Top Banner

of 27

T1. Subyek Hukum Internasional Dan Pengesahan Perjanjian Internasional

Oct 17, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 1

    BAB

    PEMBAHASAN

    A. PENGERTIAN SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL

    Subjek Hukum Internasional dapat diartikan sebagai :

    1. Pemegang segala hak dan kewajiban dalam hukum internasional.

    2. Pemegang hak istimewa procedural untuk mengadakan tuntutan di depan

    Mahkamah Internasional.

    3. Pemilik kepentingan yang diatur oleh Hukum Internasional.

    Subjek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak

    dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dan

    kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang

    sebagai subjek hukum internasional.

    Subjek Hukum Internasional adalah semua pihak atau entitas yang dapat dibebani oleh

    hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional. Hak dan kewajiban tersebut

    berasal dan semua ketentuan baik yang bersifat formal ataupun non-formal dari

    perjanjian internasional ataupun dan kebiasaan internasional

    1. Ciri Subjek Hukum Internasional

    Semua entitas ada kemampuan memiliki dan melaksanakan hak dan kewajiban

    menurut hukum internasional. Menurut Starke, subjek hukum internasional terdiri

    dari :

    Negara

    Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum internasional dapat

    diartikan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum

    internasional. Dengan kata lain dapat disebut sebagai subjek hukum

  • 2

    internasional secara penuh. Mengenai siapa yang menjadi subjek hukum

    internasional, dapat dilihat melalui dua pendekatan :

    1. Pendekatan dari Segi Teoritis

    a. Hanya negaralah yang menjadi subjek hukum internasional.

    Pendapat ini didasarkan pada pemikiran, bahwa peraturan-peraturan

    hukum internasional adalah peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh

    negara-negara, dan traktat-traktat meletakkan kewajiban yang hanya

    mengikat negara-negara yang menandatanganinya

    b. Individulah yang menjadi subjek hukum internasional.

    Bahwa yang dinamakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara

    sebenarnya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia-manusia

    yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam

    negara itu. Negara tidak lain merupakan konstruksi yuridis yang tidak

    akan mungkin ada jika tanpa manusia sebagai anggota masyarakat suatu

    negara.

    2. Pendekatan dari Segi Praktis

    Pendekatan ini berpangkal tolak dari kenyataan yang ada, baik kenyataan

    mengenai keadaan masyarakat internasional masa sekarang maupun hukum

    yang mengaturnya. Kenyataan yang ada tersebut timbul karena sejarah,

    desakan kebutuhan perkembangan masyarakat hukum internasional,

    maupun memang diadakan oleh hukum itu sendiri.

    Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara,

    kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional

    adalah :

    Penduduk yang tetap

    Wilayah tertentu

    Pemerintahan

    Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain

  • 3

    Negara juga bisa disebut sebagi organisasi kekuasaan yang berdaulat,

    menguasai wilayah tertentu, dan yang kehidupannya didasarkan pada system

    hukum tertentu.

    Terbentuknya Negara

    Terbentuknya negara terjadi melalui beberapa jalan :

    a. Proklamasi. Merupakan pernyataan sepihak dari suatu bangsa bahwa

    dirinya melepaskan diri dari kekuasaan negara lain dan mengambil

    penentuan nasibnya di tangannya sendiri.

    b. Perjanjian Internasional. Dengan perjanjian itu disepakati terbentuknya

    suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat dari suatu bangsa tertentu.

    c. Plebesit. Plebesit adalah pemungutan suara rakyat dari dua negara yang

    bersengketa untuk memilih dan bergabung pada salah satu negara agar

    dapat berdiri sebagai suatu negara yang merdeka.

    Pengakuan Negara

    a. Pengertian Pengakuan

    Yang dimaksud dengan pengakuan itu ialah perbuatan bebas suatu

    negara yang membenarkan terbentuknya suatu organisasi kekuasaan

    yang menerima organisasi kekuasaan itu sebagai anggota masyarakat

    internasional. Pengakuan merupakan perbuatan politik karena pengakuan

    merupakan perbuatan pilihan yang didasarkan pada perimbangan

    kepentingan negara yang mengakui. Pengakuan bukan merupakan

    perbuatan hukum karena bukan keharusan sebagai akibat telah

    dipenuhinya persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum. Sebagai

    perbuatan hukum, pengakuan menimbulkan hak, kewajiban, dan privilege

    yang diatur hukum internasional dan hukum nasional negara yang

    mengakui. Pengakuan bisa diberikan kepada negara, pemerintah negara

    taupun kesatuan bukan negara seperti belligerent.

