Page 1
TUGAS MATA KULIAH
PENGEMBANGAN USAHA KECIL MENENGAH
DOSEN PEMBINA
Prof. Dr. H. Yuyus Suryana Sudarma, SE, MS
Dr. H. Tatang Sulaeman, SE
Topik :
“TECHNOPRENEURSHIP”
Nama
NPM
No. HP
e-mail
: Dedeng Abdul Gani A.
: 120120080042
: 08179293735
: [email protected]
: [email protected]
PROGRAM PASCASARJANA – PROGRAM MAGISTER ILMU EKONOMIFAKULTAS EKONOMI – UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG2009
Page 2
Pengantar
Bismillahirrahmanirrahiem,
Hanya dengan berharap, berdoa dan sedikit kerja keras yang dapat
mengantarkan saya mampu menyelesaikan tugas ini, peran Allah SWT yang
paling menentukan, dengan senantiasa berharap Ridho-Nya, semoga tulisan
ini dapat bermanfaat, amien
Peradaban manusia bergerak tiada henti dan sekarang kita sampai
pada suatu masa yang di sebut dengan dunia global, dan membesarnya
peran teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai penggerak peradaban
tersebut. Tidak sedikit yang tertinggal dan tidak sedikit juga yang mampu
menjadikan globalisasi itu sebagai peluang untuk mempertahankan hidup
bahkan memperoleh keuntungan dari proses tersebut.
Keinginan untuk menjadi kompetitif mutlak di perlukan dalam kondisi
global ini, menjadi orang atau organisasi yang kreatif dan inivatif menjadi satu
dari sekian kata kunci sukses dalam persaingan ini, terlebih jika didukung
pengetahuan dan kemampuan memanfaatkan teknologi sebagai basis
kegiatan, baik itu di level individu, organisasi maupun perusahaan. Konsep
dasar ini kemudian yang di kenal sebagai technopreneurship, atau
technological etrepreneurship, sebuah konsep organisasi berbasis teknologi.
Makalah ini dibuat untuk memberikan pemahaman lebih pada penulis
tentang apa yang disebut dengan technopreneurship, selain tugas Mata
Kuliah Pengembangan UKM yang sedang diikuti penulis. Pada kesempatan
ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada
Pembina Mata Kuliah, Prof. Dr. H. Yusus Suryana Sudarma, SE, MS dan
Bapak Dr. H. Tatang Sulaeman, SE, atas motivasi dan dorongannya bagi
penulis.
Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat yang besar.
Bandung, Desember 2009
Penulis
Page 3
Pendahuluan
Globalisasi, inovasi teknologi dan persaingan yang ketat pada abad ini
memaksa perusahaan-perusahaan mengubah cara mereka menjalankan
bisnisnya. Agar dapat terus bertahan, perusahaan-perusahaan mengubah
dari bisnis yang didasarkan pada sumber daya (resources-based business)
menuju knowledge based business/company (bisnis berdasarkan
pengetahuan), dengan karakteristik utama ilmu pengetahuan. Ketika
pencapaian utama perusahaan adalah sustainable competitive advantage
atau pencapaian daya saing bisnis berkelanjutan, maka manajemen
perusahaan akan didorong pada proses pencapaian dan pengembangan
pengetahuan sebagai strategi bersaing perusahaan.
Knowledge based company adalah perusahaan yang diisi oleh
komunitas yang memiliki pengetahuan, keahlian, dan ketrampilan. Komunitas
ini memiliki kemampuan belajar, daya inovasi, dan kemampuan problem
solving yang tinggi. Ciri lainnya adalah perusahaan ini lebih mengandalkan
knowledge dalam mempertajam daya saingnya, hal ini digambarkan dengan
semakin mengecilnya investasi yang dialokasikannya untuk physical capital,
sementara untuk modal intelektual mendapat alokasi investasi yang semakin
besar.
Competitiveness juga didorong oleh perkembangan teknologi yang
semakin canggih dan cepat, ketertinggalan dalam penguasaan teknologi
akan berdampak pada kesulitan untuk memenangkan persaingan, baik itu di
level negara atau organisasi. Persaingan antar negara ditandai dengan
Page 4
peningkatan skala produksi yang dapat dihasilkan, investasi langsung yang
dating dari luar negeri dan peningkatan standar hidup masyarakat. Merujuk
pada hasil pertemuan Word Economic Forum (WEP), keunggulan kompetitif
negara dihasilkan oleh dua factor utama yaitu kompetitif dalam pertumbuhan
dan kompetitif pada mikroekonominya. keunggulan kompetitif ini dihasilkan
oleh factor penguasaan teknologi, peran instutusi publik dan sumber daya
makroekonomi.
