Top Banner
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Volume 1 Nomor 3 – Maret 2011 SINERGI PENGEMBANGAN INVESTASI: Mewujudkan Sinergi Kebijakan Otonomi Daerah Dengan Perbaikan Iklim Investasi Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional Melalui Investasi Pangan Skala Luas Pusat Investasi Pemerintah: Alternatif Solusi Percepatan Pembiayaan Pembangunan Daerah Melihat Investasi DKI Jakarta
20

TEK 0311_final_19 Maret 2011

Jun 30, 2015

Download

Documents

fantau
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Volume 1 Nomor 3 – Maret 2011

SINERGI PENGEMBANGAN INVESTASI: Mewujudkan Sinergi Kebijakan Otonomi Daerah Dengan Perbaikan

Iklim Investasi

Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional Melalui Investasi Pangan Skala Luas

Pusat Investasi Pemerintah: Alternatif Solusi Percepatan Pembiayaan Pembangunan Daerah

Melihat Investasi DKI Jakarta

Page 2: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edisi 03 – Maret 2011

DAFTAR ISI Editorial 1 Perkembangan Ekonomi Makro Perkembangan Ekspor Impor 2 Info Hasil Survey Tenaga Kerja Asing 3 Potensi Bank Sebagai Fasilitator Pembiayaan 4 Perkembangan Inflasi 5

Perkembangan Ekonomi Internasional Prospek Ekonomi Global 2011 (EAGLEs Emerging and Growth

Led Economies) 6

Perkembangan APBN Pusat Investasi Pemerintah: Alternatif Solusi Percepatan

Pembiayaan Pembangunan Daerah 7

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi Mewujudkan Sinergi Kebijakan Otonomi Daerah Dengan Perbaikan

Iklim Investasi 9 Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional Melalui Investasi

Pangan Skala Luas 10 Pengembangan Kawasan Minapolitan 11

Perkembangan Penyaluran KUR Realisasi penyaluran KUR Februari 2011 12

Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Tinjauan Ekonomi Regional Triwulan IV-2010 13 Menumbuhkan Investasi Daerah 14 Melihat Investasi DKI Jakarta 16

Daftar Istilah

REDAKSI Pembina Menteri Koordinator

Perekonomian Pengarah Sekretaris Kementerian

Koordinator Perekonomian Deputi Ekonomi Makro dan

Keuangan Koordinator Bobby H. Rafinus Kontributor Tetap Edi Prio Pambudi M. Edy Yusuf Gede Edy Prasetya Jafi Alzagladi Rizka Zamzami Mamay Sukaesih Tri Kurnia Ayu Alexcius Winang Andi Rista Amallia Kontributor Per Edisi Soetijono (S) Wiwiek Dwi Saksiwi (WDS) Kepala PIP - Kemenkeu BPMP – DKI Jakarta Komite Kebijakan KUR

Page 3: TEK 0311_final_19 Maret 2011

EDITORIAL Tinjauan Ekonomi Keuangan kali ini menyorot masalah sinergi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam perbaikan iklim investasi. Iklim investasi yang membaik akan memberikan kesempatan dan insentif kepada dunia usaha, dari usaha mikro hingga multinasional, untuk mulai membuka usaha, menciptakan lapangan kerja, dan memperluas usaha. Dalam World Development Report 2005 disimpulkan bahwa perbaikan iklim investasi merupakan masalah sentral dalam pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta penurunan jumlah penduduk miskin pada kelompok negara berkembang. Kesempatan kerja yang luas bagi kelompok usia produktif merupakan kunci bagi tercapainya pembangunan yang inklusif dan merata.

Bagi Indonesia, perbaikan iklim investasi sangatlah mendesak menimbang pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,49 persen pertahun dan pertambahan angkatan kerja baru sebanyak 2.2 juta orang per tahun Untuk menurunkan tingkat pengangguran yang mencapai 7,14 persen tahun 2010 menjadi 5 hingga 6 persen pada tahun 2014 diperlukan penyediaan lapangan kerja baru sekitar 2,75 juta pertahun. Jika digunakan asumsi elastisitas penciptaan lapangan kerja baru sebanyak 400 ribu orang per satu persen pertumbuhan, maka pertumbuhan ekonomi harus mencapai rata-rata 6,9 persen pertahun selama periode 2011-2014. Tingkat pertumbuhan ini perlu diupayakan berasal dari sektor yang banyak menciptakan lapangan kerja seperti pertanian, industri, konstruksi.

Kebutuhan perbaikan iklim investasi menjadi lebih mendesak lagi dengan kondisi Indonesia yang disebut losing ground dibanding negara tetangga, menurut laporan ‘From Reformasi to Institutional Transformation’ dari Kennedy School of Government, Harvard University (2010).

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 1

Ada lima bidang Indonesia relatif ketinggalan dibanding China, India, Malaysia, Thailand berdasarkan hasil laporan 2009-2010 Global Competitiveness Report dari World Economic Forum, yaitu i) kesiapan teknologi, ii) infrastruktur, iii) kesehatan dan pendidikan dasar, iv) efisiensi pasar kerja, dan v) pendidikan tinggi dan pelatihan. Indonesia dinilai melakukan investasi yang kurang pada infrastruktur fisik, pendidikan dan kesehatan.

Untuk mengejar ketertinggalan, pemerintah sedang merancang pembangunan infrastruktur fisik berskala besar sebagaimana tertuang dalam konsep awal Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Sejumlah rencana pembangunan infrastruktur, khususnya di sektor transportasi darat - laut - udara, sektor sumber daya air, serta sektor komunikasi dan informatika pada masing-masing propinsi telah dibahas dengan para pemangku-kepentingan selama bulan Februari – Maret ini. Komitmen BUMN dan dunia usaha untuk melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan yang tercantum dalam masterplan memberikan harapan ada hasil nyata nantinya.

Investasi memiliki horison waktu yang panjang, baik proses maupun hasil yang akan diperolehnya. Perspektif tersebut menegaskan pentingnya memperkuat stabilitas dan kredibilitas upaya-upaya perbaikan iklim investasi. Selain itu perlu adanya keseimbangan antara pencapaian investasi sektor swasta yang produktif dengan kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat. Kondisi ini yang kiranya perlu dicapai oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui langkah-langkah yang sinergis dari tataran kebijakan hingga kegiatan. (BHR)

Indikator Februari 2011

Januari 2011 Indikator Januari

2011 Desember

2010 Inflasi (% yoy) 6.84% 7,02% Utang Pemerintah* $187.19 $186,65miliar Indeks Harga Saham Gabungan 3.470 3.409 Ekspor $11.560 Juta $16.830 Juta Harga Minyak ICP per barel $103.31 $97,11 Impor $12.549 Juta $13.147 Juta Indeks Harga Perdagangan Besar 180,34 179,52 Realisasi Belanja APBN* Rp 66,9 T Rp 1056,5T Cadangan Devisa* $99,61miliar $95,33 miliar Transfer Daerah APBN* Rp 41,7 T Rp 344,7 T Nilai Tukar Petani 103.33 103.01 Wisatawan Mancanegara 548.821orang 644.221orang Nilai Tukar (Rp/USD) 8.913 9.032 Suku Bunga Kredit Modal Kerja Bank

Umum 12,75% 12,83%

Pertumbuhan Ekonomi Tw. IV-2010 6,9% PDB Nominal 2010 Rp 6.423 triliun Pertumbuhan Ekonomi 2010 6,1% Surplus Neraca Pembayaran 2010 $30,28 milliar *kumulatif

Indikator Ekonomi

Page 4: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Ekonomi Makro

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR

Setelah mencatat rekor tertinggi yaitu USD16,83 miliar pada Desember 2010, nilai ekspor Indonesia turun sebesar minus 14,11% menjadi USD14,45 miliar pada Januari 2011. Namun jika dibandingkan dengan Januari 2010, ekspor meningkat sebesar 24,65%. Ekspor migas meningkat didorong oleh kenaikan harga komoditas minyak mentah dan hasil minyak. Harga minyak mentah Januari 2011 mencapai USD96,52 per barrel atau naik 26,72% (yoy). Setelah sebelumnya didorong oleh perbaikan ekonomi global dan cuaca dingin di Eropa dan Amerika, harga minyak mentah semakin tinggi akibat krisis politik di sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Sedangkan ekspor gas mengalami penurunan sebesar minus 4,27% (yoy) dengan turunnya harga gas alam sebesar 22,72% (yoy) menjadi USD4,49 per mmbtu pada Januari 2011.

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 2

Sumber: BI

Share terbesar impor nonmigas Januari 2011 adalah kelompok bahan baku/penolong sebesar 75,08% dari total impor nonmigas dan tumbuh 33,68% (yoy). Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, impor bahan baku/penolong dan barang modal mengalami penurunan masing-masing minus 2,44% dan 15,98%. Hanya impor kelompok barang konsumsi yang naik 3,64% (mtm) atau 64,77% (yoy).

Pantauan ekspor nonmigas terhadap 33 provinsi memperlihatkan bahwa Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur merupakan provinsi-provinsi yang memberikan kontribusi terbesar pada ekspor nonmigas nasional sepanjang tahun 2010. Namun bila dilihat dari pertumbuhan ekspor nonmigas tahun 2010, ekspor nonmigas Gorontalo tumbuh signifikan sebesar 361% (yoy). Pertumbuhan ekspor nonmigas diatas 100% juga terjadi di Jambi (142,1%) dan Kalimantan Tengah 111,8% (yoy).

Ekspor nonmigas menjadi pendorong terbesar kenaikan total ekspor dengan tumbuh 29,03% (yoy). Komoditas utama ekspor nonmigas pada Januari 2011 adalah batubara, CPO dan karet. Kenaikan ekspor yang didorong oleh faktor harga perlu mendapat perhatian karena tidak mencerminkan peningkatan daya saing. Produsen komoditas primer memilih untuk menjual hasil produksinya ke luar negeri. Akibatnya, produksi industri pengolahan domestik mengalami kekurangan pasokan bahan baku.

Impor Januari 2011 juga mengalami penurunan sebesar minus 4,55% (mtm) menjadi USD12,55 miliar. Jika dibandingkan dengan Januari 2010, impor meningkat sebesar 32,22%. Peningkatan impor didorong oleh meningkatnya impor migas dan nonmigas masing-masing sebesar 53,43% (yoy) dan 26,79% (yoy). Peningkatan terbesar terjadi pada impor hasil minyak yang tumbuh 106,79% (yoy) dengan kontribusi mencapai 16,58% dari total impor Januari 2011. Impor gas juga naik sebesar 55,65% (yoy) untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri domestik.