  • 4

    b. Fungsi pengakuan

    Teori Konstitutif. Teori ini menyatakan bahwa pengakuan itu

    menciptakan negara, dengan kata lain pengakuan itulah yang memberi

    status negara pada organisasi kekuasaan yang diakui.

    eklaratur. Teori ini menyatakan bahwa pengakuan tidak menciptakan

    negara, pengakuan merupakan pembuktian resmi mengenai sesuatu

    yang telah ada. Negara baru berlaku surut sejak saat kenyataan

    terjadinya kemerdekaam negara tersebut.

    c. Macam-macam Pengakuan

    De Jure. Pengakuan yang diberikan berdasarkan pertimbangan

    bahwa menurut negara yang mengakui organisasi kekuasaan yang

    diakui dianggap telah memenuhi persyaratan hukum untuk ikut

    serta melakukan hubungan interbasional.

    De Facto. Pengakuan yang diberikan berdasarkan pertimbangan

    bahwa menurut negara yang mengakui organisasi kekuasaan yang

    diakui, untuk sementara dan dengan reservasi di kemudian hari,

    menurut kenyataannya dianggap telah memenuhi persyaratah

    hukum untuk ikut serta melakukan hubungan internasional.

    d. Cara Pemberian Pengakuan

    Secara Terang-terangan. Pengakuan ini diberikan secara resmi

    dalam bentuk nota diplomatic, pesan pribadi dari Kepala Negara

    atau Menteri Luar Negeri, pernyataan Parlemen, atau perjanjian

    internasional.

    Pengakuan Secara Diam-diam. Terjasi karena ada hubungan

    antara negara yang mengakui denagn organisasi kekuasaan yang

    diakui yang menunjukkan kemauan negara yang mengakuiuntuk

    mengadakan hubungan resmi dengan organisasi kekuasaan

    yangdiakui. Pengkuan siam-siam ini dibenarkan oleh hukum

  • 5

    internasional karena pengakuan dianggap masalah kemauan, yang

    dapat dinyatakan secara terang-terangan maupun diam-diam.

    e. Penarikan Kembali Pengakuan

    Terdapat ketentuan umum dalam hal pengakuan bahwa pengakuan de

    jure sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali. Penarikan pengakuan

    dapat dilakukan denagn penghentian diadakannya hubungan antar

    negara yang dilakukan dengan pemutusan hubungan diplomatis. Berbeda

    dengan pengakuan de jure, pengakuan de facto dihentikan sesuai dengan

    keadaan organisasi kekuasaan yang diberi pengakuan de jure kepa

    organisasi kekuasaan de facto.

    Macam-Macam Negara

    1. Negara Menurut Bentuknya

    a. Negara Kesatuan. Negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya

    berkedudukan lebih tinggi daripada kekuasaan pemeritah daerahnya.

    Hal ini terjadi karena pemerintah pusat memegang kedaulatan negara.

    b. Negara federasi. Negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya dama

    dengan kekuasaan pemerintah daerah. Hal itu terjadi karena adanya

    pembagian bidang kekeuasaan antara pemerintah pusat dan daerah,

    dimana pemerintah pusat dan daerah memegang kedaulatan negara.

    c. Konfederasi Negara. Merupakan gabungan dari negara-negara yang

    kekuasaan pemerintah pusatnya berkedudukan lebih rendah daripada

    pemerintah negara yang bergabung padanya. Hal itu terjadi karena

    negara0begara yang tergabung merupakan negara yang berdaulat.

    2. Negara Menurut Luas Wilayahnya

    Disamping negara-negara yang dianggap norma, ada negara mikro atau

    negara mini/liliput. Hal itu disebabkan karena wilayahnya, penduduknya,

    dan nkemampuan ekonominya kecil. Menurut hukum internasional,

  • 6

    negara mikro berhak ada, dimana keberadaannya didasarkan hak

    menentukan nasib sendiri dari tiap bangsa.namun berbeda dengan

    negara normal, negara mikro tidak dapat menikmati hak-hak internasional

    tertentu, misalnya menjadi anggota PBB. Karena dianggap terlalu berat

    bagi negara mikro dan dapat melemahkan kedudukan PBB.