Daya saing seperti inilah yang dewasa ini menurun bagi Indonesia,
peranan produk nasional yang di hasilkan oleh peran tenologi tinggi masih
sangat rendah, produksi Indonesia masih didominasi oleh hasil teknologi
rendah dan menengah, konsekwensinya adalah Indonesia sulit untuk
memperoleh keungulan kompetitif, karena kapabilitas teknologinya masih
rendah. Dengan kata lain upaya yang paling layak untuk di kedepankan
adalah bagaimana meningkatkan penguasaan tekologi untuk meningkatkan
daya saing, baik itu pada level organisasi maupun level negara.
Salah satu jawabannya adalah dengan konsep penerapan
technopreneurship untuk mencapai keunggulan masa yang akan datang.
Prespektif bisnis masa yang akan datang harus dibangun dari pondasi
penguasaan teknologi, konsepsi ini memerlukan sinergi antara penguasaan
teknologi dan kapasitas pembangunan, kemudian teknologi di trasformasikan
menjadi dasar bisnis. Esensinya adalah techonopreneurship sebagai
pembangunan yang berbasis pada teknologi atau Technology-business-
based.
Page 5
Pada level negara diperlukan sinergitas antara teknologi dan
pembangunan, seperti sinkronisasi antara pemerintah dan peraturan bisnis,
dalam jangka panjang sinergi ini akan menciptakan pertumbuhan
berkelanjutan, dan dengan dukungan teknologi yang maksimal yang pada
akhirnya akan menciptakan peluang sebagai motor penggerak pertumbuhan.
Kondisi yang sama diterapkan pada level bisnis atau organisasi,
organisasi yang ingin mencapai keunggulan kompetitif berkelanjutan adalah
organisasi yang berbasis pada penguasaan teknologi dan menjadi teknologi
sebagai motor penggerak organisasinya.
Entrepreneurship dan Technopreneurship
Pada dasarnya technopreneurship adalah bagian dari intrepreneurship,
maka untuk mengetahui tentang technopreneurship maka harus di ketahui
juga tentang apa itu intrepreneurship, merujuk pada Jeffrey Timmons (1990),
”Entrepreneurship is the ability to cerate and build a vision from practically
nothing. Fundamentally, it is a human, creative act. It is a application of
energy to initiating and building an enterprise or organization, rather than just
watching or analyzing. This vision requires a willingness to take calculated
risks-both personal and financial, and than to do everything possible to
reduce changes of failure.
Entrepreneurship also includes the ability to build an entrepreneurial or
venture to complement your (the entrepreneur) own skill and talents. It is the
knack for sensing an opportunity where other see chaos, contradiction, and
Page 6
diffusion. It is possessing the know-how to find, marshal control resources,
often owned by others”
Sedangkan Peter Druker mendefinisikan ; “ the practice of consistently
converting good ideas into profitable commercial ventures”, berdasarkan
definisi di atas ada beberapa kata kunci tentang pengertian entrepreneurship
atau di Indonesia di kenal dengan ”kewirausahaan”, yaitu : 1. aktivitas
manusia yang creative dan inovatif; 2. kemampuan untuk membuat dan
membangun yang belum ada; 3. visi untuk bersedia mengambil resiko; 4.
kewirausahaan adalah ilmu, yang dapat di pelajari (Peter Druker). Beranjak
dari pengertian di atas maka entrepreneur atau wirausahawan adalah orang
yang memiliki paradigma hidupnya sebagai innovator, creator dan oportunis,
orang ini juga menjadi kunci perubahan yang mampu mencptakan lapangan
kerja dan kesejahteraan. Wirausaha adalah orang yang ngin di sebut “boss”
yang mampu menjadi penggerak ekonomi.
YY Wong,( founder of the WyWy Group of companies and chairman of
the Pacific Basin Economic Council, Singapore) mendefinisikan:
“Entrepreneurship is the enthusiastic thrust to constantly innovate and
passionately implement purposeful ideas for extraordinary gains.”
Sebagai syarat “orang” yang ingin disebut wirausahawan setidaknya
harus memiliki sifat : innovative & opportunistic, willingness to take risk,
initiative, self reliance, perseverance (keep trying to achieve something), need
to achieve and self confidence. Selain itu diperlukan juga kunci suksesnya
yaitu memilki jiwa kepemimpinan, bersaing, sehat, creative dan memiliki
Page 7
energi yang tinggi, mampu mengelola uang, menginginkan kekuasaan dan
memiliki kemampuan berafiliasi.
