lemak Bakso Ikan

Gabus

Perlakuan

Kadar

Lemak

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 1,535d

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 1,6925c

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 1,7675bc

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 1,8425b

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 1,8875b

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 1,9825a

Keterangan: Angka yang didampingi huruf

yang sama menunjukkan tidak

berbeda pada taraf 5%

55

(Kamaboko) dari Daging Ikan

Tengiri dengan Tepung

Gandum dan Tepung Sagu.

Buletin Ilmiah Perikanan.

Faperik Unibraw Malang, III :

p.63-72.

Saraswati, 1986. Pembuatan Keripik

Ikan Tengiri. PT. Bharata

Karya Aksara. Jakarta.

SNI. 1995. Bakso Ikan. Dewan

Standarisasi Nasional. Jakarta.

Sudarminto dan Yuwono,

2002.Analisis Karakteristik

Fisik Bahan Pangan. Jurusan

THP Fakultas Teknologi

Pertanian Univ. Brawijaya.

Malang

Suprayitno, E. 2003. Potensi Serum

Albumin dari Ikan Gabus.

Kompas Cyber Media

4 Januari 2003.

Wibowo,S. 1999. Pembuatan Bakso

Ikan dan Bakso Daging. Pen.

Swadaya. Jakarta.

Page 51: Teknologi Pangan Legal

54

riabel naik dengan perincian berikut :

Maka diperoleh kriteria-kriteria kela-

yakan finansial sebagai berikut: Pay-

back Period 17,846 tahun (tidak layak

karena lebih dari usia guna proyek),

Net BC rati o= -0,163 (tidak layak ka-

rena lebih kecil dari 1), RCR = 1,204

(layak karena bernilai >1), IRR =

bernilai negatif sehingga tidak layak,

NPV pada suku bunga 15% sebesar Rp.

-1.050.161.569,18, BEP = 5.664,75

unit atau Rp. 89.172.697,25 atau

8,00%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian ini

adalah:

- perlakuan proporsi tapioka dan

daging ikan gabus berpengaruh

terhadap kadar air, kadar abu, tekstur,

kadar protein, kadar lemak, kadar

pati, kesukaan : warna, kekenyalan,

aroma dan rasa.

- Perlakuan terbaik adalah perlakuan

tapioka 70% dan ikan gabus 30%

dengan kadar air 49,27%, kadar abu

10,365 mg/100 g, tekstur 13,05 N,

kadar pati 18,805%, kadar lemak

1,7675%, kadar protein 22,8275%,

kesukaan : warna 5,95 (mendekati

suka), kekenyalan 5,35 (antara agak

suka sampai suka), aroma 6,4 (antara

suka sampai sangat suka) dan rasa

5,45 (antara agak suka sampai suka).

- Kapasitas produksi 118 kg bakso

ikan gabus / hari layak secara

finansial dengan kriteria-kriteria

sebagai berikut: PBP sebesar 4,941

tahun, Net BC ratio= 1,223 , RCR =

1,372, NPV (pada suku bunga

pinjaman 15%) = Rp.

8.659.111,91, IRR = 16,53% , BEP =

4.851,86 unit atau Rp. 37.775.000,08

atau 6,9%.

Saran

Saran bagi hasil penelitian ini

adalah:

- perlu diteliti upaya reduksi aroma

ikan gabus, karena aroma ikan gabus

lebih tajam dibandingkan dengan

aroma ikan-ikan lainnya baik dengan

perlakuan fisik ataupun kimia

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 1997. Buku Pedoman

Pengenalan Sumber

Perikanan Air Tawar. Dinas

Perikanan Propinsi Dati I

Jatim. Surabaya

AOAC. 1990. Official Methods of

Analysis of the Association of

Official Analytical Chemists.

Association of Official

Analytical Chemists,

Washington D.C.

Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan.

Armico. Bandung.

Gaspersz, V. 1992. Teknik Analisis

dalam Penelitian Percobaan.

Tarsito. Bandung

Hadiwiyoto, 1993 Teknologi

Pengolahan Hasil Perikanan

Jilid I. Pen. Liberty. Jogjakarta

Hardoko, 1994. Pembuatan Fish Cake

47

Kadar Protein

Kadar protein bakso ikan gabus

berkisar antara 20,3025 % (tapioka

90% dan ikan gabus 10%) hingga

27,205 % (tapioka 40% dan ikan gabus

60%). Grafik hubungan antara

perlakuan proporsi tapioka dan ikan

gabus dengan kadar protein bakso ikan

dapat dilihat

pada Gambar 6.