Kalimantan Tengah memiliki komoditas ekspor yang hampir sama dengan Kalimantan Timur diantaranya batubara, karet dan minyak kelapa sawit yang hingga triwulan IV-2010 mencapai USD 74,06 miliar atau 89,22% dari total ekspor triwulan IV-2010. Dengan pengelolaan dan pengembangan yang lebih baik, ekspor Kalimantan Tengah memiliki potensi untuk terus meningkat. Dari sisi impor, Provinsi Banten dan Jawa Timur merupakan dua provinsi lain yang memberikan kontribusi diatas 10% pada impor nonmigas nasional setelah DKI Jakarta. Dilaporkan bahwa pada Januari 2011 terjadi peningkatan impor pupuk mencapai 1.207,58% (yoy) yang akan digunakan untuk persiapan masa tanam. Menurut negara asal, Cina merupakan negara pengimpor nonmigas terbesar ke Jawa Timur bahkan mengalami peningkatan impor sebesar 20,65% (yoy) pada Januari 2011 yang merupakan dampak dari pemberlakuan ACFTA. Bila dilihat dari pertumbuhan impor sepanjang tahun 2010, Sumatera Barat menjadi provinsi yang memiliki pertumbuhan impor nonmigas paling tinggi yaitu 135,16% (yoy). Diikuti provinsi Kalimantan Barat dan Jambi yang tumbuh masing-masing 94,55% (yoy) dan 85,96% (yoy). (TKA)

1

2

3

Page 5: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Ekonomi Makro

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 3

INFO HASIL SURVEY TENAGA KERJA ASING (TKA)

Berdasarkan laporan Survei Nasional Bank Indonesia Tentang Tenaga Kerja Asing di Indonesia tahun 2009, Realisasi jumlah proyek maupun nilai penanaman modal asing (PMA) di Indonesia mengalami trend meningkat. Sejak tahun 2000-2008, realisasi PMA tercatat sebesar 638 proyek (USD9.877,4 juta) menjadi 1.138 proyek (USD1.4870 juta). Di saat yang bersamaan, pada periode Januari 2005-Juli 2009, jumlah TKA meningkat 121% dari 21.255 orang menjadi 46.476 orang.

Sebagian besar TKA di Indonesia berasal dari kawasan Asia non-ASEAN 50%, ASEAN 20%, dan Eropa 10%. Khususnya, mayoritas TKA berasal dari RRC 9.384 orang, Jepang 4.927 orang dan Korea Selatan 4.039 orang.

Menurut sebarannya, sebagian besar TKA terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya provinsi DKI Jakarta. Namun, selama periode 2005-2009 konsentrasi ini mulai menurun. Pada tahun 2005, 92,3% TKA berlokasi di Pulau Jawa dan 79,5% dari TKA tersebut berlokasi di provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya pada Juni 2009, 81,6% TKA berlokasi di Pulau Jawa dan 77,4% dari TKA tersebut berlokasi di provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan kelompok jabatannya, terjadi pergesaran posisi jabatan TKA. Pada tahun 2005, sebagian besar TKA yaitu sebanyak 15.537 orang menduduki posisi konsultan. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah TKA yang menduduki posisi konsultan hanya sebanyak 3.303 orang. Di saat yang bersamaan, jumlah TKA yang menduduki posisi profesional meningkat dari 8 orang pada tahun 2005 menjadi 15,894 orang pada tahun 2009.

Survey nasional Bank Indonesia tentang TKA di Indonesia tahun 2009 dilaksanakan di 8 provinsi yang memiliki populasi TKA terbesar: DKI Jakarta 48%, Jabar 22%, Banten 9%, Kepri 8%, Kaltim 4%, Bali 3%, Jatim 3%, dan Riau 3%. Sebagian besar responden (35,4%) bekerja di sektor industri pengolahan. Mayoritas responden (55%) berasal dari Asia non-ASEAN, terbanyak berkewarganegaraan Jepang. Alasan responden bekerja di Indonesia 55,9% atas penugasan sisanya atas keinginan sendiri dengan rata-rata responden (88%) dikontrak selama 1 tahun atau lebih. Selain itu, umumnya responden adalah TKA laki-laki 45-49 tahun dan menikah dengan pendidikan S1 dan S2 yang menjabat sebagai manajer perusahaan (30%) di divisi terkait teknologi dan engineering (19,9%).

Pada umumnya, TKA menerima gaji sekitar Rp25 juta – Rp50 juta dan kompensasi sekitar Rp10 juta – Rp25 juta per bulan. Sebagian besar pemanfaatan gaji tersebut: (49%) untuk konsumsi. Sedangkan remitansi yang dilakukan responden rata-rata mencapai 34,2% dari gaji. Sebesar 79% remitansi dilakukan melalui jalur perbankan dengan waktu 1-3 hari (61%) dan biaya sekitar Rp250 ribu - Rp500 ribu (31%) dan Rp100 ribu - Rp250ribu (29%). Sebagian pengiriman yaitu 19% dilakukan melalui MRO (Money Remmitance Operator) dengan biaya sekitar Rp100 ribu- Rp250ribu (66%) yang umumnya membutuhkan waktu kurang dari 1 hari (59%). Berdasarkan hasil Survei TKA tahun 2009 persentase remitansi per kewargenegaraan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan hasil survei TKA tahun 2004 sebagaimana pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Perbandingan Hasil Survei TKA tahun 2004 dan 2009 mengenai Persentase Remitansi Per

Kewarganegaraan No Kewarganegaraan 2004 2009 Selisih 1 Amerika 73.9 63.6 -10.3 2 China 48.9 47.8 -1.1 3 Malaysia 47.5 46.8 -0.7 4 Perancis 25.8 46.3 20.4 5 Singapura 46.1 43.3 -2.9 6 Jepang 28.6 41.3 12.7 7 India 33.4 37.3 4.3 8 Belanda 15.0 30.7 15.7 9 Korsel 37.8 29.0 -8.8 10 Kanada 30.0 26.3 -3.8 11 Inggris 51.3 20.6 -30.7 12 Filipina 42.8 18.6 -24.2 13 Australia 44.4 14.9 -29.6 14 Jerman 15.5 10.0 -5.5 15 Lainnya 39.3 43.4 4.1

Rata-rata 38.7 34.2 -4.5

Sebagian besar responden (sekitar 40%) menilai proses perijinan, kejelasan hak dan kewajiban pekerja, dan perlindungan hukum di Indonesia dalam kategori sedang. Mayoritas responden juga merasa nyaman dengan hubungan kerja di Indonesia. Sebesar 41,4% responden menilai hubungan kerja di Indonesia dalam kategori baik. Sehingga, sebagian besar (86%) TKA menyatakan ingin kembali bekerja di Indonesia setelah kontrak kerja selesai.

Namun, mayoritas TKA masih berharap perbaikan dalam birokraksi khususnya percepatan dalam proses birokrasi, kualitas perlayanan kantor pemerintah, dan kesetaraan dalam proses pengurusan surat resmi. Selain itu, mayoritas TKA juga berharap penurunan tarif pajak TKA, peningkatan perlindungan hukum bagi TKA dan perbaikan kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi. (RA)

Page 6: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Ekonomi Makro

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 4

Banyak kalangan yang terus menyuarakan peningkatan peran perbankan dalam proses pembiayaan sektor riil. Dilihat dari potensi perbankan memang nyata sebagai fasilitator pergerakan ekonomi sektor riil. Seperti aset perbankan yang meningkat dua kali lipat dalam lima tahun, yaitu dari Rp1.470T (2005) menjadi Rp 3.009T (2010). Walaupun jumlah bank umum menurun dari 131 bank (2005) menjadi 122 (2010), tetapi jumlah kantornya meningkat pesat dari 8.236 unit (2005) menjadi 13.837 unit (2010). Penyaluran dana bank umum dalam 5 tahun juga berlipat ganda dari Rp1.140T (2005) naik menjadi Rp2.765T (2010). Dari jumlah tersebut, sebagian besar berwujud penyaluran kredit, yaitu Rp695T (2005) dan Rp1.766T (2010). Likuiditas perbankan juga terlihat terus menguat, rasio aktiva terhadap pasiva likuid naik tajam dari 2,64% (2005) menjadi 3.99% (Des 2010). Lancarnya penyaluran kredit semakin terlihat. Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) per Desember 2010 tercatat 75,21%. Rasio ini meningkat dibandingkan 2005 tercatat sebesar 59,66%. Performa kredit juga nampak baik dilihat dari non performing loan (NPL) sebagai indikator kelancaran kredit bank, bergerak turun dari 7,56% (2005) menjadi 2,56% (Desember 2010) sehingga sekitar 84-92% kredit yang disalurkan termasuk dalam kategori lancar. NPL sektor pertambangan terus menurun sejak 2005 hingga 2010, dari Rp 1.192M tinggal Rp269M. Sedangkan NPL sektor perindustrian masih tercatat paling tinggi meskipun turun hingga separuhnya, Rp26.734M (2005) menjadi Rp 10.238M (2010). Berdasarkan lokasi bank penyalur kredit, NPL terbesar per Desember 2010 terjadi di DKI Jakarta (Rp21.033M) dan terendah di Bangka Belitung (Rp21M). Penghimpunan dana pihak ketiga berdasarkan lokasi penghimpunan pada Desember 2010 juga terjadi di Jakarta (Rp1.197T) diikuti oleh Jawa Timur (Rp 214T). Perbankan menjadi sektor yang paling menguntungkan. Tercatat net interest margin perbankan yang mengukur rasio pendapatan bunga bersih dengan rata-rata aktiva produktif relatif stabil sebesar 5% dalam 5 tahun terakhir. Laba tahun berjalan bank umum melonjak lebih dari 2 kalinya dalam periode 5 tahun, dari Rp 33,8T (2005) ke Rp76,1T (2010). Perkembangan usaha ternyata tidak hanya dinikmati oleh bank umum, bank syariah juga mendulang pertumbuhan usaha. Total aset Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) naik pesat dari Rp 20,8T (2005) menjadi Rp 97,5T (2010) dengan jumlah kantor yang terus bertambah 436 unit (2005) menjadi 1.477 unit (2010).