Perlu menjadi catatan bahwa entrepreneurship memilki pengertian yang
berbeda dengan Usaha Kecil Mnengah (UKM), UKM adalah unit usaha kecil
yang berbasis pada bisnis keluarga yang dalam pengertiannya memiliki
sedikit inovasi, pertumbuhan yang tidak cepat, visi usaha jangka pendek dan
memiliki resiko usaha yang rendah.
Berdasarkan pengertian tentang entrepreneurship di atas, maka secara
umum dapat dinyatakan bahwa technopreneurship adalah entrepreneur yang
berbasis pada teknologi tinggi termasuk pada proses produksi dan
penyaluran hasil produksinya kepada konsumen. Technopreneurship berasal
dari kata technology dan entrepreneurship atau disebut sebagai technological
entrepreneurship yang disingkat menjadi technopreneurship.
Merujuk pada Dorf and Byers (2005) mendefinisikan technological
entrepreneurship sebagai “style of business leadership that involve identifying
high potential, technology intensive commercial opportunities, gathering
resources such as talent and capital, and managing rapid growth and
significant risk using principled decision making skill. Technology ventures
exploit breakthrough advances in science and engineering to develop better
products and services for costumer. The leader technology ventures
demonstrate focus, passion and unrelenting will to succeed”.
Shane and Venkataraman (2004) mendefiniskan technological
entrepreneurship sebagai proses yang digunakan oleh wirausahawan untuk
mengelola sumber daya, system teknis (teknologi), dan strategi organisasi
Page 8
untuk memanpaatkan peluang, sedangkan Canadian Academy Engineering
(1998), mendifinisikan sebagai “pengaplikasian inovatif dari pengetahuan
teknis dan keilmuan seseorang atau beberapa orang yang memulai dan
mengoperasikan bisnisnya berdasarkan resiko dalam mencapai tujuan
organisasi”.
Yani Rodyat (MEDCO Group) mendifinisikan “Being an entrepreneur by
using existing technologies and pertain it to newer application or invent a new
product, Someone who uses technology to do something new or invents new
devices & then makes a business from selling these inventions”
Berdasarkan definisi-definisi di atas maka dapat di gambarkan secara
umum technological entrepreneurship sebagai gaya bisnis yang berdasarkan
kemampuan menjadikan technology dasar untuk mengidentifikasi peluang
usaha dan menggunakan teknologi sebagai alat atau system pembuatan
keputusan bisnis berdasarkan kemampuan pengetahuan dan keilmuannya,
termasuk merancang, membuat dan menditribusikan hasil produksi
perusahaan kepada pengguna.
Elemen Kunci Technological Entrepreneurship
Pentingnya technopreneurship dewasa ini berkenaan dengan
keterikatannya dengan ilmu dan teknologi, ketika negara menggunakan
pendekatan peningkatan kemampuan teknologi sebagai pendorong
peningkatan produksi nasional dan dalam banyak negara sebagai strategi
competitive advantage, maka technoprenuersip adalah program yang
Page 9
termasuk didalamnya sebagai bagian integral dari peningkatan kultur
kewirausahaan.
Kunci dari technopreneurship juga adalah kreativitas, dengan kreativitas
yang tinggi maka mental lama yang cenderung konvensional dari
wirausahawan akan berubah, kreativitas adalah bermain dengan imaginasi
dan kemungkinan-kemungkinan, memimpin perubahan dengan ide-ide baru
dan memberikan arti pada hubungan antara ide, orang dan lingkungan.
Technopreneurship juga harus di bangun dengan pendekatan
menyeluruh dan integral, yang dilakukan dengan mengkolaborasikan
“budaya” (budaya inovasi, kewirausahaan dan kreativitas), “konsepsi”
(konsep ikubator bisnis, penelitian dan pengembanga, knowledge
managemen dan learning organization), yang didukung oleh kapabilitas
wirausahanya sendiri, koneksitas dan koboratif.
Memahami technological entrepreneurship atau technopreneurship
dapat juga dilakukan dengan mengidentifikasi elemen-elemen kunci yang
memiliki keterkaitan dengan proses pembentukan usaha berbasis teknologi,
Igor Prodan (2007) mengidentifikasi, elemen itu adalah : 1. Technological
entrepreneur; 2. universities; 3. corporation; 4. Capital; 5. Market/costumers;
6. government; and 7. advisor.
