Top Banner
Tabloid Mahasiswa Universitas Lampung No. 125 Tahun XII Edisi 30 November s.d. 20 Desember 2012 Akses: teknokra.com Teknologi, Inovasi, Kreativitas, dan Aktivitas Ilmiah Bisa, Populer Juga Boleh! Hlm. 7 Hlm. 12 Hlm. 6 Penanganan kasus meninggalnya Echa oleh pihak kepolisian membuat keluarga geram. Biaya konversi D3 ke S1 sebesar 15 Juta membuat Arian Korizal memupuskan impiannya menjadi Sarjana. John Hendri Ilmu yang peroleh di bangku sekolah mampu mengubah pola pikir seorang putra minang dan membawanya merengkuh gelar Profesor.
12

Tabloid Teknokra Edisi 125

Apr 04, 2016

Download

Documents

Teknokra Unila

merupakan terbitan Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Tabloid Teknokra Edisi 125

Tabloid Mahasiswa Universitas LampungNo. 125 Tahun XII Edisi 30 November s.d.

20 Desember 2012

Akses: teknokra.comTeknologi, Inovasi, Kreativitas, dan Aktivitas

Ilmiah Bisa, Populer Juga Boleh!

Hlm. 7Hlm. 12 Hlm. 6Penanganan kasus meninggalnya Echa oleh pihak kepolisian membuat keluarga geram.

Biaya konversi D3 ke S1 sebesar 15 Juta membuat Arian Korizal memupuskan impiannya menjadi Sarjana.

John Hendri

Ilmu yang peroleh di bangku sekolah mampu mengubah pola pikir seorang putra minang dan membawanya merengkuh gelar Profesor.

Page 2: Tabloid Teknokra Edisi 125

Foto Novalinda Silviana

Pelindung: Prof. Dr. Ir. H. Sugeng P. Harianto, M.S. Penasehat: Prof. Dr. Sunarto, SH.MH Staf Ahli: Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M. Sc., Dr. M. Thoha B. Sampoerna Jaya, M,S., Syafarudin, S.Sos., Maulana Mukhlis, S.Sos., M.Ip.,Tony Wijaya S.Sos., M.A.

Tabloid TEKNOKRA diterbitkan oleh Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) TEKNOKRA Universitas LampungALAMAT: Gedung PKM Lt. 1 Jl. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Bandarlampung 35145, TELEPON: (0721) 788717 EMAIL: [email protected], WEBSITE: teknokra.com

Sampaikan Keluhanmu lewat SMS Mahasiswa, dengan format Nama_Jurusan/Angkatan_Komentar. Kirim ke 085766749755, 085380905885 atau Teknokra Unila @TeknokraUnila

Suara Mahasiswa

Comment 2Salam Kami

Pemimpin Umum : Dian Wahyu Kusuma Pemimpin Redaksi : Nely Merina Pemimpin Usaha : Agnes Lisdiani Kepala Kesekretariatan: Esty Indriyani Safitri Kepala Pusat Pe-nelitian dan Pengembangan: Alvindra Redaktur Pelaksana: Lutfi Yulisa Redaktur Pelaksana Online: Reno Bima Yudha Redaktur Berita: Rika Wati Vina Oktavia Redaktur Foto: Novalinda Silvi�Novalinda Silvi�ana Redaktur Artistik: Apro han Saputra Redaktur Webdesign: Syintia Kamala (Non Aktif) Fotografer: Faqih AA (Non Aktif) Staf Artistik: M. Burhan Reporter: Sinta S, Jenni A, Yovi L Webde-signer: Hermawan S, Faris Y Kameramen: Yurike PS, Windi DS Manajer Keuangan: Inayati Sofiah Koordinator Periklanan: Desfi Dian Mustika Koordinator Pemasaran: Desisonia (Non Aktif) Staf Keuangan: Rukuan Sujuda Staf Periklanan: Veni PS Staf Pema-saran: M. Faza P Staf Analisis dan Perpustakaan: Bina MZ (Non Aktif), Puji LN Staf Pengkaderan dan SDM: Rudiyansyah Staf Ke-sekretariatan: Indarti, Fitri W Magang: Eko S, Harry C, Meilinda O, Nurul F, Puspa A, Hayatun N, Tara M, Adi N, Andi W, Desi N, Hanna F, Imam G, Imam M, Khoirul A, Kurnia M, M. Nur, Murti K, Nindi L, Puspita S, Riskiani J, Romilda O, Wuri S.

No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 2012

Judul:Teka-teki

Kematian Echa

Ide & Desain: Aprohan Saputra

COVERKyay Adienjamo

Oleh Aprohan Saputra

Ayo kejar gelar sarjana!!!

Loch, kenapa, Dien?

Konversi D-3 ke S-1 mahal, Yay...

tahu ga, Rp14.535.000,00,-

Berusaha tak kenal lelah meski sebenarnya lelah. Tetap terjaga meski sebenarnya

butuh tidur. Pengalaman tak biasa yang kami dapatkan di UKPM Teknokra. Semua demi menjaga eksistensi terbitan. Usaha yang melahirkan terbitan ketujuh kami kali ini.

Terbitan ini adalah nafas terakhir di kepengurusan tahun ini. Nafas terakhir yang menunggu nafas baru untuk tetap berkarya. Semangat untuk kepengurusan tahun depan akan selalu kami genggam. Semua agar kami tetap bersama pembaca sekalian. Bersama-sama menjadi saksi setiap dinamika yang terjadi di kampus ini.

Bagi kami, eksistensi terbitan adalah sebuah harga mati. Harga yang harus kami bayar agar tetap hidup. Kerena tanpa adanya terbitan, gelar ‘Lembaga Penerbitan

Mahasiswa’ tak pantas disandang. Seiring berjalannya waktu,

kami sadar terbitan yang dituntut bukan sekedar media cetak. Jika anak sekolah dasar saja sudah mampu mengoperasikan blackberry, mahasiswa harusnya sudah mampu mengoperasikan website. Kini, terbitan Teknokra online sedang kami upayakan agar tak kalah eksis dengan terbitan majalah dan tabloid kami. Eksistensi Teknokra tentu perlu dukungan para pembaca.

Paradigma mahasiswa rupanya hampir mengalami pergeseran. Budaya membaca berubah menjadi budaya ngobrol. Lihat saja, indonesia menjadi salah satu pengguna facebook terbanyak di dunia. Mahasiswa menjadi salah satu penyumbang terbesar penggunanya.

Budaya ini tentu berbahaya jika terus dipelihara. Mahasiswa lebih asyik ngobrol ketimbang membaca.

Tengoklah, seberapa sering kita membuka facebook setiap harinya dan sejarang apa kita membuka buku untuk dibaca.

Membaca sebenarnya hal sederhana yang penuh makna. Tuhan saja mengajarkan kita pertama kali untuk membaca. Bukan menulis, apalagi ngobrol. Pepatah juga megabadikan membaca sebagai jendela dunia. Sebuah isyarat yang menyadarkan kita pentingnya membaca.

Teknokra hadir sebagai alternatif agar budaya ngobrol tak benar-benar membudaya. Harapannya, masih banyak mahasiswa yang membaca terbitan kami. Dari sini, pembaca sekalian dapat menumbuhkan kembali budaya membaca. Membaca kabar terkini seputar kampus tercinta. Membaca hal-hal yang paling dekat dengan kita. Selamat Membaca. Tetap Berpikir Merdeka.=

Eksistensi

Harga

MatiUnila tak peka melihat mahasiswanya. Atau justru memang tak ingin dilihat. Buktinya, lulusan-lulusan terbaiknya dilepas begitu saja. Malahan, ada yang dipersulit biaya. Meski mahasiswa inginnya tetap belajar dikampus hijau ini. Biaya transfer D3 ke S1 yang mencapai 15 juta membuat mahasiswa ‘tak jadi’ menyandang gelar sarjana.

Anehnya lagi, tak ada yang bisa bertanggungjawab soal kebijkan ini. Pemimpin kampus justru saling lempar tanggungjawab. Mengaku tak tahu kemana uang 15 juta itu masuk. Padahal, rapat penentuan kebijakan diikuti oleh para pimpinan universitas dan fakultas.

PR II yang mengurusi bagian keuangan justru baru tahu saat dikonfirmasi. Baru ‘mangkat’ yang dijadikan alasan. Alasan yang seharusnya tak jadi alasan. PR I yang bertanggungjawab mengatur akademik juga mengaku tak tahu banyak. Padahal, untuk dapat transfer ke S1 diperlukan surat pengantar dengan tanda tangan PR I. PR I rupanya lebih senang mengurusi dosen yang mangkir daripada mahasiswa yang ingin jadi dosen rajin.

Rektor juga tak dapat berbuat banyak. Solusi yang mahasiswa inginkan tak kunjung diberikan. Rupanya rektor tak sadar, untuk mewujudkan Top Ten University diperlukan sumber daya yang mumpuni. Bukan hanya dosen, mahasiswa juga butuh perhatian.

PD II fakultas FISIP ikut tak ingin disalahkan. Fakultas hanya memberikan usulan anggaran untuk perkuliahan. Urusan uang berarti urusan universitas. PD II justru menilai dana 15 juta memang harusnya dibayar mahasiswa. Lunas. Angka 15 juta dipatok untuk program UML. Program bagi orang-orang ‘kaya’, katanya.

Kebijakan biaya transfer D3 ke S1 yang menguras kantong mahasiswa perlu diurai kembali. Dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) dinilai menjadi alasan membengkaknya biaya. Yang jadi pertanyaan, apakah mahasiswa yang menjalani transfer dari D3 ke S1 sempat merasakan hasil pengembangannya? Padahal, mereka hanya menyelesaikan studinya tak lebih dari dua tahun. Pembangunan rumah sakit pendidikan yang awalnya digadang-gadang selesai 2014 saja tak ada kabar. Lalu, mengapa mereka diminta membayar biaya serupa dengan mahasiswa UML S1?

Pimpinan Unila yang tidak tidur saat rapat mengambil kebijakan ini tentu yang paham jawabannya. Mereka juga yang harusnya bertanggungjawab jika ada permasalahan soal kebijakan. Bukannya saling lempar jawaban. Bak peribahasa lempar batu sembunyi tangan.

Jangan sampai mahasiswa harus menggelar aksi demo agar aspirasinya didengar. Tapi apa mau dikata? Jika usaha menemui pihak yang harusnya berwenang tak ada hasil. Solusi bijak permasalahan ini kiranya adalah penurunan biaya transfer D3 ke S1.

Yang diinginkan tentu lahirnya kebijakan bagi mahasiswa yang ingin tetap belajar. Kebijakan yang menolong mahasiswa yang punya keinginan. Kebijakan yang tak sekedar meloloskan uang sebagai syarat. Karena setiap warga negara memang berhak mendapatkan pendidikan. Seperti amanat UUD 1945 yang mungkin mulai terlupakan.=

Lempar Kebijakan Sembunyi Tanggung Jawab

Pada dasarnya, program Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertujuan membangunkan masyarakat yang masih ‘tidur’ sehingga mereka berpikiran untuk maju. Namun sebagian dari mahasiswa KKN tidak tahu apa yang harus mereka lakukan agar desa tempat mereka KKN menjadi maju dan berkualitas. Dan sebagian dari masyrakat desa pun salah menafsirkan bahwa mahasiswa KKN merupakan penyokong financial (uang) bagi mereka.

Padahal yang harus dikontribusikan oleh mahasiswa

bukanlah uang melainkan ilmu yang mereka peroleh diperkuliahan. Dengan panduan yang telah dibuat oleh panitia KKN. Dan sedikit saran bahwa dalam melaksanakan program KKN yang berjalan 40 hari lamanya memang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh sebab itu mahasiswa harus lebih kritis untuk memilah mana program yang menjadi prioritas.

Untuk pemberian materi KKN oleh panitia pun harusnya lebih dioptimalkan karena kebanyakan dari mereka tak tahu apa yang harus dikerjakan disana. Peran Dewan

Pembimbing Lapangan (DPL) pun perlu di tingkatkan. Karena DPL memiliki bukan hanya membimbing mahasiswa tapi juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa mahasiswa KKN adalah penggerak masyarakat desa dengan ilmu bukan sponsor dana desa. Dengan begitu paradigma masyarakat bisa berubah sehingga mahasiswa KKN bisa menjalankan program kerja dengan baik tanpa terbebani oleh biaya yang besar.

Dede Jihan RasikaBahasa Inggris ‘09

Redaksi hanya akan memuat SMS/komentar yang disertai identitas lengkap dan bisa dipertanggungjawab-kan, Nama/Jurusan/Fakultas/Angkatan. Kami akan me ncocokkannya dengan data siakad Unila.

Page 3: Tabloid Teknokra Edisi 125

No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 2012

Kampus Hijau 3

Unila-Tek: “Awalnya ngeliat antivirus lokal yang semuanya sama saja, jadi pengen buat yang baru dimana peng-guna bisa terlibat,” ujar Deny. Deny Pradana (Teknik Elektro ’07) sukses menciptakan sebuah anti virus lokal yang dia berinama Lynx virusscan. Menurut Deny anti virus ini lebih ung gul dari anti virus-anti virus lokal yang sudah ada.

Dengan anti virus ini pengguna bisa saling berbagi database. “Jadi bila ada virus baru bisa langsung ditambahkan ke Lynx Virusscan biar langsung ter-deteksi dan langsung dihapus tidak perlu update via internet lagi,” ujar maha-siswa yang tanggal 27 Desember nanti akan diwisuda.

Penelitian virus Lynx Virusscan ini berkaitan dengan penyusunan Skripsi Deny yang berjudul “Rancang Bangun software Antivirus . Saat ini publikasinya baru melalui facebook dan twiter, ada kemungkinan nantinya akan dibuat versi profesional-nya.

Mahasiswa Unila Ciptakan Anti VirusOleh Imam Gunawan

Pada awal penelitian, Deny mencari sample virus yang banyak beredar di pasar, kemudian dia teliti satu persatu ciri-ciri masing-masing virus tersebut lalu dimasukkan ke anti virus ciptaannya. Alat dan bahan yang digunakan Deny dalam penelitian ini adalah komputer pribadi dan visual basic.