Gamb

ar 6

menunjukkan

bahwa semakin

rendah proporsi

tapioka dan

semakin tinggi

ikan gabus me-

nyebabkan ma-

kin tingginya

kadar protein

bakso, dengan

mengikuti pola persamaan linear y =

1,3503x + 18,675. koefisien regresi

sebesar 98,39 % menunjukkan bahwa

perlakuan proporsi ikan gabus dan tapi-

oka mempunyai pengaruh besar

terhadap kadar

protein bakso

ikan. Tabel 8

menunjukkan

rerata kadar

protein akibat

perlakuan pro-

porsi ikan gabus

dan tapioka.

Tabel 6

menunjukkan

bahwa kadar

protein bakso

tertinggi adalah

akibat perlakuan Tapioka 40% - ikan

gabus 60%, sedangkan kadar protein

tertinggi adalah akibat perlakuan

Tapioka 90% - ikan gabus 10%

meskipun tidak berbeda dengan

Tapioka 80% - ikan gabus 20%.

Tampak pada

Tabel 6 bahwa

makin rendah kadar

tapioka dan makin

tinggi ikan gabus

menyebabkan ma-

kin tinggi kadar

protein bakso, se-

baliknya makin

tinggi kadar tapi-

oka dan makin

rendah kadar ikan

gabus menyebab-

kan makin ren-

dahnya kadar

protein yang diperoleh. Hal ini karena

ikan gabus, sebagaimana kelompok ikan

pada umumnya, memang merupakan

sumber protein, sebagaimana dinyata-

kan oleh Hadi-

wiyoto (1993)

bahwa kandungan

protein ikan gabus

adalah sebesar

25,2 g / 100 g ba-

han. Suprayitno

(2003) menya-

takan bahwa

dalam protein ikan

gabus terkandung

albumin yang cu-

kup tinggi. Se-

dangkan tapioka

y = 1,3503x + 18,675

R2 = 0,9839

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

ka

da

r p

rote

in (

%)

protein

Linear (protein)

Gambar 6. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

kadar protein

Tabel 6. Kadar Protein Bakso Ikan

Gabus

Perlakuan

Kadar

Protein

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 20,3025e

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 21,1325e

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 22,8275d

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 23,92c

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 25,0175b

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 27,205a

Keterangan: Angka yang didampingi huruf

yang sama menunjukkan tidak

berbeda pada taraf 5%

Page 52: Teknologi Pangan Legal

48

juga mengandung protein namun relatif

lebih sedikit yaitu 1,1 g / 100 g bahan

(Saraswati, 1986) sehingga kandungan

protein ikan jelas lebih berpengaruh

terhadap kadar protein bakso.

Kesukaan Kekenyalan

Kesukaan kekenyalan bakso ikan

gabus berkisar antara 3,15 yaitu antara

agak tidak suka hingga ragu-ragu

(tapioka 90% dan ikan gabus 10%)

hingga 6,05 yaitu antara suka hingga

sangat suka (tapioka 40% dan ikan

gabus 60%). Grafik hubungan antara

perlakuan proporsi tapioka dan ikan

gabus dengan

Kesukaan

kekenyalan

bakso ikan dapat

dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 7

menunjukkan bah-

wa semakin ren-

dah proporsi

tapioka dan

semakin tinggi

ikan gabus me-

nyebabkan ma-

kin tingginya ke-

sukaan terhadap

kekenyalan bak-

so. Kesukaan ke-

kenyalan tampak

semakin mening-

kat apabila pro-

porsi tapioka me-

nurun dan pro-

porsi ikan gabus

ditingkatkan.

Tabel 9 me-

nunjukkan jumlah rangking kesukaan

kekenyalan akibat perlakuan proporsi

ikan gabus dan tapioka. Tapioka 60% -

ikan gabus 40% dan Tapioka 40% -

ikan gabus 60% memiliki skor

kesukaan kekenyalan yang hampir

sama.