Merujuk pada pandangan Igor Prodan (2007), dalam upaya
meningkatkan peran techopreneur terhadap perekonomian, dan keterkaitan
antara komponen-komponen yang mendukunnya, dapat di gambarkan dalam
model sebagai berikut :
Page 10
Sumber : Thérin, François, 2007
Page 11
Adapun uraian Ke tujuh elemen kunci tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Technological entrepreneur, atau wirausahawan berbasis teknologi,
Elemen ini menjadi kunci penciptaan perusahaan berbasis
teknologi, wirausahawan ini pada dasarnya adalah orang yang
memiliki pengetahuan, kemampuan dan karakteristik khusus yang
berbeda dengan wirausahawan bukan berbasis teknologi, sebagai
contoh misalnya wirausahawan yang mengasai kemampuan
teknologi informasi seperti komputer dan menjalankan internet.
Pengetahuan dan keahlian ini dapat di pelajari di lembaga lembaga
pendidikan khususnya yang membuat kerangka keterkaitan antara
teknologi dengan kewirausahaan.
Faktor lain yang harus ada dalam wirausahawan ini adalah faktor
motivasi yang kuat untuk menguasai teknologi, setidaknya faktor ini
dimuali dengan motiv untuk memulai bisnis karena ingin ‘tidak terikat’
yang menyangkut keinginan sebagai orang bebas dan dapat
mengontrol, ’kesejahteraan’ dan ‘ekploitasi’.
2. Universities, atau Perguruan Tinggi
Unversitas atau institusi pendidikan tinggi lainnya adalah elemen
penting sebagai tempat lahirnya pengetahuan dan kelmuan yang
baru termasuk didalamnya teklogi dan kewirausahaan. Untuk dapat
menciptakan technopreneur setidaknya dalam institusi pendidikan
tersebut harus memiliki kerjasama yang kuat antara bagiannya
misalnya kerjasama fakultas teknik dengan fakultas bisnis (ekonomi),
Page 12
atau bahkan atar universitas untuk mengadakan pendidikan dan
pelatihan tentang technopreneurship.
Dalam kerangka pengembangan wirausaha berbasis teknologi ini
setidaknya ada tiga elemen kunci dalam universitas/perguruan tinggi
yaitu : riset-riset berbasis teknologi yang dihasilkan universitas, pusat
inkubasi bisnis yang dimiliki universitas dan keuntungan (spin-off)
universitas.
a. Lembaga Penelitian (Riset dan Pengembangan)
Lembaga pendidikan tinggi seperti universitas menjadi pendorong
lahirnya technopreneurship mengingat salah satu peran dari
universitas sebagai yang salah satunya adalah tepat atau lembaga
penelitian, unversitas harus mendorong pada peneitian-penelitian
berbasis teknologi tepat guna yang digunakan oleh wirausahawan
dalam memulai atau menjalankan bisnisnya, atau dikenal dengan
istilah technological innovation.
b. Inkubator Bisnis
Inkubator bisnis merupakan wadah atau tempat mahasiswa dan
pekerja belajar membuat perusahaan, disana mereka dapat belajar,
membuat jaringan dan alat untuk membuat kesuksesan usaha.
Inkubator bisnis sendiri didefinisikan sebagai “proses dukungan
bisnis untuk menjadi lebih cepat mencapai kesuksesan”. Tujuan dari
inkubator bisnis adalah melahirkan perusahaan sukses yang dapat
meninggalkan program bantuan keuangan dan mampu berdiri
sendiri, lulusan incubator bisnis akan melahirkan wirausahawan yang
Page 13
mampu menciptakan lapangan kerja, mengkomersialisasikan
teknologi dan penguatan ekonomi local dan nasional.
Proses pembentukan Inkubator bisnis, secagaiman gambar
berikut :
Dalam pengembangnnya universitas yang memiliki lembaga riset,
pusat inkubasi bisnis, Usaha Kecil Menengah (UKM) harus
berkolaborasi untuk mendorong usaha berbasis teknologi, salah satu
konsep yang di tawarkannya adalah membentuk klaster-klaster
usaha. Klaster usaha di perlukan untuk mengarahkan usaha pada
jenis-jenis yang sifatnya lebih homogen, dengan klaster
dimungkinkan untuk pengembangan inovasi dan kompetisi yang
sehat, klaster juga diharapkan sebagai wahana pertukaran informasi
dan pengalaman, selain tujuan jangka panjangnya yaitu
pertumbuhan jangka panjang usaha.