“Penelitian ini saya lakukan sendiri, tapi mendapatkan dukungan dari dosen pembimbing skripsi saya,” ungkap pria yang ingin membuka bisnis software house (rumah pembuatan software ) setelah wisuda nanti.

“Harapannya sih supaya pihak Rektorat lebih memperhatikan dan menghargai setiap hasil karya mahasiswa, kalau perlu dibuatkan wadah untuk publikasi hasil karya mahasiswa ke luar Lampung,” terang Deny.=

Foto Imam Gunawan

Unila-Tek: “Unila dimana? Masa penelitian tentang gamolan alat musik budaya Lampung tidak diperhatikan. Padahal saya orang Unila tapi kenapa Teknokrat yang lebih serius menggarap ini,” ujar Hasyimkan, dosen musik FKIP Unila dengan nada kecewa.

Kekecewaan ini bermula saat anak asuhnya mahasiswa Jurusan Seni Tari berhasil menjuarai Gamolan dalam Festival Seni Budaya Lampung di Hotel Syahid beberapa waktu lalu. Hasyimkhan juga sedang mengusahakan hak paten atas di cipta-kannya musik gamolan yang nantinya bisa dinikmati melalui perangkat hand-phone maupun android.

Hal tersebut tidak mendapatkan apresiasi dari pihak rektorat maupun dekanat FKIP tempat ia mengabdi sebagai dosen. “Seharusnya pihak Rektor at maupun Dekanat FKIP memanggil saya untuk mendiskusikan penelitian saya tentang gamolan, ini kan kebudayaan Lampung,” ujar Hasyimkan.

Kekecewaanya pun kian bertambah saat Perguruan Tinggi (PT) Teknokrat yang akan membuat robot penabuh Gamolan dan chip nya akan dibelikan langsung dari Amerika Serikat ber-apa pun harganya. Tak hanya itu yang menemukan perangkatnya pun mahasiswa Teknik Informatika STMIK Teknokrat melalui penelitian skripsinya. Sangat disayangkan karena

Unila Tidak Perhatikan Gamolan

tidak dilakukan oleh mahasiswa Teknik Unila yang memiliki team Robotik.

Apabila sikap Unila selalu tak peduli pada gamolan yang menjadi alat musik budaya Lampung di-khawatir kan nantinya diklaim ne-gara lain. “Kan ini salah satu wa ris-an budaya melayu lho,” terang nya

Namun disisi lain Hasyimkan juga tak menampik team Gamolan Lampung yang diprakarsai olehnya beserta kawan-kawan mendapat dukungan dari Pemerintah Provin-si dan Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL). Kini me reka sedang menjalin kerjasama de ng-an Samsung Lampung untuk ke-mudian dikirim ke pabrik utama Samsung.

Ditemui di ruanganya (28/11) Pembantu Rektor (PR) III, Prof Sunarto mengatakan pihak yang ber sangkutan juga tidak pernah meng informasikan ataupun koor-dinasi dengan pihak rektorat ter-kait gamolan ini.

Sunarto juga mengatakan hanya mendengar saja informasinya bah-wa Jurusan Seni Tari meng undang orang luar negeri untuk datang dan pihaknya juga yang meretas dan menjalin hubungan. “Tidak ada informasi dan koordinasi, jadi bagaimana mau peduli,” tegas-nya .=

Oleh Imam Gunawan

Perbaikan. Pekerja sedang memasang paping blok ditrotoar dekat halte Unila, Jumat (30/11). Tempat ini adalah salah satu titik perbaikan fasilitas dilingkungan Unila.

Unila-Tek: Ketika akan memasuki Universitas Lampung, terlihat lahan yang dihiasi oleh tiang-tiang pancang yang ditutupi oleh pagar putih biru, itulah kondisi dari pembangunan rumah sakit pendidikan Universitas Lampung. Unila adalah salah satu dari 19 Perguruan Tinggi Negeri di indonesia yang mendapatkan bantuan dari dinas pendidikan untuk pembuatan rumah sakit pendidikan.

Rumah Sakit Pendidikan yang diimpi-impikan akan terealisasi 2014 hingga saat ini belum ada satu pun gedung yang berdiri. Sudah banyak aksi yang dilakukan aktivis kampus maupun LSM luar kampus yang menuntut agar segera terealisasinya RSP. Banyak statement yang terlontar dari berbagai media bahwa ada dugaan korupsi dalam pembangunan RSP ini. Namun hingga kini belum ada kejelasan.

Dan pihak rektorat pun mem-ban tah adanya indikasi korupsi. Saat ditemui di ruangannya Prof Sugeng P Hariyanto mengatakan pem bangunan RSP terhenti karena anggaran tahap dua belum ada. Untuk pembangunan tahap pertama mengapa baru tiang pancang, me-nurut nya itu memang sudah sesuai dengan anggaran tahap pertama yaitu 40 milyar.

Dan sebenarnya itu tak hanya tiang pancang, jika masuk ke dalamnya sudah ada parkiran dan lantainya. Di dasar bangunanpun terdapat material yang pendanaanya juga tak sedikit. Namun ia tak menjelaskan secara rinci apa material bangunan yang senilai 40 milyar itu.

Sugeng juga menambahkan de-ngan anggaran yang disediakan dan

dengan waktu yang ditentukan, seperti sekarang inilah pembangunan RSP yang bisa dilakukan. “Kalo saya ingin cepat pembangunanya, tapi kalo gak bisa mau apa kita,” terangnya

Menurut Soleh Anom bagian pub likasi dan informasi dari Humas Unila nilai kontrak pembangunan RSP ini senilai Rp.52.892.862.000. Dan pada tahap ini memang hanya dibangun tiang penyangga dan basement saja. Hal ini sudah sesuai dengan dana yang ada. RSP yang rencananya akan dibangun tiga lantai ini berdiri di lahan seluas lima hektar

Sutyarso Dekan Fakultas Ke-dokter an pun menambahkan bahwa pembangunan ini yang menggaet PT.Patron Architects, Engineers & Consultants sebagai konsultan perencana, CV. Jaim dan Rekan serta PT. PP (persero) TBK, sebagai konsultan pengawas dan pelaksana hanya menelan biaya 42.412.000. Na mun ia tak tahu sisa uangnya ke-mana.

Berbeda dengan sebelumnya yang pembangunan RSP tahap pertama Fakultas Kedokteran tak dilibatkan. Untuk tahap dua justru FK dilibatkan dalam kepanitian (1/11). Rektor Unila membentuk kepanitiaan yang melibatkan pengarah atau penasehat yakni rektor, pembantu rektor I dan pembantu rektor II, dekan FK dan pelaksana yang terdiri dari bidang perencanaan sarana dan prasarana, manajemen universitas dan humas.

Panitia ini dibentuk karena tidak ada kejelasan dari Panitia sebelumnya. Panitia bertugas untuk mengelola sedangkan dalam

pembangunannya diberikan penuh kepada kontraktor. Ketika dibangun tim bisa memberikan masukan untuk prioritas pembangunan. Sejauh ini panitia telah menganggarkan dana untuk pembangunan tahap ke dua senilai 200 miliar.

Saat ditemui di ruangannya man-tan Pembantu Rektor II Sulastri Ramli mengatakan RSP bukan urus-an dia lagi. “Itu bukan urusan saya lagi, saya tidak mau tidak,” ujarnya dengan nada tinggi. Sulastri pun beberapa kali tidak mau ditemui kru Teknokra hingga kru Teknokra harus mewawancarainya di luar ruangan karena di depan pintunya dihadang oleh karyawan Sulastri.

Pembantu Rektor II baru Dwi Haryono pun tak banyak komentar. Ia hanya mengatakan baru meng-anggarkan biaya 200 miliar ke pusat untuk pembangunan tahap dua yang akan dikerjakan pada tahun 2013 mendatang. Dwi menargetkan pembangunan tahap ke dua harus ada satu gedung yang berdiri.

Saat acara diskusi Lembaga Ke mahasiswaan dan Rektorat (4/12) Sugeng mengatakan untuk pembangunan RSP tahap dua yang diajukan November tahun lalu sebesar 200 milyar tak disetujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dan tahun ini kembali mengajukan namun hasil tetap nihil sehingga wajar jika pembangunan RSP ter-henti tahun ini. Pembantu Rekor II saat ini sedang menganggarkan dana untuk pembangunan senilai 413 milyar yaitu gabungan antara dana anggaran tahun 2012 dan 2013.=

Oleh Novalinda Silviana, Yovi Lusiana

Pembangunan RSP Terhenti

Page 4: Tabloid Teknokra Edisi 125

No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 20124 Kampus Ikam

Unila-Tek: Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahap I tahun 2013 diikuti oleh 1700 peserta dari enam fakultas. Mahasiswa yang akan di-berangkatkan berasal dari FISIP, FK, FMIPA, Ekonomi, Pertanian, dan FT. Mahasiswa FKIP mengikuti KKN pada tahap II yaitu pada awal Juli sampai pertengahan Agustus 2013 kerena bersamaan dengan jadwal PPL.

Fauzan Murdapa selaku sekre-taris panitia KKN mengatakan pe-nempat an KKN tahap I hanya di enam kabupaten. Hingga kini baru tiga kabupaten yang pasti dijadikan tempat KKN yaitu Way Kanan, Lampung Timur, dan Mesuji. Tiga kabupaten lainnya belum ditetapkan secara pasti.

Tak ada perbedaan syarat yang harus dilengkapi mahasiswa untuk mengikuti KKN tahun depan. Maha siswa wajib menyelesaikan 110 SKS dengan IPK 2,00. Biaya yang dikenakan pun tak mengalami kenaikan. Angka Rp.650.000,00 di-patok untuk membayar atribut berupa kaos, topi, dan buku-buku panduan KKN, dan untuk biaya tansportasi. Pembayaran boleh dilakukan dua kali, yaitu pada awal November 2012 sebesar Rp Rp.165.500,00. Sisanya

Unila-Tek: Delapan mahasiswa Uni-ver sitas Lampung telah bertandang ke Jakarta (6-9/11).

Mereka menghadiri acara Kongres Kebudayaan Pemuda Indonesia (KKPI).Tri Sujarwo, Febriyanto, Damas Prastyo Wibowo, M. Amin Putra, S, Malicia Evendia, Widhi Astuti, Aristina Komsiati, dan Dwi Cahyani, merekalah yang terpilih menghadiri acara yang spektakuler ini.

Mereka merupakan pemuda ber-prestasi yang telah menghadiri Kong res Kebudayaan Pemuda In-do nesia. Acara ini diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia agar pemuda mampu menjadi agen pembangunan

Unila -Tek: “Kita ngeliat di belakang warung yang di GSG trus dekat lapangan bola Unila ada karung sampah yang isinya ada belatung, saya lempar aja pake batu,” ujar Meta Arlando, mahasiswa Ilmu Pemerintahan ’11 mengomentari kondisi sampah di GSG Unila. Menurutnya, masih banyak sampah yang tercecer di sekitar GSG. Sampah yang bertumpuk di sekitar Taman Beringin Unila menurut Meta juga tak kalah banyaknya. Meta memang sering nongkrong di GSG Unila bersama geng Koprok kesayangannya.

Satu suara dengan Meta, Febri Tri Utari mengatakan bahwa di Taman Beringin Unila banyak sampah bertebaran. Mahasiswi Ekonomi ’11 ini menilai kondisi kebersihan di taman beringin bukan sekedar kurangnya kesadaran mahasiswa untuk tak membuang sampah sembarangan. Namun, menurutnya petugas kebersihan yang dikerahkan belum melaksanakan tugas dengan baik. Meta dan Febri menganggap terbatasnya kotak sampah yang disediakan oleh pihak Rektorat juga sebagai alasan. “Yang mempengaruhi penumpukan sampah di sana adalah kurang tersedianya tempat sampah, jadinya malas buang, malas juga nyari kotak sampahnya dulu,” ujar Meta memberikan pendapatnya.

Pegawai bidang kebersihan di GSG Unila, Erwin mengatakan pihaknya telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk membersihkan

KKN Ada LagiOleh Yurike Pratiwi S

dilakukan awal Januari 2013. “Semua biaya kegiatan KKN ditanggung sepenuhnya oleh mahasiswa, karena tidak ada subsidi untuk kegitan KKN seperti ini,”jelas Fauzan saat ditemui.

Ferdita Aprilia mahasiswa Ilmu Pemerintahan tahun 2010 yang juga peserta KKN berharap ditempatkan di daerah yang aman agar terhindar dari konflik. “Saya berharap panitia KKN tidak ada yang korupsi”, ungkap Ferdita saat ditanyai masalah biaya.

Sama seperti sebelumnya, pem-bagian lokasi KKN ditetapkan berdasarkan tema dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap daerah. Pembekalan KKN rencananya di laksanakan awal Desember. Fauzan berharap mahasiswa dapat membantu masyarakat dan dapat membaur dengan masyarakat. “Jangan menjadi masalah tetapi harus bisa memecahkan masalah. Dan saya berharap selama 40 hari tersebut, peserta KKN tidak ada masalah,” harap Fauzan. Fauzan mengatakan jika ada mahasiswa KKN yang pulang tanpa izin atau sesukannya sendiri maka akan dikenakan sanksi yaitu mengikuti KKN ulang.=

Sedikitnya KotakSampah di Unila

Oleh M. Faza Pandunegoro

sampah yang bertumpuk di GSG. Erwin justru menganggap Unila tidak menghargai kinerja petugas kebersihan. “Apa dibubarkan saja petugas di GSG ini supaya sadar orang Unila dan akhirnya GSG bisa dirawat”, ujar Erwin kesal.

“Berapa kali kami minta disediakan tempat sampah pake surat, lalu mau minta motor sampah untuk membuang sampah langsung, yang bekas kita mintanya bukan yang baru. Tapi gak dikabulin, gak mungkin juga kita yang sediain sendiri.” tutur lelaki yang gemar memakai peci saat beraktivitas. “Bulan kemarin ngajuin tempat sampah, kami dibelikan tiga karena harga satunya dua ratus lima puluh lima puluh ribu rupiah,”terang Erwin.