    3. Negara Menurut Wilayah Lautnya

    Negara Pantai. Negara yang wilayah daratannya, atau sebagaian

    garatannya berbatasan dengan laut. Contohnya Belanda, Mesir, dan

    India.

    Negara tidak Berpantai. Negara yang wilayah negaranya habis

    dikelilingi daratan negara lain. Contohnya Swiss, Austria, dan Nepal.

    Negara Pantai yang tidak Beruntung. Negara pantai yang wilayah

    lautnya terjepit oleh laut negara lain. Contohnya Soingapura.

    Negara Kepulauan. Negara yang seluruhnya terdiri dari satu

    kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau lain. Yang dimaksud

    ialah sekelompok pulau, termasuk bagian pulau-pulau, perairan yang

    menghubungkannya dengan benda alami lain yang membentuk suatu

    kesatuan.

    4. Negara Menurut Kedudukannya dalam Pertikaian Bersenjata

    Negara yang Dinetralkan. Negara yang kemerdekaan dan integritas

    politik serta teritorialnya dijamin secara permanent oleh perjanjian

    kolektif negara-negara besar denagn negara yang dinetralkan itu yang

    merupakan subjek hukum internasional. Negara yang dinetralkan hak

    untuk melakukan pertikaian senjata dibatasi serta adanya larangan

    untuk mengikuti perjanjian persekutuan atau perjanjian internasional.

    Negara Netral. Negara yang secara sukarela menetapkan kebijakan

    untuk tidak ikut serta dalam suatu pertikaian bersenjata yang terjadi.

  • 7

    Kedudukan negara netral tidak mempengaruhi kedudukan negara

    terseut sebagai subjek hukum internasional.

    Beberapa literatur menyebutkan bahwa negara adalah subjek hukum

    internasional yang utama, bahkan ada beberapa literatur yang menyebutkan

    bahwa negara adalah satu-satunya subjek hukum internasional. Alasan yang

    mendasari pendapat yang menyatakan bahwa negara adalah subjek hukum

    internasional yang utama adalah :

    1. Hukum internasional mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara,

    sehingga yang harus diatur oleh hukum internasional terutama adalah

    negara.

    2. Perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional yang utama

    dimana negara yang paling berperan menciptakannya.

    Organisasi Internasional

    Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan

    James Wolfe :

    1. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan

    maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan

    Bangsa-Bangsa;

    2. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud

    dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO,

    International Monetary Fund, International Labour Organization, dan lain-

    lain;

    3. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan

    tujuan global, antara lain: Association of Southeast Asian Nation (ASEAN),

    Europe Union.

    Dasar hukum yang menyatakan bahwa organisasi internasional adalah subjek

    hukum internasional adalah pasal 104 piagam PBB.

  • 8

    Palang Merah Internasional

    Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis

    organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang

    Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat

    unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya,

    Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam yang lingkup nasional,

    yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin

    oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan

    kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan

    simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah

    Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dan negara-

    negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International

    Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss.

    Dasar hukumya :

    Internasionai committee of red cross (ICRC)

    Konvensi jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang

    Tahta Suci Vatikan

    Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan

    Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta

    Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran

    tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi

    Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun

    tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab

    hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya

    memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi

    Tahta Suci dan umat Katolik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia.

    Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta

  • 9

    Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian

    juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai

    negara.

    Dasar hukumnya : Lateran Tretay (11 february 1929)

    Kaum Pemberontak/Beligerensi (Belligerent)

    Kaum beligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dan masalah dalam

    negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya

    merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan

    tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan

    akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka

    salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima

    kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan

    dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat

    pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut

    pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status

    sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.

    Contoh PLO (Palestine Liberalism Organization) atau Gerakan Pembebasan

    Palestina.

    Dasar hukumnya :

    Hak untuk menentukan nasib sendiri

    Hak untuk memilih sistem ekonomi, sosial dan budaya sendiri

    Hak untuk menguasai sumber daya alam

    Individu

    Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang

    memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara

    langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang

    Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal

  • 10

    Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan

    lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan,

    dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subjek hokum

    internasional yang mandiri.