Kepentingan Lembaga Inkubator Bisnis bagi Perguruan Tinggi
Inkubator bisnis memiliki arti penting dalam memperlancar proses
pendidikan di dalam organisasi perguruan tinggi sebagai organisasi
pembelajaran (quantum learning organization), selain itu untuk
menjadikan organisasi kreatif, inovatif, dan efektif. Inkubator bisnis
Page 14
yang berada dibawah kelolaan perguruan tinggi dapat memberikan
manfaat, diantaranya adalah: menghasilkan pendapatan non-
akademik, berkesempatan dalam penanaman modal dalam negeri
dan berpartisipasi dalam berwirausaha, memiliki jaringan kerja luas
baik dengan lembaga pemerintah maupun dengan lembaga non-
pemerintah (NGO’s), mengkomersialisasikan hasil-hasil penelitian,
meningkatkan pengetahuan kewirausahaan dan memberikan
pengalaman praktik bagi organisasi, dan mengefektifkan fasilitas
yang ada secara optimum.
Terjadinya perubahan peran dan fungsi perguruan tinggi tidak
terlepas dari situasi dan kondisi yang semakin maju dan serba-
berkembang. Perguruan tinggi sebagai pencipta dan pembina
sumberdaya manusia yang intelektual dan berkualitas mengalami
perubahan paradigma dalam pembelajaran. Perubahan fundamental
dalam penciptaan sumberdaya manusia yang bersumberdaya
menurut Schuler (1990) adalah: (1) perubahan lingkungan yang
dramatik, perubahan-perubahan ini mencakup: tingkat perubahan
bisnis yang cepat, biaya yang meningkat, perubahan teknologi,
organisasi yang kompleks, organisasi yang lebih flat, respon
terhadap eksternal, dan meningkatkan kompetensi dan kolaborasi.
(2) Manusia memiliki sifat kritik, dalam hal ini sumberdaya manusia
sebagai filosofi organisasi/perusahaan. (3) Manusia bersifat tidak
pasti, ketidakpastian yang di maksud mencakup: mendapatkan
Page 15
individu-individu yang terampil, ketersediaan yang cukup, rekruitmen
& selection, dan motivasi.
Perubahan paradigma terhadap sumberdaya manusia dalam
lingkungan perguruan tinggi merupakan tantangan dan peluang guna
meningkatkan kompetensi dan konsistensi perguruan tinggi sebagai
lembaga pencipta dan pembina sumberdaya manusia berkualitas.
Paradigma konvensional menekankan sumberdaya manusia sebagai
pelengkap dari aktivitas organisasi/perusahaan, sedangkan
paradigma kontemporer atau total quality paradigm menekankan
sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor atau aset penting
dalam aktivitas organisasi/perusahaan. Paradigma kontemporer ini
mengindikasikan bahwa sumberdaya manusia yang berdaya-saing
adalah sumberdaya manusia yang memiliki skill dan motivasi
entrepreneurship.
Perguruan tinggi merupakan wadah pembelajaran atau
organisasi belajar (learning organization). Perguruan tinggi yang
memiliki lembaga inkubator bisnis dalam struktur organisasinya
niscaya menghasilkan sumberdaya manusia yang memiliki
kemampuan bounded rationality, artinya kemampuan dalam berfikir
kreatif rasional. Setiap perubahan disikapi dengan kekuatan
rasionalitas akademik, sehingga aktivitas dan kompleksitas
organisasi akan lebih dinamis.
Inkubator bisnis merupakan penunjang pelaksanaan Tri-
Dharma Perguruan Tinggi. Inkubator bisnis merupakan nalaran
Page 16
konsep link and match yang disempurnakan. Nalaran tersebut
menghasilkan sinergi antara perguruan tinggi dengan lingkungannya.
Visi dan misi yang diemban oleh suatu perguruan tinggi harus
diwujudkan kedalam bentuk construct, sarana dan prasarana
pewujud visi dan misi tersebut dapat berbeda-beda diantara
perguruan tinggi, salah satu sarana pewujudnya adalah lembaga
inkubator bisnis. Salah satu misi pokok yang ada dalam embanan
perguruan tinggi adalah empowerment.
Secara tradisional belajar terbagi atas wilayah (domain) kognitif
(intelektual), afektif (emosi), dan psikomotorik (fisikal). Proses ini
berlangsung melalui suatu pengkondisian belajar yang tepat.
Program pembelajaran bagi individu dengan tingkat intelektual yang
melebihi mahluk lain bisa mendapatkan pengalaman dan
transformasi tanpa harus megalami suatu kondisi riil, proses tersebut
secara psikologi disebut operant conditioning.
Empowerment yang diemban oleh perguruan tinggi memiliki
kompetensi pengembangan knowledge, skills, dan attitude (KSA).