Menanggapi persoalan menumpuknya sampah yang ada di sekitar GSG, Erwin menyalahkan pengguna tak tertib membuang sampah. Saat dikonfirmasi siapa yang bertanggung jawab atas penumpukan sampah yang ada di sekitar warung-warung di GSG, Erwin justru kebingungan. Ia mengaku tak tahu tentang perizinan pendirian warung-warung tersebut. Pedagang yang mendirikan warung mengaku kepada Erwin sudah membayar uang perizinan dan tidak perlu lagi mengelola sampah. “Atas izin siapa saya tidak tahu, kalau mau diusir juga tidak enak,”imbuh Erwin. Ia juga mengeluhkan gaji para petugas kebersihan GSG yang terlalu rendah. “Kami kerja di bawah

UMR Lampung, hanya enam ratus ribu. Kami ini pekerja harian lepas,” ujarnya. Sementara itu, Herdiyati (43), seorang petugas kebersihan yang biasa membersihkan sampah di sepanjang jalur dua Unila hingga Rektorat mengatakan gaji yang ia terima sudah cukup.

Kepala Bagian Rumah Tangga Unila, Suhaimi, menjelaskan saat ini Unila sedang serius melakukan renovasi. “Sepanjang jalur dua, dari mulai Tugu sampai jalan keluar belakang Unila, sedang di renovasi bagian trotoarnya, itu agar motor tidak bisa naik lagi ke trotoar. Akan ada rehabilitasi taman beringin nanti, mudah-mudahan semuanya Desember sudah selesai,”ujar Suhaimi sambil tersenyum.

Menurutnya, bertumpuknya sampah di Taman Beringin karena ulah pengguna tempat yang tidak tertib. Suhaimi juga menyalahkan pedagang yang sering parkir di taman beringin. “Pengguna kadang tidak tertib membuang sampah pada tempatnya, ada juga tambahan sampah dari pedagang yang nongkrong di sana, nah mereka itu kan menambah sampah plastik yang ada,” reka Suhaimi.

Suhaimi mengakui minimnya kotak sampah di taman beringin. “Ya, diakui memang belum disediakan tempat sampah di Taman Beringin, kita masih mengandalkan kerja para petugas kebersihan walaupun tenaganya masih terbatas,”tambahnya.=

Unila Ikuti Kongres Kebudayaan Pemuda Indonesia

kebudayaan yang kreatif. Acara yang akan dihelat di Hotel Borobudur Jakarta ini dibuka oleh Menteri Pendidikan dan kebudayaan Indonesia, Muhammad Nuh.

Sejumlah pejabat tinggi negara pun hadir mengisi acara yang dihadiri oleh pemuda perwakilan dari 33 provinsi di Indonesia ini. Acara ini juga dihadiri oleh penyair nasional, Taufik Ismail dan sejumlah artis ibukota yang turut memeriahkan acara ini.

Acara ini bertujuan untuk membangun tonggak kebangkitan pemuda dalam pembangunan kebudayaan dan pembangunan bangsa. (Rilis)=

FISIP-Tek: Menjadi pengusaha ternyata tak perlu bermodalkan besar. Yang penting memiliki inovasi. Hal itulah yang disampaikan Zulfikar Alimuddin

Saat memberikan materi pada seminar kewirausahaan yang diadakan oleh Lingkar Studi Politik (LSPP) Cendikia di gedung B.3.1 FISIP.

Menurut Ketua Pelaksana Syaiful Anwar (Sosiologi’ 12) seminar yang bertemakan “Generasi Muda Generasi Wirausaha” ini bertujuan mengajak generasi muda untuk menciptakan lapangan pekerjaan bukan mencari pekerjaan.

Menciptakan Bukan Mencari Pekerjaan

Oleh Imam Gunawan

Foto Novalinda Silviana

Zulfikar mengatakan Di Indonesia baru 1,5 % dari total penduduk dan itu belum ideal. Padahal idealnya suatu negara dikatakan sukses jika jumlah pengusahanya lebih dari 10%. Di Amerika jumlah pengusahanya telah melebihi 14% dari jumlah total penduduk makanya mereka menjadi negara yang maju.

Dengan diadakannya seminar ini maka membuka pikiran para peserta salah satunya Yeni Kartini. “Dengan ikut seminar seperti ini bisa membuka pikiran kita bahwa bukan hanya pegawai saja masa depan kita tapi bisa juga jadi pengusaha, tutur mahasiswa Sosiologi’12. =

Usil. Oknum yang tidak bertanggung jawab merusak fasilitas Gedug Serba Guna (GSG) Unila dengan mencoret�coret lantai GSG. Foto dibidik, Selasa (04/12).

Page 5: Tabloid Teknokra Edisi 125

Lintas Fakultas No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 2012 5

Unila-tek: “Kami kan kuliah di Unila dengan biaya sepenuhnya dari pemerintah, tapi sampai sekarang belum ada buktinya,” aku Leonis Sherly Pricelia Wonatorey, mahasiswa asal Papua yang mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung saat ditanyai via telepon (14/11).

Sherly, begitu ia biasa disapa, memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya karena beasiswa yang dijanjikan pemerintah tidak kunjung ia terima. Selama tinggal di Lampung, Sherly mengaku semua biaya hidupnya masih ditanggung orang tuanya yang berprofesi sebagai guru. Hingga akhirnya ia nekat untuk kembali ke rumah, dengan sisa uang yang ia punya. Sherly meninggalkan Lampung sejak 10 Oktober lalu.

Winda Yunika, Menteri Hukum Advokasi Negara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unila mengaku berulang kali menghubungi Sherly untuk mendengarkan penjelasan darinya. Menurut Winda, Sherly masih memiliki keinginan untuk kembali melanjutkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Unila. Permasalahan yang kini dihadapi oleh Sherly adalah biaya untuk kembali ke Lampung. Menurut cerita Winda (14/11), selain memiliki permasalahan dengan dana untuk kembali ke Lampung, orangtua mahasiswa kedokteran ini kurang setuju jika anaknya melanjutkan kuliahnya ke Lampung dengan alasan terlalu jauh dari kampung halaman. Dengan terlambatnya pencairan dana beasiswa untuk mahasiswa Papua ini, membuat orangtua Sherly semakin yakin untuk tidak mengijinkannya berkuliah di

Pulang Ke Papua KarenaTerkendala Biaya

Lampung. Saat dikonfirmasi, Sherly

mengaku pernah ada masalah dengan orangtuanya, namun orangtuanya sudah mengijinkannya berkuliah di Unila. “Orangtua dulu memang sempat melarang, tetapi setelah dibicarakan baik-baik, mereka mengijinkan,” aku Sherly di telponnya. Dia mengaku tidak memiliki masalah lain selain dana untuk kembali lagi ke Unila.

Mendengar Sherly tidak dapat kembali ke Lampung lagi karena biaya akomodasi Papua-Lampung cukup mahal, BEM U mengadakan penggalangan dana untuk kepulang Sherly ke Lampung. Sherly sendiri kini tengah mengenyam pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cendrawasih (Uncen), Papua. Dalam hal ini Winda mengaku tak tahu menahu mengenai hal tersebut.

Ical Basibin, teman sekampung halaman Sherly mengatakan bahwa Sherly sebenarnya memang ingin pulang ke Papua. Ia ingin melanjutkan kuliahnya yang sempat ditinggal kan di Uncen. Dan sampai saat ini Ical beserta kawan-kawannya di Unila tidak pernah lagi dihubungi oleh Sherly. Berbeda dengan Joni Walalua, mahasiswa yang juga kembali ke Papua, Ical mengaku Joni masih sering menanyakan kabar Lampung. Saat itu Joni terpaksa pulang setelah terserang malaria. Orangtuanya yang mendengar dirinya sakit, langsung memesankan tiket pulang untuk Joni.

Ical sendiri juga mengalami kesulitan dengan biaya kehidupannya selama di unila ini. Menurut Ical, mereka memang ditanggung sepenuhnya oleh Beasiswa

Oleh Fitri Wahyuningsih

Renovasi. Fakuktas Ekonomi dan Bisnis melakukan renovasi di beberapa prasarana, salah satunya renovasi atap koridor antara gedung B dan gedung D, Selasa (4/12).

Unila-Tek: Seperti layaknya manusia yang dapat berjalan tanpa menabrak, robot juga dapat berjalan tanpa menabrak. Robot ini memiliki indra penglihat seperti manusia tapi bukan mata melainkan sensor.

Line follower namanya yaitu sebuah robot yang dapat berjalan mengikuti sebuah lintasan. Ada yang biasa menyebut lintasannya dengan Line Tracker, Line Tracker Robot dan robot pengikut garis.

Awal pembuatan robot line follower ini terinspirasi dari mobil tamia. Hal itulah yang melatar belakangi M. Yusuf Tamtomi beserta rekannya Akhmad Harry Susanto mahasiswa Teknik Elektro 2010 untuk merakit robot ini.

Robot ciptaan Yusuf sebenarnya masih dasar tapi jika dikembangkan bisa menjadi robot pengangkut barang untuk di bandara maupun

pabrik. Di Jepang sendiri robot ini telah berfungsi sebagai pencari jejak korban gempa dan tsunami (robotikasmanisda).

Cara kerjanya yaitu dengan mendeteksi adanya garis atau tidak pada permukaan lintas robot tersebut. Kemudian informasi yang diterima sensor garis diteruskan ke proses untuk diolah sedemikian rupa dan akhirnya hasil informasi olahannya diteruskan ke penggerak atau motor. Sehingga motor dapat menyesuaikan gerak tubuh robot sesuai garis yang dideteksinya.

Pada konstruksi yang sederhana, robot line follower memiliki dua sensor garis A-kiri dan B-kanan, yang terhubung ke dua motor (kanan dan kiri) secara bersilang melalui sebuah prosesor/driver. Sensor garis A (kiri) mengendalikan motor kanan, sedangkan sensor garis B (kanan)

Ayo Menanam PohonFP-Tek: Senin (26/11) dalam rangka memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN), Himasylva Jurusan Kehutanan mengadakan kegiatan menanam pohon dengan tema Banyak Pohon Banyak Rejeki.

Ketua Umum Himasylva, Refky Tahzani mengatakan kegiatan ini berlangsung dari (26/11-5/12) . Dengan rangkaian kegiatan kampanye dan sosialisasi dilanjutkan dengan penanaman pohon di Tahura Wan Abdul Rachman. “Kami menyediakan bibitnya di belakang pos Satpam dekat bunderan Unila kurang lebih satu juta bibit, kami tidak membagikannya di jalanan karena melihat kegiatan yang tahun lalu banyak bibit yang dibuang,” terang Reinhert Ketua Pelaksana. =Hana Febri Ariska

Pemerintah Provinsi Papua, sementara beasiswa dari dikti hanya diberikan satu kali di semester awal.

Ical dan teman-temannya sempat bingung karena sudah tidak punya uang lagi. Akhirnya Ical dan yance, teman ical yang lainnya, menghadap PR III. Hasilnya, seluruh mahasiswa Papua yang masih berada di Unila (13 Orang) mendapat pinjaman dari Universitas sebesar 1 juta untuk masing-masing mahasiswa. “Ini hanya pinjaman. Jadi kalau DIKTI sudah transfer, nanti kami ganti,” kata Ical. Meskipun hanya berupa pinjaman, Ical mengaku sangat terbantu dengan hal tersebut.

Pasalnya, dirinya sendiri tidak pasti setiap bulan dikirim uang oleh orangtuanya yang tinggal di Merauke. Orangtua Ical berprofesi sebagai petani di Merauke. Sedangkan kakak juga masih mengenyam pendidikan di Jurusan Administrasi Negara, Universitas Yapis, Papua. Sementara ini, jika orangtua Ical tidak bisa mengikiriminya uang, kakaknya yang mengirimkan.

Ical dan kawan-kawannya bisa

sedikit bernapas lega, pasalnya Ical yang selama ini menjadi jembatan informasi antara Pemerintah Daerah Papua, rektorat, dan para mahasiswa Papua yang berada di Unila, sudah mendapat kabar dari pihak Provinsi Papua bahwa di akhir bulan November ini beasiswa mereka sudah dapat dicairkan.

Pembantu Rektor III, Prof. Sunarto pun mengatakan bahwa beasiswa tersebut sepenuhnya dipegang oleh Dinas Pendidikan Tinggi (DIKTI), pihak universitas hanya memiliki mandat untuk membina mahasiswa. Mengenai mahasiswa Papua yang pulang, Sunarto mengatakan bahwa selama mahasiswa tersebut masih berstatus mahasiswa, maka beasiswa mereka pun masih menjadi hak milik

mereka. Namun, untuk masalah akademik, Sunarto mengatakan hal tersebut diatur oleh jurusan masing-masing mahasiswa.

Senada dengan pembantu rektor III, Pembantu Rektor I, Prof Hasriadi Mat’akin mengatakan selama nama mereka masih tercatat sebagai mahasiswa Unila, mereka masih memiliki hak untuk kembali mengenyam pendidikan di Unila kembali. Namun, pihak universitas tidak dapat menolerir perkuliahan yang sudah mereka tinggalkan. “Tidak akan dibedakan perlakuan. Meskipun mereka dari Papua, dari pemerintah, bahkan anak pejabat pun harus menuruti peraturan yang ada,” terang Hasriadi saat ditemui di ruangannya (22/11).=

Robot Bermata Manusiamengendalikan motor kiri.

Ketika sensor A mendeteksi garis sedangkan sensor B keluar garis ini berarti posisi robot berada lebih sebelah kanan dari garis, untuk itu motor kanan akan aktif sedangkan motor kiri akan mati. Akibatnya motor akan berbelok kearah kiri.

Begitu sebaliknya keika sensor B mendeteksi garis, motor kiri aktif dan motor kanan mati, maka robot akan berbelok ke kanan. Jika kedua sensor mendeteksi garis maka kedua motor akan aktif dan robot akan bergerak maju.