Penyaluran dana pembiayaan dari BUS dan UUS hingga Desember 2010 sebesar Rp 94,8T dibandingkan tahun 2005 yang hanya Rp20,2T. BUS dan UUS semakin diminati masyarakat karena tingkat bagi hasil rata-rata juga cenderung meningkat terutama Giro Wadiah. Tingkat margin rata-rata pembiayaan syariah untuk modal kerja relatif konstan di kisaran 16% dalam 3 tahun terakhir walaupun sudah naik dari 2005 (12,2%). Selain BUS dan UUS, BPR Syariah sudah mulai berkembang. Jumlah unit operasional naik dari 185 unit (2007) menjadi 286 unit (2010) dengan total pembiayaan tahun 2010 sebesar Rp 2,06T dan dari jumlah tersebut Rp1,9T tergolong lancar. Aset BPR syariah 2010 mencapai Rp2,7T naik tajam dari 2007 (Rp1,2T). Sementara dari BPR dilaporkan bahwa penyaluran dana kredit 2010 sebesar Rp 33,8T dua kali lipat dibanding 2005 (Rp14,6T), sehingga LDR mencapai 79% pada akhir 2010 dengan NPL sebesar 6,12% masih lebih tinggi dibanding bank umum. Perkembangan aset BPR terbesar terjadi di Jawa Tengah (Rp10,9T) diikuti oleh Jawa Barat (Rp8,5T), Jawa Timur (Rp5,6T), Lampung (Rp3,5T) dan Bali (Rp3,4T). Hingga akhir 2010 tercatat sebanyak 907 dari 1.706 BPR yang mempunyai total aset di atas Rp 10M. Hingga September 2010, kredit BPR tersalur pada modal kerja (Rp16,5T), konsumsi (Rp 14,4T) dan investasi (Rp1,8T). Suku bunga rata-rata kredit BPR menurut penggunaan berkisar antara 27,8% hingga 38,21% masih tergolong tinggi untuk kegiatan sektor riil. Kembali pada bank umum, data perkreditan tercatat sektor perdagangan, restoran dan hotel merupakan pangsa kredit terbesar (Rp339,6T) pada akhir 2010. Per jenis penggunaan, kredit terserap paling banyak pada modal kerja (Rp880T), diikuti oleh konsumsi (Rp537T) dan investasi (Rp348T). Paling banyak kredit tersalur di Jakarta (Rp864T) dan Jawa Timur (Rp155T). Melihat kenyataan tersebut sebelumnya, tidak dipungkiri bahwa bank memang berperan penting dalam sirkulasi keuangan dan berpotensi sebagai sumber pembiayaan. Dalam realisasi APBN 2010 lalu, aliran pembiayaan perbankan dalam negeri untuk defisit hanya sebesar 0,3% dari PDB atau Rp 21,5T. Sedangkan aliran dana bank dalam perekonomian melalui kredit mencapai Rp 1.766T. Jelas bahwa bank menjadi fasilitator pembiayaan ekonomi yang produktif. Namun, penyaluran kredit bank masih lemah untuk investasi dan mendominasi konsumsi serta modal kerja. Keluhan lainnya, suku bunga bank umum di kisaran 11-13%, BUS, UUS dan BPR syariah sebesar 12-16% dan BPR sebesar 27-38% dirasakan oleh pelaku sektor riil masih relatif tinggi karena sangat sulit menjamin margin keuntungan usaha selalu berada di atas suku bunga. (EP^2)

POTENSI BANK SEBAGAI FASILITATOR PEMBIAYAAN

Page 7: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Ekonomi Makro

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 5

PERKEMBANGAN INFLASI

Inflasi pada bulan Februari 2011 mencapai sebesar 0.13% (mtm) atau 6.84% (yoy). Inflasi (headline inflation) tersebut lebih rendah dari bulan sebelumnya namun masih melebihi target inflasi Pemerintah dan Bank Indonesia yaitu sebesar 5±1%. Tekanan inflasi komponen barang bergejolak (volatile food) selama Februari 2011 menurun dibandingkan bulan sebelumnya. Secara bulanan, kelompok bahan makanan dan sandang mengalami deflasi sedangkan kelompok kesehatan dan makanan jadi, minuman rokok dan tembakau mengalami inflasi tertinggi. Kelompok kesehatan mengalami inflasi cukup tinggi terkait dengan kenaikan harga obat dengan resep. Komoditas beras, cabai merah dan cabai rawit yang pada bulan sebelumnya memberikan sumbangan inflasi dominan, pada bulan Februari memberikan sumbangan deflasi dominan terkait adanya kebijakan pemerintah dalam mengendalikan pasokan dan harga beras dan cabai. Pasokan yang meningkat akibat kenaikan produksi domestik dan tambahan dari impor mendorong penurunan harga komoditas cabai. Sementara itu, penurunan harga komoditas beras didukung oleh meningkatnya pasokan seiring dengan datangnya musim panen serta gencarnya operasi pasar dan penyaluran Raskin. Upaya Pemerintah melakukan impor beberapa komoditas bahan pangan pada awal tahun 2011 turut berkontribusi terhadap menurunnya inflasi kelompok volatile food. Sedangkan komoditas ikan segar, bawang merah dan minyak goreng masih sama seperti bulan sebelumnya memberikan sumbangan inflasi dominan pada Februari 2011. Kenaikan harga beberapa komoditas pangan tersebut akibat gangguan cuaca yang masih berkelanjutan yang mempengaruhi produksi dan distribusi barang. Dari sisi eksternal, pengaruh kenaikan harga komoditas internasional terhadap komoditas pangan domestik semakin menyebar. Kenaikan harga akibat pengaruh global tidak hanya terjadi pada komoditas minyak goreng, beberapa komoditas turunan dari kedelai, gandum, dan jagung juga telah menunjukkan kenaikan harga (seperti tahu, tempe, mie instan, dan pakan ternak).

5

Meskipun inflasi menurun pada Februari 2011, tekanan inflasi volatile food diperkirakan masih tinggi di tahun 2011. Faktor resiko domestik volatile food kedepannya masih terkait gangguan pasokan / distribusi yang dipicu oleh anomali iklim berkelanjutan yang mengancam produksi tanaman pangan serta distribusinya. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kenaikan harga internasional ditengah ketergantungan impor beberapa komoditas. Inflasi inti (core inflation) tercatat sebesar 0.31% (mtm) atau 4.36% (yoy) lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya karena kenaikan harga komoditas internasional dan inflasi negara mitra dagang (inflasi impor). Namun, tekanan inflasi inti masih cukup terkendali sejalan dengan penguatan nilai tukar rupiah dan sisi penawaran yang masih memadai dalam merespon kenaikan permintaan. Sumber tekanan inflasi yang perlu juga dicermati ialah ekspektasi inflasi yang masih menunjukkan peningkatan terutama di pasar barang. Kenaikan BI Rate yang ditempuh bulan lalu menjadi 6.75% yang sebelumnya 6.5% pada 4 Februari 2011 lalu belum dapat memperbaiki ekspektasi inflasi masyarakat. Untuk inflasi komponen yang harganya diatur pemerintah (administered prices) tercatat sebesar 0.32%(mtm) atau 5.34%(yoy) sedikit lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Tekanan inflasi administered prices relatif rendah terkait minimalnya kebijakan penyesuaian harga yang dilakukan pemerintah. Komoditas administered yang berkontribusi pada inflasi bulan Februari adalah rokok, tarif PAM, dan bensin. Sumbangan inflasi dari komoditas bensin bersumber dari bensin nonsubsidi sejalan dengan peningkatan harga minyak dunia. Pantauan atas ibukota provinsi, tingkat inflasi di beberapa ibukota provinsi jauh berada diatas inflasi nasional pada Februari 2011. Secara tahunan, inflasi tertinggi terjadi di kota Pangkal Pinang dikarenakan adanya gangguan jalur distribusi dan pasokan beberapa komoditas. Inflasi tinggi dominan terjadi di kota-kota Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan. (MS)

6

Page 8: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Indonesia menjadi EAGLEs

Satu lagi tentang penggunaan istilah yang menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara disampaikan oleh bank utama Spanyol Banco Bilbao Vizcaya Argentaria (BBVA). Bank yang sudah berdiri 150 tahun tersebut dalam salah satu publikasinya memperkenalkan istilah baru untuk negara-negara emerging market (negara dengan perkembangan ekonomi yang tumbuh pesat). Jika selama ini kita mengenal istilah BRIC (lihat tabel 7) yang diperkenalkan oleh sebuah bank investasi global Goldman Sach yang merujuk pada negara emerging market yaitu Brazil, Rusia, India dan China, maka untuk Indonesia (bersama dengan sembilan negara lainnya-: China, India, Brazil, Korea Selatan, Russia, Mexico, Mesir, Taiwan and Turki) termasuk dalam kategori EAGLEs (Emerging and Growth-Leading Economies).

Tabel 7 : Perbandingan antara konsep BRIC dengan EAGLEs

BRIC EAGLEs Didasarkan pada ukuran absolute: Lebih besar tidak perlu menentukan potensi pasar

Didasarkan pada pertumbuhan absolute: - Ukuran lebih besar - Pertumbuhan cepat

Konsep statis: - Tidak ada antisipasi:

tetap tidak berubah - Terlalu panjang

horizonnya: sekurang-kurangnya 20-25 tahun

- Subyektifitas dalam memilih empat negara

Konsep dinamis: -antisipasi: konsep dinamis - horizon lebih pendek: 10 tahun

-jumlah negara fleksibel tergantung kinerjanya

Tidak ada batasan yang jelas

Batasan sudah jelas yaitu kontribusi terhadap pertumbuhan PDB Dunia lebih besar dibandingkan dengan negara G6 yaitu Jepang, Jerman, Inggris, Kanada, Perancis, dan Italia (G7 minus Amerika Serikat)

Dari tabel diatas, jelas bahwa penilaian BBVA dalam mengkategorikan EAGLEs lebih terukur dibandingkan dengan penilaian Goldman Sach dalam menentukan BRIC. Dalam menentukan sepuluh negara yang termasuk dalam kategori EAGLEs, BBVA mendasarkan atas kinerja mereka terutama potensi pertumbuhan ekonominya. Dengan demikian sangatlah mungkin suatu negara dapat dikeluarkan dari kategori EAGLEs jika perekonomiannya tidak menunjukkan kinerja yang baik.