    Dasar hukumnya :

    Perjanjian Versailles 1919 pasal 297 dan 304

    Perjanjian Upersilesia 1922

    Keputusan Permanent court of justice 1928

    Perjanjian London 1945 (lnggris, Prancis, Rusia, USA)

    Konvensi Genocide 1948

    B. PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL MENJADI UNDANG-

    UNDANG DI INDONESIA

    1. Latar Belakang

    Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata

    hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau

    ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata

    hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional

    sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada

    umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional

    sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup

    dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan

    dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting

    adalah bidang hukum nasional.

    Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara

    sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum

    nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan

  • 11

    internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum

    internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

    Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori

    voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan

    negara, dan teori objektivis yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas

    dari kemauan negara.

    Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam

    memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan

    teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua

    perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan

    pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional

    sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

    Teori Keberlakuan Hukum Internasional

    A. Aliran Dualisme

    Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional

    bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional

    merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.

    Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan

    hal ini :

    1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum

    internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional

    bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional

    bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat

    hukum internasional;

    2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam

    hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional

    adalah negara;

  • 12

    3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada

    realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam

    hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

    4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak

    dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan

    hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara

    efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.

    Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat

    hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat

    hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara

    hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak

    saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas

    antara satu dengan yang lainnya.

    Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat

    hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan

    hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi

    hukum nasional.

    B. Aliran Monisme

    Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh

    hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum nasional dan

    hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih

    besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua

    perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki

    dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam

    menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum

    internasional.

  • 13

    Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum

    internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme

    dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional

    lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme

    dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

    Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan

    kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan

    bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar

    negeri. Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum

    internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari

    hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut :

    1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur

    kehidupan negara-negara;

    2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak

    pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang

    berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing

    negara.

    Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa

    hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum

    nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan

    mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

    Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam

    menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia

    sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam

    hukum nasionalnya.

  • 14

    C. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum Internasional

    Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional.

    Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan

    apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag

    XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah

    Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam

    Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember

    1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah

    Internasional tertanggal 26 Juni 1945.

    Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada

    sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu

    Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah

    Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai

    Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum

    ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan

    Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang

    berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan

    dihadapannya adalah :

    1. Perjanjian Internasional;

    2. Kebiasaan Internasional;

    3. Prinsip Hukum Umum;

    4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai

    negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.

    Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau

    dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek

    hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.

    Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum

    internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun

    antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional

  • 15

    lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh

    perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi

    internasional dan negara-negara.

    Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna

    Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku

    (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai

    bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga

    diratifikasi menjadi hukum nasional.

    Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah

    traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter,

    deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain.

    Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan

    perjanjian internasional.

    Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan

    menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk

    melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan

    ratifikasi. Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua

    tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Untuk golongan pertama

    biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat penting sehingga

    memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan

    perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya

    pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara.

    Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu

    penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.

    Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk

    golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan

    Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

    Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan

    dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut :

  • 16

    1. Penjajakan : merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang

    berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

    2. Perundingan : merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan

    masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.

    3. Perumusan Naskah : merupakan tahap merumuskan rancangan suatu

    perjanjian internasional.

    4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah

    dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral,

    kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut

    "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau

    paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-

    masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan

    (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu

    negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

    5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral

    untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah

    disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan

    perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara

    pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui

    pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).

    D. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia

    Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah

    Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan

    subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat

    penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya.

    Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional

    dilakukan berdasarkan undang-undang.

  • 17

    Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

    Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti

    tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa

    Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional

    dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini

    memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian

    internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui

    Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11

    UUD 1945 tersebut.

    Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam

    bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang

    ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman

    dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19]

    Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan

    melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang

    diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari

    Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti

    dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian

    internasional.

    Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur

    dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24

    Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah :

    Ketentuan Umum

    Pembuatan Perjanjian Internasional

    Pengesahan Perjanjian Internasional

    Pemberlakuan Perjanjian Internasional

    Penyimpanan Perjanjian Internasional

    Pengakhiran Perjanjian Internasional

  • 18

    Ketentuan Peralihan

    Ketentuan Penutup

    Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu :

    1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu

    perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian

    internasional;

    2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu

    perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;

    3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan

    menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian

    internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;

    4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-

    executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

    Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu

    perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak

    terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional

    memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak

    akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

    Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau

    menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap

    perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang

    tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.

    Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut

    kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan

    materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau

    lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan

    tanpa memerlukan surat kuasa.

  • 19

    Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang

    dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu

    perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh

    para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku

    setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.

    Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau

    keputusan Presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan

    persetujuan DPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu

    pemberitahuan ke DPR. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui

    undang-undang apabila berkenaan dengan :

    masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

    perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

    kedaulatan atau hak berdaulat negara;

    hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

    pembentukan kaidah hukum baru;

    pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

    Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung

    jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional

    yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional,

    perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai

    dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

    Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam

    Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa :

    Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

  • 20

    Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum

    nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa

    Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua

    sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

    Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam

    bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan

    UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan

    presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian

    internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya

    menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional

    tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-

    undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi,

    contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights

    melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-

    undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-

    undang yang lebih spesifik.

    Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam

    pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu

    pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini

    dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau

    Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam

    pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu

    pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini

    dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen

    perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam

    perjanjian oleh para pihak.

    Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang

    materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya,

    pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar

    propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para

    pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

  • 21

    Menurut Mochtar Kusumaatmaja ada dua macam cara pembentukan perjanjian

    internasional :

    a. Perjanjian internasional yang dibentuk melalui 3 tahap yaitu (perundingan,

    penandatanganan, ratifikasi atau pengesahan), cara ini dupakai apabila materi atau

    yang diperjanjikan itu dianggap sangat penting maka perlu persetujuan DPR.

    b. Perjanjian internasional yang dibentuk melalui 2 tahap yaitu ( perundingan dan

    penandatanganan) dipakai untuk perjanjian yang tidak begitu penting, penyelesaian

    cepat, berjangka pendek, seperti Perjanjian perdagangan.

    Menurut Hukum Positif Indonesia, pada pasal 11 ayat 1 UUD 1945

    dosebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan

    Negara lain. Dalam Undang-undang RI No. 24 tahun 2000 ditegaskan bahwa

    pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap ( penjajakan, perundingan,

    perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan).

    Menurut Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional

    disebutkan tahap pembuatan perjanjian internasional dilakuakn melalui tahap :

    a. Perundingan (Negotiation), perundingan tahap pertama tentang objek tertentu,

    diwakili oleh kepla negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri atau duta besar

    dengan menunjukkan Surat Kuasa Penuh (full powers)

    b. Penandatanganan (Signature), biasanya dilakukan oleh menteri luar negeri atau

    kepala pemerintahan. Tapi perjanjian belum dapat diberlakukan sebelum diratifikasi

    oleh masing-masing negara.

    c. Pengesahan (Ratification), Penandatanganan hanya bersifat sementara dan harus

    dikuatkan dengan pengesahan atau penguatan yang disebut ratifikasi. Ratifikasi

    perjanjian internasional dapat dibedakan sbb :

    Ratifikasi oleh badan eksekutif, biasanya dilakukan oleh raja absolut dan

    pemerintahan otoriter.

    Ratifikasi oleh badan Legislatif atau DPR,Parlemen tapi jarang digunakan.

    Ratifikasi campuran antara DPR (legislatif) dengan Pemerintah (Eksekutif)

  • 22

    pengesahan perjanjian internasional dengan keputusan presiden

    Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut

    prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai

    kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar kewenangan presiden

    dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang dasar

    1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut :

    a. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,

    membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.

    b. Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat

    yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

    keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-

    undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

    c. Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.

    Berdasarkan pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan

    surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang

    berisi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

    Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah

    masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik

    Indonesia, Diratifikasi dengan undang undang.

    Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah

    yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden.

    Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga

    adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang

    juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat

    Presiden nomor : 2826. Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan

    jenis peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai

    berikut :

    o Undang-Undang Dasar 1945.

    o Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu).

    o Peraturan Pemerintah (PP).

  • 23

    o Peraturan Presiden.

    o Peraturan Daerah

    o Peraturan Desa

    Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan perundang-

    undang Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang

    Peraturan, Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-

    undangan, namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai

    kekuatan mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan

    yang lebih tinggi (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian

    Internasional.

    Sebelumnya perlu diklarifikasi mengenai perjanjian internasional yang Anda maksud.