Untuk merakit robot line follower ini mengalami beberapa kendala yaitu tidak semua komponen-komponen yang dibutuhkan dapat dibeli di Lampung sehingga membelinya di luar Lampung dengan melalui pembelian secara online.=

Oleh Jenni Ayuningtyas

Foto Novalinda Silviana

FH-Tek: UKMF Mahkamah (Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum) Fakultas Hukum, mencoba memecahkan Rekor Muri melalui sosialisasi sekolah anti korupsi . Kegiatan ini diselenggarakan di108 SMP dan SMA yang beberapa kabupaten yaitu Tulang Bawang Barat, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Bandar Lampung, dan Pringsewu dengan target 100 sekolah yang akan dikunjungi. Dan akan ada lima puluh ribu siswa yang akan mengikuti kegiatan tersebut.

Hardiansyah (Fakultas Hukum 2010) selaku ketua pelaksana menerangkan acara yang bekerja sama dengan pihak rekor muri dan KPK diselenggarakan sebagai salah satu langkah preventif dalam menangani. Tidak hanya penanaman nilai-nilai dan prinsip-prinsip anti korupsi tapi juga memberikan motivasi kepada siswa-siswi agar bisa meraihk mimpi-mimpinya. Peresmian rekor muri pada tanggal 8 Desember 2012 yang satu hari sebelum peringatan hari anti korupsi se-dunia.

Menurutnya apabila ingin melihat Indonesia 20 tahun ke depan maka lihatlah pemuda-pemudi hari ini karena pemuda-pemudi hari ini adalah calon pemimpin di waktu yang akan datang UKMF Mahkamahsadar bahwa calon pemimpin di waktu yang akan datang harus dibekali mengenai bahaya korupsi.= Hayatun Nisa F

Sosialisasi Sekolah Anti Korupsi,Pecahkan Rekor Muri

Page 6: Tabloid Teknokra Edisi 125

No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 20126 Reportase Khusus

Ma, kok iyai bunuh diri,” ucap Saura Najwa Athoya Yasin, siswa kelas empat

SD itu ketakutan. Tini yang masih menggunakan helm hanya sempat bertanya “kenapa?”. Karena bingung mendengar ucapan si bungsu ia pun langsung ingin menemui anak sulungnya. Kaget bukan kepalang saat Tini melihat Gema Esyanda Puja PY sudah tergantung.

Ia langsung menjerit minta tolong dan mengangkat tubuh anaknya ke atas berharap anaknya bisa bernafas. Tak lama keponakannya Eriko yang rumahnya bersebelahan dengan Tini datang. Eriko langsung menjerit saat melihat keadaan sepupu perempuannya. Ia kemudian membantu Tini melepaskan tali yang menjerat leher Echa-sapaan akrab Gema Esyanda. Karena ikatan yang terlalu kencang, akhirnya Tini menyuruh Eriko untuk mengambil pisau agar selendang yang menjerat leher Echa dapat dilepas. Tak lama Mahasiswa Matematika 2009 itu dibawa ke rumah sakit Bhayangkara.

Di rumah sakit, jenazah Echa diperiksa oleh dokter. Hasil pemeriksaan menyatakan kejadian kematian Echa bukan pukul 21.15 seperti saat ditemukan. Namun, Echa telah meninggal sejak pukul 20.00. Sebelum dikuburkan Ayah Echa, Syahrodi Yasin telah melapor ke Polsek Kedaton.

Tak Ada Firasat Apapun“Air mata masih sering jatuh

kalau diingat-ingat. Sampai sakit gini karena kesedihannya tertumpuk,” ungkap Tini dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di ruang Delima 119, Rumah Sakit Urip Sumoharjo (20/11). Tini sudah empat hari dirawat sejak 16 November 2012 karena gangguan fungsi hati

16 Juni 2012, sama sekali tak ada firasat jika buah hatinya akan tewas mengenaskan. Yang ia tahu Echa memang akan pergi tapi bukan untuk selamanya tapi untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) esok harinya.

“Malam itu saya mengajak Echa yang ke rumah kakak saya yang sedang sakit di Kedaton,” ujar Tini mengenang. Namun, ajakan Ibunya Echa tolak. “gak mah, iyai (red.kakak) di rumah aja,” jawab Echa saat itu. Menurut Tini, malam itu Echa memang terlihat sedih. Karena baru saja putus dengan Randy. Alasannya ibu tiri Randy tak menyetujui hubungan mereka yang sudah terjalin dua tahun.

Namun, masalah itu tak membuat Tini menaruh firasat apapun.

Kejanggalan Mulai Terlihat“Orang sesupel Echa, yang aktif

dan punya keinginan yang Echa tak kan mungkin mengakhiri hidupnya dengan cara begitu,” lanjut Tini dengan menggebu-gebu meski jarum infus masih tertusuk di tangan kirinya.

Dokter yang memerika menilai kalau seseorang yang bunuh diri akan ada ciri fisik tertentu yang menunjukkan bahwa Echa bunuh diri antara lain mata yang terbelalak, lidah yang terjulur, keluar kotoran dari kemaluannya namun hal itu tidak ditemukan ciri-ciri seperti itu di tubuh Echa.

Tini menemukan Echa dengan posisi kepala tertunduk, mata terkatup, dan tak ada kotoran apapun yang keluar dari kemaluannya. Di leher Echa, terlihat bekas jeratan di sebelah kanan dan kiri.

Selain itu beberapa bagian tubuh seperti punggung, paha, dan tulang kering kaki kanannya terlihat lebam. Jarak antara lantai dan tubuh Echa

yang tergantung pun hanya dua senti meter. Keluarga Echa menduga korban dibunuh terlebih dahulu baru kemudian digantung. Atas dasar itulah dokter menyimpulkan bahwa Echa meniggal karena dibunuh bukan bunuh diri.

Pacar Echa Menghilang Keluarga Echa juga menduga

pembunuhnya adalah orang dekat. Dugaan ini muncul karena malam saat hendak masuk rumah di malam kejadian, Tini menemukan posisi batu tempat biasa Tini dan keluarganya menaruh kunci rumah saat berpergian sudah bergeser sekitar 10 cm. Yang tahu tempat persembunyian kunci tersebut hanya anggota keluarga dan pacar Echa.

Kejanggalan lainnya adalah hilangnya handphone milik Echa saat kejadian. Kecurigaan keluarga juga di dukung oleh keterangan beberapa saksi. Hipni, salah satu karyawan rumah makan Bengawan yang tak jauh dari tempat kejadian melihat mobil sedan silver parkir di depan rumah Echa. Menurut kesaksian Hipni kepada keluarga dan polisi, malam kejadian pukul 20.30 WIB posisi mobil tersebut sudah

arah rumah Echa. Seorang lagi yang bertubuh agak besar terlihat berjalan mengelilingi pinggir rumah sampai ke teras pintu masuk.

Sementara orang ketiga, berada di belakang kemudi. Hipni sempat tak memperhatikan lagi karena harus membereskan piring kotor bekas pelanggan. Namun, saat ia melihat ke arah rumah untuk kedua kalinya, mobil sedan silver dan tiga orang tak dikenal itu sudah tidak ada lagi.

Keluarga Echa m e n g a r a h k a n kecurigaannya kepada Randy dan ibu tiri Randy. Dugaan ini karena Echa sering bercerita sedang ada masalah dengan keduanya. Menurut Tini, Randy yang saat malam kejadian diberi kabar via telepon, tak berkata apapun. Diseberang telepon hanya diam. “Ya seharusnya waktu dikabari pacarnya meninggal kaget lah seenggaknya, atau bertanya ada apa? Kenapa,” cerita Tini yang terlihat begitu kesal. Tini heran dengan sikap Randy yang hanya diam saja, seperti sudah mengetahui bahwa Echa memang sudah meninggal.

Tini sempat bertemu Randy di rumah makan Garuda, Bandarlampung pada tanggal 23 Juli 2012. Tini meminta Randy bersumpah diatas Alquran dan membaca syahadat. Namun, menurut Tini saat itu Randy hanya membolak-balikkan Alquran seperti terlihat orang takut dan panik. Tini lalu meminta Randy menceritakan apa yang diketahuinya mengenai Echa. “Saat itu randy hanya bilang gak tau apa-apa,” ujar Tini melanjutkan ceritanya. Randy juga mengatakan sudah ada panggilan dari Polsek Rajabasa untuk tanggal 25 Juli 2012 dan Randy berjanji akan memberi keterangan kepada kepolisian.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut membuat keluarga makin yakin Echa tak bunuh diri. Keluarga menduga Randy dan ibu tirinya berada dibalik layar kasus meninggalnya Echa. “Ya, memang saat kejadian Randy tak berada di Lampung. Tapi mungkin mereka menyuruh pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa anak saya, tapi entah motifnya apa,” tutur Tini curiga. Apalagi setelah pertemuan itu, Randy dan ibu tirinya hilang jejak. Beberapa kali didatangi rumahnya kosong.

Polisi Paksa Tanda Tangani Surat Tak Mau Otopsi

Mendengar hal itu ayah Echa langsung menghubungi pihak kepolisian agar dapat diproses lebih lanjut. Polisipun langsung datang untuk melakukan olah TKP pada malam itu. Jenazah Echa lalu dipulangkan kembali ke rumah. Sekitar pukul 01.00 Brigpol Andy Saputra, S.H dari Polsek Kedaton datang ke rumah

Echa dan memaksa Ayah Echa menandatangani surat

persetujuan agar jenazah Echa tidak diotopsi.

Tapi ayah Echa menolak untuk m e n a n d a t a n g a n i surat itu, karena takut akan terjadi sesuatu yang buruk apabila menanda t ang an i

surat itu. Dalam keadaan bingung

keluarga Echa akhirnya memutuskan untuk menguburkan

jenazah Echa keesokan harinya. Polisi Lamban Menangani Keluarga korban sebenarnya

melapor ke Polsek Rajabasa sejak tanggal 16 juni 2012. Namun polisi baru meminta keterangan setelah satu minggu lebih setelah kejadian.

Saat diperiksa, keluarga sudah memberitahukan orang-orang yang dicurigai sebagai dalang dari pembunuhan Echa. Dan ternyata saksi Randy dan ibu tirinya baru dipanggil pada tanggal 25 Juli 2012. Tepat saat acara Ta’ziah 40 hari meninggalnya Echa. Polisi diwakili Brigpol Andy Saputra, S.H sebagai penyidik kasus kembali ke rumah Tini. Andy lalu menjelaskan bahwa pihak penyidik sudah memanggil orang-orang yang dicurigai, namun belum bisa menyimpulkan keterlibatannya pada kasus Echa.

Kekecewaan keluarga juga makin memuncak karena setelah kunjungan itu tak ada penyidikan lebih lanjut. Menurut Tini, Randy dan ibu tirinya hanya dimintai keterangan sekali saja. Tini lalu berinisiatif mengirimkan surat kepada Kapolres Bandarlampung, Kapolda Bandarlampung, Kapolri DI Jakarta, Kabareskim Mabes Polri Jakarta, dan Kadiv Propam Mabes Polri Jakarta. Isi surat adalah kronologis kejadian dan permintaan kasus ini ditangani oleh Polresta Bandarlampung.

Langkah Tini tak berakhir sampai disitu. Pada 27 Agustus 2012, Tini mendatangi Polresta Bandarlampung ke bagian Humas dan menanyakan perihal surat yang sudah ia kirim. Staf

Oleh Faris Yursanto, Vina Oktavia

Foto Faris YursantoGenta adik korban, Echa, sedang berziarah. saat ini jenazah Echa sedang diotopsi di Jakarta sejak (2/11). Foto dibidik Minggu (2/12)

mengarah luar dan siap untuk jalan. Mesin mobil juga sudah

dihidupkan dan lampunya menyala. Selain itu, Hipni juga melihat ada tiga orang berada disekitar mobil. Seorang yang berbadan agak kecil dan mengenakan pakaian berwarna kuning dengan motif bergaris hitam di bagian dada berjalan mengintip ke

Page 7: Tabloid Teknokra Edisi 125

No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 2012 7Liputan Khusus

Mimpi Sarjana Terhambat BiayaOleh Vina Oktavia

Langkah Arian Korizal terhenti untuk belajar di kampus hijau. Alumni mahasiswa jurusan D3 Administrasi

Perkantoran dan Sekretaris (APS) ini memilih tak melanjutkan pendidikannnya ke S-1.

Keinginannya untuk menaiki tangga pendidikan teramat besar. Namun saat ia diberitahu temannya Supriyanto yang telah mengeluarkan kocek lima belas juta rupiah sehingga ia kini bisa konversi dari D3 APS ke Administrasi Bisnis.

Ada keraguan dibatinnya. Mungkinkah ia bisa menaiki tangga pendidikan selanjutnya. Ia tak mungkin meminta uang pada orang tuanya yang berada di Kampung Muaradua Sumatera Selatan karena ia memiliki tiga adik yang masih bersekolah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Namun pemuda berkacamata itu tak menyerah. Mimpinya besar untuk menjadi sarjana. Berharap ada pertolongan Arian menemui beberapa pejabat kampus yang ia pikir mampu menolongnya.

Sering ia mencoba menemui Pembantu Rektor I dan III, namun keduanya tak bisa ditemui karena sedang bertugas ke luar kota. Lantas ia memutuskan menemui rektor, siapa tahu rektor dapat membantunya. Ia pun mengutarakan keinginannya untuk dapat melanjutkan S1 dan memberanikan diri untuk meminta keringanan biaya transfer.

Namun, Arian tak mendapatkan solusi seperti harapannya. “Saya tidak bisa memutuskan, solusinya coba kamu temui PD III,” ujar Arian mengikuti ucapan rektor di Bulan Juni lalu. Ia pun mencoba menemui Pembantu Dekan III FISIP.

Ia diminta membuat surat keringanan biaya, lalu pergi ke bagian akademik untuk mencari tahu syarat lainnya. Ternyata ia diminta membuat surat keringanan biaya dan surat keterangan biaya yang sanggup dibayar. Ia juga diminta melengkapi syarat untuk dapat transfer. Nilai transkrip terakhir yang harus mencantumkan nilai kompre juga harus dicantumkan. Persyaratan itu, harus ia setor akhir Juli.