Perkembangan Ekonomi Internasional

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 6

PROSPEK EKONOMI GLOBAL 2011 (EAGLEs Emerging and Growth Led Economies)

Agar supaya masuk dalam kategori EAGLEs, incremental PDB setiap negara dalam 10 tahun kedepan harus lebih besar dari rata-rata perekonomian negara-negara yang termasuk dalam kelompok negara G6 (lihat tabel 8). Untuk Indonesia sendiri, dalam 10 tahun kedepan (2010-2020), pertumbuhan ekonominya diproyeksikan mencapai rata-rata 6,7% per tahun suatu angka yang sangat realistis mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang semakin baik.

Tabel 8:Tingkat Pertumbuhan PDB (PPP term)

Negara Periode 2010-2020 (%)

Negara Periode 2010-2020 (%)

Brasil 4,5 Kanada 2,4 China 8,7 Perancis 1,5 Mesir 6,2 Jerman 1,6 India 6,9 Italia 0,9 Indonesia 6,7 Jepang 1,7 Korea Selatan

4,4 Inggris 1,8

Meksiko 3,1 G6 1,5 Rusia 2,6 Taiwan 4,7 Amerika

Serikat 2,3

Turki 4,1 EAGLEs 6,6 G7 1,9

Sumber: BBVA, Spanyol

Sedangkan jika dilihat dari kontribusi terhadap tingkat pertumbuhan dunia, maka akan kelihatan dengan jelas kontribusi EAGLEs terhadap tingkat pertumbuhan dunia, dimana kontribusinya mencapai lebih dari 50%. Berdasarkan perhitungan BBVA, incremental PDB dalam dasawarsa kedepan akan mencapai US $ 41 trilyun. Sehingga jika kontribusi total EAGLEs sebesar 51%, berarti diperkirakan total incremental PDB-nya mencapai US $ 20,91 trilyun. PDB Indonesia diperkirakan akan melampaui rata-rata US $ 738 milyar per tahun. Dalam memberikan penilaian terhadap Indonesia, BBVA juga melakukan pengamatan beberapa variabel seperti berikut ini: 1. Fundamental ekonomi Indonesia relatif baik dimana rasio

hutang terhadap PDB mencapai 26%; fiscal deficit pada tahun 2010 mencapai 0,6% dari PDB; dan cadangan devisa mencapai US $ 95,3 milyar.

2. Kondisi politik yang stabil: transisi menuju ke negara demokrasi belangsung relatif lancar dan aman; reformasi ekonomi yang sangat mendukung kelangsungan usaha (bisnis)

3. Sektor perbankan yang sehat: rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio) mencapai 76,8%; non performing loan: 2,9%; CAR: 17%

4. Kondisi demografi yang menguntungkan: jumlah penduduk keempat terbesar didunia; terbesar di Asia Tenggara dalam hal jumlah penduduk, ukuran ekonomi dan luas wilayahnya

5. Kaya akan sumber daya alam: minyak, gas dan metal (logam) (bersambung ke halaman 9) -- MEY

Page 9: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan APBN

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 7

Pusat Investasi Pemerintah (PIP) merupakan operator investasi pemerintah. PIP memiliki tugas memfasilitasi pelaksanaan proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP) melalui kegiatan penyediaan dana talangan untuk dukungan pemerintah. Kendala pendanaan dalam pembangunan khususnya infrastruktur dasar akan teratasi dengan peran serta Pusat Investasi Pemerintah. Pembangunan infrastruktur nasional sampai dengan tahun 2014 diperkirakan membutuhkan dana sebesar Rp. 1.100 triliun sedangkan Pemerintah hanya bisa menyediakan dana sampai dengan Rp. 500 triliun sehingga sangat dibutuhkan partisipasi pihak swasta dalam mempercepat pelaksanaan pembangunan infrastruktur.

Peluang PIP dalam investasi dengan pola PPP pada Perpres 67/2005 dan 13/2010, terdiri dari 4 pola antara lain: melalui pola investasi penyediaan lahan infrastruktur, pola investasi konstruksi infrastruktur, pola investasi joint venture/patungan dengan badan usaha dan pola investasi persiapan proyek. PIP dapat melakukan investasi secara langsung maupun tidak langsung (melalui surat berharga). Untuk investasi langsung, PIP melakukan penyertaan modal dan pinjaman pada perusahaan swasta, BUMN, Pemda dan Badan Layanan Umum (BLU) lainnya serta lembaga keuangan internasional. Sedangkan untuk investasi pada surat berharga, PIP membeli saham-saham di bursa efek maupun obligasi perusahaan dan pemerintah daerah. PIP sudah dibentuk 3 tahun lalu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah.

Adapun cakupan sektor investasi PIP meliputi bidang infrastruktur dasar (jalan, rumah sakit, transportasi, terminal, air bersih dan pasar) sebagai fokus utama, teknologi ramah lingkungan (pengelolaan sampah, air dan transportasi ramah lingkungan) dan bidang lainnya yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial dalam memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian peran PIP dalam bidang pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan likuiditas pembiayaan, katalis dalam keterlibatan dan kerjasama dengan pemerintah maupun swasta serta stimulus pertumbuhan ekonomi. PIP mendapatkan dana alokasi investasi dari APBN khususnya bagian pembiayaan, keuntungan investasi terdahulu, dan dana/barang amanat pihak lain yang dikelola oleh PIP serta sumber dana lainnya yang sah seperti Hibah. Dana investasi tersebut yang akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek Pemda, BUMN dan badan usaha khususnya proyek infrastruktur.

Pada tahun 2011 proyek utama yang akan dikerjakan dengan pola PPP antara lain melanjutkan pembangunan proyek stasiun kereta api Manggarai-Bandara Soekarna Hatta, perluasan pelabuhan Tanjung Priok dan pelabuhan Tanah Ampo di Bali. Untuk proyek dari pemda, PIP telah menyetujui pinjaman daerah kepada Pemerintah Propinsi (Pemprop) Sulawesi Tenggara untuk pembangunan RSUD Tipe B di Kendari dengan waktu pinjaman selama 9 tahun dengan masa tenggang 2 tahun. Rendahnya indeks kesehatan masyarakat di Sulawesi Tenggara, kurang idealnya pelayanan kesehatan, serta kondisi bangunan fisik RSUD lama yang sudah tidak layak dan tidak memungkinkan untuk dikembangkan menjadi alasan pemberian pinjaman ini. Dengan pemberian pinjaman ini diharapkan dapat memperbaiki tingkat kesehatan serta memudahkan masyarakat Sulawesi Tenggara dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan layak.

“Pemillihan proyek infrastruktur yang akan dibiayai PIP berdasarkan kebutuhan dasar dan prioritas Pemda”, ungkap Saritaon Siregar, Kepala PIP. PIP akan melakukan analisa 15 kelayakan proyek terlebih dahulu yang didasarkan pada kebutuhan dasar masyarakat dan prioritas pemda sehingga proyek pembangunan infrastruktur tersebut tepat sasaran. Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dasar ini lebih baik Pemda meminjam kepada PIP daripada menunggu dana APBD yang sangat terbatas jumlahnya. Beberapa keuntungan lain meminjam dari PIP antara lain dana pinjaman dari PIP dapat dicairkan sesuai kebutuhan proyek, bunga pinjaman yang cenderung lebih rendah (satu digit) yang tergantung dengan jenis proyeknya dan jangka waktu serta cicilan pengembalian pinjaman yang fleksibel.

Pusat Investasi Pemerintah: Alternatif Solusi Percepatan Pembiayaan Pembangunan Daerah

Lingkup Investasi PIP

9

Page 10: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan APBN

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 8

Untuk mempermudah gambaran suatu proyek yang dibiayai 100% dengan APBD atau dibiayai pinjaman dari PIP dapat dilihat ilustrasi sebagai berikut :

Ilustrasi Perbandingan Pembiayaan APBD Murni dan Pinjaman PIP

Pembangunan RSUD Type B dengan biaya Rp. 350 milyar (dasar hitungan tahun ke-1)

1. Sumber APBD Murni Diselesaikan dalam waktu 10 tahun. Inflasi bahan

bangunan tiap tahun 10% Dana APBD Tahun 1 35.000 Tahun 2 38.500 Tahun 3 42.350 Tahun 4 46.585 Tahun 5 51.244 Tahun 6 56.368 Tahun 7 62.005 Tahun 8 68.205 Tahun 9 75.026 Tahun 10 82.528 Jumlah 557.810

2. Sumber dari Pinjaman PIP

- APBD menyediakan : Rp. 50 milyar - Pinjaman PIP : Rp. 300 milyar

(suku bunga 9%, jangka waktu pinjaman 10 tahun dengan masa tenggang 2 tahun)

Jumlah biaya (Pinjaman + Bunga + APBD) = Rp. 483,9 Milyar

Penarikan Pinjaman

Angsuran Sisa Pinjaman

Bunga

Tahun 1 175.000 175.000 Tahun 2 125.000 300.000 15.750 Tahun 3 37.500 262.500 27.000 Tahun 4 37.500 225.000 23.625 Tahun 5 37.500 187.500 20.250 Tahun 6 37.500 150.000 16.875 Tahun 7 37.500 112.500 13.500 Tahun 8 37.500 75.000 10.125 Tahun 9 37.500 77.500 6.750 Tahun 10 37.500 - 3.375 Jumlah 300.000 133.875

Dengan pinjaman PIP, cost of money lebih rendah sebesar Rp. 73.9 milyar. Keuntungan lainnya RSUD dapat diselesaikan lebih cepat (2 tahun) sehingga manfaat RSUD lebih cepat dirasakan masyarakat.