Empowerment memiliki relasi dengan entrepreneurship yaitu
menciptakan figur pemimpin (leadership). Melalui penerapan
empowerment dan entrepreneurship yang tepat akan memberikan
dampak bagi anggota organisasi perguruan tinggi yaitu: (1) memiliki
pengetahuan (knowlegde), (2) memahami visi yang dituju oleh
organisasi, (3) memiliki komitmen terhadap visi organisasi, (4)
memanfaatkan smart technologies untuk menerapkan pengetahuan.
Page 17
Lembaga inkubator bisnis memfasilitasi penciptaan
empowerment dan entrepreneurship dan menjadikan kedua hal
tersebut sebagai nilai budaya organisasi. Empowerment dan
entrepreneurship mengandung nilai desentralisasi dan demokrasi
yang sangat tinggi. Nilai budaya yang terkandung di dalam lembaga
inkubator bisnis adalah: (1) menghargai pengetahuan; (2)
memobilisasi gagasan dan pemecahan masalah dari segenap orang;
(3) tanggap terhadap perubahan lingkungan; (4) mendelegasikan
kekuasaan dan wewenang secara proporsional; (5) memberikan
dukungan dan motivasi terhadap ide-ide kreatif; (6) bersikap
rasional dalam menganalisis masalah; (7) memberikan pelatihan
dan pengembangan potensi sumberdaya.
Urgensi lembaga inkubator bisnis bagi perguruan tinggi
merupakan tuntutan atas perubahan paradigma belajar-mengajar
dalam era new economy. Tanpa komitmen dan konsistensi dari
pengelola perguruan tinggi, lembaga inkubator bisnis hanya menjadi
sebuah retorika tanpa suatu kenyataan. Lembaga inkubator bisnis
sulit dijalankan apabila perguruan tinggi menerapkan manajemen
tertutup, budaya ‘curiga’, atau pola kepemimpinan otoriter. Oleh
sebab itu, pembentukan lembaga inkubator bisnis bersifat timbal-
balik dengan prinsip “win-win solution”.
c. Pusat Informasi bisnis
Universitas dengan lembaga risetnya juga dituntut menciptakan
technological park atau taman teknologi sebagai pusat informasi dan
Page 18
konsolidasi bisnis yaitu wahana interaksi antara pemerintah, UKM
dan hasil riset dalam mengkosolidasikan ide-ide baru dalam
berusaha, sumberdaya-sumber daya dan peralatan usaha yang
berbasis teknologi.
Tujuan dari pusat informasi ini adalah : 1. memastikan terus
melakukan inovasi dan penggunaan teknologi tepat guna; 2.
menghubungkan pengetahuan dengan industri; 3. membangun
ekonomi local dengan melakukan training dan pelatihan pekerja
untuk menciptakan keahlian berusaha dan kreatifitas; 4. menjadi
lembaga jasa konsultasi terhadap penerapan teknologi baru.
3. Corporation, atau Perusahaan
Perusahaan juga memiliki peran dalam penciptaan wirausaha
berbasis teknologi, perubahan paradigma dari menempatkan
karyawan hanya sebagai faktor produkai ke arah konsepsi
“intrapreneurship” atau wirausaha dalam perusahaan akan
berdampak pada peningkatan performa bisnis perusahaan tersebut,
perusahaan menjadi lebih inovatif dan pekerja lebih produktif.
Konsepsi dasar intrapreneurship berbasis pada riset dan
pengembangan dalam perusahaan akan mendorong stabilitas
perusahaan,
Page 19
4. Capital,atau Modal
Faktor yang tidak kalah pentingnya dalam pengembangan
tecnopreneurship adalah capital atau modal, keberanian mengambil
resiko dalam berusaha menunjukan salah satu sisi sifat
wirausahawan maju termasuk menggunakan modal pihak ketiga
untuk meningkatkan usahanya.
Banyak cara untuk memperoleh dana pihak ketiga dalam usaha
berbasis teknologi ini, seperti saudara atau teman, tapi itu tidak akan
cukup untuk mengembangkan usaha menjadi lebih besar hubungan
dengan bank, pemerintah dan lembaga keuangan lain mutlak di
perlukan. Pada kondisi ini yang harus ditanamkan adalah prinsip
harus melunasi pinjaman dan membuat usaha lebih maju.
5. Market/costumers, atau pasar/pengguna
Fokus pengembangan usa apapun harus lepada pengguna,
walapun wirausaha berbasis teknologi memiliki fokus pada
pengembangan teknologi dan produksi berbasis teknologi fkus pada
pelanggan merupakan suatu keharusan, preusan memerlukan
feedback dari pasar untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitasnya. Wirausahawan juga di tuntut untuk menciptakan
komersialisasi dan pemasaran produk berbasis teknologi tinggi,
meningkatkan pemasaran dengan strategi pertumbuhan,
memperluas pasar dan lanilla yang berkaitan dengan isu-isu
pemasaran.