Arian yang saat itu belum melaksanakan kompre menceritakan niatnya untuk melanjutkan kuliah kepada petugas. Ia juga berkonsultasi dan menanyakan alternatif lain agar ia tetap dapat kuliah. Ia mengaku bahwa dirinya belum melaksanakan kompre sebagai syarat transfer. Petugas dekanat lalu menyarankannya untuk langsung menemui Kepala Jurusan Administrasi

Bisnis, Suripto. Suripto menanggapinya positif. “Kalau

kemahasiswaan bilang bisa, ya kami bisa-bisa saja,” ujar Arian mengulang ucapan kajur kala itu. Suripto juga menyarankan kepada Arian untuk tidak transfer. “Biaya mahal, kerja dulu aja dek,” ujar Arian mengikuti ucapan Kajur Administrasi Bisnis.

Namun, ia tak mau berhenti sampai disitu. Ia kembali menemui Prof Yulianto, Pembantu Dekan II FISIP. Yulianto menjelaskan kebijakan biaya sudah menjadi ketentuan dari rektorat. Arian merasa langkah yang sudah ia tempuh sudah maksimal namun tetap berbuah sia-sia. Ia tetap harus mengeluarkan uang lima belas juta. Ia pun memutuskan tak lanjut, ia berhenti di tangga D iploma.

Arian sebenarnya tergolong anak yang pintar. Selama kuliah ia pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik. Ia mendapat predikat mahasiswa terbaik ke dua di universitas. Arian menyayangkan besarnya uang yang harus dikeluarkan dan panjangnya birokrasi yang berbelit. Sehingga ia harus memilih menunda sementara impiannya melanjut ke tangga strata.

Ia memutuskan merantau ke Pulau Jawa dan mencoba peruntunganya. Kini ia sudah bekerja di sebuah Bank BCA di kota Tanggerang dan hasil kerjanya dikumpulkan untuk melanjutkan impiannya. Arian berharap agar Unila bisa lebih peka untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu agar bisa melanjutkan pendidikannya. “Tidak semua mahasiswa punya uang, hanya punya keinginan,” aku Arian.

Senasib dengan Arian, Shinta Franssisca juga punya keinginan yang sama. Namun, mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis ini lebih beruntung. Ia resmi menjadi mahasiswa S1 Administrasi Bisnis angkatan 2011 setelah membayar Rp8.035.000,00.

Biaya yang Shinta bayar ini belum seluruhnya. Ia masih harus membayar Rp. 6.500.000,00 akhir November ini. Dalam bukti pembayaran SPP tersebut, tertera biaya SPI sebesar Rp 6.000.000 dan sisanya adalah biaya kuliah selama satu semester.

Shinta mengaku keberatan dengan biaya yang terlalu mahal. Jika ditotal biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 14.535.000. Namun dorongan ibunya membuatnya melanjutkan kuliah. Apalagi keinginannya menjadi manager juga ingin ia capai jika hanya diploma kemungkinan sulit karena rata-rata lowongan syaratnya minimal strata satu. “Kalau diploma kan berat kalau ingin

melanjutkan cita-cita,” curhat Shinta. Shinta mengaku bukan dari keluarga kaya.

Ayahnya, sudah meninggal dan ibunya lah tulang punggungnya. Ibunya hanya Pegawai Negeri Sipil sehingga ia tak tahu apakah ada uang Rp 6.500.000 untuk biaya yang harus dikeluarkan selanjutnya. “Buat bayar besok saja belum tau uangnya ada atau tidak,” keluh Shinta.

Biaya yang mahal sempat membuat Shinta bingung. Ia lalu mencoba menemui PD II FISIP dan mengutarakan maksud kedatangannya. Saat itu, Shinta meminta kejelasan jumlah biaya transfer. Ia juga memberanikan untuk mengusahakan keringanan biaya untuk studinya tersebut.

“Kalau diangsur bisa, tapi kalau dikurangi tidak bisa,” ujar Shinta menirukan jawaban Yulianto saat ditemui. Dari pertemuan itu, Shinta diminta membuat surat permohonan melanjutkan studi ke S1 yang ditujukan kepada PR I. Shinta juga membuat surat permohonan angsuran biaya untuk PR II. Berbekal surat itu dan tekad yang kuat, Shinta lalu menemui PR II yang saat itu masih dijabat oleh Sulastri Ramli.

Jawabannya Sulastri sama ia tak diberi keringanan hanya diperbolehkan mengangsur dua kali. Angsuran tersebut harus sudah dibayar seluruhnya sampai bulan November 2012. “Ada peralihan jabatan,” cetus Shinta mengingat jawaban Sulastri.

PD II FISIP Prof Yulianto mengaku tak banyak tahu mengenai kebijakan ini. Menurutnya masalah biaya perkuliahan adalah wewenang rektorat. Ia membenarkan bahwa biaya konversi D3 ke S1 memang 15 juta. Tapi semua uang itu masuk ke rekening rektorat.

Mahalnya biaya tersebut karena mahasiswa yang konversi berarti statusnya adalah mahasiswa Ujian Masuk Lokal (UML). Dekanat tidak dapat membuat kebijakan sendiri. Kebijakan tersebut telah diputuskan bersama dalam rapat pimpinan setahun lalu yang dihadiri oleh seluruh PD I dan II, dekan, PR I dan II serta rektor.

PD II FISIP ini mengatakan mahasiswa seharusnya sadar sejak awal bahwa biaya UML memang mahal. UML memang dipersiapkan untuk mahasiswa yang memiliki kemampuan keuangan yang tinggi. “Mahal karena mahasiswa masuk program UML jangan mendaftar melalui UML kalau tidak mampu,” ujarnya.

Ia pun menghimbau agar mahasiswa yang ingin transfer agar memahami aturan-aturan yang berlaku. Karena di lapangan ternyata banyak mahasiswa yang ternyata tak menyepakati kesepakatan bahwa ia siap membayar uang 15 juta. “Mahasiswa juga mengisi angket siap membayar 15 juta, tapi kenyataannya tidak. Ini juga yang terkadang merusak neraca keuangan,” terangnya.

Sementara itu. Hasriadi Mat Akin selaku PR I juga mengaku tak banyak mengetahui masalah ini karena bukan wewenangnya. Menurutnya PD II lebih paham masalah dana karena biaya perkuliahan dilakukan oleh fakultas. Tapi ia membenarkan biaya yang harus dikeluarkan sebesar 15 juta karena UML

Saat dikonfirmasi ke Pembantu Rektor II yang baru Dwi Haryono, ia mengaku belum mengetahui jika harus membayar 15 juta untuk konversi ke S1. Ia baru mengetahui info tersebut dari kru Teknokra. Namun ia berjanji akan mengusut mengapa biaya konversi bisa semahal itu.=

... biaya

konversi D3 ke S1 memang 15 juta.

Tapi semua

uang itu masuk ke rekening rektorat. Prof Yulianto

Page 8: Tabloid Teknokra Edisi 125

Artikel TemaNo. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 20128

Agama selalu hidup dalam sejarah umat manusia dan mengikuti perkembangan zaman. Dari waktu ke waktu agama

mengalami penafsiran ulang yang kadang digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk membela kepentingannya. Murad W Hofmann (2006 dalam mujtahid, 2011) sebagai tokoh yang sangat concern terhadap perdamaian agama, berusaha mempertemukan antara agama, dalam hal ini misalnya, Islam dan Kristen, dengan membuka jalan dialog, kerjasama dan alternatif lainnya.

Selama ini kedua agama ini saling menyimpan kecurigaan yang kuat dan tak jarang hingga meletuskan konflik dan konfrontasi yang destruktif bagi tumbuhnya keharmonisan bagi antar pemeluk agama.

Islam sendiri dalam wataknya yang asli adalah anti kekerasan. Islam mengajarkan agar manusia memiliki sikap sosial luhur: pengabdian menggantikan kekuasaan, pelayanan menggantikan dominasi, pengampunan menggantikan permusuhan, cinta kasih menggantikan kebencian, derma menggantikan keserakahan, keadilan menggantikan kerusakan, dan kesabaran menggantikan kekerasan.

Walaupun islam membolehkan pembalasan yang setimpal dan tidak melampaui batas, tetapi pengampunan adalah lebih baik dan lebih dekat kepada taqwa. Memang, perjuangan mengatasi peristiwa yang menyakitkan dalam hidup dengan memberikan maaf dan berintrospeksi diri hanya dapat dilakukan dengan pendekatan spiritualitas tingkat tinggi. Pada umumnya orang atau komunitas akan melakukan balas dendam dan bisa jadi melampaui batas (Tobroni, 2012).

Watak Islam yang asli sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah ketika beliau hijrah ke Thaif Uthiopia. Sesampai di Uthiopia beliau dilempari batu oleh sebagian penduduk sampai berlumuran darah, namun beliau tidak mengutuk mereka melainkan justru mendo`akan petunjuk, dan rahmat bagi mereka.

Demikian juga ketika perang Uhud, Rasulullah tidak membenci para pemanah yang tidak setia pada perintah beliau yang mengakibatkan kekalahan, melainkan beliau berlaku lemah lembut dan tetap mengayomi mereka. Rosul-rosul Allah yang pengampun terhadap kesalahan umatnya terbukti lebih berhasil dalam misinya dari pada yang sebaliknya. Allah berfirman: “maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Q.S. Ali Imron: 159).

Sikap lemah lembut dengan penuh kasih sayang sudah sepatutnya dipercontohkan oleh para orang tua, para pendidik dan komunitas sekolah

lainnya sebagai manivestasi ajaran agama yang diyakininya. Kekerasan harusnya tidak boleh terjadi dilingkungan sekolah seperti yang yang terjadi di dunia pendidikan yang marak diakhir-akhir ini. Agama mengajarkan kasih sayang dan kelemah lembutan serta pengampunan. Allah berfirman: “....dan jika kamu memaafkan akan lebih dekat dengan taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu. Seungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Baqarah: 137).

Sama halnya dalam agama kristen katolik disebutkan dalam ensiklik (surat pernyataan Paus) Redempotoris Missio yang dikeluarkan Paus Yohanes Paulus II tahun 1990 bahwa, “kesaksian injil, yang paling menarik bagi dunia adalah perhatian terhadap orang-orang, menaruh cinta kasih terhadap orang-orang miskin, yang lemah, dan yang menderita...komitmen terhadap keadilan, perdamaian, hak-hak asasi manusia dan kemajuan manusia, juga merupakan tanda kepedulian terhadap orang-orang serta diarahkan menuju perkembangan manusia seutuhnya (Kusumawanta, 2006 dalam Tobroni, 2012).

Saling mengerti, memahami, menaruh cinta kasih dan menghormati satu dengan yang lainnya adalah ajaran agama yang seharusnya diterapkan oleh manusia yang beragama. Bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang multikulturalisme. Bangsa yang didalamnya terdapat bermacam budaya, suku, etnik, dan agama, sehingga orang-orang didalamnya baik secara idividu maupun kelompok sudah sepatutnya untuk bersikap toleran.

Oleh karena itu, umat beragama harus menegaskan kembali identitas keagamaan di tengah-tengah umat beragama lain yang juga eksis. Pluralisme keagamaan sudah menjadi kenyataan sejarah yang tidak mungkin bisa dihindari, menafikan pluralisme sama artinya dengan menafikan keberadaan manusia itu sendiri. Namun, pluralisme dan perbedaan (eksoterik) agama sering menjadi sumber konflik dan ketegangan di antara umat beragama. Bahkan umat beragama sebagian besar masih memandang agama lain dalam konteks “superior” dan “inferior”.

Jika agama dipandang “superior” dan “inferior,” maka hubungan-hubungan konfliktual tak bisa dihindarkan. Sebagian besar konflik antar-agama maupun budaya saat ini merupakan akibat penghinaan. Misalnya, banyak dari hal-hal yang terjadi di dunia Islam saat ini, yang secara simplistik dianggap sebagai fundamentalisme, merupakan penegasan terhadap identitas kultural yang selama ini dianggap inferior.

Demikian halnya dengan berbagai konflik yang terjadi di Tanah Air, sebagian (atau mungkin seluruhnya) muncul sebagai akibat penghinaan

Agama Mengajarkan Kasih Sayang Bukan Kekerasan

Oleh Mutakin* Ilustr

asi Im

am G

unaw

an

dan sikap tidak adil yang dipraktikkan sekelompok orang atas kelompok lain yang justru jumlahnya lebih besar (lihat dalam mujtahid, 2011).

Setiap permasalahan harus dilihat dari dua perspektif-dialegtis: objektifikasi dan transendensi, demokrasi dan teokrasi. Objektifikasi maksudnya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh komponen bangsa harus saling mengerti dan memahami, harus bermusyawarah untuk memecahkan persoalan bersama, harus saling bekerjasama dan tolong menolong, berbuat yang menguntungkan masyarakat serta senantiasa menjaga keseimbangan, keharmonisan dan keserasian.

Objektifitas menuntut masing-masing kelompok kepentingan daqlam masyarakat untuk menahan diri atau tidak memaksakan kehendak apalagi menafikan pihak lain. Sebab manusia secara antologis (dalam realitasnya) terdiri dari berbagai bangsa, suku, agama, kelas, partai, golongan dan sebagainya.

Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi dalam Islam adalah kesadaran bahwa manusia itu memiliki fitrah dan hanif. Keyakinan fitrah tidak hanya mengatakan bahwa manusia berasal dari Tuhan melainkan lebih dari itu bahwa manusia adalah “Miniatur Tuhan”. Agama telah mencandra bahwa manusia adalah Khalifah Allah di muka bumi. Karena itu dalam kompleksitas pelaksaan tugas kekhalifahan manusia perlu menginternalisasi nila-nilai ketuhan seperti berlaku adil, kasih sayang, menegakkan kebenaran dan kearifan. Transendensi juga bermakna bahwa tindakan manusia itu bersifat taklif, karena itu manusia harus senantiasa memiliki responsibility dan accountability baik secara vertikal di hadapan Tuhan maupun secara horisontal kepada sesama manusia dan kepada alam (lihat dalam Tobroni, 2012).