Tabel 7 menunjukkan bahwa

kesukaan kekenyalan bakso tertinggi

adalah akibat perlakuan Tapioka 40% -

ikan gabus 60%, dan tidak berbeda

dengan Tapioka 60% - ikan gabus

40%, sedangkan kesukaan kekenyalan

terendah adalah akibat perlakuan

Tapioka 90% - ikan gabus 10%

meskipun tidak

berbeda dengan

Tapioka 80% -

ikan gabus 20%.

Tampak

pada Tabel 7 bah-

wa makin rendah

kadar tapioka dan

makin tinggi ikan

gabus menyebab-

kan makin tinggi

kesukaan keke-

nyalan bakso, se-

baliknya makin

tinggi kadar ta-

pioka dan makin

rendah kadar ikan

gabus menyebab-

kan makin ren-

dahnya kekenyal-

an yang dipero-

leh. Kesukaan

terhadap keke-

nyalan makin

tinggi apabila da-

ging ikan gabus

kekenyalan

0

1

2

3

4

5

6

7

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

ke

su

ka

an

ke

ke

ny

ala

n

kekenyalan

Gambar 7. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

kesukaan kekenyalan

Tabel 7. Kekenyalan Bakso Ikan Gabus

Perlakuan

Jumlah

rangking

kesukaan

kekenyalan

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 22.5c

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 41.5c

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 74.5b

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 107.0a

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 73.5b

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 101.0a

Keterangan: Angka yang didampingi huruf

yang sama menunjukkan tidak

berbeda pada taraf 5%

53

4. Usia guna proyek 10 tahun

5. Tidak ada persediaan produk,

semua langsung dijual begitu

produk jadi

6. Lokasi perusahaan dekat sungai

yang menghasilkan ikan gabus, di

desa Pager, Pasuruan

7. Wilayah pemasaran adalah daerah-

daerah sekitar Pasuruan.

8. Kapasitas produksi 118 kg bakso

ikan gabus / hari dalam kemasan

berisi 500 gram.

9. Pinjaman bank sebesar 70% dari

total modal

10. Suku bunga pinjaman 15% per

tahun

11. Suku bunga deposito 9% per tahun

12. Harga jual naik 4%/tahun mulai

tahun ke 3

13. Penjualan 80% tahun ke 1, 90%

tahun ke2 dan 100% tahun ke 3-10

14. Pengeluaran /tahun naik 4%

15. Rendemen sebesar 98,33% (berat

produk 118

kg dibagi de-

ngan berat

bahan baku

yaitu baku

ikan gabus 50

kg dan

tapioka 70

kg)

Hasil per-

hitungan Harga

Pokok Produksi

sebesar Rp.

4.202,25 / 500

gram dan harga

jual sebesar Rp

6.093,27 dengan

mengambil ke-

untungan 45%. PBP sebesar 4,941

tahun (layak karena kurang dari 10

tahun), Net BC ratio = 1,223 (layak

karena <1), RCR = 1,372 (layak karena

<1), NPV =Rp.8.659.111,91 IRR =

16,53% (layak karena lebih besar dari

suku bunga deposito), BEP = 4.851,86

unit atau senilai Rp. 37.775.000,08

atau 6,9%.

Apabila asumsi penjualan

diturunkan, yaitu penjualan sebesar

70% tahun ke 1, 80% tahun ke-2 dan

95% tahun ke 3 -10, maka Payback

Period menjadi 8,1 tahun (lebih kecil

dari usia guna proyek tetapi pada

kenyataannya terlalu lama karena pada

umumnya suatu usaha kecil

mengharapkan dalam kurun waktu

paling lama setengah dari usia guna

proyek, modal sudah kembali), Net

BCR = 0,45 (tidak layak karena

bernilai <1), RCR = 1,289 (layak

karena bernilai >1), IRR bernilai

negatif sehingga

tidak layak,

NPV pada suku

bunga 15%

sebesar

Rp.563.490.522,

36 (bernilai ne-

gatif sehingga

tidak layak)

sedangkan BEP

= 4.851,86 unit

atau Rp.

37.775.000,08

atau 6,9%.