Bagi Pemda yang ingin memperoleh pembiayaan investasi dari PIP terlebih dahulu harus mengajukan surat permohonan kepada Kepala PIP dan menyampaikan proposal proyek. Selanjutnya PIP akan melakukan analisa kelayakan proyek tersebut. Adapun tata cara pengajuan pinjaman kepada PIP antara lain: (1) calon mitra mengajukan surat permohonan pinjaman kepada Kepala PIP (2) Kepala PIP mengundang calon mitra untuk melakukan presentasi (3) calon mitra menyampaikan proposal dilengkapi dengan latar belakang, studi kelayakan, skema pembiayaan, skema pembagian resiko, skema hak kepemilikan (untuk investasi penyertaan modal), skema pengembalian dana (untuk investasi pemberian pinjaman), laporan keuangan 3 tahun terakhir, tahun berjalan dan proyek (4) Analisa Kelayakan Proyek (5) Penyampaian indicative offer dari PIP kepada calon mitra (6) Persetujuan calon mitra terhadap indicative offer (7) persetujuan pinjaman (8) penandatangan perjanjian (9) efektivitas perjanjian pinjaman (10) pemindahbukuan. Persyaratan pinjaman sesuai dengan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan PP No. 54 Tahun 2005 tentang pinjaman daerah antara lain (1) Jumlah sisa pinjaman + jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD sebelumnya (2) Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman paling sedikit 2,5 dan (3) tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah. Adapun syarat efektif perjanjian pinjaman antara lain (1) adanya Peraturan Daerah yang menyatakan bahwa selama masa pinjaman seluruh kewajiban (pokok, bunga dan apabila ada kewajiban lainnya) yang jatuh tempo, wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan (2) adanya Surat Persetujuan Ketua DPRD atas rencana pinjaman Pemda (3) adanya Surat Pernyataan Kepala Daerah bahwa bersedia dipotong DAU dan atau DBH secara langsung (4) adanya Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (STPJM) dari Kepala Daerah (5) adanya pendapat hukum (legal opinion) dari Kepala Bagian/ Biro Hukum Pemda. Dalam pengembalian pinjaman, seluruh kewajiban (pokok dan bunga) yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan. Apabila Pemda yang meminjam tidak memenuhi kewajiban membayar pinjaman kepada PIP, kewajiban membayar pinjaman tersebut akan dipotong dari DAU dan atau DBH yang menjadi hak Pemda. Peminjam tetap bertanggung jawab untuk pengembalian pembayaran kewajibannya kepada PIP walaupun proyek yang dibiayai terhenti/tidak berjalan sebagaimana mestinya. (MS &TKA) (hasil wawancara tim TEK dan Kepala PIP – Soritaon Siregar)

10

11

Page 11: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001 telah memberikan pengaruh yang besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain-lain. Penyelenggaraan otonomi daerah pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah. Keterbatasan kemampuan finansial pemerintah dan pemerintah daerah dalam mewujudkan kesejahtaraan daerah membutuhkan dukungan pihak swasta melalui investasi. Daya tarik investasi daerah dipengaruhi tata kelola ekonomi daerah. Laporan BKPM menunjukan adanya peningkatan kinerja investasi nasional-daerah 2009-2010. Realisasi investasi 2010 mencapai Rp.208,5T meningkat 54,2% dibandingkan tahun 2009 (Rp.135,2T) dan melebihi 30,2% dari target (Rp.160,1T). Realisasi investasi diluar Jawa meningkat 174% dari Rp.25T menjadi Rp.68,5T. Kenaikan investasi di luar Jawa: Kalimantan Timur dari Rp.0,8T menjadi Rp.7,2T; Kalimantan Tengah dari Rp.1,5T menjadi Rp.8,8T; Sulawesi Selatan dari Rp.0,7T menjadi Rp.7,2T; Nusa Tenggara Barat Rp.0,2T menjadi Rp.3,8T; dan Sumatera Selatan dari Rp.1,1T menjadi Rp.3,4T. Sementara itu evaluasi tahunan yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) sejak tahun 2001 telah menghasilkan beberapa temuan mengenai Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED). Temuan TKED dan studi yang dilakukan bersama Neil Mc.Culloh (IDS) menunjukan bahwa diantara kesembilan indikator tata kelola ekonomi daerah, infrastruktur secara signifikan memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan.

GDP growth real pc 2001-2007

Non-oil GDP growth real pc 2001-2007

Access to information 0.01 0.01 Infrastructure 0.28* 0.15* Integrity -0.02 0.04 Interaction -0.04 0.01 Land 0.04 0.01 Licensing 0.03 0.05 Security 0.09 0.05 Business Development Programs

-0.05 0.00

Transaction Costs 0.07 0.07 Sumber: KPPOD-Neil Mc.Culloh (IDS)

Selain temuan di atas, studi lain yang dilakukan KPPOD-bersama Rahmasari (FEUI) menghasilkan beberapa temuan terkait tata kelola ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Studi ini mendukung temuan Neil Mc. Culloh bahwa tata kelola infrastruktur mempunyai korelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Selain itu suatu daerah harus mencapai tingkat tata kelola ekonomi tertentu agar memiliki

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 9

ECONOMIST TALK MARET 2011: MEWUJUDKAN SINERGI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DENGAN PERBAIKAN IKLIM INVESTASI

dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemisikinan di daerah yang bersangkutan. Tata kelola ekonomi daerah lebih dirasakan dampaknya terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional di Kota dibandingkan Kabupaten. Sebagian kabupaten/kota di Jawa telah mencapai tingkat tata kelola ekonomi daerah yang berdampak positif bagi kesejahteraan penduduknya.

Sumber: KPPOD-Rahmasari (FEUI)

Dari berbagai temuan di atas, untuk mengoptimalkan kinerja investasi dalam rangka otonomi daerah dibutuhkan beberapa kebijakan. Pertama, perlunya pembangunan infrastruktur secara signifikan melalui sinergi pusat dan daerah. Kedua, pendampingan difokuskan kepada Kabupaten dibandingkan Kota. Ketiga, pendampingan lebih dibutuhkan daerah-daerah di luar Jawa. Keempat, pengawasan hendaknya difokuskan kepada daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, dan memiliki APBD yang besar. Kelima, replikasi best practices tata kelola ekonomi daerah perlu didorong. (RA)

Sambungan Halaman 6 : Prospek Ekonomi Global 2011

6. Rating yang meningkat: berdasarkan penilaian dari perusahaan pemeringkatan (rating) terkemuka didunia (Moody’s dan Fitch) dimana Indonesia digolongkan grade satu tingkat dibawah investment grade (diperkirakan dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia dapat mencapai investment grade).

Melihat kondisi tersebut, sangatlah wajar target jangka panjang kita untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing yang lebih bagus pada tahun 2025 dapat diwujudkan. Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 2025 diharapkan SDM kita akan lebih berkualitas; perekonomian domestik semakin diperkuat dengan orientasi dan berdaya saing global; menguasai dan memanfaatkan IPTEK; sarana dan prasarana yang memadai dan maju; serta reformasi hukum dan birokrasi berlangsung dengan baik. Namun demikian, kita tidak boleh terlena dengan penilaian BBVA tersebut. Kerja keras dan rasa kebersamaan harus tetap menjadi pegangan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. (MEY)

12

13

Page 12: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 10

Kebijakan investasi pangan skala luas ( Food Estate ) akhir-akhir ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Kebijakan tersebut dilakukan sebagai bentuk responsif dan proaktif dari pemerintah terhadap perubahan-perubahan lingkungan strategis. Tujuannya untuk menjawab issu-issu tentang: 1) Kelangkaan pangan dunia yang dihadapkan pada tingginya pertambahan jumlah penduduk. 2) Prospek harga pangan yang terus meningkat. 3) Kebutuhan pangan yang diperebutkan sebagai bahan baku energi yang terbarukan. 4) Ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, dsbnya. Oleh karena itu, ketahanan pangan merupakan prioritas utama pemerintah. Hal ini dilakukan guna menjaga kestabilan harga dan pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Sehingga akan berdampak pada kestabilan ekonomi, sosial dan politik. Investasi pertanian pangan pada saat ini adalah investasi yang dilakukan masyarakat sendiri secara konvensional dengan luas lahan yang terbatas. Saat ini, masyarakat dihadapkan pada pesatnya laju konversi lahan pertanian untuk berbagai kebutuhan pembangunan. Hal itu diakibatkan adanya percepatan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat. Sehingga diperlukan fasilitas umum, perumahan, prasarana jalan dan prasarana lainnya. Kondisi ini mengharuskan sektor pertanian berbenah diri melakukan perbaikan diantaranya: 1) Cara tanam dalam skala yang lebih luas. 2) Merubah cara tanam konvensional menjadi lebih modern. 3) Penggunaan teknologi. 4) Benih unggul. 5) Prasarana dan sarana pertanian yang memadai. 6) Peralatan pasca panen yang memadai. 7) Selalu mengakses informasi. Untuk mencapai itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut diantaranya: ketersediaan lahan pertanian yang luas, pembiayaan, serta sumberdaya manusia pertanian yang berkualitas. Sehingga menghasilkan produk pertanian dengan kuantitas yang maksimal dan berkualitas. Program investasi pangan skala luas ini merupakan program extensifikasi lahan pertanian. Program ini dilakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Kedepan wilayah di Pulau Jawa dan Bali sudah tidak akan mampu lagi menopang kebutuhan pangan. Keterbatasan itu seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin cepat dan kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian yang semakin tinggi. Berdasarkan Inpres 5/2008 tentang Fokus Kebijakan Ekonomi, salah satu kebijakan penting yang telah berhasil dikoordinasikan adalah investasi pangan skala luas. Peraturan Pemerintah No 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dan Permentan No 39/2010 tentang Pedoman Perijinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan, yang merupa-

kan peraturan pelaksanaan dari UU 12/92 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Peraturan pelaksanaan tersebut baru diterbitkan pada tahun 2010. Keduanya bertujuan memberikan acuan bagi pemerintah Provinsi, Kabupaten dan pemangku kepentingan lainnya di bidang pengembangan tanaman pangan skala luas. Sehingga memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi para investor baik domestik maupun asing. Selain peraturan yang mengatur tentang budidaya tanaman pangan, peraturan lain yang mendukung adalah Perpres No 36/2010 Tentang Bidang usaha yang Tertutup dan Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Pada PP No 18/2010 pasal 2 disebutkan bahwa usaha budidaya tanaman pangan diselenggarakan untuk mewujudkan: 1) Kedaulatan dan ketahanan pangan. 2) Menyediakan kebutuhan bahan baku industri. 3) Meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan petani. 4) Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. 5) Meningkatkan perlindungan budidaya tanaman secara konsisten dan konsekuen. Dilakukan dengan memperhatikan aspek pelestarian sumberdaya alam dan atau alih fungsi lingkungan hidup. 6) Memberikan kepastian usaha bagi pelaku usaha budidaya tanaman.

Aturan mengenai pengusahaan investasi pangan skala luas tertuang pada PP 18/2010 dan Permentan 39/2010. Aturan itu memuat jenis dan skala usaha, luas maksimum, pola usaha, dan pemanfaatan jasa sarana milik Negara. Jenis usaha budidaya tanaman meliputi tiga kegiatan yaitu: 1) Usaha dalam proses produksi. Meliputi penyiapan lahan dan media tumbuh tanaman, penanaman, pemeliharaan hingga panen. 2) Usaha dalam penanganan pasca panen. Mulai dari pembersihan, pengupasan/perontokan, pengeringan, sortasi, grading, pengolahan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standarisasi mutu, distribusi hingga pemasaran hasil tanaman. 3) Usaha keterpaduan antar keduanya. Luas maksimum yang wajib mendapatkan ijin untuk pengusahaan budidaya tanaman ditetapkan pada kisaran 25-10.000 hektar. Namun, untuk wilayah Papua dapat diberikan dua kali luasan maksimum. Ketentuan luas lahan maksimum tersebut tidak berlaku bagi BUMN/ BUMD dan Koperasi. Artinya tidak ada batasan luas yang boleh diusahakan oleh perusahaan itu.