Dengan Arif melihat Bangsa Indonesia yang Multi-Agama, tidak berdasarkan mayoritas tetapi merangkul semua kalangan dari penduduk Nusantara, founding father telah menetapkan ideologi Bangsa yang termuat dalam “Pancasila”. Dalam hal ini penulis ingin melihat satu dari lima point ideologi Bangsa Indonesia yaitu sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. Makna sila pertama ini lebih menekankan Sifat-sifat Luhur atau Mulia Tuhan yang mutlak harus ada dalam individu, kelompok dan Bangsa Indonesia. Hal ini juga menunjukkan pentingnya menginternalisasikan nilai-nilai Luhur Tuhan. Sifat-sifat Luhur tersebut diantaranya penyayang, pengasih, pengampun/pemaaf dan sebagainya.=

* Mahasiswa Agribisnis Unila dan Ketua Umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII)

Bandarlampung

Page 9: Tabloid Teknokra Edisi 125

Wawancara Khusus No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 2012 9

Mengapa Anda mencalonkan diri menjadi Pembantu Rektor II?

Ada beberapa orang yang men-calonkan diri menjadi Pembantu Rektor II (PR II) namun saya kurang sreg setelah melihat profil mereka. Sehingga saya pun berpikir mengapa tidak saya saja yang mengembankan amanah ini. Meskipun cukup berat tapi saya tetap mencoba menjadi Pembantu Rektor II. Jika tujuannya memang untuk kebaikan mengapa tidak? Dan akhirnya alhamdulillah saya terpilih menjadi PR II. Dengan mendapatkan 35 dari total suara 63 mengalahkan Pak Nengah men-dapat kan 21 suara dan Ibu Aida mendapat 5 suara.

Sebenarnya apa tugas pokok PR II ?

Tugas pokok PR II yaitu me-laksana kan tugas yang diamanati oleh undang-undang seperti me-ningkat kan kesejahteraan karya-wan, memfasilitasi karyawan sesuai dengan jabatan yang diemban, me-

Dwi Haryono

naikkan gaji karyawan secara ber-kala, sertifikasi dosen, dan mem-berikan meningkatkan sumber daya manusia Unila agar lebih baik dengan memberikan beasiswa ke pada dosen yang masih S1 agar melanjutkan S2.

Apa saja yang menjadi prioritas Anda sebagai PR II?

Prioritasnya yaitu memperbaiki sarana dan prasarana kampus. Me-lalui rapat yang dilakukan ber-sama pihak fakultas. Lalu berlari untuk mengerjakan tugas yang diamanahkan oleh rektor. Tapi yang paling penting transfaransi terhadap keuangan agar tidak terjadi korupsi.

Apa saja rencana ke depan Anda?

Rencana saya ke depan yaitu me ngemban semua amanah yang diberikan rektor kepada saya.Tahun pertama rencananya yaitu membenahi perkerjaan tahun ke-marin yang belum selesai dan memperbaikinya agar menjadi lebih

baik dari tahun kemarin. Tahun kedua ini yang akan saya lakukan adalah berjalan dan berlari untuk mengejar ketertinggalan yang kemarin. Tahun ketiga melaksanakan semua yang telah terprogram. Dan tahun seterusnya melaksanakan semua progja yang diberikan rektor kepada saya.

Misalnya fasilitas yang ada di Kampus Unila dan setiap fakultas harus lebih baik dan ditingkatkan. Serta berkerja sama dengan pihak swasta yang ingin memberikan donasi uang atau dana CSR untuk kegiatan belajar mengajar.

Adakah perasaan takut menjadi Pembantu Rektor II ?

Saya tidak pernah takut selama saya berada di jalan kebenaran.Saya akan selalu mengikuti semua prosedur yang berlaku yang sesuai dengan undang-undang. Semua laporan keuangan harus diserahkan ke kantor wilayah atau Direktorat Jenderal Menteri Pendidikan dan

Profil PR II :Sebagai Dosen Pertanian

Agrobisnis, pernah menjabat sebagai Direktur Badan Usaha Unila 2012.Kuliah S1 tahun 1985 di

IPB, S2 tahun 1991 di IPB, S3 tahun 2008 di IPB

“Saya termasuk salah satu dosen muda, akrab dengan

mahasiswa dan semua karyawan yang ada di

Unila.”

Dwi Haryono mulai memberanikan diri menjadi calon Pembantu Rektor II ketika ia merasa tak sreg dengan calon-calon yang ada. Tekadnya hanya satu memberikan kinerja yang kemarin dinilai

buruk menjadi lebih buruk lagi. Sebagai contoh konkret ia ingin meningkatkan sarana dan prasarana Unila dan kini sebagai langkah awal di akhir tahun ini trotoar dan gedung-gedung di fakultas mulai dicat ulang.

“The Raid Man and The Raid Press” itulah inti dari kehidupan Dwi. Pemimpun harus banyak mendengar, karena dengan mendengar bisa melihat kesulitan orang lain. Dengan mendengar bisa mendapatkan wawasan yang luas dan mendapatkan ilmu yang banyak.

Setelah beberapa kali gagal mewawancarai Dwi Haryono karena kesibukannya pulang pergi luar kota. Akhirnya Inayati Sopiah wartawan Teknokra berhasil juga mewawancarainya di ruangan. Berikut petikan wawancaranya.=

Budaya agar transfaran.

Bolehkah mahasiswa melihat transfaransi dana?

Jika ada mahasiswa yang melihat transparasi dana akan saya perlihatkan. Tapi tidak semua mahasiswa boleh melihat. Dan juga tidak semua kami perlihatkan hanya garis besarnya saja. Saya tidak berani macam-macam dengan keuangan karena saya tidak ingin makan dengan uang haram. Saya ingin memberikan anak-anak saya dengan uang halal agar anak-anak saya menjadi baik dan tidak nakal insya Allah. Saya akan menjaga amanah ini dengan sebaik mungkin. Karena saya tahu sangat banyak godaan dalam jabatan saya yang sekarang tapi saya selalu ingat Allah, istri dan anak-anak saya.

Kendala apa yang dihadapi selama beberapa bulan ini menjabat sebagai PR II ?

Kendalanya yaitu harus merubah hal-hal kinerja yang kemarin buruk

agar lebih baik lagi. Misalnya para karyawan harus datang tepat waktu agar tidak terjadi kecemburuan sosial dengan yang lain. Memberikan dorongan dan motivasi kepada staf-staf karyawan untuk lebih giat dalam bekerja dan memberikan reward kepada karyawan terbaik dan terdisiplin. Serta melihat kembali rekapan dana agar tidak terjadi manipulasi data dari setiap karyawan.

Fasilitas Unila Akan Ditingkatkan

Oleh Inayati Sopiah

bagian Humas justru kebingungan mencari surat milik Tini. Setelah itu, Tini direkomendasikan bertemu dengan Wakasat Reskrim. Namun, menurut petugas yang ia temui, Wakasat Reskrim yang menjabat baru dilantik dan tidak tahu mengenai kasus anaknya.

Esoknya, Tini kembali mendatangi Polresta Bandarlampung. Tini diminta menemui Kasat Reskrim. Namun setelah menunggu lama Tini juga tak dapat bertemu dengan siapa pun. Malamnya, Tini kembali diperiksa oleh pihak penyidik, namun dengan ditanyai pertanyaan yang sama seperti pemeriksaan sebelumnya.

Usaha yang dilakukan Tini untuk mengungkap kematian Echa tak kenal lelah. Ia lalu datang ke kantor Indosat cabang Lampung untuk menanyakan apakah polsek kedaton sudah mengirim permohonan print out percakapan dari handphone anaknya. Kepada Tini pihak indosat mengaku menerima surat dari Polsek Kedaton namun belum ditindaklanjuti. Tini berusaha meminta print out tersebut kepada pihak indosat. Namun permintaan Tini tak terkabul karena staf indosat yang Tini temui mengatakan hanya

polisi yang bisa meminta.Sembari menangis Tini keluar dari

kantor Indosat menuju Polresta. Disana, Tini bertemu dengan Kasat Reskrim, Kompol Musa H.P. Tampubolondan menjelaskan tentang kasus Echa. Tini justru disalahkan, karena kasus ini bukan wewenang Polresta. Kasat Reskrim juga meyalahkan karena jenazah Echa tidak diotopsi.

Sang ibupun disalahkan oleh pihak polresta karena tidak mengotopsi sang anak jika merasa ada kecurigaan atas kasus anaknya. Padahal pada saat malam kejadian tidak ada satupun polisi yang menyarankan agar anak ibu diotopsi, polisi justru menyerahkan surat yang menyatakan tidak mau diotopsi, tetapi ayah Echa tidak mau menandatanganinya.

Pembicaraan antara ibu Echa dan Tampubolonterus berlanjut. Tampubolonmengatakan bahwa biaya otopsi Rp. 11 juta, tetapi sudah turun menjadi Rp. 10 juta. Echa bingung kenapa Tampubolon mengatakan hal itu padahal ibu sudah bertanya kepada beberapa pihak polisi dan kerabat bahwa biaya otopsi ditanggung

oleh negara. Saat Tini memberitahu hal itu

Tampubolon menjawab “gak ada bu, gak ada hal itu”. Tini pun menjawab bahwa ia tak punya uang sebanyak itu. “Ya ibu nego aja ke polsek kedaton, gimana ntar usaha mereka,” saran Tampubolon.

Otopsi Akhirnya DilakukanTiga bulan tak mendapat kepastian

kasus anaknya, Tini memutuskan mengirim surat ke Komisi Kepolisian Nasional pada 20 Oktober 2012. Surat itu berisi kronologis kejadian terbunuhnya Echa. Tini juga menceritakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan polisi di Polsek kedaton dan Polresta Bandarlampung. Surat itu juga bercerita semua usaha yang dilakukan Tini.

Tini juga melampirkan identitas orang tua dan identitas Echa. Tini juga meminta bantuan kepada beberapa pihak untuk mengawal kasus Echa. LSM Damar, Komnas

Perempuan, dan BEM Universitas Lampung turut mengawal kasus Echa.

Setelah mengirim surat ke kompolnas itu, Tini mendapat kabar dari Polresta bahwa kepolisian telah mengadakan rapat pada 27 Oktober 2012 untuk membahas kasus Echa. Keluarga sedikit lega karena polisi mulai bergegas mengusut kasus Echa berkat surat yang Tini kirim kepada Kompolnas.

Pada 2 November 2012 akhirnya kuburan Echa dibongkar dan dilakukan otopsi. Hasil otopsi seharusnya sudah keluar satu minggu setelah otopsi. Dan sampai saat berita ini diturunkan hasil otopsi belum juga dapat diketahui. Hasil visum di rumah sakit bhayangkara pun memakan waktu hingga 1 bulan karena Echa meninggal pada tanggal 16 juni 2012 namun hasil visum baru didapat sekitar sebulan setelahnya itupun didapat setelah Tini marah-marah di rumah sakit dan telpon.

Kompol Musa H.P. Tampubolon selaku kasat reskrim polresta

Bandarlampung tak mau m e m b e r i k a n

tanggapannya s a a t

ditemui. Namun, ia membenarkan pernah didatangi Tini Sriati. “Saya tidak berhak memberikan statment. Ada kabid humas dan kapolres”, ujarnya.

Saat dikonfirmasi Andy membenarkan bahwa polisi meminta agar keluarga menandatangani surat keterangan setuju untuk tidak diotopsi namun hal itu karena pihak keluarga yang tidak menginginkan untuk dilakukan otopsi dengan alasan pihak keluarga belum rembugan. Kapolsek Kedaton Saidi membantah bahwa biaya otopsi adalah biaya negara. Menurutnya seharusnya otopsi ditanggung keluarga. Dan untuk kasus ini biaya otopsi Echa yang mencapai 10 juta ini dibayar oleh Saidi dan kasat reskrim.

Ia pun membantah bahwa polsek kedaton dinilai lamban menangani kasus ini karena polisi pun telah memeriksa saksi-saksi. Tapi hingga saat ini belum ditemukannya unsur-unsur pidana. Saat ini polisi pun sedang menunggu hasil otopsi dari Jakarta. Setelah hasil otopsi keluar baru diketahui apakah ada tindak pidana atau tidak.

Karena lambannya penanganan kasus ini maka Tini menemui Badan Ekskutid Mahasiswa Unila untuk mendapat dukungan berupa moril dan tanda tangan mahasiswa Unila agar teka-teki kematian Echa bisa segera terbongkar.=

Sambung dari Halaman 6

Page 10: Tabloid Teknokra Edisi 125

No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 201210

Dengan Hormat,Membaca Tabloid Teknokra terbitan No. 124 tahun XII

triminggu edisi 28 Oktober 2012 s.d. 20 November 2012. Pihak fakultas tidak pernah menyediakan tangga maupun adanya tangga keluar sehingga lolosnya 2 pelaku pencurian kendaraan bermotor di lingkungan Universitas Lampung pada tanggal 23 Oktober 2012 pukul 12.00 WIB.

Dan pada saat itu saya, satpam 2 orang dan beberapa karyawan Fakultas Kedokteran turut memburu pelaku dan ternyata pelaku memanjat pagar yang tanpa kawat berduri.

Selain informasi diatas dapat pula ditanyakan kepada Satpam Universitas Lampung dan tim dari kepolisian yang melakukan pengejaran. Jangan bertanya kepada Budi Triono (kalau ia menyatakan ada tangga keluar dan ada yang menyediakan tangga) tolong barang buktinya.

Kabag Tata UsahaDrs. Mufti SapanoNIP 196110031988031001

Palestina ... Palestina ...Bebaskan ... Bebaskan ... Israel ... Israel ... Hancurkan ... Hancurkan .. Indonesia .. Cinta Palestina...

Yel-yel tersebut berasal dari sekumpulan wanita Forum Lembaga Dakwah

Kampus Indonesia (FSLDK) di Tugu Adipura. Koordinator Aksi Detti Febrina mengatakan aksi solidaritas ini adalah satu bukti menolak dengan keras segala tindak penjajahan di atas dunia terutama yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Yang telah melanggar hak asasi manusia terhadap wanita dan anak-anak. Selain meneriakan yel-yel mereka pun melakukan jihad harta yaitu mengumpulkan donasi yang akan dikirim ke Gaza.