Apabila

biaya produksi

naik, yaitu

biaya-biaya va-

Tabel 11. Kenaikan Biaya Produksi

JenisUnit/

produksi

Harga

Satuan

(Rp)

ikan gabus (kg) 50 7.000,00

tapioka (kg) 70 5.000,00

garam (kg) 1 1.500,00

bawang putih (kg) 3 8.000,00

merica bubuk (kg) 0,5 6.000,00

bawang merah (kg) 3 7.000,00

air (liter) 300 75

minyak tanah

(liter) 10 2.800,00

plastik sablon

kapasitas 500 g 236 275

bensin (liter) 5 4.800,00

tenaga kerja 4 27.500,00

pemasaran 1 22.500,00

Page 53: Teknologi Pangan Legal

52

flavor yang tidak terlalu kuat, sedangkan

ikan gabus yang terlalu banyak meng-

hasilkan flavor ikan yang kuat sehingga

megurangi selera panelis.

Pengambilan Keputusan

Analisis pengambilan keputusan menggu-

nakan metode Indeks Efektivitas. Pertim-

bangan penggunaan metode tersebut

adalah:

1. Karena bakso ikan sudah umum

dikonsumsi sehingga panelis dapat

menentukan bobot kepentingan.

2. Perlakuan berpengaruh terhadap

semua parameter yang ada baik

untuk parameter fisikokimia dan

parameter organoleptik, sehingga

mengindikasikan bahwa terdapat

parameter yang lebih penting dan

kurang penting.

Berdasarkan perhitungan dengan

menggunakan metode Indeks

Efektivitas, maka diperoleh bahwa

perlakuan terbaik untuk parameter

organoleptik adalah tapioka 70% dan

ikan gabus 30% dengan nilai hasil

tertinggi yaitu sebesar 0,914498.

Sedangkan perlakuan terbaik untuk

parameter fisikokimia adalah tapioka

40% dan ikan gabus 60% dengan nilai

hasil tertinggi sebesar 0,719048.

Perlakuan tapioka 70% dan ikan

gabus 30% menghasilkan kadar air

49,27%, kadar abu 10,365 mg/100 g,

tekstur 13,05 N, kadar pati 18,805%,

kadar lemak 1,7675%, kadar protein

22,8275%, kesukaan : warna 5,95

(mendekati suka), kekenyalan 5,35

(antara agak suka sampai suka), aroma

6,4 (antara suka sampai sangat suka)

dan rasa 5,45 (antara agak suka sampai

suka). Perlakuan tapioka 40% dan ikan

gabus 60% menghasilkan kadar air

53,21 %, kadar abu 10,5175 mg/100

g, tekstur 17,025 N, kadar pati 14,7%,

kadar lemak 1,9825%, kadar protein

27,205%, kesukaan : warna 4,95

(mendekati agak suka), kekenyalan

6,05 (mendekati suka), aroma 3,1

(cenderung agak tidak suka) dan rasa

3,25 (cenderung agak tidak suka).

Berdasarkan hal diatas ternyata

bahwa kandungan gizi bakso akibat

perlakuan tapioka 40% dan ikan gabus

60% lebih tinggi daripada perlakuan

tapioka 70% dan ikan gabus 30%,

namun ternyata panelis lebih menyukai

bakso akibat perlakuan tapioka 70%

dan ikan gabus 30%. Karena bakso

ikan gabus direncanakan akan

diproduksi dalam suatu skala usaha

(merupakan teknologi terapan) maka

yang lebih diutamakan adalah kesukaan

panelis yang mewakili konsumen.

Meskipun kandungan gizi sangat bagus

namun jika konsumen tidak suka, maka

tentunya suatu produk pangan tidak

layak secara finansial untuk diproduksi.

Dengan demikian perlakuan terbaik

yang dipilih adalah perlakuan tapioka

70% dan ikan gabus 30%.

Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial

didasarkan pada beberapa asumsi

berikut:

1. Usaha bakso ikan gabus merupakan

usaha skala kecil

2. Kapasitas bahan baku ikan gabus

50 kg / hari dan tapioka 70 kg/ hari

3. Waktu produksi 25 hari kerja /

bulan atau 300 hari kerja / tahun

49

yang ditambahkan makin banyak

karena teksturnya padat, sedangkan

tapioka yang makin tinggi disertai ikan

yang makin rendah menyebabkan

kesukaan kekenyalan menurun karena

tekstur bakso lebih lembek dan lengket,

kurang padat. Fungsi daripada tapioka

sebenarnya adalah “filler” sekaligus

“binder”untuk

membantu

terbentuknya

tekstur bakso

(Wibowo,

1999), apabila

tidak ada

tapioka sama

sekali maka saat

dipanaskan bak-

so akan pecah

sedangkan apa-

bila tapioka ter-

lalu banyak ma-

ka terjadi penye-

rapan air yang

berlebih oleh

tapioka saat pe-

manasan sehing-

ga bakso jadi

lembek. Secara

kimiawi, dengan

adanya pencam-

puran daging

ikan dengan ta-

pioka pada pro-

porsi yang tepat

maka akan ter-

bentuk matriks

kompleks pro-

tein – pati se-

lama proses pe-

manasan, di-

mana pada saat itu terjadi peristiwa

gelatinisasi pati dan denaturasi protein

yang selanjutnya kedua komponen

saling membentuk ikatan silang

(Hardoko, 1994).

Kesukaan Warna

Kesukaan warna bakso ikan

gabus berkisar

antara 4,95 yaitu

cenderung agak

suka (tapioka

40% dan ikan

gabus 60%)

hingga 5,95

cenderung suka

(tapioka 70% dan

ikan gabus 30%

dan tapioka 60%

dan ikan gabus

40%). Grafik

hubungan antara

perlakuan

proporsi tapioka

dan ikan gabus

dengan kesukaan

warna bakso ikan

dapat dilihat pada

Gambar 8.

Gambar 8

menunjukkan bah-

wa kesukaan war-

na tertinggi ada-

lah perlakuan Ta-

pioka 70% - ikan

gabus 30% dan

Tapioka 60% -

ikan gabus 40%.

Tapioka yang

cenderung tinggi

masih lebih di-

4

4,5

5

5,5

6

6,5

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

ke

su

ka

an

wa

rna

warna

Gambar 8. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

kesukaan warna

Tabel 8. Warna Bakso Ikan Gabus

Perlakuan

Jumlah

rangking

kesukaan

warna

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 73.0b

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 66.0b

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 90.5a

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 90.5a

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 51.0bc

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 49.0c

Keterangan: Angka yang didampingi huruf

yang sama menunjukkan tidak

berbeda pada taraf 5%

Page 54: Teknologi Pangan Legal

50

sukai warnanya daripada ikan gabus

yang terlalu tinggi. Tabel 8

menunjukkan jumlah rangking kesukaan

warna akibat perlakuan proporsi ikan

gabus dan

tapioka.

Tampak

pada Tabel 8

bahwa Tapioka

70% - ikan gabus

30% dan Tapioka

60% - ikan gabus

40% lebih disukai

warnanya dari-

pada perlakuan

lainnya. Namun

perlakuan dengan

tapioka cenderung tinggi dan ikan

gabus rendah masih lebih disukai

warnanya daripada perlakuan dengan

ikan gabus tinggi dan tapioka rendah.

Hal ini karena tapioka cenderung tinggi

dan ikan gabus rendah menghasilkan

bakso dengan warna yang cenderung

pucat / terang, sedangkan perlakuan

dengan ikan gabus tinggi dan tapioka

rendah menghasilkan bakso berwarna

abu-abu gelap.

Bakso akibat

perlakuan Ta-

pioka 70% - ikan

gabus 30% dan

Tapioka 60% -

ikan gabus 40%

menghasilkan

warna yang relatif

bagus, mendekati

warna bakso pada

umumnya yaitu

abu-abu terang.

Terbentuknya

warna keabu-abuan ini karena adanya

reaksi pencoklatan non enzimatis

antara asam amino dengan gula reduksi

pada suhu pemanasan yang relatif

tinggi (Sa-

raswati. 1986),

dalam penelitian

ini bahan-bahan

tersebut terkan-

dung dalam ba-

han-bahan bak-

so, baik daging

ikan gabus, tapi-

oka maupun bum-

bu-bumbu yang

ditambahkan.

Kesukaan Aroma

Kesukaan aroma bakso ikan

gabus berkisar antara 3,1 yaitu

cenderung agak tidak suka (tapioka

40% dan ikan gabus 60%) hingga 6,4

yaitu antara suka hingga sangat suka

(tapioka 70% dan ikan gabus 30%).