Page 20
6. Government atau pemerintah
Peranan pemerintah harus menjadi pendorong percepatan
perusahaan, menjadi stimulus bagi perubahan kapasitas usaha dari
kecil menjadi menengah dan besar. Membangun Usaha Kecil
Menengah dapat dilakukan dengan : 1. kebjakan makroekonomi,
khususnya dalam staibilitas lingkungan bisnis; 2. peraturan khusus
dalam pengembangan UKM; 3. pendukung perkembangan dan
membantu permasalahan UKM dan 4. mempromosikan bisnis UKM
dan membangun kultur usaha kompetitif.
Pemerintah juga dituntut untuk mendorong aspek utama
pengembangan UKM menjadi lebih sukses, yaitu dengan
mengkombinasi aspek : kebijakan (menjadi kesatuan kebijakan),
mendorong peningkatan institusional/organisasional dari UKM sendiri
dan membuat program pelayanan pengembangan UKM.
Permasalahan pengembangan UKM yang belum focus dan berubah-
ubah dengan berbagai pendekatan dan berbagai instansi yang
terlibat menjadi tidak efektif, maka pemerintah harus menciptakan
kebijakan yang terpadu dan mengatur kebijakan untuk lebih
komprhensif dan terarah.
Gambaran tentang kemungkinan yang dapat di lakukan
pemerintah dalam pengembangan entrepreneurship dan
technopreneurship adalah sebagai berikut :
1). Meningkatkan Insentif Pasar Untuk Entrepeneurship
Page 21
a) Faktor penentu adalah ‘willingness’ dari tiap pribadi untuk
menjadi Entrepeneur
b) Willingness ditentukan oleh benefit yang diperoleh
c) Di banyak negara regulasi pasar membatasi insentif, sbg
contoh batas atas harga ditetapkan dibawah market
equilibrium
d) Jika keuntungan ekonomis yg diperkirakan lebih rendah dari
opportunity cost, maka akan mengendurkan minat para
Entrepeneur
e) Di beberapa negara diperlukan policy yang akan
meningkatkan insentif untuk para Entrepeneur
f) Pemerintah perlu membuat suatu regulasi dan penetapan
harga yang mampu mendorong dan menjadi insentif bagi para
interpreneur
2). Peningkatan ketersediaan kredit dan modal
a) Faktor penentu kedua yang dominan adalah peluang dan
kesempatan
b) Modal usaha merupakan masalah pertama yang akan
dihadapi para interpreneur untuk memulai suatu usaha.
c) Kebanyakan pemula tidak memiliki modal yang diperlukan
untuk dapat memulai suatu usaha sendiri.
d) Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah dapat
melakukan halhal berikut:
Page 22
Mendorong berkembangnya perusahaan-perusahaan yang
bergerak dibidang pendanaan
Melaksanakan Program Kredit Usaha Kecil (micro-credit
program)
3). Mengembangkan program yang mendukung Entrepeneurship
a) Menciptakan lingkungan usaha yang kondusif, sesuai dengan
budaya setempat dan beresiko relatif lebih kecil bagi
interpreneur baru.
b) Program-program lainnya yang dapat memfasilitasi
interpreneur dalam memperoleh modal kerja, menetapkan
business plan dan pengenalan terhadap berbagai regulasi
usaha dan perpajakan.
4). Memprakarsai program pelatihan Entrepeneurship.
Penyelenggaraan pendidikan atau kursus tentang
interpreneurial skill akan secara efektif meningkatkan jumlah
individu-individu yang kompeten, yang pada gilirannya akan
membantu mereka untuk berhasil.
5). Reformasi regulasi pasar untuk memfasilitasi penetrasi pasar
a) Pemerintah dapat meningkatan jumlah interpreneur dengan
memberikan kemudahan untuk masuk dalam sektor formal.
b) Banyak Negara yang menggunakan izin dan lisensi untuk
mengatur siapa saja yang dapat berpartisipasi dalam sektor
formal. Meskipun hal ini dapat menjadi pendapatan atau
mungkin juga sebagai perlindungan bagi BUMN, namun hal ini
Page 23
secara efektif membuat pasar menjadi tidak efisien karena
kurangnya kompetisi dan menghalangi masuknya
interpreneur-interpreneur baru.
c) Untuk meningkatkan jumlah interpreneur, perlu dilakukan
reformasi Undang-Undang yang terkait dengan masalah ini.