Selain jihad harta ada yang namanya jihad hawa nafsu, jihad menumpas kezaliman dan lainnya. Menurut Usatadz Nurkholis Darul Fatah Lampung di Indonesia ada kekeliruan yang terjadi mengenai jihad. Sering disalah artikan banyak masyarakat di indonesia yang jihadnya menggebu-ngebu tapi tidak memperhatikan jangka

Surat Pembaca

panjang dan jangka pendek untuk ke depannya. Mereka berjihad langsung ke Palestina.

Padahal untuk berjihad tidak sembarangan harus memiliki ilmu, harta, amalan dan pemikiran yang benar-benar memadai untuk bisa berjihad kesana. Di Indonesia pun belum ada undang- undang yang mengatur mengenai jihad.

Ia menyarankan agar masyarakat Indonesia jika belum cukup kriteria diatas lebih baik jihad untuk diri sendiri dulu. Jihad terhadap diri sendiri ada dua ada dua yaitu tasfiah jihad dan tarbiyah jihad. Tasfiah jihad merupakan jihad yang menyucikan diri dari kemunafikan dan kemusyrikan. Sedangkan jihad tarbiyah yaitu jihad dalam menuntut ilmu.

Kini berkembang pemikiran yang salah bahwa jika berjihad dengan peperangan maka ia pasti mati syahid dan akan akan masyarakat. Menurut Nurkholis itu belum tentu. Dahulu ada sebuah kisah di zaman Nabi Muhammad SAW bahwa ada sahabat Rasulullah yang ikut berperang angkat senjata dan beliau meninggal dunia.

Para sahabat berpikir si fulan mati syahid. Ternyata menurut Rasullah si fulan bukan mati syahid

melainkan bunuh diri. Para sahabat tercengang mendengar perkataan Rasulullah. Rasulullah menjelaskan beliau meninggal karena bunuh diri karena anak panah dan pedang yang menghujam dirinya dan dia berjihad karena hawa nafsu bukan mengharapkan ridha dari Allah.

Nurkholis menerangkan tidak semua pejuang yang dikirim ke Bumi Palestina bisa meninggal dengan syahid, karena Syahid merupakan Hak Mutlaq Allah dan juga Saksi Rasulullah. Anak-anak dan bayi yang tidak berdosa di bumi Palestina itu memang syahid, karena mereka blum mempunyai dosa dan mereka (para bayi) yang terlahir dibumi ini adalah fitrah.

Menurutnya aksi galang dana yang dilakukan FSLDK merupakan kegiatan yang positif. Karena menginfakan atau mensedekahkan hartanya untuk warga Palestina yang sedang membutuhkan. Namun untuk aksi oknum-oknum yang aksi yang sudah membabi buta atau melakukan kekerasan dan tidak terkondisikan lagi itu merupakan aksi hawa nafsu yang tidak dianjurkan di dalam agama islam. Aksi membabi buta tersebut tidak memudharatkan dan tidak bermanfaat jadi termasuk aksi yang sia-sia.=

Zona Aktivis

Layaknya rumah sakit Forum Studi Pengembangan Islam (FSPI) mengobati orang yang sakit. Namun jangan disalah artikan sakit disini bukan fisik

melainkan keimanan.Di mana ada dokter yang menangani orang-orang

sakit itu namun setelah menjadi sehat nantinya mereka yang sakit tadi bisa menjadi dokter atau mantri, inilah keunikan Rumah Sakit FSPI ini.

Menolong dan membimbing orang-orang yang masih sakit adalah tugas dari dokter-dokter FSPI, siklus ini berlangsung terus menerus tanpa henti ditandai dengan

Jihad Hawa Nafsu Oleh Inayati Sopiah

Ngekhibas

Redaksi menerima kritikan/saran dan kirimkan berupa: Artikel (ketikan 1,5 spasi, panjang tulisan 4.000-6000 karakter), surat pembaca, dan informasi seputar keunilaan. Tulisan dikirimkan ke: [email protected] atau diantar langsung ke Sekretariat Graha Saidatul Firia, Pojok PKM Lt. 1 Unila.

Mimpi Sarjana Terhambat Biaya...(Konversi)“Sarjana Milik Si Kaya,” Miris...

Sedikitnya Kotak Sampah Di Unila...

Katanya green campus, tempat sampah aja kok dikit sih?

Pembangunan RSP Terhenti

Hayo! ada apa dengan RSP?

Rumahnya Orang Sakit bergantinya wajah-wajah lama namun akan muncul wajah-wajah baru yang mempunyai keinginan berjuang tanpa pamrih di jalan islam.

FSPI terlahir pada tahun 1992 dengan para perintis Ahmed Bustomi ( Sosiologi 89 ), M.Taufiq (Sosiologi 92 ), Jasmani (Sosiologi 92 ), Heri Mulyadi, ( Pemerintahan 92), Untung Budiono (Pemerintahan 92). Dan diberi Surat Keputusan pada tahun yang sama oleh dekan Fakultas Hukum yang pada waktu itu FISIP masih tergabung dalam FH.=

Sebaiknya Anda Tahu

Page 11: Tabloid Teknokra Edisi 125

Nikah Muda

No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 2012 11 Life Style Pojok PKM

Pemimpin RedaksiNely Merina

Citra Setyo Pratiwi dan Azmi Syahid

resmi menjadi suami istri ketika mereka duduk di semester tiga. Usia pacaran satu tahun ternyata membuat keduanya merasa cocok untuk membina rumah tangga. Citra dan Azmi adalah teman satu kelas, keduanya mengambil jurusan Geografi angkatan 2010 di Unila.

di Jurusan Geografi itu ada mata kuliah SIG atau Sistem Informasi Geografis, namun SIG sering di plesetkan oleh teman-teman sekelas Citra dengan sebutan Suami Istri Geografi. Kendati demikian Citra tidak merasa tersinggung atau minder, ledekan dari teman-temannya ia anggap sebagai hiburan saja.

Menikah muda di zaman seka-rang agaknya sudah jarang. Apalagi jika masih berstatus mahasiswa. Tapi hal itu ditepis oleh Citra yang baru berusia 20 tahun. “Kalo datang jodoh yang dirasa cocok, kenapa tidak mencoba menerima,” akunya.

Menikah muda bukan sembaran-gan pilihan. Ia ingin menghindari banyak maksiat jika berpacaran ter-lalu lama. “Begitu ada yang melamar langsung nikah saja,” ujar Citra. Me-nikah muda pastinya ada hambatan, apalagi waktu hamil besar. Citra harus tetap kuliah sampai bulan ke sembilan. Agak kesulitan berjalan waktu hamil. Dan sering menjadi bahan lucu-lucuan teman-temannya. “Balonnya ditinggal dulu geh jangan dibawa terus, “ kongekan teman-teman Citra. Tetapi Citra justru bangga karena hamil bukan karena kecelakaan tapi murni pernikahan yang halal. Ia menikah justru ingin menghindari perzinahan. Citra juga lebih merasa nyaman setelah me-nikah. “Kalau kemana-mana bareng, gak nimbulin fitnah,”ungkapnya.

Kesulitan membagi waktu pas-ti ada tapi bisa teratasi. Ia tidak mengambil sepenuhnya jatah Sistem Kredit Semester (SKS). Meski tak bisa bermain seperti teman-temannya yang lain. Justru Citra bersyukur, ia memiliki mainan baru seorang bayi perempuan bernama Ji-han Amira Sahid yang sudah berusia lima bulan.

Sebelum berangkat kuliah Citra biasanya menyiapkan Air Susu Ibu (ASI) untuk buah hatinya. Jadi mes-ki ia kuliah si bayi yang dititipkan ke pengasuh tak kelaparan. Citra pun jika selesai kuliah langsung pulang sehingga sang buah hati tak kehilan-gan perhatian.

“Kalau dapat SKS 24 saya hanya mengambilnya 18 saja,” tuturnya. Jika ada tugas kuliah justru Citra

tertolong karena suaminya memang sekelas dengannya sehingga bisa mengerjakan bersama atau ber-gantian. “ Kalau saya sedang repot mengurus anak, suami saya biasanya yang mengerjakan tugas, atau seba-liknya,” ujar Citra.

Dosen-dosen pun ternyata tak mempersulit Citra dan Azmi, bah-kan ketika Citra harus melahirkan ia tak perlu mengajukan surat cuti. Dosen maklum ia meliburkan diri lima puluh hari lamanya hingga masa nifas selesai. Dan dosen tak ada yang mempersulitnya untuk ujian susulan. Nilainya pun tak ada yang buruk. “Mungkin karena dosen di FKIP ada juga yang menikah den-gan mahasiswa,” tutur Citra.

Secara ekonomi Citra mengaku memang belum siap berumah tangga. Mereka belum mampu me-menuhi kebutuhan rumah tangga sendiri. Masih dibantu oran tua Azmi, termasuk uang kuliah dan biaya hidup sehari-hari.

Tapi mereka kini mulai merintis bisnis kecil-kecilan. Seperti membuat pola flanel, sedangkan yang menjahit flanelnya diserahkan kepada orang lain. Tidak hanya Citra, Azmi sang suami juga turut membantu pereko-nomian keluarga, ia merintis usaha rental mobil dan berdagang celana jins.

Awal menikah mereka berdua mengontrak rumah di Kampung Baru, tapi tak lama kemudian mertu-anya menghadiahkan sebuah rumah berlantai dua di Bataranila. Memang mereka tak hanya tinggal bertiga namun bersama juga kakak iparnya yang sedang menempuh Strata II.

Tapi ia bersyukur tak semua orang bisa memiliki seberuntung dirinya yang mempunyai mertua yang royal. Jika sang bayi sakit dan ia panik pasti ia langsung menelpon mertuanya untuk meminta solusinya.

Hal senada pun di ungkapkan Mei Dianita menurutnya tak masalah menikah meski berstatus mahasiswa. Asalkan bisa menjalani keduanya secara bersamaan. Mahasiswa Bahasa Inggris 2008 ini pun bukan mahasiswa yang biasa-biasa saja. Ia

adalah aktivis di ESO dan pernah menjadi mahasiswa pertukaran pelajaran di Amerika. Ia menikah setelah menggapai mimpi - mimpinya.

Kendati telah menikah dan mempunyai keluarga kecil, Mei tidak lantas melupakan tanggung jawabnya sebagai Mahasiswa, ia tetap melanjutkan kuliah dan semua ia jalani dengan santai, “Gak terlalu sulit dalam membagi waktu apalagi sudah semester akhir, jadi lebih prioritas ke baby,” ujarnya

tersenyum. Untuk uang kuliah dan kebutuhan sehari-hari Mei telah ditanggung suaminya yang sudah berkerja.

Untuk urusan menikah sudah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Usia pernika-han ‘ideal’ menurut UU tersebut mensyaratkan perempuan minimal berusia 16 tahun dan laki-laki beru-sia 19 tahun pada saat menikah. Dan apabila kurang dari 21 tahun, harus mendapat izin dari orang tua. Sementara, bila ‘terpaksa’ menikah di bawah batas usia minimal, maka harus mendapat dispensasi dari Pen-gadilan Negeri.

Ratna Widiastuti seorang psikolog berujar, jika dipandang dari segi psikologi usia 20 tahun sudah masuk dewasa awal, dan siap memasuki usia rumah tangga, jadi dipandang wajar kalau sudah menikah. Secara fisik organ reproduksi pun sudah ma-tang. Tetapi mereka belum mandiri baik secara ekonomi dan dalam mengambil keputusan. Hal tersebut membuat rentan timbulnya masalah dalam keluarga, apalagi ditambah dengan beban kuliah yang banyak, memicu timbulnya intrik-intrik da-lam rumah tangga.

Sebagai dosen Ratna meman-dang biasa terhadap mahasiswa yang sudah menikah. “Toh gak ada peraturan juga kalau mahasiswa di-larang menikah,” ujarnya. Namun Ratna berharap jangan memaksa osen untuk mengerti, seharusnya dengan mereka memutuskan untuk menikah sudah tahu konsekuensinya bahwa mereka mempunyai kekuran-gan, misal tidak maksimal dalam tu-gas kuliah karena kesibukan dalam rumah tangga.

Menurut Ratna menjadi maha-siswa dan membina rumah tangga sama-sama memiliki stres tersendiri, kalau sudah menikah dia harus tau resiko, harus ngemong banyak pihak, termasuk dosen. Bagi Mahasiswa yang belim menikah, banyak-banyak-lah beraktivitas melalaui oraganisasi, olahraga, dan berpuasa agar dapat menahan diri sampai benar-benar siap secara mental dan ekonomi.=

Mahasiswa Tak Dilarang Sumatera Merdeka“Bapak dibunuh tentara. Tentara itu orang Jawa. Jawa Itu Indonesia.

Saya Benci Jawa� Benci Indonesia. Saya Orang Aceh. Aceh bukan Indone�sia.” Ucapan itu terlahir dari seorang sahabat yang trauma dengan hal�hal yang berbau Jawa.

“Anak�anak Aceh yang dulu dianiaya Jawa kini mulai tumbuh dewasa. Sebentar lagi Aceh pasti akan merdeka. Kapan Lampung menyusul?” tan�yanya. Pemikiran bodoh pikirku. Tak semudah itu merdeka. Dan tak semu�dah itu membuat negara baru. “Lampung provinsi cinta damai. Lampung Indonesia kecil aku cinta Lampung.“Aku cinta Indonesia,”jawabku dengan bangga.

“Masih bangga dengan predikat Lampung provinsi ke dua termiskin set�elah Aceh tanyanya? Lampung sangat dekat sekali dengan Ibu kota. Lam�pung sangat dekat dengan Jawa, Tapi mengapa Lampung tertinggal jauh dari Jawa?” tanyanya padaku lagi. Aku hanya diam, yang pasti pemikiran ku masih sama. Aku tak ingin Lampung merdeka.

Dua tahun berselang aku tak jumpa lagi dengannya. Ternyata Lampung tak sedamai ceritaku padanya. Lampung pun bergejolak seperti Aceh. Moro�Moro, pembantaian di Mesuji, pertikaian Lampung�Bali, dan belum lagi kasus Dipasena yang sudah 15 tahun belum selesai. Kasusnya hampir sama pemerintah tak adil. Sumber daya Lampung diangkut ke Jawa dan Lampung tetap menjadi provinsi yang miskin.