Batas maksimal kepemilikan saham penanaman modal asing untuk usaha budidaya tanaman pangan dibedakan dengan aturan yang sudah ada (Perpres 36/2010). Dalam aturan tersebut tertulis penguasaan saham yang boleh dimiliki oleh investor asing hanya 49%. Hal ini berbeda dengan besaran kepemilikan saham untuk kegiatan sektor lain yang bisa mencapai 95%.

MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL MELALUI INVESTASI PANGAN SKALA LUAS

Page 13: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 11

Hal itu merupakan bentuk pembatasan bagi investasi asing di bidang pangan dan merupakan proteksi (perlindungan), serta memberi kesempatan bagi pelaku usaha dalam negeri. Diharapkan BUMN/BUMD, swasta nasional maupun Koperasi dapat mengisi peluang investasi tersebut.

Usaha budidaya tanaman dalam skala luas ini dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa persyaratan dasar yang harus dipenuhi dalam rangka penyediaan lahan antara lain: 1) Tidak berada pada kawasan konservasi/lindung dan hutan produksi bervegetasi baik. 2) Tidak berada ditempat yang dianggap penting bagi masyarakat (adat), sumber air, konservasi adat, area hutan konservasi. 3) Kawasan gambut, diprioritaskan pada lokasi/kawasan dengan status APL (Alokasi Penggunaan Lain) dan atau Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK). Untuk itu, pemerintah daerah harus segera menetapkan tata ruang dan wilayahnya yang sesuai dengan peruntukan investasi pertanian pangan skala luas. Sehingga dikemudian hari tidak terjadi masalah yang tidak diperlukan.

Kini kesempatan seluruh wilayah di Indonesia untuk menarik investasi pertanian pangan baik dari domestik maupun asing telah terbuka. Tinggal kesiapan daerah untuk dapat menawarkan keunggulan komparatif (comparative advantage) daerahnya menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Saat ini, Pemerintah tengah menyiapkan Kabupaten Merauke sebagai pilot project Food Estate melalui program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Proyek ini merupakan program nasional yang mengintegrasikan pola pertanian dari hulu hingga hilir. Diharapkan pada tahun 2011 program ini sudah bisa dimulai. Sebenarnya investor sudah siap untuk berinvestasi, tetapi ketersediaan lahan masih menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan.

Pemerintah memang sedang giat mengundang investasi baik domestik maupun asing, namun akan sangat membanggakan apabila investasi di bidang pangan dapat diisi oleh bangsa Indonesia sendiri. Sudah saatnya kemampuan dan kemauan para pelaku usaha nasional didorong untuk melakukan investasi di bidang pertanian pangan. Jangan sampai kesempatan ini didahului (direbut) oleh bangsa lain yang lebih piawai dalam melihat prospek bahwa lahan pangan dan energi akan menjadi semakin langka dan mahal. Sementara kesempatan emas di depan mata dibiarkan dan terabaikan. (WDS)

Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manejemen kawasan dengan prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi tinggi. Yang pada akhirnya ditetapkan sebagai Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan.

Kebijakan tersebut sejalan dengan Kebijakan dan Strategi Pembangunan Ekonomi di Bidang Perikanan sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010 – 2014. Target pencapaian RPJM tahun 2014 yaitu Penurunanan kemiskinan 8-10%; Indeks nilai tukar nelayan 115-120; Produksi perikanan 22,39 juta ton; Ketersediaan ikan per kapita (kg/kap/th) 38,67 dan Ekspor 5 miliar dollar AS.

Program minapolitan dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2010. Tujuan utamanya adalah 1) Peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk kelautan dan perikanan. 2) Peningkatan pendapatan nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan. 3) Mengembangkan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah.

Dengan demikian, kawasan minapolitan adalah kawasan ekonomi yang terdiri dari sentra-sentra produksi, perdagangan dan jasa terkait lainnya. Dimana basis komoditas kelautan dan perikanan sebagai penggerak ekonomi rakyat. Karakteristik dari minapolitan adalah 1) Sebagai sentra-sentra produksi dan pemasaran berbasis kelautan dan perikanan dengan efek pengganda (multiplier effect) tinggi terhadap perekonomian di sekitarnya. 2) Mempunyai keragaman kegiatan ekonomi, produksi, perdagangan, jasa pelayanan kesehatan dan sosial yang saling terkait. 3) Mempunyai sarana dan prasarana yang memadai sebagai pendukung keaneka ragaman aktivitas ekonomi layaknya sebuah kota. Beberapa persyaratan didalam mengembangkan sebuah minapolitan, yaitu 1) Komitmen pemerintah daerah. 2) Pengembangan komoditas perikanan unggulan. 3) Letak geografis cukup strategis dan secara alami sesuai dengan usaha perikanan. 4) Terdapat mata rantai produksi perikanan dari hulu sampai hilir. 5) Fasilitas infrastruktur pendukung (jalan, pengairan, listrisk dsb). Sehingga pada akhirnya mempunyai kelayakan dalam memelihara pelestarian lingkungan hidup. (S/JA) (bersambung ke halaman 15)

PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN

Page 14: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Penyaluran KUR

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 12

Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) selama tahun 2011 (Januari – Minggu I Maret 2011) terus mengalami peningkatan sehingga mencapai Rp. 4,59 triliun dengan jumlah debitur 362.823 debitur yang tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Penyaluran KUR oleh 6 bank pelaksana (BRI, BNI, Mandiri, BTN, Bukopin dan BSM) mencapai Rp. 4,02 triliun, sedangkan oleh 13 BPD mencapai Rp.569,1 miliar (sekitar 12.4% dari total plafon). Secara kumulatif dari akhir 2007 sampai dengan Februari 2011, total plafon penyaluran KUR mencapai Rp. 38,2 triliun kepada 4.112.136 debitur dengan rata-rata kredit sebesar Rp 9.3 juta per debitur. Sementara Non Performing Loan (NPL) menurun dari 2.21% pada Januari 2011 menjadi sebesar 2.13% pada Februari 2011.

Sejak Februari 2011, laporan penyaluran KUR berdasarkan sektoral diubah menjadi 20 sektor yang sebelumnya 10 sektor. Secara kumulatif dari akhir 2007 sampai dengan Februari 2011, penyaluran KUR didominasi oleh sektor perdagangan besar dan eceran sebesar Rp 24T. Sementara sektor pertanian Rp 6T; Perikanan Rp 19M; Pertambangan dan penggalian Rp25M; dan Industri pengolahan Rp 876M.

Realisasi Penyaluran KUR Berdasarkan Sektor Ekonomi Kumulatif Akhir 2007 Sampai Dengan Februari 2011

Sumber: Laporan Komite Kebijakan KUR, Kemenko Perekonomian

REALISASI PENYALURAN KREDIT USAHA RAKYAT FEBRUARI 2011

Sedangkan jumlah debitur sektoral dari akhir 2007 sampai dengan Februari 2011: Perdagangan besar dan eceran sekitar 3.222.777 debitur; Pertanian 528.281 debitur; Perikanan 214 debitur; Pertambangan dan penggalian 382 ; debitur dan Industri pengolahan 56.106 debitur.

Realisasi Penyaluran KUR Per Provinsi Kumulatif Akhir 2007 Sampai Dengan Februari 2011

Sumber: Laporan Komite Kebijakan KUR, Kemenko Perekonomian

Lima provinsi penyalur KUR tertinggi hingga Februari 2011: Jawa Timur Rp5,5T, Jawa Tengah Rp5,2T, Jawa Barat Rp4,9T, Sulawesi Selatan Rp2T, Sumatera Utara Rp1,9T. Sedangkan lima provinsi penyalur KUR terendah hingga Februari 2011: Maluku Utara Rp151M, Irian Jaya Barat Rp188M, Kepulauan Riau Rp210M, Sulawesi Barat Rp 218M, dan Gorontalo Rp238M.

Capaian jumlah debitur tiap daerah mengikuti capaian plafon realisasi KUR hingga Februari 2011. Lima provinsi dengan debitur terbanyak: Jawa Tengah 939.049 debitur, Jawa Timur 704.540 debitur, Jawa Barat 606.364 debitur, Sulawesi Selatan 219.503 debitur, dan Sumatera Utara 171.970 debitur. Sedangkan lima provinsi dengan jumlah debitur KUR terendah: Irian Jaya Barat 7844 debitur, Maluku Utara 9030, Kepulauan Riau 11.947 debitur, Bangka Belitung 14.011 debitur, dan Maluku 17.919 debitur.