    Dalam Pasal 11 UUD 1945 memang diatur bahwa dalam hal Presiden membuat

    perjanjian internasional, perlu ada persetujuan DPR. Akan tetapi, tidak semua

    perjanjian internasional butuh persetujuan DPR. Yang perlu persetujuan DPR adalah :

    1. Perjanjian internasional dengan Negara lain (lihat Pasal 11 ayat [1] UUD 1945).

    Jadi, setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden dengan Negara lain

    (baik bilateral maupun multilateral) harus mendapatkan persetujuan DPR.

    2. Perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar

    bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau

    mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang (lihat Pasal 11 ayat

    [2] UUD 1945). Perjanjian internasional lainnya disini artinya perjanjian dengan

    subjek hukum internasional lainnya, contohnya dengan organisasi internasional.

    Selanjutnya, Pasal 11 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa ketentuan mengenai

    perjanjian initernasional ini diatur dengan Undang-Undang. Berkaitan dengan

    ketentuan tersebut, Undang-Undang yang perlu kita rujuk adalah Undang-Undang

    No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional).

    Penjelasan Umum UU Perjanjian Internasional menjelaskan bahwa Perjanjian

    internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di

    bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah

    dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.

    Sebelum perjanjian internasional ini berlaku dan mengikat di Indonesia, perjanjian

  • 24

    internasional itu perlu disahkan. Yang dimaksud Pengesahan, menurut pasal 1

    angka 2 UU Perjanjian Internasional, adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan

    diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi

    (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).

    Lebih lanjut, pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa

    pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau

    keputusan presiden. Penjelasan pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional

    menyatakan bahwa :

    pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang memerlukan

    persetujuan DPR;

    pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan keputusan presiden

    (Keppres), cukup diberitahukan saja kepada DPR.

    Catatan: Setelah diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

    Peraturan Perundang-undangan (UU No. 10/2004), pengesahan perjanjian

    antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional tidak

    lagi dapat dilakukan dengan Keppres tapi dengan Peraturan Presiden

    (Perpres). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf c butir

    1 UU No. 10/2004.

    Jadi, persetujuan DPR diberikan pada saat perjanjian internasional akan

    disahkan menjadi Undang-Undang, bukan sebelum penandatanganan perjanjian

    internasional.

    Dasar hokum :

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    2. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

    3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

    Perundang-undangan. terkait :

    Menurut Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

    Internasional, tahap-tahap Perjanjian Internasional (proses pembuatan

    perjanjian Internasional) adalah sebagai berikut :

  • 25

    Tahap Penjajakan Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua

    pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian

    internasional.

    Tahap Perundingan Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

    dan masalah2 teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.

    Tahap Perumusan Naskah Merupakan tahap merumuskan rancangan

    suatu perjanjian internasional.

    Tahap Penerimaan Merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang

    telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan

    bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut

    Penerimaan yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau

    paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-

    masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/

    approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak

    atas perubahan perjanjian internasional.

    Tahap Penandatanganan Merupakan tahap akhir da1am perundingan

    bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang

    telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral,

    penandantanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan

    diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian Internasional

    (Menurut Pasal 6 Ayat 1) Tahap Pengesahan :

    Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan

    ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang

    memerlukan pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhinya

    prosedur pengesahan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

    Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan

    perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik

    Indonesia. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan

    Dewan Perwakilan Rakyat.

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    (Istanto, Ibid: 16; Mauna, 2001:12).

    (Phartiana, 2003; 123)

    (Phartiana, 2003, 125)

    Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta 2003, hal 56

    A Shearer, Starkes International Law, 11th ed., Butterworths, USA, 1984, hal 64, Aliran ini

    pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Para pemuka aliran ini adalah Triepel dan

    Anziloti.

    Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003, hal 57-

    56.

    Loc. cit.

    Ibid, hal 65.

    Op. cit., hal 61

    Ibid, hal 62, Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross)

    Ibid, hal 114

    Shearer, hal 29

    Op. cit., hal 117

    Vienna Convention on the Law of Treaties, Vienna 1969

    Op. cit., hal 119

    Ibid

    Ibid

    Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.

    Loc. cit. Lihat: Catatan Kaki No. 5.

  • 27

    Indonesia (a), Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,

    Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185.

    Ibid, Pasal 7.

    Ibid, Pasal 8

    Ibid, Pasal 9

    Ibid, Pasal 10

    Ibid, Pasal 11

    Ibid, Pasal 10