Sebuah undangan reuni datang. Reuni itu bukan reuni biasa, ada maksud dibalik wacana. Karena telah dipersiapkan dua tahun lamanya. Reuni yang mengundang pemuda�pemuda yang pernah menjadi korban ketidakadilan pemerintahan di Indonesia. Mereka mengajak sebuah pergerakan yaitu kemerdekaan Sumatera.

Ada yang ayahnya dibunuh tentara, penganut Ahmadiyah yang dilarang beribadah, ada yang pernah di usir karena berdarah Jawa tapi tinggal di Sumatera dan berbagai macam persoalan yang ada. Mereka bukan maha�siswa biasa, yang berkoar tanpa bukti yang ada. Dan merakit bom peker�jaan mudah baginya. Pikiran ku berkecamuk, aku diundang bukan seba�gai mahasiswa biasa namun mewakili Lampung. Aku bukan korban tapi di provinsi ku ada kasus yang hampir sama.

Bukan Hanya Aceh yang Ingin Merdeka Tertulis di Sejarah Aceh bahwa lima hari setelah kemerdekaan RI, 56

tokoh terkemuka Aceh bersumpah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Namun ternyata tak semua tokoh Aceh berpikiran sama. Hingga terjadilah perang cumbok atau perang saudara yang menewaskan 1500 orang.

Begitu juga di tahun 1948 dimana terjadi agresi Belanda dan terbentuklah pemerintahan darurat RI (PDRI), Aceh ingin merdeka, Nias, Tapanuli, Su�matera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau pun ingin mengikuti jejaknya. Dan pada akhirnya Daud Beureuh Gubernur Militer Aceh yang awalnya ingin memproklamirkan ke�merdekaan Aceh justru mendoktrin agar seluruh rakyat Indonesia mendu�kung pemerintahan yang sedang diserang Belanda.

Sebagai bukti Aceh menyumbangkan uang dan emas untuk mendukung jalannya pemerintahan Indonesia. Soekarno pun saat itu menyebut Aceh sebagai modal utama untuk kemerdekaan bangsa. Beureueh berubah pikiran karena Soekarno memberikan janji akan memperbolehkan meng�gunakan UU Syariah di Aceh.

Tapi Beurueh Kecewa, Soekarno justru melebur Aceh ke Sumatera Utara. Ia pun menggulirkan ide Negara Islam Indonesia yang diusung Karyosu�wiryo (1949). Rakyat Aceh yang notabene islam mendukung penuh. Hingga terbentuklah Tentara Islam Indonesia (TII). Dan terjadilah pemberontakan DI/TII (1955) yang mengakibatkan sekitar 64 warga Aceh dibariskan lalu ditembaki oleh Tentara Nasional Indonesia.

Berbagai perundingan dibuat akhirnya (1959) Aceh memperoleh status Daerah Istimewa Aceh. Gerilya tetap dilakukan hingga tahun 1962. Daud menyerah setelah pemerintah Indonesia berjanji UU Syariah akan segera diwujudkan. Namun UU itu baru terwujud di tahun 2001.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun terbentuk karena adanya sentarlis�tik ekonomi orde baru yang mengakibatkan sumber daya alam Aceh yang dibawa ke Jakarta. GAM kini memang telah berdamai dengan Indonesia. Namun apa daya perhatian pemerintah ke Aceh hanya sementara saat tsu�nami saja. Bahkan sahabat ku itu mengatakan rindu tsunami dimana Aceh menjadi perhatian pemerintah. Namun kini tinggal cerita saja.

Ketimpangan Antara Jawa dan SumateraSumatera dikenal dengan nama Pulau Percha, Andalas atau Suwarnad�

wipa. Dalam bahasa Sansekerta berati tanah emas. Dan dalam naskah Negarakertagama dari abad ke 14 disebut dengan Bumi Melayu. Sumat�era hanya sebagai tanah emas jajahan Jawa bahasa kasarnya. Berbagai perusahaan asal Jawa berdiri di Sumatera, dan mengeruk sumber daya alamnya untuk dibawa ke Jawa. Bahkan ada pemikiran semua presiden pasti dari tanah Jawa.

Dan kini lahir kembali wacana yang sama. Justru bukan dari tokoh�tokoh lama. Melainkan pemuda�pemuda yang tak lahir di zaman kependudukan Belanda. Benih�benih perpecahan itu kini jelas ada. Tak mengerti apakah pemuda�pemuda yang mengajak reuni itu mengerti sejarah Bangsa Indo�nesia. Tapi justru merekalah contohnya nyata bahwa ada korban ketidaka�dilan di Indonesia.

Soekarno pernah mengatakan dengan sepuluh pemuda saja bisa meng�guncang dunia. Apalagi jika pemuda�pemuda yang ada di Sumatera ber�pikiran sama dengan mereka yang ingin Sumatera Merdeka.

Tak ada yang salah dengan Jawa, yang salah kebijakannya. Jawa hany�alah sebuah pulau di Indonesia yang luas daratannya 6% dari jumlah total daratan di Indonesia. Dab harus menampung 60% jumlah penduduk di In�donesia. Jadi wajar jika hampir semua pusat pemerintahan hingga hiburan ada di Jawa. Namun pemerintah harus mengkaji ulang harus ada keseim�bangan di semua bidang. Tak semestinya ada sentralisasi semua harus merata. Sebelum Sumatera benar�benar merdeka.=

Page 12: Tabloid Teknokra Edisi 125

No. 125 Tahun XII Trimingguan Edisi 30 November-20 Desember 201212 Ekspresi

John Hendri

Ruangan yang menyatu dengan Laboratorium Biomassa, Pria berkemeja kotak-kotak

kecil berwarna abu-abu itu duduk di depan meja kerjanya. Rutinitas yang ia lakukan selepas mengajar mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sejak dulu, Prof. John -sapaan akrabnya- biasa menghabiskan waktu luangnya di laboraturium seharga tak kurang dari 80 milyar itu.

“Dari pada di rumah, tidur bikin gemuk, kena jantung, lebih baik ke kampus, diskusi dengan teman-teman,” ungkap Prof. John Hendri saat ditemui (17/11). Di laboraturium itu, Berbagai penelitian ia ciptakan. Kegiatan lain seperti mengawasi percobaan mahasiswanya hingga sekedar menghabiskan waktu luang juga ia lakukan di sana. Wajar, kalau laboratorium akhirnya ia anggap sebagai rumah keduanya.

Karirnya yang terbilang sukses dengan berderet prestasi tak begitu saja ia raih. John yang tak sempat merasakan kasih sayang seorang ayah, harus berjuang bersama ibunda tercinta agar dapat tetap mengenyam pendidikan.

Ayahnya, gugur dalam tugas sebagai instruktur Jendral ABRI di Sumatra Barat saat John berusia tujuh bulan dalam kandungan. Saat itu, ayah John sedang bertugas di Provinsi Riau yang tengah gencar melepaskan diri dari NKRI menjadi Negara Sumatra Tengah. Menurut cerita yang diperdengarkan padanya, ayahnya meninggal karena kecelakaan saat bertugas. Ibundanya pun tidak pernah tahu ikhwal itu hingga John berusia satu tahun.

Menurutnya, ia adalah salah satu orang yang beruntung dapat melanjutkan pendidikan seperti sekarang. Saat kecil, ia tinggal di kabupaten yang berjarak 100 km dari Kota Padang, Batusangkar namanya.

Rumahnya tak jauh dari pasar, karena itu pula, John berteman dengan banyak pedagang di sana. Pedagang sayur, buah, pakaian, sampai pedagang sandal ia kenal. Pendidikan adalah hal yang kurang diperhatikan di lingkungannya saat itu. Namun, beruntung ibunda John tak sepemikiran. Setiap hari, wanita yang membiayai John dengan uang pensiunan ayahnya berusaha membangkitkan semangat belajar John. Sosok ibunda yang gigih dan pekerja keras menjadi sumber motivasi bagi John untuk terus bersekolah.

John menghabiskan masa sekolahnya di bumi minang hingga meraih gelar sarjana. Sebelum menempuh S1 di Univeristas Andalas, John sempat menganggur

Pendidikan Adalah Harga Mati

Oleh Fitri Wahyuningsih

Foto

Nova

linda

Silv

ianasatu tahun. Saat itu, ia ingin

mendaftar sebagai AKABRI demi meringankan beban sang ibu. Ia berpikir, menjadi AKABRI tak perlu biaya kuliah karena sudah ditanggung negara. Namun, ternyata restu sang ibu tak ia genggam. Ibu john justru memintanya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Ia pun tak ingin mengecewakan wanita yang telah membesarkannya.

“Restu ibu sangat berarti. Mungkin saya bisa lulus ujiannya, tapi tanpa restu ibu, bagaimanapun usaha saya, tidak akan tercapai tanpa restunya,” cerita John mengenang masa mudanya. Akhirnya, John memutuskan menjadi mahasiswa jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas.

John juga menjadi salah satu mahasiswa berprestasi selama perkuliahan. Buktinya, ia mampu merampungkan S1, S2, dan S3-nya dengan beasiswa. Sewaktu menjadi mahasiswa Universitas Andalas, John pertama kali mendapatkan beasiswa di semester lima.

Namun, saat itu sebagian uang beasiswa ia gunakan untuk membawa ibunda mengunjungi makam sang ayah. Uang empat puluh ribu rupiah ia jadikan modal untuk berangkat ke Rengat, Provinsi Riau. Itu adalah kali pertama John dan ibundanya mengunjungi makam sang Ayah. Dengan uang beasiswa itu pula, John memindahkan makam ayahnya dari Riau ke Batusangkar, Padang.

Usai menyandang gelar sarjana scince, Dosen FMIPA ini mencoba peruntungannya dengan bekerja di pabrik kondom. Karirnya sebagai staf analisis kualitas produk tak bertahan lama. Dua kali menerima

gaji ia lalu memutuskan melanjutkan S2 di ITB dengan beasiswa Calon Tenaga Akademis Baru yang diberikan D. Saat mengejar gelar master inilah ia bertemu dengan tambatan hatinya. Seorang mahasiswi yang juga keturunan minang.

Setelah merampungkan S2, ia memutuskan untuk bekerja. Pilihan John akhirnya bermuara di Universitas Lampung. Berkat informasi dari sejolinya saat mengenyam pendidikan S1, akhirnya John mendaftar dan menjabat sebagai dosen di Unila.

Gelar Professor yang kini bertandang di depan namanya ia raih di Negeri Sakura. Program beasiswa due Project yang diberikan oleh bank dunia membawa John merasakan udara di Jepang.. Pengalamannya sebagai mahasiswa Gunma University memberinya banyak pelajaran. Ia mengakui bahwa orang jepang adalah pribadi yang menuntut kerja keras.

“Saya berangkat pukul sembilan pagi dan baru pulang pukul dua belas malam. Kadang ada yang pulang pagi,” curhat laki-laki yang telah dikaruniai tiga orang anak itu. Rutinitas yang melelahkan itu tidak John anggap sebagai beban. Berkat kerja kerasnya, beliau berhasil menerbitkan beberapa jurnal international di jepang.

Kini, John dipercaya untuk mengkoordinir Laboratorium Biomassa Unila. Laboraturium yang ia asuh dapat dikategorikan sebagai laboratorium terpadu dan terlengkap yang ada di Sumatra. John dan empat rekannya juga dalam proses mendapatkan sertifikat ISO 17025 untuk laboratorium biomassa.

Menurutnya, dengan sertifikat ini laboratorium biomassa akan memiliki standart international dan mendapat jaminan terhadap penelitian yang dianalisis di laboratorium tersebut.

Laboraturium yang dipercayakan pada John sering dipergunakan oleh mahasiswa. Tak hanya mahasiswa Unila, perusahaan swasta juga dipersilahkan melakukan penelitian. Selain kebersihannya yang terjaga, laboratorium tersebut memiliki alat-alat penelitian yang lengkap. Menurut John, kurang lebih 80 Milyar telah diinvestasikan untuk laboratorium tersebut.

Idam Hermawan salah satu contohnya. Supervisor Analisis Laboratorium Biomassa ini akan diberangkatkan ke Jepang pada April 2013 untuk melanjutkan studi S3nya. Ini semua berkat kerjasama yang dijalin oleh John dengan pihak universitas di Jepang. Menurutnya John Hendri adalah sosok yang tegas,

baik, berjiwa kepemimpinan, dan sangat peduli denan bawahannya.

Sependapat dengan Idam, Andi Setiawan, Kepala Jurusan Kimia FMIPA pun mengakui kinerja John. “Kinerja beliau sudah tidak diragukan lagi. Apalagi dengan gelar profesornya,” tutur Andi.

Menurut John, pendidikan mampu mengubah pola pikir manusia. Berada dalam lingkungan pendidikan dapat memacu semangat kerja keras untuk lebih maju. “Saya hidup sekarang, karena saya sekolah.Sekolah itu nomor satu!” tuturnya penuh semangat.

John yakin, kalau manusia mau berusaha, karir akan selalu ada. Kesuksesannya saat ini pun tidak terlepas dari keinginan ibunya agar John melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. John pun sangat berterimakasih pada ibunda tercinta yang telah berpulang 9 tahun yang lalu.=

Pendidikan adalah harga yang tidak bisa bayar dengan apa pun. Ilmu yang peroleh di bangku sekolah mampu mengubah pola pikir seorang putra minang dan membawanya merengkuh gelar Profesor.

Prestasi-Koordinator Penelitian MP3EI Koridor Sumatra (2011)

-Koordinator Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung (2010)-Guru Besar Kimia Polimer Jurusan Kimia FMIPA Unila (2009)-Ketua Himpunan Kimia Indonesia Cabang Lampung (2006)-Anggota RUKD, Dinas Pertambangan Prop. Lampung (2004)

-Anggota Assosiasi Polimer Indonesia (2000)-Konsultan di PT Sinar Laut (1992-1995)

-Lebih dari 33 penelitian telah berhasil dilaksanakan dan kurang lebih 28 jurnal nasional maupun international berhasil diterbitkan.