Realisasi penyaluran KUR hingga Februari 2011 tampak masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Peningkatan jumlah BPD yang berpartisipasi dalam penyaluran KUR tahun 2011 diharapkan dapat mendorong peningkatan penyaluran plafon KUR dengan lebih merata ke berbagai daerah khususnya daerah di luar Jawa. (RA)

14

15

Page 15: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 13

Perkembangan Ekonomi & Keuangan Daerah

TINJAUAN EKONOMI REGIONAL TRIWULAN IV-2010

Pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan IV-2010 menunjukkan perkembangan yang membaik tercatat sebesar 6.9% yoy. Secara nasional, pertumbuhan ekonomi tahun 2010 tercatat sebesar 6.1%. Bank Indonesia memperkirakan perekonomian kawasan Jawa dan Jakarta tumbuh di atas 6%. Kawasan Sumatera dan KTI (Kawasan Timur Indonesia) diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 5,2% dan 6%. Perbaikan ekonomi ini khususnya ditopang peningkatan pada sisi permintaan, konsumsi dan investasi. Peningkatan kinerja perekonomian tersebut disertai kenaikan inflasi di berbagai daerah. Laju inflasi Jakarta dan Jawa mencapai 6,27% dan 6,71%. Pada periode yang sama, tekanan inflasi yang lebih tinggi dialami Sumatera dan KTI sebesar 7,83% dan 7,56%. Kenaikan harga volatile foods seperti beras dan bumbu-bumbuan menjadi pemicu utama kenaikan tingkat inflasi ini. Pertumbuhan ekonomi di Jawa terutama didorong oleh peningkatan kinerja sektor industi pengolahan dan industri perdagangan. Kapasitas utilisasi industri manufaktur meningkat hingga 80%. Sementara itu sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) tumbuh di atas 9%. Dorongan pertumbuhan juga berasal dari sektor perbankan seperti pertumbuhan kredit 21,6% (yoy), dengan 33,7% diantaranya kredit UMKM. Anomali iklim tidak banyak mempengaruhi kinerja sektor pertanian kawasan Jawa yang masih relatif stabil. Namun, faktor iklim mempengaruhi pasokan dan distribusi beberapa komoditas makanan yang menyebabkan inflasi kawasan Jawa meningkat. Kondisi cuaca yang tidak menentu ini juga berpotensi mengganggu kesinambungan produksi dan distribusi barang terutama ke luar Jawa, sehingga dapat mendorong kenaikan tekanan inflasi lebih lanjut. Strategi penanganan gangguan sisi penawaran merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan di seluruh daerah. Tim Pengendalian Inflasi Daerah yang telah terbentuk di 53 kota basis perhitungan inflasi seyogyanya menangani masalah tersebut. Jakarta mencatat pertumbuhan 6%. Di sisi penawaran sektor keuangan, perdagangan dan industri yang masing-masing tumbuh sekitar 4%, 7,1%, dan 3% berperan penting. Di sisi permintaan, kinerja investasi swasta konsumsi rumah tangga masih kuat. Sektor eksternal khususnya ekspor dari negara emerging markets cukup tinggi meski mengalami penurunan. Namun hingga 26 Desember 2010, realisasi belanja pemerintah masih pada kisaran 76% akibat penundaan beberapa proyek infrastruktur. Hingga Oktober 2010 kredit perbankan di Jakarta tumbuh 20,9% (yoy). Di sisi lain, perekonomian Jakarta juga

mengalami peningkatan inflasi pada triwulan IV 2010 sebesar 6,215 (yoy). Tekanan inflasi ini terutama disebabkan oleh ekspektasi pedagang akan terjadinya penurunan pasokan selama masa paceklik. Selama liburan akhir tahun, konsumsi masyarakat Sumatera meningkat khususnya pada sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Peningkatan juga terjadi pada tingkat investasi dan ekspor. Sedangkan realisasi belanja pemerintah masih berkisar antara 54%-80%. Pada periode yang sama terjadi lonjakan laju inflasi akibat berkurangnya pasokan volatile food. Sedangkan sektor perbankan juga tercatat positif dengan penyaluran kredit tumbuh 22,5% (yoy) hingga Oktober 2010. Meningkatnya kinerja sektor pengangkutan dan komunikasi pada akhir tahun juga terjadi di KTI. Peningkatan juga terjadi pada sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan yang masing-masing akibat peningkatan produksi tambang dan tepung terigu dan semen. Pada sisi permintaan, pertumbuhan investasi khususnya ditandai oleh meningkatnya impor barang modal. Indikator perbankan KTI juga mengalami tren meningkat seperti pertumbuhan kredit 23,8% (yoy) pada triwulan IV 2010. Seperti kawasan lainnya, lonjakan laju inflasi pada kelompok bahan pangan (volatile foods) akibat pengaruh perubahan iklim juga terjadi di KTI.

Sumber: BPS diolah, * angka sementara, P angka perkiraan Bank Indonesia

Pada tahun 2011, perekonomian daerah diperkirakan tumbuh di atas 6% sesuai proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,4% dalam APBN 2011. Pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah diperkirakan sekitar 6%-6,5%. Pertumbuhan khususnya didukung konsumsi dan investasi yang diperkirakan masih cukup tinggi. Untuk mendukung kinerja konsumsi dan investasi ini upaya peningkatan domestic connectivity terus dilakukan. Dari sisi penawaran, sektor pertanian diperkirakan masih cukup stabil namun dibayang-bayangi oleh anomali iklim. Sehingga perekonomian menghadapi risiko inflasi terkait pasokan volatile foods. Dalam rangka pengendalian inflasi, fokus Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) disarankan pada penguatan pasokan bahan makanan sehingga menggiring ekspektasi inflasi masyarakat terhadap harga pangan dan harga-harga pada umumnya menurun. Sumber: disarikan dari Tinjauan Ekonomi Regional - Bank Indonesia (RA)

16

Page 16: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Ekonomi & Keuangan Daerah

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 14

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemda mempunyai peranan yang semakin penting dalam memengaruhi kinerja perekonomian daerah. Iklim usaha yang kondusif merupakan salah satu prasyarat terselenggaranya kegiatan perekonomian yang dinamis. Regulasi yang diciptakan oleh pemda dapat mendorong atau sebaliknya menghambat penciptaan iklim usaha yang kondusif.

Survei yang dilakukan KPPOD menemukan beberapa masalah kinerja tata kelola pemerintah daerah khususnya terkait dengan penciptaan iklim usaha yang kondusif. Pertama, sertifikasi lahan membutuhkan waktu yang berbeda tajam antar kab/kota. Kedua, program pengembangan usaha untuk UKM tidak banyak diketahui meskipun manfaatnya positif. Ketiga, banyak pungutan ilegal terutama dilakukan oleh Polisi. Keempat, Kepala Daerah dinilai mengetahui kebutuhan bisnis dan mengambil tindakan tegas kepada para pejabatnya yang korup, namun ada Kepala Daerah yang juga melakukan korupsi. Kelima, kuantitas, kualitas dan tata kelola infrastruktur yang buruk menghambat aktivitas usaha. Keenam, keamanan yang terjaga kondusif untuk melakukan usaha. Ketujuh, masih terdapat Perda perijinan bertentangan dengan peraturan nasional.

Penelitian lain mengenai tata kelola pemerintahan daerah dilakukan oleh KPPOD-Neil Mc.Culloh (IDS). Penelitian ini diantaranya menjelaskan hubungan simultan antara pertumbuhan, tata kelola ekonomi dan faktor struktural.

Tata kelola pemerintahan mencakup beberapa aspek yaitu stabilitas, penghapusan rente ekonomi, kompetensi, transparansi dan akuntabilitas. Stabilitas dapat tercipta jika daerah memiliki pemimpin yang kuat, pemda tidak menciptakan ketidakpastian, dan konflik pertanahan jarang terjadi. Sementara itu penghapusan rente ekonomi dapat diredam jika pemimpin tidak korup dan pemda tidak mendorong meningkatnya biaya-biaya bisnis dan distribusi serta pungutan ilegal. Kompetensi dapat didorong dengan

Pertumbuhan

Faktor FaktorStruktural

Tata KelolaPemerintahan

MENUMBUHKAN INVESTASI DI DAERAH melaksanakan program pengembangan usaha, meningkatkan efisiensi waktu perbaikan infrastruktur, pemimpin yang berwawasan bisnis, pegawai yang terampil dan cakap, serta waktu perizinan yang efisien. Sedangkan keterbukaan dan akuntabilitas dapat terwujud dengan kemudahan akses informasi, adanya forum komunikasi, adanya mekanisme keberatan/pengaduan, dan pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah. Lebih jauh penelitian tersebut melaporkan terdapat lima faktor yang mempengaruhi aspek-aspek tata kelola pemerintahan. Kelima faktor tersebut adalah ukuran ekonomi, populasi, Sumber Daya Alam, anggaran dan pendidikan. Analisa faktor-faktor tersebut terhadap aspek tata kelola pemerintahan menghasilkan beberapa simpulan. Pertama, konflik pertanahan lebih banyak dijumpai di perkotaan, daerah luar Jawa dan daerah dengan peningkatan anggaran yang besar. Kedua, pungutan ilegal semakin banyak ditemui di kota, daerah dengan populasi yang lebih besar dan daerah yang lebih kaya. Ketiga, jangka waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan infrastruktur tidak tergantung besarnya anggaran dan cenderung lebih lama di daerah dengan konsentrasi ekonomi, populasi tinggi serta daerah dengan peningkatan anggaran yang signifikan. Keempat, mekanisme pengaduan lebih sering dijumpai di kota dan di wilayah Jawa. Beberapa kab/kota dapat dijadikan sebagai contoh best practices dalam kebijakan dan regulasi mengenai investasi daerah. Berdasarkan survei kab/kota terbaik dalam bidang pelayanan penanaman modal yang dilakukan KPPOD tahun 2009 sebagian besar kab/kota dengan pelayanan terbaik berada di pulau Jawa. Lima kabupaten terbaik adalah Purwakarta, Sidoarjo, Sragen, Jembrana dan Kudus. Sedangkan lima kota terbaik adalah DI Yogyakarta, Cimahi, Bandung, Bitung, dan Banjar. Sebaliknya kab/kota yang masih membutuhkan pendampingan didominasi oleh kab/kota di wilayah Indonesia Timur. Lima kabupaten terbawah dalam bidang pelayanan penanaman modal dari 217 kabupaten adalah Ende, Lombok Barat, Lebong, Merangin, dan Simalungun. Sedangkan lima urutan terbawah dari 74 kota adalah Jayapura, Pematang Siantar, Tidore Kepulauan, Ambon dan Bima. Pemeringkatan tersebut diperoleh dari hasil studi atas enam indikator: kelembagaan instansi pelayanan penanaman modal daerah; pelayanan perizinan usaha; mekanisme pengaduan dan evaluasi kinerja pelayanan; teknologi dan sistem informasi pelayanan penanaman modal dan perizinan; ketersediaan dan kualitas data/informasi pelayanan penenaman modal di daerah; inovasi dan capaian keberhasilan pelayanan penanaman modal.

17

Page 17: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Perkembangan Ekonomi & Keuangan Daerah

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 15

Peningkatan pelayanan investasi di Indonesia sudah relatif menunjukkan kemajuan di banding negara tetangga. Pada laporan Doing Business di Indonesia Tahun 2010 dari Bank Dunia, dipaparkan beberapa kota di Indonesia telah unggul dalam hal rendahnya jumlah prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh izin mendirikan bangunan. Rata-rata kota di Indonesia hanya memerlukan 12 prosedur, yang berarti 6 prosedur lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata regional di Asia Timur dan Pasifik. Demikian juga dengan pengalihan hak atas properti juga relatif cepat di seluruh Indonesia dibanding banyak negara lain. Namun untuk proses mendirikan usaha Indonesia masih lebih panjang yaitu 60 hari dibanding negara-negara ASEAN yang 50 hari, kecuali Kamboja, Filipina, dan Laos. Indonesia juga lebih tinggi dalam hal beberapa biaya yaitu untuk pendirian usaha, izin mendirikan bangunan, serta pendaftaran properti.