6). Peningkatan peluang / kesempatan Entrepeneurship bagi para
wanita dan kawula muda.
a) Seringkali perempuan dan karyawan muda usia tidak bisa
banyak berperan dan mendapat kesempatan dalam sektor
formal baik karena nilai budaya setempat ataupun karena
peraturan perundangundangan.
b) Hal ini secara esensial membatasi kemungkinan bagi mereka
untuk menjadi interpreneur.
c) Dengan menghilangkan hal-hal yang bersifat diskriminatif,
diharapkan dapat meningkatkan kemungkinan bertambahnya
para interpreneur baru.
7. Advisor, atau konsultan
Hasil penelitian Bolton, menemukan tiga permasalahan utama
yang dihadapi oleh UKM yang memungkinkan diselesaikan dengan
pengadaan pelatihan dan konsultansi, yaitu :
a. Information gap, wirausahawan biasanya memiliki keterbatasan
tentang informasi pasar dan permasalahan bisnis sehingga
mungkin melakukan kesalahan pengambilan keputusan,
Page 24
konsultan dapat memberikan advis dalam hal proses penyaringan
informasi sebagai bahan pengambilan keputusan.
b. Problem solving and technical capabilities, wirausahawan dalam
perusahaan berbasis teknologi dapat menghadapi berbagai
masalah termasuk kemampuan teknologi yang baru, peran
konsultan dapat masuk sebagai pengarah pemampaatan
peningkatan kemampuan teknis yang berkaitan dengan teknologi.
c. Learning gap, Permasalahan yang juga sering di hadapi oleh
wirausahawan adalah proses pembelajaran, terutama berkaitan
dengan transper pengetahuan kepada bawahan atau karyawan,
peran konsultan dalam memberikan advis dalam pembelajaran
sangat di perlukan, termasuk dalam menyelenggarakan
pelatihannya.
Page 25
Penutup
Pemberdayaan dan dorongan terhadap pemberdayaan
technopreneurship memerlukan kerjasama berbagai pihak yang terkait
secara integral, pemerintah memiliki peran besar dalam pembuatan aturan
yang mendorong iklim usaha kompetitif dan pemberdayaan, lembaga
keuangan memiliki peran dalam peningkatan kapasita usaha, perguruan
tinggi berperan dalam riset dan pengembangan terhadap teknologi tepat
guna, termasuk program industrial cluster dan incubator bisnis, berkaitan juga
dengan pembangunan sumber daya manusia dan lainnya, yang semuanya
dapat dikoordinasikan oleh pemerintah.
Tujuan jangka panjangnya adalah peningkatan kemampuan penciptaan
laba oleh perusahaan berbasis teknologi tersebut, wirausahawan juga harus
menempatkan strategi level bisnisnya yang mendorong inovasi dan kreatifitas
dan pemerintah juga mendorong peningkatan level usaha kearah persaingan
tingkat internasional.
Peran pemerintah dalam membangun budaya kewirausahaan juga
sangat penting dalam peningkatan mutu dan membangun spirit transpormasi
kewirausahaan Indonesia dari konvensional kea rah wirausaha berbasis
teknologi.
Page 26
Referensi
Jan Ulijn, Dominique Drillon, Frank Lasch 2007, Entrepreneurship,
Cooperation and the Firm, Edward Elgar Publishing Limited,
Glensanda House Montpellier Parade, Cheltenham, UK
Jordan, Ramiro, at.al, 2006, Science and Technology Entrepreneurship for
Economic Development (seed), 9th International Conference on
Engineering Education
Nasdaq Indian CEO High Tech Council, U.S. Chamber of Commerce, 2001,
The Technology Entrepreneur’s Guidebook, Washington Technology
Partners, Inc.
Sahadah Hj. Abdullah, Dr. Zulkhairi Md. Dahalin, and Mohd. Syahrir Rahim,
2004, Technopreneur Education and Incubation: Designing IT
Technopreneurship Graduate Program, Business Review,
Cambridge * December * 2004
Smith, Stephen at al, 2007, Towards a motivational theory of technology
implementation Processes,Proceedings of European and
Mediterranean Conference on Information Systems 2007
(EMCIS2007) June 24-26 2007, Polytechnic University of Valencia,
Spain www.emcis.org
Tantia Dian Permata Indah, 2008, Technopreneurship : A Right Answer to
Overcome The Future, Jurnal FE Universitas Indonesia
Thérin, François, 2007, Handbook Of Research On Techno-
Entrepreneurship, Edward Elgar Publishing Limited, Glensanda
House Montpellier Parade, Cheltenham, UK