Grafik hubungan antara perlakuan pro-

porsi tapioka dan ikan gabus dengan

Kesukaan aroma

bakso ikan dapat

dilihat pada

Gambar 9.

Gambar 9

menunjukkan

bahwa kesukaan

aroma tertinggi

adalah perlakuan

Tapioka 70% -

ikan gabus 30% .

Bakso dengan

kadar apioka

yang cenderung

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

5,5

6

6,5

7

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

kesu

kaan

aro

ma

aroma

Gambar 9. Hubungan perlakuan proporsi

tapioka dan ikan gabus dengan kesukaan

aroma

Tabel 9. Aroma Bakso Ikan Gabus

Perlakuan

Jumlah

rangking

kesukaan

aroma

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 81.5b

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 93.0ab

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 104.0a

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 73.0bc

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 44.5c

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 24.0d

Keterangan: Angka yang didampingi huruf

yang sama menunjukkan tidak

berbeda pada taraf 5%

51

tinggi masih lebih disukai aromanya

daripada basko dengan kadar ikan gabus

yang terlalu tinggi. Tabel 9 menunjukkan

jumlah rangking kesukaan aroma akibat

perlakuan proporsi ikan gabus dan

tapioka.

Tabel 9 menunjukkan Tapioka 70%

- ikan gabus 30% lebih disukai

warnanya daripada perlakuan lainnya,

sedangkan proporsi ikan gabus yang

terlalu tinggi lebih tidak disukai

aromanya. Hal ini karena aroma ikan

gabus cenderung tajam (amis) sehingga

beberapa panelis terutama yang kurang

suka aroma ikan

akan membe-

rikan skor ren-

dah.

Kesukaan Rasa

Kesukaan

rasa bakso ikan

gabus berkisar

antara 3,25 yaitu

antara agak tidak

suka hingga ra-

gu-ragu (tapioka

40% dan ikan

gabus 60%)

hingga 5,55 yai-

tu antara agak

suka hingga su-

ka (tapioka 60%

dan ikan gabus

40%). Grafik hu-

bungan antara

perlakuan pro-

porsi tapioka dan

ikan gabus de-

ngan Kesukaan

rasa bakso ikan

dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 menunjukkan bahwa

kesukaan rasa tertinggi adalah per-

lakuan Tapioka 60% - ikan gabus 40%.

Bakso dengan kadar tapioka yang

cenderung tinggi masih lebih disukai

rasanya daripada bakso dengan kadar

ikan gabus yang terlalu tinggi. Tabel 10

menunjukkan jumlah rangking kesu-

kaan rasa akibat perlakuan proporsi

ikan gabus dan tapioka.

Tampak pada Tabel 10 bahwa

Tapioka 60% - ikan gabus 40% lebih

disukai rasanya meskipun tidak berbeda

dengan perlakuan

Tapioka 70% -

ikan gabus 30%

maupun Tapioka

90% - ikan gabus

10%, sedangkan

proporsi ikan gabus

yang terlalu tinggi

lebih tidak disukai

rasanya. Cita rasa

merupakan

kombinasi antara

rasa, flavor dan

rangsangan mulut

(Soekarto, 1985).

Rasa bakso ikan

gabus akiba perla-

kuan Tapioka 60%

- ikan gabus 40%,

perlakuan Tapioka

70% - ikan gabus

30% maupun Ta-

pioka 90% - ikan

gabus 10% adalah

asin, sedikit manis

akibat adanya ikan

gabus dengan

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

5,5

6

T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60

perlakuan

kes

uka

an

ra

sa

rasa

Gambar 10. Hubungan antara perlakuan

proporsi tapioka dan ikan gabus dengan

kesukaan rasa

Tabel 10. Rasa Bakso Ikan Gabus

Perlakuan

Jumlah

rangking

kesukaan

rasa

Tapioka 90% - ikan gabus 10% 85.5ab

Tapioka 80% - ikan gabus 20% 56.0b

Tapioka 70% - ikan gabus 30% 99.5a

Tapioka 60% - ikan gabus 40% 103.0a

Tapioka 50% - ikan gabus 50% 40.0bc

Tapioka 40% - ikan gabus 60% 36.0c

Keterangan: Angka yang didampingi huruf

yang sama menunjukkan tidak

berbeda pada taraf 5%