Analisa terhadap variabel pelayanan investasi tersebut di 14 kota di Indonesia menghasilkan keragaman yang cukup besar. Perbedaan tersebut antara lain akibat variasi ketentuan daerah dan pelaksanaannya serta keragaman kinerja instansi pusat di daerah. Hal ini menunjukkan pentingnya pendampingan kepada daerah yang belum maju agar kesenjangan pelayanan investasi antar-daerah semakin kecil. Selain itu pengawasan pelayanan investasi perlu terus ditingkatkan khususnya di daerah kaya SDA untuk menghapus rent seeking. (BHR,RA)

Sambungan Halaman 11 : Pengembangan Kawasan Minapolitan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2010 telah ditetapkan 197 Kabupaten/Kota untuk pengembangan kawasan minapolitan sampai dengan tahun 2014. Dari 197 kawasan tersebut, sebanyak 41 lokasi kawasan minapolitan yang ditetapkan sebagai percontohan. Minapolitan yang mendapat dukungan dari APBN terdiri dari minapolitan berbasis perikanan tangkap; minapolitan berbasis perikanan budidaya dan minapolitan berbasis produksi garam.

Strategi pengembangan kawasan minapolitan yaitu Pertama, menggerakkan produksi di sentra-sentra produksi unggulan kelautan dan perikanan pro usaha rakyat kecil. Kedua mengintegrasikan sentra-sentra produksi tersebut menjadi kawasan ekonomi unggulan berbasis kelautan dan perikanan. Ketiga, pendampingan melalui penyuluhan dan pelatihan serta bantuan teknis guna meningkatkan kualitas SDM kelautan dan perikanan. Keempat, pengembangan sistem ekonomi kelautan dan perikanan berkelanjutan dengan berbasis wilayah.

Pengembangan kawasan minapolitan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan kebijakan ekonomi nasional, yaitu : a. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang

bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan; b. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global

sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan kompetensi produk unggulan di setiap daerah;

c. Memberdayakan usaha kecil, menengah, dan koperasi agar mampu bekerjasama secara efektif, efisen dan berdaya saing;

d. Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya perikanan dan budaya lokal;

e. Mempercepat pembangunan ekonomi daerah dengan memberdayakan para pelaku sesuai dengan semangat otonomi daerah;

f. Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat daerah dengan kepastian dan kejelasan hak dan kewajiban semua pihak;

g. Memaksimalkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau seluruh kegiatan pembangunan di daerah.

Dengan demikian pengembangan kawasan minapolitan merupakan usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan saling ketergantungan dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), masyarakat ( social system), dan lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya (eco system) yang berbasis kelautan dan perikanan. (Disadur dari Majalah Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan, Edisi 2 Desember 2010 ; Pedoman Perencanaan Kawasan Minapolitan 2010 dan RPJMN 2010-2014 Buku I dan Buku II ) (S/JA)

18

19

Page 18: TEK 0311_final_19 Maret 2011

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Maret 2011 16

Perkembangan Ekonomi & Keuangan Daerah

MELIHAT INVESTASI DKI JAKARTA

Sebagai ibukota negara yang juga pusat perekonomian, DKI Jakarta memilik prasarana yang lengkap untuk menunjang kegiatan investasi diantaranya jaringan jalan lingkar dan jalan kereta api, Bandara Internasional Soekarno Hatta serta Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan laut utama. Dengan kelengkapan tersebut, pada tahun 2010 tercatat lonjakan Penanaman Modal Asing (PMA) dengan 1068 proyek senilai USD6,4 miliar. Perbedaan realisasi PMA DKI Jakarta dengan provinsi lainnya sangat besar bahkan jika dibandingkan dengan provinsi Jawa Timur yang memperoleh PMA terbesar kedua yaitu sebesar USD1,1 miliar. Hal ini menunjukkan besarnya minat investor asing memilih berinvestasi di DKI Jakarta dibandingkan di provinsi lain. Sebagian besar investor berasal dari Singapura, Cina, Korea Selatan dan British Virgin Island.

Sedangkan realisasi investasi PMDN DKI Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya. Pada tahun 2010, realisasi PMDN DKI Jakarta berada pada urutan ke lima pada kelompok provinsi dengan realisasi PMDN terbesar yaitu sebanyak 104 proyek dengan nilai Rp. 4,5triliun. Dengan demikian, realisasi investasi proyek di DKI Jakarta lebih banyak didanai oleh investor asing dibandingkan dengan investor dalam negeri.

Berdasarkan bidang usaha investasi, sesuai dengan karakteristik DKI Jakarta sebagai kota jasa, sektor yang paling besar memperoleh investasi adalah sektor tersier, antara lain sektor jasa lainnya (perdagangan dan distributor utama, konsultan, komunikasi, kesehatan, dsb). Pada tahun 2010, realisasi investasi pada sektor komunikasi mencapai sekitar Rp.25 triliun. Investasi merupakan faktor yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, semakin besar investasi yang ditanamkan di suatu daerah maka akan semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi di daerah itu. Kontribusi investasi pada PDRB tahun 2010 sebesar Rp.862,2 triliun. Dalam rangka pembentukan PMTB, PMA/PMDN menyumbang Rp.16,5 triliun, bahkan bila mengacu pada definisi investasi sesuai UU Nomor 25 Tahun 2007 maka sektor non fasilitas menyumbang 68,5% dari total PMTB, dengan demikian kontribusi investasi terhadap ekonomi Jakarta sangat besar. Pada tahun 2010, realisasi PMA telah menyerap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebanyak 106.778 orang dan Tenaga Kerja Asing (TKA) sebanyak 1.569 orang, sedangkan dari realisasi PMDN telah terserap TKI sebanyak 6.847 orang dan TKA sebanyak 41 orang.

Dalam pengelolaan investasi, Pemda DKI Jakarta melalui BPMP melakukan pelayanan birokrasi dengan fasilitas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang merupakan penjabaran dari RPJMD Gubernur Provinsi DKI Jakarta tahun 2007-2010. Dari hasil wawancara dengan Kepala Bidang Penanaman Modal BPMP, Jeje Nurjaman diperoleh informasi bahwa pada tahun 2011 semua perijinan di Pemda DKI Jakarta harus sudah terintegrasi. PTSP telah diresmikan pada tanggal 22 September 2010 oleh Gubernur DKI Jakarta.

Pelaksanaan PTSP oleh BPMP DKI Jakarta belum memiliki kewenangan penuh. PTSP yang ada masih sebatas loket penerima berkas sedangkan kewenangan penandatanganan izin masih berada di Kepala SKPD terkait. Untuk pengecekan dokumen teknis, SKPD menempatkan petugas di PTSP sebagai Tim Teknis. Kewenangan penuh untuk menerbitkan izin dan non izin di bidang penanaman modal akan segera dilimpahkan pada Kepala BPMP melalui Perda PTSP yang penyusunannya telah diagendakan oleh legislatif. Jeje Nurjaman menilai dengan diterbitkannya Perda PTSP, kewenangan penuh pelaksanaan PTSP akan lebih baik. Hingga saat ini, berdasarkan PERKA 12/2009 yang dikeluarkan oleh BKPM, BPMP DKI Jakarta hanya memiliki kewenangan untuk pemberian izin PMDN.

Selain pelaksanaan PTSP, peningkatan pelayanan investasi juga ditempuh Pemda DKI dengan mengembangkan 3 Kawasan Industri, yaitu Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (JIEP), Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan Cilandak Commercial Estate. Dalam rangka pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Pemda merencanakan lokasi di Marunda dengan luas lahan kurang lebih 2000 Ha.

(MS &TKA) (hasil wawancara tim TEK dan BPMP Provinsi DKI Jakarta)

Sumber: Prismadani

Page 19: TEK 0311_final_19 Maret 2011

DAFTAR ISTILAH

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kecukupan modal yang diukur berdasarkan perbandingan antara jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut resiko

Dana Pihak Ketiga (DPK) merupakan dana dalam rupiah maupun valas milik pihak ketiga bukan bank yang terdiri dari giro, tabungan dan simpanan berjangka

Linkage Program adalah kerjasama bank umum dan BPR yang dilandasi semangat kemitraan dengan tetap berorientasi pada aspek bisnis

Loan To Deposit Ratio (LDR) adalah perbandingan kredit terhadap dana pihak ketiga. Adapun rumus LDR sebagai berikut: rasio LDR = total kredit / (penghimpunan dana + modal inti)

Money Remittance Operator (MRO) adalah lembaga keuangan yang melayani jasa pengiriman remitansi Non Performing Loan (NPL) adalah kredit bermasalah yang terdiri dari kredit yang berklasifikasi kualitas kurang lancar,

diragukan dan macet. Adapun rumus NPL sebagai berikut : rasio NPL = (kredit dalam kualitas kurang lancar, diragukan dan macet) / total kredit. Terminologi NPL diperuntukkan bagi bank umum sedangkan untuk bank syariah disebut NPF (Non Performing Financing)

Net Interest Margin (NIM) adalah pendapatan bunga bersih dibandingkan dengan rata-rata aktiva produktif. Adapun

rumus NIM sebagai berikut : rasio NIM = pendapatan bunga bersih / rata-rata aktiva produktif

Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) merupakan suatu perjanjian kerja sama atau kontrak antara instansi pemerintah dengan badan usaha atau pihak swasta dimana pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah selama waktu tertentu, pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung, pihak swasta bertanggung jawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan fungsi tersebut dan fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan atau digunakan oleh pihak swasta selama masa kontrak

Pertumbuhan bulan ke bulan (mtm) adalah pertumbuhan suatu bulan dibandingkan dengan bulan sebelumnya

Pertumbuhan triwulan ke triwulan (qtq) adalah pertumbuhan suatu triwulan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya

Pertumbuhan tahun ke tahun (yoy) adalah pertumbuhan suatu periode dalam tahun tertentu dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya

Remitansi adalah dana yang dibawa masuk oleh pekerja migran ke negara asalnya -------------- ◘◘◘◘◘ --------------

Page 20: TEK 0311_final_19 Maret 2011

www.ekon.go.id

Untuk Informasi Lebih Lanjut Hubungi : Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4

Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710

Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836

Email : [email protected]